..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 02 Desember 2024

JOKO SABLENG EPISODE BARA DI KEDUNG OMBO

JOKO SABLENG EPISODE BARA DI KEDUNG OMBO

 

Hak cipta dan copy right pada

penerbit dibawah lindungan

undang-undang

Joko Sableng telah

Terdaftar pada Dept. Kehakiman R. I.

Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek 

dibawah nomor 012875

Karya:

ZHAENAL FANANI



SATU


SESAAT Iblis Rangkap jiwa pentangkan mata 

mengawasi Dewa Orok di seberang sana. Saat lain 

laki-laki berkepala gundul itu melayang turun dari 

puncak batu lalu berkelebat melintasi hamparan 

pasir yang membelah dua kawasan berbatu. Se-

perti diceritakan dalam episode : "Kidung Maut 

Malam Purnama", begitu Malaikat Penggali Kubur 

tahu kalau Dewa Orok ternyata masih hidup, di-

rinya sangat berang. Lantas diperintahkannya Iblis 

Rangkap Jiwa untuk menghabisi Dewa Orok.

Sementara itu melihat Iblis Rangkap Jiwa ber-

kelebat turun dari puncak batu, Ni Luh Padmi pe-

lototkan sepasang matanya. Dada si nenek berde-

gup keras. Bukan karena melihat apa yang hendak 

dilakukan laki-laki berkepala gundul itu, melain-

kan dia merasa Malaikat Penggali Kubur pasti tak 

akan tinggal diam mengetahui dia tidak muncul di 

Bukit Selamangleng dua hari yang lalu seperti 

yang telah disepakatinya bersama Ratu Pemikat 

dan Iblis Rangkap Jiwa.

Dari pertanyaan Ratu Pemikat sewaktu meng-

hadang kemunculannya di kawasan sebelah ka-

nan kedung, Ni Luh Padmi sudah dapat menebak 

kalau Malaikat Penggali Kubur sempat muncul di 

Bukit Selamangleng dua hari yang lalu. Kemuncu-

lan Malaikat Penggali Kubur sebenarnya di luar 

dugaannya. Karena dia yakin pertemuan di pun-

cak bukit itu hanya diketahui olehnya serta Ratu 

Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa. Dia tidak tahu 

kalau Ratu Pemikat sempat mengatakan rencana 

pertemuan di bukit itu pada Malaikat Penggali Ku-

bur saat perempuan cantik bertubuh bahenol ini 

menjumpai si pemuda.

Dada Ni Luh Padmi bukan saja dilanda gelisah


dengan persoalan munculnya Malaikat Penggali 

Kubur di Bukit Selamangleng dua hari yang lalu. 

Tapi yang lebih membuatnya gundah dan gelisah 

adalah siapa yang dicari dan ditunggunya belum 

juga ada tanda-tanda muncul di Kedung Ombo. 

Padahal seperti alasan yang dikatakannya pada 

Ratu Pemikat, si nenek telah berhasil mengetahui 

di mana tempat tinggal Pendeta Sinting yang se-

lama ini dicari dan tidak menemukan orangnya.

Ni Luh Padmi sebenarnya merasa sedikit lega 

meski dia tidak menemukan Pendeta Sinting di 

Jurang Tlatah Perak. Karena kepergian orang yang 

dicarinya masih belum lama dan saat itu adalah 

menjelang purnama. Hal itu membuat si nenek 

yakin kalau kepergian Pendeta Sinting ada hubun-

gannya dengan pertemuan di Kedung Ombo. Apa-

lagi urusan di Kedung Ombo berkaitan dengan 

murid tunggalnya Pendekar 131.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?!" diam-

diam Ni Luh Padmi bertanya pada diri sendiri. 

"Menemui Malaikat Penggali Kubur di puncak batu 

itu dan mengatakan mengapa aku tidak muncul di 

Bukit Selamangleng dua hari yang lalu?!" Si nenek 

tengadahkan kepala ke puncak batu di sebelahnya 

di mana Malaikat Penggali Kubur sekarang telah 

tegak. Nenek ini jadi terkesiap. Karena saat itu 

Malaikat Penggali Kubur berpaling ke arahnya 

dengan sorot mata menusuk tajam!

"Hem.... Aku masih punya dugaan kalau jaha-

nam Pendeta Sinting itu akan muncul di sini! Jadi 

aku tak mau buat masalah dengan Malaikat Peng-

gali Kubur sebelum bisa membereskan jahanam 

itu! Kalau tidak, perjalananku ini hanya akan 

menghasilkan kesia-siaan!"

Berpikir begitu, akhirnya perlahan-lahan Ni 

Luh Padmi turun dari batu di mana dia tegak. La


lu melangkah ke bagian belakang batu yang mem-

bentuk bukit, di mana tegak gubuk hitam yang di 

bawahnya Malaikat Penggali Kubur berdiri.

Di lain pihak, melihat si nenek akan menuju ke 

tempatnya, Malaikat Penggali Kubur tersenyum 

dingin. Lalu dongakkan kepala seolah menunggu. 

Dan begitu si nenek sudah sejarak lima langkah di 

belakangnya, dia putar tubuh. Mulutnya kelua-

rkan bentakan.

Jangan lancang buka mulut kalau tidak ku

tanya!" Ni Luh Padmi tersentak. Dia angkat tan-

gannya memandang sejurus pada Malaikat Peng-

gali Kubur. Hatinya sudah tambah tidak enak. 

Namun dia diam-diam membatin.

"Tak mungkin dia mau bikin urusan denganku 

dalam situasi begini! Masalah Iblis Rangkap Jiwa 

kurasa lebih besar. Tapi dia hanya memerintahkan 

laki-laki gundul itu selesaikan urusannya di sini! 

Hem...."

Tapi walau Ni Luh Padmi sudah membatin begi-

tu, si nenek tidak mau berbuat lengah. Bisa saja 

Malaikat Penggali Kubur berbuat lain dengan du-

gaannya. Maka secara diam-diam dia kerahkan 

juga tenaga dalam pada kedua tangannya. Tusuk 

konde besar di tangan kanannya digenggam rapat.

"Apa yang kau lakukan hingga kau tidak mun-

cul di bukit?!" Malaikat Penggali Kubur memben-

tak. Pandangannya menyengat dingin.

Si nenek balas memandang pada pemuda di 

hadapannya. Saat itu tiba-tiba si nenek teringat 

akan ucapan-ucapan Gendeng Panuntun. "Hem.... 

Ucapan manusia buta itu benar-benar terjadi! Aku 

betul-betul berurusan dengan orang yang selama 

ini tidak terduga sama sekali! Hem...!" Ni Luh 

Padmi menghela napas. "Tapi semua sudah terja-

di! Tak mungkin aku melangkah mundur. Bahkan


sekalipun harus menghadapi pemuda ini!" Dada si 

nenek berubah agak tenteram. Malah perlahan-

lahan tekadnya muncul. "Kalau dia tidak mau 

mengerti urusanku hingga aku tidak muncul di 

bukit dua hari yang lalu, aku siap menghadapinya 

saat ini!" Setelah berpikir begitu, Ni Luh Padmi 

buka mulut. "Aku jumpa seseorang yang menun-

jukkan tempat Pendeta Sinting! Sayang setelah 

aku sampai di tempat jahanam itu, bangsatnya ti-

dak kutemukan! Aku menunggunya sampai satu 

hari menjelang purnama! Ketika bangsat itu tidak 

muncul juga, aku akhirnya langsung kemari!"

"Apa tugasmu mencari manusia sinting itu?!" 

tanya Malaikat Penggali Kubur masih dengan sua-

ra meradang.

"Tidak!" jawab si nenek dengan suara agak 

tinggi. "Tapi bagaimanapun juga itu salah satu tu-

juanku selama ini!"

Mendengar nada suara si nenek, Malaikat 

Penggali Kubur sipitkan sepasang matanya. Lalu 

enteng saja dia angkat bicara.

"Kau lupa apa yang harus kau lakukan jika 

menghadapiku?!"

Karena Ni Luh Padmi sudah tahu bagaimana 

tadi Iblis Rangkap Jiwa bersikap, maka dengan 

menindih rasa geram, si nenek perlahan-lahan ja-

tuhkan diri berlutut di atas puncak batu.

"Kalau saja urusanku dengan tua bangka jaha-

nam sinting itu usai, tak sudi aku diperlakukan 

orang begins rupa! Hem.... Ini gara-gara jahanam 

sinting itu!" kata si nenek dalam hati. Perlakuan 

Malaikat Penggali Kubur membuat kegeraman Ni 

Luh Padmi pada Pendeta Sinting makin berkobar 

dan makin dalam.

"Kau dapat menduga ke mana kira-kira orang 

yang kau cari itu?!" tanya Malaikat Penggali Ku


bur. Karena diam-diam pemuda ini ingin juga 

menghabisi nyawa Pendeta Sinting, sebab Pendeta 

Sinting adalah guru Pendekar 131, orang yang ha-

rus dimusnahkan!

"Kalau aku tahu ke mana perginya, aku tak 

akan tinggal diam! Saat ini dia boleh berlari, tapi 

tak ada tempat baginya untuk sembunyi!"

"Apa kau menganggap murid orang yang kau 

cari termasuk orang yang harus kau musnahkan 

juga?!"

"Hem.... Orang ini rupanya hendak menyuruh-

ku menghabisi pemuda murid Pendeta Sinting 

itu!" simpul Ni Luh Padmi sambil lirikkan matanya 

ke seberang sana, di mana murid Pendeta Sinting 

tegak berada.

"Kau takut menghadapi murid jahanam sinting 

itu?!" Ni Luh Padmi balik bertanya.

Mata Malaikat Penggali Kubur membesar ang-

ker. Pelipisnya bergerak-gerak. Namun kejap lain, 

pemuda murid Bayu Bajra ini perdengarkan tawa 

pendek. Lalu berkata dengan dada dibusungkan. 

"Dengar, Nenek Tua! Saat ini tak ada yang kutaku-

ti di atas bumi ini! Sejak malam ini, kekuasaan 

rimba persilatan ada dalam genggamanku!" Malai-

kat Penggali Kubur angkat tangan kanannya. Lalu 

perlahan-lahan membuat gerakan mengepal hing-

ga terdengar suara berkeretekan.

"Lalu apa maksud ucapanmu tadi?!" tanya Ni 

Luh Padmi.

"Kau adalah salah seorang yang harus tunduk 

pada perintahku. Jadi jangan kau anggap aku ta-

kut hadapi orang kalau aku memerintahmu 

menghadapi orang itu! Kau paham maksudku?!"

Ni Luh Padmi tidak segera menjawab atau ang-

gukkan kepala walau dia sudah bisa menebak ke 

arah mana ucapan Malaikat Penggali Kubur.


"Aku ingin tahu sampai di mana ilmu yang kau 

miliki! Hadapi manusia bangsat bergelar Pendekar 

131 itu! Tapi ingat, nyawanya untukku! Kau hanya 

perlu membuatnya meregang nyawa!" ucap Malai-

kat Penggali Kubur lalu balikkan tubuh.

Sesungguhnya, di balik perintah Malaikat 

Penggali Kubur agar Ni Luh Padmi hadapi murid 

Pendeta Sinting, ada satu maksud tertentu. Malai-

kat Penggali Kubur telah mendengar kalau Pende-

kar 131 membekal dua kitab sakti. Namun selama 

ini dia belum sempat bertemu dengan murid Pen-

deta Sinting hingga dia tak dapat mengukur sam-

pai di mana kehebatan murid Pendeta Sinting se-

telah di tangannya tergenggam dua kitab sakti itu.

Dalam diri Malaikat Penggali Kubur sebenarnya 

sudah tertanam keyakinan kalau Kitab Hitam di 

tangannya lebih hebat. Tapi dia akan lebih yakin 

lagi kalau dia sudah melihat bagaimana ilmu mu-

rid Pendeta Sinting saat ini. Untuk itulah dia sen-

gaja memerintahkan Ni Luh Padmi untuk meng-

hadapi Pendekar 131.

Di lain pihak, Ni Luh Padmi sebenarnya enggan 

untuk menghadapi murid Pendeta Sinting meski 

dia masih merasa geram dengan Joko karena saat 

bertemu pada beberapa hari yang lalu, Joko tidak 

mau mengatakan di mana Pendeta Sinting berada. 

Lebih dari itu, karena dia sesungguhnya tidak 

mau buang tenaga sia-sia sebelum menemukan 

orang yang selama ini dicarinya.

 Tapi karena Ni Luh Padmi tidak mau bikin 

urusan dengan Malaikat Penggali Kubur, apalagi 

setelah maklum kalau si pemuda sukar ditakluk-

kan, maka dengan langkah enggan, si nenek turun 

dari puncak batu dan memutuskan menghadapi 

murid Pendeta Sinting.

Sementara itu, di sebelah kiri batu yang mem


bukit di mana Malaikat Penggali Kubur berada, 

Putri Sableng tampak membuat gerakan begitu 

melihat iblis Rangkap Jiwa melayang turun dari 

puncak bukit. Gadis berjubah merah ini seolah

hendak berkelebat, namun entah karena apa tiba-

tiba dia urungkan niat. Dia kini hanya melihat ge-

rakan Iblis Rangkap Jiwa yang mulai berlari me-

lintasi hamparan pasir.

Tidak jauh dari Putri Sableng, Dewi Siluman 

tampak pentangkan mata melihat gerakan iblis 

Rangkap Jiwa. Tapi perempuan bercadar hitam ini 

tidak membuat gerakan apa-apa.

Sedangkan kedua orang berwajah hitam yang 

ada di puncak batu cadas putih sama-sama kan-

cingkan mulut dengan mata masing-masing orang 

memejam rapat! Namun begitu, tampak sekali ke-

palanya bergerak mengikuti arah berlarinya Iblis 

Rangkap Jiwa!

Sementara di seberang, Ratu Pemikat yang te-

gak tidak jauh dari Dewa Orok segera melompat 

kesamping kiri, seolah memberi jalan Iblis Rang-

kap Jiwa. Dari bentakan Malaikat Penggali Kubur 

dan sikap Iblis Rangkap Jiwa, rupanya perempuan 

bertubuh bahenol itu sudah dapat menangkap apa 

yang akan dilakukan Iblis Rangkap Jiwa.

Tidak jauh dari Ratu Pemikat, Dewa Orok don-

gakkan kepala dengan tubuh bergetar! Dia juga 

sudah tahu ke mana arah yang dituju Iblis Rang-

kap Jiwa. Pemuda bertangan buntung ini sadar 

kalau jiwanya berada di ujung tanduk! Karena se-

lain paham kalau Iblis Rangkap Jiwa berilmu ting-

gi dan tidak mempan pukulan, dia juga maklum, 

tanpa bundaran karet miliknya, dia tidak bisa ke-

rahkan tenaga dalam apalagi lepaskan pukulan. 

Dia memang masih bisa kerahkan ilmu peringan 

tubuh untuk berkelit menghindar. Tapi apa gunanya kalau menghadapi Iblis Rangkap Jiwa? Dan 

sampai kapan dia mampu menghindar menghada-

pi Iblis Rangkap Jiwa yang berilmu tinggi?

Namun melihat gerakan Iblis Rangkap Jiwa, 

yang tidak kalah terkejutnya adalah murid Pende-

ta Sinting. Dia saat itu masih tegak di hamparan 

pasir yang membelah dua kawasan berbatu di ka-

nan kiri kedung. Padahal untuk sampai pada De-

wa Orok, Iblis Rangkap Jiwa harus melewati tem-

pat di mana dia saat itu tegak. iblis Rangkap Jiwa 

pasti tidak akan begitu saja lewat, karena Iblis 

Rangkap Jiwa sendiri punya ganjalan dengan mu-

rid Pendeta Sinting.

Berpikir sampai ke sana, akhirnya begitu Iblis 

Rangkap Jiwa mulai berlari melintasi hamparan 

pasir di depan kedung, murid Pendeta Sinting ce-

pat menghadang.

Gerakan Pendekar 131 membuat Dewa Orok 

sedikit bernapas lega, sementara di seberang sana, 

Ni Luh Padmi urungkan niatnya yang hendak ber-

lari ke arah murid Pendeta Sinting. Dan menung-

gu apa yang akan terjadi.

Di lain pihak, melihat dirinya dihadang, Iblis 

Rangkap Jiwa segera hentikan larinya sejarak tu-

juh langkah di hadapan murid Pendeta Sinting.

"Hem.... Akhirnya kau yang harus mengubah 

warna air kedung terlebih dahulu!" ujar Iblis 

Rangkap Jiwa. Kedua tangannya sudah terangkat 

di atas kepala.

Murid Pendeta Sinting pandangi orang sesaat. 

Lalu bertanya.

"Imbalan apa yang kau peroleh hingga kau rela 

mengabdi pada pemuda di gubuk hitam itu?! Pe-

rempuan cantik?!" Sesaat Joko hentikan ucapan-

nya. Lalu tanpa memberi kesempatan Iblis Rang-

kap Jiwa untuk angkat bicara, dia telah lanjutkan


ucapan.

"Kalau imbalan itu yang kau inginkan, aku bisa 

memberimu lebih! Aku punya banyak simpanan 

perempuan cantik! Kau tinggal sebut bagaimana 

seleramu! Putih mulus, hitam manis, kuning lang-

sat?! Berambut panjang, berambut pendek, atau 

keriting...? Bertubuh montok, kurus, atau gem-

brot?! Bahkan aku punya simpanan nenek-nenek 

yang penampilannya tidak kalah dibanding gadis-

gadis muda!"

Iblis Rangkap Jiwa pentangkan mata dengan 

hidung mendengus. Tapi sebelum laki-laki ini 

sempat buka mulut, dari arah puncak batu cadas 

putih terdengar teriakan.

"Hai, Teman Baru! Tidak dinyana kalau kau 

punya simpanan perempuan begitu lengkap! Ke-

napa kau tadi tidak memberi tawaran pada kami 

berdua?! Apa penampilan kami berdua kurang ke-

ren?! Padahal kalau diukur dengan orang di hada-

panmu, siapa pun juga pasti mengatakan kami le-

bih cakep!"

"Betul! Lihat, rambut di kepalanya saja dia ti-

dak punya. Apalagi rambut di dalamnya! Hik.... 

Hik.... Hik. .! Raut wajahnya hanya tinggal tulang-

belulang. Bagaimana bentuk senjata saktinya?! 

Jangan-jangan hanya tinggal kerangka tanpa dag-

ing! Waduh.... Mungkin bentuknya akan lucu!"

"Lucu memang lucu!" sahut satunya. "Yang ku-

bayangkan bagaimana cara bekerjanya?!"

"Husyy! Jangan bicara jauh-jauh sampai ke si-

tu! Di sini ada telinga seorang gadis yang ikut 

mendengarkan!"

“Ah.... Aku tidak bicara terlalu jauh! Aku hanya 

membayangkan! Dan kalaupun ada telinga gadis 

yang mendengarkan dan ikut membayangkan, itu 

salahnya sendiri!"


Lalu terdengar suara tawa bergelak bersahut-

sahutan. Malah semua orang lamat-lamat juga 

mendengar suara tawa perempuan cekikikan yang 

berasal dari kawasan berbatu di sebelah kiri ke-

dung di atas mana Malaikat Penggali Kubur tegak.

Iblis Rangkap Jiwa sentakkan kaki kanannya. 

Kepalanya berpaling mendongak ke arah puncak 

batu cadas putih. Namun gerakan laki-laki berke-

pala gundul ini terlambat. Karena matanya sudah 

tidak melihat dua kepala berambut awut-awutan 

yang tadi nongol di bibir puncak batu.

"Aku telah menawarkan imbalan padamu! Ba-

gaimana?! Kau pilih yang mana?! Atau kau ingin 

borong semuanya?!" ujar murid Pendeta Sinting.

'Tak ada imbalan yang kuminta selain selembar 

jiwamu!" hardik Iblis Rangkap Jiwa dengan kepala 

masih berpaling ke puncak batu cadas.

"Ah.... Aku tahu sekarang!" kata Joko. "Mung-

kin kau orang yang tidak suka dengan perempuan! 

Kalau kau lebih suka laki-laki, aku juga punya 

banyak simpanan! Kau tinggal katakan bagaimana 

yang kau inginkan.... Hitam legam berbulu, putih 

mulus, atau setengah putih berbintik-bintik hi-

tam? Ah, aku lupa! Mereka yang kutawarkan pa-

damu tadi, punya keistimewaan! Mereka bisa ber-

suara merdu, meringkih, malah mendesah-desah 

juga ada...!"

Iblis Rangkap Jiwa sentakkan kepalanya meng-

hadap Joko. Namun lagi-lagi sebelum dia sempat 

buka mulut, dari puncak batu cadas putih terden-

gar seruan.

"Raden Mas Antar Bumi! Kita tertipu!" Seruan 

itu jelas menunjukkan kalau yang berseru adalah 

Raden Mas Antar Langit.

"Tertipu apa?" kata seruan yang menyahut.

"Mendengar ucapan Teman Baru tadi, kurasa


yang ditawarkan bukan sebangsa manusia! Tapi 

bangsanya binatang! Sialan betul Teman Baru itu! 

Tega-teganya ajukan tawaran bangsa binatang pa-

da orang!"

"Mungkin Teman Baru itu tahu kalau orang 

yang ditawari suka bangsa binatang! Kalau tidak, 

mana mungkin dia tawarkan itu?!"

"Ah.... Kasihan juga ya...? Penampilan keren 

dan angker, tak tahunya berselera menyimpang!"

Untuk kesekian kalinya kembali terdengar sua-

ra tawa bersahut-sahutan. Malah suara tawa pe-

rempuan yang cekikikan sudah meledak menda-

hului suara tawa dari puncak batu cadas putih.

Mendengar suara-suara yang memojokkan di-

rinya, Iblis Rangkap Jiwa jadi kalap. Sambil putar 

tubuh laksana hendak terbang, laki-laki berkepala 

gundul ini berkelebat menghadap batu cadas pu-

tih. Kedua tangannya bergerak.

Wuuttt! Wuuutt!

Dua gelombang hitam menggebrak ganas ke 

arah puncak batu cadas putih. Dua kepala yang 

baru saja hendak nongol serta-merta lenyap. Sua-

ra tawa bersahut-sahutan laksana dirobek setan!

Brakkk! Brakkk!

Bibir julangan batu cadas putih longsor di dua 

tempat membentuk sempalan besar. Batu cadas 

putih tampak bertabur di atas hamparan pasir. 

Meski tempat yang terkena hantaman pukulan ib-

lis Rangkap Jiwa adalah kawasan batu cadas pu-

tih di depan kedung, tapi semua orang yang ada di 

tempat itu rasakan tempat pijakan masing-masing 

bergetar keras. Malah gaung suara berderaknya 

julangan batu cadas putih sempat membuat dada 

berdebam! Jelas pertanda kalau Iblis Rangkap Ji-

wa lepaskan pukulan dengan tenaga dalam sangat 

kuat!


Semua kepala kini terarah pada puncak batu 

cadas putih. Sementara Iblis Rangkap Jiwa sudah 

tegak di tempatnya semula di hadapan murid Pen-

deta Sinting dengan mata mendelik ke puncak ba-

tu cadas. Bahkan kedua tangannya masih terang-

kat di atas kepalanya seolah siap hendak lepaskan 

pukulan kedua kalinya.

Semua orang sesaat jadi terdiam dan menung-

gu-nunggu dengan dada berdebar. Karena dari 

puncak batu cadas putih tidak terlihat lagi adanya 

gerakan atau terdengarnya suara orang!

"Ke mana mereka? Apa mereka terluka kena bi-

as hantaman orang ini?! Hem.... Bagaimana cara 

menghadapi orang ini?! Kulihat gadis sialan itu be-

rada di seberang dan bergabung dengan Malaikat 

Penggali Kubur! Sementara tak mungkin Ratu Pe-

mikat melakukannya. Karena meski dia tegak ber-

seberangan dengan Malaikat Penggali Kubur, tapi 

kuyakin dia berpihak ke pemuda itu!" Diam-diam 

murid Pendeta Sinting membatin.

Karena ditunggu agak lama dari puncak batu 

cadas putih tidak juga terlihat adanya gerakan 

atau suara yang terdengar, akhirnya Iblis Rangkap 

Jiwa palingkan kepala ke arah murid Pendeta 

Sinting.

"Kau berani bicara kurang ajar padaku! Nya-

wamu akan kubelah dua kali!" bentak Iblis Rang-

kap Jiwa saking geramnya.

"Kau jangan termakan ucapan orang-orang tadi! 

Yang kutawarkan padamu manusia asli! Bukan 

bangsa binatang!" ujar murid Pendeta Sinting.

Joko sengaja mengulur waktu sambil berpikir 

bagaimana cara melumpuhkan orang di hadapan-

nya. Karena seperti diketahui, Iblis Rangkap Jiwa 

memiliki kepandaian sangat tinggi dan tidak 

mempan pukulan. Sementara kekuatan yang dimilikinya itu baru bisa musnah kalau laki-laki ber-

kepala gundul itu melihat pantat seorang laki-laki 

dan perempuan secara bersamaan. Padahal untuk 

itu tidak mudah mendapatkannya sekarang dan 

dalam keadaan seperti ini.

"Dengar, Keparat!" sentak Iblis Rangkap Jiwa. 

"Aku tidak akan terima imbalan apa pun! Nyawa-

mu sudah lebih daripada semuanya!"

"Ah, kebetulan sekali! Sejak jumpa pertama kali 

dahulu, aku memang ingin tanyakan apa sebab-

nya kau inginkan nyawaku! Sekarang bisa je-

laskan!" kata Joko dengan dada berdebar, karena 

sampai saat ini dia belum menemukan jalan ke-

luar bagaimana cara menghadapi Iblis Rangkap 

Jiwa.

"Kau tak akan peroleh penjelasan apa-apa!" 

hardik Iblis Rangkap Jiwa.

"Iblis Rangkap Jiwa! Jangan terlalu banyak mu-

lut!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari puncak batu 

bergubuk hitam. "Kau selesaikan tugasmu! Kepa-

rat di hadapanmu ada yang akan menghadapinya 

sendiri!"

Tanpa berpaling pada orang yang buka teria-

kan, Iblis Rangkap Jiwa sudah tahu siapa adanya 

orang yang baru saja berteriak.

"Kau masih bernasib baik, Jahanam!" desis Ib-

lis Rangkap Jiwa. "Tapi jangan harap kau nanti bi-

sa tewas sebelum mencicipi kedua tanganku!"

Habis berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa arah-

kan pandangannya pada Dewa Orok. Laki-laki 

berkepala gundul ini cepat berkelebat. Namun be-

lum sampai sosoknya bergerak, tiba-tiba dari pun-

cak batu cadas putih terdengar teriakan.

"Hai, Teman Baru! Siapa akhirnya yang dipilih 

orang di hadapanmu itu?!"

Semua kepala kini kembali tertuju pada puncak


batu cadas putih kecuali kepala Iblis Rangkap Ji-

wa. Satu kepala berwajah hitam tampak nongol di 

bibir batu yang sebagian hancur akibat pukulan 

Iblis Rangkap Jiwa.

"Dia tidak memilih salah satu dari tawaranku! 

Aku jadi tak habis pikir, apa sebenarnya imbalan 

yang diiming-imingkan pemuda di bawah gubuk 

itu hingga dia mau-maunya saja lakukan apa yang 

diperintahkan orang!" kata Joko sambil melirik ke 

arah Iblis Rangkap Jiwa.

Iblis Rangkap Jiwa tambah panas mendapati 

orang di atas puncak batu cadas masih bisa kelu-

arkan suara. Dia sebenarnya ingin lepaskan puku-

lan sekali lagi, bahkan ingin berkelebat naik ke 

puncak batu cadas putih. Namun karena baru sa-

ja mendengar perintah Malaikat Penggali Kubur, 

mau tak mau dia harus tindih dahulu kemara-

hannya dan segera selesaikan tugasnya menghabi-

si Dewa Orok.

Dengan membawa kemarahan menggejolak, Ib-

lis Rangkap Jiwa berkelebat ke arah Dewa Orok. 

Tapi satu suara tiba-tiba menyeruak. Jelas suara 

ini mirip sekali dengan suara Malaikat Penggali 

Kubur tadi.

"Iblis Rangkap Jiwa! Tahan gerakanmu! Kau 

kembali dahulu ke puncak batu di mana kau tadi 

berada!"

Iblis Rangkap Jiwa tahan gerakannya. Lalu pu-

tar tubuh dengan tulang dahi bergerak. Kepalanya 

tengadah memandang ke jurusan puncak batu 

bergubuk hitam di seberang sana. Saat itulah dari 

puncak batu bergubuk hitam terdengar teriakan 

dahsyat.

"Keparat! Bukan aku yang berteriak barusan! 

Cepat lakukan tugasmu!"

Ucapan Malaikat Penggali Kubur tentu saja


membuat Iblis Rangkap Jiwa bingung. Saat itulah 

dari puncak batu cadas putih terdengar orang ber-

gumam.

"Suaramu mirip! Sayang Teman Baru kita tak 

bisa gunakan kesempatan! Lihat, ia tetap diam di 

tempatnya tanpa berbuat apa-apa!"

"Dasar sontoloyo sedeng! Tidak tahu kalau dia 

di beri kesempatan untuk berbuat sesuatu!" ter-

dengar sahutan.

Iblis Rangkap Jiwa tegak dengan kaki bergetar. 

Kini dia maklum kalau suara yang menahan gera-

kannya tadi adalah suara salah seorang yang be-

rada di puncak batu cadas putih! Bukan ucapan 

Malaikat Penggali Kubur.

Iblis Rangkap Jiwa cepat balikkan tubuh hen-

dak langsung berkelebat ke arah Dewa Orok, na-

mun laki-laki ini terkesiap kaget. Bersamaan den-

gan gerakannya memutar, dua buah benda hitam 

menghantam tengkuk serta lambungnya!

Iblis Rangkap Jiwa berseru tertahan. Karena 

saat itu juga dia rasakan sekujur tubuhnya kejang 

tak bisa digerakkan!

*

* *

DUA



BANGSAT! Berani kau berlaku pengecut meno-

tokku dari belakang!" teriak Iblis Rangkap Jiwa 

dengan suara keras bergetar. Karena sewaktu to-

tokan yang ternyata dilakukan murid Pendeta 

Sinting bersarang di tengkuk dan lambungnya, la-

ki-laki berkepala gundul ini sedang putar tubuh 

hendak menghadap ke tempat Dewa Orok. Maka 

kini sosoknya tepat menghadap ke julangan batu cadas putih.

Joko melangkah mundur dua tindak. Mungkin 

karena tadi terlalu tenggelam mencari jalan keluar 

untuk lumpuhkan Iblis Rangkap Jiwa, di benak-

nya tidak terpikir sama sekali kalau gerakan dan 

ulah Iblis Rangkap Jiwa bisa ditahan dengan toto-

kan. Dia baru tersadar setelah mendengar guma-

man kedua orang di atas puncak batu cadas pu-

tih. Hingga begitu Iblis Rangkap Jiwa hendak ba-

likkan tubuh, cepat dia sarangkan totokan pada 

laki-laki berkepala gundul itu.

"Kau akan menyesal, Jahanam!" teriak Iblis 

Rangkap Jiwa.

"Penyesalan hanya akan datang di kemudian 

hari! Jadi untuk saat ini jangan bicara soal sesal 

menyesal! Kalau boleh dibilang menyesal, sebe-

narnya kau yang harus merasa menyesal! Aku te-

lah tawarkan kenikmatan padamu, tapi kau meno-

lak!" kata Joko sambil arahkan pandangan ke 

puncak batu cadas putih.

Dua wajah hitam dan rambut awut-awutan 

tampak nongol di bibir batu cadas yang sebagian 

telah hancur. Sesaat kedua wajah ini saling ber-

hadapan dengan mata saling pandang. Lalu sama-

sama arahkan pandangannya pada Iblis Rangkap 

Jiwa.

"Lihat Iblis Rangkapan itu! Apa yang dilaku-

kan?! Menghadap ke arah kita terus menerus! 

Jangan-jangan dia naksir kita!"

"Hussyy! Dia itu tengah bersemadi! Dan mum-

pung dia bersemadi, bagaimana kalau kita bukti-

kan?!"

"Buktikan apanya?!" tanya satunya.

"Wajahnya hampir tidak tertutup daging. Kepa-

lanya tidak ditumbuhi rambut! Aku ingin tahu, 

apakah senjata saktinya juga tidak berdaging dan gundul pula?! Lagi pula bukankah kau butuh ce-

lana?! Kalau orang lagi semadi begitu, apa pun 

yang dilakukan orang terhadapnya, dia tak akan 

peduli!"

"Ah.... Tentu satu pemandangan menarik di bu-

lan yang tengah purnama begini! Aku pun juga 

perlu celananya!"

"Keparat! Berani kalian teruskan maksud, ku-

kuliti daging kalian!" teriak Iblis Rangkap Jiwa.

"Bagaimana ini? Apa ada orang bersemadi bisa 

mengancam?!"

"Itulah semadi bangsanya iblis! Dia masih bisa 

berbicara bahkan mengancam! Tapi percayalah. 

Dia tak akan peduli meski apa pun yang akan kau 

lakukan terhadapnya! Kita buktikan sekarang...."

Dua kepala ini lantas beringsut mundur. Kare-

na puncak batu cadas letaknya paling tinggi, maka 

semua orang tak tahu apa yang diperbuat kedua 

orang itu. Namun sebelum dua kepala milik dua 

laki-laki berwajah hitam ini benar-benar bering-

sut, satu teriakan keras membelah menguman-

dang di tempat itu.

"Jangan ada yang berani bergerak! Atau kalian 

akan mengalami nasib seperti ini!"

Begitu suara teriakan lenyap, yang ternyata di-

perdengarkan oleh Malaikat Penggali Kubur, ter-

dengar suara deru perlahan. Tidak ada gelombang 

atau sapuan angin. Namun di kejap lain semua 

mata di tempat itu membeliak.

Julangan batu cadas bergetar dahsyat. Lalu 

laksana disapu gelombang hebat yang berkekua-

tan kuat, julangan batu cadas putih hancur ber-

keping-keping. Hamburan batu cadas tampak 

memenuhi pemandangan di atas Kedung Ombo. 

Dan di antara kepingan batu cadas, tampak dua 

sosok hitam membubung ke udara, lalu melayang


layang dan lenyap di balik julangan batu cadas 

putih yang kini tinggal separoh.

"Hem.... Daya kekuatan Kitab Hitam itu ternya-

ta luar biasa! Apa isi Kitab Serat Biru dan Sundrik 

Cakra mampu membendungnya?!" Diam-diam 

murid Pendeta Sinting membatin. Lalu arahkan 

pandangannya ke tempat mana tadi dua sosok hi-

tam melayang jatuh. Namun meski julangan batu 

cadas putih telah terpenggal separo, batu cadas 

itu masih kira-kira setinggi tujuh tombak, hingga 

pandangan Joko masih terhalang.

Sementara itu di seberang sana, Malaikat Peng-

gali Kubur cepat berpaling pada Ni Luh Padmi.

"Nenek keparat! Apa lagi yang kau tunggu?! 

Atau kepalamu ingin kubuat seperti batu cadas 

itu?!"

Tanpa berpikir lagi, Ni Luh Padmi segera berke-

lebat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak tujuh 

langkah di hadapan murid Pendeta Sinting.

"Nek! Bebaskan aku dahulu!" kata Iblis Rang-

kap Jiwa begitu menyadari kalau si nenek tegak 

tidak jauh dari tempatnya.

Ni Luh Padmi tidak hiraukan ucapan Iblis 

Rangkap Jiwa. Dia arahkan pandangannya pada 

murid Pendeta Sinting dan perhatikan si pemuda 

dengan seksama. "Murid dan gurunya hampir ti-

dak ada bedanya! Dalam situasi begini masih bisa-

bisanya bercanda dan main-main! Sebenarnya aku 

tidak punya silang sengketa besar dengan pemuda 

ini! Kalaupun ada itu hanya karena dia dulu tidak 

mau mengatakan di mana bangsat gurunya men-

dekam! Hem.... Tapi saat ini lain urusannya!"

"Nek! Kenapa kau tak segera membebaskan-

ku?!" seru Iblis Rangkap Jiwa ketika menyadari Ni 

Luh Padmi tidak segera lakukan keinginannya.

"Aku tidak diperintah untuk membebaskanmu!


Aku punya tugas menghabisi pemuda sinting ini!"

"Tapi tak ada salahnya kau membebaskanku!"

"Pemuda sinting ini yang menotokmu! Minta to-

long padanya! Aku tak mau bertindak selain yang 

diperintah! Itu pun karena aku sudah telanjur!"

"Nek! Meski bukan perintah, tapi...."

"Dengar! Sekali aku bilang tidak, tidak!" potong 

Ni Luh Padmi dengan suara agak keras.

"Bangsat! Menyesal aku membiarkanmu hidup 

sampai malam ini! Tahu kau memendam niat bu-

suk, sejak pertama di bukit itu kau kuhabisi!" 

ucap Iblis Rangkap Jiwa.

Si nenek tertawa pendek. "Percuma kau sesali 

apa yang telah terjadi! Bukan hanya kau, tahu be-

gini keadaannya, aku juga menyesal ikut berkom-

plot denganmu!. Bukannya dapat menemukan 

orang yang kucari, malah jadi budak orang!"

"Eh, jadi kau masih rindu sama guruku?!" Joko 

menyahut.

Ni Luh Padmi mendelik. Joko tidak peduli. Dia 

lanjutkan ucapannya. "Nek.... Tinggalkan tempat 

ini! Aku akan tunjukkan di mana orang yang kau 

cari...."

"Terlambat, Anak Sinting! Aku telah tahu di 

mana sarang gurumu! Sayang, bangsatnya sudah 

minggat saat aku sampai di sana!'

"Hem.... Pasti kau datang ke Jurang Tlatah Pe-

rak! Kalau kau ke sana, sampai kiamat pun kau 

tak akan temukan guruku!"

Dahi Ni Luh Padmi berkerut. "Apa benar uca-

pan pemuda sinting itu?! Apa jahanam sinting itu 

punya dua sarang?!"

Sebenarnya murid Pendeta Sinting tadi hanya 

memancing. Dia tadi lamat-lamat masih menden-

gar pembicaraan si nenek dengan Malaikat Peng-

gali Kubur. Dan begitu melihat perubahan pada


paras muka si nenek, Joko cepat lanjutkan uca-

pannya.

"Kau jangan heran, Nek! Selama ini orang me-

mang mengetahui kalau Pendeta Sinting berada di 

Jurang Tlatah Perak. Tapi yang benar, tempat itu 

sudah ditinggalkan sepuluh purnama yang lalu!"

Tanpa sadar, Ni Luh Padmi segera buka mulut 

bertanya.

"Sekarang di mana?!"

"Sepuluh purnama yang lalu, guruku berkena-

lan dengan seorang gadis muda cantik jelita. En-

tah apanya yang menarik dari guruku, gadis muda 

itu jatuh cinta. Singkatnya mereka lantas kawin! 

Pesta perkawinan mereka diadakan besar-

besaran...."

"Cukup!" tukas si nenek. Paras wajahnya merah 

membara laksana dipanggang. Pandangan ma-

tanya berkilat-kilat. "Aku tak tanya segala macam 

perkawinan dan pesta! Aku tanya sekarang di ma-

na! Kau dengar? Sekarang di mana!"

"Jangan percaya ucapan dusta pemuda itu!" Ib-

lis Rangkap Jiwa menyahut.

Mungkin karena jengkel, dan mendengar Iblis 

Rangkap Jiwa ikut-ikutan buka suara, Ni Luh 

Padmi segera menghardik.

"Kuperingatkan kau, Iblis Rangkap Jiwa! Jan-

gan ikut-ikutan bicara! Atau kau ingin kubuat tak 

bisa buka mulut, hah?!"

Iblis Rangkap Jiwa menyumpah-nyumpah da-

lam hati. Sementara melihat gelagat, Joko sedikit 

banyak sudah dapat menebak apa urusan si ne-

nek dengan Pendeta Sinting gurunya.

"Nek!" kata Joko. "Nada bicaramu sepertinya 

kau merasa cemburu mendengar guruku kawin 

dengan gadis muda berwajah cantik...."

Ni Luh Padmi genggam tusuk kondenya erat


erat dengan tangan bergetar. Jelas kalau si nenek 

sedang menindih rasa geram.

"Dengar, Anak Sinting! Aku tak peduli bangsat 

gurumu itu kawin dengan gadis cantik atau tidak! 

Aku juga tak peduli jahanam gurumu itu pesta 

sampai beberapa purnama! Jadi jangan lancang 

bicara menuduh cemburu!"

"Ah.... Bagaimana kau ini?! Padahal menurut 

cerita guruku, kalian berdua dahulu adalah pa-

sangan serasi! Ke mana-mana selalu berdua bah-

kan saling bergandengan tangan! Di mana ada kau 

pasti di situ ada guruku! Kau tahu, Nek! Guruku 

sebenarnya masih sering mengingatmu! Dia sering 

menceritakanmu! Hanya saja dia tidak mau berte-

rus terang...."

"Terus terang apa?!" sentak si nenek. Namun 

murid Pendeta Sinting masih bisa menangkap na-

da kegembiraan disentakkan suara si nenek.

"Dia tak mau mengatakan mengapa akhirnya 

berpisah denganmu! Meski begitu, sedikit banyak 

aku bisa menebak apa yang memisahkan kalian 

berdua...."

Ni Luh Padmi tidak segera menyahut. Wajahnya 

yang sejenak tadi tampak berseri kini merah men-

gelam. Dadanya naik turun dengan keras.

"Dari pembicaraan guruku, aku bisa menduga 

kalau kau yang terlebih dahulu terpikat dengan 

orang lain! Betul bukan?!" ujar Joko dengan sung-

gingkan senyum.

Lagi-lagi Ni Luh Padmi tidak menyahut. Hanya 

wajahnya yang makin merah mengelam. Malah 

saat itu juga si nenek angkat kepalanya pandangi 

bentangan langit Kedung Ombo yang makin tam-

pak terang benderang.

"Aku telah lama hidup dengan Pendeta Sinting. 

Dia orangnya setia dan penuh pengertian! Jadi


mustahil dia berbuat yang tidak-tidak padamu, 

apalagi sampai terpikat dengan gadis lain! Kalau-

pun sampai dia kawin lagi dengan gadis muda 

cantik, itu karena dia sudah terlalu lama menung-

gumu dan tak ada kabar beritanya! Aku...."

"Diam!" teriak si nenek setengah menjerit. "Kau 

tak ada bedanya dengan tua bangka jahanam itu! 

Pandai bicara dan pintar memutar balik kenya-

taan! Anak sinting sepertimu layak mampus selagi 

muda, agar nantinya tidak meminta korban!"

Keengganan si nenek untuk berhadapan den-

gan murid Pendeta Sinting karena dirasa urusan-

nya hanya sepele jadi berubah. Kini si nenek jadi 

bernafsu untuk membunuh Joko. Di lain pihak, 

Pendekar 131 jadi makin yakin apa sebenarnya 

urusan yang mengganjal antara si nenek dengan 

gurunya.

"Nek! Urusan asmara tidak akan ada ujungnya 

kalau diselesaikan dengan hati dibungkus rasa 

cemburu dan kebencian! Justru mungkin kau 

akan mendapatkan penyesalan yang lebih dalam! 

Kau memang akan mendapat kepuasan jika telah 

membunuh Pendeta Sinting. Tapi apalah artinya 

kepuasan kalau cuma sekejap?! Dan setelah itu 

didera rasa sesal berkepanjangan?!"

"Dengar, Anak Sinting! Kau masih bau kencing! 

Tak patut memberi nasihat! Lagi pula tua bangka 

jahanam itu sengaja mengatakan yang baik-baik 

padamu! Sementara apa yang jelek disimpan un-

tuk dirinya sendiri! Aku masih beri kesempatan 

padamu! Katakan di mana tua bangka jahanam 

itu sekarang!"

Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Aku. 

akan mengatakan padamu kalau kau mau selesai-

kan urusan dengan tanpa cemburu dan keben-

cian! Dan tinggalkan tempat ini sekarang juga!"


"Buang keinginanmu itu, Anak Sinting! Keben-

cianku sudah setinggi langit sedalam lautan! Tak 

ada yang dapat sirnakan kebencian itu selain lu-

muran darah gurumu di tanganku!" '

"Nek! Kau masih ingat akan ucapan orang ber-

mata buta berjuluk Gendeng Panuntun?!" tanya 

Joko masih coba menyadarkan si nenek.

"Tak kan ada yang bisa halangi langkahku, 

Anak Sinting! Apalagi hanya sebuah ramalan seo-

rang manusia buta dan gendeng!" ujar Ni Luh 

Padmi..Mungkin karena telah dibuncah rasa ma-

rah, si nenek sampai lupa berpikir dari mana mu-

rid Pendeta Sinting mengetahui kalau Gendeng 

Panuntun pernah berkata pada si nenek.

"Hem.... Kalau begini keras kepalanya, rasanya 

tak bisa aku membuatnya sadar! Sayang Eyang 

Guru tidak muncul di tempat ini! Seandainya sa-

ja...."

Pendekar 131 tidak lanjutkan kata hatinya ka-

rena saat itu dari arah puncak batu bergubuk hi-

tam terdengar Malaikat Penggali Kubur berteriak.

"Nenek keparat! Lekas kau regangkan nyawa 

pemuda jahanam di hadapanmu itu!"

"Kau dengar itu, Anak Sinting?!" ucap Ni Luh 

Padmi sedikit menahan suaranya. "Kau masih 

punya kesempatan untuk jawab pertanyaanku ta-

di! Jika tidak...." Si nenek tidak lanjutkan uca-

pannya. Hanya sepasang tangannya membuat ge-

rakan. Tangan kanan yang menggenggam tusuk 

konde besar berwarna hitam ditarik sedikit ke be-

lakang. Sementara tangan kiri diangkat.

"Aku akan mengatakan kalau kau sudah ting-

galkan tempat ini!" ujar Joko sambil diam-diam 

kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. 

"Mumpung masih ada kesempatan, cepat tinggal-

kan tempat ini!" sambung Joko ketika melihat si


nenek terdiam.

"Kau boleh berlaku licik hendak menipuku! Ta-

pi aku tidak sebodoh yang kau kira! Jangan harap 

aku percaya pada murid tua bangka jahanam itu!"

Habis berkata begitu, Ni Luh Padmi merangsek 

ke depan. Tangan kirinya berkelebat lepaskan pu-

kulan ke arah kepala Joko. Satu gelombang men-

cuat sebelum tangan itu sendiri menghantam sa-

saran pertanda jelas kalau kelebatan tangan itu 

mengandung tenaga dalam kuat.

Melihat si nenek telah lepaskan pukulan, murid 

Pendeta Sinting tidak tinggal diam. Tangan ka-

nannya diangkat menghadang kelebatan tangan 

kiri si nenek.

Bukkk!

Baik tangan kiri si nenek mau pun tangan ka-

nan Joko tampak sama terpental balik ke bela-

kang. Tubuh Ni Luh Padmi sedikit bergetar dengan 

mata mendelik. Meski si nenek sudah pernah 

jumpa dengan Joko dan terlibat baku hantam, 

namun sebenarnya si nenek ini belum yakin benar 

akan kekuatan lawan. Hingga untuk meyakinkan 

dirinya, si nenek coba mengadu tenaga. Dilain pi-

hak, sesungguhnya murid Pendeta Sinting tidak 

mau melayani Ni Luh Padmi, apalagi mengingat 

pesan eyang gurunya. Tapi kalau dia berdiam diri, 

niscaya si nenek akan membunuhnya. Hingga 

meski Joko tidak tinggal diam, dia sejauh mungkin 

coba menghindari bentrok yang bisa membuat ce-

dera dalam. Malah murid Pendeta Sinting masih 

coba menyadarkan si nenek dengan angkat bicara 

lagi. "Nek! Percuma saja...."

Ucapan Joko belum usai, Ni Luh Padmi telah 

menukasnya dengan berkelebat ke depan. Kalau 

tadi tangan kirinya yang lepaskan pukulan, kini 

kedua tangannya sekaligus bergerak menghantam.


Tangan kiri mengarah pada leher sementara tan-

gan kanan yang memegang tusuk konde berkele-

bat ke arah lambung.

Joko sempat terkesiap. Gerakan si nenek telah 

membuat murid Pendeta Sinting maklum kalau si 

nenek benar-benar hendak membunuhnya. Maka 

Joko pun tak mau berlaku ayal. Dia pun tidak 

menunggu pukulan si nenek sampai. Begitu Ni 

Luh Padmi berkelebat, Joko segera menghadang 

dengan kedua tangan memangkas gerakan kedua 

tangan si nenek. Hingga tak ampun lagi untuk ke-

dua kalinya kedua orang ini saling beradu puku-

lan.

Bukkk! Bukkk!

Terdengar dua kali benturan keras. Tubuh Ni

Luh Padmi terhuyung-huyung lalu tersurut sam-

pai empat langkah. Paras wajahnya pucat dengan 

dahi dibanjiri keringat. Kedua tangannya jelas

tampak bergetar. Malah kalau saja dia tidak cepat 

kerahkan tenaga dalam untuk menahan huyungan 

tubuhnya, niscaya sosoknya akan terjerembab!

Di depan sana, murid Pendeta Sinting surutkan 

langkah satu tindak. Meski wajahnya berubah, 

namun jelas dia masih dapat kuasai diri. Malah 

begitu si nenek lipat gandakan tenaga dalamnya, 

murid Pendeta Sinting sudah lama tegak dengan 

kedua, kaki laksana dipacak dan bibir sungging-

kan senyum.

Mendapati hal demikian, bukannya membuat 

Ni Luh Padmi segera memaklumi diri, sebaliknya 

si nenek hentakkan kedua kakinya. Laksana ter-

bang sosoknya berkelebat. Dari jarak tiga langkah, 

kedua tangannya membuka lalu lepaskan pukulan 

jarak jauh dengan tenaga dalam luar biasa dah-

syat.

Satu gelombang angin menderu deras ke arah


Joko. Karena tidak mungkin lagi menghadang pu-

kulan si nenek dengan tenaga asal-asalan, pada 

akhirnya murid Pendeta Sinting siapkan pukulan 

'Lembur Kuning'. Hal ini sebenarnya terlalu berisi-

ko. Namun bagi Joko tidak ada jalan lain.

Begitu gelombang telah menderu, Joko cepat 

kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. 

Saat itu juga kedua tangan Joko berubah menjadi 

kuning. Saat kedua tangannya mendorong, tam-

paklah sinar kuning melesat. Lalu satu sapuan ge-

lombang dahsyat membawa hawa panas mengge-

brak.

"Pukulan 'Lembur Kuning'!" satu seruan ter-

dengar dari julangan batu cadas putih yang telah 

terpenggal setengahnya.

"Nenek cantik! Lekas menyingkir!" Lagi-lagi ter-

dengar seruan dari puncak batu cadas putih yang 

sudah terpenggal. Bersamaan dengan terdengar-

nya suara seruan, dua tangan tampak bergerak 

dari julangan batu cadas putih yang tinggal separo 

tingginya. Satu mendorong ke arah si nenek hing-

ga nenek ini langsung terpental satu setengah 

tombak, sedang tangan satunya lagi mendorong ke 

arah cahaya kuning yang kini memangkas gelom-

bang pukulan si nenek.

Satu ledakan keras segera mengguncang Ke-

dung Ombo tatkala gelombang angin si nenek di-

barengi gelombang dahsyat yang tiba-tiba melesat 

dari dorongan tangan orang di batu cadas putih 

bentrok dengan pukulan 'Lembur Kuning' yang di-

lepas murid Pendeta Sinting.

Di seberang sana, terlihat murid Pendeta Sint-

ing terhuyung dengan mulut megap-megap dan 

wajah pucat pasi. Kedua tangannya gemetar. Tan-

gan satu tampak dikibas-kibaskan untuk le-

nyapkan rasa kesemutan dan kekakuan, tangan


satunya lagi pegangi dadanya yang terasa sesak.

Di hadapan murid Pendeta Sinting, meski do-

rongan tangan orang dari batu cadas putih sela-

matkan Ni Luh Padmi dari cedera parah, namun 

tak urung juga tubuhnya masih bergetar akibat 

pukulannya terhadang pukulan 'Lembur Kuning'. 

Malah ketika si nenek hendak berkelebat lagi, dia 

rasakan kedua kakinya goyah. Hingga untuk se-

saat dia urungkan niat berkelebat. Lalu berpaling 

ke arah batu cadas putih yang telah terpapas aki-

bat pukulan Malaikat Penggali Kubur.

"Siapa orang-orang itu sebenarnya? Mengapa 

mereka menolongku?! Apa mereka itu kaki tangan 

Malaikat Penggali Kubur?!" Si nenek membatin 

dengan kening berkerut. Karena sepasang ma-

tanya tidak melihat adanya orang yang muncul di 

batu cadas. Dia hanya melihat dua buah tangan 

yang membuat gerakan melambai-lambai!

Bukan hanya Ni Luh Padmi yang dibuncah ber-

bagai tanya. Murid Pendeta Sinting tampak si-

pitkan sepasang matanya dan membatin. "Belum 

dapat kupastikan siapa gerangan mereka adanya! 

Yang pasti, mereka punya kekuatan tenaga dalam 

luar biasa! Buktinya dia mampu terus melambai-

lambai setelah menghadang pukulan 'Lembur 

Kuning'!

Joko berpaling pada Ni Luh Padmi. Saat bersa-

maan si nenek juga menoleh. Kedua orang ini se-

saat sama saling pandang. Tiba-tiba terdengar su-

ara orang mengeluh.

Joko dan Ni Luh Padmi gerakkan kepala mas-

ing-masing ke arah lamping batu cadas putih asal 

suara keluhan terdengar. Di lamping batu cadas 

putih yang telah terpenggal tampak sosok Iblis 

Rangkap Jiwa duduk bersandar dengan tubuh 

masih kejang kaku.


Ketika Joko dan Ni Luh Padmi berpaling, Iblis 

Rangkap Jiwa tampak gerakkan bola matanya, 

mendelik angker ke arah si nenek. Mulutnya yang 

merupakan satu-satunya anggota tubuh yang bisa 

bergerak terlihat membuka, lalu terdengarlah uca-

pannya.

"Nek! Aku akan ampuni selembar nyawamu ka-

lau kau bebaskan aku sekarang juga! Kalau tidak, 

nyawamu nanti akan kucabut sendiri!"

Ni Luh Padmi hanya pandangi Iblis Rangkap 

Jiwa dengan seringai dingin. Lantas berpaling lagi 

pada murid Pendeta Sinting. Iblis Rangkap Jiwa 

memaki habis-habisan. Namun karena tubuhnya 

masih tertotok, laki-laki berkepala gundul ini 

hanya dapat berteriak tanpa dapat gerakkan ang-

gota tubuhnya. Malah dia tadi ikut tersapu akibat 

bentroknya pukulan Joko dengan pukulan si ne-

nek dan dorongan tangan dari atas batu cadas pu-

tih. Hingga tubuhnya terpental dan akhirnya 

menghantam lamping batu cadas putih.

Sebenarnya secara diam-diam Iblis Rangkap 

Jiwa telah kerahkan tenaga dalam untuk be-

baskan diri dari totokan yang disarangkan murid 

Pendeta Sinting. Namun baru saja kedua tangan-

nya bergeletar pertanda urat-uratnya telah dapat 

tersaluri tenaga, terdengar ledakan dahsyat akibat 

bentroknya pukulan Joko dan si nenek. Hal ini 

membuat konsentrasi Iblis Rangkap Jiwa pecah. 

Dan belum sempat dia konsentrasi kembali, so-

soknya telah tersapu gelombang bias bentroknya 

pukulan. Bukan saja membuat sosoknya meng-

hantam lamping batu cadas putih, namun juga 

sosoknya tegang kaku kembali! Namun Iblis Rang-

kap Jiwa masih bernapas lega, karena dengan ter-

sapunya tubuhnya ke lamping batu cadas putih, 

maka dengan leluasa dia dapat konsentrasi kem


bali untuk bebaskan diri dari totokan tanpa takut 

tersapu bias bentroknya pukulan lagi. Hingga be-

gitu permintaannya tidak digubris Ni Luh Padmi, 

Iblis Rangkap Jiwa segera pejamkan sepasang ma-

tanya lalu kerahkan tenaga sedapat mungkin.

Di lain pihak, mendapati murid Pendeta Sinting

bukan lawan yang begitu mudah ditaklukkan, naf-

su membunuh Ni Luh Padmi makin berkobar. 

Hingga begitu berpaling, tangan kirinya langsung 

bergerak lepaskan pukulan. Sementara tangannya 

sentakkan tusuk konde hitam! Wuttt! Wuutt!

Dua suara deruan terdengar. Satu berupa ge-

lombang angin dahsyat, satunya lagi melesatnya 

tusuk konde hitam si nenek. Ini adalah sebuah se-

rangan yang mematikan. Karena orang yang dis-

erang sekaligus harus hadang dengan dua puku-

lan. Jika tidak, salah satu dari gelombang angin 

atau lesatan tusuk konde akan menghantam! Apa-

lagi tusuk konde hitam si nenek sulit diterka dari 

arah mana akan datang menghantam, karena be-

gitu tusuk konde melesat dan si nenek gerak-

gerakkan tangan kanannya, tusuk konde hitam 

yang sedang melesat membuat gerakan meliuk-

liuk di udara laksana dikendalikan tangan kanan 

si nenek!

"Hem.... Senjata andalannya harus kulumpuh-

kan dahulu!" gumam Joko. Secepat kilat kedua 

tangannya didorong lepaskan pukulan 'Lembur 

Kuning'. Kejap lain Joko cepat melompat ke samp-

ing seraya bergulingan. Lalu tangan kirinya berge-

rak menyentak ke depan.

Wuuuttt!

Dari tangan kiri murid Pendeta Sinting melesat 

serat-serat laksana benang berwarna biru terang. 

inilah tanda kalau Pendekar 131 telah lepaskan 

pukulan 'Serat Biru'!


Di atas hamparan pasir tampak sinar kuning 

menyungkup, lalu menghantam gelombang angin 

yang keluar dari tangan kiri Ni Luh Padmi. Leda-

kan keras terdengar. Pasir tampak bertaburan. 

Hebatnya, tusuk konde hitam si nenek tetap mele-

sat di tengah taburan pasir dan kini berbelok arah 

menuju tempat Joko bergulingan.

Namun begitu serat-serat biru laksana benang 

menghampar, lesatan tusuk konde tertahan di 

udara. Malah saat itu juga serat-serat biru telah 

membungkus tusuk konde hitam si nenek.

Ni Luh Padmi yang sejenak tadi tampak ter-

huyung akibat pukulan tangan kirinya bentrok 

dengan pukulan 'Lembur Kuning' cepat kerahkan 

tenaga dalam pada kedua kakinya. Hingga kejap 

itu juga kedua kakinya melesak masuk ke hampa-

ran pasir! Ini dilakukan si nenek untuk menjaga 

tubuhnya agar tidak goyah, karena tangannya 

akan bergerak kendalikan tusuk konde yang kini 

telah terbungkus serat-serat biru.

Melihat Ni Luh Padmi coba pacakkan kaki, Joko 

tak sia-siakan kesempatan. Belum sampai tangan 

si nenek bergerak kendalikan tusuk kondenya, 

tangan murid Pendeta Sinting telah menyentak.

Tusuk konde yang terbungkus serat-serat biru 

tersapu deras.

Ni Luh Padmi menjerit tinggi. Si nenek memang 

masih sempat gerakkan tangan untuk kendalikan 

tusuk kondenya. Namun gerakannya sudah ter-

lambat.

Tusuk konde melesat laksana kilat dan hampir 

saja melabrak kepala si nenek kalau nenek ini ti-

dak cepat-cepat rebahkan diri ke belakang. Si ne-

nek lupa kalau dia telah pacakkan kedua kakinya 

ke hamparan pasir, hingga begitu tubuhnya rebah 

ke belakang, dia terkesiap sendiri karena kakinya


terpacak! Namun karena dia tak mau tusuk kon-

denya melabrak kepalanya sendiri, dia paksakan 

juga tubuhnya rebah ke belakang.

Krakkk! Krakkk!

Ni Luh Padmi berseru tertahan. Dia berniat un-

tuk angkat tubuhnya ke atas. Namun pergelangan 

kakinya tak bisa digerakkan dan juga sangat le-

mah untuk menopang tubuh. Hingga mau tak 

mau akhirnya si nenek jatuhkan diri duduk den-

gan lutut menekuk!

Tusuk konde terus melesat ke belakang. Lalu 

terdengar ledakan keras di belakang sana. Disusul 

kemudian dengan terdengarnya dua orang bergu-

mam. Kejap lain terdengar suara keluhan keras 

dan makian panjang pendek.

Meski merasa tulang kedua kakinya tak bisa 

digerakkan, Ni Luh Padmi tak kuat menahan un-

tuk mengetahui apa yang terjadi di belakang. Ber-

paling ke belakang, sepasang mata si nenek mem-

beliak besar.

Julangan batu cadas putih yang terpenggal se-

tengah tampak rengkah dan di satu tempat tam-

pak lobang menganga besar. Lobang menganga 

yang ternyata akibat melesak masuknya tusuk 

konde si nenek hanya beberapa jengkal dari kepa-

la Iblis Rangkap Jiwa!

Hal inilah yang membuat Iblis Rangkap Jiwa 

memaki habis-habisan karena kembali konsentra-

sinya buyar! Sementara kedua orang di batu cadas 

putih terdengar bergumam tak jelas karena tempat 

di mana mereka berada bergetar keras dan seba-

gian batu cadas putih berhamburan!

Sementara itu melihat Ni Luh Padmi jatuh ter-

duduk, dari puncak batu bergubuk hitam Malaikat 

Penggali Kubur tampak menyeringai.

"Ilmu masih sedangkal mata kaki sudah berani


menyeberang laut!" desisnya lalu berpaling ke arah 

Dewi Siluman yang sejak tadi perhatikan Joko dan 

Ni Luh Padmi.

Belum sempat Malaikat Penggali Kubur buka 

mulut, Dewi Siluman yang sebenarnya sudah ti-

dak sabar segera saja berkelebat melintasi hampa-

ran pasir. Namun baru saja sosok perempuan ber-

jubah dan bercadar hitam ini bergerak, satu 

bayangan merah bergerak mendahului dan memo-

tong larinya Dewi Siluman, membuat perempuan 

ini hentikan larinya.

Memandang ke depan, kontan sepasang mata 

Dewi Siluman membelalak berkilat.

"Sudah kuduga kalau kau adalah musuh dalam 

selimut!" bentak Dewi Siluman ketika mengetahui 

kalau yang menghadang adalah gadis berjubah 

merah Putri Sableng!

"Kau hendak ke mana anak Daeng Upas?!" kata 

Putri Sableng, membuat Dewi Siluman surutkan 

kaki satu tindak.

"Siapa kau sebenarnya?!" hardik Dewi Siluman 

dengan suara bergetar. Dia terkejut besar menda-

pati orang sebut nama almarhum ibunya!

Yang dibentak cekikikan sebentar, lain buka 

mulut. "Menurutmu, siapa aku sebenarnya?!" Pu-

tri Sableng balik bertanya.

Dewi Siluman terdiam. Sepasang matanya per-

hatikan lebih seksama gadis berparas cantik yang 

tegak di hadapannya. "Selama ini Ibu jarang sekali 

keluar, kalaupun keluar, itu saat terjadi peristiwa 

Tengkorak Berdarah! Adalah hal aneh kalau gadis 

semuda ini telah mengenali ibuku yang meninggal 

dalam peristiwa Tengkorak Berdarah!"

"Kudengar seorang buta pernah menasihati mu

untuk tinggalkan dunia persilatan dan kawin! 

Mumpung belum terlambat, kurasa itulah jalan


satu-satunya yang harus kau lakukan saat ini, 

Durga Ratih!"

Dewi Siluman tegak laksana dipaku. Mulutnya 

terkancing rapat. Matanya makin mendelik. "Ja-

hanam! Gadis ini rupanya tahu banyak tentang di-

riku! Bagaimana hal ini bisa terjadi?!" Dewi Silu-

man dibuncah berbagai hal yang menurutnya ti-

dak mungkin. Karena gadis di hadapannya 

usianya masih di bawahnya. Sementara dia sendiri 

selama ini tidak pernah memperkenalkan diri den-

gan nama asli yakni Durga Ratih! Lebih-lebih dia 

tak pernah cerita tentang nasihat orang buta yang 

bukan lain adalah Gendeng Panuntun yang me-

mang pernah menasihati dirinya agar tinggalkan 

dunia persilatan dan kawin!

*

* *

TIGA



KARENA tak mau terus bertanya-tanya dengan 

diri sendiri yang jawabannya tidak mungkin dida-

pat, sementara dia sudah tidak sabar ingin meng-

hadapi murid Pendeta Sinting, Dewi Siluman alih-

kan pandangannya seraya mendesis garang.

"Siapa pun kau adanya, menyingkirlah dari ha-

dapanku!"

Habis berkata begitu, Dewi Siluman melangkah 

maju. Putri Sableng tetap tidak bergeming dari 

tempatnya. Kemarahan Dewi Siluman tak dapat 

dibendung lagi, hingga seraya hentikan langkah 

sejarak empat tindak dari hadapan Putri Sableng, 

perempuan berjubah dan bercadar hitam ini ang-

kat kedua tangannya.

"Tunggu!" tahan Putri Sableng. "Apa hubun

ganmu dengan Malaikat di gubuk hitam itu sama 

seperti saat kalian berada di Pulau Biru?!"

"Keparat! Dia tahu peristiwa di Pulau Biru! Pa-

dahal waktu itu jelas kalau setan ini tidak ada di 

sana!" batin Dewi Siluman. Lalu berkata.

"Apa hubunganku, itu urusanku! Menyingkir-

lah!"

Dewi Siluman sudah melompat ke depan sebe-

lum terdengar suara sahutan dari Putri Sableng. 

Kedua tangannya bergerak lakukan hantaman.

Putri Sableng ikut angkat kedua tangannya. Lu-

tutnya ditekuk hingga tubuhnya sedikit melorot.

Bukkk! Bukkk!

Kedua tangan Dewi Siluman beradu keras den-

gan kedua tangan Putri Sableng yang dipalangkan 

di atas kepalanya.

Dewi Siluman tersentak. Dia cepat mundur tiga 

langkah. Sepasang matanya membeliak perhatikan 

kedua tangannya yang tampak bergetar keras. Da-

ri bentrok tangan tadi, Dewi Siluman sudah mak-

lum kalau gadis berjubah merah memiliki tenaga 

dalam kuat. Namun karena sudah dibungkus ha-

wa kemarahan, dia tak mau pikir panjang lagi. Dia 

cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangan-

nya. Kejap lain kedua tangannya disentakkan ke 

depan. Wuutt! Wuuutt!

Dari kedua tangan Dewi Siluman melesat kabut 

hitam keluarkan gema dahsyat serta gelombang 

angin dan hawa panas! Inilah tanda kalau Dewi Si-

luman telah lepaskan pukulan andalannya yang 

dikenal dengan pukulan 'Kabut Neraka'.

Seakan sudah tahu pukulan andalan perem-

puan berjubah hitam, Putri Sableng sudah jejak-

kan kedua kakinya terlebih dahulu. Hingga saat 

kabut hitam melanggar, sosoknya telah loncat di 

udara. Dari atas udara, gadis cantik berjubah merah ini cepat sentakkan kedua tangannya ke ba-

wah.

Blammm!

Lesatan kabut hitam tertahan sejenak di udara. 

Lalu begitu terhantam gelombang yang keluar dari 

sentakan kedua tangan Putri Sableng, kabut hi-

tam laksana ditekan tenaga luar biasa, hingga saat 

itu juga kabut hitam menukik deras ke hamparan 

pasir. Terdengar ledakan keras. Hamparan pasir 

muncrat sampai beberapa tombak ke udara. Begi-

tu semburatan pasir lenyap, tampak lobang men-

ganga besar!

Meski pukulannya dipangkas orang dari atas 

udara, namun bias bentroknya pukulan masih ju-

ga menghantam Dewi Siluman. Hingga begitu ter-

dengar ledakan, sosok perempuan berjubah hitam 

itu terhuyung-huyung. Sementara di atas udara 

Putri Sableng membuat gerakan jungkir balik, lalu 

mendarat tujuh langkah di hadapan Dewi Siluman 

dengan tangan berkacak pinggang. Namun kali ini 

sikap gadis berjubah merah lain. Pandangannya 

menyengat tajam. Mulutnya bergerak-gerak meski 

tidak perdengarkan suara. Paras wajahnya jelas 

menunjukkan kalau dadanya dilanda kemarahan.

Di hadapan Putri Sableng, Dewi Siluman tak 

mau lagi sembunyikan rasa kejut. Belum dapat 

menduga siapa adanya si gadis, kini ditambah 

dengan pertanyaan yang makin pelik. Karena ga-

dis berjubah merah rasanya mengerti benar akan 

pukulan yang akan dilepas! Hingga bukan saja 

pukulannya tidak menghantam sasaran tapi 

mampu ditebas masuk ke hamparan pasir sampai 

lenyap!

"Durga Ratih! Aku hanya peringatkan kau seka-

li lagi! Pergi dari sini!"

Meski hatinya mulai kecut, namun rasa pena


saran membuat Dewi Siluman lupakan kekuatan 

diri. Hingga saat itu juga dia perdengarkan tawa 

pendek. Lalu berucap.

"Jangankan hanya sekali, seratus kali kau 

ucapkan peringatan, aku tak akan pergi dari sini! 

Justru aku yang peringatkan padamu! Menying-

kirlah dari hadapanku! Kalau kau ingin berhada-

pan denganku, tunggulah sampai aku selesaikan 

pemuda keparat itu!" Tangan kiri Dewi Siluman 

bergerak menunjuk pada murid Pendeta Sinting di 

seberang.

"Hem.... Jadi kau ingin mengalami nasib lebih 

buruk daripada yang pernah kau alami di Pulau 

Biru?!" tanya Putri Sableng.

"Apa yang kau tahu tentang nasibku di Pulau 

Biru, hah?? Kau hanya dengar dari mulut orang 

lancang!" sahut Dewi Siluman.

Putri Sableng sudah buka mulut, tapi sebelum 

suaranya terdengar, satu teriakan membahana 

terdengar dari puncak batu bergubuk hitam.

"Dewi Siluman! Kau terlalu banyak umbar sua-

ra! Lekas selesaikan gadis pengkhianat itu!"

Walau sudah tahu kalau Malaikat Penggali Ku-

bur malam ini bukan Malaikat Penggali Kubur pa-

da beberapa waktu yang lalu, namun Dewi Silu-

man bukanlah orang yang begitu saja mau dipe-

rintah. Perempuan bercadar hitam ini dongakkan 

sedikit kepalanya. Lalu berkata lantang.

"Aku memang akan selesaikan gadis bermulut 

lancang ini! Tapi bukan karena turut perintahmu!"

"Hem.... Enak benar suaramu! Apakah kau tak 

tahu kalau malam ini Malaikat Penggali Kubur 

akan mentasbihkan diri sebagai raja di raja rimba 

persilatan?! Dan itu berarti semua orang harus 

tunduk di bawah telapak kakiku! Termasuk kau!"

"Persetan mau jadi apa kau malam ini! Yang jelas kau tak bisa seenakmu memberi perintah pa-

daku!"

Tampang Malaikat Penggali Kubur terlihat be-

rubah. Namun kejap lain pemuda ini telah perden-

garkan tawa bergelak sambil berujar.

"Kau ternyata datang ke tempat yang salah! 

Ha.... Ha.... Ha...! Dan ternyata otakmu juga tolol 

karena tak mau melihat kenyataan! Aku tahu.... 

Kau memang bisa lolos dari Pulau Biru. Tapi apa 

kau pikir Kedung Ombo sama dengan Pulau Biru?! 

Apa kau kira manusia yang berkata ini sama den-

gan Malaikat Penggali Kubur waktu berada di Pu-

lau Biru dulu?!"

Dewi Siluman tidak hiraukan ucapan Malaikat 

Penggali Kubur. Dia palingkan muka menghadap 

Putri Sableng. Saat itulah mendadak terlihat ber-

kiblatnya cahaya terang yang cuma sekejap. Saat 

bersamaan terdengar suara deruan keras. Lalu sa-

tu gelombang dahsyat melanggar dari puncak batu 

di mana Malaikat Penggali Kubur berada. Ternyata 

Malaikat Penggali Kubur telah lepaskan pukulan 

sakti 'Telaga Surya' yang dulu pernah menjadi pu-

kulan andalannya sebelum mendapatkan Kitab Hi-

tam. Karena terus dilatih apalagi dengan Kitab Hi-

tam di balik pakaiannya, maka pukulan 'Telaga 

Surya' yang kali ini dilepas Malaikat Penggali Ku-

bur tiga kali lebih dahsyat daripada beberapa wak-

tu yang lalu.

Di bawah sana, Dewi Siluman tampak terke-

siap. Dia tidak menduga sama sekali kalau Malai-

kat Penggali Kubur akan kirimkan pukulan. Apa-

lagi dia sedang dilanda penasaran dengan Putri 

Sableng. Hingga meski Dewi Siluman sempat 

membuat gerakan angkat kedua tangannya untuk 

memangkas pukulan 'Telaga Surya', namun dia ti-

dak punya kesempatan lagi untuk sentakkan kedua tangannya.

Dewi Siluman rasakan nyawanya terbang. Ke-

dua tangannya di atas kepala namun tak lagi 

membuat gerakan apa-apa. Perempuan ini hanya 

bisa perdengarkan seruan pelan dengan lutut 

goyah!

"Setan! Mengapa kau diam saja?!" bentak Putri 

Sableng. Gadis berjubah merah ini dorong tangan 

kanannya ke arah Dewi Siluman. Lalu melompat 

mundur.

Dewi Siluman terpekik. Sosoknya mencelat 

mental sampai beberapa tombak lalu terkapar di 

atas hamparan pasir. Namun hal ini menyela-

matkan nyawanya dari pukulan Malaikat Penggali 

Kubur. Karena bersamaan dengan mencelatnya 

tubuh, tempat di mana tadi dia berada terbuncah 

ledakan dahsyat!

Terhuyung-huyung Dewi Siluman bergerak 

bangkit. Memandang sejenak pada Putri Sableng 

yang sama-sama terlihat karena udara masih di-

taburi muncratan pasir. Entah apa yang terpikir 

dalam benak perempuan bercadar hitam ini, yang 

jelas dia segera kerahkan tenaga dalam, lalu ber-

kelebat ke arah murid Pendeta Sinting yang masih 

tegak di seberang sana.

Sementara itu, tidak jauh dari tempat tegaknya 

Pendekar 131, si nenek Ni Luh Padmi cepat tarik 

kedua kakinya yang terpacak di dalam pasir. Wa-

lau si nenek tahu kalau tulang kakinya patah, 

namun sekuat tenaga dia coba bangkit. Sosok Ni 

Luh Padmi sejenak tampak terhuyung-huyung lalu 

limbung dan jatuh kembali ke hamparan pasir!

"Keparat!" Si nenek memaki-maki sendiri kare-

na kedua kakinya yang patah tidak kuasa lagi me-

nopang tubuhnya. Tapi si nenek rupanya tidak 

mau begitu saja menyerah. Dengan duduk di atas


hamparan pasir, dia cepat salurkan tenaga dalam 

pada kedua tangannya. Lalu diangkat dan disen-

takkan ke arah murid Pendeta Sinting yang tegak 

hanya sejarak sembilan langkah dari tempatnya 

berada.

Namun Ni Luh Padmi mendadak urungkan 

niat.

Kepala si nenek berpaling. Memandang ke de-

pan, matanya mendelik merah. Rahangnya te-

rangkat. Mulutnya membentak.

"Jangan kau campur tangan urusan ini!"

Dewi Siluman yang ternyata sudah tegak di situ 

perdengarkan dengusan marah. Tapi perempuan 

berjubah dan bercadar hitam ini tidak arahkan 

pandangannya pada si nenek, melainkan ke arah 

murid Pendeta Sinting yang kini juga tengah me-

mandangnya.

"Tua bangka! Aku tidak campur tangan uru-

sanmu! Aku punya urusan yang belum selesai 

dengan keparat itu!" kata Dewi Siluman.

"Ah.... Kurasa di antara kita sudah tidak ada 

urusan lagi!" ujar Joko seraya sunggingkan se-

nyum.

Dewi Siluman untuk beberapa saat pandangi 

murid Pendeta Sinting. Perempuan ini rasakan de-

baran dadanya agak keras. Dia tak tahu perasaan 

apa yang kini menjalari dadanya. Namun Dewi Si-

luman cepat tepiskan perasaan. Lalu alihkan pan-

dangan sambil berkata.

"Kau boleh anggap urusan selesai. Tapi aku ti-

dak! Dan aku akan anggap urusan kita selesai ka-

lau kau serahkan apa yang kuminta tempo hari 

'sekarang juga!" Dewi Siluman ulurkan tangan ka-

nannya ke depan.

Ni Luh Padmi pandangi murid Pendeta Sinting 

dan Dewi Siluman silih berganti. Nenek ini sebenarnya hendak buka mulut, namun Dewi Siluman 

sudah membentak.

"Nek! Kau saat ini sudah tak berdaya! Jadi jan-

gan berani buka suara sebelum aku selesaikan 

urusanku!"

Ni Luh Padmi untuk kesekian kalinya me-

nyumpah habis-habisan. Dia menyesal mengeta-

hui keadaannya saat ini. Kedua tangannya me-

mang masih mampu lepaskan pukulan. Namun 

tanpa tusuk konde hitamnya serta ditambah ke-

dua kakinya yang tidak mampu lagi menopang tu-

buh, bagaimanapun juga membuat si nenek akan 

kesulitan untuk bergerak selamatkan diri kalau 

diserang lawan. Tapi si nenek rupanya sudah bu-

latkan tekad. Bahkan dia sudah memutuskan, ti-

dak dapat membunuh gurunya, muridnya pun ti-

dak jadi apa! Hingga begitu mendengar ucapan 

Dewi Siluman, Ni Luh Padmi segera angkat bicara.

"Aku memang sudah tak berdaya! Tapi bukan 

berarti aku tidak sanggup untuk membunuh! Me-

nyingkirlah dahulu!"

Dewi Siluman tertawa pendek bernada menge-

jek. "Jangankan kau, perintah junjunganmu Ma-

laikat Penggali Kubur pun tidak ada apa-apanya 

bagiku!" Dewi Siluman kembali gerak-gerakkan 

tangan kanannya yang masih menjulur membuat 

gerakan meminta.

"Kau masih punya kesempatan! Serahkan!" 

bentak Dewi Siluman pada Joko.

Belum sampai Joko buka mulut, kedua tangan 

Ni Luh Padmi sudah bergerak lepaskan pukulan 

pada Dewi Siluman.

"Bangsat! Tua bangka tak tahu diuntung!" maki 

Dewi Siluman. Tangan kanannya cepat ditarik pu-

lang dan serta-merta didorong ke depan menyong-

song pukulan si nenek. Karena ingin cepat selesaikan urusan, tak tanggung-tanggung, Dewi Si-

luman langsung song-song pukulan Ni Luh Padmi 

dengan lepas pukulan 'Kabut Neraka'!

Meski pukulan Ni Luh Padmi mampu memben-

dung pukulan 'Kabut Neraka', namun bagaimana-

pun juga si nenek tak akan dapat hindarkan diri 

dari bias bentroknya pukulan. Hingga hal itu pasti 

akan membuat si nenek cedera berat.

Berpikir sampai ke sana, dan ingat akan pesan 

eyang gurunya, sebelum pukulan Kabut Neraka' 

sempat bertemu dengan pukulan Ni Luh Padmi, 

murid Pendeta Sinting cepat berkelebat ke depan. 

Tangan kanannya segera menyambar bahu si ne-

nek yang baru saja lepaskan pukulan dengan du-

duk di atas hamparan pasir.

Mungkin menduga kalau murid Pendeta Sinting 

hendak menghantamnya, si nenek keluarkan se-

ruan karena dia sudah terlambat sekali untuk 

membuat gerakan jika murid Pendeta Sinting be-

nar-benar hendak menghantamnya.

Ni Luh Padmi rasakan tubuhnya terseret di atas 

pasir sampai beberapa tombak. Bersamaan den-

gan itu Kedung Ombo diguncang ledakan. Hampa-

ran berpasir untuk kesekian kalinya pula bertabu-

ran ke udara.

Ni Luh Padmi buka kelopak matanya saat tu-

buhnya merasakan ditaburi pasir. Belum sampai 

dia dapat jelas memandang, satu suara dekat se-

kali dengan dirinya terdengar.

"Nek...! Percuma kau berada di sini! Orang yang 

kau cari tidak ada! Kau hanya akan sia-siakan 

nyawa kalau terus bersikap keras kepala! Cepat 

tinggalkan tempat ini!"

"Jahanam! Suara Anak Sinting itu!" desis Ni 

Luh Padmi tanpa perlu melihat lagi siapa adanya 

orang yang baru saja perdengarkan suara.


Dengan kemarahan makin menggelegak, Ni Luh 

Padmi berteriak.

"Orang yang kucari memang tidak ada! Tapi 

dengan kematianmu, rasanya hatiku bisa sedikit 

lega!"

Tanpa peduli kalau dirinya baru saja disela-

matkan orang, si nenek putar tangannya lalu ser-

ta-merta dihantamkan ke arah mana dia yakin 

murid Pendeta Sinting berada karena saat itu pe-

mandangan masih tertutup hamburan pasir.

Tapi si nenek tiba-tiba menjerit. Kedua tangan-

nya yang hendak menghantam belum bergerak, 

Joko berkelebat dari arah samping kanan. Ni Luh 

Padmi putar kedua tangannya hendak menghan-

tam ke samping kanan. Namun terlambat. Dua to-

tokan dahsyat sudah bersarang di pangkal kedua 

tangannya. Hingga bukan saja tubuhnya langsung 

kaku namun kedua tangannya tetap terapung di 

atas udara dengan tegang!

Belum habis rasa kaget si nenek, dia merasa-

kan tubuhnya bergerak di hamparan pasir. Gera-

kan tubuhnya baru terhenti saat dia merasa di be-

lakangnya ada sesuatu yang menghadang. Dan tak 

jauh dari tempatnya terdengar suara dengusan 

napas orang.

Ni Luh Padmi segera lirikkan matanya, karena 

tubuhnya tak bisa digerakkan. Si nenek tersentak. 

Dia saat itu ternyata duduk bersandar pada batu 

dan hanya sejarak tiga langkah dari Iblis Rangkap 

Jiwa!

*

* *


EMPAT


SEMENTARA itu, begitu terdengar ledakan, De-

wi Siluman cepat jatuhkan diri bergulingan di atas 

pasir. Sambil bergulingan sepasang matanya me-

mandang liar. Hingga begitu hamburan pasir le-

nyap, perempuan ini cepat bangkit dan serta-

merta sentakkan kedua tangannya ke arah murid 

Pendeta Sinting yang ternyata tegak tidak jauh da-

ri tempat Ni Luh Padmi yang bersandar duduk pa-

da lamping batu cadas putih yang terpenggal.

Kabut hitam melintas di atas hamparan pasir 

dengan suara menggemuruh. Hamburan pasir 

yang baru saja sirap terlihat bertaburan lagi ter-

kena sambaran gelombang yang menyertai hampa-

ran kabut hitam pukulan 'Kabut Neraka' Dewi Si-

luman.

Mendapati Dewi Siluman sudah lepas pukulan 

ke arahnya, kejengkelan murid Pendeta Sinting 

naik ke ubun-ubun. Sambil membentak garang, 

Joko lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'.

Kini di atas hamparan pasir yang membentang 

membelah kawasan berbatu tampak dihiasi kabut 

hitam dan semburatan warna kuning. Suara ge-

muruh makin memekak. Lalu Kedung Ombo ber-

guncang dahsyat tatkala kabut hitam bentrok 

dengan sinar kuning.

Sosok Dewi Siluman terseret beberapa langkah 

ke belakang dengan dada bergetar keras naik tu-

run. Meski wajah perempuan ini tertutup cadar, 

tapi jelas kalau perempuan ini berubah paras. 

Sementara di seberang depan sana, murid Pendeta 

Sinting cepat hentikan gerakan kakinya yang 

mundur. Bentroknya pukulan mau tak mau masih 

membuat perubahan pada wajah Joko yang geta-

ran dadanya tidak sekeras yang terlihat pada Dewi


Siluman.

Dewi Siluman segera lirikkan mata meneliti. 

Sadar kalau tidak mengalami cedera yang parah, 

perempuan ini cepat melompat ke depan. Dari ja-

rak tujuh langkah, sepasang kakinya bergerak 

menghentak pasir.

Dari sepasang mata di wajah bercadar hitam 

milik Dewi Siluman melesat dua sinar hitam 

menggidikkan. Bersamaan itu hamparan pasir di 

bawah sinar hitam yang melesat terlihat membe-

lah rengkah membentuk jalur lurus ke arah Pen-

dekar 131!

"Sinar Setan!" terdengar seruan dari puncak ba-

tu cadas putih yang terpenggal mengenali dua si-

nar hitam yang melesat dari sepasang mata Dewi 

Siluman.

Joko tak mau bertindak ayal. Dia telah tahu 

bagaimana ganasnya 'Sinar Setan' milik Dewi Si-

luman jika benar-benar menghantam. Maka serta-

merta dikerahkan tenaga dalam pada tangan ki-

rinya.

Wuuttt!

Tangan kiri murid Pendeta Sinting bergerak 

memukul ke depan. Tampak serat-serat biru lak-

sana benang terang melesat ke depan menyong-

song dua sinar hitam.

Serat-serat biru cepat membungkus dua sinar 

hitam. Kejap lain serat-serat biru ambyar dan si-

nar hitam bertabur ke udara. Pada saat yang sama 

terdengar debuman keras.

Tubuh Pendekar 131 terpental satu tombak. 

Untung di belakangnya menghadang batu cadas 

putih, hingga sosoknya tertahan. Paras mukanya 

kali ini pucat pasi. Mulutnya terbuka megap-

megap atur napasnya yang seolah tersumbat. Se-

kujur tubuhnya laksana dipanggang, hingga pakaiannya tampak basah kuyup. Sosoknya bergetar 

keras.

Jauh di depan sana, sosok Dewi Siluman tam-

pak terduduk hanya empat langkah dari bibir ke-

dung. Dari bagian bawah cadar hitamnya tampak 

menetes cairan merah. Jelas menunjukkan kalau 

Dewi Siluman telah terluka dalam cukup parah.

*

* *

Di lain tempat, tepatnya di kawasan berbatu 

sebelah kanan kedung di mana tegak Ratu Pemi-

kat dan Dewa Orok, tiba-tiba terjadi kegegeran. 

Begitu terjadi bentrok pukulan antara Dewi Silu-

man dan murid Pendeta Sinting, Ratu Pemikat 

yang sedari tadi tegak mematung melihat apa yang 

terjadi di depan sana, mendadak membuat gera-

kan memutar tubuh menghadang Dewa Orok..

"Iblis Rangkap Jiwa tak bisa selesaikan tugas-

nya menyelesaikan pemuda buntung ini. Pasti Ma-

laikat Penggali Kubur akan membebankan tugas 

padaku! Mumpung di sana masih terjadi bentrok, 

lebih baik kuselesaikan pemuda ini dahulu!" 

membatin Ratu Pemikat.

Sedari tadi Ratu Pemikat memang menunggu 

waktu yang tepat. Menurut keterangan yang sem-

pat didengar dari Iblis Rangkap Jiwa, dia dapat 

menduga kalau Pendekar 131 tidak akan tinggal 

diam kalau Dewa Orok diserang lawan, karena Ib-

lis Rangkap Jiwa pernah mengatakan kalau di-

rinya sempat dikeroyok murid Pendeta Sinting 

bersama Dewa Orok.

Melihat gerakan Ratu Pemikat, Dewa Orok tam-

pak terkejut meski dia sendiri sejak tadi sudah 

waspada. Namun Dewa Orok cepat tutupi perasaan kaget dengan buka mulut.

"Kurasa tak ada gunanya kita berada di sini! 

Aku ngeri melihat orang berkelahi! Bagaimana ka-

lau kita pergi sama-sama?! Kau tak merasa malu 

bukan jalan bersama pemuda sepertiku?!"

Ratu Pemikat tampaknya sudah dapat memba-

ca jalan pikiran Dewa Orok. Namun sejauh ini dia 

masih bimbang. "Parasnya jelas kalau dia merasa 

ketakutan! Tapi apa sebenarnya yang membuat 

dia takut?! Dari pertemuannya denganku beberapa 

waktu yang lalu, jelas kalau dia membekal ilmu ti-

dak rendah! Atau jangan-jangan ini hanya musli-

hatnya saja...."

Ratu Pemikat tidak tahu kalau tanpa bundaran 

karet yang diambilnya dan diserahkan pada Ma-

laikat Penggali Kubur, Dewa Orok tidak akan 

mampu berbuat banyak. Dia hanya dapat kerah-

kan ilmu peringan tubuh tanpa dapat kerahkan 

tenaga dalam untuk lepaskan pukulan.

"Hem.... Apakah aku harus bebaskan Iblis 

Rangkap Jiwa dahulu?! Tapi.... itu akan membuat 

suasana makin tidak karuan! Lagi pula manusia 

iblis itu pasti punya rencana kotor di balik peker-

jaannya ini!" Ratu Pemikat masih menimbang-

nimbang hingga untuk beberapa saat dia tidak 

sambuti ucapan Dewa Orok, membuat pemuda 

bertangan buntung ini tidak enak. Dia segera buka 

mulut lagi.

"Kau tak usah khawatir. Aku telah melupakan 

urusan dulu itu!"

"Apa yang membuat pemuda ini berkata begi-

tu?! Padahal siapa pun adanya orang yang diper-

lakukan seperti dia waktu itu, pasti akan memen-

dam dendam! Hem.... Ada yang tak beres dengan 

pemuda ini!" Ratu Pemikat diam-diam mencium 

gelagat kalau Dewa Orok sembunyikan sesuatu.


Dengan sunggingkan senyum, Ratu Pemikat 

melompat dan tegak hanya tiga langkah dari ha-

dapan Dewa Orok. Dewa Orok sendiri tampak li-

rikkan mata ke samping kanan kiri. Dia coba me-

nindih rasa kaget dan rasa gelisah.

"Kau hendak mengajakku pergi ke mana?!" 

tanya Ratu Pemikat. Suara tawanya terdengar per-

lahan.

"Ke mana kau suka aku akan turuti! Asalkan 

kau tidak merasa malu!" kata Dewa Orok dengan 

suara sedikit bergetar.

"Aku mau saja dan tak merasa malu! Hanya 

aku masih merasa sangsi!"

Ketegangan Dewa Orok sedikit mereda. "Apa 

yang kau sangsikan?!"

Ratu Pemikat pandangi sekujur tubuh pemuda 

bertangan buntung di hadapannya dengan tertawa 

pelan. "Apa nanti yang dapat kau berikan pada-

ku?!" tanya Ratu Pemikat.

"Apa yang kau minta aku berusaha menda-

patkannya!" jawab Dewa Orok meski belum tahu 

benar arah ucapan Ratu Pemikat.

Ratu Pemikat dongakkan kepala. "Seorang pe-

rempuan membutuhkan belaian.... Apa kau sang-

gup lakukan belaian-belaian mesra?!"

Dewa Orok kancingkan mulut. Ratu Pemikat 

luruskan kepalanya. "Kalau kau merasa sanggup 

lakukan belaian, aku akan pergi saat ini juga ber-

samamu! Jika tidak, bukan saja kau tidak akan 

bisa mengajakku pergi, namun nyawamu harus 

tertinggal di sini!"

"Aduh.... Mengapa pembicaraan ini kau kait-

kaitkan dengan nyawa?!"

"Biarlah itu menjadi pertanyaan yang harus 

kau cari sendiri jawabannya!" Ratu Pemikat terta-

wa panjang. Tapi tiba-tiba sosoknya melompat kedepan. Kedua tangannya lakukan hantaman den-

gan tenaga dalam.

Karena sejak tadi sudah waspada, begitu sosok 

Ratu Pemikat melompat, Dewa Orok segera berke-

lebat selamatkan diri. Namun entah karena tak 

mau orang mengetahui apa yang kini menimpa di-

rinya, sambil berkelebat sepasang kakinya berge-

rak seolah hendak lepaskan pukulan!

Ratu Pemikat rupanya tak mau beri kesempa-

tan. Begitu sergapannya lolos, perempuan bertu-

buh bahenol ini segera mengejar. Tapi lagi-lagi 

Dewa Orok sudah berkelebat selamatkan diri.

Jengkel sergapannya gagal lagi, Ratu Pemikat 

lepaskan pukulan jarak jauh dengan sentakkan 

kedua tangannya. Hingga saat itu juga tampak sa-

tu hembusan angin keras menghampar ke arah 

Dewa Orok.

Karena saat itu Dewa Orok tegak di atas batu, 

dan berpikir Ratu Pemikat pasti akan mengejar 

kalau dia berkelebat lagi, maka tanpa pikir pan-

jang lagi, Dewa Orok melompat turun dari batu 

dan meringkuk di baliknya!

Hembusan angin yang keluar dari kedua tan-

gan Ratu Pemikat lewat di atas kepala Dewa Orok 

dan menyapu pasir jauh ke depan sana. Namun 

tak urung membuat kepala Dewa Orok tersentak, 

karena dia hanya bertahan dengan tenaga luar, 

sementara hembusan angin itu melesat dengan 

pengerahan tenaga dalam.

Begitu hembusan angin lewat, Dewa Orok cepat 

bangkit hendak berkelebat. Namun satu sapuan 

telah melanggar dari atas batu di mana Dewa Orok 

meringkuk selamatkan diri, membuat pemuda ber-

tangan buntung ini bukan saja urungkan niat 

berkelebat melainkan harus cepat rebahkan kepa-

la hingga mengantuk pasir yang ada di sela-sela


batu.

Ratu Pemikat yang ternyata baru saja sapukan 

kaki kanannya dari atas batu lebih bernafsu 

menghabisi Dewa Orok apalagi melihat si pemuda 

tidak lakukan pukulan balik yang membuat Ratu 

Pemikat seakan dipermainkan!

Begitu sapuan kaki kanannya masih mampu 

dihindari Dewa Orok, Ratu Pemikat melompat tu-

run. Kaki kirinya kini membuat gerakan menen-

dang.

Karena tidak ada ruang untuk menghindar, 

sementara sapuan kaki kiri telah bergerak, mau 

tak mau membuat Dewa Orok harus angkat ka-

kinya untuk lindungi kepalanya. Bukkk!

Kaki kanan Dewa Orok yang menangkis ten-

dangan kaki Ratu Pemikat tampak mencelat dan 

menghantam batu di belakangnya. Hal ini mem-

buat tubuh bagian atasnya berputar. Karena te-

gaknya Ratu Pemikat tidak jauh dari tempat Dewa 

Orok, kepala Dewa Orok yang berputar menghan-

tam kaki kanan Ratu Pemikat yang dibuat tum-

puan tubuh saat lakukan tendangan.

Dessss!

Ratu Pemikat berseru tertahan. Sosoknya ter-

huyung hampir roboh kalau saja kaki kiri Ratu 

Pemikat tidak segera menjejak pasir.

Meski Dewa Orok tidak dapat kerahkan tenaga 

dalam, namun karena tendangan kaki Ratu Pemi-

kat bertenaga dalam, maka tak urung akibat yang 

dihasilkan juga masih mengandung tenaga dalam. 

Hingga benturan kepala Dewa Orok mampu mem-

buat sosok Ratu Pemikat terhuyung.

Di lain pihak, karena tak bisa kerahkan tenaga 

dalam dan harus menangkis tendangan bertenaga 

dalam, maka Dewa Orok rasakan kakinya mau

tanggal dan kepalanya yang baru saja membentur


kaki kanan Ratu Pemikat seakan pecah! Namun 

sejauh ini Dewa Orok coba tahan agar suara kelu-

hannya tidak terdengar. Malah pemuda bertangan 

buntung ini coba tersenyum meski dengan sekujur 

tubuh sakit bukan alang kepalang!

Ratu Pemikat tegak dengan dahi berkerut. Bu-

kan perhatikan Dewa Orok yang kini tersenyum 

setengah meringis, melainkan merasa heran. Dari 

bertemunya kaki tadi, perempuan ini merasa mak-

lum kalau tangkisan kaki orang tidak dialiri tena-

ga dalam.

"Hem.... Mungkin dia memandangku remeh! 

Hingga tak perlu kerahkan tenaga dalam! Keparat 

betul!" gumam Ratu Pemikat dalam hati. Lalu pe-

rempuan ini lipat gandakan tenaga dalamnya. 

Saat lain sosok Ratu Pemikat tampak bergetar, 

membuat Dewa Orok merasa kecut. Karena geta-

ran tubuh si perempuan jelas menandakan kalau 

sang Ratu tengah kerahkan segenap tenaga da-

lamnya!

Sadar akan gelagat yang mengancam nya-

wanya, Dewa Orok berpikir cepat. Dengan andal-

kan tenaga luar, kedua kakinya digerakkan ber-

samaan menendang ke pinggul sang Ratu.

Tahu gerakan orang, Ratu Pemikat tak mau 

bertindak lengah. Dengan cepat dia putar diri se-

tengah lingkaran. Seraya melompat setengah tom-

bak, kedua kakinya disentakkan ke arah kedua 

kaki Dewa Orok.

Sepasang kaki Dewa Orok mental balik dan un-

tuk kedua kalinya menghantam batu di belakang-

nya! Bukan hanya sampai di situ, karena tendan-

gan kaki Ratu Pemikat dengan pengerahan tenaga 

dalam tinggi, maka begitu kakinya mental, kepala 

Dewa Orok berputar cepat pulang balik ke depan 

ke belakang karena kakinya kembali mental setelah menghantam batu di belakang nya.

Mungkin karena begitu kerasnya tendangan 

dan benturan dengan batu, maka meski Dewa 

Orok coba menahan suara, akhirnya terdengar ju-

ga seruan dari mulutnya. Malah kedua kakinya 

yang baru saja menangkis kaki Ratu Pemikat tam-

pak mengembung besar!

Dewa Orok kerjapkan matanya. Namun secepat 

kilat pemuda bertangan buntung ini katupkan 

kembali sepasang matanya karena kaki kanan Ra-

tu Pemikat telah berada di atas kepalanya!

"Celaka! Mati aku...," gumam Dewa Orok den-

gan tengkuk dingin. Dia sudah menduga kalau 

kaki kanan sang Ratu akan menyapu kepalanya.

Namun dugaan Dewa Orok meleset. Karena di-

tunggu sampai agak lama, tidak ada kaki yang 

menyapu kepalanya! Bahkan tidak terdengar sua-

ra berkelebatnya angin!

Perlahan-lahan Dewa Orok buka kelopak ma-

tanya. Saat itulah tiba-tiba satu telapak kaki su-

dah menempel di keningnya!

"Kau berlaku bodoh jika coba-coba menghada-

piku tanpa tenaga dalam! Aku pun juga ingin tahu 

apakah kau mampu selamatkan nyawamu saat 

ini!" ujar Ratu Pemikat lalu tekankan kaki kanan-

nya yang menginjak kening Dewa Orok.

Dewa Orok meringis kesakitan namun anehnya 

sepasang matanya bukannya menyipit, melainkan 

terpentang besar, karena dengan satu telapak kaki 

di atas kening Dewa Orok sementara satunya lagi 

menginjak pasir, membuat Dewa Orok dengan je-

las melihat bagian dalam anggota tubuh sang Ratu 

mulai dari kaki sampai pangkal paha!

Tapi pandangan Dewa Orok tidak dapat berlan-

jut karena saat itu juga Ratu Pemikat makin te-

kankan kakinya hingga kepala Dewa Orok melesak


masuk ke dalam pasir!

"Ratu.... Apa sebenarnya yang membuatmu in-

ginkan nyawaku...?" tanya Dewa Orok dengan su-

ara tersendat.

Ratu Pemikat tertawa pendek. "Aku akan jawab 

pertanyaanmu, karena inilah jawaban terakhir 

yang kau dengar!" Ratu Pemikat memandang ta-

jam pada pemuda di bawahnya. "Kau masih ingat 

saat menipuku tentang keberadaan Pendekar 131 

beberapa waktu yang lalu?!"

"Ah.... Jadi itu masalahnya.... Padahal sung-

guh, aku telah mengatakan yang sebenarnya! Apa 

kau tidak ke tempat yang kukatakan?!" Dewa Orok 

balik bertanya.

Ratu Pemikat jawab pertanyaan Dewa Orok 

dengan tersenyum dingin. Lalu buka mulut lagi. 

"Dengar! Aku mungkin masih memperpanjang 

nyawamu, tapi katakan dahulu siapa yang menye-

lamatkanmu!"

"Aku berusaha sendiri...."

Ratu Pemikat makin keraskan pijakannya pada 

kening Dewa Orok hingga kepala pemuda bertan-

gan buntung ini hampir seluruhnya terbenam ma-

suk ke dalam pasir. Kini wajah Dewa Orok tampak 

sudah sejajar dengan hamparan pasir!

"Baik. Akan kukatakan siapa yang menolongku! 

Tapi angkat dahulu kakimu!" ujar Dewa Orok 

sambil meringis, tapi tak urung sepasang matanya 

masih melirik pada pangkal paha Ratu Pemikat 

yang tepat di atas kepalanya.

"Kau hanya buang-buang waktu!" sentak Ratu 

Pemikat. Tangan kanan perempuan cantik ini te-

lah terangkat. Lalu serta-merta dihantamkan 

sambil bungkukkan tubuh.

Karena tak bisa berbuat apa-apa lagi, akhirnya 

Dewa Orok hanya bisa memandang hantaman


tangan sang Ratu yang pasti sekali hantam akan 

membuat nyawanya melayang.

Sejengkal lagi tangan kanan Ratu Pemikat men-

jebol dada Dewa Orok, satu bayangan berkelebat 

lalu lenyap di balik salah satu batu tidak jauh dari 

tempat Ratu Pemikat. Pada saat yang sama, dua 

benda hitam melesat lurus. Satu mengarah pada 

paha kanan Ratu Pemikat satunya lagi ke arah 

tangan kanannya yang sedang menghantam.

Ratu Pemikat tersentak. Tangan dan kakinya 

laksana dihantam kekuatan dahsyat. Hingga tan-

gan kanannya mental ke belakang, sementara kaki 

kanannya tersapu deras ke belakang. Sosoknya 

terhuyung-huyung sampai beberapa langkah ke 

belakang.

Anehnya, dua benda hitam yang baru saja 

membuatnya tersentak mundur dan ternyata dua 

buah batu hitam sebesar ibu jari, mental balik 

dengan cepat sebelum akhirnya lenyap di balik ba-

tu.

"Jahanam! Siapa berbuat bodoh ikut campur 

urusan ini, hah?!" bentak Ratu Pemikat. Sepasang 

matanya memandang ke hamparan pasir yang 

membentang di depan sana. Lalu terus lurus ke 

seberang. Terakhir kali ke arah puncak batu cadas 

putih. "Hem.... Berarti ada orang lain yang muncul 

di tempat ini!" kata Ratu Pemikat dalam hati sete-

lah memperhatikan sekeliling. 'Apa bangsat ini 

yang menolong pemuda buntung ini beberapa 

waktu yang lalu?!" Ratu Pemikat arahkan pandan-

gan pada batu di mana tadi dia masih bisa me-

nangkap lenyapnya satu bayangan serta lenyap-

nya dua batu hitam yang mampu membuat sosok-

nya mundur.

Mungkin karena geram, Ratu Pemikat lupakan 

urusannya dengan Dewa Orok. Dia cepat berkelebat ke arah batu di mana tadi bayangan lenyap.

Tapi Ratu Pemikat jadi terkesiap sendiri. Kare-

na tanpa diduga sama sekali satu bayangan telah 

muncul berkelebat dari balik batu dan langsung 

menyongsong sosok Ratu Pemikat!

Ratu Pemikat berseru kaget. Kedua tangannya 

cepat bergerak lakukan hantaman ke arah sosok 

yang menyongsongnya. Namun belum sampai tan-

gannya menghantam, sosok orang yang berkelebat 

dari balik batu telah menubruk tubuhnya! Hingga 

kedua orang ini melayang deras lalu sama terka-

par di atas sela pasir di antara batu. Tubuh orang 

yang menubruk tampak berada di atas tubuh Ratu 

Pemikat!

Ratu Pemikat memaki habis-habisan. Dia ge-

liatkan tubuh lalu kakinya diangkat dengan lutut 

menyodok. Tapi Ratu Pemikat terkejut. Bukan saja 

dia tidak mampu gerakkan kaki, dia juga tidak bi-

sa geliatkan tubuh!

"Bangsat!" teriak Ratu Pemikat. Tangan kanan 

kirinya bergerak menghantam ke arah sosok yang 

masih meringkuk telungkup di atas tubuhnya.

Orang yang berada di atas tubuh Ratu Pemikat 

gerakkan kepalanya pada dada Ratu Pemikat. Saat 

itu juga sosoknya melesat memberosot ke bawah. 

Ratu Pemikat teruskan hantaman tangannya. Na-

mun perempuan bertubuh sintal ini terperangah. 

Kedua kakinya terasa dipegang tangan orang.

Belum habis rasa kaget dan juga belum tahu 

apa yang akan diperbuat orang, Ratu Pemikat ra-

sakan kedua kakinya diangkat orang hingga mau 

tak mau hantaman kedua tangannya tak bisa dite-

ruskan.

"Kurang ajar!" hardik Ratu Pemikat. Dia cepat 

sentakkan kedua kakinya yang masih terasa dipe-

gang tangan orang.


Bukkk! Bukkk!

Kedua kaki Ratu Pemikat menghantam deras. 

Bukan pada sosok orang melainkan ke atas pasir. 

Karena begitu kedua kaki sang Ratu menyentak, 

orang di bawahnya serta-merta lepaskan pegan-

gannya.

Ratu Pemikat cepat bergerak bangkit. Meman-

dang ke depan, dia melihat seorang laki-laki be-

rambut panjang hitam lebat di kelabang dua. Wa-

jahnya bundar dengan hidung agak besar. Orang 

ini duduk bersandar pada batu. Melihat sekilas 

tubuhnya, Ratu Pemikat cepat bisa menebak ka-

lau orang di depannya bertubuh pendek!

"Cebol kurang ajar! Siapa kau?!" bentak Ratu 

Pemikat.

Orang yang dibentak sekilas memandang pada 

Ratu Pemikat. Tanpa buka mulut dia perlahan-

lahan bangkit. Ternyata tubuh orang ini memang 

pendek. Laki-laki ini tidak lain adalah Cucu Dewa.

"Aku mencari seseorang. Harap kau tidak ber-

tanya dahulu siapa aku!" kata Cucu Dewa lalu me-

langkah ke arah tempatnya Dewa Orok.

Ratu Pemikat naik pitam. Tanpa buka mulut 

lagi, kedua tangannya lepaskan satu pukulan ja-

rak jauh ke arah Cucu Dewa.

Cucu Dewa arahkan wajahnya menghadap Ratu 

Pemikat. Mulutnya dibuka menganga. Sekali hem-

buskan napas, dari mulutnya melesat dua batu hi-

tam sebesar ibu jari.

Desss! Desss!

Kedua tangan Ratu Pemikat laksana disapu ge-

lombang besar. Hingga meski dari kedua tangan-

nya melesat dua gelombang angin deras, namun 

arahnya sudah jauh melenceng.

Cucu Dewa menyedot. Dua buah batu hitam 

mental dari kedua tangan Ratu Pemikat lalu lurus


masuk kembali ke mulut Cucu Dewa. Lalu orang 

bertubuh pendek ini teruskan langkah.

Melihat bagaimana dengan mudahnya orang 

dapat lencengkan pukulannya, Ratu Pemikat 

menggembor marah. Kedua tangannya cepat dis-

entakkan.

Wuutt! Wuuttt!

Tampak dua sinar biru terang melesat lalu me-

nyungkup tempat ini. Saat bersamaan gelombang 

angin deras berkiblat! Inilah tanda kalau Ratu Pe-

mikat telah lepaskan pukulan 'Hamparan Langit'.

*

* *

LIMA



BERSAMAAN dengan menyungkupnya sinar bi-

ru terang pukulan sakti 'Hamparan Langit' yang 

dilepas Ratu Pemikat, dari arah seberang sana, 

tampak cahaya terang berkiblat dari puncak batu 

bergubuk hitam. Cahaya terang itu cuma sekejap 

lalu lenyap. Namun bersamaan lenyapnya cahaya 

terang, satu suara menggemuruh terdengar. Kejap 

lain gelombang dahsyat menggebrak ke bawah di

mana saat itu Putri Sableng tegak.

Gadis berjubah merah cepat dongakkan kepala. 

Lalu serta-merta kedua tangannya didorong ke 

atas dengan tekuk lututnya.

Gelombang yang menggebrak ke bawah yang 

baru saja dilancarkan Malaikat Penggali Kubur

tertahan sejenak di atas udara. Lalu begitu tangan 

Putri Sableng menyentak untuk kedua kalinya, ge-

lombang dahsyat tadi membalik ke atas!

Malaikat Penggali Kubur menyeringai. Pemuda 

ini tidak gerakkan kaki untuk menghindar. Dia

hanya gerakkan sedikit tubuh atasnya.

Wuusss!

Gelombang pukulan 'Telaga Surya' Malaikat 

Penggali Kubur yang membalik hanya Lewat satu 

jengkal di atas pemiliknya. Lalu menghantam atas, 

gubuk.

Prakk! Prakk! Prakkk! Prakkk!

Terdengar suara benda pecah empat kali bertu-

rut-turut. Disusul dengan terdengarnya suara kain 

robek. Gubuk hitam beratap dan berdinding kain 

hitam tercabut dari batu lalu melayang ke angkasa 

dengan kain kepulkan asap! Ketika tiang gubuk 

dan kainnya luruh, hanya tinggal serpihan!

Malaikat Penggali Kubur gerakkan tangan kiri 

mengusap perutnya. Tubuhnya dihadapkan lurus 

ke bawah pada Putri Sableng. Mulutnya sungging-

kan senyum aneh.

Dari puncak batu terdengar suara menderu 

sangat pelan. Tidak terlihat adanya gelombang 

atau sapuan angin yang melesat. Namun hampa-

ran pasir di sana sudah terlihat bertaburan.

Putri Sableng yang sudah mencium gelagat ba-

haya Cepat berkelebat. Kedua tangannya disen-

takkan ke atas. Saat bersamaan tiba-tiba dari batu 

cadas putih tampak empat gelombang angin 

menghampar melintasi hamparan pasir dan men-

garah lurus ke arah mana saat itu tangan Putri 

Sableng menyentak.

Satu dentuman laksana hendak membongkar 

Kedung Ombo terdengar ketika sentakan kedua 

tangan Putri Sableng dan gelombang yang melesat 

dari batu cadas putih beradu dahsyat dengan ge-

lombang tidak terlihat yang keluar dari balik pa-

kaian Malaikat Penggali Kubur.

Batu membukit di mana Malaikat Penggali Ku-

bur berada laksana diguncang gempa. Lalu terhanya gerakkan sedikit tubuh atasnya.

Wuusss!

Gelombang pukulan 'Telaga Surya' Malaikat 

Penggali Kubur yang membalik hanya Lewat satu 

jengkal di atas pemiliknya. Lalu menghantam atas, 

gubuk.

Prakk! Prakk! Prakkk! Prakkk!

Terdengar suara benda pecah empat kali bertu-

rut-turut. Disusul dengan terdengarnya suara kain 

robek. Gubuk hitam beratap dan berdinding kain 

hitam tercabut dari batu lalu melayang ke angkasa 

dengan kain kepulkan asap! Ketika tiang gubuk 

dan kainnya luruh, hanya tinggal serpihan!

Malaikat Penggali Kubur gerakkan tangan kiri 

mengusap perutnya. Tubuhnya dihadapkan lurus 

ke bawah pada Putri Sableng. Mulutnya sungging-

kan senyum aneh.

Dari puncak batu terdengar suara menderu 

sangat pelan. Tidak terlihat adanya gelombang 

atau sapuan angin yang melesat. Namun hampa-

ran pasir di sana sudah terlihat bertaburan.

Putri Sableng yang sudah mencium gelagat ba-

haya Cepat berkelebat. Kedua tangannya disen-

takkan ke atas. Saat bersamaan tiba-tiba dari batu 

cadas putih tampak empat gelombang angin 

menghampar melintasi hamparan pasir dan men-

garah lurus ke arah mana saat itu tangan Putri 

Sableng menyentak.

Satu dentuman laksana hendak membongkar 

Kedung Ombo terdengar ketika sentakan kedua 

tangan Putri Sableng dan gelombang yang melesat 

dari batu cadas putih beradu dahsyat dengan ge-

lombang tidak terlihat yang keluar dari balik pa-

kaian Malaikat Penggali Kubur.

Batu membukit di mana Malaikat Penggali Ku-

bur berada laksana diguncang gempa. Lalu terdengar suara berkeretekan. Kejap lain batu mem-

bentuk bukit itu merengkah! Malaikat Penggali 

Kubur tersurut satu tindak. Sepasang matanya 

liar memandang ke arah batu cadas putih. Lalu 

kedua kakinya dihentakkan ke puncak batu.

Byaarr!

Puncak batu yang sudah rengkah dan masih 

berguncang akibat bentroknya pukulan, langsung 

pecah berkeping-keping dan longsor hampir seten-

gahnya! Malaikat Penggali Kubur sudah berkelebat 

melayang turun sebelum batu pijakannya ambyar.

Sementara begitu terdengar dentuman, sosok 

Putri Sableng tampak mencelat sampai satu tom-

bak dan jatuh terduduk dengan paras pucat pasi. 

Kedua tangannya terasa tegang dan aliran darah-

nya tersumbat. Namun gadis ini tak bisa berlama-

lama duduk, karena puncak batu di mana tadi 

Malaikat Penggali Kubur berada telah longsor. Pu-

tri Sableng cepat berkelebat lalu mencari tempat 

agak aman dari hamburan pasir dan batu.

Sementara itu, bersamaan terdengarnya suara 

dentuman, dari puncak batu cadas putih terden-

gar suara orang bergumam. Kejap lain terlihat dua 

sosok tubuh terpelanting dari puncak batu cadas 

putih. Lalu semua orang yang ada di depan ke-

dung melihat dua orang berwajah hitam melang-

kah tertatih-tatih dari arah samping batu cadas 

putih ke hamparan pasir di depan kedung.

Kedua orang berwajah hitam sejenak arahkan 

pandangan pada Dewi Siluman yang terduduk ti-

dak jauh dari batu membukit yang sudah longsor.

Yang sebelah kanan yang bertelanjang dada 

dan bukan lain adalah Raden Mas Antar Bumi ge-

leng-gelengkan kepala. Orang ini sejenak rapikan 

baju yang kini dipakai untuk menutupi bagian 

bawah tubuhnya.


"Raden Mas Antar Langit.... Tahu begini yang 

terjadi di sini, seharusnya kita ikuti saran iblis 

Rangkapan itu...," ujar Raden Mas Antar Bumi 

sambil arahkan pandangan pada iblis Rangkap 

Jiwa yang masih terpekur kerahkan tenaga dalam 

untuk bebaskan diri dari totokan Joko. Orang ini 

lantas berpaling pada Dewi Siluman.

"Gara-gara kau penasaran dengan si Jubah Hi-

tam yang tak mengenakan apa-apa lagi, kepergian 

kita tertunda! Kalau sudah begini, apa artinya ga-

dis cantik meski di balik jubahnya tidak mengena-

kan apa-apa lagi?! Pada akhirnya kita bukannya 

menghilangkan kutuk, sebaliknya harus rela di-

buat main-main orang berjubah putih itu!" Terak-

hir kali Raden Mas Antar Bumi arahkan pandan-

gan pada Malaikat Penggali Kubur. Namun cuma 

sekejap, tanpa buka mulut lagi orang ini melang-

kah perlahan-lahan ke arah lamping batu cadas 

putih di mana Ni Luh Padmi duduk bersandar ti-

dak jauh dari Iblis Rangkap Jiwa dengan tubuh 

masih kaku dan kedua tangan terangkat ke atas.

"Nek...!" kata Raden Mas Antar Bumi. "Kau tak 

keberatan bukan aku duduk di sampingmu?!"

Tanpa menunggu sahutan dari Ni Luh Padmi, 

Raden Mas Antar Bumi duduk di samping si nenek 

lalu tertawa-tawa pada Raden Mas Antar Langit 

yang memperhatikan sikapnya.

"Dasar! Mau dekati nenek saja masih bicara 

yang bukan-bukan!" gumam Raden Mas Antar 

Langit. Dia edarkan pandangannya berkeliling. 

"Hem.... Enaknya aku duduk di samping siapa?! 

Apa si Jubah Hitam mau duduk berdampingan 

denganku?!" ujar Raden Mas Antar Langit.

"Kau terlalu banyak pertimbangan! Coba saja 

langsung ke sana!" sahut Raden Mas Antar Bumi.

Raden Mas Antar Langit anggukkan kepalanya.


Memandang sekilas pada murid Pendeta Sinting 

yang tegak memperhatikan dengan sikap waspada. 

Lalu mulai melangkah ke arah Dewi Siluman.

Baru melangkah tiga tindak, dari seberang de-

pan terdengar Dewi Siluman sudah membentak 

garang. "Sekali lagi kau angkat kakimu, aku tak

keberatan mencabut nyawamu!" Dewi Siluman 

bangkit. Meski masih tampak sedikit terhuyung 

namun perempuan ini cepat kuasai diri. Kedua 

tangannya siap lepaskan pukulan.

Raden Mas Antar Langit tutup mulutnya den-

gan telapak tangan kanan. Lalu berpaling pada 

Raden Mas Antar Bumi. "Tadi suaranya terdengar 

merdu mendayu. Kenapa sekarang begitu galak? 

Apa ini karena setelah melihat wajah kita yang 

terkena kutuk ini?"

"Ah.... Kau selalu saja kurang percaya diri!" ka-

ta Raden Mas Antar Bumi.

"Hem.... Bukan begitu! Terus terang saja aku 

ngeri! Kau lihat sendiri bagaimana si Jubah Hitam 

tadi bisa main-main dengan kabut hitam dan sinar 

hitam! Aku takut kalau wajah yang hitam ini nan-

tinya semakin hitam saja.... Lebih baik aku ikut 

duduk di sampingmu saja...." Raden Mas Antar 

Langit akhirnya melangkah perlahan darn duduk 

bersandar di samping Raden Mas Antar Bumi.

Baru saja Raden Mas Antar langit duduk, tiba-

tiba di depan sana Dewi Siluman sudah sentakkan 

kedua tangannya lepaskan pukulan 'Kabut Nera-

ka'. Begitu kabut hitam melesat, perempuan ber-

jubah dan bercadar hitam ini hentakkan kaki. 

Saat itu juga dari sepasang matanya mencuat si-

nar hitam.

Joko tak mau tinggal diam. Karena jelas puku-

lan Dewi Siluman kali ini tidak bisa dipandang 

sembarangan. Perempuan itu telah lepaskan dua


pukulan sakti saling berbarengan.

Joko angkat kedua tangannya. Lalu disentak-

kan pukulan 'Lembur Kuning'. Kejap lain tangan 

kirinya mendorong lepas pukulan 'Serat Biru'.

Blammm!

Hamparan pasir di depan Kedung Ombo berge-

tar hebat tatkala pukulan 'Kabut Neraka' bertemu 

dengan pukulan 'Lembur Kuning'. Kabut hitam 

serta sinar bersemburatan warna kuning membu-

bung ke udara pecah berantakan.

Belum lenyap suara ledakan pertama, tiba-tiba 

dua sinar hitam yang mencuat dari sepasang mata 

Dewi Siluman tertahan di udara lalu terbungkus 

serat-serat biru terang yang keluar dari tangan kiri 

murid Pendeta Sinting. Saat lain sinar hitam yang 

terbungkus serat-serat biru muncrat ke udara ke-

luarkan ledakan dahsyat!

Kedung Ombo laksana disapu gelombang gem-

pa. Kedua orang berwajah hitam sama angkat tan-

gan masing-masing di atas kepala untuk tutupi di-

ri dari hamburan pasir. Sosok mereka berdua ti-

dak bergeming sedikit pun! Sementara di samping 

kedua orang berwajah hitam ini, sosok Ni Luh 

Padmi tampak terhempas ke lamping batu cadas 

putih di belakangnya. Hingga si nenek perdengar-

kan makian.

Di samping si nenek, Iblis Rangkap Jiwa tam-

pak rapatkan mata. Laki-laki ini coba menindih 

guncangan tubuhnya agar konsentrasinya tidak 

pecah. Hingga meski tubuhnya tampak pulang ba-

lik terhempas ke lamping batu di belakangnya, dia 

tak hendak buka kelopak matanya!

Sementara itu begitu ledakan kedua terdengar, 

sosok murid Pendeta Sinting terlempar beberapa 

langkah ke belakang. Terhuyung sejenak lalu te-

gak dengan sekujur tubuh bergetar keras. Wajah


nya laksana tak berdarah. Mulutnya terbuka tan-

pa keluarkan suara.

Di seberang depan, sosok Dewi Siluman tersapu 

deras ke belakang. Perempuan ini perdengarkan 

seruan tertahan. Karena kedua kakinya sudah 

masuk di pinggir kedung. Dari cadar hitamnya 

makin banyak kucurkan darah.

Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Dewi Silu-

man gapaikan kedua tangannya agar tubuhnya ti-

dak terus merosot masuk ke dalam kedung. Na-

mun karena di hadapannya hanya ada hamparan 

pasir, akhirnya perempuan ini tekankan kedua 

tangannya ke bibir kedung. Bertumpu pada kedua 

tangannya yang masuk ke dalam pasir, perem-

puan ini pelan-pelan merangkak naik. Begitu ke-

dua kakinya keluar dari bibir kedung, kepala Dewi 

Siluman tampak terkulai di atas pasir.

Raden Mas Antar Langit bergerak bangkit. Na-

mun tangan kanan Raden Mas Antar Bumi meng-

hadang di depan tubuhnya. "Jangan bertindak bo-

doh! Lihat ke samping!"

Raden Mas Antar Langit berpaling ke samping. 

Saat itu tampak sosok Malaikat Penggali Kubur 

sudah melesat. Dan tahu-tahu si pemuda murid 

Bayu Bajra ini telah tegak sepuluh langkah di ha-

dapan Pendekar 131!

Malaikat Penggali Kubur sapukan pandangan-

nya ke depan. Memandang sinis pada murid Pen-

deta Sinting, lalu pada Raden Mas Antar Langit 

dan Raden Mas Antar Bumi. Terus ke arah Ni Luh 

Padmi dan Iblis Rangkap Jiwa. Masih tanpa buka 

suara, Malaikat Penggali Kubur berpaling ke ka-

wasan berbatu sebelah kanan kedung di mana ta-

di Ratu Pemikat dan Dewa Orok serta Cucu Dewa 

berada. Terakhir kali pemuda murid Bayu Bajra 

ini menoleh ke arah Dewi Siluman yang perlahan


lahan angkat tubuhnya berusaha bangkit duduk.

"Dengar!" Malaikat Penggali Kubur buka mulut 

dengan suara keras membahana. "Membunuh ka-

lian semua tidak sulit bagiku! Tapi aku masih am-

puni nyawa kalian masing-masing! Aku memberi 

kesempatan pada kalian semua untuk maju satu 

persatu berlutut di hadapanku!"

Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur 

berpaling ke arah Dewi Siluman yang telah bangkit 

duduk. Lalu putar tubuh tepat menghadap perem-

puan bercadar hitam dengan seringai dingin. Tan-

gan kirinya terangkat menunjuk.

"Kau!" Malaikat Penggali Kubur dongakkan ke-

pala. "Merangkak ke hadapanku dan berlutut!"

Dewi Siluman angkat kepalanya memandang 

marah pada Malaikat Penggali Kubur. Meski pe-

rempuan bercadar hitam anak Daeng Upas ini me-

rasakan tengkuknya dingin namun dia belum juga 

turuti ucapan Malaikat Penggali Kubur. Malah se-

kuat tenaga diam-diam dia himpun sisa tenaga da-

lamnya dan disalurkan pada matanya.

"Malaikat Penggali Kubur hanya ucapkan perin-

tah satu kali!" Tangan kiri Malaikat Penggali Ku-

bur ditarik pulang ke belakang. Namun kejap lain 

justru kedua tangannya sudah bergerak memukul 

ke depan dengan telapak mengepal.

Wuutt! Wuutt!

Tampak dua cahaya mencuat sekejap lalu sir-

na. Saat yang sama satu gelombang dahsyat su-

dah melanda ke arah Dewi Siluman.

Dewi Siluman cepat sentakkan bahunya ke ba-

wah. Dari sepasang matanya melarik dua sinar hi-

tam. Namun karena saat lepaskan pukulan 'Sinar 

Setan' tenaga dalamnya sudah jauh berkurang 

dan dalam keadaan terluka dalam, maka larikan 

sinar hitam itu langsung tersapu gelombang yang


mencuat dari kedua tangan Malaikat Penggali Ku-

bur Hingga yang melesat ke arah Dewi Siluman 

kali ini gelombang dari tangan Malaikat Penggali 

Kubur serta pukulan Dewi Siluman sendiri yang 

membalik. 

Dewi Siluman hanya sempat perdengarkan sua-

ra jeritan. Saat lain sosoknya mencelat ke bela-

kang. Karena di belakangnya adalah kedung, un-

tuk beberapa saat sosok Dewi Siluman tampak 

melayang di atas kedung dan tampak terbanting 

sebelum akhirnya meluncur ke bawah!

Byuuurrr!

Air kedung muncrat ke udara. Saat muncratan 

air luruh, tampak air kedung telah disemburati 

warna merah kehitam-hitaman. Sesaat kemudian, 

air kedung terlihat bergelombang, lalu muncullah 

sosok Dewi Siluman mengambang telungkup di 

atas permukaan air!

Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar 

Bumi tampak saling pandang. Sebenarnya Raden 

Mas Antar Langit sudah hendak bergerak tatkala 

Malaikat Penggali Kubur lepaskan pukulan 'Telaga 

Surya'. Namun tangan kanan Raden Mas Antar 

Bumi kembali merentang di depannya, hingga ge-

rakannya tertahan.

Di lain pihak, murid Pendeta Sinting tadi juga 

hendak bergerak, namun diurungkan karena posi-

si dirinya yang menghadap Dewi Siluman mem-

buatnya sulit untuk membendung pukulan Malai-

kat Penggali Kubur, malah tak urung pukulannya 

nanti akan melabrak Dewi Siluman.

Sesaat Kedung Ombo dicekam kesepian yang 

mengandung hawa kematian. Tapi tidak lama ke-

mudian, kesepian telah dipecah dengan suara Ma-

laikat Penggali Kubur. '

"Itu adalah contoh! Dan kalian akan mengalami


nasib yang sama jika tidak lakukan perintahku!" 

Malaikat Penggali Kubur putar tubuhnya kembali 

menghadap Pendekar 131 dan beberapa orang 

yang duduk di lamping batu cadas putih.

Malaikat Penggali Kubur memandang beringas 

pada murid Pendeta Sinting. Tangan kirinya te-

rangkat. Bukan menunjuk pada Pendekar 131 me-

lainkan pada Raden Mas Antar Langit dan Raden 

Mas Antar Bumi yang duduk bersandar berdam-

pingan.

"Kau berdua!" kata Malaikat Penggali Kubur 

dengan mata memandang ke arah Pendekar 131. 

"Merangkak dan berlutut di hadapanku!"

Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar 

Bumi saling berpandangan. Sosok keduanya 

menggigil dengan mata saling mendelik.

"Bagaimana?!" gumam Raden Mas Antar Langit. 

"Aku tak mau mengalami nasib sama seperti si 

Jubah Hitam itu.... Aku ingin hidup seribu tahun

lagi meski harus tetap mengemban kutuk ini...."

Raden Mas Antar Bumi berpaling pada Ni Luh 

Padmi. "Menurutmu bagaimana, Nek...? Harus 

merangkak dan berlutut di depan orang gagah 

itu?!"

Ni Luh Padmi melirik dengan bola mata mende-

lik. "itu urusanmu!"

Mendapati jawaban si nenek, Raden Mas Antar 

Bumi memandang ke arah Iblis Rangkap Jiwa. Ka-

rena laki-laki berkepala gundul itu masih juga pe-

jamkan matanya, tangan Raden Mas Antar Bumi 

menjulur melewati dada Ni Luh Padmi lalu meng-

goyang-goyangkan sosok Iblis Rangkap Jiwa.

"Hai, Teman! Kalau menurutmu bagaimana?!"

Iblis Rangkap Jiwa tidak menyahut. Bahkan la-

ki-laki ini tidak buka kelopak matanya. Hanya na-

pasnya yang tampak makin menderu keras.


Raden Mas Antar Bumi tarik pulang tangannya, 

lalu memandang pada murid Pendeta Sinting dan 

berkata.

"Hai, Teman Baru! Kau bisa memberi saran?!"

"Meski belum yakin benar, tapi rupanya mereka 

berdua tidak berada di pihak Malaikat Penggali 

Kubur! Hem...." Murid Pendeta Sinting membatin 

dalam hati. Lalu berkata.

"Kudengar di antara kalian tadi ingin hidup se-

ribu tahun lagi! Jika begitu tidak ada salahnya ka-

lian berdua turuti perintah orang itu!" sambil ber-

kata sepasang mata Joko tampak berkedip bebe-

rapa kali. Dalam hati Joko membatin. "Mudah-

mudahan mereka tahu isyaratku...."

Raden Mas Antar Bumi kembali arahkan pan-

dangannya pada Raden Mas Antar Langit.

"Kita turuti perintahnya. Tapi tanyakan dahulu 

apa imbalan yang kelak diberikan pada kita! Per-

cuma kalau kita harus berlutut di kaki orang tan-

pa mendapat imbalan apa-apa...."

"Hem.... Kalau nanti orang itu tanya, kira-kira 

imbalan apa yang kau minta?!"

Raden Mas Antar Bumi sorongkan kepalanya ke 

telinga Raden Mas Antar Langit.

"Aku naksir nenek di sampingku...."

"Wah, celaka!" desis Raden Mas Antar Langit. 

Lalu orang ini ganti sorongkan wajahnya ke telinga 

Raden Mas Antar Bumi. "Terus terang saja.... Aku 

juga naksir nenek cantik itu...."

Raden Mas Antar Bumi terlonjak. Lalu buka 

mulut dengan suara agak keras.

"Kuharap kau mau mengerti! Tak mungkin satu 

nenek harus kita bagi dua! Kau nanti minta imba-

lan yang lain saja!"

Merasa dirinya yang dibicarakan, Ni Luh Padmi 

jadi naik pitam. "Bangsat kurang ajar! Kalian kira


aku ini apa, hah?!"

"Nek.... Seharusnya kau berterima kasih!" Joko 

menyahut. "Mereka berdua naksir padamu...."

"Keparat! Kau akan menyesal, Anak Sinting!" 

maki Ni Luh Padmi lalu lirikkan matanya dengan 

bola mata membelalak.

"Harap kalian berdua bersabar! Seorang nenek 

akan berlaku begitu bila merasa dirinya ditaksir 

orang...," kata Joko sambil jerengkan kedua ma-

tanya.

"Aduh.... Aku jadi malu! Semua orang sekarang 

tahu kalau aku naksir...," ujar Raden Mas Antar 

Bumi. Lalu berpaling lagi pada temannya. "Bagai-

mana? Kau mau mengerti bukan?! Kau minta im-

balan yang lain saja!"

"Kalian berdua!" mendadak terdengar kembali 

bentakan Malaikat Penggali Kubur. Kedua tangan-

nya kini telah terangkat mengepal. "Kalian ingin 

mengalami nasib sama dengan perempuan yang 

terapung itu?!"

Tanpa menunggu sahutan orang, kedua tangan 

Malaikat Penggali Kubur bergerak.

"Tahan! Tahan!"

Kedua orang berwajah hitam berseru hampir 

berbarengan. Saat yang sama keduanya tekuk tu-

buh masing-masing ke depan dengan kedua tan-

gan di atas pasir. Lalu perlahan-lahan keduanya 

merangkak ke arah Malaikat Penggali Kubur.

"Hai, kalian mainan apa?! Lihat! Aku juga 

punya mainan!" Tiba-tiba dari arah kawasan ber-

batu di sebelah kanan kedung terdengar orang 

berteriak.

Murid Pendeta Sinting berpaling. Ni Luh Padmi 

lirikkan matanya. Kedua orang berwajah hitam 

hentikan rangkakannya, lalu gerakkan kepala. 

Malaikat Penggali Kubur mendengus namun cepat


sentakkan kepalanya menoleh. Hanya Iblis Rang-

kap Jiwa yang tetap terpejam. Dan tiba-tiba dari 

arah kawasan berbatu sebelah kiri kedung terden-

gar orang tertawa cekikikan!

*

* *

ENAM



MALAIKAT Penggali Kubur tegak dengan rahang 

mengembung besar dan pelipis bergerak-gerak. 

Sepasang matanya terpentang besar memperhati-

kan tak berkesip pada kawasan berbatu di sebelah 

kanan kedung, di mana baru saja terdengar teria-

kan orang.

Di sebelah batu paling depan yang berbatasan 

dengan hamparan pasir, terlihat dua orang laki-

laki duduk di atas batu saling berdampingan. Se-

belah kanan adalah seorang pemuda bertangan 

buntung dan tidak lain adalah Dewa Orok. Di se-

belahnya adalah seorang laki-laki berambut pan-

jang hitam lebat dikelabang dua bertubuh pendek. 

Dia adalah Cucu Dewa.

Di bawah kedua orang ini tampak sosok perem-

puan berpakaian biru tipis dan tidak lain adalah 

Ratu Pemikat. Ratu Pemikat duduk bersimpuh di 

hamparan pasir dengan wajah pucat pasi. Malah 

dari sudut bibirnya tampak mengalirkan darah. 

Kedua tangannya disatukan ke belakang dan teri-

kat kain hitam.

"Cucu Pangeran...," teriak Cucu Dewa pada Ma-

laikat Penggali Kubur. Cucu Dewa memanggil Ma-

laikat Penggali Kubur dengan Cucu Pangeran ka-

rena pada waktu Malaikat Penggali Kubur menye-

lidik ke tempatnya di pesisir pantai timur, Malaikat Penggali Kubur mengaku sebagai salah satu 

Cucu Pangeran. (Lebih jelasnya tentang pertemuan 

Malaikat Penggali Kubur dengan Cucu Dewa, sila-

kan baca serial Joko Sableng dalam episode : "Ti-

tah dari Liang Lahat").

"Senang bisa bertemu kembali denganmu, Cucu 

Pangeran! Kedatanganku tidak akan lama. Aku 

hanya mengantarkan keponakanku ini!" Cucu De-

wa arahkan pandangannya pada Dewa Orok yang 

berada di sampingnya. "Dia hendak bicara den-

ganmu!"

Malaikat Penggali Kubur busungkan dadanya 

menarik napas panjang. Dia sebenarnya sudah ti-

dak sabar melihat kemunculan Dewa Orok dan 

disusul kemunculannya Cucu Dewa. Dua orang 

yang harus dihabisi sesuai perintah dari liang la-

hat di mana dia mendapatkan Kitab Hitam. Na-

mun melihat Pendekar 131 sudah di hadapannya 

serta melihat bagaimana Ratu Pemikat bersimpuh 

dengan kedua tangan bersatu ke belakang, Malai-

kat Penggali Kubur tahan keinginan. Namun se-

jauh ini dia belum sahuti ucapan Cucu Dewa.

Seperti diketahui, karena merasa jengkel den-

gan Cucu Dewa yang melangkah ke arah Dewa 

Orok, Ratu Pemikat segera lepaskan pukulan an-

dalan 'Hamparan Langit'. Hingga saat itu juga ka-

wasan berbatu sebelah kanan kedung dibungkus 

sinar biru terang.

Cucu Dewa hentikan langkah. Putar tubuhnya 

sejenak lalu tekuk lututnya hingga tubuhnya yang 

pendek makin melorot. Saat bersamaan kedua 

tangannya bergerak mendorong ke depan.

Dari kedua tangan Cucu Dewa melesat bebera-

pa bundaran asap putih. Datang bergelombang 

saling susul menyusul.

Bundaran asap terdepan tiba-tiba pecah ketika


disapu sinar biru terang. Namun sinar biru men-

dadak tertahan setelah berhasil membuat pecah 

bundaran paling depan. Saat itu bundaran kedua 

melesat lalu membentur sinar biru. Namun lagi-

lagi bundaran asap putih pecah. Tapi bersamaan 

itu sinar biru tersebut mulai ambyar. Ketika bun-

daran ketiga melesat, sinar biru terang sudah 

membubung ke angkasa setelah sebelumnya kelu-

arkan letusan keras.

Sosok Ratu Pemikat tampak tersentak sentak 

saat sinar biru yang keluar dari kedua tangan. 

berbenturan dengan bundaran-bundaran asap pu-

tih. Dan begitu sinar biru terang perdengarkan le-

tusan lalu ambyar, sosok Ratu Pemikat terjeng-

kang. Saat itulah bundaran asap putih keempat 

dan yang terakhir mencuat dari telapak tangan 

Cucu Dewa.

Ratu Pemikat memang masih bisa segera bang-

kit duduk dan angkat kedua tangannya siap le-

paskan kembali pukulan sakti 'Hamparan Langit'. 

Namun gerakannya sudah sangat terlambat. Hing-

ga jalan satu-satunya selamatkan diri adalah ce-

pat berkelebat menghindar. Wuusss!

Bundaran asap putih keempat yang ternyata 

membawa gelombang dahsyat berderak ganas. Ra-

tu Pemikat memang masih bergerak selamatkan 

diri. Tapi kecepatan bundaran asap putih masih 

menyambar kakinya, hingga sosok perempuan 

bertubuh sintal itu terbanting!

 Ratu Pemikat segera himpun sisa tenaganya. 

Lalu dengan tubuh bergetar keras dan wajah pias 

serta dada turun naik, dia bangkit. Tapi Ratu Pe-

mikat terkesiap sendiri. Belum sampai sosoknya 

tegak, dua buah benda hitam yang tidak lain ada-

lah dua batu hitam melesat kencang laksana anak 

panah.


Ratu Pemikat cepat sentakkan kedua tangan-

nya untuk menangkis dua batu hitam. Namun 

mungkin karena terlalu bernafsu, kedua tangan-

nya sudah menyentak sebelum dua batu hitam 

sampai. Hingga begitu kedua tangannya telah me-

rentang ke atas, dua batu hitam melanggar bahu 

kanan kirinya!

Desss! Desss!

Ratu Pemikat berseru keras. Sosoknya yang be-

lum sempat tegak terhuyung-huyung lalu roboh di 

atas pasir. Dua buah batu hitam mental balik dan 

masuk kembali ke dalam mulut Cucu Dewa.

Ratu Pemikat rasakan dua bahunya tanggal. 

Pada bahu kanan kiri pakaiannya tampak lobang 

sebesar batu hitam yang tadi menghantamnya. 

Kulit di balik lobang telah berubah menjadi hitam. 

Menangkap gelagat bahaya pada kedua bahunya, 

Ratu Pemikat cepat totok tempat sekitar kulit yang 

berwarna hitam. Lalu perlahan lahan himpun te-

naga dalamnya lagi. Tapi Ratu Pemikat sempat 

tersentak tatkala mendapati dari mulutnya menge-

luarkan darah!

"Tidak! Aku harus bertahan!" desis Ratu Pemi-

kat sambil usap mulutnya. Lalu masih dalam kea-

daan terkapar di atas pasir matanya melirik ke 

arah Cucu Dewa. Saat dilihatnya Cucu Dewa hen-

dak teruskan langkah, Ratu Pemikat cepat bangkit 

duduk.

Namun bersamaan dengan bergeraknya sang 

Ratu, satu bayangan telah berkelebat dan tahu-

tahu Cucu Dewa sudah jongkok di samping Ratu 

Pemikat Tanpa pikir panjang lagi Ratu Pemikat 

hantamkan tangan kanannya ke arah kepala Cucu 

Dewa yang jongkok di samping kirinya.

Cucu Dewa luruskan tangan kirinya ke atas. 

Bukkk!


Tangan kanan Ratu Pemikat mental balik. Ka-

rena begitu kerasnya hantaman Ratu Pemikat, 

saat mental balik dia tak dapat menguasai diri, 

hingga tubuhnya terputar lalu jatuh telungkup!

Cucu Dewa bergerak cepat. Sosoknya segera 

mengangkang di atas tubuh Ratu Pemikat. Celana 

hitam milik Raden Mas Antar Bumi yang tadi di-

buang begitu saja oleh Ratu Pemikat ternyata su-

dah berada di tangannya. Cucu Dewa segera ambil 

kedua tangan Ratu Pemikat lalu disatukan ke be-

lakang dan diikat dengan celana hitam.

Ratu Pemikat berusaha meronta, namun Cucu 

Dewa segera henyakkan pantatnya di punggung 

sang Ratu hingga pada akhirnya Ratu Pemikat 

hanya bisa berteriak teriak tanpa bisa berbuat 

apa-apa.

Cucu Dewa bergerak bangkit dari tubuh Ratu 

Pemikat yang telungkup dengan tangan terikat. 

Lalu perlahan-lahan laki-laki bertubuh pendek ini 

melangkah ke arah Dewa Orok yang masih meng-

geliat-geliat coba tarik kepalanya dari dalam pasir.

"Guru...!" seru Dewa Orok meski tadi sudah da-

pat menduga siapa adanya orang yang menolong-

nya.

Cucu Dewa lintangkan jari telunjuk pada mu-

lutnya. Lalu tangan kanannya mengangkat kepala 

Dewa Orok dari dalam pasir.

"Aku hanya menduga! Tapi kalau tak salah bu-

kankah perempuan cantik itu yang ambil dotmu?!" 

tanya Cucu Dewa setelah Dewa Orok duduk.

"Benar!" sahut Dewa Orok sambil arahkan pan-

dangannya pada Ratu Pemikat.

"Dia sudah kuikat! Karena ini urusanmu, kau

tanyakan sendiri padanya!"

Dewa Orok menjura sejurus lalu melangkah ke 

arah Ratu Pemikat yang ternyata telah duduk bersandar pada batu.

"Ratu...," kata Dewa Orok sambil tersenyum. 

"Jangan salah sangka. Aku tetap melupakan keja-

dian beberapa waktu yang lalu...." Dewa Orok 

jongkok di samping Ratu Pemikat lalu tatapi pe-

rempuan berwajah cantik ini berlama-lama. Ratu 

Pemikat arahkan pandangannya pada Cucu Dewa 

yang kini duduk di atas batu sambil memandang 

jauh ke hamparan pasir di depan kedung.

"Ratu.... Aku hanya ingin minta dotku kembali!"

Ratu Pemikat berpaling. "Aku tidak memba-

wanya!" suara Ratu Pemikat masih galak.

"Kau yang mengambil dotku, berarti kau tahu 

di mana tempatnya kalau saat ini tidak kau bawa! 

Kuharap kau mau bersamaku mengambil dot itu 

di tempat kau sembunyikan...!"

"Barang itu tidak kusimpan!" sahut Ratu Pemi-

kat. Dan diam-diam perempuan ini dapat mene-

bak kenapa begitu berartinya dot itu bagi Dewa 

Orok. "Hem.... Mungkin dia tak dapat kerahkan 

tenaga dalam tanpa bundaran butut itu! Tahu be-

gitu, sudah sejak tadi dia kuselesaikan...!"

"Barang itu tidak kau bawa, barang itu tidak 

kau simpan. Lalu...?!" tanya Dewa Orok.

"Kau terlambat untuk memintanya! Barang itu 

sudah kuberikan pada seseorang!"

Wajah Dewa Orok seketika berubah. Kalau saja 

perturutkan hati, ingin rasanya dia memaki. Na-

mun pemuda bertangan buntung ini masih ingin 

menahan diri.

"Kalau betul ucapanmu, harap kau katakan 

siapa orang yang kau beri?!" Dewa Orok sengaja 

tidak mau bertindak kasar, karena sekali dia kehi-

langan jejak urusan dotnya, maka dia akan me-

nyesal seumur-umur

Di lain pihak, Ratu Pemikat memang akan


mengatakan terus terang siapa adanya orang yang 

diberi. karena dia tahu, Dewa Orok atau Cucu 

Dewa tak mungkin sanggup mengambil dot itu. 

Seperti diketahui, dot itu telah diberikan pada Ma-

laikat Penggali Kubur.

Ratu Pemikat alihkan pandangannya lalu ber-

kata menjawab. "Dotmu telah kuberikan pada Ma-

laikat Penggali Kubur!"

Dewa Orok rasakan tengkuknya merinding. 

Pemuda bertangan buntung ini cepat arahkan 

pandangannya pada Malaikat Penggali Kubur yang 

kini telah tegak di hamparan pasir di depan ke-

dung.

"Celaka kalau ucapan perempuan cantik ini be-

tul! Bagaimana aku bisa mengambil dari tangan 

pemuda itu?! Bagaimana kalau pemuda itu telah 

melumat lalu membuangnya? Jelek benar nasib-

ku...." Dewa Orok mengeluh dalam hati. Namun 

pemuda bertangan buntung ini tidak begitu saja 

percaya.

"Kau tidak berdusta...?!"

"Apa untungnya berdusta kalau hanya urusan 

dot butut begitu?!"

"Hem.... Baik. Aku ingin tahu kebenaran uca-

panmu!" kata Dewa Orok lalu sambil tersenyum-

senyum pemuda ini pandangi sekujur tubuh Ratu 

Pemikat berlama-lama hingga Ratu Pemikat mera-

sa jengah. Apalagi mata Dewa Orok akhirnya ter-

henti pada dadanya!

"Apa yang hendak kau lakukan?!" sentak Ratu 

Pemikat.

"Kau harus mengambilnya dari tangan Malaikat 

Penggali Kubur sekarang juga!" kata Dewa Orok 

masih dengan menatap dada Ratu Pemikat. "Jika 

tidak, kau punya dot bukan?!"

Dahi Ratu Pemikat berkerut. "Apa maksud


mu...?!"

"Kalau kau tidak berhasil mengambil kembali 

dotku, atau kau berani mendustaiku, terpaksa 

aku minta ganti rugi kedua dotmu!"

"Aku tak punya dot! Dan aku tidak berkata 

dusta!"

"Kau punya dot! Dan mungkin itu lebih nikmat 

rasanya! Hik.... Hik.... Hik...! Karena kau punya 

dua, aku tidak akan repot-repot lagi kalau satunya 

diambil orang!"

"Keparat!" maki Ratu Pemikat sambil sedikit li-

pat tubuh atasnya seakan hendak tutupi dadanya 

yang membusung kencang.

"Bagaimana Ratu?! Kau berjanji mau ambilkan 

dotku, atau kau ganti saja dengan kedua dotmu?! 

Hik.... Hik.... Hik...!"

Tampang Ratu Pemikat merah padam. Pilihan 

yang ditawarkan Dewa Orak adalah satu hal yang 

tak mungkin bisa dilakukannya. Karena dia mak-

lum kalau Malaikat Penggali Kubur tidak akan 

memberikan kembali dot itu. Namun kalau dia ti-

dak berhasil mengambil dot itu. ancaman Dewa 

Orok mungkin tidak main-main. Berpikir sampai 

ke situ, Ratu Pemikat tampak menggigil.

Rupanya Dewa Orok dapat menangkap apa 

yang terpikir dalam benak Ratu Pemikat.

"Ratu.... Kau tahu bagaimana cara memberi-

kan, pasti kau juga tahu bagaimana cara men-

gambil kembali....'

"Itu dua hal yang berbeda!" sahut Ratu Pemi-

kat.

"Ah.... Betul! Tapi itu urusanmu! Atau kau lebih 

suka memberikan kedua dotmu?!"

Karena merasa tidak berdaya, dan menduga 

masih punya kesempatan seandainya dirinya di-

bebaskan, Ratu Pemikat segera angkat bicara.


"Baik! Aku akan ambilkan dotmu! Tapi le-

paskan dahulu ikatan jahanam ini!"

Dewa Orok gelengkan kepala. "Kau dan aku 

punya urusan dot! Sedangkan urusan ikat mengi-

kat ini adalah urusanmu dengan orang itu!" Dewa 

Orok arahkan pandangannya pada Cucu Dewa. 

"Silakan kau berurusan dengannya!"

Habis berkata begitu, Dewa Orok bangkit lalu 

melangkah ke arah Cucu Dewa yang sedang du-

duk di atas batu paling depan dari kawasan berba-

tu sebelah kanan kedung yang menghadap ham-

paran pasir.

Dewa Orok hampiri Cucu Dewa lalu duduk ber-

dampingan. Saat itulah Cucu Dewa buka mulut. 

"Ratu.... Kau hendak berurusan denganku. Men-

gapa masih diam di situ?!"

Ratu Pemikat memaki dalam hati lalu perlahan-

lahan bangkit dan melangkah ke tempat Dewa 

Orok dan Cucu Dewa duduk berdampingan.

"Kuharap kau duduk di depanku...," ujar Cucu 

Dewa. 'Duduk bersimpuh dan menghadap ke de-

pan sana...." Cucu Dewa lanjutkan ucapannya be-

gitu Ratu Pemikat tegak di belakangnya.

Sejenak Ratu Pemikat pandangi punggung ke-

dua orang di hadapannya dengan mata terpentang 

besar. Sekilas terbersit dalam hati untuk menen-

dang Cucu Dewa dari belakang. Namun begitu ka-

ki kanannya terangkat, Cucu Dewa telah buka 

mulut.

"Jangan terlalu memaksakan diri, Ratu.... Uru-

san kita hanya urusan sepele. .. Tidak pantas ka-

lau harus ditebus dengan darah..."

Ratu Pemikat urungkan gerakan kakinya. Lalu 

perlahan-lahan melangkah ke hadapan Dewa Orok 

dan Cucu Dewa. Dengan tampang merah padam 

dan pucat, perempuan bertubuh bahenol itu duduk bersimpuh di bawah Dewa Orok dan Cucu 

Dewa menghadap hamparan pasir. Saat itulah 

kemudian Cucu Dewa berteriak hingga semua 

orang yang berada di tengah hamparan pasir ber-

paling, kecuali Iblis Rangkap Jiwa yang pejamkan 

mata karena berusaha buyarkan totokan yang 

bersarang di tubuhnya.

*

* *

TUJUH



“CUCU Pangeran!" teriak Dewa Orok pada Ma-

laikat Penggali Kubur. Karena urusanku sepele, 

aku sungkan mengatakannya dengan berteriak. 

Jadi biarlah gadisku ini saja yang mengatakannya 

padamu!" Habis berkata begitu, Dewa Orok berka-

ta pada Ratu Pemikat. "Ratu.... Katakan padanya 

apa yang kuinginkan! Jangan keras-keras kalau 

bicara! Jadi mendekatlah ke sana!"

Ratu Pemikat merasa lega, karena dengan 

mendekat ke Malaikat Penggali Kubur setidaknya 

kesempatan untuk bisa lepas dari cengkeraman 

dan ancaman Dewa Orok lebih besar. Namun pe-

rasaan lega Ratu Pemikat jadi pupus tatkala begi-

tu dia beranjak bangkit, Cucu Dewa telah berujar.

"Ratu.... Ini adalah kesempatan baik bagimu!

Harap jangan kau balas kebaikan ini dengan tipu 

muslihat! Kalaupun kau berbuat curang, kau tak 

akan bisa berbuat banyak! Setinggi apa pun ilmu 

pemuda di depan sana itu, tapi aku masih sangsi 

apakah ia mampu melepas ikatan pada kedua 

tanganmu!"

Ratu Pemikat kerutkan dahi. Apa yang baru sa-

ja dikatakan Cucu Dewa memang benar jadi kenyataan. Tapi setidaknya dia sudah bisa meraba-

raba. Karena sebenarnya dia tadi sudah kerahkan 

tenaga dalam untuk lepaskan ikatan pada kedua 

tangannya. Kalau hanya ikatan biasa, sekali sen-

tak tentu sudah lepas bahkan kain pengikatnya 

akan putus.

Namun yang dirasakannya tadi adalah aneh. 

Semakin dia kerahkan tenaga dalam untuk mele-

pas ikatan, ikatan pada kedua tangannya semakin 

kencang!

"Ratu... Harap kau segera menghadap pemuda 

itu. Kulihat dia menunggu!" ujar Dewa Orok tatka-

la dilihatnya Ratu Pemikat belum mulai melang-

kah.

Ratu Pemikat sentakkan kaki kanannya lalu 

melangkah ke arah Malaikat Penggali Kubur. Begi-

tu lima langkah di hadapan si pemuda, Ratu Pe-

mikat hentikan langkah. Tapi belum sampai pe-

rempuan ini buka mulut, tiba-tiba Raden Mas An-

tar Bumi sudah angkat bicara.

"Celanaku.... Celanaku! Aduh, permainan apa 

yang diperlihatkan temannya Teman Lama kita 

itu?!" Tanpa menunggu sahutan, orang ini lantas 

arahkan pandangannya pada Dewa Orok. "Hai, 

Teman Lama! Apa yang diperbuat temanmu itu?! 

Bagaimana kalau celanaku rusak?"

"Teman Lama!" sahut Dewa Orok, "Apa yang di-

perbuat temanku ini hanyalah satu permainan ta-

li-temali! Kau tak usah khawatir. Celanamu tidak 

akan rusak!"

Raden Mas Antar Bumi menoleh pada Raden 

Mas Antar Langit yang masih sama-sama mem-

buat sikap merangkak. "Kau bisa jamin kalau ce-

lanaku tidak rusak?!"

"Jangan kau pikirkan celana butut bau itu! In-

gat. nyawa kita berdua di ujung kepala! Ayo kita


maju!"

Kedua orang berwajah hitam akhirnya bergerak 

kembali merangkak ke arah Malaikat Penggali Ku-

bur. Namun Malaikat Penggali Kubur segera mem-

bentak.

"Diam di tempat kalian dahulu!"

Kedua orang berwajah hitam sama hentikan 

rangkakannya. Saling pandang sejenak lalu ham-

pir bersamaan keduanya angkat tubuh atas mas-

ing-masing lalu duduk bersila sejarak dua belas 

langkah dari Malaikat Penggali Kubur.

Tidak jauh dari kedua orang berwajah hitam, 

murid Pendeta Sinting berpaling pada Putri Sab-

leng yang masih tegak sendirian di kawasan ber-

batu sebelah kiri kedung. "Sulit menduga apa 

maksud sebenarnya gadis sableng itu! Hem.... Se-

benarnya dia gadis cantik. Dan terus terang aku 

selalu teringat padanya! Hanya sikapnya terlalu 

usil malah terkadang menjengkelkan! Hem...."

Sementara merasa dirinya dipandang murid 

Pendeta Sinting, Putri Sableng angkat kedua tan-

gannya lalu diletakkan di pinggang kiri kanan. Se-

pasang matanya menyorot tajam balas meman-

dang. Namun saat lain tiba-tiba gadis berjubah 

merah ini tertawa cekikikan! Membuat Joko segera 

palingkan kepala. Suara tawa cekikikan membuat 

kedua orang berwajah hitam segera menoleh pada 

Putri Sableng. Salah seorang dari keduanya tam-

pak buka mulut, namun suaranya sudah terbe-

nam dalam suara Malaikat Penggali Kubur yang 

saat itu tiba-tiba sudah membentak.

"Perempuan binal! Kau bukan saja telah meni-

puku, tapi juga membuatku malu!"

"Jangan salah sangka. Aku tidak menipu! 

Hanya dugaanku salah...."

Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh lalu


melangkah mendekati Ratu Pemikat. Tengkuk pe-

rempuan ini sudah dingin. Kedua lutut kakinya 

tampak bergetar.

"Kalau dugaanmu salah, lalu apa, hah?!"

"Hem.... Ternyata perempuan itu memang kaki 

tangannya Malaikat Penggali Kubur. Dan mungkin 

dia yang mengatur pertemuan ini! Tapi apa mak-

sudnya...?!" Murid Pendeta Sinting diam-diam 

membatin.

"Aku tanya! Setelah dugaanmu salah, lalu apa, 

hah?!" Malaikat Penggali Kubur membentak lagi. 

Tangan kanannya sudah terangkat mengepal. 

Tanda kalau pemuda ini siap lepaskan pukulan 

Telaga Surya'.

Ratu Pemikat rasakan nyawanya sudah putus. 

Dia cepat jatuhkan diri. Lalu berkata. "Aku sudah 

berusaha, tapi aku gagal! Kini dia inginkan kem-

bali dotnya yang pernah kuberikan padamu...."

Malaikat Penggali Kubur selinapkan tangan ki-

rinya ke balik jubah putih yang dikenakan. Lalu 

ditarik lagi dengan telapak mengepal seolah di da-

lam kepalan tangannya berisi sesuatu.

Tangan kiri yang mengelap diangsurkan ke de-

pan membuat gerakan seperti orang memberi. Ra-

tu Pemikat angkat kepalanya dengan bibir terse-

nyum. Namun senyum Ratu Pemikat terputus. 

Bersamaan dengan bergeraknya tangan kiri ke de-

pan, tangan kanan yang berada di atas udara ber-

gerak memukul! Wuuttt!

Satu cahaya terang berkiblat sekejap. Lalu satu 

sapuan gelombang melanda ganas ke arah Ratu 

Pemikat. Malaikat Penggali Kubur benar-benar te-

lah lepas pukulan sakti Telaga Surya'.

Dalam keadaan biasa saja mungkin Ratu Pemi-

kat sudah tidak mampu menghadapi sapuan ge-

lombang yang kini melandanya walau dia meng


hadang pukulan orang dengan pukulan andalan-

nya 'Hamparan Langit'. Apalagi kini pukulan orang 

itu menyapunya sementara dia dalam keadaan te-

rikat dan tenaga dalamnya sudah terkuras saat 

menghadapi Cucu Dewa. Hingga yang dapat dila-

kukan perempuan cantik bertubuh sintal ini pen-

tangkan mata menjemput ajal!

Semua orang di sekitar kedung tampak sama 

kancingkan mulut dengan mata membelalak. Me-

reka sama sekali tidak menduga apa yang akan di-

lakukan Malaikat Penggali Kubur.

Namun tiba-tiba kedua orang berwajah hitam 

membuat gerakan. Bersamaan waktunya, murid 

Pendeta Sinting juga gerakkan kedua tangannya.

Begitu sejengkal lagi sosok Ratu Pemikat tersa-

pu gelombang yang datang dari kepalan tangan 

Malaikat Penggali Kubur, mendadak satu sinar 

kuning menyambar. Saat yang sama, dua gelom-

bang dahsyat juga menyambar dari arah depan 

Malaikat Penggali Kubur. Sinar kuning bergerak 

menyapu ke arah pukulan 'Telaga Surya' yang di-

lepaskan Malaikat Penggali Kubur, sementara dua 

gelombang yang datang bersamaan langsung me-

nyapu ke arah sosok Malaikat Penggali Kubur dan 

satunya ke arah Ratu Pemikat.

Bummm!

Wuusss! Wuuuss!

Terdengar ledakan tatkala pukulan 'Telaga 

Surya' Malaikat Penggali Kubur terpangkas sinar 

kuning. Saat bersamaan Malaikat Penggali Kubur 

cepat melompat ke samping kanan selamatkan diri 

dari gelombang yang menggebrak.

Di depan sana, sosok Ratu Pemikat mencelat 

mental lalu terkapar di atas pasir karena terhan-

tam bias bentroknya pukulan dan tersambar ge-

lombang yang rupanya sengaja diarahkan tidak


mengenai tubuhnya. Meski Ratu Pemikat selamat, 

namun karena dia sudah terluka dalam dan waktu 

terjadinya bentrok pukulan dia sama sekali tidak 

kerahkan tenaga dalam untuk lindungi diri, maka 

menghantamnya bias pukulan membuat Ratu Pe-

mikat muntahkan darah segar.

Kepala Malaikat Penggali Kubur laksana disen-

tak setan berpaling ke depan. Dia tampaknya su-

dah tahu siapa saja yang baru memangkas puku-

lan dan menghantam tubuhnya. Bersamaan den-

gan bergeraknya kepala si pemuda, Raden Mas 

Antar Bumi berkelebat. Bukan ke arah Malaikat 

Penggali Kubur, melainkan ke arah Ratu Pemikat.

"Maaf...," ujar Raden Mas Antar Bumi pada Ma-

laikat Penggali Kubur meski saat itu Malaikat 

Penggali Kubur tidak mengacuhkannya. Si pemu-

da tengah memandang ke arah murid Pendeta 

Sinting! Namun Raden Mas Antar Bumi lanjutkan 

ucapannya.

"Cucu Pangeran!" kata Raden Mas Antar Bumi 

ikut-ikutan memanggil seperti Cucu Dewa. "Kau 

tadi telah melihat aku hendak lakukan apa yang 

kau ucapkan. Kalau aku tiba-tiba lancang tangan 

tadi, semata-mata karena aku tak mau celanaku 

ikut rusak! Aku tahu, pukulanmu hebat...." Lalu 

enak saja orang ini lepas ikatan pada kedua tan-

gan Ratu Pemikat yang saat itu terkapar di atas 

pasir dengan mulut kucurkan darah.

Namun rupanya Raden Mas Antar Bumi gagal 

lepaskan ikatan celananya pada kedua tangan Ra-

tu Pemikat. Hingga dia cepat menoleh pada Dewa 

Orok dan Cucu Dewa.

"Hai...! Salah satu kalian yang mengikat. Kuha-

rap salah satu dari kalian mau lepaskan ikatan 

ini!"

Cucu Dewa gerakkan kedua tangannya. Lalu


lepas ikatan pada ujung bajunya yang ternyata ti-

dak terikat satu sama lain. Begitu ikatan pada 

ujung bajunya lepas, secara aneh tiba-tiba ikatan 

celana pada kedua tangan Ratu Pemikat mengen-

dur.

Raden Mas Antar Bumi tak menunggu. Dia ce-

pat buka ikatan celana hitamnya pada kedua tan-

gan Ratu Pemikat. Dia sejenak tampak bimbang. 

"Apa harus kukenakan di sini...?!" Tapi orang ini 

tidak bisa berpikir panjang. Karena dilihatnya Ma-

laikat Penggali Kubur sudah angkat kedua tan-

gannya. Hingga celana hitamnya segera dikalung-

kan pada lehernya lalu dia melompat dan duduk 

di samping Raden Mas Antar Langit.

Saat itulah, Malaikat Penggali Kubur sentakkan 

kedua tangannya yang mengepal ke arah Pendekar 

131!

Wuutt! Wuuutt!

Dua cahaya terang berkiblat sekejap. Lalu dua 

gelombang dahsyat melabrak. Tidak hanya sampai 

di situ. Begitu lepas pukulan 'Telaga Surya' ke 

arah murid Pendeta Sinting, Malaikat Penggali 

Kubur kembali angkat kedua tangannya lalu serta-

merta melabrak kedua orang berwajah hitam den-

gan pukulan 'Telaga Surya'!

Kedua orang berwajah hitam terkesiap. Kedua-

nya cepat berseru lalu rebahkan tubuh masing-

masing sejajar pasir. Tangan masing-masing orang 

bergerak mendorong.

Di sebelah samping, murid Pendeta Sinting tak 

mau berlaku ayal. Sapuan gelombang yang men-

cuat dari kepalan kedua tangan Malaikat Penggali 

Kubur bukan lagi seperti sapuan gelombang yang 

melesat dari tangan Malaikat Penggali Kubur bebe-

rapa waktu yang lalu meski pukulan yang dilepas 

tidak beda.


Pendekar 131 segera sentakkan kedua tangan-

nya kirimkan pukulan 'Lembur Kuning'. Sementa-

ra dari tangan masing-masing orang berwajah hi-

tam tampak menderu sapuan angin deras menyu-

sur pasir menyongsong sapuan gelombang dari 

kedua tangan Malaikat Penggali Kubur.

Di atas hamparan pasir depan kedung tampak 

beberapa gelombang saling melesat. Lalu tampak 

semburatan sinar kuning. Saat lain terdengar den-

tuman tiga kali berturut-turut.

Air kedung bergelombang. Pada salah satu bibir 

kedung tanahnya tampak langsung longsor. Ham-

paran pasir di depan kedung pekat tertutup ham-

buran pasir.

Sosok murid Pendeta Sinting terseret empat 

langkah. Wajahnya langsung berubah pucat. Tu-

buhnya bergetar. Kedua orang berwajah hitam 

bergulingan di atas pasir lalu sama telentang den-

gan napas megap-megap. Di sebelah depan, sosok 

Malaikat Penggali Kubur terhuyung namun pemu-

da ini cepat dapat kuasai diri.

Malaikat Penggali Kubur tegak dengan seringai 

dingin. Memandang satu persatu pada murid Pen-

deta Sinting dan dua orang berwajah hitam. Men-

dadak pemuda ini perdengarkan tawa bergelak, la-

lu berucap lantang.

"Pendekar 131! Purnama ini akan jadi saksi 

bahwa Malaikat Penggali Kubur layak jadi raja di 

raja rimba persilatan! Tapi aku adalah raja rimba 

persilatan yang masih bisa diajak berdamai! Nya-

wamu kuampuni!" Malaikat Penggali Kubur henti-

kan ucapannya sejenak sebelum akhirnya melan-

jutkan. "Tapi serahkan dahulu kedua kitab dan 

pedang bututmu!"

Pendekar 131 tertawa pendek. "Purnama Ke-

dung Ombo juga akan jadi saksi, bahwa kau


hanya seorang pemimpi besar! Kusarankan pada-

mu, letakkan Kitab Hitam yang ada di balik pa-

kaianmu! Lalu kau boleh pergi!"

Malaikat Penggali Kubur perkeras gelakan ta-

wanya. "Ternyata kau manusia serakah! Dua kitab 

sudah di tangan tapi masih inginkan kitab di tan-

gan orang lain! Aku telah tawarkan pengampunan 

nyawamu. Tapi manusia serakah sepertimu me-

mang tidak pantas dapat ampunan! Pengampunan 

kuubah jadi perintah sesuai titah dari liang lahat!" 

kembali Malaikat Penggali Kubur hentikan uca-

pannya. Memandang tajam pada murid Pendeta 

Sinting lalu lanjutkan ucapan. "Sesuai perintah 

dari Liang lahat, sebenarnya tanganku tidak sulit 

mencabut selembar nyawamu, tapi aku ingin kau 

cabut nyawamu dengan tanganmu sendiri! Laku-

kan!!"

"Kau telah memaklumkan sebagai raja di raja 

rimba persilatan. Adalah hal aneh kalau kau takut 

cabut nyawaku! Aku khawatir kalau ucapanmu 

hanya karena untuk menutupi ketakutanmu!"

"Kitab Hitam adalah kitab di atas segala kitab! 

Bagi Malaikat Penggali Kubur, tidak ada yang per-

lu ditakutkan! Tanganku punya kekuatan!"

"Aku ingin tahu sampai di mana kekuatan tan-

ganmu!"

Malaikat Penggali Kubur katupkan rahang. Ka-

ki kanannya bergerak menghentak. Bersamaan itu 

dari mulutnya terdengar bentakan keras. Sosok-

nya melesat ke depan. Sejarak lima langkah dari 

murid Pendeta Sinting, dia lepaskan pukulan 

'Telaga Surya'. Begitu kedua tangannya luruh, 

tangan kirinya segera mengusap perutnya di mana 

tersimpan Kitab Hitam.

Semua orang yang ada di Kedung Ombo seakan 

terkesima dengan apa yang dilakukan Malaikat


Penggali Kubur, hingga tak ada satu pun yang 

membuat gerakan. Mereka semua hanya meman-

dang dengan mulut terkancing. Sementara dari 

kedua tangan Malaikat Penggali Kubur telah men-

deru gelombang angin dahsyat begitu dua cahaya 

terang yang sekejap berkiblat telah lenyap. Belum 

sampai gelombang menyapu sasaran, terdengar 

suara deruan perlahan. Anehnya gelombang yang 

melesat pertama laksana didorong kekuatan luar 

biasa dahsyat, hingga daya lesatnya dua kali lipat!

Pendekar 131 yang sedari tadi sudah siapkan 

pukulan segera lepaskan 'Lembur Kuning'. Sadar 

kalau gelombang yang menyapu ke arahnya bukan 

hanya satu tenaga dalam, murid Pendeta Sinting 

cepat mundur dua langkah lalu kembali sentak-

kan kedua tangannya lepaskan lagi pukulan sakti 

'Lembur Kuning'.

Gelombang yang menyapu dari tangan Malaikat 

Penggali Kubur semburat bertaburan ke udara. 

Namun mendadak sinar kuning yang tadi mencuat 

dari kedua tangan murid Pendeta Sinting laksana 

dihantam kekuatan dahsyat, padahal tidak ada ge-

lombang yang menyapu dan tidak ada sinar yang 

terlihat!

Sinar kuning pukulan 'Lembur Kuning' melesat 

balik ke arah Pendekar 131 disertai sapuan dah-

syat yang tidak terlihat.

Sosok murid Pendeta Sinting tampak tergontai-

gontai. Saat lain tubuhnya mental satu tombak 

dan jatuh terduduk di hamparan pasir dengan da-

da laksana pecah dan perut seperti dibuncah.

Malaikat Penggali Kubur melompat lalu tegak 

sepuluh langkah di hadapan Pendekar 131 dengan 

mulut gemborkan tawa terbahak.

"Kau tolol kalau melihat siapa yang kau hadapi 

saat ini masih sama dengan orang yang kau hadapi di Pulau Biru! Ha.... Ha.... Ha...! Pengampunan 

nyawamu telah habis waktunya! Saat ini tiba wak-

tunya nyawamu melayang!"

Seakan tidak sabar, saat itu juga tangan kanan 

Malaikat Penggali Kubur usap-usap perutnya. Mu-

lutnya masih perdengarkan tawa bergelak.

Terdengar lagi suara deruan pelan tanpa terli-

hatnya gelombang yang menyapu begitu tangan 

kanan Malaikat Penggali Kubur usap perutnya.

Karena tak ada waktu untuk bangkit berdiri, 

murid Pendeta Sinting cepat dorong tangan ki-

rinya. Sementara tangan kanannya disentakkan.

Dari tangan kiri murid Pendeta Sinting melesat 

serat-serat biru terang laksana benang, sedang da-

ri tangan kanannya mencuat sinar kuning mem-

bawa hawa panas.

Melihat dua pukulan sekaligus dilepas murid 

Pendeta Sinting, Malaikat Penggali Kubur makin 

keraskan gemboran tawanya. Dia memandang 

dengan senyum aneh.

Blammm! Blammm!

Serat-serat biru dan sinar kuning pecah ber-

keping-keping muncratkan pijaran api lalu jatuh 

dan padam di atas pasir. Murid Pendeta Sinting 

merasakan tubuhnya disentak kekuatan dahsyat. 

Hingga meski dia kerahkan tenaga dalam, tak 

urung tubuhnya tersapu lalu jatuh terkapar den-

gan hidung dan mulut kucurkan darah!

Di seberang, Malaikat Penggali Kubur ter-

huyung-huyung tapi dia cepat melompat lalu tegak 

dengan kedua kaki terpacak di atas pasir. Wajah-

nya berubah mengelam, tapi dia tidak mengalami 

cedera.

"Pendekar 131! Kitab di tanganmu sudah 

usang! Percuma kau perlihatkan di hadapan Ma-

laikat Penggali Kubur!"


Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur 

melompat ke depan. Sadar bahaya mengancam, 

murid Pendeta Sinting cepat kerahkan tenaga da-

lam pada tangan kiri kanan. Lalu bergulingan tiga 

kali. Pada gulingan keempat, tubuhnya serentak 

bangkit. Serta-merta kedua tangannya disentak-

kan ke depan. Tangan kiri mendorong dengan te-

lapak terbuka, tangan kanan mendorong dengan 

tiga jari tegak sementara jari kelingking dan ibu 

jari menekuk bertemu.

Dari tangan kiri mencuat serat-serat biru te-

rang, sedang dari tangan kanan melesat cahaya 

kuning membentuk tiga larikan mirip jari tangan 

kanan murid Pendeta Sinting yang tadi mendo-

rong. Saat itu juga terdengar suara gemuruh dah-

syat. Gelombang angin menderu angker. Pendekar 

131 telah lepas pukulan 'Serat Biru' serta 'Sundrik 

Cakra'!

Malaikat Penggali Kubur hadapi pukulan lawan 

dengan senyuman aneh. Kejap lain kedua tangan-

nya bergerak mengusap-usap perutnya berulang 

kali.

Terdengar deruan pelan susul menyusul. Tapi 

lagi-lagi hanya terdengar deruan tanpa terlihat ge-

lombang atau cahaya.

Tiba-tiba dari arah sebelah kiri kedung di mana 

Putri Sableng tegak terdengar teriakan keras. "Hai 

tua-tua bangka berwajah hitam! Mengapa kalian 

diam saja?!" Bersamaan terdengarnya teriakan, sa-

tu gelombang dahsyat melesat dari samping kanan 

kedung melintasi hamparan pasir.

Dua orang berwajah hitam saling pandang seje-

nak, lalu hampir berbarengan mereka sentakkan 

tangan masing-masing.

Dari kedua tangan Raden Mas Antar Bumi yang 

kini berkalung celana hitam tampak melesat sinar


kuning perdengarkan suara gemuruh dahsyat 

dengan membawa gelombang hawa panas. Semen-

tara dari tangan Raden Mas Antar Langit melesat 

dua bola asap sebesar roda kereta keluarkan sua-

ra berderak-derak laksana roda kereta yang mela-

ju di atas pasir.

*

* *

DELAPAN



CAHAYA bulan purnama sejenak tampak tertu-

tup oleh kilatan warna kuning dan biru. Lalu tam-

pak beberapa sapuan gelombang menuju ke satu 

titik arah tidak jauh di depan Malaikat Penggali 

Kubur.

Tiba-tiba satu ledakan laksana hendak merobek 

langit mengguncang Kedung Ombo tatkala bebera-

pa sapuan gelombang dan beberapa sinar yang te-

raliri tenaga dalam sangat tinggi itu bentrok den-

gan kekuatan tidak terlihat yang menyambar ke-

luar susul menyusul dari usapan tangan Malaikat 

Penggali Kubur pada Kitab Hitam di balik pa-

kaiannya.

Tubuh Pendekar 131 terpelanting lalu roboh se-

telah menghantam satu batu cadas putih. Darah 

makin banyak mengucur dari mulut dan hidung-

nya. Pakaiannya tampak hangus di beberapa tem-

pat. Di sebelah kiri kedung, sosok Putri Sableng 

terhantar di atas pasir. Mulut gadis ini tampak 

bergerak-gerak dan semburkan darah.

Dua orang berwajah hitam tersapu deras. Ra-

den Mas Antar Bumi jatuh berlutut setelah meng-

hantam julangan batu cadas dua langkah di 

samping Ni Luh Padmi yang masih tertotok tidak

bisa bergerak. Sedang Raden Mas Antar Langit 

tumbang membentur sosok Iblis Rangkap Jiwa. 

Orang ini mengaduh sebentar. Lalu angkat kepa-

lanya. Saat itulah dari mulutnya jatuh dua benda 

hitam. Raden Mas Antar Langit mengambil benda 

yang baru jatuh dari mulutnya. Mengawasinya se-

bentar dengan meringis kesakitan. Ternyata benda 

hitam itu adalah dua kayu agak bengkok yang 

tengahnya dilobangi memanjang.

"Uh.... Tak bisa dipakai lagi!" gumam Raden 

Mas Antar Langit lalu campakkan dua kayu hitam 

berlobang memanjang. Dia lantas memandang Ib-

lis Rangkap Jiwa dengan kepala didongakkan. 

Meski mulutnya tidak perdengarkan suara, aneh-

nya Raden Mas Antar Langit tidak tutup mulutnya 

yang terbuka menganga! Dan kini tampak jelas ka-

lau orang ini tidak punya gigi alias ompong!

Sementara di seberang depan, dipangkas dari 

tiga jurusan membuat sosok Malaikat Penggali 

Kubur langsung terjengkang roboh di atas pasir 

dengan mulut keluarkan darah. Untuk beberapa 

saat pemuda pemilik Kitab Hitam ini tidak berge-

rak-gerak.

Hal ini tampaknya tidak luput dari pandangan 

Ratu Pemikat yang sedari tadi coba himpun tenaga 

dalamnya. Perempuan ini sekilas lirikkan matanya 

berkeliling. Lalu tanpa diduga sama sekali, sosok-

nya bergerak bangkit lalu menghambur ke arah 

terjengkangnya Malaikat Penggali Kubur. Perem-

puan ini tampaknya sudah memperhitungkan se-

gala sesuatunya. Hingga begitu sosoknya tepat de-

kat dengan sosok Malaikat Penggali Kubur, kedua 

tangannya bergerak ke arah perut si pemuda.

Malaikat Penggali Kubur yang tengah himpun 

tenaga dalamnya tersentak kaget. Namun sudah 

terlambat baginya selamatkan Kitab Hitam yang


kini hendak disambar tangan Ratu Pemikat. Saat 

itulah tiba-tiba satu bayangan hitam melesat. Satu 

tendangan menyapu ke arah Ratu Pemikat.

Ratu Pemikat menjerit. Tubuhnya mencelat ke 

udara dengan darah tampak mengucur deras. Saat 

lain laksana direnggut setan, jeritan Ratu Pemikat 

terputus. Sosok perempuan ini langsung menukik 

dan amblas masuk ke dalam kedung.

Byurrr!

Gelombang air kedung yang masih bergolak 

tampak berubah warna merah. Kejap lain sosok 

Ratu Pemikat telah telentang mengambang di ke-

dung dengan leher patah!

Tendangan orang ke leher Ratu Pemikat mem-

buka kesempatan bagi Malaikat Penggali Kubur 

untuk bergerak. Dia dapat menangkap kalau 

orang yang baru saja menghantam Ratu Pemikat

bukan untuk menyelamatkannya, melainkan 

punya maksud sama dengan si perempuan. Kare-

na bersamaan dengan terlemparnya tubuh Ratu 

Pemikat, tangan kiri kanan orang ini berkelebat 

cepat ke arah perut Malaikat Penggali Kubur.

Malaikat Penggali Kubur tidak mau berlaku ay-

al. Dia cepat gulingkan tubuhnya. Lalu kedua tan-

gannya serta-merta dipukulkan guna lepaskan 

pukulan sakti Telaga Surya'.

Namun orang yang baru saja menendang Ratu 

Pemikat seakan tidak peduli dengan pukulan yang 

kini mengarah padanya. Dia tidak membuat gera-

kan untuk menangkis atau balik memukul. Seba-

liknya dia mengejar sosok Malaikat Penggali Kubur 

dengan kedua tangan berkelebat ke arah perut. 

Dia sudah tahu kalau Kitab Hitam tersimpan di 

balik pakaian Malaikat Penggali Kubur.

Brettt!

Pakaian hitam di balik jubah putih Malaikat


Penggali Kubur robek menganga. Namun orang 

yang telah berhasil merobek pakaian hitam Malai-

kat Penggali Kubur tidak dapat lanjutkan ambil 

Kitab Hitam yang kini sudah terlihat, karena saat 

itu juga tubuhnya tersapu pukulan Telaga Surya' 

Malaikat Penggali Kubur.

Malaikat Penggali Kubur cepat bangkit. Me-

mandang ke depan, pemuda ini tersentak. Sejarak 

delapan langkah dari tempatnya tegak, satu sosok 

yang baru saja mencelat terkena pukulannya tiba-

tiba bangkit tanpa menderita cedera sama sekali! 

Malah orang ini kacak pinggang dan mengumbar 

tawa bergelak!

"Bangsat jahanam! Seharusnya kau sudah ku-

bunuh waktu di bukit itu!" bentak Malaikat Peng-

gali Kubur dengan suara bergetar dan rahang 

mengembang.

"Kau memang terlalu bodoh membiarkan aku 

hidup! Tapi kau sudah terlambat! Dan aku tidak 

akan berbuat bodoh sepertimu!" sahut orang di 

hadapan Malaikat Penggali Kubur yang ternyata 

adalah Iblis Rangkap

Jiwa.

Sebenarnya Iblis Rangkap Jiwa sudah bisa be-

baskan diri dari totokan murid Pendeta Sinting 

begitu Malaikat Penggali Kubur lancarkan seran-

gan pada Pendekar 131. Namun laki-laki berkepa-

la gundul ini menunggu saat yang tepat dan pura-

pura masih tertotok. Begitu Malaikat Penggali Ku-

bur terjengkang dan Raden Mas Antar Langit me-

nubruk tubuhnya yang bersandar di lamping batu 

cadas putih, Iblis Rangkap Jiwa buka kelopak ma-

tanya. Dia pikir inilah saat yang ditunggu, karena 

bagaimanapun juga Malaikat Penggali Kubur akan 

mengalami cedera karena dihantam dari tiga juru-

san.


Raden Mas Antar Langit sejurus tampak terke-

siap melihat kelopak mata Iblis Rangkap Jiwa 

membelalak. Belum sampai orang ini bergerak, Ib-

lis Rangkap Jiwa telah gerakkan tangan kanan-

nya.

Plakkk!

Sosok Raden Mas Antar Langit terpelanting dan 

kembali jatuh menyusur pasir. Saat lain Iblis 

Rangkap Jiwa berkelebat. Tapi gerakannya dida-

hului Ratu Pemikat. Iblis Rangkap Jiwa tak mau 

didahului orang. Dia teruskan kelebatannya lalu 

begitu tangan kiri kanan Ratu Pemikat bergerak ke 

arah perut Malaikat Penggali Kubur, Iblis Rangkap 

Jiwa sapukan kaki kanannya ke arah Ratu Pemi-

kat.

Malaikat Penggali Kubur tertawa pendek men-

dengar ucapan Iblis Rangkap Jiwa.

"Iblis Rangkap Jiwa! Kau adalah sahabatku.... 

Aku telah janjikan tempat enak buatmu saat ma-

tahari terbit esok hari! Lagi pula tak ada gunanya 

kau berkhianat padaku! Kau telah alami sendiri 

bagaimana rasanya menghadapiku!"

Iblis Rangkap Jiwa ganti tertawa pendek. "Aku 

bukan manusia yang bisa kau tidurkan dengan 

ucapan-ucapan usang itu! Kau telah terluka, Ja-

hanam' Dan tiba saatnya kau serahkan kitab itu 

padaku!"

"Kitab ini akan kuserahkan padamu...! Tapi se-

rahkan dulu nyawamu!"

Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur 

berkelebat ke depan. Rupanya Malaikat Penggali 

Kubur sadar siapa adanya orang yang dihadapi. 

Hingga pemuda ini sengaja tidak lepaskan puku-

lan dari jarak jauh. Tangan kiri kanannya baru 

bergerak mengusap perutnya tatkala dia berada 

lima langkah dari Iblis Rangkap Jiwa.


Di lain pihak, Iblis Rangkap Jiwa sendiri mak-

lum akan kehebatan kitab di balik pakaian Malai-

kat Penggali Kubur, hingga meski dia tidak mem-

pan terhadap pukulan namun dia tidak mau ber-

tindak ceroboh. Karena walau dia tidak mempan 

pukulan tapi kalau terus-terusan dihajar, tak 

urung juga tenaga luarnya akan habis. Padahal 

kekuatan dalam dirinya tidak akan dapat tersalur 

tanpa adanya tenaga luar.

Memikir sampai di situ, begitu terdengar suara 

deruan, Iblis Rangkap Jiwa segera angkat kedua 

tangannya. Lalu disentakkan ke depan menyong-

song gelombang yang tidak terlihat pandangan 

mata.

Gelombang hitam yang melesat dari kedua tan-

gan Iblis Rangkap Jiwa tiba-tiba semburat ke 

samping kanan kiri laksana dihantam kekuatan 

luar biasa dahsyat. Saat bersamaan sosok Iblis 

Rangkap Jiwa terjajar dan jatuh terjengkang! Na-

mun seperti tidak merasakan apa-apa, laki-laki 

berkepala gundul ini cepat bangkit.

Malaikat Penggali Kubur melesat ke samping 

kanan Iblis Rangkap Jiwa. Lalu tangan kiri ka-

nannya mengusap perut.

Begitu cepatnya gerakan Malaikat Penggali Ku-

bur, hingga baru saja Iblis Rangkap Jiwa bangkit, 

sosok laki-laki ini telah tersapu gelombang tidak 

terlihat.

Karena Malaikat Penggali Kubur berada di 

samping kanan Iblis Rangkap Jiwa maka tak am-

pun lagi sosok Iblis Rangkap Jiwa tersapu me-

layang lurus ke arah kedung.

Byuurr!

Tubuh Iblis Rangkap Jiwa amblas masuk ke da-

lam kedung. Malaikat Penggali Kubur cepat me-

lompat dan tegak di bibir kedung dengan kedua


tangan terangkat mengepal. Sepasang matanya 

menatap tajam ke arah air kedung yang bergolak.

Namun untuk beberapa saat Malaikat Penggali 

Kubur tidak menangkap tanda-tanda munculnya 

Iblis Rangkap Jiwa.

"Jahanam! Apa manusia iblis itu sudah mam-

pus?! Tapi... mana bangkai iblisnya?"

Karena masih merasa yakin kalau laki-laki ber-

kepala gundul itu belum tewas, Malaikat Penggali 

Kubur belum juga beranjak. Dia tetap pandangi 

air kedung di mana dua mayat Dewi Siluman dan 

Ratu Pemikat tampak masih terombang-ambing 

gelombang air yang bergolak karena tekanan ma-

suknya tubuh Iblis Rangkap Jiwa.

Tiba-tiba sosok mayat Ratu Pemikat laksana 

disentak setan dan melesat deras ke arah Malaikat 

Penggali Kubur! Menduga sosok itu adalah Iblis 

Rangkap Jiwa, Malaikat Penggali Kubur cepat pu-

kulkan kedua tangannya lepas pukulan sakti Te-

laga Surya'.

Namun pemuda murid Bayu Bajra ini terkesiap 

tatkala mengetahui siapa adanya sosok yang kini 

tengah melayang ke arahnya. Tapi kesadarannya 

telah terlambat karena dia telah lepaskan puku-

lan. Dan saat itulah dari bawah melesatnya sosok 

Ratu Pemikat, dua tangan Iblis Rangkap Jiwa ber-

kelebat lepaskan pukulan!

Malaikat Penggali Kubur memang masih sem-

pat usapkan tangannya pada perut. Tapi dia tak 

bisa hindarkan diri dari gelombang yang datang 

dari sentakan tangan Iblis Rangkap Jiwa. Hingga 

bersamaan dengan menderunya suara pelan, so-

sok Malaikat Penggali Kubur tersapu dan jatuh 

terduduk dengan mulut tambah kucurkan darah.

Di atas kedung, sosok Ratu Pemikat yang telah 

tak bernyawa mental balik lalu menghantam bibir


kedung di seberang hingga longsor sebelum akhir-

nya jatuh kembali ke dalam kedung dengan kulit 

hangus!

Baru saja sosok mayat Ratu Pemikat ambyar 

lagi ke dalam kedung, hantaman yang keluar dari 

kitab Malaikat Penggali Kubur telah sampai.

Byuurr! Byuurr! Byuurr!

Air kedung muncrat sampai beberapa tombak 

ke udara. Bibir kedung di sebelah kiri kanan tam-

pak ambrol. Sosok mayat Ratu Pemikat dan Dewi 

Siluman tampak terlempar keluar kedung lalu ter-

hampar di pasir di bagian seberang!

Dengan kemarahan menggelora, Malaikat Peng-

gali Kubur melompat lagi ke bibir kedung. Namun 

baru saja kakinya menginjak pasir, sosok Iblis 

Rangkap Jiwa telah melesat keluar dari dalam air 

kedung. Kedua tangannya langsung lakukan pu-

kulan ke arah Malaikat Penggali Kubur.

Wuuttt! Wuuttt!

Karena percuma menghantam lawan dengan 

sapuan gelombang tidak terlihat sebab lawan be-

rada terlalu dekat, sementara dia harus sela-

matkan kepalanya dari hantaman tangan Iblis 

Rangkap Jiwa, mau tak mau Malaikat Penggali 

Kubur harus memangkas pukulan lawan dengan 

angkat kedua tangannya.

Bukkk! Bukkk!

Malaikat Penggali Kubur terjajar dua langkah 

dengan lutut goyah. Iblis Rangkap Jiwa surutkan 

langkah tiga tindak. Terhuyung-huyung sejenak 

namun cepat dapat tegak kembali. Dari kepala dan 

pakaian yang dikenakannya mengucur air deras. 

Meski dari mulutnya telah alirkan darah, namun 

jelas wajahnya tidak tunjukkan rasa kesakitan 

atau ketakutan! Malah seraya angkat tangan ka-

nan kirinya mengusap air serta darah di mulut


nya, Iblis Rangkap Jiwa tertawa bergelak!

"Setan alas! Manusia ini benar-benar luar bi-

asa! Dia harus segera kuhabisi! Jika tidak tenaga-

ku akan terus terkuras, sementara di sana masih 

banyak yang menunggu! Sedapat mungkin aku 

harus menjaga jarak. Dengan begitu aku bisa le-

paskan pukulan tanpa keluarkan tenaga!"

Berpikir begitu, Malaikat Penggali Kubur lang-

sung balikkan tubuh lalu berkelebat untuk menja-

ga jarak agar tidak terlalu dekat.

"Kau akan lari ke mana, Bangsat?! Apa kau kira 

dengan Kitab Hitam di tanganmu langkahmu akan 

jadi lebar?!"

Iblis Rangkap Jiwa cepat berkelebat mengejar. 

Malaikat Penggali Kubur cepat balikkan tubuh 

sambil usapkan tangannya pada perut.

Lagi-lagi sosok Iblis Rangkap Jiwa tersapu dan 

terjengkang di atas pasir, namun saat lain dia te-

lah bangkit kembali. Malaikat Penggali Kubur me-

nyeringai.

"Meski dia kebal pukulan, dia tak akan kuat 

bertahan terus-terusan!" Malaikat Penggali Kubur 

kembali usapkan tangannya pada perut.

Untuk kesekian kalinya sosok Iblis Rangkap 

Jiwa terkapar di atas pasir dengan mulut makin 

banyak kucurkan darah. Malaikat Penggali Kubur 

melompat namun tetap dengan menjaga jarak. Dia 

menunggu sampai Iblis Rangkap Jiwa bangkit.

Di lain pihak, Iblis Rangkap Jiwa mulai sadar. 

"Jahanam! Dia akan terus menghantamku kalau 

kuberi jarak. Dan aku rasanya tidak akan tahan 

terus-terusan dihantam!" Iblis Rangkap Jiwa lirik-

kan matanya ke bawah. Malaikat Penggali Kubur 

terlihat tegak dan tangannya siap di atas perut.

"Hai, pantatmu mengapa kau buka?!" Tiba-tiba 

dari arah sebelah kiri kedung terdengar suara teriakan seorang perempuan.

Suara teriakan yang ternyata diperdengarkan 

Putri Sableng membuat Iblis Rangkap Jiwa tersen-

tak. Dadanya berdebar. Dia lupa kalau Malaikat 

Penggali Kubur tengah menunggu dia bangkit. 

Hingga tanpa sadar, Iblis Rangkap Jiwa segera 

angkat tubuhnya. Belum sampai benar-benar 

bangkit, sosok Iblis Rangkap Jiwa telah dilanda 

sapuan gelombang tak terlihat.

Sosok Iblis Rangkap Jiwa terpelanting dan 

menghantam salah satu batu di kawasan sebelah 

kanan kedung tidak jauh dari batu yang menju-

lang. Malaikat Penggali Kubur kali ini berkelebat 

agak mendekat. Namun dia bukannya segera 

usapkan tangan pada perutnya, namun mengang-

kat sebuah batu besar. Kejap lain sosoknya yang 

telah mengangkat batu berkelebat ke arah Iblis

Rangkap Jiwa yang masih terkapar. Dari jarak tiga 

langkah, batu besar dilemparkan dengan tenaga 

dalam tinggi.

Prakkk!

Batu besar tepat menghantam muka Iblis 

Rangkap Jiwa. Darah muncrat dari mulut dan hi-

dungnya! Karena wajah laki-laki berkepala gundul 

ini hampir tidak tertutup daging, maka tampak je-

las jika tulang kening dan rahangnya patah mele-

sak!

Malaikat Penggali Kubur tidak sia-siakan ke-

sempatan. Dia sekali lagi berkelebat. Lalu menyer-

gap dengan lakukan totokan. Iblis Rangkap Jiwa 

perdengarkan seruan tertahan. Dia sebenarnya 

masih menangkap kelebatan orang dan angkat ke-

dua tangannya. Tapi gerakannya kalah cepat den-

gan sergapan Malaikat Penggali Kubur. Hingga to-

tokan si pemuda bersarang telak di kedua ba-

hunya dan menghentikan gerakan tangan Iblis


Rangkap Jiwa.

"Jahanam! Apa kau kira dapat membunuhku 

dengan cara ini, hah?!" teriak Iblis Rangkap Jiwa 

gusar.

"Aku tahu bagaimana cara mencabut nyawamu! 

Tapi untukmu nanti akan kupilihkan cara yang 

lebih enak! Tunggulah! Aku masih punya urusan 

lain!"

Malaikat Penggali Kubur balikkan tubuh lalu 

pandangi murid Pendeta Sinting, Putri Sableng 

serta kedua laki-laki berwajah hitam.

*

* *

SEMBILAN



DI lain pihak, murid Pendeta Sinting yang telah 

tegak bukannya memandang pada Malaikat Peng-

gali Kubur, tapi memandang lekat-lekat pada ke-

dua orang berwajah hitam. "Hem.... Aku yakin se-

karang siapa mereka sebenarnya...."

Tanpa pedulikan pada tatapan Malaikat Peng-

gali Kubur, Joko melangkah hendak mendekati 

kedua orang berwajah hitam.

"Sontoloyo! Mau apa kau?!" mendadak yang 

bertelanjang dada dan kalungkan celana hitam 

pada lehernya yakni Raden Mas Antar Bumi mem-

bentak.

"Rupanya si sontoloyo muridmu itu telah ta-

hu.... Hik.... Hik.... Hik...! Ternyata dandan kita 

kurang mahir! Tapi menurutmu, apakah nenek 

cantik bekas pacarmu itu juga sudah tahu?!" bisik 

Raden Mas Antar Langit. Meski ucapan orang ini 

telah selesai, tapi orang ini terus buka lebar-lebar 

mulutnya yang bergigi ompong.


"Sialan! Jangan bicara terlalu keras!" bisik Ra-

den Mas Antar Bumi dengan nada keras.

"Hem.... Aku tahu apa yang ada di balik be-

nakmu! Kau nanti pura-pura menanam budi pada 

nenek itu. Biar nanti hatinya luruh dan jatuh cin-

ta padamu lagi! Begitu bukan...?! Laki-laki di ma-

na-mana memang suka memuslihati perempuan! 

Tololnya si namanya perempuan. Dia akan per-

caya kalau dimuslihati laki-laki dan tidak percaya 

kalau dikasih keterangan jujur! Hik.... Hik.... 

Hik...!"

"Sialan! Tutup mulutmu dulu! Di sini bukan 

tempatnya berhik.... Hik.... Hik...!"

Melihat orang tertawa-tawa, Malaikat Penggali 

Kubur kepalkan kedua tangannya. Tapi kejap Iain 

kedua tangannya dibuka kembali dan kini diang-

kat ke depan perutnya.

"Terlalu berisiko kalau aku menghantam hanya 

pada satu orang! Mereka pasti akan ramai-ramai 

membendung! Hem...." Malaikat Penggali Kubur 

melirik.

Di lain pihak, sebenarnya Joko juga sedang 

berpikir. "Kitab di tangannya punya kekuatan luar 

biasa! Pukulan 'Serat Biru' dan 'Sundrik Cakra' 

belum mampu membuatnya roboh tak berkutik! 

Tapi.... Pasti segala sesuatu ada kelemahannya! 

Yang jadi pertanyaan, di mana letak kelemahan ki-

tab itu...?! Bisa saja aku mengajaknya bertarung 

jarak dekat, tapi sekali dia punya kesempatan, 

aku akan celaka sendiri.... Namun apa boleh buat. 

Kukira hanya itu satu-satunya jalan. Dia tidak di-

beri kesempatan untuk mengusap kitab di balik 

pakaiannya...." Akhirnya Joko memutuskan. Dia 

melirik sekilas pada Malaikat Penggali Kubur. Ke-

jap lain tiba-tiba Joko tepuk keningnya sendiri. 

"Bodoh! Dia boleh punya kitab luar biasa sakti!


Tapi kalau dia tidak bisa melihat di mana lawan, 

kitab sakti tidak akan ada gunanya! Ah.... Berarti 

senjata utamanya bukan pada kitab itu! Tapi pada 

matanya!"

Berpikir sampai ke sana tiba-tiba Joko berkele-

bat ke samping kanan dengan kedua tangan te-

rangkat seolah hendak lepaskan pukulan. Malai-

kat Penggali Kubur segera putar tubuh. Menduga 

Joko lepaskan pukulan, tangan kanan Malaikat 

Penggali Kubur segera mengusap perutnya.

Namun sebelum deruan terdengar, Joko sudah 

berkelebat ke samping kiri. Malaikat Penggali Ku-

bur putar tubuh ke samping kiri sambil usap pe-

rutnya. Joko kembali telah berkelebat sebelum su-

ara deruan terdengar Dia sengaja berkelebat ber-

putar. Dengan begitu dia akan terhindar dari de-

ruan dan gelombang tak terlihat yang telah meng-

hajar.

Melihat gerakan-gerakan Joko, kedua orang 

berwajah hitam saling pandang.

"Sontoloyo! Mengapa dia berputar-putar mirip 

anak mainan saja?!" bisik Raden Mas Antar Bumi.

"Ah.... Ternyata kita bukan hanya kurang mahir

dandan! Tapi juga kurang panjang akal! Kita ikuti 

saja gerakannya!" bisik Raden Mas Antar Langit.

"Gila! Apa kita harus ikut-ikutan anak ingusan 

itu berputar-putar tak karuan? Kita hantam saja 

ramai-ramai!"

"Sontoloyo!" bisik Raden Mas Antar Langit. 

"Jangan tanya jawab di sini! Tapi dengar, meski 

dia ingusan, namun dia lebih panjang akal daripa-

da kita!"

"Sialan! Bagaimana bisa begitu, hah?!"

"Sudah kubilang, jangan tanya jawab di sini! 

Sekarang aku akan ikut mainan putar-putar itu! 

Kalau kau tidak, kau akan menyesal sendiri!"


Habis berkata begitu, Raden Mas Antar Langit 

segera berkelebat dan tahu-tahu telah berada di 

belakang Joko yang terus berkelebat memutar 

namun sedikit demi sedikit mempersempit jarak 

dengan Malaikat Penggali Kubur.

"Kek...."

"Jangan bicara Kak, Kek! Ayo terus berputar! 

Aku tahu apa yang kau rencanakan! Tapi jangan 

lengah!" bentak Raden Mas Antar Langit. Orang ini 

lantas pegangi pinggang Joko dari belakang den-

gan kepala merunduk dan ikut berkelebat ke ma-

na Joko bergerak.

"Ah.... Aku tahu sekarang! Sontoloyo itu benar!" 

ujar Raden Mas Antar Bumi pada akhirnya setelah 

agak lama berpikir. Orang ini lantas berkelebat. 

Dan tahu-tahu telah tegak di belakang Malaikat 

Penggali Kubur. Saat bersamaan, dari arah sebe-

rang tiba-tiba Putri Sableng berkelebat sambil ber-

teriak.

"Aku ikut mainan!"

Raden Mas Antar Bumi hendak mencegah, na-

mun terlambat. Putri Sableng telah tegak di bela-

kangnya lalu seperti Raden Mas Antar Langit, ga-

dis cantik berjubah merah ini pegang pinggang 

Raden Mas Antar Bumi.

"Kita harus terus berada di belakangnya! Biar 

mereka berdua yang memancing dari arah depan!" 

bisik Putri Sableng.

"Ah.... Bagaimana ini?!" gumam Raden Mas An-

tar Bumi dalam hati. Hatinya gelisah. "Ini alamat 

urusan dengan nenek itu akan tambah tak ka-

ruan!" dia melirik pada Ni Luh Padmi yang masih 

duduk bersandar pada lamping batu cadas putih 

dengan mata terus memperhatikan apa yang ter-

jadi.

"Hai.... Bergerak! Awas serangan!" teriak Putri


Sableng sambil menarik pinggang Raden Mas An-

tar Bumi. Buru-buru Raden Mas Antar Bumi ber-

kelebat karena saat itu tiba-tiba Malaikat Penggali 

Kubur balikkan tubuh dan mengusap perutnya.

"Sialan! Apa yang kau pikirkan?!" gerutu Putri 

Sableng. "Terlambat sedikit, kita akan mampus!"

"Mampus ya mampus! Tapi jangan kau pegang 

terus pinggangku!" Raden Mas Antar Bumi balas 

membentak.

"Sialan! Kau takut nenek itu cemburu?! Aku ja-

di ingin tahu bagaimana kalau nenek-nenek cem-

buru! Hik.... Hik.... Hik...!" Putri Sableng kini bu-

kan lagi pegang pinggang Raden Mas Antar Bumi, 

sebaliknya gadis berjubah merah ini rangkulkan 

kedua tangannya erat-erat pada pinggang Raden 

Mas Antar Bumi!

Raden Mas Antar Bumi menyumpah-nyumpah. 

Namun dia tak bisa berbuat banyak, karena Ma-

laikat Penggali Kubur kini memutar-mutar tubuh-

nya seraya terus menerus mengusap kitab di balik 

pakaiannya. Hingga mau tak mau Raden Mas An-

tar Bumi harus mengikuti gerakan Malaikat Peng-

gali Kubur, karena sedikit lengah, gelombang tak 

terlihat akan menghantamnya.

Di bawah siraman cahaya purnama, kini tam-

pak orang terus berputar-putar disertai suara 

menderu-deru yang keluar dari balik pakaian Ma-

laikat Penggali Kubur. Sementara itu pasir dan ba-

tu-batu tampak bertabur dan berpelantingan lalu 

pecah karena tersapu dan terhantam gelombang 

tak terlihat dari balik pakaian Malaikat Penggali 

Kubur. Kedung Ombo bergetar terus menerus lak-

sana dihantam gelombang saling susul menyusul.

Air kedung bergolak liar dan muncrat ke sana

kemari.

Ni Luh Padmi terdengar memaki-maki karena


sekujur tubuhnya hampir tidak tampak lagi tertu-

tup hamburan pasir. Sementara tubuhnya terus-

menerus disentak-sentak menghantam lamping 

batu di belakangnya. Malah di seberang sana, so-

sok Iblis Rangkap Jiwa telah terbang sejauh sepu-

luh tombak!

Malaikat Penggali Kubur sendiri mulai tampak 

jerih. Dia bingung. Di satu pihak dia harus was-

pada pada murid Pendeta Sinting dan Raden Mas 

Antar Langit yang berada di depannya dan terus 

mempersempit jarak. Sementara di lain sisi, dia 

harus perhatikan Raden Mas Antar Bumi dan Pu-

tri Sableng yang berada menguntit di belakangnya. 

Dan pemuda murid Bayu Bajra ini makin gelisah 

tatkala Putri Sableng mulai usil taburkan pasir ke 

arahnya!

"Keparat! Aku harus menghentikan salah satu 

dari mereka!" putus Malaikat Penggali Kubur pada 

akhirnya. Lalu dia melirik sambil terus berputar. 

Pada satu saat tiba-tiba dia balik arah putaran-

nya.

Joko dan Raden Mas Antar Langit terkesiap. 

Namun dia cepat bisa atur kelebatannya kembali. 

Namun tidak demikian halnya dengan Raden Mas 

Antar Bumi dan Putri Sableng. Kedua orang ini 

terlambat atur kelebatannya. Hingga saat Malaikat 

Penggali Kubur balik arah putarannya, kedua 

orang ini terus. Mau tak mau keduanya tepat be-

rada di hadapan Malaikat Penggali Kubur. Saat 

itulah Malaikat Penggali Kubur usap kitab di balik 

pakaiannya.

Walau Raden Mas Antar Bumi dan Putri Sab-

leng sempat lepaskan pukulan, namun saat yang 

sama tubuh keduanya sudah terpelanting lalu ter-

seret menyusur hamparan pasir sampai lima tom-

bak dengan masing-masing orang terkapar. Dari


mulut mereka berdua tampak alirkan darah.

Namun gerakan Malaikat Penggali Kubur yang 

sekejap tadi arahkan tubuhnya pada Raden Mas 

Antar Bumi dan Putri Sableng tak disia-siakan Jo-

ko. Murid Pendeta Sinting cepat berkelebat ke de-

pan. Tangan kiri kanannya berkelebat ke arah ke-

pala. Raden Mas Antar Langit tak tinggal diam. Dia 

pun cepat rebahkan diri sejajar pasir lalu menyu-

sur ke depan. Kedua tangannya bergerak meng-

gaet kaki Malaikat Penggali Kubur.

Sergapan Joko dan Raden Mas Antar Langit 

membuat Malaikat Penggali Kubur tidak punya 

kesempatan lagi untuk mengusap kitabnya karena 

dia harus cepat lindungi kepala serta kakinya.

"Pengecut busuk! Kalian ternyata manusia-

manusia yang hanya berani main keroyok!" bentak 

Malaikat Penggali Kubur sambil angkat kedua tan-

gannya menghadang pukulan murid Pendeta Sint-

ing. Saat yang sama, kaki kanannya terangkat lalu 

menyapu ke arah Raden Mas Antar Langit.

"Bukan maksud hati mengeroyokmu, kami 

hanya menghindar untuk tidak jadi korbanmu!" 

kata Raden Mas Antar Langit. Tangan kanan orang 

ini diangkat lindungi diri dari sapuan kaki Malai-

kat Penggali Kubur. Sementara tangan satunya te-

rus menjulur.

"Betul! Aku hanya ingin kitab yang ada pada-

mu! Tidak inginkan nyawamu!" sahut Joko seraya 

teruskan kelebatan kedua tangannya. "Tapi kalau 

kau keras kepala, aku juga tak segan bertindak 

kasar untuk hentikan perbuatanmu!"

Bukkk! Bukkk! Bukkk!

Terdengar tiga kali benturan keras. Sosok mu-

rid Pendeta Sinting terjajar dua tindak. Sementara 

tangan kanan Raden Mas Antar Langit terpental 

lalu menghantam pasir dengan tubuh terguling.


Namun tangan kirinya masih sempat menggaet 

kaki kiri Malaikat Penggali Kubur hingga mau tak 

mau pemuda murid Bayu Bajra ini terhuyung ke 

depan.

"Bangsat!" maki Malaikat Penggali Kubur. Kaki 

kanannya yang baru saja bentrok dengan tangan 

kanan Raden Mas Antar Langit kembali disapukan 

ke arah tubuh orang di bawahnya. Namun gera-

kan tangan kiri Raden Mas Antar Langit yang 

menggaet kaki kirinya lebih cepat, hingga bukan 

saja tendangannya melenceng ke atas, namun tu-

buhnya tertarik deras ke belakang lalu jatuh ter-

duduk!

Dalam puncak kemarahannya, Malaikat Peng-

gali Kubur sentakkan kedua tangannya begitu 

pantatnya menghantam pasir.

Karena tangan kanannya masih berada di bela-

kang sementara tangan kiri memegang kaki kiri 

Malaikat Penggali Kubur, Raden Mas Antar Langit 

tak mampu lagi menghadang pukulan yang meng-

hajarnya.

Bukkk! Bukkk!

Pegangan tangan kiri Raden Mas Antar Langit 

pada kaki kiri Malaikat Penggali Kubur terlepas. 

Tubuhnya mencelat sampai dua tombak dan ter-

kapar. Dari mulutnya mengalir darah.

Karena sadar di sampingnya masih ada orang, 

begitu sentakkan tangan, Malaikat Penggali Kubur 

putar tubuh ke samping. Tangan kanan menyen-

tak ke depan, tangan kiri usap kitab di balik pa-

kaiannya.

Pendekar 131 tersentak. Karena jaraknya terla-

lu dekat maka tidak ada kesempatan baginya un-

tuk menghadang pukulan dahsyat Malaikat Peng-

gali Kubur. Apalagi Malaikat Penggali Kubur seka-

ligus lepaskan pukulan 'Telaga Surya' serta usapan pada kitabnya!

Dalam keadaan terjepit begitu rupa, murid 

Pendeta Sinting berlaku nekat. Dengan satu sen-

takan, sosoknya melesat ke depan. Kedua tangan-

nya berkelebat ke depan bukan untuk lepaskan 

pukulan, namun langsung ke arah sepasang mata 

Malaikat Penggali Kubur!

Malaikat Penggali Kubur terlengak. Dia tidak 

menduga sama sekali kalau lawan berani merang-

sek maju. Dia sejurus berpikir. Teruskan pukulan 

dan usapan pada perutnya atau angkat kedua 

tangannya memangkas kedua tangan lawan yang 

kini berada sejengkal di depan matanya. Entah ka-

rena menduga lawan tidak akan mampu Lindungi 

diri dari kedua pukulannya yang hendak dilepas, 

akhirnya Malaikat Penggali Kubur teruskan puku-

lan serta usapan pada perutnya. 

Wuuss! Weeerr! Bless! Blesss!

Dari mulut murid Pendeta Sinting dan Malaikat 

Penggali Kubur terdengar seruan keras. Sosok 

Pendekar 131 mencelat dan terbanting-banting di 

udara sebelum akhirnya jatuh telentang di atas 

pasir dengan pakaian hangus dan mulut serta hi-

dung keluarkan darah! Pedang Tumpul 131 jatuh 

dari balik pakaiannya dan keluar dari sarungnya. 

Sosok tubuhnya bergetar keras. Wajah dan seku-

jur tubuhnya merah membara laksana dipang-

gang. Mulutnya yang berdarah tampak membuka 

namun tidak perdengarkan suara. Dadanya berge-

rak turun naik tak karuan. Sepasang matanya 

membelalak besar.

Sejenak murid Pendeta Sinting coba bergerak 

hendak bangkit. Namun dia urungkan karena be-

gitu dia hendak bangun, darah segar menyembur 

dari mulutnya. Jelas kalau dia terluka cukup pa-

rah. Hingga Joko coba himpun tenaga dengan telentang.

Di seberang depan, begitu pukulan 'Telaga 

Surya' dan gelombang yang keluar tak terlihat dari 

balik pakaiannya menyambar murid Pendeta Sint-

ing, kedua tangan Malaikat Penggali Kubur te-

rangkat mendekap sepasang matanya yang tiba-

tiba terasa panas dan kabur. Ketika mendapati 

ada aliran hangat dan berbau di kedua tangannya 

yang mendekap mata, Malaikat Penggali Kubur 

menggembor seakan hendak merobek langit.

Dia serentak bergerak bangkit. Seolah tidak sa-

dar apa yang terjadi pada dirinya, dia buka tan-

gannya dan akan melihat di mana lawan berada.

"Jahanam! Apa yang terjadi dengan diriku?! 

Mataku kabur tak bisa melihat!" Masih menduga 

itu karena tertutup darah, Malaikat Penggali Ku-

bur usap-usap sepasang matanya lalu meman-

dang ke depan meski dia sudah merasakan bukan 

alang kepalang pada sepasang matanya.

Ketika menyadari kalau pandangannya kabur, 

Malaikat Penggali Kubur hentakkan kaki kanan 

kirinya. "Mataku...! Mataku kabur!"

Malaikat Penggali Kubur tegak dengan tubuh 

bergetar keras. Urat-urat pada sekujur tubuhnya 

tampak menggurat jelas. Rambutnya yang lebat 

tampak seolah berdiri.

"Pendekar 131! Kau telah membuat mataku ka-

bur! Kini matamu harus kucongkel sebagai imba-

lannya sebelum nyawamu kulepas!" teriak Malai-

kat Penggali Kubur dengan kepala mendongak dan 

kedua tangan mengepal di atas udara. "Bulan 

purnama akan jadi saksi bagaimana satu persatu 

mata kalian semua yang ada di sini akan kucong-

kel sebelum darah kalian semua kulebur di air 

Kedung Ombo!"

Malaikat Penggali Kubur luruskan wajahnya.


Dengan susah payah dia akhirnya dapat melihat di 

mana murid Pendeta Sinting meski hal itu lebih 

banyak didasarkan pada firasat dan perhitungan 

arah.

Begitu merasa hampir yakin, Malaikat Penggali 

Kubur melesat dan tahu-tahu sosoknya telah te-

gak dua langkah di samping murid Pendeta Sint-

ing yang telentang. Sejurus Malaikat Penggali Ku-

bur memperhatikan sebab pandangannya samar-

samar. Saat itulah kakinya mengantuk sesuatu. 

Kepalanya bergerak. Pandangannya yang samar-

samar masih dapat menangkap kilatan benda di 

bawahnya.

Tanpa pikir panjang lagi Malaikat Penggali Ku-

bur bungkukkan tubuh. Tangan kanannya me-

nyahut ke bawah. Lalu benda kuning berkilat itu 

didekatkan pada matanya yang masih alirkan da-

rah. Tangan kirinya meraba.

"Pedang Tumpul 131!" desis Malaikat Penggali 

Kubur dengan seringai angker. Secepat kilat dia 

melompat.

Pendekar 131 tersentak. Baru saja dia akan 

bangkit, satu kaki telah menghantam dadanya 

hingga tubuhnya telentang kembali. Memandang 

ke atas, darah murid Pendeta Sinting laksana si-

rap.

Malaikat Penggali Kubur sudah tegak di atas-

nya dengan kaki kiri menginjak dadanya serta 

tangan kanan angkat Pedang Tumpul 131 tinggi ke 

udara!

Raden Mas Antar Bumi dan Putri Sableng yang 

sudah bangkit terkesima. Keduanya hanya bisa te-

gak mematung tanpa ada yang buka mulut atau 

membuat gerakan. Tidak jauh di sampingnya Ra-

den Mas Antar Langit belalakkan mata dengan 

mulut terbuka lebar-lebar! Di belakang sana Cucu


Dewa dan Dewa Orok hanya saling pandang.

"Kita bantam bersama-sama!" ujar Raden Mas 

Antar Bumi berbisik, lalu memberi isyarat pada 

Raden Mas Antar Langit untuk mendekat.

Raden Mas Antar Langit segera melangkah 

mendekat. Raden Mas Antar Bumi kembali kata-

kan usulnya.

"Jarak kita terlalu jauh! Belum sampai pukulan 

kita sampai, Setan Jelek muridmu itu pasti sudah 

mampus!" sahut Putri Sableng.

"Betul!" timpal Raden Mas Antar Langit. "Apala-

gi kita sudah terluka! Sementara dia tinggal tu-

sukkan pedang di tangannya!"

"Lalu apa kita cuma berdiri menyaksikan mu-

ridku mampus, hah?!" Raden Mas Antar Bumi 

membentak meski masih coba menahan suara.

"Hem.... Rupanya kau masih sayang pada nya-

wa muridmu, Setan Jelek itu!" ujar Putri Sableng. 

Meski darah masih tampak pada mulutnya, gadis 

berjubah merah ini coba tertawa cekikikan.

"Sialan! Kau kira aku tega padanya meski dia 

sableng dan aku sinting, hah?! Kalau kalian tak 

setuju, menyingkirlah! Aku akan menghantamnya 

sendiri!" Tanpa menunggu sahutan dari Putri Sab-

leng atau Raden Mas Antar Langit, kedua tangan 

Raden Mas Antar Bumi sudah terangkat. Tangan-

nya yang bergetar tampak berubah warna menjadi 

kekuningan.

Malaikat Penggali Kubur gerakkan tangan ka-

nan yang menggenggam Pedang Tumpul 131 ke 

bawah. Sejengkal lagi ujung pedang yang tumpul 

berada di atas wajah murid Pendeta Sinting, Ma-

laikat Penggali Kubur hentikan gerakan tangan-

nya. Tanpa berpaling mulutnya angkat bicara.

"Senjata ini akan lebih dahulu mencabut nyawa 

keparat ini! Jadi jangan berani bertindak bodoh!


Jangan ada yang coba membuat gerakan! Tetap di 

tempat kalian masing-masing!"

Raden Mas Antar Bumi gantungkan kedua tan-

gannya di atas kepala mendengar ancaman Malai-

kat Penggali Kubur.

Malaikat Penggali Kubur palingkan kepala 

menghadap Putri Sableng, Raden Mas Antar Bumi, 

dan Raden Mas Antar Langit. Mulutnya menyerin-

gai angker.

"Kalian akan menyusul satu persatu! Sekarang 

kalian kuperintahkan untuk menunggu dan me-

langkah mundur!" teriak Malaikat Penggali Kubur.

Ketiga orang yang diperintah sama saling pan-

dang. Belum ada yang buka mulut, dari arah de-

pan, terdengar lagi teriakan Malaikat Penggali Ku-

bur.

"Lihat!" Malaikat Penggali Kubur gerakkan lagi 

ujung pedang pada mata murid Pendeta Sinting 

yang hanya diam, karena selain dadanya diinjak, 

tangan kirinya juga ditindih kaki kiri Malaikat 

Penggali Kubur. Tangan kanannya memang masih 

leluasa bergerak. Tapi secepat apa pun gerakan 

tangan kanannya, tak bisa lagi menghadang jika 

pedang itu menghantam!

Ketika samar-samar dan diyakininya ketiga 

orang di depan sana memandang ke arahnya, Ma-

laikat Penggali Kubur teruskan ucapan.

"Kuperintahkan kalian mundur! Mundur! Mun-

dur!"

Ujung Pedang Tumpul sudah menempel pada 

mata kiri murid Pendeta Sinting, hingga Joko ce-

pat pejamkan matanya. Kuduknya meremang. 

Sementara di seberang sana perlahan-lahan ketiga 

orang yang dibentak gerakkan kaki mundur. Ma-

laikat Penggali Kubur terus hadapkan wajahnya ke 

arah tiga orang yang surutkan kaki mundur.


"Bagus! Sekarang berbalik! Cepat! Jika tidak, 

mata kiri keparat ini sudah kukeluarkan!"

Dengan saling pandang dan menggumam tak 

jelas akhirnya ketiga orang itu turuti bentakan pe-

rintah Malaikat Penggali Kubur.

"Celaka! Celaka! Seharusnya kita tadi langsung 

saja menghantam ramai-ramai! Bagaimanapun ju-

ga dia akan laksanakan ancamannya!" gumam 

Raden Mas Antar Bumi dengan tubuh menggigil. 

Malah kini dia ambil celana hitam yang masih 

mengalung di lehernya dan dicampakkan saja di 

atas pasir. Putri Sableng dan Raden Mas Antar 

Langit tidak ada yang buka mulut menyahut. Tu-

buh mereka bergetar bahkan lutut Raden Mas An-

tar Langit tampak goyah dan hampir saja dia lim-

bung kalau tidak segera ditahan tangan Putri Sab-

leng.

"Rupanya kali ini kita tak bakal bisa sela-

matkan nyawa Anak Sableng itu...," gumam Raden 

Mas Antar Langit lalu buka mulutnya lebar-lebar.

Setelah menghitung jarak dan percaya mereka 

tidak bisa berbuat apa-apa, setidaknya dia masih 

bisa selamatkan diri dan sekaligus cabut nyawa 

Pendekar 131 jika sewaktu-waktu orang menye-

rangnya, Malaikat Penggali Kubur hadapkan wa-

jahnya pada Pendekar 131 yang terinjak di ba-

wahnya. Tampangnya ganas apalagi dari sepasang 

matanya terus kucurkan darah.

"Sepasang matamu akan kucabut dahulu, Pen-

dekar Keparat! Biar kau tahu bagaimana rasanya 

orang tak bermata!" Malaikat Penggali Kubur ber-

teriak sambil arahkan ujung pedang pada mata ki-

ri kanan murid Pendeta Sinting. Joko diam-diam 

kerahkan tenaga dalam. Namun Malaikat Penggali 

Kubur segera keraskan injakannya.

"Kau teruskan salurkan tenaga dalam, anggota


tubuhmu akan kuputus satu persatu!" Malaikat 

Penggali Kubur rupanya dapat menangkap apa 

yang dilakukan Joko begitu merasa kakinya yang 

menginjak terasa hangat dan bergetar pertanda 

orang di bawahnya tengah himpun tenaga dalam.

Murid Pendeta Sinting mau tak mau tidak lan-

jutkan himpun tenaga dalam. Namun dia masih 

berpikir keras.

Tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur sabetkan 

ujung pedang pada dada, lalu berhenti pada perut 

murid Pendeta Sinting.

Brettt!

Murid Pendeta Sinting berseru. Nyawanya lak-

sana melayang. Ketiga orang di depan sana sama 

menggigil dan tak berani berpaling tak tega meli-

hat. Namun Joko bernapas agak lega merasakan 

kalau cuma pakaiannya yang robek menganga di 

bagian perut.

Malaikat Penggali Kubur putar-putar ujung pe-

dang yang tumpul menyusuri perut Joko. "Hem.... 

Kedua kitab itu tidak dibawa! Tapi apa peduliku?! 

Kitab Hitam sudah terbukti tidak ada tandingan-

nya!"

Meski membatin begitu, namun Malaikat Peng-

gali Kubur masih juga ajukan tanya.

"Katakan di mana kedua kitab itu!"

"Hem.... Jadi kau masih inginkan kitab itu?!" 

Joko balik bertanya meski suaranya terdengar 

bergetar dan tersendat.

"Tanganku menggenggam nyawamu! Jangan 

berani balik bertanya!" sentak Malaikat Penggali 

Kubur. Kembali ujung pedang diarahkan pada ma-

ta kiri murid Pendeta Sinting hingga buru-buru 

Joko katupkan kembali matanya yang sejenak tadi 

hendak membuka. Sementara mendengar ucapan 

Joko, ketiga orang di seberang sana sama menghela napas. "Belum.... Sontoloyo itu masih berna-

pas...," gumam Raden Mas Antar Bumi.

"Aku tak pernah bertanya ketiga kali!" ujar Ma-

laikat Penggali Kubur. Lalu angkat ujung pedang 

sejengkal dari mata Joko. Dengan begitu dia lebih 

mendapat ruang.

"Kitab itu kusimpan di satu tempat! Aku bisa 

tunjukkan padamu...." Akhirnya Joko menjawab. 

"Katakan di mana!"

"Aku tak bisa mengatakan, tapi aku mau men-

gantarmu ke tempat penyimpanan itu!"

Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. "Da-

lam urusan muslihat, kau harus belajar dariku, 

Jahanam! Ha.... Ha.... Ha...! Baik. Aku minta kau 

mengantarku. Tapi aku ingin lihat dahulu bagai-

mana bentuk bola matamu! Kukira kau masih in-

gat di mana tempat itu meski rongga kedua mata-

mu tanpa mata!"

Malaikat Penggali Kubur angkat sejengkal lagi 

ujung pedang. Joko lamat-lamat buka kelopak ma-

tanya. Saat itulah Malaikat Penggali Kubur hu-

jamkan pedang di tangan kanannya tepat ke arah 

mata kiri murid Pendeta Sinting.

Joko hanya bisa pejamkan matanya lagi. Tan-

gan kanannya yang leluasa bergerak masih berke-

lebat. Namun tidak ada artinya karena hujaman 

pedang di tangan kanan Malaikat Penggali Kubur 

lebih cepat!

Setengah jengkal lagi ujung Pedang Tumpul 131 

menghujam pada mata kiri pemiliknya, tiba-tiba 

dari arah lamping batu cadas putih terlihat satu 

cahaya putih berkiblat. Saat bersamaan satu so-

sok bayangan putih melayang dari batu cadas pu-

tih.

Cahaya putih sejenak mampu menahan gera-

kan pedang Malaikat Penggali Kubur meski masih


tepat di atas mata kiri Joko. Belum lagi Malaikat 

Penggali Kubur gerakkan pedangnya, satu tendan-

gan telah berkelebat. Malaikat Penggali Kubur 

angkat tangan kirinya.

Bukkk!

Sosok Malaikat Penggali Kubur hanya ber-

goyang-goyang tanpa bergerak dari tempatnya. Be-

lum sampai Malaikat Penggali Kubur berpaling, 

kembali dari 1amping batu cadas putih satu ca-

haya berkiblat. Saat yang sama dari arah sam-

pingnya menderu gelombang dahsyat.

Malaikat Penggali Kubur angkat tangannya 

yang memegang Pedang Tumpul 131 untuk me-

nangkis cahaya. Sementara tangan kiri mengusap 

perutnya dengan hadapkan tubuh ke arah mana 

serangan gelombang datang.

*

* *

SEPULUH



CAHAYA terang bulan purnama tampak berpi-

jar di hamparan pasir Kedung Ombo ketika cahaya 

yang berkiblat dari sisi lamping batu cadas putih 

berbenturan dengan pedang berwarna kuning di 

tangan kanan Malaikat Penggali Kubur. Lain dis-

usul dengan terdengarnya ledakan keras saat sa-

puan gelombang yang tidak terlihat dari balik pa-

kaian Malaikat Penggali Kubur memporak-

porandakan gelombang yang datang menghajarnya 

dari sisi samping.

Tangan kanan Malaikat Penggali Kubur tampak 

bergetar keras lalu terpental ke belakang. Sepa-

sang kakinya yang menginjak dada dan tangan kiri 

murid Pendeta Sinting bergerak terangkat lalu


mundur beberapa langkah dengan sosok limbung. 

Dan tubuh Malaikat Penggali Kubur tampak ter-

huyung lalu mundur lagi tatkala suara ledakan 

terdengar.

Sejarak sepuluh tombak dari tempat Malaikat 

Penggali Kubur tampak terkapar satu sosok pe-

rempuan mengenakan baju putih panjang. Orang 

ini tidak bisa dikenali wajahnya karena mengena-

kan cadar putih.

Melihat kesempatan, murid Pendeta Sinting ce-

pat gulingkan tubuh. Lalu secepat kilat kedua 

tangannya didorong dan disentakkan ke arah Ma-

laikat Penggali Kubur yang masih coba kuasai diri.

Dari tangan kiri murid Pendeta Sinting melesat 

serat-serat biru terang laksana benang, sedang da-

ri tangan kanannya mencuat sinar kuning mem-

bawa suara gemuruh dahsyat.

Begitu lepaskan pukulan 'Serat Biru' dan 

'Sundrik Cakra', Pendekar 131 cepat bergulingan 

kembali. Dia maklum bahwa Malaikat Penggali 

Kubur akan menghadang pukulannya.

Dugaan Joko tidak meleset. Saat matanya sa-

mar-samar melihat sinar kuning dan serat-serat 

biru, Malaikat Penggali Kubur usapkan tangan ki-

rinya meski tubuhnya terhuyung.

Blammm! Blammm!

Guncangan keras kembali melanda Kedung 

Ombo tatkala pukulan Pendekar 131 terhadang 

oleh deruan perlahan yang mencuat dari balik pa-

kaian Malaikat Penggali Kubur.

Karena Joko sudah gulingkan diri menghindar, 

maka dia selamat dari bias bentroknya pukulan. 

Dia tak tunggu lama. Begitu suara ledakan ter-

dengar kedua tangannya segera menyentak kem-

bali.

Malaikat Penggali Kubur tegak kebingungan.


Pandangannya yang kabur serta hamburan pasir 

yang membubung membuatnya tidak tahu di ma-

na lawan berada. Hingga begitu terdengar deruan 

dahsyat menuju ke arahnya, dia hanya putar tu-

buh mengikuti firasat. Lalu usap perutnya.

Kali ini firasat dan dugaan Malaikat Penggali 

Kubur meleset. Dia menghadap ke kanan semen-

tara Joko berada di samping kirinya, hingga meski 

dari balik pakaiannya melesat sapuan dahsyat 

yang tidak terlihat, namun sapuan itu hanya me-

labrak tempat kosong, sementara serangan puku-

lan murid Pendeta Sinting tak ampun lagi meng-

hantam tubuhnya!

Desss! Deesss!

Malaikat Penggali Kubur tersapu sampai bebe-

rapa tombak sebelum akhirnya terkapar dengan 

jubah hangus dan mulut serta hidung kucurkan 

darah! Pedang Tumpul 131 di tangannya lepas 

mencelat.

Meski telah terluka da lam cukup parah, tapi 

Malaikat Penggali Kubur tidak mau menyerah be-

gitu saja. Dia cepat himpun sisa tenaganya. Di se-

berang sana, Pendekar 131 memandang sejenak 

pada perempuan berbaju dan bercadar putih yang 

masih terkapar di atas pasir. Lalu menoleh ke 

arah bagian samping lamping batu cadas putih.

"Kakek Gendeng Panuntun...," gumam Joko 

mengenali siapa adanya orang yang duduk di 

samping batu cadas putih dengan tubuh sedikit 

bergetar. Dia sebenarnya hendak beranjak ke arah 

perempuan bercadar putih yang terkapar, namun 

satu suara segera terdengar.

"Urusanmu belum selesai, Anak Muda...."

Tahu suara siapa yang baru terdengar, Joko 

cepat arahkan pandangannya pada sosok Malaikat 

Penggali Kubur yang masih terkapar diam.


"Kitab Hitam.... Kitab itu harus segera kuambil. 

Dia masih bisa lakukan tindakan berbahaya jika 

kitab itu masih berada di balik pakaiannya!"

Joko segera berkelebat ke arah Malaikat Peng-

gali Kubur. Namun satu sosok tubuh mendahului 

gerakannya. Dan tahu-tahu di samping Malaikat 

Penggali Kubur telah tegak laki-laki berkepala 

gundul yang wajahnya hampir saja hancur. Di 

tangan kanan orang ini menggenggam Pedang 

Tumpul 131!

"Iblis Rangkap Jiwa!" seru murid Pendeta Sint-

ing lalu hentikan kelebatannya sejarak sepuluh 

langkah dari orang di samping Malaikat Penggali 

Kubur yang tidak lain memang Iblis Rangkap Jiwa 

adanya.

Waktu tersapu pukulan tidak terlihat dari Ma-

laikat Penggali Kubur saat si pemuda berputar-

putar dikurung beberapa lawan, Iblis Rangkap Ji-

wa kerahkan segenap tenaga dalam dan luarnya 

untuk buyarkan totokan dahsyat yang disarang-

kan Malaikat Penggali Kubur. Dan akhirnya laki-

laki berkepala gundul yang wajahnya sudah han-

cur karena terhantam batu besar yang dilempar 

Malaikat Penggali Kubur ini berhasil. Saat itulah 

Pedang Tumpul 131 yang terlepas dari genggaman 

Malaikat Penggali Kubur jatuh tidak jauh dari 

tempatnya. Iblis Rangkap Jiwa segera menyambar 

lalu berkelebat ke arah terkaparnya Malaikat 

Penggali Kubur.

Malaikat Penggali Kubur tersentak. Dia hendak 

gerakkan tangan usap perutnya. Namun Iblis 

Rangkap Jiwa cepat memangkas gerakan tangan 

Malaikat Penggali Kubur dengan sapuan kaki ka-

nannya.

Dess!

Tangan Malaikat Penggali Kubur mental menghajar pasir di sampingnya. Namun tubuhnya yang 

ikut terputar segera terhenti tatkala kaki kiri Iblis 

Rangkap Jiwa menghadang. Kejap lain Iblis Rang-

kap Jiwa sudah babatkan pedang pada bagian pe-

rut Malaikat Penggali Kubur.

Brettt!

Pakaian Malaikat Penggali Kubur yang sudah 

robek, tercabik menganga lebih besar lagi. Namun 

Kitab Hitam yang sudah terlihat jelas tidak juga ja-

tuh karena kitab itu diikat begitu rupa.

Iblis Rangkap Jiwa tidak menunggu lama. Tan-

gan kirinya segera menyambar Kitab Hitam di atas 

perut Malaikat Penggali Kubur. Di bawahnya, Ma-

laikat Penggali Kubur masih berusaha bertahan 

dengan kelebatan tangan kanan, namun gerakan 

tangannya segera tertahan tatkala serta-merta Ib-

lis Rangkap Jiwa babatkan Pedang Tumpul pada 

tangan Malaikat Penggali Kubur.

Crasss!

Malaikat Penggali Kubur melolong tinggi. Tan-

gan kanannya putus sebatas siku! Darah muncrat 

membasahi wajah dan pakaiannya yang telah 

hangus. Iblis Rangkap Jiwa teruskan gerakan tan-

gan kirinya mengambil kitab.

Satu jengkal lagi Kitab Hitam tersambar tangan 

kiri Iblis Rangkap Jiwa, terdengar deruan meng-

gemuruh dahsyat. Untuk kesekian kalinya kawa-

san Kedung Ombo disemburati warna kuning dan 

serat-serat biru terang.

Karena begitu bernafsu dan yakin dirinya tidak 

akan mengalami apa-apa lagi, Iblis Rangkap Jiwa 

tidak pedulikan pukulan yang kini datang meng-

hajarnya. Laki-laki ini teruskan gerakan tangan-

nya.

Ketika jari-jari tangan Iblis Rangkap Jiwa me-

nyentuh Kitab Hitam, dia rasakan satu gelombang


luar biasa menggebrak. Lalu sekujur tubuhnya 

kaku tak bisa digerakkan!

Iblis Rangkap Jiwa memaki sambil membeliak-

kan mata meneliti. Dia terlengak. Pada sekujur 

tubuhnya tampak serat-serat biru laksana mengi-

kat tubuhnya. Sekuat tenaga dia berontak, serat-

serat biru tetap tak bisa dibuyarkan. Malah tak 

lama kemudian sosoknya tersapu sampai satu 

tombak!

Memandang ke depan, tulang rahang Iblis 

Rangkap Jiwa yang telah patah melesak bergerak-

gerak. Sepasang matanya yang besar dan hampir-

hampir tertutup kucuran darah mendelik angker.

Di depan sana, hanya tiga langkah dari tempat 

terkaparnya Malaikat Penggali Kubur, murid Pen-

deta Sinting tampak tegak dengan kedua tangan 

diangkat siap lepaskan pukulan.

"Jangan berani sentuh kitab itu jika tak ingin 

kepalamu putus dengan pedangmu sendiri!" Iblis 

Rangkap Jiwa mengancam sambil diam-diam be-

rusaha buyarkan serat-serat biru yang seakan 

membelenggu hingga sekujur tubuhnya laksana 

diikat.

"Aku tahu di mana kelemahanmu! Jadi jangan 

berani bicara mengancam! Aku tidak inginkan ki-

tab itu untuk kumiliki!" Joko maju dua langkah la-

lu melirik pada Malaikat Penggali Kubur.

Tesss! Tesss!

Terdengar beberapa kali suara seperti tali pu-

tus, Kejap lain Iblis Rangkap Jiwa telah maju 

sambil angkat pedang tinggi-tinggi ke udara.

Saat itulah tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur 

bangkit. Berpegang pada suara yang baru terden-

gar kakinya langsung bergerak menendang, tan-

gan kirinya mengusap pada perut.

Joko yang berada di sampingnya cepat putar


tubuh sambil angkat kaki kanannya memangkas 

kaki kanan Malaikat Penggali Kubur.

Bukkk!

Sosok Malaikat Penggali Kubur yang sudah ter-

luka luar dan dalam terhuyung-huyung dan lim-

bung. Tapi dari perutnya masih terdengar suara 

deruan perlahan. Saat yang sama Iblis Rangkap 

Jiwa merangsek maju. Pedang di tangan kanannya 

dibabatkan. Crasss!

Tangan kiri Malaikat Penggali Kubur terbabat 

dan langsung putus! Namun bersamaan dengan 

itu sosok Iblis Rangkap Jiwa tersapu gelombang 

tidak terlihat hingga tangannya yang terus berge-

rak hendak babatkan pedang ke arah murid Pen-

deta Sinting terpental.

Malaikat Penggali Kubur menggembor tinggi. 

Sosoknya langsung roboh. Murid Pendeta Sinting 

melompat. Tangan kiri kanannya segera berkelebat 

hendak menyahut Kitab Hitam yang ada di balik 

pakaian Malaikat Penggali Kubur dan kini tampak 

jelas.

"Harap jangan sentuh kitab itu!" Satu suara te-

guran bernada kalem terdengar. Murid Pendeta 

Sinting rasakan hembusan angin di sampingnya. 

Kejap lain satu tangan telah memegang tangan kiri 

kanan Joko menahan gerakannya.

Joko angkat kepalanya. Di hadapannya tampak 

seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pa-

kaian putih. Rambutnya panjang digeraikan. 

Jenggotnya panjang teratur rapi menjuntai sampai 

dada. Laki-laki ini sunggingkan senyum lalu ang-

gukkan kepala.

"Siapa kau?! Harap tidak ikut campur urusan 

ini! Atau kau juga inginkan kitab itu?!" Joko buka 

mulut namun tidak coba tarik pulang kedua tan-

gannya yang masih tertahan oleh pegangan kedua


tangan si kakek.

"Maaf.... Terpaksa aku harus ikut campur. Tapi 

jangan sangka aku menginginkan kitab itu!"

Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Saat itu-

lah beberapa sosok tubuh terlihat berkelebat dan 

tegak tidak jauh dari tempat Joko. Joko melirik. 

Ternyata mereka adalah Putri Sableng, Raden Mas 

Antar Langit, Cucu Dewa, serta Dewa Orok.

"Bayu Bajra!" Putri Sableng angkat bicara. "Ma-

lam ini kau tahu siapa sebenarnya muridmu! Jadi 

jangan memperpanjang urusan!"

Kakek berpakaian putih yang ternyata adalah 

Bayu Bajra dan bukan lain adalah guru Malaikat 

Penggali Kubur gerakkan kedua tangannya ke 

atas. Tangan Joko ikut terangkat. Masih dengan 

memegang tangan Joko, si kakek gelengkan kepa-

la. Lalu berucap.

"Aku tidak memperpanjang urusan, sahabat-

sahabat sekalian! Dan aku kini tahu siapa murid-

ku! Tapi adalah tidak layak bagi diriku membiar-

kan seorang murid harus menanggung sengsa-

ra...."

"Hemmm.... Baik! Sekarang apa maumu?! Ka-

lau kau inginkan muridmu, lekas bawa dia pergi. 

Tapi tinggalkan dahulu kitabnya!" Putri Sableng 

yang tidak sabaran kembali buka suara.

Bayu Bajra kembali gelengkan kepala. "Aku in-

ginkan muridku seutuhnya...."

"Maksudmu?!" tanya murid Pendeta Sinting.

"Aku tahu.... Muridku datang ke sini dengan 

membawa kitab itu. Jadi dia pergi dari sini juga 

harus tanpa tinggalkan kitab itu!"

"Hem.... Kau tahu apa yang dilakukan muridmu 

dengan kitab itu?!" tanya Joko. Kedua tangannya 

ditarik pulang.

Bayu Bajra anggukkan kepala. Lalu buru-buru


berkata ketika dilihatnya Joko akan buka mulut 

lagi. "Pendekar 131.... Muridku memang berjalan 

di luar garis yang pernah kukatakan. Namanya 

sudah menjadi sejarah hitam dalam dunia persila-

tan. Sekaligus dia telah mencoreng mukaku di ma-

ta kalangan orang-orang persilatan...."

Bayu Bajra berpaling sejenak pada Raden Mas 

Antar Langit dan Putri Sableng, lalu lanjutkan 

ucapannya. "Namun, apakah seorang yang sudah 

tersesat jalan, tertutup baginya jalan terang?! 

Apakah sebuah kesalahan tidak bisa ditebus?! 

Muridku memang berbuat kesalahan besar dan 

terjerumus dalam kesesatan yang teramat dalam. 

Walau itu tidak ku kehendaki, tapi setidaknya aku 

ikut bertanggung jawab! Untuk itulah aku men-

ginginkan dia pergi dengan utuh. Aku ingin bukti-

kan pada kalian, bahwa dengan masih membawa 

kitab itu, dia bisa berubah! Sebagai wakil dari mu-

ridku, aku minta maaf pada kalian semua...."

Bayu Bajra bungkukkan tubuh menjura hor-

mat. Lalu perlahan-lahan hendak mengangkat tu-

buh Malaikat Penggali Kubur.

Putri Sableng melompat dan tegak di samping 

Joko, "Aku tidak yakin kalau kau dapat merubah 

muridmu, Bayu Bajra! Kau hanya boleh pergi den-

gan muridmu tanpa kitab itu!"

"Hem.... Gadis ini layaknya kenal betul dengan 

kakek itu. Sialan! Siapa sebenarnya gadis ini?! 

Aku makin jadi bingung dibuatnya!" Diam-diam 

murid Pendeta Sinting membatin.

"Bukti memerlukan waktu.... Harap kau tidak 

mengambil keputusan sebelum berlalunya waktu! 

Kelak jika muridku melakukan hal yang di luar 

garis, aku akan serahkan diri sebagai tebusan!"

Sesaat hening. Bayu Bajra pandangi satu per-

satu pada semua orang di situ. Sementara yang


dipandang sating pandang satu sama lain. Saat 

itulah tiba-tiba satu sosok berkelebat seraya kelu-

arkan gemboran suara keras. Bersamaan itu 

menghampar gelombang hitam pekat disertai ber-

kilat-kilatnya cahaya kekuningan.

"Menyingkir!" teriak Putri Sableng. Lalu melom-

pat mundur. Saat yang sama semua orang juga 

melompat mundur dengan tangan masing-masing 

orang berkelebat.

Terdengar ledakan luar biasa dahsyat. Bebera-

pa orang tampak bermentalan. Karena gelombang 

hitam dihadang beberapa pukulan, tak ampun lagi 

gelombang hitam langsung semburat. Namun ha! 

ini membuat sosok Malaikat Penggali Kubur yang 

terkapar tersapu deras ke depan dan jatuh berge-

debukan.

Begitu gelombang hitam buyar, tampak Joko ja-

tuh terduduk. Putri Sableng dan Raden Mas Antar 

Langit berlutut di atas pasir. Cucu Dewa tergontai-

gontai karena pegangi Dewa Orok yang tersentak-

sentak. Hanya Bayu Bajra yang tetap tegak walau 

mundur beberapa langkah. Hal ini terjadi karena 

Joko, Putri Sableng, dan Raden Mas Antar Langit 

sudah terluka dalam.

Di seberang depan, tampak sosok Iblis Rangkap 

Jiwa yang masih pegang erat-erat Pedang Tumpul 

131 tergolek di atas pasir. Lima langkah di sebelah 

Iblis Rangkap Jiwa, Malaikat Penggali Kubur men-

gerang terputus-putus.

Namun semua orang tiba-tiba sama beliakkan 

mata. Iblis Rangkap Jiwa bergerak-gerak. Menda-

dak salah satu kakinya bergerak menghantam ba-

tu di belakangnya. Batu itu langsung hancur. Tapi 

bersamaan dengan itu sosoknya meluncur menyu-

sur pasir dan berhenti tepat di samping sosok Ma-

laikat Penggali Kubur.


Meski sudah terluka teramat parah, namun 

Malaikat Penggali Kubur bisa menduga gerakan 

orang. Hingga sambil mengerang tinggi, kedua ka-

kinya dilipat ke atas lalu bergulingan ke kanan 

menghadap sosok Iblis Rangkap Jiwa yang me-

nyusur datang. Lututnya segera disentakkan pada 

kitab di perutnya.

Terdengar deruan pelan. Iblis Rangkap Jiwa 

tersentak. Dalam keterkejutannya, dia putar diri di 

atas pasir hingga kakinya kini menghadap lurus 

ke arah Malaikat Penggali Kubur. Dengan kerah-

kan segenap sisa-sisa tenaga dalamnya, kedua ka-

ki Iblis Rangkap Jiwa menghantam perut Malaikat 

Penggali Kubur di mana tersimpan kitab.

Dess! Desss!

Malaikat Penggali Kubur tak mampu lagi per-

dengarkan seruan. Sosoknya mencelat jauh ke 

udara lalu melayang-layang sebelum akhirnya 

menukik deras ke atas air kedung. Bersamaan itu 

karena kaki Iblis Rangkap Jiwa juga menghantam 

kitab di perut Malaikat Penggali Kubur, tak ampun 

lagi tiga deruan terdengar susul menyusul. Saat 

lain tubuh Iblis Rangkap Jiwa sudah terlempar. 

Karena tadi Iblis Rangkap Jiwa sentakkan kaki ke 

kitab dengan tenaga dalam, tak ampun lagi gelom-

bang yang menghajarnya begitu dahsyat. Hingga 

Pedang Tumpul di tangannya terlepas. Sosoknya 

terlempar menghantam beberapa batu sampai po-

rak-poranda sebelum akhirnya terhenti setelah 

tertahan batu besar.

Byuurrr!

Air Kedung Ombo bergolak untuk kesekian ka-

linya. Bayu Bajra sudah berkelebat mengejar, begi-

tu pula Cucu Dewa dan Dewa Orok. Murid Pende-

ta Sinting berkelebat mengambil pedangnya. Lalu 

melompat ke arah pinggiran kedung. Putri Sableng


dan Raden Mas Antar Langit menyusul di bela-

kang.

Begitu semua orang berada di pinggir kedung, 

suasana jadi sirap. Joko melirik ke samping kanan 

kiri. Saat lain dia telah melesat ceburkan diri ke 

dalam kedung.

Byuuur!

Air kedung kembali muncrat. Raden Mas Antar 

Langit terdengar bergumam karena wajahnya yang 

hitam bedakan arang jadi coreng moreng tak ka-

ruan terkena muncratan air. Di sebelahnya, Putri 

Sableng sudah cekikikan.

Sementara di dalam kedung, begitu matanya 

menangkap sosok Malaikat Penggali Kubur yang 

hendak balik ke atas, Joko cepat menghadang. 

Tangan kiri kanannya bergerak ke arah perut Ma-

laikat Penggali Kubur di mana terikat Kitab Hitam. 

Dengan sekali sentak, tali pengikat Kitab Hitam 

putus.

Namun baru saja tangan Joko memegang Kitab 

Hitam, dari arah dasar kedung terdengar suara 

dengungan dahsyat. Memandang ke bawah, murid 

Pendeta Sinting tersentak kaget. Air di bawahnya 

tampak membentuk jalur gelombang lurus ke 

arahnya disertai cahaya terang!

Menangkap isyarat bahaya, Joko tak mau ber-

tindak ayal. Dia segera kerahkan tenaga dalam 

pada tangan kanan. Lalu disentakkan guna le-

paskan pukulan 'Sundrik Cakra'. Blummm!!!

Air Kedung Ombo bergolak liar. Masing-masing 

orang yang berada di luar kedung rasakan pija-

kannya bergetar keras. Sosok Malaikat Penggali 

Kubur melesat dari dalam air setinggi tiga tombak 

lalu menukik kembali ke dalam kedung. Bersa-

maan itu satu sosok tubuh berkelebat muncul dari 

dalam kedung dan tegak tergontai-gontai di pinggir


kedung.

Orang ini ternyata seorang laki-laki berusia lan-

jut. Rambutnya yang dipotong pendek hingga ter-

lihat jabrik. Raut wajahnya penuh keriputan. Se-

pasang matanya terpuruk masuk ke dalam rongga 

yang dalam. Kumisnya panjang dan putih dibiar-

kan panjang sampai hampir menutupi janggutnya. 

Pada sepasang cuping hidungnya melingkar ant-

ing-anting dari benang berwarna merah. Kakek ini 

mengenakan pakaian warna biru gelap.

Anehnya, meski baru saja muncul dari dasar 

kedung, rambut dan pakaian si kakek tetap ker-

ing!

Kakek ini memandang pada satu persatu orang 

yang tegak di pinggir kedung. Seperti pada saat 

pertama kemunculannya di Kedung Ombo, si ka-

kek hanya memandang tanpa buka mulut. Sesat 

kemudian si kakek arahkan pandangannya ke air 

kedung, lalu masih kancingkan mulut, dia berke-

lebat tinggalkan tempat itu. Dari gerakan si kakek 

semua orang dapat menebak kalau dia terluka da-

lam. Karena begitu berkelebat, terdengar batuk-

batuk beberapa kali. Ketika semua orang menoleh, 

si kakek yang sudah berada di depan sana tampak 

buka mulut sambil semburkan darah!

Joko sendiri tampak limbung, namun dia kua-

tkan diri dan segera mencari-cari, karena Kitab Hi-

tam yang tadi sudah berada di tangannya terlepas 

begitu terjadi bentrok pukulan.

Karena matanya tidak menangkap Kitab Hitam, 

sementara napasnya sudah megap-megap karena 

berada agak lama di dalam air, murid Pendeta 

Sinting segera melesat keluar dan duduk di bibir 

kedung. Saat itulah matanya menangkap hambu-

ran kertas hitam yang porak-poranda di atas per-

mukaan air kedung.

"Hm.„. Syukur. Kitab Hitam telah hancur!" gu-

mamnya. Sementara orang di sekitar kedung sama 

kancingkan mulut begitu melihat dari dasar ke-

dung semburat serpihan-serpihan kertas hitam 

hancur dari Kitab Hitam.

Beberapa saat berlalu. Putri Sableng tiba-tiba 

berpaling pada Raden Mas Antar Langit. "Kitab Hi-

tam sudah hancur. Dan...."

"Kitab Hitam memang sudah hancur, tapi ang-

kara murka manusia-manusia hitam tidak akan 

terhenti dengan hancurnya Kitab Hitam," potong 

Raden Mas Antar Langit.

Habis berkata begitu, Raden Mas Antar Langit 

melangkah ke arah Raden Mas Antar Bumi yang 

kini terlihat duduk berdampingan dengan Ni Luh 

Pad mi di kawasan berbatu di sebelah kanan ke-

dung. Tidak jauh dari kedua orang ini, tampak 

berdiri Gendeng Panuntun dan perempuan berca-

dar putih.

Begitu baru saja Raden Mas Antar Langit me-

langkah, tiba-tiba satu sosok berkelebat lalu me-

luncur deras masuk ke air kedung.

Byuurrr!

"Apa yang akan dilakukan pemuda itu?!" gu-

mam Bayu Bajra. Yang mencebur ternyata Dewa 

Orok. Pemuda bertangan buntung ini tampak ge-

rak-gerakkan kakinya ke sosok Malaikat Penggali 

Kubur. Tak lama kemudian sosoknya telah mele-

sat kembali lalu tegak di samping Bayu Bajra.

"Kek..„ Aku hanya mengambil barang ini!" Dewa 

Orok dongakkan kepala. Lalu mulutnya mengem-

bung dan meniup. Tatkala mulutnya dibuka nam-

pak mencuat bundaran karet mirip dot bayi yang 

melayang-layang di udara sebelum akhirnya mele-

sat dan menempel di mulutnya. Terdengar suara 

duutt! Duuutt! Duutt! Beberapa kali.


Bayu Bajra memandang sayu tanpa buka mu-

lut. Saat lain orang tua ini melesat ke atas air ke-

dung. Tangan kiri kanannya bergerak. ketika dia 

kembali injakkan kaki di hamparan pasir di bibir 

kedung, pada kedua tangannya telah menelentang 

sosok Malaikat Penggali Kubur yang sudah tidak 

bernyawa lagi.

Masih dengan kancingkan mulut dan tidak 

memandang pada semua orang yang berada di si-

tu, Bayu Bajra melangkah perlahan-lahan tinggal-

kan Kedung Ombo. Saat itu lintasan langit sebelah

timur sudah nampak merah kekuningan.

Murid Pendeta Sinting pandangi kepergian 

Bayu Bajra dengan berbagai perasaan. Tiba-tiba 

dia teringat pada Iblis Rangkap Jiwa. Dia bergerak 

bangkit lalu arahkan pandangan pada tempat di 

mana tadi laki-laki berkepala gundul itu berada. 

Namun meski telah nyalangkan mata, dia tidak 

melihat lagi sosok Iblis Rangkap Jiwa.

"Dia sudah pergi... mungkin takut melihat pan-

tatmu dan pantat temanmu ini!" Yang buka suara 

ternyata Cucu Dewa. Laki-laki bertubuh pendek 

ini arahkan pandangannya pada Putri Sableng 

yang berpaling dengan mata mendelik. Sebelum 

Putri Sableng buka mulut, Cucu Dewa lambaikan 

tangan pada muridnya Dewa Orok.

"Dotmu telah kau dapatkan kembali! Kita di-

tunggu seseorang!"

"Siapa...?!" tanya Dewa Orok.

"Kau lupa dengan Bidadari Cadar Putih...?! Dia 

berada di sana bersama kakek buta itu...." Cucu 

Dewa arahkan telunjuk jarinya pada kawasan ber-

batu sebelah kanan kedung.

Tanpa tunggu sahutan Cucu Dewa berkelebat. 

Dewa Orok langsung menyusul. Joko arahkan 

pandangannya sejurus pada kawasan sebelah kanan kedung. "Bidadari Cadar Putih.... Hem.... Aku 

harus mengucapkan terima kasih padanya! Tapi.... 

Siapa dia sebenarnya? Kedatangannya hampir 

bersamaan dengan Kakek Gendeng Panuntun. 

Dan kulihat mereka akrab sekali.... Jangan-

jangan...." Joko hendak berkelebat namun di-

urungkan tatkala tiba-tiba Putri Sableng yang ma-

sih tegak tidak jauh dari tempatnya mengeluh 

tinggi lalu limbung.

Murid Pendeta Sinting buru-buru melompat la-

lu menahan tubuh Putri Sableng. "Bagaimana bisa 

begini?! Baru saja dia membentak-bentak. Seka-

rang.... Hem.... Mungkin dia masih terluka da-

lam.... Aku pun sebenarnya merasakan sekujur 

tubuh seperti mau tanggal...."

"Jangan bicara dahulu...," gumam Joko ketika 

dilihatnya Putri Sableng hendak buka mulut. "Kau 

mungkin masih terluka dalam.... Aku akan mema-

pahmu!" Joko lingkarkan tangan kanan pada 

pinggang Putri Sableng lalu ambil tangan si gadis 

dan diletakkan pada tengkuknya. Sebenarnya Jo-

ko hendak ajukan tanya selagi mereka berdua me-

langkah ke arah kawasan berbatu sebelah kanan 

kedung di mana semua orang berkumpul. Tapi 

niatnya diurungkan ketika dilihatnya Putri Sab-

leng pejamkan mata.

"Gadis cantik.... Ilmunya juga sangat tinggi.... 

Pengetahuannya tentang orang-orang persilatan 

juga banyak! Hem...."

Begitu Joko dan Putri Sableng berada di kawa-

san berbatu sebelah kanan kedung. Tiba-tiba Ra-

den Mas Antar Langit perdengarkan tawa bergelak. 

Disusul kemudian oleh Raden Mas Antar Bumi. 

Gendeng Panuntun tersenyum-senyum. Dewa 

Orok dan Cucu Dewa saling pandang tak mengerti. 

Ni Luh Padmi mendelik. Hanya perempuan bercadar putih yang tampak alihkan pandangan dengan 

menarik napas dalam.

"Sitoresmi.... Ada apa hingga orang-orang ini 

berlaku seperti melihat sesuatu yang lucu?!" Gen-

deng Panuntun buka mulut sambil arahkan pan-

dangannya pada perempuan bercadar putih.

"Sitoresmi!" Mendadak Joko berseru. Dia sea-

kan ingin melompat. Namun karena Putri Sableng 

berada dalam papahannya, akhirnya dia hanya bi-

sa dorongkan sedikit wajahnya.

Di depannya, perempuan bercadar putih yang 

dipanggil Sitoresmi tampak salah tingkah. Dia 

memandang pada murid Pendeta Sinting. "Dia ti-

dak lupa namaku.... Tapi apa dia masih sering 

mengingatku...?! Tapi.... Ah, di sampingnya ada 

gadis cantik. Tentu dia sudah melupakanku kalau 

Guru tidak sebut namaku tadi.... Mengapa harus 

begini nasibku?! Masih pantaskah aku mengingat 

dan selalu merindukannya? Padahal aku yakin di 

hatinya tidak ada namaku apalagi sampai mengin-

gatku.... Aku.... Aku tidak bisa berlama-lama di 

sini! Orang yang tidak bisa kulupakan ada di de-

panku dengan seorang gadis cantik.... Aku tak 

mau perasaanku berubah! Biarlah dia bersama 

gadis siapa saja asal tidak di depan mataku, agar 

perasaan ini tidak berubah dan perlahan-lahan le-

nyap...."

"Guru...," ujar Sitoresmi. "Kalau sudah tidak 

ada hal lagi yang perlu dilakukan, sebaiknya kita 

segera tinggalkan tempat ini...."

"Tunggu!" Joko menahan. Lalu menatap satu 

persatu pada semua orang di hadapannya. "Kuu-

capkan terima kasih atas jasa kalian semua. Dewa 

Orok, Cucu Dewa, Sitoresmi, Kakek Gendeng Pa-

nuntun, Kakek iblis Ompong, Eyang Guru, dan 

Nenek Ni Luh Padmi!" Joko bungkukkan sedikit


tubuhnya menjura ke arah satu persatu orang di 

hadapannya.

"Jahanam! Jadi kau...." Tiba-tiba terdengar ma-

kian. Ternyata yang bersuara memaki adalah Ni 

Luh Padmi. Nenek ini cepat maju lalu balikkan tu-

buh tepat menghadap Raden Mas Antar Bumi. 

Tangan kiri kanannya terangkat.

"Bertahun-tahun kucari. Ternyata kau di sam-

pingku! Tahu siapa kau sebenarnya, tidak sudi 

aku tadi kau tolong! Tapi pertolonganmu tidak 

akan dapat mengikis dendamku! Saat ini juga kau 

harus mampus!"

Ni Luh Padmi kelebatkan tangan kiri kanannya.

"Tunggu! Sabar.... Sabar, Nini...," kata Raden 

Mas Antar Bumi yang ternyata bukan lain adalah 

Pendeta Sinting, guru Joko Sableng, sambil angkat 

kedua tangannya menahan gerakan kedua tangan 

si nenek. "Semua akan kita selesaikan.... Tapi ti-

dak di sini!"

Si nenek sentakkan kedua tangannya dan dita-

rik pulang. "Urusan kita bisa diselesaikan di mana 

saja! Karena akhir urusan itu hanya perlu lobang 

tanah untuk mengubur mayatmu!"

"Betul! Betul! Tapi...."

"Nek.... Jangan terbakar perasaan.... Semua 

urusan bisa diselesaikan tanpa harus membuka 

lobang tanah untuk penguburan. Aku tidak tahu 

apa urusanmu dengan sahabatku Pendeta Sinting, 

tapi tidak ada salahnya aku ikut bicara.... Selesai-

kan semua urusan dengan dada lapang. Hilangkan 

dahulu prasangka buruk sebelum buka urusan.... 

Dengan begitu hasilnya akan baik...." Yang bicara 

Gendeng Panuntun.

"Betul!" sahut Raden Mas Antar Langit yang 

ternyata adalah Iblis Ompong. "Malah kami semua 

berharap urusanmu berakhir dengan damai. Pokoknya yang tadinya dendam berubah jadi rindu. 

Benci berbalik jadi kangen. Ucapan kasar jadi 

rayu-merayu. Makian jadi cekikikan...."

"Baik! Sekali ini aku mengalah! Sekarang kau 

tunjuk tempat di mana ingin kau selesaikan uru-

san kita!" Pada akhirnya Ni Luh Padmi mengalah 

setelah berpikir agak panjang.

"Nah, Joko...," ujar Iblis Ompong. "Eyang gu-

rumu hendak selesaikan tugas penting. Kuharap 

kau mengerti dan tidak coba-coba pasang telinga 

apalagi mengintip! Ini urusan orang-orang tua! 

Kau paham...?!"

Semua orang tertawa tertahan. Hanya Ni Luh 

Padmi yang pasang tampang cemberut. Di depan-

nya, Pendeta Sinting mengelus dada seraya pasang 

tampang angker pada muridnya. "Gara-gara uca-

pan Sontoloyo itu rencana jadi berantakan tak ka-

ruan!"

Melihat tampang gurunya, buru-buru Joko bu-

ka mulut. Namun Pendeta Sinting cepat memo-

tong. "Sontoloyo! Jangan buka mulut lagi di sini! 

Kutunggu kau tiga hari mendatang!"

Joko kancingkan mulut lagi. Semua orang 

kembali tertawa tertahan-tahan. Lalu Cucu Dewa 

angkat bicara. "Matahari mulai muncul. Kita ha-

rus tinggalkan tempat ini!" Laki-laki bertubuh ce-

bol ini tarik tangan Dewa Orok lalu melangkah 

pergi. Bersamaan dengan itu Sitoresmi menggan-

deng tangan gurunya Gendeng Panuntun dan ber-

lalu dari situ. Namun gadis ini sejurus masih tatap 

bola mata Joko yang saat itu tengah memandang-

nya. Perempuan bercadar putih ini seperti hendak 

bicara, namun diurungkan dan cepat-cepat alih-

kan pandangan seraya melangkah. Pendeta Sint-

ing ulurkan tangan hendak mengajak Ni Luh 

Padmi. Tapi si nenek cepat tepiskan tangan Pendeta Sinting. "Jangan berani jamah tubuhku!" sentak 

si nenek.

"Ah.... Kau harus bisa tabahkan hati, Nek...," 

berucap Iblis Ompong sambil ambil tangan si ne-

nek. Herannya, Ni Luh Padmi tidak menolak. En-

tah karena masih menindih hawa amarah hingga 

dia tak sadar kalau perlahan-lahan Iblis Ompong 

menggandeng tangannya lalu mengajaknya berlalu 

menyusul orang-orang di depan sana.

Iblis Ompong masih sempat leletkan lidah lalu 

buka mulut lebar-lebar pada Pendeta Sinting begi-

tu tangannya menggandeng tangan si nenek dan 

melangkah saling berjajar.

Pendeta Sinting menggumam tak jelas. Dia ta-

tapi tampang muridnya lalu tanpa buka mulut me-

langkah menyusul dan berjalan pelan-pelan di be-

lakang Iblis Ompong dan Ni Luh Padmi yang ma-

sih bergandengan tangan.

"Mengapa kau masih tegak...?!" Joko tersentak 

mendengar ucapan Putri Sableng yang masih ada 

dalam dukungannya. Joko berpaling. Putri Sab-

leng masih pejamkan mata. Pada bibirnya masih 

tampak tetesan darah. Pendekar 131 menarik na-

pas. Perlahan-lahan tangan kirinya terangkat 

mengusap bibir Putri Sableng. Mulut Putri Sableng 

terlihat bergerak-gerak. Namun Joko buru-buru

berkata. "Aku membersihkan tetesan darah pada 

sekitar bibirmu...." Namun diam-diam Joko mem-

batin. "Ah.... Bibir gadis ini begitu mempesona.... 

Seandainya kau...."

Joko tak lanjutkan ucapannya, karena bibir Pu-

tri Sableng membuka setengah. Dada murid Pen-

deta Sinting berdebar. Entah karena apa, tiba-tiba 

Joko dekatkan wajahnya ke wajah si gadis. Mera-

sakan Putri Sableng tidak menolak, Joko makin 

berani. Dia lebih dekatkan lagi wajahnya hingga


hidung keduanya saling bersentuhan.

Bibir Joko lalu bergerak ke bibir Putri Sableng. 

Masih tak ada penolakan, Joko makin berani. Dia 

mulai mengulum bibir si gadis. Mula-mula hangat, 

namun kejap lain ada sesuatu yang mengganjal, 

bersamaan itu murid Pendeta Sinting merasakan 

lidahnya getir dan pahit.

Pendekar 131 Joko Sableng tarik pulang wa-

jahnya. Saat itu suasana sudah terang benderang 

karena matahari sudah muncul. Mendadak sepa-

sang mata Joko terpentang besar. Tangan kanan-

nya yang melingkar pada pinggang si gadis luruh 

ke bawah. Kedua lututnya goyah.

Gadis di samping Joko buka sepasang matanya. 

Lalu mulutnya bergerak-gerak. Kini di mulutnya 

tampak menggumpal tembakau hitam! Rambutnya 

yang tadi hitam lebat ternyata telah berubah putih 

dan cepak hanya sebatas tengkuk! Wajahnya pun 

berubah menjadi seorang nenek-nenek yang ber-

kulit keriput. Sepasang matanya menjorok ke da-

lam dan tampak sipit. Saat yang sama dari mulut-

nya terdengar suara tawa cekikikan!

"Ratu Malam...." Teriak Joko dengan tampang 

merah padam dan tubuh jatuh terduduk.

Putri Sableng yang ternyata adalah Ratu Malam

perkeras cekikikannya. Lalu disambut dengan su-

ara tawa bergelak-gelak dari depan sana! Suara 

tawa cekikikan dan terbahak-bahak menggaung 

menyungkup kawasan kedung, seakan mengha-

pus hawa kematian yang baru saja menggantung 

di atas langit Kedung Ombo!



                        SELESAI


egera terbit!!!

Serial Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng 

dalam episode:


KEMBANG DARAH SETAN


















Share:

0 comments:

Posting Komentar