..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 13 Desember 2024

PENDEKAR KELANA SAKTI EPISODE TAPIS LEDOK MEMBARA

PENDEKAR KELANA SAKTI EPISODE TAPIS LEDOK MEMBARA

 TAPIS LEDOK MEMBARA


Hak cipta dan Copy Right

Pada Penerbit

Dibawah Lindungan Undang-Undang

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

Serial Pendekar Kelana Sakti

Dalam Episode 001 :

Tapis Ledok Membara


SATU


Suara-suara teriak para penyabung 

ayam memekakkan telinga. Saat dua ekor 

ayam jago bertarung saling hantam. 

Sekeliling arena pertarungan yang cukup 

besar itu dipagari oleh sederetan 

batang-batang bambu yang dilapisi 

karung. Membatasi orang-orang yang 

menyaksikan pertarungan itu. Teriakan 

mereka semakin menjadi ketika seekor 

ayam jago berwarna hitam kemerahan 

menghantam lawannya. Beberapa lembar 

bulu beterbangan.... Nampak ayam yang 

terkena jalu si jago hitam bergulingan 

kelojotan, tapi ia masih bisa bertengger 

dengan kekar walaupun di bagian sayapnya 

mulai mengeluarkan darah. Bagaimana 

tidak...? Masing-masing pada kaki dua 

jaLgo itu terikat sepasang pisau kecil 

yang bukan main tajamnya. Banyak yang 

menggerutu namun lebih banyak orang yang 

kegirangan.

Diluar dugaan, ayam yang sudah 

terluka itu melompat membentangkan kedua 

sayapnya. Paruhnya yang runcing setajam 

pedang, mencocor batang leher si hitam. 

Kembali sekeliling arena itu riuh. Ada 

juga yang berjingkrak-jingkrak menyum-

pah. Kembali kedua jago itu saling 

berhadapan, dengan bulu-bulu leher 

berdiri tegang. Kedua kakinya pun mulai 

bersiap-siap menerjang.

"Breeet..


Hantaman itu beradu keras, keduanya 

berpentalan. Si Hitam nampak tegar 

beringas. Lawannya, jago berwarna putih 

bercampur abu-abu seloyongan mundur. 

Sayap kirinya memerah bercampur darah. 

Mendadak si Hitam menyerang lagi. 

Hantaman jalunya tepat mengenai punggung 

lawannya. Darah pun mengalir lagi. Si 

putih makin limbung. Langkah-langkahnya 

mulai goyah. Si Hitam yang masih garang 

melompat menghantam dengan jalu 

pisaunya. Semua orang sudah menyangka 

dan menatap ngeri. Sudah pasti leher si 

Putih bakal putus...! Tapi ini tidak! Si 

Putih Bergeserke kanan, sehingga 

serangan itu dapat dielakkannya. Bahkan 

dalam kesempatan itu si Putih berhasil 

membalas serangan itu dengan terjangan 

dua kaki. Kedua jalu pisaunya yang nampak 

berkilat terlihat jelas menghantam dada 

si Hitam.

Siapa menyangka kalau si Putih yang 

sudah terluka parah itu masih dapat 

melancarkan serangan balasan demikian 

mantapnya. Seluruh arena itu jadi 

semakin bising. Para pencandu sabung 

ayam saling tuding meremehkan.

Si jago Hitam meskipun terluka di 

dadanya, ia nampak tenang. Seakan 

luka-luka di dadanya itu tidak berarti 

sama sekali. Bulu-bulu di lehernya 

meregang. Si Putih yang nampak lunglai 

mengais-ngaiskan sebelah kakinya. Di 

saat si Hitam datang menyerang, si Putih


melompat dengan disertai sabetan jalu 

pisaunya. Semua orang berhenti 

berteriak. Semua mata memandang seakan 

tidak pereaya dengan apa yang mereka 

lihat. Leher si Hitam putus! Tubuh ayam 

hitam berkelojotan, sesaat kemudian ia 

diam tak berkutik. Belasan orang 

melompati pagar karung sambil 

berjingkrak jingkrak kegirangan.

Ki Sapta Nrenggana melotot seakan 

tidak percaya. Si jago Hitam miliknya 

tewas begitu saja oleh lawannya. Ia 

menggeram sadis. Kedua telapak tangannya 

mengepal erat menimbulkan gemeretak yang 

sangat kencang.... Seorang anak muda 

masuk dalam arena persabungan itu... Ia 

memapah si Putih. Senyumnya terarah pada 

Ki Sapta Nrenggana. Anak muda itu 

berjalan mendekati Ki Sapta Nrenggana. 

Dengan senyum anak muda itu menjulurkan 

telapak tangannya. Ki Sapta Nrenggana 

melemparkan sekantung uang logaman. Lalu 

dengan kesal ia meninggalkan arena 

sabung ayam. Pemuda itu tidak perduli, ia 

pun melangkah dengan dikerubuti 

orang-orang yang menyaksikan sabung ayam 

tadi. Maksud mereka ingin minta perse-

nan. Pemuda itu mengambil separuh dari 

isi kantong yang diberikan oleh Ki Sapta 

Nrenggana. Kemudian membagikannya pada 

orang-orang itu. Kebanyakan dari mereka 

mengelu-elukan si Putih. Tentu saja 

untuk mengambil hati si pemuda.


"Wuaaah.... Hebat benar ayam aden. 

Jago Ki Sapta Nrenggana yang tak 

terkalahkan itu akhirnya tewas juga di 

tangan si Putih. Benar-benar luar 

biasa." kata Bayan, lelaki kurus tinggi 

yang selalu mengawal ke mana pemuda itu 

pergi.

"Itu namanya mujur, Mang Bayan.

Sebenarnya kita sudah kalah. Coba kau 

lihat " jawab pemuda itu sambil 

mengangkat ayam jagonya. Mang Bayan 

mengernyitkan alis.

"Nafasnya sudah kembang kempis. 

Mungkin si Putih tidak akan bertahan la-

ma. Aku yakin sampai di rumah pun tak akan 

tertolong. " kata pemuda itu lagi.

"Kalau begitu cepat-cepat saja kita 

pulang, biar bisa motong ayam" usul Mang 

Bayan. Pemuda itu pun melangkah. Mang 

Bayan ikut mengiringi di samping kanan.

"Makan ayam piaraan sendiri rasanya 

kurang enak, Mang"

"Jadi harus diapakan ayam itu, den? 

Sayang kalau mati begitu saja"

"Bagaimana kalau dikasihkan orang 

saja...?"

Keduanya nampak menjauh mening-

galkan tempat itu.

Sekantung uang tidak ada artinya 

bagi Ki Sapta Nrenggana. Kalau tadi dia 

merasa marah, bukan karena uang itu. Tapi 

soal ayam kesayangannya. Siapa yang 

menyangka jago yang selama ini tak 

terkalahkan, kini harus menerima


kematian dengan kepala yang terpisah. 

Belum pernah ada kejadian seperti 

itu.... Itu yang membuat Ki Sapta 

Nrenggana mendongkol. Selama dalam 

perjalanannya ia berpikir, bahwa ia akan 

sekali lagi bertaruh dengan pemuda tadi. 

Dan berharap dapat membalaskan kematian 

si Hitam.

* * *

Ki Dulang Sungkar tersentak kaget di 

dalam kedainya. Ia melihat dua orang anak 

buah Ki Sapta Nrenggana datang

menghampiri. Tiga orang yang sedari tadi 

asyik menikmati hidangan di kedai Ki 

Dulang Sungkar langsung ngibrit ketika 

melihat dua orang yang baru datang. Ki 

Dulang Sungkar tetap tenang. Ia 

pura-pura menyibukkan diri membereskan 

perabotan. Setelah dua orang itu duduk 

menghadapi meja yang penuh tersedia 

makanan. Barulah Ki Dulang Sungkar 

menyambut ramah.

"Ah.... Ada tamu rupanya. Silahkan. 

Silahkan dimakan kue-kuenya. Sebentar 

akan saya buatkan kopi...."

"Tidak usah repot-repot, Ki. Kita 

langsung saja pada persoalan Ki Sapta 

Nrenggana" kata salah seorang yang duduk 

di hadapannya.

"Oh.... Soal itu.... Sa... saya 

belum membicarakannya pada Maladewi anak 

saya...."


"Apa...? Jadi kapan soal lamaran Ki 

Sapta Nrenggana bisa dibicarakan? Apa Ki 

Dulang sengaja mau mempermainkan majikan 

kami...? Jangan cari penyakit, Ki.... 

Turuti saja apa kemauan Ki Sapta 

Nrenggana...."

"Bukan begitu.... Kalian sendirikan 

tahu.... Maladewi gadis yang macam 

bagaimana? Saya sendiri sebagai orang 

tuanya sangat sukar mengaturnya.... 

Keras kepala...." kata Ki Dulang Sukar 

membohongi.

"Kami tidak perduli, Ki.... Ki Sapta 

Nrenggana pun lebih keras kepala 

lagi.... Ini keputusan yang terakhir.... 

Hari ini beliau menginginkan Maladewi... 

jelas bukan...? Mana anak gadismu.... 

Suruh dia keluar dan ikut bersama 

kami...."

"Dia tak ada di sini.... Dia...."

"Bohong...!" bentak salah seorang 

anak buah Ki Sapta Nrenggana. Telapak 

tangannya menggebrak meja.

"Jangan sampai kami bertindak 

kasar, Ki.... Kami tahu.... Kau tidak 

menyukai Ki Sapta Nrenggana. Sungguh 

bodoh...! Beliau orang terkaya di 

kampung ini, kalau Ki Dulang menerima 

lamarannya. Hidup kalian tak akan 

kekurangan semacam ini. Ayolah, Ki. Kami 

sudah cukup sabar. Suruh keluar anak 

gadismu"

"Saya mengerti.... Saya mengerti. 

Tapi Maladewi sendiri yang tidak


menyukai. Mungkin ia belum berminat 

untuk berumah tangga, jadi...." Belum 

habis Ki Dulang Sungkar bicara, salah 

seorang yang bertubuh tegap mencengkram 

kerah baju Ki Dulang.

"Mau tidak mau, Maladewi akan kami 

bawa. Itu keputusan kami!" orang itu 

bicara lantang. Ki Dulang Sungkar 

gelagapan.

Pada saat itu dari dalam kamar 

keluar seorang gadis cantik. Tentu saja 

gadis ini khawatir terhadap ayahnya, 

untuk itulah ia keluar. Apalagi ia tahu 

orang-orang bawahan Ki Sapta Nrenggana.

Melihat kemunculan gadis yang tak 

lain adalah Maladewi, kedua orang anak 

buah Ki Sapta Nrenggana melotot. Tidak 

habis-habisnya mereka memandangi gadis 

itu.

"Lepaskan ayahku.... Lepaskan...!"

Maladewi langsung melabrak orang yang 

mencengkram kerah baju ayahnya. Tapi 

orang itu malah semakin kuat 

mencengkram. S-kalipun Maladewi 

mengerahkan seluruh tenaganya.

"Kau membohongiku, Ki.... 

Jelas-jelas Maladewi ada di sini, tapi 

kau katakan tidak ada... Dularata 

pantang untuk dibohongi...." kata-kata 

itu begitu tenang. Tapi kedua tangannya 

yang kekar melempar keras tubuh Ki Dulang 

Sungkar ke luar kedai. Maladewi memekik 

melihat ayahnya bergulingan di tanah. 

Dularata menyeringai.


"Surakarma...! Bawa gadis itu...!" 

Dularata memerintahkan temannya. Orang 

yang dipanggil Surakarma menurut. Dengan 

kasar ia menarik tubuh Maladewi.

"Hari ini aku enggan membunuh. Aku 

masih menghormatimu sebagai mertua 

majikan kami..." nada bicara Dularata 

selalu tenang. Tanpa membantu Ki Dulang 

Sungkar berdiri, mereka meninggalkan 

tempat itu.

Maladewi meronta-ronta dalam 

dekapan Surakarma. Belum sempat mereka 

keluar dari pelataran kedai sesosok 

bayangan berputar di udara kemudian 

berdiri tegak di hadapan mereka. 

Dularata maupun Surakarma tidak yakin 

dengan penglihatan mereka sendiri. Di 

hadapan mereka telah berdiri sosok tua Ki 

Dulang Sungkar.

"Surakarma... Lepaskan anakku..!" 

Suara yang keluar dari mulut Ki Dulang 

Sungkar terdengar jelas. Tapi mana mau 

Surakarma melepaskan Maladewi.

"Apa kau tuli Surakarma...? Kataku 

lepaskan anakku...!" katanya lagi.

"Huh...! Baru bisa berjumpalitan di 

udara saja sudah berani menggertak.

Menyingkirlah Ki Dulang. Aku si Dularata 

tidak pernah kenal takut"

"Bagus...! Orang-orang yang pernah 

kuhadapi, rata-rata tidak mengenal rasa 

takut. Tapi orang-orang yang kuhadapi 

bukan orang-orang seperti kalian. 

Berani, Nekad, Sadis. Hanya karena mata


uang. Sungguh memalukan..." kata Ki 

Dulang Sungkar. Mendengar kata-kata itu 

Dularata melotot nanar!

"Ki Dulang Sukar...."

"Aku tahu apa yang akan kau 

tanyakan, Dularata...." belum habis 

Dularata bicara Ki Dulang Sungkar 

langsung memotong.

"Aku si tua renta Dulang Sungkar 

pernah menyandang gelar Samber Nyawa".

Mungkin kalian tidak pernah 

mendengar nama besar itu. Sekarang akan 

kutunjukkan pada kalian. Biar mata 

kalian terbuka..." Ki Dulang Sungkar 

melesat lagi. Tubuhnya melayang berputar 

hinggap di atas sebatang cabang pohon 

bergelantungan dengan kepala di bawah 

kaki di atas. Surakarma belum juga 

melepaskan Maladewi.

Dularata melompat ke atas, tinjunya 

diikutsertakan mengarah pada Ki Dulang 

Sungkar. Orang tua yang berada di atas 

pohon itu menepiskan dengan sebelah 

tangan.

"Plak...!"

Keduanya terjun ke tanah. Lengan 

Dularata terasa kesemutan. Ia 

menyeringai. Lalu memberi aba-aba pada 

Surakarma agar ikut membantu 

menyingkirkan Ki Dulang Sungkar. Maka 

setelah menghantam pingsan Maladewi, 

Surakarma merangsak menyerang. Melihat 

tindakan Surakarma, Ki Dulang Sungkar


marah bukan kepalang. Tinjunya berputar 

ke samping....

"Bweeet!"

Hampir saja mengenai bagian kepala 

Surakarma. Dularata mematahkan serangan 

itu.... Tendangannya maju menjurus

kearah perut....

"Deees!"

Cepat Ki Dulang Sungkar menangkis 

dengan lengan kanannya. benturan itu 

membuat Dularata mundur beberapa 

langkah.

Surakarma melesat ke atas. 

"Deees!"

Hantamannya tepat mengenai punggung 

Ki Dulang Sungkar. Tapi tak begitu telak. 

Ia berbalik membalas serangan tadi. 

Surakarma yang tadi melancarkan serangan 

dan belum sempat menginjak tanah, 

gelagapan menyambut serangan balasan 

itu.

"Beg!"

Tendangan ke atas Ki Dulang Sungkar 

membuat Surakarma jatuh terbanting.

Dularata maju lagi, kali ini dengan 

dua pukulan beruntun berturut-turut. 

Sayang kedua pukulan itu meleset. Karena 

saat Dularata maju menyerang, Ki Dulang 

Sungkar sudah bergeser terlebih dahulu. 

Malah Dularata sendiri yang setengah 

mati menerima serangan balik. Meskipun 

hantaman-hantaman Ki Dulang Sungkar 

dapat diatasinya, Dularata harus ber-

guling menjauh. Kemudian bangkit lagi.


Sekarang mereka menyerang berba-

reng, Dularata melancarkan tendangan, 

Surakarma nyeruduk dengan jotosan-

jotosan keras. Ki Dulang Sungkar 

menghentakkan kedua kakinya, tahu-tahu 

tubuhnya sudah melayang di udara. Maka 

kedua serangan itu terhmdar, masih dalam 

keadaan berputar di udara Ki Dulang 

Sungkar sempat menendang ke dua kakinya.

"Bug...! Bug...!"

Dularata maupun Surakarma 

bergulingan sambil memekik kesakitan. 

Hampir-hampir saja ia tidak dapat 

bangkit, karena dirasakan tulang rusuk 

mereka seperti patah.

Dengan seloyongan akhirnya mereka 

dapat bangun juga. Wajah Surakarma 

memerah menahan amarah. Dularata 

mengepal kedua telapak tangannya dengan 

geram. Ki Dulang Sungkar tetap berdiri 

tegak seolah-olah telah bersiap-siap 

menyambut serangan mereka. Kedua matanya 

nyalang menatap Dularata dan Surakarma. 

Menerima tatapan yang demikian sadis 

kedua orang ini jadi keder. Dularata maju 

selangkah.

"Baik, Samber Nyawa. Kuakui 

kekalahan ini. Tapi ingat! Ki Sapta 

Nrenggana tidak akan senang menerima 

perlakuan ini. Kami akan datang lagi 

dengan maksud yang sama...." kata 

Dularata mengancam.

"Sampaikan salamku kepada Ki Sapta 

Nrenggana. Aku tetap tidak akan menerima


lamarannya. Cuma itu! Kalau kalian mau 

datang lagi. Kapan saja akan kutunggu. 

Asalkan jangan sampai menyakiti putriku 

Maladewi...." jawab Ki Dulang Sungkar 

tenang. Dularata dan Surakarma berjalan 

mundur beberapa langkah, kemudian mereka 

berbalik meninggalkan pelataran itu.

Maladewi masih terbaring di tanah. 

Ki Dulang Sukar mendekati, lalu 

memeriksa sekujur tubuh putrinya. 

Ternyata tak apa-apa. Ia hanya pingsan 

biasa.Maka cepat-cepat Ki Dulang Sungkar 

membawanya masuk ke dalam kedai. 

Direbahkan tubuh ramping itu pada 

serjuah tempat tidur di ruang kamar. Lalu 

ia keluar lagi membereskan dagangan di 

depan. Pikirannya masih kalut, ia masih 

membayangkan peristiwa tadi.

Untung saja tidak sampai terjadi 

pertumpahan darah. Ia ingat betul nama 

besarnya sebagai si Samber Nyawa. Dan ia 

merasa ada kekurangan dalam dirinya. 

Tapi justru kekurangan itu ia sangat 

berterima kasih sekali. Karena ia tidak 

sekejam seperti pada beberapa belas 

tahun yang lalu.

Samber Nyawa bukanlah sekedar nama 

kosong. Semua partai persilatan tahu 

akan tindakan manusia yang berjuluk si 

Samber Nyawa. Pada sebelas tahun yang 

lalu Samber Nyawa tidak pernah 

membiarkan musuh-musuhnya kalah dengan 

nyawa tersisa, kecuali nama. Tokoh yang 

paling ditakuti dan disegani ini telah


berubah sama sekali. Kalau dulu ia selalu 

membunuh lawan-lawannya, kenapa 

sekarang Dularata dan Surakarma di-

biarkan pergi hidup-hidup. Apalagi 

mereka berani mengancam. Belum pernah ia 

mendapat ancaman dari musuh-musuhnya.

Mungkin dikarenakan usia yang 

semakin lanjut, sehingga setiap 

gerakannya menjadi lamban dan ragu-ragu, 

atau juga dikarenakan ia mempunyai 

seorang putri yang membuat dirinya 

berubah pikiran.

"Ki... Ki Dulang...." Seseorang 

membuyarkan lamunannya. Ki Dulang 

Sungkar tersentak.

"Wuaaah... Ngelamunin apa, Ki? 

Asyik benar? Tolong buatkan saya kopi, 

Ki! Jangan terlalu manis...." kata orang 

yang baru datang itu. Melihat tamunya 

langsung duduk, Ki Dulang Sungkar 

mengambil gelas. Ia membuatkan pesanan 

tamunya. Segelas kopi dihidangkan.

* * *

2

Warsih merasa jengkel. Sejak tadi 

putranya yang berumur lima tahun belum 

juga berhenti menangis. Sudah berbagai 

cara Warsih mendiamkan, tapi anak itu 

tetap saja terus menangis. Piring kaleng 

kecil berisikan beberapa potong singkong 

rebus tergeletak di hadapan anak itu.


Hampir saja kakinya menyambar. Warsih 

cepat-cepat memindahkannya.

"Ding, sekarang emak belum punya 

uang. Hari ini makan singkong rebus saja 

ya. Nanti kalau Bapak pulang, baru bisa 

beli beras...." bujuk Warsih. Oding 

anaknya malah menangis semakin jadi.

"Sudah dong nangisnya. Masa dari

tadi tidak mau berhenti. Cep, Ding.... 

Cep...."

Oding berhenti juga menangis. Tapi 

hidungnya masih sesenggukan. Air matanya 

meleleh. Warsih mengelus-elus rambut 

anaknya. Perasaannya juga sedih. Karena 

sudah beberapa hari ini suaminya belum 

juga pulang. Pekerjaannya memang mencari 

nafkah di kampung seberang. Suaminya ti-

dak akan pulang sebelum membawa hasil.

Warsih menyodorkan piring kaleng 

kecil pada anaknya. Oding mengambil 

sepotong singkong rebus, tapi ia tidak 

langsung memakannya. Pandangannya yang 

kosong menatap kehalaman rumah. Begitu 

juga Warsih, Ibu dan anak terdiam.

Dari kejauhan nampak dua orang 

lelaki berjalan mendekati gubuk itu. 

Seorang berperawakan kurus tinggi dan 

seorang lagi seorang pemuda tanggung 

membawa seekor ayam jago yang sudah 

kepayahan. Warsih yang melihat 

kedatangan dua orang itu langsung keluar 

dari teras gubuknya. Ia langsung 

mendekati.


"Den Wintara.... Sudah lama tidak 

kelihatan? Dari mana saja?" Warsih 

basa-basi.

"Tidak ke mana-mana, Bi. Di rumah 

saja. Kang Darman apa ada...?"

"Sudah lima hari ia tidak 

pulang-pulang, Den.... Entahlah di mana 

dia sekarang. Biasanya paling lambat 

tiga hari dia sudah pulang ke rumah...."

"Biar saja, Bi. Barangkali setelah 

dapat uang banyak baru kang Darman pu-

lang."

"Ah! Den Wintara bisa saja. Mari 

masuk den...." Warsih mengajak mereka 

masuk.

Wintara menurut. Mereka duduk di 

balai teras, sebelumnya mereka melihat 

Oding duduk di balai itu memakan singkong 

rebus. Mang Bayan mencolek pipi anak itu 

yang masih basah oleh airmata.

"Tunggu sebentar ya, Den.... Bibi 

mau ambilkan air...." Warsih beranjak, 

tapi Wintara buru-buru mencegah.

"Tidak usah, Bi.... Tidak usah 

repot-repot. Kedatangan saya ke mari 

cuma mau...." Wintara menyerahkan ayam 

jagonya yang sudah berlumuran darah. 

"Memberikan ayam ini kepada Bibi. 

Sebentar lagi ayam ini pasti mati. Sayang 

kalau tidak segera dipotong...." katanya 

lagi.

Warsih menerima ayam itu. Di luar 

pikirannya Wintara mengambil beberapa 

keping uang logam dari kantong kecil yang


didapat di tempat sabung, lalu 

menyerahkannya lagi pada Warsih.

"Ayam dan uang ini buat bibi...?" 

Warsih seakan tak pereaya.

"Iya.... Buat bibi! Buat siapa 

lagi.?" jawab Wintara cepat.

"Te-te-terima kasih, Den.

Kebetulan, Bibi sudah tak punya apa-apa 

lagi....". 

"Ah.... Saya memang sudah niat 

memberikan itu semua kepada bibi...."

"Jarang ada orang seperti Aden. Hari 

ini bibi betul-betul merasa mendapat 

rejeki yang sangat besar. Siang malam 

bibi berdoa, ternyata Tuhan masih mau 

mengabulkan. Coba saja lihat, Den. Sudah 

dua hari bibi dan Oding hanya memakan 

singkong. Itu pun masih untung, karena 

Kang Darman rajin menanam singkong di 

samping rumah...."

"Tuhan memberikan akal kepada 

manusia agar bisa dipergunakan semasa 

hidupnya.... Begitu juga mengenai 

kebaikan. Sesama manusia sudah semes-

tinya saling memberi atau saling 

menolong. Tapi menurut saya, pujian bibi 

yang terlalu berlebihan itu tidak benar. 

Pemberian ayam yang sudah hampir mati dan 

beberapa keping uang bukan berarti saya 

ini orang yang budiman. Yang jelas saya 

hanya niat. Cuma itu...."

"Tapi, Den. Bagaimana pun ini rejeki 

bibi...."


"Benar, Den...." Mang Bayan ikut 

bicara. "Semua doa bi Warsih dikabulkan 

oleh Tuhan melalui diri Den Wintara. 

Bukannya begitu, Bi...." kata Mang Bayan 

lagi.

"Hati-hati Mang, jangan terlalu 

banyak memuji. Banyak orang yang jatuh 

karena pujian...." kata Wintara tegas.

Mang Bayan nyengir. Bi Warsih 

tersipu malu.

"Ayolah, Mang.... Kalau kita di sini 

terus, kapan bi Warsih membereskan ayam 

itu?" Wintara menarik lengan baju Mang 

Bayan. Ia hanya menurut.

"Kalian mau ke mana...?" tanya 

Warsih.

"Biasa, Bi. Anak muda kalau sedang 

jatuh cinta selalu tidak sabaran...." 

Mang Bayan merajuk.

"Oh.... Memang sudah lama Den 

Wintara tidak ke kampung ini. Tentunya 

Maladewi di rumahnya sudah rindu 

setengah mati...." sahut bi Warsih. Ia 

masih berdiri memandangi kepergian 

mereka yang nampak mulai menjauh. Ia 

menggelengkan kepala. Entah karena apa.

Wintara pemuda yang gemar menyabung 

ayam itu memang bukan orang kampung situ. 

Mereka berasal dari desa Karang Hampar. 

Kedatangannya ke kampung Tapis Ledok 

selain mengadu ayam, datang ke rumah 

seorang kenalan gadisnya yang bernama 

Maladewi. Mereka memang sudah lama 

berhubungan. Bahkan dengan Ki Dulang


Sungkar, Wintara sudah saling mengenai 

baik.

Ketika mereka mulai mendekati 

sebuah kedai, langkah-langkah mereka 

semakin cepat. Nampak Ki Dulang Sungkar 

tengah melayani seorang tamu yang duduk 

nangkring di atas sebuah kursi panjang. 

Dari dalam kedai Ki Dulang Sungkar sudah 

dapat melihat kedatangan Wintara bersama 

Mang Bayan. Ia tahu betul kesukaan kedua 

orang itu. Maka sebelum mereka tiba, Ki 

Dulang Sungkar cepat-cepat membuat dua 

gelas teh manis. Begitu mereka sampai, 

Wintara langsung menyapa orang yang 

duduk menghirup kopinya.

"Wuaah.... Kang Birdun sudah lebih 

dulu ke sini rupanya...."

Orang itu langsung menoleh ke arah 

suara di sampinghya, lalu....

"Eh...! Den Wintara. Kapan datang? 

Kakang denger, Den Wintara habis menang 

taruhan. Bagi-bagi dong...."

Wintara hanya senyum. la langsung 

duduk menghadapi meja yang penuh 

tersedia rupa-rupa makanan. Mang Bayan 

mengikuti. Ki Dulang Sungkar menyuguhkan 

dua gelas teh manis.

Wintara mendelik kagum....

"Hebat.... Ki Dulang Sungkar 

benar-benar hebat. belum saya memesan 

beliau sudah dapat membaca maksud saya.

Benar-benar luar biasa...." kata Wintara 

kagum.


"Siapa bilang...." sergah Mang 

Bayan. "Ki Dulang Sungkar belum tentu 

tahu apa yang saya inginkan. Buktinya

beliau salah menyediakan. Coba dengar 

keinginan saya. Saya ingin makan dengan 

paha ayam dan pepes ikan...." kata Mang 

Bayan lagi.

Dia langsung menyambar gelas berisi 

teh manis, lalu ditenggaknya sampai 

tinggal tiga perapat. Ki Dulang Sungkar 

tersenyum, lalu...

"Kalau teh manis yang saya suguhkan 

itu salah, kenapa barusan kau 

meminumnya...?" Ki Dulang Sungkar 

protes.

"Ha... ha... ha.... Betul...! Betul 

apa yang diucapkan Ki Dulang Sungkar. 

Buktinya sebelum kau makan campur paha 

ayam, kau sudah meminum teh manis 

terlebih dahulu...." Kang Birdun ikut 

campur.

Ki Dulang Sungkar masuk ke dalam 

kamar di mana tadi ia merebahkan 

putrinya. Di ruangan itu Maladewi sudah 

siuman, bahkan sempat mendengarkan 

percakapan di luar. Kini ia tengah 

menghadapi sebuah cermin. Rambutnya 

sudah nampak rapih. Tidak seperti tadi. 

Ki Dulang Sungkar menyentuh bahu 

Maladewi.

"Temui Wintara. Dan jangan 

ceritakan persoalan tadi...." bisiknya 

perlahan. Maladewi bangkit sambil 

mengangguk meskipun ia malas keluar. Ki


Dulang Sungkar sengaja berjalan lambat 

belakangan.

Mata Maladewi langsung tertuju pada 

Wintara ketika ia sudah berada di dalam 

kedai. Wintara menunduk, sesaat kemudian 

ia membalas tatapan itu.... Maladewi 

tersenyum. Ada suatu kelainan tergambar 

dalam raut wajah Maladewi. Diperhatikan 

begitu tentu saja gadis itu merasa kikuk. 

Ia melangkah berjalan menuju ke samping

rumah.

Mang Bayan menyikut pinggang Winta-

ra. Maksudnya memberi aba-aba. Sambil 

menghela nafas Wintara beranjak dari 

bangku panjang mengikuti langkah 

Maladewi. Gadis itu sudah berdiri 

menunggu pada sebatang pohon yang 

rindang. Matanya kosong memandang 

hamparan padi yang hampir rata 

ntenguning. Ia tahu betul kalau Wintara 

sudah berdiri di belakangnya.

"Masih suka menyabung ayam...?" 

suara Maladewi halus sekali.

"Kadang-kadang. Itu pun kalau aku 

perlu hiburan. Kenapa?"

"Tidak.....Tidak apa-apa...."

"Kenapa harus kau tanyakan itu?" 

"Aku hanya khawatir. Di tempat 

semacam itu biasanya akan banyak menemui 

resiko. Dan lagi menurutku. Kau tidak 

pantas menjadi pecandu sabung ayam, 

Win...."

"Ah.... Aku akan coba-coba 

menghilangkan kebiasaan itu. Karena


sekarang aku tidak memiliki lagi seekor 

ayam pun"

"Lucu... Berhenti jadi pecandu 

sabung ayam hanya lantaran tidak 

memiliki ayam.."

"Bu..bukan itu maksudku, Dewi...? 

Bukan. Kau tahu sudah berapa lama 

hubungan kita ini..?"

Maladewi diam tidak menjawab. 

"Kenapa baru sekarang kau membicara kan 

soal sabung ayam. Dan kau pun tahu akan 

kegemaranku. Bahkan sudah sejak dari 

dulu."

"Aku tidak melarang. Aku hanya 

khawatir, Win.... Banyak kejadian yang 

sudah-sudah di arena persabungan ayam. 

Kang Tohir, Kang Nurjan, semuanya tewas

di sana...."

"Sungguh besar perhatianmu padaku, 

Dewi. Sekarang aku betul-betul baru 

merasa."

"Merasa? Merasa apa? Merasa pikun? 

Merasa bodoh?"

"Bukan.... Baru sekarang aku merasa 

memilikimu, Dewi" Kedua lengan Wintara 

melingkar di pinggang gadis itu. Mala-

dewi tidak bereaksi.

"Kalau hanya menyaksikan saja 

bagaimana? Tidak apa-apakan?" bisik 

Wintara.

"Hhh.. Sama saja!" jawab Maladewi 

cepat.

"Lantas, aku mesti bagaimana? Di 

saat-saat aku butuh hiburan. Perlu


menenangkan pikiran. Melihat sabung ayam 

saja tidak boleh. Apa aku harus datang ke 

sini berdiri mematung memandangangi 

wajahmu terus menerus. Sampai aku 

terlena. Sampai mabuk kepayang. Sampai 

mati berdiri. Sampai.. Aoooooo...!" Win-

tara memekik. Belum habis Wintara 

meneruskan kalimatnya, Maladewi 

mencubit lengan Wintara. Kemudian ia 

melepaskan diri dari dekapan Wintara. 

Cubitan itu masih terasa panas dan 

membekas di lengannya.

Aneh kenapa jantungnya yang terasa 

lebih dingin?

Hamparan padi yang menguning 

bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan 

tertiup angin. Seakan-akan menari 

mengikuti irama hembusan angin. Di 

kejauhan nampak sebuah gunung samar 

kelabu tertutup awan putih. Langit biru 

juga ikut menyemarakkan suasana cerah 

itu.

"Win.... Semalam aku bermimpi 

buruk."

"Mimpi buruk? Tentang aku?"

"Iya...!"

"Coba ceritakan!"

"Sebenarnya aku tidak percaya 

dengan arti-arti mimpi...."

"Tapi aku mau dengar, Dewi. Cerita-

kan saja...."

"Aku takut kau marah...."

"Cuma mimpi buruk. Kenapa musti 

marah"


"Janji...?"

Wintara mengangguk. Jari tangannya 

membetulkan rambut Maladewi yang 

menutupi sebelah matanya karena 

terhempas angin. Maladewi tidak berani 

menatap Wintara.

"Mimpiku buruk sekali. Rasanya 

terjadi seperti sungguhan. Aku melihat 

kau tewas oleh cakaran-cakaran Siluman 

Jahat. Siluman itu merencah-rencah

dengan taringnya yang runcing-runcing, 

sampai tubuhmu terkoyak. Lalu Siluman 

Jahat itu pergi membawa jasadmu ke alam 

lain. Ke alam gelap berbau busuk. Aku 

berlari mengikuti sambil 

berteriak-teriak. Tapi seakan-akan 

teriakanku tidak lepas keluar" Maladewi 

tidak meneruskan cerita mimpinya. 

Wintara sudah menganggapnya tuntas.

"Sekarang kau baru percaya bahwa aku 

belum dibawa oleh Siluman Jahat, kan? 

Wajar kalau hari ini kau nampak begitu 

gelisah. Sebuah mimpi memang kadang-

kadang mempunyai arti. Tapi...."

"Kata-katamu membuat diriku semakin 

takut, Win...." kata Maladewi lirih.

"Setiap orang mempunyai rasa takut. 

Tapi bukan takut terhadap arti mimpi. 

Apalagi mimpi tentang kematian 

seseorang, Rasa khawatir memang selalu 

ada. Secara kenyataan pun, kematian 

adalah suatu malapetaka yang paling 

menakutkan...." tutur Wintara.


"Ba.... bagaimana kalau kau mati 

sungguhan, Win...?"

"Pertanyaan yang sangat lucu. 

Belum-belum kau sudah menganggap diriku 

mati."

"Aku memang tidak pereaya dengan 

arti mimpi. Tapi sekarang, aku

betul-betul takut."

Wintara menatap Maladewi yang luruh 

dalam pelukannya. Keduanya terasa 

hangat.

"Seandainya aku mati, kau boleh 

kehilangan jasad dan ragaku, Dewi. Tapi 

kau tidak boleh kehilangan namaku. Juga 

kasih sayangku. Kau dengar itu...?" 

Wintara berbisik. Maladewi semakin 

menyusup dalam pelukan itu.

Mang Bayan menyantap lahap 

hidangannya. Kang Birdun melihatnya 

dengan menggeleng-gelengkan kepala. Dua 

piring nasi semunjung gunung dilahap 

dalam waktu yang sangat singkat. 

Sepiring nasi yang dihadapi Kang Birdun 

saja belum sempat habis. Tapi Mang Bayan 

sudah hampir dua piring. Ki Dulang 

Sungkar yang juga ikut melihatnya 

langsung menyodorkan segelas air. Ia 

takut kalau-kalau nanti Mang Bayan akan 

terselak.

Sebenarnya Mang Bayan sendiri sudah 

merasa keseretan. Maka ia cepat-cepat 

menyambar gelas dan langsung meneng-

gaknya sampai kering.... Ahhhhhhh....


"Hari ini Den Wintara menang banyak. 

Ia baru saja mempecundangi ayam aduan 

milik Ki Sapta Nrenggana" kata Mang Bayan 

sambih mengunyah makanannya. Bagaimana 

pun kata-kata itu jelas terdengar. Dan 

bukan main kagetnya Ki Dulang Sungkar. 

Cepat ia menyembunyikan perasaannya 

dengan pura-pura menyibukkan diri.

Tergambar lagi peristiwa tadi, 

ketika ia menghadapi Dularata dan 

Surakarma suruhan Ki Sapta Nrenggana. 

Betapa ia sakit hati dan tak dapat 

berbuat banyak. Kekalutannya muncul 

lagi.

"Kang Birdun kan tahu sendiri siapa 

Ki Sapta Nrenggana itu? Den Wintara 

berani melawannya bertaruh sekantung 

uang. Padahal Den Wintara tidak punya 

uang sebanyak itu." kata Mang Bayan lagi. 

Telinga Ki Dulang Sungkar makin panas.

"Untung saja dia yang menang.... 

Kalau kalah" Mang Bayan masih terus 

menjejali mulutnya dengan makanan.

"Pasti Den Wintara berurusan dengan 

orang-orang tuan tanah itu"

"Prang...!"

Beberapa gelas terbanting pecah tak 

sengaja oleh Ki Dulang Sungkar. Mang 

Bayan maupun Kang Birdun jadi tersentak. 

Cepat-cepat Ki Dulang Sungkar 

menenangkan suasana itu.

"Ah.... Tidak.. Tidak apa-apa! 

Gelas-gelas ini masih terlalu basah dan


licin, sehingga mudah tergelincir" Ki 

Dulang Sungkar menutupi perasaannya.

Mendengar penjelasan Ki Dulang 

Sungkar, Kang Birdun dan Mang Bayan 

kembali menyantap.

Ki Dulang Suh&kar membereskan 

pecahan-pecahan beling yang berserakan 

di tanah. Namun dalam pikirannya masih 

terbayang wajah Ki Sapta Nrenggana yang 

menyebalkan itu.

* * *

TIGA



"Tidak masuk akal! Kau cerita 

bohong, Dularata. Aku tahu betul siapa Ki 

Dulang Sungkar!" kata Ki Sapta Nrenggana 

dengan nada marah. Kalau saja hari itu Ki 

Sapta Nrenggana tidak kedatangan tamu, 

mungkin Dularata dan Surakarma sudah 

habis-habisan dicaci maki. Tamu itu 

duduk tenang di sebelahnya. Ia menatap 

Dularata dan Surakarma yang berdiri 

tertunduk.

"Orang setua itu mana mungkin memi-

liki kepandaian tinggi, aku tahu betul 

keadaannya. Apalagi ia berani mengaku 

menamakan dirinya si Samber Nyawa...."

"Saya berkata yang sesungguhnya, 

Ki. Ki Dulang Sungkar berkepandaian luar 

biasa!" Dularata meyakinkan.

"Bohong! Aku tetap tidak percaya!" 

bentak Ki Sapta Nrenggana.


"Tunggu dulu, Ki" Tiba-tiba orang 

yang duduk di sebelah Ki Sapta Nrenggana 

ikut bicara memotong. "Aku pernah dengar 

nama Samber Nyawa. Tapi itu dulu, pada. 

Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Me-

mang ada orang yang menyandang julukan 

itu. Namun ia hilang begitu saja" tutur 

tamunya.

"Kalau pun ada orang yang berjuluk 

si Samber Nyawa, yang jelas bukan Ki 

Dulang Sungkar. Aku tak yakin" Ki Sapta 

Nrenggana masih penasaran.

"Kalau benar yang kalian hadapi 

adalah si Samber Nyawa, kalian termasuk 

orang yang beruntung. Setahuku, si 

Samber Nyawa tidak pernah membiarkan 

lawan-lawannya hidup!" kata tamunya yang 

masih memandangi Dularata dan Surakarma.

"Apa yang kau ketahui tentang si 

Samber Nyawa itu, Gada Rencah?" tanya Ki 

Sapta Nrenggana menoleh pada tamunya 

yang duduk di sebelahnya.

Tamunya yang ternyata bernama Gada 

Rencah berusaha mengingat-ingat. 

Sebentar kemudian wajahnya memerah. 

Telapak tangannya mengepal erat sampai 

timbul bunyi gemeretak.

"Dia seorang tokoh legendaris 

terkenal sangat sadis dan tak kenal 

ampun...."

Dularata maupun Surakarma mendelik 

mendengar penjelasan Gada Rencah.

"Jangan khawatir.... Aku tahu betul 

rupa si Samber Nyawa. Semuanya


tergantung pada Ki Sapta Nrenggana. 

Bagaimana? Apa perlu kita buktikan 

sekarang?"

Ki Sapta Nrenggana kelabakan 

mendapat pertanyaan seperti itu. Ia 

cepat bangkit dari kursinya menghadap 

Gada Rencah.

"Jangan.. Jangan sekarang, Gada 

Rencah..Kita masih banyak waktu.. 

Lagipula kau baru saja tiba di sini, 

tentu masih merasa lelah, bukan? He... 

he... he.... Istirahat saja dulu" kata Ki 

Nrenggana pada tamunya.

Gada Rencah ikut bangkit mengikuti 

ajakan Ki Sapta Nrenggana memasuki se-

buah ruangan yang penuh berisi 

perabotan-perabotan mewah. Ternyata itu 

ruangan keluarga. Di tengahnya terdapat 

sebuah meja bundar besar dilengkapi 

dengan enam buah kursi. Di atas meja itu 

tersedia bermacam-macam makanan. 

Hidangan-hidangan yang tersedia di situ 

membuat Gada Rencah menelan air liur.

Ia langsung duduk setelah Ki Sapta 

Nrenggana mempersilahkan. Beberapa 

orang perempuan keluar melayani Gada 

Rencah. Ada yang memberikan piring, ada 

yang menuangkan arak. Ada juga yang 

memijit-mijit halus bagian punggung. 

Gada Rencah sendiri terheran-heran 

memandangi perempuan-perempuan itu.

Apalagi para perempuan itu hanya 

mengenakan kain, membungkus ketat 

tubuh-tubuh ramping mereka sampai


sebatas dada. Membuat buah dada itu 

nampak sekal menonjol ke depan. 

Perempuan-perempuan itu hanya tersenyum 

dipandangi oleh Gada Rencah.

Ki Sapta Nrenggana tertawa melihat 

tamunya merasa puas di ruangan itu.

Selama Gada Rencah menyantap makan-

an, perempuan perempuan itu belum juga 

meninggalkan mereka. Malah perempuan 

perempuan itu melayani Gada Rencah tidak 

ubahnya seperti seorang raja.

* * *

Malamnya, dalam ruangan itu 

mengalun musik tabuhan gendang. Para 

penari menari dengan lenggak-lenggok 

yang menggairahkan. Rata-rata gerakan 

mereka sama mengikuti alunan musik. 

Tamu-tamu di situ tidak banyak. Tapi 

semuanya nampak seperti para pembesar. 

Pintu terkunci rapat. Hanya 

jendela-jendela saja yang terbuka. 

Mungkin agar angin dapat masuk.

Semuanya ada tiga rombongan. Tiap 

rombongan terdiri dari empat orang, 

masing-masing ditemani oleh para 

perempuan cantik. Rombongan-rombongan 

itu duduk berderet mengeliling ruangan. 

Ki Sapta Nrenggana berada pada rombongan 

paling tengah. Hanya rombongan itu yang 

terdiri dari dua orang. Yaitu bersama 

Gada Rencah. Tapi para perempuan 

penghiburnya lebih banyak. Mungkin


karena Ki Sapta Nrenggana sebagai tuan 

rumah.

Beberapa pundi arak sudah 

bergulingan di hadapan mereka. Namun Ki 

Sapta Nrenggana masih terus 

memerintahkan pelayannya agar 

mengeluarkan semua pundi-pundi arak. 

Keadaan sudah semakin panas. Tabuhan 

gendang masih terus mengalun. Para 

penari nampak lelah.

"Cukup...!" Tiba-tiba saja Ki Sapta 

Nrenggana berteriak. Ia berdiri dengan 

sempoyongan. Tiba-tiba pula musik 

gendang berhenti. Ki Sapta Nrenggana 

melemparkan dua kantong uang pada 

pemimpin pemain musik.

"Kalian pulanglah. Juga kuucapkan 

terima kasih karena kalian telah 

menghibur kami. Pulanglah!" Ki Sapta 

Nrenggana duduk lagi. Langsung memeluk 

seorang perempuan di sebelahnya. Gada 

Rencah tidak perduli, karena ia sendiri 

telah sibuk menghadapi dua orang 

perempuan penghibur. Pe-

rempuan-perempuan itu kewalahan mela-

yani Gada Rencah. Sebentar-sebentar 

mereka harus repot membetulkan 

pakaiannya yang menutupi bagian dada.

Pada rombongan-rombongan lain pun 

begitu. Nampak para pembesar itu tertawa 

puas dengan para penghiburnya. Ruangan 

itu jadi riuh, sekalian terdengar

dengusan nafas lelaki terdengar pula


cekikikan manja dari mulut para 

penghibur.

Seorang pemimpin datang menghadap 

pada Ki Sapta Nrenggana. Langkahnya 

demikian gemetar. Bagaimana tidak, Ia 

melihat jelas seorang perempuan 

telanjang bulat menggeliat-geliat di 

bawah dekapan Ki Sapta Nrenggana.

"Maaf, Ki, Kami sudah membereskan 

semua peralatan. Kami mohon pamit" kata 

pemimpin rombongan pemain musik.

"Hmmm.... Pergilah kalian. Dan 

jangan lupa menutup pintu kembali" jawab 

Ki Sapta Nrenggana tanpa menoleh.

Orang itu langsung berbalik 

sekaligus memberikan isyarat pada 

teman-temannya agar segera meninggalkan 

tempat itu. Semua peralatan musik 

dibawanya serta, satu-satu mereka 

keluar. Dan yang berjalan paling akhir 

menutup pintu kembali.

Beberapa pembesar sudah ada yang 

bangkit membawa pasangannya masuk ke 

dalam kamar. Hanya beberapa orang saja 

yang tetap tinggal di situ. Termasuk Ki 

Sapta Nrenggana dan Gada Rencah. Kalau 

tadi terdengar musik tabuhan gendang, 

sekarang hanya terdengar rintihan-

rintihan lirih dibarengi dengan dengusan 

yang saling memburu.

Tengah malam kian gelap. Tanpa awan 

dan bulan. Dularata dan Surakarma 

berjalan sempoyongan karena terlalu 

banyak minum arak. Mereka berjalan


berkeliling memutari gedung yang masih 

terang benderang.

"Entah sedang apa orang-orang yang 

berada di dalam sana," pikir Dularata. 

Sesekali Surakarma mengintip dari 

jendela, dan ia pun hanya nyengir kepada 

Dularata. Kemudian berjalan lagi 

berkeliling. Suara jangkrik terdengar di 

sekeliling gedung besar itu. Hawa dingin 

pun menyengat kulit mereka. Untung saja 

mereka dihangatkan oleh beberapa pundi 

arak, sehingga tubuh mereka cukup panas.

Bagaimana pun mereka tetap 

mendongkol. Ki Sapta Nrenggana tidak 

memberikan jatah apa-apa. Mereka malah 

mendapat tugas meronda. Tugas yang 

membosankan.

Tiga sosok bayangan mengendap-endap 

di belakang semak di samping gedung. Tiga 

sosok itu langsung menyebar ketika 

Dularata dan Surakarma hampir 

melewatinya. Dularata berjalan terus. 

Tapi Surakarma sebentar-sebentar 

mengintip ke arah jendela membuat 

langkah tertinggal oleh Dularata. Dan 

ketika Surakarma bermaksud menyusul....

"Buuug...!"

Sebuah hantaman keras bersarang di 

ulu hatinya. Ia memekik kesakitan tapi 

suaranya tidak sempat keluar. Karena 

sosok bayangan itu cepat menambahkan 

sebuah tendangan.

"Bruuuug...!"


Tubuh Surakarma terbanting keras. 

Dularata mendengar suara berisik itu, 

maka ia cepat berlari ke belakang.

"Plaaak...!"

Tahu-tahu ia diserang tiga sosok 

bayangan. Pipinya terasa panas menerima 

hantaman itu. Dularata tidak segera 

me-balas, ia mengernyitkan alisnya 

mema-dang tiga orang itu. Namun tetap 

saja ia tidak dapat mengenalinya. Karena 

ketiga orang itu mengenakan kain 

penutup.

Dularata maju dengan terjangan, 

meskipun langkah-langkahnya sempoyongan 

ia masih bisa melancarkan beberapa kali 

tinjunya.

"Plak...! Plak...! Plak...!"

Semua hantamannya yang tidak 

terarah dapat ditangkis oleh salah 

seorang yang memakai kain penutup di 

mukanya. Malah tahu-tahu dari arah 

belakang Dularata mendapat serangan 

balasan.

"Beg...!"

Sebuah tendangan menghantam keras 

tidak kepalang tanggung. Dularata 

tersungkur ke depan. Mukanya terseret 

pada tanah yang penuh dengan hamparan 

batu kerikil. Begitu ia bangun, terlihat 

jelas luka di sekitar keningnya. Ia tidak 

sempat lagi maju menyerang. Karena 

secara kilat ketiga orang itu langsung 

menghantam berbareng. Dularata jatuh 

menggelosoh pingsan. Dilihat orang itu


sudah tidak berkutik lagi, ketiganya 

berlari menghampiri jendela kamar. 

Mereka mendengar desahan nafas seorang 

perempuan disertai suara derit tempat 

tidur. Salah seorang mengeluarkan 

sesuatu dari balik haju hitamnya. Dengan 

alat itu ia berusaha mendongkel jendela. 

Yang dua lagi berjaga-jaga. Tapi yang 

jelas mereka sudah tidak sabaran.

Dua tubuh bugil berlainan jenis 

saling rengkuh menindih di atas sebuah 

tempat tidur diterangi dengan sebuah 

lampu kecil. Keduanya tersentak kaget 

ketika dengan tiba-tiba mereka mendengar 

suara jendela kamar terbuka lebar. 

Perempuan itu yang berada di atas tubuh 

seorang lelaki gemuk langsung menarik 

sprei menutupi seluruh tubuhnya. Dari 

jendela itu ia melihat tiga sosok 

bayangan. Ketika ia hendak menjerit. 

Benda runcing kira-kira satu jengkal 

menerobos masuk menembus tenggorokan 

perempuan itu. Tanpa mengeluarkan suara, 

perempuan itu ambruk di atas tubuh lelaki 

gemuk yang melihat kejadian itu demikian 

cepatnya. Lelaki gemuk itu ketakutan 

setengah mati melihat darah mengalir 

deras dari tenggorokan perempuan yang 

digaulinya. Ketiga sosok hitam masuk 

dalam ruangan kamar melalui jendela. 

Lelaki gemuk makin jadi gemetarannya. 

Salah seorang mendekatinya lalu dengan 

pukulan karate, ia menghantam batang 

leher lelaki gemuk itu.


"Deees!"

Si gemuk ambruk dengan tulang leher 

patah. Setelah keduanya betul-betul 

dibereskan, mereka menggeledah tempat 

itu. Semua barang-barang berharga milik 

lelaki gemuk yang ada di pakaiannya 

disikat habis. Lumayan! Beberapa 

perhiasan dari emas. Benda kecil apa saja 

yang nampak berharga disatukannya dalam 

satu kantong besar.

"Cari lagi! Di kamar sebelah masih 

ada! Ayo cepat!" Salah seorang yang 

berperawakan tinggi besar memerintah. 

Maka yang lain membuka pintu perlahan. 

Dan menyelinap dengan mengendap-endap. 

Di ruangan tengah masih terdengar suara. 

Suara beberapa pasang manusia yang te-

ngah bergumul.

Hati-hati sekali mereka melangkah. 

Jarak kamar sebelah ada sekitar tiga 

meter. Mereka membuka pintu itu 

perlahan, tanpa bersuara. Terlihat lagi 

pemandangan seperti tadi, Melihat 

kemunculan ketiga orang, perempuan bugil 

yang telah banjir dengan keringat 

berteriak kaget:

"Aaaooooooo...! Ada orang...!"

"Bug...! Bug...!" Dua tendangan 

sekaligus melempar tubuh bugil itu 

sampai tak berkutik. Laki-laki yang ada 

di kamar itu bermaksud melawan, tapi 

hanya dengan sebuah tikaman pisau kecil 

menghentikan gerakannya.


"Ram.... Ram.... Rampooooook...." 

Laki-laki itu jatuh limbung ke lantai.

Suara teriakan perempuan tadi 

terdengar sampai ke ruangan tengah. Para 

lelakinya segera bangkit berjalan ke 

arah suara itu. Ki Sapta Nrenggana 

berlari limbung sambil membetulkan ikat 

pinggangnya. Yang lain mengikuti... Gada 

Rencah menghempaskan dua perempuan yang 

masih menindih tubuhnya. Ia ikut bangkit 

menyusul.

Sampai di pintu kamar Ki Sapta 

Nrenggana tersentak kaget. Pada saat itu 

sebuah hantaman melempar tubuh Ki Sapta 

Nrenggana menimpa orang-orang yang 

berada di belakangnya.

"Bruaaaaak!"

Ketiga orang berkerudung itu 

langsung mengamuk melancarkan hantaman-

hantaman terhadap orang-orang itu. Ki 

Sapta Nrenggana merayap menjauh. 

Babatan-babatan pisau maupun pedang 

berkelebat merencah tubuh para undangan. 

Ada yang sekaligus mati, ada juga yang 

berteriak-teriak kesakitan. Ketiganya 

melangkah dengan mata yang nyalang 

menuju ke arah Ki Sapta Nrenggana. Dia 

terlentang melihat ketiga orang yang 

mendatangi dengan senjata di tangan 

mereka.

Seorang dari perampok itu melompat 

menyerang dengan pedang siap membabat. 

Tapi....

"Breeet!"


Pedang itu terpental jauh. Perampok 

itu pun mundur terhuyung.

Ternyata Gada Rencah datang tepat 

pada waktunya. Ketika pedang perampok 

itu hampir menghujam Ki Sapta Nrenggana, 

Gada Rencah menyabetnya dengan ikat 

pinggangnya yang terbuat dari kulit yang 

telah mengering.

Gada Rencah menatap ketiga rampok 

itu. Ki Sapta Nrenggana buru-buru 

menyurup ke belakangnya. Ia merayap 

seperti seekor anjing. Para perempuan 

penghibur berdiri ketakutan. Semuanya 

belum sempat mengenakan pakaian. 

Rata-rata membugil. Dengan peluh yang 

masih deras mengalir.

Pedang yang terpental tadi cepat 

diambil kembali oleh pemiliknya. Dan 

sekarang ia telah bersiap menyerang 

lagi. Seorang yang membawa karung berisi 

segala macam barang berharga melepaskan 

bawaannya. Ia mencabut sebilah pedang 

dari pinggangnya. Kini ketiga perampok 

itu siap menghadapi Gada Rencah. Mereka 

yakin Gada Rencah bukannya orang yang 

sembarangan. Maka mereka perlu hati-hati 

menghadapinya. Tiba-tiba dengan 

serempak mereka maju menyerang. 

Babatan-babatan senjata mereka berputar 

menerjang Gada Rencah. Serangan itu 

cukup mematikan. Tapi hanya dengan 

memutar ikat pinggangnya Gada Rencah 

dapat merobohkan ketiga penyerangnya.


Sekali lagi Gada Rencah menyabet.

Tahu-tahu saja ikat pinggang itu melilit 

di leher salah satu perampok itu. Dan 

ketika Gada Rencah menariknya dengan 

sekuat tenaga, orang itu ikut terbawa.

Tubuhnya terlempar dengan kepala 

membentur tembok.

"Praaak!"

Orang itu terbanting ke lantai 

dengan kepala remuk mengeluarkan darah. 

Tubuh itu kelojotan, kemudian diam kaku 

tak berkutik.

Dengan tenang Gada Rencah mengikat 

kulit kering itu melilit di pinggangnya. 

Pada kesempatan itu dua orang perampok 

yang masih sisa langsung menerjang. Satu

orang menikam dengan pisau pendek dan 

seorang lagi membabatkan pedang 

menyilang ke arah perut. Gada Rencah 

melompat ke atas. Babatan pedang serta 

tikaman pisau kecil terhindar. Tapi 

kakinya bergerak cepat menghantam orang 

yang memegang pedang.

"Bug!"

Orang itu bergalingan. Gada Rencah 

hinggap di lantai bagaikan daun jatuh. 

Menyambut tikaman pisau kecil.

"Deb!"

Luar biasa pisau itu! Tidak dapat 

menembus dadanya. Membekas pun tidak. 

Sudah tentu si penikam itu 

terheran-heran dibuatnya. Dalam pada itu 

Gada Rencah langsung melancarkan 

serentetan hantaman.


"Des...! Des...! Des...!"

Rampok yang bersenjatakan pisau 

kecil terlempar! Hantaman-hantaman itu 

tepat mengenai pada bagian yagn 

mematikan. Dari mulut serta hidungnya 

mengalir darah segar. Pandangannya 

kabur. Gada Rencah melompat lagi, kali 

ini tendangannya disertai tenaga penuh. 

Dan saat telapak kakinya menggedor dada 

lawannya, orang itu langsung mati dengan 

seketika. Tinggallah seorang perampok 

lagi. Kalau tidak salah dialah 

pemimpinnya. Ia bersenjatakan sebilah 

pedang. Wajahnya masih tertutup rapat 

dengan kain sarung. Hanya kedua matanya 

saja yang nampak menatap jalang. 

Pedangnya yang tajam mengkilap terhunus. 

Langkahnya bergerak perlahan maju. 

Matanya mengamati posisi Gada Rencah.

* * *

EMPAT



Ketika Gada Rencah menggertak 

menyerang. Pedang tajam memutar tiga 

kali babatan.

"Bret...! Bret...! Bret!"

Gada Rencah diam tak bergeming. Di 

tubuhnya membekas goresan-goresan pu-

tih. Kemudian goresan-goresan itu 

menghilang kembali seperti semula. Ilmu 

kebal! Gada Rencah memiliki ilmu yang 

langka seperti itu.


Perampok yang masih tersisa mundur 

beberapa langkah. Namun Gada Rencah 

mengikutinya. Pedang itu menghantam lagi 

di lehernya. Gada Rencah menyambut 

babatan itu dengan telapak tangan. Cepat 

ia mencengkeram erat bilah pedang yang 

tajamnya bukan main. Sehingga perampok 

itu tak sanggup untuk menarik kembali.

Di luar dugaan, Gada Rencah menarik 

kuat bilah pedang yang dicengkeramnya, 

sehingga perampok ikut terbawa. Dan 

ketika tubuhnya terseret mendekat, Gada 

Rencah melancarkan hantaman ke bagian 

dada. Kontan saja darah menyembur.

Manusia berkedok itu terhuyung.

Ki Sapta Nrenggana langsung 

menyambar pedang yang tergeletak di 

lantai. Ia membabat ke perut orang yang 

masih sempoyongan. Sudah jelas orang itu 

tidak dapat mengelakkannya. Perutnya 

robek melebar. Ia menggelepar gelepar 

bersimbah darah, seluruh lantai di 

sekitarnya memerah. Tapi Ki Sapta 

Nrenggana belum juga puas dengan 

babatannya tadi. Dengan geram ia 

mencincang habis tubuh yang sudah diam 

membeku.

"Cukup, Ki. Cukup. Seluruh lantai 

ini akan menjadi kotor. Cukup!" Gada 

Rencah mengguncang-guncangkan punggung 

Ki Sapta Nrenggana. Amukannya luar 

biasa. Cepat-cepat Gada Rencah menahan 

genggaman pedang itu. Barulah Ki Sapta 

Nrenggana berdiri tenang dengan nafas


saling memburu. Matanya melotot tegang. 

Ia melempar pedang itu sampai menancap 

ditubuh yang tergeletak bersimbah darah.

Para perempuan penghibur yang masih 

telanjang bulat meluruk ke arah Ki Sapta 

Nrenggana, mereka memberikan pakaian 

salin.

"Tenanglah, Ki..., Kita sudah 

membereskan ketiga perampok itu, kenapa 

musti membuang tenaga hanya karena 

emosi. Sekarang kumpulkan mayat-mayat 

mereka dan bukalah kain penutup wajah 

mereka. " kata Gada Rencah. Maka suasana 

menjadi tenang.

Para pembesar yang masih segar bugar 

mengumpulkan mayat-mayat itu, meskipun 

sebenarnya mereka nampak jijik. Ketiga 

mayat itu berpakaian serba hitam semua. 

Hanya kain penutup wajah mereka saja yang 

berlainan warna.

Ki Sapta Nrenggana yang sudah berpa-

kaian rapih langsung membungkuk membuka

kain penutup wajah mereka satu per satu.

"Apakah Ki Sapta kenal dengannya?" 

tanya Gada Rencah setelah Ki Sapta Nreng-

gana membuka kain berwarna hijau.

"Tidak! Aku tidak kenal orang ini!" 

Ki Sapta Nrenggana menggeleng.

"Coba yang di sebelahnya itu" 

perin-tah Gada Rencah. Ki Sapta 

Nrenggana langsung menarik kain berwarna 

biru bergaris-garis hitam. Sesaat ia 

memandangi wajah yang mengerikan. Ki


Sapta Nrenggana mengernyitkan alis, 

kemudian....

"Semua asing bagiku. Tidak kukenal

sama sekali" Sambil berjalan merunduk, 

ia mendekati tubuh yang terkoyak akibat 

cincangannya tadi.

Sebelum Ki Sapta Nrenggana membuka 

kain penutup, ia bergidik melihat sosok 

mayat itu. Bagaimana tidak, dari leher 

sampai pada bagian pinggang nampak 

terkoyak. Pakaiannya sudah basah dengan 

cairan kental berwarna merah.

Sekali sentak, kain penutup itu 

terbuka. Ki Sapta Nrenggana mendadak 

melotot seakan tidak percaya dengan 

penglihatannya sendiri.

"Darman..." Tanpasengaja suaranya 

keluar.

"Darman? Siapa Darman?" Gada Rencah 

ikut heran.

"Orang kampung sini juga! Rumahnya 

tidak jauh dari sini!"

Ki Sapta Nrenggana bangkit. Ia tidak 

memperdulikan orang-orang di 

sekitarnya. Dengan langkah tergesa-gesa 

ia keluar gedung. Diamatinya sekeliling 

pekarangan. Nampak dingin dan sunyi. Ada 

sesuatu yang dicarinya di luar. Maka ia 

berjalan mengitari rumahnya.

Tak berapa lama ia melihat dua sosok 

tubuh tergeletak dekat semak-semak. Ki 

Sapta Nrenggana kenal betul dengan dua 

sosok itu. Dengan geram ia menendangi dua 

sosok yang tergeletak. Keduanya mulai


menggeliat. Dularata membuka matanya, 

pandangannya masih samar. Tapi ia tahu 

orang yang menendanginya itu majikannya 

sendiri. Maka ia cepat-cepat bangun. 

Surakarma merintih. Ulu hatinya masih 

terasa ngilu.

"Ada orang, Ki. Barusan ada orang!" 

kata Dularata tergagap.

"Kalian berdua betul-betul tidak 

dapat diandalkan. Makan tahi kerbau saja 

kalian semua. Untung saja Gada Rencah ada 

di sini! Kalau tidak, kalian akan sama 

mampusnya dengan aku" Mendengar amarah 

Ki Sapta Nrenggana, Dularata dan 

Surakarma tertunduk diam.

"Tunggu apa lagi di sini! Ayo masuk! 

Dasar tolol!" Ki Sapta Nrenggana 

beringsut meninggalkan mereka. Dua anak 

buahnya mengikuti dengan 

langkah-langkah pincang.

* * *

Warsih terjaga dari tidurnya,

karena mendengar anaknya memanggil-

manggil. Sebentar kemudian ia 

menggeliat. Matanya nampak kusam. Ia 

melihat anaknya sudah duduk di samping 

tubuhnya....

"Ada apa, Ding.... Mau minum?" tanya 

Warsih. Oding mengangguk.

"Kenapa tidak ambil sendiri, kan 

biasanya"

"Takut, mak"


Dengan lesu Warsih bangkit. Ia turun 

dari tempat tidur kemudian berjalan ke 

arah dapur. Tak lama ia kembali lagi 

dengan membawa segelas air. Oding 

menyambutnya. Ia langsung menenggak 

habis air minum itu sambil duduk. Warsih 

jadi tidak dapat tidur lagi walaupun 

tubuhnya sudah terbaring.

Sebenarnya hari hampir pagi, kicau 

burung dan kokok ayam jantan terdengar 

saling bersahutan. Suara azan Subuh 

sudah berhenti. Warsih bangkit lagi, ia 

membetulkan rambutnya yang kusut 

tergerai. Setelah ia menggulung rambut 

ia berjalan membiarkan Oding anaknya 

tetap duduk di atas ranjang. Ia mendorong 

pintu. Derit pintu bambu terdengar 

panjang. Suasana pagi itu masih nampak 

gelap, bahkan dingin.

Pandangannya menerawang jauh dalam 

kegelapan, rumah-rumah penduduk nampak 

samar tertutup kabut.

"Ahhhhhhhhh!"

Ia menggeliat lagi. Hidungnya 

mendengus. Ada sesuatu aroma yang kurang 

sedap. Bau anyir. Pastilah ada bangkai 

tikus di sekitar gubuknya, pikir Warsih.

Mula-mula Warsih tidak perduli, 

malah ia mengutuki bangkai tikus itu. 

Paling-paling ia mati karena kekenyangan 

mencuri kebun singkongnya.

Tapi bau anyir semakin menyeruak 

terbawa oleh angin yang menghembus ke 

arahnya. Sehingga Warsih tahu dari mana


asal bau itu. Warsih beranjak dari 

balai," ia berjalan menyusuri arah bau 

itu sambil mengendus-endus. Bau anyir 

semakin santer! Itu berarti ia sudah 

dekat. Ia mengawasi sekitar situ, 

pandangannya membentur pada sesuatu yang 

tergeletak di bawah pohon pisang. Warsih 

bertanya-tanya. Bentuknya seperti 

manusia tertelungkup. Ia makin

penasaran, karena justru bau anyir 

berasal dari situ. Mungki-kah mayat 

manusia? Rasanya tidak mungkin! Ia tidak 

mendengar suara apa-apa semalam. Mungkin 

ada orang yagn sengaja membuang 

bangkai-bangkai tikus atau kucing di 

situ. Karena dekat situ memang tempat 

sampah.

Dengan menggunakan sebatang ranting 

ia mengais-ngais onggokan itu. Dirasakan 

ujung ranting itu menyentuh sesuatu yang 

empuk berlapis cairan lendir. Setelah 

itu Warsih melihat ujung rantingnya 

telah melekat cairan merah merambat.

Warsih yakin sekali kalau yang 

dilihatnya itu adalah cairan darah. Maka 

ia cepat berlari balik ke dalam gubuknya. 

Oding sudah terlelap tidur. Hati-hati 

sekali ia mengambil sebuah pelita, lalu 

ia keluar lagi menuju ke tempat tadi. 

Sebelah telapak tangannya menjaga agar 

api pelita itu tidak mati. Sesampainya di 

tempat tadi Warsih hampir memekik, cepat 

ia menutup mulutnya. Sesosok tubuh 

tergeletak di atas tumpukan-tumpukan


sampah. Dengan memberanikan diri ia

membalikkan tubuh itu dengan sebelah 

kakinya. Dan.... Bagai disambar petir ia 

melihat mayat yang sudah terkoyak. 

Bagaimana pun juga Warsih masih dapat 

mengenali.

"Kang!!! Kang Darman! Kang 

Darmaaannnn!" teriakan Warsih keras 

memekakkan telinga. Pagi yang dingin dan 

sunyi tersentak kaget oleh 

jeritan-jeritan histeris Warsih.

"Kang Darmaaaannnn.!!! Hu, hu, hu, 

hu... Kanggggg!!!"

Warsih mengguncang-guncangkan tu-

buh yang berlumuran darah. Pelitanya 

mati tertiup angin. Beberapa penduduk 

terdekat yang mendengar suara jeritan 

Warsih m-nyerbu. Mereka langsung dapat 

menemui Warsih yang tengah menangisi 

mayat suaminya. Dan ketika para penduduk 

berdatangan, Warsih terkulai lemas. Ia 

tidak sadarkan diri.

* * *

Wintara dan Mang Bayan duduk sila 

menghadapi mayat yang sudah dibungkus 

kain kafan. Para penduduk sudah memenuhi 

ruangan itu. Seorang Kyai nampak tengah 

membacakan ayat-ayat suci pengantar 

untuk acara pemakaman jenasah Darman. 

Oding anak tunggalnya nampak diam, tapi 

Warsih masih sesenggukan dalam pelukan 

seorang perempuan tetangganya. Ia tidak


kuasa melihat tubuh Darman suaminya 

terbujur kaku yang sebentar lagi lenyap 

dari pandangannya.

Beberapa orang pelayat datang lagi 

ke dalam gubuk itu. Semua orang-orang 

yang berada di situ mengarahkan 

pandangannya kepada beberapa orang yang 

baru datang. Wintara langsung tersenyum 

setelah melihat mereka. Orang yang 

berdiri paling tengah bersikap angkuh. 

Matanya seakan tidak puas memandangi 

mayat Darman. Wintara langsung bangkit 

menyambut beberapa pelayat itu.

"Silahkan duduk, Ki Sapta 

Nrenggana. Maaf tempatnya sempit.!" kata 

Wintara ramah. "Sebentar lagi jenazah 

akan dikuburkan di halaman belakang 

rumah. " katanya lagi.

"Terima kasih. Kami tidak akan 

berlama-lama di sini, masih banyak 

urusan-urusan yang lebih penting" jawab 

Ki Sapta Nrenggana dengan nada bicara 

yang kurang enak didengar. Lalu ia

memberi isyarat pada orang yang berdiri 

di sebelahnya. Gada Rencah mengerti 

isyarat yang sudah diatur sebelumnya. 

Maka ia merogoh saku bajunya. Ia

mengeluarkan sekantong uang logam. Semua 

mata menatap pada Gada Rencah orang asing 

di kampung Tapis Ledok. Di luar dugaan 

Gada Rencah melempar uang itu, tepat 

mengenai wajah jenazah Darman. 

"Sungguh suatu penghinaan," pikir 

Wintara. Mang Bayan sendiri melotot


tidak senang. Warsih tidak melihat 

peristiwa itu, karena ia telah hanyut 

dalam perasaannya.

Kalau saja tidak dalam keadaan 

seperti ini, Wintara sudah melabrak para 

pelayat yang kurang sopan itu. Kenapa 

harus dengan cara yang demikian? Apakah 

tadinya Kang Darman bermusuhan dengan Ki 

Sapta Nrenggana?

Warsih menjerit histeris saat empat 

orang lelaki tetangganya menggotong 

jenazah Darman. Sambil membacakan 

ayat-ayat suci mereka membawa jenazah 

itu untuk dimakamkan. Wintara dan Mang 

Bayan tidak mengikuti upacara pemakaman. 

Mereka sengaja diam di gubuk itu menemani 

Warsih. Saat itu Warsih sudah cukup 

tenang. Ia menghapus air matanya yang 

mengembang di kedua kelopak matanya yang 

membeng-kak. Ia baru sadar kalau Wintara 

dan Mang Bayan sudah ada di situ.

"Peristiwanya bagaimana, Bi. 

Bagai-mana Kang Darman sampai mengalami 

nasib demikian tragis" tanya Wintara.

"Bibi juga tidak tahu, Den. Subuh 

tadi bibi menemukan mayat Kang Darman di 

depan rumah. Bibi tidak tahu siapa yang 

membunuhnya" suara Warsih parau.

"Apa bibi tahu kalau kang Darman 

pernah bentrok dengan orang. Ng.... Atau 

barangkali punya musuh?"

"Tidak mungkin, Den. Tapi yah...

tidak tahu juga, mungkin ada orang yang 

sentimen terhadap kang Darman. Namanya


orang cari nafkah di kampung-kampung 

orang sudah tentu banyak saingan. "

Wintara menarik nafas panjang, lalu 

dihembuskan perlahan. Pandangan Warsih 

sayu, air matanya mengembang lagi. Dan 

tangisnya pun meledak. Wintara langsung 

mendekatinya.

"Sudahlah, Bi. Pasrahkan saja. 

Serahkan semua pada Tuhan, Kang Darman 

sudah tenang di alam sana. Tangisan bibi 

akan mengusik ketenangannya...."

"Bibi pasrah. Bibi rela. Tapi bibi 

tidak kuat menerima ini semua"

Wintara diam, ia tak dapat berbuat 

apa-apa lagi. Ia hanya mendengar isak 

tangis Warsih.

"Darimana Den Wintara tahu kejadian 

ini?" tanya Warsih sambil menghapus air 

matanya.

"Kampung Tapis Ledok dengan Kampung 

Karang Hampar tidak berjauhan, Bi. Semua 

orang ramai membicarakan kematian Kang 

Darman. Karena itu suatu peristiwa yang 

sangat menggemparkan" jawab Mang Bayan. 

Wintara tetap diam. Sebenarnya ia ingin 

menjawab, tapi Mang Bayan sudah 

menjawabnya lebih dahulu.

"Oh ya, Bi. Apakah sudah diterima 

uang selawatan yang sekantong tadi?" ka-

ta Mang Bayan lagi.

"Su-Sudah.... Kira-kira dari siapa 

ya? Bibi sampai tidak tahu"

"Dari Ki Sapta Nrenggana" jawab 

Wintara cepat.


"Apa? Dari Ki Sapta Nrenggana? Tidak 

mungkin, Den. Tidak mungkin. Tempo hari 

saja bibi bermaksud minjam uang 

kepadanya. Boro-boro sekantong uang, 

sepeser pun ia tidak memberi. Dia malah 

menghina" suara Warsih tetap parau.

"Mungkin sekarang ia mulai prihatin 

terhadap bibi...."

* * *

Ki Dulang Sungkar bukannya tidak 

tahu kematian Darman suami Warsih. 

Bahkan ia pun telah mendengar beberapa 

orang yang mati di rumah peristirahatan 

Ki Sapta Nrenggana. Beberapa pembesar 

dan dua orang perampok. Hal itu bukan 

suatu rahasia. Karena Ki Sapta Nrenggana 

sendiri yang menyuruh orang-orang Tapis 

Ledok untuk menguburkan jenazah-jenazah 

mereka. Satu di antara orang itu sekarang 

ada di kedainya. Menceritakan semua yang 

ia ketahui.

Ki Dulang Sungkar mempunyai 

kesimpulan lain. Sekali pun Darman ikut 

merampok pada malam itu, Ki Dulang 

Sungkar cukup bangga akan keberaniannya. 

Hanya sayang Darman tidak berhasil.

Birdun masih mengoceh terus menceritakan 

pengalamannya setelah ia menguburkan 

beberapa orang yang tewas di rumah 

peristirahatan Ki Sapta Nrenggana.

"Anehnya, Ki.... Pakaian yang 

dikenakan kang Darman sama betul dengan


kedua perampok yang tadi pagi saya 

kuburkan. Semuanya serba hitam.

Jangan-jangan" kata Birdun terputus.

"Jangan salah paham, Dun. Lagipula 

dua perampok itu kan bukan orang sini. 

Mana mungkin Darman ikut terlibat. Se-

muanya terjadi secara kebetulan. " 

potong Ki Dulang Sungkar. Birdun 

menenggak kopinya. Lalu....

"Kematian kang Darman begitu sadis, 

Ki. Bagaimana ia tidak terlibat?"

"Stttt... Hati-hati kalau bicara. 

Kau lihat di sana itu?" kata Ki Dulang 

Sungkar berbisik perlahan, Birdun 

langsung menoleh mengikuti pandangan 

mata Ki Dulang Sungkar.

"Alihkan pembicaraanmu, Dun" bisik 

Ki Dulang Sungkar lagi. Birdun malah jadi 

takut. Karena yang dilihatnya tidak lain 

adalah Ki Sapta Nrenggana bersama 

kawan-kawannya menuju kedai di mana 

Birdun nangkring.

"Tenang.... Tenang, Dun. Jangan 

pergi dari tempat dudukmu. Kalau kau 

pergi mereka akan bertambah curiga" kata 

Ki Dulang Sungkar. Tapi Birdun semakin 

takut.

* * *


LIMA



Ki Sapta Nrenggana memandang sinis 

Ki Dulang Sungkar yang nampak sibuk 

melayani seorang tamu. Ketika mereka 

tiba di depan kedai Ki Sapta Nrenggana 

langsung mendorong tubuh Birdun sampai 

tersingkir dan jatuh ke tanah. Kemudian 

Birdun lari menjauh. Dularata dan 

Surakarma mengu-rung Ki Dulang Sungkar, 

Gada Rencah mengawasinya dengan teliti 

di samping Ki Dulang Nrenggana. Lalu ia 

berbisik.

"Benar kata mereka, Ki. Ki Dulang 

Sungkar betul-betul si Sambar Nyawa."

"Kau jangan menakut-nakuti, Gada 

Rencah"

"Brang...! 

Gdombraaaang...!"

Tiba-tiba saja Dularata menendang 

meja dagangan itu, semua barang-barang 

dan makanan terbalik habis. Tapi Ki 

Dulang Sungkar tetap tenang. Mendengar 

suara berisik Maladewi keluar dari 

dapur, ia baru saja menanak nasi. Begitu 

ia keluar, Surakarma menjegal. Ia 

langsung memdekap tubuh ramping itu.

Ki Dulang Sungkar cepat bertindak.

"Blak!"

Tendangannya menghantam di bagian 

tulang rusuk. Surakarma yang membekap 

Maladewi jatuh. Maladewi yang terlepas 

dari bekapan itu lari berlindung di 

belakang Ki Dulang Sungkar.

"He... he... he... he.... Serahkan 

anak gadismu padaku, Ki. Lebih baik kita 

mengikat tali persaudaraan. Maka 

urusannya akan beres. He... he... 

he...." Ki Sapta Nrenggana membujuk.

"Chis.... Siapa sudi mengikat tali 

persaudaraan dengan lelaki tua bajingan! 

Kau boleh berhasil mengawini gadis-gadis 

di kampung ini Tapi untuk mengawini 

putriku, jangan harap kau akan bisa" 

jawab Ki Dulang Sungkar.

"Kalau begitu, aku akan memaksa"

"Mentang-mentang kau orang terkaya 

di kampung ini, kau bisa bertindak 

seenaknya?" kata Ki Dulang Sungkar lagi. 

Ia langsung melompat. Tinjunya melayang 

menghantam Surakarma.

"Des...!"

Lalu tendangan memutar beraksi 

menyambar Dularata. 

"Beg...!"

Dularata kelojotan. Dadanya terasa 

sakit.

"Kalau kau bisa berbuat seenaknya, 

Aku pun bisa" kata Ki Dulang Sungkar. 

Tendangannya berputar lagi.

"Wess...!"

Melempar ke luar Dularata maupun 

Surakarma sampai bergulingan ke tanah. 

Keduanya hampir tidak dapat bangun.

Ki Sapta Nrenggana mundur ke samping 

Gada Rencah. Ia jadi keder melihat 

kehebatan Ki Dulang Sungkar. Sekarang ia

baru yakin kalau si Samber Nyawa, Ki 

Dulang Sungkarlah orangnya.

"Ki Dulang Sungkar. Sungguh bagus 

nama barumu itu" kata Gada Rencah yang 

tetap berdiri dengan kedua lengan 

melipat di dada.

"Aku yang muda ini telah bersusah 

payah mencari seseorang yang berjudul 

Samber Nyawa. Ternyata akhirnya selama

bertahun-tahun kutemukan juga orangnya 

di sini. Sekali pun rambut dan janggutmu 

telah mengalami perubahan, Aku masih da-

pat mengenalimu" Gada Rencah menurunkan

kedua lengannya. Ia menuding-n-ding 

seakan meremehkan.

"Siapa pun dirimu. Dan apa pun 

alasanmu. Kau sama saja bagai seekor 

anjing piaraan" Jawab Ki Dulang Sungkar, 

ia melangkah semakin jauh ke luar dari 

kedai.

"Bukan anjing piaran. Tapi anjing 

pembunuh. Kau masih ingat dengan nama 

besar Bah Lodaya?"

Ki Dulang Sungkar tidak menjawab. 

Ingatannya mundur pada beberapa belas 

tahun yang lalu.

Bah Lodaya. Orang yang terakhir 

dibunuhnya. Mereka pernah bertarung di 

sebuah lembah. Dan mengalami kematian 

secara tragis di tangan Ki Dulang 

Sungkar. Membiarkan mayat Bah Lodaya 

dikerubuti oleh burung-burung pemakan 

bangkai. Ki Dulang Sungkar tersenyum. 

Lalu....


"Siapa yang tidak kenal dengan tokoh 

cabul seperti Bah Lodaya? Kalau saja ia 

tidak membunuh dan memperkosa istriku, 

mungkin aku tidak akan bentrok 

dengannya" jawab Ki Dulang Sungkar.

"Kalau begitu, aku si Gada Rencah 

akan membuat perhitungan!" Gada Rencah 

bersiap-siap memasang jurus. Dularata 

dan Surakarma sudah bangkit siap 

membantu. Mendadak Dularata dan 

Surakarma menyerang berbarengan. 

"Hreaaaaa!"

Ki Dulang Sungkar merunduk. Dua 

lengannya memutar sekaligus ke atas. 

"Bug...! Bug!"

Dularata mau pun Surakarma 

terpelanting jatuh. Gada Rencah maju 

menyerang. Jotosannya melayang di atas 

kepala Ki Dulang Sungkar. Meskipun tidak 

mengena, anginnya menggetar rambut putih 

Ki Dulang Sungkar. Dan ketika Ki Dulang 

Sungkar membalas. Hantaman-hantaman

mereka beradu keras. 

"Dessss...!"

Gada Rencah menarik lengannya, 

kemudian ia mengganti serangan itu 

dengan sebuah tendangan cepat. Ki Dulang 

Sungkar melompat ke atas. Di saat 

tubuhnya masih berada di udara, dua 

telapak tangannya menepak tendangan 

tersebut.

"Blaaak!"

Gada Rencah menarik kakinya.


Surakarma melompat cepat menerjang 

dari arah belakang. Tinjunya mengarah di 

punggung Ki Dulang Sungkar berbalik 

menyambut serangan Surakarma dengan 

sodokan telapak tangan. Surakarma 

memekik kesakitan. Ulu hatinya seperti 

tertembus benda tajam. Melihat Surakarma 

kelojotan Dularata menggantikan 

posisinya.

Ia pun maju melancarkan tendangan. 

Gada Rencah juga sudah melancarkan se-

rangan dari samping kiri. Menghadapi dua 

serangan sekaligus Ki Dulang Sungkar 

berdiri tegak menyambut tendangan 

Dularata tepat mengenai bagian dada.

"Deb!"

Sungguh aneh! Begitu telapak kaki 

Dularata menyentuh dada, tubuhnya 

terpental seperti ada suatu tenaga dalam 

yang mendorongnya. Tapi menghadapi 

serangan Gada Rencah, Ki Dulang tak dapat 

menahannya lagi.

"Bug...!"

Hantaman itu mampu menggeser sampai 

beberapa langkah. Ki Dulang Sungkar 

terkesiap.

"Anak muda! Dari mana kau mendapat 

ilmu pukulan 'Tinju Pasir Wesi'!" Ki Du-

lang Sungkar heran.

"Sudah kubilang aku harus berurusan 

denganmu, Samber Nyawa! Karena aku Gada 

Rencah murid Bah Lodaya. Hreaaaaat!" 

Sambil berkata begitu Gada Rencah me-

lompat. Ki Dulang Sungkar mundur sambil


merunduk. Tendangan itu lolos melewati 

bagian atas. Tapi dalam keadaan seperti 

itu Gada Rencah menghantamkan pukulan ke 

bawah.

"Blaaar!"

Ki Dulang menangkis serangan itu. 

Rambutnya yang putih berubah tergerak 

terkena angin pukulan tersebut. Cepat Ki 

Dulang Sungkar berguling ke depan, lalu 

bangkit menatap nanar.

"Baiklah. Rupanya murid dan guru ha-

rus dibikin mampus. majulah murid 

cabul!"

Teriakan Gada Rencah menggelegar 

disertai dengan terjangan" begitu juga 

dengan Ki Dulang Sungkar. Ia pun tidak 

kalah gentar. Dua terjangan dari arah 

yang berlawanan saling beradu.

"Duarrrrr!"

Keduanya terpental, Gada Rencah 

terlempar beberapa tombak ke belakang.

Ki Dulang Sungkar pun demikian, dari 

sela-sela bibirnya mengalir darah merah. 

Ia terbanting keras dekat Surakarma yang 

masih memegangi dadanya. Melihat keadaan 

yang begitu, Surakarma melancarkan 

serangan. Tapi meskipun Ki Dulang 

Sungkar terlentang di tanah, ia sempat 

menyambut serangan itu. Bahkan dua 

hantamannya sekaligus menghantam bagian 

leher dan perut.

Surakarma memekik, suaranya tidak 

keluar. Ia masih berdiri di hadapan Ki 

Dulang Sungkar. Kedua matanya melotot


menahan sakit. Sekali lagi Ki Dulang 

Sungkar menghentakkan sebelah kakinya 

menghantam jatuh tubuh Surakarma.

"Des!"

Maka Surakarma terbanting ke 

belakang. Tak bergeming lagi.

Dularata tidak berani maju. Ia 

pura-pura mengelilingi Ki Dulang 

Sungkar.

Gada Rencah menggeram marah. 

Nafas-nya masih terasa sesak akibat 

benturan tadi. Ki Dulang Sungkar sudah 

bangkit, ia menghapus darah yang meleleh 

di sudut bibirnya. Matanya memerah 

menatap Gada Rencah. Lalu dengan gerakan 

yang sangat cepat ia menyerang Gada 

Rencah.

"Plaaak!"

Gada Rencah yang sudah tahu akan 

mendapat serangan langsung menepis de-

ngan sebelah lengannya. Lalu membalas 

dengan sebuah tendangan yang mengarah 

bagian perut. Sebelum tendangan itu 

mengenai, Ki Dulang Sungkar cepat 

bergerak mundur sambil tangannya 

mengibas ke depan.

"Bweeeet!"

Maksudnya menghantam tendangan itu. 

Tapi Gada Rencah membacanya, maka ia 

cepat menarik kakinya dan di luar dugaan 

tinjunya melayang cepat menghantam muka 

Ki Dulang Sungkar.

"Dueeeeer!"


Ki Dulang Sungkar mundur terhuyung.

Dirasakan tulang rahangnya remuk. Tinju 

Pasir Wesi membuat kedua pandangan Ki 

Dulang Sungkar meremang.

Ki Sapta Nrenggana tersenyum puas 

melihat Ki Dulang Sungkar mundur 

terhuyung. Ia mengalihkan perhatiannya 

ke arah kedai. Maladewi berdiri 

ketakutan dan khawatir di balik pintu. 

Langkahnya langsung menuju ke situ. 

Maladewi melihat Ki Sapta Nrenggana 

mendatangi. Cepat ia berlari ke dalam 

mengunci pintu. Ki Sapta Nrenggana yang 

sudah berada di depan pintu langsung 

menendang. Setelah ia menendang ketiga 

kali, barulah pintu itu terbuka. Nampak 

Maladewi gemetar ketakutan. Ia tidak 

bisa menolak lagi ketika Ki Sapta

Nrenggana menariknya dengan kasar. 

Maladewi meronta-ronta, tapi cengkraman 

itu demikian kuat. Ki Sapta Nrenggana 

menyeretnya keluar. Maladewi 

menjerit-jerit. Ki Dulang Sungkar yang 

melihatnya, bukan kepalang marahnya. 

"Wees!"

Tendangan Gada Rencah menghalangi 

langkahnya. Kalau saja Ki Dulang Sungkar 

tidak cepat bergeser mungkin dadanya 

sudah remuk. Sekali lagi tendangan itu 

menyambar. Ki Dulang Sungkar mengangkat 

lengannya, maka tendangan Gada Rencah 

menyimpang. Tahu-tahu sikutnya bergerak 

maju menghantam pinggang.

"Beg!"


Tubuh Gada Rencah melintir setelah 

mendapat serangan itu. Tapi jotosannya 

sempat pula membalas.

"Deeees!"

Menghantam punggung Ki Dulang 

Sungkar. Darah menyembur dari mulutnya.

Maladewi meronta-ronta dalam 

dekapan Ki Sapta Nrenggana yang berusaha 

membawanya dari tempat itu. Dularata 

juga ikut memegangi tubuh Maladewi yang 

meronta-ronta. Tiba-tiba saja.... 

"Deeees!"

Sebuah hantaman mendarat telak di 

punggung Ki Sapta Nrenggana. 

"Argg...!"

Ki Sapta Nrenggana memekik 

kesakitan. Maladewi terlepas dari 

dekapannya. Tapi bukan berarti Maladewi 

terlepas dari cengkraman Dularata. Ki 

Sapta Nrenggana tersentak kaget melihat 

sosok tubuh tegap yang barusan 

menyerangnya. Wintara tersenyum 

mengejek.

"Ki Sapta Nrenggana. Orang yang cu-

kup berpengaruh di Tapis Ledok, ternyata 

seorang buaya darat yang rakus akan 

anak-anak perawan orang" Kata Wintara. 

Selintas pandangannya tertuju pada 

pertarungan Ki Dulang Sungkar bersama 

Gada Rencah.

"Ini perampokan secara 

terang-terangan namanya. Merampok 

anaknya dengan cara kekerasan. Atau bila


perlu membunuh orang tuanya. Hukum apa 

ini?" Kata Wintara lagi.

Ki Sapta Nrenggana berjalan mundur 

ke arah Dularata yang masih memegangi 

Maladewi. Gadis itu pun masih 

meronta-ronta.

"Wintara. Tolong!" Maladewi 

menjerit. Ki Sapta Nrenggana langsung 

membekap mulut gadis itu. Dularata 

melepaskan bekapannya karena ia telah 

menerima isyarat dari Ki Sapta 

Nrenggana. Selanjutnya ia menyerang 

Wintara.

Wintara buru-buru mundur. Dularata 

menyerang dengan melancarkan beberapa 

pukulan beruntun. Tiga hantaman 

sekaligus melesat, tapi pada serangan 

terakhir.

"Des!"

Jotosan Dularata mengenai lengan. 

Wintara memutar membalas. Dularata 

merunduk sambil merrangkis serangan itu. 

Namun di luar dugaan kaki Wintara maju ke 

depan menghantam perut.

"Beg!"

Dularata terjungkal ke belakang. 

Wintara sengaja menanti Dularata 

bangkit. Dan begitu Dularata bangun, 

sebuah tendangan memutar menghantam 

mukanya.

"Blaaaak!"

Membuat Dularata ambruk lagi.

Melihat situasi yang tidak 

memungkinkan, Ki Sapta Nrenggana


menyeret Maladewi menjauh dari tempat 

itu. Tentu saja Wintara tiak akan 

membiarkannya, ia bermaksud 

mengejarnya. Tapi....

"Splaaaak!"

Kaki Dularata menyambar menghalangi 

langkah Wintara. Ia pun jatuh 

bergulingan. Dularata melompat 

menyerang Wintara yang masih bergulingan 

di tanah.

"Des...! Des...!"

Dua kali hantaman bersarang di dada 

Wintara. Dengan sekuat tenaga ia 

mendorong tubuh Duralara yang menindih.

"Des!"

Sebuah jotosan berhasil mengguling-

kan tubuh Dularata. Sekarang Wintara 

berada di atas, Dularata meronta-ronta.

Tapi hantaman-hantaman Wintara yang 

bertubi-tubi yang diarahkan pada bagian 

muka, membuat Dularata tak berkutik. Ia 

pingsan dengan seketika.

Ki Sapta Nrenggana sudah berada jauh 

dari kedai. Wintara yang melihat 

Maladewi dalam bekapan Ki Sapta 

Nrenggana langsung mengejar. Dalam pada 

itu Maladewi menggigit lengan yang 

memeluk erat. Ki Sapta Nrenggana 

memekik. Maladewi jatuh terbanting. 

Wintara langsung mengarahkan tendangan 

melompat.

"Bug!" Ki Sapta terjungkal.

Gada Rencah melesat cepat 

meninggalkan Ki Dulang Sungkar. Hanya


dengan beberapa kali jumpalitan di 

udara, Gada Rencah sudah berada di 

hadapan Ki Sapta Nrenggana. Wintara 

begitu kaget. Ki Dulang Sungkar 

mengikuti! Di saat Gada Rencah melesat, 

tubuh Ki Dulang Sungkar tidak kalah 

cepatnya menyusul.

Dan di saat Gada Rencah melancarkan 

pukulan ke arah Wintara, Ki Dulang Sung-

kar mematahkan serangan itu dengan 

sebuah tendangan. 

"Blaaak!"

Terhindar Wintara dari maut. Pukul-

an Tinju Pasir Wesi' menyerang lagi. Kali 

ini kedua tinjunya melayang sekaligus. 

Tinju kanan mengarah pada Wintara, dan 

tinju kiri menghantam keras ke bagian 

dada Ki Dulang Sungkar. Sebelum 

pukulan-pukulan itu mengenai, Ki Dulang 

Sungkar menendang tubuh Wintara. 

Maksudnya agar ia tidak terkena 'Tinju 

Pasir Wesi'. Memang benar usaha itu 

berhasil. Tapi ia sendiri tidak dapat 

mengelakkan pukulan yang menghantam 

dadanya.

"Deeer!"

Ki Dulang Sungkar tersungkur sambil 

menyemburkan darah. Namun hanya dengan 

satu hentakan, Ki Dulang Sungkar sudah 

bangkit kembali. Wintara maju menyerang, 

tapi Ki Dulang Sungkar menahannya sambil 

berbisik.


"Dia amat berbahaya. Kau jaga saja 

Maladewi. Biar keparat ini aku yang 

hadapi"

"Tidak, Ki. Justru dia berbahaya, 

kita hadapi berdua. Soal Ki Sapta 

Nrenggana urusan belakangan" jawab 

Wintara.

"Awas!" Ki Dulang Sungkar teriak.

Gada Rencah menyerang mereka. Dua 

pukulannya menyilang, kemudian menyusul 

sebuah tendangan. Ki Dulang Sungkar

melompat sambil mendorong tubuh Wintara 

ke samping, maka serangan-serangan itu 

gagal. Gada Rencah menatap geram.

"Ki Sapta Nrenggana, bawa pergi 

gadis itu dari sini! Sebentar lagi 

cecoro-cecoro ini bakal mampus.

Hraaaaaaat!!" teriakan Gada Rencah 

menggelegar. 

"Bug!"

Wintara terpelanting kena tendangan 

Gada Rencah. 

"Blaaaar!"

Ki Dulang Sungkar menyambut pukulan 

'Tinju Pasir Wesi'. Kedua lengannya 

terasa nyeri. Belum hilang rasa sakit 

itu, sebuah tendangan menyambar bagian 

kepala. Cepat Ki Dulang Sungkar 

merunduk. Tapi tangan kanan Gada Rencah 

menghantam telak kepala Ki Dulang 

Sungkar. Wintara bangkit balas 

menyerang. Tubuhnya berputar, lalu 

melakukan tendangan ke atas.

"Bwuaaaaak!"


Wintara mencelat ke belakang.

Ki Dulang Sungkar masih mengerang 

kesakitan, kedua telapak tangannya meme-

gangi kepala. Tubuhnya terhuyung seakan 

tak terkendali. Langkah-langkahnya pun 

limbung. Gada Rencah berjalan mendekati 

dengan tatapan yang dipengaruhi oleh 

dendam. Ki Dulang Sungkar sudah tidak 

dapat melancarkan serangan lagi. Ia 

masih merasakan sakit yang begitu hebat.

Pandangannya seperti berputar. Sewaktu 

Gada Rencah mencengkram kerah bajunya, 

Ki Dulang Sungkar tak dapat berbuat 

apa-apa.

Seluruh tulang-tulang Wintara 

terasa remuk akibat tendangan tadi. Ia 

berusaha bangkit walaupun dengan susah 

payah. Ia melihat Gada Rencah mengangkat 

leher Ki Dulang Sungkar ke atas, dan 

tangan kanannya siap menghantam....

"Jangaaaaan...!" teriakan Wintara 

terlambat. Hantaman tangan kanan Gada 

Rencah yang disertai tenaga dalam 

menembus ke perut Ki Dulang Sungkar. Lalu 

ia mengangkat ke atas tubuh yang 

berkelojotan tanpa nyawa. Darah mengalir 

deras membanjiri lengan kanan Gada 

Rencah, bahkan menghambur sampai ke 

wajahnya.

"Bah Lodaya. Kau lihat ini! Aku 

muridmu Gada Rencah berhasil melumatkan 

si Samber Nyawa. Kau lihat! Aku telah 

bermandikan darahnya! Semoga kau puas di 

alam baka sana!"


* * *

ENAM



"Semua hutang nyawa ini telah lunas, 

Bah Lodaya. Semuanya berakhir! Sesuai 

dengan yang kau inginkan. Puaskah kau? 

Puaskah? Hua.. ha..ha...ha!" Gada Rencah 

berteriak lantang, wajahnya menatap ke 

langit. Tubuh Ki Dulang Sungkar masih 

tetap di atas dengan perut tertembus 

lengan kanan Gada Rencah.

Wintara menatap geram. Dengan 

tenaga sisa ia berusaha bangkit, lalu 

menerjang ke arah Gada Rencah. Emosinya 

yang disertai hawa nekad membuat 

serangannya makin bersemangat. Seluruh 

rasa sakitnya menghilang. Gada Rencah 

menyambutnya dengan tenang. Sebelum 

Wintara melancarkan serangan, Gada 

Rencah melempar tubuh yang sudah tak 

bernyawa itu ke samping. Lalu kakinya 

berputar keras menghantam?

"Dues!"

Tendangan itu menghantam telak ke 

muka. Wintara terguling Pandangannya 

kabur. I a melihat Gada Rencah berdiri di 

hadapannya menyeringai.

"Sebelumnya kita tidak pernah 

berurusan, sobat. Tapi kau yang memulai 

mencampuri urusan orang. Sekarang aku 

tidak segan-segan lagi membunuhmu. Aku 

punya cara yang lebih adil" Gada Rencah 

menarik kerah baju Wintara. Lalu


menyeretnya dengan kasar. Membawanya ke 

suatu tempat. Wintara terlentang pasrah 

terseret. Tangannya menggapai-gapai 

mencari pegangan. Tapi Gada Rencah 

menyeretnya dengan langkah yang cepat. 

Membuat tubuhnya makin terbarut dengan 

hamparan tanah berbatu.

Mang Bayan menyaksikan kejadian itu 

dari semak-semak. Ia tidak tahu apa yang 

mesti diperbuat. Mana mungkin ia berani 

menghadapi Gada Rencah yang begitu he-

bat. Sedangkan Mang Bayan sendiri tidak 

memiliki ilmu apa pun. Selama ini saja 

ia selalu mengandalkan Wintara 

majikannya. Dan sekarang majikannya 

dalam bahaya. Ia mengutuki dirinya, 

karena tidak mampu berbuat apa-apa.

Bukan hanya Mang Bayan yang menyak-

sikan kejadian itu. Hampir semua 

orang-orang yang tadi mengikuti ucapara 

pemakaman Darman datang ke situ melihat. 

Mereka pun sama halnya dengan Mang Bayan. 

Tak dapat berbuat banyak. Perasaan ngeri 

dan ketakutan membuat mereka tidak 

berani mendekat.

Tiba-tiba seorang perempuan berlari 

menyusul ke mana Gada Rencah menyeret 

Wintara.

"Warsih.... Jangan!" teriak dari 

salah seorang yang bersembunyi 

ketakutan. Perempuan itu tidak 

memperdulikan peringatan itu. Ia terus 

berlari mendekati Gada Rencah. Setelah


mendekat, ia memutar menghalangi langkah 

Gada Rencah....

"Jangan bunuh dia! Jangan bunuh!" 

Warsih langsung berlutut memohon.

"Kasihanilah dia, Jangan... jangan 

dibunuh"

Gada Rencah malah mendorong tubuh 

perempuan itu sampai bergulingan. 

Kemudian meneruskan langkahnya. Wintara 

yang setengah sadar mendengar suara War-

sih. Ia dapat melihat Warsih berlari 

menyusul dengan pandangan kabur.

Gada Rencah menghentikan langkah-

nya. Ia berdiri di pinggiran tebing. 

Kira-kira sepuluh meter ke bawah, 

terdapat sebuah sungai dengan air yang 

mengalir deras. Ia tersenyum sinis. 

Wintara terbaring di bawahnya.

Warsih menarik-narik lengan Gada 

Rencah sambil berlutut memohon. Gada 

Rencah acuh menatap perempuan itu.

"Kasihanilah dia. Biarkan dia 

hidup"

Gada Rencah melotot lebar. Warsih 

ketakutan. Tahu-tahu.... 

"Dues!"

Tinjunya menghantam kepala Warsih. 

Perempuan itu tak berkutik, tubuhnya am-

bruk di samping Wintara. Lalu Gada Rencah 

mengangkat tubuh Wintara, ia menatap 

nanar.

"Berusahalah melawan nasib, sobat. 

Kalau masih ada umur panjang, kau boleh 

mencari diriku. Nah, pergilah!" Dengan


sekuat tenaga Gada Rencah melemparkan 

tubuh Wintara. Tubuh lunglai itu 

melayang ke udara. Sebelum jatuh ke dasar 

sungai, tubuhnya membentur cabang pohon 

yang telah mengering.

"Kraaak!"

Cabang pohon itu patah dan jatuh 

bersamaan dengan tubuh Wintara. Arus su-

ngai yang deras menyambutnya. Gada 

Rencah memandang puas. Ia beranjak 

meninggalkan Warsih yang berbaring di 

tepi tebing.

Orang-orang yang menyaksikan 

peristiwa itu langsung menyingkir ketika 

Gada Rencah kembali melewati kedai Ki 

Dulang Sungkar. Langkah-langkahnya yang 

tenang menjauh dari tempat itu. Setelah 

Gada Rencah berlalu jauh, barulah mereka 

merasa lega. Satu demi satu mulai berani 

menampakkan diri. Mang Bayan masih 

terlolong mengingat peristiwa tadi.

"Cepat lihat keadaan Warsih di sana. 

Jangan-jangan orang itu telah 

membunuhnya pula" kata salah seorang

lelaki, maka beberapa orang menghambur 

ke arah tebing. Sisanya masih di situ 

mengerubungi Mang Bayan.

"Sebaiknya Mang Bayan cepat pulang 

ke Karang Hampar. Beritahukan pada orang 

tua Wintara" Ada yang memberi saran.

"Betul, Mang. Biar urusan ini 

ditangani oleh orang tuanya"

Mang Bayan bingung. Tapi akhirnya ia 

pergi juga, pulang ke Karang Hampar.


Beberapa orang yang tadi menuju 

tebing kembali, seseorang nampak memapah 

tubuh Warsih.

"Warsih tewas, Kang. Kepalanya 

remuk. Sungguh terlalu orang itu!"

"Innalillahi Wa Inna Illaihi 

rojiun. Bagaimana dengan Wintara? 

Mengapa kalian tidak membawanya 

sekalian?"

"Kami tidak menemukannya. Entahlah! 

Mungkin orang itu membuangnya ke 

sungai."

"Kalian sudah mencarinya...?"

"Belum! Siapa yang berani turun ke 

sungai yang angker itu...?" 

* * *

Nyi Nilam Suti menggelosoh pingsan 

dalam pelukan suaminya ketika mendengar 

kabar dari Mang Bayan. Kyai Sempar. sua-

minya tidak percaya dengan 

pendengarannya. Darahnya naik mendengar 

putra tunggalnya tewas. Apalagi kalau 

kejadian itu terjadi di Tapis Ledok. 

Tidak mungkin nya. Orang-orang Tapis 

Ledok cukup segan padanya, kenapa 

sekarang anaknya harus tewas di sana?

"Siapa pelakunya, Bayan? Siapa?" 

tanya Kyai Sempar murka.

"Apakah orang-orang Tapis Ledok 

yang melakukannya? Siapa?"

"Bu-bu-bukan orang-orang Tapis 

Ledok. Tapi...." Mang Bayan ketakutan.


"Katakan, Bayan. Siapa orang itu?" 

Kyai Sempar meletakkan tubuh istrinya di 

bangku kayu.

"Seorang tukang pukul Ki Sapta 

Nrenggana"

"Ki Sapta Nrenggana. Dia harus 

membayar hutang nyawa ini" Kyai Sempar 

bergegas keluar. Bayan memandanginya.

Ia sudah dapat menebak ke mana Kyai 

Sempar pergi. Ke mana lagi kalau bukan ke 

Tapis Ledok! Untuk membuat perhitungan 

dengan Ki Sapta Nrenggana. Mang Bayan 

berlari menyusul.

"Hati-hati, Tuan. Orang itu begitu 

hebat. Ki Dulang Sungkar saja tewas di 

tangannya" kata Mang Bayan menjelaskan. 

Kyai Sempar diam saja, langkahnya 

dipercepat. Pandangannya yang lurus ke 

depan seakan tidak sabar. Lelaki 

setengah baya ini masih nampak kekar dan 

tegar, meskipun rambutnya hampir 

memutih. Garis-garis wajahnya menggam-

barkan suatu kemarahan yang luar biasa. 

Kelopak matanya tidak berkedip barang 

sekejap pun. Selama dalam perjalanannya 

ke Tapis Ledok, ia sudah membayangkan apa 

yang bakal terjadi di sana. Paling tidak 

ia harus mengumbar amarahnya terhadap 

orang-orang bayaran Ki Sapta Nrenggana. 

Walaupun dia sendiri harus mengorbankan 

nyawanya. Bahkan sampai titik darah 

penghabisan.

Jarak Karang Hampar ke Tapis Ledok 

tidaklah begitu jauh. Ia hanya berjalan

lurus mengikuti alur jalan yang cuma 

satu-satu menuju ke sana. Semua orang-

orang yang kebetulan berpapasan 

dengannya, langsung menyingkir. Siapa 

pun tidak ada yang berani menyapa. Mereka 

tahu Kyai Sempar tengah dilanda amarah.

Ketika Kyai Sempar memasuki desa Ta-

pis Ledok, para penduduk kampung situ 

beringsut masuk ke dalam rumah. Ada juga 

yang berani menatap kedatangannya. Kyai 

Sempar tidak perduli. Ia terus melangkah 

dengan cepat. Kalau orang-orang kampung 

bersikap demikian terhadapnya, itu bukan 

berarti mereka memusuhi Kyai Sempar atau 

pun takut. Tetapi mereka segan. Apalagi 

dalam suasana seperti ini. Kyai Sempar 

sendiri sudah memahami sikap mereka.

Darikejauhan ia melihat satu 

kerumunan di rumah Warsih. Beberapa 

orang nampak sibuk di luar dan masuk 

gubuk itu. Benar apa yang diceritakan 

Mang Bayan tadi, tentunya mereka sibuk 

mengurusi mayat Warsih.

Kyai Sempar tidak bermaksud 

singgah, maka ia segera menikung ke 

sebelah kiri memotong jalan. Karena ia 

tahu betul, kehadirannya akan membawa 

kesan lain terhadap orang-orang itu. 

Lagi pula ia ingin cepat-cepat persoalan 

ini selesai dan memang perlu membuat 

perhitungan dengan Ki Sapta Nrenggana. 

Nyawa anaknya bukanlah selembar benang. 

Ki Sapta Nrenggana mesti membayar mahal.


Ditatapnya bangunan megah yang ber-

diri kokoh. Bagian luar bangunan itu 

dikelilingi tembok batu setinggi dua 

meter. Ditengahnya terdapat pintu besar 

tertutup ra-pat. Tanpa basa-basi lagi 

Kyai Sempar menendang pintu itu.... 

"Braaaak!"

Dularata yang berada di halaman 

depan bukan main kagetnya. Ia langsung 

bangkit dari kursinya. Beberapa orang 

perempuan berlarian ke dalam.

"Suruh keluar Ki Sapta Nrenggana. 

Aku tua renta Kyai Sempar akan berurusan 

dengannya"

"Apa salahnya bila berhadapan 

denganku? Bukankah sama saja?" Dularata 

berkacak pinggang di hadapan Kyai 

Sempar.

"Memang! Karena Ki Sapta Nrenggana 

berikut anjing-anjing piaraannya akan 

kuhabiskan hari ini juga!" jawabnya 

cepat. Dularata tercengang mendengar 

perkataan orang tua itu. Ia berjalan 

maju. Baru saja ia berjalan beberapa 

langkah, Kyai Sempar sudah menerjang.

"Deeees!"

Dularata terpental, Ia kelojotan 

tak dapat berdiri lagi.

"Aku yakin bukan kau yang membunuh 

anakku! Tetap diamlah di situ. Setelah 

aku membereskan Ki Sapta Nrenggana, kau 

pun akan kukirim ke akherat!" Sambil 

berkata demikian Kyai Sempar melangkah 

menuju pintu gedung yang sudah terbuka.


Sekalipun dalam keadaan marah, Kyai 

Sempar tidak berani lancang memasuki 

gedung itu.

"Ki Sapta Nrenggana. Keluarlah!" 

teriaknya lantang. Ia berdiri tegang di 

hadapan pintu.

"Ayo keluar dari persembunyianmu, 

Ki. Aku Kyai Sempar meminta tebusan nyawa 

anakku. Keluar!" teriaknya lagi.

Tiba-tiba sebuah benda runcing 

putih mengkilat melesat cepat. Sebuah 

pedang! Kyai Sempar bergeser sedikit.

"Wes!"

Sambaran pedang itu meleset.

"Siapakah orang yang berani 

melempar pedang. Keluar! Tunjukkan 

rupamu!" Tidak ada jawaban.

"Aku yakin, di balik tubuh Ki Sapta 

Nrenggana ada terselip kutu busuk 

berkepandaian tinggi!"

"Hua.. ha.. ha.. ha.. Sudah tahu 

begitu, kenapa tidak cepat-cepat merat 

tua bangka keropos! Kau hanya mengantar 

nyawa ke sini!" terdengar jawaban dari 

dalam. Jelas bukan suara Ki Sapta 

Nrenggana. Dari balik dinding muncullah 

sosok Ki Sapta Nrenggana.

Meskipun wajahnya pucat, tapi 

gerak-geriknya seakan tidak ada rasa 

takut sedikit pun. Melihat kemunculan Ki 

Sapta Nrenggana, Kyai Sempar langsung 

melompat menerjang. Pada saat itu pula 

sosok bayangan cepat berkelebat bagai 

anak panah. Kyai Sempar yang selalu awas


dapat melihat walaupun hanya selintas.

Maka ia menggerakkan lengan kirinya 

menghantam sosok yang melesat tadi.

"Blaaaak!"

Hantaman itu tepat mengenai. Sosok 

itu berjumpalitan di udara, kemudian 

hinggap tanpa bersuara di lantai.

Ki Sapta Nrenggana bermaksud 

melarikan diri, tapi Kyai Sempar yang 

gerakannya bagaikan setan menahan. 

Bahkan, Sempat menarik lengan Ki Sapta 

Nrenggana. Di luar dugaan....

"Kreeek!"

Tendangan Kyai Sempar yang keras 

mematahkan tulang lengan kiri Ki Sapta 

Nrenggana.

"Arrrrrrgth...!" Ki Sapta Nrenggana 

menjerit tidak kepalang tanggung. Lengan 

kanannya memegangi bagian lengan kirinya 

yang terasa sakit.

"Wuaaaa.... Lenganku! Lenganku!" 

teriaknya histeris.

Kyai Sempar menghantam sekali lagi 

dengan tinjunya. Tapi sebelum tinju itu 

mengenai Ki Sapta Nrenggana, sosok 

bayangan tadi melesat menggagalkan 

serangan itu. Ki Sapta Nrenggana 

berlari. Kini keduanya berhadapan.

"Tidak ku sangka.... macam memang 

beranakkan macam.... Tapi sayang seekor 

macan muda telah tumbang...! Tidak heran 

kalau macan induk kurat-karet mencari 

pembunuh anaknya" kata sosok tegap yang 

tak lain adalah Gada Rencah.


"Anak muda. kita akan mengadu nyawa" 

kata Kyai Sempar.

"Seharusnya memang demikian" jawab 

Gada Rencah. "Mencabut pohon, lebih baik 

dengan akar-akarnya. Bukankah begitu?" 

Gada Rencah menyeringai.

Sudah tentu Kyai Sempar merasa 

terhina, dengan disertai amarah Kyai 

Sempar melancarkan serangan.

"Splaaak!"

Gada Rencah dapat menangkis 

serangan tersebut! Setelah menangkis, ia 

melompat ke luar. Kyai Sempar mengikuti 

dengan lesatan tubuhnya. Memang cukup 

leluasa. Di halaman muka gedung itu cukup 

luas. Setelah melompat keluar, Gada 

Rencah bersiap-siap kembali. Dan 

ternyata memang benar. Kyai Sempar maju 

menyerang. Pukulannya yang disertai 

tenaga dalam berkelebat memutar di atas 

kepala Gada Rencah. Ia tidak merunduk. 

Gada Rencah dapat menangkisnya dengan 

sebelah lengan.

"Deeees!"

Kyai Sempar memberi lagi sebuah 

pukulan. Gada Rencah cepat melompat 

keatas. Kedua tangannya merentang.

Tahu-tahu, kedua telapaknya menghantam 

punggung Kyai Sempar. 

"Des...! Des!"

Hantaman-hantaman itu cukup keras, 

Kyai Sempar sendiri merasakannya. Maka 

ia cepat berbalik sembari mengatur 

nafas. Sungguh gila! Seorang anak muda


dapat melancarkan serangan terhadap 

dirinya. Dengan disertai amarah yang 

membara, Kyai Sempar melancarkan 

pukulannya. Gada Rencah menyambut dengan 

pukulan andalannya....

"Bluaaar!"

Kyai Sempar memekik hebat. Seluruh 

persendian jari-jari tangannya terasa 

ngilu. Rasa ingin membunuh anak muda itu 

semakin berhasrat. Maka ia segera 

menghimpun seluruh tenaga dalamnya. 

Paling tidak, harus ada salah satu yang 

keluar sebagai pemenang. Dirinya atau 

sebaliknya.

Gada Rencah lebih berhati-hati 

lagi. Ia menatap lawannya masih dapat 

berdiri te-gak. Meskipun Kyai Sempar 

sudah terkena pukulan 'Tinju Pasir 

Wesi'.

Gada Rencah menganggap sukar untuk 

melumpuhkan lawannya. Diam-diam ia 

menyalurkan tenaga pada kedua telapak 

tangannya. Dan di saat Kyai Sempar melom-

pat ke arahnya, Gada Rencah tidak kalah 

gesit menyambut. Dua sosok tubuh ber-

jumpalitan di udara, bagai dua ekor 

Rajawali saling terjang. Pukulan Kyai 

Sempar tepat mengenai muka. 

"Des!"

Keduanya masih berada di udara, Gada 

Rencah membalas cepat. 

"Der!"

Tinju Gada Rencah menghantam tidak 

kalah kerasnya di dada Kyai Sempar Kedua


nya jatuh ke tanah. Posisi mereka tetap 

berdiri saling menatap. Darah mengalir 

dari hidung Gada Rencah. Sementara itu 

Kyai Sempar menyemburkan darah dari 

mulutnya. Melihat itu, Gada Rencah 

melompat lagi melancarkan tendangan 

memutar.

"Bug!"

Kyai Sempar terbanting, tubuhnya 

membentur tiang pilar. Pandangannya 

langsung kabur. Mulutnya terbuka seperti 

hendak mengatakan sesuatu. Mendadak ia 

mengejang kaku, kemudian ambruk dengan 

nafas terhenti.

* * *

TUJUH



Alur sungai itu memanjang menuju ke 

sebuah jeram. Dari kejauhan sudah terde-

ngar suara air terjun jatuh menimpa deras 

bebatuan. Arus sungai itu pun semakin 

kencang ketika mendekati jeram. Di kedua 

sisi sungai banyak ditumbuhi pohon-pohon 

besar, membuat kedua sisi itu menjadi 

gelap dan menyeramkan.

Sesuatu mengambang di permukaan su-

ngai terbawa arus yang demikian kencang. 

Sebuah ranting kering yang cukup besar. 

Terapung-apung menuju ke arah jeram. Se-

suatu ikut terbawa di atas ranting itu. 

Sosok. tubuh yang telah membiru dengan

bekas-bekas luka memar. Tubuh seorang 

lelaki.

Dari arah pepohonan yang gelap sosok 

tubuh besar berlompatan ke arah jeram 

seakan-akan ingin mendahului ranting 

pohon yang mengapung terbawa arus. 

Dengan gerakan-gerakan yang sangat aneh, 

sosok besar itu terus melompat. 

Kadang-kadang sosok besar itu 

berayun-ayun dari cabang pohon ke cabang 

pohon lainnya. Dengan begitu ia cepat 

mencapai jeram. Lalu sosok besar itu 

turun ke sungai. Meskipun arus itu 

demikian kencang, sosok itu berjalan 

melawan arus menyambut sebatang ranting 

yang makin lama makin mendekat.

Jari-jari tangannya yang runcing 

bagai mata jarum menahan ranting 

tersebut. Kemudian ia meraih tubuh yang 

tersangkut. Membawanya dengan sebelah 

lengan. Jauh sekali perbedaan tubuh 

mereka. Sosok besar itu, empat kali lebih 

besar dari tubuh lelaki yang dibawanya.

Dengan susah payah ia berjalan ke pinggir 

sungai. Gerakannya sekarang jadi lamban, 

mungkin karena ia membawa beban. Dan lagi 

harus melawan arus yang demikian kencang 

nyaris melempar mereka ke dalam jeram. 

Ranting kayu tadi sudah tidak nampak 

lagi. Mungkin sudah jatuh hancur 

membentur bebatuan di dasar air terjun.

Dan ketika jari-jari yang runcing 

itu mencapai akar pohon merambat ke


pinggiran sungai, sosok besar itu

mengeluarkan suara yang amat mengerikan.

"Grooooooarr!"

Dengan bantuan akar itu ia dapat 

naik ke tepian sungai. Tanpa menoleh ia 

terus berjalan membawa tubuh yang dingin 

tak bergeming ke dalam kegelapan 

lebatnya pepohonan.

Telapak kakinya membekas di tanah.

Cukup besar. Dan tidak mirip dengan 

telapak kaki manusia. Tubuhnya yang nam-

pak setengah membungkuk menyeruak 

menerobos semak-semak belukar. 

Lengannya yang besar melindungi setiap 

kali semak berduri menyerempet tubuh 

lelaki yang dibawanya.

Jalan yang dipijaknya bukan lagi 

tanah, kini mereka harus melalui 

hamparan batu sebesar kepala bayi. Itu 

berarti sudah tidak ada lagi pepohonan 

maupun semak belukar, kecuali rerumputan 

yang menyembul dari celah-celah hamparan 

batu. Memang betul tempat itu lebih mirip 

sebuah lapangan yang dikelilingi 

pepohonan yang cukup tinggi.

Di tengah lapangan berbatu, nampak 

sebuah reruntuhan bekas bangunan megah. 

Bentuknya sudah tidak karuan lagi. 

Sekeliling bangunan itu berderet 

anak-anak tangga. Pada dinding-

dindingnya membekas seperti ukiran-

ukiran timbul yang hampir pudar. 

Tiang-tiang atapnya masih nampak kekar,


malah atapnya yang sudah sebagian 

runtuh.

Sosok besar itu berjalan menaiki 

anak-anak tangga. Lalu memasuki 

reruntuhan bangunan itu. Ia memandangi 

seluruh ruangan itu, kemudian berjalan 

menuju ke suatu tempat yang agak bersih. 

Diletakkannya tubuh dingin di atas 

lantai.

Matahari dapat menembus langsung ke 

tempat itu. Menembus dari atap bangunan 

yang rusak, menggarang tubuh yang 

terlentang di lantai. Sosok besar itu 

memandangi raut wajah lelaki yang 

terlentang di bawahnya. Sebentar 

kemudian ia berjingkat-jingkat. Lalu 

kepalanya menggeleng perlahan ke samping 

kiri dan kanan, kedua bola matanya yang 

besar bersinar memandang aneh.

Ia melangkah ke sudut ruangan yang 

agak gelap. Di situ ia merangkak. 

Jari-jari tangannya yang runcing 

mengorek-ngorek sesuatu yang 

bergerumulan di sela-sela tembok bagian 

bawah. Seperti tumbuhan jamur 

sebesar-besar ibu jari. Ia mengumpulkan 

jamur-jamur yang berjatuhan ke lantai.

Hawa panas merambat pada tubuh yang 

terlentang di lantai. Dadanya nampak 

naik turun meskipun pelan. Sebelah 

lengannya bergetar. Jari-jari tangannya 

bergerak-gerak. Kelopak matanya yang 

tertutup rapat membuka perlahan. Lelaki 

itu mengerang merasakan sekujur tubuhnya


terasa sakit. Mendengar erangan itu 

sosok besar langsung bangkit berlari 

mendekati. Dua telapak tangannya yang

besar banyak mengumpulkan jamur.

Pandangan lelaki itu masih kabur. 

Meskipun demikian ia dapat melihat sosok 

hitam besar berdiri di sebelahnya. Lama 

kelamaan penglihatannya berangsur 

pulih. Kedua matanya terbelalak lebar.

Sesaat melihat jelas sosok bayangan di 

sampingnya. Seekor Beruang berbulu 

coklat kehitaman! Spontan ia kaget dan 

menyeret mundur dirinya. Sosok besar 

yang ternyata seekor beruang hanya diam 

memandang Mulutnya menyeringai 

menampakkan gigi-gigi serta taring yang 

putih berkilat. Lelaki itu semakin 

takut. Ia terus mundur sampai 

punggungnya menyentuh tembok. Beruang 

itu melangkah maju. Menghadapi binatang 

buas sebesar itu tidak mungkin bisa, 

apalagi keadaannya sudah begitu parah. 

Ia meraih apa saja yang ada di situ, dan 

melemparkan ke arah beruang yang tetap 

berjalan mendekati. Lelaki itu kaget 

sekali ketika ia meraih sekali lagi, 

ternyata ia baru dapat melihat. Semua 

yang dilemparkan tadi adalah beberapa 

tulang tengkorak. Cukup besar. Tentunya 

bukan tengkorak manusia. Dan memang 

banyak menghampar tulang belulang di 

lantai bangunan itu.

Keadaan tubuhnya makin lemah, ia su-

dah tidak dapat lagi bergerak, manakala


beruang itu sudah berada dekat. Semakin 

dekat menghampiri. Tiba-tiba mahluk 

menyeramkan itu menghentikan langkah-

nya. Ia merunduk melepaskan jamur-jamur 

di samping lelaki yang ketakutan. Dengan 

aneh, beruang itu memberikan isyarat 

agar jamur-jamur itu segera dimakan. 

Berkali-kali beruang memberikan isyarat 

yang sama.. Tapi lelaki ini belum juga 

mengerti. Beruang itu merunduk mengambil 

sebuah jamur, lalu ia sendiri 

memakannya. Lelaki itu diam melihat 

tingkah laku si beruang, Ia baru mengerti 

kalau beruang itu menginginkan perbuatan

yang sama. Memakan jamur. Apa maksudnya? 

Apakah setelah ia memakan jamur-jamur 

itu, barulah beruang itu akan melahap 

dirinya? Ia berpikir terus? Aneh juga! 

Seekor binatang buas, sebelum memangsa 

korbannya terlebih dahulu diberi makan.

Lucu! Apakah kebiasaan beruang memang 

demikian?

Lelaki itu merasa lega, karena 

mahluk menyeramkan itu berjalan mundur. 

Langkah-langkahnya yang berat menuju ke 

sudut ruangan gelap. Lalu ia duduk di 

situ. Ia memberi isyarat lagi. Dengan 

memberanikan diri lelaki itu meraih 

beberapa buah jamur. Memakannya atau 

tidak hasilnya sama saja. Beruang 

keparat itu pada akhirnya pasti akan 

mencabik-cabik tubuhnya dan kemudian 

melahapnya, kata lelaki itu dalam hati. 

Maka dengan sekali suap empat buah jamur


sekaligus dikunyahnya. Melihat itu si 

Beruang berjingkrak-jingkrak kegira-

ngan. Suara raungan aneh memenuhi 

ruangan itu. Tapi....

"Arkhhhhhhhh...!"

Tiba-tiba saja lelaki itu 

kelojotan. Tubuhnya menggelepar-gelepar 

di lantai. Seakan-akan ada sesuatu yang 

bergelora dalam badannya. Seluruh tubuh 

mengeluarkan keringat sebesar-besar 

biji jagung. Beruang itu tetap 

berjingkrak-jingkrak kegirangan. Tubuh 

yang telah dibanjiri oleh keringat itu 

bergetar hebat sambil terus 

berkelojotan. Sesaat kemudian masa 

krisis itu telah lewat, nafasnya

terengah-engah saling memburu, ia tidak 

merasakan getaran itu lagi. Hawa panas 

pun telah hilang. Beruang itu datang 

mendekat. Dan begitu lelaki itu berusaha 

bangkit. Lengan Beruang menyambar 

menarik tubuhnya. Menyeret ke suatu 

tempat, meskipun ia meronta-ronta 

cengkraman Beruang semakin kuat.

Ruangan itu sangat gelap, tapi masih 

dapat dilihat. Betapa kotor dan 

semrawutnya ruangan tersebut. Tulang-

tulang tengkorak berserakan di 

mana-mana, juga bau busuk sangat 

menyengat hidung. Laki-laki itu yakin 

sekali kalau tulang-tulang tengkorak itu 

bukanlah tulang belulang manusia. Karena 

nampak tulang-tulang itu begitu besar.. 

Lagi pula masih ada tersisa bekas kulit


berbulu lebat yang menempel pada 

tulang-tulang tersebut. Jadi ia 

memastikan tempat itu adalah kuburan 

para beruang.

Ia tidak sempat memikirkan itu lagi. 

Karena dengan tiba-tiba tubuhnya terban-

ting keras. Beruang itu menyingkirkan 

tumpukan tulang belulang di hadapannya. 

Kaki serta kedua lengannya 

bergerak-gerak membersihkan tempat 

itu.. Pada lantai itu terdapat batu 

lantai berwarna paling lain. Juga paling 

menonjol ke luar. Beruang itu menarik 

keluar batu lantai yang menonjol. 

Sebentar saja batu itu terangkat ke atas. 

Maka terlihatlah sebuah lubang menuju ke 

ruangan bawah. Si Beruang menarik kem-

bali tubuh lelaki itu, kali ini ia 

membawanya menyusuri tangga batu yang 

terdapat dalam lubang. Dan bukan main 

terkejutnya. Seluruh ruangan itu nampak 

terang benderang oleh cahaya api yang 

terdapat di tengah ruangan dinding batu 

itu seluruhnya dipenuhi dengan 

ukiran-ukiran yang sangat menakjubkan.

Beruang itu langsung membawanya ke 

suatu tempat. Ia melemparkan lelaki itu 

sampai tersungkur. Kepalanya terasa 

pening. Ketika wajahnya terangkat. Ia 

hampir tidak percaya dengan apa yang 

dilihatnya. Seorang kakek dengan rambut 

serta janggut panjang memutih, duduk 

bersila di atas sebuah batu pualam hijau.


Wajah kakek itu demikian tenang, 

garis-garis lekuk yang semestinya 

keriput tidak ada sama sekali. Tubuh yang 

putih licin bagai plastik itu terbungkus 

oleh kain hijau. Laki-laki yang baru 

datang masih terheran-heran memandang. 

Apalagi setelah melihat beruang di 

sebelahnya mendekati kakek itu dan 

langsung merunduk seperti seseorang yang 

sedang bersujud menyembah. Laki-laki itu 

jadi ikut-ikutan menyembah.

"Maaf, Kek.... Bukan maksudku 

sengaja mengganggu tempat pertapaan ini.

Sungguh... Aku sendiri pun tidak tahu 

mengapa aku harus berada di sini. Semua 

ini gara-gara dia" Wintara bersujud, 

tangannya menunjuk ke arah beruang yang 

masih bersujud pula.

"Seandainya kakek merasa terganggu. 

Kakek boleh menghukum saya. Itu lebih 

baik, daripada menjadi isi perut 

binatang itu. Sekali lagi saya memohon.

Ampunilah saya. Saya bersedia menerima 

hukuman apa pun"

"Groaaaaaaar...!"

Terdengar suara yang amat 

mengerikan.

Laki-laki itu langsung mengangkat 

wajahnya. Di atas batu pualam hijau sudah 

tidak ada lagi kakek yang duduk bersila. 

Sungguh aneh! Ke mana perginya? Lelaki 

itu mendengar suara langkah kaki yang de-

mikian berat. Cepat ia berlari, ia 

mengira beruang itu telah membawa untuk


disantap. Maka ia langsung berlari 

menuju ke arah suara yang menyeramkan 

tadi. Benar saja! Ia melihat jelas tubuh 

kakek kurus itu berada dalam dekapannya. 

Pastilah beruang itu telah mengoyak 

tubuhnya, secepat kilat lelaki itu 

melompat melancarkan sebuah tendangan. 

Dan begitu tendangan itu mengenai bagian 

belakang tubuh beruang, lelaki itu 

memekik hebat. Beruang itu tidak 

bergeser sedikit pun. Malah lelaki itu 

yang terlempar jauh. Sungguh luar biasa.

Lelaki itu sendiri mendadak kaget.

Dari mana ia mendapatkan tenaga untuk 

bangkit berdiri, dan sampai sanggup 

melancarkan sebuah tendangan? 

Sebelumnya dari itu, ia tidak lebih 

bagaikan sebatang tonggak yang tak 

berguna. Sekarang betul-betul dirasakan 

aneh! Ia melihat luka-lukanya masih 

membekas, bahkan ada yang masih 

mengeluarkan darah. Kenapa semua itu 

tidak dirasakannya sama sekali? Ia 

memandangi sekeliling ruangan bawah 

tanah, Nampak bergerombol tumbuhan jamur 

melekat di dinding-dinding batu. 

Mungkinkah semua ini karena pengaruh 

jamur-jamur yang dimakannya tadi? Kalau 

benar, tentunya beruang itu tidak ada 

maksud jahat terhadap dirinya. Tapi ia 

berbalik mikir, apa sebenarnya yang 

diinginkan beruang itu. Maka ia terus 

mengikuti langkah-langkah si Beruang. Ia 

memasuki sebuah ruangan lagi. Di situ


tersedia sebuah peti mati dari Kayu Jati 

yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran. 

Hati-hati sekali beruang itu memasukan 

tubuh kakek yang bersila di atas batu 

pualam hijau. Di dalam peti mati kakek 

itu seperti tidur layaknya. Beruang itu 

mengangkat penutup peti mati. Ia 

berusaha menutup, tapi percuma. Posisi

kakek itu tetap bersila kaku, penutup 

peti itu tidak dapat menutup rapat.

Melihat itu lelaki yang membuntuti 

langsung datang membantu. Beruang itu 

merangkul punggungnya. Sekarang orang 

itu tidak takut lagi. Ia sudah 

betul-betul mengerti apa yang akan 

diperbuat si Beruang itu. Dan ia pun 

melihat posisi kakek itu tetap bersila, 

sekalipun tubuh renta itu telah 

terbaring dalam sebuah peti mati.

Perlahan lelaki itu mengusap kedua 

kaki yang kaku bersila, ia membacakan 

serentetan mantra sambil mengelus-elus 

perlahan. Lalu dengan perlahan pula ia 

menarik kaki kakek itu sekaligus. Maka 

kedua kaki yang semula bersila kaku, kini 

lemas terjulur ke depan. Beruang itu 

langsung menutup peti mati, nampak 

begitu berat. Kedua lengannya yang besar 

bergetar mengangkat penutup peti yang 

terbuat dari batu. Tanpa diperintah 

lagi, lelaki itu datang membantu. 

Mendapat tenaga tambahan barulah peti 

itu dapat tertutup rapat sebagaimana 

mestinya.


Beruang itu berjingkrak-jingkrak.

Sebelah lengannya memeluk tubuh lelaki 

itu. Ia membawanya mengelilingi peti 

mati. Dan menunjukkan sesuatu yang 

tergambar pada sekeliling peti mati 

marmer. Lelaki itu memperhatikan 

beberapa gambaran timbul. 

Gambaran-gambaran itu seperti 

gerakan-gerakan seseorang yang telah 

memperagakan jurus-jurus maut secara

berurutan. Tahulah ia sekarang. Kakek 

itu telah meninggalkan beberapa jurus 

ilmu silat yang langka di dalam ruangan 

bawah tanah. Di luar kesadarannya lelaki 

itu mulai mengikuti beberapa gerakan.

"Groaaaar! Groaaaaar!"

Beruang itu berjingkrak-jingkrak 

kegirangan tanda setuju.

* * *

Lengan kiri Ki Sapta Nrenggana masih 

membengkak terbungkus kain yang 

menyerong kepundaknya. Padahal sudah dua 

minggu ia mengobatinya secara rutin. 

Lukanya memang cukup parah. Persehdian 

sikutnya remuk, kalaupun sembuh tentunya 

ia tidak dapat menggerakkan sebelah 

lengan. Ia masih ingat betul peristiwa 

tersebut. Rasa sakitnya pun masih 

membayang terus. Sehingga ia tidak dapat 

melakukan apa-apa di rumah sebesar itu. 

Untung saja Gada Rencah bermaksud 

menetap lama di situ. Ki Sapta Nrenggana


sendiri yang mengangkat Gada Rencah 

menjadi pengawal pribadinya. Dularata 

memanggil orang-orang sekampungnya 

untuk bekerja pada Ki Sapta Nrenggana.

Maladewi tersekap dalam sebuah 

kamar yang bersih dan dipenuhi aroma 

wewangian. Setiap hari tersedia makanan 

yang cukup mewah, namun jarang sekali ia 

memakannya. Kecuali lapar betul.

Pintu kamar terbuka, Maladewi tidak 

menoleh. Pastilah seorang pelayan yang 

akan memberi makan malam untuknya. 

Dugaannya meleset! Ternyata orang yang 

masuk ke dalam kamar itu tidak lain Ki 

Sapta Nrenggana dengan lengan kiri 

terbalut menggantung di dada. Senyumnya 

menyeringai, ia melangkah mendekati. 

Maladewi langsung bangkit menyingkir.

"Jangan begitu, Dewi. Ini malam 

pertama kita...."

"Pergi! Jangan dekati aku. Pergi!"

Ki Sapta Nrenggana makin dekat. Ia 

langsung memeluk tubuh elok itu. 

Maladewi mendorong berusaha lari

"Aaaaarght!" Ki Sapta Nrenggara 

berteriak. Sewaktu Maladewi mendorong 

ternyata lukanya tersentuh keras.

Dularata dan Gada Rencah yang 

mendengar teriakan itu langsung menyusup 

ke dalam kamar. Maladewi yang bermaksud 

lari terhalang oleh kedua orang itu. Ia 

gelagapan ketika Dularata mendadak 

membekuknya.


* * *

DELAPAN



"Ikat dia...!" Ki Sapta Nrenggana 

meringis menahan sakit. Lukanya 

berdenyut. Dularata membawa Maladewi ke 

samping tempat tidur, lalu membantingnya 

dengan kasar.

"Ikat kedua tangan dan kakinya, 

Dularata.... Ikat yang kencang!" 

perintah Ki Sapta Nrenggana.... Gada 

Rencah diam saja berdiri memandangi 

gadis yang meronta-ronta di atas 

ranjang. Dularata keluar kamar.

Maladewi beringsut ke pojokan 

ranjang menatap takut.

"Kau tidak bisa menolak keinginanku 

lagi, Dewi. Kau bakal jadi istriku! 

Kenapa mesti takut? Diam sayang He... 

he... he...he...." Ki sapta Nrenggana 

mendekati. Maladewi langsung menendang, 

untunglah Ki Sapta Nrenggana cepat 

bangkit dari tempat itu. Dularata 

kembali lagi memasuki kamar dengan 

membawa beberapa utas tali sebesar 

telunjuk.

"Rupanya sengaja agar aku berbuat 

kasar. Bangsat! Ikat!" kata Ki Sapta 

Nrenggana marah. Dularata langsung 

membekap menubruk. Maladewi meronta-

ronta. Namun tenaga Dularata lebih 

bestir. Dalam sergapan itu Maladewi 

tidak mampu bergerak. Dularata berhasil


mengikat kedua pergelangan tangannya 

merentang pada tiang-tiang ranjang.

"Kaki! Kakinya juga diikat!"

Dularata menyusur ke bawah. Untuk 

mengikat kedua kakinya ia mendapat 

kesulitan. Kedua kaki itu meronta-ronta 

menendang. Kain Maladewi tersingkap, 

maka terlihatlah kemulusan yang luar 

biasa. Ki Sapta Nrenggana menelan ludah. 

Cepat-cepat ia membantu memegangi kaki 

Maladewi dengan sebelah tangannya. Maka 

Dularata dapat lebih mudah mengikat 

kedua kaki Maladewi satu persatu.

"He.. he.. he.. he.. " Ki Sapta 

Nrenggana memandangi tubuh terlentang 

mengang-ang di atas ranjang itu. 

Maladewi terus meronta-ronta, tapi 

tali-tali pengikat itu begitu kuat.

"Kalian berdua keluarlah" kata Ki 

Sapta Nrenggana menatap Gada Rencah dari 

Dularata. Keduanya berbalik 

meninggalkan kamar. Ki Sapta langsung 

mengunci pintu dari dalam. Senyumnya 

buas terarah pada Maladewi.

Telapak tangan kanannya mengelus-

elus pipi Maladewi. Terasa halus sekali. 

Pandangannya liar menyusuri seluruh 

tubuh itu. Maladewi meronta lagi. 

Telapak tangan itu turun ke bagian dada.

Menyusup ke balik baju. Ia menyentuh 

benda kenyal berputing, meremasnya.

"Keparat! Lepaskan aku! Lepaskan!" 

Gadis itu terlentang menjerit-jerit. 

Mendadak Ki Sapta Nrenggana menarik baju


kebaya itu. Maka tersembullah dua 

gundukan daging bergoyang-goyang.

"Iblis terkutuk. Bunuh saja aku!" 

Dadanya tersengal-sengal membuat Ki Sap-

ta Nrenggana semakin berani. Kain 

pembungkus tubuhnya mengendur. Lelaki 

itu semakin mudah membukanya.

"Aaaaahh.... Waaaa.... Waaaa...!" 

Maladewi meronta-ronta kali ini lebih 

hebat, ranjang itu berderak-derak seakan 

mau terbalik. Tanpa selembar benang pun, 

tubuh Maladewi terlentang dengan kedua 

kaki mengangkang lebar terikat. Ki Sapta 

Nrenggana melepaskan ikat pinggangnya. 

Tiba-tiba....

"Braaaak!"

Pintu kamar terbuka lebar! 

Seseorang memasuki kamar itu.

"Gada Renca! Mau apa kau!" Ki Sapta 

Nrenggana membentak.

"Aku menginginkan gadis itu 

sekarang Ki! Sekali ini saja." kata Gada 

Rencah tenang. Ki Sapta Nrenggana 

melotot.

"Apa...?"

Gada Rencah mendekati Ki Sapta 

Nrenggana, ia mencekik lehernya dengan

sebelah lengan.

"Tanpa aku, mana bisa kau 

mendapatkan gadis itu, Ki? Apakah aku 

yang telah bersusah payah tidak boleh 

menikmatinya?"


"Kau bawahanku Gada Rencah. Gadis 

itu milikku. Lagipula aku telah membayar 

mahal untukmu"

"Hentikan ocehanmu Ki Sapta 

Nrenggana. Aku hanya menginginkannya 

sekali ini saja. Atau aku harus 

mematahkan sebelah lenganmu lagi?"

Ki Sapta Nrenggana diam, ia tidak 

berani melawan. Dia hanya diam dengan 

rona muka yang memerah. Kekesalannya 

hampir meledak di dalam jantung. Sungguh 

berani. Seorang bawahan atau seorang 

pengawal bertindak seperti itu.

"Kau boleh tetap di sini. Atau lebih 

baik ke luar, Ki" Gada Rencah membuka 

pakaiannya. Kemudian berjalan ke samping 

ranjang.

"Jangan.... Jangannnnn." Gadis itu 

berusaha berontak. Gada Rencah tidak 

perduli. Ia terus naik ke atas ranjang, 

langsung menunggangi seekor kuda betina 

yang meronta-ronta dengan disertai 

jeritan jeritan histeris.

* * *

Udara dalam sebuah ruangan bawah ta-

nah masih tetap pengap. Bau busuk 

menyebar menyengat hidung. Sebuah peti 

mati dari batu marmer tergeletak di 

tengah ruangan itu. Banyak kulit-kulit 

binatang tergantung di dinding 

menghiasi, membuat kesan ruangan itu 

semakin pengap. Dua tahun yang lalu


kulit-kulit binatang itu tidak ada sama 

sekali. Mungkin lelaki muda yang 

terkurung di situ sengaja 

mengumpulkannya.

Sekarang lelaki muda itu duduk 

berhadapan dengan seekor beruang yang 

nampak duduk lesu. Lelaki itu mengunyah 

beberapa buah jamur sambil memandangi 

sahabatnya yang empat kali lebih besar 

dari tubuhnya.

"Akhir-akhir ini kau selalu murung. 

Ada apa? Bukankah kau yang menginginkan 

aku harus bersamamu di sini. Semua 

jurus-jurus yang tergambar pada peti 

mati itu telah habis kupelajari.

Seharusnya kau bergembira" kata lelaki 

muda itu sambil bangkit berdiri. Bajunya 

yang telah koyak bergerak-gerak setiap 

ia melangkah. Beruang itu tetap diam, 

tidak mau menjawab walaupun dengan 

bahasanya. Lelaki itu mendekat 

mengelus-elus bulu yang berwarna coklat 

kehitaman. Dari kedua kelopak mata 

binatang itu yang sayu mengeluarkan 

beberapa tetes air mata. Lalu lengannya 

yang besar bergerak mendorong tubuh 

lelaki itu. Kemudian memberikan bahasa 

isyarat. Lelaki itu mengernyitkan alis.

"Apa? Kau mengusirku? Apa-apaan kau 

ini. Kita sudah bersumpah sehidup 

semati. Sekarang kau mengusirku. Tidak! 

Aku tidak mau pergi!"


"Wes...! Wes...!" Beruang itu 

melemparkan tulang-tulang tengkorak 

yang berada di situ.

"Praaaak...!"

Kedua tulang itu hancur bersamaan 

oleh kibasan lengan lelaki itu. Si 

Beruang bangkit, dengan sekali lompatan 

ia menyambar salah satu kulit yang 

tergantung. Lalu dilemparkannya lagi ke 

arah si pemuda yang tidak mengerti 

melihat tindakannya. Lelaki muda itu 

langsung menyambar. Kemudian ia melihat 

lengan beruang tersebut bergerak-gerak 

memberi isyarat.

"Oooooo.... Aku harus mengganti 

bajuku yang telah koyak dengan kulit ini? 

Baik, Aku turuti kemauanmu" katanya 

setelah melihat isyarat itu.

Beruang itu maju mendorong-dorong 

ke luar lelaki muda itu. Sungguh aneh! 

Apa maksudnya. Lelaki itu berjalan 

mundur, ia berdiri memandangi 

gerak-gerik si Beruang. Tiba-tiba.

"Grek.... Grek.... Gregeeeeek...!"

Pintu batu ruangan itu tertutup 

hampir mengunci si Beruang dalam ruangan 

peti mati, cepat lelaki itu melompat 

bermaksud menarik agar beruang itu tidak 

terkunci. Tapi....

"Desss!"

Sengaja beruang itu menendang. 

Tubuh lelaki itu terpental jauh. Dan 

pintu itu telah tertutup rapat mengurung 

beruang yang berada di dalamnya.


Terdengar suara raungan yang sangat 

panjang melengking. Tak lama setelah 

raungan itu berhenti, seluruh tempat itu 

bergetar. Seluruh ruangan bawah tanah 

bergemuruh. Pasir-pasir dan batu-batu 

mulai berjatuhan, hampir saja sebongkah 

batu menimpa lelaki itu.

"Gila.... Seluruh ruangan ini akan 

ambruk" Baru saja ia berkata demikian, 

sebuah tiang retak kemudian patah jatuh 

berdebum di lantai. Ruangan itu jadi 

gelap, karena api yang menyala di ruangan 

tengah telah tertimbun pasir dan 

puing-puing batu. Lelaki muda itu 

langsung melompat ke arah tangga. Ia 

belum juga pergi dari situ. Merasa 

keberatan meninggalkan beruang yang 

terkurung.

"Grauuuuuuuuuung!"

Terdengar lagi raungan panjang.

"Tidak beruang! Aku tidak bisa 

meninggalkanmu tertimbun di sini!"

"Grauuuuuuuuuung!"

Seluruh dinding ruangan bawah 

ambruk berjatuhan membuat lantai ruangan 

itu penuh dengan batu-batu. Dari atas pun 

demikian atap-atap runtuh nyaris 

menimbun dirinya.

Dengan terpaksa sekali lelaki muda 

itu berlari menjajaki anak tangga yang 

menuju ke atas. Lengannya yang memegang 

kulit berbulu memutar melindung dirinya 

dari percikan-pereikan batu. Sampai di 

atas, reruntuhan bangunan itu bergetar.


Cepat ia melompat ke luar. Melewati 

sisa-sisa tulang belulang dan 

puing-puing batu. Dan ia hampir tidak 

percaya dengan penglihatannya. Rerun-

tuhan gedung megah itu ambruk melesak ke 

dalam tanah. Yang tertinggal hanyalah 

sederetan anak tangga setengah melingkar 

pada reruntuhan itu. Lelaki itu menarik 

nafas panjang kemudian menghembuskan. Ia 

tidak sudah sadar lagi ketika melihat 

pakaiannya yang koyak tidak melekat di 

tubuhnya. Mungkin terlepas waktu ia 

menyelamatkan diri dari re runtuhan. 

Teringat akan kulit beruang dalam 

genggamannya, cukup besar dan kuat bila 

ia menggunakannya sebagai penutup

tubuhnya dari hawa dingin maupun panas.

* * *

Batu perbatasan sebuah desa berdiri 

tegak di kedua sisi jalan. Di kedua batu 

itu tertera tulisan KARANG HAMPAR. 

Meskipun huruf relief hampir sebagian 

rontok, tapi masih jelas terbaca.

Rumah-rumah penduduk banyak 

berkelompok-kelompok. Para penduduknya 

sibuk menyusun padi di lumbUng. 

Anak-anak kecil berlarian saling kejar 

bermain. Ada juga para ibu yang nampak 

sedang menampi beras. Seorang lelaki tua 

tengah membelah kayu bakar, melihat 

seorang pemuda berjalan melaluinya. Anak 

muda berperawakan kekar mengenakan


pakaian bulu berwarna coklat kehitaman. 

Rambutnya gondrong sebatas pundak. Ia

berjalan terus, sekalipun kehadirannya 

di desa itu telah menjadi perhatian 

orang-orang kampung.

Langkahnya yang tenang menuju ke sa-

tu tempat. Menyusuri jalan berkelok, me-

lewati sebuah parit dengan jembatan dari 

batang pohon kelapa. Kemudian menembus 

sebuah perkebunan.

Sebuah rumah besar berdiri sunyi. 

Sebagian rumah itu telah hancur. Nampak 

seperti terbakar. Masih kelihatan 

sisa-sisa arang pada tiang-tiang kayu. 

Genting-genting sudah banyak berjatuhan 

di tanah, di halaman rumah banyak 

ditumbuhi rumput-rumput liar. Pemuda itu 

menatap dengan pandangan tajam. Kedua 

telapak tangannya mengepal keras, ketika 

melihat dua gundukan tanah di samping 

rumah. Dua gundukan tanah disertai 

masing-masing sebuah nisan.

"Gada Rencah. Pastilah dia yang 

melakukan ini semua. Tunggulah! Kita 

akan berhadapan lagi. " katanya dengan 

nada pelan. Lalu ia berlalu meninggalkan 

tempat itu. Tatapannya seperti kosong ke 

depan. Tidak diperdulikannya orang-

orang yang memperhatikan. Ia terus lewat 

dan berlalu menembus ke jalan lurus yang 

menghubungkan ke desa Tapis Ledok.

Dari kejauhan desa tersebut sudah 

nampak, rumah-rumah penduduk nampak 

seperti titik-titik yang berwarna



warni. Pepohonan yang menghijau nampak 

berderet membatasi.

Dari dulu desa Tapis Ledok memang 

selalu ramai, dari pasar, tempat 

perjudian maupun tempat pelacuran ada di 

situ. Siang malam desa itu selalu saja 

banyak didatangi para pendatang. Seperti 

halnya pada siang itu. Warung Bi Wikurnah 

ramai didatangi oleh para pelanggannya. 

Hampir bangku-bangku panjang yang 

mengelilingi meja berisi dagangan penuh. 

Birdun duduk paling tengah, sebelah 

kakinya naik ke atas bangku.

"Aku yakin, ayam jago Ki Sapta 

Nrenggana menang lagi. Aku berani 

pegang" kata Birdun sombong. Tangannya 

menyambar gelas berisi kopi. Lalu 

meneguknya sedikit.

"Siapa yang berani melawan ayam 

miliknya, Kang. Semua orang tahu, Si 

Kliwon sudah menang bertarung sebanyak 

delapan belas kali. Kang Birdun kan tahu 

sendiri. Ayam ki Sarwih yang hebatnya 

bagaimana pun dibuatnya terkapar 

bermandi darah. Iya nggak?" kata salah 

seorang yang berada di situ.

"Tapi katanya hari ini Ki Sapta 

Nrenggana akan mengadu dengan ayam milik 

Ki Johar.. Ki Johar tidak perlu bertaruh. 

Asal jago Ki Johar menang, Ki Sapta 

Nrenggana berani membayar dengan 

sekantong uang" yang lain menimpali.

"Aku tetap pegang ayam jago Ki Sapta 

Nrenggana. " kata Birdun mantap.


"Kau berani bertaruh? Aku berani 

membayar sepuluh kali lipat" kata Birdun 

lagi. Orang-orang yang mendengar ucapan 

itu bermkir. Seseorang menyeletuk.

"Baiklah. Aku pegang jago milik Ki 

Johar"

"Boleh! Jika kau menang, kau akan 

mendapat sepuluh kali lipat dari uang 

taruhanmu"

Sosok tubuh kerempeng dengan 

gemetaran menuju warung itu. Telapak 

tangannya terjulur ke depan seperti 

meminta. Suaranya hampir tidak keluar. 

Birdun yang mengetahui datangnya 

pengemis itu langsung menoleh.

"Rasanya aku ampir bosan 

membelikanmu makanan. Apakah tida ada 

pekerjaan lain selain mengemis?" Birdun 

mendongkol. "Kalau terus-terusan 

begini, aku bisa babak belur" katanya 

lagi. Bi Wikunah yang sedang sibuk 

melayani para tamunya melihat juga 

kedatangan pengemis itu.

"Sudah, Dun. Kali ini kau tidak usah 

membelikan makanan. Biar bibi saja yang 

memberi. Kau tidak perlu mengeluarkan 

uang" kata Bi Wikunah. Ia mengemasi 

sebungkus nasi. Pengemis bertubuh ke-

rempeng itu hanya menunduk dengan 

telapak tangan yang masih terjulur. Bi 

Wikunah telah selesai membungkus nasi ia 

bermaksud memberikan bungkusan itu. Tapi 

Birdun langsung menyambar mengambil 

bungkusan itu dari tangan bi Wikunah.


"Biar saya yang memberikannya, Bi" 

kata Birdun. Birdun tetap duduk di 

bangku, ia sengaja menjatuhkan bungkusan 

nasi itu di bawah kakinya. Tubuh 

kerempeng yang gemetaran langsung 

menubruk membuka bungkusan yang berisi 

nasi berikut lauk-pauk. Bagai orang yang 

kelaparan ia melahap makanan itu. Birdun 

menyeringai.

Tahu-tahu sebelah kakinya menginjak 

batang leher lelaki kerempeng itu sampai 

mukanya mencium tanah. Sekaligus Birdun 

menyiram kepala itu dengan kopi.

"Traaaang!"

"Arghhhht...!"

Birdun menjerit. Telapak tangannya 

yang memegang gelas kopi terasa tertimpa 

sesuatu. Gelas yang telah kosong itu ja-

tuh.

"Ternyata masih banyak 

anjing-anjing yang tidak berperasaan di 

kampung ini" ucapan itu jelas terdengar. 

Birdun sendiri sudah dapat melihat 

seorang pemuda berambut gondrong berdiri 

tegak di depan warung. Pemuda yang 

mengenakan pakaian kulit binatang 

membantu pengemis itu bangkit berdiri. 

Birdun keluar dari bangku. Ia langsung 

melancarkan serangan ke arah pemuda itu.

"Plak!"

Pemuda itu menepak, lalu 

tendangannya menyambar.... 

"Bug!"


Menghantam keras, membuat Birdun 

terguling tak dapat bangkit lagi.

"Den Wintara...." katanya seakan 

tak percaya.

"Syukurlah kau masih mengenaliku, 

Mang Bayan... Tak apa-apa, Birdun hanya 

pingsan. Dia memang harus mendapat 

pelajaran seperti itu...." kata pemuda 

itu kepada si pengemis. Mendengar kata 

'Den Wintara' orang-orang yang berada 

dalam waning langsung belingsatan.

* * *

SEMBILAN



Sebenarnya Ki Johar tidak mau 

menurunkan ayam jagonya ke arena 

persabungan. Tapi Ki Sapta Nrenggana 

memaksa, bahkan ia berjanji akan memberi 

uang sekantong bila ayamnya bisa 

mengalahkan si Kliwon. Sekalipun Ki 

Johar tidak perlu mengeluarkan uang 

taruhan. Ki Johar sendiri tahu, kalau 

saja ia menolak. Mungkin akan terjadi 

sesuatu terhadap dirinya.

Sekeliling arena persabungan telah 

dipenuhi oleh para pengunjung yang juga 

akan ikut bertaruh. Ki Sapta Nrenggana 

bersama Dularata duduk paling depan. 

Nampak Ki Sapta Nrenggana mengelus-elus 

leher si Kliwon. Ki Johar sedikit gemetar 

memasuki arena. Ia telah selesai 

memasang kedua pisau kecil di kedua kaki


jagonya. Seorang wasit menerima ayam 

itu. Tak lama pun

Ki Sapta Nrenggana menyerahkan 

ayamnya. Dua buah pisau tajam berkilat 

terikat kuat pada pergelangan kaki si 

Kliwon.

Dua orang lelaki datang memasuki 

arena membantu. Masing-masing membawa 

seekor ayam itu ke arah sudut yang 

berlawanan. Maka para pencandu sabung 

ayam bersorak riuh. Semuanya sudah siap 

bertaruh. Kebanyakan dari mereka 

memegang ayam Ki Sapta Nrenggana. Hanya 

beberapa orang saja yang terpaksa 

menjagoi milik Ki Johar.

"Lepas...!" kata wasit memberi 

aba-aba.

Maka kedua ayam itu saling mener-

jang. Bulu-bulu leher mereka meregang, 

kemudian.

"Jbreeeet!"

Kliwon menghantam lebih dulu. 

Pa-ruhnya menghantam punggung lawannya. 

Jago Ki Johar nampak berlari mundur. 

Suasana tempat itu jadi ramai. Sekali 

lagi Kliwon maju melancarkan hantaman 

dengan sebelah kaki.

"Jbreeeet!"

Jalu pisau mengenai pagian paha. 

Untung cuma tergores. meskipun demikian 

darah tetap mengalir. Ki Sapta Nrenggana 

nampak tersenyum puas. Ki Johar sudah 

yakin, jagonya akan terkapar di arena 

itu.


Kliwon nampak beringas. Kedua kaki-

nya yang kekar siap lagi menghantam. Jago 

Ki Johar berjalan minggir-minggir 

mengelilingi arena. Dan saat Kliwon 

datang menyerang, jago Ki Johar yang 

sudah terluka itu melompat tinggi. Lalu 

kedua cakarnya jatuh menginjak punggung 

Kliwon. 

"Beg!"

Kliwon tersungkur, ia bangkit lagi 

mem-balas serangan. Terjangannya 

bagaikan seekor burung rajawali. 

Sayapnya menghantam sembari kakinya yang 

disertai jalu pisau menghajar sebelah 

muka lawannya. Jago Ki Johar terbanting 

bergulingan. Ki Johar cemas. Apalagi 

melihat jagonya lama tidak 

bangkit-bangkit.

Kliwon melompat, kedua kakinya 

sekali-gus menghantam. Jago ki Johar 

yang masih rebah di tanah langsung 

menyambut. Kedua kakinya bergerak cepat. 

Kliwon memekik. Dada serta temboloknya 

tertembus jalu-jalu pisau. Kliwon 

bergoseran di tanah, Jago Ki Johar nampak 

mengerahkan seluruh tenaganya. Membuat 

Kliwon tidak dapat terlepas dari 

tikaman-tikaman jalu. Semua orang 

mengeluh kecewa. Ki Sapta Nrenggana 

melotot.

"Kliwon tewas! Kliwon tewas!" 

teriak wasit. Memang betul... Setelah 

berkelojotan ia tidak berkutik lagi. 

Jago Ki Johar berjalan limbung


melepaskan tikaman-tikaman jalu pisau 

yang menembus dalam. Para pencandu 

sabung ayam seakan tidak percaya. Kliwon 

yang sudah berpengalaman menang delapan 

belas kali jatuh di tangan jago Ki Johar. 

Sungguh luar biasa jago Ki Johar itu.

Beberapa orang nampak kegirangan 

menerima uang taruhan, bagaimana tidak. 

Mereka berani membayar sepuluh kali 

lipat untuk ayam Ki Johar. Hampir 

semuanya menjagoi Kliwon. Dan sekarang 

mereka betul-betul kena batunya.

Ki Johar memasuki arena dengan 

ketakutan. Ia langsung mengambil ayam 

jagonya yang sudah berlumur darah di 

bagian mukanya. Dan Ki Johar tidak 

bermaksud menuntut sekantong uang dari 

perjanjian Ki Sapta Nrenggana. Ia tidak 

berani. Ia tahu betul siapa dia. Kalau 

saja ia berani meminta, itu sama saja 

membangunkan macan tidur. Maka ia 

melangkah saja menyingkir dari arena.

Mendadak sebuah cengkraman menarik 

tubuhnya. Ki Johar berbalik. Dularata 

langsung menarik ayam jago dari pelukan 

Ki Johar. Ia sendiri tidak dapat 

menahannya. Dan ia begitu kaget melihat 

Dularata membanting jago miliknya, 

bahkan kakinya dengan sangat kencang 

menginjak ayam itu. Jago Ki Johar 

kelepekan. Semua isi perutnya keluar 

dari liang anus. Ki Johar langsung 

menubruk ayam yang sudah remuk itu, tapi.


"Dues!" Dularata menendang tubuh Ki 

Johar. Tentu saja tubuh itu terbanting ke 

belakang. Ki Johar meringis menahan 

sakit. Orang-orang yang berada di situ 

menatap ngeri, mereka tidak ada yang 

berani menolong Ki Johar. Mereka takut 

akan mengalami nasib yang sama. Sekali 

lagi Dularata maju.

"Jangan, Tuan. Jangan. Saya tidak 

bermaksud meminta perjanjian itu Tidak. 

Saya rela ayam saya mati. Jangan. Jangan 

bunuh saya" Ki Johar menangis. Dularata 

terus maju matanya jalang menakutkan.

"Tunggu...!" Sebuah teriakan 

membuat langkah Dularata terhenti 

sekaligus menoleh ke arah suara itu. 

Sosok tubuh melompat masuk ke dalam arena 

sabung. Dularata menatap seorang pemuda 

memakai baju kulit binatang berdiri 

seperti menantang.

"Aku rasa peraturan sabung ayam 

tidak demikian. Tidak berakhir dengan 

pertumpahan darah. Kalau sudah kalah, ya 

sudah. Apakah ini peraturan Ki Sapta 

Nrenggana?" kata pemuda itu yang menatap 

tajam ke arah Ki Sapta Nrenggana. Merasa 

ditatap sedemikian rupa Ki Sapta 

Nrenggana jadi salah tingkah.

"Anak muda. Pergilah dari sini! Aku 

tidak bermaksud membunuh dua orang di 

sini!" kata Dularata sengit. Dari mana 

pemuda asing ini mengenali majikannya?

Siapa sebenarnya dia. Dularata maju 

ke depan beberapa langkah.


"Mau bunuh boleh! Tapi bayar dulu 

uang ganti rugi jago Ki Johar, itu baru 

namanya adil" kata pemuda itu tenang. Du-

larata menoleh ke arah Ki Sapta 

Nrenggana, majikannya memberi isyarat 

dengan anggukkan kepala. Maka Dularata 

langsung mengerahkan tinjunya. 

"Mampus kau pemuda usil...!"

Pemuda itu merunduk, tinju Dularata 

meleset. Masih dalam keadaan merunduk, 

pemuda ini yang ternyata tidak lain 

adalah Wintara memutar lengannya.

"Plak!"

Tinju itu beradu. Dularata 

terpelanting hebat. Wintara nyengir.

Sungguh dahsyat! Lengan Dularata seperti 

terasa patah. Tapi ia berusaha 

menyembunyikan rasa sakitnya. Ia 

melompat lagi. Tendangannya bergerak 

cepat. Wintara melesat ke atas, tubuhnya

berjumpalitan di udara, tahu-tahu 

sebelah tangannya menghantam keras 

bagian punggung.

"Arghhhh! "Dularata ambruk.

Darahnya menyembur. Ki Sapta Nreng-

gana tersentak kaget. Dularata 

merangkang bangkit. Belum Dularata 

berdiri benar, Wintara melancarkan 

tendangan memutar.

"Dueees!"

Dularata terlempar ke luar dari 

arena sabung ayam. Menimpa beberapa 

orang yang ada di situ. Lalu orang-orang 

itu segera berlarian menyingkir.


Tubuh Dularata tergeletak kaku. 

Matanya melotot lebar tak bergeming. 

Dularata tewas dengan mengerikan. 

Melihat itu Ki Sapta Nrenggana 

merungkut, suaranya yang gemetar keluar.

"Ba-ba-baik, Ba-baik.... A-Aku akan 

mengganti ayam itu" Ki Sapta melemparkan 

sekantong uang. Lalu ia bermaksud ber-

diri melangkah.

"Tunriggu! Bagaimana dengan uang 

taruhannya?" kata Wintara tegas.

"Oh.... I-i-iya.... A-a-aku 

lupa..." Ki Sapta Nrenggana merogoh lagi 

saku bajunya. Ia mengeluarkan sekantong 

uang, dan melem-parkannya pada Ki Johar.

Ki Johar tidak berani mengambil dua 

kantong uang yang tergeletak di tanah.

"Ambillah uang itu, Ki. Uang-uang 

itu sudah menjadi hakmu. Ambillah. " Win-

tara mengambil dua kantong uang itu, lalu 

memberikannya pada Ki Johar. Ia gemetar 

menerimanya.

"Dua tahun belakangan ini rasanya 

ada yang lain. Kenapa dengan tangan 

kirimu itu, Ki. Dari tadi kulihat tidak 

banyak bergerak" tanya Wintara. Ki Sapta 

Nrenggana gelagapan. Lalu dengan gemetar 

pula ia menjawab

"Pa-pa-patah. Lengan kiriku 

pa-pa-tah...."

"Apakah Gada Rencah yang mematahkan 

lenganmu?"


Bagai tersambar petir Ki Sapta 

Nrenggana mendengar pertanyaan itu, 

mukanya pucat pasi.

"Bu-bukan.... Bu-bukan Gada 

Rencah.... Te-te-tapi se-se-seorang 

Kyai... Ka-ka-kalu tidak sa-salah 

Ki-Ki-Kyai Sempar namanya...."

Tibat-tiba saja Wintara melesat 

cepat ke samping Ki Sapta Nrenggana.

"Kalau begitu, aku pun punya tugas 

yang sama seperti Kyai Sempar. Untuk 

mematahkan sebelah lenganmu lagi, Ki" 

Wintara langsung meraih lengan kanan Ki 

Sapta Nrenggana. "Dari alam baka sana ia 

mengutusku demikian" kata Wintara lagi.

"Ja-ja-jangan...." Ki Sapta 

Nrenggana ketakutan, cengkraman Wintara 

makin kuat.

"Kau boleh tidak mengenaliku, Ki. 

Dua tahun memang cukup lama. Wajar kalau 

kau tidak mengenaliku lagi. Beberapa 

tahun yang lalu kita pernah bertaruh di 

sini. Masih ingat? Apakah kau lupa juga 

ketika merebut Maladewi dari tangan Ki 

Dulang Sungkar? Aku yakin kau masih 

ingat"

"Hah?! K-kk-kau.... Kau..." Ki 

Sapta Nrenggana memandang tak percaya. 

"Aku Wintara!"

Semua orang yang masih ada di situ 

terbelalak. Ternyata Wintara masih 

hidup. Mereka teringat pada dua tahun 

yang lalu, peristiwa tragis yang terjadi 

di Tapis Ledok ini. Siapa yang percaya


akan kehadirannya. Dua tahun cukup 

membuat perubahan-perubahan pada diri 

Wintara. Dari rambut, pakaiannya. Juga 

tubuhnya yang jauh lebih kekar dan besar. 

Sudah tentu kedatangannya untuk menuntut 

balas. Mereka yakin.! Yah pasti akan 

terulang peristiwa dua tahun yang lalu. 

Di desa ini.

"Di mana Maladewi sekarang" 

pertanyaan itu cukup pelan, tapi begitu 

menggelegar di jantung Ki Sapta 

Nrenggana.

"Cepat jawab!" Wintara memuntir le-

ngan Ki Sapta Nrenggana, orang itu pun 

memekik hebat.

"Cepat katakan di mana dia, Ki"

"A-ada.. Maladewi ada.. Di-d-di-dia 

bersama Gada Rencah...!"

"Kebetulan! Aku pun memang sedang 

mencari dia. Antar aku ke sana, Ki" 

Wintara mendorong tubuh Ki Sapta 

Nrenggana. Langkahnya tersaruk-saruk 

karena Wintara masih mencengkram keras 

lengannya. Mereka meninggalkan tempat 

itu, Mang Bayan mengikutinya dengan 

langkah yang gemetaran. Arena itu 

menjadi penuh. Semua orang mengerubungi 

mayat Dularata. Ki Johar bangkit sambil 

menggenggam dua kantong uang, beberapa 

orang me-mapahnya mengantarkan pulang. 

Ada juga yang bergegas mengikuti ke mana 

kepergian Wintara. Tapi mereka hanya 

mengikuti dari kejauhan.


Wintara menghajar punggung Ki Sapta 

Nrenggana di saat ia berjalan pelan. 

Mendapat hajaran itu, Ki Sapta Nrenggana 

mempercepat langkahnya. Ia tidak mau 

mendapat hajaran-hajaran seperti kerbau 

dungu yang dicambuk. Dan pada saat mereka 

melintas jalan becek, Ki Sapta Nrenggana 

terpeleset. Wintara langsung menarik 

keras lengan kanannya yang belum lepas 

dari cengkraman. Sudah tentu ia merasa 

amat kesakitan.

"Bangun...!" Wintara menyeret 

kuat-kuat. Ki Sapta Nrenggana yang sudah 

kepa-yahan begitu lambat berdiri. Dengan 

langkah cepat Wintara menyeretnya.

* * *

Pintu gerbang pada pagar tembok yang 

mengelilingi bangunan megah itu memang 

sudah terbuka. Tiga orang nampak duduk di 

sudut teras, dua orang perempuan 

menemani mereka. Di halaman muka dua 

orang berdiri. Salah seorang dari mereka 

tengah menyulut rokok. Suasana memang 

sepi. Hanya cekikikan para perempuan 

yang berada di sudut teras terdengar 

renyah.

Mereka tidak menyadari kalau di 

depan pintu gerbang telah berdiri Ki 

Sapta Nrenggana dengan wajah yang 

seperti menahan sakit. Wintara berdiri 

di belakangnya siap memuntir lengan Ki 

Sapta Nrenggana. Ia mendorong masuk ke


dalam halaman gedung. Dua orang yang ber-

diri di halaman tersentak kaget, mereka 

langsung menghambur mengepung Wintara.

"Anak muda! Sungguh berani kau 

bertindak seperti ini terhadap Ki Sapta 

Nrenggana. Cari mampus! Lepaskan dia!" 

Wintara tidak menjawab, malah kakinya 

menyambar ke atas. Menghantam orang yang 

berbicara tadi sampai bergulingan. 

Seorang lagi langsung maju. Wintara 

menarik lengan Ki Sapta Nrenggana ke 

samping, sambil melancarkan sebuah pu-

kulan keras bersarang di dada 

penyerangnya

"Buuuug...! Wuaaaaa!"

Orang itu menjerit, tubuhnya 

mencelat ke belakang.

Tiga orang di sudut teras langsung 

bangkit mendengar teriakan itu. Dan 

mereka dapat melihat majikannya dalam 

keadaan terancam di bawah cengkraman 

seorang pemuda.

Ketiganya menatap 

garang.Wintara,terus mendorong maju 

tubuh Ki Sapta Nrenggana ke dalam. Namun 

ketiga orang ini bermaksud menghalangi. 

Mai ah seorang di antaranya menarik Ki 

Sapta Nrenggana.

"Plak!"

Wintara menepis lengan itu. Lalu 

memutar melancarkan tinjunya. 

"Des!"

Orang itu terhuyung ke belakang. Dua 

orang datang lagi menyerang. Mereka

berusaha melepaskan Ki Sapta Nrenggana 

dari cengkraman Wintara. 

"Arghhhhh!"

Ki Sapta Nrenggana menjerit. 

Lengannya terasa sakit, karena Wintara 

memuntir lebih keras lagi. Lengan 

kirinya yang sudah patah mati tidak 

berfungsi.

Dua orang itu berhenti menyerang. 

Salah seorang yang tadi terhuyung sudah 

bangkit.

"Suruh keluar Gada Rencah! Cepat! 

Kalau tidak ingin majikan kalian 

menjerit terus menerus!" perintah 

Wintara.

"Panggil dia! Panggil Gada Rencah!" 

teriak Ki Sapta Nrenggana.

"Aku ada di sini, Ki" Jawab 

seseorang dengan suara dingin.

Wintara langsung menatap ke arah 

suara itu. Gada Rencah telah berdiri di 

tengah-tengah pintu gedung. Ia masih 

saja tetap seperti dulu. Tidak berubah.

Dari dalam keluar seorang perempuan 

muda. Perempuan itu langsung berdiri di 

belakang Gada Rencah. Wintara 

mengendorkan cengkramannya pada lengan 

Ki Sapta Nrenggana. Seakan ada getaran 

yang sangat hebat dalam dirinya ketika 

melihat perempuan itu. 

"Maladewi. Kaukah Maladewi?" 

kata-kata itu keluar di luar 

kesadarannya.


Merasa cengkraman Wintara 

mengendor, Ki Sapta Nrenggana lari 

meloloskan diri. Tapi cepat Wintara 

meraih lengan itu lagi, mencengkram 

lebih kuat. Bersamaan dengan itu, 

Wintara menendang tubuh Ki Sapta 

Nrenggana.

"Deees! Waaaaaaaaark...!"

Lengan kanannya tertinggal dalam 

cengkraman Wintara. Sedangkan tubuhnya

jatuh berkelojotan bagai ayam 

disembelih. Semuanya menatap ngeri. 

Terlebih-lebih perempuan yang berdiri di 

belakang Gada Rencah. Kedua matanya 

terpejam menyaksikan kengerian itu.

Tentu saja ketiga orang yang tadi 

bermaksud menyerang tidak tinggal diam. 

Kini ketiganya menghambur mengepung dari 

segala arah. Wintara melompat menghadapi 

penyerang-penyerang itu satu demi satu.

Kakinya berkelebat menyambar 

"Des!"

Satu orang jatuh dengan tulang leher 

patah.

"Weeees!"

Serentetan serangan datang dari 

belakang. Wintara membalikkan tubuhnya. 

"Bug!"

Sebuah hantaman mengenai di dada 

Wintara. Tapi ia cepat membalas dengan 

mendorong kedua telapak tangannya ke 

depan.

"Blaaaar!"


Penyerang itu terjungkal dengan 

tulang-tulang dada remuk.

Tingga seorang lagi yang nampak 

ragu-ragu maju.

"Silahkan. Jangan bertindak seperti 

seorang pengecut!" Wintara berdiri 

tenang. Orang itu melompat, kedua 

lengannya menghantam menyilang. Sambil 

merunduk, Wintara memutar lengannya ke 

atas. 

Deeees!"

Tepat mengenai kepala orang itu. Dan 

jatuh di samping tubuh Ki Sapta Nrenggana 

yang kehilangan lengan kanannya. 

Tubuhnya telah banjir dengan darah. Ia 

mengerang kesakitan.

Wintara menatap tajam ke arah Gada 

Rencah yang berdiri dengan kedua lengan

menyilang di dada. Perempuan muda yang 

berada di belakangnya sudah tidak nampak 

lagi.

* * *

SEPULUH



"Menyesal dulu aku tidak 

membunuhmu, anak muda. " kata Gada 

Rencah, mengenali Wintara. Malah 

sekarang Wintara nampak lebih angker.

"Sekarang pun kau masih punya 

kesempatan. Mari Gada Rencah! Kita 

perhitung-kan hutang darah itu" jawab 

Wintara berani.

Gada Rencah melangkah maju. Kini 

keduanya berhadapan saling tatap.

"Ya! Sekarang aku betul-betul akan 

melumatkanmu, bocah keparat!" Gada 

Rencah melompat sebelah tangannya me-

nyambar. Sebelumnya Wintara sudah me-

lompat ke belakang terlebih dulu. 

Tubuhnya melintir, beberapa serangan 

Gada Rencah dapat dielakkan. Sungguh 

hebat. Wintara hampir kewalahan 

menghadapinya.

Terdengar dua kali berturut-turut 

benturan lengan mereka.

Gada Rencah begitu marah melihat 

se-angan-serangannya tidak satu pun 

mengena. Kini malah Wintara balas 

menyerang. Begitu tendangan Wintara 

memutar menyambar perut, Gada Rencah 

melesat ke atas berputar melintasi 

bagian kepala.

"Bug!"

Sebelah kakinya menghantam keras. 

Pinggang Wintara terasa ngilu. Tapi 

cepat ia membalikkan tubuhnya sembari 

menepis sebuah jotosan yang nyaris 

menghantam mukanya.

Wintara sudah tahu kalau Gada Rencah 

memiliki pukulan 'Tinju Pasir Wesi'. 

Untuk itulah sengaja ia tidak mendekat. 

Tapi selama ia bertempur, Gada Rencah 

belum juga mengeluarkan tinju mautnya 

itu. Apakah semua ini hanya siasat?

Padahal kurang lebih Wintara sudah 

menghadapi sepuluh jurus. Dirasakannya


pula benturan-benturan keras di saat 

hantaman-hantaman mereka beradu. Bukan 

main. Wintara sendiri merasa hantaman 

Gada Rencah lebih kuat dan disertai 

tenaga penuh. Lengannya terasa 

berdenyut-denyut.

Dengan sekali hentakan, tubuh 

Wintara melesat ke atas dan hinggap pada 

cabang pohon yang berada di halaman itu. 

Gada Rencah segera menyusul. Lesatan 

tubuhnya lebih cepat. Mengarah dengan 

tinju yang siap dilancarkan. Melihat 

Gada Rencah demikian garangnya, Wintara 

melompat berpindah ke cabang yang lain. 

Gada Rencah yang sudah terlanjur 

melancarkan serangan, tidak dapat 

menarik tinjunya lagi. 

"Blaaaaar!"

Cabang pohon di mana tadi Wintara 

hinggap patah berderak, kemudian jatuh 

ke tanah. Hantamannya masih membekas 

pada patahan cabang.

Wintara cepat turun dari cabang itu. 

Kedua kakinya hinggap tanpa bersuara. 

Gada Rencah melotot, ia merasa 

dipermainkan. Maka ia pun melesat turun 

bagai seekor rajawali menyambar mangsa. 

Wintara bergulingan di tanah menghindari 

sergapan itu. Setelah menjauh baru ia 

melompat bangkit. Tapi...

"Beg!"

Baru saja ia bangkit, tendangan Gada 

Rencah yang mengarah cepat, merobohkan 

tubuhnya lagi. Tentu saja Gada Rencah


tidak akan menyia-nyiakan kesempatan 

itu. Dua tinjunya sekaligus menghantam. 

Wintara bergulir menghindar.

"Derr!"

Hantaman itu melesak ke tanah. Belum 

sempat Gada Rencah menarik kedua lengan-

nya, kaki kiri Wintara menyambar.

"Des!"

Tepat menghantam puiiggung. Gada 

Rencah tersungkur ke depan. Mendapat 

hantaman semacam itu wajah Gada Rencah 

memerah. Ia bangkit lagi menerjang. 

Terjangannya begitu cepat, Wintara tidak 

sempat menghindar. Tahu-tahu....

"Blaaaaar!"

Wintara memekik. Tubuhnya terlempar 

membentur batang pohon. Darah menyembur 

dari mulutnya. Gaga Rencah menyerigai 

menyeramkan. Kedua matanya nyalang me-

natap Wintara yang berusaha bangun 

sembari mengusap darah dengan lengan.

"Begitulah seharusnya. Dari tadi 

saja mengeluarkan Tinju Pasir Wesi'mu, 

Gada Rencah. Biar perhitungan kita cepat 

selesai" kata Wintara.

"Itu berarti kau ingin cepat-cepat 

mampus!" bentak Gada Rencah.

"Atau malah sebaliknya!" Wintara 

mengejek.

"Bangsat!" Gada Rencah murka.

"Weeees!"

Tendangannya bergerak cepat. 

"Plaaak!"


Wintara menepis tendangan yang 

demikian keras, tak urung tubuhnya pun 

terhuyung. Sekali lagi tangan kiri Gada 

Rencah melayang, dalam keadaan terhuyung 

Wintara menyambut hantaman itu.

"Des!"

Wintara cepat merunduk. Lalu dengan 

cepat ia melancarkan tinju ke arah perut. 

Bersamaan dengan itu Gada Rencah 

menendang ke atas. Maka keduanya 

terpental. Gada Rencah memegangi 

perutnya mundur beberapa langkah. 

Wintara malah lebih parah. Setelah 

mental, tubuhnya masih bergulingan tak 

terkendali.

Gada Rencah mengira, pastilah 

lawannya itu sekarat setelah mendapat 

tendangan di bagian dagu. Maka sengaja ia 

tidak menyerang lagi. Di luar dugaan, 

tubuh Wintara yang tadi bergulingan 

tiba-tiba saja mencelat ke atas. 

Kemudian hinggap di tanah dengan 

gerakan-gerakan aneh. Belum pernah Gada 

Rencah melihat kembang-kembang jurus 

seperti itu. Ia pun kaget luar biasa 

ketika mendadak Wintara menerjang. Dalam 

kewaspadaannya, Gada Rencah menyambut 

dengan sebuah hantaman.

"Deeees!"

Tepat mengenai pundak. Wintara pun 

sempat pula melancarkan pukulannya ke 

samping muka. Lalu sekali lagi telapak 

tangan Wintara memutar menampar keras


kuping. Gada Rencah terhuyung, kemudian 

ia jatuh bergulingan sambil menjerit. 

"Arghhhh!" Kedua tangan memegangi 

kupingnya. Tubuhnya berkelojotan hebat. 

Wintara sendiri sudah tidak dapat menye-

rang lagi. Ia masih merasakan sakit 

akibat hantaman tadi yang bersarang di 

pundaknya.

Seorang perempuan muda berlari ke 

luar dengan pedang terhunus. Kedua 

matanya membelalak lebar. Wintara yakin 

perempuan itu adalah Maladewi. Yaaah, 

Maladewi! Bagi Wintara, dua tahun belum 

cukup untuk melupakannya. Perempuan itu 

terus berlari ke arah Gada Rencah yang 

sudah bangkit berdiri. Lalu dengan sadis 

ia membabatkan pedangnya berkali-kali di 

tubuh Gada Rencah.

"Craaak! Craaaak! Craaak! Craaak!"

Babatan-babatan pedang mengoyakkan 

pakaian Gada Rencah. Orang itu sendiri 

masih berdiri tegar. Tidak setetes darah 

pun yang keluar dari tubuhnya. Gada 

Rencah menggeram, pakaiannya yang 

terkoyak dihempaskannya. Peremuan itu 

ketakutan. Lengannya yang memegang 

pedang gemetar. Wintara cepat melompat, 

tapi Gada Rencah menendang lebih 

dulu....

"Bug!"

Wintara ngusruk! Mulutnya menyembur 

darah lagi.


Gada Rencah menarik tubuh perempuan 

itu. Lalu tinjunya dilepaskan keras 

menghantam wajah yang penuh ketakutan.

"Des!"

"Dewiiiiiii...." Wintara memekik. 

Terlihat jelas wajah perempuan itu 

mengucurkan darah. Sekali lagi tinju 

Gada Rencah menghantam. Kali ini di 

bagian dada. Kontan tubuh ramping itu 

mencelat. Wintara melompat menyambar. 

Maka tubuh perempuan itu jatuh ke dalam 

pelukkannya.

"Dewi...! Dewi...! Dewiiiii!" 

Wintara mengguncang-guncang tubuh itu.

"Aku mendengar seruanmu, Win. Aku 

dengar. Ohkk... Maafkan aku" Wintara 

merebahkan tubuh Maladewi. Wintara 

memeluk erat.

"Aku sendiri tidak percaya kalau kau 

masih hidup" Kedua kelopak mata Maladewi 

sayu, Wintara memeluknya semakin erat.

"Kau masih ingat dengan apa yang kau 

ucapkan dulu? Kau boleh kehilangan jasad 

dan jiwaku. Ta-ta-tapi kau tidak boleh 

kehilangan namaku. K-k-kau masih ingat?" 

kata-kata Maladewi makin hanyut perla-

han.

"Tidak, Dewi! Kau tidak boleh mati. 

Kau tidak boleh meninggalkan aku!"

"Win.... Aku su-su-su-dah ti-tidak 

tahan l-la-lag...?" Wajah Maladewi jatuh 

ke dada Wintara. Matanya tertutup rapat. 

Ram-butnya berderai tertiup angin. 

Wintara mengangkat wajahnya. Tatapannya


geram mengarah pada Gada Rencah yang 

masih berdiri menantang. Lengan kekarnya 

meraih pedang dalam genggaman Maladewi. 

Lalu ia berdiri menuding dengan pedang

itu.

"Manusia busuk. Sekalipun kau 

memiliki ilmu kebal, Aku tidak gentar.!" 

kata Wintara mengambil langkah-langkah 

jurusnya.

"Manusia yang mau mampus biasanya 

memang banyak omong. Majulah! Karena kau 

memang musti mampus" Gada Rencah 

melangkah maju. Disambut dengan babatan 

pedang.

"Bret!"

Jelas sekali mata pedang itu 

menyambar dada. Wintara merasakan mata 

pedangnya menyentuh benda keras. Sebilah 

pedang tidak begitu ampuh dibanding 

dengan tangan kosong. Memang betul, Gada 

Rencah lebih kewalahan menghadapi 

Wintara tanpa bersenjata. Sekalipun Gada 

Rencak menguasai ilmu kebal, Wintara 

berpendapat pasti ada kelemahannya. 

Hanya saja ia belum menemukan. Selama ini 

pula Wintara menggempur menjejaki setiap 

jengkal tubuh Gada Rencah.

Meski menyadari kehebatan pukulan 

'Tinju Pasir Wesi', Wintara sudah tidak 

perduli lagi. Dan di saat Gada Rencah 

menghantam,

"Des...!"

Tulang iga Wintara terasa copot. 

Tubuhnya mundur terdorong. Gada Rencah


melesat kembali melancarkan dua tinjunya 

berturut-turut Wintara memutar 

lengannya. 

"Splaaak!"

Pukulan-pukulan itu bergulir 

melesat. Pedangnya yang masih digenggam 

membersit. Menghantam kedua lengan Gada 

Rencah. Lalu dengan cepat Wintara 

mendorong tendangannya ke samping kiri.

"Des!"

Gada Rencah memekik. Pinggangnya 

berdenyut. Ia mulai mengakui kehebatan 

pemuda itu. Dua tahun lamanya telah 

merubah keadaan lawannya memiliki daya 

tahan yang sangat luar biasa. Yang lebih 

heran lagi, pemuda yang mengenakan kulit 

binatang ini jauh lebih tangkas 

dibanding dua tahun yang lalu.

Di saat Wintara melancarkan 

tendangan memutar ke atas, Gada Rencah 

segera merunduk, kedua telapak tangannya 

cepat me-nutup telinga. Selintas Wintara 

teringat ketika ia menampar keras 

sebelah telinganya. Gada Rencah ambruk 

bergulingan. Kenapa baru sekarang 

Wintara menyadari. Sudah pasti di 

situlah letak kelemahannya. Wintara 

menarik nafas panjang, kemudian ia 

melompat dengan babatan-babatan pe-

dangnya.

"Bwet...! Bwet...! Bwet...!"

Gada Rencah menyambut dengan mengi-

baskan kedua lengannya. Maka 

babatan-babatan pedang itu menyentuh


lengan-lengan Gada Rencah yang keras 

membatu. Malah sebelah lengannya 

berhasil menggenggam bilah pedang yang 

tajamnya bukan main.

Sekuat tenaga Wintara menariknya, 

tapi telapak tangan Gada Rencah 

mencengkeram erat batang pedang lebih 

kuat menekuk.

"Trak!"

Pedang dalam genggaman Wintara 

patah dua. Tendangan Wintara keras 

terarah. Gada Rencah melancarkan pukulan 

'Tinju Pasir Wesi' mengarah pada kaki 

Wintara yang masih melesat memutar.

Sebelumnya hantaman itu mengena, Wintara 

menarik kakinya. Sebelah kakinya yang 

masih menginjak tanah menghentak membuat 

tubuh Wintara melesat ke atas. Gada Ren-

cah cukup terperangah, ia tidak sempat 

meninju ke atas. Sebab Wintara telah 

melancarkan kedua kakinya menghantam 

telinga kanan dan kiri Gada Rencah.

"Waaaaaaaaaark!" pekikannya 

dahsyat sekali. Wintara yang masih 

berada di atas langsung menukik bagai 

sebatang tonggak.

"Breeeeees!"

Pedangnya yang penggal menembus ke 

pusar menerobos ke tulang belakang. Lalu 

keduanya bergulingan, Wintara berguling 

dua kali, kemudian ia bersalto langsung 

berdiri tegak. Gada Rencah bergoseran di 

tanah. Darahnya telah membanjir di 

sekujur tubuhnya yang telanjang dada.


Debu-debu bersatu dengan keringat yang 

mulai membanjir pula. Gada Rencah terus 

berteriak penuh kesakitan.

"Waaaaaaaaaark!"

Wintara sendiri menatap ngeri. Dan 

saat Gada Rencah bangkit lagi dengan mata 

melotot, Wintara siap melancarkan 

serangan. Tapi tidak, Gada Rencah ambruk 

lagi dengan nafas yang terputus.

Ki Sapta Nrenggana masih mengerang 

kesakitan. Sebelah pangkal lengannya 

yang kutung tergenang darah. Ia tidak 

dapat bangun. Lengan kirinya yang mati 

akibat tendangan Kyai Sempar pada dua 

tahun yang lalu membuatnya lumpuh. Ia pun 

takut sekali memandang Wintara yang 

berdiri menatap sinis. Sebenarnya bisa 

saja Wintara langsung membunuh, tapi 

kelihatan keadaan Ki Sapta Nrenggana 

sudah demikian parah, Wintara jadi 

terenyuh. Ia menjadi tidak tega. Maka ia 

sengaja mengampuninya dan berjalan ke 

arah di mana tubuh Maladewi terkapar.

Mang Bayan yang sedari tadi 

menyaksikan pertarungan itu di balik 

pintu gerbang bersama orang-orang 

kampung lainnya berlari masuk. Ia 

menemukan yang masih menatap tubuh kaku 

terbaring pucat. Wintara sendiri 

menyadari akan kehadiran Mang Bayan.

Orang-orang kampung Tapis Ledok

tidak ada yang berani mendekat. Mereka 

hanya menyaksikan dari jauh berderet di 

belakang.


"Mang.... Tolong urus mayat Malade-

wi. Juga orang-orang itu. Kubur mereka 

sebagaimana mestinya" kata Wintara, 

pandangannya masih tertuju pada paras 

yang cantik mempesona.

"I-I-Iya, Den. Biar nanti mamang 

minta bantuan pada orang-orang kampung, 

kebetulan mereka ada di sini semua" kata 

Mang Bayan terbawa arus kesedihan.

"Setelah itu kembalilah pulang ke 

Karang Hampar. Uruslah rumah seperti du-

lu, sayang kalau tidak dirawat. Rumah itu 

untukmu, Mang" kata Wintara setengah 

membisik.

"Den Wintara tidak kembali ke Karang 

Hampar?" tanya Mang Bayan.

Wintara menggeleng, lengannya 

memeluk pundak Mang Bayan.

"Sebuah rumah sudah tidak berarti 

lagi bagiku, Mang. Selama dua tahun lebih 

pengaruh lingkungan alam bebas telah 

menempa hidupku. Dan ternyata aku menyu-

kai adanya kebebasan. Aku khawatir di 

desa-desa lain masih ada suasana yang 

terbelenggu dengan kezaliman. Untuk itu, 

aku mengemban tugas menumbangkan semua 

kebatilan maupun kezaliman. Mudah-

mudahan saja aku sanggup"

"Den Wintara hendak berkelana? Itu 

berbahaya sekali, Den" kata Mang Bayan.

"Aku akan berusaha menghadapi semua 

rintangan-rintangan itu, Mang"

Banyak orang kampung berdatangan 

mendekat. Mereka mengangkat satu persatu


mayat-mayat itu dengan perasaan jijik. 

Mang Bayan memapah tubuh Maladewi.

Ki Sapta Nrenggana merintih-rintih 

memohon pertolongan, tapi tak satu orang 

pun yang mau perduli. Ia baru merasakan 

beta pa pahit dan busuk dirinya. Apalagi 

ia tidak dapat mengangkat dirinya 

sendiri.

Mang Bayan berjalan paling depan. Ia 

menoleh ke belakang. Mencari sesuatu. 

Orang yang berada di belakangnya pun 

mengikuti menoleh ke belakang. Tiba-tiba 

Mang Bayan berbalik melangkah. 

Teman-temannya jadi terheran-heran. Ia 

kembali memasuki halaman gedung itu.

Mereka baru menyadari, seseorang 

telah raib menghilang di antara mereka.

Yaaaah... Wintara sudah tidak 

nampak lagi. Maka tempat itu menjadi riuh 

seketika. Mang Bayan menghela nafas. 

Wintara... Pendekar Kelana... Pendekar 

Kelana... Pengelana Sakti mengelana... 

Menghadapi resiko yang penuh bahaya...

Katanya dalam hati.



                              TAMAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar