KEMELUT DI PULAU ARU
Karya Djair Warni
Serial Jaka Sembung
Cover Oleh: Djair
Alih Versi Oleh: Danny Situmenang
Jakarta, 1991; cet. Ke-1
Penerbit Sarana Karya, Jakarta
SK 91-85S, 128 hlm; 11 x 18 cm
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat
atau pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka
SATU
Istana kepala suku Pampani di Kepulauan Aru,
malam itu tampak sepi. Jauh lebih sepi dari biasanya.
Bukan karena para penjaga tidur semua, bahkan ma-
lam itu jumlahnya ditambah hampir dua kali lipat. Ti-
dak hanya di dalam, tetapi juga di luar istana penja-
gaan sangat rapat, sehingga rasanya hanya setan atau
siluman saja yang bisa masuk tanpa diketahui.
Akan tetapi karena kerajaan yang dipimpin oleh
Pampani saat ini sedang terancam oleh musuh, di an-
tara para penjaga tidak ada yang berani buka suara.
Semua menunggu dengan perasaan tegang sambil
memasang telinga baik-baik. Demikian juga halnya
penjaga di menara, tak pernah lalai menunaikan tu-
gasnya. Beberapa pengawas kepala berjalan hilir mu-
dik untuk memeriksa semua anak buahnya kalau-
kalau ada yang tertidur.
Pihak musuh tidak mustahil datang menyerbu
secara tiba-tiba. Apalagi karena pihak musuh diketa-
hui sangat kuat dan memiliki ilmu hitam yang sangat
jahat. Menurut desas desus, musuh mereka selain bisa
menguasai pikiran seseorang dengan ilmu sihirnya, ju-
ga dapat menghilang bagaikan angin. Jadi pagar tinggi
yang mengelilingi istana belumlah cukup sebagai per-
tahanan.
Demikian hebatnya ilmu sihir tokoh sesat Wo-
mere dari Pulau Kolepom yang menjadi tangan kanan
Wan-Da-I, sehingga pendekar gagah perkasa seperti
Wori dapat pula dikuasai. Dua orang bangsa berkulit
putih yang hendak melakukan penelitian di Kepulauan
Aru, juga sudah menjadi tawanan Wan-Da-I. Selain
itu, Wan-Da-I sudah mulai pula menjalin hubungan
kerja sama dengan pihak Belanda. Selangkah lagi, Ke
rajaan Pampani tentu akan hancur. Demikianlah ren-
cana dan keyakinan musuh!
Malam semakin larut. Putri Nomina dan putranya
yang masih bayi sedang tidur pulas di dalam kamar
yang bersebelahan dengan kamar suami istri Umang
dan Mirah. Suami istri yang dikenal sebagai pendekar
sakti dari Pulau Jawa itu sudah tidur lelap pula, tam-
paknya siang tadi mereka kelelahan. Suara dengkur si
Lengan Tung-gal Umang terdengar lebih keras sehing-
ga terdengar sampai ke luar kamar. Lain dengan is-
trinya yang tidur dengan desah nafas halus.
Menjelang tengah malam, Mirah tampak mengge-
liat-geliat. Tidak lama kemudian wanita muda itu ter-
bangun sambil mengusap-usap kedua matanya. Tanpa
menimbulkan suara mencurigakan, ia duduk dan
memperhatikan suaminya. Umang masih tidur lelap. Ia
menghela nafas lega lalu berjalan berjingkat-jingkat
memperhatikan keadaan di sekeliling kamar. Tampak-
nya aman-aman saja, maka ia pun segera ke luar dan
menutup pintu kamar kembali.
Di bawah sinar penerangan lampu teplok yang
tergantung di dinding, tampak sepasang mata wanita
itu memancarkan sinar aneh, tajam dan dingin dan
kadang-kadang tampak melotot namun tanpa sinar
sehingga tak ubahnya mata seseorang yang mati pera-
saan. Jarang sekali mata yang sebetulnya indah itu
berkedip. Seandainya ada penjaga yang melihatnya,
pastilah akan bergidik ngeri.
Tidak ada yang tahu kenapa sinar mata Mirah
yang biasanya cerah ceria itu tampak menjadi lain pa-
da malam itu. Tak ada pula yang tahu apa maksudnya
ke luar dari istana dengan cara mengendap-endap. Si-
nar matanya menatap liar, dan sadarlah ia bahwa pen-
jagaan sangat ketat. Akan sukarlah bagi orang-orang
biasa untuk keluar tanpa diketahui penjaga. Tetapi
bagi Mirah yang memiliki ilmu silat yang tinggi, hal itu
tidaklah masalah serius. Ia menahan nafas sambil me-
nunggu para laskar agak lengah. Lalu tanpa menim-
bulkan suara mencurigakan, tubuhnya mencelat ba-
gaikan terbang meloncati pagar. Luar biasa cepat dan
ringannya gerakan wanita itu, sehingga dalam sekejap
saja sudah berada di luar istana tanpa diketahui sia-
papun juga.
Tubuh Mirah kemudian berkelebatan meloncati
tebing-tebing bukit cadas menuju ke arah pantai.
Rembulan malam itu sedang bersinar remang-remang,
sehingga tubuh Mirah tampak hanya bayang-bayang
saja. Seandainya dilihat penduduk tentu akan mengi-
ranya setan yang sedang gen-tayangan mencari mang-
sa.
Hanya dalam waktu yang singkat, Mirah akhirnya
sampai di atas tebing di pinggir pantai Laut Arafuru.
Dinding tebing itu sangat terjal bahkan agak condong
ke depan, sehingga kalau misalnya ada yang tergelin-
cir, tubuhnya pasti langsung tercebur ke laut. Ting-
ginya hampir sepuluh meter.
Cukup lama juga Mirah berdiri tegak bagaikan
patung di atas tebing itu. Sepasang matanya yang
mencorong aneh menatap ke bawah, memperhatikan
sesosok tubuh yang sedang bersemadi di dalam air
laut. Di bawah siraman sinar rembulan, tampak sa-
mar-samar ombak laut datang bergulung-gulung me-
nerjang tubuh laki-laki itu. Tetapi tak sedikit pun tu-
buh itu bergoyang, pertanda bahwa ia bukanlah orang
sembarangan.
Si Gila Dari Muara Bondet sendirilah yang ber-
semadi di dalam air laut, di dekat tebing itu. Seperti
hari-hari sebelumnya, lelaki itu sekarang pun tampak
benar-benar terlena dalam semadinya sehingga seperti
tidak memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Ada
dua tujuan utama Karta melakukan semadi seperti itu.
Pertama untuk menghimpun tenaga sekaligus me-
nyembuhkan luka-luka yang dideritanya, karena da-
lam suatu pertarungan melawan Wori belum lama ini,
ia menerima pukulan yang cukup telak. Tujuan kedua
adalah untuk mengawasi keadaan di sekitar laut, ka-
rena besar sekali kemungkinan pihak musuh akan
berkeliaran di laut.
"Karta!"
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita menye-
but nama si Gila Dari Muara Bondet. Suara yang cu-
kup halus, tetapi karena disertai pengerahan tenaga
dalam, suara itu dapat menembus gemuruh air laut,
menembus anak telinga Karta. Ia tersentak dari sema-
dinya dan segera mengenal suara itu. Mirah, pikirnya.
Ketika ia berpaling ke atas tebing, tampaklah olehnya
wanita itu sedang berdiri tegak seraya menatap ke
arahnya.
Ada apa gerangan sehingga malam-malam begini
Mirah menemuinya ke laut? Mungkin telah terjadi se-
suatu yang luar biasa, karena kalau tidak demikian,
tidak mungkin istri sahabatnya itu menemuinya. Maka
Karta pun meloncat dari laut, bagaikan terbang saja
layaknya tubuh pendekar itu mencelat ke atas tebing
dan sempat bersalto di udara dengan gerakan yang
sangat cepat dan mengagumkan. Dengan sangat rin-
gannya, kedua kaki Karta mendarat di hadapan Mirah.
"Mirah, apa yang sedang terjadi sehingga kau
menemuiku ke sini? Apakah telah terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan?"
Mirah tidak segera menjawab. Sepasang matanya
semakin tajam menatap wajah Karta.
"Kenapa kau diam saja, Mirah? Bagaimana kea-
daan di istana? Apa yang terjadi terhadap anak dan is-
triku maupun teman-teman kita yang lain?"
"Ah, Karta!" Mirah berdesah dengan suara lirih,
sehingga membuat Karta semakin khawatir karena
mengira Mirah merasa ragu-ragu menjelaskan keadaan
yang sebenarnya.
"Mirah, cepatlah katakan apa yang sedang terja-
di!"
"Tidak sesuatu pun terjadi!"
Karta mengerutkan kening. Kalau tidak sesuatu
pun terjadi, kenapa Mirah menemuinya? Jangan-
jangan Mirah belum mau menceritakan keadaan yang
sebenarnya. Akan tetapi melihat wajah Mirah yang
tampak biasa-biasa saja, Karta pun dapat menduga
bahwa ucapan wanita itu benar adanya.
"Lalu kenapa kau datang ke sini?" tanya Karta
heran.
"Aku sendiri bingung. Tapi.....dalam keadaan ba-
sah seperti ini, kau tampak lebih gagah dan tampan..."
"Oh, Mirah!" Karta mengeluh karena mengira Mi-
rah hanya sekedar bercanda. Kalau dalam keadaan bi-
asa saja, mungkin ia tidak akan perduli Mirah bercan-
da. Tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini hati sia-
pa yang tidak kesal kalau ditemui hanya untuk menga-
takan gagah dan tampan?
"Karta!" Mirah kembali berdesis lirih dan tanpa
diduga-duga ia mendekap Karta. Kedua tangannya me-
lingkar di dada Karta erat-erat. Wajahnya ditempelkan
sehingga nafasnya yang memburu terasa oleh Karta.
Bukan main terkejutnya Karta melihat sikap Mi-
rah itu. Pelukan dan ciuman itu bukanlah perbuatan
yang biasa-biasa saja. Apalagi ketika tangan Mirah
mengusap-usap dadanya, terasa jemari tangan itu ge-
metaran. Dan dada yang lembut serta hangat itu oh,
telah menempel pula. Seandainya Karta bukanlah seo-
rang pendekar sakti, bisa jadi karena sangat terkejut
akan mendorong tubuh Mirah sampai terlempar. Teta
pi dengan ketabahan luar biasa, ia mencekal lengan
wanita itu dan dengan halus mendorongnya.
"Mirah, ada apakah sebenarnya? Kenapa sikap-
mu jadi begini?"
"Aku... aku.... oh, Karta!" Mirah tidak mampu
meneruskan kata-katanya. Tiba-tiba ia kembali meme-
luk tubuh Karta dan berusaha mendekapnya lebih erat
lagi. Tetapi setelah menepiskan tangan Mirah, Karta
menggeser kakinya ke kiri, sehingga tubuh wanita itu
hampir terjatuh.
Berdebar jantung si Gila Dari Muara Bondet keti-
ka memperhatikan sinar mata Mirah. Terasa sangat
aneh dan sulit dimengerti maknanya. Namun nalu-
rinya membisikkan bahwa wanita cantik di hadapan-
nya itu sedang dirasuk sesuatu yang sangat kuat.
Mungkin gejolak nafsu birahi yang tak terkendalikan
atau ada yang lainnya. Hal itu pula yang membuat
Karta semakin kebingungan, sebab selama ini Mirah
tak pernah bersikap seperti itu padanya. Bahkan ke-
duanya sudah seperti saudara saja. Lalu kenapa sikap
Mirah sekarang jadi seperti itu?
"Akh...!" Tiba-tiba Karta berseru tertahan ketika
menyadari bahwa Mirah sudah memeluknya kembali.
Sikap wanita itu bahkan terasa lebih bernafsu lagi dan
tampak beringas. Karta mendorong Mirah dengan ha-
lus, tetapi tanpa disangka-sangka Mirah pun mendo-
rongnya kuat sekali. Akibatnya tubuhnya terdorong
sampai ke pinggir tebing itu. Si Gila boleh merupakan
seorang pendekar sakti yang selalu disegani lawan
maupun kawan, bahkan boleh dikatakan mendengar
namanya saja lawan sudah gentar. Akan tetapi meng-
hadapi keadaan seperti itu, ia menjadi gugup juga.
Bersikap kasar terhadap Mirah rasanya tidak mungkin
dan tidak sampai hati dia, tetapi ia pun tak ingin dipe-
luk terus-terusan seperti itu. Maka ia pun mendorong
Mirah dengan harapan istri sahabatnya itu segera me-
nyadari sikapnya yang tidak baik.
Akan tetapi Mirah tampaknya benar-benar sudah
kesetanan. Ketika Karta mendorongnya, ia pun mem-
balas mendorong bahkan lebih kuat lagi sehingga lela-
ki itu terpaksa mundur.
"Mirah jangan...!" Tiba-tiba Karta berteriak kaget
karena tubuhnya terjatuh dari pinggir tebing. Karena
tadi Mirah memeluknya erat-erat, tubuh wanita itu
pun ikut terjatuh. Keduanya melayang ke laut dalam
keadaan masih berpelukan.
"Byuuuur!"
Tubuh mereka tercebur ke laut. Untung air di
tempat itu cukup dalam sehingga keduanya tidak
mengalami luka-luka. Setelah berada di air, Mirah
tampak semakin ganas. Ia bukan hanya memeluk Kar-
ta tetapi kedua kakinya pun mengepit pinggang lelaki
itu. Tentu saja Karta semakin kesal. Sikap Mirah itu
sudah keterlaluan dan tidak dapat dibiarkan lagi. Di-
dorongnya lagi sekuat tenaga sehingga tubuh Mirah
terlempar. Lalu secepat kilat, Karta meloncat dari da-
lam air dan tubuhnya melayang bagaikan terbang ke
atas tebing. Tetapi Mirah pun berbuat hal yang sama,
sehingga keduanya kembali berhadapan di atas tebing
dalam keadaan basah kuyup.
"Mirah! Apa yang kau lakukan ini? Kau.... kau
kesurupan setan rupanya. Ingat, Mirah! Kau adalah is-
tri Umang. Sadarlah!"
Mirah tidak menyahut. Tetapi bibirnya yang me-
rah tipis itu mengulum senyum yang sangat menan-
tang. Lalu tanpa diduga-duga, ia membuka pakaian
yang melekat di tubuhnya. Karta terkejut dan buru-
buru memalingkan wajahnya. Cukup lama keduanya
membisu dan Karta masih membelakangi Mirah.
"Karta!"
Karta membalikkan badan. Sepasang matanya ti-
ba-tiba terbelalak lebar, mulutnya menganga. Ternyata
Mirah sudah dalam keadaan telanjang bulat. Tanpa
sadar, Karta melangkah mundur.
"Karta, apa aku tidak secantik Nomina? Apa aku
tak secantik Ranti istrimu yang kau tinggal di Pulau
Jawa? Tataplah tubuhku, Karta. Kau adalah laki-laki
perkasa dan sekarang aku akan menyerahkan segala-
galanya untukmu!" kata Mirah dengan suara terengah-
engah.
"Ya. Tuhan!" Karta berkata seperti orang sedang
mengigau, "Kenapa kau bersikap seperti orang jalanan,
Mirah? Ingat suamimu. Ia sangat mencintaimu. Sadar,
Mirah!"
Karta memperhatikan wajah Mirah yang tiba-tiba
tampak murung. Wajah itu sebetulnya sangat cantik
dengan raut wajah yang bulat telur. Kulit putih halus
dengan sepasang mata bening dan senantiasa berbi-
nar-binar. Dan bibir itu, pasti akan menarik setiap le-
laki yang memandangnya. Tetapi sungguh mati, pera-
saan dalam hati Karta selama ini hanya terbatas rasa
kagum dan sayang saja. Tak lebih dari itu. Sekarang
melihat Mirah berdiri dalam keadaan bugil di hada-
pannya, ia menjadi termangu-mangu seperti orang
yang sedang kehilangan akal sehat.
"Karta, janganlah bersikap kasar padaku! Hatiku
hancur luluh. Kau tak pernah mengerti isi hatiku, Kar-
ta. Bertahun-tahun lamanya aku merindukan kehadi-
ran bayi dari suamiku, namun sia-sia belaka. Oleh ka-
rena itu, aku menghendaki laki-laki seperti dirimu.
Aku ingin punya anak seperti Ranti, seperti Nomina.
Aku sangat merindukannya. Apakah artinya hidup ini
kalau tanpa anak?" Beberapa tetes air mata mengucur
membasahi pipi Mirah yang pucat.
Seketika lenyaplah kekesalan di hati Karta, ber
ganti rasa iba yang sangat dalam. Memang betul, sua-
mi istri Mirah dan Umang sudah lama menikah namun
entah karena apa sampai sekarang belum dikaruniai
anak. Mirah memang seorang pendekar berilmu tinggi,
sepak terjangnya memerangi kejahatan boleh dibang-
gakan dan dijadikan teladan bagi pendekar lainnya.
Tetapi bagaimanapun juga, pada dasarnya ia adalah
wanita biasa juga. Jadi wajarlah kiranya kalau kenya-
taan bahwa mereka belum punya anak, merupakan
penderitaan batin yang sangat menyakitkan baginya.
Ketika ia memeluk Karta kembali, lelaki itu diam
saja bahkan dengan lembut membelai rambut Mirah.
"Maafkan kekasaran ku tadi, Mirah! Sesungguhnya
aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Tetapi per-
lu kau tahu, sikapmu ini membuatku jadi serba salah.
Aku sangat menghormatimu maupun suamimu
Umang."
"Aku tidak tersinggung lagi, Karta!"
"Terima kasih, Mirah. Tetapi aku harap dengan
hormat agar kau menjaga persahabatan di antara kita.
Anak adalah karunia Tuhan. Tak perlu terlalu disesali
kalau hasrat hatimu belum tercapai."
"Kau jangan berkhotbah di hadapanku, Karta.
Jangan membawa-bawa nama Tuhan sekarang." Lalu
dengan air mata yang kembali bercucuran, Mirah ber-
simpuh dan memeluk kedua kaki Karta, "Tolonglah
aku Karta. Taburkan benih keturunan itu di atas la-
dang persemaianku. Lakukanlah, Karta. Aku mohon
padamu..."
"Mirah! Kau insyaflah! Sadarlah! Aku menyayan-
gimu, Mirah. Kau pasti tahu itu. Oleh karena itu, ha-
rap kau mengerti keadaanku. Itu tidak mungkin kula-
kukan. Marilah, biar kuantar kau pulang. Umang ten-
tu mencari-carimu sekarang."
"Tidak!"
Tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat se-
kali dan hampir bersamaan dengan itu, sebuah kilatan
cahaya putih menyambar ke arah leher Karta.
"Aaaaah!" Karta menjerit kaget sekali. Secepat ki-
lat ia membantingkan badan ke samping, lalu bergul-
ing-guling di atas tebing. Ketika ia hendak meloncat
bangun, ujung golok telah menempel di dekat leher-
nya.
"Umang!" kata Karta tanpa sadar.
Memang benar, Umang sendirilah yang menye-
rangnya secara mendadak tadi. Serangan itu dilaku-
kan sangat cepat dan kalau saja Karta tidak memiliki
kesaktian tinggi, tentulah ia akan tewas di ujung golok
Umang, atau paling tidak pasti akan menderita luka
parah.
Akan tetapi Umang juga bukanlah orang semba-
rangan. Pendekar yang lengan kanannya telah bun-
tung sebatas siku itu memiliki kesaktian yang tidak
boleh dipandang remeh, terutama permainan goloknya
yang sangat kuat dan cepat. Ketika serangannya dapat
dielakkan Karta, pendekar dari Lereng Ciremai itu te-
rus mengejar dan menodongkan goloknya ke arah si
Gila Dari Muara Bondet.
"Bangsat!" bentak Umang geram. Dari sinar ma-
tanya terpancar kemarahan yang meluap-luap dan
tampaknya ia telah melupakan persahabatan di antara
mereka selama ini.
"Tunggu, Umang! Aku akan menjelaskan duduk
persoalan yang sebenarnya," kata Karta terbata-bata.
"Tak perlu banyak bicara di hadapanku, Karta!
Tak kusangka seorang pendekar gagah perkasa seperti
kau berani berbuat seperti ini terhadap sahabatmu.
Kau ternyata tak lebih dari racun perusak yang sangat
bejat. Kau sampai hati membawa istriku dan merayu-
rayunya di sini. Benar-benar tak bisa kuampuni kesalahanmu ini. Kau harus menebusnya dengan nyawamu
sendiri!"
Karta adalah pendekar gagah perkasa, selain
memiliki kepandaian yang sangat tinggi, ia juga bukan
seorang pengecut. Ia tidak pernah takut mati. Akan te-
tapi mati di tangan kawan sendiri apalagi hanya kare-
na kesalahpahaman, tentu saja ia tidak mau. Maka ia
masih mencoba menjelaskan persoalan yang sebenar-
nya.
"Tunggu dulu, Umang. Jangan terburu nafsu.
Dengarkan dulu penjelasanku. Se-telah itu kau boleh
melakukan apa saja terhadap diriku."
"Kau harus mampus, manusia bejat. Haiiiit!"
Umang mengayunkan goloknya, cepat dan sangat
mendadak sehingga tampaknya tidak ada kemungki-
nan lagi bagi Karta untuk menyelamatkan diri.
"Trang!"
Umang terhuyung beberapa langkah. Ujung
tongkat yang menangkis goloknya sangat kuat sehing-
ga golok di tangannya nyaris lepas. Ia menatap laki-
laki yang menangkis senjatanya sehingga Karta sela-
mat dari maut. Ternyata adalah si Kaki Tunggal Bau-
reksa sahabatnya sendiri.
Sama seperti Umang, pendekar berkaki tunggal
itu pun tadi terbangun dari tidurnya, ketika menden-
gar Umang memanggil-manggil istrinya. Cepat itu
mengintip dari balik pintu dan melihat sahabatnya itu
meloncat ke luar istana. Rupanya beberapa saat sete-
lah Mirah pergi, Umang juga terbangun dan setelah be-
rusaha mencari-cari, yakinlah ia bahwa istrinya itu
pergi ke pantai menemui Karta.
Tepat seperti dugaannya, Mirah memang ada di
pantai. Hampir ia tak percaya akan penglihatannya
sendiri menyaksikan Mirah memeluk kaki Karta dalam
keadaan telanjang bulat. Dada Umang terasa bagaikan
terbakar oleh gejolak amarah yang tak terkendalikan
lagi. Ia menghunus goloknya dan langsung melancar-
kan serangan mautnya ke arah leher si Gila Dari Mua-
ra Bondet dan tidak perduli lagi walaupun menyadari
serangan goloknya itu bisa membuat sahabatnya te-
was.
Baureksa yang sempat melihat bayangan tubuh
Umang berkelebat ke arah pantai segera mengejar. Un-
tung saja ia memiliki ilmu meringankan tubuh yang
sangat tinggi, sehingga masih sempat menyelamatkan
Karta dari maut.
"Kau Baureksa!" kata Umang terkejut. Matanya
berkilat-kilat sangat marah melihat sahabatnya itu
menangkis sabetan goloknya.
"Umang, apakah kau tidak menyadari perbua-
tanmu itu? Sabetan golokmu bisa membuntungi leher
sahabat kita Karta."
"Apakah matamu juga tidak melihat bagaimana
bajingan ini hendak mempermainkan istriku? Kau se-
lalu membela Si Gila ini!"
Si Kaki Tunggal melirik ke arah Mirah sebentar.
Wanita itu dengan terburu-buru mengenakan pa-
kaiannya kembali. Baureksa menghela nafas panjang-
panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Syukurlah kau masih mengingat nama asli ku....
Baureksa. Berarti kau ingat siapa diriku, pribadiku
dan pendirianku. Engkau pun tentunya belum lupa
bahwa kita pernah berjuang bahu membahu menum-
pas Lalawa-Hideung di daerah Cilimus bersama Jaka
Sembung. Kau ingatlah semua itu. Jangan berbuat se-
kasar itu kepada Karta!"
"Jadi kau bermaksud menyalahkan aku karena
aku tidak sanggup bikin anak? Dan kau memuji-muji
kejantanan si Gila Dari Muara Bondet keparat ini?"
Sambil berkata begitu, Umang menudingkan goloknya
ke muka Baureksa.
Mendengar ucapan itu, si Kaki Tunggal menghela
nafas berat. Wajah pendekar setengah baya itu tampak
menjadi muram, bagaikan langit diselimuti kabut. Ia
kecewa karena sahabatnya Umang seharusnya tak per-
lu mengucapkan kata-kata seperti itu. Namun selain
merasa kecewa dan kasihan, si Kaki Tunggal juga me-
rasa was-was. Sebab tak biasanya sahabatnya itu ber-
sikap demikian. Dan sinar mata itu, rasanya meman-
carkan sesuatu yang aneh, yang belum pernah dilihat
si Kaki Tunggal selama ini.
"Umang dan Mirah," Akhirnya si Kaki Tunggal
berkata setelah perasaannya sedikit agak tenang. "Ka-
lau kalian masih menganggap aku sebagai orang yang
paling tua di antara kita, maka dengarlah kata-kataku.
Aku mengerti perasaan kalian karena sampai sekarang
belum mempunyai anak. Tetapi itu adalah urusan Tu-
han. Kita hanya sebagai pelaksana. Percayalah, suatu
saat kalian pun tentu akan mempunyai anak."
Tiba-tiba Mirah yang sudah mengenakan pa-
kaiannya meloncat ke hadapan Baureksa. Goloknya
diacungkan dan sinar matanya merah bagaikan me-
mancarkan api, "Diam kau, buntung. Kau tak berhak
mencampuri urusan rumah tangga ku. Diam kataku!
Jangan kau kira aku takut padamu!"
"Mirah, kau sampai hati berkata begitu..." Tiba-
tiba Baureksa menghentikan ucapannya, karena seca-
ra tak terduga-duga, Mirah sudah menerjangnya den-
gan dahsyat. Goloknya diayunkan cepat sekali menim-
bulkan suara berdesing dan kilatan senjata yang lang-
sung menukik ke arah ulu hati si Kaki Tunggal.
Tentu saja si Kaki Tunggal sangat terkejut. Tapi
Mirah yang dari segi umur boleh dikatakan adalah
anaknya, berani memakinya si buntung. Sekarang ma-
lah menyerangnya kembali dengan ganas. Pendekar
berkaki tunggal itu tentu sudah mengetahui kehebatan
ilmu golok Mirah. Dibandingkan dengan Umang sendi-
ri, agaknya wanita itu tidak kalah berbahayanya.
Maka si Kaki Tunggal pun segera memutar tong-
katnya menangkis serangan Mirah. Akan tetapi agak-
nya Mirah sudah menduga gerakan si Kaki Tunggal,
karena secara mendadak ia sudah menarik goloknya
dan menyambar lagi dari bawah ke atas. Berbarengan
dengan itu, tangan kirinya menampar ke arah dagu
Baureksa. Hebat luar biasa serangan Mirah, sehingga
diam-diam Baureksa kembali dibuat terkejut. Apalagi
karena ia tidak ingin melukai Mirah. Seandainya Mirah
merupakan lawan yang boleh dibunuh, si Kaki Tunggal
tentu saja dapat membalas serangan itu dengan me-
nusukkan tongkatnya yang jauh lebih panjang ke arah
dada istri Umang.
Oleh karena itu, si Kaki Tunggal segera meloncat
mundur sambil memiringkan badan ke kiri. Serangan
golok maupun tamparan Mirah sudah menyambar ke
arah dadanya.
"Buk!" Tendangan itu mendarat dengan telak.
Sambil menjerit kesakitan, Baureksa terpelanting
hampir lima meter. Sebelum sempat meloncat bangun,
ujung golok Mirah sudah ditempelkan ke lehernya.
"Mirah, insyaflah!" kata si Kaki Tunggal agak ter-
sendat.
"Tutup mulutmu!"
"Kau sungguh keterlaluan, Mirah! Jangan kau ki-
ra aku pernah takut mati. Kalau kau mau membunuh
aku, bunuhlah sekarang juga. Tapi kelak kau akan
menyesali perbuatanmu ini!"
Pada kesempatan itu, Karta bergerak cepat sekali
mengayunkan kakinya menghantam kaki Umang, se-
hingga lelaki itu terjengkang ke belakang. Setelah itu,
Karta segera meloncat bangun dan menghampiri Mi
rah.
"Mirah, jangan kurang ajar!"
"Berhenti!" bentak Mirah sambil menekankan
ujung goloknya ke leher Baureksa, "Kau lihat golok ini!
Jika kau masih berani melangkah maju, kutebas ba-
tang leher si buntung ini!"
Wajah Karta menjadi pucat. Sebagai pendekar
yang sudah sangat berpengalaman, ia segera dapat
menyadari bahwa nyawa si Kaki Tunggal benar-benar
terancam maut. Sekali bergerak saja, pendekar seperti
Mirah tentu akan menebas lehernya hingga buntung,
jika ia mau. Dan jika itu misalnya terjadi, berarti si
Kaki Tunggal tewas secara tak langsung karena di-
rinya. Karta sungguh tak menginginkannya. Maka ia-
pun menghentikan langkah sambil menunggu kesem-
patan untuk menyelamatkan sahabatnya itu.
"Jangan coba-coba bertindak tolol, Karta! Aku ti-
dak main-main sekarang! Nyawa si buntung ini ada di
ujung golokku. Kalau kau ingin dia selamat, kau harus
bersedia meluluskan permintaanku tadi! Kalau ti-
dak...."
"Karta, jangan kau perdulikan aku! Jangan turuti
kemauannya! Ia sedang dipengaruhi iblis!" teriak si
Kaki Tunggal.
"Diam kau buntung!" bentak Mirah menambah
tekanan goloknya sehingga kulit leher Baureksa berda-
rah.
"Karta, awas di belakangmu!" Baureksa berteriak
tanpa memperdulikan lehernya yang sakit. Rupanya
saat itu Umang sudah menerjang Karta dengan dah-
syat. Goloknya diayunkan menyambar ke arah leher Si
Gila Dari Muara Bondet.
Ketika senjata maut itu sudah hampir menyen-
tuh kulitnya, Karta menunduk, lalu tangan kanannya
menyambar dada Umang dengan kecepatan yang su
kar diikuti mata.
"Buk!" Kuat sekali hantaman Karta, sehingga tu-
buh Umang terlempar dan terjatuh dari atas tebing.
Karena ia terjatuh ke sebelah kiri, maka Karta menjadi
terkejut sebab disadarinya bahwa di bawah sana, teb-
ing cadas telah siap meremukkan kepala Umang.
"Hah? Umang!" teriak si Kaki Tunggal-yang juga
tak kalah terkejutnya.
Akan tetapi tiba-tiba tubuh Umang berputar se-
cara mengagumkan dan kedua telapak kakinya me-
nempel dan langsung seperti lengket di dinding tebing,
tak ubahnya seekor kelelawar. Luar biasa! Baik Karta
maupun si Kaki Tunggal sangat terkejut menyaksikan
kehebatan Umang.
"Astaga! Itu adalah ilmu Lalawa Hideung!" teriak
si Kaki Tunggal seolah-olah tak percaya akan pengliha-
tannya sendiri. Tidaklah mengherankan si Kaki Tung-
gal sangat terkejut menyaksikan Umang mem-
pergunakan ilmu Lalawa Hideung sewaktu menyela-
matkan diri. Karena seperti yang dikatakannya tadi, ia
dan Umang sendiri bersama Jaka Sembung beberapa
tahun lalu pernah menumpas tokoh sesat Lalawa Hi-
deung itu di daerah Cilimus. Tetapi sekarang malah
Umang sendiri yang menggunakan ilmu yang luar bi-
asa itu.
Agaknya Mirah sendiri pun tak menduga bahwa
suaminya menguasai ilmu itu. Matanya bahkan sam-
pai terbelalak lebar-lebar menyaksikan suaminya sen-
diri dengan posisi menyiku di dinding tebing.
Akan tetapi Karta lebih cepat dapat menguasai
perasaannya dan secepat kilat menendang tongkat si
Kaki Tunggal, meluncur cepat sekali menghantam tan-
gan kanan Mirah.
"Akh!" Mirah berseru kaget dan tanpa dapat dice-
gah lagi, goloknya terlepas dari tangannya. Kesempa
tan itu digunakan si Kaki Tunggal meloncat bangun
dan menangkap tongkatnya. Hampir pada waktu yang
bersamaan, kakinya menggaet kaki Mirah sehingga
kehilangan keseimbangan dan terjatuh bergedebuk.
"Kurang ajar!" bentak Mirah geram.
Sudahlah, Mirah. Sadarlah! Nyebut!" ujar si Kaki
Tunggal dengan suara lembut.
Pada saat itu, Umang sudah meloncat kembali ke
atas tebing dan langsung memasang kuda-kuda di ha-
dapan Karta. Sikapnya tampak lebih beringas lagi, siap
mengadu nyawa dengan sahabatnya itu.
"Umang, sahabatku! Ingatlah pada Tuhan. Sadar-
lah. Kau telah keliru. Nyebutlah nama Tuhan. Istigfar-
lah!" kata Karta. Akan tetapi Umang bukannya sadar,
malah menerjang Karta dengan dahsyat. Ia meloncat
bagaikan terbang ke arah Karta, lalu kakinya mengirim
tendangan maut ke arah dada lawan.
"Mampus kau!" bentaknya. Karta berkelit ke
samping, lalu tangannya menangkap pergelangan kaki
Umang. Sebelum Umang sempat berbuat apa-apa,
Karta sudah memutar tangan, melemparkan tu-
buh Umang ke laut.
"Byur!" Tubuh Umang tercebur ke laut. Karta se-
betulnya tidak bermaksud mencelakakan Umang. Te-
tapi pada kesempatan itu ia berpikir, bahwa kalau
Umang berendam di laut, pikirannya tentu akan lebih
jernih. Setelah tubuh Umang tercebur, ia sendiri pun
segera ikut terjun ke laut, karena ia tahu Umang pen-
dekar dari Gunung Ciremai tidak pandai berenang.
Benar saja perkiraan Karta, karena begitu tengge-
lam ke laut, Umang segera gelagapan. Sebentar-
sebentar tubuhnya muncul ke permukaan, namun
kemudian tenggelam lagi. Karta cuma tersenyum dan
sengaja membiarkan sahabatnya itu berjuang mati-
matian menyelamatkan diri dari ganasnya gelombang
laut.
Sementara itu, di atas tebing Mirah sudah bang-
kit berdiri dan menantang si Kaki Tunggal bertarung
mengadu nyawa,
"Baureksa," katanya dan tidak menyebut si bun-
tung lagi, "Kalau kau betul-betul pendekar jempolan,
berikan golokku itu padaku. Kita bertarung secara sa-
tria. Aku sanggup membuntungi kakimu yang satu la-
gi!"
"Tampaknya kau sangat bernafsu melawan aku
yang sudah tua. Lucu anak kecil seperti kau menan-
tangku berkelahi. Tapi baiklah, hitung-hitung untuk
melemaskan otot, atau latihan. Nih, terimalah golok
mu!" Si Kaki Tunggal melemparkan golok Mirah den-
gan tongkatnya, yang segera disambar wanita itu den-
gan cepat.
"Ciaaaat!" Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Mi-
rah segera berteriak nyaring lalu menerjang si Kaki
Tunggal dengan dahsyat. Goloknya disabetkan ke arah
pinggang Baureksa dan ketika lawannya itu meloncat
mundur, ia mendesak maju dengan serangan yang le-
bih ganas lagi.
Akan tetapi keadaannya sekarang sudah berbeda
dengan tadi. Kalau barusan Mirah dapat menjatuhkan
Baureksa, hanyalah karena ia menyerang secara san-
gat mendadak dan laki-laki berkaki tunggal itu tidak
bermaksud melukainya. Sekarang karena sejak tadi
sudah siap sedia, dengan mudah Baureksa dapat
mengelak dan menggunakan kelincahan tubuhnya me-
loncat ke sana ke mari, sehingga semua serangan Mi-
rah menjadi sia-sia.
Tentu saja Mirah sangat penasaran, walaupun
sejak dari dulu ia sebetulnya sudah mengetahui ke-
pandaian si Kaki Tunggal bermain ilmu silat. Sambil
berteriak melengking nyaring ia kembali menerjang la
wan dengan memutar goloknya cepat sekali sehingga
tampak senjata tersebut berubah jadi banyak sekali.
Lalu tiba-tiba ujung goloknya meluncur ke arah dada
Baureksa didahului cengkeraman tangan kiri ke arah
selangkangan. Cepat dan keji bukan main serangan
seperti itu, karena salah satu saja yang mengenai sa-
saran, Si Kaki Tunggal pasti tewas.
"Sungguh ganas!" kata Si Kaki Tunggal sambil
berkelit ke samping menghindari cengkeraman tangan
kiri Mirah dan pada saat yang bersamaan ia memutar
tongkatnya menangkis tusukan golok lawan.
"Trang!"
Kedua senjata itu beradu menimbulkan suara
berdentang keras. Karena Mirah kalah tenaga, tubuh-
nya sempat terdorong mundur beberapa langkah. Na-
mun dengan cepat ia menerjang Baureksa kembali.
Tubuhnya mencelat bagaikan terbang dan sewaktu
meluncur ke arah si Kaki Tunggal, goloknya diayunkan
menyambar leher lawan.
Melihat serangan yang sangat ganas itu, si Kaki
Tunggal tetap tenang bahkan sempat tersenyum men-
gejek. Lalu secepat kilat ia menundukkan kepala, ke-
mudian mencengkeram perut Mirah. Sebetulnya se-
rangan Baureksa itu bukanlah serangan yang terlalu
hebat, tetapi karena Mirah sudah dikuasai amarah
yang meluap-luap, ia menjadi kurang waspada. Tanpa
sempat menghindar, perutnya sudah dicengkeram dan
pada saat ia hendak menyabetkan goloknya, si Kaki
Tunggal sudah melemparkan tubuhnya ke laut dari
atas tebing.
"Karta! Ini satu lagi, suruh dia ikut mandi!" teriak
si Kaki Tunggal.
Suara jeritan Mirah mendadak terhenti ketika tu-
buhnya tercebur ke laut. Karena ia sama seperti
Umang tidak bisa berenang, ia menjadi gelagapan.
Melihat itu, Karta menjadi kasihan dan segera
memburu untuk memberikan pertolongan. Tanpa dis-
adarinya, bahaya mau telah mengancam dari dasar
laut. Sebuah benda kehitam-hitaman mirip bubu pe-
nangkap ikan meluncur cepat sekali ke arah tubuh
Umang. Tanpa sempat menghindar, tubuh lelaki ber-
lengan tunggal itu terceblos masuk perangkap miste-
rius itu dan dalam sekejap hilang di dalam laut.
Pada kesempatan itu, Karta sudah memangku
tubuh Mirah hendak membawanya ke tepi pantai.
Akan tetapi ia menjadi tersentak kaget manakala me-
nyadari bahwa Umang sudah menghilang.
"Hah? Ke mana suamimu, Mirah? Tenggelam?
Ah, tidak mungkin!" Karta segera menurunkan tubuh
Mirah dari pangkuannya, memburu ke arah Umang ge-
lagapan tadi. Bagaimanapun juga, Umang tak mungkin
tenggelam begitu saja. Biarpun tak pandai berenang,
paling tidak pasti bisa bertahan untuk beberapa saat.
Pasti telah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Hanya beberapa saat setelah Karta memburu ke
arah Umang tadi, Mirah pun mengalami hal yang sa-
ma. Tubuhnya tersedot dan masuk perangkap maut di
dalam laut. Benda berbentuk bubu penangkap ikan itu
bergerak cepat sekali, sehingga dalam sekejap tubuh
Umang dan Mirah sudah lenyap.
Tentu saja Karta sangat terkejut. Ternyata bukan
hanya Umang yang hilang, tetapi kini telah menyusul
Mirah. Ini bukan kecelakaan biasa, pasti perangkap
musuh
"Kurang ajar!" bentak Karta, lalu segera menye-
lam. Dengan kepandaian berenang, ia bergerak ke sa-
na ke mari memeriksa sekitar perairan pantai. Namun
usahanya sia-sia. Ia telah kehilangan jejak.
Sementara itu, di atas tebing cadas, si Kaki
Tunggal menunggu dengan penuh tanda tanya. Tadi ia
sempat melihat Umang gelagapan dan Karta memang-
ku Mirah. Tetapi hanya sekejap saja, kedua suami istri
itu sudah lenyap. Si Kaki Tunggal pun menjadi khawa-
tir dan menduga bahwa sesuatu yang tak diinginkan
telah terjadi. Tapi karena ia pun tak begitu pandai be-
renang, ia hanya menunggu di atas dengan perasaan
tegang.
Tiba-tiba Karta tersembul ke atas permukaan air,
lalu mencelat bagaikan terbang ke atas tebing, kemu-
dian mendarat ringan di hadapan si Kaki Tunggal.
"Celaka, Baureksa! Mereka menghilang, pasti di-
culik musuh!" kata Karta dengan nafas terengah-
engah.
"Ini tentu perbuatan musuh. Huh! Selama ini kita
selalu kecolongan. Benar-benar mereka sangat lihai
dan licik. Mereka bisa menyerang dari dasar laut!"
"Mungkinkah si tukang sihir jahanam itu?"
"Saya rasa memang mereka. Umang dan Mirah
diculik untuk dijadikan budak melawan kita, seperti
halnya Wori. Jadi kita selalu dipaksa bertempur den-
gan kawan-kawan sendiri. Benar-benar licik!"
"Aku jadi menyesali kejadian tadi!"
"Tak perlu terlalu disesali. Tapi kita harus beru-
saha untuk menemukan mereka kembali. Ah, Karta!
Mengertikah kau tentang peristiwa tadi?"
"Maksudmu Mirah dan Umang telah di-pengaruhi
ilmu sihir?"
"Benar! Kita masih bisa terhindar dari pengaruh
sihir itu, karena batin kita bersih, tidak dipengaruhi
pikiran-pikiran buruk. Mereka sudah cukup lama me-
nikah, namun sampai sekarang belum mempunyai ke-
turunan. Mirah tak sabar lagi menunggu bahkan iri
terhadap Nomina. Dan Umang pun cemburu pula pa-
damu. Pikiran seperti itulah yang bisa merusak keber-
sihan batin sehingga dengan mudah dapat dipengaruhi
sihir lawan."
***
DUA
Sementara itu, di ruangan bawah tanah, Wan-
Da-I dan Womere tampak tersenyum-senyum puas
sambil tak henti-hentinya mengatakan bahwa dalam
waktu dekat, Kepala Suku Pampani pasti akan hancur.
Dan mereka pun akan menjadi penguasa di Pulau
Trangan dan sekitarnya, seperti yang sudah lama dici-
ta-citakan Wan-Da-I.
Seperti diceritakan pada awal kisah ini, tokoh se-
sat Wan-Da-I yang merupakan anak haram dari Iblis
Pulau Aru sengaja mengundang tukang sihir dari pu-
lau Kelepom yakni Womere untuk menghancurkan ke-
kuasaan Pampani. Dengan ilmunya yang sangat jahat
itu, Womere dapat mempengaruhi pikiran Wori si Pen-
dekar Bumerang, sehingga memusuhi pihak Pampani
yang sejak dari dulu adalah sahabatnya sendiri. Selain
itu, mereka juga telah menawan Profesor Van Leinen
dan Simon yang kebetulan datang dari negeri Belanda
untuk melakukan penelitian ilmu pengetahuan di Ke-
pulauan Aru.
Sekarang, pihak Wan-Da-I berhasil pula me-
nangkap suami istri Umang dan Mirah. Tepat seperti
yang diucapkan si Kaki Tunggal kepada Karta, pikiran
suami istri itu sudah dipengaruhi ilmu sihir Womere.
Itulah sebabnya Mirah seperti tidak tahu malu lagi
mengajak bahkan memaksa Karta untuk melakukan
hubungan seks. Dan ketika keduanya timbul tengge-
lam di laut, mereka pun masuk perangkap berbentuk
bubu penangkap ikan dan langsung dibawa kabur
anak buah Wan-Da-I, sehingga Karta kehilangan jejak.
"Bawa mereka masuk!" kata Wan-Da-I ketika dua
anak buahnya datang sambil membawa alat perangkap
misterius yang berisikan tubuh Umang dan Mirah.
Kedua laki-laki bertubuh raksasa itu masuk ke
ruangan Wan-Da-I, kemudian mengeluarkan tubuh
Umang dan Mirah yang ternyata sudah dalam keadaan
tak sadarkan diri. Setelah itu, kedua lelaki raksasa
berkulit hitam anak buah Wan-Da-I itu melangkah
mundur setelah terlebih dulu mengangguk hormat ke
arah majikannya.
"Womere, suruhlah mereka istirahat!" kata Wan-
Da-I.
"Baik, tuanku!"
Si tukang sihir Womere melangkah menghampiri
Umang dan Mirah. Kedua tangannya dengan jari-jari
terbuka direntangkan ke arah dua tawanan itu dan
mulutnya komat kamit beberapa saat. Setelah itu, ia
berkata dengan suara yang sangat berpengaruh: "Ban-
gunlah, hai pendekar-pendekar yang tangkas! Ban-
gun!"
Perlahan-lahan Umang dan Mirah membuka ma-
ta, seperti orang baru tersadar dari mimpi buruk. Ke-
duanya merasa tubuhnya sangat lemas, tetapi terasa
ada kekuatan gaib memaksa mereka untuk bangkit
berdiri.
"Bangun! Bangun..... dan berjalan..." kata Wo-
mere lagi.
Seperti robot, Umang dan Mirah melangkah se-
suai perintah Womere. Sinar mata mereka sayu, bah-
kan seakan-akan tidak bersinar sedikitpun juga, di-
tambah gerak tubuh yang sangat kaku, maka mereka
tak ubahnya seperti mayat berjalan.
"Jalan ke depan!" perintah Womere yang masih
tetap merentangkan tangan mengikuti suami istri itu
dari belakang dalam jarak sekitar dua meter. Umang
dan Mirah terus melangkah menuju sebuah ruangan
lain melalui lorong sempit dan gelap.
Dalam ruangan itu telah tersedia dua buah peti
kayu yang bentuknya seperti peti mati. Begitu sepa-
sang pendekar itu masuk ke ruangan itu, dua pengaw-
al bertubuh raksasa tadi segera membuka tutup peti.
Tanpa diperintah lagi, Umang terlebih dahulu melang-
kah dan masuk ke dalam peti. Beberapa saat kemu-
dian, Mirah pun masuk ke dalam peti yang satu lagi.
"Bagus! Beristirahatlah kalian dengan baik. Kalau
saatnya sudah tiba, kalian akan diberikan tugas!" ujar
Womere sambil memberikan isyarat agar kedua pen-
gawal segera menutup peti mati itu kembali.
Di sudut ruangan itu, ada pula dua lelaki berku-
lit putih yang agaknya juga merupakan tawanan Wan-
Da-I. Keduanya duduk dengan kedua tangan terbe-
lenggu kepada dinding batu ruangan itu. Mereka ada-
lah Profesor Van Leinen dan sahabat mudanya Simon.
Kedua orang asing itu terkejut menyaksikan sepasang
insan berlainan jenis digiring masuk, lalu masuk ke
dalam peti. Jelas tampak oleh kedua kulit putih itu be-
tapa Umang dan Mirah bagaikan robot saja disuruh
berjalan dan masuk peti oleh Womere.
"Profesor, coba lihat di sana! Dua orang tawanan
baru," kata Simon setengah berbisik.
"Aku sudah melihatnya sejak tadi. Tampaknya
mereka adalah sahabat-sahabat kepala suku Pampani.
Wajah mereka seperti tergambar dalam bentuk boneka
gabus yang kemarin kita lihat di kamar Womere. Kasi-
han mereka."
"Tapi mengapa mereka tidak diperlakukan seperti
kita? Mereka tidak dibelenggu!"
Profesor Van Leinen menghela nafas panjang. Se-
kalipun belum ada yang menjelaskan, namun karena
sudah sangat berpengalaman maka ia segera dapat
mengerti kenapa dua tawanan baru itu tidak dibeleng-
gu seperti mereka.
"Mereka adalah tawanan istimewa, lain dengan
kita. Untuk membelenggu mereka tidak memakai ran-
tai besi, melainkan menggunakan ilmu magis. Karena
tawanan pribumi itu adalah orang yang menggunakan
kekuatan batin. Sedangkan kita adalah orang-orang
yang berkekuatan pikiran. Oleh karena itu, untuk
orang seperti kita bagiannya adalah rantai besi."
"Aku punya ide, Prof."
"Maksudmu apa?"
"Betapa sempurnanya kalau kita pun bisa mem-
pelajari ilmu-ilmu magis dari belahan bumi bagian Ti-
mur ini. Kita akan menjadi bangsa yang tak terkalah-
kan."
"Mungkin ada benarnya. Tetapi prosesnya tidak-
lah semudah yang kau pikirkan. Semuanya serba su-
sah dan membutuhkan kesabaran serta kebulatan te-
kad. Tapi kita lihat saja nanti. Nasib kita saja belum
kita ketahui bagaimana akhirnya. Selamat dari cengke-
raman orang-orang ini saja sudah syukur. Mereka
sangat jahat dan licik, jauh berbeda dengan Pampani
serta kawan-kawannya."
Pada kesempatan itu, ketika hari sudah mulai
pagi, si Kaki Tunggal dan Karta sudah sampai di hala-
man istana. Wajah mereka pucat mencerminkan ke-
cemasan, karena Umang dan Mirah telah hilang entah
ke mana. Walaupun belum menemukan petunjuk ten-
tang hilangnya kedua sahabat mereka itu, namun si
Kaki Tunggal dan Karta sudah dapat menduga bahwa
yang menangkap suami istri itu pastilah pihak Wan-
Da-I. Dan itu pula yang membuat mereka sangat ce-
mas, karena keduanya menyadari bahwa sekali jatuh
ke tangan tokoh sesat itu, maka akan sulitlah mele
paskan diri.
"Untuk sementara sebaiknya kau turut berjaga-
jaga di lingkungan istana, Karta. Siapa tahu pihak mu-
suh bersiap-siap menyerang kita."
"Tidak, Baureksa. Lebih baik aku tetap tinggal di
laut. Lebih banyak manfaatnya."
"Aku mempunyai pertimbangan lain, Karta. Ingat,
di saat Mirah dan Umang masih ada, kita tetap bisa
kebobolan dan keteter oleh ancaman musuh."
"Tapi lihat posisi kota kita, terpagar kuat. Begitu
musuh menyelundup, langsung diketahui para penjaga
di atas menara. Semua orang bisa segera bersiap-siap.
Jadi yang tidak bisa diduga-duga adalah serangan
yang langsung dilancarkan dari laut. Tugaskulah un-
tuk memata-matainya."
"Hm, betul juga pendapatmu. Hampir tak terpikir
olehku. Hm, tiba-tiba aku teringat pada pintu tembu-
san yang pernah, kau temukan itu. Coba kau tunjuk-
kan padaku di mana letaknya."
"Baiklah!" Karta segera meloncati pagar yang
mengelilingi istana, disusul oleh si Kaki Tunggal. Da-
lam sekejap saja, keduanya sudah berada di belakan-
gan istana. Tanpa menimbulkan suara mencurigakan,
kedua pendekar itu merangkaki kolong bangunan be-
sar itu.
Setelah cukup lama merangkak, Karta memberi
isyarat untuk berhenti. "Aku, pun baru ingat sekarang
pada terowongan ini. Mudah-mudahan kita bisa me-
nemukan Umang dan Mirah," bisiknya.
Terowongan yang dimaksudkan Karta itu meru-
pakan sebuah lubang yang tidak terlalu besar. Agak-
nya pintu masuk itu sangat dirahasiakan, sehingga se-
lama ini tak seorang pun di antara para laskar yang
mengetahuinya. Dulu hanya karena kebetulan saja si
Gila Dari Muara Bondet menemukannya.
Dengan sangat hati-hati, Karta membuka tutup
pintu tembusan yang terbuat dari batu bundar. Si Kaki
Tunggal terlebih dulu masuk diikuti oleh Karta. Mere-
ka kemudian menuruni tangga batu di bawah tanah,
sambil meraba-raba karena tempat itu sangat gelap.
"Belok kiri. Seingatku ada lorong menuju ke sa-
na. Hati-hati dengan tongkatmu," bisik si Gila Dari
Muara Bondet.
"Jangan khawatir. Ujung tongkatku ini mempu-
nyai mata yang langsung berhubungan dengan seluruh
urat-urat syaraf dalam tubuhku."
Kedua pendekar itu terus menuruni tangga batu,
hingga kemudian si Kaki Tunggal menghentikan lang-
kahnya dengan tiba-tiba. Karta yang berjalan di bela-
kangnya menjadi heran, "Kenapa berhenti. Ada apa?"
"Kita sudah ketinggalan. Lorong itu telah ditutup
batu."
"Kurang ajar! Benar-benar cerdik mereka. Sampai
kita tidak sempat berbuat apa-apa untuk memasuki
sarang mereka. Yah, tampaknya tak ada jalan lain la-
gi!"
Keduanya memutuskan untuk ke luar kembali.
Namun betapa terkejutnya mereka ketika hendak
kembali, pintu batu bundar itu sudah terkunci dari
luar.
"Celaka! Pintu itu sudah ditutup dari luar. Kita
terjebak!" kata si Kaki Tunggal.
"Apa yang harus kita lakukan?" Karta bertanya
sambil berfikir keras. Tetapi tiba-tiba terdengar suara
berdesis dari sela-sela tutup lubang itu dan ketika me-
nengadah tampaklah asap berwarna ungu bergumpal-
gumpal ke arah mereka.
"Asap beracun!" teriak Karta panik. Ia mencoba
menahan pernafasan agar tidak menghirup asap itu. Si
Kaki Tunggal pun melakukan hal yang sama, namun
daya tahannya tidak terlalu lama. Ia menghirup asap
beracun itu, hingga terdengar batuk-batuknya meme-
nuhi ruangan sempit itu. Tak lama kemudian, ia pun
roboh lemas. Karta memiliki daya tahan yang lebih la-
ma, karena sejak kecil ia sudah terbiasa menyelam,
baik di sungai maupun di laut.
Sambil mengerahkan tenaga dalamnya, lelaki itu
mencoba mendorong pintu batu bundar, namun tidak
berhasil, sehingga yakinlah ia bahwa pintu itu sengaja
ditahan orang dari atas. Hal itu membuat Karta ber-
tambah geram, karena kalau tidak segera dapat ke luar
dari kepungan asap beracun itu, maka ia bersama si
Kaki Tunggal pastilah akan celaka. Bahkan tidak mus-
tahil akan tewas secara mengerikan.
Dalam keadaan yang sangat genting itu, Karta
segera memasang kuda-kuda sambil memusatkan per-
hatiannya. Kedua tangannya disilangkan di depan da-
da, lalu sambil melengking nyaring, ia memukul pintu
batu bundar itu.
"Ciaaaat....! Praaaak!" Hebat bukan main pukulan
Karta yang dilancarkan dengan pengerahan tenaga da-
lam itu. Seketika pintu batu itu hancur berantakan.
"Baureksa, kita harus segera ke luar!" teriak Kar-
ta sambil mengangkat tubuh si Kaki Tunggal yang su-
dah sangat lemas. Sekali meloncat, ia pun berhasil ke
luar dari lubang itu. Akan tetapi sepotong kayu besar
menyambar dan langsung menghantam punggung Kar-
ta, sehingga terpelanting bersama si Kaki Tunggal. Se-
belum keduanya berhasil bangkit, tiang kayu penyang-
ga bangunan yang cukup besar itu telah menimpa
punggung mereka.
"Ha ha ha! Memang kalian berdualah yang paling
sulit ditundukkan. Tetapi sekarang, tiba saatnya aja
menjemput nyawa kalian. Dan Pampani bukanlah apa-
apa bagiku!" Orang itu menginjak balok kayu sehingga
leher Karta terjepit. Pendekar gagah perkasa itu men-
coba melepaskan diri, tetapi karena tadi sudah kehabi-
san tenaga ia tak bisa berbuat banyak, apalagi karena
tenaga injakan orang itu sangatlah kuatnya.
Sambil berusaha menahankan rasa sakit di le-
hernya, Karta melirik dan memperhatikan wajah orang
itu. Wajahnya tiba-tiba berubah jadi pucat, tetapi se-
bentar kemudian berubah merah padam kembali.
Tampaknya ia sangat terkejut, bahkan seolah-olah tak
percaya akan penglihatannya sendiri.
"Kau... kau Maleang Pangaru....?" Karta mendesis
menyebut nama Iblis Pulau Aru. Wajar kalau pendekar
si Gila Dari Muara Bondet terkejut bagaikan disambar
petir, karena dahulu Maleang Pangaru yang dijuluki
Iblis Pulau Aru itu sudah tewas bersama pendeta
Naomi, nenek tua yang juga tak kalah jahatnya. Ba-
gaimana sekarang tiba-tiba Iblis Pulau Aru muncul da-
lam keadaan segar bugar bahkan menyerangnya? Kar-
ta tak habis pikir, dan karena ia tahu tokoh sesat itu
sangat tinggi ilmunya serta sangat jahat pula, nya-
wanya sudah pasti dalam keadaan terancam.
Melihat Karta terkejut, laki-laki tua itu tertawa
terbahak-bahak hingga perutnya berguncang-guncang,
"Ha ha ha! Seperti yang kau lihat sendiri. Aku telah da-
tang menagih nyawamu!"
Suara gaduh di bagian belakang istana itu ru-
panya membuat para penjaga gempar. Tanpa diko-
mando lagi, para laskar itu menyerbu ke arah suara
itu dengan senjata terhunus. Mereka ternyata dipimpin
oleh Pampani sendiri.
"Berpencar! Sebagian masuk ke kolong bangunan
dan sebagian lagi masuk lewat pintu. Cepat!" teriak
Pampani dengan suara menggelegar mengatasi suara
hiruk pikuk serbuan laskar. Dengan sigap, mereka
pun menyerbu menuruti perintah pimpinannya.
"Itu dia orangnya!" teriak seorang laskar ketika
melihat seorang lelaki sedang menjepit leher Karta
dengan balok kayu.
"Sergap!"
"Bunuh!"
Laskar yang jumlahnya puluhan orang itu berte-
riak-teriak sehingga dalam sekejap Maleang Pangaru
sudah terkepung rapat. Akan tetapi laki-laki itu me-
mang bukan orang sembarangan. Begitu puluhan
tombak mengincar tubuhnya dari segala arah, ia sege-
ra berputar dan kedua tangannya bergerak cepat seka-
li.
"Krak! Krak!" Senjata-senjata tombak itu berpa-
tahan dan sebelum laskar sempat menguasai rasa ka-
getnya, kedua tangan Maleang Pangaru sudah men-
cengkram ke sana ke mari. Cengkraman itu kuat dan
keras bagaikan baja, sehingga setiap laskar yang ter-
kena langsung roboh dengan tubuh tercabik-cabik.
Ada yang kulit perutnya tembus, hingga ususnya ter-
burai, ada yang lengannya copot, ada yang lehernya
hampir putus dan sebagainya.
Walaupun demikian, laskar lainnya tetap tidak
gentar. Mereka terus menerjang. Roboh satu maju dua
atau tidak orang, sehingga makin banyaklah laskar
yang roboh bermandikan darahnya sendiri. Bagaima-
napun juga, kekuatan laki-laki tersebut tentu ada ba-
tasnya. Setelah cukup lama bertarung, ia akhirnya ter-
desak bahkan kemudian berdiri dalam keadaan tak
berkutik di dekat tiang istana.
"Bunuh!" Terdengar teriakan nyaring dan tom-
bak-tombak itu pun merekam tubuh Maleang Pangaru.
Tubuh orang tua itu mengejang meliuk dan meregang,
kemudian terkapar dengan puluhan tombak tertancap
di tubuhnya. Terdengar jeritan panjang keluar dari
mulut lelaki tua itu dan setelah menggelepar-gelepar
beberapa saat, tubuh itu pun terkulai lemas dalam
keadaan tidak bernyawa. "Mampus kau!"
"Horeee! Kita berhasil membunuhnya. Tuanku
Pampani pasti sangat gembira melihatnya. Kawan-
kawan, salah seorang di antara kalian cepat memberi-
tahukannya kepada Tuanku Pampani!" teriak pemim-
pin laskar itu dengan wajah cerah ceria.
"Aku saja!" teriak seorang pengawal istana, lalu
bagaikan anak panah dilepas dari busurnya berlari
sambil berjingkrak-jingkrak hendak memberitahukan
keberhasilan mereka kepada Pampani. Akan tetapi ke-
tika sampai di halaman belakang istana, pengawal itu
mendadak menghentikan langkahnya. Matanya terbe-
lalak lebar dan mulutnya menganga bagaikan anak ke-
cil melihat setan di siang bolong.
Maleang Pangaru yang tadi dilihatnya telah tewas
di ujung puluhan tombak, kini justru bertarung den-
gan Pampani. Pengawal itu hampir tak percaya pada
penglihatannya sendiri. Ia mengusap-usap matanya,
bahkan kemudian mencubit lengannya sendiri dan
manakala terasa sakit, sadarlah ia bahwa dirinya tidak
sedang bermimpi. Saking kaget dan bingungnya, pen-
gawal itu hanya berdiri bengong bagaikan patung, ti-
dak tahu harus berbuat apa.
Beberapa saat kemudian, pengawal itu tersadar,
lalu berbalik lagi ke tempatnya semula ingin menyak-
sikan keadaan musuh mereka yang tadi terkapar ber-
lumuran darah dan sudah diyakini tewas. Di depan
pintu, ia bertubrukan dengan kawannya sendiri yang
saat itu juga kebetulan berlari hendak ke luar.
"Duk!" Kepala mereka sama-sama beradu keras.
Akibatnya kedua laskar itu sama-sama terjengkang
dengan jidat benjol. Terdengar suara makian, tetapi
tanpa memperdulikan rasa sakit di kepalanya, pen-
gawal itu terus berlari ke dalam. Ia menyeruduk keru
munan kawan-kawannya bagaikan babi hutan dikejar-
kejar pemburu. Beberapa laskar terpelanting oleh do-
rongan yang sangat kuat.
Agaknya pengawal itu terlebih dulu menyadari
apa sebenarnya yang telah terjadi. Maka ia pun berte-
riak-teriak bagaikan orang kesurupan setan. "Lihat....!
Lihat! Kalian rupanya buta semua. Rabun dan kotok!
Lihat, siapa dia!"
Para laskar itu sama-sama melihat ke arah mu-
suh yang tadi mereka rejam hingga tewas.
"Hah?" Serentak para laskar itu mengeluarkan
suara kaget dan sama-sama meloncat mundur. Lelaki
yang terkapar dengan puluhan tombak tertancap di
tubuhnya itu ternyata bukan Maleang Pangaru seperti
yang mereka lihat tadi. Lelaki itu tidak tua, melainkan
masih muda dan tubuhnya pun tegap, tidak kurus se-
perti halnya Maleang Pangaru.
Seorang laskar meloncat dan mengangkat wajah
yang terkulai itu. Dan ia kembali berseru kaget bagai-
kan orang disengat kalajengking: "Hah? Ini... ini kawan
kita sendiri!" Yang lainnya memperhatikan dengan
seksama. Dan benar, korban yang mereka rejam hing-
ga tewas adalah teman mereka sendiri. Sadarlah para
laskar itu bahwa mereka sudah bertindak salah,
menghabisi nyawa teman sendiri. Padahal tadi, dengan
sangat jelasnya mereka menyaksikannya sebagai Ma-
laeng Pangaru. Bagaimana mereka semua yang jum-
lahnya puluhan orang itu sedemikian mudahnya terti-
pu oleh musuh? Untuk beberapa saat, para laskar itu
terdiam, saling berpandangan dengan wajah menun-
jukkan rasa bersalah dan penyesalan yang sangat da-
lam.
Beberapa di antara para laskar itu, yang agaknya
tadi ikut merejam tubuh kawan mereka dengan tom-
bak segera meninggalkan tempat itu dengan air mata
bercucuran. Tak terlukiskan bagaimana hancurnya pe-
rasaan mereka karena terlanjur membunuh kawan
sendiri.
Sementara itu, Pampani tampak mulai terdesak
oleh musuh yang berwujud Iblis Pulau Aru itu. Semua
ilmu simpanan Pampani sudah ia keluarkan, namun
jangankan mendesak, ia makin keteter dan pada suatu
kesempatan, tendangan kaki lawan mendarat telak di
dagunya.
"Braaak!" Tubuh Pampani terpelanting dan
menghantam tiang bangunan. Tanpa ampun lagi ban-
gunan di sekitar itu roboh menimpa tubuh sang Kepa-
la Suku. Dengan sisa tenaga yang ada, Pampani me-
lemparkan puing-puing bangunan yang menimpa tu-
buhnya. Ia terengah-engah dan sekujur tubuhnya di-
banjiri keringat. Wajahnya agak pucat, karena ia sa-
dar nyawanya benar-benar sangat terancam. Tetapi
sebagai pendekar gagah perkasa yang juga sebagai ke-
pala suku, ia tidak mau menyerah begitu saja. Baginya
mati dalam pertarungan, apa lagi melawan musuh be-
sarnya adalah lebih terhormat daripada menyerah.
Maka ia pun segera meloncat bangun dan tampak agak
sempoyongan.
Melihat itu, lawan tertawa kemudian menyeringai
buas. Beberapa saat kemudian, tubuhnya berkelebat
menerjang Pampani. Tangan kirinya melancarkan pu-
kulan maut ke arah dada Pampani. Cepat sekali ge-
rakkannya, sehingga kepala suku itu hanya sempat
berkelit ke samping dengan cara menggeser kaki. Teta-
pi agaknya serangan itu hanya pancingan saja, karena
begitu Pampani menggeser kaki, tiba-tiba kaki kanan
lawan sudah menghantam dadanya.
"Buk!"
Tubuh Pampani kembali terlempar dan sebelum
ia sempat bangkit, tendangan lawan lagi-lagi menghan
tam dagunya. Menyusul lagi hantaman kaki kiri, hing-
ga akhirnya Pampani tergeletak tak berdaya lagi. Kepa-
lanya sangat pusing, sehingga tanah tempatnya terge-
letak terasa berputar-putar, pandangan matanya pun
berkunang-kunang, sehingga kadang-kandang tubuh
lawan tampak berubah jadi banyak sekali.
Kembali lawan yang berwujud Maleang Pangaru
itu menyeringai buas. Matanya berkilat-kilat dan me-
rah bagaikan memancarkan api sewaktu menatap
Pampani. Agaknya ia sudah memutuskan akan meng-
habisi nyawa kepala suku itu. Tetapi sebelum melak-
sanakan niat hatinya, ia masih sempat berkata.
"Riwayatmu akan kuakhiri sampai di sini saja.
Sebenarnya tanpa bantuan pendekar-pendekar dari
Pulau Jawa itu, kau tidak ada artinya sama sekali ba-
giku. Walaupun mereka tidak sesakti si Setan Cebol,
tetapi mereka cerdik-cerdik serta ulet. Tidak seperti
kau yang dungu bagaikan kerbau. Walaupun demi-
kian, kawan-kawanmu itu satu persatu sudah kupere-
teli hingga suatu saat nanti semuanya akan bertekuk
lutut di hadapanku. Sekarang giliranmu untuk mam-
pus!"
Orang tua itu mengangkat kaki kanannya, ber-
siap-siap menginjak dada Pampani hingga remuk.
Akan tetapi tiba-tiba sebuah balok kayu menghantam
tengkuknya
"Buk! Augh!"
Tubuh lelaki itu terdorong ke depan, memegangi
belakang kepalanya yang dihantam pakai balok kayu
itu, ternyata sudah retak dan mengeluarkan darah. Ia
menggeram hebat sambil memutar tubuh melihat sia-
pa yang menyerangnya dari belakang. Ternyata adalah
Karta sendiri.
Tadi pendekar dari Muara Bondet itu tertimbun
di dalam reruntuhan bangunan dan karena sudah
sempat kehabisan tenaga, ia tidak bisa segera bangkit.
Barulah setelah menghimpun tenaga dalamnya, ia me-
rasa kuat kembali. Tepat ketika ia ke luar dari rerun-
tuhan, ia melihat Pampani sedang terancam maut dan
ia pun segera bertindak menyelamatkan nyawa kakak
iparnya itu.
"Yeaaaaa!" Karta melengking panjang dan nyar-
ing. Tubuhnya mencelat bagaikan terbang menerjang
Maleang Pangaru. Goloknya diputar cepat sekali hing-
ga menimbulkan suara berdesing-desing dan menim-
bulkan gulungan sinar mata golok kehitam-hitaman
mengurung tubuh lawan. Itulah ilmu golok Karta yang
paling dahsyat, sehingga lawan bisa kebingungan se-
bab senjata di tangannya tampak berubah jadi banyak
sekali dan setiap saat selalu mengincar tubuh musuh-
nya, dari segala sudut.
Tetapi lawan yang dihadapinya saat ini juga bu-
kan orang sembarangan. Mendapat serangan yang
sangat cepat seperti itu, ia segera meloncat menghin-
dar, kemudian melancarkan serangan balasan dengan
tangan kosong tetapi tidak kalah berbahayanya. Pada
saat itu, dari dalam lubang muncul pula sesosok tu-
buh, yang tak lain adalah si Kaki Tunggal sendiri. Sete-
lah mengerahkan tenaga dalamnya tadi, ia pun dapat
mengusir pengaruh asap beracun yang memenuhi pa-
ru-parunya. Pendekar berilmu tinggi ini pun tidak ka-
lah terkejutnya melihat di tempat itu telah mengamuk
lelaki tua yang sangat mirip dengan Iblis Pulau Aru.
Wajah dan penampilan maupun cara bertarung orang
itu tidak ada bedanya dengan Maleang Pangaru, se-
hingga kalau misalnya si Kaki Tunggal belum tahu
bahwa tokoh sesat itu sudah tewas dahulu, tentu dia
tidak akan ragu-ragu lagi bahwa lelaki itu adalah mu-
suh besar Pampani.
"Apakah benar-benar Iblis itu atau hanya ilmu
sihir belaka?" tanya hati si Kaki Tunggal. Ia ingin me-
nyaksikan kehebatan ilmu silat orang aneh itu. Maka
ia pun melemparkan topi pandannya sambil menge-
rahkan tenaga dalam, sehingga topi itu meluncur cepat
sekali. Agaknya lelaki itu tidak sempat memperhati-
kannya, sehingga topi si Kaki Tunggal dengan telak
menghantam tulang iga Maleang Pangaru.
"Aaaah!"
Tubuh Maleang Pangaru meliuk-liuk dengan wa-
jah yang tiba-tiba berubah jadi pucat, pertanda bahwa
ia menderita luka dalam yang cukup parah akibat han-
taman topi si Kaki Tunggal.
"Oh, kau sudah datang Baureksa!" seru Karta gi-
rang. Ketika melihat sahabatnya menerjang Maleang
Pangaru, ia pun melancarkan serangan mautnya.
"Yeaaaa!"
Tongkat si Kaki Tunggal menyambar ke arah leh-
er Maleang Pangaru sementara golok Karta membabat
ke arah pinggangnya. Hebat sekali serangan kedua
pendekar itu. Tetapi dalam keadaan yang sangat kritis
itu, Maleang Pangaru masih sempat mengelak dengan
cara berkelit ke samping sambil menundukkan kepala
sehingga kedua senjata lawan hanya menerpa angin.
Namun saat itu, tangan kiri si Kaki Tunggal sudah
menghantam pinggangnya.
"Buk!"
Tubuh Maleang Pangaru terpelanting beberapa
meter. Melihat itu, Karta menjadi girang, lalu segera
meloncat sambil mengayunkan goloknya siap memba-
bat leher lawan hingga putus. Akan tetapi tiba-tiba
terdengar jeritan:
"Tahan! Aku adalah Pampani!"
"Mampus kau!" bentak Karta karena mengira
musuhnya hendak memperdayai mereka kembali. Go-
loknya meluncur cepat sekali menusuk dada lawan.
"Tunggu! Aku adalah Pampani, bukan Maleang
Pangaru!" Lelaki itu kembali berteriak. Akan tetapi
Karta tetap tidak mau perduli. Goloknya terus melun-
cur dan tampaknya lawannya pun tidak akan mampu
mengelak lagi.
"Trak!" Hanya beberapa centimeter sebelum
menghunjam di tubuh lawan, golok Karta tertahan
oleh tangkisan tongkat Kaki Tunggal sahabatnya.
"Tunggu dulu, Karta!" kata si Kaki Tunggal seten-
gah membentak "Lihat baik baik, siapa yang hendak
kau bunuh itu!"
Karta memperhatikan wajah lelaki yang hendak
dibunuhnya! Dan dia pun berseru kaget dengan wajah
pucat, "Astaga! Pampani!"
"Kita hampir membunuh kawan sendiri," kata si
Kaki Tunggal seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Karta segera menyarungkan goloknya! lalu mem-
bantu Pampani berdiri. Dadanya masih berdebar-
debar, tak berani membayangkan apa yang bakal ter-
jadi seandainya si Kaki Tunggal tidak menangkis go-
loknya tadi. Padahal sewaktu ia menerjang, jelas sekali
terlihat oleh matanya bahwa lelaki itu adalah Maleang
Pangaru. Sadarlah pendekar itu bahwa dirinya sudah
termakan oleh ilmu sihir lawan. "Maafkan aku, Pam-
pani!"
Para laskar yang menyaksikan kejadian itu juga
tidak kalah terkejutnya. Tadi mereka sudah bersiap-
siap melakukan pengeroyokan terhadap musuh besar
mereka. Namun ternyata musuh yang tampak sebagai
Maleang Pangaru itu adalah kepala suku mereka sen-
diri.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa terbahak-
bahak, keras sekali dan sambung menyambung seperti
suara ketawa setan dari alam gaib. Pampani dan saha-
bat-sahabatnya maupun para laskar sama-sama berpaling ke arah asal suara itu. Alangkah terkejutnya
mereka menyaksikan dua sosok tubuh laki-laki sedang
berdiri sambil tertawa-tawa di atas atap istana. Itulah
si Tukang sihir Womere bersama Wan-Da-I yang di ma-
ta Pampani serta kawan-kawan maupun laskarnya
adalah tak ada bedanya dengan Maleang Pangaru sen-
diri. Demikianlah hebat dan jahatnya ilmu sihir Wo-
mere sehingga semua musuh mereka dengan sangat
mudahnya dapat diperdayai.
"Ha ha ha! Kalian lihat, betapa mudahnya aku
merebut kekuasaan kembali. Tetapi aku tak mau bu-
ru-buru. Akan kubikin kalian lebih panik lagi sampai
hatiku puas." teriak Wan-Da-I.
"Jahanam kau! Kau benar-benar iblis terkutuk
dan keji. Suatu saat aku akan mematahkan batang le-
hermu, bangsat!" teriak Pampani geram.
"Ha ha ha...! Bagus! Bagus anak tolol Aku akan
menunggu! Lebih cepat lebih baik. Sekarang waktuku
hanya sedikit hingga tak sempat lagi bermain-main
denganmu. Tapi percayalah, aku akan segera datang.
Sampai jumpa lagi, Pampani yang tolol!"
"Turun kau!"
Akan tetapi kedua musuh besar mereka itu tidak
menyahut lagi karena sudah berkelebat dan dalam se-
kejap saja sudah hilang dari pandangan. Dengan gera-
kan yang sangat ringan, mereka meloncati atap-atap
serta pagar yang merupakan benteng istana.
Seorang penjaga menara yang sempat melihat la-
rinya kedua musuh itu mengarahkan tombaknya den-
gan cermat. Senjata tajam itu kemudian dilemparkan,
menimbulkan suara berdesing menuju sasaran. Demi-
kian cepatnya tombak itu meluncur dan dengan sangat
jitu menyambar ke arah pinggang Wan-Da-I.
Akan tetapi dengan gerakan yang lebih cepat lagi,
lelaki itu berputar dan sambil menggeram menendang
tombak itu. Kuat sekali tenaga tendangan itu, sehingga
tombak penjaga menara berbalik dan meluncur cepat
sekali ke arah pemiliknya. Penjaga menara hanya sem-
pat menyaksikan kilatan cahaya menyambar ke arah-
nya, lalu tiba-tiba ia merasa dadanya nyeri. Ternyata
tombak yang tadi dilemparkannya ke arah musuh su-
dah menancap di dadanya sendiri.
"Aaaaaah!" Terdengar jerit panjang yang sangat
memilukan ketika tubuh itu terhempas ke bawah, da-
lam keadaan tak bernyawa lagi.
"Buk!" Tubuh itu terjerembab sekitar sepuluh
meter dari para laskar, sehingga membuat mereka ter-
sentak kaget. Lalu? sama-sama memburu teman me-
reka yang bernasib malang itu.
"Hah? Ilmu iblis!"
"Keparat!"
Bermacam-macam kata makian yang keluar dari
mulut para laskar itu setelah mengetahui bahwa te-
man mereka sudah tewas. Pampani, si Kaki Tunggal
dan Karta yang tiba kemudian di tempat itu hanya
menghela nafas panjang. Tampaknya pihak lawan se-
demikian mudahnya membunuh orang-orang mereka,
seolah-olah mereka hanyalah anak-anak ayam di ha-
dapan seekor elang ganas.
Pada kesempatan itu, Womere dan Wan-Da-I su-
dah jauh dari istana Pampani. Mereka tidak berlari
kencang lagi, bahkan kemudian berjalan agak santai.
Wajah kedua tokoh sesat itu tampak memancar-
kan rasa puas, tentu saja karena barusan sudah ber-
hasil memperdayai musuh-musuh mereka. Cuma agak
disayangkan, ilmu sihir Womere yang sangat hebat itu
tampaknya tidak mempan terhadap para pendekar Pu-
lau Jawa yakni si Kaki Tunggal dan Karta sendiri. Tadi
Karta sudah hampir membunuh Pampani yang diki-
ranya adalah Maleang Pangaru, tetapi kemudian ia
pun tersadar seperti halnya si Kaki Tunggal, sehingga
Pampani pun lolos dari maut.
"Hebat juga pendekar-pendekar Pulau Jawa itu.
Mereka tak mempan ilmu sihirmu Womere!"
Si tukang sihir dari pulau Kolepom sebenarnya
terkejut juga. Dan diam-diam harus merasa kagum,
karena bukan hanya sekali ini, bahkan sudah bebera-
pa kali ilmu sihirnya gagal mempengaruhi si Kaki
Tunggal dan Karta. Akan tetapi di hadapan Wan-Da-I,
si tukang sihir itu tentu saja tidak mau mengutarakan
kelemahannya, bahkan kemudian memberikan dalih
untuk menutupi rasa tak enak di hatinya.
"Memang benar, Tuanku! Tetapi itu adalah kare-
na belum seluruhnya ku keluarkan. Tapi bagaimana-
pun juga, kita sudah beruntung karena mereka tam-
paknya sudah benar-benar yakin bahwa Maleang Pan-
garu masih hidup."
Wan-Da-I manggut-manggut sambil tersenyum
gembira karena apa yang diucapkan Womere itu benar
adanya. Lalu kemudian ia menghentikan langkahnya
"Tunggu sebentar, Womere! Aku tak betah den-
gan bulu-bulu palsu ini!" Lalu Wan-Da-I pun mencopot
kumisnya serta janggut palsu yang menutupi wajah-
nya. Setelah itu ia mengucek-ucek rambutnya, dan ter-
lihatlah tampangnya yang asli.
"Tuanku Wan-Da-I! Mereka pasti yakin bahwa
kekuatan kita sangat besar. Apalagi karena mereka te-
lah melihat Maleang Pangaru dan pendeta Naomi seo-
lah-olah sudah hidup kembali. Oh, iya. Ada kabar
gembira, Tuanku! Wori sudah kembali dan membawa
barang-barang yang kita kehendaki."
"Bagus! Kalau begitu kita manfaatkan sekarang
keahlian kedua orang kulit putih itu."
Setelah tiba di sarang mereka kembali Wan-Da-I
segera memerintahkan agar Profesor Van Leinen dan
Simon dibawa menghadap. Dua pengawal bertubuh
raksasa dan berkulit hitam legam yang selama ini tak
pernah lalai mengawasi kedua tawanan itu, segera me-
laksanakan perintah majikannya. Profesor tua itu dan
Simon dibawa menghadap dengan kedua tangan yang
masih tetap terbelenggu.
"Lepaskan belenggu itu!" perintah Wan-Da-I. Dan
setelah pengawal melepaskannya, tokoh sesat itu ber-
kata kepada kedua orang kulit putih tawanannya, "Se-
karang tugas untuk kalian berdua sudah menunggu.
Sesudah itu, kalian boleh bebas pergi dari sini membu-
ru manusia monyet itu." Lalu ia pun memberikan isya-
rat berupa anggukan kepala kepada Womere.
"Tuan-tuan," kata Womere sambil menatap wajah
Profesor Van Leinen dan Simon bergantian, "Mari ikut
aku! Hai, pengawal, bawa mereka masuk!"
Kedua orang kulit putih itu kemudian dibawa ke
dalam kamar rahasia Womere. Di dalam ruangan itu
ternyata sudah banyak peti-peti berbentuk tong, yang
tampaknya baru dimasukkan ke sana.
"Nah, Tuan-tuan, dalam peti-peti tong ini tersim-
pan bubuk-bubuk mesiu, hasil dari ilmu pengetahuan
Barat bangsa kalian sendiri. Kini Tuan-tuan harus se-
gera mengerjakannya untuk kepentingan kami. Ini
adalah kerjasama yang baik di antara kita. Sebagai ra-
sa terimakasih kami nanti, kalian akan kami berikan
banyak sekali mutiara atau benda lainnya yang kalian
perlukan."
"Apa maksudmu?" tanya Profesor Van Leinen
sambil mengerutkan kening. Sehingga ia tampak lebih
tua dari usia yang sebenarnya.
"Tuan-tuan harus membuat alat peledak untuk
beberapa ukuran! Selain itu, kalian pun harus menga-
jarkan cara pembuatannya kepada kami!"
Profesor Van Leinen tidak segera menyahut, teta
pi dari raut wajahnya dapat diduga bahwa ia sangat ti-
dak setuju dengan maksud Womere. Agaknya, tukang
sihir itu pun sudah terlebih dulu memikirkannya. Ma-
ka ia tampak tersenyum setengah menyeringai. Sikap-
nya jelas sangat mengancam ketika berkata: "Ingat!
Janganlah coba-coba menipu kami. Kami dapat segera
mengetahui gelagat kalian. Nah, selamat bekerja!"
"Kalau kami tidak mau bagaimana?"
"Tidak mau?" Womere tertawa ngakak, "Aku ya-
kin kalian bukanlah orang tolol yang mau menolak
maksud baik kami. Tak ada alasan bagi kalian untuk
menolaknya. Kerjakanlah dengan segera. Makin cepat
makin baik."
Profesor Van Leinen tampak menghela nafas da-
lam-dalam. Ia terlihat dari wajahnya yang pucat dan
sikapnya yang gelisah.
"Mari, Profesor! Sebaiknya kita menuruti permin-
taan mereka! Makin cepat makin baik, agar kita segera
bebas dari tempat neraka ini," kata Simon setengah
berbisik ke telinga ahli biologi dan ilmu alam itu.
"Simon, kita diharuskan membuat alat membu-
nuh yang paling keji untuk digunakan membantai
orang-orang yang belum tentu merupakan musuh kita.
Aku..."
"Jangan tolol, Profesor!" sela Simon cepat, "Kita
harus melakukannya. Tak perduli, karena semua pen-
duduk pribumi di sini adalah rintangan bagi usaha ki-
ta."
"Tidak, Simon! Kau jangan menyamakan semua-
nya. Kepala suku bernama Pampani itu orangnya lain,
ia sangat bijaksana. Ia tidak berbuat kerja paksa se-
perti ini jika seandainya kita jatuh ke tangannya. Itu
tandanya bahwa..."
"Tutup mulutmu, Tuan!" bentak Wan-Da-I yang
sudah berada di ruangan itu "Tak ada pilihan lain bagi
kalian kalau ingin keluar dari sarangku dalam kea-
daan selamat."
"Sebaiknya tuan-tuan segera melakukan perintah
kami. Kami masih banyak urusan, sehingga tak perlu
mendengar ocehanmu. Pengawal-pengawal raksasa itu
akan mengawasi kalian!" kata Womere pula.
Tiba-tiba sang Profesor mendengus, "Mengapa tak
kalian paksa aku dengan cara permainan boneka-
boneka ajaib itu. Terus terang aku tak mau melaku-
kannya."
"Hati-hati bicara, Prof! Mereka bisa marah!" bisik
Simon gemetar.
"Pertanyaanmu lucu juga, Tuan. Dengan boneka-
boneka itu, akal dan pikirankulah yang memasuki diri
kalian. Sedangkan kami butuh akal pikiran kalian un-
tuk membuat alat-alat peledak. Sudah mengertikah
engkau, Tuan?"
Profesor Van Leinen tidak menyahut lagi. Ia beru-
lang kali menarik nafas berat sehingga desah nafasnya
terdengar jelas memenuhi ruangan itu. Tetapi kemu-
dian, salah seorang di antara kedua pengawal bertu-
buh raksasa itu menarik tangannya dengan kasar den-
gan mata mencorong tajam dan buas.
***
TIGA
Malam telah larut. Alam di sekitar Kepulauan Aru
sunyi senyap bagaikan alam yang mati, tanpa gerak
dan perubahan. Rembulan di langit bersinar redup,
seperti enggan menampakkan diri di atas kepulauan
yang sedang dilanda prahara itu. Angin pun berhem-
bus pelan-pelan saja, tak ubahnya sepasang kaki yang
sedang melangkah gontai dan tertatih-tatih.
Dari kejauhan terdengar suara desah ombak laut
menghempas di pantai. Sesekali terdengar pula suara
burung-burung malam, seperti sedang menyanyikan
senandung pilu. Terasa betapa malam itu menimbul-
kan suasana menyeramkan, seolah-olah dari balik de-
daunan tangan-tangan lain siap merenggut nyawa sia-
papun yang terlihat. Atau barangkali dari keheningan
malam itu sudah terdengar untaian cerita tragis yang
bakal terjadi, tetapi tak seorang pun dapat menden-
garnya.
Ibukota Pulau Trangan di mana terletak istana
Pampani juga tampak sangat sepi, seakan-akan sedang
lelap tertidur. Tetapi sesungguhnya tidak semua peng-
huninya tertidur. Laskar yang mendapat giliran ronda
malam itu tampak masih berjaga-jaga di tempat yang
telah ditentukan.
Sekitar lima ratus meter dari pagar benteng, ter-
lihat sesosok tubuh lelaki duduk bersandar pada batu
cadas. Lelaki itu mengenakan topi pandan lebar dan di
tangannya menggenggam sebatang tongkat yang cukup
panjang. Siapa lagi kalau bukan Baureksa yang diju-
luki si Kaki Tunggal.
Sekitar lima ratus meter dari tempat itu tampak
pula seorang laki-laki bertubuh raksasa, berjalan men-
gendap-endap di sela-sela batu-batu cadas. Melihat
keadaannya yang tidak memakai baju selain sejenis
cawat penutup aurat serta gelang-gelang besar di ke-
dua tangan dan kakinya, ia adalah penduduk pribumi
Pulau Aru. Dialah pengawal andalan serta kepercayaan
Pampani, yakni Bungoru.
Seperti biasanya, si Gila Dari Muara Bondet su-
dah duduk bersemadi di laut. Di sebelah Barat istana,
ada lagi sosok-sosok tubuh mengintai dari balik se-
mak-semak rimbun. Secara keseluruhan, mereka da
lam suasana berjaga-jaga.
Hal itu sesuai dengan hasil perundingan Kepala
Suku Pampani bersama Karta dan si Kaki Tunggal ser-
ta para penasehat istana. Karena mereka yakin malam
itu akan datang serangan musuh, maka mereka pun
mengadakan penjagaan di segala sudut, baik di dalam
maupun di luar istana.
Akan tetapi sampai tengah malam belum terlihat
tanda-tanda pihak musuh melakukan serangan. Sua-
sana di sekitar masing-masing masih sepi. Namun
menjelang pagi, tiba-tiba dari balik tebing muncul se-
sosok tubuh laki-laki. Di bawah siraman sinar rembu-
lan, terlihat tangan kanan lelaki itu buntung sebatas
siku. Tangan kirinya menghunus sebilah golok, seperti
sedang mengintai musuh yang hendak dibunuh. Laki-
laki yang tak lain Umang itu terus berjalan mengen-
dap-endap di balik tebing batu cadas.
Dari balik semak-semak, muncul pula Mirah
sambil menghunus golok. Ia tampak bergerak gesit me-
loncati bebatuan dan karena gerakannya sangat cepat,
maka yang tampak hanya berkelebatnya bayangan tu-
buhnya.
Di sudut lain, di atas tebing muncul pula lelaki
bertubuh raksasa, yang tak lain adalah Pendekar Bu-
merang Wori. Lelaki itu berdiri tegak bagaikan patung
batu cadas, dengan tangan kiri menggenggam bume-
rang senjata mautnya.
Si Kaki Tunggal yang saat itu hampir tertidur, ti-
ba-tiba mendengus. Telinganya yang sangat tajam
mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Sece-
pat kilat ia berbalik dan meloncat berdiri sambil ber-
siap-siap menghadapi segala kemungkinan.
"Siapa kau?" bentaknya ketika menyaksikan seo-
rang laki-laki berdiri tak jauh di hadapannya. Sejenak
ia mengamati wajah lelaki itu dan ia pun berseru ka
get: "Oh, kau Umang!"
"Aku datang untuk mencabut nyawamu!" bentak
Umang lalu berteriak nyaring. Hampir bersamaan den-
gan itu, ia meloncat menerjang si Kaki Tunggal. Golok-
nya diayunkan cepat sekali membabat ke arah leher
lawan.
Untunglah sejak tadi si Kaki Tunggal sudah ber-
siap-siap, sehingga ia segera dapat menghindari den-
gan cara meloncat ke belakang sekitar lima meter.
"Umang, ingat! Aku adalah Baureksa sahabatmu!" te-
riaknya.
Akan tetapi Umang tidak mengucapkan sepatah
kata pun, bahkan secara mendadak kembali mener-
jang Baureksa dengan dahsyat. Goloknya kali ini me-
nyambar ke arah kaki lawannya, sehingga Baureksa
terpaksa harus meloncat tinggi untuk menghindari se-
rangan itu. Dari atas si Kaki Tunggal melancarkan se-
rangan. Namun kenyataan bahwa lawannya kali ini
adalah sahabatnya sendiri yang menyerangnya hanya
karena dipengaruhi ilmu sihir lawan, membuat si Kaki
Tunggal hanya melakukan serangan yang tanggung-
tanggung saja. Ketika tongkatnya menyambar kepala
Umang, lelaki berlengan tunggal itu mengangkat go-
loknya untuk menangkis.
"Trang!"
Kedua senjata itu beradu cukup keras dan kare-
na si Kaki Tunggal hanya mengerahkan sebagian saja
dari tenaga dalamnya, maka tubuhnya pun terdorong
mundur. Kesempatan itu digunakan Umang melancar-
kan serangan lanjutan yang tampak semakin ganas.
Sambil menangkis serangan Umang, si Kaki
Tunggal tak henti-hentinya berteriak memperingatkan
sahabatnya. Tetapi Umang tetap tak mau perduli, bah-
kan tampak beringas setiap kali si Kaki Tunggal me-
nyebut namanya. Padahal kalau misalnya si Kaki
Tunggal mau, tidak sampai tiga puluh jurus saja, ia
tentu dapat merobohkan bahkan membunuh Umang.
Tetapi bagaimana mungkin baginya membunuh kawan
sendiri? Keadaan itulah yang membuat pertarungan
berjalan seru dan berlangsung lama.
Di sudut lain Pulau Trangan, Bungoru tampak
masih duduk mengantuk tanpa menyadari bahwa Wori
sudah berjalan mengendap-endap menghampirinya.
Sepasang mata pendekar bumerang itu mendelik me-
rah dan giginya gemeretak. Lalu tanpa menimbulkan
suara teriakan, lelaki bertubuh raksasa itu menerkam
Bungoru, dari belakang. Kedua tangannya langsung
mencekik leher Bungoru, yang berperawakan raksasa
seperti dirinya.
Tentu saja Bungoru sangat terkejut! Lehernya te-
rasa sakit sekali dan nafasnya pun hampir putus.
Sambil mengerahkan segenap tenaganya, ia mencoba
meronta, tetapi cekikan lawan sangat kuat bagaikan
jepitan baja.
Bungoru semakin kesakitan, tetapi ia tentu saja
tidak mau menyerah begitu saja. Tanpa memperduli-
kan rasa sakit di lehernya, ia tiba-tiba menunduk dan
mengangkat tubuh lawan, kemudian membantingkan-
nya sekuat tenaga.
"Buk!"
Tubuh Wori terhempas keras sekali, sehingga
bukit cadas di sekitar tempat itu terasa bergetar hebat.
Pendekar Bumerang mengaduh karena punggungnya
terasa sakit sekali. Ia berusaha bangkit, namun tiba-
tiba Bungoru sudah menerkamnya. Kedua tangannya
mencengkeram dan memiting leher Wori sekuat tena-
ga.
Mata Wori mendelik menahan rasa sakit luar bi-
asa di lehernya. Tetapi ia pun bukanlah lelaki yang
mudah menyerah. Sekalipun sangat kesakitan dan na
fasnya hampir putus pula, ia balas mencekik leher
Bungoru sambil mendorong sekuat tenaga. Maka ter-
jadilah dorong mendorong, cekik mencekik dan banting
membanting antara kedua lelaki bertubuh raksasa
yang sebetulnya bersahabat itu. Cuma Wori sudah di-
pengaruhi ilmu sihir Womere, sehingga seolah-olah tak
kenal lagi terhadap Bungoru. Sedangkan Bungoru
sendiri tentu saja tidak mau mati konyol di tangan Wo-
ri. Bila perlu, biar pun sahabat atau siapapun akan ia
bunuh jika bermaksud mencelakakan dirinya.
Suatu saat, Wori berhasil membantingkan tubuh
Bungoru dengan sangat kuatnya.
Dan sebelum lawannya itu berhasil bangkit, Wori
segera memungut sebongkah batu cadas sekitar empat
kali lebih besar dari kepalanya sendiri, kemudian
membantingkannya ke dada Bungoru!
Tentu saja Bungoru sangat terkejut, menyadari
nyawanya sedang terancam. Maka sambil berteriak
nyaring, ia menyilangkan tangan kirinya menangkis
hantaman batu cadas itu.
"Desss!"
Batu itu menghantam lengan kiri Bungoru dan
menjadi hancur berkeping-keping. Wori yang agaknya
tidak menyangka kehebatan lawan sempat terpaku.
Dan kesempatan yang sangat singkat itu sudah cukup
bagi Bungoru melancarkan tendangan mautnya meng-
hantam dada Wori.
Pendekar Bumerang terpelanting, menyusul pu-
kulan tangan kanan lawan mendarat telak di dadanya,
sehingga membuatnya menjerit kesakitan. Ketika Bun-
goru kembali menghantam ke arah tulang iganya, ia
berkelit ke samping, lalu memukul perut lawan. Kem-
bali kedua lelaki itu bergumul dahsyat, sehingga batu-
batu cadas di tempat itu berguncang dan batu-batu
kecil beterbangan.
Di pantai, di atas tebing, Mirah sudah bersiap-
siap melancarkan serangan mautnya. Ia mengambil
sebongkah batu cadas sebesar kepalanya, lalu dengan
mengerahkan segenap tenaga dalamnya, ia menyam-
bitkan batu itu tepat mengarah ke kepala si Gila Dari
Muara Bondet yang sedang duduk bersemadi dalam air
laut. Batu itu meluncur cepat sekali hingga hampir tak
terlihat oleh mata, siap menghancurkan kepala Karta.
"Desss!"
Batu itu hancur berkeping-keping, tetapi bukan
menghantam kepala Karta, melainkan lengan kirinya ia
angkat tadi melindungi diri dari serangan yang sangat
mendadak itu. Walaupun sedang bersemadi, pendekar
itu tetap waspada. Ketika merasakan angin dahsyat
menyambar ke arah kepalanya, sadarlah pendekar itu
bahwa dirinya sedang terancam. Maka sambil menge-
rahkan tenaga dalamnya, ia mengangkat tangan ki-
rinya untuk menangkis.
"Astaga! Siapa yang menyerangku...!" teriak Karta
terkejut. Ia membalikkan badan menatap ke atas teb-
ing. Kembali ia terperanjat setelah mengetahui bahwa
yang menyerangnya barusan adalah Mirah sendiri.
"Mirah! Jangan kau turutkan bathinmu yang ko-
tor itu. Ingatlah kau telah dipengaruhi ilmu sihir!"
"Tutup mulutmu, bangsat! Keluarlah dari situ,
hadapi aku kalau kau memang bukan pengecut. Mari
bertarung sampai salah seorang di antara kita tewas!"
"Itulah yang membuat hatiku jadi sedih, Mirah.
Aku dipaksa menghadapi kau sebagai musuh. Kita ha-
rus saling membunuh, aku atau kau yang akan mati.
Padahal kita adalah kawan sendiri, kawan seperjuan-
gan dan sama-sama sedang menderita dalam kepriha-
tinan. Kita satu cita-cita, Mirah! Apakah kau tidak
mengerti perasaanku?"
"Jangan banyak bicara kau, bedebah! Melawan
atau tidak, aku akan tetap membunuhmu. Akan ku-
buntungi kepalamu!"
Tiba-tiba Karta menjadi beringas, bukan ka-
rena marah mendengar ucapan Mirah itu, melainkan
karena telinganya menangkap sesuatu yang mencuri-
gakan di dalam air laut. Ternyata dua sosok tubuh
raksasa tiba-tiba tersembul dari dalam air, hanya seki-
tar empat meter di sebelah kiri dan kanan Karta. Ke-
dua lelaki bertubuh tinggi besar itu menyeringai buas
sambil menatap Karta dengan sinar mata mencorong
tajam.
Karta terkejut dan segera memasang kuda-kuda,
karena ia sudah yakin bahwa kedua laki-laki itu ada-
lah anak buah musuh yang sengaja disuruh untuk
membunuhnya. Tanpa mengucapkan apa-apa, kedua
lelaki itu menerkam Karta dari arah berlawanan. Gera-
kan mereka tampak sangat cepat dan ringan, padahal
tubuh mereka yang hampir sebesar kerbau dewasa itu
tentulah sangat berat. Sadarlah si Gila Dari Muara
Bondet bahwa kedua lawan yang dihadapinya seka-
rang bukanlah orang sembarangan.
Ketika tangan kedua lawan sudah hampir me-
nyentuh tubuhnya, tiba-tiba Karta meloncat tinggi
sambil berteriak melengking nyaring. Hampir bersa-
maan dengan itu, kedua kakinya direntangkan menen-
dang dada lawan-lawannya.
"Duk!"
Tendangan geledek Karta menghantam dada ke-
dua lawan, membuat mereka terhuyung-huyung mun-
dur. Pada saat itu Karta bersalto dan menginjak kepala
salah seorang lawannya sebagai tumpuan untuk me-
loncat ke atas tebing. Akan tetapi baru saja menda-
ratkan kakinya, sabetan golok Mirah sudah menyam-
bar ke arah pinggangnya. Cepat dan kuat sekali seran-
gan Mirah, sehingga tak ada lagi kesempatan untuk
menghindar bagi Karta, selain meloncat tinggi sambil
bersalto. Namun ketika kakinya menginjak tebing ca-
das, golok Mirah sudah menyambar lagi.
"Buntung kakimu!" bentak Mirah.
"Aih!" Karta berseru kaget. Untuk meloncat tinggi
lagi, rasanya tidak mungkin lagi. Karena hampir bisa
dipastikan sewaktu tubuhnya melayang, Mirah akan
melancarkan serangan susulan yang tak mungkin lagi
dapat dihindarinya. Maka jalan satu-satunya adalah
meloncat mundur. Selamatlah Karta dari ancaman
maut, namun tanpa bisa dicegah lagi, tubuhnya kem-
bali terhempas ke laut.
Sebetulnya tadi Karta meloncat dari laut ke atas
tebing bukan karena gentar menghadapi dua lelaki
bertubuh raksasa itu. Bagi dia yang sudah sangat
pandai menyelam dan berenang, bertarung di darat
atau dalam air sama saja. Akan tetapi maksudnya tadi
adalah untuk menyadarkan Mirah, siapa tahu kali ini
ia berhasil sehingga istri sahabatnya itu menjadi ingat
akan dirinya. Namun tanpa diduga-duga Mirah malah
menyambutnya dengan serangan maut dan masih un-
tung baginya dapat menyelamatkan diri walaupun ha-
rus tercebur ke laut.
"Byuuuur!" Tubuh Karta terhempas dan dua pa-
sang tangan kokoh segera menyerbunya dari arah ber-
lawanan. Salah seorang di antara lawan menjambak
rambutnya, sementara yang satu lagi mencekik leher-
nya.
Menghadapi serangan itu, Karta tidaklah gentar
tetapi juga tidak mau anggap remeh. Ketika ia merasa
jepitan tangan lawan semakin kuat, tiba-tiba kedua
tangannya menyambar cepat sekali ke arah selangkan-
gan kedua lawan. Terdengar suara gemeretak ketika
jemari tangan Karta dengan telak menghantam kema-
luan kedua lawan. Dua lelaki bertubuh raksasa itu
pun melepaskan tangannya dan sama-sama menjerit
panjang.
Kesempatan itu digunakan Karta untuk melo-
loskan diri dengan cara menyelam menjauh. Tubuhnya
bagaikan ikan saja melesat dan berkelebat di dalam
air. Akan tetapi kedua lawannya yang sudah sangat
marah akibat serangan Karta tadi tidak mau mele-
paskan buruannya begitu saja. Keduanya pun ternyata
dapat berenang cepat sekali, sehingga dalam waktu
singkat sudah berhasil menyusul Karta.
"Celaka, mereka bisa mengejarku!" kata hati Kar-
ta cemas. Ia mencoba mempercepat laju tubuhnya,
namun tiba-tiba tangan lawan sudah berhasil men-
cengkeram lehernya. Karta mencoba berkelit, namun
kedua lawan sudah terlebih dulu mencekik lehernya.
Tenaga kedua lelaki bertubuh raksasa itu memang
luar biasa kuatnya. Rontaan Karta seperti tidak ada ar-
tinya, padahal ia sudah mengerahkan segenap tenaga
dalamnya.
Sadarlah Karta bahwa dirinya betul-betul teran-
cam bahaya maut dan jika tidak segera dapat mele-
paskan diri, kemungkinan besar ia akan tewas. Atau
paling tidak batang lehernya akan patah dan remuk
oleh jepitan lawan. Dalam keadaan yang sangat gent-
ing itu, si Gila berhasil meraih gagang goloknya. Lalu
ia menyabet ke kiri dan ke kanan, tepat merobek kulit
perut lawan hingga ususnya terburai. Darah se-gar se-
gera menyembur, sehingga air laut di sekitar tempat
itu menjadi merah. Hanya sejenak kedua laki-laki itu
menggelepar-gelepar, kemudian terkulai lemas dan
tenggelam ke dasar laut tanpa nyawa lagi.
Karta segera menyarungkan goloknya, lalu me-
luncur cepat ke permukaan laut. Akan tetapi baru saja
kepalanya tersembul, tiba-tiba sabetan goloknya sudah
menyambar.
"Hait!" Karta bersalto berseru kaget sambil me-
lempar tubuh ke belakang hingga kembali ia selamat
dari maut. Ternyata wanita yang menyerangnya tadi
adalah Mirah sendiri.
"Jahanam!" bentak Mirah geram karena seran-
gannya kembali gagal. Padahal tadi ia sudah yakin sa-
betan goloknya paling tidak akan membuat Karta
menderita luka parah. Namun ternyata lelaki itu memi-
liki ketangkasan luar biasa. Walaupun diserang secara
mendadak ketika kepalanya baru tersembul, masih
sempat mengelak. Hampir tak percaya Mirah karena
dalam keadaan segenting itu Karta masih dapat meng-
hindar.
Seandainya misalnya serangannya dilancarkan-
nya di darat, tidaklah terlalu mengherankan jika lawan
bisa menghindar. Tetapi di dalam laut seperti tadi,
sungguh luar biasa. Dan makin hebat kepandaian la-
wan, makin besar pula amarah Mirah.
Sambil berteriak melengking nyaring, ia meloncat
menerjang Karta kembali. Goloknya menukik dari atas
melancarkan tusukan maut ke arah dada Karta. Se-
mentara tangan kirinya sudah dipersiapkan melancar-
kan serangan susulan.
"Aih, kau benar-benar ganas, Mirah!" teriak Karta
sambil menundukkan kepala. Namun agaknya, Mirah
sudah menduga hal itu, karena secara mendadak tan-
gan kirinya sudah menyambar dengan jari-jari terbuka
ke arah leher Karta.
Serangan yang berupa tamparan dan sewaktu-
waktu dapat diubah menjadi cengkeraman maut itu
benar-benar dahsyat. Hal itu dapat dirasakan dengan
angin pukulannya, yang membuat si Gila terkejut. Ce-
pat-cepat ia mengangkat tangan kanannya untuk me-
nangkis pukulan itu.
"Duk!" Lengan yang kecil halus namun mengan
dung tenaga dalam yang sangat kuat itu beradu keras
dengan lengan kekar Karta. Akibatnya, tubuh kedua
insan berlainan jenis itu pun terdorong. Bahkan Mirah
terpaksa harus bersalto sampai tiga kali untuk menja-
ga keseimbangan tubuhnya, sedangkan Karta sendiri
hanya terdorong mundur beberapa langkah. Dari per-
temuan pukulan itu tadi, dapatlah diduga bahwa tena-
ga dalam Mirah masih sedikit berada di bawah Karta.
Dan hal itu pula yang membuat istri Umang se-
makin geram. Berkali-kali sudah ia melancarkan se-
rangan mautnya, baik secara terang-terangan maupun
secara sembunyi-sembunyi, namun semuanya selalu
dapat dielakkan Karta. Lelaki itu sepertinya mempu-
nyai mata lebih dari dua dan memiliki kelincahan tu-
buh yang sewaktu-waktu dapat membuatnya bergerak
bagaikan siluman saja. Benci sekali Mirah, tetapi juga
sekaligus kagum. Rasa kagum yang mengandung bira-
hi dan gejolak hasrat yang menggebu-gebu. Semuanya
campur aduk, sehingga membuatnya tampak sangat
beringas namun serangannya menjadi ngawur sekali.
Sementara itu, Profesor Van Leinen dan Simon
sudah mulai bekerja di kamar rahasia Womere. Empat
laki-laki bertubuh raksasa anak buah si tukang sihir
itu mengawasi dengan mata yang hampir tak pernah
berkedip. Para pengawal itu tak pernah mengeluarkan
kata sepatahpun juga. Namun dari sinar mata mereka
memancar sebuah ancaman maut, akan membunuh
kedua orang kulit putih itu kalau berani macam-
macam.
Seperti diceritakan pada awal kisah ini, Wan-Da-I
dan Womere telah menjalin hubungan perdagangan
dengan Belanda. Mereka memberikan mutiara-mutiara
dan sebagai tukarannya adalah mesiu atau bahan-
bahan peledak. Wori sendiri yang mengantarkan mu-
tiara-mutiara itu dibantu beberapa pengawal ke Pulau
Uglo dengan menggunakan perahu layar.
Saat itu, si Gila Dari Muara Bondet sempat beru-
saha mencegahnya, namun tidak berhasil bahkan ia
menderita luka-luka oleh dua tombak pengawal perahu
yang menyerempet dadanya. Setelah bertemu dengan
orang-orang Belanda, mereka pun mengadakan jual
beli secara barteran, di mana Wan-Da-I yang diwakili
Pendekar Bumerang Wori memperoleh mesiu yang cu-
kup banyak.
Tanpa mendapatkan kesulitan berarti, Wori
membawa mesiu itu pulang. Tentu saja Wan-Da-I san-
gat girang, apalagi setelah berhasil menawan Profesor
Van Leinen dan Simon. Kedua kulit putih itu sebetul-
nya hendak mengadakan penelitian terhadap manusia
kera yang menurut kabar ada di sekitar Kepulauan
Aru. Tetapi tanpa diduga-duga, keduanya jatuh ke da-
lam cengkeraman Wan-Da-I dan Womere. Dalam kea-
daan tak berdaya, kedua kulit putih yang berasal dari
Negeri Belanda itu dihadapkan kepada dua pilihan, di-
bunuh setelah terlebih dulu disiksa habis-habisan
atau mau menciptakan alat peledak dari mesiu yang
mereka terima dari orang-orang Belanda pula.
Kedua pilihan itu sama-sama sangat berat, teru-
tama bagi Profesor Van Leinen. Ia sudah tua dan ram-
butnya pun sudah memutih. Dalam sisa hidupnya ia
hanya ingin mencari nama sekaligus menyumbangkan
ilmu pengetahuan kepada dunia, khususnya kepada
bangsanya sendiri. Sekarang ia dipaksa pula mencip-
takan alat peledak yang ia tahu bakal digunakan Wan-
Da-I untuk menghancur leburkan Kerajaan Pampani,
yang sudah pasti akan merenggut banyak sekali kor-
ban jiwa.
Kalau itu misalnya benar-benar terjadi, berarti
secara tidak langsung yang melakukan pembunuhan
itu adalah Profesor Van Leinen sendiri. Membunuh!
Alangkah ngerinya. Celakanya bukan hanya satu atau
dua orang, tetapi puluhan bahkan mungkin ratusan.
Bagaimana ia tega melakukannya? Alangkah sia-
sianya jika sisa hidupnya digunakan untuk mencela-
kakan manusia.
Profesor Van Leinen tadinya sudah siap sedia di-
bunuh, tetapi Simon selalu mendesaknya agar menu-
ruti perintah Wan-Da-I. Alat peledak yang bakal mere-
ka ciptakan itu memang akan digunakan Wan-Da-I
untuk membunuh. Tetapi mereka melakukannya
hanya karena terpaksa, tanpa ada pilihan lain. Hidup
mereka juga akan sia-sia jika harus mati konyol di
tangan tokoh sesat itu. Itulah alasan Simon disertai
kata-kata permohonan yang sangat memelas.
Akhirnya, dengan perasaan berat, Profesor Van
Leinen menyatakan kesediaannya untuk menerima ta-
waran pihak Wan-Da-I. Kini kedua lelaki berkulit putih
itu sudah mulai menciptakan alat-alat peledak. Tak
percuma memang keduanya memiliki ilmu yang tinggi
di bidang teknologi. Bagi mereka menciptakan alat pe-
ledak dari mesiu yang sudah tersedia bukanlah peker-
jaan yang terlalu sulit. Akan tetapi karena sangat ter-
paksa, pekerjaan mereka jadi lambat sekali. Bahkan
kadang-kadang Profesor Van Leinen sengaja mengulur-
ulur waktu sambil memberikan alasan macam-macam.
"Kalau sudah begini harus di-tunggu beberapa jam"
atau "Bahan yang ini harus terlebih dulu dijemur sam-
pai kering." Serta beberapa alasan lainnya, walaupun
sebetulnya alasannya itu hanyalah dibuat-buat saja.
Akan tetapi penduduk pribumi seperti Wan-Da-I,
Womere dan anak buah mereka mana mengerti hal-hal
seperti itu? Mereka menurut saja kata-kata Profesor
tua itu sambil sesekali memberikan ancaman agar me-
reka bekerja secepat mungkin.
Kita kembali kepada pertarungan antara si Kaki
Tunggal dengan Umang yang masih berlangsung sen-
git. Namun ternyata bahu si Kaki Tunggal sudah ter-
gores ujung senjata lawan hingga mengeluarkan darah.
Luka itu sebetulnya tidak terlalu parah, namun cukup
menimbulkan rasa nyeri.
Luka itu terpaksa harus diterima si Kaki Tunggal
karena ketidaksungguhannya dalam bertarung. Lain
halnya dengan Umang, selain sangat ganas, kadang-
kadang juga nekad mengadu nyawa, seolah-olah sudah
siap mati asalkan dapat membunuh lawannya. Hal itu-
lah yang dihindari Baureksa tadi hingga bahunya
sampai terluka.
Kenyataan itu membuat si Kaki Tunggal mulai
cemas, karena kalau terus-terusan begitu tidak mus-
tahil ia akan menderita luka yang lebih berat lagi. Ma-
ka ia pun memutuskan melancarkan serangan maut-
nya, biarlah ia melukai Umang yang penting jangan
sampai membunuhnya.
Ketika Umang kembali menerjangnya dengan tu-
sukan kilat mengarah ke dada, si Kaki Tunggal bergul-
ing-gulingan di atas tanah dan pada saat yang bersa-
maan tongkatnya sudah menyambar pinggang Umang,
"Buk!" Tongkat itu menghantam pinggang si Len-
gan Tunggal. Tidak terlalu keras, namun cukup mem-
buat tubuhnya ter-pental beberapa meter. Ketika ia
bangkit kembali, tampaklah darah segar menetes dari
mulutnya pertanda bahwa ia menderita luka dalam.
Namun hal itu bukannya membuat Umang sadar, ma-
lah tampak semakin beringas. Tanpa perduli rasa sakit
di pinggangnya, ia kembali menerjang dengan sikap
siap mengadu nyawa dengan lawan.
"Kau tidak akan bisa mengalahkan aku, Umang.
Kau boleh belajar dua puluh tahun lagi untuk bisa
mengimbangi aku. Tapi kau betul-betul bermental ke-
rupuk, begitu mudahnya dipengaruhi sihir lawan." kata si Kaki Tunggal terpotong-potong, karena ia sudah
sibuk kembali berloncatan ke sana ke mari sambil
memutar tongkatnya untuk menghindari serangan
Umang.
Di laut, di tepi Pantai Arafuru, si Gila Dari Muara
Bondet masih bertarung menghadapi Mirah. Sama se-
perti si Kaki Tunggal, ilmu silat Karta bukanlah tan-
dingan lawan. Kalau ia mau sudah sejak tadi ia bisa
menghabisi nyawa Mirah. Tapi itu tidak diinginkannya
sebab bagaimanapun juga, Mirah menyerangnya ha-
nyalah karena dipengaruhi ilmu sihir lawan.
Sewaktu menyabetkan goloknya mengincar leher,
Karta segera mengangkat senjatanya dan sengaja men-
gerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menangkis.
Terdengar suara berdentang nyaring ketika dua golok
itu beradu, setelah itu Mirah terpekik kaget karena go-
loknya sudah terlepas dari tangan.
Belum sempat berbuat apa apa, Karta sudah me-
nangkap tangannya dengan kuat, kemudian memutar-
mutar tubuh Mirah bagaikan baling-baling. Beberapa
saat kemudian, ia pun membantingkan tubuh wanita
itu ke laut. Mirah menjadi gelagapan dan berusaha be-
renang ke permukaan air untuk menarik nafas. Na-
mun tiba-tiba Karta sudah membenamkannya kemba-
li. Begitulah berkali-kali dilakukan oleh Karta sehingga
makin lama Mirah semakin lemas. Bahkan akhirnya
wanita itu terkulai lemas, pingsan.
"Sudah pingsan!" kata Karta sambil mengangkat
tubuh Mirah ke tepi pantai. Pertarungan yang baru sa-
ja berlangsung menyadarkannya bahwa berhadapan
dengan perempuan sebetulnya bisa bikin pusing. Tidak
dilawan dirinya sendiri mampus. Dilawan pun susah,
karena seperti tadi ia selalu tidak tega.
Perlahan-lahan, Karta membaringkan tubuh Mi-
rah di atas pantai berpasir lembut. Ditatapnya wajah
wanita itu lama sekali. Ada rasa kasihan, tetapi ada
pula rasa kagum karena sesungguhnya Mirah sangat
cantik dan menggairahkan sebagai seorang wanita.
Apalagi ketika menatap bibirnya yang tipis dan merah
merekah. Rambut Mirah acak-acakan, namun di mata
Karta hal itu justru menambah daya tariknya. Sekujur
tubuh wanita basah kuyub sehingga lekuk-lekuk tu-
buhnya yang indah terlihat cukup jelas dari balik ba-
junya yang tipis.
Karta menghela nafas panjang. Tanpa sadar, ia
menjadi teringat peristiwa yang terjadi beberapa tahun
lalu, ketika ia bersama Ranti yang kini sudah menjadi
istrinya tetapi tinggal di Pulau Jawa.
Ketika itu, keduanya berada di atas rakit, di ma-
na Ranti sedang dipengaruhi ilmu sihir lawan. Karta
sangat kebingungan untuk mencari jalan keluar untuk
bisa membebaskan Ranti dari pengaruh sihir. Tetapi
kemudian, entah bagaimana terjadinya tiba-tiba ia se-
perti mendapat ilham.
Ia membuka seluruh pakaian yang melekat di tu-
buh Ranti, kemudian membuka pakaiannya sendiri.
Ranti, yang dulunya adalah putri angkat tokoh sesat
Gembong Wungu memang terbebas dari pengaruh sihir
dan kemudian menjadi istri Karta.
Sekarang, dalam kebingungannya si Gila Dari
Muara Bondet memutuskan untuk melakukan hal
yang sama terhadap Mirah dengan maksud agar istri
sahabatnya itu terbebas dari pengaruh sihir Womere.
Tak berani pendekar itu membayangkan bagaimana
kalau sekiranya nanti Umang mengetahuinya. Mung-
kin akan benci dan mendendamnya seumur hidup. Te-
tapi kalau Mirah terus-terusan dibiarkan terpengaruh
sihir lawan, maka secara lambat laun namun pasti, hi-
dupnya akan menuju kehancuran.
Karta tertegun beberapa saat, kemudian menengadahkan wajah ke langit. Matanya berkaca-kaca dan
kedua tangannya direntangkan, lalu dengan gemetar,
ia berkata: "Ya, Allah! Jika kau menghendaki aku un-
tuk terpaksa berbuat dosa seperti itu, biarlah aku me-
lakukannya! Aku akan melakukannya...."
Setelah memejamkan mata beberapa saat, si Gila
Dari Muara Bondet segera membuka bajunya, kemu-
dian celananya hingga tubuhnya menjadi bugil. Lalu
dengan jemari gemetar dan wajah sebentar pucat se-
bentar merah, ia membuka pula pakaian Mirah. Per-
tama baju atas, kemudian pakaian bawah, dan pa-
kaian dalam. Mirah pun sudah dalam keadaan telan-
jang bulat seperti halnya Karta.
"Apa boleh buat, biarlah nanti aku disiksa di ne-
raka asalkan kawan-kawanku selamat...." kata Karta
bergumam.
Getaran di dada Karta semakin tak menentu. Ku-
lit tubuh itu sangat mulus tanpa cacat sedikitpun juga.
Dan sekalipun sebetulnya perbuatannya itu dilakukan
bukan karena terdorong nafsu setan, namun tetap saja
merupakan pelanggaran dan dosa terkutuk. Perlahan-
lahan, ia merangkak menghampiri tubuh Mirah yang
sedang telentang bugil. Diusapnya kedua pipi wanita
cantik itu sambil memejamkan mata. Didekatkannya
wajahnya ke wajah Mirah yang saat itu masih dalam
keadaan pingsan.
Lalu kemudian....
"Bleng! Glegeeerrrrr....!"
Tiba-tiba terdengar suara ledakan dahsyat,
menggelegar sambung menyambung. Kepulauan Aru
terguncang bagaikan dilanda gempa hebat. Karta yang
saat itu sudah berada di atas tubuh Mirah merasakan
bumi di sekitar pantai bergetar hebat. Ia segera melon-
cat bangun dengan wajah pucat pasi.
"Ya, Allah! Rupanya kau mengutukku! Aaaaah!"
Karta berseru dengan dada terguncang seakan hendak
meledak. Ia segera menyambar pakaiannya, lalu buru-
buru mengenakannya. Dari pantai itu dia dapat meli-
hat kobaran api mencuat tinggi sekali seakan-akan
hendak menjangkau langit. Sekali, dua kali, tiga kali,
empat kali sampai sepuluh kali lebih terdengar suara
ledakan itu menggelegar.
Ledakan-ledakan dahsyat itu ternyata menggun-
cang kola Pulau Trangan. Pepohonan rubuh dan tum-
bang, rumah-rumah penduduk pun hancur berkeping-
keping. Demikian hebatnya ledakan itu hingga puing-
puing rumah penduduk terbang ke angkasa setinggi
belasan meter.
Menyusul kemudian, terjadilah kebakaran hebat
di beberapa tempat. Asap dan api mengamuk dan men-
julang tinggi! Penduduk menjadi gempar, lalu berham-
buran ke sana ke mari dalam keadaan panik. Tak se-
dikit di antara penduduk yang ikut ter-lempar setinggi
puluhan meter dalam keadaan tubuh cerai berai. Di
mana-mana terdengar suara jeritan dan teriakan, tan-
gisan dan yang lainnya. Hewan-hewan ternak pun ikut
panik dan berlarian dari kandangnya, hingga makin
kacau balaulah keadaan di sekitar kerajaan yang di-
pimpin oleh Pampani.
Beberapa orang penduduk sempat terlihat ke luar
dari rumahnya yang sudah hancur berkeping-keping
dan terbakar. Akan tetapi sekujur tubuh orang-orang
itu sudah terbakar pula dan baru beberapa langkah
setelah tiba di halaman, mereka roboh satu persatu.
Terdengar jeritan panjang, lalu tubuh mereka pun
hangus terbakar. Tak ada yang berani memberikan
pertolongan, bahkan sekedar berpikir untuk memberi-
kan pertolongan pun tidak. Sebab semuanya sangat
panik serta ketakutan, sehingga tidak tahu harus me-
lakukan apa, selain berlarian ke sana ke mari tak tentu arah.
Ada pula beberapa penduduk yang tadinya sudah
jauh dari kobaran api, namun mungkin karena sangat
panik balik lagi berlari ke rumahnya yang sudah ter-
bakar. Tanpa ampun lagi, tubuhnya pun hangus dila-
lap api. Di sudut lain, ada yang mencoba menyela-
matkan harta bendanya, namun tiba-tiba ditimpa ba-
lok-balok rumah yang rubuh terkena ledakan. Orang
itu pun terjerembab, terbakar dan tak mampu bangkit
lagi karena tak lama kemudian sudah hangus mene-
mui ajalnya,
Pampani yang saat itu sedang memimpin sejum-
lah laskar untuk berjaga-jaga menghadapi gempuran
musuh, juga terlonjak kaget bagaikan disambar petir
di siang bolong. Wajahnya pucat pasi bagai tak dialiri
darah lagi dan sekujur tubuhnya gemetaran menyak-
sikan kotanya diguncang ledakan-ledakan dahsyat, la-
lu terbakar.
"Ya, para Dewa! Kota kita dihancurkan! Malape-
taka apakah ini? Kita telah dikutuk para Dewa!" teriak
Pampani antara sadar dan tak sadar.
"Kebakaran itu.... ya, Dewa Agung. Pertanda apa-
kah gerangan ini?" kata seorang laskar dengan mata
terbelalak. "Mungkin kiamat sudah tiba?" kata yang
lainnya.
Beberapa saat, Pampani dan laskarnya hanya
berdiri terpaku di tempat itu. Mereka sangat terkejut
hingga hanya berdiri saja tanpa tahu harus melakukan
apa. Karena mereka masih penduduk pribumi yang be-
lum mengetahui banyak tentang kemajuan teknologi
belum bisa menduga sebenarnya apa yang meledak itu
dan kenapa tiba-tiba kota mereka diamuk kobaran api
yang sangat besar.
Sesuai kepercayaan turun temurun dari nenek
moyang, mereka mengira kejadian itu merupakan kutukan para Dewa atau makhluk-mahkluk halus pen-
guasa di sekitar Perairan Arafuru. Tak sedikit di antara
mereka yang mengira bahwa penguasa laut sedang
marah, lalu menjatuhkan bencana sebagai hukuman.
Tentu saja penduduk yang masih berpikiran polos itu
menjadi ketakutan, hingga beberapa di antaranya
langsung berlutut. Memejamkan mata dengan mulut
komat kamit membacakan mantera penolak bala.
Seumur hidup mereka belum pernah mendengar
atau menyaksikan letusan sedahsyat itu, apalagi seca-
ra susul menyusul, lalu menimbulkan kebakaran he-
bat. Selama ini mereka paling-paling pernah menden-
gar gunung meletus yang tentu saja lain dengan apa
yang mereka saksikan sekarang.
"Ayo, mari kita bantu saudara-saudara kita!" te-
riak Pampani yang tiba-tiba saja tersentak dari keter-
kejutannya. Ia segera berlari sekencang-kencangnya,
diikuti para anggota laskar. Mereka kemudian membo-
bol pagar benteng dan berusaha menyelamatkan pen-
duduk yang terkurung kobaran api.
"Tenang! Tenang! Jangan panik! Segera menjauh
dari api. Ayo! Cepat!" Pampani berteriak-teriak sekuat
tenaga hingga suaranya menjadi parau. Suasana yang
tadinya gelap dan dingin, kini berubah jadi terang
benderang oleh kobaran api, disertai keadaan yang
sangat panas.
Tak terkatakan bagaimana hancurnya perasaan
Pampani melihat rakyatnya banyak yang tewas dalam
peristiwa maut itu. Di mana-mana mayat bergelimpan-
gan. Ada yang sudah hangus hingga tinggal tulang be-
lulang. Ada yang tubuhnya cerai berai hingga tak bisa
dikenali lagi, ada yang tertinggal hanya bagian kepala
saja, sedang tubuhnya tidak diketahui ke mana ter-
bang, dan sebagainya yang semuanya menimbulkan
rasa ngeri luar biasa. Tanpa sadar, air mata Pampani
jatuh satu per satu membasahi pipinya yang pucat.
Jika saat itu Pampani sedang menangis dan pen-
duduk lainnya masih dicekam ketakutan dan kesedi-
han yang amat sangat, maka di sudut lain justru ter-
dengar suara tawa penuh kegembiraan dan rasa puas.
Yang sedang tertawa itu adalah Wan-Da-I dan Womere
sendiri. Mereka sangat girang melihat Kerajaan Pam-
pani hancur lebur diamuk kobaran api dan penduduk-
nya pun banyak sekali yang menjadi korban.
"Ha ha ha. Bagus! Bagus! Akan kubikin rata den-
gan tanah hingga akan tamatlah riwayat Pampani si
keparat itu!" teriak Wan-Da-I tertawa terbahak-bahak
hingga tubuhnya bergoyang-goyang.
Si tukang sihir Womere pun tertawa terpingkal-
pingkal. Demikian keras suara ketawanya, hingga air
matanya terburai membasahi pipi.
"Kita sudah berhasil, Tuanku! Tinggal membun-
tungi kepala Pampani dan para pendekar Pulau Jawa
itu!" katanya.
Hanya beberapa meter dari tempat itu, Profesor
Van Leinen berdiri menyendiri. Wajahnya pucat pasi
dan air matanya pun jatuh satu persatu. Tak terkata-
kan betapa hancurnya perasaan orang tua itu melihat
Kerajaan Pampani dilanda malapetaka yang bukan
hanya mengambil korban materi, tetapi juga korban ji-
wa yang jumlahnya tentu sangat banyak. Mereka ada-
lah orang-orang tak berdosa, yang tidak mengetahui
apa-apa. Dan semua itu terjadi adalah berkat hasil
karya cipta tangannya sendiri.
Setelah berhasil menciptakan alat-alat peledak,
Profesor tua itu bersama Simon pun kemudian dipaksa
menjelaskan cara menggunakan alat peledak itu. Ter-
nyata tidak terlalu sukar. Maka malam itu juga, Wan-
Da-I dan pembantu yang sangat dipercayainya yakni
Womere segera melaksanakan rencana yang sudah cu
kup lama mereka bahas secara matang-matang. Kedu-
anya sudah memikirkan akibat-akibat yang mungkin
terjadi, bahkan kemungkinan paling buruk pun sudah
mereka pikirkan baik-baik.
Keduanya segera menyuruh Wori, Umang dan
Mirah untuk membunuh Karta, si Kaki Tunggal dan
Bungoru yang mereka ketahui sedang berjaga-jaga di
luar istana. Ada beberapa pertimbangan Wan-Da-I
mengambil langkah tersebut. Pertama sekali adalah
untuk mengalihkan perhatian musuh mereka yang
terkenal sangat lihai itu. Kedua, siapa tahu ketiga ta-
wanan mereka dengan ilmu sihir itu dapat mengalah-
kan lawan-lawannya. Tentu saja itu sangat baik, sebab
tanpa pertolongan Karta dan si Kaki Tunggal, Kerajaan
Pampani dengan mudah saja dapat dihancurkan. Ka-
laupun misalnya nanti Wori, Umang dan Mirah tidak
berhasil mengalahkan lawan lalu dibunuh, Wan-Da-I
tidaklah merasa rugi. Sebab ketiga pendekar itu adalah
sahabat Pampani sendiri dan hanya karena pengaruh
sihir saja makanya mau diperintah membunuh teman
mereka sendiri.
Beberapa saat setelah ketiga pendekar itu be-
rangkat, Wan-Da-I dan Womere mengajak Profesor Van
Leinen dan Simon membuktikan kehebatan alat pele-
dak itu. Sejumlah pengawal dengan senjata tombak di
tangan mengikuti dari belakang dan tampak selalu
bersiap-siap membunuh kedua lelaki berkulit putih itu
apabila diperintahkan majikan mereka.
Para pengawal yang merupakan orang-orang pili-
han Wan-Da-I segera menyusup ke dalam kerajaan
Pampani. Karena mereka memiliki ilmu yang sangat
tinggi, dengan mudah mereka dapat meletakkan alat-
alat peledak itu di kolong rumah penduduk, termasuk
di kolong istana, sesuai petunjuk majikan mereka. Se-
telah itu, para pengawal pilihan itu pun berkelebat
kembali ke tempat mereka semula.
Profesor Van Leinen menolak meledakkannya,
dan sambil menekankan bahwa ia siap untuk dibunuh
karena penolakannya itu, ia mengatakan bahwa sudah
di luar perjanjian mereka. Ia hanya disuruh mencipta-
kan alat peledak dan mengajarinya cara mengguna-
kannya. Agaknya Wan-Da-I pun tidak mau terlalu
memaksa, sebab apa yang diucapkan Profesor tua itu
memang benar adanya. Maka ia pun meminta kese-
diaan Simon.
Pemuda ini pada dasarnya memang sombong dan
kurang perduli akan nasib orang lain. Ia sadar ledakan
itu pasti akan mengambil korban jiwa dalam jumlah
banyak. Tetapi apa perdulinya? Ia toh adalah penda-
tang di Pulau Aru dan jika misalnya banyak yang te-
was, ia tidak akan rugi. Demikianlah prinsip pemuda
itu hingga dengan senang hati bersedia meledakkan
bom tarik ciptaan mereka sendiri.
"Puaskah engkau, Tuan Wan-Da-I?" Simon ber-
tanya sambil tersenyum ke arah tokoh sesat itu.
"Puas! Sangat puas! Ilmu teknik Tuan berdua
sangat hebat. Mereka tentu akan musnah dalam seke-
jap. Kerajaan Pampani sudah hancur berantakan!"
Profesor Van Leinen mendengar percakapan itu.
Ia kembali mengeluh dalam hati dengan wajah yang
tampak semakin muram, "Oh, mijn God! Aku datang
ke negeri ini bukan untuk membunuh. Kenapa semua
ini mesti terjadi? Ampunilah aku, Tuhanku!" Ia merin-
tih perlahan.
Suara dentuman-dentuman dahsyat itu memang
betul-betul luar biasa kuatnya. Terdengar sampai jauh
ke seluruh kawasan Laut Arafuru. Barangkali ikan-
ikan di laut pun ikut merasa terkejut lalu menjauh da-
ri Kepulauan Aru. Binatang-binatang di hutan-hutan
pulau itu pun tentu sangat ketakutan, lalu berhamburan melarikan diri menyeruduk semak-semak.
Dua lelaki penumpang sebuah rakit yang tam-
paknya hendak menuju Kepulauan Aru di malam itu,
juga mendengar dentuman-dentuman dahsyat itu.
Terdengar seperti guntur sambung menyambung atau
seperti gunung berapi meletus. Kedua laki-laki itu pun
meloncat dari dalam kemah rumbia di rakit itu, lalu
memperhatikan ke arah asal suara tadi.
Keduanya pun sama-sama terperanjat karena
menyadari bahwa suara tadi bukanlah guntur atau
gunung meletus. Tidak mungkin dapat menimbulkan
kebakaran. Pasti telah terjadi sesuatu yang luar biasa.
Api masih membumbung tinggi. Maka keduanya pun
mempercepat laju rakit mereka menuju Kepulauan
Aru.
"Hai, Awom! Pulau apakah yang sedang terbakar
itu?" tanya lelaki yang satu. Ia masih muda, berusia
sekitar dua puluh tujuh tahun. Wajahnya tampan dan
sangat bersih. Sinar matanya lembut namun tajam
mencerminkan sikap yang jujur dan suka menolong
sesama manusia, tetapi juga selalu tegas dan tidak
mau membiarkan kejahatan merajalela.
"Itulah Kepulauan Aru, Guru!" sahut lelaki yang
dipanggil Awom itu, Ia pun masih muda, sekitar dua
puluh lima tahun. Ia tidak mengenakan baju, sehingga
otot-ototnya yang kekar terlihat berkilau-kilau ditimpa
sinar rembulan yang redup. Rambutnya keriting dan
hitam seperti kulit tubuhnya. Hidungnya pesek dan le-
bar, sedang tulang pipinya tampak menonjol, mem-
buatnya tampak lebih tua dari usia yang sebenarnya.
Melihat penampilan lelaki bernama Awom itu, dapatlah
diterka bahwa ia masih satu rumpun dengan pendu-
duk pribumi Pulau Aru. Namun kalung yang dihiasi
taring babi hutan di lehernya, ia agaknya penduduk
pribumi pulau besar sebelah Timur, tepatnya Papua.
Siapakah sebenarnya lelaki tampan dan gagah
perkasa yang dipanggil guru oleh. Awom itu? Ia tak
lain tak bukan adalah Parmin si Jaka Sembung. Seper-
ti diceritakan pada awal kisah petualangan Jaka Sem-
bung dan kawan-kawannya, mereka terpencar karena
kapal mereka dihantam ombak yang sangat besar. Si
Gila Dari Muara Bondet, si Kaki Tunggal, Umang dan
Mirah terdampar di Kepulauan Aru, sedangkan Jaka
Sembung sendiri sampai ke Papua.
Di negeri itu, Jaka Sembung kemudian mengam-
bil Awom sebagai murid, baik dalam ilmu silat maupun
agama Islam. Karena yakin bahwa teman-temannya
terdampar di sekitar perairan Laut Arafuru, Parmin
menduga mereka sekarang berada di sekitar Kepu-
lauan Aru atau di Kepulauan Tanimbar.
Maka berangkatlah Jaka Sembung bersama mu-
ridnya Awom dari Papua menuju Laut Arafuru, dengan
menggunakan sebuah rakit. Tepat ketika keduanya be-
rada di Perairan Tanjung Ngabordamiu dekat Pulau
Penjuring, mereka menyaksikan salah satu pulau di
Kepulauan Aru dipenuhi kobaran api yang sangat be-
sar. Sayang sekali, kedatangan pendekar Gunung
Sembung itu agaknya sudah terlambat. Dan kisah pe-
tualangannya di Kepulauan Aru dapat pembaca ikuti
dalam kisah berikutnya nanti.
Sementara itu, si Gila Dari Muara Bondet masih
terus berlari dari pantai menuju istana. Ia sangat ter-
kejut dan panik melihat istana Pulau Trangan terba-
kar, sehingga meninggalkan Mirah tergeletak begitu sa-
ja di tepi pantai. Pendekar itu terus berlari sambil
mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah
sangat tinggi, hingga tubuhnya tampak berkelebatan.
Dari atas tebing di sebelah kanan istana, Karta
tertegun sejenak. Istana itu telah terbakar habis. Se-
dang istrinya Nomina serta putra mereka yang masih
bayi berada di dalam istana itu.
"Ya, Allah! Bagaimana dengan anak istriku?" te-
riak Karta gemetar. Sambil mengeluarkan suara leng-
kingan nyaring, pendekar itu meloncat bagaikan ter-
bang menuruni bukit cadas itu. Tanpa memperdulikan
penduduk yang berlarian dalam keadaan panik, Karta
meloncati benteng pagar. Ia kemudian berhenti dan
berdiri tegak di dekat kobaran api, sehingga hawa pa-
nas segera menyerang tubuhnya.
"Nomina," gemetar lelaki itu menyebut nama is-
trinya.
Pada saat itu, Pampani pun sudah menyadari
bahwa adiknya Nomina ada di dalam istana ketika mu-
sibah itu terjadi. Karena peristiwa itu terjadi sangat
cepat, besar kemungkinan adiknya itu tidak sempat
menyelamatkan diri. Apalagi ia masih harus menyela-
matkan putranya.
Pampani menjadi panik sekali. Ia nekad berlari
hendak menerobos kobaran api. Beberapa pengawal-
nya menjadi terkejut, lalu mencoba mencegahnya. Na-
mun dengan kalap Pampani memukul para pengawal
itu hingga berpelantingan dan tak berani lagi mence-
gah, selain berlari mengikuti kepala suku mereka dari
belakang dengan perasaan cemas.
"Nomina! Nomina!"
Pampani mendadak menghentikan langkahnya.
Ada keraguan terlintas di wajahnya menyaksikan ko-
baran api yang sangat besar. Nalurinya membisikkan
bahwa kalau ia nekad menerobos api itu, tidak ada
kemungkinan baginya untuk selamat. Tetapi ingat
akan adik serta keponakannya, keragu-raguan itu se-
ketika menjadi sirna.
Tidak! Ia tidak mungkin membiarkan kedua
orang yang sangat dicintainya itu tewas mengerikan
dalam kobaran api. Ia harus menyelamatkan mereka.
Atau kalaupun misalnya sudah terlambat, biarlah ia
mati bersama-sama dengan mereka. Itu lebih baik, da-
ripada nanti ia harus hidup sendiri tanpa adik kepo-
nakan yang sangat disayanginya.
Selama ini, Pampani memang sangat menyayangi
Nomina, adik satu-satunya yang sangat cantik tetapi
gagu itu. Apalagi kedua orang tua mereka sudah lama
meninggal dunia dan Nomina adalah saudara kan-
dungnya semata wayang. Nominalah tumpuan kasih
sayangnya dan selama ini Pampani seperti lupa mem-
bagikan kasih sayangnya kepada gadis lain hingga da-
lam usia setua itu belum menikah. Sedikit banyaknya
dipengaruhi rasa sayangnya terhadap Nomina serta
kesibukannya mengatur rakyatnya.
Sangatlah bahagianya kepala suku itu ketika
adiknya itu menikah dengan Karta. Bukan karena seo-
rang pendekar berilmu tinggi, tetapi terutama adalah
sifat kesatria yang selalu tercermin dari setiap tingkah
laku maupun budi bahasanya. Apalagi setelah Nomina
melahirkan seorang bayi laki-laki mungil dan tampan,
tak terlukiskan betapa bahagianya hati Pampani. In-
ginlah ia mengorbankan apa saja termasuk nyawanya
sekalipun terhadap adik serta keponakannya itu sean-
dainya diperlukan.
Ya, pengorbanan seperti itulah yang harus dila-
kukannya sekarang.
"Nominaaaa!" Pampani berteriak sekuat-kuat te-
naga sambil mengepalkan tinju. Matanya menatap liar
ke arah kobaran api. Lalu tiba-tiba ia berlari ke arah
kobaran api yang membakar istana.
"Pampani! Jangan kau lakukan itu!" Karta yang
sudah berada di tempat itu menjadi terkejut melihat
Pampani nekad hendak menerobos lautan api. Akan
tetapi tampaknya, kakak iparnya itu tidak menghirau-
kan larangannya. Tentu saja si Gila Dari Muara Bondet
sangat terkejut, karena sudah dapat memperkirakan
apa yang bakal terjadi jika tindakan itu dibiarkan. Jika
tidak segera dicegah, maka akan bertambahlah korban
jiwa.
"Pampani.....!" Karta kembali berteriak dan ber-
samaan dengan itu, tubuhnya mencelat bagaikan ter-
bang ke arah Pampani. Demikian cepatnya gerakan
Karta sehingga para laskar tidak dapat melihat keja-
dian itu dengan jelas, apalagi sekitar tempat itu sangat
silau oleh kobaran api. Tiba-tiba saja mereka menyak-
sikan Karta sedang bergelut dengan Pampani, hanya
sekitar satu meter dari kobaran api. Karta berhasil me-
rangkul pinggang Pampani, sehingga membuat kepala
suku itu terjatuh dan hampir saja terguling ke dalam
kobaran api. Untung dalam keadaan yang sangat gent-
ing itu si Gila Dari Muara Bondet menarik tubuhnya ke
belakang.
"Lepaskan! Lepaskan!" teriak Pampani sambil be-
rusaha meronta-ronta sekuat tenaga.
"Jangan, Pampani! Jangan kau lakukan itu!" te-
riak Karta sambil mempererat rangkulannya. Namun
rupanya Pampani sudah betul-betul nekad. Ia memu-
kul-mukul tangan Karta, lalu berusaha meloncat ke
dalam kobaran api. Tentu saja Karta semakin cemas,
karena ia sadar tenaga kakak iparnya itu pun sangat
kuat. Daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,
lebih baik ia bertindak cepat. Demikian pikiran si Gila.
Maka ia pun mengangkat tubuh Pampani, kemudian
melemparkannya ke belakang menjauh dari kobaran
api.
Setelah itu, Karta pun segera meloncat mener-
kam Pampani. Dirangkulnya kembali pinggang kepala
suku itu sekuat tenaga hingga tak mampu berkutik la-
gi.
"Lepaskan! Lepaskan aku! Nomina dan kepona
kanku terbakar di dalam api laknat itu!"
"Jangan nekad, Pampani. Tidak ada gunanya la-
gi. Biarkanlah. Relakan mereka! Kita sudah terlambat.
Bagaimana pun kau adalah kepala suku, pemimpin
dari rakyatmu. Jangan bertindak senekad itu!"
"Tapi.... tapi, oh Dewa!" Pampani kemudian me-
nyebut-nyebut nama adiknya dengan suara yang ma-
kin lama makin pelan dan serak. Pandangan matanya
makin berkunang-kunang dan kabur. Kedua kakinya
gemetaran, tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Lalu
ia pun jatuh terhenyak.
Karta kembali menatap kobaran api, baru seka-
rang menyadari bahwa anak dan istrinya tercinta
mungkin sudah terbakar. Tadi ia hanya memikirkan
bagaimana caranya supaya Pampani jangan nekad
menerobos api. Segumpal asap hitam tebal ditiupkan
angin ke arah Karta. Ia seperti mencium aroma bau
daging istri dan anaknya yang terbakar. Jiwanya pun
serasa telah terbang meninggalkan raga.
"Anakku.... Nomina...." Karta merintih kemudian
terguling roboh tak sadarkan diri.
TAMAT
Apakah yang akan terjadi di Pulau Trangan sete-
lah istana Pampani dan rumah-rumah penduduk han-
cur lebur dan terbakar? Bagaimanakah akhirnya nasib
Wori, Umang dan Mirah yang sudah jatuh ke dalam
cengkeraman musuh?
Apa pula yang akan dilakukan Jaka Sembung se-
telah tiba di kepulauan itu? Walaupun sudah agak ter-
lambat, namun ia tentu tidak akan mau tinggal diam
melihat kejahatan Wan-Da-I dan Womere.
Ikutilah kisah petualangan Jaka Sembung ber-
sama kawan-kawannya pendekar Pulau Jawa di Kepu-
lauan Aru dalam episode berjudul:
"Menumpas Titisan Iblis Pulau Aru"
0 comments:
Posting Komentar