..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 22 Desember 2024

JAKA SEMBUNG EPISODE KEMELUT DI PULAU ARU

Kemelut Di Palau Aru


KEMELUT DI PULAU ARU

Karya Djair Warni

Serial Jaka Sembung

Cover Oleh: Djair

Alih Versi Oleh: Danny Situmenang

Jakarta, 1991; cet. Ke-1

Penerbit Sarana Karya, Jakarta

SK 91-85S, 128 hlm; 11 x 18 cm

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari Penerbit

Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat 

atau pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka


SATU


Istana kepala suku Pampani di Kepulauan Aru, 

malam itu tampak sepi. Jauh lebih sepi dari biasanya. 

Bukan karena para penjaga tidur semua, bahkan ma-

lam itu jumlahnya ditambah hampir dua kali lipat. Ti-

dak hanya di dalam, tetapi juga di luar istana penja-

gaan sangat rapat, sehingga rasanya hanya setan atau 

siluman saja yang bisa masuk tanpa diketahui.

Akan tetapi karena kerajaan yang dipimpin oleh 

Pampani saat ini sedang terancam oleh musuh, di an-

tara para penjaga tidak ada yang berani buka suara. 

Semua menunggu dengan perasaan tegang sambil 

memasang telinga baik-baik. Demikian juga halnya 

penjaga di menara, tak pernah lalai menunaikan tu-

gasnya. Beberapa pengawas kepala berjalan hilir mu-

dik untuk memeriksa semua anak buahnya kalau-

kalau ada yang tertidur.

Pihak musuh tidak mustahil datang menyerbu 

secara tiba-tiba. Apalagi karena pihak musuh diketa-

hui sangat kuat dan memiliki ilmu hitam yang sangat 

jahat. Menurut desas desus, musuh mereka selain bisa 

menguasai pikiran seseorang dengan ilmu sihirnya, ju-

ga dapat menghilang bagaikan angin. Jadi pagar tinggi 

yang mengelilingi istana belumlah cukup sebagai per-

tahanan.

Demikian hebatnya ilmu sihir tokoh sesat Wo-

mere dari Pulau Kolepom yang menjadi tangan kanan 

Wan-Da-I, sehingga pendekar gagah perkasa seperti 

Wori dapat pula dikuasai. Dua orang bangsa berkulit 

putih yang hendak melakukan penelitian di Kepulauan 

Aru, juga sudah menjadi tawanan Wan-Da-I. Selain 

itu, Wan-Da-I sudah mulai pula menjalin hubungan 

kerja sama dengan pihak Belanda. Selangkah lagi, Ke


rajaan Pampani tentu akan hancur. Demikianlah ren-

cana dan keyakinan musuh!

Malam semakin larut. Putri Nomina dan putranya 

yang masih bayi sedang tidur pulas di dalam kamar 

yang bersebelahan dengan kamar suami istri Umang 

dan Mirah. Suami istri yang dikenal sebagai pendekar 

sakti dari Pulau Jawa itu sudah tidur lelap pula, tam-

paknya siang tadi mereka kelelahan. Suara dengkur si 

Lengan Tung-gal Umang terdengar lebih keras sehing-

ga terdengar sampai ke luar kamar. Lain dengan is-

trinya yang tidur dengan desah nafas halus.

Menjelang tengah malam, Mirah tampak mengge-

liat-geliat. Tidak lama kemudian wanita muda itu ter-

bangun sambil mengusap-usap kedua matanya. Tanpa 

menimbulkan suara mencurigakan, ia duduk dan 

memperhatikan suaminya. Umang masih tidur lelap. Ia 

menghela nafas lega lalu berjalan berjingkat-jingkat 

memperhatikan keadaan di sekeliling kamar. Tampak-

nya aman-aman saja, maka ia pun segera ke luar dan 

menutup pintu kamar kembali.

Di bawah sinar penerangan lampu teplok yang 

tergantung di dinding, tampak sepasang mata wanita 

itu memancarkan sinar aneh, tajam dan dingin dan 

kadang-kadang tampak melotot namun tanpa sinar 

sehingga tak ubahnya mata seseorang yang mati pera-

saan. Jarang sekali mata yang sebetulnya indah itu 

berkedip. Seandainya ada penjaga yang melihatnya, 

pastilah akan bergidik ngeri.

Tidak ada yang tahu kenapa sinar mata Mirah 

yang biasanya cerah ceria itu tampak menjadi lain pa-

da malam itu. Tak ada pula yang tahu apa maksudnya 

ke luar dari istana dengan cara mengendap-endap. Si-

nar matanya menatap liar, dan sadarlah ia bahwa pen-

jagaan sangat ketat. Akan sukarlah bagi orang-orang 

biasa untuk keluar tanpa diketahui penjaga. Tetapi


bagi Mirah yang memiliki ilmu silat yang tinggi, hal itu 

tidaklah masalah serius. Ia menahan nafas sambil me-

nunggu para laskar agak lengah. Lalu tanpa menim-

bulkan suara mencurigakan, tubuhnya mencelat ba-

gaikan terbang meloncati pagar. Luar biasa cepat dan 

ringannya gerakan wanita itu, sehingga dalam sekejap 

saja sudah berada di luar istana tanpa diketahui sia-

papun juga.

Tubuh Mirah kemudian berkelebatan meloncati 

tebing-tebing bukit cadas menuju ke arah pantai. 

Rembulan malam itu sedang bersinar remang-remang, 

sehingga tubuh Mirah tampak hanya bayang-bayang 

saja. Seandainya dilihat penduduk tentu akan mengi-

ranya setan yang sedang gen-tayangan mencari mang-

sa.

Hanya dalam waktu yang singkat, Mirah akhirnya 

sampai di atas tebing di pinggir pantai Laut Arafuru. 

Dinding tebing itu sangat terjal bahkan agak condong 

ke depan, sehingga kalau misalnya ada yang tergelin-

cir, tubuhnya pasti langsung tercebur ke laut. Ting-

ginya hampir sepuluh meter.

Cukup lama juga Mirah berdiri tegak bagaikan 

patung di atas tebing itu. Sepasang matanya yang 

mencorong aneh menatap ke bawah, memperhatikan 

sesosok tubuh yang sedang bersemadi di dalam air 

laut. Di bawah siraman sinar rembulan, tampak sa-

mar-samar ombak laut datang bergulung-gulung me-

nerjang tubuh laki-laki itu. Tetapi tak sedikit pun tu-

buh itu bergoyang, pertanda bahwa ia bukanlah orang 

sembarangan.

Si Gila Dari Muara Bondet sendirilah yang ber-

semadi di dalam air laut, di dekat tebing itu. Seperti 

hari-hari sebelumnya, lelaki itu sekarang pun tampak 

benar-benar terlena dalam semadinya sehingga seperti 

tidak memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Ada


dua tujuan utama Karta melakukan semadi seperti itu. 

Pertama untuk menghimpun tenaga sekaligus me-

nyembuhkan luka-luka yang dideritanya, karena da-

lam suatu pertarungan melawan Wori belum lama ini, 

ia menerima pukulan yang cukup telak. Tujuan kedua 

adalah untuk mengawasi keadaan di sekitar laut, ka-

rena besar sekali kemungkinan pihak musuh akan 

berkeliaran di laut.

"Karta!"

Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita menye-

but nama si Gila Dari Muara Bondet. Suara yang cu-

kup halus, tetapi karena disertai pengerahan tenaga 

dalam, suara itu dapat menembus gemuruh air laut, 

menembus anak telinga Karta. Ia tersentak dari sema-

dinya dan segera mengenal suara itu. Mirah, pikirnya. 

Ketika ia berpaling ke atas tebing, tampaklah olehnya 

wanita itu sedang berdiri tegak seraya menatap ke 

arahnya.

Ada apa gerangan sehingga malam-malam begini 

Mirah menemuinya ke laut? Mungkin telah terjadi se-

suatu yang luar biasa, karena kalau tidak demikian, 

tidak mungkin istri sahabatnya itu menemuinya. Maka 

Karta pun meloncat dari laut, bagaikan terbang saja 

layaknya tubuh pendekar itu mencelat ke atas tebing 

dan sempat bersalto di udara dengan gerakan yang 

sangat cepat dan mengagumkan. Dengan sangat rin-

gannya, kedua kaki Karta mendarat di hadapan Mirah.

"Mirah, apa yang sedang terjadi sehingga kau 

menemuiku ke sini? Apakah telah terjadi sesuatu yang 

tidak diinginkan?"

Mirah tidak segera menjawab. Sepasang matanya 

semakin tajam menatap wajah Karta.

"Kenapa kau diam saja, Mirah? Bagaimana kea-

daan di istana? Apa yang terjadi terhadap anak dan is-

triku maupun teman-teman kita yang lain?"


"Ah, Karta!" Mirah berdesah dengan suara lirih, 

sehingga membuat Karta semakin khawatir karena 

mengira Mirah merasa ragu-ragu menjelaskan keadaan 

yang sebenarnya.

"Mirah, cepatlah katakan apa yang sedang terja-

di!"

"Tidak sesuatu pun terjadi!"

Karta mengerutkan kening. Kalau tidak sesuatu 

pun terjadi, kenapa Mirah menemuinya? Jangan-

jangan Mirah belum mau menceritakan keadaan yang 

sebenarnya. Akan tetapi melihat wajah Mirah yang 

tampak biasa-biasa saja, Karta pun dapat menduga 

bahwa ucapan wanita itu benar adanya.

"Lalu kenapa kau datang ke sini?" tanya Karta 

heran.

"Aku sendiri bingung. Tapi.....dalam keadaan ba-

sah seperti ini, kau tampak lebih gagah dan tampan..." 

"Oh, Mirah!" Karta mengeluh karena mengira Mi-

rah hanya sekedar bercanda. Kalau dalam keadaan bi-

asa saja, mungkin ia tidak akan perduli Mirah bercan-

da. Tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini hati sia-

pa yang tidak kesal kalau ditemui hanya untuk menga-

takan gagah dan tampan?

"Karta!" Mirah kembali berdesis lirih dan tanpa 

diduga-duga ia mendekap Karta. Kedua tangannya me-

lingkar di dada Karta erat-erat. Wajahnya ditempelkan 

sehingga nafasnya yang memburu terasa oleh Karta.

Bukan main terkejutnya Karta melihat sikap Mi-

rah itu. Pelukan dan ciuman itu bukanlah perbuatan 

yang biasa-biasa saja. Apalagi ketika tangan Mirah 

mengusap-usap dadanya, terasa jemari tangan itu ge-

metaran. Dan dada yang lembut serta hangat itu oh, 

telah menempel pula. Seandainya Karta bukanlah seo-

rang pendekar sakti, bisa jadi karena sangat terkejut 

akan mendorong tubuh Mirah sampai terlempar. Teta


pi dengan ketabahan luar biasa, ia mencekal lengan 

wanita itu dan dengan halus mendorongnya.

"Mirah, ada apakah sebenarnya? Kenapa sikap-

mu jadi begini?"

"Aku... aku.... oh, Karta!" Mirah tidak mampu 

meneruskan kata-katanya. Tiba-tiba ia kembali meme-

luk tubuh Karta dan berusaha mendekapnya lebih erat 

lagi. Tetapi setelah menepiskan tangan Mirah, Karta 

menggeser kakinya ke kiri, sehingga tubuh wanita itu 

hampir terjatuh.

Berdebar jantung si Gila Dari Muara Bondet keti-

ka memperhatikan sinar mata Mirah. Terasa sangat 

aneh dan sulit dimengerti maknanya. Namun nalu-

rinya membisikkan bahwa wanita cantik di hadapan-

nya itu sedang dirasuk sesuatu yang sangat kuat. 

Mungkin gejolak nafsu birahi yang tak terkendalikan 

atau ada yang lainnya. Hal itu pula yang membuat 

Karta semakin kebingungan, sebab selama ini Mirah 

tak pernah bersikap seperti itu padanya. Bahkan ke-

duanya sudah seperti saudara saja. Lalu kenapa sikap 

Mirah sekarang jadi seperti itu?

"Akh...!" Tiba-tiba Karta berseru tertahan ketika 

menyadari bahwa Mirah sudah memeluknya kembali. 

Sikap wanita itu bahkan terasa lebih bernafsu lagi dan 

tampak beringas. Karta mendorong Mirah dengan ha-

lus, tetapi tanpa disangka-sangka Mirah pun mendo-

rongnya kuat sekali. Akibatnya tubuhnya terdorong 

sampai ke pinggir tebing itu. Si Gila boleh merupakan 

seorang pendekar sakti yang selalu disegani lawan 

maupun kawan, bahkan boleh dikatakan mendengar 

namanya saja lawan sudah gentar. Akan tetapi meng-

hadapi keadaan seperti itu, ia menjadi gugup juga. 

Bersikap kasar terhadap Mirah rasanya tidak mungkin 

dan tidak sampai hati dia, tetapi ia pun tak ingin dipe-

luk terus-terusan seperti itu. Maka ia pun mendorong


Mirah dengan harapan istri sahabatnya itu segera me-

nyadari sikapnya yang tidak baik.

Akan tetapi Mirah tampaknya benar-benar sudah 

kesetanan. Ketika Karta mendorongnya, ia pun mem-

balas mendorong bahkan lebih kuat lagi sehingga lela-

ki itu terpaksa mundur. 

"Mirah jangan...!" Tiba-tiba Karta berteriak kaget 

karena tubuhnya terjatuh dari pinggir tebing. Karena 

tadi Mirah memeluknya erat-erat, tubuh wanita itu 

pun ikut terjatuh. Keduanya melayang ke laut dalam 

keadaan masih berpelukan.

"Byuuuur!"

Tubuh mereka tercebur ke laut. Untung air di 

tempat itu cukup dalam sehingga keduanya tidak 

mengalami luka-luka. Setelah berada di air, Mirah 

tampak semakin ganas. Ia bukan hanya memeluk Kar-

ta tetapi kedua kakinya pun mengepit pinggang lelaki 

itu. Tentu saja Karta semakin kesal. Sikap Mirah itu 

sudah keterlaluan dan tidak dapat dibiarkan lagi. Di-

dorongnya lagi sekuat tenaga sehingga tubuh Mirah 

terlempar. Lalu secepat kilat, Karta meloncat dari da-

lam air dan tubuhnya melayang bagaikan terbang ke 

atas tebing. Tetapi Mirah pun berbuat hal yang sama, 

sehingga keduanya kembali berhadapan di atas tebing 

dalam keadaan basah kuyup.

"Mirah! Apa yang kau lakukan ini? Kau.... kau 

kesurupan setan rupanya. Ingat, Mirah! Kau adalah is-

tri Umang. Sadarlah!"

Mirah tidak menyahut. Tetapi bibirnya yang me-

rah tipis itu mengulum senyum yang sangat menan-

tang. Lalu tanpa diduga-duga, ia membuka pakaian 

yang melekat di tubuhnya. Karta terkejut dan buru-

buru memalingkan wajahnya. Cukup lama keduanya 

membisu dan Karta masih membelakangi Mirah. 

"Karta!"


Karta membalikkan badan. Sepasang matanya ti-

ba-tiba terbelalak lebar, mulutnya menganga. Ternyata 

Mirah sudah dalam keadaan telanjang bulat. Tanpa 

sadar, Karta melangkah mundur.

"Karta, apa aku tidak secantik Nomina? Apa aku 

tak secantik Ranti istrimu yang kau tinggal di Pulau 

Jawa? Tataplah tubuhku, Karta. Kau adalah laki-laki 

perkasa dan sekarang aku akan menyerahkan segala-

galanya untukmu!" kata Mirah dengan suara terengah-

engah.

"Ya. Tuhan!" Karta berkata seperti orang sedang 

mengigau, "Kenapa kau bersikap seperti orang jalanan, 

Mirah? Ingat suamimu. Ia sangat mencintaimu. Sadar, 

Mirah!"

Karta memperhatikan wajah Mirah yang tiba-tiba 

tampak murung. Wajah itu sebetulnya sangat cantik 

dengan raut wajah yang bulat telur. Kulit putih halus 

dengan sepasang mata bening dan senantiasa berbi-

nar-binar. Dan bibir itu, pasti akan menarik setiap le-

laki yang memandangnya. Tetapi sungguh mati, pera-

saan dalam hati Karta selama ini hanya terbatas rasa 

kagum dan sayang saja. Tak lebih dari itu. Sekarang 

melihat Mirah berdiri dalam keadaan bugil di hada-

pannya, ia menjadi termangu-mangu seperti orang 

yang sedang kehilangan akal sehat.

"Karta, janganlah bersikap kasar padaku! Hatiku 

hancur luluh. Kau tak pernah mengerti isi hatiku, Kar-

ta. Bertahun-tahun lamanya aku merindukan kehadi-

ran bayi dari suamiku, namun sia-sia belaka. Oleh ka-

rena itu, aku menghendaki laki-laki seperti dirimu. 

Aku ingin punya anak seperti Ranti, seperti Nomina. 

Aku sangat merindukannya. Apakah artinya hidup ini 

kalau tanpa anak?" Beberapa tetes air mata mengucur 

membasahi pipi Mirah yang pucat.

Seketika lenyaplah kekesalan di hati Karta, ber


ganti rasa iba yang sangat dalam. Memang betul, sua-

mi istri Mirah dan Umang sudah lama menikah namun 

entah karena apa sampai sekarang belum dikaruniai 

anak. Mirah memang seorang pendekar berilmu tinggi,

sepak terjangnya memerangi kejahatan boleh dibang-

gakan dan dijadikan teladan bagi pendekar lainnya. 

Tetapi bagaimanapun juga, pada dasarnya ia adalah 

wanita biasa juga. Jadi wajarlah kiranya kalau kenya-

taan bahwa mereka belum punya anak, merupakan 

penderitaan batin yang sangat menyakitkan baginya.

Ketika ia memeluk Karta kembali, lelaki itu diam 

saja bahkan dengan lembut membelai rambut Mirah. 

"Maafkan kekasaran ku tadi, Mirah! Sesungguhnya 

aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Tetapi per-

lu kau tahu, sikapmu ini membuatku jadi serba salah. 

Aku sangat menghormatimu maupun suamimu 

Umang."

"Aku tidak tersinggung lagi, Karta!"

"Terima kasih, Mirah. Tetapi aku harap dengan 

hormat agar kau menjaga persahabatan di antara kita. 

Anak adalah karunia Tuhan. Tak perlu terlalu disesali 

kalau hasrat hatimu belum tercapai."

"Kau jangan berkhotbah di hadapanku, Karta. 

Jangan membawa-bawa nama Tuhan sekarang." Lalu 

dengan air mata yang kembali bercucuran, Mirah ber-

simpuh dan memeluk kedua kaki Karta, "Tolonglah 

aku Karta. Taburkan benih keturunan itu di atas la-

dang persemaianku. Lakukanlah, Karta. Aku mohon 

padamu..."

"Mirah! Kau insyaflah! Sadarlah! Aku menyayan-

gimu, Mirah. Kau pasti tahu itu. Oleh karena itu, ha-

rap kau mengerti keadaanku. Itu tidak mungkin kula-

kukan. Marilah, biar kuantar kau pulang. Umang ten-

tu mencari-carimu sekarang."

"Tidak!"


Tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat se-

kali dan hampir bersamaan dengan itu, sebuah kilatan 

cahaya putih menyambar ke arah leher Karta.

"Aaaaah!" Karta menjerit kaget sekali. Secepat ki-

lat ia membantingkan badan ke samping, lalu bergul-

ing-guling di atas tebing. Ketika ia hendak meloncat 

bangun, ujung golok telah menempel di dekat leher-

nya.

"Umang!" kata Karta tanpa sadar.

Memang benar, Umang sendirilah yang menye-

rangnya secara mendadak tadi. Serangan itu dilaku-

kan sangat cepat dan kalau saja Karta tidak memiliki 

kesaktian tinggi, tentulah ia akan tewas di ujung golok 

Umang, atau paling tidak pasti akan menderita luka 

parah.

Akan tetapi Umang juga bukanlah orang semba-

rangan. Pendekar yang lengan kanannya telah bun-

tung sebatas siku itu memiliki kesaktian yang tidak 

boleh dipandang remeh, terutama permainan goloknya 

yang sangat kuat dan cepat. Ketika serangannya dapat 

dielakkan Karta, pendekar dari Lereng Ciremai itu te-

rus mengejar dan menodongkan goloknya ke arah si 

Gila Dari Muara Bondet.

"Bangsat!" bentak Umang geram. Dari sinar ma-

tanya terpancar kemarahan yang meluap-luap dan 

tampaknya ia telah melupakan persahabatan di antara 

mereka selama ini.

"Tunggu, Umang! Aku akan menjelaskan duduk 

persoalan yang sebenarnya," kata Karta terbata-bata.

"Tak perlu banyak bicara di hadapanku, Karta! 

Tak kusangka seorang pendekar gagah perkasa seperti 

kau berani berbuat seperti ini terhadap sahabatmu. 

Kau ternyata tak lebih dari racun perusak yang sangat 

bejat. Kau sampai hati membawa istriku dan merayu-

rayunya di sini. Benar-benar tak bisa kuampuni kesalahanmu ini. Kau harus menebusnya dengan nyawamu 

sendiri!"

Karta adalah pendekar gagah perkasa, selain 

memiliki kepandaian yang sangat tinggi, ia juga bukan 

seorang pengecut. Ia tidak pernah takut mati. Akan te-

tapi mati di tangan kawan sendiri apalagi hanya kare-

na kesalahpahaman, tentu saja ia tidak mau. Maka ia 

masih mencoba menjelaskan persoalan yang sebenar-

nya.

"Tunggu dulu, Umang. Jangan terburu nafsu. 

Dengarkan dulu penjelasanku. Se-telah itu kau boleh 

melakukan apa saja terhadap diriku."

"Kau harus mampus, manusia bejat. Haiiiit!" 

Umang mengayunkan goloknya, cepat dan sangat 

mendadak sehingga tampaknya tidak ada kemungki-

nan lagi bagi Karta untuk menyelamatkan diri.

"Trang!"

Umang terhuyung beberapa langkah. Ujung 

tongkat yang menangkis goloknya sangat kuat sehing-

ga golok di tangannya nyaris lepas. Ia menatap laki-

laki yang menangkis senjatanya sehingga Karta sela-

mat dari maut. Ternyata adalah si Kaki Tunggal Bau-

reksa sahabatnya sendiri.

Sama seperti Umang, pendekar berkaki tunggal 

itu pun tadi terbangun dari tidurnya, ketika menden-

gar Umang memanggil-manggil istrinya. Cepat itu 

mengintip dari balik pintu dan melihat sahabatnya itu 

meloncat ke luar istana. Rupanya beberapa saat sete-

lah Mirah pergi, Umang juga terbangun dan setelah be-

rusaha mencari-cari, yakinlah ia bahwa istrinya itu 

pergi ke pantai menemui Karta.

Tepat seperti dugaannya, Mirah memang ada di 

pantai. Hampir ia tak percaya akan penglihatannya 

sendiri menyaksikan Mirah memeluk kaki Karta dalam 

keadaan telanjang bulat. Dada Umang terasa bagaikan


terbakar oleh gejolak amarah yang tak terkendalikan 

lagi. Ia menghunus goloknya dan langsung melancar-

kan serangan mautnya ke arah leher si Gila Dari Mua-

ra Bondet dan tidak perduli lagi walaupun menyadari 

serangan goloknya itu bisa membuat sahabatnya te-

was.

Baureksa yang sempat melihat bayangan tubuh 

Umang berkelebat ke arah pantai segera mengejar. Un-

tung saja ia memiliki ilmu meringankan tubuh yang 

sangat tinggi, sehingga masih sempat menyelamatkan 

Karta dari maut.

"Kau Baureksa!" kata Umang terkejut. Matanya 

berkilat-kilat sangat marah melihat sahabatnya itu 

menangkis sabetan goloknya.

"Umang, apakah kau tidak menyadari perbua-

tanmu itu? Sabetan golokmu bisa membuntungi leher 

sahabat kita Karta."

"Apakah matamu juga tidak melihat bagaimana 

bajingan ini hendak mempermainkan istriku? Kau se-

lalu membela Si Gila ini!"

Si Kaki Tunggal melirik ke arah Mirah sebentar. 

Wanita itu dengan terburu-buru mengenakan pa-

kaiannya kembali. Baureksa menghela nafas panjang-

panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Syukurlah kau masih mengingat nama asli ku.... 

Baureksa. Berarti kau ingat siapa diriku, pribadiku 

dan pendirianku. Engkau pun tentunya belum lupa 

bahwa kita pernah berjuang bahu membahu menum-

pas Lalawa-Hideung di daerah Cilimus bersama Jaka 

Sembung. Kau ingatlah semua itu. Jangan berbuat se-

kasar itu kepada Karta!"

"Jadi kau bermaksud menyalahkan aku karena 

aku tidak sanggup bikin anak? Dan kau memuji-muji

kejantanan si Gila Dari Muara Bondet keparat ini?" 

Sambil berkata begitu, Umang menudingkan goloknya


ke muka Baureksa.

Mendengar ucapan itu, si Kaki Tunggal menghela 

nafas berat. Wajah pendekar setengah baya itu tampak 

menjadi muram, bagaikan langit diselimuti kabut. Ia 

kecewa karena sahabatnya Umang seharusnya tak per-

lu mengucapkan kata-kata seperti itu. Namun selain 

merasa kecewa dan kasihan, si Kaki Tunggal juga me-

rasa was-was. Sebab tak biasanya sahabatnya itu ber-

sikap demikian. Dan sinar mata itu, rasanya meman-

carkan sesuatu yang aneh, yang belum pernah dilihat 

si Kaki Tunggal selama ini. 

"Umang dan Mirah," Akhirnya si Kaki Tunggal 

berkata setelah perasaannya sedikit agak tenang. "Ka-

lau kalian masih menganggap aku sebagai orang yang 

paling tua di antara kita, maka dengarlah kata-kataku. 

Aku mengerti perasaan kalian karena sampai sekarang 

belum mempunyai anak. Tetapi itu adalah urusan Tu-

han. Kita hanya sebagai pelaksana. Percayalah, suatu 

saat kalian pun tentu akan mempunyai anak."

Tiba-tiba Mirah yang sudah mengenakan pa-

kaiannya meloncat ke hadapan Baureksa. Goloknya 

diacungkan dan sinar matanya merah bagaikan me-

mancarkan api, "Diam kau, buntung. Kau tak berhak 

mencampuri urusan rumah tangga ku. Diam kataku! 

Jangan kau kira aku takut padamu!"

"Mirah, kau sampai hati berkata begitu..." Tiba-

tiba Baureksa menghentikan ucapannya, karena seca-

ra tak terduga-duga, Mirah sudah menerjangnya den-

gan dahsyat. Goloknya diayunkan cepat sekali menim-

bulkan suara berdesing dan kilatan senjata yang lang-

sung menukik ke arah ulu hati si Kaki Tunggal.

Tentu saja si Kaki Tunggal sangat terkejut. Tapi 

Mirah yang dari segi umur boleh dikatakan adalah 

anaknya, berani memakinya si buntung. Sekarang ma-

lah menyerangnya kembali dengan ganas. Pendekar



berkaki tunggal itu tentu sudah mengetahui kehebatan 

ilmu golok Mirah. Dibandingkan dengan Umang sendi-

ri, agaknya wanita itu tidak kalah berbahayanya.

Maka si Kaki Tunggal pun segera memutar tong-

katnya menangkis serangan Mirah. Akan tetapi agak-

nya Mirah sudah menduga gerakan si Kaki Tunggal, 

karena secara mendadak ia sudah menarik goloknya 

dan menyambar lagi dari bawah ke atas. Berbarengan 

dengan itu, tangan kirinya menampar ke arah dagu 

Baureksa. Hebat luar biasa serangan Mirah, sehingga 

diam-diam Baureksa kembali dibuat terkejut. Apalagi 

karena ia tidak ingin melukai Mirah. Seandainya Mirah 

merupakan lawan yang boleh dibunuh, si Kaki Tunggal 

tentu saja dapat membalas serangan itu dengan me-

nusukkan tongkatnya yang jauh lebih panjang ke arah 

dada istri Umang.

Oleh karena itu, si Kaki Tunggal segera meloncat 

mundur sambil memiringkan badan ke kiri. Serangan 

golok maupun tamparan Mirah sudah menyambar ke 

arah dadanya.

"Buk!" Tendangan itu mendarat dengan telak. 

Sambil menjerit kesakitan, Baureksa terpelanting 

hampir lima meter. Sebelum sempat meloncat bangun, 

ujung golok Mirah sudah ditempelkan ke lehernya.

"Mirah, insyaflah!" kata si Kaki Tunggal agak ter-

sendat.

"Tutup mulutmu!"

"Kau sungguh keterlaluan, Mirah! Jangan kau ki-

ra aku pernah takut mati. Kalau kau mau membunuh 

aku, bunuhlah sekarang juga. Tapi kelak kau akan 

menyesali perbuatanmu ini!"

Pada kesempatan itu, Karta bergerak cepat sekali 

mengayunkan kakinya menghantam kaki Umang, se-

hingga lelaki itu terjengkang ke belakang. Setelah itu, 

Karta segera meloncat bangun dan menghampiri Mi


rah.

"Mirah, jangan kurang ajar!"

"Berhenti!" bentak Mirah sambil menekankan 

ujung goloknya ke leher Baureksa, "Kau lihat golok ini! 

Jika kau masih berani melangkah maju, kutebas ba-

tang leher si buntung ini!"

Wajah Karta menjadi pucat. Sebagai pendekar 

yang sudah sangat berpengalaman, ia segera dapat 

menyadari bahwa nyawa si Kaki Tunggal benar-benar 

terancam maut. Sekali bergerak saja, pendekar seperti 

Mirah tentu akan menebas lehernya hingga buntung, 

jika ia mau. Dan jika itu misalnya terjadi, berarti si 

Kaki Tunggal tewas secara tak langsung karena di-

rinya. Karta sungguh tak menginginkannya. Maka ia-

pun menghentikan langkah sambil menunggu kesem-

patan untuk menyelamatkan sahabatnya itu.

"Jangan coba-coba bertindak tolol, Karta! Aku ti-

dak main-main sekarang! Nyawa si buntung ini ada di 

ujung golokku. Kalau kau ingin dia selamat, kau harus 

bersedia meluluskan permintaanku tadi! Kalau ti-

dak...."

"Karta, jangan kau perdulikan aku! Jangan turuti 

kemauannya! Ia sedang dipengaruhi iblis!" teriak si 

Kaki Tunggal.

"Diam kau buntung!" bentak Mirah menambah 

tekanan goloknya sehingga kulit leher Baureksa berda-

rah.

"Karta, awas di belakangmu!" Baureksa berteriak 

tanpa memperdulikan lehernya yang sakit. Rupanya 

saat itu Umang sudah menerjang Karta dengan dah-

syat. Goloknya diayunkan menyambar ke arah leher Si 

Gila Dari Muara Bondet.

Ketika senjata maut itu sudah hampir menyen-

tuh kulitnya, Karta menunduk, lalu tangan kanannya 

menyambar dada Umang dengan kecepatan yang su


kar diikuti mata.

"Buk!" Kuat sekali hantaman Karta, sehingga tu-

buh Umang terlempar dan terjatuh dari atas tebing. 

Karena ia terjatuh ke sebelah kiri, maka Karta menjadi 

terkejut sebab disadarinya bahwa di bawah sana, teb-

ing cadas telah siap meremukkan kepala Umang.

"Hah? Umang!" teriak si Kaki Tunggal-yang juga 

tak kalah terkejutnya.

Akan tetapi tiba-tiba tubuh Umang berputar se-

cara mengagumkan dan kedua telapak kakinya me-

nempel dan langsung seperti lengket di dinding tebing, 

tak ubahnya seekor kelelawar. Luar biasa! Baik Karta 

maupun si Kaki Tunggal sangat terkejut menyaksikan 

kehebatan Umang.

"Astaga! Itu adalah ilmu Lalawa Hideung!" teriak 

si Kaki Tunggal seolah-olah tak percaya akan pengliha-

tannya sendiri. Tidaklah mengherankan si Kaki Tung-

gal sangat terkejut menyaksikan Umang mem-

pergunakan ilmu Lalawa Hideung sewaktu menyela-

matkan diri. Karena seperti yang dikatakannya tadi, ia 

dan Umang sendiri bersama Jaka Sembung beberapa 

tahun lalu pernah menumpas tokoh sesat Lalawa Hi-

deung itu di daerah Cilimus. Tetapi sekarang malah 

Umang sendiri yang menggunakan ilmu yang luar bi-

asa itu.

Agaknya Mirah sendiri pun tak menduga bahwa 

suaminya menguasai ilmu itu. Matanya bahkan sam-

pai terbelalak lebar-lebar menyaksikan suaminya sen-

diri dengan posisi menyiku di dinding tebing.

Akan tetapi Karta lebih cepat dapat menguasai 

perasaannya dan secepat kilat menendang tongkat si 

Kaki Tunggal, meluncur cepat sekali menghantam tan-

gan kanan Mirah.

"Akh!" Mirah berseru kaget dan tanpa dapat dice-

gah lagi, goloknya terlepas dari tangannya. Kesempa


tan itu digunakan si Kaki Tunggal meloncat bangun 

dan menangkap tongkatnya. Hampir pada waktu yang 

bersamaan, kakinya menggaet kaki Mirah sehingga 

kehilangan keseimbangan dan terjatuh bergedebuk.

"Kurang ajar!" bentak Mirah geram. 

Sudahlah, Mirah. Sadarlah! Nyebut!" ujar si Kaki 

Tunggal dengan suara lembut.

Pada saat itu, Umang sudah meloncat kembali ke 

atas tebing dan langsung memasang kuda-kuda di ha-

dapan Karta. Sikapnya tampak lebih beringas lagi, siap 

mengadu nyawa dengan sahabatnya itu. 

"Umang, sahabatku! Ingatlah pada Tuhan. Sadar-

lah. Kau telah keliru. Nyebutlah nama Tuhan. Istigfar-

lah!" kata Karta. Akan tetapi Umang bukannya sadar, 

malah menerjang Karta dengan dahsyat. Ia meloncat 

bagaikan terbang ke arah Karta, lalu kakinya mengirim 

tendangan maut ke arah dada lawan.

"Mampus kau!" bentaknya. Karta berkelit ke 

samping, lalu tangannya menangkap pergelangan kaki 

Umang. Sebelum Umang sempat berbuat apa-apa,

Karta sudah memutar tangan, melemparkan tu-

buh Umang ke laut.

"Byur!" Tubuh Umang tercebur ke laut. Karta se-

betulnya tidak bermaksud mencelakakan Umang. Te-

tapi pada kesempatan itu ia berpikir, bahwa kalau 

Umang berendam di laut, pikirannya tentu akan lebih 

jernih. Setelah tubuh Umang tercebur, ia sendiri pun 

segera ikut terjun ke laut, karena ia tahu Umang pen-

dekar dari Gunung Ciremai tidak pandai berenang.

Benar saja perkiraan Karta, karena begitu tengge-

lam ke laut, Umang segera gelagapan. Sebentar-

sebentar tubuhnya muncul ke permukaan, namun 

kemudian tenggelam lagi. Karta cuma tersenyum dan 

sengaja membiarkan sahabatnya itu berjuang mati-

matian menyelamatkan diri dari ganasnya gelombang


laut.

Sementara itu, di atas tebing Mirah sudah bang-

kit berdiri dan menantang si Kaki Tunggal bertarung 

mengadu nyawa,

"Baureksa," katanya dan tidak menyebut si bun-

tung lagi, "Kalau kau betul-betul pendekar jempolan, 

berikan golokku itu padaku. Kita bertarung secara sa-

tria. Aku sanggup membuntungi kakimu yang satu la-

gi!"

"Tampaknya kau sangat bernafsu melawan aku 

yang sudah tua. Lucu anak kecil seperti kau menan-

tangku berkelahi. Tapi baiklah, hitung-hitung untuk 

melemaskan otot, atau latihan. Nih, terimalah golok 

mu!" Si Kaki Tunggal melemparkan golok Mirah den-

gan tongkatnya, yang segera disambar wanita itu den-

gan cepat.

"Ciaaaat!" Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Mi-

rah segera berteriak nyaring lalu menerjang si Kaki 

Tunggal dengan dahsyat. Goloknya disabetkan ke arah 

pinggang Baureksa dan ketika lawannya itu meloncat 

mundur, ia mendesak maju dengan serangan yang le-

bih ganas lagi.

Akan tetapi keadaannya sekarang sudah berbeda 

dengan tadi. Kalau barusan Mirah dapat menjatuhkan 

Baureksa, hanyalah karena ia menyerang secara san-

gat mendadak dan laki-laki berkaki tunggal itu tidak 

bermaksud melukainya. Sekarang karena sejak tadi 

sudah siap sedia, dengan mudah Baureksa dapat 

mengelak dan menggunakan kelincahan tubuhnya me-

loncat ke sana ke mari, sehingga semua serangan Mi-

rah menjadi sia-sia.

Tentu saja Mirah sangat penasaran, walaupun 

sejak dari dulu ia sebetulnya sudah mengetahui ke-

pandaian si Kaki Tunggal bermain ilmu silat. Sambil 

berteriak melengking nyaring ia kembali menerjang la



wan dengan memutar goloknya cepat sekali sehingga 

tampak senjata tersebut berubah jadi banyak sekali. 

Lalu tiba-tiba ujung goloknya meluncur ke arah dada 

Baureksa didahului cengkeraman tangan kiri ke arah 

selangkangan. Cepat dan keji bukan main serangan 

seperti itu, karena salah satu saja yang mengenai sa-

saran, Si Kaki Tunggal pasti tewas.

"Sungguh ganas!" kata Si Kaki Tunggal sambil 

berkelit ke samping menghindari cengkeraman tangan 

kiri Mirah dan pada saat yang bersamaan ia memutar 

tongkatnya menangkis tusukan golok lawan.

"Trang!"

Kedua senjata itu beradu menimbulkan suara 

berdentang keras. Karena Mirah kalah tenaga, tubuh-

nya sempat terdorong mundur beberapa langkah. Na-

mun dengan cepat ia menerjang Baureksa kembali. 

Tubuhnya mencelat bagaikan terbang dan sewaktu 

meluncur ke arah si Kaki Tunggal, goloknya diayunkan 

menyambar leher lawan.

Melihat serangan yang sangat ganas itu, si Kaki 

Tunggal tetap tenang bahkan sempat tersenyum men-

gejek. Lalu secepat kilat ia menundukkan kepala, ke-

mudian mencengkeram perut Mirah. Sebetulnya se-

rangan Baureksa itu bukanlah serangan yang terlalu 

hebat, tetapi karena Mirah sudah dikuasai amarah 

yang meluap-luap, ia menjadi kurang waspada. Tanpa 

sempat menghindar, perutnya sudah dicengkeram dan 

pada saat ia hendak menyabetkan goloknya, si Kaki 

Tunggal sudah melemparkan tubuhnya ke laut dari 

atas tebing.

"Karta! Ini satu lagi, suruh dia ikut mandi!" teriak 

si Kaki Tunggal.

Suara jeritan Mirah mendadak terhenti ketika tu-

buhnya tercebur ke laut. Karena ia sama seperti 

Umang tidak bisa berenang, ia menjadi gelagapan.


Melihat itu, Karta menjadi kasihan dan segera 

memburu untuk memberikan pertolongan. Tanpa dis-

adarinya, bahaya mau telah mengancam dari dasar 

laut. Sebuah benda kehitam-hitaman mirip bubu pe-

nangkap ikan meluncur cepat sekali ke arah tubuh 

Umang. Tanpa sempat menghindar, tubuh lelaki ber-

lengan tunggal itu terceblos masuk perangkap miste-

rius itu dan dalam sekejap hilang di dalam laut.

Pada kesempatan itu, Karta sudah memangku 

tubuh Mirah hendak membawanya ke tepi pantai. 

Akan tetapi ia menjadi tersentak kaget manakala me-

nyadari bahwa Umang sudah menghilang.

"Hah? Ke mana suamimu, Mirah? Tenggelam? 

Ah, tidak mungkin!" Karta segera menurunkan tubuh 

Mirah dari pangkuannya, memburu ke arah Umang ge-

lagapan tadi. Bagaimanapun juga, Umang tak mungkin 

tenggelam begitu saja. Biarpun tak pandai berenang, 

paling tidak pasti bisa bertahan untuk beberapa saat. 

Pasti telah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Hanya beberapa saat setelah Karta memburu ke 

arah Umang tadi, Mirah pun mengalami hal yang sa-

ma. Tubuhnya tersedot dan masuk perangkap maut di 

dalam laut. Benda berbentuk bubu penangkap ikan itu 

bergerak cepat sekali, sehingga dalam sekejap tubuh 

Umang dan Mirah sudah lenyap.

Tentu saja Karta sangat terkejut. Ternyata bukan 

hanya Umang yang hilang, tetapi kini telah menyusul 

Mirah. Ini bukan kecelakaan biasa, pasti perangkap 

musuh

"Kurang ajar!" bentak Karta, lalu segera menye-

lam. Dengan kepandaian berenang, ia bergerak ke sa-

na ke mari memeriksa sekitar perairan pantai. Namun

usahanya sia-sia. Ia telah kehilangan jejak.

Sementara itu, di atas tebing cadas, si Kaki 

Tunggal menunggu dengan penuh tanda tanya. Tadi ia



sempat melihat Umang gelagapan dan Karta memang-

ku Mirah. Tetapi hanya sekejap saja, kedua suami istri 

itu sudah lenyap. Si Kaki Tunggal pun menjadi khawa-

tir dan menduga bahwa sesuatu yang tak diinginkan 

telah terjadi. Tapi karena ia pun tak begitu pandai be-

renang, ia hanya menunggu di atas dengan perasaan 

tegang.

Tiba-tiba Karta tersembul ke atas permukaan air, 

lalu mencelat bagaikan terbang ke atas tebing, kemu-

dian mendarat ringan di hadapan si Kaki Tunggal.

"Celaka, Baureksa! Mereka menghilang, pasti di-

culik musuh!" kata Karta dengan nafas terengah-

engah.

"Ini tentu perbuatan musuh. Huh! Selama ini kita 

selalu kecolongan. Benar-benar mereka sangat lihai 

dan licik. Mereka bisa menyerang dari dasar laut!"

"Mungkinkah si tukang sihir jahanam itu?"

"Saya rasa memang mereka. Umang dan Mirah 

diculik untuk dijadikan budak melawan kita, seperti 

halnya Wori. Jadi kita selalu dipaksa bertempur den-

gan kawan-kawan sendiri. Benar-benar licik!"

"Aku jadi menyesali kejadian tadi!"

"Tak perlu terlalu disesali. Tapi kita harus beru-

saha untuk menemukan mereka kembali. Ah, Karta! 

Mengertikah kau tentang peristiwa tadi?"

"Maksudmu Mirah dan Umang telah di-pengaruhi 

ilmu sihir?"

"Benar! Kita masih bisa terhindar dari pengaruh 

sihir itu, karena batin kita bersih, tidak dipengaruhi 

pikiran-pikiran buruk. Mereka sudah cukup lama me-

nikah, namun sampai sekarang belum mempunyai ke-

turunan. Mirah tak sabar lagi menunggu bahkan iri 

terhadap Nomina. Dan Umang pun cemburu pula pa-

damu. Pikiran seperti itulah yang bisa merusak keber-

sihan batin sehingga dengan mudah dapat dipengaruhi

sihir lawan."

***


DUA



Sementara itu, di ruangan bawah tanah, Wan-

Da-I dan Womere tampak tersenyum-senyum puas 

sambil tak henti-hentinya mengatakan bahwa dalam 

waktu dekat, Kepala Suku Pampani pasti akan hancur. 

Dan mereka pun akan menjadi penguasa di Pulau 

Trangan dan sekitarnya, seperti yang sudah lama dici-

ta-citakan Wan-Da-I.

Seperti diceritakan pada awal kisah ini, tokoh se-

sat Wan-Da-I yang merupakan anak haram dari Iblis 

Pulau Aru sengaja mengundang tukang sihir dari pu-

lau Kelepom yakni Womere untuk menghancurkan ke-

kuasaan Pampani. Dengan ilmunya yang sangat jahat 

itu, Womere dapat mempengaruhi pikiran Wori si Pen-

dekar Bumerang, sehingga memusuhi pihak Pampani 

yang sejak dari dulu adalah sahabatnya sendiri. Selain 

itu, mereka juga telah menawan Profesor Van Leinen 

dan Simon yang kebetulan datang dari negeri Belanda 

untuk melakukan penelitian ilmu pengetahuan di Ke-

pulauan Aru.

Sekarang, pihak Wan-Da-I berhasil pula me-

nangkap suami istri Umang dan Mirah. Tepat seperti 

yang diucapkan si Kaki Tunggal kepada Karta, pikiran 

suami istri itu sudah dipengaruhi ilmu sihir Womere. 

Itulah sebabnya Mirah seperti tidak tahu malu lagi 

mengajak bahkan memaksa Karta untuk melakukan 

hubungan seks. Dan ketika keduanya timbul tengge-

lam di laut, mereka pun masuk perangkap berbentuk 

bubu penangkap ikan dan langsung dibawa kabur


anak buah Wan-Da-I, sehingga Karta kehilangan jejak.

"Bawa mereka masuk!" kata Wan-Da-I ketika dua 

anak buahnya datang sambil membawa alat perangkap 

misterius yang berisikan tubuh Umang dan Mirah.

Kedua laki-laki bertubuh raksasa itu masuk ke 

ruangan Wan-Da-I, kemudian mengeluarkan tubuh 

Umang dan Mirah yang ternyata sudah dalam keadaan 

tak sadarkan diri. Setelah itu, kedua lelaki raksasa 

berkulit hitam anak buah Wan-Da-I itu melangkah 

mundur setelah terlebih dulu mengangguk hormat ke 

arah majikannya.

"Womere, suruhlah mereka istirahat!" kata Wan-

Da-I. 

"Baik, tuanku!"

Si tukang sihir Womere melangkah menghampiri 

Umang dan Mirah. Kedua tangannya dengan jari-jari 

terbuka direntangkan ke arah dua tawanan itu dan 

mulutnya komat kamit beberapa saat. Setelah itu, ia 

berkata dengan suara yang sangat berpengaruh: "Ban-

gunlah, hai pendekar-pendekar yang tangkas! Ban-

gun!"

Perlahan-lahan Umang dan Mirah membuka ma-

ta, seperti orang baru tersadar dari mimpi buruk. Ke-

duanya merasa tubuhnya sangat lemas, tetapi terasa 

ada kekuatan gaib memaksa mereka untuk bangkit 

berdiri.

"Bangun! Bangun..... dan berjalan..." kata Wo-

mere lagi.

Seperti robot, Umang dan Mirah melangkah se-

suai perintah Womere. Sinar mata mereka sayu, bah-

kan seakan-akan tidak bersinar sedikitpun juga, di-

tambah gerak tubuh yang sangat kaku, maka mereka 

tak ubahnya seperti mayat berjalan.

"Jalan ke depan!" perintah Womere yang masih 

tetap merentangkan tangan mengikuti suami istri itu


dari belakang dalam jarak sekitar dua meter. Umang 

dan Mirah terus melangkah menuju sebuah ruangan 

lain melalui lorong sempit dan gelap.

Dalam ruangan itu telah tersedia dua buah peti 

kayu yang bentuknya seperti peti mati. Begitu sepa-

sang pendekar itu masuk ke ruangan itu, dua pengaw-

al bertubuh raksasa tadi segera membuka tutup peti. 

Tanpa diperintah lagi, Umang terlebih dahulu melang-

kah dan masuk ke dalam peti. Beberapa saat kemu-

dian, Mirah pun masuk ke dalam peti yang satu lagi.

"Bagus! Beristirahatlah kalian dengan baik. Kalau 

saatnya sudah tiba, kalian akan diberikan tugas!" ujar 

Womere sambil memberikan isyarat agar kedua pen-

gawal segera menutup peti mati itu kembali.

Di sudut ruangan itu, ada pula dua lelaki berku-

lit putih yang agaknya juga merupakan tawanan Wan-

Da-I. Keduanya duduk dengan kedua tangan terbe-

lenggu kepada dinding batu ruangan itu. Mereka ada-

lah Profesor Van Leinen dan sahabat mudanya Simon. 

Kedua orang asing itu terkejut menyaksikan sepasang 

insan berlainan jenis digiring masuk, lalu masuk ke 

dalam peti. Jelas tampak oleh kedua kulit putih itu be-

tapa Umang dan Mirah bagaikan robot saja disuruh 

berjalan dan masuk peti oleh Womere.

"Profesor, coba lihat di sana! Dua orang tawanan 

baru," kata Simon setengah berbisik.

"Aku sudah melihatnya sejak tadi. Tampaknya

mereka adalah sahabat-sahabat kepala suku Pampani. 

Wajah mereka seperti tergambar dalam bentuk boneka 

gabus yang kemarin kita lihat di kamar Womere. Kasi-

han mereka."

"Tapi mengapa mereka tidak diperlakukan seperti 

kita? Mereka tidak dibelenggu!"

Profesor Van Leinen menghela nafas panjang. Se-

kalipun belum ada yang menjelaskan, namun karena


sudah sangat berpengalaman maka ia segera dapat 

mengerti kenapa dua tawanan baru itu tidak dibeleng-

gu seperti mereka.

"Mereka adalah tawanan istimewa, lain dengan 

kita. Untuk membelenggu mereka tidak memakai ran-

tai besi, melainkan menggunakan ilmu magis. Karena 

tawanan pribumi itu adalah orang yang menggunakan 

kekuatan batin. Sedangkan kita adalah orang-orang 

yang berkekuatan pikiran. Oleh karena itu, untuk 

orang seperti kita bagiannya adalah rantai besi."

"Aku punya ide, Prof."

"Maksudmu apa?"

"Betapa sempurnanya kalau kita pun bisa mem-

pelajari ilmu-ilmu magis dari belahan bumi bagian Ti-

mur ini. Kita akan menjadi bangsa yang tak terkalah-

kan."

"Mungkin ada benarnya. Tetapi prosesnya tidak-

lah semudah yang kau pikirkan. Semuanya serba su-

sah dan membutuhkan kesabaran serta kebulatan te-

kad. Tapi kita lihat saja nanti. Nasib kita saja belum 

kita ketahui bagaimana akhirnya. Selamat dari cengke-

raman orang-orang ini saja sudah syukur. Mereka 

sangat jahat dan licik, jauh berbeda dengan Pampani 

serta kawan-kawannya."

Pada kesempatan itu, ketika hari sudah mulai 

pagi, si Kaki Tunggal dan Karta sudah sampai di hala-

man istana. Wajah mereka pucat mencerminkan ke-

cemasan, karena Umang dan Mirah telah hilang entah 

ke mana. Walaupun belum menemukan petunjuk ten-

tang hilangnya kedua sahabat mereka itu, namun si 

Kaki Tunggal dan Karta sudah dapat menduga bahwa 

yang menangkap suami istri itu pastilah pihak Wan-

Da-I. Dan itu pula yang membuat mereka sangat ce-

mas, karena keduanya menyadari bahwa sekali jatuh 

ke tangan tokoh sesat itu, maka akan sulitlah mele


paskan diri.

"Untuk sementara sebaiknya kau turut berjaga-

jaga di lingkungan istana, Karta. Siapa tahu pihak mu-

suh bersiap-siap menyerang kita."

"Tidak, Baureksa. Lebih baik aku tetap tinggal di 

laut. Lebih banyak manfaatnya."

"Aku mempunyai pertimbangan lain, Karta. Ingat, 

di saat Mirah dan Umang masih ada, kita tetap bisa 

kebobolan dan keteter oleh ancaman musuh."

"Tapi lihat posisi kota kita, terpagar kuat. Begitu 

musuh menyelundup, langsung diketahui para penjaga 

di atas menara. Semua orang bisa segera bersiap-siap. 

Jadi yang tidak bisa diduga-duga adalah serangan 

yang langsung dilancarkan dari laut. Tugaskulah un-

tuk memata-matainya."

"Hm, betul juga pendapatmu. Hampir tak terpikir 

olehku. Hm, tiba-tiba aku teringat pada pintu tembu-

san yang pernah, kau temukan itu. Coba kau tunjuk-

kan padaku di mana letaknya."

"Baiklah!" Karta segera meloncati pagar yang 

mengelilingi istana, disusul oleh si Kaki Tunggal. Da-

lam sekejap saja, keduanya sudah berada di belakan-

gan istana. Tanpa menimbulkan suara mencurigakan, 

kedua pendekar itu merangkaki kolong bangunan be-

sar itu.

Setelah cukup lama merangkak, Karta memberi 

isyarat untuk berhenti. "Aku, pun baru ingat sekarang 

pada terowongan ini. Mudah-mudahan kita bisa me-

nemukan Umang dan Mirah," bisiknya.

Terowongan yang dimaksudkan Karta itu meru-

pakan sebuah lubang yang tidak terlalu besar. Agak-

nya pintu masuk itu sangat dirahasiakan, sehingga se-

lama ini tak seorang pun di antara para laskar yang 

mengetahuinya. Dulu hanya karena kebetulan saja si 

Gila Dari Muara Bondet menemukannya.


Dengan sangat hati-hati, Karta membuka tutup 

pintu tembusan yang terbuat dari batu bundar. Si Kaki 

Tunggal terlebih dulu masuk diikuti oleh Karta. Mere-

ka kemudian menuruni tangga batu di bawah tanah, 

sambil meraba-raba karena tempat itu sangat gelap.

"Belok kiri. Seingatku ada lorong menuju ke sa-

na. Hati-hati dengan tongkatmu," bisik si Gila Dari 

Muara Bondet.

"Jangan khawatir. Ujung tongkatku ini mempu-

nyai mata yang langsung berhubungan dengan seluruh 

urat-urat syaraf dalam tubuhku."

Kedua pendekar itu terus menuruni tangga batu, 

hingga kemudian si Kaki Tunggal menghentikan lang-

kahnya dengan tiba-tiba. Karta yang berjalan di bela-

kangnya menjadi heran, "Kenapa berhenti. Ada apa?"

"Kita sudah ketinggalan. Lorong itu telah ditutup 

batu."

"Kurang ajar! Benar-benar cerdik mereka. Sampai 

kita tidak sempat berbuat apa-apa untuk memasuki 

sarang mereka. Yah, tampaknya tak ada jalan lain la-

gi!"

Keduanya memutuskan untuk ke luar kembali. 

Namun betapa terkejutnya mereka ketika hendak 

kembali, pintu batu bundar itu sudah terkunci dari 

luar.

"Celaka! Pintu itu sudah ditutup dari luar. Kita 

terjebak!" kata si Kaki Tunggal.

"Apa yang harus kita lakukan?" Karta bertanya 

sambil berfikir keras. Tetapi tiba-tiba terdengar suara 

berdesis dari sela-sela tutup lubang itu dan ketika me-

nengadah tampaklah asap berwarna ungu bergumpal-

gumpal ke arah mereka.

"Asap beracun!" teriak Karta panik. Ia mencoba 

menahan pernafasan agar tidak menghirup asap itu. Si 

Kaki Tunggal pun melakukan hal yang sama, namun


daya tahannya tidak terlalu lama. Ia menghirup asap 

beracun itu, hingga terdengar batuk-batuknya meme-

nuhi ruangan sempit itu. Tak lama kemudian, ia pun 

roboh lemas. Karta memiliki daya tahan yang lebih la-

ma, karena sejak kecil ia sudah terbiasa menyelam, 

baik di sungai maupun di laut.

Sambil mengerahkan tenaga dalamnya, lelaki itu 

mencoba mendorong pintu batu bundar, namun tidak 

berhasil, sehingga yakinlah ia bahwa pintu itu sengaja 

ditahan orang dari atas. Hal itu membuat Karta ber-

tambah geram, karena kalau tidak segera dapat ke luar 

dari kepungan asap beracun itu, maka ia bersama si 

Kaki Tunggal pastilah akan celaka. Bahkan tidak mus-

tahil akan tewas secara mengerikan.

Dalam keadaan yang sangat genting itu, Karta 

segera memasang kuda-kuda sambil memusatkan per-

hatiannya. Kedua tangannya disilangkan di depan da-

da, lalu sambil melengking nyaring, ia memukul pintu 

batu bundar itu.

"Ciaaaat....! Praaaak!" Hebat bukan main pukulan 

Karta yang dilancarkan dengan pengerahan tenaga da-

lam itu. Seketika pintu batu itu hancur berantakan.

"Baureksa, kita harus segera ke luar!" teriak Kar-

ta sambil mengangkat tubuh si Kaki Tunggal yang su-

dah sangat lemas. Sekali meloncat, ia pun berhasil ke 

luar dari lubang itu. Akan tetapi sepotong kayu besar 

menyambar dan langsung menghantam punggung Kar-

ta, sehingga terpelanting bersama si Kaki Tunggal. Se-

belum keduanya berhasil bangkit, tiang kayu penyang-

ga bangunan yang cukup besar itu telah menimpa 

punggung mereka.

"Ha ha ha! Memang kalian berdualah yang paling 

sulit ditundukkan. Tetapi sekarang, tiba saatnya aja 

menjemput nyawa kalian. Dan Pampani bukanlah apa-

apa bagiku!" Orang itu menginjak balok kayu sehingga



leher Karta terjepit. Pendekar gagah perkasa itu men-

coba melepaskan diri, tetapi karena tadi sudah kehabi-

san tenaga ia tak bisa berbuat banyak, apalagi karena 

tenaga injakan orang itu sangatlah kuatnya.

Sambil berusaha menahankan rasa sakit di le-

hernya, Karta melirik dan memperhatikan wajah orang 

itu. Wajahnya tiba-tiba berubah jadi pucat, tetapi se-

bentar kemudian berubah merah padam kembali. 

Tampaknya ia sangat terkejut, bahkan seolah-olah tak 

percaya akan penglihatannya sendiri.

"Kau... kau Maleang Pangaru....?" Karta mendesis 

menyebut nama Iblis Pulau Aru. Wajar kalau pendekar 

si Gila Dari Muara Bondet terkejut bagaikan disambar 

petir, karena dahulu Maleang Pangaru yang dijuluki 

Iblis Pulau Aru itu sudah tewas bersama pendeta 

Naomi, nenek tua yang juga tak kalah jahatnya. Ba-

gaimana sekarang tiba-tiba Iblis Pulau Aru muncul da-

lam keadaan segar bugar bahkan menyerangnya? Kar-

ta tak habis pikir, dan karena ia tahu tokoh sesat itu 

sangat tinggi ilmunya serta sangat jahat pula, nya-

wanya sudah pasti dalam keadaan terancam.

Melihat Karta terkejut, laki-laki tua itu tertawa 

terbahak-bahak hingga perutnya berguncang-guncang, 

"Ha ha ha! Seperti yang kau lihat sendiri. Aku telah da-

tang menagih nyawamu!"

Suara gaduh di bagian belakang istana itu ru-

panya membuat para penjaga gempar. Tanpa diko-

mando lagi, para laskar itu menyerbu ke arah suara 

itu dengan senjata terhunus. Mereka ternyata dipimpin 

oleh Pampani sendiri.

"Berpencar! Sebagian masuk ke kolong bangunan 

dan sebagian lagi masuk lewat pintu. Cepat!" teriak 

Pampani dengan suara menggelegar mengatasi suara 

hiruk pikuk serbuan laskar. Dengan sigap, mereka 

pun menyerbu menuruti perintah pimpinannya.


"Itu dia orangnya!" teriak seorang laskar ketika 

melihat seorang lelaki sedang menjepit leher Karta 

dengan balok kayu.

"Sergap!"

"Bunuh!"

Laskar yang jumlahnya puluhan orang itu berte-

riak-teriak sehingga dalam sekejap Maleang Pangaru 

sudah terkepung rapat. Akan tetapi laki-laki itu me-

mang bukan orang sembarangan. Begitu puluhan 

tombak mengincar tubuhnya dari segala arah, ia sege-

ra berputar dan kedua tangannya bergerak cepat seka-

li.

"Krak! Krak!" Senjata-senjata tombak itu berpa-

tahan dan sebelum laskar sempat menguasai rasa ka-

getnya, kedua tangan Maleang Pangaru sudah men-

cengkram ke sana ke mari. Cengkraman itu kuat dan 

keras bagaikan baja, sehingga setiap laskar yang ter-

kena langsung roboh dengan tubuh tercabik-cabik. 

Ada yang kulit perutnya tembus, hingga ususnya ter-

burai, ada yang lengannya copot, ada yang lehernya 

hampir putus dan sebagainya.

Walaupun demikian, laskar lainnya tetap tidak 

gentar. Mereka terus menerjang. Roboh satu maju dua 

atau tidak orang, sehingga makin banyaklah laskar 

yang roboh bermandikan darahnya sendiri. Bagaima-

napun juga, kekuatan laki-laki tersebut tentu ada ba-

tasnya. Setelah cukup lama bertarung, ia akhirnya ter-

desak bahkan kemudian berdiri dalam keadaan tak 

berkutik di dekat tiang istana.

"Bunuh!" Terdengar teriakan nyaring dan tom-

bak-tombak itu pun merekam tubuh Maleang Pangaru. 

Tubuh orang tua itu mengejang meliuk dan meregang, 

kemudian terkapar dengan puluhan tombak tertancap 

di tubuhnya. Terdengar jeritan panjang keluar dari 

mulut lelaki tua itu dan setelah menggelepar-gelepar


beberapa saat, tubuh itu pun terkulai lemas dalam 

keadaan tidak bernyawa. "Mampus kau!"

"Horeee! Kita berhasil membunuhnya. Tuanku 

Pampani pasti sangat gembira melihatnya. Kawan-

kawan, salah seorang di antara kalian cepat memberi-

tahukannya kepada Tuanku Pampani!" teriak pemim-

pin laskar itu dengan wajah cerah ceria. 

"Aku saja!" teriak seorang pengawal istana, lalu 

bagaikan anak panah dilepas dari busurnya berlari 

sambil berjingkrak-jingkrak hendak memberitahukan 

keberhasilan mereka kepada Pampani. Akan tetapi ke-

tika sampai di halaman belakang istana, pengawal itu 

mendadak menghentikan langkahnya. Matanya terbe-

lalak lebar dan mulutnya menganga bagaikan anak ke-

cil melihat setan di siang bolong.

Maleang Pangaru yang tadi dilihatnya telah tewas 

di ujung puluhan tombak, kini justru bertarung den-

gan Pampani. Pengawal itu hampir tak percaya pada 

penglihatannya sendiri. Ia mengusap-usap matanya, 

bahkan kemudian mencubit lengannya sendiri dan 

manakala terasa sakit, sadarlah ia bahwa dirinya tidak 

sedang bermimpi. Saking kaget dan bingungnya, pen-

gawal itu hanya berdiri bengong bagaikan patung, ti-

dak tahu harus berbuat apa.

Beberapa saat kemudian, pengawal itu tersadar, 

lalu berbalik lagi ke tempatnya semula ingin menyak-

sikan keadaan musuh mereka yang tadi terkapar ber-

lumuran darah dan sudah diyakini tewas. Di depan 

pintu, ia bertubrukan dengan kawannya sendiri yang 

saat itu juga kebetulan berlari hendak ke luar.

"Duk!" Kepala mereka sama-sama beradu keras. 

Akibatnya kedua laskar itu sama-sama terjengkang 

dengan jidat benjol. Terdengar suara makian, tetapi 

tanpa memperdulikan rasa sakit di kepalanya, pen-

gawal itu terus berlari ke dalam. Ia menyeruduk keru



munan kawan-kawannya bagaikan babi hutan dikejar-

kejar pemburu. Beberapa laskar terpelanting oleh do-

rongan yang sangat kuat.

Agaknya pengawal itu terlebih dulu menyadari 

apa sebenarnya yang telah terjadi. Maka ia pun berte-

riak-teriak bagaikan orang kesurupan setan. "Lihat....! 

Lihat! Kalian rupanya buta semua. Rabun dan kotok! 

Lihat, siapa dia!"

Para laskar itu sama-sama melihat ke arah mu-

suh yang tadi mereka rejam hingga tewas.

"Hah?" Serentak para laskar itu mengeluarkan 

suara kaget dan sama-sama meloncat mundur. Lelaki 

yang terkapar dengan puluhan tombak tertancap di 

tubuhnya itu ternyata bukan Maleang Pangaru seperti 

yang mereka lihat tadi. Lelaki itu tidak tua, melainkan 

masih muda dan tubuhnya pun tegap, tidak kurus se-

perti halnya Maleang Pangaru.

Seorang laskar meloncat dan mengangkat wajah 

yang terkulai itu. Dan ia kembali berseru kaget bagai-

kan orang disengat kalajengking: "Hah? Ini... ini kawan 

kita sendiri!" Yang lainnya memperhatikan dengan 

seksama. Dan benar, korban yang mereka rejam hing-

ga tewas adalah teman mereka sendiri. Sadarlah para 

laskar itu bahwa mereka sudah bertindak salah, 

menghabisi nyawa teman sendiri. Padahal tadi, dengan 

sangat jelasnya mereka menyaksikannya sebagai Ma-

laeng Pangaru. Bagaimana mereka semua yang jum-

lahnya puluhan orang itu sedemikian mudahnya terti-

pu oleh musuh? Untuk beberapa saat, para laskar itu 

terdiam, saling berpandangan dengan wajah menun-

jukkan rasa bersalah dan penyesalan yang sangat da-

lam.

Beberapa di antara para laskar itu, yang agaknya 

tadi ikut merejam tubuh kawan mereka dengan tom-

bak segera meninggalkan tempat itu dengan air mata


bercucuran. Tak terlukiskan bagaimana hancurnya pe-

rasaan mereka karena terlanjur membunuh kawan 

sendiri.

Sementara itu, Pampani tampak mulai terdesak 

oleh musuh yang berwujud Iblis Pulau Aru itu. Semua 

ilmu simpanan Pampani sudah ia keluarkan, namun 

jangankan mendesak, ia makin keteter dan pada suatu 

kesempatan, tendangan kaki lawan mendarat telak di 

dagunya.

"Braaak!" Tubuh Pampani terpelanting dan 

menghantam tiang bangunan. Tanpa ampun lagi ban-

gunan di sekitar itu roboh menimpa tubuh sang Kepa-

la Suku. Dengan sisa tenaga yang ada, Pampani me-

lemparkan puing-puing bangunan yang menimpa tu-

buhnya. Ia terengah-engah dan sekujur tubuhnya di-

banjiri keringat. Wajahnya agak pucat, karena ia sa-

dar nyawanya benar-benar sangat terancam. Tetapi 

sebagai pendekar gagah perkasa yang juga sebagai ke-

pala suku, ia tidak mau menyerah begitu saja. Baginya 

mati dalam pertarungan, apa lagi melawan musuh be-

sarnya adalah lebih terhormat daripada menyerah. 

Maka ia pun segera meloncat bangun dan tampak agak 

sempoyongan.

Melihat itu, lawan tertawa kemudian menyeringai 

buas. Beberapa saat kemudian, tubuhnya berkelebat 

menerjang Pampani. Tangan kirinya melancarkan pu-

kulan maut ke arah dada Pampani. Cepat sekali ge-

rakkannya, sehingga kepala suku itu hanya sempat 

berkelit ke samping dengan cara menggeser kaki. Teta-

pi agaknya serangan itu hanya pancingan saja, karena 

begitu Pampani menggeser kaki, tiba-tiba kaki kanan 

lawan sudah menghantam dadanya.

"Buk!"

Tubuh Pampani kembali terlempar dan sebelum 

ia sempat bangkit, tendangan lawan lagi-lagi menghan


tam dagunya. Menyusul lagi hantaman kaki kiri, hing-

ga akhirnya Pampani tergeletak tak berdaya lagi. Kepa-

lanya sangat pusing, sehingga tanah tempatnya terge-

letak terasa berputar-putar, pandangan matanya pun 

berkunang-kunang, sehingga kadang-kandang tubuh 

lawan tampak berubah jadi banyak sekali.

Kembali lawan yang berwujud Maleang Pangaru 

itu menyeringai buas. Matanya berkilat-kilat dan me-

rah bagaikan memancarkan api sewaktu menatap 

Pampani. Agaknya ia sudah memutuskan akan meng-

habisi nyawa kepala suku itu. Tetapi sebelum melak-

sanakan niat hatinya, ia masih sempat berkata.

"Riwayatmu akan kuakhiri sampai di sini saja. 

Sebenarnya tanpa bantuan pendekar-pendekar dari 

Pulau Jawa itu, kau tidak ada artinya sama sekali ba-

giku. Walaupun mereka tidak sesakti si Setan Cebol, 

tetapi mereka cerdik-cerdik serta ulet. Tidak seperti 

kau yang dungu bagaikan kerbau. Walaupun demi-

kian, kawan-kawanmu itu satu persatu sudah kupere-

teli hingga suatu saat nanti semuanya akan bertekuk 

lutut di hadapanku. Sekarang giliranmu untuk mam-

pus!"

Orang tua itu mengangkat kaki kanannya, ber-

siap-siap menginjak dada Pampani hingga remuk. 

Akan tetapi tiba-tiba sebuah balok kayu menghantam 

tengkuknya

"Buk! Augh!"

Tubuh lelaki itu terdorong ke depan, memegangi 

belakang kepalanya yang dihantam pakai balok kayu 

itu, ternyata sudah retak dan mengeluarkan darah. Ia 

menggeram hebat sambil memutar tubuh melihat sia-

pa yang menyerangnya dari belakang. Ternyata adalah 

Karta sendiri.

Tadi pendekar dari Muara Bondet itu tertimbun 

di dalam reruntuhan bangunan dan karena sudah


sempat kehabisan tenaga, ia tidak bisa segera bangkit. 

Barulah setelah menghimpun tenaga dalamnya, ia me-

rasa kuat kembali. Tepat ketika ia ke luar dari rerun-

tuhan, ia melihat Pampani sedang terancam maut dan 

ia pun segera bertindak menyelamatkan nyawa kakak 

iparnya itu.

"Yeaaaaa!" Karta melengking panjang dan nyar-

ing. Tubuhnya mencelat bagaikan terbang menerjang 

Maleang Pangaru. Goloknya diputar cepat sekali hing-

ga menimbulkan suara berdesing-desing dan menim-

bulkan gulungan sinar mata golok kehitam-hitaman 

mengurung tubuh lawan. Itulah ilmu golok Karta yang 

paling dahsyat, sehingga lawan bisa kebingungan se-

bab senjata di tangannya tampak berubah jadi banyak 

sekali dan setiap saat selalu mengincar tubuh musuh-

nya, dari segala sudut.

Tetapi lawan yang dihadapinya saat ini juga bu-

kan orang sembarangan. Mendapat serangan yang 

sangat cepat seperti itu, ia segera meloncat menghin-

dar, kemudian melancarkan serangan balasan dengan 

tangan kosong tetapi tidak kalah berbahayanya. Pada 

saat itu, dari dalam lubang muncul pula sesosok tu-

buh, yang tak lain adalah si Kaki Tunggal sendiri. Sete-

lah mengerahkan tenaga dalamnya tadi, ia pun dapat 

mengusir pengaruh asap beracun yang memenuhi pa-

ru-parunya. Pendekar berilmu tinggi ini pun tidak ka-

lah terkejutnya melihat di tempat itu telah mengamuk 

lelaki tua yang sangat mirip dengan Iblis Pulau Aru. 

Wajah dan penampilan maupun cara bertarung orang 

itu tidak ada bedanya dengan Maleang Pangaru, se-

hingga kalau misalnya si Kaki Tunggal belum tahu 

bahwa tokoh sesat itu sudah tewas dahulu, tentu dia 

tidak akan ragu-ragu lagi bahwa lelaki itu adalah mu-

suh besar Pampani.

"Apakah benar-benar Iblis itu atau hanya ilmu


sihir belaka?" tanya hati si Kaki Tunggal. Ia ingin me-

nyaksikan kehebatan ilmu silat orang aneh itu. Maka 

ia pun melemparkan topi pandannya sambil menge-

rahkan tenaga dalam, sehingga topi itu meluncur cepat 

sekali. Agaknya lelaki itu tidak sempat memperhati-

kannya, sehingga topi si Kaki Tunggal dengan telak 

menghantam tulang iga Maleang Pangaru.

"Aaaah!"

Tubuh Maleang Pangaru meliuk-liuk dengan wa-

jah yang tiba-tiba berubah jadi pucat, pertanda bahwa 

ia menderita luka dalam yang cukup parah akibat han-

taman topi si Kaki Tunggal.

"Oh, kau sudah datang Baureksa!" seru Karta gi-

rang. Ketika melihat sahabatnya menerjang Maleang 

Pangaru, ia pun melancarkan serangan mautnya.

"Yeaaaa!"

Tongkat si Kaki Tunggal menyambar ke arah leh-

er Maleang Pangaru sementara golok Karta membabat 

ke arah pinggangnya. Hebat sekali serangan kedua 

pendekar itu. Tetapi dalam keadaan yang sangat kritis 

itu, Maleang Pangaru masih sempat mengelak dengan 

cara berkelit ke samping sambil menundukkan kepala 

sehingga kedua senjata lawan hanya menerpa angin. 

Namun saat itu, tangan kiri si Kaki Tunggal sudah 

menghantam pinggangnya.

"Buk!" 

Tubuh Maleang Pangaru terpelanting beberapa 

meter. Melihat itu, Karta menjadi girang, lalu segera 

meloncat sambil mengayunkan goloknya siap memba-

bat leher lawan hingga putus. Akan tetapi tiba-tiba 

terdengar jeritan:

"Tahan! Aku adalah Pampani!"

"Mampus kau!" bentak Karta karena mengira 

musuhnya hendak memperdayai mereka kembali. Go-

loknya meluncur cepat sekali menusuk dada lawan.



"Tunggu! Aku adalah Pampani, bukan Maleang 

Pangaru!" Lelaki itu kembali berteriak. Akan tetapi 

Karta tetap tidak mau perduli. Goloknya terus melun-

cur dan tampaknya lawannya pun tidak akan mampu 

mengelak lagi.

"Trak!" Hanya beberapa centimeter sebelum 

menghunjam di tubuh lawan, golok Karta tertahan 

oleh tangkisan tongkat Kaki Tunggal sahabatnya.

"Tunggu dulu, Karta!" kata si Kaki Tunggal seten-

gah membentak "Lihat baik baik, siapa yang hendak 

kau bunuh itu!" 

Karta memperhatikan wajah lelaki yang hendak 

dibunuhnya! Dan dia pun berseru kaget dengan wajah 

pucat, "Astaga! Pampani!"

"Kita hampir membunuh kawan sendiri," kata si 

Kaki Tunggal seraya menggeleng-gelengkan kepala.

Karta segera menyarungkan goloknya! lalu mem-

bantu Pampani berdiri. Dadanya masih berdebar-

debar, tak berani membayangkan apa yang bakal ter-

jadi seandainya si Kaki Tunggal tidak menangkis go-

loknya tadi. Padahal sewaktu ia menerjang, jelas sekali 

terlihat oleh matanya bahwa lelaki itu adalah Maleang 

Pangaru. Sadarlah pendekar itu bahwa dirinya sudah 

termakan oleh ilmu sihir lawan. "Maafkan aku, Pam-

pani!" 

Para laskar yang menyaksikan kejadian itu juga 

tidak kalah terkejutnya. Tadi mereka sudah bersiap-

siap melakukan pengeroyokan terhadap musuh besar 

mereka. Namun ternyata musuh yang tampak sebagai 

Maleang Pangaru itu adalah kepala suku mereka sen-

diri.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa terbahak-

bahak, keras sekali dan sambung menyambung seperti 

suara ketawa setan dari alam gaib. Pampani dan saha-

bat-sahabatnya maupun para laskar sama-sama berpaling ke arah asal suara itu. Alangkah terkejutnya 

mereka menyaksikan dua sosok tubuh laki-laki sedang 

berdiri sambil tertawa-tawa di atas atap istana. Itulah 

si Tukang sihir Womere bersama Wan-Da-I yang di ma-

ta Pampani serta kawan-kawan maupun laskarnya 

adalah tak ada bedanya dengan Maleang Pangaru sen-

diri. Demikianlah hebat dan jahatnya ilmu sihir Wo-

mere sehingga semua musuh mereka dengan sangat 

mudahnya dapat diperdayai.

"Ha ha ha! Kalian lihat, betapa mudahnya aku 

merebut kekuasaan kembali. Tetapi aku tak mau bu-

ru-buru. Akan kubikin kalian lebih panik lagi sampai 

hatiku puas." teriak Wan-Da-I.

"Jahanam kau! Kau benar-benar iblis terkutuk 

dan keji. Suatu saat aku akan mematahkan batang le-

hermu, bangsat!" teriak Pampani geram.

"Ha ha ha...! Bagus! Bagus anak tolol Aku akan 

menunggu! Lebih cepat lebih baik. Sekarang waktuku 

hanya sedikit hingga tak sempat lagi bermain-main 

denganmu. Tapi percayalah, aku akan segera datang. 

Sampai jumpa lagi, Pampani yang tolol!"

"Turun kau!"

Akan tetapi kedua musuh besar mereka itu tidak 

menyahut lagi karena sudah berkelebat dan dalam se-

kejap saja sudah hilang dari pandangan. Dengan gera-

kan yang sangat ringan, mereka meloncati atap-atap 

serta pagar yang merupakan benteng istana.

Seorang penjaga menara yang sempat melihat la-

rinya kedua musuh itu mengarahkan tombaknya den-

gan cermat. Senjata tajam itu kemudian dilemparkan, 

menimbulkan suara berdesing menuju sasaran. Demi-

kian cepatnya tombak itu meluncur dan dengan sangat 

jitu menyambar ke arah pinggang Wan-Da-I.

Akan tetapi dengan gerakan yang lebih cepat lagi, 

lelaki itu berputar dan sambil menggeram menendang


tombak itu. Kuat sekali tenaga tendangan itu, sehingga 

tombak penjaga menara berbalik dan meluncur cepat 

sekali ke arah pemiliknya. Penjaga menara hanya sem-

pat menyaksikan kilatan cahaya menyambar ke arah-

nya, lalu tiba-tiba ia merasa dadanya nyeri. Ternyata 

tombak yang tadi dilemparkannya ke arah musuh su-

dah menancap di dadanya sendiri.

"Aaaaaah!" Terdengar jerit panjang yang sangat 

memilukan ketika tubuh itu terhempas ke bawah, da-

lam keadaan tak bernyawa lagi.

"Buk!" Tubuh itu terjerembab sekitar sepuluh 

meter dari para laskar, sehingga membuat mereka ter-

sentak kaget. Lalu? sama-sama memburu teman me-

reka yang bernasib malang itu.

"Hah? Ilmu iblis!"

"Keparat!"

Bermacam-macam kata makian yang keluar dari 

mulut para laskar itu setelah mengetahui bahwa te-

man mereka sudah tewas. Pampani, si Kaki Tunggal 

dan Karta yang tiba kemudian di tempat itu hanya 

menghela nafas panjang. Tampaknya pihak lawan se-

demikian mudahnya membunuh orang-orang mereka, 

seolah-olah mereka hanyalah anak-anak ayam di ha-

dapan seekor elang ganas.

Pada kesempatan itu, Womere dan Wan-Da-I su-

dah jauh dari istana Pampani. Mereka tidak berlari 

kencang lagi, bahkan kemudian berjalan agak santai.

Wajah kedua tokoh sesat itu tampak memancar-

kan rasa puas, tentu saja karena barusan sudah ber-

hasil memperdayai musuh-musuh mereka. Cuma agak 

disayangkan, ilmu sihir Womere yang sangat hebat itu 

tampaknya tidak mempan terhadap para pendekar Pu-

lau Jawa yakni si Kaki Tunggal dan Karta sendiri. Tadi 

Karta sudah hampir membunuh Pampani yang diki-

ranya adalah Maleang Pangaru, tetapi kemudian ia



pun tersadar seperti halnya si Kaki Tunggal, sehingga 

Pampani pun lolos dari maut.

"Hebat juga pendekar-pendekar Pulau Jawa itu. 

Mereka tak mempan ilmu sihirmu Womere!"

Si tukang sihir dari pulau Kolepom sebenarnya 

terkejut juga. Dan diam-diam harus merasa kagum, 

karena bukan hanya sekali ini, bahkan sudah bebera-

pa kali ilmu sihirnya gagal mempengaruhi si Kaki 

Tunggal dan Karta. Akan tetapi di hadapan Wan-Da-I, 

si tukang sihir itu tentu saja tidak mau mengutarakan 

kelemahannya, bahkan kemudian memberikan dalih 

untuk menutupi rasa tak enak di hatinya.

"Memang benar, Tuanku! Tetapi itu adalah kare-

na belum seluruhnya ku keluarkan. Tapi bagaimana-

pun juga, kita sudah beruntung karena mereka tam-

paknya sudah benar-benar yakin bahwa Maleang Pan-

garu masih hidup."

Wan-Da-I manggut-manggut sambil tersenyum 

gembira karena apa yang diucapkan Womere itu benar 

adanya. Lalu kemudian ia menghentikan langkahnya 

"Tunggu sebentar, Womere! Aku tak betah den-

gan bulu-bulu palsu ini!" Lalu Wan-Da-I pun mencopot 

kumisnya serta janggut palsu yang menutupi wajah-

nya. Setelah itu ia mengucek-ucek rambutnya, dan ter-

lihatlah tampangnya yang asli.

"Tuanku Wan-Da-I! Mereka pasti yakin bahwa 

kekuatan kita sangat besar. Apalagi karena mereka te-

lah melihat Maleang Pangaru dan pendeta Naomi seo-

lah-olah sudah hidup kembali. Oh, iya. Ada kabar 

gembira, Tuanku! Wori sudah kembali dan membawa 

barang-barang yang kita kehendaki."

"Bagus! Kalau begitu kita manfaatkan sekarang 

keahlian kedua orang kulit putih itu."

Setelah tiba di sarang mereka kembali Wan-Da-I 

segera memerintahkan agar Profesor Van Leinen dan


Simon dibawa menghadap. Dua pengawal bertubuh 

raksasa dan berkulit hitam legam yang selama ini tak 

pernah lalai mengawasi kedua tawanan itu, segera me-

laksanakan perintah majikannya. Profesor tua itu dan 

Simon dibawa menghadap dengan kedua tangan yang 

masih tetap terbelenggu.

"Lepaskan belenggu itu!" perintah Wan-Da-I. Dan 

setelah pengawal melepaskannya, tokoh sesat itu ber-

kata kepada kedua orang kulit putih tawanannya, "Se-

karang tugas untuk kalian berdua sudah menunggu. 

Sesudah itu, kalian boleh bebas pergi dari sini membu-

ru manusia monyet itu." Lalu ia pun memberikan isya-

rat berupa anggukan kepala kepada Womere.

"Tuan-tuan," kata Womere sambil menatap wajah 

Profesor Van Leinen dan Simon bergantian, "Mari ikut 

aku! Hai, pengawal, bawa mereka masuk!"

Kedua orang kulit putih itu kemudian dibawa ke 

dalam kamar rahasia Womere. Di dalam ruangan itu 

ternyata sudah banyak peti-peti berbentuk tong, yang 

tampaknya baru dimasukkan ke sana.

"Nah, Tuan-tuan, dalam peti-peti tong ini tersim-

pan bubuk-bubuk mesiu, hasil dari ilmu pengetahuan 

Barat bangsa kalian sendiri. Kini Tuan-tuan harus se-

gera mengerjakannya untuk kepentingan kami. Ini 

adalah kerjasama yang baik di antara kita. Sebagai ra-

sa terimakasih kami nanti, kalian akan kami berikan 

banyak sekali mutiara atau benda lainnya yang kalian 

perlukan."

"Apa maksudmu?" tanya Profesor Van Leinen 

sambil mengerutkan kening. Sehingga ia tampak lebih 

tua dari usia yang sebenarnya.

"Tuan-tuan harus membuat alat peledak untuk 

beberapa ukuran! Selain itu, kalian pun harus menga-

jarkan cara pembuatannya kepada kami!"

Profesor Van Leinen tidak segera menyahut, teta


pi dari raut wajahnya dapat diduga bahwa ia sangat ti-

dak setuju dengan maksud Womere. Agaknya, tukang 

sihir itu pun sudah terlebih dulu memikirkannya. Ma-

ka ia tampak tersenyum setengah menyeringai. Sikap-

nya jelas sangat mengancam ketika berkata: "Ingat! 

Janganlah coba-coba menipu kami. Kami dapat segera 

mengetahui gelagat kalian. Nah, selamat bekerja!"

"Kalau kami tidak mau bagaimana?"

"Tidak mau?" Womere tertawa ngakak, "Aku ya-

kin kalian bukanlah orang tolol yang mau menolak 

maksud baik kami. Tak ada alasan bagi kalian untuk 

menolaknya. Kerjakanlah dengan segera. Makin cepat 

makin baik."

Profesor Van Leinen tampak menghela nafas da-

lam-dalam. Ia terlihat dari wajahnya yang pucat dan 

sikapnya yang gelisah.

"Mari, Profesor! Sebaiknya kita menuruti permin-

taan mereka! Makin cepat makin baik, agar kita segera 

bebas dari tempat neraka ini," kata Simon setengah 

berbisik ke telinga ahli biologi dan ilmu alam itu.

"Simon, kita diharuskan membuat alat membu-

nuh yang paling keji untuk digunakan membantai 

orang-orang yang belum tentu merupakan musuh kita. 

Aku..."

"Jangan tolol, Profesor!" sela Simon cepat, "Kita 

harus melakukannya. Tak perduli, karena semua pen-

duduk pribumi di sini adalah rintangan bagi usaha ki-

ta."

"Tidak, Simon! Kau jangan menyamakan semua-

nya. Kepala suku bernama Pampani itu orangnya lain, 

ia sangat bijaksana. Ia tidak berbuat kerja paksa se-

perti ini jika seandainya kita jatuh ke tangannya. Itu 

tandanya bahwa..."

"Tutup mulutmu, Tuan!" bentak Wan-Da-I yang 

sudah berada di ruangan itu "Tak ada pilihan lain bagi


kalian kalau ingin keluar dari sarangku dalam kea-

daan selamat."

"Sebaiknya tuan-tuan segera melakukan perintah 

kami. Kami masih banyak urusan, sehingga tak perlu 

mendengar ocehanmu. Pengawal-pengawal raksasa itu 

akan mengawasi kalian!" kata Womere pula.

Tiba-tiba sang Profesor mendengus, "Mengapa tak 

kalian paksa aku dengan cara permainan boneka-

boneka ajaib itu. Terus terang aku tak mau melaku-

kannya."

"Hati-hati bicara, Prof! Mereka bisa marah!" bisik 

Simon gemetar.

"Pertanyaanmu lucu juga, Tuan. Dengan boneka-

boneka itu, akal dan pikirankulah yang memasuki diri 

kalian. Sedangkan kami butuh akal pikiran kalian un-

tuk membuat alat-alat peledak. Sudah mengertikah 

engkau, Tuan?"

Profesor Van Leinen tidak menyahut lagi. Ia beru-

lang kali menarik nafas berat sehingga desah nafasnya 

terdengar jelas memenuhi ruangan itu. Tetapi kemu-

dian, salah seorang di antara kedua pengawal bertu-

buh raksasa itu menarik tangannya dengan kasar den-

gan mata mencorong tajam dan buas.

***

TIGA



Malam telah larut. Alam di sekitar Kepulauan Aru 

sunyi senyap bagaikan alam yang mati, tanpa gerak 

dan perubahan. Rembulan di langit bersinar redup, 

seperti enggan menampakkan diri di atas kepulauan 

yang sedang dilanda prahara itu. Angin pun berhem-

bus pelan-pelan saja, tak ubahnya sepasang kaki yang


sedang melangkah gontai dan tertatih-tatih.

Dari kejauhan terdengar suara desah ombak laut 

menghempas di pantai. Sesekali terdengar pula suara 

burung-burung malam, seperti sedang menyanyikan 

senandung pilu. Terasa betapa malam itu menimbul-

kan suasana menyeramkan, seolah-olah dari balik de-

daunan tangan-tangan lain siap merenggut nyawa sia-

papun yang terlihat. Atau barangkali dari keheningan 

malam itu sudah terdengar untaian cerita tragis yang 

bakal terjadi, tetapi tak seorang pun dapat menden-

garnya.

Ibukota Pulau Trangan di mana terletak istana 

Pampani juga tampak sangat sepi, seakan-akan sedang 

lelap tertidur. Tetapi sesungguhnya tidak semua peng-

huninya tertidur. Laskar yang mendapat giliran ronda 

malam itu tampak masih berjaga-jaga di tempat yang 

telah ditentukan.

Sekitar lima ratus meter dari pagar benteng, ter-

lihat sesosok tubuh lelaki duduk bersandar pada batu 

cadas. Lelaki itu mengenakan topi pandan lebar dan di 

tangannya menggenggam sebatang tongkat yang cukup 

panjang. Siapa lagi kalau bukan Baureksa yang diju-

luki si Kaki Tunggal.

Sekitar lima ratus meter dari tempat itu tampak 

pula seorang laki-laki bertubuh raksasa, berjalan men-

gendap-endap di sela-sela batu-batu cadas. Melihat 

keadaannya yang tidak memakai baju selain sejenis 

cawat penutup aurat serta gelang-gelang besar di ke-

dua tangan dan kakinya, ia adalah penduduk pribumi 

Pulau Aru. Dialah pengawal andalan serta kepercayaan 

Pampani, yakni Bungoru.

Seperti biasanya, si Gila Dari Muara Bondet su-

dah duduk bersemadi di laut. Di sebelah Barat istana, 

ada lagi sosok-sosok tubuh mengintai dari balik se-

mak-semak rimbun. Secara keseluruhan, mereka da


lam suasana berjaga-jaga.

Hal itu sesuai dengan hasil perundingan Kepala 

Suku Pampani bersama Karta dan si Kaki Tunggal ser-

ta para penasehat istana. Karena mereka yakin malam 

itu akan datang serangan musuh, maka mereka pun 

mengadakan penjagaan di segala sudut, baik di dalam 

maupun di luar istana.

Akan tetapi sampai tengah malam belum terlihat 

tanda-tanda pihak musuh melakukan serangan. Sua-

sana di sekitar masing-masing masih sepi. Namun 

menjelang pagi, tiba-tiba dari balik tebing muncul se-

sosok tubuh laki-laki. Di bawah siraman sinar rembu-

lan, terlihat tangan kanan lelaki itu buntung sebatas 

siku. Tangan kirinya menghunus sebilah golok, seperti 

sedang mengintai musuh yang hendak dibunuh. Laki-

laki yang tak lain Umang itu terus berjalan mengen-

dap-endap di balik tebing batu cadas.

Dari balik semak-semak, muncul pula Mirah 

sambil menghunus golok. Ia tampak bergerak gesit me-

loncati bebatuan dan karena gerakannya sangat cepat, 

maka yang tampak hanya berkelebatnya bayangan tu-

buhnya.

Di sudut lain, di atas tebing muncul pula lelaki 

bertubuh raksasa, yang tak lain adalah Pendekar Bu-

merang Wori. Lelaki itu berdiri tegak bagaikan patung 

batu cadas, dengan tangan kiri menggenggam bume-

rang senjata mautnya.

Si Kaki Tunggal yang saat itu hampir tertidur, ti-

ba-tiba mendengus. Telinganya yang sangat tajam 

mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Sece-

pat kilat ia berbalik dan meloncat berdiri sambil ber-

siap-siap menghadapi segala kemungkinan.

"Siapa kau?" bentaknya ketika menyaksikan seo-

rang laki-laki berdiri tak jauh di hadapannya. Sejenak 

ia mengamati wajah lelaki itu dan ia pun berseru ka


get: "Oh, kau Umang!"

"Aku datang untuk mencabut nyawamu!" bentak 

Umang lalu berteriak nyaring. Hampir bersamaan den-

gan itu, ia meloncat menerjang si Kaki Tunggal. Golok-

nya diayunkan cepat sekali membabat ke arah leher 

lawan.

Untunglah sejak tadi si Kaki Tunggal sudah ber-

siap-siap, sehingga ia segera dapat menghindari den-

gan cara meloncat ke belakang sekitar lima meter. 

"Umang, ingat! Aku adalah Baureksa sahabatmu!" te-

riaknya.

Akan tetapi Umang tidak mengucapkan sepatah 

kata pun, bahkan secara mendadak kembali mener-

jang Baureksa dengan dahsyat. Goloknya kali ini me-

nyambar ke arah kaki lawannya, sehingga Baureksa 

terpaksa harus meloncat tinggi untuk menghindari se-

rangan itu. Dari atas si Kaki Tunggal melancarkan se-

rangan. Namun kenyataan bahwa lawannya kali ini 

adalah sahabatnya sendiri yang menyerangnya hanya 

karena dipengaruhi ilmu sihir lawan, membuat si Kaki 

Tunggal hanya melakukan serangan yang tanggung-

tanggung saja. Ketika tongkatnya menyambar kepala 

Umang, lelaki berlengan tunggal itu mengangkat go-

loknya untuk menangkis.

"Trang!"

Kedua senjata itu beradu cukup keras dan kare-

na si Kaki Tunggal hanya mengerahkan sebagian saja 

dari tenaga dalamnya, maka tubuhnya pun terdorong 

mundur. Kesempatan itu digunakan Umang melancar-

kan serangan lanjutan yang tampak semakin ganas.

Sambil menangkis serangan Umang, si Kaki 

Tunggal tak henti-hentinya berteriak memperingatkan 

sahabatnya. Tetapi Umang tetap tak mau perduli, bah-

kan tampak beringas setiap kali si Kaki Tunggal me-

nyebut namanya. Padahal kalau misalnya si Kaki


Tunggal mau, tidak sampai tiga puluh jurus saja, ia 

tentu dapat merobohkan bahkan membunuh Umang. 

Tetapi bagaimana mungkin baginya membunuh kawan 

sendiri? Keadaan itulah yang membuat pertarungan 

berjalan seru dan berlangsung lama.

Di sudut lain Pulau Trangan, Bungoru tampak 

masih duduk mengantuk tanpa menyadari bahwa Wori 

sudah berjalan mengendap-endap menghampirinya. 

Sepasang mata pendekar bumerang itu mendelik me-

rah dan giginya gemeretak. Lalu tanpa menimbulkan 

suara teriakan, lelaki bertubuh raksasa itu menerkam 

Bungoru, dari belakang. Kedua tangannya langsung 

mencekik leher Bungoru, yang berperawakan raksasa 

seperti dirinya.

Tentu saja Bungoru sangat terkejut! Lehernya te-

rasa sakit sekali dan nafasnya pun hampir putus. 

Sambil mengerahkan segenap tenaganya, ia mencoba 

meronta, tetapi cekikan lawan sangat kuat bagaikan 

jepitan baja.

Bungoru semakin kesakitan, tetapi ia tentu saja 

tidak mau menyerah begitu saja. Tanpa memperduli-

kan rasa sakit di lehernya, ia tiba-tiba menunduk dan 

mengangkat tubuh lawan, kemudian membantingkan-

nya sekuat tenaga.

"Buk!"

Tubuh Wori terhempas keras sekali, sehingga 

bukit cadas di sekitar tempat itu terasa bergetar hebat. 

Pendekar Bumerang mengaduh karena punggungnya 

terasa sakit sekali. Ia berusaha bangkit, namun tiba-

tiba Bungoru sudah menerkamnya. Kedua tangannya 

mencengkeram dan memiting leher Wori sekuat tena-

ga. 

Mata Wori mendelik menahan rasa sakit luar bi-

asa di lehernya. Tetapi ia pun bukanlah lelaki yang 

mudah menyerah. Sekalipun sangat kesakitan dan na


fasnya hampir putus pula, ia balas mencekik leher 

Bungoru sambil mendorong sekuat tenaga. Maka ter-

jadilah dorong mendorong, cekik mencekik dan banting 

membanting antara kedua lelaki bertubuh raksasa 

yang sebetulnya bersahabat itu. Cuma Wori sudah di-

pengaruhi ilmu sihir Womere, sehingga seolah-olah tak 

kenal lagi terhadap Bungoru. Sedangkan Bungoru 

sendiri tentu saja tidak mau mati konyol di tangan Wo-

ri. Bila perlu, biar pun sahabat atau siapapun akan ia 

bunuh jika bermaksud mencelakakan dirinya.

Suatu saat, Wori berhasil membantingkan tubuh 

Bungoru dengan sangat kuatnya.

Dan sebelum lawannya itu berhasil bangkit, Wori 

segera memungut sebongkah batu cadas sekitar empat 

kali lebih besar dari kepalanya sendiri, kemudian 

membantingkannya ke dada Bungoru!

Tentu saja Bungoru sangat terkejut, menyadari 

nyawanya sedang terancam. Maka sambil berteriak 

nyaring, ia menyilangkan tangan kirinya menangkis 

hantaman batu cadas itu.

"Desss!"

Batu itu menghantam lengan kiri Bungoru dan 

menjadi hancur berkeping-keping. Wori yang agaknya 

tidak menyangka kehebatan lawan sempat terpaku. 

Dan kesempatan yang sangat singkat itu sudah cukup 

bagi Bungoru melancarkan tendangan mautnya meng-

hantam dada Wori.

Pendekar Bumerang terpelanting, menyusul pu-

kulan tangan kanan lawan mendarat telak di dadanya, 

sehingga membuatnya menjerit kesakitan. Ketika Bun-

goru kembali menghantam ke arah tulang iganya, ia 

berkelit ke samping, lalu memukul perut lawan. Kem-

bali kedua lelaki itu bergumul dahsyat, sehingga batu-

batu cadas di tempat itu berguncang dan batu-batu 

kecil beterbangan.


Di pantai, di atas tebing, Mirah sudah bersiap-

siap melancarkan serangan mautnya. Ia mengambil 

sebongkah batu cadas sebesar kepalanya, lalu dengan 

mengerahkan segenap tenaga dalamnya, ia menyam-

bitkan batu itu tepat mengarah ke kepala si Gila Dari 

Muara Bondet yang sedang duduk bersemadi dalam air 

laut. Batu itu meluncur cepat sekali hingga hampir tak 

terlihat oleh mata, siap menghancurkan kepala Karta.

"Desss!"

Batu itu hancur berkeping-keping, tetapi bukan 

menghantam kepala Karta, melainkan lengan kirinya ia 

angkat tadi melindungi diri dari serangan yang sangat 

mendadak itu. Walaupun sedang bersemadi, pendekar 

itu tetap waspada. Ketika merasakan angin dahsyat 

menyambar ke arah kepalanya, sadarlah pendekar itu 

bahwa dirinya sedang terancam. Maka sambil menge-

rahkan tenaga dalamnya, ia mengangkat tangan ki-

rinya untuk menangkis.

"Astaga! Siapa yang menyerangku...!" teriak Karta 

terkejut. Ia membalikkan badan menatap ke atas teb-

ing. Kembali ia terperanjat setelah mengetahui bahwa 

yang menyerangnya barusan adalah Mirah sendiri.

"Mirah! Jangan kau turutkan bathinmu yang ko-

tor itu. Ingatlah kau telah dipengaruhi ilmu sihir!"

"Tutup mulutmu, bangsat! Keluarlah dari situ, 

hadapi aku kalau kau memang bukan pengecut. Mari 

bertarung sampai salah seorang di antara kita tewas!"

"Itulah yang membuat hatiku jadi sedih, Mirah. 

Aku dipaksa menghadapi kau sebagai musuh. Kita ha-

rus saling membunuh, aku atau kau yang akan mati. 

Padahal kita adalah kawan sendiri, kawan seperjuan-

gan dan sama-sama sedang menderita dalam kepriha-

tinan. Kita satu cita-cita, Mirah! Apakah kau tidak 

mengerti perasaanku?"

"Jangan banyak bicara kau, bedebah! Melawan


atau tidak, aku akan tetap membunuhmu. Akan ku-

buntungi kepalamu!"

Tiba-tiba Karta menjadi beringas, bukan ka-

rena marah mendengar ucapan Mirah itu, melainkan 

karena telinganya menangkap sesuatu yang mencuri-

gakan di dalam air laut. Ternyata dua sosok tubuh 

raksasa tiba-tiba tersembul dari dalam air, hanya seki-

tar empat meter di sebelah kiri dan kanan Karta. Ke-

dua lelaki bertubuh tinggi besar itu menyeringai buas 

sambil menatap Karta dengan sinar mata mencorong 

tajam.

Karta terkejut dan segera memasang kuda-kuda, 

karena ia sudah yakin bahwa kedua laki-laki itu ada-

lah anak buah musuh yang sengaja disuruh untuk 

membunuhnya. Tanpa mengucapkan apa-apa, kedua 

lelaki itu menerkam Karta dari arah berlawanan. Gera-

kan mereka tampak sangat cepat dan ringan, padahal 

tubuh mereka yang hampir sebesar kerbau dewasa itu 

tentulah sangat berat. Sadarlah si Gila Dari Muara 

Bondet bahwa kedua lawan yang dihadapinya seka-

rang bukanlah orang sembarangan.

Ketika tangan kedua lawan sudah hampir me-

nyentuh tubuhnya, tiba-tiba Karta meloncat tinggi 

sambil berteriak melengking nyaring. Hampir bersa-

maan dengan itu, kedua kakinya direntangkan menen-

dang dada lawan-lawannya. 

"Duk!"

Tendangan geledek Karta menghantam dada ke-

dua lawan, membuat mereka terhuyung-huyung mun-

dur. Pada saat itu Karta bersalto dan menginjak kepala 

salah seorang lawannya sebagai tumpuan untuk me-

loncat ke atas tebing. Akan tetapi baru saja menda-

ratkan kakinya, sabetan golok Mirah sudah menyam-

bar ke arah pinggangnya. Cepat dan kuat sekali seran-

gan Mirah, sehingga tak ada lagi kesempatan untuk


menghindar bagi Karta, selain meloncat tinggi sambil 

bersalto. Namun ketika kakinya menginjak tebing ca-

das, golok Mirah sudah menyambar lagi.

"Buntung kakimu!" bentak Mirah.

"Aih!" Karta berseru kaget. Untuk meloncat tinggi 

lagi, rasanya tidak mungkin lagi. Karena hampir bisa 

dipastikan sewaktu tubuhnya melayang, Mirah akan 

melancarkan serangan susulan yang tak mungkin lagi 

dapat dihindarinya. Maka jalan satu-satunya adalah 

meloncat mundur. Selamatlah Karta dari ancaman 

maut, namun tanpa bisa dicegah lagi, tubuhnya kem-

bali terhempas ke laut.

Sebetulnya tadi Karta meloncat dari laut ke atas 

tebing bukan karena gentar menghadapi dua lelaki 

bertubuh raksasa itu. Bagi dia yang sudah sangat 

pandai menyelam dan berenang, bertarung di darat 

atau dalam air sama saja. Akan tetapi maksudnya tadi 

adalah untuk menyadarkan Mirah, siapa tahu kali ini 

ia berhasil sehingga istri sahabatnya itu menjadi ingat 

akan dirinya. Namun tanpa diduga-duga Mirah malah 

menyambutnya dengan serangan maut dan masih un-

tung baginya dapat menyelamatkan diri walaupun ha-

rus tercebur ke laut.

"Byuuuur!" Tubuh Karta terhempas dan dua pa-

sang tangan kokoh segera menyerbunya dari arah ber-

lawanan. Salah seorang di antara lawan menjambak 

rambutnya, sementara yang satu lagi mencekik leher-

nya.

Menghadapi serangan itu, Karta tidaklah gentar 

tetapi juga tidak mau anggap remeh. Ketika ia merasa 

jepitan tangan lawan semakin kuat, tiba-tiba kedua 

tangannya menyambar cepat sekali ke arah selangkan-

gan kedua lawan. Terdengar suara gemeretak ketika 

jemari tangan Karta dengan telak menghantam kema-

luan kedua lawan. Dua lelaki bertubuh raksasa itu


pun melepaskan tangannya dan sama-sama menjerit 

panjang.

Kesempatan itu digunakan Karta untuk melo-

loskan diri dengan cara menyelam menjauh. Tubuhnya 

bagaikan ikan saja melesat dan berkelebat di dalam 

air. Akan tetapi kedua lawannya yang sudah sangat 

marah akibat serangan Karta tadi tidak mau mele-

paskan buruannya begitu saja. Keduanya pun ternyata 

dapat berenang cepat sekali, sehingga dalam waktu 

singkat sudah berhasil menyusul Karta.

"Celaka, mereka bisa mengejarku!" kata hati Kar-

ta cemas. Ia mencoba mempercepat laju tubuhnya, 

namun tiba-tiba tangan lawan sudah berhasil men-

cengkeram lehernya. Karta mencoba berkelit, namun 

kedua lawan sudah terlebih dulu mencekik lehernya. 

Tenaga kedua lelaki bertubuh raksasa itu memang 

luar biasa kuatnya. Rontaan Karta seperti tidak ada ar-

tinya, padahal ia sudah mengerahkan segenap tenaga 

dalamnya. 

Sadarlah Karta bahwa dirinya betul-betul teran-

cam bahaya maut dan jika tidak segera dapat mele-

paskan diri, kemungkinan besar ia akan tewas. Atau 

paling tidak batang lehernya akan patah dan remuk 

oleh jepitan lawan. Dalam keadaan yang sangat gent-

ing itu, si Gila berhasil meraih gagang goloknya. Lalu 

ia menyabet ke kiri dan ke kanan, tepat merobek kulit 

perut lawan hingga ususnya terburai. Darah se-gar se-

gera menyembur, sehingga air laut di sekitar tempat 

itu menjadi merah. Hanya sejenak kedua laki-laki itu 

menggelepar-gelepar, kemudian terkulai lemas dan 

tenggelam ke dasar laut tanpa nyawa lagi.

Karta segera menyarungkan goloknya, lalu me-

luncur cepat ke permukaan laut. Akan tetapi baru saja 

kepalanya tersembul, tiba-tiba sabetan goloknya sudah 

menyambar.


"Hait!" Karta bersalto berseru kaget sambil me-

lempar tubuh ke belakang hingga kembali ia selamat 

dari maut. Ternyata wanita yang menyerangnya tadi 

adalah Mirah sendiri.

"Jahanam!" bentak Mirah geram karena seran-

gannya kembali gagal. Padahal tadi ia sudah yakin sa-

betan goloknya paling tidak akan membuat Karta 

menderita luka parah. Namun ternyata lelaki itu memi-

liki ketangkasan luar biasa. Walaupun diserang secara 

mendadak ketika kepalanya baru tersembul, masih 

sempat mengelak. Hampir tak percaya Mirah karena 

dalam keadaan segenting itu Karta masih dapat meng-

hindar. 

Seandainya misalnya serangannya dilancarkan-

nya di darat, tidaklah terlalu mengherankan jika lawan 

bisa menghindar. Tetapi di dalam laut seperti tadi,

sungguh luar biasa. Dan makin hebat kepandaian la-

wan, makin besar pula amarah Mirah. 

Sambil berteriak melengking nyaring, ia meloncat 

menerjang Karta kembali. Goloknya menukik dari atas 

melancarkan tusukan maut ke arah dada Karta. Se-

mentara tangan kirinya sudah dipersiapkan melancar-

kan serangan susulan.

"Aih, kau benar-benar ganas, Mirah!" teriak Karta 

sambil menundukkan kepala. Namun agaknya, Mirah 

sudah menduga hal itu, karena secara mendadak tan-

gan kirinya sudah menyambar dengan jari-jari terbuka 

ke arah leher Karta.

Serangan yang berupa tamparan dan sewaktu-

waktu dapat diubah menjadi cengkeraman maut itu 

benar-benar dahsyat. Hal itu dapat dirasakan dengan 

angin pukulannya, yang membuat si Gila terkejut. Ce-

pat-cepat ia mengangkat tangan kanannya untuk me-

nangkis pukulan itu.

"Duk!" Lengan yang kecil halus namun mengan


dung tenaga dalam yang sangat kuat itu beradu keras 

dengan lengan kekar Karta. Akibatnya, tubuh kedua 

insan berlainan jenis itu pun terdorong. Bahkan Mirah 

terpaksa harus bersalto sampai tiga kali untuk menja-

ga keseimbangan tubuhnya, sedangkan Karta sendiri 

hanya terdorong mundur beberapa langkah. Dari per-

temuan pukulan itu tadi, dapatlah diduga bahwa tena-

ga dalam Mirah masih sedikit berada di bawah Karta.

Dan hal itu pula yang membuat istri Umang se-

makin geram. Berkali-kali sudah ia melancarkan se-

rangan mautnya, baik secara terang-terangan maupun 

secara sembunyi-sembunyi, namun semuanya selalu 

dapat dielakkan Karta. Lelaki itu sepertinya mempu-

nyai mata lebih dari dua dan memiliki kelincahan tu-

buh yang sewaktu-waktu dapat membuatnya bergerak 

bagaikan siluman saja. Benci sekali Mirah, tetapi juga 

sekaligus kagum. Rasa kagum yang mengandung bira-

hi dan gejolak hasrat yang menggebu-gebu. Semuanya 

campur aduk, sehingga membuatnya tampak sangat 

beringas namun serangannya menjadi ngawur sekali.

Sementara itu, Profesor Van Leinen dan Simon 

sudah mulai bekerja di kamar rahasia Womere. Empat 

laki-laki bertubuh raksasa anak buah si tukang sihir 

itu mengawasi dengan mata yang hampir tak pernah 

berkedip. Para pengawal itu tak pernah mengeluarkan 

kata sepatahpun juga. Namun dari sinar mata mereka 

memancar sebuah ancaman maut, akan membunuh 

kedua orang kulit putih itu kalau berani macam-

macam.

Seperti diceritakan pada awal kisah ini, Wan-Da-I 

dan Womere telah menjalin hubungan perdagangan 

dengan Belanda. Mereka memberikan mutiara-mutiara 

dan sebagai tukarannya adalah mesiu atau bahan-

bahan peledak. Wori sendiri yang mengantarkan mu-

tiara-mutiara itu dibantu beberapa pengawal ke Pulau


Uglo dengan menggunakan perahu layar.

Saat itu, si Gila Dari Muara Bondet sempat beru-

saha mencegahnya, namun tidak berhasil bahkan ia 

menderita luka-luka oleh dua tombak pengawal perahu 

yang menyerempet dadanya. Setelah bertemu dengan 

orang-orang Belanda, mereka pun mengadakan jual 

beli secara barteran, di mana Wan-Da-I yang diwakili 

Pendekar Bumerang Wori memperoleh mesiu yang cu-

kup banyak.

Tanpa mendapatkan kesulitan berarti, Wori 

membawa mesiu itu pulang. Tentu saja Wan-Da-I san-

gat girang, apalagi setelah berhasil menawan Profesor 

Van Leinen dan Simon. Kedua kulit putih itu sebetul-

nya hendak mengadakan penelitian terhadap manusia 

kera yang menurut kabar ada di sekitar Kepulauan 

Aru. Tetapi tanpa diduga-duga, keduanya jatuh ke da-

lam cengkeraman Wan-Da-I dan Womere. Dalam kea-

daan tak berdaya, kedua kulit putih yang berasal dari 

Negeri Belanda itu dihadapkan kepada dua pilihan, di-

bunuh setelah terlebih dulu disiksa habis-habisan 

atau mau menciptakan alat peledak dari mesiu yang 

mereka terima dari orang-orang Belanda pula.

Kedua pilihan itu sama-sama sangat berat, teru-

tama bagi Profesor Van Leinen. Ia sudah tua dan ram-

butnya pun sudah memutih. Dalam sisa hidupnya ia 

hanya ingin mencari nama sekaligus menyumbangkan 

ilmu pengetahuan kepada dunia, khususnya kepada 

bangsanya sendiri. Sekarang ia dipaksa pula mencip-

takan alat peledak yang ia tahu bakal digunakan Wan-

Da-I untuk menghancur leburkan Kerajaan Pampani, 

yang sudah pasti akan merenggut banyak sekali kor-

ban jiwa.

Kalau itu misalnya benar-benar terjadi, berarti 

secara tidak langsung yang melakukan pembunuhan 

itu adalah Profesor Van Leinen sendiri. Membunuh!



Alangkah ngerinya. Celakanya bukan hanya satu atau 

dua orang, tetapi puluhan bahkan mungkin ratusan. 

Bagaimana ia tega melakukannya? Alangkah sia-

sianya jika sisa hidupnya digunakan untuk mencela-

kakan manusia.

Profesor Van Leinen tadinya sudah siap sedia di-

bunuh, tetapi Simon selalu mendesaknya agar menu-

ruti perintah Wan-Da-I. Alat peledak yang bakal mere-

ka ciptakan itu memang akan digunakan Wan-Da-I 

untuk membunuh. Tetapi mereka melakukannya 

hanya karena terpaksa, tanpa ada pilihan lain. Hidup 

mereka juga akan sia-sia jika harus mati konyol di 

tangan tokoh sesat itu. Itulah alasan Simon disertai 

kata-kata permohonan yang sangat memelas.

Akhirnya, dengan perasaan berat, Profesor Van 

Leinen menyatakan kesediaannya untuk menerima ta-

waran pihak Wan-Da-I. Kini kedua lelaki berkulit putih 

itu sudah mulai menciptakan alat-alat peledak. Tak 

percuma memang keduanya memiliki ilmu yang tinggi 

di bidang teknologi. Bagi mereka menciptakan alat pe-

ledak dari mesiu yang sudah tersedia bukanlah peker-

jaan yang terlalu sulit. Akan tetapi karena sangat ter-

paksa, pekerjaan mereka jadi lambat sekali. Bahkan 

kadang-kadang Profesor Van Leinen sengaja mengulur-

ulur waktu sambil memberikan alasan macam-macam. 

"Kalau sudah begini harus di-tunggu beberapa jam" 

atau "Bahan yang ini harus terlebih dulu dijemur sam-

pai kering." Serta beberapa alasan lainnya, walaupun

sebetulnya alasannya itu hanyalah dibuat-buat saja.

Akan tetapi penduduk pribumi seperti Wan-Da-I, 

Womere dan anak buah mereka mana mengerti hal-hal 

seperti itu? Mereka menurut saja kata-kata Profesor 

tua itu sambil sesekali memberikan ancaman agar me-

reka bekerja secepat mungkin.

Kita kembali kepada pertarungan antara si Kaki


Tunggal dengan Umang yang masih berlangsung sen-

git. Namun ternyata bahu si Kaki Tunggal sudah ter-

gores ujung senjata lawan hingga mengeluarkan darah. 

Luka itu sebetulnya tidak terlalu parah, namun cukup 

menimbulkan rasa nyeri.

Luka itu terpaksa harus diterima si Kaki Tunggal 

karena ketidaksungguhannya dalam bertarung. Lain 

halnya dengan Umang, selain sangat ganas, kadang-

kadang juga nekad mengadu nyawa, seolah-olah sudah 

siap mati asalkan dapat membunuh lawannya. Hal itu-

lah yang dihindari Baureksa tadi hingga bahunya 

sampai terluka.

Kenyataan itu membuat si Kaki Tunggal mulai 

cemas, karena kalau terus-terusan begitu tidak mus-

tahil ia akan menderita luka yang lebih berat lagi. Ma-

ka ia pun memutuskan melancarkan serangan maut-

nya, biarlah ia melukai Umang yang penting jangan 

sampai membunuhnya.

Ketika Umang kembali menerjangnya dengan tu-

sukan kilat mengarah ke dada, si Kaki Tunggal bergul-

ing-gulingan di atas tanah dan pada saat yang bersa-

maan tongkatnya sudah menyambar pinggang Umang,

"Buk!" Tongkat itu menghantam pinggang si Len-

gan Tunggal. Tidak terlalu keras, namun cukup mem-

buat tubuhnya ter-pental beberapa meter. Ketika ia 

bangkit kembali, tampaklah darah segar menetes dari 

mulutnya pertanda bahwa ia menderita luka dalam. 

Namun hal itu bukannya membuat Umang sadar, ma-

lah tampak semakin beringas. Tanpa perduli rasa sakit 

di pinggangnya, ia kembali menerjang dengan sikap 

siap mengadu nyawa dengan lawan.

"Kau tidak akan bisa mengalahkan aku, Umang. 

Kau boleh belajar dua puluh tahun lagi untuk bisa 

mengimbangi aku. Tapi kau betul-betul bermental ke-

rupuk, begitu mudahnya dipengaruhi sihir lawan." kata si Kaki Tunggal terpotong-potong, karena ia sudah 

sibuk kembali berloncatan ke sana ke mari sambil 

memutar tongkatnya untuk menghindari serangan 

Umang.

Di laut, di tepi Pantai Arafuru, si Gila Dari Muara 

Bondet masih bertarung menghadapi Mirah. Sama se-

perti si Kaki Tunggal, ilmu silat Karta bukanlah tan-

dingan lawan. Kalau ia mau sudah sejak tadi ia bisa 

menghabisi nyawa Mirah. Tapi itu tidak diinginkannya 

sebab bagaimanapun juga, Mirah menyerangnya ha-

nyalah karena dipengaruhi ilmu sihir lawan.

Sewaktu menyabetkan goloknya mengincar leher, 

Karta segera mengangkat senjatanya dan sengaja men-

gerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menangkis. 

Terdengar suara berdentang nyaring ketika dua golok 

itu beradu, setelah itu Mirah terpekik kaget karena go-

loknya sudah terlepas dari tangan.

Belum sempat berbuat apa apa, Karta sudah me-

nangkap tangannya dengan kuat, kemudian memutar-

mutar tubuh Mirah bagaikan baling-baling. Beberapa 

saat kemudian, ia pun membantingkan tubuh wanita 

itu ke laut. Mirah menjadi gelagapan dan berusaha be-

renang ke permukaan air untuk menarik nafas. Na-

mun tiba-tiba Karta sudah membenamkannya kemba-

li. Begitulah berkali-kali dilakukan oleh Karta sehingga 

makin lama Mirah semakin lemas. Bahkan akhirnya 

wanita itu terkulai lemas, pingsan.

"Sudah pingsan!" kata Karta sambil mengangkat 

tubuh Mirah ke tepi pantai. Pertarungan yang baru sa-

ja berlangsung menyadarkannya bahwa berhadapan 

dengan perempuan sebetulnya bisa bikin pusing. Tidak 

dilawan dirinya sendiri mampus. Dilawan pun susah, 

karena seperti tadi ia selalu tidak tega.

Perlahan-lahan, Karta membaringkan tubuh Mi-

rah di atas pantai berpasir lembut. Ditatapnya wajah


wanita itu lama sekali. Ada rasa kasihan, tetapi ada 

pula rasa kagum karena sesungguhnya Mirah sangat 

cantik dan menggairahkan sebagai seorang wanita. 

Apalagi ketika menatap bibirnya yang tipis dan merah 

merekah. Rambut Mirah acak-acakan, namun di mata 

Karta hal itu justru menambah daya tariknya. Sekujur 

tubuh wanita basah kuyub sehingga lekuk-lekuk tu-

buhnya yang indah terlihat cukup jelas dari balik ba-

junya yang tipis. 

Karta menghela nafas panjang. Tanpa sadar, ia 

menjadi teringat peristiwa yang terjadi beberapa tahun 

lalu, ketika ia bersama Ranti yang kini sudah menjadi 

istrinya tetapi tinggal di Pulau Jawa.

Ketika itu, keduanya berada di atas rakit, di ma-

na Ranti sedang dipengaruhi ilmu sihir lawan. Karta 

sangat kebingungan untuk mencari jalan keluar untuk 

bisa membebaskan Ranti dari pengaruh sihir. Tetapi 

kemudian, entah bagaimana terjadinya tiba-tiba ia se-

perti mendapat ilham.

Ia membuka seluruh pakaian yang melekat di tu-

buh Ranti, kemudian membuka pakaiannya sendiri. 

Ranti, yang dulunya adalah putri angkat tokoh sesat 

Gembong Wungu memang terbebas dari pengaruh sihir 

dan kemudian menjadi istri Karta.

Sekarang, dalam kebingungannya si Gila Dari 

Muara Bondet memutuskan untuk melakukan hal 

yang sama terhadap Mirah dengan maksud agar istri 

sahabatnya itu terbebas dari pengaruh sihir Womere. 

Tak berani pendekar itu membayangkan bagaimana 

kalau sekiranya nanti Umang mengetahuinya. Mung-

kin akan benci dan mendendamnya seumur hidup. Te-

tapi kalau Mirah terus-terusan dibiarkan terpengaruh 

sihir lawan, maka secara lambat laun namun pasti, hi-

dupnya akan menuju kehancuran.

Karta tertegun beberapa saat, kemudian menengadahkan wajah ke langit. Matanya berkaca-kaca dan 

kedua tangannya direntangkan, lalu dengan gemetar, 

ia berkata: "Ya, Allah! Jika kau menghendaki aku un-

tuk terpaksa berbuat dosa seperti itu, biarlah aku me-

lakukannya! Aku akan melakukannya...."

Setelah memejamkan mata beberapa saat, si Gila 

Dari Muara Bondet segera membuka bajunya, kemu-

dian celananya hingga tubuhnya menjadi bugil. Lalu 

dengan jemari gemetar dan wajah sebentar pucat se-

bentar merah, ia membuka pula pakaian Mirah. Per-

tama baju atas, kemudian pakaian bawah, dan pa-

kaian dalam. Mirah pun sudah dalam keadaan telan-

jang bulat seperti halnya Karta.

"Apa boleh buat, biarlah nanti aku disiksa di ne-

raka asalkan kawan-kawanku selamat...." kata Karta 

bergumam.

Getaran di dada Karta semakin tak menentu. Ku-

lit tubuh itu sangat mulus tanpa cacat sedikitpun juga. 

Dan sekalipun sebetulnya perbuatannya itu dilakukan 

bukan karena terdorong nafsu setan, namun tetap saja 

merupakan pelanggaran dan dosa terkutuk. Perlahan-

lahan, ia merangkak menghampiri tubuh Mirah yang 

sedang telentang bugil. Diusapnya kedua pipi wanita 

cantik itu sambil memejamkan mata. Didekatkannya 

wajahnya ke wajah Mirah yang saat itu masih dalam 

keadaan pingsan.

Lalu kemudian....

"Bleng! Glegeeerrrrr....!"

Tiba-tiba terdengar suara ledakan dahsyat, 

menggelegar sambung menyambung. Kepulauan Aru 

terguncang bagaikan dilanda gempa hebat. Karta yang 

saat itu sudah berada di atas tubuh Mirah merasakan 

bumi di sekitar pantai bergetar hebat. Ia segera melon-

cat bangun dengan wajah pucat pasi.

"Ya, Allah! Rupanya kau mengutukku! Aaaaah!"


Karta berseru dengan dada terguncang seakan hendak 

meledak. Ia segera menyambar pakaiannya, lalu buru-

buru mengenakannya. Dari pantai itu dia dapat meli-

hat kobaran api mencuat tinggi sekali seakan-akan 

hendak menjangkau langit. Sekali, dua kali, tiga kali, 

empat kali sampai sepuluh kali lebih terdengar suara 

ledakan itu menggelegar.

Ledakan-ledakan dahsyat itu ternyata menggun-

cang kola Pulau Trangan. Pepohonan rubuh dan tum-

bang, rumah-rumah penduduk pun hancur berkeping-

keping. Demikian hebatnya ledakan itu hingga puing-

puing rumah penduduk terbang ke angkasa setinggi 

belasan meter.

Menyusul kemudian, terjadilah kebakaran hebat 

di beberapa tempat. Asap dan api mengamuk dan men-

julang tinggi! Penduduk menjadi gempar, lalu berham-

buran ke sana ke mari dalam keadaan panik. Tak se-

dikit di antara penduduk yang ikut ter-lempar setinggi 

puluhan meter dalam keadaan tubuh cerai berai. Di 

mana-mana terdengar suara jeritan dan teriakan, tan-

gisan dan yang lainnya. Hewan-hewan ternak pun ikut 

panik dan berlarian dari kandangnya, hingga makin 

kacau balaulah keadaan di sekitar kerajaan yang di-

pimpin oleh Pampani.

Beberapa orang penduduk sempat terlihat ke luar 

dari rumahnya yang sudah hancur berkeping-keping 

dan terbakar. Akan tetapi sekujur tubuh orang-orang 

itu sudah terbakar pula dan baru beberapa langkah 

setelah tiba di halaman, mereka roboh satu persatu. 

Terdengar jeritan panjang, lalu tubuh mereka pun 

hangus terbakar. Tak ada yang berani memberikan 

pertolongan, bahkan sekedar berpikir untuk memberi-

kan pertolongan pun tidak. Sebab semuanya sangat 

panik serta ketakutan, sehingga tidak tahu harus me-

lakukan apa, selain berlarian ke sana ke mari tak tentu arah.

Ada pula beberapa penduduk yang tadinya sudah 

jauh dari kobaran api, namun mungkin karena sangat 

panik balik lagi berlari ke rumahnya yang sudah ter-

bakar. Tanpa ampun lagi, tubuhnya pun hangus dila-

lap api. Di sudut lain, ada yang mencoba menyela-

matkan harta bendanya, namun tiba-tiba ditimpa ba-

lok-balok rumah yang rubuh terkena ledakan. Orang 

itu pun terjerembab, terbakar dan tak mampu bangkit 

lagi karena tak lama kemudian sudah hangus mene-

mui ajalnya,

Pampani yang saat itu sedang memimpin sejum-

lah laskar untuk berjaga-jaga menghadapi gempuran 

musuh, juga terlonjak kaget bagaikan disambar petir 

di siang bolong. Wajahnya pucat pasi bagai tak dialiri 

darah lagi dan sekujur tubuhnya gemetaran menyak-

sikan kotanya diguncang ledakan-ledakan dahsyat, la-

lu terbakar.

"Ya, para Dewa! Kota kita dihancurkan! Malape-

taka apakah ini? Kita telah dikutuk para Dewa!" teriak 

Pampani antara sadar dan tak sadar.

"Kebakaran itu.... ya, Dewa Agung. Pertanda apa-

kah gerangan ini?" kata seorang laskar dengan mata 

terbelalak. "Mungkin kiamat sudah tiba?" kata yang 

lainnya.

Beberapa saat, Pampani dan laskarnya hanya 

berdiri terpaku di tempat itu. Mereka sangat terkejut 

hingga hanya berdiri saja tanpa tahu harus melakukan 

apa. Karena mereka masih penduduk pribumi yang be-

lum mengetahui banyak tentang kemajuan teknologi 

belum bisa menduga sebenarnya apa yang meledak itu 

dan kenapa tiba-tiba kota mereka diamuk kobaran api 

yang sangat besar.

Sesuai kepercayaan turun temurun dari nenek 

moyang, mereka mengira kejadian itu merupakan kutukan para Dewa atau makhluk-mahkluk halus pen-

guasa di sekitar Perairan Arafuru. Tak sedikit di antara 

mereka yang mengira bahwa penguasa laut sedang 

marah, lalu menjatuhkan bencana sebagai hukuman. 

Tentu saja penduduk yang masih berpikiran polos itu 

menjadi ketakutan, hingga beberapa di antaranya 

langsung berlutut. Memejamkan mata dengan mulut 

komat kamit membacakan mantera penolak bala. 

Seumur hidup mereka belum pernah mendengar 

atau menyaksikan letusan sedahsyat itu, apalagi seca-

ra susul menyusul, lalu menimbulkan kebakaran he-

bat. Selama ini mereka paling-paling pernah menden-

gar gunung meletus yang tentu saja lain dengan apa 

yang mereka saksikan sekarang.

"Ayo, mari kita bantu saudara-saudara kita!" te-

riak Pampani yang tiba-tiba saja tersentak dari keter-

kejutannya. Ia segera berlari sekencang-kencangnya, 

diikuti para anggota laskar. Mereka kemudian membo-

bol pagar benteng dan berusaha menyelamatkan pen-

duduk yang terkurung kobaran api.

"Tenang! Tenang! Jangan panik! Segera menjauh 

dari api. Ayo! Cepat!" Pampani berteriak-teriak sekuat 

tenaga hingga suaranya menjadi parau. Suasana yang 

tadinya gelap dan dingin, kini berubah jadi terang 

benderang oleh kobaran api, disertai keadaan yang 

sangat panas.

Tak terkatakan bagaimana hancurnya perasaan 

Pampani melihat rakyatnya banyak yang tewas dalam 

peristiwa maut itu. Di mana-mana mayat bergelimpan-

gan. Ada yang sudah hangus hingga tinggal tulang be-

lulang. Ada yang tubuhnya cerai berai hingga tak bisa 

dikenali lagi, ada yang tertinggal hanya bagian kepala 

saja, sedang tubuhnya tidak diketahui ke mana ter-

bang, dan sebagainya yang semuanya menimbulkan 

rasa ngeri luar biasa. Tanpa sadar, air mata Pampani


jatuh satu per satu membasahi pipinya yang pucat.

Jika saat itu Pampani sedang menangis dan pen-

duduk lainnya masih dicekam ketakutan dan kesedi-

han yang amat sangat, maka di sudut lain justru ter-

dengar suara tawa penuh kegembiraan dan rasa puas. 

Yang sedang tertawa itu adalah Wan-Da-I dan Womere 

sendiri. Mereka sangat girang melihat Kerajaan Pam-

pani hancur lebur diamuk kobaran api dan penduduk-

nya pun banyak sekali yang menjadi korban.

"Ha ha ha. Bagus! Bagus! Akan kubikin rata den-

gan tanah hingga akan tamatlah riwayat Pampani si 

keparat itu!" teriak Wan-Da-I tertawa terbahak-bahak 

hingga tubuhnya bergoyang-goyang.

Si tukang sihir Womere pun tertawa terpingkal-

pingkal. Demikian keras suara ketawanya, hingga air 

matanya terburai membasahi pipi.

"Kita sudah berhasil, Tuanku! Tinggal membun-

tungi kepala Pampani dan para pendekar Pulau Jawa 

itu!" katanya.

Hanya beberapa meter dari tempat itu, Profesor 

Van Leinen berdiri menyendiri. Wajahnya pucat pasi 

dan air matanya pun jatuh satu persatu. Tak terkata-

kan betapa hancurnya perasaan orang tua itu melihat 

Kerajaan Pampani dilanda malapetaka yang bukan 

hanya mengambil korban materi, tetapi juga korban ji-

wa yang jumlahnya tentu sangat banyak. Mereka ada-

lah orang-orang tak berdosa, yang tidak mengetahui 

apa-apa. Dan semua itu terjadi adalah berkat hasil 

karya cipta tangannya sendiri.

Setelah berhasil menciptakan alat-alat peledak, 

Profesor tua itu bersama Simon pun kemudian dipaksa 

menjelaskan cara menggunakan alat peledak itu. Ter-

nyata tidak terlalu sukar. Maka malam itu juga, Wan-

Da-I dan pembantu yang sangat dipercayainya yakni 

Womere segera melaksanakan rencana yang sudah cu


kup lama mereka bahas secara matang-matang. Kedu-

anya sudah memikirkan akibat-akibat yang mungkin

terjadi, bahkan kemungkinan paling buruk pun sudah 

mereka pikirkan baik-baik.

Keduanya segera menyuruh Wori, Umang dan 

Mirah untuk membunuh Karta, si Kaki Tunggal dan 

Bungoru yang mereka ketahui sedang berjaga-jaga di 

luar istana. Ada beberapa pertimbangan Wan-Da-I 

mengambil langkah tersebut. Pertama sekali adalah 

untuk mengalihkan perhatian musuh mereka yang 

terkenal sangat lihai itu. Kedua, siapa tahu ketiga ta-

wanan mereka dengan ilmu sihir itu dapat mengalah-

kan lawan-lawannya. Tentu saja itu sangat baik, sebab 

tanpa pertolongan Karta dan si Kaki Tunggal, Kerajaan 

Pampani dengan mudah saja dapat dihancurkan. Ka-

laupun misalnya nanti Wori, Umang dan Mirah tidak 

berhasil mengalahkan lawan lalu dibunuh, Wan-Da-I 

tidaklah merasa rugi. Sebab ketiga pendekar itu adalah 

sahabat Pampani sendiri dan hanya karena pengaruh 

sihir saja makanya mau diperintah membunuh teman 

mereka sendiri.

Beberapa saat setelah ketiga pendekar itu be-

rangkat, Wan-Da-I dan Womere mengajak Profesor Van 

Leinen dan Simon membuktikan kehebatan alat pele-

dak itu. Sejumlah pengawal dengan senjata tombak di 

tangan mengikuti dari belakang dan tampak selalu 

bersiap-siap membunuh kedua lelaki berkulit putih itu 

apabila diperintahkan majikan mereka.

Para pengawal yang merupakan orang-orang pili-

han Wan-Da-I segera menyusup ke dalam kerajaan 

Pampani. Karena mereka memiliki ilmu yang sangat 

tinggi, dengan mudah mereka dapat meletakkan alat-

alat peledak itu di kolong rumah penduduk, termasuk 

di kolong istana, sesuai petunjuk majikan mereka. Se-

telah itu, para pengawal pilihan itu pun berkelebat


kembali ke tempat mereka semula.

Profesor Van Leinen menolak meledakkannya, 

dan sambil menekankan bahwa ia siap untuk dibunuh 

karena penolakannya itu, ia mengatakan bahwa sudah 

di luar perjanjian mereka. Ia hanya disuruh mencipta-

kan alat peledak dan mengajarinya cara mengguna-

kannya. Agaknya Wan-Da-I pun tidak mau terlalu 

memaksa, sebab apa yang diucapkan Profesor tua itu 

memang benar adanya. Maka ia pun meminta kese-

diaan Simon.

Pemuda ini pada dasarnya memang sombong dan 

kurang perduli akan nasib orang lain. Ia sadar ledakan 

itu pasti akan mengambil korban jiwa dalam jumlah 

banyak. Tetapi apa perdulinya? Ia toh adalah penda-

tang di Pulau Aru dan jika misalnya banyak yang te-

was, ia tidak akan rugi. Demikianlah prinsip pemuda 

itu hingga dengan senang hati bersedia meledakkan 

bom tarik ciptaan mereka sendiri.

"Puaskah engkau, Tuan Wan-Da-I?" Simon ber-

tanya sambil tersenyum ke arah tokoh sesat itu.

"Puas! Sangat puas! Ilmu teknik Tuan berdua 

sangat hebat. Mereka tentu akan musnah dalam seke-

jap. Kerajaan Pampani sudah hancur berantakan!"

Profesor Van Leinen mendengar percakapan itu. 

Ia kembali mengeluh dalam hati dengan wajah yang 

tampak semakin muram, "Oh, mijn God! Aku datang 

ke negeri ini bukan untuk membunuh. Kenapa semua 

ini mesti terjadi? Ampunilah aku, Tuhanku!" Ia merin-

tih perlahan.

Suara dentuman-dentuman dahsyat itu memang 

betul-betul luar biasa kuatnya. Terdengar sampai jauh 

ke seluruh kawasan Laut Arafuru. Barangkali ikan-

ikan di laut pun ikut merasa terkejut lalu menjauh da-

ri Kepulauan Aru. Binatang-binatang di hutan-hutan 

pulau itu pun tentu sangat ketakutan, lalu berhamburan melarikan diri menyeruduk semak-semak.

Dua lelaki penumpang sebuah rakit yang tam-

paknya hendak menuju Kepulauan Aru di malam itu, 

juga mendengar dentuman-dentuman dahsyat itu. 

Terdengar seperti guntur sambung menyambung atau 

seperti gunung berapi meletus. Kedua laki-laki itu pun 

meloncat dari dalam kemah rumbia di rakit itu, lalu 

memperhatikan ke arah asal suara tadi.

Keduanya pun sama-sama terperanjat karena 

menyadari bahwa suara tadi bukanlah guntur atau 

gunung meletus. Tidak mungkin dapat menimbulkan 

kebakaran. Pasti telah terjadi sesuatu yang luar biasa. 

Api masih membumbung tinggi. Maka keduanya pun 

mempercepat laju rakit mereka menuju Kepulauan 

Aru.

"Hai, Awom! Pulau apakah yang sedang terbakar 

itu?" tanya lelaki yang satu. Ia masih muda, berusia 

sekitar dua puluh tujuh tahun. Wajahnya tampan dan 

sangat bersih. Sinar matanya lembut namun tajam 

mencerminkan sikap yang jujur dan suka menolong 

sesama manusia, tetapi juga selalu tegas dan tidak 

mau membiarkan kejahatan merajalela.

"Itulah Kepulauan Aru, Guru!" sahut lelaki yang 

dipanggil Awom itu, Ia pun masih muda, sekitar dua 

puluh lima tahun. Ia tidak mengenakan baju, sehingga 

otot-ototnya yang kekar terlihat berkilau-kilau ditimpa 

sinar rembulan yang redup. Rambutnya keriting dan 

hitam seperti kulit tubuhnya. Hidungnya pesek dan le-

bar, sedang tulang pipinya tampak menonjol, mem-

buatnya tampak lebih tua dari usia yang sebenarnya. 

Melihat penampilan lelaki bernama Awom itu, dapatlah 

diterka bahwa ia masih satu rumpun dengan pendu-

duk pribumi Pulau Aru. Namun kalung yang dihiasi 

taring babi hutan di lehernya, ia agaknya penduduk 

pribumi pulau besar sebelah Timur, tepatnya Papua.



Siapakah sebenarnya lelaki tampan dan gagah 

perkasa yang dipanggil guru oleh. Awom itu? Ia tak 

lain tak bukan adalah Parmin si Jaka Sembung. Seper-

ti diceritakan pada awal kisah petualangan Jaka Sem-

bung dan kawan-kawannya, mereka terpencar karena 

kapal mereka dihantam ombak yang sangat besar. Si 

Gila Dari Muara Bondet, si Kaki Tunggal, Umang dan 

Mirah terdampar di Kepulauan Aru, sedangkan Jaka 

Sembung sendiri sampai ke Papua.

Di negeri itu, Jaka Sembung kemudian mengam-

bil Awom sebagai murid, baik dalam ilmu silat maupun 

agama Islam. Karena yakin bahwa teman-temannya 

terdampar di sekitar perairan Laut Arafuru, Parmin 

menduga mereka sekarang berada di sekitar Kepu-

lauan Aru atau di Kepulauan Tanimbar.

Maka berangkatlah Jaka Sembung bersama mu-

ridnya Awom dari Papua menuju Laut Arafuru, dengan 

menggunakan sebuah rakit. Tepat ketika keduanya be-

rada di Perairan Tanjung Ngabordamiu dekat Pulau 

Penjuring, mereka menyaksikan salah satu pulau di 

Kepulauan Aru dipenuhi kobaran api yang sangat be-

sar. Sayang sekali, kedatangan pendekar Gunung 

Sembung itu agaknya sudah terlambat. Dan kisah pe-

tualangannya di Kepulauan Aru dapat pembaca ikuti 

dalam kisah berikutnya nanti.

Sementara itu, si Gila Dari Muara Bondet masih 

terus berlari dari pantai menuju istana. Ia sangat ter-

kejut dan panik melihat istana Pulau Trangan terba-

kar, sehingga meninggalkan Mirah tergeletak begitu sa-

ja di tepi pantai. Pendekar itu terus berlari sambil 

mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah 

sangat tinggi, hingga tubuhnya tampak berkelebatan.

Dari atas tebing di sebelah kanan istana, Karta 

tertegun sejenak. Istana itu telah terbakar habis. Se-

dang istrinya Nomina serta putra mereka yang masih


bayi berada di dalam istana itu.

"Ya, Allah! Bagaimana dengan anak istriku?" te-

riak Karta gemetar. Sambil mengeluarkan suara leng-

kingan nyaring, pendekar itu meloncat bagaikan ter-

bang menuruni bukit cadas itu. Tanpa memperdulikan 

penduduk yang berlarian dalam keadaan panik, Karta 

meloncati benteng pagar. Ia kemudian berhenti dan 

berdiri tegak di dekat kobaran api, sehingga hawa pa-

nas segera menyerang tubuhnya.

"Nomina," gemetar lelaki itu menyebut nama is-

trinya.

Pada saat itu, Pampani pun sudah menyadari 

bahwa adiknya Nomina ada di dalam istana ketika mu-

sibah itu terjadi. Karena peristiwa itu terjadi sangat 

cepat, besar kemungkinan adiknya itu tidak sempat 

menyelamatkan diri. Apalagi ia masih harus menyela-

matkan putranya.

Pampani menjadi panik sekali. Ia nekad berlari 

hendak menerobos kobaran api. Beberapa pengawal-

nya menjadi terkejut, lalu mencoba mencegahnya. Na-

mun dengan kalap Pampani memukul para pengawal 

itu hingga berpelantingan dan tak berani lagi mence-

gah, selain berlari mengikuti kepala suku mereka dari 

belakang dengan perasaan cemas.

"Nomina! Nomina!"

Pampani mendadak menghentikan langkahnya. 

Ada keraguan terlintas di wajahnya menyaksikan ko-

baran api yang sangat besar. Nalurinya membisikkan 

bahwa kalau ia nekad menerobos api itu, tidak ada 

kemungkinan baginya untuk selamat. Tetapi ingat 

akan adik serta keponakannya, keragu-raguan itu se-

ketika menjadi sirna.

Tidak! Ia tidak mungkin membiarkan kedua 

orang yang sangat dicintainya itu tewas mengerikan 

dalam kobaran api. Ia harus menyelamatkan mereka.


Atau kalaupun misalnya sudah terlambat, biarlah ia 

mati bersama-sama dengan mereka. Itu lebih baik, da-

ripada nanti ia harus hidup sendiri tanpa adik kepo-

nakan yang sangat disayanginya.

Selama ini, Pampani memang sangat menyayangi 

Nomina, adik satu-satunya yang sangat cantik tetapi 

gagu itu. Apalagi kedua orang tua mereka sudah lama 

meninggal dunia dan Nomina adalah saudara kan-

dungnya semata wayang. Nominalah tumpuan kasih 

sayangnya dan selama ini Pampani seperti lupa mem-

bagikan kasih sayangnya kepada gadis lain hingga da-

lam usia setua itu belum menikah. Sedikit banyaknya 

dipengaruhi rasa sayangnya terhadap Nomina serta 

kesibukannya mengatur rakyatnya.

Sangatlah bahagianya kepala suku itu ketika 

adiknya itu menikah dengan Karta. Bukan karena seo-

rang pendekar berilmu tinggi, tetapi terutama adalah 

sifat kesatria yang selalu tercermin dari setiap tingkah 

laku maupun budi bahasanya. Apalagi setelah Nomina 

melahirkan seorang bayi laki-laki mungil dan tampan, 

tak terlukiskan betapa bahagianya hati Pampani. In-

ginlah ia mengorbankan apa saja termasuk nyawanya 

sekalipun terhadap adik serta keponakannya itu sean-

dainya diperlukan.

Ya, pengorbanan seperti itulah yang harus dila-

kukannya sekarang.

"Nominaaaa!" Pampani berteriak sekuat-kuat te-

naga sambil mengepalkan tinju. Matanya menatap liar 

ke arah kobaran api. Lalu tiba-tiba ia berlari ke arah 

kobaran api yang membakar istana.

"Pampani! Jangan kau lakukan itu!" Karta yang 

sudah berada di tempat itu menjadi terkejut melihat 

Pampani nekad hendak menerobos lautan api. Akan 

tetapi tampaknya, kakak iparnya itu tidak menghirau-

kan larangannya. Tentu saja si Gila Dari Muara Bondet


sangat terkejut, karena sudah dapat memperkirakan 

apa yang bakal terjadi jika tindakan itu dibiarkan. Jika 

tidak segera dicegah, maka akan bertambahlah korban 

jiwa.

"Pampani.....!" Karta kembali berteriak dan ber-

samaan dengan itu, tubuhnya mencelat bagaikan ter-

bang ke arah Pampani. Demikian cepatnya gerakan 

Karta sehingga para laskar tidak dapat melihat keja-

dian itu dengan jelas, apalagi sekitar tempat itu sangat 

silau oleh kobaran api. Tiba-tiba saja mereka menyak-

sikan Karta sedang bergelut dengan Pampani, hanya 

sekitar satu meter dari kobaran api. Karta berhasil me-

rangkul pinggang Pampani, sehingga membuat kepala 

suku itu terjatuh dan hampir saja terguling ke dalam 

kobaran api. Untung dalam keadaan yang sangat gent-

ing itu si Gila Dari Muara Bondet menarik tubuhnya ke 

belakang.

"Lepaskan! Lepaskan!" teriak Pampani sambil be-

rusaha meronta-ronta sekuat tenaga.

"Jangan, Pampani! Jangan kau lakukan itu!" te-

riak Karta sambil mempererat rangkulannya. Namun 

rupanya Pampani sudah betul-betul nekad. Ia memu-

kul-mukul tangan Karta, lalu berusaha meloncat ke 

dalam kobaran api. Tentu saja Karta semakin cemas, 

karena ia sadar tenaga kakak iparnya itu pun sangat 

kuat. Daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, 

lebih baik ia bertindak cepat. Demikian pikiran si Gila. 

Maka ia pun mengangkat tubuh Pampani, kemudian 

melemparkannya ke belakang menjauh dari kobaran 

api.

Setelah itu, Karta pun segera meloncat mener-

kam Pampani. Dirangkulnya kembali pinggang kepala 

suku itu sekuat tenaga hingga tak mampu berkutik la-

gi.

"Lepaskan! Lepaskan aku! Nomina dan kepona


kanku terbakar di dalam api laknat itu!" 

"Jangan nekad, Pampani. Tidak ada gunanya la-

gi. Biarkanlah. Relakan mereka! Kita sudah terlambat. 

Bagaimana pun kau adalah kepala suku, pemimpin 

dari rakyatmu. Jangan bertindak senekad itu!"

"Tapi.... tapi, oh Dewa!" Pampani kemudian me-

nyebut-nyebut nama adiknya dengan suara yang ma-

kin lama makin pelan dan serak. Pandangan matanya 

makin berkunang-kunang dan kabur. Kedua kakinya 

gemetaran, tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Lalu 

ia pun jatuh terhenyak.

Karta kembali menatap kobaran api, baru seka-

rang menyadari bahwa anak dan istrinya tercinta 

mungkin sudah terbakar. Tadi ia hanya memikirkan 

bagaimana caranya supaya Pampani jangan nekad 

menerobos api. Segumpal asap hitam tebal ditiupkan 

angin ke arah Karta. Ia seperti mencium aroma bau 

daging istri dan anaknya yang terbakar. Jiwanya pun 

serasa telah terbang meninggalkan raga.

"Anakku.... Nomina...." Karta merintih kemudian 

terguling roboh tak sadarkan diri.



                             TAMAT



Apakah yang akan terjadi di Pulau Trangan sete-

lah istana Pampani dan rumah-rumah penduduk han-

cur lebur dan terbakar? Bagaimanakah akhirnya nasib 

Wori, Umang dan Mirah yang sudah jatuh ke dalam 

cengkeraman musuh?

Apa pula yang akan dilakukan Jaka Sembung se-

telah tiba di kepulauan itu? Walaupun sudah agak ter-

lambat, namun ia tentu tidak akan mau tinggal diam


melihat kejahatan Wan-Da-I dan Womere.

Ikutilah kisah petualangan Jaka Sembung ber-

sama kawan-kawannya pendekar Pulau Jawa di Kepu-

lauan Aru dalam episode berjudul:

"Menumpas Titisan Iblis Pulau Aru"












 

Share:

0 comments:

Posting Komentar