TAPIS LEDOK MEMBARA
Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit
Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Pendekar Kelana Sakti
Dalam Episode 001 :
Tapis Ledok Membara
SATU
Suara-suara teriak para penyabung
ayam memekakkan telinga. Saat dua ekor
ayam jago bertarung saling hantam.
Sekeliling arena pertarungan yang cukup
besar itu dipagari oleh sederetan
batang-batang bambu yang dilapisi
karung. Membatasi orang-orang yang
menyaksikan pertarungan itu. Teriakan
mereka semakin menjadi ketika seekor
ayam jago berwarna hitam kemerahan
menghantam lawannya. Beberapa lembar
bulu beterbangan.... Nampak ayam yang
terkena jalu si jago hitam bergulingan
kelojotan, tapi ia masih bisa bertengger
dengan kekar walaupun di bagian sayapnya
mulai mengeluarkan darah. Bagaimana
tidak...? Masing-masing pada kaki dua
jaLgo itu terikat sepasang pisau kecil
yang bukan main tajamnya. Banyak yang
menggerutu namun lebih banyak orang yang
kegirangan.
Diluar dugaan, ayam yang sudah
terluka itu melompat membentangkan kedua
sayapnya. Paruhnya yang runcing setajam
pedang, mencocor batang leher si hitam.
Kembali sekeliling arena itu riuh. Ada
juga yang berjingkrak-jingkrak menyum-
pah. Kembali kedua jago itu saling
berhadapan, dengan bulu-bulu leher
berdiri tegang. Kedua kakinya pun mulai
bersiap-siap menerjang.
"Breeet..
Hantaman itu beradu keras, keduanya
berpentalan. Si Hitam nampak tegar
beringas. Lawannya, jago berwarna putih
bercampur abu-abu seloyongan mundur.
Sayap kirinya memerah bercampur darah.
Mendadak si Hitam menyerang lagi.
Hantaman jalunya tepat mengenai punggung
lawannya. Darah pun mengalir lagi. Si
putih makin limbung. Langkah-langkahnya
mulai goyah. Si Hitam yang masih garang
melompat menghantam dengan jalu
pisaunya. Semua orang sudah menyangka
dan menatap ngeri. Sudah pasti leher si
Putih bakal putus...! Tapi ini tidak! Si
Putih Bergeserke kanan, sehingga
serangan itu dapat dielakkannya. Bahkan
dalam kesempatan itu si Putih berhasil
membalas serangan itu dengan terjangan
dua kaki. Kedua jalu pisaunya yang nampak
berkilat terlihat jelas menghantam dada
si Hitam.
Siapa menyangka kalau si Putih yang
sudah terluka parah itu masih dapat
melancarkan serangan balasan demikian
mantapnya. Seluruh arena itu jadi
semakin bising. Para pencandu sabung
ayam saling tuding meremehkan.
Si jago Hitam meskipun terluka di
dadanya, ia nampak tenang. Seakan
luka-luka di dadanya itu tidak berarti
sama sekali. Bulu-bulu di lehernya
meregang. Si Putih yang nampak lunglai
mengais-ngaiskan sebelah kakinya. Di
saat si Hitam datang menyerang, si Putih
melompat dengan disertai sabetan jalu
pisaunya. Semua orang berhenti
berteriak. Semua mata memandang seakan
tidak pereaya dengan apa yang mereka
lihat. Leher si Hitam putus! Tubuh ayam
hitam berkelojotan, sesaat kemudian ia
diam tak berkutik. Belasan orang
melompati pagar karung sambil
berjingkrak jingkrak kegirangan.
Ki Sapta Nrenggana melotot seakan
tidak percaya. Si jago Hitam miliknya
tewas begitu saja oleh lawannya. Ia
menggeram sadis. Kedua telapak tangannya
mengepal erat menimbulkan gemeretak yang
sangat kencang.... Seorang anak muda
masuk dalam arena persabungan itu... Ia
memapah si Putih. Senyumnya terarah pada
Ki Sapta Nrenggana. Anak muda itu
berjalan mendekati Ki Sapta Nrenggana.
Dengan senyum anak muda itu menjulurkan
telapak tangannya. Ki Sapta Nrenggana
melemparkan sekantung uang logaman. Lalu
dengan kesal ia meninggalkan arena
sabung ayam. Pemuda itu tidak perduli, ia
pun melangkah dengan dikerubuti
orang-orang yang menyaksikan sabung ayam
tadi. Maksud mereka ingin minta perse-
nan. Pemuda itu mengambil separuh dari
isi kantong yang diberikan oleh Ki Sapta
Nrenggana. Kemudian membagikannya pada
orang-orang itu. Kebanyakan dari mereka
mengelu-elukan si Putih. Tentu saja
untuk mengambil hati si pemuda.
"Wuaaah.... Hebat benar ayam aden.
Jago Ki Sapta Nrenggana yang tak
terkalahkan itu akhirnya tewas juga di
tangan si Putih. Benar-benar luar
biasa." kata Bayan, lelaki kurus tinggi
yang selalu mengawal ke mana pemuda itu
pergi.
"Itu namanya mujur, Mang Bayan.
Sebenarnya kita sudah kalah. Coba kau
lihat " jawab pemuda itu sambil
mengangkat ayam jagonya. Mang Bayan
mengernyitkan alis.
"Nafasnya sudah kembang kempis.
Mungkin si Putih tidak akan bertahan la-
ma. Aku yakin sampai di rumah pun tak akan
tertolong. " kata pemuda itu lagi.
"Kalau begitu cepat-cepat saja kita
pulang, biar bisa motong ayam" usul Mang
Bayan. Pemuda itu pun melangkah. Mang
Bayan ikut mengiringi di samping kanan.
"Makan ayam piaraan sendiri rasanya
kurang enak, Mang"
"Jadi harus diapakan ayam itu, den?
Sayang kalau mati begitu saja"
"Bagaimana kalau dikasihkan orang
saja...?"
Keduanya nampak menjauh mening-
galkan tempat itu.
Sekantung uang tidak ada artinya
bagi Ki Sapta Nrenggana. Kalau tadi dia
merasa marah, bukan karena uang itu. Tapi
soal ayam kesayangannya. Siapa yang
menyangka jago yang selama ini tak
terkalahkan, kini harus menerima
kematian dengan kepala yang terpisah.
Belum pernah ada kejadian seperti
itu.... Itu yang membuat Ki Sapta
Nrenggana mendongkol. Selama dalam
perjalanannya ia berpikir, bahwa ia akan
sekali lagi bertaruh dengan pemuda tadi.
Dan berharap dapat membalaskan kematian
si Hitam.
* * *
Ki Dulang Sungkar tersentak kaget di
dalam kedainya. Ia melihat dua orang anak
buah Ki Sapta Nrenggana datang
menghampiri. Tiga orang yang sedari tadi
asyik menikmati hidangan di kedai Ki
Dulang Sungkar langsung ngibrit ketika
melihat dua orang yang baru datang. Ki
Dulang Sungkar tetap tenang. Ia
pura-pura menyibukkan diri membereskan
perabotan. Setelah dua orang itu duduk
menghadapi meja yang penuh tersedia
makanan. Barulah Ki Dulang Sungkar
menyambut ramah.
"Ah.... Ada tamu rupanya. Silahkan.
Silahkan dimakan kue-kuenya. Sebentar
akan saya buatkan kopi...."
"Tidak usah repot-repot, Ki. Kita
langsung saja pada persoalan Ki Sapta
Nrenggana" kata salah seorang yang duduk
di hadapannya.
"Oh.... Soal itu.... Sa... saya
belum membicarakannya pada Maladewi anak
saya...."
"Apa...? Jadi kapan soal lamaran Ki
Sapta Nrenggana bisa dibicarakan? Apa Ki
Dulang sengaja mau mempermainkan majikan
kami...? Jangan cari penyakit, Ki....
Turuti saja apa kemauan Ki Sapta
Nrenggana...."
"Bukan begitu.... Kalian sendirikan
tahu.... Maladewi gadis yang macam
bagaimana? Saya sendiri sebagai orang
tuanya sangat sukar mengaturnya....
Keras kepala...." kata Ki Dulang Sukar
membohongi.
"Kami tidak perduli, Ki.... Ki Sapta
Nrenggana pun lebih keras kepala
lagi.... Ini keputusan yang terakhir....
Hari ini beliau menginginkan Maladewi...
jelas bukan...? Mana anak gadismu....
Suruh dia keluar dan ikut bersama
kami...."
"Dia tak ada di sini.... Dia...."
"Bohong...!" bentak salah seorang
anak buah Ki Sapta Nrenggana. Telapak
tangannya menggebrak meja.
"Jangan sampai kami bertindak
kasar, Ki.... Kami tahu.... Kau tidak
menyukai Ki Sapta Nrenggana. Sungguh
bodoh...! Beliau orang terkaya di
kampung ini, kalau Ki Dulang menerima
lamarannya. Hidup kalian tak akan
kekurangan semacam ini. Ayolah, Ki. Kami
sudah cukup sabar. Suruh keluar anak
gadismu"
"Saya mengerti.... Saya mengerti.
Tapi Maladewi sendiri yang tidak
menyukai. Mungkin ia belum berminat
untuk berumah tangga, jadi...." Belum
habis Ki Dulang Sungkar bicara, salah
seorang yang bertubuh tegap mencengkram
kerah baju Ki Dulang.
"Mau tidak mau, Maladewi akan kami
bawa. Itu keputusan kami!" orang itu
bicara lantang. Ki Dulang Sungkar
gelagapan.
Pada saat itu dari dalam kamar
keluar seorang gadis cantik. Tentu saja
gadis ini khawatir terhadap ayahnya,
untuk itulah ia keluar. Apalagi ia tahu
orang-orang bawahan Ki Sapta Nrenggana.
Melihat kemunculan gadis yang tak
lain adalah Maladewi, kedua orang anak
buah Ki Sapta Nrenggana melotot. Tidak
habis-habisnya mereka memandangi gadis
itu.
"Lepaskan ayahku.... Lepaskan...!"
Maladewi langsung melabrak orang yang
mencengkram kerah baju ayahnya. Tapi
orang itu malah semakin kuat
mencengkram. S-kalipun Maladewi
mengerahkan seluruh tenaganya.
"Kau membohongiku, Ki....
Jelas-jelas Maladewi ada di sini, tapi
kau katakan tidak ada... Dularata
pantang untuk dibohongi...." kata-kata
itu begitu tenang. Tapi kedua tangannya
yang kekar melempar keras tubuh Ki Dulang
Sungkar ke luar kedai. Maladewi memekik
melihat ayahnya bergulingan di tanah.
Dularata menyeringai.
"Surakarma...! Bawa gadis itu...!"
Dularata memerintahkan temannya. Orang
yang dipanggil Surakarma menurut. Dengan
kasar ia menarik tubuh Maladewi.
"Hari ini aku enggan membunuh. Aku
masih menghormatimu sebagai mertua
majikan kami..." nada bicara Dularata
selalu tenang. Tanpa membantu Ki Dulang
Sungkar berdiri, mereka meninggalkan
tempat itu.
Maladewi meronta-ronta dalam
dekapan Surakarma. Belum sempat mereka
keluar dari pelataran kedai sesosok
bayangan berputar di udara kemudian
berdiri tegak di hadapan mereka.
Dularata maupun Surakarma tidak yakin
dengan penglihatan mereka sendiri. Di
hadapan mereka telah berdiri sosok tua Ki
Dulang Sungkar.
"Surakarma... Lepaskan anakku..!"
Suara yang keluar dari mulut Ki Dulang
Sungkar terdengar jelas. Tapi mana mau
Surakarma melepaskan Maladewi.
"Apa kau tuli Surakarma...? Kataku
lepaskan anakku...!" katanya lagi.
"Huh...! Baru bisa berjumpalitan di
udara saja sudah berani menggertak.
Menyingkirlah Ki Dulang. Aku si Dularata
tidak pernah kenal takut"
"Bagus...! Orang-orang yang pernah
kuhadapi, rata-rata tidak mengenal rasa
takut. Tapi orang-orang yang kuhadapi
bukan orang-orang seperti kalian.
Berani, Nekad, Sadis. Hanya karena mata
uang. Sungguh memalukan..." kata Ki
Dulang Sungkar. Mendengar kata-kata itu
Dularata melotot nanar!
"Ki Dulang Sukar...."
"Aku tahu apa yang akan kau
tanyakan, Dularata...." belum habis
Dularata bicara Ki Dulang Sungkar
langsung memotong.
"Aku si tua renta Dulang Sungkar
pernah menyandang gelar Samber Nyawa".
Mungkin kalian tidak pernah
mendengar nama besar itu. Sekarang akan
kutunjukkan pada kalian. Biar mata
kalian terbuka..." Ki Dulang Sungkar
melesat lagi. Tubuhnya melayang berputar
hinggap di atas sebatang cabang pohon
bergelantungan dengan kepala di bawah
kaki di atas. Surakarma belum juga
melepaskan Maladewi.
Dularata melompat ke atas, tinjunya
diikutsertakan mengarah pada Ki Dulang
Sungkar. Orang tua yang berada di atas
pohon itu menepiskan dengan sebelah
tangan.
"Plak...!"
Keduanya terjun ke tanah. Lengan
Dularata terasa kesemutan. Ia
menyeringai. Lalu memberi aba-aba pada
Surakarma agar ikut membantu
menyingkirkan Ki Dulang Sungkar. Maka
setelah menghantam pingsan Maladewi,
Surakarma merangsak menyerang. Melihat
tindakan Surakarma, Ki Dulang Sungkar
marah bukan kepalang. Tinjunya berputar
ke samping....
"Bweeet!"
Hampir saja mengenai bagian kepala
Surakarma. Dularata mematahkan serangan
itu.... Tendangannya maju menjurus
kearah perut....
"Deees!"
Cepat Ki Dulang Sungkar menangkis
dengan lengan kanannya. benturan itu
membuat Dularata mundur beberapa
langkah.
Surakarma melesat ke atas.
"Deees!"
Hantamannya tepat mengenai punggung
Ki Dulang Sungkar. Tapi tak begitu telak.
Ia berbalik membalas serangan tadi.
Surakarma yang tadi melancarkan serangan
dan belum sempat menginjak tanah,
gelagapan menyambut serangan balasan
itu.
"Beg!"
Tendangan ke atas Ki Dulang Sungkar
membuat Surakarma jatuh terbanting.
Dularata maju lagi, kali ini dengan
dua pukulan beruntun berturut-turut.
Sayang kedua pukulan itu meleset. Karena
saat Dularata maju menyerang, Ki Dulang
Sungkar sudah bergeser terlebih dahulu.
Malah Dularata sendiri yang setengah
mati menerima serangan balik. Meskipun
hantaman-hantaman Ki Dulang Sungkar
dapat diatasinya, Dularata harus ber-
guling menjauh. Kemudian bangkit lagi.
Sekarang mereka menyerang berba-
reng, Dularata melancarkan tendangan,
Surakarma nyeruduk dengan jotosan-
jotosan keras. Ki Dulang Sungkar
menghentakkan kedua kakinya, tahu-tahu
tubuhnya sudah melayang di udara. Maka
kedua serangan itu terhmdar, masih dalam
keadaan berputar di udara Ki Dulang
Sungkar sempat menendang ke dua kakinya.
"Bug...! Bug...!"
Dularata maupun Surakarma
bergulingan sambil memekik kesakitan.
Hampir-hampir saja ia tidak dapat
bangkit, karena dirasakan tulang rusuk
mereka seperti patah.
Dengan seloyongan akhirnya mereka
dapat bangun juga. Wajah Surakarma
memerah menahan amarah. Dularata
mengepal kedua telapak tangannya dengan
geram. Ki Dulang Sungkar tetap berdiri
tegak seolah-olah telah bersiap-siap
menyambut serangan mereka. Kedua matanya
nyalang menatap Dularata dan Surakarma.
Menerima tatapan yang demikian sadis
kedua orang ini jadi keder. Dularata maju
selangkah.
"Baik, Samber Nyawa. Kuakui
kekalahan ini. Tapi ingat! Ki Sapta
Nrenggana tidak akan senang menerima
perlakuan ini. Kami akan datang lagi
dengan maksud yang sama...." kata
Dularata mengancam.
"Sampaikan salamku kepada Ki Sapta
Nrenggana. Aku tetap tidak akan menerima
lamarannya. Cuma itu! Kalau kalian mau
datang lagi. Kapan saja akan kutunggu.
Asalkan jangan sampai menyakiti putriku
Maladewi...." jawab Ki Dulang Sungkar
tenang. Dularata dan Surakarma berjalan
mundur beberapa langkah, kemudian mereka
berbalik meninggalkan pelataran itu.
Maladewi masih terbaring di tanah.
Ki Dulang Sukar mendekati, lalu
memeriksa sekujur tubuh putrinya.
Ternyata tak apa-apa. Ia hanya pingsan
biasa.Maka cepat-cepat Ki Dulang Sungkar
membawanya masuk ke dalam kedai.
Direbahkan tubuh ramping itu pada
serjuah tempat tidur di ruang kamar. Lalu
ia keluar lagi membereskan dagangan di
depan. Pikirannya masih kalut, ia masih
membayangkan peristiwa tadi.
Untung saja tidak sampai terjadi
pertumpahan darah. Ia ingat betul nama
besarnya sebagai si Samber Nyawa. Dan ia
merasa ada kekurangan dalam dirinya.
Tapi justru kekurangan itu ia sangat
berterima kasih sekali. Karena ia tidak
sekejam seperti pada beberapa belas
tahun yang lalu.
Samber Nyawa bukanlah sekedar nama
kosong. Semua partai persilatan tahu
akan tindakan manusia yang berjuluk si
Samber Nyawa. Pada sebelas tahun yang
lalu Samber Nyawa tidak pernah
membiarkan musuh-musuhnya kalah dengan
nyawa tersisa, kecuali nama. Tokoh yang
paling ditakuti dan disegani ini telah
berubah sama sekali. Kalau dulu ia selalu
membunuh lawan-lawannya, kenapa
sekarang Dularata dan Surakarma di-
biarkan pergi hidup-hidup. Apalagi
mereka berani mengancam. Belum pernah ia
mendapat ancaman dari musuh-musuhnya.
Mungkin dikarenakan usia yang
semakin lanjut, sehingga setiap
gerakannya menjadi lamban dan ragu-ragu,
atau juga dikarenakan ia mempunyai
seorang putri yang membuat dirinya
berubah pikiran.
"Ki... Ki Dulang...." Seseorang
membuyarkan lamunannya. Ki Dulang
Sungkar tersentak.
"Wuaaah... Ngelamunin apa, Ki?
Asyik benar? Tolong buatkan saya kopi,
Ki! Jangan terlalu manis...." kata orang
yang baru datang itu. Melihat tamunya
langsung duduk, Ki Dulang Sungkar
mengambil gelas. Ia membuatkan pesanan
tamunya. Segelas kopi dihidangkan.
* * *
2
Warsih merasa jengkel. Sejak tadi
putranya yang berumur lima tahun belum
juga berhenti menangis. Sudah berbagai
cara Warsih mendiamkan, tapi anak itu
tetap saja terus menangis. Piring kaleng
kecil berisikan beberapa potong singkong
rebus tergeletak di hadapan anak itu.
Hampir saja kakinya menyambar. Warsih
cepat-cepat memindahkannya.
"Ding, sekarang emak belum punya
uang. Hari ini makan singkong rebus saja
ya. Nanti kalau Bapak pulang, baru bisa
beli beras...." bujuk Warsih. Oding
anaknya malah menangis semakin jadi.
"Sudah dong nangisnya. Masa dari
tadi tidak mau berhenti. Cep, Ding....
Cep...."
Oding berhenti juga menangis. Tapi
hidungnya masih sesenggukan. Air matanya
meleleh. Warsih mengelus-elus rambut
anaknya. Perasaannya juga sedih. Karena
sudah beberapa hari ini suaminya belum
juga pulang. Pekerjaannya memang mencari
nafkah di kampung seberang. Suaminya ti-
dak akan pulang sebelum membawa hasil.
Warsih menyodorkan piring kaleng
kecil pada anaknya. Oding mengambil
sepotong singkong rebus, tapi ia tidak
langsung memakannya. Pandangannya yang
kosong menatap kehalaman rumah. Begitu
juga Warsih, Ibu dan anak terdiam.
Dari kejauhan nampak dua orang
lelaki berjalan mendekati gubuk itu.
Seorang berperawakan kurus tinggi dan
seorang lagi seorang pemuda tanggung
membawa seekor ayam jago yang sudah
kepayahan. Warsih yang melihat
kedatangan dua orang itu langsung keluar
dari teras gubuknya. Ia langsung
mendekati.
"Den Wintara.... Sudah lama tidak
kelihatan? Dari mana saja?" Warsih
basa-basi.
"Tidak ke mana-mana, Bi. Di rumah
saja. Kang Darman apa ada...?"
"Sudah lima hari ia tidak
pulang-pulang, Den.... Entahlah di mana
dia sekarang. Biasanya paling lambat
tiga hari dia sudah pulang ke rumah...."
"Biar saja, Bi. Barangkali setelah
dapat uang banyak baru kang Darman pu-
lang."
"Ah! Den Wintara bisa saja. Mari
masuk den...." Warsih mengajak mereka
masuk.
Wintara menurut. Mereka duduk di
balai teras, sebelumnya mereka melihat
Oding duduk di balai itu memakan singkong
rebus. Mang Bayan mencolek pipi anak itu
yang masih basah oleh airmata.
"Tunggu sebentar ya, Den.... Bibi
mau ambilkan air...." Warsih beranjak,
tapi Wintara buru-buru mencegah.
"Tidak usah, Bi.... Tidak usah
repot-repot. Kedatangan saya ke mari
cuma mau...." Wintara menyerahkan ayam
jagonya yang sudah berlumuran darah.
"Memberikan ayam ini kepada Bibi.
Sebentar lagi ayam ini pasti mati. Sayang
kalau tidak segera dipotong...." katanya
lagi.
Warsih menerima ayam itu. Di luar
pikirannya Wintara mengambil beberapa
keping uang logam dari kantong kecil yang
didapat di tempat sabung, lalu
menyerahkannya lagi pada Warsih.
"Ayam dan uang ini buat bibi...?"
Warsih seakan tak pereaya.
"Iya.... Buat bibi! Buat siapa
lagi.?" jawab Wintara cepat.
"Te-te-terima kasih, Den.
Kebetulan, Bibi sudah tak punya apa-apa
lagi....".
"Ah.... Saya memang sudah niat
memberikan itu semua kepada bibi...."
"Jarang ada orang seperti Aden. Hari
ini bibi betul-betul merasa mendapat
rejeki yang sangat besar. Siang malam
bibi berdoa, ternyata Tuhan masih mau
mengabulkan. Coba saja lihat, Den. Sudah
dua hari bibi dan Oding hanya memakan
singkong. Itu pun masih untung, karena
Kang Darman rajin menanam singkong di
samping rumah...."
"Tuhan memberikan akal kepada
manusia agar bisa dipergunakan semasa
hidupnya.... Begitu juga mengenai
kebaikan. Sesama manusia sudah semes-
tinya saling memberi atau saling
menolong. Tapi menurut saya, pujian bibi
yang terlalu berlebihan itu tidak benar.
Pemberian ayam yang sudah hampir mati dan
beberapa keping uang bukan berarti saya
ini orang yang budiman. Yang jelas saya
hanya niat. Cuma itu...."
"Tapi, Den. Bagaimana pun ini rejeki
bibi...."
"Benar, Den...." Mang Bayan ikut
bicara. "Semua doa bi Warsih dikabulkan
oleh Tuhan melalui diri Den Wintara.
Bukannya begitu, Bi...." kata Mang Bayan
lagi.
"Hati-hati Mang, jangan terlalu
banyak memuji. Banyak orang yang jatuh
karena pujian...." kata Wintara tegas.
Mang Bayan nyengir. Bi Warsih
tersipu malu.
"Ayolah, Mang.... Kalau kita di sini
terus, kapan bi Warsih membereskan ayam
itu?" Wintara menarik lengan baju Mang
Bayan. Ia hanya menurut.
"Kalian mau ke mana...?" tanya
Warsih.
"Biasa, Bi. Anak muda kalau sedang
jatuh cinta selalu tidak sabaran...."
Mang Bayan merajuk.
"Oh.... Memang sudah lama Den
Wintara tidak ke kampung ini. Tentunya
Maladewi di rumahnya sudah rindu
setengah mati...." sahut bi Warsih. Ia
masih berdiri memandangi kepergian
mereka yang nampak mulai menjauh. Ia
menggelengkan kepala. Entah karena apa.
Wintara pemuda yang gemar menyabung
ayam itu memang bukan orang kampung situ.
Mereka berasal dari desa Karang Hampar.
Kedatangannya ke kampung Tapis Ledok
selain mengadu ayam, datang ke rumah
seorang kenalan gadisnya yang bernama
Maladewi. Mereka memang sudah lama
berhubungan. Bahkan dengan Ki Dulang
Sungkar, Wintara sudah saling mengenai
baik.
Ketika mereka mulai mendekati
sebuah kedai, langkah-langkah mereka
semakin cepat. Nampak Ki Dulang Sungkar
tengah melayani seorang tamu yang duduk
nangkring di atas sebuah kursi panjang.
Dari dalam kedai Ki Dulang Sungkar sudah
dapat melihat kedatangan Wintara bersama
Mang Bayan. Ia tahu betul kesukaan kedua
orang itu. Maka sebelum mereka tiba, Ki
Dulang Sungkar cepat-cepat membuat dua
gelas teh manis. Begitu mereka sampai,
Wintara langsung menyapa orang yang
duduk menghirup kopinya.
"Wuaah.... Kang Birdun sudah lebih
dulu ke sini rupanya...."
Orang itu langsung menoleh ke arah
suara di sampinghya, lalu....
"Eh...! Den Wintara. Kapan datang?
Kakang denger, Den Wintara habis menang
taruhan. Bagi-bagi dong...."
Wintara hanya senyum. la langsung
duduk menghadapi meja yang penuh
tersedia rupa-rupa makanan. Mang Bayan
mengikuti. Ki Dulang Sungkar menyuguhkan
dua gelas teh manis.
Wintara mendelik kagum....
"Hebat.... Ki Dulang Sungkar
benar-benar hebat. belum saya memesan
beliau sudah dapat membaca maksud saya.
Benar-benar luar biasa...." kata Wintara
kagum.
"Siapa bilang...." sergah Mang
Bayan. "Ki Dulang Sungkar belum tentu
tahu apa yang saya inginkan. Buktinya
beliau salah menyediakan. Coba dengar
keinginan saya. Saya ingin makan dengan
paha ayam dan pepes ikan...." kata Mang
Bayan lagi.
Dia langsung menyambar gelas berisi
teh manis, lalu ditenggaknya sampai
tinggal tiga perapat. Ki Dulang Sungkar
tersenyum, lalu...
"Kalau teh manis yang saya suguhkan
itu salah, kenapa barusan kau
meminumnya...?" Ki Dulang Sungkar
protes.
"Ha... ha... ha.... Betul...! Betul
apa yang diucapkan Ki Dulang Sungkar.
Buktinya sebelum kau makan campur paha
ayam, kau sudah meminum teh manis
terlebih dahulu...." Kang Birdun ikut
campur.
Ki Dulang Sungkar masuk ke dalam
kamar di mana tadi ia merebahkan
putrinya. Di ruangan itu Maladewi sudah
siuman, bahkan sempat mendengarkan
percakapan di luar. Kini ia tengah
menghadapi sebuah cermin. Rambutnya
sudah nampak rapih. Tidak seperti tadi.
Ki Dulang Sungkar menyentuh bahu
Maladewi.
"Temui Wintara. Dan jangan
ceritakan persoalan tadi...." bisiknya
perlahan. Maladewi bangkit sambil
mengangguk meskipun ia malas keluar. Ki
Dulang Sungkar sengaja berjalan lambat
belakangan.
Mata Maladewi langsung tertuju pada
Wintara ketika ia sudah berada di dalam
kedai. Wintara menunduk, sesaat kemudian
ia membalas tatapan itu.... Maladewi
tersenyum. Ada suatu kelainan tergambar
dalam raut wajah Maladewi. Diperhatikan
begitu tentu saja gadis itu merasa kikuk.
Ia melangkah berjalan menuju ke samping
rumah.
Mang Bayan menyikut pinggang Winta-
ra. Maksudnya memberi aba-aba. Sambil
menghela nafas Wintara beranjak dari
bangku panjang mengikuti langkah
Maladewi. Gadis itu sudah berdiri
menunggu pada sebatang pohon yang
rindang. Matanya kosong memandang
hamparan padi yang hampir rata
ntenguning. Ia tahu betul kalau Wintara
sudah berdiri di belakangnya.
"Masih suka menyabung ayam...?"
suara Maladewi halus sekali.
"Kadang-kadang. Itu pun kalau aku
perlu hiburan. Kenapa?"
"Tidak.....Tidak apa-apa...."
"Kenapa harus kau tanyakan itu?"
"Aku hanya khawatir. Di tempat
semacam itu biasanya akan banyak menemui
resiko. Dan lagi menurutku. Kau tidak
pantas menjadi pecandu sabung ayam,
Win...."
"Ah.... Aku akan coba-coba
menghilangkan kebiasaan itu. Karena
sekarang aku tidak memiliki lagi seekor
ayam pun"
"Lucu... Berhenti jadi pecandu
sabung ayam hanya lantaran tidak
memiliki ayam.."
"Bu..bukan itu maksudku, Dewi...?
Bukan. Kau tahu sudah berapa lama
hubungan kita ini..?"
Maladewi diam tidak menjawab.
"Kenapa baru sekarang kau membicara kan
soal sabung ayam. Dan kau pun tahu akan
kegemaranku. Bahkan sudah sejak dari
dulu."
"Aku tidak melarang. Aku hanya
khawatir, Win.... Banyak kejadian yang
sudah-sudah di arena persabungan ayam.
Kang Tohir, Kang Nurjan, semuanya tewas
di sana...."
"Sungguh besar perhatianmu padaku,
Dewi. Sekarang aku betul-betul baru
merasa."
"Merasa? Merasa apa? Merasa pikun?
Merasa bodoh?"
"Bukan.... Baru sekarang aku merasa
memilikimu, Dewi" Kedua lengan Wintara
melingkar di pinggang gadis itu. Mala-
dewi tidak bereaksi.
"Kalau hanya menyaksikan saja
bagaimana? Tidak apa-apakan?" bisik
Wintara.
"Hhh.. Sama saja!" jawab Maladewi
cepat.
"Lantas, aku mesti bagaimana? Di
saat-saat aku butuh hiburan. Perlu
menenangkan pikiran. Melihat sabung ayam
saja tidak boleh. Apa aku harus datang ke
sini berdiri mematung memandangangi
wajahmu terus menerus. Sampai aku
terlena. Sampai mabuk kepayang. Sampai
mati berdiri. Sampai.. Aoooooo...!" Win-
tara memekik. Belum habis Wintara
meneruskan kalimatnya, Maladewi
mencubit lengan Wintara. Kemudian ia
melepaskan diri dari dekapan Wintara.
Cubitan itu masih terasa panas dan
membekas di lengannya.
Aneh kenapa jantungnya yang terasa
lebih dingin?
Hamparan padi yang menguning
bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan
tertiup angin. Seakan-akan menari
mengikuti irama hembusan angin. Di
kejauhan nampak sebuah gunung samar
kelabu tertutup awan putih. Langit biru
juga ikut menyemarakkan suasana cerah
itu.
"Win.... Semalam aku bermimpi
buruk."
"Mimpi buruk? Tentang aku?"
"Iya...!"
"Coba ceritakan!"
"Sebenarnya aku tidak percaya
dengan arti-arti mimpi...."
"Tapi aku mau dengar, Dewi. Cerita-
kan saja...."
"Aku takut kau marah...."
"Cuma mimpi buruk. Kenapa musti
marah"
"Janji...?"
Wintara mengangguk. Jari tangannya
membetulkan rambut Maladewi yang
menutupi sebelah matanya karena
terhempas angin. Maladewi tidak berani
menatap Wintara.
"Mimpiku buruk sekali. Rasanya
terjadi seperti sungguhan. Aku melihat
kau tewas oleh cakaran-cakaran Siluman
Jahat. Siluman itu merencah-rencah
dengan taringnya yang runcing-runcing,
sampai tubuhmu terkoyak. Lalu Siluman
Jahat itu pergi membawa jasadmu ke alam
lain. Ke alam gelap berbau busuk. Aku
berlari mengikuti sambil
berteriak-teriak. Tapi seakan-akan
teriakanku tidak lepas keluar" Maladewi
tidak meneruskan cerita mimpinya.
Wintara sudah menganggapnya tuntas.
"Sekarang kau baru percaya bahwa aku
belum dibawa oleh Siluman Jahat, kan?
Wajar kalau hari ini kau nampak begitu
gelisah. Sebuah mimpi memang kadang-
kadang mempunyai arti. Tapi...."
"Kata-katamu membuat diriku semakin
takut, Win...." kata Maladewi lirih.
"Setiap orang mempunyai rasa takut.
Tapi bukan takut terhadap arti mimpi.
Apalagi mimpi tentang kematian
seseorang, Rasa khawatir memang selalu
ada. Secara kenyataan pun, kematian
adalah suatu malapetaka yang paling
menakutkan...." tutur Wintara.
"Ba.... bagaimana kalau kau mati
sungguhan, Win...?"
"Pertanyaan yang sangat lucu.
Belum-belum kau sudah menganggap diriku
mati."
"Aku memang tidak pereaya dengan
arti mimpi. Tapi sekarang, aku
betul-betul takut."
Wintara menatap Maladewi yang luruh
dalam pelukannya. Keduanya terasa
hangat.
"Seandainya aku mati, kau boleh
kehilangan jasad dan ragaku, Dewi. Tapi
kau tidak boleh kehilangan namaku. Juga
kasih sayangku. Kau dengar itu...?"
Wintara berbisik. Maladewi semakin
menyusup dalam pelukan itu.
Mang Bayan menyantap lahap
hidangannya. Kang Birdun melihatnya
dengan menggeleng-gelengkan kepala. Dua
piring nasi semunjung gunung dilahap
dalam waktu yang sangat singkat.
Sepiring nasi yang dihadapi Kang Birdun
saja belum sempat habis. Tapi Mang Bayan
sudah hampir dua piring. Ki Dulang
Sungkar yang juga ikut melihatnya
langsung menyodorkan segelas air. Ia
takut kalau-kalau nanti Mang Bayan akan
terselak.
Sebenarnya Mang Bayan sendiri sudah
merasa keseretan. Maka ia cepat-cepat
menyambar gelas dan langsung meneng-
gaknya sampai kering.... Ahhhhhhh....
"Hari ini Den Wintara menang banyak.
Ia baru saja mempecundangi ayam aduan
milik Ki Sapta Nrenggana" kata Mang Bayan
sambih mengunyah makanannya. Bagaimana
pun kata-kata itu jelas terdengar. Dan
bukan main kagetnya Ki Dulang Sungkar.
Cepat ia menyembunyikan perasaannya
dengan pura-pura menyibukkan diri.
Tergambar lagi peristiwa tadi,
ketika ia menghadapi Dularata dan
Surakarma suruhan Ki Sapta Nrenggana.
Betapa ia sakit hati dan tak dapat
berbuat banyak. Kekalutannya muncul
lagi.
"Kang Birdun kan tahu sendiri siapa
Ki Sapta Nrenggana itu? Den Wintara
berani melawannya bertaruh sekantung
uang. Padahal Den Wintara tidak punya
uang sebanyak itu." kata Mang Bayan lagi.
Telinga Ki Dulang Sungkar makin panas.
"Untung saja dia yang menang....
Kalau kalah" Mang Bayan masih terus
menjejali mulutnya dengan makanan.
"Pasti Den Wintara berurusan dengan
orang-orang tuan tanah itu"
"Prang...!"
Beberapa gelas terbanting pecah tak
sengaja oleh Ki Dulang Sungkar. Mang
Bayan maupun Kang Birdun jadi tersentak.
Cepat-cepat Ki Dulang Sungkar
menenangkan suasana itu.
"Ah.... Tidak.. Tidak apa-apa!
Gelas-gelas ini masih terlalu basah dan
licin, sehingga mudah tergelincir" Ki
Dulang Sungkar menutupi perasaannya.
Mendengar penjelasan Ki Dulang
Sungkar, Kang Birdun dan Mang Bayan
kembali menyantap.
Ki Dulang Suh&kar membereskan
pecahan-pecahan beling yang berserakan
di tanah. Namun dalam pikirannya masih
terbayang wajah Ki Sapta Nrenggana yang
menyebalkan itu.
* * *
TIGA
"Tidak masuk akal! Kau cerita
bohong, Dularata. Aku tahu betul siapa Ki
Dulang Sungkar!" kata Ki Sapta Nrenggana
dengan nada marah. Kalau saja hari itu Ki
Sapta Nrenggana tidak kedatangan tamu,
mungkin Dularata dan Surakarma sudah
habis-habisan dicaci maki. Tamu itu
duduk tenang di sebelahnya. Ia menatap
Dularata dan Surakarma yang berdiri
tertunduk.
"Orang setua itu mana mungkin memi-
liki kepandaian tinggi, aku tahu betul
keadaannya. Apalagi ia berani mengaku
menamakan dirinya si Samber Nyawa...."
"Saya berkata yang sesungguhnya,
Ki. Ki Dulang Sungkar berkepandaian luar
biasa!" Dularata meyakinkan.
"Bohong! Aku tetap tidak percaya!"
bentak Ki Sapta Nrenggana.
"Tunggu dulu, Ki" Tiba-tiba orang
yang duduk di sebelah Ki Sapta Nrenggana
ikut bicara memotong. "Aku pernah dengar
nama Samber Nyawa. Tapi itu dulu, pada.
Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Me-
mang ada orang yang menyandang julukan
itu. Namun ia hilang begitu saja" tutur
tamunya.
"Kalau pun ada orang yang berjuluk
si Samber Nyawa, yang jelas bukan Ki
Dulang Sungkar. Aku tak yakin" Ki Sapta
Nrenggana masih penasaran.
"Kalau benar yang kalian hadapi
adalah si Samber Nyawa, kalian termasuk
orang yang beruntung. Setahuku, si
Samber Nyawa tidak pernah membiarkan
lawan-lawannya hidup!" kata tamunya yang
masih memandangi Dularata dan Surakarma.
"Apa yang kau ketahui tentang si
Samber Nyawa itu, Gada Rencah?" tanya Ki
Sapta Nrenggana menoleh pada tamunya
yang duduk di sebelahnya.
Tamunya yang ternyata bernama Gada
Rencah berusaha mengingat-ingat.
Sebentar kemudian wajahnya memerah.
Telapak tangannya mengepal erat sampai
timbul bunyi gemeretak.
"Dia seorang tokoh legendaris
terkenal sangat sadis dan tak kenal
ampun...."
Dularata maupun Surakarma mendelik
mendengar penjelasan Gada Rencah.
"Jangan khawatir.... Aku tahu betul
rupa si Samber Nyawa. Semuanya
tergantung pada Ki Sapta Nrenggana.
Bagaimana? Apa perlu kita buktikan
sekarang?"
Ki Sapta Nrenggana kelabakan
mendapat pertanyaan seperti itu. Ia
cepat bangkit dari kursinya menghadap
Gada Rencah.
"Jangan.. Jangan sekarang, Gada
Rencah..Kita masih banyak waktu..
Lagipula kau baru saja tiba di sini,
tentu masih merasa lelah, bukan? He...
he... he.... Istirahat saja dulu" kata Ki
Nrenggana pada tamunya.
Gada Rencah ikut bangkit mengikuti
ajakan Ki Sapta Nrenggana memasuki se-
buah ruangan yang penuh berisi
perabotan-perabotan mewah. Ternyata itu
ruangan keluarga. Di tengahnya terdapat
sebuah meja bundar besar dilengkapi
dengan enam buah kursi. Di atas meja itu
tersedia bermacam-macam makanan.
Hidangan-hidangan yang tersedia di situ
membuat Gada Rencah menelan air liur.
Ia langsung duduk setelah Ki Sapta
Nrenggana mempersilahkan. Beberapa
orang perempuan keluar melayani Gada
Rencah. Ada yang memberikan piring, ada
yang menuangkan arak. Ada juga yang
memijit-mijit halus bagian punggung.
Gada Rencah sendiri terheran-heran
memandangi perempuan-perempuan itu.
Apalagi para perempuan itu hanya
mengenakan kain, membungkus ketat
tubuh-tubuh ramping mereka sampai
sebatas dada. Membuat buah dada itu
nampak sekal menonjol ke depan.
Perempuan-perempuan itu hanya tersenyum
dipandangi oleh Gada Rencah.
Ki Sapta Nrenggana tertawa melihat
tamunya merasa puas di ruangan itu.
Selama Gada Rencah menyantap makan-
an, perempuan perempuan itu belum juga
meninggalkan mereka. Malah perempuan
perempuan itu melayani Gada Rencah tidak
ubahnya seperti seorang raja.
* * *
Malamnya, dalam ruangan itu
mengalun musik tabuhan gendang. Para
penari menari dengan lenggak-lenggok
yang menggairahkan. Rata-rata gerakan
mereka sama mengikuti alunan musik.
Tamu-tamu di situ tidak banyak. Tapi
semuanya nampak seperti para pembesar.
Pintu terkunci rapat. Hanya
jendela-jendela saja yang terbuka.
Mungkin agar angin dapat masuk.
Semuanya ada tiga rombongan. Tiap
rombongan terdiri dari empat orang,
masing-masing ditemani oleh para
perempuan cantik. Rombongan-rombongan
itu duduk berderet mengeliling ruangan.
Ki Sapta Nrenggana berada pada rombongan
paling tengah. Hanya rombongan itu yang
terdiri dari dua orang. Yaitu bersama
Gada Rencah. Tapi para perempuan
penghiburnya lebih banyak. Mungkin
karena Ki Sapta Nrenggana sebagai tuan
rumah.
Beberapa pundi arak sudah
bergulingan di hadapan mereka. Namun Ki
Sapta Nrenggana masih terus
memerintahkan pelayannya agar
mengeluarkan semua pundi-pundi arak.
Keadaan sudah semakin panas. Tabuhan
gendang masih terus mengalun. Para
penari nampak lelah.
"Cukup...!" Tiba-tiba saja Ki Sapta
Nrenggana berteriak. Ia berdiri dengan
sempoyongan. Tiba-tiba pula musik
gendang berhenti. Ki Sapta Nrenggana
melemparkan dua kantong uang pada
pemimpin pemain musik.
"Kalian pulanglah. Juga kuucapkan
terima kasih karena kalian telah
menghibur kami. Pulanglah!" Ki Sapta
Nrenggana duduk lagi. Langsung memeluk
seorang perempuan di sebelahnya. Gada
Rencah tidak perduli, karena ia sendiri
telah sibuk menghadapi dua orang
perempuan penghibur. Pe-
rempuan-perempuan itu kewalahan mela-
yani Gada Rencah. Sebentar-sebentar
mereka harus repot membetulkan
pakaiannya yang menutupi bagian dada.
Pada rombongan-rombongan lain pun
begitu. Nampak para pembesar itu tertawa
puas dengan para penghiburnya. Ruangan
itu jadi riuh, sekalian terdengar
dengusan nafas lelaki terdengar pula
cekikikan manja dari mulut para
penghibur.
Seorang pemimpin datang menghadap
pada Ki Sapta Nrenggana. Langkahnya
demikian gemetar. Bagaimana tidak, Ia
melihat jelas seorang perempuan
telanjang bulat menggeliat-geliat di
bawah dekapan Ki Sapta Nrenggana.
"Maaf, Ki, Kami sudah membereskan
semua peralatan. Kami mohon pamit" kata
pemimpin rombongan pemain musik.
"Hmmm.... Pergilah kalian. Dan
jangan lupa menutup pintu kembali" jawab
Ki Sapta Nrenggana tanpa menoleh.
Orang itu langsung berbalik
sekaligus memberikan isyarat pada
teman-temannya agar segera meninggalkan
tempat itu. Semua peralatan musik
dibawanya serta, satu-satu mereka
keluar. Dan yang berjalan paling akhir
menutup pintu kembali.
Beberapa pembesar sudah ada yang
bangkit membawa pasangannya masuk ke
dalam kamar. Hanya beberapa orang saja
yang tetap tinggal di situ. Termasuk Ki
Sapta Nrenggana dan Gada Rencah. Kalau
tadi terdengar musik tabuhan gendang,
sekarang hanya terdengar rintihan-
rintihan lirih dibarengi dengan dengusan
yang saling memburu.
Tengah malam kian gelap. Tanpa awan
dan bulan. Dularata dan Surakarma
berjalan sempoyongan karena terlalu
banyak minum arak. Mereka berjalan
berkeliling memutari gedung yang masih
terang benderang.
"Entah sedang apa orang-orang yang
berada di dalam sana," pikir Dularata.
Sesekali Surakarma mengintip dari
jendela, dan ia pun hanya nyengir kepada
Dularata. Kemudian berjalan lagi
berkeliling. Suara jangkrik terdengar di
sekeliling gedung besar itu. Hawa dingin
pun menyengat kulit mereka. Untung saja
mereka dihangatkan oleh beberapa pundi
arak, sehingga tubuh mereka cukup panas.
Bagaimana pun mereka tetap
mendongkol. Ki Sapta Nrenggana tidak
memberikan jatah apa-apa. Mereka malah
mendapat tugas meronda. Tugas yang
membosankan.
Tiga sosok bayangan mengendap-endap
di belakang semak di samping gedung. Tiga
sosok itu langsung menyebar ketika
Dularata dan Surakarma hampir
melewatinya. Dularata berjalan terus.
Tapi Surakarma sebentar-sebentar
mengintip ke arah jendela membuat
langkah tertinggal oleh Dularata. Dan
ketika Surakarma bermaksud menyusul....
"Buuug...!"
Sebuah hantaman keras bersarang di
ulu hatinya. Ia memekik kesakitan tapi
suaranya tidak sempat keluar. Karena
sosok bayangan itu cepat menambahkan
sebuah tendangan.
"Bruuuug...!"
Tubuh Surakarma terbanting keras.
Dularata mendengar suara berisik itu,
maka ia cepat berlari ke belakang.
"Plaaak...!"
Tahu-tahu ia diserang tiga sosok
bayangan. Pipinya terasa panas menerima
hantaman itu. Dularata tidak segera
me-balas, ia mengernyitkan alisnya
mema-dang tiga orang itu. Namun tetap
saja ia tidak dapat mengenalinya. Karena
ketiga orang itu mengenakan kain
penutup.
Dularata maju dengan terjangan,
meskipun langkah-langkahnya sempoyongan
ia masih bisa melancarkan beberapa kali
tinjunya.
"Plak...! Plak...! Plak...!"
Semua hantamannya yang tidak
terarah dapat ditangkis oleh salah
seorang yang memakai kain penutup di
mukanya. Malah tahu-tahu dari arah
belakang Dularata mendapat serangan
balasan.
"Beg...!"
Sebuah tendangan menghantam keras
tidak kepalang tanggung. Dularata
tersungkur ke depan. Mukanya terseret
pada tanah yang penuh dengan hamparan
batu kerikil. Begitu ia bangun, terlihat
jelas luka di sekitar keningnya. Ia tidak
sempat lagi maju menyerang. Karena
secara kilat ketiga orang itu langsung
menghantam berbareng. Dularata jatuh
menggelosoh pingsan. Dilihat orang itu
sudah tidak berkutik lagi, ketiganya
berlari menghampiri jendela kamar.
Mereka mendengar desahan nafas seorang
perempuan disertai suara derit tempat
tidur. Salah seorang mengeluarkan
sesuatu dari balik haju hitamnya. Dengan
alat itu ia berusaha mendongkel jendela.
Yang dua lagi berjaga-jaga. Tapi yang
jelas mereka sudah tidak sabaran.
Dua tubuh bugil berlainan jenis
saling rengkuh menindih di atas sebuah
tempat tidur diterangi dengan sebuah
lampu kecil. Keduanya tersentak kaget
ketika dengan tiba-tiba mereka mendengar
suara jendela kamar terbuka lebar.
Perempuan itu yang berada di atas tubuh
seorang lelaki gemuk langsung menarik
sprei menutupi seluruh tubuhnya. Dari
jendela itu ia melihat tiga sosok
bayangan. Ketika ia hendak menjerit.
Benda runcing kira-kira satu jengkal
menerobos masuk menembus tenggorokan
perempuan itu. Tanpa mengeluarkan suara,
perempuan itu ambruk di atas tubuh lelaki
gemuk yang melihat kejadian itu demikian
cepatnya. Lelaki gemuk itu ketakutan
setengah mati melihat darah mengalir
deras dari tenggorokan perempuan yang
digaulinya. Ketiga sosok hitam masuk
dalam ruangan kamar melalui jendela.
Lelaki gemuk makin jadi gemetarannya.
Salah seorang mendekatinya lalu dengan
pukulan karate, ia menghantam batang
leher lelaki gemuk itu.
"Deees!"
Si gemuk ambruk dengan tulang leher
patah. Setelah keduanya betul-betul
dibereskan, mereka menggeledah tempat
itu. Semua barang-barang berharga milik
lelaki gemuk yang ada di pakaiannya
disikat habis. Lumayan! Beberapa
perhiasan dari emas. Benda kecil apa saja
yang nampak berharga disatukannya dalam
satu kantong besar.
"Cari lagi! Di kamar sebelah masih
ada! Ayo cepat!" Salah seorang yang
berperawakan tinggi besar memerintah.
Maka yang lain membuka pintu perlahan.
Dan menyelinap dengan mengendap-endap.
Di ruangan tengah masih terdengar suara.
Suara beberapa pasang manusia yang te-
ngah bergumul.
Hati-hati sekali mereka melangkah.
Jarak kamar sebelah ada sekitar tiga
meter. Mereka membuka pintu itu
perlahan, tanpa bersuara. Terlihat lagi
pemandangan seperti tadi, Melihat
kemunculan ketiga orang, perempuan bugil
yang telah banjir dengan keringat
berteriak kaget:
"Aaaooooooo...! Ada orang...!"
"Bug...! Bug...!" Dua tendangan
sekaligus melempar tubuh bugil itu
sampai tak berkutik. Laki-laki yang ada
di kamar itu bermaksud melawan, tapi
hanya dengan sebuah tikaman pisau kecil
menghentikan gerakannya.
"Ram.... Ram.... Rampooooook...."
Laki-laki itu jatuh limbung ke lantai.
Suara teriakan perempuan tadi
terdengar sampai ke ruangan tengah. Para
lelakinya segera bangkit berjalan ke
arah suara itu. Ki Sapta Nrenggana
berlari limbung sambil membetulkan ikat
pinggangnya. Yang lain mengikuti... Gada
Rencah menghempaskan dua perempuan yang
masih menindih tubuhnya. Ia ikut bangkit
menyusul.
Sampai di pintu kamar Ki Sapta
Nrenggana tersentak kaget. Pada saat itu
sebuah hantaman melempar tubuh Ki Sapta
Nrenggana menimpa orang-orang yang
berada di belakangnya.
"Bruaaaaak!"
Ketiga orang berkerudung itu
langsung mengamuk melancarkan hantaman-
hantaman terhadap orang-orang itu. Ki
Sapta Nrenggana merayap menjauh.
Babatan-babatan pisau maupun pedang
berkelebat merencah tubuh para undangan.
Ada yang sekaligus mati, ada juga yang
berteriak-teriak kesakitan. Ketiganya
melangkah dengan mata yang nyalang
menuju ke arah Ki Sapta Nrenggana. Dia
terlentang melihat ketiga orang yang
mendatangi dengan senjata di tangan
mereka.
Seorang dari perampok itu melompat
menyerang dengan pedang siap membabat.
Tapi....
"Breeet!"
Pedang itu terpental jauh. Perampok
itu pun mundur terhuyung.
Ternyata Gada Rencah datang tepat
pada waktunya. Ketika pedang perampok
itu hampir menghujam Ki Sapta Nrenggana,
Gada Rencah menyabetnya dengan ikat
pinggangnya yang terbuat dari kulit yang
telah mengering.
Gada Rencah menatap ketiga rampok
itu. Ki Sapta Nrenggana buru-buru
menyurup ke belakangnya. Ia merayap
seperti seekor anjing. Para perempuan
penghibur berdiri ketakutan. Semuanya
belum sempat mengenakan pakaian.
Rata-rata membugil. Dengan peluh yang
masih deras mengalir.
Pedang yang terpental tadi cepat
diambil kembali oleh pemiliknya. Dan
sekarang ia telah bersiap menyerang
lagi. Seorang yang membawa karung berisi
segala macam barang berharga melepaskan
bawaannya. Ia mencabut sebilah pedang
dari pinggangnya. Kini ketiga perampok
itu siap menghadapi Gada Rencah. Mereka
yakin Gada Rencah bukannya orang yang
sembarangan. Maka mereka perlu hati-hati
menghadapinya. Tiba-tiba dengan
serempak mereka maju menyerang.
Babatan-babatan senjata mereka berputar
menerjang Gada Rencah. Serangan itu
cukup mematikan. Tapi hanya dengan
memutar ikat pinggangnya Gada Rencah
dapat merobohkan ketiga penyerangnya.
Sekali lagi Gada Rencah menyabet.
Tahu-tahu saja ikat pinggang itu melilit
di leher salah satu perampok itu. Dan
ketika Gada Rencah menariknya dengan
sekuat tenaga, orang itu ikut terbawa.
Tubuhnya terlempar dengan kepala
membentur tembok.
"Praaak!"
Orang itu terbanting ke lantai
dengan kepala remuk mengeluarkan darah.
Tubuh itu kelojotan, kemudian diam kaku
tak berkutik.
Dengan tenang Gada Rencah mengikat
kulit kering itu melilit di pinggangnya.
Pada kesempatan itu dua orang perampok
yang masih sisa langsung menerjang. Satu
orang menikam dengan pisau pendek dan
seorang lagi membabatkan pedang
menyilang ke arah perut. Gada Rencah
melompat ke atas. Babatan pedang serta
tikaman pisau kecil terhindar. Tapi
kakinya bergerak cepat menghantam orang
yang memegang pedang.
"Bug!"
Orang itu bergalingan. Gada Rencah
hinggap di lantai bagaikan daun jatuh.
Menyambut tikaman pisau kecil.
"Deb!"
Luar biasa pisau itu! Tidak dapat
menembus dadanya. Membekas pun tidak.
Sudah tentu si penikam itu
terheran-heran dibuatnya. Dalam pada itu
Gada Rencah langsung melancarkan
serentetan hantaman.
"Des...! Des...! Des...!"
Rampok yang bersenjatakan pisau
kecil terlempar! Hantaman-hantaman itu
tepat mengenai pada bagian yagn
mematikan. Dari mulut serta hidungnya
mengalir darah segar. Pandangannya
kabur. Gada Rencah melompat lagi, kali
ini tendangannya disertai tenaga penuh.
Dan saat telapak kakinya menggedor dada
lawannya, orang itu langsung mati dengan
seketika. Tinggallah seorang perampok
lagi. Kalau tidak salah dialah
pemimpinnya. Ia bersenjatakan sebilah
pedang. Wajahnya masih tertutup rapat
dengan kain sarung. Hanya kedua matanya
saja yang nampak menatap jalang.
Pedangnya yang tajam mengkilap terhunus.
Langkahnya bergerak perlahan maju.
Matanya mengamati posisi Gada Rencah.
* * *
EMPAT
Ketika Gada Rencah menggertak
menyerang. Pedang tajam memutar tiga
kali babatan.
"Bret...! Bret...! Bret!"
Gada Rencah diam tak bergeming. Di
tubuhnya membekas goresan-goresan pu-
tih. Kemudian goresan-goresan itu
menghilang kembali seperti semula. Ilmu
kebal! Gada Rencah memiliki ilmu yang
langka seperti itu.
Perampok yang masih tersisa mundur
beberapa langkah. Namun Gada Rencah
mengikutinya. Pedang itu menghantam lagi
di lehernya. Gada Rencah menyambut
babatan itu dengan telapak tangan. Cepat
ia mencengkeram erat bilah pedang yang
tajamnya bukan main. Sehingga perampok
itu tak sanggup untuk menarik kembali.
Di luar dugaan, Gada Rencah menarik
kuat bilah pedang yang dicengkeramnya,
sehingga perampok ikut terbawa. Dan
ketika tubuhnya terseret mendekat, Gada
Rencah melancarkan hantaman ke bagian
dada. Kontan saja darah menyembur.
Manusia berkedok itu terhuyung.
Ki Sapta Nrenggana langsung
menyambar pedang yang tergeletak di
lantai. Ia membabat ke perut orang yang
masih sempoyongan. Sudah jelas orang itu
tidak dapat mengelakkannya. Perutnya
robek melebar. Ia menggelepar gelepar
bersimbah darah, seluruh lantai di
sekitarnya memerah. Tapi Ki Sapta
Nrenggana belum juga puas dengan
babatannya tadi. Dengan geram ia
mencincang habis tubuh yang sudah diam
membeku.
"Cukup, Ki. Cukup. Seluruh lantai
ini akan menjadi kotor. Cukup!" Gada
Rencah mengguncang-guncangkan punggung
Ki Sapta Nrenggana. Amukannya luar
biasa. Cepat-cepat Gada Rencah menahan
genggaman pedang itu. Barulah Ki Sapta
Nrenggana berdiri tenang dengan nafas
saling memburu. Matanya melotot tegang.
Ia melempar pedang itu sampai menancap
ditubuh yang tergeletak bersimbah darah.
Para perempuan penghibur yang masih
telanjang bulat meluruk ke arah Ki Sapta
Nrenggana, mereka memberikan pakaian
salin.
"Tenanglah, Ki..., Kita sudah
membereskan ketiga perampok itu, kenapa
musti membuang tenaga hanya karena
emosi. Sekarang kumpulkan mayat-mayat
mereka dan bukalah kain penutup wajah
mereka. " kata Gada Rencah. Maka suasana
menjadi tenang.
Para pembesar yang masih segar bugar
mengumpulkan mayat-mayat itu, meskipun
sebenarnya mereka nampak jijik. Ketiga
mayat itu berpakaian serba hitam semua.
Hanya kain penutup wajah mereka saja yang
berlainan warna.
Ki Sapta Nrenggana yang sudah berpa-
kaian rapih langsung membungkuk membuka
kain penutup wajah mereka satu per satu.
"Apakah Ki Sapta kenal dengannya?"
tanya Gada Rencah setelah Ki Sapta Nreng-
gana membuka kain berwarna hijau.
"Tidak! Aku tidak kenal orang ini!"
Ki Sapta Nrenggana menggeleng.
"Coba yang di sebelahnya itu"
perin-tah Gada Rencah. Ki Sapta
Nrenggana langsung menarik kain berwarna
biru bergaris-garis hitam. Sesaat ia
memandangi wajah yang mengerikan. Ki
Sapta Nrenggana mengernyitkan alis,
kemudian....
"Semua asing bagiku. Tidak kukenal
sama sekali" Sambil berjalan merunduk,
ia mendekati tubuh yang terkoyak akibat
cincangannya tadi.
Sebelum Ki Sapta Nrenggana membuka
kain penutup, ia bergidik melihat sosok
mayat itu. Bagaimana tidak, dari leher
sampai pada bagian pinggang nampak
terkoyak. Pakaiannya sudah basah dengan
cairan kental berwarna merah.
Sekali sentak, kain penutup itu
terbuka. Ki Sapta Nrenggana mendadak
melotot seakan tidak percaya dengan
penglihatannya sendiri.
"Darman..." Tanpasengaja suaranya
keluar.
"Darman? Siapa Darman?" Gada Rencah
ikut heran.
"Orang kampung sini juga! Rumahnya
tidak jauh dari sini!"
Ki Sapta Nrenggana bangkit. Ia tidak
memperdulikan orang-orang di
sekitarnya. Dengan langkah tergesa-gesa
ia keluar gedung. Diamatinya sekeliling
pekarangan. Nampak dingin dan sunyi. Ada
sesuatu yang dicarinya di luar. Maka ia
berjalan mengitari rumahnya.
Tak berapa lama ia melihat dua sosok
tubuh tergeletak dekat semak-semak. Ki
Sapta Nrenggana kenal betul dengan dua
sosok itu. Dengan geram ia menendangi dua
sosok yang tergeletak. Keduanya mulai
menggeliat. Dularata membuka matanya,
pandangannya masih samar. Tapi ia tahu
orang yang menendanginya itu majikannya
sendiri. Maka ia cepat-cepat bangun.
Surakarma merintih. Ulu hatinya masih
terasa ngilu.
"Ada orang, Ki. Barusan ada orang!"
kata Dularata tergagap.
"Kalian berdua betul-betul tidak
dapat diandalkan. Makan tahi kerbau saja
kalian semua. Untung saja Gada Rencah ada
di sini! Kalau tidak, kalian akan sama
mampusnya dengan aku" Mendengar amarah
Ki Sapta Nrenggana, Dularata dan
Surakarma tertunduk diam.
"Tunggu apa lagi di sini! Ayo masuk!
Dasar tolol!" Ki Sapta Nrenggana
beringsut meninggalkan mereka. Dua anak
buahnya mengikuti dengan
langkah-langkah pincang.
* * *
Warsih terjaga dari tidurnya,
karena mendengar anaknya memanggil-
manggil. Sebentar kemudian ia
menggeliat. Matanya nampak kusam. Ia
melihat anaknya sudah duduk di samping
tubuhnya....
"Ada apa, Ding.... Mau minum?" tanya
Warsih. Oding mengangguk.
"Kenapa tidak ambil sendiri, kan
biasanya"
"Takut, mak"
Dengan lesu Warsih bangkit. Ia turun
dari tempat tidur kemudian berjalan ke
arah dapur. Tak lama ia kembali lagi
dengan membawa segelas air. Oding
menyambutnya. Ia langsung menenggak
habis air minum itu sambil duduk. Warsih
jadi tidak dapat tidur lagi walaupun
tubuhnya sudah terbaring.
Sebenarnya hari hampir pagi, kicau
burung dan kokok ayam jantan terdengar
saling bersahutan. Suara azan Subuh
sudah berhenti. Warsih bangkit lagi, ia
membetulkan rambutnya yang kusut
tergerai. Setelah ia menggulung rambut
ia berjalan membiarkan Oding anaknya
tetap duduk di atas ranjang. Ia mendorong
pintu. Derit pintu bambu terdengar
panjang. Suasana pagi itu masih nampak
gelap, bahkan dingin.
Pandangannya menerawang jauh dalam
kegelapan, rumah-rumah penduduk nampak
samar tertutup kabut.
"Ahhhhhhhhh!"
Ia menggeliat lagi. Hidungnya
mendengus. Ada sesuatu aroma yang kurang
sedap. Bau anyir. Pastilah ada bangkai
tikus di sekitar gubuknya, pikir Warsih.
Mula-mula Warsih tidak perduli,
malah ia mengutuki bangkai tikus itu.
Paling-paling ia mati karena kekenyangan
mencuri kebun singkongnya.
Tapi bau anyir semakin menyeruak
terbawa oleh angin yang menghembus ke
arahnya. Sehingga Warsih tahu dari mana
asal bau itu. Warsih beranjak dari
balai," ia berjalan menyusuri arah bau
itu sambil mengendus-endus. Bau anyir
semakin santer! Itu berarti ia sudah
dekat. Ia mengawasi sekitar situ,
pandangannya membentur pada sesuatu yang
tergeletak di bawah pohon pisang. Warsih
bertanya-tanya. Bentuknya seperti
manusia tertelungkup. Ia makin
penasaran, karena justru bau anyir
berasal dari situ. Mungki-kah mayat
manusia? Rasanya tidak mungkin! Ia tidak
mendengar suara apa-apa semalam. Mungkin
ada orang yagn sengaja membuang
bangkai-bangkai tikus atau kucing di
situ. Karena dekat situ memang tempat
sampah.
Dengan menggunakan sebatang ranting
ia mengais-ngais onggokan itu. Dirasakan
ujung ranting itu menyentuh sesuatu yang
empuk berlapis cairan lendir. Setelah
itu Warsih melihat ujung rantingnya
telah melekat cairan merah merambat.
Warsih yakin sekali kalau yang
dilihatnya itu adalah cairan darah. Maka
ia cepat berlari balik ke dalam gubuknya.
Oding sudah terlelap tidur. Hati-hati
sekali ia mengambil sebuah pelita, lalu
ia keluar lagi menuju ke tempat tadi.
Sebelah telapak tangannya menjaga agar
api pelita itu tidak mati. Sesampainya di
tempat tadi Warsih hampir memekik, cepat
ia menutup mulutnya. Sesosok tubuh
tergeletak di atas tumpukan-tumpukan
sampah. Dengan memberanikan diri ia
membalikkan tubuh itu dengan sebelah
kakinya. Dan.... Bagai disambar petir ia
melihat mayat yang sudah terkoyak.
Bagaimana pun juga Warsih masih dapat
mengenali.
"Kang!!! Kang Darman! Kang
Darmaaannnn!" teriakan Warsih keras
memekakkan telinga. Pagi yang dingin dan
sunyi tersentak kaget oleh
jeritan-jeritan histeris Warsih.
"Kang Darmaaaannnn.!!! Hu, hu, hu,
hu... Kanggggg!!!"
Warsih mengguncang-guncangkan tu-
buh yang berlumuran darah. Pelitanya
mati tertiup angin. Beberapa penduduk
terdekat yang mendengar suara jeritan
Warsih m-nyerbu. Mereka langsung dapat
menemui Warsih yang tengah menangisi
mayat suaminya. Dan ketika para penduduk
berdatangan, Warsih terkulai lemas. Ia
tidak sadarkan diri.
* * *
Wintara dan Mang Bayan duduk sila
menghadapi mayat yang sudah dibungkus
kain kafan. Para penduduk sudah memenuhi
ruangan itu. Seorang Kyai nampak tengah
membacakan ayat-ayat suci pengantar
untuk acara pemakaman jenasah Darman.
Oding anak tunggalnya nampak diam, tapi
Warsih masih sesenggukan dalam pelukan
seorang perempuan tetangganya. Ia tidak
kuasa melihat tubuh Darman suaminya
terbujur kaku yang sebentar lagi lenyap
dari pandangannya.
Beberapa orang pelayat datang lagi
ke dalam gubuk itu. Semua orang-orang
yang berada di situ mengarahkan
pandangannya kepada beberapa orang yang
baru datang. Wintara langsung tersenyum
setelah melihat mereka. Orang yang
berdiri paling tengah bersikap angkuh.
Matanya seakan tidak puas memandangi
mayat Darman. Wintara langsung bangkit
menyambut beberapa pelayat itu.
"Silahkan duduk, Ki Sapta
Nrenggana. Maaf tempatnya sempit.!" kata
Wintara ramah. "Sebentar lagi jenazah
akan dikuburkan di halaman belakang
rumah. " katanya lagi.
"Terima kasih. Kami tidak akan
berlama-lama di sini, masih banyak
urusan-urusan yang lebih penting" jawab
Ki Sapta Nrenggana dengan nada bicara
yang kurang enak didengar. Lalu ia
memberi isyarat pada orang yang berdiri
di sebelahnya. Gada Rencah mengerti
isyarat yang sudah diatur sebelumnya.
Maka ia merogoh saku bajunya. Ia
mengeluarkan sekantong uang logam. Semua
mata menatap pada Gada Rencah orang asing
di kampung Tapis Ledok. Di luar dugaan
Gada Rencah melempar uang itu, tepat
mengenai wajah jenazah Darman.
"Sungguh suatu penghinaan," pikir
Wintara. Mang Bayan sendiri melotot
tidak senang. Warsih tidak melihat
peristiwa itu, karena ia telah hanyut
dalam perasaannya.
Kalau saja tidak dalam keadaan
seperti ini, Wintara sudah melabrak para
pelayat yang kurang sopan itu. Kenapa
harus dengan cara yang demikian? Apakah
tadinya Kang Darman bermusuhan dengan Ki
Sapta Nrenggana?
Warsih menjerit histeris saat empat
orang lelaki tetangganya menggotong
jenazah Darman. Sambil membacakan
ayat-ayat suci mereka membawa jenazah
itu untuk dimakamkan. Wintara dan Mang
Bayan tidak mengikuti upacara pemakaman.
Mereka sengaja diam di gubuk itu menemani
Warsih. Saat itu Warsih sudah cukup
tenang. Ia menghapus air matanya yang
mengembang di kedua kelopak matanya yang
membeng-kak. Ia baru sadar kalau Wintara
dan Mang Bayan sudah ada di situ.
"Peristiwanya bagaimana, Bi.
Bagai-mana Kang Darman sampai mengalami
nasib demikian tragis" tanya Wintara.
"Bibi juga tidak tahu, Den. Subuh
tadi bibi menemukan mayat Kang Darman di
depan rumah. Bibi tidak tahu siapa yang
membunuhnya" suara Warsih parau.
"Apa bibi tahu kalau kang Darman
pernah bentrok dengan orang. Ng.... Atau
barangkali punya musuh?"
"Tidak mungkin, Den. Tapi yah...
tidak tahu juga, mungkin ada orang yang
sentimen terhadap kang Darman. Namanya
orang cari nafkah di kampung-kampung
orang sudah tentu banyak saingan. "
Wintara menarik nafas panjang, lalu
dihembuskan perlahan. Pandangan Warsih
sayu, air matanya mengembang lagi. Dan
tangisnya pun meledak. Wintara langsung
mendekatinya.
"Sudahlah, Bi. Pasrahkan saja.
Serahkan semua pada Tuhan, Kang Darman
sudah tenang di alam sana. Tangisan bibi
akan mengusik ketenangannya...."
"Bibi pasrah. Bibi rela. Tapi bibi
tidak kuat menerima ini semua"
Wintara diam, ia tak dapat berbuat
apa-apa lagi. Ia hanya mendengar isak
tangis Warsih.
"Darimana Den Wintara tahu kejadian
ini?" tanya Warsih sambil menghapus air
matanya.
"Kampung Tapis Ledok dengan Kampung
Karang Hampar tidak berjauhan, Bi. Semua
orang ramai membicarakan kematian Kang
Darman. Karena itu suatu peristiwa yang
sangat menggemparkan" jawab Mang Bayan.
Wintara tetap diam. Sebenarnya ia ingin
menjawab, tapi Mang Bayan sudah
menjawabnya lebih dahulu.
"Oh ya, Bi. Apakah sudah diterima
uang selawatan yang sekantong tadi?" ka-
ta Mang Bayan lagi.
"Su-Sudah.... Kira-kira dari siapa
ya? Bibi sampai tidak tahu"
"Dari Ki Sapta Nrenggana" jawab
Wintara cepat.
"Apa? Dari Ki Sapta Nrenggana? Tidak
mungkin, Den. Tidak mungkin. Tempo hari
saja bibi bermaksud minjam uang
kepadanya. Boro-boro sekantong uang,
sepeser pun ia tidak memberi. Dia malah
menghina" suara Warsih tetap parau.
"Mungkin sekarang ia mulai prihatin
terhadap bibi...."
* * *
Ki Dulang Sungkar bukannya tidak
tahu kematian Darman suami Warsih.
Bahkan ia pun telah mendengar beberapa
orang yang mati di rumah peristirahatan
Ki Sapta Nrenggana. Beberapa pembesar
dan dua orang perampok. Hal itu bukan
suatu rahasia. Karena Ki Sapta Nrenggana
sendiri yang menyuruh orang-orang Tapis
Ledok untuk menguburkan jenazah-jenazah
mereka. Satu di antara orang itu sekarang
ada di kedainya. Menceritakan semua yang
ia ketahui.
Ki Dulang Sungkar mempunyai
kesimpulan lain. Sekali pun Darman ikut
merampok pada malam itu, Ki Dulang
Sungkar cukup bangga akan keberaniannya.
Hanya sayang Darman tidak berhasil.
Birdun masih mengoceh terus menceritakan
pengalamannya setelah ia menguburkan
beberapa orang yang tewas di rumah
peristirahatan Ki Sapta Nrenggana.
"Anehnya, Ki.... Pakaian yang
dikenakan kang Darman sama betul dengan
kedua perampok yang tadi pagi saya
kuburkan. Semuanya serba hitam.
Jangan-jangan" kata Birdun terputus.
"Jangan salah paham, Dun. Lagipula
dua perampok itu kan bukan orang sini.
Mana mungkin Darman ikut terlibat. Se-
muanya terjadi secara kebetulan. "
potong Ki Dulang Sungkar. Birdun
menenggak kopinya. Lalu....
"Kematian kang Darman begitu sadis,
Ki. Bagaimana ia tidak terlibat?"
"Stttt... Hati-hati kalau bicara.
Kau lihat di sana itu?" kata Ki Dulang
Sungkar berbisik perlahan, Birdun
langsung menoleh mengikuti pandangan
mata Ki Dulang Sungkar.
"Alihkan pembicaraanmu, Dun" bisik
Ki Dulang Sungkar lagi. Birdun malah jadi
takut. Karena yang dilihatnya tidak lain
adalah Ki Sapta Nrenggana bersama
kawan-kawannya menuju kedai di mana
Birdun nangkring.
"Tenang.... Tenang, Dun. Jangan
pergi dari tempat dudukmu. Kalau kau
pergi mereka akan bertambah curiga" kata
Ki Dulang Sungkar. Tapi Birdun semakin
takut.
* * *
LIMA
Ki Sapta Nrenggana memandang sinis
Ki Dulang Sungkar yang nampak sibuk
melayani seorang tamu. Ketika mereka
tiba di depan kedai Ki Sapta Nrenggana
langsung mendorong tubuh Birdun sampai
tersingkir dan jatuh ke tanah. Kemudian
Birdun lari menjauh. Dularata dan
Surakarma mengu-rung Ki Dulang Sungkar,
Gada Rencah mengawasinya dengan teliti
di samping Ki Dulang Nrenggana. Lalu ia
berbisik.
"Benar kata mereka, Ki. Ki Dulang
Sungkar betul-betul si Sambar Nyawa."
"Kau jangan menakut-nakuti, Gada
Rencah"
"Brang...!
Gdombraaaang...!"
Tiba-tiba saja Dularata menendang
meja dagangan itu, semua barang-barang
dan makanan terbalik habis. Tapi Ki
Dulang Sungkar tetap tenang. Mendengar
suara berisik Maladewi keluar dari
dapur, ia baru saja menanak nasi. Begitu
ia keluar, Surakarma menjegal. Ia
langsung memdekap tubuh ramping itu.
Ki Dulang Sungkar cepat bertindak.
"Blak!"
Tendangannya menghantam di bagian
tulang rusuk. Surakarma yang membekap
Maladewi jatuh. Maladewi yang terlepas
dari bekapan itu lari berlindung di
belakang Ki Dulang Sungkar.
"He... he... he... he.... Serahkan
anak gadismu padaku, Ki. Lebih baik kita
mengikat tali persaudaraan. Maka
urusannya akan beres. He... he...
he...." Ki Sapta Nrenggana membujuk.
"Chis.... Siapa sudi mengikat tali
persaudaraan dengan lelaki tua bajingan!
Kau boleh berhasil mengawini gadis-gadis
di kampung ini Tapi untuk mengawini
putriku, jangan harap kau akan bisa"
jawab Ki Dulang Sungkar.
"Kalau begitu, aku akan memaksa"
"Mentang-mentang kau orang terkaya
di kampung ini, kau bisa bertindak
seenaknya?" kata Ki Dulang Sungkar lagi.
Ia langsung melompat. Tinjunya melayang
menghantam Surakarma.
"Des...!"
Lalu tendangan memutar beraksi
menyambar Dularata.
"Beg...!"
Dularata kelojotan. Dadanya terasa
sakit.
"Kalau kau bisa berbuat seenaknya,
Aku pun bisa" kata Ki Dulang Sungkar.
Tendangannya berputar lagi.
"Wess...!"
Melempar ke luar Dularata maupun
Surakarma sampai bergulingan ke tanah.
Keduanya hampir tidak dapat bangun.
Ki Sapta Nrenggana mundur ke samping
Gada Rencah. Ia jadi keder melihat
kehebatan Ki Dulang Sungkar. Sekarang ia
baru yakin kalau si Samber Nyawa, Ki
Dulang Sungkarlah orangnya.
"Ki Dulang Sungkar. Sungguh bagus
nama barumu itu" kata Gada Rencah yang
tetap berdiri dengan kedua lengan
melipat di dada.
"Aku yang muda ini telah bersusah
payah mencari seseorang yang berjudul
Samber Nyawa. Ternyata akhirnya selama
bertahun-tahun kutemukan juga orangnya
di sini. Sekali pun rambut dan janggutmu
telah mengalami perubahan, Aku masih da-
pat mengenalimu" Gada Rencah menurunkan
kedua lengannya. Ia menuding-n-ding
seakan meremehkan.
"Siapa pun dirimu. Dan apa pun
alasanmu. Kau sama saja bagai seekor
anjing piaraan" Jawab Ki Dulang Sungkar,
ia melangkah semakin jauh ke luar dari
kedai.
"Bukan anjing piaran. Tapi anjing
pembunuh. Kau masih ingat dengan nama
besar Bah Lodaya?"
Ki Dulang Sungkar tidak menjawab.
Ingatannya mundur pada beberapa belas
tahun yang lalu.
Bah Lodaya. Orang yang terakhir
dibunuhnya. Mereka pernah bertarung di
sebuah lembah. Dan mengalami kematian
secara tragis di tangan Ki Dulang
Sungkar. Membiarkan mayat Bah Lodaya
dikerubuti oleh burung-burung pemakan
bangkai. Ki Dulang Sungkar tersenyum.
Lalu....
"Siapa yang tidak kenal dengan tokoh
cabul seperti Bah Lodaya? Kalau saja ia
tidak membunuh dan memperkosa istriku,
mungkin aku tidak akan bentrok
dengannya" jawab Ki Dulang Sungkar.
"Kalau begitu, aku si Gada Rencah
akan membuat perhitungan!" Gada Rencah
bersiap-siap memasang jurus. Dularata
dan Surakarma sudah bangkit siap
membantu. Mendadak Dularata dan
Surakarma menyerang berbarengan.
"Hreaaaaa!"
Ki Dulang Sungkar merunduk. Dua
lengannya memutar sekaligus ke atas.
"Bug...! Bug!"
Dularata mau pun Surakarma
terpelanting jatuh. Gada Rencah maju
menyerang. Jotosannya melayang di atas
kepala Ki Dulang Sungkar. Meskipun tidak
mengena, anginnya menggetar rambut putih
Ki Dulang Sungkar. Dan ketika Ki Dulang
Sungkar membalas. Hantaman-hantaman
mereka beradu keras.
"Dessss...!"
Gada Rencah menarik lengannya,
kemudian ia mengganti serangan itu
dengan sebuah tendangan cepat. Ki Dulang
Sungkar melompat ke atas. Di saat
tubuhnya masih berada di udara, dua
telapak tangannya menepak tendangan
tersebut.
"Blaaak!"
Gada Rencah menarik kakinya.
Surakarma melompat cepat menerjang
dari arah belakang. Tinjunya mengarah di
punggung Ki Dulang Sungkar berbalik
menyambut serangan Surakarma dengan
sodokan telapak tangan. Surakarma
memekik kesakitan. Ulu hatinya seperti
tertembus benda tajam. Melihat Surakarma
kelojotan Dularata menggantikan
posisinya.
Ia pun maju melancarkan tendangan.
Gada Rencah juga sudah melancarkan se-
rangan dari samping kiri. Menghadapi dua
serangan sekaligus Ki Dulang Sungkar
berdiri tegak menyambut tendangan
Dularata tepat mengenai bagian dada.
"Deb!"
Sungguh aneh! Begitu telapak kaki
Dularata menyentuh dada, tubuhnya
terpental seperti ada suatu tenaga dalam
yang mendorongnya. Tapi menghadapi
serangan Gada Rencah, Ki Dulang tak dapat
menahannya lagi.
"Bug...!"
Hantaman itu mampu menggeser sampai
beberapa langkah. Ki Dulang Sungkar
terkesiap.
"Anak muda! Dari mana kau mendapat
ilmu pukulan 'Tinju Pasir Wesi'!" Ki Du-
lang Sungkar heran.
"Sudah kubilang aku harus berurusan
denganmu, Samber Nyawa! Karena aku Gada
Rencah murid Bah Lodaya. Hreaaaaat!"
Sambil berkata begitu Gada Rencah me-
lompat. Ki Dulang Sungkar mundur sambil
merunduk. Tendangan itu lolos melewati
bagian atas. Tapi dalam keadaan seperti
itu Gada Rencah menghantamkan pukulan ke
bawah.
"Blaaar!"
Ki Dulang menangkis serangan itu.
Rambutnya yang putih berubah tergerak
terkena angin pukulan tersebut. Cepat Ki
Dulang Sungkar berguling ke depan, lalu
bangkit menatap nanar.
"Baiklah. Rupanya murid dan guru ha-
rus dibikin mampus. majulah murid
cabul!"
Teriakan Gada Rencah menggelegar
disertai dengan terjangan" begitu juga
dengan Ki Dulang Sungkar. Ia pun tidak
kalah gentar. Dua terjangan dari arah
yang berlawanan saling beradu.
"Duarrrrr!"
Keduanya terpental, Gada Rencah
terlempar beberapa tombak ke belakang.
Ki Dulang Sungkar pun demikian, dari
sela-sela bibirnya mengalir darah merah.
Ia terbanting keras dekat Surakarma yang
masih memegangi dadanya. Melihat keadaan
yang begitu, Surakarma melancarkan
serangan. Tapi meskipun Ki Dulang
Sungkar terlentang di tanah, ia sempat
menyambut serangan itu. Bahkan dua
hantamannya sekaligus menghantam bagian
leher dan perut.
Surakarma memekik, suaranya tidak
keluar. Ia masih berdiri di hadapan Ki
Dulang Sungkar. Kedua matanya melotot
menahan sakit. Sekali lagi Ki Dulang
Sungkar menghentakkan sebelah kakinya
menghantam jatuh tubuh Surakarma.
"Des!"
Maka Surakarma terbanting ke
belakang. Tak bergeming lagi.
Dularata tidak berani maju. Ia
pura-pura mengelilingi Ki Dulang
Sungkar.
Gada Rencah menggeram marah.
Nafas-nya masih terasa sesak akibat
benturan tadi. Ki Dulang Sungkar sudah
bangkit, ia menghapus darah yang meleleh
di sudut bibirnya. Matanya memerah
menatap Gada Rencah. Lalu dengan gerakan
yang sangat cepat ia menyerang Gada
Rencah.
"Plaaak!"
Gada Rencah yang sudah tahu akan
mendapat serangan langsung menepis de-
ngan sebelah lengannya. Lalu membalas
dengan sebuah tendangan yang mengarah
bagian perut. Sebelum tendangan itu
mengenai, Ki Dulang Sungkar cepat
bergerak mundur sambil tangannya
mengibas ke depan.
"Bweeeet!"
Maksudnya menghantam tendangan itu.
Tapi Gada Rencah membacanya, maka ia
cepat menarik kakinya dan di luar dugaan
tinjunya melayang cepat menghantam muka
Ki Dulang Sungkar.
"Dueeeeer!"
Ki Dulang Sungkar mundur terhuyung.
Dirasakan tulang rahangnya remuk. Tinju
Pasir Wesi membuat kedua pandangan Ki
Dulang Sungkar meremang.
Ki Sapta Nrenggana tersenyum puas
melihat Ki Dulang Sungkar mundur
terhuyung. Ia mengalihkan perhatiannya
ke arah kedai. Maladewi berdiri
ketakutan dan khawatir di balik pintu.
Langkahnya langsung menuju ke situ.
Maladewi melihat Ki Sapta Nrenggana
mendatangi. Cepat ia berlari ke dalam
mengunci pintu. Ki Sapta Nrenggana yang
sudah berada di depan pintu langsung
menendang. Setelah ia menendang ketiga
kali, barulah pintu itu terbuka. Nampak
Maladewi gemetar ketakutan. Ia tidak
bisa menolak lagi ketika Ki Sapta
Nrenggana menariknya dengan kasar.
Maladewi meronta-ronta, tapi cengkraman
itu demikian kuat. Ki Sapta Nrenggana
menyeretnya keluar. Maladewi
menjerit-jerit. Ki Dulang Sungkar yang
melihatnya, bukan kepalang marahnya.
"Wees!"
Tendangan Gada Rencah menghalangi
langkahnya. Kalau saja Ki Dulang Sungkar
tidak cepat bergeser mungkin dadanya
sudah remuk. Sekali lagi tendangan itu
menyambar. Ki Dulang Sungkar mengangkat
lengannya, maka tendangan Gada Rencah
menyimpang. Tahu-tahu sikutnya bergerak
maju menghantam pinggang.
"Beg!"
Tubuh Gada Rencah melintir setelah
mendapat serangan itu. Tapi jotosannya
sempat pula membalas.
"Deeees!"
Menghantam punggung Ki Dulang
Sungkar. Darah menyembur dari mulutnya.
Maladewi meronta-ronta dalam
dekapan Ki Sapta Nrenggana yang berusaha
membawanya dari tempat itu. Dularata
juga ikut memegangi tubuh Maladewi yang
meronta-ronta. Tiba-tiba saja....
"Deeees!"
Sebuah hantaman mendarat telak di
punggung Ki Sapta Nrenggana.
"Argg...!"
Ki Sapta Nrenggana memekik
kesakitan. Maladewi terlepas dari
dekapannya. Tapi bukan berarti Maladewi
terlepas dari cengkraman Dularata. Ki
Sapta Nrenggana tersentak kaget melihat
sosok tubuh tegap yang barusan
menyerangnya. Wintara tersenyum
mengejek.
"Ki Sapta Nrenggana. Orang yang cu-
kup berpengaruh di Tapis Ledok, ternyata
seorang buaya darat yang rakus akan
anak-anak perawan orang" Kata Wintara.
Selintas pandangannya tertuju pada
pertarungan Ki Dulang Sungkar bersama
Gada Rencah.
"Ini perampokan secara
terang-terangan namanya. Merampok
anaknya dengan cara kekerasan. Atau bila
perlu membunuh orang tuanya. Hukum apa
ini?" Kata Wintara lagi.
Ki Sapta Nrenggana berjalan mundur
ke arah Dularata yang masih memegangi
Maladewi. Gadis itu pun masih
meronta-ronta.
"Wintara. Tolong!" Maladewi
menjerit. Ki Sapta Nrenggana langsung
membekap mulut gadis itu. Dularata
melepaskan bekapannya karena ia telah
menerima isyarat dari Ki Sapta
Nrenggana. Selanjutnya ia menyerang
Wintara.
Wintara buru-buru mundur. Dularata
menyerang dengan melancarkan beberapa
pukulan beruntun. Tiga hantaman
sekaligus melesat, tapi pada serangan
terakhir.
"Des!"
Jotosan Dularata mengenai lengan.
Wintara memutar membalas. Dularata
merunduk sambil merrangkis serangan itu.
Namun di luar dugaan kaki Wintara maju ke
depan menghantam perut.
"Beg!"
Dularata terjungkal ke belakang.
Wintara sengaja menanti Dularata
bangkit. Dan begitu Dularata bangun,
sebuah tendangan memutar menghantam
mukanya.
"Blaaaak!"
Membuat Dularata ambruk lagi.
Melihat situasi yang tidak
memungkinkan, Ki Sapta Nrenggana
menyeret Maladewi menjauh dari tempat
itu. Tentu saja Wintara tiak akan
membiarkannya, ia bermaksud
mengejarnya. Tapi....
"Splaaaak!"
Kaki Dularata menyambar menghalangi
langkah Wintara. Ia pun jatuh
bergulingan. Dularata melompat
menyerang Wintara yang masih bergulingan
di tanah.
"Des...! Des...!"
Dua kali hantaman bersarang di dada
Wintara. Dengan sekuat tenaga ia
mendorong tubuh Duralara yang menindih.
"Des!"
Sebuah jotosan berhasil mengguling-
kan tubuh Dularata. Sekarang Wintara
berada di atas, Dularata meronta-ronta.
Tapi hantaman-hantaman Wintara yang
bertubi-tubi yang diarahkan pada bagian
muka, membuat Dularata tak berkutik. Ia
pingsan dengan seketika.
Ki Sapta Nrenggana sudah berada jauh
dari kedai. Wintara yang melihat
Maladewi dalam bekapan Ki Sapta
Nrenggana langsung mengejar. Dalam pada
itu Maladewi menggigit lengan yang
memeluk erat. Ki Sapta Nrenggana
memekik. Maladewi jatuh terbanting.
Wintara langsung mengarahkan tendangan
melompat.
"Bug!" Ki Sapta terjungkal.
Gada Rencah melesat cepat
meninggalkan Ki Dulang Sungkar. Hanya
dengan beberapa kali jumpalitan di
udara, Gada Rencah sudah berada di
hadapan Ki Sapta Nrenggana. Wintara
begitu kaget. Ki Dulang Sungkar
mengikuti! Di saat Gada Rencah melesat,
tubuh Ki Dulang Sungkar tidak kalah
cepatnya menyusul.
Dan di saat Gada Rencah melancarkan
pukulan ke arah Wintara, Ki Dulang Sung-
kar mematahkan serangan itu dengan
sebuah tendangan.
"Blaaak!"
Terhindar Wintara dari maut. Pukul-
an Tinju Pasir Wesi' menyerang lagi. Kali
ini kedua tinjunya melayang sekaligus.
Tinju kanan mengarah pada Wintara, dan
tinju kiri menghantam keras ke bagian
dada Ki Dulang Sungkar. Sebelum
pukulan-pukulan itu mengenai, Ki Dulang
Sungkar menendang tubuh Wintara.
Maksudnya agar ia tidak terkena 'Tinju
Pasir Wesi'. Memang benar usaha itu
berhasil. Tapi ia sendiri tidak dapat
mengelakkan pukulan yang menghantam
dadanya.
"Deeer!"
Ki Dulang Sungkar tersungkur sambil
menyemburkan darah. Namun hanya dengan
satu hentakan, Ki Dulang Sungkar sudah
bangkit kembali. Wintara maju menyerang,
tapi Ki Dulang Sungkar menahannya sambil
berbisik.
"Dia amat berbahaya. Kau jaga saja
Maladewi. Biar keparat ini aku yang
hadapi"
"Tidak, Ki. Justru dia berbahaya,
kita hadapi berdua. Soal Ki Sapta
Nrenggana urusan belakangan" jawab
Wintara.
"Awas!" Ki Dulang Sungkar teriak.
Gada Rencah menyerang mereka. Dua
pukulannya menyilang, kemudian menyusul
sebuah tendangan. Ki Dulang Sungkar
melompat sambil mendorong tubuh Wintara
ke samping, maka serangan-serangan itu
gagal. Gada Rencah menatap geram.
"Ki Sapta Nrenggana, bawa pergi
gadis itu dari sini! Sebentar lagi
cecoro-cecoro ini bakal mampus.
Hraaaaaaat!!" teriakan Gada Rencah
menggelegar.
"Bug!"
Wintara terpelanting kena tendangan
Gada Rencah.
"Blaaaar!"
Ki Dulang Sungkar menyambut pukulan
'Tinju Pasir Wesi'. Kedua lengannya
terasa nyeri. Belum hilang rasa sakit
itu, sebuah tendangan menyambar bagian
kepala. Cepat Ki Dulang Sungkar
merunduk. Tapi tangan kanan Gada Rencah
menghantam telak kepala Ki Dulang
Sungkar. Wintara bangkit balas
menyerang. Tubuhnya berputar, lalu
melakukan tendangan ke atas.
"Bwuaaaaak!"
Wintara mencelat ke belakang.
Ki Dulang Sungkar masih mengerang
kesakitan, kedua telapak tangannya meme-
gangi kepala. Tubuhnya terhuyung seakan
tak terkendali. Langkah-langkahnya pun
limbung. Gada Rencah berjalan mendekati
dengan tatapan yang dipengaruhi oleh
dendam. Ki Dulang Sungkar sudah tidak
dapat melancarkan serangan lagi. Ia
masih merasakan sakit yang begitu hebat.
Pandangannya seperti berputar. Sewaktu
Gada Rencah mencengkram kerah bajunya,
Ki Dulang Sungkar tak dapat berbuat
apa-apa.
Seluruh tulang-tulang Wintara
terasa remuk akibat tendangan tadi. Ia
berusaha bangkit walaupun dengan susah
payah. Ia melihat Gada Rencah mengangkat
leher Ki Dulang Sungkar ke atas, dan
tangan kanannya siap menghantam....
"Jangaaaaan...!" teriakan Wintara
terlambat. Hantaman tangan kanan Gada
Rencah yang disertai tenaga dalam
menembus ke perut Ki Dulang Sungkar. Lalu
ia mengangkat ke atas tubuh yang
berkelojotan tanpa nyawa. Darah mengalir
deras membanjiri lengan kanan Gada
Rencah, bahkan menghambur sampai ke
wajahnya.
"Bah Lodaya. Kau lihat ini! Aku
muridmu Gada Rencah berhasil melumatkan
si Samber Nyawa. Kau lihat! Aku telah
bermandikan darahnya! Semoga kau puas di
alam baka sana!"
* * *
ENAM
"Semua hutang nyawa ini telah lunas,
Bah Lodaya. Semuanya berakhir! Sesuai
dengan yang kau inginkan. Puaskah kau?
Puaskah? Hua.. ha..ha...ha!" Gada Rencah
berteriak lantang, wajahnya menatap ke
langit. Tubuh Ki Dulang Sungkar masih
tetap di atas dengan perut tertembus
lengan kanan Gada Rencah.
Wintara menatap geram. Dengan
tenaga sisa ia berusaha bangkit, lalu
menerjang ke arah Gada Rencah. Emosinya
yang disertai hawa nekad membuat
serangannya makin bersemangat. Seluruh
rasa sakitnya menghilang. Gada Rencah
menyambutnya dengan tenang. Sebelum
Wintara melancarkan serangan, Gada
Rencah melempar tubuh yang sudah tak
bernyawa itu ke samping. Lalu kakinya
berputar keras menghantam?
"Dues!"
Tendangan itu menghantam telak ke
muka. Wintara terguling Pandangannya
kabur. I a melihat Gada Rencah berdiri di
hadapannya menyeringai.
"Sebelumnya kita tidak pernah
berurusan, sobat. Tapi kau yang memulai
mencampuri urusan orang. Sekarang aku
tidak segan-segan lagi membunuhmu. Aku
punya cara yang lebih adil" Gada Rencah
menarik kerah baju Wintara. Lalu
menyeretnya dengan kasar. Membawanya ke
suatu tempat. Wintara terlentang pasrah
terseret. Tangannya menggapai-gapai
mencari pegangan. Tapi Gada Rencah
menyeretnya dengan langkah yang cepat.
Membuat tubuhnya makin terbarut dengan
hamparan tanah berbatu.
Mang Bayan menyaksikan kejadian itu
dari semak-semak. Ia tidak tahu apa yang
mesti diperbuat. Mana mungkin ia berani
menghadapi Gada Rencah yang begitu he-
bat. Sedangkan Mang Bayan sendiri tidak
memiliki ilmu apa pun. Selama ini saja
ia selalu mengandalkan Wintara
majikannya. Dan sekarang majikannya
dalam bahaya. Ia mengutuki dirinya,
karena tidak mampu berbuat apa-apa.
Bukan hanya Mang Bayan yang menyak-
sikan kejadian itu. Hampir semua
orang-orang yang tadi mengikuti ucapara
pemakaman Darman datang ke situ melihat.
Mereka pun sama halnya dengan Mang Bayan.
Tak dapat berbuat banyak. Perasaan ngeri
dan ketakutan membuat mereka tidak
berani mendekat.
Tiba-tiba seorang perempuan berlari
menyusul ke mana Gada Rencah menyeret
Wintara.
"Warsih.... Jangan!" teriak dari
salah seorang yang bersembunyi
ketakutan. Perempuan itu tidak
memperdulikan peringatan itu. Ia terus
berlari mendekati Gada Rencah. Setelah
mendekat, ia memutar menghalangi langkah
Gada Rencah....
"Jangan bunuh dia! Jangan bunuh!"
Warsih langsung berlutut memohon.
"Kasihanilah dia, Jangan... jangan
dibunuh"
Gada Rencah malah mendorong tubuh
perempuan itu sampai bergulingan.
Kemudian meneruskan langkahnya. Wintara
yang setengah sadar mendengar suara War-
sih. Ia dapat melihat Warsih berlari
menyusul dengan pandangan kabur.
Gada Rencah menghentikan langkah-
nya. Ia berdiri di pinggiran tebing.
Kira-kira sepuluh meter ke bawah,
terdapat sebuah sungai dengan air yang
mengalir deras. Ia tersenyum sinis.
Wintara terbaring di bawahnya.
Warsih menarik-narik lengan Gada
Rencah sambil berlutut memohon. Gada
Rencah acuh menatap perempuan itu.
"Kasihanilah dia. Biarkan dia
hidup"
Gada Rencah melotot lebar. Warsih
ketakutan. Tahu-tahu....
"Dues!"
Tinjunya menghantam kepala Warsih.
Perempuan itu tak berkutik, tubuhnya am-
bruk di samping Wintara. Lalu Gada Rencah
mengangkat tubuh Wintara, ia menatap
nanar.
"Berusahalah melawan nasib, sobat.
Kalau masih ada umur panjang, kau boleh
mencari diriku. Nah, pergilah!" Dengan
sekuat tenaga Gada Rencah melemparkan
tubuh Wintara. Tubuh lunglai itu
melayang ke udara. Sebelum jatuh ke dasar
sungai, tubuhnya membentur cabang pohon
yang telah mengering.
"Kraaak!"
Cabang pohon itu patah dan jatuh
bersamaan dengan tubuh Wintara. Arus su-
ngai yang deras menyambutnya. Gada
Rencah memandang puas. Ia beranjak
meninggalkan Warsih yang berbaring di
tepi tebing.
Orang-orang yang menyaksikan
peristiwa itu langsung menyingkir ketika
Gada Rencah kembali melewati kedai Ki
Dulang Sungkar. Langkah-langkahnya yang
tenang menjauh dari tempat itu. Setelah
Gada Rencah berlalu jauh, barulah mereka
merasa lega. Satu demi satu mulai berani
menampakkan diri. Mang Bayan masih
terlolong mengingat peristiwa tadi.
"Cepat lihat keadaan Warsih di sana.
Jangan-jangan orang itu telah
membunuhnya pula" kata salah seorang
lelaki, maka beberapa orang menghambur
ke arah tebing. Sisanya masih di situ
mengerubungi Mang Bayan.
"Sebaiknya Mang Bayan cepat pulang
ke Karang Hampar. Beritahukan pada orang
tua Wintara" Ada yang memberi saran.
"Betul, Mang. Biar urusan ini
ditangani oleh orang tuanya"
Mang Bayan bingung. Tapi akhirnya ia
pergi juga, pulang ke Karang Hampar.
Beberapa orang yang tadi menuju
tebing kembali, seseorang nampak memapah
tubuh Warsih.
"Warsih tewas, Kang. Kepalanya
remuk. Sungguh terlalu orang itu!"
"Innalillahi Wa Inna Illaihi
rojiun. Bagaimana dengan Wintara?
Mengapa kalian tidak membawanya
sekalian?"
"Kami tidak menemukannya. Entahlah!
Mungkin orang itu membuangnya ke
sungai."
"Kalian sudah mencarinya...?"
"Belum! Siapa yang berani turun ke
sungai yang angker itu...?"
* * *
Nyi Nilam Suti menggelosoh pingsan
dalam pelukan suaminya ketika mendengar
kabar dari Mang Bayan. Kyai Sempar. sua-
minya tidak percaya dengan
pendengarannya. Darahnya naik mendengar
putra tunggalnya tewas. Apalagi kalau
kejadian itu terjadi di Tapis Ledok.
Tidak mungkin nya. Orang-orang Tapis
Ledok cukup segan padanya, kenapa
sekarang anaknya harus tewas di sana?
"Siapa pelakunya, Bayan? Siapa?"
tanya Kyai Sempar murka.
"Apakah orang-orang Tapis Ledok
yang melakukannya? Siapa?"
"Bu-bu-bukan orang-orang Tapis
Ledok. Tapi...." Mang Bayan ketakutan.
"Katakan, Bayan. Siapa orang itu?"
Kyai Sempar meletakkan tubuh istrinya di
bangku kayu.
"Seorang tukang pukul Ki Sapta
Nrenggana"
"Ki Sapta Nrenggana. Dia harus
membayar hutang nyawa ini" Kyai Sempar
bergegas keluar. Bayan memandanginya.
Ia sudah dapat menebak ke mana Kyai
Sempar pergi. Ke mana lagi kalau bukan ke
Tapis Ledok! Untuk membuat perhitungan
dengan Ki Sapta Nrenggana. Mang Bayan
berlari menyusul.
"Hati-hati, Tuan. Orang itu begitu
hebat. Ki Dulang Sungkar saja tewas di
tangannya" kata Mang Bayan menjelaskan.
Kyai Sempar diam saja, langkahnya
dipercepat. Pandangannya yang lurus ke
depan seakan tidak sabar. Lelaki
setengah baya ini masih nampak kekar dan
tegar, meskipun rambutnya hampir
memutih. Garis-garis wajahnya menggam-
barkan suatu kemarahan yang luar biasa.
Kelopak matanya tidak berkedip barang
sekejap pun. Selama dalam perjalanannya
ke Tapis Ledok, ia sudah membayangkan apa
yang bakal terjadi di sana. Paling tidak
ia harus mengumbar amarahnya terhadap
orang-orang bayaran Ki Sapta Nrenggana.
Walaupun dia sendiri harus mengorbankan
nyawanya. Bahkan sampai titik darah
penghabisan.
Jarak Karang Hampar ke Tapis Ledok
tidaklah begitu jauh. Ia hanya berjalan
lurus mengikuti alur jalan yang cuma
satu-satu menuju ke sana. Semua orang-
orang yang kebetulan berpapasan
dengannya, langsung menyingkir. Siapa
pun tidak ada yang berani menyapa. Mereka
tahu Kyai Sempar tengah dilanda amarah.
Ketika Kyai Sempar memasuki desa Ta-
pis Ledok, para penduduk kampung situ
beringsut masuk ke dalam rumah. Ada juga
yang berani menatap kedatangannya. Kyai
Sempar tidak perduli. Ia terus melangkah
dengan cepat. Kalau orang-orang kampung
bersikap demikian terhadapnya, itu bukan
berarti mereka memusuhi Kyai Sempar atau
pun takut. Tetapi mereka segan. Apalagi
dalam suasana seperti ini. Kyai Sempar
sendiri sudah memahami sikap mereka.
Darikejauhan ia melihat satu
kerumunan di rumah Warsih. Beberapa
orang nampak sibuk di luar dan masuk
gubuk itu. Benar apa yang diceritakan
Mang Bayan tadi, tentunya mereka sibuk
mengurusi mayat Warsih.
Kyai Sempar tidak bermaksud
singgah, maka ia segera menikung ke
sebelah kiri memotong jalan. Karena ia
tahu betul, kehadirannya akan membawa
kesan lain terhadap orang-orang itu.
Lagi pula ia ingin cepat-cepat persoalan
ini selesai dan memang perlu membuat
perhitungan dengan Ki Sapta Nrenggana.
Nyawa anaknya bukanlah selembar benang.
Ki Sapta Nrenggana mesti membayar mahal.
Ditatapnya bangunan megah yang ber-
diri kokoh. Bagian luar bangunan itu
dikelilingi tembok batu setinggi dua
meter. Ditengahnya terdapat pintu besar
tertutup ra-pat. Tanpa basa-basi lagi
Kyai Sempar menendang pintu itu....
"Braaaak!"
Dularata yang berada di halaman
depan bukan main kagetnya. Ia langsung
bangkit dari kursinya. Beberapa orang
perempuan berlarian ke dalam.
"Suruh keluar Ki Sapta Nrenggana.
Aku tua renta Kyai Sempar akan berurusan
dengannya"
"Apa salahnya bila berhadapan
denganku? Bukankah sama saja?" Dularata
berkacak pinggang di hadapan Kyai
Sempar.
"Memang! Karena Ki Sapta Nrenggana
berikut anjing-anjing piaraannya akan
kuhabiskan hari ini juga!" jawabnya
cepat. Dularata tercengang mendengar
perkataan orang tua itu. Ia berjalan
maju. Baru saja ia berjalan beberapa
langkah, Kyai Sempar sudah menerjang.
"Deeees!"
Dularata terpental, Ia kelojotan
tak dapat berdiri lagi.
"Aku yakin bukan kau yang membunuh
anakku! Tetap diamlah di situ. Setelah
aku membereskan Ki Sapta Nrenggana, kau
pun akan kukirim ke akherat!" Sambil
berkata demikian Kyai Sempar melangkah
menuju pintu gedung yang sudah terbuka.
Sekalipun dalam keadaan marah, Kyai
Sempar tidak berani lancang memasuki
gedung itu.
"Ki Sapta Nrenggana. Keluarlah!"
teriaknya lantang. Ia berdiri tegang di
hadapan pintu.
"Ayo keluar dari persembunyianmu,
Ki. Aku Kyai Sempar meminta tebusan nyawa
anakku. Keluar!" teriaknya lagi.
Tiba-tiba sebuah benda runcing
putih mengkilat melesat cepat. Sebuah
pedang! Kyai Sempar bergeser sedikit.
"Wes!"
Sambaran pedang itu meleset.
"Siapakah orang yang berani
melempar pedang. Keluar! Tunjukkan
rupamu!" Tidak ada jawaban.
"Aku yakin, di balik tubuh Ki Sapta
Nrenggana ada terselip kutu busuk
berkepandaian tinggi!"
"Hua.. ha.. ha.. ha.. Sudah tahu
begitu, kenapa tidak cepat-cepat merat
tua bangka keropos! Kau hanya mengantar
nyawa ke sini!" terdengar jawaban dari
dalam. Jelas bukan suara Ki Sapta
Nrenggana. Dari balik dinding muncullah
sosok Ki Sapta Nrenggana.
Meskipun wajahnya pucat, tapi
gerak-geriknya seakan tidak ada rasa
takut sedikit pun. Melihat kemunculan Ki
Sapta Nrenggana, Kyai Sempar langsung
melompat menerjang. Pada saat itu pula
sosok bayangan cepat berkelebat bagai
anak panah. Kyai Sempar yang selalu awas
dapat melihat walaupun hanya selintas.
Maka ia menggerakkan lengan kirinya
menghantam sosok yang melesat tadi.
"Blaaaak!"
Hantaman itu tepat mengenai. Sosok
itu berjumpalitan di udara, kemudian
hinggap tanpa bersuara di lantai.
Ki Sapta Nrenggana bermaksud
melarikan diri, tapi Kyai Sempar yang
gerakannya bagaikan setan menahan.
Bahkan, Sempat menarik lengan Ki Sapta
Nrenggana. Di luar dugaan....
"Kreeek!"
Tendangan Kyai Sempar yang keras
mematahkan tulang lengan kiri Ki Sapta
Nrenggana.
"Arrrrrrgth...!" Ki Sapta Nrenggana
menjerit tidak kepalang tanggung. Lengan
kanannya memegangi bagian lengan kirinya
yang terasa sakit.
"Wuaaaa.... Lenganku! Lenganku!"
teriaknya histeris.
Kyai Sempar menghantam sekali lagi
dengan tinjunya. Tapi sebelum tinju itu
mengenai Ki Sapta Nrenggana, sosok
bayangan tadi melesat menggagalkan
serangan itu. Ki Sapta Nrenggana
berlari. Kini keduanya berhadapan.
"Tidak ku sangka.... macam memang
beranakkan macam.... Tapi sayang seekor
macan muda telah tumbang...! Tidak heran
kalau macan induk kurat-karet mencari
pembunuh anaknya" kata sosok tegap yang
tak lain adalah Gada Rencah.
"Anak muda. kita akan mengadu nyawa"
kata Kyai Sempar.
"Seharusnya memang demikian" jawab
Gada Rencah. "Mencabut pohon, lebih baik
dengan akar-akarnya. Bukankah begitu?"
Gada Rencah menyeringai.
Sudah tentu Kyai Sempar merasa
terhina, dengan disertai amarah Kyai
Sempar melancarkan serangan.
"Splaaak!"
Gada Rencah dapat menangkis
serangan tersebut! Setelah menangkis, ia
melompat ke luar. Kyai Sempar mengikuti
dengan lesatan tubuhnya. Memang cukup
leluasa. Di halaman muka gedung itu cukup
luas. Setelah melompat keluar, Gada
Rencah bersiap-siap kembali. Dan
ternyata memang benar. Kyai Sempar maju
menyerang. Pukulannya yang disertai
tenaga dalam berkelebat memutar di atas
kepala Gada Rencah. Ia tidak merunduk.
Gada Rencah dapat menangkisnya dengan
sebelah lengan.
"Deeees!"
Kyai Sempar memberi lagi sebuah
pukulan. Gada Rencah cepat melompat
keatas. Kedua tangannya merentang.
Tahu-tahu, kedua telapaknya menghantam
punggung Kyai Sempar.
"Des...! Des!"
Hantaman-hantaman itu cukup keras,
Kyai Sempar sendiri merasakannya. Maka
ia cepat berbalik sembari mengatur
nafas. Sungguh gila! Seorang anak muda
dapat melancarkan serangan terhadap
dirinya. Dengan disertai amarah yang
membara, Kyai Sempar melancarkan
pukulannya. Gada Rencah menyambut dengan
pukulan andalannya....
"Bluaaar!"
Kyai Sempar memekik hebat. Seluruh
persendian jari-jari tangannya terasa
ngilu. Rasa ingin membunuh anak muda itu
semakin berhasrat. Maka ia segera
menghimpun seluruh tenaga dalamnya.
Paling tidak, harus ada salah satu yang
keluar sebagai pemenang. Dirinya atau
sebaliknya.
Gada Rencah lebih berhati-hati
lagi. Ia menatap lawannya masih dapat
berdiri te-gak. Meskipun Kyai Sempar
sudah terkena pukulan 'Tinju Pasir
Wesi'.
Gada Rencah menganggap sukar untuk
melumpuhkan lawannya. Diam-diam ia
menyalurkan tenaga pada kedua telapak
tangannya. Dan di saat Kyai Sempar melom-
pat ke arahnya, Gada Rencah tidak kalah
gesit menyambut. Dua sosok tubuh ber-
jumpalitan di udara, bagai dua ekor
Rajawali saling terjang. Pukulan Kyai
Sempar tepat mengenai muka.
"Des!"
Keduanya masih berada di udara, Gada
Rencah membalas cepat.
"Der!"
Tinju Gada Rencah menghantam tidak
kalah kerasnya di dada Kyai Sempar Kedua
nya jatuh ke tanah. Posisi mereka tetap
berdiri saling menatap. Darah mengalir
dari hidung Gada Rencah. Sementara itu
Kyai Sempar menyemburkan darah dari
mulutnya. Melihat itu, Gada Rencah
melompat lagi melancarkan tendangan
memutar.
"Bug!"
Kyai Sempar terbanting, tubuhnya
membentur tiang pilar. Pandangannya
langsung kabur. Mulutnya terbuka seperti
hendak mengatakan sesuatu. Mendadak ia
mengejang kaku, kemudian ambruk dengan
nafas terhenti.
* * *
TUJUH
Alur sungai itu memanjang menuju ke
sebuah jeram. Dari kejauhan sudah terde-
ngar suara air terjun jatuh menimpa deras
bebatuan. Arus sungai itu pun semakin
kencang ketika mendekati jeram. Di kedua
sisi sungai banyak ditumbuhi pohon-pohon
besar, membuat kedua sisi itu menjadi
gelap dan menyeramkan.
Sesuatu mengambang di permukaan su-
ngai terbawa arus yang demikian kencang.
Sebuah ranting kering yang cukup besar.
Terapung-apung menuju ke arah jeram. Se-
suatu ikut terbawa di atas ranting itu.
Sosok. tubuh yang telah membiru dengan
bekas-bekas luka memar. Tubuh seorang
lelaki.
Dari arah pepohonan yang gelap sosok
tubuh besar berlompatan ke arah jeram
seakan-akan ingin mendahului ranting
pohon yang mengapung terbawa arus.
Dengan gerakan-gerakan yang sangat aneh,
sosok besar itu terus melompat.
Kadang-kadang sosok besar itu
berayun-ayun dari cabang pohon ke cabang
pohon lainnya. Dengan begitu ia cepat
mencapai jeram. Lalu sosok besar itu
turun ke sungai. Meskipun arus itu
demikian kencang, sosok itu berjalan
melawan arus menyambut sebatang ranting
yang makin lama makin mendekat.
Jari-jari tangannya yang runcing
bagai mata jarum menahan ranting
tersebut. Kemudian ia meraih tubuh yang
tersangkut. Membawanya dengan sebelah
lengan. Jauh sekali perbedaan tubuh
mereka. Sosok besar itu, empat kali lebih
besar dari tubuh lelaki yang dibawanya.
Dengan susah payah ia berjalan ke pinggir
sungai. Gerakannya sekarang jadi lamban,
mungkin karena ia membawa beban. Dan lagi
harus melawan arus yang demikian kencang
nyaris melempar mereka ke dalam jeram.
Ranting kayu tadi sudah tidak nampak
lagi. Mungkin sudah jatuh hancur
membentur bebatuan di dasar air terjun.
Dan ketika jari-jari yang runcing
itu mencapai akar pohon merambat ke
pinggiran sungai, sosok besar itu
mengeluarkan suara yang amat mengerikan.
"Grooooooarr!"
Dengan bantuan akar itu ia dapat
naik ke tepian sungai. Tanpa menoleh ia
terus berjalan membawa tubuh yang dingin
tak bergeming ke dalam kegelapan
lebatnya pepohonan.
Telapak kakinya membekas di tanah.
Cukup besar. Dan tidak mirip dengan
telapak kaki manusia. Tubuhnya yang nam-
pak setengah membungkuk menyeruak
menerobos semak-semak belukar.
Lengannya yang besar melindungi setiap
kali semak berduri menyerempet tubuh
lelaki yang dibawanya.
Jalan yang dipijaknya bukan lagi
tanah, kini mereka harus melalui
hamparan batu sebesar kepala bayi. Itu
berarti sudah tidak ada lagi pepohonan
maupun semak belukar, kecuali rerumputan
yang menyembul dari celah-celah hamparan
batu. Memang betul tempat itu lebih mirip
sebuah lapangan yang dikelilingi
pepohonan yang cukup tinggi.
Di tengah lapangan berbatu, nampak
sebuah reruntuhan bekas bangunan megah.
Bentuknya sudah tidak karuan lagi.
Sekeliling bangunan itu berderet
anak-anak tangga. Pada dinding-
dindingnya membekas seperti ukiran-
ukiran timbul yang hampir pudar.
Tiang-tiang atapnya masih nampak kekar,
malah atapnya yang sudah sebagian
runtuh.
Sosok besar itu berjalan menaiki
anak-anak tangga. Lalu memasuki
reruntuhan bangunan itu. Ia memandangi
seluruh ruangan itu, kemudian berjalan
menuju ke suatu tempat yang agak bersih.
Diletakkannya tubuh dingin di atas
lantai.
Matahari dapat menembus langsung ke
tempat itu. Menembus dari atap bangunan
yang rusak, menggarang tubuh yang
terlentang di lantai. Sosok besar itu
memandangi raut wajah lelaki yang
terlentang di bawahnya. Sebentar
kemudian ia berjingkat-jingkat. Lalu
kepalanya menggeleng perlahan ke samping
kiri dan kanan, kedua bola matanya yang
besar bersinar memandang aneh.
Ia melangkah ke sudut ruangan yang
agak gelap. Di situ ia merangkak.
Jari-jari tangannya yang runcing
mengorek-ngorek sesuatu yang
bergerumulan di sela-sela tembok bagian
bawah. Seperti tumbuhan jamur
sebesar-besar ibu jari. Ia mengumpulkan
jamur-jamur yang berjatuhan ke lantai.
Hawa panas merambat pada tubuh yang
terlentang di lantai. Dadanya nampak
naik turun meskipun pelan. Sebelah
lengannya bergetar. Jari-jari tangannya
bergerak-gerak. Kelopak matanya yang
tertutup rapat membuka perlahan. Lelaki
itu mengerang merasakan sekujur tubuhnya
terasa sakit. Mendengar erangan itu
sosok besar langsung bangkit berlari
mendekati. Dua telapak tangannya yang
besar banyak mengumpulkan jamur.
Pandangan lelaki itu masih kabur.
Meskipun demikian ia dapat melihat sosok
hitam besar berdiri di sebelahnya. Lama
kelamaan penglihatannya berangsur
pulih. Kedua matanya terbelalak lebar.
Sesaat melihat jelas sosok bayangan di
sampingnya. Seekor Beruang berbulu
coklat kehitaman! Spontan ia kaget dan
menyeret mundur dirinya. Sosok besar
yang ternyata seekor beruang hanya diam
memandang Mulutnya menyeringai
menampakkan gigi-gigi serta taring yang
putih berkilat. Lelaki itu semakin
takut. Ia terus mundur sampai
punggungnya menyentuh tembok. Beruang
itu melangkah maju. Menghadapi binatang
buas sebesar itu tidak mungkin bisa,
apalagi keadaannya sudah begitu parah.
Ia meraih apa saja yang ada di situ, dan
melemparkan ke arah beruang yang tetap
berjalan mendekati. Lelaki itu kaget
sekali ketika ia meraih sekali lagi,
ternyata ia baru dapat melihat. Semua
yang dilemparkan tadi adalah beberapa
tulang tengkorak. Cukup besar. Tentunya
bukan tengkorak manusia. Dan memang
banyak menghampar tulang belulang di
lantai bangunan itu.
Keadaan tubuhnya makin lemah, ia su-
dah tidak dapat lagi bergerak, manakala
beruang itu sudah berada dekat. Semakin
dekat menghampiri. Tiba-tiba mahluk
menyeramkan itu menghentikan langkah-
nya. Ia merunduk melepaskan jamur-jamur
di samping lelaki yang ketakutan. Dengan
aneh, beruang itu memberikan isyarat
agar jamur-jamur itu segera dimakan.
Berkali-kali beruang memberikan isyarat
yang sama.. Tapi lelaki ini belum juga
mengerti. Beruang itu merunduk mengambil
sebuah jamur, lalu ia sendiri
memakannya. Lelaki itu diam melihat
tingkah laku si beruang, Ia baru mengerti
kalau beruang itu menginginkan perbuatan
yang sama. Memakan jamur. Apa maksudnya?
Apakah setelah ia memakan jamur-jamur
itu, barulah beruang itu akan melahap
dirinya? Ia berpikir terus? Aneh juga!
Seekor binatang buas, sebelum memangsa
korbannya terlebih dahulu diberi makan.
Lucu! Apakah kebiasaan beruang memang
demikian?
Lelaki itu merasa lega, karena
mahluk menyeramkan itu berjalan mundur.
Langkah-langkahnya yang berat menuju ke
sudut ruangan gelap. Lalu ia duduk di
situ. Ia memberi isyarat lagi. Dengan
memberanikan diri lelaki itu meraih
beberapa buah jamur. Memakannya atau
tidak hasilnya sama saja. Beruang
keparat itu pada akhirnya pasti akan
mencabik-cabik tubuhnya dan kemudian
melahapnya, kata lelaki itu dalam hati.
Maka dengan sekali suap empat buah jamur
sekaligus dikunyahnya. Melihat itu si
Beruang berjingkrak-jingkrak kegira-
ngan. Suara raungan aneh memenuhi
ruangan itu. Tapi....
"Arkhhhhhhhh...!"
Tiba-tiba saja lelaki itu
kelojotan. Tubuhnya menggelepar-gelepar
di lantai. Seakan-akan ada sesuatu yang
bergelora dalam badannya. Seluruh tubuh
mengeluarkan keringat sebesar-besar
biji jagung. Beruang itu tetap
berjingkrak-jingkrak kegirangan. Tubuh
yang telah dibanjiri oleh keringat itu
bergetar hebat sambil terus
berkelojotan. Sesaat kemudian masa
krisis itu telah lewat, nafasnya
terengah-engah saling memburu, ia tidak
merasakan getaran itu lagi. Hawa panas
pun telah hilang. Beruang itu datang
mendekat. Dan begitu lelaki itu berusaha
bangkit. Lengan Beruang menyambar
menarik tubuhnya. Menyeret ke suatu
tempat, meskipun ia meronta-ronta
cengkraman Beruang semakin kuat.
Ruangan itu sangat gelap, tapi masih
dapat dilihat. Betapa kotor dan
semrawutnya ruangan tersebut. Tulang-
tulang tengkorak berserakan di
mana-mana, juga bau busuk sangat
menyengat hidung. Laki-laki itu yakin
sekali kalau tulang-tulang tengkorak itu
bukanlah tulang belulang manusia. Karena
nampak tulang-tulang itu begitu besar..
Lagi pula masih ada tersisa bekas kulit
berbulu lebat yang menempel pada
tulang-tulang tersebut. Jadi ia
memastikan tempat itu adalah kuburan
para beruang.
Ia tidak sempat memikirkan itu lagi.
Karena dengan tiba-tiba tubuhnya terban-
ting keras. Beruang itu menyingkirkan
tumpukan tulang belulang di hadapannya.
Kaki serta kedua lengannya
bergerak-gerak membersihkan tempat
itu.. Pada lantai itu terdapat batu
lantai berwarna paling lain. Juga paling
menonjol ke luar. Beruang itu menarik
keluar batu lantai yang menonjol.
Sebentar saja batu itu terangkat ke atas.
Maka terlihatlah sebuah lubang menuju ke
ruangan bawah. Si Beruang menarik kem-
bali tubuh lelaki itu, kali ini ia
membawanya menyusuri tangga batu yang
terdapat dalam lubang. Dan bukan main
terkejutnya. Seluruh ruangan itu nampak
terang benderang oleh cahaya api yang
terdapat di tengah ruangan dinding batu
itu seluruhnya dipenuhi dengan
ukiran-ukiran yang sangat menakjubkan.
Beruang itu langsung membawanya ke
suatu tempat. Ia melemparkan lelaki itu
sampai tersungkur. Kepalanya terasa
pening. Ketika wajahnya terangkat. Ia
hampir tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Seorang kakek dengan rambut
serta janggut panjang memutih, duduk
bersila di atas sebuah batu pualam hijau.
Wajah kakek itu demikian tenang,
garis-garis lekuk yang semestinya
keriput tidak ada sama sekali. Tubuh yang
putih licin bagai plastik itu terbungkus
oleh kain hijau. Laki-laki yang baru
datang masih terheran-heran memandang.
Apalagi setelah melihat beruang di
sebelahnya mendekati kakek itu dan
langsung merunduk seperti seseorang yang
sedang bersujud menyembah. Laki-laki itu
jadi ikut-ikutan menyembah.
"Maaf, Kek.... Bukan maksudku
sengaja mengganggu tempat pertapaan ini.
Sungguh... Aku sendiri pun tidak tahu
mengapa aku harus berada di sini. Semua
ini gara-gara dia" Wintara bersujud,
tangannya menunjuk ke arah beruang yang
masih bersujud pula.
"Seandainya kakek merasa terganggu.
Kakek boleh menghukum saya. Itu lebih
baik, daripada menjadi isi perut
binatang itu. Sekali lagi saya memohon.
Ampunilah saya. Saya bersedia menerima
hukuman apa pun"
"Groaaaaaaar...!"
Terdengar suara yang amat
mengerikan.
Laki-laki itu langsung mengangkat
wajahnya. Di atas batu pualam hijau sudah
tidak ada lagi kakek yang duduk bersila.
Sungguh aneh! Ke mana perginya? Lelaki
itu mendengar suara langkah kaki yang de-
mikian berat. Cepat ia berlari, ia
mengira beruang itu telah membawa untuk
disantap. Maka ia langsung berlari
menuju ke arah suara yang menyeramkan
tadi. Benar saja! Ia melihat jelas tubuh
kakek kurus itu berada dalam dekapannya.
Pastilah beruang itu telah mengoyak
tubuhnya, secepat kilat lelaki itu
melompat melancarkan sebuah tendangan.
Dan begitu tendangan itu mengenai bagian
belakang tubuh beruang, lelaki itu
memekik hebat. Beruang itu tidak
bergeser sedikit pun. Malah lelaki itu
yang terlempar jauh. Sungguh luar biasa.
Lelaki itu sendiri mendadak kaget.
Dari mana ia mendapatkan tenaga untuk
bangkit berdiri, dan sampai sanggup
melancarkan sebuah tendangan?
Sebelumnya dari itu, ia tidak lebih
bagaikan sebatang tonggak yang tak
berguna. Sekarang betul-betul dirasakan
aneh! Ia melihat luka-lukanya masih
membekas, bahkan ada yang masih
mengeluarkan darah. Kenapa semua itu
tidak dirasakannya sama sekali? Ia
memandangi sekeliling ruangan bawah
tanah, Nampak bergerombol tumbuhan jamur
melekat di dinding-dinding batu.
Mungkinkah semua ini karena pengaruh
jamur-jamur yang dimakannya tadi? Kalau
benar, tentunya beruang itu tidak ada
maksud jahat terhadap dirinya. Tapi ia
berbalik mikir, apa sebenarnya yang
diinginkan beruang itu. Maka ia terus
mengikuti langkah-langkah si Beruang. Ia
memasuki sebuah ruangan lagi. Di situ
tersedia sebuah peti mati dari Kayu Jati
yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran.
Hati-hati sekali beruang itu memasukan
tubuh kakek yang bersila di atas batu
pualam hijau. Di dalam peti mati kakek
itu seperti tidur layaknya. Beruang itu
mengangkat penutup peti mati. Ia
berusaha menutup, tapi percuma. Posisi
kakek itu tetap bersila kaku, penutup
peti itu tidak dapat menutup rapat.
Melihat itu lelaki yang membuntuti
langsung datang membantu. Beruang itu
merangkul punggungnya. Sekarang orang
itu tidak takut lagi. Ia sudah
betul-betul mengerti apa yang akan
diperbuat si Beruang itu. Dan ia pun
melihat posisi kakek itu tetap bersila,
sekalipun tubuh renta itu telah
terbaring dalam sebuah peti mati.
Perlahan lelaki itu mengusap kedua
kaki yang kaku bersila, ia membacakan
serentetan mantra sambil mengelus-elus
perlahan. Lalu dengan perlahan pula ia
menarik kaki kakek itu sekaligus. Maka
kedua kaki yang semula bersila kaku, kini
lemas terjulur ke depan. Beruang itu
langsung menutup peti mati, nampak
begitu berat. Kedua lengannya yang besar
bergetar mengangkat penutup peti yang
terbuat dari batu. Tanpa diperintah
lagi, lelaki itu datang membantu.
Mendapat tenaga tambahan barulah peti
itu dapat tertutup rapat sebagaimana
mestinya.
Beruang itu berjingkrak-jingkrak.
Sebelah lengannya memeluk tubuh lelaki
itu. Ia membawanya mengelilingi peti
mati. Dan menunjukkan sesuatu yang
tergambar pada sekeliling peti mati
marmer. Lelaki itu memperhatikan
beberapa gambaran timbul.
Gambaran-gambaran itu seperti
gerakan-gerakan seseorang yang telah
memperagakan jurus-jurus maut secara
berurutan. Tahulah ia sekarang. Kakek
itu telah meninggalkan beberapa jurus
ilmu silat yang langka di dalam ruangan
bawah tanah. Di luar kesadarannya lelaki
itu mulai mengikuti beberapa gerakan.
"Groaaaar! Groaaaaar!"
Beruang itu berjingkrak-jingkrak
kegirangan tanda setuju.
* * *
Lengan kiri Ki Sapta Nrenggana masih
membengkak terbungkus kain yang
menyerong kepundaknya. Padahal sudah dua
minggu ia mengobatinya secara rutin.
Lukanya memang cukup parah. Persehdian
sikutnya remuk, kalaupun sembuh tentunya
ia tidak dapat menggerakkan sebelah
lengan. Ia masih ingat betul peristiwa
tersebut. Rasa sakitnya pun masih
membayang terus. Sehingga ia tidak dapat
melakukan apa-apa di rumah sebesar itu.
Untung saja Gada Rencah bermaksud
menetap lama di situ. Ki Sapta Nrenggana
sendiri yang mengangkat Gada Rencah
menjadi pengawal pribadinya. Dularata
memanggil orang-orang sekampungnya
untuk bekerja pada Ki Sapta Nrenggana.
Maladewi tersekap dalam sebuah
kamar yang bersih dan dipenuhi aroma
wewangian. Setiap hari tersedia makanan
yang cukup mewah, namun jarang sekali ia
memakannya. Kecuali lapar betul.
Pintu kamar terbuka, Maladewi tidak
menoleh. Pastilah seorang pelayan yang
akan memberi makan malam untuknya.
Dugaannya meleset! Ternyata orang yang
masuk ke dalam kamar itu tidak lain Ki
Sapta Nrenggana dengan lengan kiri
terbalut menggantung di dada. Senyumnya
menyeringai, ia melangkah mendekati.
Maladewi langsung bangkit menyingkir.
"Jangan begitu, Dewi. Ini malam
pertama kita...."
"Pergi! Jangan dekati aku. Pergi!"
Ki Sapta Nrenggana makin dekat. Ia
langsung memeluk tubuh elok itu.
Maladewi mendorong berusaha lari
"Aaaaarght!" Ki Sapta Nrenggara
berteriak. Sewaktu Maladewi mendorong
ternyata lukanya tersentuh keras.
Dularata dan Gada Rencah yang
mendengar teriakan itu langsung menyusup
ke dalam kamar. Maladewi yang bermaksud
lari terhalang oleh kedua orang itu. Ia
gelagapan ketika Dularata mendadak
membekuknya.
* * *
DELAPAN
"Ikat dia...!" Ki Sapta Nrenggana
meringis menahan sakit. Lukanya
berdenyut. Dularata membawa Maladewi ke
samping tempat tidur, lalu membantingnya
dengan kasar.
"Ikat kedua tangan dan kakinya,
Dularata.... Ikat yang kencang!"
perintah Ki Sapta Nrenggana.... Gada
Rencah diam saja berdiri memandangi
gadis yang meronta-ronta di atas
ranjang. Dularata keluar kamar.
Maladewi beringsut ke pojokan
ranjang menatap takut.
"Kau tidak bisa menolak keinginanku
lagi, Dewi. Kau bakal jadi istriku!
Kenapa mesti takut? Diam sayang He...
he... he...he...." Ki sapta Nrenggana
mendekati. Maladewi langsung menendang,
untunglah Ki Sapta Nrenggana cepat
bangkit dari tempat itu. Dularata
kembali lagi memasuki kamar dengan
membawa beberapa utas tali sebesar
telunjuk.
"Rupanya sengaja agar aku berbuat
kasar. Bangsat! Ikat!" kata Ki Sapta
Nrenggana marah. Dularata langsung
membekap menubruk. Maladewi meronta-
ronta. Namun tenaga Dularata lebih
bestir. Dalam sergapan itu Maladewi
tidak mampu bergerak. Dularata berhasil
mengikat kedua pergelangan tangannya
merentang pada tiang-tiang ranjang.
"Kaki! Kakinya juga diikat!"
Dularata menyusur ke bawah. Untuk
mengikat kedua kakinya ia mendapat
kesulitan. Kedua kaki itu meronta-ronta
menendang. Kain Maladewi tersingkap,
maka terlihatlah kemulusan yang luar
biasa. Ki Sapta Nrenggana menelan ludah.
Cepat-cepat ia membantu memegangi kaki
Maladewi dengan sebelah tangannya. Maka
Dularata dapat lebih mudah mengikat
kedua kaki Maladewi satu persatu.
"He.. he.. he.. he.. " Ki Sapta
Nrenggana memandangi tubuh terlentang
mengang-ang di atas ranjang itu.
Maladewi terus meronta-ronta, tapi
tali-tali pengikat itu begitu kuat.
"Kalian berdua keluarlah" kata Ki
Sapta Nrenggana menatap Gada Rencah dari
Dularata. Keduanya berbalik
meninggalkan kamar. Ki Sapta langsung
mengunci pintu dari dalam. Senyumnya
buas terarah pada Maladewi.
Telapak tangan kanannya mengelus-
elus pipi Maladewi. Terasa halus sekali.
Pandangannya liar menyusuri seluruh
tubuh itu. Maladewi meronta lagi.
Telapak tangan itu turun ke bagian dada.
Menyusup ke balik baju. Ia menyentuh
benda kenyal berputing, meremasnya.
"Keparat! Lepaskan aku! Lepaskan!"
Gadis itu terlentang menjerit-jerit.
Mendadak Ki Sapta Nrenggana menarik baju
kebaya itu. Maka tersembullah dua
gundukan daging bergoyang-goyang.
"Iblis terkutuk. Bunuh saja aku!"
Dadanya tersengal-sengal membuat Ki Sap-
ta Nrenggana semakin berani. Kain
pembungkus tubuhnya mengendur. Lelaki
itu semakin mudah membukanya.
"Aaaaahh.... Waaaa.... Waaaa...!"
Maladewi meronta-ronta kali ini lebih
hebat, ranjang itu berderak-derak seakan
mau terbalik. Tanpa selembar benang pun,
tubuh Maladewi terlentang dengan kedua
kaki mengangkang lebar terikat. Ki Sapta
Nrenggana melepaskan ikat pinggangnya.
Tiba-tiba....
"Braaaak!"
Pintu kamar terbuka lebar!
Seseorang memasuki kamar itu.
"Gada Renca! Mau apa kau!" Ki Sapta
Nrenggana membentak.
"Aku menginginkan gadis itu
sekarang Ki! Sekali ini saja." kata Gada
Rencah tenang. Ki Sapta Nrenggana
melotot.
"Apa...?"
Gada Rencah mendekati Ki Sapta
Nrenggana, ia mencekik lehernya dengan
sebelah lengan.
"Tanpa aku, mana bisa kau
mendapatkan gadis itu, Ki? Apakah aku
yang telah bersusah payah tidak boleh
menikmatinya?"
"Kau bawahanku Gada Rencah. Gadis
itu milikku. Lagipula aku telah membayar
mahal untukmu"
"Hentikan ocehanmu Ki Sapta
Nrenggana. Aku hanya menginginkannya
sekali ini saja. Atau aku harus
mematahkan sebelah lenganmu lagi?"
Ki Sapta Nrenggana diam, ia tidak
berani melawan. Dia hanya diam dengan
rona muka yang memerah. Kekesalannya
hampir meledak di dalam jantung. Sungguh
berani. Seorang bawahan atau seorang
pengawal bertindak seperti itu.
"Kau boleh tetap di sini. Atau lebih
baik ke luar, Ki" Gada Rencah membuka
pakaiannya. Kemudian berjalan ke samping
ranjang.
"Jangan.... Jangannnnn." Gadis itu
berusaha berontak. Gada Rencah tidak
perduli. Ia terus naik ke atas ranjang,
langsung menunggangi seekor kuda betina
yang meronta-ronta dengan disertai
jeritan jeritan histeris.
* * *
Udara dalam sebuah ruangan bawah ta-
nah masih tetap pengap. Bau busuk
menyebar menyengat hidung. Sebuah peti
mati dari batu marmer tergeletak di
tengah ruangan itu. Banyak kulit-kulit
binatang tergantung di dinding
menghiasi, membuat kesan ruangan itu
semakin pengap. Dua tahun yang lalu
kulit-kulit binatang itu tidak ada sama
sekali. Mungkin lelaki muda yang
terkurung di situ sengaja
mengumpulkannya.
Sekarang lelaki muda itu duduk
berhadapan dengan seekor beruang yang
nampak duduk lesu. Lelaki itu mengunyah
beberapa buah jamur sambil memandangi
sahabatnya yang empat kali lebih besar
dari tubuhnya.
"Akhir-akhir ini kau selalu murung.
Ada apa? Bukankah kau yang menginginkan
aku harus bersamamu di sini. Semua
jurus-jurus yang tergambar pada peti
mati itu telah habis kupelajari.
Seharusnya kau bergembira" kata lelaki
muda itu sambil bangkit berdiri. Bajunya
yang telah koyak bergerak-gerak setiap
ia melangkah. Beruang itu tetap diam,
tidak mau menjawab walaupun dengan
bahasanya. Lelaki itu mendekat
mengelus-elus bulu yang berwarna coklat
kehitaman. Dari kedua kelopak mata
binatang itu yang sayu mengeluarkan
beberapa tetes air mata. Lalu lengannya
yang besar bergerak mendorong tubuh
lelaki itu. Kemudian memberikan bahasa
isyarat. Lelaki itu mengernyitkan alis.
"Apa? Kau mengusirku? Apa-apaan kau
ini. Kita sudah bersumpah sehidup
semati. Sekarang kau mengusirku. Tidak!
Aku tidak mau pergi!"
"Wes...! Wes...!" Beruang itu
melemparkan tulang-tulang tengkorak
yang berada di situ.
"Praaaak...!"
Kedua tulang itu hancur bersamaan
oleh kibasan lengan lelaki itu. Si
Beruang bangkit, dengan sekali lompatan
ia menyambar salah satu kulit yang
tergantung. Lalu dilemparkannya lagi ke
arah si pemuda yang tidak mengerti
melihat tindakannya. Lelaki muda itu
langsung menyambar. Kemudian ia melihat
lengan beruang tersebut bergerak-gerak
memberi isyarat.
"Oooooo.... Aku harus mengganti
bajuku yang telah koyak dengan kulit ini?
Baik, Aku turuti kemauanmu" katanya
setelah melihat isyarat itu.
Beruang itu maju mendorong-dorong
ke luar lelaki muda itu. Sungguh aneh!
Apa maksudnya. Lelaki itu berjalan
mundur, ia berdiri memandangi
gerak-gerik si Beruang. Tiba-tiba.
"Grek.... Grek.... Gregeeeeek...!"
Pintu batu ruangan itu tertutup
hampir mengunci si Beruang dalam ruangan
peti mati, cepat lelaki itu melompat
bermaksud menarik agar beruang itu tidak
terkunci. Tapi....
"Desss!"
Sengaja beruang itu menendang.
Tubuh lelaki itu terpental jauh. Dan
pintu itu telah tertutup rapat mengurung
beruang yang berada di dalamnya.
Terdengar suara raungan yang sangat
panjang melengking. Tak lama setelah
raungan itu berhenti, seluruh tempat itu
bergetar. Seluruh ruangan bawah tanah
bergemuruh. Pasir-pasir dan batu-batu
mulai berjatuhan, hampir saja sebongkah
batu menimpa lelaki itu.
"Gila.... Seluruh ruangan ini akan
ambruk" Baru saja ia berkata demikian,
sebuah tiang retak kemudian patah jatuh
berdebum di lantai. Ruangan itu jadi
gelap, karena api yang menyala di ruangan
tengah telah tertimbun pasir dan
puing-puing batu. Lelaki muda itu
langsung melompat ke arah tangga. Ia
belum juga pergi dari situ. Merasa
keberatan meninggalkan beruang yang
terkurung.
"Grauuuuuuuuuung!"
Terdengar lagi raungan panjang.
"Tidak beruang! Aku tidak bisa
meninggalkanmu tertimbun di sini!"
"Grauuuuuuuuuung!"
Seluruh dinding ruangan bawah
ambruk berjatuhan membuat lantai ruangan
itu penuh dengan batu-batu. Dari atas pun
demikian atap-atap runtuh nyaris
menimbun dirinya.
Dengan terpaksa sekali lelaki muda
itu berlari menjajaki anak tangga yang
menuju ke atas. Lengannya yang memegang
kulit berbulu memutar melindung dirinya
dari percikan-pereikan batu. Sampai di
atas, reruntuhan bangunan itu bergetar.
Cepat ia melompat ke luar. Melewati
sisa-sisa tulang belulang dan
puing-puing batu. Dan ia hampir tidak
percaya dengan penglihatannya. Rerun-
tuhan gedung megah itu ambruk melesak ke
dalam tanah. Yang tertinggal hanyalah
sederetan anak tangga setengah melingkar
pada reruntuhan itu. Lelaki itu menarik
nafas panjang kemudian menghembuskan. Ia
tidak sudah sadar lagi ketika melihat
pakaiannya yang koyak tidak melekat di
tubuhnya. Mungkin terlepas waktu ia
menyelamatkan diri dari re runtuhan.
Teringat akan kulit beruang dalam
genggamannya, cukup besar dan kuat bila
ia menggunakannya sebagai penutup
tubuhnya dari hawa dingin maupun panas.
* * *
Batu perbatasan sebuah desa berdiri
tegak di kedua sisi jalan. Di kedua batu
itu tertera tulisan KARANG HAMPAR.
Meskipun huruf relief hampir sebagian
rontok, tapi masih jelas terbaca.
Rumah-rumah penduduk banyak
berkelompok-kelompok. Para penduduknya
sibuk menyusun padi di lumbUng.
Anak-anak kecil berlarian saling kejar
bermain. Ada juga para ibu yang nampak
sedang menampi beras. Seorang lelaki tua
tengah membelah kayu bakar, melihat
seorang pemuda berjalan melaluinya. Anak
muda berperawakan kekar mengenakan
pakaian bulu berwarna coklat kehitaman.
Rambutnya gondrong sebatas pundak. Ia
berjalan terus, sekalipun kehadirannya
di desa itu telah menjadi perhatian
orang-orang kampung.
Langkahnya yang tenang menuju ke sa-
tu tempat. Menyusuri jalan berkelok, me-
lewati sebuah parit dengan jembatan dari
batang pohon kelapa. Kemudian menembus
sebuah perkebunan.
Sebuah rumah besar berdiri sunyi.
Sebagian rumah itu telah hancur. Nampak
seperti terbakar. Masih kelihatan
sisa-sisa arang pada tiang-tiang kayu.
Genting-genting sudah banyak berjatuhan
di tanah, di halaman rumah banyak
ditumbuhi rumput-rumput liar. Pemuda itu
menatap dengan pandangan tajam. Kedua
telapak tangannya mengepal keras, ketika
melihat dua gundukan tanah di samping
rumah. Dua gundukan tanah disertai
masing-masing sebuah nisan.
"Gada Rencah. Pastilah dia yang
melakukan ini semua. Tunggulah! Kita
akan berhadapan lagi. " katanya dengan
nada pelan. Lalu ia berlalu meninggalkan
tempat itu. Tatapannya seperti kosong ke
depan. Tidak diperdulikannya orang-
orang yang memperhatikan. Ia terus lewat
dan berlalu menembus ke jalan lurus yang
menghubungkan ke desa Tapis Ledok.
Dari kejauhan desa tersebut sudah
nampak, rumah-rumah penduduk nampak
seperti titik-titik yang berwarna
warni. Pepohonan yang menghijau nampak
berderet membatasi.
Dari dulu desa Tapis Ledok memang
selalu ramai, dari pasar, tempat
perjudian maupun tempat pelacuran ada di
situ. Siang malam desa itu selalu saja
banyak didatangi para pendatang. Seperti
halnya pada siang itu. Warung Bi Wikurnah
ramai didatangi oleh para pelanggannya.
Hampir bangku-bangku panjang yang
mengelilingi meja berisi dagangan penuh.
Birdun duduk paling tengah, sebelah
kakinya naik ke atas bangku.
"Aku yakin, ayam jago Ki Sapta
Nrenggana menang lagi. Aku berani
pegang" kata Birdun sombong. Tangannya
menyambar gelas berisi kopi. Lalu
meneguknya sedikit.
"Siapa yang berani melawan ayam
miliknya, Kang. Semua orang tahu, Si
Kliwon sudah menang bertarung sebanyak
delapan belas kali. Kang Birdun kan tahu
sendiri. Ayam ki Sarwih yang hebatnya
bagaimana pun dibuatnya terkapar
bermandi darah. Iya nggak?" kata salah
seorang yang berada di situ.
"Tapi katanya hari ini Ki Sapta
Nrenggana akan mengadu dengan ayam milik
Ki Johar.. Ki Johar tidak perlu bertaruh.
Asal jago Ki Johar menang, Ki Sapta
Nrenggana berani membayar dengan
sekantong uang" yang lain menimpali.
"Aku tetap pegang ayam jago Ki Sapta
Nrenggana. " kata Birdun mantap.
"Kau berani bertaruh? Aku berani
membayar sepuluh kali lipat" kata Birdun
lagi. Orang-orang yang mendengar ucapan
itu bermkir. Seseorang menyeletuk.
"Baiklah. Aku pegang jago milik Ki
Johar"
"Boleh! Jika kau menang, kau akan
mendapat sepuluh kali lipat dari uang
taruhanmu"
Sosok tubuh kerempeng dengan
gemetaran menuju warung itu. Telapak
tangannya terjulur ke depan seperti
meminta. Suaranya hampir tidak keluar.
Birdun yang mengetahui datangnya
pengemis itu langsung menoleh.
"Rasanya aku ampir bosan
membelikanmu makanan. Apakah tida ada
pekerjaan lain selain mengemis?" Birdun
mendongkol. "Kalau terus-terusan
begini, aku bisa babak belur" katanya
lagi. Bi Wikunah yang sedang sibuk
melayani para tamunya melihat juga
kedatangan pengemis itu.
"Sudah, Dun. Kali ini kau tidak usah
membelikan makanan. Biar bibi saja yang
memberi. Kau tidak perlu mengeluarkan
uang" kata Bi Wikunah. Ia mengemasi
sebungkus nasi. Pengemis bertubuh ke-
rempeng itu hanya menunduk dengan
telapak tangan yang masih terjulur. Bi
Wikunah telah selesai membungkus nasi ia
bermaksud memberikan bungkusan itu. Tapi
Birdun langsung menyambar mengambil
bungkusan itu dari tangan bi Wikunah.
"Biar saya yang memberikannya, Bi"
kata Birdun. Birdun tetap duduk di
bangku, ia sengaja menjatuhkan bungkusan
nasi itu di bawah kakinya. Tubuh
kerempeng yang gemetaran langsung
menubruk membuka bungkusan yang berisi
nasi berikut lauk-pauk. Bagai orang yang
kelaparan ia melahap makanan itu. Birdun
menyeringai.
Tahu-tahu sebelah kakinya menginjak
batang leher lelaki kerempeng itu sampai
mukanya mencium tanah. Sekaligus Birdun
menyiram kepala itu dengan kopi.
"Traaaang!"
"Arghhhht...!"
Birdun menjerit. Telapak tangannya
yang memegang gelas kopi terasa tertimpa
sesuatu. Gelas yang telah kosong itu ja-
tuh.
"Ternyata masih banyak
anjing-anjing yang tidak berperasaan di
kampung ini" ucapan itu jelas terdengar.
Birdun sendiri sudah dapat melihat
seorang pemuda berambut gondrong berdiri
tegak di depan warung. Pemuda yang
mengenakan pakaian kulit binatang
membantu pengemis itu bangkit berdiri.
Birdun keluar dari bangku. Ia langsung
melancarkan serangan ke arah pemuda itu.
"Plak!"
Pemuda itu menepak, lalu
tendangannya menyambar....
"Bug!"
Menghantam keras, membuat Birdun
terguling tak dapat bangkit lagi.
"Den Wintara...." katanya seakan
tak percaya.
"Syukurlah kau masih mengenaliku,
Mang Bayan... Tak apa-apa, Birdun hanya
pingsan. Dia memang harus mendapat
pelajaran seperti itu...." kata pemuda
itu kepada si pengemis. Mendengar kata
'Den Wintara' orang-orang yang berada
dalam waning langsung belingsatan.
* * *
SEMBILAN
Sebenarnya Ki Johar tidak mau
menurunkan ayam jagonya ke arena
persabungan. Tapi Ki Sapta Nrenggana
memaksa, bahkan ia berjanji akan memberi
uang sekantong bila ayamnya bisa
mengalahkan si Kliwon. Sekalipun Ki
Johar tidak perlu mengeluarkan uang
taruhan. Ki Johar sendiri tahu, kalau
saja ia menolak. Mungkin akan terjadi
sesuatu terhadap dirinya.
Sekeliling arena persabungan telah
dipenuhi oleh para pengunjung yang juga
akan ikut bertaruh. Ki Sapta Nrenggana
bersama Dularata duduk paling depan.
Nampak Ki Sapta Nrenggana mengelus-elus
leher si Kliwon. Ki Johar sedikit gemetar
memasuki arena. Ia telah selesai
memasang kedua pisau kecil di kedua kaki
jagonya. Seorang wasit menerima ayam
itu. Tak lama pun
Ki Sapta Nrenggana menyerahkan
ayamnya. Dua buah pisau tajam berkilat
terikat kuat pada pergelangan kaki si
Kliwon.
Dua orang lelaki datang memasuki
arena membantu. Masing-masing membawa
seekor ayam itu ke arah sudut yang
berlawanan. Maka para pencandu sabung
ayam bersorak riuh. Semuanya sudah siap
bertaruh. Kebanyakan dari mereka
memegang ayam Ki Sapta Nrenggana. Hanya
beberapa orang saja yang terpaksa
menjagoi milik Ki Johar.
"Lepas...!" kata wasit memberi
aba-aba.
Maka kedua ayam itu saling mener-
jang. Bulu-bulu leher mereka meregang,
kemudian.
"Jbreeeet!"
Kliwon menghantam lebih dulu.
Pa-ruhnya menghantam punggung lawannya.
Jago Ki Johar nampak berlari mundur.
Suasana tempat itu jadi ramai. Sekali
lagi Kliwon maju melancarkan hantaman
dengan sebelah kaki.
"Jbreeeet!"
Jalu pisau mengenai pagian paha.
Untung cuma tergores. meskipun demikian
darah tetap mengalir. Ki Sapta Nrenggana
nampak tersenyum puas. Ki Johar sudah
yakin, jagonya akan terkapar di arena
itu.
Kliwon nampak beringas. Kedua kaki-
nya yang kekar siap lagi menghantam. Jago
Ki Johar berjalan minggir-minggir
mengelilingi arena. Dan saat Kliwon
datang menyerang, jago Ki Johar yang
sudah terluka itu melompat tinggi. Lalu
kedua cakarnya jatuh menginjak punggung
Kliwon.
"Beg!"
Kliwon tersungkur, ia bangkit lagi
mem-balas serangan. Terjangannya
bagaikan seekor burung rajawali.
Sayapnya menghantam sembari kakinya yang
disertai jalu pisau menghajar sebelah
muka lawannya. Jago Ki Johar terbanting
bergulingan. Ki Johar cemas. Apalagi
melihat jagonya lama tidak
bangkit-bangkit.
Kliwon melompat, kedua kakinya
sekali-gus menghantam. Jago ki Johar
yang masih rebah di tanah langsung
menyambut. Kedua kakinya bergerak cepat.
Kliwon memekik. Dada serta temboloknya
tertembus jalu-jalu pisau. Kliwon
bergoseran di tanah, Jago Ki Johar nampak
mengerahkan seluruh tenaganya. Membuat
Kliwon tidak dapat terlepas dari
tikaman-tikaman jalu. Semua orang
mengeluh kecewa. Ki Sapta Nrenggana
melotot.
"Kliwon tewas! Kliwon tewas!"
teriak wasit. Memang betul... Setelah
berkelojotan ia tidak berkutik lagi.
Jago Ki Johar berjalan limbung
melepaskan tikaman-tikaman jalu pisau
yang menembus dalam. Para pencandu
sabung ayam seakan tidak percaya. Kliwon
yang sudah berpengalaman menang delapan
belas kali jatuh di tangan jago Ki Johar.
Sungguh luar biasa jago Ki Johar itu.
Beberapa orang nampak kegirangan
menerima uang taruhan, bagaimana tidak.
Mereka berani membayar sepuluh kali
lipat untuk ayam Ki Johar. Hampir
semuanya menjagoi Kliwon. Dan sekarang
mereka betul-betul kena batunya.
Ki Johar memasuki arena dengan
ketakutan. Ia langsung mengambil ayam
jagonya yang sudah berlumur darah di
bagian mukanya. Dan Ki Johar tidak
bermaksud menuntut sekantong uang dari
perjanjian Ki Sapta Nrenggana. Ia tidak
berani. Ia tahu betul siapa dia. Kalau
saja ia berani meminta, itu sama saja
membangunkan macan tidur. Maka ia
melangkah saja menyingkir dari arena.
Mendadak sebuah cengkraman menarik
tubuhnya. Ki Johar berbalik. Dularata
langsung menarik ayam jago dari pelukan
Ki Johar. Ia sendiri tidak dapat
menahannya. Dan ia begitu kaget melihat
Dularata membanting jago miliknya,
bahkan kakinya dengan sangat kencang
menginjak ayam itu. Jago Ki Johar
kelepekan. Semua isi perutnya keluar
dari liang anus. Ki Johar langsung
menubruk ayam yang sudah remuk itu, tapi.
"Dues!" Dularata menendang tubuh Ki
Johar. Tentu saja tubuh itu terbanting ke
belakang. Ki Johar meringis menahan
sakit. Orang-orang yang berada di situ
menatap ngeri, mereka tidak ada yang
berani menolong Ki Johar. Mereka takut
akan mengalami nasib yang sama. Sekali
lagi Dularata maju.
"Jangan, Tuan. Jangan. Saya tidak
bermaksud meminta perjanjian itu Tidak.
Saya rela ayam saya mati. Jangan. Jangan
bunuh saya" Ki Johar menangis. Dularata
terus maju matanya jalang menakutkan.
"Tunggu...!" Sebuah teriakan
membuat langkah Dularata terhenti
sekaligus menoleh ke arah suara itu.
Sosok tubuh melompat masuk ke dalam arena
sabung. Dularata menatap seorang pemuda
memakai baju kulit binatang berdiri
seperti menantang.
"Aku rasa peraturan sabung ayam
tidak demikian. Tidak berakhir dengan
pertumpahan darah. Kalau sudah kalah, ya
sudah. Apakah ini peraturan Ki Sapta
Nrenggana?" kata pemuda itu yang menatap
tajam ke arah Ki Sapta Nrenggana. Merasa
ditatap sedemikian rupa Ki Sapta
Nrenggana jadi salah tingkah.
"Anak muda. Pergilah dari sini! Aku
tidak bermaksud membunuh dua orang di
sini!" kata Dularata sengit. Dari mana
pemuda asing ini mengenali majikannya?
Siapa sebenarnya dia. Dularata maju
ke depan beberapa langkah.
"Mau bunuh boleh! Tapi bayar dulu
uang ganti rugi jago Ki Johar, itu baru
namanya adil" kata pemuda itu tenang. Du-
larata menoleh ke arah Ki Sapta
Nrenggana, majikannya memberi isyarat
dengan anggukkan kepala. Maka Dularata
langsung mengerahkan tinjunya.
"Mampus kau pemuda usil...!"
Pemuda itu merunduk, tinju Dularata
meleset. Masih dalam keadaan merunduk,
pemuda ini yang ternyata tidak lain
adalah Wintara memutar lengannya.
"Plak!"
Tinju itu beradu. Dularata
terpelanting hebat. Wintara nyengir.
Sungguh dahsyat! Lengan Dularata seperti
terasa patah. Tapi ia berusaha
menyembunyikan rasa sakitnya. Ia
melompat lagi. Tendangannya bergerak
cepat. Wintara melesat ke atas, tubuhnya
berjumpalitan di udara, tahu-tahu
sebelah tangannya menghantam keras
bagian punggung.
"Arghhhh! "Dularata ambruk.
Darahnya menyembur. Ki Sapta Nreng-
gana tersentak kaget. Dularata
merangkang bangkit. Belum Dularata
berdiri benar, Wintara melancarkan
tendangan memutar.
"Dueees!"
Dularata terlempar ke luar dari
arena sabung ayam. Menimpa beberapa
orang yang ada di situ. Lalu orang-orang
itu segera berlarian menyingkir.
Tubuh Dularata tergeletak kaku.
Matanya melotot lebar tak bergeming.
Dularata tewas dengan mengerikan.
Melihat itu Ki Sapta Nrenggana
merungkut, suaranya yang gemetar keluar.
"Ba-ba-baik, Ba-baik.... A-Aku akan
mengganti ayam itu" Ki Sapta melemparkan
sekantong uang. Lalu ia bermaksud ber-
diri melangkah.
"Tunriggu! Bagaimana dengan uang
taruhannya?" kata Wintara tegas.
"Oh.... I-i-iya.... A-a-aku
lupa..." Ki Sapta Nrenggana merogoh lagi
saku bajunya. Ia mengeluarkan sekantong
uang, dan melem-parkannya pada Ki Johar.
Ki Johar tidak berani mengambil dua
kantong uang yang tergeletak di tanah.
"Ambillah uang itu, Ki. Uang-uang
itu sudah menjadi hakmu. Ambillah. " Win-
tara mengambil dua kantong uang itu, lalu
memberikannya pada Ki Johar. Ia gemetar
menerimanya.
"Dua tahun belakangan ini rasanya
ada yang lain. Kenapa dengan tangan
kirimu itu, Ki. Dari tadi kulihat tidak
banyak bergerak" tanya Wintara. Ki Sapta
Nrenggana gelagapan. Lalu dengan gemetar
pula ia menjawab
"Pa-pa-patah. Lengan kiriku
pa-pa-tah...."
"Apakah Gada Rencah yang mematahkan
lenganmu?"
Bagai tersambar petir Ki Sapta
Nrenggana mendengar pertanyaan itu,
mukanya pucat pasi.
"Bu-bukan.... Bu-bukan Gada
Rencah.... Te-te-tapi se-se-seorang
Kyai... Ka-ka-kalu tidak sa-salah
Ki-Ki-Kyai Sempar namanya...."
Tibat-tiba saja Wintara melesat
cepat ke samping Ki Sapta Nrenggana.
"Kalau begitu, aku pun punya tugas
yang sama seperti Kyai Sempar. Untuk
mematahkan sebelah lenganmu lagi, Ki"
Wintara langsung meraih lengan kanan Ki
Sapta Nrenggana. "Dari alam baka sana ia
mengutusku demikian" kata Wintara lagi.
"Ja-ja-jangan...." Ki Sapta
Nrenggana ketakutan, cengkraman Wintara
makin kuat.
"Kau boleh tidak mengenaliku, Ki.
Dua tahun memang cukup lama. Wajar kalau
kau tidak mengenaliku lagi. Beberapa
tahun yang lalu kita pernah bertaruh di
sini. Masih ingat? Apakah kau lupa juga
ketika merebut Maladewi dari tangan Ki
Dulang Sungkar? Aku yakin kau masih
ingat"
"Hah?! K-kk-kau.... Kau..." Ki
Sapta Nrenggana memandang tak percaya.
"Aku Wintara!"
Semua orang yang masih ada di situ
terbelalak. Ternyata Wintara masih
hidup. Mereka teringat pada dua tahun
yang lalu, peristiwa tragis yang terjadi
di Tapis Ledok ini. Siapa yang percaya
akan kehadirannya. Dua tahun cukup
membuat perubahan-perubahan pada diri
Wintara. Dari rambut, pakaiannya. Juga
tubuhnya yang jauh lebih kekar dan besar.
Sudah tentu kedatangannya untuk menuntut
balas. Mereka yakin.! Yah pasti akan
terulang peristiwa dua tahun yang lalu.
Di desa ini.
"Di mana Maladewi sekarang"
pertanyaan itu cukup pelan, tapi begitu
menggelegar di jantung Ki Sapta
Nrenggana.
"Cepat jawab!" Wintara memuntir le-
ngan Ki Sapta Nrenggana, orang itu pun
memekik hebat.
"Cepat katakan di mana dia, Ki"
"A-ada.. Maladewi ada.. Di-d-di-dia
bersama Gada Rencah...!"
"Kebetulan! Aku pun memang sedang
mencari dia. Antar aku ke sana, Ki"
Wintara mendorong tubuh Ki Sapta
Nrenggana. Langkahnya tersaruk-saruk
karena Wintara masih mencengkram keras
lengannya. Mereka meninggalkan tempat
itu, Mang Bayan mengikutinya dengan
langkah yang gemetaran. Arena itu
menjadi penuh. Semua orang mengerubungi
mayat Dularata. Ki Johar bangkit sambil
menggenggam dua kantong uang, beberapa
orang me-mapahnya mengantarkan pulang.
Ada juga yang bergegas mengikuti ke mana
kepergian Wintara. Tapi mereka hanya
mengikuti dari kejauhan.
Wintara menghajar punggung Ki Sapta
Nrenggana di saat ia berjalan pelan.
Mendapat hajaran itu, Ki Sapta Nrenggana
mempercepat langkahnya. Ia tidak mau
mendapat hajaran-hajaran seperti kerbau
dungu yang dicambuk. Dan pada saat mereka
melintas jalan becek, Ki Sapta Nrenggana
terpeleset. Wintara langsung menarik
keras lengan kanannya yang belum lepas
dari cengkraman. Sudah tentu ia merasa
amat kesakitan.
"Bangun...!" Wintara menyeret
kuat-kuat. Ki Sapta Nrenggana yang sudah
kepa-yahan begitu lambat berdiri. Dengan
langkah cepat Wintara menyeretnya.
* * *
Pintu gerbang pada pagar tembok yang
mengelilingi bangunan megah itu memang
sudah terbuka. Tiga orang nampak duduk di
sudut teras, dua orang perempuan
menemani mereka. Di halaman muka dua
orang berdiri. Salah seorang dari mereka
tengah menyulut rokok. Suasana memang
sepi. Hanya cekikikan para perempuan
yang berada di sudut teras terdengar
renyah.
Mereka tidak menyadari kalau di
depan pintu gerbang telah berdiri Ki
Sapta Nrenggana dengan wajah yang
seperti menahan sakit. Wintara berdiri
di belakangnya siap memuntir lengan Ki
Sapta Nrenggana. Ia mendorong masuk ke
dalam halaman gedung. Dua orang yang ber-
diri di halaman tersentak kaget, mereka
langsung menghambur mengepung Wintara.
"Anak muda! Sungguh berani kau
bertindak seperti ini terhadap Ki Sapta
Nrenggana. Cari mampus! Lepaskan dia!"
Wintara tidak menjawab, malah kakinya
menyambar ke atas. Menghantam orang yang
berbicara tadi sampai bergulingan.
Seorang lagi langsung maju. Wintara
menarik lengan Ki Sapta Nrenggana ke
samping, sambil melancarkan sebuah pu-
kulan keras bersarang di dada
penyerangnya
"Buuuug...! Wuaaaaa!"
Orang itu menjerit, tubuhnya
mencelat ke belakang.
Tiga orang di sudut teras langsung
bangkit mendengar teriakan itu. Dan
mereka dapat melihat majikannya dalam
keadaan terancam di bawah cengkraman
seorang pemuda.
Ketiganya menatap
garang.Wintara,terus mendorong maju
tubuh Ki Sapta Nrenggana ke dalam. Namun
ketiga orang ini bermaksud menghalangi.
Mai ah seorang di antaranya menarik Ki
Sapta Nrenggana.
"Plak!"
Wintara menepis lengan itu. Lalu
memutar melancarkan tinjunya.
"Des!"
Orang itu terhuyung ke belakang. Dua
orang datang lagi menyerang. Mereka
berusaha melepaskan Ki Sapta Nrenggana
dari cengkraman Wintara.
"Arghhhhh!"
Ki Sapta Nrenggana menjerit.
Lengannya terasa sakit, karena Wintara
memuntir lebih keras lagi. Lengan
kirinya yang sudah patah mati tidak
berfungsi.
Dua orang itu berhenti menyerang.
Salah seorang yang tadi terhuyung sudah
bangkit.
"Suruh keluar Gada Rencah! Cepat!
Kalau tidak ingin majikan kalian
menjerit terus menerus!" perintah
Wintara.
"Panggil dia! Panggil Gada Rencah!"
teriak Ki Sapta Nrenggana.
"Aku ada di sini, Ki" Jawab
seseorang dengan suara dingin.
Wintara langsung menatap ke arah
suara itu. Gada Rencah telah berdiri di
tengah-tengah pintu gedung. Ia masih
saja tetap seperti dulu. Tidak berubah.
Dari dalam keluar seorang perempuan
muda. Perempuan itu langsung berdiri di
belakang Gada Rencah. Wintara
mengendorkan cengkramannya pada lengan
Ki Sapta Nrenggana. Seakan ada getaran
yang sangat hebat dalam dirinya ketika
melihat perempuan itu.
"Maladewi. Kaukah Maladewi?"
kata-kata itu keluar di luar
kesadarannya.
Merasa cengkraman Wintara
mengendor, Ki Sapta Nrenggana lari
meloloskan diri. Tapi cepat Wintara
meraih lengan itu lagi, mencengkram
lebih kuat. Bersamaan dengan itu,
Wintara menendang tubuh Ki Sapta
Nrenggana.
"Deees! Waaaaaaaaark...!"
Lengan kanannya tertinggal dalam
cengkraman Wintara. Sedangkan tubuhnya
jatuh berkelojotan bagai ayam
disembelih. Semuanya menatap ngeri.
Terlebih-lebih perempuan yang berdiri di
belakang Gada Rencah. Kedua matanya
terpejam menyaksikan kengerian itu.
Tentu saja ketiga orang yang tadi
bermaksud menyerang tidak tinggal diam.
Kini ketiganya menghambur mengepung dari
segala arah. Wintara melompat menghadapi
penyerang-penyerang itu satu demi satu.
Kakinya berkelebat menyambar
"Des!"
Satu orang jatuh dengan tulang leher
patah.
"Weeees!"
Serentetan serangan datang dari
belakang. Wintara membalikkan tubuhnya.
"Bug!"
Sebuah hantaman mengenai di dada
Wintara. Tapi ia cepat membalas dengan
mendorong kedua telapak tangannya ke
depan.
"Blaaaar!"
Penyerang itu terjungkal dengan
tulang-tulang dada remuk.
Tingga seorang lagi yang nampak
ragu-ragu maju.
"Silahkan. Jangan bertindak seperti
seorang pengecut!" Wintara berdiri
tenang. Orang itu melompat, kedua
lengannya menghantam menyilang. Sambil
merunduk, Wintara memutar lengannya ke
atas.
Deeees!"
Tepat mengenai kepala orang itu. Dan
jatuh di samping tubuh Ki Sapta Nrenggana
yang kehilangan lengan kanannya.
Tubuhnya telah banjir dengan darah. Ia
mengerang kesakitan.
Wintara menatap tajam ke arah Gada
Rencah yang berdiri dengan kedua lengan
menyilang di dada. Perempuan muda yang
berada di belakangnya sudah tidak nampak
lagi.
* * *
SEPULUH
"Menyesal dulu aku tidak
membunuhmu, anak muda. " kata Gada
Rencah, mengenali Wintara. Malah
sekarang Wintara nampak lebih angker.
"Sekarang pun kau masih punya
kesempatan. Mari Gada Rencah! Kita
perhitung-kan hutang darah itu" jawab
Wintara berani.
Gada Rencah melangkah maju. Kini
keduanya berhadapan saling tatap.
"Ya! Sekarang aku betul-betul akan
melumatkanmu, bocah keparat!" Gada
Rencah melompat sebelah tangannya me-
nyambar. Sebelumnya Wintara sudah me-
lompat ke belakang terlebih dulu.
Tubuhnya melintir, beberapa serangan
Gada Rencah dapat dielakkan. Sungguh
hebat. Wintara hampir kewalahan
menghadapinya.
Terdengar dua kali berturut-turut
benturan lengan mereka.
Gada Rencah begitu marah melihat
se-angan-serangannya tidak satu pun
mengena. Kini malah Wintara balas
menyerang. Begitu tendangan Wintara
memutar menyambar perut, Gada Rencah
melesat ke atas berputar melintasi
bagian kepala.
"Bug!"
Sebelah kakinya menghantam keras.
Pinggang Wintara terasa ngilu. Tapi
cepat ia membalikkan tubuhnya sembari
menepis sebuah jotosan yang nyaris
menghantam mukanya.
Wintara sudah tahu kalau Gada Rencah
memiliki pukulan 'Tinju Pasir Wesi'.
Untuk itulah sengaja ia tidak mendekat.
Tapi selama ia bertempur, Gada Rencah
belum juga mengeluarkan tinju mautnya
itu. Apakah semua ini hanya siasat?
Padahal kurang lebih Wintara sudah
menghadapi sepuluh jurus. Dirasakannya
pula benturan-benturan keras di saat
hantaman-hantaman mereka beradu. Bukan
main. Wintara sendiri merasa hantaman
Gada Rencah lebih kuat dan disertai
tenaga penuh. Lengannya terasa
berdenyut-denyut.
Dengan sekali hentakan, tubuh
Wintara melesat ke atas dan hinggap pada
cabang pohon yang berada di halaman itu.
Gada Rencah segera menyusul. Lesatan
tubuhnya lebih cepat. Mengarah dengan
tinju yang siap dilancarkan. Melihat
Gada Rencah demikian garangnya, Wintara
melompat berpindah ke cabang yang lain.
Gada Rencah yang sudah terlanjur
melancarkan serangan, tidak dapat
menarik tinjunya lagi.
"Blaaaaar!"
Cabang pohon di mana tadi Wintara
hinggap patah berderak, kemudian jatuh
ke tanah. Hantamannya masih membekas
pada patahan cabang.
Wintara cepat turun dari cabang itu.
Kedua kakinya hinggap tanpa bersuara.
Gada Rencah melotot, ia merasa
dipermainkan. Maka ia pun melesat turun
bagai seekor rajawali menyambar mangsa.
Wintara bergulingan di tanah menghindari
sergapan itu. Setelah menjauh baru ia
melompat bangkit. Tapi...
"Beg!"
Baru saja ia bangkit, tendangan Gada
Rencah yang mengarah cepat, merobohkan
tubuhnya lagi. Tentu saja Gada Rencah
tidak akan menyia-nyiakan kesempatan
itu. Dua tinjunya sekaligus menghantam.
Wintara bergulir menghindar.
"Derr!"
Hantaman itu melesak ke tanah. Belum
sempat Gada Rencah menarik kedua lengan-
nya, kaki kiri Wintara menyambar.
"Des!"
Tepat menghantam puiiggung. Gada
Rencah tersungkur ke depan. Mendapat
hantaman semacam itu wajah Gada Rencah
memerah. Ia bangkit lagi menerjang.
Terjangannya begitu cepat, Wintara tidak
sempat menghindar. Tahu-tahu....
"Blaaaaar!"
Wintara memekik. Tubuhnya terlempar
membentur batang pohon. Darah menyembur
dari mulutnya. Gaga Rencah menyerigai
menyeramkan. Kedua matanya nyalang me-
natap Wintara yang berusaha bangun
sembari mengusap darah dengan lengan.
"Begitulah seharusnya. Dari tadi
saja mengeluarkan Tinju Pasir Wesi'mu,
Gada Rencah. Biar perhitungan kita cepat
selesai" kata Wintara.
"Itu berarti kau ingin cepat-cepat
mampus!" bentak Gada Rencah.
"Atau malah sebaliknya!" Wintara
mengejek.
"Bangsat!" Gada Rencah murka.
"Weeees!"
Tendangannya bergerak cepat.
"Plaaak!"
Wintara menepis tendangan yang
demikian keras, tak urung tubuhnya pun
terhuyung. Sekali lagi tangan kiri Gada
Rencah melayang, dalam keadaan terhuyung
Wintara menyambut hantaman itu.
"Des!"
Wintara cepat merunduk. Lalu dengan
cepat ia melancarkan tinju ke arah perut.
Bersamaan dengan itu Gada Rencah
menendang ke atas. Maka keduanya
terpental. Gada Rencah memegangi
perutnya mundur beberapa langkah.
Wintara malah lebih parah. Setelah
mental, tubuhnya masih bergulingan tak
terkendali.
Gada Rencah mengira, pastilah
lawannya itu sekarat setelah mendapat
tendangan di bagian dagu. Maka sengaja ia
tidak menyerang lagi. Di luar dugaan,
tubuh Wintara yang tadi bergulingan
tiba-tiba saja mencelat ke atas.
Kemudian hinggap di tanah dengan
gerakan-gerakan aneh. Belum pernah Gada
Rencah melihat kembang-kembang jurus
seperti itu. Ia pun kaget luar biasa
ketika mendadak Wintara menerjang. Dalam
kewaspadaannya, Gada Rencah menyambut
dengan sebuah hantaman.
"Deeees!"
Tepat mengenai pundak. Wintara pun
sempat pula melancarkan pukulannya ke
samping muka. Lalu sekali lagi telapak
tangan Wintara memutar menampar keras
kuping. Gada Rencah terhuyung, kemudian
ia jatuh bergulingan sambil menjerit.
"Arghhhh!" Kedua tangan memegangi
kupingnya. Tubuhnya berkelojotan hebat.
Wintara sendiri sudah tidak dapat menye-
rang lagi. Ia masih merasakan sakit
akibat hantaman tadi yang bersarang di
pundaknya.
Seorang perempuan muda berlari ke
luar dengan pedang terhunus. Kedua
matanya membelalak lebar. Wintara yakin
perempuan itu adalah Maladewi. Yaaah,
Maladewi! Bagi Wintara, dua tahun belum
cukup untuk melupakannya. Perempuan itu
terus berlari ke arah Gada Rencah yang
sudah bangkit berdiri. Lalu dengan sadis
ia membabatkan pedangnya berkali-kali di
tubuh Gada Rencah.
"Craaak! Craaaak! Craaak! Craaak!"
Babatan-babatan pedang mengoyakkan
pakaian Gada Rencah. Orang itu sendiri
masih berdiri tegar. Tidak setetes darah
pun yang keluar dari tubuhnya. Gada
Rencah menggeram, pakaiannya yang
terkoyak dihempaskannya. Peremuan itu
ketakutan. Lengannya yang memegang
pedang gemetar. Wintara cepat melompat,
tapi Gada Rencah menendang lebih
dulu....
"Bug!"
Wintara ngusruk! Mulutnya menyembur
darah lagi.
Gada Rencah menarik tubuh perempuan
itu. Lalu tinjunya dilepaskan keras
menghantam wajah yang penuh ketakutan.
"Des!"
"Dewiiiiiii...." Wintara memekik.
Terlihat jelas wajah perempuan itu
mengucurkan darah. Sekali lagi tinju
Gada Rencah menghantam. Kali ini di
bagian dada. Kontan tubuh ramping itu
mencelat. Wintara melompat menyambar.
Maka tubuh perempuan itu jatuh ke dalam
pelukkannya.
"Dewi...! Dewi...! Dewiiiii!"
Wintara mengguncang-guncang tubuh itu.
"Aku mendengar seruanmu, Win. Aku
dengar. Ohkk... Maafkan aku" Wintara
merebahkan tubuh Maladewi. Wintara
memeluk erat.
"Aku sendiri tidak percaya kalau kau
masih hidup" Kedua kelopak mata Maladewi
sayu, Wintara memeluknya semakin erat.
"Kau masih ingat dengan apa yang kau
ucapkan dulu? Kau boleh kehilangan jasad
dan jiwaku. Ta-ta-tapi kau tidak boleh
kehilangan namaku. K-k-kau masih ingat?"
kata-kata Maladewi makin hanyut perla-
han.
"Tidak, Dewi! Kau tidak boleh mati.
Kau tidak boleh meninggalkan aku!"
"Win.... Aku su-su-su-dah ti-tidak
tahan l-la-lag...?" Wajah Maladewi jatuh
ke dada Wintara. Matanya tertutup rapat.
Ram-butnya berderai tertiup angin.
Wintara mengangkat wajahnya. Tatapannya
geram mengarah pada Gada Rencah yang
masih berdiri menantang. Lengan kekarnya
meraih pedang dalam genggaman Maladewi.
Lalu ia berdiri menuding dengan pedang
itu.
"Manusia busuk. Sekalipun kau
memiliki ilmu kebal, Aku tidak gentar.!"
kata Wintara mengambil langkah-langkah
jurusnya.
"Manusia yang mau mampus biasanya
memang banyak omong. Majulah! Karena kau
memang musti mampus" Gada Rencah
melangkah maju. Disambut dengan babatan
pedang.
"Bret!"
Jelas sekali mata pedang itu
menyambar dada. Wintara merasakan mata
pedangnya menyentuh benda keras. Sebilah
pedang tidak begitu ampuh dibanding
dengan tangan kosong. Memang betul, Gada
Rencah lebih kewalahan menghadapi
Wintara tanpa bersenjata. Sekalipun Gada
Rencak menguasai ilmu kebal, Wintara
berpendapat pasti ada kelemahannya.
Hanya saja ia belum menemukan. Selama ini
pula Wintara menggempur menjejaki setiap
jengkal tubuh Gada Rencah.
Meski menyadari kehebatan pukulan
'Tinju Pasir Wesi', Wintara sudah tidak
perduli lagi. Dan di saat Gada Rencah
menghantam,
"Des...!"
Tulang iga Wintara terasa copot.
Tubuhnya mundur terdorong. Gada Rencah
melesat kembali melancarkan dua tinjunya
berturut-turut Wintara memutar
lengannya.
"Splaaak!"
Pukulan-pukulan itu bergulir
melesat. Pedangnya yang masih digenggam
membersit. Menghantam kedua lengan Gada
Rencah. Lalu dengan cepat Wintara
mendorong tendangannya ke samping kiri.
"Des!"
Gada Rencah memekik. Pinggangnya
berdenyut. Ia mulai mengakui kehebatan
pemuda itu. Dua tahun lamanya telah
merubah keadaan lawannya memiliki daya
tahan yang sangat luar biasa. Yang lebih
heran lagi, pemuda yang mengenakan kulit
binatang ini jauh lebih tangkas
dibanding dua tahun yang lalu.
Di saat Wintara melancarkan
tendangan memutar ke atas, Gada Rencah
segera merunduk, kedua telapak tangannya
cepat me-nutup telinga. Selintas Wintara
teringat ketika ia menampar keras
sebelah telinganya. Gada Rencah ambruk
bergulingan. Kenapa baru sekarang
Wintara menyadari. Sudah pasti di
situlah letak kelemahannya. Wintara
menarik nafas panjang, kemudian ia
melompat dengan babatan-babatan pe-
dangnya.
"Bwet...! Bwet...! Bwet...!"
Gada Rencah menyambut dengan mengi-
baskan kedua lengannya. Maka
babatan-babatan pedang itu menyentuh
lengan-lengan Gada Rencah yang keras
membatu. Malah sebelah lengannya
berhasil menggenggam bilah pedang yang
tajamnya bukan main.
Sekuat tenaga Wintara menariknya,
tapi telapak tangan Gada Rencah
mencengkeram erat batang pedang lebih
kuat menekuk.
"Trak!"
Pedang dalam genggaman Wintara
patah dua. Tendangan Wintara keras
terarah. Gada Rencah melancarkan pukulan
'Tinju Pasir Wesi' mengarah pada kaki
Wintara yang masih melesat memutar.
Sebelumnya hantaman itu mengena, Wintara
menarik kakinya. Sebelah kakinya yang
masih menginjak tanah menghentak membuat
tubuh Wintara melesat ke atas. Gada Ren-
cah cukup terperangah, ia tidak sempat
meninju ke atas. Sebab Wintara telah
melancarkan kedua kakinya menghantam
telinga kanan dan kiri Gada Rencah.
"Waaaaaaaaaark!" pekikannya
dahsyat sekali. Wintara yang masih
berada di atas langsung menukik bagai
sebatang tonggak.
"Breeeeees!"
Pedangnya yang penggal menembus ke
pusar menerobos ke tulang belakang. Lalu
keduanya bergulingan, Wintara berguling
dua kali, kemudian ia bersalto langsung
berdiri tegak. Gada Rencah bergoseran di
tanah. Darahnya telah membanjir di
sekujur tubuhnya yang telanjang dada.
Debu-debu bersatu dengan keringat yang
mulai membanjir pula. Gada Rencah terus
berteriak penuh kesakitan.
"Waaaaaaaaaark!"
Wintara sendiri menatap ngeri. Dan
saat Gada Rencah bangkit lagi dengan mata
melotot, Wintara siap melancarkan
serangan. Tapi tidak, Gada Rencah ambruk
lagi dengan nafas yang terputus.
Ki Sapta Nrenggana masih mengerang
kesakitan. Sebelah pangkal lengannya
yang kutung tergenang darah. Ia tidak
dapat bangun. Lengan kirinya yang mati
akibat tendangan Kyai Sempar pada dua
tahun yang lalu membuatnya lumpuh. Ia pun
takut sekali memandang Wintara yang
berdiri menatap sinis. Sebenarnya bisa
saja Wintara langsung membunuh, tapi
kelihatan keadaan Ki Sapta Nrenggana
sudah demikian parah, Wintara jadi
terenyuh. Ia menjadi tidak tega. Maka ia
sengaja mengampuninya dan berjalan ke
arah di mana tubuh Maladewi terkapar.
Mang Bayan yang sedari tadi
menyaksikan pertarungan itu di balik
pintu gerbang bersama orang-orang
kampung lainnya berlari masuk. Ia
menemukan yang masih menatap tubuh kaku
terbaring pucat. Wintara sendiri
menyadari akan kehadiran Mang Bayan.
Orang-orang kampung Tapis Ledok
tidak ada yang berani mendekat. Mereka
hanya menyaksikan dari jauh berderet di
belakang.
"Mang.... Tolong urus mayat Malade-
wi. Juga orang-orang itu. Kubur mereka
sebagaimana mestinya" kata Wintara,
pandangannya masih tertuju pada paras
yang cantik mempesona.
"I-I-Iya, Den. Biar nanti mamang
minta bantuan pada orang-orang kampung,
kebetulan mereka ada di sini semua" kata
Mang Bayan terbawa arus kesedihan.
"Setelah itu kembalilah pulang ke
Karang Hampar. Uruslah rumah seperti du-
lu, sayang kalau tidak dirawat. Rumah itu
untukmu, Mang" kata Wintara setengah
membisik.
"Den Wintara tidak kembali ke Karang
Hampar?" tanya Mang Bayan.
Wintara menggeleng, lengannya
memeluk pundak Mang Bayan.
"Sebuah rumah sudah tidak berarti
lagi bagiku, Mang. Selama dua tahun lebih
pengaruh lingkungan alam bebas telah
menempa hidupku. Dan ternyata aku menyu-
kai adanya kebebasan. Aku khawatir di
desa-desa lain masih ada suasana yang
terbelenggu dengan kezaliman. Untuk itu,
aku mengemban tugas menumbangkan semua
kebatilan maupun kezaliman. Mudah-
mudahan saja aku sanggup"
"Den Wintara hendak berkelana? Itu
berbahaya sekali, Den" kata Mang Bayan.
"Aku akan berusaha menghadapi semua
rintangan-rintangan itu, Mang"
Banyak orang kampung berdatangan
mendekat. Mereka mengangkat satu persatu
mayat-mayat itu dengan perasaan jijik.
Mang Bayan memapah tubuh Maladewi.
Ki Sapta Nrenggana merintih-rintih
memohon pertolongan, tapi tak satu orang
pun yang mau perduli. Ia baru merasakan
beta pa pahit dan busuk dirinya. Apalagi
ia tidak dapat mengangkat dirinya
sendiri.
Mang Bayan berjalan paling depan. Ia
menoleh ke belakang. Mencari sesuatu.
Orang yang berada di belakangnya pun
mengikuti menoleh ke belakang. Tiba-tiba
Mang Bayan berbalik melangkah.
Teman-temannya jadi terheran-heran. Ia
kembali memasuki halaman gedung itu.
Mereka baru menyadari, seseorang
telah raib menghilang di antara mereka.
Yaaaah... Wintara sudah tidak
nampak lagi. Maka tempat itu menjadi riuh
seketika. Mang Bayan menghela nafas.
Wintara... Pendekar Kelana... Pendekar
Kelana... Pengelana Sakti mengelana...
Menghadapi resiko yang penuh bahaya...
Katanya dalam hati.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar