..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 22 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE HIDUNG BELANG PENGHISAP DARAH

Hidung Belang Penghisap Darah

 

HIDUNG BELANG PENGHISAP DARAH

Oleh Sandro S.

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah da-

lam episode:

Hidung Belang Penghisap Darah


SATU


Di Pancoran Sewu, saat itu tampak seorang 

nenek tua tengah mengajari ilmu-ilmu silat pada 

seorang pemuda yang tak lain Kandana adanya. 

Ya! Kandana yang dulu terjatuh ke dalam jurang 

saat dikejar-kejar oleh warga Ketemenggungan 

karena telah memperkosa seorang gadis, tengah 

digembleng oleh nenek sakti yang bergelar Iblis 

Pancoran Sewu.

Tubuh Kandana dan nenek Iblis itu tampak 

berkelebat-kelebat dengan cepatnya laksana see-

kor burung sri gunting yang menyambar-

nyambar. Mereka tengah melakukan latihan ilmu 

silat, yang diciptakan sendiri oleh si nenek. Jurus 

itu bernama "Jurus Walet Siluman."

Keduanya berkelebat dengan cepat. Makin 

lama iramanya makin cepat, hingga sukar untuk 

diikuti dengan pandangan mata biasa.

"Kandana! Serang aku!" kata sang nenek 

memerintahkan.

Kandana tampak segera berkelebat, tan-

gannya mengembang laksana sayap burung walet. 

Sesaat kemudian tangan yang mengembang itu 

terangkat. Dan! 

"Wut... Wut...!" 

Tangan Kandana dengan cepat menyam-

bar. Si nenek tampak segera mengegoskan kepa-

lanya dan berbalik menyerang Kandana.

"Masih kaku! Masih kurang, Kandana,"


omel si nenek demi melihat Kandana bergerak 

lambat. Hingga ketika dirinya menyerang, Kanda-

na tak mengelakkannya, jatuh ke tanah dengan 

mengeluarkan bunyi gedebug. Mata si nenek me-

lotot marah. Dengan penuh kecewa sang nenek 

membentaknya.

"Dungu! Sudah aku katakan kurang cepat, 

ayo bangun!"

Kandana tanpa dapat menentang, dengan 

meringis menahan rasa sakit segera bangun dari 

duduknya. Wajah Kandana tampak kelabu, ma-

tanya menyorot tajam pada si nenek yang terse-

nyum mengekeh melihat hal itu.

"Bagus! Sebagai seorang lelaki, apalagi 

akan menjadi seorang pendekar pilih tanding pan-

tang baginya untuk menyerah begitu saja pada 

apa yang ada. Ayo kita mulai lagi!"

Setelah habis berkata begitu, si nenek den-

gan segera menyerang Kandana.

Melihat dirinya diserang, maka dengan se-

gera Kandana berkelebat mengelak dan kemudian 

ganti menyerang. Untuk sekian lama, keduanya 

kembali melakukan latihan ilmu silat Walet Silu-

man.

"Bagus, bagus! Rupanya kau cepat mene-

rima apa yang telah aku ajarkan padamu. Nah... 

kini seranglah pohon pisang di depanmu," kata si 

nenek kembali memerintahkan. Mendengar perin-

tah itu, secepat kilat Kandana yang masih me-

layang di udara langsung menukik menuju ke po-

hon pisang yang ditunjuk oleh gurunya.


Dalam sekejap, pohon pisang yang tadinya 

berdiri dengan kokohnya, kini hancur berkeping-

keping, terhantam tangan Kandana.

Di wajah nenek Iblis Pancoran Sewu seke-

tika terurai senyum senang, demi melihat hasil 

yang telah diperoleh muridnya. Dari mulut si ne-

nek bergumam: "Bagus, bagus! Kau telah dapat 

menguasai salah satu jurus yang paling langka. 

Tapi kau jangan cepat merasa puas, masih ba-

nyak ilmu-ilmu yang harus kau pelajari, Untuk 

kali ini, aku rasa cukup."

Ketika si nenek hendak berlalu meninggal-

kannya, dengan cepat Kandana berseru memang-

gil: "Ada apa lagi?"

"Nek, kapankah wajah saya akan dapat 

kembali seperti sediakala? Maksudku, menjadi 

tampan kembali?"

Mendengar hal itu, si nenek terkekeh-

kekeh dan menghampiri Kandana. Dipegangnya 

tubuh sang murid, lalu dengan penuh rasa kasih 

si nenek berkata: "Sabar, Kandana. Untuk memu-

lihkan mukamu, perlu waktu yang tidak cepat. 

Hem... kau belum menceritakan mengapa wajah-

mu menjadi begitu?"

Mendengar pertanyaan si nenek, seketika 

Kandana tertunduk dalam. Dari matanya meleleh 

air mata. Pahit untuk mengenang kejadian yang 

telah sekian lama tenggelam.

Si nenek seketika mengernyitkan dahinya, 

saat melihat Kandana yang tertunduk.

"Cengeng! Mengapa kau menangis?!" ben


tak si nenek, yang membuat Kandana seketika 

terdongak dan mengelap air matanya.

"Ayo kita ke grojokan. Di sana kau harus 

menceritakan apa yang telah kau alami, hingga 

kau begitu cengeng. Kalau kau ingin menjadi seo-

rang pendekar sesat, pantang untuk mengurai air 

mata, apalagi ragu-ragu untuk bertindak. Ayo kita 

ke grojokan."

Kedua guru dan murid itu berkelebat me-

nuju ke grojokan, di mana kedua murid dan guru 

itu meneduh.

Sesampainya kedua guru dan murid di goa 

tempat mereka tinggal, Kandana pun segera men-

ceritakan apa yang telah dialaminya lima tahun 

yang lalu.

***

"Lima tahun yang lalu, aku pernah berguru 

pada seorang tokoh sakti aliran lurus di wilayah 

Kidul bernama Ki Tambak Sande. Aku merupakan 

murid kesayangannya, hingga aku sangat diper-

hatikan dan dimanjakan oleh Ki Tambak Sande."

Mengerut alis mata nenek Iblis Pancoran 

Sewu demi mendengar nama Ki Tambak Sande. 

Wajahnya seketika berubah redup dan matanya 

membelalak kaget. Tanpa sadar, si nenek pun 

bertanya: "Bagaimana ciri-ciri bekas gurumu?"

Ditanya seperti itu oleh si nenek, Kandana 

membelalak kaget seraya bertanya ingin tahu. 

"Mengapa nenek menanyakan tentang orang itu?


Apakah nenek mengenalnya?"

"Ceritakan dulu tentang ciri-ciri gurumu, 

nanti kalau memang orang itu yang kau maksud 

aku akan menceritakan apa yang pernah terjadi 

dengan kami. Hi... hi..." tawa si nenek dengan ge-

nitnya.

"Ki Tambak Sande mempunyai seorang 

anak wanita, yang bernama Sekar Sedati. Gadis 

itu sangat cantik, hingga banyak yang tergila-gila 

padanya. Begitu juga dengan diriku, menaruh ha-

ti pada Sekar Sedati. Tapi rupanya Sekar Sedati 

tidak mencintaiku, bahkan di depan mataku ia 

bermain cinta dengan Anggasana. Hal itu mem-

buat dendamku padanya. Hingga suatu malam 

aku bermaksud..." Kandana tak segera mene-

ruskan ucapannya. Di wajahnya seketika tergam-

bar rasa malu. Membuat si nenek kembali menge-

rutkan alis matanya menyaksikan hal itu.

"Bermaksud apa?"

Dengan tersipu-sipu malu, Kandana pun 

akhirnya melanjutkan ceritanya: "Aku bermaksud 

mem... memperkosanya."

"Lalu? Apakah kau berhasil?" tanya si ne-

nek.

"Tidak. Sebab keburu diketahui oleh Ang-

gasana. Saat itu juga, murkalah Ki Tambak 

Sande. Dengan kemarahannya dia mengucap, 

"Percuma kau memiliki wajah tampan, kalau ha-

timu buruk seburuk hantu. Lebih baik wajahmu 

juga buruk!" Karena Ki Tambak Sande orang yang 

mumpuni, seketika aku merasakan sesuatu pada


wajahku. Dari wajahku menetes nanah busuk, 

juga benjolan-benjolan bisul yang menutupi selu-

ruh wajahku. Aku berlari dengan dendam, pergi 

dari situ. Ketika terkaca pada air, kulihat wajah-

ku telah buruk seburuk hantu. Oh...?" desah 

Kandana setelah mengakhiri ceritanya. Dari ke-

dua matanya seketika kembali meleleh air mata.

Nenek Iblis Pancoran Sewu terdiam. Seper-

tinya turut merasakan penderitaan yang dialami 

muridnya. Dengan suara bergetar si nenek berka-

ta: "Jangan kau bersedih hati, Kandana. Aku 

akan berusaha membantu memulihkan wajahmu 

yang rusak itu, namun nanti setelah kau mena-

matkan seluruh ilmu yang akan aku turunkan 

padamu. Ketahuilah! Ilmu itu adalah ilmu yang 

langka, yang tak ada tandingannya di dunia persi-

latan. Bila kau telah berhasil menguasai ilmu

yang bernama Aji Seribu Rupa Iblis dan Aji Samb-

er Nyawa, kau akan menjadi seorang tokoh silat 

yang tanpa tanding di dunia persilatan. Hi... hi...! 

Mulai besok kau harus rajin mempelajari kedua 

ajian itu. Kau harus bertapa 40 hari lamanya di 

bawah pancoran sewu, kau sanggup?"

Karena didorong oleh nafsu untuk dapat 

menjadi orang sakti dan ingin wajahnya kembali 

seperti sedia kala. Maka tanpa pikir panjang, 

Kandanapun mengangguk sembari berkata: 

"Sanggup, nek."

"Bagus... bagus. Nah! Untuk memper-

siapkan semua itu hari ini kau harus beristira-

hat." kata si nenek yang dituruti oleh Kandana


tanpa dapat membantah.

***

Pagi buta ketika kokok ayam belum ter-

dengar, Kandana diiringi oleh gurunya si nenek 

Iblis Pancoran Sewu tampak berjalan menuju ke 

bawah pancoran.

"Buka seluruh pakaianmu, sebab kau ha-

rus melakukan tapamu dengan keadaan telan-

jang."

Kandana tersentak, seraya berkata protes. 

"Tapi, nek?"

"Jangan menentang. Ayo buka seluruh pa-

kaianmu!" bentak nenek Iblis Pancoran Sewu.

Dengan tanpa banyak bicara lagi. Kanda-

napun akhirnya menurut membuka satu persatu 

pakaian yang melekat di tubuhnya.

Si nenek tertawa terkekeh-kekeh, saat me-

lihat tubuh Kandana yang telanjang tanpa sehelai 

benang pun. Mata wanita tua itu nanar meman-

dang tubuh Kandana dari ujung kaki ke ujung 

rambut membuat Kandana bengong.

Perlahan si nenek mendekatinya. Dan den-

gan cepat direngkuhnya tubuh Kandana yang tak 

dapat mengelak.

"Nek, kau...?" Kandana mencoba meronta. 

Namun si nenek yang sudah terbakar nafsu ma-

lah makin keras memeluk tubuh Kandana, sem-

bari berbisik: "Kandana, berilah aku kepuasan. 

Percayalah, aku akan membantu memulihkan se


luruh tubuhmu. Lakukanlah, Kandana. Sebelum 

nanti kau di bawah pancoran pun akan melaku-

kannya dengan para siluman."

Mendengar permintaan si nenek yang men-

giba, seketika Kandana pun bagai dihipnotis me-

rangsek dan menggeluti tubuh si nenek. Dalam 

pandangannya, si nenek berubah menjadi seorang 

gadis muda belia.

Memang... dengan ajian Pangling Rupa, si 

nenek telah merubah wajahnya secantik bidadari. 

Hingga Kandana yang mulanya ragu, seketika pe-

nuh nafsu menggeluti tubuh si nenek.

Pagi buta itupun menjadi saksi, pergumu-

lan kedua guru dan murid yang sama-sama di-

landa nafsu iblis. Sampai akhirnya, si nenek 

mengeluh panjang dan terkulai lemas dengan se-

nyum di bibirnya penuh kepuasan.

Setelah sekian lama keduanya tergeletak 

lelah. Si nenek yang telah kembali merubah wa-

jahnya seperti semula berbisik pada Kandana. 

"Sekarang pergilah. Tapalah di bawah Pancoran 

Sewu selama 40 hari 40 malam. Jangan kau ke-

luar sebelum dikabulkan permintaanmu. Ingat! 

Layani semua kemauan ratu siluman. Jangan 

sampai mengecewakannya."

"Baiklah, aku berangkat. Doa dan ban-

tuanmu sangat aku perlukan." Setelah berkata 

begitu, ia menuju ke bawah pancoran, diikuti 

pandangan mata nenek Iblis Pancoran Sewu.

***


"Auw...!" Jaka menguap, ketika dirasakan 

sengatan matahari pagi yang menerobos lewat se-

la-sela dedaunan di hutan Sanggreng.

Dengan segera Jaka melompat turun dari 

pohon di mana ia semalam tidur. Dicarinya telaga 

untuk mencuci muka dan mulutnya yang terasa 

sepet.

"Ah... perutku lapar. Rupanya aku terlalu 

nyenyak tidur, hingga bangun kesiangan seperti 

ini," kata hati Jaka sembari terus berjalan menca-

ri telaga.

Tak berapa lama kemudian, dilihatnya se-

buah tambak tak jauh dari sebuah desa. Bergegas 

Jaka segera menuju ke tambak itu dan dengan 

tanpa berpikir lagi Jaka pun segera terjun mandi, 

setelah terlebih dahulu membuka pakaiannya.

"Ah... sejuk benar air tambak ini," Jaka 

pun segera menyelam ke dalam air, lalu kembali 

muncul.

Saking asyiknya mandi, hingga Jaka tak 

sadar ada sepasang mata yang mengintainya. Se-

pasang mata itu terus mengawasi Jaka. Perlahan 

orang yang mengintai itu mendekati pakaian Jaka 

dan ketika tangan orang itu hendak mengambil 

sesuatu yang ada di antara pakaian Jaka, tiba-

tiba terdengar suara lain membentaknya. 

"Maling, rendah!"

Orang yang bermaksud mengambil Pedang 

Siluman Darah seketika mengurungkan niatnya 

dan memandang pada orang yang membentaknya


yang tak lain dari seorang gadis.

Jaka yang mendengar suara gadis itu, se-

ketika tersentak. Dengan sekali loncat, Jaka pun 

segera menyambar pakaiannya.

"Apa urusanmu menghalangiku!" bentak 

orang yang tadi bermaksud mengambil senjata 

Pedang Siluman Darah pada gadis di depannya 

yang hanya tersenyum dengan sinis.

"Aku tak mau melihat kejahatan di depan 

mataku, karena itu aku menghalangimu," jawab 

si gadis tak kalah kerasnya.

Maling itu tampak mendengus marah. Na-

pasnya terdengar kasar memburu. Dengan mata 

melotot, lelaki itu kembali berkata: "Kau tahu, 

bahwa senjata yang akan aku ambil merupakan 

senjata sakti? Dengan tingkahmu itu, maka gagal-

lah maksudku. Untuk itu, sebagai gantinya kau 

harus mati di tanganku."

Tanpa memperdulikan gadis di depannya, 

lelaki yang hendak mencuri berkelebat menye-

rang.

Diserang dengan cepat begitu, si gadis tan-

pa mengalami kesulitan segera mengelak dan ba-

lik menyerang. Perkelahian keduanya segera ber-

langsung.

Jaka yang telah memakai kembali pa-

kaiannya, berdiri menonton tak jauh dari situ. 

Jaka sengaja tak langsung menghajar orang yang 

bermaksud mencuri Pedang Siluman Darah, ia 

ingin tahu sampai di mana tingkat kedua orang 

yang tengah berkelahi itu.


Pertarungan keduanya tampak seimbang. 

Susah untuk memastikan siapa di antara kedua-

nya yang bakal memenangkan pertarungan itu. 

Namun ketika menginjak jurus yang kedua puluh 

enam, tampak gadis itu keteter didesak oleh lelaki 

musuhnya.

Ketika nyawa gadis yang telah menolong-

nya berada dalam ancaman musuhnya, dengan 

segera Jaka bersiul dan berkelebat menghadang 

serangan lelaki itu.

"Suit... Dug dug dug."

Lelaki yang menyerang gadis itu terhuyung 

ke belakang, di wajahnya seketika tergambar ke-

kagetan. Matanya membelalak hampir keluar, 

saat melihat orang yang telah menghantamnya.

"Kau... kau yang bernama Jaka?" tanya le-

laki itu, yang dijawab Jaka dengan senyum sinis.

"Ya aku yang bernama Jaka. Ada apa? Se-

pertinya kau kaget?"

Mendengar jawaban Jaka. Orang itu bu-

kannya takut, malah sebaliknya tertawa bergelak-

gelak. "Anak muda! Aku mendengar namamu te-

lah kesohor di dunia persilatan, tapi aku si Kala 

Wasungsang tak gentar menghadapimu. Aku in-

gin tahu dan ingin membuktikan kebenaran de-

sas-desus itu."

"Hem, begitu. Lalu dengan maksud apa 

engkau hendak mencuri senjataku?" tanya Jaka. 

Matanya memandang tajam pada lelaki yang ber-

diri di hadapannya.

Lelaki itu tertawa bergelak-gelak. Dengan


congkaknya, Kala Wasungsang kembali berkata: 

"Aku tahu, Kalau senjata Pedang Siluman Darah 

tak ada pada dirimu, kau akan menjadi seorang 

bayi yang tak dapat berbuat apa-apa. Maka, aku 

bermaksud mengambilnya hingga dengan mudah 

aku dapat mengalahkanmu. Tapi walaupun kau 

memegang senjata itu, aku rasa aku akan mampu 

mengalahkanmu."

"Weh! Baru kali ini, selama aku terlahir di 

dunia ada orang yang sudah memastikan apa 

yang belum terjadi. Nah, kalau kau mampu men-

galahkanku, lakukanlah olehmu," kata Jaka te-

nang, bibirnya terurai senyum. Sesaat matanya 

melirik pada gadis yang berdiri di sampingnya, 

yang seketika merona merah pipinya.

Mendengar perkataan Jaka, seketika lelaki 

itu kembali mendengus. Maka dengan segera, le-

laki itu pun berkelebat menyerang.

"Jangan menyesal bila kau mati di tangan-

ku, anak muda!" 

"Lakukanlah bila kau mampu, aku selalu 

menuruti apa yang kau ingini, Kala Wasungsang." 

Balas Jaka berkata sembari berkelit dari serangan 

Kala Wasungsang.

Seketika keduanya pun terlibat pertarun-

gan. Keduanya saling serang dan mengelak. Se-

jauh itu, tampak Jaka masih mengelit dari seran-

gan Kala Wasungsang. Jaka sengaja mengulur 

pertarungan, dengan maksud untuk mengetahui 

sampai di mana ilmu Kala Wasungsang.

Benar juga! Kala Wasungsang yang me


mang sudah tahu kehebatan Jaka dari tokoh-

tokoh persilatan, tanpa sungkan-sungkan segera 

mengeluarkan jurus-jurus yang mematikan. Di 

samping itu pula, Kala Wasungsang ingin mem-

buktikan hal kehebatan senjata Pedang Siluman 

Darah yang menghebohkan itu.

Merasa musuhnya telah menggunakan il-

mu tingkat tingginya, dengan segera Jaka melom-

pat mundur. "Pedang Siluman Darah, datanglah!"

Seketika Kala Wasungsang terbelalak ka-

get, ketika melihat Pedang Siluman Darah telah 

berada di tangan Jaka, mengeluarkan sinar me-

nyilaukan. Dari mulut Kala Wasungsang memekik 

kaget: "Ah...!"

"Inikah Pedang Siluman Darah? Hm, me-

mang bukan omong kosong kalau senjata ini san-

gat menghebohkan dunia persilatan. Senjata ini 

sungguh aneh, dapat mengeluarkan Darah dan 

Angin besar. Hm, aku harus berhati-hati. Akan 

aku coba dengan Toya Setan ku," batin Kala Wa-

sungsang, demi melihat Pedang Siluman. Diam-

bilnya tongkat yang berbentuk pendek pada mu-

lanya, dengan pangkal kepala manusia kecil. Di-

tariknya pangkal tongkat itu, yang seketika beru-

bah menjadi sepanjang dua tombak.

"Bagaimana, Kala Wasungsang? Apa mau 

diteruskan?" tanya Jaka memberi kesempatan 

pada Kala Wasungsang untuk berpikir.

"Anak muda! Jangan kau kira Kala Wa-

sungsang akan gentar dan menyerah kalah meli-

hat Pedang Siluman Darah di tanganmu. Ayo kita


lanjutkan sampai salah satu di antara kita mati."

Jaka mengerutkan dahi, demi mendengar 

jawab Kala Wasungsang. Lalu dengan mendengus 

Jaka kembali berkata:

"Hem... Kala Wasungsang, jangan salahkan 

aku kalau itu yang engkau kehendaki. Bersiap-

lah!"

"Jangan banyak omong, anak muda! Sedari 

tadi aku memang sudah siap. Terimalah seran-

ganku, hiat...!" Kala Wasungsang yang memang 

penasaran dengan berita-berita tenung Pedang Si-

luman Darah, dengan nekad segera berkelebat 

menyerang.

Jaka merasa musuhnya telah menyerang, 

dengan segera Pedang Siluman Darah dibalutkan 

ke arah Kala Wasungsang. Bagai gelombang pra-

hara api, hawa panas yang terpancar dari Pedang 

Siluman Darah menderu menangkis serangan 

Tongkat Setan Kali Wasungsang sekaligus menye-

rangnya.

Kala Wasungsang menyurut mundur. Dari 

mulutnya terdengar suara memekik kaget, ketika 

hawa panas menghantamnya. Dengan segera di-

putar Tongkat Setan di tangannya dengan mak-

sud menghalau serangan. Namun. 

"Braak...!"

Tongkat Setan di tangan Kala Wasungsang 

patah menjadi dua, terbabat oleh Pedang Siluman 

Darah. Kala Wasungsang memekik, dipegangi 

tangannya yang terasa kesemutan akibat bentro-

kan itu.


Belum juga Kala Wasungsang hilang ka-

getnya. Tiba-tiba Pedang Siluman yang berada di 

tangan Jaka berkelebat dan...

"Dess...!" Tebasan Pedang Siluman tak da-

pat dihindari oleh Kala Wasungsang yang seketika 

menjerit menahan sakit. Ketika sadar, tangan ki-

rinya telah puntung dari tubuhnya.

Melihat hal itu, si gadis yang sedari tadi 

hanya menonton seketika menutupi matanya ka-

rena ngeri.

Kala Wasungsang dengan menahan sakit, 

berlari meninggalkan Jaka dengan umpat dan ca-

ci maki.

Ketika gadis yang sedari tadi memperhati-

kannya menyapa, Jaka tersentak dan meman-

dang pada gadis itu yang tersenyum.

"Terima kasih. Nona telah memberikan per-

tolongan pada saya, kalau nona tak mencegah Ka-

la Wasungsang, niscaya aku akan mendapat 

murka," kata Jaka.

"Ah... tak seberapa yang telah aku lakukan, 

dibandingkan dengan nama besar tuan yang telah 

rela berkorban untuk ketentraman dunia persila-

tan. Maaf, aku telah mengganggu keasyikan tuan 

mandi," kata gadis itu dengan tersipu-sipu.

"Nona terlalu berlebihan menilai diri saya, 

yang nyatanya tak lebih dari seorang bodoh dan 

telengas. Hingga tak menyadari akan apa yang 

bakal terjadi, kalau saja nona tak segera mengha-

langi maksud jahat Kala Wasungsang. Untuk itu, 

aku yang bodoh ini mengucapkan terima kasih.


Oh ya, agar kelak aku dapat membalas budi no-

na, bolehkan aku tahu siapa nona sebenarnya?"

Gadis itu tersipu-sipu kembali, demi men-

dengar ucapan Jaka yang dirasa merendah. Ma-

sih dengan senyum menyungging di bibirnya, ga-

dis itu berkata:

"Hamba yang jelek dan hina ini bernama 

Ayu Sakiti."

"Oh... nama yang indah dan bagus, seba-

gus hati yang memiliki. Aku rasa, nona telah 

mengetahui namaku bukan?"

Gadis itu mengangguk sesaat, sebelum ak-

hirnya berkata kembali: "Benar. Apakah benar 

tuan yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Da-

rah dari Chandra Bilawa?"

"Hai...! Rupanya nona telah mengetahui 

begitu dalam tentang diri saya. Siapakah sebe-

narnya, Nona?" tersentak Jaka demi mendengar 

penuturan Ayu Sakiti yang telah mengetahui se-

gala yang ada pada dirinya.

Gadis yang bernama Ayu Sakiti kembali 

tersenyum, lalu dengan malu-malu ia berkata: 

"Guruku pernah bercerita tentang diri tuan."

"Siapa gurumu?" Jaka kembali bertanya, 

karena ingin mengetahui siapa sebenarnya gadis

yang berada di hadapannya. 

"Guruku bernama Ki Martanu." 

Jaka hanya mengangguk-anggukan kepa-

lanya mendengar penuturan Ayu Sakiti. Setelah 

Ayu Sakiti selesai berkata, Jaka pun tersenyum 

sembari berkata: "Kalau kau benar murid Ki Martanu, sampaikan salam hormatku pada beliau. 

Dan katakan padanya bahwa Jaka ingin sekali 

bersua dengannya setelah bulan purnama."

"Kenapa mesti bulan purnama? Tidakkah 

lebih baik sekarang saja?" tanya Ayu Sakiti tak 

mengerti, membuat Jaka kembali tersenyum dan 

memandang tajam pada Ayu Sakiti yang seketika 

tertunduk.

"Aku dan gurumu, telah berjanji akan 

mengadakan pertemuan yang akan membicara-

kan... Ah... bilang saja pada gurumu begitu. Dan 

bila kau ingin mengerti akan apa yang bakalan 

kami bicarakan kau bisa bertanya langsung pada

gurumu. Nah, selamat tinggal."

Habis berkata begitu, Jaka segera berkele-

bat pergi tanpa memperdulikan Ayu Sakiti yang 

terbengong melihat kepergiannya yang begitu cepat

*****


DUA


Di goa Pancoran Sewu, tampak seorang le-

laki yang tak lain Kandana adanya tengah mela-

kukan semedi tapa brata selama 40 hari 40 ma-

lam.

Hari itu adalah hari ke 35 Kandana mela-

kukan tapa brata, ketika dari dunia lain tampak 

sesosok tubuh wanita datang menghampirinya 

dengan tubuh setengah bugil. Pakaian yang dikenakan oleh wanita itu, jelas transparan. Hingga 

Kandana dengan mudah dapat melihat lekuk-

lekuk tubuh wanita cantik di hadapannya.

Wanita itu tersenyum penuh rangsangan 

dan mendekati tubuh Kandana yang masih tetap 

terdiam dalam semedinya. Dengan manja wanita 

itu mengalungkan kedua tangannya di leher Kan-

dana dan berbisik pelan.

"Kandana... bangunlah dari semedimu, 

bangunlah. Aku terima apa yang menjadi permin-

taanmu. Bangunlah dan ikutlah denganku."

Kandana sesaat membuka kedua matanya 

perlahan, dilihatnya wanita itu tersenyum. Den-

gan masih melingkarkan tangannya pada leher 

Kandana, wanita itu mengajak Kandana berdiri.

"Engkaukah yang bernama Sri Ratu Silu-

man?" tanya Kandana yang diangguki oleh Sri Ra-

tu Siluman yang masih tersenyum.

"Kenapa, Kandana? Apa kau belum yakin?" 

tanya Sri Ratu Siluman sembari menatap tajam 

pada Kandana. Mata Sri Ratu yang tajam, seketi-

ka memancarkan selarik sinar menembus ke ma-

ta Kandana hingga menggugah hati Kandana.

Kandana yang telah terpengaruh oleh ilmu 

Sri Ratu seketika merengkuh tubuh Sri Ratu yang 

menggelinjang-gelinjang penuh kenikmatan.

Angan Kandana seketika melayang terbang. 

Tampak olehnya goa itu kini berubah menjadi is-

tana yang elok dan indah, lengkap dengan selu-

ruh dayang dan prajurit.

Kandana yang tengah menggeluti tubuh Sri


Ratu, tidak menyadari kalau sebenarnya yang 

tengah digumuli tak lain daripada seekor ular.

Sri Ratu Siluman mendesis-desis, menik-

mati kenikmatan yang diperolehnya dari Kanda-

na.

Sementara Kandana sendiri, merasakan 

adanya kelainan pada dirinya. Bersamaan dengan 

keringat yang menetes deras, perubahan di wajah 

Kandana pun berjalan.

Luka-luka yang telah mengering, tampak 

mengelupas dan berganti kulit lain. Karena peru-

bahan itu, membuat tubuh Kandana terasa panas 

dingin. Mungkin karena terlalu panasnya, Kanda-

na pun akhirnya pingsan.

* * *

Lima hari lamanya Kandana berada di is-

tana Sri Ratu Siluman Ular. Dan selama lima hari 

itu juga Kandana harus bersedia melayani nafsu

Sri Ratu Siluman.

Ketika telah habis masa tapa bratanya, Sri 

Ratu berkata pada Kandana: "Kandana, kini kau 

telah mendapatkan apa yang menjadi keinginan-

mu, yaitu ajian Seribu Rupa dan Samber Nyawa. 

Tapi untuk menyempurnakannya, kau harus mi-

num tujuh darah gadis. Sekarang pulanglah 

kembali pada gurumu, nenek Pancoran Sewu."

Setelah berkata begitu, seketika tubuh Sri 

Ratu Siluman itu raib. Dan Kandana pun kini 

mendapatkan dirinya kembali di goa Pancoran


Sewu.

Dengan langkah ringan, Kandana berkele-

bat keluar dari goa itu. Di luar tampak nenek Iblis 

Pancoran Sewu tengah menantinya.

Dengan wajah berseri, nenek Iblis Panco-

ran Sewu segera menyambutnya. Di peluknya tu-

buh Kandana, yang hanya terdiam sembari me-

mandang tajam dan bengis.

Tanpa disadari oleh nenek Iblis Pancoran 

Sewu, tiba-tiba Kandana merapalkan aji Samber 

Nyawa. Dicobanya pada tubuh si nenek yang se-

ketika menjerit.

Sebelum meninggal, si tanak Iblis Pancoran 

Sewu sempat mengumpat dan mengutuk Kanda-

na yang hanya tertawa bergelak-gelak, sepertinya 

merasa puas, demi melihat hasil yang telah dica-

painya.

"Kau... kau, manusia tak tahu balas budi, 

Kau telah berbuat curang, maka kau kelak akan 

mati dengan tubuh hancur." Setelah berkata begi-

tu yang diikuti oleh suara halilintar menggelegar, 

nenek Iblis Pancoran Sewa ambruk dengan tubuh 

hangus.

Tanpa memperdulikan tubuh si nenek, 

Kandana pan segera berlalu sembari tertawa ter-

gelak-gelak. "Tak ada artinya kau mengumpat, 

nenek sinting. Dirimu sendiri bukan orang baik-

baik, ha... ha...!"

Alam di situ seketika menjadi hening. Lan-

git mendung, guntur bergelegar bersahut-

sahutan, sepertinya memberikan tanda pada du


nia persilatan bahwa telah datang malapetaka ba-

ru yang akan menggemparkan dunia persilatan.

***

Sejak itu dunia persilatan dilanda geger 

oleh perbuatan seseorang, yang dengan kejinya 

merenggut korban gadis. Biasanya gadis-gadis itu 

mati dengan leher berlubang, seperti habis digigit 

oleh seekor mahluk.

Kampung Rengas, kampung Lenggok, dan 

terakhir kampung Muara Sendang, telah menjadi 

korban jarahan mahluk yang selalu mencari 

mangsa seorang gadis.

Gadis-gadis itu hilang kala hari menjelang 

senja, di mana mereka biasanya tengah mandi di 

pancuran.

Dengan kejadian itu, makin menambah ke-

takutan di hati para penduduk desa hingga kea-

manan desa pun makin dipertingkat dan anak-

anak gadis dilarang keluar sore-sore.

Malam begitu mencekam, ditambah lagi 

dengan rintik hujan yang tak mau berhenti me-

nambah seramnya malam itu.

Petugas ronda tampak dengan siaga men-

jaga keamanan kampung, ketika dari kejauhan 

terdengar suara anjing hutan melolong. Seketika 

bulu kuduk kelima peronda itu berdiri. Rasa ta-

kut menjalar di hati mereka. Kalau bukan tugas, 

mungkin mereka telah lari ketakutan. Namun ka-

rena merasa itu kewajiban yang harus dijalankan,


maka dengan menekan perasaan takut kelimanya 

tetap waspada. Ketika kelimanya tengah dilanda 

ketakutan, tampak oleh mereka sesosok tubuh 

dengan memanggul seorang gadis berkelebat.

Sesaat kelima peronda yang sedari tadi 

hanya terdiam tanpa berani berkata-kata. Kemu-

dian setelah mereka sadar, mereka pun dengan 

segera mengejar orang yang berkelebat itu.

"Berhenti!" perintah salah seorang petugas 

ronda.

Lelaki yang berlari dengan membopong tu-

buh seorang gadis di pundaknya tampak berhen-

ti.

Ketika lelaki itu berpaling pada kelima pe-

ronda itu, tampak seraut wajah yang mengerikan. 

Kelima peronda itu tersentak mundur saat meli-

hat wajah lelaki yang mirip hantu.

Belum juga kelimanya sadar dari kenge-

riannya, tiba-tiba orang yang bermuka hantu itu 

membentak. "Mau apa kalian! Cepat pergi! Atau 

kuhisap darah kalian, hah!"

"Bedebah! Jangan kau kira kami takut pa-

damu, kami bukan anak kecil! yang perlu kau ta-

kut-takuti. Serahkan gadis itu pada kami, atau 

kami harus menghajarmu," kata salah seorang 

dari kelima peronda yang rupanya mempunyai 

nyali, tak kalah kerasnya.

Mendengar ucapan peronda itu, seketika 

lelaki berwajah hantu itu tersenyum sinis. Lalu 

dengan mata melotot dan menunjukkan gigi-

giginya yang runcing, lelaki berwajah hantu itu


kembali berkata. "Percuma kalian ingin melawan-

ku. Pergi! Atau aku akan mengirim kalian ke ak-

herat!"

Walaupun mereka takut, namun karena 

tugasnya sebagai penjaga keamanan kampung, 

mereka tak menghiraukan gertakan itu. Bahkan 

dengan segera mereka serempak mengeroyok le-

laki bermuka hantu.

Walaupun dengan menggendong tubuh se-

seorang di pundaknya, lelaki bermuka hantu itu 

tampak dengan mudah mengelak serangan kelima 

peronda. Bahkan dengan segera dapat mendesak 

kelimanya. Tak lama kemudian terdengar jeritan 

kematian. Dua dari kelima peronda itu terkapar 

meregang nyawa.

Melihat kedua temannya mati, ketiganya 

yang masih hidup tersentak mundur. Dan bagai-

kan dikomando, ketiganya segera berteriak me-

minta tolong.

"Tolong...! Tolong...!"

Mendengar suara ketiga peronda itu, seke-

tika orang-orang kampung segera berhamburan 

keluar. Belum juga orang-orang kampung dapat 

menolong mereka, tiba-tiba lelaki bermuka hantu 

telah menghantam ketiganya hingga mati seketika 

dengan tubuh hangus.

Lalu dengan secepat kilat, lelaki bermuka 

hantu itu berkelebat pergi meninggalkan kelima 

mayat korbannya.

Penduduk kampung hanya dapat melongo, 

ketika didapatinya kelima peronda itu telah mati


dengan tubuh terbakar hangus. Merinding bulu 

kuduk penduduk kampung, menyaksikan kea-

daan kelima peronda itu. Dengan perasaan ngeri, 

mereka pun segera mengusung kelima peronda 

yang telah mati.

* * *

Di sebuah goa, lelaki berwajah hantu yang 

telah mengubah kembali wajahnya tengah mem-

baringkan tubuh gadis yang diculiknya. Dibu-

kanya totokan pada tubuh gadis itu, hingga si ga-

dis kembali tersadar dari pingsannya.

"Jangan...! Jangan...! Jangan ganggu aku, 

pergi!" teriak gadis itu setelah terbebas dari toto-

kan.

Lelaki di depannya tersenyum, perlahan 

didekatinya tubuh gadis yang kini terduduk den-

gan wajah ketakutan.

Melihat orang yang di hadapannya bukan 

hantu yang tadi menculiknya, rasa tenang timbul 

di hati si gadis. Dengan tersipu-sipu, gadis itu 

menundukkan mukanya sembari bertanya: 

"Tuan, siapakah tuan sebenarnya? Tuankah yang 

telah menolong diriku dari hantu itu?"

Mendengar pertanyaan gadis di depannya, 

seketika lelaki itu tersenyum dan mengangguk. 

Perlahan dihampirinya tubuh si gadis dan dengan 

lembut direngkuhnya pundak si gadis yang hanya 

terdiam.

Keduanya saling rengkuh dan berguling


guling di atas lantai batu. Gadis itu yang tadinya 

takut, tiba-tiba menjadi liar dan binal. Ia memba-

las merengkuh dan menciumi lelaki yang tengah 

menggelutinya, sampai akhirnya si gadis terden-

gar mengeluh panjang penuh kenikmatan.

Saat itu juga lelaki yang tadinya tampan, 

seketika berubah menjadi seram. Gadis itu hen-

dak berontak, namun lelaki berwajah hantu itu 

telah mendahului menggigit leher si gadis.

Sesaat si gadis menjerit, lalu terkulai lemas 

dengan tubuh membiru mati. Dari lehernya me-

netes darah sisa gigitan. Sementara lelaki yang 

berwajah hantu, tampak tersenyum penuh kepu-

asan dan berlalu meninggalkan tubuh si gadis.

Dari kejauhan terdengar suara kokok ayam 

jantan, pertanda hari telah pagi. Lelaki bermuka 

hantu itu berkelebat pergi meninggalkan goa, 

yang di dalamnya tergeletak tubuh seorang gadis 

yang telah beku.

Ketika mentari telah meninggi, seorang 

pencari kayu secara tidak sengaja datang ke goa 

itu. Pencari kayu itu tersengat kaget, kala dilihat-

nya di dalam goa itu seorang gadis telah mati 

dengan leher berlubang.

Dengan tergopoh-gopoh, lelaki itu berlari 

sambil menjerit-jerit meminta tolong pada warga 

kampung terdekat yang kebetulan kampung si 

gadis,

"Ada apa, Bapak? Sepertinya kau tengah 

mengalami ketakutan. Apakah kau melihat sesua-

tu?" tanya kepala kampung yang menerima pen


cari kayu itu.

Dengan wajah pucat dan terbata-bata, lela-

ki pencari kayu itu menceritakan apa yang telah 

dilihatnya dalam goa di tengah hutan

"A... aku mencari kayu. Tiba-tiba pera-

saanku ingin menuju ke goa dan..." Lelaki pencari 

kayu itu tak segera meneruskan ucapannya, di 

wajahnya tergambar rasa ngeri yang dalam.

"Dan apa...?" tanya ketua kampung tak sa-

bar.

"Aku melihat sesosok tubuh wanita..."

Belum juga pencari kayu itu menyelesaikan 

ceritanya, dengan segera kepala kampung meng-

gandeng tangannya pergi.

Dengan diikuti oleh sebagian warga kam-

pung, keduanya segera menuju ke tempat di ma-

na pencari kayu itu menemukan gadis yang telah 

mati.

Sesampainya mereka ke tempat yang di-

tunjukan oleh pencari kayu, mata mereka seketi-

ka terbelalak. Dari mulut mereka terdengar pekik 

kaget, demi mengetahui gadis itu yang ternyata 

Mirah warga kampungnya.

Dengan perasaan haru dan duka, mereka 

segera menggotong tubuh Mirah yang telah mati 

dengan cara menyedihkan.

* * *

Korban demi korban berjatuhan. Geger du-

nia persilatan oleh perbuatan teror lelaki berwa


jah hantu.

Desas desus itu akhirnya terdengar juga di 

telinga Ayu Sakiti, murid Ki Mertanu. Merasa hal 

itu merupakan tanggung jawabnya sebagai seo-

rang pendekar beraliran lurus, Ayu Sakiti ber-

maksud menyelidiki siapa sebenarnya lelaki ter-

sebut.

Maka setelah mendapat restu dari gu-

runya, Ki Mertanu. Berangkatlah Ayu Sakiti un-

tuk menyelidiki desas-desus yang kini ramai dibi-

carakan di dunia persilatan.

"Apakah Jaka belum mendengarnya? Ah... 

aku rasa dia sebagai tokoh persilatan tingkat 

utama, telah mendengar adanya desas-desus ini. 

Moga-moga dia akan segera datang membantu-

ku," kata Ayu Sakiti dalam hati, setelah berlalu 

pergi meninggalkan perguruannya.

Siang begitu panasnya, terik matahari sea-

kan hendak membakar seluruh isi muka bumi. 

Ayu Sakiti yang telah sampai pada sebuah desa, 

dengan segera mencari sebuah kedai.

Tanpa mengalami kesulitan, Ayu Sakiti se-

gera menemukan sebuah kedai.

Kedatangan Ayu Sakiti, mengundang per-

hatian pengunjung kedai lainnya. Hingga salah 

seorang dari lima pengunjung kedai yang duduk 

di sudut ruangan berwajah sangar-sangar menye-

letuk. "Lihat, kawan. Rupanya ada bidadari yang 

hendak menemani kita di sini."

Seketika keempat orang lainnya segera 

memandang pada Ayu Sakiti yang tengah masuk


ke dalam kedai itu. Ayu Sakiti tak menggubris 

omongan orang tersebut. Ia tetap melangkah ma-

suk dan duduk tak jauh dari urang yang berkata.

Seorang pelayan datang menghampirinya 

seraya bertanya. "Mau pesan apa, nona?"

"Sebelum aku memesan makanan, aku 

minta usir dulu kelima lalat-lalat itu," kata Ayu 

Sakiti menyindir pada kelima lelaki yang bertam-

pang sangar. Seketika kelima lelaki itu tersentak 

dan berdiri kaget demi mendengar ucapan Ayu 

Sakiti yang memang menyindirnya.

"Cuih, sombong! Jangan mentang-mentang 

cantik, lalu beraksi di depan Lima Iblis Buran-

grang," bentak salah seorang dari kelima Iblis Bu-

rangrang dengan marahnya.

Ayu Sakiti hanya tersenyum demi menden-

gar ucapan orang yang mengaku Lima Iblis Bu-

rangrang. Dan dengan kalemnya Ayu Sakiti kem-

bali berkata acuh.

"Iblis Burangrang. Kalau kalian merasa 

bukan lalat, mengapa kalian harus marah. Coba 

kalian lihat, bukankah memang di sini banyak la-

lat?"

Mungkin kalau anak kecil akan begitu per-

caya, namun karena mereka merupakan tokoh-

tokoh persilatan dari golongan sesat, mereka tak 

mau menerima ucapan Ayu Sakiti begitu saja. 

Maka dengan membentak yang disertai kekesa-

lan, salah seorang dari kelima Iblis Burangrang 

berkata!

"Hai, bocah gendeng! Aku tadinya me


nyangka kalau kau yang cantik itu, lemah lem-

but. Tapi ternyata kau mempunyai nyali juga, 

hingga berani menghina Lima Iblis Burangrang."

"Hi... hi...! Gendeng katamu. Siapa yang 

gendeng? Aku atau kalian semua yang tampang-

nya seperti orang-orang gila yang tak pernah teru-

rus," Ayu Sakiti tertawa cekikikan, membuat ke-

lima Iblis Burangrang tak dapat lagi menahan 

emosinya demi diledek begitu rupa oleh seorang 

gadis yang masih bau kencur.

"Sompret! Rupanya kau tak mau diuntung! 

Maka jangan salahkan aku, Burangrang Hitam 

mengajar adat pada kamu yang tak tahu sopan 

santun."

Kembali Ayu Sakiti tertawa cekikikan kala 

mendengar dan melihat kemarahan Burangrang 

hitam. Dengan nada mengejek yang membikin 

marah Burangrang tak dapat terbendung lagi, 

Ayu Sakiti kembali berkata:

"Burangrang jelek! Siapa yang telah men-

jual sesuatu padamu, hingga kau mengatakan tak 

mau diuntung? Lagi pula siapa yang mau diberi 

keuntungan oleh iblis butut macam kalian."

Lima Iblis Burangrang itu mendengus dari 

mata mereka menyorot api kemarahan. Maka 

dengan tanpa malu-malu, kelimanya segera ber-

kelebat menyerang Ayu Sakiti.

Ayu Sakiti yang telah waspada, diserang 

oleh kelima Iblis Burangrang bersamaan, bukan-

nya menjadi takut dan bingung. Bahkan dengan 

gesit, Ayu Sakiti segera mengelak dan secepat ki


lat lari keluar kedai.

Kelima Iblis Burangrang yang memang te-

lah dilanda amarah oleh tingkah laku Ayu Sakiti, 

tak mau melepaskan begitu saja. Dengan seren-

tak kelimanya segera memburu keluar, di mana 

Ayu Sakiti telah berdiri menanti mereka.

Walaupun dikeroyok oleh lima tokoh golon-

gan sesat, namun Ayu Sakiti yang merupakan 

murid tunggal Ki Mertanu atau si Dewa Tangan 

Maut tak menjadi gentar.

Pertarungan satu lawan lima pun terus 

berjalan, dari tangan kosong kini berganti dengan 

senjata. Ayu Sakiti dengan pedang Komaranya 

berkelebat dengan cepat, laksana seekor burung 

walet menyambar-nyambar musuhnya.

Di lain pihak, kelima Iblis Burangrang yang 

sudah tersohor segera mengurung murid tunggal 

Ki Martanu. Kelima Iblis Burangrang itu menge-

luarkan jurus Lingkaran Iblis, kelimanya dengan

silih berganti menyerang Ayu Sakiti. Jurus Ling-

karan Iblis memang begitu hebat dan sukar un-

tuk dapat ditembus.

Mendapatkan hal semacam itu, Ayu Sakiti 

dengan segera mengubah jurusnya, Jurus Walet 

Merah Menyambar Ular Sanca. Dengan bergerak 

makin cepat, Ayu Sakiti menggerakan pedang di 

tangannya dengan cepat pula. Hingga... terdengar 

seketika jerit kesakitan membahana. Dan tampak 

salah seorang dari kelima Iblis Burangrang terka-

par pingsan dengan tangan kanan putus.

Melihat hal itu, keempat Iblis Burangrang


lainnya tersentak dan melompat mundur dengan 

mulut menganga seakan tak percaya pada apa 

yang dilihatnya.

Hal itu tidak disia-siakan oleh Ayu Sakiti 

begitu saja, dengan cepat-cepat pedang di tan-

gannya kembali berkelebat. Dan... untuk kedua 

kalinya terdengar jeritan sesaat, lalu tampak 

orang kedua dari Lima Iblis Burangrang tergeletak 

dengan leher hampir putus. 

Ciut seketika nyali ketiga Iblis Burangrang 

demi melihat kedua temannya dapat dengan mu-

dah dijatuhkan oleh seorang gadis yang masih 

muda belia. Maka tanpa membuang waktu lagi, 

ketiganya segera mengambil langkah seribu.

"Mau lari ke mana kalian. Jangan harap 

kalian akan dapat lolos dari tanganku," kata Ayu 

Sakiti. Dengan seketika tubuhnya yang kecil dan 

ramping berkelebat memburu ketiganya.

Ketiga Iblis Burangrang tersentak, kala Ayu 

Sakiti tiba-tiba telah berdiri menghadang mereka 

dengan senyum sinis di bibirnya.

Merasa tak ada jalan lain, maka dengan 

nekad ketiganya segera menyerang Ayu Sakiti. 

Kembali perkelahian pun berlangsung.

Ayu Sakiti yang memang tak suka dengan 

kelima orang Iblis, dengan tanpa menaruh rasa 

kasihan sedikit pun kembali berkelebat dengan 

pedang di tangannya.

Tak berapa lama antaranya, kembali ter-

dengar pekikan kematian. Kembali salah seorang 

dari Iblis Burangrang menjadi korban pedangnya.


Mendapatkan hal itu, kedua Iblis Buran-

grang yang masih tersisa makin nekad.

Karena keduanya tak memperhitungkan 

lagi akan apa yang bakal mereka hadapi, maka 

keduanya berkelahi dengan jurus yang tak dapat 

dikontrol. Hal itu menjadikan kepahitan bagi me-

reka sendiri. Maka dengan sekali tebas, pedang di 

tangan Ayu Sakiti telah membabat tubuh kedua-

nya yang langsung terkapar meregang nyawa lalu 

mati.

Setelah melihat kelima musuhnya telah 

mati, Ayu Sakiti segera kembali menuju kedai. 

Semua orang yang ada di kedai itu seketika mera-

sa takut dan jeri. Hingga tanpa diperintah oleh-

nya, semuanya seketika mengangguk hormat ke-

tika Ayu Sakiti masuk.

Pemilik kedai pun dengan ramahnya diser-

tai hormat segera menghidangkan makanan yang 

dipesan oleh Ayu Sakiti.

"Bapak... apakah bapak pernah melihat 

pemuda yang berambut gondrong datang ke ma-

ri?" tanya Ayu Sakiti pada pemilik kedai yang ter-

cenung diam, tak lama kemudian, dengan wajah 

tersenyum pemilik kedai pun berkata:

"Benar! Kira-kira seminggu yang lalu pe-

muda itu datang ke mari untuk makan siang."

"Hem, rupanya Jaka pun berada di sini pu-

la," kata Ayu Sakiti dalam hati.

"Bapak, apakah pemuda itu mengatakan 

hendak pergi ke mana?"

Ditanya seperti itu pemilik kedai hanya da


pat menggeleng lemah. Ayu Sakiti hanya mang-

gut-manggut, lalu dengan segera menyantap ma-

kanan yang telah dihidangkan.

Setelah membayar makanan yang dima-

kannya, yang ditolak oleh pemilik kedai karena 

merasa berterima kasih atas pertolongan Ayu Sa-

kiti, hingga kedainya tak akan dijadikan 

tongkrongan dan endonan kelima Iblis Buran-

grang lagi.

"Bapak, sudah menjadi kewajibanku untuk 

menolong dan membasmi kejahatan. Aku minta 

terimalah uang bayar makanku," kata Ayu Sakiti 

sembari menyerahkan uang itu pada pemilik ke-

dai, yang kembali bermaksud menolaknya. Na-

mun dengan segera Sakiti menggenggamkan uang 

itu di telapak tangannya. Mau tak mau pemilik 

kedai itu pun akhirnya menerima juga pembaya-

ran Sakiti.

Dengan segera Sakiti pergi meninggalkan 

kedai untuk meneruskan perjalanannya mencari 

biang keonaran dunia persilatan. Yang menurut 

desas-desus bermuka hantu dan selalu menculik 

gadis untuk korbannya.

***

TIGA


Gamelan melantunkan tembang kidung. 

Seluruh tamu yang akan memberikan doa restu 

pada kedua mempelai tampak sudah pada berda-

tangan.

Seperti adat di Jawa, maka pengantin pe-

rempuan akan di boyong oleh pengantin laki-laki 

dan diiring berarak.

Malam makin larut, saat kedua mempelai 

dijejer untuk menghadap dan diikrar oleh sese-

puh adat.

Dupa dari asap kemenyan mengepul beri 

gulung-gulung membumbung tinggi. Kedua mem-

pelai dengan didampingi oleh dua orang saksi 

tengah dihadapkan pada sesepuh adat, yang akan 

mensyahkan pernikahan mereka.

Di wajah kedua mempelai terkembang se-

nyum bahagia, sama halnya yang hadirpun turut 

merasakan kegembiraan.

Gamelan dari wayang kulit berhenti, untuk 

memberikan waktu pada sesepuh adat guna men-

syahkan upacara pernikahan. Sesaat, tampak se-

sepuh adat diam. Matanya terpejam, dari mulut-

nya tampak komat-kamit membaca sesuatu. Asap 

dupa makin menebal. Bersamaan dengan itu, se-

ketika semua yang hadir tersentak kaget. Dari 

luar seseorang bagaikan terbang menyambar 

mempelai wanita yang menjerit-jerit meminta to-

long.

Untuk sesaat semuanya terpaku diam. La-

lu setelah sadar dari kekagetannya, mereka seren


tak memburu orang itu.

"Berhenti!" bentak tetua adat, setelah dapat 

mengejar orang yang membawa mempelai perem-

puan, yang kini tampak terdiam dalam pundak-

nya.

Lelaki yang menggendong mempelai pe-

rempuan itu berhenti dari larinya dan dengan te-

nangnya membalikkan tubuh menghadap pada 

sesepuh adat.

Sesepuh adat dan orang-orang yang telah 

dapat mengejarnya tersentak kaget, demi melihat 

wajah penculik itu. Mata mereka melotot, demi 

menyaksikan muka seram yang persis hantu.

Keterkejutan mereka tak disia-siakan oleh 

lelaki penculik itu. Maka dengan sekali berkele-

bat, tubuh lelaki itu telah berlalu meninggalkan 

mereka yang kembali mengejarnya setelah sadar.

Kejar mengejar pun terjadi, hingga sampai-

lah mereka di persawahan yang luas. Penduduk 

yang sudah merasa marah oleh tindakan lelaki 

berwajah hantu itu, dengan nekad segera menge-

pungnya.

"Kembalikan gadis itu ada kami, atau ter-

paksa kami merencah tubuhmu!" kata sesepuh 

adat dengan penuh amarah, sementara yang lain-

nya tampak telah siaga dengan senjata di tangan 

mereka.

Lelaki bermuka hantu tampak tersenyum 

sinis, lalu dengan suara serak dan sember berka-

ta: "Hem... jangan harap aku akan menyerahkan 

gadis ini pada kalian. Pergilah! Atau terpaksa aku


menurunkan tangan jahatku!"

"Iblis laknat! Jangan kira kami dapat dita-

kut-takuti olehmu. Serahkan istriku, atau kau 

akan mati dengan tubuh dicincang!" Jatmoro 

yang merasa harga dirinya diinjak-injak oleh lela-

ki bermuka hantu membentak marah. Tubuhnya 

seketika tanpa dapat dicegah oleh yang lain ber-

kelebat menyerang.

"Hem... rupanya kau hendak mencari 

mampus, anak muda. Baik, terimalah ini!" Sete-

lah berkata begitu, tampak lelaki bermuka hantu 

mengepalkan tangan kanannya. Dari mulutnya 

terlihat ia membaca mantera. Seketika itu tampak 

tangan lelaki berwajah hantu memerah membara. 

Dikiblatkannya tangan yang telah membara itu 

pada pemuda yang bermaksud menyerangnya.

Tak ayal lagi, Jatmoro yang tak memperhi-

tungkan sebelumnya terpelanting ke belakang se-

belum sampai pada sasaran. Tubuh Jatmoro 

tampak hitam mengarang, nyawanya pun me-

layang. Melihat hal itu, tersentaklah semua yang 

ada di situ. Nyali mereka agak menciut juga. Na-

mun ketika sesepuh adat mengomandokan untuk 

menyerang, semua yang ada di situ dengan senja-

ta di tangan masing-masing, serempak maju me-

nyerang lelaki berwajah hantu.

Dikeroyok begitu banyaknya, tidak menja-

dikan lelaki berwajah hantu itu mundur dan ka-

bur. Bahkan sebaliknya dengan masih menggen-

dong tubuh gadis yang diculiknya, lelaki itu den-

gan mudahnya mengelak setiap serangan mereka.


"Percuma kalian membuang-buang nyawa 

yang hanya satu. Lebih baik kembali ke rumah

masing-masing dan tidur dengan nyenyak," kata 

lelaki berwajah hantu sembari melompat mundur 

hendak pergi meninggalkan mereka. Namun pen-

duduk yang telah dibakar amarah itu tak mau 

perduli. Mereka terus mengejar dan kembali men-

gepung, membuat lelaki bermuka hantu itu tam-

pak menggeram marah.

"Rupanya kematian yang kalian inginkan. 

Baik! Hari ini juga kalian akan aku kirim ke akhe-

rat, bersiaplah!" Habis berkata begitu, kembali 

dari tangan lelaki bermuka hantu itu keluar sela-

rik sinar merah, menghantam penduduk kam-

pung yang mengejarnya.

Pekik kematian terdengar silih berganti. 

Mereka mati dengan keadaan yang sama, mati 

dengan tubuh hangus terbakar menjadi arang.

Ciut juga nyali mereka yang masih hidup 

termasuk sesepuh adat dan ketua kampung. 

Hingga mereka hanya terdiam memandang dan 

mengurung lelaki bermuka hantu tanpa berani

menyerang.

"Sudah aku katakan. Lebih baik kalian 

kembali saja ke rumah masing-masing dan tidur

dengan nyenyak dari pada harus berurusan den-

ganku. Kini kembali aku perintahkan pada kalian, 

pulang dan..."

Belum juga habis ucapan lelaki berwajah 

hantu, tiba-tiba terdengar desiran angin yang di-

ikuti oleh berkelebatnya sesosok tubuh.


"Iblis laknat! Ternyata kaulah orangnya 

yang selalu membuat keonaran. Sudah tujuh ini 

korbanmu. Jangan harap kau dapat lolos." Habis 

ucapan itu, tiba-tiba telah berdiri sesosok tubuh 

wanita di situ dengan mata memandang penuh 

kebencian pada lelaki bermuka hantu yang ter-

sentak mundur.

"Siapa kau!" bentak lelaki bermuka hantu, 

setelah dapat menguasai suasana kembali. Ma-

tanya yang besar dan merah memandang tak ber-

kedip pada gadis yang baru datang.

Gadis itu tersenyum sinis dan berkata se-

belum akhirnya berkelebat menyerangnya. "Siapa 

aku tak penting. Yang pasti kau harus lenyap dari 

muka bumi ini, hiaat...!"

Tersentak lelaki bermuka hantu mendapat 

serangan yang begitu tiba-tiba dan cepat dari ga-

dis yang tak lain Ayu Sakiti adanya.

Keduanya segera terlibat pertarungan. Ayu 

Sakiti yang berwatak keras, tanpa memberi waktu 

sedikit pun terus mendesak dan merangsek lelaki 

bermuka hantu yang masih mengelak serangan-

serangannya dengan membopong tubuh gadis cu-

likannya.

Kenapa Ayu Sakiti datang di situ? Sejak 

dari kedai, memang perasaan Ayu Sakiti seakan 

membimbingnya untuk datang ke kampung itu. Ia 

yang kemalaman, dengan segera mencari pengi-

napan. Tapi di kampung itu rupanya tak ada pen-

ginapan, maka dengan terpaksa Ayu Sakiti pun 

akhirnya beristirahat di sebuah dangau.


Ketika ia tengah tertidur sesaat, tiba-tiba 

telinganya yang tajam mendengar adanya keribu-

tan. Maka dengan segera Ayu Sakiti pun menuju 

ke asal suara itu dan menemukan perkelahian 

penduduk menyeroyok lelaki bermuka hantu.

Ketika mengetahui bahwa yang tengah di-

keroyok oleh penduduk adalah orang yang dica-

rinya, Ayu Sakiti yang sedari tadi hanya menon-

ton segera keluar dari persembunyiannya dan 

menyerang lelaki bermuka hantu.

Penduduk yang telah ciut nyalinya, seketi-

ka tumbuh keberanian kembali demi melihat seo-

rang gadis dengan beraninya menyerang orang 

yang berilmu tinggi itu. Semuanya segera kembali 

mengurung lelaki bermuka hantu, yang tengah 

bertempur melawan Ayu Sakiti. 

Perkelahian antar Ayu Sakiti dan lelaki 

bermuka hantu kini makin seru. Keduanya telah 

menggunakan jurus-jurus silat tingkat tinggi 

hingga keduanya tak dapat dilihat oleh orang-

orang yang menontonnya, sebab keduanya berke-

lebat begitu cepat.

Jurus demi jurus yang diikuti dengan pe-

kikan-pekikan terus berlalu. Hampir seratus ju-

rus sudah mereka lampaui. Namun kelihatannya 

kedua orang yang bertanding itu sama-sama 

tangguh, seakan tak akan ada yang kalah atau 

menang.

Bulan yang bergayut di langit kini tampak 

telah beralih ke sebelah Barat, pertanda pagi 

akan segera tiba. Tapi pertarungan keduanya ma


sih terus berlangsung.

Melihat pagi sebentar lagi akan datang, 

tampak lelaki bermuka hantu mendengus. Dan 

dengan sekali melentingkan tubuhnya, lelaki 

bermuka hantu segera mundur sembari meng-

hantamkan pukulannya.

Ayu Sakiti dan semua penduduk tersentak, 

semuanya segera mengelak. Namun tak urung, 

salah seorang dari penduduk ada yang terkena 

pukulan itu. Seketika orang yang terkena mere-

gang nyawa, tubuhnya seketika berubah menghi-

tam bagaikan arang.

Setelah semuanya tersadar. Didapatinya le-

laki bermuka hantu telah lenyap dari pandangan 

mereka, membuat Ayu Sakiti geram. Tanpa mem-

perdulikan orang-orang yang memandangnya. 

Ayu Sakiti segera berkelebat mengejar.

Namun ilmu lari orang yang bermuka han-

tu, ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan den-

gannya. Hingga Ayu Sakiti pun tak dapat menge-

jarnya. "Hem... ilmu lari tingkat tinggi. Percuma 

aku mengejarnya. Mungkin guruku pun masih di 

bawah orang itu dalam hal ilmu kesaktian. Hanya 

Pendekar Pedang Siluman atau Jaka Ndableg sa-

jalah yang mungkin dapat mengejar larinya. Seta-

huku, guru pernah bercerita tentang kehebatan 

Jaka atau Pendekar Pedang Siluman. Kata guru, 

Pendekar Pedang siluman adalah pewaris ilmu 

Empat Pendekar Sakti. Empat tokoh persilatan 

yang pernah merajai dunia persilatan lima tahun 

yang lalu. Seperti halnya Empat Pendekar Sakti,


Jaka Ndableg pun memiliki ilmu-ilmu tingkat 

tinggi yang belum ada tandingannya. Ia juga me-

miliki senjata yang pernah kulihat ketika berta-

rung melawan Kala Wasungsang. Senjata itu da-

pat mengeluarkan Darah dan Angin Prahara.

"Baik, aku kembali saja. Kali ini aku gagal, 

tapi lain kali aku harus dapat meringkus durjana 

itu. Dan untuk itu, aku harus meminta tolong 

pada Jaka Ndableg. Ah, aku rasa Jaka Ndableg 

pun telah mendengar kejadian ini, di mana dia 

sekarang...?" tanya Ayu Sakiti pada diri sendiri, 

sebelum akhirnya ia berkelebat pergi kembali me-

nemui penduduk kampung yang masih tampak 

berkerumun.

Sementara itu, di sebuah bukit, seorang le-

laki dengan membopong tubuh seorang gadis di 

pundaknya berjalan menuju ke sebuah semak-

semak di antara bebatuan.

Direbahkannya tubuh gadis yang sedari 

tadi digendongnya ke atas semak-semak. Dibu-

kanya totokan pada gadis itu yang seketika sadar.

Gadis itu hendak menjerit, namun ketika 

melihat tatapan mata pemuda di hadapannya, se-

ketika ketakutan si gadis hilang dan berubah 

menjadi rasa nafsu yang bergejolak-gejolak di da-

danya.

Maka ketika lelaki muda itu menggeluti tu-

buhnya, si gadis tampak dengan nafsu memba-

lasnya. Si gadis terlena dalam khayal yang dicip-

takan oleh lelaki muda itu, ia tak menyadari akan 

apa yang terjadi.


Gigi pemuda itu yang tadinya rata, kini 

dengan sendirinya memanjang runcing. Dan...! 

Seketika terdengar jeritan kematian dari mulut si 

gadis yang memberontak meminta dilepaskan dari 

gigitan pemuda itu lalu akhirnya terkulai lemas 

dengan tubuh tak bernyawa.

Setelah berhasil menyedot darah gadis kor-

bannya, pemuda itu segera berkelebat pergi me-

ninggalkan tubuh gadis korbannya dengan begitu 

saja.

Pagi itu, Jaka nampak berlari-lari menuju 

ke sebuah bukit, pendengarannya yang tajam te-

lah mendengar suara pekik kematian di bukit itu.

Penciumannya yang tajam segera dipasang. 

Hidungnya mengendus endus mencium bau amis 

darah.

"Di manakah?" tanya Jaka dalam hati, ma-

sih terus mencari tempatnya bau amis itu. Ketika 

ia tiba di semak-semak yang tertutup bebatuan, 

didapatinya sesosok tubuh seorang gadis telah 

mati dengan leher berlobang bekas gigitan suatu 

mahluk.

"Hem. Mahluk macam apa yang telah 

menggigit gadis ini? Ularkah...? Hai. Tidak mung-

kin kalau ular, kalau ular niscaya gadis ini telah 

dibeset tubuhnya. Tapi ini, ah... sebuah misteri. 

Manusiakah? Apakah ada manusia yang mempu-

nyai taring? Iblis atau setankah? Tapi aku rasa

setan tak ada yang doyan darah manusia, kecuali 

siluman. Heh, ya, ini jelas manusia yang berilmu 

siluman yang berbuat begini, akan aku selidiki."


Dengan tanpa dibantu orang lain, Jaka 

Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman dari Ka-

wah Chandra Bilawa dengan segera menguburkan 

mayat gadis itu.

Setelah mengubur mayat gadis itu, dengan 

segera Jaka Ndableg berkelebat pergi menuju ke 

kampung terdekat untuk mencari keterangan 

dengan adanya kematian gadis-gadis yang telah 

menjadi desas-desus di dunia persilakan.

Sedang Jaka berjalan-jalan untuk mencari 

kedai dikarenakan perutnya telah lapar, terdengar 

olehnya suara orang berteriak-teriak tengah ber-

tempur.

Jaka segera memasang pendengarannya. 

Lalu ketika telah pasti betul bahwa memang ten-

gah terjadi pertempuran yang tak jauh dari tem-

patnya lewat, Jaka pun segera berkelebat menuju 

ke asal suara itu. Dan memang benar, di situ 

tampak dua orang tengah bertempur.

Jaka tersentak kaget, ketika tahu siapa 

yang tengah berkelahi. Gadis yang tengah berke-

lahi dengan seorang lelaki tua berkepala botak 

dan berwajah sangar itu, tak lain dari pada murid 

tunggal Ki Mertanu, si Ayu Sakiti.

Mulanya Jaka bermaksud hanya menonton 

saja karena merasa tak perlu turun tangan untuk 

membantu Ayu Sakiti yang diketahuinya mempu-

nyai ilmu tidak rendah. Namun ketika melihat 

Ayu Sakiti terdesak dan nyawanya hendak teran-

cam oleh senjata rantai yang dipegang oleh lelaki 

tua musuhnya, dengan segera Jaka berkelebat.


Dengan Pedang Siluman Darah di tangan, 

Jaka segera menghadang serangan rantai maut 

itu. "Minggir, Ayu Sakiti!" Bersamaan dengan sua-

ra Jaka, secepat itu pula Pedang Siluman Darah 

di tangan Jaka berkelebat membabat putus rantai 

maut itu.

Pucat pasi wajah lelaki tua yang menyerang 

Ayu Sakiti, demi melihat rantai mautnya terbabat 

putus oleh senjata yang berada di tangan seorang 

pemuda yang tengah berdiri di hadapannya den-

gan bibir mengurai senyum.

Ayu Sakiti yang tahu Jaka atau Pendekar 

Pedang Siluman Darah yang telah menolongnya, 

hatinya seketika berbunga gembira.

"Siapa kau, anak muda? Mengapa kau

mencampuri urusan kami!" bentak lelaki tua ber-

kepala gundul.

"Aku bukannya hendak mencampuri uru-

sanmu, bila kau tidak bermaksud membunuh ga-

dis ini. Tapi karena kau bermaksud mencelakai 

gadis ini, maka aku pun tak akan tinggal diam 

begitu saja," kata Jaka dengan tenangnya.

"Apa sangkut pautmu. Aku berurusan den-

gan gadis yang berada di sampingmu karena ia te-

lah membunuh kelima murid-muridku." kata le-

laki tua berkepala gundul itu dengan geramnya. 

Namun tampaknya Jaka hanya tersenyum sem-

bari kembali berkata setelah melirik pada Ayu Sa-

kiti sesaat yang tersenyum padanya.

"Orang tua. Kalau muridmu tidak jahat 

aku rasa temanku ini tidak akan menurunkan


tangan jahatnya. Tapi karena kelima muridmu 

memang orang-orang jahat, maka sudah sepan-

tasnyalah harus dibasmi."

Mendengar ucapan Jaka yang dirasakan-

nya ngelantur, makin geramlah lelaki tua berke-

pala gundul. Dengan mata menatapi tajam, lelaki 

tua berkepala gundul itu kembali membentak.

"Anak muda, rupanya kau tidak meman-

dang sebelah mata pun pada Singkek Iblis, hingga 

berani lancang ngomong sembarangan. Jangan 

salahkan aku yang tua ini mengajar adat pada 

kalian!"

Mendengar ancaman Singkek Iblis, Jaka 

Ndableg bukannya takut, malah tertawa bergelak-

gelak. Hingga Singkek Iblis tersentak dengan pe-

nuh amarah.

Tanpa banyak berkata lagi, Singkek Iblis 

yang sudah tak dapat menahan amarah segera 

berkelebat menyerang Jaka dengan senjata lain-

nya yang berbentuk trisula.

Diserang begitu tiba-tiba, tidak menjadikan 

Jaka Ndableg bingung. Maka dengan sekali berke-

lit, Jaka pun dapat mengelakan serangan Singkek 

Iblis.

Menerima kenyataan serangannya dapat 

dengan mudah dielakkan oleh pemuda musuh-

nya, makin geramlah lelaki tua berkepala botak 

itu. Dengan makin meningkatkan serangannya 

yang langsung menuju ke sasaran kematian, 

Singkek Iblis mencoba merangsek Jaka.

Dengan bersuit nyaring, Jaka segera men


gelak dan membalas dengan tendangan kakinya 

yang menggunakan jurus Elang Mencakar Mang-

sa.

Tersentak Singkek Iblis melihat jurus aneh 

yang dipakai oleh pemuda musuhnya. Dengan 

melompat mundur, Singkek Iblis segera mengelu-

arkan ajiannya setelah menggeram sesaat. Seke-

tika tubuh Singkek Iblis berubah menjadi banyak.

Kini Jaka yang tersentak dan melompat 

mundur seraya berkata dengan masih penuh ke-

tenangan. "Singkek Iblis. Kalau kau hendak me-

mamerkan ajian silumanmu, baik. Nah, aku pun 

akan mengimbanginya."

Setelah habis ucapannya, dengan segera 

Jaka duduk bersila. Matanya terpejam rapat, dari 

mulutnya keluar ucapan yang tak terdengar. Itu-

lah ucapan mantera. Seketika itu, tubuh Jaka 

yang tadinya kecil berubah besar dan makin be-

sar. Ajian Dewa Buto Sewu memang tak pernah 

dipakai oleh Jaka sejak diajarkan, oleh Ki Bayong 

guru tertuanya. Sebab ajian itu begitu hebat, juga 

akan mendatangkan petaka di dunia persilatan 

bila tidak dapat dijinakkan oleh pemiliknya yang 

tengah dilanda emosi.

Ayu Sakiti tersentak mundur demi melihat 

tubuh Jaka seketika berubah menjadi Raksasa 

Dewa Wisnu, yang besar dan tinggi. Tawanya 

membahana, menjadikan pepohonan di sekitar-

nya tumbang berhamburan.

Melihat hal itu, keseribu tubuh Singkek Ib-

lis segera menyerbu raksasa Dewa Wisnu. Maka


tak ayal lagi, kedua ajian aneh itu bertempur 

mengadu kekuatan. Tinggal Ayu Sakiti sendiri 

yang tampak pucat melihat hal di depan matanya.

Raksasa Dewa Wisnu mengamuk. Tangan-

nya yang besar berkelebat menangkap keseribu 

Singkek Iblis. Dan dengan sekali remas keseribu 

Singkek Iblis itu hancur berkeping-keping menja-

di abu.

Walaupun Singkek Iblis telah mati, namun 

Ayu Sakiti tak juga berani memunculkan diri. Ia 

masih takut melihat Raksasa Dewa Wisnu, hingga

wajahnya pucat pasi.

Karena Jaka melakukan tidak dalam kea-

daan emosi, maka perubahan ujud kembali pada 

dirinya semula pun tidak mengalami kesulitan. 

Jaka terduduk lemas, wajahnya tampak berkerin-

gat. Sepertinya ia telah melakukan pekerjaan 

yang sangat berat.

Setelah lama terdiam, Jaka pun segera 

mencari Ayu Sakiti yang bersembunyi karena ke-

takutan. Walaupun ia seorang pendekar namun 

demi melihat ilmu-ilmu aneh yang baru saja ia 

tahu, ia takut juga.

"Ayu Sakiti, di mana kamu?" seru Jaka 

memanggil nama Ayu Sakiti. Tak lama kemudian, 

tampak Ayu Sakiti keluar dari persembunyiannya 

masih dengan wajah pucat. Hal itu membuat Ja-

ka tersenyum sembari berkata:

"Wajahmu pucat. Kenapa?"

"Aku takut."

"Takut...? Takut pada siapa?" tanya Jaka


kembali, di bibirnya terurai senyuman. Hingga 

Ayu Sakiti pun turut tersenyum tersipu-sipu se-

raya berkata manja.

"Ah. Kau bercanda. Siapa yang tak takut 

melihat kau berubah ujud segitu gedenya?"

Mendengar penuturan Ayu Sakiti, seketika 

Jaka tersenyum sembari berkata: "Seharusnya 

aku tak usah mengeluarkan ajian itu kalau Sing-

kek Iblis tidak mendahului dengan ajian seribu 

Iblisnya. Tapi sudahlah... oh ya, kenapa kau ada 

di sini?"

Ayu Sakiti pun menceritakan tentang apa 

yang telah ia alami di kampung itu. Tak lupa Ayu 

Sakiti memberi tahukan tentang siapa yang sela-

ma ini menggegerkan dunia persilatan.

***

Di perguruan Tambak Segara, tampak pagi 

itu dua orang muda mudi tengah berlatih ilmu si-

lat. Keduanya berkelebat-kelebat dengan cepat-

nya. Keduanya saling serang dan bertahan dari 

gempuran yang lain.

Tak jauh dari mereka berlatih, seorang le-

laki yang rambutnya telah berubah menjadi putih 

duduk bersila di atas sebuah batu yang terletak di 

sisi kiri pintu padepokan. Walau matanya terpe-

jam, namun dengan penglihatan batinnya yang 

tajam lelaki tua yang bernama Ki Tambak Sande 

dapat mengikuti kedua muridnya berlatih.

Salah satu dari kedua muridnya yang tak


lain dari anaknya sendiri, sementara yang seo-

rang lagi adalah Anggasana menantunya. Kedua 

muda mudi itu telah dijodohkan oleh guru sekali-

gus ayah sang gadis yang bernama Sekar Sedati.

Hubungan kedua sejoli itu tampak intim 

dan penuh kasih sayang hingga keduanya tampak 

seperti Kama Jaya dan Dewi Ratih. Keharmonisan 

hubungan mereka sempat menjadikan iri hati pa-

da seorang murid Ki Tambak Sande lainnya yang 

bernama Kandana.

Pernah Kandana yang merasa iri hati ke-

pada Anggasana telah berusaha memperkosa Se-

kar Sedati. Namun untung segera diketahui oleh 

Ki Tambak Sande, yang dengan kesaktiannya 

sempat mengutuk sang murid. Hingga wajahnya 

berubah menjadi buruk rupa saat itu pula.

"Ciat...! Awas, kakang Angga. Terimalah se-

ranganku," kata Sekar Sedati seraya berkelebat 

dengan cepat menyerang kekasihnya.

Anggasana dengan seketika mengelak, lalu 

dengan terlebih dahulu memperingatkan pada 

Sekar Sedati, Anggasana segera balik menyerang. 

"Awas, Sekar. Ganti aku yang menyerang. 

Hiaat...!"

Mungkin karena disengaja atau karena in-

gin menguji kasih sayang Anggasana, maka Sekar 

Sedati tidak segera mengelak serangan Anggasa-

na. Hingga pukulan yang dilontarkan Anggasana 

pun seketika mendarat di dada sebelah kanan-

nya.

Sekar Sedati seketika terhuyung-huyung


ke belakang dengan muka meringis menahan sa-

kit.

Anggasana sesaat tersentak demi melihat 

kekasihnya terhuyung kena pukulannya den-

gan perasaan takut kalau-kalau kekasihnya ter-

luka, Anggasana pun segera memburu tubuh Se-

kar Sedati dan dengan cepatnya dipeluk tubuh 

Sekar Sedati dalam pelukannya.

Menerima hal itu Sekar Sedati yang me-

mang hanya berpura-pura sakit dengan seketika 

membalas memeluk Anggasana yang seketika ter-

gagap.

"Kenapa kakang?" tanya Sekar Sedati, demi 

melihat Anggasana hendak melepaskan pelukan-

nya. Dengan segera, Anggasana memberi tanda 

isyarat. Tapi dasar Sekar Sedati manja, sudah di-

beri isyarat bukannya segera melepaskan pelu-

kannya, bahkan makin mempererat.

"Sekar. Bukankah ada ayahmu?" bisik 

Anggasana memperingatkan, karena ia takut ka-

lau-kalau Ki Tambak Sande yang tengah berse-

medi melihatnya.

Sekar Sedati tak mau perduli, malah den-

gan manja dirangkul dan diciumnya pipi Angga-

sana yang seketika makin gelagapan sembari ber-

kata: "Biarin. Bukankah kita telah ditunangkan?"

"Aku tahu, Sekar. Tapi kita ini belum res-

mi, maka belum layaklah bila kita berbuat begini 

di depan orang lain walau itu ayahmu," kata Ang-

gasana kembali menjelaskan.

Belum juga Sekar Sedati berkata, tiba-tiba


terdengar suara Ki Tambak Sande berkata: "Be-

nar, anakku. Walau kalian telah terikat, tapi hal 

itu bukannya tanda kalian boleh sesuka hati ber-

buat. Kalian sebagai orang-orang persilatan harus 

dapat menjaga hal-hal yang sekiranya kurang 

baik. Nanti kalau memang sudah masanya, maka 

kalian berhak atas segala yang menjadi hak ka-

lian."

Anggasana tersentak kaget hingga dengan 

segera melepaskan pelukan Sekar Sedati. Wajah-

nya merah padam menahan malu, sementara Se-

kar Sedati tampak hanya cengar-cengir manja 

dan masih terus menggayuti pundak Anggasana 

yang kini telah berdiri.

Sebagai murid Ki Tambak Sande yang baik, 

maka merasa dirinya bersalah Anggasana tanpa 

disuruh oleh gurunya segera bersujud memohon 

ampun.

"Ampun, guru. Tidak sekali-kali murid 

bermaksud berbuat rendah. Namun bila tindakan 

muridmu ini ternyata memang salah, maka murid 

siap untuk menerima hukumannya," kata Angga-

sana sembari bersujud di depan kaki gurunya Ki 

Tambak Sande yang tampak masih semedi den-

gan mata terpejam. 

"Kau tidak bersalah, Angga. Memang darah 

muda akan selalu dihinggapi dengan segala nafsu

angkara dan kelalaian. Tapi kau telah mampu 

mengatasinya. Aku bersyukur telah dapat mendi-

dikmu dengan baik hingga menjadi orang yang 

mengerti tata krama kehidupan," kata Ki Tambak


Sande dengan masih memejamkan matanya.

"Ayah... Sekar juga meminta maaf karena 

Sekar telah berbuat yang tak seharusnya Sekar 

lakukan," Sekar Sedati segera mengikuti kekasih-

nya bersujud di hadapan ayahnya dan mengakui 

segala kesalahannya.

Ki Tambak Sande tampak tersenyum demi 

melihat kedua anak dan muridnya tampak bersu-

jud. Lalu dengan mata masih terpejam, Ki Tam-

bak Sande berkata pelan. Tapi kata-kata Ki Tam-

bak Sande seketika menjadikan Sekar Sedati dan 

Anggasana terbelalak.

"Angasana dan Sekar Sedati, bersiaplah! 

Sebentar lagi akan datang orang yang berilmu 

tinggi yang dulu pernah kita kenal..."

Dalam keterkejutannya, Anggasana pun 

melontarkan pertanyaan ingin tahu gerangan sia-

pa orang yang datang hingga ia harus bersiap-

siap. "Siapa gerangan orang itu, guru?"

Sesaat Ki Tambak Sande terdiam, lalu den-

gan membuka matanya perlahan. Ki Tambak 

Sande pun berkata kembali.

"Kalian masih ingat kejadian enam tahun 

yang silam?"

Terbelalak Anggasana Dan Sekar Sedati 

mendengar ucapan guru dan ayahnya. Kembali 

terbayang di benak Anggasana dan Sekar Sedati 

wajah seseorang yang telah membuat keributan.

Tanpa sadar, Anggasana dan Sekar Sedati 

bergumam menyebut nama lelaki itu.

"Kandana, mau apa dia ke mari?"


"Muridku dan anakku. Memang benar akan 

apa yang kalian katakan, orang itu memang Kan-

dana adanya. Tapi ingat, dia sekarang bukanlah 

Kandana yang dulu kalian kenal. Dulu kalian 

mengenalnya sebagai orang yang bodoh dan dun-

gu, namun sekarang. Kandana telah bersekutu 

dengan iblis, hingga ilmunya pun ilmu iblis pula. 

Tapi kalian tak perlu takut, bagi seorang pende-

kar lebih baik mati daripada harus menyerah ka-

lah pada iblis," kata Ki Tambak Sande memberi 

semangat.

"Apa yang menjadi ucapan guru, akan mu-

rid junjung tinggi dan pertahankan. Murid telah 

siap untuk menghadapinya, walau nyawa murid 

sebagai taruhannya," sahut Anggasana dengan 

penuh rasa percaya diri dan siap menghadapi se-

galanya.

Begitu juga Sekar Sedati, yang dihatinya 

telah tertanam benih dendam atas perlakuan 

Kandana enam tahun yang silam, yang hampir 

saja merenggut miliknya yang paling mahal. Maka 

dengan mata bersinar penuh kebencian, Sekar 

Sedati pun berkata: "Seperti kakang Anggasana, 

aku pun telah siap untuk mati daripada harus 

menyerah pada iblis Kandana."

"Bagus. Ketahuilah, Kandana datang ke 

mari dengan tujuan ingin membuat perhitungan 

pada kita dan sekaligus ingin mengulangi perbua-

tannya enam tahun yang silam yang dapat kita 

gagalkan." Sehabis berkata begitu, Ki Tambak 

Sande tampak berdiri dari duduknya dan dengan


mata membuka lebar ditatapnya pemandangan di 

sebelah Timur rumahnya.

Melihat sang guru berbuat begitu, maka 

Anggasana pun segera mengikuti di belakangnya 

bersama Sekar Sedati. Kala mereka tengah me-

mandang ke arah Timur, Ki Tambak Sande den-

gan tanpa berpaling berkata: "Bersiaplah. Seben-

tar lagi iblis itu akan segera datang. Aku perin-

gatkan pada kalian, jangan terpengaruh dengan 

tatapan matanya sebab jika kalian memandang 

matanya celakalah kalian."

"Kenapa begitu, guru?" tanya Anggasana 

belum mengerti akan ucapan gurunya, dan mera-

sa aneh kedengarannya.

Mendengar pertanyaan muridnya, sang 

guru sesaat menengok memandang pada murid

dan anaknya seraya kembali berkata menerang-

kan. "Ketahuilah. Jika kalian memandang ma-

tanya, maka kalian akan terpengaruh oleh iblis. 

Kalau kalian telah terpengaruh, maka dengan 

mudah iblis itu akan membunuh kalian bagaikan 

membalik telapak tangannya. Pahamkah kalian?" 

"Murid mengerti, guru." 

"Sekar mengerti, ayah." Sesaat ketiganya 

terdiam hening, tak ada yang berkata-kata. Seper-

tinya mereka tengah tegang menghadapi sesuatu 

yang bakal menimpa mereka. Angin siang itu ti-

dak seperti biasanya. Angin siang itu tampak be-

gitu kencang dan dingin, disertai dengan bunyi-

bunyi aneh menerpa mereka.

Hilang angin itu, tiba-tiba ketiganya tersen


tak mendengar suara gelak tawa yang membaha-

na. Kembali ketiganya tegang, mata mereka se-

saat membeliak dan memandang sekeliling. Na-

mun mereka tak menemukan apa-apa, maka den-

gan berbisik pada murid dan anaknya Ki Tambak 

Sande berkata memperingatkan. "Awas. Iblis itu 

telah datang, bersiap-siaplah."

Habis kata-kata Ki Tambak Sande. Seketi-

ka dari arah Timur berkelebat sesosok tubuh 

dengan gelak tawa membahana menuju mereka.

"Selamat bertemu kembali, Ki Tambak 

Sande? Mungkin engkau masih mengenalku, wa-

lau wajahku telah berubah tidak buruk seperti 

dulu." Habis ucapan itu, tiba-tiba tanpa diketahui 

kedatangannya oleh Ki Tambak Sande. Orang 

yang mereka maksud telah berdiri tak jauh da-

rinya, hal itu membuat Ki Tambak Sande terbela-

lak kaget. Namun sebagai seorang yang telah ter-

sohor di dunia persilatan, dan telah banyak ma-

kan asam garam. Ki Tambak Sande dapat segera 

menghilangkan ketegangan, maka dengan nada 

datar penuh ketenangan, Ki Tambak Sande ber-

kata: "Kandana, untuk apa kau datang ke mari?"

Mendengar pertanyaan Ki Tambak Sande, 

seketika Kandana kembali tertawa bergelak-gelak. 

Dengan senyum sinis, Kandana memandang ta-

jam pada Ki Tambak sesaat, lalu pandangannya 

tertuju pada Sekar Sedati. "Hem. Rupanya kau 

makin tambah cantik saja, manis. Dulu aku tak 

sempat mencicipi tubuhmu yang bahenol itu, kini 

saatnya aku harus dapat merasakannya. Ayo, de


nok. Kau harus mau melayaniku."

Habis berkata begitu, tanpa memandang 

sedikit pun pada Ki Tambak Sande dan Anggasa-

na yang melotot marah. Kandana dengan sekele-

bat segera hendak menangkap Sekar Sedati, yang 

seketika mengelak dan mengirimkan tendangan-

nya.

Geram Kandana menerima hal itu. Ia tak 

menyangka kalau Sekar Sedati akan menendang-

nya, hingga perutnya pun tak ayal lagi menjadi 

hantaman kaki Sekar.

"Bug...!"

Terbelalak mata Kandana. Giginya bergeru-

tuk menahan amarah, hingga matanya seketika 

berubah menjadi merah.

Maka dengan terlebih dahulu mengelua-

rkan suara geraman, Kandana kembali menubruk 

tubuh Sekar Sedati. Tapi belum juga maksudnya 

kesampaian, tiba-tiba Anggasana telah menghan-

tamkan pukulan Palu Sewunya. Dan untuk kedua 

kalinya Kandana terhuyung ke belakang dengan 

darah menetes di bibirnya.

Makin marah saja Kandana menerima per-

lakuan seperti itu, maka dengan menggeram 

kembali dan dari mulutnya merapal ajian yang 

diperolehnya di goa Pancoran Sewu yaitu ajian 

Samber Nyawa, Kandana pun kembali menyerang.

Sekar Sedati dan Anggasana yang telah 

waspada, dengan segera berkelit mengelakan se-

rangan Kandana yang sudah nampak memuncak 

amarahnya.


Merasa buruannya dapat lolos, makin ber-

tambah saja amarahnya. Dengan perasaan iblis, 

Kandana pun segera mengiblatkan ajian Samber 

Nyawa pada dua sejoli itu.

"Awas...!" seru Ki Tambak Sande demi me-

lihat selarik sinar merah membara menuju ke 

murid dan anaknya yang dengan segera menge-

lak.

Pucat pasi wajah kedua sejoli itu demi me-

lihat apa yang baru saja hampir merengut nyawa 

mereka. Sementara Ki Tambak Sande menggu-

mam saat mengetahui ilmu yang digunakan oleh 

Kandana. "Hem. Ajian Samber Nyawa. Rupanya 

benar apa yang telah dikatakan oleh wangsit yang 

aku terima. Anggasana dan kau Sekar Sedati, 

minggirlah. Dia bukan lawan kalian, biar aku 

yang menghadapi," seru Ki Tambak Sande yang 

tahu bahwa murid dan anaknya tak akan mampu 

menghadapi Kandana.

Tanpa banyak bicara. Dengan segera Ang-

gasana dan Sekar Sedati segera melompat mun-

dur. Melihat kedua musuhnya mundur, dan demi 

mendengar ucapan Ki Tambak Sande, dengan se-

nyum sinis Kandana berkata sengau: "Hem. Ru-

panya kau telah tahu ilmu yang kugunakan. Nah, 

sekarang kuperintahkan pada kalian. Menyerah-

lah!"

Mata Anggasana dan Sekar Sedati terbela-

lak demi mendengar ucapan Kandana, seketika 

keduanya memandang pada Ki Tambak Sande 

yang tampak masih tenang dan tersenyum sinis

dan berkata menjawab ucapan Kandana.

"Kandana. Jangan kau berbesar hati dan 

sombong karena telah memiliki ilmu iblis. Pan-

tang bagiku, Ki Tambak Sande menyerah pada ib-

lis. Nah, Aku telah siap menghadapimu, walau-

pun nyawaku sebagai penggantinya."

"Hem. Begitu. Baik, bersiaplah kau kukirim 

ke akherat. Bersiaplah, hiat...!" Habis berkata be-

gitu, dengan secepat kilat Kandana berkelebat 

menyerang Ki Tambak Sande. Tangan Kandana 

yang telah merapalkan aji Samber Nyawa tampak 

merah menyala bagaikan bara api, dengan segera 

dikiblatkannya pada Ki Tambak Sande yang--

segera mengelak dan langsung mengirimkan se-

rangan balik dengan aji Gampar Bumi.

Kedua kekuatan sakti itu saling bertemu 

dan beradu di udara, menjadikan suara ledakan 

dahsyat. 

"Blaar...!"

Ki Tambak Sande terdorong lima tombak 

ke belakang, dadanya terasa sesak. Sementara 

Kandana tampak hanya melengoskan tubuhnya 

menerima hantaman itu, di bibirnya tergerai se-

nyum sinis mengejek.

Kaget Ki Tambak Sande, demi melihat ke-

nyataan yang ada di hadapannya. Hatinya seketi-

ka bergumam: "Hem. Memang bukan ilmu semba-

rangan, tapi apapun yang terjadi daripada aku 

harus menyerah kalah pada iblis, lebih baik aku 

mati."

Tanpa disadari Kandana. Ki Tambak Sande


dengan segera kembali berkelebat menyerang 

Kandana. Diserang tiba-tiba seperti itu, membuat 

Kandana menggeram dan mengumpat-umpat ma-

rah sembari berkelit.

"Bedebah! Rupanya kau ingin mampus ce-

pat-cepat, tua bangka!" Dengan reflek yang tinggi, 

Kandana segera mengiblatkan kembali tangan 

yang telah disaluri ajian Samber Nyawa ke arah 

Ki Tambak Sande yang tak menduga. Hingga tan-

pa dapat berkelit, Ki Tambak Sande akhirnya 

hanya mampu mengadunya dengan ajian Gampar 

Bumi. Dan... Kembali terdengar suara ledakan 

membahana di angkasa. "Duar!" Untuk kedua ka-

linya Ki Tambak Sande terdorong ke belakang, 

kali ini malah makin fatal akibatnya. Ki Tambak 

Sande tampak bukannya terdorong saja, malah 

kini terluka dalam.

Sementara Kandana tampak makin mele-

barkan senyumnya, demi menyaksikan musuh-

nya terkapar dengan tangan memegangi dadanya. 

Maka dengan congkaknya Kandana tertawa se-

raya berkata: "Sudah aku bilang, percuma saja 

kalian melawanku. Maka begitulah akibatnya, 

ha... ha..."

Mendengar ucapan Kandana yang som-

bong, membuat Anggasana dan Sekar Sedati yang 

tengah mengerumuni tubuh Ki Tambak Sande 

menggeram. Dan dengan nekad, keduanya segera 

berkelebat menyerang Kandana seraya berkata 

membentak: "Jangan takabur iblis. Langkahi dulu 

mayat kami, sebelum kau dapat menguasai diri


kami," kata keduanya hampir berbarengan.

"Hem. Bagus. Rupanya kalian pun meng-

hendaki mati, baiklah. Akan aku kirim kalian se-

muanya ke akherat, walaupun aku merasa 

sayang dengan tubuhmu yang bahenol itu, Sekar. 

Namun kalaupun begitu, aku akan menikmati du-

lu tubuhmu sebelum aku kirim kau ke neraka."

Kandana yang telah dirasuki iblis, tanpa 

mengenal rasa kasihan segera memapaki seran-

gan keduanya dengan ajian Samber Nyawa. Dice-

carnya tubuh Anggasana, sementara Sekar Sedati 

yang memang diinginkannya hidup. Dibiarkannya 

menyerang.

Pertarungan dua lawan satu pun terus ber-

jalan. Walaupun demikian, tampak Kandana den-

gan mudah dapat mendesak keduanya. Hingga 

pada sebuah kesempatan, Kandana dapat meng-

hantamkan ajian Samber Nyawanya ke tubuh 

Anggasana yang seketika hangus mati.

Melihat kekasihnya mati di tangan Kanda-

na, Sekar Sedati dengan nekad menyerang Kan-

dana berhadap-hadapan. Untung Kandana tidak 

menurunkan tangan mautnya. Hingga ketika ke-

duanya bentrok, Sekar Sedati tak mengalami hal 

seperti kekasihnya. Namun tubuhnya seketika 

lemas, terkena totokan yang dilancarkan oleh 

Kandana.

Kandana tampak meringis tersenyum, demi 

melihat tubuh Sekar Sedati tergeletak dengan tak 

berdaya. Perlahan didekatinya tubuh Sekar yang 

tergeletak lemas, membuat Sekar Sedati membeliakkan matanya penuh kebencian. Dari mulutnya 

keluar caci maki. "Iblis laknat, lepaskan aku. Aku 

tak sudi melayanimu, cih!"

Dicaci maki seperti itu, bukan menjadikan 

Kandana marah. Bahkan dengan tersenyum, 

Kandana pun segera membuka pakaian yang me-

lekat di tubuh Sekar yang hanya mampu meme-

jamkan mata rapat-rapat pasrah.

Ki Tambak Sande yang menyaksikan hal 

itu menjadi sangat geram dan dengan sisa-sisa 

tenaganya segera melompat menyerang Kandana. 

Ditendangnya Kandana yang tengah mengang-

kangi tubuh anaknya hingga terpental mencium 

tanah dan dengan segera dibebaskannya totokan 

yang membelenggu tubuh anaknya hingga terbe-

bas. Setelah Sekar Sedati terbebas, disuruhnya 

Sekar Sedati pergi

"Cepat tinggalkan tempat ini. Cepat!"

Mulanya Sekar Sedati tampak ragu, hingga 

membuat Ki Tambak Sande kembali membentak-

nya. "Anak dungu! dia tak akan membunuhmu, 

namun dia akan memperkosamu. Cepat pergi!"

"Tapi, ayah?" tanya Sekar Sedati ragu hing-

ga membuat Ki Tambak Sande melotot marah dan 

kembali membentak.

"Dungu! Jangan kau hiraukan aku. Cepat 

pergi!"

Maka dengan menurut tanpa banyak kata 

lagi, Sekar Sedati pun segera berlari pergi me-

ninggalkan tempat itu.

Kandana yang sudah berdiri kembali ber


maksud mengejar Sekar Sedati yang berlari, keti-

ka dengan segera Ki Tambak Sande menghadang-

nya.

Geram Kandana merasa buruannya lolos 

karena Ki Tambak Sande, maka tanpa ampun lagi 

Ki Tambak Sande pun dengan segera menjadi bu-

lan-bulanan kemarahan Kandana hingga tubuh-

nya hancur. Belum puas sampai di situ, diten-

dangnya tubuh Ki Tambak Sande hingga me-

layang jauh.

"Bedebah! Dendamku belum habis bila aku 

belum dapat merasakan tubuh Sekar Sedati. 

Hem... Ke mana pun larinya, akan kukejar." Se-

habis berkata begitu, tubuh Kandana seketika 

berkelebat menuju ke arah yang ditempuh Sekar 

Sedati.

***

EMPAT



Jaka dan Ayu Sakiti tengah berjalan dalam 

usahanya memburu manusia bermuka hantu 

yang telah menggemparkan dunia persilatan.

Sudah cukup jauh mereka berjalan, me-

nyusuri hutan dan desa namun belum juga mere-

ka menemukan jejak yang dapat menuntun me-

reka menunjukkan adanya orang tersebut.

Siang itu keduanya tampak berjalan beri-

ringan menyusuri jalan Setapak di tengah hutan


yang belum dijamah oleh manusia.

"Ke mana kita harus mencarinya? Rasa-

rasanya sangat susah bagi kita untuk dapat me-

nemukannya. Aku yakin bahwa orang

mungkin telah mencium maksud kita," kata Jaka 

dengan putus asa, menjadikan Ayu Sakiti men-

gernyitkan alis.

"Kenapa kau menjadi orang yang pesimis? 

Bukanlah seorang pendekar bila cepat menyerah."

Jaka nyengir kuda, demi mendengar uca-

pan Ayu Sakiti yang dirasa menyindirnya. Maka 

tanpa dapat berkata lagi, Jaka pun segera melan-

jutkan langkahnya dengan perasaan malu.

"Ke mana kita?" kembali Jaka bertanya un-

tuk kedua kalinya, Ayu Sakiti kembali menger-

nyitkan pelipisnya. Dipandangnya Jaka dengan 

tajam, hingga membuat Jaka salah tingkah dan 

bertanya heran.

"Kenapa kau memandangku begitu? Apa 

ada yang tak beres padaku?"

"Ada," jawab Ayu Sakiti dengan muka cem-

berut. Membuat Jaka makin tak mengerti dengan 

tingkahnya.

"Hai... kau marah padaku? Ada ucapanku 

yang menyinggung perasaanmu, Ayu?" Melihat 

Ayu Sakiti cemberut begitu rupa timbul di hati 

Jaka untuk menggoda. Dengan berkelebat cepat. 

Jaka segera meninggalkan ayu Sakiti yang ter-

bengong-bengong sembari mencari-cari.

"Ke mana dia?" tanya hati Ayu Sakiti. Di-

panggilnya Jaka dengan berteriak-teriak. "Jaka...!


Di mana kau?"

Tanpa ada jawaban, membuat Ayu Sakiti 

makin bingung. Walaupun dia seorang pendekar, 

tapi dia juga seorang wanita. Ditinggal sendirian 

di dalam hutan yang masih perawan, seketika bu-

lu kuduknya meremang berdiri.

Sedang Ayu Sakiti ketakutan. Tiba-tiba 

terdengar suara yang menyeramkan. 

"Hem...aum!"

Ayu Sakiti semakin ketakutan, dicarinya 

asal suara itu, namun ia tak menemukan apa-apa 

di sekitarnya. Keringat dingin seketika deras 

membasahi pelipis Ayu Sakiti, lalu dengan geme-

taran Ayu Sakiti kembali berseru memanggil.

"Jaka...! Di mana kau?!

"Ha... ha...! Anak manis, sedang apa kau di 

sini sendirian?" Tiba-tiba terdengar suara orang 

tanpa ujud, membikin Ayu Sakiti seketika terdu-

duk dengan tubuh gemetaran.

Belum hilang rasa takutnya, sekonyong-

konyong sesosok tubuh berkelebat dan langsung 

memeluknya hingga Ayu Sakiti terlonjak sembari 

menjerit. "Auh...!"

Orang yang memeluknya yang ternyata Ja-

ka Ndableg, seketika tertawa terpingkal-pingkal 

membuat Ayu Sakiti kembali cemberut. Tapi keti-

ka Jaka hendak melepaskan pelukannya, Ayu Sa-

kiti malah melingkarkan kedua tangannya ke leh-

er Jaka dan merebahkan kepalanya pada dada 

Jaka.

"Ayu, sadarlah."


"Tidak!" jawab Ayu Sakiti dengan manja, 

yang membuat Jaka seketika bingung harus ber-

buat apa. Jaka pun akhirnya hanya terdiam 

membiarkan Ayu Sakiti rebah di dadanya.

Keduanya sesaat terlelap dalam diam. Tak 

terasa Ayu Sakiti meragakan getaran aneh di ha-

tinya, hingga tanpa disadarinya makin erat Ayu 

Sakiti memeluk tubuh Jaka. Kedua insan muda-

mudi itu seketika saling pandang, bibir mereka 

akhirnya yang bicara mengutarakan isi hati.

Benih-benih cinta pun tumbuh, seirama 

dengan desiran angin yang merambat lewat de-

daunan. Lama keduanya saling berciuman. Jaka 

Ndableg tersadar dan dengan perlahan mele-

paskan pelukan Ayu Sakit sembari berbisik.

"Ayu, sadarlah. Kita tengah berada di da-

lam hutan. Dan tidakkah kita tengah memburu 

seseorang? Kalau kita menuruti hati kita, bukan 

tak mungkin kita yang akan celaka oleh musuh."

Mendengar penuturan Jaka, Ayu Sakiti 

pun akhirnya mau melepaskan rangkulannya 

dengan tersipu-sipu, sementara matanya yang 

lentik memandang sayu penuh rasa kagum dan 

cinta pada Jaka.

Jaka mengerti akan apa yang tersirat dari 

pandangan Ayu Sakiti, seperti halnya dengan ha-

tinya sendiri yang juga merasakan adanya geta-

ran-getaran aneh.

Dari bibir Ayu Sakiti yang mungil, dengan 

perlahan keluar kata-kata. "Jaka, aku harap kau 

jangan meninggalkanku. Aku yakin kau mengerti


perasaanku."

Mendengar ucapan Ayu Sakiti yang tulus 

dan polos, tak terasa Jaka berkaca-kaca matanya 

tak mampu untuk berucap, hanya anggukan ke-

pala saja yang dapat ia lakukan sebagai jawaban.

Berbunga hati Ayu Sakiti, melihat Jaka 

menganggukkan kepalanya, bagaikan anak kecil 

saja, Ayu Sakiti segera memeluk Jaka kembali se-

raya berseru girang.

"Terima kasih, Jaka. Ternyata cintaku tak 

bertepuk sebelah tangan."

Melihat Ayu Sakiti tampak bahagia, Jaka 

pun merasa turut bahagia. Entahlah, baru sekali 

ini Jaka merasakan getaran perasaan lain pada 

Ayu Sakiti.

Keduanya kembali terhanyut dalam kein-

dahan asmara, yang membawa mereka ke alam 

indah penuh misteri yang tak dapat dipecahkan.

Sedang keduanya berciuman, tiba-tiba ke-

duanya dikagetkan oleh bentakan seseorang. "Ku-

rang asem! Berani benar menjadikan wilayahku 

untuk bermesraan. Hai monyet-monyet muda, 

apa kau tidak tahu jika hutan ini adalah wilayah 

kekuasaanku, hah!"

Jaka dan Ayu Sakiti tersentak, hingga ci-

uman mereka pun terlepas. Namun yang mem-

buat marah Jaka bukannya itu, tapi ucapan lelaki 

gembrot yang kini berada tiga tombak di hada-

pannya. Maka dengan balik membentak, Jaka 

pun berkata. "Hai babi gudig! Apa hakmu mela-

rang kami, ini adalah hutan. Maka siapa pun


berhak untuk singgah atau bermukim di sini, 

jangan seenak udel saja kau mengaku-aku yang 

bukan menjadi hakmu."

"Bojleng-bojleng. Kera kurapan, rupanya 

kau belum tahu siapa kau hingga berani lancang 

ngomong sembarangan," dengus lelaki gembrot 

itu dengan marahnya, demi mendengar ucapan 

yang dilontarkan Jaka.

Ayu Sakiti hanya tersenyum menyaksikan 

kekasihnya tengah berperang mulut dengan lelaki 

gendut yang telah mengganggu mereka.

"Aku tak perduli siapa kau. Yang pasti, kau 

tak lebih dari orang-orang jahat hingga tempatmu 

di hutan seperti ini, agar kau tak dapat diburu 

oleh orang-orang penegak kebenaran dan keadi-

lan. Nah mengakulah, agar aku dapat menang-

kapmu untuk kuserahkan ke kerajaan," kata Ja-

ka mereka-reka.

Namun ternyata rekaan Jaka benar 

adanya. Terbukti lelaki gemuk itu tersentak demi 

mendengar ucapan Jaka Ndableg yang tadinya 

hanya mereka, kini merasa yakin bahwa orang itu 

memang jahat. Maka sebelum lelaki gembrot itu 

berkata, Jaka telah mendahuluinya.

"Nah, kau akhirnya mengakui siapa kau 

sebenarnya. Ayu, dia ternyata seorang buronan 

kerajaan. Maka sepantasnyalah kita harus me-

nangkapnya."

"Benar, kakang. Orang-orang macam dia 

memang harus ditangkap dan dijebloskan ke pen-

jara, atau harus dihukum picis sesuai dengan ke


jahatannya." jawab Ayu Sakiti.

Lelaki gemuk itu seketika marah, demi 

mendengar kedua anak muda di hadapannya 

berkata. Ia memang seorang buronan kerajaan, 

tanpa banyak kata lagi menyerang.

"Monyet-monyet gendeng, memang aku 

musuh kerajaan. Akulah yang bernama Begal 

Bajing Ireng. Kalau kalian mau menangkap aku 

langkahi dulu mayatku."

Tubuh Begal Bajing Ireng yang gemuk ter-

nyata tidak menjadikannya kaku. Bahkan dengan 

tubuh yang gemuk, Begal Bajing Ireng bergerak 

lincah menyerang Jaka.

Merasa dirinya tak perlu untuk turun tan-

gan. Maka Jaka dengan segera melompat mun-

dur, menonton Ayu Sakiti bertempur menghadapi 

Begal Bajing Ireng. Merasa Ayu Sakiti adalah se-

perti wanita kebanyakan. Begal Bajing Ireng men-

ganggap enteng saja. Ia tak mengetahui siapa se-

benarnya yang tengah ia hadapi, yang tak lain da-

ri murid tunggal Ki Martanu.

Begal Bajing Ireng tersentak, ketika tangan 

Ayu Sakiti berkelebat cepat dan menghantam tu-

buhnya yang gendut hingga terhuyung ke bela-

kang.

"Bojeng-bojeng, lebih baik menyerahlah. 

Kalau kau mau menyerah, maka akan ringan hu-

kumanmu," kata Jaka yang tampak tenang duduk 

di atas sebatang pohon yang tumbang.

Geram Begal Bajing Ireng merasa diremeh-

kan. Maka dengan mendengus marah, ia pun

kembali menyerang Ayu Sakiti.

"Rupanya kau alot juga, orang tua. Baik! 

Ayo kita teruskan," kata Ayu Sakiti, demi melihat 

Begal Bajing Ireng yang kembali menyerangnya.

Pertempuran keduanya pun kembali berja-

lan. Sementara Jaka tampak hanya memandang 

mengawasi dengan siaga, kalau-kalau terjadi se-

suatu yang tak diinginkan.

Sedang keduanya berkelahi. Tiba-tiba ter-

dengar suara seorang wanita berseru: "Kakang 

Bajing Ireng, biar sundel ini aku yang menghada-

pi. Kakang hadapilah pemuda itu, jangan biarkan 

pemuda itu ongkang-ongkang di tempatnya." Ha-

bis ucapan itu, berkelebat seketika sesosok tubuh 

gadis yang sebaya dengan Ayu Sakiti dan lang-

sung menggantikan Bajing Ireng yang segera me-

nyerang Jaka yang sedari tadi menjadi penonton.

"Heh bagus. Rupanya di sini ada kuntila-

nak juga! Baiklah kalau kau mengingini berhada-

pan dengan aku," kata Jaka seraya mengelakan 

pukulan Begal Bajing Ireng.

Kini pertarungan menjadi ramai, dengan 

turunnya adik Bajing Ireng. Jaka yang sudah se-

dari tadi melihat ilmu Begal Bajing Ireng, dengan 

tenangnya meladeni setiap serangan yang dilan-

carkan Bajing Ireng.

"Ayu... sia-sia kita mengulur waktu, lihat-

lah."

Habis berkata begitu, tangan Jaka berkele-

bat dengan cepatnya dan...!

"Bug, bug bug!"


Bersamaan dengan itu, seketika tubuh Baj-

ing Ireng terdorong ke belakang dan jatuh.

Bersamaan dengan itu pula, Ayu Sakiti 

yang mendapatkan musuh di bawah ilmunya 

memekik dan menghantam telak pukulannya ke 

tubuh adik Bajing Ireng yang seketika menjerit 

dan roboh.

Tanpa memperdulikan lagi kedua kakak 

beradik yang mereka robohkan, Jaka dengan se-

gera menggandeng tangan Ayu Sakiti berkelebat 

pergi meninggalkan hutan itu.

***

LIMA



"Sampurasun...! seru seorang lelaki di de-

pan pintu rumah Tumenggung Panggaluh. Lelaki 

itu memandang ke dalam halaman rumah, dalam 

hatinya bergumam. "Hem... rumah ini masih se-

perti yang dulu, segalanya tak ada yang berubah 

seperti setahun setengah yang lalu."

Sedang ia terdiam memandangi rumah itu, 

dari dalam rumah tampak seorang wanita muda 

keluar dan menyahuti:

"Rampes... siapakah gerangan, Ki sa-

nak?""tanya wanita muda yang tak lain dari pada 

istri Tumenggung Panggaluh yang bernama Dewi 

Sekasih dengan senyum ramah, membuat jan-

tung pemuda itu seketika bergetar.

"Ah. Betapa cantik dan tanpa celanya Dewi


Sekasih. Sungguh tak setara bila harus Tumeng-

gung Panggaluh yang mendampinginya, harusnya 

aku. Ya, aku yang harus mendampingi Dewi Se-

kasih yang cantik," gumam hati lelaki muda itu, 

hingga ia pun terdiam. Matanya memandang ta-

jam pada mata Dewi Sekasih yang tak mampu 

mengelakan pandangan mata pemuda di hada-

pannya.

"Kanjeng Dewi. Apa benar Tumenggung 

mencari seorang pesuruh untuk menyabit rum-

put?" tanya si pemuda setelah dapat mempenga-

ruhi Dewi Sekasih dengan mata iblisnya.

Hati dewi Sekasih yang sudah dikuasai 

oleh ilmu iblis pemuda itu, seketika bergetar. 

Dengan senyumnya yang manis Dewi Sekasih 

membuka pintu dan mempersilahkan tamunya 

masuk.

"Terima kasih, Kanjeng Dewi. Hamba 

hanya ingin menanyakan kebenaran berita, bah-

wa Kanjeng Tumenggung tengah mencari tukang 

arit," kata lelaki itu kembali.

Dewi Sekasih terdiam dengan mata me-

mandang penuh nafsu.

"Dulu memang mencari seorang lelaki un-

tuk mengarit. Namun kini telah ada. Lagi pula, 

apakah ki sanak yang tampan ini hendak menjadi 

tukang arit?" tanya Dewi Sekasih setelah lama 

terdiam. Di hatinya tumbuh sebuah perasaan 

yang aneh kala memandang mata pemuda itu, 

hingga Dewi Sekasih tampak ingin manja.

"Kalau begitu, baiklah. Aku mohon pamit,"


kata lelaki muda itu hendak pergi. Namun dengar 

tepatnya Dewi Sekasih yang sudah terpengaruh 

oleh ilmu iblis pemuda itu segera menghadang-

nya. Dan dengan tersipu-sipu berkata manja.

"Anak muda, mengapa mesti terburu-

buru?"

"Maaf, Kanjeng Dewi. Karena hamba bertu-

juan hendak mencari kerja dan ternyata di sini 

tak ada, jadi hamba bermaksud kembali ke kam-

pung hamba." Pemuda itu hendak kembali berla-

lu, ketika untuk kedua kalinya Dewi Sekasih se-

gera menghalanginya dengan berseru memanggil.

"Anak muda, tunggu!"

"Ada apakah Kanjeng Dewi?"

"Kenapa mesti terburu-buru?"

Pemuda itu tersenyum melihat tingkah la-

ku Dewi Sekasih yang telah terpengaruh oleh il-

munya. Maka dengan pura-pura, pemuda itu ber-

kata: "Kanjeng Dewi, tidak baik aku lama-lama di 

sini. Aku takut nanti ketahuan oleh Kanjeng Tu-

menggung atau prajurit-prajuritnya, apa jadinya?"

Dewi Sekasih bukannya mendengar uca-

pan pemuda itu yang menuturinya. Namun seba-

liknya, Dewi Sekasih hanya tersenyum. Tanpa 

terpikir oleh pemuda itu sebelumnya, Dewi Seka-

sih tiba-tiba telah melingkarkan tangannya ke 

leher pemuda itu.

"Kanjeng Dewi," kata pemuda itu pura-pura 

kaget. Tapi hatinya bersorak senang, sebab apa 

yang diimpi-impikannya selama ini telah terpenu-

hi. Dalam hati pemuda itu berkata: "Hem, apakah


aku menyia-nyiakan kesempatan yang baik ini. 

Tidak!"

"Anak muda, janganlah kau tinggalkan 

aku. Berilah aku kehangatan. Aku... aku telah 

lama mendambakan orang yang mengerti tentang 

perasaanku." Setelah berkata begitu, Dewi Seka-

sih segera membimbing pemuda itu yang hanya 

diam saja menuju ke kamarnya.

"Kanjeng Dewi. Kau...?" tergagap pemuda 

itu ketika tubuhnya di tarik menuju ke dalam 

kamar. Namun Dewi Sekasih tampak hanya ter-

senyum, dan dengan manja berbisik.

"Kanjeng Tumenggung tak ada di rumah, 

begitu halnya dengan kelima prajuritnya. Mereka 

tengah menghadap raja untuk membicarakan 

masalah yang kini tengah melanda dunia persila-

tan dan kerajaan ini."

"Masalah apa?" tanya pemuda itu ingin ta-

hu. Karena telah dikuasai ilmu iblis si pemuda, 

Dewi Sekasih pun dengan tanpa menaruh curiga 

menceritakannya.

"Jadi Kanjeng Tumenggung dan prajurit-

prajuritnya kini tengah menghadap Sri Baginda?" 

tanya pemuda itu setelah dapat mengorek geran-

gan apa yang menjadikan Sri Baginda memanggil 

Tumenggung.

"Ya... maka dari itulah, aku mohon kau 

mau menemaniku. Berilah aku kehangatan anak 

muda. Sungguh... aku selama ini didera oleh rasa 

sepi dan ketidakpuasan, karena Tumenggung 

orangnya loyo."


Tersenyum pemuda itu mendengar penga-

kuan Dewi Sekasih yang seketika itu menggelin-

jang kegelian penuh nikmat.

Akhirnya keduanya pun bercanda sambil 

menikmati kenikmatan yang tengah mereka laku-

kan.

"Ayo anak muda, berilah aku kepuasan, 

aku yakin kau pun sebenarnya menghendaki di-

riku bukan?" kata Dewi Sekasih sembari tertawa-

tawa kegelian ketika tangan pemuda itu liar men-

jarah tubuhnya.

"Kalau itu yang dikehendaki Kanjeng Dewi, 

maka hamba pun siap memberikannya." Dengan 

penuh nafsu setan, pemuda itu menggeluti tubuh 

Dewi Sekasih yang hanya mampu memejamkan 

mata dan sekali-kali membukanya.

***

"Hem, mengapa sepi?" gumam hati Tu-

menggung Panggaluh saat melihat keadaan ru-

mahnya tampak sepi. "Ke mana Dewi? Kenapa ti-

dak mengetahui kedatanganku? Jangan-

jangan...?" Seketika perasaan Tumenggung Pang-

galuh tidak enak. Segera diperintahkannya Karta 

untuk masuk lebih dahulu.

Tersentak Karta, saat melihat apa yang 

tengah terjadi di depan matanya. Istri Tumeng-

gung tampak dengan tubuh setengah telanjang 

tengah dikangkangi oleh seorang pemuda yang 

belum ia kenal.


"Dajal buntung!" bentak Karta dengan pe-

nuh amarah, dan diserangnya pemuda yang men-

gangkangi istri Tumenggung.

Mendengar bentakan Karta, serta merta 

pemuda itu segera bangkit. Dengan tubuh seten-

gah telanjang, pemuda itu segera berlari keluar. 

Namun di luar tampak keempat prajurit lain ber-

sama Tumenggung Panggaluh telah menghadang-

nya.

"Dajal! Rupanya kaulah buaya darat yang 

telah membuat keonaran. Tangkap...!" seru Tu-

menggung Panggaluh dengan penuh amarah. Se-

ketika keempat prajuritnya segera berkelebat se-

rentak menyerang pemuda itu.

Karta yang mengejar kini turut menggem-

purnya. Walaupun dikeroyok oleh lima orang pra-

jurit, namun tampaknya pemuda itu dengan mu-

dah mengelakkan serangan mereka.

"Hem... karena kalian telah tahu siapa 

orang yang selama ini menjadi buah bibir, maka 

aku perintahkan kalian segeralah menyembah," 

kata pemuda itu dengan sombong.

"Iblis! Jangan karena kau terkenal lalu 

sombong! Kami prajurit-prajurit Ketemenggungan, 

pantang bagi kami untuk menyerah. Apapun 

maumu, kami turuti. Serang...!" kata Karta selaku 

pimpinan prajurit Ketemenggungan yang dengan 

segera dilaksanakan oleh keempat prajurit Kete-

menggungan. Kelima prajurit itu pun dengan se-

rentak menyerang pemuda di hadapannya, yang 

masih tampak tersenyum sinis mengejek.


Tanpa dapat dicegah, pertarungan satu 

melawan lima pun tak dapat dielakkan. Kelima 

prajurit-prajurit setia Tumenggung Panggaluh 

dengan gagah berani menyerbu.

Pemuda itu makin melebarkan senyumnya. 

Sekali tangannya berkelebat, terdengar pekikan 

membahana dari prajurit Ketemenggungan. Dua 

di antara kelima prajurit itu tersungkur mencium 

tanah dengan tubuh hangus.

Tumenggung Panggaluh tersentak demi 

melihat ajian yang dipakai oleh pemuda itu, hing-

ga dari mulutnya terdengar menggumam. "Hem, 

Aji Samber Nyawa. Anak muda, apa hubunganmu 

dengan Iblis Pancoran Sewu!" bentak Tumeng-

gung Panggaluh, yang membuat si pemuda untuk 

sesaat tersentak kaget.

"Ketahuilah oleh kalian. Aku adalah murid 

Sri Ratu Siluman, yang bertahta di goa Pancoran 

Sewu, untuk itu aku minta kalian menyerahlah."

"Iblis! Pantas perbuatanmu biadab seperti 

buaya, tak tahunya kau memang siluman ular 

putih. Walaupun begitu, aku tak akan menyerah. 

Ayo prajurit, serang iblis laknat itu!" seru Tu-

menggung Panggaluh. Dengan segera dilakukan 

oleh ketiga prajuritnya yang masih tersisa. Wa-

laupun mereka agak jeri. Namun demi membela 

nama baik Ketemenggungan, rasa takut di hati 

mereka seketika dibuang jauh-jauh dan berganti 

dengan rasa patriotisme yang tinggi.

Kembali pertarungan di antara prajurit Ke-

temenggungan mengeroyok pemuda berilmu iblis


itu terjadi.

Walau ketiga prajurit itu merupakan praju-

rit pilihan, namun menghadapi si pemuda, keti-

ganya bagaikan tak ada apa-apanya. Hingga den-

gan mudah pemuda itu kembali dapat menjatuh-

kan mereka, yang memekik meregang nyawa.

Terbelalak mata Tumenggung Panggaluh 

menyaksikan ketiga prajuritnya mati. Dengan pe-

nuh amarah Tumenggung Panggaluh segera me-

lompat dari kudanya langsung menyerang pemu-

da di depannya.

Diserang secara tiba-tiba, bukan menjadi-

kan si pemuda keteter. Bahkan dengan enaknya, 

pemuda itu berkelit dan melakukan serangan ba-

lik.

"Bagus! Memang hal itu yang aku inginkan. 

Aku ingin tahu, sampai di mana ilmunya seorang 

Tumenggung," kata pemuda itu dengan senyum 

mengejek, membuat Tumenggung Panggaluh ma-

kin marah.

Dengan membabi buta laksana banteng ke-

taton, Tumenggung Panggaluh mencoba merang-

sek si pemuda, yang tampak masih tenang den-

gan senyum di bibirnya mengelakan serangan 

Tumenggung.

Mungkin karena usianya yang jauh lebih 

tua, seketika serangan Tumenggung Panggaluh 

yang tadi keras berubah mengendur. Hal ini ma-

kin membuat pemuda itu tertawa mengejeknya.

Tanpa ayal lagi... tubuh Tumenggung 

Panggaluh pun terkena, dihantam oleh si pemu


da. Panggaluh seketika terhuyung ke belakang ti-

ga tombak, dadanya terasa sakit. Dari mulutnya 

yang menetes darah menggeram. "Hem... jangan 

kira kau telah menang, anak muda. Ayo kita lan-

jutkan."

"Hem... rupanya kau masih kuat, Tumeng-

gung. Baiklah! agar kau tak penasaran setelah 

mati, maka ketahuilah olehmu, aku yang dibica-

rakan oleh orang-orang tak lain dari pada Kanda-

na bekas juru aritmu."

Makin terkejut Tumenggung Panggaluh, 

demi mendengar nama pemuda itu. Ia tak me-

nyangka, pemuda yang dulu buruk dan lemah. 

Kini menjadi tampan dan berilmu tinggi. Namun 

ketika ia ingat akan siapa yang menjadi guru si 

pemuda Kandana, seketika ia tak merasa ragu la-

gi.

"Rupanya kau orangnya, kenapa dulu aku 

tak membunuhmu. Dan aku rasa, kaulah yang 

pernah membuat firasat jelek waktu itu. Rupanya 

kau bermaksud mempengaruhi istriku dengan il-

mu iblismu, beruntung aku memergoki nya!" ge-

ram Tumenggung Panggaluh marah, hingga gi-

ginya tampak beradu dan lehernya tampak meng-

gembung.

Kandana tertawa bergelak-gelak.

"Nah, kau telah tahu segalanya. Kuharap 

kau akan mati dengan tenang, bersiaplah!"

Habis berkata begitu, Kandana segera me-

rapalkan ajian Samber Nyawanya. Dengan berke-

lebat cepat bagaikan seekor burung rajawali,


Kandana segera menyerang Tumenggung Pangga-

luh.

Tumenggung Panggaluh yang telah melihat 

dengan mata kepala sendiri, kehebatan Ajian 

Samber Nyawa. Dengan segera, ia pun merapal 

ajiannya Geledek Buana.

"Hiaat...!" terdengar pekik Kandana menye-

rang dengan ajian Samber Nyawanya. Tubuhnya 

berkelebat dengan cepat, sebaliknya Tumenggung 

Panggaluh pun tak mau mati konyol. Dengan 

ajian Geledek Buananya, ia pun berkelebat me-

mapaki serangan itu.

"Hiat...!" Dua kekuatan tenaga dalam ber-

bentrokan di udara menjadikan satu ledakan 

yang hebat. Bumi di bawahnya seperti di aduk, 

muncrat ke angkasa.

Panggaluh terdorong lima tombak ke bela-

kang, sementara Kandana tampak lebih parah. 

Tubuhnya terdorong hampir sepuluh tombak. Da-

ri mulutnya meleleh darah segar.

Mata Kandana melotot heran, demi melihat 

ilmu Tumenggung ternyata ada satu tingkat di 

atas ajian Samber Nyawa miliknya.

Maka dengan menggeram sesaat, disertai 

mulutnya berkomat-kamit mengucap mantera. 

Tiba-tiba...! Tubuh Kandana yang tadinya gagah 

dan tampan, seketika berubah menjadi buruk dan 

mengerikan. Wajah Kandana berubah menjadi 

wajah ular, matanya menyorot merah, tajam 

menghunjam mata Tumenggung Panggaluh yang 

tersentak kaget.



"Ilmu iblis! Benar-benar ia telah menguasai 

ilmu iblis Ratu Siluman." Sedang ia tersentak, ti-

ba-tiba Kandana yang telah berubah ujud itu me-

nyerangnya.

Panggaluh segera mengelak, lalu dengan 

cepat dihantamnya tubuh mahluk itu dengan 

ajian Geledek Buana. Sesaat mahluk itu tergetar, 

namun tampaknya mahluk itu tak mengalami 

apa-apa. Bahkan tubuh mahluk itu kini bertam-

bah besar.

Panggaluh kembali tersentak kaget. Merasa 

ia belum yakin, dicobanya kembali menyerang 

mahluk itu. Namun untuk kedua kalinya, tubuh 

mahluk itu bertambah dua kali lipat dari semula. 

Semakin Panggaluh menghantamkan ajiannya te-

rus, makin bertambah besar tubuh mahluk itu.

"Ampun! Mungkin hari ini akhir hidupku. 

Tuhan, berilah pertolongan," membatin Panggaluh 

merasa tak mampu lagi untuk menghadapi mah-

luk siluman itu.

Mata Panggaluh terpejam rapat, ia telah 

siap menerima kematian itu. Mahluk menyeram-

kan itu tampak berjalan menghampiri tubuh 

Panggaluh yang telah pasrah pada nasib.

"Panggaluh, bersiaplah untuk mati. Ha... 

ha...!" terdengar mahluk itu berkata sembari ter-

tawa bergelak-gelak. Dan ketika tangan mahluk 

raksasa itu hendak mencengkeram tubuh Pangga-

luh, tiba-tiba...! 

"Suit... Dest!"

Mahluk raksasa yang menyeramkan itu


tersentak dan terdorong ke belakang. Matanya 

yang merah memandang bengis pada orang yang 

telah menghalanginya yang ternyata seorang pe-

muda.

Pemuda itu yang ternyata Jaka atau Pen-

dekar Pedang Siluman Darah dengan segera me-

raup tubuh Tumenggung Panggaluh dan memba-

wanya pergi. Sementara mahluk raksasa itu, kini 

tengah dihadapi oleh seorang gadis yang tak lain 

Ayu Sakiti adanya.

"Rupanya kaulah yang selama ini membuat 

keonaran dengan menculik dan membunuh gadis-

gadis, aku kira kau pernah bertemu denganku 

bukan?"

Mahluk raksasa yang bermuka menyeram-

kan itu, sesaat memandang tajam pada Ayu Sakiti 

sepertinya mengingat sesuatu. Lalu terdengar 

mahluk itu menggeram dan tertawa bergelak-

gelak. "Ha... ha...! Gadis kecil, rupanya memang 

kau sengaja mencari permusuhan denganku. Du-

lu kau kuampuni, tapi sekarang kau telah ikut 

campur urusanku. Hem... jangan salahkan kalau 

aku melukaimu."

"Iblis laknat! Iblis cabul! Dari dulu aku 

memang telah siap menghadapimu. Ayo kita lan-

jutkan pertarungan kita tempo hari yang tertun-

da." Habis berkata begitu, tubuh Ayu Sakiti den-

gan cepat berkelebat. Dengan pedang pusaka di 

tangannya. Ayu Sakiti menebaskan pedangnya ke 

tubuh mahluk itu.

Tersentak kaget Ayu Sakiti, ketika pedang


pusakanya membentur tubuh mahluk itu. Bagai 

menebas baja saja, pedang pusaka itu tak berarti 

apa-apa. Bahkan mahluk itu tertawa bergelak-

gelak sembari berkata: "Percuma kau melawanku, 

anak manis."

Tangan mahluk itu berkelebat hendak me-

nangkap tubuh Ayu Sakiti, yang dengan gesit 

mengelak sembari melancarkan pukulan tangan 

mautnya. "Dum...!"

Ayu Sakiti tampak agak gembira, demi me-

lihat hasil dari hantamannya. Namun seketika ia 

kembali tersentak. Ketika asap yang mengepul itu 

hilang, ternyata mahluk itu bukannya mati, bah-

kan makin bertambah besar saja.

Mahluk menyeramkan itu yang kini ber-

tambah besar, kembali tertawa bergelak-gelak. 

Tangannya kembali menyambar hendak menang-

kap tubuh Ayu Sakiti, yang hanya dapat mundur 

dan mundur.

Ketika tangan mahluk menyeramkan itu 

hendak mencengkeram tubuh Ayu Sakiti, untuk 

kedua kalinya Jaka berkelebat mencegahnya. 

"Suit... Dest!"

Tubuh mahluk menyeramkan itu terdorong 

ke belakang, matanya menyorot penuh amarah 

pada Jaka. Tanpa berkata lagi, mahluk itu seketi-

ka menyerang Jaka.

Jaka segera berkelebat sembari berkata. 

"Iblis cabul, hari ini juga kau harus lenyap dari 

muka bumi. Terimalah ini, Ajian Getih Sakti, 

hiat...!"


Habis berkata begitu, dengan segera Jaka 

mengkiblatkan tangan kanannya yang telah dialiri 

ajian Getih Sakti ke arah tubuh mahluk raksasa 

itu.

Dari tangan Jaka menyemprot deras dan 

mahluk itu memang seketika beku. Namun seke-

tika tersentak kaget, kala melihat mahluk itu da-

pat terlepas dari sinar yang membelitnya 

Mahluk itu bergelak-gelak mengejek dan 

dengan cepat tangannya berkelebat menyerang 

Jaka yang segera menghindar dan menghantam 

mahluk raksasa itu dengan ajian Bledek Sewu.

Seketika berkelebat membakar tubuh mah-

luk itu, namun untuk kedua kalinya mahluk rak-

sasa berwajah ular itu dapat melepaskan dirinya 

dari ajian Bledek sewu.

Hampir saja Jaka tersambar hantaman 

tangan mahluk raksasa itu, saat ia tengah tersen-

tak kaget melihat apa yang terjadi di depan ma-

tanya.

Jaka dengan segera mengelak, lalu kembali 

dengan segera menghantam tubuh mahluk itu. 

Kali ini ajian Pamungkasnya yang diincarkan, yai-

tu ajian Tapak Prahara 

Tangan Jaka seketika itu berubah menjadi 

merah menyala, tubuhnya melenting tinggi. Ke-

mudian dengan tubuh masih melayang, dihan-

tamnya tubuh mahluk raksasa itu dengan ajian 

Tapak Prahara.

Terdengar ledakan dahsyat membahana 

Kalau orang lain, maka tak ayal lagi, tubuhnya


akan hancur menjadi abu. Namun mahluk raksa-

sa itu jangankan hancur menjadi abu, mati pun 

tidak.

"Gusti Allah! Harus bagaimana lagi aku?" 

Putus asa sudah Jaka menghadapi mahluk itu. 

Hingga ketika mahluk raksasa itu menyerangnya, 

Jaka terpental dihantam tangan besar mahluk 

itu. Tubuhnya terasa nyeri, tembok pagar rumah 

Tumenggung jebol tertimpa tubuh Jaka.

Ketika mahluk itu hendak kembali meng-

hantamnya, dengan cepat Jaka berlari mengelak. 

Hingga tembok pagar yang menjadi sasaran, han-

cur berantakan terhantam tangan mahluk menye-

ramkan itu.

"Sungguh dahsyat! Segala ajian yang aku 

miliki tak berdaya. Baik, akan aku gunakan Pe-

dang Siluman Darah. Dening Ratu Siluman Da-

rah, datanglah!" Seketika di tangan Jaka telah 

tergenggam sebilah pedang. Dari ujung pedang, 

menetes darah membasahi batangnya. Namun 

mahluk itu seperti tak takut sedikitpun. Bahkan 

dengan congkaknya berkata.

"Menyerahlah kau, anak muda! Tak akan 

kau dapat mengalahkan aku, hua, ha...!"

Namun Jaka yang telah digembleng oleh 

empat tokoh sakti, mana mau menyerah begitu 

saja. Apalagi Pedang Siluman Darah kini telah be-

rada di tangannya.

"Iblis cabul, jangan kira aku mau menyerah 

begitu saja padamu. Kalau aku belum mati, tak 

ada dalam catatanku menyerah pada iblis. Mari


kita lanjutkan, bersiaplah! Hiaaaat...!"

Dengan Pedang Siluman Darah di tangan-

nya, Jaka segera berkelebat menyerang. Angin se-

rangannya begitu kencang, menderu-deru, me-

nerpa tubuh mahluk menyeramkan itu. 

"Hiaaat....!"

Ditebaskan Pedang Siluman Darah pada 

mahluk menyeramkan itu, yang seketika meme-

kik dengan tubuh terbelah-belah menjadi bebera-

pa potong karena saking cepatnya Jaka memba-

batkan Pedang Siluman Darah.

Darah yang membasahi pedang seketika 

mengering, terhisap masuk ke dalam tubuh pe-

dang. Kemudian pedang itu hilang kembali dari 

tangan Jaka.

Ketiga orang yang sedari tadi hanya me-

nonton dengan perasaan takut, segera mengham-

piri Jaka. Ayu Sakiti segera memeluk Jaka den-

gan penuh rasa bangga.

"Kau hebat, Jaka. Kau hebat!" teriaknya 

dengan nada bangga.

"Benar ucapmu, nona. Temanmu memang 

hebat," tambah Tumenggung Pangaluh yang ter-

senyum senang.

"Ah, kalian terlalu meninggikan. Kanjeng 

Tumenggung, karena semuanya telah tenang aku 

bermaksud meminta diri. Ayo, Ayu!"

Jaka dengan menggandeng tangan Ayu Sa-

kiti segera berkelebat pergi, meninggalkan Tu-

menggung Panggaluh dan istrinya yang terben-

gong-bengong memandang kepergian mereka.


"Sungguh baik budi dan tak sombong Pen-

dekar Muda itu," gumam Tumenggung Panggaluh, 

sepertinya berkata pada diri sendiri.

"Benar, Kang mas. Betapa kita berhutang 

budi padanya," lanjut Dewi Sekasih meneruskan 

ucapan suaminya.

Dengan matinya Kandana, tentramlah 

kembali Ketemenggungan. Tumenggung Pangga-

luh bersama istrinya segera melangkah mening-

galkan halaman rumahnya menuju ke kerajaan 

untuk melaporkan itu pada Rajanya.



                               TAMAT





Share:

0 comments:

Posting Komentar