"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 01 Juli 2024

WIRO SABLENG EPISODE NINJA MERAH

Ninja Merah


 

WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

JUDUL : NINJA MERAH

ARTl KATA-KATA JEPANG DALAM BUKU INI: 

Ninjato = Pedang khas yang biasa menjadi senjata 

 ninja 

Kusarigama = senjaja berupa rantai dengan uiung pisau 

 bentuk ganco, ujung lain diberi bandulan 

 besi 

Tatami = alas lantai berbentuk persegi empat 

Shinobi = sebutan asli untuk ninja 

Shuriken = senjata rahasia yang dilemparkan, 

 kebanyakan berbentuk bintang, ada yang 

 beracun 

shakuhachi = suling dari bambu 

shamisen = instrumen musik memiliki tiga buah senar 

seppuku = bunuh diri secara terhormat 

Sake = minuman keras khas Jepang (sejenis 

anggur 

 dari beras) 

donburi = nasi dalam mangkok 

gaijin = orang asing 

geisha = wanita pelayan pada tempat-tempa 

tertentu 

 terkadang juga menjadi penghibur) 

katana = pedang panjang 

ninjutsu = ilmu bela diri 

hai! = Ya!, siap!, baik! 

Doyo/Dojo = tempat berlatih silat (ruang tertutup) 

inezumi = rajah atau tato 

sensei = guru


SATU

SAAT itu telah memasuki musim semi. Namun 

udara dingin masih terasa mencucuk dimana-mana. 

Salju tipis masih tampak menyapu puncak-puncak 

pepohonan, juga pada kuntum-kuntum bunga Sakura 

Yang pucuk-pucuknya mulai mengembang. 

Jauh di sebelah Timur Kioto terdapat sebuah bukit kecil. 

Saat itu baru taja lewat tengah malam. Dalam gelap dan 

dinginnya udara tiga sosok berpakaian dan bertutup 

kepala serba hitam bergerak cepat menuju puncak bukit. 

Di punggung masing-masing menyembul hulu ninjato. 

Lalu pada pinggang mereka tergantung kusarigama. 

Mereka tidak mengikuti jalan batu Yang berliku-liku 

melainkan mengendap dan berkelebat di balik semak 

belukar dan pepohonan. 

Puncak bukit merupakan kawasan perumahan 

Perguruan Emerarudo atau Perguruan Zamrud. Ke tem-

pat inilah agaknya tiga orang itu tengah menuju. 

Di dalam salah satu ruangan pada sebuah ba-

ngunan di puncak bukit seorang lelaki berusia setengah 

abad duduk di lantai sedang tekun membaca sebuah 



kitab tebal. Kantuknya yang tadi sempat menyerang 

terpupus sirna oleh daya tarik kitab yang tengah di-

bacanya. Orang ini mengenakan kimono tebal berwarna 

biru tua. Pada bagian dada kimono sebelah kanan 

tersulam gambar batu permata zamrud bewarna kunlng 

terang, lengkap dengan garis-garis kilauan cahaya 

sekeliling permata. Orang ini adalah Noboru Kasai 

pimpinan tertinggi atau Ketua Utama Perguruan 

Emerarudo. 

Saat itu terdengar perlahan suaranya membaca. 

Kebersihan aurat adalah sangat penting dalam 

ilmu Pengobatan. Bagaimana seseorang bisa 

mengobati orang lain kalau tubuhnya tidak bersih. 

akan tetapi di atas semua itu kebersihan jiwa atau 

kebersihan batin adalah yang paling utama. 

Dengan batin yang bersih seseorang akan berada 

dalam keadaan lebih andal untuk menyalurkan 

hawa sakti yang dimilikinya ke dalam badan orang 

yang akan diobatinya. Karena itu .. 

Suara Noboru Kasai membaca terhenti oleh suara 

pintu bergesek di belakangnya. 

"Hisao ... Kaukah itu? tanya Noboru Kasai tanpa 

berpaling. 

Tak ada jawaban.. 

Se tttt... settt... settttl Teppp ... tepppp ... tepppp! 

Malah Ketua Perguruan Emerarudo ini men-

dengar suara berkelebat tiga kali berturut-turut dibarengi 

oleh siuran angin halus.



Noboru Kasai letakkan kitab di pangkuannya ke 

atas tatami. Lalu perlahan-lahan palingkan kepala. 

Sepasang mata sang Ketua terbuka lebar melihat siapa 

yang ada di dalam ruangan itu. 

"Shinobi...!" 

Shinobi adalah panggilan asli untuk ninja. Dan 

memang saat itu di dalam kamarnya tegak tiga sosok 

ninja, muncul dalam penampilan mereka yang angker. 

Bertubuh tinggi kukuh dibungkus pakaian serba hitam 

mulai dari ujung kaki sampai ke kepala. Di bagian muka 

hanya sepasang mata mereka yang kelihatan, 

memandang tak berkesip ke arah Noboru Kasai dengan 

pandangan sedingin salju di puncak gunung Fuji. 

Di belakang punggung mereka tersembul gagang 

ninjato yang juga dikenal sebagai katana pendek, 

pedang khas para ninja. Lalu seuntai rantai yang salah 

satu ujungnya merupakan senjata berbentuk ganco dan 

ujung satu lagi diberi gandulan pemberat kelihatan melilit 

di pinggang. Noboru Kasai perhatikan tangan ke tiga 

ninja ini. Masing-masing memakai shuko yaitu cakar 

pemanjat yang sekaligus merupakan senjata sangat 

berbahaya. 

Dalam hati Noboru Kasai membatin 

"Pasti ke tiganya menerobos masuk dengan 

memanjat tembok. Jika tidak satu murid perguruan pun 

memergoki mereka, berarti ke tiganya adalah ninja-ninja 

dari tingkat sangat tinggi ..." 

Perlahan-lahan Noboru Kasai berdiri. 

Sreettt! Sreetttt!

Dua kali terdengar suara berdesir ketika dua 

orang ninja yang berdiri dekat pintu dan di sebelah 

kanan Noboru Kasai mencabut ninjato pedang pendek 

masing-masing. 

Ninja berbadan paling tinggi di sebelah tengah 

memberi isyarat dengan tangan kiri. Dua orang teman-

nya yang hendak mendekati Noboru Kasai hentikan 

langkah. Ninja yang di tengah maju dua langkah. 

"Sahabat-sahabat tak diundang. Kalian masuk 

secara tidak sopan ..." 

Ninja di dekat pintu mendengus. Mulut dibalik 

penutup wajahnya berucap. 

"Ninja tidak kenal sopan santun. Ninja hanya 

kenal darah dan nyawa!" 

Daun telinga kiri Noboru Kasai bergerak. 

"Hemmm.. aku tidak mengenali suaranya. Berarti 

dia memang ninja asli. Bukan orang dalam .. ." 

"Katakan apa maksud kalian masuk ke tempatku!" 

bentak Noboru Kasai. Sekilas matanya melirik ke arah 

lantai di sebelah kiri di mana tergeletak katana miliknya. 

Ninja bertubuh paling tinggi dapat membaca apa yang 

ada dalam benak Ketua Perguruan Emerarudo itu. Dia 

cepat melangkah dan menginjak katana di lantai dengan 

kaki kanannya. 

"Aku memberi waktu lima detik pada kalian agar 

segera keluar dari tempat inil" Noboru Kasai beri pe-

ringatan. Ke dua tangannya diturunkan ke sisi sedang 

sepasang kaki tegak merenggang.

Apa yang terjadi kemudian berlangung sangat 

cepat. 

Ninja di sebelah tengah hunus ninjatonya. Melihat 

ini dua temannya segera menggebrak maju. Tiga 

pedang maut berkelebat ke arah Noboru Kasai. Ketua 

Perguruan Emerarudo ini keluarkan suara menggembor. 

Dengan tangan kosong dia hadapi tiga penyerangnya. 

Noboru membuat gerakan yang disebut "dewa tanah 

mengebor bumi." Tubuhnya menukik , jatuh ke atas 

lantai tatami. Tiga pedang lewat di atasnya. Lalu dia 

susul dengan jurus "penguasa langit membelah 

angkasa" Tangan kanannya menghantam ke atas 

disusul dengan tendangan kaki kiri kanan. 

Wuuuutt! Wuuuutl 

Pukulan dan tendangan kaki kiri Noboru Kasai 

hanya mengenai tempat kosong. Tapi bukkkk! 

 Tendangan kaki kanannya mampir dengan telak 

di dada salah seorang penyerang hingga ninja satu ini 

mencelat ke dinding. Dinding yang hanya terbuat dari 

kertas itu langsung jebol dan ninja itu sendiri terlempar 

ke luar. Untuk sesaat dia tak kuasa bangun, hanya 

mengerang sambil pegangi dada. 

Dua orang ninja yang ada di dalam ruangan men-

dengus marah. Serangan pedang mereka membuntal-

buntal ganas. .Walau Ketua Perguruan Emerarudo 

menyandang nama besar dan berkepandaian tinggi 

namun para ninja bukanlah lawan yang mudah dihadapi. 

Gerakan mereka secepat setan, serangan pedang

mereka seganas iblis. Apalagi saat itu Noboru Kasai 

bertangan kosong pula. 

Setelah mengelak dua kali berturut-turut Noboru 

melejit ke arah kanan. Maksudnya hendak mengambil 

hanbo, yaitu tongkat kayu yang biasa dipakai untuk 

melatih murid-murid. Namun gerakannya berhasil di 

papas oleh ninja di sebelah kiri. Selagi dia coba meng-

hantam penyerang ini dengan pukulan tangan kosong 

mengandung hawa sakti, dari samping ninja bertubuh 

tinggi kiblatkan ninjatonya. 

Breetttttl 

Bahu kimono Noboru Kasai robek besar. Dia 

merasakan perih pada bahu kanannya lalu ada cairan 

panas mengucur. Darah! Meski menderita sakit bukan 

main dan kemarahan mendidih namun Ketua Perguruan 

Emerarudo ini tampak bersikap tenang. Tapi sebaliknya 

dua ninja tak mau memberi kesempatan. Pedang 

pendek mereka kembali menggempur dengan ganas 

hingga Noboru Kasai terdesak ke sudut sebelah kanan. 

Breeetttt! 

Breetttt! 

Kimono sang Ketua robek lagi. Kali ini di bagian 

dada dan perut. Noboru Kasai terjajar ke belakang. Dia 

berusaha berpegangan pada sebuah rak tapi tidak 

terjangkau. Selagi tubuhnya tersandar ke dinding, ninja 

berbadan tinggi tusukkan pedangnya ke lambung 

Noboru Kasai. Ketua Perguruan ini keluarkan keluhan 

pendek lalu roboh ke lantai. Sebagian dari badannya 

yaitu bagian dada ke atas berada di luar kamar.

Ninja berbadan tinggi mendatangi dengan cepat 

dan membungkuk seraya bertanya. 

"Lekas katakan! Di laci nomor berapa kau simpan 

surat-surat penting Perguruanl" 

Dalam keadaan sekarat Nobora Kasai membuka 

mulutnva. Suaranya tersendat perlahan. 

"Aku ... aku seperti mengenali suaramu ... Bukan 

kah kau..” 

"Kurang ajarl" bentak ninja bertubuh tinggi. Pe-

dang di tangan kanannya dihunjamkan ke tenggorokan 

Noboru Kasai. Sebelum maut menyergap Ketua Per-

guruan Emerarudo itu tiba-tiba angkat tangan kanannya. 

Lima jari tangannya terpentang. Tulang- tulang jari ke-

luarkan suara berderak. 

Cleeeppp! 

Pedang menembus tenggorokan Noboru Kasai. 

Dalam saat yang bersamaan lima ujung jari sang Ketua 

menghunjam di dada kiri ninja yang membunuhnya. 

Pakaian hitam tebal yang dikenakan ninja tembus di lima 

bagian. Ninja itu sendiri terjajar ke belakang. Dadanya 

serasa ditusuk lima paku panas! Wajahnya di balik pe-

nutup kepala sesaat jadi pucat. 

"Lima jari dewa... Jadi dia memang benar-benar 

memiliki ilmu kepandaian itu..!” katanya dengan mata 

melotot memandang pada Noboru Kasai yang sudah tak 

bernyawa lagi. Sambil pegangi dada kirinya ninja ini 

melangkah mundur. Dia memberi isyarat pada ninja 

yang ada di dekatnya.

”Tolong kawanmu. Lari ke tembok sebelah timur. 

Tunggu aku di tempat pertemuanl" Sehabis berkata 

begitu ninja berbadan tinggl ini melesat ke pintu. Dia 

berlari cepat sepanjang lorong pendek lalu menerobos 

masuk ke dalam sebuah ruangan sangat rahasia yang 

tidak sembarang orang boleh masuk ke tempat ini. Di 

pintu masuk ruangan berjaga-jaga seorang murid 

Perguruan dalam keadaan terkantuk-kantuk. Pedang di 

tangan ninja berkelebat menghantam pertengahan 

kening murid penjaga. Murid ini tak pernah tahu apa 

yang menyebabkan kematiannya. Tubuhnya roboh 

mandi darah dengan kepala hampir terbelah. 

Ninja pembunuh melompat masuk ke dalam 

ruangan rahasia. Sesaat dia tegak tertegun. Di dalam 

ruangan itu ada dua buah lemari besar merapat ke 

dinding. Di situ terdapat dua ratus laci-laci kecil yang 

diberi nomor mulai dari 1 sampai 200. 

"Aku tak mungkin memeriksa semua laci celaka 

itu! Aku harus bisa mengingat! Harus bisa!” 

Ninja itu lalu menarik laci-laci pada derstan angka 

mulai dari 150 sampai 160. 

Sementara itu diluar sana ninja yang diperintah-

kan menolong temannya yang terluka bertindak cepat. 

Sang teman rupanya menderita luka dalam yang sangat 

parah akibat tendangan Noboru Kasai tadi. Darah 

tampak mengucur dari mulutnya. Begitu tahu kawannya 

tak sanggup berdiri, dengan cepat di segera memang-

gulnya. Akan tetapi sebelum dia sempat berkelebat pergi 

di sekelilingnya terdengar suara langkah-langkah kaki.

Sesaat kemudian sekitar dua puluh orang murid 

perguruan muncul mengurung tempat itu. Di depan 

sekali seorang lelaki berkimono merah darah berambut 

pendek berwajah beringas. Mukanya merah. Gerakan-

nya cepat dan enteng tetapi langkah kakinya tidak tetap. 

Sesekali tubuhnya tampak seperti terhuyung. 

Bagaimanapun tinggi ilmu yang dimilikinya tapi 

ninja itu segera menyadari bahwa dia tak mungkin lolos 

dari sekian banyak orang yang mengurung. Apalagi si 

kimono merah berwajah merah beringas di sebelah 

depan dikenalinya adalah Shigero Momochi salah 

seorang dari dua Wakil Ketua Perguruan. Begitu Shigero 

Momochl mendekat ninja jatuhkan kawan yang dipang-

gulnya ke lantai. Sekali menusukkan pedangnya ke dada 

kawannya sendiri, ninja yang sudah terluka parah itu 

langsung meregang nyawa. 

"Tangkap dia hidup-hidupl" teriak Shigero 

Momochi. 

Tapi mana mungkin menangkap seorang ninja 

hidup-hidup. Apalagi dalam keadaan terperangkap se-

perti itu. Sang ninja keluarkan suara mendegus dari balik 

kain hitam penutup wajahnya. Dua tangan memegang 

gagang pedang erat-erat. Begitu kelompok anak murid 

Perguruan Emerarudo menyerbu dibawah pimpinan 

Shigero Momochi dengan berbagai macam senjata ninja 

ini cepat menyongsong dengan ninjatonya. 

Beberapa kali terdengar suara berdentrangan 

beradunya senjata. Gelombang serangan anak murid 

Perguruan Emerarudo tidak bisa dibendung. Shigero

Momochi yang masih berusaha menangkap hidup-hidup 

ninja itu untuk dimintai keterangan tak mampu berbuat 

banyak. Setelah memukul lepas pedang ditangan ninja 

dia hanya bisa menyaksikan bagaimana puluhan anak 

muridnya membantai sang ninja hingga akhirnya 

menemui ajal dengan keadaan tubuh hancur lumat 

mengerikan. 

Shigero Momochi seperti mau muntah. Dia 

palingkan kepala, memandang ke ruangan dalam 

bangunan. 

"Ketua Noboru Kasai ..." bisiknya. Secepat kilat 

dia lari masuk ke dalam rumah. Lututnya goyah ketika 

dia menemukan Noboru Kasai telah jadi mayat, 

tergeletak di atas tatami dengan tubuh bergelimang 

darah. 

"Ketua ..." kata Shigero Momochi sambil jatuhkan 

diri, berlutut di samping mayat Noboru Kasai. Dia 

merasa seperti ingin berteriak, tapi juga ingin menangis. 

Tiba-tiba telinganya mendengar suara dari arah ujung 

lorong pendek di luar sana dimana terletak ruangan 

rahasia. Sambil menggenggam pedangnya Shigero 

Momochi cepat berdiri. 

* * *

DUA 

Di dalam ruangan rahasia ninja memeriksa deretan 

laci bernomor 150 sampai 160. Tapi dia tidak menemu-

kan apa yang dicarinya. Dalam hati dia memaki se-

tengah mati. 

"Aku harus ingat! Harus ingat!" katanya berulang-

ulang. Pada saat itu dia mendengar suara orang berlari 

dari ujung lorong. Sebelumnya dia juga telah mendengar 

suara ramai di luar ruangan tempat Noboru Kasai 

terbunuh. 

"Orang-orang Perguruan sudah tahu apa yang 

terjadi ..." desis ninja. Matanya kembali memandang 

deretan laci-laci. Dia seperti hendak memukul kepalanya 

sendiri ketika tiba-tiba dia ingat. 

"Laci 168 katanya setengah berseru. 

Segera laci nomor 166 dibukanya. Sepasang 

mata ninja membesar. Apa yang dicarinya akhirnya 

ditemui juga. Dalam laci itu kelihatan sebuah amplop 

besar berwarna kuning. Secepat kilat ninja menyambar 

amplop itu. Lalu melompat membobol dinding kiri 

ruangan rahasia. Ternyata dinding ruangan ini tidak 

terbuat dari kertas biasa melainkan dari sejenis papan 

alot. Ninja terpaksa pergunakan jotosannya untuk 

menjebol. Baru saja dia hendak berkelebat kabur lewat 

lobang di dinding tiba-tiba pintu kamar rahasia terbuka. 

Satu bentakan menggeledek di belakangnya. 

"Jangan laril" 

Yang berteriak adalah Shigero Momochi. Wakil 

Ketua Perguruan ini cepat mengejar dengan pedang 

terhunus. Gerakannya mengejar tertahan ketika di 

sebelah depan ninja dilihatnya gerakkan tangan kiri. Dua 

buah benda berbentuk bintang melesat ke arahnya. 

Shigero memaki setengah mati. 

"Shuriken!" teriaknya. 

Pedangnya di putar ke depan. 

Trang ... trang ...! 

Dua senjata rahasia bintang besi beracun yang 

dilepaskan ninja mental dan menancap di dinding 

ruangan. Begitu Shigero memandang ke depan sang 

ninja sudah lenyap. 

"Mahluk iblis! Kau kira kau bisa lolos dari tangan-

ku…!" bentak Shigero Momochi lalu mengejar. Larinya 

tidak tetap, agak menghuyung. Sampai di taman gelap di 

belakang bangunan besar orang yang dikejarnya tak 

kelihatan lagi. Belasan murid Perguruan muncul men-

datangi. 

"Percuma... Ninja keparat itu berhasil melarikan 

diri!" kata Shigero Momochi sambil menghentakkan 

kakinya. 

"Aku bersumpah akan membalaskan kematian 

Ketua. Kalian lekas mengatur hubungan dengan para

Ketua Ninja! Beri tahu apa yang telah terjadi. Minta 

mereka menyelidik dan memberi tahu siapa anggota-

anggota mereka yang terlibat kejahatan keji ini! Mereka 

harus berani mengakui! Kalau tidak aku bersumpah akan 

menumpas semua ninja di negeri ini! Sejak dulu mereka 

hanya menimbulkan keonaran dan bencana saja! Me-

lakukan kejahatan hanya untuk sejumlah uang! Mahluk-

mahluk durjana! Pembunuh bayaran!" 

"Wakil Ketua Momochi!" seorang murid Perguruan 

berkata sambil maju mendekati Shigero Momochi. 

"Ninja bukan cuma membunuh tapi juga mencuri 

surat-surat penting dari ruangan rahasia. 

"Aku sudah tahu! Kalian periksa surat apa yang 

hilang! Aku akan mengurus jenazah Ketua ..." Shigero 

Momochi memandang berkeliling. 

"Siapa diantara kalian yang membawa minum-

an....?" Tak ada satupun yang menjawab. 

"Kalau begitu satu orang dari kalian lekas pergi 

kekamarku, ambil botol sake dan antarkan padaku ..." 

"Tapi Wakil Ketua Momochi ..." kata seorang 

murid kepala. 

"Dalam keadaan seperti ini tidak sepantasnya 

Wakil Ketua meneguk minuman keras itu lagi ..." 

"Kurang ajarl Kau memerintah aku atau bagai-

mana ... ?!" bentak Shigero Momochi dengan mata 

membelalang. 

Semua murid Perguruan yang ada di situ unjuk-

kan wajah tidak seneng. Satu persatu mereka tinggalkan

tempat itu. Salah seorang dari mereka berbisik pada 

temannya. 

"Seharusnya dia yang dibunuh ninja, bukan Ketua 

Noboru Kasai ... Pimpinan tak berguna, Pemabuk, 

pemarah ... semua yang jelek ada padanya. Mau jadi 

apa Perguruan kita ini kelak ... !" 

"Aku kawatir setelah Ketua tiada, dia yang akan 

menjabat jadi Ketua. Celakalah kita semual" sahut 

temannya. 

"Hal itu tak mungkin terjadi. Para Dewa tak bakal 

merestui!" kata seorang murid Perguruan lain yang ikut 

mendengar percakapan dua temannya tadi. 

DALAM dinginnya udara menjelang pagi itu sayup 

sayup terdengar suara shakuhachi ditiup dalam senan-

dung yang menyayat hati. Tiupan seruling bambu ini 

diikuti dengan petikan shamisen yang menghiba-hiba. 

Suara bebunyian ini datang dari serambi bangunan 

besar Perguruan Emerarudo di puncak bukit. 

Di serambi rumah besar, di bawah penerangan 

lampu minyak redup, diatas tatami duduk dua orang 

perempuan. Seorang sudah agak lanjut, satunya masih 

gadis. Perempuan yang lebih tua duduk meramkan mata 

sambil meniup shakuchaki. Gadis di sebelahnya meme-

tik shamisen. Masing-masing memainkan bebunyian itu 

penuh perasaan. Sepasang mata perempuan yang lebih 

tua tampak berkaca-kaca sedang si gadis tak dapat 

menahan larutnya kesedihan hingga air mata yang tak 

terbendung menetes jatuh kepipinya.

Di dalam rumah besar hampir seratus anak murid 

Perguruan Emerarudo tegak rangkapkan tangan di atas 

dada. Sikap berdiri mereka tampak gagah. Namun dari 

kepala-kepala yang ditundukkan serta sepasang mata. 

yang dipejamkan jelas seperti dua perempuan tadi 

merekapun sedang tenggelam dalam rasa duka yang 

mendalam. 

Rasa dukacita atas tewasnya Noboru Kasai Ketua 

Perguruan Emerarudo membuat puncak bukit itu tengge-

lam dalam kesedihan. Gadis pemetik shamisen tak 

sanggup menahan kesedihannya akhirnya berhenti 

memetik bebunyian itu lalu bersujud dan menangis 

tersedu-sedu. Perempuan peniup seruling ikut tergugah 

dan tiupan sakuhachinya jadi tersendat-sendat. 

Menjelang malam memasuki pagi, selagi udara 

terang-terang tanah tiba-tiba terdengar derap kaki kuda 

mendatangi. Tak lama kemudian seorang lelaki separuh 

baya berwajah gagah muncul menunggang kuda putih. 

Di atas punggung kuda dia memandang seperti tidak 

percaya pada keadaan yang dilihatnya. Matanya me-

nyipit ketika dia berpaling ke serambi dan melihat gadis 

pemetik shamisen jatuhkan diri lalu menangis keras. 

Orang ini melompat dari kudanya. 

"Apa yang terjadi .... ?I" Dia bertanya sambil me-

langkah cepat melewati berisan para murid Perguruan. 

Dadanya mendadak bergejolak, tapi sikap dan suaranya 

kelihatan lembut. 

Seorang murid kepala mendatangi dan berkata. 

"Wakil Ketua Hisao Matsunaga syukur kau cepat

kembali. Wakil Ketua Shigero Momochi ada di dalam ba-

ngunan utama. Sudah lama menunggu ...." 

"Tiupan shakuhachi dan petikan shamisen tadi. .. 

membawakan lagu pengantar jenazah. Katakan apa 

yang terjadi?!" tanya orang yang barusan turun dari 

kuda. Ternyata dia adalah salah seorang dari Wakil 

Ketua Perguruan. 

"Saya tidak berani menerangkan. Lebih baik Wakil 

Ketua menemui Wakil Ketua Shigero Momochi saja ...." 

Mendengar jawab murid kepala itu, seperti 

terbang Hisao Matsunaga melompat dan masuk ke 

dalam rumah besar. Di dalam ruangan dimana jenazah 

Noboru Kasai dibaringkan di atas selembar kasur tipis 

yang diberi alas kain wool tebal, Hisao Matsunaga 

jatuhkan diri berlutut. Sesaat dia menatap wajah Ketua 

Perguruan yang sudah jadi mayat itu. Kain putih yang 

menutupi tubuh jenazah tampak basah oleh darah di 

beberapa bagian. Lalu ke dua matanya dipejamkan. 

Ketika mata itu dibuka kembali pandangan Hisao 

Matsunaga tertuju pada Shigero Momochi. Baru disadari 

nya kalau saat itu di ruangan itu terdapat juga beberapa 

orang pengurus dan tua-tua perguruan. Lalu seorang 

anak lelaki berusia empat belas tahun yang duduk 

dengan kepala tertunduk dekat kepala jenazah. 

Wajah Hisao Matsunaga jelas menunjukkan ke-

perihan ketika dia memperhatikan anak ini. Karena si 

anak adalah Akira Kasai, putera dan anak tunggal 

mendiang Ketua Noboru Kasai. Ibu Akira meninggal 

dunia pada saat anak ini dilahirkan. Sejak itu Noboru

Kasai tak mengambil perempuan lain pengganti istrinya 

ataupun memelihara gundik. Agaknya Ketua Perguruan 

Emerarudo ini sengaja menjauhi kehidupan duniawi 

sampai akhirnya kematian datang menjemput. 

Hisao Matsunaga berpaling kembali pada Shigero 

Momochi lalu berkata dengan suara perlahan. 

"Shigero, ceritakan padaku bagaimana semua ini 

terjadi!” 

"Kita bicara di kamar sebelah saja.." bisik Shigero. 

Waktu bicara Hisao Matsunaga dapat mencium nafas 

Shigero yang berbau minuman keras. Perlahan-lahan 

dia bangkit mengikuti Shigero menuju sebuah ruangan 

yang terletak bersebelahan dengan ruangan dimana 

jenazah Ketua Perguruan disemayamkan. 

"Aku tidak melihat sendiri bagaimana kejadiannya. 

Ketika aku masuk ke kamar Ketua, beliau sudah 

menggeletak di atas tatami dalam keadaan berlumuran 

darah. Sudah tidak bernafas lagi ....." Lalu Shigero 

Momochi menuturkan apa yang diketahuinya. 

"Sebelum peristiwa itu terjadi, kau berada di mana 

Shigero? Selama ini jangankan manusia, lalat seekorpun 

jika menyusup ke tempat ini pasti kau ketahui ..." 

"Kau betul Hisao ..." jawab Shigero Momochi 

dengan wajah merah. 

"Malam tadi entah mengapa nyenyak sekali tidur-

ku. Sampai tidak mendengar suam apa-apa. Bahkan 

para muridpun tidak sempat mengetahui .... !” 

"Aku yakin kau pasti minum banyak lagi malam 

tadi. Kalau tidak, mungkin peristiwa ini bisa dihindari...

Harap maafkan aku Shigero. Bukan maksudku me-

nyalahkanmu. Kalau Dewa sudah menakdirkan hal ini 

akan terjadi, pasti terjadi tanpa bisa dihalangi. Aku 

sendiri merasa menyesal pergi ke Kioto walau aku 

kesana ditugaskan secara pribadi oleh Ketua untuk 

menemui seorang Shogun ...." 

"Sampai saat ini aku memang belum bisa meng-

hilangkan kebiasaan minum sake keras itu .. ." 

"Kudengar kini malah kau mencampurnya dengan 

wiski yang dibawa pelaut-pelaut kulit putih ..." memotong 

Hisao Matsunaga tetap dengan suara lembut. 

"Kuharap saja kau bisa mawas diri dan menghenti 

kan kebiasaan minum." 

Tampang Shigero Momochi tampak jadi beringas. 

Dia hendak menyemprotkan ucapan. Tapi dengan 

lembut Hisao Matsunaga berkata. 

"Siapa diantara kita yang tidak suka meneguk 

sake. Tapi minum secara berlebihan bisa membawa hal-

hal tak diingin bagi seseorang. Musibah ini kiranya bisa 

dijadikan hikmah ....." 

Wajah Shigero Momochi nampak menjadi merah. 

Sambil berdiri dia berkata. "Kalau Perguruan mengang-

gap hal ini terjadi karena kesalahanku, aku bersedia 

menerima hukuman dan melakukan seppuku!" 

Shigero Momochi segera hendak mencabut 

pedangnya. 

Hisao Matsunaga cepat memegang bahu Shigero 

dan berkata. "Bagi kita orang-orang Jepang melakukan 

seppuku atau harakiri adalah kematian paling terhormat.

Tapi tidak jika kita sebenarnya bisa melakukan sesuatu 

yang jauh lebih terhormat .. ." 

"Katakan apa yang harus aku lakukan!" kata 

Shigero beringas. 

"Bukan kau, saja Shigero. Tapi kita. Semua yang 

ada di Perguruan ini ...” 

"Ya.. ya, katakan saja apa yang harus kita 

lakukan?" 

"Pertama, kita harus mengurus jenazah Ketua ...." 

"ltu memang menjadi kewajiban kita para 

pengurus dan murid Perguruanl Lalu ....?" 

"Selanjutnya .kita harus menyelidik siapa pelaku 

pembunuhan ini...." 

"Dan pelaku pencurianl" sambung Shigero 

Momochi. 

Hisao Matsunaga tampak terkejut. "Pencurian? 

Apa maksudmu?' 

"Ada sebuah amplop rahasia berisi surat-surat 

penting lenyap dari laci di ruang rahasia ...." 

Paras Hisao Matsunaga jadi berubah. 

"Berarti ini bukan pembunuhan biasa. Pasti ba-

nyak kaitannya pada hal-hal lain yang tidak terduga ....." 

"Aku sudah meminta beberapa orang untuk 

menghubungi para Ketua Ninja guna ikut menyelidik. 

Aku juga telah bersumpah jika mereka tidak bisa 

memberikan jawaban atau tidak dapat membuktikan 

bahwa kelompok masing-masing tidak terlibat, maka aku 

akan menumpas semua Ninja di negeri ini sampai 

habis!"

"Kesetiaanmu untuk membela kematian Ketua 

sangat aku hargakan Shigero. Tapi kita harus hati-hati 

menghadapi para ninja. Jika mereka bergabung 

kekuatan mereka jauh lebih besar dari kita ..." 

"Kita bisa memakai tangan kelompok Oda 

Nobunaga untuk membasmi mereka ..." 

"Betul, tapi ingat ... Perguruan punya ketentuan 

untuk tidak terlibat dan melibatkan diri dengan orang-

orang Pemerintahan ..." 

"Lalu mengapa kau sendiri pergi menemui 

Shogun, walau katamu itu atas perintah Ketua ....." 

Hisao Matsunaga mengangguk pendek. "Justru 

hal itu diperintahkannya agar aku memberi tahu bahwa 

Perguruan kita menghormati pihak angkatan perang, 

para Jenderal, tapi tidak mau melibatkan diri dalam 

urusan pemerintahan ..." 

"Kalau begitu kita harus punya cara sendiri untuk 

menghajar para ninja itu ..." 

"Jika benar mereka yang membunuh Ketua..:” 

Shigero Momochi menatap tajam dengan mata-

nya yang merah pada Hisao Matsunaga. 

"Apa maksudmu dengan ucapan itu Hisao? Jelas 

mereka muncul di sini mengenakan seragam ninja. 

Membawa senjata ninja. Bahkan ada dua ninja yang 

sudah lumat di luar sana bisa kau lihat sendiri keadaan 

mereka. Dan tampaknya kau hendak meragukan bahwa 

kematian guru bukan disebabkan oleh para ninja keparat 

itul"

"Tenang Saudaraku ..." kata Hisao Matsunaga 

dengan suara lembut. 

"Sebagai perguruan besar, tidak semua orang di 

luar sana suka terhadap kita. Mungkin saja memang ada 

yang memakai tangan ninja untuk menghancurkan kita. 

Mungkin juga ada para tokoh silat kaki tangan 

pemerintah yang melakukannya karena tidak ingin 

melihat kita sebagai satu kekuatan yang membahayakan 

mereka ..." 

"Ah, aku orang bodoh yang tidak bisa mencerna 

dan berpikir sepintarmu ...." 

"Kau orang pandai. Otakmu cerdik. Aku tahu hal 

itu. Jangan terlalu merendah Shigero. Sekarang mari 

temani aku untuk memeriksa ruangan rahasia. Surat 

penting apa yang telah dicuri ninja ...." 

Memeriksa 200 laci di ruangan rahasia Perguruan 

Emerarudo bukan pekerjaan mudah dan memakan 

waktu lama. Mereka memang menemui sebuah laci 

dalam keadaan kosong yaitu laci nomor 166. Tapi baik 

Hisao maupun Shigero tidak dapat memastikan surat 

atau benda apa yang telah lenyap dicuri dari laci 

tersebut. 

Menjelang pagi ke dua pucuk pimpinan Perguruan 

tersebut keluar dari ruangan rahasia, bergabung dengan 

pengurus Perguruan lainnya untuk mengatur persiapan 

upacara perabuah jenarah Noboru Kasai. 

Sementara itu beberapa tamu yang sudah diberi 

tahu atas musibah yang menimpa Perguruan telah mulai 

kelihatan berdatangan.

Kita kembali dulu pada kejadian beberapa waktu 

sebelumnya setelah ninja memasuki ruangan rahasia 

Perguruan Emerarudo, mencuri sebuah amplop kuning 

lalu melarikan diri setelah lebih dulu mementahkan 

pengejaran yang dilakukan Shigero Momochi. 

Kelihatan seorang ninja melarikan diri dan meng-

hilang bersama kepekatan malam boleh dikatakan tak 

dapat ditandingi oleh siapapun. Di lereng bukit sebelah 

Selatan ninja yang telah membunuh Ketua Perguruan 

Emerarudo itu menyelinap ke balik sebatang pohon be-

sar. dia tegak bersandar ke batang pohon. Tangan ka-

nannya mendekap dada kirinya yang terasa mendenyut 

saki. Dada itulah yang sebelumnya mendapat serangan 

"Lima Jari Dewa" yang sempat dilakukan oleh Noboru 

Kasai. Dalam gelap ninja membuka pakaian hitamnya. 

Jantungnya berdenyut keras ketika dilihatnya ada lima 

bintik hitam membekas di dada kirinya. 

"Celaka ..... ! Tanda ini tidak bisa hilang sekalipun 

kulitku dikelupasl" Sesaat sang ninja nampak masgul. 

Namun bila dia ingat pada amplop kuning itu, rasa 

kawatirnya segera lenyap. Dengan cepat amplop kuning 

dikeluarkannya dari balik pakaiannya. Bagian depan 

amplop ada tulisan dalam huruf kanji berbunyi : 

"Sangat Rahasia. Risalah Pewarisan Pimpinan 

Perguruan." Amplop dibalikkan. Bagian penutup amplop 

di sebelah belakang selain diikat dengan benang juga 

disegel dengan lak tebal berwarna merah

Dengan tangan agak gemetar ninja merobek 

penutup amplop. Dari dalam amplop dikeluarkannya 

lembaran tebal kertas berwarna merah. 

"Hah?!” 

Sang ninja berseru kaget. Sepuluh lembar kertas 

merah yang barusan dikeluarkannya dari dalam ampop 

dibolak-baliknya. 

"Aneh! Mengapa semua kertas ini kosong? Tak 

ada tulisan, tak ada apa-apanya! Jangan-jangan aku 

tertipu! Siapa yang menipu? Sang Ketua ....?" Tak 

mungkin .... !" Seolah-olah tak percaya ninja memeriksa 

kembali kertas-kertas merah itu, melihat ke dalam 

amplop kalau-kalau ada kertas lain yang tertinggal. 

Kemudian dengan kesal amplop dan kertas 

merah itu diremasnya sampai lumat. Setelah itu sambil 

memaki panjang pendek amplop dan kertas merah itu 

dibantingkannya ke tanah! 

"Kurang ajar Benar-benar sialan!" 

* * *

TIGA 

PENDEKAR 212 Wiro Sableng tarik kerah baju 

tebal-nya tinggi- tinggi. Sesaat dipandanginya air sungai 

kecil di hadapannya yang dalam kegelapan malam 

seolah-olah diam tidak mengalir. Barusan dengan susah 

payah dia mengumpulkan beberapa potong kayu. Dalam 

udara lembab dan dingin begitu rupa hampir tak mungkin 

mendapatkan kayu kering. Dia telah menghabiskan 

sekotak geretan untuk membakar kayu menyalakan api. 

Namun sia-sia saja. Sesekali matanya melirik ke arah 

sebuah batu di atas mana terbaring seekor kelinci dalam 

keadaan terikat keempat kakinya.. 

Dari saku baju tebalnya Wiro keluarkan botol 

kaleng berisi sake. Setelah meneguk minuman keras ini 

dua kali dia merasa tubuhnya menjadi hangat. 

"Badanku hangat tapi perutku tetap saja 

keroncongan." Dia memandang lagi pada kelinci di atas 

batu. 

"lngin sekali aku cepat-cepat merasakan bagai-

mana lezatnya daging kelinci Jepang. Tapi api sialan tak 

mau hidup ..." Apa aku harus mempergunakan senjata 

mustika itu hanya untuk menyalakan api?" Wiro garuk-

garuk kepala. 

"Kelihatannya memang tak ada jalan lain ...." 

Murid Sinto gendeng akhirnya keluarkan Kapak Maut 

Naga Geni 212 dari balik pakaiannya. Dia juga me-

ngeluarkan batu hitam pasangan senjata sakti itu. 

Ketika cahaya yang memancar,dari dua mata 

kapak menerangi tempat itu, sepasang mata yang sejak 

tadi mengintip dibalik kerapatan serumpunan batang-

batang bambu membesar karena terkejut dan juga 

kagum. Dalam hati orang yang bersembunyi itu berkata. 

"Belum pernah aku melihat senjata seperti itu. 

Dari sinarnya saja jelas senjata itu memiliki hawa sakti 

luar biasa. Pasti inilah senjata yang dipakainya untuk 

membunuh Arashi si Nenek Badai. Pemuda dari negeri 

ribuan pulau itu ... Aku harus merampas senjata itu. Batu 

hitamnya sekalian ... !" 

Di depan tumpukan kayu yang disilang-silang di 

tanah Wiro gosokkan keras-keras salah satu mata kapak 

dengan batu hitam di tangan kanannya. Bersamaan 

dengan itu dia kerahkan tenaga dalamnya. 

Wussssl 

Lidah api menyambar ke arah tumpukan kayu. 

Krekkkk ... Terdengar suara berkeretakan. Kayu-kayu 

lembab itu berubah menjadi merah. Sesaat kemudian 

apipun berkobar. Ketika api padam, kayu-kayu yang 

tadinya basah telah berubah menjadi arang merah. 

Di balik batang-batang bambu, orang yang sejak 

tadi mengintip berdecak dalam hati.

"Benar-benar luar biasa. Bagaimanapun aku 

harus dapatkan senjata itu. Batu hitamnya juga….." Lalu 

tanpa suara dia bergeser dari balik batang-batang 

bambu itu. 

Wiro simpan kembali kapak sakti dan batu hitam. 

Lalu dia melangkah ke arah kelinci. Binatang ini mencicit 

keras seolah tahu kalau dirinya sebentar lagi akan di-

pesiangi. 

"Ya ... ya sekarang kau boleh mencicit, berteriak 

sesukamu. Asal saja jangan sudah masuk ke perutku 

kau nanti masih mencicitl" 

Wiro mulai membuka ikatan pada keempat kaki 

binatang itu. Kalau tadi kelinci ini mencicit keras terus 

menerus, kini tiba-tiba diam. 

"Eh, kenapa diam ... ? ujar Wiro. Dilihatnya 

sepasang mata kelinci itu memandang sayu dan sesekali 

berkedip-kedip. Telinganya bergerak-gerak, begitu juga 

cuping hidungnya. Dari mulutnya yang bergigi-gigi putih 

kecil terdengar suara desah halus. 

Tiba-tiba saja ada perasaan tidak enak dalam diri 

Pendekar 212. "Aneh, mengapa mendadak aku jadi tidak 

tega membunuh binatang ini ...." Wiro perhatikan lagi 

kelinci itu. Masih memandang padanya dengan mata 

sayu dan berkedip. 

"Semakin kupandang semakin kasihan aku jadi-

nya ... Ah sudahlah. Biar kulepas saja ..." Wiro 

membungkuk, letakkan kelinci itu di tanah lalu berkata. 

"Kelinci, kau tentu punya emak, punya bapak. 

Punya saudara punya teman dan hutan belantara. Kau

boleh pergi. Aku tak jadi menyantanmu. Walau perutku 

keroncongan kurasa aku masih bisa menahan lapar..Kau 

bebas. Pergilah ...." 

Setelah dilepas, kelinci itu tidak segera lari. 

Seolah-olah berterima kasih dia berpaling ke arah Wiro, 

mencicit beberapa kali sambil mengedipkan kedua 

matanya. 

"Ya ... ya.. . Pergi sana. .." kata Wiro pula. 

Binatang itu mencicit lagi dan mengedip dua kali 

lalu membuat lompatan tinggi. Namun dia tak pernah 

masuk lagi ke dalam hutan, bahkan setelah melompat 

tak sempat lagi menginjakkan kaki-kakinya di tanah. 

Sebuah benda melesat dari kegelapan, menyambar ke 

kepala kelinci itu. Binatang ini mencicit keras lalu jatuh 

terhempas ke tanah. 

"Astaga!" Wiro berseru dan cepat melompat. 

Kelinci diambilnya dari tanah. Sepasang mata Pendekar 

212 melotot besar. Sebuah besi lancip lebih besar dari 

lidi . menancap tepat di kening kelinci. Pada besi ini 

menempel sebuah bendera berbentuk segi tiga 

berwarna merah. Di bagian tengah bendera, ada tulisan 

Kanji warna hitam berbunyi "Bendera Darah." 

"Binatang malang ...." desis Wiro. "Aku segaja 

melepaskanmu. Sekarang ternyata ada orang jahat 

membunuhmu. Kalau memang nasibmu seperti ini kan 

lebih baik kau kupanggang dan kusantap saja tadi ..." 

Wiro garuk-garuk kepalanya dengan tangan kiri. Lalu 

diusapnya kepala kelinci itu beberapa kali. Darah yang 

mengucur dari kepala kelinci mengotori jari-jari

tangannya. Perlahan-lahan Wiro letakkan binatang itu di 

tanah lalu dia tegak kembali, memandang berkeliling. 

"Orang jahat! Siapa kau yang tega-teganya 

membunuh kelinciku?!” Aku tahu kau masih berada di 

sekitar sini! Perlihatkan dirimul" 

Dalam keheningan dan dinginnya udara malam 

tiba-tiba terdengar suara tertawa. Suara tawa ini meleng-

king keras tapi pendek. 

"Kurang ajar ..." kertak Pendekar 212. Dia jelas 

mendegar suara tertawa itu. Keras dan dekat tapi aneh-

nya dia tidak bisa mengetahui dari arah mana datang-

nya. 

"Orang itu sepertinya memiliki ilmu memindahkan 

suaral" pikir Wiro. 

"Hemmm .... Kau tidak berani unjukkan diri ya?! 

Apa kau seorang pengecut atau mungkin tampangmu 

jelek seperti donburi basi?!" 

Tetap hening. Kali ini sepertinya juga tak ada 

suara jawaban. Tapi tidak. Karena tiba-tiba jawaban 

yang diterima Wiro adalah melesatnya sebuah benda 

merah ke arah kaki kirinya. Sang pendekar cepat 

melompat. 

Seeettttl Cleeeppp! 

Breettt! 

Sebuah bendera merah menancap di tanah, tepat 

di atas mana tadi kaki Wiro meminjak. Gerakan Wiro 

mengelak tadi cepat sekali. Namun sebelum menancap 

di tanah besi bendera masih sempat merobek ujung kaki 

celana putihnya!

"Bendera aneh itu lagi!" desis Wiro dengan mata 

mendelik. 

"Si pelempar jelas sengaja mencari tantaran. 

Bukan cuma mau membunuh kelinci tapi juga mau 

membunuh diriku!" 

Sambil mundur mendekati sebuah pohon besar 

Wiro memandang berkeliling. Dia sengaja berdiri di 

depan pohon untuk mempersempit ruang serang musuh 

yang tersembunyi. 

"Pembokong gelap! Apa kau masih tidak mau 

memperlihatkan diri?!" teriak Wiro. 

Baru saja dia berteriak begitu tiba-tiba setttt.... 

setttt Dua buah Bendera Darah melesat dalam gelapnya 

malam den menancap di batang pohon, hanya seujung 

kuku jari dari telinga kiri kanan sang pendekar! Walau 

udara dingin tapi murid Sinto Gendeng sempat keluarkan 

keringat dan tengkuknya jadi merinding. 

Dia sadar kalau pun dia masih berdiri di sekitar 

situ, cepat atau lambat dirinya bakal jadi tancapan 

bendera aneh itu. Walau besi bendera tidak mengan-

dung racun tapi daya bunuhnya tidak bisa dibuat main. 

Memikir sampai di situ Wiro keluarkan seruan keras. 

Kedua kakinya menjejak tanah sambil kerahkan ilmu 

meringankan tubuhnya. Tubuhnya melesat ke atas. 

Settttt .... setttt .... setttt .... sefflt! 

Empat Bendera Darah dengan sebat mengikuti 

gerakan Wiro. Satu mengarah perut, satu mencari 

sasaran di basian dada dan dua menyambar ke arah 

kepala

"Kurang ajar!" rutuk Pendekar 212. 

"Si pembokong benar-benar inginkan nyawaku! 

Siapa dia ... Kaki tangan orang-orang lembah Hozu?' 

(Mengenai silang sengketa Pendekar 212 dengan orang-

orang Lembah Hozu, ikuti serial Wiro Sableng berjudul 

"Pendekar Gunung Fuji") 

Masih melayang di udara Wiro membuat gerakan 

jungkir balik. Ke dua tangannya serentak lepaskan 

pukulan tangan kosong yang menghamburkan angin 

deras. 

Empat Beqaera Darah bukan saja berhasil dihindar tap! 

malah dibuat mental. Tetapi murid Sinto Gendeng jadi 

tersentak kaget ketika melihat apa yang terjadi. Empat 

buah Bendera Darah yang kena hantaman pukulan 

tangan kosongnya tadi tiba-tiba berbalik. Dua 

diantaranya kelihatan robek. Empat bendera merah 

Empat bendera merah ini berkibar aneh. Lalu seperti 

didorong oleh kekuatan hebat, empat bendera itu 

melesat berpencaran dan kembali menyerang Wiro di 

empat sasaran!. 

"Kurang ajar! ini bukan main-main!” Wiro Cepat 

melompat kebalik serumpun semak belukar. Sambil 

melomat dia lepaskan pukulan ”Tameng Sakti Menerpa 

Hujan”. 

Dua buah Bendera Darah robek dan menancap 

pada rerumpunan semak belukar. Satu diantaranya 

malah tepat di depan hidung Pendekar 212 hingga 

kembali murid Sinto Gendeng keluarkan keringat dingin. 

Yang dua lagi berhsrsil dihantam luruh ke tanah.

Hebatnya meski jatuh namun dua bendera ini 

tidak tergeletak begitu saja melainkan jatuh dengan tetap 

menancap di tanah!. 

Di balik kerapatan batang-batang bambu di tepi 

sungai terdengar suara orang berdesah. Sepasang 

telinga Wiro menangkap suara desah itu. Tanpa Pikir 

panjang dia segera menghantam ke arah Pohon bambu. 

Pukulan yang dilepaskannya kali ini adalah dalam jurus 

"segulung ombak menerpa karang." Terdengar suara 

seperti ombak besar bergulung di Pantai. Lalu wusss.... 

braaakkkk ..... l Rumpunan batang bambu di depan sana 

laksana dihantam topan, hancur rambas berantakan. 

"Kosong! Tak ada siapa-siapa di tempat itu!” seru 

Wiro dengan pandangan kaget. 

Baru saja dia berseru demikian dan belum habis 

rasa kagetnya tiba-tiba dari atas terdengar Suara seekor 

berkesiuran. 

"Bendera keparat!" teriak Wiro. 

Tiga buah Bendera Darah melesat dengan 

kecepatan setan dari atas pohon besar. Membuat dia . 

lagi-lagi dipaksa jungkir balik selamatkan diri. 

Cleeppp! 

Bendera Darah pertama menancap amblas ke 

dalam tanah. 

Kraakkkk! 

Bendera Darah ke dua menghantam batu kali dan 

menancap di batu itu!.

“Gila! Kalau benar benda itu bisa menancap di 

batu, kekuatannya benar-benar luar biasa! Batok kepala 

pasti tembus!” 

Namun Wiro tidak sempat berpikir panjang. Dia merasa 

lututnya goyah ketika menyadari Bendera Darah ketiga 

menyusup di bahunya, merobek baju tebalnya lalu ada 

rasa sakit dikulit bahu sebelah kiri. Pertanda ada daging 

bahunya yang kena ditembus besi bendera. 

Rasa sakit mula-mula tidak terasa karena saking 

cepatnya gerakan besi itu menembus. Wiro ulurkan 

tangan kanannya ke bahu kiri dan cabut bendera yang 

menancap di bahunya itu sementara baju tebalnya 

kelihatan merah oleh darah yang keluar dari luka. 

Sambil menggenggam bendera merah yang dicabutnya 

dari bahu kiri Wiro mendongak ke atas. Dalam 

kegelapan samar-samar dilihatnya satu sosok aneh 

tegak di cabang terendah. 

"Mahluk apa di atas pohon pikir Wiro. 

"Sosoknya seperti manusia.... tapi tak jelas kepala tak 

kelihatan mukanya ...." 

"Setan alas di atas pohon! Apa kau tak berani 

turun ke tanah?l" 

Sosok di atas pohon keluarkan tawa melengking keras 

tapi pendek. Tubuhnya kemudian tampak melesat ke 

atas lalu berputar jungkir balik. Di lain kejap dia 

melompat ke bawah, menukik laksana seekor alap-alap 

menyambar mangsanya. 

"Makan benderamu sendiril" bentak Wiro.

Tangan kanannya yang memegang bendera merah 

melempar ke atas. Bendera Darah menderu ke arah 

Ubun-ubun kepala sosok yang saat itu melayang sebat 

ke bawah. 

"Huhl" 

Orang yang melayang turun keluarkan suara ter-

kejut ketika melihat bendera miliknya sendiri kini 

dilempar orang ke arah batok kepalanya. Dalam kejutnya 

dia bertindak tenang sekali. Sambil miringkan tubuh ke 

kiri dia malah sengaja menyambut Serangan bendera 

dengan dada kirinya. Cleppp! Bendera itu menyusup dan 

lenyap di tubuhnya seolah seekor burung yang melesat 

masuk ke sarangnya! 

Rasa heran Pendekar 212 berubah jadi terkejut 

besar ketika sesaat kemudian dia melihat sosok Yang 

tegak di hadapannyal 

"Gila! Seumur hidup baru sekali ini aku melihat 

mahluk macam beginil" 

* * *

EMPAT 

Di hadapan Wiro saat itu tegak sesosok tubuh 

yang mulai dari kaki sampai ke kepala tertutup oleh 

puluhan, mungkin ratusan bendera-bendera kecil ber-

warna merah. Dari wajahnya hanya sepasang matanya 

saja yang kelihatan. Memandang tajam tak berkesip 

pada Pendekar 212 Wiro Sableng. 

"Aneh, mahluk ini terbungkus bendem kaki ta-

ngan, badan sampai kepala. Apakah dia tidak 

mengenakan pakaian? Tak bisa kuterka apa dia lelaki 

atau perempuan ...." 

Diam-diam Wiro mencium seperti ada bau harum 

muncul di tempat itu bersamaan dengan kemunculan 

mahluk aneh ini. 

Untuk sesaat lamanya dua orang itu hanya berdiri 

. tegak saling pandang tanpa bicara. 

"Hemmm ..." Murid Sinto Gendeng akhirnya ber-

gumam. 

"Rupanya aku berhadapan dengan hantu penjual 

bendera!" 

Diejek seperti itu sepasang mata orang yang 

bekujur tubuh dan mukanya tertutup bendera-bendera 

merah kelihatan membesar. Walau jelas marah namun 

dia tetap diam, tak membuat gerakan apa-apa. 

"Tukang bendera! Kau membunuh kelinci itu, Kau 

juga menyerang dengan maksud membunuh. Padahal 

antara kita tidak ada silang sengketa. Bertemu pun baru 

kali ini! Bahkan tampangmu yang tersembunyi dibalik 

kain-kain popok merah itu tak pernah kulihat!" 

Dari tenggorokan orang dl hadapan Wiro ter-

dengar suara menggeru. Lalu dia membentak. 

"Orang asing! Lagakmu sombong! Penghinaanmu 

keliwatan. Kau boleh menghina diriku! Tapi menghina 

bendera-benderaku sebagai kain popok tak dapat 

kuterima! Penghinaan atas Bendera Darah berarti mati!" 

Wiro segara saja maklum kalau mahluk yang ada 

dihadapannya itu tidak bicara dengan suara aslinya tapi 

mempergunakan suara perut. Dia lantas ingat Akiko 

Bessho, murid mendiang Hiroto Yamazaki dari Gunung 

Fuji yang juga ahli mempergunakan ilmu suara dari 

perut. Wiro sendiri sempat belajar cara bicara dengan 

perut itu dari Akiko walaupun belum tuntas. Maka diapun 

rubah suaranya. kerahkan tenaga dalam ke perut dan 

bicara menirukan suara seperti kambing. 

"Oh, jadi yang kukira kain popok itu adalah 

Bendera Darah! Pantas ganas amat!" Mahluk yang 

terbungkus bendera jadi marah dan juga kaget. Marah 

karena lagi-lagi Wiro menghina Bendera Darahnya. 

Terkejut karena tidak menyangka pemuda asing itu juga 

mampu menggunakan suara perut malah meniru suara 

kambing!

"Dengar .... Sebelum kubunuh katakan dulu dari 

mana kau belajar bicara dengan suara perut itu?!” 

"Eh, perlu apa kau bertanya? Aku mau belajar 

dari hantu atau jin atau dari siapa saia apa urusanmu?!" 

"Hemmm begitu ...... Berarti kau mempercepat 

saat kematianmul" Mahluk bendera gerakkan kedua 

tangannya. 

"Tunggu dulu!" seru Pendekar 212. 

"Katakan mengapa kau ingin membunuhkul" 

"Sekedar untuk menebus nyawa Nenek Arashi 

yang kau bunuh beberapa waktu lalu ..." Wiro terkejut. 

”Apa hubunganmu dengan nenek jahat itu?l" 

tanya Wiro. 

"Kau bisa tanyakan sendiri padanya nanti di 

akhirat ltupun kalau kau bisa ketemu dia...!" Orang itu 

menjawab lalu tertawa keras. 

Dua tangannya bergerak. Terdengar suara settt.... 

settt.... Empat kali berturut-turut. Wiro hampir tak melihat 

kapan orang itu mencabut bendera-bendera kecil di 

tubuhnya tahu-tahu empat Bendera Darah melesat ke 

arahnya! 

Murid Eyang Sinto Gendeng berseru keras. Tu-

buhnya berkelebat lenyap. Bersamaan dengan itu dia 

menghantam ke depan dengan tangan kiri. Lepaskan 

pukulan "kunyuk melempar buah." Dua buah Bendera 

Darah mental dan robek lalu menancap di tanah. Dua 

lainnya terus meluncur mengejar ke arah mana perginya 

sasaran.

Wiro kertakkan gerahamnya ketika melihat dua 

Bendera Darah secara luar biasa mampu mengejar dan 

menyambar ke arah perut dan dadanya. 

Trang .... bang .... ! 

Terdengar dua kali suara berdentrangan. Dua kali 

berturut-turut bunga api memancar terang dalam 

kegelapan malam. 

Lalu wusss .... wusssl 

Dua Bendera Darah terbakar di udara. Begitu 

punah dua batang besi kecil yang jadi tiang bendera 

luruh ke tanah. Sekali ini tak mampu menancap seperti 

sebelumnya! 

Mahluk kendera terkesiap kaget. Dua matanya 

memandang tak berkesip ke arah tangan kanan Wiro 

dimana tergenggam batu hitam empat persegi panjang 

pasangan Kagsak Maut Naga Geni 212. Dengan benda 

inilah rupanya tadi Wiro menangkis serangan dua dari 

empat Bendera Darah. Wiro sendiri tidak menyangka 

kalau batu api itu bukan saja sanggup menangkis 

serangan Bendera Darah tapi waktu bentrokan tadi 

sekaligus membakar kain bendera! 

”Batu itu. .. ” Manusia bendera membatin. 

"Lalu kapaknya tadi ... Aku harus mendapatkan 

nya! Musti!" 

"Gaijn....Aku mungkin bisa melupakan pembunuh-

an atas diri Nenek Arashi yang kau lakukan lalu mem-

bebaskanmu dari kematian. Asal kau menerima syarat 

yang bakal aku katakan ..." Wiro menyeringai.

"Setan alas ini rupanya punya rencana tersem-

bunyi ..." katanya dalam hati. Lalu, 

"Tadinya aku memang sudah siap-siap mengha-

dapi kematian. Sekarang kau bilang mau membebaskan 

diriku. Coba katakan apa syaratmu itu ..." 

"Serahkan batu hitam itu. Juga senjata berbentuk 

kapak yang kau simpan di balik pakaian..." 

Wiro sesaat jadi melongo. Lalu dia tertawa gelak-

gelak. 

"Aku merasa tidak ada yang lucu. Mengapa harus 

tertawa segala? Kau harus bersyukur tak jadi kubunuh!" 

Wiro tersenyum lalu berkata. 

"Memang tidak ada yang lucu. Tadinya kau kukira 

seorang penjua! bendera. Ternyata kau adalah seorang 

perampok tengik yang ingin barang orang lainl" 

"Kau memutuskan untuk tidak mau menyerahkan 

dua barang yang kuminta itu?" nada suara manusia 

bendera mengandung ancaman. 

"Kira-kira begitu ..." jawab Wiro seenaknya. 

"Berarti kematian sudah diambang pintu. Kasihan, 

datang dari jauh hanya untuk mengantar nyarwa. 

Mayatmu pun tak akan ada yang mengurus!” 

"Kalau kau kira aku memang akan mati ditangan-

mu, apakah kau hendak titip salam buat Nenek Arashi di 

akhirat?!" ejek Wiro pula. 

Manusia bendera berteriak marah. Tubuhnya ber-

kelebat. Tangannya kiri kanan beqerak. Sepuluh ben-

dera yang menempel di tubuhnya berkelebat. Wiro tak

tinggal diam. Batu hlam dibabatkan ke depan sedang 

tangan kiri lepaskan dua pukulan sakit berturut-turut. 

Bummmm! 

Bummmm! 

Manusia bendera tampak terhuyung-huyung tapi 

hanya sebentar. Belasan bendera yang menempel 

menutupi badannya tersibak akibat pukulan Wiro tadi 

cepat-cepat dirapikannya. Memandang ke depan empat 

buah Bendera Darah dilihatnya musnah terbabakar. Dua 

menancap di pohon, dua lenyap dalam kegelapan 

malam tapi dua buah lagi walau tidak tepat berhasil 

menancap di tubuh lawannya! 

Wiro menyeringai kesakitan. Sebuah Bendera 

Darah menancap menyisi pinggiran paha kirinya. Darah 

mengucur membasahi kaki celana putih yang dikenakan-

nya. Bendera Darah ke dua menyambar rusuk kanan, 

menyusup dekat tulang iga sebelah luar!. 

"Aku masih mau memberi kesempatan agar kau 

berubah pikiranl Bagaimana?l" Mahluk bendera berkata. 

"Mahluk edan! Biar aku kembalikan dulu dua 

benderamu ini!" jawab Wiro. Dengan cepat dia cabut dua 

bendera yang menancap di tubuhnya. Namun sebelum 

dia sempat melemparkan senjata itu ke arah pemiliknya 

tiba-tiba manusia bendera gerakkan badannya. 

 Terjadilah hal yang luar biasa. Tiga puluh 

Bendera Darah yang menempel di badannya melesat. 

Dengan mengeluarkan suara menderu laksana topan 

menggidikkan bendera-bendera itu menyambar ke arah 

Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Celaka! Aku tak punya kesempatan mengelak 

atau menangkisl" Wiro terpaksa Iepaskan dua bendera 

yang dipegangnya lalu pergunakan batu api untuk 

menangkis sebisanya. Gerakannya untuk mencabut 

Kapak Maut Naga Geni 212 tidak dapat tidak tetap akan 

kedahuluan oleh serangan tiga puluh Bendera Darah 

yang menyerbu laksana topan itu! 

"Ah, aku benar-benar mati di tangannya!" kata Wiro. 

Dia masih berusaha jatuhkan diri walau sadar hal 

ini adalah sia-sia saja sementara puluhan Bendera 

Darah menderu ganas. 

Tiba-tiba satu teriakan keras menggema dari arah 

sungai kecil. 

"Yori! Jangan bunuh dia!" Mahluk bendera tersen-

tak kaget. 

Saal itu di pertengahan sungai kelihatan seorang 

gadis berkimono biru berdiri di atas sebuah perahu kecil 

yang meluncur dengan cepat. Sebelum ujung perahu 

menyentuh pinggiran sungai gadis ini sudah melesat 

sambil cabut sebilah katana dan siap menyerbu kirimkan 

tangkisan untuk membendung serangan puluhan 

Bendera Darah walau dia maklum bahwa tidak seluruh-

nya bendera-bendera maut itu bisa diruntuhkannya. 

Paling tidak sebagian besar masih akan menancap di 

tubuh Wiro. 

"Ah dia ...l" kata mahluk bendera dalam hati. 

Kedua matanya bersinar seperti mau marah. Namun 

tiba-tiba saja dia menyentakkan kepala dan

melambaikan kedua tangannya ke belakang seraya 

berseru. "Bendera kembali!" 

Terjadilah hal yang luar biasa. Puluhan Bendera 

Darah yang menyerbu ke arah Wiro tiba-tiba tegak dan 

berkibar. Lalu secara aneh bendera-bendera ini ber 

putar. Seolah-olah ditarik oleh kekuatan besi berani yang 

hebat, semua bendera melesat berbalik dan menyusup 

di antara puluhan bendera yang menempel di tubuh 

manusia bendera. 

Gadis yang melompat dari atas perahu me-

nginjakkan ke dua kakinya di tanah. Di saat yang sama 

manusia bendera membungkuk dalam-dalam sampai 

tiga kali lalu putar tubuhnya. 

"Yori! Tunggu!" seru si gadis berkimono biru 

sambil berusaha mengejar. 

Tapi si manusia bendera itu sudah lenyap di telan 

kegelapan malam. 

Wiro menarik nafas lega dan berpaling ke kiri. 

"Sahabatku nona Akiko Bessho. Syukur kau 

datang ... !” 

"Kau tak apa-apa?" tanya gadis kimono biru 

sambil matanya meneliti sekujur tubuh Pendekar 212. 

"Ah, kau terluka di tiga tempat. Bahu, paha, dan 

rusuk ...." Besi bendera itu tidak beracun. Tapi lukamu 

cepat harus dirawat. Lewat dari tiga hari luka itu akan 

membusuk ..." 

"Dan aku bisa mati ...?”

Si gadis menggeleng. "Mati ya tidak. Cuma kau 

mungkin akan catat seumur hidup. Salah satu tangan 

atau kakimu bisa-bisa lumpuh ...." 

"Bendera-bendera merah kurang ajar. Kau tadi 

kudengar menyebut nama mahluk aneh itu. Dia manusia 

atau apa ... ? Lelaki atau perempuan ....?" 

"Maafkan aku. Aku tak bisa menerangkan siapa - 

dirinya ... !” 

"Jadi kau sebenarnya kenal Siapa dia adanya?" 

tanya Wiro. 

"Lupakan dia, Yang jelas kau selamat Aku senang 

bisa bertemu kau di sini ...." 

"Aku juga ... Tapi aku merasa aneh. Kita ber-

sahabat. Dan kau ternyata kurang percaya padaku. Tak 

mau menceritakan siapa adanya manusia aneh tadi. 

Lalu kulihat dia seperti takut padamu dan cepat-cepat 

berkelebat pergi ... ." 

"Sudahlah, lupakan saja mahluk yang kau anggap 

aneh itu," kata Akiko Bessho. Lalu dari sebuah kantong 

kain yang dikeluarkannya dari balik bajunya Akiko 

Bessho mengambil sebutir obat berwarna merah dan 

diberikannya pada Wiro. 

"Lekas telan. Lukamu pasti sembuh dalam tempo 

satu hari ...." Wiro memasukkan obat itu ke dalam 

mulutnya. Mendadak saja dia seperti mau muntah. Obat 

yang dimulutnya hampir melompat keluar. 

 "Tolol! Kau seperti anak kecil saja! Jangan 

dihisap. Itu bulan gula-gula! Langsung telan!" 

"Obat apa ini! Sepahit tahi setanl" teriak Wiro.

"Ngacokl Apa kau sudah pernah makan kotoran 

setan?!" ujar Akiko pula menahan tawa. Wiro cepat telan 

obat dalam mulutnya. Begitu obat pahit lewat diteng-

gorokannya dia menarik nafas lega. 

"Terima kasih Akiko," kata Wiro. 

"Coba ceritakan bagaimana kau berada di tempat 

ini. Bukankah kita janji bertemu bulan purnama di muka 

di desa Kitano di . . kaki gunung Mitaka? Kau sengaja 

mencariku. Kangen atau bagaimana ....?" Kata-kata 

Pendekar 212 itu membuat wajah Akiko Bessho menjadi 

bersemu merah. Wiro tertawa lebar dia menarik tangan 

Akiko mengajaknya duduk dekat perapian. 

"Aku dalam perjalanan ke Kioto. Seorang sahabat 

mendiang Sensei meninggal dunia. Kematiannya tidak 

wajar. Dibunuh oleh ninja...:” 

"Ninja..."desis Wiro. 

"Aku tidak mengerti bagaimana ada manusia atau 

kelompok manusia seperti mereka. Melakukan apa saja 

demi uang! Bahkan membunuh bayi sekalipun mereka 

tegal" 

”Mereka memang ganas dan kejam. Lebih kejam 

dari orang-orang Lembah Hozu yang pernah kita. hadapi 

dulu ....” 

"Heran, mengapa Kaisarmu tidak menumpas 

mereka” 

"Sulit. Karena orang-orang atau pejabat-pejabat 

tinggi sendiri banyak mempergunakan tenaga mereka. 

Para samurai tak sanggup menumpas mereka. Selain 

kepandaian pendekar samurai jauh dibawah para ninja,

juga adanya pejabat-pejabat tinggi tadi yang tetap 

menginginkan adanya ninja baik untuk kepentingan 

usaha dagang mereka, jabatan maupun keamanan." 

"Sebetulnya akupun tadi dalam perjalanan menuju 

Kioto ...." kata Wiro pula. 

"Kalau kau memang mau pergi sama-sama, tentu 

saja aku tidak keberatan. Tapi ada syarat! Jangan men-

cari perkara dan berbuat yang aneh-aneh. Aku ke sana 

untuk melayat, bukan untuk bersenang- senang ...." Wiro 

tersenyum. Sambil garuk kepala dia menjawab. 

"Bagiku, bisa pergi sama-sama tidak merupakan 

kesenangan tersendiri..!' 

"KaIau begitu ayo kita berangkat sekarang. Kioto 

masih cukup jauh dan kita harus jalan kaki ...” 

"Bagaimana dengan ilmu pukulan matahari. Kau 

masih terus melatih diri?" tanya Wiro. 

Akiko Bessho mengangguk. "Daya hantamku jauh 

lebih besar. Aku berterima kasih kau telah mengajarkan 

ilmu pukulan sakti itu. Lalu bagaimana dengan ilmu 

bicara dari Perut yang aku ajarkan padamu. Kau sudah 

bisa? 

"Wah, aku harus banyak berlatih. Kadang-kadang 

Yang keluar bukan suara manusia tapi suara bina-

tang..." jawab Wiro hingga Akiko Bessho tertawa geli. 

"Sahabat gurumu yang dibunuh ninja itu, siapakah 

dia? ” tanya Wiro sambil melangkah cepat di sa Akiko. 

"Namanya Noboru Kasai. Ketua Perguruan silat 

Emerarudo” jawab Akiko sambil lebih mempercepat 

jalannya (siapa adanya gadis Jepang bernama Akiko

Besso ini harap baca Serial Wiro Sableng bejudul 

"Pendekar Gunung Fuji"). 

* * *

LIMA 

Di dalam ruangan itu berkumpul para pucuk 

pimpinan Perguruan Emerarudo. Hisao Matsunaga 

duduk bersebelahan dengan Shigero Momochi. Di 

hadapan mereka duduk empat orang tua-tua Perguruan 

mengapit seorang anak lelaki berusia 14 tahun. Anak ini 

adalah Akira, putera tunggal mendiang Ketua Noboru 

Kasai. 

Keheningan menggantung beberapa lamanya. 

Hisao Matsunaga mengusap dadanya beberapa kali lalu 

terdengar dia batuk-batuk. 

"Wakil Ketua, kau agak kurang sehat rupanya ... ? 

tanya seorang tua sesepuh Perguruan yang duduk di 

hadapan Hisao. 

"Mungkin masuk angin. Sehabis berjalan jauh ke 

Kioto dua hari lalu ..." jawab Hisao Matsunaga sambil me 

ngusap dadanya lalu menarik nafas panjang. Dia melirik 

pada Shigero Momochi yang duduk seperti terkantuk-

kantuk di sampingnya. "Orang ini pasti habis meneguk 

minuman keras lagi ..." kata Hisao dalam hati. Lalu dia 

memandang pada Akira Kasai sesaat dan berkata. 

"Akira-san ...Kami sengaja mengikut sertakan kau 

dalam pembicaraan penting ini karena sebagai putera 

mendiang Ketua Perguruan kami menganggap kau 

harus tahu akan segala pembicaraan maupun rencana 

Perguruan ..." 

Akira Kasai membungkuk dalam dalam lalu 

menjawab. 

"Saya berterima kasih atas kehormatan ini!” 

"Seperti kita ketahui dua hari dari sekarang 

jenazah Ketua Noboru Kasai akan diperabukan," kata 

Hisao meneruskan ucapannya tadi. 

"Sesuai ketentuan Perguruan, sebelum hal itu di-

lakukan sudah harus ditentukan dan diumumkan siapa 

pengganti beliau yang akan menjabat sebagal Ketua 

Perguruan. Sejak puluhan tahun silam sudah ada 

ketentuan bahwa seorang Ketua membuat semacam 

surat warisan di dalam mana dia menyebutkan siapa 

penggantinya jika karena satu dan lain hal dia tidak lagi 

bisa memegang jabatan sebagal Ketua. Apapun isi surat 

warisan itu atau siapapun yang ditunjuk menjadi 

penggantl tidak ada seorangpun yang boleh membantah. 

Semua harus tunduk dengan isi surat warisan. Aku dan 

Shigero Momochi sudah memeriksa di semua tempat 

termasuk Ruangan Rahasia Perguruan dan kamar 

pribadi mendiang Ketua. Namun surat itu tak ditemukan. 

Kita semua tahu, malam itu tiga orang ninja menyerbu ke 

sini. Mereka bukan saja berniat membunuh Ketua tapi 

dari penyelidikan ternyata mereka juga mencurl surat 

penting itu. Walau yang dua terbunuh, satu-satunya

yang melarikan dirl agaknya telah berhasil mencuri dan 

melarikan surat itu. Waktu kita hanya sedikit Kurang dari 

dua hari. Dalam waktu yang sangat singkat itu kita harus 

menemukan surat itu. ..!” 

Shigem Momochi yang duduk seperti terkantuk-

kantuk dikejutkan oleh pertanyaan Hisao Matsunaga. 

"Shigero, apakah sudah ada kabar dari orang-

orang kita yang kau suruh menghubungi para Ketua 

Ninja ....?!” Shigero Momochi usap mukanya. 

"Maafkan, aku kurang mendengar pertanyaanmu 

tadi Hisao ..." 

"Kau kelihatan sakit atau mengantuk Shigero? 

Tanya Hisao berusaha menahan jengkelnya. 

"Dalam urusan penting begini rupa bagaimana 

mungkin dia tidak acuh dan malah mengantuk?!" 

Seorang tua sesepuh Perguruan membuka mulut. 

"Wakil Ketua Hisao Matsunaga tadi menanyakan 

apa sudah ada kabar dari orang-orang yang disuruh 

untuk menghubungi para Ketua Ninja .... ?" 

"Oh itu. .." Shigero usap lagi mukanya. 

"Belum ....belum" katanya sambil menggeleng. 

"Mereka belum kembali. ..." 

Hisao Matsunaga menarik nafas dalam. 

"Kalau sampai saat terakhir jenazah diperabukan 

surat itu belum ditemukan dan Perguruan belum me-

ngangkat Ketua yang baru, apa yang harus kita 

lakukan?" 

Salah seorang tua yang duduk di sebelah Akira 

Kasai membungkuk lalu menjawab. "Menurut aturan,

walau ini tidak pernah terjadi sebelumnya, jabatan Ketua 

sementara dipegang oleh istri atau putra mendiang 

Ketua. Karena mendiang Ketua tidak punya istri maka 

jabatan itu dipercayakan pada puteranya ... !” Semua 

mata ditujukan pada Akira Kasai. 

"Aku tidak pernah melihat aturan itu secara 

tertulis," tiba-tiba Shigero Momochi membuka mulut. 

"Dan aku merasa aturan itu tidak benar. Per-

guruan bukan Kerajaan dimana tahta atau pucuk pim-

pinan diserahkan pada seorang putera jika sang raja 

meninggal. Aku lebih suka jika tanggung jawab Per-

guruan untuk sementara berada di tangan kelompok 

pimpinan ..." 

Sesaat keadaan di tempat itu menjadi hening. 

Tiba-tiba Akira Kasai membungkuk. 

"Akira-san, kau hendak mengatakan sesuatu'" 

tanya Hisao Matsunaga. 

"Kalau diperkenankan paman Wakil Ketua..." 

jawab anak lelaki itu. 

"Kedudukanmu sama dengan kami. Jadi kau 

berhak bicara," kata Hisao Matsunaga sambil senyum. 

"Kau tak usah malu apalagi merasa takut. 

Bicaralah ...." 

Setelah membungkuk sekali lagi maka anak 

itupun mulai bicara. 

"Maafkan saya karena baru saat ini me-

nyampaikan apa yang saya ketahui.... ini menyangkut 

surat warisan atau surat penunjukan siapa yang jadi

pengganti mendiang Ayah. Surat itu ada di Puri Sanzen. 

Disimpan oleh seorang pendeta bernama Komo. .." 

Semua orang yang ada di situ tentu saja jadi ter-

kejut karena tidak menyangka akan mendengar ke-

terangan itu dari mulut Akira Kasai. 

"Akira san ..." kata Shigero Momochi dengan 

nada penasaran. "Kenapa baru sekarang kau bilang? 

Padahal kau tahu kita semua sudah kelabakan mencari 

surat itul" 

"Harap maafkan. Saya tak berani bicara karena 

takut kesalahan dan para orang tua di sini menganggap 

diri saya lancang ... ." Hampir saja Shigero Momochi 

hendak mendamprat anak itu. Tapi Hisao Matsunaga 

cepat berkata. 

"Bagaimana ceritanya surat itu berada di tangan 

pendeta Komo dan bagaimana kau mengetahui hal itu 

Akira-san?” 

"Sekitar satu bulan lalu Ayah sendiri yang 

menyuruh saya mengantarkan surat itu ke Puri Sanzen 

dan menyerahkannya pada pendeta Komo. Agaknya 

Ayah seperti sudah punya firasat ada sesuatu yang 

bakal terjadi atas dirinya. Menurut pesan Ayah pada 

pendeta Komo, surat itu hanya saya yang bisa 

mengambil lalu menyerahkannya pada para Wakil ketua 

Perguruan ..." Shigero Momochi menggelengkan kepala. 

"Sepertinya mendiang Ketua tidak percaya pada 

kita semua ... Aku merasa malu diperlakukan seperti 

itu..." Hisao Matsunaga batuk beberapa kali sambil usap

usap dadanya. Dia berkata untuk mendinginkan sua 

sana. 

"Aku rasa mendiang Ketua melakukan hal itu 

tentu ada sebabnya. Buktinya, kalau dia tidak berbuat 

begitu surat penting tersebut pasti sudah jatuh ketangan 

ninjal" Walau wajahnya masih menunjukkan ketidak 

senangan tapi Shigero Momochi diam saja. 

"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?" 

tanya salah seorang tua. 

"Aku dan beberapa murid Perguruan akan 

mengantar putera mendiang ketua ke Puri Sanzen. Puri 

itu cukup jauh dari sini. Jika berangkat malam ini dan 

berhenti istirahat di beberapa tempat, baru besok petang 

akan kembali. Mengingat pulera Ketua tak bisa 

menunggang kuda maka delapan orang akan bergantian 

menandunya. Akira-san kau lekas bersiap-siap. Aku 

akan mengatur segala sesuatunya,.." 

Hisao Matsunaga segera berdiri. Sebelum me-

langkah ke pintu dia berpaling pada Shigero Momochi. 

"Shigero, selama kami pergi semua hal di 

perguruan menjadi tanggung jawabmu. Yang lain-lain 

supaya membantu termasuk menyambut para tamu 

yang datang melayat." Shigero Momochi diam saja. 

Agaknya dia tidak suka akan ucapan Hisao tadi yang 

seolah-olah memerintah dan membuat dia berada dalam 

kedudukan lebih rendah. 

AKlRA Kasai memandang pada tandu yang 

sebentar lagi akan membawanya ke Puri Sanzen. Saat 

itulah seorang anak lelaki seusia Akira dan sama-sama

mengenakan kimono warna merah melangkah men-

dekati Akira dan menegur. 

"Akira, ku dengar kau mau berangkat ke Puri 

Sanzen ..." Akira Kasai berpaling. Dia tertawa lebar 

ketika melihat siapa dihadapannya. Keno teman sebaya 

dan sepermainan. 

"Betul Keno, aku harus pergi ..." 

"Malam-malam begini? Aku kawatir ..." 

"Aku ditemani paman Wakil Ketua Hisao 

Matsunaga. Apa yang harus dikawatirkan?Wjar Akira 

pula. 

"Akira, aku mimpi buruk. Kau jatuh ke dalam ju-

rang yang dasarnya penuh dengan batu-batu merah 

membara. Aku takut akan terjadi apa-apa dengan dirimu 

dalam perjalanan..!” Akira Kasai tersenyum dan pegang 

bahu temannya itu. 

"Kau sahabat yang baik. Aku pergi cuma 

sebentar. Besok juga sudah kembali ... Doakan saja 

supaya aku selamat pergi dan kembali!” 

"Bagaimana kalau aku ikut bersamamu?” tanya 

Keno. 

"Tentu saja aku suka. Tapi paman Wakil Ketua 

belum tentu mau mengizinkan," jawab Akira. 

"Kalau begitu sebelum ada yang melihat biar aku 

sembunyi duluan dalam tandu ..." 

"Heh! Kau benar-benar konyol Keno ...." 

"Konyol atau apapun katamu pokoknya aku harus 

ikut!""Kalau kau memaksa terserah saja. Lekas masuk 

ke dalam tandu,..!” kata Akira sambil memandang 

berkeliling takut ada yang melihat. 

* * *

ENAM 

SEBETULNYA Puri Sanzen terletak tidak 

terlalu jauh dari bukit dimana Perguruan Emerarudo 

berada. Hanya saja jalan menuju ke Puri itu sangat sulit, 

buruk dan berbatu-batu. Disamping itu pendakian dan 

penurunan datang silih berganti hingga rombongan yang 

dipimpin oleh Hisao Matsunaga tidak bisa bergerak 

cepat. 

Menjelang dinihari ketika rombongan bergerak 

perlahan dan tertatih-tatih melewati sebuah pendakian 

curam, dari puncak pendakian tiba-tiba muncul tujuh 

sosok hitam. 

"Shinobi!" kata Hisao Matsunaga dengan suara 

bergetar. 

"Ninja!" teriak beberapa orang anggota rombo-

ngan hampir berbarengan. 

"Eh, apa yang terjadi ...?" ujar Akira Kasai di 

dalam tandu ketika merasakan tandu yang diusung oleh 

empat orang anak murid Perguruan tiba-tiba diturunkan 

ke tanah. Lalu mendadak pula terdengar suara 

beradunya pedang. 

Keno yang berbaring di lantai cepat berdiri dan 

enyingkap tabir penutup jendela kecil di dinding tandu. 

Dia mengintai keluar. Suaranya bergetar ketika berpaling 

pada Akira dan berkata. 

"Rombongan kita diserang ninja, Jumlah mereka 

lebih dari lima. Kelihatannya Wakil Ketua dan anak murid 

Perguruan berada dalam keadaan terdesak ..." 

"Apa yang harus kita bkukan ....?" tanya Akira 

Kasai, Tangan kanannya meraba katana pendek yang 

tersisip di pinggang. Walau wajahnya tidak menunjukkan 

rasa takut tapi getaran suaranya cukup menjadi pertanda 

bahwa anak ini merasa sangat kawatir. 

"Mimpiku jadi kenyataan. Ninja-ninja hitam itu 

pasti mengincar dirimu ... !" 

"Mengincar diriku? Mengapa? Apa salahku ... ?' 

"Aku juga tidak tahu. Tapi aku merasa dirimu 

dalam bahaya Akira. Lekas kau menyelinap keluar. 

Segitu sampai di luar cepat lari ke Puri Sanzen ..." 

"Apa maksudmu? Apa yang hendak kau lakukan?l" 

tanya Akira. 

"Sudah. Waktu kita tidak banyak. Lekas pergi ..." k 

ata Keno. Lalu dipeluknya temannya itu erat-erat!. 

Akira balas memeluk sambil berkata. "Aneh kau ini 

Keno. Kau memelukku seperti kita akan berpisah dan 

tidak bertemu lagi ... !' 

"Lekas pergi .... Aku mendengar suara jeritn wakil 

Ketua ... Dia pasti terluka. Keadaan benar-benar sangat 

berbahaya! Larilah! Ambil jalan rahasia yang kita 

temukan waktu main-main di hutan dulu. Kau ingat?!"

Akira mengangguk dengan gerakan kaku. Keno 

menggeser pintu dorong tandu lalu menarik lengan 

kawannya. Putera mendiang Noboru Kasai ini mau tak 

mau akhirnya keluar juga dari dalam tandu itu. 

"Keno...?" ujar Akira. 

Tapi Keno sudah menutup pintu dari dalam tandu. 

Akira Kasai memandang berkeliling. Tempat dia berdiri 

berada dalam bayang-bayang gelap pohon besar hingga 

dirinya tersamar tidak kelihatan. Kuduknya merinding 

ketika melihat bagaimana murid-murid Perguruan 

Emerarudo bertahan mati-matian terhadap serangan 

yang dilancarkan oleh tujuh orang ninja. 

Seorang ninja berhasil dibunuh, satunya lagi 

tergeletak antara sadar dan pingsan. Namun seluruh 

rombongan orang-orang Perguruan Emerarudo sudah 

bergeletakan jadi mayat, kecuali Wakil Ketua Hisao 

Matsunaga.Orang ini tersungkur di tepi jalan, berusaha 

merangkak mencapai tandu. 

Akira memutar kepalanya ke arah tandu dimana 

Keno berada. Sepasang mata anak ini terbeliak besar. 

Pintu tandu berada dalam keadaan terbuka lebar. Dari 

tempat gelap dia berdiri anak ini dapat melihat sosok 

tubuh Keno. Matanya membeliak dan jantungnya seperti 

hendak copot ketika melihat bagaimana tubuh Keno 

tersandar di tempat duduk tandu. Sebilah katana 

menancap di dadanya! 

Kalau tak cepat dia menutup mulutnya sendiri 

mungkin anak ini sudah berteriak karena ngeri

"Keno... Mimpimu ...Ternyata kau yang mendapat 

celaka. Seharusnya .... seharusnya aku yang menemui 

ajal. Keno sahabatku ... Kini aku mengerti. Kau sengaja 

menyuruhku pergi. Kau memilih tetap berada dalam 

tandu. untuk menipu ninja-ninja jahat itu. Keno ...." Akira 

Kasai tak kuasa membendung air matanya. Di sebelah 

sana dilihatnya Wakil Ketua Perguruan Emerarudo 

merangkak di tanah terbatuk-batuk dan pegangi dada 

kirinya. Tiba-tiba empat orang ninja melompat 

mengurungnya. Masing-masing memegang ninjato 

berlumuran darah! 

"Ninja-ninja itu ... Mereka pasti membunuh Paman 

Hisao. Apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku 

menolongnya. Paman ..." 

Tiba-tiba terngiang di telinga Akira ucapan Keno. 

Mimpiku jadi kenyataan. Ninja-ninja hitam itu pasti 

mengincar dirimu...Aku merasa dirimu dalam bahaya 

Akira. Lekas menyelinap keluar. Begitu sampai di luar 

cepat lari ke Puri Sanzen.. 

"Ninja-ninja itu...apa mereka benar hendak 

membunuhku? Mengapa?!" Akira memperhatikan 

seorang ninja lagi berkelebat mengurung Hisao 

Matsunaga. 

"Aku merasa diriku seperti seorang pengecut! Aku 

ingin menolongmu Paman Hisao. Tapi apa dayaku. 

Maafkan aku Paman ...." Anak itu putar tubuhnya. 

Kraaakkk! 

Tak sengaja kaki kiri Akira menginjak sebatang 

kayu agak kering hingga mengeluarkan suara. Lima

ninja berpaling ke arah kegelapan. Juga Paman Hisao 

Matsunaga. 

Secepat kilat Akira melompat ke balik sebuah 

pohon besar lalu menghilang. Lima ninja berkelebat ke 

arah tandu lalu ke jurusan dimana tadi mereka 

mendengar suara berderak disertai berkelebatnya satu 

bayangan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hisao 

Matsunaga untuk bangkit dan naik ke punggung seekor 

kuda lalu menggebrak binatang ini meninggalkan tempat 

itu. Lima ninja saling pandang. 

Sesaat kemudian ke limanya serentak berkelebat 

ke arah lenyapnya Akira. HlSAO Matsunaga belum lama 

memacu kudanya ketika tiba-tiba dalam kegelapan 

malam dua penunggang kuda datang dari jurusan 

berlawanan. Karena jalan sempit dan Hisao Matsunaga 

agaknya tidak mau menghindar atau menepi maka dua 

penunggang kuda yang datang dari arah depan terpaksa 

bersibak dan menepi. 

"Orang itu menunggang kuda seperti dikejar 

setan!" ujar penunggang kuda di kiri jalan. Dia berpakai 

an dan berikat kepala putih serla berambut gondrong. 

Melirik ke kanan dia melihat sebuah jurang batu dalam 

kegelapan. 

"Gila, sempat kaki kudaku terperosok, amblas 

diriku ke dalam jurang itu!" 

"Wiro ..." 

"Ada apa Akiko? Kau kelihatannya seperti kaget."

"Penunggang kuda yang barusan lewat. Walau 

gelap tapi aku masih sempat melihat wajahnya. Dia 

Hisao Matsunaga ..." 

"Siapa manusia bernama naga itu?' tanya Wiro 

acuh saja. 

"Salah satu dari dua Wakil mendiang Noboru 

Kasai, Ketua Perguruan Emerarudo yang hendak kita 

layati ..." 

"Eh, kalau benar berarti ada urusan penting 

membuat dia meninggalkan perguruan ..." 

"Atau tengah dikejar sesuatu ..." kata Akiko pula. 

"Aku .... Harap kau tunggu disini. Aku coba 

mengejarnya untuk mencari tahu apa yang terjadi." 

"Terserah padamu. Tapi kau harus tahu menung-

gu di tempat seperti ini tidak sama sedapnya dengan 

menunggu di rumah teh, ditemani oleh geisha ..." 

"Aku tak bakal lama!" jawab Akiko lalu cepat 

memutar kudanya. Baru saja gadis itu lenyap Wiro 

mendadak mendengar suara orang berlari. Dia berpaling 

ke kiri. Tampak satu sosok kecil dalam kegelapan. 

Sosok ini menyibak serumpunan semak belukar di kiri 

jalan lalu lenyap dalam celah di antara dua buah batu 

besar. Pendekar 212 sesaat jadi tercengang. 

"Anak kecil dalam rimba belantara malam-malam 

begini. Eh, apa ada tuyul di Jepang ini ... ? Tapi kulihat 

kepalanya tidak botak. Atau mungkin tuyul Jepang 

memang pakai rambut tidak botak seperti di Jawa ..." 

Memikir sampai di situ Wiro turun dari kudanya dan

melangkah ke arah semak belukar di mana si anak tadi 

dilihatnya lenyap. 

Baru saja dia sampai di depan semak belukar 

tiba-tiba lima sosok hitam berkelebat. Dua tegak 

mendekam di depannya di atas batu besar di kiri kanan 

semak-semak tiga lainnya langsung mengurung di 

samping dan belakang. 

"Ninja!" 

Wiro angkat tangan kanannya sambil tertawa 

lebar untuk menunjukkan sikap bersahabat. Tapi lima 

ninja pentang sikap garang. Di samping itu mereka 

merasa heran tidak mengira akan menemukan seorang 

pemuda asing di tempat itu. Mereka bicara cepat satu 

sama lain. Lalu yang berada di atas batu sebelah kanan 

membentak. 

"Pemuda asing, dimana kau sembunyikan anak 

itu?!" 

"Anak, anak apa?balik bertanya Pendekar 212. 

"Anak lelaki pakai kimono merah!" kata ninja di 

samping kanan. 

"Maksudmu tuyul gondrong itu ... ? Lima ninja 

saling berpandangan. 

"Tuyul! Apa itu tuyul?!" Salah seorang dari mereka 

bertanya. 

"Ah, bagaimana ya aku menerangkannya," ujar 

Wiro pula sambil garuk-garuk kepala membuat lima ninja 

jadi tidak sabaran. Salah seorang dari mereka berbisik 

pada teman disebelahnya. Yang satu ini menyampaikan 

pada temannya yang lain.

"Pemuda asing ini mencurigakan. Dari pada jadi 

urusan di kemudian hari lebih baik dibereskan saja ..." 

"Setuju ...!” Lima ninja membuat gerakan menye-

rang. Tubuh mereka merunduk. Pedang ditukikkan ke 

bawah. Yang di atas batu melayang turun. 

"Eh, apa-apaan inil?!" Tadi bertanya sekarang 

malah menyerang!" seru Wiro. Lima katana mencuat ke 

udara. Murid Sinto gendeng berteriak keras dan cepat 

berkelebat hindarkan serangan. Tapi dua senjata lawan 

masih sempat menggurat punggung dan perutnya. 

Brettt! 

Breettt! 

Pakaian Pendekar 212 robek besar di dua tempat. 

Dia jadi keluarkan keringat dingin. Lima ninja putar 

senjata masing-masing dari bawah ke arah pinggang. 

Lalu untuk kedua kalinya mereka menyerang secara 

serentak. 

Traaangggg! 

Cahaya terang disertai suara menggaung mero-

bek Kegelapan malam, dibarangi oleh lima kali suara 

beradunya senjata dan percikan bunga api. Lima ninja 

keluarkan suara kaget dan mundur. Sepasang mata 

mereka memandang tak berkesip pada kapak bermata 

dua yang memancarkan sinar angker di tangan Wiro. 

Biasanya jika lebih dari tiga orang ninja menghan-

tam satu serangan mereka tak akan pernah luput. Tapi 

jika kali ini berlima mereka tidak bisa membunuh lawan 

dalam satu kejapan mata saja maka ini adalah hal yang 

sangat luar biasa. Mereka saling melempar isyarat lalu

mulai bergerak memutari Pendekar 212. Tiba-tiba tanpa 

bentakan ataupun aba-aba ke limanya menyerbu. 

Lima katana berkiblat ke arah murid Sinto 

Gendeng. Wiro salurkan tenaga dalamnya ke tangan 

kanan. Hawa sakti ini terus mengalir ke senjata yang 

dipegangnya. Dua mata kapak memancar sinar lebih 

terang. Ketika senjata itu diputarnya untuk menangkis 

lima serangan maut pedang ninja sinar panas 

menghampar. Suara yang keluar dari senjata mustika itu 

laksana gaungan ratusan tawon. Lima ninja berteriak 

keras saling memberi semangat. 

Tranggg! Trangggl 

Dua katana mental ke udara. Dua ninja terjeng-

kang ke tanah sambil pegangi tangannya yang terasa 

seperti memegang benda panas. Ninja ke tiga di 

samping kiri seperti kerbau melenguh sewaktu kaki kiri 

Wiro menghantam perutnya. Namun gerakan murid 

Sinto Gendeng hanya sampai di situ. Dari samping kiri 

ninja ke empat berhasil menyusupkan pedangnya ke 

arah pinggang. Wiro sempat melihat serangan yang bisa 

merobek perutnya ini. Cepat dia lepaskan satu pukulan 

tangan kosong. Ninja di samping kiri menjerit keras. 

Tubuhnya mencelat mental dan terbanting di tanah mati, 

muntah darah. Namun sebelumnya katananya masih 

sempat menggores paha Wiro hingga koyak dan darah 

mengucur deras. 

Selagi Wiro terhuyung-huyung menahan sakit. 

Dari samping kanan dan sebelah belakang dua ninja lagi 

datang menyerbu. Sambil jatuhkan diri Pendekar 212

putar Kapak Maut Naga Geni 212 untuk lindungi diri. 

Ternyata dua ninja lainnya yang tadi dihantam Wiro 

hingga pedang masing-masing mental saat itu telah 

bangkit berdiri dan ikut menyerbu. Keduanya bukan 

mempergunakan pedang tetapi menyerang dengan 

lemparan shuriken yaitu senjata rahasia berbentuk 

bintang terbuat dari besi! 

Putaran kapak sakti dalam jurus "dibalik gunung 

memukul halilintar' yang dilancarkan Wiro memang 

berhasil membabat putus tangan ninja di sebelah kanan 

namun dirinya sendiri untuk kedua kalinya terkena 

serangan lawan. Salah satu dari dua shuriken menancap 

tepat di lengan kanannya demikian kerasnya hingga 

Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas dari genggaman 

nya. Senjata ini jatuh di tanah berbatu-batu dengan sua-

ra berkerontangan. Di saat itu pula serangan baru 

datang dari kiri yaitu tusukan sebilah katana. 

Wiro yang terbaring di tanah cepat gulingkan diri. 

Karena tanah sekitar situ banyak batu-batunya maka 

gerakannya berguling tidak bisa cepat. Malah tanpa 

disadari dia berguling ke arah ninja yang tangannya 

dibikin buntung dan berleriak kesakitan kalang kabut. 

Penuh dendam dan amarah ninja ini tendangkan kaki 

kanannya ke dada Wiro. 

Dukkkkl 

Ujung runcing sebilah katana yang seharusnya 

menancap di perut Wiro mengantam batu. Tendangan 

ninja buntung tadi menyelamatkan nyawanya dari 

tusukan pedang itu. Namun ini bukan berarti dia benar

benar selamat karena tendangan ninja itu membuat 

tubuhnya mencelat ke arah jurang batu dan tak ampun 

lagi melayang jatuh ke dasar jurang dalam kegelapan 

malam Wiro berusaha berjungkir balik dan mencari 

pegangan dalam gelapnya malam. Tapi keadaan kaki 

dan tangannya yang terluka membuat dia tidak mampu 

mencari plan untuk selamat. Malah tubuhnya semakin 

deras jatuh ke dasar jurang. Siap disambut oleh batu 

batu keras yang berusia ratusan tahun. 

* * *

TUJUH 

KETlKA Akira sampai di Puri Sanzen rupanya 

sesuatu yang menggemparkan telah terjadi di tempat itu. 

Di sebuah ruangan pendeta Komo terbujur di atas 

sebuah pembaringan dikelilingi oleh belasan pendeta 

agama Zen. Begitu Akira masuk diantar oleh seorang 

pendeta muda semua yang ada di situ berpaling 

padanya. Serta merta semua mereka tunjukkan wajah 

kaget bahkan ada yang sampai keluarkan seruan 

tertahan. Seorang pendeta lanjut usia, diikuti oleh yang 

lain-lainnya cepat mendatangi. 

"Anak, aku mungkin saja lupa. Tapi bukankah kau 

yang bernama Akira, putera Noboru Kasai yang 

dikabarkan telah meninggal dunia itu...!' 

"Pendeta, kau benar. Saya memang Akira ..." 

jawab si anak lalu membungkuk memberi penghormatan 

pada pendeta yang menyapanya dan juga pada pendeta 

lain yang ada di ruangan itu. 

"Jadi ternyata kau masih hidupl" ujar seorang 

pendeta sambil mengusap rambut Akira. 

"Seseorang memberi tahu bahwa kau ikut jadi 

korban keganasan ninja." 

"Satu melapetaka besar menimpa rombongan 

kami. Hanya atas kekuasaan dan perlindungan Dewa 

saya bisa selamat ..." 

"Akira, aku Pendeta Kamashaki. Menjelang 

dinihari tadi tiga orang ninja menyusup ke tempat ini dan 

membunuh Pendeta Komo ..." Kagetnya Akira bukan 

kepalang. Dia berpaling ke arah pembaringan ditengah 

ruangan dan langsung saja lari. Dari noda-noda darah 

yang masih melekat di wajah dan leher pendeta ini Akira 

segera maklum bahwa sang pendeta menemui ajal 

memang karena dibunuh. Disamping jenazah pendeta 

Komo lama Akira menundukkan kepala dan berdoa 

untuk arwahnya. 

"Pendeta Kamashaki, siapa orangnya yang 

mengatakan bahwa saya telah jadi korban pembunuhan 

oleh ninja?' bertanya Akira Kasai sambil berpaling pada 

pendeta Kamashaki. 

"Hisao Matsunaga, Wakil Ketua Perguruan 

Emerarudo.." 

"Dewa Maha besar..” kata si anak pula. 

"Saya malah mengira dirinya juga telah dibunuh 

ninja. Rupanya beliau sempat melarikan diri dan datang 

ke sini lebih dulu dari saya. Dia tentu mengira saya telah 

jadi korban. Kami datang ke sini untuk mengambil surat 

penting yang dulu pernah saya titipkan pada pendeta 

Komo ..." 

"Surat itu telah kami serahkan pada Hisao 

Matsunaga. Setelah dia memberi tahu kau tewas di ta-

ngan ninja, kami merasa memang haknya untuk me

ngambil surat itu. Apakah kami telah melakukan 

kesalahan ...? tanya pendeta Kamashaki pula. 

"Sebetulnya surat itu hanya saya yang boleh 

mengambilnya. Tapi pendeta sama sekali tidak berbuat 

kekeliruan. Paman Hisao berhak mengambil surat itu 

karena tidak tahu kalau saya masih hidup. Kalau begitu 

saya minta diri, mohon kembali ke perguruan sekarang 

juga..." 

"Anak, kau tentu sangat capai. Di samping itu apa 

yang terjadi tentu telah membuat jiwamu tergoncang. 

Kau perlu istirahat dulu di sini beberapa waktu lamanya." 

"Terima kasih pendeta. Tapi jika kau tidak kebera-

tan saya memilih cepat-cepat kembali ..." 

"Kalau kami boleh bertanya," ujar seorang pende-

ta pula. 

"Apa isi surat penting dalam amplop kuning itu?" 

"Surat pernyataan siapa yang akan menjadi pe-

waris jika Ayahanda berhalangan melanjutkan jabatan 

sebagai Ketua Perguruan ..." Pendeta Kamashaki 

memegang bahu Akira. 

"Anak," katanya. 

"Jika kau memang memilih pulang sekarang juga, 

kami tidak bisa menahan. Hanya sebelum pergi coba 

kau ceritakan apa yang telah terjadi di Perguruan 

"Malam kemarin perguruan kami diserbu ninja 

Ayah dibunuh..!” Akira lalu menceritakan apa yang ter-

jadi di Perguruan Emerarudo. 

"Besok jenazah Ayahanda akan diperabukan. 

Saya juga sedih sekali melihat bahwa pendeta Komo ikut

tewas di tangan ninja. Saya menduga keras ini ada 

sangkut pautnya dengan surat pewarisan itu. Dan saya 

merasa bersyukur paman Hisao telah mendapatkannya 

Mengenai sahabat saya Keno, karena puri Sanzen lebih 

dekat dari perguruan, apakah saya boleh minta tolong 

agar jenazah sahabat saya itu diurus ...?” 

"Kau tak usah kawatir. Kami akan mengurusnya 

dan menyerahkan sebagian abunya padamu ..." kata 

seorang pendeta muda. 

"Saya sangat berterima kasih," kata Akira lalu 

membungkuk dalam-dalam. Pendeta Kamashaki kemu-

dian berkata. 

"Hanya beberapa saat setelah Wakil Ketua Hisao 

Matsunaga menerima surat itu, di puri datang seorang 

gadis bernama Akiko Bessho. Kau kenal padanya? ” 

"Saya berusia sepuluh tahun ketika Ayah mem 

perkenalkannya pada saya. Kalau tidak salah dia ada-

lah anak murid seorang pandai yang diam di Gunung 

Fuji .. ” 

"Gadis itu melihat Wakil Ketua Perguruan di per 

jalanan lalu mengikuti sampai ke puri. Karena dia 

memang dalam perjalanan menuju Perguruan untuk 

melayat maka Akiko Bessho meninggalkan tempat ini 

bersama-sama wakil Ketua Perguruan ..." 

"Pendeta Kamashaki, saya berterima kasih kau 

dan para pendeta di sini telah banyak membantu. Saya 

minta diri sekarang ..."

"Dua orang pendeta akan mengantarkanmu. 

Sekaligus sebagai wakil kami untuk melayat dan 

menghadiri upacara perabuan..." 

Akira Kasai membungkuk lalu dia memegang 

tangan pendeta Komo yang telah dingin itu. Setelah 

membungkuk sekali lagi, diantar oleh dua orang pendeta 

anak ini keluar dari ruangan itu. 

* * * 

MUNCULNYA Akira Kasai malam itu diantar oleh 

dua pendeta Zen dari puri Sanzen membuat geger tapi 

juga. menggembirakan semua orang yang ada di 

Perguruan Emerarudo. Betapakan tidak. Semula, sesuai 

keterangan Wakil Ketua Hisao Matsunaga anak itu ikut 

jadi korban penyerangan ninja. Satu rombongan khusus 

telah pula dikirim untuk mengambil jenazahnya. Ternyata 

dia masih hidup. 

Hisao Matsunaga sampai berkaca-kaca kedua 

matanya dan memeluk erat-erat Akira Kasai. 

"Dewa Maha Besar. Kami semua mengira kau 

sudah tewas Akira. Aku sendiri sempat melihat mayatmu 

di dalam tandu walau cuma dari kejauhan. Lalu aku 

cepat-cepat menuju Puri Sanzen, kawatir kalau- kalau 

ninja menyerbu pula ke sana. Ternyata memang betul. 

Untung saja mereka tidak mendapatkan amplop kuning 

berisi surat warisan itu. Tetapi untuk itu pendeta Komo 

terpaksa mengorbankan nyawanya ..."

"Jadi benar rupanya mereka menginginkan surat 

warisan itu. Tapi untuk apa ...?" tanya Akira dengan 

suara perlahan. 

"Sekarang tak usah kawatir lagi. Surat itu sudah 

ada di tanganku. Sebentar lagi isinya akan dibacakan di 

depan semua pengurus dan anggota perguruan serta 

para tamu yang datang melayat. Sekarang kau perlu 

membersihkan diri dan istirahat sebentar. Masuklah ke 

kamarmu ..." 

Ketika Akira hendak menuju kamarnya, dua 

pendeta Zen segera mengikuti. Tapi ditegur oleh Shigero 

Momochi dengan nada kasar. Salah seorang pendeta 

membungkuk lalu menjawab. 

"Saya ditugasi oleh pendeta Kamashaki untuk 

menjaga dan mengawal anak itu ..." Marahlah Shigero 

Momochi mendengar kata-kata sang pendeta. Dengan 

suara lantang dia berkata. 

"Pendeta, kau dengar baik-baik ya! Anak itu 

berada di perguruan kami, di rumah sendiril Perlu apa 

dikawal dan dijaga? Ini tempat aman! Jangan meman-

dang rendah kami orang-orang Emerarudo. Tempat ini 

bukan Puri Sanzen dimana kalian bisa berlaku se-

maunya ..!' 

Paras dua pendeta Zen itu tampak menjadi 

merah. Yang satu menjawab. "Kami hanya menjalankan 

perintah pimpinan ..!' 

"Kalau menjalankan perintah pimpinan kalian 

cukup di puri kalian saja, bukan di sini! Kalian tidak 

punya hak dan kekuasaan apa-apa di tempat in?”

"Jika begitu harap maafkan kami ..." Hisao 

Matsunaga datang menghampiri. Sambil batuk-batuk 

dan mengusap dadanya dia berkata. 

"Dua sahabat dari Puri Sanzen dan Wakil Ketua 

Shigero Momochi, kita semua ini hanya keliru prasangka 

belaka. Setelah apa yang terjadi dengan rombongan kita 

di tengah perjalanan menuju Puri Sanzen, lalu ditambah 

dengan apa pula yang terjadi di puri sana, para sahabat 

pendeta Zen rupanya ingin ikut membantu menjaga 

keselamatan kita semua. Aku mewakili perguruan 

mengucapkan terima kasih. Namun dengan segala 

kerendahan hati kami meminta agar para pendeta yang 

adalah tamu-tamu kami terhormat, tidak perlu mencapai 

kan diri ikut berjaga-jaga." 

Dua pende!a Zen anggukkan kepala lalu mem-

bungkuk dan kembali ke tempat duduk yang disediakan. 

Hisao Matsunaga berpaling pada Akira dan memberi 

tanda agar anak itu melanjutkan langkah menuju kamar-

nya. Kemudian sambil memegang bahu Shigero 

Momochi dia berkata. 

"Dua pendeta itu memang berlaku bodoh. Tapi 

kita jangan ikut-ikutan bodoh. Semua persoalan bisa 

diselesaikan lebih baik kalau ditangani dengan sabar 

dan sikap sopan ..." 

"Aku orang pemabokan jadi mana bisa sabar dan 

sopanl" sahut Shigero Momochi seraya melangkah pergi. 

Hisao Matsunaga hanya bisa tersenyum lalu menghela 

nafas dalam sambil usap-usap dadanya. Menjelang 

tengah malam di hadapan para pengurus dan anggota

perguruan Emerarudo serta semua tamu yang hadir, 

seorang sesepuh perguruan membacakan isi surat 

warisan yang diterima Hisao Matsunaga dari pendeta 

Kamashaki di Puri Sanzen. Sesuai apa yang terlulis di 

surat pewarisan yang ditetapkan oleh almarhum Noboru 

Kasai sebagai Ketua pewaris adalah Hisao Matsunaga. 

Pengumuman ini diterima semua orang dengan 

perasaan lega dan gembira. Berarti besok upacara 

perabuan jenazah Noboru Kasai dapat dilaksanakan 

tanpa suatu halangan. 

Ketika pengurus tua perguruan hendak memasuk 

kan surat warisan itu ke dalam amplop kuning kembali 

Akira Kasai membuat gerakan seperli hendak berdiri dari 

tempat duduknya dan melangkah ke mimbar. Hisao 

Matsunaga yang duduk di sebelahnya cepat mendam-

pingi. 

"Akira-san, apakah ada sesuatu yang hendak kau 

sampaikan ... ? 

"Paman Hisao ada sesuatu yang tidak benar ..." 

"Ah, hal apakah yang tidak benar itu Akira?" 

"Saya tidak dapat memastikan sebelum melihat 

sendiri surat warisan yang barusan dibacakan itu ..." 

"Tentu saja kau boleh melihatnya. Aku akan 

meminta surat itu dari pengurus yang barusan 

membacanya. Begitu maumu ... ?" 

"Kalau Paman Hisao tidak keberatan ..." 

"Tentu saja aku tidali keberatan ..." jawab Hisao 

Matsunaga lalu menghampiri orang tua yang membaca 

kan surat warisan itu dan mengambil suratnya. Hisao

kembali pada Akira. Surat dalam amplop dikeluarkannya 

terus diserahkan pada Akira. 

"Silahkan dibaca sendiri Akira. Lalu tunjukkan 

padaku dimana kesalahannya ..." 

Akira Kasai membaca surat itu sampai dua kali 

dan menelitinya depan belakang. Dalam hati anak ini 

berkata. "Aku ingat betul. Waktu ayah memasukkan 

surat ini ke dalam amplop kuning, setetes dawat 

tertumpah di sudut kiri surat. Tapi di surat ini sama sekali 

tidak ada noda dawat itu..!' (dawat = tinta) 

"Akira-san, kau sudah membaca Surat itu ...?" 

"Sudah Paman Hisao ..." 

"Kau menemukan sesuatu ...? 

"Maafkan saya. Saya mungkin keliru. Mungkin 

bukan surat ini yang saya maksudkan ..." 

Hisao Matsunaga tersenyum. "Akira-san, kau 

mungkin masih terlalu capai. Besok akan ada upacara 

perabuan yang panjang. Sebaiknya kau masuk ke kamar 

tidur dan beristirahat." 

"Saya rasa memang begitu..!' kata Akira pula. 

Lalu cepat-cepat anak ini meninggalkan tempat itu, 

menuju ke kamarnya. 

Di dekat sebuah jambangan besar Akira Kasai 

hentikan langkahnya. Di situ dilihatnya tegak seorang 

gadis berpakaian serba biru berwajah cantik. Agaknya 

gadis ini berdiri di situ sengaja menunggu Akira. 

"Maafkan saya, bukankah saya berhadapan de-

ngan nona Akiko Bessho? berucap Akira begitu sampai

di hadapan si gadis. Lalu dia membungkuk memberi 

hormat. 

"Adik Akira, kau rupanya masih ingat diriku. Aku 

turut berduka atas meninggalnya Ayahmu ..." Akiko 

Bessho lalu membungkuk. 

"Terima kasih..: jawab Akira. Lalu dia terdiam. 

"Kau sepertl tengah memikirkan sesuatu atau 

ingin mengatakan sesuatu..?" 

Dalam hati Akira membatin. "Aku tidak tahu 

banyak tentang gadis ini. Tapi mungkinkah dia bisa 

dipercaya?" "Adik Akira,.kalau tak ada yang hendak kau 

katakan aku akan kembali ke tempat upacara ..." 

"Sebetulnya memang ada. Tapi di sini saya rasa 

tidak aman ... Temui saya setelah pembacaan doa 

kesembilan di samping gudang sebelah timur ..." 

"Saya akan menemuimu..!' Baru saja Akiko hen-

dak melangkah tiba-tiba dari empat penjuru kawasan 

perguruan terdengar dentangan lonceng. 

"ltu lonceng tanda bahaya!" kata Akira. Anak ini 

serta merta lari ke tempat. upacara sembahyang. Akiko 

Bessho mengikuti. Di pelataran besar di depan meja 

sembahyang mereka melihat empat orang ninja tegak 

dengan kaki terkembang. Masing-masing mencekal 

katana. Dua orang diantara mereka memanggul sesosok 

tubuh yang agaknya sudah lama kaku alias sudah jadi 

mayat! 

* * *

DELAPAN 

PENDEKAR 212 Wiro Sableng seolah merasa 

sudah putus nyawanya padahal saat itu tubuhnya masih 

melayang di udara dan yang pasti sesaat lagi baru akan 

menghantam dasar batu jurang sedalam hampir seratus 

kaki itu. Dalam kegelapan malam tiba-tiba entah dari 

mana datangnya puluhan benda berbentuk segitiga 

terbuat dari kain melesat ke arah Wiro. Kain segitiga ini 

tak bakal mampu melesat demikian derasnya kalau 

tidak dicanteli setangkai besi lancip. Sang pendekar 

tidak tahu apa yang terjadi atas dirinya. Dia hanya 

mendengar suara sett... settt banyak sekali. Lalu dalam 

gelapnya malam samar-samar dia melihat ada benda 

aneh berkelebat ke arah dirinya dan tahu-tahu sekujur 

pakaiannya sudah disisipi puluhan kain segitiga. 

Puluhan kain-kain yang menempel dipakaiannya 

itu membentang dan berkibar deras. Bersamaan dengan 

itu Wiro merasakan kecepatan jatuhnya berkurang 

Tubuhnya seperti melayang! Puluhan kain segitiga yang 

berkibar kencang seolah melawan arus menahan jatuh 

dirinya. Ketika dia akhirnya mencapai dasar jurang, 

tubuhnya memang masih terbanting sakit namun tak ada 

tulangnya yang patah, dan tak ada luka-luka dideritanya. 

Sesaat Wiro seolah tak percaya. kalau dia masih hidup. 

Perlahan-lahan dia mencoba duduk. Dua buah benda 

runcing menyengat pantatnya hingga pemuda ini tersen-

tak kesakitan. Dirabahnya bagian belakang tubuhnya, 

lalu dada dan perut. pakaiannya. Dua buah benda yang 

menempel di . pakaiannya dicabutnya. Dabm gelapnya 

dasar lubang perlahan-lahan matanya mulai mampu 

melihat dua benda yang barusan dicabutnya. 

"Bendera Darah!" seru Pendekar 212 hampir ter 

cekat. Dia memandang berkeliling. Dinding dan dasar 

jurang batu kelihatan menghitam. 

"Tak ada gerakan, tak ada suara. Apa benar-

benar tak ada manusia di sini?" Wiro menggosok kedua 

matanya, memandang berkeliling sekali lagi. 

"Dimana mahluk itu bersembunyi? Beberapa hari 

lalu dia inginkan jiwaku, sekarang mengapa dia 

menyelamatkan diriku? Aku harus keluar dari jurang 

celaka ini! Tapi agaknya harus menunggu sampai pagi. 

Sampai terang..!” 

Satu persatu Wiro cabut bendera segi tiga yang 

menyusup di sekujur pakaiannya sambil menghitung. 

"Enam puluh sembilan bendera! Gila! Bagaimana 

mahluk itu bisa melemparkan sebanyak itu dalam waktu 

begitu singkat?! Luar biasa! Kalau tadi dia ingin 

membunuhku pasti mudah saja baginya." Wiro garuk-

garuk kepalanya. 

"Walau sebelumnya dia ingin membunuhku tapi 

saat ini aku harus berterima kasih padanya!" Wiro lalu 

melompat ke atas sebuah batu besar. Dari tempat

ketinggian ini dia berputar, memandang kesetiap sudut 

jurang. Tetap saja dia tidak melihat apa-apa kecuali 

batu-batu menghitam. 

"Manusia bendera, jika kau tidak mau muncul tak 

jadi apa! Aku benar-benar berterima kasih atas 

pertolonganmu!" Wiro berseru. Dia jadi merinding ketika 

suara teriakannya itu menggema di dinding dan jurang 

batu lalu bergaung berulang-ulang. 

"Cukup sekali saja aku berteriak. Tak mau 

menjawab ya sudah. Terpaksa aku menunggu sampai 

pagi. Kalau tak ada jalan keluar dari dasar jurang berarti 

aku akan mati perlahan-lahan di tempat ini. Eh, jangan-

jangan manusia bendera itu sengaja hendak mem-

bunuhku dengan cara begini!" Wiro garuk-garuk kepala 

lagi lalu duduk di batu. 

Sesaat dia memperhatikan puluhan Bendera 

Darah yang bertebaran di depannya. Tiba-tiba dia 

merasa ada hembusan angin halus disampingnya. Dia 

berpaling. Tak ada apa-apa. Lalu ada bau harum masok 

ke penciumannya. Wiro ingat bau itu. 

"Pasti dia!" katanya dalam hati. Dia berpaling ke 

kiri, ke kanan. Lalu diputarnya tubuhnya ke belakang! 

Murid Shinto Gendeng ini hampir berseru kaget - ketika 

di hadapannya kini dalam kegelapan malam tegak 

mahluk itu. Dia melompat bangkit dengan cepat. 

Si manusia bendera! Seperti keadaannya yang 

dilihat Wiro tempo hari, mahluk ini sekujur tubuh mulai 

dari kaki sampai kepala tertutup ratusan bendera merah 

berbentuk segi tiga. Hanya sepasang matanya saja yang

tersembul. Berhadapan begitu dekat di atas batu Wiro 

melihat sepasang mata bening memandang sedingin 

salju tepat-tepat ke arahnya. 

Tanpa berani berlaku lengah Wiro tundukkan 

kepala dan berkata. "Tuan penolong, aku berterima 

kasih kau telah menyelamatkan jiwaku, kalau tidak mati 

konyol jatuh kedasar jurang batu ini!” 

Orang yang diajak bicara tidak menjawab. 

Wiro membungkuk. Puluhan bendera yang ber-

tebaran di batu diambilnya lalu diserahkannya pada 

mahluk di hadapannya. 

"Benderamu, ambillah. Sayang kalau dibuang 

begitu saja..!” 

Manusia bendera keluarkan tawa mengekeh. Dua 

tangannya bergerak mengambil enam puluh sembilan 

buah bendera. Dengan kecepatan luar biasa, entah 

bagaimana caranya semua bendera itu disisipkannya ke 

pakaiannya. Diam diam otak murid Sinto Gendeng 

bekerja. 

"Jika mahluk ini berada di dasar jurang berarti ada 

jalan keluar masuk tempat ini," pikirnya. Di hadapannya 

mahluk bendera masih tertawa. Dengan perasaan heran 

dan tidak enak Wiro bertanya. 

"Kau masih tertawa terus. Ada apakah...?" 

”Kau mengira aku telah menyelamatkan nyawa-

mu...? mahluk itu bertanya. 

"Dia masih saja mempergunakan suara dari perut. 

Sengaja menyembunyikan suaranya yang asli," mem-

batin Wiro. Lalu dia berkata.

"Kenyataannya memang begitu. Dengan bendera-

benderamu kau membuat aku tidak amblas jatuh ke 

dasar jurang inil" 

"Orang asing, aku sama sekali tidak menyelamat-

kan nyawamu. Aku hanya mengulur saat kematianmu!" 

Wiro melengak kaget mendengar kata-kata itu. 

"Apa maksudmu manusia bendera?" 

"Aku tidak ingin kau mati jatuh ke dalam jurang. 

Aku ingin membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri! 

Kau dengar?!" 

"Aku dengar, Kalau begitu mengapa tidak kau 

bunuh saja aku saat ini?!" tanya Wiro 

"Aku masih memandang seseorang ..." jawab 

manusia bendera sambil memandang ke jurusan lain. 

"Nona Akiko Bessho?" tanya Wiro pula. 

"Kau sudah tahu. Mengapa bertanya? 

"Punya hutang budi apa kau dengan gadis itu 

hingga tidak segera membunuhku hanya karena 

memandang dirinya?" 

"Urusanku dengan orang lain apa perdulimu?" 

jawab manusia bendera. 

"Pada pertemuan pertama kau bilang membunuh-

ku karena aku membunuh nenek Arashi. Perempuan 

sakti itu memang nenekmu sungguhan?" 

"Aku datang kemari bukan untuk ngobrol dengan-

mu. Tapi ada satu hal yang akan kukatakan. Kau telah 

membunuh seorang ninja dan membuat buntung tangan 

ninja lainnya. Berarti kau tak bisa lari dari kematian.

Ninja akan mengejarmu sampai akhirnya mereka 

berhasil membunuhmul" 

"Kalau begitu lebih enak mati di tangan ninja dari 

pada di tanganmu!" 

Manusia bendera melengak dan menatap tajam pada 

Wiro. Lalu kembali dia tertawa mengekeh. Sambil 

mendongak manusia bendera berkata. "Jangan harap 

kau bisa mati enak di tangan ninja. Mereka akan mem-

bunuhmu secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit..." 

Manusia bendera tertawa panjang. Begitu hentikan tawa-

nya dia berkata. 

"Aku akan meninggalkan tempat ini. Kau mau 

mengikutiku ...?" 

"Jika kau tidak menjebak dan benar-benar ingin 

aku keluar dari sini tentu saja aku ikut. Tapi kenapa kau 

menawarkan jasa baik lni ...?" 

"Bukankah kau lebih suka dan memilih mati di 

tangan ninja dari pada di tanganku Hik ... hik ... hik ..." 

Manusia bendera tertawa lagi lalu seperti tidak acuh dia 

melangkah tinggalkan tempat itu. Wio gelengkan kepala, 

akhirnya melangkah mengikuti. Tapi dari mulutnya keluar 

rintihan kesakitan. Dia haru sadar kalau paha kirinya 

luka besar dan di lengan kanan masih menancap senjata 

rahasia ninja berbentuk bintang. 

Manusia bendera berpaling. "Kau terluka?" 

Wiro kertakkan rahang. Dia menotok urat besar di 

lengan kanannya sebelum mencabut shuriken yang 

menancap di situ. Ketika senjata rahasia itu dicabut dia 

memang merasa sakit yang bukan kepalang. Tetapi tak

ada darah yang memancur. Dalam gelap Wiro tak dapat 

melihat keadaan lengannya hingga dia tak mengetahui 

apakah senjata rahasia itu beracun atau tidak. 

Manusia bendera memperhatikan luka di paha kiri 

Wiro. Lalu berkata. "Aku ada obat untuk mempertautkan 

daging yang koyak itu. Kau mau ...? 

"Kau mahluk aneh. Sebentar bicara acuh dan 

kejam. Sekarang malah berbaik hati mau mengobati 

diriku. Kalau kau memang rela masakan aku mau 

menolak. ..." 

Manusia bendera cabut sebuah bendera yang 

tersisip di bahu kanannya. Lalu dia membungkuk dan 

dekatkan ujung lancip bendera ke luka di paha kiri. 

"Astaga! Kau hendak menusuk lukaku!" seru Wiro 

sambil cepat mundur. 

"Orang asing, kau terlalu curiga ..." 

"Siapa yang tidak curiga pada orang yang hendak 

membunuhkul" jawab Wiro. 

"Di dalam besi runcing ini ada rongga berisi obat. 

Ujung lancip besi ada lobangnya. Jika kutiup pangkal 

besi bendera, obat akan keluar ..." 

"Kalau begitu lakukanlah. Tapi awas kalau kau 

menipuku!" kata Wiro. 

Ketika manusia bendera itu membungkuk dan 

meniupkan obat dalam besi bendera, Wiro dapat 

mencium bau bagian kepala orang ini yang sangat 

harum.

Sementara itu obat yang keluar dari besi bendera 

terasa sangat sejuk di pahanya yang luka hingga rasa 

sakit serta merta hilang. 

"Terima kasih. Kau menolongku untuk kesekian 

kalinya. Hidup ini sungguh aneh. Dibalik kebaikan ada 

hawa kematian. Di balik kematian ada kebaikan ..." 

Manusia bendera tak mau bicara lagi. Dia membalikkan 

badan dan siap melangkah. 

"Astagal" tiba-tiba Wiro berseru kaget. Dirabanya 

bagian tubuh sekitar pinggang. Apa yang dicarinya tidak 

ditemukan. Wajahnya menjadi sangat pucat. Manusia 

bendera tertawa. 

"Kau mencari senjata mustika kapak bermata dua 

itu... Ninja telah merampasnya sebelum kau jatuh 

terjungkal ke dalam jurang ini ..." 

"Aku ingat. Kau betul! Tapi bagaimana kau bisa 

tahu? Yang ditanya tak menyahut melainkan 

melanjutkan langkahnya yang barusan terhenti. Berjalan 

kira-kira dua ratus kaki ke timur kelihatan sebuah 

terowongan gelap. Manusia bendera masuk ke dalam 

terowongan batu ini. Tak lama kemudian sekeluarnya 

dari terowongan pendek itu Wiro dapatkan dirinya 

berada dalam rimba belantara. 

"Dari sini kau bisa cari jalan sendiri ..." Manusia 

bendera berkata lalu siap berkelebat pergi. 

"Tunggu dulu ... !" panggil Wiro. 

"Ada apa?!" 

"Nona Akiko Bessho memanggilmu dengan nama 

Yori. Apa betul itu namamu?"

"Kau bisa tanyakan sendiri padanya kalau 

bertemu nanti." 

"Aku mencium bau wewangian di tubuhmu. Hanya 

orang perempuan yang pakai minyak wangi. Apakah 

kau....." 

Manusia bendera tertawa panjang. "Jaman 

sekarang kaum lelaki juga banyak yang suka bersolek 

dan pakai segala macam wewangian ...!" Habis berkata - 

begitu dia gerakkan kedua kakinya. Sesaat kemudian 

mahluk aneh itu lenyap dari hadapan Pendekar 212 Wiro 

Sableng. 

* * *

SEMBILAN 

KITA kembali ke ruang besar Perguruan 

Emerarudo, tempat pembicaraan doa pengantar jenazah 

menjelang diperabukan. Suara lonceng yang bertalu-talu 

membuat sirap suara mereka yang berdoa. Ketegangan 

berat menggantung di udara. Di depan meja sembah-

yang besar dua orang ninja yang memanggul dua sosok 

jenazah tiba-tiba melemparkan jenazah-jenazah itu ke 

atas lantai hingga mengeluarkan suara bergedebukan 

yang membuat orang - banyak jadi merinding. 

Para pengurus dan semua anggota perguruan 

yang ada di tempat itu sama keluarkan seruan keras 

ketika mereka mengenali bahwa jenazah yang dibawa 

dan dilemparkan ninja ke lantai ternyata adalah mayat 

dua orang murid perguruan tingkat atas. Selain bekas-

bekas luka bacokan, pada kening kedua orang ini 

menancap sebuah shuriken. Warna biru yang 

menggembung pada daging dan kulit kening menanda-

kan bahwa senjata rahasia itu mengandung racun 

mematikan. 

Enam orang pengurus perguruan secara serentak 

melompat dari atas tatami yang mereka duduki. Yang 

paling beringas adalah Wakil Ketua Shigero Momochi. 

Dua orang anak murid perguruan itu ada!ah yang 

disuruhnya untuk menemui pimpinan para ninja guna 

mencari keterangan siapa yang telah membunuh Ketua 

Noboru Kasai serta mengobrak-abrik ruangan rahasia. 

Sekarang mereka di bawa kembali dalam 

keadaan seperti itu oleh empat orang ninja. Apa yang 

telah terjadi? 

"Datang membawa mayat, melemparkan di depan 

perjamuan sembahyang ketika orang sedang berkabung! 

Sungguh satu perbuatan kurang ajar dan tidak beradab! 

Apalagi kalau kalian yang telah membunuh mereka!" 

Suara Shigero Momochi terdengar keras dan lantang. 

Dia bicara sambil tangan kanannya memegang hulu 

katana yang tergantung di pinggang. Salah seorang dari 

empat ninja maju satu langkah. 

"Kami para ninja memang tidak mengenal sopan 

santun dan peradaban. Tua-tua perguruan mengirimkan 

orang untuk menyelidik. Hal itu sama saja dengan 

mencurigai dan menuduh bahwa kami terlibat dalam 

pembunuhan Ketua kalian! Apakah itu satu tindakan 

sopan?!” 

Shigero Momochi mendengus. "Kau tahu apa 

tentang kematian Ketua kami? Serombongan ninja 

menyerbu kemari! Membunuh Ketua kami dan berusaha 

mencuri sebuah surat penting! Apa kami hanya berdiam 

diri?!" 

"Shigero Momochi! Siapa yang tidak kenal 

denganmu? Pengurus Perguruan Emerarudo yang suka

menenggak minuman keras. Pantat botol! Aku tahu 

kaulah yang memberi perintah pada ke dua orang itu 

untuk menyelidik! Kekurang ajaranmu tidak bisa dimaaf-

kan hanya dengan kematian dua anak buahmu itu!" 

"Ninja jahanam! Katakan apa maumu?!" Sang 

ninja ganti mendengus. "Kami datang untuk meminta 

enam kepala anggota perguruan. Itu sebagai penutup 

malu. Terserah apakah kalian akan melakukan harakiri 

sendiri atau kami terpaksa turun tangan mengambil 

enam kepala itu!" 

"Kau boleh punya nyali selangit! Kau tidak sadar 

sudah masuk ke sarang macan! Sekalipun Dewa meno-

long kau dan tiga kawanmu tak bakal bisa keluar hidup-

hidup dari tempat ini!" Habis berkata begitu sret! Shigero 

Momochi cabut pedangnya. Bersamaan dengan itu 

sepuluh orang anak buah perguruan melompat pula 

dengan katana terhunus. 

"Tahan!" tiba-tibe terdengar satu seruan. Satu ba-

yangan berkelebat. Empat orang ninja di depan meja 

sembahyang merasakan sambaran angin keras hingga 

mereka cepat mundur. Yang tegak di tengah ruangan 

ternyata adalah Hisao Matsunaga, Ketua baru 

Perguruan Emerarudo. 

"Semua harap menahan diri. Saat ini adalah saat 

duka berkabung bagi kami orang-orang perguruan. 

Bahkan doa pengantar jenazah ke perabuan masih 

belum selesai dipanjatkan. Apakah diantara kita tidak 

mungkin berbesar jiwa untuk tidak berbuat onar? Para

ninja, kami merasa kalian berempat cukup berbaik hati 

untuk mau mengantar jenazah murid-murid perguruan. 

Aku tidak berusaha mencari tahu siapa pembunuh 

mereka. Aku tidak akan menuduh kalian sebagai pelaku. 

Aku akan melupakan segala sesuatu yang bersilang 

diantara kita asalkan kalian berempat sudi meninggalkan 

tempat ini. Aku Ketua Perguruan Emerarudo memohon 

dengan hormat ........" 

"Mana bisa seperti itu aturannya. Enak betul!" 

Yang berkata keras itu adalah Shigero Momochi. "Ketua, 

jangan merendahkan derajat kita dengan alasan kita 

sedang berduka! Komplotan manusia-manusia hitam 

durjana ini seharusnya sudah sejak lama dibasmi!" 

"Shigero Momochi, ucapanmu selain menghina 

juga terlalu takaburl Aku harap kau mau berlutut dan 

minta maaf!" kata ninja yang sejak tadi bertindak sebagai 

juru bicara. 

"Keparat kurang ajar! Kalau tidak kubuat meng-

gelinding kepalamu rasanya tidak berguna hidup ini!" 

Dari dalam saku kimononya Shigero Momochi keluarkan 

sebotol minuman keras. Minuman ini ditenggaknya 

sampai habis. Botol kaleng yang kosong kemudian 

dibantingkannya ke lantai ruangan. Tampangnya kini 

kelihatan menjadi merah beringas. Bahunya naik ke 

atas. Dua tangannya menggenggam katana. Sepuluh 

orang murid perguruan bergerak maju selangkah demi 

selangkah. Empat ninja tak tinggal diam. Empat bilah 

pedang mereka berkilauan dibawah sorotan lampu 

minyak.

Di saat yang sangat menegangkan itu tiba-tiba 

dua orang pendeta Zen berdiri dan melangkah cepat ke 

depan meja sembahyang. 

"Kami dua orang tamu yang tak ingin melihat tuan 

rumah dalam saat berkabung harus turun tangan pula 

untuk menyelesaikan kericuhan. lzinkan kami mewakili 

tuan rumah ...." Pendeta Zen yang bicara berpaling pada 

Hisao Matsunaga lalu membungkuk. Dua pendeta ini 

adalah yang mengantarkan Akira kembali malam tadi ke 

perguruan. 

"Pendeta tidak tahu diri! Pekerjaan kalian hanya 

menyangkut urusan keagamaan! Mengapa sekarang 

berlagak sepelti dua jago silat?! Kau dan kawanmu 

bertindak lancang! Tapi tidak apa! Kami sudah lama 

memperhatikan tindak tanduk para orang suci agama 

Zen yang sering mencampuri urusan dan kepentingan 

kami. Malam ini kalian rupanya mau menjadi tumbal 

pendahuluan mewakili kawan- kawan kalian!" bentak 

ninja hitam. 

"Dua pendetal" seru Hisao Matsunaga dengan 

cepat. 

"Terima kasih atas perhatian kalian. Tapi semua 

ini adalah urusan perguruan. Biar kami yang 

menyelesaikan secara baik-baik." Mendengar ucapan 

Ketua pergunran itu, dua pendeta Zen segera menjura, 

menghaturkan permintaan maat lalu cepat kembali ke 

tempat duduk masing-masing. 

Ninja di sebelah depan menyeringai di balik kain 

hitam penutup wajahnya. "Dua pendeta Zen. Kalian

berhutang nyawa pada Ketua Perguruan! Kalau tidak dia 

yang menolak, niscaya kalian berdua sudah terkapar jadi 

bangkai tak berguna!" 

Dua pendeta Zen kelihatan merah wajah masing 

masing. Tapi ke duanya tak berkata apa-apa dan me-

ngambil sikap menundukkan kepala. 

"Mungkin ada lagi yang berbaik hati hendak 

mewakili tuan rumah?!" berseru ninja paling depan. Tiba 

tiba terdengar suitan keras disertai berkelebatnya satu 

bayangan. Di lain kejap satu sosok terbungkus pakaian 

serba merah mulai dari kaki sampai ke kepala tegak di 

tengah ruangan, menghadap ke arah empat orang ninja. 

Dari wajahnya hanya sepasang matanya yang kelihatan, 

memandang tak berkesip. Sebilah katana menyembul 

dari balik punggungnya. 

"Ninja Merahl" seruan itu keluar dari hampir 

semua mulut. 

"Selama dunia terkembang baru sekali lni aku 

melihat ada ninja merah!" kata seseorang dengan mata 

terbelalak. Shigero Momochi yang hendak meradang 

karma merasa didahului orang juga ikut terkesima. Dia 

berpaling pada Hisao Matsunaga. Ketua baru Perguruan 

Emerarudo ini sendiri tampak tegak tertegun. 

"Siapa kau?l" bentak ninja hitam sementara tiga 

kawannya tegak dengan sikap waspada penuh. 

"Tadi kau bertanya siapa lagi wakil tuan rumah. 

Nah aku adalah wakil yang kau tanyakan itu! Aku senga-

ja capai-capai datang ke sini, jadi jangan kecewakan 

dirikul"

"lni tidak masuk akal! Tak pernah ada ninja 

merah! Buka penutup kepalamul Aku mau lihat 

tampangmu!" Ninja merah tertawa pendek. 

"Apakah kau mau membuka penutup kepalamu 

lebih dulul" 

"Kurang ajar! Bersiaplah untuk matil" bentak ninja 

hitam lalu dia melompat ke arah ninja merah sambil 

hantamkan ninjatonya. Tangan ninja merah bergerak ke 

punggung. Sebilah pedang berkiblat di udara, menangkis 

dengan keras pedang di tangan ninja hitam. 

Kalau tidak merasa malu disentak lawan dalam 

satu kali gebrakan ninja hitam hampir mengeluarkan 

seruan tertahan. Bentrokan senjata dengan ninja merah 

bukan saja membuat tangannya terasa pedas dan 

pedangnya hampir terlepas, tetapi juga menyebabkan 

kedua lututnya tertekuk. Dia merasa seolah ada 

kekuatan besar menekan tubuhnya dari atas. Kalau tidak 

cepat dia melompat mundur sambil memasang kuda-

kuda baru, pasti dirinya jatuh terhenyak di depan meja 

sembahyang. 

"Mahluk merah ini memiliki tenaga luar biasa. 

Jurus ilmu pedangnya aneh....." Ninja ini seperti terpang-

gang ketika di depannya ninja merah tertawa mengekeh 

dan mengejek. 

"Ninja jelek, masih mau terus atau berlutut saja 

minta ampunl" 

"Mahluk takabur! Sekalipun kau punya tujuh 

kepala selusin tangan ninja tak pernah tunduk dan 

takut!" Pedang di tangan ninja hitam melesat ke udara,

membeset ke dada, menusuk ke perut dan merobek lagi 

ke dada. 

Serangan ninja sulit dikelit, hampir tak pernah 

gagal. Ninja merah berseru keras. Tubuhnya melesat ke 

atas, jungkir balik dan hantamkan kaki kanan ke arah 

kepala ninja hitam waktu melayang turun. 

Meleset. Malah pedang ninja hitam membeset ke 

arah dada membuat ninja merah berseru kaget lalu 

cepat membuang diri ke samping. Begitu kakinya 

menginjak lantai Satu tusukan menyambar dengan 

ganas. 

"Hah!" Hebat sekali. Ninja merah masih mampu 

berkelit. Tapi ketika ujung pedang mencuat dan 

membalik ke arah dadanya, ninja merah terlambat 

mengelak. Ujung pedang menyambar robek dada 

pakaiannya. Masih untung kulit atau daging dadanya 

tidak ikut tersambar. 

Dengan nafas agak mengengah ninja merah 

tegak sambil letakkan tangan kiri di pinggang. Kedua 

kakinya terkembang. 

"Aneh ...." kata Hisao Matsunaga dalam hati. 

"Kuda-kudanya aneh. Dia memegang katana 

hanya dengan sebelah tangan. Siapa ninja tunggal ini 

sebenarnya." Keanehan yang dilihat oleh Hisao itu juga 

diketahui oleh semua orang yang ada di situ. Mereka 

sama bertanya-tanya dalam hati siapa adanya ninja 

merah ini. 

"Ninja jelek, kau merasa sudah cukup atau masih 

mau terus?" Pertanyaan ninja merah benar-benar sangat

merendahkan ninja hitam. Di dahului suara menggembor 

ninja hitam menyergap dengan serangan berantai. 

Katana dalam genggamannya seolah lenyap. Berubah 

menjadi sinar keputihan yang mencuat ke berbagai 

bagian tubuh ninja merah. Setelah menghindar dengan 

sebat, ninja merah keluarkan suara suitan keras. Lalu 

tubuhnya berkelebat menyongoong serangan lawan. 

Trang .... trang .... trang! 

Tiga kali dua katana bentrokan di udara. Ninja 

hitam berseru kaget. Pedangnya lepas dari tangan. Dia 

cepat jatuhkan diri. Ketika bangkit sebuah kusarigama 

tahu-tahu sudah tergenggam di tangannya. Rantai yang 

ujungnya dicanteli senjata berbentuk ganco ini diputar 

dua kali di atas kepala lalu dengan kecepatan kilat 

membeset ke bawah. 

"Jebol perutmu Brojol ususmul” teriak ninja hitam. 

"Perut bapakmu!" Usus Ibumu!" balas berteriak 

ninja merah. Pedang di tangan kanannya meluncur ke 

depan. Sengaja disusupkan masuk ke dalam gelungan 

kusarigama. 

"Ha ... ha .... Kau menjebak diri sendiril" teriak 

ninja hitam. Lalu dengan sekuat tenaga dia tarik 

kusarigama-nya. Maksudnya hendak membetot lepas 

pedang di tangan lawan. Tapi alangkah terkejutnya 

ketika cepat sekali pedang ninja merah justru melesat 

terus dan tahu-tahu ujung katana itu sudah menempel di 

tenggorokan-nya, membuatnya melangkah mundur. 

Wajahnya yang tersembunyi di balik kain hitam pucat 

pasi. Jantungnya seperti mau tanggal. Langkah mundur

nya tertahan ketika pinggangnya membentur meja 

sembahyang. 

"Dasar ninja kurang ajar! Kalau mau sembahyang 

jangan memantati meja! Putar tubuhmu!” bentak ninja 

merah. Pedangnya digerakkan secara aneh, mambuat 

tubuh ninja hitam jadi terputar. 

Dalam suasana lain mungkin semua orang akan 

tertawa membahak melihat kejadian yang lucu itu. 

Namun saat itu semua dihimpit oleh rasa tegang hingga 

tak ada yang bersuara ataupun bergerak Ninja merah 

dekatkan kepalanya ke wajah ninja hitam. Tanpa 

didengar oleh orang-orang yang ada di situ, dengan 

suara perlahan dia berkata. "Seorang teman kehilangan 

senjata berbentuk kapak bermata dua. Ada bukti senjata 

itu berada di tangan komplotanmu, Lekas jawab atau 

kugorok lehermu saat ini jugal" 

"Ninja tidak takut mati! Kau boleh gorok leherkul" 

menyahuti ninja hitam. 

"Kurang ajar! Nyalimu boleh juga! Aku urung 

menggorok lehermu! Kau akan kubiarkan hidup. Tapi 

kedua matamu kubuat buta lebih dulu!" Tangan ninja 

merah yang memegang pedang bergerak ke atas. Ninja 

hitam yang masih memegang ujung rantai besi coba 

bertahan. Dia mengerahkan seluruh tenaganya sampai 

tubuhnya keringatan. Ternyata dia tak mampu melawan 

tenaga lawan. 

"Mata kananmu lebih dulul" kata ninja merah. 

Ujung pedang bergerak ke arah mata kanan ninja merah 

Tiba-tiba tangan kiri ninja hitam menyelinap ke sisi.

Sesaat kemudian sebuah belati kecil yang tergenggam 

di tangan kiri itu menghunjam deras ke perut ninja 

merah. 

"Belati beracunl" teriak beberapa orang. 

Ninja merah tampk tenang. Dia bukannya tidak 

tahu apa yang dilakukan lawan. Begitu ujung belati 

hampir menyentuh pakaian merahnya dan siap menjebol 

perutnya, tangan kiri ninja merah berkelebat. Ninja hitam 

berteriak kesakitan ketika lengannya yang memegang 

pisau dicekal lawan. Dia merasa seperti dijepit dengan 

jepitan besi. Ketika dia coba berontak terasa ada 

tekanan aneh pada urat besar di pergelangan tangan 

Lalu mendadak sontak sekujur tangan kirinya menjadi 

kaku! Sementara itu ujung katana di tangan ninja merah 

sudah rampal di depan mata kanannya. 

"Bagaimana, kau mau memberi keterangan atau 

tidak?l" kertak ninja merah. Nyali ninja hitam jadi leleh. 

"Aku tidak tahu menahu soal senjata yang kau 

tanyakan itu. Ada tiga komplotan besar ninja di daerah 

ini ...." 

"Sebutkanl" 

"Ninja Nara, Ninja Iga dan Ninja Okazaki...." 

"Kau dari ninja mana?l" 

"Nara ....:” 

Ninja merah tertawa perlahan. "Manusia kentut 

busuk! Kau kira aku bisa kau akali! Setahuku ninja Nara 

tidak pernah memiliki shuriken beracun seperti yang 

kalian pergunakan untuk membunuh dua murid

perguruan itu!" Pedang di tangan ninja merah bergerak 

ke atas. 

Craasss! 

Ninja hitam meraung keras. Mata kirinya pecah. 

Darah muncrat. 

"Kau masih punya kesempatan kurang dari se-

kejapan mata! Katakan kau gembong ninja dari mana!" 

"I ..... Iga...” jawab ninja hitam. 

"Dasar ninja tolol kalau tadi-tadi kau beri tahu 

mata kananmu tak akan buta!" Tiba-tiba tiga buah 

senjata rahasia berbentuk bintang melesat ke arah ninja 

merah. Dari samping berkelebat satu bayangan. Lalu 

tring ... tring .... ! 

Dua buah shuriken mental ke udara dan 

menancap di loteng ruangan. Shuriken ke tiga ternyata 

melesat sangat sebat dan siap menembus dada ninja 

merah. Orang banyak menahan nafas. Wajah ninja 

merah dibalik penutup kepala menyeringai. Tangan 

kirinya mencengkram bahu ninja hitam. Tangan kanan 

yang masih memegang pedang dan tergelung dalam 

rantai besi ditarik kesamping. Tubuh ninja hitam 

bergeser keras ke kanan. Lalu terdengar jeritnya ketika 

shuriken beracun menancap amblas di punggungnya, 

terus menembus paru-paru sebelah kiri Ninja ini 

langsung mati berdiri! 

Ninja merah memandang pada Shigero Momochi 

yang berdiri di tengah ruangan sembahyang. Dialah tadi 

yang telah melompat dan menangkis dua buah senjata 

rahasia yang dilemparkan oleh kawan ninja dari lga itu.

"Terima kasih .... Aku tidak melupakan bantuanmu 

tadi!" kata ninja merah pada Shigero Momochi. Tiga 

ninja hitam yang ada di tempat itu menjadi marah dan 

nekad melihat kawan mereka menemui ajal mengenas 

kan begitu rupa. Ketiganya melompat dan langsung 

menyergap ninja merah dengan serangan ganas. Tiga 

bilah katana berkiblat di udara mengeluarkan suara 

berdesing mengerikan. 

"Aha, selain kurang ajar kalian juga ternyata 

curangl" teriak ninja merah. Sretttl Dia cabut pedangnya 

dari gelungan rantai besi berkepala ganco. Tiga ninja 

yang menyerbu mengira lawan mereka akan pergunakan 

senjatanya untuk menangkis. Cepat-cepat mereka putar 

arah pedang. Tiga katana itu kini menderu ke arah tubuh 

sebelah bawah lawan. Tapi mereka kecele. 

Ninja merah ternyata tidak pergunakan katananya 

untuk menangkis. Tapi tiba-tiba mengangkat tubuh ninja 

yang sudah mati dan memutarnya seperti titiran lalu 

dilempar ke arah tiga ninja yang menyerangnya. 

Craasss! Craasss! Craasss! 

Tiga pedang menghantam tubuh mayat di tiga 

tempat. Lantai ruangan sembahyang lagi-lagi dikotori 

dengan darah! Tiga ninja hitam terkesiap kaget tidak 

mengira kalau pedang mereka akan menghantam tubuh 

kawan sendiri walaupun sudah jadi mayat. Hisao 

Matsunaga usap mukanya berulang kali sementara yang 

lainnya tertegun menyaksikan apa yang terjadi. 

Tiga ninja hitam jadi tambah beringas. Mereka 

berteriak dahsyat lalu kembali menyerbu ninja merah.

Yang diserang siap menunggu dengan pedang melin-

tang di depan dada. Dan lagi-lagi dia memegang pedang 

dengan satu tangan yaitu tangan kanan tidak lazimnya 

cara ninja memegang senjata, Saat itu Shigero Mamochi 

tidak mau tinggal diam. Begitu tiga ninja hendak 

mengeroyok lagi dia berkelebat masuk ke dalam 

kalangan pertempuran. Tapi dia jadi melongo ketika 

mendapatkan hanya satu lawan yang tersisa. 

Dua ninja lainnya telah lebih dulu menggeletak di 

tanah dengan perut dan dada robek. Keduanya 

melejang-lejang beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi. 

"Maafkan aku hanya meninggalkan satu korban 

untukmul" kata ninja merah pula pada Shigero Momochi. 

Lalu dia keluarkan suitan keras. Di lain kejap semua 

orang hanya sempat melihat orang itu berkelebat satu 

kali lalu lenyap di ujung ruangan sembahyang. 

Shiaero Momochl memandang mendelik pada 

satu-satunya ninja yang masih hidup. Ninja satu ini se-

benarnya sudah hampir putus nyalinya. Namun dia 

sadar tak mungkin lolos hidup hidup dari tempat itu. Be-

lasan anak murid perguruan dilihatnya telah mengurung 

tempat itu. Dengan nekad dia lalu menyerbu ke arah 

Shigero. Wakil ketua perguruan yang suka mabok ini 

memang memiliki ilmu pedang tinggi. Namun satu lawan 

satu menghadapi ninja hitam itu dia sempat dibuat repot 

bahkan robek lengan kimononya sebelum akhirnya dia 

berhasil membacok pangkal leher lawan sampai tewas.

AKIRA Kasai menghela natas lega. Tapi wajah-

nya masih gelisah. Dia berpaling pda Akiko Bessho yang 

tegak di sebelahnya. 

"Ada empat ninja terbunuh di perguruan. Keadaan 

semakin rumit...!” kata anak itu dengan suara perlahan. 

"Aku tahu.,." jawab Akiko. 

"Kawan-kawan mereka bahkan mungkin semua 

komplotan ninja dl negeri ini akan menyerbu. Menuntut 

balas! Aku sahabatmu, aku tidak akan membiarkan 

kalian diperlakukan semena-mena. Aku akan melakukan 

apa saja yang bisa membantu ..... Cuma saat ini aku 

juga punya kesulitan ...... ." 

"Kesulitan apa?” tanya Akira Kasai. 

"Dalam perjalanan ke sini sebenarnya aku 

bersama seorang kawan. Seorang pemuda asing 

bernama W iro. Begitu melihat Ketua Hisao Matsunaga 

memacu kuda di malam buta, aku mengambil keputusan 

untuk mengikutinya. Pemuda asing itu aku suruh tunggu 

di satu tempat. Ketika aku kembalil dari puri bersama 

Ketua Hisao Matsunaga kawanku tak ada lagi di tempat 

penantian. Aku bersama Ketua menyelidik tapi tak bisa 

lama karena dia harus cepat-cepat kembali ke sini. 

Sebelum pergi aku menemukan sebuah shuriken 

menancap di batu. Ninja .... Jangan-jangan kawanku 

ltu... .?. telah dibunuh atau diculik oleh ninja ...." 

"Kau salah nona Akiko. Aku ada di sini. ..." satu 

suara terdengar. Seorang pemuda berpakaian dekil dan 

robek serta berambut gondrong muncul dari balik 

sebuah tiang bangunan. Akiko Bessho berpaling dan

hampir berteriak ketika melihat Pendekar 212 Wiro 

Sableng tegak di depannya. 

"Wiro! Kukira kau...." 

* * *

SEPULUH 

Murid Sinto Gendeng tersenyum. Tapi tiba-tiba 

wajahnya kelihatan mengernyit. 

"Eh, kau seperti kesakitan...." kata Akiko. 

"Saya lihat ada luka di paha dan lengannya," kata 

Akira pula. 

"Aku diserang lima orang ninja. Satu berhasil 

kubunuh. Satunya lagi kubabat buntung tangan kanan-

nya. Yang tiga berhasil membuatku babak belur lalu 

menendangku sampai jatuh ke dalam jurang batu ...." 

"Jatuh ke dalam jurang batu?! Saya tidak percaya! 

Bagaimana mungkin sekarang kau masih hidup?l" kata 

Akira Kasa! pula. 

"Wiro, ini Akira Kasai, putera mendiang Ketua 

Noboru KasaI...." Akiko memperkenalkan. 

Wiro mengangguk lalu membungkuk. Akira Kasai 

balas menjura lalu menutup mulutnya menahan tawa. 

"Sobat kecil, mengapa kau tertawa ?” tanya Wiro. 

"Caramu membungkuk seperti orang menahan 

buang air besarl" jawab Akira pula yang membuat Wiro 

tertawa lebar dan garuk-garuk kepala. 

"Wiro, apa yang dikatakan Akira benar. Jika kau 

jatuh ke dalam jurang batu bagaimana kau bisa hidup 

dan bisa datang ke sini walau dalam keadaan masih 

terluka?" 

"Kau mungkin tak percaya. Kawanmu bernama 

Yori itu yang menolongku." 

”yori ....?' 

"Manusia bendera ...." 

"Hah! Yori si Bendera Darah! Bukankah dia 

sebelumnya bermaksud hendak membunuhmu!?' 

"Betul. Tapi agaknya dia begitu takut padamu 

hingga menangguhkan kematianku." 

"Tak bisa kupercaya." 

"Dia juga yang mengobatiku dan berkata bahwa 

setelah aku membunuh dan melukai seorang ninja, 

nvawaku akan terancam kemanapun aku pergi. Melihat 

apa yang terjadi di tempat ini aku merasa beruntung. 

Kalau saja aku datang lebih cepat pasti aku yang jadi 

sasaran balas dendam ninja-ninja itu. Walau aku lolos 

dari lobang jarum kematian namun nasibku jelek Kapak 

Maut Naga Geni 212 milikku dirampas kawannya ninja!" 

"Ah, senjata itu bagimu sama saja dengan nyawa-

mu," kata Akiko. 

"Nona Akiko, jangan lupakan diriku. Bukan kalian 

saja yang punya kesulitan. Saya juga...”' 

"Adik Akira maatkan aku ...." 

"Apakah kita bisa bicara di tempat lain sekarang?" 

"Baik, kita bicara di tempat aman. Kawanku ini 

akanikut menemani ..."

"Tunggu dulu. Saya tidak kenal pemuda asing ini 

sebelumnya. Apa dia bisa dipercaya?” tanya Akira Kasai. 

"Kau bisa mempercayai dirinya seperti kau mem-

percayai diriku ...." 

"Terus terang saya tidak bisa mengatakan apakah 

saya mempercayaimu dan juga orang ini. Tapi saya tidak 

punya orang lain yang bisa diajak bicara...." Lalu Akira 

Kasai memutar tubuhnya. Dia berjalan di depan sekali 

menuju ke arah timur kawasan perguruan yang luas. Di 

belakang sebuah bangunan yang dijadikan gudang 

dimana keadaan sepi dan agak gelap anak ini berhenti. 

"Di sini aman. Kita bicara di sini saja ...." kata 

Akira. Dia melirik pada Wiro sebentar seolah masih 

meragu. Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. 

"Bocah ... :' 

"Bocah .... Apa itu?” tanya Akira. 

"Di negeriku bocah artinya anak kecil ..." 

"Oh ..." 

"Kalau kau kurang percaya padaku, biar aku pergi 

saja. Nanti aku kembali lagi," kata Wiro pula. Lalu dia 

memutar tubuh hendak meiangkah pergi. 

"Tunggu, saya kira saya bisa percaya padamu 

seperti saya percaya pada nona Akiko." 

"Bagus, sekarang katakan apa yang hendak kau 

sampaikan padaku .... ." 

"Ini menyangkut surat warisan pengesahan Ketua 

yang tadi dibaca oleh salah seseorang sesepuh per-

guruan..."

"Ada apa dengan surat itu?' tanya Akiko. Anak 

usia 14 tahun itu memandang dulu ke kiri dan ke kanan 

seolah takut ada orang laln mendengar pembicaraan. 

Lalu dengan suara perlahan dia berkata. 

"Saya yakin surat yang dibacakan itu adalah surat 

palsu." 

"Tapi saya melihat sendiri pendeta Kamashaki 

menyerahkannya dalam amplop kuning tertutup pada 

Hisao Matsunaga di Puri Sanzen ...." 

"ltu yang mengherankan," sahut Akira Kasai. 

"Lalu apakah kau punya alasan atau bukti me-

ngatakan surat itu palsu?" bertanya pendekar 212. 

Akira Kasai mengangguk. "Saya melihat Ayah 

membubuhkan tanda tangan dan cap perguruan pada 

surat pengangkatan pewaris Ketua itu. Waktu itu setetes 

tinta jatuh menodai sudut kiri bawah surat. Ayah memaki 

dirinya sendiri karena ketotolannya itu. Namun saya lihat 

Ayah terus saja memasukkan surat itu ke dalam amplop 

kuning. Mengikatnya dengan benang, diberi lem dan 

diberi lak besar. Surat itu diserahkan pada saya dengan 

pesan agar saya bersama beberapa pembantunya 

menyerahkan surat itu pada pendeta Komo di Puri 

Sanzen ...." 

"Kapan hal itu tejadi?" tanya Akiko. 

"Sekitar satu bulan lalu." 

"Akira-san, kau banyak mengetahui kejadian pada 

malam waktu Ayahmu dibunuh?' bertanya Wiro. Ketika 

anak itu mengangguk Wiro dan Akiko minta agar dia

menceritakan. Sesaat setelah mendengar cerita Akira, 

Wiro lantas berkata. 

"Ada kemungkinan Ayahmu karena kurang 

senang dengan noda tinta di surat warisan, lalu 

membuat surat baru mengganti surat yang kau terima?" 

"Saya tidak yakin. Karena surat yang bernoda 

tinta itu hanya saya simpan satu malam. Besoknya 

langsung dikirimkan pada pendeta Komo." 

"Melihat gelagat, Ayahmu seperti tidak memper-

cayai keamanan di perguruan ..." kata Wiro. 

"Saya tidak mengerti dan saya tidak tahu 

mengapa Ayah berbuat begitu." 

"Sekarang sudah ada Ketua perguruan yang baru. 

Apa yang masih kau risaukan?" tanya Akiko Bessho. 

"Siapa saja yang jadi Ketua saya tidak perduli. 

Tapi saya mengira telah terjadi kecurangan. Pemalsuan 

surat warisan Ketua." 

"Selain Hisao Matsunaga, siapa lagi pengurus di 

perguruan yang berhak untuk jabatan itu?" tanya Wiro. 

"Paman Shigero Momochi. Tapi syukur Ayah tidak 

mewariskan jabatan Ketua padanya ...." 

"Memangnya kenapa?' tanya Wiro lagi. 

"Sifatnya kasar. Pemabok. Walau hatinya baik, 

mana mungkin orang seperti dia bisa diangkat jadi 

Ketua. Saya kira memang tepat kalau Ayah mewariskan 

jabatan Ketua pada paman Hisao Matsunaga. Hanya 

saja saya masih merasakan ada sesuatu yang tidak 

beres ..."

"Akira-san sudahlah. Hal itu tak perlu kau pikirkan 

berpanjang-panjang. Perguruan sudah punya Ketua 

baru. Besok jenazah Ayahmu akan diperabukan ...." 

Akira terdiam. Baik Akiko maupun Wiro sama maklum 

kalau si anak masih belum puas. Agaknya belum seluruh 

unek-uneknya dikeluarkan. 

"Adik Akira, mungkin masih ada yang hendak kau 

katakan?"Tanya Akiko. 

Wiro menguap lebar-lebar. Selain letih luka di kaki 

dan di lengannya terasa berdenyut sakit. Dia lalu pergi 

duduk di sebuah bangku kayu dekat dinding gudang. 

"Memang ada. Mungkin ini bisa dijadikan petunjuk 

siapa yang membunuh Ayah ...." 

"Kita semua tahu Ayahmu dibunuh oleh ninja. Ada 

tiga kelompok besar ninja di negeri ini. Tidak mudah 

untuk menyelidiki. Buktinya kau saksikan sendiri bagai-

mana mereka berani mendatangi tempat ini hanya 

karena tersinggung ...." 

Si anak tidak perdulikan ucapan gadis itu. Dia 

memotong. 'Waktu saya melihat jenazah Ayah pertama 

kali, saya melihat ada kelainan pada lima jari tangan 

kanan beliu ..." 

"Kelainan bagaimana?" 

"Lima jarinya berada dalam keadaan seperti habis 

mencengkeram. Setahu saya Ayah memang mempunyai 

ilmu pukulan disebut Lima Jari Dewa. Untuk mendapat-

kan ilmu itu Ayah harus melakukan perjalanan selama 

tujuh bulan ke sebuah pegunungan di Tibet. ltupun 

belum sempurna betul. Menurut Ayah dia harus kembali

lagi ke sana. Siapa saja yang terkena pukulan Lima Jari 

Dewa pasti menemui ajal atau cacat bertanda seumur 

hidup tubuhnya, tak bisa dihilangkan. Saya yakin 

sebelum terbunuh Ayah sempat melepaskan pukulan itu 

ke tubuh ninja. Kalau tidak mengapa jari-jari tangannya 

berada dalam keadaan mencengkeram. Saya mengerti 

tidak mudah mencari tahu siapa ninja yang terkena 

pukulan itu. Namun paling tidak kita sudah punya 

petunjuk ..." 

"Selain Ayahmu, apa ada pengurus perguruan 

lainnya memiliki ilmu Lima Jari Dewa itu?" bertanya 

Akiko. Akira Kasai menggeleng. 

”'Cuma Ayah satu-satunya yang menguasai ilmu 

itu!” Akiko memandang pada Wiro. 

"Apa yang bisa kita lakukan?" 

"Semua yang diceritakan anak ini dan semua 

yang terjadi adalah urusan dalam perguruan. Kita tak 

bisa mencampuri dan melibatkan diri. Aku sendiri 

sedang bingung karena menderita luka dan kehilangan 

kapak mustika. Namun mungkin semua yang terjadi di 

sini merupakan satu jalan bagiku untuk menyelidik ninja 

mana yang mencuri senjataku itu...!'” Wiro memandang 

pada Akira lalu berkata. 

"Sobatku kecil, aku akan melakukan apa saja 

untuk membantu menyingkap siapa pembunuh 

Ayahmu....." 

Akira Kasai membungkuk. "Terima kasih gaijin ..." 

katanya perlahan lalu dia berpaling pada Akiko.

"Ada satu hal yang tidak saya mengerti dan ingin 

saya bicarakan denganmu!' 

"Katakan saja ..." 

"lni menyangkut kejadian sewaktu rombongan 

kami dicegat ninja dalam perjalanan ke Puri Sanzen ... ." 

"Apa yang tidak kau mengerti Akira!” 

"Ninja berlaku ganas. Mereka menumpas hampir 

semua anggota rombongan. Termasuk sahabat saya 

Keno. Yang selamat hanya saya dan Paman Hisao. 

Namun waktu itu saya ... !” Akira Kasai tidak 

meneruskan kata-katanya. Dari balik bangunan gudang 

terdengar suara orang batuk. Sesaat kemudian Hisao 

Matsunaga yang sekarang menjadi Ketua Perguruan 

Emerarudo muncul di tempat itu. 

"Maafkan kalau kedatanganku menggangu pembi 

caraan kalian. Jika memang ada urusan penting yang 

perlu dibicarakan, dalam bangunan besar ada beberapa 

ruangan bisa dipergunakan ...." 

"Kami kebetulan bertemu dan tidak bicara hal-hal 

penting," kata Akiko pula sambil tersenyum lalu mem-

bungkuk. 

Begitu juga Akira dan Wiro. 

"Akira-san," Hisao menegur, 

"Kau butuh istirahat lngat besok akan ada upa-

cara panjang sebelum Ayahmu diperabukan. Mengapa 

tidak segera saja masuk kamar dan istirahat?" 

"Maafkan saya paman Hisao. Selamat malam 

untuk kalian semua," jawab Akira. Sekali lagi anak ini

membungkuk lalu cepat-cepat ditinggalkannya tempat 

itu. 

Hisao Mastunaga perpaling pada Akiko. "Nona 

Akiko, bagimu telah kusediakan sebuah kamar untuk 

istirahat. Jika kau suka akan kuantar kesana sekarang 

juga ...." 

"Terima kasih. Ketua terlalu memperhatikan saya” 

Hisao Matsunaga kini memandang pada Wiro. Rambut 

gondrong, kening diikat kain putih, pakaian robek serta 

luka di paha dan lengan. 

"Nona Akiko siapa pengemis asing ini?" Mulut 

Pendekar 212 sampai bergerak pencong mendengar 

orang menyebutnya sebagai pengemis. Dalam hati dia 

memaki panjang pendek. 

"Dia sahabat saya. Maafkan kalau keadaannya 

morat marit. Dia barusan dirampok orang di tengah 

jalan..!” dusta Akiko. 

"Hemmm .... Banyak uang atau hartamu yang 

dirampas?" tanya Hisao Matsunaga pada Wiro dengan 

senyum menunjukkan ketidak percayaan. 

"Sedikit. Cuma lima tail emas dan lima tail perak," 

jawab Wiro terpaksa berdusta agar karangan Akiko 

cocok dengan ucapannya. 

"Ck .... ck .... ck ..." Hisao Matsunaga berdecak. 

"ltu bukan sedikit" katanya lagi-lagi dengan 

tersenyum tanda dia tidak percaya ucapan si gondrong 

tadi. 

"Nona Akiko, saya siap mengantarkanmu....."

"Terima kasih Ketua. Saya tak mau merepotkan 

orang. Biar saya bergabung dengan para tamu lainnya di 

ruang besar upacara sembahyang ...." 

"Kalau begitu kemauan Nona saya tidak bisa 

memaksa," kata Hisao Matsunaga pula. Lalu dia 

melangkah. Namun berhenti di hadapan Wiro dan 

berkata. 

"Saya menghargai kehadiranmu untuk melayat. 

Tapi sesuai aturan, kau hanya diperkenankan duduk di 

barisan paling belakang tempat upacara ...." Wiro 

tersenyum. 

"Saya sudah tahu. Tempat pengemis seperti saya 

memang di situ .... Lagi pula saya kawatir duduk ramai-

ramai di depan ....." 

"Apa yang kau kawatirkan?" tanya Hisao 

Matsunaga heran. 

"Saya kawatir beberapa tail emas yang masih ada 

dalam kantong pakaianku disambar orang ..." jawab 

Wiro. 

"Selamat malam ketua," katanya kemudian Sam-

bil membungkuk. Tanpa berkata apa-apa lagi Hisao 

Matsunaga tinggalkan tempat itu dengan cepat. Begitu 

orang pergi Wiro berpaling pada Akiko yang memandang 

padanya sambil tertawa geli. 

"Nasibku buruk amat. Disangka pengemis oleh 

Ketua Perguruan...!' 

"Sudahlan. Dia cuma salah menduga dan menilai 

orang," menyahuti Akiko Bessho.

"Bagaimana pendapatmu mengenai Akira 

Kasai...? 

"Dia anak baik. Tapi aku punya firasat keselamat-

annya terancam." Jawab Wiro polos. 

"Kalau begitu aku akan mengawasi dirinya secara 

diam-diam." 

"Malam ini biar aku saja yang berjaga-jaga. Apa 

lagi tak ada gunanya aku berada di ruangan pembacaan 

doa. Aku mana pandai berdoa cara kalian ..." Habis 

berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah 

ke arah bangunan di mana tadi dilihatnya Akira masuk. 

Dia melambaikan tangan pada Akiko Bessho lalu 

berkelebat naik ke atas atap bangunan lain di seberang-

nya. 

* * *

SEBELAS 

LAPAT-lapat dari ruang besar tempat upacara 

doa dilangsungkan terdengar suara orang membaca doa 

tak berkeputusan. Tanpa diketahui oleh orang-orang 

perguruan Emerarudo, dua sosok hitam berkelebat cepat 

di kegelapan malam. Seperti cecak keduanya merayap 

cepat menaiki tembok tinggi. 

Ketika dua sosok hitam itu menyelinap naik ke 

atas atap kamar tempat tidur Akira Kasai, di suatu bukit 

kecil di dalam sebuah bangunan berbentuk kuil 

seseorang menyalakan lilin di atas sebuah meja batu 

berlumut. Di atas meja terdapat aebuah bokor tembaga 

Di dalam bokor ini tersimpan abu jenazah seseorang. 

Nyala api lilin yang menari-nari tertiup angin 

membuat bayang-bayang seram di dinding ruangan. 

Orang yang menyalakan lilin membungkuk di hadapan 

meja batu sampai tiga kali lalu perlahan-lahan jatuhkan 

diri berlutut. Sepuluh jari-jari tangannya dirangkapkan 

satu sama lain. Lalu diantara siliran angin malam 

terdengar dia berucap. 

"Nenek .... Cucu telah membuat kesalahan besar. 

Dua kali cucu berhasil menemuinya. Tapi dua kali pula 

cucu gagal membunuhnya. Kali pertama karena per-

mintaan orang yang pernah menyelamatkan kehormatan 

cucu. Kali ke dua karena kebodohan cucu sendiri. Yaitu 

cucu tidak mampu, tidak tega melakukannya. Setiap 

cucu melihat wajahnya ada perasaan aneh dalam hati 

cucu. Nenek Arashi Cucu mohon maafmu. Agaknya cu-

cu tidak akan pernah bisa membunuhnya. Kalau ini satu 

dosa besar, mulai dari sekarang hukumlah diriku ...." 

Orang yang berucap di depan meja batu yang 

dijadikannya meja sembahyang itu terdiam sesaat, 

berusaha membendung air mata yang hendak keluar 

dari kedua matanya. 

Tiba-tiba suara hatinya seperti berontak dan di 

telinganya seolah mengiang kata-kata. Cucu tidak 

berbudi. Mana keberanian yang kutempa selama dua 

belas tahun dalam dirimu! Mana kekuatan batin yang 

kutanamkan dalam tubuhmu! Mana hawa sakti yang 

mengalir dalam darah dan setiap denyut jantungmu! 

Jangan perasaan menguasai pikiranmu. Aku tahu kau 

tiba-tiba jatuh cinta padanya. Cinta! ltulah kelemahan 

pangkal bahala yang akan membunuhmu! Aku tidak 

meminta banyak padamu. Hanya satu! Bunuh pemuda 

asing itu! Atau arwahku akan membayangi selama 

hidupmu! 

Orang di depan meja batu katupkan jari-jari 

tangannya satu sama lain hingga mengeluarkan suara 

berkereketan. Di kejauhan tiba-tiba terdengar suara 

lolongan anjing membuat dia tercekat. Laiu dia berdiri

lurus-lurus memandangi bokor di atas meja batu 

berlumut. Setelah membungkuk tiga kali dia berkata. 

"Nenek Arashi, aku harus pergi sekarang. Lain 

kesempatan aku akan menyambangimu lagi di sini ...." 

Sampai di luar kuil dia tegak tertegun. Dia tidak tahu 

harus pergi kemana. Akhirnya dia menuruni bukit 

sepembawa kakinya Angin dan udara malam yang 

dingin tidak diacuhkannya. 

KEMBALI ke Perguruan Emerarudo. Suara orang 

membaca doa masih terdengar wabu kini mulai 

mengalun perlahan. Dua sosok hitam di alas bangunan 

dengan cepat menyelinap ke bawah cucuran atap. 

Sretttt.... sretttt! 

Mereka merobek dinding kertas dengan sebuah 

alat berbentuk pisau kecil. Di lain kejap tanpa ada yang 

mengetahui keduanya telah menyelinap masuk ke dalam 

kamar tidur Akira Kasai. 

Saat itu putera mendiang bekas Ketua Perguruan 

Noboru Kasai memang telah bersiap untuk istirahat 

membaringkan diri di atas selembar kasur tipis. Sebelum 

berbaring dia merasa perlu memanjatkan doa terlebih 

dulu bagi arwah Ayahnya. Pada saat itulah tiba-tiba dia 

melihat dua sosok hitam menerobos masuk ke dalam 

kamar dan tanpa suara mereka menjejakkan kaki di atas 

tatami. 

"Shinobi!" seru Akira Kasai dengan lidah kelu. 

Wajahnya menjadi pucat. Ninja di sebelah kanan 

menganggukkan kepala. Melihat tanda ini ninja di 

samping kiri segera menghunus katananya. Cahaya

maut berkilau dari badan pedang. Rasa takut yang 

menyelubungi diri Akira tiba-tiba saja lenyap. Berubah 

dengan dendam kebencian. 

"Kalian pasti komplotan ninja yang membunuh 

Ayah! Saat ini kalian pasti juga hendak membunuhku! 

Kalian kira aku takut mati?!" 

Dua ninja tak menjawab. 

Tiba-tiba Akira jatuhkan diri diri di lantai. Dia ber-

guling ke kepala kasur di mana terletak pedang miliknya. 

Namun sebelum dia mampu menyentuh senjata itu, ninja 

di sebelah kanan cepat melompat lalu menginjak lengan 

anak ini. 

Akira Kasai menjerit keras. Dengan suara 

bergetar karena amarah dan juga kesakitan anak ini 

berkata. 

"Aku tidak takut mati! Ayo bunuhl" 

Ninja yang memegang pedang tidak tunggu lebih 

lama. Senjata di tangannya di tetakkan ke kepala Akira 

Kasai. 

Wuttttl 

Sesaat lagi kepala anak itu akan terbelah tiba-tiba 

dinding kiri kamar jebol. Satu bayangan merah ber-

kelebat dan trang! Sebilah katana melesat ke depan 

menangkis bacokan pedang ninja. 

"Ninja merah!" teriak dua ninja hitam hampir 

bersamaan. Kejut keduanya bukan olah-olah. Terutama 

ninja yang senjatanya kena tangkis. Lengannya bergele-

tar. Jan-jarinya terasa pedas panas. Selagi dia masih 

dilanda kaget tiba-tiba satu tusukan menderu ke

dadanya. cepat ninja ini berkelit ke samping sambil 

menangkis. Dari samping kawannya ikut membantu. 

Tranggg! 

Tiga pedang beradu keras. Bunga api memercik 

terang dalam kamar. Dua pedang di tangan ninja 

menjepit pedang ke tiga hingga tak bisa bergerak. 

Namun yang punya senjata malah keluarkan suara 

tertawa. 

"Kau inginkan pedangku silahkan ambill" Pedang 

dilepas. Bersama dengan itu sosok ninja merah melesat 

ke atas. Dua ninja hitam memburu dengan pedang 

mereka. Dari atas ninja merah melepaskan pukulan 

tangan kosong. Serangkum angin dahsyat menderu. 

Dua ninja hitam berseru kaget begitu senjata mereka 

bergetar keras dan tak mampu ditusuk atau dibacokkan. 

"Lepaskan senjata rahasial" teriak ninja sebelah 

kanan. Serentak dia dan kawannya gerakkan tangan kiri 

melepaskan senjata rahasia berbentuk bintang. Lawan 

yang diserang jatuhkan diri ke lantai sambil ulurkan 

tangan menjangkau pedang yang tadi dilepaskannya 

dan saat itu hampir jatuh di atas tatami. 

Gerakannya ini sungguh luar biasa cepatnya 

hingga dua buah senjata rahasia yang dilemparkan ke 

arahnya tak berhasil menemui sasaran, satu menembus 

dinding kamar terus melesat keluar satunya menancap 

di tiang kayu. 

Ninja sebelah kanan keluarkan jeritan maut begitu 

pedang ninja merah menjebol perutnya. Tubuhnya 

langsung roboh. Darah bergenang cepat di atas tatami.

Ninja satunya menggembor marah. Sekali berkelebat 

pedangnya menyambar ke leher ninja merah yang masih 

berbaring di lantai. Dalam keadaan menelentang ninja 

merah tangkis serangan ganas itu. Dalam waktu 

bersamaan kaki kanannya menendang ke atas. 

Dukkkk! 

Ninja hitam meraung keras. Pedang lepas dari 

tangannya Sambil terbungkuk-bungkuk dia pegangi 

bagian bawah perutnya yang hancur. Matanya mem-

beliak terbalik-balik. Mati! Ninja merah sarungkan 

pedangnya. Ketika melewati tiang dimana menancap 

satu dari dua senjata rahasia tadi ninja merah mencabut 

dan memeriksanya. 

"Hemmmm .... shuriken beracun ...." gumamnya. 

Lalu dia . cepat-cepat tinggalkan tempat itu. Ketika orang 

banyak memasuki kamar ltu Akira Kasai tertunduk di 

alas tatami sambil pegangi lengan kanannya yang sakit. 

Keringat dingin membasahi tubuhnya. 

Yang muncul di tempt itu adalah Shigero 

Momochi, Akiko Bessho lalu seorang tua pengurus per-

guruan, ditambah delapan orang murid perguruan. Akiko 

cepat memberikan pertolongan. Seorang ahli urut cepat 

dipanggil. Atas pertanyaan Shigero Momochi, Akira lalu 

menerangkan apa yang terjadi. 

"Luar biasa malam ini. Ninja merah muncul 

sampai dua kali untuk menolong kita," kata orang tua 

yang jadi pengurus perguruan. 

"Pertama waktu empat ninja muncul di ruang 

pembacaan doa. Lalu di sini."

"Aku merasa malu. Kejadian di tempat ini menun-

jukkan kelemahan kita. Perguruan bisa diterobos begitu 

saja!" Kembali Shigero Momochi bicara. Dia berkata 

sambil memandang berkeliling. Murid-murid perguruan 

tak ada yang berani melihat wajahnya. 

Ada suara batuk-batuk. Ketua Hisao Matsunaga 

yang telah diberi kabar apa yang terjadi segera datang 

ke tempat itu. 

"Akira-san," katanya. 

"Mulai saat ini kuharap kau pindah ke bangunan 

tempat kediamanku. Aku minta selusin anggota per-

guruan menjaga kamarnya! 

Satu hal kalian ingat. Jangan sampai orang luar tahu apa 

yang terjadi di sini. Kecuali kalau kalian semua mau 

dianggap orang-orang tolol!" 

Akira kemudian digendong, di bawa ke tempat 

yang dikatakan Hisao Matsunaga. Yang, lain-lain kecuali 

Shigero Momochi tinggalkan tempat itu. 

"Ninja merah ... ." desis Shigero Momochi sambil 

usap-usap dagunya. 

"Siapa mahluk ini sebenarnya. Jika dia bisa 

muncul dalam waktu cepat berarti dia tadi masih berada 

di dekat-dekat sini .... Mungkin seorang gagah salah satu 

dari para tamu......" Sementara Shigero Momochi 

melangkah menuju ruang besar tempat pembacaan doa, 

Akiko Bessho juga pura-pura pergi ke ruangan itu. 

Namun di satu tempat dia berputar, bergegas kembali. 

Hanya saja kali ini dia tidak menuju bangunan dimana 

kamar Akira Kasai terletak, tapi ke bangunan di

depannya dimana yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng 

bersembunyi di atap. 

"Aku punya dugaan. Jangan-jangan gaijin ini yang 

menyaru jadi ninja merah .... !” tiba-tiba di atas atap 

bangunan tampak ada sosok tubuh bergerak. 

"Huh itu dia! Menggosok-gosok mata. Kelihatan-

nya seperti habis bangun tidur!" Sosok di atas atap 

melompat turun. 

"Aku melihat kelainan pada wajahmu. Ada apa-

kah.?" 

"Wiro, kau tadi berkata hendak mengawasi kese-

lamatan Akira Kasai. Pecuma saja kau bermulut besar!" 

"Eh, memangnya kenapa?" tanya Wiro. 

"Dua ninja menyusup masuk hendak membunuh 

anak itu. Apa kau tidak lihat ....?” 

"Astaga!" 

"Ninja merah muncul lagi menyelamatkan anak 

itu..... ." 

"Astagal" 

"Astaga! Astaga! Kau hanya bilang astaga! Apa 

saja kerjamu di atas atap sana?" Akiko Bessho jadi 

kesal. 

"Maafkan diriku. Aku ketiduran. Aku benar-benar 

latih dan luka- luka ditubuhku membuat aku rasanya 

kurang enak badan .... Tapi bagaimana bisa orang 

orang perguruan kebobolan lagi ..... ?" 

"Jangan salahkan mereka. Kau sendiri juga sudah 

kebobolan. Masih untungan anak itu tidak mati dibunuh 

Hanya cidera tangan kanannya...:”

depannya dimana yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng 

bersembunyi di atap. 

"Aku punya dugaan. Jangan-jangan gaijin ini yang 

menyaru jadi ninja merah .... !” tiba-tiba di atas atap 

bangunan tampak ada sosok tubuh bergerak. 

"Huh itu dia! Menggosok-gosok mata. Kelihatan-

nya seperti habis bangun tidur!" Sosok di atas atap 

melompat turun. 

"Aku melihat kelainan pada wajahmu. Ada apa-

kah.?" 

"Wiro, kau tadi berkata hendak mengawasi kese-

lamatan Akira Kasai. Pecuma saja kau bermulut besar!" 

"Eh, memangnya kenapa?" tanya Wiro. 

"Dua ninja menyusup masuk hendak membunuh 

anak itu. Apa kau tidak lihat ....?” 

"Astaga!" 

"Ninja merah muncul lagi menyelamatkan anak 

itu..... ." 

"Astagal" 

"Astaga! Astaga! Kau hanya bilang astaga! Apa 

saja kerjamu di atas atap sana?" Akiko Bessho jadi 

kesal. 

"Maafkan diriku. Aku ketiduran. Aku benar-benar 

latih dan luka- luka ditubuhku membuat aku rasanya 

kurang enak badan .... Tapi bagaimana bisa orang 

orang perguruan kebobolan lagi ..... ?" 

"Jangan salahkan mereka. Kau sendiri juga sudah 

kebobolan. Masih untungan anak itu tidak mati dibunuh 

Hanya cidera tangan kanannya...:”

"Astaga Kasihan betul ...." 

"Astaga lagi! Sudah tidur saja kau di atas atap 

sana!” saking kesalnya Akiko Bessho lalu tinggalkan 

Wiro. 

"Ternyata bukan dia. Lalu siapa ninja merah itu? 

Mungkin yori....? Atau Kamashaki pendeta Zen itu? “ 

Selagi Akiko Bessho melangkah sambil berpikir-pikir . itu 

dua sosok berjubah melangkah tanpa suara di 

belakangnya. Ternyata dua orang ini tidak mengikuti si 

gadis, melainkan menyelinap ke arah bangunan dimana 

tadi Akira Kasai dibawa. 

Di ruang besar pembacaan doa Hisao Matsunaga 

membaca doa dengan khusuk. Kedua matanya 

dipejamkan. Sesekali matanya dibuka. Kali kesekian dia 

membuka mata dan menyapu para hadirin yang ada di 

ruangan itu, baru dia menyadari Sesuatu. Maka perlahan 

sekali dia berbisik pada Shigero Momochi yang ada di 

sebelahnya. 

"Shigero, aku tidak melihat dua orang pendeta 

Zen yang datang bersama Akira itu...." 

shigero Momochi yang juga asyik membaca doa 

buka kedua matanya. Lalu dipejamkan kembali. Seperti 

tak acuh dia berkata. "Mungkin mereka sudah pulang..." 

Kalau betul berarti sungguh tidak sopan per-buatan 

mereka. Tidak minta diri pada tuan rumah Apalagi 

upacara pembacaaan doa belum selesai. Disamping itu 

mereka selayaknya menunggu sampai selesai upacara 

perabuan jenazah. Jangan-jangan mereka berkeliaran 

ke mana-maria..:”

"Mungkin saja mereka lelah membaca doa lalu jalan 

melihat-lihat bangunan perguruan kias," jawab Shigero 

lagi. 

”melihat-lihat malam-malam begini? Hatiku merasa 

kurang enak." kata Hisao Matsunaga. 

Kalau begitu biar aku mencari di mana mereka berada." 

Shigero hendak hangkit berdiri. Padahal sebenarnya 

saat itu dia ingin kembali ke kamarnya untuk meneguk 

minuman keras. Mulutnya terasa pahit dan teng-

gorokannya seolah kering. 

"Biar aku saja yang pergi. Kau tetap di sini," kata 

Hisao Matsunaga lalu mendahului berdiri. 

Shigero Momochi memperhatikan kepergian sang ketua 

sambil berkata-kata sendiri dalam hati. "Anak itu mem-

buat keadaan menjengkelkan. tiba-tiba saja dia menjadi 

sangat Penting. Mengapa ada komplotan ninja yang 

menginginkan nyawanya? Ninja bekerja hanya atas 

dasar bayaran. Kalau dibayar berarti ada yang 

membayar. Siapa? Mengapa .... ?" 

Dua pendeta Zen mendekam di balik sebuah pot 

besar Memandang ke depan mereka melihat sekitar dua 

belas orang anggota perguruan berjaga-jaga di dekat 

bangunan di mana Akira Kasai berada. Di ruangan 

dalam masih ada empat orang lagi melakukan 

pengawalan. 

Sambil memandang berkeliling salah seorang 

pedeta Zen berbisik pada temannya. " Aku sebetulnya 

tidak suka pekerjaan macam begini. Kalau bukan

pendeta Kamashaki yang menyuruh aku lebih enak diam 

di kamarku, berdoa sambil tidur-tiduran ..." 

Mendiang Ketua Noboru Kasai punya hubungan 

sangat baik dengan kita. Sangat pantas kalau pendeta 

Kamashaki meminta kita menyelamatkan anak itu, 

Pendeta agaknya telah punya firasat atau bisa melihat 

apa Yang bakal dialami anak itu. Ini semua berdasar 

pada kenyataan bahwa Ayahnya meninggal secara tidak 

wajar. Seseorang telah menyuruh membunuhnya, 

Lalu mungkin orang yang sama pula yang 

menginginkan surat warisan jabatan Ketua itu..” 

"Kalau aku boleh menuduh dan mohon ampun 

pada Dewa atas ucapan dan jalan pikiranku ini, aku 

punya dugaan Wakil Ketua Shigero Momochi lah yang 

jadi biang keladi dibalik semua ini.agaknya dia maklum 

kalau kelakuan dan tindak tanduknya selama ini tidak 

memungkinkan dirinya diangkat jadi Ketua. Dia berusaha 

mencuri surat warisan untuk mengubah isinya. Ternyata 

Wakil Ketua Hisao Matsunaga bertindak lebih cepat 

mengamankan surat itu ...." 

Pendeta Zen yang satu lagi terdiam sesaat. Dia 

memandang berkeliling sekali lagi. "Kurasa aman. Lekas 

kau bertindak, jangan ngomong saja. Kita tak punya 

waktu banyak...." 

Kawannya lalu mengeruk saku jubah. Dia menge-

luarkan sebuah kotak kecil yang ujungnya berbentuk 

pipa rokok. Ujung ini didekatkannya ke mulut. Penutup 

kotak dibuka lalu dia meniup. Dari dalam kotak 

berhembus keluar asap tipis bewarna kelabu. Begitu

terkena siliran angin asap ini terus menyebar dan 

menyungkup bangunan di depan sana cepat sekali. 

Dua belas orang anak murid perguruan tiba-tiba 

saja merasa mengantuk. Mereka menguap berulang kali 

lalu satu demi satu jatuh terkapar, tertidur pulas. Di 

dalam bangunan empat orang pengawal lainnya 

menyusul tenggelam dalam kantuk yang tidak 

tertahankan lagi hingga akhirnya jatuh pulas. Akira Kasai 

yang ada dalam kamar lebih cepat tertidur. Anak ini 

melingkar dl atas kasur tipis tak tahu apa-apa lagi. 

"Sekarang.. " bisik pendeta Zen di sebelah kanan. 

Lalu mendahului berlari ke arah bangunan. Kawannya 

berkelebat mengikuti. Akira Kasai yang mereka temui 

dalam kamar segera saja digendong. Keduanya lalu 

keluar dari bangunan, sengaja melewati pintu belakang. 

Begitu mereka sampai di tangga terbawah satu suara 

menegur dari tempat gelap. 

"Bukan main Dua pendeta Zen ternyata penculik-

penculik busuk Hendak kalian bawa kemana anak itu.?!” 

* * *

DUABELAS 

DUA pendeta Zen tersentak kaget. Yang 

berada di depan segera bergerak melindungi temannya 

yang membawa Akira Kasai. 

Orang yang menegur keluar dari kegelapan. 

Ternyata dia adalah Hisao Matsunaga Ketua Perguruan 

Emerarudo yang baru. 

"Ketua Matsunaga, harap kau jangan salah 

paham.." kata pendeta Zen yang berdiri di sebelah 

depan. 

"Aku tak pernah salah paham. Kalian yang salah 

paham! Perguruan Emerarudo selama puluhan tahun 

telah menggalang tali persaudaraan dengan Puri 

SanZen. Ternyata di antara kalian ada manusia-manusia 

culas. Atau mungkin pimpinan Puri yang memberi 

perintah ....?” 

Hisao Matsunaga bicara dengan seringai sinis 

dan sebentar-sebentar tangan kanannya mengusap 

dada kiri. 

"Ketua Matsunaga, kami hanya menjalankan 

tugas. Kami bukan menculik anak . ini, tapi justru mau 

menyelamatkannya. Kau sendiri tahu bagaimana ber-

turut-turut dia hendak dibunuh ...." 

Hisao Matsunaga kembali menyeringai lalu batuk-

batuk beberapa kali. "Tidak disangka para pendeta 

pandai berdusta mencari dalih ...." 

"Kami tidak berdusta. Kami benar-benar ingin 

menyelamatkan anak ini ..." 

''Turunkan anak itu, letakkan di tanah!" bentak 

Hisao Matsunaga. Lalu dia batuk-batuk kembali. Tangan 

kanannya lagi-lagi dipakai untuk mengusap dada. 

"Kami tidak bisa melakukannya ...." Marahlah 

Ketua Perguruan Emerarudo itu. Sekali lompat saja dia 

sudah berada di hadapan pendeta yang menggendong 

Akira. Tangan kanannya bergerak ke punggung dimana 

menjulur gagang pedang. 

"Cabut pedang kalian!" 

"Kami para pendeta mana pernah membawa 

senjata? l" 

"Bagus! Kalau begitu biar kupatahkan batang 

lehermu dengan tangan kosongl" Habis berkata begitu 

Hisao Matsunaga langsung menyerang pendeta di 

sebelah belakang. Tapi kawannya di sebelah depan 

cepat memapasi seraya berkata : 

"Lekas larikan anak itu. Biar aku menghadapi 

Ketua Perguruan barang sejurus dua jurusl" 

"Pendeta kurang ajarl" bentak Hisao Matsunaga 

lalu hantamkan tangan kanannya ke tenggorokan sang 

pendeta. Perkelahian tak dapat dihindari lagi.

Para pendeta di Puri Sanzen selain mendalami 

ilmu agama juga banyak yang memiliki ninjutsu atau 

kepandaian silat serta kesaktian yang cukup tinggi. Dua 

diantara mereka adalah yang kini berada di perguruan 

itu. Gerakan pendeta yang langsung menghadapi sang 

Ketua kelihatan lemah gemulai seperti penari. Namun 

setiap gerakan yang dibuatnya mengeluarkan hawa 

dingin hingga Hisao Matsunaga berlaku hati-hati. 

Berlawanan dengan sang pendeta gerakan gerakan 

Hisao Matsunaga justru cepat, deras dan ganas. Hanya 

dalam waktu lima jurus pendeta itu dibuat terjengkang ke 

tanah muntah darah. Satu jotosan mengandung hawa 

sakti yang dihantamkan Hisao Matsunaga dengan telak 

mengenai dadanya. 

Berhasil merobohkan pendeta satu itu Hisao 

Matsunaga segera mengejar pendeta satunya yang 

membawa kabur Akira Kasai. Sadar kalau dia tak bisa 

meloloskan diri pendeta ini terpaksa turunkan anak yang 

di gendongnya ke tanah lalu menghadapi Hisao 

Matsunaga. Ternyata pendeta ini kepandaiannya jauh 

lebih rendah dari temannya tadi. Hantaman tepi telapak 

tangan Hisao Matsunaga tak dapat dikelitnya. 

Krakkk! 

Lehernya patah. Nyawanya lepas sebelum tubuhnya 

rubuh menyentuh tanah! 

Saat itu Akira Kasai telah terjaga dari tidurnya 

akibat sirapan asap aneh pendeta Zen tadi. Sambil 

mengucak-ucak kedua matanya dia memandang 

berkeliling dan dapatkan dirinya terbujur di atas tanah

"Eh, di mana diriku inl?' dia bertanya sendiri lalu 

memandang berkeliling. Saat itulah dia melihat Ketua 

Hisao Matsunaga tengah mengayunkan tangan 

memukul patah batang leher pendeta Zen. Dengan ter-

kejut si anak melompat berdiri. 

"Paman Ketua ......" 

Hisao Matsunaga memandang berkeliling. Dilihat-

nya ada beberapa orang mendatangi dari jurusan tempat 

pembacaan doa. Di depan sekali Shigero Momochi. 

"Lekas masuk ke kamarmul" teriak Hisao 

Matsunaga. Tapi untuk sesaat lamanya si anak masih 

tegak tertegun. Saat itulah tiba-tiba dari salah satu atap 

bangunan melayang turun satu sosok merah. Hisao 

Matsunaga terkejut sekali karena sambil melayang orang 

ini lepaskan pukulan tangan kosong yang mengeluarkan 

suara angin menderu, membuat Ketua Perguruan ini 

terhuyung-huyung kalau tidak lekas melompat ke 

samping. 

"Nlnja merahl" seru Hisao Matsunaga. Sementara 

itu Shigero Momochi dan bebera orang yang mendatangi 

hanya tinggal belasan langkah dari tempat itu. Di antara 

mereka kelihatan pula Akiko Bessho. 

"Hai!" teriak Shigero. Hisao Matsunaga juga 

membentak keras ketika keduanya melihat bagaimana 

nlnja merah dengan satu gerakan kilat menyambar tubuh 

Akira Kasai. Ketika dia hendak berkelebat pergi 

memboyong si anak Shigero Momochi menghadang 

dengan tebasan pedang.

Ninja meran melompat ke kiri. Dari jurusan ini dia 

mendengar suara berdesir. Sebilah katana menyambar 

ke arah punggungnya. Serta merta ninja merah hunus 

pedangnya pula. Tanpa menoleh dia sapukan 

senjatanya ke belakang. 

Tranggg! 

Dua katana saling beradu memercikkan bunga 

api. Ninja merah jatuhkan diri ke tanah. Sambil mengepit 

tubuh Akira dia bergulingan. Tiga katana datang 

menyambar. 

Satu dari Shigero Momochi, satu dan Hisao 

Matsunaga dan yang ketiga dari Akiko Bessho. Tiga kali 

terdengar suara berdentrangan. Walau dia sanggup 

menangkis tiga hantaman pedang namun pedang di 

tangan ninja merah tergetar keras. 

"Cincang bangsat inil Selamatkan Akira-sanl" 

teriak Hisao Matsunaga. 

"Tunggu dulu!" Yang berseru adalah Shigero 

Momochi. 

"Tahan semua serangan!" 

"Shigero apa maksudmu?l" tanya Hisao 

Matsunaga hampir berteriak dan berusaha menahan 

marahnya. 

"Sebelumnya ninja merah ini menolong kita se-

waktu empat ninja hitam muncul. Sekarang dia hendak 

melarikan anak itu! Aku perlu menanyai siapa dirinya 

sebenarnya dan mengapa dia melakukan semua ini?!" 

"Si pemabok tolol!" maki Hisao dalam hati. Hati 

dia berkata.

"Shigero, orang jelas-jelas hendak menculik 

putera mendiang Ketua! Kau masih hendak bicara 

berbaik-baik .... Sungguh anehl" Dia terbatuk-batuk lagi. 

"Kau benar Ketua! Justru karena semua terasa 

aneh aku ingin menyingkapkan tabir keanehan ini! Dua 

pendeta Zen juga melakukan keanehan! Apa kau tak. .." 

"Shigero! Kau kembali saja ke ruang pembacaan 

doa. Biar mahluk merah ini aku yang membereskan! 

Adalah tolol kalau dalam keadaan seperti ini kau mau 

ngobrol dengan musuh!" Mendengar kata-kata Hisao 

Matsunaga itu Shigero Jadi meradang. 

"Kalau itu mau Ketua terserah saja!" katanya. Lalu 

dia membalikkan tubuh. Matanya membentur Akiko 

Bessho. Dia mendelik pada si gadis. 

"Kau juga aneh! Kau orang luar! Mengapa ikut 

campur urusan kami?!" 

"Wakil Ketua Shigero. Maafkan kalau aku telah 

bertindak lancang. Tapi bagiku Akira sudah seperti adik 

sendiri mengingat hubungan Ayahnya dengan mendiang 

guruku. Lagi pu la..." Si gadis tidak meneruskan 

ucapannya. Saat itu dalam amarah yang tak terbendung 

lagi Hisao Matsunaga melompat dan menyergap ninja 

merah dengan satu serangan kilat. Untungnya yang 

diserang tidak berlaku lengah. Sekali tangan kanannya 

bergerak pedangnya menangkis pertengahan badan 

pedang Hisao hingga tangan masing-masing tergetar 

keras. 

Hisao berlaku cerdik. Begitu pedang saling me-

nempel dengan cepat dia mendorong. Ketua baru per

guruan Emerarudo ini memang dikenal sebagai memiliki 

hawa sakti yang sanggup mengeluarkan tenaga luar 

biasa kuatnya. Tetapi alangkah kagetnya dia ketika tiba-

tiba tenaga dorongannya seolah-olah berbalik meng-

gempur dirinya sendiri. Semakin dicobanya semakin 

terdorong dia kebelakang. 

Selagi Hisao Matsunaga berusaha mempertahan-

kan diri dari tekanan lawan tiba-tiba ninja merah 

hentakkan kaki kanannya menghantam tanah. Ketua 

perguruan itu merasakan tanah yang dipijaknya seperti 

dilanda gempa. Tubuhnya terhuyung-huyung. Dia ber-

tahan mati-matian dengan sekuat tenaga agar tidak 

jatuh. 

Tapi bukan saja dia kalah tenaga malah dari 

mulutnya kelihatan ada darah meleleh! Tenaganya se-

olah punah. Tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa 

langkah. Saat itulah pedang di tangan ninja merah 

berkelebat. Hisao Matsunaga coba menangkis tapi 

meleset. 

Breetttl 

Dada kimono Hisao Matsunaga robek besar mulai dari 

pertengahan perut sampai ke bahu kiri. Perut dan 

dadanya tersingkap lebar tubuhnya jatuh terlentang di 

tanah. Pedang di tangan ninja merah menyusul 

berkelebat mengikuti arah jatuhnya sedetik kemudian 

ujung pedang telah menempel di tenggorokan Hisao 

Matsunaga. 

Saat Itu Shigero Momochi sudah tak ada lagi di 

situ. Beberapa orang murid perguruan dan juga Aklko

Besso tertegun tegang. Agaknya nyawa sang Ketua 

tidak tertolong lagl. Namun rupanya ninja merah tidak 

bermaksud membunuhnya. Karena dengan cepat dia 

memasukkan pedangnya ke dalam sarung lalu dengan 

cepat pula dia berkelebat lenyap dari tempat itu. Akira 

Kasai ikut lenyap bersamanya. 

"Ninja merahl Tunggul" seru Akiko. 

Yang diteriaki sudah lenyap dari pemandangan. 

Tapi si gadis dengan nekad berusaha mengejar. 

* * *

TIGABELAS 

AKlRA Kasai merasa seperti mau tanggal 

jantungnya dibawa iari sekencang itu. 

"Nin .... ninja merah .... Kau mau membawa saya 

kemana? Kau juga mau membunuhku..? Untuk bertanya 

begitu anak ini berusaha menindih rasa takutnya hingga 

suaranya tersendat bergetar. 

"Siap bilang aku mau membunuhmu. Malah aku 

ingin kau selamat ..:” ninja merah menjawab. 

"Aku membawamu ke tempat aman. 

"Ah, gadis itu masih saja mengikutiku!" Ninja 

merah membatin. 

"Anak, kau tahu tempat yang baik dimana kau 

bisa tinggal sementara dengan aman!?” 

"Eh, bagaimana ini? Kau bilang mau membawa 

saya ke tempat aman. Mau menyelamatkan diriku. 

Sekarang mengapa malah bertanya? Dan mau 

meninggalkan saya?I" 

Kau lama tinggal di kawasan ini. Pasti tahu seluk 

beluk daerah ini. Aku tak ingin ada orang mendatangimu 

lagi dengan maksud keji mau membunuhmu. Disamping 

itu ada satu urusan besar yang harus aku selesaikan ..." 

"Kalau begitu kau turunkan saja saya di tengah 

jalan inil" kata Akira Kasai pula. 

"Boleh saja! Tapi coba kau lihat ke belakang. Ada 

seseorang mengejar. Jika kau kuturunkan apa kau 

merasa pasti si pengejar itu tidak akan memisahkan 

badan dan kepalamu?!" Mendengar hal itu Akira Kasai 

jadi bergeming juga. 

"Saya rasa lebih baik ikut kemana kau pergi saja," 

kata si anak kemudian. Ninja merah tersenyum dan 

berlari terus. Makin lama makin kencang. Akira melihat 

pohon-pohon yang mereka Iewati laksana hantu-hantu 

hitam berkelebat 

Coba kau lihat. Apa orang yang mengejar masih 

ada di belakang?" ninja meminta bantuan anak yang 

dikepit di sisi kirinya itu. 

"Masih. Malah sekarang ada dua," jawab Akira 

Kasai. 

"Hah?! Apa katamu?!" Ninja merah berpaling. 

Memang benar. Di belakangnya kini ada dua orang yang 

mengejarnya. Tak jelas siapa satunya. Ninja kertakkan 

rahang. Kedua tumit kakinya tidak menginjak tanah lagi. 

Larinya benar-benar kilat laksana hembusan angin 

hingga beberapa waktu kemudian dia bisa lolos dari dua 

pengejar. 

"lni kawasan Okaza. Tak Jauh dari sini ada sungai 

kecil ... !” tiba-tiba Akira berkata. 

"Kau anak pandai," ujar ninja merah. 

"Kalau kita menuju ke sana apa ada tempat yang 

aman bagimu? ”

"Sepanjang sisi sungai kawasan peladangan. 

Biasanya ada beberapa buah gudang sayur di sekiar 

situ!” 

"Kita menuju ke sana! Kau tunjukkan saja jalan 

nya!" Ninja merah mempercepat larinya. Tak lama kemu-

dian sungai yang dikatakan Akira Kasai kelihatan me-

manjang dalam ke gelapan di lamping sebuah lembah 

subur. Di kiri kanan sungai merupakan daerah pela-

dangan. Memang benar di situ terlihat beberapa buah 

bangunan gudang tempat penimbunan sayur sebelum 

diambil oleh para tengkulak. Ninja membawa Akira ke 

sebuah gudang terdekat. Keadaan di sini sunyi dan 

gelap. 

"Kau berani kutinggal sendiri di sini?” tanya ninja 

merah setelah menurunkan si anak dari kempitannya. 

Akira Kasai memandang berkeliling. Hatinya berdebar 

juga. 

"Ninja merah, apa sebenarnya yang hendak kau 

lakukan hingga kau tega- teganya meninggalkan diri 

saya sendirian di sini?" 

"lni bukan soal tega atau tidak," jawab ninja 

merah. 

"Aku tidak bisa membawamu justru aku kawatir 

jiwamu terancam!" 

"Kau tidak mau mengatakan mau pergi kemana?" 

"Kalau aku katakan kau pasti tidak percaya ...." 

"Bilang saja ...." 

"Aku mau menyerbu ke markas komplotan ninja 

Nara!"

"Apa .... ? si anak terkejut dan melotot. 

"Saya melihat kau merobohkan tiga ninja. Itu 

hebat! Tapi kalau kau mau menyerbu markas ninja itu 

adalah gila!" 

"Eh, gila kenapa?” 

"Kau mau bunuh diri?!" tukas si anak. 

"Hanya orang gila yang mau bunuh diri!" sahut 

ninja merah. 

"Karena itu saya katakan kau gila. Kau tak bakal 

dapat menerobos masuk markas mereka. Kalaupun 

bisa, tak mungkin dapat keluar hidup-hidupl" 

"Kau mau taruhan?!" tantang ninja merah. 

"Boleh saja! Kalau aku kalah akan kuserahkan 

padamu katana yang tergantung di pinggangku. Kalau 

kau kalah aku minta pakaian ninja merahmu!" 

"Hah?!" ninja merah berseru, tidak menyangka si 

anak akan meminta pakaiannya. Setelah berpikir 

sejenak dia berkata. 

"Baik! Taruhan jadi!" Akira tertawa perlahan. 

"Eh, kenapa kau tertawa? Ada yang lucu?!" tanya 

ninja merah. 

"Kalau aku menang taruhan aku tak akan pernah 

dapat pakaian merahmu. Karena kau sudah tewas di 

markas ninja Nara ...." 

"Ah, kau betul juga. Kalau begitu menyusul saja 

nanti ke sana .... Nah sekarang kau kutinggal dulu! 

Masuk ke dalam gudang! Jangan sekali-kali be-

rani keluar apapun yang terjadi. Kalau ada petani masuk 

sembunyi di balik tumpukan sayuran. Mengerti….?!"

"Hai!" jawab Akira Kasai. Ninja merah putar tubuh-

nya tapi si anak memegang lengannya. 

"Tunggu dulu ... ." 

"Apalagi? Kalau mau bicara cepatlah. Waktuku 

tidak banyak. Sebentar lagi pagi datang ...." 

"Ninja merah, saya tidak tahu siapa kau sebenar-

nya. Tapi apakah saya bisa mempercayaimu?" 

"Anak, kenapa kau bertanya begitu?' 

"Soalnya ada hal penting yang harus kubicarakan. 

Saat ini hanya ada kau ...." 

"Apa yang hendak kau bicarakan?" 

"Banyak!” 

"Waktuku sangat sedikit. Nanti saja kita bicara ...." 

"lni menyangkut surat warisan dan ..." 

"Kalau itu bisa kau bicarakan nanti dengan Ketua 

Perguruan ...." 

"Justru saya tidak mau bicara dengan dia ...." 

"Bicara dengan Wakilnya. Eh, kenapa kau tidak 

mau bicara dengan Hisao Matsunaga? “ 

"Karena saya tidak percaya padanya. Saya sa-

ngat curiga! Saya yakin dia yang jadi biang keladi kema-

tian Ayah!'' Ninja merah. terkejut mendengar kata-kata 

Akira Kasai itu. Dia menarik si anak ke dekat sebuah 

bangku panjang terbuat dari kayu dekat dinding gudang. 

"Duduk. Kau bicaralah. Jika kau curiga pada 

orang kau harus punya bukti atau saksi." 

"Saksi saya tidak punya. Tapi bukti ada!" 

"ltu boleh juga ...."


“Mengenai surat warisan pengangkatan Paman 

Hisao Matsunaga. Saya yakin surat itu palsu. Waktu 

Ayah membuatnya ada tinta menetes di sudut kiri bawah 

surat. Saya diperkenankan memeriksa surat itu. Ternya-

ta noda tinta itu tidak ada ... ." 

"Mmmmmm ...." ninja merah bergumam. 

"Mengapa hal itu tidak kau katakan terus terang 

pada Ketua Hisao? 

"Saya takut." 

"Lanjutkan bicaramu." 

"Saya yakin surat yang asli disembunyikan oleh 

Paman Hisao. Atau sudah dimusnahkannya. Waktu 

Ayah memasukkan surat ke dalam amplop, saya sempat 

membaca bahwa yang diangkat Ayah sebagai pewaris 

jabatan Ketua adalah Paman Shigero Momochi bukan 

Paman Hisao Matsunaga ...." 

"Kalau penglihatanmu betul rasanya tidak masuk 

akal Ayahmu melakukan hal itu. Orang pemabuk dan 

punya sifat kasar seperki Shigero mana mungkin 

dijadikan Ketua?l" 

"Saya juga tidak mengerti. Tapi saya yakin Ayah 

punya alasan berbuat begitu. Semua orang memang 

tahu Paman Shigero punya sifat buruk. Banyak yang 

tidak suka. Terus terang saja saya juga tidak suka 

padanya. Tapi semua orang tahu hatinya baik ...." 

"Kalau kau tidak bisa mendapatkan surat warisan 

yang asli, sulit untuk membuat urusan...." 

"Siapa yang jadi Ketua sekarang bagi saya tidak 

soal," kata Akira Kasai

“Tapi saja juga yakin bahwa Paman Hisao adalah 

pelaku pembunuh Ayah saya ...." Ninja merah tersentak 

oleh rasa terkejut. 

"Bagaimana kau bisa menuduh begitu? Bukankah 

Ayahmu mati dibunuh oleh ninja?" 

"Kelihatannya begitu. Tapi mungkin juga oleh 

ninja bohongan. Karena waktu Ayah meninggal, saya 

lihat kedudukan lima jari tangannya seperki habis 

melancarkan ilmu pukulan Lima Jari Dewa. Itu ilmu 

pukulan paling hebat di Jepang saat ini. Siapa yang 

terkena pasti akan mati, kalaupun selamat akan cacat 

atau sakit-sakitan seumur hidupnya. Agaknya Ayah 

masih sempat melancarkan serangan itu pada 

pembunuhnya ...." 

"Lalu ....? 

"Sejak malam terjadinya pembunuhan itu saya li-

hat Paman Hisao selalu batuk-batuk dan sering mengu-

sap dada kirinya ... ." 

"Anak, hal itu tidak bisa kau jadikan bukti bahwa 

Ayahmu telah menghantamnya dengan pukulan Lima 

Jari Dewa dan bahwa Hisao Matsunaga yang membu-

nuh Ayahmu ..." 

"Saya punya bukti lain. Waktu kau merobek pakai-

an Paman Hisao dengan ujung pedang, saya sempat 

melihat dada kirinya. Saya menyaksikan ada lima titik 

besar berwarna merah yang membengkak di dada 

kirinya. Itu adalah bekas pukulan Lima Jari Dewal" 

Sepasang mata ninja merah tampak mendelik.

"Berarti Paman Hisaolah yang dipukul Ayah de-

ngan ilmu Lima Jari Dewa. Berarti dialah yang menya-

mar jadi ninja lalu menyerbu perguruan dan membunuh 

Ayah ...." 

"Aku ingat waktu berkelahi dengan Ketua 

Perguru-an itu. Ada kejadian yang mengherankan. Keti-

ka dia menggembor tenaga untuk menahan tekanan 

pedangku, dari mulutnya keluar darah. Pertanda dia me-

mang terluka di dalam. Akibat pukulan Ayahmu." 

"Satu lagi," menyambung si anak. 

"Waktu rombongan kami diserang komplotan 

ninja, semua anak murid perguruan mati dibunuh. Me-

ngapa Paman Hisao bisa menyelamatkan diri padahal 

jelas saya lihat saat itu dia sudah dikurung oleh lima 

orang ninja. Tapi dia tidak dibunuh karena ninja-ninja itu 

memang orang bayarannyal" 

"Akira, aku kagum dengan kecerdikanmu 

berpikir..." kata ninja merah pula. 

"Kagum saja tidak ada artinya. Apakah kau juga 

bersedia menolong mengungkapkan kekejian ini pada 

para pengurus Perguruan Emerarudo? 

"Aku berjanjil" jawab ninja merah. 

"Terima kasih ...." kata Akira Kasai. Anak ini 

membungkuk dalam-dalam lalu menyelinap masuk ke 

dalam gudang sayur. Tak lama setelah ninja merah 

lenyap dalam kegelapan malam, dari atas atap gudang 

sayur dua sosok tubuh melayang turun ke tanah. 

"Kita berbagi tugas," kata sosok di samping 

kanan.

"Aku tetap di sini menjaga anak itu. Kau mengikuti 

ninja merah." Kawannya mengangguk. 

"Hati-hatilah. Komplotan ninja atau orang- orang 

dari Perguruan bisa muncul setiap saat di tempat ini. 

Sayang tadi kita tidak sempat mendengar apa yang 

dibicarakan anak itu dengan ninja merah. ..." 

* * *

EMPATBELAS

DINlHARl menjelang pagi. Di dua tempat. 

Tempat pertama adalah Perguruan Emerarudo. Upacara 

pembacaan doa baru saja selesai dan akan dilakukan 

lagi pada saat menjelang perabuan jenazah. Ketua 

perguruan berada dalam kamarnya. Selesai berganti 

pakaian dia keluar menuju ke ruangan di mana telah 

menunggu beberapa pengurus termasuk Shigero 

Momochi. 

"Ketua, bagaimana keadaanmu?" tanya Shigero. 

"Aku sudah minum obat. Keadaanku cukup sehat. 

Apakah dua orang yang kusuruh menguntit kemana 

larinya ninja merah sudah kembali?" tanya Hisao 

Matsunaga. 

"Belum Ketua ..." 

"Kita harus menyelamatkan dan mendapatkan 

anak itu kembali ..." kata sang Ketua sambil pegangi 

dada kirinya. Di luar tiba-tiba ada suara derap kaki kuda. 

Tak lama kemudian dua orang anak murid perguruan 

yang memiliki keahlian menunggang kuda secara luar 

biasa masuk. Setelah membungkuk salah seorang dari 

mereka memberi laporan. 

"Ninja merah lenyap, tak berhasil kami ketahui 

kemana perginya. Tapi putera mendiang Ketua Noboru 

Kasai kami ketahui bersembunyi di sebuah gudang 

sayur dekat sungai Okaza. Di dekat gudang kami lihat 

nona Akiko Bessho berjaga-jaga." 

"Gadis murid Hiroto Yamazaki itu memang sudah 

kucurigai. Kecurigaanku ternyata betul. Dia berkomplot 

dengan pendeta dari Puri Sanzen, berkomplot juga 

dengan ninja merah dalam menculik Akira Kasai! Aku 

akan menangani tuntas persoalan inil" Hisao Matsunaga 

masuk ke dalam kamarnya. Ketika keluar dipinggangnya 

kelihatan tersisip sebilah katana panjang yang gagang-

nya ada batu-batu permatanya. Ini adalah pedang 

kebesaran milik Perguruan Emerarudo yang telah 

berumur lebih dari tiga ratus tahun. 

"Ketua," tiba-tiba Shigero Momochi berkata sambil 

melangkah. 

"Kau harus tetap berada di sini. Di antara para 

tamu. Upacara perabuan segera akan dilakukan siang 

nanti. Biar aku dan anak-anak yang turun tangan .. ." 

"Tidak bisa Shigerol Aku mempunyai kewajiban 

untuk menyelamatkan anak itu dan menghukum Akiko 

Bessho. Selesai upacara perabuan jenazah aku 

bersumpah untuk mencari sendiri ninja merah sampai 

dapat .. ." 

"Tapi kau kelihatannya masih kurang sehat 

Ketual" 

"Siapa bilang aku kurang sehat” jawab Hisao 

Matsunaga lalu

srettt! 

Pedang di pinggangnya dicabut. Sinar 

menyilaukan bertaburan. Dess... dess ... dessssl Tiga 

buah patung yang terbuat dari batu dan terletak di atas 

sebuah meja panjang putus disambar pedang. Tiga 

kepala patung jatuh ke lantai tapi bagian bawahnya tetap 

berada di atas meja. llmu kendo yang dlmiliki sang Ketua 

memang hebat. Namun kehebatannya ini menjadi tanda 

tanya ketika dia bisa dirobohkan oleh ninja merah 

sebelumnya. 

Karena tak bisa dicegah Shigero Momochi akhir-

nya hanya bisa diam saja ketika Hisao Matsunaga 

dengan cepat meninggalkan perguruan lewat jalan 

belakang. 

Mereka memacu kuda masing-masing menuju 

kawasan Okaza. Hisao Matsunaga di depan sekali. 

* * * 

Tempat kedua seperti biasanya setiap pagi doyo 

besar di markas ninja Nara selalu ramai dipergunakan 

untuk latihan berbagai macam senjata. Mereka hanya 

mengenakan celana panjang hitam tanpa baju dan 

penutup wajah. Tubuh mereka memiliki otot-otot kokoh. 

Gerakan memainkan senjata ataupun ninjutsu sangat 

gesit dan ringan. Setiap gerakan mengeluarkan desiran 

angin. 

Seorang lelaki berusia setengah abad dengan 

inezumi bergambar naga kepala tiga di dada kanannya

berjalan seputar dojo. Sesekali dia mendekati orang-

orang yang berlatih untuk membetulkan kuda-kuda atau 

memberi tahu cara yang tepat melemparkan shuriken 

ataupun memainkan kusarigama dan kendo. Orang ini 

adalah Shimada Kagami. Dialah pimpinan tertinggi ninja 

kelompok Nara, satu dari tiga kelompok ninja yang 

paling ditakuti pada masa itu. 

Di tengah ruangan tiba-tiba Shimada Kagami 

hentikan langkahnya. Dia memandang berkeliling lalu 

berseru. 

"Hentikan latihanl Apakah kalian tidak merasakan 

ada keanehan dalam ruangan ini?” Semua ninja yang 

ada dalam dojo ltu hentikan latihan mereka lalu 

memandang pada pemimpin mereka. Salah seorang dari 

mereka mendongak lalu berkata. 

"Memang ada keanehan. Ruangan ini terasa 

semakin dingin ..." Ninja yang lainnya seolah baru 

menyadari ikut mengiyakan. Lalu mendadak saja tubuh 

mereka mulai bergetar. Rahang menggembung dan 

geraham bergemeletukan. Hawa dlngin menyerang 

dengan hebat. Di tengah ruangan Shimada Kagami coba 

bertahan.Tapi tidak sanggup. 

"Pada musim dingin sekalipun tak pernah 

kejadian sedingin ini. Apa lagi musim dingin sudah lewat! 

Lekas kenakan pakaian kalian! Kembali ke tempat ini 

dalam hitungan ke tiga puluhl" Serta merta dojo itu 

menjadi kosong. Shimada Kagami juga ikut lenyap. Tak 

lama kemudian dia muncul lagi dalam keadaan sudah 

berpakaian serba hitam mulai dari kaki sampai kepala.

Ninja-ninja lainnya menyusul muncul pula. 

Semua lengkap dengan katana di pinggang atau di 

belakang punggung. Mereka tegak menyebar di ruangan 

latihan. Jari-jari tangan dikepal membentuk tinju. Lengan 

diluruskan ke depan sejajar pinggang. 

"Kerahkan hawa sakti dari perut! Panaskan aliran 

darahl" teriak Shimada Kagami. Semua ninja melakukan 

apa yang dikatakan. Tapi hawa dingin yang menyerang 

bukannya berkurang malah semakin bertambah hingga 

banyak di antara mereka tertegak diam seperti 

membeku. Shimada Kagami membentak keras. 

Tubuhnya melesat keatas langit- langit ruangan. Ada 

bagian atap yang bergeser. Sesaat kemudian ketika dia 

melayang turun sebilah senjata yang memancarkan 

sinar perak menyilaukan tergenggam di tangannya. 

Hawa panas yang keluar dari senjata ini ternyata mampu 

mengurangi dinginnya udara di dalam dojo. 

"Senjata luar biasal Benar-benar luar biasal" kata 

Shimada Kagami. Senjata itu diputarnya di atas kepala. 

Sinar putih berkiblat ke seluruh penjuru. Suara 

menggema seperti ratusan tawon mengamuk memenuhi 

ruangan dan bersamaan dengan itu hawa panas terasa 

semakin santar. Pada saat inilah atap ruangan di ujung 

kiri tiba-tiba jebol. Satu sosok merah melayang ke 

bawah. 

"Ninja merahl" 

Seluruh anggota kelompok ninja Nara termasuk 

pimpinannya menjadi gegerl Semua tidak bergerak. 

Hanya mata masing-masing diarahkan tak berkesip pada

ninja merah yang mereka lihat berdiri secara aneh. 

Mahluk ini tegak dengan kaki terkembang. Dua tangan 

diangkat ke atas, telapak mengembang. Sepasang 

lengannya tidak berhenti membuat gerakan berputar. 

Dari ke dua telapak tangan ninja merah inilah membersit 

keluar angin tajam sedingin es! 

Semua ninja anak buah Shimada Kagami seolah-

olah telah menjadi beku tak sanggup lagi menggerakkan 

tangan atau kaki ataupun kepala mereka. Mereka tegak 

seperti patung es! 

Dalam marah mereka hendak membentak namun 

yang keluar hanya suara erang orang kedinginan! Hanya 

sang pimpinan yang masih sanggup bertahan. Namun 

lama-lama diapun tak sanggup memutar senjata yang 

dipegangnya. Perlahan-lahan tangan kanannya jatuh 

terkulai kesisi. 

Ninja merah melangkah maju dan berhenti kira-

kira lima tindak dari hadapan Shimada Kagami. 

"Aku tidak mau mendengar bantahan atau 

kedustaan! Ucapan ninja adalah ucapan kesatria! 

Beberapa anak buahmu menyerang seorang pendekar 

asing dekat sebuah jurang batu. Mereka merampas sen-

jata berbentuk kapak milik pendekar itu yang kini kau pe-

gang. Serahkan senjata itu, aku akan menyerahkannya 

pada sang pendekar. Lalu aku akan pergi dari sini tanpa 

membuat urusan jadi panjang! Kalau tidak kalian semua 

akan aku jadikan patung es!!"

"Ninja keparat! Kau pasti mahluk jadi-jadian! 

Mempergunakan ilmu sihir untuk membuat kami tidak 

berdaya! Pengecut" 

"Kau mau serahkan kapak sakti itu atau tidak!" 

"Kau boleh mengambil senjata ini sesudah 

melangkahi mayatku!" 

"Ninja sombong! Mari kita berkelahi dengan 

pedang. Kalau aku kalah kau boleh bunuh diriku. Kalau 

kau kalah kau harus menyerahkan kapak bermata dua 

itu!" Sambil berkata begitu ninja merah cabut katananya. 

Ujung senjata ini di usapkannya ke wajah dada dan 

perut Shimada Kagami. Aneh, ada hawa panas yang 

mengalir dari pedang terus masuk ke dalam tubuhnya 

hingga Shimada kini merasa hangat dan terbebas dari 

hawa sangat dingin yang menguasainya. 

"Kau menerima perjanjian atau tidak?!" tanya 

ninja merah begitu dilihatnya Shimada Kagami mulai 

bisa menggerakkan badan. Pimpinan ninja ini keluarkan 

suara mendengus. Kapak di tangan kanannya di 

lemparkan ke atas. Senjata ini menancap di salah satu 

balok penyanggah atap ruangan latihan. Lalu didahului 

dengan bentakan garang dia cabut katananya langsung 

menyerang ninja merah. 

Dalam waktu singkat sepuluh jurus berlalu. 

Shimada Kagami yang merasa berada di atas angin 

menggempur terus-terusan. Pedangnya berubah men-

jadi bayang-bayang. Mendesak ninja merah habis-

habisan hingga orang ini kelihatan pontang panting 

menghindar atau menangkis cari selamat.

Lima jurus lagi berlalu. Shimada Kagami jadi 

penasaran. Semua anak buahnya juga jadi heran 

melihat pimpinan mereka tak sanggup mengalahkan 

lawan padahal perkelahian sudah berjalan lebih dari lima 

belas jurus. Padahal lagi sang lawan hanya memegang 

katananya dengan satu tangan, cara memegang pedang 

yang tak pernah mereka lihat selama ini! 

Shimada berleriak keras. Pedangnya menetak 

deras dari atas ke bawah. Dari perutnya dia alirkan 

tenaga dalam. 

Tranggg! 

Dua katana beradu keras. Katana di tangan ninja 

merah terlepas dan mencelat ke atas. 

"Saatmu menerima kematian!" teriak Shimada 

Kagami. Ninja merah jatuhkan diri ke lantai dojo begitu 

pedang membabat. 

Bretttl 

Pinggang pakaiannya robek. Pedang di tangan 

Shimada menancap di lantai dojo. Selagi dia berusaha 

mencabutnya ninja merah gulingkan diri ke samping. 

Kaki kanannya berkelebat. 

Bukkk! 

Shimada Kagami mengeluh tinggi ketika tulang 

kering kaki kanannya dibabat tendangan lawan. 

Pedangnya terlepas. Tubuhnya roboh ke lantai. Ketika 

dia mencoba bangun dengan cepat, gerakannya kalah 

cepat dengan gerakan ninja merah. Saat itu lawan sudah 

tegak di atasnya. Kaki kanan ninja merah menginjak 

anggota rahasia dibawah perutnya.

"Kalau kau tidak mengaku kalah, kuhancurkan 

kemaluanmul" mengancam ninja merah. Kaki kanannya 

ditekankan sedikit hingga Shimada Kagami mengerenyit 

kesakitan. Tangan kanannya ditepukkan berkali-kali ke 

lantai dojo. 

"Aku mengaku kalah! Kau boleh ambil kapak itu 

Setelah mengambil kapak kau boleh pergi dengan 

aman!" kata Shimada Kagami. 

Ninja merah lepaskan pijakannya di selangkangan 

orang. Sekali lompat saja dia melesat ke atas untuk 

menyambar kapak mustika yang menancap di tiang 

penyanggah atap. Seorang anak buah Shimada cepat 

mendorong pintu geser, memberi jalan keluar pada ninja 

merah. 

Ketika dia melangkah pergi tiba-tiba ada suara 

berdesir di belakangnya. Bersamaan dengan itu terde-

ngar suara orang berteriak memberi ingat. 

"Awas serangan pedang terbang!" 

Ninja merah membalik sambil putar kapak di 

tangan kanan. 

Traaaanggg! 

Suara berdentrangan terdengar lima kali berturut-

turut. Lima katana yang dilemparkan oleh lima anak 

buah Shimada yang telah terlepas dari pengaruh hawa 

dingin mencelat berpatahan di udara. 

Shimada Kagami berteriak marah pada lima anak 

buahnya yang telah melakukan kecurangan itu. Dia 

melompat sambil membabatkan katananya. Namun 

hukuman dari ninja merah datang lebih dulu. Tiga kalikapak bermata dua menderu di udara. Tiga ninja 

terkapar mandi darah di lantai dojo, dua temannya 

menggelepar dengan leher hampir putus! 

Keheningan dan ketegangan berdarah menggan-

tung di tempat itu. Lalu terdengar suara serak Shimada 

Kagami. 

"Kau telah menjatuhkan hukuman. Aku merelakan 

kematian mereka ..." Lalu pimpinan ninja kelompok Nara 

itu menjura dalam-dalam sampai tiga kali. Ninja merah 

balas membungkuk tiga kali lalu tinggalkan tempat itu. 

Sampai di luar bangunan dia memandang berkeliling 

mencari-cari. 

Apa yang dicarinya itu segera menunjukkan diri. 

Dari atas atap bangunan satu sosok merah melayang 

turun. 

"Mahluk Bendera Darahl" ujar ninja merah. 

"Jadi kau tadi yang berteriak memberi peringatan. 

Aku berterima kasih kau telah menyelamatkanku dari 

serangan maut lima katana tadi. Aku heran bagaimana 

kau tahu aku berada di markas ninja ini?" 

"Aku dan Akiko menguntitmu. Aku sulit memper-

cayai ilmu apa yang kau keluarkan hingga semua ninja 

itu termasuk pemimpinnya hampir kaku kedinginan?" 

Ninja merah tersenyum. 

"Kau menyebut Akiko. Dimana gadis itu 

sekarang? “ 

"Di gudang di tepi sungai Okaza ... Kita harus ke 

sana sekarang. Aku seperti punya firasat buruk ..." Ninja 

merah melihat dua ekor kuda dekat sebuah pohon. Dia

memberi isyarat pada mahluk bendera lalu berpaling ke 

arah bangunan dan berteriak. 

"Pimpinan ninja Nara! Kami pinjam dulu dua ekor 

kudamu!" Di dalam bangunan Shimada Kagami 

menjawab perlahan. 

"Untung kau meminjam kudaku, kalau kau 

meminjam nyawaku berarti aku akan menghadap Dewa 

Kematian!" 

* * *

LIMABELAS 

K ETIKA ninja merah dan manusia Bendera 

Darah sampai di gudang sayur di tepi sungai Okaza 

mereka terkejut mendapatkan Akiko Bessho tengah 

bertempur mati-matian melawan Hisao Matsunaga 

dibantu oleh enam orang murid Perguruan Emerarudo. 

Gadis ini telah terluka di beberapa bagian tubuh-

nya. Tapi seperti seekor harimau betina dia menahan 

serangan lawan bahkan sesekali balas menyerang 

dengan sebat. Gadis ini berkelahi dengan membelakangi 

satu-satunya pintu gudang sayur. Dia sengaja mengam-

bil kedudukan di pintu yang terbuka itu untuk mencegah 

lawan masuk ke dalam di mana bersembunyi Akira 

Kasai. 

"Nona Akiko! Aku tidak segan-segan membunuh-

mu kalau kau tidak segera menyerahl" teriak Hisao 

Matsunaga. 

"Ketua Perguruan Emerarudo! Antara kita tidak 

ada silang sengketa! Kalau kau tidak menyembunyikan 

sesuatu mengapa kau begitu nekad hendak membunuh 

diriku! Kau juga bertindak pengecut! Mengeroyok 

seorang perempuan sampai tujuh orangl" 

Hisao Matsunaga menyeringai buruk. 

"Jelas-jelas kau ikut terlibat dalam penculikan 

putera mendiang Ketua kami! Masih bisa bilang tidak 

ada silang sengketa!" 

"Kau salah sangka.." 

"Diam!" hardik Hisao Matsunaga. Dia putar pe-

dangnya dengan sebat lalu kirimkan dua bacokan ganas 

berturut-turut. Dua kali terdengar suara berdentrangan 

sewaktu Akiko berusaha menangkis serangan lawan. 

Kali ke dua pedang di tangannya terpental lepas. Gadis 

ini terpekik lalu melompat mundur. 

"Jangan harap aku akan mengampuni nyawamul" 

kertak Hisao Matsunaga lalu menyergap dengan satu 

tusukan. 

Akiko Bessho masih sempat berkelit walau lagi-

lagi ujung pedang sempat melukai bahu kirinya. Tangan 

gadis ini tiba-tiba terpentang mengeluarkan cahaya 

perak menyilaukan. Hisao Matsunaga dan enam anak 

murid perguruan terkejut. Serentak mereka menyerbu 

bersamaan. Akiko hantamkan tangan kanannya. 

Wusssl 

Sinar putih berkiblat. Hawa sangat panas 

menerpa para pengeroyok. Mereka cepat melompat 

menjauh. Namun dua orang murid perguruan terlambat 

bergerak. Tubuhnya terpental sampal lima kaki lalu 

menggeletak mati di tanah dalam keadaan hangus! 

"llmu iblis apa yang kau miliki?l" teriak Hisao 

Matsunaga dengan wajah berubah sementara empat

murid perguruan yang ada di situ menjadi pucat tak 

berani mendekat. 

Akiko Bessho tertawa tinggi. 

"Kalau kau ingin tahu mendekatlah kemaril" kata-

nya sambil siapkan "pukulan sinar matahari!" yang 

dipelajarinya dari Pendekar 212 Wiro Sableng. Sekali ini 

tidak tanggung-tanggung. Dia kerahkan seluruh tenaga 

dalam yang dimilikinya. 

Ditantang begitu rupa Ketua Perguruan 

Emerarudo menjadi kalap. Dengan pedang terhunus dan 

berteriak keras dia menusukkan senjatanya kearah dada 

Akiko Bessho. Si gadis siap menyambut dengan pukulan 

sinar matahari. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda 

mendatangi dari dua arah. 

Dari selatan gudang menyusuri sungai adalah 

Shigero Momochi bersama dua orang pengurus dan tiga 

orang murid perguruan. Dari sebelah timur gudang 

muncul ninja merah dan mahluk Bendera Darah. 

"Tahan seranganl" 

"Hentikan perkelahian!" 

Tapi Hisao Matsunaga tidak mau perduli. Pedang 

nya terus ditusukkan. Akiko menghantam. 

"Akikol Janganl" satu teriakan terdengar begitu 

keras. Lalu satu sambaran cahaya menerpa ke arah 

pedang Hisao Matsunaga. 

Trang! 

Katana milik Perguruan Emerarudo yang telah 

berumur ratusan tahun itu mental ke udara. Jatuh tepat 

ketika Shigero Momochi sampai di tempt itu. Dengan

satu gerakan cekatan dia berhasil menangkapnya. Wakil 

Ketua perguruan ini cepat melompat turun. Sesaat dia 

memandang ke jurusan ninja merah yang tadi 

menangkis pedang Hisao Matsunaga dengan senjata 

berbentuk kapak mata dua. Lalu dia melirik pada 

manusia Bendera Darah. Setelah itu dia berpaling pada 

Akiko Bessho. 

"Nona Akikol" bentak Shigero Momochi. 

"Kau jelas bersalah karena telah menculik putera 

mendiang Ketua kami..!” Pintu gudang sayur tiba-tiba 

terbuka. Satu suara terdengar menyahuti ucapan 

Shigero Momochi tadi. 

"Paman Shigero, tak ada yang menculik diri saya. 

Mereka semua malah berusaha menyelamatkan saya 

dari tangan berdarah Paman Hisao Matsunaga!" 

Dari dalam gudang keluarlah sosok Akira Kasai. 

Paras Hisao Matsunaga mendadak sontak berubah. 

Namun dia cepat menguasai diri. 

"Akira! Syukur Dewa kau dalam keadaan 

selamatl" Akira Kasai tidak perdulikan ucapan sang 

Ketua. Dia melangkah ke arah Shigero Momochi. 

Sampai di hadapan orang ini si anak berkata. 

"Paman Shigero, saya mau memberi tahu bahwa 

Paman Hisao telah memalsukan surat warisan. 

Seharusnya kaulah yang diangkat Ayah sebagai pewaris 

Ketua Perguruan..!” Beberapa pasang mata tampak 

melotot. 

"Akira! Kau ini bicara apa? Berani kau memfitnah 

dan memberi malu Ketua kita?! ujar Shigero

"Dia tidak memfitnah dan tidak memberi malu 

siapapun! Akira, katakan semua apa yang kau ketahui!" 

kata Akiko Bessho sambil bersandar ke dinding gudang 

sayur. 

Akira Kasai memandang penuh kebencian pada 

Hisao Matsunaga lalu anak ini berkata dengan suara 

lantang. 

"Paman Hisao! Kau juga yang membunuh Ayah! 

Menyamar sebagai ninja Kau juga yang membunuh 

sahabatku Keno!" 

"Anak, kau jangan mengada-ada. Masakan aku.." 

Hisao Matsunaga melangkah mendekati anak itu. Tiba-

tiba cepat sekali tangannya menjambak rambut Akira. Si 

anak dibembengnya hingga menempel ke dadanya. Lalu 

sebuah pisau beracun yang tahu-tahu sudah ada di 

tangan kirinya diarahkan ke leher Akira. 

"Siapa berani mendekat kugorok leher anak inil" 

kertak Hisao Matsunaga dengan wajah sebengis setan. 

"Paman Shigero, saya tidak takut matil Ada bukti 

tanda pukulan Lima Jari Dewa yang dilepaskan ayah di 

dada kirinya!" berteriak Akira Kasai. 

Shigero Momochi berteriak keras. 

"Hisao! Apa benar yang dikatakan anak ini?” 

"Benar atau tidak aku tak punya waktu buat 

menerangkan!" jawab Hisao Matsunaga. Lalu dia 

mundur ke arah seekor kuda. 

"Awas jika ada yang berani menghalangiku!" Dia 

mundur lagi dan hampir sampai ke kuda yang akan

dipergunakannya melarikan diri sambil menyandera 

Akira Kasai. 

Tapi tiba-tiba sekali ninja merah melompat ke 

arahnya. Tangannya bergerak dua kali. Hisao 

Matsunaga mengeluarkan suara seperti tercekik. Mulut-

nya tak bisa bersuara lagil Bersamaan dengan itu seku-

jur tubuhnya menjadi kaku akibat dua totokkan yang dila-

kukan ninja merah tadi. Semua orang yang ada di situ 

kecuali Akiko Bessho jadi terkejut. Mereka memang 

pernah mendengar tentang ilmu totokan yang bisa 

membungkam suara dan melumpuhkan orang tapi 

seumur hidup baru sekali itu melihatnya. 

Akira Kasai menggeliat. Dengan susah payah dia 

melepaskan diri dari rangkulan Hisao Matsunaga begitu 

turun di tanah anak ini hunus pedangnya. Semua orang 

menyangka anak ini akan menusukkan senjata itu ke 

tubuh Hisao Matsunaga ternyata dia hanya merobek 

kimononya di bagian dada kiri. 

Bretttttt 

Kimono robek besar. Dada kiri Hisao Matsunaga 

tersingkap lebar Kelihatan lima bintilan merah di 

dadanya. Shigero Momochi medatangi sang Ketua dan 

memperhatikan dekat-dekat dada itu. 

"ini memang bekas pukulan Lima Jari Dewa…." 

katanya. 

"Hisao! Kau benar-benar keji!" Shigero Momochi 

tampak sangat kecewa. Orang ini putar tubuhnya 

membelakangi Hisao Matsunaga seperli hendak

melangkah pergi. Tapi tiba-tiba dia membalik. Satu 

cahaya putih berkiblat. 

Craassss! 

Katana yang diayunkan Shigero Momochi mem-

babat perut dan dada Hisao Matsunaga. Darah basahi 

kimononya yang robek besar. Tubuhnya huyung lalu 

roboh terlentang di tanah. Tak bergerak lagi, mati 

dengan mata melotot. 

Dari balik robekan pakaian tersembul sebuah 

benda berwarna kuning Akira Kasai tercekat. Anak ini 

melompat lalu mencabut benda kuning itu. Ternyata 

sebuah amplop. 

Dengan tangan gemetar Akira membuka amplop 

lalu mengeluarkan sehelai kertas yang ada di dalamnya. 

Anak ini tidak membaca lagi apa yang tertulis di kertas 

itu tapi matanya langsung memperhatikan bagian sudut 

bawah kiri. Di situ dilihatnya noda tinta yang sangat 

dikenalinya. Dengan mata berlinangan Akira Kasai me-

langkah mendekati Shisero Momochi. Surat yang dipe-

gangnya diserahkan pada orang ini. Shigero Momochi 

membaca surat itu. 

Tiba-tiba tangannya tampak ber-getar. Mulutnya 

berhenti membaca. Sepasang matanya memandang 

pada Akira Kasai. Seperti tidak Percaya apa yang 

barusan dilihat dan dibacanya. Sebaliknya Akira Kasai 

mengusut air matanya dan memandang padanya 

dengan tersenyum 

" Paman Shigero, itu surat warisan asli yang 

dibuat Ayah, Kaulah Pewaris jabatan Ketua Perguruan

Emerarudo yang syah.” Ketika dia hendak meluruskan 

tubuhnya. Shigero Momochi Cepat merangkulnya dan 

berbisik. 

"Aku tidak percaya. Bagaimana aku manusia 

kasar dan tolol ini diberi kepercayaan begitu besar oleh 

ayahmu..." 

"Ayah tahu apa yang dilakukannya. Asal saja kau 

jangan suka mabok lagi Paman Shigero ..." 

Dua mata Shigero Momochi tampak berkata-kaca. 

"Soal minuman itu. Hisao Matsunaga yang me-

ngajarkan padaku. Dia mengirimkan berbagai minuman 

keras ke kamarku. Setiap hari. Sejak lima tahun yang 

lalu.....” 

"Ah, berarti dia memang sudah mengatur jauh-

jauh hari. Sengaja menjadikan kau orang jelek dimata 

semua orang di perguruan. Kami semua tahu kau 

memang jelek rupa dan jelek sifat. Namun hatimu 

Seputih Salju di puncak Fuji dan jiwamu bersih sebersih 

bunga sakura yang mulai bersemi....” 

Ucapan Akira Kasai itu sangat menyentuh 

perasaan Shigero Momochi hingga dia memeluk anak itu 

erat-erat sementara air mata jatuh membasahi pipinya. 

"Paman Shigero, sembunyikan air matamu. Ja-

ngan Sampai ada orang lain yang melihat. Masakan Ke-

tua Perguruan besar menangis seperti anak kecil.." 

Shigero Momochi mau tak mau jadi tersenyum. 

Sambil mendukung Akira dia mendatangi ninja merah, 

mahluk Bendera Darah dan Akiko Bessho.

"Kalau tidak dengan bantuan kalian bertiga, entah 

apa jadinya dengan Akira dan perguruan kami. Aku atas 

nama Pribadi dan perguruan Emerarudo mengucapkan 

terima kasih besar.....” 

Lalu Shigero Momochi membungkuk tiga kali. 

Setelah itu dia berpaling pada Akiko Bessho. 

"Nona Akiko, kami harap kau suka ikut ke 

perguruan untuk mengobati luka-lukamu. Kau kelihatan 

pucat. Tubuhnya tentu lemas karena banyak 

mengeluarkan darah .. !” 

Lalu Shigero berkata pada Bendera Darah dan 

ninja merah. 

"Aku juga mengundang kalian berdua kembali ke 

perguruan..." 

Sepantasnya aku menerima undangan kehormat-

an dan pengobatan itu. Hanya dua temanku ini mungkin 

akan menyusul kemudian. Ada urusan penting yang 

harus mereka selesaikan.." 

Habis berkata begitu Akiko Bessho naik ke atas 

punggung seekor kuda dibantu oleh ninja merah Shigero 

juga naik ke atas kudanya sambil terus menggendong 

Akira. 

"Nona Akiko.. Urusan pada maksudmu...?" Ninja 

merah tiba-tiba bertanya. 

"Aku tidak merasa ada urusan apa-apa dengan 

mahluk aneh ini!" 

Akiko Bessho tertawa lebar. Dia dekatkan 

kudanya pada ninja merah lalu membungkuk berbisik. 

"Dia mencintaimu. Jangan kecewakan hatinya ..."

"Kau gila... Masakan aku.. Lelaki atau perempuan 

nya pun aku tidak tahu ..." 

Ninja merah tak bisa meneruskan ucapannya ka-

rena saat itu Akiko Bessho sudah menggebrak kudanya 

dan tinggalkan tempat itu. 

Tiba-tiba kelihatkan kuda yang membawa Shigero 

Momochi dan Akira berbalik mendatangi. 

"Ada apakah?" tanya ninja merah. Dari atas 

punggung kuda Akira Kasai meluncur turun. Dia me-

nanggalkan katana yang tergantung di pinggangnya lalu 

menyerahkan pada ninja merah seraya berkata. 

"Aku kalah taruhan. Kau boleh ambil pedang ini..!” 

"Heh,. aku tidak sungguhan....." jawab ninja 

merah agak sungkan menerima senjata itu. 

"Sungguhan atau tidak terimalah sebagai tanda 

terima kasih saya ..." 

Ninja merah mau tidak mau mengambil pedang 

itu. Akira Kasai membungkuk lalu dibantu Shigero anak 

ini naik kembali ke atas kuda. 

Di saat hari mulai terang-terang tanah kini di tem-

pat itu hanya tinggal ninja merah dan manusia Bendera 

Darah berdua saja yang tegak saling berhadap-hadapan. 

"Gadis itu mencintaimu ..." tiba-tiba meluncur 

ucapan itu dari mulut Bendera Darah. 

"A ... apa?l" Paras di balik penutup wajah ninja 

merah jadi bersemu merah. 

"Justru tadi dia bilang kau mencintaiku!" Kini 

wajah yang tersembunyi dibalik bendera- bendera merah 

itu yang jadi jengah kemerahan.

"Kau ini ... siapa kau sebenarnya?" tanya ninja 

merah. 

"Wajah dan sekujur tubuhmu tersembunyi ~ di 

balik ratusan bendera." 

"Kau sendiri siapa? bukankah kau Pendekar 212 

Wiro Sableng? Gaijin itu ...?" balik berucap mahluk 

Bendera Darah. 

"Aku tak kenal orang yang kau sebutkan itu!" 

"Jangan berdusta! Coba buka penutup kepalamu! 

Perlihatkan wajahnya! Jika kau memang seorang ninja 

kesatrial" 

"Aku tidak keberatan memperlihatkan diri," jawab 

ninja merah. Lalu dengan tangan kanannya dibukanya 

kain merah yang menutupi kepala dan wajahnya. 

Melihat wajah yang kini terpampang di depannya, 

mahluk Bendera Darah keluarkan seruan tertahan. 

"Bukan dia! Jadi kau memang bukan pendekar 

asing bernama Wiro itu..? " 

“Kau kecewa....?” tanya ninja merah. 

Mahluk bendera Darah tidak menjawab. Seolah 

pada dirinya sendiri terdengar dia berkata perlahan. 

"Lalu ... lalu kemana perginya pemuda itu ...?" 

Orang di depan Bendera Darah tertawa lebar. 

"Jika kau mau memperlihatkan dirimu sendiri aku 

bersedia memberi tahu dimana pemuda itu berada!” 

"Aku tidak percaya ..." 

‘Kalau begitu kau tidak ingin bertemu dengan-

nya?" Bendera Darah tampak meragu. Dia menyerah

"Baiklah, kau boleh melihat diriku ..." Lalu dia 

membuat gerakan cepat sekali seperti orang membuka 

penutup kepala dan pakaian. Ternyata ratusan bendera 

merah yang menancap ditubuhnya itu tersisip pada 

sebuah jubah tebal. Ketika jubah dibuka kelihatanlah 

wajah dan tubuhnya. 

Ninja merah sampai ternganga terkesiap begitu 

melihat siapa yang tegak di depannya. Seorang gadis 

cantik berambut coklat, mengenakan sehelai pakaian 

kuning tipis sehingga lekuk tubuhnya yang bagus 

membayang. 

"Namamu Yori... Benar...?" ninja merah bertanya. 

Gadis cantik di hadapan ninja merah mengangguk. 

"Sekarang tepati janjimu. Katakan dimana kau bi-

sa menemui gaijin bernama Wiro itu ..." 

"Dia ada di dekatmu," jawab ninja merah. Ketika si 

gadis memandang berkeliling mencari-cari ninja merah 

cepat-cepat lepaskan topeng tipis yang menutupi kepala 

dan mukanya. 

"Tak ada siapa-siapa di sini. Kau berdusta!" kata 

si gadis seraya balik memandang ke depan kembali. 

Lalu berubahlah parasnya. Merah terkejut tapi 

disusul dengan senyum gembira. 

"Kau ...!” katanya dengan lidah seperti kelu. 

"Jadi selama ini kau menyamar menjadi ninja 

merah..!” Ninja merah garuk-garuk kepalanya. 

"Aku hanya menuruti nasihatmu tempo hari. Kata-

mu setelah aku membunuh ninja maka kemanapun aku 

akan dikejar sampai mereka bisa membunuhku! Apa

kah sekarang setelah tahu siapa diriku kau akan 

memberitahu ninja? Atau mungkin kau sendiri yang 

hendak membunuhku karena masih dendam atas 

kematian nenek Arashi?" Si gadis geleng-gelengkan 

kepalanya sambil tertawa. 

"Wiro," katanya, 

"apakah kau akan cepat-cepat pergi ke Perguruan 

Emerarudo memenuhi undangan Shigero Momochi tadi” 

"Bersamaku saat ini ada seorang gadis cantik 

jelita. Adalah tolol kalau aku malah pergi melihat orang 

mati….." 

Yori alias gadis Bendera. Darah tertawa cekiki-

kan. Wiro mengembangkan ke dua tangannya. Tanpa 

ragu-ragu si gadis menjatuhkan dirinya ke dalam 

pelukan pemuda itu. Ke duanya saling peluk dan masih 

terus bercumbu berangkulan walaupun hari mulai terang 

tanda malam telah berganti siang. 

* * *

TAMAT

SEGERA TERBIT

”KEPALA IBLIS NYI GANDASURI”

Share: