KUTUKAN BRAHMANA LOKA ARYA
Oleh Sandro S.
Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah da-
lam episode:
Kutukan Brahmana Loka Arya
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Dari kejauhan tampak seorang lelaki tengah
memacu kuda. Di wajahnya tergambar suatu ketegan-
gan. Sekali-kali tangannya mengibas kais, atau mene-
puk pantat kuda yang seketika itu lari kencang.
"Hia, hia, hia!"
Tubuh kurus itu terus terbawa oleh derap
langkah kaki kuda yang memacu. Tergoncang-goncang
dengan badan mengikuti gerakan sang kuda. Sesekali
lelaki itu menengok ke belakang, dan kembali digebah-
nya kuda yang ditumpangi. Mulutnya tak henti-
hentinya berseru.
"Ayo lari Poleng! Jangan sampai iblis itu menge-
jar kita!"
Bagaikan mengerti saja, kuda itu makin mem-
percepat larinya. Sekali-kali kuda itu meringkik, lalu
kembali lari dengan kencangnya.
Bila dilihat dari pakaian lelaki muda itu, jelas
bahwa ia adalah seorang Biksu. Dia adalah murid
Brahmana Loka Arya, seorang Brahmana sakti man-
draguna.
Tiga hari sudah Kidang Emas memacu kuda
untuk menyampaikan pusaka gurunya. Pada Adipati
Brebes. Namun jejaknya telah dikuntit oleh kakak se-
perguruannya yang hendak merebut pusaka tersebut
ketika baru saja ia hendak pergi.
Sebagai murid yang baik, jelas ia tak mau begi-
tu saja melimpahkan tugas yang telah diperintahkan
gurunya. Hal ini menjadikan kakak seperguruannya
yang bernama Cipta Angkara gusar. Merasa secara
baik-baik tak memperoleh hasil, Cipta Angkara pun
akhirnya memakai jalan kekerasan. Ketika kakak be
radik seperguruan itu tengah bertempur, sang guru
seketika itu datang.
"Murid murtad! Apa hakmu untuk meminta Pu-
saka Kyai Sangkar?"
"Guru...!"
"Jangan sebut lagi kata itu! Tak sudi aku mem-
punyai murid murtad sepertimu. Minggat dari sini, ce-
pat!" membentak Brahmana Loka Arya. Betapa tidak!
Murid yang sangat diagung-agungkan untuk kelak
menggantikannya, ternyata telah mencoreng arang di
wajahnya.
Cipta Angkara tidak segera bangkit. Bahkan
dengan pasrah ia bersimpuh di kaki Brahmana Loka
Arya. Tak dirasa air mata Cipta Angkara meleleh,
membasahi kedua pipinya.
"Ampun, Guru. Ijinkanlah muridmu mengubah
langkah yang selama ini murid lakukan."
"Janjimu terlalu muluk, Cipta. Tapi tindakan-
mu, tak ubahnya tindakan syetan."
"Guru...!" memekik Cipta Angkara. "Kalau saja
guru mengijinkan murid membawa Kyai Sangkar...."
"Ah, sudahlah... Kidang, cepat kau bawa pusa-
ka itu. Bupati Brebes telah menantimu!" berkata
Brahmana Loka Arya pada Kidang Emas, tanpa mem-
perdulikan Cipta Angkara yang masih tersimpuh du-
duk. Mendengar ucapan gurunya, dengan segera Ki-
dang Emas memacu kudanya pergi.
Entah apa yang telah terjadi, tiba-tiba Cipta
Angkara telah mengejarnya. Kejar mengejar antara ke-
dua kakak beradik seperguruan itu terus terjadi.
"Serahkan pusaka itu padaku! Atau aku bunuh
kau, Kidang!"
"Tidak! Pusaka ini diamanatkan guru padaku
untuk menyampaikannya pada kanjeng Adipati
Brebes," menjawab Kidang Emas. Hal itu membuat
Cipta Angkara seketika melototkan matanya marah.
Nafasnya memburu hingga hidungnya tampak kem-
bang kempis. Tanpa diduga sebelumnya oleh Kidang
Emas, seketika Cipta Angkara melompat menyerang-
nya.
"Kunyuk! Serahkan pusaka itu padaku!"
"Hem, jangan mimpi, Angkara."
"Bedebah! Akan aku buktikan bahwa aku akan
segera mengirimmu ke akherat, Hiat...!"
Cipta Angkara yang telah dirasuki keserakahan
bagaikan seekor macan ia menyerang. Terkaman-
terkamannya selalu mengarah pada tempat-tempat
yang mematikan. Namun begitu, Kidang Emas yang
membawa pusaka Kyai Sangkal tampak percaya diri.
Ditebaskan keris pusaka itu manakala Cipta Angkara
hendak merangseknya. Hawa panas yang keluar dari
keris, menjadikan Cipta Angkara harus menarik seran-
gannya. Cipta Angkara tahu tuah keris itu, yang mam-
pu menjadikan segalanya bisa berubah. Air laut akan
mengering bila keris Kyai Sangkar dicelupkan. Apalagi
bila manusia yang terkena. Luluh lantahlah tubuhnya,
hangus bagaikan dipanggang.
"Suwe! Kalau begini caranya aku tak akan
mampu. Aku harus mencari siasat," berkata hati Cipta
Angkara, yang kemudian melentingkan tubuhnya ke
angkasa. Hal itu tidak disia-siakan oleh Kidang Emas
yang segera memacu kudanya kembali.
"Bedebah! Jangan kabur kau, Kidang!" memaki
Cipta Angkara kembali mengejarnya. Namun dikarena-
kan ia hanya berlari, Cipta Angkara pun akhirnya ter-
tinggal jauh. Walau begitu, Cipta Angkara yang telah
dirasuki oleh nafsu serakah tak mau tinggal diam. Dia
terus mengejar meski harus mengeluarkan tenaganya
untuk berlari. Tekadnya untuk dapat merampas pusa-
ka Kyai Sangkar, menjadikannya bagai tak kenal lelah.
Ketika malam telah tiba, Cipta Angkara yang te-
lah memasuki perkampungan berusaha mencari kuda.
Dicurinya seekor kuda milik salah seorang saudagar
hingga seketika mengundang warga memburunya.
"Maling...! Maliiingg...!"
"Edan! Mereka meneriaki maling,"
Dihentikan kudanya dan menghadang warga
yang mengejar. Warga yang merasa buruannya berhen-
ti, dengan segera mengepungnya.
"Ternyata ini orangnya yang selalu mengganggu
kampung kita," berkata ketua kampung, yang menja-
dikan semua warganya geram. Maka bagaikan diko-
mando saja, seluruh warga seketika menyerbu Cipta
Angkara.
"Edan! Kalian telah salah sangka. Aku bukan
maling, aku hanya ingin meminjam kuda sebentar."
"Bohong! Mana mungkin kami mau percaya!
Kalau kau bukan maling, kenapa kau mencuri kuda
milik salah seorang penduduk? Jangan banyak berda-
lih, menyerahlah!"
"Bedebah! Rupanya kalian mencari mati. Kalian
jangan menyesal kalau tahu siapa aku," menggeretak
Cipta Angkara marah.
"Jangan banyak bacot! Kau harus bertanggung
jawab atas perbuatanmu!"
Seketika itu semua warga berkelebat menye-
rang Cipta Angkara, yang dengan gesit mengelakkan
setiap babatan golok. Kaki dan tangannya bergerak ce-
pat, menghantam dan menendang musuh-musuhnya
yang datang hendak menyerang. Tak ketinggalan kuda
yang ditumpanginya, turut serta melakukan perlawa-
nan.
Korban demi korban berjatuhan, manakala
tangan dan kaki Cipta Angkara beraksi. Namun bagai-
kan tak mengenal takut, warga desa itu terus merang-
sek. Hal itu menjadikan Cipta Angkara harus kembali
berpikir. Walau ia seorang murid dari Brahmana Loka
Arya yang terkenal sakti, namun menghadapi keroyo-
kan ratusan orang bersenjata ia keder juga. Apalagi ia
sendiri tak memakai senjata barang sebatang tangkai-
pun.
"Sia-sia kalau aku teruskan melayani mereka.
Bukannya aku takut kalah, namun waktuku begitu
mendesak. Aku harus segera meninggalkan tempat
ini," berkata hatinya membatin. Dengan segera, dihen-
takkannya tali kekang kuda. Seketika kuda yang di-
tumpanginya pun meringkik.
"Hia...!"
Berbareng dengan pekikkan Cipta Angkara, ku-
da yang ditumpanginya seketika mengangkat kedua
kaki depannya. Bagaikan terbang, kuda itu melompat
meninggalkan semua warga yang hanya terbengong
tanpa dapat mencegah. Cipta Angkara dan kuda cu-
riannya segera menerobos kegelapan malam, menjadi-
kan semua warga hanya terlolong bisu. Tanpa dapat
berbuat apa-
apa, warga desa itu pun kembali ke tempat di mana
teman-temannya mati.
* * *
Dipacunya kuda terus berlari menerobos ma-
lam, meninggalkan desa Bandar Rejo. Cipta Angkara
sesekali menyeka keringatnya yang tampak terus men-
galir. Ringkikkan kudanya, menjadikan Cipta Angkara
seketika merinding bulu tengkuknya. Matanya nanar
memandang ke muka. Gelap terpampang melebar dan
hanya pohon-pohon jati yang tampak menghitam. Po-
hon-pohon jati itu, seperti berjalan.
"Weeerrr...!"
Angin bertiup dengan kencangnya, menerpa tu-
buh Cipta Angkara yang makin merinding. "Hem, se-
pertinya ada sesuatu yang tak beres," membatin Cipta
Angkara.
Dengan perasaan agak sedikit takut, Cipta
Angkara memperlambat langkah kudanya. Matanya ta-
jam mengawasi sekeliling. Tangannya telah terkepal,
siap untuk menghantamkan pukulan jarak jauhnya.
"Hua, ha, ha.... Hua ha, ha!"
Tersentak Cipta Angkara hampir terjatuh dari
kudanya demi mendengar gelak tawa yang merinding-
kan bulu kuduk. Namun sebagai seorang lelaki yang
memiliki kepandaian, serta merta Cipta Angkara mem-
bentak. "Siapa, Kau!"
Tak ada jawaban yang keluar, hanya angin ma-
lam yang berlalu dan kembali menepiskan rambutnya
yang gondrong. Demi tak terdengar jawaban, maka un-
tuk kedua kalinya ia membentak. "Siapa kau! Kalau
kau manusia, tunjukkan batang hidungmu! Tapi kalau
kau iblis, jangan ganggu aku!"
Angin malam kembali bertiup, kali ini agak
kencang. Bersama dengan tiupan angin, saat itu juga
berdiri di hadapan Cipta Angkara sesosok tubuh tinggi
besar. Tak jelas Cipta Angkara melihat wajah orang itu,
yang tertutup oleh gelapnya malam.
Tampak lelaki tinggi besar itu berjalan meng-
hampirinya. Mulut lelaki itu menyeringai hingga tam-
paklah gigi-giginya yang tajam meruncing. Bergidik ju-
ga Cipta Angkara melihatnya hingga keringat dingin
pun keluar membasahi tubuh. Tengah Cipta Angkara
tercekam dalam ketakutan, tiba-tiba lelaki tinggi besar
itu berkata dengan suara yang besar pula.
"Anak muda. Jangan kau takut padaku, karena
aku sebenarnya hendak bermaksud baik padamu.
Hem, bukankah kau murid Brahmana Loka Arya?"
"Benar. Siapa kau? Mengapa kau mengetahui
kedatanganku?" bertanya Cipta Angkara. Rasa takut-
nya sedikit demi sedikit hilang, manakala menatap ma-
ta lelaki di hadapannya. Kembali lelaki di hadapannya
tertawa bergelak-gelak mendengar ucapannya.
"Hua, ha, ha.,.! Cipta Angkara, ketahuilah bah-
wa sejak lama aku menguntit mu. Kaulah orang yang
pantas menjadi abdi setiaku. Sifatmu, adalah sifat
keangkaramurkaan. Hal itu merupakan sebagian dari
sifatku. Maka jangan kaget kalau aku menyukaimu
dan bermaksud mengangkatmu sebagai titisanku."
"Hai, siapakah orang ini? Sepertinya ia telah
mengetahui segala yang ada pada diriku?" bertanya
hati Cipta Angkara. Belum habis rasa tak mengerti di
hati Cipta Angkara, lelaki itu kembali tertawa dan ber-
kata:
"Hua, ha, ha... Cipta Angkara, ketahuilah bah-
wa aku memang mengetahui apa saja yang selama ini
kau lakukan. Karena sifatmu seperti itu hingga aku
kembali bangkit sesuai janjiku pada gurumu."
"Siapa kau sebenarnya, Ki Sanak?"
"Aku? Akulah Raja Siluman Kerta Ganda
Mayit."
Tersentak Cipta Angkara demi mendengar lelaki
itu menyebutkan namanya. Karena saking kagetnya,
tanpa sadar Cipta Angkara berseru. "Kerta Ganda
Mayit! Jadi kau...?"
"Ya, akulah raja siluman yang pernah gurumu
ceritakan."
"Apa maksudmu menghadangku?"
"Hua, ha, ha!!! Aku ingin mengangkatmu seba-
gai muridku. Aku akan menitis padamu. Dengan cara
itu, aku akan dapat melaksanakan cita-citaku untuk
menghancurkan umat manusia. Lima puluhan tahun
sudah aku menanti. Lima puluh tahun aku harus ber-
sabar menunggu salah seorang murid Brahmana Loka
Arya untuk membalas kekalahanku lima puluh tahun
yang silam."
Mengerut alis mata Cipta Angkara mendengar
penuturan Raja Siluman Kerta Ganda Mayit. Ia tak
mengerti maksud ucapan itu. Maka dengan agak sedi-
kit berani Cipta Angkara pun bertanya.
"Kenapa kau menunggu salah seorang murid
guruku? Kenapa pula kau hendak menitis padaku?"
"Hua, ha, ha. Ketahuilah, bahwa kami yaitu
aku dan gurumu telah mengadakan janji manakala
kami bertempur. Gurumu yang memang orang bijak,
telah dapat mengalahkanku lima puluh tahun yang la-
lu. Lima puluh tahun yang lalu, akulah pendekar yang
paling tinggi ilmunya di antara deretan tokoh persila-
tan. Namun karena aku merupakan tokoh sesat, ak-
hirnya aku dimusuhi oleh semua tokoh persilatan ter-
masuk Begawan Wungkal Gunung. Mereka berusaha
melenyapkan aku dari dunia. Namun usaha mereka
mengalami kesia-siaan karena aku tak dapat mati.
Hampir saja para tokoh persilatan putus asa kalau sa-
ja tidak datang seorang pendekar muda dari wetan
bernama Loka Arya yang menyanggupi untuk me-
nyingkirkan aku dari dunia. Kami pun bertempur
hingga sampai tujuh hari tujuh malam...."
"Ah!" memekik Cipta Angkara demi mendengar
ucapan Kerta Ganda Mayit, membuat Kerta Ganda
Mayit seketika menghentikan ceritanya dan meman
dang pada Cipta Angkara dengan alis mata mengerut.
"Kenapa, Cipta?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya heran, apakah ka-
lian bertempur begitu lama tak capai?"
"Ya, karena kami berdua sama-sama sakti
hingga sukar bagi kami untuk dapat menjatuhkan la-
wan. Namun ketika hari menginjak kedelapan, aku tak
sanggup lagi mengimbangi ilmu-ilmunya. Saat itu juga
aku mengakui kekalahanku. Kukatakan padanya bah-
wa aku tak akan menampakkan diri lagi di dunia. Tapi
sebelum aku kembali ke dunia, aku sempat berjanji
dengannya. Adapun isi perjanjiannya sebagai berikut.
"Mulai hari itu, aku tak akan mengganggu dunia lagi.
Aku boleh muncul kembali setelah ada salah satu mu-
ridnya yang murtad."
"Lalu ke mana saja kau selama lima puluh ta-
hun?"
"Selama lima puluh tahun aku bersemadi me-
minta pada Yang Widi agar dapat menemukan orang
yang nantinya dapat aku titisi. Dan ternyata hari ini
aku menemukanmu. Rupanya Yang Widi masih mem-
berikan kesempatan padaku untuk yang terakhir."
"Yang terakhir?" bertanya Cipta Angkara seraya
mengerutkan keningnya. Ia tak mengerti mengapa Ker-
ta Ganda Mayit berkata begitu? Setahunya, Siluman
tak pernah akan mati sebelum akhir jaman. Tapi ke-
napa Kerta Ganda Mayit mengatakan yang terakhir?
"Ya, yang terakhir. Sebab dalam dunia Siluman
tak boleh mengalami kegagalan berturut-turut," jawab
Kerta Ganda Mayit. Namun jawaban Kerta Ganda
Mayit sepertinya belum juga dimengerti Cipta Angkara
yang kembali bertanya.
"Maksudmu terakhir bagaimana?"
"Bila untuk kedua kalinya aku gagal, maka aku
tak akan pernah menginjakkan dunia manusia lagi,"
berkata Kerta Ganda Mayit menerangkan.
"Bukankah kau seorang raja?" kembali Cipta
Angkara bertanya. Tertawa bergelak-gelak Kerta Ganda
Mayit mendengar pertanyaan Cipta Angkara, lalu
ucapnya kemudian:
"Di alam siluman semuanya sama, tidak seperti
manusia. Di sana raja sama dengan rakyat bila hal itu
memang mengenai tugas. Biarpun raja, bila ia gagal
dua kali maka ia tak akan dapat diberikan keper-
cayaan lagi. Hai, hari menjelang pagi. Maukah kau
menjadi abdiku? Ketahuilah, kau akan sakti mandra-
guna bila aku sudah menitis pada tubuhmu. Tidakkah
kau ingin merajai dunia persilatan?"
Sesaat Cipta Angkara terdiam mendengar penu-
turan Kerta Ganda Mayit. Matanya memandang tajam,
pikirannya berpikir keras.
"Haruskah aku menerima?" bisik hatinya.
"Baiklah. Aku menerima," akhirnya Cipta Ang-
kara pun berkata, yang membuat Kerta Ganda Mayit
seketika tertawa bergelak-gelak.
"Hua, ha, ha...! Bagus, bagus. Nah, bersiaplah!"
Habis berkata begitu, tiba-tiba tubuh Kerta
Ganda Mayit seketika lenyap. Tubuh itu berubah men-
jadi seberkas sinar. Sinar berwarna merah itu, seketika
meloncat masuk ke tubuh Cipta Angkara. Rasa panas
seketika menggelegar di tubuh Cipta Angkara hingga
iapun seketika memekik bagaikan dibeset kulitnya.
"Aaaaahhhh.... Tobat!"
Memekik Cipta Angkara bersamaan dengan le-
nyapnya Kerta Ganda Mayit yang masuk ke tubuhnya.
Seketika itu pula Cipta Angkara pingsan. Tubuhnya
nampak bersinar merah, membara bagaikan api. Se-
mentara kuda yang ditumpanginya, seketika ambruk
ke tanah dengan tubuh mengering. Darah kuda itu, te-
lah terhisap habis.
***
DUA
Cipta Angkara menggeliat bangun setelah ping-
san beberapa lama. Dirasakan olehnya perasaan lain
yang kini bergayut di benaknya. Perasaan itu seperti
menyuruhnya, mendesaknya untuk berbuat sesuatu.
"Aku harus segera mendapatkan Keris Pusaka
Kyai Sangkar," berkata Cipta Angkara dalam hati. Ma-
ka dengan segera Cipta Angkara berkelebat, pergi me-
ninggalkan hutan itu.
Tersentak kaget Cipta Angkara, manakala me-
rasakan tubuhnya enteng. Larinya begitu cepat laksa-
na angin. Tenaganya besar bagaikan tenaga gajah se-
ratus.
"Hai, kenapa aku dapat berbuat begini?" Terhe-
ran-heran Cipta Angkara melihat perubahan pada di-
rinya. Dihentikan larinya, ia tercenung diam. Manakala
ia tengah terdiam penuh ketidak mengertian. Terden-
gar suara Kerta Ganda Mayit berkata: "Jangan kaget,
Cipta! Dengan menyatunya aku dengan dirimu, maka
kau akan dapat melakukan semuanya. Rentangkan
kedua tanganmu."
Cipta Angkara menurut merentangkan kedua
tangannya.
"Hantamkan tangan kananmu ke batu besar
itu!"
Kembali Cipta Angkara menurut. Dihantam-
kannya tangan kanan ke muka, pada batu besar yang
berjarak sekitar 10 tombak.
"Hiaat...!"
"Duar...!" Seketika terdengar ledakan dahsyat,
bersamaan dengan runtuhnya batu itu. Batu itu han-
cur berantakan, berhamburan menjadi tepung. Makin
tak mengerti saja Cipta Angkara melihat kejadian itu.
Namun belum sempat semuanya terjawab, terdengar
suara Kerta Ganda Mayit kembali berkata.
"Nah, masihkah kau kurang yakin?"
"Aku yakin."
"Bagus! Sekarang juga kau harus menurut pa-
daku. Kau harus dapat mengambil Keris Kyai Sangkar,
juga Tombak Inti Jagad. Bila dua benda itu telah kau
kuasai, maka kau akan menjadi orang tak tertandingi
di dunia ini. Lakukankah! Kejar adik seperguruanmu."
"Apakah kau tahu di mana adik seperguruanku
berada?"
"Dia berada di wilayah Tegal. Cepat kejar dia,
jangan sampai dia menjumpai Bupati Brebes!"
"Baiklah. Aku akan melaksanakan semua yang
kau maui."
Habis berkata begitu, dengan segera Cipta
Angkara kembali berkelebat. Langkahnya lebar-lebar
hingga dalam beberapa saat saja, ia telah jauh me-
ninggalkan hutan itu.
* * *
Tak terasa Cipta Angkara berlari, ia telah sam-
pai perbatasan Tegal. Hari telah menjelang siang hing-
ga matahari begitu panasnya menerpa bumi. Cipta
Angkara segera memperlambat larinya dan mencari
sebuah kedai karena perutnya telah bernyanyi, memin-
ta untuk diisi.
"Hem, tak terasa aku telah berlari jauh. Seten-
gah hari telah aku lewati untuk berlari." kata Kerta,
"Aku akan menemukan Kidang Emas di kota ini.... Hai,
bukankah itu kuda tunggangannya? Ya, itu memang
kuda tunggangannya. Aku akan pura-pura tak tahu.
Aku akan masuk ke kedai itu untuk mengisi perutku,"
bergumam Cipta Angkara dalam hati, yang kemudian
berjalan mendekati kedai.
Pengunjung kedai nampak banyak hingga tem-
pat duduk pun habis terisi. Sesaat Cipta Angkara me-
lemparkan pandangannya ke sekeliling. Matanya seke-
tika tertuju pada salah seorang yang duduk di ujung
membelakanginya.
"Hem, jangan harap kau bisa lolos dari tangan-
ku," bergumam hati Cipta Angkara, demi dilihatnya
Kidang Emas yang tengah menyantap makan tak tahu
kedatangannya. Cipta Angkara segera memesan makan
dengan suara pelan. Maksudnya agar kedatangannya
tidak diketahui Oleh Kidang Emas.
Cipta Angkara menyantap makanannya dengan
mata sekali-kali menengok ke arah Kidang Emas. Na-
mun betapa tersentaknya Cipta Angkara, manakala di-
lihatnya Kidang Emas tak ada lagi di tempatnya. Ber-
gegas ia membayar makanannya, lalu dengan segera
Cipta Angkara pun berkelebat pergi.
"Itu dia....'" berseru Cipta Angkara dalam hati.
Dilihat olehnya Kidang Emas tengah memacu ku-
danya. Maka dengan segera Cipta Angkara memperce-
pat larinya. Bagaikan kibasan angin, secepat itu pula
Cipta Angkara berlari. Angin lariannya, menjadikan
daun-daun kering beterbangan.
"Berhenti!" teriak Cipta Angkara yang tiba-tiba
telah berdiri di hadapan Kidang Emas. Kidang Emas
tersentak sesaat demi dilihatnya Cipta Angkara telah
berdiri menghadangnya.
Namun bagaikan tak perduli, Kidang Emas te-
rus menghentakkan kudanya. Dicobanya untuk me-
nerjang Cipta Angkara yang berdiri. Namun belum juga
hal itu terjadi, kuda yang ditumpanginya seketika me-
ringkik dan bagai ketakutan mengangkat kedua ka-
kinya tinggi-tinggi. Beruntung Kidang Emas waspada.
Ia segera melompat turun. Sementara kudanya, dili-
hatnya telah mati.
"Hem, ilmu apa yang ia gunakan? Tak kusang-
ka, kalau dia mempunyai ilmu yang begitu tinggi. Heh,
bukankah guru tak pernah mengajari ilmu semacam
itu? Dari mana ia memperoleh ilmu itu?" bertanya Ki-
dang Emas dalam hati. Matanya menatap tajam, me-
lawan pandangan Cipta Angkara yang tersenyum. "Apa
maumu, Iblis!"
"Aku menginginkan apa yang kau bawa."
"Huh, jangan kira aku akan memberikannya."
"Kita buktikan. Bila kau tak mau memberikan-
nya, maka aku yang akan mengambilnya dari tangan-
mu."
Habis berkata begitu, Cipta Angkara tiba-tiba
berteriak. Tubuhnya melompat tinggi, lalu berdiri di
hadapan Kidang Emas. Senyumnya mengembang sinis,
sepertinya memendam kebencian.
Tersentak Kidang Emas melompat mundur. Di-
tatapnya lekat bekas kakak seperguruannya. Tangan-
nya seketika meraba gagang Kyai Sangkar, siap untuk
menghadapi segalanya.
"Kidang Emas, berikan senjata itu padaku!"
"Tidak! Ini bukan hakmu. Ini milik kanjeng
Adipati Brebes!"
"Heh, rupanya kau keras kepala, Kidang Emas!
Jangan salahkan aku," menggeretak Cipta Angkara
marah. Tangannya seketika menyatu, lalu dengan di-
dahului pekikkan Cipta Angkara berkelebat menye-
rang. "Kau seperti si tua bangka itu. Kau harus ku-
singkirkan dari muka bumi ini."
"Jangan sombong, Cipta," berkata Kidang Emas
seraya mengelakkan serangan Cipta Angkara. Dengan
keris Kyai Sangkar di tangan Kidang Emas berusaha
mematahkan setiap serangan. Namun Cipta Angkara
yang telah menyatu dengan Kerta Ganda Mayit, seper-
tinya tenang saja menghadapi senjata sakti itu. Tu-
buhnya bagai belut, licin hingga selalu lolos dari se-
rangan Kidang Emas. Hal itu menjadikan Kidang Emas
makin kalap. Maka dengan penuh emosi, Kidang Emas
makin menambah daya serangannya.
"Keluarkan seluruh kepandaianmu, Kidang! Ke-
luarkan apa yang kau peroleh dari si tua bangkotan
itu. Ha, ha, ha.... Jangan harap kau bakalan mampu
menandingiku."
"Sombong!" mendengus Kidang Emas dan terus
menyerang.
"Aku tidak sombong seperti gurumu, Kidang.
Akan aku buktikan bahwa aku akan segera menjatuh-
kanmu."
Bareng dengan habisnya suara itu, secepat kilat
Cipta Angkara berkelebat. Tangannya yang membara
bagai bara api, berkelebat mengarah pada Kidang
Emas. Saat itu juga, terdengar pekikkan Kidang Emas.
Tubuhnya seketika memerah, bagaikan terbakar.
Cipta Angkara tersenyum sinis melihat adik se-
perguruannya telah dapat dikalahkan. Dengan berge-
rak cepat laksana angin, Cipta Angkara segera merebut
keris Kyai Sangkar dari tangan Kidang Emas yang ten-
gah sekarat. Lalu dengan tanpa mengenal belas kasi-
han, kembali dihantamnya tubuh Kidang Emas.
Untuk kedua kalinya Kidang Emas memekik
panjang. Tubuhnya ambruk hangus bagaikan arang.
Setelah sesaat memandangi tubuh Kidang Emas, den-
gan segera Cipta Angkara pun berkelebat pergi.
* * *
"Murid durhaka! Murid sesat! Bahaya, bahaya!
Sungguh bahaya bila terjadi. Ah, mengapa siluman itu
kembali muncul?" bertanya Brahmana Loka Arya pada
diri sendiri. Brahmana Loka sebagai seorang Wiku
yang sakti mandra guna, tampak telah mengetahui apa
yang telah terjadi. Naluri batinnya, mengatakan bahwa
muridnya yang diberi amanat telah mati di tangan Cip-
ta Angkara. Wajah Brahmana Loka nampak pucat. Mu-
lutnya tampak komat-kamit seperti berdo'a. Ya, dia
memang telah berdo'a untuk kematian seorang murid-
nya yang patuh. Dia juga berdo'a untuk muridnya yang
telah murtad, yang kini telah bersekutu dengan mu-
suhnya.
"Tak kusangka, kalau akhirnya aku memelihara
anak singa," mengeluh Brahmana Loka. "Tapi memang
itu sudah kodrat Yang Widi. Ah, mungkin umurku su-
dah harus berakhir."
"Longkat...!!" berseru Brahmana Loka memang-
gil salah seorang cantriknya.
"Saya, Wiku?" menjawab Longkat dan segera
berlari menghadap.
"Perintahkan pada teman-temanmu untuk
mengungsi."
"Mengungsi, Wiku?" bertanya Cantrik Longkat
tak mengerti.
"Ya, mengungsi."
"Untuk apa, Wiku? Bukankah di sini tenang?"
"Memang saat ini tenang. Tapi sesaat lagi di sini
akan berubah menjadi ajang angkara murka," menje-
laskan Brahmana Loka. Tersentak Longkat melototkan
mata demi mendengar penuturan Brahmana Loka. Me-
lihat hal itu, Brahmana Loka tersenyum sepertinya
hendak memberi semangat pada cantriknya dan ka-
tanya kemudian: "Longkat...."
"Ya, Wiku!"
"Bukannya aku tidak suka kalian bersamaku.
Tapi...."
"Tapi kenapa, Wiku?" bertanya Longkat seraya
mengerutkan alis matanya demi mendengar ucapan
Brahmana Loka yang diputus. Sesaat Brahmana Loka
terdiam. Matanya memandang Longkat dengan pan-
dangan sayu. Hatinya bergetar, manakala melihat wa-
jah Longkat. Dua puluh lima tahun mereka bersatu.
Dua puluh lima tahun pula Longkat, Tenggiri, Sanur,
Lomber, dan Angsono mengabdikan diri padanya. Kini
semuanya hendak berakhir, hanya karena seorang
muridnya yang durhaka. Tak disadarinya, air matanya
pun menetes.
Melihat Wikunya menangis, Longkat pun seke-
tika menderai air mata. Tengah keduanya menangis,
keempat cantrik lainnya datang. Mereka sesaat mena-
tap pada keduanya tak mengerti. Baru mereka turut
menangis manakala Longkat bercerita pada mereka.
"Kita akan berpisah dengan sang Wiku, Ka-
wan."
"Apa...? Kita akan berpisah dengan sang Wiku?"
bertanya keempat cantrik lainnya bareng. Seperti me-
reka terkejut.
"Benarkah, Wiku?"
Brahmana Loka hanya mengangguk. Namun
hal itu telah cukup menjadi jawaban bagi mereka yang
spontanitas mengencangkan tangisnya.
"Jangan tinggalkan kami, Wiku. Jangan...!"
"Aku bukan bermaksud meninggalkan kalian
untuk pergi."
"Tapi, kenapa Wiku mengatakan hendak me-
nyuruh kami pergi?"
"Para cantrikku? Ketahuilah oleh kalian, bahwa
aku tak ingin kalian terbawa bencana yang bakal me-
landa padepokan ini. Aku ingin, kalian dapat hidup te-
rus...."
"Tidak, Wiku. Apapun yang terjadi, kami ikut,"
berkata Angsono dengan mata berlinang linang.
"Benar, Wiku," sambung Tenggiri.
"Ijinkanlah kami selalu bersama Wiku," tambah
Sanur.
"Apakah gerangan yang bakal terjadi hingga
Wiku begitu cemas?" bertanya Lomber yang tampak
agak tenang dibanding dengan keempat teman-
temannya.
Sesaat Brahmana Loka terdiam. Matanya terpe-
jam rapat, sepertinya tengah meditasi. Tangannya me-
nyatu di depan dada, lalu dengan suara serak ia berka-
ta.
"Longkat, Lomber, Tenggiri, Sanur, dan kau
Angsono. Ketahuilah oleh kalian, bahwa sesaat lagi
akan datang petaka. Petaka yang bakal menjadikan
sebuah catatan kehidupan. Petaka yang diibaratkan
dengan pepatah Air Susu Dibalas Air Tuba."
"Ah, Wiku menuduh kami tidak setia," memo-
tong Lomber. Ia menyangka ucapan Wiku tertuju pada
mereka. Brahmana Loka tersenyum dalam diam. Dige-
lengkan kepalanya, lalu kembali ia berkata.
"Bukan pada kalian ucapan itu kutujukan."
"Lalu pada siapakah, Wiku?" bertanya Angsono.
"Masihkah kalian mengingat seorang muridku?"
"Maksud Wiku, Cipta Angkara?"
"Benar jawabanmu, Tenggiri. Dialah yang aku
maksud."
"Maksud, Wiku?" bertanya Longkat belum men-
gerti.
"Dia telah membalas air susu dengan air tuba.
Dia telah membunuh adik seperguruannya, Kidang
Emas, hanya karena keserakahan. Dia juga telah ber-
sekutu dengan siluman Kerta Ganda Mayit, musuhku.
Nah, mungkin dengan keterangan ini kalian telah
mengerti maksudku."
"Kami mengerti, Wiku," menjawab mereka se-
rempak.
"Tapi kami ingin mati bersama Wiku," lanjut
Longkat.
"Benar. Aku juga, Wiku," lanjut Tegiri.
"Aku juga!"
"Aku juga! Biar kami bersama-sama sehidup
dan semati, Wiku."
Trenyuh hati Brahmana Loka mendengar ke-
saksian kelima cantriknya. Maka untuk kedua kalinya
Brahmana Loka pun kembali menangis. Ia menangis
bukan sedih, namun menangis karena rasa haru. Me-
lihat Wikunya kembali menangis, kelima cantrik itu
pun turut menangis pula.
"Jangan kalian sia-sia mengikutiku, Para Can-
trik."
"Tapi kami tak dapat berpisah denganmu, Wi-
ku," berkata Angsono sambil menyeka air mata. "Biar-
kanlah kami ikut denganmu. Kami telah rela, Wiku."
"Aku tahu. Aku mengerti perasaan kalian. Tapi
dengarlah, bahwa kalian masih dibutuhkan oleh yang
lainnya. Nanti bila aku benar telah mati, carilah oleh
kalian seorang pendekar muda...."
"Untuk apa, Wiku?"
"Dengar dulu ucapanku, Tenggiri."
"Baik, Wiku," jawab Tenggiri seraya menunduk.
"Bila kalian telah menemukan pendekar muda
itu, katakan padanya bahwa kalian ingin mengabdi
padanya. Niscaya ia akan mau menerima kalian. Dia
seorang pendekar aneh. Dengan segala sifatnya, dia
bernama Jaka. Karena sifatnya yang konyol, dia lebih
dikenal dengan sebutan Jaka Ndableg. Hanya dialah
yang kelak mampu mengalahkan murid durhaka itu.
Percayalah, dia akan dengan senang hati menerima ka-
lian. Mengabdilah dengan sepenuh hati, seperti pada-
ku. Kalian mengerti, Cantrik?"
"Mengerti, Wiku. Namun bolehkah kami tahu
apa yang bakal terjadi hingga Wiku menyimpulkan be-
gitu?" bertanya Longkat. Tersenyum Brahmana Loka
mendengar pertanyaan Longkat. Diangguk-anggukkan
kepalanya, seperti memahami apa yang terkuak di hati
cantriknya. Lalu dengan seperti bergumam pada diri
sendiri, Brahmana Loka berkata:
"Takdir, Jodoh, Rizki, dan maut adalah kuasa-
Nya. Tak akan ada seorang pun yang sanggup menen-
tangnya. Tak akan ada yang terlepas dari tangan-Nya.
Aku hanyalah manusia, yang hanya bisa berusaha.
Takdirku hanya sampai hari ini."
Terbelalak mata kelima cantriknya mendengar
ucapan Brahmana Loka. Sesaat kelimanya saling pan-
dang, kemudian serentak kelimanya bersujud di kaki
Brahmana Loka sembari menangis.
"Duh, Wiku Agung. Sungguh kami sangat ba-
hagia menjadi abdimu selama ini. Segala yang telah
Wiku berikan pada kami, akan kami amalkan kelak."
"Apakah Wiku tidak lebih baik pergi?"
"Percuma, Angsono. Ke mana langkah kaki, ka-
lau ajal pasti terpaut juga. Begitu juga dengan kejadian
yang bakal terjadi atas diriku. Sudah menjadi kodrat-
Nya, kalau aku harus mati di tangan muridku sendiri.
Jagad Dewa Batara, semoga kalian mengampuni segala
perbuatannya," mendesah Brahmana Loka sembari
menyapu mukanya dengan tangan. "Nah, pergilah ka-
lian. Bawalah Tombak Inti Jagad dan serahkan pada
pendekar muda itu, sebab dialah yang berjodoh. Lak-
sanakan segera!"
"Baik, Wiku. Segala apa yang terucap oleh Wiku
adalah suatu kebahagiaan bagi kami. Ijinkanlah kami
pergi," berkata Angsono mewakili keempat cantrik
lainnya,
"Ya, pergilah! Do'a dan puji aku ucapkan me-
nyertai kalian."
"Terimakasih, Wiku."
"Angsono, jaga baik-baik tombak Inti Jagad itu.
Jangan sekali-kali kau berikan pada orang lain. Beri-
kanlah tombak itu pada pendekar muda itu. Apabila
tombak itu berada di tangan orang-orang sesat, nis-
caya dunia akan hancur. Tombak itu pula yang dapat
menandingi keris Kyai Sangkar. Nah, pergilah"
Dengan mata menangis, kelima cantrik itupun
pergi meninggalkan Brahmana Loka. Dilambaikan tan-
gannya lemas, sepertinya tak ingin perpisahan itu ter-
jadi. Seperti kelima cantriknya, Brahmana Loka pun
menangis. Ditatapnya kepergian kelima cantriknya
yang telah dua puluh lima tahun menjadi abdinya.
"Kalian orang-orang baik. Kalian orang-orang
jujur. Kelak kalian akan memperoleh ganjarannya,"
berkata Brahmana Loka setelah dilihatnya kelima can-
trik itu telah hilang dari pandangan. Lalu dengan sege-
ra Brahmana Loka berkelebat, masuk ke dalam ka
marnya. Di situ ia segera melakukan meditasi, seper-
tinya telah siap menghadapi segalanya.
* * *
Tengah kusuk Brahmana Loka bersemedi, seke-
tika terdengar suara tawa bergelak. Bersamaan dengan
itu, sesosok tubuh berkelebat dengan cepat dan lang-
sung mengobrak-abrik pesanggrahannya.
Brahmana Loka tampak tenang, sepertinya ia
telah mengetahui sebelumnya. Perlahan matanya di-
buka. Ditatapnya dengan tajam orang yang kini berdiri
di hadapannya dengan angkuh.
"Hem, sudah kuduga kalau kau pasti datang,"
berkata Brahmana Loka pelan. Ia segera bangkit dari
duduknya, berdiri berhadapan dengan pemuda di ha-
dapannya.
"Hua, ha, ha.... Loka Arya, selamat berjumpa.
Bagaimana kabarmu?" bertanya pemuda yang berdiri
di hadapannya. Sosok pemuda itu memang Cipta Ang-
kara, muridnya. Namun nalurinya, mengatakan bahwa
yang bicara bukanlah muridnya yang durhaka. Nalu-
rinya mengatakan bahwa orang yang berdiri di hada-
pannya tak lain Siluman Kerta Ganda Mayit.
"Ganda Mayit, apa perlumu muncul kembali?"
"Hua, ha, ha.... Loka Arya, lima puluh tahun
aku menanti-nanti kesempatan seperti ini. Lima puluh
tahun aku tersiksa didera oleh perjanjian kita. Kini apa
yang telah kita janjikan telah terjadi. Salah seorang
muridmu telah membantuku."
"Jadi kau ingin menuntut?"
"Ya.... Bukan itu saja maksudku. Aku akan
kembali membuat semua manusia bertekuk lutut pa-
daku. Akulah raja mereka! Akulah yang paling tersakti
di dunia persilatan."
"Jangan harap, Ganda Mayit!"
"Akan aku buktikan, Loka Arya!"
Brahmana Loka Arya tersenyum mendengar
ucapan Kerta Ganda Mayit. Sepertinya ia tak gentar
menghadapi siluman yang telah menyatu dalam tubuh
muridnya. Lalu dengan masih tersenyum, Brahmana
Loka kembali berkata:
"Ganda Mayit, buanglah semua impianmu.
Kembalilah pada asalmu."
"Hem, rupanya kau masih sombong seperti du-
lu, Loka."
"Bukan aku sombong. Tapi ketahuilah olehmu.
bahwa kau tak akan mampu meluluskan cita-citamu."
"Bedebah! Rupanya kau masih banyak omong.
Akan aku buktikan, bahwa aku lain dengan lima puluh
tahun yang silam, Loka. Bersiaplah, hiat...!"
Amarah Kerta Ganda Mayit tak dapat ditahan
lagi. Ia merasa tak perlu banyak kata dengan Brahma-
na Loka yang ia tahu bukan tokoh sembarangan.
Diserang dengan begitu tiba-tiba, Brahmana
Loka segera berkelit menghindar. Dengan cepat Brah-
mana Loka segera balik menyerang. Pertarungan ulang
lima puluh tahun silam, kini kembali terjadi.
"Suiitttt... Duar!"
Terdengar ledakan dahsyat, manakala tangan
Cipta Angkara berkiblat. Sebenarnya tujuan serangan
itu pada Brahmana Loka. Namun bagaikan burung wa-
let, Brahmana Loka segera menghindar.
Walau begitu, tak urung rumahnyalah yang
termakan. Rumah yang sekaligus pesanggrahan seke-
tika hancur terbakar.
"Edan! Ilmunya makin gila," mengeluh Brah-
mana Loka dalam hati melihat apa yang terjadi. Dilon
tarkan tubuhnya ke udara, keluar dari kobaran api
yang melalap pesanggrahannya.
"Jangan lari, Loka!"
"Aku tidak lari! Aku menunggumu di luar!"
Mendengar jawaban Loka Arya, seketika Kerta
Ganda Mayit segera berkelebat keluar. Di luar Loka
Arya telah berdiri, menunggu kedatangannya dengan
mata memandang tajam.
"Kita lanjutkan, Loka."
"Baik. Apa maumu, aku penuhi."
Habis keduanya berkata, kembali keduanya se-
gera saling serang. Pekikan-pekikan keduanya mem-
bahana, memecahkan sore itu. Jurus demi jurus me-
reka lalui dengan tanpa disadari. Walau usia Brahma-
na Loka sudah tua, namun gerakan-gerakannya masih
tampak gesit. Gerakan mengelak dan menyerang masih
lincah. Tangannya bergerak cepat, menyambar-
nyambar ke kepala lawan.
"Percuma kau datang ke dunia manusia, Ganda
Mayit! Kau akan mengalami kegagalan seperti dulu.
Jangan bermimpi, kalau kau akan mampu menjadikan
dunia ini ajang Iblis."
"Akan aku buktikan, Loka! Akan aku buktikan!"
Brahmana Loka tersenyum mendengar ucapan
Ganda Mayit, lalu katanya kemudian.
"Walau kau dapat mengalahkanku. Masih ba-
nyak orang-orang yang melebihi aku. Masih banyak
orang-orang yang dapat mengalahkanmu, Ganda
Mayit."
"Huh, akan aku lumatkan mereka! Akan aku
buktikan, Loka!"
"Hua, ha, ha... Kau bermimpi! Kau bermimpi!"
"Bedebah! Kau rupanya ingin menurunkan se-
mangatku. Terimalah kebinasaanmu, Loka. Hiat...!"
Kembali keduanya bergerak cepat. Kini bukan
saja jurus-jurus silat yang mereka keluarkan, tapi
ajian-ajian yang mereka miliki juga di keluarkan.
Tempat yang mereka gunakan untuk berlaga
bagai diguncang gempa. Pohon-pohon banyak yang ro-
boh terhantam ajian mereka. Batu-batu berhamburan,
tersapu setiap kibasan tangan mereka. Tak terhitung
berapa jurus mereka keluarkan. Yang jelas mereka te-
lah bertempur sehari semalam.
* * *
Kita tinggalkan dulu Brahmana Loka yang ten-
gah bertempur dengan Ganda Mayit yang telah menca-
pai sehari semalam. Kita tengok kembali kelima cantrik
yang tengah pergi, meninggalkan pesanggrahan mere-
ka.
"Ke mana kita harus mencari pendekar muda
itu?" tanya Longkat pada keempat temannya.
"Entahlah, yang pasti kita harus mencarinya
untuk menyerahkan tombak pusaka ini. Juga kita ha-
rus mengabdikan diri padanya." menjawab Anggsono.
"Tapi firasatku mengatakan bahwa Wika dalam
bahaya. Apakah kita tidak bermaksud menolongnya?"
tanya Sanur.
"Ah, bukankah Wiku telah menyuruh kita jan-
gan sekali-kali kembali ke sana?" balik bertanya Ang-
sono.
"Benar. Tapi aku tak enak, aku ingin kembali."
"Jangan, Sanur! Kau akan mendapat murka
Wiku," mencegah Longkat.
"Benar, Sanur. Jangan kau melanggar," lanjut
Tenggiri.
"Aku bukan ingin melanggar. Aku hanya ingin
melihat apa yang tengah terjadi di sana."
"Sama, Sanur. Setiap penentangan ucapan Wi-
ku, berarti suatu pelanggaran. Ah, sudahlah jangan
pikirkan itu. Ayo kita lanjutkan perjalanan kita," mem-
beri tahu Angsono.
Maka tanpa banyak kata lagi, kelima cantrik itu
pun kembali meneruskan perjalanannya. Dilintasi hu-
tan rimba, lembah dan ngarai. Dengan tanpa mengenal
lelah kelima cantrik itu terus melangkah. Hanya satu
tujuan mereka, yaitu mencari pendekar muda yang
bernama Jaka Ndableg.
* * *
Pertarungan Brahmana Loka dengan Ganda
Mayit masih terus berlangsung. Sudah tiga hari la-
manya mereka bertarung, namun sepertinya tak bakal
ada yang kalah. Kesenjaan usia tak menjadikan Brah-
mana Loka mudah dijatuhkan. Bahkan dengan gesit,
ia mengelak dan membalas menyerang.
"Rupanya kau kedot juga, Loka!"
"Hem... sebenarnya bukan hal itu. Aku hanya
ingin menyadarkan kau, bahwa di dunia manusia ma-
sih banyak orang yang ilmunya jauh lebih tinggi."
"Jangan banyak omong! Hari ini adalah akhir
dari kehidupanmu, Loka! Bersiaplah!"
Habis berkata begitu, Ganda Mayit segera meli-
patgandakan serangannya. Segera ajian yang ia miliki,
dijadikannya menjadi satu. Lalu dengan didahului pe-
kikkan, Ganda Mayit menghantamkan ajiannya.
"Aji Pegat Nyawa, hiat...!"
"Duar! Duuuaaar! Duaaarr...!"
Ganda Mayit nampak menyunggingkan se-
nyum, menyangka kalau Brahmana Loka telah mati.
Namun betapa alang kepalang kagetnya Ganda Mayit
melihat apa yang terjadi. Ternyata Brahmana Loka bu-
kannya binasa, malah kini telah bertengger di atas se-
buah cabang pohon dengan tersenyum.
"Kurang asem! Turun kau, Loka!"
"Tak semudah itu, Ganda Mayit."
Bedebah! Akan aku lumatkan tubuhmu!"
"Lakukan bila kau mampu. Keluarkan segala
ajianmu. Aku tak akan gentar, Ganda Mayit."
"Bedebah! Jangan sombong, Mat...!"
Dihantamnya pohon tempat Brahmana Loka
bertengger. Seketika pohon itu hancur berantakan.
Namun Brahmana Loka seperti tak mengalami sesua-
tu. Ia kini pindah di cabang pohon yang lainnya masih
dengan uraian senyum sembari berkata:
"Adakah yang lebih dari itu, Ganda Mayit?"
"Kunyuk!"
"Kenapa, Ganda Mayit? Apakah kau mengaku
kalah?"
"Jangan harap, Loka!" menjawab Ganda Mayit
mendengus marah.
"Kenapa kau terdiam, Ganda Mayit? Ayo, kelua-
rkan segala ilmu yang kau miliki." mengejek Brahmana
Loka. Hal itu menjadikan Ganda Mayit makin marah.
Nafasnya memburu, matanya menyorot tajam penuh
permusuhan, lalu katanya:
"Mungkin aku tak dapat mengalahkanmu. Tapi
aku akan memperalat muridmu ini. Ketahuilah oleh-
mu, Loka. Muridmulah yang akan membinasakanmu."
Tersentak Brahmana Loka mendengar ucapan
Ganda Mayit. Sesaat ia terdiam mematung, meman-
dang pada tubuh murid durhaka. Angannya melayang
jauh, sepertinya tengah mengingat sesuatu.
"Hem, apakah benar wangsit itu? Apakah me
mang aku harus mati di tangan muridku?" bertanya
hati Brahmana Loka.
Dari tubuh Cipta Angkara, keluar asap tebal
bergulung-gulung mengangkasa. Perlahan-lahan asap
itu membentuk ujud, ujud asli Ganda Mayit. Sesaat
tubuh Cipta Angkara terdiam, lalu matanya perlahan
membuka. Ditatapnya Ganda Mayit yang berdiri di si-
sinya dan bertanya.
"Ada apa, Ganda Mayit? Kenapa kau memang-
gilku?"
"Bunuh orang tua yang nangkring itu!"
Ditunjukknya Loka Arya yang tampak terbela-
lak. Sesaat Cipta Angkara ragu, diam hanya meman-
dang. Hal ini menjadikan Ganda Mayit mengerutkan
alis matanya dan kembali memerintah.
"Kenapa kau diam, Cipta! Bunuh orang tua itu.
Bunuh!"
"Tapi, dia guruku."
"Dia bukan gurumu. Dia musuhmu, Cipta."
"Aku gurumu, Cipta. Kalau kau melakukannya,
kau kualat."
"Jangan hiraukan ucapannya, Cipta. Apakah
kau tak ingin menjadi orang sakti? Bunuh dia!"
"Aku tak mampu, Ganda Mayit."
"Bodoh! Bukankah kau memiliki keris Kyai
Sangkar?"
"Kenapa tidak kau saja, Ganda!" memekik Cipta
Angkara.
"Aku tak mampu memegang keris itu."
"Cipta! Apakah kau benar-benar ingin murtad
dan durhaka?" bertanya Brahmana Loka, ia ingin me-
nyadarkan Cipta Angkara. Namun ternyata dugaannya
meleset. Cipta Angkara yang telah dipengaruhi oleh
Ganda Mayit tak menggubrisnya. Malah dengan mem
bentak Cipta Angkara berkata:
"Serahkan tombak Inti Jagad padaku, maka
kau akan selamat."
"Jangan bermimpi, Anak sundel!"
"Jadi kau lebih memilih mati, Tua bangka?"
"Dia bukan gurumu. Bukan?" berkata Ganda
Mayit memanas-manasi:
"Anak sundel, pusaka itu bukan hakmu, serah-
kan padaku."
"Syetan alas! Jangan kau bermimpi, tua bang-
ka!" memaki Cipta Angkara tak dapat membendung
kemarahannya. Tubuhnya seketika berkelebat, terbang
ke atas cabang. Melihat Cipta Angkara menyerang,
dengan segera Brahmana Loka segera lemparkan tu-
buh ke belakang. Lalu dengan gaya akrobat, Brahmana
Loka berjumpalitan di udara sesaat sebelum akhirnya
kembali duduk di cabang pohon lainnya.
"Bedebah! Rupanya kau menganggap aku kro-
co, Tua Bangka!"
Brahmana Loka tak berkata sepatahpun. Ke-
ringatnya tampak mengalir deras. Ditatapnya keris
Kyai Sangkar yang tergenggam di tangan Cipta Angka-
ra.
"Mungkin ajalku hampir tiba," batin Brahmana
Loka.
"Serang dengan kerismu, Cipta!"
"Hiaaaaatttt...!"
Cipta Angkara kembali berkelebat. Tubuhnya
lurus melayang bagaikan terbang. Keris pusaka Kyai
Sangkar, menjurus lurus ke dada Brahmana Loka
yang telah berdiri di atas cabang.
Tubuh Cipta Angkara bagaikan ada yang men-
dorong, laju dengan derasnya. Membeliak mata Brah-
mana Loka sesaat, sebelum akhirnya memekik. Keris
di tangan Cipta Angkara, tembus melobangi dadanya.
Tubuh Brahmana Loka melayang ke bawah dengan da-
rah menyembur dari dadanya.
"Kau.... Kau, murid durhaka. Kau telah mengo-
tori tanganmu dengan darahku, darah gurumu. Kelak
kau akan mati dengan tragis. Tubuhmu, kelak akan
hancur."
"Persetan dengan ucapanmu, Tua Bangka!"
Ditendangnya tubuh Brahmana Loka, setelah
mencabut kerisnya. Lalu dengan gelak tawa berkepan-
jangan, Cipta Angkara berlalu masuk ke pesanggra-
han. Diobrak-abrik seluruh pesanggrahan untuk men-
cari pusaka Tombak Inti Jagad, tapi tak ditemukan-
nya. Maka dengan penuh amarah, dihantamnya pe-
sanggrahan itu hingga runtuh menjadi puing-puing.
"Sudahlah, Cipta. Jangan kau takut dengan
ucapan tua bangka itu. Percayalah, kaulah yang akan
merajai semua persilatan. Kau akan menjadi orang
nomor satu. Hua, ha, ha...."
Tubuh Ganda Mayit kembali lenyap, masuk ke
tubuh Cipta Angkara. Mata Cipta Angkara yang ta-
dinya sayu mengingat ucapan gurunya, berubah mem-
bara bagaikan mengandung api.
"Akulah penguasa dunia persilatan! Akulah
orang tersakti di dunia persilatan! Hua, ha, ha...!"
Dengan berkelebat cepat bagaikan seekor srigala, Cipta
Angkara pergi meninggalkan pesanggrahan. Ia pergi
dengan membawa ambisi untuk menguasai dunia.
***
TIGA
Pada sebuah dangau seorang pemuda tengah
duduk sambil bernyanyi-nyanyi. Kadang kala tangan-
nya menarik-narik ujung tali yang direntangkan pada
sebuah hantu sawah, untuk mengusir burung-burung
yang hendak memakan padi.
Seorang lelaki lain tampak datang menuju ke
tempat pemuda itu. Lelaki itu tersenyum, saat melihat
pemuda yang berada di atas dangau. Dengan langkah
dipercepat, lelaki yang baru datang dengan membawa
bungkusan makanan berseru.
"Jaka...! Aku bawakan makanan untukmu, kau
telah lapar bukan?"
Pemuda yang tak lain memang Jaka atau si
Pendekar Pedang Siluman tersenyum dan dengan ber-
teriak Jaka berkata: "Benar...! Kau membawakan aku
makanan, Dulah...?"
Dulah mengangguk mengiyakan, membuat Ja-
ka segera turun dari dangau memapakinya. Dengan
bercanda ria, keduanya kembali menuju dangau untuk
makan siang.
Lahap sekali Dulah makan, membuat Jaka
membelalakkan mata. Dengan nada bercanda, Jaka
pun berkata pada Dulah: "Lah... kalau orang sekam-
pung ini seperti kamu, aku rasa dalam sebulan hasil
panen akan habis."
"Kenapa begitu...?" bertanya Dulah tak menger-
ti sembari menyipitkan matanya.
Jaka tersenyum, sebelum akhirnya berkata
kembali: "Betapa tidak! Kalau seluruh warga kampung
ini rakus sepertimu, mana mungkin hasil panen tersi-
sa? Paling-paling untuk makan saja tak cukup."
Dulah bukannya marah, malah tertawa ngakak
mendengar omongan Jaka. Dengan masih menyantap
makanannya, Dulah berkata membela diri. "Tapi....
Bukankah dengan banyak makan akan menambah te-
naga untuk bekerja? Buktinya aku...."
Jaka menganggukkan kepalanya.
"Memang benar apa yang dikatakan Dulah.
Buktinya Dulah bekerja sangat giat dan rajin, seper-
tinya tak mengenal lelah. Membajak sawah, menana-
mi, menyiangi, dan lain-lainnya. Semuanya dikerjakan
Dulah tanpa mengeluh." berkata hati Jaka.
"Lah.... Sudah satu bulan aku di sini."
"Ya. Kenapa...?" tanya Dulah yang masih me-
nyantap makanannya dengan lahap.
Jaka tak segera berkata. Sesaat ditatapnya lan-
git di ujung kulon yang tampak berwarna cerah. Lalu
dengan sekali menghempaskan nafas, Jaka pun segera
melanjutkan ucapannya:
"Sebenarnya, aku di sini tengah mencari seseo-
rang, yang telah membuat keonaran di wilayah kulon
sana. Dia bernama Kowara, atau bergelar Setan Teng-
korak."
Mendengar Jaka tengah mencari seseorang dari
dunia persilatan. Seketika Dulah tersentak kaget,
hingga makanan yang masih dalam mulutnya tersem-
prot ke luar, menjadikannya tersendak dan terbatuk-
batuk.
Melihat hal itu Jaka tersenyum dan segera
mengambilkan air yang segera disambut Dulah.
"Kau.... Kau...?" berkata Dulah terbata-bata
sembari mengurutkan lehernya yang terasa sakit aki-
bat nasi belum ketelan masuk, menjadikan Jaka ma-
kin melebarkan senyumnya.
"Makanya. Kalau sedang makan, jangan ngo
mong dulu. Pamali, kata orang tua."
Dulah hanya menyengir. Dan setelah dapat
menenangkan keadaan, Dulah pun segera meneruskan
ucapannya:
"Kau ternyata seorang pendekar, Jaka?"
"Ah.... Kau terlalu melebihkan, dalam menilai-
ku. Aku tak ubahnya seperti kamu, yang dapat sakit
atau sedih dan bingung," menjawab Jaka merendah.
Dulah tak mau percaya begitu saja. Namun ke-
tika ia hendak berkata lagi, Jaka telah mendahuluinya.
"Sudahlah, jangan terlalu kau pikirkan tentang siapa
aku ini. Yang pasti, aku suka bergaul dan berteman
dengan kamu. Mengenai orang yang sedang aku buru,
aku mendapatkan berita bahwa orang itu kini berada
di wilayah ini."
"Kenapa kau tak mengatakannya dari dulu,
bahwa kau seorang pendekar?" tanya Dulah. Dengan
mata tak berkedip, Dulah pun memperhatikan Jaka
dari ujung rambut sampai ujung kaki. Di hatinya
menggumam, "Memang Jaka seorang pendekar. Dilihat
dari pakaiannya. Itu suatu bukti bahwa ia seorang
pendekar. Ah.... Kenapa aku tak memperhatikannya
dari semula...?"
Jaka kembali menggelengkan kepala, demi
mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Dulah.
Maka dengan memegang pundak Dulah, Jaka pun
berkata:
"Dulah.... Pendekar sejati, adalah pantang ba-
ginya memamerkan diri. Ia lebih suka diam dalam ke-
damaian, daripada terkenal tapi selalu diburu dan ba-
nyak musuhnya di mana-mana. Aku bukanlah seorang
pendekar. Sebab kalau aku seorang pendekar, pasti
aku telah menemukan orang yang aku cari. Sedangkan
kini, nyatanya aku tak lebih dari seorang petani macammu. Bukan begitu, Dulah...?"
Dulah hanya terdiam. Hatinya selalu ragu, un-
tuk mempercayai omongan Jaka. Yang menurutnya,
adalah seorang pendekar sejati.
"Hidup seperti diriku tak pernah menetap pada
sebuah kampung, apakah kau akan kuat? Biasanya
orang yang hidup menetap, akan merasa sungkan bila
harus berjalan-jalan tak tentu arah."
"Tapi aku sanggup, Jaka. Aku kuat melakukan
perjalanan sejauh apapun?" berkata Dulah penuh se-
mangat, seakan ingin meyakinkan pada Jaka agar
mengijinkan dirinya ikut serta.
Untuk kesekian kalinya Jaka menarik nafas
panjang, sebelum akhirnya kembali berkata sambil
tersenyum.
"Ah.... Aku senang mendengarnya, Dulah. Tapi
sungguh aku sangat menyesal, karena aku tak mung-
kin dapat mengajakmu pergi bersamaku."
Mendengar ucapan Jaka, seketika di wajah Du-
lah tergambar rasa kecewa, Jaka yang melihatnya me-
rasa iba. Maka dengan mencoba menghibur Jaka pun
berkata kembali: "Ku harap kau tidak kecewa. Aku ya-
kin bila umur kita panjang, kita akan dapat bertemu
lagi. Bukan begitu, Dulah,..?"
Dulah sesaat tercenung, diresapinya ucapan
Jaka. Perlahan ditatapnya wajah Jaka yang di bibirnya
terurai senyuman.
Tanpa disadari oleh Jaka, dengan seketika Du-
lah memeluk tubuhnya hingga Jaka terdorong ke bela-
kang. Lalu dengan penuh rasa persaudaraan keduanya
tertawa bergelak-gelak.
Ketika sore tiba, dengan beriringan keduanya
segera pulang ke desa, di mana Dulah dan keluar-
ganya tinggal.
* * *
Malam begitu mencekam. Bulan di angkasa la-
mat-lamat tertutup oleh awan hitam. Angin malam
berhembus dengan cepatnya. Menjadikan hawa dingin
yang mendirikan bulu kuduk.
Di ruang depan, tampak Dulah dan keluar-
ganya tengah duduk-duduk sembari bercengkrama. Di
situ pula tampak Jaka turut serta. Tampak keluarga
Dulah sangat senang dengan kehadiran Jaka di rumah
mereka, yang secara langsung telah memperingan be-
ban Dulah sebagai anak lelakinya.
"Jaka.... Emak dengar kau tengah memburu
seorang tokoh persilatan, apa benar?" bertanya Emak
Dulah ketika mereka ngobrol.
Ditanya seperti itu, sesaat Jaka tak mampu
menjawab. Ia hanya tertunduk memandang pada lan-
tai yang masih asli dari tanah. Dihempaskan nafasnya
sesaat sebelum akhirnya ia mengangguk
"Rupanya kau seorang pendekar, Anakku?"
tanya ayah Dulah setelah melihat Jaka mengangguk.
Pertanyaan itu membuat Jaka tersentak, dan seketika
menatap pada Dulah.
Melihat Jaka terdiam, ayah Dulah kembali me-
neruskan ucapannya: "Sungguh sebuah kehormatan
bagi kami, sebab ternyata nak Jaka sudi bertandang di
gubug ini."
"Benar, Nak Jaka. Betapa pun kami akan me-
rasa tentram dan bahagia bila nak Jaka akan lebih la-
ma tinggal di rumah ini," menambahkan Emak Dulah,
membuat Jaka seketika makin mendalamkan tundu-
kan mukanya karena haru.
Sesaat setelah menghela nafas, Jaka pun ber-
kata pelan dan tenang. "Emak dan Bapak, juga Dulah.
Sebenarnya aku pun ingin lebih lama tinggal di sini.
Tapi bila orang yang sedang aku cari telah aku dapati,
maka aku pun harus pergi."
"Kenapa begitu?" bertanya Emak Dulah terbela-
lak kaget dengan rasa tak mengerti. Hingga membuat
Jaka kembali terdiam sebelum kembali berkata.
"Emak.... Sudah menjadi tugasku, harus me-
numpas kejahatan yang ada di dunia ini. Walau nyawa
sebagai taruhannya."
Terbelalak semua mata yang ada di ruangan
itu, demi mendengar penerangan Jaka. Dalam hati me-
reka bergumam rasa kagum. Tanpa sadar dari mulut
mereka keluar desahan panjang. "Oh...!"
"Itulah, Emak dan Bapak. Mengapa aku tak
berkenan menerima Dulah ikut bersamaku. Aku takut
Dulah akan menderita."
Sedang mereka asyik bercengkerama, tiba-tiba
terdengar bunyi kentongan tanda bahaya bergema. Se-
saat keempat orang yang tengah bercakap-cakap itu
saling pandang bertanya-tanya.
Setelah menyarankan agar keluarga Dulah te-
tap di rumah, Jaka segera berkelebat pergi. Kepergian
Jaka yang begitu cepatnya bak angin, menjadikan se-
mua yang ada di ruangan itu membelalakkan mata
dengan mulut terbuka bengong.
Jaka terus berlari menuju asal suara kenton-
gan itu. Ia segera mendapati orang yang menabuhnya
dan segera ditanyainya.
"Bapak, ada apakah gerangan?"
"Penculikan seorang gadis," menjawab orang
penabuh kentongan. Orang itu terus memukul kenton-
gan hingga yang lainnya pun turut membunyikannya.
"Di mana penculikan itu, Pak?" kembali Jaka
bertanya.
Tanpa bicara sepatahpun, bapak tua penabuh
kentongan itu menunjuk arah dengan telunjuknya.
Setelah mendapat petunjuk dari bapak tua itu,
dengan cepat Jaka segera berlari menuju ke arah ter-
sebut. Dengan ajian Angin Puyuh maka tanpa menga-
lami kesulitan, Jaka Ndableg dapat segera menyusul
begal-begal itu.
"Berhenti...!!" membentak Jaka setelah dapat
menghadang lari ketiga begal itu, yang tampak tersen-
tak melihat kedatangan Jaka Ndableg.
Setelah tahu siapa orang yang menghadangnya,
yang ternyata hanyalah seorang anak muda dan sendi-
rian pula. Maka tertawa bergelak-gelaklah ketiga begal
itu.
"Anak muda, lancang benar kau! Berani kau
menghadang kami, Tiga Begal Dari Susukan yang su-
dah kesohor," berkata salah seorang dari ketiga begal
itu dengan sombongnya.
Jaka tampak tenang. Perlahan, tanpa rasa ta-
kut dihampirinya ketiga begal itu. Lalu dengan bibir
mengurai senyum, Jaka berkata:
"Hai begal-begal kecoa. Apa kalian merasa pal-
ing tinggi ilmunya di jagat raya ini, hingga tindakan
kalian begitu telengas dan biadab. Hai, begal-begal ke-
coa busuk, mungkin orang lain akan takut padamu.
Tapi aku, tidak! Serahkan gadis itu padaku, atau ka-
lian akan direncah oleh penduduk desa ini."
Mendengar ucapan Jaka yang dianggap mereka
hanya untuk menakut-nakuti. Maka ketiga begal itu
kembali bergelak tawa. Begal yang membopong tubuh
gadis dengan mendengus berkata:
"Slompret! Apa kau kira kami takut dengan an-
camanmu, Anak muda! Panggil seluruh warga desa ini
untuk menangkap kami. Ha... ha...."
Jaka sesaat mendenguskan nafasnya. Matanya
dengan liar dan tajam memperhatikan ketiga begal itu.
Maka dengan kembali tertawa bergelak-gelak yang
membikin ketiga begal itu tersentak kaget dan segera
menutupi telinga mereka karena tawa Jaka kali ini di-
barengi dengan ajian Pekik Prahara, berkata:
"Begal-begal kecoa busuk! Jangan kalian taka-
bur! Kalian boleh bergembira karena warga desa tak
berani menghadapi kalian. Tapi kini, kalian akan sege-
ra merasakan sakitnya disiksa oleh warga desa. Nah,
bersiaplah!"
"Slompret! Jangan kira kami takut padamu,
anak muda. Jangan banyak bacot, ayo tangkap kami
atau kau akan menjadi bubur blohok oleh kami." kem-
bali berkata Begal yang menggendong tubuh gadis di
pundaknya dengan penuh amarah.
"Serang!" Kembali begal itu berseru mengoman-
dokan pada kedua rekannya, yang seketika itu juga
maju menyerang cepat dengan jurus-jurus yang lang-
sung mematikan.
Jaka yang sudah menduga sebelumnya, dengan
bersuit nyaring segera melompat mengelak. Hingga ke-
dua begal itu mendapatkan angin belaka, hal itu mem-
buat keduanya makin marah dan segera meningkatkan
serangannya.
Sejauh itu, Jaka belum berniat untuk memba-
lik menyerang. Ia ingin mengukur sampai di mana
tingkat ilmu begal-begal itu. Maka dengan mengelak
dan terus mengelak Jaka mengimbangi serangan ke-
duanya.
Perkelahian satu lawan dua pun berjalan den-
gan serunya. Tubuh mereka berkelebat dengan cepat-
nya. Jurus demi jurus mereka lalui, tampak tak ada
yang bakal menang. Tapi...! Secepat kilat Jaka melen
tingkan tubuhnya tinggi, lalu setelah mencapai keting-
gian hampir sepuluh tombak segera menukik. Dan...!
"Tok! Dug.... Dug!" Tanpa dapat dielakan atau-
pun dicegah oleh kedua begal yang mengeroyoknya,
Jaka telah menghantamkan pukulan totokannya pada
keduanya.
Seketika keduanya terkulai dan terjatuh ke ta-
nah dengan tubuh lemas. Melihat kedua temannya ro-
boh, pucat pasilah wajah begal yang memanggul tubuh
gadis culikannya.
Jaka tersenyum sinis. Dengan perlahan diham-
pirinya begal yang masih berdiri dengan memanggul
tubuh gadis culikan itu.
Sebelum Jaka sampai, dengan segera dilempar-
kannya tubuh gadis itu. Lalu dengan penuh ketakutan
begal itu berlari.
Belum juga ia berlari jauh, tiba-tiba Jaka telah
berdiri menghadang di muka. Maka makin takut saja-
lah begal itu. Tubuhnya seketika menggigil, dan am-
bruk bersujud di hadapan Jaka.
"Kenapa kau sepengecut ini? Mana nama be-
sarmu?" bertanya Jaka dengan nada sengau, membuat
begal itu makin mendalamkan sujudnya seraya berka-
ta dengan terbata-bata:
"Ampun... Ampunilah nyawaku, Anak muda.
Aku... aku hanya diperintah. Jangan bunuh aku."
"Bangunlah.... Katakan siapa yang menyuruh-
mu? Dan di mana orang yang menyuruhmu itu bera-
da?" bertanya Jaka setelah mendengar ucapan begal
itu.
Dengan perasaan takut, sang begal pun segera
menurut bangun dan berdiri di hadapan Jaka. Lalu
dengan terlebih dahulu menengok ke kanan dan ke ki-
ri, sepertinya ada yang ditakutinya, begal itupun ber
kata:
"Aku disuruh oleh.... Oleh Ko.... Kowara atau
Setan Tengkorak yang bersarang di Bukit Perawan..."
"Di mana letak Bukit Perawan?" bertanya kem-
bali Jaka meminta penjelasan. Dari belakang terdengar
orang-orang kampung berseru, membuat Jaka segera
memalingkan mukanya untuk melihat apa yang tengah
terjadi.
Hal itu membuat kesempatan bagi si begal un-
tuk melarikan diri. Jaka tersentak dan berusaha men-
gejar begal itu, namun ternyata begal itu telah berlalu
dengan cepatnya.
"Sialan! Licik benar. Tapi awas, kalau aku ber-
temu lagi." menggerutu Jaka penuh kekesalan merasa
telah dipermainkan oleh si begal. Maka dengan kesal di
hatinya, Jaka segera kembali ke tempat di mana warga
kampung berkerumun.
Warga kampung tengah menghajar habis-
habisan kedua begal yang sudah tak berdaya itu. Se-
mentara yang lainnya segera mengurus gadis yang ma-
sih dalam keadaan pingsan.
Melihat kedatangan Jaka dengan segera semua
warga kampung yang sedari tadi mengeroyok kedua
begal, berpaling memperhatikan Jaka dengan penuh
rasa hormat.
"Saudara-saudara. Janganlah kalian main ha-
kim sendiri, sebab hal itu akan merugikan sepihak. Bi-
arkanlah pengurus kampung ini yang akan menghu-
kum mereka." berkata Jaka.
Semua orang yang di situ segera menepi, mem-
biarkan Jaka menemui kedua begal yang masih terto-
tok itu.
Dengan segera Jaka membebaskan totokan pa-
da kedua begal itu, yang seketika pulih seperti sedia
kala. Maka dengan diarak oleh warga kampung, begal-
begal itu digiring menuju ke balai desa.
Ketika mereka berjalan menuju ke balai desa.
Jaka segera berkelebat kembali menuju ke rumah ke-
luarga Dulah yang tampak masih menanti Jaka den-
gan perasaan was-was.
Melihat kedatangan Jaka seketika di wajah ke-
luarga Dulah terbersit rasa gembira. Hingga tak dirasa
dari mulut Dulah membersit kata-kata: "Wah.... Aku
rasa kau telah berhasil menangkap begal-begal itu,
bukan begitu?"
Mendengar ucapan Dulah, Jaka hanya terse-
nyum menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dulah.... Du-
lah. Bukan aku yang menangkap, tapi orang-orang
kampunglah yang menangkapnya," berkata Jaka men-
gelak. Tapi Dulah yang memang kagum pada Jaka dan
telah tahu siapa Jaka adanya tak mau percaya begitu
saja. Maka seketika itu, Dulah pun berkelebat menuju
ke balai desa tanpa dapat dicegah oleh Jaka yang
hanya dapat terbengang-bengong.
Tak berapa lama antaranya, Dulah telah kem-
bali dengan wajah berseri-seri. Emak dan Bapaknya
saling pandang tak mengerti seraya bertanya.
"Kenapa kau, Lah? Kok dari balai desa cengar-
cengir kaya orang kesambat setan?" bertanya Bapak-
nya. Namun Dulah tak menggubrisnya, bahkan den-
gan segera ditariknya tangan Jaka yang masih berdiri
terpaku.
"Nah, kau telah berbohong. Ternyata memang
kaulah yang telah menangkap kedua dari tiga begal
itu. Dan kata orang-orang kau berilmu aneh, apa be-
nar?" cerocos Dulah membuat Jaka geleng-geleng ke-
pala dan memandang pada kedua orang tua Dulah
yang tersenyum senang.
"Dulah, mana ada orang berilmu aneh?" berka-
ta Jaka hendak mengelak kembali. Namun Dulah yang
telah mendengar langsung dari orang-orang kampung
tak mau percaya begitu saja. Dengan menggeleng ke-
pala, Dulah kembali berkata.
"Ada.... Buktinya kau dapat melumpuhkan ke-
dua begal itu. Apakah itu bukan bukti? Mengaku
dong?"
Jaka terdiam sesaat. Lalu setelah menarik na-
pas dalam-dalam. Jaka menceritakan apa yang telah
diceritakan orang kampung pada Dulah. Tentang ilmu
totok, yang dapat melumpuhkan orang.
"Oh...! Kalau begitu, aku pun bisa. Begini-
kah...?"
Maka dengan gaya kekonyolannya, Dulah pun
beraksi dengan jurus-jurus karyanya sendiri. Kedua
orang tuanya dan Jaka seketika tertawa bergelak-
gelak, demi melihat tingkah laku Dulah.
"Ini jurus, Kera Makan Roti. Hiat...!"
Kembali Dulah berjumpalitan dan melompat-
lompat memperagakan jurus-jurus ciptaannya. Hingga
saking asyiknya, Dulah sampai tak melihat meja di de-
pannya. Dan ketika kakinya hendak mengait.
"Aduh...!" Dulah menjerit kesakitan, kala ka-
kinya beradu dengan kaki meja. Bagaikan ayam dipo-
tong, Dulah pun berguling-guling menahan sakit yang
teramat sangat.
Melihat hal itu, kembali Jaka dan kedua orang
tua Dulah tertawa tergelak-gelak. Tinggal Dulah yang
menggerutu sambil menahan sakit.
Malam kian larut. Mungkin tak lama antaranya
pagi akan datang. Sesosok tubuh berkelebat pergi me-
ninggalkan rumah keluarga Dulah.
Tubuh itu ternyata Jaka adanya dengan cepat
berlari ke arah Selatan di mana terletak Bukit Pera-
wan, tempat bersembunyinya Kowara atau Iblis Teng-
korak.
"Kowara! Keluar kau!" berseru Jaka memanggil
nama orang yang sudah sekian lama diburunya, orang
yang telah membuat keonaran di desa Sindang Gem-
pol.
"Kowara! Apa kau telah tuli?!" Kembali Jaka
berteriak, setelah sekian lama menunggu jawaban dari
orang dipanggilnya tak kunjung datang.
Masih juga tak ada jawaban. Hal ini membuat
Jaka kesal. Maka dengan tanpa sabar, Jaka segera
menerobos masuk pada sebuah goa.
"Tak ada! Ke mana perginya iblis itu? Hai! Jan-
gan-jangan ia telah diberitahu oleh anak buahnya."
Sedang Jaka membatin, tiba-tiba matanya menangkap
sebuah bayangan berkelebat dari samping goa. Dengan
segera Jaka pun berlari keluar memburunya.
"Itu dia! Mau lari ke mana, Kau!" berseru Jaka
dengan kesal. Dengan mengerahkan aji Angin Puyuh
terus memburu Kowara.
"Berhenti!" membentak Jaka setelah dapat
menghadang Kowara yang tampak tersentak surut.
"Kau...?"
"Ya, aku. Selamat berjumpa kembali, Kowara.
Hari ini juga aku hendak meringkusmu untuk mem-
pertanggungjawabkan perbuatanmu di wilayah kulon."
Mendengar ucapan Jaka bagaikan tanpa rasa
takut Kowara atau Iblis Tengkorak tertawa bergelak-
gelak. Lalu dengan congkaknya berkata: "Anak muda!
Percuma kau ingin menjadi pahlawan kesiangan. Ha...
ha...!"
"Sombong! Mari kita buktikan. Hiat...!" Seketika
tubuh Jaka berkelebat dengan cepatnya, menyerang
Kowara yang segera mengelak.
Keduanya pun segera terlibat perkelahian. Ju-
rus demi jurus mereka keluarkan. Hampir empat pu-
luh jurus sudah berlalu. Namun tampak keduanya
sama-sama tangguh dan seimbang.
"Anak muda! Terimalah kematianmu. Hiat...!"
Kowara atau Tengkorak Iblis berkelebat dengan cepat-
nya, membentuk sebuah lingkaran. Dari sinar-sinar
yang keluar membersit bau busuk yang menyesakkan
pernapasan. Itulah ajian Racun Tengkorak Darah. Se-
buah ajian yang dapat membunuh musuhnya perla-
han, dengan menyumbat pernapasan.
Jaka tersentak, kala merasakan adanya hawa
aneh yang bergerak menyerangnya. Dengan seketika
Jaka pun melentingkan tubuhnya ke udara. Dan den-
gan menutup jalan darahnya Jaka segera menukik.
Saat itu juga, tampak dari tangan Jaka larikan warna
merah. Itulah aji Getih Sakti.
Kali ini Kowara yang tersentak kaget. Ia ber-
maksud mengeluarkannya, namun sinar merah itu te-
lah mendahuluinya. Hingga...!
Wussttt...!
"Aaahhh...!"
Seketika terdengar jeritan Kowara sesaat, sebe-
lum tubuhnya hancur menjadi debu. Setelah melihat
Kowara telah mati, Jaka segera berlalu pergi, kembali
ke rumah keluarga Dulah.
Pagi telah datang, kala Jaka meminta ijin pada
keluarga Dulah untuk kembali meneruskan pengem-
baraannya. Dengan perasaan berat, keluarga Dulah
pun terpaksa melepas kepergian Jaka dari rumah me-
reka.
***
EMPAT
Di depan empat makam gurunya tampak Jaka
bersimpuh. Di sampingnya duduk seorang gadis yang
tak lain Sri Ratih. Seperti Jaka, Ratih pun tengah
mengheningkan cipta berdo'a.
"Guru sekalian, semoga kalian tentram di alam
sana."
"Kakang Jaka...."
"Ada apa, Ratih?"
"Ada orang datang ke mari, Kakang."
Jaka segera menengok ke samping kanannya.
Tampak lima orang berjalan menuju ke arahnya.
"Siapakah mereka?" bertanya Jaka sepertinya
pada diri sendiri.
"Entahlah, Kakang. Aku sendiri tak mengenal
mereka."
"Tapi dilihat dari tingkah mereka, sepertinya
mereka bukan orang jahat." kembali Jaka berkata.
"Sampurasun...!" menyapa salah seorang dari
kelimanya.
"Rampes...!" menjawab Jaka dan Ratih bareng.
"Kalau boleh kami bertanya di manakah kami
bisa menemukan pendekar muda bernama Jaka Ndab-
leg?" bertanya Angsono, menjadikan Jaka dan Ratih
sesaat saling pandang. Kemudian Jaka sejenak me-
mandang pada kelimanya bergantian.
"Adakah keperluan penting hingga kalian men-
cariku?"
"Jadi, jadi tuankah orangnya?"
Terbelalak kelimanya mendengar jawaban Jaka
sampai-sampai kelimanya melototkan mata dan bareng
bertanya. Jaka tersenyum mengangguk.
"Ya, akulah orangnya yang kalian can. Ada
apakah?"
"Ampun, tuan pendekar. Kami adalah para can-
trik Brahmana Loka. Kami diberi amanat oleh beliau
untuk menyerahkan benda ini."
Disodorkan tombak Inti Jagat oleh Angsono pa-
da Jaka. Sesaat Jaka terdiam tak segera menerimanya.
Kembali dipandangi kelima cantrik itu, seperti bim-
bang.
"Apakah kau tak salah alamat, Cantrik?"
"Tidak, Tuan Pendekar," menjawab Angsono.
"Benar Tuan Pendekar. Kami juga disuruh
mengabdikan diri pada tuan," menambah Longkat.
"Ah, apa kalian tidak main-main?" kembali Ja-
ka bertanya sepertinya ia belum yakin. Dipandangi Ra-
tih yang memandang ke arahnya juga dengan bibir ter-
senyum. "Bagaimana, Ratih?"
"Kalau memang itu suatu amanat. Terimalah,
Kakang."
"Baiklah. Aku terima semuanya."
"Maksud tuan pendekar?" tanya Angsono belum
mengerti.
"Loh, bukankah kalian ingin ikut denganku?"
balik bertanya Jaka, menjadikan kelima cantrik sesaat
mengerutkan alis matanya. Lalu bagaikan dipimpin,
kelima cantrik itu segera jatuhkan diri bersujud.
"Terimakasih, Tuan. Terimakasih," ucap mereka
bersamaan.
"Ah, tak usahlah kalian menyembah-nyembah
seperti itu."
Mendengar ucapan Jaka, kelima cantrik itu se-
gera bangun.
Tuan Pendekar, hidup dan mati kami sepenuh-
nya untuk mengabdi pada tuan."
"Hai, apakah kalian sedang mengigau?"
"Tidak! Kami tidak mengigo, Tuan," menjawab
Angsono.
Jaka hanya garuk-garuk kepala, lalu katanya
kemudian.
"Wah, aku bukan raja. Aku tak berani meneri-
ma pengorbanan kalian tanpa aku dapat membantu.
Apa yang harus aku lakukan untuk kalian semua?"
"Tanpa apa pun yang kami minta," menjawab
Tenggiri.
Terbelalak mata Jaka sampai melotot menden-
gar ucapan Tenggiri. Hal itu menjadikan kelima cantrik
kembali bertanya.
"Kenapa tuan pendekar?"
"Tidak apa-apa. Baiklah, aku terima pengab-
dian kalian."
Mendengar ucapan Jaka, bagaikan seorang
anak kecil yang diberi permen kelima cantrik itu terse-
nyum bahagia. Sementara Jaka hanya mampu mengu-
lum senyum memandangi kelimanya yang tampak be-
rangkulan. Diliriknya Ratih yang juga tertawa geli.
"Eh, apakah kalian sudah makan?"
"Belum, Tuan pendekar!" menjawab kelimanya
serempak.
"Wah! Ratih, kau sudah masak?"
"Sudah, Kakang Jaka."
"Nah para cantrik, kalian makanlah dulu. Ra-
tih, ajak mereka makan."
"Baik, Kakang Jaka." menjawab. Ratih. "Mari,
Paman-paman sekalian." ajak Ratih yang dengan sege-
ra diikuti oleh kelimanya.
Jaka tampak menggelengkan kepala setelah
kepergian mereka. Ia tak habis pikir, mengapa dirinya
yang menerima senjata pusaka itu. "Hai, siapakah na
ma mereka? Kenapa aku tidak menanyakannya? Dan
kenapa mereka pergi dari pesanggrahan? Ah, macam-
macam saja kehidupan." Dengan perlahan Jaka segera
berlalu meninggalkan makam menuju ke pondoknya.
"Oh ya, siapa nama kalian semuanya?" ber-
tanya Jaka setelah kelima cantrik itu telah selesai ma-
kan.
"Nama hamba Longkat."
"Nama hamba, Tenggiri."
"Hamba Sanur, Tuanku."
"Hamba bernama Lomber, Tuanku."
"Dan hamba, Angsono."
"Kalian semua, kenapa kalian pergi dari pe-
sanggrahan?" bertanya Jaka pada kelimanya setelah
sesaat mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ke-
lima cantrik itu saling pandang, lalu Angsono yang pal-
ing tertua berkata:
"Hamba diperintah oleh Wiku untuk pergi."
"Kenapa? Apakah kalian mempunyai kesala-
han?"
"Tidak, Tuanku." menjawab Longkat.
"Lalu kenapa? Apakah Wiku Brahmana Loka
ada sesuatu kepentingan hingga menyuruh kalian per-
gi?"
"Benar, Tuanku. Wiku menyuruh kami pergi,
karena Wiku tak menginginkan kami celaka," berkata
Tenggiri.
"Celaka...?" bergumam Jaka kaget. "Celaka ba-
gaimana?"
"Salah seorang murid Wiku yang murtad hen-
dak membuat kerusakan."
"Maksudmu, Angsono?" bertanya Jaka belum
mengerti.
"Murid murtad itu telah bersekutu dengan si
luman. Dia menghendaki pusaka milik Wiku. Wiku
memiliki dua pusaka sakti. Yang pertama keris Kyai
Sangkar, kedua Tombak Inti Jagad yang sekarang be-
rada di tangan tuan," menerangkan Angsono.
"Kenapa tidak diberikan?"
"Bahaya, Tuanku."
"Bahaya bagaimana, Angsono?" Jaka kembali
bertanya.
"Kalau kedua senjata pusaka itu berada di tan-
gannya, mungkin senjata itu akan bencana."
Jaka terangguk-angguk mengerti. Dihelanya
napas panjang-panjang, sebelum akhirnya kembali
berkata. "Lalu, bagaimana dengan Tuan Brahmana Lo-
ka?"
"Entahlah, Tuan. Mungkin kini tengah berta-
rung melawan murid murtadnya yang bersekutu den-
gan Siluman Kerta Ganda Mayit."
"Apa...! Jadi sekarang Wiku tengah menghadapi
Siluman Kerta Ganda Mayit?" bertanya Jaka terbelalak
kaget. Matanya seketika memandang tajam pada keli-
manya. "Kenapa kalian malah pergi?"
"Kami disuruh pergi oleh Wiku." menjawab
Angsono seraya menundukkan muka tak berani men-
gadu pandang dengan Jaka.
Terdiam Jaka penuh rasa. Nafasnya turun naik,
memburu bagaikan memendam amarah. Kelima can-
trik di hadapannya turut hening! Begitu juga Ratih
yang duduk di sampingnya.
"Kita harus kembali," berkata Jaka kemudian.
"Maksud, Tuan?" serempak kelima cantrik ber-
tanya tak mengerti.
"Kita harus kembali ke pesanggrahan."
"Jangan, Tuan."
"Kenapa, Longkat? Apakah kalian takut?"
"Tidak, Tuan. Kami tidak takut, tapi Wiku telah
berpesan pada kami agar kami jangan sekali-kali balik
bila tombak Inti Jagad masih berada pada kami. Juga
kami disuruh mengabdi pada tuan belaka."
"Sekarang kalian telah menemui aku dan telah
menjadi abdiku. Sekarang juga, kita berangkat ke sa-
na."
Tanpa dapat dicegah oleh kelima cantrik yang
akhirnya mengikuti, Jaka segera bergegas pergi menu-
ju ke pesanggrahan Brahmana Loka. Ratih pun tak ke-
tinggalan ikut serta bersama mereka.
* * *
Perguruan Singa Putih...
Langit di atas perguruan Singa Putih tampak
mendung. Awan tampak bergayut dengan tebal. Angin
puyuh berhembus kencang, menyapu awan dari sela-
tan yang makin menambah menggulung. Walau men-
dung telah begitu tebalnya, namun hujan tak kunjung
jatuh.
Di sebuah kursi kepemimpinan, tampak seo-
rang lelaki dengan usia 40 tahun duduk. Alis matanya
nampak mengerut. Dengan mata memandang ke luar.
"He, sepertinya pertanda buruk. Ada gerangan
apakah?" bertanya hati lelaki itu. Perlahan ia bangkit
dari duduknya. Sesaat dia berdiri, lalu melangkah ke-
luar. Di samping perguruan, tampak murid-muridnya
tengah berlatih dipimpin oleh murid tertuanya.
"Ehm...!"
Melihat ketua perguruan datang, tanpa diko-
mando keseluruhan murid perguruan serentak menju-
ra.
"Raspati...!"
"Hamba, Guru," menjawab Raspati yaitu pimpi-
nan latihan. Ia adalah seorang murid utama perguruan
Singa Putih. Sebenarnya murid utama Singa Putih ada
lima orang yaitu, Raspati, Bambang Sodra, Rangka La-
nang, Lumajang Geni, dan Srenggani seorang murid
wanita. Namun keempat murid utama lainnya kini ten-
gah mengabdi pada kerajaan hingga tinggal Raspati
yang masih di situ.
"Raspati, tidakkah kau mempunyai firasat?"
"Firasat? Firasat apakah, Guru?" bertanya Ras-
pati tak mengerti.
"Hem, tidakkah kau lihat mendung di langit
itu?"
Raspati segera menengadahkan mukanya ke
langit. Tampak mendung seperti tak mau pergi, ber-
gayut di atas perguruan. Pertanda apakah?
"Benar, Guru. Hamba melihat mendung seper-
tinya tak beranjak pergi. Gerangan apakah, Guru?"
"Mendung itu pertanda kegelapan, Raspati,"
"Apa...?" serentak keseratus murid perguruan
berseru kaget demi mendengar ucapan ketuanya. Mata
mereka seketika saling pandang, lalu sejurus kemu-
dian menatap pada ketuanya.
"Ampun, Guru. Petaka apa yang bakal tiba?
Ijinkanlah kami mengetahuinya, agar kami dapat be-
rusaha mencegahnya," bertanya Raspati.
Sejenak pemimpin Singa Putih yang bernama
Singa Amangkurat terdiam. Dihelanya napas panjang,
lalu dihembuskan perlahan. Matanya kembali menen-
gadah ke langit, di mana mendung masih. bergayut.
Tengah mereka dicekam diam, tiba-tiba terdengar sua-
ra gelak tawa panjang. Bersamaan dengan habisnya
gelak tawa itu, seketika berkelebat sesosok tubuh.
"Siapa kau?!" membentak Raspati.
"Singa Amangkurat, tidakkah kau dapat men-
gajar adat muridmu? Lancang benar ucapannya," ber-
kata pemuda yang telah berdiri di hadapan Singa
Amangkurat.
"Maafkan kelakuan muridku, Ki Sanak. Siapa-
kah gerangan Ki Sanak sebenarnya? Lalu, ada keper-
luan apakah?"
"Amangkurat. Aku datang ke mari untuk men-
gajakmu menjadi pengikutku. Bagaimana, Amangku-
rat?"
"Maaf, Ki Sanak. Kami belum mengenalmu, un-
tuk itulah sudi kiranya Ki Sanak mengenalkan nama."
"Namaku Cipta Angkara atau Penguasa Tunggal
Persilatan."
"Setan Alas! Jangan kau ngaco belo, Anak mu-
da!"
"Amangkurat, sungguh lancang muridmu. Apa-
kah kau tidak dapat mengajarnya? Apakah aku yang
harus mengajarnya?"
"Kau terlalu lancang, Anak muda. Kau seakan
merendahkan kami. Datang tanpa permisi, tiba-tiba
kau mengaku-aku penguasa tunggal Dunia Persilatan.
Jangan mimpi!"
Geram hati Cipta Angkara mendengar ucapan
Raspati. Maka tanpa memperdulikan Singa Amangku-
rat, Cipta Angkara segera berkelebat hendak menye-
rang Raspati. Namun langkahnya seketika terhalang
oleh Amangkurat yang dengan cepat menghadangnya.
"Rupanya kau pun hendak menentangku,
Amangkurat!"
"Kalau kau berlaku baik. Aku tak akan menen-
tangmu, Anak muda." menjawab Amangkurat tenang.
"Jangan banyak dalih, Amangkurat. Katakan,
mau atau tidak kau menjadi pengikutku!"
"Tidak!" menjawab Raspati mendahului gu-
runya.
"Bedebah! Rupanya murid dan guru sama.
Baik, jangan salahkan aku bertindak telengas!" mema-
ki Cipta Angkara, lalu dengan penuh amarah Cipta
Angkara segera menyerang.
Diserang begitu rupa, dengan segera keseratus
anak murid Singa Putih serempak maju mengurung.
Hal itu makin menjadikan amarah Cipta Angkara.
Dengan membabi buta bagai tak kenal rasa kasihan,
Cipta Angkara menghantamkan ajiannya Lebur Suk-
ma. Seketika pekik-pekik kematian pun bergema.
Melihat hal itu, serentak Raspati menghadang.
Ia tak ingin adik-adik seperguruannya mati sia-sia. Di-
papakinya serangan Cipta Angkara dengan ajian Lo-
reng Cabik. Seketika kuku-kuku tangan Raspati me-
manjang. Tubuhnya berubah sedikit demi sedikit. Mu-
kanya yang bagus, seketika berubah menjadi muka
harimau.
"Auum.... Gerr...!"
"Ilmu Siluman," berkata Cipta Angkara dalam
hati. "Hem, jangan kira aku tak mampu. Tapi biarlah,
akan aku hadapi dengan ajianku dulu."
"Hiaat...!"
"Auummm.... Gerr!"
Kedua makhluk itu saling loncat, bagaikan ter-
bang ke angkasa. Keduanya segera bertemu, saling
adu ilmu yang mereka miliki. Tersentak Cipta Angkara
seketika, manakala ajiannya tak berarti apa-apa bagi
siluman harimau itu. Bahkan pundaknya terasa perih,
tersobek kuku runcing yang mengandung racun.
Cipta Angkara segera melentingkan tubuh jauh,
menghindari serangan Raspati yang telah berubah
menjadi harimau. Ketika ia memandang pada pundak
nya, ia tersentak. Pundaknya membiru gelap. Darah-
nya seakan membeku.
"Racun Singa Paya. Hem, aku harus hati-hati,"
membatin Cipta Angkara. Ditatapnya lekat-lekat pun-
dak yang membiru, lalu dengan ludahnya diusapnya
luka itu. Seketika luka di pundaknya menghilang, le-
nyap tak berbekas.
"Bedebah! Jangan harap kau mampu menga-
lahkanku!"
"Aum.... Gerr!"
"Hentikan, Raspati. Dia bukan tandingan mu!"
berseru Amangkurat memperingatkan. Namun bagai-
kan tak mendengar, Raspati yang sudah dibakar ama-
rah kembali menerjang Cipta Angkara.
"Raspati!"
"Aauuummmm.'"
Raspati melolong panjang, manakala keris Kyai
Sangkar di tangan Cipta Angkara berkelebat dan me-
nikam ulu hatinya. Seketika darah memuncrat dari
badannya. Tubuh Raspati kembali berubah menjadi
manusia, ambruk dengan tubuh mengering bagai ter-
bakar.
Terbelalak mata Amangkurat melihat muridnya
mati. Dengan penuh amarah Amangkurat segera ber-
kelebat menyerang Cipta Angkara.
"Kau harus membayar nyawa muridku, Iblis!"
"Hua, ha, ha.... Kau yang akan kukirim ke ak-
herat, Amangkurat. Bersiaplah!"
"Takabur! Jangan kau kira semudah kau bica-
ra, Iblis!"
"Hua, ha, ha.... Lebih baik kau menjadi pengi-
kutku, daripada kau mati percuma, Amangkurat!"
"Iblis! Jangan bermimpi di siang bolong!"
"Baik! Aku bukan bermimpi. Akan aku bukti
kan, hiat!"
Dengan harapan dapat segera menjatuhkan
Amangkurat, Cipta Angkara tak segan-segan memakai
keris Kyai Sangkar. Dengan Kyai Sangkar di tangannya
menjadikan Cipta Angkara makin gesit. Hawa keris itu
membuat nafsu membunuhnya makin menjadi-jadi.
Ditebaskan keris itu pada pundak Amangkurat yang
segera berkelit.
Amangkurat telah maklum, kalau keris itulah
yang sungguh-sungguh berbahaya. Keris Kyai Sangkar
bukanlah keris sembarangan. Bila ditempelkan pada
air laut, seketika laut akan kering. Bila ditusukkan ke
gunung, akan leburlah gunung itu menjadi debu. Keris
itu juga mengandung hawa panas, hawa membunuh.
Amangkurat terus berkelit, sebisa-bisanya
menghindari keris di tangan Cipta Angkara. Namun
Cipta Angkara yang telah mengetahui bahwa lawannya
ngeri melihat kerisnya, terus mendesak.
Sekali-kali dihantamnya tubuh Amangkurat
dengan ajian yang dimiliki. Namun dengan segera
Amangkurat balas menghadang dengan ajiannya pula.
Runtuhlah ajian Cipta Angkara, ia terhempas ajian
yang dilancarkan Amangkurat.
"Suwe! Kalau begini terus menerus, tak akan
berakhir," menggeretak Cipta Angkara dalam hati. Lalu
dengan segera dipusatkan kedua tangannya memegang
keris. Diusapnya ujung keris Kyai Sangkar. Seketika
dari ujung keris keluar selarik sinar merah membara.
Tersentak Amangkurat melihat hal itu. Ia beru-
saha menghindar, namun akibatnya malah fatal. Anak
buahnya seketika menjerit, terpanggang oleh api yang
menyala keluar dari ujung keris,
"Menyerahkan, Amangkurat!"
"Jangan harapkan itu, Iblis! Aku akan mengadu
nyawa."
Seketika Amangkurat terdiam, menyatukan
tangan di dadanya. Sekejap kemudian, tubuh Amang-
kurat telah berubah menjadi raksasa besar. Mukanya
yang berbentuk harimau, sungguh sangat menyeram-
kan, "Aauummm...!"
"He, tinggi juga ilmunya. Baik akan aku ladeni."
berkata Cipta Angkara dalam hati. Kemudian, dengan
segera Cipta Angkara melompat menyerang Amangku-
rat dengan keris Kyai Sangkar. Api membara keluar
dari ujung keris, membakar tubuh Amangkurat. Na-
mun bagaikan tak terasa, Amangkurat terus menyer-
gap Cipta Angkara. Ditangkapnya tubuh kecil Cipta
Angkara, lalu ditelannya hidup-hidup.
Sesaat Amangkurat tampak tersenyum. Namun
kemudian, Amangkurat seketika memekik. Dari perut-
nya, keluar tubuh Cipta Angkara dengan keris pusaka
berlumuran darah. Makin marah Amangkurat melihat
musuhnya dapat keluar. Dengan tubuh yang telah so-
bek di perutnya, Amangkurat kembali menyerang Cipta
Angkara. Dibantingnya tubuh Cipta Angkara hingga
pingsan.
Ketika tubuh Cipta Angkara hendak diremuk-
kan oleh Amangkurat, seketika tubuh Cipta Angkara
berubah menjadi asap. Dari asap tebal berbentuk se-
sosok tubuh tinggi besar, setinggi tubuh Amangkurat.
Tersentak Amangkurat dengan mata melotot
menyaksikan hal itu. Lebih-lebih ketika ia tahu siapa
yang kini berada di hadapannya. Karena saking kaget-
nya, Amangkurat seketika berseru menyebut orang
yang berdiri di hadapannya.
"Kaukah kiranya, Ganda Mayit!"
"Benar, aku Amangkurat."
"Mengapa kau datang lagi ke alam manusia,
Ganda Mayit?"
"Hua, ha, ha.... Kau jangan egois, Amangkurat.
Kau juga siluman, seperti aku. Kalau kau boleh men-
ginjakkan kakimu di dunia manusia, kenapa aku ti-
dak?"
"Bukankah kau telah berjanji tidak akan da-
tang lagi?"
"Itu benar, Amangkurat. Tapi bila aku tak me-
nemukan salah seorang murid murtad Brahmana Lo-
ka. Tapi kini, aku telah bebas dari perjanjian itu. Bah-
kan si Brahmana Loka telah mati di tangan muridnya
sendiri. Kini tak akan ada yang dapat menghalangi
aku. Hua, ha, ha...!"
"Jangan bermimpi, Ganda Mayit. Akulah yang
akan menghalangimu. Dan aku juga yang akan mengi-
rimmu kembali ke alam siluman."
"Hem, memang kita tak pernah bersatu,
Amangkurat. Di mana kau berada, kau adalah pengha-
langku. Untuk itu, kau harus aku singkirkan dari du-
nia ini," mendengus Ganda Mayit marah. Seketika
Ganda Mayit berkelebat menyerang. Tubuhnya yang
sebesar gunung anakan, menghantam membabi buta.
"Minggirlah kalian semua!" berseru Amangkurat
memperingatkan pada anak muridnya yang segera
menyingkir. Pertarungan dua siluman itu pun terjadi.
Walau tubuh-tubuh mereka besar, namun sepertinya
tak menghalangi gerakan-gerakan silat mereka. Setiap
hantaman tangan dan kaki mereka, menjadikan suara
yang membahana.
* * *
Kita tinggalkan kedua siluman yang tengah
mengadu ilmu mereka. Marilah kita tinjau Jaka dan
kelima cantrik yang tengah menuju ke pesanggrahan
milik Brahmana Loka.
Manakala ketujuh orang itu tengah berjalan
menerobos hutan, menuruni lembah dan ngarai. Tiba-
tiba langkah mereka dihentikan oleh seruan seseorang.
"Anak Gendeng. Berhenti kau!"
Jaka Ndableg yang merasa seruan itu ditujukan
padanya, dengan segera menghentikan langkahnya.
Dibalikkan tubuhnya, menghadap pada asal suara itu.
Kini tampak olehnya siapa yang telah memanggil. Ra-
tih yang berdiri di samping Jaka, seketika tersentak. Ia
tahu persis siapa adanya mereka yang tak lain Lima
Iblis Penghisap Darah.
"Kakang Jaka...." kata Ratih dengan gemetar.
"Jangan takut, Ratih. Hem, mereka belum ka-
pok. Menyingkirlah kalian." berkata Jaka memerintah.
Dengan segera, keenam orang pengikutnya pergi ber-
sembunyi. Kini tinggal Jaka sendiri, menunggu keda-
tangan kelima Iblis Penghisap Darah.
"Pucuk di cinta ulam tiba. Rupanya kita mene-
mukannya di sini, Kakang Lawer!"
"Benar adik, Suwing. Selamat ketemu kembali,
Anak edan."
"Ha, ha, ha, ha...." tertawa Jaka bergelak, men-
jadikan kelima Iblis Penghisap Darah tersentak saling
pandang.
"Diam! Tak ada yang lucu di sini!" membentak
Lawer.
"Ha, ha, ha.... Tak ada yang lucu? Bukankah
kalian memang lucu? Julukan kalian menyeramkan,
tapi nama kalian bagaikan nama para pengemis kere.
Ha, ha, ha...!"
"Monyet!"
"Apa? Kalian mengaku keturunan monyet? Pan
tas-pantas, muka kalian memang seperti monyet."
Makin marah saja kelima Iblis Penghisap Darah
mendengar ucapan Jaka yang ngelantur. Namun begi-
tu, mereka tidak mau berlaku sembrono. Mereka telah
tahu siapa adanya pemuda di hadapannya. Pemuda
yang konyol, namun berilmu tinggi.
"Pemuda edan! Serahkan gadis yang kau bawa
itu pada kami. Maka kami akan memutuskan segala
silang sengketa denganmu."
"Klawer, ngomongmu bak raja kelaparan. See-
nak udel kau ngomong. Jangan harap aku akan me-
nyerahkan gadis itu, sebab gadis itu telah tergila-gila
padaku. Kalau pun aku serahkan, niscaya dia tak
akan mau dengan adikmu yang bermuka oncom!"
"Bedebah! Kau terlalu menghina, Bocah edan!"
"Hai, rupanya kau bisa marah juga. Apa mau-
mu, Klawer?"
"Bangsat! Serang dia!" berseru Klawer memerin-
tah. Seketika keempat adiknya segera menyerbu Jaka.
Golok di tangan kelima orang itu berkelebat, memba-
bat tubuh Jaka yang segera berkelit.
"Tooobaat.... Aku hendak dibikin sate?"
"Bangsat! Jangan banyak bacot!" memaki Klaw-
er marah merasa diledek oleh Jaka.
"Jangan galak-galak, Oom!"
"Jangan terpengaruh dengan ocehan gilanya.
Serang terus!"
"Wuut...."
Sebatang golong berkelebat di atas kepala Jaka
yang menunduk. Jaka segera membuang tubuhnya ke
kanan, lalu dengan jari menyentil, disentilnya golok
itu. Seketika golok di tangan musuhnya patah menjadi
dua. Terbelalak mata musuhnya melihat hal itu. Meli-
hat salah seorang musuhnya terbengong, Jaka segera
menjejakkan kakinya setelah melenting ke angkasa.
Tubuh orang yang ditumpangi, seketika amblas me-
nyerosot ke dalam tanah. Jaka baru melompat pergi
manakala tubuh musuhnya telah amblas sebatas da-
da.
Bergidik keempat Iblis Penghisap Darah yang
lain demi melihat kenyataan itu. Tanpa memperduli-
kan temannya, keempatnya segera kabur.
Jaka yang memang tak bermaksud mengejar
mereka hanya tersenyum. Dihampiri orang yang terbe-
nam dalam tanah. Orang itu nampak ketakutan hingga
keringat dingin deras keluar dari pelipisnya.
"Ampunilah aku. Jangan bunuh aku," meratap
orang itu.
"Heh, siapa yang mau membunuh kamu?"
"Terimakasih, Tuan pendekar. Terima kasih."
"Hua, ha, ha.... Ternyata Iblis Penghisap Darah
bisa ketakutan. Hoy teman-teman, keluarlah!"
Dari semak-semak, tampak bermunculan keli-
ma cantrik bersama Ratih. Mereka segera berlarian
menuju ke tempat Jaka yang tengah jongkok meman-
dangi musuhnya.
"Bagaimana menurut kalian? Apakah orang ini
dibiarkan saja di sini biar dikeloni sama cacing tanah?"
"Hii. Jangan, Tuan! Saya minta ampun," bergi-
dik orang Iblis Penghisap Darah demi mendengar uca-
pan Jaka. Namun bagaikan tak memperdulikannya,
Jaka hendak segera berlalu.
"Ayo, kita pergi!"
"Tapi, Tuan?" bertanya Angsono.
"Biar dia di situ, ayo!"
"Tuan.... Ampunilah saya. Lepaskan saya dari
himpitan tanah ini! Tolonglah saya, Tuan. Saya mem-
punyai anak dan istri."
"Ah, kamu ngaco ngomongnya!" membentak
Jaka pura-pura marah.
"Tidak, Tuan. Aku tidak ngaco, aku punya anak
dan istri."
"Hem, jadi kau punya anak dulu baru beristri.
Kau kumpul kebo, ya?"
Ratih dan kelima cantrik seketika tertawa men-
dengar ucapan Jaka yang konyol. Sebaliknya, Iblis
Penghisap Darah makin tak mengerti dengan omongan
Jaka yang aneh-aneh. "Tidak, tuan. Aku tidak kumpul
kebo."
"Lalu kumpul apa?" tanya Jaka masih ngeba-
nyol.
"Kumpul orang, Tuan." menjawab Iblis Penghi-
sap Darah saking takut dan gugupnya, menjadikan ke-
lima cantrik dan Ratih kembali tertawa.
"Kakang Jaka, sudahlah. Nanti dia bisa kencing
di celana."
"Biar, sekali-kali biar dia merasakan betapa
wanginya ompol orang tua. Siapa namamu, Ki Sanak?"
"Nama saya, Rosmad," menjawab Rosmad ma-
sih gemetaran. Ketika dirasakannya ada yang berge-
rak-gerak di kakinya, serta merta Rosmad memekik.
"Aooh, tolong Tuan!"
"Hai, kenapa kau menjerit-jerit kayak anak ke-
cil?"
"Aduh, kaki saya, Tuan. Kaki saya...." berkata
Rosmad terbata.
"Kenapa dengan kakimu, Rosmad?"
"Kaki saya ada yang menggigit."
Kasihan juga Jaka melihatnya meringis-ringis.
Maka sekali kaki Jaka menghentak tanah di samping
Rosmad, tubuh Rosmad seketika meloncat terbang ke
angkasa lolos dari tanah. Terbelalak kelima cantrik
melihat hal itu, sampai-sampai mata mereka melotot
memandang pada tubuh Rosmad yang melayang.
"Aoh...." Ratih menjerit seraya menutupi mu-
kanya, manakala melihat Rosmad tak memakai celana
lagi. Di kaki Rosmad menempel seekor kepiting. Cepi-
tan kepiting yang keras menjadikan Rosmad berteriak-
teriak kesakitan. Ia berlari-lari tak menghiraukan kea-
daan tubuhnya yang telanjang. Tertawa bergelak seke-
tika kelima cantrik demi melihat hal itu. Hanya Ratih
yang masih menutupi muka dengan kedua tangannya.
Setelah Rosmad tak dilihat lagi, merakapun se-
gera kembali meneruskan perjalanan ke Pesanggrahan
milik Brahmana Loka.
***
LIMA
Pertarungan antara Ganda Mayit melawan
Amangkurat masih berjalan. Keduanya tampak sama-
sama tangguh, keduanya sama-sama warga siluman.
Berpuluh bahkan beratus-ratus ilmu telah me-
reka keluarkan untuk dapat mengalahkan lawannya.
Namun sampai pertarungan berjalan dua hari, seper-
tinya mereka tak ada yang bakal kalah.
Ketika hari menginjak ketiga, dengan licik Gan-
da Mayit menghantamkan ajiannya ke tubuh Amang-
kurat. Seketika Amangkurat meraung-raung kesaki-
tan, sebelum akhirnya roboh tanpa nyawa.
Melihat pemimpinnya mati, seketika anak mu-
rid Amangkurat jatuhkan diri bersujud meminta am-
pun. Hal itu membuat Ganda Mayit tertawa bergelak
gelak.
"Bagus, bagus! Rupanya kalian masih meng-
hendaki hidup."
"Benar, Sang Kuasa," jawab mereka serempak.
"Nah, dengar oleh kalian. Mulai hari ini, akulah
rajamu."
"Daulat, Sang Kuasa!"
"Kalian harus nurut padaku! Kalian harus tun-
duk dan menyembah aku, mengerti!"
"Daulat, Sang Kuasa!"
Perlahan-lahan tubuh Ganda Mayit menyusut,
mengecil dan kembali berubah menjadi Cipta Angkara.
Mata Cipta Angkara tampak memandang tajam, dan
dengan angkuhnya ia berkata.
"Kau, siapa kau namanya?"
Orang yang ditunjuk nampak gemetaran, men-
jawab dengan terbata-bata. "Hamba, Gajah Biru, Tua-
nku."
"Gajah Biru, mulai sekarang kau kutunjuk
menjadi wakilku."
"Daulat, Tuanku."
"Nah, dengar oleh kalian semua. Mulai hari ini,
kalian harus menurut pada apa yang dikatakan Gajah
Biru. Mulai hari ini pula, kalian harus beraksi. Ram-
pok orang-orang kaya, teror tokoh-tokoh persilatan.
Katakan pada mereka, mau atau tidak menjadi pengi-
kut kita. Bila mau biarkan ia hidup menjadi anggota.
Tapi bila menolak, jangan segan-segan, bunuh dia!"
"Daulat, Tuanku...!" menjawab mereka serem-
pak.
"Nama perguruan ini, mulai sekarang aku ganti
menjadi "Persekutuan Iblis", Hua, ha, ha...!"
"Daulat, Tuanku!"
"Nah, Gajah Biru pimpin olehmu mereka se
mua. Ingat! Jangan sekali-kali membantah! Kalau
membantah, maka kau akan seperti ini."
Dikiblatkan kerisnya ke salah seorang bekas
anggota Singa Putih. Seketika orang itu meraung, se-
belum akhirnya roboh dengan tubuh kering kerontang.
Darahnya seperti tersedot oleh keris Kyai Sangkar.
Tercekam yang lainnya melihat hal itu. Maka
dengan penuh rasa takut, yang lainnya segera me-
nyembah. Makin membuat Cipta Angkara yang mabok
kuasa tertawa bergelak-gelak senang.
"Ingat baik-baik tugas kalian. Bila kalian men-
galami kesulitan, datanglah segera menemui aku."
Habis berkata begitu, secepat kilat Cipta Ang-
kara berkelebat pergi meninggalkan mereka yang
hanya terdiam tercekam.
* * *
Cipta Angkara yang tengah berlari, seketika
menghentikan langkahnya manakala dirasa ada orang
yang menguntitnya. Dengan gemas bercampur marah,
Cipta Angkara segera membentak.
"Orang-orang yang bersembunyi, keluarlah!
Jangan suka main kucing-kucingan!"
Satu persatu orang yang menguntitnya ke luar
dari persembunyian. Kelima orang itu yang ternyata Ib-
lis Penghisap Darah tersenyum sembari menjura hor-
mat.
"Maafkan kami yang bodoh ini, Tuan pendekar,"
berkata Lawer mewakili keempat adiknya.
"Siapa kalian?"
"Kami lima Iblis Penghisap Darah."
"He, nama yang sudah terkenal. Mau apa kalian
menghadang dan mengikuti langkahku?"
"Ampun, Tuan pendekar. Kami ingin menjadi
anggota Persekutuan Iblis yang tuan pimpin."
"Bagus, bagus. Apakah kalian tahu syaratnya?"
"Tidak, Tuan pendekar," menjawab Lower.
"Dengar oleh kalian. Syarat untuk menjadi ang-
gota Persekutuan Iblis, kalian harus mampu membawa
hasil rampokan kalian. Kalian sanggup?"
"Sanggup, Tuan pendekar."
"Baik! Bawalah hasil rampokan kalian nanti
pada malam Jum'at ke markas. Kedua, teror semua
tokoh-tokoh persilatan agar mau menjadi anggota kita.
Bila ia menolak, jangan segan-segan bunuh!"
"Baik. Kami akan selalu menuruti apa yang
tuan katakan."
"Laksanakan sekarang juga. Ingat malam
Jum'at!"
Setelah berkata begitu, kembali Cipta Angkara
berkelebat pergi meninggalkan kelima Iblis Penghisap
Darah yang hanya terbengong-bengong tak mengerti.
Kelima Iblis Penghisap Darah pun segera berlalu sete-
lah sekian lama terdiam memandang pada kepergian
Cipta Angkara.
Menangis kelima cantrik itu demi melihat tu-
buh Wikunya telah mati. Tubuh Brahmana Loka ter-
sangsang di atas cabang pohon dengan dada bolong.
Jaka yang melihat hal itu, seketika merasa trenyuh.
Dengan sekali lompat, diambilnya tubuh Brahmana
Loka dari sangsangan cabang pohon.
"Duh, Wiku. Mengapa kau secepat ini mening-
galkan kami?"
"Benar, Wiku. Kenapa engkau secepat ini per-
gi?"
"Mengapa engkau tak menghindar pergi saja?"
"Sudahlah, Longkat, Tenggiri, Lomber. Jangan
lah kalian menangisi kepergiannya. Dia pergi dengan
kebaikan, dia akan diterima oleh Yang Jati Wisesa,"
berkata Jaka menghibur. Sementara Ratih sepertinya
turut terbawa arus, ia pun turut menangis.
"Mari kita semayam kan tubuhnya dengan baik.
Dia adalah seorang Wiku, sepantasnyalah bila dia ha-
rus dihormati."
"Apakah beliau akan masuk surga, Tuan Pen-
dekar?"
"Aku tak mengerti, Angsono. Masuk atau tidak-
nya seseorang, terletak pada perbuatannya kala masih
hidup. Bila orang itu berbuat baik, niscaya ia akan
masuk surga. Ah, sudahlah, yang penting kita rawat
mayatnya dengan baik."
Habis berkata begitu, dengan tanpa memperdu-
likan kelima cantrik yang masih menangis Jaka meng-
gali tanah. Dengan memakai selembar papan kayu Ja-
ka terus menggali dan menggali. Keringat bercucuran
tak dihiraukannya. Tak berapa lama antaranya, liang
lahatpun telah dalam. Jaka segera melompat naik dan
menghampiri tubuh Brahmana Loka yang masih di-
tangisi oleh kelima cantriknya.
"Sudahlah, kalian jangan terus menangis. Ban-
tu aku menyemayamkan tubuhnya," berkata Jaka. Di-
bopongnya mayat Brahmana Loka menuju ke galian
liang. Perlahan tubuh Brahmana Loka direbahkan.
Dengan dibantu oleh kelima cantrik, diurugnya liang
itu kembali.
"Mari kita berdo'a untuk arwahnya. Semoga
dapat diterima di sisi Yang Jati Wisesa."
Kesemuanya seketika terdiam hening, tanpa
kata-tanpa suara. Mereka seperti kusuk memanjatkan
do'a. Angin bersemilir meniup rambut mereka, seper-
tinya memberikan penghormatan yang terakhir.
"Bukankah lebih baik kalian menetap di sini?"
"Ah, kami takut, Tuan!" berkata Angsono.
"Takut...? Takut pada siapa?"
"Kami takut kalau-kalau dia datang," kata
Longkat beralasan.
"Hem, takut mati karena kebaikan adalah ke-
pengecutan. Apakah kalian mau dikatakan orang pen-
gecut?"
"Tidak, Tuan."
"Nah, kenapa kalian mesti takut? Ingat, bila ajal
tiba semuanya pasti akan mati juga. Baik itu orang
sakti, rakyat biasa, ataupun titisan dewa. Maka itu,
janganlah kalian takut mati sebab kematian adalah
kekekalan hidup. Kalian mengerti?"
"Mengerti, Tuan Pendekar."
"Sekarang juga, kita bangun kembali pesangga-
rahan ini. Kita menempati pesanggrahan ini kembali,
bagaimana?"
"Kami sebagai abdi hanyalah menurut apa kata
tuannya," menjawab Angsono mewakili teman-
temannya.
"Ayo, kita dirikan lagi pesanggrahan ini," Hari
itu juga, dengan gotong royong mereka kembali mendi-
rikan pesanggrahan yang telah menjadi puing-puing.
Ada yang mencari kayu, bambu, ijuk, dan bahan lain-
nya. Setelah hari telah menjelang sore, pesanggrahan
itu pun jadi.
"Nah, karena pesanggrahan ini telah jadi, aku
minta kalian dapat tetap di sini," berkata Jaka kala
mereka tengah duduk-duduk menikmati makam ma-
lam.
"Tuan pendekar sendiri, apakah tidak di sini?"
"Aku juga di sini, Longkat. Namun untuk se-
mentara, aku hendak pergi."
"Ke mana, Kakang?"
"Aku hendak mencari murid durhaka itu."
"Jadi tuan hendak pergi?"
"Benar, Tenggiri. Tapi aku pergi tak akan lama.
Aku hanya akan mencari murid durhaka itu. Kalian
tenang-tenanglah di sini, aku akan segera kembali la-
gi."
Jaka Ndableg segera berkelebat pergi, mening-
galkan kelima temannya. Sepeninggalan Jaka kelima
temannya tampak hening. Mereka seperti was-was,
mereka takut kalau-kalau Cipta Angkara datang.
Malam itu pun dilalui mereka dengan kehenin-
gan, tanpa ada yang berani berkata-kata. Kala hari te-
lah agak larut, kelima cantrik dan Ratih pun segera be-
ranjak tidur.
* * *
Malam begitu sunyi, tiada suara lain selain su-
ara binatang malam. Ketika kesunyian itu mencekam,
tampak seorang lelaki berjalan mengendap-endap me-
nuju ke sebuah rumah. Rumah itu, adalah rumah Bu-
pati Brebes.
Langkahnya begitu ringan hingga tak ada suara
sedikitpun. Sesaat mata lelaki itu memandang sekelil-
ing, lalu dengan berjingkat-jingkat ia kembali berjalan.
"Hoop, ya."
Dengan sekali hentak, tubuh lelaki itu telah
melompati pagar rumah. Sesaat lelaki itu diam, me-
mandang pada para penjaga yang tengah duduk-
duduk sambil main gaple.
"Hem, kebetulan," ucapnya dalam hati.
Dipungutnya sebuah kerikil, lalu dengan segera
disambitkan pada salah seorang penjaga. Seketika
penjaga itu pun ambruk tertotok darahnya.
"He, kenapa Jaran Langan?" bertanya seorang
penjaga lainnya.
"Entahlah, ia tiba-tiba pingsan," jawab yang
lain.
"Heh, rupanya ada orang di sekitar sini. Lihat,
ada batu kerikil!"
"Benar, Kucing Ireng."
"Itu dia!" berseru Kucing Ireng demi dilihatnya
sebuah bayangan berkelebat dari pepohonan. Serentak
ketiga orang itu segera berkelebat memburu. "Jangan
lari!"
"Aku tidak akan lari. Ini untuk kalian!" berkata
lelaki yang mereka kejar. Tangan lelaki itu bergerak
cepat, dan bertaburanlah selarik sinar putih memburu
ke arah ketiga pengejarnya.
"Awas racun!" memekik Kucing Ireng mengin-
gatkan pada kedua temannya yang dengan segera ber-
gerak mengelak. Mendengar suara ribut-ribut, Bupati
Brebes segera bangun. Serta merta ia keluar dari ka-
marnya menuju ke luar.
"Ada apa, Kebo Lanang?"
"Ampun Kanjeng Bupati. Ada maling masuk."
"Maling?" bertanya Bupati Brebes seperti tak
percaya.
"Benar, Kanjeng. Itu dia!" berseru Kucing Ireng
seraya kembali melompat memburu diikuti oleh kedua
rekannya. "Jangan lari, Bangsat!"
"Aku tidak lari. Aku di sini."
Terbelalak ketiganya, manakala melihat ke be-
lakang. Tampak oleh mereka bupati tengah meregang
nyawa. Karena sangking terkejutnya hingga ketiganya
seketika memekik. "Kanjeng Bupati!"
"Iblis! Kau telah membunuh kanjeng Bupati.
Maka kau pun harus mati pula, hiat...!" Kucing Ireng
yang terkenal gesit dan cekatan dengan segera berke-
lebat menyerang. Namun seperti tak memandang sebe-
lah mata pun, lelaki itu tertawa bergelak. Dikibaskan
tangannya, dan dari tangannya seketika berhamburan
selarik sinar putih menderu ke arah mereka. Ketiganya
sesaat tersentak, lalu dengan berjumpalitan ketiganya
mengelak.
Belum juga ketiganya dapat tenang, tiba-tiba le-
laki itu telah menyerang mereka kembali. Dari tangan
lelaki itu keluar cahaya merah menyala. Semakin lama
semakin besar cahaya itu, membentuk sebuah larikan
sinar.
Sinar yang ternyata dari ujung keris berkiblat
ke arah mereka. Ketiganya berusaha mengelak, namun
tak urung salah seorang terkena juga. Dua orang lain-
nya seketika melototkan mata, manakala melihat apa
yang terjadi. Tubuh temannya seketika meregang nya-
wa dengan tubuh kering bagai tak berdarah. Belum hi-
lang kekagetan mereka berdua, kembali selarik sinar
berkelebat mengarah ke arahnya. Tanpa ampun lagi,
keduanya terhantam oleh larikan sinar merah itu. Se-
perti temannya yang pertama, keduanya pun mati
dengan tubuh mongering bagai tak berdarah.
"Hua, ha, ha...! Kini akulah yang berkuasa.
Akulah pimpinan dunia persilatan!" berkata lelaki itu
yang ternyata Cipta Angkara dengan sombongnya. Lalu
dengan masih meninggalkan tawa, Cipta Angkara sege-
ra berkelebat pergi.
Sejak kepemimpinan Singa Putih yang berganti
nama dengan Persekutuan Iblis berada di tangan Cipta
Angkara, sepak terjangnya makin mengganas.
Mereka merampok, memperkosa, menteror,
bahkan tidak segan-segan membunuh. Hal itu menja-
dikan tokoh-tokoh persilatan dari golongan lurus di-
buat bingung. Betapa tidak! Mereka selalu menteror
para tokoh persilatan. Bila para tokoh itu menolak,
maka kematianlah yang didapatkan. Tapi bila mereka
menerima, niscaya mereka akan menjadi pengikutnya.
"Aku jadi tak habis pikir," berkata Ki Rami Wi-
laba pada saat diadakan pertemuan antar tokoh persi-
latan.
"Apakah Ki Rami bimbang?"
"Tidak, Adipati. Aku bukan bimbang atau takut.
Namun aku bertanya dalam hatiku, apa maksud me-
reka sebenarnya."
"Jelas mereka bermaksud membuat kita was-
was, Ki Ranu," menjawab Raka Jengger.
"Apakah tak ada yang dapat menandingi pimpi-
nan Persekutuan Iblis? Apakah telah begitu lemahnya
ilmu-ilmu yang kita miliki?" kembali Ki Ranu bertanya,
menjadikan kesemua yang hadir terdiam.
"Telah banyak korban berjatuhan dari tokoh-
tokoh persilatan. Telah menderita rakyat kecil yang tak
berdosa. Ah, apakah dunia akan benar-benar kiamat?"
"Jangan putus asa, Ki Ranu."
Tengah mereka dalam kebimbingan, terdengar
suara tanpa rupa berkata. Seketika semua yang hadir
terperanjat dan serta merta menengok ke asal suara
itu. Tampak kini seorang lelaki muda berdiri dengan
angkuhnya menghadap mereka.
"Siapa kau, Anak muda?" bertanya Ki Ranu
yang dijawab oleh pemuda itu dengan tersenyum sinis
sembari menjawab.
"Akulah Cipta Angkara penguasa Dunia Persila-
tan."
"Iblis! Rupanya kaulah orangnya?"
"Benar, Kirana. Akulah orang yang kalian cari."
"Mau apa kau datang ke mari?"
"Seperti pada tokoh-tokoh persilatan yang lain,
aku datang untuk satu tujuan. Kalian mengerti tujua-
nku?" bertanya Cipta Angkara dengan sombongnya.
Matanya memandang tajam pada kesepuluh tokoh
persilatan yang hadir di situ. "Kalian boleh milih. Ikut
menggabung denganku, atau mati."
"Lebih baik kami mati, Iblis!" menjawab Raka.
"Bagus! Siapa lagi yang ingin mati?"
"Kami semua!" menjawab serentak kesembilan
orang lainnya.
"Hua, ha, ha.... Bagus! Rupanya kalian memang
pantas untuk mati. Nah, bersiaplah!"
Habis berkata begitu, serta merta Cipta Angka-
ra segera berkelebat menyerang kesepuluh tokoh persi-
latan. Kesepuluh tokoh persilatan tak mau tinggal di-
am. Mereka dengan segera berkelit, lalu dengan berba-
reng kesepuluh orang itu menyerang balik. Terkejut
Cipta Angkara bersamaan. Dengan berjumpalitan, Cip-
ta Angkara segera menghindari.
"Jangan lari, Iblis!"
"Aku tidak lari, Ki Ranu. Aku menunggu kalian
di luar!"
Mendengar jawaban Cipta Angkara, segera ke-
sepuluh tokoh persilatan berhamburan ke luar. Mere-
ka segera kembali mengepung Cipta Angkara yang
tampak masih tersenyum-senyum.
"Nah, bukankah di sini lebih leluasa? Buatlah
lobang untuk kalian sendiri!"
"Sombong! Jangan kira semudah kau bicara,
Anak muda!"
"Baik! Kalau kalian tak mau membuat lubang
untuk kalian, maka akulah yang akan membikinkan.
Lihat...!" dikiblatkan keris Kyai Sangkar sepuluh kali.
Maka dalam sesaat, lobang pun telah menganga di ha-
dapan mereka.
Tersentak kesepuluh tokoh persilatan melihat
hal itu. Sampai-sampai kesepuluhnya melompat mun-
dur. Mata mereka tajam mengawasi segala gerak-gerik
Cipta Angkara.
"Terlalu banyak kau membuat, Iblis! Semes-
tinya hanya satu lobang, yaitu untukmu sendiri," ber-
kata Raka, bagaikan tak gentar sedikitpun melihat hal
itu.
"Hem, kita buktikan saja. Mari kita mulai,
hiat...!"
Melihat Cipta Angkara menyerang dengan keris
Kyai Sangkar di tangannya. Maka dengan segera kese-
puluh tokoh persilatanpun tak malu-malu lagi bareng
mengeroyok. Mereka tahu, apa pun yang terjadi mere-
ka harus mampu melepaskan keris pusaka itu dari
tangan Cipta Angkara.
Pertarungan satu melawan sepuluh telah terja-
di. Walau dikeroyok oleh tokoh-tokoh persilatan, na-
mun tampaknya Cipta Angkara tak gentar. Gerakan-
nya gesit dan lincah. Keris Kyai Sangkar makin me-
nambah nafsunya untuk membunuh.
Larikan-larikan sinar yang keluar dari keris
Kyai Sangkar terus memburu kesepuluh musuhnya,
menjadikan mereka harus berjumpalitan mengelakkan
serangan itu.
Jurus demi jurus mereka lalui dengan cepat-
nya. Tak terasa telah mencapai puluhan jurus. Ketika
hendak menuju ke jurus enam puluh, di mana para
tokoh persilatan agak keteter. Tiba-tiba berkelebat se-
sosok bayangan yang menghadang serangan Cipta
Angkara. Bayangan itu yang tak lain Jaka Ndableg,
dengan segera menangkis larikan sinar merah dengan
tombak Inti Jagad. Seketika larikan merah itu, mental
berbalik menyerang Cipta Angkara.
Tersentak Cipta Angkara melihat kenyataan
yang terjadi. Matanya menatap lekat pada tombak yang
berada di tangan Jaka. Setelah pasti bahwa tongkat di
tangan Jaka memang Inti Jagad adanya, Cipta Angka-
ra membentak.
"Siapa kau!"
"Aku.... Aku adalah Jaka Ndableg. Karena sifat-
nya yang kata orang-orang agak sinting, mereka me-
manggilku dengan nama Jaka Ndableg."
Tersentak Cipta Angkara demi mendengar na-
ma pemuda di hadapannya. Seketika ia menyusut
mundur. Lalu dengan tanpa diduga oleh Jaka, dia se-
gera berkelebat pergi.
"Siapa dia adanya, Ki Sanak?" bertanya Jaka
pada para tokoh pendekar setelah kepergian Cipta
Angkara.
"Kenapa anak muda tidak membunuhnya seka-
lian?" balik bertanya Ki Ranu, menjadikan Jaka terbe-
lalak tak mengerti seraya kembali bertanya.
"Apa maksudmu, Ki?"
"Kalau benar anak adalah Jaka Ndableg
adanya, maka anak adalah seorang tokoh pendekar
muda pembela kebenaran."
"Hai, kau menyindirku, Ki?"
"Aku tak bermaksud menyindirmu, Pendekar.
Tapi ketahuilah, bahwa pemuda tadi adalah tokoh
yang kini telah menteror persilatan. Dialah yang ber-
nama Cipta Angkara, pemimpin Persekutuan Iblis."
"Apa? Jadi...."
"Ya, dialah orangnya."
"Kalau begitu, aku harus mengejarnya." Tanpa
mengucap salam sedikitpun, Jaka Ndableg segera me-
lesat pergi meninggalkan kesepuluh tokoh persilatan.
Terheran-heran kesepuluh tokoh persilatan melihat
tingkah Jaka. Saking herannya hingga mereka sampai
menggeleng-gelengkan kepala,
"Sungguh pendekar aneh. Kendablegannya,
menjadikannya seperti orang kebanyakan. Namun il-
munya, oh.... Sungguh tiada taranya," bergumam Ki
Ranu, sepertinya pada diri sendiri.
"Benar, Ki Ranu. Walaupun dia ndableg, na-
mun ilmunya tak terjangkau oleh tangan, tak terjajagi
oleh kaki. Kita yang tua-tua, seperti tak ada artinya bi-
la dibanding dengannya," menambahkan Ki Buyung
Lemah Abang. "Apakah kita hanya tinggal diam?"
"Tidak, Ki Buyung. Hari ini juga, kita segera
bergerak."
"Maksudmu, Ki Ranu?" bertanya Raka belum
mengerti.
"Kita segera bergerak membantu pendekar mu-
da itu."
"Itulah yang paling tepat, Ki Ranu," kata Ki
Gandrek.
Malam itu juga, kesepuluh tokoh persilatanpun
segera mengatur rencana. Dan malam itu juga kesepu-
luh tokoh itu segera berangkat menuju pusat Perseku-
tuan Iblis.
***
ENAM
"Tolong.... Tolong...!"
Terdengar jeritan memecah malam buta.
Penduduk desa Bojong seketika tersentak dari
tidurnya, demi mendengar suara jeritan itu. Serta mer-
ta mereka berlarian keluar. Dibunyikan kentongan
tanda bahaya. Mendengar bunyi kentongan itu, seketi-
ka penduduk yang lainpun segera berdatangan keluar.
"Ada apakah?"
"Ada perampokan," menjawab yang ditanya.
"Perampokan?"
"Di mana...?"
"Di sana."
Seketika semua penduduk berlari menuju ke
arah yang ditunjuk oleh peronda tadi. Memang benar
bahwa di tempat itu tengah terjadi perampokan.
"Tangkap rampok itu! Ayo...!" seru seorang lela-
ki yang menjadi kepala desa. Bojong. "Ayo, ayo....
Tangkap rampok itu...!"
Dengan senjata apa adanya, semua penduduk
segera menyerbu pada kelima rampok. Kelima rampok
yang ternyata Iblis Penghisap Darah sepertinya tak
gentar. Dihadapinya serbuan penduduk dengan balik
menyerang.
Seketika jerit kematian pun melengking, makin
membuat keheningan malam itu pecah. Setiap babatan
golok kelima Iblis Penghisap Darah selalu memakan
korban.
"Menyerahlah kalian dan pulang ke rumah
masing-masing. Ayo, cepat!" membentak Lower semba-
ri membabatkan goloknya. Kembali terdengar pekikkan
kematian, manakala golok Lower membabat putus leh-
er penyerangnya.
Namun bagaikan tak ada rasa takut, penduduk
desa Bojong terus menyerang. Walau korban makin
banyak berjatuhan, tapi yang masih hidup terus beru
saha melawan.
"Jangan biarkan rampok-rampok biadab itu
kabur. Serang...!"
Kembali berteriak pimpinan desa Bojong mem-
beri semangat. Hal itu menjadikan semangat pendu-
duk makin membara. Dengan penuh keberanian, se-
mua penduduk kembali menyerbu. Kembali terdengar
jerit kematian manakala golok kelima iblis berkelebat.
"Rupanya kalian ingin mati. Hiat...!"
"Kalianlah yang mencari mati, Garong biadab!"
"Adik-adik, jangan biarkan segelintir dari mere-
ka hidup. Bunuh semua!" berseru Lower memberi pe-
rintah. Maka dengan tanpa mengenal rasa kasihan, go-
lok mereka terus mencari korban.
Pekikkan-pekikkan kembali menggema bersa-
ma dengan makin larutnya malam. Para wanita berla-
rian, mencari keselamatan. Desa Bojong bagaikan di-
aduk, dibakar oleh hiruk pikuk wanita mencari sela-
mat. Manakala kecamuk perang makin mengganas, ti-
ba-tiba terdengar suara seseorang berkata.
"Hai.... Ternyata kunyuk-kunyuk ini berada di
sini!"
Tersentak semua orang yang tengah bertarung
demi mendengar seruan itu. Seketika semua menghen-
tikan pertempuran, memandangkan matanya pada
seorang pemuda yang tiba-tiba telah berdiri di tengah-
tengah ajang pertarungan.
"Bujur buset, rupanya kalian masih belum sa-
dar."
"Diam kau, Anak gendeng! Jangan ikut campur
urusan kami," membentak Lower, manakala tahu siapa
orang yang telah berdiri di hadapannya. Pemuda itu
yang tak lain Jaka Ndableg cuma tersenyum.
"Gila.... Eh, kapankah aku gila? Atau barangka
li kalian sendiri yang gila?"
"Edan...! Percuma kita ladeni omongannya yang
ngelantur. Serang...!"
Mendengar seruan Lower, seketika keempat Ib-
lis Penghisap Darah serentak menyerang Jaka. Golok
di tangan mereka berkelebat, membabat dan menusuk
tubuh Jaka. Diserang begitu rupa, tidak menjadikan
Jaka keder. Malah dengan garuk-garuk kepala dan se-
kali-kali mendekap pantatnya Jaka terus berkelit
menghindar.
Melihat tingkah laku Jaka, seketika makin ma-
rah saja Kelima Iblis Penghisap Darah. Salah seorang
dari kelimanya bermaksud menendang pantat Jaka
yang nungging. Namun dengan segera, Jaka lenting-
kan tubuhnya ke udara, dan...!
"Duuutttt...!"
Dari pantat Jaka terdengar suara gas beracun
mengepul, menjadikan orang yang hendak menen-
dangnya segera menghindar. Bau dari gas itu begitu
menyesakkan.
"Bangsat! Kau berani mengentuti aku!"
"Heh, bukankah kau yang meminta?"
"Edan! Kucincang kau!" Dengan segera dite-
baskan golok ke arah Jaka yang secepat itu pula men-
gelit.
"Ampun, Oom. Jangan.... Jangan dicincang,
Oom!"
"Bedebah! Dasar edan!" kembali orang itu te-
baskan golok.
Jaka tersentak seketika, kala golok orang itu
lewat dua inci di sampingnya.
Namun dengan gaya seekor monyet, Jaka
menggeliat dengan cepat. Dilentingkannya kembali tu-
buhnya ke udara, lalu dengan segera tanpa dapat di
elakkan Jaka telah menjitak kepala musuhnya.
"Ampuun...!" memekik orang itu dengan darah
mengucur dari kepalanya. Sesaat orang itu menggele-
par-gelepar, lalu ambruk dengan nyawa hijrah ke ak-
herat.
Terbelalak keempat Iblis Penghisap Darah lain-
nya demi melihat temannya telah pergi meninggalkan
alam fana. Mata keempatnya melotot seketika, me-
mandang pada Jaka yang masih tersenyum-senyum.
"Kenapa dengan temanmu itu, Sobat?"
"Monyet! Jangan kau berlagak bodoh! Kau ha-
rus menebus nyawa seorang temanku!" membentak
Lower selaku paling tua.
Hah.... Kapan aku menggadu pada kalian?"
"Bedebah! Kau masih banyak bacot, Sinting!"
Diterjangnya Jaka dengan penuh amarah. Me-
lihat musuhnya telah menerjang, Jaka dengan segera
mengegoskan tubuh menghindar sembari berseru.
"Ampun Oom, Jangan mengeroyok...."
"Sundel! Masih saja kau berteriak-teriak kaya
orang tak waras!"
"Aduh.... Dia galak, Mak. Tolong Jaka, Mak...!"
Jaka segera melentingkan tubuhnya ke udara,
berputar-putar sesaat bagai main akrobat. Jaka bagai-
kan orang menari, melenggak-lenggokkan tangannya.
Mulutnya tersenyum, lalu dengan segera dimoyongkan.
Tak dapat lagi kemarahan keempat Iblis Peng-
hisap Darah terbendung melihat tingkah laku Jaka
yang seperti orang gila. Bukan hanya keempat Iblis
Penghisap Darah saja yang melototkan mata. Namun
seluruh penduduk pun turut terdiam, takjub melihat
ilmu silat yang dipakai Jaka.
Belum juga keempat Iblis Penghisap Darah sa-
dar dari bengongnya, tiba-tiba Jaka menyemburkan
ludahnya ke arah mereka. "Ini untuk kalian.... Cuih!"
Keempat Iblis Penghisap Darah berusaha
menghindar. Namun semburan ludah Jaka lebih cepat
melaju dan langsung mengenai mata mereka. Seketika
itu mata mereka terasa perih, hingga mereka tak dapat
melihat lagi.
Ketika keempat orang musuhnya belum dapat
mengendalikan diri. Jaka yang memang ndableg den-
gan cepat bergerak, Dipetiknya setangkai daun yang
terdapat semut rangrang, lalu disemprotkan pada tu-
buh keempat Iblis Penghisap Darah. Semut-semut
rangrang yang terjaga dari tidurnya, seketika beraksi.
Digigitnya tubuh keempat Iblis Penghisap Darah yang
seketika meraung-raung, menggaruk-garuk tubuhnya
karena gatal. Saking banyaknya semut di tubuh mere-
ka, mau tak mau segera melepaskan pakaian. Melihat
keempat iblis Penghisap Darah telanjang dengan
menggaruk-garuk tubuh, tertawalah seluruh pendu-
duk yang berada di situ.
"Lihat saudara-saudara semua, bukankah me-
reka persis monyet-monyet yang kebanyakan kutu?"
berkata Jaka menjadikan semuanya tertawa. "Nah,
bukankah dengan cara ini saudara-saudara mudah
menangkap mereka? Tangkap mereka dan berikan pa-
da mereka tai kebo."
Mendengar ucapan Jaka, seketika keempat Iblis
Penghisap Darah yang sudah tak berdaya segera ja-
tuhkan diri bersimpuh. Tubuh mereka menggigil keta-
kutan, dengan keringat dingin membasahi kening.
"Ampun, jangan beri kami tai kebo, Tuan," me-
rengek Lower.
"Benar, Tuan. Kami tak akan mengulangi per-
buatan ini lagi," berkata yang lainnya.
"Ah, kenapa kalian seperti anak kecil? Baru
disuruh makan tai Kebo, kalian sudah panas dingin
kayak orang cacingan. Saudara-saudara, beri mereka
kalajengking."
Makin menjadi-jadi rasa takut keempat Iblis
Penghisap Darah mendengar ucapan Jaka yang meme-
rintahkan pada semua penduduk. Beberapa penduduk
yang memang sudah kesal dengan mereka, segera
menjalankan tugasnya. Mereka segera mencari tai Ke-
bo dan Kalajengking.
Melotot mata keempat Iblis Penghisap Darah,
manakala melihat apa yang dibawa oleh sebagian pen-
duduk. Sebagian penduduk itu, membawa tai Kebo
dan Kalajengking.
"Ini, Tuan Pendekar," berkata pimpinan desa
menyerahkan apa yang diperintahkan oleh Jaka. Den-
gan segera Jaka menerima, lalu bergegas menghampiri
keempat Iblis Penghisap Darah.
"Nah, ini makanan kalian, makanlah."
Seketika keempat Iblis Penghisap Darah melo-
totkan mata dengan mulut menganga. Wajah mereka
pucat pasi dengan mata membeliak seperti menahan
sesuatu. Yang lebih membuat semua tertawa, dari arah
bawah mereka mengucur air dengan derasnya. Keem-
pat Iblis Penghisap Darah ternyata ngompol saking ta-
kutnya.
"Wao, kenapa kalian ngompol seperti anak ke-
cil? Apakah kalian memang ingat masa balita kalian?"
"Ampun, Tuan pendekar. Jangan suruh kami
makan itu," berkata mereka hampir bersamaan. Tubuh
mereka semakin gemetaran dan ngejuprak menduduki
bekas ompolan mereka.
Melihat musuh-musuhnya telah ketakutan, Ja-
ka yang ndableg bukannya menghentikan tingkahnya.
Malah dengan segera dibukanya bungkusan yang beri
si kotoran kerbau dan disodorkan pada keempatnya.
Keempat Iblis Penghisap Darah nampak makin ketaku-
tan, menatap Jaka dengan mengiba. Namun Jaka
tampak tak perduli, dibukanya bungkusan yang lain.
Membelalak mata keempatnya melihat apa isi
bungkusan itu. Bungkusan itu, memang benar-benar
berisi Kalajengking besar-besar.
"Ini untuk lauk kalian!" berkata Jaka seraya
menyodorkan bungkusan di tangannya pada mereka,
yang seketika itu langsung lari terbirit-birit dengan pa-
kaian lepas dari tubuh mereka. Hal itu menjadikan lari
mereka tak dapat cepat hingga dengan mudahnya
penduduk desa Bojong menangkap mereka.
"Heh, Firasatku tidak enak. Ada apakah geran-
gan di pesanggarahan?" berkata Jaka pada diri sendiri.
Dengan segera sebelum para penduduk kembali da-
tang, Jaka berkelebat pergi meninggalkan desa Bojong.
Penduduk yang telah kembali membekuk
keempat Iblis Penghisap Darah, bermaksud menyerah-
kannya kembali pada Jaka. Namun seketika semuanya
terbengong, manakala tak ditemukannya Jaka di tem-
patnya.
"Ke mana pendekar muda itu?" bertanya ketua
desa.
"Ya, ke mana pendekar muda itu?" bertanya
yang lain.
"Jangan-jangan dia siluman, Ketua."
"Ah, sudahlah jangan pikiran lagi. Ayo, kita ba-
wa maling-maling ini ke kantor."
Dengan diiringi semua penduduk kampung
yang sekali-kali memukul, keempat maling itu digiring
menuju ke kantor tetua desa. Hening kembali malam
itu, seperti tercekam kebisuan.
* * *
"Bunuh garong itu...!"
"Cincang!"
"Puntungkan saja kedua tangan mereka!"
"Coplok kedua mata mereka!"
Terdengar suara jeritan kekesalan penduduk
desa Bojong, manakala mereka melihat keempat ga-
rong itu. Pentungan, tendangan, hantaman sebagai pe-
lampiasan kekesalan warga, menjadikan keempat Iblis
Penghisap Darah menjerit-jerit. Tubuh mereka memar
dengan luka-luka. Mata mereka yang dulu liar, kini
sayu bagai tak ada gairah hidup.
Keempatnya kini digiring ke kantor tetua desa,
dengan terlebih dahulu mengitari desa Bojong. Tak
henti-hentinya siksaan melanda keempat Iblis Penghi-
sap Darah hingga karena terlalu parah, satu persatu
dari mereka mati dengan tubuh berlumuran darah.
"Mereka telah mati," berkata tetua desa.
"Buang saja mayat mereka," mengusulkan war-
ganya.
"Jangan!"
"Kenapa, Tetua?"
"Sebagai orang beragama, sepatutnya kita men-
gurus jenazahnya."
Malam itu juga, dengan diterangi sinar bulan
mereka bekerja menggali kubur. Dan malam itu juga,
tubuh keempat Iblis Penghisap Darah dikuburkan.
***
TUJUH
Terbelalak mata Jaka demi melihat apa yang
terjadi di pesanggarahan yang kemarin dibuatnya. Tu-
buh-tubuh tanpa nyawa, bergelimpangan memenuhi
halaman pesanggarahan.
"Cantrik...! Heh, mereka telah mati. Di mana
Ratih...?"
Segera Jaka berkelebat masuk ke dalam. Ma-
tanya liar memandang ke segenap penjuru, mencari
Ratih. Di balai-balai Jaka tak menemukannya. Dengan
segera Jaka kembali berkelebat masuk. Langkahnya
begitu ringan hingga tak terdengar tapak kakinya.
Perlahan, dibukanya pintu kamar. Melotot mata
Jaka tak percaya demi melihat tubuh Ratih tersender
di bilik dengan keadaan yang menyedihkan. Tubuhnya
tak tertutup sehelai benang pun dan dari mulutnya
menetes darah yang hampir mengering.
"Ratih, Adikku...!"
Dihampirinya tubuh Ratih, lalu dengan penuh
kasih sebagai seorang kakak digendongnya tubuh Ra-
tih keluar. Dibaringkannya di atas dipan. Bergegas Ja-
ka mencari air, lalu diminumkan pada Ratih. Sesaat
Ratih menggeliat dan perlahan membuka matanya. Da-
ri mulutnya yang mungil dengan bibir memucat, ter-
dengar suara lemah berkata.
"Kakang Jaka...."
"Ya, Adikku."
"Dia, dia, telah datang ke mari. Dia, dia telah
membuat semuanya."
"Maksudmu, Adikku?" bertanya Jaka tak men-
gerti.
"Kakang Jaka, aku, aku mencintaimu. Apakah
kau mau menerima cintaku, Kakang?"
Jaka menganggukkan kepalanya.
"Aku menerima, Sayang. Katakanlah, siapa
yang telah berbuat begini?"
Sejurus Ratih terdiam. Matanya memandang
pada Jaka dengan penuh kasih. Tangannya yang le-
mas, bergerak menggapai tangan Jaka. Digenggamnya
tangan Jaka erat, lalu katanya kemudian.
"Orang itu bernama Cipta Angkara. Ia mencari
Tombak Inti Jagat. Karena ia tak menemukannya, ia
marah. Kelima cantrik dibunuhnya, dan aku.... Oh,
aku kakang.... Aku sudah tak ada artinya, Kakang."
Menangis Ratih tersendat, membuat Jaka iba
melihatnya. Dengan penuh kasih, didekapnya tubuh
Ratih. Dari mulut Jaka yang gemetar, terucap kata-
kata makian sebagai pelampias kemarahannya.
"Iblis jahanam! Akan aku hancurkan dia! Akan
aku potong kepalanya sebagai pengganti semua ini!"
"Kakang, aku, aku... men-cin-tai-mu...."
"Ratih...!" meraung Jaka menangis, melihat Ra-
tih telah terkulai mati. Diguncang-guncangkan tubuh
Ratih, yang tetap bisu dan diam.
"Cipta Angkara, tunggulah aku! Kau harus ber-
tanggung jawab atas semua ini!"
Bagaikan orang gila, Jaka bergerak cepat. Di-
hantamnya apa yang ada di sekelilingnya dengan ajian
yang ia miliki. Hancur lebur seketika Pesanggrahan
itu, terhantam pukulan Jaka yang dilandasi dengan
ajian. Karena saking kecewa dan marahnya, sampai-
sampai Jaka lupa diri. Ajian Jamus Kalimusada yang
sangat ganas, diumbarnya bagaikan mengumbar mai-
nan.
Dari tubuh Jaka yang telah menggunakan ajian
Jamus Kalimusada, seketika menyala bagaikan bara
api. Apa saja yang dipegangnya seketika terbakar.
Bergelora ombak di laut, seperti turut merasa-
kan kemarahan Jaka. Binatang-binatang hutan berse-
laweran, berlari ketakutan. Sungguh bukan sembaran
gan ajian hingga seluruh alam seperti turut merasakan
hawa panas yang menggelegar itu. Jangankan mahluk
nyata, siluman dan dedemit pun mengerung-gerung
merasakan panasnya ajian itu.
Bagaikan orang gila, Jaka dengan penuh ama-
rah berlari. Ditujunya tempat di mana Cipta Angkara
berada, yaitu perguruan Singa Putih yang sekarang
berganti nama menjadi Persekutuan Iblis.
Di Persekutuan Iblis saat itu tengah terjadi per-
tempuran. Tokoh-tokoh persilatan yang sudah tak mau
diteror, telah mendatangi markas Persekutuan Iblis
langsung dipimpin oleh Cipta Angkara.
"Bunuh mereka semua, jangan biarkan seorang
pun hidup!"
"Jangan hanya memerintah, Cipta! Turun kau
ke laga hadapi kami!" balik membentak Ki Ranu den-
gan penuh amarah.
"Ki Ranu, aku rasa aku tak perlu turun dulu.
Biarlah anak buahku yang akan mengganyang kalian.
Hua, ha, ha...."
"Iblis! Kau terlalu menyepelekan kami, Hiat...!"
Ki Ranu segera berkelebat, langsung menyerang
Cipta Angkara. Diserang begitu cepat, Cipta Angkara
nampak seperti tak keder. Diegoskan tubuhnya ke
samping mengelak, lalu dengan gerak tipu kakinya
menyodok ke lambung Ki Ranu.
Terbelalak mata Ki Ranu seketika. Hampir saja
lambungnya terhantam tendangan, kalau saja ia tidak
segera melompat mundur. Melihat musuhnya melom-
pat, Cipta Angkara lebarkan senyum penuh ejekan.
"Percuma kau melawanku, Ki Ranu."
"Sombong! Jangan kira aku takut, Iblis!"
"Hua, ha, ha... Walau usiamu sudah bau tanah,
namun ucapanmu masih menyengat, Ki Ranu."
"Jangan banyak omong. Ayo, kita mengadu ji-
wa."
"Hem, apa andalanmu, Ki Ranu?" bertanya Cip-
ta Angkara dengan sinis, menjadikan Ki Ranu makin
bertambah marah. Maka dengan tanpa banyak kata, Ki
Ramu kembali menyerang. Jurus-jurusnya makin
tinggi dan ganas. Namun begitu, Cipta Angkara bagai
telah mengetahui kuncinya hingga dengan mudah di-
elakkan setiap serangan Ki Ranu.
Di pihak lain, nampak anggota Persekutuan Ib-
lis keteter menghadapi amukan sembilan tokoh utama
persilatan. Korban banyak berjatuhan, bergelimpangan
dengan tubuh hancur. Tapi karena melihat pimpinan-
nya turun, semangat mereka bagaikan api yang terus
menyala.
"Setan! Rupanya kalian lebih memilih mati!"
membentak Ki Buntung. Dengan kakinya yang bun-
tung, tidak menjadikan hambatan baginya. Malah den-
gan lincah, Ki Buntung menghantamkan tongkat pe-
nyanggah kakinya menyerang. Setiap hantaman tong-
kat penyanggah Ki Buntung, seketika menjadikan pe-
kik kematian.
Makin banyak korban yang berjatuhan, makin
seru pertempuran itu. Walau jumlah anggota Perseku-
tuan Iblis banyak, namun menghadapi tokoh-tokoh
persilatan sia-sialah perlawanan mereka.
Pertarungan Ki Ranu dengan Cipta Angkara
masih berlangsung. Jurus-jurus tingkat tinggi mereka
keluarkan, namun sejauh itu tak ada tanda-tanda sia-
pa di antara keduanya bakal kalah.
"Percuma aku menguras tenaga," dengus Cipta
Angkara dalam hati. Seketika ia melompat ke bela-
kang, lalu dengan segera dihunusnya keris Kyai Sang-
kar. Terbelalak mata Ki Ranu hingga kakinya terseret
mundur ke belakang.
"Keris Kyai Sangkar!"
"Hua, ha, ha.... Kenapa, Ki Ranu? Apakah kau
takut?"
Ki Ranu hanya terdiam tak menjawab. Ia tahu
kehebatan keris di tangan Cipta Angkara. Matanya te-
rus mengawasi langkah-langkah Cipta Angkara, yang
berjalan makin mendekat ke arahnya.
"Apakah aku akan mati di tangannya?" menge-
luh Ki Ranu lirih. Keringat dingin seketika menetes de-
ras dari pelipisnya. Bayangan kematian, seketika ter-
gambar di pelupuk mata Ki Ranu yang telah tua.
Sementara itu, Cipta Angkara dengan bibir te-
rurai senyum dan dengan tangan menggenggam keris
Kyai Sangkar terus melangkah mendekat.
"Hiat...!"
"Oh, Yang Widi. Matilah aku hari ini," mengeluh
Ki Ranu, manakala Cipta Angkara memekik dan berke-
lebat menyerangnya.
"Matilah kau, Ki Ranu!"
Hampir saja nyawa Ki Ranu melayang saat itu,
kalau saja tidak ada bayangan seseorang yang berke-
lebat dan menangkis keris Kyai Sangkar.
Terbelalak Cipta Angkara seraya melompat
mundur. Tangannya terasa panas, sampai-sampai ber-
getar. Hampir saja keris Kyai Sangkar terlepas dari
tangannya, kalau dia tidak segera menarik mundur se-
rangan.
"Siapa, Kau!"
"Monyet! Rupanya inikah iblis yang telah mem-
buat kematian kelima cantrik dan Ratih? Hem, pantas!
Cipta Angkara, hari ini juga kau harus menebus kema-
tian kelima temanku."
"Hua, ha, ha.... Apa katamu, Gembel? Kau ingin
membunuhku? Jangan bermimpi, hua, ha, ha...."
"Sombong! Terimalah ini...!"
Bagaikan desiran angin yang cepat, Jaka den-
gan segera menghantamkan pukulan jarak jauhnya ke
tubuh Cipta Angkara. Tersentak Cipta Angkara melihat
hal itu, segera ia pun mengelak. Hal itu menjadikannya
terlepas dari pukulan Jaka. Tapi akibatnya, anak
buahnyalah yang menjadi sasaran. Hangus seketika
tubuh beberapa anak buahnya, bagai terpanggang api.
Merasa musuhnya dapat lolos, dengan segera
Jaka kembali hantamkan ajiannya yang kedua, yang
diperoleh dari gurunya Ki Darsa. "Ajian Petir Sewu."
dari tangan Jaka, seketika berkilat-kilat sinar kuning
kemerahan. Bersamaan dengan kilatan itu, terdengar
ledakan-ledakan dahsyat menggelegar-gelegar. Hal itu
menjadikan gendang telinga musuhnya bagaikan ham-
pir pecah. Namun yang lebih bahaya lagi, adalah kila-
tan-kilatannya. Apabila kilatan itu menghantam tu-
buh, niscaya akan hancur tubuh orang tersebut.
Melihat Jaka mengkiblatkan serangannya ke
arah dirinya, dengan segera Cipta Angkara yang ter-
cengang melihat ilmu itu tersentak dan berusaha men-
gelak. Namun rupanya kecepatan serangan Jaka lebih
cepat dibandingkan elakannya. Tak ampun lagi, kila-
tan petir yang mengandung hawa panas jutaan Watt
menghantam tubuh Cipta Angkara.
Seketika tubuh Cipta Angkara hancur berkep-
ing-keping. Namun betapa tersentak semua yang ada
di situ, manakala dilihatnya keganjilan pada kepingan
tubuh Cipta Angkara. Kepingan-kepingan tubuh Cipta,
bergerak-gerak dan kembali menyatu membentuk ja-
sad semula.
Membelalak mata Jaka, tak percaya pada apa
yang dilihatnya.
"Hua, ha, ha.... Keluarkan semua ajianmu,
Anak muda!" berkata Cipta Angkara dengan sombong-
nya, merasa dirinya tak mempan dengan ajian Petir
Sewu.
"Iblis! Jangan kau bangga dulu, terimalah ini!"
Jaka segera melompat, berkelebat bagaikan
terbang. Tangannya yang telah disaluri ajian Tapak
Prahara, membara bagaikan bara api. Melihat Jaka
Ndableg telah berkelebat hendak menyerangnya, Cipta
Angkara segera menghadang. Tangan Cipta Angkara
menggenggam keris Kyai Sangkar, yang terjurus ke
arah Jaka bergerak.
Jaka tersentak, segera mengurungkan niatnya
menyerang. Ditariknya tombak Inti Jagad dan dengan
cepat dipapaki serangan Cipta. Dua senjata pusaka itu
beradu, menjadikan suara ledakan. Keris di tangan
Cipta Angkara mental jauh. Dari tempat mentalnya ke-
ris, mengepul asap putih yang bergulung-gulung ke
angkasa. Berbareng dengan itu, Tombak Inti Jagad se-
ketika terbang memburu asap itu.
Tercekam Cipta Angkara melihat kerisnya telah
lepas dari genggaman tangannya. Namun tengah Cipta
Angkara bimbang, terdengar bisikan yang hanya di-
dengar olehnya sendiri.
"Jangan gentar, Cipta. Aku bersamamu, lawan-
lah dia."
"Baik, Ganda Mayit."
Sejenak keduanya saling pandang, sepertinya
mereka tengah menjajagi ilmu masing-masing. Lalu
dengan didahului pekikkan, keduanya berkelebat me-
lompat bagaikan terbang ke udara.
"Duar...!"
Ledakan dahsyat seketika menggema, manaka-
la keduanya mengadu ilmu di udara. Keduanya terpen
tal ke belakang beberapa tombak. Dari bibir Jaka, me-
leleh darah segar. Dadanya terasa sesak, nafasnya pun
tersendat.
Sebaliknya, Cipta Angkara bagaikan tak menga-
lami apa-apa. Ia bangkit kembali dari jatuhnya, lalu
dengan mata beringas di hampirinya tubuh Jaka.
"Matilah aku! Oh, apakah aku benar-benar
akan mati di sini?" mengeluh hati Jaka. Ketika Jaka
tengah dalam kebimbingan, ia kembali teringat akan
apa yang dipesankan oleh ayah-nya. "Akan aku coba
dengan ini."
Sementara itu, Cipta Angkara yang telah sepe-
nuhnya digerakkan oleh Ganda Mayit makin mende-
kat. Bibirnya tersenyum sinis, lalu dengan congkaknya
berkata.
"Anak muda, hari inilah akhir hidupmu. Tak
akan ada lagi Pendekar Pedang Siluman, tapi akulah....
Aku Cipta Angkara. Bersiaplah untuk mati, Anak mu-
da!"
Hampir saja tangan Cipta Angkara mengakhiri
hidup Jaka Ndableg, manakala tiba-tiba sesosok
bayangan berkelebat menghadangnya. Tersentak mun-
dur Cipta Angkara, demi mengetahui siapa bayangan
itu sebenarnya.
"Guru...!"
Bayangan itu hanya tersenyum sinis meman-
dang pada Cipta, lalu dengan suara parau, Brahmana
Loka berkata. "Ingat kata-kataku sebelum aku ajal,
Cipta? Kau akan mati dengan tubuh hancur.... Tubuh
hancur!"
Melihat Cipta Angkara menyusut mundur, ke-
sempatan ini tidak disia-siakan oleh Jaka. Dengan se-
gera, Jaka merapalkan apa yang telah diajarkan oleh
ayahnya.
"Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!"
Seketika itu, di tangan Jaka Ndableg telah ter-
genggam sebilah pedang yang memancarkan sinar
kuning kemerahan. Dari ujung menetes darah memba-
sahi batang pedang.
Tersentak Cipta Angkara melihat pedang yang
tiba-tiba telah berada di tangan Jaka.
"Hem, inilah Pedang Siluman Darah? Oh, guru
ampunilah aku...."
Belum habis ucapan Cipta, tiba-tiba Jaka telah
membabatkan pedangnya ke tubuh Cipta Angkara. Se-
ketika tubuh Cipta terpotong menjadi dua dengan da-
rah yang telah mengering. Dari tubuh Cipta Angkara
yang telah mati, keluar asap hitam bergulung. Asap itu
makin besar dan besar, lalu berubah ujud menjadi Si-
luman Kerta Ganda Mayit.
"Rupanya kau, Siluman! Hiat...!" Kembali Jaka
berkelebat, ditebaskan Pedang Siluman Darah ke arah
Kerta Ganda Mayit. Kerta Ganda Mayit melolong pan-
jang. Itulah kehebatan Pedang Siluman Darah. Jan-
gankan manusia, silumanpun akan mati bila tertebas
oleh pedang tersebut.
"Hem, rupanya siluman itu telah mati," berkata
Jaka dalam hati.
Ketika para tokoh persilatan yang telah me-
nundukan anggota Persekutuan Iblis pada berdatan-
gan ke arahnya, Pedang Siluman Darah telah hilang
dengan sendirinya.
"Jadi, kaukah pendekar Pedang Siluman Da-
rah, Anak muda?"
"Begitulah, Ki," menjawab Jaka hormat, mana-
kala mendengar pertanyaan Ki Ranu yang seketika
membelalakkan mata. Begitu juga dengan yang lain-
nya, mereka tersentak kaget bercampur kagum.
Tengah semuanya terbengong saling pandang,
tiba-tiba Jaka telah berkelebat pergi sembari mening-
galkan suara.
"Aku pergi dulu, sampai ketemu lagi. Maaf, aku
bukannya tak menaruh hormat pada kalian. Tapi ka-
rena aku terlalu sibuk serta masih banyak urusan. Se-
lamat berjuang. Para pendekar...."
"Aneh.... Kenapa kita tak tahu kepergiannya?"
bergumam Ki Ranu seperti pada diri sendiri. Akhirnya
kesepuluh tokoh persilatan itu segera berkelebat pergi
kembali ke Padepokannya masing-masing....
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar