MISTERI SI CADAR BERDARAH
Oleh Sandro S.
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode:
Misteri Si Cadar Berdarah
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Siapakah sebenarnya Sugangga? Mengapa
ia dendam pada Jaka Ndableg si Pedang Siluman
Darah? Untuk lebih jelasnya, akan saya ku-
paskan ceritanya mengenai kedua orang tua Su-
gangga yang sudah diketahui adalah orang yang
bersekutu dengan Iblis Buto Ijo, dengan adanya
timbal balik antara keduanya. Kita ikuti kejadian
dua puluh tahun yang silam, di mana Sugangga
dan adiknya yang masih kecil hidup dengan kea-
daan ekonomi yang serba kekurangan.
Kedua orang tua Sugangga dan Suganti
adalah seorang petani miskin yang hidupnya dari
hasil buruh, mencangkul, membajak, atau me-
nuai pada para petani kaya. Dengan bekerja se-
perti itu, mereka berusaha menghidupi rumah
tangganya. Memang pertama-tama mereka hidup
berdua, kerepotan belum nampak terasa. Ya, hi-
dup di desa masih merupakan hidup gotong
royong, di mana satu sama lainnya mau mengerti
dan bantu membantu.
Ayah Sugangga yang bernama Prikadayu
dan ibunya bernama Dripadini, adalah dua orang
asing dari India yang sengaja datang ke tanah
Jawa untuk mengadu nasib. Namun rupanya ke-
beruntungan belum berada di pihak mereka, se-
hingga mereka menerima kegetiran yang selalu
menyelimuti. Tadinya mereka menganggap bahwa
India sudah tak mampu memberikan arti bagi diri
mereka, namun kenyataannya lain. Seperti pepa
tah, lebih baik hujan batu di negeri sendiri, dari-
pada mengharap hujan uang di negeri orang.
Dengan segala ketabahan yang ada di hati
suami istri itu, mereka terus menghadapi hidup-
hidup pahit mereka dengan segala kepasrahan
pada Yang Wenang. Kepahitan itu, sepertinya tak
mau membebaskan mereka secepatnya, sampai
anak mereka yang pertama lelaki lahir. Mereka
beri nama Sugangga. Dengan kelahiran anak yang
pertama, kehidupan mereka nampak makin nes-
tapa saja. Hasil buruh mereka, kini harus dima-
kan oleh tiga mulut. Namun begitu, mereka suami
istri tak pernah mengeluh, atau pun merasakan
kepedihan yang kentara. Dipendamnya segala ke-
pedihan hidup yang terulas oleh senyum mereka.
Tiga tahun setelah kelahiran anak pertama,
lahir kembali anak yang kedua seorang wanita.
Anak tersebut diberi nama Suganti. Makin seng-
sara saja kehidupan keluarga itu dengan kehadi-
ran anak yang kedua. Tapi seperti semula, mere-
ka nampaknya tidak mengeluh atau putus asa.
Kehidupan mereka terus berlanjut, sampai
akhirnya kedua anak mereka tumbuh menjadi
anak-anak yang lucu. Lajimnya seorang anak le-
laki, Sugangga pun pengin berkumpul-kumpul
dengan anak-anak sebayanya untuk bermain.
Namun sepertinya mereka mengucilkan diri Su-
gangga, bahkan sering kali mereka memperolok-
olok Sugangga.
"Gangga, pergilah kau. Kami tidak ingin
berteman dengaamu."
"Kau anak orang kere, Gangga. Maka se
pantasnya kau pun mencari teman orang kere pu-
la."
"Atau lebih baik kau carilah para penge-
mis."
Seketika semua anak-anak itu tertawa ber-
gelak-gelak, menjadikan Sugangga marah bukan
kepalang merasa dirinya dihina. Dengan kebera-
nian yang berlebihan, Sugangga pun balik mem-
bentak mereka: "Kalian bangsat! Kalian jangan
mentang-mentang kaya!"
"Hai, mengapa engkau marah, Gangga?"
Purwanta, anak yang paling besar tersenyum si-
nis ke arah Sugangga. "Kalau kau merasa anak
kere, mengapa engkau mesti marah-marah?!"
"Bangsat!" Sugangga beringas.
"Hua, ha, ha...! Lihat, Kawan-kawan! Lucu
bukan? Ternyata anak seorang kere bisa juga
membentak marah," Purwanta berolok-olok. "Ru-
panya anak ini perlu dihajar adat, Kawan-kawan."
"Huh.... Jangan kira aku takut pada kalian!
Kalian keroyok pun, aku tak akan mundur!" Su-
gangga menantang.
"Sudah. Pur. Kasih dia bogem mentahmu!"
teman-teman Purwanta memberi semangat.
"Beres! Ini lihat...!"
Purwanta yang besar itu segera berkelebat
menyerang pada Sugangga. Tapi dengan cepat
Sugangga berkelit, lalu dengan cepat pula Su-
gangga yang sudah marah diejek begitu rupa ba-
las menyerang. Perkelahian dua anak itu tak da-
pat dihindarkan. Namun walau Purwanta berba-
dan besar, rupanya gerakan Purwanta sangat
lamban, beda dengan gerakan Sugangga. Dalam
sekejap saja, Sugangga dapat mendesak Purwan-
ta.
"Bug...!" pukulan Sugangga telak masuk ke
perut Purwanta yang seketika itu terhuyung-
huyung ke belakang menyeringai. Rupanya Su-
gangga tidak mau membiarkan Purwanta dapat
mengatasi keadaan dirinya, kembali dengan cepat
Sugangga memekik dan hantaman pukulan telak
di muka Purwanta. Tak ayal, menjeritlah Purwan-
ta saat itu juga. Darah meleleh dari hidungnya,
terhantam telak oleh pukulan tangan Sugangga.
"Wah, anak kere itu dapat mengalahkan
Purwanta!" pekik teman-teman Purwanta kaget.
Dan dengan segera, keberanian mereka pun le-
nyap. Mereka segera berlalu pergi meninggalkan
Purwanta yang masih menggerung-gerung kesaki-
tan, ditunggui oleh Sugangga yang menyeringai
dengan sinis.
"Masihkah engkau mampu menghinaku?!"
"Bangsat! Akan aku adukan dirimu pada
ayahku, biar ayahmu tidak dapat lagi bekerja!"
rungut Purwanta sengit. Dengan terhuyung-
huyung Purwanta segera hendak pergi mening-
galkan Sugangga, manakala terdengar suara
ayahnya membentak Sugangga.
"Anak kurang ajar! Kau telah berani me-
nyakiti anakku!"
"Aku tidak bersalah!" balik Sugangga men-
gelak tuduhan.
"Huh...!" Orang tua itu dengan tanpa men-
genal ampun menghantamkan tamparan tangan
nya ke arah muka Sugangga.
"Plak...!"
"Awas kau! Kalau engkau berani lagi pada
anakku, ayahmulah yang akan mendapat akibat-
nya!"
Sugangga tak dapat lagi melawan, pipinya
terasa sakit. Rona merah menggambar telapak
tangan, menggurat di pipi kirinya, terasa sakit
dan perih. Tapi sakit di pipinya tidaklah seberapa,
yang lebih sakit adalah hati Sugangga. Hatinya
menjerit merasa dihina habis-habisan.
"Inikah hakekat anak kere?! Inikah...!" pe-
kik hati Sugangga penuh kemarahan yang me-
luap-luap. "Yang Widi tidak adil! Yang Widi ter-
nyata tidak menghiraukan nasib keluargaku!"
Orang tua Purwanta tidak hiraukan lagi
Sugangga yang menggeloprok di tanah, dengan
hati yang menjerit sakit. Ia segera bergegas men-
gajak anaknya pulang, setelah terlebih dahulu
menyibirkan bibir sinis ke arah Sugangga yang
masih meringis kesakitan.
* * *
"Kenapa dengan pipimu, Gangga?" tanya
Prikadayu demi melihat pipi anaknya memerah.
"Kau habis berkelahi lagi?"
Sugangga tak menjawab, dia hanya diam
saja. Hal ini menjadikan ayahnya Prikadayu ke-
rutkan kening. Ia tahu kalau Sugangga habis ber-
kelahi atau dianiaya oleh ayah si anak. Namun
sejauh ini Sugangga tak pernah mengadukan ma
salahnya pada dirinya. Sepertinya Sugangga tidak
menghendaki ayahnya harus menanggung beban
penderitaan yang kian bertambah berat.
"Kenapa, Anakku?" kembali Prikadayu ber-
tanya. "Kau habis dianiaya oleh ayah anak yang
berkelahi denganmu, bukan?"
"Be-benar, Ayah."
"Kau yang salah?"
Sugangga gelengkan kepala.
"Siapa yang salah, Gangga?!" nada suara
ayahnya makin meninggi. "Jawab, Gangga! Jan-
gan kau seperti kerbo!"
"Mereka mengejekku, Ayah!" Sugangga ak-
hirnya membuka mulut menjawab. "Mereka
menghina kita."
"Hanya itu...?!"
"Lebih dari itu, Ayah?!"
"Apa, Gangga...?"
Sugangga sesaat terdiam. Sebenarnya ia ti-
dak ingin memperpanjang masalah, sebab ia tahu
ayahnya pasti akan makin sedih bila ia menceri-
takan semua kejadian yang telah ia alami. Namun
bila hal ini harus ia pendam, rasa-rasanya Su-
gangga kecil itu tidak sanggup untuk terus larut
dalam kepahitannya. Kepahitan seorang bocah
yang hanya karena status sosialnya saja mesti
menghadapi ketimpangan sosial lainnya.
"Kenapa diam, Gangga?"
"Mereka melarang Gangga ikut main. Me-
reka mengatakan bahwa Gangga adalah keturu-
nan orang kere, sehingga tidak diperkenankan
bermain dengan mereka."
"Ooh...." mengeluh panjang Prikadayu demi
mendengar penuturan anaknya. Hatinya seakan
remuk, hancur tertimpa badai hidup yang pahit,
yang kini tengah mereka hadapi. "Mengapa semua
harus diri anakku yang menerima? Mengapa?"
hati Prikadayu menanya bimbang. "Mengapa Yang
Widi terus menerus memberikan be-ban padaku?
Sampai kapan hal ini akan bertengger di kehidu-
panku, juga kehidupan anak-anak-ku?"
Tak terasa, air mata Prikadayu seketika
meleleh, deras membasahi pipinya. Hal ini menja-
dikan Sugangga seketika sedih, sedih melihat
ayahnya menangis karena dirinya. Ya, kalau di-
rinya tidak mengadu, Sugangga kira ayahnya tak
akan menangis. Tetapi rupanya ayahnya telah
melihat apa yang tergurat di pipi kirinya, yang
mau tak mau harus menjadi bukti.
"Kenapa ayah menangis?"
"Ayah sedih, Anakku."
"Ayah... Gangga merasa bersalah telah
membuat hati ayah sedih. Gangga mohon maaf,
Ayah."
Dengan menangis Sugangga memeluk kaki
ayahnya, menjadikan Prikadayu makin membesar
tangisnya.
Dari dapur seorang wanita yang tak lain
Dripadini nongol, demi mendengar tangis suami
dan anaknya. Dripadini yang telah tahu apa se-
benarnya yang telah terjadi, nampak turut mele-
lehkan air mata. Dihampirinya kedua suami dan
anaknya, lalu dengan suara tersendat karena
tangis ia pun berkata: "Gangga, makanya kau
janganlah main. Bukankah di rumah kau pun
dapat main dengan adikmu? Kasihan adikmu, dia
tidak ada yang menjaganya."
Tengah ketiga anak beranak bertangisan,
terdengar suara bayi menangis. Bayi yang tidak
lain anak mereka, seakan turut serta merasakan
kepedihan yang diderita oleh kedua orang tuanya,
juga kakaknya.
"Oa! Oaaa...!"
"Anakmu menangis, Bu," Prikadayu me-
nyadarkan istrinya, yang dengan segera mening-
galkan mereka kembali menuju kamar di mana
bayi itu berada.
"Oa.... Oaaa...!"
"Cup, cup, Manis.... Cup," Dripadini segera
mengangkat tubuh kecil bayinya. Ditimangnya
dengan penuh kasih sayang, lalu diajaknya bayi
tersebut ke luar.
* * *
"Sampurasun...!" terdengar suara seorang
wanita menyapa.
"Rampes!" sahut Prikadayu yang tersentak
dari lamunannya, yang terbang memikirkan kebe-
radaan rumah tangganya. "Siapa Ni Sanak
adanya? Masuklah...!"
"Aku, Prikadayu."
Berbareng dengan habisnya suara nenek-
nenek menyahut, seorang nenek tua renta keriput
dengan rambut seluruhnya telah memutih berja-
lan masuk tertatih-tatih.
Prikadayu yang merasa belum mengenal
siapa adanya sang nenek, nampak kerutkan ken-
ing dengan hati diliputi ribuan pertanyaan men-
genai siapa adanya si nenek. "Ah, siapakah
adanya nenek ini? Rasa-rasanya aku belum per-
nah sekali pun menjumpai, apalagi mengenalnya,"
gumam hati Prikadayu. "Tapi, mengapa nenek ini
telah mengenal namaku? Atau barangkali aku
yang lupa?"
"Siapakah yang datang, Kakang?!" terden-
gar suara istrinya yang di dapur berseru.
Prikadayu hendak berkata, sehingga mu-
lutnya telah menganga, manakala si nenek telah
mendahului menjawabnya: "Aku Padini!"
Dripadini yang merasa belum mengenal
benar suara si nenek segera keluar dari dapur
menuju ke luar di mana suaminya tengah duduk.
Mata Dripadini seketika menyipit, merasa ia be-
lum pernah mengenal adanya si nenek. "Siapakah
engkau adanya, Nek?" tanya Dripadini. "Seper-
tinya kami belum pernah mengenalmu. Atau ba-
rangkali kami yang telah bingung akibat kemiski-
nan yang kami hadapi ini?"
"Untuk hal itulah aku datang ke mari," si
nenek bagaikan tak hiraukan pertanyaan kedua
suami istri itu menjawab. "Aku datang atas perin-
tah Sinuhun Raja Bergola. Aku diutus oleh Sinu-
hun untuk menolong kalian dari kemelaratan
yang menjadikan kalian dihina oleh orang-orang
lain."
Makin tidak mengerti saja suami istri ter-
sebut mendengar penuturan si nenek. Mereka be
lum mengenal siapa Sinuhun yang dikatakan oleh
si nenek. Dan karena mereka menganggap Sinu-
hun itu hanya raja mereka, mereka pun berkata.
"Apakah Gusti Raja menyuruhmu untuk
datang ke mari?"
"Bukan! Bukan Gusti Raja Wangsa Dewa."
"Lalu...?!" kedua suami istri itu belalakkan
mata kaget demi mendengar ucapan si nenek.
"Kalau bukan Gusti Raja Wangsa Dewa, apakah
ada raja lagi di sini? Kau jangan membuat kami
bertambah pusing, Nek?" Prikadayu bertanya
dengan bingung.
"He, he, he...! Bukankah aku telah menga-
takannya pada kalian? Yang menyuruhku ke mari
adalah Sinuhun Raja Bergola, yang menetap di
Gunung Kawi."
"Ah...!" Prikadayu memekik kaget. "Mak-
sudmu kami menyupang?"
"Benar!"
"Tidak! Sekali lagi tidak!"
"Pikirkan yang baik, Prikadayu," si nenek
berkata. "Pikirkan sebelum akhirnya engkau me-
nyesal. Kalian bukankah enggan untuk terkurung
dalam kemiskinan?"
"Ya!"
"Nah, mengapa engkau mesti menolak,
Dayu? Mengapa?"
"Aku tak ingin semua jadi korban."
"Hi, hi, hi...!" si nenek tertawa cekikikan.
"Gampang, Dayu. Gampang!"
"Ah...!" Prikadayu kembali melenguh, se-
pertinya tidak percaya dengan apa yang dikata
kan oleh si nenek. "Kau tentunya ingin membua-
tku bertambah pusing saja, Nek?"
"Huh.... Apa untungnya aku membuatmu
pusing, Dayu!" si nenek merengut kesal. "Kalau
aku hendak membuat pusing, semestinya aku tak
hiraukan kemiskinanmu. Semestinya aku biarkan
kalian terkubang dalam kemiskinan yang akan
membayangi hidup kalian."
Si nenek mendengus, matanya memandang
penuh kekecewaan pada kedua suami istri itu.
Prikadayu dan istrinya hanya terdiam, tiada gai-
rah lagi untuk berkata-kata. Hal itu menjadikan
nenek utusan Sinuhun Raja Bergola nampak mu-
rung, lalu dengan suara berat si nenek pun ber-
kata: "Kalau kalian tak mau, tak apalah!"
Si nenek hendak berlalu pergi, manakala
terdengar suara seorang anak kecil memekik ber-
seru: "Nenek, tunggu!"
Si nenek urungkan niatnya pergi, lalu
membalikkan tubuhnya menghadap pada seorang
bocah yang telah berdiri dekat dengan kedua
orang tuanya seraya bertanya: "Ada apa, Bocah?"
"Nek, benarkah engkau dapat membantu
kami kaya?" bocah kecil yang tidak lain Sugangga
bertanya kembali, menjadikan si nenek tergelak
tawa mengekeh mendengar pertanyaan polos si
bocah.
"He, he, he...! Kau anak pintar, Bocah. Sia-
pa namamu?"
"Namaku Sugangga, Nek."
"We, we, we...! Nama yang mampu mengin-
gatkan kedua orang tuamu pada tempat kelahiran
mereka. Bukan begitu, Prikadayu?"
"Ah...!" Prikadayu tersentak, kaget demi
mendengar ucapan si nenek yang mampu mene-
bak asal muasalnya, padahal dirinya telah selama
hampir sepuluh tahun di tanah Jawa Dwipa.
"Memang benar apa yang engkau kata, Nek."
Si nenek tertawa gelak, lalu katanya: "Anak
kecil, kalau aku benar dapat membantu kalian
kaya, kalian apa mau?"
Sugangga yang memang berantusias ingin
menjadi anak seorang kaya nampak terkejut. Ha-
tinya seketika bergumam senang, dengan impian-
impian indah. Impian seorang bocah yang sehari-
harinya telah mendapatkan kesengsaraan, luka
hati, serta cemooh dan ejekan dari rekan-
rekannya. Diliriknya kedua orang tuanya, seperti
memberikan dorongan agar kedua orang tuanya
mau menerima tawanan sang nenek.
"Kenapa ayah dan ibu menolak?"
"Ah...!" Prikadayu melenguh demi menden-
gar pertanyaan anaknya. "Kau belum mengerti,
Anakku."
"Tapi bukankah kita ingin kaya, Ayah? Ka-
lau memang nenek ini dapat membantu, mengapa
ayah menolaknya? Terimalah, Ayah...! Biar kita
tidak diinjak-injak oleh teman-teman."
Prikadayu terdiam tanpa kata. Matanya
memandang kosong ke muka, sepertinya tiada
gairah untuk menikmati alam ciptaan Yang Widi.
Hatinya bertanya-tanya bimbang untuk memilih.
Sungguh pun demikian, Prikadayu masih membe-
ratkan ajaran agamanya. "Bagaimana kalau Yang
Widi mengutuk? Oh..., Apakah aku harus terbe-
lenggu dalam ketidak-pastian hidup? Tidak! Aku
tidak akan selamanya mau begini."
"Memang benar apa yang dikatakan oleh
anakmu, Dayu," si nenek berkata: "Memang seha-
rusnyalah kalian bergelimpang harta, bukan ter-
belenggu oleh kemiskinan yang menjadikan diri
kalian dihina oleh yang kaya. Bagaimana, Dayu?"
"Terima saja, Ayah," desak Sugangga.
"Gangga ingin kita hidup berkecukupan. Gangga
ingin dapat belajar bela diri seperti teman-teman
yang lain. Bukankah dengan kekayaan kita dapat
menguasai segalanya, Ayah."
Hati Prikadayu bagaikan terhantam palu
besar, berguncang penuh ketidak-pastian hidup.
Desakan anaknya, tawaran si nenek utusan Si-
nuhan Raja Bergola, juga prinsip hidup sebagai
seorang manusia beragama. Apalagi dia adalah
pengikut sang Budha, yang harus selalu memi-
kirkan tindak dan tanduk tepo sliro kehidupan di-
rinya.
"Baiklah aku menerima," akhirnya Prika-
dayu pun terseret oleh kemauan anaknya, juga
tuntutan kehidupan. "Katakan pada Sinuhun,
aku akan datang menuju ke sana esok hari."
Terkekeh si nenek utusan Sinuhun demi
mendengar ucapan Prikadayu, seperti tersenyum-
nya Sugangga yang membayangkan kelak dirinya
bukanlah anak orang kere, yang sepantasnya di-
hormati.
"He, he, he...! Bagus! Bagus! Baiklah, aku
akan kembali menghadap Sinuhun untuk me
nyampaikan berita ini."
Setelah habis berkata begitu, tiba-tiba tu-
buh si nenek lenyap. Hal ini menjadikan Prika-
dayu dan keluarganya tersentak kaget, heran ber-
campur rasa tidak mengerti. Dan hanya saling
pandang saja yang dapat mereka lakukan.
***
DUA
Esok paginya Prikadayu pun memenuhi
apa yang telah dijanjikan pada nenek utusan Si-
nuhun. Ketika pagi masih buta, dan kokok ayam
jantan baru terdengar sekali-kali, Prikadayu me-
ninggalkan rumahnya dengan diantar anak dan
istrinya sampai ke pintu rumah.
"Aku berangkat dulu, Istriku," Prikadayu
berkata, seakan ada rasa berat menggayut di ke-
lopak matanya. Tanpa terasa, air mata Prikadayu
menetes. Air mata pedih yang harus bertambah
pedih manakala mengingat bahwa dirinya akan
menyeleweng dari Sang Budha.
"Mengapa kakang menangis?" Dripadini
yang melihat lelehan air mata suaminya bertanya.
"Apakah kakang tidak meniat? Kalau kakang ti-
dak meniat untuk apa kakang mesti berangkat
menuju ke gunung Kawi?"
Prikadayu terdiam, tak mampu untuk ber-
kata-kata. Bayang-bayang kemiskinan telah men-
gusik hatinya, hati seorang suami sekaligus hati
seorang ayah. "Kalau aku tidak teguh, akan ba-
gaimana nasib anak-anakku?" keluh hati Prika-
dayu.
"Tidak, Istriku. Aku menangis karena aku
harus lama meninggalkan kalian. Meninggalkan
beban di pundakmu untuk mengurus dan mem-
berikan makan anak-anak kita," Prikadayu akhir-
nya berkata menghibur sang istri. "Aku berang-
kat, Istriku. Doakan aku dapat menghadapi sega-
lanya."
"Doaku selalu menyertaimu, Kakang."
Lembut Dripadini mencium pipi suaminya,
menjadikan kesejukan tersendiri di hati Prika-
dayu. Hatinya seketika kembali menjerit gundah,
"Oh, sungguh dia istri yang baik dan bijaksana.
Walaupun dia anak orang berada, namun demi
cintanya padaku dia rela menderita. Kini tinggal
diriku sebagai seorang suami, mampu atau tidak
membalas kesetiaannya. Oh, Istriku. Semoga kita
akan selalu menyatu dalam kedamaian."
"Berangkatlah, Kakang," ucap Dripadini
penuh kasih.
"Aku berangkat, Istriku."
Lemah lambaian tangan Prikadayu, sele-
mah langkahnya yang diliputi rasa gundah di ha-
tinya. Namun bila mengingat semua kepahitan
yang telah mendera rumah tangganya, Prikadayu
berusaha memantapkan langkah kakinya. Lang-
kah kakinya seakan ada yang menyeret menjadi-
kan Prikadayu bagaikan lari dan terbang. Kekua-
tan gaib telah membantunya berjalan, menjadi-
kan istrinya terbengong sendiri penuh ketidak
mengertian. Dalam sekejap saja tubuh Prikadayu
telah lenyap di balik rimbunan hutan yang jauh di
depan rumahnya.
Prikadayu tersentak, kaget berbaur dengan
rasa ketidak-mengertian. Bagaimana mungkin di-
rinya yang tidak pernah belajar ilmu silat mampu
berlari bagaikan angin saja. Mukanya mengerut,
hatinya bertanya tak mengerti. "Hai, kekuatan
apa yang telah mampu menyeret diriku hingga
mampu berlari secepat ini?"
Tak ada jawaban dari pertanyaan hatinya,
sepi. Ya, hutan yang ia lalui sungguh-sungguh
sepi. Hutan yang lebat, seakan memaparkan
keangkeran kini telah terjarah oleh dirinya. Prika-
dayu agak meragu, bimbang harus berbuat ba-
gaimana. Bulu kuduknya seketika berdiri, mana-
kala dirinya makin masuk saja ke dalam hutan.
"Aum...! Aaauuummm...!" terdengar auman
raja hutan menggema, sepertinya raja hutan itu
mencium kedatangannya. Dan benar saja, tiba-
tiba manakala Prikadayu menyurut langkah see-
kor harimau berkelebat menghadangnya.
"Oh...!" tersentak mundur Prikadayu meli-
hat harimau besar, tak seperti harimau biasanya
menghadang. "Raja hutan, kalau kau hendak
memangsaku, aku mohon jangan. Sungguh aku
kini tengah diliputi kepedihan, tegakah engkau
memangsa diriku?" Prikadayu mengiba.
Sorot mata harimau besar itu tajam, me-
mandang lekat-lekat pada Prikadayu yang nam-
pak pucat ketakutan. Perlahan harimau itu me-
langkah, mendekat ke arah Prikadayu berdiri
yang makin nampak pucat pasi saja.
"Aauummm...!" kembali harimau itu men-
gaum, melangkah terus menghampiri Prikadayu
yang sudah pasrah. Prikadayu tak dapat lagi me-
nahan tubuhnya, lututnya goyah hingga akhirnya
Prikadayu pun terkulai bersimpuh.
"Makanlah bila kau memang menginginkan
tubuhku."
"Aauuummm...!" Harimau itu makin men-
dekat, dekat dan bertambah dekat. Sejauh itu
Prikadayu telah menyerahkan segalanya dengan
pasrah. Bila ternyata harimau besar itu hendak
memangsa dirinya, maka Prikadayu telah siap se-
gala-galanya. Namun ternyata harimau itu tidak
memangsanya, bahkan menjilati muka Prikadayu
yang seketika terkulai pingsan, saking takutnya.
Tengah harimau itu menyeret tubuh Prika-
dayu masuk lebih dalam menuju semak-semak,
tiba-tiba terdengar suara gelak tawa bergema.
"Hua, ha, ha...! Enak saja engkau hendak
menguasainya, Raja Poleng! Aku telah capai-capai
mengutus utusanku untuk mengajaknya, eh, kau
dengan seenaknya membawanya."
"Aum...! Siapa engkau, Manusia!"
"Aku, Raja Poleng!"
Bareng dengan suara jawaban serak dan
berat, sesosok bayangan tinggi besar berkelebat
menghadang harimau Siluman tersebut, yang ter-
sentak lepaskan tubuh Prikadayu. Kedua mahluk
siluman yang berbeda jenis itu saling pandang,
sepertinya hendak menunjukkan kemampuan
masing-masing.
"Aumm...! Kau ternyata adanya!" Raja Po-
leng menggeram setelah tahu siapa adanya yang
datang. "Hem, apa yang menjadikan engkau men-
gatakan bahwa manusia ini adalah pengikutmu.
Dia aku temukan di hutan ini, maka dia aku ya-
kin hendak menuju ke tempatku."
"Wuah...! Kau enak saja ngomong!" bentak
siluman yang berbentuk manusia besar dengan
mata besar sebesar piring kecil, serta lidah mele-
leh panjang berwarna merah menyala, semerah
matanya yang tajam memandang dengan bengis
ke arah Raja Poleng. "Kau ternyata siluman ku-
rang ajar! Kau tidak mau mencari mangsa sendiri.
Kau ternyata pengecut, yang maunya mengambil
mangsa orang lain, Poleng!"
"Aauummm! Kau berani berkata sembrono,
Bergola!"
"Hua, ha, ha...! Kenapa tidak! Akulah Raja
Siluman yang paling sakti. Akulah yang mampu
memberikan pada umatku kelebihan-kelebihan,
tidak seperti dirimu."
"Sombong!" desis Raja Poleng marah mera-
sa direndahkan.
"Hua, ha, ha...! Cepatlah serahkan orang
itu padaku, Poleng! Jangan sampai aku marah!"
bentak Raja Bergola. "Cepat, Poleng! Waktuku su-
dah tak ada lagi! Sebentar lagi hari menjelang pa-
gi!"
"Aum...! Tidak bisa, Bergola! Orang ini ada-
lah hambaku!"
"Hem, rupanya kau menginginkan perta-
rungan di antara kita, Poleng?!" menggeretak ma
rah Raja Bergola merasa ditantang oleh Raja Po-
leng yang masih berusaha menghalangi Bergola
mengambil tubuh Prikadayu. "Kalau itu yang
engkau mau, jangan salahkan aku menindakmu."
"Jangan sesumbar, Bergola! Ayo kita bukti-
kan! Aum...!"
Raja Poleng dengan segera berkelebat me-
nyerang Raja Bergola, demi mempertahankan
mangsanya yang telah ia dapatkan. Menggeretak
marah Raja Bergola. Dan dengan cepat berkelebat
menghindar serangan tersebut. Pertarungan dua
raja siluman itu pun tak dapat dihindarkan. Hu-
tan di mana mereka bertarung seketika menggele-
gar bagaikan tak mampu menahan hantaman dan
jejakan tangan serta kaki mereka bila menyerang.
Pohon-pohon tumbang, terhantam dengan dah-
syat pukulan-pukulan dua raja siluman tersebut.
Jurus demi jurus terlalui oleh mereka den-
gan cepat, seakan mereka dengan sengaja meng-
hambur-hamburkan ilmu yang mereka miliki
dengan tujuan secepatnya mampu menjatuhkan
lawan. Tetapi nampaknya hal itu sangat susah
untuk mereka lakukan, sebab keduanya sama-
sama tangguh, sama-sama berilmu tinggi. Seran-
gan mereka membahana, mampu membuat seisi
hutan kalang kabut berlarian.
"Aum...! Mana buktinya, Bergola!" Raja Lo-
reng berkata sombong.
"Heemm.... Jangan engkau bangga dulu! Ini
lihat!" Raja Bergola segera keluarkan ajian simpa-
nannya, lalu dengan secepat kilat dihantamkan
larikan sinar hijau itu ke arah Raja Poleng.
Raja Poleng tak mau mengalah begitu saja,
dia pun kiblatkan ajian yang telah tersalur dari
matanya memapaki larikan sinar hijau tersebut.
Maka saat itu juga, dua larik sinar hijau dan me-
rah menderu-deru dan...!
"Bletar! Duar...!"
Ledakan dahsyat menggema, berbareng
dengan bertemunya dua larikan sinar tersebut.
Raja Poleng terpental mencelat ke belakang, tak
percaya melihat kenyataan tersebut. Sementara
Raja Bergola nampak sunggingkan senyum, atau
lebih tepat dikatakan menyeringai.
"Baiklah! Aku mengalah!" Raja Poleng ak-
hirnya mengakui kekalahannya. Segera ditinggal-
kan tubuh Prikadayu, yang dengan segera diambil
oleh Raja Bergola. Setelah mengetahui bahwa Pri-
kadayu tak mengalami apa-apa. Raja Bergola pun
kembali berkelebat menghilang entah ke mana.
Hutan itu pun kembali sepi, senyap dengan ke-
misterian yang ada.
* * *
Gunung Kawi nampak sepi dan hening,
dengan puncaknya yang tinggi menjulang. Seper-
tinya di situ tak ada kehidupan, yang ada hanya-
lah segala macam tetumbuhan dan hewan-hewan
penghuni hutan. Itu bila dilihat dari mata manu-
sia biasa, namun bila dilihat dengan mata batin,
niscaya kita akan melihat bahwa di Gunung Kawi
tersebut terdapat penghuni yang beraneka ragam
bentuknya. Dari bentuk manusia berkepala ular,
buaya, harimau, kera, sampai pada manusia ber-
kepala manusia yang menakutkan, yang biasa
disebut Buto. (Ini menurut cerita orang tua, lho.
Sedang pengarang sendiri sebenarnya tidak tahu
sama sekali. Mohon maklum adanya!) Di situlah
para manusia-manusia yang hendak mencari ke-
kayaan dengan jalan pintas datang, mengajukan
diri mereka untuk menjadi pengikut atau sering
dikatakan menghamba. Manusia-manusia itu ke-
lak akan menjadi hamba mereka.
Seperti terlihat pula di situ, nampak manu-
sia-manusia tengah bekerja dengan paksa. Tubuh
mereka bekerja bukan semestinya, tetapi bekerja
dengan segala apa yang ada. Tangan mereka di-
rantai, juga kakinya. Mereka hilir mudik dengan
memanggul batu sebesar gunung anakan, dari sa-
tu tempat ke tempat lainnya. (Nauzubilla mindza-
lik). Merekalah orang-orang syirik, menyekutukan
Tuhan yang telah memberikan apa yang baik buat
mereka, tetapi nampaknya mereka tak mau me-
nyadarinya. Dengan jalan pintas, yaitu bersekutu
dengan iblis mereka mencari kekayaan dan me-
numpuknya.
Baru saja siksa alam gaib, sungguh men-
dera mereka, apalagi nanti siksa Tuhan. Memang
nampaknya mereka menyesali tindakan yang te-
lah dilakukan, tetapi untuk apa? Sesal kemudian
tak ada guna. Air mata mereka walau meleleh dan
membanjiri lereng gunung Kawi, namun Iblis
yang merasa telah memberikan segalanya pada
mereka tak mau perduli. Bagi Iblis, mereka tak
lebihnya budak untuk mengikuti kesesatannya,
syirik pada Allah S.W.T. Sang Maha Pencipta,
yang telah menjadikan mereka hidup.
Si nenek yang mendatangi rumah Prika-
dayu, kini bukan berupa manusia lagi, tetapi be-
rupa mahluk menyeramkan yang sering dikata-
kan Kalong Wewe. Buah dada si nenek tampak
menjurai, kuping panjang meninggi, mata lebar,
juga lidah merah mengurai ke luar dari mulutnya
ditambah lagi dengan taring-taring runcing. Ne-
nek itu tidak lain istri dari Raja Bergola, raja dari
Buto yang menjadi penghuni kerajaan Iblis Gu-
nung Kawi di mana para manusia mendatanginya
guna mencari kekayaan.
"Weh, weh, weh...! Kenapa kakang Bergola
tak muncul-muncul?" Si nenek cemas, matanya
yang lebar memandang ke muka dengan pandan-
gan tajam. Dari kedua matanya seketika nampak
dua larik sinar putih, menembus kabut pengha-
lang sukma. Kabut itu memang pintu pemisah
antara alam manusia dengan alam siluman.
Sinar yang keluar dari sorot mata Wewe itu
terus melesat menuju ke bawah, di mana lereng
gunung Kawi menghampar dengan hutan belukar
tubuh menghijau. Nampak oleh si nenek Wewe itu
suaminya berlari-lari menggendong sesosok tu-
buh terkulai menuju ke arah situ.
"We, we, we. Ternyata kakang Bergola telah
menemukannya."
"Dinda, Wewe. Tolonglah aku ini!" seru Ra-
ja Bergola yang tengah berlari-lari menuju ke
tempat di mana Wewe tersebut berdiri. Langkah-
nya bukan sekedar berlari, tetapi terbang. "Wah,
sungguh berat tubuh manusia ini, Dinda!"
"We, we, we. Ayo aku bantu, Kakang!"
Wewe itu segera berkelebat terbang menghampiri
suaminya, si Raja Bergola. Dan memang benar
apa yang dirasakan oleh suaminya. Tubuh orang
ini berat, bagaikan sebongkah gunung. "We, we,
we! Sungguh kita beruntung, Kakang."
"Apa maksudmu, Dinda?" tanya Raja Ber-
gola tak mengerti.
"Ternyata kita mampu menaklukkan umat
Tuhan yang kokoh imannya, sehingga walau la-
hirnya menyanggupi, tetapi hatinya masih terpaut
pada asma Tuhan. We, we, we."
Dengan digotong oleh dua Iblis, tubuh Pri-
kadayu dibawa terbang menuju ke kerajaan di
mana mereka berkuasa. Sebuah kerajaan Iblis,
yang nampak megah terbangun oleh hasil kerja
para budak-budak pengikutnya.
* * *
Sementara itu, di rumah Prikadayu nam-
pak istri dan kedua anaknya menunggu kedatan-
gan Prikadayu. Sudah seminggu lamanya Prika-
dayu menghilang, atau pergi meninggalkan mere-
ka untuk memenuhi panggilan Raja Bergola yang
dipanggil dengan sebutan Sinuhun. Dan sudah
seminggu pula Prikadayu tak ada kabar beri-
tanya, bagaikan hilang begitu saja. Sedangkan si
nenek yang dulu menawarkan segalanya juga tak
muncul batang hidungnya entah pergi ke mana.
Hal ini menjadikan cemas di hati Dripadini, gun
dah karena memikirkan keberadaan suaminya,
juga anak-anaknya yang kini harus makan. Per-
sediaan beras dan lainnya, makin hari makin me-
nipis, bahkan esok mungkin sudah tak tersisa.
"Mengapa kakang Dayu tak kunjung da-
tang?" keluh Dripadini bingung. Bagaimana tidak,
anaknya Sugangga saban hari terus menanyakan
kedatangan sang ayah. "Apakah nenek itu tidak
mendustai kami?"
Tengah Dripadini merenung sendiri, ter-
dengar anaknya yang bayi menjerit keras. Hal itu
menjadikan Dripadini seketika melompat bangun,
dan dengan segera berlari menuju ke dalam ka-
marnya, di mana sang bayi ia tidurkan. Mata Dri-
padini seketika membeliak, serta merta bagaikan
orang histeris Dripadini berteriak keras: "Ti-
daaaakkk...!" Dripadini segera menghambur ke
bayinya yang tampak tangannya berdarah, putus
pergelangannya. Didekapnya tubuh sang bayi.
"Tidak! Tidak...!"
"Ibu...!" Sugangga yang melihat ibunya me-
nangis turut menumpahkan tangisnya. "Ibu... ke-
napa adik begitu, Bu? Kenapa... hu, hu, hu...!"
Dripadini tak dapat menjawab segala per-
tanyaan anaknya. Ia sendiri dalam ketidak-
mengertian, mengapa bayinya tiba-tiba menjerit
lalu anggota tubuhnya putung dengan sendirinya.
Belum juga hilang kaget Dripadini, tiba-tiba kepa-
la si bayi lepas dan menggelinding dari lehernya.
Makin menjeritlah Dripadini sekencang-
kencangnya, tak hiraukan apa yang terjadi.
"Tidaaaak...! Tidaaak...!"
"Ibu...! Hu, hu, hu.... Ibu! Kenapa ini, Bu?
Kenapa?" Sugangga sesenggukan makin keras
menjerit, melihat kepala adiknya menggelinding,
lepas dari pangkal lehernya. Mata bayi itu mende-
lik, sepertinya menyumpah serapah pada mereka.
Berbareng dengan keadaan bayi itu, di Gu-
nung Kawi nampak Prikadayu tengah menyembe-
lih seekor anak domba kecil, Prikadayu tak tahu
siapa sebenarnya yang ia sembelih, yang nam-
paknya hanyalah seekor anak domba.
"Hari ini kau akan makan lezat, Dayu," si
nenek Wewe itu berkata. Si nenek itu kembali
tampak oleh Prikadayu seorang manusia biasa,
bukan seorang Wewe yang menakutkan.
"Ya, begitulah," jawab Prikadayu tenang.
Dilamusnya tubuh domba itu di atas pembaka-
ran, yang membara dan dengan seketika me-
manggang tubuh domba kecil tersebut.
Si nenek Wewe sunggingkan senyum, sea-
kan ia telah mendapat kemenangan. Dari dalam
istana seorang lelaki tampan keluar, diiringi para
dayang yang cantik jelita menemui Prikadayu. Ra-
ja itu begitu muda dan tampan di hadapan Prika-
dayu, yang tak tahu siapa adanya lelaki muda
tampan yang menjadi raja tersebut. Kalau saja
mata batin Prikadayu mampu melihat, sudah pas-
ti Prikadayu akan bergidig melihat siapa adanya
sang Raja. Wajah sang Raja sesungguhnya sangat
menyeramkan, dengan mata besar merah, lidah
menjulur panjang, serta taring runcing. Sang Raja
berjalan mendekati Prikadayu yang tengah me-
manggang anak domba yang telah disembelihnya,
dan bertanya. "Sudah matangkah, Dayu?"
"Sebentar lagi, Baginda," jawab Prikadayu
tanpa palingkan muka, asyik memanggang anak
domba tersebut. Tersenyum menyeringai melihat
Prikadayu dengan tenang dan asyiknya memang-
gang tubuh anak bayinya. "Dia belum tahu siapa
yang dia panggang. He, he, he...!" Raja Bergola
terkekeh dalam hati.
Prikadayu tak hiraukan senyum sang raja
dan nenek Wewe karena ia tidak melihatnya. Ia
tengah asyik dan tenang memanggang domba
yang nampak lezat. Tak lama kemudian Prika-
dayu telah selesai membakarnya, dan berkata:
"Sudah, Baginda. Anak domba ini sudah masak,
apakah baginda akan mencicipinya?"
"Makanlah olehmu dulu, Dayu." Raja tam-
pan itu berkata. "Nanti biarlah sisanya untuk
kami."
Prikadayu tercengang, sebab ia merasa ba-
ru kali ini ada raja yang sebaik raja tampan ini.
Biasanya raja tak akan mau memakan sisa ra-
kyatnya, tetapi raja tampan bernama Sinuhun ini
mau menerima bahkan menyuruhnya untuk
mencicipi daging domba yang dibakarnya.
"Ah...!" Prikadayu tersentak. "Sungguhkah
Sinuhun tidak tengah bercanda?"
"Tidak, Dayu. Aku tidak bercanda."
"Oh, sungguh mulia hati Sinuhun, yang
mau menerima sisa makan hamba yang orang
kere ini."
Sinuhun geleng-geleng kepala, tersenyum
manis, sepertinya mengijinkan bahwa Prikadayu
memang boleh mendahuluinya makan. Keduanya
sesaat saling pandang, lalu sang Sinuhun terse-
nyum kembali sembari berkata. "Kau kali ini
miskin, tapi nanti kau akan kaya raya dan sakti,
Dayu. Nah, makanlah. Setelah kau makan, kau
pulanglah, sebab anak dan istrimu tengah me-
nanti. Buka tikar di mana kau tidur, di sana kau
akan menemukan uang emas yang jumlahnya
banyak."
"Ooh...." Prikadayu mendesah, seakan tak
percaya pada apa yang didengar. "Benarkah itu
semua, Sinuhun?"
"Aku tidak bercanda, Dayu."
"Ooh, sungguh mulia hati Sinuhun."
Setelah berkata begitu, dengan lahap Pri-
kadayu memakan daging anak domba. Perutnya
yang sudah tiga hari tidak diisi karena harus ber-
tapa sangat menghendaki makan. Tak berapa la-
ma saja, daging domba kecil itu pun tinggal tiga
perempatnya saja. Prikadayu terus menyantap,
tak hiraukan pada kedua orang yang melihatnya
dengan gelengkan kepala. Dua orang yang tak
lain nenek Wewe dan Raja Bergola tersenyum-
senyum senang, karena telah ada budaknya lagi.
Makin banyak ia mendapatkan budak, makin mu-
lialah hidupnya sebagai Raja Iblis Bergola.
"Sudah kenyang, Dayu?" kembali Raja Ber-
gola bertanya.
"Sudah, Sinuhun," jawab Prikadayu.
"Nini, tolong kau ambilkan sekarung kecil
oleh-oleh untuknya."
"Daulat, Sinuhun." Nini Wewe menjura, la
lu bergegas tinggalkan Rajanya yang masih berdiri
ditemani para dayang berbincang-bincang dengan
Prikadayu. Tak lama kemudian nini Wewe kemba-
li muncul dengan sekandi penuh oleh-oleh buat
Prikadayu. "Ini untukmu, Dayu."
"Ini belum seberapa, Dayu," Raja Bergola
menambahkan. "Kelak bila masanya tiba, yaitu
setiap bulan purnama dan kau telah menyetorkan
tumbal, maka sepuluh karung ini kau akan da-
patkan."
"Jadi...!" Prikadayu tersendat, tak mampu
teruskan ucapan.
"Ya! Kau setiap bulan purnama harus me-
nunjukkan pada orang utusanku siapa yang eng-
kau berikan mangsa."
"Bagaimana, Dayu?" si nenek menanya.
"Ingat, Dayu. Kau telah menjadi hambaku,
hamba Raja Bergola." Tiba-tiba Raja Bergola be-
rubah pada bentuk semula, begitu juga dengan si
nenek. Bentuk mereka sangat menakutkan, men-
jadikan Prikadayu tersurut mundur. "Inilah kami,
Dayu. Bila kau melanggar perjanjian, maka kau-
lah yang akan kami mangsa. Dan lihatlah oleh-
mu, bahwa yang kau makan bukanlah domba, te-
tapi anakmu sendiri. Hua, ha, ha...!"
Prikadayu tengokkan matanya pada pera-
pian di mana tubuh domba masih menggelan-
tung. Dan benar, ternyata bukannya domba yang
dipanggangnya, melainkan tubuh bayi berusia se-
tahun. Dan manakala Prikadayu menatap kepala
domba, tersentaklah ia. Tenaganya bagai hilang,
lemas tiada daya untuk berdiri. Mata bayi itu
mendelik, seakan mengutuki perbuatannya. Per-
buatan seorang ayah yang telah tega membunuh
anaknya sendiri demi kepuasan batinnya.
"Pantas waktu aku sembelih ia menjerit.
Ayah!" mengeluh hati Prikadayu. "Oh, sungguh
aku telah berdosa."
"Dayu! Jangan kau katakan dosa! Kau tak
lazim berkata begitu. Kau kini telah menjadi
hambaku, maka kau tak pantas mengeluh dan
menyebut dosa."
"Prikadayu, pulanglah. Anggap saja semu-
anya hanya mimpimu. Ingat, Dayu. Setiap malam
purnama kau harus menyetor padaku korban!"
Raja Bergola berkata, namun tidak segalak nenek
Wewe. Nada katanya seakan memberikan hara-
pan pada Prikadayu, yang tak tahu bahwa itulah
taktik Iblis untuk mampu menjeratnya.
Dengan diantar oleh Raja Bergola dan ne-
nek Wewe menuju pintu penyekat alam Prikadayu
pun pulang dengan membawa sekandi buah tan-
gan yang dikata oleh sang Raja Kunir. Prikadayu
terus berjalan dengan pikiran kosong tak berisi,
hilang bagaikan melayang terbang setelah tahu
bahwa anaknyalah yang telah dimakan olehnya
sendiri.
"Oh, kini aku telah menjadi sekutu Iblis,"
Prikadayu mengeluh, namun segera hatinya kem-
bali berkata. "Tidak! Segalanya telah terjadi, tak
pantas aku menyesalinya."
Semangatnya kembali muncul, dan bagai-
kan seorang yang baru mudik dari kota dengan
membawa hasil banyak, Prikadayu berlari-lari
menuruni lereng gunung Kawi menerobos hutan
untuk kembali ke rumahnya dengan harapan itu
semua hanyalah mimpi.
***
TIGA
Harapan Prikadayu semoga apa yang telah
terjadi pada dirinya hanyalah mimpi, ternyata tak
tercapai. Semua adalah kenyataan, kenyataan
yang makin mengkoyak-koyak hatinya. Hati seo-
rang ayah yang telah tega-teganya memangsa
anaknya sendiri.
Baru saja Prikadayu sampai di halaman
rumahnya, seketika disambut jerit tangis istrinya.
Prikadayu yang telah tahu apa yang terjadi hanya
mampu diam, diam tak dapat berkata-kata. Ha-
tinya bagai teriris-iris, perih. Namun segalanya
sudah menjadi bubur, tak mungkin harus dikem-
balikan menjadi beras.
"Anak kita, Kakang! Anak kita...!" istrinya
memekik.
"Sudahlah, Dinda. Segalanya telah terjadi."
"Kakang! Apa maksudmu!" Dripadini mena-
tap lekat tak mengerti, "Kenapa kakang sepertinya
tak hiraukannya. Kenapa, Kakang?! Kenapa se-
muanya bisa begitu. Hu, hu, hu...!"
Prikadayu tertunduk diam, melangkah
dengan kaki terseret menggandeng tangan sang
istri dengan pundak masih menggendong seka-
rung kecil sesuatu yang katanya kunir. Dilempar-
kannya kunir itu ke pojok ruangan, yang seketika
menjadikan mata kedua suami istri itu membela-
lakkan mata. Suara dalam karung itu bukanlah
suara kunir tetapi suara benda padat.
"Trang...!"
"Heh, mengapa kunir bunyinya begitu?"
Prikadayu terheran-heran sendiri, memandang
pada karung kecil di sudut ruangan rumahnya.
"Apakah aku tak salah dengar, Dinda?"
Dripadini yang juga mendengar suara lain
dari dalam karung tersebut pun hanya mampu
gelengkan kepala. Matanya memandang tak per-
caya pada karung yang kini tergeletak. Sesaat
kemudian matanya beralih memandang pada su-
aminya yang juga memandang ke arahnya dengan
pandangan penuh pertanyaan.
"Cobalah kakang periksa isinya," Dripadini
menyarankan.
"Ah, tak salahkah aku mendengar?" kem-
bali Prikadayu terlolong-lolong. Dengan segera
Prikadayu kembali hampiri karung yang telah ia
bawa. "Cobalah aku lihat."
Dengan tangan gemetar Prikadayu mem-
buka tali ikatan karung. Seketika matanya melo-
tot, tak percaya pada apa yang dilihatnya di da-
lam karung tersebut. Hal itu menjadikan istrinya
yang melihat seketika bertanya. "Kenapa, Kakang,
sepertinya engkau terkejut?"
"Emas, Dinda! Emas!" Prikadayu bersorak
girang, lupa pada kesedihan yang seharusnya ia
alami. Matanya mendelik, dan tangannya segera
meraup emas dalam karung. "Lihat! Lihat, Dinda!"
Membeliak mata Dripadini, manakala sua-
minya mengangkat emas yang tak terkira ba-
nyaknya yang ditunjukkan ke arahnya. Bagaikan
lupa pada keadaannya, seketika Dripadini berseru
girang dan melompat memeluk suaminya seraya
berkata: "Kakang, kita menjadi orang kaya. Kita
akan kaya, Kakang!"
Diguncang-guncangkan tubuh Prikadayu,
yang nampak hanya terpaku diam bagaikan orang
linglung. Mata Prikadayu memandang kosong, se-
pertinya tengah memikirkan sesuatu. Hal itu
menjadikan Dripadini hentikan guncangan tan-
gannya, lalu dengan rasa tidak mengerti bertanya:
"Kenapa kakang terbengong? Apakah...?"
"Tidak, Dinda. Kakang tengah bingung."
"Bingung...? Bingung kenapa, Kakang?"
"Apakah kita akan hidup kaya dengan ber-
gelimpangan nyawa?"
"Maksud kakang?" Dripadini masih belum
mengerti, matanya memandang penuh tanda
tanya pada sang suami yang hanya terbengong
kosong. "Kenapa, Kakang?"
"Sesuai dengan perjanjian antara aku dan
Raja Bergola, maka aku setiap bulan purnama
harus menunjukkan padanya siapa yang bakal
aku korbankan sebagai wadal."
Kini Dripadini yang terdiam. Matanya me-
natap kosong, sehingga kebisuan yang ada seke-
tika menyelimuti mereka. Kebisuan dengan segala
hati yang gundah, hati yang bingung harus ber
buat apa untuk nanti manakala bulan purnama
datang.
"Bagaimana kalau kita tumbalkan tetangga
kita, Kakang?"
"Ah...!" tersentak kaget Prikadayu menden-
gar saran istrinya, yang dirasakan sangat tidak
masuk di akal. "Bagaimana mungkin orang yang
tidak berdosa harus kita korbankan, Dinda?"
"Kita beri saja mereka uang dan perhiasan,
Kakang."
"Apakah mereka tak curiga?" tanya Prika-
dayu bimbang.
"Biar saja mereka curiga. Bukankah tak
ada bukti bahwa kita yang telah melakukannya?"
"Benar juga ucapanmu, Dinda."
"Nah, kini kita telah menjadi orang kaya,
maka apa pun akan dapat kita perbuat. Kini me-
reka yang dulu menghina kita akan membuka
mata. Hi, hi, hi...,!" Dripadini tertawa, seakan ke-
bahagiaan telah terukir di pelupuk matanya. Lupa
akan kepedihan yang dialami, lupa akan bayinya
yang telah menjadi korban.
* * *
Sejak kejadian itu, maka keadaan ekonomi
Prikadayu mulai meningkat. Bahkan tidak tang-
gung-tanggung, Prikadayu yang dulunya miskin
dan hanya menjadi seorang buruh tani, seketika
berubah menjadi Tuan Tanah yang kaya raya.
Hingga dalam pergaulan hidup pun keluarga Pri-
kadayu yang dulu dikucilkan, kini diterima bah..
kan didekati oleh orang-orang yang pekerjaan-nya
hanya menjilat.
Sugangga sebagai anak yang tinggal satu-
satunya, sangat disayang dan dimanjakan. Segala
apa saja yang dimintanya, selalu dengan cepat di-
kabulkan. Dan sejak saat itu pula, Sugangga ti-
dak pernah lagi dikucilkan atau dihina oleh rekan
sepermainannya. Semua menghormatinya, semua
seakan ingin menunjukkan darma bakti pada ju-
ragan baru yang tidak pelit, yang selalu siap
memberikan pertolongan moril bagi orang yang
membutuhkannya.
"Gangga, ayah minta kau jangan nakal.
Tunjukkan bahwa kita ini orang baik, yang selalu
mengerti akan apa artinya kasih sayang," Ayah-
nya memberi saran. "Jangan karena dulu mana-
kala kita miskin mereka membenci kita, lalu sete-
lah kita kaya berbalik membenci mereka."
Sugangga terdiam, menurut dan menden-
garkan segala petuah ayahnya. Sebenarnya seba-
gai seorang anak, Sugangga ingin melakukan apa
yang pernah dilakukan oleh anak-anak padanya,
tetapi karena kebijaksanaan ayahnya yang mela-
rang dirinya sombong menjadikan Sugangga
mampu melupakan segala kejadian yang telah di-
alaminya manakala dirinya masih menjadi anak
orang tak punya.
"Seperti Sang Budha, ia tak pernah mem-
balas pada orang yang membencinya dengan ber-
balik membenci, tetapi Sang Budha malah men-
gasihinya. Dan ternyata hasilnya sungguh sangat
baik. Orang-orang yang dulu membencinya, seke
tika menjadi pengikut-pengikut Sang Budha. De-
mikian juga dengan kita sebagai umatnya, kita
harus mengikuti apa yang pernah dilakukan oleh
Sang Budha."
"Benar, Ayah. Sungguh luhur budi pekerti
Sang Budha."
"Itulah, Gangga. Sang Budha sesakit apa
pun, tak mau membalas dengan menyakiti. Sang
Budha terus berusaha menyadarkan musuhnya
dengan jalan pendekatan. Dan bila jalan tersebut
tanpa hasil, Sang Budha segera meminta petun-
juk pada Yang Widi bagaimana cara yang paling
baik."
"Dia juga katanya sangat tekun beribadat,
Ayah?"
"Ya! Dia memang sangat tekun beribadat."
"Kalau begitu Gangga pun ingin berguru,
Ayah."
Prikadayu terdiam mendengar permintaan
anaknya. Bukannya ia tidak mengijinkan anak-
nya berguru, tetapi ia sungguh sangat berat bila
harus berpisah dengan anak satu-satunya. Anak-
nya kini tak ada lagi, tinggal Sugangga. Anaknya
yang satu, telah menjadi korbannya sendiri, seba-
gai wadal bagi apa yang kini mereka peroleh.
"Kenapa ayah terdiam? Apakah ayah tidak
mengijinkan Gangga berguru?"
"Bukan itu, Anakku." Prikadayu mencoba
menarik napas, terasa sesak. Bayang-bayang hi-
dup menyelinap, masuk mencerca jiwa dan ha-
tinya. Bayang-bayang bagaimana kalau anaknya
akan dididik keras oleh sang guru, padahal ia
sendiri tak pernah melakukannya. Dan untuk apa
kekayaan ini, bila sang anak harus pergi mening-
galkan dirinya? Prikadayu kembali diam, sulit un-
tuk mengatakannya pada sang anak. Bila ia mela-
rang, berarti ia tidak menyukai dan tidak me-
nyayangi anaknya. Tetapi bila tidak dilarang, jelas
ia harus berpisah dengan anak satu-satunya.
"Kenapa, Ayah?" Sugangga terus mende-
sak, sepertinya ingin mendengar kepastian dari
ayahnya. "Apakah memang ayah memberatkan-
nya?"
"Memang itulah, Anakku," Prikadayu ak-
hirnya berkata, sebab ucapan tanya anaknya
memang tujuan ucapannya. "Ayah sangat berat
bila harus berpisah denganmu, juga ibumu ten-
tunya begitu pula."
"Ah, bukankah Gangga kini sudah dewasa,
Ayah?"
"Ayah mengerti, Nak. Ayah tahu kau telah
dewasa. Tapi bukan kedewasaanmu yang ayah
pikirkan. Ayah memikirkan bagaimana nanti ayah
dan ibumu sepi, tiada anak lagi."
"Namun jika Gangga tak berguru, apa ja-
dinya Gangga setelah besar nanti?" Gangga terce-
nung, melamunkan bagaimana jika ia tak dapat
menguasai ilmu bela diri. Bayangannya tertum-
pah pada orang-orang persilatan yang sangat
agung, ke mana-mana membawa pedang yang
tergantung di pundaknya. Tidak seperti orang
yang tak dapat berbuat apa-apa, badan mereka
nampak tegar, berisi dengan otot-otot yang me-
nunjukkan latihan yang keras.
"Apa tujuanmu belajar silat, Anakku?"
"Untuk membela ayah dan ibu," jawab
Gangga pendek.
"Hanya itu...?" Ayahnya kerutkan kening.
"Ya, hanya itu. Kenapa, Ayah?"
"Tidak apa. Kau memang anak yang baik.
Baiklah, ayah akan mencoba mencarikan guru
untukmu. Guru itu akan ayah suruh mengajari-
mu. Ayah juga akan membuatkan padepokan
yang tak jauh dari tempat ini."
"Oh, terimakasih, Ayah." Sugangga berso-
rak gembira. Bayangannya untuk menjadi orang
persilatan kini makin nampak menebal dan nyata.
"Hore...! Aku akan menjadi seorang pendekar
yang mampu membela kedua orang tuaku. Siapa
saja yang berani melawan, atau menyakiti kedua
orang tuaku, maka dia akan menghadapi Pende-
kar Sugangga. Hiat. Hiat! Hiat... hiat...!"
Sugangga dengan disaksikan oleh ayahnya
yang tersenyum-senyum berkelebat-kelebat me-
mainkan jurus-jurus silat. Tubuhnya melompat
ke sana ke mari, sepertinya Sugangga tengah be-
nar-benar melakukan latihan silat. Ibunya yang
mendengar seruan-seruan anaknya, seketika ber-
lari ke luar. Sang ibu tersenyum senang, demi
melihat anaknya bergaya
"Inilah jurus Kera Memetik Mangga wak
Sueb. Hiat...!"
Tubuh Sugangga bergerak cepat, lalu den-
gan kilat buah apel yang ada di depan meja ayah-
nya langsung dicomotnya. Dan dengan rakus di-
gragotinya buah apel tersebut, tak pelak lagi se
mua yang melihatnya tertawa bergelak-gelak. Dan
makin kencang saja gelak tawa mereka, manakala
Sugangga nampak keseratan.
* * *
Seperti permintaan yang lainnya, permin-
taan Sugangga kali ini pun segera dituruti oleh
ayahnya. Esok paginya sang ayah mencari guru
yang dianggapnya mampu mendidik anaknya,
agar kelak dapat menjadi seorang pendekar ber-
budi, tidak seperti dirinya yang telah bersekutu
dengan Iblis.
Setiap pelosok pedukuan dijelajahi oleh
anak buahnya atau para centeng guna menda-
patkan seorang guru yang mau mengajari anak-
nya di rumah, atau paling tidak dekat dengan
rumahnya. Tapi sampai sekian lama para centeng
yang mencari tidak menemukan adanya seorang
guru yang mau mendidik muridnya di rumah
atau dekat dengan kediaman sang murid. Me-
mang aneh-aneh saja permintaan Juragan Prika-
dayu, hampir menyerupai jaman modern saja.
Permintaan Prikadayu memang menyerupai cara
jaman sekarang, sistim Privat.
"Bagaimana, Karsan? Apakah kau telah
menemukannya?"
"Waduh, Juragan. Telah seluruh pelosok
wilayah gunung Kawi dan sekelilingnya hamba je-
lajahi, ternyata tak ada seorang guru pun yang
mau."
Prikadayu termenung, memang dugaannya
benar adanya. Mana ada seorang guru mau da-
tang ke tempat muridnya? Namun sebagai seo-
rang ayah yang ingin memanjakan anaknya, jelas
ia tidak mau putus asa. Kegagalan boleh beru-
lang, toh akhirnya keberhasilan akan didapat ju-
ga. Begitulah prinsip hidup Prikadayu, seluruh
prinsip yang didasari oleh pengalaman sendiri.
Dulu juga dirinya gagal melulu, sampai orang
mengejek dan menghinanya, tetapi kini berhasil
menjadi orang yang kaya raya.
"Karsan, besok kau sebar pengumuman di
seantero wilayah ini. Aku yakin, nanti pun baka-
lan ada seorang pendekar yang mau menerima
tawaranku."
"Baik, Juragan. Besok akan aku laksana-
kan."
"Sekarang kau berikan ilmu yang kau mili-
ki pada anakku, kelak siapa tahu dapat dijadikan
dasar."
"Baik, Juragan," Karsan segera bangkit dari
duduknya, menjura hormat dan kemudian berlalu
pergi untuk menemui anak juragannya.
Sepeninggalan Karsan ketua centengnya,
Prikadayu kembali tercenung diam. Pikirannya
berkecamuk seribu macam persoalan yang harus
ia hadapi. "Ah, bukankah esok lusa bulan pur-
nama?" keluh hati Prikadayu, manakala mengin-
gat bahwa lusa adalah bulan purnama, di mana
ia harus memberikan wadal untuk Rajanya. "Ke-
napa aku terlalai semuanya? Sungguh sangat ber-
bahaya bila aku benar-benar lalai."
"Dinda...!" Prikadayu berseru memanggil is
trinya.
"Ya...! Ada apa, Kanda?" Istrinya segera
bergegas menuju ke arah di mana suaminya be-
rada. Tampak suaminya tengah duduk di kur-
sinya, memandang ke depan di mana jalanan ke-
cil yang biasanya dipakai untuk latihan menung-
gang kuda anaknya terhampar. Juga lapangan
luas di sebelah jalan, semua adalah milik mereka.
"Kanda memanggil dinda?"
"Benar," jawab Prikadayu.
"Ada gerangan apakah, Kanda?"
"Kau ingat lusa hari apa?" tanya Prikadayu
kemudian.
"Hari Rabu, Kanda. Ada apakah?"
"Besok bulan purnama, Dinda."
Tersentak Dripadini mendengar ucapan
suaminya. Ya, besok hari Rabu, bulan purnama
tiba di mana mereka harus menyiapkan korban
untuk wadalnya. Belum juga hilang rasa kaget
Dripadini, kembali suaminya berkata memecah-
kan keheningan.
"Siapakah yang menurut dinda bakal kor-
ban?"
Kembali Dripadini hanya mampu terbisu,
tiada kata yang menjawabnya. Hatinya bimbang
untuk menentukan korban yang bakal untuk di-
jadikan wadal bagi Raja Bergola, yang telah mem-
berikan pada mereka segalanya. Dan mereka ma-
sih ingat benar apa yang mereka katakan bersa-
ma, bahwa mereka akan selalu menjaga keraha-
siaan segalanya.
"Kalau sampai lusa tak ada korban, maka
kitalah yang akan menjadi korbannya, Dinda."
Tak dapat Dripadini menjawab. Bibirnya
terasa kelu. Memang banyak orang yang telah
mendapatkan harta pemberiannya, tapi apakah
mereka layak? Kedua suami istri itu terdiam bisu,
sulit untuk menemukan siapakah yang bakal me-
reka jadikan korban.
"Bagaimana kalau keluarga Panidi, Kan-
da?"
"Alasanmu, Dinda?"
"Mereka keluarga tak mampu. Apakah ti-
dak sebaiknya mereka kita tolong, lalu dengan
demikian kita mudah mengambil salah satu kor-
ban di keluarga mereka?"
"Tepat! Aku akan ke sana untuk pura-pura
membantu mereka."
Kedua suami istri itu segera memper-
siapkan apa saja yang akan mereka berikan bagi
keluarga Panidi. Beras, sayur mayur, uang, per-
hiasan dan macam-macam benda berharga lain-
nya. Setelah semuanya dirasa cukup, kedua su-
ami istri itu pun dengan menunggang kereta me-
nuju ke kediaman Panidi.
* * *
Jeritan tangis bocah kecil yang kelaparan
memecahkan keheningan sore itu. Suara tangisan
sang bocah-bocah kecil itu terdengar dari sebuah
rumah gubug, yang jauh letaknya dari rumah-
rumah penduduk lainnya.
Dari kejauhan, tampak kereta dengan dua
ekor kuda penariknya berjalan menuju ke arah di
mana rumah tersebut berada. Dan memang be-
nar, kereta yang ditumpangi oleh Prikadayu dan
istrinya memang menuju ke rumah tersebut. Pri-
kadayu segera hentikan kereta kudanya, manaka-
la telah sampai di rumah Panidi.
"Sampurasun...?!" sapa keduanya.
"Rampes...! Eh, Juragan dan nyonya, tum-
ben datang berkunjung ke mari. Ada gerangan
apakah?" tanya Ki Panidi yang menyambut jura-
gannya dengan ramah. "Kalau mengenai sawah,
wah, semuanya beres, Juragan."
"Jangan kau pikirkan mengenai sawah.
Aku datang ke mari hanya merasa ikut prihatin
melihat keadaan keluargamu. Untuk itu, aku se-
bagai juraganmu ingin sekali memberikan ban-
tuan untukmu."
"Wah, dengan saya bekerja pada juragan
saja, saya sudah merasa dibantu, Juragan."
"Jangan kau menolak rejeki, Panidi. Aku
ingin membantumu dengan tulus. Terimalah se-
muanya, anggap saja sebagai ikatan persauda-
raanku dengan keluargamu."
"Benar, Panidi. Suamiku ingin menolongmu
dan sekaligus menjadikan dirimu saudara. Bukan
begitu, Kakang?" Dripadini menambahkan, yang
dengan segera diangguki oleh sang suami dengan
tersenyum. Walau entah apa arti senyumnya itu.
"Waduh.... Bagaimana ini? Aku telah mere-
potkan juragan berdua saja," Panidi masih beru-
saha menolaknya.
"Jangan takut, Panidi. Aku benar-benar tu
lus. Ambillah olehmu apa yang ada di belakang
kereta itu. Dan jadilah kita saudara, apakah kau
tidak mau?" tanya Prikadayu.
"Ambillah, Panidi," Dripadini ikut menim-
pali.
Dengan terlebih dahulu mengundang anak-
anaknya, Panidi pun segera membongkar isi kere-
ta. Betapa berbunga-bunga hati Panidi beserta
keluarganya, manakala melihat begitu banyaknya
pemberian dari juragannya. Mereka beranggapan
bahwa juragannya sungguh orang yang baik budi,
yang mengerti akan penderitaan yang dialami oleh
para buruhnya. Mereka tak tahu, apa yang sebe-
narnya tersirat dari kebaikan tersebut.
Sebuah bencana yang akan melanda ke-
luarga mereka lusa. Dengan senyum senang, ke-
dua suami istri Dripadini pun segera kembali me-
nuju ke rumahnya.
* * *
Esok lusanya, gegerlah seketika tentang
kematian anak Ki Panidi yang sulung. Kematian-
nya begitu tragis, lidahnya melet dengan mata
melotot. Semua orang tak mengerti, semua orang
hanya mengira bahwa kematian anak Ki Panidi
semata-mata kena setan dekat rumah mereka.
Memang benar dugaan semua orang, tetapi setan
yang membunuh anak Ki Panidi bukanlah setan
sembarangan. Setan pembunuh anak Ki Panidi
yang sebenarnya tidak mati, adalah setan peliha-
raan Prikadayu, juragan mereka.
Mendengar kematian anak Ki Panidi, Pri-
kadayu dan istrinya pun segera datang untuk
menyatakan bela sungkawa. Wajah mereka seper-
tinya sedih, namun di hati mereka tersirat keba-
hagiaan yang teramat sangat. Sebab dengan wad-
al tersebut, harta mereka akan bertambah ba-
nyak, menumpuk tanpa sepengetahuan orang
lain.
Ki Panidi yang tak mengerti segalanya,
hanya mampu menangisi kematian anaknya.
Bahkan Ki Panidi tidak segan-segan menceritakan
apa yang telah menimpa anaknya, yang hanya di-
angguki oleh kedua juragannya dengan pura-pura
turut berlinang air mata. Setelah usai berjalan se-
galanya, kembali semuanya diam, tak mengerti
apa sebenarnya yang terjadi. Semua tak tahu,
semua tak menyadari bahwa bisa saja mereka
pun menjadi korbannya.
Bulan purnama kembali datang, dan kor-
ban pun seketika menggema. Paginya ditemukan
hal kematian yang serupa, sepertinya kematian
itu satu arah dan satu pelaku. Tapi siapa? Begitu-
lah pertanyaan yang ada di hati mereka.
* * *
Bulan berganti, menjadikan tahun. Sepu-
luh tahun sudah desa di lereng gunung Kawi ter-
cekam oleh kematian-kematian yang misterius.
Kematian yang sama persis, tak ada bedanya. Pa-
dahal kalau memang kematian kodrat Tuhan, je-
las akan berbeda-beda. Semua mati setelah men
dapatkan hadiah dari Juragan Prikadayu, juragan
yang mereka anggap mempunyai rasa kemanu-
siaan yang tinggi. Hingga karena itulah, mereka
tak ada yang berani menuduh. Mereka tak ada
yang mencurigai bahwa segalanya berada di tan-
gan Prikadayu.
Malam itu bulan kembali bersinar dengan
terang, menandakan bahwa bulan saat itu bulan
purnama. Lolongan anjing liar menggema, menja-
dikan rasa takut yang teramat sangat bagi pen-
dengarnya.
Malam yang kelam itu, seketika terpecah
oleh suara jeritan dari seseorang. Suara jeritan itu
melengking, sepertinya orang tersebut tengah di-
landa ketakutan yang teramat sangat. Jaka Ndab-
leg yang sudah sedari siang berada di desa itu da-
lam perjalanannya mencari kebenaran berita ten-
tang kematian yang sangat misterius, segera ber-
kelebat menuju ke arah datangnya suara terse-
but.
"Tidaaak...! Jangan! Pergi! Aku tak mau!
Aku tak mau...!"
.Jaka Ndableg terus berlari dengan cepat-
nya. Dipakainya ajian Angin Puyuhnya, maka da-
lam sekejap saja tubuhnya bagaikan terbang, ber-
lari menuju ke asal suara tersebut.
"Tidak! Jangan takut-takuti aku! Jangan...!
Pergi!"
Orang itu masih menjerit-jerit, menjadikan
Jaka dengan segera dapat menemukan di rumah
mana adanya suara tersebut. Jaka tersentak di-
am, manakala terdengar suara berat berkata
membalas teriakan orang tadi.
"Hua, ha, ha...! Kau telah dijadikan wadal,
maka kau harus mau menjadi budakku!"
"Tidak mau! Siapa kau, Setan!"
"Aku Raja Bergola! Aku akan mengambil
sukmamu, yang telah dijadikan wadal oleh Jura-
ganmu, Prikadayu. Bukankah engkau telah men-
dapatkan harta dari Juraganmu?"
"Tidak! Kalau engkau ingin mengambil har-
ta itu. Harta itu masih aku simpan, belum aku
makan!" memekik orang tersebut, takut melihat
tampang Raja Bergola. Wajah Raja Bergola yang
menyeramkan, dengan lidah menjulur panjang
serta mata lebar merah terus memandang ke arah
orang tersebut.
"Wuut...!"
"Tidak...!"
Tangan Raja Bergola bergerak hendak me-
nangkap tubuh orang tersebut. Namun belum ju-
ga tangan besar berwarna hijau itu menangkap
orang tersebut, tiba-tiba sebuah bayangan berke-
lebat menghantamkan pukulannya.
"Wuss...! Duar!"
Ledakan akibat pukulan yang dilontarkan
oleh Jaka, seketika menyentakkan Raja Bergola.
Mata Raja Bergola menyala merah, marah demi
mendapatkan seorang manusia telah berani ku-
rang ajar padanya dan telah menghalangi niatnya.
"Siapa kau, manusia!"
"Tak penting namaku untukmu!" jawab Ja-
ka terus. "Yang pasti, aku akan menghalangi tin-
dakanmu. Kau terlalu telengas, Bergola! Kau telah
membuat kepanikan warga desa ini!"
Terbelalak mata Raja Bergola demi men-
dengar pemuda di hadapannya tahu namanya.
Matanya yang merah besar, menyala bagaikan
memendam api. "Siapa kau, Bocah!"
"Jangan kau tanya siapa aku! Yang pasti,
kau harus musnah dan minggat dari muka bumi
ini!"
"Sombong!" menggeretak marah Raja Ber-
gola, demi mendengar ucapan Jaka Ndableg.
"Apakah kau belum tahu siapa aku, Anak mu-
da?!"
"Aku tahu siapa adanya kamu! Kau adalah
Raja Iblis yang berusaha mencengkeramkan ku-
ku-kukumu di bumi, dan mengajak pada manu-
sia untuk mengabdi pada kerajaanmu. Huh,
sungguh kau Iblis yang harus dibasmi, Bergola!"
"Huah...! Jangan kau bermimpi, Anak mu-
da!"
"Terserah kau saja! Yang pasti, kau mau
minggat atau aku yang akan membuat kau ming-
gat dari bumi ini!" Jaka nampak tenang, mengan-
cam pada Raja Bergola yang masih memandang
ke arahnya dengan nada jengkel. "Katakan pada-
ku, siapa yang telah menyuruhmu, Bergola!"
"Aku disuruh oleh Ki Prikadayu!"
"Nah, menyingkirlah, atau dengan terpaksa
aku akan membuat kau minggat dari muka bumi
ini. Hah?!"
"Sombong kau, Anak muda!" Raja Bergola
nampak marah dan gusar, merasa Jaka telah me-
remehkannya. "Aku Raja Bergola tak akan mun
dur menghadapi manusia. Jangankan dirimu, Bo-
cah! Terimalah kematianmu. Hiat...!"
"Wuut...!"
Jaka segera melompat mundur, hindari sa-
betan tangan Bergola yang berusaha menghantam
tubuhnya. Bukanlah Jaka Ndableg kalau harus
mengakui kalah dengan Iblis. Nama Jaka Ndableg
atau Pendekar Pedang Siluman Darah sudah
kondang, manalah mungkin dirinya harus takluk
dengan bangsa Iblis, siluman dan segalanya. Le-
bih baik dirinya mati, daripada harus menjadi
budak Iblis.
"Remuk tubuhmu, Bocah!"
"Tidak kena, Oom!" Jaka segera mengelak
sambil mengejek.
"Lebur. Hiat...!"
"Wuusss...!"
Jaka tersentak manakala melihat gulungan
asap tebal hitam keluar dari tangan Raja Bergola.
Dengan segera Jaka hentakan tubuh, mencelat ke
atas hingga serangan itu melesat terus ke arah bi-
lik rumah.
"Duar...!"
"Bedebah! Di mana kau, Bocah!" rungut
Raja Bergola marah, manakala melihat Jaka telah
hilang dari tempat tersebut.
"Aku ada di belakangmu, Bergola!"
Raja Bergola segera balikkan tubuh ke
arah suara Jaka, namun tiba-tiba Jaka telah me-
nyambutinya dengan hantaman ajian Bledek Se-
wunya.
"Terimalah ajian Bledek Sewu. Hiat...!"
"Bletar! Bletar! Bletar!"
Ledakan-ledakan halilintar menggema ber-
saut-sautan, menghantam tubuh Raja Bergola.
Raja Bergola seketika goyah, namun tubuhnya
tak mengalami apa-apa. Malah kini Raja Bergola
nampak beringas, dan dengan ganas diporak-
porandakannya rumah bilik itu. Rupanya leda-
kan-ledakan petir telah mampu membuatnya bi-
sing, sehingga Raja Bergola pun akhirnya marah.
"Gusti Allah, ternyata ajian Bledek Sewu
tak mempan!" keluh Jaka.
"Wuut...!"
Jaka tersentak, lemparkan tubuh ke bela-
kang manakala tangan Raja Bergola kembali me-
nyerang ke arahnya.
"Jangan lari, Bocah! Nyawamu harus men-
jadi budakku!"
"Hua, ha, ha...! Enak saja kau ngomong,
Bergola!" Jaka tertawa bergelak-gelak, berkata
dengan penuh sinis. "Kaulah yang seharusnya
menjadi budakku, sebab kau pantas untuk men-
gawal diriku bila aku bepergian ke mana-mana.
Tubuhmu besar, cukup dapat diandalkan, Bergo-
la!"
"Kurang ajar!"
"Eh, rupanya kau membandel!" Jaka terus
mengeluarkan kendablegannya. "Kau membandel,
maka jangan salahkan aku akan menghajarmu.
Nah, terimalah ini. Tapak Bahana. Hiat...!"
Berbarengan dengan tangan Raja Bergola
menyerangnya, segera Jaka berkelebat menghin-
dar dan langsung melayang menuju ke muka Raja
Bergola. Tangan Jaka yang telah membara, sece-
pat kilat menghantam.
"Duar...!" kembali terdengar ledakan.
"Hua, ha,ha ...! Keluarkan segala ilmu yang
engkau miliki, Anak muda!" Raja Bergola bergelak
sombong, merasa dirinya mampu menandingi il-
mu Jaka Ndableg. "Keluarkan semua ilmumu,
Anak muda. Aku Raja Bergola tak akan mundur!"
"Jangan senang dulu, Bergola."
Habis berkata begitu, segera Jaka melom-
pat mundur menjauh. Jaka dengan segera duduk
bersilah, heningkan cipta merapalkan sebuah
ajiannya yang sangat dahsyat. Melihat hal terse-
but, Raja Bergola tertawa terpingkal-pingkal.
"Hua, ha, ha, ha...! Sedang apa kau, Anak
muda?!"
Namun belum juga ucapan Raja Bergola
habis, tiba-tiba tubuh Jaka telah membesar dan
makin bertambah besar. Tubuh Jaka kini telah
jauh melebihi besarnya Raja Bergola. Raja Bergola
tersentak kaget seraya melompat mundur, mana-
kala melihat apa yang kini berdiri di hadapannya.
"Hua, ha, ha, ha...! Bergola, majulah kau!
Biar aku dengan segera mematahkan tubuhnya
dan memangsamu. Hua, ha, ha...!"
"Siapa kau, Buto?!" Raja Bergola bertanya
dengan nada agak takut. Tubuhnya yang tadinya
nampak besar, kini bagaikan tiada setengahnya
tubuh Buto Dewa Wisnu.
"Raja Bergola, akulah Buto Dewa Wisnu.
Akulah yang akan membuatmu harus menyingkir
dari dunia ini! Hua, ha, ha, ha...!"
Raja Bergola yang merasa tak akan unggu-
lan berusaha kabur meninggalkan Buto Dewa
Wisnu. Tetapi dengan cepat tangan Buto Dewa
Wisnu telah mencekalnya. Dibantingnya tubuh
Raja Bergola, sehingga terdengar bunyi bergedu-
bug. Bumi seketika bagaikan digoncang hebat,
goyang laksana gempa.
"Modar...!"
"Tobat...!"
"Jangan kau mengeluh, Bergola!"
Kembali dengan keras dibantingnya tubuh
Raja Bergola, sehingga kembali Raja Bergola men-
jerit. Tak hanya sampai di situ, Raja Bergola seke-
tika diinjaknya hingga amblas ke dalam bumi.
"Dinda...! Tolong aku...!" Raja Bergola me-
mekik, tubuhnya masuk amblas ke dalam tanah.
"Nyai...! Tolong aku...!"
Dari kejauhan, tepatnya dari puncak Gu-
nung Kawi, sebuah bayangan berkelebat terbang
menyerang Buto Dewa Wisnu. Bayangan tersebut
tak lain Wewe adanya, istrinya Raja Bergola. Mata
Ni Wewe nampak menyala merah, manakala me-
lihat suaminya terpendam dalam tanah.
"Kau harus mati, Raksasa!"
"Huah... ternyata kau istrinya. Hem, biar-
lah sekalian saja kalian aku kubur!" Buto Dewa
Wisnu segera kebatkan tangannya. Maka dari ke-
batan tangan besar itu keluar angin besar, men-
deru menyerang Ni Wewe. Tak ayal lagi, tubuh Ni
Wewe seketika oleng. Hal tersebut tidak disia-
siakan oleh Buto Dewa Wisnu, yang dengan sege-
ra tangkap Ni Wewe.
"Hua, ha, ha...! Kau akan menemani sua-
mimu di dasar tanah sana! Dan kalian tak akan
dapat hidup bebas. Kalian telah terhimpit oleh
Sekat Gaib! Hua, ha, ha...!"
"Tobat...! Ampunilah aku," rengek Ni Wewe.
Buto Dewa Wisnu tak perduli. Ditaruhnya
tubuh Ni Wewe di bawah, lalu dengan kuat diin-
jaknya tubuh tersebut hingga amblas ke tanah.
"Aaan...! Anakku...! Tolong...!" terdengar se-
ruan seorang wanita bukan Ni Wewe, menyebut-
nyebut nama anaknya untuk sesaat sebelum ak-
hirnya hilang.
Jaka yang telah melihat kematian dua mu-
suhnya, dengan segera kembali melakukan tiwi-
krama. Perlahan-lahan tubuhnya mengecil, lama
kelamaan akhirnya kembali pada bentuk semula.
Setelah dirasa tak ada yang memperhatikannya,
segera Jaka berkelebat pergi menghilang.
Esok paginya seluruh desa geger tentang
hilangnya juragan mereka. Beruntung ada seo-
rang yang memberitahukan bahwa juragan mere-
ka tak lain pemelihara Buto. Mereka tak ada yang
membantah, sebab setelah dikait-kaitkan dengan
segala kejadian ternyata benar adanya. Apalagi
setelah orang tersebut menceritakan bahwa yang
menginjak dua orang juragan mereka tak lain Ja-
ka Ndableg, semuanya pun seketika percaya.
"Bukankah Jaka seorang Pendekar pembela ke-
benaran?" begitulah pertanyaan hati mereka,
yang menjadikan mereka harus percaya bahwa
juragan mereka memang seorang pengipri Buto.
Dengan berbondong-bondong, mereka pun berda
tangan ke rumah juragan mereka. Bagaikan orang
baru terjaga dari mimpi, mereka mengamuk seja-
di-jadinya. Maka dalam sekejap saja rumah Pri-
kadayu hancur berantakan, diamuk oleh seluruh
warga desa yang tak lagi mampu membendung
amarahnya.
***
EMPAT
"Aku akan mencari Pendekar Pedang Silu-
man Darah, Guru," Sugangga berkata dengan
emosinya yang meluap-luap. Dendamnya pada
Jaka Ndableg, berkobar-kobar laksana api. Den-
dam seorang anak yang ingin menunjukkan bak-
tinya pada kedua orang tuanya, yang telah mati di
tangan seorang pendekar pembela kebenaran dan
keadilan yang tak lain Pendekar Pedang Siluman
Darah.
"Dia telah membunuh kedua orang tuaku."
"Aku tahu. Namun kau, apakah telah tahu
asal mulanya?" tanya sang guru, nadanya seakan
tidak menyetujui akan apa rencana muridnya. Ia
tahu benar siapa adanya Jaka Ndableg. Dan ia
tahu benar apa yang sebenarnya telah terjadi pa-
da kedua orang tua muridnya.
"Sudah, Guru," Sugangga nampak men-
dengus penuh amarah, yang menjadikan sang
guru hanya mampu mendesah panjang. Sebenar-
nya sang guru tidak menghendaki murid satu
satunya itu harus bermusuhan dengan Jaka
Ndableg, namun nampaknya suratan menghen-
daki lain. Muridnya adalah anak sepasang tokoh
aliran sesat. Ayahnya bernama Prikadayu, se-
dangkan ibunya yang juga sealiran dengan sua-
minya bernama Dripadini.
"Tapi kedua orang tuamu yang salah dalam
hal ini. Bagaimana, Gangga?"
"Memang kedua orang tuaku yang salah,"
Sugangga hela napas.
"Nah, mengapa engkau mesti memperun-
cingnya?"
"Sebagai seorang anak yang berbakti, ten-
tunya aku harus membela kedua orang tuaku,"
Sugangga berkata masih dengan emosi yang me-
luap-luap.
"Walau itu tindakan yang salah?"
"Ya!"
"Ooh...." sang guru mendesah panjang, ge-
lengkan kepalanya seakan hendak membuang be-
ban berat. "Sungguh kau tidak memikirkan aki-
batnya, Gangga."
"Aku sudah memikirkannya, Guru," Su-
gangga ketus berkata. "Aku sudah memper-
siapkan segala resikonya yang bakal aku hadapi."
"He, kau memang pemberani, tetapi kebe-
ranianmu tidak pada tempatnya," sang guru
menggumam. "Seharusnya kau bersyukur ayah
dan ibumu dapat mati dengan sempurna. Kalau
tanpa bantuan Pendekar Pedang Siluman Darah,
tentunya kedua orang tuamu akan menjadi ham-
ba setan untuk selamanya."
"Guru membela dia?"
Sang guru kembali menarik napas panjang.
Ucapan muridnya seakan menusuk tajam, meng-
hunjam di lubuk hatinya. Kini ia berdiri dalam
posisi yang salah, padahal ia memperingati mu-
ridnya karena ia tak ingin muridnya menjadi kor-
ban Pendekar Pedang Siluman Darah selanjutnya.
Cukuplah dengan adik seperguruannya saja yang
jadi korbannya. Sebenarnya ia pun mendendam
pada pendekar tersebut, namun bila dirasa, den-
dam tak akan pernah habis-habisnya, bahkan
dendam akan selalu bertumpah darah. Bila ingat
dan sadar akan hal itu, maka ia pun segera men-
guburkannya dalam-dalam. Kini ia kembali diin-
gatkan pada masalah adik seperguruannya, yang
mati di tangan pendekar tersebut. Tetapi seperti
kedua orang tua muridnya, adiknya pun merupa-
kan tokoh aliran sesat. Ya, Datuk Raja Beracun
adalah orang sesat, maka sewajarnyalah kalau
pendekar tersebut menumpasnya. Sebenarnya
bukannya dia takut terhadap pendekar muda itu,
tapi percuma saja. Bukan kemenangan yang akan
diperolehnya, bahkan kematian tragis dengan da-
rah terhisap habis oleh Pedang Siluman Darah.
Jangankan manusia macamnya, para iblis dan si-
luman pun akan keder bila harus meng-hadapi
Pendekar Jaka Ndableg bila telah memegang sen-
jatanya.
"Aku bukan membelanya, Gangga," sang
guru akhirnya berkata dengan nada lemah. Ia sa-
dar, bahwa muridnya bukanlah seorang anak-
anak lagi. Muridnya kini telah dewasa, yang ber
hak menentukan perjalanan hidupnya. Tapi bila
sang murid harus menghadapi bencana, apakah
ia harus diam diri begitu saja? Guru macam apa-
kah ia? "Aku hanya ingin mengingatkan padamu
siapa dan apa sebenarnya Jaka Ndableg tersebut."
Sugangga terdiam mendengar ucapan gu-
runya, seakan ucapan sang guru menyentakkan
dirinya untuk kembali berpikir. Memang kalau
dipikir secara benar-benar, kedua orang tuanya
yang salah dalam hal ini. Kedua orang tuanyalah
yang telah menjadikan Pendekar Pedang Siluman
Darah melakukan tindakan tersebut, sebab bila
tidak maka bencanalah yang akan diterima ma-
nusia. Kedua orang tuanya telah bersekutu den-
gan iblis yang mampu memberikan kehidupan
yang serba mencukupi atau dengan kata lain ke-
dua orang tuanya telah Nyupang Buto Ijo. Sebuah
persekutuan dengan iblis yang saling keterkaitan.
Kedua orang tuanya harus selalu menyediakan
korban yang disebut wadal untuk sang Buto. Se-
mentara kedua orang tuanya pun men-dapatkan
timbal balik, yaitu harta kekayaan yang datang
sendiri bila telah memberikan wadal tersebut. Bila
hal itu berjalan terus menerus, kekayaan orang
tuanya makin menumpuk, sementara manusia
akan makin berkurang saja karena habis untuk
wadal. Dan sebenarnya bila Sugangga berpikir
jauh, bukankah adiknya juga telah dijadikan
wadal pertama? Wadal untuk menentukan kuat
tidaknya kedua orang tuanya menghadapi tan-
tangan. Wadal untuk menjadikan kedua orang
tuanya tak akan hiraukan pekik kematian tetang
ganya, atau anaknya yang menjerit-jerit manakala
dijadikan mangsa sang Buto. Bila mengingat itu
semua, seketika Gangga menangis. Menangis me-
ratapi kesesatan yang dilakukan oleh kedua orang
tuanya.
"Tapi mereka melakukan juga karena aku,"
gumam Sugangga dalam hati. "Ya, karena akulah
kedua orang tuaku harus menyelimpang dari
keadaan sebenarnya. Aku memang yang mengin-
ginkan kedua orang tuaku kaya. Aku malu, bila
mendengar segala cemooh dari tetangga yang ti-
dak menginginkan aku main dengan anak-
anaknya karena aku miskin. Oh...!"
"Sepertinya engkau mengenang sesuatu,
Gangga?" sang guru yang melihat perubahan di
wajah muridnya bertanya. "Apa yang tengah eng-
kau pikirkan?"
Sugangga tersentak kaget, sehingga dengan
secara tidak sengaja matanya memandang ke raut
tua di hadapannya. Raut tua yang sepertinya
mengandung ribuan goresan perjalanan hidup,
baik yang senang maupun yang susah. Seraut
wajah gurunya, yang terselubung dengan kemis-
terian. Ya! Sampai sekarang pun Sugangga belum
mengenal siapa adanya gurunya. Nama sang
guru, seakan tiada melekat. Aneh memang. Sela-
ma lima belas tahun ia berguru pada lelaki tua
renta berambut serba putih itu, ia tidak pernah
sekalipun mengetahui siapa adanya sang guru.
Sepertinya sang guru menyembunyikan dirinya,
atau ada rasa takut menyelimuti diri gurunya.
Kalau memang ada rasa takut, pada siapakah gu
runya takut? Sugangga tahu bahwa gurunya be-
rilmu tinggi, mengapa mesti takut pada musuh?
"Guru, apakah aku bersalah bila membela
orang tuaku?" akhirnya Sugangga bertanya.
"Apakah aku salah bila mendendam pada orang
yang telah membinasakan kedua orang tuaku.
Bukankah sebagai seorang anak ia harus membe-
la nama baik kedua orang tuanya? Walau aku ta-
hu, bahwasanya kedua orang tuaku memang te-
lah berlaku jahat, tetapi semua itu demi untukku.
Bahkan adikku pun dijadikan wadal, manakala
pertama kali kedua orang tuaku melakukan per-
sekutuan dengan Buto Ijo tersebut. Akulah yang
memintanya, sebab aku sudah tak tahan mene-
rima hinaan dari teman-temanku."
Sang guru kembali tercenung diam. Ha-
tinya seketika menjerit, demi mendengar penutu-
ran muridnya. Betapa ia telah mengangkat seo-
rang manusia jahat menjadi muridnya. Manusia
yang tega menjerumuskan kedua orang tuanya
untuk melangkah di jalan kesesatan. Manusia
egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri,
walau saudaranya harus menjadi korban.
"Ooh...." sang guru mengeluh, keluh dalam hati.
Tak disadari, air matanya meleleh deras memba-
sahi pipinya. Segala ingatannya pada adik seper-
guruannya yaitu Datuk Raja Beracun kembali
tumbuh, menguak kalbu tuanya yang sudah ra-
puh untuk mengenang segala kejadian demi keja-
dian. Kini kenangan harus terulang. Apakah
mungkin muridnya juga seperti adik sepergu-
ruannya, yang menyimpang dari ajaran Tuhan
yang karena mendendam dan merasa harga di-
rinya terinjak-injak? Dan apakah sang murid
hanya akan menjalankan niatnya demi ambisi se-
perti Datuk Raja Beracun?
"Memang kau bersalah. Tetapi kesalahan-
mu ada pada segala tindakanmu yang hanya me-
nuruti hawa nafsu setan belaka." ucap sang guru
tandas. "Coba kalau engkau tidak merengek-
rengek agar kedua orang tuamu kaya, tentunya
keadaan tidak serunyam begini. Tapi nasi sudah
menjadi bubur, maka segalanya kembali aku pa-
srahkan padamu juga. Kaulah yang berhak me-
nentukannya, sebab bila aku melarangmu, paling
tidak kau akan mengecapku sebagai seorang guru
yang tidak mengerti. Tetapi bila aku membela dan
mendorong dirimu, tentu aku juga salah besar."
Sugangga memaku hening, tiada dapat
berkata apa-apa. Harapannya agar sang guru
mau membelanya dan membantunya menghadapi
Jaka Ndableg, seketika pupus sudah. Tapi ia tak
mau putus asa. Ia akan mencoba, mencoba
menghadapi Jaka Ndableg. "Ah, apakah mungkin
guru akan membiarkan diriku sendiri?" gumam
hati Gangga meragu. "Tidak! Guru tentunya akan
menolongku."
"Apakah guru mengijinkan aku menca-
rinya?"
"Maksudmu, Gangga?" tanya sang guru be-
lum mengerti.
"Apakah guru mengijinkan aku menuntut
balas pada Jaka Ndableg? Dan apakah guru akan
sudi membantuku?"
Sang guru untuk sekian kalinya menarik
napas panjang. Berat rasanya untuk menjawab
pertanyaan sang murid. Dirinya serba terjepit. Ke
mana ia melangkah, jelas akan mendapatkan ke-
salahan. Membela muridnya, jelas dan pasti ia
akan menghadapi kesalahan besar yang buntut-
nya pasti harus berhadapan dengan Pendekar Ja-
ka Ndableg. Bila diam saja, apa artinya seorang
guru yang membiarkan muridnya harus mengha-
dapi segala masalah hidupnya sendiri.
"Bagaimana, Guru?" Sugangga mendesak.
"Apakah tidak ada jalan lain, Gangga?" „
"Tidak ada."
"Hem...." sang guru mendengus. "Rupanya
kau hanya berpikir pada satu jalan, Muridku. Aku
kira, ada jalan lain agar kita tidak harus bentrok
dengannya."
"Yang guru maksudkan, kita damai?" Su-
gangga menerka.
"Ya!" jawab sang guru.
"Ah...!"
"Kenapa, Gangga?"
"Tidak! Aku tidak mau!"
"Lalu apa yang kau mau, Gangga?!"
"Kematian! Dia atau aku yang harus mati,"
Sugangga menyeringai, sepertinya tengah membe-
rikan tanda pada gurunya bahwa dia telah siap
segala-galanya. "Bagaimana, Guru?"
"Ah...."
"Rupanya guru takut menghadapinya,"
sindir Sugangga dengan nada sinis. "Hem, tidak
aku sangka kalau guruku sepengecut ini."
"Gangga! Lancang kau bicara!" sang guru
membentak marah.
Sugangga hanya cibirkan bibirnya, seakan
ia memang benar-benar ingin mengejek kenya-
taan gurunya yang penakut. Sugangga benar-
benar tidak menyangka kalau gurunya sepenge-
cut itu.
Gurunya yang telah dianggapnya orang
paling sakti, ternyata takut menghadapi Jaka
Ndableg.
"Aku bicara benar, Guru! Kalau memang
guru tidak mau dianggap pengecut, tentunya
guru mau membantuku."
"Bukankah aku selama lima belas tahun
telah membantumu?"
"Mendidik maksudmu?" Sugangga kembali
mencibir.
"Ya...!"
"Itu sudah sebuah kewajiban. Kewajiban
sebagai seorang guru yang harus mendidik mu-
ridnya!" Sugangga nampak ngotot bicara, seakan
ia sudah tak memperdulikan siapa dia dan siapa
orang yang berada di hadapannya yang kini ten-
gah diajak ngomong. "Dan bukankah kau telah
dibayar untuk itu?"
Tersentak kaget sang guru mendengar
ucapan muridnya yang telah membuka segalanya.
Hatinya kini terbakar emosi, emosi yang sengaja
dinyalakan oleh Sugangga muridnya. Mata sang
guru memandang tajam pada Sugangga, seper-
tinya hendak menelan bulat-bulat tubuh sang
murid. Napasnya mendesah berat, sesak mengge
ledak di dadanya. Sebagai seorang guru, jelas ia
tidak mau menerima hinaan seperti itu oleh mu-
ridnya.
"Bagaimana? Apakah engkau masih me-
mungkiri?" Gangga masih menyibir sinis.
Makin terasa menyesak saja dada sang
guru mendengar ucapan Sugangga. Memang ia
dibayar dengan mahal untuk mendidik Sugangga,
tetapi itu pun atas kemauan orang tua Sugangga,
bukan kemauan dirinya sendiri. Kalau Sugangga
telah membuatnya harus marah, jelas karena Su-
gangga telah mengungkit-ungkit apa yang telah
diterima-nya dengan pengorbanannya. Pengorba-
nan untuk mendidik Sugangga menjadi seorang
pemuda yang memiliki ilmu tinggi.
"Murid celaka! Kau rupanya tak ubahnya
seperti Iblis!"
"Kaulah yang tidak tahu balas budi!" Su-
gangga tak mau mengalah dengan gurunya. "Kau
telah mendapatkan segalanya dari kedua orang
tuaku, namun ternyata kau tidak mau mengerti."
"Sekali lagi kau ngomong begitu, maka aku
akan menghajarmu, Gangga!" sang guru mengan-
cam, hatinya telah begitu marah mendengar se-
mua ucapan muridnya yang dirasa sangat men-
jengkelkan.
"Kalau engkau mau menghajarku, laku-
kanlah bila engkau berani!" Sugangga menantang.
"Iblis!"
"Hem, kau tak berani bukan?" sinis Su-
gangga berkata, melihat gurunya yang sudah
mengangkat tangan urung menghajarnya.
"Kau telah menantangku, Gangga!"
"Huh, kaulah yang mendahului!"
Sang guru makin tak dapat menahan ama-
rahnya. Napasnya makin memburu saja, sewot
dan kesal melanda hatinya. Mata tuanya kini
nampak menyala merah, seakan mata itu hendak
menghunjam dalam, sedalam kalbu Sugangga.
"Minggat kau dari sini!" Kini sang guru be-
nar-benar tak dapat menahan amarahnya. "Ming-
gat...!" sang guru menyerukan suaranya demi me-
lihat Sugangga masih tersenyum sambil cibirkan
bibirnya.
Kedua murid dan guru kini telah sama-
sama berdiri, sama-sama menggambarkan wajah
ketegangan. Mata keduanya tajam, seakan tak
seorang pun yang mau mengalah untuk menyu-
dahi segala perselisihan. Sugangga yang merasa
dirinya telah mampu dan menjadi seorang pende-
kar, kini seperti merendahkan gurunya yang telah
selama lima belas tahun membimbing dan mendi-
diknya.
"Kau yang harus minggat!" balik memben-
tak Sugangga.
"Apa hakmu, Anak Iblis!"
"Hua, ha, ha...! Bukankah padepokan ini
kedua orang tuaku yang mendirikan? Dan bu-
kankah engkau datang dari Andalas tanpa mem-
bawa selembar bekal pun!" Sugangga benar-benar
sudah dirasuki Iblis. "Kalau engkau tidak minggat
secepatnya, maka jangan salahkan aku menu-
runkan tangan jahatku!"
Gusar dan marahnya sang guru mendengar
ucapan muridnya yang telah dirasa kurang ajar.
Ia sebagai seorang guru, apalagi sebagai orang
tua jelas tidak mau diperlakukan begitu rupa,
yang dirasakan telah menginjak-injak kehorma-
tannya sekaligus harga dirinya
"Kalau aku tak mau, kau mau apa, Murid
durhaka!"
Sugangga tersenyum sinis, lalu dengan
membalikkan tubuh ia berkata: "Kematian un-
tukmu, Tua bangka rewel!"
Tersentak sang guru, manakala Sugangga
mencabut pedang yang tergantung di dinding pa-
depokan. Pedang Dewa Naga milik sang guru yang
merupakan pedang pusaka itu, kini tengah diti-
mang-timang di atas tangan Sugangga.
"Kau...!"
"Ya! Kau boleh milih, menurut dengan aku,
atau selembar nyawamu harus melayang dari tu-
buh tuamu yang telah bau tanah!"
Sang guru melompat mundur, ketika Pe-
dang Pusaka Dewa Naga diacungkan ke arahnya.
Matanya nampak membeliak, sepertinya mata tua
tersebut menyiratkan rasa takut yang teramat
sangat. Bayang-bayang kematian akibat Pedang
Dewa kembali menggambar di pelupuk matanya.
Pedang Dewa itu, kalau sudah keluar dari sarung-
nya, mau tidak mau harus mengambil nyawa.
Sang guru terus menyurut mundur, di telinganya
terdengar seruan seseorang yang jelas-jelas ia
kenal. Suara itu seperti mengejeknya, suara itu
adalah suara Daeng Susukan, seorang Daeng ali-
ran lurus yang dibunuhnya manakala dirinya ma
sih dalam kesesatan.
"Dato Pramunu, bukankah pembalasan itu
akhirnya datang juga? Beruntung kini engkau te-
lah lurus, kalau tidak. Pastilah engkau akan men-
jadi orang celaka di alam sana. Alam di mana kini
aku pun berada. Terimalah segalanya, Dato. Se-
bab memang segalanya berjalan dengan semes-
tinya, sebagaimana aku menerima kematianku di
ujung Pedang Dewa Naga milikmu."
Dato Pramunu nampak masih ketakutan,
mundur setapak demi setapak menjauhi pedang
tersebut. Dan manakala ia hampir sampai di pin-
tu, dengan segara Dato Pramunu melompatkan
diri berlari ke luar.
Namun ternyata Sugangga tak mau mem-
biarkannya begitu saja. Maka Sugangga pun sege-
ra melompat mengejar. Kejar mengejar antara
guru dan murid pun terjadi, meninggalkan pade-
pokan.
"Mau lari ke mana, kau!" Sugangga dengan
pedang Dewa Naga di tangannya terus mengejar.
"Ke mana pun engkau lari, aku akan terus mem-
burumu!"
Dato Pramunu terus saja berlari tanpa hi-
raukan ucapan Sugangga. Karena ia tak melihat
ke depan, maka manakala sebuah batu besar ada
di depannya, tanpa dapat dicegah menyandung
kakinya yang tengah berlari. Saat itu juga, tubuh
tua renta milik Dato Pramunu jatuh.
"Gedebug...!"'
"Hua, ha, ha...! Kini kematian sudah di
ambang pintu, Tua bangka!" Sugangga tertawa..
bergelak. Pedang pusaka Dewa Naga menggan-
tung di kedua tangannya, siap menghunjam pada
tubuh Dato Pramunu. Namun pedang itu terus
menggantung, seakan ada sesuatu kebimbangan
di hati Sugangga.
"Jangan lakukan itu, Gangga. Kau berdosa
bila melakukannya, sebab dia adalah gurumu,"
sebuah suara berkata melarang Sugangga agar
jangan melakukan pembunuhan pada gurunya.
"Ingat, Gangga, segala tindakan pasti ada bala-
sannya."
"Bodoh! Bila engkau tidak melakukannya,
pastilah niatmu akan selalu dihalanginya. Dia
manusia tiada guna bagimu. Dia hanya akan me-
repotkanmu saja. Bunuh dia... bunuh, Gangga!"
suara lain menggema menyeretnya. Dan...!
"Wuuut...!"
Desingan pedang terseret tangan mengge-
ma, menjadikan Dato Pramunu palingkan muka
menghadap. Seketika matanya mendelik, mana-
kala pedang tersebut deras menghunjam ke
punggungnya.
"Aaah...!" memekik seketika Dato Pramunu.
"Kau... kau... kau tak... lebihnya Iblis! Kau... nan-
ti... pun... mati oleh... pe... dang... ini...." terkulai
lemas tubuh Dato Pramunu, mati seketika.
Tersentak Sugangga manakala sadar, seke-
tika itu pula ia menjerit: "Guru...! Guru...! Ampu-
nilah aku, Guru. Ampunilah aku...!"
Dicabutnya pedang pusaka Dewa Naga, la-
lu dengan terisak Sugangga menangisi tubuh gu-
runya yang telah kaku. Tengah ia menangis,
sayup-sayup terdengar suara gurunya yang diba-
rengi munculnya asma sang guru berkata kemba-
li.
"Gangga, aku telah bebas dari segala ikatan
kehidupan. Tapi ternyata semuanya berlaku ha-
rus sebagaimana suratan yang telah tergaris. Du-
lu aku pun telah membunuh seorang Daeng den-
gan pedang tersebut yang ada di tanganmu, dan
aku telah menerimanya. Kelak bila kau memang
menghadapi Pendekar Pedang Siluman Darah,
mukamu akan rusak oleh hantaman ajiannya
yang bernama Petir Sewu. Ingat itu, Gangga! Mu-
kamu akan rusak oleh ajian miliknya, tetapi kau
tak akan mati. Kau akan mati bila engkau telah
bertemu dengan Pendekar Pedang Siluman Darah
untuk yang kedua kalinya. Walau mukamu rusak
dan mengeluarkan darah, sehingga engkau akan
malu, tapi kau tak akan mati. Darah itu tak akan
kering, selalu menetes...! Ingat! Aku menunggumu
untuk saling mengadakan perhitungan denganmu
di alam kelanggengan!"
"Guru...!" Sugangga memekik, namun
bayangan gurunya yaitu Dato Pramunu telah le-
nyap menghilang. "Tidak...! Aku tidak mau mene-
rimanya, aku tidak mau...!"
Bagaikan orang gila, Sugangga berlari den-
gan tangan menggenggam pedang Pusaka Naga
Dewa. Sugangga seperti terpukul mendengar ku-
tukan gurunya yang telah mati. Ia menjerit, dan
terus berlari mencoba melupakannya. Namun
sungguh malang, sebab semakin Sugangga beru-
saha melupakan, semakin deras saja kutukan itu
berbicara.
***
LIMA
"Hiat...!"
"Hiat...!"
Dari balik bebatuan yang mengitari jalan di
mana saat itu Jaka Ndableg berjalan, melompat
beberapa orang menghadang langkahnya. Wajah
orang-orang tersebut rapat tertutup oleh topeng,
dan hanya matanya saja yang nampak.
Jaka sapukan mata, memandang satu per-
satu ke arah mereka. Setelah memandang orang-
orang yang menghadangnya, Jaka pun tampak
sunggingkan senyum. Perlahan kakinya digeser
ke belakang, sedangkan tangan kanannya telah
terkepal siap untuk menghadapi apa yang bakal
terjadi. Jaka maklum. Sebaik apa pun dirinya,
tentulah banyak pula orang yang tidak suka.
"Kaukah yang bernama Jaka Ndableg?"
terdengar seorang berkedok hitam menanya.
"Ya! Memang akulah orangnya," jawab Jaka
masih berusaha tenang. Perlahan kakinya terus
bergeser ke belakang, menjadikan orang-orang
tersebut mengikuti langkahnya. "Siapa kalian se-
mua!"
"Kami...?" orang berkedok hitam kembali
angkat bicara. "Kami adalah orang-orang yang di-
utus oleh seseorang untuk menghadangmu agar
jangan sampai engkau menemukan di mana
adanya Wujud Raga berada."
"Hem, kalau begitu kalian tentunya anak
buah Wujud Raga?!"
"Tepat dugaanmu, Jaka."
"Aku tak memerlukan kalian, tetapi yang
aku perlukan adalah ketua kalian."
"Sama saja," yang angkat bicara kedok me-
rah. "Ketua kami telah menyuruh kami untuk
menangkapmu, hidup atau mati."
"Begitu?" tanya Jaka sinis.
"Ya!" jawab kedok merah. "Apakah kau te-
lah siap?"
"Wuah! Lagakmu seperti seorang pendekar
saja. Seharusnya akulah yang bertanya, apakah
kalian telah mampu untuk melakukan penangka-
pan terhadap diriku? Aku yakin, kalian akan me-
rasakan bagaimana sulitnya bila kalian harus
menangkap kodok bangkong dengan mata tertu-
tup sebelah."
"Sombong kau, Anak muda!" bentak Kedok
Hitam.
"Aku tidak sombong, dan tidak ingin men-
gaku-aku sombong. Aku hanya berkata apa
adanya." Jaka berkilah menggoda, menjadikan
kesepuluh orang berkedok warna warni sesuai
dengan pakaian mereka nampak menggeretak pe-
nuh kemarahan.
"Jangan menyesal nantinya, Jaka!" kembali
Kedok Hitam membentak. "Lebih baik kau menye-
rah saja, biar kami tidak kelewat telengas menu-
runkan tangan padamu, Jaka."
"Heh, apakah kalian mengira diri kalian
seorang raja, yang segala aturannya harus aku
turuti?" Jaka menyibir. "Aku sekali lagi katakan,
aku tak memerlukan kalian, tetapi aku memerlu-
kan ketua kalian! Suruh dia keluar!"
"Ketua kami tidak ada!"
"Wah! Kalian ternyata pengikut setia Wujud
Raga! Sayang!" Jaka berkata bagaikan tak menga-
rah pada mereka. Ucapannya seperti tak menen-
tu, menyimpang dari hal sebenarnya yang tengah
mereka hadapi. "Sayang! Mengapa kesetiaan ka-
lian bukan pada tempatnya?"
"Bedebah! Kami tidak butuh kotbahmu,
Jaka!" Kedok Hitam membentak marah. "Seka-
rang kau mau menuruti kami, atau terpaksa kami
melakukan kekerasan."
Jaka terdiam, sepertinya tengah berpikir
sesuatu. Matanya masih memandang tajam pada
kesepuluh orang berkedok yang kini berdiri
menghadangnya. Sekali kakinya bergeser, sekali
itu tampak goresan bekas kakinya. Semua orang
berkedok itu seketika tersentak, manakala meli-
hat goresan kaki Jaka. Ternyata goresan kaki itu
bukan goresan kaki selayaknya, tetapi goresan
yang menjadikan sebuah tulisan.
"Kalian pergilah, jangan sampai kalian
menjadi korban orang yang kini mengintai! Kalian
tahu, bahwa orang tersebut mengintai kalian di
atas sana!" begitulah bunyi tulisan yang digores
oleh kaki Jaka.
Mata kesepuluh orang berkedok seketika
melotot kaget, manakala melihat tulisan itu. Mata
mereka kemudian beralih memandang pada Jaka,
sepertinya hendak meminta kepastian bahwa Ja-
ka menulis hal tersebut bukanlah untuk bercan-
da.
Jaka terus menyurut mundur. Kakinya
kembali menggores pasir hingga menjadi tulisan
kembali. "Kalian lihatlah ke atas sana, pasti ka-
lian akan melihat seorang lelaki dengan mata be-
ringas penuh dendam memandang ke mari."
"Kau jangan bercanda, Jaka?!" Kedok Hi-
tam nampak tak puas dengan segala apa yang di-
lakukan oleh Jaka. "Kalau ternyata kau telah me-
nipuku, jangan harap kau akan dapat lolos!"
Jaka nampak tersenyum, hatinya seketika
berkata: "Hem, sebenarnya aku tidak memerlukan
mereka. Aku tahu, mereka sebenarnya hanyalah
utusan belaka. Hem, biarlah aku pergi."
Dan manakala kesepuluh orang yang
menghadangnya menengadahkan muka meman-
dang ke arah di mana tertulis oleh Jaka, secepat
kilat Jaka berkelebat laksana terbang.
"Tak ada…!" rungut Kedok Merah.
"Mana dia...?!" Kedok Hitam seketika ter-
sentak, demi melihat Jaka sudah tak ada di situ.
"Heh, apakah kalian tidak mengetahui ke mana ia
pergi?"
"Aneh! Baru sekejap saja kita lengah, ma-
sak dengan cepat dia bisa berlari?" Kedok Biru
melenguh. Ia sangat takjub mendapatkan kenya-
taan itu. "Hem, sungguh bukan pendekar semba-
rangan. Kalau dia mau, dia akan mudah menja-
tuhkan kami," gumam Kedok Biru dalam hati.
"Cari dia...!" Kedok Hitam selaku ketuanya
berseru memerintah. Namun belum juga kesembi-
lan anak buahnya pergi, terdengar suara Jaka
tergelak tawa.
"Hua, ha, ha...! Bukankah itu suatu bukti
bahwa kalian tak mampu menangkapku? Bukan-
kah kalian ibarat menangkap kodok bangkong
yang sudah ada di depan kalian, eh kalian meme-
jamkan mata. Nah, karena aku tak ada waktu un-
tuk mengurusi kalian, maka untuk kali ini aku
pergi dulu. Kalau kalian memang penasaran, ka-
lian boleh mencariku...!"
"Jaka, jangan kau lari!" Kedok Hitam berse-
ru. "Mana buktimu sebagai seorang pendekar
yang kesohor namanya? Mana...?!"
Tak ada jawaban, yang ada hanya hembu-
san angin gunung menerpa suara mereka yang
seketika itu lenyap.
* * *
Jaka terus berlari meninggalkan gunung
Bromo, di mana kesepuluh orang berkedok baru
saja menghadangnya. Langkahnya begitu cepat,
sehingga Jaka kini melesat bagaikan terbang. Ja-
ka yang telah memburu waktu agar dapat segera
menemukan markas Karang Segara tampak ba-
gaikan tak menghiraukan segalanya.
"Aku harus cepat menemukan markas me-
reka!" Jaka menggeretak dalam hati. "Kalau tidak,
tentunya mereka akan makin menjadi-jadi tinda-
kannya."
Tengah Jaka berlari dengan cepatnya hing-
ga tak hiraukan sekeliling, tiba-tiba seseorang
tampak berjalan dengan tenangnya setujuan den-
gan Jaka. Jaka tak perduli, malah kini makin di-
percepatnya langkah kakinya.
"Maaf, aku terpaksa," sapa Jaka manakala
melintasi orang tersebut.
"Hei, siapa kau?!" orang yang tersentak ka-
get karena Jaka nyelonong begitu saja bertanya
seraya kelitkan tubuh menghindari tabrakan den-
gan Jaka. "Siapakah engkau adanya?"
Melihat Jaka tak menjawab, segera orang
tersebut yang tidak lain Sugangga adanya tak
mau tinggal diam. Dengan berlari mengandalkan
ilmu meringankan tubuhnya, Sugangga berusaha
mengejar orang yang berlari.
"Berhenti! Berhenti kau!" Sugangga berte-
riak-teriak.
Merasa ada seseorang yang berseru me-
manggilnya, Jaka lambatkan larinya. Tak lama
kemudian, Sugangga yang mengejarnya mampu
menyusul.
"Ada apakah Ki Sanak berteriak-teriak?"
tanya Jaka masih memalingkan mukanya ke tu-
juan semula. "Apakah Ki Sanak memanggil diri-
ku?"
Sugangga yang belum tahu bagaimana
adanya rupa Jaka Ndableg, nampak senyum-
senyum. Kakinya melangkah, berputar dan
menghadang tubuh Jaka.
"Ki Sanak, larimu begitu cepat. Aku jadi
kagum dengan ilmu lari yang engkau miliki," Su
gangga memuji, menjadikan Jaka Ndableg geleng-
kan kepala sembari tersenyum. "Kalau boleh aku
bertanya? Dapatkah Ki Sanak menunjukkan di
mana aku dapat menemui Jaka Ndableg?"
Jaka tak segera menjawab, matanya me-
mandang penuh selidik pada Sugangga. Bibir Ja-
ka seketika terurai senyum, sepertinya ada sesua-
tu di balik uraian senyum tersebut.
"Siapakah adanya engkau, Ki Sanak? Dan
ada keperluan apakah engkau hendak mencari
pendekar muda itu?" Jaka bertanya, sepertinya ia
tak mengenali diri. Hal itu menjadikan Sugangga
yang memang belum tahu persis wajah Jaka, se-
ketika itu kembali berkata menerangkan.
"Aku Sugangga. Aku mencari Jaka- Ndab-
leg karena ia telah membunuh kedua orang tua-
ku."
"Siapakah kedua orang tuamu, Ki Sanak?"
Jaka kembali bertanya, menjadikan Sugangga ke-
rutkan kening ditanya begitu rupa oleh Jaka.
"Siapa engkau sebenarnya?" tanya Sugang-
ga, kaget mendengar pertanyaan Jaka yang me-
nanyakan nama orang tuanya. "Apakah engkau
yang bernama Jaka?"
Jaka Ndableg sudah dapat membaca gela-
gat. Kini ia tahu siapa adanya Sugangga setelah
sekian lama ia tercenung mengingat-ingat keja-
dian-kejadian yang telah ia alami. "Hem, tak sa-
lah. Pemuda ini mungkin anaknya orang India
itu. Ya, wajahnya mirip orang keturunan India
yang aku kubur hidup-hidup saat menjadi Buto
Ijo," gumam Jaka dalam hati. Matanya terus me
mandang tajam dengan penuh kepastian meman-
dang ke arah Sugangga.
"Kalau kau memang orang yang aku cari,
sungguh kebetulan."
Jaka masih tersenyum tenang, lalu dengan
suara pelan ia pun berkata. "Apa yang sebenarnya
menjadi tujuanmu mencariku, Ki Sanak?"
"Jadi kaukah yang bernama Jaka Ndab-
leg?"
"Ya! Itu namaku."
"Kalau begitu kau harus mampus. Hiat...!"
Tersentak Jaka seketika, manakala dengan
cepat Sugangga tanpa menerangkan duduk per-
soalannya langsung menyerangnya. Jaka segera
melompat mundur, berkelit dengan tubuh ber-
jumpalitan. Dan dengan berusaha menangkis se-
rangan yang dilancarkan Sugangga, Jaka terus
berusaha menyadarkan musuhnya. "Ki Sanak,
apa kesalahan yang pernah aku alami hingga
engkau begitu bernafsu menghendaki nyawaku?"
"Bangsat! Masih kau ingin mungkir!" Su-
gangga menggeretak marah. Dan dengan mengge-
ram, kembali Sugangga hantamkan tangannya
menyerang dengan jurus Pusaran Air Toba.
"Wuut! Wuuut! Wuuut!"
"Eit! Sungguh bahaya seranganmu, Ki Sa-
nak! Apakah tidak sebaiknya engkau lakukan la-
tihan lagi di Danau Toba?" Jaka berseloroh den-
gan terus berusaha menangkis pukulan Pusaran
Air Toba yang dilancarkan Sugangga. "Kurang ce-
pat menggerakannya, Ki Sanak. Jurus Pusaran
Air Toba, harus dilakukan dengan ketenangan ba
tin. Kalau engkau melakukannya setengah-
setengah, niscaya engkau sendiri yang akan cela-
ka."
"Monyet! Jangan banyak bacot!" bentak
Sugangga marah, ia merasa jurusnya telah dipa-
hami benar oleh Jaka. Hatinya ragu untuk terus
menyerang, bertanya-tanya tak mengerti, "Dari
mana ia tahu nama jurusku?"
"Kau rupanya kaget, Sugangga. Wah, sung-
guh kau telah ketinggalan jaman. Jurus Tahi Ko-
tok engkau masih gunakan. Bukankah engkau
pelajari dari Dato Pramunu, kakak Datuk Raja
Beracun?"
Makin kaget saja Sugangga mendengar
penjelasan Jaka yang menguraikan siapa-siapa
pemilik jurus silatnya. Segera Sugangga rubah ju-
rusnya, setelah terlebih dahulu melompat ke be-
lakang. Dengan didahului memekik keras, Su-
gangga kembali menyerang Jaka yang masih be-
rusaha menghindar belaka, tak sekali pun Jaka
berusaha membalas menyerang.
"Mampus kau, Monyet?" Sugangga han-
tamkan pukulan ke arah dada Jaka. Namun ba-
gaikan menghantam angin belaka, Sugangga ter-
huyung ke muka. Tanpa dapat dicegah, tubuh
Sugangga seketika itu terjerembab.
"Hua, ha, ha...! Mengapa engkau memakai
sepatu yang telah licin, Gangga?!" Jaka bergelak
meledek. "Itulah akibatnya kau tak mau ganti-
ganti sepatumu. Wah, sayang sekali. Bukankah
kau anak orang berada? Ya, walau kedua orang
tuamu mendapatkan segala kekayaan dengan ja
lan pintas."
"Bangsat!" Sugangga yang terjatuh men-
cium tanah segera bangkit dengan segala amarah.
Hatinya meledak-ledak mendengar ucapan Jaka
yang telah membuka rahasia siapa adanya kedua
orang tuanya. "Kubunuh kau, Anak edan!"
"Wah, galak banget...?" kendablegan Jaka
mulai kumat. "Eh, bukankah kau sendiri yang
edan? Kalau kau tak edan, manalah mungkin te-
ga menjerumuskan kedua orang tuanya?"
Makin tersentak kaget saja Sugangga men-
dengar ucapan Jaka yang dirasakan benar
adanya. Memang dialah yang menjerumuskan ke-
dua orang tuanya, sehingga kedua orang tuanya
akhirnya nyupang bersekutu dengan Raja Bergo-
la. Dan sebagai perjanjianya, maka adiknyalah
yang menjadi korban.
"Kau terdiam, bukan? Rupanya kau tengah
menyesali diri."
"Bangsat! Jangan kira aku mau mengalah
padamu," Sugangga yang benar-benar sudah di-
landa amarah nampak kalap. Dengan segera di-
cabutnya Pedang Naga Dewa dari sarungnya. Kini
Sugangga benar-benar sudah kalap, lupa pada
apa yang telah dijadikan kutuk oleh gurunya se-
belum mati. Kutukan gurunya berlaku dua kali,
yang pertama dia akan menerima azab sengsara
dengan muka rusak dan darah yang tak akan ke-
ring selamanya. Kutukan yang kedua, dia baru
akan mati setelah menderita azab tersebut sekian
lama. Dan dia akan mati oleh Pedang Naga Dewa.
Jaka tersentak kaget, lemparkan tubuh ke
belakang manakala Sugangga telah berkelebat
dengan pedang pusaka tersebut. Jaka telah tahu
kehebatan pedang pusaka milik Dato Pramunu.
Namun ia tak ada kesempatan untuk berpikir la-
gi, sebab Sugangga telah mencercanya terus me-
nerus dengan pedang tersebut. Yang dapat dila-
kukan Jaka hanyalah berkelit dan berkelit dari
sabetan dan tusukan pedang.
"Wadauw...! Mengapa engkau main-main
dengan pedang pusaka itu, Sugangga?" Jaka wa-
lau dalam keadaan terdesak masih terus meledek
dengan ucapannya yang konyol. "Aku harap, sim-
panlah pedang itu."
"Kau rupanya takut, Anak sinting?!"
Sugangga yang menyangka Jaka benar-
benar takut dengan Pedang Naga Dewa, terus
mencerca. Sedikit demi sedikit Jaka terdesak ke
belakang. Kakinya terseret, seakan hendak mem-
buat sebuah lompatan seketika dilihatnya jurang
hanya beberapa tombak lagi di belakangnya.
"Hua, ha ha...! Akhirnya kau harus mati di
sini, Jaka!" bergelak Sugangga menyombong, me-
rasa bahwa dirinya telah mampu mendesak pen-
dekar yang namanya kondang. "Akhir segala ke-
jayaanmu, mati dalam jurang atau di ujung pe-
dangku ini."
Jaka tersenyum sinis mendengar ucapan
sombong Sugangga. Hatinya kini dihadapkan pa-
da dua pilihan. Mengalah, atau melawan dengan
ajiannya. "Hem, bagaimana aku ini? Haruskah
tanganku terkotori darah lagi? Darah seorang
pemuda yang mendendamku karena aku telah
.membunuh kedua orang tuanya yang telah ber-
buat dosa pada sesamanya juga pada Tuhan? Ke-
napa orang-orang selalu mementingkan diri me-
reka sendiri?"
Tengah Jaka terdiam bimbang, tiba-tiba
terdengar suara halus berkata yang sebenarnya
ditujukan pada Sugangga. Seketika itu Sugangga
nampak pucat ketakutan, seakan suara itu ada-
lah suara seorang Malaikat. "Gangga, kutukku
yang pertama akan berjalan. Kau akan mengala-
minya sebentar lagi. Kau akan mengalaminya...
kau akan mengalaminya, Gangga!"
Entah perasaan apa dan tenaga apa yang
bersarang, tiba-tiba Jaka yang tadinya sudah ter-
desak memekik dengan ajiannya Petir Sewu.
"Petir Sewu. Hiat...!"
"Tidak...!"
Bersamaan dengan jeritan Sugangga, seke-
tika petir membahana ke luar dari telapak tangan
Jaka Ndableg.
"Duar! Bletar! Bletar! Bletar!"
"Aaah...!" Sugangga menjerit, berlari sambil
menutupi mukanya yang terhantam oleh petir"
ciptaan Jaka Ndableg. Darah mengucur deras dari
wajahnya. Sesaat Sugangga berbalik memandang
ke arah Jaka. Dan manakala mukanya dibuka,
saat itu juga Jaka melompat mundur kaget. Muka
Sugangga sangat mengerikan, brodal-bradil den-
gan darah yang terus menetes.
"Kau...! Tunggulah pembalasanku, Jaka!"
"Itu sudah nasibmu, Gangga?" terdengar
suara Dato Pramunu penuh ejekan. "Itulah kutu
kanku! Kutukan seorang guru yang telah engkau
khianati!"
"Aku tak perduli! Aku tak percaya dengan
ucapanmu, Iblis!" Sugangga memaki-maki pada
suara gurunya, yang kemudian terdengar berge-
lak tawa.
"Hua, ha, ha...! Betapa pedihnya, Gangga.
Pedih, bukan?"
"Bangsat! Tunjukkan dirimu, Pramunu!
Tunjukkan!" Sugangga terus memekik penuh
amarah, sepertinya ia tak sadar lagi dengan sakit
yang dideritanya. Bayangan Dato Pramunu kini
melekat pada diri Jaka Ndableg, sehingga dengan
penuh marah Sugangga dengan Pedang Naga De-
wanya berkelebat menyerang diikuti dengan peki-
kan yang membahana.
"Kubunuh kau dua-duanya, Bangsat!
Hiat...!"
Jaka tersentak kaget, secepat kilat ia pun
berkelebat menghindar. Hal itu menjadikan Su-
gangga yang kesetanan tak mampu menghentikan
laju larinya. Tanpa ampun, tubuh Sugangga pun
dengan deras terjun ke dalam jurang. "Aaah...!"
"Tragis," lenguh Jaka.
Sesaat Jaka. pandangi bawah jurang yang
gelap, pekat bagaikan tak berpenghuni. Setelah
dirasa tak bakalan dia mampu melihat ke dalam
jurang, segera Jaka pun tinggalkan tempat itu
untuk kembali menemui Wujud Raga yang telah
membuat kerusuhan. Tugasnya hanya satu, me-
nangkap hidup atau mati Wujud Raga ketua ge-
rombolan Karang Segara.
ENAM
"Wujud Raga, keluar kau!"
Wujud Raga yang saat itu tengah berkum-
pul dengan kesepuluh anak buahnya juga seo-
rang putrinya tersentak demi mendengar seruan
seseorang yang berada di luar rumahnya. Mata
mereka seketika saling pandang, lalu segera kese-
puluh orang yang dikenal dengan Kedok Berwar-
na berkelebat menuju ke luar diikuti oleh anak
Wujud Raga.
"Bujur buset! Rupanya kalian juga telah
ada di sini," pemuda itu sunggingkan senyum,
menjadikan gadis putri Wujud Raga tersipu malu.
"Jaka, ternyata kau datang juga," Kedok
Hitam silangkan tangan ke depan dada. "Sungguh
kebetulan. Apakah engkau datang ke mari hanya
sekedar menyerahkan diri?"
"Enak saja kalian ngomong," Jaka masih
cengengesan. "Mana ketua kalian. Suruh dia ke-
luar!"
"Ayah tak ada!" gadis itu angkat bicara.
"Oh, rupanya kau putri Wujud Raga. Nona,
kau janganlah berdusta. Kau anak manis, se-
layaknya kau harus manis pula dalam bertutur
kata. Anak manis tak boleh berbohong."
"Cuih! Rayuan gombal!"
"Eh, aku tidak merayumu, Nona. Untuk
apa aku mesti merayu-rayu kamu?" Jaka sewot
juga dihina seperti itu oleh anak Wujud Raga.
"Kalau aku mau, banyak wanita cantik melebihi
dirimu yang mencintaiku."
"Tak sudi!" balik si gadis sewot.
"Wuah, galak amat," Jaka masih konyol
berkelakar. "Eh, kalian sepuluh Kedok Butut!
Apakah kalian masih tetap berusaha menyembu-
nyikan ketua kalian?"
"Apa yang engkau mau, Jaka?!" Kedok Hi-
tam kembali angkat bicara. "Kami sebagai wakil-
nya, maka selayaknyalah kau mau berterus te-
rang pada kami mengapa engkau memburu ke-
tua."
Jaka garuk-garuk kepalanya yang tak gat-
al. Sebenarnya hal itu sengaja ia lakukan untuk
mengganggu si gadis yang nampaknya melototkan
mata marah. Namun di balik kemarahan si gadis,
nampak jelas tersembunyi sebuah perasaan yang
dalam. Perasaan layaknya seorang gadis yang
menginjak masa puber pertama.
"Waduh! Karena nona, aku jadi lupa. Eh,
tadi kalian ngomong apa padaku, Kedok Butut?"
Jaka masih berlaku ndableg.
Kalau orang lain yang belum tahu siapa
adanya Jaka, tentulah mereka akan marah dikata
Kedok Butut. Tetapi kesepuluh Kedok Berwarna
merupakan orang-orang persilatan yang bukan
kelas kroco.
"Jaka, kalau kau ingin menemui ketua,
maka kau harus berhadapan dengan pagarnya
dulu."
Jaka kembali garuk kepala, sepertinya ten-
gah memikirkan jalan keluar. Sebenarnya bisa sa-
ja Jaka menjatuhkan kesebelas orang yang berdiri
di hadapannya, namun semua tidak ia lakukan.
Ia tahu bahwa sebenarnya kesepuluh Kedok Ber-
warna tak tahu menahu masalahnya. "Setan! Wu-
jud Raga memang benar-benar setan!" gerutu hati
Jaka sewot. Bagaimanapun, Jaka tahu bahwa
Wujud Raga telah memberikan berita-berita bo-
hong pada Kesepuluh Pendekar Kedok Berwarna,
sehingga kesepuluh pendekar itu mau saja dijadi-
kan umpan.
"Saudara-saudara, Sepuluh Kedok Butut,
aku mengharapkan kalian mau sadar. Kalian
hanya terpedaya hasutan Wujud Raga."
"Wuah! Makin ngelantur saja omongan bo-
cah ini, Kakang," Kedok Kuning yang tadi diam
ikut bicara.
"Benar! Anak ndableg ini ngelantur! Mung-
kin dia hendak mencari jalan lagi untuk mengela-
bui kita. Hem, jangan harap!" bisik Kedok Hitam.
"Kita serang, mulai!"
Dengan segera kesepuluh Pendekar Kedok
Berwarna bergerak mengurung Jaka. Tersentak
Jaka Ndableg, digaruknya kepala sembari meng-
geleng.
"Wuah, rupanya kalian mau main petak ji-
dor! Baik, mari kita mulai."
Jaka segera gunakan ilmu meringankan
tubuhnya, berkelebat-kelebat laksana burung.
Sementara kesepuluh Pendekar Berkedok itu tak
mau tinggal diam, segera mereka pun merang-
seknya. Maka dalam sekejap saja, mereka segera
terlibat pertarungan.
"Wah, jurus kalian terlalu lemah!"
"Kau semakin sombong, Jaka!" Kedok Hi-
tam menggeram, lalu dengan cepat tangannya
mencengkeram ke arah Jaka. Diserang begitu,
Jaka segera putar tubuh menjadi gasing.
"Aku ingin melihat sampai di mana kau
bertahan, Jaka!" seru Kedok Merah.
Jaka terus berputar cepat, lalu tanpa se-
pengetahuan pengeroyoknya Jaka telah berkele-
bat terbang. Terbengong seketika kesepuluh pen-
geroyoknya, manakala melihat Jaka tiba-tiba te-
lah berada di atas genting rumah.
"Nah, akhirnya aku mampu lolos dari ka-
lian. Aku akan segera mengurusi pimpinan ka-
lian, lalu kita pun berpisah." Jaka segera melorot
masuk, membongkar beberapa genting dengan
paksa.
Tersentak seorang tua berjanggut panjang
hitam, yang duduk membelakangi Jaka. Namun
manakala Jaka hendak melangkah menuju ke
orang tersebut, tiba-tiba selarik sinar keluar dari
tangan orang yang membelakanginya.
"Bangsat! Rupanya kau hendak mencela-
kakanku, Wujud!"Jaka menggeretak marah, lem-
parkan tubuhnya ke udara menghindari serangan
gelap tersebut.
"Dalam keadaan apapun, semua boleh di-
lakukan, bukan?" terdengar suara orang tua itu
berkata. "Kau adalah musuhku, maka akupun
akan berusaha menjatuhkanmu."
"Aku hanya menjalankan tugas?" Jaka
membentak marah. "Kalau kau mau aku tangkap,
maka hukumanmu akan ringan, Wujud!"
"Hua, ha, ha,..! Sama saja, Jaka!" Wujud
Raga kembali hantamkan pukulannya.
"Wuuuus...!"
"Duar...!"
Beruntung Jaka segera melompat ke samp-
ing. Kalau tidak, tentunya tubuhnyalah yang
mengalami kehancuran seperti apa yang terjadi
pada betonan rumah tersebut.
"Edan! Kau rupanya memaksaku, Wujud!"
Jaka benar-benar menggeretak marah. "Jangan
salahkan akhirnya aku menghajarmu!"
"Lakukan bila kau berani, Jaka!" Wujud
Raga menantang. "Dengan kau menggunakan
ajianmu, maka kau tak akan mendapatkan tu-
buhku yang utuh! Kau akan kehilangan peta ter-
sebut."
Jaka mikir, seakan benar apa yang dikata-
kan oleh Wujud Raga. Kalau dirinya mengguna-
kan ajian, maka tak ayal lagi peta yang dicuri Wu-
jud Raga akan turut lebur bersama tubuh Wujud
Raga. "Tapi, aku tidak yakin kalau Wujud Raga
menyimpan peta tersebut dalam bajunya." Jaka
membatin, bimbang harus bagaimana.
Belum juga Jaka mampu berbuat, tiba-tiba
dari luar berkelebat sepuluh orang berkedok ba-
reng menyerangnya. Kini tak ada jalan lain untuk
Jaka meloloskan diri. Jalan satu-satunya meng-
hadang serangan mereka.
"Menyerahlah, Jaka!"
"Jangan kalian bermimpi! Hiat...!"
Jaka Ndableg dengan segera melompat me
nyerang kesepuluh orang berkedok. Kesepuluh
orang tersebut tersentak kaget, sebab mereka te-
lah tahu apa yang kini dikeluarkan oleh Jaka. Ja-
ka Ndableg dengan tidak sungkan-sungkan men-
geluarkan jurus Elang Mematok Cobra yang dipe-
lajari dari pertarungan burung elang dengan co-
bra yang ia pelajari secara tidak sengaja.
"Wuut...!" Angin pukulannya menderu.
"Awas...!" Kedok Hitam menjerit, mempe-
ringatkan pada kesembilan rekannya, yang den-
gan segera melompat menghindar. Pukulan yang
dilontarkan Jaka terus menderu, menghantam
betonan tiang penyangga. Tak ayal lagi, tembok
betonan penyangga itu pun hancur berantakan.
Pertarungan terus berjalan, nampaknya
Jaka sudah tidak mau main-main lagi. Jaka terus
mencerca mereka, menjadikan kesepuluh orang
berkedok itu benar-benar dibuat kalang kabut.
"Lebih baik kalian menyingkirlah!" Jaka
kembali memperingatkan. "Kalian keluarlah, dan
biarkan pencuri ini sendiri."
Wujud Raga seketika bergelak tawa demi
mendengar ucapan Jaka. "Hua, ha, ha...! Jangan
kira aku takut menghadapimu, Jaka! Ayo kita
buktikan." Setelah berkata begitu, secepat kilat
Wujud Raga kembali hantamkan pukulannya.
Mau tak mau Jaka pun harus berusaha
menghindari serangan yang dilancarkan berba-
rengan tersebut. Dua belas larikan sinar warna
warni berkelebat terarah ke arahnya. Tersentak
Jaka, lalu dengan sedapat mungkin tubuhnya
menjebol genteng rumah tersebut.
"Mau lari ke mana, Jaka!" Wujud Raga dan
kesebelas anak buahnya termasuk anaknya sege-
ra memburu ke luar. "Kemanapun kau lari, jelas
kau masih dalam kandang kami!"
"Aku tidak lari, Wujud! Aku hanya me-
nyayangkan rumahmu yang dapat jebol!" Jaka ba-
lik berseru. "Aku menunggu kalian di luar!"
Dua belas orang musuhnya terus berham-
buran ke luar. Namun sebelum semuanya sam-
pai, Jaka telah mendahuluinya dengan hantaman
Dewa Topan Melanda Karang.
"Wuuut...!"
Angin pukulan yang dilontarkan Jaka
menderu, menjadikan kedua belas orang tersebut
seketika lemparkan tubuh masing-masing untuk
menghindari kalau memang tidak menghendaki
tubuhnya mental terbawa hempasan angin.
"Bedebah! Rupanya kau curang, Jaka!"
menggeretak Wujud Raga marah. Segera ia papaki
serangan Jaka dengan ajiannya, Bayu Pitu.
"Wuuut...!"
"Duar...!" terdengar ledakan, manakala dua
kekuatan bertemu dan saling menggempur.
"Bagaimana, Jaka? Apakah engkau masih
bersikeras?" Wujud Raga cibirkan senyum. Ia me-
rasa bahwa dirinya telah mampu mengimbangi
ilmu yang dimiliki oleh Jaka, seorang pendekar
yang namanya telah kondang.
"Jangan bangga dulu, Wujud! Apapun resi-
konya, aku harus dapat menangkapmu," Jaka
nampak terdiam hening. Matanya menatap satu
persatu pada kedua belas orang yang telah berdiri
di hadapannya. Perlahan kakinya melangkah, se-
pertinya merasakan berat. "Wujud Raga, hari ini
juga kau harus menurut padaku. Kalau tidak,
ma-ka aku tak akan segan-segan menghukum-
mu!"
"Hua, ha, ha...! Jaka Ndableg, rupanya kau
tengah bermimpi. Jangankan menangkapku,
mengalahkan ilmukupun engkau tak akan mung-
kin Jaka?!"
Jaka kerutkan mukanya, seperti ada se-
buah kekesalan yang tak dapat lagi ditahan. Na-
pasnya mendengus, matanya menatap liar, tajam
setajam mata elang. Bersamaan dengan dengus-
nya napas Jaka memburu, seketika dari mulut-
nya ke luar seruan yang mengejutkan kedua belas
orang musuhnya.
"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"
"Pedang Siluman Darah...." kedua belas
orang di hadapannya seketika membeliakkan ma-
ta kaget. Mata mereka tak berkedip, memandang,
memaku pada pedang yang tiba-tiba telah berada
di tangan Jaka. Dari ujung pedang, nampak mele-
leh darah membasahi batangnya.
"Wujud Raga, apakah engkau masih terus
membandel?" Jaka masih diam di tempatnya, ber-
tanya: "Kalau kau masih membandel, maka jan-
gan salahkan aku bertindak, Wujud!"
"Hua, ha, ha...! Orang lain mungkin takut
melihat senjatamu yang sudah terkenal itu, Jaka!
Tapi aku, tidak!" Wujud Raga masih terus menci-
bir, merendahkan apa yang ada pada diri Jaka.
Belum ada orang yang berani menantang Pedang
Siluman Darah. Tapi kini Wujud Raga telah bera-
ni menantangnya.
"Hem, baiklah kalau begitu. Bersiaplah,
Wujud!"
Setelah berkata begitu, serta merta Jaka
pun berkelebat dengan Pedang Siluman Darah di
tangannya menyerang Wujud Raga dan kambrat-
nya.
Wujud Raga dan kesebelas anak buahnya
tersentak kaget. Ternyata apa yang digembar-
gemborkan para tokoh persilatan bukanlah
omong kosong. Pedang Siluman Darah memang
bukanlah pedang sembarangan. Hawa samberan-
nya saja sudah begitu panasnya, apalagi bila ter-
kena.
"Wujud Raga, menyerahlah!" Jaka meme-
kik, sebab pengaruh Pedang Siluman Darah telah
benar-benar merasuk dalam jiwanya. Mata Jaka
merah laksana mengandung api. Tangannya yang
berusaha mempertahankan nampak gemetaran.
"Wujud! Jangan sampai Ratu Siluman Darah
menghisap darahmu!"
"Aku tidak takut, Jaka!" Wujud Raga balik
berang. Sementara kesebelas anak buahnya,
nampak hanya terbengong bagaikan terkena sihir
yang keluar dari Pedang Siluman Darah. Mereka
terdiam bengong, mata mereka memandang pe-
nuh rasa takut dan was-was.
"Kalau itu yang kau mau, jangan salahkan
aku. Hiat...!"
"Lakukan bila engkau mampu, Jaka.
Hiat...!"
Dua tubuh berkelebat dengan cepat. Dua
tubuh itu melayang bagaikan terbang. Jaka kib-
latkan Pedang Siluman Darahnya ke arah lajunya
tubuh Wujud Raga. Setelah mereka mendekat,
segera Jaka Ndableg tebaskan pedang tersebut.
"Wuut...!"
"Crass...!"
"Aaah...!" memekik seketika Wujud Raga,
tubuhnya terpotong buntung menjadi dua. Da-
rahnya kering, habis terhisap oleh Pedang Silu-
man Darah.
"Ayah...!"
Anak gadis Wujud Raga memekik, lalu
dengan tanpa hiraukan semuanya yang hanya
terdiam mematung, gadis itu segera memburu di
mana tubuh ayahnya tergeletak.
"Bajingan! Kau telah membunuh ayahku!"
"Terpaksa! Ayahmu telah membuat sega-
lanya. Ayahmu telah merongrong pemerintahan."
Jaka menjawab dengan suara parau. Seperti da-
lam nada ucapannya Jaka merasakan kepedihan.
Sebenarnya ia pun tak ingin Pedang di tangannya
harus berlumur darah, tetapi keadaanlah yang
harus memaksanya.
"Kau kejam! Kau kejam!" gadis itu menjerit.
Dipukulinya dada Jaka yang hanya terpaku diam,
lalu setelah puas gadis itupun berlari pergi me-
ninggalkan semuanya yang seketika terbengong.
"Jaka! Tunggulah pembalasanku...!"
Jaka hanya mampu menarik napas, berat
dan serak. "Apakah kehidupahku hanya akan di-
war-nai dengan dendam dan dendam? Apakah
aku harus selamanya bertualang untuk mem-
basmi kejahatan, yang akhirnya menjadikan mata
rantai cerita manusia?!" Jaka bertanya-tanya pa-
da diri sendiri.
"Kedok Hitam, tunjukkan di mana peta ter-
sebut ketuamu simpan," Jaka akhirnya berkata
setelah untuk sekian lama terdiam membisu,
menghayati arti kehidupannya. "Cepat, Kedok!"
"Ba... baik!"
Dengan dibantu oleh Kesepuluh Tokoh Ke-
dok Berwarna, Jaka pun tak lama untuk mencari
peta tersebut. Peta itu masih utuh, peta milik ke-
rajaan yang memuat tempat-tempat para pembe-
rontak berada. Setelah memeriksa kembali kea-
daan peta tersebut, segera Jakapun berkelebat
pergi meninggalkan mereka yang hanya terben-
gong-bengong kagum dan heran melihat keleba-
tan Jaka yang begitu cepat laksana terbang. Dan
dalam sekejap saja tubuh Jaka telah menghilang
entah ke mana, lenyap dalam sekejap.
***
TUJUH
"Hua, ha, ha...!"
Tersentak kesepuluh Pendekar Kedok Ber-
warna demi mendengar suara gelak tawa yang
membahana, menyentakkan mereka dari lamu-
nannya. Bersamaan dengan habisnya suara gelak
tawa tersebut, tiba-tiba di hadapan mereka berdiri
sesosok tubuh dengan muka tertutup rapat kain
hitam. Kain itu nampak bercak-bercak darah. Se-
pertinya darah itu belum mengering, menetes de-
ras membasahi muka dan cadar.
"Kalian tahu ke mana larinya Pendekar Pe-
dang Siluman Darah?" tanya orang bercadar pada
kesepuluh orang berkedok.
"Siapakah engkau, Ki Sanak?" Kedok Hitam
yang bertanya.
"Aku...?" orang bercadar dengan darah me-
netes itu mengulang tanya. "Aku adalah musuh-
nya. Akulah yang akan mengakhiri ketenaran
namanya. Akulah si Cadar Berdarah. Hua, ha,
ha...!"
"Cadar Berdarah...?!" kesepuluh orang ber-
kedok memekik.
"Ya! Sekarang tunjukkan padaku, ke mana
Jaka pergi!"
Kesepuluh orang berkedok itu tak langsung
menjawab. Mereka saling pandang antar sesa-
manya. Hal ini menjadikan si Cadar Berdarah
marah.
"Bedebah! Kalian rupanya tak hiraukan
aku! Kalian harus mati. Hiat...!"
Tersentak kesepuluh orang berkedok yang
terkenal dengan nama Pendekar Kedok Berwarna,
demi diserang begitu tiba-tiba oleh si Cadar Ber-
darah. Mereka serempak menghambur, menye-
rang balik dengan makian marah.
"Orang sinting! Kenapa tiba-tiba engkau
menyerang kami? Apa salah kami, Hah!" Kedok
Hitam selaku kedok tertua, nampak gusar. "Ru
panya engkau hendak mencari mati, Orang sint-
ing!"
Si Cadar Berdarah tak hiraukan omelan
dan makian Kedok Hitam, ia terus mencerca ke-
sepuluh Pendekar Kedok Berwarna dengan seran-
gan-serangan maut. Serangannya begitu cepat,
seakan gerakannya sukar untuk diikuti.
"Bedebah! Rupanya kau memang orang
sinting!" kini Kedok Merah yang membentak ma-
rah. Dengan nekad Kedok Merah menghambur,
lalu dengan tanpa pikir panjang ia hantamkan
pukulannya. Namun sungguh tidak disangka, se-
buah pedang telah berkelebat menghantam tan-
gannya. Pedang Naga Dewa telah menjadikan tan-
gan Kedok Merah buntung, membawa jeritan Ke-
dok Merah menyayat menahan sakit.
"Aaah...!"
"Bedebah! Kami akan mengadu jiwa den-
ganmu. Hiat...!"
Dengan dikomando oleh Kedok Hitam, ke-
delapan kedok lainnya bergerak menyerang ba-
reng. Namun sepertinya serangan mereka tak
membawa hasil. Setiap kali mereka merangsek,
setiap kali itu si Cadar Berdarah mampu menge-
lakkannya. Bahkan dengan cepat membalas me-
nyerang mereka.
Dalam berapa gebrakan saja, kesembilan
pendekar Kedok Berwarna dapat dijatuhkan. Se-
telah melihat kesembilan Kedok Berwarna tak
berdaya, dengan gelak tawa si Cadar Berdarah
berkelebat pergi meninggalkan tubuh mereka.
"Katakan bila kalian menjumpai Jaka
Ndableg, aku si Cadar Berdarah mencarinya. Hua,
ha, ha...!"
Kesembilan Kedok Berwarna hanya dapat
terdiam bisu. Mereka nampaknya termangu, he-
ran tak mengerti mengapa dalam sehari itu mere-
ka harus berhadapan dengan dua orang pendekar
sakti. Beruntung kedua pendekar itu tak menu-
runkan tangan jahat. Namun yang menjadi mere-
ka heran, mengapa si Cadar Berdarah mencari
Jaka Ndableg? Apa yang sebenarnya terjadi di ba-
lik cadar yang mengeluarkan darah?
Mereka tak dapat menjawab, mereka tak
mengerti harus bagaimana? Nah, untuk kali ini,
Misteri Cadar Berdarah saya cukupkan sampai di
sini. Bila anda ingin mengikuti bagaimana Jaka
selanjutnya. Dan bagaimana tindakan si Cadar
Berdarah, serta anak Wujud Raga, silahkan anda
ikuti kisah Pendekar Pedang Siluman Darah berikutnya!!!!
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar