..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 02 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE KIDUNG MAUT MALAM PURNAMA

JOKO SABLENG EPISODE KIDUNG MAUT MALAM PURNAMA

 SATU



BUKAN hanya Ratu Pemikat dan Pendekar 131 yang 

terkejut besar, namun Dewi Siluman juga terlihat 

pentangkan mata sambil perdengarkan dengusan 

keras. Malah karena merasa orang mencampuri urusan-

nya, perempuan berjubah hitam panjang ini segera angkat 

kedua tangannya. Tapi sadar kalau tindakannya terlambat, 

akhirnya perempuan anak Daeng Upas ini urungkan niat 

lepaskan pukulan, tapi kedua tangannya tetap di atas 

udara. 

Di lain pihak, Ratu Pemikat cepat bergerak hendak 

menghadang laju sosok tubuh orang yang secara men-

dadak lakukan serangan pada murid Pendeta Sinting yang 

ternyata adalah perempuan bercadar putih. Tapi gerakan 

Ratu Pemikat juga terlambat. Hingga sosok perempuan 

bercadar putih terus melaju bersamaan dengan meng-

hamparnya gelombang dahsyat ke arah Joko! 

Seperti diketahui, saat murid Pendeta Sinting dan Ratu 

Pemikat bercumbu mendadak muncul Dewi Siluman. Dan 

ternyata di tempat itu bukan hanya ada Dewi Siluman. Tapi 

juga ada perempuan bercadar putih yang sebenarnya 

sudah sejak tadi berada di balik batu. Dewi Siluman akan 

membebaskan Joko dan Ratu Pemikat. Tapi dengan syarat 

murid Pendeta Sinting harus menyerahkan Pedang Tumpul 

131 dan dua kitab ditangannya. Yang dimaksud Dewi 

Siluman dengan kedua kitab tidak lain adalah Kitab Serat 

Biru dan Kitab Sundrik Cakra. 

Tapi begitu Dewi Siluman ulurkan kedua tangannya 

meminta dengan kepala mendongak, dan di pihak lain 

murid Pendeta Sinting serta Ratu Pemikat bersiap-siap 

akan berkelebat loloskan diri, tiba-tiba saja perempuan 

bercadar putih sudah melesat lakukan serangan pada 

Pendekar 131 (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial


Joko Sableng dalam episode : "Bidadari Cadar Putih"). 

Merasa orang telah lepaskan pukulan padanya, murid 

Pendeta Sinting tidak tinggal diam. Seraya melompat 

mundur hindari gelombang, kedua tangannya didorong ke 

depan. 

Terdengar debuman. Sosok perempuan bercadar putih 

yang melesat di belakang pukulannya sesaat tampak 

tertahan. Namun belum sampai suara debuman lenyap, 

sosoknya telah melaju kembali ke arah Joko dengan kedua 

tangan berkelebat. 

Joko tidak mau bertindak ayal. Kedua tangannya 

diangkat dipalangkan di atas kepala. 

Bukkk! Bukkk! 

Dua benturan keras terdengar. Joko sempat mundur 

satu tindak. Di depannya perempuan bercadar putih tarik 

pulang kedua tangannya yang baru saja bentrok dengan 

kedua tangan Joko. Sosoknya bergetar. Tapi perempuan ini 

rupanya tidak mau memberi kesempatan. Baru saja kedua 

kakinya menjejak tanah, kedua tangannya kembali 

lepaskan pukulan. Malah jelas terlihat kalau tenaga yang 

dikerahkan lebih besar dari pukulannya yang pertama. 

Mendapati hal demikian, Dewi Siluman sentakkan kaki 

kanannya ke atas tanah. Kedua tangannya yang berada di 

atas udara cepat disentakkan ke arah perempuan bercadar 

putih. 

Melihat apa yang dilakukan Dewi Siluman, niat awal 

Ratu Pemikat yang hendak berkelebat tinggaikan tempat 

itu berubah. Dia menduga Dewi Siluman hendak 

mengeroyok murid Pendeta Sinting. Hingga begitu kedua 

tangan Dewi Siluman bergerak, perempuan berparas cantik 

ini segera menghadang dengan lepaskan pukulan. 

Di seberang sana, murid Pendeta Sinting juga cepat 

angkat kedua tangannya lalu disentakkan ke depan 

memangkas pukulan perempuan bercadar putih. 

Terdengar benturan dua kali berturut-turut. Satu akibat 

bentroknya pukulan perempuan bercadar putih dengan 

pukulan yang dilepas murid Pendeta Sinting, satunya


berasal dari bertemunya pukulan Dewi Siluman dan Ratu 

Pemikat. 

Sosok murid Pendeta Sinting sesaat tampak bergetar. 

Wajahnya berubah. Sejarak enam langkah di hadapannya, 

sosok perempuan bercadar putih terlihat bergoyang-

goyang. Sementara di sebelah belakang kedua orang ini, 

sosok Dewi Siluman tegak dengan mata mendelik angker. 

Tujuh langkah di hadapannya, Ratu Pemikat memandang 

tajam ke dalam bola mata Dewi Siluman dengan bibir 

sunggingkan senyum seringai. 

Karena dari wajah orang di hadapannya yang terlihat 

hanya sepasang matanya, maka untuk beberapa lama 

Pendekar 131 arahkan pandangan pada bola mata orang. 

Yang dipandang balas menatap. Murid Pendeta Sinting 

tidak melihat adanya keangkeran di kedua bola mata 

orang. Malah sepasang mata itu tampak memandang sayu 

dan agak sembab! 

"Aneh.... Siapa perempuan ini adanya?! Matanya 

sembab seperti orang baru menangis! Tapi mengapa itu 

kupikirkan? Dia baru saja hendak membuatku celaka!" 

membatin Joko. Lalu kerahkan tenaga dalam pada kedua 

tangannya ketika dilihatnya perempuan bercadar putih 

gerakkan kedua tangannya terangkat ke atas. 

Namun untuk beberapa saat perempuan bercadar putih 

terdiam. Jelas sikapnya menunjukkan kalau dia bimbang. 

Bahkan kedua matanya memandang ke jurusan lain! 

Joko kerutkan dahi. Mulutnya bergerak hendak per-

dengarkan suara. Namun sebelum suaranya terdengar, 

perempuan bercadar putih telah sentakkan kedua 

tangannya. Bersamaan dengan itu sosoknya berkelebat 

menjauh. 

Tindakan perempuan bercadar putih membuat murid 

Pendeta Sinting sedikit heran. 

"Dia berkelebat menjauh. Ada yang tak beres dengan 

perempuan ini...." 

Joko cepat dorong kedua tangannya memangkas 

pukulan yang dilepas si perempuan bercadar putih. Lalu


berkelebat ke arah si perempuan. 

Kembali tempat itu dibuncah ledakan tatkala pukulan 

perempuan bercadar putih dipangkas pukulan Joko. 

"Siapa kau sebenarnya?!" tanya Joko begitu sosoknya 

tegak di hadapan si perempuan bercadar putih. 

Yang ditanya tidak perdengarkan jawaban. Hanya 

sepasang matanya yang memandang sayu. Lalu kepalanya 

bergerak menggeleng perlahan, membuat Joko makin 

heran. 

"Aku tahu. Kau datang sebelum perempuan berbaju biru 

itu! Kau mengejarku terlebih dahulu! Apa maksudmu...?!" 

Pertanyaan Joko membuat perempuan bercadar putih 

lebarkan sepasang matanya. "Jadi dia sebenarnya tahu 

kalau aku berada di sekitar tempat ini! Tapi mengapa dia 

berpeluk cium seakan tidak pedulikan adanya orang?! 

Apakah sifatnya memang begitu...?" Si perempuan ber-

cadar putih menghela napas. 

Seperti diketahui, saat perempuan bercadar putih 

berada sendirian, tiba-tiba matanya menangkap satu sosok 

yang berkelebat. Tanpa pikir siapa adanya orang, 

perempuan bercadar putih segera berkelebat mengejar. 

Namun yang dikejar ternyata adalah murid Pendeta Sinting 

menghilang. Di lain pihak, sebenarnya Joko sendiri sudah 

merasa kalau langkahnya diikuti orang. Hingga pada satu 

tempat, dia segera berkelebat cepat lalu menyelinap 

sembunyi. Saat itu Joko memang sedikit agak heran 

karena dia tahu jelas kalau orang yang mengikutinya masih 

berada jauh di belakang. Namun sebelum dia berkelebat 

dan menyelinap, dia merasa orang telah tidak jauh lagi di 

belakangnya. Anehnya, begitu Joko sembunyi, dia tidak lagi 

menangkap adanya orang. Dan beberapa saat kemudian, 

muncullah Ratu Pemikat. 

Waktu Joko keluar dari tempat persembunyiannya dan 

berseru, sebenarnya dia masih merasa bimbang apakah 

masih ada orang lain selain Ratu Pemikat di tempat itu. 

Namun kebimbangan Joko mulai lenyap tatkala matanya 

tidak menangkap orang lain selain Ratu Pemikat. Dan dia


benar-benar jadi lupa pada kecurigaannya semula ketika 

terlibat perbincangan dengan Ratu Pemikat, apalagi begitu 

si perempuan cantik ini perlahan-lahan telah dapat 

menggelorakan gejolaknya. 

Mendapati perempuan bercadar putih tidak menjawab, 

Joko ajukan tanya lagi. 

"Kau temannya perempuan berbaju biru itu?! Lalu kalian 

berdua bersandiwara di hadapanku?! Atau kau berkomplot 

dengan perempuan bergelar Dewi Siluman itu hah?!" 

Dari orang yang ditanya, yang terlihat menunjukkan 

perubahan hanyalah pandangan sepasang matanya. 

Sepasang bola mata itu kini sedikit membelalak tajam. 

"Aneh...," gumam Joko melihat sikap orang di 

hadapannya. "Ditanya siapa dirinya menggeleng! Ditanya 

apa maksudnya diam! Dibilang teman dan komplotannya 

malah mendelik!" Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. 

Lalu enak saja dia teruskan gumamannya. "Jangan-jangan 

kau nenek-nenek yang suka mengejar pemuda...." 

Mata milik perempuan bercadar putih makin mendelik. 

Bahkan saat itu juga terdengar gumaman tidak jelas. 

Namun sejauh ini si perempuan belum juga perdengarkan 

suara, membuat Joko buka mulut lagi. 

"Nek! Katakan saja terus terang apa maumu!" 

Dipanggil Nenek, mata perempuan bercadar putih 

mengerjap. Lalu terdengarlah suaranya. Sangat pelan 

namun masih jelas di telinga murid Pendeta Sinting. 

"Di sini bukan tempatnya bertanya jawab apalagi 

bersenda gurau!" 

"Hem.... Lalu tempatnya apa?!" 

"Kau masih mengkhawatirkan jiwa kekasihmu 

perempuan cantik berbaju biru itu?!" 

"Eh.... Kenapa dia tanyakan itu...? Nada suaranya seperti 

cemburu! Tapi, astaga! Mengapa aku terlalu gede rasa 

pada ucapan orang...?" Joko diam-diam bertanya jawab 

dengan batinnya sendiri. Lalu berujar. 

"Dia bukan kekasihku. Dia hanyalah seorang sahabat! 

Jadi...."


"Jangan terlalu banyak bicara!" tukas perempuan 

bercadar putih. "Aku tanya sekali lagi. Kau masih 

mengkhawatirkan jiwa perempuan itu?!" 

Joko terdiam sesaat. Dia melirik sejenak pada Ratu 

Pemikat yang saat itu terlihat masih saling perang pandang 

dengan Dewi Siluman. 

"Pura-puralah menghindar dari pukulanku! Kau masih 

punya tugas lebih besar di depan sana!" ujar perempuan 

bercadar putih masih dengan suara perlahan, membuat 

Joko terlengak. 

Belum hilang rasa kaget Joko, perempuan bercadar 

putih telah sentakkan kedua tangannya ke arah Joko. 

Satu gelombang luar biasa dahsyat menghampar. Joko 

masih berpikir sejurus tentang ucapan si perempuan. Lalu 

cepat-cepat keluarkan bentakan sambil berkelebat untuk 

hindarkan diri. Gelombang dari kedua tangan si perempuan 

lewat menggebrak udara kosong di mana tadi murid 

Pendeta Sinting berada. 

Begitu Joko injakkan sepasang kakinya, perempuan 

bercadar putih telah berkelebat mengejar. Lalu dari jarak 

dua belas langkah, kembali si perempuan lepaskan 

pukulan. Kali ini Joko tidak tinggal diam. Dia pun segera 

sentakkan kedua tangannya. Tapi pukulannya sengaja 

diarahkan ke satu tempat yang tidak bertubrukan dengan 

pukulan yang dilepas perempuan bercadar putih. Pada 

saat yang sama, sosoknya berkelebat menjauhi tempat di 

mana Ratu Pemikat dan Dewi Siluman berada. 

Di pihak lain, antara Ratu Pemikat dan Dewi Siluman 

untuk beberapa saat keduanya saling perang pandang. 

Namun diam-diam kedua perempuan ini saling bertanya-

tanya sendiri dalam hati tentang siapa adanya parampuan 

bercadar putih dan mengapa tiba-tiba lepaskan pukulan ke 

arah murid Pendeta Sinting. Malah hampir berbarengan 

kedua orang ini saling lirikkan mata masing-masing ke arah 

perempuan bercadar putih yang terlihat masih lepaskan 

pukulan setelah sejenak mereka mendengar pertanyaan-

pertanyaan Joko yang tidak mendapat jawaban dari si


perempuan. 

Tapi ingat akan tindakan Ratu Pemikat yang 

menghadang di depannya, Dewi Siluman lupakan sejenak 

tentang perihal siapa dan apa maksud si perempuan 

bercadar putih. Kegeraman perempuan berjubah hitam 

panjang ini memuncak. 

"Di Pulau Biru kau berhasil lolos! Tapi jangan harap kali 

ini kau bisa berbuat sama, Perempuan Binal!" Dewi 

Siluman membentak sambil angkat tangannya. 

Dada Ratu Pemikat yang sejak tadi sudah mendidih 

dengan ucapan-ucapan Dewi Siluman makin menggelegak. 

Tapi tiba-tiba perempuan cantik bertubuh bahenol ini 

teringat akan pertemuan yang telah diaturnya. 

"Hem.... Pengorbananku hanya akan sia-sia kalau aku 

melayani perempuan jahanam ini!" Ratu Pemikat berpikir 

sejenak. 

"Dewi Siluman!" kata Ratu Pemikat. "Bukankah 

sebenarnya di antara kita tidak ada silang sengketa? 

Malah bukankah kita pernah saling membantu di Pulau 

Biru?!" 

Seperti diketahui, antara Ratu Pemikat dan Dewi 

Siluman memang pernah saling membantu saat terjadi 

peristiwa di Pulau Biru. (Lebih jelasnya silakan baca serial 

Joko Sableng dalam episode: "Neraka Pulau Biru"). 

Dewi Siluman tertawa pendek mendengar ungkapan 

Ratu Pemikat. Karena dia paham benar kenapa saat di 

Pulau Biru mengajak Ratu Pemikat saling bantu dan tahu 

pula apa yang akan dilakukan pada Ratu Pemikat 

seandainya dia dapat mengatasi lawan-lawannya saat itu, 

maka dengan nada mengejek, dia buka suara. 

"Hem.... Apa yang ada di balik ucapanmu, Perempuan 

Binal?! Kau kira aku tidak tahu apa yang ada dalam 

benakmu, he?!" 

Ratu Pemikat tersenyum meski dipaksakan. "Kau masih 

menginginkan barang yang kau minta tadi?!" Ratu Pemikat 

kali ini lantas tertawa pendek dan tanpa menunggu 

jawaban orang, dia teruskan ucapannya. "Kau kira pemuda


itu akan memberikan begitu saja apa yang kau minta?! 

Buang jauh-jauh impian itu!" 

"Kau akan saksikan benar tidaknya ucapanmu saat ini 

juga!" 

Ratu Pemikat gelengkan kepala. "Percuma kau lakukan 

itu! Kau hanya akan menelan kecewa untuk kedua kalinya. 

Bahkan mungkin kekecewaan yang terakhir kali! Karena 

nyawamu akan melayang sendiri! Meski saat ini dia 

sendirian, tapi apa yang dimilikinya saat ini tidak lebih 

rendah dibanding saat dia di Pulau Biru yang dibantu 

beberapa temannya! Kedua kitab di tangannya...." 

"Keparat!" potong Dewi Siluman. "Kau tak perlu memberi 

banyak keterangan!" 

"Kau mungkin belum tahu...!" ujar Ratu Pemikat kalem. 

"Seandainya saja aku menginginkan Pedang Tumpul 131 

dan kedua kitab di tangannya, bagiku semudah mencabut 

rumput di padang luas! Bahkan memutus nyawanya 

sekaligus bagiku tidak sesulit membalik telapak tangan! 

Tapi aku tidak melakukannya! Kau tahu apa sebabnya?!" 

Dewi Siluman terdiam. Dari apa yang tadi dilihatnya, apa 

yang baru saja didengar dari mulut Ratu Pemikat membuat 

Dewi Siluman mau tak mau harus sedikit membenarkan 

ucapan perempuan berbaju biru tipis itu. Dan pertanyaan 

Ratu Pemikat membuat Dewi Siluman penasaran meski dia 

tadi masih sempat mendengar perbincangan antara Ratu 

Pemikat dan Pendekar 131 yang sebut-sebut sebuah 

pertemuan dan sebuah Kitab Hitam. Hingga pada akhirnya 

dia buka mulut juga. 

"Aku memberi kesempatan padamu menjawab sendiri 

pertanyaan mu!' 

"Pada purnama ini akan ada satu pertemuan di Kedung 

Ombo! Sebelum kulanjutkan keteranganku, mau jawab 

satu pertanyaanku?!" tanya Ratu Pemikat seraya melirik 

pada Pendekar 131 yang saat itu tampak masih berkelebat 

menghindar dari pukulan yang dilepas perempuan 

bercadar putih. 

Setelah melirik pula pada murid Pendeta Sinting, Dewi


Siluman berkata. 

"Apa yang kau tanyakan?!" Suaranya masih terdengar 

ketus. 

"Kau pernah mendengar sebuah kitab sakti bernama 

Kitab Hitam?!" 

"Hem.... Meski aku mendengar selentingan tapi aku 

belum yakin benar akan adanya kitab itu!" kata Dewi 

Siluman dalam hati. Tapi karena tidak mau dikira tak 

banyak tahu tentang apa yang terjadi dalam dunia 

persilatan, walau dia masih belum tahu benar tentang 

seluk beluk Kitab Hitam, Dewi Siluman akhirnya menjawab. 

"Apa yang terjadi dalam dunia persilatan, tak akan luput 

dari tanganku!" 

"Hem.... Lalu apakah kau juga telah tahu, siapa 

gerangan orang yang beruntung mendapatkannya?!" 

Karena Dewi Siluman tidak juga buka mulut memberi 

jawaban, Ratu Pemikat telah maklum kalau sebenarnya 

Dewi Siluman tidak tahu banyak mengenai kitab itu. 

Namun Ratu Pemikat tidak mau bicara mengejek. Dia 

cepat memutar otak dan tahu bagaimana harus bertindak. 

"Itulah mengapa sebabnya aku tidak lagi menginginkan 

kedua kitab serta Pedang Tumpul 131 sekaligus nyawa 

Pendekar 131 saat ini, meski hal itu tidak terlalu sulit bagi-

ku!" 

"Kau terlalu bicara berbelit! Katakan saja terus terang!" 

"Kitab Hitam telah jatuh ke tangan seseorang yang aku 

yakin hanya Pendekar 131 yang dapat mengalahkannya!" 

"Peduli setan siapa orang yang mendapatkan Kitab 

Hitam! Yang pasti Pedang Tumpul 131 dan kedua kitab di 

tangan Pendekar 131 harus kuambil sekarang juga!" 

"Kau kira bagimu masih mudah mengambil dari tangan-

nya?!" Ratu Pemikat kembali tertawa pendek sambil 

gelengkan kepala. "Kusarankan padamu. Tunggulah 

sampai urusan di Kedung Ombo selesai! Dan aku akan 

mengambilkan untukmu apa yang kau inginkan dari tangan 

Pendekar 131!" 

"Ucapan perempuan binal sepertimu mana bisa



dipercaya?!" 

Ratu Pemikat masih menekan perasaan. Lalu berkata 

sambil tersenyum. 

"Pedang Tumpul 131 dan kedua kitab di tangannya 

tidak ada lagi gunanya bagiku! Kalaupun saat ini aku mem-

biarkan dia hidup, waktunya hanya sampai purnama ini!" 

"Hem.... Jadi kau menginginkan Kitab Hitam itu?!" 

"Benar!" sahut Ratu Pemikat berterus terang. "Saat ini 

kita saling bergantung! Dan aku menawarkan kesempatan 

baik padamu!" 

"Apa maksudmu?!" 

"Aku tak akan dapat memiliki Kitab Hitam tanpa 

Pendekar 131! Dan kau tidak akan bisa mendapatkan 

Pedang Tumpul 131 serta kedua kitab itu tanpa aku!" 

Dewi Siluman arahkan pandangannya pada murid 

Pendeta Sinting yang terus berkelebat sambil sesekali 

keluarkan bentakan dan makin lama makin agak menjauh. 

Perempuan ini sejurus memikirkan kebenaran ucapan Ratu 

Pemikat. Namun jelas pandangannya masih tampak kalau 

dia dilanda kebimbangan. Malah dia terlihat hendak ber-

kelebat begitu mendapati perkelahian antara perempuan 

bercadar putih dan Pendekar 131 telah jauh berada di 

seberang sana. 

Namun Ratu Pemikat cepat-cepat menghadang sambil 

berkata. 

"Kurasa dia hendak loloskan diri! Jangan dikejar!" 

"Aku tidak percaya dengan semua keteranganmu tadi!" 

bentak Dewi Siluman. 

"Kalau begitu terserah! Silakan kau mengejar dan 

antarkan nyawa! Asal kau tahu, dia bukan lagi orang yang 

sama seperti waktu berada di Pulau Biru!" 

"Peduli setan!" sentak Dewi Siluman. Namun meski nada 

ucapannya seolah tidak pedulikan saran Ratu Pemikat, tapi 

dia tidak juga lakukan gerakan apa-apa. 

"Tunda keinginanmu sampai purnama ini! Bukankah 

purnama hanya tinggal delapan hari lagi?! Begitu Kitab 

Hitam telah berpaling ke tanganku, aku akan ambilkan


barang yang kau inginkan! Bukankah itu adil? Lagi pula kita 

akan sama-sama memperoleh barang yang kita inginkan 

tanpa harus keluarkan tenaga!" 

"Kau yakin Pendekar 131 akan muncul di Kedung 

Ombo?! Tadi kudengar...." 

"Betul! Dia tadi memang mengatakan tidak akan hadir 

pada pertemuan di Kedung Ombo...!" kata Ratu Pemikat 

menukas ucapan Dewi Siluman. "Tapi aku yakin dia akan 

muncul di sana!" 

"Bagaimana kau punya keyakinan begitu?!" 

"Sebenarnya sejak semula Pendekar 131 telah mencari-

cari Kitab Hitam. Bukan maksud untuk memilikinya, 

melainkan untuk memusnahkannya! Dia kini telah tahu 

kalau Kitab Hitam telah berada di tangan seseorang. Dan 

orang yang telah memiliki Kitab Hitam itu akan muncul di 

Kedung Ombo! Apakah menurutmu dia akan sia-siakan 

kesempatan ini?!" 

"Apa kata-katanya bisa dipercaya? Apa dia tidak punya 

maksud tertentu di balik ucapannya...?!" Dewi Siluman 

masih ragu-ragu. 

Saat itulah tiba-tiba terdengar ledakan keras di depan 

sana. Tanah bertabur menutupi pemandangan. Dewi 

Siluman dan Ratu Pemikat rasakan pijakan kaki masing-

masing bergetar keras. 

Dewi Siluman cepat sentakkan kepala. Sementara Ratu 

Pemikat hanya melirik tenang-tenang saja. Perempuan ini 

rupanya telah maklum apa yang terjadi. 

"Jahanam itu lenyap!" desis Dewi Siluman sambil 

pentangkan mata menembusi hamburan tanah yang mulai 

luruh. 

Ratu Pemikat berpaling. Ucapan Dewi Siluman benar. 

Karena sosok Pendekar 131 dan perempuan bercadar 

putih telah tidak terlihat lagi. 

"Tidak lama!" ujar Ratu Pemikat. "Kita pasti akan segera 

bertemu lagi!" 

"Baik!" kata Dewi Siluman pada akhirnya walau 

sebenarnya perempuan ini masih menyimpan keraguan


"Hari ini aku masih percaya ucapanmu! Tapi ingat, bila 

kelak kenyataan tidak sesuai, itulah akhir dari hidupmu!" 

Ratu Pemikat tidak sambuti ancaman Dewi Siluman. 

Namun diam-diam dalam hati dia berkata. "Kelak 

kenyataan itu akan terjadi, Perempuan Busuk! Tapi justru 

kenyataan itu adalah kenyataan pahit bagimu!" 

Dewi Siluman arahkan pandangan ke tempat mana dia 

yakin murid Pendeta Sinting berkelebat pergi. Lalu tanpa 

berkata atau berpaling pada Ratu Pemikat yang tegak 

memandang ke arahnya, dia melangkah. Tapi baru saja 

melangkah empat tindak, kepalanya berpaling pada Ratu 

Pemikat. 

"Siapa perempuan bercadar putih tadi?!' 

Ratu Pemikat gelengkan kepala. "Wajahnya ditutup 

cadar sepertimu. Bagaimana aku tahu siapa dia adanya?! 

Tapi satu hal yang pasti, dia mengenalmu! Dan aku yakin 

dia orang yang telah kau kenal!" 

Dewi Siluman mendengus. Lalu menoleh lagi ke jurusan 

lain sambil kembali buka mulut. "Kau tadi mengatakan 

Kitab Hitam telah dimiliki seseorang! Siapa orang itu?!" 

"Jawaban pastinya akan kau lihat sendiri di Kedung 

Ombo purnama ini!" 

Dewi Siluman sebenarnya tidak senang dengan jawaban 

Ratu Pemikat. Tapi entah karena apa dia tiba-tiba 

melupakan hal itu. Dia tengadah sesaat lalu angkat bicara 

lagi. 

"Masih ada yang perlu kuketahui!" 

Ratu Pemikat angkat kedua alis matanya. Wajahnya 

tampak sedikit tegang. "Aku dengan senang hati akan 

menjawab bila tahu persoalannya!" 

"Waktu di Pulau Biru, jelas-jelas kau inginkan kitab di 

tangan Pendekar 131. Kenapa kini berubah? Anehnya lagi, 

kau bisa berbaik-baikan dengannya bahkan jika aku tidak 

muncul, pasti kalian berdua akan teruskan perbuatan gila 

itu!" 

Ketegangan di wajah Ratu Pemikat sirna. Perempuan ini 

tertawa panjang sebelum akhirnya menjawab.


"Kita satu sama lain punya kesamaan! Sayangnya aku 

lebih beruntung dibanding kau!" 

"Aku tidak mengerti maksudmu!" 

"Kita sama-sama punya dendam pada Pendekar 131! 

Namun jujur saja, kita sebenarnya juga tidak menolak 

kalau dia memberi kehangatan pada kita! Dan aku 

beruntung bisa mendapatkannya! Kalau saja kau mau 

membuka cadarmu dan berlaku sedikit gila, kurasa kau 

tidak menemui kesulitan kalau hanya inginkan 

kehangatan!" 

Dewi Siluman sentakkan kepalanya ke arah Ratu 

Pemikat. Namun dia urung keluarkan makian yang sudah 

ada di mulutnya karena Ratu Pemikat telah berkelebat 

dengan tertawa panjang. 

Dewi Siluman menggumam pelan tidak jelas. Lalu 

kepalanya mendongak. Berlama-lama perempuan berjubah 

hitam ini tegak dengan kepala tengadah. Entah apa yang 

ada dalam pikirannya, yang jelas sepasang matanya 

memandang kosong dan dadanya naik turun hembuskan 

napas panjang dan dalam. 

***


DUA



DINI hari dua hari menjelang malam purnama. Langit 

perlahan-lahan tampak berubah warna. Kegelapan 

serta kabut mulai bergerak bersamaan dengan 

berhembusnya angin pagi. 

Pada sebuah goa di tempat sepi, satu sosok tubuh 

bertelanjang dada tampak duduk bersila menghadap mulut 

goa. Napasnya berhembus teratur. Jelas pertanda jika 

orang ini sedang pusatkan mata batin. Namun melihat 

sekujur tubuh serta celana yang dikenakan tampak basah 

kuyup padahal saat itu baru saja menjelang pagi, jelas pula 

menunjukkan kalau orang ini pusatkan mata batin sambil 

kerahkan tenaga dalam. 

Ketika cahaya sang surya mulai membias di bentangan 

langit sebelah timur, perlahan-lahan sosok bertelanjang 

dada di dalam goa yang ternyata adalah seorang pemuda 

berparas tampan buka sepasang matanya. Bola mata itu 

sejenak memandang lurus keluar goa. Karena di bagian 

luar goa banyak ditumbuhi jajaran pohon, maka yang 

kelihatan hanyalah hijau jajaran pohon meski masih samar-

samar. 

Si pemuda lepaskan sedekapan kedua tangannya. 

Tangan kanannya terangkat lalu menyisir rambutnya yang 

hitam panjang dan lebat dengan jari-jarinya. Sementara 

tangan kirinya mengusap-usap dada dan wajahnya yang 

basah karena keringat. 

Kepala si pemuda lalu bergerak sedikit tengadah. 

"Menurut ucapan perempuan itu, hari ini dia akan datang! 

Hem.... Tapi aku tak akan menunggu kedatangannya. Aku 

justru yang akan menjemput. Sekalian ingin tahu apa yang 

telah dilakukannya!" 

Si pemuda bergerak bangkit. Lalu melangkah ke pojok 

goa di mana tampak sebuah batu tidak begitu besar yang


di atasnya tampak gulungan pakaian hitam dan putih. 

Tangan kanan si pemuda menyambar gulungan pakaian 

hitam. Menatapnya sejenak. Lalu membukanya perlahan-

lahan. Ternyata di dalam pakaian hitam itu terlihat sebuah 

kitab bersampul hitam yang telah ditalikan sedemikian 

rupa hingga begitu si pemuda mengenakan pakaian hitam, 

kitab itu tetap tidak terjatuh dan tepat i berada di depan 

perutnya. 

Tangan kiri si pemuda lalu menyambar pakaian putih 

yang ternyata adalah sebuah jubah panjang. Seperti halnya 

tadi, sesaat mata si pemuda memperhatikan jubah di 

tangan kirinya. Jelas jubah putih itu tidak ada apa-apanya. 

Namun untuk beberapa lama si pemuda memperhatikan. 

"Hem.... Tak ada salahnya aku mengenakan jubah ini. 

Inilah satu-satunya pemberian Guru.... Selain tentu saja 

impian besarnya yang telah disampaikannya padaku!" Si 

pemuda bergumam seraya sunggingkan senyum aneh. Lalu 

mengenakan jubah putih merangkapi pakaian hitamnya. 

"Hem.... Sayang Guru tidak mau hadir pada purnama 

nanti. Seandainya dia mau datang, dia akan tahu bahwa 

muridnya akan ditasbihkan sebagai raja diraja rimba 

persilatan! Dia akan tahu, bagaimana musuh-musuhku 

akan jatuh berkaparan! Dia akan tahu, bagaimana air 

jernih Kedung Ombo akan berubah warna dibuncah darah 

Pendekar 131 dan teman-temannya!" 

Si pemuda yang di balik pakaiannya membekal kitab 

bersampul hitam dan tidak lain adalah Kitab Hitam yang 

menunjukkan bahwa si pemuda adalah Malaikat Penggali 

Kubur melangkah perlahan ke mulut goa. 

Kepalanya melongok sejenak keluar goa dengan mata 

memandang berkeliling. Kejap lain kedua tangannya 

menyentak ke dinding mulut goa. Tahu-tahu sosoknya telah 

lenyap dari mulut goa! 

Dan di saat matahari mulai tergelincir dari titik 

tengahnya, sosok Malaikat Penggali Kubur tampak ber-

kelebat melewati Dusun Sumber Suko sebelum akhirnya 

lenyap lagi di satu kawasan yang menuju Bukit


Selamangleng. 

*** 

Matahari sudah sedikit condong ke arah barat tatkala satu 

penunggang kuda berpacu cepat memasuki kawasan Bukit 

Selamangleng. Penunggang kuda ini tidak melewati jalan 

yang menuju bukit, meski jelas kalau tempat yang dituju 

adalah Bukit Selamangleng, karena di sekitar kawasan 

bukit itu hanya ada jurang menganga. Ini jelas me-

nunjukkan kalau si penunggang kuda sudah paham betul 

dengan kawasan yang dilalui. Dan hal itu semakin 

kelihatan tatkala pada satu tempat di lamping sebelah 

utara bukit, si penunggang kuda hentikan lari kuda 

tunggangannya. Lalu berkelebat menerabas jajaran pohon 

menaiki bukit. 

Hanya dalam beberapa saat, sosok orang yang tadi 

menunggang kuda telah berada beberapa tombak saja dari 

puncak bukit. Namun tiba-tiba orang ini hentikan 

langkahnya. Kepalanya yang gundul berkilat-kilat karena 

baru saja tertimpa sinar matahari tampak bergerak ke kiri 

kanan. Sepasang matanya yang melotot besar memandang 

berkeliling. 

"Apakah mereka sudah sampai di sini?! Aku merasa ada 

orang yang mengawasi langkahku!" membatin orang ber-

kepala gundul yang tidak lain adalah Iblis Rangkap Jiwa. 

"Menurut perjanjian, memang hari ini mereka akan 

datang! Hem.... Mudah-mudahan perempuan sundal itu 

bisa memberi kepercayaan pada Malaikat Penggali Kubur! 

Kalau tidak, urusanku bisa jadi tak karuan! Dan kalau dia 

benar-benar gagal, selembar nyawanya adalah imbalan 

yang harus dia tebus! Tapi sebelum dia meregang ajal, dia 

harus layani aku dahulu dua hari dua malam! Bukankah 

purnama masih kurang dua hari lagi...?" Iblis Rangkap Jiwa 

tersenyum sambil usap-usap kepalanya. 

Tapi gerakan tangan Iblis Rangkap Jiwa tertahan 

seketika tatkala mendadak saja dia dikejutkan dengan


satu bentakan dahsyat. 

"Berani teruskan langkah, nyawamu amblas!" 

Wuuutt! Wuuut! 

Dari arah terdengarnya bentakan, dua gelombang angin 

luar biasa keras menghampar. Meski Iblis Rangkap Jiwa 

dikenal sebagai manusia yang kebal terhadap pukulan, 

namun orang berkepala gundul ini tidak mau begitu saja 

umpankan tubuhnya. Hingga seraya berseru keras dia 

melompat ke samping. Saat bersamaan kedua tangannya 

berkelebat lepaskan pukulan. 

Bummm! 

Kesunyian puncak Bukit Selamangleng terbuncah 

dengan ledakan keras akibat bertemunya pukulan orang 

yang bersembunyi dengan pukulan yang dilepas Iblis 

Rangkap Jiwa. Beberapa pohon yang tidak begitu besar 

tampak bergoyang-goyang keras sebelum akhirnya ber-

derak tumbang dengan terbangkan daun-daunnya. 

Buncahan di dekat puncak bukit tidak terhenti. Karena 

begitu derakan dan debuman tumbangnya pohon lenyap, 

terdengar suara orang tertawa panjang bergelak. 

"Hem.... Suara manusia laki-laki! Berarti bukan mereka 

berdua!" desis Iblis Rangkap Jiwa. Tanpa berpaling lagi, 

kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan ke arah 

sumber suara tawa. 

"Berani kau gerakkan tangan, nasibmu jelek!" Tiba-tiba 

terdengar bentakan di sela suara tawa orang. 

Sebenarnya Iblis Rangkap Jiwa hendak teruskan 

gerakan kedua tangannya tidak pedulikan ancaman orang. 

Namun laki-laki berkepala gundul ini sesaat mengernyit. 

Lalu tarik pulang kedua tangannya urungkan niat. Ber-

samaan itu sosoknya memutar menghadap di mana suara 

tawa dan bentakan tadi terdengar. 

Satu sosok tubuh berbalut jubah putih panjang me-

layang turun dari sebuah pohon. Dan tegak sejarak lima 

langkah di hadapan Iblis Rangkap Jiwa. 

"Malaikat Penggali Kubur!" gumam Iblis Rangkap Jiwa 

mengenali siapa adanya orang yang kini tegak di


hadapannya. 

Sesaat orang yang baru melayang turun dan tidak lain 

memang Malaikat Penggali Kubur perhatikan Iblis Rangkap 

Jiwa dari atas sampai bawah. Sementara yang dipandang 

tampak berubah paras dan tegang. 

"Kau!" mendadak Malaikat Penggali Kubur arahkan jari 

tangan kirinya lurus ke mata orang, membuat Iblis Rangkap 

Jiwa laksana sirap darahnya. "Jangan-jangan perempuan 

sundal itu gagal meyakinkan pemuda ini! Hem.... Apa boleh 

buat! Meski dia membekal Kitab Hitam, tapi aku tak akan 

tinggal diam!" membatin Iblis Rangkap Jiwa lalu kerahkan 

tenaga dalam. 

"Berlutut!" Malaikat Penggali Kubur lanjutkan ben-

takannya. 

"Akan kuturuti kemauan jahanam ini dahulu!" kata Iblis 

Rangkap Jiwa dalam hati lalu dia tekuk lututnya dan 

perlahan-lahan lorotkan tubuh. Namun diam-diam dia lipat 

gandakan tenaga dalam, hingga sesaat sosoknya tampak 

bergetar. 

Bersamaan dengan melorotnya sosok Iblis Rangkap Jiwa 

dan berlutut, Malaikat Penggali Kubur tarik pulang tangan 

kirinya dengan kepala ditengadahkan. Lalu terdengar suara 

gelakan tawanya menggembor keras. 

"Bagus! Kau dengar, Manusia Iblis! Kapan dan di mana 

kau bertemu dengan Malaikat Penggali Kubur, hal pertama 

yang harus kau lakukan adalah berlutut! Kau mengerti?!" 

Iblis Rangkap Jiwa menyumpah habis-habisan dalam 

hati. Namun sejauh ini dia tidak menyambuti ucapan 

Malaikat Penggali Kubur. Dia masih menunggu apa yang 

akan diucapkan dan diperbuat si pemuda. Tapi tekadnya 

telah bulat. Dia akan mengadu jiwa saat itu juga kalau Ratu 

Pemikat yang disuruh meyakinkan Malaikat Penggali Kubur 

tentang urusannya dengan Dewa Orok mengalami ke-

gagalan dan Malaikat Penggali Kubur tidak mau mengerti. 

Seperti diketahui, Iblis Rangkap Jiwa mendapat tugas 

dari Malaikat Penggali Kubur untuk membunuh Dewa Orok. 

Sebenarnya Iblis Rangkap Jiwa sudah hampir dapat


selesaikan tugas dengan baik. Sayang waktu itu dia ber-

sama Ratu Pemikat. Dan sialnya dia menuruti usul Ratu 

Pemikat untuk menunda dahulu urusannya dengan Dewa 

Orok. Lalu meninggalkan Dewa Orok dalam keadaan ter-

tanam dan ditotok. Tapi usul dan dugaan Ratu Pemikat 

pada akhirnya hanya mendatangkan kecewa pada Iblis 

Rangkap Jiwa. Karena waktu dilihat kembali, Dewa Orok 

telah lenyap tidak meninggalkan bekas! 

Malaikat Penggali Kubur putuskan gelakan tawanya. 

Kepalanya lurus menghadap Iblis Rangkap Jiwa. "Aku 

senang punya pembantu macam kau! Sigap dan tepati 

janji!" 

Iiblis Rangkap Jiwa sedikit merasa lega mendengar 

ucapan Malaikat Penggali Kubur. Namun dia bertahan 

untuk tidak buka mulut dahulu. Dia masih merasa 

bimbang. 

"Ceritakan padaku bagaimana dengan tugasmu!" kata 

Malaikat Penggali Kubur. 

Iblis Rangkap Jiwa bergerak hendak bangkit. 

"Jangan berani bangkit tanpa perintahku!" bentak 

Malaikat Penggali Kubur menahan gerakan bangkit Iblis 

Rangkap Jiwa. 

"Bangsat keparat!" maki Iblis Rangkap Jiwa dalam hati. 

Tapi dia urungkan juga niatnya untuk bangkit. Mungkin 

masih tidak bisa menahan gejolak hawa amarahnya atas 

perlakuan Malaikat Penggali Kubur, dia segera buka mulut 

dengan suara gemetar dan agak keras. 

"Kau sudah bertemu dengan Ratu Pemikat?!" 

Meski nada suara Iblis Rangkap Jiwa bertanya, namun 

laki-laki gundul ini tidak perlu menunggu jawaban Malaikat 

Penggali Kubur. Dia lanjutkan ucapannya. "Dari perempuan 

itu mungkin kau telah tahu semuanya!" 

Iblis Rangkap Jiwa sengaja tidak menunggu jawaban 

Malaikat Penggali Kubur karena dia sendiri sebenarnya 

masih ragu apakah Ratu Pemikat benar-benar telah 

bertemu dengan Malaikat Penggali Kubur dan dapat 

meyakinkannya. Dan kalaupun Ratu Pemikat belum


sempat bertemu, maka masih ada kesempatan baginya 

untuk mencari alasan dan mengatakan apa yang telah 

terjadi dengan cerita yang tidak sebenarnya. Dan degnan 

jalan begitu, dia akan tahu apakah Ratu Pemikat benar-

benar berhasil meyakinkan Malaikat Penggali Kubur kalau 

perempuan itu telah berhasil jumpa dengan Malaikat 

Penggali Kubur. 

Malaikat Penggali Kubur rangkapkan kedua tagnan. 

"Lalu bagaimana urusannya dengan Cucu Dewa?!" 

"Hem.... Dia tidak sebut-sebut lagi urusan Dewa Orok! 

Berarti Ratu Pemikat telah bertemu dan berhasil meyakin-

kan manusia keparat ini!" simpul Iblis Rangkap Jiwa begitu 

mendengar pertanyaan yang diajukan Malaikat Penggali 

Kubur. Ketegangan di dada Iblis Rangkap jiwa mereda. 

"Terus terang! Manusia cebol itu tidak berhasil ku-

temukan meski tempatnya sudah kuobrak-abrik! Tapi kau 

tak usah khawatir. Urusan manusia cebol itu masih men-

jadi tanggung jawabku!" 

Malaikat Penggali Kubur anggukkan kepala. Mulutnya 

hendak perdengarkan suara. Tapi Iblis Rangkap Jiwa telah 

mendahului 

"Lalu bagaimana dengan janjimu?!" 

Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur menatap 

angker. "Janji apa?!" 

"Kitab Hitam itu...." 

Belum sampai Iblis Rangkap Jiwa lanjutkan ucapannya, 

Malaikat Penggali Kubur telah tertawa terbahak-bahak. 

"Kau belum selesaikan tugasmu dengan sempurna! 

Malah aku masih meragukan apakah kau benar-henar 

telah membunuh manusia itu!" 

"Tapi bukankah keterangan Ratu Pemikat...." 

"Benar!" kembali Malaikat Penggali Kubur sudah 

manukas ucapan Iblis Rangkap Jiwa. "Tapi kalian tidak 

tunjukkan bukti kuat! Hanya dot busuk! Siapa pun juga bisa 

lakukan hal seperti itu!" 

Kembali paras Iblis Rangkap Jiwa menegang. "Jadi kau 

tidak percaya kalau Dewa Orok telah putus nyawanya?!"


"Ratu Pemikat mengatakan kalian berdua hanya 

menanam manusia itu di satu tempat sepi dalam keadaan 

tertotok! Kalian tidak membunuhnya!" 

"Tapi pasti dia sudah tewas!" 

"Nyawa manusia tidak bisa dipastikan! Kecuali jika 

kalian waktu itu benar-benar telah membunuhnya!" 

"Jadi…?!" 

"Aku tanya padamu. Apakah kau telah lihat kembali 

tempat di mana kau menanam manusia itu?!" 

Dada Iblis Rangkap Jiwa berdebar keras. Sesaat dia 

terdiam. Dan mungkin tidak mau orang merasa curiga, 

akhirnya dia buka mulut juga. 

"Karena aku menduga dia pasti tewas, untuk apa aku 

perlu melihatnya?!" 

"Jawabanmu juga tidak pasti! Kau masih menduga!" 

"Tapi mustahil dia bisa selamat!" Iblis Rangkap Jiwa 

masih ajukan alasan. 

"Kau tidak dapat memastikan benar tidaknya ucapanmu 

kalau tidak melihat sendiri!" 

Merasa orang tidak bisa diyakinkan, pada akhirnya Iblis 

Rangkap Jiwa pasrah. Tekadnya yang semula hendak 

mengadu jiwa muncul kembali. Sambil bangkit dia berkata. 

"Lalu apa kemauanmu?!" 

Meski tadi telah mengancam agar Iblis Rangkap Jiwa 

tidak bangkit tanpa perintahnya, namun begitu melihat Iblis 

Rangkap Jiwa bergerak bangkit dan meradang, Malaikat 

Penggali Kubur tertawa pendek. 

"Kau masih ingat apa yang kau alami saat kita baru 

pertama jumpa?!" 

Iblis Rangkap Jiwa tidak segera menjawab. Pada 

pertemuan pertama dengan Malaikat Penggali Kubur, Iblis 

Rangkap Jiwa memang dengan mudah dapat membuat si 

pemuda bertekuk lutut. Namun begitu Malaikat Penggali 

Kubur mendapatkan Kitab Hitam, meski Iblis Rangkap Jiwa 

dikenal tidak mempan pukulan, namun pada akhirnya laki-

laki berkepala gundul ini harus menyerah, karena akibat 

yang dialami dari bentrokan yang terjadi, dia merasa lama


kelamaan akan mampus juga. Hal itulah yang membuat 

Iblis Rangkap Jiwa mau melakukan perintah Malaikat 

Penggali Kubur meski tindakannya itu hanya untuk 

sementara waktu sambil menunggu saat yang tepat. 

Mendapati Iblis Rangkap Jiwa tidak menjawab 

pertanyaannya, Malaikat Penggali Kubur keraskan suara 

lawanya. "Dengar! Kau boleh tidak mempan pukulan, tapi 

kau telah merasa bagaimana akibatnya berhadapan 

denganku! Dan hal yang lebih mengerikan akan kau alami 

kalau kau bersikap meradang padaku! Kau dengar?!" 

Iblis Rangkap Jiwa belum juga buka mulut memberi 

sahutan. "Dengar, Manusia Iblis! Saat ini kuyakin rimba 

persilatan telah banyak mendengar tentang adanya 

pertemuan di Kedong Ombo dua hari mendatang! Saat 

itulah baru aku bisa memastikan kalau tugasmu selesai 

dengan sempurna!" 

"Bagaimana kau memastikannya?!" 

"Kau menghadapi manusia bernama Dewa Orok itu 

bersama Ratu Pemikat. Meski aku belum pernah bertemu 

dengan manusia itu, namun aku yakin manusia itu bukan 

orang sembarangan! Kalau dia belum mampus, pasti dia 

telah mendengar tentang pertemuan di Kedung Ombo. Dan 

pasti akan muncul purnama nanti!" 

Habis berkata begitu, tiba-tiba kepala Malaikat Penggali 

Kubur menyentak ke bawah. Sesaat sepasang matanya 

memandang tak berkesip ke bawah bukit. Iblis Rangkap 

Jiwa serta-merta juga turunkan pandangannya ke bawah 

bukit. 

"Dugaanku tidak salah! Dia muncul dahulu di sini!" 

gumam Malaikat Penggali Kubur dalam hati sambil angkat 

kepalanya. 

"Kurasa tenaga perempuan itu sudah tidak ada gunanya 

lagi!" ujar Iblis Rangkap Jiwa seraya terus arahkan 

pandangan ke bawah bukit. "Apa tidak sebaiknya dia 

dihabisi sekarang?!" 

"Nyawamu dan nyawa perempuan itu ada di tanganku! 

Jangan kau berani bertingkah macam-macam!" bentak


Malaikat Penggali Kubur. "Dan jangan kau buka mulut saat 

aku nanti bertanya padanya! Kau dengar?!" 

Iblis Rangkap Jiwa sambuti ucapan Malaikat Penggali 

Kubur dengan dengusan, lalu melangkah ke arah puncak 

bukit. 

"Nyawamu tinggal dua hari, Jahanam!" desis Iblis 

Rangkap Jiwa lalu duduk bersandar pada sebatang pohon 

dengan mata melirik ke arah di mana tadi Malaikat 

Penggali Kubur berada. Iblis Rangkap Jiwa sesaat besarkan 

sepasang matanya yang berada dalam rongga mata yang 

menjorok keluar dan hampir tidak tertutup daging di kanan 

kirinya. Ternyata Malaikat Penggali Kubur sudah tidak 

kelihatan batang hidungnya! 

***


TIGA


BELUM sampai Iblis Rangkap Jiwa sempat edarkan 

pandangan mencari di mana gerangan Malaikat 

Penggali Kubur, satu sosok tubuh berkelebat cepat 

menuju puncak bukit. Namun kelebatan sosok ini tidak 

berlanjut. Karena beberapa tombak lagi mencapai puncak 

bukit di mana Iblis Rangkap Jiwa berada, satu suara 

membuat kelebatan sosok yang mendaki bukit terhenti. 

"Tahan dulu niatmu!" 

Sosok yang mendaki serta-merta hentikan kelebatan-

nya. Kedua tangannya dipentangkan. Kepalanya tengadah 

lurus ke arah puncak bukit. Meski samar-amar, namun 

orang ini masih dapat menangkap sosok Iblis Rangkap Jiwa 

yang duduk bersandar. 

"Jelas suara tadi tidak datang dari puncak bukit! Berarti 

ada orang lain selain manusia iblis itu!" desis orang yang 

larinya tertahan. Dia adalah seorang perempuan berparas 

cantik jelita mengenakan pakaian tipis warna biru. 

Perempuan ini tidak lain adalah Ratu Pemikat. 

Belum sampai dapat menduga siapa adanya orang yang 

perdengarkan suara, satu sosok berkelebat dan tegak 

hanya empat langkah di hadapan Ratu Pemikat. Ratu 

Pemikat cepat tarik pulang kedua tangannya begitu 

mengenali siapa adanya orang. 

Raut wajah Ratu Pemikat tampak berubah sedikit 

tegang. Sesaat dia tampak arahkan pandangannya pada 

orang di hadapannya yang tidak lain adalah Malaikat 

Penggali Kubur, lalu beralih pada Iblis Rangkap Jiwa. 

"Pada saat di goa tempo hari, kurasa dia yakin akan 

keteranganku. Tapi apakah Iblis Rangkap Jiwa tidak 

memutar lidah membalik ucapan? Dia datang men-

dahuluiku dan pasti sudah sempat berbincang-bincang 

dengan pemuda ini! Hem.... Tapi tak mungkin Iblis Rangkap


Jiwa membalik ucapan. Bukankah nyawanya tergantung 

pada urusan itu?" Ratu Pemikat membatin. Namun begitu, 

masih jelas kalau wajahnya membayangkan rasa khawatir. 

Apalagi dilihatnya Iblis Rangkap Jiwa duduk tercenung 

bahkan tidak berpaling ke arahnya meski dia tahu kalau 

laki-laki itu mengetahui ke-munculannya. 

"Ah.... Kebetulan kalau kau berada di sini. Jadi aku tidak 

usah...." 

Ratu Pemikat yang coba menutupi ketegangan dengan 

mulut terbuka lebih dahulu mendadak tidak lanjutkan 

ucapannya tatkala dilihatnya sepasang mata Malaikat 

Penggali Kubur memandangnya berkilat-kilat. 

"Ada apa ini? Apa manusia iblis itu benar-benar telah 

membalik lidah? Atau ada yang salah dengan diriku?!" 

Gumaman terakhir Ratu Pemikat sempat terdengar 

Malaikat Penggali Kubur. 

"Kau tak sadar dengan kesalahan dirimu?" bentak 

Malaikat Penggali Kubur membuat Ratu Pemikat makin 

yakin akan kebenaran dugaannya. 

"Aku melakukan kesalahan?!" ujar Ratu Pemikat pelan. 

"Siapa yang kau hadapi saat ini?!" kembali Malaikat 

Penggali Kubur membentak. 

Ratu Pemikat takut-takut memandangi pemuda di 

hadapannya dengan seksama. "Kurasa...." Hanya itu 

ucapan yang sempat terdengar dari mulut Ratu Pemikat 

karena bersamaan dengan itu Malaikat Penggali Kubur 

telah menghardik. 

"Berlutut!" 

Ratu Pemikat mendesah panjang. Lalu turuti ucapan 

Malaikat Penggali Kubur meski dalam hati memaki habis-

habisan. Di lain pihak, Malaikat Penggali Kubur tersenyum 

lalu buka mulut dengan tangan berkacak pinggang. 

"Bagaimana dengan tugas dan perjalananmu?!" 

Ratu Pemikat melirik dahulu pada puncak bukit di mana 

Iblis Rangkap Jiwa duduk bersandar. Lalu angkat bicara. 

"Kita tinggal menunggu saat-saat yang sudah kita atur!" 

"Hem.... Berarti kau telah berhasil jumpa dengan


Pendekar 131!" 

Ratu Pemikat anggukkan kepala. Wajah perempuan ini 

kembali ceria. Karena Malaikat Penggali Kubur tidak 

menyebut-nyebut urusan tentang Dewa Orok, berarti Iblis 

Rangkap Jiwa tidak melakukan seperti apa yang tadi 

sempat diduganya. Namun begitu, masih ada yang mem-

buat perempuan ini sedikit ragu-ragu. Hal ini berkaitan 

dengan munculnya Dewi Siluman yang selama ini tidak 

disangka. 

Dengan Kitab Hitam di tangan Malaikat Penggali Kubur, 

mungkin kemunculan Dewi Siluman tidak perlu membuat-

nya ragu-ragu. Tapi keterus terangan pada Dewi Siluman 

tentang apa yang menjadi maksudnya mau tak mau mem-

buatnya tidak enak. Dia masih khawatir kalau Dewi 

Siluman bertemu lagi dengan Pendekar 131 sebelum 

purnama dua hari mendatang, dan Dewi Siluman mem-

beberkan semuanya pada murid Pendeta Sinting. 

"Kau ingin mengutarakan sesuatu?!" ujar Malaikat 

Penggali Kubur tatkala pemuda ini menangkap 

kebimbangan pada raut wajah perempuan di hadapannya. 

"Apa perlu kukatakan juga tentang pertemuanku dengan 

Dewi Siluman? Ah.... Urusan perempuan itu biar kuselesai-

kan purnama nanti!" Diam-diam akhirnya Ratu Pemikat 

memutuskan sendiri dalam hati. Lalu kepalanya meng-

geleng sambuti ucapan Malaikat Penggali Kubur. 

Malaikat Penggali Kubur menatap sejurus, lalu arahkan 

pandangannya pada Iblis Rangkap Jiwa. "Perempuan tua 

bangka Ni Luh Padmi itu, apakah akan muncul di sini hari 

ini juga?!" 

Ratu Pemikat bangkit berdiri. "Menurut kesepakatan 

kami memang begitu! Tapi siapa tahu dia mendapat 

halangan bertemu dengan seorang pemuda tampan, lalu 

tertarik dan melupakan apa yang harus dilakukan?! Kau 

tahu bukan? Urusan nenek itu sebenarnya hanya mencari 

laki-laki!" 

Malaikat Penggali Kubur menyeringai. "Kalau itu yang 

diperbuat, dia akan tebus mahal tindakannya!'


"Tua bangka macam dia memang sebaiknya tidak usah 

diberi waktu sampai purnama nanti! Aku khawatir dia akan 

melakukan sesuatu yang dapat merusak rencana!" berkata 

Ratu Pemikat sambil arahkan pandangannya pada puncak 

bukit. 

Iblis Rangkap Jiwa dapat menangkap pandangan Ratu 

Pemikat. Hingga enak saja dia menyahut. "Sebenarnya 

sejak kedatangannya pertama kali di sini, aku sudah muak 

melihat tampangnya!" 

"Dengar! Aku yang berhak membuat aturan! Bukan 

kalian!" bentak Malaikat Penggali Kubur. 

Ratu Pemikat hanya tersenyum dingin mendengar 

bentakan Malaikat Penggali Kubur. Lalu tanpa buka mulut 

lagi, dia melangkah hendak ke puncak bukit. Namun tiba-

tiba Malaikat Penggali Kubur melompat dan tegak meng-

hadang jalannya, bukan saja membuat si perempuan 

terkesiap kaget namun juga membuat Iblis Rangkap Jiwa 

menduga-duga apa sebenarnya yang hendak dilakukan si 

pemuda. 

Malaikat Penggali Kubur menatap aneh untuk beberapa 

lama. Tiba-tiba dia maju dua tindak. Tepat berada di depan 

Ratu Pemikat, tangan kanannya bergerak. Ratu Pemikat 

berseru kaget. Tubuhnya laksana didorong tenaga luar 

biasa kuat dan terjerembab ke dada si pemuda. 

Belum bisa menduga apa sebenarnya maksud si 

pemuda, wajah Malaikat Penggali Kubur sudah menunduk 

lalu tanpa hiraukan pandangan Iblis Rangkap Jiwa, 

pemuda murid Bayu Bajra ini telah mencium wajah Ratu 

Pemikat dengan beringas. 

Sadar apa yang dilakukan Malaikat Penggali Kubur, 

Ratu Pemikat segera bisa sesuaikan diri. Kedua tangannya 

cepat melingkar pada pinggang Malaikat Penggali Kubur. 

Lalu membalas ciuman si pemuda dengan mata sekali 

melirik ke tempat Iblis Rangkap Jiwa. 

"Bangsat! Jahanam!" Iblis Rangkap Jiwa hanya bisa 

memaki-maki sendiri seraya alihkan pandangannya ke 

jurusan lain. "Hari ini kau bisa seenakmu bercumbu di


depan hidungku! Aku bersumpah kelak akan mencumbui 

perempuan sundal itu di kala ajal hendak menjemputmu!" 

Beberapa saat berlalu. Malaikat Penggali Kubur sudah 

mulai tenggelam dalam gejolak nafsu. Sementara Ratu 

Pemikat sesekali masih coba meronta karena bagaimana-

pun juga dia merasa tidak enak dengan Iblis Rangkap Jiwa. 

Hingga tatkala kedua tangan Malaikat Penggali Kubur 

mulai bergerak ke dada dan membuka kancing-kancing 

bajunya, si perempuan berujar pelan. 

"Kita masih menunggu seorang lagi. Tidak enak rasanya 

kalau kemunculannya kita sambut dengan sikap begini.... 

Lagi pula bukankah waktu kita masih banyak? Aku akan 

selalu siap melayanimu kapan kau mau dan berapa malam 

kau minta...." 

Malaikat Penggali Kubur tidak hiraukan ucapan Ratu 

Pemikat. Kedua tangannya terus bergerak. Saat lain dada 

sang Ratu telah terbuka hingga terlihat jelas. 

Di puncak bukit, meski memaki habis-habisan, namun 

tak urung juga Iblis Rangkap Jiwa ingin mengetahui apa 

yang diperbuat Malaikat Penggali Kubur. Hingga meski 

kepala laki-laki gundul ini menghadap jurusan lain, namun 

dua pasang ekor matanya melirik ke bawah. 

Mungkin tak sadar melihat apa yang terlihat di bawah, 

kepala Iblis Rangkap Jiwa akhirnya ikut juga bergerak 

menghadap ke bawah. Dada laki-laki ini berdebar keras. 

Sepasang matanya melotot besar-besar. Jakunnya turun 

naik tak teratur. 

"Sialan betul!" lagi-lagi hanya makian yang keluar dari 

mulut Iblis Rangkap Jiwa melihat bagaimana dada Ratu 

Pemikat terbuka. 

Di lain pihak, melihat Malaikat Penggali Kubur sudah 

tidak sabar, Ratu Pemikat cepat angkat kedua tangannya 

lalu menahan gerakan kedua tangan Malaikat Penggali 

Kubur di dadanya. 

"Kau...." Malaikat Penggali Kubur tarik wajahnya dan 

menatap Ratu Pemikat dengan rahang terangkat. 

Ratu Pemikat anggukkan kepala. Sambil tersenyum dia


berujar. "Aku sebenarnya juga sudah tidak sabar. Tapi 

bukan di sini tempatnya bukan?! Lebih dari itu masih ada 

urusan yang harus kita selesaikan dahulu...." 

Sehabis berujar, sepasang mata Ratu Pemikat 

mengerling pada Iblis Rangkap Jiwa yang saat itu mungkin 

karena terkesima, belum sempat palingkan kepala. 

Malaikat Penggali Kubur ikut arahkan pandangannya pada 

Iblis Rangkap Jiwa. Dia perdengarkan dengusan. Saat 

bersamaan kedua tangannya yang terpegang tangan Ratu 

Pemikat ditarik pulang. 

"Boleh kututup?!" tanya Ratu Pemikat menjaga agar 

Malaikat Penggali Kubur tidak tersinggung. 

"Terserah kalau kau ingin tunjukkan pada manusia iblis 

itu!" jawab Malaikat Penggali Kubur lalu arahkan 

pandangannya ke bawah bukit. 

Ratu Pemikat lagi-lagi sambuti ucapan Malaikat Pcnggali 

Kubur dengan tersenyum lalu tangannya kancingkan 

kembali pakaiannya. Kepala perempuan ini bergerak ke 

arah barat. Matahari saat itu sudah lebih condong. 

"Kenapa nenek itu belum muncul juga? Apakah dia 

lupa...? Atau jangan-jangan memang mendapat halangan! 

Atau barangkali telah berhasil bertemu dengan Pendeta 

Sinting?!" Ratu Pemikat bertanya-tanya dalam hati. Lalu 

utarakan apa yang ada dalam hatinya pada Malaikat 

Penggali Kubur. 

Sesaat Malaikat Penggali Kubur tidak tanggapi ucapan 

Ratu Pemikat. Tapi kejap lain pemuda ini kepalkan tangan 

kiri seraya berteriak. 

"Dia manusia bodoh kalau sampai bertindak macam-

macam!" 

"Tapi sebaiknya kita tunggu sampai matahari ter-

benam.... Siapa tahu ada sesuatu yang membuatnya ter-

lambat!" 

Namun ditunggu sampai matahari hampir terbenam, ter-

nyata Ni Luh Padmi tidak muncul. Hingga sambil hentakkan 

kaki kiri, Malaikat Penggali Kubur berteriak marah. 

"Tua bangka jahanam itu! Dia adalah manusia pertama


yang akan kualirkan darahnya di Kedung Ombo!" 

Habis berteriak, Malaikat Penggali Kubur arahkan 

pandangannya silih berganti pada Ratu Pemikat dan Iblis 

Rangkap Jiwa. 

"Kalian berdua! Kuperintahkan untuk menyiapkan 

segala sesuatunya untuk keperluan purnama nanti! Pasang 

beberapa tanda untuk tempat orang-orang yang bergabung 

dengan kita! Karena kuyakin banyak orang kalangan rimba 

persilatan yang muncul meski tanpa kita undang! Tapi 

ingat, kalau kalian melakukan hal yang tidak-tidak, kalian 

akan menjadi manusia kedua dan ketiga yang darahnya 

akan kutumpahkan!" 

Malaikat Penggali Kubur sekali lagi pentangkan mata 

memandangi Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa. Lalu 

tanpa berkata-kata lagi dia berkelebat menuruni bukit yang 

mulai dibungkus kegelapan karena matahari sudah 

terbenam. 

Sesaat setelah Malaikat Penggali Kubur berlalu, Iblis 

Rangkap Jiwa berkelebat dan tegak di hadapan Ratu 

Pemikat. Jelas pandangan laki-laki berkepala gundul ini 

membayangkan kalau dadanya masih disentak-sentak oleh 

gejolak nafsu setelah tadi melihat dada Ratu Pemikat. 

Seakan dapat menangkap arti pandangan orang, Ratu 

Pemikat cepat buka mulut. 

"Kita bertemu besok pagi di kawasan Kedung Ombo! 

Malam ini ada yang masih harus kuselesaikan!" 

Iblis Rangkap Jiwa tersenyum. Kepalanya menggeleng. 

"Aku sudah lama menunggu janji-janjimu! Namun makin 

hari kulihat kau seakan hendak melupakan janji-janji itu! 

Besok pagi kita memang harus bertemu di kawasan 

Kedung Ombo! Tapi malam ini, kita selesaikan janji-

janjimu!" 

Seakan tidak sabar, Iblis Rangkap Jiwa sudah gerakkan 

tangan hendak merengkuh tubuh Ratu Pemikat. 

"Janji yang pernah kukatakan adalah gantungan jiwaku 

padamu. Jadi kau tak usah punya prasangka buruk! Malah 

setelah urusan Kedung Ombo selesai, kau bisa memiliki


diriku sampai kapan kau mau!" 

Tangan Ratu Pemikat mendorong dada Iblis Rangkap 

Jiwa hingga sosok laki-laki ini tersurut satu tindak dan 

tangannya yang hendak merengkuh tubuh Ratu Pemikat 

hanya menangkap tempat kosong. 

Meski sesaat bisa menahan gerak Iblis Rangkap Jiwa 

tapi diam-diam Ratu Pemikat dilanda perasaan gelisah. Dia 

maklum, kalau sampai Iblis Rangkap Jiwa paksakan 

kehendaknya, rasanya tidak mudah baginya untuk 

menolak. Namun sebagai orang yang berpengalaman 

menghadapi laki-laki, dia masih punya jalan keluar. Hingga 

begitu selesai berkata, perempuan ini menatap Iblis 

Rangkap Jiwa sesaat lalu berujar lagi. 

"Menghadapi urusan Kedung Ombo, kita tidak boleh 

main-main! Meski ada Malaikat Penggali Kubur, bukan 

berarti kita tinggal berpangku tangan! Untuk itulah dalam 

sisa dua hari ini aku akan pusatkan tenaga! Dan hal itu 

tidak akan bisa kulakukan kalau aku harus mendahului 

dengan perbuatan yang tidak-tidak!" 

"Kau masih juga bisa cari alasan!" sahut Iblis Rangkap 

Jiwa. "Kau tadi begitu menggebu membalas perbuatan 

pemuda keparat itu!" 

Ratu Pemikat tertawa. "Kau harus tahu. Kita sekarang 

dalam keadaan terbelenggu! Kita tidak bisa berbuat 

banyak! Kalau kita berulah macam-macam, itu sama saja 

dengan bunuh diri! Yang harus kita lakukan sekarang 

adalah mempersiapkan diri baik-baik! Bukankah urusan 

kita bukan hanya sampai di Kedung Ombo?! Kedung Ombo 

hanyalah batu loncatan! Kalau kita gagal melalui jembatan 

ini, gagal pula maksud kita masing-masing!" 

Iblis Rangkap Jiwa terdiam beberapa lama. Laki-laki ini 

mulai merasa ada benarnya juga ucapan Ratu Pemikat. 

Hingga kalau tadi nafsunya menggelegak, kini malah diam 

saja meski dilihatnya Ratu Pemikat sudah melangkah 

menuruni bukit. 

Entah karena untuk meyakinkan orang, begitu turun 

beberapa tombak, Ratu Pemikat hentikan langkah lalu ber


paling ke atas. Dilihatnya Iblis Rangkap Jiwa masih tegak di 

tempatnya semula. 

"Kau dengar. Aku menantimu di bukit ini begitu urusan 

Kedung Ombo selesai! Kita isi siang malam dengan ber-

senang-senang!" 

Habis berteriak, Ratu Pemikat perdengarkan tawa 

panjang. Lalu teruskan langkah menuruni bukit. 

"Siapa sudi terus-terusan bermain dengan perempuan 

yang telah banyak dijamah tangan laki-laki sepertimu! Kau 

kelak hanya kujadikan gundik dan harus melayaniku kapan 

aku ingin!" desis Iblis Rangkap Jiwa lalu berkelebat ke 

puncak bukit yang telah tertutup kegelapan malam. 

***


EMPAT


PAGI hari menjelang malam purnama. Matahari 

muncul tanpa sambutan segumpal awan pun. Langit 

terhampar biru cerah. Angin bertiup semilir. Sebuah 

kawasan yang dikenal orang dengan Kedung Ombo pagi ini 

sangat indah meski kalau diperhatikan dengan seksama, 

ada sesuatu yang lain yang tidak terlihat pada hari-hari 

sebelumnya. 

Kedung Ombo adalah sebuah telaga air besar. Pada 

sebelah kanan kedung tampak kawasan berbatu yang 

pada salah satunya terlihat batu besar membentuk bukit. 

Di sebelah kiri kedung juga membentang kawasan berbatu 

yang salah satu batunya terlihat menggunung menyerupai 

bukit. Kawasan berbatu sebelah kanan dan kiri Kedung 

Ombo dipisah oleh hamparan pasir yang berjarak kurang 

lebih seratus tombak. Tepat di depan kedung, di antara 

celah-celah batu yang bertaburan di dua kawasan berbatu 

itu tampak jalan-jalan setapak berpasir hitam yang terlihat 

laksana gerakan merambat tubuh seekor ular. Lurus tepat 

di depan kedung laksana diapit kawasan berbatu, terlihat 

pula gugusan batu-batu cadas putih yang salah satunya 

tampak menjulang sangat tinggi malah melebihi batu yang 

membentuk bukit di sebelah kanan kiri kedung. Jarak 

antara kawasan berbatu sebelah kanan dan kiri kedung 

dengan gugusan batu cadas putih kira-kira empat puluh 

tombak. 

Sesuatu lain yang sebelumnya tidak terlihat di kawasan 

Kedung Ombo adalah berdirinya sebuah gubuk di sebelah 

kiri kedung. Gubuk itu didirikan tegak tepat di puncak batu 

besar yang membentuk bukit. Empat tiangnya terdiri dari 

bambu sebesar paha orang. Tapi bukan tiang bambu ini 

yang terlihat agak aneh. Karena ternyata tiap tiang bambu 

tegak dengan bagian bawah bambu masuk ke dalam batu!


Dan sekitar tiap tiang bambu yang masuk ke dalam batu 

tidak tampak taburan batu atau rengkahan! Jelas siapa 

pun yang menancapkan tiang bambu pastilah bukan orang 

yang berilmu rendah. 

Ada sedikit keanehan lagi. Gubuk di puncak bukit batu 

itu terbuka bagian depan dan belakangnya. Sementara 

yang tertutup adalah bagian samping kiri kanan serta 

atapnya. Anehnya, dinding penutup samping kiri kanan 

serta atap gubuk bukan terdiri dari pelepah daun, 

melainkan dari kain besar berwarna hitam! Hingga tatkala 

dihembus angin, gubuk hitam itu berkibar-kibar keluarkan 

suara angker. 

Dan yang memperjelas kalau Kedung Ombo akan lain 

dari hari-hari biasanya adalah membuncahnya suara tawa 

bersahut-sahutan yang tiba-tiba terdengar jauh dari arah 

belakang gugusan batu-batu cadas putih yang tepat 

menghadap kedung. Melihat arahnya suara tawa, jelas 

kalau orang yang sedang terbahak-bahak itu sedang 

menuju ke arah kedung. 

Begitu suara tawa bersahut-sahutan mendekati gugusan 

batu-batu cadas putih, laksana direnggut setan mendadak 

suara tawa bersahut-sahutan terputus. Lalu di antara batu-

batu cadas putih yang menghadap kedung terlihat 

melangkah dua sosok tubuh. 

Di sebelah kanan adalah seorang laki-laki. Dia me-

langkah terbungkuk-bungkuk dengan tangan kanan me-

megang tongkat. Laki-laki ini tidak bisa dikenali wajahnya 

karena orang ini membedaki seluruh wajah serta rambut-

nya dengan arang hitam. Karena pakaian yang dikenakan 

juga berwarna hitam, maka yang terlihat putih hanyalah 

sedikit di bagian matanya! 

Sementara orang di sebelah kiri ternyata juga adalah 

seorang laki-laki. Dia melangkah tersaruk-saruk mundur 

dengan kepala sedikit mendongak. Seperti halnya laki-laki 

sebelah kanan, orang ini juga membedaki sekujur mukanya 

dengan arang hitam. Rambutnya yang awut-awutan juga 

diberi arang hitam.


Orang yang melangkah mundur tiba-tiba hentikan 

langkah. Lalu sambil tetap dongakkan kepala, orang ini 

lorotkan tubuh dan letakkan pantatnya di salah satu batu 

cadas putih yang banyak bertebaran di situ. Kepalanya 

bergerak ke kiri kanan memandang langit. Mulutnya ber-

gerak membuka. 

"Hai! Apa kau tidak salah menghitung hari? Apa kau juga 

tidak keliru alamat datang kemari? Jangan sampai kita ter-

jebak dan mendapat celaka sendiri! Apalagi aku telah mati-

matian mempercantik diri! Kita akan kecewa besar me-

lakukan perjalanan jauh mencari-cari. Kalau akhirnya yang 

kita temui lain dengan yang kita telusuri!" 

Orang yang melangkah terbungkuk-bungkuk hentikan 

langkah. Sesaat sepasang matanya memandang lurus ke 

arah kedung. Namun karena sebagian pandangannya 

tertutup gugusan batu cadas putih yang menjulang tinggi, 

dia hanya dapat melihat sebelah kiri kanan kedung jauh di 

depan sana. Saat dia palingkan kepala ke kiri, sepasang 

matanya mendelik membelalak. Karena saat itu dia berada 

menghadap matahari, mungkin karena pandangannya 

silau, orang ini tadangkan tangan kiri ke depan keningnya 

lalu kembali memandang berlama-lama ke sebelah kiri 

kedung di mana tampak gubuk hitam di puncak batu mem-

bukit. Tanpa berpaling pada orang yang kini duduk dia 

buka mulut. 

"Kau jangan berkeluh kesah. Kurasa perhitunganku 

tepat. Alamat betul. Dan kita pasti tidak sia-sia sampai di 

tempat ini! Pemandangan indah dan telah disediakan 

tempat bagus untuk berteduh! Lihat di sana itu!" 

Orang yang tadi melangkah terbungkuk-bungkuk angkat 

tongkat di tangan kanannya lalu ditunjukkan ke arah gubuk 

hitam di sebelah kiri kedung. 

Orang yang tadi melangkah mundur dan kini duduk di 

atas batu cadas putih segera luruskan kepala dan arahkan 

pandangan ke arah mana tongkat menunjuk. 

"Gubuk hebat! Mungkin sengaja didirikan karena tahu 

kita akan datang! Jadi tidak ada salahnya kita cepat


bertandang. Sesaat lagi terik sinar matahari akan me-

radang. Daripada kepala panas laksana dipanggang, lebih 

baik kita ke sana bisa rebahan sambil melepas pandang...." 

"Ah.... Betul juga ucapanmu! Aku sudah capek dan ingin 

sekali picingkan mata! Tentu di sana enak. Apalagi 

seandainya tiba-tiba muncul seorang gadis cantik...." 

"Otakmu selalu berpikir yang busuk-busuk! Tidak sadar 

kalau jalan saja sudah terbungkuk-bungkuk! Kau lupa apa 

akibat yang kini harus kau tangguk. Sebab tindakanmu 

dahulu yang tidak pandang tengkuk!" 

Orang yang pegang tongkat sentakkan kepala berpaling. 

Tongkatnya diputar dan kini ditujukan pada orang yang 

duduk di atas batu cadas putih. 

"Jangan seenakmu bicara! Aku tadi bilang seandainya, 

mengapa bicaramu ngelantur tidak karuan!" Meski nada 

bicara orang ini ketus, namun saat mengucapkan orang ini 

tampak tersenyum-senyum! Malah begitu habis berkata, 

orang ini tertawa. 

"Kau bicara seandainya, tapi bukankah perjalanan ini 

masih ada kaitan ceritanya? Seandainya kau dahulu tidak 

berlaku seenaknya, mana mungkin di hari tua begini kau 

terbirit-birit karenanya?!" 

"Ah.... Kau selalu saja usil urusanku dahulu!" kata orang 

pemegang tongkat lalu tanpa mengajak, dia melangkah ter-

bungkuk-bungkuk. "Semuanya sudah terjadi! Tak mungkin 

dapat kutarik lagi...." 

"Uhh.... Itu lagi, itu lagi ucapan yang selalu kau katakan! 

Ungkapan umumnya laki-laki setelah mendapat yang 

diinginkan!" gumam orang yang duduk. Dan begitu melihat 

si pemegang tongkat sudah berada jauh di depan sana, 

orang ini dongakkan kepala. Pantatnya berputar melingkar. 

Lalu dia turun dari batu cadas. Saat lain ia mulai tersaruk-

saruk melangkah mundur menyusul si pemegang tongkat. 

Begitu kedua laki-laki bertampang arang ini sampai di 

bawah batu yang membentuk bukit di sebelah kiri kedung, 

keduanya hentikan langkah masing-masing. Si orang yang 

tadi melangkah mundur balikkan tubuh, lalu melihat ke


arah gubuk hitam. Di sebelahnya si pemegang tongkat 

tadangkan tangan kiri di depan kening dan putar kepala 

dengan mata melirik ke kanan kiri kedung. Lalu tengadah 

melihat langit. 

"Hem.... Waktunya masih panjang. Kita masih leluasa 

tidur-tiduran melepas lelah...," kata si pemegang tongkat. 

Dia melangkah satu tindak ke belakang orang yang tadi 

melangkah mundur. Tongkat di tangan kanannya serta-

merta ditusukkan pada pantat orang di depannya. 

"Hai! Apa yang kau lakukan?!" bentak orang yang tadi 

melangkah mundur. Yang ditanya tidak buka mulut 

menjawab, sebaliknya sentakkan tongkat di tangannya 

perlahan saja. Bersamaan dengan itu kaki kirinya menjejak 

tanah berpasir yang menghampar di depan kedung. Wuutt! 

Wuuutt! 

Laksana didorong gelombang angin luar biasa dahsyat, 

saat itu juga sosok kedua orang berwajah hitam itu 

melesat ke udara lalu mendarat tepat di samping kanan 

gubuk hitam di puncak batu. 

Kedua orang itu sesaat memperhatikan kain hitam yang 

dibuat dinding dan atap gubuk. Lalu perlahan-lahan 

keduanya masuk ke dalam gubuk. Si pemegang tongkat 

menghadap kedung, sementara si orang yang melangkah 

mundur memunggungi kedung. 

"Ah.... Ternyata enak juga.... Aku jadi cepat ingin tidur!" 

ujar si pemegang tongkat. Lalu orang ini tekuk kedua 

kakinya bergerak duduk. Si orang yang tadi melangkah 

mundur melirik ke kanan kiri. Lalu tanpa buka mulut dia 

melangkah satu tindak ke samping kiri dan ikut-ikutan 

duduk. 

Si pemegang tongkat tarik tangan kanannya yang 

memegang tongkat ke belakang. Tongkat kayu di tangan 

kanannya lalu dilintangkan di punggungnya. Karena 

tongkat itu agak panjang, ujung tongkat terlihat menjulur di 

samping kiri tubuhnya tepat berada di belakang orang yang 

tadi melangkah mundur. 

Si pemegang tongkat lalu enak saja sandarkan


punggungnya pada tongkat yang melintang di punggung-

nya. Sementara tangan kanannya yang memegang tongkat 

ditarik pulang lalu kedua tangannya di-rangkapkan di 

depan dada. Bersamaan dengan itu sepasang matanya 

bergerak mengatup. Anehnya tongkat yang melintang di 

punggungnya tidak jatuh! Malah orang itu laksana 

bersandar pada dinding tembok! 

Orang yang tadi melangkah mundur sesaat melirik. Lalu 

mendongak melihat atap gubuk. Saat lain punggungnya 

bergerak bersandar pada ujung tongkat yang melintang 

tepat di belakangnya. Kejap lain orang ini telah pula pejam-

kan sepasang matanya! Tak lama kemudian tempat itu 

dibuncah dengan suara dengkuran keras yang saling 

bersahut-sahutan! 

*** 

Ketika matahari hampir sampai titik tengahnya, satu 

bayangan hitam tampak berkelebat cepat dari sebelah 

kanan kedung. Setelah melewati kawasan berbatu di 

sebelah kanan kedung dan memasuki hamparan pasir 

tepat di depan kedung sosok ini mendadak hentikan 

larinya. Kepalanya cepat berputar dengan mata 

membeliak. Telinganya ditajamkan. Dahi orang ini yang 

ternyata hanya merupakan tulang hampir tidak tertutup 

daging sama sekali ini bergerak mengernyit. Lalu dari 

mulutnya terdengar makian. 

"Jahanam! Siapa orang siang-siang begini tidur 

mendengkur!" 

Orang yang tegak di hamparan pasir di depan kedung 

yang ternyata adalah seorang laki-laki berkepala gundul 

dan raut wajahnya hampir tidak tertutup daging sama 

sekali dan bukan lain adalah Iblis Rangkap Jiwa, 

menyeringai. Namun dia sedikit heran. Di kawasan Kedung 

Ombo memang terdengar dengkuran bersahut-sahutan. 

Meski suara dengkuran itu tidak begitu keras, tapi 

bagaimanapun dia coba menutup jalan pendengarannya,


dengkuran itu laksana tidak bisa dibendung! Malah 

semakin dia kerahkan tenaga untuk tutup jalan 

pendengarannya, gendang telinganya makin terasa 

disentak-sentak! 

"Keparat! Siapa manusia usil yang punya pekerjaan 

ini?!" bentak Iblis Rangkap Jiwa. Sekali lagi laki-laki ber-

kepala gundul ini putar kepalanya. Tiba-tiba putaran kepala 

Iblis Rangkap Jiwa terhenti tepat menghadap di mana 

gubuk hitam berada. 

Bola mata Iblis Rangkap Jiwa kontan membelalak besar-

besar. Dadanya bergetar keras. Rahangnya terangkat. 

Pertanda luapan amarahnya tidak bisa dikuasai lagi. 

"Rupanya air bening Kedung Ombo sudah harus ber-

ubah warna sebelum waktunya!" desis Iblis Rangkap Jiwa. 

Sekali gerakkan tubuh, sosoknya melesat ke sebelah kiri 

kedung di mana gubuk hitam berada. Beberapa kejapan 

mata tubuhnya sudah sampai di seberang. 

Maklum kalau orang yang mendengkur bukan orang 

yang bisa dilihat sebelah mata, Iblis Rangkap Jiwa sengaja 

memutar jalan lalu perlahan-lahan menaiki batu yang 

membukit dari sebelah belakang. 

Sejarak enam langkah dari gubuk hitam, Iblis Rangkap 

Jiwa hentikan langkahnya. Sepasang matanya menatap tak 

berkesip pada gubuk hitam. Karena bagian belakang 

gubuk dibuat terbuka, maka dengan mudah Iblis Rangkap 

Jiwa dapat melihat apa yang ada di dalam gubuk. 

"Jahanam keparat! Siapa mereka ini?! Wajahnya di-

sembunyikan di balik arang hitam!" 

Untuk beberapa lama Iblis Rangkap Jiwa pandangi orang 

yang tidur mendengkur bersandar pada tongkat kayu. 

Yakin tidak mengenali adanya orang, Iblis Rangkap Jiwa 

cepat melesat ke atas lalu tegak dua langkah di sebelah 

dua orang yang masih tidur mendengkur. 

Bersamaan dengan menjejaknya kaki, Iblis Rangkap 

Jiwa keluarkan bentakan. 

"Manusia-manusia tak dikenal! Siapa kalian?!" 

Suara dengkuran melengking tinggi bersahutan, mem


buat Iblis Rangkap Jiwa tersentak kaget. Tapi bersamaan 

itu suara dengkuran terputus seketika. Orang yang tadi 

melangkah mundur gerakkan sikunya ke samping. "Jangan 

berbisik-bisik! Aku masih ngantuk!" 

Orang yang tadi memegang tongkat dan baru saja 

terkena sodokan siku orang di belakangnya balik gerakkan 

sikunya menyodok. "Kau masih juga suka bercanda! 

Mengapa kau berbisik-bisik tanya dirimu siapa?! Kau hari 

ini memang tampil beda! Tapi itu tak pertu kau tanyakan!" 

Hening sesaat, tak lama kemudian kedua orang ini 

kembali perdengarkan dengkuran, membuat Iblis Rangkap 

Jiwa kalap. Kaki kanannya disentakkan ke batu pijakannya 

seraya membentak garang. 

"Kalian berani main-main dengan Iblis Rangkap Jiwa! 

Kalian akan tahu rasa!" Kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa 

terangkat ke atas. Namun laki-laki ini tidak segera 

lepaskan pukulan. Dia sengaja menunggu sampai orang 

tahu siapa yang dihadapinya. 

Batu besar yang membentuk bukit itu laksana dilanda 

gempa dahsyat hingga bergerak-gerak akibat sentakan 

kaki Iblis Rangkap Jiwa. Saat yang sama suara dengkuran 

lenyap. 

Orang yang tadi memegang tongkat selinapkan tangan 

kanannya lalu bergerak-gerak di lambung orang 

disebelahnya seraya berucap. Sepasang matanya tetap 

terpejam. 

"Aku tahu kau Iblis.... Tapi jangan main-main dan terus-

terusan guncang-guncang tubuhku! Kalau kau masih 

ngantuk, apa kau kira aku tidak, he?!" 

Orang yang tadi melangkah mundur dan bersandar pada 

tongkat dengan sedikit dongakkan kepala dan mata 

memejam balik selinapkan tangan kirinya. Lalu meraba-

raba lambung orang sambil berkata. 

"Sialan kau! Siapa yang guncang-guncang tubuhmu dan 

main-main?!" 

Iblis Rangkap Jiwa sudah tidak dapat kuasai diri lagi. 

Kedua tangannya yang terangkat serta-merta disentakkan


ke arah dua orang yang saling berbisik. 

Wuutt! Wuuuutt! 

Belum sampai gelombang dahsyat sempat mencuat dari 

sentakan kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa, mendadak dua 

orang berwajah hitam menguap lebar-lebar. Tangan kanan 

kiri orang terangkat merentang dengan tubuh masing-

masing menggeliat. 

Iblis Rangkap Jiwa tersedak. Tubuhnya laksana didorong 

gelombang luar biasa keras, hingga bukan saja kedua 

tangannya terpental balik ke belakang, namun jika dia 

tidak cepat kerahkan tenaga dalam, niscaya sosoknya 

akan terdorong! 

"Jahanam! Bangsat!" maki Iblis Rangkap Jiwa dengan 

suara keras membahana. 

Dua orang berwajah hitam serentak saling putar kepala. 

Bukan ke arah Iblis Rangkap Jiwa, melainkan saling 

berhadapan! Dan dengan sama buka mata masing-masing, 

kedua orang ini sama buka mulut berbarengan. 

"Mengapa kau memakiku?!" 

Mata masing-masing orang sama melotot besar saling 

berpandangan. Orang yang tadi melangkah mundur buka 

mulut mengulangi pertanyaannya. 

"Mengapa kau memakiku, he?!" 

"Sialan! Kau yang memakiku! Mengapa balik 

menuduh?!" kata orang yang tadi memegang tongkat. Lalu 

orang ini palingkan kembali kepalanya ke arah semula. 

Saat itulah saking geramnya, Iblis Rangkap Jiwa 

menghardik dengan kerahkan tenaga dalam. 

"Manusia-manusia gila!" 

Laksana disentak tangan setan, orang yang tadi pegang 

tongkat palingkan kepalanya kembali menghadap orang 

yang tadi melangkah mundur dan saat itu belum palingkan 

kepala. 

"Sialan! Kau memakiku manusia gila! Aku memang 

manusia gila, edan, sinting! Tapi...." 

"Siapa yang memakimu?!" tukas orang yang tadi 

melangkah mundur.


Orang yang tadi memegang tongkat arahkan telunjuk 

tangannya tepat ke muka orang di sampingnya. Lalu tiba-

tiba terdengar ledakan tawanya. "Betul.... Suara tadi 

memang bukan suaramu.... Jadi suara siapa? Jangan-

jangan suara hantu...." 

"Bukan hantu! Tapi suara orang yang hendak tanggalkan 

kepala kalian,masing-masing!" suara keras menyambuti 

ucapan orang yang tadi memegang tongkat. 

"Ah.... Ternyata ada tamu...," ujar orang yang tadi 

melangkah mundur lalu perlahan-lahan orang ini gerakkan 

kepala menghadap ke arah mana tadi suara sambutan 

terdengar. Saat yang sama, orang yang tadi pegang tongkat 

juga gerakkan kepala. 

Melihat kedua orang di hadapannya putar kepala 

hendak menghadap ke arahnya, Iblis Rangkap Jiwa pasang 

tampang angker. Kedua tangannya diletakkan di pinggang 

kanan kiri, kepalanya sedikit ditengadahkan. Dan bibirnya 

disunggingkan menyeringai! 

Begitu melihat tampang orang, dua orang berwajah 

hitam sama-sama mengkerut. Orang yang tadi pegang 

tongkat buru-buru angkat tangan kanannya lalu menarik 

tongkat kayu yang tadi dibuat sandaran. Saat itu juga dia 

bergerak bangkit lalu mundur tiga tindak hingga hampir 

saja tubuhnya menghantam tiang gubuk! 

Orang yang tadi melangkah mundur tak kalah kagetnya. 

Malah orang ini sempat keluarkan seruan. Lalu bergerak 

bangkit dan surutkan langkah lalu tegak menjajari orang 

yang memegang tongkat. 

"Melihat gelagat, aku jadi bertanya-tanya sendiri...," kata 

orang yang tadi melangkah mundur. "Kau yang salah meng-

hitung hari dan keliru datang kemari, atau hantu gundul itu 

yang salah berdiri!" 

Orang yang memegang tongkat angkat tongkat kayunya. 

Lalu ujung tongkat diketuk-ketukkan pulang balik pada 

ujung kelima jari tangannya dengan kepala mengangguk-

angguk dan mulut menggumam. Kejap lain dia me-

mandang berkeliling. Lalu terakhir kali menatap pada Iblis


Rangkap Jiwa. 

"Hitungan hariku benar. Tempat tujuan tidak salah! 

Berarti dia yang salah kaprah!" 

"Padahal orang salah kaprah biasanya akan mengalami 

hal yang tak lumrah sebelum akhirnya menyerah" 

Kedua orang berwajah hitam lalu sama-sama per-

dengarkan ledakan tawa melengking bersahut-sahutan! 

***


LIMA


IBLIS Rangkap Jiwa tegak dengan sekujur tubuh laksana 

dipanggang saking jengkelnya. Sepasang matanya 

membelalak seperti hendak meloncat keluar dari 

rongganya. Ubun-ubunnya yang berkilat tampak berdenyut-

denyut keras. Sementara di hadapannya, kedua orang ber-

wajah hitam saling pandang lalu tanpa pedulikan ke-

marahan orang, kedua orang itu tertawa bersahut-sahutan. 

Iblis Rangkap Jiwa maju dua tindak. "Diam!" bentaknya. 

Kedua tangannya sudah terkembang di atas kepala. 

Seketika kedua orang berwajah hitam sama putuskan 

tawa masing-masing. Saling pandang sejurus lalu arahkan 

pandangannya pada Iblis Rangkap Jiwa. 

"Harap sudi sebutkan diri siapa kau adanya!" ucap orang 

yang tadi melangkah mundur. Kalau orang ini sejenak tadi 

tertawa bergelak, kini terlihat bersungut-sungut dengan 

raut tunjukkan tampang ketakutan. Malah kedua tangan-

nya tampak meremas-remas ujung pakaiannya. Sedang di 

sebelahnya orang yang tadi memegang tongkat tampak 

sodok-sodokkan ujung tongkatnya pada orang yang tadi 

melangkah mundur. Hingga mau tak mau membuat yang 

disodok menoleh dengan gelengkan kepala. 

"Jahanam! Aku yang berhak tanya siapa kalian adanya!" 

hardik Iblis Rangkap Jiwa. "Cepat katakan siapa masing-

masing kalian adanya!" 

Orang yang tadi melangkah mundur berpaling pada 

temannya. "Kau saja yang menjawab. Karena semua per-

jalanan ini kau yang bertanggung jawab!" 

Si pemegang tongkat menoleh. "Bagaimana bisa begitu? 

Kau saja yang mengatakan. Aku sudah pingin kencing...." 

"Bagus! Kalian belum tahu dengan siapa kalian saat ini 

sedang berhadapan! Dan itu satu tanda kematian bagi 

kalian berdua!"


Iblis Rangkap Jiwa sentakkan kedua tangannya. Tapi 

baru setengah jalan, orang yang tadi melangkah mundur 

sudah berseru. 

"Tahan! Tahan!" Orang ini menjura dalam-dalam dengan 

kedua tangan disatukan dan diletakkan di atas kepalanya. 

Namun orang ini tidak segera melanjutkan ucapannya. 

Sebaliknya melirik pada orang di sampingnya. Kakinya ber-

gerak menendang. 

Si pemegang tongkat berseru kaget. Mungkin karena 

saking terkejutnya, kedua tangannya sampai berkelebat ke 

atas. 

Di hadapannya, Iblis Rangkap Jiwa terkesiap. Gerakan 

kedua tangan orang yang memegang tongkat membuat 

dirinya laksana dilanggar sapuan gelombang luar biasa 

dahsyat. Ini makin meyakinkan laki-laki berkepala gundul 

itu bahwa siapa pun adanya kedua orang di hadapannya, 

dia tidak boleh bertindak ayal. Tapi hal itu juga makin 

membuat dadanya laksana dipanggang bara. 

"Mengapa kau menendangku?!" tanya si pemegang 

tongkat. 

"Ikuti gerakanku!" bisik temannya yang menjura dengan 

kedua tangan di atas kepala. "Kau harus tahu siapa orang 

yang kita hadapi!" 

Si pemegang tongkat buru-buru membuat gerakan 

seperti temannya. Malah orang ini tarik pulang tubuhnya ke 

atas ke bawah! 

"Harap maafkan kami.... Kami memang belum tahu. 

siapa gerangan yang ada di hadapan kami.... Dan kami 

mohon, tanda kematian yang baru kau katakan tadi di-

cabut saja! Kami masih ingin hidup.... Malah kalau bisa 

seribu tahun lagi!" ucap orang yang tadi melangkah 

mundur. Lalu gerakkan tubuhnya doyong ke kanan ke kiri. 

"Betul.... Betul.... Kami ingin hidup seribu tahun lagi!" 

timpal si pemegang tongkat masih dengan tarik tubuhnya 

ke atas ke bawah. 

Melihat gerakan-gerakan dua orang di hadapannya, 

meski dadanya panas namun mau tak mau membuat Iblis


Rangkap Jiwa sunggingkan senyum. Tapi karena raut wajah 

laki-laki ini mengerikan, senyumnya makin membuat 

wajahnya menakutkan! 

"Tanda kematian untuk kalian kucabut! Tapi katakan 

siapa kalian adanya! Mengapa ada di sini, dan kalian 

berada di pihak mana!" kata Iblis Rangkap Jiwa dengan 

kepala sedikit didongakkan. 

Masih dengan doyongkan tubuh ke samping kanan kiri, 

si orang yang tadi melangkah mundur buka mulut lagi 

menjawab. 

"Aku Raden Mas Antar Langit.... Temanku ini Raden Mas 

Antar Bumi...." 

"Kami datang ke sini semata-mata karena ingin mandi di 

kedung!" Yang bicara kali ini adalah si pemegang tongkat. 

"Kau lihat, wajah kami berwarna hitam.... Ini adalah kutuk 

yang harus kami terima! Menurut seorang tabib masyhur, 

kutuk yang menimpa kami berdua bisa hilang kalau kami 

mandi di Kedung Ombo pada malam purnama...." 

"Untuk pertanyaanmu yang terakhir aku tidak mengerti 

sama sekali.... Yang kau maksud pihak itu apa?!" Sekarang 

yang angkat bicara adalah orang yang tadi melangkah 

mundur. 

"Kalau mau, tolong jelaskan pada kami berdua...," timpal 

si pemegang tongkat lalu arahkan pandangan pada teman-

nya. Kedua orang berwajah hitam ini saling anggukkan 

kepala. 

"Apa ucapan-ucapannya bisa dipercaya? Tapi.... 

Gerakan-gerakannya tadi, meski tidak disengaja tapi 

mampu mengeluarkan tenaga dorong luar biasa...." Diam-

diam Iblis Rangkap Jiwa masih merenung seraya luruskan 

kepala memperhatikan kedua orang di hadapannya. 

Entah karena tidak mau membuat urusan baru sebelum 

urusannya sendiri selesai, Iblis Rangkap Jiwa segera saja 

buka mulut setelah agak lama berpikir. 

"Dengar! Kalau kalian ingin mandi di kedung, datanglah 

pada purnama bulan depan! Sekarang kalian enyah dari 

sini!"


"Kenapa harus purnama bulan depan?!" tanya orang 

yang tadi melangkah mundur. 

"Kami sudah tak kuat harus menunggu lagi! Kalau kau 

jadi kami, tentu kau dapat merasakan bagaimana tidak 

enaknya mengemban kutuk...." 

"Itu urusan kalian!" bentak Iblis Rangkap Jiwa. 

Kedua orang berwajah hitam saling pandang. Ber-

barengan mereka sama gerakkan kepala menggeleng. Lalu 

hampir bersamaan pula sama arahkan pandangannya 

pada Iblis Rangkap Jiwa. 

"Kami telah bertahun-tahun menanggung kutuk me-

malukan sampai tidak ada seorang gadis pun yang mau 

kami dekati. Sekarang kami telah mendapatkan apa yang 

kami cari-cari. Kurasa kami tidak bisa menunggu sampai 

purnama bulan depan...," kata orang yang tadi melangkah 

mundur dan mengaku bernama Raden Mas Antar Langit. 

"Benar! Kalaupun kami terpaksa menunggu, kami harus 

tahu dahulu kenapa dan ada apa di sini...," sahut si 

pemegang tongkat yang disebut Raden Mas Antar Bumi. 

"Malam nanti, air kedung akan berwarna merah! Karena 

bercampur darah tokoh-tokoh golongan putih!" kata Iblis 

Rangkap Jiwa. 

Untuk kesekian kalinya kedua orang berwajah hitam 

saling pandang. Namun kejap lain kedua orang ini sama 

gelengkan kepala masing-masing. Lalu masih dengan 

kedua tangan di atas kepala yang satu doyong ke samping 

kanan kiri dan satunya lagi pulang balik ke atas ke bawah, 

si Raden Mas Antar Langit angkat bicara. 

"Untuk apa mereka alirkan darah...? Upacara?! Atau 

mereka juga mengemban kutuk seperti kami...?" 

"Betul.... Lalu apa ada di antara mereka yang masih 

gadis? Kalau mereka mengemban kutuk seperti kami, 

bukan tidak mungkin salah satu di antara mereka mau 

dengan kami...," menimpali si Raden Mas Antar Bumi. 

"Aku tak akan jawab pertanyaan manusia-manusia gila 

macam kalian! Kuperintahkan kalian enyah dari sini! Kalau 

tidak, kalian berdua adalah manusia-manusia yang


pertama kali merubah warna air kedung!" kata Iblis 

Rangkap Jiwa. 

Sebenarnya Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas 

Antar Bumi hendak berpaling satu sama lain, namun 

gerakan kepala masing-masing orang ini tertahan karena 

Iblis Rangkap Jiwa sudah menghardik. 

"Sekali lagi kalian buka mulut bertanya, kematian 

adalah jawabannya!" 

"Ah.... Kalau begitu kita harus pergi...," kata Raden Mas 

Antar Langit. Lantas tertatih-tatih dia melangkah turun dari 

batu membukit itu. Sementara Raden Mas Antar Bumi 

sejenak masih belum beranjak. Namun begitu terlihat Iblis 

Rangkap Jiwa akan melangkah maju, orang yang pegang 

tongkat ini buru-buru melangkah turun. 

Begitu kedua orang berwajah hitam berada di bawah 

batu besar yang membentuk bukit, keduanya sama 

tengadahkan kepala. Iblis Rangkap Jiwa tampak tegak 

mengawasi mereka dengan kacak pinggang. 

"Hai...!" teriak Raden Mas Antar Langit. "Kami belum 

percaya ucapanmu! Jadi kami akan menunggu sampai 

malam nanti!" 

"Betul! Lagi pula kami malu bertemu orang-orang di 

jalanan! Kau tahu, selama ini kami menempuh perjalanan 

setelah hari gelap!" sahut Raden Mas Antar Bumi. 

Tanpa menunggu sahutan dari Iblis Rangkap Jiwa, 

kedua orang berwajah hitam ini melangkah lalu berbelok di 

antara batu-batu cadas putih yang ada tepat di depan 

kedung. 

Iblis Rangkap Jiwa terus memperhatikan dua sosok 

orang berwajah hitam dengan hati bertanya-tanya. Namun 

karena urusan yang kini tengah dihadapi membutuhkan 

banyak pemikiran, begitu dua sosok berwajah hitam lenyap 

di balik batu cadas tinggi di depan kedung dan tidak 

kelihatan lagi meski ditunggu agak lama, Iblis Rangkap 

Jiwa sudah melupakan keduanya. 

"Lebih baik aku siapkan tenaga dahulu...," gumam Iblis 

Rangkap Jiwa, lalu pelan-pelan laki-laki berkepala gundul


ini duduk di tengah gubuk. Kedua tangannya diletakkan di 

atas paha kiri kanannya. Saat lain sepasang matanya ber-

gerak mengatup. Hanya beberapa saat berlalu, sekujur 

tubuh orang ini sudah terlihat basah kuyup, tanda dia 

pusatkan segenap pikiran dan tenaga yang dimilikinya. 

Namun Iblis Rangkap Jiwa agaknya tidak akan bisa 

teruskan tindakannya. Karena telinganya samar-samar 

mendengar suara dengkuran yang bersahut-sahutan. 

Walau, suara dengkuran laksana datang dari tempat jauh, 

tapi anehnya seperti disuarakan orang di depan telinganya! 

Hanya saja kali ini suara dengkuran ini tidak sampai 

menyentak-nyentak gendang telinga. Yang mengherankan 

dan membuat Iblis Rangkap Jiwa memaki dalam hati, dia 

gagal membendung suara dengkuran! 

"Keparat! Ini pasti perbuatan manusia-manusia gila 

jahanam tadi!" Iblis Rangkap Jiwa kontan buka sepasang 

matanya lalu liar mencari sumber suara dengkuran. 

Tidak sulit bagi Iblis Rangkap Jiwa tentukan di mana 

beradanya orang yang keluarkan dengkuran bersahut-

sahutan. Tapi saat itu juga laksana hendak terbang, Iblis 

Rangkap Jiwa melonjak tegak. Sepasang matanya melotot 

besar ke puncak batu cadas putih yang menjulang tinggi di 

depan kedung. 

Pada puncak batu cadas putih tinggi di depan kedung, 

terlihat sebuah tongkat tegak menancap. Pada bagian atas 

tongkat terlihat celana hitam melambai-lambai ditiup 

angin! Pada sisi tongkat melingkar dua sosok tubuh 

dengan masing-masing mulut perdengarkan dengkuran! 

Iblis Rangkap Jiwa kembali memaki tidak karuan. 

Namun dia juga dilanda kebimbangan. Di satu sisi dia 

merasa terganggu dengan dengkur orang, namun di sisi 

lain sebenarnya dia tidak mau membuat urusan lebih 

dahulu apalagi alasan orang berwajah hitam sepertinya 

masuk akal meski dia masih meragukannya. 

Namun setelah dipikir-pikir akhirnya Iblis Rangkap Jiwa 

memutuskan hendak mengusir dua orang berwajah hitam. 

Dan kalau mereka keras kepala, dia telah memutuskan


untuk bertindak kasar. 

Tapi belum sampai Iblis Rangkap Jiwa bergerak, 

matanya menatap satu sosok tubuh berkelebat cepat dari 

arah kanan kedung, meloncat-loncat di antara batu-batu 

lalu tegak di salah satu batu tepat di bawah batu besar 

yang membukit di sebelah kanan kedung. 

Orang yang baru muncul arahkan kepalanya menghadap 

batu membukit di mana gubuk hitam dan Iblis Rangkap 

Jiwa berada. Namun kejap lain telah berpaling ke puncak 

batu cadas putih tinggi di mana tampak celana hitam 

melambai-lambai di atas tongkat dengan dua orang yang 

tidak lain adalah Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas 

Antar Bumi melingkar mendengkur. 

"Ternyata kedatanganku telah didahului orang...! Melihat 

gelagat, pertemuan ini bukan main-main! Siapa pun 

adanya orang mendengkur, pasti mereka bukan orang 

berilmu rendah! Hem.... Aku harus berada di mana?! 

Masing-masing orang di atas itu sama membuat tanda 

sendiri! Pasti mereka bukan satu aliran...." Orang ini putar 

kepala dengan mata menyelidik. Yakin tidak ada orang lagi, 

kembali dia arahkan pandangan pada puncak batu di 

mana Iblis Rangkap Jiwa berada. 

"Kurasa aku harus bertanya padanya! Dia orang yang 

tidak tidur!" gumam orang yang baru datang. Lalu setelah 

meyakinkan sekali lagi, orang ini berkelebat ke arah 

kawasan batu di sebelah kiri kedung. 

Di atas puncak batu bergubuk hitam, Iblis Rangkap Jiwa 

terus perhatikan gerak-gerik orang. Dan begitu orang di 

bawah sana sudah berkelebat menyeberang hamparan 

pasir di depan kedung dan hampir mencapai kawasan 

berbatu di mana dia berada, dia segera berteriak lantang. 

"Kawasan ini terlarang bagi orang yang tidak sebutkan 

diri!" 

Orang yang berkelebat hentikan larinya di atas batu di 

bawah batu membukit. Kepalanya mendongak. Karena 

puncak batu di mana Iblis Rangkap Jiwa berada agak 

tinggi, orang ini tidak mampu menangkap jelas paras wajah


Iblis Rangkap Jiwa. Hingga orang ini balik berteriak. 

"Kau membolehkan aku naik ke situ?!" 

"Jahanam! Kau telah dengar ucapanku! Kawasan ini 

terlarang bagi orang yang tidak sebutkan diri!" 

Orang di bawah perdengarkan dengusan keras. Lalu 

berseru. "Aku Dewi Siluman!" 

"Nama yang pernah kudengar!" desis Iblis Rangkap Jiwa. 

Lalu tanpa berkata-kata lagi Iblis Rangkap Jiwa berkelebat 

melayang turun dari puncak batu dan tegak hanya sejarak 

enam langkah dari orang yang baru muncul yang ternyata 

adalah seorang perempuan yang wajahnya ditutup dengan 

cadar berwarna hitam dan hanya menampakkan sepasang 

matanya yang tajam. Perempuan ini mengenakan jubah 

panjang sampai lutut juga berwarna hitam. Rambutnya 

pirang berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. 

Sepasang mata perempuan bercadar hitam dan 

memang Dewi Siluman adanya sejenak tampak membesar 

lalu mengerjap pertanda dia sempat terkejut melihat 

tampang orang yang tegak di hadapannya. 

"Katakan apa maksud kedatanganmu ke sini!" kata Iblis 

Rangkap Jiwa dengan suara sedikit dikeraskan. 

"Aku inginkan darah pemuda jahanam bergelar 

Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng!" 

Tampang angker Iblis Rangkap Jiwa berubah. Bibirnya 

tersenyum. Lalu seraya rentangkan kedua tangan dia 

berucap. 

"Ah.... Kau datang ke tempat yang tepat jika itu 

maksudmu! Dan asal kau tahu saja, bukan hanya darah 

pemuda itu yang akan mengaiir di sini! Tapi mungkin 

beberapa orang lagi!" Iblis Rangkap Jiwa pandangi lekat-

lekat perempuan di hadapannya, lalu meneruskan ucapan-

nya dalam hati. "Termasuk darahmu!" 

Dewi Siluman anggukkan kepala. "Boleh aku tahu siapa 

kau adanya?!" 

Iblis Rangkap Jiwa busungkan dada. Kepala ditengadah-

kan. "Aku Iblis Rangkap Jiwa!" 

Sepasang mata di cadar hitam menyipit. "Aku rasanya


pernah dengar gelar itu dari cerita orang. Tapi menurut 

cerita, bukankah orang itu hidup pada beberapa ratus 

tahun silam? Atau dia hanya sama gelarnya saja?!" Diam-

diam Dewi Siluman membatin. Namun dia sengaja tidak 

menanyakan hal itu pada Iblis Rangkap Jiwa. Yang 

kemudian muncul dalam ingatannya adalah cerita Ratu 

Pemikat tentang Kitab Hitam. 

"Apakah orang ini yang berhasil mendapatkan kitab itu?! 

Kalau Ratu Pemikat kini lebih tertarik pada Kitab Hitam 

daripada kedua kitab dan Pedang Tumpul 131, pasti kitab 

itu luar biasa dahsyat.... Hem.... Tak ada salahnya aku ber-

tanya!" 

Berpikir begitu, akhirnya Dewi Siluman ajukan tanya. 

"Menurut kabar yang terdengar, saat ini ada sebuah 

kitab sakti. Apakah dirimu orangnya yang beruntung 

mendapatkan kitab itu...?!" 

"Pertanyaannya memberi isyarat kalau kedatangannya 

juga ada hubungannya dengan kitab itu! Hem.... Kau ber-

nasib buruk! Dan datang ke tempat yang salah!" ujar Iblis 

Rangkap Jiwa dalam hati. Lalu buka mulut menjawab. 

"Aku adalah calon manusia yang akan memiliki kitab 

itu." jawaban Iblis Rangkap Jiwa telah membuat Dewi 

siluman maklum bahwa kitab itu ada di tangan orang lain. 

Tapi lagi-lagi Dewi Siluman tidak ajukan tanya siapa adanya 

orang yang kini memegang Kitab Hitam. 

"Aku yakin, orang ini begitu menginginkan kitab itu! 

Karena belum apa-apa dia sudah memastikan dirinya 

sebagai calon pemilik! Hem.... Kalau dia berada di pihak 

orang hitam, sementara pemegang Kitab Hitam juga 

berada di pihak ini, berarti sudah ada perang dalam 

selimut! Aku harus hati-hati...," kembali Dewi Siluman 

membatin. Saat itu dia baru teringat pada suara yang sejak 

tadi mengganggu telinganya meski tidak sampai mem-

buatnya kerahkan tenaga untuk membendung suara yang 

terdengar. 

Dewi Siluman arahkan pandangannya pada puncak batu 

cadas putih di mana terlihat celana hitam melambai-lambai


di atas tongkat. 

"Apa mereka juga berada di pihak kita?! Maksudku.... 

Orang-orang yang inginkan darah manusia-manusia 

golongan putih?!" 

Iblis Rangkap Jiwa ikut arahkan pandangannya ke 

puncak batu bercadas putih. 

"Aku tak tahu siapa mereka adanya dan apa tujuan 

pastinya! Tapi yang jelas, kedatangan mereka tidak ada 

hubungannya dengan pertemuan ini!" 

"Lalu mengapa dia muncul bertepatan dengan per-

temuan ini?!" 

"Mereka adalah manusia-manusia tertimpa kutuk dan 

percaya kalau kutukan pada dirinya akan sirna jika mandi 

di kedung itu pada malam purnama! Kepercayaan gila!" 

"Kau percaya dengan maksud kedatangannya?!" 

"Aku tak peduli dengan maksud kedatangan orang! 

Bukankah kalau dia berani macam-macam tak sulit meng-

alirkan darahnya?!" 

Dewi Siluman tengadahkan kepala. "Udara di sini sangat 

panas. Bagaimana kalau kita ke tempat kau tegak di sana 

tadi?!" Jari tangannya menunjuk pada gubuk hitam di 

puncak batu. 

"Aku tanya dahulu! Kau berada di pihak mana?!" 

Dewi Siluman sempat perdengarkan tawa perlahan men-

dengar pertanyaan Iblis Rangkap Jiwa. "Kalau kau orang 

golongan putih, sudah sejak tadi-tadi kutanggalkan kepala-

mu!" 

"Hem.... Kalau begitu, kau harus ikut aturan kami!" 

"Aturan apa?!" 

"Gubuk itu disediakan untuk seseorang!" 

Dewi Siluman pandangi gubuk beberapa saat. Lalu 

tanpa berpaling lagi pada Iblis Rangkap Jiwa dia 

melangkah. 

"Hai...! Kau hendak...." 

Belum sampai ucapan Iblis Rangkap Jiwa selesai, Dewi 

Siluman telah menukas tanpa berpaling. "Aku baru saja 

menempuh perjalanan jauh! Sementara nanti malam aku


harus mengadu jiwa! Aku butuh tempat untuk istirahat dan 

berpikir! Harap jangan ganggu!" 

Dewi Siluman meloncat-loncat dari batu ke batu yang 

banyak bertebaran. Lalu hentikan loncatannya pada 

sebuah batu agak besar yang diperkirakan dapat lindungi 

dirinya dari sengatan terik matahari yang mulai panas. Dan 

tanpa pedulikan pandangan Iblis Rangkap Jiwa, Dewi 

Siluman duduk bersila bersandar pada lamping batu. 

Sesaat kemudian perempuan ini telah katupkan sepasang 

matanya! 

Iblis Rangkap Jiwa menggumam tidak jelas. Lalu hendak 

berkelebat kembali ke puncak batu. Namun tiba-tiba laki-

laki berkepala gundul ini urungkan niat. 

"Apa manusia-manusia gila itu telah minggat?!" gumam-

nya seraya tajamkan pendengaran. Karena entah kapan 

mulainya, ternyata suara dengkuran orang yang tadi lamat-

lamat menggema di seantero tempat itu tidak terdengar 

lagi. 

Untuk meyakinkan dugaannya, Iblis Rangkap Jiwa ber-

paling tengadah. Namun apa yang dilihatnya, membuat 

laki-laki ini melotot angker. 

Celana hitam tetap melambai-lambai di atas tongkat di 

puncak batu cadas putih. Lalu tampaklah dua kepala 

berambut awut-awutan itu nongol di bibir batu menghadap 

ke arah Iblis Rangkap Jiwa. Malah begitu Iblis Rangkap 

Jiwa tengadah memandang, salah seorang dari kedua 

orang berwajah hitam lambai-lambaikan tangan dan 

berseru. 

"Hai, Teman! Apakah gadis hitam itu juga mengemban 

kutuk seperti kami?!" 

"Kulihat kau telah berkenalan! Boleh kami ikut 

nimbrung? Siapa tahu di antara kami bertemu jodoh di 

sini?" Yang satunya menyahut. "Kalau itu terjadi, kau akan 

kuundang! Yang pasti hiburannya asyik! Ada tari buaya 

dan...." 

"Tari telanjang!" sahut satunya lagi. "Tapi yang menari 

telanjang sapi kesurupan...." Orang ini sengaja pelankan


teriakan ucapan terakhirnya hingga Iblis Rangkap Jiwa 

tidak mendengar. 

Habis berkata, kedua orang berwajah hitam yang kini 

cuma nongolkan kepala masing-masing di bibir batu cadas 

perdengarkan tawa berkakakan. 

"Aku akan ikut gila perturutkan manusia-manusia gila 

itu!" desis Iblis Rangkap Jiwa. Lalu tanpa pedulikan ucapan 

orang, laki-laki berkepala gundul ini berkelebat mendaki 

batu besar yang membentuk bukit. 

Ketika Iblis Rangkap Jiwa sampai di puncak batu, suara 

tawa bekakakan sudah lenyap. Ketika Iblis Rangkap Jiwa 

arahkan pandangan ke puncak batu cadas putih, kedua 

orang berwajah hitam telah kembali melingkar di sekitar 

tongkat. Dan tak lama kemudian seantero tempat itu 

kembali diseruaki suara dengkuran bersahut-sahutan! 

***


ENAM


KAWASAN Kedung Ombo makin tampak indah tatkala 

sang bundaran jagat tepat berada di titik tengahnya. 

Hamparan pasir membentang di depan kedung 

tampak laksana dihiasi lukisan karena membentuknya 

bayang-bayang beberapa batu yang berada di sebelah 

kanan kirinya. Lamping-lamping batu yang agak besar 

tampak berkilat-kilat karena pantulan air kedung. Belum 

lagi bila ditingkah dengan fatamorgana yang terlihat di 

hamparan pasir luas yang memisah dua kawasan berbatu 

di sebelah kanan kiri kedung serta jalan-jalan setapak di 

celah batu-batu kecil yang berkelok kelok. 

Di puncak batu sebelah kiri kedung, Iblis Rangkap Jiwa 

terlihat duduk dengan mata terpejam rapat dan kedua 

tangan berada di paha kaki kiri kanan. Jauh di bawahnya 

Dewi Siluman duduk bersandar dengan mata terpejam dan 

kedua tangan merangkap di depan dada. Sementara di 

puncak batu cadas putih paling tinggi di depan kedung, 

Raden Mas Antar Langit dan temannya Raden Mas Antar 

Bumi tetap mendengkur bersahut-sahutan di bawah celana 

hitam yang diikatkan pada pangkal tongkat kayu. 

Pada awalnya, Iblis Rangkap Jiwa memang merasa ter-

ganggu dengan dengkur kedua orang berwajah hitam. 

Namun setelah pusatkan mata batinnya, pada akhirnya dia 

mampu menepis suara dengkuran. Tapi begitu matahari 

mulai tergelincir dari titik tengahnya, mendadak laki-laki 

berkepala gundul ini buka kelopak matanya. Pada saat 

yang sama, jauh di bawah mana Iblis Rangkap Jiwa berada, 

sepasang mata Dewi Siluman juga bergerak terbuka. Mata 

masing-masing orang ini memandang pada satu jurusan. 

Hanya dua orang berwajah hitam di puncak batu bercadas 

putih yang tetap mendengkur seperti semula. Malah begitu 

Iblis Rangkap Jiwa dan Dewi Siluman buka mata masing


masing, dengkur kedua orang ini sedikit agak keras! 

Sementara sosok mereka berdua tetap melingkar di 

sebelah tongkat. 

Dari kawasan berbatu di sebelah kanan kedung, Iblis 

Rangkap Jiwa dan Dewi Siluman menangkap kelebatan 

satu sosok tubuh. Hanya beberapa saat saja, orang yang 

berlari sudah berada di hamparan pasir yang membentang 

memisah dua kawasan berbatu di sebelah kanan kiri 

kedung. 

Seketika paras wajah Iblis Rangkap Jiwa berubah. 

Dadanya berdebar keras. Kedua tangannya mengepal. 

"Gadis sialan itu!" desis Iblis Rangkap Jiwa dengan suara 

bergetar "Siapa dia sebenarnya?! Kemunculannya pasti 

bisa membuat rencanaku jadi buyar! Hem.... Mumpung 

belum terlambat, dia harus kusingkirkan sekarang juga! 

Tapi aku akan coba dahulu perempuan berjubah hitam itu. 

Sambil melihat sampai berapa jauh bekal yang dibawanya!" 

Iblis Rangkap Jiwa berpaling pada Dewi Siluman. Lalu 

berteriak. 

"Dewi Siluman! Kau mengenal pendatang itu?!" 

Tanpa tengadah ke arah Iblis Rangkap Jiwa, Dewi 

Siluman menyahut. 

"Baru kali ini aku berjumpa!" 

"Hem.... Aku mengenalnya! Dia salah seorang yang 

darahnya harus dialirkan! Jadi kau tahu bukan apa yang 

harus kau lakukan?!" 

"Kedatanganku untuk darah Pendekar 131!" 

"Begitu?! Tapi peraturan kami harus kau laksanakan! 

Kau juga harus bersedia mengadu jiwa dengan manusia-

manusia yang berada di sekitar pemuda keparat itu! Dan 

pendatang itu adalah salah satunya! Habisi dia!" 

Dewi Siluman arahkan pandangannya pada Iblis 

Rangkap Jiwa. "Aku tak akan sia-siakan tenaga tanpa guna! 

Kalau kau hendak habisi dia, lakukan sendiri! Aku tidak 

akan campur tangan! Aku pun tidak mau kau ganggu!" 

Habis berkata begitu, Dewi Siluman arahkan 

pandangannya pada orang yang tegak di dataran pasir di


dapan kedung. Orang ini ternyata adalah seorang gadis 

berparas cantik jelita. Kulitnya putih, bentuk tubuhnya 

bagus. Rambutnya dikuncir tinggi. Gadis muda ini 

mengenakan jubah merah menyala. 

Untuk beberapa saat Dewi Siluman perhatikan si gadis 

yang bukan lain adalah Putri Sableng. Lalu tanpa buka 

mulut lagi, Dewi Siluman katupkan matanya! 

Melihat sikap dan ucapan Dewi Siluman, Iblis Rangkap 

Jiwa mendengus keras. Kalau tidak melihat bahwa orang 

yang datang diyakini bisa merusak semua rancananya, dan 

harus segera disingkirkan, niscaya dia tidak akan tinggal 

diam dengan sikap yang diperlihatkan Dewi Siluman. 

Seperti diketahui, Iblis Rangkap Jiwa pernah jumpa 

dengan Putri Sableng pada beberapa waktu yang lalu. 

Sialnya, ternyata si gadis berwajah cantik mengenakan 

jubah merah menyala itu mengetanui kelemahan Iblis 

Rangkap Jiwa. Hal inilah yang membuat Iblis Rangkap Jiwa 

sangat gusar sekaligus cemas dengan kemunculannya di 

Kedung Ombo. 

Sementara itu Putri Sableng yang sudah sampai di 

sebelah kiri kedung tampak sedikit terkejut. Dia sesaat 

arahkan pandangan pada Iblis Rangkap Jiwa lalu pada 

Dawi Siluman. Lalu mendongak berpaling pada puncak 

batu cadas putih. 

"Sedapat mungkin aku harus menghindar dahulu untuk 

bentrok dengan Iblis Rangkap Jiwa! Terlalu berbahaya 

menghadapi dia seorang diri...." Membatin Putri Sableng. 

"Dewi Siluman.... Nyatanya dia muncul juga di sini! Apa 

maunya anak itu sebenarnya...?!" 

Habis membatin, Putri Sableng hendak putar diri dan 

berniat berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun baru 

setengah putaran, satu sosok hitam melayang dan tahu-

tahu telah tegak menghadang. 

"Kau bisa melarikan diri sampai ke ujung dunia! Tapi 

jangan harap kau mampu bersembunyi dan selamatkan 

nyawa dari tanganku!" bentak Iblis Rangkap Jiwa yang baru 

saja melayang dari puncak batu.


"Harap maafkan dan lupakan peristiwa di puncak bukit 

beberapa waktu yang lalu. Aku datang dengan 

persahabatan...," kata Putri Sableng lalu menjura. 

"Hem.... Kau kira begitu mudah memaafkan dan 

melupakan peristiwa itu, he?!" 

Putri Sableng anggukkan kepalanya. "Semuanya sudah 

berlalu. Anggap saja tidak pernah terjadi! Apa susahnya 

berbuat begitu?! Lagi pula bukankah kita sama-sama tidak 

mendapatkan apa-apa dengan peristiwa itu?" 

Iblis Rangkap Jiwa tegak dengan mulut terkancing rapat. 

Hanya sepasang matanya yang perhatikan sosok gadis di 

hadapannya. Putri Sableng angkat bahu lalu buka mulut 

lagi. "Kalau dihitung-hitung, seharusnya kau yang minta 

maaf padaku.... Bukankah saat itu kau hendak berbuat 

tidak senonoh padaku?!" 

Iblis Rangkap Jiwa belum juga angkat bicara. Putri 

Sableng lanjutkan ucapannya dengan dada makin gundah 

karena dia maklum siapa adanya orang di hadapannya. 

"Kuulangi lagi ucapanku. Aku datang dengan per-

sahabatan!" 

"Apa maksud persahabatan?!" hardik Iblis Rangkap Jiwa. 

"Aku ingin bergabung denganmu!" 

Kedua alis mata Iblis Rangkap Jiwa terangkat. Sebelum 

laki-laki ini keluarkan suara, Putri Sableng telah lanjutkan 

ucapannya. 

"Aku memang hanya punya sedikit kepandaian! Tapi aku 

ingin menyumbangkan yang sedikit itu untuk membantumu 

menghadapi manusia-manusia yang akan datang nanti 

malam! Kau tahu.... Pemuda bergelar Pendekar 131 telah 

menipuku! Aku kecewa mengatakan padanya tentang 

dirimu...." 

Rahang Iblis Rangkap Jiwa bergerak terangkat. "Jadi kau 

anak manusianya yang menebarkan berita tentang diriku! 

Jahanam betul!" 

"Memang jahanam betul!" sahut Putri Sableng. Lalu 

seolah melupakan kegundahan hatinya, gadis ini tertawa 

cekikikan! "Tapi apa boleh buat. Semuanya sudah terlanjur!


Tapi telanjur sekali belum.... Buktinya aku ingin bergabung 

denganmu demi menebus apa yang talah kulakukan!" 

"Telanjur sekali memang belum, Gadis Sialan!" kata Iblis 

Rangkap Jiwa seraya menyeringai. "Tapi terlambat! Kau 

tahu, karena ulahmu, hampir semua orang kini tahu 

tentang kelemahanku! Kau harus bayar semuanya 

sekarang juga!" 

"Aku datang memang untuk membayar! Aku bersedia 

membantumu!" 

"Aku tidak butuh bantuan! Kau harus bayar dengan 

mampus di tanganku!" 

"Ah.... Sayang sekali kalau begitu! Padahal aku datang 

jauh-jauh dengan maksud baik!" 

"Sayang juga, maksud baikmu terlambat datangnya! Jadi 

tidak ada pilihan lain bagimu!' 

"Kau sudah pikirkan semuanya?!" tanya Putri Sableng 

sambil senyum-senyum, membuat Iblis Rangkap Jiwa tidak 

enak. Tapi laki-laki ini tidak mau menduga-duga. Dia segera 

saja buka mulut menyahut. 

"Untuk membunuhmu, aku tidak perlu berpikir dua kali!" 

Putri Sableng gelengkan kepala. "Itu salah besar! Justru 

kalau kau tidak berpikir dua kali lipat, kau akan menyesal 

seumur-umur!" 

"Kau ini bicara apa?!" 

"Dengar.... Sebelum aku datang ke sini, aku telah 

menitipkan sesuatu pada seorang sahabat dengan pesan. 

Kalau kau sampai bertindak yang tidak-tidak padaku, 

apalagi sampai membunuhku, maka sahabat itu kusuruh 

sampaikan titipan yang kuberikan pada semua orang!" 

"Titipan apa, hah?!" bentak Iblis Rangkap Jiwa sambil 

maju satu tindak. 

"Titipan apa lagi kalau bukan tentang dirimu?" ujar Putri 

Sableng kalem seraya terus senyum-senyum. "Kau tahu.... 

Meski kau nanti membekal Kitab Hitam dan tidak mempan 

pukulan, itu tak akan ada artinya lagi kalau semua orang 

tahu kelemahanmu! Bahkan langkahmu akan makin 

sempit, karena bahaya mengancammu di mana-mana!"


Iblis Rangkap Jiwa memaki habis-habisan dalam hati. 

Malah saat itu juga kedua kakinya mencak-mencak! 

Putri Sableng seakan tidak pedulikan kegerahan hati 

orang. Dia buka mulut lagi sambil arahkan pandangannya 

pada Dewi Siluman dan puncak bukit batu cadas putih. 

"Kau tinggal tentukan pilihan! Bahkan kalau kau keras 

kepala, aku tidak segan memberitahukan pada orang-

orang yang telah berada di sekitar sini! Itu berarti kau tidak 

akan mendapatkan apa-apa di sini! Paham...?!" 

"Gadis ini benar-benar keparat!" desis Iblis Rangkap 

Jiwa. "Apa hendak dikata. Aku tidak mau usahaku selama 

ini sia-sia hanya karena ulah gadis ini.... Tapi setelah 

urusan ini selesai, dia akan dapatkan kematian yang 

sangat mengerikan!" kata Iblis Rangkap Jiwa dalam hati. 

Lalu berkata. 

"Baik! Tawaranmu kuterima! Tapi bukannya tanpa 

syarat!" 

"Aku tak mau lagi bicara soal syarat! Malah seharusnya 

aku yang ajukan syarat! Bukan kau! Kau tak usah khawatir. 

Aku tidak akan ingkari semua ucapanku!" 

Beberapa lama Iblis Rangkap Jiwa terdiam. Di depannya, 

Putri Sableng memandang berkeliling sambil angguk-

anggukkan kepala. 

"Bagaimana?!" tanya Putri Sableng. "Kau tak usah 

berpikir dua kali dalam urusan ini! Ini menyangkut hidup 

matimu! Keputusan harus segera kau ambil! Matahari 

tidak akan lama lagi tenggelam! Aku juga tidak mau terus 

berpanas-panasan di sini! Percuma aku merawat kulit dan 

wajahku kalau hanya untuk menunggu keputusan...." 

"Baik! Baik! Tapi kalau kau sampai berbuat yang tidak-

tidak, peduli setan semua orang tahu kelemahanku atau 

tidak!" teriak Iblis Rangkap Jiwa, lalu laki-laki ini balikkan 

tubuh dan melangkah panjang-panjang menuju puncak 

batu. 

Putri Sableng memperhatikan langkah-langkah Iblis 

Rangkap Jiwa dengan cekikikan. Lalu gadis berjubah 

merah ini melangkah mengambil arah berseberangan


dengan Dewi Siluman. Kalau Dewi Siluman berada di 

bawah puncak batu sebelah selatan yang ditancapi gubuk 

hitam, Putri Sableng melangkah ke arah sebelah utara 

puncak batu di bawah gubuk hitam. 

Pada salah satu batu di sebelah kiri puncak batu yang 

ditancapi gubuk hitam, Putri Sableng duduk berlindung dari 

sengatan terik matahari yang mulai condong ke arah barat. 

Namun baru saja pantatnya menyentuh pasir di sebelah 

batu, terdengar orang berkata. 

"Kau dapat menduga ada apa kira-kira di sini?!" 

Hening sejenak. Tapi tak lama kemudian terdengar 

sahutan. 

"Aku tidak dapat menduga dengan pasti! Tapi melihat 

kehadiran beberapa perempuan, jangan-jangan tempat ini 

adalah pasar jodoh! Wah.... Berarti kita untung besar! 

Siapa tahu takdir kita menemukan jodoh di sini...." 

Putri Sableng arahkan pandangannya pada puncak batu 

cadas putih di mana baru saja terdengar suara orang ber-

bicara. Nun jauh di puncak batu cadas putih, Putri Sableng 

melihat dua kepala berambut awut-awutan nongol di bibir 

batu. Lalu terlihat pula dua pasang kaki bergerak-gerak 

pulang balik di belakang kepala! Pertanda kalau kedua 

orang ini telungkup sambil main-kan kedua kakinya ke atas 

ke bawah! Lalu gadis berjubah merah ini melihat salah 

seorang lambaikan tangannya. Bukan ke arahnya, me-

lainkan pada Iblis Rangkap Jiwa yang telah tegak di puncak 

batu sebelah kiri kedung. Lalu terdengar teriakan. 

"Hai, Teman! Boleh kami memperkenalkan diri pada dua 

teman perempuanmu itu?!" 

Tidak terdengar-sahutan dari seberang, membuat orang 

yang lambaikan tangan kembali berteriak. 

"Hai, Teman! Kulihat wajahmu murung! Apa ada yang 

bisa kami bantu?! Urusan perempuan tidak ada sulitnya 

bagi kami berdua! Percayalah.... Semuan pasti beres!" 

Karena Iblis Rangkap Jiwa hanya memandang tanpa 

buka mulut, akhirnya keusilan Putri Sableng muncul. Gadis 

berjubah merah ini urungkan niat untuk duduk. Dia bangkit


lalu meloncat ke salah satu batu yang agak besar. Kedua 

tangannya diangkat tinggi-tinggi, malah kedua tumitnya 

diangkat. Lalu dia lambai-lambaikan kedua tangannya. 

"Hai.... Kalian berdua!" seru Putri Sableng. "Kalau hanya 

ingin berkenalan mengapa masih tiduran di situ?! 

Kemarilah! Mari kita berkenalan! Aku butuh teman untuk 

berbincang-bincang!" 

Kedua orang di puncak batu cadas putih saling 

pandang. Lalu terdengar ucapan. 

"Walah.... Rezeki kita besar sekali hari ini! Ada gadis 

cantik mengundang kita!" 

"Betul.... Betul! Kita tidak boleh sia-siakan kesempatan 

langka ini berlalu begitu saja!" menyahut satunya. Lalu 

salah seorang dari kedua orang ini bergerak bangkit. 

Busungkan dadanya sejenak lalu hendak melangkah 

menuruni puncak batu cadas. 

Namun gerakan orang ini tertahan, karena orang 

satunya segera keluarkan suara. "Hai.... Tolong ambilkan 

celanaku dahulu!" 

"Ah.... Itu urusanmu! Ambil sendiri!" ujar satunya. "Aku 

sudah tak sabar!" Orang ini lanjutkan langkah. Sementara 

orang satunya tampak beringsut hendak menyambar 

celana hitam yang berkibar-kibar di atas tongkat. 

Namun sebelum celana hitam tersentuh, dan orang 

satunya baru melangkah dua tindak, terdengar bentakan 

keras membahana. 

"Jangan ada yang berani bergerak! Tetap di tempat 

kalian masing-masing! Atau kepala kalian akan tanggal!" 

Wuutt! Wuutt! 

Dua gelombang dahsyat melesat di atas hamparan pasir 

yang memisahkan dua kawasan berbatu, lalu melabrak 

lurus ke arah orang yang berada di puncak batu cadas 

putih! 

Dari puncak batu putih terdengar dua seruan ber-

sahutan. Orang yang tadi sudah tegak dan melangkah, 

buru-buru rebahkan diri. Karena di mana dia berpijak 

adalah batu cadas putih, dan dia tak mau tubuhnya meng


hantam cadas. Sementara temannya tanpa pikir panjang 

lagi telah menjatuhkan dirinya ke atas orang yang tadi 

masih telungkup! 

Kembali terdengar seruan. Tapi tak lama kemudian 

disusul dengan terdengarnya suara tawa bergelak! 

"Untung aku telungkup hingga kau masih menumbuk 

pantatku! Kalau aku tadi telentang, tentu kau akan 

mencium barang saktiku!" kata orang yang direbahi yang 

tenyata adalah Raden Mas Antar Bumi yaitu laki-laki yang 

tadi memegang tongkat. 

Suara gelakan tawa kembali menggema. Orang yang 

rebah, yakni Raden Mas Antar Langit beringsut turun dari 

tubuh Raden Mas Antar Bumi lalu perlahan-lahan bergerak 

ke bibir batu cadas merangkak. Lalu arahkan pandangan-

nya pada Iblis Rangkap Jiwa yang baru saja berteriak 

sambil lepaskan pukulan jarak jauh. 

"Hai, Teman! Mengapa kau menyerangku?!" teriak 

Raden Mas Antar Langit. 

Dari seberang, Iblis Rangkap Jiwa hanya memandang 

dengan mulut terkancing. Raden Mas Antar Langit 

membalik arahkan pandangannya pada Putri Sableng 

begitu dilihatnya si gadis masih tegak di atas batu, Raden 

Mas Antar Langit lambaikan tangan. 

Di bawah sana, Putri Sableng kembali berjingkat seraya 

lambai-lambaikan kedua tangannya. 

"Bagaimana?! Apa kalian masih ingin berkenalan?!" 

"Tentu! Tapi bagaimana ini?! Keadaan tidak memungkin-

kan! Bagaimana kalau kita berkenalan jarak jauh saja?!" 

jawab Raden Mas Antar Langit. 

"Kalian tidak berani turun?!" tanya Putri Sableng. 

"Turuti kata hati, lautan api akan kulangkahi. Gelombang 

samudera akan kuarungi. Tapi apa hendak dikata. Kedua 

tanganku tidak sampai! Atau bagaimana kalau kau saja 

yang naik ke sini?!" 

"Kalau begitu maumu, baiklah!" ujar Putri Sableng 

dengan berteriak lantang. Gadis berjubah merah ini segera 

hendak turun dari batu. Namun gerakannya tertahan


tatkala tiba-tiba dari puncak batu putih terdengar teriakan. 

"Tahan! Jangan kemari dahulu! Ada aral melintang!" 

Yang berteriak ternyata Raden Mas Antar Bumi. 

"Waduh! Kau ini bagaimana?! Ini rezeki besar. Mengapa 

ditahan?!" sungut Raden Mas Antar Langit. 

"Celaka! Celaka!" 

"Setan! Apanya yang celaka?!" hardik Raden Mas Antar 

Langit. 

"Celanaku! Celanaku terbang ke bawah sana!" 

Raden Mas Antar Langit berpaling ke belakang. Celana 

hitam memang sudah tidak tampak lagi di atas tongkat! 

Seketika Raden Mas Antar Langit meledak gelakan 

tawanya. 

"Sontoloyo! Mengapa kau tertawa?!" bentak Raden Mas 

Antar Bumi seraya berpaling ke bawah melihat celana 

hitamnya yang kini tampak terhampar menyangkut di salah 

satu batu. 

Raden Mas Antar Langit hentikan tawanya. Lalu 

melambai ke arah Putri Sableng seraya berteriak. "Betul! 

Jangan kemari dahulu. Ada sesuatu yang harus kami 

perbaiki! Jika selesai, kau akan kuteriaki!" 

Habis berteriak, Raden Mas Antar Langit berpaling pada 

Raden Mas Antar Bumi. 

"Bagaimana sekarang?!" 

"Sialan! Kau masih ajukan tanya juga! Apa aku harus 

turun dengan begini?!" 

"Jadi aku yang turun ambilkan celanamu?!" Raden Mas 

Antar Langit gelengkan kepala. "Kau dengar ancaman si 

gundul tadi?! Kepalaku akan ditanggalkan begitu aku 

berani beranjak dari tempat ini! Kau sayang sahabat apa 

sayang celana?!" 

"Ah.... Celaka! Lalu harus bagaimana?!" 

"Terpaksa kita menunggu orang lewat! Lalu kita minta 

tolong!" 

"Hem.... Bagaimana kalau kita minta tolong gadis 

berjubah merah itu?!" tanya Raden Mas Antar Bumi seraya 

arahkan pandangan ke arah Putri Sableng.


"Mana mungkin gadis cantik macam dia mau ambilkan 

celanamu yang butut dan bau begitu?!" 

"Jadi...?!" 

"Terpaksa kita nunggu nenek-nenek! Kalau nenek-nenek 

pasti mau ambilkan celanamu!" ujar Raden Mas Antar 

Langit sambil cekikikan. 

"Hem.... Gara-gara gundul itu rezeki besar terbuang! Dan 

kita tidak akan bisa tidur lagi! Karena kita harus menunggu 

orang! Sialan benar...," keluh Raden Mas Antar Bumi. 

Kedua orang berwajah hitam ini akhirnya sama 

telungkup sambil nongolkan kepala masing-masing di bibir 

batu cadas putih dengan mata melotot. 

"Kalau tidak ada nenek-nenek lewat, bagaimana?!" 

gumam Raden Mas Antar Bumi. 

"Kita tunggu saja sambil melihat keadaan! Hanya kau 

harus banyak berdoa mudah-mudahan tidak ada 

hembusan angin kencang. Jika itu terjadi, kau akan lebih 

merana!" 

"Hem...." Raden Mas Antar Bumi menggumam. Lalu tiba-

tiba diarahkan pandangannya pada Putri Sableng. 

"Ah.... Bukankah kau tadi tawarkan pada gadis itu untuk 

berkenalan meski jarak jauh?!" 

Tanpa menunggu sambutan Raden Mas Antar Langit, 

Raden Mas Antar Bumi telah lambaikan tangan. Di bawah 

sana Putri Sableng yang baru saja turun dari batu segera 

pula lambaikan kedua tangannya. 

"Ada apa?! Apa perbaikan sudah selesai?!" teriak Putri 

Sableng. 

"Belum! Tapi bukankah kita bisa berkenalan jarak 

jauh?!" kata Raden Mas Antar Bumi. 

"Ah.... Sebenarnya aku ingin berkenalan dengan ber-

tatap muka! Tapi kalau begitu maumu, aku tidak 

keberatan! Sekarang kuharap kalian mau sebutkan diri 

satu persatu dengan berdiri agar aku lebih jelas!" teriak 

Putri Sableng. 

"Wan.... Celaka lagi!" ujar Raden Mas Antar Bumi. Orang 

ini lalu berpaling pada temannya. "Kau saja yang men


jelaskan!" 

Belum sampai Raden Mas Antar Langit perdengarkan 

ucapan, Iblis Rangkap Jiwa telah berteriak mendahului. 

"Jika di antara kalian ada yang masih buka suara, ku-

hancurkan batu cadas tempat kalian berada!" 

Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar Bumi 

sama kancingkan mulut. Lalu sama arahkan pandangan 

pada Putri Sableng yang tegak cekikikan. Kejap lain kedua 

orang berwajah hitam sama letakkan dagu masing-masing 

di bibir batu dengan mata melotot memandang ke bawah. 

***



TUJUH


SENGATAN terik sinar matahari mulai agak mereda, 

karena sudah jauh menggelincir ke pelataran langit 

di sebelah barat. Hamparan langit sedikit berubah 

warna disemburati warna merah kekuningan. Hembusan 

angin mulai sebarkan hawa dingin. 

Di bawah puncak batu di sebelah kiri kedung, Dewi 

Siluman masih duduk bersila bersandar pada batu dengan 

mata terpejam dan kedua tangan merangkap di muka 

dada. Putri Sableng juga tampak duduk bersandar pada 

batu. Namun sepasang mata gadis ini terbuka. Sesekali 

kepalanya tengadah memandang ke puncak batu di mana 

gubuk hitam berada. 

Kedua orang berwajah hitam tetap nongolkan kepala di 

bibir batu cadas putih dengan mata tak berkesip 

memandang ke bawah. Kedua orang ini tidak ada lagi yang 

buka mulut. Yang paling tampak resah adalah Iblis 

Rangkap Jiwa. Beberapa kali laki-laki berkepala gundul ini 

coba memejamkan sepasang matanya pusatkan mata 

batin. Namun tampaknya dia mengalami kegagalan. 

Hingga pada akhirnya dia buka matanya dengan kepala 

sesekali memandang ke arah Dewi Siluman, Putri Sableng 

serta dua orang berwajah hitam di seberang batu cadas 

putih. Malah begitu matahari mulai berubah warna, orang 

ini tampak arahkan pulang balik pandangannya ke jurusan 

kawasan berbatu di sebelah kanan kedung. Jelas 

pandangannya membayangkan rasa gelisah dan tidak 

sabar. Namun tak jarang dia menghela napas dalam. 

"Ada orang datang...." Raden Mas Antar Langit berbisik 

pada temannya dengan kepala bergerak memaling ke arah 

belakang tempatnya berada. 

"Ah.... Betul! Mudah-mudahan seperti harapanku! 

Seorang nenek-nenek. Agar kita bisa segera berkenalan


dengan gadis cantik itu!" sahut Raden Mas Antar Bumi lalu 

ikut-ikutan palingkan kepala ke belakang. 

Entah karena takut orang yang diyakini datang tidak 

melihat ke arah mereka berdua, keduanya cepat beringsut 

lalu dengan cepat merangkak ke bibir batu cadas putih di 

bawah mana terbentang jalan menuju kedung. 

Baru saja kedua orang berwajah hitam ini tongol-kan 

kepala masing-masing ke bibir batu cadas putih di tempat 

mana jika ada orang lewat di bawahnya pasti akan melihat, 

satu sosok tubuh berlari cepat dari jurusan belakang batu 

cadas putih. 

Begitu sosok yang berlari hampir mendekati julangan 

batu cadas putih, Raden Mas Antar Bumi buru-buru 

lambaikan tangan sambil berteriak keras. 

"Hai...! Hai...! Selamat datang! Kuharap keadaanmu 

baik-baik saja!" 

Orang yang berlari hanya gerakkan kepalanya sebentar. 

Namun orang ini seakan tidak mendengar teriakan orang. 

Dia terus saja lanjutkan larinya. Dia baru berhenti tatkala 

sampai ditepi hamparan pasir yang memisahkan dua 

kawasan berbatu. 

"Hai...!" kembali Raden Mas Antar Bumi berteriak. "Kami 

berada di sini!" 

Orang yang tegak tidak jauh dari julangan batu cadas 

putih mendongak. Kali ini dia berlama-lama pandangi dua 

kepala di bibir batu dengan dahi berkerut dan mata mem-

besar. 

"Waduh.... Bukan kelasmu!" ujar Raden Mas Antar 

Langit. "Melihat potongan tubuhnya, aku tak yakin apa dia 

mau menolong!" 

"Ah.... Benar! Dia bukan nenek-nenek! Tapi siapa tahu?!" 

gumam Raden Mas Antar Burnt. Lalu pandangi orang di 

bawah sana. Mulutnya sunggingkan senyum seolah orang 

di bawah sana bisa melihat senyumnya! 

"Apa kemunculan mereka atas undangan Iblis Rangkap 

Jiwa?! Atau atas pemberitahuan Ni Luh Padmi?!" desis 

orang yang tegak di dekat julangan batu cadas putih. Ia


adalah seorang perempuan berparas cantik mengenakan 

pakaian warna biru tipis ketat. Rambutnya dikuncir tinggi 

seolah ingin memperlihatkan lehernya yang putih jenjang. 

Perempuan berpakaian biru berwajah cantik dan bukan 

lain adalah Ratu Pemikat, gerakkan kepala ke kanan, ke 

kawasan batu di sebelah kiri kedung. 

"Hem.... Iblis Rangkap Jiwa sudah siap seperti rencana!" 

gumam Ratu Pemikat. Lalu pandangannya mengarah pada 

batu di mana Dewi Siluman berada. "Perempuan keparat 

itu nyatanya sudah muncul juga! Hem.... Dia memilih 

tempat yang tepat!" Perempuan ini sedikit agak terkejut 

tatkala matanya menangkap sosok Putri Sableng. 

"Mengapa gadis itu berada di situ?! Apa aku yang salah 

lihat?! Bukankah aku pernah menjumpai dirinya bersama 

Pendekar 131?! Atau bukan dia gadis yang kulihat waktu 

malam itu...? Ah. Kalau dia berada di kawasan itu, berarti 

Iblis Rangkap Jiwa sudah sempat mengorek keterangan 

dari mulutnya!" 

Ratu Pemikat arahkan pandangannya berkeliling. 

"Belum ada tanda-tanda kemunculan orang-orang golongan 

putih! Tapi pasti mereka akan datang! Tengah malam 

masih lama.... Hanya yang kuherankan ke mana gerangan 

nenek yang katanya mencari Pendeta Sinting itu?! Dia 

seharusnya sudah muncul di sini?! Atau jangan-jangan dia 

telah tewas di tengah jalan...." 

Ratu Pemikat kembali arahkan pandangannya pada Iblis 

Rangkap Jiwa. Lalu tanpa buka mulut atau membuat 

gerakan isyarat, perempuan itu berkelebat ke arah 

kawasan berbatu di sebelah kanan kedung. 

"Hai...! Kita memang belum berkenalan. Tapi kuharap 

kau tidak keberatan memberi pertolongan!" 

Satu teriakan terdengar membuat gerakan Ratu Pemikat 

tertahan. Perempuan ini mau tak mau dongakkan kepala. 

Dadanya kembali dilanda berbagai tanya dan duga. 

"Dalam keadaan seperti sekarang ini, aku harus 

bersahabat dengan siapa saja!" kata Ratu Pemikat dalam 

hati, lalu balas berteriak.


"Katakan pertolongan apa yang harus kulakukan untuk 

kalian!" 

"Ah.... Dia memberi harapan!" bisik Raden Mas Antar 

Bumi. Lalu buka mulut. 

"Sebelumnya aku minta maaf. Karena sesuatu hal, 

celanaku jatuh ke bawah sana itu!" Raden Mas Antar Bumi 

tunjukkan tangannya pada celana hitam yang masih 

terhampar di salah satu batu cadas putih. "Kalau kau tidak 

keberatan, kuharap kau mau ambilkan cena-laku...." 

Di sebelahnya, Raden Mas Antar Langit sudah tahan 

tawanya. Namun tak urung, sesaat kemudian tawanya 

keluar juga. Hingga Raden Mas Antar Bumi menggerutu 

sambil mendelik. 

Ratu Pemikat arahkan matanya ke arah yang ditunjuk 

orang. Lalu mendongak lagi. 

"Wajahnya tidak mau dikenali! Siapa mereka?! Mengapa 

celananya sampai jatuh?! Mengapa mereka mengambil 

tempat di situ?!" Ratu Pemikat dibuncah berbagai hal. 

Ratu Pemikat berpikir sejurus. Lalu melangkah ke arah 

celana hitam di atas batu cadas putih. Namun perempuan 

ini tidak segera ambil celana itu. Dia hentikan langkah di 

sebelah batu di mana tersangkut celana milik Raden Mas 

Antar Bumi. 

"Aku akan membantu yang kalian inginkan, tapi jawab 

dulu pertanyaanku!" 

Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar Bumi 

saling pandang. Lalu Raden Mas Antar Bumi berseru. 

"Apa yang hendak kau tanyakan?!" 

"Katakan siapa kalian adanya! Mengapa berada di situ! 

Juga katakan siapa yang memberi tahu hingga kalian 

muncul di sini!" 

"Aku Raden Mas Antar Bumi. Temanku ini Raden Mas 

Antar Langit.... Kami berdua muncul di sini atas anjuran 

seorang tabib kesohor...." 

Ratu Pemikat Pernyitkan kening. Namun belum sampai 

dia menduga kebenaran ucapan orang, Raden Mas Antar 

Langit telah lanjutkan ucapan temannya.


"Meski jauh, tentu kau masih lihat bagaimana bentuk 

warna wajah kami. Hitam legam memilukan! Ini bukan 

karena kami sengaja mempercantik diri. Melainkan kutuk 

yang harus kami terima karena melanggar pantangan. 

Menurut tabib tadi, kutuk bisa sirna kalau kami mandi di 

Kedung Ombo pada malam purnama!" 

"Lalu...," kali ini yang menyambung adalah Raden Mas 

Antar Bumi. "Kami tadi sudah enak-enakan tidur di gubuk 

hitam sana itu sambil menunggu malam purnama nanti. 

Tapi tiba-tiba datang si Iblis Rangkapan itu! Dia mengusir 

kami! Karena kami harus menunggu sampai malam, 

terpaksa kami memilih tempat ini. Namun si Iblis Rangkap 

Jiwa itu tidak menaruh belas kasihan pada kami. Dia 

bermain-main angin. Hingga akhirnya celanaku sampai 

jatuh ke dekat tempatmu itu...." 

Mendengar orang sebut Iblis Rangkap Jiwa dengan Iblis 

Rangkapan, mau tak mau membuat Ratu Pemikat ter-

senyum. Namun sejauh ini dia tidak segera ambil celana 

hitam, sebaliknya ajukan tanya lagi. 

"Mengapa salah satu di antara kalian tidak ambil 

sendiri?! Bukankah yang satunya lagi masih mengenakan 

celana?!" 

"Betul! Tapi si Iblis Rangkapan itu mengancam kami! 

Kalau kami berani bergerak dari tempat ini, kepala kami 

akan ditanggalkan!" ujar Raden Mas Antar Langit. 

"Daripada kami mati sia-sia, bukankah lebih baik 

menunggu orang yang mau menolong?" 

"Katakan terus terang. Kalian berada di pihak mana?!" 

Tiba-tiba Ratu Pemikat berteriak karena diam-diam 

perempuan ini tidak begitu percaya dengan ucapan-ucapan 

orang. 

"Ah.... Pertanyaanmu sama dengan pertanyaan Iblis 

Rangkapan tadi! Kami terus terang saja tidak berpihak ke 

mana-mana! Maksud kedatangan kami telah kau ketahui! 

Jadi harap tidak berprasangka buruk. Lebih dari itu, 

kumohon kau mau menolongku!" kata Raden Mas Antar 

Bumi,


"Baik! Aku akan menolong kalian!" ujar Ratu Pemikat. 

Lalu ulurkan tangan kirinya mengambil celana hitam di 

atas batu cadas putih. Raden Mas Antar Bumi tersenyum-

senyum. Apalagi tatkala Ratu Pemikat melangkah ke 

tempat mana tadi dia pertama kali muncul. 

Tepat berada di bawah batu cadas putih menjulang, 

Ratu Pemikat hentikan langkah. Celana hitam ditenteng di 

tangan kiri dan tampak berkibar-kibar. Kepalanya men-

dongak. Raden Mas Antar Bumi makin lebarkan senyum. 

"Aku akan berikan celana ini besok pagi!" seru Ratu 

Pemikat, membuat senyum Raden Mas Antar Bumi laksana 

ditanggalkan setan. Kejap lain terdengar keluhan keras 

saat tanpa berkata-kata lagi Ratu Pemikat berkelebat ke 

arah kawasan berbatu di sebelah kanan kedung sambil 

menenteng celana hitam. 

"Kau tak usah cemas.... Mungkin dikira celana bututmu 

bisa membawa berkah!" gumam Raden Mas Antar Langit, 

membuat Raden Mas Antar Bumi memberengut sambil 

menggumam. 

"Ini namanya celaka tiga belas! Pertolongan yang di-

harap, lebih celaka yang didapat! Hilang sudah ke-

sempatan berkenalan dengan gadis cantik berjubah merah 

itu!" 

Sementara di atas puncak batu yang ditancapi gubuk 

hitam, Iblis Rangkap Jiwa sejenak tadi tampak menduga-

duga apa yang akan dilakukan oleh Ratu Pemikat. Namun 

begitu samar-samar dapat menangkap celana hitam di 

tangan kiri sang Ratu, laki-laki berkepala gundul ini 

sunggingkan senyum seringai. Jauh di bawahnya, Dewi 

Siluman buka kelopak matanya. Lalu memandang ke 

seberang dengan mata sedikit dibeliakkan. 

"Jahanam! Mengapa perempuan sundal itu tegak di 

seberang sana?! Menurut tanda, seharusnya dia tegak di 

kawasan ini! Hem.... Ada permainan apa ini?! Manusia Iblis 

itu juga tidak buka mulut dengan kehadirannya!" 

Di sebelah bawah samping kiri puncak batu di mana 

Iblis Rangkap Jiwa berada, Putri Sableng diam-diam juga


membatin. "Aneh.... Ada apa ini?! Muslihat apa lagi yang 

sedang dilakukan perempuan itu?!" 

Sementara kedua orang berwajah hitam sama bergerak 

merangkak. Lalu nongolkan kepala masing-masing di bibir 

batu cadas putih di atas mana hamparan pasir mem-

bentang dengan mata sama mendelik dan kepala ber-

gerak-gerak berpaling pada Dewi Siluman, Iblis Rangkap 

Jiwa, Putri Sableng, dan Ratu Pemikat. Namun kali ini 

mereka sama kancingkan mulut. 

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba semua kepala berpaling 

ke satu arah. Mata masing-masing orang yang berada di 

tempat itu memandang tak berkesip. Satu sosok tubuh 

berlari cepat dari arah belakang mana Ratu Pemikat 

berada. 

"Berhenti!" Ratu Pemikat membentak sambil putar 

tubuh. Orang yang baru saja berlari hentikan langkah. 

Tegak di atas batu sejarak sepuluh langkah dari Ratu 

Pemikat. Ternyata orang ini adalah seorang nenek ber-

pakaian panjang warna coklat. Pada tangannya tampak ter-

genggam sebuah tusuk konde besar berwarna hitam. Si 

nenek tidak lain adalah Ni Luh Padmi. 

"Kuharap kau tidak menuduhku bertindak macam-

macam!" Si nenek telah mendahului buka mulut begitu 

melihat pandangan curiga Ratu Pemikat. 

Seperti diketahui, Iblis Rangkap Jiwa, Ratu Pemikat 

serta Ni Luh Padmi telah membuat rencana dan sepakat 

akan bertemu dua hari menjelang purnama di puncak 

Bukit Selamangleng. Namun sampai hari yang ditentukan, 

Ni Luh Padmi tidak muncul. Ini membuat Iblis Rangkap Jiwa 

dan Ratu Pemikat merasa curiga. 

Ratu Pemikat campakkan celana hitam milik Raden Mas 

Antar Bumi. Lalu memandangi si nenek dari ujung rambut 

sampai ujung kaki. Bibirnya tersenyum dingin. 

"Aku tidak akan menuduh kalau kau mengatakan alasan 

tepat!" 

Ni Luh Padmi putar pandangannya. Mula-mula ke arah 

Dewi Siluman, lalu ke atas puncak batu di seberang di


mana Iblis Rangkap Jiwa berada. Lalu pada Putri Sableng. 

Dan tak luput matanya memandang ke arah dua wajah 

hitam yang nongol di bibir batu cadas putih. Terakhir kali 

kembali pada sosok Ratu Pemikat. Untuk beberapa saat 

kedua orang ini saling pandang. Si nenek lalu angkat 

bicara. 

"Di tengah perjalanan melakukan tugas seperti yang 

telah kita sepakati, aku bertemu dengan seseorang yang 

mau tunjukkan padaku di mana tempat tinggalnya Pendeta 

Sinting...." 

"Hem.... Coba katakan di mana?!" sahut Ratu Pemikat. 

"Jurang Tlatah Perak!" 

"Hem.... Lalu?!" 

"Aku menuju Jurang Tlatah Perak. Namun, meski tempat 

itu sudah kuaduk-aduk, aku tidak menemukan bangsat 

penghuninya! Walau begitu, satu hal yang pasti, tempat itu 

memang kuyakini tempat persembunyian jahanam itu! Dan 

dia pergi belum lama!" 

"Bagaimana kau bisa yakin?!" 

Ni Luh Padmi sunggingkan senyum seringai. "Aku tahu 

siapa jahanam itu lebih daripada orang lain!" 

"Kalau kau sudah tahu jahanam bangsatnya tidak ada, 

mengapa tidak segera kembali?!" 

"Aku telah lama mencari. Begitu tempatnya sudah 

kutemukan, apakah aku harus begitu saja pergi meski 

bangsat keparatnya tidak kutemukan?! Dia kutunggu 

sampai beberapa hari dengan harapan dia akan pulang!" 

"Tapi kau mengalami kecewa besar, bukan?!" 

Ni Luh Padmi tidak segera menjawab. Namun beberapa 

saat kemudian dia anggukkan kepala. "Dia tidak muncul 

sampai aku memutuskan pergi kemari!" 

"Hem.... Aku bisa saja menerima alasanmu! Tapi di 

hadapan Malaikat Penggali Kubur, bisa saja lain!" 

"Maksudmu?!" 

"Kusarankan padamu. Kalau kau masih inginkan nyawa 

Pendeta Sinting, kau harus minta maaf pada Malaikat 

Penggali Kubur! Soal apa nanti alasanmu, itu urusanmu!"


Paras wajah si nenek berubah. Ratu Pemikat tersenyum 

lebar. Lalu berujar. 

"Tanpa kukatakan, kau tahu bukan di mana kau harus 

berdiri?!" 

Kepala Ni Luh Padmi berpaling memandang berkeliling. 

"Siapa yang berjubah hitam dan berjubah merah itu?!" 

"Kalau mereka berada di sana, siapa pun mereka 

adanya, yang pasti mereka adalah manusia-manusia 

musuh golongan putih!" 

"Dua orang di puncak batu cadas putih itu?!" 

"Mereka hanya manusia tersesat jalan!" 

"Dan kau sendiri, mengapa...." 

"Jangan banyak bertanya!" potong Ratu Pemikat lalu 

hadapkan tubuh ke hamparan pasir yang membentang 

memisah dua kawasan berbatu. "Mumpung hari belum 

gelap, kuharap kau segera memilih tempat!" 

Dengan dada dipenuhi tanda tanya dan kegelisahan, si 

nenek meloncat dari batu lalu melangkah melintasi 

hamparan pasir yang membentang di depan Kedung 

Ombo. 

Saat itulah dari puncak batu cadas putih terdengar 

gumaman. 

"Kenapa matamu melotot begitu rupa! Dia hanya nenek-

nenek! Dan percuma kau minta tolong padanya!" Yang 

perdengarkan suara ternyata Raden Mas Antar Langit. 

Raden Mas Antar Bumi tidak menyahut. Malah sepasang 

matanya makin membelalak besar. 

"Kau tertarik padanya?!" kembali Raden Mas Antar 

Langit buka suara. Tapi yang ditanya tetap kancingkan 

mulut, membuat Raden Mas Antar Langit berpaling silih 

berganti pada temannya lalu pada Ni Luh Padmi yang 

melintas di bawah sana. 

"Laki-laki seusiamu memang saat-saatnya tumbuh 

perasaan cinta untuk ketiga kalinya.... Tapi kurasa kau 

terlalu sembrono kalau menjatuhkan pilihan pada si nenek 

itu! Masih banyak gadis muda dan cantik yang kuyakini 

bisa kau gaet! Apalagi wajahmu tidak mengecewakan....


Buktinya kau tahu sendiri. Walau kau berhias begitu rupa, 

gadis berjubah merah itu tadi tak sabar ingin ber-

kenalan...." 

"Sontoloyo! Kalau kau tak bisa diam, kulemparkan kau 

ke bawah sana!" hardik Raden Mas Antar Bumi dengan 

kepala masih bergerak mengikuti langkahan kaki Ni Luh 

Padmi. 

"Ah.... Sebagai teman, aku cuma mengingatkan! Lagi 

pula aku akan ikut bangga kalau kau bisa berdampingan 

dengan seorang gadis cantik dan muda! Hik.... Hik...! Bukan 

dengan nenek-nenek yang dihias bagaimanapun juga tidak 

membuat mata betah memandang, sebaliknya membuat 

pantat gatal!" 

"Setan! Setan! Diam kau!" bentak Raden Mas Antar 

Bumi, membuat Ni Luh Padmi yang melintas di bawah 

mereka berdua dongakkan kepala. 

"Hai...!" kata Raden Mas Antar Langit sambil lambaikan 

tangan saat dilihatnya si nenek tengadah memandang. 

Raden Mas Antar Bumi serta-merta gerakkan tangan. 

Bukan ikut-ikutan melambai, melainkan tarik pulang 

tangan temannya yang baru saja melambai. Di bawah 

sana, Ni Luh Padmi kerutkan dahi sesaat, namun kejap lain 

si nenek telah lanjutkan langkah. 

"Apa yang kau lakukan?! Kau cemburu aku lambaikan 

tangan pada nenek itu?!" tanya Raden Mas Antar Langit. 

"Kau ini aneh. Belum kenal sudah cemburu buta!" 

Raden Mas Antar Bumi tidak juga menyahut. Dia hanya 

pandangi si nenek yang kini telah tegak di atas batu tidak 

jauh dari tempat Dewi Siluman. Sementara Dewi SilUman 

sendiri seolah acuh dengan kehadiran orang di dekatnya. 

Hanya Iblis Rangkap Jiwa yang tampak telengkan kepala ke 

arah Ni Luh Padmi. Pada awalnya laki-laki berkepala 

gundul ini sudah hendak berkelebat saat dilihatnya Ni Luh 

Padmi muncul. Namun niatnya diurungkan setelah 

dilihatnya Ratu Pemikat sempat bercakap-cakap dengan Ni 

Luh Padmi. 

Baru saja Ni Luh Padmi tegak di atas batu, tiba-tiba


semua orang di tempat itu tersentak kaget. Entah kapan 

datangnya, tiba-tiba dari bawah julangan batu cadas putih 

di depan kedung, satu sosok tubuh berkelebat! 

***


DELAPAN


BUKAN hanya kemunculan orang yang membuat 

semua orang tersentak kaget, mereka juga sama 

membatin dan bertanya-tanya. Karena orang yang 

mendadak muncul terus berlari menyeberangi hamparan 

pasir yang membelah kawasan berbatu. Orang ini baru 

hentikan larinya saat satu langkah lagi tepat di bibir 

kedung! 

Seakan tahu dirinya menjadi pusat pandang beberapa 

mata, orang ini putar tubuh membelakangi kedung. Ter-

nyata dia adalah seorang kakek. Rambutnya yang kaku di-

potong pendek hingga terlihat tegak-jabrik. Raut wajahnya 

penuh keriputan. Sepasang matanya terpuruk masuk ke 

rongga yang cukup dalam. Kalau rambutnya yang putih di-

potong pendek, tidak demikian halnya dengan kumisnya 

yang juga telah berwarna putih. Kumis kakek ini dibiarkan 

panjang hingga menutupi hampir janggutnya! Pada kedua 

cuping hidungnya yang agak mancung tampak melingkar 

dua buah anting-anting dari benang warna merah. Kakek 

ini mengenakan pakaian berwarna biru gelap. 

Meski si kakek di bibir kedung telah unjuk tampang, 

namun semua orang yang ada di tempat itu jelas sama 

menampakkan isyarat kalau tidak seorang pun yang 

mengenal. 

Beberapa saat Kedung Ombo senyap. Tidak ada suara 

yang terdengar menyeruak. Hanya beberapa mata yang 

tampak saling melontar pandang. Sementara si kakek yang 

menjadi pusat pandang orang mulai lakukan gerakan. 

Kepalanya berpaling ke kiri. 

Sesaat si kakek di bibir kedung memandang pada Ni 

Luh Padmi yang tegak paling kanan. Lalu beralih pada Dewi 

Siluman yang kini tampak pentangkan mata. Kejap lain si 

kakek mendongak sedikit arahkan pandangannya pada


Iblis Rangkap Jiwa yang tegak kacak pinggang di bawah 

gubuk hitam. Lalu pandangannya beralih pada Putri 

Sableng. Pada si gadis berjubah merah ini, si kakek 

memandang agak lama sebelum akhirnya arahkan 

pandangan pada puncak batu cadas putih di mana terlihat 

kepala Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar 

Bumi. Si kakek anggukkan kepala sedikit lalu berpaling ke 

kanan. Pada kawasan berbatu di mana Ratu Pemikat 

berada. 

Begitu pandangannya sampai pada Ratu Pemikat, si 

kakek bukan segera buka mulut. Melainkan putar 

pandangannya kembali. Kini berbalik arah. Mulai dari Ratu 

Pemikat dan berakhir pada Ni Luh Padmi. Kejap lain si 

kakek tengadah melihat langit yang mulai menggelap 

karena matahari sejengkal lagi terbenam. 

Kesepian di sekitar Kedung Ombo tiba-tiba disentak 

dengan beberapa gumaman dan pandangan heran 

beberapa mata. Karena si kakek di bibir kedung tiba-tiba 

sentakkan kedua kakinya. Sosoknya melesat lima tombak 

ke udara. Membuat gerakan satu kali, lalu meluncur deras 

ke dalam kedung! 

Byuuurr! 

Air tenang Kedung Ombo berkecipak sampai satu 

tombak ke udara. Lalu tampak gelombang bergerak 

dahsyat laksana dihempas angin luar biasa kencang. 

Malah sebagian air kedung muncrat melewati bibir kedung. 

Gumaman yang sejenak tadi terdengar tiba-tiba lenyap. 

Kini hanya beberapa pasang mata yang memandang pada 

tengah kedung. Semua orang seolah tak sabar apa 

sebenarnya yang dilakukan orang. Mereka menunggu 

dengan dada dibuncah berbagai tanya. 

Namun semua orang di sekitar Kedung Ombo pada 

akhirnya harus mengalami kecewa besar. Karena hingga 

ditunggu agak lama, kakek yang ceburkan diri ke dalam 

kedung tidak muncul lagi! 

Rasa terkesima semua orang belum lenyap, tiba-tiba 

satu suara terdengar


"Aneh..,. Dari mana mendung ini berasal?! Baru saja 

langit terang benderang!" 

Hampir berbarengan semua kepala di tempat itu 

bergerak mendongak. Ucapan yang baru saja terdengar 

dari puncak batu cadas putih memang benar adanya. 

Karena begitu matahari tenggelam, tiba-tiba langit yang 

sejenak tadi tanpa tertutup awan sedikit pun berubah. 

Entah dari mana dan kapan datangnya, tiba-tiba langit 

disemaraki dengan gulungan awan hitam, membuat 

suasana yang mulai gelap sudah berubah pekat! Malah 

kalau tidak pelototkan mata, orang yang ada di sekitar 

Kedung Ombo tidak akan mampu melihat lainnya! 

Anehnya, gulungan awan hitam itu hanya menggantung 

tepat di atas Kedung Ombo! 

"Wah ... Kebetulan! Mumpung gelap, aku akan bisa 

leluasa berjalan! Kita mandi sekarang!" kata seseorang 

dari puncak batu cadas putih. 

"Kalau kau ingin mandi sekarang, silakan! Melihat kakek 

yang tadi mencebur dan tidak muncul lagi, aku urungkan 

niat saja! Biar aku mengemban kutuk begini daripada mati 

tidak karuan!" menyahut satunya. 

"Mengapa kau takut dengan kakek itu! Dia memang 

sengaja bunuh diri!" 

"Peduli setan bunuh diri atau tidak! Yang jelas dia tidak 

muncul lagi. Dan aku tak mau mengalami nasib seperti 

dia!" 

"Ah.... Kau selalu saja menakut-nakutiku! Lantas apa 

yang harus kita lakukan sekarang?!" 

"Kurasa ada yang tidak beres di tempat ini! Kalau benar 

malam ini di sini ada pasar jodoh, mengapa yang datang 

nenek-nenek juga?! Dan kau tahu sendiri. Wajah-wajah 

mereka terlihat tegang kaku! Belum lagi ada kakek yang 

tiba-tiba bunuh diri! Kita pulang saja! Bukankah malam 

purnama tidak hanya malam ini?! Lagi pula kulihat sang 

rembulan tidak akan muncul! Mandi sampai semalaman 

pun tidak akan mampu menghilangkan kutuk kita kalau 

rembulan tidak nongol! Ayo, kita pulang!" „


"Enak saja kau bicara!" sahut suara satunya. 

"Bagaimana aku bisa pulang kalau tidak mengenakan 

celana?" 

"Bukankah sudah gelap?! Tak mungkin orang dapat 

melihat senjata saktimu! Kalaupun orang sempat melihat, 

kau tak usah khawatir, yang melihat pasti akan tunggang 

langgang terlebih dahulu! Hik.... Hik.... Hik...!" 

"Betul juga. Kalau lari tunggang langgang menjauh aku 

tidak kerepotan! Biasanya yang melihat lari tunggang 

langgang mendekatiku! Hik.... Hik.... Hik...!" 

Ketegangan di Kedung Ombo laksana sirna karena di 

tempat itu kini disemaraki suara ledakan tawa bersahut-

sahutan. 

"Hai, kalian yang ada di puncak batu cadas putih!" tiba-

tiba satu teriakan terdengar. "Jadi itukah yang kalian 

katakan tadi aral melintang?!" 

"Ah.... Itu suara gadis cantik berjubah merah!" gumam 

salah seorang di puncak batu cadas putih. Orang yang ber-

gumam ini lantas berteriak menyambuti suara teriakan 

yang baru saja terdengar. 

"Benar! Itulah aral rintangannya. Dan kami tak mampu 

memperbaikinya! Bagaimana kalau kau pinjamkan 

celanamu pada temanku ini?!" 

"Menyesal sekali! Aku tidak mengenakan celana!" sahut 

teriakan dari bawah. 

"Jadi di balik jubah merahmu itu kau tidak mengenakan 

apa-apa lagi?!" 

"Sialan!" satu teriakan keras terdengar. Yang ini meski 

suara perempuan namun jelas lain dari teriakan yang tadi 

terdengar. "Kalian yang ada di puncak batu cadas putih! 

Dengar, yang bicara kali ini aku si jubah merah! Kalau yang 

tadi si jubah hitam! Jadi kalian jangan macam-macam 

mengatakan aku tidak mengenakan apa-apa lagi di balik 

jubah merahku ini! Bisa kulepas lidah kalian masing-

masing! Kalian dengar? Kalau kalian ingin teruskan bicara 

dengan si jubah hitam itu, silakan! Tapi awas! Jangan kau 

sebut-sebut lagi si jubah merah!"


"Waduh.... Maafkan kalau kami salah sangka! Maklum 

suasana sangat gelap! Baik, aku akan teruskan bicara 

dengan si jubah hitam...," teriak orang dari puncak batu 

cadas putih. Lalu sesaat kemudian terdengar lagi teriakan 

dari puncak batu cadas putih. 

"Hai, Jubah Hitam! Karena kita belum saling kenal, tak 

keberatan bukan kalau kusebut saja si Jubah Hitam?!" 

"Tak apa-apa.... Silakan kalian terus bicara!" terdengar 

suara sahutan dari bawah. Yang ini jelas suaranya lain 

dengan suara orang yang baru mengatakan dirinya si jubah 

merah. 

"Kuulangi lagi pertanyaanku tadi. Jadi di balik jubah 

hitammu itu kau tidak mengenakan apa-apa lagi?!" kata 

suara dari puncak batu cadas putih. 

"Di sini banyak telinga! Aku malu mengatakannya...," 

terdengar sahutan dari bawah. 

"Kau tak usah malu mengatakannya, Jubah Hitam! 

Anggap saja semua telinga di sini tidak bisa mendengar! 

Dan anggap di sini hanya ada kita bertiga...! Asyik 

bukan...?!" 

"Asyik memang asyik! Tapi rasanya aku tidak kuasa 

mengatakan...." 

"Ah.... Kau pasti bisa mengatakannya! Bukankah tidak 

ada telinga yang mendengar?! Lagi pula aku akan menjaga 

rahasia ini untuk kita bertiga! Katakanlah...." 

Hening sejenak. Lalu dari arah bawah terdengar lagi 

teriakan mendayu. 

"Aku memang... tidak mengenakan apa-apa lagi! Tapi 

kalian jangan menduga yang tidak-tidak! Itu memang 

sudah kebiasaanku dari mulai kecil! Aku geli kalau 

mengenakan pakaian di balik jubah hitamku ini...." 

Dari puncak batu cadas putih terdengar gumaman. Lalu 

dari arah bawah terdengar suara tawa cekikikan ditahan-

tahan. Tak lama kemudian, dari puncak batu cadas putih 

terdengar teriakan. 

"Jubah hitam...! Aku yakin di balik cadarmu itu ter-

sembunyi seraut wajah cantik nan jelita bak bidadari.... Aku


mendapat firasat ada yang tidak beres di tempat ini. 

Bagaimana kalau kita pergi saja dari sini?!" 

"Ah.... Kau pandai merayu.... Aku mungkin tidak secantik 

yang kau kira! Tapi dibanding dengan gadis berjubah 

merah itu, mungkin kau masih memilihku! Kalau kau ingin 

mengajakku pergi dari sini, kira-kira kau akan ajak aku ke 

mana?!" 

"Ke mana kau suka aku akan memenuhinya!" 

"Ah, senang hatiku mendengarnya.... Kita pergi 

sekarang?!" 

"Benar! Kita berangkat sekarang saja!" 

"Gila! Bagaimana kau ini?! Kau tidak boleh pergi dari 

sini!" satu suara di puncak batu cadas putih menahan. 

"Kau ini tidak mau rezeki besar! Ada perempuan cantik 

yang di balik jubah hitamnya tidak mengenakan apa-apa 

mengajak pergi kau tolak! Dasar orang sinting! Apa kau 

hendak menunggu nenek-nenek tadi?!" 

"Sialan! Kau benar-benar sialan! Aku tidak menolak 

rezeki! Tapi bagaimana dengan senjata saktiku ini?! Mau 

ditaruh di sakumu, hah?!" 

"Astaga! Aku lupa!" ujar suara satunya. "Gara-gara si 

gundul itu dua rezeki besar harus terbuang percuma!" 

"Hai.... Kalian yang ada di puncak batu cadas putih! 

Bagaimana! Kapan kita berangkat?! Aku sudah tidak 

sabar...." 

"Jubah Hitam. Kau tidak keberatan bukan kalau 

temanku ini jalan bersama tanpa memakai celana?!" 

Terdengar suara cekikikan. Lalu disusul teriakan 

mendayu-dayu. 

"Aku tidak keberatan...." 

"Nah. Kau telah dengar sendiri! Dia tidak keberatan 

jalan bersama meski kau tidak mengenakan celana! 

Tunggu apa lagi?!" 

"Sontoloyo! Aku ini bangsa manusia biasa, bukan 

bangsa iblis sepertimu! Yang bisa jalan dengan perempuan 

walau tanpa mengenakan celana!" sahut suara satunya. 

"Hem.... Rupanya kau lupa! Walau kau bangsa manusia,


bukankah kau masuk golongan manusia sinting?! Dalam 

golongan manusia sinting sepertimu, apakah masih tabu 

jalan bersama perempuan tanpa mengenakan celana?!" 

"Sesinting-sintingnya bangsa manusia, dia tidak akan 

punya kelakuan seperti bangsa iblis golonganmu!" 

"Hai.... Mengapa kalian bertengkar?!" terdengar suara 

teriakan dari bawah. "Kalian tidak usah terlalu mem-

persoalkan celana! Bukankah bajumu masih bisa kau buat 

penutup kalau kau mau?! Meski sebenarnya aku lebih 

senang kau jalan tanpa mengenakan celana! Hik.... Hik.... 

Hik...!" 

"Jahanam keparat! Mulut kotormu harus dipecah!" Tiba-

tiba terdengar teriakan dahsyat. Suara itu jelas suara 

seorang perempuan dan lain dari suara-suara perempuan 

yang tadi terdengar. 

"Ada apa ini? Siapa memaki siapa?!" terdengar suara 

dari puncak batu cadas putih. 

"Aneh memang! Tapi ada yang lebih aneh lagi! Lihat ke 

langit!" sahut suara satunya. 

Dalam pekatnya suasana, samar-samar masih terlihat 

semua kepala tengadah ke atas. Dan berpasang-pasang 

mata tampak membelalak. Di atas sana, gulungan awan 

hitam yang sejenak tadi menutup hamparan langit tepat di 

atas Kedung Ombo laksana disapu gelombang angin 

kencang. Gulungan awan hitam ambyar dan bertaburan. 

Anehnya, tepat di mana tadi awan hitam bergulung-gulung 

menutup langit di atas Kedung Ombo, kini tampak sang 

rembulan yang pancarkan sinar terang! Hingga kepekatan 

di sekitar kawasan Kedung Ombo sirna seketika! Ke mana 

pandangan diarahkan terlihat jelas. 

Kedua orang berwajah hitam di puncak batu cadas putih 

kini tampak tegak di bibir batu. Hanya yang satu kini 

bertelanjang dada. Bajunya ditarik ke bawah lalu diikatkan 

demikian rupa hingga menyerupai pakaian panjang bagian 

bawah! 

Raden Mas Antar Bumi yang bertelanjang dada dan 

Raden Mas Antar Langit tampak tersenyum-senyum. Dan


ketika dilihatnya si jubah hitam yang bukan lain adalah 

Dewi Siluman, melihat ke arah mereka, kedua orang ini 

sama angkat kedua tangan masing-masing lalu melambai-

lambai. 

Namun senyum keduanya mendadak terpenggal. Gerak 

lambaian tangannya terhenti. Karena di bawah sana 

mendadak Dewi Siluman bergerak bangkit. Kepala 

perempuan bercadar hitam ini mendongak. Lalu terdengar 

suara garang. 

"Kalian jahanam berdua! Kalian akan tunggu giliran 

setelah kucabut lidah kotor gadis jubah merah keparat itu!" 

Habis berteriak begitu, Dewi Siluman langsung 

berkelebat memutari batu membukit sebelum akhirnya 

berhenti hanya sejarak lima langkah dari tempat tegaknya 

Putri Sableng! 

"Tak kusangka kalau wajahmu yang cantik tidak sesuai 

dengan mulutmu!" 

Putri Sableng memandang orang di hadapannya dengan 

angkat kedua alis matanya. Belum sampai gadis berjubah 

merah ini buka mulut, Dewi Siluman telah mendahului. 

"Jangan kau kira aku tidak tahu! Bukankah yang 

mengaku sebagai si Jubah Hitam adalah mulutmu juga?!" 

Kedua tangan Dewi Siluman telah terangkat. 

"Suasana gelap! Jangan kau menuduh seenakmu! Aku 

tidak mengaku sebagai si Jubah Hitam! Di sini banyak 

orang dan mereka juga ada yang perempuan!" sahut Putri 

Sableng. Gadis ini ikut-ikutan angkat tangannya. 

"Waduh.... Gawat! Gawat!" terdengar suara dari puncak 

batu cadas putih. "Bagaimana bisa jadi begini?! Padahal 

aku sudah siap berangkat!" 

Sementara itu, melihat apa yang terjadi di seberang, 

Ratu Pemikat buru-buru berteriak. "Harap dapat kuasai diri! 

Urusan kecil ini bisa kita selesaikan setelah urusan malam 

ini tuntas!" 

"Kalau di antara kalian ada yang mulai lakukan 

penyerangan, aku tak segan membunuh kalian berdua!" 

bentak Iblis Rangkap Jiwa lalu tangannya disentakkan ke


bawah. 

Wuuttt! 

Satu gelombang dahsyat melesat deras ke arah Dewi 

Siluman dan Putri Sableng. 

Dewi Siluman dan Putri Sableng cepat melompat 

mundur. 

Brakk! Brakkk! 

Byurr! Byuurr! 

Dua batu di mana Dewi Siluman dan Putri Sableng tadi 

tegak, pecah berkeping-keping. Pasir hitam berhamburan. 

Namun begitu pasir luruh kembali, baik Dewi Siluman 

maupun Putri Sableng tetap tegak saling berhadapan 

meski agak sedikit jauh. Kedua tangan masing-masing 

orang tetap terangkat. Malah sesaat kemudian, Putri 

Sableng telah buka mulut. 

"Jangan-jangan yang perdengarkan suara tadi adalah 

kau sendiri! Lalu begitu suasana terang dan kau belum 

sempat pergi, kau merasa malu! Hik.... Hik.... Hik...! 

Mengapa harus malu? Anggap saja semua mata di sini 

buta! Lihat, dua orang di puncak batu cadas itu sudah siap 

berangkat!" 

Dewi Siluman perdengarkan gerengan dahsyat. Kedua 

tangannya bergetar. Namun sebelum perempuan bercadar 

hitam ini gerakkan tangan kirimkan pukulan, terdengar 

deruan keras dari puncak batu di mana Iblis Rangkap Jiwa 

berada. Kejap lain satu gelombang hitam menggebrak ke 

arah Dewi Siluman. 

Karena tak ada kesempatan lagi bagi Dewi Siluman 

untuk selamatkan diri menghindar, akhirnya dia sentakkan 

kedua tangannya ke atas memangkas pukulan yang 

dilepas Iblis Rangkap Jiwa. 

Bummmm! 

Terdengar ledakan keras. Pasir-pasir di sela batu 

bertaburan. Batu-batu di kawasan sebelah kiri kedung 

bergetar. 

Sosok Dewi Siluman tampak hendak terhuyung jatuh 

dari atas batu pijakannya. Namun perempuan ini segera


lipat gandakan tenaga dalamnya hingga huyungannya 

terhenti. Kepalanya serentak mendongak. 

Iblis Rangkap Jiwa menyeringai. "Kalau tidak melihat kau 

berada di pihak kami, sudah kupecahkan batok kepalamu 

sejak kau muncul tadi! Kembali ke tempatmu semula!" 

Dewi Siluman tak bergeming dari tempatnya. Malah 

perempuan ini telah angkat kedua tangannya siap 

lepaskan pukulan. 

Iblis Rangkap Jiwa mendelik angker. Serta-merta laki-

laki berkepala gundul ini angkat pula kedua tangannya. 

"Tahan serangan!" Yang menahan ternyata adalah Putri 

Sableng. 

Dewi Siluman mendengus dengan mata berkilat melirik 

ke arah gadis berjubah merah. 

Putri Sableng cekikikan, lalu angkat bicara. 

"Kulihat ada orang datang dari seberang!" 

Mungkin merasa ucapan Putri Sableng hanya untuk 

mengelabui, Dewi Siluman tidak gerakkan kepala ke arah 

mana kini Putri Sableng memandang. Sementara semua 

kepala di situ sudah bergerak ke satu arah jauh di 

belakang Ratu Pemikat berada. 

"Ah.... Rupanya yang muncul kali ini kita kenal!" satu 

suara dari puncak batu cadas terdengar. Dewi Siluman 

arahkan pandangannya melirik ke arah Iblis Rangkap Jiwa. 

Ketika dilihatnya laki-laki itu telah tarik pulang kedua 

tangannya yang tadi hendak lepaskan pukulan ke arahnya 

dan kini memandang lurus ke depan, membuat perempuan 

bercadar dan berjubah hitam ini segera meloncat dan 

tegak di atas batu sejajar lurus dengan tempat tegaknya 

Putri Sableng. Dengan begitu, kalau Putri Sableng hendak 

berbuat macam-macam, dia segera dapat mengetahuinya. 

Begitu tegak sejajar lurus dengan Putri Sableng, masih 

dengan kedua tangan terangkat, dia putar tubuh 

menghadap hamparan pasir di depan kedung. Saat itulah 

sepasang matanya memang menangkap satu sosok tubuh 

melangkah cepat dari arah belakang Ratu Pemikat! 

***


SEMBILAN


MEMASUKI kawasan berbatu di sebelah kanan 

kedung, orang yang melangkah mendadak 

berhenti. Lalu melompat naik pada salah satu 

batu. Kepalanya lurus memandang ke depan. Karena yang 

berada di kawasan itu adalah Ratu Pemikat, maka mau tak 

mau orang ini untuk beberapa saat memandang tajam ke 

arah si perempuan. Tiba-tiba raut wajah orang ini berubah. 

Dari mulutnya terdengar gumaman. Di lain pihak, Ratu 

Pemikat tampak sunggingkan senyum, lalu palingkan ke 

hamparan pasir di depan kedung. Terdengar suara 

perempuan ini. 

"Selamat jumpa lagi, Pendekar 131! Bagaimana 

kabarmu?!" sambil berkata Ratu Pemikat terdengar tertawa 

bernada mengejek. 

Orang yang baru disapa sesaat terdiam. Namun kejap 

lain orang ini telah menyahut. "Selamat jumpa lagi, Ratu...! 

Bagaimana kabarmu?!" 

"Sudah kuduga kalau kau akan muncul malam ini! Hik.... 

Hik.... Hik...! Dan ini adalah babak terakhir dari peristiwa 

tempo hari!" ujar Ratu Pemikat tanpa berpaling lagi. Malah 

perempuan ini berujar seraya memandang hamparan langit 

yang terang benderang. 

Orang yang berada di belakang Ratu Pemikat ikut-ikutan 

mendongak. 

"Aku pun sudah menduga kalau kau akan muncul 

malam ini! Hik.... Hik.... Hik...! Dan ini adalah awal dari 

lanjutan peristiwa tempo hari!" Nada bicara dan ucapan 

orang ini seakan menirukan ucapan dan nada ucapan Ratu 

Pemikat. 

Ratu Pemikat sudah hendak buka mulut lagi, namun 

sebelum suaranya terdengar, tiba-tiba dari arah seberang,


tepatnya dari tempat Iblis Rangkap Jiwa berada terdengar 

teriakan keras membahana. 

"Anjing buntung! Malam ini nyawamu tidak akan lolos 

lagi!" 

Orang yang berada di belakang Ratu Pemikat arahkan 

pandangannya pada Iblis Rangkap Jiwa. Orang ini ternyata 

adalah seorang pemuda berparas tampan. Hanya saja dia 

tidak memiliki tangan! Pemuda ini bukan lain adalah Dewa 

Orok. 

Kalau saat kemunculannya Ratu Pemikat sempat 

menyapanya dengan Pendekar 131, itu karena pada saat 

Ratu Pemikat dan Dewa Orok berjumpa beberapa hari yang 

lalu, Dewa Orok memperkenalkan diri sebagai Pendekar 

131. Dewa Orok tidak menduga kalau Ratu Pemikat 

sebenarnya sudah mengenal betul siapa Pendekar 131. 

Dan kalau Iblis Rangkap Jiwa tampak membayangkan 

kemarahan, ini tidak lain karena laki-laki gundul ini 

memang punya urusan tersendiri dengan Dewa orok. 

Seperti diketahui, Malaikat Penggali Kubur memerintahkan 

pada Iblis Rangkap Jiwa untuk membunuh Dewa Orok 

sebagai tebusan nyawanya. Pada satu kesempatan, Iblis 

Rangkap Jiwa bersama Ratu Pemikat memang berhasil 

melumpuhkan Dewa Orok, namun saat itu Ratu Pemikat 

memberi usul agar nyawa Dewa Orok diperpanjang dahulu. 

Lalu mereka berdua meninggalkan Dewa Orok di satu 

tempat sepi dalam keadaan tertotok dan tertanam setelah 

sebelumnya Ratu Pemikat mengambil bundaran karet yang 

biasa dibuat mainan Dewa Orok. Pada akhirnya Ratu 

Pemikat, lebih-lebih Iblis Rangkap Jiwa harus menelan 

kecewa, karena ternyata Dewa Orok bisa lolos. (Lebih 

jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode : 

Muslihat Sang Ratu"). 

Meski Ratu Pemikat tampak tertawa dan Iblis Rangkap 

Jiwa perdengarkan bentakan keras, namun dalam dada 

masing-masing orang ini timbul ganjalan yang tidak enak. 

Ini karena baik Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa telah 

mengatakan pada Malaikat Penggali Kubur kalau Dewa


Orok mereka yakini pasti sudah tewas, walau kedua orang 

ini tahu persis jika Dewa Orok selamat dari cengkeraman-

nya. 

Kalau Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat tampak 

memendam ganjalan tidak enak dan sama-sama berpikir 

apa yang harus dikatakannya nanti kalau Malaikat Penggali 

Kubur datang, Dewa orok sendiri sebenarnya dilanda rasa 

gundah. Seperti diketahui, sebelum Ratu Pemikat dan Iblis 

Rangkap Jiwa meninggalkannya dalam keadaan tertanam 

dan tertotok, Ratu Pemikat telah ambil bundaran karetnya. 

Malah Dewa Orok tidak tahu kalau bundaran karet itu kini 

telah diserahkan Ratu Pemikat pada Malaikat Penggali 

Kubur sebagai bukti kalau mereka telah membunuh Dewa 

Orok. Padahal, justru di bundaran karet mirip dot bayi 

itulah kekuatan Dewa Orok. Tanpa adanya bundaran karet, 

kekuatan Dewa Orok tidak ada apa-apanya. Dia hanya 

dapat kerahkan ilmu peringan tubuh tanpa bisa kerahkan 

tenaga dalam. 

"Sebelum Malaikat Penggali Kubur muncul, lebih baik 

pemuda buntung itu kuselesaikan dahulu!" pikir Iblis 

Rangkap Jiwa. Dan sebenarnya apa yang menjadi pikiran 

Iblis Rangkap Jiwa, terlintas juga pada Ratu Pemikat. 

Sementara itu, di atas puncak batu bercadas putih, tiba-

tiba Raden Mas Antar Langit sudah lambaikan kedua 

tangannya pada Dewa Orok sambil berteriak. 

"Hai, Sobat lama! Senang bisa jumpa lagi denganmu! 

Mana perempuan yang bersamamu dulu?!" 

Mungkin karena tidak memiliki tangan untuk balas 

melambai, Dewa Orok akhirnya membuat gerakan satu 

kali. Wuuutt! Sosoknya melesat dua tombak ke udara. 

Membuat gerakan jungkir balik satu kali lalu meluncur lagi 

ke bawah. Ketika sosoknya kembali ke atas batu, pemuda 

bertangan buntung ini telah tegak dengan kedua kaki di 

atas dan kepala di bawah sebagai tumpuan tubuhnya! 

Dewa Orok gerakkan kedua kakinya melambai-lambai. 

Lalu terdengar suaranya. 

"Hai, Sobat lama! Gembira sekali bisa jumpa lagi dengan


kalian! Perempuan tempo hari itu terpaksa kutinggal, 

karena terlalu cerewet! Aku ingin tanya pada kalian. Karena 

kulihat kalian datang lebih dahulu!" 

"Silakan, silakan! Kau hendak tanya apa?!" kata Raden 

Mas Antar Langit. 

"Ada apa sebenarnya di tempat ini?! Aku merasa 

indahnya suasana tidak seirama dengan pemandangan 

sekitar! Ada beberapa mata memandang beringas men-

delik! Ada juga wajah-wajah gelisah dan tegang! Hatiku jadi 

ikut-ikutan berdebar!" 

Raden Mas Antar Bumi yang bertelanjang dada 

menyahut teriakan Dewa Orok. 

"Kau tak usah berdebar-debar! Ini tempat pasar jodoh! 

Kau boleh memilih perempuan mana yang kau suka dan 

cocok di hatimu! Ketegangan wajah-wajah mereka karena 

mereka tak sabar ingin segera dipilih!" 

"Aku boleh memilih mana yang kusuka dan cocok di 

hatiku?!" ulang Dewa Orok. "Aku tidak mengenal mereka. 

Mau di antara kalian memperkenalkan mereka?!" 

Raden Mas Antar Bumi arahkan telunjuknya pada Ni Luh 

Padmi yang tegak dan sedari tadi kancingkan mulut. Lalu 

orang ini mulai bersuara. 

"Dia adalah seorang nenek berwajah cantik jelita dari 

tanah seberang. Dia dikenal dengan nama Ni Luh Padmi.... 

Ukuran tubuhnya akan kukatakan nanti setelah aku 

memperkenalkan mereka satu persatu!" 

Paras muka si nenek kontan berubah. Bukan hanya 

karena ucapan orang, lebih dari itu karena orang telah tahu 

siapa dirinya! 

Raden Mas Antar Bumi tidak perhatikan perubahan 

wajah si nenek. Dia gerakkan telunjuknya dan kini meng-

arah pada Putri Sableng. 

"Yang itu aku belum sempat tanyakan siapa namanya 

meski tadi aku sempat bercakap-cakap! Tapi kurasa dia 

tidak keberatan kalau kusebut Ratu...." 

Raden Mas Antar Bumi tidak jadi lanjutkan ke-

terangannya. Sementara paras muka Putri Sableng tampak


memberengut sambil perdengarkan gumaman. Sepasang 

matanya mendelik besar-besar. 

"Ah, kalau Ratu kurasa kurang cocok!" lanjut Raden Mas 

Antar Bumi. "Kusebut saja Gadis Malam.... Wajahnya tidak 

usah diragukan lagi! Demikian pula segalanya!" 

Meski Putri Sableng terlihat makin mendelik, namun 

sesaat kemudian gadis berjubah merah ini telah per-

dengarkan tawa cekikikan! 

Raden Mas Antar Bumi kini arahkan telunjuknya pada 

Dewi Siluman. Yang ditunjuk sudah perdengarkan 

dengusan. Namun mau tak mau dia menunggu juga. 

"Yang itu aku tadi mendengar dia sebutkan diri dengan 

Dewi Siluman. Tapi aku lebih suka memanggilnya si Jubah 

Hitam! Yang ini punya keistimewaan tersendiri.... Dia...." 

Raden Mas Antar Bumi tidak teruskan bicaranya. 

Melainkan berpaling pada temannya dan berkata. "Kau 

saja yang beri keterangan!" 

Raden Mas Antar Langit angkat bahunya. Melihat sekilas 

pada Dewi Siluman di bawah sana. Yang dipandang 

tampak mendongak dengan mata berkilat-kilat dan tubuh 

bergetar. 

Raden Mas Antar Langit menelan ludah dahulu lalu buka 

mulut. 

"Si Jubah Hitam itu.... Tidak mengenakan apa-apa lagi di 

balik jubah hitamnya!" 

Raden Mas Antar Langit tahan suara tawanya yang 

hampir saja meledak. Tapi tidak demikian halnya dengan 

Putri Sableng. Gadis ini langsung saja tertawa cekikikan! 

Dewi Siluman tak dapat lagi tahan kesabaran. Kedua 

tangannya yang sedari tadi sudah terangkat segera saja 

disentakkan ke atas. 

Wuuttt! Wuuutt! 

Terdengar dua suara deruan. Saat bersamaan terlihat 

dua gelombang menghampar di atas pasir lalu menggebrak 

ganas ke puncak batu cadas putih! 

Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar Bumi 

buru-buru rebahkan diri sejajar dengan batu cadas di mana


mereka berada. 

Brakk! Brakkk! 

Bibir puncak batu cadas putih pecah berantakan di dua 

tempat. Pecahan batu cadas sejenak tampak bertabur di 

atas hamparan pasir yang membentang membelah 

kawasan berbatu. 

"Kau cari gara-gara saja!" gumam Raden Mas Antar 

Langit. 

"Bukan cari gara-gara. Sobat lama kita ingin tahu. Apa 

salahnya kita memberi keterangan?!" sahut Raden Mas 

Antar Bumi. 

Kedua orang ini lantas merangkak ke bibir batu cadas 

putih dan mungkin takut diserang lagi, keduanya hanya 

menampakkan kepala masing-masing. Sementara di 

bawah sana, Dewi Siluman tampak bantingkan kaki 

kanannya. Sebenarnya perempuan ini hendak lepaskan 

pukulan lagi, tapi setelah melihat jaraknya terlalu jauh, dia 

urungkan niat. Apalagi dilihatnya kedua orang di puncak 

batu kini arahkan pandangannya pada Ratu Pemikat yang 

tegak tidak jauh dari Dewa Orok. 

"Sobat lama!" kata Raden Mas Antar Bumi. "Kulanjutkan 

keterangan yang kau minta. Perempuan di depanmu itu 

kalau tidak salah bergelar...." Raden Mas Antar Bumi 

dekatkan telinganya pada mulut Raden Mas Antar Langit. 

Lalu mengangguk-angguk. Saat lain dia lanjutkan ucapan-

nya. "Dia bergelar Dewi Asmara alias Ratu Penjilat!" 

"Dewi Asmara alias Ratu Pemikat!" seru satunya. 

"Ah. Betul! Aku tadi salah ucap. Yang betul Dewi Asmara 

alias Ratu Pemikat!" teriak Raden Mas Antar Bumi mem-

betulkan ucapannya. "Soal wajah dijamin! Bentuk tubuh tak 

usah dibilang lagi! Cuma ada sedikit sayangnya...." 

"Kau bilang cuma sedikit ada sayangnya. Apa itu?!" seru 

Dewa Orok. 

"Dia lebih senang pada celana butut laki-laki daripada 

tubuh laki-laki itu sendiri! Hik.... Hik.... Hik...!" 

Ratu Pemikat tampak kernyitkan dahi mendengar 

ucapan orang. Dia sama sekali tidak menduga kalau kedua


orang itu bukan saja mengetahui siapa saja yang ada di 

situ, namun juga tahu siapa dia sebenarnya! Ini lebih 

meyakinkan si perempuan kalau alasan yang dikemukakan 

dua orang berwajah hitam tadi hanyalah dusta belaka! 

Namun Ratu Pemikat tidak mau terus menduga-duga 

siapa adanya kedua orang berwajah hitam. Karena saat itu 

pikirannya sedang dibuncah dengan urusan bagaimana 

menyelesaikan Dewa Orok sebelum Malaikat Penggali 

Kubur muncul. 

Sementara di puncak batu bergubuk hitam, Iblis 

Rangkap Jiwa makin gelisah. Ia sesekali menghela napas 

dengan mata mendelik pada Dewa Orok di seberang sana. 

Dalam hati dia berharap Ratu Pemikat cepat bertindak. 

Laki-laki berkepala gundul ini tidak berani langsung turun 

tangan. Dia khawatir orang di tempat itu akan curiga. 

Sementara Ratu Pemikat sendiri tampaknya harus 

berpikir dua kali untuk menghadapi Dewa Orok. 

Pengalamannya tempo hari waktu jumpa dengan Dewa 

Orok membuat perempuan ini bimbang. Saat itu kalau saja 

Iblis Rangkap Jiwa tidak segera muncul, niscaya dia akan 

kesulitan menghadapi Dewa Orok. Malah dia waktu itu 

sudah dalam keadaan terjepit! 

Melihat Ratu Pemikat belum juga lakukan sesuatu, Iblis 

Rangkap Jiwa tampaknya hilang kesabaran. Dia buka 

mulut hendak ucapkan perintah. Namun mulutnya men-

dadak terkancing kembali saat sepasang matanya melihat 

satu sosok tubuh berkelebat menuju kawasan Kedung 

Ombo dari sebelah belakang batu cadas putih di depan 

kedung. 

Iblis Rangkap Jiwa dapat melihat dahulu sosok yang 

berkelebat karena dia berada pada ketinggian puncak batu 

yang membukit. 

"Jangan-jangan dia!" desis Iblis Rangkap Jiwa dengan 

mata dibeliakkan. 

Sosok yang berkelebat terus berlari cepat. Karena kedua 

orang berwajah hitam juga berada pada ketinggian, maka 

mereka berdua adalah orang kedua yang melihat


munculnya orang. Hingga keduanya serentak palingkan 

kepala ke belakang, karena orang yang berlari datang dari 

jurusan belakangnya. 

"Hem.... Apa saja yang dilakukan sontoloyo ini hingga 

sampai datang terlambat?" gumam Raden Mas Antar Bumi. 

"Dia tidak merasa kalau orang sudah berdebar-debar takut 

dia tidak muncul! Dasar sontoloyo sableng!" 

"Ah.... Kau sepertinya tidak tahu urusan anak muda 

saja!" sahut Raden Mas Antar Langit. 

"Tapi seharusnya dia tahu! Ini urusannya! Bukan urusan 

orang-orang tua seperti kita!" bisik Raden Mas Antar Bumi 

dengan nada keras. 

"Tapi sebenarnya kau punya urusan juga di sini, 

bukan?!" 

"Urusannya berbeda!" bentak Raden Mas Antar Bumi. 

"Betul! Tapi tempatnya sama! Lalu di mana bedanya?!" 

"Dasar iblis bodoh! Tak tahu membedakan urusan dan 

tempat!" rungut Raden Mas Antar Bumi. Meski dicaci, 

Raden Mas Antar Langit tampak senyum-senyum. Orang ini 

lantas bertanya. "Kau yakin orang yang disebut-sebut 

mendapatkan Kitab Hitam itu akan muncul di sini?!" 

"Itu lain dengan urusanku! Jadi aku tak mau menduga-

duga!" 

Raden Mas Antar Langit masih tampak senyum-senyum 

meski mendapat jawaban ketus dari Raden Mas Antar 

Bumi. "Terus-terusan bicara dengan manusia sinting, bisa-

bisa aku akan ikut sinting!" gumam Raden Mas Antar 

Langit. 

Raden Mas Antar Bumi sebenarnya ingin membentak 

lagi, tapi diurungkan tatkala dilihatnya orang yang ber-

kelebat telah berada di bawahnya. 

Kalau tadi Raden Mas Antar Bumi sempat memaki orang 

yang berkelebat, kini dia tampak gerakkan tangannya 

melambai-lambai lalu berteriak. 

"Hai...! Harap sebutkan diri sebelum memasuki kawasan 

pasar jodoh ini!" 

Mungkin karena terkejut mendengar teriakan orang,


orang yang berkelebat di bawah sana serta-merta hentikan 

larinya. Lalu berkelebat dan tegak bersandar pada bagian 

bawah batu cadas putih yang menjulang. Dia sengaja 

memilih tempat agak menjorok. Karena dengan demikian, 

dia dapat melihat dengan leluasa tempat di sebelah kanan 

kiri kedung. 

Orang yang baru muncul dan tegak di pojok batu cadas 

putih menjulang tengadahkan kepala. Lalu longokkan 

kepala ke depan. Berpaling ke kawasan berbatu sebelah 

kanan kedung. Cuma sesaat. Lalu palingkan kepala ke 

kawasan berbatu sebelah kiri kedung. Orang ini angkat 

tangan kirinya. Bukan memberi isyarat, melainkan hendak 

masukkan jari kelingkingnya ke dalam lobang telinganya! 

Sesaat kemudian orang ini tampak terjingkat-jingkat 

dengan wajah meringis! 

"Kelakuannya tidak berubah!" desis Raden Mas Antar 

Bumi. Orang ini terlihat hendak berteriak lagi. Namun satu 

suara telah terdengar mendahului. 

"Pendekar 131! Akhirnya kau muncul juga! Ha.... Ha.... 

Ha...!" Yang berteriak ternyata adalah Iblis Rangkap Jiwa. 

"Murid jahanam sinting itu!" Ni Luh Padmi ikut-ikutan 

berteriak. "Kali ini jangan harap kau bisa lari lagi sebelum 

kau katakan di mana guru keparatmu berada!" 

Orang yang mainkan jari kelingking pada lobang 

telinganya dan bukan lain memang Pendekar Pedang 

Tumpul 131 Joko Sableng cepat tarik kepalanya. Lalu per-

lahan-lahan dia mengintip dari bibir batu cadas putih. 

***


SEPULUH


ADA keanehan...," gumam Pendekar 131. "Mengapa 

gadis berjubah merah itu berada bersama Dewi 

Siluman di bawah naungan Iblis Rangkap Jiwa?! 

Jangan-jangan dia kaki tangan Malaikat Penggali Kubur!" 

Kepala murid Pendeta Sinting berpaling ke kiri ke kawasan 

berbatu di sebelah kanan kedung. "Dewa Orok. Mengapa 

pemuda ini ada bersama Ratu Pemikat?! Dan perempuan 

itu, kenapa mengambil tempat berseberangan dengan Iblis 

Rangkap Jiwa dan Ni Luh Padmi?!" 

Kepala Joko mengedar berkeliling. "Malaikat Penggali 

Kubur belum tampak batang hidungnya! Bagaimana ini...?! 

Apakah benar kalau pemuda itu yang telah mendapatkan 

Kitab Hitam?! Jangan-jangan keterangan Ratu Pemikat dan 

Iblis Rangkap Jiwa hanya mengada-ada saja...!" 

Karena belum bisa menjawab apa yang membuncah 

dalam hatinya, murid Pendeta Sinting tampak tengadahkan 

kepala memandang langit. Sang rembulan tampak bersinar 

cemerlang. Tidak ada segumpal awan pun yang melintang 

di sana. 

Saat itulah tiba-tiba satu benda putih menutupi pe-

mandangan Joko meluncur dari atas. Bersamaan dengan 

itu terdengar teriakan dari puncak batu cadas putih. 

"Apa yang kau lakukan di situ?! Di sini bukan tempat 

orang melamun!" 

Joko buru-buru melompat menghindar. Benda putih yang 

melayang turun yang ternyata adalah pecahan batu cadas 

menghantam tanah berpasir. Tanah berpasir muncrat lalu 

tampak lobang menganga besar! 

"Siapa kalian?! Apa pula yang kalian kerjakan di situ?!" 

Joko balik bertanya sambil mendongak. 

"Sialan! Disuruh sebutkan diri malah bertanya!" teriak 

orang dari puncak batu cadas putih.


"Hai, Sobat lama berdua di atas puncak batu putih!" 

Yang berseru adalah Dewa Orok. Pemuda ini masih tegak 

dengan kaki di atas kepala di bawah. Kedua kakinya 

bergerak meiambai-lambai. "Yang di bawah kalian itu 

adalah sahabatku!" 

"Hem.... Siapa namanya?!" teriak salah seorang dari 

puncak batu cadas putih. 

"Kalau dia belum sempat merubah nama, dia adalah 

pemuda yang dikenal dengan sebutan Joko Sableng! Murid 

tunggal manusia setengah edan yang disebut-sebut orang 

dengan Pendeta Sinting!" 

Kedua orang berwajah hitam di atas puncak batu cadas 

putih saling pandang. Lalu salah seorang kembali 

berteriak. "Sobat lama! Selama ini kita hanya saling kenal 

wajah tanpa tahu nama masing-masing! Mumpung di sini, 

mau kau katakan siapa namamu?! 

"Ah.... Betul! Selama ini kita hanya saling kenal wajah 

tanpa tahu nama masing-masing! Aku mau saja katakan 

siapa namaku.... Tapi sebenarnya aku sungkan!" 

"Ini pasar jodoh! Kau tak usah sungkan-sungkan!" 

"Aku sebenarnya adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 

Joko Sableng...!" 

Dari arah seberang terdengar suara tawa cekikikan. 

Ratu Pemikat tampak sunggingkan senyum dingin. 

Sementara kedua orang di atas puncak batu cadas putih 

kembali saling pandang. 

"Kalian tidak percaya?!" teriak Dewa Orok. Pemuda 

bertangan buntung ini membuat gerakan satu kali. 

Sosoknya melesat ke udara. Begitu turun lagi, si pemuda 

telah tegak di atas batu dengan kaki di bawah kepala di 

atas. Pemuda bertangan buntung itu busungkan dada. 

Kepalanya didongakkan. Lalu putar tubuhnya dua kali. 

"Apa potonganku kurang meyakinkan kalau disebut 

Pendekar?!" 

"Gila! Yang hadir ternyata bukan hanya orang-orang yang 

punya kepentingan! Tapi juga orang-orang gila!" gumam 

murid Pendeta Sinting.


Sementara itu, melihat kemunculan Pendekar 131, Dewi 

Siluman tampak tidak sabar. Laksana hendak terbang, 

perempuan bercadar hitam ini berkelebat. 

Namun baru saja sosoknya mencapai hamparan pasir di 

depan kedung, satu gelombang dahsyat melesat meng-

hantam dataran pasir yang membelah dua kawasan, mem-

buat gerakan Dewi Siluman tertahan. Malah perempuan ini 

harus segera melompat mundur. Jika tidak, niscaya 

gelombang tadi akan menghantam tubuhnya. 

Dewi Siluman kepalkan kedua tangannya lalu berpaling 

ke atas dari mana gelombang tadi berasal. Di atas sana, 

Iblis Rangkap Jiwa tampak berkacak pinggang tanpa 

memandang ke arah Dewi Siluman yang saat itu 

memandangnya. 

"Jangan ada yang berani membuat gerakan tanpa per-

setujuanku! Lagi pula kita masih menunggu kedatangan 

seseorang!" teriak Iblis Rangkap Jiwa. 

"Itu urusanmu! Aku punya urusan sendiri dengan 

pemuda itu!" Dewi Siluman balas membentak. 

"Persetan kau punya urusan dengan pemuda itu atau 

tidak! Tapi kalau kau keras kepala, terpaksa aku mem-

bunuhmu terlebih dahulu!" 

Meski selama ini belum mengenal Iblis Rangkap Jiwa, 

namun melihat beberapa kali pukulan yang sempat dilepas 

si laki-laki berkepala gundul itu, membuat Dewi Siluman 

maklum kalau Iblis Rangkap Jiwa tidak bisa dipandang 

sembarangan. Tapi tampaknya Dewi Siluman tidak begitu 

saja diam. Dia cepat angkat bicara. 

"Siapa orang yang kau tunggu?!" 

Iblis Rangkap Jiwa palingkan kepala. "Matamu nanti 

akan melihat sendiri! Tak usah banyak tanya!" 

"Hem.... Mungkin yang ditunggu itu adalah orang yang 

disebut-sebut sebagai pemegang Kitab Hitam! Perturutkan 

hati, ingin rasanya aku mengadu jiwa dengan laki-laki 

gundul itu! Tapi...." Dewi Siluman berpikir sejenak. Kejap 

lain perempuan ini melangkah mundur lalu melompat ke 

atas sebuah batu.


Sementara itu, melihat kemunculan murid Pendeta 

Sinting, Ratu Pemikat tampak lebarkan senyum meski jelas 

wajahnya masih membayangkan rasa gelisah. Dia belum 

bisa memutuskan apa yang harus diperbuat dengan Dewa 

Orok. 

"Pendekar 131! Mengapa kau masih berada di situ?!" 

ujar Ratu Pemikat. 

Dewa Orok yang tadi sebutkan diri sebagai Pendekar 

131 segera hendak berkelebat. Tapi gerakannya tertahan 

tatkala tiba-tiba Ratu Pemikat balikkan tubuh dan mem-

bentak. "Aku tahu siapa kau! Jangan bertingkah macam-

macam!" 

Dewa Orok tergagu diam. Dia saling pandang dengan 

murid Pendeta Sinting lalu sama-sama tertawa! 

"Walah.... Pemuda itu menipu kita!" terdengar suara dari 

puncak batu cadas putih. "Yang Pendekar 131 ternyata 

bocah yang cengengesan itu!" 

Dewa Orok mendongak. Begitu dilihatnya kedua kepala 

di bibir batu cadas putih tertawa-tawa, pemuda bertangan 

buntung itu makin keraskan suara tawanya! 

Ratu Pemikat tidak pedulikan Dewa Orok, dia kembali 

putar tubuh menghadap murid Pendeta Sinting. "Aku 

hendak bicara denganmu! Bisa kau kemari?!" 

Murid Pendeta Sinting berpikir sejurus. Lalu perlahan-

lahan melangkah ke kawasan batu di mana Ratu Pemikat 

dan Dewa Orok berada. 

Belum sampai langkahan kaki Joko mencapai kawasan 

berbatu sebelah kanan kedung, tiba-tiba terdengar suara 

derap langkah kaki-kaki kuda berpacu cepat. Semua 

kepala berpaling ke arah kawasan berbatu cadas putih di 

depan kedung. Karena suara derap langkah kaki kuda 

berasal dari sana. Namun semua orang di tempat itu 

dibuat bertanya-tanya dan heran. 

Dari arah belakang kawasan berbatu cadas putih, ter-

lihat seekor kuda berlari cepat laksana kesetanan. Namun 

bukan kecepatan larinya kuda yang membuat semua orang 

terkesima. Karena ternyata kuda kesetanan itu berlari


tanpa penunggang! Anehnya kuda itu berlari kencang dan 

lurus menuju kedung seakan dikendalikan oleh seorang 

penunggang! 

Semua orang tidak ada yang membuat gerakan atau 

angkat bicara. Semua seolah menunggu. Sementara kuda 

tanpa penunggang itu terus berlari. Dalam beberapa saat 

saja binatang itu telah berada di bawah puncak batu cadas 

putih menjulang di depan kedung. Kejap kemudian telah 

berada di hamparan pasir yang membentang membelah 

kawasan berbatu. Anehnya, kuda itu terus berlari melintasi 

hamparan pasir. 

Hamparan pasir tampak muncrat ke udara. Lalu ter-

dengar ringkihan keras. Kuda tanpa penunggang terus 

berlari lurus menuju kedung. Semua orang sudah menduga 

kalau kuda itu bakal tercebur ke dalam kedung. Karena 

jarak antara kuda dengan bibir kedung tinggal dua tombak 

lagi, sementara si binatang laksana kesetanan terus ber-

lari. 

Sejengkal lagi kaki depan kuda tanpa penunggang ter-

perosok masuk ke dalam kedung, tiba-tiba satu sapuan 

gelombang dahsyat melesat dari arah sebelah kiri kedung. 

Kedua kaki depan kuda tanpa penunggang yang telah 

berada di atas air kedung tertahan sekejap. Di kejap lain 

kedua kaki depannya terangkat tinggi. Dari mulutnya ter-

dengar ringkihan keras. Sosoknya berputar. Lalu mencelat 

balik ke belakang sejauh lima tombak sebelum akhirnya 

terkapar di atas pasir. Untuk kesekian kalinya dari 

moncongnya yang berbusa terdengar ringkihan keras mem-

bahana. Namun laksana direnggut setan, ringkihan kuda 

terputus. Sosoknya diam tak bergerak-gerak lagi! 

"Air Kedung Ombo hanya pantas dihiasi bangkai 

manusia-manusia sesat yang tidak tunduk pada perintah-

ku!" terdengar teriakan keras menyambuti putusnya 

ringkihan kuda. 

"Malaikat Penggali Kubur!" satu seruan menyeruak dari 

puncak batu di mana gubuk hitam berada. 

Semua kepala kini berpaling ke puncak batu sebelah kiri


kedung yang ditancapi gubuk hitam. Kalau tadi di sana 

hanya tampak Iblis Rangkap Jiwa, kini di sebelah laki-laki 

berkepala gundul itu terlihat tegak berkacak pinggang 

seorang pemuda mengenakan jubah putih. Parasnya 

tampan namun membayangkan keberingasan. Dagunya 

kokoh dengan sepasang mata tajam. Rambutnya hitam 

lebat dan panjang sebahu. 

Si pemuda gerakkan kedua tangannya singkapkan 

bagian bawah jubahnya. Di balik jubah putihnya terlihat 

rangkapan pakaian hitam. Si pemuda yang bukan lain 

adalah Malaikat Penggali Kubur arahkan kepalanya 

memandang satu persatu pada orang yang berada di 

bawah. 

"Iblis Rangkap Jiwa!" bentak Malaikat Penggali Kubur. 

"Kau telah mengorek keterangan tua bangka perempuan 

yang menggenggam tusuk konde butut itu?!" Yang di-

maksud Malaikat Penggali Kubur tidak lain adalah Ni Luh 

Padmi. 

Seperti diketahui, si nenek tidak muncul di puncak Bukit 

Selamangleng pada saat yang ditentukan. 

Iblis Rangkap Jiwa tidak segera menjawab. Sebenarnya 

laki-laki berkepala gundul ini masih terkesiap dengan 

kemunculan Malaikat Penggali Kubur sementara di sisi lain 

dia belum bisa menyelesaikan urusannya dengan Dewa 

Orok. 

"Telingamu tidak tuli! Jangan kau buat kesabaranku 

habis!" ujar Malaikat Penggali Kubur dengan nada keras. 

"Dia baru saja muncul! Dan belum sempat aku 

mengorek keterangannya, kau telah datang!" kata Iblis 

Rangkap Jiwa seraya melirik jauh ke seberang. 

"Siapa gadis berjubah merah itu?!" tanya Malaikat 

Penggali Kubur. 

"Dia bernama Putri Sableng! Dia siap kerahkan tenaga 

untuk membantu kita!" 

Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh. Kepalanya 

kini terarah pada Dewi Siluman. Untuk beberapa saat 

pemuda murid Bayu Bajra ini perhatikan dengan seksama.


"Hem.... Dewi Siluman! Ternyata kau belum mampus di 

Pulau Biru! Malam ini kau akan tahu siapa orang yang 

pernah kau buat bulan-bulanan dahulu!" kata Malaikat 

Penggali Kubur dalam hati. 

Seperti diketahui, antara Malaikat Penggali Kubur dan 

Dewi Siluman sempat beberapa kali jumpa. Dan mereka 

terakhir kali bertemu saat terjadi peristiwa di Pulau Biru. 

(Tentang pertemuan Malaikat Penggali Kubur dengan Dewi 

Siluman silakan baca serial Joko Sableng dalam episode : 

"Neraka Pulau Biru"). 

"Siapa perempuan berjubah hitam itu?!" tanya Malaikat 

Penggali Kubur pura-pura tidak kenal. 

"Dia Dewi Siluman! Dia juga siap berada di pihak kita!" 

kata Iblis Rangkap Jiwa. 

Sementara itu, untuk sesaat tadi Dewi Siluman seolah 

masih tidak percaya dengan pandangan matanya. Malah 

perempuan ini sempat mengerjap lalu melotot untuk 

meyakinkan. Dan begitu Malaikat Penggali Kubur berpaling 

ke arahnya, dia baru merasa yakin. 

"Malaikat Penggali Kubur.... Hem.... Jadi dia manusianya 

yang mendapatkan Kitab Hitam itu! Tidak terbersit sama 

sekali jika dia manusianya! Melihat pukulannya yang 

menahan gerakan binatang malang itu, rupanya dia jauh 

meningkat dibanding waktu di Pulau Biru! Ini mungkin 

akibat kitab itu...." Diam-diam Dewi Siluman membatin. 

Malaikat Penggali Kubur terus arahkan pandangannya 

menyeberang. Dia sempat belalakkan mata tatkala melihat 

dua kepala berwajah hitam berambut awut-awutan di bibir 

puncak batu cadas putih. 

"Siapa kedua setan hitam di puncak batu cadas putih 

itu?!" 

Iblis Rangkap Jiwa sesaat arahkan pandangannya pada 

puncak batu cadas. Sebenarnya dada Iblis Rangkap Jiwa 

sudah berdebar keras. Karena tak lama lagi akan tiba pada 

sosok Dewa Orok. Hingga mungkin karena pikirannya 

tercurah pada urusan Dewa Orok, Iblis Rangkap Jiwa tidak 

segera menjawab pertanyaan Malaikat Penggali Kubur.


Laki-laki berkepala gundul ini buru-buru buka mulut saat 

Malaikat Penggali Kubur berpaling ke arahnya dengan 

mata berkilat. 

"Mereka adalah Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas 

Antar Bumi! Menurut pengakuan mereka, kedatangan 

mereka malam ini karena ingin menghilangkan kutuk pada 

diri mereka dengan mandi di kedung pada malam 

purnama!" 

Malaikat Penggali Kubur menyeringai. Lalu arahkan 

pandangannya lagi ke puncak batu cadas putih. Saat 

bersamaan, kedua orang berwajah hitam sama angkat 

tangan masing-masing melambai-lambai. Dan sesaat 

kemudian salah satu dari kedua orang ini terdengar angkat 

bicara berteriak. 

"Hai, Teman lama...! Beda benar penampilanmu saat ini! 

Bagaimana kabarmu...?" 

Malaikat Penggali Kubur mendelik angker. Rahangnya 

terangkat mengembung. Dari mulutnya terdengar desisan. 

"Apa mereka mengenalku?! Siapa mereka sebenarnya?!" 

Ucapannya tidak disambuti orang, salah seorang yang 

tadi berteriak yang ternyata adalah Raden Mas Antar Langit 

berpaling pada Raden Mas Antar Bumi. Saat yang sama 

Raden Mas Antar Bumi tampak buka mulut. Raden Mas 

Antar Langit berbisik. Lalu tampak Raden Mas Antar Bumi 

yang bertelanjang dada mengangguk-angguk. Lalu orang ini 

berseru. 

"Hai.... Kau adalah teman dari temanku ini! Sebagai 

teman dari temanku, berarti kau adalah temanku juga! 

Kunasihatkan.... Tempatmu bukan di situ! Campur aduk 

dengan Iblis Rangkapan! Tapi di sini, bersama dengan 

temanku...!" 

Malaikat Penggali Kubur masih kancingkan mulut tidak 

sambuti seruan orang. Sebaliknya Iblis Rangkap Jiwa 

tampak menggerendeng panjang mendengar dirinya 

disebut Iblis Rangkapan. Dan dia makin geram tatkala dari 

arah bawah terdengar suara tawa cekikikan. 

"Mulut mereka harus dirobek!" teriak Iblis Rangkap Jiwa.


Laki-laki berkepala gundul ini sudah hendak berkelebat. 

Namun tangan kanan Malaikat Penggali Kubur bergerak 

menghalangi. "Aku masih butuh keterangan! Jangan pergi 

dahulu!" ujar Malaikat Penggali Kubur, membuat Iblis 

Rangkap Jiwa waswas. Sedikit banyak Iblis Rangkap Jiwa 

dapat menduga keterangan apa sebenarnya yang hendak 

ditanyakan Malaikat Penggali Kubur. 

Mendapati orang belum juga menyambuti ucapan, 

Raden Mas Antar Langit sekali lagi berteriak masih dengan 

lambaikan tangan. 

"Hai, Teman lama.,.! Sebagai bukti kalau kau adalah 

teman lamaku, aku akan katakan siapa kau!" Raden Mas 

Antar Langit sengaja memutus ucapannya. Sementara 

Malaikat Penggali Kubur tampak makin mendelik. 

"Aku yakin, kau adalah pemuda kesohor bergelar 

Malaikat Penggali Kubur. Kau adalah murid tunggal Bayu 

Bajra! Betul bukan?!" 

"Hem.... Aku yakin, alasan kedatangan mereka hanya 

omong kosong! Tapi apa peduliku?! Kitab Hitam di 

tanganku! Siapa pun mereka adanya, mereka juga harus 

ikut mampus di sini!" Membatin Malaikat Penggali Kubur. 

Lalu tanpa pedulikan lambaian orang, Malaikat Penggali 

Kubur arahkan pandangannya pada murid Pendeta Sinting 

yang masih tegak di atas pasir. Pelipis kanan kirinya 

bergerak-gerak. Giginya beradu perdengarkan suara ber-

gemeletak. Jelas kalau pemuda murid Bayu Bajra ini 

sedang menindih hawa kemarahan. 

"Pendekar 131! Akhirnya tiba juga saat kematianmu! 

Kau boleh membekal beberapa kitab sakti! Tapi Kitab 

Hitam akan memusnahkannya!" desis Malaikat Penggali 

Kubur. Kalau saja dia tidak inginkan keterangan lagi dari 

Iblis Rangkap Jiwa, pemuda ini rasanya sudah melayang 

turun. 

Sementara itu, melihat kemunculan Malaikat Penggali 

Kubur, murid Pendeta Sinting sejenak tadi masih ter-

kesima. Meski selama ini telah mendengar kalau yang 

mendapatkan Kitab Hitam adalah Malaikat Penggali Kubur,


namun sebenarnya dia masih belum yakin benar. Dia 

belum habis pikir, bagaimana Malaikat Penggali Kubur ber-

hasil mendapatkan Kitab Hitam, padahal menurut yang 

diketahuinya, Kitab Hitam berada di sekitar Bukit 

Selamangleng yang dijaga Iblis Rangkap Jiwa. Sementara 

Iblis Rangkap Jiwa adalah manusia berilmu tinggi yang 

dikenal tidak mempan terhadap pukulan. Lebih dari itu, 

dari mana Malaikat Penggali Kubur bisa mengetahui 

tentang Kitab Hitam. 

Tapi begitu melihat kemunculan Malaikat Penggali 

Kubur dan melihat bagaimana dia dapat mengendalikan 

kuda yang diyakini murid Pendeta sinting dikendalikan 

Malaikat Penggali Kubur, serta mengetahui bagaimana 

pukulan yang dilepas Malaikat Penggali Kubur mampu 

menahan gerakan kuda yang hendak tercebur dalam 

kedung, mau tak mau membuat Joko harus menepis 

kebimbangannya. Apalagi ketika dilihatnya bagaimana Iblis 

Rangkap Jiwa tampak ketakutan begitu Malaikat Penggali 

Kubur datang. 

Malaikat Penggali Kubur arahkan pandangannya pada 

Ratu Pemikat. Lalu tampak anggukkan kepala. Di sebelah-

nya Iblis Rangkap Jiwa sudah tampak gemetar. Dan jauh di 

seberang, Ratu Pemikat tampaknya dapat menangkap 

ganjalan tidak enak. Tapi yang dirasakannya jauh lebih 

ringan daripada Iblis Rangkap Jiwa. Karena dia berada jauh 

di seberang. Dan tak mungkin Malaikat Penggali Kubur 

akan turun tangan sebelum menangani Iblis Rangkap Jiwa 

yang berada di sebelahnya. 

Akhirnya apa yang dicemaskan Iblis Rangkap Jiwa terjadi 

juga saat Malaikat Penggali Kubur ajukan tanya dengan 

mata memandang pada Dewa Orok. 

"Siapa manusia buntung di belakang Ratu Pemikat itu?!" 

Iblis Rangkap Jiwa terdiam. Dalam pikirannya selintas 

masih terbersit pertanyaan, apakah Malaikat Penggali 

Kubur memang tidak mengenali Dewa Orok atau kenal tapi 

pura-pura bertanya. Namun belum sampai Iblis Rangkap 

Jiwa menarik kesimpulan, Malaikat Penggali Kubur telah



ulangi lagi pertanyaannya. 

Iblis Rangkap Jiwa masih tidak menjawab. Namun saat 

lain laki-laki berkepala gundul ini telah melangkah dua 

tindak dan tiba-tiba jatuhkan diri di hadapan Malaikat 

Penggali Kubur. 

Malaikat Penggali Kubur hanya menyeringai. Dengan 

sikap Iblis Rangkap Jiwa, si pemuda sudah maklum, karena 

dari keterangan Ratu Pemikat tempo hari, dia sudah dapat 

mengenali Dewa Orok meski belum sempat bertemu muka. 

Namun sejauh ini Malaikat Penggali Kubur belum buka 

mulut. Dia seolah menunggu Iblis Rangkap Jiwa buka 

suara. 

"Harap maafkan. Ternyata dugaanku tempo hari salah!" 

"Hem.... Dugaan apa?!" tanya Malaikat Penggali Kubur 

dingin. 

"Ternyata Dewa Orok yang kutanam dalam keadaan 

tertotok bisa lolos...." 

"Hem.... Lalu?!" 

"Malam ini aku akan tamatkan riwayatnya!" Tangan 

kanan Malaikat Penggali Kubur bergerak. 

Plaaakkk! Satu tamparan keras mendarat di wajah Iblis 

Rangkap Jiwa. Karena tidak menduga, dan tamparan itu 

bukan tamparan biasa, maka kepala Iblis Rangkap Jiwa 

tampak tersentak keras ke samping. 

Dari arah puncak batu cadas putih terdengar suara tawa 

bersahut-sahutan. Lalu terdengar suara orang. "Ternyata 

temanmu itu garang juga. Dan herannya ternyata Iblis 

Rangkapan itu hanya pandai berteriak-teriak. Kasihan 

juga.... Kulihat kepalanya tadi miring ke samping.... Hik.... 

Hik.... Hik...!" 

Ternyata suara tawa bukan saja terdengar dari puncak 

batu cddas putih. Melainkan dari bagian bawah terdengar 

juga suara orang cekikikan begitu kepala Iblis Rangkap 

Jiwa tersentak akibat tamparan Malaikat Penggali Kubur. 

Suara-suara tawa dan tawa cekikan membuat dada Iblis 

Rangkap Jiwa panas. Wajahnya mengelam dengan tubuh 

bergetar. Diam-diam dalam hati laki-laki ini membatin.


matanya melirik ke arah dada Malaikat Penggali Kubur. 

Tapi Iblis Rangkap Jiwa terlihat masih bimbang. 

Di lain pihak, Malaikat Penggali Kubur diam-diam juga 

membatin. "Meski aku telah membekal Kitab Hitam, 

namun aku tidak mau bersusah-payah malam ini. Manusia 

Iblis ini masih kuperlukan tenaganya! Lagi pula ada be-

berapa orang yang belum kukenal di tempat ini!" 

Habis membatin begitu, Malaikat Penggali Kubur 

dongakkan kepala. Lalu menghardik. 

"Mengapa kau masih di sini?!" 

Iblis Rangkap Jiwa terkesiap. Belum sampai dia buka 

mulut, Malaikat Penggali Kubur telah menghardik lagi. 

"Habisi manusia buntung itu!" 

Iblis Rangkap Jiwa pandangi tampang Malaikat Penggali 

Kubur dengan tatapan dingin. Lalu dia bergerak mundur. 


                        SELESAI 


Segera ikuti lanjutan kisah ini!!! 

Serial 

Pendekar Pedang Tumpul 131 

Joko Sableng 

dalam episode: 

BARA DI KEDUNG OMBO


Share:

0 comments:

Posting Komentar