HIDUNG BELANG PENGHISAP DARAH
Oleh Sandro S.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah da-
lam episode:
Hidung Belang Penghisap Darah
SATU
Di Pancoran Sewu, saat itu tampak seorang
nenek tua tengah mengajari ilmu-ilmu silat pada
seorang pemuda yang tak lain Kandana adanya.
Ya! Kandana yang dulu terjatuh ke dalam jurang
saat dikejar-kejar oleh warga Ketemenggungan
karena telah memperkosa seorang gadis, tengah
digembleng oleh nenek sakti yang bergelar Iblis
Pancoran Sewu.
Tubuh Kandana dan nenek Iblis itu tampak
berkelebat-kelebat dengan cepatnya laksana see-
kor burung sri gunting yang menyambar-
nyambar. Mereka tengah melakukan latihan ilmu
silat, yang diciptakan sendiri oleh si nenek. Jurus
itu bernama "Jurus Walet Siluman."
Keduanya berkelebat dengan cepat. Makin
lama iramanya makin cepat, hingga sukar untuk
diikuti dengan pandangan mata biasa.
"Kandana! Serang aku!" kata sang nenek
memerintahkan.
Kandana tampak segera berkelebat, tan-
gannya mengembang laksana sayap burung walet.
Sesaat kemudian tangan yang mengembang itu
terangkat. Dan!
"Wut... Wut...!"
Tangan Kandana dengan cepat menyam-
bar. Si nenek tampak segera mengegoskan kepa-
lanya dan berbalik menyerang Kandana.
"Masih kaku! Masih kurang, Kandana,"
omel si nenek demi melihat Kandana bergerak
lambat. Hingga ketika dirinya menyerang, Kanda-
na tak mengelakkannya, jatuh ke tanah dengan
mengeluarkan bunyi gedebug. Mata si nenek me-
lotot marah. Dengan penuh kecewa sang nenek
membentaknya.
"Dungu! Sudah aku katakan kurang cepat,
ayo bangun!"
Kandana tanpa dapat menentang, dengan
meringis menahan rasa sakit segera bangun dari
duduknya. Wajah Kandana tampak kelabu, ma-
tanya menyorot tajam pada si nenek yang terse-
nyum mengekeh melihat hal itu.
"Bagus! Sebagai seorang lelaki, apalagi
akan menjadi seorang pendekar pilih tanding pan-
tang baginya untuk menyerah begitu saja pada
apa yang ada. Ayo kita mulai lagi!"
Setelah habis berkata begitu, si nenek den-
gan segera menyerang Kandana.
Melihat dirinya diserang, maka dengan se-
gera Kandana berkelebat mengelak dan kemudian
ganti menyerang. Untuk sekian lama, keduanya
kembali melakukan latihan ilmu silat Walet Silu-
man.
"Bagus, bagus! Rupanya kau cepat mene-
rima apa yang telah aku ajarkan padamu. Nah...
kini seranglah pohon pisang di depanmu," kata si
nenek kembali memerintahkan. Mendengar perin-
tah itu, secepat kilat Kandana yang masih me-
layang di udara langsung menukik menuju ke po-
hon pisang yang ditunjuk oleh gurunya.
Dalam sekejap, pohon pisang yang tadinya
berdiri dengan kokohnya, kini hancur berkeping-
keping, terhantam tangan Kandana.
Di wajah nenek Iblis Pancoran Sewu seke-
tika terurai senyum senang, demi melihat hasil
yang telah diperoleh muridnya. Dari mulut si ne-
nek bergumam: "Bagus, bagus! Kau telah dapat
menguasai salah satu jurus yang paling langka.
Tapi kau jangan cepat merasa puas, masih ba-
nyak ilmu-ilmu yang harus kau pelajari, Untuk
kali ini, aku rasa cukup."
Ketika si nenek hendak berlalu meninggal-
kannya, dengan cepat Kandana berseru memang-
gil: "Ada apa lagi?"
"Nek, kapankah wajah saya akan dapat
kembali seperti sediakala? Maksudku, menjadi
tampan kembali?"
Mendengar hal itu, si nenek terkekeh-
kekeh dan menghampiri Kandana. Dipegangnya
tubuh sang murid, lalu dengan penuh rasa kasih
si nenek berkata: "Sabar, Kandana. Untuk memu-
lihkan mukamu, perlu waktu yang tidak cepat.
Hem... kau belum menceritakan mengapa wajah-
mu menjadi begitu?"
Mendengar pertanyaan si nenek, seketika
Kandana tertunduk dalam. Dari matanya meleleh
air mata. Pahit untuk mengenang kejadian yang
telah sekian lama tenggelam.
Si nenek seketika mengernyitkan dahinya,
saat melihat Kandana yang tertunduk.
"Cengeng! Mengapa kau menangis?!" ben
tak si nenek, yang membuat Kandana seketika
terdongak dan mengelap air matanya.
"Ayo kita ke grojokan. Di sana kau harus
menceritakan apa yang telah kau alami, hingga
kau begitu cengeng. Kalau kau ingin menjadi seo-
rang pendekar sesat, pantang untuk mengurai air
mata, apalagi ragu-ragu untuk bertindak. Ayo kita
ke grojokan."
Kedua guru dan murid itu berkelebat me-
nuju ke grojokan, di mana kedua murid dan guru
itu meneduh.
Sesampainya kedua guru dan murid di goa
tempat mereka tinggal, Kandana pun segera men-
ceritakan apa yang telah dialaminya lima tahun
yang lalu.
***
"Lima tahun yang lalu, aku pernah berguru
pada seorang tokoh sakti aliran lurus di wilayah
Kidul bernama Ki Tambak Sande. Aku merupakan
murid kesayangannya, hingga aku sangat diper-
hatikan dan dimanjakan oleh Ki Tambak Sande."
Mengerut alis mata nenek Iblis Pancoran
Sewu demi mendengar nama Ki Tambak Sande.
Wajahnya seketika berubah redup dan matanya
membelalak kaget. Tanpa sadar, si nenek pun
bertanya: "Bagaimana ciri-ciri bekas gurumu?"
Ditanya seperti itu oleh si nenek, Kandana
membelalak kaget seraya bertanya ingin tahu.
"Mengapa nenek menanyakan tentang orang itu?
Apakah nenek mengenalnya?"
"Ceritakan dulu tentang ciri-ciri gurumu,
nanti kalau memang orang itu yang kau maksud
aku akan menceritakan apa yang pernah terjadi
dengan kami. Hi... hi..." tawa si nenek dengan ge-
nitnya.
"Ki Tambak Sande mempunyai seorang
anak wanita, yang bernama Sekar Sedati. Gadis
itu sangat cantik, hingga banyak yang tergila-gila
padanya. Begitu juga dengan diriku, menaruh ha-
ti pada Sekar Sedati. Tapi rupanya Sekar Sedati
tidak mencintaiku, bahkan di depan mataku ia
bermain cinta dengan Anggasana. Hal itu mem-
buat dendamku padanya. Hingga suatu malam
aku bermaksud..." Kandana tak segera mene-
ruskan ucapannya. Di wajahnya seketika tergam-
bar rasa malu. Membuat si nenek kembali menge-
rutkan alis matanya menyaksikan hal itu.
"Bermaksud apa?"
Dengan tersipu-sipu malu, Kandana pun
akhirnya melanjutkan ceritanya: "Aku bermaksud
mem... memperkosanya."
"Lalu? Apakah kau berhasil?" tanya si ne-
nek.
"Tidak. Sebab keburu diketahui oleh Ang-
gasana. Saat itu juga, murkalah Ki Tambak
Sande. Dengan kemarahannya dia mengucap,
"Percuma kau memiliki wajah tampan, kalau ha-
timu buruk seburuk hantu. Lebih baik wajahmu
juga buruk!" Karena Ki Tambak Sande orang yang
mumpuni, seketika aku merasakan sesuatu pada
wajahku. Dari wajahku menetes nanah busuk,
juga benjolan-benjolan bisul yang menutupi selu-
ruh wajahku. Aku berlari dengan dendam, pergi
dari situ. Ketika terkaca pada air, kulihat wajah-
ku telah buruk seburuk hantu. Oh...?" desah
Kandana setelah mengakhiri ceritanya. Dari ke-
dua matanya seketika kembali meleleh air mata.
Nenek Iblis Pancoran Sewu terdiam. Seper-
tinya turut merasakan penderitaan yang dialami
muridnya. Dengan suara bergetar si nenek berka-
ta: "Jangan kau bersedih hati, Kandana. Aku
akan berusaha membantu memulihkan wajahmu
yang rusak itu, namun nanti setelah kau mena-
matkan seluruh ilmu yang akan aku turunkan
padamu. Ketahuilah! Ilmu itu adalah ilmu yang
langka, yang tak ada tandingannya di dunia persi-
latan. Bila kau telah berhasil menguasai ilmu
yang bernama Aji Seribu Rupa Iblis dan Aji Samb-
er Nyawa, kau akan menjadi seorang tokoh silat
yang tanpa tanding di dunia persilatan. Hi... hi...!
Mulai besok kau harus rajin mempelajari kedua
ajian itu. Kau harus bertapa 40 hari lamanya di
bawah pancoran sewu, kau sanggup?"
Karena didorong oleh nafsu untuk dapat
menjadi orang sakti dan ingin wajahnya kembali
seperti sedia kala. Maka tanpa pikir panjang,
Kandanapun mengangguk sembari berkata:
"Sanggup, nek."
"Bagus... bagus. Nah! Untuk memper-
siapkan semua itu hari ini kau harus beristira-
hat." kata si nenek yang dituruti oleh Kandana
tanpa dapat membantah.
***
Pagi buta ketika kokok ayam belum ter-
dengar, Kandana diiringi oleh gurunya si nenek
Iblis Pancoran Sewu tampak berjalan menuju ke
bawah pancoran.
"Buka seluruh pakaianmu, sebab kau ha-
rus melakukan tapamu dengan keadaan telan-
jang."
Kandana tersentak, seraya berkata protes.
"Tapi, nek?"
"Jangan menentang. Ayo buka seluruh pa-
kaianmu!" bentak nenek Iblis Pancoran Sewu.
Dengan tanpa banyak bicara lagi. Kanda-
napun akhirnya menurut membuka satu persatu
pakaian yang melekat di tubuhnya.
Si nenek tertawa terkekeh-kekeh, saat me-
lihat tubuh Kandana yang telanjang tanpa sehelai
benang pun. Mata wanita tua itu nanar meman-
dang tubuh Kandana dari ujung kaki ke ujung
rambut membuat Kandana bengong.
Perlahan si nenek mendekatinya. Dan den-
gan cepat direngkuhnya tubuh Kandana yang tak
dapat mengelak.
"Nek, kau...?" Kandana mencoba meronta.
Namun si nenek yang sudah terbakar nafsu ma-
lah makin keras memeluk tubuh Kandana, sem-
bari berbisik: "Kandana, berilah aku kepuasan.
Percayalah, aku akan membantu memulihkan se
luruh tubuhmu. Lakukanlah, Kandana. Sebelum
nanti kau di bawah pancoran pun akan melaku-
kannya dengan para siluman."
Mendengar permintaan si nenek yang men-
giba, seketika Kandana pun bagai dihipnotis me-
rangsek dan menggeluti tubuh si nenek. Dalam
pandangannya, si nenek berubah menjadi seorang
gadis muda belia.
Memang... dengan ajian Pangling Rupa, si
nenek telah merubah wajahnya secantik bidadari.
Hingga Kandana yang mulanya ragu, seketika pe-
nuh nafsu menggeluti tubuh si nenek.
Pagi buta itupun menjadi saksi, pergumu-
lan kedua guru dan murid yang sama-sama di-
landa nafsu iblis. Sampai akhirnya, si nenek
mengeluh panjang dan terkulai lemas dengan se-
nyum di bibirnya penuh kepuasan.
Setelah sekian lama keduanya tergeletak
lelah. Si nenek yang telah kembali merubah wa-
jahnya seperti semula berbisik pada Kandana.
"Sekarang pergilah. Tapalah di bawah Pancoran
Sewu selama 40 hari 40 malam. Jangan kau ke-
luar sebelum dikabulkan permintaanmu. Ingat!
Layani semua kemauan ratu siluman. Jangan
sampai mengecewakannya."
"Baiklah, aku berangkat. Doa dan ban-
tuanmu sangat aku perlukan." Setelah berkata
begitu, ia menuju ke bawah pancoran, diikuti
pandangan mata nenek Iblis Pancoran Sewu.
***
"Auw...!" Jaka menguap, ketika dirasakan
sengatan matahari pagi yang menerobos lewat se-
la-sela dedaunan di hutan Sanggreng.
Dengan segera Jaka melompat turun dari
pohon di mana ia semalam tidur. Dicarinya telaga
untuk mencuci muka dan mulutnya yang terasa
sepet.
"Ah... perutku lapar. Rupanya aku terlalu
nyenyak tidur, hingga bangun kesiangan seperti
ini," kata hati Jaka sembari terus berjalan menca-
ri telaga.
Tak berapa lama kemudian, dilihatnya se-
buah tambak tak jauh dari sebuah desa. Bergegas
Jaka segera menuju ke tambak itu dan dengan
tanpa berpikir lagi Jaka pun segera terjun mandi,
setelah terlebih dahulu membuka pakaiannya.
"Ah... sejuk benar air tambak ini," Jaka
pun segera menyelam ke dalam air, lalu kembali
muncul.
Saking asyiknya mandi, hingga Jaka tak
sadar ada sepasang mata yang mengintainya. Se-
pasang mata itu terus mengawasi Jaka. Perlahan
orang yang mengintai itu mendekati pakaian Jaka
dan ketika tangan orang itu hendak mengambil
sesuatu yang ada di antara pakaian Jaka, tiba-
tiba terdengar suara lain membentaknya.
"Maling, rendah!"
Orang yang bermaksud mengambil Pedang
Siluman Darah seketika mengurungkan niatnya
dan memandang pada orang yang membentaknya
yang tak lain dari seorang gadis.
Jaka yang mendengar suara gadis itu, se-
ketika tersentak. Dengan sekali loncat, Jaka pun
segera menyambar pakaiannya.
"Apa urusanmu menghalangiku!" bentak
orang yang tadi bermaksud mengambil senjata
Pedang Siluman Darah pada gadis di depannya
yang hanya tersenyum dengan sinis.
"Aku tak mau melihat kejahatan di depan
mataku, karena itu aku menghalangimu," jawab
si gadis tak kalah kerasnya.
Maling itu tampak mendengus marah. Na-
pasnya terdengar kasar memburu. Dengan mata
melotot, lelaki itu kembali berkata: "Kau tahu,
bahwa senjata yang akan aku ambil merupakan
senjata sakti? Dengan tingkahmu itu, maka gagal-
lah maksudku. Untuk itu, sebagai gantinya kau
harus mati di tanganku."
Tanpa memperdulikan gadis di depannya,
lelaki yang hendak mencuri berkelebat menye-
rang.
Diserang dengan cepat begitu, si gadis tan-
pa mengalami kesulitan segera mengelak dan ba-
lik menyerang. Perkelahian keduanya segera ber-
langsung.
Jaka yang telah memakai kembali pa-
kaiannya, berdiri menonton tak jauh dari situ.
Jaka sengaja tak langsung menghajar orang yang
bermaksud mencuri Pedang Siluman Darah, ia
ingin tahu sampai di mana tingkat kedua orang
yang tengah berkelahi itu.
Pertarungan keduanya tampak seimbang.
Susah untuk memastikan siapa di antara kedua-
nya yang bakal memenangkan pertarungan itu.
Namun ketika menginjak jurus yang kedua puluh
enam, tampak gadis itu keteter didesak oleh lelaki
musuhnya.
Ketika nyawa gadis yang telah menolong-
nya berada dalam ancaman musuhnya, dengan
segera Jaka bersiul dan berkelebat menghadang
serangan lelaki itu.
"Suit... Dug dug dug."
Lelaki yang menyerang gadis itu terhuyung
ke belakang, di wajahnya seketika tergambar ke-
kagetan. Matanya membelalak hampir keluar,
saat melihat orang yang telah menghantamnya.
"Kau... kau yang bernama Jaka?" tanya le-
laki itu, yang dijawab Jaka dengan senyum sinis.
"Ya aku yang bernama Jaka. Ada apa? Se-
pertinya kau kaget?"
Mendengar jawaban Jaka. Orang itu bu-
kannya takut, malah sebaliknya tertawa bergelak-
gelak. "Anak muda! Aku mendengar namamu te-
lah kesohor di dunia persilatan, tapi aku si Kala
Wasungsang tak gentar menghadapimu. Aku in-
gin tahu dan ingin membuktikan kebenaran de-
sas-desus itu."
"Hem, begitu. Lalu dengan maksud apa
engkau hendak mencuri senjataku?" tanya Jaka.
Matanya memandang tajam pada lelaki yang ber-
diri di hadapannya.
Lelaki itu tertawa bergelak-gelak. Dengan
congkaknya, Kala Wasungsang kembali berkata:
"Aku tahu, Kalau senjata Pedang Siluman Darah
tak ada pada dirimu, kau akan menjadi seorang
bayi yang tak dapat berbuat apa-apa. Maka, aku
bermaksud mengambilnya hingga dengan mudah
aku dapat mengalahkanmu. Tapi walaupun kau
memegang senjata itu, aku rasa aku akan mampu
mengalahkanmu."
"Weh! Baru kali ini, selama aku terlahir di
dunia ada orang yang sudah memastikan apa
yang belum terjadi. Nah, kalau kau mampu men-
galahkanku, lakukanlah olehmu," kata Jaka te-
nang, bibirnya terurai senyum. Sesaat matanya
melirik pada gadis yang berdiri di sampingnya,
yang seketika merona merah pipinya.
Mendengar perkataan Jaka, seketika lelaki
itu kembali mendengus. Maka dengan segera, le-
laki itu pun berkelebat menyerang.
"Jangan menyesal bila kau mati di tangan-
ku, anak muda!"
"Lakukanlah bila kau mampu, aku selalu
menuruti apa yang kau ingini, Kala Wasungsang."
Balas Jaka berkata sembari berkelit dari serangan
Kala Wasungsang.
Seketika keduanya pun terlibat pertarun-
gan. Keduanya saling serang dan mengelak. Se-
jauh itu, tampak Jaka masih mengelit dari seran-
gan Kala Wasungsang. Jaka sengaja mengulur
pertarungan, dengan maksud untuk mengetahui
sampai di mana ilmu Kala Wasungsang.
Benar juga! Kala Wasungsang yang me
mang sudah tahu kehebatan Jaka dari tokoh-
tokoh persilatan, tanpa sungkan-sungkan segera
mengeluarkan jurus-jurus yang mematikan. Di
samping itu pula, Kala Wasungsang ingin mem-
buktikan hal kehebatan senjata Pedang Siluman
Darah yang menghebohkan itu.
Merasa musuhnya telah menggunakan il-
mu tingkat tingginya, dengan segera Jaka melom-
pat mundur. "Pedang Siluman Darah, datanglah!"
Seketika Kala Wasungsang terbelalak ka-
get, ketika melihat Pedang Siluman Darah telah
berada di tangan Jaka, mengeluarkan sinar me-
nyilaukan. Dari mulut Kala Wasungsang memekik
kaget: "Ah...!"
"Inikah Pedang Siluman Darah? Hm, me-
mang bukan omong kosong kalau senjata ini san-
gat menghebohkan dunia persilatan. Senjata ini
sungguh aneh, dapat mengeluarkan Darah dan
Angin besar. Hm, aku harus berhati-hati. Akan
aku coba dengan Toya Setan ku," batin Kala Wa-
sungsang, demi melihat Pedang Siluman. Diam-
bilnya tongkat yang berbentuk pendek pada mu-
lanya, dengan pangkal kepala manusia kecil. Di-
tariknya pangkal tongkat itu, yang seketika beru-
bah menjadi sepanjang dua tombak.
"Bagaimana, Kala Wasungsang? Apa mau
diteruskan?" tanya Jaka memberi kesempatan
pada Kala Wasungsang untuk berpikir.
"Anak muda! Jangan kau kira Kala Wa-
sungsang akan gentar dan menyerah kalah meli-
hat Pedang Siluman Darah di tanganmu. Ayo kita
lanjutkan sampai salah satu di antara kita mati."
Jaka mengerutkan dahi, demi mendengar
jawab Kala Wasungsang. Lalu dengan mendengus
Jaka kembali berkata:
"Hem... Kala Wasungsang, jangan salahkan
aku kalau itu yang engkau kehendaki. Bersiap-
lah!"
"Jangan banyak omong, anak muda! Sedari
tadi aku memang sudah siap. Terimalah seran-
ganku, hiat...!" Kala Wasungsang yang memang
penasaran dengan berita-berita tenung Pedang Si-
luman Darah, dengan nekad segera berkelebat
menyerang.
Jaka merasa musuhnya telah menyerang,
dengan segera Pedang Siluman Darah dibalutkan
ke arah Kala Wasungsang. Bagai gelombang pra-
hara api, hawa panas yang terpancar dari Pedang
Siluman Darah menderu menangkis serangan
Tongkat Setan Kali Wasungsang sekaligus menye-
rangnya.
Kala Wasungsang menyurut mundur. Dari
mulutnya terdengar suara memekik kaget, ketika
hawa panas menghantamnya. Dengan segera di-
putar Tongkat Setan di tangannya dengan mak-
sud menghalau serangan. Namun.
"Braak...!"
Tongkat Setan di tangan Kala Wasungsang
patah menjadi dua, terbabat oleh Pedang Siluman
Darah. Kala Wasungsang memekik, dipegangi
tangannya yang terasa kesemutan akibat bentro-
kan itu.
Belum juga Kala Wasungsang hilang ka-
getnya. Tiba-tiba Pedang Siluman yang berada di
tangan Jaka berkelebat dan...
"Dess...!" Tebasan Pedang Siluman tak da-
pat dihindari oleh Kala Wasungsang yang seketika
menjerit menahan sakit. Ketika sadar, tangan ki-
rinya telah puntung dari tubuhnya.
Melihat hal itu, si gadis yang sedari tadi
hanya menonton seketika menutupi matanya ka-
rena ngeri.
Kala Wasungsang dengan menahan sakit,
berlari meninggalkan Jaka dengan umpat dan ca-
ci maki.
Ketika gadis yang sedari tadi memperhati-
kannya menyapa, Jaka tersentak dan meman-
dang pada gadis itu yang tersenyum.
"Terima kasih. Nona telah memberikan per-
tolongan pada saya, kalau nona tak mencegah Ka-
la Wasungsang, niscaya aku akan mendapat
murka," kata Jaka.
"Ah... tak seberapa yang telah aku lakukan,
dibandingkan dengan nama besar tuan yang telah
rela berkorban untuk ketentraman dunia persila-
tan. Maaf, aku telah mengganggu keasyikan tuan
mandi," kata gadis itu dengan tersipu-sipu.
"Nona terlalu berlebihan menilai diri saya,
yang nyatanya tak lebih dari seorang bodoh dan
telengas. Hingga tak menyadari akan apa yang
bakal terjadi, kalau saja nona tak segera mengha-
langi maksud jahat Kala Wasungsang. Untuk itu,
aku yang bodoh ini mengucapkan terima kasih.
Oh ya, agar kelak aku dapat membalas budi no-
na, bolehkan aku tahu siapa nona sebenarnya?"
Gadis itu tersipu-sipu kembali, demi men-
dengar ucapan Jaka yang dirasa merendah. Ma-
sih dengan senyum menyungging di bibirnya, ga-
dis itu berkata:
"Hamba yang jelek dan hina ini bernama
Ayu Sakiti."
"Oh... nama yang indah dan bagus, seba-
gus hati yang memiliki. Aku rasa, nona telah
mengetahui namaku bukan?"
Gadis itu mengangguk sesaat, sebelum ak-
hirnya berkata kembali: "Benar. Apakah benar
tuan yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Da-
rah dari Chandra Bilawa?"
"Hai...! Rupanya nona telah mengetahui
begitu dalam tentang diri saya. Siapakah sebe-
narnya, Nona?" tersentak Jaka demi mendengar
penuturan Ayu Sakiti yang telah mengetahui se-
gala yang ada pada dirinya.
Gadis yang bernama Ayu Sakiti kembali
tersenyum, lalu dengan malu-malu ia berkata:
"Guruku pernah bercerita tentang diri tuan."
"Siapa gurumu?" Jaka kembali bertanya,
karena ingin mengetahui siapa sebenarnya gadis
yang berada di hadapannya.
"Guruku bernama Ki Martanu."
Jaka hanya mengangguk-anggukan kepa-
lanya mendengar penuturan Ayu Sakiti. Setelah
Ayu Sakiti selesai berkata, Jaka pun tersenyum
sembari berkata: "Kalau kau benar murid Ki Martanu, sampaikan salam hormatku pada beliau.
Dan katakan padanya bahwa Jaka ingin sekali
bersua dengannya setelah bulan purnama."
"Kenapa mesti bulan purnama? Tidakkah
lebih baik sekarang saja?" tanya Ayu Sakiti tak
mengerti, membuat Jaka kembali tersenyum dan
memandang tajam pada Ayu Sakiti yang seketika
tertunduk.
"Aku dan gurumu, telah berjanji akan
mengadakan pertemuan yang akan membicara-
kan... Ah... bilang saja pada gurumu begitu. Dan
bila kau ingin mengerti akan apa yang bakalan
kami bicarakan kau bisa bertanya langsung pada
gurumu. Nah, selamat tinggal."
Habis berkata begitu, Jaka segera berkele-
bat pergi tanpa memperdulikan Ayu Sakiti yang
terbengong melihat kepergiannya yang begitu cepat
*****
DUA
Di goa Pancoran Sewu, tampak seorang le-
laki yang tak lain Kandana adanya tengah mela-
kukan semedi tapa brata selama 40 hari 40 ma-
lam.
Hari itu adalah hari ke 35 Kandana mela-
kukan tapa brata, ketika dari dunia lain tampak
sesosok tubuh wanita datang menghampirinya
dengan tubuh setengah bugil. Pakaian yang dikenakan oleh wanita itu, jelas transparan. Hingga
Kandana dengan mudah dapat melihat lekuk-
lekuk tubuh wanita cantik di hadapannya.
Wanita itu tersenyum penuh rangsangan
dan mendekati tubuh Kandana yang masih tetap
terdiam dalam semedinya. Dengan manja wanita
itu mengalungkan kedua tangannya di leher Kan-
dana dan berbisik pelan.
"Kandana... bangunlah dari semedimu,
bangunlah. Aku terima apa yang menjadi permin-
taanmu. Bangunlah dan ikutlah denganku."
Kandana sesaat membuka kedua matanya
perlahan, dilihatnya wanita itu tersenyum. Den-
gan masih melingkarkan tangannya pada leher
Kandana, wanita itu mengajak Kandana berdiri.
"Engkaukah yang bernama Sri Ratu Silu-
man?" tanya Kandana yang diangguki oleh Sri Ra-
tu Siluman yang masih tersenyum.
"Kenapa, Kandana? Apa kau belum yakin?"
tanya Sri Ratu Siluman sembari menatap tajam
pada Kandana. Mata Sri Ratu yang tajam, seketi-
ka memancarkan selarik sinar menembus ke ma-
ta Kandana hingga menggugah hati Kandana.
Kandana yang telah terpengaruh oleh ilmu
Sri Ratu seketika merengkuh tubuh Sri Ratu yang
menggelinjang-gelinjang penuh kenikmatan.
Angan Kandana seketika melayang terbang.
Tampak olehnya goa itu kini berubah menjadi is-
tana yang elok dan indah, lengkap dengan selu-
ruh dayang dan prajurit.
Kandana yang tengah menggeluti tubuh Sri
Ratu, tidak menyadari kalau sebenarnya yang
tengah digumuli tak lain daripada seekor ular.
Sri Ratu Siluman mendesis-desis, menik-
mati kenikmatan yang diperolehnya dari Kanda-
na.
Sementara Kandana sendiri, merasakan
adanya kelainan pada dirinya. Bersamaan dengan
keringat yang menetes deras, perubahan di wajah
Kandana pun berjalan.
Luka-luka yang telah mengering, tampak
mengelupas dan berganti kulit lain. Karena peru-
bahan itu, membuat tubuh Kandana terasa panas
dingin. Mungkin karena terlalu panasnya, Kanda-
na pun akhirnya pingsan.
* * *
Lima hari lamanya Kandana berada di is-
tana Sri Ratu Siluman Ular. Dan selama lima hari
itu juga Kandana harus bersedia melayani nafsu
Sri Ratu Siluman.
Ketika telah habis masa tapa bratanya, Sri
Ratu berkata pada Kandana: "Kandana, kini kau
telah mendapatkan apa yang menjadi keinginan-
mu, yaitu ajian Seribu Rupa dan Samber Nyawa.
Tapi untuk menyempurnakannya, kau harus mi-
num tujuh darah gadis. Sekarang pulanglah
kembali pada gurumu, nenek Pancoran Sewu."
Setelah berkata begitu, seketika tubuh Sri
Ratu Siluman itu raib. Dan Kandana pun kini
mendapatkan dirinya kembali di goa Pancoran
Sewu.
Dengan langkah ringan, Kandana berkele-
bat keluar dari goa itu. Di luar tampak nenek Iblis
Pancoran Sewu tengah menantinya.
Dengan wajah berseri, nenek Iblis Panco-
ran Sewu segera menyambutnya. Di peluknya tu-
buh Kandana, yang hanya terdiam sembari me-
mandang tajam dan bengis.
Tanpa disadari oleh nenek Iblis Pancoran
Sewu, tiba-tiba Kandana merapalkan aji Samber
Nyawa. Dicobanya pada tubuh si nenek yang se-
ketika menjerit.
Sebelum meninggal, si tanak Iblis Pancoran
Sewu sempat mengumpat dan mengutuk Kanda-
na yang hanya tertawa bergelak-gelak, sepertinya
merasa puas, demi melihat hasil yang telah dica-
painya.
"Kau... kau, manusia tak tahu balas budi,
Kau telah berbuat curang, maka kau kelak akan
mati dengan tubuh hancur." Setelah berkata begi-
tu yang diikuti oleh suara halilintar menggelegar,
nenek Iblis Pancoran Sewa ambruk dengan tubuh
hangus.
Tanpa memperdulikan tubuh si nenek,
Kandana pan segera berlalu sembari tertawa ter-
gelak-gelak. "Tak ada artinya kau mengumpat,
nenek sinting. Dirimu sendiri bukan orang baik-
baik, ha... ha...!"
Alam di situ seketika menjadi hening. Lan-
git mendung, guntur bergelegar bersahut-
sahutan, sepertinya memberikan tanda pada du
nia persilatan bahwa telah datang malapetaka ba-
ru yang akan menggemparkan dunia persilatan.
***
Sejak itu dunia persilatan dilanda geger
oleh perbuatan seseorang, yang dengan kejinya
merenggut korban gadis. Biasanya gadis-gadis itu
mati dengan leher berlubang, seperti habis digigit
oleh seekor mahluk.
Kampung Rengas, kampung Lenggok, dan
terakhir kampung Muara Sendang, telah menjadi
korban jarahan mahluk yang selalu mencari
mangsa seorang gadis.
Gadis-gadis itu hilang kala hari menjelang
senja, di mana mereka biasanya tengah mandi di
pancuran.
Dengan kejadian itu, makin menambah ke-
takutan di hati para penduduk desa hingga kea-
manan desa pun makin dipertingkat dan anak-
anak gadis dilarang keluar sore-sore.
Malam begitu mencekam, ditambah lagi
dengan rintik hujan yang tak mau berhenti me-
nambah seramnya malam itu.
Petugas ronda tampak dengan siaga men-
jaga keamanan kampung, ketika dari kejauhan
terdengar suara anjing hutan melolong. Seketika
bulu kuduk kelima peronda itu berdiri. Rasa ta-
kut menjalar di hati mereka. Kalau bukan tugas,
mungkin mereka telah lari ketakutan. Namun ka-
rena merasa itu kewajiban yang harus dijalankan,
maka dengan menekan perasaan takut kelimanya
tetap waspada. Ketika kelimanya tengah dilanda
ketakutan, tampak oleh mereka sesosok tubuh
dengan memanggul seorang gadis berkelebat.
Sesaat kelima peronda yang sedari tadi
hanya terdiam tanpa berani berkata-kata. Kemu-
dian setelah mereka sadar, mereka pun dengan
segera mengejar orang yang berkelebat itu.
"Berhenti!" perintah salah seorang petugas
ronda.
Lelaki yang berlari dengan membopong tu-
buh seorang gadis di pundaknya tampak berhen-
ti.
Ketika lelaki itu berpaling pada kelima pe-
ronda itu, tampak seraut wajah yang mengerikan.
Kelima peronda itu tersentak mundur saat meli-
hat wajah lelaki yang mirip hantu.
Belum juga kelimanya sadar dari kenge-
riannya, tiba-tiba orang yang bermuka hantu itu
membentak. "Mau apa kalian! Cepat pergi! Atau
kuhisap darah kalian, hah!"
"Bedebah! Jangan kau kira kami takut pa-
damu, kami bukan anak kecil! yang perlu kau ta-
kut-takuti. Serahkan gadis itu pada kami, atau
kami harus menghajarmu," kata salah seorang
dari kelima peronda yang rupanya mempunyai
nyali, tak kalah kerasnya.
Mendengar ucapan peronda itu, seketika
lelaki berwajah hantu itu tersenyum sinis. Lalu
dengan mata melotot dan menunjukkan gigi-
giginya yang runcing, lelaki berwajah hantu itu
kembali berkata. "Percuma kalian ingin melawan-
ku. Pergi! Atau aku akan mengirim kalian ke ak-
herat!"
Walaupun mereka takut, namun karena
tugasnya sebagai penjaga keamanan kampung,
mereka tak menghiraukan gertakan itu. Bahkan
dengan segera mereka serempak mengeroyok le-
laki bermuka hantu.
Walaupun dengan menggendong tubuh se-
seorang di pundaknya, lelaki bermuka hantu itu
tampak dengan mudah mengelak serangan kelima
peronda. Bahkan dengan segera dapat mendesak
kelimanya. Tak lama kemudian terdengar jeritan
kematian. Dua dari kelima peronda itu terkapar
meregang nyawa.
Melihat kedua temannya mati, ketiganya
yang masih hidup tersentak mundur. Dan bagai-
kan dikomando, ketiganya segera berteriak me-
minta tolong.
"Tolong...! Tolong...!"
Mendengar suara ketiga peronda itu, seke-
tika orang-orang kampung segera berhamburan
keluar. Belum juga orang-orang kampung dapat
menolong mereka, tiba-tiba lelaki bermuka hantu
telah menghantam ketiganya hingga mati seketika
dengan tubuh hangus.
Lalu dengan secepat kilat, lelaki bermuka
hantu itu berkelebat pergi meninggalkan kelima
mayat korbannya.
Penduduk kampung hanya dapat melongo,
ketika didapatinya kelima peronda itu telah mati
dengan tubuh terbakar hangus. Merinding bulu
kuduk penduduk kampung, menyaksikan kea-
daan kelima peronda itu. Dengan perasaan ngeri,
mereka pun segera mengusung kelima peronda
yang telah mati.
* * *
Di sebuah goa, lelaki berwajah hantu yang
telah mengubah kembali wajahnya tengah mem-
baringkan tubuh gadis yang diculiknya. Dibu-
kanya totokan pada tubuh gadis itu, hingga si ga-
dis kembali tersadar dari pingsannya.
"Jangan...! Jangan...! Jangan ganggu aku,
pergi!" teriak gadis itu setelah terbebas dari toto-
kan.
Lelaki di depannya tersenyum, perlahan
didekatinya tubuh gadis yang kini terduduk den-
gan wajah ketakutan.
Melihat orang yang di hadapannya bukan
hantu yang tadi menculiknya, rasa tenang timbul
di hati si gadis. Dengan tersipu-sipu, gadis itu
menundukkan mukanya sembari bertanya:
"Tuan, siapakah tuan sebenarnya? Tuankah yang
telah menolong diriku dari hantu itu?"
Mendengar pertanyaan gadis di depannya,
seketika lelaki itu tersenyum dan mengangguk.
Perlahan dihampirinya tubuh si gadis dan dengan
lembut direngkuhnya pundak si gadis yang hanya
terdiam.
Keduanya saling rengkuh dan berguling
guling di atas lantai batu. Gadis itu yang tadinya
takut, tiba-tiba menjadi liar dan binal. Ia memba-
las merengkuh dan menciumi lelaki yang tengah
menggelutinya, sampai akhirnya si gadis terden-
gar mengeluh panjang penuh kenikmatan.
Saat itu juga lelaki yang tadinya tampan,
seketika berubah menjadi seram. Gadis itu hen-
dak berontak, namun lelaki berwajah hantu itu
telah mendahului menggigit leher si gadis.
Sesaat si gadis menjerit, lalu terkulai lemas
dengan tubuh membiru mati. Dari lehernya me-
netes darah sisa gigitan. Sementara lelaki yang
berwajah hantu, tampak tersenyum penuh kepu-
asan dan berlalu meninggalkan tubuh si gadis.
Dari kejauhan terdengar suara kokok ayam
jantan, pertanda hari telah pagi. Lelaki bermuka
hantu itu berkelebat pergi meninggalkan goa,
yang di dalamnya tergeletak tubuh seorang gadis
yang telah beku.
Ketika mentari telah meninggi, seorang
pencari kayu secara tidak sengaja datang ke goa
itu. Pencari kayu itu tersengat kaget, kala dilihat-
nya di dalam goa itu seorang gadis telah mati
dengan leher berlubang.
Dengan tergopoh-gopoh, lelaki itu berlari
sambil menjerit-jerit meminta tolong pada warga
kampung terdekat yang kebetulan kampung si
gadis,
"Ada apa, Bapak? Sepertinya kau tengah
mengalami ketakutan. Apakah kau melihat sesua-
tu?" tanya kepala kampung yang menerima pen
cari kayu itu.
Dengan wajah pucat dan terbata-bata, lela-
ki pencari kayu itu menceritakan apa yang telah
dilihatnya dalam goa di tengah hutan
"A... aku mencari kayu. Tiba-tiba pera-
saanku ingin menuju ke goa dan..." Lelaki pencari
kayu itu tak segera meneruskan ucapannya, di
wajahnya tergambar rasa ngeri yang dalam.
"Dan apa...?" tanya ketua kampung tak sa-
bar.
"Aku melihat sesosok tubuh wanita..."
Belum juga pencari kayu itu menyelesaikan
ceritanya, dengan segera kepala kampung meng-
gandeng tangannya pergi.
Dengan diikuti oleh sebagian warga kam-
pung, keduanya segera menuju ke tempat di ma-
na pencari kayu itu menemukan gadis yang telah
mati.
Sesampainya mereka ke tempat yang di-
tunjukan oleh pencari kayu, mata mereka seketi-
ka terbelalak. Dari mulut mereka terdengar pekik
kaget, demi mengetahui gadis itu yang ternyata
Mirah warga kampungnya.
Dengan perasaan haru dan duka, mereka
segera menggotong tubuh Mirah yang telah mati
dengan cara menyedihkan.
* * *
Korban demi korban berjatuhan. Geger du-
nia persilatan oleh perbuatan teror lelaki berwa
jah hantu.
Desas desus itu akhirnya terdengar juga di
telinga Ayu Sakiti, murid Ki Mertanu. Merasa hal
itu merupakan tanggung jawabnya sebagai seo-
rang pendekar beraliran lurus, Ayu Sakiti ber-
maksud menyelidiki siapa sebenarnya lelaki ter-
sebut.
Maka setelah mendapat restu dari gu-
runya, Ki Mertanu. Berangkatlah Ayu Sakiti un-
tuk menyelidiki desas-desus yang kini ramai dibi-
carakan di dunia persilatan.
"Apakah Jaka belum mendengarnya? Ah...
aku rasa dia sebagai tokoh persilatan tingkat
utama, telah mendengar adanya desas-desus ini.
Moga-moga dia akan segera datang membantu-
ku," kata Ayu Sakiti dalam hati, setelah berlalu
pergi meninggalkan perguruannya.
Siang begitu panasnya, terik matahari sea-
kan hendak membakar seluruh isi muka bumi.
Ayu Sakiti yang telah sampai pada sebuah desa,
dengan segera mencari sebuah kedai.
Tanpa mengalami kesulitan, Ayu Sakiti se-
gera menemukan sebuah kedai.
Kedatangan Ayu Sakiti, mengundang per-
hatian pengunjung kedai lainnya. Hingga salah
seorang dari lima pengunjung kedai yang duduk
di sudut ruangan berwajah sangar-sangar menye-
letuk. "Lihat, kawan. Rupanya ada bidadari yang
hendak menemani kita di sini."
Seketika keempat orang lainnya segera
memandang pada Ayu Sakiti yang tengah masuk
ke dalam kedai itu. Ayu Sakiti tak menggubris
omongan orang tersebut. Ia tetap melangkah ma-
suk dan duduk tak jauh dari urang yang berkata.
Seorang pelayan datang menghampirinya
seraya bertanya. "Mau pesan apa, nona?"
"Sebelum aku memesan makanan, aku
minta usir dulu kelima lalat-lalat itu," kata Ayu
Sakiti menyindir pada kelima lelaki yang bertam-
pang sangar. Seketika kelima lelaki itu tersentak
dan berdiri kaget demi mendengar ucapan Ayu
Sakiti yang memang menyindirnya.
"Cuih, sombong! Jangan mentang-mentang
cantik, lalu beraksi di depan Lima Iblis Buran-
grang," bentak salah seorang dari kelima Iblis Bu-
rangrang dengan marahnya.
Ayu Sakiti hanya tersenyum demi menden-
gar ucapan orang yang mengaku Lima Iblis Bu-
rangrang. Dan dengan kalemnya Ayu Sakiti kem-
bali berkata acuh.
"Iblis Burangrang. Kalau kalian merasa
bukan lalat, mengapa kalian harus marah. Coba
kalian lihat, bukankah memang di sini banyak la-
lat?"
Mungkin kalau anak kecil akan begitu per-
caya, namun karena mereka merupakan tokoh-
tokoh persilatan dari golongan sesat, mereka tak
mau menerima ucapan Ayu Sakiti begitu saja.
Maka dengan membentak yang disertai kekesa-
lan, salah seorang dari kelima Iblis Burangrang
berkata!
"Hai, bocah gendeng! Aku tadinya me
nyangka kalau kau yang cantik itu, lemah lem-
but. Tapi ternyata kau mempunyai nyali juga,
hingga berani menghina Lima Iblis Burangrang."
"Hi... hi...! Gendeng katamu. Siapa yang
gendeng? Aku atau kalian semua yang tampang-
nya seperti orang-orang gila yang tak pernah teru-
rus," Ayu Sakiti tertawa cekikikan, membuat ke-
lima Iblis Burangrang tak dapat lagi menahan
emosinya demi diledek begitu rupa oleh seorang
gadis yang masih bau kencur.
"Sompret! Rupanya kau tak mau diuntung!
Maka jangan salahkan aku, Burangrang Hitam
mengajar adat pada kamu yang tak tahu sopan
santun."
Kembali Ayu Sakiti tertawa cekikikan kala
mendengar dan melihat kemarahan Burangrang
hitam. Dengan nada mengejek yang membikin
marah Burangrang tak dapat terbendung lagi,
Ayu Sakiti kembali berkata:
"Burangrang jelek! Siapa yang telah men-
jual sesuatu padamu, hingga kau mengatakan tak
mau diuntung? Lagi pula siapa yang mau diberi
keuntungan oleh iblis butut macam kalian."
Lima Iblis Burangrang itu mendengus dari
mata mereka menyorot api kemarahan. Maka
dengan tanpa malu-malu, kelimanya segera ber-
kelebat menyerang Ayu Sakiti.
Ayu Sakiti yang telah waspada, diserang
oleh kelima Iblis Burangrang bersamaan, bukan-
nya menjadi takut dan bingung. Bahkan dengan
gesit, Ayu Sakiti segera mengelak dan secepat ki
lat lari keluar kedai.
Kelima Iblis Burangrang yang memang te-
lah dilanda amarah oleh tingkah laku Ayu Sakiti,
tak mau melepaskan begitu saja. Dengan seren-
tak kelimanya segera memburu keluar, di mana
Ayu Sakiti telah berdiri menanti mereka.
Walaupun dikeroyok oleh lima tokoh golon-
gan sesat, namun Ayu Sakiti yang merupakan
murid tunggal Ki Mertanu atau si Dewa Tangan
Maut tak menjadi gentar.
Pertarungan satu lawan lima pun terus
berjalan, dari tangan kosong kini berganti dengan
senjata. Ayu Sakiti dengan pedang Komaranya
berkelebat dengan cepat, laksana seekor burung
walet menyambar-nyambar musuhnya.
Di lain pihak, kelima Iblis Burangrang yang
sudah tersohor segera mengurung murid tunggal
Ki Martanu. Kelima Iblis Burangrang itu menge-
luarkan jurus Lingkaran Iblis, kelimanya dengan
silih berganti menyerang Ayu Sakiti. Jurus Ling-
karan Iblis memang begitu hebat dan sukar un-
tuk dapat ditembus.
Mendapatkan hal semacam itu, Ayu Sakiti
dengan segera mengubah jurusnya, Jurus Walet
Merah Menyambar Ular Sanca. Dengan bergerak
makin cepat, Ayu Sakiti menggerakan pedang di
tangannya dengan cepat pula. Hingga... terdengar
seketika jerit kesakitan membahana. Dan tampak
salah seorang dari kelima Iblis Burangrang terka-
par pingsan dengan tangan kanan putus.
Melihat hal itu, keempat Iblis Burangrang
lainnya tersentak dan melompat mundur dengan
mulut menganga seakan tak percaya pada apa
yang dilihatnya.
Hal itu tidak disia-siakan oleh Ayu Sakiti
begitu saja, dengan cepat-cepat pedang di tan-
gannya kembali berkelebat. Dan... untuk kedua
kalinya terdengar jeritan sesaat, lalu tampak
orang kedua dari Lima Iblis Burangrang tergeletak
dengan leher hampir putus.
Ciut seketika nyali ketiga Iblis Burangrang
demi melihat kedua temannya dapat dengan mu-
dah dijatuhkan oleh seorang gadis yang masih
muda belia. Maka tanpa membuang waktu lagi,
ketiganya segera mengambil langkah seribu.
"Mau lari ke mana kalian. Jangan harap
kalian akan dapat lolos dari tanganku," kata Ayu
Sakiti. Dengan seketika tubuhnya yang kecil dan
ramping berkelebat memburu ketiganya.
Ketiga Iblis Burangrang tersentak, kala Ayu
Sakiti tiba-tiba telah berdiri menghadang mereka
dengan senyum sinis di bibirnya.
Merasa tak ada jalan lain, maka dengan
nekad ketiganya segera menyerang Ayu Sakiti.
Kembali perkelahian pun berlangsung.
Ayu Sakiti yang memang tak suka dengan
kelima orang Iblis, dengan tanpa menaruh rasa
kasihan sedikit pun kembali berkelebat dengan
pedang di tangannya.
Tak berapa lama antaranya, kembali ter-
dengar pekikan kematian. Kembali salah seorang
dari Iblis Burangrang menjadi korban pedangnya.
Mendapatkan hal itu, kedua Iblis Buran-
grang yang masih tersisa makin nekad.
Karena keduanya tak memperhitungkan
lagi akan apa yang bakal mereka hadapi, maka
keduanya berkelahi dengan jurus yang tak dapat
dikontrol. Hal itu menjadikan kepahitan bagi me-
reka sendiri. Maka dengan sekali tebas, pedang di
tangan Ayu Sakiti telah membabat tubuh kedua-
nya yang langsung terkapar meregang nyawa lalu
mati.
Setelah melihat kelima musuhnya telah
mati, Ayu Sakiti segera kembali menuju kedai.
Semua orang yang ada di kedai itu seketika mera-
sa takut dan jeri. Hingga tanpa diperintah oleh-
nya, semuanya seketika mengangguk hormat ke-
tika Ayu Sakiti masuk.
Pemilik kedai pun dengan ramahnya diser-
tai hormat segera menghidangkan makanan yang
dipesan oleh Ayu Sakiti.
"Bapak... apakah bapak pernah melihat
pemuda yang berambut gondrong datang ke ma-
ri?" tanya Ayu Sakiti pada pemilik kedai yang ter-
cenung diam, tak lama kemudian, dengan wajah
tersenyum pemilik kedai pun berkata:
"Benar! Kira-kira seminggu yang lalu pe-
muda itu datang ke mari untuk makan siang."
"Hem, rupanya Jaka pun berada di sini pu-
la," kata Ayu Sakiti dalam hati.
"Bapak, apakah pemuda itu mengatakan
hendak pergi ke mana?"
Ditanya seperti itu pemilik kedai hanya da
pat menggeleng lemah. Ayu Sakiti hanya mang-
gut-manggut, lalu dengan segera menyantap ma-
kanan yang telah dihidangkan.
Setelah membayar makanan yang dima-
kannya, yang ditolak oleh pemilik kedai karena
merasa berterima kasih atas pertolongan Ayu Sa-
kiti, hingga kedainya tak akan dijadikan
tongkrongan dan endonan kelima Iblis Buran-
grang lagi.
"Bapak, sudah menjadi kewajibanku untuk
menolong dan membasmi kejahatan. Aku minta
terimalah uang bayar makanku," kata Ayu Sakiti
sembari menyerahkan uang itu pada pemilik ke-
dai, yang kembali bermaksud menolaknya. Na-
mun dengan segera Sakiti menggenggamkan uang
itu di telapak tangannya. Mau tak mau pemilik
kedai itu pun akhirnya menerima juga pembaya-
ran Sakiti.
Dengan segera Sakiti pergi meninggalkan
kedai untuk meneruskan perjalanannya mencari
biang keonaran dunia persilatan. Yang menurut
desas-desus bermuka hantu dan selalu menculik
gadis untuk korbannya.
***
TIGA
Gamelan melantunkan tembang kidung.
Seluruh tamu yang akan memberikan doa restu
pada kedua mempelai tampak sudah pada berda-
tangan.
Seperti adat di Jawa, maka pengantin pe-
rempuan akan di boyong oleh pengantin laki-laki
dan diiring berarak.
Malam makin larut, saat kedua mempelai
dijejer untuk menghadap dan diikrar oleh sese-
puh adat.
Dupa dari asap kemenyan mengepul beri
gulung-gulung membumbung tinggi. Kedua mem-
pelai dengan didampingi oleh dua orang saksi
tengah dihadapkan pada sesepuh adat, yang akan
mensyahkan pernikahan mereka.
Di wajah kedua mempelai terkembang se-
nyum bahagia, sama halnya yang hadirpun turut
merasakan kegembiraan.
Gamelan dari wayang kulit berhenti, untuk
memberikan waktu pada sesepuh adat guna men-
syahkan upacara pernikahan. Sesaat, tampak se-
sepuh adat diam. Matanya terpejam, dari mulut-
nya tampak komat-kamit membaca sesuatu. Asap
dupa makin menebal. Bersamaan dengan itu, se-
ketika semua yang hadir tersentak kaget. Dari
luar seseorang bagaikan terbang menyambar
mempelai wanita yang menjerit-jerit meminta to-
long.
Untuk sesaat semuanya terpaku diam. La-
lu setelah sadar dari kekagetannya, mereka seren
tak memburu orang itu.
"Berhenti!" bentak tetua adat, setelah dapat
mengejar orang yang membawa mempelai perem-
puan, yang kini tampak terdiam dalam pundak-
nya.
Lelaki yang menggendong mempelai pe-
rempuan itu berhenti dari larinya dan dengan te-
nangnya membalikkan tubuh menghadap pada
sesepuh adat.
Sesepuh adat dan orang-orang yang telah
dapat mengejarnya tersentak kaget, demi melihat
wajah penculik itu. Mata mereka melotot, demi
menyaksikan muka seram yang persis hantu.
Keterkejutan mereka tak disia-siakan oleh
lelaki penculik itu. Maka dengan sekali berkele-
bat, tubuh lelaki itu telah berlalu meninggalkan
mereka yang kembali mengejarnya setelah sadar.
Kejar mengejar pun terjadi, hingga sampai-
lah mereka di persawahan yang luas. Penduduk
yang sudah merasa marah oleh tindakan lelaki
berwajah hantu itu, dengan nekad segera menge-
pungnya.
"Kembalikan gadis itu ada kami, atau ter-
paksa kami merencah tubuhmu!" kata sesepuh
adat dengan penuh amarah, sementara yang lain-
nya tampak telah siaga dengan senjata di tangan
mereka.
Lelaki bermuka hantu tampak tersenyum
sinis, lalu dengan suara serak dan sember berka-
ta: "Hem... jangan harap aku akan menyerahkan
gadis ini pada kalian. Pergilah! Atau terpaksa aku
menurunkan tangan jahatku!"
"Iblis laknat! Jangan kira kami dapat dita-
kut-takuti olehmu. Serahkan istriku, atau kau
akan mati dengan tubuh dicincang!" Jatmoro
yang merasa harga dirinya diinjak-injak oleh lela-
ki bermuka hantu membentak marah. Tubuhnya
seketika tanpa dapat dicegah oleh yang lain ber-
kelebat menyerang.
"Hem... rupanya kau hendak mencari
mampus, anak muda. Baik, terimalah ini!" Sete-
lah berkata begitu, tampak lelaki bermuka hantu
mengepalkan tangan kanannya. Dari mulutnya
terlihat ia membaca mantera. Seketika itu tampak
tangan lelaki berwajah hantu memerah membara.
Dikiblatkannya tangan yang telah membara itu
pada pemuda yang bermaksud menyerangnya.
Tak ayal lagi, Jatmoro yang tak memperhi-
tungkan sebelumnya terpelanting ke belakang se-
belum sampai pada sasaran. Tubuh Jatmoro
tampak hitam mengarang, nyawanya pun me-
layang. Melihat hal itu, tersentaklah semua yang
ada di situ. Nyali mereka agak menciut juga. Na-
mun ketika sesepuh adat mengomandokan untuk
menyerang, semua yang ada di situ dengan senja-
ta di tangan masing-masing, serempak maju me-
nyerang lelaki berwajah hantu.
Dikeroyok begitu banyaknya, tidak menja-
dikan lelaki berwajah hantu itu mundur dan ka-
bur. Bahkan sebaliknya dengan masih menggen-
dong tubuh gadis yang diculiknya, lelaki itu den-
gan mudahnya mengelak setiap serangan mereka.
"Percuma kalian membuang-buang nyawa
yang hanya satu. Lebih baik kembali ke rumah
masing-masing dan tidur dengan nyenyak," kata
lelaki berwajah hantu sembari melompat mundur
hendak pergi meninggalkan mereka. Namun pen-
duduk yang telah dibakar amarah itu tak mau
perduli. Mereka terus mengejar dan kembali men-
gepung, membuat lelaki bermuka hantu itu tam-
pak menggeram marah.
"Rupanya kematian yang kalian inginkan.
Baik! Hari ini juga kalian akan aku kirim ke akhe-
rat, bersiaplah!" Habis berkata begitu, kembali
dari tangan lelaki bermuka hantu itu keluar sela-
rik sinar merah, menghantam penduduk kam-
pung yang mengejarnya.
Pekik kematian terdengar silih berganti.
Mereka mati dengan keadaan yang sama, mati
dengan tubuh hangus terbakar menjadi arang.
Ciut juga nyali mereka yang masih hidup
termasuk sesepuh adat dan ketua kampung.
Hingga mereka hanya terdiam memandang dan
mengurung lelaki bermuka hantu tanpa berani
menyerang.
"Sudah aku katakan. Lebih baik kalian
kembali saja ke rumah masing-masing dan tidur
dengan nyenyak dari pada harus berurusan den-
ganku. Kini kembali aku perintahkan pada kalian,
pulang dan..."
Belum juga habis ucapan lelaki berwajah
hantu, tiba-tiba terdengar desiran angin yang di-
ikuti oleh berkelebatnya sesosok tubuh.
"Iblis laknat! Ternyata kaulah orangnya
yang selalu membuat keonaran. Sudah tujuh ini
korbanmu. Jangan harap kau dapat lolos." Habis
ucapan itu, tiba-tiba telah berdiri sesosok tubuh
wanita di situ dengan mata memandang penuh
kebencian pada lelaki bermuka hantu yang ter-
sentak mundur.
"Siapa kau!" bentak lelaki bermuka hantu,
setelah dapat menguasai suasana kembali. Ma-
tanya yang besar dan merah memandang tak ber-
kedip pada gadis yang baru datang.
Gadis itu tersenyum sinis dan berkata se-
belum akhirnya berkelebat menyerangnya. "Siapa
aku tak penting. Yang pasti kau harus lenyap dari
muka bumi ini, hiaat...!"
Tersentak lelaki bermuka hantu mendapat
serangan yang begitu tiba-tiba dan cepat dari ga-
dis yang tak lain Ayu Sakiti adanya.
Keduanya segera terlibat pertarungan. Ayu
Sakiti yang berwatak keras, tanpa memberi waktu
sedikit pun terus mendesak dan merangsek lelaki
bermuka hantu yang masih mengelak serangan-
serangannya dengan membopong tubuh gadis cu-
likannya.
Kenapa Ayu Sakiti datang di situ? Sejak
dari kedai, memang perasaan Ayu Sakiti seakan
membimbingnya untuk datang ke kampung itu. Ia
yang kemalaman, dengan segera mencari pengi-
napan. Tapi di kampung itu rupanya tak ada pen-
ginapan, maka dengan terpaksa Ayu Sakiti pun
akhirnya beristirahat di sebuah dangau.
Ketika ia tengah tertidur sesaat, tiba-tiba
telinganya yang tajam mendengar adanya keribu-
tan. Maka dengan segera Ayu Sakiti pun menuju
ke asal suara itu dan menemukan perkelahian
penduduk menyeroyok lelaki bermuka hantu.
Ketika mengetahui bahwa yang tengah di-
keroyok oleh penduduk adalah orang yang dica-
rinya, Ayu Sakiti yang sedari tadi hanya menon-
ton segera keluar dari persembunyiannya dan
menyerang lelaki bermuka hantu.
Penduduk yang telah ciut nyalinya, seketi-
ka tumbuh keberanian kembali demi melihat seo-
rang gadis dengan beraninya menyerang orang
yang berilmu tinggi itu. Semuanya segera kembali
mengurung lelaki bermuka hantu, yang tengah
bertempur melawan Ayu Sakiti.
Perkelahian antar Ayu Sakiti dan lelaki
bermuka hantu kini makin seru. Keduanya telah
menggunakan jurus-jurus silat tingkat tinggi
hingga keduanya tak dapat dilihat oleh orang-
orang yang menontonnya, sebab keduanya berke-
lebat begitu cepat.
Jurus demi jurus yang diikuti dengan pe-
kikan-pekikan terus berlalu. Hampir seratus ju-
rus sudah mereka lampaui. Namun kelihatannya
kedua orang yang bertanding itu sama-sama
tangguh, seakan tak akan ada yang kalah atau
menang.
Bulan yang bergayut di langit kini tampak
telah beralih ke sebelah Barat, pertanda pagi
akan segera tiba. Tapi pertarungan keduanya ma
sih terus berlangsung.
Melihat pagi sebentar lagi akan datang,
tampak lelaki bermuka hantu mendengus. Dan
dengan sekali melentingkan tubuhnya, lelaki
bermuka hantu segera mundur sembari meng-
hantamkan pukulannya.
Ayu Sakiti dan semua penduduk tersentak,
semuanya segera mengelak. Namun tak urung,
salah seorang dari penduduk ada yang terkena
pukulan itu. Seketika orang yang terkena mere-
gang nyawa, tubuhnya seketika berubah menghi-
tam bagaikan arang.
Setelah semuanya tersadar. Didapatinya le-
laki bermuka hantu telah lenyap dari pandangan
mereka, membuat Ayu Sakiti geram. Tanpa mem-
perdulikan orang-orang yang memandangnya.
Ayu Sakiti segera berkelebat mengejar.
Namun ilmu lari orang yang bermuka han-
tu, ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan den-
gannya. Hingga Ayu Sakiti pun tak dapat menge-
jarnya. "Hem... ilmu lari tingkat tinggi. Percuma
aku mengejarnya. Mungkin guruku pun masih di
bawah orang itu dalam hal ilmu kesaktian. Hanya
Pendekar Pedang Siluman atau Jaka Ndableg sa-
jalah yang mungkin dapat mengejar larinya. Seta-
huku, guru pernah bercerita tentang kehebatan
Jaka atau Pendekar Pedang Siluman. Kata guru,
Pendekar Pedang siluman adalah pewaris ilmu
Empat Pendekar Sakti. Empat tokoh persilatan
yang pernah merajai dunia persilatan lima tahun
yang lalu. Seperti halnya Empat Pendekar Sakti,
Jaka Ndableg pun memiliki ilmu-ilmu tingkat
tinggi yang belum ada tandingannya. Ia juga me-
miliki senjata yang pernah kulihat ketika berta-
rung melawan Kala Wasungsang. Senjata itu da-
pat mengeluarkan Darah dan Angin Prahara.
"Baik, aku kembali saja. Kali ini aku gagal,
tapi lain kali aku harus dapat meringkus durjana
itu. Dan untuk itu, aku harus meminta tolong
pada Jaka Ndableg. Ah, aku rasa Jaka Ndableg
pun telah mendengar kejadian ini, di mana dia
sekarang...?" tanya Ayu Sakiti pada diri sendiri,
sebelum akhirnya ia berkelebat pergi kembali me-
nemui penduduk kampung yang masih tampak
berkerumun.
Sementara itu, di sebuah bukit, seorang le-
laki dengan membopong tubuh seorang gadis di
pundaknya berjalan menuju ke sebuah semak-
semak di antara bebatuan.
Direbahkannya tubuh gadis yang sedari
tadi digendongnya ke atas semak-semak. Dibu-
kanya totokan pada gadis itu yang seketika sadar.
Gadis itu hendak menjerit, namun ketika
melihat tatapan mata pemuda di hadapannya, se-
ketika ketakutan si gadis hilang dan berubah
menjadi rasa nafsu yang bergejolak-gejolak di da-
danya.
Maka ketika lelaki muda itu menggeluti tu-
buhnya, si gadis tampak dengan nafsu memba-
lasnya. Si gadis terlena dalam khayal yang dicip-
takan oleh lelaki muda itu, ia tak menyadari akan
apa yang terjadi.
Gigi pemuda itu yang tadinya rata, kini
dengan sendirinya memanjang runcing. Dan...!
Seketika terdengar jeritan kematian dari mulut si
gadis yang memberontak meminta dilepaskan dari
gigitan pemuda itu lalu akhirnya terkulai lemas
dengan tubuh tak bernyawa.
Setelah berhasil menyedot darah gadis kor-
bannya, pemuda itu segera berkelebat pergi me-
ninggalkan tubuh gadis korbannya dengan begitu
saja.
Pagi itu, Jaka nampak berlari-lari menuju
ke sebuah bukit, pendengarannya yang tajam te-
lah mendengar suara pekik kematian di bukit itu.
Penciumannya yang tajam segera dipasang.
Hidungnya mengendus endus mencium bau amis
darah.
"Di manakah?" tanya Jaka dalam hati, ma-
sih terus mencari tempatnya bau amis itu. Ketika
ia tiba di semak-semak yang tertutup bebatuan,
didapatinya sesosok tubuh seorang gadis telah
mati dengan leher berlobang bekas gigitan suatu
mahluk.
"Hem. Mahluk macam apa yang telah
menggigit gadis ini? Ularkah...? Hai. Tidak mung-
kin kalau ular, kalau ular niscaya gadis ini telah
dibeset tubuhnya. Tapi ini, ah... sebuah misteri.
Manusiakah? Apakah ada manusia yang mempu-
nyai taring? Iblis atau setankah? Tapi aku rasa
setan tak ada yang doyan darah manusia, kecuali
siluman. Heh, ya, ini jelas manusia yang berilmu
siluman yang berbuat begini, akan aku selidiki."
Dengan tanpa dibantu orang lain, Jaka
Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman dari Ka-
wah Chandra Bilawa dengan segera menguburkan
mayat gadis itu.
Setelah mengubur mayat gadis itu, dengan
segera Jaka Ndableg berkelebat pergi menuju ke
kampung terdekat untuk mencari keterangan
dengan adanya kematian gadis-gadis yang telah
menjadi desas-desus di dunia persilakan.
Sedang Jaka berjalan-jalan untuk mencari
kedai dikarenakan perutnya telah lapar, terdengar
olehnya suara orang berteriak-teriak tengah ber-
tempur.
Jaka segera memasang pendengarannya.
Lalu ketika telah pasti betul bahwa memang ten-
gah terjadi pertempuran yang tak jauh dari tem-
patnya lewat, Jaka pun segera berkelebat menuju
ke asal suara itu. Dan memang benar, di situ
tampak dua orang tengah bertempur.
Jaka tersentak kaget, ketika tahu siapa
yang tengah berkelahi. Gadis yang tengah berke-
lahi dengan seorang lelaki tua berkepala botak
dan berwajah sangar itu, tak lain dari pada murid
tunggal Ki Mertanu, si Ayu Sakiti.
Mulanya Jaka bermaksud hanya menonton
saja karena merasa tak perlu turun tangan untuk
membantu Ayu Sakiti yang diketahuinya mempu-
nyai ilmu tidak rendah. Namun ketika melihat
Ayu Sakiti terdesak dan nyawanya hendak teran-
cam oleh senjata rantai yang dipegang oleh lelaki
tua musuhnya, dengan segera Jaka berkelebat.
Dengan Pedang Siluman Darah di tangan,
Jaka segera menghadang serangan rantai maut
itu. "Minggir, Ayu Sakiti!" Bersamaan dengan sua-
ra Jaka, secepat itu pula Pedang Siluman Darah
di tangan Jaka berkelebat membabat putus rantai
maut itu.
Pucat pasi wajah lelaki tua yang menyerang
Ayu Sakiti, demi melihat rantai mautnya terbabat
putus oleh senjata yang berada di tangan seorang
pemuda yang tengah berdiri di hadapannya den-
gan bibir mengurai senyum.
Ayu Sakiti yang tahu Jaka atau Pendekar
Pedang Siluman Darah yang telah menolongnya,
hatinya seketika berbunga gembira.
"Siapa kau, anak muda? Mengapa kau
mencampuri urusan kami!" bentak lelaki tua ber-
kepala gundul.
"Aku bukannya hendak mencampuri uru-
sanmu, bila kau tidak bermaksud membunuh ga-
dis ini. Tapi karena kau bermaksud mencelakai
gadis ini, maka aku pun tak akan tinggal diam
begitu saja," kata Jaka dengan tenangnya.
"Apa sangkut pautmu. Aku berurusan den-
gan gadis yang berada di sampingmu karena ia te-
lah membunuh kelima murid-muridku." kata le-
laki tua berkepala gundul itu dengan geramnya.
Namun tampaknya Jaka hanya tersenyum sem-
bari kembali berkata setelah melirik pada Ayu Sa-
kiti sesaat yang tersenyum padanya.
"Orang tua. Kalau muridmu tidak jahat
aku rasa temanku ini tidak akan menurunkan
tangan jahatnya. Tapi karena kelima muridmu
memang orang-orang jahat, maka sudah sepan-
tasnyalah harus dibasmi."
Mendengar ucapan Jaka yang dirasakan-
nya ngelantur, makin geramlah lelaki tua berke-
pala gundul. Dengan mata menatapi tajam, lelaki
tua berkepala gundul itu kembali membentak.
"Anak muda, rupanya kau tidak meman-
dang sebelah mata pun pada Singkek Iblis, hingga
berani lancang ngomong sembarangan. Jangan
salahkan aku yang tua ini mengajar adat pada
kalian!"
Mendengar ancaman Singkek Iblis, Jaka
Ndableg bukannya takut, malah tertawa bergelak-
gelak. Hingga Singkek Iblis tersentak dengan pe-
nuh amarah.
Tanpa banyak berkata lagi, Singkek Iblis
yang sudah tak dapat menahan amarah segera
berkelebat menyerang Jaka dengan senjata lain-
nya yang berbentuk trisula.
Diserang begitu tiba-tiba, tidak menjadikan
Jaka Ndableg bingung. Maka dengan sekali berke-
lit, Jaka pun dapat mengelakan serangan Singkek
Iblis.
Menerima kenyataan serangannya dapat
dengan mudah dielakkan oleh pemuda musuh-
nya, makin geramlah lelaki tua berkepala botak
itu. Dengan makin meningkatkan serangannya
yang langsung menuju ke sasaran kematian,
Singkek Iblis mencoba merangsek Jaka.
Dengan bersuit nyaring, Jaka segera men
gelak dan membalas dengan tendangan kakinya
yang menggunakan jurus Elang Mencakar Mang-
sa.
Tersentak Singkek Iblis melihat jurus aneh
yang dipakai oleh pemuda musuhnya. Dengan
melompat mundur, Singkek Iblis segera mengelu-
arkan ajiannya setelah menggeram sesaat. Seke-
tika tubuh Singkek Iblis berubah menjadi banyak.
Kini Jaka yang tersentak dan melompat
mundur seraya berkata dengan masih penuh ke-
tenangan. "Singkek Iblis. Kalau kau hendak me-
mamerkan ajian silumanmu, baik. Nah, aku pun
akan mengimbanginya."
Setelah habis ucapannya, dengan segera
Jaka duduk bersila. Matanya terpejam rapat, dari
mulutnya keluar ucapan yang tak terdengar. Itu-
lah ucapan mantera. Seketika itu, tubuh Jaka
yang tadinya kecil berubah besar dan makin be-
sar. Ajian Dewa Buto Sewu memang tak pernah
dipakai oleh Jaka sejak diajarkan, oleh Ki Bayong
guru tertuanya. Sebab ajian itu begitu hebat, juga
akan mendatangkan petaka di dunia persilatan
bila tidak dapat dijinakkan oleh pemiliknya yang
tengah dilanda emosi.
Ayu Sakiti tersentak mundur demi melihat
tubuh Jaka seketika berubah menjadi Raksasa
Dewa Wisnu, yang besar dan tinggi. Tawanya
membahana, menjadikan pepohonan di sekitar-
nya tumbang berhamburan.
Melihat hal itu, keseribu tubuh Singkek Ib-
lis segera menyerbu raksasa Dewa Wisnu. Maka
tak ayal lagi, kedua ajian aneh itu bertempur
mengadu kekuatan. Tinggal Ayu Sakiti sendiri
yang tampak pucat melihat hal di depan matanya.
Raksasa Dewa Wisnu mengamuk. Tangan-
nya yang besar berkelebat menangkap keseribu
Singkek Iblis. Dan dengan sekali remas keseribu
Singkek Iblis itu hancur berkeping-keping menja-
di abu.
Walaupun Singkek Iblis telah mati, namun
Ayu Sakiti tak juga berani memunculkan diri. Ia
masih takut melihat Raksasa Dewa Wisnu, hingga
wajahnya pucat pasi.
Karena Jaka melakukan tidak dalam kea-
daan emosi, maka perubahan ujud kembali pada
dirinya semula pun tidak mengalami kesulitan.
Jaka terduduk lemas, wajahnya tampak berkerin-
gat. Sepertinya ia telah melakukan pekerjaan
yang sangat berat.
Setelah lama terdiam, Jaka pun segera
mencari Ayu Sakiti yang bersembunyi karena ke-
takutan. Walaupun ia seorang pendekar namun
demi melihat ilmu-ilmu aneh yang baru saja ia
tahu, ia takut juga.
"Ayu Sakiti, di mana kamu?" seru Jaka
memanggil nama Ayu Sakiti. Tak lama kemudian,
tampak Ayu Sakiti keluar dari persembunyiannya
masih dengan wajah pucat. Hal itu membuat Ja-
ka tersenyum sembari berkata:
"Wajahmu pucat. Kenapa?"
"Aku takut."
"Takut...? Takut pada siapa?" tanya Jaka
kembali, di bibirnya terurai senyuman. Hingga
Ayu Sakiti pun turut tersenyum tersipu-sipu se-
raya berkata manja.
"Ah. Kau bercanda. Siapa yang tak takut
melihat kau berubah ujud segitu gedenya?"
Mendengar penuturan Ayu Sakiti, seketika
Jaka tersenyum sembari berkata: "Seharusnya
aku tak usah mengeluarkan ajian itu kalau Sing-
kek Iblis tidak mendahului dengan ajian seribu
Iblisnya. Tapi sudahlah... oh ya, kenapa kau ada
di sini?"
Ayu Sakiti pun menceritakan tentang apa
yang telah ia alami di kampung itu. Tak lupa Ayu
Sakiti memberi tahukan tentang siapa yang sela-
ma ini menggegerkan dunia persilatan.
***
Di perguruan Tambak Segara, tampak pagi
itu dua orang muda mudi tengah berlatih ilmu si-
lat. Keduanya berkelebat-kelebat dengan cepat-
nya. Keduanya saling serang dan bertahan dari
gempuran yang lain.
Tak jauh dari mereka berlatih, seorang le-
laki yang rambutnya telah berubah menjadi putih
duduk bersila di atas sebuah batu yang terletak di
sisi kiri pintu padepokan. Walau matanya terpe-
jam, namun dengan penglihatan batinnya yang
tajam lelaki tua yang bernama Ki Tambak Sande
dapat mengikuti kedua muridnya berlatih.
Salah satu dari kedua muridnya yang tak
lain dari anaknya sendiri, sementara yang seo-
rang lagi adalah Anggasana menantunya. Kedua
muda mudi itu telah dijodohkan oleh guru sekali-
gus ayah sang gadis yang bernama Sekar Sedati.
Hubungan kedua sejoli itu tampak intim
dan penuh kasih sayang hingga keduanya tampak
seperti Kama Jaya dan Dewi Ratih. Keharmonisan
hubungan mereka sempat menjadikan iri hati pa-
da seorang murid Ki Tambak Sande lainnya yang
bernama Kandana.
Pernah Kandana yang merasa iri hati ke-
pada Anggasana telah berusaha memperkosa Se-
kar Sedati. Namun untung segera diketahui oleh
Ki Tambak Sande, yang dengan kesaktiannya
sempat mengutuk sang murid. Hingga wajahnya
berubah menjadi buruk rupa saat itu pula.
"Ciat...! Awas, kakang Angga. Terimalah se-
ranganku," kata Sekar Sedati seraya berkelebat
dengan cepat menyerang kekasihnya.
Anggasana dengan seketika mengelak, lalu
dengan terlebih dahulu memperingatkan pada
Sekar Sedati, Anggasana segera balik menyerang.
"Awas, Sekar. Ganti aku yang menyerang.
Hiaat...!"
Mungkin karena disengaja atau karena in-
gin menguji kasih sayang Anggasana, maka Sekar
Sedati tidak segera mengelak serangan Anggasa-
na. Hingga pukulan yang dilontarkan Anggasana
pun seketika mendarat di dada sebelah kanan-
nya.
Sekar Sedati seketika terhuyung-huyung
ke belakang dengan muka meringis menahan sa-
kit.
Anggasana sesaat tersentak demi melihat
kekasihnya terhuyung kena pukulannya den-
gan perasaan takut kalau-kalau kekasihnya ter-
luka, Anggasana pun segera memburu tubuh Se-
kar Sedati dan dengan cepatnya dipeluk tubuh
Sekar Sedati dalam pelukannya.
Menerima hal itu Sekar Sedati yang me-
mang hanya berpura-pura sakit dengan seketika
membalas memeluk Anggasana yang seketika ter-
gagap.
"Kenapa kakang?" tanya Sekar Sedati, demi
melihat Anggasana hendak melepaskan pelukan-
nya. Dengan segera, Anggasana memberi tanda
isyarat. Tapi dasar Sekar Sedati manja, sudah di-
beri isyarat bukannya segera melepaskan pelu-
kannya, bahkan makin mempererat.
"Sekar. Bukankah ada ayahmu?" bisik
Anggasana memperingatkan, karena ia takut ka-
lau-kalau Ki Tambak Sande yang tengah berse-
medi melihatnya.
Sekar Sedati tak mau perduli, malah den-
gan manja dirangkul dan diciumnya pipi Angga-
sana yang seketika makin gelagapan sembari ber-
kata: "Biarin. Bukankah kita telah ditunangkan?"
"Aku tahu, Sekar. Tapi kita ini belum res-
mi, maka belum layaklah bila kita berbuat begini
di depan orang lain walau itu ayahmu," kata Ang-
gasana kembali menjelaskan.
Belum juga Sekar Sedati berkata, tiba-tiba
terdengar suara Ki Tambak Sande berkata: "Be-
nar, anakku. Walau kalian telah terikat, tapi hal
itu bukannya tanda kalian boleh sesuka hati ber-
buat. Kalian sebagai orang-orang persilatan harus
dapat menjaga hal-hal yang sekiranya kurang
baik. Nanti kalau memang sudah masanya, maka
kalian berhak atas segala yang menjadi hak ka-
lian."
Anggasana tersentak kaget hingga dengan
segera melepaskan pelukan Sekar Sedati. Wajah-
nya merah padam menahan malu, sementara Se-
kar Sedati tampak hanya cengar-cengir manja
dan masih terus menggayuti pundak Anggasana
yang kini telah berdiri.
Sebagai murid Ki Tambak Sande yang baik,
maka merasa dirinya bersalah Anggasana tanpa
disuruh oleh gurunya segera bersujud memohon
ampun.
"Ampun, guru. Tidak sekali-kali murid
bermaksud berbuat rendah. Namun bila tindakan
muridmu ini ternyata memang salah, maka murid
siap untuk menerima hukumannya," kata Angga-
sana sembari bersujud di depan kaki gurunya Ki
Tambak Sande yang tampak masih semedi den-
gan mata terpejam.
"Kau tidak bersalah, Angga. Memang darah
muda akan selalu dihinggapi dengan segala nafsu
angkara dan kelalaian. Tapi kau telah mampu
mengatasinya. Aku bersyukur telah dapat mendi-
dikmu dengan baik hingga menjadi orang yang
mengerti tata krama kehidupan," kata Ki Tambak
Sande dengan masih memejamkan matanya.
"Ayah... Sekar juga meminta maaf karena
Sekar telah berbuat yang tak seharusnya Sekar
lakukan," Sekar Sedati segera mengikuti kekasih-
nya bersujud di hadapan ayahnya dan mengakui
segala kesalahannya.
Ki Tambak Sande tampak tersenyum demi
melihat kedua anak dan muridnya tampak bersu-
jud. Lalu dengan mata masih terpejam, Ki Tam-
bak Sande berkata pelan. Tapi kata-kata Ki Tam-
bak Sande seketika menjadikan Sekar Sedati dan
Anggasana terbelalak.
"Angasana dan Sekar Sedati, bersiaplah!
Sebentar lagi akan datang orang yang berilmu
tinggi yang dulu pernah kita kenal..."
Dalam keterkejutannya, Anggasana pun
melontarkan pertanyaan ingin tahu gerangan sia-
pa orang yang datang hingga ia harus bersiap-
siap. "Siapa gerangan orang itu, guru?"
Sesaat Ki Tambak Sande terdiam, lalu den-
gan membuka matanya perlahan. Ki Tambak
Sande pun berkata kembali.
"Kalian masih ingat kejadian enam tahun
yang silam?"
Terbelalak Anggasana Dan Sekar Sedati
mendengar ucapan guru dan ayahnya. Kembali
terbayang di benak Anggasana dan Sekar Sedati
wajah seseorang yang telah membuat keributan.
Tanpa sadar, Anggasana dan Sekar Sedati
bergumam menyebut nama lelaki itu.
"Kandana, mau apa dia ke mari?"
"Muridku dan anakku. Memang benar akan
apa yang kalian katakan, orang itu memang Kan-
dana adanya. Tapi ingat, dia sekarang bukanlah
Kandana yang dulu kalian kenal. Dulu kalian
mengenalnya sebagai orang yang bodoh dan dun-
gu, namun sekarang. Kandana telah bersekutu
dengan iblis, hingga ilmunya pun ilmu iblis pula.
Tapi kalian tak perlu takut, bagi seorang pende-
kar lebih baik mati daripada harus menyerah ka-
lah pada iblis," kata Ki Tambak Sande memberi
semangat.
"Apa yang menjadi ucapan guru, akan mu-
rid junjung tinggi dan pertahankan. Murid telah
siap untuk menghadapinya, walau nyawa murid
sebagai taruhannya," sahut Anggasana dengan
penuh rasa percaya diri dan siap menghadapi se-
galanya.
Begitu juga Sekar Sedati, yang dihatinya
telah tertanam benih dendam atas perlakuan
Kandana enam tahun yang silam, yang hampir
saja merenggut miliknya yang paling mahal. Maka
dengan mata bersinar penuh kebencian, Sekar
Sedati pun berkata: "Seperti kakang Anggasana,
aku pun telah siap untuk mati daripada harus
menyerah pada iblis Kandana."
"Bagus. Ketahuilah, Kandana datang ke
mari dengan tujuan ingin membuat perhitungan
pada kita dan sekaligus ingin mengulangi perbua-
tannya enam tahun yang silam yang dapat kita
gagalkan." Sehabis berkata begitu, Ki Tambak
Sande tampak berdiri dari duduknya dan dengan
mata membuka lebar ditatapnya pemandangan di
sebelah Timur rumahnya.
Melihat sang guru berbuat begitu, maka
Anggasana pun segera mengikuti di belakangnya
bersama Sekar Sedati. Kala mereka tengah me-
mandang ke arah Timur, Ki Tambak Sande den-
gan tanpa berpaling berkata: "Bersiaplah. Seben-
tar lagi iblis itu akan segera datang. Aku perin-
gatkan pada kalian, jangan terpengaruh dengan
tatapan matanya sebab jika kalian memandang
matanya celakalah kalian."
"Kenapa begitu, guru?" tanya Anggasana
belum mengerti akan ucapan gurunya, dan mera-
sa aneh kedengarannya.
Mendengar pertanyaan muridnya, sang
guru sesaat menengok memandang pada murid
dan anaknya seraya kembali berkata menerang-
kan. "Ketahuilah. Jika kalian memandang ma-
tanya, maka kalian akan terpengaruh oleh iblis.
Kalau kalian telah terpengaruh, maka dengan
mudah iblis itu akan membunuh kalian bagaikan
membalik telapak tangannya. Pahamkah kalian?"
"Murid mengerti, guru."
"Sekar mengerti, ayah." Sesaat ketiganya
terdiam hening, tak ada yang berkata-kata. Seper-
tinya mereka tengah tegang menghadapi sesuatu
yang bakal menimpa mereka. Angin siang itu ti-
dak seperti biasanya. Angin siang itu tampak be-
gitu kencang dan dingin, disertai dengan bunyi-
bunyi aneh menerpa mereka.
Hilang angin itu, tiba-tiba ketiganya tersen
tak mendengar suara gelak tawa yang membaha-
na. Kembali ketiganya tegang, mata mereka se-
saat membeliak dan memandang sekeliling. Na-
mun mereka tak menemukan apa-apa, maka den-
gan berbisik pada murid dan anaknya Ki Tambak
Sande berkata memperingatkan. "Awas. Iblis itu
telah datang, bersiap-siaplah."
Habis kata-kata Ki Tambak Sande. Seketi-
ka dari arah Timur berkelebat sesosok tubuh
dengan gelak tawa membahana menuju mereka.
"Selamat bertemu kembali, Ki Tambak
Sande? Mungkin engkau masih mengenalku, wa-
lau wajahku telah berubah tidak buruk seperti
dulu." Habis ucapan itu, tiba-tiba tanpa diketahui
kedatangannya oleh Ki Tambak Sande. Orang
yang mereka maksud telah berdiri tak jauh da-
rinya, hal itu membuat Ki Tambak Sande terbela-
lak kaget. Namun sebagai seorang yang telah ter-
sohor di dunia persilatan, dan telah banyak ma-
kan asam garam. Ki Tambak Sande dapat segera
menghilangkan ketegangan, maka dengan nada
datar penuh ketenangan, Ki Tambak Sande ber-
kata: "Kandana, untuk apa kau datang ke mari?"
Mendengar pertanyaan Ki Tambak Sande,
seketika Kandana kembali tertawa bergelak-gelak.
Dengan senyum sinis, Kandana memandang ta-
jam pada Ki Tambak sesaat, lalu pandangannya
tertuju pada Sekar Sedati. "Hem. Rupanya kau
makin tambah cantik saja, manis. Dulu aku tak
sempat mencicipi tubuhmu yang bahenol itu, kini
saatnya aku harus dapat merasakannya. Ayo, de
nok. Kau harus mau melayaniku."
Habis berkata begitu, tanpa memandang
sedikit pun pada Ki Tambak Sande dan Anggasa-
na yang melotot marah. Kandana dengan sekele-
bat segera hendak menangkap Sekar Sedati, yang
seketika mengelak dan mengirimkan tendangan-
nya.
Geram Kandana menerima hal itu. Ia tak
menyangka kalau Sekar Sedati akan menendang-
nya, hingga perutnya pun tak ayal lagi menjadi
hantaman kaki Sekar.
"Bug...!"
Terbelalak mata Kandana. Giginya bergeru-
tuk menahan amarah, hingga matanya seketika
berubah menjadi merah.
Maka dengan terlebih dahulu mengelua-
rkan suara geraman, Kandana kembali menubruk
tubuh Sekar Sedati. Tapi belum juga maksudnya
kesampaian, tiba-tiba Anggasana telah menghan-
tamkan pukulan Palu Sewunya. Dan untuk kedua
kalinya Kandana terhuyung ke belakang dengan
darah menetes di bibirnya.
Makin marah saja Kandana menerima per-
lakuan seperti itu, maka dengan menggeram
kembali dan dari mulutnya merapal ajian yang
diperolehnya di goa Pancoran Sewu yaitu ajian
Samber Nyawa, Kandana pun kembali menyerang.
Sekar Sedati dan Anggasana yang telah
waspada, dengan segera berkelit mengelakan se-
rangan Kandana yang sudah nampak memuncak
amarahnya.
Merasa buruannya dapat lolos, makin ber-
tambah saja amarahnya. Dengan perasaan iblis,
Kandana pun segera mengiblatkan ajian Samber
Nyawa pada dua sejoli itu.
"Awas...!" seru Ki Tambak Sande demi me-
lihat selarik sinar merah membara menuju ke
murid dan anaknya yang dengan segera menge-
lak.
Pucat pasi wajah kedua sejoli itu demi me-
lihat apa yang baru saja hampir merengut nyawa
mereka. Sementara Ki Tambak Sande menggu-
mam saat mengetahui ilmu yang digunakan oleh
Kandana. "Hem. Ajian Samber Nyawa. Rupanya
benar apa yang telah dikatakan oleh wangsit yang
aku terima. Anggasana dan kau Sekar Sedati,
minggirlah. Dia bukan lawan kalian, biar aku
yang menghadapi," seru Ki Tambak Sande yang
tahu bahwa murid dan anaknya tak akan mampu
menghadapi Kandana.
Tanpa banyak bicara. Dengan segera Ang-
gasana dan Sekar Sedati segera melompat mun-
dur. Melihat kedua musuhnya mundur, dan demi
mendengar ucapan Ki Tambak Sande, dengan se-
nyum sinis Kandana berkata sengau: "Hem. Ru-
panya kau telah tahu ilmu yang kugunakan. Nah,
sekarang kuperintahkan pada kalian. Menyerah-
lah!"
Mata Anggasana dan Sekar Sedati terbela-
lak demi mendengar ucapan Kandana, seketika
keduanya memandang pada Ki Tambak Sande
yang tampak masih tenang dan tersenyum sinis
dan berkata menjawab ucapan Kandana.
"Kandana. Jangan kau berbesar hati dan
sombong karena telah memiliki ilmu iblis. Pan-
tang bagiku, Ki Tambak Sande menyerah pada ib-
lis. Nah, Aku telah siap menghadapimu, walau-
pun nyawaku sebagai penggantinya."
"Hem. Begitu. Baik, bersiaplah kau kukirim
ke akherat. Bersiaplah, hiat...!" Habis berkata be-
gitu, dengan secepat kilat Kandana berkelebat
menyerang Ki Tambak Sande. Tangan Kandana
yang telah merapalkan aji Samber Nyawa tampak
merah menyala bagaikan bara api, dengan segera
dikiblatkannya pada Ki Tambak Sande yang--
segera mengelak dan langsung mengirimkan se-
rangan balik dengan aji Gampar Bumi.
Kedua kekuatan sakti itu saling bertemu
dan beradu di udara, menjadikan suara ledakan
dahsyat.
"Blaar...!"
Ki Tambak Sande terdorong lima tombak
ke belakang, dadanya terasa sesak. Sementara
Kandana tampak hanya melengoskan tubuhnya
menerima hantaman itu, di bibirnya tergerai se-
nyum sinis mengejek.
Kaget Ki Tambak Sande, demi melihat ke-
nyataan yang ada di hadapannya. Hatinya seketi-
ka bergumam: "Hem. Memang bukan ilmu semba-
rangan, tapi apapun yang terjadi daripada aku
harus menyerah kalah pada iblis, lebih baik aku
mati."
Tanpa disadari Kandana. Ki Tambak Sande
dengan segera kembali berkelebat menyerang
Kandana. Diserang tiba-tiba seperti itu, membuat
Kandana menggeram dan mengumpat-umpat ma-
rah sembari berkelit.
"Bedebah! Rupanya kau ingin mampus ce-
pat-cepat, tua bangka!" Dengan reflek yang tinggi,
Kandana segera mengiblatkan kembali tangan
yang telah disaluri ajian Samber Nyawa ke arah
Ki Tambak Sande yang tak menduga. Hingga tan-
pa dapat berkelit, Ki Tambak Sande akhirnya
hanya mampu mengadunya dengan ajian Gampar
Bumi. Dan... Kembali terdengar suara ledakan
membahana di angkasa. "Duar!" Untuk kedua ka-
linya Ki Tambak Sande terdorong ke belakang,
kali ini malah makin fatal akibatnya. Ki Tambak
Sande tampak bukannya terdorong saja, malah
kini terluka dalam.
Sementara Kandana tampak makin mele-
barkan senyumnya, demi menyaksikan musuh-
nya terkapar dengan tangan memegangi dadanya.
Maka dengan congkaknya Kandana tertawa se-
raya berkata: "Sudah aku bilang, percuma saja
kalian melawanku. Maka begitulah akibatnya,
ha... ha..."
Mendengar ucapan Kandana yang som-
bong, membuat Anggasana dan Sekar Sedati yang
tengah mengerumuni tubuh Ki Tambak Sande
menggeram. Dan dengan nekad, keduanya segera
berkelebat menyerang Kandana seraya berkata
membentak: "Jangan takabur iblis. Langkahi dulu
mayat kami, sebelum kau dapat menguasai diri
kami," kata keduanya hampir berbarengan.
"Hem. Bagus. Rupanya kalian pun meng-
hendaki mati, baiklah. Akan aku kirim kalian se-
muanya ke akherat, walaupun aku merasa
sayang dengan tubuhmu yang bahenol itu, Sekar.
Namun kalaupun begitu, aku akan menikmati du-
lu tubuhmu sebelum aku kirim kau ke neraka."
Kandana yang telah dirasuki iblis, tanpa
mengenal rasa kasihan segera memapaki seran-
gan keduanya dengan ajian Samber Nyawa. Dice-
carnya tubuh Anggasana, sementara Sekar Sedati
yang memang diinginkannya hidup. Dibiarkannya
menyerang.
Pertarungan dua lawan satu pun terus ber-
jalan. Walaupun demikian, tampak Kandana den-
gan mudah dapat mendesak keduanya. Hingga
pada sebuah kesempatan, Kandana dapat meng-
hantamkan ajian Samber Nyawanya ke tubuh
Anggasana yang seketika hangus mati.
Melihat kekasihnya mati di tangan Kanda-
na, Sekar Sedati dengan nekad menyerang Kan-
dana berhadap-hadapan. Untung Kandana tidak
menurunkan tangan mautnya. Hingga ketika ke-
duanya bentrok, Sekar Sedati tak mengalami hal
seperti kekasihnya. Namun tubuhnya seketika
lemas, terkena totokan yang dilancarkan oleh
Kandana.
Kandana tampak meringis tersenyum, demi
melihat tubuh Sekar Sedati tergeletak dengan tak
berdaya. Perlahan didekatinya tubuh Sekar yang
tergeletak lemas, membuat Sekar Sedati membeliakkan matanya penuh kebencian. Dari mulutnya
keluar caci maki. "Iblis laknat, lepaskan aku. Aku
tak sudi melayanimu, cih!"
Dicaci maki seperti itu, bukan menjadikan
Kandana marah. Bahkan dengan tersenyum,
Kandana pun segera membuka pakaian yang me-
lekat di tubuh Sekar yang hanya mampu meme-
jamkan mata rapat-rapat pasrah.
Ki Tambak Sande yang menyaksikan hal
itu menjadi sangat geram dan dengan sisa-sisa
tenaganya segera melompat menyerang Kandana.
Ditendangnya Kandana yang tengah mengang-
kangi tubuh anaknya hingga terpental mencium
tanah dan dengan segera dibebaskannya totokan
yang membelenggu tubuh anaknya hingga terbe-
bas. Setelah Sekar Sedati terbebas, disuruhnya
Sekar Sedati pergi
"Cepat tinggalkan tempat ini. Cepat!"
Mulanya Sekar Sedati tampak ragu, hingga
membuat Ki Tambak Sande kembali membentak-
nya. "Anak dungu! dia tak akan membunuhmu,
namun dia akan memperkosamu. Cepat pergi!"
"Tapi, ayah?" tanya Sekar Sedati ragu hing-
ga membuat Ki Tambak Sande melotot marah dan
kembali membentak.
"Dungu! Jangan kau hiraukan aku. Cepat
pergi!"
Maka dengan menurut tanpa banyak kata
lagi, Sekar Sedati pun segera berlari pergi me-
ninggalkan tempat itu.
Kandana yang sudah berdiri kembali ber
maksud mengejar Sekar Sedati yang berlari, keti-
ka dengan segera Ki Tambak Sande menghadang-
nya.
Geram Kandana merasa buruannya lolos
karena Ki Tambak Sande, maka tanpa ampun lagi
Ki Tambak Sande pun dengan segera menjadi bu-
lan-bulanan kemarahan Kandana hingga tubuh-
nya hancur. Belum puas sampai di situ, diten-
dangnya tubuh Ki Tambak Sande hingga me-
layang jauh.
"Bedebah! Dendamku belum habis bila aku
belum dapat merasakan tubuh Sekar Sedati.
Hem... Ke mana pun larinya, akan kukejar." Se-
habis berkata begitu, tubuh Kandana seketika
berkelebat menuju ke arah yang ditempuh Sekar
Sedati.
***
EMPAT
Jaka dan Ayu Sakiti tengah berjalan dalam
usahanya memburu manusia bermuka hantu
yang telah menggemparkan dunia persilatan.
Sudah cukup jauh mereka berjalan, me-
nyusuri hutan dan desa namun belum juga mere-
ka menemukan jejak yang dapat menuntun me-
reka menunjukkan adanya orang tersebut.
Siang itu keduanya tampak berjalan beri-
ringan menyusuri jalan Setapak di tengah hutan
yang belum dijamah oleh manusia.
"Ke mana kita harus mencarinya? Rasa-
rasanya sangat susah bagi kita untuk dapat me-
nemukannya. Aku yakin bahwa orang
mungkin telah mencium maksud kita," kata Jaka
dengan putus asa, menjadikan Ayu Sakiti men-
gernyitkan alis.
"Kenapa kau menjadi orang yang pesimis?
Bukanlah seorang pendekar bila cepat menyerah."
Jaka nyengir kuda, demi mendengar uca-
pan Ayu Sakiti yang dirasa menyindirnya. Maka
tanpa dapat berkata lagi, Jaka pun segera melan-
jutkan langkahnya dengan perasaan malu.
"Ke mana kita?" kembali Jaka bertanya un-
tuk kedua kalinya, Ayu Sakiti kembali menger-
nyitkan pelipisnya. Dipandangnya Jaka dengan
tajam, hingga membuat Jaka salah tingkah dan
bertanya heran.
"Kenapa kau memandangku begitu? Apa
ada yang tak beres padaku?"
"Ada," jawab Ayu Sakiti dengan muka cem-
berut. Membuat Jaka makin tak mengerti dengan
tingkahnya.
"Hai... kau marah padaku? Ada ucapanku
yang menyinggung perasaanmu, Ayu?" Melihat
Ayu Sakiti cemberut begitu rupa timbul di hati
Jaka untuk menggoda. Dengan berkelebat cepat.
Jaka segera meninggalkan ayu Sakiti yang ter-
bengong-bengong sembari mencari-cari.
"Ke mana dia?" tanya hati Ayu Sakiti. Di-
panggilnya Jaka dengan berteriak-teriak. "Jaka...!
Di mana kau?"
Tanpa ada jawaban, membuat Ayu Sakiti
makin bingung. Walaupun dia seorang pendekar,
tapi dia juga seorang wanita. Ditinggal sendirian
di dalam hutan yang masih perawan, seketika bu-
lu kuduknya meremang berdiri.
Sedang Ayu Sakiti ketakutan. Tiba-tiba
terdengar suara yang menyeramkan.
"Hem...aum!"
Ayu Sakiti semakin ketakutan, dicarinya
asal suara itu, namun ia tak menemukan apa-apa
di sekitarnya. Keringat dingin seketika deras
membasahi pelipis Ayu Sakiti, lalu dengan geme-
taran Ayu Sakiti kembali berseru memanggil.
"Jaka...! Di mana kau?!
"Ha... ha...! Anak manis, sedang apa kau di
sini sendirian?" Tiba-tiba terdengar suara orang
tanpa ujud, membikin Ayu Sakiti seketika terdu-
duk dengan tubuh gemetaran.
Belum hilang rasa takutnya, sekonyong-
konyong sesosok tubuh berkelebat dan langsung
memeluknya hingga Ayu Sakiti terlonjak sembari
menjerit. "Auh...!"
Orang yang memeluknya yang ternyata Ja-
ka Ndableg, seketika tertawa terpingkal-pingkal
membuat Ayu Sakiti kembali cemberut. Tapi keti-
ka Jaka hendak melepaskan pelukannya, Ayu Sa-
kiti malah melingkarkan kedua tangannya ke leh-
er Jaka dan merebahkan kepalanya pada dada
Jaka.
"Ayu, sadarlah."
"Tidak!" jawab Ayu Sakiti dengan manja,
yang membuat Jaka seketika bingung harus ber-
buat apa. Jaka pun akhirnya hanya terdiam
membiarkan Ayu Sakiti rebah di dadanya.
Keduanya sesaat terlelap dalam diam. Tak
terasa Ayu Sakiti meragakan getaran aneh di ha-
tinya, hingga tanpa disadarinya makin erat Ayu
Sakiti memeluk tubuh Jaka. Kedua insan muda-
mudi itu seketika saling pandang, bibir mereka
akhirnya yang bicara mengutarakan isi hati.
Benih-benih cinta pun tumbuh, seirama
dengan desiran angin yang merambat lewat de-
daunan. Lama keduanya saling berciuman. Jaka
Ndableg tersadar dan dengan perlahan mele-
paskan pelukan Ayu Sakit sembari berbisik.
"Ayu, sadarlah. Kita tengah berada di da-
lam hutan. Dan tidakkah kita tengah memburu
seseorang? Kalau kita menuruti hati kita, bukan
tak mungkin kita yang akan celaka oleh musuh."
Mendengar penuturan Jaka, Ayu Sakiti
pun akhirnya mau melepaskan rangkulannya
dengan tersipu-sipu, sementara matanya yang
lentik memandang sayu penuh rasa kagum dan
cinta pada Jaka.
Jaka mengerti akan apa yang tersirat dari
pandangan Ayu Sakiti, seperti halnya dengan ha-
tinya sendiri yang juga merasakan adanya geta-
ran-getaran aneh.
Dari bibir Ayu Sakiti yang mungil, dengan
perlahan keluar kata-kata. "Jaka, aku harap kau
jangan meninggalkanku. Aku yakin kau mengerti
perasaanku."
Mendengar ucapan Ayu Sakiti yang tulus
dan polos, tak terasa Jaka berkaca-kaca matanya
tak mampu untuk berucap, hanya anggukan ke-
pala saja yang dapat ia lakukan sebagai jawaban.
Berbunga hati Ayu Sakiti, melihat Jaka
menganggukkan kepalanya, bagaikan anak kecil
saja, Ayu Sakiti segera memeluk Jaka kembali se-
raya berseru girang.
"Terima kasih, Jaka. Ternyata cintaku tak
bertepuk sebelah tangan."
Melihat Ayu Sakiti tampak bahagia, Jaka
pun merasa turut bahagia. Entahlah, baru sekali
ini Jaka merasakan getaran perasaan lain pada
Ayu Sakiti.
Keduanya kembali terhanyut dalam kein-
dahan asmara, yang membawa mereka ke alam
indah penuh misteri yang tak dapat dipecahkan.
Sedang keduanya berciuman, tiba-tiba ke-
duanya dikagetkan oleh bentakan seseorang. "Ku-
rang asem! Berani benar menjadikan wilayahku
untuk bermesraan. Hai monyet-monyet muda,
apa kau tidak tahu jika hutan ini adalah wilayah
kekuasaanku, hah!"
Jaka dan Ayu Sakiti tersentak, hingga ci-
uman mereka pun terlepas. Namun yang mem-
buat marah Jaka bukannya itu, tapi ucapan lelaki
gembrot yang kini berada tiga tombak di hada-
pannya. Maka dengan balik membentak, Jaka
pun berkata. "Hai babi gudig! Apa hakmu mela-
rang kami, ini adalah hutan. Maka siapa pun
berhak untuk singgah atau bermukim di sini,
jangan seenak udel saja kau mengaku-aku yang
bukan menjadi hakmu."
"Bojleng-bojleng. Kera kurapan, rupanya
kau belum tahu siapa kau hingga berani lancang
ngomong sembarangan," dengus lelaki gembrot
itu dengan marahnya, demi mendengar ucapan
yang dilontarkan Jaka.
Ayu Sakiti hanya tersenyum menyaksikan
kekasihnya tengah berperang mulut dengan lelaki
gendut yang telah mengganggu mereka.
"Aku tak perduli siapa kau. Yang pasti, kau
tak lebih dari orang-orang jahat hingga tempatmu
di hutan seperti ini, agar kau tak dapat diburu
oleh orang-orang penegak kebenaran dan keadi-
lan. Nah mengakulah, agar aku dapat menang-
kapmu untuk kuserahkan ke kerajaan," kata Ja-
ka mereka-reka.
Namun ternyata rekaan Jaka benar
adanya. Terbukti lelaki gemuk itu tersentak demi
mendengar ucapan Jaka Ndableg yang tadinya
hanya mereka, kini merasa yakin bahwa orang itu
memang jahat. Maka sebelum lelaki gembrot itu
berkata, Jaka telah mendahuluinya.
"Nah, kau akhirnya mengakui siapa kau
sebenarnya. Ayu, dia ternyata seorang buronan
kerajaan. Maka sepantasnyalah kita harus me-
nangkapnya."
"Benar, kakang. Orang-orang macam dia
memang harus ditangkap dan dijebloskan ke pen-
jara, atau harus dihukum picis sesuai dengan ke
jahatannya." jawab Ayu Sakiti.
Lelaki gemuk itu seketika marah, demi
mendengar kedua anak muda di hadapannya
berkata. Ia memang seorang buronan kerajaan,
tanpa banyak kata lagi menyerang.
"Monyet-monyet gendeng, memang aku
musuh kerajaan. Akulah yang bernama Begal
Bajing Ireng. Kalau kalian mau menangkap aku
langkahi dulu mayatku."
Tubuh Begal Bajing Ireng yang gemuk ter-
nyata tidak menjadikannya kaku. Bahkan dengan
tubuh yang gemuk, Begal Bajing Ireng bergerak
lincah menyerang Jaka.
Merasa dirinya tak perlu untuk turun tan-
gan. Maka Jaka dengan segera melompat mun-
dur, menonton Ayu Sakiti bertempur menghadapi
Begal Bajing Ireng. Merasa Ayu Sakiti adalah se-
perti wanita kebanyakan. Begal Bajing Ireng men-
ganggap enteng saja. Ia tak mengetahui siapa se-
benarnya yang tengah ia hadapi, yang tak lain da-
ri murid tunggal Ki Martanu.
Begal Bajing Ireng tersentak, ketika tangan
Ayu Sakiti berkelebat cepat dan menghantam tu-
buhnya yang gendut hingga terhuyung ke bela-
kang.
"Bojeng-bojeng, lebih baik menyerahlah.
Kalau kau mau menyerah, maka akan ringan hu-
kumanmu," kata Jaka yang tampak tenang duduk
di atas sebatang pohon yang tumbang.
Geram Begal Bajing Ireng merasa diremeh-
kan. Maka dengan mendengus marah, ia pun
kembali menyerang Ayu Sakiti.
"Rupanya kau alot juga, orang tua. Baik!
Ayo kita teruskan," kata Ayu Sakiti, demi melihat
Begal Bajing Ireng yang kembali menyerangnya.
Pertempuran keduanya pun kembali berja-
lan. Sementara Jaka tampak hanya memandang
mengawasi dengan siaga, kalau-kalau terjadi se-
suatu yang tak diinginkan.
Sedang keduanya berkelahi. Tiba-tiba ter-
dengar suara seorang wanita berseru: "Kakang
Bajing Ireng, biar sundel ini aku yang menghada-
pi. Kakang hadapilah pemuda itu, jangan biarkan
pemuda itu ongkang-ongkang di tempatnya." Ha-
bis ucapan itu, berkelebat seketika sesosok tubuh
gadis yang sebaya dengan Ayu Sakiti dan lang-
sung menggantikan Bajing Ireng yang segera me-
nyerang Jaka yang sedari tadi menjadi penonton.
"Heh bagus. Rupanya di sini ada kuntila-
nak juga! Baiklah kalau kau mengingini berhada-
pan dengan aku," kata Jaka seraya mengelakan
pukulan Begal Bajing Ireng.
Kini pertarungan menjadi ramai, dengan
turunnya adik Bajing Ireng. Jaka yang sudah se-
dari tadi melihat ilmu Begal Bajing Ireng, dengan
tenangnya meladeni setiap serangan yang dilan-
carkan Bajing Ireng.
"Ayu... sia-sia kita mengulur waktu, lihat-
lah."
Habis berkata begitu, tangan Jaka berkele-
bat dengan cepatnya dan...!
"Bug, bug bug!"
Bersamaan dengan itu, seketika tubuh Baj-
ing Ireng terdorong ke belakang dan jatuh.
Bersamaan dengan itu pula, Ayu Sakiti
yang mendapatkan musuh di bawah ilmunya
memekik dan menghantam telak pukulannya ke
tubuh adik Bajing Ireng yang seketika menjerit
dan roboh.
Tanpa memperdulikan lagi kedua kakak
beradik yang mereka robohkan, Jaka dengan se-
gera menggandeng tangan Ayu Sakiti berkelebat
pergi meninggalkan hutan itu.
***
LIMA
"Sampurasun...! seru seorang lelaki di de-
pan pintu rumah Tumenggung Panggaluh. Lelaki
itu memandang ke dalam halaman rumah, dalam
hatinya bergumam. "Hem... rumah ini masih se-
perti yang dulu, segalanya tak ada yang berubah
seperti setahun setengah yang lalu."
Sedang ia terdiam memandangi rumah itu,
dari dalam rumah tampak seorang wanita muda
keluar dan menyahuti:
"Rampes... siapakah gerangan, Ki sa-
nak?""tanya wanita muda yang tak lain dari pada
istri Tumenggung Panggaluh yang bernama Dewi
Sekasih dengan senyum ramah, membuat jan-
tung pemuda itu seketika bergetar.
"Ah. Betapa cantik dan tanpa celanya Dewi
Sekasih. Sungguh tak setara bila harus Tumeng-
gung Panggaluh yang mendampinginya, harusnya
aku. Ya, aku yang harus mendampingi Dewi Se-
kasih yang cantik," gumam hati lelaki muda itu,
hingga ia pun terdiam. Matanya memandang ta-
jam pada mata Dewi Sekasih yang tak mampu
mengelakan pandangan mata pemuda di hada-
pannya.
"Kanjeng Dewi. Apa benar Tumenggung
mencari seorang pesuruh untuk menyabit rum-
put?" tanya si pemuda setelah dapat mempenga-
ruhi Dewi Sekasih dengan mata iblisnya.
Hati dewi Sekasih yang sudah dikuasai
oleh ilmu iblis pemuda itu, seketika bergetar.
Dengan senyumnya yang manis Dewi Sekasih
membuka pintu dan mempersilahkan tamunya
masuk.
"Terima kasih, Kanjeng Dewi. Hamba
hanya ingin menanyakan kebenaran berita, bah-
wa Kanjeng Tumenggung tengah mencari tukang
arit," kata lelaki itu kembali.
Dewi Sekasih terdiam dengan mata me-
mandang penuh nafsu.
"Dulu memang mencari seorang lelaki un-
tuk mengarit. Namun kini telah ada. Lagi pula,
apakah ki sanak yang tampan ini hendak menjadi
tukang arit?" tanya Dewi Sekasih setelah lama
terdiam. Di hatinya tumbuh sebuah perasaan
yang aneh kala memandang mata pemuda itu,
hingga Dewi Sekasih tampak ingin manja.
"Kalau begitu, baiklah. Aku mohon pamit,"
kata lelaki muda itu hendak pergi. Namun dengar
tepatnya Dewi Sekasih yang sudah terpengaruh
oleh ilmu iblis pemuda itu segera menghadang-
nya. Dan dengan tersipu-sipu berkata manja.
"Anak muda, mengapa mesti terburu-
buru?"
"Maaf, Kanjeng Dewi. Karena hamba bertu-
juan hendak mencari kerja dan ternyata di sini
tak ada, jadi hamba bermaksud kembali ke kam-
pung hamba." Pemuda itu hendak kembali berla-
lu, ketika untuk kedua kalinya Dewi Sekasih se-
gera menghalanginya dengan berseru memanggil.
"Anak muda, tunggu!"
"Ada apakah Kanjeng Dewi?"
"Kenapa mesti terburu-buru?"
Pemuda itu tersenyum melihat tingkah la-
ku Dewi Sekasih yang telah terpengaruh oleh il-
munya. Maka dengan pura-pura, pemuda itu ber-
kata: "Kanjeng Dewi, tidak baik aku lama-lama di
sini. Aku takut nanti ketahuan oleh Kanjeng Tu-
menggung atau prajurit-prajuritnya, apa jadinya?"
Dewi Sekasih bukannya mendengar uca-
pan pemuda itu yang menuturinya. Namun seba-
liknya, Dewi Sekasih hanya tersenyum. Tanpa
terpikir oleh pemuda itu sebelumnya, Dewi Seka-
sih tiba-tiba telah melingkarkan tangannya ke
leher pemuda itu.
"Kanjeng Dewi," kata pemuda itu pura-pura
kaget. Tapi hatinya bersorak senang, sebab apa
yang diimpi-impikannya selama ini telah terpenu-
hi. Dalam hati pemuda itu berkata: "Hem, apakah
aku menyia-nyiakan kesempatan yang baik ini.
Tidak!"
"Anak muda, janganlah kau tinggalkan
aku. Berilah aku kehangatan. Aku... aku telah
lama mendambakan orang yang mengerti tentang
perasaanku." Setelah berkata begitu, Dewi Seka-
sih segera membimbing pemuda itu yang hanya
diam saja menuju ke kamarnya.
"Kanjeng Dewi. Kau...?" tergagap pemuda
itu ketika tubuhnya di tarik menuju ke dalam
kamar. Namun Dewi Sekasih tampak hanya ter-
senyum, dan dengan manja berbisik.
"Kanjeng Tumenggung tak ada di rumah,
begitu halnya dengan kelima prajuritnya. Mereka
tengah menghadap raja untuk membicarakan
masalah yang kini tengah melanda dunia persila-
tan dan kerajaan ini."
"Masalah apa?" tanya pemuda itu ingin ta-
hu. Karena telah dikuasai ilmu iblis si pemuda,
Dewi Sekasih pun dengan tanpa menaruh curiga
menceritakannya.
"Jadi Kanjeng Tumenggung dan prajurit-
prajuritnya kini tengah menghadap Sri Baginda?"
tanya pemuda itu setelah dapat mengorek geran-
gan apa yang menjadikan Sri Baginda memanggil
Tumenggung.
"Ya... maka dari itulah, aku mohon kau
mau menemaniku. Berilah aku kehangatan anak
muda. Sungguh... aku selama ini didera oleh rasa
sepi dan ketidakpuasan, karena Tumenggung
orangnya loyo."
Tersenyum pemuda itu mendengar penga-
kuan Dewi Sekasih yang seketika itu menggelin-
jang kegelian penuh nikmat.
Akhirnya keduanya pun bercanda sambil
menikmati kenikmatan yang tengah mereka laku-
kan.
"Ayo anak muda, berilah aku kepuasan,
aku yakin kau pun sebenarnya menghendaki di-
riku bukan?" kata Dewi Sekasih sembari tertawa-
tawa kegelian ketika tangan pemuda itu liar men-
jarah tubuhnya.
"Kalau itu yang dikehendaki Kanjeng Dewi,
maka hamba pun siap memberikannya." Dengan
penuh nafsu setan, pemuda itu menggeluti tubuh
Dewi Sekasih yang hanya mampu memejamkan
mata dan sekali-kali membukanya.
***
"Hem, mengapa sepi?" gumam hati Tu-
menggung Panggaluh saat melihat keadaan ru-
mahnya tampak sepi. "Ke mana Dewi? Kenapa ti-
dak mengetahui kedatanganku? Jangan-
jangan...?" Seketika perasaan Tumenggung Pang-
galuh tidak enak. Segera diperintahkannya Karta
untuk masuk lebih dahulu.
Tersentak Karta, saat melihat apa yang
tengah terjadi di depan matanya. Istri Tumeng-
gung tampak dengan tubuh setengah telanjang
tengah dikangkangi oleh seorang pemuda yang
belum ia kenal.
"Dajal buntung!" bentak Karta dengan pe-
nuh amarah, dan diserangnya pemuda yang men-
gangkangi istri Tumenggung.
Mendengar bentakan Karta, serta merta
pemuda itu segera bangkit. Dengan tubuh seten-
gah telanjang, pemuda itu segera berlari keluar.
Namun di luar tampak keempat prajurit lain ber-
sama Tumenggung Panggaluh telah menghadang-
nya.
"Dajal! Rupanya kaulah buaya darat yang
telah membuat keonaran. Tangkap...!" seru Tu-
menggung Panggaluh dengan penuh amarah. Se-
ketika keempat prajuritnya segera berkelebat se-
rentak menyerang pemuda itu.
Karta yang mengejar kini turut menggem-
purnya. Walaupun dikeroyok oleh lima orang pra-
jurit, namun tampaknya pemuda itu dengan mu-
dah mengelakkan serangan mereka.
"Hem... karena kalian telah tahu siapa
orang yang selama ini menjadi buah bibir, maka
aku perintahkan kalian segeralah menyembah,"
kata pemuda itu dengan sombong.
"Iblis! Jangan karena kau terkenal lalu
sombong! Kami prajurit-prajurit Ketemenggungan,
pantang bagi kami untuk menyerah. Apapun
maumu, kami turuti. Serang...!" kata Karta selaku
pimpinan prajurit Ketemenggungan yang dengan
segera dilaksanakan oleh keempat prajurit Kete-
menggungan. Kelima prajurit itu pun dengan se-
rentak menyerang pemuda di hadapannya, yang
masih tampak tersenyum sinis mengejek.
Tanpa dapat dicegah, pertarungan satu
melawan lima pun tak dapat dielakkan. Kelima
prajurit-prajurit setia Tumenggung Panggaluh
dengan gagah berani menyerbu.
Pemuda itu makin melebarkan senyumnya.
Sekali tangannya berkelebat, terdengar pekikan
membahana dari prajurit Ketemenggungan. Dua
di antara kelima prajurit itu tersungkur mencium
tanah dengan tubuh hangus.
Tumenggung Panggaluh tersentak demi
melihat ajian yang dipakai oleh pemuda itu, hing-
ga dari mulutnya terdengar menggumam. "Hem,
Aji Samber Nyawa. Anak muda, apa hubunganmu
dengan Iblis Pancoran Sewu!" bentak Tumeng-
gung Panggaluh, yang membuat si pemuda untuk
sesaat tersentak kaget.
"Ketahuilah oleh kalian. Aku adalah murid
Sri Ratu Siluman, yang bertahta di goa Pancoran
Sewu, untuk itu aku minta kalian menyerahlah."
"Iblis! Pantas perbuatanmu biadab seperti
buaya, tak tahunya kau memang siluman ular
putih. Walaupun begitu, aku tak akan menyerah.
Ayo prajurit, serang iblis laknat itu!" seru Tu-
menggung Panggaluh. Dengan segera dilakukan
oleh ketiga prajuritnya yang masih tersisa. Wa-
laupun mereka agak jeri. Namun demi membela
nama baik Ketemenggungan, rasa takut di hati
mereka seketika dibuang jauh-jauh dan berganti
dengan rasa patriotisme yang tinggi.
Kembali pertarungan di antara prajurit Ke-
temenggungan mengeroyok pemuda berilmu iblis
itu terjadi.
Walau ketiga prajurit itu merupakan praju-
rit pilihan, namun menghadapi si pemuda, keti-
ganya bagaikan tak ada apa-apanya. Hingga den-
gan mudah pemuda itu kembali dapat menjatuh-
kan mereka, yang memekik meregang nyawa.
Terbelalak mata Tumenggung Panggaluh
menyaksikan ketiga prajuritnya mati. Dengan pe-
nuh amarah Tumenggung Panggaluh segera me-
lompat dari kudanya langsung menyerang pemu-
da di depannya.
Diserang secara tiba-tiba, bukan menjadi-
kan si pemuda keteter. Bahkan dengan enaknya,
pemuda itu berkelit dan melakukan serangan ba-
lik.
"Bagus! Memang hal itu yang aku inginkan.
Aku ingin tahu, sampai di mana ilmunya seorang
Tumenggung," kata pemuda itu dengan senyum
mengejek, membuat Tumenggung Panggaluh ma-
kin marah.
Dengan membabi buta laksana banteng ke-
taton, Tumenggung Panggaluh mencoba merang-
sek si pemuda, yang tampak masih tenang den-
gan senyum di bibirnya mengelakan serangan
Tumenggung.
Mungkin karena usianya yang jauh lebih
tua, seketika serangan Tumenggung Panggaluh
yang tadi keras berubah mengendur. Hal ini ma-
kin membuat pemuda itu tertawa mengejeknya.
Tanpa ayal lagi... tubuh Tumenggung
Panggaluh pun terkena, dihantam oleh si pemu
da. Panggaluh seketika terhuyung ke belakang ti-
ga tombak, dadanya terasa sakit. Dari mulutnya
yang menetes darah menggeram. "Hem... jangan
kira kau telah menang, anak muda. Ayo kita lan-
jutkan."
"Hem... rupanya kau masih kuat, Tumeng-
gung. Baiklah! agar kau tak penasaran setelah
mati, maka ketahuilah olehmu, aku yang dibica-
rakan oleh orang-orang tak lain dari pada Kanda-
na bekas juru aritmu."
Makin terkejut Tumenggung Panggaluh,
demi mendengar nama pemuda itu. Ia tak me-
nyangka, pemuda yang dulu buruk dan lemah.
Kini menjadi tampan dan berilmu tinggi. Namun
ketika ia ingat akan siapa yang menjadi guru si
pemuda Kandana, seketika ia tak merasa ragu la-
gi.
"Rupanya kau orangnya, kenapa dulu aku
tak membunuhmu. Dan aku rasa, kaulah yang
pernah membuat firasat jelek waktu itu. Rupanya
kau bermaksud mempengaruhi istriku dengan il-
mu iblismu, beruntung aku memergoki nya!" ge-
ram Tumenggung Panggaluh marah, hingga gi-
ginya tampak beradu dan lehernya tampak meng-
gembung.
Kandana tertawa bergelak-gelak.
"Nah, kau telah tahu segalanya. Kuharap
kau akan mati dengan tenang, bersiaplah!"
Habis berkata begitu, Kandana segera me-
rapalkan ajian Samber Nyawanya. Dengan berke-
lebat cepat bagaikan seekor burung rajawali,
Kandana segera menyerang Tumenggung Pangga-
luh.
Tumenggung Panggaluh yang telah melihat
dengan mata kepala sendiri, kehebatan Ajian
Samber Nyawa. Dengan segera, ia pun merapal
ajiannya Geledek Buana.
"Hiaat...!" terdengar pekik Kandana menye-
rang dengan ajian Samber Nyawanya. Tubuhnya
berkelebat dengan cepat, sebaliknya Tumenggung
Panggaluh pun tak mau mati konyol. Dengan
ajian Geledek Buananya, ia pun berkelebat me-
mapaki serangan itu.
"Hiat...!" Dua kekuatan tenaga dalam ber-
bentrokan di udara menjadikan satu ledakan
yang hebat. Bumi di bawahnya seperti di aduk,
muncrat ke angkasa.
Panggaluh terdorong lima tombak ke bela-
kang, sementara Kandana tampak lebih parah.
Tubuhnya terdorong hampir sepuluh tombak. Da-
ri mulutnya meleleh darah segar.
Mata Kandana melotot heran, demi melihat
ilmu Tumenggung ternyata ada satu tingkat di
atas ajian Samber Nyawa miliknya.
Maka dengan menggeram sesaat, disertai
mulutnya berkomat-kamit mengucap mantera.
Tiba-tiba...! Tubuh Kandana yang tadinya gagah
dan tampan, seketika berubah menjadi buruk dan
mengerikan. Wajah Kandana berubah menjadi
wajah ular, matanya menyorot merah, tajam
menghunjam mata Tumenggung Panggaluh yang
tersentak kaget.
"Ilmu iblis! Benar-benar ia telah menguasai
ilmu iblis Ratu Siluman." Sedang ia tersentak, ti-
ba-tiba Kandana yang telah berubah ujud itu me-
nyerangnya.
Panggaluh segera mengelak, lalu dengan
cepat dihantamnya tubuh mahluk itu dengan
ajian Geledek Buana. Sesaat mahluk itu tergetar,
namun tampaknya mahluk itu tak mengalami
apa-apa. Bahkan tubuh mahluk itu kini bertam-
bah besar.
Panggaluh kembali tersentak kaget. Merasa
ia belum yakin, dicobanya kembali menyerang
mahluk itu. Namun untuk kedua kalinya, tubuh
mahluk itu bertambah dua kali lipat dari semula.
Semakin Panggaluh menghantamkan ajiannya te-
rus, makin bertambah besar tubuh mahluk itu.
"Ampun! Mungkin hari ini akhir hidupku.
Tuhan, berilah pertolongan," membatin Panggaluh
merasa tak mampu lagi untuk menghadapi mah-
luk siluman itu.
Mata Panggaluh terpejam rapat, ia telah
siap menerima kematian itu. Mahluk menyeram-
kan itu tampak berjalan menghampiri tubuh
Panggaluh yang telah pasrah pada nasib.
"Panggaluh, bersiaplah untuk mati. Ha...
ha...!" terdengar mahluk itu berkata sembari ter-
tawa bergelak-gelak. Dan ketika tangan mahluk
raksasa itu hendak mencengkeram tubuh Pangga-
luh, tiba-tiba...!
"Suit... Dest!"
Mahluk raksasa yang menyeramkan itu
tersentak dan terdorong ke belakang. Matanya
yang merah memandang bengis pada orang yang
telah menghalanginya yang ternyata seorang pe-
muda.
Pemuda itu yang ternyata Jaka atau Pen-
dekar Pedang Siluman Darah dengan segera me-
raup tubuh Tumenggung Panggaluh dan memba-
wanya pergi. Sementara mahluk raksasa itu, kini
tengah dihadapi oleh seorang gadis yang tak lain
Ayu Sakiti adanya.
"Rupanya kaulah yang selama ini membuat
keonaran dengan menculik dan membunuh gadis-
gadis, aku kira kau pernah bertemu denganku
bukan?"
Mahluk raksasa yang bermuka menyeram-
kan itu, sesaat memandang tajam pada Ayu Sakiti
sepertinya mengingat sesuatu. Lalu terdengar
mahluk itu menggeram dan tertawa bergelak-
gelak. "Ha... ha...! Gadis kecil, rupanya memang
kau sengaja mencari permusuhan denganku. Du-
lu kau kuampuni, tapi sekarang kau telah ikut
campur urusanku. Hem... jangan salahkan kalau
aku melukaimu."
"Iblis laknat! Iblis cabul! Dari dulu aku
memang telah siap menghadapimu. Ayo kita lan-
jutkan pertarungan kita tempo hari yang tertun-
da." Habis berkata begitu, tubuh Ayu Sakiti den-
gan cepat berkelebat. Dengan pedang pusaka di
tangannya. Ayu Sakiti menebaskan pedangnya ke
tubuh mahluk itu.
Tersentak kaget Ayu Sakiti, ketika pedang
pusakanya membentur tubuh mahluk itu. Bagai
menebas baja saja, pedang pusaka itu tak berarti
apa-apa. Bahkan mahluk itu tertawa bergelak-
gelak sembari berkata: "Percuma kau melawanku,
anak manis."
Tangan mahluk itu berkelebat hendak me-
nangkap tubuh Ayu Sakiti, yang dengan gesit
mengelak sembari melancarkan pukulan tangan
mautnya. "Dum...!"
Ayu Sakiti tampak agak gembira, demi me-
lihat hasil dari hantamannya. Namun seketika ia
kembali tersentak. Ketika asap yang mengepul itu
hilang, ternyata mahluk itu bukannya mati, bah-
kan makin bertambah besar saja.
Mahluk menyeramkan itu yang kini ber-
tambah besar, kembali tertawa bergelak-gelak.
Tangannya kembali menyambar hendak menang-
kap tubuh Ayu Sakiti, yang hanya dapat mundur
dan mundur.
Ketika tangan mahluk menyeramkan itu
hendak mencengkeram tubuh Ayu Sakiti, untuk
kedua kalinya Jaka berkelebat mencegahnya.
"Suit... Dest!"
Tubuh mahluk menyeramkan itu terdorong
ke belakang, matanya menyorot penuh amarah
pada Jaka. Tanpa berkata lagi, mahluk itu seketi-
ka menyerang Jaka.
Jaka segera berkelebat sembari berkata.
"Iblis cabul, hari ini juga kau harus lenyap dari
muka bumi. Terimalah ini, Ajian Getih Sakti,
hiat...!"
Habis berkata begitu, dengan segera Jaka
mengkiblatkan tangan kanannya yang telah dialiri
ajian Getih Sakti ke arah tubuh mahluk raksasa
itu.
Dari tangan Jaka menyemprot deras dan
mahluk itu memang seketika beku. Namun seke-
tika tersentak kaget, kala melihat mahluk itu da-
pat terlepas dari sinar yang membelitnya
Mahluk itu bergelak-gelak mengejek dan
dengan cepat tangannya berkelebat menyerang
Jaka yang segera menghindar dan menghantam
mahluk raksasa itu dengan ajian Bledek Sewu.
Seketika berkelebat membakar tubuh mah-
luk itu, namun untuk kedua kalinya mahluk rak-
sasa berwajah ular itu dapat melepaskan dirinya
dari ajian Bledek sewu.
Hampir saja Jaka tersambar hantaman
tangan mahluk raksasa itu, saat ia tengah tersen-
tak kaget melihat apa yang terjadi di depan ma-
tanya.
Jaka dengan segera mengelak, lalu kembali
dengan segera menghantam tubuh mahluk itu.
Kali ini ajian Pamungkasnya yang diincarkan, yai-
tu ajian Tapak Prahara
Tangan Jaka seketika itu berubah menjadi
merah menyala, tubuhnya melenting tinggi. Ke-
mudian dengan tubuh masih melayang, dihan-
tamnya tubuh mahluk raksasa itu dengan ajian
Tapak Prahara.
Terdengar ledakan dahsyat membahana
Kalau orang lain, maka tak ayal lagi, tubuhnya
akan hancur menjadi abu. Namun mahluk raksa-
sa itu jangankan hancur menjadi abu, mati pun
tidak.
"Gusti Allah! Harus bagaimana lagi aku?"
Putus asa sudah Jaka menghadapi mahluk itu.
Hingga ketika mahluk raksasa itu menyerangnya,
Jaka terpental dihantam tangan besar mahluk
itu. Tubuhnya terasa nyeri, tembok pagar rumah
Tumenggung jebol tertimpa tubuh Jaka.
Ketika mahluk itu hendak kembali meng-
hantamnya, dengan cepat Jaka berlari mengelak.
Hingga tembok pagar yang menjadi sasaran, han-
cur berantakan terhantam tangan mahluk menye-
ramkan itu.
"Sungguh dahsyat! Segala ajian yang aku
miliki tak berdaya. Baik, akan aku gunakan Pe-
dang Siluman Darah. Dening Ratu Siluman Da-
rah, datanglah!" Seketika di tangan Jaka telah
tergenggam sebilah pedang. Dari ujung pedang,
menetes darah membasahi batangnya. Namun
mahluk itu seperti tak takut sedikitpun. Bahkan
dengan congkaknya berkata.
"Menyerahlah kau, anak muda! Tak akan
kau dapat mengalahkan aku, hua, ha...!"
Namun Jaka yang telah digembleng oleh
empat tokoh sakti, mana mau menyerah begitu
saja. Apalagi Pedang Siluman Darah kini telah be-
rada di tangannya.
"Iblis cabul, jangan kira aku mau menyerah
begitu saja padamu. Kalau aku belum mati, tak
ada dalam catatanku menyerah pada iblis. Mari
kita lanjutkan, bersiaplah! Hiaaaat...!"
Dengan Pedang Siluman Darah di tangan-
nya, Jaka segera berkelebat menyerang. Angin se-
rangannya begitu kencang, menderu-deru, me-
nerpa tubuh mahluk menyeramkan itu.
"Hiaaat....!"
Ditebaskan Pedang Siluman Darah pada
mahluk menyeramkan itu, yang seketika meme-
kik dengan tubuh terbelah-belah menjadi bebera-
pa potong karena saking cepatnya Jaka memba-
batkan Pedang Siluman Darah.
Darah yang membasahi pedang seketika
mengering, terhisap masuk ke dalam tubuh pe-
dang. Kemudian pedang itu hilang kembali dari
tangan Jaka.
Ketiga orang yang sedari tadi hanya me-
nonton dengan perasaan takut, segera mengham-
piri Jaka. Ayu Sakiti segera memeluk Jaka den-
gan penuh rasa bangga.
"Kau hebat, Jaka. Kau hebat!" teriaknya
dengan nada bangga.
"Benar ucapmu, nona. Temanmu memang
hebat," tambah Tumenggung Pangaluh yang ter-
senyum senang.
"Ah, kalian terlalu meninggikan. Kanjeng
Tumenggung, karena semuanya telah tenang aku
bermaksud meminta diri. Ayo, Ayu!"
Jaka dengan menggandeng tangan Ayu Sa-
kiti segera berkelebat pergi, meninggalkan Tu-
menggung Panggaluh dan istrinya yang terben-
gong-bengong memandang kepergian mereka.
"Sungguh baik budi dan tak sombong Pen-
dekar Muda itu," gumam Tumenggung Panggaluh,
sepertinya berkata pada diri sendiri.
"Benar, Kang mas. Betapa kita berhutang
budi padanya," lanjut Dewi Sekasih meneruskan
ucapan suaminya.
Dengan matinya Kandana, tentramlah
kembali Ketemenggungan. Tumenggung Pangga-
luh bersama istrinya segera melangkah mening-
galkan halaman rumahnya menuju ke kerajaan
untuk melaporkan itu pada Rajanya.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar