Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang
Joko Sableng telah
Terdaftar pada Dept. Kehakiman R. I.
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek
dibawah nomor 012875
Karya:
ZHAENAL FANANI
SATU
SESAAT Iblis Rangkap jiwa pentangkan mata
mengawasi Dewa Orok di seberang sana. Saat lain
laki-laki berkepala gundul itu melayang turun dari
puncak batu lalu berkelebat melintasi hamparan
pasir yang membelah dua kawasan berbatu. Se-
perti diceritakan dalam episode : "Kidung Maut
Malam Purnama", begitu Malaikat Penggali Kubur
tahu kalau Dewa Orok ternyata masih hidup, di-
rinya sangat berang. Lantas diperintahkannya Iblis
Rangkap Jiwa untuk menghabisi Dewa Orok.
Sementara itu melihat Iblis Rangkap Jiwa ber-
kelebat turun dari puncak batu, Ni Luh Padmi pe-
lototkan sepasang matanya. Dada si nenek berde-
gup keras. Bukan karena melihat apa yang hendak
dilakukan laki-laki berkepala gundul itu, melain-
kan dia merasa Malaikat Penggali Kubur pasti tak
akan tinggal diam mengetahui dia tidak muncul di
Bukit Selamangleng dua hari yang lalu seperti
yang telah disepakatinya bersama Ratu Pemikat
dan Iblis Rangkap Jiwa.
Dari pertanyaan Ratu Pemikat sewaktu meng-
hadang kemunculannya di kawasan sebelah ka-
nan kedung, Ni Luh Padmi sudah dapat menebak
kalau Malaikat Penggali Kubur sempat muncul di
Bukit Selamangleng dua hari yang lalu. Kemuncu-
lan Malaikat Penggali Kubur sebenarnya di luar
dugaannya. Karena dia yakin pertemuan di pun-
cak bukit itu hanya diketahui olehnya serta Ratu
Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa. Dia tidak tahu
kalau Ratu Pemikat sempat mengatakan rencana
pertemuan di bukit itu pada Malaikat Penggali Ku-
bur saat perempuan cantik bertubuh bahenol ini
menjumpai si pemuda.
Dada Ni Luh Padmi bukan saja dilanda gelisah
dengan persoalan munculnya Malaikat Penggali
Kubur di Bukit Selamangleng dua hari yang lalu.
Tapi yang lebih membuatnya gundah dan gelisah
adalah siapa yang dicari dan ditunggunya belum
juga ada tanda-tanda muncul di Kedung Ombo.
Padahal seperti alasan yang dikatakannya pada
Ratu Pemikat, si nenek telah berhasil mengetahui
di mana tempat tinggal Pendeta Sinting yang se-
lama ini dicari dan tidak menemukan orangnya.
Ni Luh Padmi sebenarnya merasa sedikit lega
meski dia tidak menemukan Pendeta Sinting di
Jurang Tlatah Perak. Karena kepergian orang yang
dicarinya masih belum lama dan saat itu adalah
menjelang purnama. Hal itu membuat si nenek
yakin kalau kepergian Pendeta Sinting ada hubun-
gannya dengan pertemuan di Kedung Ombo. Apa-
lagi urusan di Kedung Ombo berkaitan dengan
murid tunggalnya Pendekar 131.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?!" diam-
diam Ni Luh Padmi bertanya pada diri sendiri.
"Menemui Malaikat Penggali Kubur di puncak batu
itu dan mengatakan mengapa aku tidak muncul di
Bukit Selamangleng dua hari yang lalu?!" Si nenek
tengadahkan kepala ke puncak batu di sebelahnya
di mana Malaikat Penggali Kubur sekarang telah
tegak. Nenek ini jadi terkesiap. Karena saat itu
Malaikat Penggali Kubur berpaling ke arahnya
dengan sorot mata menusuk tajam!
"Hem.... Aku masih punya dugaan kalau jaha-
nam Pendeta Sinting itu akan muncul di sini! Jadi
aku tak mau buat masalah dengan Malaikat Peng-
gali Kubur sebelum bisa membereskan jahanam
itu! Kalau tidak, perjalananku ini hanya akan
menghasilkan kesia-siaan!"
Berpikir begitu, akhirnya perlahan-lahan Ni
Luh Padmi turun dari batu di mana dia tegak. La
lu melangkah ke bagian belakang batu yang mem-
bentuk bukit, di mana tegak gubuk hitam yang di
bawahnya Malaikat Penggali Kubur berdiri.
Di lain pihak, melihat si nenek akan menuju ke
tempatnya, Malaikat Penggali Kubur tersenyum
dingin. Lalu dongakkan kepala seolah menunggu.
Dan begitu si nenek sudah sejarak lima langkah di
belakangnya, dia putar tubuh. Mulutnya kelua-
rkan bentakan.
Jangan lancang buka mulut kalau tidak ku
tanya!" Ni Luh Padmi tersentak. Dia angkat tan-
gannya memandang sejurus pada Malaikat Peng-
gali Kubur. Hatinya sudah tambah tidak enak.
Namun dia diam-diam membatin.
"Tak mungkin dia mau bikin urusan denganku
dalam situasi begini! Masalah Iblis Rangkap Jiwa
kurasa lebih besar. Tapi dia hanya memerintahkan
laki-laki gundul itu selesaikan urusannya di sini!
Hem...."
Tapi walau Ni Luh Padmi sudah membatin begi-
tu, si nenek tidak mau berbuat lengah. Bisa saja
Malaikat Penggali Kubur berbuat lain dengan du-
gaannya. Maka secara diam-diam dia kerahkan
juga tenaga dalam pada kedua tangannya. Tusuk
konde besar di tangan kanannya digenggam rapat.
"Apa yang kau lakukan hingga kau tidak mun-
cul di bukit?!" Malaikat Penggali Kubur memben-
tak. Pandangannya menyengat dingin.
Si nenek balas memandang pada pemuda di
hadapannya. Saat itu tiba-tiba si nenek teringat
akan ucapan-ucapan Gendeng Panuntun. "Hem....
Ucapan manusia buta itu benar-benar terjadi! Aku
betul-betul berurusan dengan orang yang selama
ini tidak terduga sama sekali! Hem...!" Ni Luh
Padmi menghela napas. "Tapi semua sudah terja-
di! Tak mungkin aku melangkah mundur. Bahkan
sekalipun harus menghadapi pemuda ini!" Dada si
nenek berubah agak tenteram. Malah perlahan-
lahan tekadnya muncul. "Kalau dia tidak mau
mengerti urusanku hingga aku tidak muncul di
bukit dua hari yang lalu, aku siap menghadapinya
saat ini!" Setelah berpikir begitu, Ni Luh Padmi
buka mulut. "Aku jumpa seseorang yang menun-
jukkan tempat Pendeta Sinting! Sayang setelah
aku sampai di tempat jahanam itu, bangsatnya ti-
dak kutemukan! Aku menunggunya sampai satu
hari menjelang purnama! Ketika bangsat itu tidak
muncul juga, aku akhirnya langsung kemari!"
"Apa tugasmu mencari manusia sinting itu?!"
tanya Malaikat Penggali Kubur masih dengan sua-
ra meradang.
"Tidak!" jawab si nenek dengan suara agak
tinggi. "Tapi bagaimanapun juga itu salah satu tu-
juanku selama ini!"
Mendengar nada suara si nenek, Malaikat
Penggali Kubur sipitkan sepasang matanya. Lalu
enteng saja dia angkat bicara.
"Kau lupa apa yang harus kau lakukan jika
menghadapiku?!"
Karena Ni Luh Padmi sudah tahu bagaimana
tadi Iblis Rangkap Jiwa bersikap, maka dengan
menindih rasa geram, si nenek perlahan-lahan ja-
tuhkan diri berlutut di atas puncak batu.
"Kalau saja urusanku dengan tua bangka jaha-
nam sinting itu usai, tak sudi aku diperlakukan
orang begins rupa! Hem.... Ini gara-gara jahanam
sinting itu!" kata si nenek dalam hati. Perlakuan
Malaikat Penggali Kubur membuat kegeraman Ni
Luh Padmi pada Pendeta Sinting makin berkobar
dan makin dalam.
"Kau dapat menduga ke mana kira-kira orang
yang kau cari itu?!" tanya Malaikat Penggali Ku
bur. Karena diam-diam pemuda ini ingin juga
menghabisi nyawa Pendeta Sinting, sebab Pendeta
Sinting adalah guru Pendekar 131, orang yang ha-
rus dimusnahkan!
"Kalau aku tahu ke mana perginya, aku tak
akan tinggal diam! Saat ini dia boleh berlari, tapi
tak ada tempat baginya untuk sembunyi!"
"Apa kau menganggap murid orang yang kau
cari termasuk orang yang harus kau musnahkan
juga?!"
"Hem.... Orang ini rupanya hendak menyuruh-
ku menghabisi pemuda murid Pendeta Sinting
itu!" simpul Ni Luh Padmi sambil lirikkan matanya
ke seberang sana, di mana murid Pendeta Sinting
tegak berada.
"Kau takut menghadapi murid jahanam sinting
itu?!" Ni Luh Padmi balik bertanya.
Mata Malaikat Penggali Kubur membesar ang-
ker. Pelipisnya bergerak-gerak. Namun kejap lain,
pemuda murid Bayu Bajra ini perdengarkan tawa
pendek. Lalu berkata dengan dada dibusungkan.
"Dengar, Nenek Tua! Saat ini tak ada yang kutaku-
ti di atas bumi ini! Sejak malam ini, kekuasaan
rimba persilatan ada dalam genggamanku!" Malai-
kat Penggali Kubur angkat tangan kanannya. Lalu
perlahan-lahan membuat gerakan mengepal hing-
ga terdengar suara berkeretekan.
"Lalu apa maksud ucapanmu tadi?!" tanya Ni
Luh Padmi.
"Kau adalah salah seorang yang harus tunduk
pada perintahku. Jadi jangan kau anggap aku ta-
kut hadapi orang kalau aku memerintahmu
menghadapi orang itu! Kau paham maksudku?!"
Ni Luh Padmi tidak segera menjawab atau ang-
gukkan kepala walau dia sudah bisa menebak ke
arah mana ucapan Malaikat Penggali Kubur.
"Aku ingin tahu sampai di mana ilmu yang kau
miliki! Hadapi manusia bangsat bergelar Pendekar
131 itu! Tapi ingat, nyawanya untukku! Kau hanya
perlu membuatnya meregang nyawa!" ucap Malai-
kat Penggali Kubur lalu balikkan tubuh.
Sesungguhnya, di balik perintah Malaikat
Penggali Kubur agar Ni Luh Padmi hadapi murid
Pendeta Sinting, ada satu maksud tertentu. Malai-
kat Penggali Kubur telah mendengar kalau Pende-
kar 131 membekal dua kitab sakti. Namun selama
ini dia belum sempat bertemu dengan murid Pen-
deta Sinting hingga dia tak dapat mengukur sam-
pai di mana kehebatan murid Pendeta Sinting se-
telah di tangannya tergenggam dua kitab sakti itu.
Dalam diri Malaikat Penggali Kubur sebenarnya
sudah tertanam keyakinan kalau Kitab Hitam di
tangannya lebih hebat. Tapi dia akan lebih yakin
lagi kalau dia sudah melihat bagaimana ilmu mu-
rid Pendeta Sinting saat ini. Untuk itulah dia sen-
gaja memerintahkan Ni Luh Padmi untuk meng-
hadapi Pendekar 131.
Di lain pihak, Ni Luh Padmi sebenarnya enggan
untuk menghadapi murid Pendeta Sinting meski
dia masih merasa geram dengan Joko karena saat
bertemu pada beberapa hari yang lalu, Joko tidak
mau mengatakan di mana Pendeta Sinting berada.
Lebih dari itu, karena dia sesungguhnya tidak
mau buang tenaga sia-sia sebelum menemukan
orang yang selama ini dicarinya.
Tapi karena Ni Luh Padmi tidak mau bikin
urusan dengan Malaikat Penggali Kubur, apalagi
setelah maklum kalau si pemuda sukar ditakluk-
kan, maka dengan langkah enggan, si nenek turun
dari puncak batu dan memutuskan menghadapi
murid Pendeta Sinting.
Sementara itu, di sebelah kiri batu yang mem
bukit di mana Malaikat Penggali Kubur berada,
Putri Sableng tampak membuat gerakan begitu
melihat iblis Rangkap Jiwa melayang turun dari
puncak bukit. Gadis berjubah merah ini seolah
hendak berkelebat, namun entah karena apa tiba-
tiba dia urungkan niat. Dia kini hanya melihat ge-
rakan Iblis Rangkap Jiwa yang mulai berlari me-
lintasi hamparan pasir.
Tidak jauh dari Putri Sableng, Dewi Siluman
tampak pentangkan mata melihat gerakan iblis
Rangkap Jiwa. Tapi perempuan bercadar hitam ini
tidak membuat gerakan apa-apa.
Sedangkan kedua orang berwajah hitam yang
ada di puncak batu cadas putih sama-sama kan-
cingkan mulut dengan mata masing-masing orang
memejam rapat! Namun begitu, tampak sekali ke-
palanya bergerak mengikuti arah berlarinya Iblis
Rangkap Jiwa!
Sementara di seberang, Ratu Pemikat yang te-
gak tidak jauh dari Dewa Orok segera melompat
kesamping kiri, seolah memberi jalan Iblis Rang-
kap Jiwa. Dari bentakan Malaikat Penggali Kubur
dan sikap Iblis Rangkap Jiwa, rupanya perempuan
bertubuh bahenol itu sudah dapat menangkap apa
yang akan dilakukan Iblis Rangkap Jiwa.
Tidak jauh dari Ratu Pemikat, Dewa Orok don-
gakkan kepala dengan tubuh bergetar! Dia juga
sudah tahu ke mana arah yang dituju Iblis Rang-
kap Jiwa. Pemuda bertangan buntung ini sadar
kalau jiwanya berada di ujung tanduk! Karena se-
lain paham kalau Iblis Rangkap Jiwa berilmu ting-
gi dan tidak mempan pukulan, dia juga maklum,
tanpa bundaran karet miliknya, dia tidak bisa ke-
rahkan tenaga dalam apalagi lepaskan pukulan.
Dia memang masih bisa kerahkan ilmu peringan
tubuh untuk berkelit menghindar. Tapi apa gunanya kalau menghadapi Iblis Rangkap Jiwa? Dan
sampai kapan dia mampu menghindar menghada-
pi Iblis Rangkap Jiwa yang berilmu tinggi?
Namun melihat gerakan Iblis Rangkap Jiwa,
yang tidak kalah terkejutnya adalah murid Pende-
ta Sinting. Dia saat itu masih tegak di hamparan
pasir yang membelah dua kawasan berbatu di ka-
nan kiri kedung. Padahal untuk sampai pada De-
wa Orok, Iblis Rangkap Jiwa harus melewati tem-
pat di mana dia saat itu tegak. iblis Rangkap Jiwa
pasti tidak akan begitu saja lewat, karena Iblis
Rangkap Jiwa sendiri punya ganjalan dengan mu-
rid Pendeta Sinting.
Berpikir sampai ke sana, akhirnya begitu Iblis
Rangkap Jiwa mulai berlari melintasi hamparan
pasir di depan kedung, murid Pendeta Sinting ce-
pat menghadang.
Gerakan Pendekar 131 membuat Dewa Orok
sedikit bernapas lega, sementara di seberang sana,
Ni Luh Padmi urungkan niatnya yang hendak ber-
lari ke arah murid Pendeta Sinting. Dan menung-
gu apa yang akan terjadi.
Di lain pihak, melihat dirinya dihadang, Iblis
Rangkap Jiwa segera hentikan larinya sejarak tu-
juh langkah di hadapan murid Pendeta Sinting.
"Hem.... Akhirnya kau yang harus mengubah
warna air kedung terlebih dahulu!" ujar Iblis
Rangkap Jiwa. Kedua tangannya sudah terangkat
di atas kepala.
Murid Pendeta Sinting pandangi orang sesaat.
Lalu bertanya.
"Imbalan apa yang kau peroleh hingga kau rela
mengabdi pada pemuda di gubuk hitam itu?! Pe-
rempuan cantik?!" Sesaat Joko hentikan ucapan-
nya. Lalu tanpa memberi kesempatan Iblis Rang-
kap Jiwa untuk angkat bicara, dia telah lanjutkan
ucapan.
"Kalau imbalan itu yang kau inginkan, aku bisa
memberimu lebih! Aku punya banyak simpanan
perempuan cantik! Kau tinggal sebut bagaimana
seleramu! Putih mulus, hitam manis, kuning lang-
sat?! Berambut panjang, berambut pendek, atau
keriting...? Bertubuh montok, kurus, atau gem-
brot?! Bahkan aku punya simpanan nenek-nenek
yang penampilannya tidak kalah dibanding gadis-
gadis muda!"
Iblis Rangkap Jiwa pentangkan mata dengan
hidung mendengus. Tapi sebelum laki-laki ini
sempat buka mulut, dari arah puncak batu cadas
putih terdengar teriakan.
"Hai, Teman Baru! Tidak dinyana kalau kau
punya simpanan perempuan begitu lengkap! Ke-
napa kau tadi tidak memberi tawaran pada kami
berdua?! Apa penampilan kami berdua kurang ke-
ren?! Padahal kalau diukur dengan orang di hada-
panmu, siapa pun juga pasti mengatakan kami le-
bih cakep!"
"Betul! Lihat, rambut di kepalanya saja dia ti-
dak punya. Apalagi rambut di dalamnya! Hik....
Hik.... Hik. .! Raut wajahnya hanya tinggal tulang-
belulang. Bagaimana bentuk senjata saktinya?!
Jangan-jangan hanya tinggal kerangka tanpa dag-
ing! Waduh.... Mungkin bentuknya akan lucu!"
"Lucu memang lucu!" sahut satunya. "Yang ku-
bayangkan bagaimana cara bekerjanya?!"
"Husyy! Jangan bicara jauh-jauh sampai ke si-
tu! Di sini ada telinga seorang gadis yang ikut
mendengarkan!"
“Ah.... Aku tidak bicara terlalu jauh! Aku hanya
membayangkan! Dan kalaupun ada telinga gadis
yang mendengarkan dan ikut membayangkan, itu
salahnya sendiri!"
Lalu terdengar suara tawa bergelak bersahut-
sahutan. Malah semua orang lamat-lamat juga
mendengar suara tawa perempuan cekikikan yang
berasal dari kawasan berbatu di sebelah kiri ke-
dung di atas mana Malaikat Penggali Kubur tegak.
Iblis Rangkap Jiwa sentakkan kaki kanannya.
Kepalanya berpaling mendongak ke arah puncak
batu cadas putih. Namun gerakan laki-laki berke-
pala gundul ini terlambat. Karena matanya sudah
tidak melihat dua kepala berambut awut-awutan
yang tadi nongol di bibir puncak batu.
"Aku telah menawarkan imbalan padamu! Ba-
gaimana?! Kau pilih yang mana?! Atau kau ingin
borong semuanya?!" ujar murid Pendeta Sinting.
'Tak ada imbalan yang kuminta selain selembar
jiwamu!" hardik Iblis Rangkap Jiwa dengan kepala
masih berpaling ke puncak batu cadas.
"Ah.... Aku tahu sekarang!" kata Joko. "Mung-
kin kau orang yang tidak suka dengan perempuan!
Kalau kau lebih suka laki-laki, aku juga punya
banyak simpanan! Kau tinggal katakan bagaimana
yang kau inginkan.... Hitam legam berbulu, putih
mulus, atau setengah putih berbintik-bintik hi-
tam? Ah, aku lupa! Mereka yang kutawarkan pa-
damu tadi, punya keistimewaan! Mereka bisa ber-
suara merdu, meringkih, malah mendesah-desah
juga ada...!"
Iblis Rangkap Jiwa sentakkan kepalanya meng-
hadap Joko. Namun lagi-lagi sebelum dia sempat
buka mulut, dari puncak batu cadas putih terden-
gar seruan.
"Raden Mas Antar Bumi! Kita tertipu!" Seruan
itu jelas menunjukkan kalau yang berseru adalah
Raden Mas Antar Langit.
"Tertipu apa?" kata seruan yang menyahut.
"Mendengar ucapan Teman Baru tadi, kurasa
yang ditawarkan bukan sebangsa manusia! Tapi
bangsanya binatang! Sialan betul Teman Baru itu!
Tega-teganya ajukan tawaran bangsa binatang pa-
da orang!"
"Mungkin Teman Baru itu tahu kalau orang
yang ditawari suka bangsa binatang! Kalau tidak,
mana mungkin dia tawarkan itu?!"
"Ah.... Kasihan juga ya...? Penampilan keren
dan angker, tak tahunya berselera menyimpang!"
Untuk kesekian kalinya kembali terdengar sua-
ra tawa bersahut-sahutan. Malah suara tawa pe-
rempuan yang cekikikan sudah meledak menda-
hului suara tawa dari puncak batu cadas putih.
Mendengar suara-suara yang memojokkan di-
rinya, Iblis Rangkap Jiwa jadi kalap. Sambil putar
tubuh laksana hendak terbang, laki-laki berkepala
gundul ini berkelebat menghadap batu cadas pu-
tih. Kedua tangannya bergerak.
Wuuttt! Wuuutt!
Dua gelombang hitam menggebrak ganas ke
arah puncak batu cadas putih. Dua kepala yang
baru saja hendak nongol serta-merta lenyap. Sua-
ra tawa bersahut-sahutan laksana dirobek setan!
Brakkk! Brakkk!
Bibir julangan batu cadas putih longsor di dua
tempat membentuk sempalan besar. Batu cadas
putih tampak bertabur di atas hamparan pasir.
Meski tempat yang terkena hantaman pukulan ib-
lis Rangkap Jiwa adalah kawasan batu cadas pu-
tih di depan kedung, tapi semua orang yang ada di
tempat itu rasakan tempat pijakan masing-masing
bergetar keras. Malah gaung suara berderaknya
julangan batu cadas putih sempat membuat dada
berdebam! Jelas pertanda kalau Iblis Rangkap Ji-
wa lepaskan pukulan dengan tenaga dalam sangat
kuat!
Semua kepala kini terarah pada puncak batu
cadas putih. Sementara Iblis Rangkap Jiwa sudah
tegak di tempatnya semula di hadapan murid Pen-
deta Sinting dengan mata mendelik ke puncak ba-
tu cadas. Bahkan kedua tangannya masih terang-
kat di atas kepalanya seolah siap hendak lepaskan
pukulan kedua kalinya.
Semua orang sesaat jadi terdiam dan menung-
gu-nunggu dengan dada berdebar. Karena dari
puncak batu cadas putih tidak terlihat lagi adanya
gerakan atau terdengarnya suara orang!
"Ke mana mereka? Apa mereka terluka kena bi-
as hantaman orang ini?! Hem.... Bagaimana cara
menghadapi orang ini?! Kulihat gadis sialan itu be-
rada di seberang dan bergabung dengan Malaikat
Penggali Kubur! Sementara tak mungkin Ratu Pe-
mikat melakukannya. Karena meski dia tegak ber-
seberangan dengan Malaikat Penggali Kubur, tapi
kuyakin dia berpihak ke pemuda itu!" Diam-diam
murid Pendeta Sinting membatin.
Karena ditunggu agak lama dari puncak batu
cadas putih tidak juga terlihat adanya gerakan
atau suara yang terdengar, akhirnya Iblis Rangkap
Jiwa palingkan kepala ke arah murid Pendeta
Sinting.
"Kau berani bicara kurang ajar padaku! Nya-
wamu akan kubelah dua kali!" bentak Iblis Rang-
kap Jiwa saking geramnya.
"Kau jangan termakan ucapan orang-orang tadi!
Yang kutawarkan padamu manusia asli! Bukan
bangsa binatang!" ujar murid Pendeta Sinting.
Joko sengaja mengulur waktu sambil berpikir
bagaimana cara melumpuhkan orang di hadapan-
nya. Karena seperti diketahui, Iblis Rangkap Jiwa
memiliki kepandaian sangat tinggi dan tidak
mempan pukulan. Sementara kekuatan yang dimilikinya itu baru bisa musnah kalau laki-laki ber-
kepala gundul itu melihat pantat seorang laki-laki
dan perempuan secara bersamaan. Padahal untuk
itu tidak mudah mendapatkannya sekarang dan
dalam keadaan seperti ini.
"Dengar, Keparat!" sentak Iblis Rangkap Jiwa.
"Aku tidak akan terima imbalan apa pun! Nyawa-
mu sudah lebih daripada semuanya!"
"Ah, kebetulan sekali! Sejak jumpa pertama kali
dahulu, aku memang ingin tanyakan apa sebab-
nya kau inginkan nyawaku! Sekarang bisa je-
laskan!" kata Joko dengan dada berdebar, karena
sampai saat ini dia belum menemukan jalan ke-
luar bagaimana cara menghadapi Iblis Rangkap
Jiwa.
"Kau tak akan peroleh penjelasan apa-apa!"
hardik Iblis Rangkap Jiwa.
"Iblis Rangkap Jiwa! Jangan terlalu banyak mu-
lut!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari puncak batu
bergubuk hitam. "Kau selesaikan tugasmu! Kepa-
rat di hadapanmu ada yang akan menghadapinya
sendiri!"
Tanpa berpaling pada orang yang buka teria-
kan, Iblis Rangkap Jiwa sudah tahu siapa adanya
orang yang baru saja berteriak.
"Kau masih bernasib baik, Jahanam!" desis Ib-
lis Rangkap Jiwa. "Tapi jangan harap kau nanti bi-
sa tewas sebelum mencicipi kedua tanganku!"
Habis berkata begitu, Iblis Rangkap Jiwa arah-
kan pandangannya pada Dewa Orok. Laki-laki
berkepala gundul ini cepat berkelebat. Namun be-
lum sampai sosoknya bergerak, tiba-tiba dari pun-
cak batu cadas putih terdengar teriakan.
"Hai, Teman Baru! Siapa akhirnya yang dipilih
orang di hadapanmu itu?!"
Semua kepala kini kembali tertuju pada puncak
batu cadas putih kecuali kepala Iblis Rangkap Ji-
wa. Satu kepala berwajah hitam tampak nongol di
bibir batu yang sebagian hancur akibat pukulan
Iblis Rangkap Jiwa.
"Dia tidak memilih salah satu dari tawaranku!
Aku jadi tak habis pikir, apa sebenarnya imbalan
yang diiming-imingkan pemuda di bawah gubuk
itu hingga dia mau-maunya saja lakukan apa yang
diperintahkan orang!" kata Joko sambil melirik ke
arah Iblis Rangkap Jiwa.
Iblis Rangkap Jiwa tambah panas mendapati
orang di atas puncak batu cadas masih bisa kelu-
arkan suara. Dia sebenarnya ingin lepaskan puku-
lan sekali lagi, bahkan ingin berkelebat naik ke
puncak batu cadas putih. Namun karena baru sa-
ja mendengar perintah Malaikat Penggali Kubur,
mau tak mau dia harus tindih dahulu kemara-
hannya dan segera selesaikan tugasnya menghabi-
si Dewa Orok.
Dengan membawa kemarahan menggejolak, Ib-
lis Rangkap Jiwa berkelebat ke arah Dewa Orok.
Tapi satu suara tiba-tiba menyeruak. Jelas suara
ini mirip sekali dengan suara Malaikat Penggali
Kubur tadi.
"Iblis Rangkap Jiwa! Tahan gerakanmu! Kau
kembali dahulu ke puncak batu di mana kau tadi
berada!"
Iblis Rangkap Jiwa tahan gerakannya. Lalu pu-
tar tubuh dengan tulang dahi bergerak. Kepalanya
tengadah memandang ke jurusan puncak batu
bergubuk hitam di seberang sana. Saat itulah dari
puncak batu bergubuk hitam terdengar teriakan
dahsyat.
"Keparat! Bukan aku yang berteriak barusan!
Cepat lakukan tugasmu!"
Ucapan Malaikat Penggali Kubur tentu saja
membuat Iblis Rangkap Jiwa bingung. Saat itulah
dari puncak batu cadas putih terdengar orang ber-
gumam.
"Suaramu mirip! Sayang Teman Baru kita tak
bisa gunakan kesempatan! Lihat, ia tetap diam di
tempatnya tanpa berbuat apa-apa!"
"Dasar sontoloyo sedeng! Tidak tahu kalau dia
di beri kesempatan untuk berbuat sesuatu!" ter-
dengar sahutan.
Iblis Rangkap Jiwa tegak dengan kaki bergetar.
Kini dia maklum kalau suara yang menahan gera-
kannya tadi adalah suara salah seorang yang be-
rada di puncak batu cadas putih! Bukan ucapan
Malaikat Penggali Kubur.
Iblis Rangkap Jiwa cepat balikkan tubuh hen-
dak langsung berkelebat ke arah Dewa Orok, na-
mun laki-laki ini terkesiap kaget. Bersamaan den-
gan gerakannya memutar, dua buah benda hitam
menghantam tengkuk serta lambungnya!
Iblis Rangkap Jiwa berseru tertahan. Karena
saat itu juga dia rasakan sekujur tubuhnya kejang
tak bisa digerakkan!
*
* *
DUA
BANGSAT! Berani kau berlaku pengecut meno-
tokku dari belakang!" teriak Iblis Rangkap Jiwa
dengan suara keras bergetar. Karena sewaktu to-
tokan yang ternyata dilakukan murid Pendeta
Sinting bersarang di tengkuk dan lambungnya, la-
ki-laki berkepala gundul ini sedang putar tubuh
hendak menghadap ke tempat Dewa Orok. Maka
kini sosoknya tepat menghadap ke julangan batu cadas putih.
Joko melangkah mundur dua tindak. Mungkin
karena tadi terlalu tenggelam mencari jalan keluar
untuk lumpuhkan Iblis Rangkap Jiwa, di benak-
nya tidak terpikir sama sekali kalau gerakan dan
ulah Iblis Rangkap Jiwa bisa ditahan dengan toto-
kan. Dia baru tersadar setelah mendengar guma-
man kedua orang di atas puncak batu cadas pu-
tih. Hingga begitu Iblis Rangkap Jiwa hendak ba-
likkan tubuh, cepat dia sarangkan totokan pada
laki-laki berkepala gundul itu.
"Kau akan menyesal, Jahanam!" teriak Iblis
Rangkap Jiwa.
"Penyesalan hanya akan datang di kemudian
hari! Jadi untuk saat ini jangan bicara soal sesal
menyesal! Kalau boleh dibilang menyesal, sebe-
narnya kau yang harus merasa menyesal! Aku te-
lah tawarkan kenikmatan padamu, tapi kau meno-
lak!" kata Joko sambil arahkan pandangan ke
puncak batu cadas putih.
Dua wajah hitam dan rambut awut-awutan
tampak nongol di bibir batu cadas yang sebagian
telah hancur. Sesaat kedua wajah ini saling ber-
hadapan dengan mata saling pandang. Lalu sama-
sama arahkan pandangannya pada Iblis Rangkap
Jiwa.
"Lihat Iblis Rangkapan itu! Apa yang dilaku-
kan?! Menghadap ke arah kita terus menerus!
Jangan-jangan dia naksir kita!"
"Hussyy! Dia itu tengah bersemadi! Dan mum-
pung dia bersemadi, bagaimana kalau kita bukti-
kan?!"
"Buktikan apanya?!" tanya satunya.
"Wajahnya hampir tidak tertutup daging. Kepa-
lanya tidak ditumbuhi rambut! Aku ingin tahu,
apakah senjata saktinya juga tidak berdaging dan gundul pula?! Lagi pula bukankah kau butuh ce-
lana?! Kalau orang lagi semadi begitu, apa pun
yang dilakukan orang terhadapnya, dia tak akan
peduli!"
"Ah.... Tentu satu pemandangan menarik di bu-
lan yang tengah purnama begini! Aku pun juga
perlu celananya!"
"Keparat! Berani kalian teruskan maksud, ku-
kuliti daging kalian!" teriak Iblis Rangkap Jiwa.
"Bagaimana ini? Apa ada orang bersemadi bisa
mengancam?!"
"Itulah semadi bangsanya iblis! Dia masih bisa
berbicara bahkan mengancam! Tapi percayalah.
Dia tak akan peduli meski apa pun yang akan kau
lakukan terhadapnya! Kita buktikan sekarang...."
Dua kepala ini lantas beringsut mundur. Kare-
na puncak batu cadas letaknya paling tinggi, maka
semua orang tak tahu apa yang diperbuat kedua
orang itu. Namun sebelum dua kepala milik dua
laki-laki berwajah hitam ini benar-benar bering-
sut, satu teriakan keras membelah menguman-
dang di tempat itu.
"Jangan ada yang berani bergerak! Atau kalian
akan mengalami nasib seperti ini!"
Begitu suara teriakan lenyap, yang ternyata di-
perdengarkan oleh Malaikat Penggali Kubur, ter-
dengar suara deru perlahan. Tidak ada gelombang
atau sapuan angin. Namun di kejap lain semua
mata di tempat itu membeliak.
Julangan batu cadas bergetar dahsyat. Lalu
laksana disapu gelombang hebat yang berkekua-
tan kuat, julangan batu cadas putih hancur ber-
keping-keping. Hamburan batu cadas tampak
memenuhi pemandangan di atas Kedung Ombo.
Dan di antara kepingan batu cadas, tampak dua
sosok hitam membubung ke udara, lalu melayang
layang dan lenyap di balik julangan batu cadas
putih yang kini tinggal separoh.
"Hem.... Daya kekuatan Kitab Hitam itu ternya-
ta luar biasa! Apa isi Kitab Serat Biru dan Sundrik
Cakra mampu membendungnya?!" Diam-diam
murid Pendeta Sinting membatin. Lalu arahkan
pandangannya ke tempat mana tadi dua sosok hi-
tam melayang jatuh. Namun meski julangan batu
cadas putih telah terpenggal separo, batu cadas
itu masih kira-kira setinggi tujuh tombak, hingga
pandangan Joko masih terhalang.
Sementara itu di seberang sana, Malaikat Peng-
gali Kubur cepat berpaling pada Ni Luh Padmi.
"Nenek keparat! Apa lagi yang kau tunggu?!
Atau kepalamu ingin kubuat seperti batu cadas
itu?!"
Tanpa berpikir lagi, Ni Luh Padmi segera berke-
lebat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak tujuh
langkah di hadapan murid Pendeta Sinting.
"Nek! Bebaskan aku dahulu!" kata Iblis Rang-
kap Jiwa begitu menyadari kalau si nenek tegak
tidak jauh dari tempatnya.
Ni Luh Padmi tidak hiraukan ucapan Iblis
Rangkap Jiwa. Dia arahkan pandangannya pada
murid Pendeta Sinting dan perhatikan si pemuda
dengan seksama. "Murid dan gurunya hampir ti-
dak ada bedanya! Dalam situasi begini masih bisa-
bisanya bercanda dan main-main! Sebenarnya aku
tidak punya silang sengketa besar dengan pemuda
ini! Kalaupun ada itu hanya karena dia dulu tidak
mau mengatakan di mana bangsat gurunya men-
dekam! Hem.... Tapi saat ini lain urusannya!"
"Nek! Kenapa kau tak segera membebaskan-
ku?!" seru Iblis Rangkap Jiwa ketika menyadari Ni
Luh Padmi tidak segera lakukan keinginannya.
"Aku tidak diperintah untuk membebaskanmu!
Aku punya tugas menghabisi pemuda sinting ini!"
"Tapi tak ada salahnya kau membebaskanku!"
"Pemuda sinting ini yang menotokmu! Minta to-
long padanya! Aku tak mau bertindak selain yang
diperintah! Itu pun karena aku sudah telanjur!"
"Nek! Meski bukan perintah, tapi...."
"Dengar! Sekali aku bilang tidak, tidak!" potong
Ni Luh Padmi dengan suara agak keras.
"Bangsat! Menyesal aku membiarkanmu hidup
sampai malam ini! Tahu kau memendam niat bu-
suk, sejak pertama di bukit itu kau kuhabisi!"
ucap Iblis Rangkap Jiwa.
Si nenek tertawa pendek. "Percuma kau sesali
apa yang telah terjadi! Bukan hanya kau, tahu be-
gini keadaannya, aku juga menyesal ikut berkom-
plot denganmu!. Bukannya dapat menemukan
orang yang kucari, malah jadi budak orang!"
"Eh, jadi kau masih rindu sama guruku?!" Joko
menyahut.
Ni Luh Padmi mendelik. Joko tidak peduli. Dia
lanjutkan ucapannya. "Nek.... Tinggalkan tempat
ini! Aku akan tunjukkan di mana orang yang kau
cari...."
"Terlambat, Anak Sinting! Aku telah tahu di
mana sarang gurumu! Sayang, bangsatnya sudah
minggat saat aku sampai di sana!'
"Hem.... Pasti kau datang ke Jurang Tlatah Pe-
rak! Kalau kau ke sana, sampai kiamat pun kau
tak akan temukan guruku!"
Dahi Ni Luh Padmi berkerut. "Apa benar uca-
pan pemuda sinting itu?! Apa jahanam sinting itu
punya dua sarang?!"
Sebenarnya murid Pendeta Sinting tadi hanya
memancing. Dia tadi lamat-lamat masih menden-
gar pembicaraan si nenek dengan Malaikat Peng-
gali Kubur. Dan begitu melihat perubahan pada
paras muka si nenek, Joko cepat lanjutkan uca-
pannya.
"Kau jangan heran, Nek! Selama ini orang me-
mang mengetahui kalau Pendeta Sinting berada di
Jurang Tlatah Perak. Tapi yang benar, tempat itu
sudah ditinggalkan sepuluh purnama yang lalu!"
Tanpa sadar, Ni Luh Padmi segera buka mulut
bertanya.
"Sekarang di mana?!"
"Sepuluh purnama yang lalu, guruku berkena-
lan dengan seorang gadis muda cantik jelita. En-
tah apanya yang menarik dari guruku, gadis muda
itu jatuh cinta. Singkatnya mereka lantas kawin!
Pesta perkawinan mereka diadakan besar-
besaran...."
"Cukup!" tukas si nenek. Paras wajahnya merah
membara laksana dipanggang. Pandangan ma-
tanya berkilat-kilat. "Aku tak tanya segala macam
perkawinan dan pesta! Aku tanya sekarang di ma-
na! Kau dengar? Sekarang di mana!"
"Jangan percaya ucapan dusta pemuda itu!" Ib-
lis Rangkap Jiwa menyahut.
Mungkin karena jengkel, dan mendengar Iblis
Rangkap Jiwa ikut-ikutan buka suara, Ni Luh
Padmi segera menghardik.
"Kuperingatkan kau, Iblis Rangkap Jiwa! Jan-
gan ikut-ikutan bicara! Atau kau ingin kubuat tak
bisa buka mulut, hah?!"
Iblis Rangkap Jiwa menyumpah-nyumpah da-
lam hati. Sementara melihat gelagat, Joko sedikit
banyak sudah dapat menebak apa urusan si ne-
nek dengan Pendeta Sinting gurunya.
"Nek!" kata Joko. "Nada bicaramu sepertinya
kau merasa cemburu mendengar guruku kawin
dengan gadis muda berwajah cantik...."
Ni Luh Padmi genggam tusuk kondenya erat
erat dengan tangan bergetar. Jelas kalau si nenek
sedang menindih rasa geram.
"Dengar, Anak Sinting! Aku tak peduli bangsat
gurumu itu kawin dengan gadis cantik atau tidak!
Aku juga tak peduli jahanam gurumu itu pesta
sampai beberapa purnama! Jadi jangan lancang
bicara menuduh cemburu!"
"Ah.... Bagaimana kau ini?! Padahal menurut
cerita guruku, kalian berdua dahulu adalah pa-
sangan serasi! Ke mana-mana selalu berdua bah-
kan saling bergandengan tangan! Di mana ada kau
pasti di situ ada guruku! Kau tahu, Nek! Guruku
sebenarnya masih sering mengingatmu! Dia sering
menceritakanmu! Hanya saja dia tidak mau berte-
rus terang...."
"Terus terang apa?!" sentak si nenek. Namun
murid Pendeta Sinting masih bisa menangkap na-
da kegembiraan disentakkan suara si nenek.
"Dia tak mau mengatakan mengapa akhirnya
berpisah denganmu! Meski begitu, sedikit banyak
aku bisa menebak apa yang memisahkan kalian
berdua...."
Ni Luh Padmi tidak segera menyahut. Wajahnya
yang sejenak tadi tampak berseri kini merah men-
gelam. Dadanya naik turun dengan keras.
"Dari pembicaraan guruku, aku bisa menduga
kalau kau yang terlebih dahulu terpikat dengan
orang lain! Betul bukan?!" ujar Joko dengan sung-
gingkan senyum.
Lagi-lagi Ni Luh Padmi tidak menyahut. Hanya
wajahnya yang makin merah mengelam. Malah
saat itu juga si nenek angkat kepalanya pandangi
bentangan langit Kedung Ombo yang makin tam-
pak terang benderang.
"Aku telah lama hidup dengan Pendeta Sinting.
Dia orangnya setia dan penuh pengertian! Jadi
mustahil dia berbuat yang tidak-tidak padamu,
apalagi sampai terpikat dengan gadis lain! Kalau-
pun sampai dia kawin lagi dengan gadis muda
cantik, itu karena dia sudah terlalu lama menung-
gumu dan tak ada kabar beritanya! Aku...."
"Diam!" teriak si nenek setengah menjerit. "Kau
tak ada bedanya dengan tua bangka jahanam itu!
Pandai bicara dan pintar memutar balik kenya-
taan! Anak sinting sepertimu layak mampus selagi
muda, agar nantinya tidak meminta korban!"
Keengganan si nenek untuk berhadapan den-
gan murid Pendeta Sinting karena dirasa urusan-
nya hanya sepele jadi berubah. Kini si nenek jadi
bernafsu untuk membunuh Joko. Di lain pihak,
Pendekar 131 jadi makin yakin apa sebenarnya
urusan yang mengganjal antara si nenek dengan
gurunya.
"Nek! Urusan asmara tidak akan ada ujungnya
kalau diselesaikan dengan hati dibungkus rasa
cemburu dan kebencian! Justru mungkin kau
akan mendapatkan penyesalan yang lebih dalam!
Kau memang akan mendapat kepuasan jika telah
membunuh Pendeta Sinting. Tapi apalah artinya
kepuasan kalau cuma sekejap?! Dan setelah itu
didera rasa sesal berkepanjangan?!"
"Dengar, Anak Sinting! Kau masih bau kencing!
Tak patut memberi nasihat! Lagi pula tua bangka
jahanam itu sengaja mengatakan yang baik-baik
padamu! Sementara apa yang jelek disimpan un-
tuk dirinya sendiri! Aku masih beri kesempatan
padamu! Katakan di mana tua bangka jahanam
itu sekarang!"
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Aku.
akan mengatakan padamu kalau kau mau selesai-
kan urusan dengan tanpa cemburu dan keben-
cian! Dan tinggalkan tempat ini sekarang juga!"
"Buang keinginanmu itu, Anak Sinting! Keben-
cianku sudah setinggi langit sedalam lautan! Tak
ada yang dapat sirnakan kebencian itu selain lu-
muran darah gurumu di tanganku!" '
"Nek! Kau masih ingat akan ucapan orang ber-
mata buta berjuluk Gendeng Panuntun?!" tanya
Joko masih coba menyadarkan si nenek.
"Tak kan ada yang bisa halangi langkahku,
Anak Sinting! Apalagi hanya sebuah ramalan seo-
rang manusia buta dan gendeng!" ujar Ni Luh
Padmi..Mungkin karena telah dibuncah rasa ma-
rah, si nenek sampai lupa berpikir dari mana mu-
rid Pendeta Sinting mengetahui kalau Gendeng
Panuntun pernah berkata pada si nenek.
"Hem.... Kalau begini keras kepalanya, rasanya
tak bisa aku membuatnya sadar! Sayang Eyang
Guru tidak muncul di tempat ini! Seandainya sa-
ja...."
Pendekar 131 tidak lanjutkan kata hatinya ka-
rena saat itu dari arah puncak batu bergubuk hi-
tam terdengar Malaikat Penggali Kubur berteriak.
"Nenek keparat! Lekas kau regangkan nyawa
pemuda jahanam di hadapanmu itu!"
"Kau dengar itu, Anak Sinting?!" ucap Ni Luh
Padmi sedikit menahan suaranya. "Kau masih
punya kesempatan untuk jawab pertanyaanku ta-
di! Jika tidak...." Si nenek tidak lanjutkan uca-
pannya. Hanya sepasang tangannya membuat ge-
rakan. Tangan kanan yang menggenggam tusuk
konde besar berwarna hitam ditarik sedikit ke be-
lakang. Sementara tangan kiri diangkat.
"Aku akan mengatakan kalau kau sudah ting-
galkan tempat ini!" ujar Joko sambil diam-diam
kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
"Mumpung masih ada kesempatan, cepat tinggal-
kan tempat ini!" sambung Joko ketika melihat si
nenek terdiam.
"Kau boleh berlaku licik hendak menipuku! Ta-
pi aku tidak sebodoh yang kau kira! Jangan harap
aku percaya pada murid tua bangka jahanam itu!"
Habis berkata begitu, Ni Luh Padmi merangsek
ke depan. Tangan kirinya berkelebat lepaskan pu-
kulan ke arah kepala Joko. Satu gelombang men-
cuat sebelum tangan itu sendiri menghantam sa-
saran pertanda jelas kalau kelebatan tangan itu
mengandung tenaga dalam kuat.
Melihat si nenek telah lepaskan pukulan, murid
Pendeta Sinting tidak tinggal diam. Tangan ka-
nannya diangkat menghadang kelebatan tangan
kiri si nenek.
Bukkk!
Baik tangan kiri si nenek mau pun tangan ka-
nan Joko tampak sama terpental balik ke bela-
kang. Tubuh Ni Luh Padmi sedikit bergetar dengan
mata mendelik. Meski si nenek sudah pernah
jumpa dengan Joko dan terlibat baku hantam,
namun sebenarnya si nenek ini belum yakin benar
akan kekuatan lawan. Hingga untuk meyakinkan
dirinya, si nenek coba mengadu tenaga. Dilain pi-
hak, sesungguhnya murid Pendeta Sinting tidak
mau melayani Ni Luh Padmi, apalagi mengingat
pesan eyang gurunya. Tapi kalau dia berdiam diri,
niscaya si nenek akan membunuhnya. Hingga
meski Joko tidak tinggal diam, dia sejauh mungkin
coba menghindari bentrok yang bisa membuat ce-
dera dalam. Malah murid Pendeta Sinting masih
coba menyadarkan si nenek dengan angkat bicara
lagi. "Nek! Percuma saja...."
Ucapan Joko belum usai, Ni Luh Padmi telah
menukasnya dengan berkelebat ke depan. Kalau
tadi tangan kirinya yang lepaskan pukulan, kini
kedua tangannya sekaligus bergerak menghantam.
Tangan kiri mengarah pada leher sementara tan-
gan kanan yang memegang tusuk konde berkele-
bat ke arah lambung.
Joko sempat terkesiap. Gerakan si nenek telah
membuat murid Pendeta Sinting maklum kalau si
nenek benar-benar hendak membunuhnya. Maka
Joko pun tak mau berlaku ayal. Dia pun tidak
menunggu pukulan si nenek sampai. Begitu Ni
Luh Padmi berkelebat, Joko segera menghadang
dengan kedua tangan memangkas gerakan kedua
tangan si nenek. Hingga tak ampun lagi untuk ke-
dua kalinya kedua orang ini saling beradu puku-
lan.
Bukkk! Bukkk!
Terdengar dua kali benturan keras. Tubuh Ni
Luh Padmi terhuyung-huyung lalu tersurut sam-
pai empat langkah. Paras wajahnya pucat dengan
dahi dibanjiri keringat. Kedua tangannya jelas
tampak bergetar. Malah kalau saja dia tidak cepat
kerahkan tenaga dalam untuk menahan huyungan
tubuhnya, niscaya sosoknya akan terjerembab!
Di depan sana, murid Pendeta Sinting surutkan
langkah satu tindak. Meski wajahnya berubah,
namun jelas dia masih dapat kuasai diri. Malah
begitu si nenek lipat gandakan tenaga dalamnya,
murid Pendeta Sinting sudah lama tegak dengan
kedua, kaki laksana dipacak dan bibir sungging-
kan senyum.
Mendapati hal demikian, bukannya membuat
Ni Luh Padmi segera memaklumi diri, sebaliknya
si nenek hentakkan kedua kakinya. Laksana ter-
bang sosoknya berkelebat. Dari jarak tiga langkah,
kedua tangannya membuka lalu lepaskan pukulan
jarak jauh dengan tenaga dalam luar biasa dah-
syat.
Satu gelombang angin menderu deras ke arah
Joko. Karena tidak mungkin lagi menghadang pu-
kulan si nenek dengan tenaga asal-asalan, pada
akhirnya murid Pendeta Sinting siapkan pukulan
'Lembur Kuning'. Hal ini sebenarnya terlalu berisi-
ko. Namun bagi Joko tidak ada jalan lain.
Begitu gelombang telah menderu, Joko cepat
kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Saat itu juga kedua tangan Joko berubah menjadi
kuning. Saat kedua tangannya mendorong, tam-
paklah sinar kuning melesat. Lalu satu sapuan ge-
lombang dahsyat membawa hawa panas mengge-
brak.
"Pukulan 'Lembur Kuning'!" satu seruan ter-
dengar dari julangan batu cadas putih yang telah
terpenggal setengahnya.
"Nenek cantik! Lekas menyingkir!" Lagi-lagi ter-
dengar seruan dari puncak batu cadas putih yang
sudah terpenggal. Bersamaan dengan terdengar-
nya suara seruan, dua tangan tampak bergerak
dari julangan batu cadas putih yang tinggal separo
tingginya. Satu mendorong ke arah si nenek hing-
ga nenek ini langsung terpental satu setengah
tombak, sedang tangan satunya lagi mendorong ke
arah cahaya kuning yang kini memangkas gelom-
bang pukulan si nenek.
Satu ledakan keras segera mengguncang Ke-
dung Ombo tatkala gelombang angin si nenek di-
barengi gelombang dahsyat yang tiba-tiba melesat
dari dorongan tangan orang di batu cadas putih
bentrok dengan pukulan 'Lembur Kuning' yang di-
lepas murid Pendeta Sinting.
Di seberang sana, terlihat murid Pendeta Sint-
ing terhuyung dengan mulut megap-megap dan
wajah pucat pasi. Kedua tangannya gemetar. Tan-
gan satu tampak dikibas-kibaskan untuk le-
nyapkan rasa kesemutan dan kekakuan, tangan
satunya lagi pegangi dadanya yang terasa sesak.
Di hadapan murid Pendeta Sinting, meski do-
rongan tangan orang dari batu cadas putih sela-
matkan Ni Luh Padmi dari cedera parah, namun
tak urung juga tubuhnya masih bergetar akibat
pukulannya terhadang pukulan 'Lembur Kuning'.
Malah ketika si nenek hendak berkelebat lagi, dia
rasakan kedua kakinya goyah. Hingga untuk se-
saat dia urungkan niat berkelebat. Lalu berpaling
ke arah batu cadas putih yang telah terpapas aki-
bat pukulan Malaikat Penggali Kubur.
"Siapa orang-orang itu sebenarnya? Mengapa
mereka menolongku?! Apa mereka itu kaki tangan
Malaikat Penggali Kubur?!" Si nenek membatin
dengan kening berkerut. Karena sepasang ma-
tanya tidak melihat adanya orang yang muncul di
batu cadas. Dia hanya melihat dua buah tangan
yang membuat gerakan melambai-lambai!
Bukan hanya Ni Luh Padmi yang dibuncah ber-
bagai tanya. Murid Pendeta Sinting tampak si-
pitkan sepasang matanya dan membatin. "Belum
dapat kupastikan siapa gerangan mereka adanya!
Yang pasti, mereka punya kekuatan tenaga dalam
luar biasa! Buktinya dia mampu terus melambai-
lambai setelah menghadang pukulan 'Lembur
Kuning'!
Joko berpaling pada Ni Luh Padmi. Saat bersa-
maan si nenek juga menoleh. Kedua orang ini se-
saat sama saling pandang. Tiba-tiba terdengar su-
ara orang mengeluh.
Joko dan Ni Luh Padmi gerakkan kepala mas-
ing-masing ke arah lamping batu cadas putih asal
suara keluhan terdengar. Di lamping batu cadas
putih yang telah terpenggal tampak sosok Iblis
Rangkap Jiwa duduk bersandar dengan tubuh
masih kejang kaku.
Ketika Joko dan Ni Luh Padmi berpaling, Iblis
Rangkap Jiwa tampak gerakkan bola matanya,
mendelik angker ke arah si nenek. Mulutnya yang
merupakan satu-satunya anggota tubuh yang bisa
bergerak terlihat membuka, lalu terdengarlah uca-
pannya.
"Nek! Aku akan ampuni selembar nyawamu ka-
lau kau bebaskan aku sekarang juga! Kalau tidak,
nyawamu nanti akan kucabut sendiri!"
Ni Luh Padmi hanya pandangi Iblis Rangkap
Jiwa dengan seringai dingin. Lantas berpaling lagi
pada murid Pendeta Sinting. Iblis Rangkap Jiwa
memaki habis-habisan. Namun karena tubuhnya
masih tertotok, laki-laki berkepala gundul ini
hanya dapat berteriak tanpa dapat gerakkan ang-
gota tubuhnya. Malah dia tadi ikut tersapu akibat
bentroknya pukulan Joko dengan pukulan si ne-
nek dan dorongan tangan dari atas batu cadas pu-
tih. Hingga tubuhnya terpental dan akhirnya
menghantam lamping batu cadas putih.
Sebenarnya secara diam-diam Iblis Rangkap
Jiwa telah kerahkan tenaga dalam untuk be-
baskan diri dari totokan yang disarangkan murid
Pendeta Sinting. Namun baru saja kedua tangan-
nya bergeletar pertanda urat-uratnya telah dapat
tersaluri tenaga, terdengar ledakan dahsyat akibat
bentroknya pukulan Joko dan si nenek. Hal ini
membuat konsentrasi Iblis Rangkap Jiwa pecah.
Dan belum sempat dia konsentrasi kembali, so-
soknya telah tersapu gelombang bias bentroknya
pukulan. Bukan saja membuat sosoknya meng-
hantam lamping batu cadas putih, namun juga
sosoknya tegang kaku kembali! Namun Iblis Rang-
kap Jiwa masih bernapas lega, karena dengan ter-
sapunya tubuhnya ke lamping batu cadas putih,
maka dengan leluasa dia dapat konsentrasi kem
bali untuk bebaskan diri dari totokan tanpa takut
tersapu bias bentroknya pukulan lagi. Hingga be-
gitu permintaannya tidak digubris Ni Luh Padmi,
Iblis Rangkap Jiwa segera pejamkan sepasang ma-
tanya lalu kerahkan tenaga sedapat mungkin.
Di lain pihak, mendapati murid Pendeta Sinting
bukan lawan yang begitu mudah ditaklukkan, naf-
su membunuh Ni Luh Padmi makin berkobar.
Hingga begitu berpaling, tangan kirinya langsung
bergerak lepaskan pukulan. Sementara tangannya
sentakkan tusuk konde hitam! Wuttt! Wuutt!
Dua suara deruan terdengar. Satu berupa ge-
lombang angin dahsyat, satunya lagi melesatnya
tusuk konde hitam si nenek. Ini adalah sebuah se-
rangan yang mematikan. Karena orang yang dis-
erang sekaligus harus hadang dengan dua puku-
lan. Jika tidak, salah satu dari gelombang angin
atau lesatan tusuk konde akan menghantam! Apa-
lagi tusuk konde hitam si nenek sulit diterka dari
arah mana akan datang menghantam, karena be-
gitu tusuk konde melesat dan si nenek gerak-
gerakkan tangan kanannya, tusuk konde hitam
yang sedang melesat membuat gerakan meliuk-
liuk di udara laksana dikendalikan tangan kanan
si nenek!
"Hem.... Senjata andalannya harus kulumpuh-
kan dahulu!" gumam Joko. Secepat kilat kedua
tangannya didorong lepaskan pukulan 'Lembur
Kuning'. Kejap lain Joko cepat melompat ke samp-
ing seraya bergulingan. Lalu tangan kirinya berge-
rak menyentak ke depan.
Wuuuttt!
Dari tangan kiri murid Pendeta Sinting melesat
serat-serat laksana benang berwarna biru terang.
inilah tanda kalau Pendekar 131 telah lepaskan
pukulan 'Serat Biru'!
Di atas hamparan pasir tampak sinar kuning
menyungkup, lalu menghantam gelombang angin
yang keluar dari tangan kiri Ni Luh Padmi. Leda-
kan keras terdengar. Pasir tampak bertaburan.
Hebatnya, tusuk konde hitam si nenek tetap mele-
sat di tengah taburan pasir dan kini berbelok arah
menuju tempat Joko bergulingan.
Namun begitu serat-serat biru laksana benang
menghampar, lesatan tusuk konde tertahan di
udara. Malah saat itu juga serat-serat biru telah
membungkus tusuk konde hitam si nenek.
Ni Luh Padmi yang sejenak tadi tampak ter-
huyung akibat pukulan tangan kirinya bentrok
dengan pukulan 'Lembur Kuning' cepat kerahkan
tenaga dalam pada kedua kakinya. Hingga kejap
itu juga kedua kakinya melesak masuk ke hampa-
ran pasir! Ini dilakukan si nenek untuk menjaga
tubuhnya agar tidak goyah, karena tangannya
akan bergerak kendalikan tusuk konde yang kini
telah terbungkus serat-serat biru.
Melihat Ni Luh Padmi coba pacakkan kaki, Joko
tak sia-siakan kesempatan. Belum sampai tangan
si nenek bergerak kendalikan tusuk kondenya,
tangan murid Pendeta Sinting telah menyentak.
Tusuk konde yang terbungkus serat-serat biru
tersapu deras.
Ni Luh Padmi menjerit tinggi. Si nenek memang
masih sempat gerakkan tangan untuk kendalikan
tusuk kondenya. Namun gerakannya sudah ter-
lambat.
Tusuk konde melesat laksana kilat dan hampir
saja melabrak kepala si nenek kalau nenek ini ti-
dak cepat-cepat rebahkan diri ke belakang. Si ne-
nek lupa kalau dia telah pacakkan kedua kakinya
ke hamparan pasir, hingga begitu tubuhnya rebah
ke belakang, dia terkesiap sendiri karena kakinya
terpacak! Namun karena dia tak mau tusuk kon-
denya melabrak kepalanya sendiri, dia paksakan
juga tubuhnya rebah ke belakang.
Krakkk! Krakkk!
Ni Luh Padmi berseru tertahan. Dia berniat un-
tuk angkat tubuhnya ke atas. Namun pergelangan
kakinya tak bisa digerakkan dan juga sangat le-
mah untuk menopang tubuh. Hingga mau tak
mau akhirnya si nenek jatuhkan diri duduk den-
gan lutut menekuk!
Tusuk konde terus melesat ke belakang. Lalu
terdengar ledakan keras di belakang sana. Disusul
kemudian dengan terdengarnya dua orang bergu-
mam. Kejap lain terdengar suara keluhan keras
dan makian panjang pendek.
Meski merasa tulang kedua kakinya tak bisa
digerakkan, Ni Luh Padmi tak kuat menahan un-
tuk mengetahui apa yang terjadi di belakang. Ber-
paling ke belakang, sepasang mata si nenek mem-
beliak besar.
Julangan batu cadas putih yang terpenggal se-
tengah tampak rengkah dan di satu tempat tam-
pak lobang menganga besar. Lobang menganga
yang ternyata akibat melesak masuknya tusuk
konde si nenek hanya beberapa jengkal dari kepa-
la Iblis Rangkap Jiwa!
Hal inilah yang membuat Iblis Rangkap Jiwa
memaki habis-habisan karena kembali konsentra-
sinya buyar! Sementara kedua orang di batu cadas
putih terdengar bergumam tak jelas karena tempat
di mana mereka berada bergetar keras dan seba-
gian batu cadas putih berhamburan!
Sementara itu melihat Ni Luh Padmi jatuh ter-
duduk, dari puncak batu bergubuk hitam Malaikat
Penggali Kubur tampak menyeringai.
"Ilmu masih sedangkal mata kaki sudah berani
menyeberang laut!" desisnya lalu berpaling ke arah
Dewi Siluman yang sejak tadi perhatikan Joko dan
Ni Luh Padmi.
Belum sempat Malaikat Penggali Kubur buka
mulut, Dewi Siluman yang sebenarnya sudah ti-
dak sabar segera saja berkelebat melintasi hampa-
ran pasir. Namun baru saja sosok perempuan ber-
jubah dan bercadar hitam ini bergerak, satu
bayangan merah bergerak mendahului dan memo-
tong larinya Dewi Siluman, membuat perempuan
ini hentikan larinya.
Memandang ke depan, kontan sepasang mata
Dewi Siluman membelalak berkilat.
"Sudah kuduga kalau kau adalah musuh dalam
selimut!" bentak Dewi Siluman ketika mengetahui
kalau yang menghadang adalah gadis berjubah
merah Putri Sableng!
"Kau hendak ke mana anak Daeng Upas?!" kata
Putri Sableng, membuat Dewi Siluman surutkan
kaki satu tindak.
"Siapa kau sebenarnya?!" hardik Dewi Siluman
dengan suara bergetar. Dia terkejut besar menda-
pati orang sebut nama almarhum ibunya!
Yang dibentak cekikikan sebentar, lain buka
mulut. "Menurutmu, siapa aku sebenarnya?!" Pu-
tri Sableng balik bertanya.
Dewi Siluman terdiam. Sepasang matanya per-
hatikan lebih seksama gadis berparas cantik yang
tegak di hadapannya. "Selama ini Ibu jarang sekali
keluar, kalaupun keluar, itu saat terjadi peristiwa
Tengkorak Berdarah! Adalah hal aneh kalau gadis
semuda ini telah mengenali ibuku yang meninggal
dalam peristiwa Tengkorak Berdarah!"
"Kudengar seorang buta pernah menasihati mu
untuk tinggalkan dunia persilatan dan kawin!
Mumpung belum terlambat, kurasa itulah jalan
satu-satunya yang harus kau lakukan saat ini,
Durga Ratih!"
Dewi Siluman tegak laksana dipaku. Mulutnya
terkancing rapat. Matanya makin mendelik. "Ja-
hanam! Gadis ini rupanya tahu banyak tentang di-
riku! Bagaimana hal ini bisa terjadi?!" Dewi Silu-
man dibuncah berbagai hal yang menurutnya ti-
dak mungkin. Karena gadis di hadapannya
usianya masih di bawahnya. Sementara dia sendiri
selama ini tidak pernah memperkenalkan diri den-
gan nama asli yakni Durga Ratih! Lebih-lebih dia
tak pernah cerita tentang nasihat orang buta yang
bukan lain adalah Gendeng Panuntun yang me-
mang pernah menasihati dirinya agar tinggalkan
dunia persilatan dan kawin!
*
* *
TIGA
KARENA tak mau terus bertanya-tanya dengan
diri sendiri yang jawabannya tidak mungkin dida-
pat, sementara dia sudah tidak sabar ingin meng-
hadapi murid Pendeta Sinting, Dewi Siluman alih-
kan pandangannya seraya mendesis garang.
"Siapa pun kau adanya, menyingkirlah dari ha-
dapanku!"
Habis berkata begitu, Dewi Siluman melangkah
maju. Putri Sableng tetap tidak bergeming dari
tempatnya. Kemarahan Dewi Siluman tak dapat
dibendung lagi, hingga seraya hentikan langkah
sejarak empat tindak dari hadapan Putri Sableng,
perempuan berjubah dan bercadar hitam ini ang-
kat kedua tangannya.
"Tunggu!" tahan Putri Sableng. "Apa hubun
ganmu dengan Malaikat di gubuk hitam itu sama
seperti saat kalian berada di Pulau Biru?!"
"Keparat! Dia tahu peristiwa di Pulau Biru! Pa-
dahal waktu itu jelas kalau setan ini tidak ada di
sana!" batin Dewi Siluman. Lalu berkata.
"Apa hubunganku, itu urusanku! Menyingkir-
lah!"
Dewi Siluman sudah melompat ke depan sebe-
lum terdengar suara sahutan dari Putri Sableng.
Kedua tangannya bergerak lakukan hantaman.
Putri Sableng ikut angkat kedua tangannya. Lu-
tutnya ditekuk hingga tubuhnya sedikit melorot.
Bukkk! Bukkk!
Kedua tangan Dewi Siluman beradu keras den-
gan kedua tangan Putri Sableng yang dipalangkan
di atas kepalanya.
Dewi Siluman tersentak. Dia cepat mundur tiga
langkah. Sepasang matanya membeliak perhatikan
kedua tangannya yang tampak bergetar keras. Da-
ri bentrok tangan tadi, Dewi Siluman sudah mak-
lum kalau gadis berjubah merah memiliki tenaga
dalam kuat. Namun karena sudah dibungkus ha-
wa kemarahan, dia tak mau pikir panjang lagi. Dia
cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangan-
nya. Kejap lain kedua tangannya disentakkan ke
depan. Wuutt! Wuuutt!
Dari kedua tangan Dewi Siluman melesat kabut
hitam keluarkan gema dahsyat serta gelombang
angin dan hawa panas! Inilah tanda kalau Dewi Si-
luman telah lepaskan pukulan andalannya yang
dikenal dengan pukulan 'Kabut Neraka'.
Seakan sudah tahu pukulan andalan perem-
puan berjubah hitam, Putri Sableng sudah jejak-
kan kedua kakinya terlebih dahulu. Hingga saat
kabut hitam melanggar, sosoknya telah loncat di
udara. Dari atas udara, gadis cantik berjubah merah ini cepat sentakkan kedua tangannya ke ba-
wah.
Blammm!
Lesatan kabut hitam tertahan sejenak di udara.
Lalu begitu terhantam gelombang yang keluar dari
sentakan kedua tangan Putri Sableng, kabut hi-
tam laksana ditekan tenaga luar biasa, hingga saat
itu juga kabut hitam menukik deras ke hamparan
pasir. Terdengar ledakan keras. Hamparan pasir
muncrat sampai beberapa tombak ke udara. Begi-
tu semburatan pasir lenyap, tampak lobang men-
ganga besar!
Meski pukulannya dipangkas orang dari atas
udara, namun bias bentroknya pukulan masih ju-
ga menghantam Dewi Siluman. Hingga begitu ter-
dengar ledakan, sosok perempuan berjubah hitam
itu terhuyung-huyung. Sementara di atas udara
Putri Sableng membuat gerakan jungkir balik, lalu
mendarat tujuh langkah di hadapan Dewi Siluman
dengan tangan berkacak pinggang. Namun kali ini
sikap gadis berjubah merah lain. Pandangannya
menyengat tajam. Mulutnya bergerak-gerak meski
tidak perdengarkan suara. Paras wajahnya jelas
menunjukkan kalau dadanya dilanda kemarahan.
Di hadapan Putri Sableng, Dewi Siluman tak
mau lagi sembunyikan rasa kejut. Belum dapat
menduga siapa adanya si gadis, kini ditambah
dengan pertanyaan yang makin pelik. Karena ga-
dis berjubah merah rasanya mengerti benar akan
pukulan yang akan dilepas! Hingga bukan saja
pukulannya tidak menghantam sasaran tapi
mampu ditebas masuk ke hamparan pasir sampai
lenyap!
"Durga Ratih! Aku hanya peringatkan kau seka-
li lagi! Pergi dari sini!"
Meski hatinya mulai kecut, namun rasa pena
saran membuat Dewi Siluman lupakan kekuatan
diri. Hingga saat itu juga dia perdengarkan tawa
pendek. Lalu berucap.
"Jangankan hanya sekali, seratus kali kau
ucapkan peringatan, aku tak akan pergi dari sini!
Justru aku yang peringatkan padamu! Menying-
kirlah dari hadapanku! Kalau kau ingin berhada-
pan denganku, tunggulah sampai aku selesaikan
pemuda keparat itu!" Tangan kiri Dewi Siluman
bergerak menunjuk pada murid Pendeta Sinting di
seberang.
"Hem.... Jadi kau ingin mengalami nasib lebih
buruk daripada yang pernah kau alami di Pulau
Biru?!" tanya Putri Sableng.
"Apa yang kau tahu tentang nasibku di Pulau
Biru, hah?? Kau hanya dengar dari mulut orang
lancang!" sahut Dewi Siluman.
Putri Sableng sudah buka mulut, tapi sebelum
suaranya terdengar, satu teriakan membahana
terdengar dari puncak batu bergubuk hitam.
"Dewi Siluman! Kau terlalu banyak umbar sua-
ra! Lekas selesaikan gadis pengkhianat itu!"
Walau sudah tahu kalau Malaikat Penggali Ku-
bur malam ini bukan Malaikat Penggali Kubur pa-
da beberapa waktu yang lalu, namun Dewi Silu-
man bukanlah orang yang begitu saja mau dipe-
rintah. Perempuan bercadar hitam ini dongakkan
sedikit kepalanya. Lalu berkata lantang.
"Aku memang akan selesaikan gadis bermulut
lancang ini! Tapi bukan karena turut perintahmu!"
"Hem.... Enak benar suaramu! Apakah kau tak
tahu kalau malam ini Malaikat Penggali Kubur
akan mentasbihkan diri sebagai raja di raja rimba
persilatan?! Dan itu berarti semua orang harus
tunduk di bawah telapak kakiku! Termasuk kau!"
"Persetan mau jadi apa kau malam ini! Yang jelas kau tak bisa seenakmu memberi perintah pa-
daku!"
Tampang Malaikat Penggali Kubur terlihat be-
rubah. Namun kejap lain pemuda ini telah perden-
garkan tawa bergelak sambil berujar.
"Kau ternyata datang ke tempat yang salah!
Ha.... Ha.... Ha...! Dan ternyata otakmu juga tolol
karena tak mau melihat kenyataan! Aku tahu....
Kau memang bisa lolos dari Pulau Biru. Tapi apa
kau pikir Kedung Ombo sama dengan Pulau Biru?!
Apa kau kira manusia yang berkata ini sama den-
gan Malaikat Penggali Kubur waktu berada di Pu-
lau Biru dulu?!"
Dewi Siluman tidak hiraukan ucapan Malaikat
Penggali Kubur. Dia palingkan muka menghadap
Putri Sableng. Saat itulah mendadak terlihat ber-
kiblatnya cahaya terang yang cuma sekejap. Saat
bersamaan terdengar suara deruan keras. Lalu sa-
tu gelombang dahsyat melanggar dari puncak batu
di mana Malaikat Penggali Kubur berada. Ternyata
Malaikat Penggali Kubur telah lepaskan pukulan
sakti 'Telaga Surya' yang dulu pernah menjadi pu-
kulan andalannya sebelum mendapatkan Kitab Hi-
tam. Karena terus dilatih apalagi dengan Kitab Hi-
tam di balik pakaiannya, maka pukulan 'Telaga
Surya' yang kali ini dilepas Malaikat Penggali Ku-
bur tiga kali lebih dahsyat daripada beberapa wak-
tu yang lalu.
Di bawah sana, Dewi Siluman tampak terke-
siap. Dia tidak menduga sama sekali kalau Malai-
kat Penggali Kubur akan kirimkan pukulan. Apa-
lagi dia sedang dilanda penasaran dengan Putri
Sableng. Hingga meski Dewi Siluman sempat
membuat gerakan angkat kedua tangannya untuk
memangkas pukulan 'Telaga Surya', namun dia ti-
dak punya kesempatan lagi untuk sentakkan kedua tangannya.
Dewi Siluman rasakan nyawanya terbang. Ke-
dua tangannya di atas kepala namun tak lagi
membuat gerakan apa-apa. Perempuan ini hanya
bisa perdengarkan seruan pelan dengan lutut
goyah!
"Setan! Mengapa kau diam saja?!" bentak Putri
Sableng. Gadis berjubah merah ini dorong tangan
kanannya ke arah Dewi Siluman. Lalu melompat
mundur.
Dewi Siluman terpekik. Sosoknya mencelat
mental sampai beberapa tombak lalu terkapar di
atas hamparan pasir. Namun hal ini menyela-
matkan nyawanya dari pukulan Malaikat Penggali
Kubur. Karena bersamaan dengan mencelatnya
tubuh, tempat di mana tadi dia berada terbuncah
ledakan dahsyat!
Terhuyung-huyung Dewi Siluman bergerak
bangkit. Memandang sejenak pada Putri Sableng
yang sama-sama terlihat karena udara masih di-
taburi muncratan pasir. Entah apa yang terpikir
dalam benak perempuan bercadar hitam ini, yang
jelas dia segera kerahkan tenaga dalam, lalu ber-
kelebat ke arah murid Pendeta Sinting yang masih
tegak di seberang sana.
Sementara itu, tidak jauh dari tempat tegaknya
Pendekar 131, si nenek Ni Luh Padmi cepat tarik
kedua kakinya yang terpacak di dalam pasir. Wa-
lau si nenek tahu kalau tulang kakinya patah,
namun sekuat tenaga dia coba bangkit. Sosok Ni
Luh Padmi sejenak tampak terhuyung-huyung lalu
limbung dan jatuh kembali ke hamparan pasir!
"Keparat!" Si nenek memaki-maki sendiri kare-
na kedua kakinya yang patah tidak kuasa lagi me-
nopang tubuhnya. Tapi si nenek rupanya tidak
mau begitu saja menyerah. Dengan duduk di atas
hamparan pasir, dia cepat salurkan tenaga dalam
pada kedua tangannya. Lalu diangkat dan disen-
takkan ke arah murid Pendeta Sinting yang tegak
hanya sejarak sembilan langkah dari tempatnya
berada.
Namun Ni Luh Padmi mendadak urungkan
niat.
Kepala si nenek berpaling. Memandang ke de-
pan, matanya mendelik merah. Rahangnya te-
rangkat. Mulutnya membentak.
"Jangan kau campur tangan urusan ini!"
Dewi Siluman yang ternyata sudah tegak di situ
perdengarkan dengusan marah. Tapi perempuan
berjubah dan bercadar hitam ini tidak arahkan
pandangannya pada si nenek, melainkan ke arah
murid Pendeta Sinting yang kini juga tengah me-
mandangnya.
"Tua bangka! Aku tidak campur tangan uru-
sanmu! Aku punya urusan yang belum selesai
dengan keparat itu!" kata Dewi Siluman.
"Ah.... Kurasa di antara kita sudah tidak ada
urusan lagi!" ujar Joko seraya sunggingkan se-
nyum.
Dewi Siluman untuk beberapa saat pandangi
murid Pendeta Sinting. Perempuan ini rasakan de-
baran dadanya agak keras. Dia tak tahu perasaan
apa yang kini menjalari dadanya. Namun Dewi Si-
luman cepat tepiskan perasaan. Lalu alihkan pan-
dangan sambil berkata.
"Kau boleh anggap urusan selesai. Tapi aku ti-
dak! Dan aku akan anggap urusan kita selesai ka-
lau kau serahkan apa yang kuminta tempo hari
'sekarang juga!" Dewi Siluman ulurkan tangan ka-
nannya ke depan.
Ni Luh Padmi pandangi murid Pendeta Sinting
dan Dewi Siluman silih berganti. Nenek ini sebenarnya hendak buka mulut, namun Dewi Siluman
sudah membentak.
"Nek! Kau saat ini sudah tak berdaya! Jadi jan-
gan berani buka suara sebelum aku selesaikan
urusanku!"
Ni Luh Padmi untuk kesekian kalinya me-
nyumpah habis-habisan. Dia menyesal mengeta-
hui keadaannya saat ini. Kedua tangannya me-
mang masih mampu lepaskan pukulan. Namun
tanpa tusuk konde hitamnya serta ditambah ke-
dua kakinya yang tidak mampu lagi menopang tu-
buh, bagaimanapun juga membuat si nenek akan
kesulitan untuk bergerak selamatkan diri kalau
diserang lawan. Tapi si nenek rupanya sudah bu-
latkan tekad. Bahkan dia sudah memutuskan, ti-
dak dapat membunuh gurunya, muridnya pun ti-
dak jadi apa! Hingga begitu mendengar ucapan
Dewi Siluman, Ni Luh Padmi segera angkat bicara.
"Aku memang sudah tak berdaya! Tapi bukan
berarti aku tidak sanggup untuk membunuh! Me-
nyingkirlah dahulu!"
Dewi Siluman tertawa pendek bernada menge-
jek. "Jangankan kau, perintah junjunganmu Ma-
laikat Penggali Kubur pun tidak ada apa-apanya
bagiku!" Dewi Siluman kembali gerak-gerakkan
tangan kanannya yang masih menjulur membuat
gerakan meminta.
"Kau masih punya kesempatan! Serahkan!"
bentak Dewi Siluman pada Joko.
Belum sampai Joko buka mulut, kedua tangan
Ni Luh Padmi sudah bergerak lepaskan pukulan
pada Dewi Siluman.
"Bangsat! Tua bangka tak tahu diuntung!" maki
Dewi Siluman. Tangan kanannya cepat ditarik pu-
lang dan serta-merta didorong ke depan menyong-
song pukulan si nenek. Karena ingin cepat selesaikan urusan, tak tanggung-tanggung, Dewi Si-
luman langsung song-song pukulan Ni Luh Padmi
dengan lepas pukulan 'Kabut Neraka'!
Meski pukulan Ni Luh Padmi mampu memben-
dung pukulan 'Kabut Neraka', namun bagaimana-
pun juga si nenek tak akan dapat hindarkan diri
dari bias bentroknya pukulan. Hingga hal itu pasti
akan membuat si nenek cedera berat.
Berpikir sampai ke sana, dan ingat akan pesan
eyang gurunya, sebelum pukulan Kabut Neraka'
sempat bertemu dengan pukulan Ni Luh Padmi,
murid Pendeta Sinting cepat berkelebat ke depan.
Tangan kanannya segera menyambar bahu si ne-
nek yang baru saja lepaskan pukulan dengan du-
duk di atas hamparan pasir.
Mungkin menduga kalau murid Pendeta Sinting
hendak menghantamnya, si nenek keluarkan se-
ruan karena dia sudah terlambat sekali untuk
membuat gerakan jika murid Pendeta Sinting be-
nar-benar hendak menghantamnya.
Ni Luh Padmi rasakan tubuhnya terseret di atas
pasir sampai beberapa tombak. Bersamaan den-
gan itu Kedung Ombo diguncang ledakan. Hampa-
ran berpasir untuk kesekian kalinya pula bertabu-
ran ke udara.
Ni Luh Padmi buka kelopak matanya saat tu-
buhnya merasakan ditaburi pasir. Belum sampai
dia dapat jelas memandang, satu suara dekat se-
kali dengan dirinya terdengar.
"Nek...! Percuma kau berada di sini! Orang yang
kau cari tidak ada! Kau hanya akan sia-siakan
nyawa kalau terus bersikap keras kepala! Cepat
tinggalkan tempat ini!"
"Jahanam! Suara Anak Sinting itu!" desis Ni
Luh Padmi tanpa perlu melihat lagi siapa adanya
orang yang baru saja perdengarkan suara.
Dengan kemarahan makin menggelegak, Ni Luh
Padmi berteriak.
"Orang yang kucari memang tidak ada! Tapi
dengan kematianmu, rasanya hatiku bisa sedikit
lega!"
Tanpa peduli kalau dirinya baru saja disela-
matkan orang, si nenek putar tangannya lalu ser-
ta-merta dihantamkan ke arah mana dia yakin
murid Pendeta Sinting berada karena saat itu pe-
mandangan masih tertutup hamburan pasir.
Tapi si nenek tiba-tiba menjerit. Kedua tangan-
nya yang hendak menghantam belum bergerak,
Joko berkelebat dari arah samping kanan. Ni Luh
Padmi putar kedua tangannya hendak menghan-
tam ke samping kanan. Namun terlambat. Dua to-
tokan dahsyat sudah bersarang di pangkal kedua
tangannya. Hingga bukan saja tubuhnya langsung
kaku namun kedua tangannya tetap terapung di
atas udara dengan tegang!
Belum habis rasa kaget si nenek, dia merasa-
kan tubuhnya bergerak di hamparan pasir. Gera-
kan tubuhnya baru terhenti saat dia merasa di be-
lakangnya ada sesuatu yang menghadang. Dan tak
jauh dari tempatnya terdengar suara dengusan
napas orang.
Ni Luh Padmi segera lirikkan matanya, karena
tubuhnya tak bisa digerakkan. Si nenek tersentak.
Dia saat itu ternyata duduk bersandar pada batu
dan hanya sejarak tiga langkah dari Iblis Rangkap
Jiwa!
*
* *
EMPAT
SEMENTARA itu, begitu terdengar ledakan, De-
wi Siluman cepat jatuhkan diri bergulingan di atas
pasir. Sambil bergulingan sepasang matanya me-
mandang liar. Hingga begitu hamburan pasir le-
nyap, perempuan ini cepat bangkit dan serta-
merta sentakkan kedua tangannya ke arah murid
Pendeta Sinting yang ternyata tegak tidak jauh da-
ri tempat Ni Luh Padmi yang bersandar duduk pa-
da lamping batu cadas putih yang terpenggal.
Kabut hitam melintas di atas hamparan pasir
dengan suara menggemuruh. Hamburan pasir
yang baru saja sirap terlihat bertaburan lagi ter-
kena sambaran gelombang yang menyertai hampa-
ran kabut hitam pukulan 'Kabut Neraka' Dewi Si-
luman.
Mendapati Dewi Siluman sudah lepas pukulan
ke arahnya, kejengkelan murid Pendeta Sinting
naik ke ubun-ubun. Sambil membentak garang,
Joko lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'.
Kini di atas hamparan pasir yang membentang
membelah kawasan berbatu tampak dihiasi kabut
hitam dan semburatan warna kuning. Suara ge-
muruh makin memekak. Lalu Kedung Ombo ber-
guncang dahsyat tatkala kabut hitam bentrok
dengan sinar kuning.
Sosok Dewi Siluman terseret beberapa langkah
ke belakang dengan dada bergetar keras naik tu-
run. Meski wajah perempuan ini tertutup cadar,
tapi jelas kalau perempuan ini berubah paras.
Sementara di seberang depan sana, murid Pendeta
Sinting cepat hentikan gerakan kakinya yang
mundur. Bentroknya pukulan mau tak mau masih
membuat perubahan pada wajah Joko yang geta-
ran dadanya tidak sekeras yang terlihat pada Dewi
Siluman.
Dewi Siluman segera lirikkan mata meneliti.
Sadar kalau tidak mengalami cedera yang parah,
perempuan ini cepat melompat ke depan. Dari ja-
rak tujuh langkah, sepasang kakinya bergerak
menghentak pasir.
Dari sepasang mata di wajah bercadar hitam
milik Dewi Siluman melesat dua sinar hitam
menggidikkan. Bersamaan itu hamparan pasir di
bawah sinar hitam yang melesat terlihat membe-
lah rengkah membentuk jalur lurus ke arah Pen-
dekar 131!
"Sinar Setan!" terdengar seruan dari puncak ba-
tu cadas putih yang terpenggal mengenali dua si-
nar hitam yang melesat dari sepasang mata Dewi
Siluman.
Joko tak mau bertindak ayal. Dia telah tahu
bagaimana ganasnya 'Sinar Setan' milik Dewi Si-
luman jika benar-benar menghantam. Maka serta-
merta dikerahkan tenaga dalam pada tangan ki-
rinya.
Wuuttt!
Tangan kiri murid Pendeta Sinting bergerak
memukul ke depan. Tampak serat-serat biru lak-
sana benang terang melesat ke depan menyong-
song dua sinar hitam.
Serat-serat biru cepat membungkus dua sinar
hitam. Kejap lain serat-serat biru ambyar dan si-
nar hitam bertabur ke udara. Pada saat yang sama
terdengar debuman keras.
Tubuh Pendekar 131 terpental satu tombak.
Untung di belakangnya menghadang batu cadas
putih, hingga sosoknya tertahan. Paras mukanya
kali ini pucat pasi. Mulutnya terbuka megap-
megap atur napasnya yang seolah tersumbat. Se-
kujur tubuhnya laksana dipanggang, hingga pakaiannya tampak basah kuyup. Sosoknya bergetar
keras.
Jauh di depan sana, sosok Dewi Siluman tam-
pak terduduk hanya empat langkah dari bibir ke-
dung. Dari bagian bawah cadar hitamnya tampak
menetes cairan merah. Jelas menunjukkan kalau
Dewi Siluman telah terluka dalam cukup parah.
*
* *
Di lain tempat, tepatnya di kawasan berbatu
sebelah kanan kedung di mana tegak Ratu Pemi-
kat dan Dewa Orok, tiba-tiba terjadi kegegeran.
Begitu terjadi bentrok pukulan antara Dewi Silu-
man dan murid Pendeta Sinting, Ratu Pemikat
yang sedari tadi tegak mematung melihat apa yang
terjadi di depan sana, mendadak membuat gera-
kan memutar tubuh menghadang Dewa Orok..
"Iblis Rangkap Jiwa tak bisa selesaikan tugas-
nya menyelesaikan pemuda buntung ini. Pasti Ma-
laikat Penggali Kubur akan membebankan tugas
padaku! Mumpung di sana masih terjadi bentrok,
lebih baik kuselesaikan pemuda ini dahulu!"
membatin Ratu Pemikat.
Sedari tadi Ratu Pemikat memang menunggu
waktu yang tepat. Menurut keterangan yang sem-
pat didengar dari Iblis Rangkap Jiwa, dia dapat
menduga kalau Pendekar 131 tidak akan tinggal
diam kalau Dewa Orok diserang lawan, karena Ib-
lis Rangkap Jiwa pernah mengatakan kalau di-
rinya sempat dikeroyok murid Pendeta Sinting
bersama Dewa Orok.
Melihat gerakan Ratu Pemikat, Dewa Orok tam-
pak terkejut meski dia sendiri sejak tadi sudah
waspada. Namun Dewa Orok cepat tutupi perasaan kaget dengan buka mulut.
"Kurasa tak ada gunanya kita berada di sini!
Aku ngeri melihat orang berkelahi! Bagaimana ka-
lau kita pergi sama-sama?! Kau tak merasa malu
bukan jalan bersama pemuda sepertiku?!"
Ratu Pemikat tampaknya sudah dapat memba-
ca jalan pikiran Dewa Orok. Namun sejauh ini dia
masih bimbang. "Parasnya jelas kalau dia merasa
ketakutan! Tapi apa sebenarnya yang membuat
dia takut?! Dari pertemuannya denganku beberapa
waktu yang lalu, jelas kalau dia membekal ilmu ti-
dak rendah! Atau jangan-jangan ini hanya musli-
hatnya saja...."
Ratu Pemikat tidak tahu kalau tanpa bundaran
karet yang diambilnya dan diserahkan pada Ma-
laikat Penggali Kubur, Dewa Orok tidak akan
mampu berbuat banyak. Dia hanya dapat kerah-
kan ilmu peringan tubuh tanpa dapat kerahkan
tenaga dalam untuk lepaskan pukulan.
"Hem.... Apakah aku harus bebaskan Iblis
Rangkap Jiwa dahulu?! Tapi.... itu akan membuat
suasana makin tidak karuan! Lagi pula manusia
iblis itu pasti punya rencana kotor di balik peker-
jaannya ini!" Ratu Pemikat masih menimbang-
nimbang hingga untuk beberapa saat dia tidak
sambuti ucapan Dewa Orok, membuat pemuda
bertangan buntung ini tidak enak. Dia segera buka
mulut lagi.
"Kau tak usah khawatir. Aku telah melupakan
urusan dulu itu!"
"Apa yang membuat pemuda ini berkata begi-
tu?! Padahal siapa pun adanya orang yang diper-
lakukan seperti dia waktu itu, pasti akan memen-
dam dendam! Hem.... Ada yang tak beres dengan
pemuda ini!" Ratu Pemikat diam-diam mencium
gelagat kalau Dewa Orok sembunyikan sesuatu.
Dengan sunggingkan senyum, Ratu Pemikat
melompat dan tegak hanya tiga langkah dari ha-
dapan Dewa Orok. Dewa Orok sendiri tampak li-
rikkan mata ke samping kanan kiri. Dia coba me-
nindih rasa kaget dan rasa gelisah.
"Kau hendak mengajakku pergi ke mana?!"
tanya Ratu Pemikat. Suara tawanya terdengar per-
lahan.
"Ke mana kau suka aku akan turuti! Asalkan
kau tidak merasa malu!" kata Dewa Orok dengan
suara sedikit bergetar.
"Aku mau saja dan tak merasa malu! Hanya
aku masih merasa sangsi!"
Ketegangan Dewa Orok sedikit mereda. "Apa
yang kau sangsikan?!"
Ratu Pemikat pandangi sekujur tubuh pemuda
bertangan buntung di hadapannya dengan tertawa
pelan. "Apa nanti yang dapat kau berikan pada-
ku?!" tanya Ratu Pemikat.
"Apa yang kau minta aku berusaha menda-
patkannya!" jawab Dewa Orok meski belum tahu
benar arah ucapan Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat dongakkan kepala. "Seorang pe-
rempuan membutuhkan belaian.... Apa kau sang-
gup lakukan belaian-belaian mesra?!"
Dewa Orok kancingkan mulut. Ratu Pemikat
luruskan kepalanya. "Kalau kau merasa sanggup
lakukan belaian, aku akan pergi saat ini juga ber-
samamu! Jika tidak, bukan saja kau tidak akan
bisa mengajakku pergi, namun nyawamu harus
tertinggal di sini!"
"Aduh.... Mengapa pembicaraan ini kau kait-
kaitkan dengan nyawa?!"
"Biarlah itu menjadi pertanyaan yang harus
kau cari sendiri jawabannya!" Ratu Pemikat terta-
wa panjang. Tapi tiba-tiba sosoknya melompat kedepan. Kedua tangannya lakukan hantaman den-
gan tenaga dalam.
Karena sejak tadi sudah waspada, begitu sosok
Ratu Pemikat melompat, Dewa Orok segera berke-
lebat selamatkan diri. Namun entah karena tak
mau orang mengetahui apa yang kini menimpa di-
rinya, sambil berkelebat sepasang kakinya berge-
rak seolah hendak lepaskan pukulan!
Ratu Pemikat rupanya tak mau beri kesempa-
tan. Begitu sergapannya lolos, perempuan bertu-
buh bahenol ini segera mengejar. Tapi lagi-lagi
Dewa Orok sudah berkelebat selamatkan diri.
Jengkel sergapannya gagal lagi, Ratu Pemikat
lepaskan pukulan jarak jauh dengan sentakkan
kedua tangannya. Hingga saat itu juga tampak sa-
tu hembusan angin keras menghampar ke arah
Dewa Orok.
Karena saat itu Dewa Orok tegak di atas batu,
dan berpikir Ratu Pemikat pasti akan mengejar
kalau dia berkelebat lagi, maka tanpa pikir pan-
jang lagi, Dewa Orok melompat turun dari batu
dan meringkuk di baliknya!
Hembusan angin yang keluar dari kedua tan-
gan Ratu Pemikat lewat di atas kepala Dewa Orok
dan menyapu pasir jauh ke depan sana. Namun
tak urung membuat kepala Dewa Orok tersentak,
karena dia hanya bertahan dengan tenaga luar,
sementara hembusan angin itu melesat dengan
pengerahan tenaga dalam.
Begitu hembusan angin lewat, Dewa Orok cepat
bangkit hendak berkelebat. Namun satu sapuan
telah melanggar dari atas batu di mana Dewa Orok
meringkuk selamatkan diri, membuat pemuda ber-
tangan buntung ini bukan saja urungkan niat
berkelebat melainkan harus cepat rebahkan kepa-
la hingga mengantuk pasir yang ada di sela-sela
batu.
Ratu Pemikat yang ternyata baru saja sapukan
kaki kanannya dari atas batu lebih bernafsu
menghabisi Dewa Orok apalagi melihat si pemuda
tidak lakukan pukulan balik yang membuat Ratu
Pemikat seakan dipermainkan!
Begitu sapuan kaki kanannya masih mampu
dihindari Dewa Orok, Ratu Pemikat melompat tu-
run. Kaki kirinya kini membuat gerakan menen-
dang.
Karena tidak ada ruang untuk menghindar,
sementara sapuan kaki kiri telah bergerak, mau
tak mau membuat Dewa Orok harus angkat ka-
kinya untuk lindungi kepalanya. Bukkk!
Kaki kanan Dewa Orok yang menangkis ten-
dangan kaki Ratu Pemikat tampak mencelat dan
menghantam batu di belakangnya. Hal ini mem-
buat tubuh bagian atasnya berputar. Karena te-
gaknya Ratu Pemikat tidak jauh dari tempat Dewa
Orok, kepala Dewa Orok yang berputar menghan-
tam kaki kanan Ratu Pemikat yang dibuat tum-
puan tubuh saat lakukan tendangan.
Dessss!
Ratu Pemikat berseru tertahan. Sosoknya ter-
huyung hampir roboh kalau saja kaki kiri Ratu
Pemikat tidak segera menjejak pasir.
Meski Dewa Orok tidak dapat kerahkan tenaga
dalam, namun karena tendangan kaki Ratu Pemi-
kat bertenaga dalam, maka tak urung akibat yang
dihasilkan juga masih mengandung tenaga dalam.
Hingga benturan kepala Dewa Orok mampu mem-
buat sosok Ratu Pemikat terhuyung.
Di lain pihak, karena tak bisa kerahkan tenaga
dalam dan harus menangkis tendangan bertenaga
dalam, maka Dewa Orok rasakan kakinya mau
tanggal dan kepalanya yang baru saja membentur
kaki kanan Ratu Pemikat seakan pecah! Namun
sejauh ini Dewa Orok coba tahan agar suara kelu-
hannya tidak terdengar. Malah pemuda bertangan
buntung ini coba tersenyum meski dengan sekujur
tubuh sakit bukan alang kepalang!
Ratu Pemikat tegak dengan dahi berkerut. Bu-
kan perhatikan Dewa Orok yang kini tersenyum
setengah meringis, melainkan merasa heran. Dari
bertemunya kaki tadi, perempuan ini merasa mak-
lum kalau tangkisan kaki orang tidak dialiri tena-
ga dalam.
"Hem.... Mungkin dia memandangku remeh!
Hingga tak perlu kerahkan tenaga dalam! Keparat
betul!" gumam Ratu Pemikat dalam hati. Lalu pe-
rempuan ini lipat gandakan tenaga dalamnya.
Saat lain sosok Ratu Pemikat tampak bergetar,
membuat Dewa Orok merasa kecut. Karena geta-
ran tubuh si perempuan jelas menandakan kalau
sang Ratu tengah kerahkan segenap tenaga da-
lamnya!
Sadar akan gelagat yang mengancam nya-
wanya, Dewa Orok berpikir cepat. Dengan andal-
kan tenaga luar, kedua kakinya digerakkan ber-
samaan menendang ke pinggul sang Ratu.
Tahu gerakan orang, Ratu Pemikat tak mau
bertindak lengah. Dengan cepat dia putar diri se-
tengah lingkaran. Seraya melompat setengah tom-
bak, kedua kakinya disentakkan ke arah kedua
kaki Dewa Orok.
Sepasang kaki Dewa Orok mental balik dan un-
tuk kedua kalinya menghantam batu di belakang-
nya! Bukan hanya sampai di situ, karena tendan-
gan kaki Ratu Pemikat dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi, maka begitu kakinya mental, kepala
Dewa Orok berputar cepat pulang balik ke depan
ke belakang karena kakinya kembali mental setelah menghantam batu di belakang nya.
Mungkin karena begitu kerasnya tendangan
dan benturan dengan batu, maka meski Dewa
Orok coba menahan suara, akhirnya terdengar ju-
ga seruan dari mulutnya. Malah kedua kakinya
yang baru saja menangkis kaki Ratu Pemikat tam-
pak mengembung besar!
Dewa Orok kerjapkan matanya. Namun secepat
kilat pemuda bertangan buntung ini katupkan
kembali sepasang matanya karena kaki kanan Ra-
tu Pemikat telah berada di atas kepalanya!
"Celaka! Mati aku...," gumam Dewa Orok den-
gan tengkuk dingin. Dia sudah menduga kalau
kaki kanan sang Ratu akan menyapu kepalanya.
Namun dugaan Dewa Orok meleset. Karena di-
tunggu sampai agak lama, tidak ada kaki yang
menyapu kepalanya! Bahkan tidak terdengar sua-
ra berkelebatnya angin!
Perlahan-lahan Dewa Orok buka kelopak ma-
tanya. Saat itulah tiba-tiba satu telapak kaki su-
dah menempel di keningnya!
"Kau berlaku bodoh jika coba-coba menghada-
piku tanpa tenaga dalam! Aku pun juga ingin tahu
apakah kau mampu selamatkan nyawamu saat
ini!" ujar Ratu Pemikat lalu tekankan kaki kanan-
nya yang menginjak kening Dewa Orok.
Dewa Orok meringis kesakitan namun anehnya
sepasang matanya bukannya menyipit, melainkan
terpentang besar, karena dengan satu telapak kaki
di atas kening Dewa Orok sementara satunya lagi
menginjak pasir, membuat Dewa Orok dengan je-
las melihat bagian dalam anggota tubuh sang Ratu
mulai dari kaki sampai pangkal paha!
Tapi pandangan Dewa Orok tidak dapat berlan-
jut karena saat itu juga Ratu Pemikat makin te-
kankan kakinya hingga kepala Dewa Orok melesak
masuk ke dalam pasir!
"Ratu.... Apa sebenarnya yang membuatmu in-
ginkan nyawaku...?" tanya Dewa Orok dengan su-
ara tersendat.
Ratu Pemikat tertawa pendek. "Aku akan jawab
pertanyaanmu, karena inilah jawaban terakhir
yang kau dengar!" Ratu Pemikat memandang ta-
jam pada pemuda di bawahnya. "Kau masih ingat
saat menipuku tentang keberadaan Pendekar 131
beberapa waktu yang lalu?!"
"Ah.... Jadi itu masalahnya.... Padahal sung-
guh, aku telah mengatakan yang sebenarnya! Apa
kau tidak ke tempat yang kukatakan?!" Dewa Orok
balik bertanya.
Ratu Pemikat jawab pertanyaan Dewa Orok
dengan tersenyum dingin. Lalu buka mulut lagi.
"Dengar! Aku mungkin masih memperpanjang
nyawamu, tapi katakan dahulu siapa yang menye-
lamatkanmu!"
"Aku berusaha sendiri...."
Ratu Pemikat makin keraskan pijakannya pada
kening Dewa Orok hingga kepala pemuda bertan-
gan buntung ini hampir seluruhnya terbenam ma-
suk ke dalam pasir. Kini wajah Dewa Orok tampak
sudah sejajar dengan hamparan pasir!
"Baik. Akan kukatakan siapa yang menolongku!
Tapi angkat dahulu kakimu!" ujar Dewa Orok
sambil meringis, tapi tak urung sepasang matanya
masih melirik pada pangkal paha Ratu Pemikat
yang tepat di atas kepalanya.
"Kau hanya buang-buang waktu!" sentak Ratu
Pemikat. Tangan kanan perempuan cantik ini te-
lah terangkat. Lalu serta-merta dihantamkan
sambil bungkukkan tubuh.
Karena tak bisa berbuat apa-apa lagi, akhirnya
Dewa Orok hanya bisa memandang hantaman
tangan sang Ratu yang pasti sekali hantam akan
membuat nyawanya melayang.
Sejengkal lagi tangan kanan Ratu Pemikat men-
jebol dada Dewa Orok, satu bayangan berkelebat
lalu lenyap di balik salah satu batu tidak jauh dari
tempat Ratu Pemikat. Pada saat yang sama, dua
benda hitam melesat lurus. Satu mengarah pada
paha kanan Ratu Pemikat satunya lagi ke arah
tangan kanannya yang sedang menghantam.
Ratu Pemikat tersentak. Tangan dan kakinya
laksana dihantam kekuatan dahsyat. Hingga tan-
gan kanannya mental ke belakang, sementara kaki
kanannya tersapu deras ke belakang. Sosoknya
terhuyung-huyung sampai beberapa langkah ke
belakang.
Anehnya, dua benda hitam yang baru saja
membuatnya tersentak mundur dan ternyata dua
buah batu hitam sebesar ibu jari, mental balik
dengan cepat sebelum akhirnya lenyap di balik ba-
tu.
"Jahanam! Siapa berbuat bodoh ikut campur
urusan ini, hah?!" bentak Ratu Pemikat. Sepasang
matanya memandang ke hamparan pasir yang
membentang di depan sana. Lalu terus lurus ke
seberang. Terakhir kali ke arah puncak batu cadas
putih. "Hem.... Berarti ada orang lain yang muncul
di tempat ini!" kata Ratu Pemikat dalam hati sete-
lah memperhatikan sekeliling. 'Apa bangsat ini
yang menolong pemuda buntung ini beberapa
waktu yang lalu?!" Ratu Pemikat arahkan pandan-
gan pada batu di mana tadi dia masih bisa me-
nangkap lenyapnya satu bayangan serta lenyap-
nya dua batu hitam yang mampu membuat sosok-
nya mundur.
Mungkin karena geram, Ratu Pemikat lupakan
urusannya dengan Dewa Orok. Dia cepat berkelebat ke arah batu di mana tadi bayangan lenyap.
Tapi Ratu Pemikat jadi terkesiap sendiri. Kare-
na tanpa diduga sama sekali satu bayangan telah
muncul berkelebat dari balik batu dan langsung
menyongsong sosok Ratu Pemikat!
Ratu Pemikat berseru kaget. Kedua tangannya
cepat bergerak lakukan hantaman ke arah sosok
yang menyongsongnya. Namun belum sampai tan-
gannya menghantam, sosok orang yang berkelebat
dari balik batu telah menubruk tubuhnya! Hingga
kedua orang ini melayang deras lalu sama terka-
par di atas sela pasir di antara batu. Tubuh orang
yang menubruk tampak berada di atas tubuh Ratu
Pemikat!
Ratu Pemikat memaki habis-habisan. Dia ge-
liatkan tubuh lalu kakinya diangkat dengan lutut
menyodok. Tapi Ratu Pemikat terkejut. Bukan saja
dia tidak mampu gerakkan kaki, dia juga tidak bi-
sa geliatkan tubuh!
"Bangsat!" teriak Ratu Pemikat. Tangan kanan
kirinya bergerak menghantam ke arah sosok yang
masih meringkuk telungkup di atas tubuhnya.
Orang yang berada di atas tubuh Ratu Pemikat
gerakkan kepalanya pada dada Ratu Pemikat. Saat
itu juga sosoknya melesat memberosot ke bawah.
Ratu Pemikat teruskan hantaman tangannya. Na-
mun perempuan bertubuh sintal ini terperangah.
Kedua kakinya terasa dipegang tangan orang.
Belum habis rasa kaget dan juga belum tahu
apa yang akan diperbuat orang, Ratu Pemikat ra-
sakan kedua kakinya diangkat orang hingga mau
tak mau hantaman kedua tangannya tak bisa dite-
ruskan.
"Kurang ajar!" hardik Ratu Pemikat. Dia cepat
sentakkan kedua kakinya yang masih terasa dipe-
gang tangan orang.
Bukkk! Bukkk!
Kedua kaki Ratu Pemikat menghantam deras.
Bukan pada sosok orang melainkan ke atas pasir.
Karena begitu kedua kaki sang Ratu menyentak,
orang di bawahnya serta-merta lepaskan pegan-
gannya.
Ratu Pemikat cepat bergerak bangkit. Meman-
dang ke depan, dia melihat seorang laki-laki be-
rambut panjang hitam lebat di kelabang dua. Wa-
jahnya bundar dengan hidung agak besar. Orang
ini duduk bersandar pada batu. Melihat sekilas
tubuhnya, Ratu Pemikat cepat bisa menebak ka-
lau orang di depannya bertubuh pendek!
"Cebol kurang ajar! Siapa kau?!" bentak Ratu
Pemikat.
Orang yang dibentak sekilas memandang pada
Ratu Pemikat. Tanpa buka mulut dia perlahan-
lahan bangkit. Ternyata tubuh orang ini memang
pendek. Laki-laki ini tidak lain adalah Cucu Dewa.
"Aku mencari seseorang. Harap kau tidak ber-
tanya dahulu siapa aku!" kata Cucu Dewa lalu me-
langkah ke arah tempatnya Dewa Orok.
Ratu Pemikat naik pitam. Tanpa buka mulut
lagi, kedua tangannya lepaskan satu pukulan ja-
rak jauh ke arah Cucu Dewa.
Cucu Dewa arahkan wajahnya menghadap Ratu
Pemikat. Mulutnya dibuka menganga. Sekali hem-
buskan napas, dari mulutnya melesat dua batu hi-
tam sebesar ibu jari.
Desss! Desss!
Kedua tangan Ratu Pemikat laksana disapu ge-
lombang besar. Hingga meski dari kedua tangan-
nya melesat dua gelombang angin deras, namun
arahnya sudah jauh melenceng.
Cucu Dewa menyedot. Dua buah batu hitam
mental dari kedua tangan Ratu Pemikat lalu lurus
masuk kembali ke mulut Cucu Dewa. Lalu orang
bertubuh pendek ini teruskan langkah.
Melihat bagaimana dengan mudahnya orang
dapat lencengkan pukulannya, Ratu Pemikat
menggembor marah. Kedua tangannya cepat dis-
entakkan.
Wuutt! Wuuttt!
Tampak dua sinar biru terang melesat lalu me-
nyungkup tempat ini. Saat bersamaan gelombang
angin deras berkiblat! Inilah tanda kalau Ratu Pe-
mikat telah lepaskan pukulan 'Hamparan Langit'.
*
* *
LIMA
BERSAMAAN dengan menyungkupnya sinar bi-
ru terang pukulan sakti 'Hamparan Langit' yang
dilepas Ratu Pemikat, dari arah seberang sana,
tampak cahaya terang berkiblat dari puncak batu
bergubuk hitam. Cahaya terang itu cuma sekejap
lalu lenyap. Namun bersamaan lenyapnya cahaya
terang, satu suara menggemuruh terdengar. Kejap
lain gelombang dahsyat menggebrak ke bawah di
mana saat itu Putri Sableng tegak.
Gadis berjubah merah cepat dongakkan kepala.
Lalu serta-merta kedua tangannya didorong ke
atas dengan tekuk lututnya.
Gelombang yang menggebrak ke bawah yang
baru saja dilancarkan Malaikat Penggali Kubur
tertahan sejenak di atas udara. Lalu begitu tangan
Putri Sableng menyentak untuk kedua kalinya, ge-
lombang dahsyat tadi membalik ke atas!
Malaikat Penggali Kubur menyeringai. Pemuda
ini tidak gerakkan kaki untuk menghindar. Dia
hanya gerakkan sedikit tubuh atasnya.
Wuusss!
Gelombang pukulan 'Telaga Surya' Malaikat
Penggali Kubur yang membalik hanya Lewat satu
jengkal di atas pemiliknya. Lalu menghantam atas,
gubuk.
Prakk! Prakk! Prakkk! Prakkk!
Terdengar suara benda pecah empat kali bertu-
rut-turut. Disusul dengan terdengarnya suara kain
robek. Gubuk hitam beratap dan berdinding kain
hitam tercabut dari batu lalu melayang ke angkasa
dengan kain kepulkan asap! Ketika tiang gubuk
dan kainnya luruh, hanya tinggal serpihan!
Malaikat Penggali Kubur gerakkan tangan kiri
mengusap perutnya. Tubuhnya dihadapkan lurus
ke bawah pada Putri Sableng. Mulutnya sungging-
kan senyum aneh.
Dari puncak batu terdengar suara menderu
sangat pelan. Tidak terlihat adanya gelombang
atau sapuan angin yang melesat. Namun hampa-
ran pasir di sana sudah terlihat bertaburan.
Putri Sableng yang sudah mencium gelagat ba-
haya Cepat berkelebat. Kedua tangannya disen-
takkan ke atas. Saat bersamaan tiba-tiba dari batu
cadas putih tampak empat gelombang angin
menghampar melintasi hamparan pasir dan men-
garah lurus ke arah mana saat itu tangan Putri
Sableng menyentak.
Satu dentuman laksana hendak membongkar
Kedung Ombo terdengar ketika sentakan kedua
tangan Putri Sableng dan gelombang yang melesat
dari batu cadas putih beradu dahsyat dengan ge-
lombang tidak terlihat yang keluar dari balik pa-
kaian Malaikat Penggali Kubur.
Batu membukit di mana Malaikat Penggali Ku-
bur berada laksana diguncang gempa. Lalu terhanya gerakkan sedikit tubuh atasnya.
Wuusss!
Gelombang pukulan 'Telaga Surya' Malaikat
Penggali Kubur yang membalik hanya Lewat satu
jengkal di atas pemiliknya. Lalu menghantam atas,
gubuk.
Prakk! Prakk! Prakkk! Prakkk!
Terdengar suara benda pecah empat kali bertu-
rut-turut. Disusul dengan terdengarnya suara kain
robek. Gubuk hitam beratap dan berdinding kain
hitam tercabut dari batu lalu melayang ke angkasa
dengan kain kepulkan asap! Ketika tiang gubuk
dan kainnya luruh, hanya tinggal serpihan!
Malaikat Penggali Kubur gerakkan tangan kiri
mengusap perutnya. Tubuhnya dihadapkan lurus
ke bawah pada Putri Sableng. Mulutnya sungging-
kan senyum aneh.
Dari puncak batu terdengar suara menderu
sangat pelan. Tidak terlihat adanya gelombang
atau sapuan angin yang melesat. Namun hampa-
ran pasir di sana sudah terlihat bertaburan.
Putri Sableng yang sudah mencium gelagat ba-
haya Cepat berkelebat. Kedua tangannya disen-
takkan ke atas. Saat bersamaan tiba-tiba dari batu
cadas putih tampak empat gelombang angin
menghampar melintasi hamparan pasir dan men-
garah lurus ke arah mana saat itu tangan Putri
Sableng menyentak.
Satu dentuman laksana hendak membongkar
Kedung Ombo terdengar ketika sentakan kedua
tangan Putri Sableng dan gelombang yang melesat
dari batu cadas putih beradu dahsyat dengan ge-
lombang tidak terlihat yang keluar dari balik pa-
kaian Malaikat Penggali Kubur.
Batu membukit di mana Malaikat Penggali Ku-
bur berada laksana diguncang gempa. Lalu terdengar suara berkeretekan. Kejap lain batu mem-
bentuk bukit itu merengkah! Malaikat Penggali
Kubur tersurut satu tindak. Sepasang matanya
liar memandang ke arah batu cadas putih. Lalu
kedua kakinya dihentakkan ke puncak batu.
Byaarr!
Puncak batu yang sudah rengkah dan masih
berguncang akibat bentroknya pukulan, langsung
pecah berkeping-keping dan longsor hampir seten-
gahnya! Malaikat Penggali Kubur sudah berkelebat
melayang turun sebelum batu pijakannya ambyar.
Sementara begitu terdengar dentuman, sosok
Putri Sableng tampak mencelat sampai satu tom-
bak dan jatuh terduduk dengan paras pucat pasi.
Kedua tangannya terasa tegang dan aliran darah-
nya tersumbat. Namun gadis ini tak bisa berlama-
lama duduk, karena puncak batu di mana tadi
Malaikat Penggali Kubur berada telah longsor. Pu-
tri Sableng cepat berkelebat lalu mencari tempat
agak aman dari hamburan pasir dan batu.
Sementara itu, bersamaan terdengarnya suara
dentuman, dari puncak batu cadas putih terden-
gar suara orang bergumam. Kejap lain terlihat dua
sosok tubuh terpelanting dari puncak batu cadas
putih. Lalu semua orang yang ada di depan ke-
dung melihat dua orang berwajah hitam melang-
kah tertatih-tatih dari arah samping batu cadas
putih ke hamparan pasir di depan kedung.
Kedua orang berwajah hitam sejenak arahkan
pandangan pada Dewi Siluman yang terduduk ti-
dak jauh dari batu membukit yang sudah longsor.
Yang sebelah kanan yang bertelanjang dada
dan bukan lain adalah Raden Mas Antar Bumi ge-
leng-gelengkan kepala. Orang ini sejenak rapikan
baju yang kini dipakai untuk menutupi bagian
bawah tubuhnya.
"Raden Mas Antar Langit.... Tahu begini yang
terjadi di sini, seharusnya kita ikuti saran iblis
Rangkapan itu...," ujar Raden Mas Antar Bumi
sambil arahkan pandangan pada iblis Rangkap
Jiwa yang masih terpekur kerahkan tenaga dalam
untuk bebaskan diri dari totokan Joko. Orang ini
lantas berpaling pada Dewi Siluman.
"Gara-gara kau penasaran dengan si Jubah Hi-
tam yang tak mengenakan apa-apa lagi, kepergian
kita tertunda! Kalau sudah begini, apa artinya ga-
dis cantik meski di balik jubahnya tidak mengena-
kan apa-apa lagi?! Pada akhirnya kita bukannya
menghilangkan kutuk, sebaliknya harus rela di-
buat main-main orang berjubah putih itu!" Terak-
hir kali Raden Mas Antar Bumi arahkan pandan-
gan pada Malaikat Penggali Kubur. Namun cuma
sekejap, tanpa buka mulut lagi orang ini melang-
kah perlahan-lahan ke arah lamping batu cadas
putih di mana Ni Luh Padmi duduk bersandar ti-
dak jauh dari Iblis Rangkap Jiwa dengan tubuh
masih kaku dan kedua tangan terangkat ke atas.
"Nek...!" kata Raden Mas Antar Bumi. "Kau tak
keberatan bukan aku duduk di sampingmu?!"
Tanpa menunggu sahutan dari Ni Luh Padmi,
Raden Mas Antar Bumi duduk di samping si nenek
lalu tertawa-tawa pada Raden Mas Antar Langit
yang memperhatikan sikapnya.
"Dasar! Mau dekati nenek saja masih bicara
yang bukan-bukan!" gumam Raden Mas Antar
Langit. Dia edarkan pandangannya berkeliling.
"Hem.... Enaknya aku duduk di samping siapa?!
Apa si Jubah Hitam mau duduk berdampingan
denganku?!" ujar Raden Mas Antar Langit.
"Kau terlalu banyak pertimbangan! Coba saja
langsung ke sana!" sahut Raden Mas Antar Bumi.
Raden Mas Antar Langit anggukkan kepalanya.
Memandang sekilas pada murid Pendeta Sinting
yang tegak memperhatikan dengan sikap waspada.
Lalu mulai melangkah ke arah Dewi Siluman.
Baru melangkah tiga tindak, dari seberang de-
pan terdengar Dewi Siluman sudah membentak
garang. "Sekali lagi kau angkat kakimu, aku tak
keberatan mencabut nyawamu!" Dewi Siluman
bangkit. Meski masih tampak sedikit terhuyung
namun perempuan ini cepat kuasai diri. Kedua
tangannya siap lepaskan pukulan.
Raden Mas Antar Langit tutup mulutnya den-
gan telapak tangan kanan. Lalu berpaling pada
Raden Mas Antar Bumi. "Tadi suaranya terdengar
merdu mendayu. Kenapa sekarang begitu galak?
Apa ini karena setelah melihat wajah kita yang
terkena kutuk ini?"
"Ah.... Kau selalu saja kurang percaya diri!" ka-
ta Raden Mas Antar Bumi.
"Hem.... Bukan begitu! Terus terang saja aku
ngeri! Kau lihat sendiri bagaimana si Jubah Hitam
tadi bisa main-main dengan kabut hitam dan sinar
hitam! Aku takut kalau wajah yang hitam ini nan-
tinya semakin hitam saja.... Lebih baik aku ikut
duduk di sampingmu saja...." Raden Mas Antar
Langit akhirnya melangkah perlahan darn duduk
bersandar di samping Raden Mas Antar Bumi.
Baru saja Raden Mas Antar langit duduk, tiba-
tiba di depan sana Dewi Siluman sudah sentakkan
kedua tangannya lepaskan pukulan 'Kabut Nera-
ka'. Begitu kabut hitam melesat, perempuan ber-
jubah dan bercadar hitam ini hentakkan kaki.
Saat itu juga dari sepasang matanya mencuat si-
nar hitam.
Joko tak mau tinggal diam. Karena jelas puku-
lan Dewi Siluman kali ini tidak bisa dipandang
sembarangan. Perempuan itu telah lepaskan dua
pukulan sakti saling berbarengan.
Joko angkat kedua tangannya. Lalu disentak-
kan pukulan 'Lembur Kuning'. Kejap lain tangan
kirinya mendorong lepas pukulan 'Serat Biru'.
Blammm!
Hamparan pasir di depan Kedung Ombo berge-
tar hebat tatkala pukulan 'Kabut Neraka' bertemu
dengan pukulan 'Lembur Kuning'. Kabut hitam
serta sinar bersemburatan warna kuning membu-
bung ke udara pecah berantakan.
Belum lenyap suara ledakan pertama, tiba-tiba
dua sinar hitam yang mencuat dari sepasang mata
Dewi Siluman tertahan di udara lalu terbungkus
serat-serat biru terang yang keluar dari tangan kiri
murid Pendeta Sinting. Saat lain sinar hitam yang
terbungkus serat-serat biru muncrat ke udara ke-
luarkan ledakan dahsyat!
Kedung Ombo laksana disapu gelombang gem-
pa. Kedua orang berwajah hitam sama angkat tan-
gan masing-masing di atas kepala untuk tutupi di-
ri dari hamburan pasir. Sosok mereka berdua ti-
dak bergeming sedikit pun! Sementara di samping
kedua orang berwajah hitam ini, sosok Ni Luh
Padmi tampak terhempas ke lamping batu cadas
putih di belakangnya. Hingga si nenek perdengar-
kan makian.
Di samping si nenek, Iblis Rangkap Jiwa tam-
pak rapatkan mata. Laki-laki ini coba menindih
guncangan tubuhnya agar konsentrasinya tidak
pecah. Hingga meski tubuhnya tampak pulang ba-
lik terhempas ke lamping batu di belakangnya, dia
tak hendak buka kelopak matanya!
Sementara itu begitu ledakan kedua terdengar,
sosok murid Pendeta Sinting terlempar beberapa
langkah ke belakang. Terhuyung sejenak lalu te-
gak dengan sekujur tubuh bergetar keras. Wajah
nya laksana tak berdarah. Mulutnya terbuka tan-
pa keluarkan suara.
Di seberang depan, sosok Dewi Siluman tersapu
deras ke belakang. Perempuan ini perdengarkan
seruan tertahan. Karena kedua kakinya sudah
masuk di pinggir kedung. Dari cadar hitamnya
makin banyak kucurkan darah.
Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Dewi Silu-
man gapaikan kedua tangannya agar tubuhnya ti-
dak terus merosot masuk ke dalam kedung. Na-
mun karena di hadapannya hanya ada hamparan
pasir, akhirnya perempuan ini tekankan kedua
tangannya ke bibir kedung. Bertumpu pada kedua
tangannya yang masuk ke dalam pasir, perem-
puan ini pelan-pelan merangkak naik. Begitu ke-
dua kakinya keluar dari bibir kedung, kepala Dewi
Siluman tampak terkulai di atas pasir.
Raden Mas Antar Langit bergerak bangkit. Na-
mun tangan kanan Raden Mas Antar Bumi meng-
hadang di depan tubuhnya. "Jangan bertindak bo-
doh! Lihat ke samping!"
Raden Mas Antar Langit berpaling ke samping.
Saat itu tampak sosok Malaikat Penggali Kubur
sudah melesat. Dan tahu-tahu si pemuda murid
Bayu Bajra ini telah tegak sepuluh langkah di ha-
dapan Pendekar 131!
Malaikat Penggali Kubur sapukan pandangan-
nya ke depan. Memandang sinis pada murid Pen-
deta Sinting, lalu pada Raden Mas Antar Langit
dan Raden Mas Antar Bumi. Terus ke arah Ni Luh
Padmi dan Iblis Rangkap Jiwa. Masih tanpa buka
suara, Malaikat Penggali Kubur berpaling ke ka-
wasan berbatu sebelah kanan kedung di mana ta-
di Ratu Pemikat dan Dewa Orok serta Cucu Dewa
berada. Terakhir kali pemuda murid Bayu Bajra
ini menoleh ke arah Dewi Siluman yang perlahan
lahan angkat tubuhnya berusaha bangkit duduk.
"Dengar!" Malaikat Penggali Kubur buka mulut
dengan suara keras membahana. "Membunuh ka-
lian semua tidak sulit bagiku! Tapi aku masih am-
puni nyawa kalian masing-masing! Aku memberi
kesempatan pada kalian semua untuk maju satu
persatu berlutut di hadapanku!"
Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur
berpaling ke arah Dewi Siluman yang telah bangkit
duduk. Lalu putar tubuh tepat menghadap perem-
puan bercadar hitam dengan seringai dingin. Tan-
gan kirinya terangkat menunjuk.
"Kau!" Malaikat Penggali Kubur dongakkan ke-
pala. "Merangkak ke hadapanku dan berlutut!"
Dewi Siluman angkat kepalanya memandang
marah pada Malaikat Penggali Kubur. Meski pe-
rempuan bercadar hitam anak Daeng Upas ini me-
rasakan tengkuknya dingin namun dia belum juga
turuti ucapan Malaikat Penggali Kubur. Malah se-
kuat tenaga diam-diam dia himpun sisa tenaga da-
lamnya dan disalurkan pada matanya.
"Malaikat Penggali Kubur hanya ucapkan perin-
tah satu kali!" Tangan kiri Malaikat Penggali Ku-
bur ditarik pulang ke belakang. Namun kejap lain
justru kedua tangannya sudah bergerak memukul
ke depan dengan telapak mengepal.
Wuutt! Wuutt!
Tampak dua cahaya mencuat sekejap lalu sir-
na. Saat yang sama satu gelombang dahsyat su-
dah melanda ke arah Dewi Siluman.
Dewi Siluman cepat sentakkan bahunya ke ba-
wah. Dari sepasang matanya melarik dua sinar hi-
tam. Namun karena saat lepaskan pukulan 'Sinar
Setan' tenaga dalamnya sudah jauh berkurang
dan dalam keadaan terluka dalam, maka larikan
sinar hitam itu langsung tersapu gelombang yang
mencuat dari kedua tangan Malaikat Penggali Ku-
bur Hingga yang melesat ke arah Dewi Siluman
kali ini gelombang dari tangan Malaikat Penggali
Kubur serta pukulan Dewi Siluman sendiri yang
membalik.
Dewi Siluman hanya sempat perdengarkan sua-
ra jeritan. Saat lain sosoknya mencelat ke bela-
kang. Karena di belakangnya adalah kedung, un-
tuk beberapa saat sosok Dewi Siluman tampak
melayang di atas kedung dan tampak terbanting
sebelum akhirnya meluncur ke bawah!
Byuuurrr!
Air kedung muncrat ke udara. Saat muncratan
air luruh, tampak air kedung telah disemburati
warna merah kehitam-hitaman. Sesaat kemudian,
air kedung terlihat bergelombang, lalu muncullah
sosok Dewi Siluman mengambang telungkup di
atas permukaan air!
Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar
Bumi tampak saling pandang. Sebenarnya Raden
Mas Antar Langit sudah hendak bergerak tatkala
Malaikat Penggali Kubur lepaskan pukulan 'Telaga
Surya'. Namun tangan kanan Raden Mas Antar
Bumi kembali merentang di depannya, hingga ge-
rakannya tertahan.
Di lain pihak, murid Pendeta Sinting tadi juga
hendak bergerak, namun diurungkan karena posi-
si dirinya yang menghadap Dewi Siluman mem-
buatnya sulit untuk membendung pukulan Malai-
kat Penggali Kubur, malah tak urung pukulannya
nanti akan melabrak Dewi Siluman.
Sesaat Kedung Ombo dicekam kesepian yang
mengandung hawa kematian. Tapi tidak lama ke-
mudian, kesepian telah dipecah dengan suara Ma-
laikat Penggali Kubur. '
"Itu adalah contoh! Dan kalian akan mengalami
nasib yang sama jika tidak lakukan perintahku!"
Malaikat Penggali Kubur putar tubuhnya kembali
menghadap Pendekar 131 dan beberapa orang
yang duduk di lamping batu cadas putih.
Malaikat Penggali Kubur memandang beringas
pada murid Pendeta Sinting. Tangan kirinya te-
rangkat. Bukan menunjuk pada Pendekar 131 me-
lainkan pada Raden Mas Antar Langit dan Raden
Mas Antar Bumi yang duduk bersandar berdam-
pingan.
"Kau berdua!" kata Malaikat Penggali Kubur
dengan mata memandang ke arah Pendekar 131.
"Merangkak dan berlutut di hadapanku!"
Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar
Bumi saling berpandangan. Sosok keduanya
menggigil dengan mata saling mendelik.
"Bagaimana?!" gumam Raden Mas Antar Langit.
"Aku tak mau mengalami nasib sama seperti si
Jubah Hitam itu.... Aku ingin hidup seribu tahun
lagi meski harus tetap mengemban kutuk ini...."
Raden Mas Antar Bumi berpaling pada Ni Luh
Padmi. "Menurutmu bagaimana, Nek...? Harus
merangkak dan berlutut di depan orang gagah
itu?!"
Ni Luh Padmi melirik dengan bola mata mende-
lik. "itu urusanmu!"
Mendapati jawaban si nenek, Raden Mas Antar
Bumi memandang ke arah Iblis Rangkap Jiwa. Ka-
rena laki-laki berkepala gundul itu masih juga pe-
jamkan matanya, tangan Raden Mas Antar Bumi
menjulur melewati dada Ni Luh Padmi lalu meng-
goyang-goyangkan sosok Iblis Rangkap Jiwa.
"Hai, Teman! Kalau menurutmu bagaimana?!"
Iblis Rangkap Jiwa tidak menyahut. Bahkan la-
ki-laki ini tidak buka kelopak matanya. Hanya na-
pasnya yang tampak makin menderu keras.
Raden Mas Antar Bumi tarik pulang tangannya,
lalu memandang pada murid Pendeta Sinting dan
berkata.
"Hai, Teman Baru! Kau bisa memberi saran?!"
"Meski belum yakin benar, tapi rupanya mereka
berdua tidak berada di pihak Malaikat Penggali
Kubur! Hem...." Murid Pendeta Sinting membatin
dalam hati. Lalu berkata.
"Kudengar di antara kalian tadi ingin hidup se-
ribu tahun lagi! Jika begitu tidak ada salahnya ka-
lian berdua turuti perintah orang itu!" sambil ber-
kata sepasang mata Joko tampak berkedip bebe-
rapa kali. Dalam hati Joko membatin. "Mudah-
mudahan mereka tahu isyaratku...."
Raden Mas Antar Bumi kembali arahkan pan-
dangannya pada Raden Mas Antar Langit.
"Kita turuti perintahnya. Tapi tanyakan dahulu
apa imbalan yang kelak diberikan pada kita! Per-
cuma kalau kita harus berlutut di kaki orang tan-
pa mendapat imbalan apa-apa...."
"Hem.... Kalau nanti orang itu tanya, kira-kira
imbalan apa yang kau minta?!"
Raden Mas Antar Bumi sorongkan kepalanya ke
telinga Raden Mas Antar Langit.
"Aku naksir nenek di sampingku...."
"Wah, celaka!" desis Raden Mas Antar Langit.
Lalu orang ini ganti sorongkan wajahnya ke telinga
Raden Mas Antar Bumi. "Terus terang saja.... Aku
juga naksir nenek cantik itu...."
Raden Mas Antar Bumi terlonjak. Lalu buka
mulut dengan suara agak keras.
"Kuharap kau mau mengerti! Tak mungkin satu
nenek harus kita bagi dua! Kau nanti minta imba-
lan yang lain saja!"
Merasa dirinya yang dibicarakan, Ni Luh Padmi
jadi naik pitam. "Bangsat kurang ajar! Kalian kira
aku ini apa, hah?!"
"Nek.... Seharusnya kau berterima kasih!" Joko
menyahut. "Mereka berdua naksir padamu...."
"Keparat! Kau akan menyesal, Anak Sinting!"
maki Ni Luh Padmi lalu lirikkan matanya dengan
bola mata membelalak.
"Harap kalian berdua bersabar! Seorang nenek
akan berlaku begitu bila merasa dirinya ditaksir
orang...," kata Joko sambil jerengkan kedua ma-
tanya.
"Aduh.... Aku jadi malu! Semua orang sekarang
tahu kalau aku naksir...," ujar Raden Mas Antar
Bumi. Lalu berpaling lagi pada temannya. "Bagai-
mana? Kau mau mengerti bukan?! Kau minta im-
balan yang lain saja!"
"Kalian berdua!" mendadak terdengar kembali
bentakan Malaikat Penggali Kubur. Kedua tangan-
nya kini telah terangkat mengepal. "Kalian ingin
mengalami nasib sama dengan perempuan yang
terapung itu?!"
Tanpa menunggu sahutan orang, kedua tangan
Malaikat Penggali Kubur bergerak.
"Tahan! Tahan!"
Kedua orang berwajah hitam berseru hampir
berbarengan. Saat yang sama keduanya tekuk tu-
buh masing-masing ke depan dengan kedua tan-
gan di atas pasir. Lalu perlahan-lahan keduanya
merangkak ke arah Malaikat Penggali Kubur.
"Hai, kalian mainan apa?! Lihat! Aku juga
punya mainan!" Tiba-tiba dari arah kawasan ber-
batu di sebelah kanan kedung terdengar orang
berteriak.
Murid Pendeta Sinting berpaling. Ni Luh Padmi
lirikkan matanya. Kedua orang berwajah hitam
hentikan rangkakannya, lalu gerakkan kepala.
Malaikat Penggali Kubur mendengus namun cepat
sentakkan kepalanya menoleh. Hanya Iblis Rang-
kap Jiwa yang tetap terpejam. Dan tiba-tiba dari
arah kawasan berbatu sebelah kiri kedung terden-
gar orang tertawa cekikikan!
*
* *
ENAM
MALAIKAT Penggali Kubur tegak dengan rahang
mengembung besar dan pelipis bergerak-gerak.
Sepasang matanya terpentang besar memperhati-
kan tak berkesip pada kawasan berbatu di sebelah
kanan kedung, di mana baru saja terdengar teria-
kan orang.
Di sebelah batu paling depan yang berbatasan
dengan hamparan pasir, terlihat dua orang laki-
laki duduk di atas batu saling berdampingan. Se-
belah kanan adalah seorang pemuda bertangan
buntung dan tidak lain adalah Dewa Orok. Di se-
belahnya adalah seorang laki-laki berambut pan-
jang hitam lebat dikelabang dua bertubuh pendek.
Dia adalah Cucu Dewa.
Di bawah kedua orang ini tampak sosok perem-
puan berpakaian biru tipis dan tidak lain adalah
Ratu Pemikat. Ratu Pemikat duduk bersimpuh di
hamparan pasir dengan wajah pucat pasi. Malah
dari sudut bibirnya tampak mengalirkan darah.
Kedua tangannya disatukan ke belakang dan teri-
kat kain hitam.
"Cucu Pangeran...," teriak Cucu Dewa pada Ma-
laikat Penggali Kubur. Cucu Dewa memanggil Ma-
laikat Penggali Kubur dengan Cucu Pangeran ka-
rena pada waktu Malaikat Penggali Kubur menye-
lidik ke tempatnya di pesisir pantai timur, Malaikat Penggali Kubur mengaku sebagai salah satu
Cucu Pangeran. (Lebih jelasnya tentang pertemuan
Malaikat Penggali Kubur dengan Cucu Dewa, sila-
kan baca serial Joko Sableng dalam episode : "Ti-
tah dari Liang Lahat").
"Senang bisa bertemu kembali denganmu, Cucu
Pangeran! Kedatanganku tidak akan lama. Aku
hanya mengantarkan keponakanku ini!" Cucu De-
wa arahkan pandangannya pada Dewa Orok yang
berada di sampingnya. "Dia hendak bicara den-
ganmu!"
Malaikat Penggali Kubur busungkan dadanya
menarik napas panjang. Dia sebenarnya sudah ti-
dak sabar melihat kemunculan Dewa Orok dan
disusul kemunculannya Cucu Dewa. Dua orang
yang harus dihabisi sesuai perintah dari liang la-
hat di mana dia mendapatkan Kitab Hitam. Na-
mun melihat Pendekar 131 sudah di hadapannya
serta melihat bagaimana Ratu Pemikat bersimpuh
dengan kedua tangan bersatu ke belakang, Malai-
kat Penggali Kubur tahan keinginan. Namun se-
jauh ini dia belum sahuti ucapan Cucu Dewa.
Seperti diketahui, karena merasa jengkel den-
gan Cucu Dewa yang melangkah ke arah Dewa
Orok, Ratu Pemikat segera lepaskan pukulan an-
dalan 'Hamparan Langit'. Hingga saat itu juga ka-
wasan berbatu sebelah kanan kedung dibungkus
sinar biru terang.
Cucu Dewa hentikan langkah. Putar tubuhnya
sejenak lalu tekuk lututnya hingga tubuhnya yang
pendek makin melorot. Saat bersamaan kedua
tangannya bergerak mendorong ke depan.
Dari kedua tangan Cucu Dewa melesat bebera-
pa bundaran asap putih. Datang bergelombang
saling susul menyusul.
Bundaran asap terdepan tiba-tiba pecah ketika
disapu sinar biru terang. Namun sinar biru men-
dadak tertahan setelah berhasil membuat pecah
bundaran paling depan. Saat itu bundaran kedua
melesat lalu membentur sinar biru. Namun lagi-
lagi bundaran asap putih pecah. Tapi bersamaan
itu sinar biru tersebut mulai ambyar. Ketika bun-
daran ketiga melesat, sinar biru terang sudah
membubung ke angkasa setelah sebelumnya kelu-
arkan letusan keras.
Sosok Ratu Pemikat tampak tersentak sentak
saat sinar biru yang keluar dari kedua tangan.
berbenturan dengan bundaran-bundaran asap pu-
tih. Dan begitu sinar biru terang perdengarkan le-
tusan lalu ambyar, sosok Ratu Pemikat terjeng-
kang. Saat itulah bundaran asap putih keempat
dan yang terakhir mencuat dari telapak tangan
Cucu Dewa.
Ratu Pemikat memang masih bisa segera bang-
kit duduk dan angkat kedua tangannya siap le-
paskan kembali pukulan sakti 'Hamparan Langit'.
Namun gerakannya sudah sangat terlambat. Hing-
ga jalan satu-satunya selamatkan diri adalah ce-
pat berkelebat menghindar. Wuusss!
Bundaran asap putih keempat yang ternyata
membawa gelombang dahsyat berderak ganas. Ra-
tu Pemikat memang masih bergerak selamatkan
diri. Tapi kecepatan bundaran asap putih masih
menyambar kakinya, hingga sosok perempuan
bertubuh sintal itu terbanting!
Ratu Pemikat segera himpun sisa tenaganya.
Lalu dengan tubuh bergetar keras dan wajah pias
serta dada turun naik, dia bangkit. Tapi Ratu Pe-
mikat terkesiap sendiri. Belum sampai sosoknya
tegak, dua buah benda hitam yang tidak lain ada-
lah dua batu hitam melesat kencang laksana anak
panah.
Ratu Pemikat cepat sentakkan kedua tangan-
nya untuk menangkis dua batu hitam. Namun
mungkin karena terlalu bernafsu, kedua tangan-
nya sudah menyentak sebelum dua batu hitam
sampai. Hingga begitu kedua tangannya telah me-
rentang ke atas, dua batu hitam melanggar bahu
kanan kirinya!
Desss! Desss!
Ratu Pemikat berseru keras. Sosoknya yang be-
lum sempat tegak terhuyung-huyung lalu roboh di
atas pasir. Dua buah batu hitam mental balik dan
masuk kembali ke dalam mulut Cucu Dewa.
Ratu Pemikat rasakan dua bahunya tanggal.
Pada bahu kanan kiri pakaiannya tampak lobang
sebesar batu hitam yang tadi menghantamnya.
Kulit di balik lobang telah berubah menjadi hitam.
Menangkap gelagat bahaya pada kedua bahunya,
Ratu Pemikat cepat totok tempat sekitar kulit yang
berwarna hitam. Lalu perlahan lahan himpun te-
naga dalamnya lagi. Tapi Ratu Pemikat sempat
tersentak tatkala mendapati dari mulutnya menge-
luarkan darah!
"Tidak! Aku harus bertahan!" desis Ratu Pemi-
kat sambil usap mulutnya. Lalu masih dalam kea-
daan terkapar di atas pasir matanya melirik ke
arah Cucu Dewa. Saat dilihatnya Cucu Dewa hen-
dak teruskan langkah, Ratu Pemikat cepat bangkit
duduk.
Namun bersamaan dengan bergeraknya sang
Ratu, satu bayangan telah berkelebat dan tahu-
tahu Cucu Dewa sudah jongkok di samping Ratu
Pemikat Tanpa pikir panjang lagi Ratu Pemikat
hantamkan tangan kanannya ke arah kepala Cucu
Dewa yang jongkok di samping kirinya.
Cucu Dewa luruskan tangan kirinya ke atas.
Bukkk!
Tangan kanan Ratu Pemikat mental balik. Ka-
rena begitu kerasnya hantaman Ratu Pemikat,
saat mental balik dia tak dapat menguasai diri,
hingga tubuhnya terputar lalu jatuh telungkup!
Cucu Dewa bergerak cepat. Sosoknya segera
mengangkang di atas tubuh Ratu Pemikat. Celana
hitam milik Raden Mas Antar Bumi yang tadi di-
buang begitu saja oleh Ratu Pemikat ternyata su-
dah berada di tangannya. Cucu Dewa segera ambil
kedua tangan Ratu Pemikat lalu disatukan ke be-
lakang dan diikat dengan celana hitam.
Ratu Pemikat berusaha meronta, namun Cucu
Dewa segera henyakkan pantatnya di punggung
sang Ratu hingga pada akhirnya Ratu Pemikat
hanya bisa berteriak teriak tanpa bisa berbuat
apa-apa.
Cucu Dewa bergerak bangkit dari tubuh Ratu
Pemikat yang telungkup dengan tangan terikat.
Lalu perlahan-lahan laki-laki bertubuh pendek ini
melangkah ke arah Dewa Orok yang masih meng-
geliat-geliat coba tarik kepalanya dari dalam pasir.
"Guru...!" seru Dewa Orok meski tadi sudah da-
pat menduga siapa adanya orang yang menolong-
nya.
Cucu Dewa lintangkan jari telunjuk pada mu-
lutnya. Lalu tangan kanannya mengangkat kepala
Dewa Orok dari dalam pasir.
"Aku hanya menduga! Tapi kalau tak salah bu-
kankah perempuan cantik itu yang ambil dotmu?!"
tanya Cucu Dewa setelah Dewa Orok duduk.
"Benar!" sahut Dewa Orok sambil arahkan pan-
dangannya pada Ratu Pemikat.
"Dia sudah kuikat! Karena ini urusanmu, kau
tanyakan sendiri padanya!"
Dewa Orok menjura sejurus lalu melangkah ke
arah Ratu Pemikat yang ternyata telah duduk bersandar pada batu.
"Ratu...," kata Dewa Orok sambil tersenyum.
"Jangan salah sangka. Aku tetap melupakan keja-
dian beberapa waktu yang lalu...." Dewa Orok
jongkok di samping Ratu Pemikat lalu tatapi pe-
rempuan berwajah cantik ini berlama-lama. Ratu
Pemikat arahkan pandangannya pada Cucu Dewa
yang kini duduk di atas batu sambil memandang
jauh ke hamparan pasir di depan kedung.
"Ratu.... Aku hanya ingin minta dotku kembali!"
Ratu Pemikat berpaling. "Aku tidak memba-
wanya!" suara Ratu Pemikat masih galak.
"Kau yang mengambil dotku, berarti kau tahu
di mana tempatnya kalau saat ini tidak kau bawa!
Kuharap kau mau bersamaku mengambil dot itu
di tempat kau sembunyikan...!"
"Barang itu tidak kusimpan!" sahut Ratu Pemi-
kat. Dan diam-diam perempuan ini dapat mene-
bak kenapa begitu berartinya dot itu bagi Dewa
Orok. "Hem.... Mungkin dia tak dapat kerahkan
tenaga dalam tanpa bundaran butut itu! Tahu be-
gitu, sudah sejak tadi dia kuselesaikan...!"
"Barang itu tidak kau bawa, barang itu tidak
kau simpan. Lalu...?!" tanya Dewa Orok.
"Kau terlambat untuk memintanya! Barang itu
sudah kuberikan pada seseorang!"
Wajah Dewa Orok seketika berubah. Kalau saja
perturutkan hati, ingin rasanya dia memaki. Na-
mun pemuda bertangan buntung ini masih ingin
menahan diri.
"Kalau betul ucapanmu, harap kau katakan
siapa orang yang kau beri?!" Dewa Orok sengaja
tidak mau bertindak kasar, karena sekali dia kehi-
langan jejak urusan dotnya, maka dia akan me-
nyesal seumur-umur
Di lain pihak, Ratu Pemikat memang akan
mengatakan terus terang siapa adanya orang yang
diberi. karena dia tahu, Dewa Orok atau Cucu
Dewa tak mungkin sanggup mengambil dot itu.
Seperti diketahui, dot itu telah diberikan pada Ma-
laikat Penggali Kubur.
Ratu Pemikat alihkan pandangannya lalu ber-
kata menjawab. "Dotmu telah kuberikan pada Ma-
laikat Penggali Kubur!"
Dewa Orok rasakan tengkuknya merinding.
Pemuda bertangan buntung ini cepat arahkan
pandangannya pada Malaikat Penggali Kubur yang
kini telah tegak di hamparan pasir di depan ke-
dung.
"Celaka kalau ucapan perempuan cantik ini be-
tul! Bagaimana aku bisa mengambil dari tangan
pemuda itu?! Bagaimana kalau pemuda itu telah
melumat lalu membuangnya? Jelek benar nasib-
ku...." Dewa Orok mengeluh dalam hati. Namun
pemuda bertangan buntung ini tidak begitu saja
percaya.
"Kau tidak berdusta...?!"
"Apa untungnya berdusta kalau hanya urusan
dot butut begitu?!"
"Hem.... Baik. Aku ingin tahu kebenaran uca-
panmu!" kata Dewa Orok lalu sambil tersenyum-
senyum pemuda ini pandangi sekujur tubuh Ratu
Pemikat berlama-lama hingga Ratu Pemikat mera-
sa jengah. Apalagi mata Dewa Orok akhirnya ter-
henti pada dadanya!
"Apa yang hendak kau lakukan?!" sentak Ratu
Pemikat.
"Kau harus mengambilnya dari tangan Malaikat
Penggali Kubur sekarang juga!" kata Dewa Orok
masih dengan menatap dada Ratu Pemikat. "Jika
tidak, kau punya dot bukan?!"
Dahi Ratu Pemikat berkerut. "Apa maksud
mu...?!"
"Kalau kau tidak berhasil mengambil kembali
dotku, atau kau berani mendustaiku, terpaksa
aku minta ganti rugi kedua dotmu!"
"Aku tak punya dot! Dan aku tidak berkata
dusta!"
"Kau punya dot! Dan mungkin itu lebih nikmat
rasanya! Hik.... Hik.... Hik...! Karena kau punya
dua, aku tidak akan repot-repot lagi kalau satunya
diambil orang!"
"Keparat!" maki Ratu Pemikat sambil sedikit li-
pat tubuh atasnya seakan hendak tutupi dadanya
yang membusung kencang.
"Bagaimana Ratu?! Kau berjanji mau ambilkan
dotku, atau kau ganti saja dengan kedua dotmu?!
Hik.... Hik.... Hik...!"
Tampang Ratu Pemikat merah padam. Pilihan
yang ditawarkan Dewa Orak adalah satu hal yang
tak mungkin bisa dilakukannya. Karena dia mak-
lum kalau Malaikat Penggali Kubur tidak akan
memberikan kembali dot itu. Namun kalau dia ti-
dak berhasil mengambil dot itu. ancaman Dewa
Orok mungkin tidak main-main. Berpikir sampai
ke situ, Ratu Pemikat tampak menggigil.
Rupanya Dewa Orok dapat menangkap apa
yang terpikir dalam benak Ratu Pemikat.
"Ratu.... Kau tahu bagaimana cara memberi-
kan, pasti kau juga tahu bagaimana cara men-
gambil kembali....'
"Itu dua hal yang berbeda!" sahut Ratu Pemi-
kat.
"Ah.... Betul! Tapi itu urusanmu! Atau kau lebih
suka memberikan kedua dotmu?!"
Karena merasa tidak berdaya, dan menduga
masih punya kesempatan seandainya dirinya di-
bebaskan, Ratu Pemikat segera angkat bicara.
"Baik! Aku akan ambilkan dotmu! Tapi le-
paskan dahulu ikatan jahanam ini!"
Dewa Orok gelengkan kepala. "Kau dan aku
punya urusan dot! Sedangkan urusan ikat mengi-
kat ini adalah urusanmu dengan orang itu!" Dewa
Orok arahkan pandangannya pada Cucu Dewa.
"Silakan kau berurusan dengannya!"
Habis berkata begitu, Dewa Orok bangkit lalu
melangkah ke arah Cucu Dewa yang sedang du-
duk di atas batu paling depan dari kawasan berba-
tu sebelah kanan kedung yang menghadap ham-
paran pasir.
Dewa Orok hampiri Cucu Dewa lalu duduk ber-
dampingan. Saat itulah Cucu Dewa buka mulut.
"Ratu.... Kau hendak berurusan denganku. Men-
gapa masih diam di situ?!"
Ratu Pemikat memaki dalam hati lalu perlahan-
lahan bangkit dan melangkah ke tempat Dewa
Orok dan Cucu Dewa duduk berdampingan.
"Kuharap kau duduk di depanku...," ujar Cucu
Dewa. 'Duduk bersimpuh dan menghadap ke de-
pan sana...." Cucu Dewa lanjutkan ucapannya be-
gitu Ratu Pemikat tegak di belakangnya.
Sejenak Ratu Pemikat pandangi punggung ke-
dua orang di hadapannya dengan mata terpentang
besar. Sekilas terbersit dalam hati untuk menen-
dang Cucu Dewa dari belakang. Namun begitu ka-
ki kanannya terangkat, Cucu Dewa telah buka
mulut.
"Jangan terlalu memaksakan diri, Ratu.... Uru-
san kita hanya urusan sepele. .. Tidak pantas ka-
lau harus ditebus dengan darah..."
Ratu Pemikat urungkan gerakan kakinya. Lalu
perlahan-lahan melangkah ke hadapan Dewa Orok
dan Cucu Dewa. Dengan tampang merah padam
dan pucat, perempuan bertubuh bahenol itu duduk bersimpuh di bawah Dewa Orok dan Cucu
Dewa menghadap hamparan pasir. Saat itulah
kemudian Cucu Dewa berteriak hingga semua
orang yang berada di tengah hamparan pasir ber-
paling, kecuali Iblis Rangkap Jiwa yang pejamkan
mata karena berusaha buyarkan totokan yang
bersarang di tubuhnya.
*
* *
TUJUH
“CUCU Pangeran!" teriak Dewa Orok pada Ma-
laikat Penggali Kubur. Karena urusanku sepele,
aku sungkan mengatakannya dengan berteriak.
Jadi biarlah gadisku ini saja yang mengatakannya
padamu!" Habis berkata begitu, Dewa Orok berka-
ta pada Ratu Pemikat. "Ratu.... Katakan padanya
apa yang kuinginkan! Jangan keras-keras kalau
bicara! Jadi mendekatlah ke sana!"
Ratu Pemikat merasa lega, karena dengan
mendekat ke Malaikat Penggali Kubur setidaknya
kesempatan untuk bisa lepas dari cengkeraman
dan ancaman Dewa Orok lebih besar. Namun pe-
rasaan lega Ratu Pemikat jadi pupus tatkala begi-
tu dia beranjak bangkit, Cucu Dewa telah berujar.
"Ratu.... Ini adalah kesempatan baik bagimu!
Harap jangan kau balas kebaikan ini dengan tipu
muslihat! Kalaupun kau berbuat curang, kau tak
akan bisa berbuat banyak! Setinggi apa pun ilmu
pemuda di depan sana itu, tapi aku masih sangsi
apakah ia mampu melepas ikatan pada kedua
tanganmu!"
Ratu Pemikat kerutkan dahi. Apa yang baru sa-
ja dikatakan Cucu Dewa memang benar jadi kenyataan. Tapi setidaknya dia sudah bisa meraba-
raba. Karena sebenarnya dia tadi sudah kerahkan
tenaga dalam untuk lepaskan ikatan pada kedua
tangannya. Kalau hanya ikatan biasa, sekali sen-
tak tentu sudah lepas bahkan kain pengikatnya
akan putus.
Namun yang dirasakannya tadi adalah aneh.
Semakin dia kerahkan tenaga dalam untuk mele-
pas ikatan, ikatan pada kedua tangannya semakin
kencang!
"Ratu... Harap kau segera menghadap pemuda
itu. Kulihat dia menunggu!" ujar Dewa Orok tatka-
la dilihatnya Ratu Pemikat belum mulai melang-
kah.
Ratu Pemikat sentakkan kaki kanannya lalu
melangkah ke arah Malaikat Penggali Kubur. Begi-
tu lima langkah di hadapan si pemuda, Ratu Pe-
mikat hentikan langkah. Tapi belum sampai pe-
rempuan ini buka mulut, tiba-tiba Raden Mas An-
tar Bumi sudah angkat bicara.
"Celanaku.... Celanaku! Aduh, permainan apa
yang diperlihatkan temannya Teman Lama kita
itu?!" Tanpa menunggu sahutan, orang ini lantas
arahkan pandangannya pada Dewa Orok. "Hai,
Teman Lama! Apa yang diperbuat temanmu itu?!
Bagaimana kalau celanaku rusak?"
"Teman Lama!" sahut Dewa Orok, "Apa yang di-
perbuat temanku ini hanyalah satu permainan ta-
li-temali! Kau tak usah khawatir. Celanamu tidak
akan rusak!"
Raden Mas Antar Bumi menoleh pada Raden
Mas Antar Langit yang masih sama-sama mem-
buat sikap merangkak. "Kau bisa jamin kalau ce-
lanaku tidak rusak?!"
"Jangan kau pikirkan celana butut bau itu! In-
gat. nyawa kita berdua di ujung kepala! Ayo kita
maju!"
Kedua orang berwajah hitam akhirnya bergerak
kembali merangkak ke arah Malaikat Penggali Ku-
bur. Namun Malaikat Penggali Kubur segera mem-
bentak.
"Diam di tempat kalian dahulu!"
Kedua orang berwajah hitam sama hentikan
rangkakannya. Saling pandang sejenak lalu ham-
pir bersamaan keduanya angkat tubuh atas mas-
ing-masing lalu duduk bersila sejarak dua belas
langkah dari Malaikat Penggali Kubur.
Tidak jauh dari kedua orang berwajah hitam,
murid Pendeta Sinting berpaling pada Putri Sab-
leng yang masih tegak sendirian di kawasan ber-
batu sebelah kiri kedung. "Sulit menduga apa
maksud sebenarnya gadis sableng itu! Hem.... Se-
benarnya dia gadis cantik. Dan terus terang aku
selalu teringat padanya! Hanya sikapnya terlalu
usil malah terkadang menjengkelkan! Hem...."
Sementara merasa dirinya dipandang murid
Pendeta Sinting, Putri Sableng angkat kedua tan-
gannya lalu diletakkan di pinggang kiri kanan. Se-
pasang matanya menyorot tajam balas meman-
dang. Namun saat lain tiba-tiba gadis berjubah
merah ini tertawa cekikikan! Membuat Joko segera
palingkan kepala. Suara tawa cekikikan membuat
kedua orang berwajah hitam segera menoleh pada
Putri Sableng. Salah seorang dari keduanya tam-
pak buka mulut, namun suaranya sudah terbe-
nam dalam suara Malaikat Penggali Kubur yang
saat itu tiba-tiba sudah membentak.
"Perempuan binal! Kau bukan saja telah meni-
puku, tapi juga membuatku malu!"
"Jangan salah sangka. Aku tidak menipu!
Hanya dugaanku salah...."
Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh lalu
melangkah mendekati Ratu Pemikat. Tengkuk pe-
rempuan ini sudah dingin. Kedua lutut kakinya
tampak bergetar.
"Kalau dugaanmu salah, lalu apa, hah?!"
"Hem.... Ternyata perempuan itu memang kaki
tangannya Malaikat Penggali Kubur. Dan mungkin
dia yang mengatur pertemuan ini! Tapi apa mak-
sudnya...?!" Murid Pendeta Sinting diam-diam
membatin.
"Aku tanya! Setelah dugaanmu salah, lalu apa,
hah?!" Malaikat Penggali Kubur membentak lagi.
Tangan kanannya sudah terangkat mengepal.
Tanda kalau pemuda ini siap lepaskan pukulan
Telaga Surya'.
Ratu Pemikat rasakan nyawanya sudah putus.
Dia cepat jatuhkan diri. Lalu berkata. "Aku sudah
berusaha, tapi aku gagal! Kini dia inginkan kem-
bali dotnya yang pernah kuberikan padamu...."
Malaikat Penggali Kubur selinapkan tangan ki-
rinya ke balik jubah putih yang dikenakan. Lalu
ditarik lagi dengan telapak mengepal seolah di da-
lam kepalan tangannya berisi sesuatu.
Tangan kiri yang mengelap diangsurkan ke de-
pan membuat gerakan seperti orang memberi. Ra-
tu Pemikat angkat kepalanya dengan bibir terse-
nyum. Namun senyum Ratu Pemikat terputus.
Bersamaan dengan bergeraknya tangan kiri ke de-
pan, tangan kanan yang berada di atas udara ber-
gerak memukul! Wuuttt!
Satu cahaya terang berkiblat sekejap. Lalu satu
sapuan gelombang melanda ganas ke arah Ratu
Pemikat. Malaikat Penggali Kubur benar-benar te-
lah lepas pukulan sakti Telaga Surya'.
Dalam keadaan biasa saja mungkin Ratu Pemi-
kat sudah tidak mampu menghadapi sapuan ge-
lombang yang kini melandanya walau dia meng
hadang pukulan orang dengan pukulan andalan-
nya 'Hamparan Langit'. Apalagi kini pukulan orang
itu menyapunya sementara dia dalam keadaan te-
rikat dan tenaga dalamnya sudah terkuras saat
menghadapi Cucu Dewa. Hingga yang dapat dila-
kukan perempuan cantik bertubuh sintal ini pen-
tangkan mata menjemput ajal!
Semua orang di sekitar kedung tampak sama
kancingkan mulut dengan mata membelalak. Me-
reka sama sekali tidak menduga apa yang akan di-
lakukan Malaikat Penggali Kubur.
Namun tiba-tiba kedua orang berwajah hitam
membuat gerakan. Bersamaan waktunya, murid
Pendeta Sinting juga gerakkan kedua tangannya.
Begitu sejengkal lagi sosok Ratu Pemikat tersa-
pu gelombang yang datang dari kepalan tangan
Malaikat Penggali Kubur, mendadak satu sinar
kuning menyambar. Saat yang sama, dua gelom-
bang dahsyat juga menyambar dari arah depan
Malaikat Penggali Kubur. Sinar kuning bergerak
menyapu ke arah pukulan 'Telaga Surya' yang di-
lepaskan Malaikat Penggali Kubur, sementara dua
gelombang yang datang bersamaan langsung me-
nyapu ke arah sosok Malaikat Penggali Kubur dan
satunya ke arah Ratu Pemikat.
Bummm!
Wuusss! Wuuuss!
Terdengar ledakan tatkala pukulan 'Telaga
Surya' Malaikat Penggali Kubur terpangkas sinar
kuning. Saat bersamaan Malaikat Penggali Kubur
cepat melompat ke samping kanan selamatkan diri
dari gelombang yang menggebrak.
Di depan sana, sosok Ratu Pemikat mencelat
mental lalu terkapar di atas pasir karena terhan-
tam bias bentroknya pukulan dan tersambar ge-
lombang yang rupanya sengaja diarahkan tidak
mengenai tubuhnya. Meski Ratu Pemikat selamat,
namun karena dia sudah terluka dalam dan waktu
terjadinya bentrok pukulan dia sama sekali tidak
kerahkan tenaga dalam untuk lindungi diri, maka
menghantamnya bias pukulan membuat Ratu Pe-
mikat muntahkan darah segar.
Kepala Malaikat Penggali Kubur laksana disen-
tak setan berpaling ke depan. Dia tampaknya su-
dah tahu siapa saja yang baru memangkas puku-
lan dan menghantam tubuhnya. Bersamaan den-
gan bergeraknya kepala si pemuda, Raden Mas
Antar Bumi berkelebat. Bukan ke arah Malaikat
Penggali Kubur, melainkan ke arah Ratu Pemikat.
"Maaf...," ujar Raden Mas Antar Bumi pada Ma-
laikat Penggali Kubur meski saat itu Malaikat
Penggali Kubur tidak mengacuhkannya. Si pemu-
da tengah memandang ke arah murid Pendeta
Sinting! Namun Raden Mas Antar Bumi lanjutkan
ucapannya.
"Cucu Pangeran!" kata Raden Mas Antar Bumi
ikut-ikutan memanggil seperti Cucu Dewa. "Kau
tadi telah melihat aku hendak lakukan apa yang
kau ucapkan. Kalau aku tiba-tiba lancang tangan
tadi, semata-mata karena aku tak mau celanaku
ikut rusak! Aku tahu, pukulanmu hebat...." Lalu
enak saja orang ini lepas ikatan pada kedua tan-
gan Ratu Pemikat yang saat itu terkapar di atas
pasir dengan mulut kucurkan darah.
Namun rupanya Raden Mas Antar Bumi gagal
lepaskan ikatan celananya pada kedua tangan Ra-
tu Pemikat. Hingga dia cepat menoleh pada Dewa
Orok dan Cucu Dewa.
"Hai...! Salah satu kalian yang mengikat. Kuha-
rap salah satu dari kalian mau lepaskan ikatan
ini!"
Cucu Dewa gerakkan kedua tangannya. Lalu
lepas ikatan pada ujung bajunya yang ternyata ti-
dak terikat satu sama lain. Begitu ikatan pada
ujung bajunya lepas, secara aneh tiba-tiba ikatan
celana pada kedua tangan Ratu Pemikat mengen-
dur.
Raden Mas Antar Bumi tak menunggu. Dia ce-
pat buka ikatan celana hitamnya pada kedua tan-
gan Ratu Pemikat. Dia sejenak tampak bimbang.
"Apa harus kukenakan di sini...?!" Tapi orang ini
tidak bisa berpikir panjang. Karena dilihatnya Ma-
laikat Penggali Kubur sudah angkat kedua tan-
gannya. Hingga celana hitamnya segera dikalung-
kan pada lehernya lalu dia melompat dan duduk
di samping Raden Mas Antar Langit.
Saat itulah, Malaikat Penggali Kubur sentakkan
kedua tangannya yang mengepal ke arah Pendekar
131!
Wuutt! Wuuutt!
Dua cahaya terang berkiblat sekejap. Lalu dua
gelombang dahsyat melabrak. Tidak hanya sampai
di situ. Begitu lepas pukulan 'Telaga Surya' ke
arah murid Pendeta Sinting, Malaikat Penggali
Kubur kembali angkat kedua tangannya lalu serta-
merta melabrak kedua orang berwajah hitam den-
gan pukulan 'Telaga Surya'!
Kedua orang berwajah hitam terkesiap. Kedua-
nya cepat berseru lalu rebahkan tubuh masing-
masing sejajar pasir. Tangan masing-masing orang
bergerak mendorong.
Di sebelah samping, murid Pendeta Sinting tak
mau berlaku ayal. Sapuan gelombang yang men-
cuat dari kepalan kedua tangan Malaikat Penggali
Kubur bukan lagi seperti sapuan gelombang yang
melesat dari tangan Malaikat Penggali Kubur bebe-
rapa waktu yang lalu meski pukulan yang dilepas
tidak beda.
Pendekar 131 segera sentakkan kedua tangan-
nya kirimkan pukulan 'Lembur Kuning'. Sementa-
ra dari tangan masing-masing orang berwajah hi-
tam tampak menderu sapuan angin deras menyu-
sur pasir menyongsong sapuan gelombang dari
kedua tangan Malaikat Penggali Kubur.
Di atas hamparan pasir depan kedung tampak
beberapa gelombang saling melesat. Lalu tampak
semburatan sinar kuning. Saat lain terdengar den-
tuman tiga kali berturut-turut.
Air kedung bergelombang. Pada salah satu bibir
kedung tanahnya tampak langsung longsor. Ham-
paran pasir di depan kedung pekat tertutup ham-
buran pasir.
Sosok murid Pendeta Sinting terseret empat
langkah. Wajahnya langsung berubah pucat. Tu-
buhnya bergetar. Kedua orang berwajah hitam
bergulingan di atas pasir lalu sama telentang den-
gan napas megap-megap. Di sebelah depan, sosok
Malaikat Penggali Kubur terhuyung namun pemu-
da ini cepat dapat kuasai diri.
Malaikat Penggali Kubur tegak dengan seringai
dingin. Memandang satu persatu pada murid Pen-
deta Sinting dan dua orang berwajah hitam. Men-
dadak pemuda ini perdengarkan tawa bergelak, la-
lu berucap lantang.
"Pendekar 131! Purnama ini akan jadi saksi
bahwa Malaikat Penggali Kubur layak jadi raja di
raja rimba persilatan! Tapi aku adalah raja rimba
persilatan yang masih bisa diajak berdamai! Nya-
wamu kuampuni!" Malaikat Penggali Kubur henti-
kan ucapannya sejenak sebelum akhirnya melan-
jutkan. "Tapi serahkan dahulu kedua kitab dan
pedang bututmu!"
Pendekar 131 tertawa pendek. "Purnama Ke-
dung Ombo juga akan jadi saksi, bahwa kau
hanya seorang pemimpi besar! Kusarankan pada-
mu, letakkan Kitab Hitam yang ada di balik pa-
kaianmu! Lalu kau boleh pergi!"
Malaikat Penggali Kubur perkeras gelakan ta-
wanya. "Ternyata kau manusia serakah! Dua kitab
sudah di tangan tapi masih inginkan kitab di tan-
gan orang lain! Aku telah tawarkan pengampunan
nyawamu. Tapi manusia serakah sepertimu me-
mang tidak pantas dapat ampunan! Pengampunan
kuubah jadi perintah sesuai titah dari liang lahat!"
kembali Malaikat Penggali Kubur hentikan uca-
pannya. Memandang tajam pada murid Pendeta
Sinting lalu lanjutkan ucapan. "Sesuai perintah
dari Liang lahat, sebenarnya tanganku tidak sulit
mencabut selembar nyawamu, tapi aku ingin kau
cabut nyawamu dengan tanganmu sendiri! Laku-
kan!!"
"Kau telah memaklumkan sebagai raja di raja
rimba persilatan. Adalah hal aneh kalau kau takut
cabut nyawaku! Aku khawatir kalau ucapanmu
hanya karena untuk menutupi ketakutanmu!"
"Kitab Hitam adalah kitab di atas segala kitab!
Bagi Malaikat Penggali Kubur, tidak ada yang per-
lu ditakutkan! Tanganku punya kekuatan!"
"Aku ingin tahu sampai di mana kekuatan tan-
ganmu!"
Malaikat Penggali Kubur katupkan rahang. Ka-
ki kanannya bergerak menghentak. Bersamaan itu
dari mulutnya terdengar bentakan keras. Sosok-
nya melesat ke depan. Sejarak lima langkah dari
murid Pendeta Sinting, dia lepaskan pukulan
'Telaga Surya'. Begitu kedua tangannya luruh,
tangan kirinya segera mengusap perutnya di mana
tersimpan Kitab Hitam.
Semua orang yang ada di Kedung Ombo seakan
terkesima dengan apa yang dilakukan Malaikat
Penggali Kubur, hingga tak ada satu pun yang
membuat gerakan. Mereka semua hanya meman-
dang dengan mulut terkancing. Sementara dari
kedua tangan Malaikat Penggali Kubur telah men-
deru gelombang angin dahsyat begitu dua cahaya
terang yang sekejap berkiblat telah lenyap. Belum
sampai gelombang menyapu sasaran, terdengar
suara deruan perlahan. Anehnya gelombang yang
melesat pertama laksana didorong kekuatan luar
biasa dahsyat, hingga daya lesatnya dua kali lipat!
Pendekar 131 yang sedari tadi sudah siapkan
pukulan segera lepaskan 'Lembur Kuning'. Sadar
kalau gelombang yang menyapu ke arahnya bukan
hanya satu tenaga dalam, murid Pendeta Sinting
cepat mundur dua langkah lalu kembali sentak-
kan kedua tangannya lepaskan lagi pukulan sakti
'Lembur Kuning'.
Gelombang yang menyapu dari tangan Malaikat
Penggali Kubur semburat bertaburan ke udara.
Namun mendadak sinar kuning yang tadi mencuat
dari kedua tangan murid Pendeta Sinting laksana
dihantam kekuatan dahsyat, padahal tidak ada ge-
lombang yang menyapu dan tidak ada sinar yang
terlihat!
Sinar kuning pukulan 'Lembur Kuning' melesat
balik ke arah Pendekar 131 disertai sapuan dah-
syat yang tidak terlihat.
Sosok murid Pendeta Sinting tampak tergontai-
gontai. Saat lain tubuhnya mental satu tombak
dan jatuh terduduk di hamparan pasir dengan da-
da laksana pecah dan perut seperti dibuncah.
Malaikat Penggali Kubur melompat lalu tegak
sepuluh langkah di hadapan Pendekar 131 dengan
mulut gemborkan tawa terbahak.
"Kau tolol kalau melihat siapa yang kau hadapi
saat ini masih sama dengan orang yang kau hadapi di Pulau Biru! Ha.... Ha.... Ha...! Pengampunan
nyawamu telah habis waktunya! Saat ini tiba wak-
tunya nyawamu melayang!"
Seakan tidak sabar, saat itu juga tangan kanan
Malaikat Penggali Kubur usap-usap perutnya. Mu-
lutnya masih perdengarkan tawa bergelak.
Terdengar lagi suara deruan pelan tanpa terli-
hatnya gelombang yang menyapu begitu tangan
kanan Malaikat Penggali Kubur usap perutnya.
Karena tak ada waktu untuk bangkit berdiri,
murid Pendeta Sinting cepat dorong tangan ki-
rinya. Sementara tangan kanannya disentakkan.
Dari tangan kiri murid Pendeta Sinting melesat
serat-serat biru terang laksana benang, sedang da-
ri tangan kanannya mencuat sinar kuning mem-
bawa hawa panas.
Melihat dua pukulan sekaligus dilepas murid
Pendeta Sinting, Malaikat Penggali Kubur makin
keraskan gemboran tawanya. Dia memandang
dengan senyum aneh.
Blammm! Blammm!
Serat-serat biru dan sinar kuning pecah ber-
keping-keping muncratkan pijaran api lalu jatuh
dan padam di atas pasir. Murid Pendeta Sinting
merasakan tubuhnya disentak kekuatan dahsyat.
Hingga meski dia kerahkan tenaga dalam, tak
urung tubuhnya tersapu lalu jatuh terkapar den-
gan hidung dan mulut kucurkan darah!
Di seberang, Malaikat Penggali Kubur ter-
huyung-huyung tapi dia cepat melompat lalu tegak
dengan kedua kaki terpacak di atas pasir. Wajah-
nya berubah mengelam, tapi dia tidak mengalami
cedera.
"Pendekar 131! Kitab di tanganmu sudah
usang! Percuma kau perlihatkan di hadapan Ma-
laikat Penggali Kubur!"
Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur
melompat ke depan. Sadar bahaya mengancam,
murid Pendeta Sinting cepat kerahkan tenaga da-
lam pada tangan kiri kanan. Lalu bergulingan tiga
kali. Pada gulingan keempat, tubuhnya serentak
bangkit. Serta-merta kedua tangannya disentak-
kan ke depan. Tangan kiri mendorong dengan te-
lapak terbuka, tangan kanan mendorong dengan
tiga jari tegak sementara jari kelingking dan ibu
jari menekuk bertemu.
Dari tangan kiri mencuat serat-serat biru te-
rang, sedang dari tangan kanan melesat cahaya
kuning membentuk tiga larikan mirip jari tangan
kanan murid Pendeta Sinting yang tadi mendo-
rong. Saat itu juga terdengar suara gemuruh dah-
syat. Gelombang angin menderu angker. Pendekar
131 telah lepas pukulan 'Serat Biru' serta 'Sundrik
Cakra'!
Malaikat Penggali Kubur hadapi pukulan lawan
dengan senyuman aneh. Kejap lain kedua tangan-
nya bergerak mengusap-usap perutnya berulang
kali.
Terdengar deruan pelan susul menyusul. Tapi
lagi-lagi hanya terdengar deruan tanpa terlihat ge-
lombang atau cahaya.
Tiba-tiba dari arah sebelah kiri kedung di mana
Putri Sableng tegak terdengar teriakan keras. "Hai
tua-tua bangka berwajah hitam! Mengapa kalian
diam saja?!" Bersamaan terdengarnya teriakan, sa-
tu gelombang dahsyat melesat dari samping kanan
kedung melintasi hamparan pasir.
Dua orang berwajah hitam saling pandang seje-
nak, lalu hampir berbarengan mereka sentakkan
tangan masing-masing.
Dari kedua tangan Raden Mas Antar Bumi yang
kini berkalung celana hitam tampak melesat sinar
kuning perdengarkan suara gemuruh dahsyat
dengan membawa gelombang hawa panas. Semen-
tara dari tangan Raden Mas Antar Langit melesat
dua bola asap sebesar roda kereta keluarkan sua-
ra berderak-derak laksana roda kereta yang mela-
ju di atas pasir.
*
* *
DELAPAN
CAHAYA bulan purnama sejenak tampak tertu-
tup oleh kilatan warna kuning dan biru. Lalu tam-
pak beberapa sapuan gelombang menuju ke satu
titik arah tidak jauh di depan Malaikat Penggali
Kubur.
Tiba-tiba satu ledakan laksana hendak merobek
langit mengguncang Kedung Ombo tatkala bebera-
pa sapuan gelombang dan beberapa sinar yang te-
raliri tenaga dalam sangat tinggi itu bentrok den-
gan kekuatan tidak terlihat yang menyambar ke-
luar susul menyusul dari usapan tangan Malaikat
Penggali Kubur pada Kitab Hitam di balik pa-
kaiannya.
Tubuh Pendekar 131 terpelanting lalu roboh se-
telah menghantam satu batu cadas putih. Darah
makin banyak mengucur dari mulut dan hidung-
nya. Pakaiannya tampak hangus di beberapa tem-
pat. Di sebelah kiri kedung, sosok Putri Sableng
terhantar di atas pasir. Mulut gadis ini tampak
bergerak-gerak dan semburkan darah.
Dua orang berwajah hitam tersapu deras. Ra-
den Mas Antar Bumi jatuh berlutut setelah meng-
hantam julangan batu cadas dua langkah di
samping Ni Luh Padmi yang masih tertotok tidak
bisa bergerak. Sedang Raden Mas Antar Langit
tumbang membentur sosok Iblis Rangkap Jiwa.
Orang ini mengaduh sebentar. Lalu angkat kepa-
lanya. Saat itulah dari mulutnya jatuh dua benda
hitam. Raden Mas Antar Langit mengambil benda
yang baru jatuh dari mulutnya. Mengawasinya se-
bentar dengan meringis kesakitan. Ternyata benda
hitam itu adalah dua kayu agak bengkok yang
tengahnya dilobangi memanjang.
"Uh.... Tak bisa dipakai lagi!" gumam Raden
Mas Antar Langit lalu campakkan dua kayu hitam
berlobang memanjang. Dia lantas memandang Ib-
lis Rangkap Jiwa dengan kepala didongakkan.
Meski mulutnya tidak perdengarkan suara, aneh-
nya Raden Mas Antar Langit tidak tutup mulutnya
yang terbuka menganga! Dan kini tampak jelas ka-
lau orang ini tidak punya gigi alias ompong!
Sementara di seberang depan, dipangkas dari
tiga jurusan membuat sosok Malaikat Penggali
Kubur langsung terjengkang roboh di atas pasir
dengan mulut keluarkan darah. Untuk beberapa
saat pemuda pemilik Kitab Hitam ini tidak berge-
rak-gerak.
Hal ini tampaknya tidak luput dari pandangan
Ratu Pemikat yang sedari tadi coba himpun tenaga
dalamnya. Perempuan ini sekilas lirikkan matanya
berkeliling. Lalu tanpa diduga sama sekali, sosok-
nya bergerak bangkit lalu menghambur ke arah
terjengkangnya Malaikat Penggali Kubur. Perem-
puan ini tampaknya sudah memperhitungkan se-
gala sesuatunya. Hingga begitu sosoknya tepat de-
kat dengan sosok Malaikat Penggali Kubur, kedua
tangannya bergerak ke arah perut si pemuda.
Malaikat Penggali Kubur yang tengah himpun
tenaga dalamnya tersentak kaget. Namun sudah
terlambat baginya selamatkan Kitab Hitam yang
kini hendak disambar tangan Ratu Pemikat. Saat
itulah tiba-tiba satu bayangan hitam melesat. Satu
tendangan menyapu ke arah Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat menjerit. Tubuhnya mencelat ke
udara dengan darah tampak mengucur deras. Saat
lain laksana direnggut setan, jeritan Ratu Pemikat
terputus. Sosok perempuan ini langsung menukik
dan amblas masuk ke dalam kedung.
Byurrr!
Gelombang air kedung yang masih bergolak
tampak berubah warna merah. Kejap lain sosok
Ratu Pemikat telah telentang mengambang di ke-
dung dengan leher patah!
Tendangan orang ke leher Ratu Pemikat mem-
buka kesempatan bagi Malaikat Penggali Kubur
untuk bergerak. Dia dapat menangkap kalau
orang yang baru saja menghantam Ratu Pemikat
bukan untuk menyelamatkannya, melainkan
punya maksud sama dengan si perempuan. Kare-
na bersamaan dengan terlemparnya tubuh Ratu
Pemikat, tangan kiri kanan orang ini berkelebat
cepat ke arah perut Malaikat Penggali Kubur.
Malaikat Penggali Kubur tidak mau berlaku ay-
al. Dia cepat gulingkan tubuhnya. Lalu kedua tan-
gannya serta-merta dipukulkan guna lepaskan
pukulan sakti Telaga Surya'.
Namun orang yang baru saja menendang Ratu
Pemikat seakan tidak peduli dengan pukulan yang
kini mengarah padanya. Dia tidak membuat gera-
kan untuk menangkis atau balik memukul. Seba-
liknya dia mengejar sosok Malaikat Penggali Kubur
dengan kedua tangan berkelebat ke arah perut.
Dia sudah tahu kalau Kitab Hitam tersimpan di
balik pakaian Malaikat Penggali Kubur.
Brettt!
Pakaian hitam di balik jubah putih Malaikat
Penggali Kubur robek menganga. Namun orang
yang telah berhasil merobek pakaian hitam Malai-
kat Penggali Kubur tidak dapat lanjutkan ambil
Kitab Hitam yang kini sudah terlihat, karena saat
itu juga tubuhnya tersapu pukulan Telaga Surya'
Malaikat Penggali Kubur.
Malaikat Penggali Kubur cepat bangkit. Me-
mandang ke depan, pemuda ini tersentak. Sejarak
delapan langkah dari tempatnya tegak, satu sosok
yang baru saja mencelat terkena pukulannya tiba-
tiba bangkit tanpa menderita cedera sama sekali!
Malah orang ini kacak pinggang dan mengumbar
tawa bergelak!
"Bangsat jahanam! Seharusnya kau sudah ku-
bunuh waktu di bukit itu!" bentak Malaikat Peng-
gali Kubur dengan suara bergetar dan rahang
mengembang.
"Kau memang terlalu bodoh membiarkan aku
hidup! Tapi kau sudah terlambat! Dan aku tidak
akan berbuat bodoh sepertimu!" sahut orang di
hadapan Malaikat Penggali Kubur yang ternyata
adalah Iblis Rangkap
Jiwa.
Sebenarnya Iblis Rangkap Jiwa sudah bisa be-
baskan diri dari totokan murid Pendeta Sinting
begitu Malaikat Penggali Kubur lancarkan seran-
gan pada Pendekar 131. Namun laki-laki berkepa-
la gundul ini menunggu saat yang tepat dan pura-
pura masih tertotok. Begitu Malaikat Penggali Ku-
bur terjengkang dan Raden Mas Antar Langit me-
nubruk tubuhnya yang bersandar di lamping batu
cadas putih, Iblis Rangkap Jiwa buka kelopak ma-
tanya. Dia pikir inilah saat yang ditunggu, karena
bagaimanapun juga Malaikat Penggali Kubur akan
mengalami cedera karena dihantam dari tiga juru-
san.
Raden Mas Antar Langit sejurus tampak terke-
siap melihat kelopak mata Iblis Rangkap Jiwa
membelalak. Belum sampai orang ini bergerak, Ib-
lis Rangkap Jiwa telah gerakkan tangan kanan-
nya.
Plakkk!
Sosok Raden Mas Antar Langit terpelanting dan
kembali jatuh menyusur pasir. Saat lain Iblis
Rangkap Jiwa berkelebat. Tapi gerakannya dida-
hului Ratu Pemikat. Iblis Rangkap Jiwa tak mau
didahului orang. Dia teruskan kelebatannya lalu
begitu tangan kiri kanan Ratu Pemikat bergerak ke
arah perut Malaikat Penggali Kubur, Iblis Rangkap
Jiwa sapukan kaki kanannya ke arah Ratu Pemi-
kat.
Malaikat Penggali Kubur tertawa pendek men-
dengar ucapan Iblis Rangkap Jiwa.
"Iblis Rangkap Jiwa! Kau adalah sahabatku....
Aku telah janjikan tempat enak buatmu saat ma-
tahari terbit esok hari! Lagi pula tak ada gunanya
kau berkhianat padaku! Kau telah alami sendiri
bagaimana rasanya menghadapiku!"
Iblis Rangkap Jiwa ganti tertawa pendek. "Aku
bukan manusia yang bisa kau tidurkan dengan
ucapan-ucapan usang itu! Kau telah terluka, Ja-
hanam' Dan tiba saatnya kau serahkan kitab itu
padaku!"
"Kitab ini akan kuserahkan padamu...! Tapi se-
rahkan dulu nyawamu!"
Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur
berkelebat ke depan. Rupanya Malaikat Penggali
Kubur sadar siapa adanya orang yang dihadapi.
Hingga pemuda ini sengaja tidak lepaskan puku-
lan dari jarak jauh. Tangan kiri kanannya baru
bergerak mengusap perutnya tatkala dia berada
lima langkah dari Iblis Rangkap Jiwa.
Di lain pihak, Iblis Rangkap Jiwa sendiri mak-
lum akan kehebatan kitab di balik pakaian Malai-
kat Penggali Kubur, hingga meski dia tidak mem-
pan terhadap pukulan namun dia tidak mau ber-
tindak ceroboh. Karena walau dia tidak mempan
pukulan tapi kalau terus-terusan dihajar, tak
urung juga tenaga luarnya akan habis. Padahal
kekuatan dalam dirinya tidak akan dapat tersalur
tanpa adanya tenaga luar.
Memikir sampai di situ, begitu terdengar suara
deruan, Iblis Rangkap Jiwa segera angkat kedua
tangannya. Lalu disentakkan ke depan menyong-
song gelombang yang tidak terlihat pandangan
mata.
Gelombang hitam yang melesat dari kedua tan-
gan Iblis Rangkap Jiwa tiba-tiba semburat ke
samping kanan kiri laksana dihantam kekuatan
luar biasa dahsyat. Saat bersamaan sosok Iblis
Rangkap Jiwa terjajar dan jatuh terjengkang! Na-
mun seperti tidak merasakan apa-apa, laki-laki
berkepala gundul ini cepat bangkit.
Malaikat Penggali Kubur melesat ke samping
kanan Iblis Rangkap Jiwa. Lalu tangan kiri ka-
nannya mengusap perut.
Begitu cepatnya gerakan Malaikat Penggali Ku-
bur, hingga baru saja Iblis Rangkap Jiwa bangkit,
sosok laki-laki ini telah tersapu gelombang tidak
terlihat.
Karena Malaikat Penggali Kubur berada di
samping kanan Iblis Rangkap Jiwa maka tak am-
pun lagi sosok Iblis Rangkap Jiwa tersapu me-
layang lurus ke arah kedung.
Byuurr!
Tubuh Iblis Rangkap Jiwa amblas masuk ke da-
lam kedung. Malaikat Penggali Kubur cepat me-
lompat dan tegak di bibir kedung dengan kedua
tangan terangkat mengepal. Sepasang matanya
menatap tajam ke arah air kedung yang bergolak.
Namun untuk beberapa saat Malaikat Penggali
Kubur tidak menangkap tanda-tanda munculnya
Iblis Rangkap Jiwa.
"Jahanam! Apa manusia iblis itu sudah mam-
pus?! Tapi... mana bangkai iblisnya?"
Karena masih merasa yakin kalau laki-laki ber-
kepala gundul itu belum tewas, Malaikat Penggali
Kubur belum juga beranjak. Dia tetap pandangi
air kedung di mana dua mayat Dewi Siluman dan
Ratu Pemikat tampak masih terombang-ambing
gelombang air yang bergolak karena tekanan ma-
suknya tubuh Iblis Rangkap Jiwa.
Tiba-tiba sosok mayat Ratu Pemikat laksana
disentak setan dan melesat deras ke arah Malaikat
Penggali Kubur! Menduga sosok itu adalah Iblis
Rangkap Jiwa, Malaikat Penggali Kubur cepat pu-
kulkan kedua tangannya lepas pukulan sakti Te-
laga Surya'.
Namun pemuda murid Bayu Bajra ini terkesiap
tatkala mengetahui siapa adanya sosok yang kini
tengah melayang ke arahnya. Tapi kesadarannya
telah terlambat karena dia telah lepaskan puku-
lan. Dan saat itulah dari bawah melesatnya sosok
Ratu Pemikat, dua tangan Iblis Rangkap Jiwa ber-
kelebat lepaskan pukulan!
Malaikat Penggali Kubur memang masih sem-
pat usapkan tangannya pada perut. Tapi dia tak
bisa hindarkan diri dari gelombang yang datang
dari sentakan tangan Iblis Rangkap Jiwa. Hingga
bersamaan dengan menderunya suara pelan, so-
sok Malaikat Penggali Kubur tersapu dan jatuh
terduduk dengan mulut tambah kucurkan darah.
Di atas kedung, sosok Ratu Pemikat yang telah
tak bernyawa mental balik lalu menghantam bibir
kedung di seberang hingga longsor sebelum akhir-
nya jatuh kembali ke dalam kedung dengan kulit
hangus!
Baru saja sosok mayat Ratu Pemikat ambyar
lagi ke dalam kedung, hantaman yang keluar dari
kitab Malaikat Penggali Kubur telah sampai.
Byuurr! Byuurr! Byuurr!
Air kedung muncrat sampai beberapa tombak
ke udara. Bibir kedung di sebelah kiri kanan tam-
pak ambrol. Sosok mayat Ratu Pemikat dan Dewi
Siluman tampak terlempar keluar kedung lalu ter-
hampar di pasir di bagian seberang!
Dengan kemarahan menggelora, Malaikat Peng-
gali Kubur melompat lagi ke bibir kedung. Namun
baru saja kakinya menginjak pasir, sosok Iblis
Rangkap Jiwa telah melesat keluar dari dalam air
kedung. Kedua tangannya langsung lakukan pu-
kulan ke arah Malaikat Penggali Kubur.
Wuuttt! Wuuttt!
Karena percuma menghantam lawan dengan
sapuan gelombang tidak terlihat sebab lawan be-
rada terlalu dekat, sementara dia harus sela-
matkan kepalanya dari hantaman tangan Iblis
Rangkap Jiwa, mau tak mau Malaikat Penggali
Kubur harus memangkas pukulan lawan dengan
angkat kedua tangannya.
Bukkk! Bukkk!
Malaikat Penggali Kubur terjajar dua langkah
dengan lutut goyah. Iblis Rangkap Jiwa surutkan
langkah tiga tindak. Terhuyung-huyung sejenak
namun cepat dapat tegak kembali. Dari kepala dan
pakaian yang dikenakannya mengucur air deras.
Meski dari mulutnya telah alirkan darah, namun
jelas wajahnya tidak tunjukkan rasa kesakitan
atau ketakutan! Malah seraya angkat tangan ka-
nan kirinya mengusap air serta darah di mulut
nya, Iblis Rangkap Jiwa tertawa bergelak!
"Setan alas! Manusia ini benar-benar luar bi-
asa! Dia harus segera kuhabisi! Jika tidak tenaga-
ku akan terus terkuras, sementara di sana masih
banyak yang menunggu! Sedapat mungkin aku
harus menjaga jarak. Dengan begitu aku bisa le-
paskan pukulan tanpa keluarkan tenaga!"
Berpikir begitu, Malaikat Penggali Kubur lang-
sung balikkan tubuh lalu berkelebat untuk menja-
ga jarak agar tidak terlalu dekat.
"Kau akan lari ke mana, Bangsat?! Apa kau kira
dengan Kitab Hitam di tanganmu langkahmu akan
jadi lebar?!"
Iblis Rangkap Jiwa cepat berkelebat mengejar.
Malaikat Penggali Kubur cepat balikkan tubuh
sambil usapkan tangannya pada perut.
Lagi-lagi sosok Iblis Rangkap Jiwa tersapu dan
terjengkang di atas pasir, namun saat lain dia te-
lah bangkit kembali. Malaikat Penggali Kubur me-
nyeringai.
"Meski dia kebal pukulan, dia tak akan kuat
bertahan terus-terusan!" Malaikat Penggali Kubur
kembali usapkan tangannya pada perut.
Untuk kesekian kalinya sosok Iblis Rangkap
Jiwa terkapar di atas pasir dengan mulut makin
banyak kucurkan darah. Malaikat Penggali Kubur
melompat namun tetap dengan menjaga jarak. Dia
menunggu sampai Iblis Rangkap Jiwa bangkit.
Di lain pihak, Iblis Rangkap Jiwa mulai sadar.
"Jahanam! Dia akan terus menghantamku kalau
kuberi jarak. Dan aku rasanya tidak akan tahan
terus-terusan dihantam!" Iblis Rangkap Jiwa lirik-
kan matanya ke bawah. Malaikat Penggali Kubur
terlihat tegak dan tangannya siap di atas perut.
"Hai, pantatmu mengapa kau buka?!" Tiba-tiba
dari arah sebelah kiri kedung terdengar suara teriakan seorang perempuan.
Suara teriakan yang ternyata diperdengarkan
Putri Sableng membuat Iblis Rangkap Jiwa tersen-
tak. Dadanya berdebar. Dia lupa kalau Malaikat
Penggali Kubur tengah menunggu dia bangkit.
Hingga tanpa sadar, Iblis Rangkap Jiwa segera
angkat tubuhnya. Belum sampai benar-benar
bangkit, sosok Iblis Rangkap Jiwa telah dilanda
sapuan gelombang tak terlihat.
Sosok Iblis Rangkap Jiwa terpelanting dan
menghantam salah satu batu di kawasan sebelah
kanan kedung tidak jauh dari batu yang menju-
lang. Malaikat Penggali Kubur kali ini berkelebat
agak mendekat. Namun dia bukannya segera
usapkan tangan pada perutnya, namun mengang-
kat sebuah batu besar. Kejap lain sosoknya yang
telah mengangkat batu berkelebat ke arah Iblis
Rangkap Jiwa yang masih terkapar. Dari jarak tiga
langkah, batu besar dilemparkan dengan tenaga
dalam tinggi.
Prakkk!
Batu besar tepat menghantam muka Iblis
Rangkap Jiwa. Darah muncrat dari mulut dan hi-
dungnya! Karena wajah laki-laki berkepala gundul
ini hampir tidak tertutup daging, maka tampak je-
las jika tulang kening dan rahangnya patah mele-
sak!
Malaikat Penggali Kubur tidak sia-siakan ke-
sempatan. Dia sekali lagi berkelebat. Lalu menyer-
gap dengan lakukan totokan. Iblis Rangkap Jiwa
perdengarkan seruan tertahan. Dia sebenarnya
masih menangkap kelebatan orang dan angkat ke-
dua tangannya. Tapi gerakannya kalah cepat den-
gan sergapan Malaikat Penggali Kubur. Hingga to-
tokan si pemuda bersarang telak di kedua ba-
hunya dan menghentikan gerakan tangan Iblis
Rangkap Jiwa.
"Jahanam! Apa kau kira dapat membunuhku
dengan cara ini, hah?!" teriak Iblis Rangkap Jiwa
gusar.
"Aku tahu bagaimana cara mencabut nyawamu!
Tapi untukmu nanti akan kupilihkan cara yang
lebih enak! Tunggulah! Aku masih punya urusan
lain!"
Malaikat Penggali Kubur balikkan tubuh lalu
pandangi murid Pendeta Sinting, Putri Sableng
serta kedua laki-laki berwajah hitam.
*
* *
SEMBILAN
DI lain pihak, murid Pendeta Sinting yang telah
tegak bukannya memandang pada Malaikat Peng-
gali Kubur, tapi memandang lekat-lekat pada ke-
dua orang berwajah hitam. "Hem.... Aku yakin se-
karang siapa mereka sebenarnya...."
Tanpa pedulikan pada tatapan Malaikat Peng-
gali Kubur, Joko melangkah hendak mendekati
kedua orang berwajah hitam.
"Sontoloyo! Mau apa kau?!" mendadak yang
bertelanjang dada dan kalungkan celana hitam
pada lehernya yakni Raden Mas Antar Bumi mem-
bentak.
"Rupanya si sontoloyo muridmu itu telah ta-
hu.... Hik.... Hik.... Hik...! Ternyata dandan kita
kurang mahir! Tapi menurutmu, apakah nenek
cantik bekas pacarmu itu juga sudah tahu?!" bisik
Raden Mas Antar Langit. Meski ucapan orang ini
telah selesai, tapi orang ini terus buka lebar-lebar
mulutnya yang bergigi ompong.
"Sialan! Jangan bicara terlalu keras!" bisik Ra-
den Mas Antar Bumi dengan nada keras.
"Hem.... Aku tahu apa yang ada di balik be-
nakmu! Kau nanti pura-pura menanam budi pada
nenek itu. Biar nanti hatinya luruh dan jatuh cin-
ta padamu lagi! Begitu bukan...?! Laki-laki di ma-
na-mana memang suka memuslihati perempuan!
Tololnya si namanya perempuan. Dia akan per-
caya kalau dimuslihati laki-laki dan tidak percaya
kalau dikasih keterangan jujur! Hik.... Hik....
Hik...!"
"Sialan! Tutup mulutmu dulu! Di sini bukan
tempatnya berhik.... Hik.... Hik...!"
Melihat orang tertawa-tawa, Malaikat Penggali
Kubur kepalkan kedua tangannya. Tapi kejap Iain
kedua tangannya dibuka kembali dan kini diang-
kat ke depan perutnya.
"Terlalu berisiko kalau aku menghantam hanya
pada satu orang! Mereka pasti akan ramai-ramai
membendung! Hem...." Malaikat Penggali Kubur
melirik.
Di lain pihak, sebenarnya Joko juga sedang
berpikir. "Kitab di tangannya punya kekuatan luar
biasa! Pukulan 'Serat Biru' dan 'Sundrik Cakra'
belum mampu membuatnya roboh tak berkutik!
Tapi.... Pasti segala sesuatu ada kelemahannya!
Yang jadi pertanyaan, di mana letak kelemahan ki-
tab itu...?! Bisa saja aku mengajaknya bertarung
jarak dekat, tapi sekali dia punya kesempatan,
aku akan celaka sendiri.... Namun apa boleh buat.
Kukira hanya itu satu-satunya jalan. Dia tidak di-
beri kesempatan untuk mengusap kitab di balik
pakaiannya...." Akhirnya Joko memutuskan. Dia
melirik sekilas pada Malaikat Penggali Kubur. Ke-
jap lain tiba-tiba Joko tepuk keningnya sendiri.
"Bodoh! Dia boleh punya kitab luar biasa sakti!
Tapi kalau dia tidak bisa melihat di mana lawan,
kitab sakti tidak akan ada gunanya! Ah.... Berarti
senjata utamanya bukan pada kitab itu! Tapi pada
matanya!"
Berpikir sampai ke sana tiba-tiba Joko berkele-
bat ke samping kanan dengan kedua tangan te-
rangkat seolah hendak lepaskan pukulan. Malai-
kat Penggali Kubur segera putar tubuh. Menduga
Joko lepaskan pukulan, tangan kanan Malaikat
Penggali Kubur segera mengusap perutnya.
Namun sebelum deruan terdengar, Joko sudah
berkelebat ke samping kiri. Malaikat Penggali Ku-
bur putar tubuh ke samping kiri sambil usap pe-
rutnya. Joko kembali telah berkelebat sebelum su-
ara deruan terdengar Dia sengaja berkelebat ber-
putar. Dengan begitu dia akan terhindar dari de-
ruan dan gelombang tak terlihat yang telah meng-
hajar.
Melihat gerakan-gerakan Joko, kedua orang
berwajah hitam saling pandang.
"Sontoloyo! Mengapa dia berputar-putar mirip
anak mainan saja?!" bisik Raden Mas Antar Bumi.
"Ah.... Ternyata kita bukan hanya kurang mahir
dandan! Tapi juga kurang panjang akal! Kita ikuti
saja gerakannya!" bisik Raden Mas Antar Langit.
"Gila! Apa kita harus ikut-ikutan anak ingusan
itu berputar-putar tak karuan? Kita hantam saja
ramai-ramai!"
"Sontoloyo!" bisik Raden Mas Antar Langit.
"Jangan tanya jawab di sini! Tapi dengar, meski
dia ingusan, namun dia lebih panjang akal daripa-
da kita!"
"Sialan! Bagaimana bisa begitu, hah?!"
"Sudah kubilang, jangan tanya jawab di sini!
Sekarang aku akan ikut mainan putar-putar itu!
Kalau kau tidak, kau akan menyesal sendiri!"
Habis berkata begitu, Raden Mas Antar Langit
segera berkelebat dan tahu-tahu telah berada di
belakang Joko yang terus berkelebat memutar
namun sedikit demi sedikit mempersempit jarak
dengan Malaikat Penggali Kubur.
"Kek...."
"Jangan bicara Kak, Kek! Ayo terus berputar!
Aku tahu apa yang kau rencanakan! Tapi jangan
lengah!" bentak Raden Mas Antar Langit. Orang ini
lantas pegangi pinggang Joko dari belakang den-
gan kepala merunduk dan ikut berkelebat ke ma-
na Joko bergerak.
"Ah.... Aku tahu sekarang! Sontoloyo itu benar!"
ujar Raden Mas Antar Bumi pada akhirnya setelah
agak lama berpikir. Orang ini lantas berkelebat.
Dan tahu-tahu telah tegak di belakang Malaikat
Penggali Kubur. Saat bersamaan, dari arah sebe-
rang tiba-tiba Putri Sableng berkelebat sambil ber-
teriak.
"Aku ikut mainan!"
Raden Mas Antar Bumi hendak mencegah, na-
mun terlambat. Putri Sableng telah tegak di bela-
kangnya lalu seperti Raden Mas Antar Langit, ga-
dis cantik berjubah merah ini pegang pinggang
Raden Mas Antar Bumi.
"Kita harus terus berada di belakangnya! Biar
mereka berdua yang memancing dari arah depan!"
bisik Putri Sableng.
"Ah.... Bagaimana ini?!" gumam Raden Mas An-
tar Bumi dalam hati. Hatinya gelisah. "Ini alamat
urusan dengan nenek itu akan tambah tak ka-
ruan!" dia melirik pada Ni Luh Padmi yang masih
duduk bersandar pada lamping batu cadas putih
dengan mata terus memperhatikan apa yang ter-
jadi.
"Hai.... Bergerak! Awas serangan!" teriak Putri
Sableng sambil menarik pinggang Raden Mas An-
tar Bumi. Buru-buru Raden Mas Antar Bumi ber-
kelebat karena saat itu tiba-tiba Malaikat Penggali
Kubur balikkan tubuh dan mengusap perutnya.
"Sialan! Apa yang kau pikirkan?!" gerutu Putri
Sableng. "Terlambat sedikit, kita akan mampus!"
"Mampus ya mampus! Tapi jangan kau pegang
terus pinggangku!" Raden Mas Antar Bumi balas
membentak.
"Sialan! Kau takut nenek itu cemburu?! Aku ja-
di ingin tahu bagaimana kalau nenek-nenek cem-
buru! Hik.... Hik.... Hik...!" Putri Sableng kini bu-
kan lagi pegang pinggang Raden Mas Antar Bumi,
sebaliknya gadis berjubah merah ini rangkulkan
kedua tangannya erat-erat pada pinggang Raden
Mas Antar Bumi!
Raden Mas Antar Bumi menyumpah-nyumpah.
Namun dia tak bisa berbuat banyak, karena Ma-
laikat Penggali Kubur kini memutar-mutar tubuh-
nya seraya terus menerus mengusap kitab di balik
pakaiannya. Hingga mau tak mau Raden Mas An-
tar Bumi harus mengikuti gerakan Malaikat Peng-
gali Kubur, karena sedikit lengah, gelombang tak
terlihat akan menghantamnya.
Di bawah siraman cahaya purnama, kini tam-
pak orang terus berputar-putar disertai suara
menderu-deru yang keluar dari balik pakaian Ma-
laikat Penggali Kubur. Sementara itu pasir dan ba-
tu-batu tampak bertabur dan berpelantingan lalu
pecah karena tersapu dan terhantam gelombang
tak terlihat dari balik pakaian Malaikat Penggali
Kubur. Kedung Ombo bergetar terus menerus lak-
sana dihantam gelombang saling susul menyusul.
Air kedung bergolak liar dan muncrat ke sana
kemari.
Ni Luh Padmi terdengar memaki-maki karena
sekujur tubuhnya hampir tidak tampak lagi tertu-
tup hamburan pasir. Sementara tubuhnya terus-
menerus disentak-sentak menghantam lamping
batu di belakangnya. Malah di seberang sana, so-
sok Iblis Rangkap Jiwa telah terbang sejauh sepu-
luh tombak!
Malaikat Penggali Kubur sendiri mulai tampak
jerih. Dia bingung. Di satu pihak dia harus was-
pada pada murid Pendeta Sinting dan Raden Mas
Antar Langit yang berada di depannya dan terus
mempersempit jarak. Sementara di lain sisi, dia
harus perhatikan Raden Mas Antar Bumi dan Pu-
tri Sableng yang berada menguntit di belakangnya.
Dan pemuda murid Bayu Bajra ini makin gelisah
tatkala Putri Sableng mulai usil taburkan pasir ke
arahnya!
"Keparat! Aku harus menghentikan salah satu
dari mereka!" putus Malaikat Penggali Kubur pada
akhirnya. Lalu dia melirik sambil terus berputar.
Pada satu saat tiba-tiba dia balik arah putaran-
nya.
Joko dan Raden Mas Antar Langit terkesiap.
Namun dia cepat bisa atur kelebatannya kembali.
Namun tidak demikian halnya dengan Raden Mas
Antar Bumi dan Putri Sableng. Kedua orang ini
terlambat atur kelebatannya. Hingga saat Malaikat
Penggali Kubur balik arah putarannya, kedua
orang ini terus. Mau tak mau keduanya tepat be-
rada di hadapan Malaikat Penggali Kubur. Saat
itulah Malaikat Penggali Kubur usap kitab di balik
pakaiannya.
Walau Raden Mas Antar Bumi dan Putri Sab-
leng sempat lepaskan pukulan, namun saat yang
sama tubuh keduanya sudah terpelanting lalu ter-
seret menyusur hamparan pasir sampai lima tom-
bak dengan masing-masing orang terkapar. Dari
mulut mereka berdua tampak alirkan darah.
Namun gerakan Malaikat Penggali Kubur yang
sekejap tadi arahkan tubuhnya pada Raden Mas
Antar Bumi dan Putri Sableng tak disia-siakan Jo-
ko. Murid Pendeta Sinting cepat berkelebat ke de-
pan. Tangan kiri kanannya berkelebat ke arah ke-
pala. Raden Mas Antar Langit tak tinggal diam. Dia
pun cepat rebahkan diri sejajar pasir lalu menyu-
sur ke depan. Kedua tangannya bergerak meng-
gaet kaki Malaikat Penggali Kubur.
Sergapan Joko dan Raden Mas Antar Langit
membuat Malaikat Penggali Kubur tidak punya
kesempatan lagi untuk mengusap kitabnya karena
dia harus cepat lindungi kepala serta kakinya.
"Pengecut busuk! Kalian ternyata manusia-
manusia yang hanya berani main keroyok!" bentak
Malaikat Penggali Kubur sambil angkat kedua tan-
gannya menghadang pukulan murid Pendeta Sint-
ing. Saat yang sama, kaki kanannya terangkat lalu
menyapu ke arah Raden Mas Antar Langit.
"Bukan maksud hati mengeroyokmu, kami
hanya menghindar untuk tidak jadi korbanmu!"
kata Raden Mas Antar Langit. Tangan kanan orang
ini diangkat lindungi diri dari sapuan kaki Malai-
kat Penggali Kubur. Sementara tangan satunya te-
rus menjulur.
"Betul! Aku hanya ingin kitab yang ada pada-
mu! Tidak inginkan nyawamu!" sahut Joko seraya
teruskan kelebatan kedua tangannya. "Tapi kalau
kau keras kepala, aku juga tak segan bertindak
kasar untuk hentikan perbuatanmu!"
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Terdengar tiga kali benturan keras. Sosok mu-
rid Pendeta Sinting terjajar dua tindak. Sementara
tangan kanan Raden Mas Antar Langit terpental
lalu menghantam pasir dengan tubuh terguling.
Namun tangan kirinya masih sempat menggaet
kaki kiri Malaikat Penggali Kubur hingga mau tak
mau pemuda murid Bayu Bajra ini terhuyung ke
depan.
"Bangsat!" maki Malaikat Penggali Kubur. Kaki
kanannya yang baru saja bentrok dengan tangan
kanan Raden Mas Antar Langit kembali disapukan
ke arah tubuh orang di bawahnya. Namun gera-
kan tangan kiri Raden Mas Antar Langit yang
menggaet kaki kirinya lebih cepat, hingga bukan
saja tendangannya melenceng ke atas, namun tu-
buhnya tertarik deras ke belakang lalu jatuh ter-
duduk!
Dalam puncak kemarahannya, Malaikat Peng-
gali Kubur sentakkan kedua tangannya begitu
pantatnya menghantam pasir.
Karena tangan kanannya masih berada di bela-
kang sementara tangan kiri memegang kaki kiri
Malaikat Penggali Kubur, Raden Mas Antar Langit
tak mampu lagi menghadang pukulan yang meng-
hajarnya.
Bukkk! Bukkk!
Pegangan tangan kiri Raden Mas Antar Langit
pada kaki kiri Malaikat Penggali Kubur terlepas.
Tubuhnya mencelat sampai dua tombak dan ter-
kapar. Dari mulutnya mengalir darah.
Karena sadar di sampingnya masih ada orang,
begitu sentakkan tangan, Malaikat Penggali Kubur
putar tubuh ke samping. Tangan kanan menyen-
tak ke depan, tangan kiri usap kitab di balik pa-
kaiannya.
Pendekar 131 tersentak. Karena jaraknya terla-
lu dekat maka tidak ada kesempatan baginya un-
tuk menghadang pukulan dahsyat Malaikat Peng-
gali Kubur. Apalagi Malaikat Penggali Kubur seka-
ligus lepaskan pukulan 'Telaga Surya' serta usapan pada kitabnya!
Dalam keadaan terjepit begitu rupa, murid
Pendeta Sinting berlaku nekat. Dengan satu sen-
takan, sosoknya melesat ke depan. Kedua tangan-
nya berkelebat ke depan bukan untuk lepaskan
pukulan, namun langsung ke arah sepasang mata
Malaikat Penggali Kubur!
Malaikat Penggali Kubur terlengak. Dia tidak
menduga sama sekali kalau lawan berani merang-
sek maju. Dia sejurus berpikir. Teruskan pukulan
dan usapan pada perutnya atau angkat kedua
tangannya memangkas kedua tangan lawan yang
kini berada sejengkal di depan matanya. Entah ka-
rena menduga lawan tidak akan mampu Lindungi
diri dari kedua pukulannya yang hendak dilepas,
akhirnya Malaikat Penggali Kubur teruskan puku-
lan serta usapan pada perutnya.
Wuuss! Weeerr! Bless! Blesss!
Dari mulut murid Pendeta Sinting dan Malaikat
Penggali Kubur terdengar seruan keras. Sosok
Pendekar 131 mencelat dan terbanting-banting di
udara sebelum akhirnya jatuh telentang di atas
pasir dengan pakaian hangus dan mulut serta hi-
dung keluarkan darah! Pedang Tumpul 131 jatuh
dari balik pakaiannya dan keluar dari sarungnya.
Sosok tubuhnya bergetar keras. Wajah dan seku-
jur tubuhnya merah membara laksana dipang-
gang. Mulutnya yang berdarah tampak membuka
namun tidak perdengarkan suara. Dadanya berge-
rak turun naik tak karuan. Sepasang matanya
membelalak besar.
Sejenak murid Pendeta Sinting coba bergerak
hendak bangkit. Namun dia urungkan karena be-
gitu dia hendak bangun, darah segar menyembur
dari mulutnya. Jelas kalau dia terluka cukup pa-
rah. Hingga Joko coba himpun tenaga dengan telentang.
Di seberang depan, begitu pukulan 'Telaga
Surya' dan gelombang yang keluar tak terlihat dari
balik pakaiannya menyambar murid Pendeta Sint-
ing, kedua tangan Malaikat Penggali Kubur te-
rangkat mendekap sepasang matanya yang tiba-
tiba terasa panas dan kabur. Ketika mendapati
ada aliran hangat dan berbau di kedua tangannya
yang mendekap mata, Malaikat Penggali Kubur
menggembor seakan hendak merobek langit.
Dia serentak bergerak bangkit. Seolah tidak sa-
dar apa yang terjadi pada dirinya, dia buka tan-
gannya dan akan melihat di mana lawan berada.
"Jahanam! Apa yang terjadi dengan diriku?!
Mataku kabur tak bisa melihat!" Masih menduga
itu karena tertutup darah, Malaikat Penggali Ku-
bur usap-usap sepasang matanya lalu meman-
dang ke depan meski dia sudah merasakan bukan
alang kepalang pada sepasang matanya.
Ketika menyadari kalau pandangannya kabur,
Malaikat Penggali Kubur hentakkan kaki kanan
kirinya. "Mataku...! Mataku kabur!"
Malaikat Penggali Kubur tegak dengan tubuh
bergetar keras. Urat-urat pada sekujur tubuhnya
tampak menggurat jelas. Rambutnya yang lebat
tampak seolah berdiri.
"Pendekar 131! Kau telah membuat mataku ka-
bur! Kini matamu harus kucongkel sebagai imba-
lannya sebelum nyawamu kulepas!" teriak Malai-
kat Penggali Kubur dengan kepala mendongak dan
kedua tangan mengepal di atas udara. "Bulan
purnama akan jadi saksi bagaimana satu persatu
mata kalian semua yang ada di sini akan kucong-
kel sebelum darah kalian semua kulebur di air
Kedung Ombo!"
Malaikat Penggali Kubur luruskan wajahnya.
Dengan susah payah dia akhirnya dapat melihat di
mana murid Pendeta Sinting meski hal itu lebih
banyak didasarkan pada firasat dan perhitungan
arah.
Begitu merasa hampir yakin, Malaikat Penggali
Kubur melesat dan tahu-tahu sosoknya telah te-
gak dua langkah di samping murid Pendeta Sint-
ing yang telentang. Sejurus Malaikat Penggali Ku-
bur memperhatikan sebab pandangannya samar-
samar. Saat itulah kakinya mengantuk sesuatu.
Kepalanya bergerak. Pandangannya yang samar-
samar masih dapat menangkap kilatan benda di
bawahnya.
Tanpa pikir panjang lagi Malaikat Penggali Ku-
bur bungkukkan tubuh. Tangan kanannya me-
nyahut ke bawah. Lalu benda kuning berkilat itu
didekatkan pada matanya yang masih alirkan da-
rah. Tangan kirinya meraba.
"Pedang Tumpul 131!" desis Malaikat Penggali
Kubur dengan seringai angker. Secepat kilat dia
melompat.
Pendekar 131 tersentak. Baru saja dia akan
bangkit, satu kaki telah menghantam dadanya
hingga tubuhnya telentang kembali. Memandang
ke atas, darah murid Pendeta Sinting laksana si-
rap.
Malaikat Penggali Kubur sudah tegak di atas-
nya dengan kaki kiri menginjak dadanya serta
tangan kanan angkat Pedang Tumpul 131 tinggi ke
udara!
Raden Mas Antar Bumi dan Putri Sableng yang
sudah bangkit terkesima. Keduanya hanya bisa te-
gak mematung tanpa ada yang buka mulut atau
membuat gerakan. Tidak jauh di sampingnya Ra-
den Mas Antar Langit belalakkan mata dengan
mulut terbuka lebar-lebar! Di belakang sana Cucu
Dewa dan Dewa Orok hanya saling pandang.
"Kita bantam bersama-sama!" ujar Raden Mas
Antar Bumi berbisik, lalu memberi isyarat pada
Raden Mas Antar Langit untuk mendekat.
Raden Mas Antar Langit segera melangkah
mendekat. Raden Mas Antar Bumi kembali kata-
kan usulnya.
"Jarak kita terlalu jauh! Belum sampai pukulan
kita sampai, Setan Jelek muridmu itu pasti sudah
mampus!" sahut Putri Sableng.
"Betul!" timpal Raden Mas Antar Langit. "Apala-
gi kita sudah terluka! Sementara dia tinggal tu-
sukkan pedang di tangannya!"
"Lalu apa kita cuma berdiri menyaksikan mu-
ridku mampus, hah?!" Raden Mas Antar Bumi
membentak meski masih coba menahan suara.
"Hem.... Rupanya kau masih sayang pada nya-
wa muridmu, Setan Jelek itu!" ujar Putri Sableng.
Meski darah masih tampak pada mulutnya, gadis
berjubah merah ini coba tertawa cekikikan.
"Sialan! Kau kira aku tega padanya meski dia
sableng dan aku sinting, hah?! Kalau kalian tak
setuju, menyingkirlah! Aku akan menghantamnya
sendiri!" Tanpa menunggu sahutan dari Putri Sab-
leng atau Raden Mas Antar Langit, kedua tangan
Raden Mas Antar Bumi sudah terangkat. Tangan-
nya yang bergetar tampak berubah warna menjadi
kekuningan.
Malaikat Penggali Kubur gerakkan tangan ka-
nan yang menggenggam Pedang Tumpul 131 ke
bawah. Sejengkal lagi ujung pedang yang tumpul
berada di atas wajah murid Pendeta Sinting, Ma-
laikat Penggali Kubur hentikan gerakan tangan-
nya. Tanpa berpaling mulutnya angkat bicara.
"Senjata ini akan lebih dahulu mencabut nyawa
keparat ini! Jadi jangan berani bertindak bodoh!
Jangan ada yang coba membuat gerakan! Tetap di
tempat kalian masing-masing!"
Raden Mas Antar Bumi gantungkan kedua tan-
gannya di atas kepala mendengar ancaman Malai-
kat Penggali Kubur.
Malaikat Penggali Kubur palingkan kepala
menghadap Putri Sableng, Raden Mas Antar Bumi,
dan Raden Mas Antar Langit. Mulutnya menyerin-
gai angker.
"Kalian akan menyusul satu persatu! Sekarang
kalian kuperintahkan untuk menunggu dan me-
langkah mundur!" teriak Malaikat Penggali Kubur.
Ketiga orang yang diperintah sama saling pan-
dang. Belum ada yang buka mulut, dari arah de-
pan, terdengar lagi teriakan Malaikat Penggali Ku-
bur.
"Lihat!" Malaikat Penggali Kubur gerakkan lagi
ujung pedang pada mata murid Pendeta Sinting
yang hanya diam, karena selain dadanya diinjak,
tangan kirinya juga ditindih kaki kiri Malaikat
Penggali Kubur. Tangan kanannya memang masih
leluasa bergerak. Tapi secepat apa pun gerakan
tangan kanannya, tak bisa lagi menghadang jika
pedang itu menghantam!
Ketika samar-samar dan diyakininya ketiga
orang di depan sana memandang ke arahnya, Ma-
laikat Penggali Kubur teruskan ucapan.
"Kuperintahkan kalian mundur! Mundur! Mun-
dur!"
Ujung Pedang Tumpul sudah menempel pada
mata kiri murid Pendeta Sinting, hingga Joko ce-
pat pejamkan matanya. Kuduknya meremang.
Sementara di seberang sana perlahan-lahan ketiga
orang yang dibentak gerakkan kaki mundur. Ma-
laikat Penggali Kubur terus hadapkan wajahnya ke
arah tiga orang yang surutkan kaki mundur.
"Bagus! Sekarang berbalik! Cepat! Jika tidak,
mata kiri keparat ini sudah kukeluarkan!"
Dengan saling pandang dan menggumam tak
jelas akhirnya ketiga orang itu turuti bentakan pe-
rintah Malaikat Penggali Kubur.
"Celaka! Celaka! Seharusnya kita tadi langsung
saja menghantam ramai-ramai! Bagaimanapun ju-
ga dia akan laksanakan ancamannya!" gumam
Raden Mas Antar Bumi dengan tubuh menggigil.
Malah kini dia ambil celana hitam yang masih
mengalung di lehernya dan dicampakkan saja di
atas pasir. Putri Sableng dan Raden Mas Antar
Langit tidak ada yang buka mulut menyahut. Tu-
buh mereka bergetar bahkan lutut Raden Mas An-
tar Langit tampak goyah dan hampir saja dia lim-
bung kalau tidak segera ditahan tangan Putri Sab-
leng.
"Rupanya kali ini kita tak bakal bisa sela-
matkan nyawa Anak Sableng itu...," gumam Raden
Mas Antar Langit lalu buka mulutnya lebar-lebar.
Setelah menghitung jarak dan percaya mereka
tidak bisa berbuat apa-apa, setidaknya dia masih
bisa selamatkan diri dan sekaligus cabut nyawa
Pendekar 131 jika sewaktu-waktu orang menye-
rangnya, Malaikat Penggali Kubur hadapkan wa-
jahnya pada Pendekar 131 yang terinjak di ba-
wahnya. Tampangnya ganas apalagi dari sepasang
matanya terus kucurkan darah.
"Sepasang matamu akan kucabut dahulu, Pen-
dekar Keparat! Biar kau tahu bagaimana rasanya
orang tak bermata!" Malaikat Penggali Kubur ber-
teriak sambil arahkan ujung pedang pada mata ki-
ri kanan murid Pendeta Sinting. Joko diam-diam
kerahkan tenaga dalam. Namun Malaikat Penggali
Kubur segera keraskan injakannya.
"Kau teruskan salurkan tenaga dalam, anggota
tubuhmu akan kuputus satu persatu!" Malaikat
Penggali Kubur rupanya dapat menangkap apa
yang dilakukan Joko begitu merasa kakinya yang
menginjak terasa hangat dan bergetar pertanda
orang di bawahnya tengah himpun tenaga dalam.
Murid Pendeta Sinting mau tak mau tidak lan-
jutkan himpun tenaga dalam. Namun dia masih
berpikir keras.
Tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur sabetkan
ujung pedang pada dada, lalu berhenti pada perut
murid Pendeta Sinting.
Brettt!
Murid Pendeta Sinting berseru. Nyawanya lak-
sana melayang. Ketiga orang di depan sana sama
menggigil dan tak berani berpaling tak tega meli-
hat. Namun Joko bernapas agak lega merasakan
kalau cuma pakaiannya yang robek menganga di
bagian perut.
Malaikat Penggali Kubur putar-putar ujung pe-
dang yang tumpul menyusuri perut Joko. "Hem....
Kedua kitab itu tidak dibawa! Tapi apa peduliku?!
Kitab Hitam sudah terbukti tidak ada tandingan-
nya!"
Meski membatin begitu, namun Malaikat Peng-
gali Kubur masih juga ajukan tanya.
"Katakan di mana kedua kitab itu!"
"Hem.... Jadi kau masih inginkan kitab itu?!"
Joko balik bertanya meski suaranya terdengar
bergetar dan tersendat.
"Tanganku menggenggam nyawamu! Jangan
berani balik bertanya!" sentak Malaikat Penggali
Kubur. Kembali ujung pedang diarahkan pada ma-
ta kiri murid Pendeta Sinting hingga buru-buru
Joko katupkan kembali matanya yang sejenak tadi
hendak membuka. Sementara mendengar ucapan
Joko, ketiga orang di seberang sana sama menghela napas. "Belum.... Sontoloyo itu masih berna-
pas...," gumam Raden Mas Antar Bumi.
"Aku tak pernah bertanya ketiga kali!" ujar Ma-
laikat Penggali Kubur. Lalu angkat ujung pedang
sejengkal dari mata Joko. Dengan begitu dia lebih
mendapat ruang.
"Kitab itu kusimpan di satu tempat! Aku bisa
tunjukkan padamu...." Akhirnya Joko menjawab.
"Katakan di mana!"
"Aku tak bisa mengatakan, tapi aku mau men-
gantarmu ke tempat penyimpanan itu!"
Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. "Da-
lam urusan muslihat, kau harus belajar dariku,
Jahanam! Ha.... Ha.... Ha...! Baik. Aku minta kau
mengantarku. Tapi aku ingin lihat dahulu bagai-
mana bentuk bola matamu! Kukira kau masih in-
gat di mana tempat itu meski rongga kedua mata-
mu tanpa mata!"
Malaikat Penggali Kubur angkat sejengkal lagi
ujung pedang. Joko lamat-lamat buka kelopak ma-
tanya. Saat itulah Malaikat Penggali Kubur hu-
jamkan pedang di tangan kanannya tepat ke arah
mata kiri murid Pendeta Sinting.
Joko hanya bisa pejamkan matanya lagi. Tan-
gan kanannya yang leluasa bergerak masih berke-
lebat. Namun tidak ada artinya karena hujaman
pedang di tangan kanan Malaikat Penggali Kubur
lebih cepat!
Setengah jengkal lagi ujung Pedang Tumpul 131
menghujam pada mata kiri pemiliknya, tiba-tiba
dari arah lamping batu cadas putih terlihat satu
cahaya putih berkiblat. Saat bersamaan satu so-
sok bayangan putih melayang dari batu cadas pu-
tih.
Cahaya putih sejenak mampu menahan gera-
kan pedang Malaikat Penggali Kubur meski masih
tepat di atas mata kiri Joko. Belum lagi Malaikat
Penggali Kubur gerakkan pedangnya, satu tendan-
gan telah berkelebat. Malaikat Penggali Kubur
angkat tangan kirinya.
Bukkk!
Sosok Malaikat Penggali Kubur hanya ber-
goyang-goyang tanpa bergerak dari tempatnya. Be-
lum sampai Malaikat Penggali Kubur berpaling,
kembali dari 1amping batu cadas putih satu ca-
haya berkiblat. Saat yang sama dari arah sam-
pingnya menderu gelombang dahsyat.
Malaikat Penggali Kubur angkat tangannya
yang memegang Pedang Tumpul 131 untuk me-
nangkis cahaya. Sementara tangan kiri mengusap
perutnya dengan hadapkan tubuh ke arah mana
serangan gelombang datang.
*
* *
SEPULUH
CAHAYA terang bulan purnama tampak berpi-
jar di hamparan pasir Kedung Ombo ketika cahaya
yang berkiblat dari sisi lamping batu cadas putih
berbenturan dengan pedang berwarna kuning di
tangan kanan Malaikat Penggali Kubur. Lain dis-
usul dengan terdengarnya ledakan keras saat sa-
puan gelombang yang tidak terlihat dari balik pa-
kaian Malaikat Penggali Kubur memporak-
porandakan gelombang yang datang menghajarnya
dari sisi samping.
Tangan kanan Malaikat Penggali Kubur tampak
bergetar keras lalu terpental ke belakang. Sepa-
sang kakinya yang menginjak dada dan tangan kiri
murid Pendeta Sinting bergerak terangkat lalu
mundur beberapa langkah dengan sosok limbung.
Dan tubuh Malaikat Penggali Kubur tampak ter-
huyung lalu mundur lagi tatkala suara ledakan
terdengar.
Sejarak sepuluh tombak dari tempat Malaikat
Penggali Kubur tampak terkapar satu sosok pe-
rempuan mengenakan baju putih panjang. Orang
ini tidak bisa dikenali wajahnya karena mengena-
kan cadar putih.
Melihat kesempatan, murid Pendeta Sinting ce-
pat gulingkan tubuh. Lalu secepat kilat kedua
tangannya didorong dan disentakkan ke arah Ma-
laikat Penggali Kubur yang masih coba kuasai diri.
Dari tangan kiri murid Pendeta Sinting melesat
serat-serat biru terang laksana benang, sedang da-
ri tangan kanannya mencuat sinar kuning mem-
bawa suara gemuruh dahsyat.
Begitu lepaskan pukulan 'Serat Biru' dan
'Sundrik Cakra', Pendekar 131 cepat bergulingan
kembali. Dia maklum bahwa Malaikat Penggali
Kubur akan menghadang pukulannya.
Dugaan Joko tidak meleset. Saat matanya sa-
mar-samar melihat sinar kuning dan serat-serat
biru, Malaikat Penggali Kubur usapkan tangan ki-
rinya meski tubuhnya terhuyung.
Blammm! Blammm!
Guncangan keras kembali melanda Kedung
Ombo tatkala pukulan Pendekar 131 terhadang
oleh deruan perlahan yang mencuat dari balik pa-
kaian Malaikat Penggali Kubur.
Karena Joko sudah gulingkan diri menghindar,
maka dia selamat dari bias bentroknya pukulan.
Dia tak tunggu lama. Begitu suara ledakan ter-
dengar kedua tangannya segera menyentak kem-
bali.
Malaikat Penggali Kubur tegak kebingungan.
Pandangannya yang kabur serta hamburan pasir
yang membubung membuatnya tidak tahu di ma-
na lawan berada. Hingga begitu terdengar deruan
dahsyat menuju ke arahnya, dia hanya putar tu-
buh mengikuti firasat. Lalu usap perutnya.
Kali ini firasat dan dugaan Malaikat Penggali
Kubur meleset. Dia menghadap ke kanan semen-
tara Joko berada di samping kirinya, hingga meski
dari balik pakaiannya melesat sapuan dahsyat
yang tidak terlihat, namun sapuan itu hanya me-
labrak tempat kosong, sementara serangan puku-
lan murid Pendeta Sinting tak ampun lagi meng-
hantam tubuhnya!
Desss! Deesss!
Malaikat Penggali Kubur tersapu sampai bebe-
rapa tombak sebelum akhirnya terkapar dengan
jubah hangus dan mulut serta hidung kucurkan
darah! Pedang Tumpul 131 di tangannya lepas
mencelat.
Meski telah terluka da lam cukup parah, tapi
Malaikat Penggali Kubur tidak mau menyerah be-
gitu saja. Dia cepat himpun sisa tenaganya. Di se-
berang sana, Pendekar 131 memandang sejenak
pada perempuan berbaju dan bercadar putih yang
masih terkapar di atas pasir. Lalu menoleh ke
arah bagian samping lamping batu cadas putih.
"Kakek Gendeng Panuntun...," gumam Joko
mengenali siapa adanya orang yang duduk di
samping batu cadas putih dengan tubuh sedikit
bergetar. Dia sebenarnya hendak beranjak ke arah
perempuan bercadar putih yang terkapar, namun
satu suara segera terdengar.
"Urusanmu belum selesai, Anak Muda...."
Tahu suara siapa yang baru terdengar, Joko
cepat arahkan pandangannya pada sosok Malaikat
Penggali Kubur yang masih terkapar diam.
"Kitab Hitam.... Kitab itu harus segera kuambil.
Dia masih bisa lakukan tindakan berbahaya jika
kitab itu masih berada di balik pakaiannya!"
Joko segera berkelebat ke arah Malaikat Peng-
gali Kubur. Namun satu sosok tubuh mendahului
gerakannya. Dan tahu-tahu di samping Malaikat
Penggali Kubur telah tegak laki-laki berkepala
gundul yang wajahnya hampir saja hancur. Di
tangan kanan orang ini menggenggam Pedang
Tumpul 131!
"Iblis Rangkap Jiwa!" seru murid Pendeta Sint-
ing lalu hentikan kelebatannya sejarak sepuluh
langkah dari orang di samping Malaikat Penggali
Kubur yang tidak lain memang Iblis Rangkap Jiwa
adanya.
Waktu tersapu pukulan tidak terlihat dari Ma-
laikat Penggali Kubur saat si pemuda berputar-
putar dikurung beberapa lawan, Iblis Rangkap Ji-
wa kerahkan segenap tenaga dalam dan luarnya
untuk buyarkan totokan dahsyat yang disarang-
kan Malaikat Penggali Kubur. Dan akhirnya laki-
laki berkepala gundul yang wajahnya sudah han-
cur karena terhantam batu besar yang dilempar
Malaikat Penggali Kubur ini berhasil. Saat itulah
Pedang Tumpul 131 yang terlepas dari genggaman
Malaikat Penggali Kubur jatuh tidak jauh dari
tempatnya. Iblis Rangkap Jiwa segera menyambar
lalu berkelebat ke arah terkaparnya Malaikat
Penggali Kubur.
Malaikat Penggali Kubur tersentak. Dia hendak
gerakkan tangan usap perutnya. Namun Iblis
Rangkap Jiwa cepat memangkas gerakan tangan
Malaikat Penggali Kubur dengan sapuan kaki ka-
nannya.
Dess!
Tangan Malaikat Penggali Kubur mental menghajar pasir di sampingnya. Namun tubuhnya yang
ikut terputar segera terhenti tatkala kaki kiri Iblis
Rangkap Jiwa menghadang. Kejap lain Iblis Rang-
kap Jiwa sudah babatkan pedang pada bagian pe-
rut Malaikat Penggali Kubur.
Brettt!
Pakaian Malaikat Penggali Kubur yang sudah
robek, tercabik menganga lebih besar lagi. Namun
Kitab Hitam yang sudah terlihat jelas tidak juga ja-
tuh karena kitab itu diikat begitu rupa.
Iblis Rangkap Jiwa tidak menunggu lama. Tan-
gan kirinya segera menyambar Kitab Hitam di atas
perut Malaikat Penggali Kubur. Di bawahnya, Ma-
laikat Penggali Kubur masih berusaha bertahan
dengan kelebatan tangan kanan, namun gerakan
tangannya segera tertahan tatkala serta-merta Ib-
lis Rangkap Jiwa babatkan Pedang Tumpul pada
tangan Malaikat Penggali Kubur.
Crasss!
Malaikat Penggali Kubur melolong tinggi. Tan-
gan kanannya putus sebatas siku! Darah muncrat
membasahi wajah dan pakaiannya yang telah
hangus. Iblis Rangkap Jiwa teruskan gerakan tan-
gan kirinya mengambil kitab.
Satu jengkal lagi Kitab Hitam tersambar tangan
kiri Iblis Rangkap Jiwa, terdengar deruan meng-
gemuruh dahsyat. Untuk kesekian kalinya kawa-
san Kedung Ombo disemburati warna kuning dan
serat-serat biru terang.
Karena begitu bernafsu dan yakin dirinya tidak
akan mengalami apa-apa lagi, Iblis Rangkap Jiwa
tidak pedulikan pukulan yang kini datang meng-
hajarnya. Laki-laki ini teruskan gerakan tangan-
nya.
Ketika jari-jari tangan Iblis Rangkap Jiwa me-
nyentuh Kitab Hitam, dia rasakan satu gelombang
luar biasa menggebrak. Lalu sekujur tubuhnya
kaku tak bisa digerakkan!
Iblis Rangkap Jiwa memaki sambil membeliak-
kan mata meneliti. Dia terlengak. Pada sekujur
tubuhnya tampak serat-serat biru laksana mengi-
kat tubuhnya. Sekuat tenaga dia berontak, serat-
serat biru tetap tak bisa dibuyarkan. Malah tak
lama kemudian sosoknya tersapu sampai satu
tombak!
Memandang ke depan, tulang rahang Iblis
Rangkap Jiwa yang telah patah melesak bergerak-
gerak. Sepasang matanya yang besar dan hampir-
hampir tertutup kucuran darah mendelik angker.
Di depan sana, hanya tiga langkah dari tempat
terkaparnya Malaikat Penggali Kubur, murid Pen-
deta Sinting tampak tegak dengan kedua tangan
diangkat siap lepaskan pukulan.
"Jangan berani sentuh kitab itu jika tak ingin
kepalamu putus dengan pedangmu sendiri!" Iblis
Rangkap Jiwa mengancam sambil diam-diam be-
rusaha buyarkan serat-serat biru yang seakan
membelenggu hingga sekujur tubuhnya laksana
diikat.
"Aku tahu di mana kelemahanmu! Jadi jangan
berani bicara mengancam! Aku tidak inginkan ki-
tab itu untuk kumiliki!" Joko maju dua langkah la-
lu melirik pada Malaikat Penggali Kubur.
Tesss! Tesss!
Terdengar beberapa kali suara seperti tali pu-
tus, Kejap lain Iblis Rangkap Jiwa telah maju
sambil angkat pedang tinggi-tinggi ke udara.
Saat itulah tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur
bangkit. Berpegang pada suara yang baru terden-
gar kakinya langsung bergerak menendang, tan-
gan kirinya mengusap pada perut.
Joko yang berada di sampingnya cepat putar
tubuh sambil angkat kaki kanannya memangkas
kaki kanan Malaikat Penggali Kubur.
Bukkk!
Sosok Malaikat Penggali Kubur yang sudah ter-
luka luar dan dalam terhuyung-huyung dan lim-
bung. Tapi dari perutnya masih terdengar suara
deruan perlahan. Saat yang sama Iblis Rangkap
Jiwa merangsek maju. Pedang di tangan kanannya
dibabatkan. Crasss!
Tangan kiri Malaikat Penggali Kubur terbabat
dan langsung putus! Namun bersamaan dengan
itu sosok Iblis Rangkap Jiwa tersapu gelombang
tidak terlihat hingga tangannya yang terus berge-
rak hendak babatkan pedang ke arah murid Pen-
deta Sinting terpental.
Malaikat Penggali Kubur menggembor tinggi.
Sosoknya langsung roboh. Murid Pendeta Sinting
melompat. Tangan kiri kanannya segera berkelebat
hendak menyahut Kitab Hitam yang ada di balik
pakaian Malaikat Penggali Kubur dan kini tampak
jelas.
"Harap jangan sentuh kitab itu!" Satu suara te-
guran bernada kalem terdengar. Murid Pendeta
Sinting rasakan hembusan angin di sampingnya.
Kejap lain satu tangan telah memegang tangan kiri
kanan Joko menahan gerakannya.
Joko angkat kepalanya. Di hadapannya tampak
seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pa-
kaian putih. Rambutnya panjang digeraikan.
Jenggotnya panjang teratur rapi menjuntai sampai
dada. Laki-laki ini sunggingkan senyum lalu ang-
gukkan kepala.
"Siapa kau?! Harap tidak ikut campur urusan
ini! Atau kau juga inginkan kitab itu?!" Joko buka
mulut namun tidak coba tarik pulang kedua tan-
gannya yang masih tertahan oleh pegangan kedua
tangan si kakek.
"Maaf.... Terpaksa aku harus ikut campur. Tapi
jangan sangka aku menginginkan kitab itu!"
Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Saat itu-
lah beberapa sosok tubuh terlihat berkelebat dan
tegak tidak jauh dari tempat Joko. Joko melirik.
Ternyata mereka adalah Putri Sableng, Raden Mas
Antar Langit, Cucu Dewa, serta Dewa Orok.
"Bayu Bajra!" Putri Sableng angkat bicara. "Ma-
lam ini kau tahu siapa sebenarnya muridmu! Jadi
jangan memperpanjang urusan!"
Kakek berpakaian putih yang ternyata adalah
Bayu Bajra dan bukan lain adalah guru Malaikat
Penggali Kubur gerakkan kedua tangannya ke
atas. Tangan Joko ikut terangkat. Masih dengan
memegang tangan Joko, si kakek gelengkan kepa-
la. Lalu berucap.
"Aku tidak memperpanjang urusan, sahabat-
sahabat sekalian! Dan aku kini tahu siapa murid-
ku! Tapi adalah tidak layak bagi diriku membiar-
kan seorang murid harus menanggung sengsa-
ra...."
"Hemmm.... Baik! Sekarang apa maumu?! Ka-
lau kau inginkan muridmu, lekas bawa dia pergi.
Tapi tinggalkan dahulu kitabnya!" Putri Sableng
yang tidak sabaran kembali buka suara.
Bayu Bajra kembali gelengkan kepala. "Aku in-
ginkan muridku seutuhnya...."
"Maksudmu?!" tanya murid Pendeta Sinting.
"Aku tahu.... Muridku datang ke sini dengan
membawa kitab itu. Jadi dia pergi dari sini juga
harus tanpa tinggalkan kitab itu!"
"Hem.... Kau tahu apa yang dilakukan muridmu
dengan kitab itu?!" tanya Joko. Kedua tangannya
ditarik pulang.
Bayu Bajra anggukkan kepala. Lalu buru-buru
berkata ketika dilihatnya Joko akan buka mulut
lagi. "Pendekar 131.... Muridku memang berjalan
di luar garis yang pernah kukatakan. Namanya
sudah menjadi sejarah hitam dalam dunia persila-
tan. Sekaligus dia telah mencoreng mukaku di ma-
ta kalangan orang-orang persilatan...."
Bayu Bajra berpaling sejenak pada Raden Mas
Antar Langit dan Putri Sableng, lalu lanjutkan
ucapannya. "Namun, apakah seorang yang sudah
tersesat jalan, tertutup baginya jalan terang?!
Apakah sebuah kesalahan tidak bisa ditebus?!
Muridku memang berbuat kesalahan besar dan
terjerumus dalam kesesatan yang teramat dalam.
Walau itu tidak ku kehendaki, tapi setidaknya aku
ikut bertanggung jawab! Untuk itulah aku men-
ginginkan dia pergi dengan utuh. Aku ingin bukti-
kan pada kalian, bahwa dengan masih membawa
kitab itu, dia bisa berubah! Sebagai wakil dari mu-
ridku, aku minta maaf pada kalian semua...."
Bayu Bajra bungkukkan tubuh menjura hor-
mat. Lalu perlahan-lahan hendak mengangkat tu-
buh Malaikat Penggali Kubur.
Putri Sableng melompat dan tegak di samping
Joko, "Aku tidak yakin kalau kau dapat merubah
muridmu, Bayu Bajra! Kau hanya boleh pergi den-
gan muridmu tanpa kitab itu!"
"Hem.... Gadis ini layaknya kenal betul dengan
kakek itu. Sialan! Siapa sebenarnya gadis ini?!
Aku makin jadi bingung dibuatnya!" Diam-diam
murid Pendeta Sinting membatin.
"Bukti memerlukan waktu.... Harap kau tidak
mengambil keputusan sebelum berlalunya waktu!
Kelak jika muridku melakukan hal yang di luar
garis, aku akan serahkan diri sebagai tebusan!"
Sesaat hening. Bayu Bajra pandangi satu per-
satu pada semua orang di situ. Sementara yang
dipandang sating pandang satu sama lain. Saat
itulah tiba-tiba satu sosok berkelebat seraya kelu-
arkan gemboran suara keras. Bersamaan itu
menghampar gelombang hitam pekat disertai ber-
kilat-kilatnya cahaya kekuningan.
"Menyingkir!" teriak Putri Sableng. Lalu melom-
pat mundur. Saat yang sama semua orang juga
melompat mundur dengan tangan masing-masing
orang berkelebat.
Terdengar ledakan luar biasa dahsyat. Bebera-
pa orang tampak bermentalan. Karena gelombang
hitam dihadang beberapa pukulan, tak ampun lagi
gelombang hitam langsung semburat. Namun ha!
ini membuat sosok Malaikat Penggali Kubur yang
terkapar tersapu deras ke depan dan jatuh berge-
debukan.
Begitu gelombang hitam buyar, tampak Joko ja-
tuh terduduk. Putri Sableng dan Raden Mas Antar
Langit berlutut di atas pasir. Cucu Dewa tergontai-
gontai karena pegangi Dewa Orok yang tersentak-
sentak. Hanya Bayu Bajra yang tetap tegak walau
mundur beberapa langkah. Hal ini terjadi karena
Joko, Putri Sableng, dan Raden Mas Antar Langit
sudah terluka dalam.
Di seberang depan, tampak sosok Iblis Rangkap
Jiwa yang masih pegang erat-erat Pedang Tumpul
131 tergolek di atas pasir. Lima langkah di sebelah
Iblis Rangkap Jiwa, Malaikat Penggali Kubur men-
gerang terputus-putus.
Namun semua orang tiba-tiba sama beliakkan
mata. Iblis Rangkap Jiwa bergerak-gerak. Menda-
dak salah satu kakinya bergerak menghantam ba-
tu di belakangnya. Batu itu langsung hancur. Tapi
bersamaan dengan itu sosoknya meluncur menyu-
sur pasir dan berhenti tepat di samping sosok Ma-
laikat Penggali Kubur.
Meski sudah terluka teramat parah, namun
Malaikat Penggali Kubur bisa menduga gerakan
orang. Hingga sambil mengerang tinggi, kedua ka-
kinya dilipat ke atas lalu bergulingan ke kanan
menghadap sosok Iblis Rangkap Jiwa yang me-
nyusur datang. Lututnya segera disentakkan pada
kitab di perutnya.
Terdengar deruan pelan. Iblis Rangkap Jiwa
tersentak. Dalam keterkejutannya, dia putar diri di
atas pasir hingga kakinya kini menghadap lurus
ke arah Malaikat Penggali Kubur. Dengan kerah-
kan segenap sisa-sisa tenaga dalamnya, kedua ka-
ki Iblis Rangkap Jiwa menghantam perut Malaikat
Penggali Kubur di mana tersimpan kitab.
Dess! Desss!
Malaikat Penggali Kubur tak mampu lagi per-
dengarkan seruan. Sosoknya mencelat jauh ke
udara lalu melayang-layang sebelum akhirnya
menukik deras ke atas air kedung. Bersamaan itu
karena kaki Iblis Rangkap Jiwa juga menghantam
kitab di perut Malaikat Penggali Kubur, tak ampun
lagi tiga deruan terdengar susul menyusul. Saat
lain tubuh Iblis Rangkap Jiwa sudah terlempar.
Karena tadi Iblis Rangkap Jiwa sentakkan kaki ke
kitab dengan tenaga dalam, tak ampun lagi gelom-
bang yang menghajarnya begitu dahsyat. Hingga
Pedang Tumpul di tangannya terlepas. Sosoknya
terlempar menghantam beberapa batu sampai po-
rak-poranda sebelum akhirnya terhenti setelah
tertahan batu besar.
Byuurrr!
Air Kedung Ombo bergolak untuk kesekian ka-
linya. Bayu Bajra sudah berkelebat mengejar, begi-
tu pula Cucu Dewa dan Dewa Orok. Murid Pende-
ta Sinting berkelebat mengambil pedangnya. Lalu
melompat ke arah pinggiran kedung. Putri Sableng
dan Raden Mas Antar Langit menyusul di bela-
kang.
Begitu semua orang berada di pinggir kedung,
suasana jadi sirap. Joko melirik ke samping kanan
kiri. Saat lain dia telah melesat ceburkan diri ke
dalam kedung.
Byuuur!
Air kedung kembali muncrat. Raden Mas Antar
Langit terdengar bergumam karena wajahnya yang
hitam bedakan arang jadi coreng moreng tak ka-
ruan terkena muncratan air. Di sebelahnya, Putri
Sableng sudah cekikikan.
Sementara di dalam kedung, begitu matanya
menangkap sosok Malaikat Penggali Kubur yang
hendak balik ke atas, Joko cepat menghadang.
Tangan kiri kanannya bergerak ke arah perut Ma-
laikat Penggali Kubur di mana terikat Kitab Hitam.
Dengan sekali sentak, tali pengikat Kitab Hitam
putus.
Namun baru saja tangan Joko memegang Kitab
Hitam, dari arah dasar kedung terdengar suara
dengungan dahsyat. Memandang ke bawah, murid
Pendeta Sinting tersentak kaget. Air di bawahnya
tampak membentuk jalur gelombang lurus ke
arahnya disertai cahaya terang!
Menangkap isyarat bahaya, Joko tak mau ber-
tindak ayal. Dia segera kerahkan tenaga dalam
pada tangan kanan. Lalu disentakkan guna le-
paskan pukulan 'Sundrik Cakra'. Blummm!!!
Air Kedung Ombo bergolak liar. Masing-masing
orang yang berada di luar kedung rasakan pija-
kannya bergetar keras. Sosok Malaikat Penggali
Kubur melesat dari dalam air setinggi tiga tombak
lalu menukik kembali ke dalam kedung. Bersa-
maan itu satu sosok tubuh berkelebat muncul dari
dalam kedung dan tegak tergontai-gontai di pinggir
kedung.
Orang ini ternyata seorang laki-laki berusia lan-
jut. Rambutnya yang dipotong pendek hingga ter-
lihat jabrik. Raut wajahnya penuh keriputan. Se-
pasang matanya terpuruk masuk ke dalam rongga
yang dalam. Kumisnya panjang dan putih dibiar-
kan panjang sampai hampir menutupi janggutnya.
Pada sepasang cuping hidungnya melingkar ant-
ing-anting dari benang berwarna merah. Kakek ini
mengenakan pakaian warna biru gelap.
Anehnya, meski baru saja muncul dari dasar
kedung, rambut dan pakaian si kakek tetap ker-
ing!
Kakek ini memandang pada satu persatu orang
yang tegak di pinggir kedung. Seperti pada saat
pertama kemunculannya di Kedung Ombo, si ka-
kek hanya memandang tanpa buka mulut. Sesat
kemudian si kakek arahkan pandangannya ke air
kedung, lalu masih kancingkan mulut, dia berke-
lebat tinggalkan tempat itu. Dari gerakan si kakek
semua orang dapat menebak kalau dia terluka da-
lam. Karena begitu berkelebat, terdengar batuk-
batuk beberapa kali. Ketika semua orang menoleh,
si kakek yang sudah berada di depan sana tampak
buka mulut sambil semburkan darah!
Joko sendiri tampak limbung, namun dia kua-
tkan diri dan segera mencari-cari, karena Kitab Hi-
tam yang tadi sudah berada di tangannya terlepas
begitu terjadi bentrok pukulan.
Karena matanya tidak menangkap Kitab Hitam,
sementara napasnya sudah megap-megap karena
berada agak lama di dalam air, murid Pendeta
Sinting segera melesat keluar dan duduk di bibir
kedung. Saat itulah matanya menangkap hambu-
ran kertas hitam yang porak-poranda di atas per-
mukaan air kedung.
"Hm.„. Syukur. Kitab Hitam telah hancur!" gu-
mamnya. Sementara orang di sekitar kedung sama
kancingkan mulut begitu melihat dari dasar ke-
dung semburat serpihan-serpihan kertas hitam
hancur dari Kitab Hitam.
Beberapa saat berlalu. Putri Sableng tiba-tiba
berpaling pada Raden Mas Antar Langit. "Kitab Hi-
tam sudah hancur. Dan...."
"Kitab Hitam memang sudah hancur, tapi ang-
kara murka manusia-manusia hitam tidak akan
terhenti dengan hancurnya Kitab Hitam," potong
Raden Mas Antar Langit.
Habis berkata begitu, Raden Mas Antar Langit
melangkah ke arah Raden Mas Antar Bumi yang
kini terlihat duduk berdampingan dengan Ni Luh
Pad mi di kawasan berbatu di sebelah kanan ke-
dung. Tidak jauh dari kedua orang ini, tampak
berdiri Gendeng Panuntun dan perempuan berca-
dar putih.
Begitu baru saja Raden Mas Antar Langit me-
langkah, tiba-tiba satu sosok berkelebat lalu me-
luncur deras masuk ke air kedung.
Byuurrr!
"Apa yang akan dilakukan pemuda itu?!" gu-
mam Bayu Bajra. Yang mencebur ternyata Dewa
Orok. Pemuda bertangan buntung ini tampak ge-
rak-gerakkan kakinya ke sosok Malaikat Penggali
Kubur. Tak lama kemudian sosoknya telah mele-
sat kembali lalu tegak di samping Bayu Bajra.
"Kek..„ Aku hanya mengambil barang ini!" Dewa
Orok dongakkan kepala. Lalu mulutnya mengem-
bung dan meniup. Tatkala mulutnya dibuka nam-
pak mencuat bundaran karet mirip dot bayi yang
melayang-layang di udara sebelum akhirnya mele-
sat dan menempel di mulutnya. Terdengar suara
duutt! Duuutt! Duutt! Beberapa kali.
Bayu Bajra memandang sayu tanpa buka mu-
lut. Saat lain orang tua ini melesat ke atas air ke-
dung. Tangan kiri kanannya bergerak. ketika dia
kembali injakkan kaki di hamparan pasir di bibir
kedung, pada kedua tangannya telah menelentang
sosok Malaikat Penggali Kubur yang sudah tidak
bernyawa lagi.
Masih dengan kancingkan mulut dan tidak
memandang pada semua orang yang berada di si-
tu, Bayu Bajra melangkah perlahan-lahan tinggal-
kan Kedung Ombo. Saat itu lintasan langit sebelah
timur sudah nampak merah kekuningan.
Murid Pendeta Sinting pandangi kepergian
Bayu Bajra dengan berbagai perasaan. Tiba-tiba
dia teringat pada Iblis Rangkap Jiwa. Dia bergerak
bangkit lalu arahkan pandangan pada tempat di
mana tadi laki-laki berkepala gundul itu berada.
Namun meski telah nyalangkan mata, dia tidak
melihat lagi sosok Iblis Rangkap Jiwa.
"Dia sudah pergi... mungkin takut melihat pan-
tatmu dan pantat temanmu ini!" Yang buka suara
ternyata Cucu Dewa. Laki-laki bertubuh pendek
ini arahkan pandangannya pada Putri Sableng
yang berpaling dengan mata mendelik. Sebelum
Putri Sableng buka mulut, Cucu Dewa lambaikan
tangan pada muridnya Dewa Orok.
"Dotmu telah kau dapatkan kembali! Kita di-
tunggu seseorang!"
"Siapa...?!" tanya Dewa Orok.
"Kau lupa dengan Bidadari Cadar Putih...?! Dia
berada di sana bersama kakek buta itu...." Cucu
Dewa arahkan telunjuk jarinya pada kawasan ber-
batu sebelah kanan kedung.
Tanpa tunggu sahutan Cucu Dewa berkelebat.
Dewa Orok langsung menyusul. Joko arahkan
pandangannya sejurus pada kawasan sebelah kanan kedung. "Bidadari Cadar Putih.... Hem.... Aku
harus mengucapkan terima kasih padanya! Tapi....
Siapa dia sebenarnya? Kedatangannya hampir
bersamaan dengan Kakek Gendeng Panuntun.
Dan kulihat mereka akrab sekali.... Jangan-
jangan...." Joko hendak berkelebat namun di-
urungkan tatkala tiba-tiba Putri Sableng yang ma-
sih tegak tidak jauh dari tempatnya mengeluh
tinggi lalu limbung.
Murid Pendeta Sinting buru-buru melompat la-
lu menahan tubuh Putri Sableng. "Bagaimana bisa
begini?! Baru saja dia membentak-bentak. Seka-
rang.... Hem.... Mungkin dia masih terluka da-
lam.... Aku pun sebenarnya merasakan sekujur
tubuh seperti mau tanggal...."
"Jangan bicara dahulu...," gumam Joko ketika
dilihatnya Putri Sableng hendak buka mulut. "Kau
mungkin masih terluka dalam.... Aku akan mema-
pahmu!" Joko lingkarkan tangan kanan pada
pinggang Putri Sableng lalu ambil tangan si gadis
dan diletakkan pada tengkuknya. Sebenarnya Jo-
ko hendak ajukan tanya selagi mereka berdua me-
langkah ke arah kawasan berbatu sebelah kanan
kedung di mana semua orang berkumpul. Tapi
niatnya diurungkan ketika dilihatnya Putri Sab-
leng pejamkan mata.
"Gadis cantik.... Ilmunya juga sangat tinggi....
Pengetahuannya tentang orang-orang persilatan
juga banyak! Hem...."
Begitu Joko dan Putri Sableng berada di kawa-
san berbatu sebelah kanan kedung. Tiba-tiba Ra-
den Mas Antar Langit perdengarkan tawa bergelak.
Disusul kemudian oleh Raden Mas Antar Bumi.
Gendeng Panuntun tersenyum-senyum. Dewa
Orok dan Cucu Dewa saling pandang tak mengerti.
Ni Luh Padmi mendelik. Hanya perempuan bercadar putih yang tampak alihkan pandangan dengan
menarik napas dalam.
"Sitoresmi.... Ada apa hingga orang-orang ini
berlaku seperti melihat sesuatu yang lucu?!" Gen-
deng Panuntun buka mulut sambil arahkan pan-
dangannya pada perempuan bercadar putih.
"Sitoresmi!" Mendadak Joko berseru. Dia sea-
kan ingin melompat. Namun karena Putri Sableng
berada dalam papahannya, akhirnya dia hanya bi-
sa dorongkan sedikit wajahnya.
Di depannya, perempuan bercadar putih yang
dipanggil Sitoresmi tampak salah tingkah. Dia
memandang pada murid Pendeta Sinting. "Dia ti-
dak lupa namaku.... Tapi apa dia masih sering
mengingatku...?! Tapi.... Ah, di sampingnya ada
gadis cantik. Tentu dia sudah melupakanku kalau
Guru tidak sebut namaku tadi.... Mengapa harus
begini nasibku?! Masih pantaskah aku mengingat
dan selalu merindukannya? Padahal aku yakin di
hatinya tidak ada namaku apalagi sampai mengin-
gatku.... Aku.... Aku tidak bisa berlama-lama di
sini! Orang yang tidak bisa kulupakan ada di de-
panku dengan seorang gadis cantik.... Aku tak
mau perasaanku berubah! Biarlah dia bersama
gadis siapa saja asal tidak di depan mataku, agar
perasaan ini tidak berubah dan perlahan-lahan le-
nyap...."
"Guru...," ujar Sitoresmi. "Kalau sudah tidak
ada hal lagi yang perlu dilakukan, sebaiknya kita
segera tinggalkan tempat ini...."
"Tunggu!" Joko menahan. Lalu menatap satu
persatu pada semua orang di hadapannya. "Kuu-
capkan terima kasih atas jasa kalian semua. Dewa
Orok, Cucu Dewa, Sitoresmi, Kakek Gendeng Pa-
nuntun, Kakek iblis Ompong, Eyang Guru, dan
Nenek Ni Luh Padmi!" Joko bungkukkan sedikit
tubuhnya menjura ke arah satu persatu orang di
hadapannya.
"Jahanam! Jadi kau...." Tiba-tiba terdengar ma-
kian. Ternyata yang bersuara memaki adalah Ni
Luh Padmi. Nenek ini cepat maju lalu balikkan tu-
buh tepat menghadap Raden Mas Antar Bumi.
Tangan kiri kanannya terangkat.
"Bertahun-tahun kucari. Ternyata kau di sam-
pingku! Tahu siapa kau sebenarnya, tidak sudi
aku tadi kau tolong! Tapi pertolonganmu tidak
akan dapat mengikis dendamku! Saat ini juga kau
harus mampus!"
Ni Luh Padmi kelebatkan tangan kiri kanannya.
"Tunggu! Sabar.... Sabar, Nini...," kata Raden
Mas Antar Bumi yang ternyata bukan lain adalah
Pendeta Sinting, guru Joko Sableng, sambil angkat
kedua tangannya menahan gerakan kedua tangan
si nenek. "Semua akan kita selesaikan.... Tapi ti-
dak di sini!"
Si nenek sentakkan kedua tangannya dan dita-
rik pulang. "Urusan kita bisa diselesaikan di mana
saja! Karena akhir urusan itu hanya perlu lobang
tanah untuk mengubur mayatmu!"
"Betul! Betul! Tapi...."
"Nek.... Jangan terbakar perasaan.... Semua
urusan bisa diselesaikan tanpa harus membuka
lobang tanah untuk penguburan. Aku tidak tahu
apa urusanmu dengan sahabatku Pendeta Sinting,
tapi tidak ada salahnya aku ikut bicara.... Selesai-
kan semua urusan dengan dada lapang. Hilangkan
dahulu prasangka buruk sebelum buka urusan....
Dengan begitu hasilnya akan baik...." Yang bicara
Gendeng Panuntun.
"Betul!" sahut Raden Mas Antar Langit yang
ternyata adalah Iblis Ompong. "Malah kami semua
berharap urusanmu berakhir dengan damai. Pokoknya yang tadinya dendam berubah jadi rindu.
Benci berbalik jadi kangen. Ucapan kasar jadi
rayu-merayu. Makian jadi cekikikan...."
"Baik! Sekali ini aku mengalah! Sekarang kau
tunjuk tempat di mana ingin kau selesaikan uru-
san kita!" Pada akhirnya Ni Luh Padmi mengalah
setelah berpikir agak panjang.
"Nah, Joko...," ujar Iblis Ompong. "Eyang gu-
rumu hendak selesaikan tugas penting. Kuharap
kau mengerti dan tidak coba-coba pasang telinga
apalagi mengintip! Ini urusan orang-orang tua!
Kau paham...?!"
Semua orang tertawa tertahan. Hanya Ni Luh
Padmi yang pasang tampang cemberut. Di depan-
nya, Pendeta Sinting mengelus dada seraya pasang
tampang angker pada muridnya. "Gara-gara uca-
pan Sontoloyo itu rencana jadi berantakan tak ka-
ruan!"
Melihat tampang gurunya, buru-buru Joko bu-
ka mulut. Namun Pendeta Sinting cepat memo-
tong. "Sontoloyo! Jangan buka mulut lagi di sini!
Kutunggu kau tiga hari mendatang!"
Joko kancingkan mulut lagi. Semua orang
kembali tertawa tertahan-tahan. Lalu Cucu Dewa
angkat bicara. "Matahari mulai muncul. Kita ha-
rus tinggalkan tempat ini!" Laki-laki bertubuh ce-
bol ini tarik tangan Dewa Orok lalu melangkah
pergi. Bersamaan dengan itu Sitoresmi menggan-
deng tangan gurunya Gendeng Panuntun dan ber-
lalu dari situ. Namun gadis ini sejurus masih tatap
bola mata Joko yang saat itu tengah memandang-
nya. Perempuan bercadar putih ini seperti hendak
bicara, namun diurungkan dan cepat-cepat alih-
kan pandangan seraya melangkah. Pendeta Sint-
ing ulurkan tangan hendak mengajak Ni Luh
Padmi. Tapi si nenek cepat tepiskan tangan Pendeta Sinting. "Jangan berani jamah tubuhku!" sentak
si nenek.
"Ah.... Kau harus bisa tabahkan hati, Nek...,"
berucap Iblis Ompong sambil ambil tangan si ne-
nek. Herannya, Ni Luh Padmi tidak menolak. En-
tah karena masih menindih hawa amarah hingga
dia tak sadar kalau perlahan-lahan Iblis Ompong
menggandeng tangannya lalu mengajaknya berlalu
menyusul orang-orang di depan sana.
Iblis Ompong masih sempat leletkan lidah lalu
buka mulut lebar-lebar pada Pendeta Sinting begi-
tu tangannya menggandeng tangan si nenek dan
melangkah saling berjajar.
Pendeta Sinting menggumam tak jelas. Dia ta-
tapi tampang muridnya lalu tanpa buka mulut me-
langkah menyusul dan berjalan pelan-pelan di be-
lakang Iblis Ompong dan Ni Luh Padmi yang ma-
sih bergandengan tangan.
"Mengapa kau masih tegak...?!" Joko tersentak
mendengar ucapan Putri Sableng yang masih ada
dalam dukungannya. Joko berpaling. Putri Sab-
leng masih pejamkan mata. Pada bibirnya masih
tampak tetesan darah. Pendekar 131 menarik na-
pas. Perlahan-lahan tangan kirinya terangkat
mengusap bibir Putri Sableng. Mulut Putri Sableng
terlihat bergerak-gerak. Namun Joko buru-buru
berkata. "Aku membersihkan tetesan darah pada
sekitar bibirmu...." Namun diam-diam Joko mem-
batin. "Ah.... Bibir gadis ini begitu mempesona....
Seandainya kau...."
Joko tak lanjutkan ucapannya, karena bibir Pu-
tri Sableng membuka setengah. Dada murid Pen-
deta Sinting berdebar. Entah karena apa, tiba-tiba
Joko dekatkan wajahnya ke wajah si gadis. Mera-
sakan Putri Sableng tidak menolak, Joko makin
berani. Dia lebih dekatkan lagi wajahnya hingga
hidung keduanya saling bersentuhan.
Bibir Joko lalu bergerak ke bibir Putri Sableng.
Masih tak ada penolakan, Joko makin berani. Dia
mulai mengulum bibir si gadis. Mula-mula hangat,
namun kejap lain ada sesuatu yang mengganjal,
bersamaan itu murid Pendeta Sinting merasakan
lidahnya getir dan pahit.
Pendekar 131 Joko Sableng tarik pulang wa-
jahnya. Saat itu suasana sudah terang benderang
karena matahari sudah muncul. Mendadak sepa-
sang mata Joko terpentang besar. Tangan kanan-
nya yang melingkar pada pinggang si gadis luruh
ke bawah. Kedua lututnya goyah.
Gadis di samping Joko buka sepasang matanya.
Lalu mulutnya bergerak-gerak. Kini di mulutnya
tampak menggumpal tembakau hitam! Rambutnya
yang tadi hitam lebat ternyata telah berubah putih
dan cepak hanya sebatas tengkuk! Wajahnya pun
berubah menjadi seorang nenek-nenek yang ber-
kulit keriput. Sepasang matanya menjorok ke da-
lam dan tampak sipit. Saat yang sama dari mulut-
nya terdengar suara tawa cekikikan!
"Ratu Malam...." Teriak Joko dengan tampang
merah padam dan tubuh jatuh terduduk.
Putri Sableng yang ternyata adalah Ratu Malam
perkeras cekikikannya. Lalu disambut dengan su-
ara tawa bergelak-gelak dari depan sana! Suara
tawa cekikikan dan terbahak-bahak menggaung
menyungkup kawasan kedung, seakan mengha-
pus hawa kematian yang baru saja menggantung
di atas langit Kedung Ombo!
SELESAI
egera terbit!!!
Serial Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng
dalam episode:
KEMBANG DARAH SETAN
0 comments:
Posting Komentar