SATU
BUKAN hanya Ratu Pemikat dan Pendekar 131 yang
terkejut besar, namun Dewi Siluman juga terlihat
pentangkan mata sambil perdengarkan dengusan
keras. Malah karena merasa orang mencampuri urusan-
nya, perempuan berjubah hitam panjang ini segera angkat
kedua tangannya. Tapi sadar kalau tindakannya terlambat,
akhirnya perempuan anak Daeng Upas ini urungkan niat
lepaskan pukulan, tapi kedua tangannya tetap di atas
udara.
Di lain pihak, Ratu Pemikat cepat bergerak hendak
menghadang laju sosok tubuh orang yang secara men-
dadak lakukan serangan pada murid Pendeta Sinting yang
ternyata adalah perempuan bercadar putih. Tapi gerakan
Ratu Pemikat juga terlambat. Hingga sosok perempuan
bercadar putih terus melaju bersamaan dengan meng-
hamparnya gelombang dahsyat ke arah Joko!
Seperti diketahui, saat murid Pendeta Sinting dan Ratu
Pemikat bercumbu mendadak muncul Dewi Siluman. Dan
ternyata di tempat itu bukan hanya ada Dewi Siluman. Tapi
juga ada perempuan bercadar putih yang sebenarnya
sudah sejak tadi berada di balik batu. Dewi Siluman akan
membebaskan Joko dan Ratu Pemikat. Tapi dengan syarat
murid Pendeta Sinting harus menyerahkan Pedang Tumpul
131 dan dua kitab ditangannya. Yang dimaksud Dewi
Siluman dengan kedua kitab tidak lain adalah Kitab Serat
Biru dan Kitab Sundrik Cakra.
Tapi begitu Dewi Siluman ulurkan kedua tangannya
meminta dengan kepala mendongak, dan di pihak lain
murid Pendeta Sinting serta Ratu Pemikat bersiap-siap
akan berkelebat loloskan diri, tiba-tiba saja perempuan
bercadar putih sudah melesat lakukan serangan pada
Pendekar 131 (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial
Joko Sableng dalam episode : "Bidadari Cadar Putih").
Merasa orang telah lepaskan pukulan padanya, murid
Pendeta Sinting tidak tinggal diam. Seraya melompat
mundur hindari gelombang, kedua tangannya didorong ke
depan.
Terdengar debuman. Sosok perempuan bercadar putih
yang melesat di belakang pukulannya sesaat tampak
tertahan. Namun belum sampai suara debuman lenyap,
sosoknya telah melaju kembali ke arah Joko dengan kedua
tangan berkelebat.
Joko tidak mau bertindak ayal. Kedua tangannya
diangkat dipalangkan di atas kepala.
Bukkk! Bukkk!
Dua benturan keras terdengar. Joko sempat mundur
satu tindak. Di depannya perempuan bercadar putih tarik
pulang kedua tangannya yang baru saja bentrok dengan
kedua tangan Joko. Sosoknya bergetar. Tapi perempuan ini
rupanya tidak mau memberi kesempatan. Baru saja kedua
kakinya menjejak tanah, kedua tangannya kembali
lepaskan pukulan. Malah jelas terlihat kalau tenaga yang
dikerahkan lebih besar dari pukulannya yang pertama.
Mendapati hal demikian, Dewi Siluman sentakkan kaki
kanannya ke atas tanah. Kedua tangannya yang berada di
atas udara cepat disentakkan ke arah perempuan bercadar
putih.
Melihat apa yang dilakukan Dewi Siluman, niat awal
Ratu Pemikat yang hendak berkelebat tinggaikan tempat
itu berubah. Dia menduga Dewi Siluman hendak
mengeroyok murid Pendeta Sinting. Hingga begitu kedua
tangan Dewi Siluman bergerak, perempuan berparas cantik
ini segera menghadang dengan lepaskan pukulan.
Di seberang sana, murid Pendeta Sinting juga cepat
angkat kedua tangannya lalu disentakkan ke depan
memangkas pukulan perempuan bercadar putih.
Terdengar benturan dua kali berturut-turut. Satu akibat
bentroknya pukulan perempuan bercadar putih dengan
pukulan yang dilepas murid Pendeta Sinting, satunya
berasal dari bertemunya pukulan Dewi Siluman dan Ratu
Pemikat.
Sosok murid Pendeta Sinting sesaat tampak bergetar.
Wajahnya berubah. Sejarak enam langkah di hadapannya,
sosok perempuan bercadar putih terlihat bergoyang-
goyang. Sementara di sebelah belakang kedua orang ini,
sosok Dewi Siluman tegak dengan mata mendelik angker.
Tujuh langkah di hadapannya, Ratu Pemikat memandang
tajam ke dalam bola mata Dewi Siluman dengan bibir
sunggingkan senyum seringai.
Karena dari wajah orang di hadapannya yang terlihat
hanya sepasang matanya, maka untuk beberapa lama
Pendekar 131 arahkan pandangan pada bola mata orang.
Yang dipandang balas menatap. Murid Pendeta Sinting
tidak melihat adanya keangkeran di kedua bola mata
orang. Malah sepasang mata itu tampak memandang sayu
dan agak sembab!
"Aneh.... Siapa perempuan ini adanya?! Matanya
sembab seperti orang baru menangis! Tapi mengapa itu
kupikirkan? Dia baru saja hendak membuatku celaka!"
membatin Joko. Lalu kerahkan tenaga dalam pada kedua
tangannya ketika dilihatnya perempuan bercadar putih
gerakkan kedua tangannya terangkat ke atas.
Namun untuk beberapa saat perempuan bercadar putih
terdiam. Jelas sikapnya menunjukkan kalau dia bimbang.
Bahkan kedua matanya memandang ke jurusan lain!
Joko kerutkan dahi. Mulutnya bergerak hendak per-
dengarkan suara. Namun sebelum suaranya terdengar,
perempuan bercadar putih telah sentakkan kedua
tangannya. Bersamaan dengan itu sosoknya berkelebat
menjauh.
Tindakan perempuan bercadar putih membuat murid
Pendeta Sinting sedikit heran.
"Dia berkelebat menjauh. Ada yang tak beres dengan
perempuan ini...."
Joko cepat dorong kedua tangannya memangkas
pukulan yang dilepas si perempuan bercadar putih. Lalu
berkelebat ke arah si perempuan.
Kembali tempat itu dibuncah ledakan tatkala pukulan
perempuan bercadar putih dipangkas pukulan Joko.
"Siapa kau sebenarnya?!" tanya Joko begitu sosoknya
tegak di hadapan si perempuan bercadar putih.
Yang ditanya tidak perdengarkan jawaban. Hanya
sepasang matanya yang memandang sayu. Lalu kepalanya
bergerak menggeleng perlahan, membuat Joko makin
heran.
"Aku tahu. Kau datang sebelum perempuan berbaju biru
itu! Kau mengejarku terlebih dahulu! Apa maksudmu...?!"
Pertanyaan Joko membuat perempuan bercadar putih
lebarkan sepasang matanya. "Jadi dia sebenarnya tahu
kalau aku berada di sekitar tempat ini! Tapi mengapa dia
berpeluk cium seakan tidak pedulikan adanya orang?!
Apakah sifatnya memang begitu...?" Si perempuan ber-
cadar putih menghela napas.
Seperti diketahui, saat perempuan bercadar putih
berada sendirian, tiba-tiba matanya menangkap satu sosok
yang berkelebat. Tanpa pikir siapa adanya orang,
perempuan bercadar putih segera berkelebat mengejar.
Namun yang dikejar ternyata adalah murid Pendeta Sinting
menghilang. Di lain pihak, sebenarnya Joko sendiri sudah
merasa kalau langkahnya diikuti orang. Hingga pada satu
tempat, dia segera berkelebat cepat lalu menyelinap
sembunyi. Saat itu Joko memang sedikit agak heran
karena dia tahu jelas kalau orang yang mengikutinya masih
berada jauh di belakang. Namun sebelum dia berkelebat
dan menyelinap, dia merasa orang telah tidak jauh lagi di
belakangnya. Anehnya, begitu Joko sembunyi, dia tidak lagi
menangkap adanya orang. Dan beberapa saat kemudian,
muncullah Ratu Pemikat.
Waktu Joko keluar dari tempat persembunyiannya dan
berseru, sebenarnya dia masih merasa bimbang apakah
masih ada orang lain selain Ratu Pemikat di tempat itu.
Namun kebimbangan Joko mulai lenyap tatkala matanya
tidak menangkap orang lain selain Ratu Pemikat. Dan dia
benar-benar jadi lupa pada kecurigaannya semula ketika
terlibat perbincangan dengan Ratu Pemikat, apalagi begitu
si perempuan cantik ini perlahan-lahan telah dapat
menggelorakan gejolaknya.
Mendapati perempuan bercadar putih tidak menjawab,
Joko ajukan tanya lagi.
"Kau temannya perempuan berbaju biru itu?! Lalu kalian
berdua bersandiwara di hadapanku?! Atau kau berkomplot
dengan perempuan bergelar Dewi Siluman itu hah?!"
Dari orang yang ditanya, yang terlihat menunjukkan
perubahan hanyalah pandangan sepasang matanya.
Sepasang bola mata itu kini sedikit membelalak tajam.
"Aneh...," gumam Joko melihat sikap orang di
hadapannya. "Ditanya siapa dirinya menggeleng! Ditanya
apa maksudnya diam! Dibilang teman dan komplotannya
malah mendelik!" Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala.
Lalu enak saja dia teruskan gumamannya. "Jangan-jangan
kau nenek-nenek yang suka mengejar pemuda...."
Mata milik perempuan bercadar putih makin mendelik.
Bahkan saat itu juga terdengar gumaman tidak jelas.
Namun sejauh ini si perempuan belum juga perdengarkan
suara, membuat Joko buka mulut lagi.
"Nek! Katakan saja terus terang apa maumu!"
Dipanggil Nenek, mata perempuan bercadar putih
mengerjap. Lalu terdengarlah suaranya. Sangat pelan
namun masih jelas di telinga murid Pendeta Sinting.
"Di sini bukan tempatnya bertanya jawab apalagi
bersenda gurau!"
"Hem.... Lalu tempatnya apa?!"
"Kau masih mengkhawatirkan jiwa kekasihmu
perempuan cantik berbaju biru itu?!"
"Eh.... Kenapa dia tanyakan itu...? Nada suaranya seperti
cemburu! Tapi, astaga! Mengapa aku terlalu gede rasa
pada ucapan orang...?" Joko diam-diam bertanya jawab
dengan batinnya sendiri. Lalu berujar.
"Dia bukan kekasihku. Dia hanyalah seorang sahabat!
Jadi...."
"Jangan terlalu banyak bicara!" tukas perempuan
bercadar putih. "Aku tanya sekali lagi. Kau masih
mengkhawatirkan jiwa perempuan itu?!"
Joko terdiam sesaat. Dia melirik sejenak pada Ratu
Pemikat yang saat itu terlihat masih saling perang pandang
dengan Dewi Siluman.
"Pura-puralah menghindar dari pukulanku! Kau masih
punya tugas lebih besar di depan sana!" ujar perempuan
bercadar putih masih dengan suara perlahan, membuat
Joko terlengak.
Belum hilang rasa kaget Joko, perempuan bercadar
putih telah sentakkan kedua tangannya ke arah Joko.
Satu gelombang luar biasa dahsyat menghampar. Joko
masih berpikir sejurus tentang ucapan si perempuan. Lalu
cepat-cepat keluarkan bentakan sambil berkelebat untuk
hindarkan diri. Gelombang dari kedua tangan si perempuan
lewat menggebrak udara kosong di mana tadi murid
Pendeta Sinting berada.
Begitu Joko injakkan sepasang kakinya, perempuan
bercadar putih telah berkelebat mengejar. Lalu dari jarak
dua belas langkah, kembali si perempuan lepaskan
pukulan. Kali ini Joko tidak tinggal diam. Dia pun segera
sentakkan kedua tangannya. Tapi pukulannya sengaja
diarahkan ke satu tempat yang tidak bertubrukan dengan
pukulan yang dilepas perempuan bercadar putih. Pada
saat yang sama, sosoknya berkelebat menjauhi tempat di
mana Ratu Pemikat dan Dewi Siluman berada.
Di pihak lain, antara Ratu Pemikat dan Dewi Siluman
untuk beberapa saat keduanya saling perang pandang.
Namun diam-diam kedua perempuan ini saling bertanya-
tanya sendiri dalam hati tentang siapa adanya parampuan
bercadar putih dan mengapa tiba-tiba lepaskan pukulan ke
arah murid Pendeta Sinting. Malah hampir berbarengan
kedua orang ini saling lirikkan mata masing-masing ke arah
perempuan bercadar putih yang terlihat masih lepaskan
pukulan setelah sejenak mereka mendengar pertanyaan-
pertanyaan Joko yang tidak mendapat jawaban dari si
perempuan.
Tapi ingat akan tindakan Ratu Pemikat yang
menghadang di depannya, Dewi Siluman lupakan sejenak
tentang perihal siapa dan apa maksud si perempuan
bercadar putih. Kegeraman perempuan berjubah hitam
panjang ini memuncak.
"Di Pulau Biru kau berhasil lolos! Tapi jangan harap kali
ini kau bisa berbuat sama, Perempuan Binal!" Dewi
Siluman membentak sambil angkat tangannya.
Dada Ratu Pemikat yang sejak tadi sudah mendidih
dengan ucapan-ucapan Dewi Siluman makin menggelegak.
Tapi tiba-tiba perempuan cantik bertubuh bahenol ini
teringat akan pertemuan yang telah diaturnya.
"Hem.... Pengorbananku hanya akan sia-sia kalau aku
melayani perempuan jahanam ini!" Ratu Pemikat berpikir
sejenak.
"Dewi Siluman!" kata Ratu Pemikat. "Bukankah
sebenarnya di antara kita tidak ada silang sengketa?
Malah bukankah kita pernah saling membantu di Pulau
Biru?!"
Seperti diketahui, antara Ratu Pemikat dan Dewi
Siluman memang pernah saling membantu saat terjadi
peristiwa di Pulau Biru. (Lebih jelasnya silakan baca serial
Joko Sableng dalam episode: "Neraka Pulau Biru").
Dewi Siluman tertawa pendek mendengar ungkapan
Ratu Pemikat. Karena dia paham benar kenapa saat di
Pulau Biru mengajak Ratu Pemikat saling bantu dan tahu
pula apa yang akan dilakukan pada Ratu Pemikat
seandainya dia dapat mengatasi lawan-lawannya saat itu,
maka dengan nada mengejek, dia buka suara.
"Hem.... Apa yang ada di balik ucapanmu, Perempuan
Binal?! Kau kira aku tidak tahu apa yang ada dalam
benakmu, he?!"
Ratu Pemikat tersenyum meski dipaksakan. "Kau masih
menginginkan barang yang kau minta tadi?!" Ratu Pemikat
kali ini lantas tertawa pendek dan tanpa menunggu
jawaban orang, dia teruskan ucapannya. "Kau kira pemuda
itu akan memberikan begitu saja apa yang kau minta?!
Buang jauh-jauh impian itu!"
"Kau akan saksikan benar tidaknya ucapanmu saat ini
juga!"
Ratu Pemikat gelengkan kepala. "Percuma kau lakukan
itu! Kau hanya akan menelan kecewa untuk kedua kalinya.
Bahkan mungkin kekecewaan yang terakhir kali! Karena
nyawamu akan melayang sendiri! Meski saat ini dia
sendirian, tapi apa yang dimilikinya saat ini tidak lebih
rendah dibanding saat dia di Pulau Biru yang dibantu
beberapa temannya! Kedua kitab di tangannya...."
"Keparat!" potong Dewi Siluman. "Kau tak perlu memberi
banyak keterangan!"
"Kau mungkin belum tahu...!" ujar Ratu Pemikat kalem.
"Seandainya saja aku menginginkan Pedang Tumpul 131
dan kedua kitab di tangannya, bagiku semudah mencabut
rumput di padang luas! Bahkan memutus nyawanya
sekaligus bagiku tidak sesulit membalik telapak tangan!
Tapi aku tidak melakukannya! Kau tahu apa sebabnya?!"
Dewi Siluman terdiam. Dari apa yang tadi dilihatnya, apa
yang baru saja didengar dari mulut Ratu Pemikat membuat
Dewi Siluman mau tak mau harus sedikit membenarkan
ucapan perempuan berbaju biru tipis itu. Dan pertanyaan
Ratu Pemikat membuat Dewi Siluman penasaran meski dia
tadi masih sempat mendengar perbincangan antara Ratu
Pemikat dan Pendekar 131 yang sebut-sebut sebuah
pertemuan dan sebuah Kitab Hitam. Hingga pada akhirnya
dia buka mulut juga.
"Aku memberi kesempatan padamu menjawab sendiri
pertanyaan mu!'
"Pada purnama ini akan ada satu pertemuan di Kedung
Ombo! Sebelum kulanjutkan keteranganku, mau jawab
satu pertanyaanku?!" tanya Ratu Pemikat seraya melirik
pada Pendekar 131 yang saat itu tampak masih berkelebat
menghindar dari pukulan yang dilepas perempuan
bercadar putih.
Setelah melirik pula pada murid Pendeta Sinting, Dewi
Siluman berkata.
"Apa yang kau tanyakan?!" Suaranya masih terdengar
ketus.
"Kau pernah mendengar sebuah kitab sakti bernama
Kitab Hitam?!"
"Hem.... Meski aku mendengar selentingan tapi aku
belum yakin benar akan adanya kitab itu!" kata Dewi
Siluman dalam hati. Tapi karena tidak mau dikira tak
banyak tahu tentang apa yang terjadi dalam dunia
persilatan, walau dia masih belum tahu benar tentang
seluk beluk Kitab Hitam, Dewi Siluman akhirnya menjawab.
"Apa yang terjadi dalam dunia persilatan, tak akan luput
dari tanganku!"
"Hem.... Lalu apakah kau juga telah tahu, siapa
gerangan orang yang beruntung mendapatkannya?!"
Karena Dewi Siluman tidak juga buka mulut memberi
jawaban, Ratu Pemikat telah maklum kalau sebenarnya
Dewi Siluman tidak tahu banyak mengenai kitab itu.
Namun Ratu Pemikat tidak mau bicara mengejek. Dia
cepat memutar otak dan tahu bagaimana harus bertindak.
"Itulah mengapa sebabnya aku tidak lagi menginginkan
kedua kitab serta Pedang Tumpul 131 sekaligus nyawa
Pendekar 131 saat ini, meski hal itu tidak terlalu sulit bagi-
ku!"
"Kau terlalu bicara berbelit! Katakan saja terus terang!"
"Kitab Hitam telah jatuh ke tangan seseorang yang aku
yakin hanya Pendekar 131 yang dapat mengalahkannya!"
"Peduli setan siapa orang yang mendapatkan Kitab
Hitam! Yang pasti Pedang Tumpul 131 dan kedua kitab di
tangan Pendekar 131 harus kuambil sekarang juga!"
"Kau kira bagimu masih mudah mengambil dari tangan-
nya?!" Ratu Pemikat kembali tertawa pendek sambil
gelengkan kepala. "Kusarankan padamu. Tunggulah
sampai urusan di Kedung Ombo selesai! Dan aku akan
mengambilkan untukmu apa yang kau inginkan dari tangan
Pendekar 131!"
"Ucapan perempuan binal sepertimu mana bisa
dipercaya?!"
Ratu Pemikat masih menekan perasaan. Lalu berkata
sambil tersenyum.
"Pedang Tumpul 131 dan kedua kitab di tangannya
tidak ada lagi gunanya bagiku! Kalaupun saat ini aku mem-
biarkan dia hidup, waktunya hanya sampai purnama ini!"
"Hem.... Jadi kau menginginkan Kitab Hitam itu?!"
"Benar!" sahut Ratu Pemikat berterus terang. "Saat ini
kita saling bergantung! Dan aku menawarkan kesempatan
baik padamu!"
"Apa maksudmu?!"
"Aku tak akan dapat memiliki Kitab Hitam tanpa
Pendekar 131! Dan kau tidak akan bisa mendapatkan
Pedang Tumpul 131 serta kedua kitab itu tanpa aku!"
Dewi Siluman arahkan pandangannya pada murid
Pendeta Sinting yang terus berkelebat sambil sesekali
keluarkan bentakan dan makin lama makin agak menjauh.
Perempuan ini sejurus memikirkan kebenaran ucapan Ratu
Pemikat. Namun jelas pandangannya masih tampak kalau
dia dilanda kebimbangan. Malah dia terlihat hendak ber-
kelebat begitu mendapati perkelahian antara perempuan
bercadar putih dan Pendekar 131 telah jauh berada di
seberang sana.
Namun Ratu Pemikat cepat-cepat menghadang sambil
berkata.
"Kurasa dia hendak loloskan diri! Jangan dikejar!"
"Aku tidak percaya dengan semua keteranganmu tadi!"
bentak Dewi Siluman.
"Kalau begitu terserah! Silakan kau mengejar dan
antarkan nyawa! Asal kau tahu, dia bukan lagi orang yang
sama seperti waktu berada di Pulau Biru!"
"Peduli setan!" sentak Dewi Siluman. Namun meski nada
ucapannya seolah tidak pedulikan saran Ratu Pemikat, tapi
dia tidak juga lakukan gerakan apa-apa.
"Tunda keinginanmu sampai purnama ini! Bukankah
purnama hanya tinggal delapan hari lagi?! Begitu Kitab
Hitam telah berpaling ke tanganku, aku akan ambilkan
barang yang kau inginkan! Bukankah itu adil? Lagi pula kita
akan sama-sama memperoleh barang yang kita inginkan
tanpa harus keluarkan tenaga!"
"Kau yakin Pendekar 131 akan muncul di Kedung
Ombo?! Tadi kudengar...."
"Betul! Dia tadi memang mengatakan tidak akan hadir
pada pertemuan di Kedung Ombo...!" kata Ratu Pemikat
menukas ucapan Dewi Siluman. "Tapi aku yakin dia akan
muncul di sana!"
"Bagaimana kau punya keyakinan begitu?!"
"Sebenarnya sejak semula Pendekar 131 telah mencari-
cari Kitab Hitam. Bukan maksud untuk memilikinya,
melainkan untuk memusnahkannya! Dia kini telah tahu
kalau Kitab Hitam telah berada di tangan seseorang. Dan
orang yang telah memiliki Kitab Hitam itu akan muncul di
Kedung Ombo! Apakah menurutmu dia akan sia-siakan
kesempatan ini?!"
"Apa kata-katanya bisa dipercaya? Apa dia tidak punya
maksud tertentu di balik ucapannya...?!" Dewi Siluman
masih ragu-ragu.
Saat itulah tiba-tiba terdengar ledakan keras di depan
sana. Tanah bertabur menutupi pemandangan. Dewi
Siluman dan Ratu Pemikat rasakan pijakan kaki masing-
masing bergetar keras.
Dewi Siluman cepat sentakkan kepala. Sementara Ratu
Pemikat hanya melirik tenang-tenang saja. Perempuan ini
rupanya telah maklum apa yang terjadi.
"Jahanam itu lenyap!" desis Dewi Siluman sambil
pentangkan mata menembusi hamburan tanah yang mulai
luruh.
Ratu Pemikat berpaling. Ucapan Dewi Siluman benar.
Karena sosok Pendekar 131 dan perempuan bercadar
putih telah tidak terlihat lagi.
"Tidak lama!" ujar Ratu Pemikat. "Kita pasti akan segera
bertemu lagi!"
"Baik!" kata Dewi Siluman pada akhirnya walau
sebenarnya perempuan ini masih menyimpan keraguan
"Hari ini aku masih percaya ucapanmu! Tapi ingat, bila
kelak kenyataan tidak sesuai, itulah akhir dari hidupmu!"
Ratu Pemikat tidak sambuti ancaman Dewi Siluman.
Namun diam-diam dalam hati dia berkata. "Kelak
kenyataan itu akan terjadi, Perempuan Busuk! Tapi justru
kenyataan itu adalah kenyataan pahit bagimu!"
Dewi Siluman arahkan pandangan ke tempat mana dia
yakin murid Pendeta Sinting berkelebat pergi. Lalu tanpa
berkata atau berpaling pada Ratu Pemikat yang tegak
memandang ke arahnya, dia melangkah. Tapi baru saja
melangkah empat tindak, kepalanya berpaling pada Ratu
Pemikat.
"Siapa perempuan bercadar putih tadi?!'
Ratu Pemikat gelengkan kepala. "Wajahnya ditutup
cadar sepertimu. Bagaimana aku tahu siapa dia adanya?!
Tapi satu hal yang pasti, dia mengenalmu! Dan aku yakin
dia orang yang telah kau kenal!"
Dewi Siluman mendengus. Lalu menoleh lagi ke jurusan
lain sambil kembali buka mulut. "Kau tadi mengatakan
Kitab Hitam telah dimiliki seseorang! Siapa orang itu?!"
"Jawaban pastinya akan kau lihat sendiri di Kedung
Ombo purnama ini!"
Dewi Siluman sebenarnya tidak senang dengan jawaban
Ratu Pemikat. Tapi entah karena apa dia tiba-tiba
melupakan hal itu. Dia tengadah sesaat lalu angkat bicara
lagi.
"Masih ada yang perlu kuketahui!"
Ratu Pemikat angkat kedua alis matanya. Wajahnya
tampak sedikit tegang. "Aku dengan senang hati akan
menjawab bila tahu persoalannya!"
"Waktu di Pulau Biru, jelas-jelas kau inginkan kitab di
tangan Pendekar 131. Kenapa kini berubah? Anehnya lagi,
kau bisa berbaik-baikan dengannya bahkan jika aku tidak
muncul, pasti kalian berdua akan teruskan perbuatan gila
itu!"
Ketegangan di wajah Ratu Pemikat sirna. Perempuan ini
tertawa panjang sebelum akhirnya menjawab.
"Kita satu sama lain punya kesamaan! Sayangnya aku
lebih beruntung dibanding kau!"
"Aku tidak mengerti maksudmu!"
"Kita sama-sama punya dendam pada Pendekar 131!
Namun jujur saja, kita sebenarnya juga tidak menolak
kalau dia memberi kehangatan pada kita! Dan aku
beruntung bisa mendapatkannya! Kalau saja kau mau
membuka cadarmu dan berlaku sedikit gila, kurasa kau
tidak menemui kesulitan kalau hanya inginkan
kehangatan!"
Dewi Siluman sentakkan kepalanya ke arah Ratu
Pemikat. Namun dia urung keluarkan makian yang sudah
ada di mulutnya karena Ratu Pemikat telah berkelebat
dengan tertawa panjang.
Dewi Siluman menggumam pelan tidak jelas. Lalu
kepalanya mendongak. Berlama-lama perempuan berjubah
hitam ini tegak dengan kepala tengadah. Entah apa yang
ada dalam pikirannya, yang jelas sepasang matanya
memandang kosong dan dadanya naik turun hembuskan
napas panjang dan dalam.
***
DUA
DINI hari dua hari menjelang malam purnama. Langit
perlahan-lahan tampak berubah warna. Kegelapan
serta kabut mulai bergerak bersamaan dengan
berhembusnya angin pagi.
Pada sebuah goa di tempat sepi, satu sosok tubuh
bertelanjang dada tampak duduk bersila menghadap mulut
goa. Napasnya berhembus teratur. Jelas pertanda jika
orang ini sedang pusatkan mata batin. Namun melihat
sekujur tubuh serta celana yang dikenakan tampak basah
kuyup padahal saat itu baru saja menjelang pagi, jelas pula
menunjukkan kalau orang ini pusatkan mata batin sambil
kerahkan tenaga dalam.
Ketika cahaya sang surya mulai membias di bentangan
langit sebelah timur, perlahan-lahan sosok bertelanjang
dada di dalam goa yang ternyata adalah seorang pemuda
berparas tampan buka sepasang matanya. Bola mata itu
sejenak memandang lurus keluar goa. Karena di bagian
luar goa banyak ditumbuhi jajaran pohon, maka yang
kelihatan hanyalah hijau jajaran pohon meski masih samar-
samar.
Si pemuda lepaskan sedekapan kedua tangannya.
Tangan kanannya terangkat lalu menyisir rambutnya yang
hitam panjang dan lebat dengan jari-jarinya. Sementara
tangan kirinya mengusap-usap dada dan wajahnya yang
basah karena keringat.
Kepala si pemuda lalu bergerak sedikit tengadah.
"Menurut ucapan perempuan itu, hari ini dia akan datang!
Hem.... Tapi aku tak akan menunggu kedatangannya. Aku
justru yang akan menjemput. Sekalian ingin tahu apa yang
telah dilakukannya!"
Si pemuda bergerak bangkit. Lalu melangkah ke pojok
goa di mana tampak sebuah batu tidak begitu besar yang
di atasnya tampak gulungan pakaian hitam dan putih.
Tangan kanan si pemuda menyambar gulungan pakaian
hitam. Menatapnya sejenak. Lalu membukanya perlahan-
lahan. Ternyata di dalam pakaian hitam itu terlihat sebuah
kitab bersampul hitam yang telah ditalikan sedemikian
rupa hingga begitu si pemuda mengenakan pakaian hitam,
kitab itu tetap tidak terjatuh dan tepat i berada di depan
perutnya.
Tangan kiri si pemuda lalu menyambar pakaian putih
yang ternyata adalah sebuah jubah panjang. Seperti halnya
tadi, sesaat mata si pemuda memperhatikan jubah di
tangan kirinya. Jelas jubah putih itu tidak ada apa-apanya.
Namun untuk beberapa lama si pemuda memperhatikan.
"Hem.... Tak ada salahnya aku mengenakan jubah ini.
Inilah satu-satunya pemberian Guru.... Selain tentu saja
impian besarnya yang telah disampaikannya padaku!" Si
pemuda bergumam seraya sunggingkan senyum aneh. Lalu
mengenakan jubah putih merangkapi pakaian hitamnya.
"Hem.... Sayang Guru tidak mau hadir pada purnama
nanti. Seandainya dia mau datang, dia akan tahu bahwa
muridnya akan ditasbihkan sebagai raja diraja rimba
persilatan! Dia akan tahu, bagaimana musuh-musuhku
akan jatuh berkaparan! Dia akan tahu, bagaimana air
jernih Kedung Ombo akan berubah warna dibuncah darah
Pendekar 131 dan teman-temannya!"
Si pemuda yang di balik pakaiannya membekal kitab
bersampul hitam dan tidak lain adalah Kitab Hitam yang
menunjukkan bahwa si pemuda adalah Malaikat Penggali
Kubur melangkah perlahan ke mulut goa.
Kepalanya melongok sejenak keluar goa dengan mata
memandang berkeliling. Kejap lain kedua tangannya
menyentak ke dinding mulut goa. Tahu-tahu sosoknya telah
lenyap dari mulut goa!
Dan di saat matahari mulai tergelincir dari titik
tengahnya, sosok Malaikat Penggali Kubur tampak ber-
kelebat melewati Dusun Sumber Suko sebelum akhirnya
lenyap lagi di satu kawasan yang menuju Bukit
Selamangleng.
***
Matahari sudah sedikit condong ke arah barat tatkala satu
penunggang kuda berpacu cepat memasuki kawasan Bukit
Selamangleng. Penunggang kuda ini tidak melewati jalan
yang menuju bukit, meski jelas kalau tempat yang dituju
adalah Bukit Selamangleng, karena di sekitar kawasan
bukit itu hanya ada jurang menganga. Ini jelas me-
nunjukkan kalau si penunggang kuda sudah paham betul
dengan kawasan yang dilalui. Dan hal itu semakin
kelihatan tatkala pada satu tempat di lamping sebelah
utara bukit, si penunggang kuda hentikan lari kuda
tunggangannya. Lalu berkelebat menerabas jajaran pohon
menaiki bukit.
Hanya dalam beberapa saat, sosok orang yang tadi
menunggang kuda telah berada beberapa tombak saja dari
puncak bukit. Namun tiba-tiba orang ini hentikan
langkahnya. Kepalanya yang gundul berkilat-kilat karena
baru saja tertimpa sinar matahari tampak bergerak ke kiri
kanan. Sepasang matanya yang melotot besar memandang
berkeliling.
"Apakah mereka sudah sampai di sini?! Aku merasa ada
orang yang mengawasi langkahku!" membatin orang ber-
kepala gundul yang tidak lain adalah Iblis Rangkap Jiwa.
"Menurut perjanjian, memang hari ini mereka akan
datang! Hem.... Mudah-mudahan perempuan sundal itu
bisa memberi kepercayaan pada Malaikat Penggali Kubur!
Kalau tidak, urusanku bisa jadi tak karuan! Dan kalau dia
benar-benar gagal, selembar nyawanya adalah imbalan
yang harus dia tebus! Tapi sebelum dia meregang ajal, dia
harus layani aku dahulu dua hari dua malam! Bukankah
purnama masih kurang dua hari lagi...?" Iblis Rangkap Jiwa
tersenyum sambil usap-usap kepalanya.
Tapi gerakan tangan Iblis Rangkap Jiwa tertahan
seketika tatkala mendadak saja dia dikejutkan dengan
satu bentakan dahsyat.
"Berani teruskan langkah, nyawamu amblas!"
Wuuutt! Wuuut!
Dari arah terdengarnya bentakan, dua gelombang angin
luar biasa keras menghampar. Meski Iblis Rangkap Jiwa
dikenal sebagai manusia yang kebal terhadap pukulan,
namun orang berkepala gundul ini tidak mau begitu saja
umpankan tubuhnya. Hingga seraya berseru keras dia
melompat ke samping. Saat bersamaan kedua tangannya
berkelebat lepaskan pukulan.
Bummm!
Kesunyian puncak Bukit Selamangleng terbuncah
dengan ledakan keras akibat bertemunya pukulan orang
yang bersembunyi dengan pukulan yang dilepas Iblis
Rangkap Jiwa. Beberapa pohon yang tidak begitu besar
tampak bergoyang-goyang keras sebelum akhirnya ber-
derak tumbang dengan terbangkan daun-daunnya.
Buncahan di dekat puncak bukit tidak terhenti. Karena
begitu derakan dan debuman tumbangnya pohon lenyap,
terdengar suara orang tertawa panjang bergelak.
"Hem.... Suara manusia laki-laki! Berarti bukan mereka
berdua!" desis Iblis Rangkap Jiwa. Tanpa berpaling lagi,
kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan ke arah
sumber suara tawa.
"Berani kau gerakkan tangan, nasibmu jelek!" Tiba-tiba
terdengar bentakan di sela suara tawa orang.
Sebenarnya Iblis Rangkap Jiwa hendak teruskan
gerakan kedua tangannya tidak pedulikan ancaman orang.
Namun laki-laki berkepala gundul ini sesaat mengernyit.
Lalu tarik pulang kedua tangannya urungkan niat. Ber-
samaan itu sosoknya memutar menghadap di mana suara
tawa dan bentakan tadi terdengar.
Satu sosok tubuh berbalut jubah putih panjang me-
layang turun dari sebuah pohon. Dan tegak sejarak lima
langkah di hadapan Iblis Rangkap Jiwa.
"Malaikat Penggali Kubur!" gumam Iblis Rangkap Jiwa
mengenali siapa adanya orang yang kini tegak di
hadapannya.
Sesaat orang yang baru melayang turun dan tidak lain
memang Malaikat Penggali Kubur perhatikan Iblis Rangkap
Jiwa dari atas sampai bawah. Sementara yang dipandang
tampak berubah paras dan tegang.
"Kau!" mendadak Malaikat Penggali Kubur arahkan jari
tangan kirinya lurus ke mata orang, membuat Iblis Rangkap
Jiwa laksana sirap darahnya. "Jangan-jangan perempuan
sundal itu gagal meyakinkan pemuda ini! Hem.... Apa boleh
buat! Meski dia membekal Kitab Hitam, tapi aku tak akan
tinggal diam!" membatin Iblis Rangkap Jiwa lalu kerahkan
tenaga dalam.
"Berlutut!" Malaikat Penggali Kubur lanjutkan ben-
takannya.
"Akan kuturuti kemauan jahanam ini dahulu!" kata Iblis
Rangkap Jiwa dalam hati lalu dia tekuk lututnya dan
perlahan-lahan lorotkan tubuh. Namun diam-diam dia lipat
gandakan tenaga dalam, hingga sesaat sosoknya tampak
bergetar.
Bersamaan dengan melorotnya sosok Iblis Rangkap Jiwa
dan berlutut, Malaikat Penggali Kubur tarik pulang tangan
kirinya dengan kepala ditengadahkan. Lalu terdengar suara
gelakan tawanya menggembor keras.
"Bagus! Kau dengar, Manusia Iblis! Kapan dan di mana
kau bertemu dengan Malaikat Penggali Kubur, hal pertama
yang harus kau lakukan adalah berlutut! Kau mengerti?!"
Iblis Rangkap Jiwa menyumpah habis-habisan dalam
hati. Namun sejauh ini dia tidak menyambuti ucapan
Malaikat Penggali Kubur. Dia masih menunggu apa yang
akan diucapkan dan diperbuat si pemuda. Tapi tekadnya
telah bulat. Dia akan mengadu jiwa saat itu juga kalau Ratu
Pemikat yang disuruh meyakinkan Malaikat Penggali Kubur
tentang urusannya dengan Dewa Orok mengalami ke-
gagalan dan Malaikat Penggali Kubur tidak mau mengerti.
Seperti diketahui, Iblis Rangkap Jiwa mendapat tugas
dari Malaikat Penggali Kubur untuk membunuh Dewa Orok.
Sebenarnya Iblis Rangkap Jiwa sudah hampir dapat
selesaikan tugas dengan baik. Sayang waktu itu dia ber-
sama Ratu Pemikat. Dan sialnya dia menuruti usul Ratu
Pemikat untuk menunda dahulu urusannya dengan Dewa
Orok. Lalu meninggalkan Dewa Orok dalam keadaan ter-
tanam dan ditotok. Tapi usul dan dugaan Ratu Pemikat
pada akhirnya hanya mendatangkan kecewa pada Iblis
Rangkap Jiwa. Karena waktu dilihat kembali, Dewa Orok
telah lenyap tidak meninggalkan bekas!
Malaikat Penggali Kubur putuskan gelakan tawanya.
Kepalanya lurus menghadap Iblis Rangkap Jiwa. "Aku
senang punya pembantu macam kau! Sigap dan tepati
janji!"
Iiblis Rangkap Jiwa sedikit merasa lega mendengar
ucapan Malaikat Penggali Kubur. Namun dia bertahan
untuk tidak buka mulut dahulu. Dia masih merasa
bimbang.
"Ceritakan padaku bagaimana dengan tugasmu!" kata
Malaikat Penggali Kubur.
Iblis Rangkap Jiwa bergerak hendak bangkit.
"Jangan berani bangkit tanpa perintahku!" bentak
Malaikat Penggali Kubur menahan gerakan bangkit Iblis
Rangkap Jiwa.
"Bangsat keparat!" maki Iblis Rangkap Jiwa dalam hati.
Tapi dia urungkan juga niatnya untuk bangkit. Mungkin
masih tidak bisa menahan gejolak hawa amarahnya atas
perlakuan Malaikat Penggali Kubur, dia segera buka mulut
dengan suara gemetar dan agak keras.
"Kau sudah bertemu dengan Ratu Pemikat?!"
Meski nada suara Iblis Rangkap Jiwa bertanya, namun
laki-laki gundul ini tidak perlu menunggu jawaban Malaikat
Penggali Kubur. Dia lanjutkan ucapannya. "Dari perempuan
itu mungkin kau telah tahu semuanya!"
Iblis Rangkap Jiwa sengaja tidak menunggu jawaban
Malaikat Penggali Kubur karena dia sendiri sebenarnya
masih ragu apakah Ratu Pemikat benar-benar telah
bertemu dengan Malaikat Penggali Kubur dan dapat
meyakinkannya. Dan kalaupun Ratu Pemikat belum
sempat bertemu, maka masih ada kesempatan baginya
untuk mencari alasan dan mengatakan apa yang telah
terjadi dengan cerita yang tidak sebenarnya. Dan degnan
jalan begitu, dia akan tahu apakah Ratu Pemikat benar-
benar berhasil meyakinkan Malaikat Penggali Kubur kalau
perempuan itu telah berhasil jumpa dengan Malaikat
Penggali Kubur.
Malaikat Penggali Kubur rangkapkan kedua tagnan.
"Lalu bagaimana urusannya dengan Cucu Dewa?!"
"Hem.... Dia tidak sebut-sebut lagi urusan Dewa Orok!
Berarti Ratu Pemikat telah bertemu dan berhasil meyakin-
kan manusia keparat ini!" simpul Iblis Rangkap Jiwa begitu
mendengar pertanyaan yang diajukan Malaikat Penggali
Kubur. Ketegangan di dada Iblis Rangkap jiwa mereda.
"Terus terang! Manusia cebol itu tidak berhasil ku-
temukan meski tempatnya sudah kuobrak-abrik! Tapi kau
tak usah khawatir. Urusan manusia cebol itu masih men-
jadi tanggung jawabku!"
Malaikat Penggali Kubur anggukkan kepala. Mulutnya
hendak perdengarkan suara. Tapi Iblis Rangkap Jiwa telah
mendahului
"Lalu bagaimana dengan janjimu?!"
Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur menatap
angker. "Janji apa?!"
"Kitab Hitam itu...."
Belum sampai Iblis Rangkap Jiwa lanjutkan ucapannya,
Malaikat Penggali Kubur telah tertawa terbahak-bahak.
"Kau belum selesaikan tugasmu dengan sempurna!
Malah aku masih meragukan apakah kau benar-henar
telah membunuh manusia itu!"
"Tapi bukankah keterangan Ratu Pemikat...."
"Benar!" kembali Malaikat Penggali Kubur sudah
manukas ucapan Iblis Rangkap Jiwa. "Tapi kalian tidak
tunjukkan bukti kuat! Hanya dot busuk! Siapa pun juga bisa
lakukan hal seperti itu!"
Kembali paras Iblis Rangkap Jiwa menegang. "Jadi kau
tidak percaya kalau Dewa Orok telah putus nyawanya?!"
"Ratu Pemikat mengatakan kalian berdua hanya
menanam manusia itu di satu tempat sepi dalam keadaan
tertotok! Kalian tidak membunuhnya!"
"Tapi pasti dia sudah tewas!"
"Nyawa manusia tidak bisa dipastikan! Kecuali jika
kalian waktu itu benar-benar telah membunuhnya!"
"Jadi…?!"
"Aku tanya padamu. Apakah kau telah lihat kembali
tempat di mana kau menanam manusia itu?!"
Dada Iblis Rangkap Jiwa berdebar keras. Sesaat dia
terdiam. Dan mungkin tidak mau orang merasa curiga,
akhirnya dia buka mulut juga.
"Karena aku menduga dia pasti tewas, untuk apa aku
perlu melihatnya?!"
"Jawabanmu juga tidak pasti! Kau masih menduga!"
"Tapi mustahil dia bisa selamat!" Iblis Rangkap Jiwa
masih ajukan alasan.
"Kau tidak dapat memastikan benar tidaknya ucapanmu
kalau tidak melihat sendiri!"
Merasa orang tidak bisa diyakinkan, pada akhirnya Iblis
Rangkap Jiwa pasrah. Tekadnya yang semula hendak
mengadu jiwa muncul kembali. Sambil bangkit dia berkata.
"Lalu apa kemauanmu?!"
Meski tadi telah mengancam agar Iblis Rangkap Jiwa
tidak bangkit tanpa perintahnya, namun begitu melihat Iblis
Rangkap Jiwa bergerak bangkit dan meradang, Malaikat
Penggali Kubur tertawa pendek.
"Kau masih ingat apa yang kau alami saat kita baru
pertama jumpa?!"
Iblis Rangkap Jiwa tidak segera menjawab. Pada
pertemuan pertama dengan Malaikat Penggali Kubur, Iblis
Rangkap Jiwa memang dengan mudah dapat membuat si
pemuda bertekuk lutut. Namun begitu Malaikat Penggali
Kubur mendapatkan Kitab Hitam, meski Iblis Rangkap Jiwa
dikenal tidak mempan pukulan, namun pada akhirnya laki-
laki berkepala gundul ini harus menyerah, karena akibat
yang dialami dari bentrokan yang terjadi, dia merasa lama
kelamaan akan mampus juga. Hal itulah yang membuat
Iblis Rangkap Jiwa mau melakukan perintah Malaikat
Penggali Kubur meski tindakannya itu hanya untuk
sementara waktu sambil menunggu saat yang tepat.
Mendapati Iblis Rangkap Jiwa tidak menjawab
pertanyaannya, Malaikat Penggali Kubur keraskan suara
lawanya. "Dengar! Kau boleh tidak mempan pukulan, tapi
kau telah merasa bagaimana akibatnya berhadapan
denganku! Dan hal yang lebih mengerikan akan kau alami
kalau kau bersikap meradang padaku! Kau dengar?!"
Iblis Rangkap Jiwa belum juga buka mulut memberi
sahutan. "Dengar, Manusia Iblis! Saat ini kuyakin rimba
persilatan telah banyak mendengar tentang adanya
pertemuan di Kedong Ombo dua hari mendatang! Saat
itulah baru aku bisa memastikan kalau tugasmu selesai
dengan sempurna!"
"Bagaimana kau memastikannya?!"
"Kau menghadapi manusia bernama Dewa Orok itu
bersama Ratu Pemikat. Meski aku belum pernah bertemu
dengan manusia itu, namun aku yakin manusia itu bukan
orang sembarangan! Kalau dia belum mampus, pasti dia
telah mendengar tentang pertemuan di Kedung Ombo. Dan
pasti akan muncul purnama nanti!"
Habis berkata begitu, tiba-tiba kepala Malaikat Penggali
Kubur menyentak ke bawah. Sesaat sepasang matanya
memandang tak berkesip ke bawah bukit. Iblis Rangkap
Jiwa serta-merta juga turunkan pandangannya ke bawah
bukit.
"Dugaanku tidak salah! Dia muncul dahulu di sini!"
gumam Malaikat Penggali Kubur dalam hati sambil angkat
kepalanya.
"Kurasa tenaga perempuan itu sudah tidak ada gunanya
lagi!" ujar Iblis Rangkap Jiwa seraya terus arahkan
pandangan ke bawah bukit. "Apa tidak sebaiknya dia
dihabisi sekarang?!"
"Nyawamu dan nyawa perempuan itu ada di tanganku!
Jangan kau berani bertingkah macam-macam!" bentak
Malaikat Penggali Kubur. "Dan jangan kau buka mulut saat
aku nanti bertanya padanya! Kau dengar?!"
Iblis Rangkap Jiwa sambuti ucapan Malaikat Penggali
Kubur dengan dengusan, lalu melangkah ke arah puncak
bukit.
"Nyawamu tinggal dua hari, Jahanam!" desis Iblis
Rangkap Jiwa lalu duduk bersandar pada sebatang pohon
dengan mata melirik ke arah di mana tadi Malaikat
Penggali Kubur berada. Iblis Rangkap Jiwa sesaat besarkan
sepasang matanya yang berada dalam rongga mata yang
menjorok keluar dan hampir tidak tertutup daging di kanan
kirinya. Ternyata Malaikat Penggali Kubur sudah tidak
kelihatan batang hidungnya!
***
TIGA
BELUM sampai Iblis Rangkap Jiwa sempat edarkan
pandangan mencari di mana gerangan Malaikat
Penggali Kubur, satu sosok tubuh berkelebat cepat
menuju puncak bukit. Namun kelebatan sosok ini tidak
berlanjut. Karena beberapa tombak lagi mencapai puncak
bukit di mana Iblis Rangkap Jiwa berada, satu suara
membuat kelebatan sosok yang mendaki bukit terhenti.
"Tahan dulu niatmu!"
Sosok yang mendaki serta-merta hentikan kelebatan-
nya. Kedua tangannya dipentangkan. Kepalanya tengadah
lurus ke arah puncak bukit. Meski samar-amar, namun
orang ini masih dapat menangkap sosok Iblis Rangkap Jiwa
yang duduk bersandar.
"Jelas suara tadi tidak datang dari puncak bukit! Berarti
ada orang lain selain manusia iblis itu!" desis orang yang
larinya tertahan. Dia adalah seorang perempuan berparas
cantik jelita mengenakan pakaian tipis warna biru.
Perempuan ini tidak lain adalah Ratu Pemikat.
Belum sampai dapat menduga siapa adanya orang yang
perdengarkan suara, satu sosok berkelebat dan tegak
hanya empat langkah di hadapan Ratu Pemikat. Ratu
Pemikat cepat tarik pulang kedua tangannya begitu
mengenali siapa adanya orang.
Raut wajah Ratu Pemikat tampak berubah sedikit
tegang. Sesaat dia tampak arahkan pandangannya pada
orang di hadapannya yang tidak lain adalah Malaikat
Penggali Kubur, lalu beralih pada Iblis Rangkap Jiwa.
"Pada saat di goa tempo hari, kurasa dia yakin akan
keteranganku. Tapi apakah Iblis Rangkap Jiwa tidak
memutar lidah membalik ucapan? Dia datang men-
dahuluiku dan pasti sudah sempat berbincang-bincang
dengan pemuda ini! Hem.... Tapi tak mungkin Iblis Rangkap
Jiwa membalik ucapan. Bukankah nyawanya tergantung
pada urusan itu?" Ratu Pemikat membatin. Namun begitu,
masih jelas kalau wajahnya membayangkan rasa khawatir.
Apalagi dilihatnya Iblis Rangkap Jiwa duduk tercenung
bahkan tidak berpaling ke arahnya meski dia tahu kalau
laki-laki itu mengetahui ke-munculannya.
"Ah.... Kebetulan kalau kau berada di sini. Jadi aku tidak
usah...."
Ratu Pemikat yang coba menutupi ketegangan dengan
mulut terbuka lebih dahulu mendadak tidak lanjutkan
ucapannya tatkala dilihatnya sepasang mata Malaikat
Penggali Kubur memandangnya berkilat-kilat.
"Ada apa ini? Apa manusia iblis itu benar-benar telah
membalik lidah? Atau ada yang salah dengan diriku?!"
Gumaman terakhir Ratu Pemikat sempat terdengar
Malaikat Penggali Kubur.
"Kau tak sadar dengan kesalahan dirimu?" bentak
Malaikat Penggali Kubur membuat Ratu Pemikat makin
yakin akan kebenaran dugaannya.
"Aku melakukan kesalahan?!" ujar Ratu Pemikat pelan.
"Siapa yang kau hadapi saat ini?!" kembali Malaikat
Penggali Kubur membentak.
Ratu Pemikat takut-takut memandangi pemuda di
hadapannya dengan seksama. "Kurasa...." Hanya itu
ucapan yang sempat terdengar dari mulut Ratu Pemikat
karena bersamaan dengan itu Malaikat Penggali Kubur
telah menghardik.
"Berlutut!"
Ratu Pemikat mendesah panjang. Lalu turuti ucapan
Malaikat Penggali Kubur meski dalam hati memaki habis-
habisan. Di lain pihak, Malaikat Penggali Kubur tersenyum
lalu buka mulut dengan tangan berkacak pinggang.
"Bagaimana dengan tugas dan perjalananmu?!"
Ratu Pemikat melirik dahulu pada puncak bukit di mana
Iblis Rangkap Jiwa duduk bersandar. Lalu angkat bicara.
"Kita tinggal menunggu saat-saat yang sudah kita atur!"
"Hem.... Berarti kau telah berhasil jumpa dengan
Pendekar 131!"
Ratu Pemikat anggukkan kepala. Wajah perempuan ini
kembali ceria. Karena Malaikat Penggali Kubur tidak
menyebut-nyebut urusan tentang Dewa Orok, berarti Iblis
Rangkap Jiwa tidak melakukan seperti apa yang tadi
sempat diduganya. Namun begitu, masih ada yang mem-
buat perempuan ini sedikit ragu-ragu. Hal ini berkaitan
dengan munculnya Dewi Siluman yang selama ini tidak
disangka.
Dengan Kitab Hitam di tangan Malaikat Penggali Kubur,
mungkin kemunculan Dewi Siluman tidak perlu membuat-
nya ragu-ragu. Tapi keterus terangan pada Dewi Siluman
tentang apa yang menjadi maksudnya mau tak mau mem-
buatnya tidak enak. Dia masih khawatir kalau Dewi
Siluman bertemu lagi dengan Pendekar 131 sebelum
purnama dua hari mendatang, dan Dewi Siluman mem-
beberkan semuanya pada murid Pendeta Sinting.
"Kau ingin mengutarakan sesuatu?!" ujar Malaikat
Penggali Kubur tatkala pemuda ini menangkap
kebimbangan pada raut wajah perempuan di hadapannya.
"Apa perlu kukatakan juga tentang pertemuanku dengan
Dewi Siluman? Ah.... Urusan perempuan itu biar kuselesai-
kan purnama nanti!" Diam-diam akhirnya Ratu Pemikat
memutuskan sendiri dalam hati. Lalu kepalanya meng-
geleng sambuti ucapan Malaikat Penggali Kubur.
Malaikat Penggali Kubur menatap sejurus, lalu arahkan
pandangannya pada Iblis Rangkap Jiwa. "Perempuan tua
bangka Ni Luh Padmi itu, apakah akan muncul di sini hari
ini juga?!"
Ratu Pemikat bangkit berdiri. "Menurut kesepakatan
kami memang begitu! Tapi siapa tahu dia mendapat
halangan bertemu dengan seorang pemuda tampan, lalu
tertarik dan melupakan apa yang harus dilakukan?! Kau
tahu bukan? Urusan nenek itu sebenarnya hanya mencari
laki-laki!"
Malaikat Penggali Kubur menyeringai. "Kalau itu yang
diperbuat, dia akan tebus mahal tindakannya!'
"Tua bangka macam dia memang sebaiknya tidak usah
diberi waktu sampai purnama nanti! Aku khawatir dia akan
melakukan sesuatu yang dapat merusak rencana!" berkata
Ratu Pemikat sambil arahkan pandangannya pada puncak
bukit.
Iblis Rangkap Jiwa dapat menangkap pandangan Ratu
Pemikat. Hingga enak saja dia menyahut. "Sebenarnya
sejak kedatangannya pertama kali di sini, aku sudah muak
melihat tampangnya!"
"Dengar! Aku yang berhak membuat aturan! Bukan
kalian!" bentak Malaikat Penggali Kubur.
Ratu Pemikat hanya tersenyum dingin mendengar
bentakan Malaikat Penggali Kubur. Lalu tanpa buka mulut
lagi, dia melangkah hendak ke puncak bukit. Namun tiba-
tiba Malaikat Penggali Kubur melompat dan tegak meng-
hadang jalannya, bukan saja membuat si perempuan
terkesiap kaget namun juga membuat Iblis Rangkap Jiwa
menduga-duga apa sebenarnya yang hendak dilakukan si
pemuda.
Malaikat Penggali Kubur menatap aneh untuk beberapa
lama. Tiba-tiba dia maju dua tindak. Tepat berada di depan
Ratu Pemikat, tangan kanannya bergerak. Ratu Pemikat
berseru kaget. Tubuhnya laksana didorong tenaga luar
biasa kuat dan terjerembab ke dada si pemuda.
Belum bisa menduga apa sebenarnya maksud si
pemuda, wajah Malaikat Penggali Kubur sudah menunduk
lalu tanpa hiraukan pandangan Iblis Rangkap Jiwa,
pemuda murid Bayu Bajra ini telah mencium wajah Ratu
Pemikat dengan beringas.
Sadar apa yang dilakukan Malaikat Penggali Kubur,
Ratu Pemikat segera bisa sesuaikan diri. Kedua tangannya
cepat melingkar pada pinggang Malaikat Penggali Kubur.
Lalu membalas ciuman si pemuda dengan mata sekali
melirik ke tempat Iblis Rangkap Jiwa.
"Bangsat! Jahanam!" Iblis Rangkap Jiwa hanya bisa
memaki-maki sendiri seraya alihkan pandangannya ke
jurusan lain. "Hari ini kau bisa seenakmu bercumbu di
depan hidungku! Aku bersumpah kelak akan mencumbui
perempuan sundal itu di kala ajal hendak menjemputmu!"
Beberapa saat berlalu. Malaikat Penggali Kubur sudah
mulai tenggelam dalam gejolak nafsu. Sementara Ratu
Pemikat sesekali masih coba meronta karena bagaimana-
pun juga dia merasa tidak enak dengan Iblis Rangkap Jiwa.
Hingga tatkala kedua tangan Malaikat Penggali Kubur
mulai bergerak ke dada dan membuka kancing-kancing
bajunya, si perempuan berujar pelan.
"Kita masih menunggu seorang lagi. Tidak enak rasanya
kalau kemunculannya kita sambut dengan sikap begini....
Lagi pula bukankah waktu kita masih banyak? Aku akan
selalu siap melayanimu kapan kau mau dan berapa malam
kau minta...."
Malaikat Penggali Kubur tidak hiraukan ucapan Ratu
Pemikat. Kedua tangannya terus bergerak. Saat lain dada
sang Ratu telah terbuka hingga terlihat jelas.
Di puncak bukit, meski memaki habis-habisan, namun
tak urung juga Iblis Rangkap Jiwa ingin mengetahui apa
yang diperbuat Malaikat Penggali Kubur. Hingga meski
kepala laki-laki gundul ini menghadap jurusan lain, namun
dua pasang ekor matanya melirik ke bawah.
Mungkin tak sadar melihat apa yang terlihat di bawah,
kepala Iblis Rangkap Jiwa akhirnya ikut juga bergerak
menghadap ke bawah. Dada laki-laki ini berdebar keras.
Sepasang matanya melotot besar-besar. Jakunnya turun
naik tak teratur.
"Sialan betul!" lagi-lagi hanya makian yang keluar dari
mulut Iblis Rangkap Jiwa melihat bagaimana dada Ratu
Pemikat terbuka.
Di lain pihak, melihat Malaikat Penggali Kubur sudah
tidak sabar, Ratu Pemikat cepat angkat kedua tangannya
lalu menahan gerakan kedua tangan Malaikat Penggali
Kubur di dadanya.
"Kau...." Malaikat Penggali Kubur tarik wajahnya dan
menatap Ratu Pemikat dengan rahang terangkat.
Ratu Pemikat anggukkan kepala. Sambil tersenyum dia
berujar. "Aku sebenarnya juga sudah tidak sabar. Tapi
bukan di sini tempatnya bukan?! Lebih dari itu masih ada
urusan yang harus kita selesaikan dahulu...."
Sehabis berujar, sepasang mata Ratu Pemikat
mengerling pada Iblis Rangkap Jiwa yang saat itu mungkin
karena terkesima, belum sempat palingkan kepala.
Malaikat Penggali Kubur ikut arahkan pandangannya pada
Iblis Rangkap Jiwa. Dia perdengarkan dengusan. Saat
bersamaan kedua tangannya yang terpegang tangan Ratu
Pemikat ditarik pulang.
"Boleh kututup?!" tanya Ratu Pemikat menjaga agar
Malaikat Penggali Kubur tidak tersinggung.
"Terserah kalau kau ingin tunjukkan pada manusia iblis
itu!" jawab Malaikat Penggali Kubur lalu arahkan
pandangannya ke bawah bukit.
Ratu Pemikat lagi-lagi sambuti ucapan Malaikat Pcnggali
Kubur dengan tersenyum lalu tangannya kancingkan
kembali pakaiannya. Kepala perempuan ini bergerak ke
arah barat. Matahari saat itu sudah lebih condong.
"Kenapa nenek itu belum muncul juga? Apakah dia
lupa...? Atau jangan-jangan memang mendapat halangan!
Atau barangkali telah berhasil bertemu dengan Pendeta
Sinting?!" Ratu Pemikat bertanya-tanya dalam hati. Lalu
utarakan apa yang ada dalam hatinya pada Malaikat
Penggali Kubur.
Sesaat Malaikat Penggali Kubur tidak tanggapi ucapan
Ratu Pemikat. Tapi kejap lain pemuda ini kepalkan tangan
kiri seraya berteriak.
"Dia manusia bodoh kalau sampai bertindak macam-
macam!"
"Tapi sebaiknya kita tunggu sampai matahari ter-
benam.... Siapa tahu ada sesuatu yang membuatnya ter-
lambat!"
Namun ditunggu sampai matahari hampir terbenam, ter-
nyata Ni Luh Padmi tidak muncul. Hingga sambil hentakkan
kaki kiri, Malaikat Penggali Kubur berteriak marah.
"Tua bangka jahanam itu! Dia adalah manusia pertama
yang akan kualirkan darahnya di Kedung Ombo!"
Habis berteriak, Malaikat Penggali Kubur arahkan
pandangannya silih berganti pada Ratu Pemikat dan Iblis
Rangkap Jiwa.
"Kalian berdua! Kuperintahkan untuk menyiapkan
segala sesuatunya untuk keperluan purnama nanti! Pasang
beberapa tanda untuk tempat orang-orang yang bergabung
dengan kita! Karena kuyakin banyak orang kalangan rimba
persilatan yang muncul meski tanpa kita undang! Tapi
ingat, kalau kalian melakukan hal yang tidak-tidak, kalian
akan menjadi manusia kedua dan ketiga yang darahnya
akan kutumpahkan!"
Malaikat Penggali Kubur sekali lagi pentangkan mata
memandangi Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa. Lalu
tanpa berkata-kata lagi dia berkelebat menuruni bukit yang
mulai dibungkus kegelapan karena matahari sudah
terbenam.
Sesaat setelah Malaikat Penggali Kubur berlalu, Iblis
Rangkap Jiwa berkelebat dan tegak di hadapan Ratu
Pemikat. Jelas pandangan laki-laki berkepala gundul ini
membayangkan kalau dadanya masih disentak-sentak oleh
gejolak nafsu setelah tadi melihat dada Ratu Pemikat.
Seakan dapat menangkap arti pandangan orang, Ratu
Pemikat cepat buka mulut.
"Kita bertemu besok pagi di kawasan Kedung Ombo!
Malam ini ada yang masih harus kuselesaikan!"
Iblis Rangkap Jiwa tersenyum. Kepalanya menggeleng.
"Aku sudah lama menunggu janji-janjimu! Namun makin
hari kulihat kau seakan hendak melupakan janji-janji itu!
Besok pagi kita memang harus bertemu di kawasan
Kedung Ombo! Tapi malam ini, kita selesaikan janji-
janjimu!"
Seakan tidak sabar, Iblis Rangkap Jiwa sudah gerakkan
tangan hendak merengkuh tubuh Ratu Pemikat.
"Janji yang pernah kukatakan adalah gantungan jiwaku
padamu. Jadi kau tak usah punya prasangka buruk! Malah
setelah urusan Kedung Ombo selesai, kau bisa memiliki
diriku sampai kapan kau mau!"
Tangan Ratu Pemikat mendorong dada Iblis Rangkap
Jiwa hingga sosok laki-laki ini tersurut satu tindak dan
tangannya yang hendak merengkuh tubuh Ratu Pemikat
hanya menangkap tempat kosong.
Meski sesaat bisa menahan gerak Iblis Rangkap Jiwa
tapi diam-diam Ratu Pemikat dilanda perasaan gelisah. Dia
maklum, kalau sampai Iblis Rangkap Jiwa paksakan
kehendaknya, rasanya tidak mudah baginya untuk
menolak. Namun sebagai orang yang berpengalaman
menghadapi laki-laki, dia masih punya jalan keluar. Hingga
begitu selesai berkata, perempuan ini menatap Iblis
Rangkap Jiwa sesaat lalu berujar lagi.
"Menghadapi urusan Kedung Ombo, kita tidak boleh
main-main! Meski ada Malaikat Penggali Kubur, bukan
berarti kita tinggal berpangku tangan! Untuk itulah dalam
sisa dua hari ini aku akan pusatkan tenaga! Dan hal itu
tidak akan bisa kulakukan kalau aku harus mendahului
dengan perbuatan yang tidak-tidak!"
"Kau masih juga bisa cari alasan!" sahut Iblis Rangkap
Jiwa. "Kau tadi begitu menggebu membalas perbuatan
pemuda keparat itu!"
Ratu Pemikat tertawa. "Kau harus tahu. Kita sekarang
dalam keadaan terbelenggu! Kita tidak bisa berbuat
banyak! Kalau kita berulah macam-macam, itu sama saja
dengan bunuh diri! Yang harus kita lakukan sekarang
adalah mempersiapkan diri baik-baik! Bukankah urusan
kita bukan hanya sampai di Kedung Ombo?! Kedung Ombo
hanyalah batu loncatan! Kalau kita gagal melalui jembatan
ini, gagal pula maksud kita masing-masing!"
Iblis Rangkap Jiwa terdiam beberapa lama. Laki-laki ini
mulai merasa ada benarnya juga ucapan Ratu Pemikat.
Hingga kalau tadi nafsunya menggelegak, kini malah diam
saja meski dilihatnya Ratu Pemikat sudah melangkah
menuruni bukit.
Entah karena untuk meyakinkan orang, begitu turun
beberapa tombak, Ratu Pemikat hentikan langkah lalu ber
paling ke atas. Dilihatnya Iblis Rangkap Jiwa masih tegak di
tempatnya semula.
"Kau dengar. Aku menantimu di bukit ini begitu urusan
Kedung Ombo selesai! Kita isi siang malam dengan ber-
senang-senang!"
Habis berteriak, Ratu Pemikat perdengarkan tawa
panjang. Lalu teruskan langkah menuruni bukit.
"Siapa sudi terus-terusan bermain dengan perempuan
yang telah banyak dijamah tangan laki-laki sepertimu! Kau
kelak hanya kujadikan gundik dan harus melayaniku kapan
aku ingin!" desis Iblis Rangkap Jiwa lalu berkelebat ke
puncak bukit yang telah tertutup kegelapan malam.
***
EMPAT
PAGI hari menjelang malam purnama. Matahari
muncul tanpa sambutan segumpal awan pun. Langit
terhampar biru cerah. Angin bertiup semilir. Sebuah
kawasan yang dikenal orang dengan Kedung Ombo pagi ini
sangat indah meski kalau diperhatikan dengan seksama,
ada sesuatu yang lain yang tidak terlihat pada hari-hari
sebelumnya.
Kedung Ombo adalah sebuah telaga air besar. Pada
sebelah kanan kedung tampak kawasan berbatu yang
pada salah satunya terlihat batu besar membentuk bukit.
Di sebelah kiri kedung juga membentang kawasan berbatu
yang salah satu batunya terlihat menggunung menyerupai
bukit. Kawasan berbatu sebelah kanan dan kiri Kedung
Ombo dipisah oleh hamparan pasir yang berjarak kurang
lebih seratus tombak. Tepat di depan kedung, di antara
celah-celah batu yang bertaburan di dua kawasan berbatu
itu tampak jalan-jalan setapak berpasir hitam yang terlihat
laksana gerakan merambat tubuh seekor ular. Lurus tepat
di depan kedung laksana diapit kawasan berbatu, terlihat
pula gugusan batu-batu cadas putih yang salah satunya
tampak menjulang sangat tinggi malah melebihi batu yang
membentuk bukit di sebelah kanan kiri kedung. Jarak
antara kawasan berbatu sebelah kanan dan kiri kedung
dengan gugusan batu cadas putih kira-kira empat puluh
tombak.
Sesuatu lain yang sebelumnya tidak terlihat di kawasan
Kedung Ombo adalah berdirinya sebuah gubuk di sebelah
kiri kedung. Gubuk itu didirikan tegak tepat di puncak batu
besar yang membentuk bukit. Empat tiangnya terdiri dari
bambu sebesar paha orang. Tapi bukan tiang bambu ini
yang terlihat agak aneh. Karena ternyata tiap tiang bambu
tegak dengan bagian bawah bambu masuk ke dalam batu!
Dan sekitar tiap tiang bambu yang masuk ke dalam batu
tidak tampak taburan batu atau rengkahan! Jelas siapa
pun yang menancapkan tiang bambu pastilah bukan orang
yang berilmu rendah.
Ada sedikit keanehan lagi. Gubuk di puncak bukit batu
itu terbuka bagian depan dan belakangnya. Sementara
yang tertutup adalah bagian samping kiri kanan serta
atapnya. Anehnya, dinding penutup samping kiri kanan
serta atap gubuk bukan terdiri dari pelepah daun,
melainkan dari kain besar berwarna hitam! Hingga tatkala
dihembus angin, gubuk hitam itu berkibar-kibar keluarkan
suara angker.
Dan yang memperjelas kalau Kedung Ombo akan lain
dari hari-hari biasanya adalah membuncahnya suara tawa
bersahut-sahutan yang tiba-tiba terdengar jauh dari arah
belakang gugusan batu-batu cadas putih yang tepat
menghadap kedung. Melihat arahnya suara tawa, jelas
kalau orang yang sedang terbahak-bahak itu sedang
menuju ke arah kedung.
Begitu suara tawa bersahut-sahutan mendekati gugusan
batu-batu cadas putih, laksana direnggut setan mendadak
suara tawa bersahut-sahutan terputus. Lalu di antara batu-
batu cadas putih yang menghadap kedung terlihat
melangkah dua sosok tubuh.
Di sebelah kanan adalah seorang laki-laki. Dia me-
langkah terbungkuk-bungkuk dengan tangan kanan me-
megang tongkat. Laki-laki ini tidak bisa dikenali wajahnya
karena orang ini membedaki seluruh wajah serta rambut-
nya dengan arang hitam. Karena pakaian yang dikenakan
juga berwarna hitam, maka yang terlihat putih hanyalah
sedikit di bagian matanya!
Sementara orang di sebelah kiri ternyata juga adalah
seorang laki-laki. Dia melangkah tersaruk-saruk mundur
dengan kepala sedikit mendongak. Seperti halnya laki-laki
sebelah kanan, orang ini juga membedaki sekujur mukanya
dengan arang hitam. Rambutnya yang awut-awutan juga
diberi arang hitam.
Orang yang melangkah mundur tiba-tiba hentikan
langkah. Lalu sambil tetap dongakkan kepala, orang ini
lorotkan tubuh dan letakkan pantatnya di salah satu batu
cadas putih yang banyak bertebaran di situ. Kepalanya
bergerak ke kiri kanan memandang langit. Mulutnya ber-
gerak membuka.
"Hai! Apa kau tidak salah menghitung hari? Apa kau juga
tidak keliru alamat datang kemari? Jangan sampai kita ter-
jebak dan mendapat celaka sendiri! Apalagi aku telah mati-
matian mempercantik diri! Kita akan kecewa besar me-
lakukan perjalanan jauh mencari-cari. Kalau akhirnya yang
kita temui lain dengan yang kita telusuri!"
Orang yang melangkah terbungkuk-bungkuk hentikan
langkah. Sesaat sepasang matanya memandang lurus ke
arah kedung. Namun karena sebagian pandangannya
tertutup gugusan batu cadas putih yang menjulang tinggi,
dia hanya dapat melihat sebelah kiri kanan kedung jauh di
depan sana. Saat dia palingkan kepala ke kiri, sepasang
matanya mendelik membelalak. Karena saat itu dia berada
menghadap matahari, mungkin karena pandangannya
silau, orang ini tadangkan tangan kiri ke depan keningnya
lalu kembali memandang berlama-lama ke sebelah kiri
kedung di mana tampak gubuk hitam di puncak batu mem-
bukit. Tanpa berpaling pada orang yang kini duduk dia
buka mulut.
"Kau jangan berkeluh kesah. Kurasa perhitunganku
tepat. Alamat betul. Dan kita pasti tidak sia-sia sampai di
tempat ini! Pemandangan indah dan telah disediakan
tempat bagus untuk berteduh! Lihat di sana itu!"
Orang yang tadi melangkah terbungkuk-bungkuk angkat
tongkat di tangan kanannya lalu ditunjukkan ke arah gubuk
hitam di sebelah kiri kedung.
Orang yang tadi melangkah mundur dan kini duduk di
atas batu cadas putih segera luruskan kepala dan arahkan
pandangan ke arah mana tongkat menunjuk.
"Gubuk hebat! Mungkin sengaja didirikan karena tahu
kita akan datang! Jadi tidak ada salahnya kita cepat
bertandang. Sesaat lagi terik sinar matahari akan me-
radang. Daripada kepala panas laksana dipanggang, lebih
baik kita ke sana bisa rebahan sambil melepas pandang...."
"Ah.... Betul juga ucapanmu! Aku sudah capek dan ingin
sekali picingkan mata! Tentu di sana enak. Apalagi
seandainya tiba-tiba muncul seorang gadis cantik...."
"Otakmu selalu berpikir yang busuk-busuk! Tidak sadar
kalau jalan saja sudah terbungkuk-bungkuk! Kau lupa apa
akibat yang kini harus kau tangguk. Sebab tindakanmu
dahulu yang tidak pandang tengkuk!"
Orang yang pegang tongkat sentakkan kepala berpaling.
Tongkatnya diputar dan kini ditujukan pada orang yang
duduk di atas batu cadas putih.
"Jangan seenakmu bicara! Aku tadi bilang seandainya,
mengapa bicaramu ngelantur tidak karuan!" Meski nada
bicara orang ini ketus, namun saat mengucapkan orang ini
tampak tersenyum-senyum! Malah begitu habis berkata,
orang ini tertawa.
"Kau bicara seandainya, tapi bukankah perjalanan ini
masih ada kaitan ceritanya? Seandainya kau dahulu tidak
berlaku seenaknya, mana mungkin di hari tua begini kau
terbirit-birit karenanya?!"
"Ah.... Kau selalu saja usil urusanku dahulu!" kata orang
pemegang tongkat lalu tanpa mengajak, dia melangkah ter-
bungkuk-bungkuk. "Semuanya sudah terjadi! Tak mungkin
dapat kutarik lagi...."
"Uhh.... Itu lagi, itu lagi ucapan yang selalu kau katakan!
Ungkapan umumnya laki-laki setelah mendapat yang
diinginkan!" gumam orang yang duduk. Dan begitu melihat
si pemegang tongkat sudah berada jauh di depan sana,
orang ini dongakkan kepala. Pantatnya berputar melingkar.
Lalu dia turun dari batu cadas. Saat lain ia mulai tersaruk-
saruk melangkah mundur menyusul si pemegang tongkat.
Begitu kedua laki-laki bertampang arang ini sampai di
bawah batu yang membentuk bukit di sebelah kiri kedung,
keduanya hentikan langkah masing-masing. Si orang yang
tadi melangkah mundur balikkan tubuh, lalu melihat ke
arah gubuk hitam. Di sebelahnya si pemegang tongkat
tadangkan tangan kiri di depan kening dan putar kepala
dengan mata melirik ke kanan kiri kedung. Lalu tengadah
melihat langit.
"Hem.... Waktunya masih panjang. Kita masih leluasa
tidur-tiduran melepas lelah...," kata si pemegang tongkat.
Dia melangkah satu tindak ke belakang orang yang tadi
melangkah mundur. Tongkat di tangan kanannya serta-
merta ditusukkan pada pantat orang di depannya.
"Hai! Apa yang kau lakukan?!" bentak orang yang tadi
melangkah mundur. Yang ditanya tidak buka mulut
menjawab, sebaliknya sentakkan tongkat di tangannya
perlahan saja. Bersamaan dengan itu kaki kirinya menjejak
tanah berpasir yang menghampar di depan kedung. Wuutt!
Wuuutt!
Laksana didorong gelombang angin luar biasa dahsyat,
saat itu juga sosok kedua orang berwajah hitam itu
melesat ke udara lalu mendarat tepat di samping kanan
gubuk hitam di puncak batu.
Kedua orang itu sesaat memperhatikan kain hitam yang
dibuat dinding dan atap gubuk. Lalu perlahan-lahan
keduanya masuk ke dalam gubuk. Si pemegang tongkat
menghadap kedung, sementara si orang yang melangkah
mundur memunggungi kedung.
"Ah.... Ternyata enak juga.... Aku jadi cepat ingin tidur!"
ujar si pemegang tongkat. Lalu orang ini tekuk kedua
kakinya bergerak duduk. Si orang yang tadi melangkah
mundur melirik ke kanan kiri. Lalu tanpa buka mulut dia
melangkah satu tindak ke samping kiri dan ikut-ikutan
duduk.
Si pemegang tongkat tarik tangan kanannya yang
memegang tongkat ke belakang. Tongkat kayu di tangan
kanannya lalu dilintangkan di punggungnya. Karena
tongkat itu agak panjang, ujung tongkat terlihat menjulur di
samping kiri tubuhnya tepat berada di belakang orang yang
tadi melangkah mundur.
Si pemegang tongkat lalu enak saja sandarkan
punggungnya pada tongkat yang melintang di punggung-
nya. Sementara tangan kanannya yang memegang tongkat
ditarik pulang lalu kedua tangannya di-rangkapkan di
depan dada. Bersamaan dengan itu sepasang matanya
bergerak mengatup. Anehnya tongkat yang melintang di
punggungnya tidak jatuh! Malah orang itu laksana
bersandar pada dinding tembok!
Orang yang tadi melangkah mundur sesaat melirik. Lalu
mendongak melihat atap gubuk. Saat lain punggungnya
bergerak bersandar pada ujung tongkat yang melintang
tepat di belakangnya. Kejap lain orang ini telah pula pejam-
kan sepasang matanya! Tak lama kemudian tempat itu
dibuncah dengan suara dengkuran keras yang saling
bersahut-sahutan!
***
Ketika matahari hampir sampai titik tengahnya, satu
bayangan hitam tampak berkelebat cepat dari sebelah
kanan kedung. Setelah melewati kawasan berbatu di
sebelah kanan kedung dan memasuki hamparan pasir
tepat di depan kedung sosok ini mendadak hentikan
larinya. Kepalanya cepat berputar dengan mata
membeliak. Telinganya ditajamkan. Dahi orang ini yang
ternyata hanya merupakan tulang hampir tidak tertutup
daging sama sekali ini bergerak mengernyit. Lalu dari
mulutnya terdengar makian.
"Jahanam! Siapa orang siang-siang begini tidur
mendengkur!"
Orang yang tegak di hamparan pasir di depan kedung
yang ternyata adalah seorang laki-laki berkepala gundul
dan raut wajahnya hampir tidak tertutup daging sama
sekali dan bukan lain adalah Iblis Rangkap Jiwa,
menyeringai. Namun dia sedikit heran. Di kawasan Kedung
Ombo memang terdengar dengkuran bersahut-sahutan.
Meski suara dengkuran itu tidak begitu keras, tapi
bagaimanapun dia coba menutup jalan pendengarannya,
dengkuran itu laksana tidak bisa dibendung! Malah
semakin dia kerahkan tenaga untuk tutup jalan
pendengarannya, gendang telinganya makin terasa
disentak-sentak!
"Keparat! Siapa manusia usil yang punya pekerjaan
ini?!" bentak Iblis Rangkap Jiwa. Sekali lagi laki-laki ber-
kepala gundul ini putar kepalanya. Tiba-tiba putaran kepala
Iblis Rangkap Jiwa terhenti tepat menghadap di mana
gubuk hitam berada.
Bola mata Iblis Rangkap Jiwa kontan membelalak besar-
besar. Dadanya bergetar keras. Rahangnya terangkat.
Pertanda luapan amarahnya tidak bisa dikuasai lagi.
"Rupanya air bening Kedung Ombo sudah harus ber-
ubah warna sebelum waktunya!" desis Iblis Rangkap Jiwa.
Sekali gerakkan tubuh, sosoknya melesat ke sebelah kiri
kedung di mana gubuk hitam berada. Beberapa kejapan
mata tubuhnya sudah sampai di seberang.
Maklum kalau orang yang mendengkur bukan orang
yang bisa dilihat sebelah mata, Iblis Rangkap Jiwa sengaja
memutar jalan lalu perlahan-lahan menaiki batu yang
membukit dari sebelah belakang.
Sejarak enam langkah dari gubuk hitam, Iblis Rangkap
Jiwa hentikan langkahnya. Sepasang matanya menatap tak
berkesip pada gubuk hitam. Karena bagian belakang
gubuk dibuat terbuka, maka dengan mudah Iblis Rangkap
Jiwa dapat melihat apa yang ada di dalam gubuk.
"Jahanam keparat! Siapa mereka ini?! Wajahnya di-
sembunyikan di balik arang hitam!"
Untuk beberapa lama Iblis Rangkap Jiwa pandangi orang
yang tidur mendengkur bersandar pada tongkat kayu.
Yakin tidak mengenali adanya orang, Iblis Rangkap Jiwa
cepat melesat ke atas lalu tegak dua langkah di sebelah
dua orang yang masih tidur mendengkur.
Bersamaan dengan menjejaknya kaki, Iblis Rangkap
Jiwa keluarkan bentakan.
"Manusia-manusia tak dikenal! Siapa kalian?!"
Suara dengkuran melengking tinggi bersahutan, mem
buat Iblis Rangkap Jiwa tersentak kaget. Tapi bersamaan
itu suara dengkuran terputus seketika. Orang yang tadi
melangkah mundur gerakkan sikunya ke samping. "Jangan
berbisik-bisik! Aku masih ngantuk!"
Orang yang tadi memegang tongkat dan baru saja
terkena sodokan siku orang di belakangnya balik gerakkan
sikunya menyodok. "Kau masih juga suka bercanda!
Mengapa kau berbisik-bisik tanya dirimu siapa?! Kau hari
ini memang tampil beda! Tapi itu tak pertu kau tanyakan!"
Hening sesaat, tak lama kemudian kedua orang ini
kembali perdengarkan dengkuran, membuat Iblis Rangkap
Jiwa kalap. Kaki kanannya disentakkan ke batu pijakannya
seraya membentak garang.
"Kalian berani main-main dengan Iblis Rangkap Jiwa!
Kalian akan tahu rasa!" Kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa
terangkat ke atas. Namun laki-laki ini tidak segera
lepaskan pukulan. Dia sengaja menunggu sampai orang
tahu siapa yang dihadapinya.
Batu besar yang membentuk bukit itu laksana dilanda
gempa dahsyat hingga bergerak-gerak akibat sentakan
kaki Iblis Rangkap Jiwa. Saat yang sama suara dengkuran
lenyap.
Orang yang tadi memegang tongkat selinapkan tangan
kanannya lalu bergerak-gerak di lambung orang
disebelahnya seraya berucap. Sepasang matanya tetap
terpejam.
"Aku tahu kau Iblis.... Tapi jangan main-main dan terus-
terusan guncang-guncang tubuhku! Kalau kau masih
ngantuk, apa kau kira aku tidak, he?!"
Orang yang tadi melangkah mundur dan bersandar pada
tongkat dengan sedikit dongakkan kepala dan mata
memejam balik selinapkan tangan kirinya. Lalu meraba-
raba lambung orang sambil berkata.
"Sialan kau! Siapa yang guncang-guncang tubuhmu dan
main-main?!"
Iblis Rangkap Jiwa sudah tidak dapat kuasai diri lagi.
Kedua tangannya yang terangkat serta-merta disentakkan
ke arah dua orang yang saling berbisik.
Wuutt! Wuuuutt!
Belum sampai gelombang dahsyat sempat mencuat dari
sentakan kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa, mendadak dua
orang berwajah hitam menguap lebar-lebar. Tangan kanan
kiri orang terangkat merentang dengan tubuh masing-
masing menggeliat.
Iblis Rangkap Jiwa tersedak. Tubuhnya laksana didorong
gelombang luar biasa keras, hingga bukan saja kedua
tangannya terpental balik ke belakang, namun jika dia
tidak cepat kerahkan tenaga dalam, niscaya sosoknya
akan terdorong!
"Jahanam! Bangsat!" maki Iblis Rangkap Jiwa dengan
suara keras membahana.
Dua orang berwajah hitam serentak saling putar kepala.
Bukan ke arah Iblis Rangkap Jiwa, melainkan saling
berhadapan! Dan dengan sama buka mata masing-masing,
kedua orang ini sama buka mulut berbarengan.
"Mengapa kau memakiku?!"
Mata masing-masing orang sama melotot besar saling
berpandangan. Orang yang tadi melangkah mundur buka
mulut mengulangi pertanyaannya.
"Mengapa kau memakiku, he?!"
"Sialan! Kau yang memakiku! Mengapa balik
menuduh?!" kata orang yang tadi memegang tongkat. Lalu
orang ini palingkan kembali kepalanya ke arah semula.
Saat itulah saking geramnya, Iblis Rangkap Jiwa
menghardik dengan kerahkan tenaga dalam.
"Manusia-manusia gila!"
Laksana disentak tangan setan, orang yang tadi pegang
tongkat palingkan kepalanya kembali menghadap orang
yang tadi melangkah mundur dan saat itu belum palingkan
kepala.
"Sialan! Kau memakiku manusia gila! Aku memang
manusia gila, edan, sinting! Tapi...."
"Siapa yang memakimu?!" tukas orang yang tadi
melangkah mundur.
Orang yang tadi memegang tongkat arahkan telunjuk
tangannya tepat ke muka orang di sampingnya. Lalu tiba-
tiba terdengar ledakan tawanya. "Betul.... Suara tadi
memang bukan suaramu.... Jadi suara siapa? Jangan-
jangan suara hantu...."
"Bukan hantu! Tapi suara orang yang hendak tanggalkan
kepala kalian,masing-masing!" suara keras menyambuti
ucapan orang yang tadi memegang tongkat.
"Ah.... Ternyata ada tamu...," ujar orang yang tadi
melangkah mundur lalu perlahan-lahan orang ini gerakkan
kepala menghadap ke arah mana tadi suara sambutan
terdengar. Saat yang sama, orang yang tadi pegang tongkat
juga gerakkan kepala.
Melihat kedua orang di hadapannya putar kepala
hendak menghadap ke arahnya, Iblis Rangkap Jiwa pasang
tampang angker. Kedua tangannya diletakkan di pinggang
kanan kiri, kepalanya sedikit ditengadahkan. Dan bibirnya
disunggingkan menyeringai!
Begitu melihat tampang orang, dua orang berwajah
hitam sama-sama mengkerut. Orang yang tadi pegang
tongkat buru-buru angkat tangan kanannya lalu menarik
tongkat kayu yang tadi dibuat sandaran. Saat itu juga dia
bergerak bangkit lalu mundur tiga tindak hingga hampir
saja tubuhnya menghantam tiang gubuk!
Orang yang tadi melangkah mundur tak kalah kagetnya.
Malah orang ini sempat keluarkan seruan. Lalu bergerak
bangkit dan surutkan langkah lalu tegak menjajari orang
yang memegang tongkat.
"Melihat gelagat, aku jadi bertanya-tanya sendiri...," kata
orang yang tadi melangkah mundur. "Kau yang salah meng-
hitung hari dan keliru datang kemari, atau hantu gundul itu
yang salah berdiri!"
Orang yang memegang tongkat angkat tongkat kayunya.
Lalu ujung tongkat diketuk-ketukkan pulang balik pada
ujung kelima jari tangannya dengan kepala mengangguk-
angguk dan mulut menggumam. Kejap lain dia me-
mandang berkeliling. Lalu terakhir kali menatap pada Iblis
Rangkap Jiwa.
"Hitungan hariku benar. Tempat tujuan tidak salah!
Berarti dia yang salah kaprah!"
"Padahal orang salah kaprah biasanya akan mengalami
hal yang tak lumrah sebelum akhirnya menyerah"
Kedua orang berwajah hitam lalu sama-sama per-
dengarkan ledakan tawa melengking bersahut-sahutan!
***
LIMA
IBLIS Rangkap Jiwa tegak dengan sekujur tubuh laksana
dipanggang saking jengkelnya. Sepasang matanya
membelalak seperti hendak meloncat keluar dari
rongganya. Ubun-ubunnya yang berkilat tampak berdenyut-
denyut keras. Sementara di hadapannya, kedua orang ber-
wajah hitam saling pandang lalu tanpa pedulikan ke-
marahan orang, kedua orang itu tertawa bersahut-sahutan.
Iblis Rangkap Jiwa maju dua tindak. "Diam!" bentaknya.
Kedua tangannya sudah terkembang di atas kepala.
Seketika kedua orang berwajah hitam sama putuskan
tawa masing-masing. Saling pandang sejurus lalu arahkan
pandangannya pada Iblis Rangkap Jiwa.
"Harap sudi sebutkan diri siapa kau adanya!" ucap orang
yang tadi melangkah mundur. Kalau orang ini sejenak tadi
tertawa bergelak, kini terlihat bersungut-sungut dengan
raut tunjukkan tampang ketakutan. Malah kedua tangan-
nya tampak meremas-remas ujung pakaiannya. Sedang di
sebelahnya orang yang tadi memegang tongkat tampak
sodok-sodokkan ujung tongkatnya pada orang yang tadi
melangkah mundur. Hingga mau tak mau membuat yang
disodok menoleh dengan gelengkan kepala.
"Jahanam! Aku yang berhak tanya siapa kalian adanya!"
hardik Iblis Rangkap Jiwa. "Cepat katakan siapa masing-
masing kalian adanya!"
Orang yang tadi melangkah mundur berpaling pada
temannya. "Kau saja yang menjawab. Karena semua per-
jalanan ini kau yang bertanggung jawab!"
Si pemegang tongkat menoleh. "Bagaimana bisa begitu?
Kau saja yang mengatakan. Aku sudah pingin kencing...."
"Bagus! Kalian belum tahu dengan siapa kalian saat ini
sedang berhadapan! Dan itu satu tanda kematian bagi
kalian berdua!"
Iblis Rangkap Jiwa sentakkan kedua tangannya. Tapi
baru setengah jalan, orang yang tadi melangkah mundur
sudah berseru.
"Tahan! Tahan!" Orang ini menjura dalam-dalam dengan
kedua tangan disatukan dan diletakkan di atas kepalanya.
Namun orang ini tidak segera melanjutkan ucapannya.
Sebaliknya melirik pada orang di sampingnya. Kakinya ber-
gerak menendang.
Si pemegang tongkat berseru kaget. Mungkin karena
saking terkejutnya, kedua tangannya sampai berkelebat ke
atas.
Di hadapannya, Iblis Rangkap Jiwa terkesiap. Gerakan
kedua tangan orang yang memegang tongkat membuat
dirinya laksana dilanggar sapuan gelombang luar biasa
dahsyat. Ini makin meyakinkan laki-laki berkepala gundul
itu bahwa siapa pun adanya kedua orang di hadapannya,
dia tidak boleh bertindak ayal. Tapi hal itu juga makin
membuat dadanya laksana dipanggang bara.
"Mengapa kau menendangku?!" tanya si pemegang
tongkat.
"Ikuti gerakanku!" bisik temannya yang menjura dengan
kedua tangan di atas kepala. "Kau harus tahu siapa orang
yang kita hadapi!"
Si pemegang tongkat buru-buru membuat gerakan
seperti temannya. Malah orang ini tarik pulang tubuhnya ke
atas ke bawah!
"Harap maafkan kami.... Kami memang belum tahu.
siapa gerangan yang ada di hadapan kami.... Dan kami
mohon, tanda kematian yang baru kau katakan tadi di-
cabut saja! Kami masih ingin hidup.... Malah kalau bisa
seribu tahun lagi!" ucap orang yang tadi melangkah
mundur. Lalu gerakkan tubuhnya doyong ke kanan ke kiri.
"Betul.... Betul.... Kami ingin hidup seribu tahun lagi!"
timpal si pemegang tongkat masih dengan tarik tubuhnya
ke atas ke bawah.
Melihat gerakan-gerakan dua orang di hadapannya,
meski dadanya panas namun mau tak mau membuat Iblis
Rangkap Jiwa sunggingkan senyum. Tapi karena raut wajah
laki-laki ini mengerikan, senyumnya makin membuat
wajahnya menakutkan!
"Tanda kematian untuk kalian kucabut! Tapi katakan
siapa kalian adanya! Mengapa ada di sini, dan kalian
berada di pihak mana!" kata Iblis Rangkap Jiwa dengan
kepala sedikit didongakkan.
Masih dengan doyongkan tubuh ke samping kanan kiri,
si orang yang tadi melangkah mundur buka mulut lagi
menjawab.
"Aku Raden Mas Antar Langit.... Temanku ini Raden Mas
Antar Bumi...."
"Kami datang ke sini semata-mata karena ingin mandi di
kedung!" Yang bicara kali ini adalah si pemegang tongkat.
"Kau lihat, wajah kami berwarna hitam.... Ini adalah kutuk
yang harus kami terima! Menurut seorang tabib masyhur,
kutuk yang menimpa kami berdua bisa hilang kalau kami
mandi di Kedung Ombo pada malam purnama...."
"Untuk pertanyaanmu yang terakhir aku tidak mengerti
sama sekali.... Yang kau maksud pihak itu apa?!" Sekarang
yang angkat bicara adalah orang yang tadi melangkah
mundur.
"Kalau mau, tolong jelaskan pada kami berdua...," timpal
si pemegang tongkat lalu arahkan pandangan pada teman-
nya. Kedua orang berwajah hitam ini saling anggukkan
kepala.
"Apa ucapan-ucapannya bisa dipercaya? Tapi....
Gerakan-gerakannya tadi, meski tidak disengaja tapi
mampu mengeluarkan tenaga dorong luar biasa...." Diam-
diam Iblis Rangkap Jiwa masih merenung seraya luruskan
kepala memperhatikan kedua orang di hadapannya.
Entah karena tidak mau membuat urusan baru sebelum
urusannya sendiri selesai, Iblis Rangkap Jiwa segera saja
buka mulut setelah agak lama berpikir.
"Dengar! Kalau kalian ingin mandi di kedung, datanglah
pada purnama bulan depan! Sekarang kalian enyah dari
sini!"
"Kenapa harus purnama bulan depan?!" tanya orang
yang tadi melangkah mundur.
"Kami sudah tak kuat harus menunggu lagi! Kalau kau
jadi kami, tentu kau dapat merasakan bagaimana tidak
enaknya mengemban kutuk...."
"Itu urusan kalian!" bentak Iblis Rangkap Jiwa.
Kedua orang berwajah hitam saling pandang. Ber-
barengan mereka sama gerakkan kepala menggeleng. Lalu
hampir bersamaan pula sama arahkan pandangannya
pada Iblis Rangkap Jiwa.
"Kami telah bertahun-tahun menanggung kutuk me-
malukan sampai tidak ada seorang gadis pun yang mau
kami dekati. Sekarang kami telah mendapatkan apa yang
kami cari-cari. Kurasa kami tidak bisa menunggu sampai
purnama bulan depan...," kata orang yang tadi melangkah
mundur dan mengaku bernama Raden Mas Antar Langit.
"Benar! Kalaupun kami terpaksa menunggu, kami harus
tahu dahulu kenapa dan ada apa di sini...," sahut si
pemegang tongkat yang disebut Raden Mas Antar Bumi.
"Malam nanti, air kedung akan berwarna merah! Karena
bercampur darah tokoh-tokoh golongan putih!" kata Iblis
Rangkap Jiwa.
Untuk kesekian kalinya kedua orang berwajah hitam
saling pandang. Namun kejap lain kedua orang ini sama
gelengkan kepala masing-masing. Lalu masih dengan
kedua tangan di atas kepala yang satu doyong ke samping
kanan kiri dan satunya lagi pulang balik ke atas ke bawah,
si Raden Mas Antar Langit angkat bicara.
"Untuk apa mereka alirkan darah...? Upacara?! Atau
mereka juga mengemban kutuk seperti kami...?"
"Betul.... Lalu apa ada di antara mereka yang masih
gadis? Kalau mereka mengemban kutuk seperti kami,
bukan tidak mungkin salah satu di antara mereka mau
dengan kami...," menimpali si Raden Mas Antar Bumi.
"Aku tak akan jawab pertanyaan manusia-manusia gila
macam kalian! Kuperintahkan kalian enyah dari sini! Kalau
tidak, kalian berdua adalah manusia-manusia yang
pertama kali merubah warna air kedung!" kata Iblis
Rangkap Jiwa.
Sebenarnya Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas
Antar Bumi hendak berpaling satu sama lain, namun
gerakan kepala masing-masing orang ini tertahan karena
Iblis Rangkap Jiwa sudah menghardik.
"Sekali lagi kalian buka mulut bertanya, kematian
adalah jawabannya!"
"Ah.... Kalau begitu kita harus pergi...," kata Raden Mas
Antar Langit. Lantas tertatih-tatih dia melangkah turun dari
batu membukit itu. Sementara Raden Mas Antar Bumi
sejenak masih belum beranjak. Namun begitu terlihat Iblis
Rangkap Jiwa akan melangkah maju, orang yang pegang
tongkat ini buru-buru melangkah turun.
Begitu kedua orang berwajah hitam berada di bawah
batu besar yang membentuk bukit, keduanya sama
tengadahkan kepala. Iblis Rangkap Jiwa tampak tegak
mengawasi mereka dengan kacak pinggang.
"Hai...!" teriak Raden Mas Antar Langit. "Kami belum
percaya ucapanmu! Jadi kami akan menunggu sampai
malam nanti!"
"Betul! Lagi pula kami malu bertemu orang-orang di
jalanan! Kau tahu, selama ini kami menempuh perjalanan
setelah hari gelap!" sahut Raden Mas Antar Bumi.
Tanpa menunggu sahutan dari Iblis Rangkap Jiwa,
kedua orang berwajah hitam ini melangkah lalu berbelok di
antara batu-batu cadas putih yang ada tepat di depan
kedung.
Iblis Rangkap Jiwa terus memperhatikan dua sosok
orang berwajah hitam dengan hati bertanya-tanya. Namun
karena urusan yang kini tengah dihadapi membutuhkan
banyak pemikiran, begitu dua sosok berwajah hitam lenyap
di balik batu cadas tinggi di depan kedung dan tidak
kelihatan lagi meski ditunggu agak lama, Iblis Rangkap
Jiwa sudah melupakan keduanya.
"Lebih baik aku siapkan tenaga dahulu...," gumam Iblis
Rangkap Jiwa, lalu pelan-pelan laki-laki berkepala gundul
ini duduk di tengah gubuk. Kedua tangannya diletakkan di
atas paha kiri kanannya. Saat lain sepasang matanya ber-
gerak mengatup. Hanya beberapa saat berlalu, sekujur
tubuh orang ini sudah terlihat basah kuyup, tanda dia
pusatkan segenap pikiran dan tenaga yang dimilikinya.
Namun Iblis Rangkap Jiwa agaknya tidak akan bisa
teruskan tindakannya. Karena telinganya samar-samar
mendengar suara dengkuran yang bersahut-sahutan.
Walau, suara dengkuran laksana datang dari tempat jauh,
tapi anehnya seperti disuarakan orang di depan telinganya!
Hanya saja kali ini suara dengkuran ini tidak sampai
menyentak-nyentak gendang telinga. Yang mengherankan
dan membuat Iblis Rangkap Jiwa memaki dalam hati, dia
gagal membendung suara dengkuran!
"Keparat! Ini pasti perbuatan manusia-manusia gila
jahanam tadi!" Iblis Rangkap Jiwa kontan buka sepasang
matanya lalu liar mencari sumber suara dengkuran.
Tidak sulit bagi Iblis Rangkap Jiwa tentukan di mana
beradanya orang yang keluarkan dengkuran bersahut-
sahutan. Tapi saat itu juga laksana hendak terbang, Iblis
Rangkap Jiwa melonjak tegak. Sepasang matanya melotot
besar ke puncak batu cadas putih yang menjulang tinggi di
depan kedung.
Pada puncak batu cadas putih tinggi di depan kedung,
terlihat sebuah tongkat tegak menancap. Pada bagian atas
tongkat terlihat celana hitam melambai-lambai ditiup
angin! Pada sisi tongkat melingkar dua sosok tubuh
dengan masing-masing mulut perdengarkan dengkuran!
Iblis Rangkap Jiwa kembali memaki tidak karuan.
Namun dia juga dilanda kebimbangan. Di satu sisi dia
merasa terganggu dengan dengkur orang, namun di sisi
lain sebenarnya dia tidak mau membuat urusan lebih
dahulu apalagi alasan orang berwajah hitam sepertinya
masuk akal meski dia masih meragukannya.
Namun setelah dipikir-pikir akhirnya Iblis Rangkap Jiwa
memutuskan hendak mengusir dua orang berwajah hitam.
Dan kalau mereka keras kepala, dia telah memutuskan
untuk bertindak kasar.
Tapi belum sampai Iblis Rangkap Jiwa bergerak,
matanya menatap satu sosok tubuh berkelebat cepat dari
arah kanan kedung, meloncat-loncat di antara batu-batu
lalu tegak di salah satu batu tepat di bawah batu besar
yang membukit di sebelah kanan kedung.
Orang yang baru muncul arahkan kepalanya menghadap
batu membukit di mana gubuk hitam dan Iblis Rangkap
Jiwa berada. Namun kejap lain telah berpaling ke puncak
batu cadas putih tinggi di mana tampak celana hitam
melambai-lambai di atas tongkat dengan dua orang yang
tidak lain adalah Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas
Antar Bumi melingkar mendengkur.
"Ternyata kedatanganku telah didahului orang...! Melihat
gelagat, pertemuan ini bukan main-main! Siapa pun
adanya orang mendengkur, pasti mereka bukan orang
berilmu rendah! Hem.... Aku harus berada di mana?!
Masing-masing orang di atas itu sama membuat tanda
sendiri! Pasti mereka bukan satu aliran...." Orang ini putar
kepala dengan mata menyelidik. Yakin tidak ada orang lagi,
kembali dia arahkan pandangan pada puncak batu di
mana Iblis Rangkap Jiwa berada.
"Kurasa aku harus bertanya padanya! Dia orang yang
tidak tidur!" gumam orang yang baru datang. Lalu setelah
meyakinkan sekali lagi, orang ini berkelebat ke arah
kawasan batu di sebelah kiri kedung.
Di atas puncak batu bergubuk hitam, Iblis Rangkap Jiwa
terus perhatikan gerak-gerik orang. Dan begitu orang di
bawah sana sudah berkelebat menyeberang hamparan
pasir di depan kedung dan hampir mencapai kawasan
berbatu di mana dia berada, dia segera berteriak lantang.
"Kawasan ini terlarang bagi orang yang tidak sebutkan
diri!"
Orang yang berkelebat hentikan larinya di atas batu di
bawah batu membukit. Kepalanya mendongak. Karena
puncak batu di mana Iblis Rangkap Jiwa berada agak
tinggi, orang ini tidak mampu menangkap jelas paras wajah
Iblis Rangkap Jiwa. Hingga orang ini balik berteriak.
"Kau membolehkan aku naik ke situ?!"
"Jahanam! Kau telah dengar ucapanku! Kawasan ini
terlarang bagi orang yang tidak sebutkan diri!"
Orang di bawah perdengarkan dengusan keras. Lalu
berseru. "Aku Dewi Siluman!"
"Nama yang pernah kudengar!" desis Iblis Rangkap Jiwa.
Lalu tanpa berkata-kata lagi Iblis Rangkap Jiwa berkelebat
melayang turun dari puncak batu dan tegak hanya sejarak
enam langkah dari orang yang baru muncul yang ternyata
adalah seorang perempuan yang wajahnya ditutup dengan
cadar berwarna hitam dan hanya menampakkan sepasang
matanya yang tajam. Perempuan ini mengenakan jubah
panjang sampai lutut juga berwarna hitam. Rambutnya
pirang berkilat-kilat ditimpa sinar matahari.
Sepasang mata perempuan bercadar hitam dan
memang Dewi Siluman adanya sejenak tampak membesar
lalu mengerjap pertanda dia sempat terkejut melihat
tampang orang yang tegak di hadapannya.
"Katakan apa maksud kedatanganmu ke sini!" kata Iblis
Rangkap Jiwa dengan suara sedikit dikeraskan.
"Aku inginkan darah pemuda jahanam bergelar
Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng!"
Tampang angker Iblis Rangkap Jiwa berubah. Bibirnya
tersenyum. Lalu seraya rentangkan kedua tangan dia
berucap.
"Ah.... Kau datang ke tempat yang tepat jika itu
maksudmu! Dan asal kau tahu saja, bukan hanya darah
pemuda itu yang akan mengaiir di sini! Tapi mungkin
beberapa orang lagi!" Iblis Rangkap Jiwa pandangi lekat-
lekat perempuan di hadapannya, lalu meneruskan ucapan-
nya dalam hati. "Termasuk darahmu!"
Dewi Siluman anggukkan kepala. "Boleh aku tahu siapa
kau adanya?!"
Iblis Rangkap Jiwa busungkan dada. Kepala ditengadah-
kan. "Aku Iblis Rangkap Jiwa!"
Sepasang mata di cadar hitam menyipit. "Aku rasanya
pernah dengar gelar itu dari cerita orang. Tapi menurut
cerita, bukankah orang itu hidup pada beberapa ratus
tahun silam? Atau dia hanya sama gelarnya saja?!" Diam-
diam Dewi Siluman membatin. Namun dia sengaja tidak
menanyakan hal itu pada Iblis Rangkap Jiwa. Yang
kemudian muncul dalam ingatannya adalah cerita Ratu
Pemikat tentang Kitab Hitam.
"Apakah orang ini yang berhasil mendapatkan kitab itu?!
Kalau Ratu Pemikat kini lebih tertarik pada Kitab Hitam
daripada kedua kitab dan Pedang Tumpul 131, pasti kitab
itu luar biasa dahsyat.... Hem.... Tak ada salahnya aku ber-
tanya!"
Berpikir begitu, akhirnya Dewi Siluman ajukan tanya.
"Menurut kabar yang terdengar, saat ini ada sebuah
kitab sakti. Apakah dirimu orangnya yang beruntung
mendapatkan kitab itu...?!"
"Pertanyaannya memberi isyarat kalau kedatangannya
juga ada hubungannya dengan kitab itu! Hem.... Kau ber-
nasib buruk! Dan datang ke tempat yang salah!" ujar Iblis
Rangkap Jiwa dalam hati. Lalu buka mulut menjawab.
"Aku adalah calon manusia yang akan memiliki kitab
itu." jawaban Iblis Rangkap Jiwa telah membuat Dewi
siluman maklum bahwa kitab itu ada di tangan orang lain.
Tapi lagi-lagi Dewi Siluman tidak ajukan tanya siapa adanya
orang yang kini memegang Kitab Hitam.
"Aku yakin, orang ini begitu menginginkan kitab itu!
Karena belum apa-apa dia sudah memastikan dirinya
sebagai calon pemilik! Hem.... Kalau dia berada di pihak
orang hitam, sementara pemegang Kitab Hitam juga
berada di pihak ini, berarti sudah ada perang dalam
selimut! Aku harus hati-hati...," kembali Dewi Siluman
membatin. Saat itu dia baru teringat pada suara yang sejak
tadi mengganggu telinganya meski tidak sampai mem-
buatnya kerahkan tenaga untuk membendung suara yang
terdengar.
Dewi Siluman arahkan pandangannya pada puncak batu
cadas putih di mana terlihat celana hitam melambai-lambai
di atas tongkat.
"Apa mereka juga berada di pihak kita?! Maksudku....
Orang-orang yang inginkan darah manusia-manusia
golongan putih?!"
Iblis Rangkap Jiwa ikut arahkan pandangannya ke
puncak batu bercadas putih.
"Aku tak tahu siapa mereka adanya dan apa tujuan
pastinya! Tapi yang jelas, kedatangan mereka tidak ada
hubungannya dengan pertemuan ini!"
"Lalu mengapa dia muncul bertepatan dengan per-
temuan ini?!"
"Mereka adalah manusia-manusia tertimpa kutuk dan
percaya kalau kutukan pada dirinya akan sirna jika mandi
di kedung itu pada malam purnama! Kepercayaan gila!"
"Kau percaya dengan maksud kedatangannya?!"
"Aku tak peduli dengan maksud kedatangan orang!
Bukankah kalau dia berani macam-macam tak sulit meng-
alirkan darahnya?!"
Dewi Siluman tengadahkan kepala. "Udara di sini sangat
panas. Bagaimana kalau kita ke tempat kau tegak di sana
tadi?!" Jari tangannya menunjuk pada gubuk hitam di
puncak batu.
"Aku tanya dahulu! Kau berada di pihak mana?!"
Dewi Siluman sempat perdengarkan tawa perlahan men-
dengar pertanyaan Iblis Rangkap Jiwa. "Kalau kau orang
golongan putih, sudah sejak tadi-tadi kutanggalkan kepala-
mu!"
"Hem.... Kalau begitu, kau harus ikut aturan kami!"
"Aturan apa?!"
"Gubuk itu disediakan untuk seseorang!"
Dewi Siluman pandangi gubuk beberapa saat. Lalu
tanpa berpaling lagi pada Iblis Rangkap Jiwa dia
melangkah.
"Hai...! Kau hendak...."
Belum sampai ucapan Iblis Rangkap Jiwa selesai, Dewi
Siluman telah menukas tanpa berpaling. "Aku baru saja
menempuh perjalanan jauh! Sementara nanti malam aku
harus mengadu jiwa! Aku butuh tempat untuk istirahat dan
berpikir! Harap jangan ganggu!"
Dewi Siluman meloncat-loncat dari batu ke batu yang
banyak bertebaran. Lalu hentikan loncatannya pada
sebuah batu agak besar yang diperkirakan dapat lindungi
dirinya dari sengatan terik matahari yang mulai panas. Dan
tanpa pedulikan pandangan Iblis Rangkap Jiwa, Dewi
Siluman duduk bersila bersandar pada lamping batu.
Sesaat kemudian perempuan ini telah katupkan sepasang
matanya!
Iblis Rangkap Jiwa menggumam tidak jelas. Lalu hendak
berkelebat kembali ke puncak batu. Namun tiba-tiba laki-
laki berkepala gundul ini urungkan niat.
"Apa manusia-manusia gila itu telah minggat?!" gumam-
nya seraya tajamkan pendengaran. Karena entah kapan
mulainya, ternyata suara dengkuran orang yang tadi lamat-
lamat menggema di seantero tempat itu tidak terdengar
lagi.
Untuk meyakinkan dugaannya, Iblis Rangkap Jiwa ber-
paling tengadah. Namun apa yang dilihatnya, membuat
laki-laki ini melotot angker.
Celana hitam tetap melambai-lambai di atas tongkat di
puncak batu cadas putih. Lalu tampaklah dua kepala
berambut awut-awutan itu nongol di bibir batu menghadap
ke arah Iblis Rangkap Jiwa. Malah begitu Iblis Rangkap
Jiwa tengadah memandang, salah seorang dari kedua
orang berwajah hitam lambai-lambaikan tangan dan
berseru.
"Hai, Teman! Apakah gadis hitam itu juga mengemban
kutuk seperti kami?!"
"Kulihat kau telah berkenalan! Boleh kami ikut
nimbrung? Siapa tahu di antara kami bertemu jodoh di
sini?" Yang satunya menyahut. "Kalau itu terjadi, kau akan
kuundang! Yang pasti hiburannya asyik! Ada tari buaya
dan...."
"Tari telanjang!" sahut satunya lagi. "Tapi yang menari
telanjang sapi kesurupan...." Orang ini sengaja pelankan
teriakan ucapan terakhirnya hingga Iblis Rangkap Jiwa
tidak mendengar.
Habis berkata, kedua orang berwajah hitam yang kini
cuma nongolkan kepala masing-masing di bibir batu cadas
perdengarkan tawa berkakakan.
"Aku akan ikut gila perturutkan manusia-manusia gila
itu!" desis Iblis Rangkap Jiwa. Lalu tanpa pedulikan ucapan
orang, laki-laki berkepala gundul ini berkelebat mendaki
batu besar yang membentuk bukit.
Ketika Iblis Rangkap Jiwa sampai di puncak batu, suara
tawa bekakakan sudah lenyap. Ketika Iblis Rangkap Jiwa
arahkan pandangan ke puncak batu cadas putih, kedua
orang berwajah hitam telah kembali melingkar di sekitar
tongkat. Dan tak lama kemudian seantero tempat itu
kembali diseruaki suara dengkuran bersahut-sahutan!
***
ENAM
KAWASAN Kedung Ombo makin tampak indah tatkala
sang bundaran jagat tepat berada di titik tengahnya.
Hamparan pasir membentang di depan kedung
tampak laksana dihiasi lukisan karena membentuknya
bayang-bayang beberapa batu yang berada di sebelah
kanan kirinya. Lamping-lamping batu yang agak besar
tampak berkilat-kilat karena pantulan air kedung. Belum
lagi bila ditingkah dengan fatamorgana yang terlihat di
hamparan pasir luas yang memisah dua kawasan berbatu
di sebelah kanan kiri kedung serta jalan-jalan setapak di
celah batu-batu kecil yang berkelok kelok.
Di puncak batu sebelah kiri kedung, Iblis Rangkap Jiwa
terlihat duduk dengan mata terpejam rapat dan kedua
tangan berada di paha kaki kiri kanan. Jauh di bawahnya
Dewi Siluman duduk bersandar dengan mata terpejam dan
kedua tangan merangkap di depan dada. Sementara di
puncak batu cadas putih paling tinggi di depan kedung,
Raden Mas Antar Langit dan temannya Raden Mas Antar
Bumi tetap mendengkur bersahut-sahutan di bawah celana
hitam yang diikatkan pada pangkal tongkat kayu.
Pada awalnya, Iblis Rangkap Jiwa memang merasa ter-
ganggu dengan dengkur kedua orang berwajah hitam.
Namun setelah pusatkan mata batinnya, pada akhirnya dia
mampu menepis suara dengkuran. Tapi begitu matahari
mulai tergelincir dari titik tengahnya, mendadak laki-laki
berkepala gundul ini buka kelopak matanya. Pada saat
yang sama, jauh di bawah mana Iblis Rangkap Jiwa berada,
sepasang mata Dewi Siluman juga bergerak terbuka. Mata
masing-masing orang ini memandang pada satu jurusan.
Hanya dua orang berwajah hitam di puncak batu bercadas
putih yang tetap mendengkur seperti semula. Malah begitu
Iblis Rangkap Jiwa dan Dewi Siluman buka mata masing
masing, dengkur kedua orang ini sedikit agak keras!
Sementara sosok mereka berdua tetap melingkar di
sebelah tongkat.
Dari kawasan berbatu di sebelah kanan kedung, Iblis
Rangkap Jiwa dan Dewi Siluman menangkap kelebatan
satu sosok tubuh. Hanya beberapa saat saja, orang yang
berlari sudah berada di hamparan pasir yang membentang
memisah dua kawasan berbatu di sebelah kanan kiri
kedung.
Seketika paras wajah Iblis Rangkap Jiwa berubah.
Dadanya berdebar keras. Kedua tangannya mengepal.
"Gadis sialan itu!" desis Iblis Rangkap Jiwa dengan suara
bergetar "Siapa dia sebenarnya?! Kemunculannya pasti
bisa membuat rencanaku jadi buyar! Hem.... Mumpung
belum terlambat, dia harus kusingkirkan sekarang juga!
Tapi aku akan coba dahulu perempuan berjubah hitam itu.
Sambil melihat sampai berapa jauh bekal yang dibawanya!"
Iblis Rangkap Jiwa berpaling pada Dewi Siluman. Lalu
berteriak.
"Dewi Siluman! Kau mengenal pendatang itu?!"
Tanpa tengadah ke arah Iblis Rangkap Jiwa, Dewi
Siluman menyahut.
"Baru kali ini aku berjumpa!"
"Hem.... Aku mengenalnya! Dia salah seorang yang
darahnya harus dialirkan! Jadi kau tahu bukan apa yang
harus kau lakukan?!"
"Kedatanganku untuk darah Pendekar 131!"
"Begitu?! Tapi peraturan kami harus kau laksanakan!
Kau juga harus bersedia mengadu jiwa dengan manusia-
manusia yang berada di sekitar pemuda keparat itu! Dan
pendatang itu adalah salah satunya! Habisi dia!"
Dewi Siluman arahkan pandangannya pada Iblis
Rangkap Jiwa. "Aku tak akan sia-siakan tenaga tanpa guna!
Kalau kau hendak habisi dia, lakukan sendiri! Aku tidak
akan campur tangan! Aku pun tidak mau kau ganggu!"
Habis berkata begitu, Dewi Siluman arahkan
pandangannya pada orang yang tegak di dataran pasir di
dapan kedung. Orang ini ternyata adalah seorang gadis
berparas cantik jelita. Kulitnya putih, bentuk tubuhnya
bagus. Rambutnya dikuncir tinggi. Gadis muda ini
mengenakan jubah merah menyala.
Untuk beberapa saat Dewi Siluman perhatikan si gadis
yang bukan lain adalah Putri Sableng. Lalu tanpa buka
mulut lagi, Dewi Siluman katupkan matanya!
Melihat sikap dan ucapan Dewi Siluman, Iblis Rangkap
Jiwa mendengus keras. Kalau tidak melihat bahwa orang
yang datang diyakini bisa merusak semua rancananya, dan
harus segera disingkirkan, niscaya dia tidak akan tinggal
diam dengan sikap yang diperlihatkan Dewi Siluman.
Seperti diketahui, Iblis Rangkap Jiwa pernah jumpa
dengan Putri Sableng pada beberapa waktu yang lalu.
Sialnya, ternyata si gadis berwajah cantik mengenakan
jubah merah menyala itu mengetanui kelemahan Iblis
Rangkap Jiwa. Hal inilah yang membuat Iblis Rangkap Jiwa
sangat gusar sekaligus cemas dengan kemunculannya di
Kedung Ombo.
Sementara itu Putri Sableng yang sudah sampai di
sebelah kiri kedung tampak sedikit terkejut. Dia sesaat
arahkan pandangan pada Iblis Rangkap Jiwa lalu pada
Dawi Siluman. Lalu mendongak berpaling pada puncak
batu cadas putih.
"Sedapat mungkin aku harus menghindar dahulu untuk
bentrok dengan Iblis Rangkap Jiwa! Terlalu berbahaya
menghadapi dia seorang diri...." Membatin Putri Sableng.
"Dewi Siluman.... Nyatanya dia muncul juga di sini! Apa
maunya anak itu sebenarnya...?!"
Habis membatin, Putri Sableng hendak putar diri dan
berniat berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun baru
setengah putaran, satu sosok hitam melayang dan tahu-
tahu telah tegak menghadang.
"Kau bisa melarikan diri sampai ke ujung dunia! Tapi
jangan harap kau mampu bersembunyi dan selamatkan
nyawa dari tanganku!" bentak Iblis Rangkap Jiwa yang baru
saja melayang dari puncak batu.
"Harap maafkan dan lupakan peristiwa di puncak bukit
beberapa waktu yang lalu. Aku datang dengan
persahabatan...," kata Putri Sableng lalu menjura.
"Hem.... Kau kira begitu mudah memaafkan dan
melupakan peristiwa itu, he?!"
Putri Sableng anggukkan kepalanya. "Semuanya sudah
berlalu. Anggap saja tidak pernah terjadi! Apa susahnya
berbuat begitu?! Lagi pula bukankah kita sama-sama tidak
mendapatkan apa-apa dengan peristiwa itu?"
Iblis Rangkap Jiwa tegak dengan mulut terkancing rapat.
Hanya sepasang matanya yang perhatikan sosok gadis di
hadapannya. Putri Sableng angkat bahu lalu buka mulut
lagi. "Kalau dihitung-hitung, seharusnya kau yang minta
maaf padaku.... Bukankah saat itu kau hendak berbuat
tidak senonoh padaku?!"
Iblis Rangkap Jiwa belum juga angkat bicara. Putri
Sableng lanjutkan ucapannya dengan dada makin gundah
karena dia maklum siapa adanya orang di hadapannya.
"Kuulangi lagi ucapanku. Aku datang dengan per-
sahabatan!"
"Apa maksud persahabatan?!" hardik Iblis Rangkap Jiwa.
"Aku ingin bergabung denganmu!"
Kedua alis mata Iblis Rangkap Jiwa terangkat. Sebelum
laki-laki ini keluarkan suara, Putri Sableng telah lanjutkan
ucapannya.
"Aku memang hanya punya sedikit kepandaian! Tapi aku
ingin menyumbangkan yang sedikit itu untuk membantumu
menghadapi manusia-manusia yang akan datang nanti
malam! Kau tahu.... Pemuda bergelar Pendekar 131 telah
menipuku! Aku kecewa mengatakan padanya tentang
dirimu...."
Rahang Iblis Rangkap Jiwa bergerak terangkat. "Jadi kau
anak manusianya yang menebarkan berita tentang diriku!
Jahanam betul!"
"Memang jahanam betul!" sahut Putri Sableng. Lalu
seolah melupakan kegundahan hatinya, gadis ini tertawa
cekikikan! "Tapi apa boleh buat. Semuanya sudah terlanjur!
Tapi telanjur sekali belum.... Buktinya aku ingin bergabung
denganmu demi menebus apa yang talah kulakukan!"
"Telanjur sekali memang belum, Gadis Sialan!" kata Iblis
Rangkap Jiwa seraya menyeringai. "Tapi terlambat! Kau
tahu, karena ulahmu, hampir semua orang kini tahu
tentang kelemahanku! Kau harus bayar semuanya
sekarang juga!"
"Aku datang memang untuk membayar! Aku bersedia
membantumu!"
"Aku tidak butuh bantuan! Kau harus bayar dengan
mampus di tanganku!"
"Ah.... Sayang sekali kalau begitu! Padahal aku datang
jauh-jauh dengan maksud baik!"
"Sayang juga, maksud baikmu terlambat datangnya! Jadi
tidak ada pilihan lain bagimu!'
"Kau sudah pikirkan semuanya?!" tanya Putri Sableng
sambil senyum-senyum, membuat Iblis Rangkap Jiwa tidak
enak. Tapi laki-laki ini tidak mau menduga-duga. Dia segera
saja buka mulut menyahut.
"Untuk membunuhmu, aku tidak perlu berpikir dua kali!"
Putri Sableng gelengkan kepala. "Itu salah besar! Justru
kalau kau tidak berpikir dua kali lipat, kau akan menyesal
seumur-umur!"
"Kau ini bicara apa?!"
"Dengar.... Sebelum aku datang ke sini, aku telah
menitipkan sesuatu pada seorang sahabat dengan pesan.
Kalau kau sampai bertindak yang tidak-tidak padaku,
apalagi sampai membunuhku, maka sahabat itu kusuruh
sampaikan titipan yang kuberikan pada semua orang!"
"Titipan apa, hah?!" bentak Iblis Rangkap Jiwa sambil
maju satu tindak.
"Titipan apa lagi kalau bukan tentang dirimu?" ujar Putri
Sableng kalem seraya terus senyum-senyum. "Kau tahu....
Meski kau nanti membekal Kitab Hitam dan tidak mempan
pukulan, itu tak akan ada artinya lagi kalau semua orang
tahu kelemahanmu! Bahkan langkahmu akan makin
sempit, karena bahaya mengancammu di mana-mana!"
Iblis Rangkap Jiwa memaki habis-habisan dalam hati.
Malah saat itu juga kedua kakinya mencak-mencak!
Putri Sableng seakan tidak pedulikan kegerahan hati
orang. Dia buka mulut lagi sambil arahkan pandangannya
pada Dewi Siluman dan puncak bukit batu cadas putih.
"Kau tinggal tentukan pilihan! Bahkan kalau kau keras
kepala, aku tidak segan memberitahukan pada orang-
orang yang telah berada di sekitar sini! Itu berarti kau tidak
akan mendapatkan apa-apa di sini! Paham...?!"
"Gadis ini benar-benar keparat!" desis Iblis Rangkap
Jiwa. "Apa hendak dikata. Aku tidak mau usahaku selama
ini sia-sia hanya karena ulah gadis ini.... Tapi setelah
urusan ini selesai, dia akan dapatkan kematian yang
sangat mengerikan!" kata Iblis Rangkap Jiwa dalam hati.
Lalu berkata.
"Baik! Tawaranmu kuterima! Tapi bukannya tanpa
syarat!"
"Aku tak mau lagi bicara soal syarat! Malah seharusnya
aku yang ajukan syarat! Bukan kau! Kau tak usah khawatir.
Aku tidak akan ingkari semua ucapanku!"
Beberapa lama Iblis Rangkap Jiwa terdiam. Di depannya,
Putri Sableng memandang berkeliling sambil angguk-
anggukkan kepala.
"Bagaimana?!" tanya Putri Sableng. "Kau tak usah
berpikir dua kali dalam urusan ini! Ini menyangkut hidup
matimu! Keputusan harus segera kau ambil! Matahari
tidak akan lama lagi tenggelam! Aku juga tidak mau terus
berpanas-panasan di sini! Percuma aku merawat kulit dan
wajahku kalau hanya untuk menunggu keputusan...."
"Baik! Baik! Tapi kalau kau sampai berbuat yang tidak-
tidak, peduli setan semua orang tahu kelemahanku atau
tidak!" teriak Iblis Rangkap Jiwa, lalu laki-laki ini balikkan
tubuh dan melangkah panjang-panjang menuju puncak
batu.
Putri Sableng memperhatikan langkah-langkah Iblis
Rangkap Jiwa dengan cekikikan. Lalu gadis berjubah
merah ini melangkah mengambil arah berseberangan
dengan Dewi Siluman. Kalau Dewi Siluman berada di
bawah puncak batu sebelah selatan yang ditancapi gubuk
hitam, Putri Sableng melangkah ke arah sebelah utara
puncak batu di bawah gubuk hitam.
Pada salah satu batu di sebelah kiri puncak batu yang
ditancapi gubuk hitam, Putri Sableng duduk berlindung dari
sengatan terik matahari yang mulai condong ke arah barat.
Namun baru saja pantatnya menyentuh pasir di sebelah
batu, terdengar orang berkata.
"Kau dapat menduga ada apa kira-kira di sini?!"
Hening sejenak. Tapi tak lama kemudian terdengar
sahutan.
"Aku tidak dapat menduga dengan pasti! Tapi melihat
kehadiran beberapa perempuan, jangan-jangan tempat ini
adalah pasar jodoh! Wah.... Berarti kita untung besar!
Siapa tahu takdir kita menemukan jodoh di sini...."
Putri Sableng arahkan pandangannya pada puncak batu
cadas putih di mana baru saja terdengar suara orang ber-
bicara. Nun jauh di puncak batu cadas putih, Putri Sableng
melihat dua kepala berambut awut-awutan nongol di bibir
batu. Lalu terlihat pula dua pasang kaki bergerak-gerak
pulang balik di belakang kepala! Pertanda kalau kedua
orang ini telungkup sambil main-kan kedua kakinya ke atas
ke bawah! Lalu gadis berjubah merah ini melihat salah
seorang lambaikan tangannya. Bukan ke arahnya, me-
lainkan pada Iblis Rangkap Jiwa yang telah tegak di puncak
batu sebelah kiri kedung. Lalu terdengar teriakan.
"Hai, Teman! Boleh kami memperkenalkan diri pada dua
teman perempuanmu itu?!"
Tidak terdengar-sahutan dari seberang, membuat orang
yang lambaikan tangan kembali berteriak.
"Hai, Teman! Kulihat wajahmu murung! Apa ada yang
bisa kami bantu?! Urusan perempuan tidak ada sulitnya
bagi kami berdua! Percayalah.... Semuan pasti beres!"
Karena Iblis Rangkap Jiwa hanya memandang tanpa
buka mulut, akhirnya keusilan Putri Sableng muncul. Gadis
berjubah merah ini urungkan niat untuk duduk. Dia bangkit
lalu meloncat ke salah satu batu yang agak besar. Kedua
tangannya diangkat tinggi-tinggi, malah kedua tumitnya
diangkat. Lalu dia lambai-lambaikan kedua tangannya.
"Hai.... Kalian berdua!" seru Putri Sableng. "Kalau hanya
ingin berkenalan mengapa masih tiduran di situ?!
Kemarilah! Mari kita berkenalan! Aku butuh teman untuk
berbincang-bincang!"
Kedua orang di puncak batu cadas putih saling
pandang. Lalu terdengar ucapan.
"Walah.... Rezeki kita besar sekali hari ini! Ada gadis
cantik mengundang kita!"
"Betul.... Betul! Kita tidak boleh sia-siakan kesempatan
langka ini berlalu begitu saja!" menyahut satunya. Lalu
salah seorang dari kedua orang ini bergerak bangkit.
Busungkan dadanya sejenak lalu hendak melangkah
menuruni puncak batu cadas.
Namun gerakan orang ini tertahan, karena orang
satunya segera keluarkan suara. "Hai.... Tolong ambilkan
celanaku dahulu!"
"Ah.... Itu urusanmu! Ambil sendiri!" ujar satunya. "Aku
sudah tak sabar!" Orang ini lanjutkan langkah. Sementara
orang satunya tampak beringsut hendak menyambar
celana hitam yang berkibar-kibar di atas tongkat.
Namun sebelum celana hitam tersentuh, dan orang
satunya baru melangkah dua tindak, terdengar bentakan
keras membahana.
"Jangan ada yang berani bergerak! Tetap di tempat
kalian masing-masing! Atau kepala kalian akan tanggal!"
Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang dahsyat melesat di atas hamparan pasir
yang memisahkan dua kawasan berbatu, lalu melabrak
lurus ke arah orang yang berada di puncak batu cadas
putih!
Dari puncak batu putih terdengar dua seruan ber-
sahutan. Orang yang tadi sudah tegak dan melangkah,
buru-buru rebahkan diri. Karena di mana dia berpijak
adalah batu cadas putih, dan dia tak mau tubuhnya meng
hantam cadas. Sementara temannya tanpa pikir panjang
lagi telah menjatuhkan dirinya ke atas orang yang tadi
masih telungkup!
Kembali terdengar seruan. Tapi tak lama kemudian
disusul dengan terdengarnya suara tawa bergelak!
"Untung aku telungkup hingga kau masih menumbuk
pantatku! Kalau aku tadi telentang, tentu kau akan
mencium barang saktiku!" kata orang yang direbahi yang
tenyata adalah Raden Mas Antar Bumi yaitu laki-laki yang
tadi memegang tongkat.
Suara gelakan tawa kembali menggema. Orang yang
rebah, yakni Raden Mas Antar Langit beringsut turun dari
tubuh Raden Mas Antar Bumi lalu perlahan-lahan bergerak
ke bibir batu cadas merangkak. Lalu arahkan pandangan-
nya pada Iblis Rangkap Jiwa yang baru saja berteriak
sambil lepaskan pukulan jarak jauh.
"Hai, Teman! Mengapa kau menyerangku?!" teriak
Raden Mas Antar Langit.
Dari seberang, Iblis Rangkap Jiwa hanya memandang
dengan mulut terkancing. Raden Mas Antar Langit
membalik arahkan pandangannya pada Putri Sableng
begitu dilihatnya si gadis masih tegak di atas batu, Raden
Mas Antar Langit lambaikan tangan.
Di bawah sana, Putri Sableng kembali berjingkat seraya
lambai-lambaikan kedua tangannya.
"Bagaimana?! Apa kalian masih ingin berkenalan?!"
"Tentu! Tapi bagaimana ini?! Keadaan tidak memungkin-
kan! Bagaimana kalau kita berkenalan jarak jauh saja?!"
jawab Raden Mas Antar Langit.
"Kalian tidak berani turun?!" tanya Putri Sableng.
"Turuti kata hati, lautan api akan kulangkahi. Gelombang
samudera akan kuarungi. Tapi apa hendak dikata. Kedua
tanganku tidak sampai! Atau bagaimana kalau kau saja
yang naik ke sini?!"
"Kalau begitu maumu, baiklah!" ujar Putri Sableng
dengan berteriak lantang. Gadis berjubah merah ini segera
hendak turun dari batu. Namun gerakannya tertahan
tatkala tiba-tiba dari puncak batu putih terdengar teriakan.
"Tahan! Jangan kemari dahulu! Ada aral melintang!"
Yang berteriak ternyata Raden Mas Antar Bumi.
"Waduh! Kau ini bagaimana?! Ini rezeki besar. Mengapa
ditahan?!" sungut Raden Mas Antar Langit.
"Celaka! Celaka!"
"Setan! Apanya yang celaka?!" hardik Raden Mas Antar
Langit.
"Celanaku! Celanaku terbang ke bawah sana!"
Raden Mas Antar Langit berpaling ke belakang. Celana
hitam memang sudah tidak tampak lagi di atas tongkat!
Seketika Raden Mas Antar Langit meledak gelakan
tawanya.
"Sontoloyo! Mengapa kau tertawa?!" bentak Raden Mas
Antar Bumi seraya berpaling ke bawah melihat celana
hitamnya yang kini tampak terhampar menyangkut di salah
satu batu.
Raden Mas Antar Langit hentikan tawanya. Lalu
melambai ke arah Putri Sableng seraya berteriak. "Betul!
Jangan kemari dahulu. Ada sesuatu yang harus kami
perbaiki! Jika selesai, kau akan kuteriaki!"
Habis berteriak, Raden Mas Antar Langit berpaling pada
Raden Mas Antar Bumi.
"Bagaimana sekarang?!"
"Sialan! Kau masih ajukan tanya juga! Apa aku harus
turun dengan begini?!"
"Jadi aku yang turun ambilkan celanamu?!" Raden Mas
Antar Langit gelengkan kepala. "Kau dengar ancaman si
gundul tadi?! Kepalaku akan ditanggalkan begitu aku
berani beranjak dari tempat ini! Kau sayang sahabat apa
sayang celana?!"
"Ah.... Celaka! Lalu harus bagaimana?!"
"Terpaksa kita menunggu orang lewat! Lalu kita minta
tolong!"
"Hem.... Bagaimana kalau kita minta tolong gadis
berjubah merah itu?!" tanya Raden Mas Antar Bumi seraya
arahkan pandangan ke arah Putri Sableng.
"Mana mungkin gadis cantik macam dia mau ambilkan
celanamu yang butut dan bau begitu?!"
"Jadi...?!"
"Terpaksa kita nunggu nenek-nenek! Kalau nenek-nenek
pasti mau ambilkan celanamu!" ujar Raden Mas Antar
Langit sambil cekikikan.
"Hem.... Gara-gara gundul itu rezeki besar terbuang! Dan
kita tidak akan bisa tidur lagi! Karena kita harus menunggu
orang! Sialan benar...," keluh Raden Mas Antar Bumi.
Kedua orang berwajah hitam ini akhirnya sama
telungkup sambil nongolkan kepala masing-masing di bibir
batu cadas putih dengan mata melotot.
"Kalau tidak ada nenek-nenek lewat, bagaimana?!"
gumam Raden Mas Antar Bumi.
"Kita tunggu saja sambil melihat keadaan! Hanya kau
harus banyak berdoa mudah-mudahan tidak ada
hembusan angin kencang. Jika itu terjadi, kau akan lebih
merana!"
"Hem...." Raden Mas Antar Bumi menggumam. Lalu tiba-
tiba diarahkan pandangannya pada Putri Sableng.
"Ah.... Bukankah kau tadi tawarkan pada gadis itu untuk
berkenalan meski jarak jauh?!"
Tanpa menunggu sambutan Raden Mas Antar Langit,
Raden Mas Antar Bumi telah lambaikan tangan. Di bawah
sana Putri Sableng yang baru saja turun dari batu segera
pula lambaikan kedua tangannya.
"Ada apa?! Apa perbaikan sudah selesai?!" teriak Putri
Sableng.
"Belum! Tapi bukankah kita bisa berkenalan jarak
jauh?!" kata Raden Mas Antar Bumi.
"Ah.... Sebenarnya aku ingin berkenalan dengan ber-
tatap muka! Tapi kalau begitu maumu, aku tidak
keberatan! Sekarang kuharap kalian mau sebutkan diri
satu persatu dengan berdiri agar aku lebih jelas!" teriak
Putri Sableng.
"Wan.... Celaka lagi!" ujar Raden Mas Antar Bumi. Orang
ini lalu berpaling pada temannya. "Kau saja yang men
jelaskan!"
Belum sampai Raden Mas Antar Langit perdengarkan
ucapan, Iblis Rangkap Jiwa telah berteriak mendahului.
"Jika di antara kalian ada yang masih buka suara, ku-
hancurkan batu cadas tempat kalian berada!"
Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar Bumi
sama kancingkan mulut. Lalu sama arahkan pandangan
pada Putri Sableng yang tegak cekikikan. Kejap lain kedua
orang berwajah hitam sama letakkan dagu masing-masing
di bibir batu dengan mata melotot memandang ke bawah.
***
TUJUH
SENGATAN terik sinar matahari mulai agak mereda,
karena sudah jauh menggelincir ke pelataran langit
di sebelah barat. Hamparan langit sedikit berubah
warna disemburati warna merah kekuningan. Hembusan
angin mulai sebarkan hawa dingin.
Di bawah puncak batu di sebelah kiri kedung, Dewi
Siluman masih duduk bersila bersandar pada batu dengan
mata terpejam dan kedua tangan merangkap di muka
dada. Putri Sableng juga tampak duduk bersandar pada
batu. Namun sepasang mata gadis ini terbuka. Sesekali
kepalanya tengadah memandang ke puncak batu di mana
gubuk hitam berada.
Kedua orang berwajah hitam tetap nongolkan kepala di
bibir batu cadas putih dengan mata tak berkesip
memandang ke bawah. Kedua orang ini tidak ada lagi yang
buka mulut. Yang paling tampak resah adalah Iblis
Rangkap Jiwa. Beberapa kali laki-laki berkepala gundul ini
coba memejamkan sepasang matanya pusatkan mata
batin. Namun tampaknya dia mengalami kegagalan.
Hingga pada akhirnya dia buka matanya dengan kepala
sesekali memandang ke arah Dewi Siluman, Putri Sableng
serta dua orang berwajah hitam di seberang batu cadas
putih. Malah begitu matahari mulai berubah warna, orang
ini tampak arahkan pulang balik pandangannya ke jurusan
kawasan berbatu di sebelah kanan kedung. Jelas
pandangannya membayangkan rasa gelisah dan tidak
sabar. Namun tak jarang dia menghela napas dalam.
"Ada orang datang...." Raden Mas Antar Langit berbisik
pada temannya dengan kepala bergerak memaling ke arah
belakang tempatnya berada.
"Ah.... Betul! Mudah-mudahan seperti harapanku!
Seorang nenek-nenek. Agar kita bisa segera berkenalan
dengan gadis cantik itu!" sahut Raden Mas Antar Bumi lalu
ikut-ikutan palingkan kepala ke belakang.
Entah karena takut orang yang diyakini datang tidak
melihat ke arah mereka berdua, keduanya cepat beringsut
lalu dengan cepat merangkak ke bibir batu cadas putih di
bawah mana terbentang jalan menuju kedung.
Baru saja kedua orang berwajah hitam ini tongol-kan
kepala masing-masing ke bibir batu cadas putih di tempat
mana jika ada orang lewat di bawahnya pasti akan melihat,
satu sosok tubuh berlari cepat dari jurusan belakang batu
cadas putih.
Begitu sosok yang berlari hampir mendekati julangan
batu cadas putih, Raden Mas Antar Bumi buru-buru
lambaikan tangan sambil berteriak keras.
"Hai...! Hai...! Selamat datang! Kuharap keadaanmu
baik-baik saja!"
Orang yang berlari hanya gerakkan kepalanya sebentar.
Namun orang ini seakan tidak mendengar teriakan orang.
Dia terus saja lanjutkan larinya. Dia baru berhenti tatkala
sampai ditepi hamparan pasir yang memisahkan dua
kawasan berbatu.
"Hai...!" kembali Raden Mas Antar Bumi berteriak. "Kami
berada di sini!"
Orang yang tegak tidak jauh dari julangan batu cadas
putih mendongak. Kali ini dia berlama-lama pandangi dua
kepala di bibir batu dengan dahi berkerut dan mata mem-
besar.
"Waduh.... Bukan kelasmu!" ujar Raden Mas Antar
Langit. "Melihat potongan tubuhnya, aku tak yakin apa dia
mau menolong!"
"Ah.... Benar! Dia bukan nenek-nenek! Tapi siapa tahu?!"
gumam Raden Mas Antar Burnt. Lalu pandangi orang di
bawah sana. Mulutnya sunggingkan senyum seolah orang
di bawah sana bisa melihat senyumnya!
"Apa kemunculan mereka atas undangan Iblis Rangkap
Jiwa?! Atau atas pemberitahuan Ni Luh Padmi?!" desis
orang yang tegak di dekat julangan batu cadas putih. Ia
adalah seorang perempuan berparas cantik mengenakan
pakaian warna biru tipis ketat. Rambutnya dikuncir tinggi
seolah ingin memperlihatkan lehernya yang putih jenjang.
Perempuan berpakaian biru berwajah cantik dan bukan
lain adalah Ratu Pemikat, gerakkan kepala ke kanan, ke
kawasan batu di sebelah kiri kedung.
"Hem.... Iblis Rangkap Jiwa sudah siap seperti rencana!"
gumam Ratu Pemikat. Lalu pandangannya mengarah pada
batu di mana Dewi Siluman berada. "Perempuan keparat
itu nyatanya sudah muncul juga! Hem.... Dia memilih
tempat yang tepat!" Perempuan ini sedikit agak terkejut
tatkala matanya menangkap sosok Putri Sableng.
"Mengapa gadis itu berada di situ?! Apa aku yang salah
lihat?! Bukankah aku pernah menjumpai dirinya bersama
Pendekar 131?! Atau bukan dia gadis yang kulihat waktu
malam itu...? Ah. Kalau dia berada di kawasan itu, berarti
Iblis Rangkap Jiwa sudah sempat mengorek keterangan
dari mulutnya!"
Ratu Pemikat arahkan pandangannya berkeliling.
"Belum ada tanda-tanda kemunculan orang-orang golongan
putih! Tapi pasti mereka akan datang! Tengah malam
masih lama.... Hanya yang kuherankan ke mana gerangan
nenek yang katanya mencari Pendeta Sinting itu?! Dia
seharusnya sudah muncul di sini?! Atau jangan-jangan dia
telah tewas di tengah jalan...."
Ratu Pemikat kembali arahkan pandangannya pada Iblis
Rangkap Jiwa. Lalu tanpa buka mulut atau membuat
gerakan isyarat, perempuan itu berkelebat ke arah
kawasan berbatu di sebelah kanan kedung.
"Hai...! Kita memang belum berkenalan. Tapi kuharap
kau tidak keberatan memberi pertolongan!"
Satu teriakan terdengar membuat gerakan Ratu Pemikat
tertahan. Perempuan ini mau tak mau dongakkan kepala.
Dadanya kembali dilanda berbagai tanya dan duga.
"Dalam keadaan seperti sekarang ini, aku harus
bersahabat dengan siapa saja!" kata Ratu Pemikat dalam
hati, lalu balas berteriak.
"Katakan pertolongan apa yang harus kulakukan untuk
kalian!"
"Ah.... Dia memberi harapan!" bisik Raden Mas Antar
Bumi. Lalu buka mulut.
"Sebelumnya aku minta maaf. Karena sesuatu hal,
celanaku jatuh ke bawah sana itu!" Raden Mas Antar Bumi
tunjukkan tangannya pada celana hitam yang masih
terhampar di salah satu batu cadas putih. "Kalau kau tidak
keberatan, kuharap kau mau ambilkan cena-laku...."
Di sebelahnya, Raden Mas Antar Langit sudah tahan
tawanya. Namun tak urung, sesaat kemudian tawanya
keluar juga. Hingga Raden Mas Antar Bumi menggerutu
sambil mendelik.
Ratu Pemikat arahkan matanya ke arah yang ditunjuk
orang. Lalu mendongak lagi.
"Wajahnya tidak mau dikenali! Siapa mereka?! Mengapa
celananya sampai jatuh?! Mengapa mereka mengambil
tempat di situ?!" Ratu Pemikat dibuncah berbagai hal.
Ratu Pemikat berpikir sejurus. Lalu melangkah ke arah
celana hitam di atas batu cadas putih. Namun perempuan
ini tidak segera ambil celana itu. Dia hentikan langkah di
sebelah batu di mana tersangkut celana milik Raden Mas
Antar Bumi.
"Aku akan membantu yang kalian inginkan, tapi jawab
dulu pertanyaanku!"
Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar Bumi
saling pandang. Lalu Raden Mas Antar Bumi berseru.
"Apa yang hendak kau tanyakan?!"
"Katakan siapa kalian adanya! Mengapa berada di situ!
Juga katakan siapa yang memberi tahu hingga kalian
muncul di sini!"
"Aku Raden Mas Antar Bumi. Temanku ini Raden Mas
Antar Langit.... Kami berdua muncul di sini atas anjuran
seorang tabib kesohor...."
Ratu Pemikat Pernyitkan kening. Namun belum sampai
dia menduga kebenaran ucapan orang, Raden Mas Antar
Langit telah lanjutkan ucapan temannya.
"Meski jauh, tentu kau masih lihat bagaimana bentuk
warna wajah kami. Hitam legam memilukan! Ini bukan
karena kami sengaja mempercantik diri. Melainkan kutuk
yang harus kami terima karena melanggar pantangan.
Menurut tabib tadi, kutuk bisa sirna kalau kami mandi di
Kedung Ombo pada malam purnama!"
"Lalu...," kali ini yang menyambung adalah Raden Mas
Antar Bumi. "Kami tadi sudah enak-enakan tidur di gubuk
hitam sana itu sambil menunggu malam purnama nanti.
Tapi tiba-tiba datang si Iblis Rangkapan itu! Dia mengusir
kami! Karena kami harus menunggu sampai malam,
terpaksa kami memilih tempat ini. Namun si Iblis Rangkap
Jiwa itu tidak menaruh belas kasihan pada kami. Dia
bermain-main angin. Hingga akhirnya celanaku sampai
jatuh ke dekat tempatmu itu...."
Mendengar orang sebut Iblis Rangkap Jiwa dengan Iblis
Rangkapan, mau tak mau membuat Ratu Pemikat ter-
senyum. Namun sejauh ini dia tidak segera ambil celana
hitam, sebaliknya ajukan tanya lagi.
"Mengapa salah satu di antara kalian tidak ambil
sendiri?! Bukankah yang satunya lagi masih mengenakan
celana?!"
"Betul! Tapi si Iblis Rangkapan itu mengancam kami!
Kalau kami berani bergerak dari tempat ini, kepala kami
akan ditanggalkan!" ujar Raden Mas Antar Langit.
"Daripada kami mati sia-sia, bukankah lebih baik
menunggu orang yang mau menolong?"
"Katakan terus terang. Kalian berada di pihak mana?!"
Tiba-tiba Ratu Pemikat berteriak karena diam-diam
perempuan ini tidak begitu percaya dengan ucapan-ucapan
orang.
"Ah.... Pertanyaanmu sama dengan pertanyaan Iblis
Rangkapan tadi! Kami terus terang saja tidak berpihak ke
mana-mana! Maksud kedatangan kami telah kau ketahui!
Jadi harap tidak berprasangka buruk. Lebih dari itu,
kumohon kau mau menolongku!" kata Raden Mas Antar
Bumi,
"Baik! Aku akan menolong kalian!" ujar Ratu Pemikat.
Lalu ulurkan tangan kirinya mengambil celana hitam di
atas batu cadas putih. Raden Mas Antar Bumi tersenyum-
senyum. Apalagi tatkala Ratu Pemikat melangkah ke
tempat mana tadi dia pertama kali muncul.
Tepat berada di bawah batu cadas putih menjulang,
Ratu Pemikat hentikan langkah. Celana hitam ditenteng di
tangan kiri dan tampak berkibar-kibar. Kepalanya men-
dongak. Raden Mas Antar Bumi makin lebarkan senyum.
"Aku akan berikan celana ini besok pagi!" seru Ratu
Pemikat, membuat senyum Raden Mas Antar Bumi laksana
ditanggalkan setan. Kejap lain terdengar keluhan keras
saat tanpa berkata-kata lagi Ratu Pemikat berkelebat ke
arah kawasan berbatu di sebelah kanan kedung sambil
menenteng celana hitam.
"Kau tak usah cemas.... Mungkin dikira celana bututmu
bisa membawa berkah!" gumam Raden Mas Antar Langit,
membuat Raden Mas Antar Bumi memberengut sambil
menggumam.
"Ini namanya celaka tiga belas! Pertolongan yang di-
harap, lebih celaka yang didapat! Hilang sudah ke-
sempatan berkenalan dengan gadis cantik berjubah merah
itu!"
Sementara di atas puncak batu yang ditancapi gubuk
hitam, Iblis Rangkap Jiwa sejenak tadi tampak menduga-
duga apa yang akan dilakukan oleh Ratu Pemikat. Namun
begitu samar-samar dapat menangkap celana hitam di
tangan kiri sang Ratu, laki-laki berkepala gundul ini
sunggingkan senyum seringai. Jauh di bawahnya, Dewi
Siluman buka kelopak matanya. Lalu memandang ke
seberang dengan mata sedikit dibeliakkan.
"Jahanam! Mengapa perempuan sundal itu tegak di
seberang sana?! Menurut tanda, seharusnya dia tegak di
kawasan ini! Hem.... Ada permainan apa ini?! Manusia Iblis
itu juga tidak buka mulut dengan kehadirannya!"
Di sebelah bawah samping kiri puncak batu di mana
Iblis Rangkap Jiwa berada, Putri Sableng diam-diam juga
membatin. "Aneh.... Ada apa ini?! Muslihat apa lagi yang
sedang dilakukan perempuan itu?!"
Sementara kedua orang berwajah hitam sama bergerak
merangkak. Lalu nongolkan kepala masing-masing di bibir
batu cadas putih di atas mana hamparan pasir mem-
bentang dengan mata sama mendelik dan kepala ber-
gerak-gerak berpaling pada Dewi Siluman, Iblis Rangkap
Jiwa, Putri Sableng, dan Ratu Pemikat. Namun kali ini
mereka sama kancingkan mulut.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba semua kepala berpaling
ke satu arah. Mata masing-masing orang yang berada di
tempat itu memandang tak berkesip. Satu sosok tubuh
berlari cepat dari arah belakang mana Ratu Pemikat
berada.
"Berhenti!" Ratu Pemikat membentak sambil putar
tubuh. Orang yang baru saja berlari hentikan langkah.
Tegak di atas batu sejarak sepuluh langkah dari Ratu
Pemikat. Ternyata orang ini adalah seorang nenek ber-
pakaian panjang warna coklat. Pada tangannya tampak ter-
genggam sebuah tusuk konde besar berwarna hitam. Si
nenek tidak lain adalah Ni Luh Padmi.
"Kuharap kau tidak menuduhku bertindak macam-
macam!" Si nenek telah mendahului buka mulut begitu
melihat pandangan curiga Ratu Pemikat.
Seperti diketahui, Iblis Rangkap Jiwa, Ratu Pemikat
serta Ni Luh Padmi telah membuat rencana dan sepakat
akan bertemu dua hari menjelang purnama di puncak
Bukit Selamangleng. Namun sampai hari yang ditentukan,
Ni Luh Padmi tidak muncul. Ini membuat Iblis Rangkap Jiwa
dan Ratu Pemikat merasa curiga.
Ratu Pemikat campakkan celana hitam milik Raden Mas
Antar Bumi. Lalu memandangi si nenek dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Bibirnya tersenyum dingin.
"Aku tidak akan menuduh kalau kau mengatakan alasan
tepat!"
Ni Luh Padmi putar pandangannya. Mula-mula ke arah
Dewi Siluman, lalu ke atas puncak batu di seberang di
mana Iblis Rangkap Jiwa berada. Lalu pada Putri Sableng.
Dan tak luput matanya memandang ke arah dua wajah
hitam yang nongol di bibir batu cadas putih. Terakhir kali
kembali pada sosok Ratu Pemikat. Untuk beberapa saat
kedua orang ini saling pandang. Si nenek lalu angkat
bicara.
"Di tengah perjalanan melakukan tugas seperti yang
telah kita sepakati, aku bertemu dengan seseorang yang
mau tunjukkan padaku di mana tempat tinggalnya Pendeta
Sinting...."
"Hem.... Coba katakan di mana?!" sahut Ratu Pemikat.
"Jurang Tlatah Perak!"
"Hem.... Lalu?!"
"Aku menuju Jurang Tlatah Perak. Namun, meski tempat
itu sudah kuaduk-aduk, aku tidak menemukan bangsat
penghuninya! Walau begitu, satu hal yang pasti, tempat itu
memang kuyakini tempat persembunyian jahanam itu! Dan
dia pergi belum lama!"
"Bagaimana kau bisa yakin?!"
Ni Luh Padmi sunggingkan senyum seringai. "Aku tahu
siapa jahanam itu lebih daripada orang lain!"
"Kalau kau sudah tahu jahanam bangsatnya tidak ada,
mengapa tidak segera kembali?!"
"Aku telah lama mencari. Begitu tempatnya sudah
kutemukan, apakah aku harus begitu saja pergi meski
bangsat keparatnya tidak kutemukan?! Dia kutunggu
sampai beberapa hari dengan harapan dia akan pulang!"
"Tapi kau mengalami kecewa besar, bukan?!"
Ni Luh Padmi tidak segera menjawab. Namun beberapa
saat kemudian dia anggukkan kepala. "Dia tidak muncul
sampai aku memutuskan pergi kemari!"
"Hem.... Aku bisa saja menerima alasanmu! Tapi di
hadapan Malaikat Penggali Kubur, bisa saja lain!"
"Maksudmu?!"
"Kusarankan padamu. Kalau kau masih inginkan nyawa
Pendeta Sinting, kau harus minta maaf pada Malaikat
Penggali Kubur! Soal apa nanti alasanmu, itu urusanmu!"
Paras wajah si nenek berubah. Ratu Pemikat tersenyum
lebar. Lalu berujar.
"Tanpa kukatakan, kau tahu bukan di mana kau harus
berdiri?!"
Kepala Ni Luh Padmi berpaling memandang berkeliling.
"Siapa yang berjubah hitam dan berjubah merah itu?!"
"Kalau mereka berada di sana, siapa pun mereka
adanya, yang pasti mereka adalah manusia-manusia
musuh golongan putih!"
"Dua orang di puncak batu cadas putih itu?!"
"Mereka hanya manusia tersesat jalan!"
"Dan kau sendiri, mengapa...."
"Jangan banyak bertanya!" potong Ratu Pemikat lalu
hadapkan tubuh ke hamparan pasir yang membentang
memisah dua kawasan berbatu. "Mumpung hari belum
gelap, kuharap kau segera memilih tempat!"
Dengan dada dipenuhi tanda tanya dan kegelisahan, si
nenek meloncat dari batu lalu melangkah melintasi
hamparan pasir yang membentang di depan Kedung
Ombo.
Saat itulah dari puncak batu cadas putih terdengar
gumaman.
"Kenapa matamu melotot begitu rupa! Dia hanya nenek-
nenek! Dan percuma kau minta tolong padanya!" Yang
perdengarkan suara ternyata Raden Mas Antar Langit.
Raden Mas Antar Bumi tidak menyahut. Malah sepasang
matanya makin membelalak besar.
"Kau tertarik padanya?!" kembali Raden Mas Antar
Langit buka suara. Tapi yang ditanya tetap kancingkan
mulut, membuat Raden Mas Antar Langit berpaling silih
berganti pada temannya lalu pada Ni Luh Padmi yang
melintas di bawah sana.
"Laki-laki seusiamu memang saat-saatnya tumbuh
perasaan cinta untuk ketiga kalinya.... Tapi kurasa kau
terlalu sembrono kalau menjatuhkan pilihan pada si nenek
itu! Masih banyak gadis muda dan cantik yang kuyakini
bisa kau gaet! Apalagi wajahmu tidak mengecewakan....
Buktinya kau tahu sendiri. Walau kau berhias begitu rupa,
gadis berjubah merah itu tadi tak sabar ingin ber-
kenalan...."
"Sontoloyo! Kalau kau tak bisa diam, kulemparkan kau
ke bawah sana!" hardik Raden Mas Antar Bumi dengan
kepala masih bergerak mengikuti langkahan kaki Ni Luh
Padmi.
"Ah.... Sebagai teman, aku cuma mengingatkan! Lagi
pula aku akan ikut bangga kalau kau bisa berdampingan
dengan seorang gadis cantik dan muda! Hik.... Hik...! Bukan
dengan nenek-nenek yang dihias bagaimanapun juga tidak
membuat mata betah memandang, sebaliknya membuat
pantat gatal!"
"Setan! Setan! Diam kau!" bentak Raden Mas Antar
Bumi, membuat Ni Luh Padmi yang melintas di bawah
mereka berdua dongakkan kepala.
"Hai...!" kata Raden Mas Antar Langit sambil lambaikan
tangan saat dilihatnya si nenek tengadah memandang.
Raden Mas Antar Bumi serta-merta gerakkan tangan.
Bukan ikut-ikutan melambai, melainkan tarik pulang
tangan temannya yang baru saja melambai. Di bawah
sana, Ni Luh Padmi kerutkan dahi sesaat, namun kejap lain
si nenek telah lanjutkan langkah.
"Apa yang kau lakukan?! Kau cemburu aku lambaikan
tangan pada nenek itu?!" tanya Raden Mas Antar Langit.
"Kau ini aneh. Belum kenal sudah cemburu buta!"
Raden Mas Antar Bumi tidak juga menyahut. Dia hanya
pandangi si nenek yang kini telah tegak di atas batu tidak
jauh dari tempat Dewi Siluman. Sementara Dewi SilUman
sendiri seolah acuh dengan kehadiran orang di dekatnya.
Hanya Iblis Rangkap Jiwa yang tampak telengkan kepala ke
arah Ni Luh Padmi. Pada awalnya laki-laki berkepala
gundul ini sudah hendak berkelebat saat dilihatnya Ni Luh
Padmi muncul. Namun niatnya diurungkan setelah
dilihatnya Ratu Pemikat sempat bercakap-cakap dengan Ni
Luh Padmi.
Baru saja Ni Luh Padmi tegak di atas batu, tiba-tiba
semua orang di tempat itu tersentak kaget. Entah kapan
datangnya, tiba-tiba dari bawah julangan batu cadas putih
di depan kedung, satu sosok tubuh berkelebat!
***
DELAPAN
BUKAN hanya kemunculan orang yang membuat
semua orang tersentak kaget, mereka juga sama
membatin dan bertanya-tanya. Karena orang yang
mendadak muncul terus berlari menyeberangi hamparan
pasir yang membelah kawasan berbatu. Orang ini baru
hentikan larinya saat satu langkah lagi tepat di bibir
kedung!
Seakan tahu dirinya menjadi pusat pandang beberapa
mata, orang ini putar tubuh membelakangi kedung. Ter-
nyata dia adalah seorang kakek. Rambutnya yang kaku di-
potong pendek hingga terlihat tegak-jabrik. Raut wajahnya
penuh keriputan. Sepasang matanya terpuruk masuk ke
rongga yang cukup dalam. Kalau rambutnya yang putih di-
potong pendek, tidak demikian halnya dengan kumisnya
yang juga telah berwarna putih. Kumis kakek ini dibiarkan
panjang hingga menutupi hampir janggutnya! Pada kedua
cuping hidungnya yang agak mancung tampak melingkar
dua buah anting-anting dari benang warna merah. Kakek
ini mengenakan pakaian berwarna biru gelap.
Meski si kakek di bibir kedung telah unjuk tampang,
namun semua orang yang ada di tempat itu jelas sama
menampakkan isyarat kalau tidak seorang pun yang
mengenal.
Beberapa saat Kedung Ombo senyap. Tidak ada suara
yang terdengar menyeruak. Hanya beberapa mata yang
tampak saling melontar pandang. Sementara si kakek yang
menjadi pusat pandang orang mulai lakukan gerakan.
Kepalanya berpaling ke kiri.
Sesaat si kakek di bibir kedung memandang pada Ni
Luh Padmi yang tegak paling kanan. Lalu beralih pada Dewi
Siluman yang kini tampak pentangkan mata. Kejap lain si
kakek mendongak sedikit arahkan pandangannya pada
Iblis Rangkap Jiwa yang tegak kacak pinggang di bawah
gubuk hitam. Lalu pandangannya beralih pada Putri
Sableng. Pada si gadis berjubah merah ini, si kakek
memandang agak lama sebelum akhirnya arahkan
pandangan pada puncak batu cadas putih di mana terlihat
kepala Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar
Bumi. Si kakek anggukkan kepala sedikit lalu berpaling ke
kanan. Pada kawasan berbatu di mana Ratu Pemikat
berada.
Begitu pandangannya sampai pada Ratu Pemikat, si
kakek bukan segera buka mulut. Melainkan putar
pandangannya kembali. Kini berbalik arah. Mulai dari Ratu
Pemikat dan berakhir pada Ni Luh Padmi. Kejap lain si
kakek tengadah melihat langit yang mulai menggelap
karena matahari sejengkal lagi terbenam.
Kesepian di sekitar Kedung Ombo tiba-tiba disentak
dengan beberapa gumaman dan pandangan heran
beberapa mata. Karena si kakek di bibir kedung tiba-tiba
sentakkan kedua kakinya. Sosoknya melesat lima tombak
ke udara. Membuat gerakan satu kali, lalu meluncur deras
ke dalam kedung!
Byuuurr!
Air tenang Kedung Ombo berkecipak sampai satu
tombak ke udara. Lalu tampak gelombang bergerak
dahsyat laksana dihempas angin luar biasa kencang.
Malah sebagian air kedung muncrat melewati bibir kedung.
Gumaman yang sejenak tadi terdengar tiba-tiba lenyap.
Kini hanya beberapa pasang mata yang memandang pada
tengah kedung. Semua orang seolah tak sabar apa
sebenarnya yang dilakukan orang. Mereka menunggu
dengan dada dibuncah berbagai tanya.
Namun semua orang di sekitar Kedung Ombo pada
akhirnya harus mengalami kecewa besar. Karena hingga
ditunggu agak lama, kakek yang ceburkan diri ke dalam
kedung tidak muncul lagi!
Rasa terkesima semua orang belum lenyap, tiba-tiba
satu suara terdengar
"Aneh..,. Dari mana mendung ini berasal?! Baru saja
langit terang benderang!"
Hampir berbarengan semua kepala di tempat itu
bergerak mendongak. Ucapan yang baru saja terdengar
dari puncak batu cadas putih memang benar adanya.
Karena begitu matahari tenggelam, tiba-tiba langit yang
sejenak tadi tanpa tertutup awan sedikit pun berubah.
Entah dari mana dan kapan datangnya, tiba-tiba langit
disemaraki dengan gulungan awan hitam, membuat
suasana yang mulai gelap sudah berubah pekat! Malah
kalau tidak pelototkan mata, orang yang ada di sekitar
Kedung Ombo tidak akan mampu melihat lainnya!
Anehnya, gulungan awan hitam itu hanya menggantung
tepat di atas Kedung Ombo!
"Wah ... Kebetulan! Mumpung gelap, aku akan bisa
leluasa berjalan! Kita mandi sekarang!" kata seseorang
dari puncak batu cadas putih.
"Kalau kau ingin mandi sekarang, silakan! Melihat kakek
yang tadi mencebur dan tidak muncul lagi, aku urungkan
niat saja! Biar aku mengemban kutuk begini daripada mati
tidak karuan!" menyahut satunya.
"Mengapa kau takut dengan kakek itu! Dia memang
sengaja bunuh diri!"
"Peduli setan bunuh diri atau tidak! Yang jelas dia tidak
muncul lagi. Dan aku tak mau mengalami nasib seperti
dia!"
"Ah.... Kau selalu saja menakut-nakutiku! Lantas apa
yang harus kita lakukan sekarang?!"
"Kurasa ada yang tidak beres di tempat ini! Kalau benar
malam ini di sini ada pasar jodoh, mengapa yang datang
nenek-nenek juga?! Dan kau tahu sendiri. Wajah-wajah
mereka terlihat tegang kaku! Belum lagi ada kakek yang
tiba-tiba bunuh diri! Kita pulang saja! Bukankah malam
purnama tidak hanya malam ini?! Lagi pula kulihat sang
rembulan tidak akan muncul! Mandi sampai semalaman
pun tidak akan mampu menghilangkan kutuk kita kalau
rembulan tidak nongol! Ayo, kita pulang!" „
"Enak saja kau bicara!" sahut suara satunya.
"Bagaimana aku bisa pulang kalau tidak mengenakan
celana?"
"Bukankah sudah gelap?! Tak mungkin orang dapat
melihat senjata saktimu! Kalaupun orang sempat melihat,
kau tak usah khawatir, yang melihat pasti akan tunggang
langgang terlebih dahulu! Hik.... Hik.... Hik...!"
"Betul juga. Kalau lari tunggang langgang menjauh aku
tidak kerepotan! Biasanya yang melihat lari tunggang
langgang mendekatiku! Hik.... Hik.... Hik...!"
Ketegangan di Kedung Ombo laksana sirna karena di
tempat itu kini disemaraki suara ledakan tawa bersahut-
sahutan.
"Hai, kalian yang ada di puncak batu cadas putih!" tiba-
tiba satu teriakan terdengar. "Jadi itukah yang kalian
katakan tadi aral melintang?!"
"Ah.... Itu suara gadis cantik berjubah merah!" gumam
salah seorang di puncak batu cadas putih. Orang yang ber-
gumam ini lantas berteriak menyambuti suara teriakan
yang baru saja terdengar.
"Benar! Itulah aral rintangannya. Dan kami tak mampu
memperbaikinya! Bagaimana kalau kau pinjamkan
celanamu pada temanku ini?!"
"Menyesal sekali! Aku tidak mengenakan celana!" sahut
teriakan dari bawah.
"Jadi di balik jubah merahmu itu kau tidak mengenakan
apa-apa lagi?!"
"Sialan!" satu teriakan keras terdengar. Yang ini meski
suara perempuan namun jelas lain dari teriakan yang tadi
terdengar. "Kalian yang ada di puncak batu cadas putih!
Dengar, yang bicara kali ini aku si jubah merah! Kalau yang
tadi si jubah hitam! Jadi kalian jangan macam-macam
mengatakan aku tidak mengenakan apa-apa lagi di balik
jubah merahku ini! Bisa kulepas lidah kalian masing-
masing! Kalian dengar? Kalau kalian ingin teruskan bicara
dengan si jubah hitam itu, silakan! Tapi awas! Jangan kau
sebut-sebut lagi si jubah merah!"
"Waduh.... Maafkan kalau kami salah sangka! Maklum
suasana sangat gelap! Baik, aku akan teruskan bicara
dengan si jubah hitam...," teriak orang dari puncak batu
cadas putih. Lalu sesaat kemudian terdengar lagi teriakan
dari puncak batu cadas putih.
"Hai, Jubah Hitam! Karena kita belum saling kenal, tak
keberatan bukan kalau kusebut saja si Jubah Hitam?!"
"Tak apa-apa.... Silakan kalian terus bicara!" terdengar
suara sahutan dari bawah. Yang ini jelas suaranya lain
dengan suara orang yang baru mengatakan dirinya si jubah
merah.
"Kuulangi lagi pertanyaanku tadi. Jadi di balik jubah
hitammu itu kau tidak mengenakan apa-apa lagi?!" kata
suara dari puncak batu cadas putih.
"Di sini banyak telinga! Aku malu mengatakannya...,"
terdengar sahutan dari bawah.
"Kau tak usah malu mengatakannya, Jubah Hitam!
Anggap saja semua telinga di sini tidak bisa mendengar!
Dan anggap di sini hanya ada kita bertiga...! Asyik
bukan...?!"
"Asyik memang asyik! Tapi rasanya aku tidak kuasa
mengatakan...."
"Ah.... Kau pasti bisa mengatakannya! Bukankah tidak
ada telinga yang mendengar?! Lagi pula aku akan menjaga
rahasia ini untuk kita bertiga! Katakanlah...."
Hening sejenak. Lalu dari arah bawah terdengar lagi
teriakan mendayu.
"Aku memang... tidak mengenakan apa-apa lagi! Tapi
kalian jangan menduga yang tidak-tidak! Itu memang
sudah kebiasaanku dari mulai kecil! Aku geli kalau
mengenakan pakaian di balik jubah hitamku ini...."
Dari puncak batu cadas putih terdengar gumaman. Lalu
dari arah bawah terdengar suara tawa cekikikan ditahan-
tahan. Tak lama kemudian, dari puncak batu cadas putih
terdengar teriakan.
"Jubah hitam...! Aku yakin di balik cadarmu itu ter-
sembunyi seraut wajah cantik nan jelita bak bidadari.... Aku
mendapat firasat ada yang tidak beres di tempat ini.
Bagaimana kalau kita pergi saja dari sini?!"
"Ah.... Kau pandai merayu.... Aku mungkin tidak secantik
yang kau kira! Tapi dibanding dengan gadis berjubah
merah itu, mungkin kau masih memilihku! Kalau kau ingin
mengajakku pergi dari sini, kira-kira kau akan ajak aku ke
mana?!"
"Ke mana kau suka aku akan memenuhinya!"
"Ah, senang hatiku mendengarnya.... Kita pergi
sekarang?!"
"Benar! Kita berangkat sekarang saja!"
"Gila! Bagaimana kau ini?! Kau tidak boleh pergi dari
sini!" satu suara di puncak batu cadas putih menahan.
"Kau ini tidak mau rezeki besar! Ada perempuan cantik
yang di balik jubah hitamnya tidak mengenakan apa-apa
mengajak pergi kau tolak! Dasar orang sinting! Apa kau
hendak menunggu nenek-nenek tadi?!"
"Sialan! Kau benar-benar sialan! Aku tidak menolak
rezeki! Tapi bagaimana dengan senjata saktiku ini?! Mau
ditaruh di sakumu, hah?!"
"Astaga! Aku lupa!" ujar suara satunya. "Gara-gara si
gundul itu dua rezeki besar harus terbuang percuma!"
"Hai.... Kalian yang ada di puncak batu cadas putih!
Bagaimana! Kapan kita berangkat?! Aku sudah tidak
sabar...."
"Jubah Hitam. Kau tidak keberatan bukan kalau
temanku ini jalan bersama tanpa memakai celana?!"
Terdengar suara cekikikan. Lalu disusul teriakan
mendayu-dayu.
"Aku tidak keberatan...."
"Nah. Kau telah dengar sendiri! Dia tidak keberatan
jalan bersama meski kau tidak mengenakan celana!
Tunggu apa lagi?!"
"Sontoloyo! Aku ini bangsa manusia biasa, bukan
bangsa iblis sepertimu! Yang bisa jalan dengan perempuan
walau tanpa mengenakan celana!" sahut suara satunya.
"Hem.... Rupanya kau lupa! Walau kau bangsa manusia,
bukankah kau masuk golongan manusia sinting?! Dalam
golongan manusia sinting sepertimu, apakah masih tabu
jalan bersama perempuan tanpa mengenakan celana?!"
"Sesinting-sintingnya bangsa manusia, dia tidak akan
punya kelakuan seperti bangsa iblis golonganmu!"
"Hai.... Mengapa kalian bertengkar?!" terdengar suara
teriakan dari bawah. "Kalian tidak usah terlalu mem-
persoalkan celana! Bukankah bajumu masih bisa kau buat
penutup kalau kau mau?! Meski sebenarnya aku lebih
senang kau jalan tanpa mengenakan celana! Hik.... Hik....
Hik...!"
"Jahanam keparat! Mulut kotormu harus dipecah!" Tiba-
tiba terdengar teriakan dahsyat. Suara itu jelas suara
seorang perempuan dan lain dari suara-suara perempuan
yang tadi terdengar.
"Ada apa ini? Siapa memaki siapa?!" terdengar suara
dari puncak batu cadas putih.
"Aneh memang! Tapi ada yang lebih aneh lagi! Lihat ke
langit!" sahut suara satunya.
Dalam pekatnya suasana, samar-samar masih terlihat
semua kepala tengadah ke atas. Dan berpasang-pasang
mata tampak membelalak. Di atas sana, gulungan awan
hitam yang sejenak tadi menutup hamparan langit tepat di
atas Kedung Ombo laksana disapu gelombang angin
kencang. Gulungan awan hitam ambyar dan bertaburan.
Anehnya, tepat di mana tadi awan hitam bergulung-gulung
menutup langit di atas Kedung Ombo, kini tampak sang
rembulan yang pancarkan sinar terang! Hingga kepekatan
di sekitar kawasan Kedung Ombo sirna seketika! Ke mana
pandangan diarahkan terlihat jelas.
Kedua orang berwajah hitam di puncak batu cadas putih
kini tampak tegak di bibir batu. Hanya yang satu kini
bertelanjang dada. Bajunya ditarik ke bawah lalu diikatkan
demikian rupa hingga menyerupai pakaian panjang bagian
bawah!
Raden Mas Antar Bumi yang bertelanjang dada dan
Raden Mas Antar Langit tampak tersenyum-senyum. Dan
ketika dilihatnya si jubah hitam yang bukan lain adalah
Dewi Siluman, melihat ke arah mereka, kedua orang ini
sama angkat kedua tangan masing-masing lalu melambai-
lambai.
Namun senyum keduanya mendadak terpenggal. Gerak
lambaian tangannya terhenti. Karena di bawah sana
mendadak Dewi Siluman bergerak bangkit. Kepala
perempuan bercadar hitam ini mendongak. Lalu terdengar
suara garang.
"Kalian jahanam berdua! Kalian akan tunggu giliran
setelah kucabut lidah kotor gadis jubah merah keparat itu!"
Habis berteriak begitu, Dewi Siluman langsung
berkelebat memutari batu membukit sebelum akhirnya
berhenti hanya sejarak lima langkah dari tempat tegaknya
Putri Sableng!
"Tak kusangka kalau wajahmu yang cantik tidak sesuai
dengan mulutmu!"
Putri Sableng memandang orang di hadapannya dengan
angkat kedua alis matanya. Belum sampai gadis berjubah
merah ini buka mulut, Dewi Siluman telah mendahului.
"Jangan kau kira aku tidak tahu! Bukankah yang
mengaku sebagai si Jubah Hitam adalah mulutmu juga?!"
Kedua tangan Dewi Siluman telah terangkat.
"Suasana gelap! Jangan kau menuduh seenakmu! Aku
tidak mengaku sebagai si Jubah Hitam! Di sini banyak
orang dan mereka juga ada yang perempuan!" sahut Putri
Sableng. Gadis ini ikut-ikutan angkat tangannya.
"Waduh.... Gawat! Gawat!" terdengar suara dari puncak
batu cadas putih. "Bagaimana bisa jadi begini?! Padahal
aku sudah siap berangkat!"
Sementara itu, melihat apa yang terjadi di seberang,
Ratu Pemikat buru-buru berteriak. "Harap dapat kuasai diri!
Urusan kecil ini bisa kita selesaikan setelah urusan malam
ini tuntas!"
"Kalau di antara kalian ada yang mulai lakukan
penyerangan, aku tak segan membunuh kalian berdua!"
bentak Iblis Rangkap Jiwa lalu tangannya disentakkan ke
bawah.
Wuuttt!
Satu gelombang dahsyat melesat deras ke arah Dewi
Siluman dan Putri Sableng.
Dewi Siluman dan Putri Sableng cepat melompat
mundur.
Brakk! Brakkk!
Byurr! Byuurr!
Dua batu di mana Dewi Siluman dan Putri Sableng tadi
tegak, pecah berkeping-keping. Pasir hitam berhamburan.
Namun begitu pasir luruh kembali, baik Dewi Siluman
maupun Putri Sableng tetap tegak saling berhadapan
meski agak sedikit jauh. Kedua tangan masing-masing
orang tetap terangkat. Malah sesaat kemudian, Putri
Sableng telah buka mulut.
"Jangan-jangan yang perdengarkan suara tadi adalah
kau sendiri! Lalu begitu suasana terang dan kau belum
sempat pergi, kau merasa malu! Hik.... Hik.... Hik...!
Mengapa harus malu? Anggap saja semua mata di sini
buta! Lihat, dua orang di puncak batu cadas itu sudah siap
berangkat!"
Dewi Siluman perdengarkan gerengan dahsyat. Kedua
tangannya bergetar. Namun sebelum perempuan bercadar
hitam ini gerakkan tangan kirimkan pukulan, terdengar
deruan keras dari puncak batu di mana Iblis Rangkap Jiwa
berada. Kejap lain satu gelombang hitam menggebrak ke
arah Dewi Siluman.
Karena tak ada kesempatan lagi bagi Dewi Siluman
untuk selamatkan diri menghindar, akhirnya dia sentakkan
kedua tangannya ke atas memangkas pukulan yang
dilepas Iblis Rangkap Jiwa.
Bummmm!
Terdengar ledakan keras. Pasir-pasir di sela batu
bertaburan. Batu-batu di kawasan sebelah kiri kedung
bergetar.
Sosok Dewi Siluman tampak hendak terhuyung jatuh
dari atas batu pijakannya. Namun perempuan ini segera
lipat gandakan tenaga dalamnya hingga huyungannya
terhenti. Kepalanya serentak mendongak.
Iblis Rangkap Jiwa menyeringai. "Kalau tidak melihat kau
berada di pihak kami, sudah kupecahkan batok kepalamu
sejak kau muncul tadi! Kembali ke tempatmu semula!"
Dewi Siluman tak bergeming dari tempatnya. Malah
perempuan ini telah angkat kedua tangannya siap
lepaskan pukulan.
Iblis Rangkap Jiwa mendelik angker. Serta-merta laki-
laki berkepala gundul ini angkat pula kedua tangannya.
"Tahan serangan!" Yang menahan ternyata adalah Putri
Sableng.
Dewi Siluman mendengus dengan mata berkilat melirik
ke arah gadis berjubah merah.
Putri Sableng cekikikan, lalu angkat bicara.
"Kulihat ada orang datang dari seberang!"
Mungkin merasa ucapan Putri Sableng hanya untuk
mengelabui, Dewi Siluman tidak gerakkan kepala ke arah
mana kini Putri Sableng memandang. Sementara semua
kepala di situ sudah bergerak ke satu arah jauh di
belakang Ratu Pemikat berada.
"Ah.... Rupanya yang muncul kali ini kita kenal!" satu
suara dari puncak batu cadas terdengar. Dewi Siluman
arahkan pandangannya melirik ke arah Iblis Rangkap Jiwa.
Ketika dilihatnya laki-laki itu telah tarik pulang kedua
tangannya yang tadi hendak lepaskan pukulan ke arahnya
dan kini memandang lurus ke depan, membuat perempuan
bercadar dan berjubah hitam ini segera meloncat dan
tegak di atas batu sejajar lurus dengan tempat tegaknya
Putri Sableng. Dengan begitu, kalau Putri Sableng hendak
berbuat macam-macam, dia segera dapat mengetahuinya.
Begitu tegak sejajar lurus dengan Putri Sableng, masih
dengan kedua tangan terangkat, dia putar tubuh
menghadap hamparan pasir di depan kedung. Saat itulah
sepasang matanya memang menangkap satu sosok tubuh
melangkah cepat dari arah belakang Ratu Pemikat!
***
SEMBILAN
MEMASUKI kawasan berbatu di sebelah kanan
kedung, orang yang melangkah mendadak
berhenti. Lalu melompat naik pada salah satu
batu. Kepalanya lurus memandang ke depan. Karena yang
berada di kawasan itu adalah Ratu Pemikat, maka mau tak
mau orang ini untuk beberapa saat memandang tajam ke
arah si perempuan. Tiba-tiba raut wajah orang ini berubah.
Dari mulutnya terdengar gumaman. Di lain pihak, Ratu
Pemikat tampak sunggingkan senyum, lalu palingkan ke
hamparan pasir di depan kedung. Terdengar suara
perempuan ini.
"Selamat jumpa lagi, Pendekar 131! Bagaimana
kabarmu?!" sambil berkata Ratu Pemikat terdengar tertawa
bernada mengejek.
Orang yang baru disapa sesaat terdiam. Namun kejap
lain orang ini telah menyahut. "Selamat jumpa lagi, Ratu...!
Bagaimana kabarmu?!"
"Sudah kuduga kalau kau akan muncul malam ini! Hik....
Hik.... Hik...! Dan ini adalah babak terakhir dari peristiwa
tempo hari!" ujar Ratu Pemikat tanpa berpaling lagi. Malah
perempuan ini berujar seraya memandang hamparan langit
yang terang benderang.
Orang yang berada di belakang Ratu Pemikat ikut-ikutan
mendongak.
"Aku pun sudah menduga kalau kau akan muncul
malam ini! Hik.... Hik.... Hik...! Dan ini adalah awal dari
lanjutan peristiwa tempo hari!" Nada bicara dan ucapan
orang ini seakan menirukan ucapan dan nada ucapan Ratu
Pemikat.
Ratu Pemikat sudah hendak buka mulut lagi, namun
sebelum suaranya terdengar, tiba-tiba dari arah seberang,
tepatnya dari tempat Iblis Rangkap Jiwa berada terdengar
teriakan keras membahana.
"Anjing buntung! Malam ini nyawamu tidak akan lolos
lagi!"
Orang yang berada di belakang Ratu Pemikat arahkan
pandangannya pada Iblis Rangkap Jiwa. Orang ini ternyata
adalah seorang pemuda berparas tampan. Hanya saja dia
tidak memiliki tangan! Pemuda ini bukan lain adalah Dewa
Orok.
Kalau saat kemunculannya Ratu Pemikat sempat
menyapanya dengan Pendekar 131, itu karena pada saat
Ratu Pemikat dan Dewa Orok berjumpa beberapa hari yang
lalu, Dewa Orok memperkenalkan diri sebagai Pendekar
131. Dewa Orok tidak menduga kalau Ratu Pemikat
sebenarnya sudah mengenal betul siapa Pendekar 131.
Dan kalau Iblis Rangkap Jiwa tampak membayangkan
kemarahan, ini tidak lain karena laki-laki gundul ini
memang punya urusan tersendiri dengan Dewa orok.
Seperti diketahui, Malaikat Penggali Kubur memerintahkan
pada Iblis Rangkap Jiwa untuk membunuh Dewa Orok
sebagai tebusan nyawanya. Pada satu kesempatan, Iblis
Rangkap Jiwa bersama Ratu Pemikat memang berhasil
melumpuhkan Dewa Orok, namun saat itu Ratu Pemikat
memberi usul agar nyawa Dewa Orok diperpanjang dahulu.
Lalu mereka berdua meninggalkan Dewa Orok di satu
tempat sepi dalam keadaan tertotok dan tertanam setelah
sebelumnya Ratu Pemikat mengambil bundaran karet yang
biasa dibuat mainan Dewa Orok. Pada akhirnya Ratu
Pemikat, lebih-lebih Iblis Rangkap Jiwa harus menelan
kecewa, karena ternyata Dewa Orok bisa lolos. (Lebih
jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode :
Muslihat Sang Ratu").
Meski Ratu Pemikat tampak tertawa dan Iblis Rangkap
Jiwa perdengarkan bentakan keras, namun dalam dada
masing-masing orang ini timbul ganjalan yang tidak enak.
Ini karena baik Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa telah
mengatakan pada Malaikat Penggali Kubur kalau Dewa
Orok mereka yakini pasti sudah tewas, walau kedua orang
ini tahu persis jika Dewa Orok selamat dari cengkeraman-
nya.
Kalau Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat tampak
memendam ganjalan tidak enak dan sama-sama berpikir
apa yang harus dikatakannya nanti kalau Malaikat Penggali
Kubur datang, Dewa orok sendiri sebenarnya dilanda rasa
gundah. Seperti diketahui, sebelum Ratu Pemikat dan Iblis
Rangkap Jiwa meninggalkannya dalam keadaan tertanam
dan tertotok, Ratu Pemikat telah ambil bundaran karetnya.
Malah Dewa Orok tidak tahu kalau bundaran karet itu kini
telah diserahkan Ratu Pemikat pada Malaikat Penggali
Kubur sebagai bukti kalau mereka telah membunuh Dewa
Orok. Padahal, justru di bundaran karet mirip dot bayi
itulah kekuatan Dewa Orok. Tanpa adanya bundaran karet,
kekuatan Dewa Orok tidak ada apa-apanya. Dia hanya
dapat kerahkan ilmu peringan tubuh tanpa bisa kerahkan
tenaga dalam.
"Sebelum Malaikat Penggali Kubur muncul, lebih baik
pemuda buntung itu kuselesaikan dahulu!" pikir Iblis
Rangkap Jiwa. Dan sebenarnya apa yang menjadi pikiran
Iblis Rangkap Jiwa, terlintas juga pada Ratu Pemikat.
Sementara itu, di atas puncak batu bercadas putih, tiba-
tiba Raden Mas Antar Langit sudah lambaikan kedua
tangannya pada Dewa Orok sambil berteriak.
"Hai, Sobat lama! Senang bisa jumpa lagi denganmu!
Mana perempuan yang bersamamu dulu?!"
Mungkin karena tidak memiliki tangan untuk balas
melambai, Dewa Orok akhirnya membuat gerakan satu
kali. Wuuutt! Sosoknya melesat dua tombak ke udara.
Membuat gerakan jungkir balik satu kali lalu meluncur lagi
ke bawah. Ketika sosoknya kembali ke atas batu, pemuda
bertangan buntung ini telah tegak dengan kedua kaki di
atas dan kepala di bawah sebagai tumpuan tubuhnya!
Dewa Orok gerakkan kedua kakinya melambai-lambai.
Lalu terdengar suaranya.
"Hai, Sobat lama! Gembira sekali bisa jumpa lagi dengan
kalian! Perempuan tempo hari itu terpaksa kutinggal,
karena terlalu cerewet! Aku ingin tanya pada kalian. Karena
kulihat kalian datang lebih dahulu!"
"Silakan, silakan! Kau hendak tanya apa?!" kata Raden
Mas Antar Langit.
"Ada apa sebenarnya di tempat ini?! Aku merasa
indahnya suasana tidak seirama dengan pemandangan
sekitar! Ada beberapa mata memandang beringas men-
delik! Ada juga wajah-wajah gelisah dan tegang! Hatiku jadi
ikut-ikutan berdebar!"
Raden Mas Antar Bumi yang bertelanjang dada
menyahut teriakan Dewa Orok.
"Kau tak usah berdebar-debar! Ini tempat pasar jodoh!
Kau boleh memilih perempuan mana yang kau suka dan
cocok di hatimu! Ketegangan wajah-wajah mereka karena
mereka tak sabar ingin segera dipilih!"
"Aku boleh memilih mana yang kusuka dan cocok di
hatiku?!" ulang Dewa Orok. "Aku tidak mengenal mereka.
Mau di antara kalian memperkenalkan mereka?!"
Raden Mas Antar Bumi arahkan telunjuknya pada Ni Luh
Padmi yang tegak dan sedari tadi kancingkan mulut. Lalu
orang ini mulai bersuara.
"Dia adalah seorang nenek berwajah cantik jelita dari
tanah seberang. Dia dikenal dengan nama Ni Luh Padmi....
Ukuran tubuhnya akan kukatakan nanti setelah aku
memperkenalkan mereka satu persatu!"
Paras muka si nenek kontan berubah. Bukan hanya
karena ucapan orang, lebih dari itu karena orang telah tahu
siapa dirinya!
Raden Mas Antar Bumi tidak perhatikan perubahan
wajah si nenek. Dia gerakkan telunjuknya dan kini meng-
arah pada Putri Sableng.
"Yang itu aku belum sempat tanyakan siapa namanya
meski tadi aku sempat bercakap-cakap! Tapi kurasa dia
tidak keberatan kalau kusebut Ratu...."
Raden Mas Antar Bumi tidak jadi lanjutkan ke-
terangannya. Sementara paras muka Putri Sableng tampak
memberengut sambil perdengarkan gumaman. Sepasang
matanya mendelik besar-besar.
"Ah, kalau Ratu kurasa kurang cocok!" lanjut Raden Mas
Antar Bumi. "Kusebut saja Gadis Malam.... Wajahnya tidak
usah diragukan lagi! Demikian pula segalanya!"
Meski Putri Sableng terlihat makin mendelik, namun
sesaat kemudian gadis berjubah merah ini telah per-
dengarkan tawa cekikikan!
Raden Mas Antar Bumi kini arahkan telunjuknya pada
Dewi Siluman. Yang ditunjuk sudah perdengarkan
dengusan. Namun mau tak mau dia menunggu juga.
"Yang itu aku tadi mendengar dia sebutkan diri dengan
Dewi Siluman. Tapi aku lebih suka memanggilnya si Jubah
Hitam! Yang ini punya keistimewaan tersendiri.... Dia...."
Raden Mas Antar Bumi tidak teruskan bicaranya.
Melainkan berpaling pada temannya dan berkata. "Kau
saja yang beri keterangan!"
Raden Mas Antar Langit angkat bahunya. Melihat sekilas
pada Dewi Siluman di bawah sana. Yang dipandang
tampak mendongak dengan mata berkilat-kilat dan tubuh
bergetar.
Raden Mas Antar Langit menelan ludah dahulu lalu buka
mulut.
"Si Jubah Hitam itu.... Tidak mengenakan apa-apa lagi di
balik jubah hitamnya!"
Raden Mas Antar Langit tahan suara tawanya yang
hampir saja meledak. Tapi tidak demikian halnya dengan
Putri Sableng. Gadis ini langsung saja tertawa cekikikan!
Dewi Siluman tak dapat lagi tahan kesabaran. Kedua
tangannya yang sedari tadi sudah terangkat segera saja
disentakkan ke atas.
Wuuttt! Wuuutt!
Terdengar dua suara deruan. Saat bersamaan terlihat
dua gelombang menghampar di atas pasir lalu menggebrak
ganas ke puncak batu cadas putih!
Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar Bumi
buru-buru rebahkan diri sejajar dengan batu cadas di mana
mereka berada.
Brakk! Brakkk!
Bibir puncak batu cadas putih pecah berantakan di dua
tempat. Pecahan batu cadas sejenak tampak bertabur di
atas hamparan pasir yang membentang membelah
kawasan berbatu.
"Kau cari gara-gara saja!" gumam Raden Mas Antar
Langit.
"Bukan cari gara-gara. Sobat lama kita ingin tahu. Apa
salahnya kita memberi keterangan?!" sahut Raden Mas
Antar Bumi.
Kedua orang ini lantas merangkak ke bibir batu cadas
putih dan mungkin takut diserang lagi, keduanya hanya
menampakkan kepala masing-masing. Sementara di
bawah sana, Dewi Siluman tampak bantingkan kaki
kanannya. Sebenarnya perempuan ini hendak lepaskan
pukulan lagi, tapi setelah melihat jaraknya terlalu jauh, dia
urungkan niat. Apalagi dilihatnya kedua orang di puncak
batu kini arahkan pandangannya pada Ratu Pemikat yang
tegak tidak jauh dari Dewa Orok.
"Sobat lama!" kata Raden Mas Antar Bumi. "Kulanjutkan
keterangan yang kau minta. Perempuan di depanmu itu
kalau tidak salah bergelar...." Raden Mas Antar Bumi
dekatkan telinganya pada mulut Raden Mas Antar Langit.
Lalu mengangguk-angguk. Saat lain dia lanjutkan ucapan-
nya. "Dia bergelar Dewi Asmara alias Ratu Penjilat!"
"Dewi Asmara alias Ratu Pemikat!" seru satunya.
"Ah. Betul! Aku tadi salah ucap. Yang betul Dewi Asmara
alias Ratu Pemikat!" teriak Raden Mas Antar Bumi mem-
betulkan ucapannya. "Soal wajah dijamin! Bentuk tubuh tak
usah dibilang lagi! Cuma ada sedikit sayangnya...."
"Kau bilang cuma sedikit ada sayangnya. Apa itu?!" seru
Dewa Orok.
"Dia lebih senang pada celana butut laki-laki daripada
tubuh laki-laki itu sendiri! Hik.... Hik.... Hik...!"
Ratu Pemikat tampak kernyitkan dahi mendengar
ucapan orang. Dia sama sekali tidak menduga kalau kedua
orang itu bukan saja mengetahui siapa saja yang ada di
situ, namun juga tahu siapa dia sebenarnya! Ini lebih
meyakinkan si perempuan kalau alasan yang dikemukakan
dua orang berwajah hitam tadi hanyalah dusta belaka!
Namun Ratu Pemikat tidak mau terus menduga-duga
siapa adanya kedua orang berwajah hitam. Karena saat itu
pikirannya sedang dibuncah dengan urusan bagaimana
menyelesaikan Dewa Orok sebelum Malaikat Penggali
Kubur muncul.
Sementara di puncak batu bergubuk hitam, Iblis
Rangkap Jiwa makin gelisah. Ia sesekali menghela napas
dengan mata mendelik pada Dewa Orok di seberang sana.
Dalam hati dia berharap Ratu Pemikat cepat bertindak.
Laki-laki berkepala gundul ini tidak berani langsung turun
tangan. Dia khawatir orang di tempat itu akan curiga.
Sementara Ratu Pemikat sendiri tampaknya harus
berpikir dua kali untuk menghadapi Dewa Orok.
Pengalamannya tempo hari waktu jumpa dengan Dewa
Orok membuat perempuan ini bimbang. Saat itu kalau saja
Iblis Rangkap Jiwa tidak segera muncul, niscaya dia akan
kesulitan menghadapi Dewa Orok. Malah dia waktu itu
sudah dalam keadaan terjepit!
Melihat Ratu Pemikat belum juga lakukan sesuatu, Iblis
Rangkap Jiwa tampaknya hilang kesabaran. Dia buka
mulut hendak ucapkan perintah. Namun mulutnya men-
dadak terkancing kembali saat sepasang matanya melihat
satu sosok tubuh berkelebat menuju kawasan Kedung
Ombo dari sebelah belakang batu cadas putih di depan
kedung.
Iblis Rangkap Jiwa dapat melihat dahulu sosok yang
berkelebat karena dia berada pada ketinggian puncak batu
yang membukit.
"Jangan-jangan dia!" desis Iblis Rangkap Jiwa dengan
mata dibeliakkan.
Sosok yang berkelebat terus berlari cepat. Karena kedua
orang berwajah hitam juga berada pada ketinggian, maka
mereka berdua adalah orang kedua yang melihat
munculnya orang. Hingga keduanya serentak palingkan
kepala ke belakang, karena orang yang berlari datang dari
jurusan belakangnya.
"Hem.... Apa saja yang dilakukan sontoloyo ini hingga
sampai datang terlambat?" gumam Raden Mas Antar Bumi.
"Dia tidak merasa kalau orang sudah berdebar-debar takut
dia tidak muncul! Dasar sontoloyo sableng!"
"Ah.... Kau sepertinya tidak tahu urusan anak muda
saja!" sahut Raden Mas Antar Langit.
"Tapi seharusnya dia tahu! Ini urusannya! Bukan urusan
orang-orang tua seperti kita!" bisik Raden Mas Antar Bumi
dengan nada keras.
"Tapi sebenarnya kau punya urusan juga di sini,
bukan?!"
"Urusannya berbeda!" bentak Raden Mas Antar Bumi.
"Betul! Tapi tempatnya sama! Lalu di mana bedanya?!"
"Dasar iblis bodoh! Tak tahu membedakan urusan dan
tempat!" rungut Raden Mas Antar Bumi. Meski dicaci,
Raden Mas Antar Langit tampak senyum-senyum. Orang ini
lantas bertanya. "Kau yakin orang yang disebut-sebut
mendapatkan Kitab Hitam itu akan muncul di sini?!"
"Itu lain dengan urusanku! Jadi aku tak mau menduga-
duga!"
Raden Mas Antar Langit masih tampak senyum-senyum
meski mendapat jawaban ketus dari Raden Mas Antar
Bumi. "Terus-terusan bicara dengan manusia sinting, bisa-
bisa aku akan ikut sinting!" gumam Raden Mas Antar
Langit.
Raden Mas Antar Bumi sebenarnya ingin membentak
lagi, tapi diurungkan tatkala dilihatnya orang yang ber-
kelebat telah berada di bawahnya.
Kalau tadi Raden Mas Antar Bumi sempat memaki orang
yang berkelebat, kini dia tampak gerakkan tangannya
melambai-lambai lalu berteriak.
"Hai...! Harap sebutkan diri sebelum memasuki kawasan
pasar jodoh ini!"
Mungkin karena terkejut mendengar teriakan orang,
orang yang berkelebat di bawah sana serta-merta hentikan
larinya. Lalu berkelebat dan tegak bersandar pada bagian
bawah batu cadas putih yang menjulang. Dia sengaja
memilih tempat agak menjorok. Karena dengan demikian,
dia dapat melihat dengan leluasa tempat di sebelah kanan
kiri kedung.
Orang yang baru muncul dan tegak di pojok batu cadas
putih menjulang tengadahkan kepala. Lalu longokkan
kepala ke depan. Berpaling ke kawasan berbatu sebelah
kanan kedung. Cuma sesaat. Lalu palingkan kepala ke
kawasan berbatu sebelah kiri kedung. Orang ini angkat
tangan kirinya. Bukan memberi isyarat, melainkan hendak
masukkan jari kelingkingnya ke dalam lobang telinganya!
Sesaat kemudian orang ini tampak terjingkat-jingkat
dengan wajah meringis!
"Kelakuannya tidak berubah!" desis Raden Mas Antar
Bumi. Orang ini terlihat hendak berteriak lagi. Namun satu
suara telah terdengar mendahului.
"Pendekar 131! Akhirnya kau muncul juga! Ha.... Ha....
Ha...!" Yang berteriak ternyata adalah Iblis Rangkap Jiwa.
"Murid jahanam sinting itu!" Ni Luh Padmi ikut-ikutan
berteriak. "Kali ini jangan harap kau bisa lari lagi sebelum
kau katakan di mana guru keparatmu berada!"
Orang yang mainkan jari kelingking pada lobang
telinganya dan bukan lain memang Pendekar Pedang
Tumpul 131 Joko Sableng cepat tarik kepalanya. Lalu per-
lahan-lahan dia mengintip dari bibir batu cadas putih.
***
SEPULUH
ADA keanehan...," gumam Pendekar 131. "Mengapa
gadis berjubah merah itu berada bersama Dewi
Siluman di bawah naungan Iblis Rangkap Jiwa?!
Jangan-jangan dia kaki tangan Malaikat Penggali Kubur!"
Kepala murid Pendeta Sinting berpaling ke kiri ke kawasan
berbatu di sebelah kanan kedung. "Dewa Orok. Mengapa
pemuda ini ada bersama Ratu Pemikat?! Dan perempuan
itu, kenapa mengambil tempat berseberangan dengan Iblis
Rangkap Jiwa dan Ni Luh Padmi?!"
Kepala Joko mengedar berkeliling. "Malaikat Penggali
Kubur belum tampak batang hidungnya! Bagaimana ini...?!
Apakah benar kalau pemuda itu yang telah mendapatkan
Kitab Hitam?! Jangan-jangan keterangan Ratu Pemikat dan
Iblis Rangkap Jiwa hanya mengada-ada saja...!"
Karena belum bisa menjawab apa yang membuncah
dalam hatinya, murid Pendeta Sinting tampak tengadahkan
kepala memandang langit. Sang rembulan tampak bersinar
cemerlang. Tidak ada segumpal awan pun yang melintang
di sana.
Saat itulah tiba-tiba satu benda putih menutupi pe-
mandangan Joko meluncur dari atas. Bersamaan dengan
itu terdengar teriakan dari puncak batu cadas putih.
"Apa yang kau lakukan di situ?! Di sini bukan tempat
orang melamun!"
Joko buru-buru melompat menghindar. Benda putih yang
melayang turun yang ternyata adalah pecahan batu cadas
menghantam tanah berpasir. Tanah berpasir muncrat lalu
tampak lobang menganga besar!
"Siapa kalian?! Apa pula yang kalian kerjakan di situ?!"
Joko balik bertanya sambil mendongak.
"Sialan! Disuruh sebutkan diri malah bertanya!" teriak
orang dari puncak batu cadas putih.
"Hai, Sobat lama berdua di atas puncak batu putih!"
Yang berseru adalah Dewa Orok. Pemuda ini masih tegak
dengan kaki di atas kepala di bawah. Kedua kakinya
bergerak meiambai-lambai. "Yang di bawah kalian itu
adalah sahabatku!"
"Hem.... Siapa namanya?!" teriak salah seorang dari
puncak batu cadas putih.
"Kalau dia belum sempat merubah nama, dia adalah
pemuda yang dikenal dengan sebutan Joko Sableng! Murid
tunggal manusia setengah edan yang disebut-sebut orang
dengan Pendeta Sinting!"
Kedua orang berwajah hitam di atas puncak batu cadas
putih saling pandang. Lalu salah seorang kembali
berteriak. "Sobat lama! Selama ini kita hanya saling kenal
wajah tanpa tahu nama masing-masing! Mumpung di sini,
mau kau katakan siapa namamu?!
"Ah.... Betul! Selama ini kita hanya saling kenal wajah
tanpa tahu nama masing-masing! Aku mau saja katakan
siapa namaku.... Tapi sebenarnya aku sungkan!"
"Ini pasar jodoh! Kau tak usah sungkan-sungkan!"
"Aku sebenarnya adalah Pendekar Pedang Tumpul 131
Joko Sableng...!"
Dari arah seberang terdengar suara tawa cekikikan.
Ratu Pemikat tampak sunggingkan senyum dingin.
Sementara kedua orang di atas puncak batu cadas putih
kembali saling pandang.
"Kalian tidak percaya?!" teriak Dewa Orok. Pemuda
bertangan buntung ini membuat gerakan satu kali.
Sosoknya melesat ke udara. Begitu turun lagi, si pemuda
telah tegak di atas batu dengan kaki di bawah kepala di
atas. Pemuda bertangan buntung itu busungkan dada.
Kepalanya didongakkan. Lalu putar tubuhnya dua kali.
"Apa potonganku kurang meyakinkan kalau disebut
Pendekar?!"
"Gila! Yang hadir ternyata bukan hanya orang-orang yang
punya kepentingan! Tapi juga orang-orang gila!" gumam
murid Pendeta Sinting.
Sementara itu, melihat kemunculan Pendekar 131, Dewi
Siluman tampak tidak sabar. Laksana hendak terbang,
perempuan bercadar hitam ini berkelebat.
Namun baru saja sosoknya mencapai hamparan pasir di
depan kedung, satu gelombang dahsyat melesat meng-
hantam dataran pasir yang membelah dua kawasan, mem-
buat gerakan Dewi Siluman tertahan. Malah perempuan ini
harus segera melompat mundur. Jika tidak, niscaya
gelombang tadi akan menghantam tubuhnya.
Dewi Siluman kepalkan kedua tangannya lalu berpaling
ke atas dari mana gelombang tadi berasal. Di atas sana,
Iblis Rangkap Jiwa tampak berkacak pinggang tanpa
memandang ke arah Dewi Siluman yang saat itu
memandangnya.
"Jangan ada yang berani membuat gerakan tanpa per-
setujuanku! Lagi pula kita masih menunggu kedatangan
seseorang!" teriak Iblis Rangkap Jiwa.
"Itu urusanmu! Aku punya urusan sendiri dengan
pemuda itu!" Dewi Siluman balas membentak.
"Persetan kau punya urusan dengan pemuda itu atau
tidak! Tapi kalau kau keras kepala, terpaksa aku mem-
bunuhmu terlebih dahulu!"
Meski selama ini belum mengenal Iblis Rangkap Jiwa,
namun melihat beberapa kali pukulan yang sempat dilepas
si laki-laki berkepala gundul itu, membuat Dewi Siluman
maklum kalau Iblis Rangkap Jiwa tidak bisa dipandang
sembarangan. Tapi tampaknya Dewi Siluman tidak begitu
saja diam. Dia cepat angkat bicara.
"Siapa orang yang kau tunggu?!"
Iblis Rangkap Jiwa palingkan kepala. "Matamu nanti
akan melihat sendiri! Tak usah banyak tanya!"
"Hem.... Mungkin yang ditunggu itu adalah orang yang
disebut-sebut sebagai pemegang Kitab Hitam! Perturutkan
hati, ingin rasanya aku mengadu jiwa dengan laki-laki
gundul itu! Tapi...." Dewi Siluman berpikir sejenak. Kejap
lain perempuan ini melangkah mundur lalu melompat ke
atas sebuah batu.
Sementara itu, melihat kemunculan murid Pendeta
Sinting, Ratu Pemikat tampak lebarkan senyum meski jelas
wajahnya masih membayangkan rasa gelisah. Dia belum
bisa memutuskan apa yang harus diperbuat dengan Dewa
Orok.
"Pendekar 131! Mengapa kau masih berada di situ?!"
ujar Ratu Pemikat.
Dewa Orok yang tadi sebutkan diri sebagai Pendekar
131 segera hendak berkelebat. Tapi gerakannya tertahan
tatkala tiba-tiba Ratu Pemikat balikkan tubuh dan mem-
bentak. "Aku tahu siapa kau! Jangan bertingkah macam-
macam!"
Dewa Orok tergagu diam. Dia saling pandang dengan
murid Pendeta Sinting lalu sama-sama tertawa!
"Walah.... Pemuda itu menipu kita!" terdengar suara dari
puncak batu cadas putih. "Yang Pendekar 131 ternyata
bocah yang cengengesan itu!"
Dewa Orok mendongak. Begitu dilihatnya kedua kepala
di bibir batu cadas putih tertawa-tawa, pemuda bertangan
buntung itu makin keraskan suara tawanya!
Ratu Pemikat tidak pedulikan Dewa Orok, dia kembali
putar tubuh menghadap murid Pendeta Sinting. "Aku
hendak bicara denganmu! Bisa kau kemari?!"
Murid Pendeta Sinting berpikir sejurus. Lalu perlahan-
lahan melangkah ke kawasan batu di mana Ratu Pemikat
dan Dewa Orok berada.
Belum sampai langkahan kaki Joko mencapai kawasan
berbatu sebelah kanan kedung, tiba-tiba terdengar suara
derap langkah kaki-kaki kuda berpacu cepat. Semua
kepala berpaling ke arah kawasan berbatu cadas putih di
depan kedung. Karena suara derap langkah kaki kuda
berasal dari sana. Namun semua orang di tempat itu
dibuat bertanya-tanya dan heran.
Dari arah belakang kawasan berbatu cadas putih, ter-
lihat seekor kuda berlari cepat laksana kesetanan. Namun
bukan kecepatan larinya kuda yang membuat semua orang
terkesima. Karena ternyata kuda kesetanan itu berlari
tanpa penunggang! Anehnya kuda itu berlari kencang dan
lurus menuju kedung seakan dikendalikan oleh seorang
penunggang!
Semua orang tidak ada yang membuat gerakan atau
angkat bicara. Semua seolah menunggu. Sementara kuda
tanpa penunggang itu terus berlari. Dalam beberapa saat
saja binatang itu telah berada di bawah puncak batu cadas
putih menjulang di depan kedung. Kejap kemudian telah
berada di hamparan pasir yang membentang membelah
kawasan berbatu. Anehnya, kuda itu terus berlari melintasi
hamparan pasir.
Hamparan pasir tampak muncrat ke udara. Lalu ter-
dengar ringkihan keras. Kuda tanpa penunggang terus
berlari lurus menuju kedung. Semua orang sudah menduga
kalau kuda itu bakal tercebur ke dalam kedung. Karena
jarak antara kuda dengan bibir kedung tinggal dua tombak
lagi, sementara si binatang laksana kesetanan terus ber-
lari.
Sejengkal lagi kaki depan kuda tanpa penunggang ter-
perosok masuk ke dalam kedung, tiba-tiba satu sapuan
gelombang dahsyat melesat dari arah sebelah kiri kedung.
Kedua kaki depan kuda tanpa penunggang yang telah
berada di atas air kedung tertahan sekejap. Di kejap lain
kedua kaki depannya terangkat tinggi. Dari mulutnya ter-
dengar ringkihan keras. Sosoknya berputar. Lalu mencelat
balik ke belakang sejauh lima tombak sebelum akhirnya
terkapar di atas pasir. Untuk kesekian kalinya dari
moncongnya yang berbusa terdengar ringkihan keras mem-
bahana. Namun laksana direnggut setan, ringkihan kuda
terputus. Sosoknya diam tak bergerak-gerak lagi!
"Air Kedung Ombo hanya pantas dihiasi bangkai
manusia-manusia sesat yang tidak tunduk pada perintah-
ku!" terdengar teriakan keras menyambuti putusnya
ringkihan kuda.
"Malaikat Penggali Kubur!" satu seruan menyeruak dari
puncak batu di mana gubuk hitam berada.
Semua kepala kini berpaling ke puncak batu sebelah kiri
kedung yang ditancapi gubuk hitam. Kalau tadi di sana
hanya tampak Iblis Rangkap Jiwa, kini di sebelah laki-laki
berkepala gundul itu terlihat tegak berkacak pinggang
seorang pemuda mengenakan jubah putih. Parasnya
tampan namun membayangkan keberingasan. Dagunya
kokoh dengan sepasang mata tajam. Rambutnya hitam
lebat dan panjang sebahu.
Si pemuda gerakkan kedua tangannya singkapkan
bagian bawah jubahnya. Di balik jubah putihnya terlihat
rangkapan pakaian hitam. Si pemuda yang bukan lain
adalah Malaikat Penggali Kubur arahkan kepalanya
memandang satu persatu pada orang yang berada di
bawah.
"Iblis Rangkap Jiwa!" bentak Malaikat Penggali Kubur.
"Kau telah mengorek keterangan tua bangka perempuan
yang menggenggam tusuk konde butut itu?!" Yang di-
maksud Malaikat Penggali Kubur tidak lain adalah Ni Luh
Padmi.
Seperti diketahui, si nenek tidak muncul di puncak Bukit
Selamangleng pada saat yang ditentukan.
Iblis Rangkap Jiwa tidak segera menjawab. Sebenarnya
laki-laki berkepala gundul ini masih terkesiap dengan
kemunculan Malaikat Penggali Kubur sementara di sisi lain
dia belum bisa menyelesaikan urusannya dengan Dewa
Orok.
"Telingamu tidak tuli! Jangan kau buat kesabaranku
habis!" ujar Malaikat Penggali Kubur dengan nada keras.
"Dia baru saja muncul! Dan belum sempat aku
mengorek keterangannya, kau telah datang!" kata Iblis
Rangkap Jiwa seraya melirik jauh ke seberang.
"Siapa gadis berjubah merah itu?!" tanya Malaikat
Penggali Kubur.
"Dia bernama Putri Sableng! Dia siap kerahkan tenaga
untuk membantu kita!"
Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh. Kepalanya
kini terarah pada Dewi Siluman. Untuk beberapa saat
pemuda murid Bayu Bajra ini perhatikan dengan seksama.
"Hem.... Dewi Siluman! Ternyata kau belum mampus di
Pulau Biru! Malam ini kau akan tahu siapa orang yang
pernah kau buat bulan-bulanan dahulu!" kata Malaikat
Penggali Kubur dalam hati.
Seperti diketahui, antara Malaikat Penggali Kubur dan
Dewi Siluman sempat beberapa kali jumpa. Dan mereka
terakhir kali bertemu saat terjadi peristiwa di Pulau Biru.
(Tentang pertemuan Malaikat Penggali Kubur dengan Dewi
Siluman silakan baca serial Joko Sableng dalam episode :
"Neraka Pulau Biru").
"Siapa perempuan berjubah hitam itu?!" tanya Malaikat
Penggali Kubur pura-pura tidak kenal.
"Dia Dewi Siluman! Dia juga siap berada di pihak kita!"
kata Iblis Rangkap Jiwa.
Sementara itu, untuk sesaat tadi Dewi Siluman seolah
masih tidak percaya dengan pandangan matanya. Malah
perempuan ini sempat mengerjap lalu melotot untuk
meyakinkan. Dan begitu Malaikat Penggali Kubur berpaling
ke arahnya, dia baru merasa yakin.
"Malaikat Penggali Kubur.... Hem.... Jadi dia manusianya
yang mendapatkan Kitab Hitam itu! Tidak terbersit sama
sekali jika dia manusianya! Melihat pukulannya yang
menahan gerakan binatang malang itu, rupanya dia jauh
meningkat dibanding waktu di Pulau Biru! Ini mungkin
akibat kitab itu...." Diam-diam Dewi Siluman membatin.
Malaikat Penggali Kubur terus arahkan pandangannya
menyeberang. Dia sempat belalakkan mata tatkala melihat
dua kepala berwajah hitam berambut awut-awutan di bibir
puncak batu cadas putih.
"Siapa kedua setan hitam di puncak batu cadas putih
itu?!"
Iblis Rangkap Jiwa sesaat arahkan pandangannya pada
puncak batu cadas. Sebenarnya dada Iblis Rangkap Jiwa
sudah berdebar keras. Karena tak lama lagi akan tiba pada
sosok Dewa Orok. Hingga mungkin karena pikirannya
tercurah pada urusan Dewa Orok, Iblis Rangkap Jiwa tidak
segera menjawab pertanyaan Malaikat Penggali Kubur.
Laki-laki berkepala gundul ini buru-buru buka mulut saat
Malaikat Penggali Kubur berpaling ke arahnya dengan
mata berkilat.
"Mereka adalah Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas
Antar Bumi! Menurut pengakuan mereka, kedatangan
mereka malam ini karena ingin menghilangkan kutuk pada
diri mereka dengan mandi di kedung pada malam
purnama!"
Malaikat Penggali Kubur menyeringai. Lalu arahkan
pandangannya lagi ke puncak batu cadas putih. Saat
bersamaan, kedua orang berwajah hitam sama angkat
tangan masing-masing melambai-lambai. Dan sesaat
kemudian salah satu dari kedua orang ini terdengar angkat
bicara berteriak.
"Hai, Teman lama...! Beda benar penampilanmu saat ini!
Bagaimana kabarmu...?"
Malaikat Penggali Kubur mendelik angker. Rahangnya
terangkat mengembung. Dari mulutnya terdengar desisan.
"Apa mereka mengenalku?! Siapa mereka sebenarnya?!"
Ucapannya tidak disambuti orang, salah seorang yang
tadi berteriak yang ternyata adalah Raden Mas Antar Langit
berpaling pada Raden Mas Antar Bumi. Saat yang sama
Raden Mas Antar Bumi tampak buka mulut. Raden Mas
Antar Langit berbisik. Lalu tampak Raden Mas Antar Bumi
yang bertelanjang dada mengangguk-angguk. Lalu orang ini
berseru.
"Hai.... Kau adalah teman dari temanku ini! Sebagai
teman dari temanku, berarti kau adalah temanku juga!
Kunasihatkan.... Tempatmu bukan di situ! Campur aduk
dengan Iblis Rangkapan! Tapi di sini, bersama dengan
temanku...!"
Malaikat Penggali Kubur masih kancingkan mulut tidak
sambuti seruan orang. Sebaliknya Iblis Rangkap Jiwa
tampak menggerendeng panjang mendengar dirinya
disebut Iblis Rangkapan. Dan dia makin geram tatkala dari
arah bawah terdengar suara tawa cekikikan.
"Mulut mereka harus dirobek!" teriak Iblis Rangkap Jiwa.
Laki-laki berkepala gundul ini sudah hendak berkelebat.
Namun tangan kanan Malaikat Penggali Kubur bergerak
menghalangi. "Aku masih butuh keterangan! Jangan pergi
dahulu!" ujar Malaikat Penggali Kubur, membuat Iblis
Rangkap Jiwa waswas. Sedikit banyak Iblis Rangkap Jiwa
dapat menduga keterangan apa sebenarnya yang hendak
ditanyakan Malaikat Penggali Kubur.
Mendapati orang belum juga menyambuti ucapan,
Raden Mas Antar Langit sekali lagi berteriak masih dengan
lambaikan tangan.
"Hai, Teman lama.,.! Sebagai bukti kalau kau adalah
teman lamaku, aku akan katakan siapa kau!" Raden Mas
Antar Langit sengaja memutus ucapannya. Sementara
Malaikat Penggali Kubur tampak makin mendelik.
"Aku yakin, kau adalah pemuda kesohor bergelar
Malaikat Penggali Kubur. Kau adalah murid tunggal Bayu
Bajra! Betul bukan?!"
"Hem.... Aku yakin, alasan kedatangan mereka hanya
omong kosong! Tapi apa peduliku?! Kitab Hitam di
tanganku! Siapa pun mereka adanya, mereka juga harus
ikut mampus di sini!" Membatin Malaikat Penggali Kubur.
Lalu tanpa pedulikan lambaian orang, Malaikat Penggali
Kubur arahkan pandangannya pada murid Pendeta Sinting
yang masih tegak di atas pasir. Pelipis kanan kirinya
bergerak-gerak. Giginya beradu perdengarkan suara ber-
gemeletak. Jelas kalau pemuda murid Bayu Bajra ini
sedang menindih hawa kemarahan.
"Pendekar 131! Akhirnya tiba juga saat kematianmu!
Kau boleh membekal beberapa kitab sakti! Tapi Kitab
Hitam akan memusnahkannya!" desis Malaikat Penggali
Kubur. Kalau saja dia tidak inginkan keterangan lagi dari
Iblis Rangkap Jiwa, pemuda ini rasanya sudah melayang
turun.
Sementara itu, melihat kemunculan Malaikat Penggali
Kubur, murid Pendeta Sinting sejenak tadi masih ter-
kesima. Meski selama ini telah mendengar kalau yang
mendapatkan Kitab Hitam adalah Malaikat Penggali Kubur,
namun sebenarnya dia masih belum yakin benar. Dia
belum habis pikir, bagaimana Malaikat Penggali Kubur ber-
hasil mendapatkan Kitab Hitam, padahal menurut yang
diketahuinya, Kitab Hitam berada di sekitar Bukit
Selamangleng yang dijaga Iblis Rangkap Jiwa. Sementara
Iblis Rangkap Jiwa adalah manusia berilmu tinggi yang
dikenal tidak mempan terhadap pukulan. Lebih dari itu,
dari mana Malaikat Penggali Kubur bisa mengetahui
tentang Kitab Hitam.
Tapi begitu melihat kemunculan Malaikat Penggali
Kubur dan melihat bagaimana dia dapat mengendalikan
kuda yang diyakini murid Pendeta sinting dikendalikan
Malaikat Penggali Kubur, serta mengetahui bagaimana
pukulan yang dilepas Malaikat Penggali Kubur mampu
menahan gerakan kuda yang hendak tercebur dalam
kedung, mau tak mau membuat Joko harus menepis
kebimbangannya. Apalagi ketika dilihatnya bagaimana Iblis
Rangkap Jiwa tampak ketakutan begitu Malaikat Penggali
Kubur datang.
Malaikat Penggali Kubur arahkan pandangannya pada
Ratu Pemikat. Lalu tampak anggukkan kepala. Di sebelah-
nya Iblis Rangkap Jiwa sudah tampak gemetar. Dan jauh di
seberang, Ratu Pemikat tampaknya dapat menangkap
ganjalan tidak enak. Tapi yang dirasakannya jauh lebih
ringan daripada Iblis Rangkap Jiwa. Karena dia berada jauh
di seberang. Dan tak mungkin Malaikat Penggali Kubur
akan turun tangan sebelum menangani Iblis Rangkap Jiwa
yang berada di sebelahnya.
Akhirnya apa yang dicemaskan Iblis Rangkap Jiwa terjadi
juga saat Malaikat Penggali Kubur ajukan tanya dengan
mata memandang pada Dewa Orok.
"Siapa manusia buntung di belakang Ratu Pemikat itu?!"
Iblis Rangkap Jiwa terdiam. Dalam pikirannya selintas
masih terbersit pertanyaan, apakah Malaikat Penggali
Kubur memang tidak mengenali Dewa Orok atau kenal tapi
pura-pura bertanya. Namun belum sampai Iblis Rangkap
Jiwa menarik kesimpulan, Malaikat Penggali Kubur telah
ulangi lagi pertanyaannya.
Iblis Rangkap Jiwa masih tidak menjawab. Namun saat
lain laki-laki berkepala gundul ini telah melangkah dua
tindak dan tiba-tiba jatuhkan diri di hadapan Malaikat
Penggali Kubur.
Malaikat Penggali Kubur hanya menyeringai. Dengan
sikap Iblis Rangkap Jiwa, si pemuda sudah maklum, karena
dari keterangan Ratu Pemikat tempo hari, dia sudah dapat
mengenali Dewa Orok meski belum sempat bertemu muka.
Namun sejauh ini Malaikat Penggali Kubur belum buka
mulut. Dia seolah menunggu Iblis Rangkap Jiwa buka
suara.
"Harap maafkan. Ternyata dugaanku tempo hari salah!"
"Hem.... Dugaan apa?!" tanya Malaikat Penggali Kubur
dingin.
"Ternyata Dewa Orok yang kutanam dalam keadaan
tertotok bisa lolos...."
"Hem.... Lalu?!"
"Malam ini aku akan tamatkan riwayatnya!" Tangan
kanan Malaikat Penggali Kubur bergerak.
Plaaakkk! Satu tamparan keras mendarat di wajah Iblis
Rangkap Jiwa. Karena tidak menduga, dan tamparan itu
bukan tamparan biasa, maka kepala Iblis Rangkap Jiwa
tampak tersentak keras ke samping.
Dari arah puncak batu cadas putih terdengar suara tawa
bersahut-sahutan. Lalu terdengar suara orang. "Ternyata
temanmu itu garang juga. Dan herannya ternyata Iblis
Rangkapan itu hanya pandai berteriak-teriak. Kasihan
juga.... Kulihat kepalanya tadi miring ke samping.... Hik....
Hik.... Hik...!"
Ternyata suara tawa bukan saja terdengar dari puncak
batu cddas putih. Melainkan dari bagian bawah terdengar
juga suara orang cekikikan begitu kepala Iblis Rangkap
Jiwa tersentak akibat tamparan Malaikat Penggali Kubur.
Suara-suara tawa dan tawa cekikan membuat dada Iblis
Rangkap Jiwa panas. Wajahnya mengelam dengan tubuh
bergetar. Diam-diam dalam hati laki-laki ini membatin.
matanya melirik ke arah dada Malaikat Penggali Kubur.
Tapi Iblis Rangkap Jiwa terlihat masih bimbang.
Di lain pihak, Malaikat Penggali Kubur diam-diam juga
membatin. "Meski aku telah membekal Kitab Hitam,
namun aku tidak mau bersusah-payah malam ini. Manusia
Iblis ini masih kuperlukan tenaganya! Lagi pula ada be-
berapa orang yang belum kukenal di tempat ini!"
Habis membatin begitu, Malaikat Penggali Kubur
dongakkan kepala. Lalu menghardik.
"Mengapa kau masih di sini?!"
Iblis Rangkap Jiwa terkesiap. Belum sampai dia buka
mulut, Malaikat Penggali Kubur telah menghardik lagi.
"Habisi manusia buntung itu!"
Iblis Rangkap Jiwa pandangi tampang Malaikat Penggali
Kubur dengan tatapan dingin. Lalu dia bergerak mundur.
SELESAI
Segera ikuti lanjutan kisah ini!!!
Serial
Pendekar Pedang Tumpul 131
Joko Sableng
dalam episode:
BARA DI KEDUNG OMBO
0 comments:
Posting Komentar