..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 22 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE KUTUKAN BRAHMANA LOKA ARYA

KUTUKAN BRAHMANA LOKA ARYA

 


KUTUKAN BRAHMANA LOKA ARYA

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Setting oleh: Trias Typesetting

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah da-

lam episode:

Kutukan Brahmana Loka Arya

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Dari kejauhan tampak seorang lelaki tengah 

memacu kuda. Di wajahnya tergambar suatu ketegan-

gan. Sekali-kali tangannya mengibas kais, atau mene-

puk pantat kuda yang seketika itu lari kencang.

"Hia, hia, hia!"

Tubuh kurus itu terus terbawa oleh derap 

langkah kaki kuda yang memacu. Tergoncang-goncang 

dengan badan mengikuti gerakan sang kuda. Sesekali 

lelaki itu menengok ke belakang, dan kembali digebah-

nya kuda yang ditumpangi. Mulutnya tak henti-

hentinya berseru.

"Ayo lari Poleng! Jangan sampai iblis itu menge-

jar kita!"

Bagaikan mengerti saja, kuda itu makin mem-

percepat larinya. Sekali-kali kuda itu meringkik, lalu 

kembali lari dengan kencangnya.

Bila dilihat dari pakaian lelaki muda itu, jelas 

bahwa ia adalah seorang Biksu. Dia adalah murid 

Brahmana Loka Arya, seorang Brahmana sakti man-

draguna.

Tiga hari sudah Kidang Emas memacu kuda 

untuk menyampaikan pusaka gurunya. Pada Adipati 

Brebes. Namun jejaknya telah dikuntit oleh kakak se-

perguruannya yang hendak merebut pusaka tersebut 

ketika baru saja ia hendak pergi.

Sebagai murid yang baik, jelas ia tak mau begi-

tu saja melimpahkan tugas yang telah diperintahkan 

gurunya. Hal ini menjadikan kakak seperguruannya 

yang bernama Cipta Angkara gusar. Merasa secara 

baik-baik tak memperoleh hasil, Cipta Angkara pun 

akhirnya memakai jalan kekerasan. Ketika kakak be


radik seperguruan itu tengah bertempur, sang guru 

seketika itu datang.

"Murid murtad! Apa hakmu untuk meminta Pu-

saka Kyai Sangkar?" 

"Guru...!"

"Jangan sebut lagi kata itu! Tak sudi aku mem-

punyai murid murtad sepertimu. Minggat dari sini, ce-

pat!" membentak Brahmana Loka Arya. Betapa tidak! 

Murid yang sangat diagung-agungkan untuk kelak 

menggantikannya, ternyata telah mencoreng arang di 

wajahnya.

Cipta Angkara tidak segera bangkit. Bahkan 

dengan pasrah ia bersimpuh di kaki Brahmana Loka 

Arya. Tak dirasa air mata Cipta Angkara meleleh, 

membasahi kedua pipinya.

"Ampun, Guru. Ijinkanlah muridmu mengubah 

langkah yang selama ini murid lakukan."

"Janjimu terlalu muluk, Cipta. Tapi tindakan-

mu, tak ubahnya tindakan syetan."

"Guru...!" memekik Cipta Angkara. "Kalau saja 

guru mengijinkan murid membawa Kyai Sangkar...."

"Ah, sudahlah... Kidang, cepat kau bawa pusa-

ka itu. Bupati Brebes telah menantimu!" berkata 

Brahmana Loka Arya pada Kidang Emas, tanpa mem-

perdulikan Cipta Angkara yang masih tersimpuh du-

duk. Mendengar ucapan gurunya, dengan segera Ki-

dang Emas memacu kudanya pergi.

Entah apa yang telah terjadi, tiba-tiba Cipta 

Angkara telah mengejarnya. Kejar mengejar antara ke-

dua kakak beradik seperguruan itu terus terjadi.

"Serahkan pusaka itu padaku! Atau aku bunuh 

kau, Kidang!"

"Tidak! Pusaka ini diamanatkan guru padaku 

untuk menyampaikannya pada kanjeng Adipati


Brebes," menjawab Kidang Emas. Hal itu membuat 

Cipta Angkara seketika melototkan matanya marah. 

Nafasnya memburu hingga hidungnya tampak kem-

bang kempis. Tanpa diduga sebelumnya oleh Kidang 

Emas, seketika Cipta Angkara melompat menyerang-

nya.

"Kunyuk! Serahkan pusaka itu padaku!"

"Hem, jangan mimpi, Angkara."

"Bedebah! Akan aku buktikan bahwa aku akan 

segera mengirimmu ke akherat, Hiat...!"

Cipta Angkara yang telah dirasuki keserakahan 

bagaikan seekor macan ia menyerang. Terkaman-

terkamannya selalu mengarah pada tempat-tempat 

yang mematikan. Namun begitu, Kidang Emas yang 

membawa pusaka Kyai Sangkal tampak percaya diri. 

Ditebaskan keris pusaka itu manakala Cipta Angkara 

hendak merangseknya. Hawa panas yang keluar dari 

keris, menjadikan Cipta Angkara harus menarik seran-

gannya. Cipta Angkara tahu tuah keris itu, yang mam-

pu menjadikan segalanya bisa berubah. Air laut akan 

mengering bila keris Kyai Sangkar dicelupkan. Apalagi 

bila manusia yang terkena. Luluh lantahlah tubuhnya, 

hangus bagaikan dipanggang.

"Suwe! Kalau begini caranya aku tak akan 

mampu. Aku harus mencari siasat," berkata hati Cipta 

Angkara, yang kemudian melentingkan tubuhnya ke 

angkasa. Hal itu tidak disia-siakan oleh Kidang Emas 

yang segera memacu kudanya kembali.

"Bedebah! Jangan kabur kau, Kidang!" memaki 

Cipta Angkara kembali mengejarnya. Namun dikarena-

kan ia hanya berlari, Cipta Angkara pun akhirnya ter-

tinggal jauh. Walau begitu, Cipta Angkara yang telah 

dirasuki oleh nafsu serakah tak mau tinggal diam. Dia 

terus mengejar meski harus mengeluarkan tenaganya


untuk berlari. Tekadnya untuk dapat merampas pusa-

ka Kyai Sangkar, menjadikannya bagai tak kenal lelah.

Ketika malam telah tiba, Cipta Angkara yang te-

lah memasuki perkampungan berusaha mencari kuda. 

Dicurinya seekor kuda milik salah seorang saudagar 

hingga seketika mengundang warga memburunya.

"Maling...! Maliiingg...!"

"Edan! Mereka meneriaki maling,"

Dihentikan kudanya dan menghadang warga 

yang mengejar. Warga yang merasa buruannya berhen-

ti, dengan segera mengepungnya.

"Ternyata ini orangnya yang selalu mengganggu 

kampung kita," berkata ketua kampung, yang menja-

dikan semua warganya geram. Maka bagaikan diko-

mando saja, seluruh warga seketika menyerbu Cipta 

Angkara.

"Edan! Kalian telah salah sangka. Aku bukan 

maling, aku hanya ingin meminjam kuda sebentar."

"Bohong! Mana mungkin kami mau percaya! 

Kalau kau bukan maling, kenapa kau mencuri kuda 

milik salah seorang penduduk? Jangan banyak berda-

lih, menyerahlah!"

"Bedebah! Rupanya kalian mencari mati. Kalian 

jangan menyesal kalau tahu siapa aku," menggeretak 

Cipta Angkara marah.

"Jangan banyak bacot! Kau harus bertanggung 

jawab atas perbuatanmu!"

Seketika itu semua warga berkelebat menye-

rang Cipta Angkara, yang dengan gesit mengelakkan 

setiap babatan golok. Kaki dan tangannya bergerak ce-

pat, menghantam dan menendang musuh-musuhnya 

yang datang hendak menyerang. Tak ketinggalan kuda 

yang ditumpanginya, turut serta melakukan perlawa-

nan.


Korban demi korban berjatuhan, manakala 

tangan dan kaki Cipta Angkara beraksi. Namun bagai-

kan tak mengenal takut, warga desa itu terus merang-

sek. Hal itu menjadikan Cipta Angkara harus kembali 

berpikir. Walau ia seorang murid dari Brahmana Loka 

Arya yang terkenal sakti, namun menghadapi keroyo-

kan ratusan orang bersenjata ia keder juga. Apalagi ia 

sendiri tak memakai senjata barang sebatang tangkai-

pun.

"Sia-sia kalau aku teruskan melayani mereka. 

Bukannya aku takut kalah, namun waktuku begitu 

mendesak. Aku harus segera meninggalkan tempat 

ini," berkata hatinya membatin. Dengan segera, dihen-

takkannya tali kekang kuda. Seketika kuda yang di-

tumpanginya pun meringkik.

"Hia...!"

Berbareng dengan pekikkan Cipta Angkara, ku-

da yang ditumpanginya seketika mengangkat kedua 

kaki depannya. Bagaikan terbang, kuda itu melompat 

meninggalkan semua warga yang hanya terbengong 

tanpa dapat mencegah. Cipta Angkara dan kuda cu-

riannya segera menerobos kegelapan malam, menjadi-

kan semua warga hanya terlolong bisu. Tanpa dapat 

berbuat apa-

apa, warga desa itu pun kembali ke tempat di mana 

teman-temannya mati.

* * *

Dipacunya kuda terus berlari menerobos ma-

lam, meninggalkan desa Bandar Rejo. Cipta Angkara 

sesekali menyeka keringatnya yang tampak terus men-

galir. Ringkikkan kudanya, menjadikan Cipta Angkara 

seketika merinding bulu tengkuknya. Matanya nanar


memandang ke muka. Gelap terpampang melebar dan 

hanya pohon-pohon jati yang tampak menghitam. Po-

hon-pohon jati itu, seperti berjalan.

"Weeerrr...!"

Angin bertiup dengan kencangnya, menerpa tu-

buh Cipta Angkara yang makin merinding. "Hem, se-

pertinya ada sesuatu yang tak beres," membatin Cipta 

Angkara.

Dengan perasaan agak sedikit takut, Cipta 

Angkara memperlambat langkah kudanya. Matanya ta-

jam mengawasi sekeliling. Tangannya telah terkepal, 

siap untuk menghantamkan pukulan jarak jauhnya.

"Hua, ha, ha.... Hua ha, ha!"

Tersentak Cipta Angkara hampir terjatuh dari 

kudanya demi mendengar gelak tawa yang merinding-

kan bulu kuduk. Namun sebagai seorang lelaki yang 

memiliki kepandaian, serta merta Cipta Angkara mem-

bentak. "Siapa, Kau!"

Tak ada jawaban yang keluar, hanya angin ma-

lam yang berlalu dan kembali menepiskan rambutnya 

yang gondrong. Demi tak terdengar jawaban, maka un-

tuk kedua kalinya ia membentak. "Siapa kau! Kalau 

kau manusia, tunjukkan batang hidungmu! Tapi kalau 

kau iblis, jangan ganggu aku!"

Angin malam kembali bertiup, kali ini agak 

kencang. Bersama dengan tiupan angin, saat itu juga 

berdiri di hadapan Cipta Angkara sesosok tubuh tinggi 

besar. Tak jelas Cipta Angkara melihat wajah orang itu, 

yang tertutup oleh gelapnya malam.

Tampak lelaki tinggi besar itu berjalan meng-

hampirinya. Mulut lelaki itu menyeringai hingga tam-

paklah gigi-giginya yang tajam meruncing. Bergidik ju-

ga Cipta Angkara melihatnya hingga keringat dingin 

pun keluar membasahi tubuh. Tengah Cipta Angkara


tercekam dalam ketakutan, tiba-tiba lelaki tinggi besar 

itu berkata dengan suara yang besar pula.

"Anak muda. Jangan kau takut padaku, karena 

aku sebenarnya hendak bermaksud baik padamu. 

Hem, bukankah kau murid Brahmana Loka Arya?"

"Benar. Siapa kau? Mengapa kau mengetahui 

kedatanganku?" bertanya Cipta Angkara. Rasa takut-

nya sedikit demi sedikit hilang, manakala menatap ma-

ta lelaki di hadapannya. Kembali lelaki di hadapannya 

tertawa bergelak-gelak mendengar ucapannya.

"Hua, ha, ha.,.! Cipta Angkara, ketahuilah bah-

wa sejak lama aku menguntit mu. Kaulah orang yang 

pantas menjadi abdi setiaku. Sifatmu, adalah sifat 

keangkaramurkaan. Hal itu merupakan sebagian dari 

sifatku. Maka jangan kaget kalau aku menyukaimu 

dan bermaksud mengangkatmu sebagai titisanku."

"Hai, siapakah orang ini? Sepertinya ia telah 

mengetahui segala yang ada pada diriku?" bertanya 

hati Cipta Angkara. Belum habis rasa tak mengerti di 

hati Cipta Angkara, lelaki itu kembali tertawa dan ber-

kata:

"Hua, ha, ha... Cipta Angkara, ketahuilah bah-

wa aku memang mengetahui apa saja yang selama ini 

kau lakukan. Karena sifatmu seperti itu hingga aku 

kembali bangkit sesuai janjiku pada gurumu."

"Siapa kau sebenarnya, Ki Sanak?"

"Aku? Akulah Raja Siluman Kerta Ganda 

Mayit."

Tersentak Cipta Angkara demi mendengar lelaki 

itu menyebutkan namanya. Karena saking kagetnya, 

tanpa sadar Cipta Angkara berseru. "Kerta Ganda 

Mayit! Jadi kau...?"

"Ya, akulah raja siluman yang pernah gurumu 

ceritakan."


"Apa maksudmu menghadangku?"

"Hua, ha, ha!!! Aku ingin mengangkatmu seba-

gai muridku. Aku akan menitis padamu. Dengan cara 

itu, aku akan dapat melaksanakan cita-citaku untuk 

menghancurkan umat manusia. Lima puluhan tahun 

sudah aku menanti. Lima puluh tahun aku harus ber-

sabar menunggu salah seorang murid Brahmana Loka 

Arya untuk membalas kekalahanku lima puluh tahun 

yang silam."

Mengerut alis mata Cipta Angkara mendengar 

penuturan Raja Siluman Kerta Ganda Mayit. Ia tak 

mengerti maksud ucapan itu. Maka dengan agak sedi-

kit berani Cipta Angkara pun bertanya.

"Kenapa kau menunggu salah seorang murid 

guruku? Kenapa pula kau hendak menitis padaku?"

"Hua, ha, ha. Ketahuilah, bahwa kami yaitu 

aku dan gurumu telah mengadakan janji manakala 

kami bertempur. Gurumu yang memang orang bijak, 

telah dapat mengalahkanku lima puluh tahun yang la-

lu. Lima puluh tahun yang lalu, akulah pendekar yang 

paling tinggi ilmunya di antara deretan tokoh persila-

tan. Namun karena aku merupakan tokoh sesat, ak-

hirnya aku dimusuhi oleh semua tokoh persilatan ter-

masuk Begawan Wungkal Gunung. Mereka berusaha 

melenyapkan aku dari dunia. Namun usaha mereka 

mengalami kesia-siaan karena aku tak dapat mati. 

Hampir saja para tokoh persilatan putus asa kalau sa-

ja tidak datang seorang pendekar muda dari wetan 

bernama Loka Arya yang menyanggupi untuk me-

nyingkirkan aku dari dunia. Kami pun bertempur 

hingga sampai tujuh hari tujuh malam...."

"Ah!" memekik Cipta Angkara demi mendengar 

ucapan Kerta Ganda Mayit, membuat Kerta Ganda 

Mayit seketika menghentikan ceritanya dan meman


dang pada Cipta Angkara dengan alis mata mengerut.

"Kenapa, Cipta?"

"Tidak apa-apa. Aku hanya heran, apakah ka-

lian bertempur begitu lama tak capai?"

"Ya, karena kami berdua sama-sama sakti 

hingga sukar bagi kami untuk dapat menjatuhkan la-

wan. Namun ketika hari menginjak kedelapan, aku tak 

sanggup lagi mengimbangi ilmu-ilmunya. Saat itu juga 

aku mengakui kekalahanku. Kukatakan padanya bah-

wa aku tak akan menampakkan diri lagi di dunia. Tapi 

sebelum aku kembali ke dunia, aku sempat berjanji 

dengannya. Adapun isi perjanjiannya sebagai berikut. 

"Mulai hari itu, aku tak akan mengganggu dunia lagi. 

Aku boleh muncul kembali setelah ada salah satu mu-

ridnya yang murtad."

"Lalu ke mana saja kau selama lima puluh ta-

hun?"

"Selama lima puluh tahun aku bersemadi me-

minta pada Yang Widi agar dapat menemukan orang 

yang nantinya dapat aku titisi. Dan ternyata hari ini 

aku menemukanmu. Rupanya Yang Widi masih mem-

berikan kesempatan padaku untuk yang terakhir."

"Yang terakhir?" bertanya Cipta Angkara seraya 

mengerutkan keningnya. Ia tak mengerti mengapa Ker-

ta Ganda Mayit berkata begitu? Setahunya, Siluman 

tak pernah akan mati sebelum akhir jaman. Tapi ke-

napa Kerta Ganda Mayit mengatakan yang terakhir?

"Ya, yang terakhir. Sebab dalam dunia Siluman 

tak boleh mengalami kegagalan berturut-turut," jawab 

Kerta Ganda Mayit. Namun jawaban Kerta Ganda 

Mayit sepertinya belum juga dimengerti Cipta Angkara 

yang kembali bertanya.

"Maksudmu terakhir bagaimana?"

"Bila untuk kedua kalinya aku gagal, maka aku


tak akan pernah menginjakkan dunia manusia lagi," 

berkata Kerta Ganda Mayit menerangkan.

"Bukankah kau seorang raja?" kembali Cipta 

Angkara bertanya. Tertawa bergelak-gelak Kerta Ganda 

Mayit mendengar pertanyaan Cipta Angkara, lalu 

ucapnya kemudian:

"Di alam siluman semuanya sama, tidak seperti 

manusia. Di sana raja sama dengan rakyat bila hal itu 

memang mengenai tugas. Biarpun raja, bila ia gagal 

dua kali maka ia tak akan dapat diberikan keper-

cayaan lagi. Hai, hari menjelang pagi. Maukah kau 

menjadi abdiku? Ketahuilah, kau akan sakti mandra-

guna bila aku sudah menitis pada tubuhmu. Tidakkah 

kau ingin merajai dunia persilatan?"

Sesaat Cipta Angkara terdiam mendengar penu-

turan Kerta Ganda Mayit. Matanya memandang tajam, 

pikirannya berpikir keras.

"Haruskah aku menerima?" bisik hatinya.

"Baiklah. Aku menerima," akhirnya Cipta Ang-

kara pun berkata, yang membuat Kerta Ganda Mayit 

seketika tertawa bergelak-gelak.

"Hua, ha, ha...! Bagus, bagus. Nah, bersiaplah!"

Habis berkata begitu, tiba-tiba tubuh Kerta 

Ganda Mayit seketika lenyap. Tubuh itu berubah men-

jadi seberkas sinar. Sinar berwarna merah itu, seketika 

meloncat masuk ke tubuh Cipta Angkara. Rasa panas 

seketika menggelegar di tubuh Cipta Angkara hingga 

iapun seketika memekik bagaikan dibeset kulitnya.

"Aaaaahhhh.... Tobat!"

Memekik Cipta Angkara bersamaan dengan le-

nyapnya Kerta Ganda Mayit yang masuk ke tubuhnya. 

Seketika itu pula Cipta Angkara pingsan. Tubuhnya 

nampak bersinar merah, membara bagaikan api. Se-

mentara kuda yang ditumpanginya, seketika ambruk


ke tanah dengan tubuh mengering. Darah kuda itu, te-

lah terhisap habis. 

***

DUA



Cipta Angkara menggeliat bangun setelah ping-

san beberapa lama. Dirasakan olehnya perasaan lain 

yang kini bergayut di benaknya. Perasaan itu seperti 

menyuruhnya, mendesaknya untuk berbuat sesuatu.

"Aku harus segera mendapatkan Keris Pusaka 

Kyai Sangkar," berkata Cipta Angkara dalam hati. Ma-

ka dengan segera Cipta Angkara berkelebat, pergi me-

ninggalkan hutan itu.

Tersentak kaget Cipta Angkara, manakala me-

rasakan tubuhnya enteng. Larinya begitu cepat laksa-

na angin. Tenaganya besar bagaikan tenaga gajah se-

ratus.

"Hai, kenapa aku dapat berbuat begini?" Terhe-

ran-heran Cipta Angkara melihat perubahan pada di-

rinya. Dihentikan larinya, ia tercenung diam. Manakala 

ia tengah terdiam penuh ketidak mengertian. Terden-

gar suara Kerta Ganda Mayit berkata: "Jangan kaget, 

Cipta! Dengan menyatunya aku dengan dirimu, maka 

kau akan dapat melakukan semuanya. Rentangkan 

kedua tanganmu."

Cipta Angkara menurut merentangkan kedua 

tangannya.

"Hantamkan tangan kananmu ke batu besar 

itu!"

Kembali Cipta Angkara menurut. Dihantam-

kannya tangan kanan ke muka, pada batu besar yang


berjarak sekitar 10 tombak.

"Hiaat...!"

"Duar...!" Seketika terdengar ledakan dahsyat, 

bersamaan dengan runtuhnya batu itu. Batu itu han-

cur berantakan, berhamburan menjadi tepung. Makin

tak mengerti saja Cipta Angkara melihat kejadian itu. 

Namun belum sempat semuanya terjawab, terdengar 

suara Kerta Ganda Mayit kembali berkata.

"Nah, masihkah kau kurang yakin?"

"Aku yakin."

"Bagus! Sekarang juga kau harus menurut pa-

daku. Kau harus dapat mengambil Keris Kyai Sangkar, 

juga Tombak Inti Jagad. Bila dua benda itu telah kau 

kuasai, maka kau akan menjadi orang tak tertandingi 

di dunia ini. Lakukankah! Kejar adik seperguruanmu."

"Apakah kau tahu di mana adik seperguruanku 

berada?"

"Dia berada di wilayah Tegal. Cepat kejar dia, 

jangan sampai dia menjumpai Bupati Brebes!"

"Baiklah. Aku akan melaksanakan semua yang 

kau maui."

Habis berkata begitu, dengan segera Cipta 

Angkara kembali berkelebat. Langkahnya lebar-lebar 

hingga dalam beberapa saat saja, ia telah jauh me-

ninggalkan hutan itu.

* * *

Tak terasa Cipta Angkara berlari, ia telah sam-

pai perbatasan Tegal. Hari telah menjelang siang hing-

ga matahari begitu panasnya menerpa bumi. Cipta 

Angkara segera memperlambat larinya dan mencari 

sebuah kedai karena perutnya telah bernyanyi, memin-

ta untuk diisi.


"Hem, tak terasa aku telah berlari jauh. Seten-

gah hari telah aku lewati untuk berlari." kata Kerta, 

"Aku akan menemukan Kidang Emas di kota ini.... Hai, 

bukankah itu kuda tunggangannya? Ya, itu memang 

kuda tunggangannya. Aku akan pura-pura tak tahu. 

Aku akan masuk ke kedai itu untuk mengisi perutku," 

bergumam Cipta Angkara dalam hati, yang kemudian 

berjalan mendekati kedai.

Pengunjung kedai nampak banyak hingga tem-

pat duduk pun habis terisi. Sesaat Cipta Angkara me-

lemparkan pandangannya ke sekeliling. Matanya seke-

tika tertuju pada salah seorang yang duduk di ujung 

membelakanginya.

"Hem, jangan harap kau bisa lolos dari tangan-

ku," bergumam hati Cipta Angkara, demi dilihatnya 

Kidang Emas yang tengah menyantap makan tak tahu 

kedatangannya. Cipta Angkara segera memesan makan 

dengan suara pelan. Maksudnya agar kedatangannya 

tidak diketahui Oleh Kidang Emas.

Cipta Angkara menyantap makanannya dengan 

mata sekali-kali menengok ke arah Kidang Emas. Na-

mun betapa tersentaknya Cipta Angkara, manakala di-

lihatnya Kidang Emas tak ada lagi di tempatnya. Ber-

gegas ia membayar makanannya, lalu dengan segera 

Cipta Angkara pun berkelebat pergi.

"Itu dia....'" berseru Cipta Angkara dalam hati. 

Dilihat olehnya Kidang Emas tengah memacu ku-

danya. Maka dengan segera Cipta Angkara memperce-

pat larinya. Bagaikan kibasan angin, secepat itu pula 

Cipta Angkara berlari. Angin lariannya, menjadikan 

daun-daun kering beterbangan.

"Berhenti!" teriak Cipta Angkara yang tiba-tiba 

telah berdiri di hadapan Kidang Emas. Kidang Emas 

tersentak sesaat demi dilihatnya Cipta Angkara telah


berdiri menghadangnya. 

Namun bagaikan tak perduli, Kidang Emas te-

rus menghentakkan kudanya. Dicobanya untuk me-

nerjang Cipta Angkara yang berdiri. Namun belum juga 

hal itu terjadi, kuda yang ditumpanginya seketika me-

ringkik dan bagai ketakutan mengangkat kedua ka-

kinya tinggi-tinggi. Beruntung Kidang Emas waspada. 

Ia segera melompat turun. Sementara kudanya, dili-

hatnya telah mati.

"Hem, ilmu apa yang ia gunakan? Tak kusang-

ka, kalau dia mempunyai ilmu yang begitu tinggi. Heh, 

bukankah guru tak pernah mengajari ilmu semacam 

itu? Dari mana ia memperoleh ilmu itu?" bertanya Ki-

dang Emas dalam hati. Matanya menatap tajam, me-

lawan pandangan Cipta Angkara yang tersenyum. "Apa 

maumu, Iblis!"

"Aku menginginkan apa yang kau bawa."

"Huh, jangan kira aku akan memberikannya."

"Kita buktikan. Bila kau tak mau memberikan-

nya, maka aku yang akan mengambilnya dari tangan-

mu."

Habis berkata begitu, Cipta Angkara tiba-tiba 

berteriak. Tubuhnya melompat tinggi, lalu berdiri di 

hadapan Kidang Emas. Senyumnya mengembang sinis, 

sepertinya memendam kebencian.

Tersentak Kidang Emas melompat mundur. Di-

tatapnya lekat bekas kakak seperguruannya. Tangan-

nya seketika meraba gagang Kyai Sangkar, siap untuk 

menghadapi segalanya.

"Kidang Emas, berikan senjata itu padaku!" 

"Tidak! Ini bukan hakmu. Ini milik kanjeng 

Adipati Brebes!"

"Heh, rupanya kau keras kepala, Kidang Emas! 

Jangan salahkan aku," menggeretak Cipta Angkara


marah. Tangannya seketika menyatu, lalu dengan di-

dahului pekikkan Cipta Angkara berkelebat menye-

rang. "Kau seperti si tua bangka itu. Kau harus ku-

singkirkan dari muka bumi ini." 

"Jangan sombong, Cipta," berkata Kidang Emas 

seraya mengelakkan serangan Cipta Angkara. Dengan 

keris Kyai Sangkar di tangan Kidang Emas berusaha 

mematahkan setiap serangan. Namun Cipta Angkara 

yang telah menyatu dengan Kerta Ganda Mayit, seper-

tinya tenang saja menghadapi senjata sakti itu. Tu-

buhnya bagai belut, licin hingga selalu lolos dari se-

rangan Kidang Emas. Hal itu menjadikan Kidang Emas 

makin kalap. Maka dengan penuh emosi, Kidang Emas 

makin menambah daya serangannya.

"Keluarkan seluruh kepandaianmu, Kidang! Ke-

luarkan apa yang kau peroleh dari si tua bangkotan 

itu. Ha, ha, ha.... Jangan harap kau bakalan mampu 

menandingiku."

"Sombong!" mendengus Kidang Emas dan terus 

menyerang.

"Aku tidak sombong seperti gurumu, Kidang. 

Akan aku buktikan bahwa aku akan segera menjatuh-

kanmu."

Bareng dengan habisnya suara itu, secepat kilat 

Cipta Angkara berkelebat. Tangannya yang membara 

bagai bara api, berkelebat mengarah pada Kidang 

Emas. Saat itu juga, terdengar pekikkan Kidang Emas. 

Tubuhnya seketika memerah, bagaikan terbakar.

Cipta Angkara tersenyum sinis melihat adik se-

perguruannya telah dapat dikalahkan. Dengan berge-

rak cepat laksana angin, Cipta Angkara segera merebut 

keris Kyai Sangkar dari tangan Kidang Emas yang ten-

gah sekarat. Lalu dengan tanpa mengenal belas kasi-

han, kembali dihantamnya tubuh Kidang Emas.


Untuk kedua kalinya Kidang Emas memekik 

panjang. Tubuhnya ambruk hangus bagaikan arang. 

Setelah sesaat memandangi tubuh Kidang Emas, den-

gan segera Cipta Angkara pun berkelebat pergi.

* * *

"Murid durhaka! Murid sesat! Bahaya, bahaya!

Sungguh bahaya bila terjadi. Ah, mengapa siluman itu 

kembali muncul?" bertanya Brahmana Loka Arya pada 

diri sendiri. Brahmana Loka sebagai seorang Wiku 

yang sakti mandra guna, tampak telah mengetahui apa 

yang telah terjadi. Naluri batinnya, mengatakan bahwa 

muridnya yang diberi amanat telah mati di tangan Cip-

ta Angkara. Wajah Brahmana Loka nampak pucat. Mu-

lutnya tampak komat-kamit seperti berdo'a. Ya, dia 

memang telah berdo'a untuk kematian seorang murid-

nya yang patuh. Dia juga berdo'a untuk muridnya yang 

telah murtad, yang kini telah bersekutu dengan mu-

suhnya.

"Tak kusangka, kalau akhirnya aku memelihara 

anak singa," mengeluh Brahmana Loka. "Tapi memang 

itu sudah kodrat Yang Widi. Ah, mungkin umurku su-

dah harus berakhir."

"Longkat...!!" berseru Brahmana Loka memang-

gil salah seorang cantriknya.

"Saya, Wiku?" menjawab Longkat dan segera 

berlari menghadap.

"Perintahkan pada teman-temanmu untuk 

mengungsi."

"Mengungsi, Wiku?" bertanya Cantrik Longkat 

tak mengerti.

"Ya, mengungsi."

"Untuk apa, Wiku? Bukankah di sini tenang?"


"Memang saat ini tenang. Tapi sesaat lagi di sini 

akan berubah menjadi ajang angkara murka," menje-

laskan Brahmana Loka. Tersentak Longkat melototkan 

mata demi mendengar penuturan Brahmana Loka. Me-

lihat hal itu, Brahmana Loka tersenyum sepertinya 

hendak memberi semangat pada cantriknya dan ka-

tanya kemudian: "Longkat...." 

"Ya, Wiku!"

"Bukannya aku tidak suka kalian bersamaku. 

Tapi...."

"Tapi kenapa, Wiku?" bertanya Longkat seraya 

mengerutkan alis matanya demi mendengar ucapan 

Brahmana Loka yang diputus. Sesaat Brahmana Loka 

terdiam. Matanya memandang Longkat dengan pan-

dangan sayu. Hatinya bergetar, manakala melihat wa-

jah Longkat. Dua puluh lima tahun mereka bersatu. 

Dua puluh lima tahun pula Longkat, Tenggiri, Sanur, 

Lomber, dan Angsono mengabdikan diri padanya. Kini 

semuanya hendak berakhir, hanya karena seorang 

muridnya yang durhaka. Tak disadarinya, air matanya 

pun menetes.

Melihat Wikunya menangis, Longkat pun seke-

tika menderai air mata. Tengah keduanya menangis, 

keempat cantrik lainnya datang. Mereka sesaat mena-

tap pada keduanya tak mengerti. Baru mereka turut 

menangis manakala Longkat bercerita pada mereka.

"Kita akan berpisah dengan sang Wiku, Ka-

wan."

"Apa...? Kita akan berpisah dengan sang Wiku?" 

bertanya keempat cantrik lainnya bareng. Seperti me-

reka terkejut.

"Benarkah, Wiku?"

Brahmana Loka hanya mengangguk. Namun 

hal itu telah cukup menjadi jawaban bagi mereka yang


spontanitas mengencangkan tangisnya.

"Jangan tinggalkan kami, Wiku. Jangan...!"

"Aku bukan bermaksud meninggalkan kalian 

untuk pergi."

"Tapi, kenapa Wiku mengatakan hendak me-

nyuruh kami pergi?"

"Para cantrikku? Ketahuilah oleh kalian, bahwa 

aku tak ingin kalian terbawa bencana yang bakal me-

landa padepokan ini. Aku ingin, kalian dapat hidup te-

rus...."

"Tidak, Wiku. Apapun yang terjadi, kami ikut," 

berkata Angsono dengan mata berlinang linang.

"Benar, Wiku," sambung Tenggiri.

"Ijinkanlah kami selalu bersama Wiku," tambah 

Sanur.

"Apakah gerangan yang bakal terjadi hingga 

Wiku begitu cemas?" bertanya Lomber yang tampak 

agak tenang dibanding dengan keempat teman-

temannya.

Sesaat Brahmana Loka terdiam. Matanya terpe-

jam rapat, sepertinya tengah meditasi. Tangannya me-

nyatu di depan dada, lalu dengan suara serak ia berka-

ta.

"Longkat, Lomber, Tenggiri, Sanur, dan kau 

Angsono. Ketahuilah oleh kalian, bahwa sesaat lagi 

akan datang petaka. Petaka yang bakal menjadikan 

sebuah catatan kehidupan. Petaka yang diibaratkan 

dengan pepatah Air Susu Dibalas Air Tuba."

"Ah, Wiku menuduh kami tidak setia," memo-

tong Lomber. Ia menyangka ucapan Wiku tertuju pada 

mereka. Brahmana Loka tersenyum dalam diam. Dige-

lengkan kepalanya, lalu kembali ia berkata.

"Bukan pada kalian ucapan itu kutujukan."

"Lalu pada siapakah, Wiku?" bertanya Angsono.


"Masihkah kalian mengingat seorang muridku?"

"Maksud Wiku, Cipta Angkara?"

"Benar jawabanmu, Tenggiri. Dialah yang aku 

maksud."

"Maksud, Wiku?" bertanya Longkat belum men-

gerti.

"Dia telah membalas air susu dengan air tuba. 

Dia telah membunuh adik seperguruannya, Kidang 

Emas, hanya karena keserakahan. Dia juga telah ber-

sekutu dengan siluman Kerta Ganda Mayit, musuhku. 

Nah, mungkin dengan keterangan ini kalian telah 

mengerti maksudku."

"Kami mengerti, Wiku," menjawab mereka se-

rempak.

"Tapi kami ingin mati bersama Wiku," lanjut 

Longkat.

"Benar. Aku juga, Wiku," lanjut Tegiri. 

"Aku juga!"

"Aku juga! Biar kami bersama-sama sehidup 

dan semati, Wiku."

Trenyuh hati Brahmana Loka mendengar ke-

saksian kelima cantriknya. Maka untuk kedua kalinya 

Brahmana Loka pun kembali menangis. Ia menangis 

bukan sedih, namun menangis karena rasa haru. Me-

lihat Wikunya kembali menangis, kelima cantrik itu 

pun turut menangis pula.

"Jangan kalian sia-sia mengikutiku, Para Can-

trik."

"Tapi kami tak dapat berpisah denganmu, Wi-

ku," berkata Angsono sambil menyeka air mata. "Biar-

kanlah kami ikut denganmu. Kami telah rela, Wiku."

"Aku tahu. Aku mengerti perasaan kalian. Tapi 

dengarlah, bahwa kalian masih dibutuhkan oleh yang 

lainnya. Nanti bila aku benar telah mati, carilah oleh


kalian seorang pendekar muda...."

"Untuk apa, Wiku?"

"Dengar dulu ucapanku, Tenggiri."

"Baik, Wiku," jawab Tenggiri seraya menunduk.

"Bila kalian telah menemukan pendekar muda 

itu, katakan padanya bahwa kalian ingin mengabdi 

padanya. Niscaya ia akan mau menerima kalian. Dia 

seorang pendekar aneh. Dengan segala sifatnya, dia 

bernama Jaka. Karena sifatnya yang konyol, dia lebih 

dikenal dengan sebutan Jaka Ndableg. Hanya dialah 

yang kelak mampu mengalahkan murid durhaka itu. 

Percayalah, dia akan dengan senang hati menerima ka-

lian. Mengabdilah dengan sepenuh hati, seperti pada-

ku. Kalian mengerti, Cantrik?"

"Mengerti, Wiku. Namun bolehkah kami tahu 

apa yang bakal terjadi hingga Wiku menyimpulkan be-

gitu?" bertanya Longkat. Tersenyum Brahmana Loka 

mendengar pertanyaan Longkat. Diangguk-anggukkan 

kepalanya, seperti memahami apa yang terkuak di hati 

cantriknya. Lalu dengan seperti bergumam pada diri 

sendiri, Brahmana Loka berkata:

"Takdir, Jodoh, Rizki, dan maut adalah kuasa-

Nya. Tak akan ada seorang pun yang sanggup menen-

tangnya. Tak akan ada yang terlepas dari tangan-Nya. 

Aku hanyalah manusia, yang hanya bisa berusaha. 

Takdirku hanya sampai hari ini."

Terbelalak mata kelima cantriknya mendengar 

ucapan Brahmana Loka. Sesaat kelimanya saling pan-

dang, kemudian serentak kelimanya bersujud di kaki 

Brahmana Loka sembari menangis.

"Duh, Wiku Agung. Sungguh kami sangat ba-

hagia menjadi abdimu selama ini. Segala yang telah 

Wiku berikan pada kami, akan kami amalkan kelak."

"Apakah Wiku tidak lebih baik pergi?"


"Percuma, Angsono. Ke mana langkah kaki, ka-

lau ajal pasti terpaut juga. Begitu juga dengan kejadian 

yang bakal terjadi atas diriku. Sudah menjadi kodrat-

Nya, kalau aku harus mati di tangan muridku sendiri. 

Jagad Dewa Batara, semoga kalian mengampuni segala 

perbuatannya," mendesah Brahmana Loka sembari 

menyapu mukanya dengan tangan. "Nah, pergilah ka-

lian. Bawalah Tombak Inti Jagad dan serahkan pada 

pendekar muda itu, sebab dialah yang berjodoh. Lak-

sanakan segera!"

"Baik, Wiku. Segala apa yang terucap oleh Wiku 

adalah suatu kebahagiaan bagi kami. Ijinkanlah kami 

pergi," berkata Angsono mewakili keempat cantrik

lainnya,

"Ya, pergilah! Do'a dan puji aku ucapkan me-

nyertai kalian."

"Terimakasih, Wiku."

"Angsono, jaga baik-baik tombak Inti Jagad itu. 

Jangan sekali-kali kau berikan pada orang lain. Beri-

kanlah tombak itu pada pendekar muda itu. Apabila 

tombak itu berada di tangan orang-orang sesat, nis-

caya dunia akan hancur. Tombak itu pula yang dapat 

menandingi keris Kyai Sangkar. Nah, pergilah"

Dengan mata menangis, kelima cantrik itupun 

pergi meninggalkan Brahmana Loka. Dilambaikan tan-

gannya lemas, sepertinya tak ingin perpisahan itu ter-

jadi. Seperti kelima cantriknya, Brahmana Loka pun 

menangis. Ditatapnya kepergian kelima cantriknya 

yang telah dua puluh lima tahun menjadi abdinya.

"Kalian orang-orang baik. Kalian orang-orang 

jujur. Kelak kalian akan memperoleh ganjarannya," 

berkata Brahmana Loka setelah dilihatnya kelima can-

trik itu telah hilang dari pandangan. Lalu dengan sege-

ra Brahmana Loka berkelebat, masuk ke dalam ka



marnya. Di situ ia segera melakukan meditasi, seper-

tinya telah siap menghadapi segalanya.

* * *

Tengah kusuk Brahmana Loka bersemedi, seke-

tika terdengar suara tawa bergelak. Bersamaan dengan 

itu, sesosok tubuh berkelebat dengan cepat dan lang-

sung mengobrak-abrik pesanggrahannya.

Brahmana Loka tampak tenang, sepertinya ia 

telah mengetahui sebelumnya. Perlahan matanya di-

buka. Ditatapnya dengan tajam orang yang kini berdiri 

di hadapannya dengan angkuh.

"Hem, sudah kuduga kalau kau pasti datang," 

berkata Brahmana Loka pelan. Ia segera bangkit dari 

duduknya, berdiri berhadapan dengan pemuda di ha-

dapannya.

"Hua, ha, ha.... Loka Arya, selamat berjumpa. 

Bagaimana kabarmu?" bertanya pemuda yang berdiri 

di hadapannya. Sosok pemuda itu memang Cipta Ang-

kara, muridnya. Namun nalurinya, mengatakan bahwa 

yang bicara bukanlah muridnya yang durhaka. Nalu-

rinya mengatakan bahwa orang yang berdiri di hada-

pannya tak lain Siluman Kerta Ganda Mayit.

"Ganda Mayit, apa perlumu muncul kembali?"

"Hua, ha, ha.... Loka Arya, lima puluh tahun 

aku menanti-nanti kesempatan seperti ini. Lima puluh 

tahun aku tersiksa didera oleh perjanjian kita. Kini apa 

yang telah kita janjikan telah terjadi. Salah seorang 

muridmu telah membantuku."

"Jadi kau ingin menuntut?"

"Ya.... Bukan itu saja maksudku. Aku akan 

kembali membuat semua manusia bertekuk lutut pa-

daku. Akulah raja mereka! Akulah yang paling tersakti


di dunia persilatan."

"Jangan harap, Ganda Mayit!"

"Akan aku buktikan, Loka Arya!"

Brahmana Loka Arya tersenyum mendengar 

ucapan Kerta Ganda Mayit. Sepertinya ia tak gentar 

menghadapi siluman yang telah menyatu dalam tubuh 

muridnya. Lalu dengan masih tersenyum, Brahmana 

Loka kembali berkata:

"Ganda Mayit, buanglah semua impianmu. 

Kembalilah pada asalmu."

"Hem, rupanya kau masih sombong seperti du-

lu, Loka."

"Bukan aku sombong. Tapi ketahuilah olehmu. 

bahwa kau tak akan mampu meluluskan cita-citamu."

"Bedebah! Rupanya kau masih banyak omong. 

Akan aku buktikan, bahwa aku lain dengan lima puluh 

tahun yang silam, Loka. Bersiaplah, hiat...!"

Amarah Kerta Ganda Mayit tak dapat ditahan 

lagi. Ia merasa tak perlu banyak kata dengan Brahma-

na Loka yang ia tahu bukan tokoh sembarangan.

Diserang dengan begitu tiba-tiba, Brahmana 

Loka segera berkelit menghindar. Dengan cepat Brah-

mana Loka segera balik menyerang. Pertarungan ulang 

lima puluh tahun silam, kini kembali terjadi.

"Suiitttt... Duar!" 

Terdengar ledakan dahsyat, manakala tangan 

Cipta Angkara berkiblat. Sebenarnya tujuan serangan 

itu pada Brahmana Loka. Namun bagaikan burung wa-

let, Brahmana Loka segera menghindar. 

Walau begitu, tak urung rumahnyalah yang 

termakan. Rumah yang sekaligus pesanggrahan seke-

tika hancur terbakar.

"Edan! Ilmunya makin gila," mengeluh Brah-

mana Loka dalam hati melihat apa yang terjadi. Dilon


tarkan tubuhnya ke udara, keluar dari kobaran api 

yang melalap pesanggrahannya.

"Jangan lari, Loka!"

"Aku tidak lari! Aku menunggumu di luar!"

Mendengar jawaban Loka Arya, seketika Kerta 

Ganda Mayit segera berkelebat keluar. Di luar Loka 

Arya telah berdiri, menunggu kedatangannya dengan 

mata memandang tajam.

"Kita lanjutkan, Loka."

"Baik. Apa maumu, aku penuhi."

Habis keduanya berkata, kembali keduanya se-

gera saling serang. Pekikan-pekikan keduanya mem-

bahana, memecahkan sore itu. Jurus demi jurus me-

reka lalui dengan tanpa disadari. Walau usia Brahma-

na Loka sudah tua, namun gerakan-gerakannya masih 

tampak gesit. Gerakan mengelak dan menyerang masih 

lincah. Tangannya bergerak cepat, menyambar-

nyambar ke kepala lawan.

"Percuma kau datang ke dunia manusia, Ganda 

Mayit! Kau akan mengalami kegagalan seperti dulu. 

Jangan bermimpi, kalau kau akan mampu menjadikan 

dunia ini ajang Iblis."

"Akan aku buktikan, Loka! Akan aku buktikan!"

Brahmana Loka tersenyum mendengar ucapan 

Ganda Mayit, lalu katanya kemudian.

"Walau kau dapat mengalahkanku. Masih ba-

nyak orang-orang yang melebihi aku. Masih banyak 

orang-orang yang dapat mengalahkanmu, Ganda 

Mayit."

"Huh, akan aku lumatkan mereka! Akan aku 

buktikan, Loka!"

"Hua, ha, ha... Kau bermimpi! Kau bermimpi!"

"Bedebah! Kau rupanya ingin menurunkan se-

mangatku. Terimalah kebinasaanmu, Loka. Hiat...!"


Kembali keduanya bergerak cepat. Kini bukan 

saja jurus-jurus silat yang mereka keluarkan, tapi 

ajian-ajian yang mereka miliki juga di keluarkan.

Tempat yang mereka gunakan untuk berlaga 

bagai diguncang gempa. Pohon-pohon banyak yang ro-

boh terhantam ajian mereka. Batu-batu berhamburan, 

tersapu setiap kibasan tangan mereka. Tak terhitung 

berapa jurus mereka keluarkan. Yang jelas mereka te-

lah bertempur sehari semalam.

* * *

Kita tinggalkan dulu Brahmana Loka yang ten-

gah bertempur dengan Ganda Mayit yang telah menca-

pai sehari semalam. Kita tengok kembali kelima cantrik 

yang tengah pergi, meninggalkan pesanggrahan mere-

ka.

"Ke mana kita harus mencari pendekar muda 

itu?" tanya Longkat pada keempat temannya.

"Entahlah, yang pasti kita harus mencarinya 

untuk menyerahkan tombak pusaka ini. Juga kita ha-

rus mengabdikan diri padanya." menjawab Anggsono.

"Tapi firasatku mengatakan bahwa Wika dalam 

bahaya. Apakah kita tidak bermaksud menolongnya?" 

tanya Sanur.

"Ah, bukankah Wiku telah menyuruh kita jan-

gan sekali-kali kembali ke sana?" balik bertanya Ang-

sono.

"Benar. Tapi aku tak enak, aku ingin kembali."

"Jangan, Sanur! Kau akan mendapat murka 

Wiku," mencegah Longkat.

"Benar, Sanur. Jangan kau melanggar," lanjut 

Tenggiri.

"Aku bukan ingin melanggar. Aku hanya ingin


melihat apa yang tengah terjadi di sana."

"Sama, Sanur. Setiap penentangan ucapan Wi-

ku, berarti suatu pelanggaran. Ah, sudahlah jangan 

pikirkan itu. Ayo kita lanjutkan perjalanan kita," mem-

beri tahu Angsono.

Maka tanpa banyak kata lagi, kelima cantrik itu 

pun kembali meneruskan perjalanannya. Dilintasi hu-

tan rimba, lembah dan ngarai. Dengan tanpa mengenal 

lelah kelima cantrik itu terus melangkah. Hanya satu 

tujuan mereka, yaitu mencari pendekar muda yang 

bernama Jaka Ndableg.

* * *

Pertarungan Brahmana Loka dengan Ganda 

Mayit masih terus berlangsung. Sudah tiga hari la-

manya mereka bertarung, namun sepertinya tak bakal 

ada yang kalah. Kesenjaan usia tak menjadikan Brah-

mana Loka mudah dijatuhkan. Bahkan dengan gesit, 

ia mengelak dan membalas menyerang.

"Rupanya kau kedot juga, Loka!"

"Hem... sebenarnya bukan hal itu. Aku hanya 

ingin menyadarkan kau, bahwa di dunia manusia ma-

sih banyak orang yang ilmunya jauh lebih tinggi."

"Jangan banyak omong! Hari ini adalah akhir 

dari kehidupanmu, Loka! Bersiaplah!"

Habis berkata begitu, Ganda Mayit segera meli-

patgandakan serangannya. Segera ajian yang ia miliki, 

dijadikannya menjadi satu. Lalu dengan didahului pe-

kikkan, Ganda Mayit menghantamkan ajiannya.

"Aji Pegat Nyawa, hiat...!"

"Duar! Duuuaaar! Duaaarr...!"

Ganda Mayit nampak menyunggingkan se-

nyum, menyangka kalau Brahmana Loka telah mati.



Namun betapa alang kepalang kagetnya Ganda Mayit 

melihat apa yang terjadi. Ternyata Brahmana Loka bu-

kannya binasa, malah kini telah bertengger di atas se-

buah cabang pohon dengan tersenyum.

"Kurang asem! Turun kau, Loka!"

"Tak semudah itu, Ganda Mayit." 

Bedebah! Akan aku lumatkan tubuhmu!" 

"Lakukan bila kau mampu. Keluarkan segala 

ajianmu. Aku tak akan gentar, Ganda Mayit." 

"Bedebah! Jangan sombong, Mat...!" 

Dihantamnya pohon tempat Brahmana Loka 

bertengger. Seketika pohon itu hancur berantakan. 

Namun Brahmana Loka seperti tak mengalami sesua-

tu. Ia kini pindah di cabang pohon yang lainnya masih 

dengan uraian senyum sembari berkata:

"Adakah yang lebih dari itu, Ganda Mayit?" 

"Kunyuk!"

"Kenapa, Ganda Mayit? Apakah kau mengaku 

kalah?"

"Jangan harap, Loka!" menjawab Ganda Mayit 

mendengus marah.

"Kenapa kau terdiam, Ganda Mayit? Ayo, kelua-

rkan segala ilmu yang kau miliki." mengejek Brahmana 

Loka. Hal itu menjadikan Ganda Mayit makin marah. 

Nafasnya memburu, matanya menyorot tajam penuh 

permusuhan, lalu katanya:

"Mungkin aku tak dapat mengalahkanmu. Tapi 

aku akan memperalat muridmu ini. Ketahuilah oleh-

mu, Loka. Muridmulah yang akan membinasakanmu."

Tersentak Brahmana Loka mendengar ucapan 

Ganda Mayit. Sesaat ia terdiam mematung, meman-

dang pada tubuh murid durhaka. Angannya melayang 

jauh, sepertinya tengah mengingat sesuatu.

"Hem, apakah benar wangsit itu? Apakah me


mang aku harus mati di tangan muridku?" bertanya 

hati Brahmana Loka.

Dari tubuh Cipta Angkara, keluar asap tebal 

bergulung-gulung mengangkasa. Perlahan-lahan asap 

itu membentuk ujud, ujud asli Ganda Mayit. Sesaat 

tubuh Cipta Angkara terdiam, lalu matanya perlahan 

membuka. Ditatapnya Ganda Mayit yang berdiri di si-

sinya dan bertanya.

"Ada apa, Ganda Mayit? Kenapa kau memang-

gilku?"

"Bunuh orang tua yang nangkring itu!"

Ditunjukknya Loka Arya yang tampak terbela-

lak. Sesaat Cipta Angkara ragu, diam hanya meman-

dang. Hal ini menjadikan Ganda Mayit mengerutkan 

alis matanya dan kembali memerintah.

"Kenapa kau diam, Cipta! Bunuh orang tua itu. 

Bunuh!"

"Tapi, dia guruku."

"Dia bukan gurumu. Dia musuhmu, Cipta."

"Aku gurumu, Cipta. Kalau kau melakukannya, 

kau kualat."

"Jangan hiraukan ucapannya, Cipta. Apakah 

kau tak ingin menjadi orang sakti? Bunuh dia!"

"Aku tak mampu, Ganda Mayit."

"Bodoh! Bukankah kau memiliki keris Kyai 

Sangkar?"

"Kenapa tidak kau saja, Ganda!" memekik Cipta 

Angkara.

"Aku tak mampu memegang keris itu."

"Cipta! Apakah kau benar-benar ingin murtad 

dan durhaka?" bertanya Brahmana Loka, ia ingin me-

nyadarkan Cipta Angkara. Namun ternyata dugaannya 

meleset. Cipta Angkara yang telah dipengaruhi oleh 

Ganda Mayit tak menggubrisnya. Malah dengan mem


bentak Cipta Angkara berkata:

"Serahkan tombak Inti Jagad padaku, maka 

kau akan selamat."

"Jangan bermimpi, Anak sundel!"

"Jadi kau lebih memilih mati, Tua bangka?"

"Dia bukan gurumu. Bukan?" berkata Ganda 

Mayit memanas-manasi:

"Anak sundel, pusaka itu bukan hakmu, serah-

kan padaku."

"Syetan alas! Jangan kau bermimpi, tua bang-

ka!" memaki Cipta Angkara tak dapat membendung 

kemarahannya. Tubuhnya seketika berkelebat, terbang 

ke atas cabang. Melihat Cipta Angkara menyerang, 

dengan segera Brahmana Loka segera lemparkan tu-

buh ke belakang. Lalu dengan gaya akrobat, Brahmana 

Loka berjumpalitan di udara sesaat sebelum akhirnya 

kembali duduk di cabang pohon lainnya.

"Bedebah! Rupanya kau menganggap aku kro-

co, Tua Bangka!"

Brahmana Loka tak berkata sepatahpun. Ke-

ringatnya tampak mengalir deras. Ditatapnya keris 

Kyai Sangkar yang tergenggam di tangan Cipta Angka-

ra.

"Mungkin ajalku hampir tiba," batin Brahmana 

Loka.

"Serang dengan kerismu, Cipta!" 

"Hiaaaaatttt...!"

Cipta Angkara kembali berkelebat. Tubuhnya 

lurus melayang bagaikan terbang. Keris pusaka Kyai 

Sangkar, menjurus lurus ke dada Brahmana Loka 

yang telah berdiri di atas cabang.

Tubuh Cipta Angkara bagaikan ada yang men-

dorong, laju dengan derasnya. Membeliak mata Brah-

mana Loka sesaat, sebelum akhirnya memekik. Keris


di tangan Cipta Angkara, tembus melobangi dadanya. 

Tubuh Brahmana Loka melayang ke bawah dengan da-

rah menyembur dari dadanya.

"Kau.... Kau, murid durhaka. Kau telah mengo-

tori tanganmu dengan darahku, darah gurumu. Kelak 

kau akan mati dengan tragis. Tubuhmu, kelak akan 

hancur."

"Persetan dengan ucapanmu, Tua Bangka!"

Ditendangnya tubuh Brahmana Loka, setelah 

mencabut kerisnya. Lalu dengan gelak tawa berkepan-

jangan, Cipta Angkara berlalu masuk ke pesanggra-

han. Diobrak-abrik seluruh pesanggrahan untuk men-

cari pusaka Tombak Inti Jagad, tapi tak ditemukan-

nya. Maka dengan penuh amarah, dihantamnya pe-

sanggrahan itu hingga runtuh menjadi puing-puing.

"Sudahlah, Cipta. Jangan kau takut dengan 

ucapan tua bangka itu. Percayalah, kaulah yang akan 

merajai semua persilatan. Kau akan menjadi orang 

nomor satu. Hua, ha, ha...."

Tubuh Ganda Mayit kembali lenyap, masuk ke 

tubuh Cipta Angkara. Mata Cipta Angkara yang ta-

dinya sayu mengingat ucapan gurunya, berubah mem-

bara bagaikan mengandung api.

"Akulah penguasa dunia persilatan! Akulah 

orang tersakti di dunia persilatan! Hua, ha, ha...!" 

Dengan berkelebat cepat bagaikan seekor srigala, Cipta 

Angkara pergi meninggalkan pesanggrahan. Ia pergi 

dengan membawa ambisi untuk menguasai dunia.

***


TIGA


Pada sebuah dangau seorang pemuda tengah 

duduk sambil bernyanyi-nyanyi. Kadang kala tangan-

nya menarik-narik ujung tali yang direntangkan pada 

sebuah hantu sawah, untuk mengusir burung-burung 

yang hendak memakan padi.

Seorang lelaki lain tampak datang menuju ke 

tempat pemuda itu. Lelaki itu tersenyum, saat melihat 

pemuda yang berada di atas dangau. Dengan langkah 

dipercepat, lelaki yang baru datang dengan membawa 

bungkusan makanan berseru.

"Jaka...! Aku bawakan makanan untukmu, kau 

telah lapar bukan?"

Pemuda yang tak lain memang Jaka atau si 

Pendekar Pedang Siluman tersenyum dan dengan ber-

teriak Jaka berkata: "Benar...! Kau membawakan aku 

makanan, Dulah...?"

Dulah mengangguk mengiyakan, membuat Ja-

ka segera turun dari dangau memapakinya. Dengan 

bercanda ria, keduanya kembali menuju dangau untuk 

makan siang.

Lahap sekali Dulah makan, membuat Jaka 

membelalakkan mata. Dengan nada bercanda, Jaka 

pun berkata pada Dulah: "Lah... kalau orang sekam-

pung ini seperti kamu, aku rasa dalam sebulan hasil 

panen akan habis."

"Kenapa begitu...?" bertanya Dulah tak menger-

ti sembari menyipitkan matanya.

Jaka tersenyum, sebelum akhirnya berkata 

kembali: "Betapa tidak! Kalau seluruh warga kampung 

ini rakus sepertimu, mana mungkin hasil panen tersi-

sa? Paling-paling untuk makan saja tak cukup."


Dulah bukannya marah, malah tertawa ngakak 

mendengar omongan Jaka. Dengan masih menyantap 

makanannya, Dulah berkata membela diri. "Tapi.... 

Bukankah dengan banyak makan akan menambah te-

naga untuk bekerja? Buktinya aku...."

Jaka menganggukkan kepalanya.

"Memang benar apa yang dikatakan Dulah. 

Buktinya Dulah bekerja sangat giat dan rajin, seper-

tinya tak mengenal lelah. Membajak sawah, menana-

mi, menyiangi, dan lain-lainnya. Semuanya dikerjakan

Dulah tanpa mengeluh." berkata hati Jaka.

"Lah.... Sudah satu bulan aku di sini."

"Ya. Kenapa...?" tanya Dulah yang masih me-

nyantap makanannya dengan lahap.

Jaka tak segera berkata. Sesaat ditatapnya lan-

git di ujung kulon yang tampak berwarna cerah. Lalu 

dengan sekali menghempaskan nafas, Jaka pun segera 

melanjutkan ucapannya:

"Sebenarnya, aku di sini tengah mencari seseo-

rang, yang telah membuat keonaran di wilayah kulon 

sana. Dia bernama Kowara, atau bergelar Setan Teng-

korak."

Mendengar Jaka tengah mencari seseorang dari 

dunia persilatan. Seketika Dulah tersentak kaget, 

hingga makanan yang masih dalam mulutnya tersem-

prot ke luar, menjadikannya tersendak dan terbatuk-

batuk.

Melihat hal itu Jaka tersenyum dan segera 

mengambilkan air yang segera disambut Dulah.

"Kau.... Kau...?" berkata Dulah terbata-bata 

sembari mengurutkan lehernya yang terasa sakit aki-

bat nasi belum ketelan masuk, menjadikan Jaka ma-

kin melebarkan senyumnya.

"Makanya. Kalau sedang makan, jangan ngo


mong dulu. Pamali, kata orang tua."

Dulah hanya menyengir. Dan setelah dapat 

menenangkan keadaan, Dulah pun segera meneruskan 

ucapannya:

"Kau ternyata seorang pendekar, Jaka?" 

"Ah.... Kau terlalu melebihkan, dalam menilai-

ku. Aku tak ubahnya seperti kamu, yang dapat sakit 

atau sedih dan bingung," menjawab Jaka merendah.

Dulah tak mau percaya begitu saja. Namun ke-

tika ia hendak berkata lagi, Jaka telah mendahuluinya. 

"Sudahlah, jangan terlalu kau pikirkan tentang siapa 

aku ini. Yang pasti, aku suka bergaul dan berteman 

dengan kamu. Mengenai orang yang sedang aku buru, 

aku mendapatkan berita bahwa orang itu kini berada 

di wilayah ini."

"Kenapa kau tak mengatakannya dari dulu, 

bahwa kau seorang pendekar?" tanya Dulah. Dengan 

mata tak berkedip, Dulah pun memperhatikan Jaka 

dari ujung rambut sampai ujung kaki. Di hatinya 

menggumam, "Memang Jaka seorang pendekar. Dilihat 

dari pakaiannya. Itu suatu bukti bahwa ia seorang 

pendekar. Ah.... Kenapa aku tak memperhatikannya 

dari semula...?"

Jaka kembali menggelengkan kepala, demi 

mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Dulah. 

Maka dengan memegang pundak Dulah, Jaka pun 

berkata:

"Dulah.... Pendekar sejati, adalah pantang ba-

ginya memamerkan diri. Ia lebih suka diam dalam ke-

damaian, daripada terkenal tapi selalu diburu dan ba-

nyak musuhnya di mana-mana. Aku bukanlah seorang 

pendekar. Sebab kalau aku seorang pendekar, pasti 

aku telah menemukan orang yang aku cari. Sedangkan 

kini, nyatanya aku tak lebih dari seorang petani macammu. Bukan begitu, Dulah...?"

Dulah hanya terdiam. Hatinya selalu ragu, un-

tuk mempercayai omongan Jaka. Yang menurutnya, 

adalah seorang pendekar sejati.

"Hidup seperti diriku tak pernah menetap pada 

sebuah kampung, apakah kau akan kuat? Biasanya 

orang yang hidup menetap, akan merasa sungkan bila 

harus berjalan-jalan tak tentu arah."

"Tapi aku sanggup, Jaka. Aku kuat melakukan 

perjalanan sejauh apapun?" berkata Dulah penuh se-

mangat, seakan ingin meyakinkan pada Jaka agar 

mengijinkan dirinya ikut serta.

Untuk kesekian kalinya Jaka menarik nafas 

panjang, sebelum akhirnya kembali berkata sambil 

tersenyum.

"Ah.... Aku senang mendengarnya, Dulah. Tapi 

sungguh aku sangat menyesal, karena aku tak mung-

kin dapat mengajakmu pergi bersamaku."

Mendengar ucapan Jaka, seketika di wajah Du-

lah tergambar rasa kecewa, Jaka yang melihatnya me-

rasa iba. Maka dengan mencoba menghibur Jaka pun 

berkata kembali: "Ku harap kau tidak kecewa. Aku ya-

kin bila umur kita panjang, kita akan dapat bertemu 

lagi. Bukan begitu, Dulah,..?"

Dulah sesaat tercenung, diresapinya ucapan 

Jaka. Perlahan ditatapnya wajah Jaka yang di bibirnya 

terurai senyuman.

Tanpa disadari oleh Jaka, dengan seketika Du-

lah memeluk tubuhnya hingga Jaka terdorong ke bela-

kang. Lalu dengan penuh rasa persaudaraan keduanya 

tertawa bergelak-gelak.

Ketika sore tiba, dengan beriringan keduanya 

segera pulang ke desa, di mana Dulah dan keluar-

ganya tinggal.


* * *

Malam begitu mencekam. Bulan di angkasa la-

mat-lamat tertutup oleh awan hitam. Angin malam 

berhembus dengan cepatnya. Menjadikan hawa dingin 

yang mendirikan bulu kuduk.

Di ruang depan, tampak Dulah dan keluar-

ganya tengah duduk-duduk sembari bercengkrama. Di 

situ pula tampak Jaka turut serta. Tampak keluarga 

Dulah sangat senang dengan kehadiran Jaka di rumah 

mereka, yang secara langsung telah memperingan be-

ban Dulah sebagai anak lelakinya.

"Jaka.... Emak dengar kau tengah memburu 

seorang tokoh persilatan, apa benar?" bertanya Emak 

Dulah ketika mereka ngobrol.

Ditanya seperti itu, sesaat Jaka tak mampu 

menjawab. Ia hanya tertunduk memandang pada lan-

tai yang masih asli dari tanah. Dihempaskan nafasnya 

sesaat sebelum akhirnya ia mengangguk

"Rupanya kau seorang pendekar, Anakku?" 

tanya ayah Dulah setelah melihat Jaka mengangguk. 

Pertanyaan itu membuat Jaka tersentak, dan seketika 

menatap pada Dulah.

Melihat Jaka terdiam, ayah Dulah kembali me-

neruskan ucapannya: "Sungguh sebuah kehormatan 

bagi kami, sebab ternyata nak Jaka sudi bertandang di 

gubug ini."

"Benar, Nak Jaka. Betapa pun kami akan me-

rasa tentram dan bahagia bila nak Jaka akan lebih la-

ma tinggal di rumah ini," menambahkan Emak Dulah, 

membuat Jaka seketika makin mendalamkan tundu-

kan mukanya karena haru.

Sesaat setelah menghela nafas, Jaka pun ber-

kata pelan dan tenang. "Emak dan Bapak, juga Dulah.


Sebenarnya aku pun ingin lebih lama tinggal di sini. 

Tapi bila orang yang sedang aku cari telah aku dapati, 

maka aku pun harus pergi."

"Kenapa begitu?" bertanya Emak Dulah terbela-

lak kaget dengan rasa tak mengerti. Hingga membuat 

Jaka kembali terdiam sebelum kembali berkata.

"Emak.... Sudah menjadi tugasku, harus me-

numpas kejahatan yang ada di dunia ini. Walau nyawa 

sebagai taruhannya."

Terbelalak semua mata yang ada di ruangan 

itu, demi mendengar penerangan Jaka. Dalam hati me-

reka bergumam rasa kagum. Tanpa sadar dari mulut 

mereka keluar desahan panjang. "Oh...!"

"Itulah, Emak dan Bapak. Mengapa aku tak 

berkenan menerima Dulah ikut bersamaku. Aku takut 

Dulah akan menderita."

Sedang mereka asyik bercengkerama, tiba-tiba 

terdengar bunyi kentongan tanda bahaya bergema. Se-

saat keempat orang yang tengah bercakap-cakap itu 

saling pandang bertanya-tanya.

Setelah menyarankan agar keluarga Dulah te-

tap di rumah, Jaka segera berkelebat pergi. Kepergian 

Jaka yang begitu cepatnya bak angin, menjadikan se-

mua yang ada di ruangan itu membelalakkan mata 

dengan mulut terbuka bengong.

Jaka terus berlari menuju asal suara kenton-

gan itu. Ia segera mendapati orang yang menabuhnya 

dan segera ditanyainya.

"Bapak, ada apakah gerangan?"

"Penculikan seorang gadis," menjawab orang 

penabuh kentongan. Orang itu terus memukul kenton-

gan hingga yang lainnya pun turut membunyikannya.

"Di mana penculikan itu, Pak?" kembali Jaka 

bertanya.



Tanpa bicara sepatahpun, bapak tua penabuh 

kentongan itu menunjuk arah dengan telunjuknya.

Setelah mendapat petunjuk dari bapak tua itu, 

dengan cepat Jaka segera berlari menuju ke arah ter-

sebut. Dengan ajian Angin Puyuh maka tanpa menga-

lami kesulitan, Jaka Ndableg dapat segera menyusul 

begal-begal itu.

"Berhenti...!!" membentak Jaka setelah dapat 

menghadang lari ketiga begal itu, yang tampak tersen-

tak melihat kedatangan Jaka Ndableg.

Setelah tahu siapa orang yang menghadangnya, 

yang ternyata hanyalah seorang anak muda dan sendi-

rian pula. Maka tertawa bergelak-gelaklah ketiga begal 

itu.

"Anak muda, lancang benar kau! Berani kau 

menghadang kami, Tiga Begal Dari Susukan yang su-

dah kesohor," berkata salah seorang dari ketiga begal 

itu dengan sombongnya.

Jaka tampak tenang. Perlahan, tanpa rasa ta-

kut dihampirinya ketiga begal itu. Lalu dengan bibir 

mengurai senyum, Jaka berkata:

"Hai begal-begal kecoa. Apa kalian merasa pal-

ing tinggi ilmunya di jagat raya ini, hingga tindakan 

kalian begitu telengas dan biadab. Hai, begal-begal ke-

coa busuk, mungkin orang lain akan takut padamu. 

Tapi aku, tidak! Serahkan gadis itu padaku, atau ka-

lian akan direncah oleh penduduk desa ini."

Mendengar ucapan Jaka yang dianggap mereka 

hanya untuk menakut-nakuti. Maka ketiga begal itu 

kembali bergelak tawa. Begal yang membopong tubuh 

gadis dengan mendengus berkata:

"Slompret! Apa kau kira kami takut dengan an-

camanmu, Anak muda! Panggil seluruh warga desa ini 

untuk menangkap kami. Ha... ha...."


Jaka sesaat mendenguskan nafasnya. Matanya 

dengan liar dan tajam memperhatikan ketiga begal itu. 

Maka dengan kembali tertawa bergelak-gelak yang 

membikin ketiga begal itu tersentak kaget dan segera 

menutupi telinga mereka karena tawa Jaka kali ini di-

barengi dengan ajian Pekik Prahara, berkata:

"Begal-begal kecoa busuk! Jangan kalian taka-

bur! Kalian boleh bergembira karena warga desa tak 

berani menghadapi kalian. Tapi kini, kalian akan sege-

ra merasakan sakitnya disiksa oleh warga desa. Nah, 

bersiaplah!"

"Slompret! Jangan kira kami takut padamu, 

anak muda. Jangan banyak bacot, ayo tangkap kami 

atau kau akan menjadi bubur blohok oleh kami." kem-

bali berkata Begal yang menggendong tubuh gadis di 

pundaknya dengan penuh amarah.

"Serang!" Kembali begal itu berseru mengoman-

dokan pada kedua rekannya, yang seketika itu juga 

maju menyerang cepat dengan jurus-jurus yang lang-

sung mematikan.

Jaka yang sudah menduga sebelumnya, dengan 

bersuit nyaring segera melompat mengelak. Hingga ke-

dua begal itu mendapatkan angin belaka, hal itu mem-

buat keduanya makin marah dan segera meningkatkan 

serangannya.

Sejauh itu, Jaka belum berniat untuk memba-

lik menyerang. Ia ingin mengukur sampai di mana 

tingkat ilmu begal-begal itu. Maka dengan mengelak 

dan terus mengelak Jaka mengimbangi serangan ke-

duanya.

Perkelahian satu lawan dua pun berjalan den-

gan serunya. Tubuh mereka berkelebat dengan cepat-

nya. Jurus demi jurus mereka lalui, tampak tak ada 

yang bakal menang. Tapi...! Secepat kilat Jaka melen


tingkan tubuhnya tinggi, lalu setelah mencapai keting-

gian hampir sepuluh tombak segera menukik. Dan...!

"Tok! Dug.... Dug!" Tanpa dapat dielakan atau-

pun dicegah oleh kedua begal yang mengeroyoknya, 

Jaka telah menghantamkan pukulan totokannya pada 

keduanya.

Seketika keduanya terkulai dan terjatuh ke ta-

nah dengan tubuh lemas. Melihat kedua temannya ro-

boh, pucat pasilah wajah begal yang memanggul tubuh 

gadis culikannya.

Jaka tersenyum sinis. Dengan perlahan diham-

pirinya begal yang masih berdiri dengan memanggul 

tubuh gadis culikan itu.

Sebelum Jaka sampai, dengan segera dilempar-

kannya tubuh gadis itu. Lalu dengan penuh ketakutan 

begal itu berlari.

Belum juga ia berlari jauh, tiba-tiba Jaka telah 

berdiri menghadang di muka. Maka makin takut saja-

lah begal itu. Tubuhnya seketika menggigil, dan am-

bruk bersujud di hadapan Jaka.

"Kenapa kau sepengecut ini? Mana nama be-

sarmu?" bertanya Jaka dengan nada sengau, membuat 

begal itu makin mendalamkan sujudnya seraya berka-

ta dengan terbata-bata:

"Ampun... Ampunilah nyawaku, Anak muda. 

Aku... aku hanya diperintah. Jangan bunuh aku."

"Bangunlah.... Katakan siapa yang menyuruh-

mu? Dan di mana orang yang menyuruhmu itu bera-

da?" bertanya Jaka setelah mendengar ucapan begal 

itu.

Dengan perasaan takut, sang begal pun segera 

menurut bangun dan berdiri di hadapan Jaka. Lalu 

dengan terlebih dahulu menengok ke kanan dan ke ki-

ri, sepertinya ada yang ditakutinya, begal itupun ber


kata:

"Aku disuruh oleh.... Oleh Ko.... Kowara atau 

Setan Tengkorak yang bersarang di Bukit Perawan..."

"Di mana letak Bukit Perawan?" bertanya kem-

bali Jaka meminta penjelasan. Dari belakang terdengar 

orang-orang kampung berseru, membuat Jaka segera 

memalingkan mukanya untuk melihat apa yang tengah 

terjadi.

Hal itu membuat kesempatan bagi si begal un-

tuk melarikan diri. Jaka tersentak dan berusaha men-

gejar begal itu, namun ternyata begal itu telah berlalu 

dengan cepatnya. 

"Sialan! Licik benar. Tapi awas, kalau aku ber-

temu lagi." menggerutu Jaka penuh kekesalan merasa 

telah dipermainkan oleh si begal. Maka dengan kesal di 

hatinya, Jaka segera kembali ke tempat di mana warga 

kampung berkerumun.

Warga kampung tengah menghajar habis-

habisan kedua begal yang sudah tak berdaya itu. Se-

mentara yang lainnya segera mengurus gadis yang ma-

sih dalam keadaan pingsan.

Melihat kedatangan Jaka dengan segera semua 

warga kampung yang sedari tadi mengeroyok kedua 

begal, berpaling memperhatikan Jaka dengan penuh 

rasa hormat.

"Saudara-saudara. Janganlah kalian main ha-

kim sendiri, sebab hal itu akan merugikan sepihak. Bi-

arkanlah pengurus kampung ini yang akan menghu-

kum mereka." berkata Jaka.

Semua orang yang di situ segera menepi, mem-

biarkan Jaka menemui kedua begal yang masih terto-

tok itu.

Dengan segera Jaka membebaskan totokan pa-

da kedua begal itu, yang seketika pulih seperti sedia



kala. Maka dengan diarak oleh warga kampung, begal-

begal itu digiring menuju ke balai desa.

Ketika mereka berjalan menuju ke balai desa. 

Jaka segera berkelebat kembali menuju ke rumah ke-

luarga Dulah yang tampak masih menanti Jaka den-

gan perasaan was-was.

Melihat kedatangan Jaka seketika di wajah ke-

luarga Dulah terbersit rasa gembira. Hingga tak dirasa 

dari mulut Dulah membersit kata-kata: "Wah.... Aku 

rasa kau telah berhasil menangkap begal-begal itu, 

bukan begitu?"

Mendengar ucapan Dulah, Jaka hanya terse-

nyum menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dulah.... Du-

lah. Bukan aku yang menangkap, tapi orang-orang 

kampunglah yang menangkapnya," berkata Jaka men-

gelak. Tapi Dulah yang memang kagum pada Jaka dan 

telah tahu siapa Jaka adanya tak mau percaya begitu 

saja. Maka seketika itu, Dulah pun berkelebat menuju 

ke balai desa tanpa dapat dicegah oleh Jaka yang 

hanya dapat terbengang-bengong.

Tak berapa lama antaranya, Dulah telah kem-

bali dengan wajah berseri-seri. Emak dan Bapaknya 

saling pandang tak mengerti seraya bertanya.

"Kenapa kau, Lah? Kok dari balai desa cengar-

cengir kaya orang kesambat setan?" bertanya Bapak-

nya. Namun Dulah tak menggubrisnya, bahkan den-

gan segera ditariknya tangan Jaka yang masih berdiri 

terpaku.

"Nah, kau telah berbohong. Ternyata memang 

kaulah yang telah menangkap kedua dari tiga begal 

itu. Dan kata orang-orang kau berilmu aneh, apa be-

nar?" cerocos Dulah membuat Jaka geleng-geleng ke-

pala dan memandang pada kedua orang tua Dulah 

yang tersenyum senang.


"Dulah, mana ada orang berilmu aneh?" berka-

ta Jaka hendak mengelak kembali. Namun Dulah yang 

telah mendengar langsung dari orang-orang kampung 

tak mau percaya begitu saja. Dengan menggeleng ke-

pala, Dulah kembali berkata.

"Ada.... Buktinya kau dapat melumpuhkan ke-

dua begal itu. Apakah itu bukan bukti? Mengaku 

dong?"

Jaka terdiam sesaat. Lalu setelah menarik na-

pas dalam-dalam. Jaka menceritakan apa yang telah 

diceritakan orang kampung pada Dulah. Tentang ilmu 

totok, yang dapat melumpuhkan orang.

"Oh...! Kalau begitu, aku pun bisa. Begini-

kah...?"

Maka dengan gaya kekonyolannya, Dulah pun 

beraksi dengan jurus-jurus karyanya sendiri. Kedua 

orang tuanya dan Jaka seketika tertawa bergelak-

gelak, demi melihat tingkah laku Dulah.

"Ini jurus, Kera Makan Roti. Hiat...!" 

Kembali Dulah berjumpalitan dan melompat-

lompat memperagakan jurus-jurus ciptaannya. Hingga 

saking asyiknya, Dulah sampai tak melihat meja di de-

pannya. Dan ketika kakinya hendak mengait.

"Aduh...!" Dulah menjerit kesakitan, kala ka-

kinya beradu dengan kaki meja. Bagaikan ayam dipo-

tong, Dulah pun berguling-guling menahan sakit yang 

teramat sangat.

Melihat hal itu, kembali Jaka dan kedua orang 

tua Dulah tertawa tergelak-gelak. Tinggal Dulah yang 

menggerutu sambil menahan sakit.

Malam kian larut. Mungkin tak lama antaranya 

pagi akan datang. Sesosok tubuh berkelebat pergi me-

ninggalkan rumah keluarga Dulah.

Tubuh itu ternyata Jaka adanya dengan cepat


berlari ke arah Selatan di mana terletak Bukit Pera-

wan, tempat bersembunyinya Kowara atau Iblis Teng-

korak.

"Kowara! Keluar kau!" berseru Jaka memanggil 

nama orang yang sudah sekian lama diburunya, orang 

yang telah membuat keonaran di desa Sindang Gem-

pol.

"Kowara! Apa kau telah tuli?!" Kembali Jaka 

berteriak, setelah sekian lama menunggu jawaban dari 

orang dipanggilnya tak kunjung datang.

Masih juga tak ada jawaban. Hal ini membuat 

Jaka kesal. Maka dengan tanpa sabar, Jaka segera 

menerobos masuk pada sebuah goa.

"Tak ada! Ke mana perginya iblis itu? Hai! Jan-

gan-jangan ia telah diberitahu oleh anak buahnya." 

Sedang Jaka membatin, tiba-tiba matanya menangkap 

sebuah bayangan berkelebat dari samping goa. Dengan 

segera Jaka pun berlari keluar memburunya.

"Itu dia! Mau lari ke mana, Kau!" berseru Jaka 

dengan kesal. Dengan mengerahkan aji Angin Puyuh 

terus memburu Kowara.

"Berhenti!" membentak Jaka setelah dapat 

menghadang Kowara yang tampak tersentak surut. 

"Kau...?"

"Ya, aku. Selamat berjumpa kembali, Kowara. 

Hari ini juga aku hendak meringkusmu untuk mem-

pertanggungjawabkan perbuatanmu di wilayah kulon."

Mendengar ucapan Jaka bagaikan tanpa rasa 

takut Kowara atau Iblis Tengkorak tertawa bergelak-

gelak. Lalu dengan congkaknya berkata: "Anak muda! 

Percuma kau ingin menjadi pahlawan kesiangan. Ha... 

ha...!"

"Sombong! Mari kita buktikan. Hiat...!" Seketika 

tubuh Jaka berkelebat dengan cepatnya, menyerang


Kowara yang segera mengelak.

Keduanya pun segera terlibat perkelahian. Ju-

rus demi jurus mereka keluarkan. Hampir empat pu-

luh jurus sudah berlalu. Namun tampak keduanya 

sama-sama tangguh dan seimbang.

"Anak muda! Terimalah kematianmu. Hiat...!" 

Kowara atau Tengkorak Iblis berkelebat dengan cepat-

nya, membentuk sebuah lingkaran. Dari sinar-sinar 

yang keluar membersit bau busuk yang menyesakkan 

pernapasan. Itulah ajian Racun Tengkorak Darah. Se-

buah ajian yang dapat membunuh musuhnya perla-

han, dengan menyumbat pernapasan.

Jaka tersentak, kala merasakan adanya hawa 

aneh yang bergerak menyerangnya. Dengan seketika 

Jaka pun melentingkan tubuhnya ke udara. Dan den-

gan menutup jalan darahnya Jaka segera menukik. 

Saat itu juga, tampak dari tangan Jaka larikan warna 

merah. Itulah aji Getih Sakti.

Kali ini Kowara yang tersentak kaget. Ia ber-

maksud mengeluarkannya, namun sinar merah itu te-

lah mendahuluinya. Hingga...! 

Wussttt...! 

"Aaahhh...!"

Seketika terdengar jeritan Kowara sesaat, sebe-

lum tubuhnya hancur menjadi debu. Setelah melihat 

Kowara telah mati, Jaka segera berlalu pergi, kembali 

ke rumah keluarga Dulah.

Pagi telah datang, kala Jaka meminta ijin pada 

keluarga Dulah untuk kembali meneruskan pengem-

baraannya. Dengan perasaan berat, keluarga Dulah 

pun terpaksa melepas kepergian Jaka dari rumah me-

reka.

***


EMPAT


Di depan empat makam gurunya tampak Jaka 

bersimpuh. Di sampingnya duduk seorang gadis yang 

tak lain Sri Ratih. Seperti Jaka, Ratih pun tengah 

mengheningkan cipta berdo'a.

"Guru sekalian, semoga kalian tentram di alam 

sana."

"Kakang Jaka...."

"Ada apa, Ratih?"

"Ada orang datang ke mari, Kakang."

Jaka segera menengok ke samping kanannya. 

Tampak lima orang berjalan menuju ke arahnya.

"Siapakah mereka?" bertanya Jaka sepertinya 

pada diri sendiri.

"Entahlah, Kakang. Aku sendiri tak mengenal 

mereka."

"Tapi dilihat dari tingkah mereka, sepertinya 

mereka bukan orang jahat." kembali Jaka berkata.

"Sampurasun...!" menyapa salah seorang dari 

kelimanya.

"Rampes...!" menjawab Jaka dan Ratih bareng. 

"Kalau boleh kami bertanya di manakah kami 

bisa menemukan pendekar muda bernama Jaka Ndab-

leg?" bertanya Angsono, menjadikan Jaka dan Ratih 

sesaat saling pandang. Kemudian Jaka sejenak me-

mandang pada kelimanya bergantian.

"Adakah keperluan penting hingga kalian men-

cariku?"

"Jadi, jadi tuankah orangnya?"

Terbelalak kelimanya mendengar jawaban Jaka 

sampai-sampai kelimanya melototkan mata dan bareng 

bertanya. Jaka tersenyum mengangguk.


"Ya, akulah orangnya yang kalian can. Ada 

apakah?"

"Ampun, tuan pendekar. Kami adalah para can-

trik Brahmana Loka. Kami diberi amanat oleh beliau 

untuk menyerahkan benda ini."

Disodorkan tombak Inti Jagat oleh Angsono pa-

da Jaka. Sesaat Jaka terdiam tak segera menerimanya. 

Kembali dipandangi kelima cantrik itu, seperti bim-

bang.

"Apakah kau tak salah alamat, Cantrik?"

"Tidak, Tuan Pendekar," menjawab Angsono.

"Benar Tuan Pendekar. Kami juga disuruh 

mengabdikan diri pada tuan," menambah Longkat.

"Ah, apa kalian tidak main-main?" kembali Ja-

ka bertanya sepertinya ia belum yakin. Dipandangi Ra-

tih yang memandang ke arahnya juga dengan bibir ter-

senyum. "Bagaimana, Ratih?"

"Kalau memang itu suatu amanat. Terimalah, 

Kakang."

"Baiklah. Aku terima semuanya."

"Maksud tuan pendekar?" tanya Angsono belum 

mengerti.

"Loh, bukankah kalian ingin ikut denganku?" 

balik bertanya Jaka, menjadikan kelima cantrik sesaat 

mengerutkan alis matanya. Lalu bagaikan dipimpin, 

kelima cantrik itu segera jatuhkan diri bersujud.

"Terimakasih, Tuan. Terimakasih," ucap mereka 

bersamaan.

"Ah, tak usahlah kalian menyembah-nyembah 

seperti itu."

Mendengar ucapan Jaka, kelima cantrik itu se-

gera bangun.

Tuan Pendekar, hidup dan mati kami sepenuh-

nya untuk mengabdi pada tuan."


"Hai, apakah kalian sedang mengigau?"

"Tidak! Kami tidak mengigo, Tuan," menjawab 

Angsono.

Jaka hanya garuk-garuk kepala, lalu katanya 

kemudian.

"Wah, aku bukan raja. Aku tak berani meneri-

ma pengorbanan kalian tanpa aku dapat membantu. 

Apa yang harus aku lakukan untuk kalian semua?"

"Tanpa apa pun yang kami minta," menjawab 

Tenggiri.

Terbelalak mata Jaka sampai melotot menden-

gar ucapan Tenggiri. Hal itu menjadikan kelima cantrik 

kembali bertanya.

"Kenapa tuan pendekar?"

"Tidak apa-apa. Baiklah, aku terima pengab-

dian kalian."

Mendengar ucapan Jaka, bagaikan seorang 

anak kecil yang diberi permen kelima cantrik itu terse-

nyum bahagia. Sementara Jaka hanya mampu mengu-

lum senyum memandangi kelimanya yang tampak be-

rangkulan. Diliriknya Ratih yang juga tertawa geli. 

"Eh, apakah kalian sudah makan?"

"Belum, Tuan pendekar!" menjawab kelimanya 

serempak.

"Wah! Ratih, kau sudah masak?"

"Sudah, Kakang Jaka."

"Nah para cantrik, kalian makanlah dulu. Ra-

tih, ajak mereka makan."

"Baik, Kakang Jaka." menjawab. Ratih. "Mari, 

Paman-paman sekalian." ajak Ratih yang dengan sege-

ra diikuti oleh kelimanya.

Jaka tampak menggelengkan kepala setelah 

kepergian mereka. Ia tak habis pikir, mengapa dirinya 

yang menerima senjata pusaka itu. "Hai, siapakah na


ma mereka? Kenapa aku tidak menanyakannya? Dan 

kenapa mereka pergi dari pesanggrahan? Ah, macam-

macam saja kehidupan." Dengan perlahan Jaka segera 

berlalu meninggalkan makam menuju ke pondoknya. 

"Oh ya, siapa nama kalian semuanya?" ber-

tanya Jaka setelah kelima cantrik itu telah selesai ma-

kan.

"Nama hamba Longkat."

"Nama hamba, Tenggiri."

"Hamba Sanur, Tuanku."

"Hamba bernama Lomber, Tuanku."

"Dan hamba, Angsono."

"Kalian semua, kenapa kalian pergi dari pe-

sanggrahan?" bertanya Jaka pada kelimanya setelah

sesaat mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ke-

lima cantrik itu saling pandang, lalu Angsono yang pal-

ing tertua berkata:

"Hamba diperintah oleh Wiku untuk pergi."

"Kenapa? Apakah kalian mempunyai kesala-

han?"

"Tidak, Tuanku." menjawab Longkat. 

"Lalu kenapa? Apakah Wiku Brahmana Loka 

ada sesuatu kepentingan hingga menyuruh kalian per-

gi?"

"Benar, Tuanku. Wiku menyuruh kami pergi, 

karena Wiku tak menginginkan kami celaka," berkata 

Tenggiri.

"Celaka...?" bergumam Jaka kaget. "Celaka ba-

gaimana?"

"Salah seorang murid Wiku yang murtad hen-

dak membuat kerusakan."

"Maksudmu, Angsono?" bertanya Jaka belum 

mengerti.

"Murid murtad itu telah bersekutu dengan si


luman. Dia menghendaki pusaka milik Wiku. Wiku 

memiliki dua pusaka sakti. Yang pertama keris Kyai 

Sangkar, kedua Tombak Inti Jagad yang sekarang be-

rada di tangan tuan," menerangkan Angsono.

"Kenapa tidak diberikan?"

"Bahaya, Tuanku."

"Bahaya bagaimana, Angsono?" Jaka kembali 

bertanya.

"Kalau kedua senjata pusaka itu berada di tan-

gannya, mungkin senjata itu akan bencana."

Jaka terangguk-angguk mengerti. Dihelanya 

napas panjang-panjang, sebelum akhirnya kembali 

berkata. "Lalu, bagaimana dengan Tuan Brahmana Lo-

ka?"

"Entahlah, Tuan. Mungkin kini tengah berta-

rung melawan murid murtadnya yang bersekutu den-

gan Siluman Kerta Ganda Mayit."

"Apa...! Jadi sekarang Wiku tengah menghadapi 

Siluman Kerta Ganda Mayit?" bertanya Jaka terbelalak 

kaget. Matanya seketika memandang tajam pada keli-

manya. "Kenapa kalian malah pergi?"

"Kami disuruh pergi oleh Wiku." menjawab 

Angsono seraya menundukkan muka tak berani men-

gadu pandang dengan Jaka.

Terdiam Jaka penuh rasa. Nafasnya turun naik, 

memburu bagaikan memendam amarah. Kelima can-

trik di hadapannya turut hening! Begitu juga Ratih 

yang duduk di sampingnya.

"Kita harus kembali," berkata Jaka kemudian.

"Maksud, Tuan?" serempak kelima cantrik ber-

tanya tak mengerti.

"Kita harus kembali ke pesanggrahan." 

"Jangan, Tuan."

"Kenapa, Longkat? Apakah kalian takut?"


"Tidak, Tuan. Kami tidak takut, tapi Wiku telah 

berpesan pada kami agar kami jangan sekali-kali balik 

bila tombak Inti Jagad masih berada pada kami. Juga 

kami disuruh mengabdi pada tuan belaka."

"Sekarang kalian telah menemui aku dan telah 

menjadi abdiku. Sekarang juga, kita berangkat ke sa-

na."

Tanpa dapat dicegah oleh kelima cantrik yang 

akhirnya mengikuti, Jaka segera bergegas pergi menu-

ju ke pesanggrahan Brahmana Loka. Ratih pun tak ke-

tinggalan ikut serta bersama mereka.

* * *

Perguruan Singa Putih...

Langit di atas perguruan Singa Putih tampak 

mendung. Awan tampak bergayut dengan tebal. Angin 

puyuh berhembus kencang, menyapu awan dari sela-

tan yang makin menambah menggulung. Walau men-

dung telah begitu tebalnya, namun hujan tak kunjung 

jatuh.

Di sebuah kursi kepemimpinan, tampak seo-

rang lelaki dengan usia 40 tahun duduk. Alis matanya 

nampak mengerut. Dengan mata memandang ke luar.

"He, sepertinya pertanda buruk. Ada gerangan 

apakah?" bertanya hati lelaki itu. Perlahan ia bangkit 

dari duduknya. Sesaat dia berdiri, lalu melangkah ke-

luar. Di samping perguruan, tampak murid-muridnya 

tengah berlatih dipimpin oleh murid tertuanya.

"Ehm...!"

Melihat ketua perguruan datang, tanpa diko-

mando keseluruhan murid perguruan serentak menju-

ra.

"Raspati...!"


"Hamba, Guru," menjawab Raspati yaitu pimpi-

nan latihan. Ia adalah seorang murid utama perguruan 

Singa Putih. Sebenarnya murid utama Singa Putih ada 

lima orang yaitu, Raspati, Bambang Sodra, Rangka La-

nang, Lumajang Geni, dan Srenggani seorang murid 

wanita. Namun keempat murid utama lainnya kini ten-

gah mengabdi pada kerajaan hingga tinggal Raspati 

yang masih di situ.

"Raspati, tidakkah kau mempunyai firasat?"

"Firasat? Firasat apakah, Guru?" bertanya Ras-

pati tak mengerti.

"Hem, tidakkah kau lihat mendung di langit 

itu?"

Raspati segera menengadahkan mukanya ke 

langit. Tampak mendung seperti tak mau pergi, ber-

gayut di atas perguruan. Pertanda apakah?

"Benar, Guru. Hamba melihat mendung seper-

tinya tak beranjak pergi. Gerangan apakah, Guru?"

"Mendung itu pertanda kegelapan, Raspati,"

"Apa...?" serentak keseratus murid perguruan 

berseru kaget demi mendengar ucapan ketuanya. Mata 

mereka seketika saling pandang, lalu sejurus kemu-

dian menatap pada ketuanya.

"Ampun, Guru. Petaka apa yang bakal tiba? 

Ijinkanlah kami mengetahuinya, agar kami dapat be-

rusaha mencegahnya," bertanya Raspati.

Sejenak pemimpin Singa Putih yang bernama

Singa Amangkurat terdiam. Dihelanya napas panjang, 

lalu dihembuskan perlahan. Matanya kembali menen-

gadah ke langit, di mana mendung masih. bergayut. 

Tengah mereka dicekam diam, tiba-tiba terdengar sua-

ra gelak tawa panjang. Bersamaan dengan habisnya

gelak tawa itu, seketika berkelebat sesosok tubuh. 

"Siapa kau?!" membentak Raspati.


"Singa Amangkurat, tidakkah kau dapat men-

gajar adat muridmu? Lancang benar ucapannya," ber-

kata pemuda yang telah berdiri di hadapan Singa 

Amangkurat.

"Maafkan kelakuan muridku, Ki Sanak. Siapa-

kah gerangan Ki Sanak sebenarnya? Lalu, ada keper-

luan apakah?"

"Amangkurat. Aku datang ke mari untuk men-

gajakmu menjadi pengikutku. Bagaimana, Amangku-

rat?"

"Maaf, Ki Sanak. Kami belum mengenalmu, un-

tuk itulah sudi kiranya Ki Sanak mengenalkan nama."

"Namaku Cipta Angkara atau Penguasa Tunggal 

Persilatan."

"Setan Alas! Jangan kau ngaco belo, Anak mu-

da!"

"Amangkurat, sungguh lancang muridmu. Apa-

kah kau tidak dapat mengajarnya? Apakah aku yang 

harus mengajarnya?"

"Kau terlalu lancang, Anak muda. Kau seakan 

merendahkan kami. Datang tanpa permisi, tiba-tiba 

kau mengaku-aku penguasa tunggal Dunia Persilatan. 

Jangan mimpi!"

Geram hati Cipta Angkara mendengar ucapan 

Raspati. Maka tanpa memperdulikan Singa Amangku-

rat, Cipta Angkara segera berkelebat hendak menye-

rang Raspati. Namun langkahnya seketika terhalang 

oleh Amangkurat yang dengan cepat menghadangnya.

"Rupanya kau pun hendak menentangku, 

Amangkurat!"

"Kalau kau berlaku baik. Aku tak akan menen-

tangmu, Anak muda." menjawab Amangkurat tenang.

"Jangan banyak dalih, Amangkurat. Katakan, 

mau atau tidak kau menjadi pengikutku!"


"Tidak!" menjawab Raspati mendahului gu-

runya.

"Bedebah! Rupanya murid dan guru sama. 

Baik, jangan salahkan aku bertindak telengas!" mema-

ki Cipta Angkara, lalu dengan penuh amarah Cipta 

Angkara segera menyerang.

Diserang begitu rupa, dengan segera keseratus 

anak murid Singa Putih serempak maju mengurung. 

Hal itu makin menjadikan amarah Cipta Angkara. 

Dengan membabi buta bagai tak kenal rasa kasihan, 

Cipta Angkara menghantamkan ajiannya Lebur Suk-

ma. Seketika pekik-pekik kematian pun bergema.

Melihat hal itu, serentak Raspati menghadang. 

Ia tak ingin adik-adik seperguruannya mati sia-sia. Di-

papakinya serangan Cipta Angkara dengan ajian Lo-

reng Cabik. Seketika kuku-kuku tangan Raspati me-

manjang. Tubuhnya berubah sedikit demi sedikit. Mu-

kanya yang bagus, seketika berubah menjadi muka 

harimau.

"Auum.... Gerr...!"

"Ilmu Siluman," berkata Cipta Angkara dalam 

hati. "Hem, jangan kira aku tak mampu. Tapi biarlah, 

akan aku hadapi dengan ajianku dulu."

"Hiaat...!" 

"Auummm.... Gerr!"

Kedua makhluk itu saling loncat, bagaikan ter-

bang ke angkasa. Keduanya segera bertemu, saling 

adu ilmu yang mereka miliki. Tersentak Cipta Angkara 

seketika, manakala ajiannya tak berarti apa-apa bagi 

siluman harimau itu. Bahkan pundaknya terasa perih, 

tersobek kuku runcing yang mengandung racun.

Cipta Angkara segera melentingkan tubuh jauh, 

menghindari serangan Raspati yang telah berubah 

menjadi harimau. Ketika ia memandang pada pundak


nya, ia tersentak. Pundaknya membiru gelap. Darah-

nya seakan membeku.

"Racun Singa Paya. Hem, aku harus hati-hati," 

membatin Cipta Angkara. Ditatapnya lekat-lekat pun-

dak yang membiru, lalu dengan ludahnya diusapnya 

luka itu. Seketika luka di pundaknya menghilang, le-

nyap tak berbekas.

"Bedebah! Jangan harap kau mampu menga-

lahkanku!"

"Aum.... Gerr!"

"Hentikan, Raspati. Dia bukan tandingan mu!" 

berseru Amangkurat memperingatkan. Namun bagai-

kan tak mendengar, Raspati yang sudah dibakar ama-

rah kembali menerjang Cipta Angkara.

"Raspati!"

"Aauuummmm.'"

Raspati melolong panjang, manakala keris Kyai 

Sangkar di tangan Cipta Angkara berkelebat dan me-

nikam ulu hatinya. Seketika darah memuncrat dari 

badannya. Tubuh Raspati kembali berubah menjadi 

manusia, ambruk dengan tubuh mengering bagai ter-

bakar.

Terbelalak mata Amangkurat melihat muridnya 

mati. Dengan penuh amarah Amangkurat segera ber-

kelebat menyerang Cipta Angkara.

"Kau harus membayar nyawa muridku, Iblis!"

"Hua, ha, ha.... Kau yang akan kukirim ke ak-

herat, Amangkurat. Bersiaplah!"

"Takabur! Jangan kau kira semudah kau bica-

ra, Iblis!"

"Hua, ha, ha.... Lebih baik kau menjadi pengi-

kutku, daripada kau mati percuma, Amangkurat!"

"Iblis! Jangan bermimpi di siang bolong!"

"Baik! Aku bukan bermimpi. Akan aku bukti


kan, hiat!"

Dengan harapan dapat segera menjatuhkan 

Amangkurat, Cipta Angkara tak segan-segan memakai 

keris Kyai Sangkar. Dengan Kyai Sangkar di tangannya 

menjadikan Cipta Angkara makin gesit. Hawa keris itu 

membuat nafsu membunuhnya makin menjadi-jadi. 

Ditebaskan keris itu pada pundak Amangkurat yang 

segera berkelit.

Amangkurat telah maklum, kalau keris itulah 

yang sungguh-sungguh berbahaya. Keris Kyai Sangkar 

bukanlah keris sembarangan. Bila ditempelkan pada 

air laut, seketika laut akan kering. Bila ditusukkan ke 

gunung, akan leburlah gunung itu menjadi debu. Keris 

itu juga mengandung hawa panas, hawa membunuh.

Amangkurat terus berkelit, sebisa-bisanya 

menghindari keris di tangan Cipta Angkara. Namun 

Cipta Angkara yang telah mengetahui bahwa lawannya 

ngeri melihat kerisnya, terus mendesak.

Sekali-kali dihantamnya tubuh Amangkurat 

dengan ajian yang dimiliki. Namun dengan segera 

Amangkurat balas menghadang dengan ajiannya pula. 

Runtuhlah ajian Cipta Angkara, ia terhempas ajian 

yang dilancarkan Amangkurat.

"Suwe! Kalau begini terus menerus, tak akan 

berakhir," menggeretak Cipta Angkara dalam hati. Lalu 

dengan segera dipusatkan kedua tangannya memegang 

keris. Diusapnya ujung keris Kyai Sangkar. Seketika 

dari ujung keris keluar selarik sinar merah membara.

Tersentak Amangkurat melihat hal itu. Ia beru-

saha menghindar, namun akibatnya malah fatal. Anak 

buahnya seketika menjerit, terpanggang oleh api yang 

menyala keluar dari ujung keris,

"Menyerahkan, Amangkurat!"

"Jangan harapkan itu, Iblis! Aku akan mengadu


nyawa."

Seketika Amangkurat terdiam, menyatukan 

tangan di dadanya. Sekejap kemudian, tubuh Amang-

kurat telah berubah menjadi raksasa besar. Mukanya 

yang berbentuk harimau, sungguh sangat menyeram-

kan, "Aauummm...!"

"He, tinggi juga ilmunya. Baik akan aku ladeni." 

berkata Cipta Angkara dalam hati. Kemudian, dengan 

segera Cipta Angkara melompat menyerang Amangku-

rat dengan keris Kyai Sangkar. Api membara keluar 

dari ujung keris, membakar tubuh Amangkurat. Na-

mun bagaikan tak terasa, Amangkurat terus menyer-

gap Cipta Angkara. Ditangkapnya tubuh kecil Cipta 

Angkara, lalu ditelannya hidup-hidup.

Sesaat Amangkurat tampak tersenyum. Namun 

kemudian, Amangkurat seketika memekik. Dari perut-

nya, keluar tubuh Cipta Angkara dengan keris pusaka 

berlumuran darah. Makin marah Amangkurat melihat 

musuhnya dapat keluar. Dengan tubuh yang telah so-

bek di perutnya, Amangkurat kembali menyerang Cipta 

Angkara. Dibantingnya tubuh Cipta Angkara hingga 

pingsan.

Ketika tubuh Cipta Angkara hendak diremuk-

kan oleh Amangkurat, seketika tubuh Cipta Angkara 

berubah menjadi asap. Dari asap tebal berbentuk se-

sosok tubuh tinggi besar, setinggi tubuh Amangkurat.

Tersentak Amangkurat dengan mata melotot 

menyaksikan hal itu. Lebih-lebih ketika ia tahu siapa 

yang kini berada di hadapannya. Karena saking kaget-

nya, Amangkurat seketika berseru menyebut orang 

yang berdiri di hadapannya. 

"Kaukah kiranya, Ganda Mayit!"

"Benar, aku Amangkurat."

"Mengapa kau datang lagi ke alam manusia,


Ganda Mayit?"

"Hua, ha, ha.... Kau jangan egois, Amangkurat. 

Kau juga siluman, seperti aku. Kalau kau boleh men-

ginjakkan kakimu di dunia manusia, kenapa aku ti-

dak?"

"Bukankah kau telah berjanji tidak akan da-

tang lagi?"

"Itu benar, Amangkurat. Tapi bila aku tak me-

nemukan salah seorang murid murtad Brahmana Lo-

ka. Tapi kini, aku telah bebas dari perjanjian itu. Bah-

kan si Brahmana Loka telah mati di tangan muridnya 

sendiri. Kini tak akan ada yang dapat menghalangi 

aku. Hua, ha, ha...!"

"Jangan bermimpi, Ganda Mayit. Akulah yang 

akan menghalangimu. Dan aku juga yang akan mengi-

rimmu kembali ke alam siluman."

"Hem, memang kita tak pernah bersatu, 

Amangkurat. Di mana kau berada, kau adalah pengha-

langku. Untuk itu, kau harus aku singkirkan dari du-

nia ini," mendengus Ganda Mayit marah. Seketika 

Ganda Mayit berkelebat menyerang. Tubuhnya yang 

sebesar gunung anakan, menghantam membabi buta.

"Minggirlah kalian semua!" berseru Amangkurat 

memperingatkan pada anak muridnya yang segera 

menyingkir. Pertarungan dua siluman itu pun terjadi. 

Walau tubuh-tubuh mereka besar, namun sepertinya 

tak menghalangi gerakan-gerakan silat mereka. Setiap 

hantaman tangan dan kaki mereka, menjadikan suara 

yang membahana.

* * *

Kita tinggalkan kedua siluman yang tengah 

mengadu ilmu mereka. Marilah kita tinjau Jaka dan



kelima cantrik yang tengah menuju ke pesanggrahan 

milik Brahmana Loka.

Manakala ketujuh orang itu tengah berjalan 

menerobos hutan, menuruni lembah dan ngarai. Tiba-

tiba langkah mereka dihentikan oleh seruan seseorang.

"Anak Gendeng. Berhenti kau!" 

Jaka Ndableg yang merasa seruan itu ditujukan 

padanya, dengan segera menghentikan langkahnya. 

Dibalikkan tubuhnya, menghadap pada asal suara itu. 

Kini tampak olehnya siapa yang telah memanggil. Ra-

tih yang berdiri di samping Jaka, seketika tersentak. Ia 

tahu persis siapa adanya mereka yang tak lain Lima 

Iblis Penghisap Darah.

"Kakang Jaka...." kata Ratih dengan gemetar.

"Jangan takut, Ratih. Hem, mereka belum ka-

pok. Menyingkirlah kalian." berkata Jaka memerintah. 

Dengan segera, keenam orang pengikutnya pergi ber-

sembunyi. Kini tinggal Jaka sendiri, menunggu keda-

tangan kelima Iblis Penghisap Darah.

"Pucuk di cinta ulam tiba. Rupanya kita mene-

mukannya di sini, Kakang Lawer!"

"Benar adik, Suwing. Selamat ketemu kembali, 

Anak edan."

"Ha, ha, ha, ha...." tertawa Jaka bergelak, men-

jadikan kelima Iblis Penghisap Darah tersentak saling 

pandang.

"Diam! Tak ada yang lucu di sini!" membentak 

Lawer.

"Ha, ha, ha.... Tak ada yang lucu? Bukankah 

kalian memang lucu? Julukan kalian menyeramkan, 

tapi nama kalian bagaikan nama para pengemis kere. 

Ha, ha, ha...!"

"Monyet!"

"Apa? Kalian mengaku keturunan monyet? Pan


tas-pantas, muka kalian memang seperti monyet."

Makin marah saja kelima Iblis Penghisap Darah 

mendengar ucapan Jaka yang ngelantur. Namun begi-

tu, mereka tidak mau berlaku sembrono. Mereka telah 

tahu siapa adanya pemuda di hadapannya. Pemuda 

yang konyol, namun berilmu tinggi.

"Pemuda edan! Serahkan gadis yang kau bawa 

itu pada kami. Maka kami akan memutuskan segala 

silang sengketa denganmu." 

"Klawer, ngomongmu bak raja kelaparan. See-

nak udel kau ngomong. Jangan harap aku akan me-

nyerahkan gadis itu, sebab gadis itu telah tergila-gila 

padaku. Kalau pun aku serahkan, niscaya dia tak 

akan mau dengan adikmu yang bermuka oncom!"

"Bedebah! Kau terlalu menghina, Bocah edan!"

"Hai, rupanya kau bisa marah juga. Apa mau-

mu, Klawer?"

"Bangsat! Serang dia!" berseru Klawer memerin-

tah. Seketika keempat adiknya segera menyerbu Jaka. 

Golok di tangan kelima orang itu berkelebat, memba-

bat tubuh Jaka yang segera berkelit.

"Tooobaat.... Aku hendak dibikin sate?"

"Bangsat! Jangan banyak bacot!" memaki Klaw-

er marah merasa diledek oleh Jaka.

"Jangan galak-galak, Oom!"

"Jangan terpengaruh dengan ocehan gilanya. 

Serang terus!"

"Wuut...."

Sebatang golong berkelebat di atas kepala Jaka 

yang menunduk. Jaka segera membuang tubuhnya ke 

kanan, lalu dengan jari menyentil, disentilnya golok 

itu. Seketika golok di tangan musuhnya patah menjadi 

dua. Terbelalak mata musuhnya melihat hal itu. Meli-

hat salah seorang musuhnya terbengong, Jaka segera


menjejakkan kakinya setelah melenting ke angkasa. 

Tubuh orang yang ditumpangi, seketika amblas me-

nyerosot ke dalam tanah. Jaka baru melompat pergi 

manakala tubuh musuhnya telah amblas sebatas da-

da.

Bergidik keempat Iblis Penghisap Darah yang 

lain demi melihat kenyataan itu. Tanpa memperduli-

kan temannya, keempatnya segera kabur.

Jaka yang memang tak bermaksud mengejar 

mereka hanya tersenyum. Dihampiri orang yang terbe-

nam dalam tanah. Orang itu nampak ketakutan hingga 

keringat dingin deras keluar dari pelipisnya.

"Ampunilah aku. Jangan bunuh aku," meratap 

orang itu.

"Heh, siapa yang mau membunuh kamu?" 

"Terimakasih, Tuan pendekar. Terima kasih."

"Hua, ha, ha.... Ternyata Iblis Penghisap Darah 

bisa ketakutan. Hoy teman-teman, keluarlah!"

Dari semak-semak, tampak bermunculan keli-

ma cantrik bersama Ratih. Mereka segera berlarian 

menuju ke tempat Jaka yang tengah jongkok meman-

dangi musuhnya.

"Bagaimana menurut kalian? Apakah orang ini 

dibiarkan saja di sini biar dikeloni sama cacing tanah?"

"Hii. Jangan, Tuan! Saya minta ampun," bergi-

dik orang Iblis Penghisap Darah demi mendengar uca-

pan Jaka. Namun bagaikan tak memperdulikannya, 

Jaka hendak segera berlalu.

"Ayo, kita pergi!"

"Tapi, Tuan?" bertanya Angsono.

"Biar dia di situ, ayo!"

"Tuan.... Ampunilah saya. Lepaskan saya dari 

himpitan tanah ini! Tolonglah saya, Tuan. Saya mem-

punyai anak dan istri."



"Ah, kamu ngaco ngomongnya!" membentak

Jaka pura-pura marah.

"Tidak, Tuan. Aku tidak ngaco, aku punya anak 

dan istri."

"Hem, jadi kau punya anak dulu baru beristri. 

Kau kumpul kebo, ya?"

Ratih dan kelima cantrik seketika tertawa men-

dengar ucapan Jaka yang konyol. Sebaliknya, Iblis 

Penghisap Darah makin tak mengerti dengan omongan 

Jaka yang aneh-aneh. "Tidak, tuan. Aku tidak kumpul 

kebo." 

"Lalu kumpul apa?" tanya Jaka masih ngeba-

nyol.

"Kumpul orang, Tuan." menjawab Iblis Penghi-

sap Darah saking takut dan gugupnya, menjadikan ke-

lima cantrik dan Ratih kembali tertawa.

"Kakang Jaka, sudahlah. Nanti dia bisa kencing 

di celana."

"Biar, sekali-kali biar dia merasakan betapa 

wanginya ompol orang tua. Siapa namamu, Ki Sanak?"

"Nama saya, Rosmad," menjawab Rosmad ma-

sih gemetaran. Ketika dirasakannya ada yang berge-

rak-gerak di kakinya, serta merta Rosmad memekik. 

"Aooh, tolong Tuan!"

"Hai, kenapa kau menjerit-jerit kayak anak ke-

cil?" 

"Aduh, kaki saya, Tuan. Kaki saya...." berkata 

Rosmad terbata.

"Kenapa dengan kakimu, Rosmad?"

"Kaki saya ada yang menggigit."

Kasihan juga Jaka melihatnya meringis-ringis. 

Maka sekali kaki Jaka menghentak tanah di samping 

Rosmad, tubuh Rosmad seketika meloncat terbang ke 

angkasa lolos dari tanah. Terbelalak kelima cantrik


melihat hal itu, sampai-sampai mata mereka melotot 

memandang pada tubuh Rosmad yang melayang.

"Aoh...." Ratih menjerit seraya menutupi mu-

kanya, manakala melihat Rosmad tak memakai celana 

lagi. Di kaki Rosmad menempel seekor kepiting. Cepi-

tan kepiting yang keras menjadikan Rosmad berteriak-

teriak kesakitan. Ia berlari-lari tak menghiraukan kea-

daan tubuhnya yang telanjang. Tertawa bergelak seke-

tika kelima cantrik demi melihat hal itu. Hanya Ratih 

yang masih menutupi muka dengan kedua tangannya.

Setelah Rosmad tak dilihat lagi, merakapun se-

gera kembali meneruskan perjalanan ke Pesanggrahan 

milik Brahmana Loka.

***

LIMA



Pertarungan antara Ganda Mayit melawan 

Amangkurat masih berjalan. Keduanya tampak sama-

sama tangguh, keduanya sama-sama warga siluman.

Berpuluh bahkan beratus-ratus ilmu telah me-

reka keluarkan untuk dapat mengalahkan lawannya. 

Namun sampai pertarungan berjalan dua hari, seper-

tinya mereka tak ada yang bakal kalah.

Ketika hari menginjak ketiga, dengan licik Gan-

da Mayit menghantamkan ajiannya ke tubuh Amang-

kurat. Seketika Amangkurat meraung-raung kesaki-

tan, sebelum akhirnya roboh tanpa nyawa.

Melihat pemimpinnya mati, seketika anak mu-

rid Amangkurat jatuhkan diri bersujud meminta am-

pun. Hal itu membuat Ganda Mayit tertawa bergelak



gelak.

"Bagus, bagus! Rupanya kalian masih meng-

hendaki hidup."

"Benar, Sang Kuasa," jawab mereka serempak.

"Nah, dengar oleh kalian. Mulai hari ini, akulah 

rajamu."

"Daulat, Sang Kuasa!"

"Kalian harus nurut padaku! Kalian harus tun-

duk dan menyembah aku, mengerti!"

"Daulat, Sang Kuasa!"

Perlahan-lahan tubuh Ganda Mayit menyusut, 

mengecil dan kembali berubah menjadi Cipta Angkara. 

Mata Cipta Angkara tampak memandang tajam, dan 

dengan angkuhnya ia berkata.

"Kau, siapa kau namanya?"

Orang yang ditunjuk nampak gemetaran, men-

jawab dengan terbata-bata. "Hamba, Gajah Biru, Tua-

nku."

"Gajah Biru, mulai sekarang kau kutunjuk 

menjadi wakilku."

"Daulat, Tuanku."

"Nah, dengar oleh kalian semua. Mulai hari ini, 

kalian harus menurut pada apa yang dikatakan Gajah 

Biru. Mulai hari ini pula, kalian harus beraksi. Ram-

pok orang-orang kaya, teror tokoh-tokoh persilatan. 

Katakan pada mereka, mau atau tidak menjadi pengi-

kut kita. Bila mau biarkan ia hidup menjadi anggota. 

Tapi bila menolak, jangan segan-segan, bunuh dia!"

"Daulat, Tuanku...!" menjawab mereka serem-

pak.

"Nama perguruan ini, mulai sekarang aku ganti 

menjadi "Persekutuan Iblis", Hua, ha, ha...!"

"Daulat, Tuanku!"

"Nah, Gajah Biru pimpin olehmu mereka se


mua. Ingat! Jangan sekali-kali membantah! Kalau 

membantah, maka kau akan seperti ini."

Dikiblatkan kerisnya ke salah seorang bekas 

anggota Singa Putih. Seketika orang itu meraung, se-

belum akhirnya roboh dengan tubuh kering kerontang. 

Darahnya seperti tersedot oleh keris Kyai Sangkar.

Tercekam yang lainnya melihat hal itu. Maka 

dengan penuh rasa takut, yang lainnya segera me-

nyembah. Makin membuat Cipta Angkara yang mabok 

kuasa tertawa bergelak-gelak senang.

"Ingat baik-baik tugas kalian. Bila kalian men-

galami kesulitan, datanglah segera menemui aku."

Habis berkata begitu, secepat kilat Cipta Ang-

kara berkelebat pergi meninggalkan mereka yang 

hanya terdiam tercekam.

* * *

Cipta Angkara yang tengah berlari, seketika 

menghentikan langkahnya manakala dirasa ada orang 

yang menguntitnya. Dengan gemas bercampur marah, 

Cipta Angkara segera membentak.

"Orang-orang yang bersembunyi, keluarlah! 

Jangan suka main kucing-kucingan!"

Satu persatu orang yang menguntitnya ke luar 

dari persembunyian. Kelima orang itu yang ternyata Ib-

lis Penghisap Darah tersenyum sembari menjura hor-

mat.

"Maafkan kami yang bodoh ini, Tuan pendekar," 

berkata Lawer mewakili keempat adiknya.

"Siapa kalian?"

"Kami lima Iblis Penghisap Darah."

"He, nama yang sudah terkenal. Mau apa kalian 

menghadang dan mengikuti langkahku?"


"Ampun, Tuan pendekar. Kami ingin menjadi 

anggota Persekutuan Iblis yang tuan pimpin."

"Bagus, bagus. Apakah kalian tahu syaratnya?"

"Tidak, Tuan pendekar," menjawab Lower.

"Dengar oleh kalian. Syarat untuk menjadi ang-

gota Persekutuan Iblis, kalian harus mampu membawa 

hasil rampokan kalian. Kalian sanggup?"

"Sanggup, Tuan pendekar."

"Baik! Bawalah hasil rampokan kalian nanti 

pada malam Jum'at ke markas. Kedua, teror semua 

tokoh-tokoh persilatan agar mau menjadi anggota kita. 

Bila ia menolak, jangan segan-segan bunuh!"

"Baik. Kami akan selalu menuruti apa yang 

tuan katakan."

"Laksanakan sekarang juga. Ingat malam 

Jum'at!"

Setelah berkata begitu, kembali Cipta Angkara 

berkelebat pergi meninggalkan kelima Iblis Penghisap 

Darah yang hanya terbengong-bengong tak mengerti. 

Kelima Iblis Penghisap Darah pun segera berlalu sete-

lah sekian lama terdiam memandang pada kepergian 

Cipta Angkara.

Menangis kelima cantrik itu demi melihat tu-

buh Wikunya telah mati. Tubuh Brahmana Loka ter-

sangsang di atas cabang pohon dengan dada bolong. 

Jaka yang melihat hal itu, seketika merasa trenyuh. 

Dengan sekali lompat, diambilnya tubuh Brahmana 

Loka dari sangsangan cabang pohon.

"Duh, Wiku. Mengapa kau secepat ini mening-

galkan kami?"

"Benar, Wiku. Kenapa engkau secepat ini per-

gi?"

"Mengapa engkau tak menghindar pergi saja?"

"Sudahlah, Longkat, Tenggiri, Lomber. Jangan


lah kalian menangisi kepergiannya. Dia pergi dengan 

kebaikan, dia akan diterima oleh Yang Jati Wisesa," 

berkata Jaka menghibur. Sementara Ratih sepertinya 

turut terbawa arus, ia pun turut menangis.

"Mari kita semayam kan tubuhnya dengan baik. 

Dia adalah seorang Wiku, sepantasnyalah bila dia ha-

rus dihormati."

"Apakah beliau akan masuk surga, Tuan Pen-

dekar?"

"Aku tak mengerti, Angsono. Masuk atau tidak-

nya seseorang, terletak pada perbuatannya kala masih 

hidup. Bila orang itu berbuat baik, niscaya ia akan 

masuk surga. Ah, sudahlah, yang penting kita rawat 

mayatnya dengan baik."

Habis berkata begitu, dengan tanpa memperdu-

likan kelima cantrik yang masih menangis Jaka meng-

gali tanah. Dengan memakai selembar papan kayu Ja-

ka terus menggali dan menggali. Keringat bercucuran 

tak dihiraukannya. Tak berapa lama antaranya, liang 

lahatpun telah dalam. Jaka segera melompat naik dan 

menghampiri tubuh Brahmana Loka yang masih di-

tangisi oleh kelima cantriknya.

"Sudahlah, kalian jangan terus menangis. Ban-

tu aku menyemayamkan tubuhnya," berkata Jaka. Di-

bopongnya mayat Brahmana Loka menuju ke galian 

liang. Perlahan tubuh Brahmana Loka direbahkan. 

Dengan dibantu oleh kelima cantrik, diurugnya liang 

itu kembali.

"Mari kita berdo'a untuk arwahnya. Semoga 

dapat diterima di sisi Yang Jati Wisesa."

Kesemuanya seketika terdiam hening, tanpa 

kata-tanpa suara. Mereka seperti kusuk memanjatkan 

do'a. Angin bersemilir meniup rambut mereka, seper-

tinya memberikan penghormatan yang terakhir.



"Bukankah lebih baik kalian menetap di sini?"

"Ah, kami takut, Tuan!" berkata Angsono.

"Takut...? Takut pada siapa?"

"Kami takut kalau-kalau dia datang," kata 

Longkat beralasan.

"Hem, takut mati karena kebaikan adalah ke-

pengecutan. Apakah kalian mau dikatakan orang pen-

gecut?"

"Tidak, Tuan."

"Nah, kenapa kalian mesti takut? Ingat, bila ajal 

tiba semuanya pasti akan mati juga. Baik itu orang 

sakti, rakyat biasa, ataupun titisan dewa. Maka itu, 

janganlah kalian takut mati sebab kematian adalah 

kekekalan hidup. Kalian mengerti?"

"Mengerti, Tuan Pendekar."

"Sekarang juga, kita bangun kembali pesangga-

rahan ini. Kita menempati pesanggrahan ini kembali, 

bagaimana?"

"Kami sebagai abdi hanyalah menurut apa kata 

tuannya," menjawab Angsono mewakili teman-

temannya.

"Ayo, kita dirikan lagi pesanggrahan ini," Hari 

itu juga, dengan gotong royong mereka kembali mendi-

rikan pesanggrahan yang telah menjadi puing-puing. 

Ada yang mencari kayu, bambu, ijuk, dan bahan lain-

nya. Setelah hari telah menjelang sore, pesanggrahan

itu pun jadi.

"Nah, karena pesanggrahan ini telah jadi, aku 

minta kalian dapat tetap di sini," berkata Jaka kala 

mereka tengah duduk-duduk menikmati makam ma-

lam.

"Tuan pendekar sendiri, apakah tidak di sini?"

"Aku juga di sini, Longkat. Namun untuk se-

mentara, aku hendak pergi."


"Ke mana, Kakang?"

"Aku hendak mencari murid durhaka itu." 

"Jadi tuan hendak pergi?" 

"Benar, Tenggiri. Tapi aku pergi tak akan lama. 

Aku hanya akan mencari murid durhaka itu. Kalian 

tenang-tenanglah di sini, aku akan segera kembali la-

gi."

Jaka Ndableg segera berkelebat pergi, mening-

galkan kelima temannya. Sepeninggalan Jaka kelima 

temannya tampak hening. Mereka seperti was-was, 

mereka takut kalau-kalau Cipta Angkara datang.

Malam itu pun dilalui mereka dengan kehenin-

gan, tanpa ada yang berani berkata-kata. Kala hari te-

lah agak larut, kelima cantrik dan Ratih pun segera be-

ranjak tidur.

* * *

Malam begitu sunyi, tiada suara lain selain su-

ara binatang malam. Ketika kesunyian itu mencekam, 

tampak seorang lelaki berjalan mengendap-endap me-

nuju ke sebuah rumah. Rumah itu, adalah rumah Bu-

pati Brebes.

Langkahnya begitu ringan hingga tak ada suara 

sedikitpun. Sesaat mata lelaki itu memandang sekelil-

ing, lalu dengan berjingkat-jingkat ia kembali berjalan.

"Hoop, ya."

Dengan sekali hentak, tubuh lelaki itu telah 

melompati pagar rumah. Sesaat lelaki itu diam, me-

mandang pada para penjaga yang tengah duduk-

duduk sambil main gaple.

"Hem, kebetulan," ucapnya dalam hati.

Dipungutnya sebuah kerikil, lalu dengan segera 

disambitkan pada salah seorang penjaga. Seketika


penjaga itu pun ambruk tertotok darahnya.

"He, kenapa Jaran Langan?" bertanya seorang 

penjaga lainnya.

"Entahlah, ia tiba-tiba pingsan," jawab yang 

lain.

"Heh, rupanya ada orang di sekitar sini. Lihat, 

ada batu kerikil!"

"Benar, Kucing Ireng."

"Itu dia!" berseru Kucing Ireng demi dilihatnya 

sebuah bayangan berkelebat dari pepohonan. Serentak 

ketiga orang itu segera berkelebat memburu. "Jangan 

lari!"

"Aku tidak akan lari. Ini untuk kalian!" berkata 

lelaki yang mereka kejar. Tangan lelaki itu bergerak 

cepat, dan bertaburanlah selarik sinar putih memburu 

ke arah ketiga pengejarnya.

"Awas racun!" memekik Kucing Ireng mengin-

gatkan pada kedua temannya yang dengan segera ber-

gerak mengelak. Mendengar suara ribut-ribut, Bupati 

Brebes segera bangun. Serta merta ia keluar dari ka-

marnya menuju ke luar.

"Ada apa, Kebo Lanang?"

"Ampun Kanjeng Bupati. Ada maling masuk."

"Maling?" bertanya Bupati Brebes seperti tak 

percaya.

"Benar, Kanjeng. Itu dia!" berseru Kucing Ireng 

seraya kembali melompat memburu diikuti oleh kedua 

rekannya. "Jangan lari, Bangsat!"

"Aku tidak lari. Aku di sini."

Terbelalak ketiganya, manakala melihat ke be-

lakang. Tampak oleh mereka bupati tengah meregang 

nyawa. Karena sangking terkejutnya hingga ketiganya 

seketika memekik. "Kanjeng Bupati!"

"Iblis! Kau telah membunuh kanjeng Bupati.


Maka kau pun harus mati pula, hiat...!" Kucing Ireng 

yang terkenal gesit dan cekatan dengan segera berke-

lebat menyerang. Namun seperti tak memandang sebe-

lah mata pun, lelaki itu tertawa bergelak. Dikibaskan 

tangannya, dan dari tangannya seketika berhamburan 

selarik sinar putih menderu ke arah mereka. Ketiganya 

sesaat tersentak, lalu dengan berjumpalitan ketiganya 

mengelak.

Belum juga ketiganya dapat tenang, tiba-tiba le-

laki itu telah menyerang mereka kembali. Dari tangan 

lelaki itu keluar cahaya merah menyala. Semakin lama 

semakin besar cahaya itu, membentuk sebuah larikan 

sinar.

Sinar yang ternyata dari ujung keris berkiblat 

ke arah mereka. Ketiganya berusaha mengelak, namun 

tak urung salah seorang terkena juga. Dua orang lain-

nya seketika melototkan mata, manakala melihat apa 

yang terjadi. Tubuh temannya seketika meregang nya-

wa dengan tubuh kering bagai tak berdarah. Belum hi-

lang kekagetan mereka berdua, kembali selarik sinar 

berkelebat mengarah ke arahnya. Tanpa ampun lagi, 

keduanya terhantam oleh larikan sinar merah itu. Se-

perti temannya yang pertama, keduanya pun mati 

dengan tubuh mongering bagai tak berdarah.

"Hua, ha, ha...! Kini akulah yang berkuasa. 

Akulah pimpinan dunia persilatan!" berkata lelaki itu 

yang ternyata Cipta Angkara dengan sombongnya. Lalu 

dengan masih meninggalkan tawa, Cipta Angkara sege-

ra berkelebat pergi.

Sejak kepemimpinan Singa Putih yang berganti 

nama dengan Persekutuan Iblis berada di tangan Cipta 

Angkara, sepak terjangnya makin mengganas.

Mereka merampok, memperkosa, menteror,


bahkan tidak segan-segan membunuh. Hal itu menja-

dikan tokoh-tokoh persilatan dari golongan lurus di-

buat bingung. Betapa tidak! Mereka selalu menteror 

para tokoh persilatan. Bila para tokoh itu menolak, 

maka kematianlah yang didapatkan. Tapi bila mereka 

menerima, niscaya mereka akan menjadi pengikutnya.

"Aku jadi tak habis pikir," berkata Ki Rami Wi-

laba pada saat diadakan pertemuan antar tokoh persi-

latan.

"Apakah Ki Rami bimbang?"

"Tidak, Adipati. Aku bukan bimbang atau takut. 

Namun aku bertanya dalam hatiku, apa maksud me-

reka sebenarnya."

"Jelas mereka bermaksud membuat kita was-

was, Ki Ranu," menjawab Raka Jengger.

"Apakah tak ada yang dapat menandingi pimpi-

nan Persekutuan Iblis? Apakah telah begitu lemahnya 

ilmu-ilmu yang kita miliki?" kembali Ki Ranu bertanya, 

menjadikan kesemua yang hadir terdiam.

"Telah banyak korban berjatuhan dari tokoh-

tokoh persilatan. Telah menderita rakyat kecil yang tak 

berdosa. Ah, apakah dunia akan benar-benar kiamat?"

"Jangan putus asa, Ki Ranu."

Tengah mereka dalam kebimbingan, terdengar 

suara tanpa rupa berkata. Seketika semua yang hadir 

terperanjat dan serta merta menengok ke asal suara 

itu. Tampak kini seorang lelaki muda berdiri dengan 

angkuhnya menghadap mereka.

"Siapa kau, Anak muda?" bertanya Ki Ranu 

yang dijawab oleh pemuda itu dengan tersenyum sinis 

sembari menjawab.

"Akulah Cipta Angkara penguasa Dunia Persila-

tan." 

"Iblis! Rupanya kaulah orangnya?"


"Benar, Kirana. Akulah orang yang kalian cari."

"Mau apa kau datang ke mari?"

"Seperti pada tokoh-tokoh persilatan yang lain, 

aku datang untuk satu tujuan. Kalian mengerti tujua-

nku?" bertanya Cipta Angkara dengan sombongnya. 

Matanya memandang tajam pada kesepuluh tokoh 

persilatan yang hadir di situ. "Kalian boleh milih. Ikut 

menggabung denganku, atau mati."

"Lebih baik kami mati, Iblis!" menjawab Raka.

"Bagus! Siapa lagi yang ingin mati?"

"Kami semua!" menjawab serentak kesembilan 

orang lainnya.

"Hua, ha, ha.... Bagus! Rupanya kalian memang 

pantas untuk mati. Nah, bersiaplah!"

Habis berkata begitu, serta merta Cipta Angka-

ra segera berkelebat menyerang kesepuluh tokoh persi-

latan. Kesepuluh tokoh persilatan tak mau tinggal di-

am. Mereka dengan segera berkelit, lalu dengan berba-

reng kesepuluh orang itu menyerang balik. Terkejut 

Cipta Angkara bersamaan. Dengan berjumpalitan, Cip-

ta Angkara segera menghindari. 

"Jangan lari, Iblis!"

"Aku tidak lari, Ki Ranu. Aku menunggu kalian 

di luar!"

Mendengar jawaban Cipta Angkara, segera ke-

sepuluh tokoh persilatan berhamburan ke luar. Mere-

ka segera kembali mengepung Cipta Angkara yang 

tampak masih tersenyum-senyum.

"Nah, bukankah di sini lebih leluasa? Buatlah 

lobang untuk kalian sendiri!"

"Sombong! Jangan kira semudah kau bicara, 

Anak muda!"

"Baik! Kalau kalian tak mau membuat lubang 

untuk kalian, maka akulah yang akan membikinkan.


Lihat...!" dikiblatkan keris Kyai Sangkar sepuluh kali. 

Maka dalam sesaat, lobang pun telah menganga di ha-

dapan mereka.

Tersentak kesepuluh tokoh persilatan melihat 

hal itu. Sampai-sampai kesepuluhnya melompat mun-

dur. Mata mereka tajam mengawasi segala gerak-gerik 

Cipta Angkara.

"Terlalu banyak kau membuat, Iblis! Semes-

tinya hanya satu lobang, yaitu untukmu sendiri," ber-

kata Raka, bagaikan tak gentar sedikitpun melihat hal 

itu.

"Hem, kita buktikan saja. Mari kita mulai, 

hiat...!"

Melihat Cipta Angkara menyerang dengan keris 

Kyai Sangkar di tangannya. Maka dengan segera kese-

puluh tokoh persilatanpun tak malu-malu lagi bareng 

mengeroyok. Mereka tahu, apa pun yang terjadi mere-

ka harus mampu melepaskan keris pusaka itu dari 

tangan Cipta Angkara.

Pertarungan satu melawan sepuluh telah terja-

di. Walau dikeroyok oleh tokoh-tokoh persilatan, na-

mun tampaknya Cipta Angkara tak gentar. Gerakan-

nya gesit dan lincah. Keris Kyai Sangkar makin me-

nambah nafsunya untuk membunuh.

Larikan-larikan sinar yang keluar dari keris 

Kyai Sangkar terus memburu kesepuluh musuhnya, 

menjadikan mereka harus berjumpalitan mengelakkan

serangan itu.

Jurus demi jurus mereka lalui dengan cepat-

nya. Tak terasa telah mencapai puluhan jurus. Ketika 

hendak menuju ke jurus enam puluh, di mana para 

tokoh persilatan agak keteter. Tiba-tiba berkelebat se-

sosok bayangan yang menghadang serangan Cipta 

Angkara. Bayangan itu yang tak lain Jaka Ndableg,



dengan segera menangkis larikan sinar merah dengan 

tombak Inti Jagad. Seketika larikan merah itu, mental 

berbalik menyerang Cipta Angkara.

Tersentak Cipta Angkara melihat kenyataan 

yang terjadi. Matanya menatap lekat pada tombak yang 

berada di tangan Jaka. Setelah pasti bahwa tongkat di 

tangan Jaka memang Inti Jagad adanya, Cipta Angka-

ra membentak. 

"Siapa kau!"

"Aku.... Aku adalah Jaka Ndableg. Karena sifat-

nya yang kata orang-orang agak sinting, mereka me-

manggilku dengan nama Jaka Ndableg."

Tersentak Cipta Angkara demi mendengar na-

ma pemuda di hadapannya. Seketika ia menyusut 

mundur. Lalu dengan tanpa diduga oleh Jaka, dia se-

gera berkelebat pergi.

"Siapa dia adanya, Ki Sanak?" bertanya Jaka 

pada para tokoh pendekar setelah kepergian Cipta 

Angkara.

"Kenapa anak muda tidak membunuhnya seka-

lian?" balik bertanya Ki Ranu, menjadikan Jaka terbe-

lalak tak mengerti seraya kembali bertanya.

"Apa maksudmu, Ki?"

"Kalau benar anak adalah Jaka Ndableg 

adanya, maka anak adalah seorang tokoh pendekar 

muda pembela kebenaran."

"Hai, kau menyindirku, Ki?"

"Aku tak bermaksud menyindirmu, Pendekar. 

Tapi ketahuilah, bahwa pemuda tadi adalah tokoh 

yang kini telah menteror persilatan. Dialah yang ber-

nama Cipta Angkara, pemimpin Persekutuan Iblis."

"Apa? Jadi...."

"Ya, dialah orangnya."

"Kalau begitu, aku harus mengejarnya." Tanpa


mengucap salam sedikitpun, Jaka Ndableg segera me-

lesat pergi meninggalkan kesepuluh tokoh persilatan. 

Terheran-heran kesepuluh tokoh persilatan melihat 

tingkah Jaka. Saking herannya hingga mereka sampai 

menggeleng-gelengkan kepala,

"Sungguh pendekar aneh. Kendablegannya, 

menjadikannya seperti orang kebanyakan. Namun il-

munya, oh.... Sungguh tiada taranya," bergumam Ki 

Ranu, sepertinya pada diri sendiri.

"Benar, Ki Ranu. Walaupun dia ndableg, na-

mun ilmunya tak terjangkau oleh tangan, tak terjajagi 

oleh kaki. Kita yang tua-tua, seperti tak ada artinya bi-

la dibanding dengannya," menambahkan Ki Buyung 

Lemah Abang. "Apakah kita hanya tinggal diam?"

"Tidak, Ki Buyung. Hari ini juga, kita segera 

bergerak."

"Maksudmu, Ki Ranu?" bertanya Raka belum 

mengerti.

"Kita segera bergerak membantu pendekar mu-

da itu."

"Itulah yang paling tepat, Ki Ranu," kata Ki 

Gandrek.

Malam itu juga, kesepuluh tokoh persilatanpun 

segera mengatur rencana. Dan malam itu juga kesepu-

luh tokoh itu segera berangkat menuju pusat Perseku-

tuan Iblis.

***

ENAM



"Tolong.... Tolong...!"


Terdengar jeritan memecah malam buta.

Penduduk desa Bojong seketika tersentak dari 

tidurnya, demi mendengar suara jeritan itu. Serta mer-

ta mereka berlarian keluar. Dibunyikan kentongan 

tanda bahaya. Mendengar bunyi kentongan itu, seketi-

ka penduduk yang lainpun segera berdatangan keluar.

"Ada apakah?"

"Ada perampokan," menjawab yang ditanya.

"Perampokan?" 

"Di mana...?" 

"Di sana."

Seketika semua penduduk berlari menuju ke 

arah yang ditunjuk oleh peronda tadi. Memang benar 

bahwa di tempat itu tengah terjadi perampokan.

"Tangkap rampok itu! Ayo...!" seru seorang lela-

ki yang menjadi kepala desa. Bojong. "Ayo, ayo.... 

Tangkap rampok itu...!"

Dengan senjata apa adanya, semua penduduk 

segera menyerbu pada kelima rampok. Kelima rampok 

yang ternyata Iblis Penghisap Darah sepertinya tak 

gentar. Dihadapinya serbuan penduduk dengan balik 

menyerang.

Seketika jerit kematian pun melengking, makin 

membuat keheningan malam itu pecah. Setiap babatan 

golok kelima Iblis Penghisap Darah selalu memakan 

korban.

"Menyerahlah kalian dan pulang ke rumah 

masing-masing. Ayo, cepat!" membentak Lower semba-

ri membabatkan goloknya. Kembali terdengar pekikkan 

kematian, manakala golok Lower membabat putus leh-

er penyerangnya.

Namun bagaikan tak ada rasa takut, penduduk 

desa Bojong terus menyerang. Walau korban makin 

banyak berjatuhan, tapi yang masih hidup terus beru


saha melawan.

"Jangan biarkan rampok-rampok biadab itu 

kabur. Serang...!"

Kembali berteriak pimpinan desa Bojong mem-

beri semangat. Hal itu menjadikan semangat pendu-

duk makin membara. Dengan penuh keberanian, se-

mua penduduk kembali menyerbu. Kembali terdengar 

jerit kematian manakala golok kelima iblis berkelebat.

"Rupanya kalian ingin mati. Hiat...!"

"Kalianlah yang mencari mati, Garong biadab!"

"Adik-adik, jangan biarkan segelintir dari mere-

ka hidup. Bunuh semua!" berseru Lower memberi pe-

rintah. Maka dengan tanpa mengenal rasa kasihan, go-

lok mereka terus mencari korban.

Pekikkan-pekikkan kembali menggema bersa-

ma dengan makin larutnya malam. Para wanita berla-

rian, mencari keselamatan. Desa Bojong bagaikan di-

aduk, dibakar oleh hiruk pikuk wanita mencari sela-

mat. Manakala kecamuk perang makin mengganas, ti-

ba-tiba terdengar suara seseorang berkata.

"Hai.... Ternyata kunyuk-kunyuk ini berada di 

sini!"

Tersentak semua orang yang tengah bertarung 

demi mendengar seruan itu. Seketika semua menghen-

tikan pertempuran, memandangkan matanya pada 

seorang pemuda yang tiba-tiba telah berdiri di tengah-

tengah ajang pertarungan.

"Bujur buset, rupanya kalian masih belum sa-

dar."

"Diam kau, Anak gendeng! Jangan ikut campur 

urusan kami," membentak Lower, manakala tahu siapa 

orang yang telah berdiri di hadapannya. Pemuda itu 

yang tak lain Jaka Ndableg cuma tersenyum.

"Gila.... Eh, kapankah aku gila? Atau barangka

li kalian sendiri yang gila?"

"Edan...! Percuma kita ladeni omongannya yang 

ngelantur. Serang...!"

Mendengar seruan Lower, seketika keempat Ib-

lis Penghisap Darah serentak menyerang Jaka. Golok 

di tangan mereka berkelebat, membabat dan menusuk 

tubuh Jaka. Diserang begitu rupa, tidak menjadikan 

Jaka keder. Malah dengan garuk-garuk kepala dan se-

kali-kali mendekap pantatnya Jaka terus berkelit 

menghindar.

Melihat tingkah laku Jaka, seketika makin ma-

rah saja Kelima Iblis Penghisap Darah. Salah seorang 

dari kelimanya bermaksud menendang pantat Jaka 

yang nungging. Namun dengan segera, Jaka lenting-

kan tubuhnya ke udara, dan...!

"Duuutttt...!"

Dari pantat Jaka terdengar suara gas beracun 

mengepul, menjadikan orang yang hendak menen-

dangnya segera menghindar. Bau dari gas itu begitu 

menyesakkan.

"Bangsat! Kau berani mengentuti aku!" 

"Heh, bukankah kau yang meminta?"

"Edan! Kucincang kau!" Dengan segera dite-

baskan golok ke arah Jaka yang secepat itu pula men-

gelit.

"Ampun, Oom. Jangan.... Jangan dicincang, 

Oom!"

"Bedebah! Dasar edan!" kembali orang itu te-

baskan golok.

Jaka tersentak seketika, kala golok orang itu 

lewat dua inci di sampingnya.

Namun dengan gaya seekor monyet, Jaka 

menggeliat dengan cepat. Dilentingkannya kembali tu-

buhnya ke udara, lalu dengan segera tanpa dapat di


elakkan Jaka telah menjitak kepala musuhnya.

"Ampuun...!" memekik orang itu dengan darah 

mengucur dari kepalanya. Sesaat orang itu menggele-

par-gelepar, lalu ambruk dengan nyawa hijrah ke ak-

herat.

Terbelalak keempat Iblis Penghisap Darah lain-

nya demi melihat temannya telah pergi meninggalkan 

alam fana. Mata keempatnya melotot seketika, me-

mandang pada Jaka yang masih tersenyum-senyum.

"Kenapa dengan temanmu itu, Sobat?"

"Monyet! Jangan kau berlagak bodoh! Kau ha-

rus menebus nyawa seorang temanku!" membentak 

Lower selaku paling tua.

Hah.... Kapan aku menggadu pada kalian?"

"Bedebah! Kau masih banyak bacot, Sinting!"

Diterjangnya Jaka dengan penuh amarah. Me-

lihat musuhnya telah menerjang, Jaka dengan segera 

mengegoskan tubuh menghindar sembari berseru.

"Ampun Oom, Jangan mengeroyok...."

"Sundel! Masih saja kau berteriak-teriak kaya 

orang tak waras!"

"Aduh.... Dia galak, Mak. Tolong Jaka, Mak...!"

Jaka segera melentingkan tubuhnya ke udara, 

berputar-putar sesaat bagai main akrobat. Jaka bagai-

kan orang menari, melenggak-lenggokkan tangannya. 

Mulutnya tersenyum, lalu dengan segera dimoyongkan.

Tak dapat lagi kemarahan keempat Iblis Peng-

hisap Darah terbendung melihat tingkah laku Jaka 

yang seperti orang gila. Bukan hanya keempat Iblis 

Penghisap Darah saja yang melototkan mata. Namun 

seluruh penduduk pun turut terdiam, takjub melihat 

ilmu silat yang dipakai Jaka.

Belum juga keempat Iblis Penghisap Darah sa-

dar dari bengongnya, tiba-tiba Jaka menyemburkan

ludahnya ke arah mereka. "Ini untuk kalian.... Cuih!"

Keempat Iblis Penghisap Darah berusaha 

menghindar. Namun semburan ludah Jaka lebih cepat 

melaju dan langsung mengenai mata mereka. Seketika 

itu mata mereka terasa perih, hingga mereka tak dapat 

melihat lagi.

Ketika keempat orang musuhnya belum dapat 

mengendalikan diri. Jaka yang memang ndableg den-

gan cepat bergerak, Dipetiknya setangkai daun yang 

terdapat semut rangrang, lalu disemprotkan pada tu-

buh keempat Iblis Penghisap Darah. Semut-semut 

rangrang yang terjaga dari tidurnya, seketika beraksi. 

Digigitnya tubuh keempat Iblis Penghisap Darah yang 

seketika meraung-raung, menggaruk-garuk tubuhnya 

karena gatal. Saking banyaknya semut di tubuh mere-

ka, mau tak mau segera melepaskan pakaian. Melihat 

keempat iblis Penghisap Darah telanjang dengan 

menggaruk-garuk tubuh, tertawalah seluruh pendu-

duk yang berada di situ.

"Lihat saudara-saudara semua, bukankah me-

reka persis monyet-monyet yang kebanyakan kutu?" 

berkata Jaka menjadikan semuanya tertawa. "Nah, 

bukankah dengan cara ini saudara-saudara mudah 

menangkap mereka? Tangkap mereka dan berikan pa-

da mereka tai kebo."

Mendengar ucapan Jaka, seketika keempat Iblis 

Penghisap Darah yang sudah tak berdaya segera ja-

tuhkan diri bersimpuh. Tubuh mereka menggigil keta-

kutan, dengan keringat dingin membasahi kening.

"Ampun, jangan beri kami tai kebo, Tuan," me-

rengek Lower.

"Benar, Tuan. Kami tak akan mengulangi per-

buatan ini lagi," berkata yang lainnya.

"Ah, kenapa kalian seperti anak kecil? Baru


disuruh makan tai Kebo, kalian sudah panas dingin 

kayak orang cacingan. Saudara-saudara, beri mereka 

kalajengking."

Makin menjadi-jadi rasa takut keempat Iblis 

Penghisap Darah mendengar ucapan Jaka yang meme-

rintahkan pada semua penduduk. Beberapa penduduk 

yang memang sudah kesal dengan mereka, segera 

menjalankan tugasnya. Mereka segera mencari tai Ke-

bo dan Kalajengking.

Melotot mata keempat Iblis Penghisap Darah, 

manakala melihat apa yang dibawa oleh sebagian pen-

duduk. Sebagian penduduk itu, membawa tai Kebo 

dan Kalajengking.

"Ini, Tuan Pendekar," berkata pimpinan desa 

menyerahkan apa yang diperintahkan oleh Jaka. Den-

gan segera Jaka menerima, lalu bergegas menghampiri 

keempat Iblis Penghisap Darah.

"Nah, ini makanan kalian, makanlah."

Seketika keempat Iblis Penghisap Darah melo-

totkan mata dengan mulut menganga. Wajah mereka 

pucat pasi dengan mata membeliak seperti menahan 

sesuatu. Yang lebih membuat semua tertawa, dari arah 

bawah mereka mengucur air dengan derasnya. Keem-

pat Iblis Penghisap Darah ternyata ngompol saking ta-

kutnya.

"Wao, kenapa kalian ngompol seperti anak ke-

cil? Apakah kalian memang ingat masa balita kalian?"

"Ampun, Tuan pendekar. Jangan suruh kami 

makan itu," berkata mereka hampir bersamaan. Tubuh 

mereka semakin gemetaran dan ngejuprak menduduki 

bekas ompolan mereka.

Melihat musuh-musuhnya telah ketakutan, Ja-

ka yang ndableg bukannya menghentikan tingkahnya. 

Malah dengan segera dibukanya bungkusan yang beri


si kotoran kerbau dan disodorkan pada keempatnya. 

Keempat Iblis Penghisap Darah nampak makin ketaku-

tan, menatap Jaka dengan mengiba. Namun Jaka 

tampak tak perduli, dibukanya bungkusan yang lain.

Membelalak mata keempatnya melihat apa isi 

bungkusan itu. Bungkusan itu, memang benar-benar 

berisi Kalajengking besar-besar.

"Ini untuk lauk kalian!" berkata Jaka seraya 

menyodorkan bungkusan di tangannya pada mereka, 

yang seketika itu langsung lari terbirit-birit dengan pa-

kaian lepas dari tubuh mereka. Hal itu menjadikan lari 

mereka tak dapat cepat hingga dengan mudahnya 

penduduk desa Bojong menangkap mereka.

"Heh, Firasatku tidak enak. Ada apakah geran-

gan di pesanggarahan?" berkata Jaka pada diri sendiri. 

Dengan segera sebelum para penduduk kembali da-

tang, Jaka berkelebat pergi meninggalkan desa Bojong.

Penduduk yang telah kembali membekuk 

keempat Iblis Penghisap Darah, bermaksud menyerah-

kannya kembali pada Jaka. Namun seketika semuanya 

terbengong, manakala tak ditemukannya Jaka di tem-

patnya.

"Ke mana pendekar muda itu?" bertanya ketua 

desa.

"Ya, ke mana pendekar muda itu?" bertanya 

yang lain.

"Jangan-jangan dia siluman, Ketua."

"Ah, sudahlah jangan pikiran lagi. Ayo, kita ba-

wa maling-maling ini ke kantor."

Dengan diiringi semua penduduk kampung 

yang sekali-kali memukul, keempat maling itu digiring 

menuju ke kantor tetua desa. Hening kembali malam 

itu, seperti tercekam kebisuan.


* * *

"Bunuh garong itu...!" 

"Cincang!"

"Puntungkan saja kedua tangan mereka!"

"Coplok kedua mata mereka!"

Terdengar suara jeritan kekesalan penduduk 

desa Bojong, manakala mereka melihat keempat ga-

rong itu. Pentungan, tendangan, hantaman sebagai pe-

lampiasan kekesalan warga, menjadikan keempat Iblis 

Penghisap Darah menjerit-jerit. Tubuh mereka memar 

dengan luka-luka. Mata mereka yang dulu liar, kini 

sayu bagai tak ada gairah hidup.

Keempatnya kini digiring ke kantor tetua desa, 

dengan terlebih dahulu mengitari desa Bojong. Tak 

henti-hentinya siksaan melanda keempat Iblis Penghi-

sap Darah hingga karena terlalu parah, satu persatu 

dari mereka mati dengan tubuh berlumuran darah.

"Mereka telah mati," berkata tetua desa.

"Buang saja mayat mereka," mengusulkan war-

ganya.

"Jangan!"

"Kenapa, Tetua?"

"Sebagai orang beragama, sepatutnya kita men-

gurus jenazahnya."

Malam itu juga, dengan diterangi sinar bulan

mereka bekerja menggali kubur. Dan malam itu juga, 

tubuh keempat Iblis Penghisap Darah dikuburkan.

***

TUJUH



Terbelalak mata Jaka demi melihat apa yang

terjadi di pesanggarahan yang kemarin dibuatnya. Tu-

buh-tubuh tanpa nyawa, bergelimpangan memenuhi 

halaman pesanggarahan.

"Cantrik...! Heh, mereka telah mati. Di mana 

Ratih...?"

Segera Jaka berkelebat masuk ke dalam. Ma-

tanya liar memandang ke segenap penjuru, mencari 

Ratih. Di balai-balai Jaka tak menemukannya. Dengan 

segera Jaka kembali berkelebat masuk. Langkahnya 

begitu ringan hingga tak terdengar tapak kakinya.

Perlahan, dibukanya pintu kamar. Melotot mata 

Jaka tak percaya demi melihat tubuh Ratih tersender 

di bilik dengan keadaan yang menyedihkan. Tubuhnya 

tak tertutup sehelai benang pun dan dari mulutnya 

menetes darah yang hampir mengering.

"Ratih, Adikku...!"

Dihampirinya tubuh Ratih, lalu dengan penuh 

kasih sebagai seorang kakak digendongnya tubuh Ra-

tih keluar. Dibaringkannya di atas dipan. Bergegas Ja-

ka mencari air, lalu diminumkan pada Ratih. Sesaat 

Ratih menggeliat dan perlahan membuka matanya. Da-

ri mulutnya yang mungil dengan bibir memucat, ter-

dengar suara lemah berkata.

"Kakang Jaka...."

"Ya, Adikku."

"Dia, dia, telah datang ke mari. Dia, dia telah 

membuat semuanya."

"Maksudmu, Adikku?" bertanya Jaka tak men-

gerti.

"Kakang Jaka, aku, aku mencintaimu. Apakah 

kau mau menerima cintaku, Kakang?"

Jaka menganggukkan kepalanya.

"Aku menerima, Sayang. Katakanlah, siapa 

yang telah berbuat begini?"



Sejurus Ratih terdiam. Matanya memandang 

pada Jaka dengan penuh kasih. Tangannya yang le-

mas, bergerak menggapai tangan Jaka. Digenggamnya 

tangan Jaka erat, lalu katanya kemudian.

"Orang itu bernama Cipta Angkara. Ia mencari 

Tombak Inti Jagat. Karena ia tak menemukannya, ia 

marah. Kelima cantrik dibunuhnya, dan aku.... Oh, 

aku kakang.... Aku sudah tak ada artinya, Kakang."

Menangis Ratih tersendat, membuat Jaka iba 

melihatnya. Dengan penuh kasih, didekapnya tubuh 

Ratih. Dari mulut Jaka yang gemetar, terucap kata-

kata makian sebagai pelampias kemarahannya.

"Iblis jahanam! Akan aku hancurkan dia! Akan 

aku potong kepalanya sebagai pengganti semua ini!"

"Kakang, aku, aku... men-cin-tai-mu...."

"Ratih...!" meraung Jaka menangis, melihat Ra-

tih telah terkulai mati. Diguncang-guncangkan tubuh 

Ratih, yang tetap bisu dan diam.

"Cipta Angkara, tunggulah aku! Kau harus ber-

tanggung jawab atas semua ini!"

Bagaikan orang gila, Jaka bergerak cepat. Di-

hantamnya apa yang ada di sekelilingnya dengan ajian 

yang ia miliki. Hancur lebur seketika Pesanggrahan 

itu, terhantam pukulan Jaka yang dilandasi dengan 

ajian. Karena saking kecewa dan marahnya, sampai-

sampai Jaka lupa diri. Ajian Jamus Kalimusada yang 

sangat ganas, diumbarnya bagaikan mengumbar mai-

nan.

Dari tubuh Jaka yang telah menggunakan ajian 

Jamus Kalimusada, seketika menyala bagaikan bara 

api. Apa saja yang dipegangnya seketika terbakar.

Bergelora ombak di laut, seperti turut merasa-

kan kemarahan Jaka. Binatang-binatang hutan berse-

laweran, berlari ketakutan. Sungguh bukan sembaran


gan ajian hingga seluruh alam seperti turut merasakan 

hawa panas yang menggelegar itu. Jangankan mahluk 

nyata, siluman dan dedemit pun mengerung-gerung 

merasakan panasnya ajian itu.

Bagaikan orang gila, Jaka dengan penuh ama-

rah berlari. Ditujunya tempat di mana Cipta Angkara 

berada, yaitu perguruan Singa Putih yang sekarang 

berganti nama menjadi Persekutuan Iblis.

Di Persekutuan Iblis saat itu tengah terjadi per-

tempuran. Tokoh-tokoh persilatan yang sudah tak mau 

diteror, telah mendatangi markas Persekutuan Iblis 

langsung dipimpin oleh Cipta Angkara.

"Bunuh mereka semua, jangan biarkan seorang 

pun hidup!"

"Jangan hanya memerintah, Cipta! Turun kau 

ke laga hadapi kami!" balik membentak Ki Ranu den-

gan penuh amarah.

"Ki Ranu, aku rasa aku tak perlu turun dulu. 

Biarlah anak buahku yang akan mengganyang kalian. 

Hua, ha, ha...."

"Iblis! Kau terlalu menyepelekan kami, Hiat...!"

Ki Ranu segera berkelebat, langsung menyerang 

Cipta Angkara. Diserang begitu cepat, Cipta Angkara 

nampak seperti tak keder. Diegoskan tubuhnya ke 

samping mengelak, lalu dengan gerak tipu kakinya 

menyodok ke lambung Ki Ranu.

Terbelalak mata Ki Ranu seketika. Hampir saja 

lambungnya terhantam tendangan, kalau saja ia tidak 

segera melompat mundur. Melihat musuhnya melom-

pat, Cipta Angkara lebarkan senyum penuh ejekan.

"Percuma kau melawanku, Ki Ranu."

"Sombong! Jangan kira aku takut, Iblis!"

"Hua, ha, ha... Walau usiamu sudah bau tanah, 

namun ucapanmu masih menyengat, Ki Ranu."


"Jangan banyak omong. Ayo, kita mengadu ji-

wa."

"Hem, apa andalanmu, Ki Ranu?" bertanya Cip-

ta Angkara dengan sinis, menjadikan Ki Ranu makin 

bertambah marah. Maka dengan tanpa banyak kata, Ki 

Ramu kembali menyerang. Jurus-jurusnya makin 

tinggi dan ganas. Namun begitu, Cipta Angkara bagai 

telah mengetahui kuncinya hingga dengan mudah di-

elakkan setiap serangan Ki Ranu.

Di pihak lain, nampak anggota Persekutuan Ib-

lis keteter menghadapi amukan sembilan tokoh utama 

persilatan. Korban banyak berjatuhan, bergelimpangan 

dengan tubuh hancur. Tapi karena melihat pimpinan-

nya turun, semangat mereka bagaikan api yang terus 

menyala.

"Setan! Rupanya kalian lebih memilih mati!" 

membentak Ki Buntung. Dengan kakinya yang bun-

tung, tidak menjadikan hambatan baginya. Malah den-

gan lincah, Ki Buntung menghantamkan tongkat pe-

nyanggah kakinya menyerang. Setiap hantaman tong-

kat penyanggah Ki Buntung, seketika menjadikan pe-

kik kematian.

Makin banyak korban yang berjatuhan, makin 

seru pertempuran itu. Walau jumlah anggota Perseku-

tuan Iblis banyak, namun menghadapi tokoh-tokoh 

persilatan sia-sialah perlawanan mereka.

Pertarungan Ki Ranu dengan Cipta Angkara 

masih berlangsung. Jurus-jurus tingkat tinggi mereka 

keluarkan, namun sejauh itu tak ada tanda-tanda sia-

pa di antara keduanya bakal kalah.

"Percuma aku menguras tenaga," dengus Cipta 

Angkara dalam hati. Seketika ia melompat ke bela-

kang, lalu dengan segera dihunusnya keris Kyai Sang-

kar. Terbelalak mata Ki Ranu hingga kakinya terseret



mundur ke belakang.

"Keris Kyai Sangkar!"

"Hua, ha, ha.... Kenapa, Ki Ranu? Apakah kau 

takut?"

Ki Ranu hanya terdiam tak menjawab. Ia tahu 

kehebatan keris di tangan Cipta Angkara. Matanya te-

rus mengawasi langkah-langkah Cipta Angkara, yang 

berjalan makin mendekat ke arahnya.

"Apakah aku akan mati di tangannya?" menge-

luh Ki Ranu lirih. Keringat dingin seketika menetes de-

ras dari pelipisnya. Bayangan kematian, seketika ter-

gambar di pelupuk mata Ki Ranu yang telah tua.

Sementara itu, Cipta Angkara dengan bibir te-

rurai senyum dan dengan tangan menggenggam keris 

Kyai Sangkar terus melangkah mendekat.

"Hiat...!"

"Oh, Yang Widi. Matilah aku hari ini," mengeluh 

Ki Ranu, manakala Cipta Angkara memekik dan berke-

lebat menyerangnya.

"Matilah kau, Ki Ranu!"

Hampir saja nyawa Ki Ranu melayang saat itu, 

kalau saja tidak ada bayangan seseorang yang berke-

lebat dan menangkis keris Kyai Sangkar.

Terbelalak Cipta Angkara seraya melompat 

mundur. Tangannya terasa panas, sampai-sampai ber-

getar. Hampir saja keris Kyai Sangkar terlepas dari 

tangannya, kalau dia tidak segera menarik mundur se-

rangan.

"Siapa, Kau!"

"Monyet! Rupanya inikah iblis yang telah mem-

buat kematian kelima cantrik dan Ratih? Hem, pantas! 

Cipta Angkara, hari ini juga kau harus menebus kema-

tian kelima temanku."

"Hua, ha, ha.... Apa katamu, Gembel? Kau ingin


membunuhku? Jangan bermimpi, hua, ha, ha...."

"Sombong! Terimalah ini...!"

Bagaikan desiran angin yang cepat, Jaka den-

gan segera menghantamkan pukulan jarak jauhnya ke 

tubuh Cipta Angkara. Tersentak Cipta Angkara melihat 

hal itu, segera ia pun mengelak. Hal itu menjadikannya 

terlepas dari pukulan Jaka. Tapi akibatnya, anak 

buahnyalah yang menjadi sasaran. Hangus seketika 

tubuh beberapa anak buahnya, bagai terpanggang api.

Merasa musuhnya dapat lolos, dengan segera 

Jaka kembali hantamkan ajiannya yang kedua, yang 

diperoleh dari gurunya Ki Darsa. "Ajian Petir Sewu." 

dari tangan Jaka, seketika berkilat-kilat sinar kuning 

kemerahan. Bersamaan dengan kilatan itu, terdengar 

ledakan-ledakan dahsyat menggelegar-gelegar. Hal itu 

menjadikan gendang telinga musuhnya bagaikan ham-

pir pecah. Namun yang lebih bahaya lagi, adalah kila-

tan-kilatannya. Apabila kilatan itu menghantam tu-

buh, niscaya akan hancur tubuh orang tersebut.

Melihat Jaka mengkiblatkan serangannya ke 

arah dirinya, dengan segera Cipta Angkara yang ter-

cengang melihat ilmu itu tersentak dan berusaha men-

gelak. Namun rupanya kecepatan serangan Jaka lebih 

cepat dibandingkan elakannya. Tak ampun lagi, kila-

tan petir yang mengandung hawa panas jutaan Watt 

menghantam tubuh Cipta Angkara.

Seketika tubuh Cipta Angkara hancur berkep-

ing-keping. Namun betapa tersentak semua yang ada 

di situ, manakala dilihatnya keganjilan pada kepingan 

tubuh Cipta Angkara. Kepingan-kepingan tubuh Cipta, 

bergerak-gerak dan kembali menyatu membentuk ja-

sad semula.

Membelalak mata Jaka, tak percaya pada apa 

yang dilihatnya.


"Hua, ha, ha.... Keluarkan semua ajianmu, 

Anak muda!" berkata Cipta Angkara dengan sombong-

nya, merasa dirinya tak mempan dengan ajian Petir 

Sewu.

"Iblis! Jangan kau bangga dulu, terimalah ini!"

Jaka segera melompat, berkelebat bagaikan 

terbang. Tangannya yang telah disaluri ajian Tapak 

Prahara, membara bagaikan bara api. Melihat Jaka 

Ndableg telah berkelebat hendak menyerangnya, Cipta 

Angkara segera menghadang. Tangan Cipta Angkara 

menggenggam keris Kyai Sangkar, yang terjurus ke 

arah Jaka bergerak.

Jaka tersentak, segera mengurungkan niatnya 

menyerang. Ditariknya tombak Inti Jagad dan dengan 

cepat dipapaki serangan Cipta. Dua senjata pusaka itu 

beradu, menjadikan suara ledakan. Keris di tangan 

Cipta Angkara mental jauh. Dari tempat mentalnya ke-

ris, mengepul asap putih yang bergulung-gulung ke 

angkasa. Berbareng dengan itu, Tombak Inti Jagad se-

ketika terbang memburu asap itu.

Tercekam Cipta Angkara melihat kerisnya telah 

lepas dari genggaman tangannya. Namun tengah Cipta 

Angkara bimbang, terdengar bisikan yang hanya di-

dengar olehnya sendiri.

"Jangan gentar, Cipta. Aku bersamamu, lawan-

lah dia."

"Baik, Ganda Mayit."

Sejenak keduanya saling pandang, sepertinya 

mereka tengah menjajagi ilmu masing-masing. Lalu 

dengan didahului pekikkan, keduanya berkelebat me-

lompat bagaikan terbang ke udara.

"Duar...!"

Ledakan dahsyat seketika menggema, manaka-

la keduanya mengadu ilmu di udara. Keduanya terpen


tal ke belakang beberapa tombak. Dari bibir Jaka, me-

leleh darah segar. Dadanya terasa sesak, nafasnya pun 

tersendat.

Sebaliknya, Cipta Angkara bagaikan tak menga-

lami apa-apa. Ia bangkit kembali dari jatuhnya, lalu 

dengan mata beringas di hampirinya tubuh Jaka.

"Matilah aku! Oh, apakah aku benar-benar 

akan mati di sini?" mengeluh hati Jaka. Ketika Jaka 

tengah dalam kebimbingan, ia kembali teringat akan 

apa yang dipesankan oleh ayah-nya. "Akan aku coba 

dengan ini."

Sementara itu, Cipta Angkara yang telah sepe-

nuhnya digerakkan oleh Ganda Mayit makin mende-

kat. Bibirnya tersenyum sinis, lalu dengan congkaknya 

berkata.

"Anak muda, hari inilah akhir hidupmu. Tak 

akan ada lagi Pendekar Pedang Siluman, tapi akulah.... 

Aku Cipta Angkara. Bersiaplah untuk mati, Anak mu-

da!" 

Hampir saja tangan Cipta Angkara mengakhiri 

hidup Jaka Ndableg, manakala tiba-tiba sesosok 

bayangan berkelebat menghadangnya. Tersentak mun-

dur Cipta Angkara, demi mengetahui siapa bayangan 

itu sebenarnya.

"Guru...!"

Bayangan itu hanya tersenyum sinis meman-

dang pada Cipta, lalu dengan suara parau, Brahmana 

Loka berkata. "Ingat kata-kataku sebelum aku ajal, 

Cipta? Kau akan mati dengan tubuh hancur.... Tubuh 

hancur!"

Melihat Cipta Angkara menyusut mundur, ke-

sempatan ini tidak disia-siakan oleh Jaka. Dengan se-

gera, Jaka merapalkan apa yang telah diajarkan oleh 

ayahnya.


"Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!"

Seketika itu, di tangan Jaka Ndableg telah ter-

genggam sebilah pedang yang memancarkan sinar 

kuning kemerahan. Dari ujung menetes darah memba-

sahi batang pedang.

Tersentak Cipta Angkara melihat pedang yang 

tiba-tiba telah berada di tangan Jaka.

"Hem, inilah Pedang Siluman Darah? Oh, guru 

ampunilah aku...."

Belum habis ucapan Cipta, tiba-tiba Jaka telah 

membabatkan pedangnya ke tubuh Cipta Angkara. Se-

ketika tubuh Cipta terpotong menjadi dua dengan da-

rah yang telah mengering. Dari tubuh Cipta Angkara 

yang telah mati, keluar asap hitam bergulung. Asap itu 

makin besar dan besar, lalu berubah ujud menjadi Si-

luman Kerta Ganda Mayit.

"Rupanya kau, Siluman! Hiat...!" Kembali Jaka 

berkelebat, ditebaskan Pedang Siluman Darah ke arah 

Kerta Ganda Mayit. Kerta Ganda Mayit melolong pan-

jang. Itulah kehebatan Pedang Siluman Darah. Jan-

gankan manusia, silumanpun akan mati bila tertebas 

oleh pedang tersebut.

"Hem, rupanya siluman itu telah mati," berkata 

Jaka dalam hati.

Ketika para tokoh persilatan yang telah me-

nundukan anggota Persekutuan Iblis pada berdatan-

gan ke arahnya, Pedang Siluman Darah telah hilang 

dengan sendirinya.

"Jadi, kaukah pendekar Pedang Siluman Da-

rah, Anak muda?"

"Begitulah, Ki," menjawab Jaka hormat, mana-

kala mendengar pertanyaan Ki Ranu yang seketika 

membelalakkan mata. Begitu juga dengan yang lain-

nya, mereka tersentak kaget bercampur kagum.


Tengah semuanya terbengong saling pandang, 

tiba-tiba Jaka telah berkelebat pergi sembari mening-

galkan suara.

"Aku pergi dulu, sampai ketemu lagi. Maaf, aku 

bukannya tak menaruh hormat pada kalian. Tapi ka-

rena aku terlalu sibuk serta masih banyak urusan. Se-

lamat berjuang. Para pendekar...."

"Aneh.... Kenapa kita tak tahu kepergiannya?" 

bergumam Ki Ranu seperti pada diri sendiri. Akhirnya 

kesepuluh tokoh persilatan itu segera berkelebat pergi 

kembali ke Padepokannya masing-masing....



                                 TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar