..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 24 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE MISTERI SI CADAR BERDARAH

Misteri Si Cadar Berdarah

 

MISTERI SI CADAR BERDARAH

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama, 1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah 

dalam episode:

Misteri Si Cadar Berdarah

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Siapakah sebenarnya Sugangga? Mengapa 

ia dendam pada Jaka Ndableg si Pedang Siluman 

Darah? Untuk lebih jelasnya, akan saya ku-

paskan ceritanya mengenai kedua orang tua Su-

gangga yang sudah diketahui adalah orang yang 

bersekutu dengan Iblis Buto Ijo, dengan adanya 

timbal balik antara keduanya. Kita ikuti kejadian 

dua puluh tahun yang silam, di mana Sugangga 

dan adiknya yang masih kecil hidup dengan kea-

daan ekonomi yang serba kekurangan.

Kedua orang tua Sugangga dan Suganti 

adalah seorang petani miskin yang hidupnya dari 

hasil buruh, mencangkul, membajak, atau me-

nuai pada para petani kaya. Dengan bekerja se-

perti itu, mereka berusaha menghidupi rumah 

tangganya. Memang pertama-tama mereka hidup 

berdua, kerepotan belum nampak terasa. Ya, hi-

dup di desa masih merupakan hidup gotong 

royong, di mana satu sama lainnya mau mengerti 

dan bantu membantu.

Ayah Sugangga yang bernama Prikadayu 

dan ibunya bernama Dripadini, adalah dua orang 

asing dari India yang sengaja datang ke tanah 

Jawa untuk mengadu nasib. Namun rupanya ke-

beruntungan belum berada di pihak mereka, se-

hingga mereka menerima kegetiran yang selalu 

menyelimuti. Tadinya mereka menganggap bahwa 

India sudah tak mampu memberikan arti bagi diri 

mereka, namun kenyataannya lain. Seperti pepa


tah, lebih baik hujan batu di negeri sendiri, dari-

pada mengharap hujan uang di negeri orang.

Dengan segala ketabahan yang ada di hati 

suami istri itu, mereka terus menghadapi hidup-

hidup pahit mereka dengan segala kepasrahan 

pada Yang Wenang. Kepahitan itu, sepertinya tak 

mau membebaskan mereka secepatnya, sampai 

anak mereka yang pertama lelaki lahir. Mereka 

beri nama Sugangga. Dengan kelahiran anak yang 

pertama, kehidupan mereka nampak makin nes-

tapa saja. Hasil buruh mereka, kini harus dima-

kan oleh tiga mulut. Namun begitu, mereka suami 

istri tak pernah mengeluh, atau pun merasakan 

kepedihan yang kentara. Dipendamnya segala ke-

pedihan hidup yang terulas oleh senyum mereka.

Tiga tahun setelah kelahiran anak pertama, 

lahir kembali anak yang kedua seorang wanita. 

Anak tersebut diberi nama Suganti. Makin seng-

sara saja kehidupan keluarga itu dengan kehadi-

ran anak yang kedua. Tapi seperti semula, mere-

ka nampaknya tidak mengeluh atau putus asa.

Kehidupan mereka terus berlanjut, sampai 

akhirnya kedua anak mereka tumbuh menjadi 

anak-anak yang lucu. Lajimnya seorang anak le-

laki, Sugangga pun pengin berkumpul-kumpul 

dengan anak-anak sebayanya untuk bermain. 

Namun sepertinya mereka mengucilkan diri Su-

gangga, bahkan sering kali mereka memperolok-

olok Sugangga.

"Gangga, pergilah kau. Kami tidak ingin 

berteman dengaamu."

"Kau anak orang kere, Gangga. Maka se


pantasnya kau pun mencari teman orang kere pu-

la."

"Atau lebih baik kau carilah para penge-

mis."

Seketika semua anak-anak itu tertawa ber-

gelak-gelak, menjadikan Sugangga marah bukan 

kepalang merasa dirinya dihina. Dengan kebera-

nian yang berlebihan, Sugangga pun balik mem-

bentak mereka: "Kalian bangsat! Kalian jangan 

mentang-mentang kaya!"

"Hai, mengapa engkau marah, Gangga?" 

Purwanta, anak yang paling besar tersenyum si-

nis ke arah Sugangga. "Kalau kau merasa anak 

kere, mengapa engkau mesti marah-marah?!"

"Bangsat!" Sugangga beringas.

"Hua, ha, ha...! Lihat, Kawan-kawan! Lucu 

bukan? Ternyata anak seorang kere bisa juga 

membentak marah," Purwanta berolok-olok. "Ru-

panya anak ini perlu dihajar adat, Kawan-kawan."

"Huh.... Jangan kira aku takut pada kalian! 

Kalian keroyok pun, aku tak akan mundur!" Su-

gangga menantang.

"Sudah. Pur. Kasih dia bogem mentahmu!" 

teman-teman Purwanta memberi semangat.

"Beres! Ini lihat...!"

Purwanta yang besar itu segera berkelebat 

menyerang pada Sugangga. Tapi dengan cepat 

Sugangga berkelit, lalu dengan cepat pula Su-

gangga yang sudah marah diejek begitu rupa ba-

las menyerang. Perkelahian dua anak itu tak da-

pat dihindarkan. Namun walau Purwanta berba-

dan besar, rupanya gerakan Purwanta sangat


lamban, beda dengan gerakan Sugangga. Dalam 

sekejap saja, Sugangga dapat mendesak Purwan-

ta.

"Bug...!" pukulan Sugangga telak masuk ke 

perut Purwanta yang seketika itu terhuyung-

huyung ke belakang menyeringai. Rupanya Su-

gangga tidak mau membiarkan Purwanta dapat 

mengatasi keadaan dirinya, kembali dengan cepat 

Sugangga memekik dan hantaman pukulan telak 

di muka Purwanta. Tak ayal, menjeritlah Purwan-

ta saat itu juga. Darah meleleh dari hidungnya, 

terhantam telak oleh pukulan tangan Sugangga.

"Wah, anak kere itu dapat mengalahkan 

Purwanta!" pekik teman-teman Purwanta kaget. 

Dan dengan segera, keberanian mereka pun le-

nyap. Mereka segera berlalu pergi meninggalkan 

Purwanta yang masih menggerung-gerung kesaki-

tan, ditunggui oleh Sugangga yang menyeringai 

dengan sinis.

"Masihkah engkau mampu menghinaku?!"

"Bangsat! Akan aku adukan dirimu pada 

ayahku, biar ayahmu tidak dapat lagi bekerja!" 

rungut Purwanta sengit. Dengan terhuyung-

huyung Purwanta segera hendak pergi mening-

galkan Sugangga, manakala terdengar suara 

ayahnya membentak Sugangga.

"Anak kurang ajar! Kau telah berani me-

nyakiti anakku!"

"Aku tidak bersalah!" balik Sugangga men-

gelak tuduhan.

"Huh...!" Orang tua itu dengan tanpa men-

genal ampun menghantamkan tamparan tangan



nya ke arah muka Sugangga.

"Plak...!"

"Awas kau! Kalau engkau berani lagi pada 

anakku, ayahmulah yang akan mendapat akibat-

nya!"

Sugangga tak dapat lagi melawan, pipinya 

terasa sakit. Rona merah menggambar telapak 

tangan, menggurat di pipi kirinya, terasa sakit 

dan perih. Tapi sakit di pipinya tidaklah seberapa, 

yang lebih sakit adalah hati Sugangga. Hatinya 

menjerit merasa dihina habis-habisan.

"Inikah hakekat anak kere?! Inikah...!" pe-

kik hati Sugangga penuh kemarahan yang me-

luap-luap. "Yang Widi tidak adil! Yang Widi ter-

nyata tidak menghiraukan nasib keluargaku!"

Orang tua Purwanta tidak hiraukan lagi 

Sugangga yang menggeloprok di tanah, dengan 

hati yang menjerit sakit. Ia segera bergegas men-

gajak anaknya pulang, setelah terlebih dahulu 

menyibirkan bibir sinis ke arah Sugangga yang 

masih meringis kesakitan.

* * *

"Kenapa dengan pipimu, Gangga?" tanya 

Prikadayu demi melihat pipi anaknya memerah. 

"Kau habis berkelahi lagi?"

Sugangga tak menjawab, dia hanya diam 

saja. Hal ini menjadikan ayahnya Prikadayu ke-

rutkan kening. Ia tahu kalau Sugangga habis ber-

kelahi atau dianiaya oleh ayah si anak. Namun 

sejauh ini Sugangga tak pernah mengadukan ma


salahnya pada dirinya. Sepertinya Sugangga tidak 

menghendaki ayahnya harus menanggung beban 

penderitaan yang kian bertambah berat.

"Kenapa, Anakku?" kembali Prikadayu ber-

tanya. "Kau habis dianiaya oleh ayah anak yang 

berkelahi denganmu, bukan?"

"Be-benar, Ayah."

"Kau yang salah?" 

Sugangga gelengkan kepala.

"Siapa yang salah, Gangga?!" nada suara 

ayahnya makin meninggi. "Jawab, Gangga! Jan-

gan kau seperti kerbo!"

"Mereka mengejekku, Ayah!" Sugangga ak-

hirnya membuka mulut menjawab. "Mereka 

menghina kita."

"Hanya itu...?!"

"Lebih dari itu, Ayah?!"

"Apa, Gangga...?"

Sugangga sesaat terdiam. Sebenarnya ia ti-

dak ingin memperpanjang masalah, sebab ia tahu 

ayahnya pasti akan makin sedih bila ia menceri-

takan semua kejadian yang telah ia alami. Namun 

bila hal ini harus ia pendam, rasa-rasanya Su-

gangga kecil itu tidak sanggup untuk terus larut 

dalam kepahitannya. Kepahitan seorang bocah 

yang hanya karena status sosialnya saja mesti 

menghadapi ketimpangan sosial lainnya.

"Kenapa diam, Gangga?"

"Mereka melarang Gangga ikut main. Me-

reka mengatakan bahwa Gangga adalah keturu-

nan orang kere, sehingga tidak diperkenankan 

bermain dengan mereka."


"Ooh...." mengeluh panjang Prikadayu demi 

mendengar penuturan anaknya. Hatinya seakan 

remuk, hancur tertimpa badai hidup yang pahit, 

yang kini tengah mereka hadapi. "Mengapa semua 

harus diri anakku yang menerima? Mengapa?" 

hati Prikadayu menanya bimbang. "Mengapa Yang 

Widi terus menerus memberikan be-ban padaku? 

Sampai kapan hal ini akan bertengger di kehidu-

panku, juga kehidupan anak-anak-ku?"

Tak terasa, air mata Prikadayu seketika 

meleleh, deras membasahi pipinya. Hal ini menja-

dikan Sugangga seketika sedih, sedih melihat 

ayahnya menangis karena dirinya. Ya, kalau di-

rinya tidak mengadu, Sugangga kira ayahnya tak 

akan menangis. Tetapi rupanya ayahnya telah 

melihat apa yang tergurat di pipi kirinya, yang 

mau tak mau harus menjadi bukti.

"Kenapa ayah menangis?"

"Ayah sedih, Anakku."

"Ayah... Gangga merasa bersalah telah 

membuat hati ayah sedih. Gangga mohon maaf, 

Ayah."

Dengan menangis Sugangga memeluk kaki 

ayahnya, menjadikan Prikadayu makin membesar 

tangisnya.

Dari dapur seorang wanita yang tak lain 

Dripadini nongol, demi mendengar tangis suami 

dan anaknya. Dripadini yang telah tahu apa se-

benarnya yang telah terjadi, nampak turut mele-

lehkan air mata. Dihampirinya kedua suami dan 

anaknya, lalu dengan suara tersendat karena 

tangis ia pun berkata: "Gangga, makanya kau


janganlah main. Bukankah di rumah kau pun 

dapat main dengan adikmu? Kasihan adikmu, dia 

tidak ada yang menjaganya."

Tengah ketiga anak beranak bertangisan, 

terdengar suara bayi menangis. Bayi yang tidak 

lain anak mereka, seakan turut serta merasakan 

kepedihan yang diderita oleh kedua orang tuanya, 

juga kakaknya.

"Oa! Oaaa...!"

"Anakmu menangis, Bu," Prikadayu me-

nyadarkan istrinya, yang dengan segera mening-

galkan mereka kembali menuju kamar di mana 

bayi itu berada.

"Oa.... Oaaa...!"

"Cup, cup, Manis.... Cup," Dripadini segera 

mengangkat tubuh kecil bayinya. Ditimangnya 

dengan penuh kasih sayang, lalu diajaknya bayi 

tersebut ke luar.

* * *

"Sampurasun...!" terdengar suara seorang 

wanita menyapa.

"Rampes!" sahut Prikadayu yang tersentak 

dari lamunannya, yang terbang memikirkan kebe-

radaan rumah tangganya. "Siapa Ni Sanak 

adanya? Masuklah...!" 

"Aku, Prikadayu."

Berbareng dengan habisnya suara nenek-

nenek menyahut, seorang nenek tua renta keriput 

dengan rambut seluruhnya telah memutih berja-

lan masuk tertatih-tatih.


Prikadayu yang merasa belum mengenal

siapa adanya sang nenek, nampak kerutkan ken-

ing dengan hati diliputi ribuan pertanyaan men-

genai siapa adanya si nenek. "Ah, siapakah 

adanya nenek ini? Rasa-rasanya aku belum per-

nah sekali pun menjumpai, apalagi mengenalnya," 

gumam hati Prikadayu. "Tapi, mengapa nenek ini 

telah mengenal namaku? Atau barangkali aku 

yang lupa?"

"Siapakah yang datang, Kakang?!" terden-

gar suara istrinya yang di dapur berseru.

Prikadayu hendak berkata, sehingga mu-

lutnya telah menganga, manakala si nenek telah 

mendahului menjawabnya: "Aku Padini!"

Dripadini yang merasa belum mengenal 

benar suara si nenek segera keluar dari dapur 

menuju ke luar di mana suaminya tengah duduk. 

Mata Dripadini seketika menyipit, merasa ia be-

lum pernah mengenal adanya si nenek. "Siapakah 

engkau adanya, Nek?" tanya Dripadini. "Seper-

tinya kami belum pernah mengenalmu. Atau ba-

rangkali kami yang telah bingung akibat kemiski-

nan yang kami hadapi ini?"

"Untuk hal itulah aku datang ke mari," si 

nenek bagaikan tak hiraukan pertanyaan kedua 

suami istri itu menjawab. "Aku datang atas perin-

tah Sinuhun Raja Bergola. Aku diutus oleh Sinu-

hun untuk menolong kalian dari kemelaratan 

yang menjadikan kalian dihina oleh orang-orang 

lain."

Makin tidak mengerti saja suami istri ter-

sebut mendengar penuturan si nenek. Mereka be


lum mengenal siapa Sinuhun yang dikatakan oleh 

si nenek. Dan karena mereka menganggap Sinu-

hun itu hanya raja mereka, mereka pun berkata.

"Apakah Gusti Raja menyuruhmu untuk 

datang ke mari?"

"Bukan! Bukan Gusti Raja Wangsa Dewa."

"Lalu...?!" kedua suami istri itu belalakkan 

mata kaget demi mendengar ucapan si nenek. 

"Kalau bukan Gusti Raja Wangsa Dewa, apakah 

ada raja lagi di sini? Kau jangan membuat kami 

bertambah pusing, Nek?" Prikadayu bertanya 

dengan bingung.

"He, he, he...! Bukankah aku telah menga-

takannya pada kalian? Yang menyuruhku ke mari 

adalah Sinuhun Raja Bergola, yang menetap di 

Gunung Kawi."

"Ah...!" Prikadayu memekik kaget. "Mak-

sudmu kami menyupang?"

"Benar!"

"Tidak! Sekali lagi tidak!"

"Pikirkan yang baik, Prikadayu," si nenek 

berkata. "Pikirkan sebelum akhirnya engkau me-

nyesal. Kalian bukankah enggan untuk terkurung 

dalam kemiskinan?"

"Ya!"

"Nah, mengapa engkau mesti menolak, 

Dayu? Mengapa?"

"Aku tak ingin semua jadi korban."

"Hi, hi, hi...!" si nenek tertawa cekikikan. 

"Gampang, Dayu. Gampang!"

"Ah...!" Prikadayu kembali melenguh, se-

pertinya tidak percaya dengan apa yang dikata


kan oleh si nenek. "Kau tentunya ingin membua-

tku bertambah pusing saja, Nek?"

"Huh.... Apa untungnya aku membuatmu 

pusing, Dayu!" si nenek merengut kesal. "Kalau 

aku hendak membuat pusing, semestinya aku tak 

hiraukan kemiskinanmu. Semestinya aku biarkan 

kalian terkubang dalam kemiskinan yang akan 

membayangi hidup kalian."

Si nenek mendengus, matanya memandang 

penuh kekecewaan pada kedua suami istri itu. 

Prikadayu dan istrinya hanya terdiam, tiada gai-

rah lagi untuk berkata-kata. Hal itu menjadikan 

nenek utusan Sinuhun Raja Bergola nampak mu-

rung, lalu dengan suara berat si nenek pun ber-

kata: "Kalau kalian tak mau, tak apalah!"

Si nenek hendak berlalu pergi, manakala 

terdengar suara seorang anak kecil memekik ber-

seru: "Nenek, tunggu!"

Si nenek urungkan niatnya pergi, lalu 

membalikkan tubuhnya menghadap pada seorang 

bocah yang telah berdiri dekat dengan kedua 

orang tuanya seraya bertanya: "Ada apa, Bocah?"

"Nek, benarkah engkau dapat membantu 

kami kaya?" bocah kecil yang tidak lain Sugangga 

bertanya kembali, menjadikan si nenek tergelak 

tawa mengekeh mendengar pertanyaan polos si 

bocah.

"He, he, he...! Kau anak pintar, Bocah. Sia-

pa namamu?"

"Namaku Sugangga, Nek."

"We, we, we...! Nama yang mampu mengin-

gatkan kedua orang tuamu pada tempat kelahiran


mereka. Bukan begitu, Prikadayu?"

"Ah...!" Prikadayu tersentak, kaget demi 

mendengar ucapan si nenek yang mampu mene-

bak asal muasalnya, padahal dirinya telah selama 

hampir sepuluh tahun di tanah Jawa Dwipa. 

"Memang benar apa yang engkau kata, Nek."

Si nenek tertawa gelak, lalu katanya: "Anak 

kecil, kalau aku benar dapat membantu kalian 

kaya, kalian apa mau?"

Sugangga yang memang berantusias ingin 

menjadi anak seorang kaya nampak terkejut. Ha-

tinya seketika bergumam senang, dengan impian-

impian indah. Impian seorang bocah yang sehari-

harinya telah mendapatkan kesengsaraan, luka 

hati, serta cemooh dan ejekan dari rekan-

rekannya. Diliriknya kedua orang tuanya, seperti 

memberikan dorongan agar kedua orang tuanya 

mau menerima tawanan sang nenek. 

"Kenapa ayah dan ibu menolak?"

"Ah...!" Prikadayu melenguh demi menden-

gar pertanyaan anaknya. "Kau belum mengerti, 

Anakku."

"Tapi bukankah kita ingin kaya, Ayah? Ka-

lau memang nenek ini dapat membantu, mengapa 

ayah menolaknya? Terimalah, Ayah...! Biar kita 

tidak diinjak-injak oleh teman-teman."

Prikadayu terdiam tanpa kata. Matanya 

memandang kosong ke muka, sepertinya tiada 

gairah untuk menikmati alam ciptaan Yang Widi. 

Hatinya bertanya-tanya bimbang untuk memilih. 

Sungguh pun demikian, Prikadayu masih membe-

ratkan ajaran agamanya. "Bagaimana kalau Yang


Widi mengutuk? Oh..., Apakah aku harus terbe-

lenggu dalam ketidak-pastian hidup? Tidak! Aku 

tidak akan selamanya mau begini."

"Memang benar apa yang dikatakan oleh 

anakmu, Dayu," si nenek berkata: "Memang seha-

rusnyalah kalian bergelimpang harta, bukan ter-

belenggu oleh kemiskinan yang menjadikan diri 

kalian dihina oleh yang kaya. Bagaimana, Dayu?"

"Terima saja, Ayah," desak Sugangga. 

"Gangga ingin kita hidup berkecukupan. Gangga 

ingin dapat belajar bela diri seperti teman-teman 

yang lain. Bukankah dengan kekayaan kita dapat 

menguasai segalanya, Ayah."

Hati Prikadayu bagaikan terhantam palu 

besar, berguncang penuh ketidak-pastian hidup. 

Desakan anaknya, tawaran si nenek utusan Si-

nuhan Raja Bergola, juga prinsip hidup sebagai 

seorang manusia beragama. Apalagi dia adalah 

pengikut sang Budha, yang harus selalu memi-

kirkan tindak dan tanduk tepo sliro kehidupan di-

rinya.

"Baiklah aku menerima," akhirnya Prika-

dayu pun terseret oleh kemauan anaknya, juga 

tuntutan kehidupan. "Katakan pada Sinuhun, 

aku akan datang menuju ke sana esok hari."

Terkekeh si nenek utusan Sinuhun demi 

mendengar ucapan Prikadayu, seperti tersenyum-

nya Sugangga yang membayangkan kelak dirinya 

bukanlah anak orang kere, yang sepantasnya di-

hormati.

"He, he, he...! Bagus! Bagus! Baiklah, aku 

akan kembali menghadap Sinuhun untuk me


nyampaikan berita ini."

Setelah habis berkata begitu, tiba-tiba tu-

buh si nenek lenyap. Hal ini menjadikan Prika-

dayu dan keluarganya tersentak kaget, heran ber-

campur rasa tidak mengerti. Dan hanya saling 

pandang saja yang dapat mereka lakukan.

***


DUA



Esok paginya Prikadayu pun memenuhi 

apa yang telah dijanjikan pada nenek utusan Si-

nuhun. Ketika pagi masih buta, dan kokok ayam 

jantan baru terdengar sekali-kali, Prikadayu me-

ninggalkan rumahnya dengan diantar anak dan 

istrinya sampai ke pintu rumah.

"Aku berangkat dulu, Istriku," Prikadayu 

berkata, seakan ada rasa berat menggayut di ke-

lopak matanya. Tanpa terasa, air mata Prikadayu 

menetes. Air mata pedih yang harus bertambah 

pedih manakala mengingat bahwa dirinya akan 

menyeleweng dari Sang Budha.

"Mengapa kakang menangis?" Dripadini 

yang melihat lelehan air mata suaminya bertanya. 

"Apakah kakang tidak meniat? Kalau kakang ti-

dak meniat untuk apa kakang mesti berangkat 

menuju ke gunung Kawi?"

Prikadayu terdiam, tak mampu untuk ber-

kata-kata. Bayang-bayang kemiskinan telah men-

gusik hatinya, hati seorang suami sekaligus hati


seorang ayah. "Kalau aku tidak teguh, akan ba-

gaimana nasib anak-anakku?" keluh hati Prika-

dayu.

"Tidak, Istriku. Aku menangis karena aku 

harus lama meninggalkan kalian. Meninggalkan 

beban di pundakmu untuk mengurus dan mem-

berikan makan anak-anak kita," Prikadayu akhir-

nya berkata menghibur sang istri. "Aku berang-

kat, Istriku. Doakan aku dapat menghadapi sega-

lanya."

"Doaku selalu menyertaimu, Kakang."

Lembut Dripadini mencium pipi suaminya, 

menjadikan kesejukan tersendiri di hati Prika-

dayu. Hatinya seketika kembali menjerit gundah, 

"Oh, sungguh dia istri yang baik dan bijaksana. 

Walaupun dia anak orang berada, namun demi 

cintanya padaku dia rela menderita. Kini tinggal 

diriku sebagai seorang suami, mampu atau tidak 

membalas kesetiaannya. Oh, Istriku. Semoga kita 

akan selalu menyatu dalam kedamaian."

"Berangkatlah, Kakang," ucap Dripadini 

penuh kasih.

"Aku berangkat, Istriku."

Lemah lambaian tangan Prikadayu, sele-

mah langkahnya yang diliputi rasa gundah di ha-

tinya. Namun bila mengingat semua kepahitan 

yang telah mendera rumah tangganya, Prikadayu 

berusaha memantapkan langkah kakinya. Lang-

kah kakinya seakan ada yang menyeret menjadi-

kan Prikadayu bagaikan lari dan terbang. Kekua-

tan gaib telah membantunya berjalan, menjadi-

kan istrinya terbengong sendiri penuh ketidak


mengertian. Dalam sekejap saja tubuh Prikadayu 

telah lenyap di balik rimbunan hutan yang jauh di 

depan rumahnya.

Prikadayu tersentak, kaget berbaur dengan 

rasa ketidak-mengertian. Bagaimana mungkin di-

rinya yang tidak pernah belajar ilmu silat mampu 

berlari bagaikan angin saja. Mukanya mengerut, 

hatinya bertanya tak mengerti. "Hai, kekuatan 

apa yang telah mampu menyeret diriku hingga 

mampu berlari secepat ini?"

Tak ada jawaban dari pertanyaan hatinya, 

sepi. Ya, hutan yang ia lalui sungguh-sungguh 

sepi. Hutan yang lebat, seakan memaparkan 

keangkeran kini telah terjarah oleh dirinya. Prika-

dayu agak meragu, bimbang harus berbuat ba-

gaimana. Bulu kuduknya seketika berdiri, mana-

kala dirinya makin masuk saja ke dalam hutan.

"Aum...! Aaauuummm...!" terdengar auman 

raja hutan menggema, sepertinya raja hutan itu 

mencium kedatangannya. Dan benar saja, tiba-

tiba manakala Prikadayu menyurut langkah see-

kor harimau berkelebat menghadangnya.

"Oh...!" tersentak mundur Prikadayu meli-

hat harimau besar, tak seperti harimau biasanya 

menghadang. "Raja hutan, kalau kau hendak 

memangsaku, aku mohon jangan. Sungguh aku 

kini tengah diliputi kepedihan, tegakah engkau 

memangsa diriku?" Prikadayu mengiba.

Sorot mata harimau besar itu tajam, me-

mandang lekat-lekat pada Prikadayu yang nam-

pak pucat ketakutan. Perlahan harimau itu me-

langkah, mendekat ke arah Prikadayu berdiri


yang makin nampak pucat pasi saja.

"Aauummm...!" kembali harimau itu men-

gaum, melangkah terus menghampiri Prikadayu 

yang sudah pasrah. Prikadayu tak dapat lagi me-

nahan tubuhnya, lututnya goyah hingga akhirnya 

Prikadayu pun terkulai bersimpuh.

"Makanlah bila kau memang menginginkan 

tubuhku."

"Aauuummm...!" Harimau itu makin men-

dekat, dekat dan bertambah dekat. Sejauh itu 

Prikadayu telah menyerahkan segalanya dengan 

pasrah. Bila ternyata harimau besar itu hendak 

memangsa dirinya, maka Prikadayu telah siap se-

gala-galanya. Namun ternyata harimau itu tidak 

memangsanya, bahkan menjilati muka Prikadayu 

yang seketika terkulai pingsan, saking takutnya.

Tengah harimau itu menyeret tubuh Prika-

dayu masuk lebih dalam menuju semak-semak, 

tiba-tiba terdengar suara gelak tawa bergema.

"Hua, ha, ha...! Enak saja engkau hendak 

menguasainya, Raja Poleng! Aku telah capai-capai 

mengutus utusanku untuk mengajaknya, eh, kau 

dengan seenaknya membawanya."

"Aum...! Siapa engkau, Manusia!"

"Aku, Raja Poleng!"

Bareng dengan suara jawaban serak dan 

berat, sesosok bayangan tinggi besar berkelebat 

menghadang harimau Siluman tersebut, yang ter-

sentak lepaskan tubuh Prikadayu. Kedua mahluk 

siluman yang berbeda jenis itu saling pandang, 

sepertinya hendak menunjukkan kemampuan 

masing-masing.


"Aumm...! Kau ternyata adanya!" Raja Po-

leng menggeram setelah tahu siapa adanya yang 

datang. "Hem, apa yang menjadikan engkau men-

gatakan bahwa manusia ini adalah pengikutmu. 

Dia aku temukan di hutan ini, maka dia aku ya-

kin hendak menuju ke tempatku."

"Wuah...! Kau enak saja ngomong!" bentak 

siluman yang berbentuk manusia besar dengan 

mata besar sebesar piring kecil, serta lidah mele-

leh panjang berwarna merah menyala, semerah 

matanya yang tajam memandang dengan bengis 

ke arah Raja Poleng. "Kau ternyata siluman ku-

rang ajar! Kau tidak mau mencari mangsa sendiri. 

Kau ternyata pengecut, yang maunya mengambil 

mangsa orang lain, Poleng!"

"Aauummm! Kau berani berkata sembrono, 

Bergola!"

"Hua, ha, ha...! Kenapa tidak! Akulah Raja 

Siluman yang paling sakti. Akulah yang mampu 

memberikan pada umatku kelebihan-kelebihan, 

tidak seperti dirimu."

"Sombong!" desis Raja Poleng marah mera-

sa direndahkan.

"Hua, ha, ha...! Cepatlah serahkan orang 

itu padaku, Poleng! Jangan sampai aku marah!" 

bentak Raja Bergola. "Cepat, Poleng! Waktuku su-

dah tak ada lagi! Sebentar lagi hari menjelang pa-

gi!"

"Aum...! Tidak bisa, Bergola! Orang ini ada-

lah hambaku!"

"Hem, rupanya kau menginginkan perta-

rungan di antara kita, Poleng?!" menggeretak ma


rah Raja Bergola merasa ditantang oleh Raja Po-

leng yang masih berusaha menghalangi Bergola 

mengambil tubuh Prikadayu. "Kalau itu yang 

engkau mau, jangan salahkan aku menindakmu."

"Jangan sesumbar, Bergola! Ayo kita bukti-

kan! Aum...!"

Raja Poleng dengan segera berkelebat me-

nyerang Raja Bergola, demi mempertahankan 

mangsanya yang telah ia dapatkan. Menggeretak 

marah Raja Bergola. Dan dengan cepat berkelebat 

menghindar serangan tersebut. Pertarungan dua 

raja siluman itu pun tak dapat dihindarkan. Hu-

tan di mana mereka bertarung seketika menggele-

gar bagaikan tak mampu menahan hantaman dan 

jejakan tangan serta kaki mereka bila menyerang. 

Pohon-pohon tumbang, terhantam dengan dah-

syat pukulan-pukulan dua raja siluman tersebut.

Jurus demi jurus terlalui oleh mereka den-

gan cepat, seakan mereka dengan sengaja meng-

hambur-hamburkan ilmu yang mereka miliki 

dengan tujuan secepatnya mampu menjatuhkan 

lawan. Tetapi nampaknya hal itu sangat susah 

untuk mereka lakukan, sebab keduanya sama-

sama tangguh, sama-sama berilmu tinggi. Seran-

gan mereka membahana, mampu membuat seisi 

hutan kalang kabut berlarian.

"Aum...! Mana buktinya, Bergola!" Raja Lo-

reng berkata sombong.

"Heemm.... Jangan engkau bangga dulu! Ini 

lihat!" Raja Bergola segera keluarkan ajian simpa-

nannya, lalu dengan secepat kilat dihantamkan 

larikan sinar hijau itu ke arah Raja Poleng.


Raja Poleng tak mau mengalah begitu saja, 

dia pun kiblatkan ajian yang telah tersalur dari 

matanya memapaki larikan sinar hijau tersebut. 

Maka saat itu juga, dua larik sinar hijau dan me-

rah menderu-deru dan...! 

"Bletar! Duar...!"

Ledakan dahsyat menggema, berbareng 

dengan bertemunya dua larikan sinar tersebut. 

Raja Poleng terpental mencelat ke belakang, tak 

percaya melihat kenyataan tersebut. Sementara 

Raja Bergola nampak sunggingkan senyum, atau 

lebih tepat dikatakan menyeringai.

"Baiklah! Aku mengalah!" Raja Poleng ak-

hirnya mengakui kekalahannya. Segera ditinggal-

kan tubuh Prikadayu, yang dengan segera diambil 

oleh Raja Bergola. Setelah mengetahui bahwa Pri-

kadayu tak mengalami apa-apa. Raja Bergola pun 

kembali berkelebat menghilang entah ke mana. 

Hutan itu pun kembali sepi, senyap dengan ke-

misterian yang ada.

* * *

Gunung Kawi nampak sepi dan hening, 

dengan puncaknya yang tinggi menjulang. Seper-

tinya di situ tak ada kehidupan, yang ada hanya-

lah segala macam tetumbuhan dan hewan-hewan 

penghuni hutan. Itu bila dilihat dari mata manu-

sia biasa, namun bila dilihat dengan mata batin, 

niscaya kita akan melihat bahwa di Gunung Kawi 

tersebut terdapat penghuni yang beraneka ragam 

bentuknya. Dari bentuk manusia berkepala ular,



buaya, harimau, kera, sampai pada manusia ber-

kepala manusia yang menakutkan, yang biasa 

disebut Buto. (Ini menurut cerita orang tua, lho. 

Sedang pengarang sendiri sebenarnya tidak tahu 

sama sekali. Mohon maklum adanya!) Di situlah 

para manusia-manusia yang hendak mencari ke-

kayaan dengan jalan pintas datang, mengajukan 

diri mereka untuk menjadi pengikut atau sering 

dikatakan menghamba. Manusia-manusia itu ke-

lak akan menjadi hamba mereka.

Seperti terlihat pula di situ, nampak manu-

sia-manusia tengah bekerja dengan paksa. Tubuh 

mereka bekerja bukan semestinya, tetapi bekerja 

dengan segala apa yang ada. Tangan mereka di-

rantai, juga kakinya. Mereka hilir mudik dengan 

memanggul batu sebesar gunung anakan, dari sa-

tu tempat ke tempat lainnya. (Nauzubilla mindza-

lik). Merekalah orang-orang syirik, menyekutukan 

Tuhan yang telah memberikan apa yang baik buat 

mereka, tetapi nampaknya mereka tak mau me-

nyadarinya. Dengan jalan pintas, yaitu bersekutu 

dengan iblis mereka mencari kekayaan dan me-

numpuknya.

Baru saja siksa alam gaib, sungguh men-

dera mereka, apalagi nanti siksa Tuhan. Memang 

nampaknya mereka menyesali tindakan yang te-

lah dilakukan, tetapi untuk apa? Sesal kemudian 

tak ada guna. Air mata mereka walau meleleh dan 

membanjiri lereng gunung Kawi, namun Iblis 

yang merasa telah memberikan segalanya pada 

mereka tak mau perduli. Bagi Iblis, mereka tak 

lebihnya budak untuk mengikuti kesesatannya,


syirik pada Allah S.W.T. Sang Maha Pencipta, 

yang telah menjadikan mereka hidup.

Si nenek yang mendatangi rumah Prika-

dayu, kini bukan berupa manusia lagi, tetapi be-

rupa mahluk menyeramkan yang sering dikata-

kan Kalong Wewe. Buah dada si nenek tampak 

menjurai, kuping panjang meninggi, mata lebar, 

juga lidah merah mengurai ke luar dari mulutnya 

ditambah lagi dengan taring-taring runcing. Ne-

nek itu tidak lain istri dari Raja Bergola, raja dari 

Buto yang menjadi penghuni kerajaan Iblis Gu-

nung Kawi di mana para manusia mendatanginya 

guna mencari kekayaan.

"Weh, weh, weh...! Kenapa kakang Bergola 

tak muncul-muncul?" Si nenek cemas, matanya 

yang lebar memandang ke muka dengan pandan-

gan tajam. Dari kedua matanya seketika nampak 

dua larik sinar putih, menembus kabut pengha-

lang sukma. Kabut itu memang pintu pemisah 

antara alam manusia dengan alam siluman.

Sinar yang keluar dari sorot mata Wewe itu 

terus melesat menuju ke bawah, di mana lereng 

gunung Kawi menghampar dengan hutan belukar 

tubuh menghijau. Nampak oleh si nenek Wewe itu 

suaminya berlari-lari menggendong sesosok tu-

buh terkulai menuju ke arah situ.

"We, we, we. Ternyata kakang Bergola telah 

menemukannya."

"Dinda, Wewe. Tolonglah aku ini!" seru Ra-

ja Bergola yang tengah berlari-lari menuju ke 

tempat di mana Wewe tersebut berdiri. Langkah-

nya bukan sekedar berlari, tetapi terbang. "Wah,


sungguh berat tubuh manusia ini, Dinda!"

"We, we, we. Ayo aku bantu, Kakang!" 

Wewe itu segera berkelebat terbang menghampiri 

suaminya, si Raja Bergola. Dan memang benar 

apa yang dirasakan oleh suaminya. Tubuh orang 

ini berat, bagaikan sebongkah gunung. "We, we, 

we! Sungguh kita beruntung, Kakang." 

"Apa maksudmu, Dinda?" tanya Raja Ber-

gola tak mengerti.

"Ternyata kita mampu menaklukkan umat 

Tuhan yang kokoh imannya, sehingga walau la-

hirnya menyanggupi, tetapi hatinya masih terpaut 

pada asma Tuhan. We, we, we."

Dengan digotong oleh dua Iblis, tubuh Pri-

kadayu dibawa terbang menuju ke kerajaan di 

mana mereka berkuasa. Sebuah kerajaan Iblis, 

yang nampak megah terbangun oleh hasil kerja 

para budak-budak pengikutnya.

* * *

Sementara itu, di rumah Prikadayu nam-

pak istri dan kedua anaknya menunggu kedatan-

gan Prikadayu. Sudah seminggu lamanya Prika-

dayu menghilang, atau pergi meninggalkan mere-

ka untuk memenuhi panggilan Raja Bergola yang 

dipanggil dengan sebutan Sinuhun. Dan sudah 

seminggu pula Prikadayu tak ada kabar beri-

tanya, bagaikan hilang begitu saja. Sedangkan si 

nenek yang dulu menawarkan segalanya juga tak 

muncul batang hidungnya entah pergi ke mana. 

Hal ini menjadikan cemas di hati Dripadini, gun


dah karena memikirkan keberadaan suaminya, 

juga anak-anaknya yang kini harus makan. Per-

sediaan beras dan lainnya, makin hari makin me-

nipis, bahkan esok mungkin sudah tak tersisa.

"Mengapa kakang Dayu tak kunjung da-

tang?" keluh Dripadini bingung. Bagaimana tidak, 

anaknya Sugangga saban hari terus menanyakan 

kedatangan sang ayah. "Apakah nenek itu tidak 

mendustai kami?"

Tengah Dripadini merenung sendiri, ter-

dengar anaknya yang bayi menjerit keras. Hal itu 

menjadikan Dripadini seketika melompat bangun, 

dan dengan segera berlari menuju ke dalam ka-

marnya, di mana sang bayi ia tidurkan. Mata Dri-

padini seketika membeliak, serta merta bagaikan 

orang histeris Dripadini berteriak keras: "Ti-

daaaakkk...!" Dripadini segera menghambur ke 

bayinya yang tampak tangannya berdarah, putus 

pergelangannya. Didekapnya tubuh sang bayi. 

"Tidak! Tidak...!"

"Ibu...!" Sugangga yang melihat ibunya me-

nangis turut menumpahkan tangisnya. "Ibu... ke-

napa adik begitu, Bu? Kenapa... hu, hu, hu...!"

Dripadini tak dapat menjawab segala per-

tanyaan anaknya. Ia sendiri dalam ketidak-

mengertian, mengapa bayinya tiba-tiba menjerit 

lalu anggota tubuhnya putung dengan sendirinya. 

Belum juga hilang kaget Dripadini, tiba-tiba kepa-

la si bayi lepas dan menggelinding dari lehernya. 

Makin menjeritlah Dripadini sekencang-

kencangnya, tak hiraukan apa yang terjadi.

"Tidaaaak...! Tidaaak...!"


"Ibu...! Hu, hu, hu.... Ibu! Kenapa ini, Bu? 

Kenapa?" Sugangga sesenggukan makin keras 

menjerit, melihat kepala adiknya menggelinding, 

lepas dari pangkal lehernya. Mata bayi itu mende-

lik, sepertinya menyumpah serapah pada mereka.

Berbareng dengan keadaan bayi itu, di Gu-

nung Kawi nampak Prikadayu tengah menyembe-

lih seekor anak domba kecil, Prikadayu tak tahu 

siapa sebenarnya yang ia sembelih, yang nam-

paknya hanyalah seekor anak domba.

"Hari ini kau akan makan lezat, Dayu," si 

nenek Wewe itu berkata. Si nenek itu kembali 

tampak oleh Prikadayu seorang manusia biasa, 

bukan seorang Wewe yang menakutkan.

"Ya, begitulah," jawab Prikadayu tenang. 

Dilamusnya tubuh domba itu di atas pembaka-

ran, yang membara dan dengan seketika me-

manggang tubuh domba kecil tersebut.

Si nenek Wewe sunggingkan senyum, sea-

kan ia telah mendapat kemenangan. Dari dalam 

istana seorang lelaki tampan keluar, diiringi para 

dayang yang cantik jelita menemui Prikadayu. Ra-

ja itu begitu muda dan tampan di hadapan Prika-

dayu, yang tak tahu siapa adanya lelaki muda 

tampan yang menjadi raja tersebut. Kalau saja 

mata batin Prikadayu mampu melihat, sudah pas-

ti Prikadayu akan bergidig melihat siapa adanya 

sang Raja. Wajah sang Raja sesungguhnya sangat 

menyeramkan, dengan mata besar merah, lidah 

menjulur panjang, serta taring runcing. Sang Raja 

berjalan mendekati Prikadayu yang tengah me-

manggang anak domba yang telah disembelihnya,


dan bertanya. "Sudah matangkah, Dayu?"

"Sebentar lagi, Baginda," jawab Prikadayu 

tanpa palingkan muka, asyik memanggang anak 

domba tersebut. Tersenyum menyeringai melihat 

Prikadayu dengan tenang dan asyiknya memang-

gang tubuh anak bayinya. "Dia belum tahu siapa 

yang dia panggang. He, he, he...!" Raja Bergola 

terkekeh dalam hati.

Prikadayu tak hiraukan senyum sang raja 

dan nenek Wewe karena ia tidak melihatnya. Ia 

tengah asyik dan tenang memanggang domba 

yang nampak lezat. Tak lama kemudian Prika-

dayu telah selesai membakarnya, dan berkata: 

"Sudah, Baginda. Anak domba ini sudah masak, 

apakah baginda akan mencicipinya?"

"Makanlah olehmu dulu, Dayu." Raja tam-

pan itu berkata. "Nanti biarlah sisanya untuk 

kami."

Prikadayu tercengang, sebab ia merasa ba-

ru kali ini ada raja yang sebaik raja tampan ini. 

Biasanya raja tak akan mau memakan sisa ra-

kyatnya, tetapi raja tampan bernama Sinuhun ini 

mau menerima bahkan menyuruhnya untuk 

mencicipi daging domba yang dibakarnya.

"Ah...!" Prikadayu tersentak. "Sungguhkah 

Sinuhun tidak tengah bercanda?"

"Tidak, Dayu. Aku tidak bercanda."

"Oh, sungguh mulia hati Sinuhun, yang 

mau menerima sisa makan hamba yang orang 

kere ini."

Sinuhun geleng-geleng kepala, tersenyum 

manis, sepertinya mengijinkan bahwa Prikadayu


memang boleh mendahuluinya makan. Keduanya 

sesaat saling pandang, lalu sang Sinuhun terse-

nyum kembali sembari berkata. "Kau kali ini 

miskin, tapi nanti kau akan kaya raya dan sakti, 

Dayu. Nah, makanlah. Setelah kau makan, kau 

pulanglah, sebab anak dan istrimu tengah me-

nanti. Buka tikar di mana kau tidur, di sana kau 

akan menemukan uang emas yang jumlahnya 

banyak."

"Ooh...." Prikadayu mendesah, seakan tak 

percaya pada apa yang didengar. "Benarkah itu 

semua, Sinuhun?"

"Aku tidak bercanda, Dayu."

"Ooh, sungguh mulia hati Sinuhun."

Setelah berkata begitu, dengan lahap Pri-

kadayu memakan daging anak domba. Perutnya 

yang sudah tiga hari tidak diisi karena harus ber-

tapa sangat menghendaki makan. Tak berapa la-

ma saja, daging domba kecil itu pun tinggal tiga 

perempatnya saja. Prikadayu terus menyantap, 

tak hiraukan pada kedua orang yang melihatnya 

dengan gelengkan kepala. Dua orang yang tak 

lain nenek Wewe dan Raja Bergola tersenyum-

senyum senang, karena telah ada budaknya lagi. 

Makin banyak ia mendapatkan budak, makin mu-

lialah hidupnya sebagai Raja Iblis Bergola.

"Sudah kenyang, Dayu?" kembali Raja Ber-

gola bertanya.

"Sudah, Sinuhun," jawab Prikadayu.

"Nini, tolong kau ambilkan sekarung kecil 

oleh-oleh untuknya."

"Daulat, Sinuhun." Nini Wewe menjura, la


lu bergegas tinggalkan Rajanya yang masih berdiri 

ditemani para dayang berbincang-bincang dengan 

Prikadayu. Tak lama kemudian nini Wewe kemba-

li muncul dengan sekandi penuh oleh-oleh buat 

Prikadayu. "Ini untukmu, Dayu."

"Ini belum seberapa, Dayu," Raja Bergola 

menambahkan. "Kelak bila masanya tiba, yaitu 

setiap bulan purnama dan kau telah menyetorkan 

tumbal, maka sepuluh karung ini kau akan da-

patkan."

"Jadi...!" Prikadayu tersendat, tak mampu 

teruskan ucapan.

"Ya! Kau setiap bulan purnama harus me-

nunjukkan pada orang utusanku siapa yang eng-

kau berikan mangsa."

"Bagaimana, Dayu?" si nenek menanya.

"Ingat, Dayu. Kau telah menjadi hambaku, 

hamba Raja Bergola." Tiba-tiba Raja Bergola be-

rubah pada bentuk semula, begitu juga dengan si 

nenek. Bentuk mereka sangat menakutkan, men-

jadikan Prikadayu tersurut mundur. "Inilah kami, 

Dayu. Bila kau melanggar perjanjian, maka kau-

lah yang akan kami mangsa. Dan lihatlah oleh-

mu, bahwa yang kau makan bukanlah domba, te-

tapi anakmu sendiri. Hua, ha, ha...!"

Prikadayu tengokkan matanya pada pera-

pian di mana tubuh domba masih menggelan-

tung. Dan benar, ternyata bukannya domba yang 

dipanggangnya, melainkan tubuh bayi berusia se-

tahun. Dan manakala Prikadayu menatap kepala 

domba, tersentaklah ia. Tenaganya bagai hilang, 

lemas tiada daya untuk berdiri. Mata bayi itu


mendelik, seakan mengutuki perbuatannya. Per-

buatan seorang ayah yang telah tega membunuh 

anaknya sendiri demi kepuasan batinnya.

"Pantas waktu aku sembelih ia menjerit. 

Ayah!" mengeluh hati Prikadayu. "Oh, sungguh 

aku telah berdosa."

"Dayu! Jangan kau katakan dosa! Kau tak 

lazim berkata begitu. Kau kini telah menjadi 

hambaku, maka kau tak pantas mengeluh dan 

menyebut dosa."

"Prikadayu, pulanglah. Anggap saja semu-

anya hanya mimpimu. Ingat, Dayu. Setiap malam 

purnama kau harus menyetor padaku korban!" 

Raja Bergola berkata, namun tidak segalak nenek 

Wewe. Nada katanya seakan memberikan hara-

pan pada Prikadayu, yang tak tahu bahwa itulah 

taktik Iblis untuk mampu menjeratnya.

Dengan diantar oleh Raja Bergola dan ne-

nek Wewe menuju pintu penyekat alam Prikadayu 

pun pulang dengan membawa sekandi buah tan-

gan yang dikata oleh sang Raja Kunir. Prikadayu 

terus berjalan dengan pikiran kosong tak berisi, 

hilang bagaikan melayang terbang setelah tahu 

bahwa anaknyalah yang telah dimakan olehnya 

sendiri.

"Oh, kini aku telah menjadi sekutu Iblis," 

Prikadayu mengeluh, namun segera hatinya kem-

bali berkata. "Tidak! Segalanya telah terjadi, tak 

pantas aku menyesalinya."

Semangatnya kembali muncul, dan bagai-

kan seorang yang baru mudik dari kota dengan

membawa hasil banyak, Prikadayu berlari-lari


menuruni lereng gunung Kawi menerobos hutan 

untuk kembali ke rumahnya dengan harapan itu 

semua hanyalah mimpi.

***


TIGA



Harapan Prikadayu semoga apa yang telah 

terjadi pada dirinya hanyalah mimpi, ternyata tak 

tercapai. Semua adalah kenyataan, kenyataan 

yang makin mengkoyak-koyak hatinya. Hati seo-

rang ayah yang telah tega-teganya memangsa 

anaknya sendiri.

Baru saja Prikadayu sampai di halaman 

rumahnya, seketika disambut jerit tangis istrinya. 

Prikadayu yang telah tahu apa yang terjadi hanya 

mampu diam, diam tak dapat berkata-kata. Ha-

tinya bagai teriris-iris, perih. Namun segalanya 

sudah menjadi bubur, tak mungkin harus dikem-

balikan menjadi beras.

"Anak kita, Kakang! Anak kita...!" istrinya 

memekik.

"Sudahlah, Dinda. Segalanya telah terjadi."

"Kakang! Apa maksudmu!" Dripadini mena-

tap lekat tak mengerti, "Kenapa kakang sepertinya 

tak hiraukannya. Kenapa, Kakang?! Kenapa se-

muanya bisa begitu. Hu, hu, hu...!"

Prikadayu tertunduk diam, melangkah 

dengan kaki terseret menggandeng tangan sang


istri dengan pundak masih menggendong seka-

rung kecil sesuatu yang katanya kunir. Dilempar-

kannya kunir itu ke pojok ruangan, yang seketika 

menjadikan mata kedua suami istri itu membela-

lakkan mata. Suara dalam karung itu bukanlah 

suara kunir tetapi suara benda padat.

"Trang...!"

"Heh, mengapa kunir bunyinya begitu?" 

Prikadayu terheran-heran sendiri, memandang 

pada karung kecil di sudut ruangan rumahnya. 

"Apakah aku tak salah dengar, Dinda?"

Dripadini yang juga mendengar suara lain 

dari dalam karung tersebut pun hanya mampu 

gelengkan kepala. Matanya memandang tak per-

caya pada karung yang kini tergeletak. Sesaat 

kemudian matanya beralih memandang pada su-

aminya yang juga memandang ke arahnya dengan 

pandangan penuh pertanyaan.

"Cobalah kakang periksa isinya," Dripadini 

menyarankan.

"Ah, tak salahkah aku mendengar?" kem-

bali Prikadayu terlolong-lolong. Dengan segera 

Prikadayu kembali hampiri karung yang telah ia 

bawa. "Cobalah aku lihat."

Dengan tangan gemetar Prikadayu mem-

buka tali ikatan karung. Seketika matanya melo-

tot, tak percaya pada apa yang dilihatnya di da-

lam karung tersebut. Hal itu menjadikan istrinya 

yang melihat seketika bertanya. "Kenapa, Kakang, 

sepertinya engkau terkejut?"

"Emas, Dinda! Emas!" Prikadayu bersorak 

girang, lupa pada kesedihan yang seharusnya ia


alami. Matanya mendelik, dan tangannya segera 

meraup emas dalam karung. "Lihat! Lihat, Dinda!"

Membeliak mata Dripadini, manakala sua-

minya mengangkat emas yang tak terkira ba-

nyaknya yang ditunjukkan ke arahnya. Bagaikan 

lupa pada keadaannya, seketika Dripadini berseru 

girang dan melompat memeluk suaminya seraya 

berkata: "Kakang, kita menjadi orang kaya. Kita 

akan kaya, Kakang!"

Diguncang-guncangkan tubuh Prikadayu, 

yang nampak hanya terpaku diam bagaikan orang 

linglung. Mata Prikadayu memandang kosong, se-

pertinya tengah memikirkan sesuatu. Hal itu 

menjadikan Dripadini hentikan guncangan tan-

gannya, lalu dengan rasa tidak mengerti bertanya: 

"Kenapa kakang terbengong? Apakah...?"

"Tidak, Dinda. Kakang tengah bingung."

"Bingung...? Bingung kenapa, Kakang?"

"Apakah kita akan hidup kaya dengan ber-

gelimpangan nyawa?"

"Maksud kakang?" Dripadini masih belum 

mengerti, matanya memandang penuh tanda 

tanya pada sang suami yang hanya terbengong 

kosong. "Kenapa, Kakang?"

"Sesuai dengan perjanjian antara aku dan 

Raja Bergola, maka aku setiap bulan purnama 

harus menunjukkan padanya siapa yang bakal 

aku korbankan sebagai wadal."

Kini Dripadini yang terdiam. Matanya me-

natap kosong, sehingga kebisuan yang ada seke-

tika menyelimuti mereka. Kebisuan dengan segala 

hati yang gundah, hati yang bingung harus ber


buat apa untuk nanti manakala bulan purnama 

datang.

"Bagaimana kalau kita tumbalkan tetangga 

kita, Kakang?"

"Ah...!" tersentak kaget Prikadayu menden-

gar saran istrinya, yang dirasakan sangat tidak 

masuk di akal. "Bagaimana mungkin orang yang 

tidak berdosa harus kita korbankan, Dinda?"

"Kita beri saja mereka uang dan perhiasan, 

Kakang."

"Apakah mereka tak curiga?" tanya Prika-

dayu bimbang.

"Biar saja mereka curiga. Bukankah tak 

ada bukti bahwa kita yang telah melakukannya?"

"Benar juga ucapanmu, Dinda."

"Nah, kini kita telah menjadi orang kaya, 

maka apa pun akan dapat kita perbuat. Kini me-

reka yang dulu menghina kita akan membuka 

mata. Hi, hi, hi...,!" Dripadini tertawa, seakan ke-

bahagiaan telah terukir di pelupuk matanya. Lupa 

akan kepedihan yang dialami, lupa akan bayinya 

yang telah menjadi korban.

* * *

Sejak kejadian itu, maka keadaan ekonomi 

Prikadayu mulai meningkat. Bahkan tidak tang-

gung-tanggung, Prikadayu yang dulunya miskin 

dan hanya menjadi seorang buruh tani, seketika 

berubah menjadi Tuan Tanah yang kaya raya. 

Hingga dalam pergaulan hidup pun keluarga Pri-

kadayu yang dulu dikucilkan, kini diterima bah..


kan didekati oleh orang-orang yang pekerjaan-nya 

hanya menjilat.

Sugangga sebagai anak yang tinggal satu-

satunya, sangat disayang dan dimanjakan. Segala 

apa saja yang dimintanya, selalu dengan cepat di-

kabulkan. Dan sejak saat itu pula, Sugangga ti-

dak pernah lagi dikucilkan atau dihina oleh rekan 

sepermainannya. Semua menghormatinya, semua 

seakan ingin menunjukkan darma bakti pada ju-

ragan baru yang tidak pelit, yang selalu siap 

memberikan pertolongan moril bagi orang yang 

membutuhkannya.

"Gangga, ayah minta kau jangan nakal. 

Tunjukkan bahwa kita ini orang baik, yang selalu 

mengerti akan apa artinya kasih sayang," Ayah-

nya memberi saran. "Jangan karena dulu mana-

kala kita miskin mereka membenci kita, lalu sete-

lah kita kaya berbalik membenci mereka."

Sugangga terdiam, menurut dan menden-

garkan segala petuah ayahnya. Sebenarnya seba-

gai seorang anak, Sugangga ingin melakukan apa 

yang pernah dilakukan oleh anak-anak padanya, 

tetapi karena kebijaksanaan ayahnya yang mela-

rang dirinya sombong menjadikan Sugangga 

mampu melupakan segala kejadian yang telah di-

alaminya manakala dirinya masih menjadi anak 

orang tak punya.

"Seperti Sang Budha, ia tak pernah mem-

balas pada orang yang membencinya dengan ber-

balik membenci, tetapi Sang Budha malah men-

gasihinya. Dan ternyata hasilnya sungguh sangat 

baik. Orang-orang yang dulu membencinya, seke


tika menjadi pengikut-pengikut Sang Budha. De-

mikian juga dengan kita sebagai umatnya, kita 

harus mengikuti apa yang pernah dilakukan oleh 

Sang Budha."

"Benar, Ayah. Sungguh luhur budi pekerti 

Sang Budha."

"Itulah, Gangga. Sang Budha sesakit apa 

pun, tak mau membalas dengan menyakiti. Sang 

Budha terus berusaha menyadarkan musuhnya 

dengan jalan pendekatan. Dan bila jalan tersebut 

tanpa hasil, Sang Budha segera meminta petun-

juk pada Yang Widi bagaimana cara yang paling 

baik."

"Dia juga katanya sangat tekun beribadat, 

Ayah?"

"Ya! Dia memang sangat tekun beribadat." 

"Kalau begitu Gangga pun ingin berguru, 

Ayah."

Prikadayu terdiam mendengar permintaan 

anaknya. Bukannya ia tidak mengijinkan anak-

nya berguru, tetapi ia sungguh sangat berat bila 

harus berpisah dengan anak satu-satunya. Anak-

nya kini tak ada lagi, tinggal Sugangga. Anaknya 

yang satu, telah menjadi korbannya sendiri, seba-

gai wadal bagi apa yang kini mereka peroleh.

"Kenapa ayah terdiam? Apakah ayah tidak 

mengijinkan Gangga berguru?"

"Bukan itu, Anakku." Prikadayu mencoba 

menarik napas, terasa sesak. Bayang-bayang hi-

dup menyelinap, masuk mencerca jiwa dan ha-

tinya. Bayang-bayang bagaimana kalau anaknya 

akan dididik keras oleh sang guru, padahal ia


sendiri tak pernah melakukannya. Dan untuk apa 

kekayaan ini, bila sang anak harus pergi mening-

galkan dirinya? Prikadayu kembali diam, sulit un-

tuk mengatakannya pada sang anak. Bila ia mela-

rang, berarti ia tidak menyukai dan tidak me-

nyayangi anaknya. Tetapi bila tidak dilarang, jelas 

ia harus berpisah dengan anak satu-satunya.

"Kenapa, Ayah?" Sugangga terus mende-

sak, sepertinya ingin mendengar kepastian dari 

ayahnya. "Apakah memang ayah memberatkan-

nya?"

"Memang itulah, Anakku," Prikadayu ak-

hirnya berkata, sebab ucapan tanya anaknya 

memang tujuan ucapannya. "Ayah sangat berat 

bila harus berpisah denganmu, juga ibumu ten-

tunya begitu pula."

"Ah, bukankah Gangga kini sudah dewasa, 

Ayah?"

"Ayah mengerti, Nak. Ayah tahu kau telah 

dewasa. Tapi bukan kedewasaanmu yang ayah 

pikirkan. Ayah memikirkan bagaimana nanti ayah 

dan ibumu sepi, tiada anak lagi."

"Namun jika Gangga tak berguru, apa ja-

dinya Gangga setelah besar nanti?" Gangga terce-

nung, melamunkan bagaimana jika ia tak dapat 

menguasai ilmu bela diri. Bayangannya tertum-

pah pada orang-orang persilatan yang sangat 

agung, ke mana-mana membawa pedang yang 

tergantung di pundaknya. Tidak seperti orang 

yang tak dapat berbuat apa-apa, badan mereka 

nampak tegar, berisi dengan otot-otot yang me-

nunjukkan latihan yang keras.


"Apa tujuanmu belajar silat, Anakku?"

"Untuk membela ayah dan ibu," jawab 

Gangga pendek.

"Hanya itu...?" Ayahnya kerutkan kening.

"Ya, hanya itu. Kenapa, Ayah?"

"Tidak apa. Kau memang anak yang baik. 

Baiklah, ayah akan mencoba mencarikan guru 

untukmu. Guru itu akan ayah suruh mengajari-

mu. Ayah juga akan membuatkan padepokan 

yang tak jauh dari tempat ini."

"Oh, terimakasih, Ayah." Sugangga berso-

rak gembira. Bayangannya untuk menjadi orang 

persilatan kini makin nampak menebal dan nyata. 

"Hore...! Aku akan menjadi seorang pendekar 

yang mampu membela kedua orang tuaku. Siapa 

saja yang berani melawan, atau menyakiti kedua 

orang tuaku, maka dia akan menghadapi Pende-

kar Sugangga. Hiat. Hiat! Hiat... hiat...!"

Sugangga dengan disaksikan oleh ayahnya 

yang tersenyum-senyum berkelebat-kelebat me-

mainkan jurus-jurus silat. Tubuhnya melompat 

ke sana ke mari, sepertinya Sugangga tengah be-

nar-benar melakukan latihan silat. Ibunya yang 

mendengar seruan-seruan anaknya, seketika ber-

lari ke luar. Sang ibu tersenyum senang, demi 

melihat anaknya bergaya

"Inilah jurus Kera Memetik Mangga wak 

Sueb. Hiat...!"

Tubuh Sugangga bergerak cepat, lalu den-

gan kilat buah apel yang ada di depan meja ayah-

nya langsung dicomotnya. Dan dengan rakus di-

gragotinya buah apel tersebut, tak pelak lagi se


mua yang melihatnya tertawa bergelak-gelak. Dan 

makin kencang saja gelak tawa mereka, manakala 

Sugangga nampak keseratan.

* * *

Seperti permintaan yang lainnya, permin-

taan Sugangga kali ini pun segera dituruti oleh 

ayahnya. Esok paginya sang ayah mencari guru 

yang dianggapnya mampu mendidik anaknya, 

agar kelak dapat menjadi seorang pendekar ber-

budi, tidak seperti dirinya yang telah bersekutu 

dengan Iblis.

Setiap pelosok pedukuan dijelajahi oleh 

anak buahnya atau para centeng guna menda-

patkan seorang guru yang mau mengajari anak-

nya di rumah, atau paling tidak dekat dengan 

rumahnya. Tapi sampai sekian lama para centeng 

yang mencari tidak menemukan adanya seorang 

guru yang mau mendidik muridnya di rumah 

atau dekat dengan kediaman sang murid. Me-

mang aneh-aneh saja permintaan Juragan Prika-

dayu, hampir menyerupai jaman modern saja. 

Permintaan Prikadayu memang menyerupai cara 

jaman sekarang, sistim Privat.

"Bagaimana, Karsan? Apakah kau telah 

menemukannya?"

"Waduh, Juragan. Telah seluruh pelosok 

wilayah gunung Kawi dan sekelilingnya hamba je-

lajahi, ternyata tak ada seorang guru pun yang 

mau."

Prikadayu termenung, memang dugaannya


benar adanya. Mana ada seorang guru mau da-

tang ke tempat muridnya? Namun sebagai seo-

rang ayah yang ingin memanjakan anaknya, jelas 

ia tidak mau putus asa. Kegagalan boleh beru-

lang, toh akhirnya keberhasilan akan didapat ju-

ga. Begitulah prinsip hidup Prikadayu, seluruh 

prinsip yang didasari oleh pengalaman sendiri. 

Dulu juga dirinya gagal melulu, sampai orang 

mengejek dan menghinanya, tetapi kini berhasil 

menjadi orang yang kaya raya.

"Karsan, besok kau sebar pengumuman di 

seantero wilayah ini. Aku yakin, nanti pun baka-

lan ada seorang pendekar yang mau menerima 

tawaranku."

"Baik, Juragan. Besok akan aku laksana-

kan."

"Sekarang kau berikan ilmu yang kau mili-

ki pada anakku, kelak siapa tahu dapat dijadikan 

dasar."

"Baik, Juragan," Karsan segera bangkit dari 

duduknya, menjura hormat dan kemudian berlalu 

pergi untuk menemui anak juragannya.

Sepeninggalan Karsan ketua centengnya, 

Prikadayu kembali tercenung diam. Pikirannya 

berkecamuk seribu macam persoalan yang harus 

ia hadapi. "Ah, bukankah esok lusa bulan pur-

nama?" keluh hati Prikadayu, manakala mengin-

gat bahwa lusa adalah bulan purnama, di mana 

ia harus memberikan wadal untuk Rajanya. "Ke-

napa aku terlalai semuanya? Sungguh sangat ber-

bahaya bila aku benar-benar lalai."

"Dinda...!" Prikadayu berseru memanggil is


trinya.

"Ya...! Ada apa, Kanda?" Istrinya segera 

bergegas menuju ke arah di mana suaminya be-

rada. Tampak suaminya tengah duduk di kur-

sinya, memandang ke depan di mana jalanan ke-

cil yang biasanya dipakai untuk latihan menung-

gang kuda anaknya terhampar. Juga lapangan 

luas di sebelah jalan, semua adalah milik mereka. 

"Kanda memanggil dinda?"

"Benar," jawab Prikadayu.

"Ada gerangan apakah, Kanda?"

"Kau ingat lusa hari apa?" tanya Prikadayu 

kemudian.

"Hari Rabu, Kanda. Ada apakah?"

"Besok bulan purnama, Dinda."

Tersentak Dripadini mendengar ucapan 

suaminya. Ya, besok hari Rabu, bulan purnama 

tiba di mana mereka harus menyiapkan korban 

untuk wadalnya. Belum juga hilang rasa kaget 

Dripadini, kembali suaminya berkata memecah-

kan keheningan.

"Siapakah yang menurut dinda bakal kor-

ban?"

Kembali Dripadini hanya mampu terbisu, 

tiada kata yang menjawabnya. Hatinya bimbang 

untuk menentukan korban yang bakal untuk di-

jadikan wadal bagi Raja Bergola, yang telah mem-

berikan pada mereka segalanya. Dan mereka ma-

sih ingat benar apa yang mereka katakan bersa-

ma, bahwa mereka akan selalu menjaga keraha-

siaan segalanya.

"Kalau sampai lusa tak ada korban, maka


kitalah yang akan menjadi korbannya, Dinda."

Tak dapat Dripadini menjawab. Bibirnya 

terasa kelu. Memang banyak orang yang telah 

mendapatkan harta pemberiannya, tapi apakah 

mereka layak? Kedua suami istri itu terdiam bisu, 

sulit untuk menemukan siapakah yang bakal me-

reka jadikan korban.

"Bagaimana kalau keluarga Panidi, Kan-

da?"

"Alasanmu, Dinda?"

"Mereka keluarga tak mampu. Apakah ti-

dak sebaiknya mereka kita tolong, lalu dengan 

demikian kita mudah mengambil salah satu kor-

ban di keluarga mereka?"

"Tepat! Aku akan ke sana untuk pura-pura 

membantu mereka."

Kedua suami istri itu segera memper-

siapkan apa saja yang akan mereka berikan bagi 

keluarga Panidi. Beras, sayur mayur, uang, per-

hiasan dan macam-macam benda berharga lain-

nya. Setelah semuanya dirasa cukup, kedua su-

ami istri itu pun dengan menunggang kereta me-

nuju ke kediaman Panidi.

* * *

Jeritan tangis bocah kecil yang kelaparan 

memecahkan keheningan sore itu. Suara tangisan 

sang bocah-bocah kecil itu terdengar dari sebuah 

rumah gubug, yang jauh letaknya dari rumah-

rumah penduduk lainnya.

Dari kejauhan, tampak kereta dengan dua


ekor kuda penariknya berjalan menuju ke arah di 

mana rumah tersebut berada. Dan memang be-

nar, kereta yang ditumpangi oleh Prikadayu dan 

istrinya memang menuju ke rumah tersebut. Pri-

kadayu segera hentikan kereta kudanya, manaka-

la telah sampai di rumah Panidi.

"Sampurasun...?!" sapa keduanya.

"Rampes...! Eh, Juragan dan nyonya, tum-

ben datang berkunjung ke mari. Ada gerangan 

apakah?" tanya Ki Panidi yang menyambut jura-

gannya dengan ramah. "Kalau mengenai sawah, 

wah, semuanya beres, Juragan."

"Jangan kau pikirkan mengenai sawah. 

Aku datang ke mari hanya merasa ikut prihatin 

melihat keadaan keluargamu. Untuk itu, aku se-

bagai juraganmu ingin sekali memberikan ban-

tuan untukmu."

"Wah, dengan saya bekerja pada juragan 

saja, saya sudah merasa dibantu, Juragan."

"Jangan kau menolak rejeki, Panidi. Aku 

ingin membantumu dengan tulus. Terimalah se-

muanya, anggap saja sebagai ikatan persauda-

raanku dengan keluargamu."

"Benar, Panidi. Suamiku ingin menolongmu 

dan sekaligus menjadikan dirimu saudara. Bukan 

begitu, Kakang?" Dripadini menambahkan, yang 

dengan segera diangguki oleh sang suami dengan 

tersenyum. Walau entah apa arti senyumnya itu.

"Waduh.... Bagaimana ini? Aku telah mere-

potkan juragan berdua saja," Panidi masih beru-

saha menolaknya.

"Jangan takut, Panidi. Aku benar-benar tu


lus. Ambillah olehmu apa yang ada di belakang 

kereta itu. Dan jadilah kita saudara, apakah kau 

tidak mau?" tanya Prikadayu.

"Ambillah, Panidi," Dripadini ikut menim-

pali.

Dengan terlebih dahulu mengundang anak-

anaknya, Panidi pun segera membongkar isi kere-

ta. Betapa berbunga-bunga hati Panidi beserta 

keluarganya, manakala melihat begitu banyaknya 

pemberian dari juragannya. Mereka beranggapan 

bahwa juragannya sungguh orang yang baik budi, 

yang mengerti akan penderitaan yang dialami oleh 

para buruhnya. Mereka tak tahu, apa yang sebe-

narnya tersirat dari kebaikan tersebut.

Sebuah bencana yang akan melanda ke-

luarga mereka lusa. Dengan senyum senang, ke-

dua suami istri Dripadini pun segera kembali me-

nuju ke rumahnya. 

* * *

Esok lusanya, gegerlah seketika tentang 

kematian anak Ki Panidi yang sulung. Kematian-

nya begitu tragis, lidahnya melet dengan mata 

melotot. Semua orang tak mengerti, semua orang 

hanya mengira bahwa kematian anak Ki Panidi 

semata-mata kena setan dekat rumah mereka. 

Memang benar dugaan semua orang, tetapi setan 

yang membunuh anak Ki Panidi bukanlah setan 

sembarangan. Setan pembunuh anak Ki Panidi 

yang sebenarnya tidak mati, adalah setan peliha-

raan Prikadayu, juragan mereka.


Mendengar kematian anak Ki Panidi, Pri-

kadayu dan istrinya pun segera datang untuk 

menyatakan bela sungkawa. Wajah mereka seper-

tinya sedih, namun di hati mereka tersirat keba-

hagiaan yang teramat sangat. Sebab dengan wad-

al tersebut, harta mereka akan bertambah ba-

nyak, menumpuk tanpa sepengetahuan orang 

lain.

Ki Panidi yang tak mengerti segalanya, 

hanya mampu menangisi kematian anaknya. 

Bahkan Ki Panidi tidak segan-segan menceritakan 

apa yang telah menimpa anaknya, yang hanya di-

angguki oleh kedua juragannya dengan pura-pura 

turut berlinang air mata. Setelah usai berjalan se-

galanya, kembali semuanya diam, tak mengerti 

apa sebenarnya yang terjadi. Semua tak tahu, 

semua tak menyadari bahwa bisa saja mereka 

pun menjadi korbannya.

Bulan purnama kembali datang, dan kor-

ban pun seketika menggema. Paginya ditemukan 

hal kematian yang serupa, sepertinya kematian 

itu satu arah dan satu pelaku. Tapi siapa? Begitu-

lah pertanyaan yang ada di hati mereka.

* * *

Bulan berganti, menjadikan tahun. Sepu-

luh tahun sudah desa di lereng gunung Kawi ter-

cekam oleh kematian-kematian yang misterius. 

Kematian yang sama persis, tak ada bedanya. Pa-

dahal kalau memang kematian kodrat Tuhan, je-

las akan berbeda-beda. Semua mati setelah men


dapatkan hadiah dari Juragan Prikadayu, juragan 

yang mereka anggap mempunyai rasa kemanu-

siaan yang tinggi. Hingga karena itulah, mereka 

tak ada yang berani menuduh. Mereka tak ada 

yang mencurigai bahwa segalanya berada di tan-

gan Prikadayu.

Malam itu bulan kembali bersinar dengan 

terang, menandakan bahwa bulan saat itu bulan 

purnama. Lolongan anjing liar menggema, menja-

dikan rasa takut yang teramat sangat bagi pen-

dengarnya.

Malam yang kelam itu, seketika terpecah 

oleh suara jeritan dari seseorang. Suara jeritan itu 

melengking, sepertinya orang tersebut tengah di-

landa ketakutan yang teramat sangat. Jaka Ndab-

leg yang sudah sedari siang berada di desa itu da-

lam perjalanannya mencari kebenaran berita ten-

tang kematian yang sangat misterius, segera ber-

kelebat menuju ke arah datangnya suara terse-

but.

"Tidaaak...! Jangan! Pergi! Aku tak mau! 

Aku tak mau...!"

.Jaka Ndableg terus berlari dengan cepat-

nya. Dipakainya ajian Angin Puyuhnya, maka da-

lam sekejap saja tubuhnya bagaikan terbang, ber-

lari menuju ke asal suara tersebut.

"Tidak! Jangan takut-takuti aku! Jangan...! 

Pergi!"

Orang itu masih menjerit-jerit, menjadikan 

Jaka dengan segera dapat menemukan di rumah 

mana adanya suara tersebut. Jaka tersentak di-

am, manakala terdengar suara berat berkata


membalas teriakan orang tadi.

"Hua, ha, ha...! Kau telah dijadikan wadal, 

maka kau harus mau menjadi budakku!"

"Tidak mau! Siapa kau, Setan!"

"Aku Raja Bergola! Aku akan mengambil

sukmamu, yang telah dijadikan wadal oleh Jura-

ganmu, Prikadayu. Bukankah engkau telah men-

dapatkan harta dari Juraganmu?"

"Tidak! Kalau engkau ingin mengambil har-

ta itu. Harta itu masih aku simpan, belum aku 

makan!" memekik orang tersebut, takut melihat 

tampang Raja Bergola. Wajah Raja Bergola yang 

menyeramkan, dengan lidah menjulur panjang 

serta mata lebar merah terus memandang ke arah 

orang tersebut.

"Wuut...!" 

"Tidak...!"

Tangan Raja Bergola bergerak hendak me-

nangkap tubuh orang tersebut. Namun belum ju-

ga tangan besar berwarna hijau itu menangkap 

orang tersebut, tiba-tiba sebuah bayangan berke-

lebat menghantamkan pukulannya.

"Wuss...! Duar!"

Ledakan akibat pukulan yang dilontarkan 

oleh Jaka, seketika menyentakkan Raja Bergola. 

Mata Raja Bergola menyala merah, marah demi 

mendapatkan seorang manusia telah berani ku-

rang ajar padanya dan telah menghalangi niatnya.

"Siapa kau, manusia!"

"Tak penting namaku untukmu!" jawab Ja-

ka terus. "Yang pasti, aku akan menghalangi tin-

dakanmu. Kau terlalu telengas, Bergola! Kau telah


membuat kepanikan warga desa ini!"

Terbelalak mata Raja Bergola demi men-

dengar pemuda di hadapannya tahu namanya. 

Matanya yang merah besar, menyala bagaikan 

memendam api. "Siapa kau, Bocah!"

"Jangan kau tanya siapa aku! Yang pasti, 

kau harus musnah dan minggat dari muka bumi 

ini!"

"Sombong!" menggeretak marah Raja Ber-

gola, demi mendengar ucapan Jaka Ndableg. 

"Apakah kau belum tahu siapa aku, Anak mu-

da?!"

"Aku tahu siapa adanya kamu! Kau adalah 

Raja Iblis yang berusaha mencengkeramkan ku-

ku-kukumu di bumi, dan mengajak pada manu-

sia untuk mengabdi pada kerajaanmu. Huh, 

sungguh kau Iblis yang harus dibasmi, Bergola!"

"Huah...! Jangan kau bermimpi, Anak mu-

da!"

"Terserah kau saja! Yang pasti, kau mau 

minggat atau aku yang akan membuat kau ming-

gat dari bumi ini!" Jaka nampak tenang, mengan-

cam pada Raja Bergola yang masih memandang 

ke arahnya dengan nada jengkel. "Katakan pada-

ku, siapa yang telah menyuruhmu, Bergola!"

"Aku disuruh oleh Ki Prikadayu!"

"Nah, menyingkirlah, atau dengan terpaksa 

aku akan membuat kau minggat dari muka bumi 

ini. Hah?!"

"Sombong kau, Anak muda!" Raja Bergola 

nampak marah dan gusar, merasa Jaka telah me-

remehkannya. "Aku Raja Bergola tak akan mun


dur menghadapi manusia. Jangankan dirimu, Bo-

cah! Terimalah kematianmu. Hiat...!"

"Wuut...!" 

Jaka segera melompat mundur, hindari sa-

betan tangan Bergola yang berusaha menghantam 

tubuhnya. Bukanlah Jaka Ndableg kalau harus 

mengakui kalah dengan Iblis. Nama Jaka Ndableg 

atau Pendekar Pedang Siluman Darah sudah 

kondang, manalah mungkin dirinya harus takluk 

dengan bangsa Iblis, siluman dan segalanya. Le-

bih baik dirinya mati, daripada harus menjadi 

budak Iblis.

"Remuk tubuhmu, Bocah!"

"Tidak kena, Oom!" Jaka segera mengelak 

sambil mengejek.

"Lebur. Hiat...!"

"Wuusss...!"

Jaka tersentak manakala melihat gulungan 

asap tebal hitam keluar dari tangan Raja Bergola. 

Dengan segera Jaka hentakan tubuh, mencelat ke 

atas hingga serangan itu melesat terus ke arah bi-

lik rumah.

"Duar...!"

"Bedebah! Di mana kau, Bocah!" rungut 

Raja Bergola marah, manakala melihat Jaka telah 

hilang dari tempat tersebut.

"Aku ada di belakangmu, Bergola!"

Raja Bergola segera balikkan tubuh ke 

arah suara Jaka, namun tiba-tiba Jaka telah me-

nyambutinya dengan hantaman ajian Bledek Se-

wunya.

"Terimalah ajian Bledek Sewu. Hiat...!"


"Bletar! Bletar! Bletar!"

Ledakan-ledakan halilintar menggema ber-

saut-sautan, menghantam tubuh Raja Bergola. 

Raja Bergola seketika goyah, namun tubuhnya 

tak mengalami apa-apa. Malah kini Raja Bergola 

nampak beringas, dan dengan ganas diporak-

porandakannya rumah bilik itu. Rupanya leda-

kan-ledakan petir telah mampu membuatnya bi-

sing, sehingga Raja Bergola pun akhirnya marah.

"Gusti Allah, ternyata ajian Bledek Sewu 

tak mempan!" keluh Jaka.

"Wuut...!"

Jaka tersentak, lemparkan tubuh ke bela-

kang manakala tangan Raja Bergola kembali me-

nyerang ke arahnya.

"Jangan lari, Bocah! Nyawamu harus men-

jadi budakku!"

"Hua, ha, ha...! Enak saja kau ngomong, 

Bergola!" Jaka tertawa bergelak-gelak, berkata 

dengan penuh sinis. "Kaulah yang seharusnya 

menjadi budakku, sebab kau pantas untuk men-

gawal diriku bila aku bepergian ke mana-mana. 

Tubuhmu besar, cukup dapat diandalkan, Bergo-

la!"

"Kurang ajar!"

"Eh, rupanya kau membandel!" Jaka terus

mengeluarkan kendablegannya. "Kau membandel, 

maka jangan salahkan aku akan menghajarmu. 

Nah, terimalah ini. Tapak Bahana. Hiat...!"

Berbarengan dengan tangan Raja Bergola 

menyerangnya, segera Jaka berkelebat menghin-

dar dan langsung melayang menuju ke muka Raja


Bergola. Tangan Jaka yang telah membara, sece-

pat kilat menghantam.

"Duar...!" kembali terdengar ledakan.

"Hua, ha,ha ...! Keluarkan segala ilmu yang 

engkau miliki, Anak muda!" Raja Bergola bergelak 

sombong, merasa dirinya mampu menandingi il-

mu Jaka Ndableg. "Keluarkan semua ilmumu, 

Anak muda. Aku Raja Bergola tak akan mundur!"

"Jangan senang dulu, Bergola."

Habis berkata begitu, segera Jaka melom-

pat mundur menjauh. Jaka dengan segera duduk 

bersilah, heningkan cipta merapalkan sebuah 

ajiannya yang sangat dahsyat. Melihat hal terse-

but, Raja Bergola tertawa terpingkal-pingkal.

"Hua, ha, ha, ha...! Sedang apa kau, Anak 

muda?!"

Namun belum juga ucapan Raja Bergola 

habis, tiba-tiba tubuh Jaka telah membesar dan 

makin bertambah besar. Tubuh Jaka kini telah 

jauh melebihi besarnya Raja Bergola. Raja Bergola 

tersentak kaget seraya melompat mundur, mana-

kala melihat apa yang kini berdiri di hadapannya.

"Hua, ha, ha, ha...! Bergola, majulah kau! 

Biar aku dengan segera mematahkan tubuhnya 

dan memangsamu. Hua, ha, ha...!"

"Siapa kau, Buto?!" Raja Bergola bertanya 

dengan nada agak takut. Tubuhnya yang tadinya 

nampak besar, kini bagaikan tiada setengahnya 

tubuh Buto Dewa Wisnu.

"Raja Bergola, akulah Buto Dewa Wisnu. 

Akulah yang akan membuatmu harus menyingkir 

dari dunia ini! Hua, ha, ha, ha...!"


Raja Bergola yang merasa tak akan unggu-

lan berusaha kabur meninggalkan Buto Dewa 

Wisnu. Tetapi dengan cepat tangan Buto Dewa 

Wisnu telah mencekalnya. Dibantingnya tubuh 

Raja Bergola, sehingga terdengar bunyi bergedu-

bug. Bumi seketika bagaikan digoncang hebat, 

goyang laksana gempa.

"Modar...!"

"Tobat...!"

"Jangan kau mengeluh, Bergola!"

Kembali dengan keras dibantingnya tubuh 

Raja Bergola, sehingga kembali Raja Bergola men-

jerit. Tak hanya sampai di situ, Raja Bergola seke-

tika diinjaknya hingga amblas ke dalam bumi.

"Dinda...! Tolong aku...!" Raja Bergola me-

mekik, tubuhnya masuk amblas ke dalam tanah. 

"Nyai...! Tolong aku...!"

Dari kejauhan, tepatnya dari puncak Gu-

nung Kawi, sebuah bayangan berkelebat terbang 

menyerang Buto Dewa Wisnu. Bayangan tersebut 

tak lain Wewe adanya, istrinya Raja Bergola. Mata 

Ni Wewe nampak menyala merah, manakala me-

lihat suaminya terpendam dalam tanah.

"Kau harus mati, Raksasa!"

"Huah... ternyata kau istrinya. Hem, biar-

lah sekalian saja kalian aku kubur!" Buto Dewa 

Wisnu segera kebatkan tangannya. Maka dari ke-

batan tangan besar itu keluar angin besar, men-

deru menyerang Ni Wewe. Tak ayal lagi, tubuh Ni 

Wewe seketika oleng. Hal tersebut tidak disia-

siakan oleh Buto Dewa Wisnu, yang dengan sege-

ra tangkap Ni Wewe.


"Hua, ha, ha...! Kau akan menemani sua-

mimu di dasar tanah sana! Dan kalian tak akan 

dapat hidup bebas. Kalian telah terhimpit oleh 

Sekat Gaib! Hua, ha, ha...!"

"Tobat...! Ampunilah aku," rengek Ni Wewe.

Buto Dewa Wisnu tak perduli. Ditaruhnya 

tubuh Ni Wewe di bawah, lalu dengan kuat diin-

jaknya tubuh tersebut hingga amblas ke tanah.

"Aaan...! Anakku...! Tolong...!" terdengar se-

ruan seorang wanita bukan Ni Wewe, menyebut-

nyebut nama anaknya untuk sesaat sebelum ak-

hirnya hilang.

Jaka yang telah melihat kematian dua mu-

suhnya, dengan segera kembali melakukan tiwi-

krama. Perlahan-lahan tubuhnya mengecil, lama

kelamaan akhirnya kembali pada bentuk semula. 

Setelah dirasa tak ada yang memperhatikannya, 

segera Jaka berkelebat pergi menghilang.

Esok paginya seluruh desa geger tentang 

hilangnya juragan mereka. Beruntung ada seo-

rang yang memberitahukan bahwa juragan mere-

ka tak lain pemelihara Buto. Mereka tak ada yang 

membantah, sebab setelah dikait-kaitkan dengan 

segala kejadian ternyata benar adanya. Apalagi 

setelah orang tersebut menceritakan bahwa yang 

menginjak dua orang juragan mereka tak lain Ja-

ka Ndableg, semuanya pun seketika percaya. 

"Bukankah Jaka seorang Pendekar pembela ke-

benaran?" begitulah pertanyaan hati mereka, 

yang menjadikan mereka harus percaya bahwa 

juragan mereka memang seorang pengipri Buto. 

Dengan berbondong-bondong, mereka pun berda


tangan ke rumah juragan mereka. Bagaikan orang 

baru terjaga dari mimpi, mereka mengamuk seja-

di-jadinya. Maka dalam sekejap saja rumah Pri-

kadayu hancur berantakan, diamuk oleh seluruh 

warga desa yang tak lagi mampu membendung 

amarahnya.

***


EMPAT



"Aku akan mencari Pendekar Pedang Silu-

man Darah, Guru," Sugangga berkata dengan 

emosinya yang meluap-luap. Dendamnya pada 

Jaka Ndableg, berkobar-kobar laksana api. Den-

dam seorang anak yang ingin menunjukkan bak-

tinya pada kedua orang tuanya, yang telah mati di 

tangan seorang pendekar pembela kebenaran dan 

keadilan yang tak lain Pendekar Pedang Siluman 

Darah.

"Dia telah membunuh kedua orang tuaku."

"Aku tahu. Namun kau, apakah telah tahu 

asal mulanya?" tanya sang guru, nadanya seakan 

tidak menyetujui akan apa rencana muridnya. Ia 

tahu benar siapa adanya Jaka Ndableg. Dan ia 

tahu benar apa yang sebenarnya telah terjadi pa-

da kedua orang tua muridnya.

"Sudah, Guru," Sugangga nampak men-

dengus penuh amarah, yang menjadikan sang 

guru hanya mampu mendesah panjang. Sebenar-

nya sang guru tidak menghendaki murid satu


satunya itu harus bermusuhan dengan Jaka 

Ndableg, namun nampaknya suratan menghen-

daki lain. Muridnya adalah anak sepasang tokoh 

aliran sesat. Ayahnya bernama Prikadayu, se-

dangkan ibunya yang juga sealiran dengan sua-

minya bernama Dripadini.

"Tapi kedua orang tuamu yang salah dalam 

hal ini. Bagaimana, Gangga?"

"Memang kedua orang tuaku yang salah," 

Sugangga hela napas.

"Nah, mengapa engkau mesti memperun-

cingnya?"

"Sebagai seorang anak yang berbakti, ten-

tunya aku harus membela kedua orang tuaku," 

Sugangga berkata masih dengan emosi yang me-

luap-luap.

"Walau itu tindakan yang salah?"

"Ya!"

"Ooh...." sang guru mendesah panjang, ge-

lengkan kepalanya seakan hendak membuang be-

ban berat. "Sungguh kau tidak memikirkan aki-

batnya, Gangga."

"Aku sudah memikirkannya, Guru," Su-

gangga ketus berkata. "Aku sudah memper-

siapkan segala resikonya yang bakal aku hadapi."

"He, kau memang pemberani, tetapi kebe-

ranianmu tidak pada tempatnya," sang guru 

menggumam. "Seharusnya kau bersyukur ayah 

dan ibumu dapat mati dengan sempurna. Kalau 

tanpa bantuan Pendekar Pedang Siluman Darah, 

tentunya kedua orang tuamu akan menjadi ham-

ba setan untuk selamanya."


"Guru membela dia?"

Sang guru kembali menarik napas panjang. 

Ucapan muridnya seakan menusuk tajam, meng-

hunjam di lubuk hatinya. Kini ia berdiri dalam 

posisi yang salah, padahal ia memperingati mu-

ridnya karena ia tak ingin muridnya menjadi kor-

ban Pendekar Pedang Siluman Darah selanjutnya. 

Cukuplah dengan adik seperguruannya saja yang 

jadi korbannya. Sebenarnya ia pun mendendam 

pada pendekar tersebut, namun bila dirasa, den-

dam tak akan pernah habis-habisnya, bahkan 

dendam akan selalu bertumpah darah. Bila ingat 

dan sadar akan hal itu, maka ia pun segera men-

guburkannya dalam-dalam. Kini ia kembali diin-

gatkan pada masalah adik seperguruannya, yang 

mati di tangan pendekar tersebut. Tetapi seperti 

kedua orang tua muridnya, adiknya pun merupa-

kan tokoh aliran sesat. Ya, Datuk Raja Beracun 

adalah orang sesat, maka sewajarnyalah kalau 

pendekar tersebut menumpasnya. Sebenarnya 

bukannya dia takut terhadap pendekar muda itu, 

tapi percuma saja. Bukan kemenangan yang akan 

diperolehnya, bahkan kematian tragis dengan da-

rah terhisap habis oleh Pedang Siluman Darah. 

Jangankan manusia macamnya, para iblis dan si-

luman pun akan keder bila harus meng-hadapi 

Pendekar Jaka Ndableg bila telah memegang sen-

jatanya.

"Aku bukan membelanya, Gangga," sang 

guru akhirnya berkata dengan nada lemah. Ia sa-

dar, bahwa muridnya bukanlah seorang anak-

anak lagi. Muridnya kini telah dewasa, yang ber


hak menentukan perjalanan hidupnya. Tapi bila 

sang murid harus menghadapi bencana, apakah 

ia harus diam diri begitu saja? Guru macam apa-

kah ia? "Aku hanya ingin mengingatkan padamu 

siapa dan apa sebenarnya Jaka Ndableg tersebut."

Sugangga terdiam mendengar ucapan gu-

runya, seakan ucapan sang guru menyentakkan 

dirinya untuk kembali berpikir. Memang kalau 

dipikir secara benar-benar, kedua orang tuanya 

yang salah dalam hal ini. Kedua orang tuanyalah 

yang telah menjadikan Pendekar Pedang Siluman 

Darah melakukan tindakan tersebut, sebab bila 

tidak maka bencanalah yang akan diterima ma-

nusia. Kedua orang tuanya telah bersekutu den-

gan iblis yang mampu memberikan kehidupan 

yang serba mencukupi atau dengan kata lain ke-

dua orang tuanya telah Nyupang Buto Ijo. Sebuah 

persekutuan dengan iblis yang saling keterkaitan. 

Kedua orang tuanya harus selalu menyediakan 

korban yang disebut wadal untuk sang Buto. Se-

mentara kedua orang tuanya pun men-dapatkan 

timbal balik, yaitu harta kekayaan yang datang 

sendiri bila telah memberikan wadal tersebut. Bila 

hal itu berjalan terus menerus, kekayaan orang 

tuanya makin menumpuk, sementara manusia 

akan makin berkurang saja karena habis untuk 

wadal. Dan sebenarnya bila Sugangga berpikir 

jauh, bukankah adiknya juga telah dijadikan 

wadal pertama? Wadal untuk menentukan kuat 

tidaknya kedua orang tuanya menghadapi tan-

tangan. Wadal untuk menjadikan kedua orang 

tuanya tak akan hiraukan pekik kematian tetang


ganya, atau anaknya yang menjerit-jerit manakala 

dijadikan mangsa sang Buto. Bila mengingat itu 

semua, seketika Gangga menangis. Menangis me-

ratapi kesesatan yang dilakukan oleh kedua orang 

tuanya.

"Tapi mereka melakukan juga karena aku," 

gumam Sugangga dalam hati. "Ya, karena akulah 

kedua orang tuaku harus menyelimpang dari 

keadaan sebenarnya. Aku memang yang mengin-

ginkan kedua orang tuaku kaya. Aku malu, bila 

mendengar segala cemooh dari tetangga yang ti-

dak menginginkan aku main dengan anak-

anaknya karena aku miskin. Oh...!"

"Sepertinya engkau mengenang sesuatu, 

Gangga?" sang guru yang melihat perubahan di 

wajah muridnya bertanya. "Apa yang tengah eng-

kau pikirkan?"

Sugangga tersentak kaget, sehingga dengan 

secara tidak sengaja matanya memandang ke raut 

tua di hadapannya. Raut tua yang sepertinya 

mengandung ribuan goresan perjalanan hidup, 

baik yang senang maupun yang susah. Seraut 

wajah gurunya, yang terselubung dengan kemis-

terian. Ya! Sampai sekarang pun Sugangga belum 

mengenal siapa adanya gurunya. Nama sang 

guru, seakan tiada melekat. Aneh memang. Sela-

ma lima belas tahun ia berguru pada lelaki tua 

renta berambut serba putih itu, ia tidak pernah 

sekalipun mengetahui siapa adanya sang guru. 

Sepertinya sang guru menyembunyikan dirinya, 

atau ada rasa takut menyelimuti diri gurunya. 

Kalau memang ada rasa takut, pada siapakah gu


runya takut? Sugangga tahu bahwa gurunya be-

rilmu tinggi, mengapa mesti takut pada musuh?

"Guru, apakah aku bersalah bila membela 

orang tuaku?" akhirnya Sugangga bertanya. 

"Apakah aku salah bila mendendam pada orang 

yang telah membinasakan kedua orang tuaku. 

Bukankah sebagai seorang anak ia harus membe-

la nama baik kedua orang tuanya? Walau aku ta-

hu, bahwasanya kedua orang tuaku memang te-

lah berlaku jahat, tetapi semua itu demi untukku. 

Bahkan adikku pun dijadikan wadal, manakala 

pertama kali kedua orang tuaku melakukan per-

sekutuan dengan Buto Ijo tersebut. Akulah yang 

memintanya, sebab aku sudah tak tahan mene-

rima hinaan dari teman-temanku."

Sang guru kembali tercenung diam. Ha-

tinya seketika menjerit, demi mendengar penutu-

ran muridnya. Betapa ia telah mengangkat seo-

rang manusia jahat menjadi muridnya. Manusia 

yang tega menjerumuskan kedua orang tuanya 

untuk melangkah di jalan kesesatan. Manusia 

egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri, 

walau saudaranya harus menjadi korban. 

"Ooh...." sang guru mengeluh, keluh dalam hati. 

Tak disadari, air matanya meleleh deras memba-

sahi pipinya. Segala ingatannya pada adik seper-

guruannya yaitu Datuk Raja Beracun kembali 

tumbuh, menguak kalbu tuanya yang sudah ra-

puh untuk mengenang segala kejadian demi keja-

dian. Kini kenangan harus terulang. Apakah 

mungkin muridnya juga seperti adik sepergu-

ruannya, yang menyimpang dari ajaran Tuhan


yang karena mendendam dan merasa harga di-

rinya terinjak-injak? Dan apakah sang murid 

hanya akan menjalankan niatnya demi ambisi se-

perti Datuk Raja Beracun?

"Memang kau bersalah. Tetapi kesalahan-

mu ada pada segala tindakanmu yang hanya me-

nuruti hawa nafsu setan belaka." ucap sang guru 

tandas. "Coba kalau engkau tidak merengek-

rengek agar kedua orang tuamu kaya, tentunya 

keadaan tidak serunyam begini. Tapi nasi sudah 

menjadi bubur, maka segalanya kembali aku pa-

srahkan padamu juga. Kaulah yang berhak me-

nentukannya, sebab bila aku melarangmu, paling 

tidak kau akan mengecapku sebagai seorang guru 

yang tidak mengerti. Tetapi bila aku membela dan 

mendorong dirimu, tentu aku juga salah besar."

Sugangga memaku hening, tiada dapat 

berkata apa-apa. Harapannya agar sang guru 

mau membelanya dan membantunya menghadapi 

Jaka Ndableg, seketika pupus sudah. Tapi ia tak 

mau putus asa. Ia akan mencoba, mencoba 

menghadapi Jaka Ndableg. "Ah, apakah mungkin 

guru akan membiarkan diriku sendiri?" gumam 

hati Gangga meragu. "Tidak! Guru tentunya akan 

menolongku."

"Apakah guru mengijinkan aku menca-

rinya?"

"Maksudmu, Gangga?" tanya sang guru be-

lum mengerti.

"Apakah guru mengijinkan aku menuntut 

balas pada Jaka Ndableg? Dan apakah guru akan 

sudi membantuku?"


Sang guru untuk sekian kalinya menarik 

napas panjang. Berat rasanya untuk menjawab 

pertanyaan sang murid. Dirinya serba terjepit. Ke 

mana ia melangkah, jelas akan mendapatkan ke-

salahan. Membela muridnya, jelas dan pasti ia 

akan menghadapi kesalahan besar yang buntut-

nya pasti harus berhadapan dengan Pendekar Ja-

ka Ndableg. Bila diam saja, apa artinya seorang 

guru yang membiarkan muridnya harus mengha-

dapi segala masalah hidupnya sendiri.

"Bagaimana, Guru?" Sugangga mendesak.

"Apakah tidak ada jalan lain, Gangga?" „

"Tidak ada."

"Hem...." sang guru mendengus. "Rupanya 

kau hanya berpikir pada satu jalan, Muridku. Aku 

kira, ada jalan lain agar kita tidak harus bentrok 

dengannya."

"Yang guru maksudkan, kita damai?" Su-

gangga menerka.

"Ya!" jawab sang guru.

"Ah...!"

"Kenapa, Gangga?"

"Tidak! Aku tidak mau!"

"Lalu apa yang kau mau, Gangga?!"

"Kematian! Dia atau aku yang harus mati," 

Sugangga menyeringai, sepertinya tengah membe-

rikan tanda pada gurunya bahwa dia telah siap 

segala-galanya. "Bagaimana, Guru?"

"Ah...."

"Rupanya guru takut menghadapinya," 

sindir Sugangga dengan nada sinis. "Hem, tidak 

aku sangka kalau guruku sepengecut ini."


"Gangga! Lancang kau bicara!" sang guru 

membentak marah.

Sugangga hanya cibirkan bibirnya, seakan 

ia memang benar-benar ingin mengejek kenya-

taan gurunya yang penakut. Sugangga benar-

benar tidak menyangka kalau gurunya sepenge-

cut itu.

Gurunya yang telah dianggapnya orang 

paling sakti, ternyata takut menghadapi Jaka 

Ndableg.

"Aku bicara benar, Guru! Kalau memang 

guru tidak mau dianggap pengecut, tentunya 

guru mau membantuku."

"Bukankah aku selama lima belas tahun 

telah membantumu?"

"Mendidik maksudmu?" Sugangga kembali 

mencibir.

"Ya...!"

"Itu sudah sebuah kewajiban. Kewajiban 

sebagai seorang guru yang harus mendidik mu-

ridnya!" Sugangga nampak ngotot bicara, seakan 

ia sudah tak memperdulikan siapa dia dan siapa 

orang yang berada di hadapannya yang kini ten-

gah diajak ngomong. "Dan bukankah kau telah 

dibayar untuk itu?"

Tersentak kaget sang guru mendengar 

ucapan muridnya yang telah membuka segalanya. 

Hatinya kini terbakar emosi, emosi yang sengaja 

dinyalakan oleh Sugangga muridnya. Mata sang 

guru memandang tajam pada Sugangga, seper-

tinya hendak menelan bulat-bulat tubuh sang 

murid. Napasnya mendesah berat, sesak mengge


ledak di dadanya. Sebagai seorang guru, jelas ia 

tidak mau menerima hinaan seperti itu oleh mu-

ridnya.

"Bagaimana? Apakah engkau masih me-

mungkiri?" Gangga masih menyibir sinis.

Makin terasa menyesak saja dada sang 

guru mendengar ucapan Sugangga. Memang ia 

dibayar dengan mahal untuk mendidik Sugangga, 

tetapi itu pun atas kemauan orang tua Sugangga, 

bukan kemauan dirinya sendiri. Kalau Sugangga 

telah membuatnya harus marah, jelas karena Su-

gangga telah mengungkit-ungkit apa yang telah 

diterima-nya dengan pengorbanannya. Pengorba-

nan untuk mendidik Sugangga menjadi seorang 

pemuda yang memiliki ilmu tinggi.

"Murid celaka! Kau rupanya tak ubahnya 

seperti Iblis!"

"Kaulah yang tidak tahu balas budi!" Su-

gangga tak mau mengalah dengan gurunya. "Kau 

telah mendapatkan segalanya dari kedua orang 

tuaku, namun ternyata kau tidak mau mengerti."

"Sekali lagi kau ngomong begitu, maka aku 

akan menghajarmu, Gangga!" sang guru mengan-

cam, hatinya telah begitu marah mendengar se-

mua ucapan muridnya yang dirasa sangat men-

jengkelkan.

"Kalau engkau mau menghajarku, laku-

kanlah bila engkau berani!" Sugangga menantang.

"Iblis!"

"Hem, kau tak berani bukan?" sinis Su-

gangga berkata, melihat gurunya yang sudah 

mengangkat tangan urung menghajarnya.


"Kau telah menantangku, Gangga!"

"Huh, kaulah yang mendahului!"

Sang guru makin tak dapat menahan ama-

rahnya. Napasnya makin memburu saja, sewot 

dan kesal melanda hatinya. Mata tuanya kini 

nampak menyala merah, seakan mata itu hendak 

menghunjam dalam, sedalam kalbu Sugangga.

"Minggat kau dari sini!" Kini sang guru be-

nar-benar tak dapat menahan amarahnya. "Ming-

gat...!" sang guru menyerukan suaranya demi me-

lihat Sugangga masih tersenyum sambil cibirkan 

bibirnya.

Kedua murid dan guru kini telah sama-

sama berdiri, sama-sama menggambarkan wajah 

ketegangan. Mata keduanya tajam, seakan tak 

seorang pun yang mau mengalah untuk menyu-

dahi segala perselisihan. Sugangga yang merasa 

dirinya telah mampu dan menjadi seorang pende-

kar, kini seperti merendahkan gurunya yang telah 

selama lima belas tahun membimbing dan mendi-

diknya.

"Kau yang harus minggat!" balik memben-

tak Sugangga.

"Apa hakmu, Anak Iblis!"

"Hua, ha, ha...! Bukankah padepokan ini 

kedua orang tuaku yang mendirikan? Dan bu-

kankah engkau datang dari Andalas tanpa mem-

bawa selembar bekal pun!" Sugangga benar-benar 

sudah dirasuki Iblis. "Kalau engkau tidak minggat 

secepatnya, maka jangan salahkan aku menu-

runkan tangan jahatku!"

Gusar dan marahnya sang guru mendengar


ucapan muridnya yang telah dirasa kurang ajar. 

Ia sebagai seorang guru, apalagi sebagai orang 

tua jelas tidak mau diperlakukan begitu rupa, 

yang dirasakan telah menginjak-injak kehorma-

tannya sekaligus harga dirinya

"Kalau aku tak mau, kau mau apa, Murid 

durhaka!"

Sugangga tersenyum sinis, lalu dengan 

membalikkan tubuh ia berkata: "Kematian un-

tukmu, Tua bangka rewel!"

Tersentak sang guru, manakala Sugangga 

mencabut pedang yang tergantung di dinding pa-

depokan. Pedang Dewa Naga milik sang guru yang 

merupakan pedang pusaka itu, kini tengah diti-

mang-timang di atas tangan Sugangga.

"Kau...!"

"Ya! Kau boleh milih, menurut dengan aku, 

atau selembar nyawamu harus melayang dari tu-

buh tuamu yang telah bau tanah!"

Sang guru melompat mundur, ketika Pe-

dang Pusaka Dewa Naga diacungkan ke arahnya. 

Matanya nampak membeliak, sepertinya mata tua 

tersebut menyiratkan rasa takut yang teramat 

sangat. Bayang-bayang kematian akibat Pedang 

Dewa kembali menggambar di pelupuk matanya. 

Pedang Dewa itu, kalau sudah keluar dari sarung-

nya, mau tidak mau harus mengambil nyawa. 

Sang guru terus menyurut mundur, di telinganya 

terdengar seruan seseorang yang jelas-jelas ia 

kenal. Suara itu seperti mengejeknya, suara itu 

adalah suara Daeng Susukan, seorang Daeng ali-

ran lurus yang dibunuhnya manakala dirinya ma


sih dalam kesesatan.

"Dato Pramunu, bukankah pembalasan itu 

akhirnya datang juga? Beruntung kini engkau te-

lah lurus, kalau tidak. Pastilah engkau akan men-

jadi orang celaka di alam sana. Alam di mana kini 

aku pun berada. Terimalah segalanya, Dato. Se-

bab memang segalanya berjalan dengan semes-

tinya, sebagaimana aku menerima kematianku di 

ujung Pedang Dewa Naga milikmu."

Dato Pramunu nampak masih ketakutan, 

mundur setapak demi setapak menjauhi pedang 

tersebut. Dan manakala ia hampir sampai di pin-

tu, dengan segara Dato Pramunu melompatkan 

diri berlari ke luar.

Namun ternyata Sugangga tak mau mem-

biarkannya begitu saja. Maka Sugangga pun sege-

ra melompat mengejar. Kejar mengejar antara 

guru dan murid pun terjadi, meninggalkan pade-

pokan.

"Mau lari ke mana, kau!" Sugangga dengan 

pedang Dewa Naga di tangannya terus mengejar. 

"Ke mana pun engkau lari, aku akan terus mem-

burumu!"

Dato Pramunu terus saja berlari tanpa hi-

raukan ucapan Sugangga. Karena ia tak melihat 

ke depan, maka manakala sebuah batu besar ada 

di depannya, tanpa dapat dicegah menyandung 

kakinya yang tengah berlari. Saat itu juga, tubuh 

tua renta milik Dato Pramunu jatuh.

"Gedebug...!"'

"Hua, ha, ha...! Kini kematian sudah di 

ambang pintu, Tua bangka!" Sugangga tertawa..


bergelak. Pedang pusaka Dewa Naga menggan-

tung di kedua tangannya, siap menghunjam pada 

tubuh Dato Pramunu. Namun pedang itu terus 

menggantung, seakan ada sesuatu kebimbangan 

di hati Sugangga.

"Jangan lakukan itu, Gangga. Kau berdosa 

bila melakukannya, sebab dia adalah gurumu," 

sebuah suara berkata melarang Sugangga agar 

jangan melakukan pembunuhan pada gurunya. 

"Ingat, Gangga, segala tindakan pasti ada bala-

sannya."

"Bodoh! Bila engkau tidak melakukannya, 

pastilah niatmu akan selalu dihalanginya. Dia 

manusia tiada guna bagimu. Dia hanya akan me-

repotkanmu saja. Bunuh dia... bunuh, Gangga!" 

suara lain menggema menyeretnya. Dan...!

"Wuuut...!"

Desingan pedang terseret tangan mengge-

ma, menjadikan Dato Pramunu palingkan muka 

menghadap. Seketika matanya mendelik, mana-

kala pedang tersebut deras menghunjam ke 

punggungnya.

"Aaah...!" memekik seketika Dato Pramunu. 

"Kau... kau... kau tak... lebihnya Iblis! Kau... nan-

ti... pun... mati oleh... pe... dang... ini...." terkulai 

lemas tubuh Dato Pramunu, mati seketika.

Tersentak Sugangga manakala sadar, seke-

tika itu pula ia menjerit: "Guru...! Guru...! Ampu-

nilah aku, Guru. Ampunilah aku...!"

Dicabutnya pedang pusaka Dewa Naga, la-

lu dengan terisak Sugangga menangisi tubuh gu-

runya yang telah kaku. Tengah ia menangis,


sayup-sayup terdengar suara gurunya yang diba-

rengi munculnya asma sang guru berkata kemba-

li.

"Gangga, aku telah bebas dari segala ikatan 

kehidupan. Tapi ternyata semuanya berlaku ha-

rus sebagaimana suratan yang telah tergaris. Du-

lu aku pun telah membunuh seorang Daeng den-

gan pedang tersebut yang ada di tanganmu, dan 

aku telah menerimanya. Kelak bila kau memang 

menghadapi Pendekar Pedang Siluman Darah, 

mukamu akan rusak oleh hantaman ajiannya 

yang bernama Petir Sewu. Ingat itu, Gangga! Mu-

kamu akan rusak oleh ajian miliknya, tetapi kau 

tak akan mati. Kau akan mati bila engkau telah 

bertemu dengan Pendekar Pedang Siluman Darah 

untuk yang kedua kalinya. Walau mukamu rusak 

dan mengeluarkan darah, sehingga engkau akan 

malu, tapi kau tak akan mati. Darah itu tak akan 

kering, selalu menetes...! Ingat! Aku menunggumu 

untuk saling mengadakan perhitungan denganmu 

di alam kelanggengan!"

"Guru...!" Sugangga memekik, namun 

bayangan gurunya yaitu Dato Pramunu telah le-

nyap menghilang. "Tidak...! Aku tidak mau mene-

rimanya, aku tidak mau...!"

Bagaikan orang gila, Sugangga berlari den-

gan tangan menggenggam pedang Pusaka Naga 

Dewa. Sugangga seperti terpukul mendengar ku-

tukan gurunya yang telah mati. Ia menjerit, dan 

terus berlari mencoba melupakannya. Namun 

sungguh malang, sebab semakin Sugangga beru-

saha melupakan, semakin deras saja kutukan itu


berbicara.

***


LIMA



"Hiat...!" 

"Hiat...!"

Dari balik bebatuan yang mengitari jalan di 

mana saat itu Jaka Ndableg berjalan, melompat 

beberapa orang menghadang langkahnya. Wajah 

orang-orang tersebut rapat tertutup oleh topeng, 

dan hanya matanya saja yang nampak.

Jaka sapukan mata, memandang satu per-

satu ke arah mereka. Setelah memandang orang-

orang yang menghadangnya, Jaka pun tampak 

sunggingkan senyum. Perlahan kakinya digeser 

ke belakang, sedangkan tangan kanannya telah 

terkepal siap untuk menghadapi apa yang bakal 

terjadi. Jaka maklum. Sebaik apa pun dirinya, 

tentulah banyak pula orang yang tidak suka.

"Kaukah yang bernama Jaka Ndableg?" 

terdengar seorang berkedok hitam menanya.

"Ya! Memang akulah orangnya," jawab Jaka 

masih berusaha tenang. Perlahan kakinya terus 

bergeser ke belakang, menjadikan orang-orang 

tersebut mengikuti langkahnya. "Siapa kalian se-

mua!"

"Kami...?" orang berkedok hitam kembali 

angkat bicara. "Kami adalah orang-orang yang di-

utus oleh seseorang untuk menghadangmu agar


jangan sampai engkau menemukan di mana 

adanya Wujud Raga berada."

"Hem, kalau begitu kalian tentunya anak 

buah Wujud Raga?!"

"Tepat dugaanmu, Jaka."

"Aku tak memerlukan kalian, tetapi yang 

aku perlukan adalah ketua kalian."

"Sama saja," yang angkat bicara kedok me-

rah. "Ketua kami telah menyuruh kami untuk 

menangkapmu, hidup atau mati."

"Begitu?" tanya Jaka sinis.

"Ya!" jawab kedok merah. "Apakah kau te-

lah siap?"

"Wuah! Lagakmu seperti seorang pendekar 

saja. Seharusnya akulah yang bertanya, apakah 

kalian telah mampu untuk melakukan penangka-

pan terhadap diriku? Aku yakin, kalian akan me-

rasakan bagaimana sulitnya bila kalian harus 

menangkap kodok bangkong dengan mata tertu-

tup sebelah."

"Sombong kau, Anak muda!" bentak Kedok 

Hitam.

"Aku tidak sombong, dan tidak ingin men-

gaku-aku sombong. Aku hanya berkata apa 

adanya." Jaka berkilah menggoda, menjadikan 

kesepuluh orang berkedok warna warni sesuai 

dengan pakaian mereka nampak menggeretak pe-

nuh kemarahan.

"Jangan menyesal nantinya, Jaka!" kembali 

Kedok Hitam membentak. "Lebih baik kau menye-

rah saja, biar kami tidak kelewat telengas menu-

runkan tangan padamu, Jaka."


"Heh, apakah kalian mengira diri kalian 

seorang raja, yang segala aturannya harus aku 

turuti?" Jaka menyibir. "Aku sekali lagi katakan, 

aku tak memerlukan kalian, tetapi aku memerlu-

kan ketua kalian! Suruh dia keluar!"

"Ketua kami tidak ada!"

"Wah! Kalian ternyata pengikut setia Wujud 

Raga! Sayang!" Jaka berkata bagaikan tak menga-

rah pada mereka. Ucapannya seperti tak menen-

tu, menyimpang dari hal sebenarnya yang tengah 

mereka hadapi. "Sayang! Mengapa kesetiaan ka-

lian bukan pada tempatnya?"

"Bedebah! Kami tidak butuh kotbahmu, 

Jaka!" Kedok Hitam membentak marah. "Seka-

rang kau mau menuruti kami, atau terpaksa kami 

melakukan kekerasan."

Jaka terdiam, sepertinya tengah berpikir 

sesuatu. Matanya masih memandang tajam pada 

kesepuluh orang berkedok yang kini berdiri 

menghadangnya. Sekali kakinya bergeser, sekali 

itu tampak goresan bekas kakinya. Semua orang 

berkedok itu seketika tersentak, manakala meli-

hat goresan kaki Jaka. Ternyata goresan kaki itu 

bukan goresan kaki selayaknya, tetapi goresan 

yang menjadikan sebuah tulisan.

"Kalian pergilah, jangan sampai kalian 

menjadi korban orang yang kini mengintai! Kalian 

tahu, bahwa orang tersebut mengintai kalian di 

atas sana!" begitulah bunyi tulisan yang digores 

oleh kaki Jaka.

Mata kesepuluh orang berkedok seketika 

melotot kaget, manakala melihat tulisan itu. Mata


mereka kemudian beralih memandang pada Jaka, 

sepertinya hendak meminta kepastian bahwa Ja-

ka menulis hal tersebut bukanlah untuk bercan-

da.

Jaka terus menyurut mundur. Kakinya 

kembali menggores pasir hingga menjadi tulisan 

kembali. "Kalian lihatlah ke atas sana, pasti ka-

lian akan melihat seorang lelaki dengan mata be-

ringas penuh dendam memandang ke mari."

"Kau jangan bercanda, Jaka?!" Kedok Hi-

tam nampak tak puas dengan segala apa yang di-

lakukan oleh Jaka. "Kalau ternyata kau telah me-

nipuku, jangan harap kau akan dapat lolos!"

Jaka nampak tersenyum, hatinya seketika 

berkata: "Hem, sebenarnya aku tidak memerlukan 

mereka. Aku tahu, mereka sebenarnya hanyalah 

utusan belaka. Hem, biarlah aku pergi."

Dan manakala kesepuluh orang yang 

menghadangnya menengadahkan muka meman-

dang ke arah di mana tertulis oleh Jaka, secepat 

kilat Jaka berkelebat laksana terbang.

"Tak ada…!" rungut Kedok Merah.

"Mana dia...?!" Kedok Hitam seketika ter-

sentak, demi melihat Jaka sudah tak ada di situ. 

"Heh, apakah kalian tidak mengetahui ke mana ia 

pergi?"

"Aneh! Baru sekejap saja kita lengah, ma-

sak dengan cepat dia bisa berlari?" Kedok Biru 

melenguh. Ia sangat takjub mendapatkan kenya-

taan itu. "Hem, sungguh bukan pendekar semba-

rangan. Kalau dia mau, dia akan mudah menja-

tuhkan kami," gumam Kedok Biru dalam hati.


"Cari dia...!" Kedok Hitam selaku ketuanya 

berseru memerintah. Namun belum juga kesembi-

lan anak buahnya pergi, terdengar suara Jaka 

tergelak tawa.

"Hua, ha, ha...! Bukankah itu suatu bukti 

bahwa kalian tak mampu menangkapku? Bukan-

kah kalian ibarat menangkap kodok bangkong 

yang sudah ada di depan kalian, eh kalian meme-

jamkan mata. Nah, karena aku tak ada waktu un-

tuk mengurusi kalian, maka untuk kali ini aku 

pergi dulu. Kalau kalian memang penasaran, ka-

lian boleh mencariku...!"

"Jaka, jangan kau lari!" Kedok Hitam berse-

ru. "Mana buktimu sebagai seorang pendekar 

yang kesohor namanya? Mana...?!"

Tak ada jawaban, yang ada hanya hembu-

san angin gunung menerpa suara mereka yang

seketika itu lenyap.

* * *

Jaka terus berlari meninggalkan gunung 

Bromo, di mana kesepuluh orang berkedok baru 

saja menghadangnya. Langkahnya begitu cepat, 

sehingga Jaka kini melesat bagaikan terbang. Ja-

ka yang telah memburu waktu agar dapat segera 

menemukan markas Karang Segara tampak ba-

gaikan tak menghiraukan segalanya.

"Aku harus cepat menemukan markas me-

reka!" Jaka menggeretak dalam hati. "Kalau tidak, 

tentunya mereka akan makin menjadi-jadi tinda-

kannya."


Tengah Jaka berlari dengan cepatnya hing-

ga tak hiraukan sekeliling, tiba-tiba seseorang 

tampak berjalan dengan tenangnya setujuan den-

gan Jaka. Jaka tak perduli, malah kini makin di-

percepatnya langkah kakinya.

"Maaf, aku terpaksa," sapa Jaka manakala 

melintasi orang tersebut.

"Hei, siapa kau?!" orang yang tersentak ka-

get karena Jaka nyelonong begitu saja bertanya 

seraya kelitkan tubuh menghindari tabrakan den-

gan Jaka. "Siapakah engkau adanya?"

Melihat Jaka tak menjawab, segera orang 

tersebut yang tidak lain Sugangga adanya tak 

mau tinggal diam. Dengan berlari mengandalkan 

ilmu meringankan tubuhnya, Sugangga berusaha 

mengejar orang yang berlari.

"Berhenti! Berhenti kau!" Sugangga berte-

riak-teriak.

Merasa ada seseorang yang berseru me-

manggilnya, Jaka lambatkan larinya. Tak lama 

kemudian, Sugangga yang mengejarnya mampu 

menyusul.

"Ada apakah Ki Sanak berteriak-teriak?" 

tanya Jaka masih memalingkan mukanya ke tu-

juan semula. "Apakah Ki Sanak memanggil diri-

ku?"

Sugangga yang belum tahu bagaimana 

adanya rupa Jaka Ndableg, nampak senyum-

senyum. Kakinya melangkah, berputar dan 

menghadang tubuh Jaka.

"Ki Sanak, larimu begitu cepat. Aku jadi 

kagum dengan ilmu lari yang engkau miliki," Su


gangga memuji, menjadikan Jaka Ndableg geleng-

kan kepala sembari tersenyum. "Kalau boleh aku 

bertanya? Dapatkah Ki Sanak menunjukkan di 

mana aku dapat menemui Jaka Ndableg?"

Jaka tak segera menjawab, matanya me-

mandang penuh selidik pada Sugangga. Bibir Ja-

ka seketika terurai senyum, sepertinya ada sesua-

tu di balik uraian senyum tersebut.

"Siapakah adanya engkau, Ki Sanak? Dan 

ada keperluan apakah engkau hendak mencari 

pendekar muda itu?" Jaka bertanya, sepertinya ia 

tak mengenali diri. Hal itu menjadikan Sugangga 

yang memang belum tahu persis wajah Jaka, se-

ketika itu kembali berkata menerangkan.

"Aku Sugangga. Aku mencari Jaka- Ndab-

leg karena ia telah membunuh kedua orang tua-

ku."

"Siapakah kedua orang tuamu, Ki Sanak?" 

Jaka kembali bertanya, menjadikan Sugangga ke-

rutkan kening ditanya begitu rupa oleh Jaka.

"Siapa engkau sebenarnya?" tanya Sugang-

ga, kaget mendengar pertanyaan Jaka yang me-

nanyakan nama orang tuanya. "Apakah engkau 

yang bernama Jaka?"

Jaka Ndableg sudah dapat membaca gela-

gat. Kini ia tahu siapa adanya Sugangga setelah 

sekian lama ia tercenung mengingat-ingat keja-

dian-kejadian yang telah ia alami. "Hem, tak sa-

lah. Pemuda ini mungkin anaknya orang India 

itu. Ya, wajahnya mirip orang keturunan India 

yang aku kubur hidup-hidup saat menjadi Buto 

Ijo," gumam Jaka dalam hati. Matanya terus me


mandang tajam dengan penuh kepastian meman-

dang ke arah Sugangga.

"Kalau kau memang orang yang aku cari, 

sungguh kebetulan."

Jaka masih tersenyum tenang, lalu dengan 

suara pelan ia pun berkata. "Apa yang sebenarnya 

menjadi tujuanmu mencariku, Ki Sanak?"

"Jadi kaukah yang bernama Jaka Ndab-

leg?"

"Ya! Itu namaku."

"Kalau begitu kau harus mampus. Hiat...!"

Tersentak Jaka seketika, manakala dengan 

cepat Sugangga tanpa menerangkan duduk per-

soalannya langsung menyerangnya. Jaka segera 

melompat mundur, berkelit dengan tubuh ber-

jumpalitan. Dan dengan berusaha menangkis se-

rangan yang dilancarkan Sugangga, Jaka terus 

berusaha menyadarkan musuhnya. "Ki Sanak, 

apa kesalahan yang pernah aku alami hingga 

engkau begitu bernafsu menghendaki nyawaku?"

"Bangsat! Masih kau ingin mungkir!" Su-

gangga menggeretak marah. Dan dengan mengge-

ram, kembali Sugangga hantamkan tangannya 

menyerang dengan jurus Pusaran Air Toba.

"Wuut! Wuuut! Wuuut!"

"Eit! Sungguh bahaya seranganmu, Ki Sa-

nak! Apakah tidak sebaiknya engkau lakukan la-

tihan lagi di Danau Toba?" Jaka berseloroh den-

gan terus berusaha menangkis pukulan Pusaran 

Air Toba yang dilancarkan Sugangga. "Kurang ce-

pat menggerakannya, Ki Sanak. Jurus Pusaran 

Air Toba, harus dilakukan dengan ketenangan ba


tin. Kalau engkau melakukannya setengah-

setengah, niscaya engkau sendiri yang akan cela-

ka."

"Monyet! Jangan banyak bacot!" bentak 

Sugangga marah, ia merasa jurusnya telah dipa-

hami benar oleh Jaka. Hatinya ragu untuk terus 

menyerang, bertanya-tanya tak mengerti, "Dari 

mana ia tahu nama jurusku?"

"Kau rupanya kaget, Sugangga. Wah, sung-

guh kau telah ketinggalan jaman. Jurus Tahi Ko-

tok engkau masih gunakan. Bukankah engkau 

pelajari dari Dato Pramunu, kakak Datuk Raja 

Beracun?"

Makin kaget saja Sugangga mendengar 

penjelasan Jaka yang menguraikan siapa-siapa 

pemilik jurus silatnya. Segera Sugangga rubah ju-

rusnya, setelah terlebih dahulu melompat ke be-

lakang. Dengan didahului memekik keras, Su-

gangga kembali menyerang Jaka yang masih be-

rusaha menghindar belaka, tak sekali pun Jaka 

berusaha membalas menyerang.

"Mampus kau, Monyet?" Sugangga han-

tamkan pukulan ke arah dada Jaka. Namun ba-

gaikan menghantam angin belaka, Sugangga ter-

huyung ke muka. Tanpa dapat dicegah, tubuh 

Sugangga seketika itu terjerembab.

"Hua, ha, ha...! Mengapa engkau memakai 

sepatu yang telah licin, Gangga?!" Jaka bergelak 

meledek. "Itulah akibatnya kau tak mau ganti-

ganti sepatumu. Wah, sayang sekali. Bukankah 

kau anak orang berada? Ya, walau kedua orang 

tuamu mendapatkan segala kekayaan dengan ja


lan pintas."

"Bangsat!" Sugangga yang terjatuh men-

cium tanah segera bangkit dengan segala amarah. 

Hatinya meledak-ledak mendengar ucapan Jaka 

yang telah membuka rahasia siapa adanya kedua 

orang tuanya. "Kubunuh kau, Anak edan!"

"Wah, galak banget...?" kendablegan Jaka 

mulai kumat. "Eh, bukankah kau sendiri yang 

edan? Kalau kau tak edan, manalah mungkin te-

ga menjerumuskan kedua orang tuanya?"

Makin tersentak kaget saja Sugangga men-

dengar ucapan Jaka yang dirasakan benar 

adanya. Memang dialah yang menjerumuskan ke-

dua orang tuanya, sehingga kedua orang tuanya 

akhirnya nyupang bersekutu dengan Raja Bergo-

la. Dan sebagai perjanjianya, maka adiknyalah 

yang menjadi korban.

"Kau terdiam, bukan? Rupanya kau tengah 

menyesali diri."

"Bangsat! Jangan kira aku mau mengalah 

padamu," Sugangga yang benar-benar sudah di-

landa amarah nampak kalap. Dengan segera di-

cabutnya Pedang Naga Dewa dari sarungnya. Kini 

Sugangga benar-benar sudah kalap, lupa pada 

apa yang telah dijadikan kutuk oleh gurunya se-

belum mati. Kutukan gurunya berlaku dua kali, 

yang pertama dia akan menerima azab sengsara 

dengan muka rusak dan darah yang tak akan ke-

ring selamanya. Kutukan yang kedua, dia baru 

akan mati setelah menderita azab tersebut sekian 

lama. Dan dia akan mati oleh Pedang Naga Dewa.

Jaka tersentak kaget, lemparkan tubuh ke


belakang manakala Sugangga telah berkelebat 

dengan pedang pusaka tersebut. Jaka telah tahu 

kehebatan pedang pusaka milik Dato Pramunu. 

Namun ia tak ada kesempatan untuk berpikir la-

gi, sebab Sugangga telah mencercanya terus me-

nerus dengan pedang tersebut. Yang dapat dila-

kukan Jaka hanyalah berkelit dan berkelit dari 

sabetan dan tusukan pedang.

"Wadauw...! Mengapa engkau main-main 

dengan pedang pusaka itu, Sugangga?" Jaka wa-

lau dalam keadaan terdesak masih terus meledek 

dengan ucapannya yang konyol. "Aku harap, sim-

panlah pedang itu."

"Kau rupanya takut, Anak sinting?!"

Sugangga yang menyangka Jaka benar-

benar takut dengan Pedang Naga Dewa, terus 

mencerca. Sedikit demi sedikit Jaka terdesak ke 

belakang. Kakinya terseret, seakan hendak mem-

buat sebuah lompatan seketika dilihatnya jurang 

hanya beberapa tombak lagi di belakangnya.

"Hua, ha ha...! Akhirnya kau harus mati di 

sini, Jaka!" bergelak Sugangga menyombong, me-

rasa bahwa dirinya telah mampu mendesak pen-

dekar yang namanya kondang. "Akhir segala ke-

jayaanmu, mati dalam jurang atau di ujung pe-

dangku ini."

Jaka tersenyum sinis mendengar ucapan 

sombong Sugangga. Hatinya kini dihadapkan pa-

da dua pilihan. Mengalah, atau melawan dengan 

ajiannya. "Hem, bagaimana aku ini? Haruskah 

tanganku terkotori darah lagi? Darah seorang 

pemuda yang mendendamku karena aku telah

.membunuh kedua orang tuanya yang telah ber-

buat dosa pada sesamanya juga pada Tuhan? Ke-

napa orang-orang selalu mementingkan diri me-

reka sendiri?"

Tengah Jaka terdiam bimbang, tiba-tiba 

terdengar suara halus berkata yang sebenarnya 

ditujukan pada Sugangga. Seketika itu Sugangga 

nampak pucat ketakutan, seakan suara itu ada-

lah suara seorang Malaikat. "Gangga, kutukku 

yang pertama akan berjalan. Kau akan mengala-

minya sebentar lagi. Kau akan mengalaminya... 

kau akan mengalaminya, Gangga!"

Entah perasaan apa dan tenaga apa yang 

bersarang, tiba-tiba Jaka yang tadinya sudah ter-

desak memekik dengan ajiannya Petir Sewu.

"Petir Sewu. Hiat...!"

"Tidak...!"

Bersamaan dengan jeritan Sugangga, seke-

tika petir membahana ke luar dari telapak tangan 

Jaka Ndableg.

"Duar! Bletar! Bletar! Bletar!"

"Aaah...!" Sugangga menjerit, berlari sambil 

menutupi mukanya yang terhantam oleh petir" 

ciptaan Jaka Ndableg. Darah mengucur deras dari 

wajahnya. Sesaat Sugangga berbalik memandang 

ke arah Jaka. Dan manakala mukanya dibuka, 

saat itu juga Jaka melompat mundur kaget. Muka 

Sugangga sangat mengerikan, brodal-bradil den-

gan darah yang terus menetes.

"Kau...! Tunggulah pembalasanku, Jaka!"

"Itu sudah nasibmu, Gangga?" terdengar 

suara Dato Pramunu penuh ejekan. "Itulah kutu


kanku! Kutukan seorang guru yang telah engkau 

khianati!"

"Aku tak perduli! Aku tak percaya dengan 

ucapanmu, Iblis!" Sugangga memaki-maki pada 

suara gurunya, yang kemudian terdengar berge-

lak tawa.

"Hua, ha, ha...! Betapa pedihnya, Gangga. 

Pedih, bukan?"

"Bangsat! Tunjukkan dirimu, Pramunu! 

Tunjukkan!" Sugangga terus memekik penuh 

amarah, sepertinya ia tak sadar lagi dengan sakit 

yang dideritanya. Bayangan Dato Pramunu kini 

melekat pada diri Jaka Ndableg, sehingga dengan 

penuh marah Sugangga dengan Pedang Naga De-

wanya berkelebat menyerang diikuti dengan peki-

kan yang membahana.

"Kubunuh kau dua-duanya, Bangsat! 

Hiat...!"

Jaka tersentak kaget, secepat kilat ia pun 

berkelebat menghindar. Hal itu menjadikan Su-

gangga yang kesetanan tak mampu menghentikan 

laju larinya. Tanpa ampun, tubuh Sugangga pun 

dengan deras terjun ke dalam jurang. "Aaah...!"

"Tragis," lenguh Jaka.

Sesaat Jaka. pandangi bawah jurang yang 

gelap, pekat bagaikan tak berpenghuni. Setelah 

dirasa tak bakalan dia mampu melihat ke dalam 

jurang, segera Jaka pun tinggalkan tempat itu 

untuk kembali menemui Wujud Raga yang telah 

membuat kerusuhan. Tugasnya hanya satu, me-

nangkap hidup atau mati Wujud Raga ketua ge-

rombolan Karang Segara.


ENAM


"Wujud Raga, keluar kau!" 

Wujud Raga yang saat itu tengah berkum-

pul dengan kesepuluh anak buahnya juga seo-

rang putrinya tersentak demi mendengar seruan 

seseorang yang berada di luar rumahnya. Mata 

mereka seketika saling pandang, lalu segera kese-

puluh orang yang dikenal dengan Kedok Berwar-

na berkelebat menuju ke luar diikuti oleh anak 

Wujud Raga.

"Bujur buset! Rupanya kalian juga telah 

ada di sini," pemuda itu sunggingkan senyum, 

menjadikan gadis putri Wujud Raga tersipu malu.

"Jaka, ternyata kau datang juga," Kedok 

Hitam silangkan tangan ke depan dada. "Sungguh 

kebetulan. Apakah engkau datang ke mari hanya

sekedar menyerahkan diri?"

"Enak saja kalian ngomong," Jaka masih 

cengengesan. "Mana ketua kalian. Suruh dia ke-

luar!"

"Ayah tak ada!" gadis itu angkat bicara.

"Oh, rupanya kau putri Wujud Raga. Nona, 

kau janganlah berdusta. Kau anak manis, se-

layaknya kau harus manis pula dalam bertutur 

kata. Anak manis tak boleh berbohong."

"Cuih! Rayuan gombal!"

"Eh, aku tidak merayumu, Nona. Untuk 

apa aku mesti merayu-rayu kamu?" Jaka sewot 

juga dihina seperti itu oleh anak Wujud Raga. 

"Kalau aku mau, banyak wanita cantik melebihi


dirimu yang mencintaiku."

"Tak sudi!" balik si gadis sewot.

"Wuah, galak amat," Jaka masih konyol 

berkelakar. "Eh, kalian sepuluh Kedok Butut! 

Apakah kalian masih tetap berusaha menyembu-

nyikan ketua kalian?"

"Apa yang engkau mau, Jaka?!" Kedok Hi-

tam kembali angkat bicara. "Kami sebagai wakil-

nya, maka selayaknyalah kau mau berterus te-

rang pada kami mengapa engkau memburu ke-

tua."

Jaka garuk-garuk kepalanya yang tak gat-

al. Sebenarnya hal itu sengaja ia lakukan untuk 

mengganggu si gadis yang nampaknya melototkan 

mata marah. Namun di balik kemarahan si gadis, 

nampak jelas tersembunyi sebuah perasaan yang 

dalam. Perasaan layaknya seorang gadis yang 

menginjak masa puber pertama.

"Waduh! Karena nona, aku jadi lupa. Eh, 

tadi kalian ngomong apa padaku, Kedok Butut?" 

Jaka masih berlaku ndableg.

Kalau orang lain yang belum tahu siapa 

adanya Jaka, tentulah mereka akan marah dikata 

Kedok Butut. Tetapi kesepuluh Kedok Berwarna 

merupakan orang-orang persilatan yang bukan 

kelas kroco.

"Jaka, kalau kau ingin menemui ketua, 

maka kau harus berhadapan dengan pagarnya 

dulu."

Jaka kembali garuk kepala, sepertinya ten-

gah memikirkan jalan keluar. Sebenarnya bisa sa-

ja Jaka menjatuhkan kesebelas orang yang berdiri


di hadapannya, namun semua tidak ia lakukan. 

Ia tahu bahwa sebenarnya kesepuluh Kedok Ber-

warna tak tahu menahu masalahnya. "Setan! Wu-

jud Raga memang benar-benar setan!" gerutu hati 

Jaka sewot. Bagaimanapun, Jaka tahu bahwa 

Wujud Raga telah memberikan berita-berita bo-

hong pada Kesepuluh Pendekar Kedok Berwarna, 

sehingga kesepuluh pendekar itu mau saja dijadi-

kan umpan.

"Saudara-saudara, Sepuluh Kedok Butut, 

aku mengharapkan kalian mau sadar. Kalian 

hanya terpedaya hasutan Wujud Raga."

"Wuah! Makin ngelantur saja omongan bo-

cah ini, Kakang," Kedok Kuning yang tadi diam 

ikut bicara.

"Benar! Anak ndableg ini ngelantur! Mung-

kin dia hendak mencari jalan lagi untuk mengela-

bui kita. Hem, jangan harap!" bisik Kedok Hitam. 

"Kita serang, mulai!"

Dengan segera kesepuluh Pendekar Kedok 

Berwarna bergerak mengurung Jaka. Tersentak 

Jaka Ndableg, digaruknya kepala sembari meng-

geleng.

"Wuah, rupanya kalian mau main petak ji-

dor! Baik, mari kita mulai."

Jaka segera gunakan ilmu meringankan 

tubuhnya, berkelebat-kelebat laksana burung. 

Sementara kesepuluh Pendekar Berkedok itu tak 

mau tinggal diam, segera mereka pun merang-

seknya. Maka dalam sekejap saja, mereka segera 

terlibat pertarungan.


"Wah, jurus kalian terlalu lemah!"

"Kau semakin sombong, Jaka!" Kedok Hi-

tam menggeram, lalu dengan cepat tangannya 

mencengkeram ke arah Jaka. Diserang begitu, 

Jaka segera putar tubuh menjadi gasing.

"Aku ingin melihat sampai di mana kau 

bertahan, Jaka!" seru Kedok Merah.

Jaka terus berputar cepat, lalu tanpa se-

pengetahuan pengeroyoknya Jaka telah berkele-

bat terbang. Terbengong seketika kesepuluh pen-

geroyoknya, manakala melihat Jaka tiba-tiba te-

lah berada di atas genting rumah.

"Nah, akhirnya aku mampu lolos dari ka-

lian. Aku akan segera mengurusi pimpinan ka-

lian, lalu kita pun berpisah." Jaka segera melorot 

masuk, membongkar beberapa genting dengan 

paksa.

Tersentak seorang tua berjanggut panjang 

hitam, yang duduk membelakangi Jaka. Namun 

manakala Jaka hendak melangkah menuju ke 

orang tersebut, tiba-tiba selarik sinar keluar dari 

tangan orang yang membelakanginya.

"Bangsat! Rupanya kau hendak mencela-

kakanku, Wujud!"Jaka menggeretak marah, lem-

parkan tubuhnya ke udara menghindari serangan 

gelap tersebut.

"Dalam keadaan apapun, semua boleh di-

lakukan, bukan?" terdengar suara orang tua itu 

berkata. "Kau adalah musuhku, maka akupun 

akan berusaha menjatuhkanmu."

"Aku hanya menjalankan tugas?" Jaka 

membentak marah. "Kalau kau mau aku tangkap,


maka hukumanmu akan ringan, Wujud!"

"Hua, ha, ha,..! Sama saja, Jaka!" Wujud 

Raga kembali hantamkan pukulannya.

"Wuuuus...!"

"Duar...!"

Beruntung Jaka segera melompat ke samp-

ing. Kalau tidak, tentunya tubuhnyalah yang 

mengalami kehancuran seperti apa yang terjadi 

pada betonan rumah tersebut.

"Edan! Kau rupanya memaksaku, Wujud!" 

Jaka benar-benar menggeretak marah. "Jangan 

salahkan akhirnya aku menghajarmu!"

"Lakukan bila kau berani, Jaka!" Wujud 

Raga menantang. "Dengan kau menggunakan 

ajianmu, maka kau tak akan mendapatkan tu-

buhku yang utuh! Kau akan kehilangan peta ter-

sebut."

Jaka mikir, seakan benar apa yang dikata-

kan oleh Wujud Raga. Kalau dirinya mengguna-

kan ajian, maka tak ayal lagi peta yang dicuri Wu-

jud Raga akan turut lebur bersama tubuh Wujud 

Raga. "Tapi, aku tidak yakin kalau Wujud Raga 

menyimpan peta tersebut dalam bajunya." Jaka 

membatin, bimbang harus bagaimana.

Belum juga Jaka mampu berbuat, tiba-tiba 

dari luar berkelebat sepuluh orang berkedok ba-

reng menyerangnya. Kini tak ada jalan lain untuk 

Jaka meloloskan diri. Jalan satu-satunya meng-

hadang serangan mereka.

"Menyerahlah, Jaka!"

"Jangan kalian bermimpi! Hiat...!"

Jaka Ndableg dengan segera melompat me


nyerang kesepuluh orang berkedok. Kesepuluh 

orang tersebut tersentak kaget, sebab mereka te-

lah tahu apa yang kini dikeluarkan oleh Jaka. Ja-

ka Ndableg dengan tidak sungkan-sungkan men-

geluarkan jurus Elang Mematok Cobra yang dipe-

lajari dari pertarungan burung elang dengan co-

bra yang ia pelajari secara tidak sengaja.

"Wuut...!" Angin pukulannya menderu.

"Awas...!" Kedok Hitam menjerit, mempe-

ringatkan pada kesembilan rekannya, yang den-

gan segera melompat menghindar. Pukulan yang 

dilontarkan Jaka terus menderu, menghantam 

betonan tiang penyangga. Tak ayal lagi, tembok 

betonan penyangga itu pun hancur berantakan.

Pertarungan terus berjalan, nampaknya 

Jaka sudah tidak mau main-main lagi. Jaka terus 

mencerca mereka, menjadikan kesepuluh orang 

berkedok itu benar-benar dibuat kalang kabut. 

"Lebih baik kalian menyingkirlah!" Jaka 

kembali memperingatkan. "Kalian keluarlah, dan 

biarkan pencuri ini sendiri."

Wujud Raga seketika bergelak tawa demi 

mendengar ucapan Jaka. "Hua, ha, ha...! Jangan 

kira aku takut menghadapimu, Jaka! Ayo kita 

buktikan." Setelah berkata begitu, secepat kilat 

Wujud Raga kembali hantamkan pukulannya.

Mau tak mau Jaka pun harus berusaha 

menghindari serangan yang dilancarkan berba-

rengan tersebut. Dua belas larikan sinar warna 

warni berkelebat terarah ke arahnya. Tersentak 

Jaka, lalu dengan sedapat mungkin tubuhnya 

menjebol genteng rumah tersebut.


"Mau lari ke mana, Jaka!" Wujud Raga dan 

kesebelas anak buahnya termasuk anaknya sege-

ra memburu ke luar. "Kemanapun kau lari, jelas 

kau masih dalam kandang kami!"

"Aku tidak lari, Wujud! Aku hanya me-

nyayangkan rumahmu yang dapat jebol!" Jaka ba-

lik berseru. "Aku menunggu kalian di luar!"

Dua belas orang musuhnya terus berham-

buran ke luar. Namun sebelum semuanya sam-

pai, Jaka telah mendahuluinya dengan hantaman 

Dewa Topan Melanda Karang.

"Wuuut...!"

Angin pukulan yang dilontarkan Jaka 

menderu, menjadikan kedua belas orang tersebut 

seketika lemparkan tubuh masing-masing untuk 

menghindari kalau memang tidak menghendaki 

tubuhnya mental terbawa hempasan angin.

"Bedebah! Rupanya kau curang, Jaka!" 

menggeretak Wujud Raga marah. Segera ia papaki 

serangan Jaka dengan ajiannya, Bayu Pitu.

"Wuuut...!"

"Duar...!" terdengar ledakan, manakala dua 

kekuatan bertemu dan saling menggempur.

"Bagaimana, Jaka? Apakah engkau masih 

bersikeras?" Wujud Raga cibirkan senyum. Ia me-

rasa bahwa dirinya telah mampu mengimbangi 

ilmu yang dimiliki oleh Jaka, seorang pendekar 

yang namanya telah kondang.

"Jangan bangga dulu, Wujud! Apapun resi-

konya, aku harus dapat menangkapmu," Jaka 

nampak terdiam hening. Matanya menatap satu 

persatu pada kedua belas orang yang telah berdiri


di hadapannya. Perlahan kakinya melangkah, se-

pertinya merasakan berat. "Wujud Raga, hari ini 

juga kau harus menurut padaku. Kalau tidak, 

ma-ka aku tak akan segan-segan menghukum-

mu!"

"Hua, ha, ha...! Jaka Ndableg, rupanya kau 

tengah bermimpi. Jangankan menangkapku, 

mengalahkan ilmukupun engkau tak akan mung-

kin Jaka?!"

Jaka kerutkan mukanya, seperti ada se-

buah kekesalan yang tak dapat lagi ditahan. Na-

pasnya mendengus, matanya menatap liar, tajam 

setajam mata elang. Bersamaan dengan dengus-

nya napas Jaka memburu, seketika dari mulut-

nya ke luar seruan yang mengejutkan kedua belas 

orang musuhnya.

"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"

"Pedang Siluman Darah...." kedua belas 

orang di hadapannya seketika membeliakkan ma-

ta kaget. Mata mereka tak berkedip, memandang, 

memaku pada pedang yang tiba-tiba telah berada 

di tangan Jaka. Dari ujung pedang, nampak mele-

leh darah membasahi batangnya.

"Wujud Raga, apakah engkau masih terus 

membandel?" Jaka masih diam di tempatnya, ber-

tanya: "Kalau kau masih membandel, maka jan-

gan salahkan aku bertindak, Wujud!"

"Hua, ha, ha...! Orang lain mungkin takut 

melihat senjatamu yang sudah terkenal itu, Jaka! 

Tapi aku, tidak!" Wujud Raga masih terus menci-

bir, merendahkan apa yang ada pada diri Jaka. 

Belum ada orang yang berani menantang Pedang


Siluman Darah. Tapi kini Wujud Raga telah bera-

ni menantangnya.

"Hem, baiklah kalau begitu. Bersiaplah, 

Wujud!"

Setelah berkata begitu, serta merta Jaka 

pun berkelebat dengan Pedang Siluman Darah di 

tangannya menyerang Wujud Raga dan kambrat-

nya.

Wujud Raga dan kesebelas anak buahnya 

tersentak kaget. Ternyata apa yang digembar-

gemborkan para tokoh persilatan bukanlah 

omong kosong. Pedang Siluman Darah memang 

bukanlah pedang sembarangan. Hawa samberan-

nya saja sudah begitu panasnya, apalagi bila ter-

kena.

"Wujud Raga, menyerahlah!" Jaka meme-

kik, sebab pengaruh Pedang Siluman Darah telah 

benar-benar merasuk dalam jiwanya. Mata Jaka 

merah laksana mengandung api. Tangannya yang 

berusaha mempertahankan nampak gemetaran. 

"Wujud! Jangan sampai Ratu Siluman Darah 

menghisap darahmu!"

"Aku tidak takut, Jaka!" Wujud Raga balik 

berang. Sementara kesebelas anak buahnya, 

nampak hanya terbengong bagaikan terkena sihir 

yang keluar dari Pedang Siluman Darah. Mereka 

terdiam bengong, mata mereka memandang pe-

nuh rasa takut dan was-was.

"Kalau itu yang kau mau, jangan salahkan 

aku. Hiat...!"

"Lakukan bila engkau mampu, Jaka. 

Hiat...!"


Dua tubuh berkelebat dengan cepat. Dua 

tubuh itu melayang bagaikan terbang. Jaka kib-

latkan Pedang Siluman Darahnya ke arah lajunya 

tubuh Wujud Raga. Setelah mereka mendekat, 

segera Jaka Ndableg tebaskan pedang tersebut.

"Wuut...!"

"Crass...!"

"Aaah...!" memekik seketika Wujud Raga, 

tubuhnya terpotong buntung menjadi dua. Da-

rahnya kering, habis terhisap oleh Pedang Silu-

man Darah.

"Ayah...!"

Anak gadis Wujud Raga memekik, lalu 

dengan tanpa hiraukan semuanya yang hanya 

terdiam mematung, gadis itu segera memburu di 

mana tubuh ayahnya tergeletak.

"Bajingan! Kau telah membunuh ayahku!"

"Terpaksa! Ayahmu telah membuat sega-

lanya. Ayahmu telah merongrong pemerintahan." 

Jaka menjawab dengan suara parau. Seperti da-

lam nada ucapannya Jaka merasakan kepedihan. 

Sebenarnya ia pun tak ingin Pedang di tangannya 

harus berlumur darah, tetapi keadaanlah yang 

harus memaksanya.

"Kau kejam! Kau kejam!" gadis itu menjerit. 

Dipukulinya dada Jaka yang hanya terpaku diam, 

lalu setelah puas gadis itupun berlari pergi me-

ninggalkan semuanya yang seketika terbengong.

"Jaka! Tunggulah pembalasanku...!"

Jaka hanya mampu menarik napas, berat 

dan serak. "Apakah kehidupahku hanya akan di-

war-nai dengan dendam dan dendam? Apakah


aku harus selamanya bertualang untuk mem-

basmi kejahatan, yang akhirnya menjadikan mata 

rantai cerita manusia?!" Jaka bertanya-tanya pa-

da diri sendiri.

"Kedok Hitam, tunjukkan di mana peta ter-

sebut ketuamu simpan," Jaka akhirnya berkata 

setelah untuk sekian lama terdiam membisu, 

menghayati arti kehidupannya. "Cepat, Kedok!"

"Ba... baik!"

Dengan dibantu oleh Kesepuluh Tokoh Ke-

dok Berwarna, Jaka pun tak lama untuk mencari 

peta tersebut. Peta itu masih utuh, peta milik ke-

rajaan yang memuat tempat-tempat para pembe-

rontak berada. Setelah memeriksa kembali kea-

daan peta tersebut, segera Jakapun berkelebat 

pergi meninggalkan mereka yang hanya terben-

gong-bengong kagum dan heran melihat keleba-

tan Jaka yang begitu cepat laksana terbang. Dan 

dalam sekejap saja tubuh Jaka telah menghilang 

entah ke mana, lenyap dalam sekejap.

***


TUJUH



"Hua, ha, ha...!"

Tersentak kesepuluh Pendekar Kedok Ber-

warna demi mendengar suara gelak tawa yang 

membahana, menyentakkan mereka dari lamu-

nannya. Bersamaan dengan habisnya suara gelak 

tawa tersebut, tiba-tiba di hadapan mereka berdiri


sesosok tubuh dengan muka tertutup rapat kain 

hitam. Kain itu nampak bercak-bercak darah. Se-

pertinya darah itu belum mengering, menetes de-

ras membasahi muka dan cadar.

"Kalian tahu ke mana larinya Pendekar Pe-

dang Siluman Darah?" tanya orang bercadar pada 

kesepuluh orang berkedok.

"Siapakah engkau, Ki Sanak?" Kedok Hitam 

yang bertanya.

"Aku...?" orang bercadar dengan darah me-

netes itu mengulang tanya. "Aku adalah musuh-

nya. Akulah yang akan mengakhiri ketenaran 

namanya. Akulah si Cadar Berdarah. Hua, ha, 

ha...!"

"Cadar Berdarah...?!" kesepuluh orang ber-

kedok memekik.

"Ya! Sekarang tunjukkan padaku, ke mana 

Jaka pergi!"

Kesepuluh orang berkedok itu tak langsung 

menjawab. Mereka saling pandang antar sesa-

manya. Hal ini menjadikan si Cadar Berdarah 

marah.

"Bedebah! Kalian rupanya tak hiraukan 

aku! Kalian harus mati. Hiat...!"

Tersentak kesepuluh orang berkedok yang 

terkenal dengan nama Pendekar Kedok Berwarna, 

demi diserang begitu tiba-tiba oleh si Cadar Ber-

darah. Mereka serempak menghambur, menye-

rang balik dengan makian marah.

"Orang sinting! Kenapa tiba-tiba engkau 

menyerang kami? Apa salah kami, Hah!" Kedok 

Hitam selaku kedok tertua, nampak gusar. "Ru


panya engkau hendak mencari mati, Orang sint-

ing!"

Si Cadar Berdarah tak hiraukan omelan 

dan makian Kedok Hitam, ia terus mencerca ke-

sepuluh Pendekar Kedok Berwarna dengan seran-

gan-serangan maut. Serangannya begitu cepat, 

seakan gerakannya sukar untuk diikuti.

"Bedebah! Rupanya kau memang orang 

sinting!" kini Kedok Merah yang membentak ma-

rah. Dengan nekad Kedok Merah menghambur, 

lalu dengan tanpa pikir panjang ia hantamkan 

pukulannya. Namun sungguh tidak disangka, se-

buah pedang telah berkelebat menghantam tan-

gannya. Pedang Naga Dewa telah menjadikan tan-

gan Kedok Merah buntung, membawa jeritan Ke-

dok Merah menyayat menahan sakit.

"Aaah...!"

"Bedebah! Kami akan mengadu jiwa den-

ganmu. Hiat...!"

Dengan dikomando oleh Kedok Hitam, ke-

delapan kedok lainnya bergerak menyerang ba-

reng. Namun sepertinya serangan mereka tak 

membawa hasil. Setiap kali mereka merangsek, 

setiap kali itu si Cadar Berdarah mampu menge-

lakkannya. Bahkan dengan cepat membalas me-

nyerang mereka.

Dalam berapa gebrakan saja, kesembilan 

pendekar Kedok Berwarna dapat dijatuhkan. Se-

telah melihat kesembilan Kedok Berwarna tak 

berdaya, dengan gelak tawa si Cadar Berdarah 

berkelebat pergi meninggalkan tubuh mereka.

"Katakan bila kalian menjumpai Jaka


Ndableg, aku si Cadar Berdarah mencarinya. Hua, 

ha, ha...!"

Kesembilan Kedok Berwarna hanya dapat 

terdiam bisu. Mereka nampaknya termangu, he-

ran tak mengerti mengapa dalam sehari itu mere-

ka harus berhadapan dengan dua orang pendekar 

sakti. Beruntung kedua pendekar itu tak menu-

runkan tangan jahat. Namun yang menjadi mere-

ka heran, mengapa si Cadar Berdarah mencari 

Jaka Ndableg? Apa yang sebenarnya terjadi di ba-

lik cadar yang mengeluarkan darah?

Mereka tak dapat menjawab, mereka tak 

mengerti harus bagaimana? Nah, untuk kali ini, 

Misteri Cadar Berdarah saya cukupkan sampai di 

sini. Bila anda ingin mengikuti bagaimana Jaka 

selanjutnya. Dan bagaimana tindakan si Cadar 

Berdarah, serta anak Wujud Raga, silahkan anda 

ikuti kisah Pendekar Pedang Siluman Darah berikutnya!!!!



                               TAMAT






Share:

0 comments:

Posting Komentar