..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 23 Februari 2025

NAGA GENI EPISODE BERAKHIR DI UJUNG FAJAR

matjenuh

 

SATU

HAMPIR SELURUH ISI rumah saudagar Wayan Ar-
sana terbangun dan berlarian keluar, begitu terdengar 
teriakan keras dari arah pertamanan di sebelah utara.
“Maling! Tolong! Penculikan!” demikian teriak Putu 
Tantri sambil mendeprok di tanah, karena tubuhnya 
merasa lumpuh setelah terkena cambukan rambut Nyi 
Durganti beberapa saat yang lalu.
Semua laki-laki telah keluar sambil menggenggam 
berbagai senjata. Keris terhunus, pedang, tombak, dan 
sementara memegang obor-obor penerangan tertampak 
di sana-sini. Sebagian dari mereka adalah para penjaga 
dan tamu-tamu.
Di saat mereka tiba di luar, mendadak saja telah di-
kejutkan oleh sepasang bayangan manusia yang berla-
ri meloncat-loncat di atas atap genteng rumah. Seo-
rang di antara bayangan tadi kelihatan dengan jelas-
nya memondong tubuh ramping yang lunglai tanpa 
daya. Dari mulutnya terdengar ketawa cekikikan.
“Itu pasti malingnya!” teriak salah seorang penjaga 
sambil mengembat tombaknya dan kemudian dilem-
parnya ke arah dua bayangan manusia tadi. “Heeit!”
Batang tombak tersebut melesat dengan kecepatan 
luar biasa ke arah sasarannya. Akan tetapi, tanpa di-
duga, satu bayangan bertubuh kekar yang tengah te-
rancam oleh tombak tadi, tiba-tiba saja telah memutar 
tubuh, sekaligus menyabetkan pedangnya ke samping.
Wesst! Craaangng!
Hampir semua mulut melongo, begitu menyaksikan 
tombak yang sedang menyambar itu telah patah men-
jadi dua bagian, kemudian bergulingan runtuh di atas 
genteng.
Melihat ini, beberapa orang penjaga merasa belum

puas. Mereka cepat melemparkan pisau-pisau kecil ke 
arah bayangan bertubuh kekar yang selalu melindungi 
bayangan yang kedua. Bunyi-bunyi berdesing segera 
terdengar mengiringi kilatan-kilatan pisau terbang 
yang melesat ke arah sasaran. Namun buat kedua ka-
linya, si sasaran mempertunjukkan kegesitannya de-
ngan memutar pedang di tangannya.
Wusss! Tak! Tak! Trang!
Putaran pedang si bayangan kekar telah menyam-
pok runtuh seluruh pisau-pisau terbang tadi sebelum 
sempat menyentuh kulitnya. Berbareng itu terdengar-
lah iringan ketawa dari mulut yang terbuka lebar-
lebar. “Hia, ha, ha, ha. Jangan coba-coba menggertak 
Tangan Iblis dengan senjata murahan tadi. Hia, ha, ha, 
ha, ha.”
Di saat yang sama, di antara para penjaga dan 
orang-orang yang bersiaga di bawah, muncullah seo-
rang laki-laki tua berambut putih, sambil mengang-
guk-angguk dan memandang ke atas, di mana Tangan 
Iblis dan Nyi Durganti yang memondong tubuh Made 
Maya, tengah mencari tempat loncatan berikutnya.
Ternyata Nyi Durganti serta Tangan Iblis telah bera-
da di atas atap genteng rumah induk yang merupakan 
bangunan paling selatan dari keseluruhan kelompok 
rumah saudagar Wayan Arsana. Justru demikian, ma-
ka rumah ini terpisah cukup jauh dengan dinding 
tembok halaman dan pintu gerbangnya. Maka tentu 
saja hal ini cukup menimbulkan perhitungan bagi ke-
duanya, karena untuk sekali keluar halaman, mereka 
tidak akan mampu melampaui dinding yang sangat 
jauh letaknya.
Meskipun demikian, mereka tidak merasa gentar se-
dikitpun, malahan sejak tadi Tangan Iblis masih meng-
umbar ketawanya yang berkumandang di udara ma-
lam. “Ha, ha, ha, ha. Haep! Huk, huuk.”
Tiba-tiba terjadilah satu peristiwa yang benar-benar 
mengagetkan. Di saat Tangan Iblis masih tertawa le-
bar-lebar, satu cahaya kelihatan telah menyambar ke
mulutnya, dan tahu-tahu terhentilah suara ketawa ta-
di. Sedang di mulut si Tangan Iblis terlihatlah sebuah 
jambu batu yang menyumbatnya, sehingga ia tidak 
mampu bersuara lagi.
Seketika mata si Tangan Iblis melotot saking ma-
rahnya, dan ketika ia menatap ke bawah, ke arah ge-
rombolan orang-orang tersebut, tampaklah seorang 
kakek berambut putih tersenyum-senyum, dan seketi-
ka Tangan Iblis dapat mengenalnya kembali. Dialah si 
Kakek Wiku Salaka!
Keruan saja Tangan Iblis dapat menebak bahwa 
perbuatan kurang ajar ini pasti dilakukan oleh Kakek 
Wiku Salaka. Sebab, bukankah ia sendiri pernah ber-
tempur dan telah mengetahui akan kesaktian kakek 
bangkotan itu? Terlebih-lebih lagi mata Tangan Iblis 
yang tajam dapat melihat, bahwa di dekat Kakek Wiku 
Salaka berdiri, terdapat sebatang pohon jambu batu 
yang rindang dan berbuah lebat.
“Keparat! Ia telah memamerkan kepandaiannya!” 
pikir si Tangan Iblis dengan kemarahan yang meluap-
luap. “Tapi jangan keburu bangga dengan kekurang-
ajaran tadi. Aku pun mampu melakukannya!”
Sementara itu, gerombolan orang-orang yang me-
ngepung di sebelah bawah, pada tertawa geli dan ter-
pingkal-pingkal begitu melihat bahwa mulut Tangan 
Iblis yang semula bebas tertawa-tawa, kini telah ter-
bungkam dan tersumbat oleh sebuah jambu batu yang 
sekepalan tangan besarnya. Disamping mereka kege-
lian, juga terselip perasaan kagum akan kepandaian si 
Kakek Wiku Salaka yang kini berdiri di antara mereka.
Beberapa waktu yang lalu, dengan jelasnya mereka 
sempat melihat gerakan tangan si Kakek Wiku Salaka

yang cepat. Memetik sebuah jambu batu dan kemu-
dian melemparkannya ke arah Tangan Iblis, dalam ke-
cepatan tak terukur! Akan tetapi, sewaktu mereka ten-
gah tertawa-tawa kepada Tangan Iblis tadi, mendadak 
saja telah dikejutkan oleh kejadian berikutnya.
Dhaak!
Tangan Iblis melampiaskan kemarahannya dengan 
sebuah gerakan disertai daya sembur yang kuat, se-
hingga buah jambu batu yang semula menyumbat mu-
lutnya tadi, seketika melesat keluar dan menyambar ke 
bawah!
“Taak! Aaakh!”
Tiba-tiba saja seorang penjaga di sebelah bawah, ti-
dak jauh dari si Kakek Wiku Salaka berdiri, telah kena 
sambar buah jambu batu tersebut sehingga jatuh ter-
pelanting dan pingsan seketika. Pada dahi si penjaga 
malang itu terlihat bengkak kebiruan!
“Setan kecil!” gerendeng Kakek Wiku Salaka seraya 
menggenjot kakinya ke tanah serta berseru kepada 
seorang laki-laki setengah tua yang juga berdiri di 
sampingnya, “Ayo Ki Selakriya, ikuti aku ke atas!”
Maka seketika itu tampaklah dua sosok tubuh me-
lesat ke atas genteng dan berlari ke arah Tangan Iblis 
serta Nyi Durganti bersama Made Maya!
Melihat ini keruan saja Nyi Durganti dan Tangan Ib-
lis menjadi kaget seketika! Mereka segera dapat men-
duga akan datangnya bahaya yang mengancam. Bu-
kankah ini berarti dua lawan satu, sebab kedua ta-
ngan Nyi Durganti tengah memondong tubuh Made 
Maya yang terkulai pingsan. Dengan demikian, tak 
mungkin ia dapat melayani serangan-serangan yang 
bakal mendatang ini!
“Ibu,” seru Tangan Iblis kepada Nyi Durganti, “ce-
patlah berlari ke selatan! Biar aku yang melindungimu. 
Akan kutahan kedua orang ini buat beberapa saat!”

Berbareng itu, Tangan Iblis telah bergerak cepat ke-
tika Ki Selakriya dan Wiku Salaka sudah semakin de-
kat jaraknya untuk memulai serangan. Dengan seko-
nyong-konyong Tangan Iblis mengibaskan tangannya 
ke depan, disusul satu ledakan keras disertai asap 
menyembur ke segenap penjuru.
Ki Selakriya yang pernah mengenal senjata rahasia 
Tangan Iblis segera berseru memperingatkan Kakek 
Wiku Salaka. “Awas kakek Wiku, asap beracun!”
Mereka berdua terpaksa menghentikan langkahnya 
ketika dalam sekejap mata, asap beracun tadi menyer-
bu dan menghalangi pandangan mata.
Ki Wiku Salaka cepat-cepat menyabetkan kain se-
lendangnya ke depan, membentur asap beracun tadi. 
Namun dalam waktu yang singkat itu, Nyi Durganti 
dengan memondong tubuh Made Maya kemudian di-
susul oleh Tangan Iblis telah melesat meninggalkan 
genteng. Kaki-kaki mereka dengan lincah berloncatan 
dan berpijak di atas puncak-puncak pohon yang meng-
hubungkan rumah pendapa dengan pagar tembok ha-
laman. Dan sekejap kemudian, mereka telah kabur ke 
selatan dan melompati pagar halaman untuk selanjut-
nya turun keluar.
Beberapa orang penjaga berlarian ke luar halaman 
mengejarnya, sementara yang lain tetap tinggal di da-
lam halaman, karena Kakek Wiku Salaka mencegah-
nya.
“Hai anak-anak! Jangan kosongkan halaman ini be-
gitu saja!” seru Wiku Salaka. “Bersiagalah, kalau-kalau 
ada bahaya yang lain!”
Kakek Wiku Salaka dan Ki Selakriya segera melon-
cat turun dan bergegas kembali ke daerah pertama-
nan, di mana masih dijumpainya beberapa tetamu dan 
sanak keluarga yang mengerumuni Sunutama dan Pu-
tu Tantri.
Melihat kedatangan mereka berdua, saudagar Wa-
yan Arsana yang ikut mengerumuni, cepat-cepat men-
jemputnya.
“Sunutama masih pingsan, Ki Sela,” ujar Wayan Ar-
sana memberitahu. “Urat darahnya telah terdesak de-
ngan kuat.”
“Bagaimana dengan si Putu Tantri?” bertanya Kakek 
Wiku Salaka pula.
“Dia tidak apa-apa, sebentar lagi akan mampu ber-
diri kembali,” jawab Wayan Arsana. “Sekarang ini Ka-
kang Sukerte tengah merawatnya.”
Sementara itu, seorang penjaga telah mendekati 
Wayan Arsana dan berkata, “Tuan Wayan Arsana. Ka-
mi telah mendapatkan sebilah pisau dan secarik surat 
yang menancap di batang pohon, di sebelah sana!”
“Mari kita ambil segera,” ujar Wayan Arsana sambil 
melangkah ke arah pohon yang ditunjuk oleh penjaga 
tadi. Begitu pula Kakek Wiku Salaka mendekati pohon 
tersebut.
Memang di sana terlihatlah sebilah pisau yang ter-
tancap hampir separuh lebih dengan selembar surat, 
terbuat dari kain bertulis.
Dengan hati-hati, Wayan Arsana mencabut pisau 
tersebut dan surat itu segera diberikannya kepada Ka-
kek Wiku Salaka, diiringi kata, “Bapak Wiku, apakah 
pendapat Andika tentang peristiwa ini? Saya sangat 
mencemaskan nasib Made Maya.”
Sambil menerima surat tersebut dan membacanya 
sekali, berkatalah kemudian Kakek Wiku Salaka, “Ang-
ger Wayan Arsana, dengarlah si surat ini. Si Tangan Ib-
lis, pendekar bandel yang telah kita kalahkan beberapa 
waktu yang lalu, ternyata masih menaruh dendam ke-
pada kita. Karenanya ia telah menculik Angger cucu 
Made Maya dengan maksud menggertak dan mengancam.”

“Huh, sungguh kelewat berani orang itu,” dengus 
Wayan Arsana dengan gusarnya. “Lalu, apakah anca-
mannya, Bapak?”
“Pada hari tepat bulan purnama di atas rumah ini, 
ia akan datang dengan gerombolannya dengan mem-
bawa Made Maya. Jika kita bersedia menukarnya de-
ngan tiga peti harta benda, mereka akan menyerahkan 
kembali si Made Maya dalam keadaan baik-baik!”
“Terlalu kurang ajar mereka!” desis Wayan Arsana 
setelah mendengar penuturan Kakek Wiku Salaka. 
“Akan kita kerahkan seluruh orang-orang di daerah ini 
untuk mengejarnya!”
“Tahanlah kesabaran dan kesadaranmu, Angger,” 
sahut Wiku Salaka seraya menggenggam pundak Wa-
yan Arsana, seolah-olah menahan kemungkinan sau-
dagar Wayan Arsana untuk meloncat. “Pikirlah dengan 
baik-baik sebelum engkau terlanjur memutuskan se-
suatu.”
“Apakah Bapak tidak sependapat?”
“Dengarlah dulu baik-baik, Angger Wayan Arsana,” 
kata Kakek Wiku Salaka serta menepuk-nepuk bahu 
anak menantunya. “Hilangnya Made Maya bukan eng-
kau saja yang sedih dan susah. Lihatlah dengan si Su-
nutama yang roboh pingsan. Pasti dialah orang yang 
paling sedih saat ini. Sebagai seorang pengantin baru, 
ditambah lagi sebagai seorang pendekar pula, ternyata 
tak mampu menghadapi para penculik Made Maya. Itu 
satu pertanda bahwa mereka adalah orang-orang yang 
sakti dan bukan tandingannya. Demikian pula aku 
pun tak kurang sedih dan berprihatin dengan kema-
langan yang menimpa si Made Maya. Bukankah ia juga 
cucuku yang sangat kusayangi? Nah, cuma saja kita 
tidak boleh serampangan untuk bertindak. Justru kita 
menjaga keselamatan Made Maya, maka untuk semen-
tara, kita harus memberi kelonggaran kepada pencoleng-pencoleng tersebut.”
“Jadi... maksud Bapak?”
“Buat sementara, kita harus menahan diri. Dengan 
begitu maka terjaminlah keselamatan Made Maya sam-
pai pada saat pembayaran nanti!” ujar Kakek Wiku Sa-
laka. “Karenanya, jika kita terus mengejar-ngejar me-
reka sekarang juga, bukan mustahil bila mereka akan 
menjadi lebih gusar dan mencelakai Made Maya.”
Saudagar Wayan Arsana tersentak kaget setelah 
mendengar kesimpulan Kakek Wiku Salaka tadi. Hal 
itu membuatnya sadar, seperti orang yang terbangun 
dari mimpi buruk, dan kemudian tampaklah ia me-
nundukkan kepalanya sambil bergumam perlahan, 
“Aku mengerti, Bapak.”
“Nah, syukurlah, Nak,” berkata Kakek Wiku Salaka 
dengan napas lega. “Sesuatunya belum terlanjur. Kita 
harus menghadapi kawanan Tangan Iblis dengan hati 
panas, tapi kepala dingin. Mereka harus kita hadapi 
dengan cara yang jitu. Selain kita menerima Made 
Maya dalam keadaan baik dan sehat, kalau ada ke-
mungkinanpun, kita harus membasmi mereka sekali-
gus!”
***
Dalam pada itu, Nyi Durganti dan Tangan Iblis yang 
telah berhasil menculik Made Maya secepat kilat kabur 
ke arah timur sambil mengerahkan segenap ilmu meng-
entengkan tubuh dan tenaga dalamnya, sehingga me-
reka seolah-olah terbang di atas permukaan tanah.
Oleh sentuhan dan tamparan angin malam yang se-
juk ini, Made Maya menjadi setengah sadar dari ping-
sannya. Dirasanya dua buah tangan yang kokoh seke-
ras besi mengepit tubuhnya, dan membuat dirinya ti-
dak mampu bergerak sama sekali.
Ia mengeluh dalam hati, tapi kemudian menjadi lebih kaget lagi begitu ia menyadari bahwa tubuhnya di-
bawa lari dengan kecepatan yang luar biasa.
Dengan diam-diam Made Maya mencoba membuka 
kelopak matanya serta menatap ke atas untuk menge-
tahuinya, siapakah orang yang tengah membawanya 
kabur ini. Teranglah bahwa orang ini pasti mempunyai 
kesaktian yang tinggi. Demikian pikir Made Maya.
Terbayang kembali sepintas lalu segenap peristiwa 
yang baru saja dialaminya. Yah, ia ingat betul! Ketika 
itu, ia tengah duduk-duduk bersama suaminya, Sunu-
tama, di dalam pertamanan di belakang rumah. Tiba-
tiba saja muncul si Tangan Iblis bersama seorang ne-
nek berwajah mayat. Pertempuran singkat segera ter-
jadi, tapi sesaat kemudian suaminya telah kena diro-
bohkan oleh Tangan Iblis.
Saat-saat itulah yang paling mengagetkan baginya. 
Ia tidak tahu, apakah Sunutama hanya roboh pingsan 
atau malah mati sekaligus. Maka tak salah bila ia 
mengeluh tentang semua kejadian itu.
Made Maya menjadi sangat ketakutan sewaktu ia 
menentang ke atas, di saat wajah orang yang memon-
dongnya terkena sorot sinar rembulan. Itulah tidak 
lain dari wajah si Nenek Durganti yang pucat pasi se-
bagai tak berdarah.
Namun Made Maya juga menjadi heran sewaktu 
dengan memberanikan diri mengamati wajah Nenek 
Durganti tadi. Terutama adalah kesan seram dan men-
gerikan. Wajah nenek yang memondongnya itu, benar-
benar pucat dan kaku seperti mayat, bagaikan tidak 
bergerak sedikitpun, meski tertampar oleh hempasan 
angin malam yang sejuk menggigilkan tulang. Sedang 
rambutnya yang terurai panjang, memutih kapas, ber-
kibaran ke belakang, menambah keseraman yang di-
milikinya oleh wajah pucatnya.
Selain keseraman yang dirasakan oleh Made Maya,

iapun merasakan satu hal yang sukar dicari jawaban-
nya. Yah, memang aneh perasaan yang diterima Made 
Maya ini. Mengapa? Sebab di samping rasa seram, ia-
pun merasa aman dan tenang di dalam pelukan dan 
pondongan Nenek Durganti ini.
Nah, jangan dibilang tidak aneh, bahwa seorang ju-
stru merasa aman di dalam cengkeraman lawannya! 
Mengejutkan bukan?!
Mendadak saja, ketika Nyi Durganti dan Tangan Ib-
lis melewati sebuah pohon beringin tua yang batang-
nya berlubang besar, mereka sangat terperanjat begitu 
satu bayangan pendek besar melompat keluar dari da-
lam lubang pohon dan langsung menerjang mereka.
“Gila! Siapa kau, hei!” seru Nyi Durganti lalu berke-
lit menghindari terjangan si bayangan penyerang. Hal 
itu sebenarnya tidak patut dilakukan olehnya, sean-
dainya ia sedang tidak memondong seseorang.
Si penyerang tidak menggubris. Begitu Nyi Durganti 
mengelak, secepat kilat ia melesat ke samping dan ka-
kinya kembali menyapu ke arah sasaran yang seorang 
lagi.
Bukk!
“Aakh!”
Tangan Iblis terhuyung ke belakang sewaktu pun-
daknya tergempur oleh tendangan si penyerang yang 
hebat. Seketika itu rasa pedih menjalar ke segenap 
urat-urat tubuhnya. Maka cepat-cepat ia mengerahkan 
tenaga dalamnya untuk mengusir perasaan itu.
Sementara itu si penyerang tertawa terkekeh-kekeh, 
merasa lawannya yang seorang berhasil dikenai ten-
dangannya. Dengan dua kali berjumpalitan di udara, ia 
kemudian mendarat kembali di atas sebongkah batu 
padas dan bertolak pinggang dengan pongahnya.
Nyi Durganti menjelingkan mata, setelah sesaat ke-
mudian ia mengenal suara tawa yang terkekeh-kekeh

dari mulut lawannya.
“Bagus Wirog! Kaukah itu keparat, heei?!” seru Nyi 
Durganti marah. “Apa maksudmu dengan mengganggu 
perjalanan kami ini?! Kau akan mencari mati?!”
“Jangan terlalu galak, Nyai!” sahut Bagus Wirog se-
raya nyungir-nyungir. “Ternyata tambah tua pera-
ngaimu masih tetap galak, begitu pula pinggang dan 
tubuhmu masih tetap genit!”
“Mengacau omonganmu! Jangan berbelit-belit dan 
mengungkit perkara silam. Katakan saja apa maumu?”
“Bagus, jika engkau langsung menanyakan pokok-
nya,” sahut Bagus Wirog seraya mengelus-elus kumis-
nya. “Aku ingin membuat perhitungan denganmu, se-
perti belasan tahun lalu yang pernah aku ucapkan!”
Nyi Durganti mengerutkan keningnya mendengar 
kata-kata Bagus Wirog yang sungguh-sungguh dan 
penuh ancaman itu. Ia menyadari bahwa lawannya ini 
bukan orang sembarangan. Meski belasan tahun yang 
lalu ia pernah mengalahkannya, tapi selama itu pula 
tidak mustahil bila ia menggembleng dirinya. Oleh se-
bab itu, haruslah ia berhati-hati menghadapi Bagus 
Wirog sekali ini. Pastilah ia jauh lebih sakti, terbukti 
dari ceritera anak buah Tangan Iblis yang pernah 
menghadapinya.
Akan tetapi, Nyi Durganti bisa menyadari bahwa ke-
adaan dirinya tidak menguntungkan untuk mengha-
dapi lawannya, sedangkan kedua tangannya kini di-
pergunakan untuk memondong tubuh Made Maya 
yang setengah lumpuh. Sudah pasti! Tak mungkin ia 
mampu menggunakan kedua tangannya dalam hal ini. 
Paling-paling ia hanya sanggup mengibas-ngibaskan 
rambutnya, sebagai senjata yang tersembunyi.
“Jadi kau ingin bertanding lagi seperti belasan ta-
hun yang lalu? Apakah belum cukup engkau kukalah-
kan di saat itu?!” ujar Nyi Durganti sambil mendelik

marah.
“Hmm. Haah, ha, ha, ha. Masa telah berlalu dan 
jaman telah berganti. Karenanya, janganlah mengukur 
keadaan sekarang seperti keadaan masa lalu. Bersiap-
lah jika aku telah membuka pertempuran ini!”
Mendengar itu, Tangan Iblis tak tinggal diam. Maka 
secepat kilat ia melolos pedangnya dan bersiaga mem-
bela Nyi Durganti setiap saat.
“Hyaaat!” Bagus Wirog membuka serangannya sem-
bari menghajarkan kedua cambuk pedangnya berba-
reng. Sungguh dahsyat serangan ini.
Tapi Nyi Durganti bukanlah anak kecil yang mudah 
terkejut dengan sesuatu kejadian tiba-tiba seperti se-
rangan Bagus Wirog tadi. Maka secepat kilat ia mengi-
baskan rambutnya, sebelum kedua ujung cambuk 
pendek Bagus Wirog melecut dirinya.
Ternyata Nyi Durganti mempunyai kelebihan yang 
menakjubkan dalam banyak hal. Kibasan rambut pu-
tihnya yang terurai segera menyambut kedua ujung 
senjata lawan sehingga seketika itu pula terjadilah 
benturan keras.
Daaarrr!
Kedua tangan Bagus Wirog terguncang ke belakang 
akibat benturan tadi, sementara mulutnya mengelua-
rkan desis tertahan karena rasa nyeri yang menjalari 
kedua telapak tangannya. Sedang Nyi Durganti masih 
berdiri tegak sambil memondong tubuh Made Maya, 
meskipun sesungguhnya kulit kepalanya berkeringat 
ketika rambutnya berbentur dengan kedua cambuk 
Bagus Wirog.
“Ilmunya bertambah tinggi!” desis Nyi Durganti. 
“Pantas saja dia berani menantangku!”
Segera pula nenek tua ini bersiap siaga kembali.
Dalam pada itu, Bagus Wirogpun tak kalah kagum-
nya. Sesaat setelah ia berhasil menguasai dirinya kembali, ia menggenggam kedua cambuknya lebih erat un-
tuk selanjutnya melesat kembali ke arah Nyi Durganti 
dengan serangan dahsyatnya.
Melihat ini, Tangan Iblis tidak mau tinggal diam se-
bagai penonton. Berbareng mulutnya mengeluarkan 
suara menggeram, tubuhnya melenting terjun ke arah 
Bagus Wirog.
Pertempuran hebatpun segera terjadi di tengah hu-
tan, diterangi oleh cahaya rembulan yang menembusi 
dari celah-celah pepohonan rimba. Betapa kedahsya-
tan perang tanding ini terlihat dari robohnya pepoho-
nan kecil dan semak-semak di sekitar mereka, semen-
tara binatang-binatang kecil berloncatan menjauh ka-
rena kekacauan yang menimpanya.
Menghadapi keroyokan dua orang lawan, Bagus Wi-
rog tidak mau setengah-setengah mengerahkan ilmu 
dan tenaganya. Kedua tangannya dengan lincah me-
mutar kedua cambuk pendeknya bagaikan pusaran-
pusaran angin yang siap menggulung lawan-lawannya.
Kerepotan pula Nyi Durganti dalam menghadapi se-
rangan-serangan Bagus Wirog yang mengalir seperti air 
bah tanpa putus-putusnya. Memang demikianlah se-
sungguhnya tandang Bagus Wirog yang sudah me-
ngetahui seberapa ukuran dan tingginya kepandaian 
Nyi Durganti. Kalau terkena sabetan rambutnya saja 
sudah cukup menggetarkan kedua belah tangannya, 
apalagi jika ia sampai terkena pukulannya. Maka sela-
gi ia melihat posisi Nyi Durganti tidak menguntungkan, 
tanpa sia-sia ia menggunakan kesempatan tadi se-
baiknya guna menyerang dan mencecar Nyi Durganti.
“Setan!” umpat Nenek Durganti seraya berkali-kali 
berloncatan ke sana-ke mari, menghindari serangan 
Bagus Wirog tadi. Kesempatannya untuk menyerang 
ternyata lebih sedikit daripada menghindarkan diri. 
Itulah sebabnya mengapa Nyi Durganti hanya berkelit

kelit mengelakkan serangan lawan.
Meskipun begitu, itupun sudah merupakan kelebi-
han bagi dirinya, yang kendati dalam keadaan tidak 
menguntungkan, toh ia masih sanggup menanggulangi 
serangan Bagus Wirog yang ganas.
Untung saja Tangan Iblis tidak membiarkan ibunya 
roboh terhajar cambuk-cambuk lawannya yang bertu-
buh bulat pendek itu. Dengan tangkasnya ia memain-
kan jurus-jurus ilmu pedang pilihan yang jarang tan-
dingannya. Tak ubahnya pusaran air yang sanggup 
menyeret tenggelam terhadap korbannya, pedang Ta-
ngan Iblis menebas-nebas sangat dahsyat.
Si Bagus Wirog menjadi semakin marah melihat 
perkembangan keadaan. Berkali-kali keningnya ber-
kerut apabila serangannya hampir berhasil, tahu-tahu 
ujung pedang Tangan Iblis telah terjulur dan mematuk 
ke arah tubuhnya.
“Keparat!” seru Bagus Wirog mengumpat kepada 
Tangan Iblis. “Kau main keroyok dan pengecut! Me-
ngapa tidak kau biarkan aku bertanding sendirian me-
lawan nenek-nenek ini?!”
“Heh, apa perdulimu, Wirog?!” bantah Tangan Iblis 
sambil gencar melancarkan serangannya.
“Ini adalah urusan orang tua-tua! Tidak seharusnya 
bocah ingusan seperti kamu ikut campur!” seru Bagus 
Wirog lantang. “Menyingkirlah, Iblis pengecut!”
“Kaulah yang pengecut!” bentak Tangan Iblis. “Apa-
kah dirimu tidak malu, menyerang lawan yang lagi ke-
repotan seperti ini?!”
“Iblis gila! Rasakanlah cambukku ini, haah!” Bagus 
Wirog berteriak dan berbareng cambuk-cambuk pen-
deknya berdesing-desing menyambar kedua lawannya. 
Gerakannyapun bertambah gesit. Meski tubuhnya bu-
lat pendek, ia mampu berloncatan seperti kijang dan di 
saat lain menyambar tak ubahnya seekor elang kelapa

ran.
Yang membuat Tangan Iblis menggerendeng adalah 
gerakan-gerakan Bagus Wirog yang sering menyerang 
dengan cara menerobos, menubruk dan sering pula 
dengan menggelindingkan tubuhnya tak beda sebuah 
bola. Bagus Wirog mempunyai kelincahan seperti see-
kor tikus, yang sudah sepantasnya dipunyainya seba-
gai seorang raja tikus liar yang dipimpinnya. Semua itu 
membuat Tangan Iblis lebih marah lagi dan menge-
rahkan segenap kemampuannya. Sebab alangkah ma-
lu dan celakanya seandainya ia tidak bisa membela Nyi 
Durganti dari tekanan serangan si raja tikus! Pedang di 
tangannya mendesing-desing lebih dahsyat membuat 
tebasan-tebasan yang kilat dan sukar diketahui jun-
trungannya, seolah-olah adalah serangan iblis layak-
nya.
Berulang-ulang Bagus Wirog terpaksa meloncat su-
rut serta mendesis kagum karena patukan-patukan 
dan sambaran ujung pedang lawannya terlalu jauh 
mendekati tubuhnya. Bahkan pada saat mendekati ju-
rus yang kedua puluh lima, sewaktu ia menghindari 
sabetan rambut Nyi Durganti dengan merunduk, tiba-
tiba... sreet! Pedang si iblis muda telah menyambar ke-
palanya.
Mujurlah buat Bagus Wirog disebabkan oleh keta-
jaman inderanya, sehingga ia cepat-cepat menggelin-
dingkan tubuhnya begitu mendengar kesiur angin di-
ngin.
“Haah?!” seruan keras bercampur kagum keluar da-
ri mulut si raja tikus, sewaktu ujung-ujung rambut 
kepalanya kena terbabat rontok oleh mata pedang dari 
Tangan Iblis. “Kau tunggu balasanku, setan!”
Keruan saja Tangan Iblis menjadi berkakakan keta-
wa girang, melihat serangannya berhasil cukup baik.
“Ha, ha, ha, ha. Lebih baik engkau membiarkan

kami lewat, tikus gendut! Perkara adu tenaga boleh di-
lanjutkan lain kali dengan ibuku, Nyi Durganti! Lihat-
lah, apakah peringatan mata pedangku tadi masih ku-
rang berarti bagimu?!”
“Iblis jorok! Mulutmu memang pintar mengoceh! 
Coba saja, kalau tidak main keroyok, belum tentu eng-
kau sanggup melakukan hal itu!” damprat Bagus Wi-
rog yang bertubuh bulat pendek seraya mulutnya ko-
mat-kamit, persis tampang seekor tikus yang lagi ma-
rah-marah.
“Hyaaatt!” teriakan Bagus Wirog yang naik pitam 
sambil menggerakkan kedua cambuk pendeknya da-
lam dua arah ke kiri dan ke kanan.
Nyi Durganti terpaksa menangkis serangan cambuk 
kiri Bagus Wirog dengan kibasan rambutnya, disusul 
tubuhnya meloncat jauh ke kiri untuk menghindari se-
rangan lain.
Sedang Tangan Iblis sendiri sangat merasa kaget 
dengan serangan mendadak tadi, hingga sewaktu 
ujung cambuk pendek di tangan kanan Bagus Wirog 
mematuk ke pundaknya, ia tak sempat menghindari.
Taaarr!
“Auhh!” keluh Tangan Iblis sambil mulutnya menye-
ringai menahan rasa pedih yang membakar pundaknya 
akibat sentuhan ujung cambuk si raja tikus lawannya. 
Kendati tidak terlalu keras sentuhan ujung cambuk 
tadi, sudah cukup membuat kulit pundaknya merah 
lebam seperti kena bakar gumpalan bara api.
“Heh, keparat!” Merasa terkena oleh ujung cambuk 
Bagus Wirog dan menderita cedera, Tangan Iblis meng-
geram marah. “Tikus gendut! Beruntung kau dapat 
menyentuh ujung kulitku hari ini! Sekarang cobalah 
kau merasakan pukulan Telapak Iblisku ini.... Hyaatt!”
Daarr!
Tiba-tiba Tangan Iblis menghempaskan telapak ta

ngan kirinya ke arah Bagus Wirog, dan satu tenaga 
pukulan dahsyat yang tidak tampak seketika melanda 
ke depan ke arah lawannya.
Akan tetapi si raja tikus ini betul-betul mengagum-
kan, ketika dengan gerakan sebat membuang diri ke 
samping dan menggelinding bagai bola karet. Mulut 
Bagus Wirog mengeluarkan ketawa kecut sewaktu ma-
tanya sempat menatap bahwa pukulan Tangan Iblis 
tadi sempat menghajar cabang pohon beringin yang 
seketika sempal dan runtuh.
“Ha, ha, ha, ha. Mengamuklah sepuasmu, iblis. Se-
bentar lagi kalian akan mampus menjadi kerangka! 
Nah, cobalah kalian mementang lebar-lebar mata yang 
ada di kepalamu itu. Perhatikanlah sekelilingmu itu! 
Ciiiitttt!” Dengan teriakan mencicit, Bagus Wirog me-
nyudahi kata-katanya.
Suara mencicit tadi mengaung, menggema mengge-
tarkan udara malam di tengah hutan yang lebat. 
Daun-daun pohonpun ikut bergetar dan sesaat kemu-
dian terdengar suara kemerosak disertai bau engas 
yang menusuk hidung. Dalam sekejap mata, muncul-
lah cahaya-cahaya kuning kehijauan di antara sela-
sela dedaunan semak, tak jauh dari tanah.
Mula-mulai Tangan Iblis dan Nyi Durganti mengira 
bahwa itu semua adalah cahaya dari kunang-kunang 
yang hinggap atau berkeluyuran di sela dedaunan, se-
hingga tidak perlu untuk dirisaukan. Akan tetapi, keti-
ka mereka melihat bahwa cahaya tadi tidak berkedip-
kedip, terkejutlah hati mereka berdua. Apalagi ketika 
ternyata cahaya-cahaya tadi bergerak mendekat. Da-
lam sorotan cahaya rembulan, mereka dapat melihat 
gumpalan-gumpalan tubuh hitam yang berekor pan-
jang bergerak rapat, merupakan pemandangan yang 
menyeramkan.
“Tikus, tikus!” desis Nyi Durganti dan Tangan Iblis

berbareng dengan hati yang bergetar.
“Ha, ha, ha,” gelak ketawa Bagus Wirog terdengar. 
“Memang tepat! Mereka adalah tikus-tikus pengikutku, 
dan sebentar lagi tubuh kalian berdua akan direncah-
nya!”
“Keparat! Kau mengundang tikus-tikus jorokmu ke 
mari!” seru Tangan Iblis marah.
“Heh, heh. Mengumpatlah semaumu, Tangan Iblis!” 
ujar Bagus Wirog. “Sekarang tunjukkanlah apa kalian 
mampu menghadapinya!”
Selesai dengan ucapannya, Bagus Wirog telah mele-
sat, menyerang kembali dengan dua senjata cambuk-
nya ke arah Nyi Durganti dan Tangan Iblis. Bahkan di 
saat yang sama, tikus-tikus pengikut Bagus Wirog te-
lah ikut menerjang pula.
Suara gemerosak dari kaki-kaki kecil mereka ter-
dengar seketika bercampur bunyi mencicit yang riuh. 
Dalam sekejap itu pula terjadilah pertempuran yang 
lebih dahsyat, lebih seru dari pertempuran yang terda-
hulu.
Betapa kisruhnya gerakan Nyi Durganti dalam meng-
hadapi lawan-lawan mereka yang aneh dan ganas, ti-
dak terkecuali dengan si Tangan Iblis. Mereka seka-
rang benar-benar dapat merasakan betapa dahsyatnya 
serangan tikus-tikus tadi kepadanya. Sehingga kare-
nanya pula, mereka tidak usah mencela kepada Dregil 
dan kawan-kawannya karena mereka telah melarikan 
diri dari serangan tikus-tikus ini. Tambahan lagi, se-
lain keduanya harus menanggulangi serangan bina-
tang-binatang ganas tersebut, Bagus Wirog pun ikut 
pula melabrak habis-habisan dibarengi derai ketawa 
yang meyakinkan akan kemenangan yang bakal dica-
painya.
“Angger Tangan Iblis,” seru Nyi Durganti kepada 
anaknya, “kita tidak akan tahan lama bertempur terus

terusan dalam keadaan sesulit ini! Ayo, kita harus se-
cepatnya meninggalkan tempat ini!”
“Baik, Ibu!” sahut Tangan Iblis kepada Nenek Dur-
ganti. “Sekarang saatnya!” Demikian Tangan Iblis me-
nyudahi kata-katanya seiring tangan kirinya meraba 
ikat pinggangnya, mengambil sesuatu untuk secepat 
kilat dibantingnya ke tanah, tak jauh dari tikus-tikus 
dan Bagus Wirog berada.
Bluub! Bluubb!
Dua letupan terdengar disusul pecahnya dua gum-
palan asap hitam beracun menyebar ke udara, menga-
caukan arena pertempuran.
Tampaklah beberapa tikus yang telah menyedot 
asap beracun tadi terguling mati dan kaku, sedang 
yang lain-lainnya mencicit-cicit menghindarkan diri. 
Demikian juga dengan Bagus Wirog yang mundur ke 
belakang.
Dalam saat itulah, ketika pemandangan terhalang 
oleh asap hitam, Nyi Durganti dan Tangan Iblis menje-
jak tanah dan melesat kabur ke arah selatan.
***
DUA


BEBERAPA orang tampak menerobos semak hutan 
dan menyibakkan dedaunan serta akar-akar liar yang 
bergelantungan di sana-sini. Dengan senjata-senjata-
nya, mereka membabat dan membuka jalan di sebelah 
depan yang akan dilalui, sementara dua orang yang 
berjalan di muka bercakap-cakap.
“Tuan Ngurah Jelantik, apakah kita mampu menge-
jar para penculik itu?!” bertanya salah seorang penjaga 
kepada laki-laki di sebelahnya. “Sudah sejauh ini kita 
mencari jejaknya.”

“Jangan putus asa, Kisanak,” ujar Ngurah Jelantik. 
“Yang kita hadapi adalah orang-orang sakti. Untuk itu 
kita memerlukan banyak ketekunan daripadanya.”
Penjaga tadi manggut-manggut mendengar tutur 
kata pendekar Ngurah Jelantik. “Mudah-mudahan kita 
segera mendapatkannya. Meski kita cuma berenam, 
tapi kecemasan hati telah lenyap karena Tuan Ngurah 
Jelantik berada di samping kita. Jika tidak, besar ke-
mungkinan kami tidak berani menempuh perjalanan di 
tengah hutan malam-malam begini.”
Tersenyumlah Ngurah Jelantik karena ucapan si 
penjaga yang terlalu memuji-muji dirinya, maka iapun 
berkata, “Aah, Kisanak terlalu memanjakan aku. Yang 
penting adalah terjalinnya kerja sama di antara kita. 
Meski seandainya kita ini terdiri dari segerombolan to-
koh-tokoh sakti, namun jika tidak ada kerja sama, 
maka tidak akan ada artinya. Bahkan mungkin kehan-
curan yang akan kita temui!”
Si penjaga terhenyak kagum oleh tutur pendekar 
Ngurah Jelantik yang terasa bijaksana itu. Namun itu 
semua membuatnya maklum apabila diingatnya, bah-
wa Ngurah Jelantik adalah pendekar dari Kerajaan 
Singaraja. Nama keluarganya telah terkenal di mana-
mana, baik kebijaksanaan maupun kesaktiannya.
Mereka semakin jauh menempuh jalannya. Berpu-
luh kunang-kunang terbang melintas di hadapan me-
reka seperti memberi jalan kepada manusia-manusia 
pengabdi keamanan ini.
Sekonyong-konyong, Ngurah Jelantik mengacung-
kan tangan ke atas sebagai isyarat berhenti dan ber-
siap-siap kepada kelima pengikutnya.
Serentak mereka melolos pedang, keris, dan senjata 
yang mereka bawa, sedang dada mereka berdetak, ge-
muruh seperti diisi oleh puluhan genderang yang ditabuh bertalu-talu.


Sekali lagi pendekar Ngurah Jelantik mengacung-
kan tangan ke depan, tepat di saat bunyi berdesir ter-
dengar dari arah utara. Keruan saja dada mereka men-
jadi lebih bergetar serta masing-masing saling mene-
bak, apakah gerangan yang mendatang dari arah ter-
sebut? Binatang buas? Atau hantukah barangkali? Me-
reka lebih erat menggenggam tangkai senjatanya, siap 
siaga untuk digunakan bila keadaan memerlukan.
Begitulah, Ngurah Jelantik dan rekan-rekannya ti-
ba-tiba terperanjat, begitu muncul dua sosok tubuh 
manusia meloncat-loncat dengan gesitnya. Dan lebih 
jelas lagi oleh mereka, bahwa salah seorang di anta-
ranya sambil memondong tubuh seorang gadis.
“Itulah, dia!” desis Ngurah Jelantik kepada kelima 
rekannya. “Cegat!”
Begitu berteriak, mereka berenam melesat ke de-
pan, menyerang kedua sosok tubuh manusia tadi.
Kiranya dapat dibayangkan betapa kagetnya kedua 
orang yang diserang secara tiba-tiba. Dengan gugup 
keduanya melompat ke samping dengan gerakan me-
ngagumkan para penyerang itu.
“Nah kita bertemu kembali, Iblis!” seru pendekar 
Ngurah Jelantik ketika menerjang bersama rekan-
rekannya. Dan kepada salah seorang rekan tadi, ia 
berseru, “Tawes, kau bersama tiga orang menyerang 
yang laki-laki itu! Biar aku dan Paria yang menghadapi 
iblis perempuan ini!”
Dalam waktu yang singkat pula berkobarlah per-
tempuran seru!
Diam-diam, baik Nyi Durganti maupun Tangan Iblis 
mengeluh dalam hati karena keringat mereka belum 
lagi kering sesudah bertempur mati-matian melawan 
Bagus Wirog dan kawan-kawannya, yakni tikus-tikus 
liar yang ganas. Sekarang, keduanya harus mengha-
dapi kembali serangan Ngurah Jelantik berenam yang

masih memiliki udara segar dan tenaga penuh.
Ternyata Nyi Durganti dan Tangan Iblis masih mam-
pu menjaga diri. Begitu serangan mendatang, kedua-
nya telah bersiaga memapakinya.
Ngurah Jelantik dan Paria menyerang Nyi Durganti, 
sementara Tawes dan ketiga temannya mengerubut 
Tangan Iblis dengan gencar. Senjata-senjata mereka 
bersambaran mengurung tubuhnya, merupakan kila-
tan-kilatan warna putih.
Namun Tangan Iblis tidak menjadi gentar. Pedang-
nya beraksi kembali, menari-nari menangkis setiap 
senjata lawannya. Hanya saja sebentar-sebentar mu-
lutnya mengeluarkan desis tertahan, karena pundak-
nya yang beberapa saat lalu terhajar oleh cambuk Ba-
gus Wirog, masih terasa sangat mengganggu, sangat 
pedih dan nyeri.
Di sebelah lain, Nyi Durganti terpaksa mengerahkan 
segenap tenaganya. Untuk menghadapi Ngurah Jelan-
tik dan Paria, ia hanya sempat menggunakan rambut-
nya. Berkali-kali dengan gesit ia memutar kepala dan 
mengibaskan rambutnya, tak ubahnya seorang penari 
yang tengah beraksi. Meskipun tampaknya cuma se-
pele, sabetan-sabetan rambut Nyi Durganti sangatlah 
ampuhnya. Mungkin kekuatannya hampir menyamai 
pukulan cambuk hitamnya si Bagus Wirog. Hal ini di-
ketahui oleh Ngurah Jelantik dan Paria, ketika mereka 
menghindar, angin sabetan dari rambut Nyi Durganti 
cukup menimbulkan rasa pedih.
“Luar biasa!” desis Ngurah Jelantik saking kagum-
nya. “Nenek tua ini memiliki tenaga dalam yang sem-
purna! Rasanya sangat sukar menyentuh tubuhnya 
dengan pedangku ini!”
Memang demikianlah sesungguhnya. Meski pedang 
Ngurah Jelantik telah mencecar Nyi Durganti, toh ne-
nek tua itu dengan enaknya meloncat ke sana-ke mari

menghindari serangan.
Namun memang ada hal lain yang banyak mempe-
ngaruhi serangan-serangan Ngurah Jelantik, yakni ke-
pentingan dan keselamatan Made Maya yang berada di 
dalam pondongan tangan Nyi Durganti. Itulah yang 
menyukarkan. Selain ia bermaksud menyerang Nyi 
Durganti dan jika perlu membinasakannya sekali, tapi 
ia harus masih menjaga keselamatan Made Maya dan 
menjaga agar pedangnya tidak sampai mencederainya.
Di sebelah lain, Tawes berempat mati-matian menge-
rubuti Tangan Iblis. Semula mereka menyangka bahwa 
lawannya ini akan mudah dirobohkan, karena sebe-
narnyalah mereka terdiri dari penjaga-penjaga pilihan 
dan jago berkelahi. Kenyataannya, pertempuran sudah 
lebih sepuluh jurus tetapi Tangan Iblis masih tetap gi-
gih bertempur. Pedang di tangannya selalu saja me-
nyambar ke arah tubuh lawan yang mencoba men-
dekati. Sehingga dengan demikian, Tawes dan kawan-
kawannya terpaksa harus berhati-hati dalam setiap 
langkah dan gerakan.
“Heh, he, he, he. Kalian orang-orang ingusan mau 
membuang nyawa?” teriak Tangan Iblis sesumbar. 
“Percuma saja! Mumpung masih ada waktu, lekaslah 
kalian pergi menyelamatkan diri. Jangan menghalangi 
perjalanan kami!”
“Kami bukan orang-orang pengecut, Tangan Iblis!” 
seru Tawes sangat lantang. “Berkorbanpun kami rela 
demi membela kebenaran!”
“Kebenaran?! Heh, heh, heh. Apa itu kebenaran! 
Hanyalah kata-kata kosong belaka. Kalau kalian ingin 
tahu, aku pun bertindak menurut kebenaran dalam 
pengertianku!” balas Tangan Iblis.
“Keparat! Ayo, kawan-kawan. Sikat iblis durjana 
ini!” seru Tawes seraya menerjang kembali dengan se-
ngitnya, diikuti oleh ketiga rekannya. “Hatinya sudah

terlalu hitam!”
Apa yang diucapkan oleh Tawes tadi memang tidak 
jauh dari kenyataan. Tokoh seperti Tangan Iblis ini su-
dah tidak lagi memperhatikan kaidah-kaidah kebena-
ran dalam tata kehidupan manusia. Baginya, bertin-
dak sebebas dan sekehendak sendiri adalah pendi-
riannya yang berurat akar sangat kukuhnya. Sehingga 
dengan demikian ia cuma tertawa mendengar kata-
kata Tawes.
Tandang Nyi Durganti makin tampak gesit apabila 
beberapa saat kemudian mulutnya tampak berkomat-
kamit mengucapkan sesuatu. Biarpun sambil memon-
dong tubuh Made Maya, ia masih mampu menanggu-
langi serangan dari Ngurah Jelantik dan Paria. Bahkan 
kedua lawannya tadi, setapak demi setapak tergeser 
surut, sebab mereka merasakan bahwa tenaga sera-
ngan Nyi Durganti tersebut menjadi berlipat-lipat. 
Rambutnya yang panjang terurai seperti benar-benar 
benda hidup yang bernyawa. Sekali waktu mampu 
menangkis senjata-senjata lawannya dan tidak jarang 
seperti hendak melibat serta merampasnya dari ta-
ngan-tangan Ngurah Jelantik serta Paria. Tidak jarang 
pula rambut nenek itu melecut-lecut bagaikan samba-
ran seekor ular ganas yang haus korban. Inilah yang 
membuat kedua lawannya terpesona kagum tapi juga 
terdesak!
Akan tetapi yang paling menggetarkan hati adalah 
sorot pandangan mata Nyi Durganti yang seolah-olah 
melontarkan tekanan tenaga yang berlipat-lipat jum-
lahnya, disamping rasa pesona yang mampu melum-
puhkan semangat lawan. Pada saat-saat demikian itu, 
wajah Nyi Durganti tampak seperti berubah, menjadi 
bentuk wajah yang mengerikan dan memukau! Demi-
kianlah dalam penglihatan Ngurah Jelantik dan Paria 
serta rekan-rekan lainnya yang sempat menatap wajah
Nenek Durganti.
“Ilmu hitam!” desah Ngurah Jelantik setelah melihat 
perubahan pada Nyi Durganti. “Celaka. Ini tak ku-
sangka sama sekali. Padahal ilmuku masih belum 
sempurna untuk menghadapi hal tersebut!”
Kesadaran pendekar muda Singaraja ini sedikit ter-
lambat, sebab dalam saat yang gawat itu, tiba-tiba saja 
rambut Nenek Durganti telah menyabet pundak si Pa-
ria dengan kecepatan yang sukar dilihat mata. Saat 
tersebut sangat cepat, dan seketika itu pula Paria re-
bah ke tanah dengan tubuh lunglai bagai selembar 
daun kering yang tanggal dari tangkainya.
Betapa kagetnya Ngurah Jelantik serta Tawes seka-
wanan, begitu melihat robohnya Paria di atas tanah. 
Mereka menjadi lebih sadar bahwa dua orang lawan 
yang tengah mereka hadapi ini bukanlah orang semba-
rangan. Kalau nenek tua tersebut mampu menyabet 
roboh Paria dengan rambutnya, padahal kedua ta-
ngannya masih tetap memondong tubuh Made Maya, 
betapa tingginya ilmu Tangan Iblis yang masih muda, 
sedangkan ibunya yang sudah tua renta saja masih 
sesakti itu.
Tawes dan ketiga rekannya benar-benar terperanjat. 
Belum lagi ia lepas dari perhatiannya kepada Paria, 
mendadak saja Tangan Iblis bergerak cepat mene-
baskan pedangnya dan tahu-tahu terdengarlah jeritan-
jeritan parau dari mulut ketiga rekan Tawes yang re-
bah disertai luka menganga pada dada mereka.
“Auuuh!”
Detik itu pula Tangan Iblis pun menjerit kecil, sebab 
pedang si Tawes sempat pula menyentuh kulitnya, 
meski tidak terlalu besar luka yang ditimbulkan. Na-
mun toh itu sudah merupakan satu kelebihan kecil 
bagi Tawes. Rupanya, ketika Tangan Iblis menggerak-
kan pedangnya ke arah rekan-rekannya, Tawes telah

melesat ke samping dan pedangnya menggasak lam-
bung Tangan Iblis.
Tentu saja si Tangan Iblis menjadi marah luar bi-
asa. Secepat kilat ia melancarkan pukulan sisi telapak 
tangan kirinya yang tepat mendarat ke punggung Ta-
wes, selagi lawannya belum merobah jurusnya.
“Huuuk! Hooek!”
Tawes terbatuk-batuk berbareng tubuhnya mende-
prok di tanah. Sedang dari mulutnya mengalir darah 
kental, akibat luka dalam yang dideritanya.
Ngurah Jelantik tidak menyangka bahwa keadaan 
berkembang buruk begitu cepatnya. Semua rekannya 
telah rubuh, kecuali dirinya saja yang masih mampu 
bertahan.
“Ha, ha, ha, ha.”
“Hi, hi, hi, hi.”
Demikianlah derai ketawa Nyi Durganti dan Tangan 
Iblis berkumandang sahut-sahutan menimbulkan pe-
ngaruh pukau yang sangat hebat!
Ngurah Jelantik menjadi seperti orang linglung. Ka-
lau ia mengerahkan segenap tenaganya untuk meng-
halau pengaruh pesona dari suara tertawa Nyi Durgan-
ti dan Tangan Iblis, berarti ia melepaskan perhatian 
terhadap gerakan-gerakan lawan dan ini adalah sangat 
berbahaya bagi keselamatannya.
Akhirnya Ngurah Jelantik mengerahkan sebagian 
perhatiannya. Oleh sebab itu, sewaktu Tangan Iblis 
mengirimkan tikaman pedang, ia masih mampu meng-
hindarinya.
Namun di saat itu pula Nyi Durganti menyabetkan
rambutnya ke arah dirinya.
“Mampus kau!” seru Nyi Durganti yang telah me-
nyerang Ngurah Jelantik dengan gesit dan ganas.
Sekali lagi Ngurah Jelantik masih mujur dengan 
menggelindingkan tubuhnya ke tanah, hingga sera

ngan Nyi Durganti tersebut cuma sia-sia.
Tangan Iblis tidak membiarkan pendekar Singaraja 
ini meloloskan diri, maka secepat kilat ia menebaskan 
pedangnya ke bawah yang meluncur bagai kilat.
“Heeitt!” Ngurah Jelantik melenting ke udara bagai 
belalang, membuat kedua lawannya tercengang kagum.
Tapi sayang, Nyi Durganti lebih cepat bertindak. Te-
pat di saat Ngurah Jelantik melesat ke atas, di saat itu 
pula nenek tua tadi melecutkan rambutnya ke kaki la-
wannya.
Beeet! Daaarr!
Tanpa sesambat, Ngurah Jelantik mendeprok run-
tuh ke bawah dan berbareng itu pula tangan kiri si 
Tangan Iblis menggaplok punggungnya.
Plak! “Hoeekh!”
Ngurah Jelantik seketika terbanting di tanah diser-
tai darah segar melontak dari mulutnya. Dengan sa-
ngat susah payah ia mencoba merangkak, sementara 
Tangan Iblis dan Nyi Durganti tertawa terkekeh-kekeh 
melihat semua lawannya telah roboh.
“Angger Tangan Iblis! Lekas bereskan si Jelantik ke-
parat ini! Tikamlah dengan pedangmu itu!” seru Nyi 
Durganti lantang. “Biar dia tahu, siapa Nyi Durganti 
dan Tangan Iblis!”
“Baik, Ibu!” sahut Tangan Iblis seraya mengangkat 
pedangnya, siap ditikamkan ke tubuh Ngurah Jelantik 
yang masih bergerak-gerak lemah.
Ujung mata pedang Tangan Iblis cepat meluncur ke 
bawah dibarengi teriakan kemenangan dari mulutnya. 
“Haah! Mati kau sekarang!”
Mendadak saja sesuatu telah terjadi dengan amat 
cepatnya, tepat di saat nyawa pendekar Ngurah Jelan-
tik hampir direnggut oleh pedang Tangan Iblis.
Traaang!
Satu sinar putih melesat dan menyambar pedang

tadi dengan kerasnya, sampai Tangan Iblis menjerit 
kesakitan luar biasa. Pedangnya seketika terpelanting 
lepas dari genggaman tangan, disusul rasa pedih me-
nyengat seluruh sendi-sendi tangan kanannya. Dan 
rasa lumpuh segera merayapinya!
“Ibu! Ada penyerang gelap! Aku dikenainya!” seru 
Tangan Iblis sambil peringisan dan terkejut sekali.
“Ha, ha, ha, ha. Kalian iblis-iblis membuat onar di 
sini. Lekas minggat sebelum aku benar-benar marah!” 
terdengar teriakan bergema dari sela-sela dedaunan di 
arah selatan, menandakan bahwa si pendatang itu 
memiliki tenaga dalam yang hebat.
“Celaka!” desis Nyi Durganti ketika menyadari hal 
ini. Sebagai tokoh di dunia persilatan, ia dapat menge-
tahui akan kesaktian orang ini. Seperti tadi ketika ia 
melemparkan batu yang melesat tanpa suara dengan 
kecepatan yang luar biasa.
“Ayoh, Tangan Iblis! Kita lari sekarang,” ujar Nyi 
Durganti tepat di saat beberapa batu menyambar ke 
arah mereka.
Mujurlah bahwa keduanya cepat bertindak. Meski 
dengan susah payah, mereka berhasil lolos dan kabur 
dari tempat itu. Sebentar saja Tangan Iblis dan Nyi 
Durganti telah melesat, menerobos pepohonan di sebe-
lah timur serta lenyap di sebelah sana.
***
TIGA


PENDEKAR Ngurah Jelantik masih berusaha meng-
gerakkan tubuhnya dan membuka kelopak matanya 
yang sudah terasa sangat berat. Sesaat ia masih sem-
pat menatap Nyi Durganti dan Tangan Iblis kabur ke 
arah timur. Setelah itu tampak pula olehnya dua 
bayangan manusia meloncat-loncat mendatangi ke

arahnya dari sebelah selatan. Tak antara lama pende-
kar Ngurah Jelantik tak dapat lagi menahan dirinya, 
untuk kemudian rebah tak sadarkan diri.
Begitulah sesungguhnya, pandangan Ngurah Jelan-
tik tidak keliru, sebab dari sebelah selatan, berlonca-
tan dua sosok tubuh manusia dalam gerakan ringan 
dan tergopoh-gopoh ke arahnya.
“Kakek! Celakalah mereka! Semuanya telah roboh!” 
seru salah seorang pendatang yang bertubuh ramping 
dengan nada cemas seperti halnya wajahnya yang ter-
peranjat.
“Jangan cemas, Tunjung!” ujar si kakek tua yang 
melesat di samping gadis itu. “Kita periksa dulu tubuh-
tubuh mereka. Mungkin salah satu di antaranya dapat 
kita tolong!”
Sebentar saja mereka berdua telah berdiri di bekas 
medan pertarungan yang kini diisi oleh keenam tubuh 
laki-laki yang terluka dan berlepotan darah.
Dengan cermat si kakek tua yang tidak lain adalah 
Ki Tutur segera memeriksa tubuh-tubuh yang berka-
paran tadi. Sesaat ia mendesak serta mengangguk-
angguk dan di saat lain ia menggeleng-gelengkan ke-
pala. Ini semua diikuti oleh Tunjung dengan hati ber-
debar-debar. Apalagi sewaktu dilihatnya Ki Tutur meli-
hat keadaan tubuh Ngurah Jelantik.
Gadis ini lalu teringat akan perjumpaannya dengan 
pendekar tersebut beberapa pekan yang lalu, sewaktu 
mereka diserang oleh Bagus Wirog dan tikus-tikusnya. 
Yah, bukankah saat itu ia melempar senyum manis 
kepada Ngurah Jelantik?! Tapi sekarang ia tak sampai 
hati melihat pendekar itu serta kawan-kawannya ter-
kapar tak sadarkan diri.
“Bagaimanakah, Kakek?” tanya Tunjung kecema-
san. “Apakah yang kita perbuat sekarang?”
“Hmm, ketahuilah, Cucu. Dua orang telah mati,


seorang lagi masih berdetak jantungnya tapi sebentar 
lagi pasti berhenti, karena lukanya terlalu parah. Se-
dang tiga orang lagi masih mempunyai harapan untuk 
dapat kita selamatkan nyawanya.”
“Termasuk Pendekar Jelantik inikah, ketiga orang 
yang Kakek sebutkan tadi?!”
“Benar. Pendekar Jelantik ini ternyata memiliki ke-
tahanan tubuh yang cukup besar. Kita harus me-
nolong ketiga orang ini dengan segera. Nah, bukalah 
bungkusan kain di punggungmu itu, Tunjung!”
“Baik, Kakek,” sahut Tunjung seraya lekas-lekas 
melepas bungkusan kain dari punggungnya. Di dalam-
nya terlihat beberapa tabung bambu yang bersumbat 
gabus serta beberapa gulungan sobekan kain dan lem-
baran-lembaran daun.
Setelah ketiganya diminumi beberapa butir obat 
yang dikeluarkan dari tabung-tabung bambu tadi, se-
geralah tubuh-tubuh mereka yang semula telah dingin, 
kini menjadi hangat. Darahpun telah berhenti menetes 
dari mulutnya.
Khusus kepada Ngurah Jelantik yang mendapat ce-
dera akibat sabetan rambut Nyi Durganti serta pu-
kulan tangan si Tangan Iblis, Ki Tutur harus mengoba-
tinya lebih seksama, sebab untuk dua luka sekaligus, 
pengobatannya paling sukar. Salah-salah jika orang-
nya kurang ahli, bisa mengakibatkan kematian bagi si 
penderita.
Beberapa waktu kemudian, setelah dengan susah 
payah Ki Tutur berusaha mati-matian mengobati ke-
tiga penderita tersebut, selesailah sudah pekerjaannya.
Mula-mula Paria adalah yang pertama membuka 
mata, sebab dari ketiganya, hanya dialah seorang yang 
paling ringan penderitaannya. Kemudian menyusul si 
Tawes dan pendekar Ngurah Jelantik hampir berba-
reng membuka mata sambil mengerang kecil, ketika

dada keduanya masih terasa panas bagai dibakar bara 
api.
“Ookh, Andika berdua telah menolong kami?” desah 
Ngurah Jelantik penuh kesyukuran.
“Jangan bergerak keras-keras lebih dahulu. Duduk-
lah bersila kurang lebih sepemakanan sirih lamanya. 
Sesudah itu Andika berdua bebas bergerak. Kalian te-
lah menderita luka dalam, kecuali Tuan yang seorang 
ini!” ujar Ki Tutur seraya menunjuk kepada Paria.
“Benar. Turutlah kata kakekku ini, Tuan Ngurah 
Jelantik,” kata Tunjung pula. “Silakan duduk di sini!”
Diiringi senyuman, Ngurah Jelantik melaksanakan 
nasehat Ki Tutur. Dan berbareng si Tawes, keduanya 
bersila untuk beberapa saat sambil mengheningkan di-
ri.
Suasana malam yang telah mendekati dini hari itu 
benar-benar sangat lengang dan tenang. Sang rembu-
lan sudah semakin condong di cakrawala barat. Seben-
tar lagi pasti sinar fajar akan muncul perlahan-lahan 
dari tepi langit sebelah timur.
Ketika Ngurah Jelantik dan Tawes selesai menghe-
ningkan diri, Ki Tutur dan Paria mengajak mereka un-
tuk mengubur mayat ketiga rekan penjaga di tempat 
itu juga.
“Andika bertiga harus singgah ke pondokku lebih 
dahulu buat beberapa hari, sebab tenaga Tuan-tuan 
telah banyak terkuras dalam pertempuran tadi,” demi-
kian kata si kakek tua Ki Tutur kepada Ngurah Jelan-
tik bertiga.
“Tenaga kami terkuras?” desah Tawes dengan pera-
saan hampir tidak percaya. “Aku kurang merasakan 
hal itu, Kakek.”
“Memang maksudku bukan tenaga untuk sekadar 
bergerak, tapi tenaga bergerak guna mempertahankan 
diri! Nah, jika Tuan ingin mencobanya tentang kebenaran kata-kataku tadi, silakan Andika bersilat beberapa 
jurus.”
Dasar si Tawes yang berwatak keras, sudah terang 
tidak begitu saja dapat menerima keterangan Ki Tutur 
yang demikian tadi. Maka sambil sekaligus mencoba 
kemampuan diri, ia segera berdiri dan lalu meloncat 
dengan membuka satu jurus pembukaan dari sera-
ngan kilat. Namun alangkah kagetnya ketika menda-
dak saja gerakannya menjadi kacau, tidak keruan, dan 
hampir saja tubuhnya jatuh terbanting di tanah!
“Ooh, celaka!” desis Tawes saking kaget dan heran-
nya. Untung saja Ki Tutur cepat bergerak dan mena-
han tubuhnya, sehingga Tawes tidak mengalami cedera 
sedikitpun. Sebaliknya ia malah tersipu-sipu malu ka-
rena kata-kata Ki Tutur tadi ternyata benar. Kare-
nanya buru-buru ia membungkuk minta maaf dan ka-
tanya kemudian, “Ah, maaf, Ki Tutur. Kata-kata An-
dika memang benar. Tapi, apakah ini berarti bahwa 
kami tak akan mampu lagi untuk bersilat dan membe-
la diri?”
“Jangan berkecil sedemikian itu, Nak,” ujar kembali 
Ki Tutur sambil menepuk-nepuk pundak si Tawes. 
“Keadaan dan gangguan tadi hanya sementara saja. 
Tapi itupun dengan syarat bahwa kalian harus men-
dapat pengobatan dan latihan yang seksama. Jika ti-
dak, maka tidak mustahil bahwa sesuatu yang bersifat 
sementara akan betul-betul berbahaya pada akhirnya.”
“Kami bertiga mengucapkan terima kasih sebelum-
nya,” sahut pendekar Ngurah Jelantik menyela pembi-
caraan tersebut. “Dengan senang hati kami akan me-
nerima uluran pertolongan Ki Tutur.”
“Nah, nah. Senanglah hatiku, Nak. Anda bertiga ha-
rus membantu mengubur mayat ketiga rekanmu ini. 
Marilah kita bekerja sekarang dan sesudah itu kita 
akan berjalan ke daerah selatan, kembali ke rumah

ku.”
Sebentar kemudian, Ki Tutur, Ngurah Jelantik, 
Tawes dan Paria segera bekerja, menggali lubang yang 
cukup dalam untuk mengubur mayat ketiga penjaga 
yang telah tewas dalam pertempuran melawan Nyi 
Durganti dan si Tangan Iblis.
Dengan khidmatnya, pendekar Ngurah Jelantik me-
nundukkan kepala, dengan berkomat-kamit mengu-
capkan doa sebagai pengiring penguburan ketiga rekan-
nya tersebut, dan sebentar itu pula selesailah sudah. 
Perlahan sekali Ngurah Jelantik berdiri dan sekali lagi 
ia masih menatap kepada gundukan tanah merah de-
ngan perasaan penuh haru, sementara desiran angin 
dini hari mengusap-usap wajah mereka bagaikan meng-
hibur hati-hati yang sedang susah.
“Marilah, Tuan-tuan. Kita masih akan berjalan agak 
jauh ke selatan. Udara segar dini hari ini sangat me-
nyehatkan. Karenanya, hiruplah ia banyak-banyak ke
dalam paru-paru,” ujar Ki Tutur sambil berjalan di se-
belah depan melewati lorong-lorong semak-semak pe-
pohonan seperti seolah-olah telah mengenalnya de-
ngan baik.
Jauh di ufuk timur, tersembullah warna semburat 
merah sebagai ujung dari fajar pagi yang bakal menda-
tang. Mereka terus berjalan melewati panorama indah 
yang terpapar di sepanjang jalan.
“Apakah Ki Tutur pernah mendengar nama Nyi 
Durganti dan Tangan Iblis?” bertanya pendekar Ngu-
rah Jelantik.
“Sama sekali belum, Nak,” jawab Ki Tutur sambil 
memikir-mikir sesaat. “Mendengar namanya saja baru 
kali ini. Namun yang terang saja keduanya adalah na-
ma yang tidak baik.”
“Memang demikian, Bapak.”
“Jika demikian, pasti keduanya mempunyai kesak

tian yang besar,” sambung Ki Tutur dengan mende-
hem-dehem kecil. “Beruntung aku masih bisa menye-
lamatkan Anda dari keganasannya.”
“Apakah Ki Tutur sudah lama tinggal di daerah ini?” 
kembali Ngurah Jelantik bertanya kepada orang tua 
yang berjalan di depannya.
“Benar, Nak. Kami sudah belasan tahun tinggal di 
tanah terpencil ini. Selama itu kami hidup dengan ten-
tramnya.”
Pendekar Ngurah Jelantik menganggukkan kepala, 
tapi ia tak berani bertanya lebih jauh lagi, sebab ia ku-
atir kalau-kalau hal ini akan menimbulkan kegusaran 
kepada Ki Tutur. Kemudian, iapun mengalihkan pem-
bicaraannya setelah beberapa saat terhenti. “Masih 
jauhkah tempat Andika, Bapak?”
“Sebentar lagi kita sampai di sana,” sambung Ki Tu-
tur. “Nah, apakah Tuan melihat pohon beringin raksa-
sa yang tumbuh di dekat gundukan batu-batu hitam di 
sebelah selatan itu?”
Pendekar Ngurah Jelantik melayangkan panda-
ngannya jauh ke arah tersebut, dan tampaklah oleh-
nya pohon beringin yang sayup-sayup tersaput oleh 
kabut pagi.
“Aku dapat melihat beringin itu, Ki Tutur,” demikian 
ujar pendekar Ngurah Jelantik. “Aku dapat menebak, 
bahwa tempat itu adalah tempat yang indah....”
“Heh, heh, heh, Angger telah berpikir sangat menda-
lam,” sambut Ki Tutur. “Tapi tak ada salahnya. Me-
mang tempat tinggal kami terletak di dekat mata air 
yang bening dengan sebuah pancuran yang gemericik.”
“Ahh sungguhkah itu, Bapak?” berkata pula Ngurah 
Jelantik. “Pastilah kami merasa senang!”
“Heh, heh, semogalah demikian. Kami harap Anda 
bertiga akan kerasan tinggal di sana, sampai sembuh 
seperti sediakala.”

“Terima kasih, Ki Tutur. Kami bertiga akan berse-
nang hati memenuhi permintaan Andika,” ujar Ngurah 
Jelantik. “Di tempat yang sedemikian tenang ini, pasti-
lah kami dapat berlatih dan memulihkan kesehatan 
dengan saksama.”
“Pasti. Pasti,” sambung Ki Tutur. “Banyak sekali 
hal-hal yang patut Angger ketahui. Aku yang sudah 
tua ini bersedia memberi petunjuk-petunjuk kepada 
Angger.”
Demikianlah, mereka asyik bercakap-cakap di se-
panjang perjalanan. Dan ini membuat mereka terhibur 
dari rasa lelah. Tanpa terasa, mereka makin mendekati 
pohon beringin tua yang ditunjuk oleh Ki Tutur semu-
la, dan makin jelaslah tampaknya betapa cabang-
cabang dan sulur-sulur beringin tersebut menjorok ke 
segenap arah, bagaikan puluhan ujung jari-jari yang 
siap memberi perlindungan kepada siapapun dari ba-
haya.
Yang pertama-tama mendesis kagum adalah si pen-
dekar Ngurah Jelantik, lalu menyusul Tawes dan Paria, 
sebab mata mereka telah menatap satu panorama alam
yang amat indahnya. Gundukan batu-batu hitam yang 
setinggi gajah itu berdampingan dengan beringin tua. 
Sedang di celah-celah lekukan batu tadi, menggeme-
ricik air jernih yang tercurah ke bawah, dan jatuhlah 
ke dalam cekungan kolam batu yang bermata air.
Dari kolam batu tadi mengalirlah perlahan-lahan air 
jernih ke arah selatan melewati parit kecil yang berbe-
lok-belok mengikuti irama permukaan tanah dan ton-
jolan-tonjolan batu. Di dekatnya, terdapat pula sebuah 
rumah-rumah sesaji yang kecil, terbuat dari pahatan 
batu. Kemudian, di sebelah mata air agak jauh sedikit, 
berdirilah pondok kecil yang sederhana, tapi cukup in-
dah dan serasi. Bermacam-macam bunga bermekaran 
tumbuh menghiasi halaman pondok Ki Tutur tadi. Maka terjelmalah suasana keindahan yang sungguh men-
cengkam hati.
Beberapa pohon-pohon besar yang tumbuh pula di 
sekitar pondok itu, penuh dihiasi oleh benda-benda 
bulat berwarna coklat abu-abu, laksana buah-buahan 
yang bergantungan pada cabang-cabangnya. Inilah 
yang tidak kalah mengherankan buat Ngurah Jelantik 
bertiga.
Mula-mula sekali mereka merasa asing dengan 
benda-benda bulat tersebut, namun ketika lebih dekat 
lagi, barulah mereka tahu bahwa benda-benda bulat 
tadi adalah sarang-sarang lebah! Seketika dada Ngu-
rah Jelantik berdebar-debar keras, sebab sesungguh-
nya ia telah mengenal kehebatan lebah-lebah putih 
piaraan si kakek dan cucu gadisnya. Apabila mereka 
berlima telah tiba di halaman pondok Ki Tutur, terde-
ngarlah bunyi bergetar dan berdengung dari arah po-
hon-pohon, di mana bergantungan sarang-sarang le-
bah putih.
“Ehh, jadi, di sinilah lebah itu berdiam?!” ujar Ngu-
rah Jelantik dengan takjubnya.
“Betul, Angger. Di sinilah mereka tinggal dan aku 
ternakkan,” sahut Ki Tutur. “Dari lebah-lebah itu kami 
memperoleh madu dan bisa yang sangat berguna bagi 
ilmu pengobatan. Sedang mereka, mendapat makan 
dari madu bunga-bungaan.” Begitu Ki Tutur berkata 
menjelaskan tentang lebah-lebah putih piaraannya.
“Maaf, Kakek,” sela si Tunjung ikut berbicara. “Ta-
won-tawon putih kita telah lama menunggu. Kita harus 
memberinya hadiah.”
“Hmm, kau memang benar, Tunjung,” jawab Ki Tu-
tur seraya mengangkat sepotong ruas bambu besar 
bersumbat yang tergantung di pundaknya dengan seu-
tas tali. “Nah, terimalah tabung bambu ini, dan berilah 
mereka hadiah. Biarlah mereka menyambut kita.”

“Baik, Kakek,” ujar si Tunjung serta menerima ta-
bung ruas bambu bersumbat dari tangan kakeknya, 
kemudian mundur beberapa langkah sambil bersiul 
nyaring ke udara.
Pohon-pohon di mana bergantungan sarang-sarang 
lebah tadi, serentak tergetar oleh bunyi siulan dari mu-
lut si Tunjung. Seperti hendak roboh, segenap dedau-
nan bergetar akibat lebah-lebah pada keluar dari sa-
rang serta menggerakkan sayap-sayapnya sambil me-
ngeluarkan bunyi berdengung yang membisingkan.
Sesudah Tunjung membuka sumbat tabung bambu 
tadi, tiba-tiba terhamburlah bau sedap dan manis, dan 
sesaat kemudian meluncurlah satu persatu lebah pu-
tih dari pohon-pohon untuk kemudian mencucup cai-
ran sari bunga dan buah yang tersedia di dalam ta-
bung ruas bambu tersebut. Selesai itu, para lebah ke-
mudian terbang kembali ke atas untuk selanjutnya 
hinggap di tempat semula, di atas daun-daun ataupun 
sarang-sarang mereka.
Sementara itu, Ngurah Jelantik, si Tawes dan Paria 
tak habis heran dan kagumnya melihat pemandangan 
di depannya. Mereka tak mengira bahwa lebah-lebah 
berbisa itu dapat dijinakkan serta digembalakan seper-
ti halnya binatang ternak sapi, kambing dan lainnya.
Akhirnya Ki Tutur mempersilakan ketiga tamunya 
masuk ke dalam pondok. “Mari, Angger Ngurah Jelan-
tik dan Angger berdua. Silakan beristirahat di dalam 
pondokku ini. Anggaplah seperti dalam rumah sendiri.”
Ki Tutur membuka pintu dan sebentar kemudian 
mereka berempat telah duduk di ruang depan bera-
laskan tikar anyaman pandan.
Ternyata ruangan pondok Ki Tutur ini tersusun 
dengan rapinya. Sebuah rak bambu dengan susunan 
kitab-kitab lontar dan beberapa patung-patung pe-
runggu yang berukuran kecil, tersusun di sebelah kitab-kitab, tadi merupakan satu kesatuan susunan 
yang amat indah.
Pada dinding bambu tergantung pula beberapa sen-
jata, seperti keris, pedang dan mata tombak bertangkai 
pendek. Maka melihat ini semua, Ngurah Jelantik 
menjadi heran sampai ia berkata-kata sendiri di dalam 
hatinya, “Ki Tutur ini tidak pernah membawa senjata, 
tapi di dinding rumahnya terpasang beberapa senjata 
yang tentunya bukan sekadar hiasan kosong. Dengan 
demikian, aku bisa menduga bahwa meskipun tidak 
membawa senjata pastilah si Kakek Tutur ini memiliki 
kepandaian menggunakan senjata.”
Selama itu rupanya si Tunjung telah menyiapkan 
cawan dan mangkuk-mangkuk serta selodong minu-
man tuak di samping sepinggan juadah ketan.
Ketika itu telah dihidangkan, Ki Tutur segera mena-
warkan kepada para tetamunya, “Marilah, Angger. 
Nikmatilah sekadar hidangan ini. Cukup cocok untuk 
udara sepagi ini.”
“Terima kasih, Ki Tutur,” serentak pendekar Ngurah 
Jelantik bertiga menghaturkan kesenangan hatinya 
dan hidangan tadi disambutnya seraya berkata kemba-
li, “Janganlah kami terlalu direpotkan, Ki Tutur. Biar-
lah kami bertiga menyesuaikan diri dengan keadaan 
dan alam di tempat ini, dengan demikian akan terjalin-
lah keserasian.”
“Aah, syukurlah, Angger. He, he, he. Dengan begitu 
aku tak malu-malu menghidangkan masakan yang se-
derhana. Maklumlah kita tinggal di tengah hutan. Se-
dang untuk sebongkah garam, kadang-kadang kita 
terpaksa mencarinya ke desa-desa dan menukarnya 
dengan selodong madu lebah.”
Pondok Ki Tutur yang selama itu bisu dan penuh 
suasana kesepian, kini seolah-olah telah hidup dengan 
suara tawa dan percakapan-percakapan meriah yang

mengasyikkan.
Akan tetapi tidak semuanya ikut bergairah dengan 
keramaian di pondok Ki Tutur tadi. Sebab bila diperha-
tikan di antara celah dedaunan pakis di sebelah sela-
tan pohon, tampaklah sesosok bayangan manusia ber-
mata tajam, mengawasi pondok tadi.
“Hmm, kurang ajar!” gerundal si pengintai tadi se-
raya menggertakkan giginya. “Si tua bangka itu me-
nerima beberapa tamu di pondoknya. Ini berarti peker-
jaanku akan mendapat kesulitan!”
Si pengintai ini berperawakan sedang, berpakaian 
bersih dan licin serta mentereng yang membalut tu-
buhnya, merupakan pakaian orang-orang kaya. Ia be-
rumur kira-kira setengah abad, namun wajahnya ma-
sih tetap tampan, sehingga orang yang belum kenal 
akan dia, pastilah tidak akan percaya bila ia sudah be-
rumur separuh abad.
“Hmm, biarlah akan tetamu itu! Bagaimanapun ju-
ga aku harus mendapatkan sasaranku yang telah lama 
aku cita-citakan setiap saat!” demikian si wajah licin 
ini menggerundal lalu memutar tubuh. “Akan kutung-
gu sampai tiba kesempatan yang baik!”
Habis berkomat-kamit begitu, si wajah licin lalu 
menggenjotkan kakinya ke tanah disusul tubuhnya 
melesat tinggi ke arah selatan, laksana seekor belalang 
yang menjauhi bahaya. Sebentar saja tubuh si pengin-
tai tadi telah lenyap di balik pepohonan rindang, le-
nyap seperti sekilas bayangan yang lewat dengan ce-
patnya.
Orang pasti akan terpukau kagum bila melihat si 
wajah licin tadi ketika melesat dan pasti akan ber-
tanya-tanya, siapakah gerakan si pengintai ini? Yang 
terang saja pastilah ia memiliki kesaktian yang tinggi! 
Sedang orang-orang yang berada di dalam pondok Ki 
Tutur tadi, tak satupun yang mengetahui perihal si

pengintai yang baru saja kabur itu. Mereka masih 
asyik bercakap-cakap dan minum-minum di ruang de-
pan, sementara di luar sinar pagi mulai muncul dari 
balik dedaunan di sebelah timur.
***
EMPAT


TIGA KEPALA MANUSIA tampak sebatas leher pada 
permukaan kolam dari sebuah mata air yang jernih 
dan sejuk bagaikan tiga bola yang sebentar-sebentar 
bergerak. Mereka tidak lain adalah pendekar Ngurah 
Jelantik, Tawes, dan Paria. Agak jauh dari tepi kolam, 
duduklah Ki Tutur di atas bongkah batu hitam. Di de-
katnya, duduk pula si Tunjung di atas batu yang lebih 
kecil.
Sebentar-sebentar Ki Tutur mengawasi ketiga ta-
munya tadi dengan wajah agak tegang, tapi sebentar 
waktu pula ia tersenyum-senyum.
Rupanya si Tunjungpun mempunyai perasaan yang 
sama dalam mengamat-amati ketiga murid baru ka-
keknya. Hatinya sudah barang tentu berdebar-debar, 
sebab ia telah mengetahui bahwa air kolam itu dingin-
nya luar biasa, apalagi dalam waktu yang masih pagi 
ataupun waktu sore menjelang senja.
Air kolam itu begitu dinginnya, seolah-olah mampu 
membekukan tubuh dan tulang-belulang yang teren-
dam olehnya. Si Tunjung merasa bimbang, apakah 
Ngurah Jelantik, Tawes dan Paria mampu mengatasi 
rasa dingin tadi?
Hari masih terlalu pagi ketika Ki Tutur dan Tunjung 
menyaksikan pendekar Ngurah Jelantik bertiga, be-
rendam diri di dalam kolam tadi. Entah sudah berapa 
lama ketiganya melatih diri, menanggulangi rasa di

ngin yang menusuk tulang itu. Kini telah terlihat, bah-
wa wajah si Paria dan Tawes sebentar-sebentar me-
ngerut sambil mulutnya mengeluarkan desisan terta-
han. Sedang Ngurah Jelantik masih tetap bersikap te-
nang tanpa memperlihatkan perubahan-perubahan 
dan kesan-kesan wajah seperti halnya si Tawes dan 
Paria.
Beberapa saat kemudian, makin tampak bahwa si 
Tawes dan Paria menunjukkan kegelisahan serta suara 
desisan sebagai curahan rasa yang menahan kedingi-
nan yang rasanya makin membekukan tubuhnya. Me-
reka merasa seolah-olah darahnya telah terhenti men-
galir dari jantungnya.
“Brrr ... tobat!” seru si Tawes seraya melesat keluar 
dari kolam air itu dengan sikap yang menimbulkan ke-
tawa, tak ubahnya gerakan seekor katak.
Sudah barang tentu Paria sangat kagetnya, dan 
perbuatan Tawes tadi dengan cepat menjalar ke dalam 
nalurinya. Maka, begitu Tawes telah keluar dari kolam, 
Pariapun lalu memekik sambil meloncat keluar me-
ninggalkan kolam air dingin. “Waaw... dingiinn... hiih!”
Ki Tutur dan Tunjung terkejut pula melihat hal ini. 
Tapi sesaat kemudian mereka berdua tertawa geli 
sambil kemudian Ki Tutur berseru, “Jangan berkecil 
hati, Angger Tawes dan Paria. Meski Andika berdua te-
lah keluar lebih dahulu dari kolam itu, namun kalian 
telah cukup lama bertahan dalam air dingin tersebut. 
Itu berarti bahwa kalian telah memiliki keunggulan.”
Tawes dan Paria mengangguk, walaupun mereka 
agak kecewa. Tetapi mereka yakin bahwa kata-kata Ki 
Tutur tadi bukanlah sekadar kata-kata penghibur hati 
belaka. Dengan demikian Tawes dan Paria menjadi le-
ga.
Yang menjadi perhatian mereka sekarang ialah 
pendekar Ngurah Jelantik yang sampai saat ini masih

terus bertahan merendamkan diri di dalam air. Bagi 
Tawes dan Paria, hal ini sudah dimaklumi olehnya. 
Bukankah Ngurah Jelantik adalah pendekar Kerajaan 
Singaraja yang telah terkenal dan terpilih untuk tugas-
tugas berat? Sehingga sudah sepatutnya bila Ngurah 
Jelantik memiliki keunggulan di atas diri mereka ber-
dua.
Ki Tutur tak lepas pula perhatiannya dari Ngurah 
Jelantik yang mampu bertahan dalam menanggulangi 
rasa dingin. Diam-diam Ki Tutur memberi pujian di da-
lam hatinya. “Hhh, Angger Jelantik banyak mengalami 
kemajuan di dalam dirinya. Mudah-mudahan saja 
pengaruh pukulan kedua manusia iblis itu benar-
benar telah lenyap dari tubuhnya.”
Dalam pada itu, si Tunjungpun menatap ke arah 
Ngurah Jelantik dengan perasaan kagum dan penuh 
keheranan. Malahan di dalam hatinya tergetar satu pe-
rasaan aneh yang sudah terasa sejak ia berjumpa per-
tama kalinya dengan pendekar ini. Sebab itu pula, 
Tunjung tiba-tiba tertunduk malu dengan warna me-
rah jambu membayang pada pipinya. Untung saja ia 
dapat cepat-cepat menguasai perasaan hingga getaran 
dadanya tadi cuma sekilas.
“Uh, apa ini? Kau membikin malu!” begitu damprat 
si Tunjung dalam hatinya sendiri. “Tapi... mungkinkah 
ini pertanda bahwa aku jatuh cinta kepadanya?! Tung-
gu dulu! Bukankah ia tinggal di kota besar? Siapa tahu 
ia telah memiliki gadis. Sebagai pendekar kerajaan se-
perti Ngurah Jelantik, di mana putri-putri istana ba-
nyak tinggal di sana, apakah tidak mungkin bila ia te-
lah mencintai seorang di antaranya?!” Demikianlah pe-
rasaan hati si Tunjung saling berperang sendiri. “Ta-
pi... tapi... siapa tahu bahwa dia akan menjadi jodoh-
ku, seperti kata pepatah asam di gunung garam di 
laut, bertemu dalam belanga. Hmm, tapi apakah ini

pantas pula? Aah..., sudahlah... sudahlah. Aku terlalu 
banyak merancang dan bermimpi! Manusia boleh me-
rancang, tapi Dewata Yang Maha Kuasa yang akan 
menentukan. Sekarang aku harus memperhatikan 
kembali keadaan yang ada di depanku!”
Sampai saat ini, ternyata Ngurah Jelantik masih sa-
ja berendam diri dalam kolam mata air. Hingga tak 
mengherankan bila si Tunjung menjadi cemas dan 
menguatirkan, jangan-jangan pendekar Ngurah Jelan-
tik telah kedinginan dan beku untuk menggerakkan 
tubuhnya? Benarkah hal ini?
Ki Tutur tersenyum-senyum serta mengangguk-
angguk, selaku tanda kepuasan hatinya melihat Ngu-
rah Jelantik yang telah mampu membajakan diri. Ma-
ka tak lama kemudian iapun berseru, “Angger Ngurah 
Jelantik! Latihan jurus ‘Kura-kura Bertapa’ telah cu-
kup. Andika boleh naik ke darat!”
Pendekar Ngurah Jelantik mengangguk, dan dengan 
sebatnya ia meloncat dari kolam dan melesat ke atas 
darat, tak jauh dari Ki Tutur berada.
Sambil tunduk memberi hormat. Ngurah Jelantik 
berkata hormat, “Terima kasih kepada Andika, Guru. 
Tapi apakah tenagaku dapat saya andalkan kembali?”
“Jangan kuatir, Angger. Kau telah memperoleh ba-
nyak kemajuan. Mudah-mudahan dalam waktu sing-
kat, tenaga dalammu akan pulih seluruhnya!” ujar Ki 
Tutur pula. “Besok adalah latihan berikutnya. Maka 
siapkanlah dirimu bersama Angger Tawes dan Paria.”
“Baik, Ki Tutur,” ujar Ngurah Jelantik. “Kami akan 
berusaha untuk tidak mengecewakan Andika.”
“Heh, heh, heh. Bagus, Angger. Nah, sekarang mata-
hari telah tinggi. Kita beristirahat saja. Biarlah cucuku 
si Tunjung menyiapkan minuman hangat!”
Sang surya mulai muncul dari balik pepohonan di 
sebelah timur dan menyebar sinarnya ke setiap penjuru yang mampu dicapainya. Hawa dingin perlahan-
lahan menarik diri dari suasana, seperti ketakutan 
atau memberi kesempatan kepada sinar matahari un-
tuk menggantikan tempatnya.
***
Siang hari pada keesokan harinya, terlihatlah kesi-
bukan-kesibukan di dekat pondok Ki Tutur. Mereka ti-
dak lain adalah Ki Tutur sendiri, Ngurah Jelantik, 
Tawes, Paria dan si Tunjung. Suasana senyap. Mereka 
berlima berdiri di atas dataran batu hitam yang seperti 
meja-meja lebar terbentang hampir rata dengan tanah. 
Sesuatu telah berkepul dari atas dataran batu-batu hi-
tam tadi dan semua mata menatap kepulan asap tadi 
dengan pandangan nanar.
Sesungguhnya ‘sesuatu’ yang berada di atas data-
ran batu hitam tadi, tidak lain adalah tiga buah lingka-
ran bara api mengonggok dengan dahsyatnya, tak 
ubahnya lingkaran-lingkaran maut yang mengerikan!
“Angger Ngurah Jelantik bertiga! Sekarang adalah 
latihan ‘Sikap Arca’ untuk menanggulangi hawa panas. 
Jika kalian telah mampu berlatih melawan dingin, ma-
ka kali ini adalah pelengkap latihan guna memulihkan 
ketahanan tubuhmu! Nah mulailah, Angger!” begitu 
ujar Ki Tutur kepada ketiga muridnya yang telah ber-
sedia.
Ngurah Jelantik, Tawes dan Paria hanya memakai 
kain pendek sebatas lutut, sedang dada mereka terbu-
ka sama sekali. Mereka cepat melompat ke dalam ling-
karan bara api dan duduk bersila dengan kedua tela-
pak tangan menempel pada lutut. Sikap mereka ini 
benar-benar menyerupai sikap arca, sehingga tak sa-
lah bila Ki Tutur menyebutnya demikian.
Latihan yang diajarkan Ki Tutur ini ternyata tidak 
tanggung-tanggung diberikannya. Seperti sikap arca

yang duduk di tengah lingkaran bara api tersebut bu-
kanlah pekerjaan ringan yang setiap orang mampu. 
Sebab orang yang duduk bersila tadi sekaligus meng-
hadapi banyak tantangan dan ujian berat. Pertama ra-
sa panas datang menyerang dari dua sumber, yakni 
bara api dan sinar matahari siang. Kedua adalah rasa 
haus yang sudah barang tentu bakal menyerang ke-
rongkongan dan mulut. Dan yang ketiga adalah keta-
hanan untuk tetap bertahan duduk di tengah lingka-
ran bara tadi, sampai saat yang ditentukan oleh Ki Tu-
tur!
Itulah yang semuanya harus dihadapi oleh Ngurah 
Jelantik bertiga. Dengan sekuat tenaga, mereka duduk 
bersila tanpa memperdulikan serangan hawa panas 
yang mulai menyentuh kulitnya.
Hawa lengas dan panas segera menyengat lubang-
lubang kulit mereka, hingga beberapa saat kemudian 
butir-butir air keringat bermunculan keluar untuk ke-
mudian mengalir ke bawah, menganak sungai dengan 
menetes-netes.
Waktu terus berjalan dengan selalu diawasi oleh Ki 
Tutur. Ngurah Jelantik bertiga telah beberapa saat ber-
gelut melawan serangan hawa panas.
Tunjung menjadi kecemasan dan mendekati Ki Tu-
tur seraya berkata lirih, “Kakek... bagaimana nanti....”
“Tenanglah, Cucu. Mereka tak akan apa-apa!” ujar 
Ki Tutur seraya tersenyum ramah. “Kau kuatir kalau 
mereka hangus?!”
Tunjung menggeleng ragu, dan tepat di saat itu, si 
Paria meloncat keluar dari cincin lingkaran bara api, 
disusul oleh Tawes pula. Wajah-wajah mereka tampak 
kemerahan.
Dengan demikian, untuk kedua kalinya, Ngurah Je-
lantik telah mampu berada dalam tingkatan di atas 
kedua rekannya, si Tawes dan Paria.

Keduanya ganti mengawasi Pendekar Jelantik de-
ngan perasaan kagum. Hampir-hampir mereka tidak 
mempercayai bahwa keadaan yang ada di hadapan me-
reka ini bukan sekadar mimpi dan khayalan belaka.
Sikap mematung seteguh arca batu membuat tubuh 
Ngurah Jelantik membisu tanpa bergerak sedikitpun 
kecuali alunan napas teratur dari lubang hidungnya. 
Sedang keringatnya berkilat-kilat membasahi kulit tu-
buhnya yang berwarna sawo matang dan segar itu.
Di saat yang sama, Ki Tutur mengangguk-angguk 
kagum terhadap ketahanan tubuh Ngurah Jelantik 
yang mampu bertahan sampai sejauh itu. Dan ketika 
dirasanya telah lebih dari cukup, Ki Tutur segera ber-
seru kepada Ngurah Jelantik, “Nah, Angger Jelantik. 
Andika telah lebih dari cukup melaksanakan ‘Sikap 
Arca’. Sekarang selesailah sudah latihanmu ini.”
Ngurah Jelantik mengangguk, lalu meloncat keluar 
dari lingkaran bara api dengan gerakan yang gesit, di-
sambut oleh Tawes dan Paria seraya berseru, “Anda 
memang hebat! Kami berdua mengaku kalah!”
“Aahh! Ini bukan satu pertandingan untuk menang 
dan kalah!” seru Ngurah Jelantik seraya menepuk-
nepuk bahu kedua rekannya ini. “Jika sekarang Anda 
berdua belum menyamaiku, pastilah di lain saat kalian 
akan sanggup pula mencapainya.”
Ki Tutur dan Tunjungpun segera mendekati Ngurah 
Jelantik. Dengan gembira Ki Tutur menjabat tangan 
pendekar Singaraja ini dan mengguncang-guncangkan 
sebagai pertanda senang dan rasa puasnya.
“Ayo, Tunjung. Berikan ucapan selamat kepada 
Pendekar Jelantik,” ujar Ki Tutur disertai ketawa lebar, 
membuat dua pihak yang bersangkutan terdiam ke-
bingungan dalam sifat kaku menggelikan. Keduanya 
berkeringat dingin.
Dasar Ki Tutur yang pintar menggoda dan berkelakar, maka ia berkata lagi dengan enaknya ketika Tun-
jung masih saja membisu dan mengeluh ah uh saja.
“Heh, heh, heh. Ternyata asmara dahana lebih he-
bat dari lingkaran bara api itu. Dahimu berkeringat, 
Tunjung!” ujar Ki Tutur seraya berpaling ke samping, 
ke arah cucu gadisnya.
“Huh, huh, huh. Kakek menggodaku lagi. Kakek 
nakal!” seru Tunjung seraya menggebrak-gebrakkan 
kedua kakinya ke tanah silih berganti, tak ubahnya 
seorang bocah manja yang lagi jengkel dan cemberut.
Habis begitu, Tunjung berlari ke dalam pondok 
sambil menahan warna merah jambu yang membayang 
di pipinya, akibat kata-kata Ki Tutur. Biarpun ia berla-
ri meninggalkan kakeknya beserta ketiga muridnya, 
tak urung hatinya terguncang pula menahan gejolak 
gembira yang membersit amat dalam. Memang sudah 
beberapa saat ini Tunjung selalu tergetar hatinya bila 
bertemu dan berhadapan muka dengan Ngurah Jelan-
tik.
Dalam pada itu, Pendekar Jelantik berdehem untuk 
mengusir kekakuan yang mengganggu dirinya. Sedang 
Tawes dan Paria cuma tersenyum-senyum penuh arti. 
Sementara Ki Tutur sendiri mengelus-elus janggutnya 
yang putih.
“Heh, heh, heh, si Tunjung lagi ngambek. Tapi biar-
lah begitu, dan Angger bertiga boleh beristirahat se-
karang. Marilah, kita duduk-duduk di bawah beringin 
itu. Aku telah menyediakan selodong madu lebah putih-
ku, dan ini akan menyehatkan tubuh kalian.”
Mereka berempat lalu melangkah ke arah akar-
akaran pohon beringin yang berlekuk-lekuk untuk 
kemudian merebahkan diri dan melepaskan lelah.
Pendekar Ngurah Jelantik yang berbaring tidak jauh 
dari Ki Tutur, sibuk dengan memikirkan perihal si 
Tunjung beberapa saat lamanya. Selain tak habis herannya, Ngurah Jelantik selalu mencoba untuk mene-
bak-nebak, apakah latar belakang kecemberutan gadis 
manis seperti Tunjung yang telah berlari meninggalkan 
mereka? Marahkah barangkali, atau malu karena ke-
lakar si Kakek Tutur ini?
Dengan menghela napas panjang, Ngurah Jelantik 
berusaha menghapus kekalutan pikirannya tentang si 
Tunjung yang kenyataannya telah banyak mendapat 
tempat di dalam hatinya! Ditatapnya kemudian ke 
atas, ke arah sela-sela dedaunan yang menampakkan
biru langit, bergerak kesana-kemari oleh gerakan angin 
siang.
***
LIMA


RUANG PENDAPA rumah Wayan Arsana tampak 
sepi senyap, walaupun di situ terdapat beberapa orang 
manusia yang duduk dengan menundukkan kepala ke 
bawah. Kedukaan memang tengah melanda manusia-
manusia ini, sehingga masing-masing seperti tengge-
lam dalam arus yang sama. Terdiam dan membisu.
Lebih-lebih bagi yang termuda di antara mereka itu. 
Sejak tadi, tak henti-hentinya ia menatap ke lantai 
pendapa, sementara pada kedua sudut matanya me-
ngembang bencah air mata kedukaan.
Tapi siapakah yang menyalahkan sikap pemuda ini, 
kalau sebagai pengantin baru mendadak saja istrinya 
telah diculik oleh penjahat, sedang ia sendiri tak mam-
pu membela dan melindungi istrinya? Apakah ini bu-
kan sikap memalukan serta tercela bagi semua orang, 
sebab sesungguhnya peristiwa itu menyangkut harga 
diri dan martabat keluarganya? Jika menuruti kepu-
tus-asaan, rasanya lebih baik kalau ia mati membunuh diri, daripada hidup menanggung malu seperti se-
karang ini. Untunglah baginya, bahwa nasehat-
nasehat dari orang-orang tua banyak memberikan pe-
nerangan bagi hatinya yang gelap dan dilanda kedu-
kaan.
Pemuda ini tidak lain adalah Sunutama, putra Ki 
Selakriya yang kini telah menjadi menantu dari sauda-
gar Wayan Arsana, orang terkaya di daerah itu.
Selain Sunutama, duduk pula di situ Kakek Wiku 
Salaka, Wayan Arsana sendiri, Ki Selakriya, Putu Tan-
tri dan Ki Sukerte. Beberapa orang punggawa dan pen-
jaga, hadir pula di ruang pendapa tersebut.
“Hehh, sekarang akan kita lanjutkan pembicaraan 
kemarin,” ujar Kakek Wiku Salaka melancarkan kebe-
kuan suasana. “Kita harus berbuat sesuatu secepat 
mungkin. Sebab aku sendiri merasa cemas jika Pen-
dekar Ngurah Jelantik dan beberapa orang pengawal-
nya belum kembali hingga saat ini. Semenjak mereka 
mengejar para penculik Made Maya pada peristiwa ma-
lam naas itu, tak sedikitpun kabar yang tiba. Jangan-
jangan mereka mendapat halangan di jalanan. Oleh 
sebab itu, aku bermaksud untuk menyelidiki kedua 
hal tersebut secara diam-diam.”
“Bapak Wiku Salaka, aku setuju gagasan Andika 
tadi. Namun tentang waktu yang dikatakan oleh para 
penculik dalam surat ancamannya, apakah kepergian 
Bapak tidak akan memakan waktu, dan disesuaikan 
dengan tanggal bulan purnama penuh?” bertanya sau-
dagar Wayan Arsana kepada ayah mertuanya, yakni 
Kakek Wiku Salaka.
Sambil mengangguk-angguk, Kakek Wiku Salaka 
berkata pula, “Memang benar, Angger Arsana. Bulan 
purnama penuh masih cukup lama, dan ini cukup 
memberiku waktu untuk melakukan penyelidikan ke 
daerah hutan di sebelah timur. Aku akan kembali secepatnya sebelum bulan purnama penuh.”
“Dengan siapakah Bapak akan pergi?” kata Wayan 
Arsana lagi. “Saya yakin bahwa pekerjaan tersebut 
akan menemui banyak bahaya, dan ananda minta 
maaf, sebab ini saya kemukakan bukan berarti ananda 
menyangsikan kesanggupan Bapak Wiku, tetapi terdo-
rong oleh kecintaan ananda kepada Andika.”
Sambil tersenyum, Wiku Salaka yang berambut pu-
tih itu mengelus-elus janggutnya, lalu ujarnya, “Terima 
kasih, Angger Wayan Arsana. Jika boleh menunjuk 
siapa orangnya yang akan mengikutiku, baiklah aku 
ajak Angger Sunutama, disertai seorang pengawal. Se-
dang lainnya agar tetap tinggal di rumah ini untuk ber-
jaga-jaga terhadap bahaya yang bakal mendatang.”
“Saya sependapat dengan Andika, Bapak,” sahut 
Sunutama serta merta. “Sebab aku merasa bertang-
gung jawab pula atas keselamatan Made Maya.”
“Nah, bagus. Jika semuanya telah jelas, maka siang 
nanti juga aku akan berangkat,” berkata Kakek Wiku 
Salaka seraya berpaling ke arah Sunutama. “Cucu Su-
nutama, persiapkanlah dirimu sekarang juga. Inilah 
kesempatan yang paling tepat untuk menerapkan apa-
apa yang telah kuajarkan kepadamu!”
Sunutama mengangguk dan segera mengundurkan 
diri dari pendapa itu untuk mempersiapkan perjalanan 
itu nanti. Sesaat kemudian, pertemuan itupun ber-
akhir.
Maka di siang hari itu juga, Kakek Wiku Salaka, 
Sunutama, dan seorang pengawal yang bernama Je-
prok, telah berangkat meninggalkan rumah saudagar 
Wayan Arsana, menuju ke arah selatan, kemudian 
membelok ke timur dengan memacu kudanya seperti 
kabur berpacu melawan angin.
***
Sementara itu di tempat lain, yakni di tengah hutan 
kaki Gunung Merbuk, terdapat satu kesibukan dalam 
pondok-pondok darurat. Beberapa orang tengah meng-
asah pedangnya, sedang beberapa kelompok lain sibuk 
pula membersihkan serta memeriksa senjata-senjata 
tajamnya.
Salah seorang bertubuh gemuk berkata kepada ke-
dua teman di sebelahnya, “Kali ini kita akan bertempur 
habis-habisan, sebab itu aku telah menajamkan pe-
dang lebarku! Sobat Dregil dan Arje, apakah Anda juga 
telah selesai menyiapkan diri?”
Dregil dan Arje segera menatap ke arah tokoh yang 
bertubuh gemuk dan berkata pula, “Kau terlalu buru-
buru, Parse. Bukankah saat bulan purnama penuh itu 
masih cukup lama datangnya?”
“Memang begitu!” ujar Parse si tubuh gemuk. “Na-
mun bagiku, saat itu sudah sangat aku nantikan dan 
rasanya seperti tak sabar lagi!”
“Sssttt. Kau tahu kan, bahwa pemimpin kita telah 
menangkap seorang gadis cantik dari daerah Gilima-
nuk. Dengan inilah kita berharap untuk mendapat pe-
nukaran dengan beberapa peti berisi penuh emas per-
mata dan uang!” sambung Dregil. “Hebat sekali, bu-
kan?”
“Hmmm, rupanya pemimpin kita ingin membuat 
perhitungan dengan saudagar kaya Wayan Arsana,” 
menambah si Arje. “Siapa tahu, bahwa penukaran itu 
hanya sebagai siasat belaka?”
“Maksudmu bagaimana?” sahut Parse dengan ter-
bengong-bengong mendengarkan ucapan Arje.
“Kalau harta emas dan uang itu telah kita terima, si 
gadis tidak akan dikembalikan oleh Tangan Iblis ke-
pada keluarganya! Nah, itulah maksudku!”
“Huss, kau selalu membuat pengkhayalan sendiri!” 
bentak Dregil setengah marah. “Apakah kau yakin

bahwa pemimpin kita akan berlaku demikian?!”
“Hih, hih. Jangan keburu marah, sobat. Tentu ada 
sebabnya sampai saya berkhayal sedemikian aneh! 
Apakah kau lupa bahwa pemimpin kita adalah ahli 
siasat yang ulung?!” berkata si Arje sambil tersenyum.
Karenanya pula, Dregil dan Parse terdiam sesaat, 
sebab mereka melihat pula kebenaran dari kata-kata si 
Arje tadi.
“Ah, sudahlah. Kita tak usaha memusingkan lebih 
lanjut hal itu,” potong si Arje kemudian. “Apapun yang 
akan diperbuat oleh pemimpin kita, tinggallah kita 
mengikutnya saja!”
“Nah, memang begitulah sebaiknya!” berkata Parse. 
“Sekarang kita lanjutkan pekerjaan masing-masing!”
Ketiga orang itupun bekerja kembali seperti semula, 
mempersiapkan dan membersihkan senjata-senjata-
nya, seperti halnya dengan kelompok-kelompok lain-
nya.
Di depan pondok yang terbesar, Tangan Iblis tengah 
duduk bersama Nyi Durganti di atas potongan-po-
tongan balok kayu dan di sebelah mereka pula, tam-
paklah Jimbaran serta Jembrana. Nampaknya mereka 
lagi membicarakan hal yang penting, seperti terungkap 
pada wajah-wajah mereka sendiri.
“Saat bulan purnama penuh masih berhari-hari lagi 
datangnya,” ujar Tangan Iblis. “bukankah demikian, 
Ibu?”
“Benar. Tapi persiapan itu harus dimulai sejak se-
karang.” Nyi Durganti tertawa kecil. “Rupanya kau su-
dah tak sabar lagi, Nak!”
“Sesungguhnyalah, Ibu. Aku sudah tidak sabar un-
tuk membuat perhitungan dengan si tua bangkotan 
Wiku Salaka!” Tangan Iblis berkata dalam nada geram.
“Hmm, tapi kau harus ingat, Angger. Bahwa itu di 
luar perhitungan tukar-menukar yang telah kita ancamkan kepada mereka! Kau harus menyelesaikan 
perhitungan tersebut di luar persoalan pokok. Jadi, se-
telah tukar-menukar kau boleh menantang lawanmu 
tadi di bawah lindunganku. Jika perlu nantilah aku 
yang merobohkannya!”
“Terima kasih, Ibu.”
“Aku ingin menanyakan tentang gadis tawanan kita 
itu. Apakah ia mendapat perawatan yang semestinya 
dan baik-baik?” begitu ujar Nyi Durganti.
“Ooo, tentang itu Ibu jangan kuatir,” ujar Tangan 
Iblis. “Ibu nanti boleh melihatnya sendiri.”
“Memang aku ingin memeriksanya, setelah bebe-
rapa hari kau kurung dalam gubuk di pojok utara itu.”
“Baiklah, Ibu akan segera melihatnya,” sahut Ta-
ngan Iblis lagi seraya menatap ke arah kelompok Dregil 
dan memanggilnya. “Hai, Dregil! Kemari lekas!”
Dregil yang lagi sibuk membersihkan goloknya, se-
ketika kaget tak ubahnya disengat lebah. Dengan serta 
merta dan gesit ia meloncat berdiri seraya meletakkan 
senjatanya, lalu berlari tergesa ke arah Tangan Iblis.
“Saya datang, Tuan!”
“Bagus!” seru Tangan Iblis. “Lekas ke pondok di po-
jok utara itu. Dan bawa kemari gadis tawanan kita!”
Tanpa menjawab lagi, Dregil lalu bergegas ke arah 
pondok yang dimaksud di sebelah utara. Hatinya seke-
tika jadi berdebar-debar ketika perlahan-lahan ia telah 
mendekati pintu gubuk tersebut.
Semula ia ragu-ragu sejenak, namun ketika semua 
mata menatap ke arah dirinya, terpaksalah Dregil me-
neguhkan hatinya dengan memasuki pintu pondok 
tersebut.
Di pojok ruangan di atas bangku bambu si Made 
Maya duduk tercenung sewaktu Dregil masuk ke gu-
buk tersebut serta berkata. “Nona silakan lekas keluar 
dari ruangan ini! Begitulah perintah Tangan Iblis serta

kehendak Nyi Durganti!”
Mendengar ini, Made Maya buru-buru bangun dan 
melangkah keluar seraya menunduk, sedang Dregil 
mengawalnya di belakang. Seketika itu hatinya menja-
di berdebar-debar tak menentu dan rasa takutnya mu-
lai muncul. Langkahnya lunglai bagai tak bertenaga 
sama sekali, apalagi ia tahu bahwa semua tenaganya 
seperti terkuras ketika ia terkena sentuhan tangan Nyi 
Durganti beberapa hari yang lalu.
Meskipun ia telah sembuh, namun pengaruh itu 
masih sangat mempengaruhinya dengan rasa kepaya-
han, tak bertenaga, dan tidak mempunyai kemauan. 
Maka siapa tidak menjadi heran, termasuk Made Maya 
sendiri, bukankah ia mempunyai kepandaian bersilat, 
malahan pernah merobohkan beberapa orang lawan? 
Tetapi sekarang ini semua kepandaiannya seolah-olah 
telah tertelan dan punah tanpa bekas apapun.
Made Maya makin sadar bahwa nenek tua berwajah 
kaku itu pasti memiliki kesaktian yang maha hebat. 
Mungkin sejajar atau bahkan melampaui kesaktian 
kakeknya sendiri yakni Wiku Salaka!
“Hmm, apa yang akan dilakukan terhadap diriku? 
Mengadiliku barangkali, atau mereka menghendaki se-
suatu keterangan tentang diriku?” berkata dalam hati 
si Made Maya dan langkahnya sangat perlahan. Setiap 
langkah kakinya seakan-akan betul-betul diperhitung-
kan agar tidak jatuh ataupun terperosok.
“Heei, lekas! Jangan seperti cacing, jalannya!” ben-
tak Tangan Iblis dengan tak sabar kepada Made Maya.
Sebentar kemudian, Made Maya telah tiba di depan 
pondok Tangan Iblis, di tempat mana Nyi Durganti dan 
lain-lainnya tengah duduk di atas balok-balok kayu.
“Ayo lekas duduk di rumput itu! Jangan berdiri me-
matung seperti orang tak tahu aturan!” kembali Ta-
ngan Iblis membentak dengan suara marah.

“Jangan terlalu keras kepadanya, Angger Tangan Ib-
lis. Bukankah ia seorang wanita?! Dan kau berkata 
bahwa ia harus kita perlakukan secara baik,” Nyi Dur-
ganti berkata memperingatkan si Tangan Iblis yang te-
lah berlaku kasar terhadap Made Maya.
Dampratan Nyi Durganti ini ternyata mengagetkan 
Tangan Iblis, tapi saat itu pula ia mengetahui kesala-
hannya, maka iapun berkata pelan kepada ibunya, 
“Maaf, Ibu. Tapi aku teringat bahwa dialah yang mem-
bunuh Wasi Bera!”
“Benar. Tapi tentunya dalam satu pertempuran ju-
jur satu lawan satu, bukan?” sahut Nyi Durganti. “Ju-
stru kau sendirilah yang seharusnya merasa malu 
bahwa Wasi Bera dapat dirobohkan oleh seorang gadis! 
Apakah kau kurang melatih dan membimbingnya?!”
Tangan Iblis mengangguk pelan dan tak bersuara 
lagi, sebab bagaimanapun juga kata-kata ibunya tadi 
memang benar. Ia kurang melatih Wasi Bera karena 
pada perkiraannya mereka tidak akan menghadapi 
perlawanan dan lawan-lawan yang setangguh itu.
Tubuh Made Maya yang dasarnya masih dalam 
keadaan lemah, begitu mendengar bentakan Tangan 
Iblis, lalu mendeprok ke rumput dengan ketakutan. 
Hatinya kian berdebar-debar serta kacau. Dilihatnya 
bahwa semua pandangan terarah kepadanya. Nyi Dur-
ganti, Tangan Iblis, Jembrana, Jimbaran, Dregil pada 
duduk di atas balok-balok kayu. Dengan begitu ia me-
rasa seperti orang yang tengah diadili perkaranya! 
Made Maya seolah-olah seperti seorang pesakitan yang 
menunggu hukuman yang bakal dijatuhkan oleh o-
rang-orang itu.
Made Maya tertunduk dan butir air mata mengem-
bang di sudut matanya. Rambutnya yang hitam meng-
gelombang dan semula menutup telinganya, lalu ter-
singkap sewaktu kepalanya terkulai ke kiri berbareng

tubuhnya hampir rebah saking lemahnya.
Tiba-tiba saja Nyi Durganti mendesis kaget begitu ia 
melihat subang emas pada telinga Made Maya! Subang 
tadi berbentuk kulit kerang dengan beberapa permata 
putih yang mengkilat.
Nyi Durganti meloncat dan menubruk bahu Made 
Maya, membuat Tangan Iblis serta lain-lainnya terke-
jut bukan kepalang. Mereka penuh keheranan....
“Ibu! Mengapa dengan dia?!” seru Tangan Iblis.
“Kau lihat ini, Tangan Iblis?!” ujar Nyi Durganti se-
raya menyingkapkan rambutnya yang putih, sehingga 
telinganya terlihat oleh anaknya, si Tangan Iblis, serta 
beberapa orang lainnya. Mata mereka seketika membe-
lalak dengan mulut yang melongo, sebab pada telinga 
Nyi Durgantipun terlihat subang emas yang serupa 
dengan subang milik Made Maya!
“Subang Ibu... sama dengan subangnya!” seru Ta-
ngan Iblis takjub sambil berdiri kebingungan. Dengan 
terpukau ia melihat Nyi Durganti memeriksa kedua te-
linga Made Maya dan ternyata kedua telinga itu me-
makai subang kerang emas!
Sambil memeriksa, Nyi Durganti mengelus-elus ke-
dua subang di telinga Made Maya, kemudian ganti ia 
mengelus-elus kedua subang yang ada di telinganya 
sendiri.
“Ooh!” desis Nyi Durganti, dan tiba-tiba pula ia 
mengangkat dan memondong tubuh Made Maya de-
ngan kedua belah tangannya!
“Hee, apa maksud Ibu?!” ujar Tangan Iblis terkejut, 
sementara yang lain-lainpun menjadi terkejut pula me-
lihat sikap Nyi Durganti yang agak aneh itu.
Bersama tubuh Made Maya yang dipondongnya, Nyi 
Durganti lalu bangkit berdiri dengan wajah tegang se-
perti menahan satu perasaan tertentu yang berat seka-
li! Tanpa memperdulikan semua mata yang menatap

nya, Nyi Durganti bergegas melangkah ke selatan da-
lam langkah yang tenang dan perlahan.
“Ibuuu! Turunkanlah tawanan itu. Apakah Ibu lagi 
bermimpi?!” berseru kembali si Tangan Iblis dengan 
gugupnya. Suaranya keras mesti ditujukan kepada 
ibunya.
“Aku tak bisa menerangkan panjang lebar seka-
rang!” jawab Nyi Durganti pendek. “Tapi kau telah lihat 
bukan, bahwa subang gadis ini sama dengan subang 
yang aku pakai ini?! Yakni subang kerang emas!”
“Apa pula hubungannya? Bukankah setiap orang 
boleh memiliki subang seperti ini pula?!” sahut Tangan 
Iblis dengan mendongkol.
“Kau berpikir sesempit daun asam, Nak! Ketahuilah, 
bahwa sampai saat ini hanya ada dua pasang subang 
kerang emas! Satu di antaranya adalah yang aku pakai 
ini dan gadis inipun memakainya! Maka aku harus 
mengusutnya! Nah, aku belum bisa berceritera pan-
jang lebar sekarang, maka jangan kau ganggu lagi 
aku!” demikian selesai dengan kata-katanya, Nyi Dur-
ganti melesat ke arah barat daya sangat cepatnya dan 
benar-benar di luar dugaan siapapun.
“Ibu!” seru Tangan Iblis kebingungan.
“Tunggu saja kalian di situ!” berteriak Nyi Durganti 
lantang. Setelah itu tubuhnya lenyap di balik pepoho-
nan bersama tubuh Made Maya yang dipondongnya, 
tak ubahnya gerakan hantu yang menyelinap di antara 
celah-celah dedaunan.
Hampir semuanya terpukau melihat gerakan kilat 
tadi, termasuk Tangan Iblis serta lain-lainnya. Sehing-
ga dengan demikian, mereka tak mampu berbuat apa-
pun.
***
Kembali Nyi Durganti merasakan keanehan atau keganjilan perasaan di hatinya, apabila ia telah memon-
dong tubuh Made Maya di depan dadanya. Bukankah 
dahulu iapun pernah merasakan hal yang serupa yaitu 
sewaktu ia menculik kabur si Made Maya dari perta-
manan rumahnya?
Dalam pada itu, Made Maya menjadi lebih sadar 
dan mendapati dirinya dalam pelukan Nyi Durganti 
yang melesat dari pohon ke pohon, dari tebing ke teb-
ing dan seterusnya. Gerakannya sangat ringan me-
nakjubkan, hingga Made Maya sendiri merasa seolah-
olah tubuhnya bagaikan segumpal kapas yang diter-
bangkan oleh angin santer.
Sudah barang tentu bila Made Maya bingung, sebab 
ia tidak mengetahui maksud nenek berwajah kaku ini. 
Seingatnya, ia hampir roboh di depan Tangan Iblis dan 
pengikut-pengikutnya, dan kemudian ditolong oleh 
Nenek Durganti ini.
Yang lebih heran adalah jika nenek tersebut lalu 
meraba-raba subang kerang emas di telinganya. Bah-
kan iapun lebih heran waktu ternyata si nenek itupun 
memakai subang kerang emas yang sama!
“Nenek, akan ke mana diriku ini kaubawa?” berta-
nya Made Maya disertai nada yang hendak menangis.
“Pulang ke rumahmu, Nak!” ujar Nyi Durganti.
“Ohh,” desis Made Maya heran. “Mengapa Nenek 
merubah pendirian? Bukankah aku akan dikembali-
kan ke rumah, setelah ditukar dengan emas pada bu-
lan purnama penuh?!”
“Itu memang benar! Tapi ada hal lain yang lebih 
penting yang menyangkut kita berdua!” berkata Nyi 
Durganti seraya menatap ke wajah Made Maya. “Keta-
huilah, bahwa kita ternyata memiliki subang kerang 
emas yang sama. Nah, dari manakah engkau menda-
pat barang perhiasan seindah itu, Nak?!”
“Aku diberi oleh ibuku, sebagai hadiah perkawinan
ku! Kata beliau, karena aku sudah berumah tangga, 
maka bolehlah aku memakainya.”
Nyi Durganti mengangguk-angguk mendengar tutur 
kata Made Maya tadi, kemudian bertanya lagi, “Jika 
demikian, siapakah nama ibumu, Nak?”
“Nama ibuku adalah Candrasasi.”
“Heeih?! Coba ulang lagi, Nak! Apakah aku tidak sa-
lah mendengar dengan nama yang kau sebutkan tadi? 
Sebutkan lagi nama ibumu, Nak!” seru Nyi Durganti.
“Ibuku bernama... Candrasasi!” ujar Made Maya le-
bih pelan dan lebih keras, sebab ia tidak ingin jika ne-
nek tua ini tidak sampai mendengarnya untuk yang 
kedua kalinya!
Tapi rupanya Nyi Durganti telah cukup jelas.
“Yah, sudah cukup! Sudah cukup aku mendengar-
nya. Namanya Candrasasi, bukan? Aku ingat benar 
nama itu. Bahkan mungkin aku lebih banyak menge-
nalnya daripada engkau sendiri, Nak! Coba ingat baik-
baik, bukankah pada dagu ibumu ada tahi lalat yang 
menambah kecantikan parasnya?”
Mendengar kata-kata Nenek Durganti tadi, Made 
Maya tersentak kaget, sebab itu semua memang benar! 
Karenanya iapun bertanya, “Jadi Nenek telah menge-
nalnya?!”
“Jangan kita teruskan pembicaraan ini, Nak!” ber-
kata Nyi Durganti. “Cukup sampai di sini saja, sebab 
ada teka-teki besar yang kelak akan dapat kau pecah-
kan!”
Seketika Made Maya seperti terkunci mulutnya dan 
kembali satu keheranan berkecamuk di dalam dada-
nya. Mengapakah tiba-tiba nenek ini menghentikan 
pembicaraannya, sewaktu ia telah mendengar nama 
ibunya?
“Kau harus kembali ke rumahmu secepat mungkin. 
Tapi ingatlah, sesudah engkau tiba di sana, katakan

kepada keluargamu, bahwa pada saat bulan purnama 
penuh, kami serombongan akan tetap datang ke ru-
mahmu untuk menagih tiga peti harta emas dan uang 
sebagai penukaran dirimu!” demikian kata Nyi Durgan-
ti.
Kembali Made Maya tersentak oleh kata-kata Nyi 
Durganti itu. Nenek tersebut memang berperangai 
aneh, menurut pendapat Made Maya yang tidak bisa 
memahaminya. Kalau toh ia masih tetap ingin menu-
ruti uang tebusan, mengapa ia membebaskan Made 
Maya sekarang juga? Bukankah hal ini cukup aneh? 
Apakah ia tidak mengkuatirkan jika pihak saudagar 
Wayan Arsana akan mengingkari janji dari uang pene-
busan? Mungkinkah ada maksud-maksud yang ter-
sembunyi? Atau justru ia malah menganggap remeh 
terhadap pihak Wayan Arsana? Jika demikian, itu be-
rarti bahwa Nenek Durganti telah bersiap-siap untuk 
menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. 
Dan ini berarti pula kalau Nyi Durganti siap untuk 
bertempur menghadapi lawan-lawannya yang ada. Sa-
tu hal yang membuat Made Maya berdebar-debar.
Nyi Durganti rupanya tidak mau berbicara lagi, se-
sudah ia mengucapkan kata-katanya bahwa pada wak-
tu bulan purnama penuh ia bersama Tangan Iblis dan 
anak buahnya akan datang untuk menagih janjinya 
kepada saudagar Wayan Arsana.
“Baiklah, semuanya akan kusampaikan kepada 
ayahku. Segala pesan Nenek pasti sampai kepadanya!” 
ujar Made Maya seraya melirik ke wajah kaku Nyi Dur-
ganti yang cuma mengangguk perlahan, tanpa kata-
kata apapun.
Gerakan Nyi Durganti memang sebat luar biasa. 
Dan ini diakui oleh Made Maya sendiri, yang merasa 
bahwa tubuhnya seolah-olah meluncur atau mencelat 
di atas permukaan tanah tak ubahnya sebuah bola

yang ditendang oleh kaki raksasa. Meluncur dan me-
loncat-loncat, sehingga rambut mereka berdua berki-
baran melambai-lambai terguncang oleh angin.
“Nah, itulah rumahku!” pikir Made Maya sewaktu ia 
melirik ke arah tujuan lari Nyi Durganti, yakni ke arah 
barat. Tampaklah atap rumah dan gapura serta din-
ding halaman rumahnya, bagaikan barang mainan 
yang kecil dan indah, tersaput oleh cahaya merah ke-
kuningan dari matahari yang telah mencium cakrawala 
di sebelah barat.
Makin lama makin dekat dan bertambah dekat, 
sampai Made Maya merasa mampu untuk seakan-
akan sekali loncat akan tiba di sana, di halaman ru-
mahnya yang tercinta.
Nyi Durganti sebentar kemudian telah tiba di dekat 
pagar dinding rumah Wayan Arsana dari arah sam-
ping. Ia memang menyengaja hal ini, supaya tidak 
sampai terlihat oleh para penjaga yang ada di situ.
Sesaat kemudian, sambil memondong tubuh Made 
Maya, Nyi Durganti melesat ke atas melewati pagar ha-
laman dan langsung tiba di atas genteng atap rumah 
tersebut. Kembali si nenek berwajah kaku ini berlonca-
tan dengan enaknya dari genteng atap yang satu, ke 
genteng lainnya, menuju daerah pertamanan di se-
belah utara.
Beberapa orang di dalam lingkungan tembok rumah 
saudagar Wayan Arsana sempat melihat mereka ber-
dua dengan mulut yang melongo, hampir-hampir tidak 
dapat mempercayai apa yang baru dilihatnya. Paling-
paling mereka cuma mengacung-acungkan tangannya 
ke atas, ke arah Nyi Durganti yang memondong tubuh 
Made Maya. Satu dua orang mencoba mengikuti arah 
yang dituju.
Dalam sekejap saja Nenek Durganti telah melesat 
turun ke dalam pertamanan. Didekatinya sebuah pohon kenanga yang tumbuh di situ, lalu dengan perla-
han-lahan ia menurunkan Made Maya untuk bersan-
dar pada batang pohon tersebut.
“Kini kau telah tiba, Nak. Ini terimalah beberapa bu-
tir obat yang tersimpan di dalam tabung bambu kecil 
ini. Kesehatanmu akan pulih kembali,” demikian ujar 
Nyi Durganti.
“Terima kasih, Nenek!” berkata Made Maya.
Nyi Durganti mengangguk kecil sambil mengusap 
wajah Made Maya dengan berkata penuh perasaan, 
“Kau cantik sekali, Nak. Wajahku pun sehalus ini ke-
tika aku masih muda.”
Made Maya terharu mendengar ini, karenanya ia 
membiarkan diri ketika nenek tersebut mencium pipi-
nya. Malahan butir-butir air matanya menitik kemu-
dian, seperti halnya Nyi Durganti sendiri.
Sesaat kemudian, Nyi Durganti bangkit berdiri se-
raya berkata, “Aku tak boleh terlalu lama di sini, Nak. 
Kini aku harus cepat-cepat kembali ke kaki Gunung 
Merbuk. Kau tak perlu mencariku, sebab beberapa ha-
ri lagi, pada saat bulan purnama penuh, aku serom-
bongan akan kemari!”
Nenek itu secepatnya mencelat ke atas dinding ha-
laman timur dan meloncat dengan gaya manis melewa-
tinya untuk kemudian lenyaplah tubuhnya.
Kini tinggallah Made Maya seorang diri di dalam 
pertamanan sambil mengenangkan segala kejadian itu 
semua, yang terasa baginya seperti sebuah impian!
Beberapa orangpun masuk dengan tergopoh-gopoh 
ke dalam pertamanan. Antara lain tampak Wayan Ar-
sana, Ki Sukerte, Putu Tantri, dan ibunya sendiri, Can-
drasasi, yang seketika merangkulnya seraya berseru 
sebagai ledakan rasa gembira dan bersyukur.
“Ooh, anakku Maya. Kau telah kembali, Nak! Aduh, 
Angger sayang....”

Made Maya buru-buru mendekap ibunya seraya te-
risak-isak kecil, sementara yang lain-lainpun telah 
mengerumuninya. Akhirnya dengan singkat diceritera-
kan segera peristiwa yang telah dialaminya, mulai ia 
diculik di pertamanan tersebut, sampai akhirnya dipu-
langkan kembali ke tempat ini oleh Nyi Durganti.
Keruan saja ceritera Made Maya itu sangat menarik 
perhatian para pendengarnya. Lebih-lebih bagi sauda-
gar Wayan Arsana sendiri, yang seketika berkata per-
lahan, “Hmm, jadi mereka akan tetap datang kemari 
pada saat bulan purnama penuh! Heh, mudah-mu-
dahan saja, Bapak Wiku Salaka telah tiba kembali se-
belum saat tersebut. Jika tidak, entah apa yang bakal 
terjadi nanti. Aku tak mampu membayangkan seka-
rang!”
“Ooh!” desah Made Maya dengan kagetnya. “Jadi 
Kakek Wiku Salaka tidak berada di rumah? Ke mana-
kah beliau pergi?”
“Mmm, tentunya kau belum tahu, Nak. Beberapa 
hari yang lalu, Kakek Wiku Salaka bersama Angger 
Sunutama telah pergi ke arah hutan di sebelah timur, 
untuk menyelidiki dan mencari dirimu. Begitu pula 
mereka berusaha menemukan jejak kepergian Tuan 
Ngurah Jelantik yang sampai hari ini belum kembali!” 
demikian kata Wayan Arsana kepada putrinya si Made 
Maya.
Hampir saja ia rebah tak sadarkan diri. Begitu men-
dengar penuturan ayahnya, semakin bertambah ruwet 
pikirannya. Namun untunglah bahwa Made Maya telah 
cukup terlatih menghadapi hal-hal yang di luar du-
gaan. Dengan menarik napas panjang, ia menguatkan 
perasaannya, sehingga pulihlah kesadarannya yang 
semula hampir lenyap itu. Kepada ayah ibunya serta 
yang lain-lain, Made Maya menunjukkan tabung bam-
bu pemberian Nyi Durganti yang berisi obat pemulih

kekuatan.
Akhirnya mereka memapah tubuh Made Maya ke 
dalam rumah untuk mendapat perawatan lebih lanjut.
Satu kegembiraan telah menyelinap ke dalam dada 
segenap penghuni rumah saudagar Wayan Arsana. Ta-
pi rasa kekuatiran yang lain, seperti penyerbuan Tan-
gan Iblis dan kepergian Wiku Salaka, masih belum hi-
lang dari diri mereka.
***
ENAM


TIGA SOSOK TUBUH manusia tampak mengendap-
endap seraya menuntun kudanya, menerobos keleba-
tan hutan di kaki selatan Gunung Merbuk. Kelebatan 
hutan membuat mereka turun dari punggung-
punggung kudanya, sebab hal ini terasa lebih mengun-
tungkan daripada tetap di atas, tapi sebentar-sebentar 
harus merundukkan kepala sedalam-dalamnya, kalau 
tak ingin lehernya tersangkut serta terjirat oleh sulur 
dan akar pepohonan di sepanjang jalan.
Ketiga orang ini mengenakan caping lebar dari a-
nyaman bambu yang halus. Yang paling depan berusia
lanjut seperti terlihat pada kumis dan janggutnya yang 
memutih, sedang yang dua orang masih berusia muda.
“Sekarang kita harus berjalan pelan-pelan,” bisik si 
tua kepada kedua orang muda di belakangnya. “Aku 
telah mencium getaran-getaran udara aneh dari sebe-
lah selatan!”
“Jadi kita harus masuk ke daerah selatan, Kakek?” 
bertanya salah seorang lelaki muda tadi. “Sekarang 
ijinkanlah aku bersama Ki Jeprak yang membuka ja-
lan.”
“Baiklah, Cucu Sunutama. Mari kita bergerak dengan lebih hati-hati, tetapi cepat!” sahut si kakek yang 
sebenarnya adalah Ki Wiku Salaka.
Maka sebentar kemudian mereka bertiga telah me-
nerobos ke arah selatan, mengarungi kelebatan hutan 
di depannya tanpa merasa gentar, sekalipun bahaya 
yang tak nampak sewaktu-waktu dapat menerjang me-
reka.
Apa yang sesungguhnya didengar oleh Kakek Wiku 
Salaka tadi benar-benar di luar dugaan Sunutama dan 
Jeprak. Getaran suara yang telah ditangkap oleh si ka-
kek ini ternyata berasal dari sumber yang lebih jauh, 
sehingga Sunutama dan Ki Jeprak masih belum me-
nemukan apa-apa, meskipun mereka telah lebih jauh 
masuk ke daerah selatan. Dan apa yang terjadi di sa-
na, memang belum diketahui sama sekali, betapapun 
hal itu merupakan sesuatu yang bisa menakjubkan 
siapa saja.
Begitulah... di daerah selatan sana, tampaklah tong-
gak-tonggak kayu runcing yang dipancangkan lurus-
lurus ke atas, di depan halaman pondok rumah seder-
hana di tepi sebuah mata air jernih.
Dua orang laki-laki berdiri di tepi arena tonggak-
tonggak kayu runcing dengan wajah tegang, mengawa-
si ke arah dua bayangan manusia yang berkelebat dan 
bersambaran di atas tonggak-tonggak kayu tersebut. 
Meskipun kedua kaki-kaki mereka sebentar-sebentar 
berpijak mendarat di ujung tonggak runcing tersebut, 
tak satupun yang mendapat cedera.
“Lihatlah, Kakang Tawes! Aku hampir sukar mem-
bedakan mana yang Ki Tutur dan mana si Ngurah Je-
lantik. Mereka bergerak cepat sekali!” ujar Paria sambil 
terlongoh keheranan.
“Tentu saja! Mereka telah menggunakan jurus-jurus 
‘Srigunting Merindukan Capung’. Hanya bila kita 
mampu bergerak cepat, barulah kita dapat melihat mereka!”
“Bergerak cepat? Aku tak mengerti maksudmu, Ka-
kang!” berkata Paria sambil menatap si Tawes.
“Nah, perhatikanlah, Adi Paria. Kau pernah melihat 
batu dilemparkan? Tentu hanya kau lihat sebagai ber-
kelebatnya satu bayangan saja. Tetapi coba, seandai-
nya engkaupun bisa bergerak secepat batu itu me-
layang, pastilah engkau akan tetap melihatnya sebagai 
batu!”
Paria mengangguk paham atas keterangan saha-
batnya, dan sesaat kemudian mereka telah mengawasi 
kembali gerakan-gerakan Ki Tutur dan Ngurah Jelan-
tik.
Dengan diam-diam Ngurah Jelantik kagum melihat 
kemampuan Ki Tutur dalam melatih pertempuran di 
atas tonggak-tonggak kayu tersebut. Maka iapun me-
rasa beruntung dapat menjadi murid Ki Tutur, si 
penggembala lebah putih yang dahsyat itu. Apa-apa 
yang diajar dan dipetuahkan dari kakek itu, dipelaja-
rinya dengan sungguh-sungguh serta tekun!
Gerakan mereka berdua sangat cepat tapi menak-
jubkan. Sebentar-sebentar mereka bergulung-gulung 
di udara, untuk kemudian mendarat di ujung tonggak. 
Di lain saat, mereka sambar-menyambar dan terkam 
menerkam.
“Kau telah maju, Jelantik!” seru Ki Tutur di tengah 
gerakannya. “Tenagamu telah pulih kembali!”
“Terima kasih, Guru!” berseru pula Ngurah Jelantik 
dengan gembiranya.
Sekonyong-konyong, di tengah kesibukan mereka 
yang lagi berlatih pada tonggak-tonggak kayu tadi, ter-
dengarlah satu jeritan melengking dari arah utara, me-
mecah kesunyian dan kesadaran. “Aaauuuhhh...!”
“Itu suara si Tunjung!” seru Ki Tutur.
“Permisi, Guru! Aku harus menengoknya!” teriak

Ngurah Jelantik seraya meloncat keluar dari arena 
tonggak kayu. Dikerahkannya ilmu meringankan tu-
buh sehingga tubuh Ngurah Jelantik seolah-olah me-
lambung-lambung ke arah utara, mengejar arah suara 
si Tunjung!
Ngurah Jelantik seperti tak sabar lagi untuk menge-
tahui apakah sesungguhnya yang membuat Tunjung 
sampai ia menjerit begitu keras. Kalau diingatnya bah-
wa gadis ini mampu bertempur, maka satu teriakan 
dari mulutnya, berarti ada bahaya yang tak teratasi 
tengah mengancamnya!
Sebentar saja ia telah sampai di daerah utara di 
tempat mana si Tunjung sering mencari dedaunan un-
tuk ramuan obat serta dibuat sayur makanan.
Bukan main kagetnya Ngurah Jelantik ketika dili-
hatnya si Tunjung tengah diseret dan didekap-dekap 
oleh seorang laki-laki! Tanpa berkata, ia terus saja me-
nyambar dan menerjang laki-laki kurang ajar itu.
“Heit!” seru laki-laki berwajah licin sambil mele-
paskan tubuh si Tunjung, sekaligus menghindari sera-
ngan Ngurah Jelantik. “Heh, heh, ada juga yang sudi 
melawanku!”
“Kau laki-laki tua tak tahu aturan! Mengapa kau se-
ret gadis ini, haa?!” teriak Ngurah Jelantik seraya me-
nyerang bertubi-tubi dengan pukulan dan tendangan 
yang dilandasi tenaga dalam.
“Hmm, kau banyak mulut! Perlu apa kau mencam-
puri urusanku ini?” Si wajah licin berkata. “Bukankah 
engkau tamu dari si kakek edan penggembala lebah 
itu?”
“Memang aku cuma seorang tamu. Tapi karena Ki 
Tutur juga menjadi guruku, maka aku harus membela 
segala bencana yang menimpa keluarganya!” begitu 
Ngurah Jelantik berkata dengan lantang.
“Bagus! Jika begitu tekadmu, berarti engkau mencari mati!” berkata si wajah licin sambil bersiaga. “Heh, 
rupanya engkau berilmu pula, anak muda!”
“Lekas! Tinggalkan secepat mungkin tempat ini! 
Dan jangan lagi mengganggu gadis ini!”
Si wajah licin menggeram marah begitu mendengar 
kata-kata pengusiran dari pendekar Ngurah Jelantik. 
Wajahnya seperti bernyala merah. Lalu terdengar ben-
taknya, “Keparat! Anak ingusan berkepala besar! Agak-
nya kau mencintai gadis ini, hah?! Baiklah, jika demi-
kian kita mempunyai kepentingan yang sama. Maka 
barang siapa yang menang, dialah yang berhak atas 
gadis ini! Ha, ha, ha!”
Mendengar hal ini, Tunjung menggeram jengkel. Ta-
pi sayang ia tak dapat berbuat apa-apa karena tubuh-
nya seakan-akan telah lemas tanpa daya, sesudah dis-
entuh oleh si wajah licin beberapa saat yang lalu.
“Hyaat!” teriak si wajah licin seraya melesat ke arah 
Ngurah Jelantik dengan terjangan kaki yang dahsyat.
Dalam saat yang demikian genting itu, Ngurah Je-
lantik tidak kurang waspadanya. Secepat kilat ia mem-
buang diri ke samping untuk selanjutnya melesat men-
jauh.
Braaakk! Daaarrr!
Dua batang pohon besar tergempur sempal terkena 
terjangan kaki si wajah licin. Tentu saja Ngurah Jelan-
tik terperanjat menyaksikan kehebatan lawannya yang 
sedemikian tadi. Buru-buru ia memperbaiki diri sambil 
mendesis, “Luar biasa! Untunglah aku sempat meng-
hindar! Jika tidak mungkin telah hancur tubuhku ini.”
“Ehh, hah, hah, hah. Keberanianmu telah mengke-
rut, bocah ingusan?!” seru si wajah licin. “Itulah sa-
lahmu, kalau berani meremehkan Bogal Respati. Se-
karang terimalah kematianmu!”
Si wajah licin menyerang lagi ke arah Ngurah Jelan-
tik dan pertarungan seru segera berlangsung sangat

sengitnya.
Sekarang ini sadarlah Ngurah Jelantik bahwa se-
mua bimbingan serta pelajaran yang diberikan oleh Ki 
Tutur banyak sekali menolong dirinya. Seperti apa 
yang terjadi sekarang ini, bila ia belum mendapat bim-
bingan si kakek penggembala lebah ini, mustahil ia 
sanggup menghadapi Bogal Respati yang berilmu he-
bat.
Setahap demi setahap, Ngurah Jelantik mampu 
menanggulangi serangan-serangan Bogal Respati yang 
mengalir bagaikan air bah datangnya. Kendatipun pa-
da mulanya ia banyak terdesak oleh Bogal Respati, 
namun Ngurah Jelantik secara gigih terus melayani se-
rangan lawannya.
Sementara itu, Tunjung merasa cemas pula melihat 
pertempuran antara Ngurah Jelantik dengan Bogal 
Respati. Ia bermaksud memanggil lebah-lebah piaraan 
kakeknya untuk menolong Ngurah Jelantik. Akan te-
tapi Tunjung menjadi kaget bukan buatan, ketika mu-
lutnya yang telah mecucu itu tidak mampu mengelua-
rkan bunyi siulan seperti biasanya!
“Tenaga dalamku telah dilumpuhkan!” desis Tun-
jung dengan nada menyesal. “Pasti ini perbuatan Bogal 
Respati! Oh, celaka. Aku tak bisa menolong Kakang 
Ngurah Jelantik!”
Apa yang dikuatirkan oleh Tunjung ternyata berala-
san juga. Sebab makin tampak bahwa Bogal Respati 
semakin dahsyat olah geraknya, seperti pada setiap 
pukulan-pukulan tangannya yang berhawa maut. Se-
dang tendangan kakinyapun terbukti sanggup mendo-
brak batang-batang pohon di sekitar tempat itu. Pada 
jurus yang keempat puluh, secara tiba-tiba si Bogal 
Respati melesat dengan melancarkan pukulan maut ke 
arah Ngurah Jelantik.
Melihat ini, pendekar Singaraja, si Ngurah Jelantik,

secepat kilat memapaki serangan lawannya dengan 
menyilangkan kedua tangannya di depan kepala. Se-
saat keduanya saling berpapasan, disusul benturan 
dahsyat yang berasal dari beradunya dua tenaga da-
lam.
Daaarr!
Seketika Tunjung ikut menjerit ketika ia melihat 
kedua lawan tadi saling terpental ke belakang sesudah 
berbenturan.
Dengan gerakan lincah Bogal Respati dua kali ber-
putar di udara dan kemudian mendarat ke tanah di-
sertai derai ketawa yang tertahan. Sedang Ngurah Je-
lantikpun mampu menguasai dirinya, meskipun sesaat 
setelah kakinya menginjak tanah, ia jatuh terduduk! 
Dadanya terasa agak sesak untuk bernapas dan de-
ngan perlahan iapun berdiri kembali.
“Ehh, heh, heh, heh. Cukup hebat juga kau, Nak! 
Tapi apabila genap lima kali engkau terbentur oleh pu-
kulanku, jangan menyesal kalau tubuhmu akan beran-
takan!” ujar Bogal Respati dengan suara menakutkan.
Ngurah Jelantik tahu akan hal ini. Sebab ia telah 
merasakan, bahwa untuk benturan yang pertama saja 
telah cukup membuat sesak pada dadanya, di samping 
rasa seperti mau pecah yang melanda rongga dada.
“Keparat! Aku akan tetap melawanmu. Biarpun ak-
hirnya aku harus mati, tapi setidak-tidaknya akupun 
sanggup membuatmu cacad! Dengan demikian eng-
kaupun tidak akan sempat menyentuh sahabatku ini!” 
ujar Ngurah Jelantik seraya melirik kepada Tunjung.
Bogal Respati mengertakkan giginya kemudian ber-
seru lantang, “Setan jorok! Belum pernah aku meng-
hadapi lawan yang bermulut besar seperti tampangmu 
itu! Sekarang bersiap-siaplah untuk menerima puku-
lanku yang kedua!”
Baik Ngurah Jelantik sendiri ataupun Tunjung menjadi berdebar-debar melihat Bogal Respati telah bersia-
ga menerjang ke arah sasarannya, yakni Pendekar Je-
lantik.
Wuuusss!
Sebuah pukulan angin secara tiba-tiba telah melan-
da wajah Bogal Respati dari samping, membuat tokoh 
tua berwajah licin ini meloncat surut ke belakang se-
raya mengutuk, “Kurang ajar!”
Saat berikutnya, melesatlah sesosok bayangan orang
tua yang tidak lain adalah Ki Tutur, disusul oleh si 
Tawes dan Paria.
“Bogal Respati. Manusia berotak kotor seperti tam-
pangmu ini masih berani muncul di hadapanku?! Apa-
kah kau lupa bahwa aku telah mengampunimu bebe-
rapa tahun yang lalu?!” berseru Ki Tutur yang kini te-
lah berdiri di samping Tunjung. “Apakah kau belum 
puas pernah mengganggu ketentraman keluargaku?!”
“Heh, heh, heh, silakan mengomel, Ki Tutur,” ujar 
Bogal Respati seraya tertawa liar. “Aku masih belum 
bosan mendengarnya!”
“Apakah kau belum puas membunuh anakku si 
Candrasa bersama istrinya Ni Pendet? Kau telah me-
rampas kebahagiaan dan rasa kasih sayang orang tua 
kepada cucuku si Tunjung ini!” demikian teriakan Ki 
Tutur yang mengumandang di segenap sudut hutan, 
membuat kaget siapapun yang mendengarnya, terma-
suk si Tunjung sendiri yang selama ini tidak tahu-
menahu sebab-sebab kematian orang tuanya.
Bogal Respati terpekur sejenak, seperti merasakan 
kata-kata Ki Tutur tadi. Tetapi sebentar itu pula ia 
mendongak dan berkata sambil tertawa. “Heh, heh, 
heh. Itu memang dikehendaki oleh mereka berdua. 
Bukankah aku telah berterus terang untuk meminta Ni 
Pendet dengan baik-baik?! Tetapi hal itu tidak dipi-
kirkannya. Telah aku katakan, bahwa aku mencintai

Ni Pendet dan ingin menjadikannya sebagai istriku. 
Nah, satu hal yang menyenangkan, bukan? Sayang 
bahwa mereka berdua justru melawanku! Maka tak 
ada salahnya bila keduanya tewas di ujung senjataku!”
“Manusia keji!” seru Ki Tutur geram.
“Kau berkata aku keji?!” sahut Bogal Respati. “Kau 
lihat sekarang, bahwa aku ingin mengambil cucumu, si 
Tunjung itu sebagai istriku. Rupanya sangat mirip 
dengan ibunya, Ni Pendet. Wajahnya bagaikan pinang 
dibelah dua dengan mendiang Ni Pendet! Nah sekarang 
berikanlah Tunjung kepadaku sebagai ganti Ni Pendet 
yang telah mati! Dengan begitu, aku ingin memperbaiki 
kesalahanku!”
“Iblis bertopeng manusia!” seru Ki Tutur lebih ma-
rah. “Langkahi dulu mayatku sebelum engkau meng-
ambil cucuku. Kau ternyata hanya berani dengan 
anak-anak muda seperti muridku, si Ngurah Jelantik 
itu! Sekarang marilah kita berhadapan kembali sebagai 
musuh lama! Kiranya kau jauh-jauh mengikuti dari 
tanah Gresik hanyalah untuk mengumbar pekertimu 
yang jahat!”
Bogal Respati tertawa besar. “Bagus! Ada empat pa-
sang telinga yang ikut menjadi saksi atas tantanganmu 
tadi! Sekarang juga aku tantang kau! Ayo, bertempur 
dan mengadu tenaga! Siapa yang menang, dialah yang 
tetap memiliki si Tunjung ini!”
“Mari ke halaman rumahku! Kita bertanding di sa-
na!” sahut Ki Tutur seraya menunduk ke sebelah sela-
tan. Di saat itu pula, orang tua ini mengurut leher si 
Tunjung serta menghembus ubun-ubunnya untuk 
menghilangkan pengaruh sentuhan Bogal Respati.
Seketika itu pula, mereka bergegas melangkah ke 
arah halaman pondok Ki Tutur dengan sikap yang se-
lalu waspada. Rupanya saja, Bogal Respati akan ber-
usaha benar-benar untuk mengalahkan Ki Tutur dalam pertarungan ini nanti. Dengan demikian, keme-
nangannya tidak akan ada yang mengganggu gugat la-
gi! Dan itulah kemenangan mutlak dikehendakinya!
“Heh, heh, heh. Jadi bertarung di atas tonggak-
tonggak usang inilah sebagai tantanganmu?!” berkata 
Bogal Respati secara sombong, ketika ia telah sampai 
di halaman rumah Ki Tutur.
“Tak perlu bertingkah sombong kau, Respati!” ber-
kata Ki Tutur menahan marah. “Buktikanlah kegaga-
hanmu di atas tonggak-tonggak ini. Setelah itu barulah 
kau boleh menyombong di hadapanku!”
“Bagus! Aku naik ke atas sekarang. Hup!”
Bogal Respati melesat ke arah tonggak-tonggak 
kayu dan bertenggerlah ia di sana dengan sombong-
nya!
Melihat ini, Ki Tuturpun melesat ke atas menyusul 
Bogal Respati. Tak tahunya, pada saat yang sama la-
wannya yang berwajah licin telah menyerang! Gerakan 
serangan Bogal Respati sangat mengejutkan orang-
orang yang melihatnya.
Ki Tutur cuma terperanjat sesaat, sesudah itu ia 
mengendap ke kanan menghindari serangan lawannya, 
sambil berseru keras, “Heh, jangan berharap sanggup 
merobohkan aku, dalam keserakahan nafsu! Salah-
salah engkau sendirilah yang roboh oleh tanganku!”
Dengan menggeram marah, Bogal Respati memutar 
gerakan tubuhnya dan sesaat kemudian kedua orang 
lawan itu telah berdiri tegak di atas tonggak-tonggak 
runcing. Mereka harus lebih berhati-hati sekarang. Se-
lain menghadapi lawan yang tentunya tidak ringan, 
mereka harus pula berhati-hati terhadap tonggak-
tonggak tersebut. Sedikit kurang berhati-hati saja, ti-
dak mustahil mereka akan terperosok dan tubuhnya 
pasti terhunjam oleh ujung-ujung runcing tonggak 
kayu di bawahnya! Tenaga dalam yang digunakan oleh

mereka hanyalah untuk menjaga agar kakinya tidak 
cedera, meski berdiri di atas ujung tonggak yang run-
cing. Tapi jika tubuh mereka terperosok serta jatuh, 
jangan harap mereka bisa selamat dari tonggak tadi.
Pertempuran hebat segera terjadi di atas pancangan 
tonggak-tonggak yang menganga, siap menanti korban. 
Semua mata menyaksikannya tanpa berkedip, seperti 
Ngurah Jelantik, Tunjung, Tawes dan Paria. Dada-
dada mereka berdebaran keras. Yang tampak kemu-
dian hanyalah dua bayangan yang berkisar berpusing-
pusing dan bergulung-gulung sangat cepatnya dari sa-
tu titik ke titik lainnya di atas tonggak-tonggak itu.
Bagaimanapun juga, Ngurah Jelantik serta yang 
lainnya merasa cemas juga melihat pertarungan antara 
Ki Tutur melawan Bogal Respati. Kalau semula mereka 
juga pernah berlatih di atas tonggak-tonggak ini, dari 
itupun sudah dapat dirasakan betapa mereka harus 
membagi perhatian antara lawan yang dihadapi de-
ngan ujung-ujung tonggak di bawahnya. Sedang seka-
rang ini, mereka telah melihat sendiri pertempuran 
dahsyat di situ.
Pertempuran terus berlangsung hebat, mengha-
biskan puluhan jurus tanpa menunjukkan tanda-
tanda siapa yang bakal kalah. Baik Bogal Respati 
maupun Ki Tutur tetap bertangan kosong, sebab itu-
pun sudah cukup berbahaya. Setiap terjangan kaki 
ataupun pukulan tangan mereka, berarti maut bagi 
lawan-lawannya.
Tepat pada jurus yang keenam puluh, keduanya 
masing-masing meloncat surut saling menjauh dan 
meloncat. Hal ini membuat kaget Ngurah Jelantik serta 
lain-lainnya. Ki Tutur membuat sikap menyilangkan 
kedua belah tangannya di depan dada dan kedua kaki-
nya mementang ke samping, berpijak pada dua ujung 
tongkat kayu. Di depannya, Bogal Respati menekuk

kedua tangannya ke belakang siap melancarkan puku-
lan ke depan, ke arah Ki Tutur yang telah bersiaga se-
jak semula.
Sesaat mereka memusatkan pikiran dan tenaga, se-
lain keduanya saling mengawasi dengan seksama. De-
tik-detik ini adalah yang paling menegangkan bagi 
orang-orang yang mengikuti pertempuran dua tokoh 
angkatan tua itu.
Sejurus kemudian....
“Hiaaat!” Blaaar!
Kedua tokoh ini telah saling melancarkan pukulan 
ke depan. Meskipun tidak sampai membenturkan ta-
ngan masing-masing, tapi pukulan tenaga dalam ter-
sebut cukup hebat, menimbulkan getaran udara di se-
kitarnya.
Bet! Bett!
Untuk kedua kalinya mereka melancarkan pukulan 
tenaga dalam. Kini terlihatlah kedua tubuh Ki Tutur 
dan Bogal Respati tergoyang-goyang, namun mereka 
masih tetap tegak di atas ujung tonggak-tonggak kayu.
Ketika mereka melancarkan pukulan yang ketiga, 
terdengarlah bunyi benturan-benturan lemah, tetapi 
sesungguhnya inilah yang terhebat, sebab sekejap ke-
mudian tubuh Ki Tutur dan Bogal Respati berguncang 
dengan hebat. Dari gerakan Ki Tutur, dapatlah diketa-
hui bahwa orang tua ini telah banyak kehilangan tena-
ga, sedang Bogal Respati sendiri masih tampak lebih 
segar dengan wajahnya yang kemerahan.
Tetapi detik itu pula terjadilah perubahan yang sa-
ngat mengagetkan, ketika tiba-tiba Bogal Respati ter-
batuk-batuk sambil mengucurkan darah kental dari 
sudut mulutnya. Ia telah terluka dalam dengan parah-
nya.
Seraya menggeram marah, Bogal Respati dengan 
cepat mencabut sebilah belati panjang dan siap dilemparkan ke arah Ki Tutur yang lagi kelelahan berdiri di 
atas tonggak kayu.
“Sekarang terimalah ajalmu!” desis Bogal Respati. 
“Sudah waktunya kau roboh olehku dan hidupmu pas-
ti berakhir di ujung fajar nanti!”
Ngurah Jelantik berempat sangat terperanjat, sebab 
mereka melihat bahwa Ki Tutur dalam bahaya. Sa-
yangnya, mereka masih kebingungan untuk menolong 
gurunya itu. Bukankah ini merupakan pertandingan 
mereka berdua? Malahan Ngurah Jelantik berempat 
masih ingat akan pesan Ki Tutur, bahwa tak seorang-
pun di antara mereka berempat boleh membantunya!
Sekonyong-konyong, selagi Bogal Respati bersiap, 
melesatlah seleret sinar dari balik dedaunan di sebelah 
selatan.
Wess. “Eaarrch!”
Alangkah kagetnya Ngurah Jelantik berempat, se-
bab tahu-tahu Bogal Respati menjerit parau dan tu-
buhnya menggeliat. Pada punggungnya menancap 
tembus sebuah caping bambu pada sisinya, tak ubah-
lah sebilah cakram yang telah memakan korbannya.
Bogal Respati masih mencoba bertahan, tapi kea-
daan tubuhnya tidak lagi memungkinkan. Maka sesaat 
kemudian iapun terguling roboh dan tubuhnya tertan-
cap oleh ujung-ujung tonggak kayu yang telah me-
nunggunya di bawah!
Ki Tutur segera meloncat turun dari atas tonggak, 
disambut oleh Ngurah Jelantik, untuk menjaga agar 
orang tua ini tidak jatuh karena tubuhnya yang telah 
kelewat lemah akibat bergempur dengan tenaga dalam.
“Ohhh... siapakah yang membantuku tadi?!” desah 
Ki Tutur seraya menatap ke wajah Ngurah Jelantik, 
Tunjung, Tawes dan Paria. Namun mereka sama-sama 
menggelengkan kepala serta mengangkat bahu sebagai 
tanda ketidak-tahuannya.

Mereka berlima mencoba menebarkan pandangan-
nya, tapi tak satupun yang patut memberi jawaban 
atas pertolongan yang telah datang dengan tiba-tiba 
dan begitu cepatnya!
Pangkal keheranan mereka adalah sebilah caping 
bambu yang kini masih menancap pada punggung 
Bogal Respati itu. Jika barang sederhana tersebut 
mampu menembus punggung Bogal Respati yang sakti 
dan tangguh itu, pastilah yang melemparkannya me-
miliki kesaktian dan tenaga dalam yang sempurna!
Sekali lagi mereka menebar pandangan, kemudian 
Ki Tutur berseru, “Hooii...! Siapakah yang telah meno-
longku?! Unjukkanlah dirimu, supaya aku dapat meng-
haturkan terima kasih di hadapan Anda!”
“Maaf, sobat! Akulah yang menolongmu dengan 
membinasakan si Bogal Respati itu!” terdengar seruan 
lantang mengiringi sesosok tubuh tua yang melayang 
ke arah mereka, disusul oleh dua bayangan lain di be-
lakangnya.
Tentu saja Ki Tutur berlima sangat terkejut, tetapi 
sekejap itu pula Ngurah Jelantik berseru, “Heei, itu 
Bapak Wiku Salaka, Sunutama dan Jeprak!”
Mereka segera menyambut ketiga orang pendatang 
tadi dan kemudian saling berkenalan dengan akrab-
nya. Kakek Wiku Salaka beramah tamah dengan Ki 
Tutur dan Tunjung. Dan sebaliknya pula, kakek peng-
gembala lebah inipun mengucapkan terima kasihnya 
atas pertolongan Kakek Wiku Salaka tadi.
“Akh, untung Andika datang menyelamatkanku. Ji-
ka tidak, pastilah tubuhku telah terhampar tanpa nya-
wa.”
“Ah, janganlah Andika terlalu merendahkan diri, Ki 
Tutur,” kata Kakek Wiku Salaka seraya tersenyum. 
“Caping bambuku tadi hanyalah sebagai alat pamung-
kas saja, sebab pukulan tenaga dalam Anda telah lebih

dahulu menghajar dan menggempur tubuh Bogal Res-
pati!”
Mendengar ini Ki Tuturpun tersenyum pula, sebab 
dalam hati ia telah maklum bahwa Kakek Wiku Salaka 
ini tidak mau menonjolkan diri, seperti terbukti dari 
ucapannya yang baru lalu. Padahal sesungguhnya, 
bantuan Kakek Wiku Salaka sangatlah besar artinya.
Suasana sepi dan tenang telah melingkupi pondok 
kediaman Ki Tutur sesudah terjadi pertarungan mati-
matian antara si kakek penggembala lebah itu mela-
wan Bogal Respati.
Masih duduk-duduk dan beromong-omong mereka 
di dekat pondok tersebut. Ki Tutur, Tunjung, Ngurah 
Jelantik, Tawes, Paria, dan di sebelahnya pula tampak 
Kakek Wiku Salaka, Sunutama serta Jeprak. Sesaat 
kemudian, Tunjung telah menyiapkan selodong tuak 
yang kemudian dihidangkan dengan cangkir-cangkir 
dari potongan-potongan ruas bambu hitam.
Napas Ki Tutur sekarang telah teratur kembali, se-
sudah beberapa saat agak sesak akibat benturan dari 
tenaga dalam Bogal Respati yang hebat itu. Beruntung-
lah ia dapat menandinginya dan sekarang ini tak perlu 
ia merasa cemas, sebab Bogal Respati telah mati.
Satu kekaguman yang tak kunjung habis dari Ki 
Tutur adalah dalam mengenali Kakek Wiku Salaka. Bi-
arpun sama-sama tuanya, Ki Tutur dapat merasakan 
bahwa Kakek Wiku Salaka ini mempunyai beberapa 
kelebihan di atas dirinya. Seperti cara Kakek Salaka 
yang sanggup melemparkan capingnya sehingga me-
nembus punggung Bogal Respati dan mengakhiri hi-
dupnya.
“Akh, sekarang telah mati durjana itu!” ujar Ki Tu-
tur seraya menghela napas. “Si Bogal Respati memang 
memiliki kepandaian serta ilmu yang tinggi.”
“Agaknya permusuhan Andika dengan Bogal Respati

itu sudah cukup lama,” sahut Kakek Wiku Salaka pu-
la. “Seperti yang telah Andika singgung tadi.”
“Memang benar, Ki Salaka,” jawab Ki Tutur. “Bogal 
Respati adalah musuh lamaku. Tapi sebenarnya aku 
telah berusaha melupakannya, dan itu adalah peris-
tiwa sedih yang telah melanda keluargaku. Tepatnya 
adalah keluarga anakku!”
“Sungguh menarik keterangan Andika tadi. Aku jadi 
kepingin tahu, siapakah dia sebenarnya,” tanya si Ka-
kek Salaka.
“Dia adalah saudara muda seperguruanku, dan ju-
ga sahabat karib anakku laki-laki yang cuma seorang. 
Namanya adalah Candrasa. Ia kemudian kawin dengan 
gadis dari Bali dan akhirnya inilah pangkal bencana, 
sebab ternyata Bogal Respatipun menaruh cinta yang 
sama pada Ni Pendet. Perselisihan hebat segera terjadi 
antara Bogal Respati di satu pihak melawan Candrasa 
dan Ni Pendet.
“Perselisihan dan pertarungan telah pecah ketika 
Bogal Respati terang-terangan menantang Candrasa 
untuk mempertahankan Ni Pendet yang bakal direbut-
nya. Sangatlah sayang bahwa sesungguhnya pula, Ni 
Pendet lebih mencintai Candrasa daripada Bogal Res-
pati.
“Hal ini menyebabkan Bogal Respati seperti kehi-
langan pengamatan dan gagasannya yang sehat, sebab 
wanita yang akan direbutnya, kenyataannya tidaklah 
begitu mengacuhkannya. Malahan Ni Pendet telah ber-
tekad untuk menghadapi tantangan Bogal Respati ber-
sama suaminya Candrasa.
“Begitulah, pertempuran segera terjadi antara me-
reka bertiga dengan serunya. Sayang sekali, bahwa 
saat itu aku sedang bepergian, sehingga tidak menge-
tahui kalau di rumah tengah terjadi satu bencana.
“Tahu-tahu ketika aku tengah dalam perjalanan pulang ke rumah, seorang anak perempuan kecil telah 
muncul dari semak belukar dan langsung menubruk-
ku sambil menangis. Rasa kagetku tak terkira sebab 
ternyata bahwa anak perempuan tadi adalah cucuku 
sendiri, ialah si Tunjung, seperti yang sekarang duduk 
di sebelahku ini! Dialah satu-satunya anak dari Can-
drasa dan Ni Pendet.
“Dia menceriterakan bahwa di rumah telah terjadi 
pertempuran seru. Maka sambil memondongnya, aku 
berlari cepat-cepat ke rumah.
“Sedihku bukan kepalang! Aku mendapati Candrasa 
dan Ni Pendet telah berkaparan mandi darah. Detik-
detik itu aku berusaha menolongnya. Mereka masih 
dapat berkata-kata dengan suara yang lemah. Dicerite-
rakan bahwa Bogal Respati telah menantang mereka 
untuk bertempur. Namun malang bagi mereka berdua, 
sebab Bogal Respati ternyata jauh lebih sakti, apalagi 
ia telah dijangkiti rasa marah dan cemburu buta. Maka 
tak ada pilihan lain bagi Bogal Respati selain harus 
merobohkan Candrasa dan Ni Pendet bersama.
“Akhirnya, Candrasa dan istrinya tak dapat kuse-
lamatkan. Mereka tergeletak mati berdampingan de-
ngan mengharukan. Kemudian aku dan cucuku me-
ninggalkan Banyuwangi dan menyeberang ke Pulau 
Dewata ini. Si Tunjung kubesarkan dan aku didik sen-
diri di tengah hutan di sini hingga menjadi gadis yang 
tangkas, yang selalu membantuku dalam meng-
gembalakan lebah-lebah putih seperti yang dapat An-
dika lihat bersarang pada pohon-pohon di sekitar pon-
dokku ini.
“Tiba-tiba pada suatu hari, Bogal Respati muncul 
kembali dan bermaksud merampas si Tunjung, karena 
wajahnya yang mirip dengan mendiang ibunya Ni Pen-
det. Agaknya saja secara diam-diam Bogal Respati te-
lah mengintai kami dan melaksanakan maksudnya,

sampai akhirnya terjadi pertarungan antara diriku me-
lawan Bogal Respati,” demikian ceritera Ki Tutur yang 
didengarkan oleh Kakek Wiku Salaka dan lain-lainnya 
dengan perasaan yang mengharukan.
Di langit, awan berarak-arak tertiup angin siang ke 
arah barat. Dedaunan pada bergoyang-goyang berge-
sekan bagaikan bersenda-gurau dan menari-nari, 
menghibur mereka yang lagi berbincang-bincang di 
dekat pondok Ki Tutur.
Nah, para pembaca, sampai di sini selesailah seri 
Naga Geni “Berakhir di ujung Fajar”. Segera menyusul 
seri Naga Geni berikutnya yaitu “Laki-laki di Atas Bu-
kit”, merupakan puncak kisah tragedi di pulau Dewa-
ta, yang tak kalah hebat ataupun mengasyikkan dari 
yang sudah-sudah. Salam buat pembaca semuanya.





                               TAMAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar