..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 29 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE SILUMAN HARIMAU KUMBANG

Siluman Harimau Kumbang

 

SILUMAN HARIMAU KUMBANG

Oleh D. Affandi

Cetakan Pertama, 1991

Penerbit Mutiara, Jakarta

Hak Cipta Pada Penerbit

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

D. Affandi

Serial Pendekar Hina Kelana

Dalam Episode 013:

Siluman Harimau Kumbang


SATU


Batu Siwak sesungguhnya masih merupakan 

anak Gunung Singkang Lelembut. Dikatakan anak gu-

nung adalah karena kemunculannya di permukaan 

bumi ini setelah ratusan tahun kemudian. Dilihat se-

pintas lalu kedua gunung yang menjulang ke angkasa 

dengan ketinggian ribuan meter ini. Nampak seperti 

gunung kembar saja layaknya. Namun walaupun ke-

munculan Gunung Batu Siwak setelah kemudiannya. 

Tetapi kalangan persilatan lebih mengenal gunung itu 

daripada induknya Gunung Singkang.

Apa pun yang dikenal oleh kaum persilatan ten-

tang Gunung Batu Siwak selama puluhan tahun, ada-

lah karena gunung ini menyimpan seribu satu macam 

misteri yang selama ini belum pernah terungkap.

Lereng Gunung Batu Siwak yang sangat curam 

kemudian diakhiri sebuah lembah memanjang. Hampir 

setiap tahunnya sering dilanda guncangan gempa yang 

sangat hebat. Pemandangan di sekitar lembah hanya-

lah rengkahan batu gunung dan juga tanah-tanah 

yang menganga lebar yang tak terukur kedalamannya.

Tak satu makhluk hidup pun yang tinggal di 

sana, kalaupun ada kebanyakan tak akan dapat ber-

tahan lama menghadapi keganasan alam yang tak per-

nah ramah. Walaupun Gunung Batu Siwak dikenal se-

bagai daerah yang terkenal angker dan menyimpan se-

ribu satu macam misteri. Tapi bukan berarti tak seo-

rang pun yang berani memasuki daerah itu. Banyak 

orang-orang pemberani atau sekedar nekat dengan di-

dasari rasa penasaran, berkeliaran di sana.

Sebegitu jauh, selain rasa penasaran dan kein-

gintahuan mereka tidak terjawabkan namun juga me


reka tak pernah kembali. Tak seorang pun yang berani 

melakukan pencaharian kerabatnya, perguruan mau-

pun saudara dekat mereka. Mereka hanya mampu 

berharap dan berdoa, semoga mereka-mereka yang hi-

lang itu suatu saat akan kembali ke dalam pangkuan 

keluarga. Penantian yang sia-sia!

Rasa penasaran ini kiranya tidak bisa terhenti 

dengan hilangnya orang-orang terdahulu. Terbukti pa-

gi itu nampak sosok tubuh berkelebat ringan menjarah 

daerah itu.

Gerakannya yang sedemikian cepat, lincah dan 

gesit menandakan bahwa laki-laki berpakaian bangsa-

wan itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah 

mencapai taraf yang sangat sempurna. Bagai terbawa 

hembusan angin saja, laki-laki itu kemudian telah 

menghilang dari pandangan mata.

Sementara itu jauh tertinggal di belakangnya 

nampak puluhan orang dengan senjata terhunus, se-

dang melakukan pengejaran. Orang-orang berpakaian 

seragam hijau dengan simbol kepala burung walet me-

rah itu terus melakukan pengejaran terhadap laki-laki 

berpakaian bangsawan yang tak terlihat dari pandan-

gan mereka. Pada saat itu mendadak terdengar benta-

kan.

"Hentikan...!"

Bagai dikomando secara serentak orang berse-

ragam hijau itu pun menghentikan larinya. Kemudian 

mereka menoleh! Maka nampaklah oleh mereka seo-

rang penunggang kuda tak jauh di belakang mereka.

Melihat dari warna pakaian yang dipakainya 

tak salah kalau laki-laki berbadan tinggi kurus ini me-

rupakan pemimpin dari Perguruan Walet Merah.

Saat itu si penunggang kuda putih memandang 

lurus pada jalan yang dilewati oleh si laki-laki berpa


kaian bangsawan tadi. Begitu cepat Rajenta menghi-

lang dalam pengejaran itu. Padahal lima orang mu-

ridnya adalah merupakan murid-murid kelas satu 

yang ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat 

yang tinggi. Saat itu salah seorang muridnya dengan 

sikap hormat menegur:

"Guru...! Mengapa guru menghentikan kami...?"

Pimpinan Walet Merah yang bernama Jali Saji-

wa itu kemudian berucap pelan namun penuh peringa-

tan:

"Orang itu telah memasuki Lembah Gunung 

Siwak, sekarang kita telah berada di perbatasannya. 

Lebih baik kita tak usah ke sana. Aku yakin dia pasti 

tak bakal dapat keluar hidup-hidup dari sana." kata 

Luga Kencana ketua pemimpin Partai Perguruan Walet 

Merah, merasa sangat yakin sekali.

"Tapi, Ketua! Orang itu telah membunuh sekian 

banyak orang dari perguruan kita. Masakan kita harus 

membiarkannya lolos begitu saja?" protes yang lain-

nya.

"Hei... kalian pada tolol semua? Rajenta telah 

minggat menyongsong ajal mengapa kita harus mem-

burunya? Lembah Gunung Batu Siwak pasti akan 

mengubur hidup-hidup Rajenta. Dan kematiannya tak 

perlu kita fikirkan...!"

"Mari kita kembali ke perguruan...!" sambung-

nya pula setelah beberapa saat setelah murid-murid 

Walet Merah hanya diam saja.

Tak lama kemudian dengan didahului oleh ke-

tuanya yang menunggang kuda. Murid-murid dari Per-

guruan Walet merah mengikutinya dari belakang den-

gan hanya berjalan kaki saja.

Sementara itu Rajenta yang sudah terlalu jauh 

memasuki Lembah Gunung Batu Siwak masih belum


menghentikan kecepatan ilmu larinya yang sangat luar 

biasa. Sambil menghindari rengkahan-rengkahan ta-

nah yang menganga lebar dan tak terukur dalamnya, 

tubuh laki-laki berpakaian bangsawan itu terus mele-

sat bagaikan meteor.

Begitulah yang dia lakukan secara terus mene-

rus. Sampai saat kemudian secara tiba-tiba dia meng-

hentikan langkah. Kedua matanya membelalak tak 

percaya. Di depan Rajenta nampak sebuah rengkahan 

yang sangat luar biasa lebarnya. Mungkin lebih dari 

lima belas tombak lebarnya, atau bahkan lebih. Reng-

kahan tanah yang miring dengan jurang yang sangat 

dalam dan gelap di bagian dasarnya tak mungkin un-

tuk dilalui dengan sekali lompatan saja.

Namun apabila dia memandang ke seberang 

rengkahan tanah yang menganga lebar itu. Hatinya le-

bih tergetar lagi. Sebuah Patung Harimau Kumbang 

atau tepatnya sebuah arca dan tulang belulang berse-

rakan bekas kerangka mayat manusia. Itulah yang di-

lihat saat itu.

Pandangan matanya lebih dia pertajam lagi. 

Mengherankan, sungguhpun tanah-tanah di sekeliling 

sudah berlongsoran tiada berketentuan. Tapi mengapa 

area itu tidak roboh terkena guncangan gempa yang 

sering terjadi di daerah itu. Padahal setiap orang tahu 

bahwa hampir setiap tahun sekali daerah itu selalu di-

guncang gempa bumi yang sangat hebat. Dan patung 

Arca Harimau Kumbang itu seperti tak pernah terusik 

dengan kejadian alam yang sering beruntun terjadi di 

tempat itu. Seolah ada tangan-tangan gaib yang mem-

pertahankan keberadaannya. Dan apabila dia melihat 

tulang-tulang berserakan di sekeliling arca itu, Rajenta 

semakin bertambah heran dan diliputi rasa ketidak 

mengertian. Mereka tewas tiada yang menguburkan


nya. Hal itu sudah lumrah dan dapat dimaklumi, na-

mun apa yang menyebabkan mereka tewas? Itulah 

yang tidak dimengerti oleh Rajenta. Dia bergidik sendi-

ri. Namun rasa penasaran membuat dia mulai memi-

kirkan jalan lain untuk dapat sampai ke sana. Tak ayal 

lagi dia mulai mengitarkan pandangan matanya ke se-

keliling tempat itu. Mengerikan!

Mendadak Lembah Gunung Batu Siwak terasa 

tergetar, selanjutnya terdengar suara bergemuruh ba-

gai tanah di lereng bukit yang hendak longsor. Rajenta 

terkesiap, tubuhnya gemetar dan mulai terguncang ke-

ras. Bahkan saat itu matanya sudah terpejam, siap-

siap untuk menerima kematian.

Namun setelah menunggu sekian lamanya, dia 

merasakan tak ada batu gunung yang menimpa kepa-

lanya, tidak juga longsoran tanah yang mengubur tu-

buhnya dalam suasana takut mencekam. Sebaliknya 

dia merasakan tanah tempat dia berpijak bergerak ce-

pat ke satu arah. Seolah di bawahnya ada kekuatan 

yang sangat dahsyat berusaha menggeser tanah itu 

dari satu tempat ke tempat yang lainnya.

Sampai sejauh itu Rajenta masih belum berani 

membuka matanya yang terpejam. Hanya dengan pe-

rasaan sajalah dia melihat apa yang sedang terjadi. 

Padahal andai saja saat itu dia melihat kejadian yang 

sesungguhnya, sudah barang tentu dia akan dibuat 

terbelalak atau bahkan mungkin kaku pingsan karena 

tak kuat melihat pemandangan yang sangat ganjil.

Kejadian yang sesungguhnya saat itu, Arca Ha-

rimau Kumbang yang diam tegak bagaikan patung, 

nampak mengerjap-ngerjapkan matanya. Pada bagian 

tubuhnya bergetar seolah tersentak dan menggeliat 

terjaga dari sebuah tidur yang teramat panjang. Mata 

Arca Harimau Kumbang itu menatap tajam pada Ra


jenta yang masih tetap memejamkan matanya. Sepa-

sang mata arca yang sangat tajam dan menyimpan ke-

buasan itu terus memandang ke arah bumi tempat Ra-

jenta berada. Sinar merah mengkilap tersebut seperti 

menyimpan sebuah kekuatan gaib. Menggeser lebih 

cepat lagi tanah yang terpisah membentuk sebuah ju-

rang. Semakin lama tebing-tebing rengkahan itu se-

makin mendekat sesamanya, sehingga pada saat yang 

tak terukur kecepatannya. 

"Bum!"

Tebing yang satu dengan tebing rengkahan 

lainnya menyatu kini. Dengan hati diliputi keinginta-

huan Rajenta buka kedua matanya. Jarak antara dia 

dengan Arca Harimau Kumbang hanya tinggal dua 

tombak saja. Sangat mengherankan dan sekaligus 

membuat nyalinya menciut. Rasa keheranan itu ke-

mudian telah memaksanya untuk berani memandang 

para Arca Harimau Kumbang yang saat itu juga sedang 

menatap tajam padanya. 

"Serr!"

Jantung terasa bagai terhenti dari denyutnya, 

area itu bagaimana mungkin bisa memandang pa-

danya sebagaimana makhluk hidup adanya? Selanjut-

nya terdengar pula suara auman yang terasa mengge-

tarkan seisi lembah. Menggoyahkan lutut Rajenta yang 

terpana dalam ketakutan yang teramat sangat. Auman 

panjang itu kemudian terhenti. Lalu menggema suara 

seorang laki-laki yang tidak terlihat keberadaannya.

"Ha... ha... ha...! Selamat datang di Lembah Ha-

rimau Kumbang, Rajenta...! Kau merupakan orang 

yang beruntung untuk bergabung dengan kami!"

Rajenta terdiam di tempatnya berpijak. Dia me-

rasa heran mengapa suara itu dapat mengenali na-

manya. Dan yang lebih mengejutkan lagi ketika suara


itu kembali berkata:

"Siapakah anda orang tua yang mulia...?" tanya 

Rajenta harap-harap cemas. Suara serak macam au-

man harimau itu kembali tertawa ganda. Sesaat sete-

lah suara tawanya terhenti. Maka terdengar pula uca-

pannya kembali.

"Aku merupakan majikan Lembah Gunung Ba-

tu Siwak yang ganas ini, Rajenta. Sudah sangat lama 

aku memerlukan kehadiran orang-orang sepertimu...!"

Rajenta melengak, dia tidak tahu apa maksud 

dari ucapan suara itu.

"Aku tidak tahu apa maksudmu?"

"Rajenta, bukankah kau bekas seorang bang-

sawan yang kini telah jatuh melarat! Engkau seorang 

bekas saudagar, tapi seluruh harta mu telah digarong 

habis oleh para iblis dari Lembah Weling. Anak istrimu 

telah pula mereka culik. Tidak cukup sampai di situ, 

berbagai perguruan yang ada malah memburumu, ka-

rena menganggap engkaulah dalang pencurian Arca 

Emas Harimau Kumbang yang menjadi lambang persa-

tuan dari kaum bergolongan lurus...!" Suara itu berka-

ta secara panjang lebar. Sehingga membuat Rajenta 

terpana dengan mulut menganga lebar. Rajenta benar-

benar merasa sangat heran, bagaimana mungkin suara 

yang belum pernah dikenalnya itu bisa tahu sedemi-

kian banyak apa yang telah menimpa diri dan keluar-

ganya.

"Tapi aku sendiri merasa tak pernah menjadi 

tukang tadah Arca Harimau Kumbang yang sangat 

menghebohkan itu. Sungguh, orang tua, aku tak per-

nah melakukannya. Bahkan aku sendiri merasa heran 

bahwa area itu kini telah berada di sini dengan bentuk 

yang lebih besar lagi."

"He... he... he...! Yang kau lihat memang benda


yang sama, Rajenta. Tetapi di depanmu itu bukan are-

ca yang hilang itu. Arca raksasa Harimau Kumbang 

yang kau saksikan itu sesungguhnya jalan menuju 

pintu masuk memasuki ruangan istana di bawah ta-

nah. Mulut arca itu akan membuka apabila kau mau 

menekan bagian matanya sebelah kanan...!"

"Tetapi begitu mudahkah kau mengizinkan aku 

masuk? Lalu untuk apa...?" tanya Rajenta merasa bin-

gung dalam ketidak mengertiannya.

"Rajenta! Dari sekian banyak dari mereka yang 

pernah memasuki daerah terlarang ini. Hanya kau seo-

rang yang kubiarkan hidup?! Aku menaruh harapan 

padamu. Dengan maksud agar kau dapat mencari Area 

Harimau Kumbang yang telah hilang itu...!"

"Aku masih belum mengerti apa yang kau in-

ginkan, Orang tua yang mulia!" kata Rajenta semakin 

bertambah bingung.

"Rajenta, Rajenta! Tahukah kau bahwa Arca 

Harimau Kumbang itu andai sampai jatuh ke tangan 

orang-orang sesat, maka malapetaka yang sangat be-

sar tak mungkin dapat menimbulkan malapetaka di 

mana-mana. Siapa pun yang menguasai arca itu se-

waktu-waktu dapat merubah ujudnya menjadi Silu-

man Harimau Kumbang yang sangat ganas!" menukas 

suara serak macam auman harimau itu menjelaskan.

Rajenta tertegun, sama sekali dia tiada me-

nyangka kalau area tersebut dapat menyebarkan ma-

lapetaka. Namun dia juga merasa masih ragu dengan 

keterangan yang diberikan oleh suara tersebut.

"Orang tua, dari mana engkau bisa tahu bahwa 

arca tersebut dapat menyebarkan maut di mana-

mana?"

Terdengar suara mengekeh mengikuti ucapan-

nya yang semakin bertambah serak saja.


"Mengapa aku tak tahu? Sebab dari lembah in-

ilah arca itu berasal, ratusan tahun yang lalu area itu 

pernah dicuri oleh seorang tokoh sesat, sehingga 

membuat kutuk buyut guruku menjadikan daerah ini 

dilanda malapetaka, karena murid-muridnya tak ada 

yang berhasil membawa pulang arca yang telah hilang 

itu...!"

Akhirnya mengertilah Rajenta, kiranya Arca Ha-

rimau Kumbang yang telah membuat berantakan ru-

mah tangganya itu rupanya berasal dari Lembah Gu-

nung Batu Siwak. Dia terhenyak, mendadak teringat 

pula olehnya pada anak istrinya yang dengan cara 

paksa dibawa lari oleh Jali Sarjiwa dan orang-orangnya 

ke Lembah Weling. Saat itu Rajenta yang memiliki ke-

pandaian sangat tinggi saja dapat dikalahkan oleh pa-

ra iblis dari Lembah Weling. Bahkan kalau tidak mela-

rikan diri dia sudah tak tahu bagaimana nasibnya. Wa-

laupun saat itu dia merasa tak sampai hati untuk me-

ninggalkan istri dan anaknya, namun bukan berarti 

dia merupakan seorang laki-laki yang tiada memiliki 

tanggung jawab. Baginya alangkah baiknya dia menye-

lamatkan diri terlebih dahulu, baru kemudian setelah 

segala bekal ilmu silat yang dimiliki benar-benar di 

atas lawannya, maka di situ Rajenta mulai mengada-

kan perhitungan. Tapi dia juga harus mulai belajar se-

suatu yang tak pernah dimilikinya selama ini. Menda-

dak dia kembali memandang pada Area Harimau 

Kumbang dan kembali berkata:

"O... orang tua yang mulia! Bolehkah aku men-

jadi murid di sini...?" tanya Rajenta dengan suara ge-

metar. Suara tanpa rupa itu kembali tergelak-gelak.

"Kau terlalu banyak disakiti orang, Rajenta! 

Engkau bukan saja hanya sekedar menjadi seorang 

murid, tapi juga kujadikan seekor Siluman Harimau


Kumbang yang handal."

"Ja... jadi aku akan kau jadikan seorang silu-

man selamanya, ah... mungkinkah aku sanggup me-

nurutmu?" tanya Rajenta setengah meragu.

"Tidak, Rajenta! Hanya dalam waktu-waktu ter-

tentu saja kau dapat merubah ujud mu. Setelah kau 

menjadi siluman. Tak seorang pun yang dapat menga-

lahkan kau...!" menyambung suara tanpa rupa itu 

kembali.

"Sekarang kau berjalanlah menuju Istana Indah 

di bawah tanah. Tekan bagian mata sebelah kanan 

Area Harimau Kumbang...!" perintah suara itu. Rajenta 

tak berniat membantah. Dengan langkah mantap, ak-

hirnya mendekati Area Harimau Kumbang. Lalu sete-

lah menekan bagian mata kanan area itu, maka tak 

lama setelahnya bagian mulut itu menganga, dari sana 

Rajenta melangkahkan kaki kembali. Semakin ke da-

lam dan terus ke dalam.

* * *

DUA



Cahaya lampu minyak yang menerangi seisi 

warung itu hanya kelihatan remang-remang saja. Sua-

sana di sekeliling warung dan deretan desa nelayan 

Sungai Sembilang sunyi mencekam. Tiada terlihat ca-

haya rembulan maupun kerlip bintang-bintang di ang-

kasa lepas. Langit mendung, walaupun hujan belum 

juga turun. Setidak-tidaknya sampai saat itu.

Suasana di dalam warung nampak lebih men-

cekam lagi, tiada terdengar orang yang bicara walau 

barang sepatah kata pun. Sungguhpun saat itu nampak beberapa orang sedang melewatkan makan ma-

lamnya di tempat itu.

Sementara itu pemilik warung yang boleh dibi-

lang cukup lumayan, kelihatan duduk terpaku di bela-

kang gerobak yang berisi makanan dagangannya. Wa-

jah menunduk, menandakan bahwa dia merasa sangat 

ketakutan sekali.

Sesekali matanya melirik pada dua orang ber-

topi lebar yang mirip topinya para nelayan. Dua orang 

berwajah angker itu terus meneguk tuak yang berada 

di dalam bumbung di depan mereka. Sudah berpuluh-

puluh bumbung tuak itu mereka teguk, sejauh itu ma-

sih belum kelihatan adanya tanda ingin mabuk. Hanya 

mata mereka saja yang semakin merah. Bicaranya ka-

cau, mengatakan sesuatu yang tak jelas.

Kedua orang itu terus tenggelam dalam im-

piannya. Tanpa menghiraukan orang-orang yang bera-

da di warung itu.

Siapakah dua tokoh misterius berumur empat

puluhan dengan sebilah pedang panjang yang mengge-

lantung di pinggangnya masing-masing itu? Rimba 

persilatan mengenal mereka dengan julukan si Kembar 

Pedang Dewa dari Pulau Bawean. Tokoh sesat yang 

sering berkelana dengan sepak terjangnya yang dapat 

membuat lawan maupun kawan terasa takluk pa-

danya.

Mereka memang sering berada di daerah Ne-

layan Sungai Sembilang. Justru karena mereka sering 

mendengar desas desus adanya Arca Harimau Kum-

bang yang sangat menghebohkan itu. Jauh-jauh mere-

ka datang menyeberang laut dari tempat kediaman me-

reka di Pulau Bawean. Pada saat lain mereka berhasrat 

untuk memiliki arca itu namun sejauh itu masih be-

lum juga dapat keterangan di tangan siapakah Arca


Harimau Kumbang itu berada. Hal itulah yang mem-

buat mereka semakin bertambah penasaran. Arca Ha-

rimau Kumbang adalah lambang persatuan kaum go-

longan lurus, dan yang ada di hati mereka, andai saja 

mereka dapat menguasai arca itu. Bukan tidak musta-

hil semua kaum golongan putih berada dan tunduk di 

bawah pengaruh mereka.

Sementara itu tidak begitu jauh dari warung 

tempat si Kembar Pedang Dewa sedang duduk mere-

nung sambil menikmati tuaknya. Nampak seorang pe-

muda dengan pakaian merah, namun sudah kumuh 

berjalan melenggang menuju ke arah warung.

"Sebaiknya aku singgah ke warung itu. Sejak 

siang tadi perutku sudah berkerukukkan minta diisi. 

Mungkin di sana juga ada dendeng ikan lumba-lumba 

kesukaan ku!" gumam pemuda berwajah tampan itu 

tanpa merubah langkahnya.

Sekejap kemudian dia telah berada di dalam 

warung itu, setelahnya dia duduk di sebuah kursi yang 

terletak di sebelah pintu depan. Sesaat dia menyapu 

pandang pada seisi warung, juga pada beberapa gelin-

tir manusia yang berada dalam ruangan. Manakala 

matanya membentur pada sosok si pemilik warung 

yang diam merunduk di belakang gerobak makanan, 

maka dia segera memanggilnya.

"Bapak pemilik warung...!" Tanpa melanjutkan 

ucapannya. Si pemuda tampan, atau Pendekar Hina 

Kelana melambaikan tangannya. Pemilik warung itu 

datang menghampiri. Walaupun sesungguhnya dia me-

rasa enggan karena rasa takut masih menyelimuti ha-

tinya. Sebaliknya walaupun suara Buang Sengketa 

sangat lirih, namun cukup didengar oleh dua bertopi 

lebar ini. Kedua orang itu memandang kehadiran pe-

muda dari Negeri Bunian sekilasan saja. Pada saat itu


Buang Sengketa tanpa menghiraukan pandangan sinis 

si Kembar Pedang Dewa terus menyampaikan apa yang 

diinginkannya pada pemilik warung yang sudah berdiri 

dengan sikap ketakutan di depannya.

"Tuan mau pesan apa...?" tanya pemilik warung 

yang sudah berusia lanjut ini. Setengah berbisik, Pen-

dekar Hina Kelana bertanya:

"Dendeng ikan lumba-lumba dan sebumbung 

tuak yang sudah lama tersimpan! Ada tidak...?" tanya 

pemuda itu sopan.

"Semuanya ada, tapi maaf, Tuan... khusus ma-

lam ini kami tak bisa melayani tamu yang manapun 

terkecuali kedua orang itu...!" Lirih suara pemilik wa-

rung, sementara sudut matanya melirik pada dua 

orang berwajah angker.

Buang Sengketa terdiam, sejurus dia memper-

hatikan pemilik warung yang berdiri menggigil di de-

pannya. Mungkin kedua orang itu telah mengancam 

pemilik warung itu, sehingga laki-laki itu dicekam rasa 

ketakutan yang teramat sangat. Selanjutnya dengan 

suara yang sengaja dikeraskan dia pun berkata:

"Pak tua, apakah kau bisa menunjukkan pada-

ku di mana ada warung lagi selain di tempat ini?"

Maka semakin bertambah menggigillah pemilik 

warung itu dibuatnya. Sementara si Kembar Pedang 

Dewa sudah memanggil pemilik warung.

"Pak tua. Cepat kau sediakan lagi tuak dan se-

luruh makanan yang tersisa!" perintah salah seorang 

dari laki-laki kembar itu setengah marah.

"Maaf, Tuan. Aku harus melayani mereka. Le-

bih baik tuan cari saja sendiri, jangan tuan berlama-

lama di sini. Orang itu bisa membahayakan keselama-

tan tuan...!" kata pemilik warung dengan perasaan 

was-was.


"Pelayan! Apakah kau ingin agar kami menghu-

kum mu. Jangan kau hiraukan gembel itu. Kalau dia 

ingin makan beri saja makanan sisa bekas anjingmu di 

belakang sana, cepat...!" bentak salah seorang si kem-

bar yang berbadan gemuk pendek.

Saat itu si pemilik warung dengan sangat terge-

sa-gesa segera mengambilkan semua makanan dan 

bumbung tuak yang masih tersisa, lalu dengan cepat 

pula dia menghidangkan tuak berikut makanannya di 

atas meja tempat kedua laki-laki kembar berada.

Pemilik warung itu baru saja bermaksud me-

langkah menghampiri Pendekar Hina Kelana, kala ter-

dengar suara bentakan lagi.

"Hendak ke manakah kau, Tua Bangka?

Kubilang kau ambil makanan bekas sisa anjing 

untuknya. Setelah itu usir dia pergi dari hadapan ka-

mi." teriak si Kembar Pedang Dewa mulai gusar.

Saat itu bukan main jengkelnya Pendekar Hina 

Kelana demi mendengar ucapan si Kembar yang sangat 

menghinanya itu. Namun dia masih berusaha berta-

han dan menahan kedongkolannya.

Selanjutnya dengan nada rendah, namun dipe-

nuhi kemarahan dia berkata pada pemilik warung:

"Lakukanlah apa yang dia inginkan, Pak tua!" 

ucapnya sambil menyorot tajam pada laki-laki tua ter-

sebut.

"Tapi, Tuan... makanan sisa itu sudah dua hari. 

Bahkan sekarang mungkin sudah menjadi busuk. Anj-

ing milik kami saja tak mungkin mau memakan maka-

nan itu, tetapi...!" Tiba-tiba laki-laki pemilik warung itu 

menjadi gugup, sehingga tak mampu meneruskan ka-

ta-katanya.

"Pelayan, lakukanlah perintah kami. Mungkin 

kucing kurap itu sudah sedemikian laparnya. Maka


nan sisa anjing pun dia tidak menolak...!" kata salah 

seorang dari orang-orang kembar itu sambil terkekeh-

kekeh.

Buang Sengketa masih tetap diam saja, namun 

wajahnya bertambah tegang. Sungguhpun pelayan itu 

merasa berat hati untuk mengerjakan apa yang dipe-

rintahkan oleh si kembar. Tapi apa daya, melawan ba-

ginya hanyalah merupakan kematian yang sia-sia. Pe-

milik warung itu akhirnya menghilang di balik pintu. 

Buang Sengketa menunggu dengan hati mendongkol.

Sementara itu si Kembar Pedang Dewa dengan 

sikap acuh terus meneguk tuaknya bumbung demi 

bumbung.

Tak sampai sepeminum teh, pemilik warung te-

lah kembali lagi dengan membawa sisa makanan bekas 

anjing yang sudah busuk. Buang Sengketa segera me-

nutup jalan nafasnya manakala tercium bau yang san-

gat memualkan perutnya itu.

"Tunggu apa lagi! Kami merasa terhormat un-

tuk mempersilahkan seorang gembel menikmati hidan-

gannya...!" Lagi-lagi terdengar suara yang benar-benar 

membuat Pendekar dari Negeri Bunian ini kehilangan 

kesabarannya.

Akhirnya tanpa bicara sepatah kata pun pemu-

da ini menggebrak mejanya. Nasi bekas yang sudah 

hampir menjadi bubur dan terletak di dalam sebuah 

waskom itu terlonjak dari atas meja. Selanjutnya den-

gan sekali sentilan saja, waskom itu melesat sede-

mikian cepatnya. Kejadian ini tentu tak pernah diduga-

duga oleh si Kembar Pedang Dewa yang sedang enak-

enakkan melahap makanan dan meneguk tuaknya. 

Hanya sekedipan mata saja waskom berisi nasi bekas 

itu sudah melabrak wajah salah seorang dari orang itu 

lalu semua isinya menumpah di wajah si tinggi gemuk.


Karuan saja semua kejadian itu membuat marah si 

Kembar Pedang Dewa ini. Lalu sambil membuang sisa-

sisa nasi yang melekat di wajahnya, si tinggi gemuk 

segera beranjak menghampiri Pendekar Hina Kelana. 

Setindak demi setindak dia melangkah melewati kursi 

dan meja. Melintasi ruangan tengah warung yang sa-

mar-samar cahayanya. Begitu sampai di depan Buang 

Sengketa orang itu meludah di lantai sebanyak tiga 

kali, selanjutnya memandang pada pemuda berpa-

kaian dekil dengan sorot mata diliputi kebencian.

"Bocah gembel! Siapakah engkau ini sehingga 

begitu berani melempar ku dengan makanan yang su-

dah busuk menjijikkan...?"

* * *

Buang Sengketa terdiam sesaat lamanya, wa-

jahnya menunduk. Namun bukan berarti dia tak tahu 

apa yang bakal terjadi selanjutnya. Dia sabar dan tetap 

sabar sebagaimana dipesankan oleh gurunya si Bang-

kotan Koreng Seribu (dalam episode: Utusan Orang-

orang Sesat).

"Bocah sial, kau jawab pertanyaanku atau kau 

lebih memilih untuk mampus secepatnya...!" gertak si 

tinggi gemuk sambil bertolak pinggang.

"Hemm... sombong sekali bicaramu, Manusia 

gembrot. Kau menghinaku sedemikian rupa, seolah 

kau sendirilah yang mampu membeli seisi warung ini. 

Masih untung nasi busuk itu hanya mengenai mata-

mu, tapi kalau sampai menyumbat mulutmu yang bu-

suk itu. Aku yakin semua orang yang ada di sini pasti 

menertawaimu...!"

"Celaka kau bocah gembel, punya kepandaian 

setahi kuku saja, tapi lagakmu sebakul...!" bentak si



tinggi gemuk lalu menggertakkan rahangnya.

Pendekar Hina Kelana tersenyum sinis, dia 

menduga bahwa orang itu merupakan sebangsanya go-

longan sesat yang sangat angkuh. Orang-orang sema-

cam itulah yang paling dia benci selama ini. Dan dia 

merasa

tak perlu memakai segala peradatan.

"Di mana pun aku berada, tak pernah sekali-

pun aku bertingkah di depan orang lain. Hanya kau 

sajalah yang sangat keterlaluan sekali...!"

Melihat perdebatan itu nampaknya si Kembar 

Gemuk Pendek sudah tak sabar lagi. Maka tak terta-

hankan lagi kini dia ikut menyela:

"Kakang. Agaknya dia tidak tahu siapa kita! 

Baiknya kita beri saja dia pelajaran yang setimpal atas 

kekurangajarannya...!"

"Mestinya akulah yang paling pantas memberi 

pelajaran pada kalian...!" tukas pemuda dari Negeri 

Bunian itu, sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak 

gatal.

"Sialan.... Heh...."

Masih dalam posisinya, si kembar gemuk tinggi 

mendorong meja yang berada di depan Pendekar Hina 

Kelana. Dia berharap dengan sekali dorong saja pemu-

da gembel pembawa periuk itu segera tergencet. Ka-

laupun tidak mati, setidak-tidaknya tulang iganya 

akan remuk berantakan.

Maka ketika dia mendorong meja itu, si tinggi 

gemuk sudah mengerahkan tiga seperempat tenaga da-

lamnya. Saat itu pemuda dari Negeri Bunian demi 

mengetahui lawannya bermaksud mencelakakan di-

rinya. Dia pun tidak tinggal diam, lalu dengan mene-

kan meja itu memakai sebelah siku kirinya, Buang 

Sengketa menahan meja itu demi menghindari agar di


rinya jangan sampai tergencet.

Tak dapat dihindari lagi saling dorong dan sal-

ing tekan itu pun terjadilah. Salah seorang dari Kem-

bar Pedang Dewa ini nampak terkejut sekali demi me-

lihat usahanya untuk menggencet pemuda tampan 

berpakaian kumuh masih belum juga mendatangkan 

hasil. Padahal saat berikutnya dia telah mengerahkan 

seluruh tenaganya.

"Kampret!" makinya dalam hati.

Namun sungguhpun dia telah mengetahui 

bahwa pemuda yang dihadapinya bukanlah orang 

sembarangan, tapi mana mau dia mengalah begitu sa-

ja. Tanpa sungkan maupun malu dia pukulkan tan-

gannya mengarah bagian muka Buang Sengketa.

"Wer!"

Satu gelombang berhawa dingin menderu den-

gan begitu cepatnya. Pendekar Hina Kelana tak dapat 

berfikir panjang. Cepat-cepat dia buang tubuhnya ke 

samping.

"Braak!"

Jelas saja pukulan itu mencapai sasaran ko-

song, selanjutnya langsung melabrak meja dan kursi di 

belakangnya sehingga kursi dan meja itu hancur ber-

keping-keping karenanya.

Sementara itu Buang Sengketa setelah meng-

hindari pukulan maut itu langsung bangkit berdiri. La-

lu memandang tajam pada si tinggi gemuk dan si ge-

muk pendek yang saat itu sudah pula berdiri di samp-

ing kambratnya.

"Hemm! Kiranya kau memiliki kepandaian yang 

dapat kau andalkan. Agaknya kau ini merupakan 

gembongnya pencuri Arca Harimau Kumbang itu?" 

menyela si Kembar Gemuk Pendek.

"Jangan-jangan dia sengaja memata-matai kita,


Adi...!" ucap si Kembar Gemuk Tinggi. Buang Sengketa 

memerah parasnya demi mendengar ucapan manusia 

kembar itu. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa 

yang dia dengar dari orang yang lalu lalang bahwa be-

rita menghebohkan tentang arca itu benar adanya.

"Bangsat Kembar! Bertemu dengan tampang 

kalian saja baru kali ini, begitu mudahkah kau melon-

tarkan tuduhan yang tiada beralasan itu padaku...?"

Si Kembar Pedang Dewa tergelak-gelak. Sesaat 

mereka saling berpandangan sesamanya. Selanjutnya 

dengan penuh kelicikan mereka kembali menoleh pada 

Pendekar Hina Kelana. Si Tinggi Gemuk lalu menyela:

"Kucing gembel, di mana pun kemungkinan itu 

bisa saja terjadi. Semua orang tahu. Arca Harimau 

Kumbang merupakan lambang persatuan kaum persi-

latan golongan lurus. Arca itu sekarang telah lenyap 

dari Perguruan Walet Merah yang merupakan pihak 

penanggung jawab. Siapa pun yang memiliki area itu 

sudah jelas dialah merupakan orang yang paling ber-

kuasa atas segala golongan yang ada. Melihat tampang 

dan kemampuanmu, nampaknya engkau lebih pantas 

sebagai pencuri arca itu...!"

Buang Sengketa semakin bertambah memerah 

saja parasnya, sikap mereka yang mengada-ada benar-

benar tak bisa dia diamkan begitu saja. Lalu dengan 

tubuh menggigil karena menahan mar ah. Maka Pen-

dekar Hina Kelana membentak:

"Manusia tidak tahu diri! Selamanya aku tak 

pernah menjadi seorang pencuri. Seumur hidup baru 

kalian saja yang telah begitu berani menghinaku se-

demikian rupa. Sungguh kalian manusia yang berpiki-

ran picik...!"

"Hua... ha... ha......! Siapa mau percaya pada 

bualan seorang gembel pemakan nasi bekas...!"


"Jangan sekali-kali mencoba berbohong di ha-

dapan si Kembar Pedang Dewa...!" Ikut menyela pula si 

Gemuk Tinggi.

Semakin bertambah dingin tatapan mata Pen-

dekar Hina Kelana, wajahnya berubah kelam membesi.

"Terhadap kunyuk lutung berpedang karatan 

siapa takut. Sekali kubilang tidak, selamanya tetap itu 

yang kukatakan. Kalian bisa apa...?"

"Heh... berani mati kau menantang kami. Ta-

hukah kau sekali pedang kembar kami keluar dari sa-

rungnya. Dia tak akan mau kembali ke sarangnya se-

belum menghirup darah manusia...!"

"Mengapa tidak darah anjing saja atau darah 

kunyuk lutung yang kini tengah meracau di depan-

ku...!"

"Keparat! Orang sinting ini benar-benar telah 

menghina kita, Kakang...!" ucap si Gemuk Pendek, se-

lanjutnya sudah bersiap-siap pula dengan kuda-

kudanya.

"Kalau begitu mari kita cincang tubuhnya ber-

sama-sama”. 

“Haiiit...!"

Usai dengan ucapannya, maka kedua orang 

itupun segera menerjang Pendekar Hina Kelana den-

gan jurus-jurus tangan kosongnya yang sangat hebat 

itu.

"Manusia muka lutung, kalian benar-benar su-

dah gila...!" maki Buang Sengketa sambil menghindari 

terjangan-terjangan pihak lawan yang menggebu-gebu.

* * *


Sementara itu pemilik warung yang sudah da-

lam keadaan ketakutan segera bergegas menjauh, 

bahkan meninggalkan warungnya dari bagian pintu 

belakang. Begitu juga halnya dengan beberapa orang 

nelayan yang sedang berada dalam warung itu. Tidak 

seorang pun yang tersisa terkecuali mereka yang se-

dang terlibat pertarungan sengit.

Saat itu, si Kembar Pedang Dewa dengan mem-

pergunakan jurus Dewa Kembar Menggila, dengan se-

rentak mereka melancarkan tendangan-tendangan 

yang dahsyat mengarah pada bagian lutut rusuk, 

maupun bagian kepala Pendekar Hina Kelana. Se-

mentara itu Buang Sengketa dengan mempergunakan 

jurus Membendung Samudra Menimba Gelombang te-

rus saja memapaki serangan gencar yang datangnya 

bertubi-tubi. Kedua kakinya terus bergerak lincah, se-

dangkan kedua tangannya kadang berputar sedemi-

kian cepatnya. Menangkis, melancarkan serangan ba-

lasan dalam keadaan yang tak dapat diduga-duga oleh 

pihak lawannya.

Mengetahui lawannya dapat mematahkan se-

rangan-serangan beruntun yang mereka lancarkan. 

Dan bahkan beberapa kali serangan balik yang dilan-

carkan lawan hampir mencederai mereka. Maka secara 

hampir bersamaan, si Kembar Pedang Dewa ini pun 

melompat mundur.

"Kau memang tangguh, Monyet gembel! Siapa-

kah kau yang sebenarnya?" tanya si Tinggi Gemuk 

dengan hati panas.

"Nama hanya perlu diingat, Monyet lutung! Bu-

kan untuk digembar gemborkan bagai tukang jual obat


di pasar...!" tukas Buang Sengketa dengan sesungging 

senyumnya yang konyol.

Maka semakin bertambah penasaran dua orang 

kembar itu dibuatnya. Lalu si gemuk pendek pun me-

nyela:

"Sialan! Kuburmu tak akan dikenal orang apa-

bila kau tak mau menyebutkan namamu...!" memben-

tak orang itu dengan hidung kembang kempis.

Sesaat Buang Sengketa mendengus, se-

lanjutnya.

"He... he... he....! Dulu pernah ada seorang pe-

nyair berkata padaku, bahwa nama itu sesungguhnya 

merupakan penjelmaan dari jiwa yang bergelora. Tapi 

bagiku nama adalah nama. Kecuali untuk dikenali, 

nama itu cuma untuk diingat. Tak perlu aku 

memperkenalkan namaku di depan dua ekor monyet 

lutung yang menjijikkan...!"

Merah padam wajah kedua orang itu, bahkan 

gigi-gigi mereka sampai bergeletuk. Kemudian:

"Kau pasti merasa menyesal sampai hari mati-

mu karena kesombonganmu itu!"

"Terimalah pukulan ini! Siaaaa...!"

Dengan sangat kompak si Kembar Pedang Dewa 

kirimkan pukulan yang sangat dikenal dengan nama 

Dewa Kembar Menyongsong Matahari.

Tak dapat ditawar-tawar lagi dua gelombang 

pukulan yang menimbulkan suara menggemuruh dan 

berhawa sangat panas menderu sedemikian cepatnya 

mengarah pada tubuh si pemuda yang nampak berke-

lebat di tengah-tengah ruangan.

Saat itu Pendekar Hina Kelana dalam gerakan-

nya yang gesit itu masih dapat menyadari adanya ha-

wa pukulan yang sangat panas menyambar. Maka 

tanpa membuang waktu lagi Buang Sengketa yang su


dah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan se-

gera mengerahkan sebagian tenaga dalamnya ke ba-

gian tangan kanannya. Tak pelak lagi tangan pemuda 

itu menggetar, selanjutnya dengan disertai satu jeritan 

tinggi. Pemuda itu pukulkan tangannya memapaki da-

tangnya pukulan Dewa Kembar Menyongsong Mataha-

ri. Pukulan Empat Anasir Kehidupan yang menimbul-

kan panas sangat luar biasa itu pun menderu. Melesat 

sedemikian cepatnya meluruk dua pukulan yang da-

tangnya dalam waktu yang hampir bersamaan. Tak te-

relakkan dua pukulan yang sama-sama berhawa pa-

nas luar biasa itu pun saling bertemu di atas udara.

"Blam! Blam!"

Terdengar bunyi berdentum yang sangat me-

mekakkan gendang-gendang telinga. Warung yang 

menjadi ajang pertarungan nampak tergetar. Segala 

barang pecah belah yang mengisi warung tersebut ja-

tuh berantakan di atas lantai tanah. Sementara itu tu-

buh Pendekar Hina Kelana terpelanting menabrak 

dinding papan. Dinding papan jebol berantakan, se-

hingga membuat Buang Sengketa tercampak ke luar 

warung.

Darah meleleh dari celah bibir dan hidung pe-

muda ini, dada terasa menyesak serasa bagai remuk. 

Secepatnya dia bangkit kembali. Lalu setelah mengatur 

jalan nafasnya apa yang dia rasakan menjadi agak 

mendingan. Tetapi di luar sangat gelap gulita.

Sementara itu di dalam warung, si Kembar Pe-

dang Dewa yang hanya tergetar saja tubuhnya tanpa 

mengalami kekurangan suatu apapun segera membu-

ru Pendekar Hina Kelana yang sudah berada di luar 

warung itu.

"Gembel ini belum mampus, Kakang...!" teriak 

si Gemuk Pendek begitu melihat lawannya sudah ber


diri tegak di depan mereka.

"Dengan sekali pukul lagi, jiwanya pasti tak 

akan dapat diselamatkan...!" sahut si Tinggi Gemuk, 

lalu bersiap-siap melakukan pukulan kembali.

Saat itu Buang Sengketa tanpa berkata sepatah 

kata pun cepat-cepat bersiap dengan pukulan si Hina 

Kelana Merana. 

Dari beradunya dua tenaga dalam tadi, nam-

paknya Buang Sengketa mulai menyadari bahwa pu-

kulan Empat Anasir Kehidupan tak akan banyak 

membantu untuk secepatnya dapat merobohkan la-

wannya.

Maka jalan satu-satunya adalah mengirimkan 

serangan balasan dengan pukulan yang mengandung 

unsur panas dan dingin. Lalu tanpa menunggu lagi, 

Pendekar Hina Kelana segera bergerak mendahului!

"Hiaaat...!"

Tubuhnya berkelebat, saat yang sama dua 

kembar itu pun kiranya tidak tinggal diam. Secepat 

pendekar itu bergerak, lebih cepat lagi dua tubuh lain-

nya.

"Wuss!"

Pendekar Hina Kelana melepaskan pukulan 

mautnya. 

"Werrr!"

Tak kalah cepat, si kembar itu pun melancar-

kan serangan pamungkas. Bagai saling berlomba dua 

pukulan bertenaga sakti ini datang menggebu. Udara 

di sekitar tempat itu berobah dingin dan panas.

"Bum! Bum!"

Terdengar bunyi dua letupan berturut-turut, 

saat mana tiga pukulan saling bertubrukan. Suara 

yang sangat dahsyat itu membangunkan penduduk 

yang tinggal di sekitar warung itu. Tapi tak seorang


pun yang berani keluar meninggalkan rumah mereka.

Saat itu terdengar suara raungan berupa jeri-

tan dari mulut dua orang kembar berbadan bongsor 

itu. Tubuh keduanya terpelanting jauh, kemudian ter-

sungkur dengan muka mencium tanah. Bumi terasa 

berputar, pandangan mata mengabur dan berkunang-

kunang. Namun sungguh luar biasa daya tahan dua 

orang kembaran ini. Walaupun saat itu mereka mera-

sakan dadanya bagai remuk. Secepatnya mereka 

bangkit. Tetapi mereka terbatuk-batuk, lalu menggelo-

goklah darah kental dari mulut mereka. Dengan cepat 

pula mereka telan dua butir pil berwarna kuning. Ba-

rulah setelah menelan pil itu wajah mereka yang pucat 

telah berubah kembali seperti sediakala.

Sementara itu Buang Sengketa sendiri menga-

lami luka dalam yang tidak ringan. Dalam dua puku-

lan tadi tubuhnya sempat terpelanting empat tombak. 

Sungguhpun dia sempat muntah darah, namun den-

gan mengatur jalan nafas dan mengerahkan hawa 

murni dia malah lebih sigap lagi bangkit berdiri.

Tubuh tegak bagaikan area, sepasang mata 

menatap tajam pada si Kembar Pedang Dewa. Wajah 

pemuda dari Negeri Bunian kini semakin bertambah 

kelam membesi, dari sela-sela bibirnya keluar pula 

bunyi mendesis bagaikan Ular Piton yang sangat ma-

rah. Dan sekejap kemudian dia pun sudah memben-

tak:

"Hemmm! Manusia-manusia sinting, nampak-

nya kalian benar-benar ingin mempertaruhkan nya-

wa...!"

"Kami memang menghendaki nyawamu...!" Tak 

kalah sengitnya orang itu pun balik pula membentak.

"Ha... ha... ha...! Agaknya kau mulai ketakutan, 

Gembel penyandang periuk?" Si Tinggi Gemuk ikut


ikutan pula menimpali.

"Kalau kau takut melihat ketajaman pedang 

kembar kami. Maka goroklah lehermu dengan senja-

tamu sendiri...!"

Bukan main semakin bertambah gusarnya 

pendekar keturunan Raja Ular Piton Utara itu demi 

mendengar ucapan yang sangat mencemoohnya.

"Bertahun-tahun aku berjalan menyeberangi 

lautan, mendaki gunung, lintasi belukar. Berpuluh-

puluh nyawa manusia sesat telah pula melayang di 

tanganku dalam kesombongannya. Dan kini ada lagi 

monyet tersesat yang menghendaki nyawaku. Sayang 

sekali, karena nyawaku tak ada dijual di warung mana 

pun. Maka aku tak akan memberikannya...!"

"Bangsat. Jiwa anjingmu tiada harganya di ma-

ta kami." menghardik si Tinggi Tegap. Selanjutnya se-

cara hampir bersamaan mereka melolos pedang kem-

barnya.

"Sriing!" Sring!

Sungguhpun malam itu tak terlihat bulan 

maupun bintang di langit. Namun pedang di tangan 

mereka tetap mengeluarkan sinar putih berkilauan.

Buang Sengketa terkesiap karenanya, dia meli-

hat bahwa senjata di tangan lawannya bukanlah senja-

ta yang bisa dianggap sembarangan. Tanpa berkata-

kata lagi, pedang di tangan si kembar menderu.

"Shiaaat...! Nguuung...!"

Tubuh Pendekar Hina Kelana melentik manaka-

la pedang itu menerjang ke arah bagian leher dan lam-

bungnya.

Melihat pihak lawan dapat mengelakkan jurus 

pedang mereka yang diberi nama Dewa Kembar Me-

nyergap Rajawali. Sudah barang tentu si Kembar Pe-

dang Dewa ini pun menjadi semakin bertambah pena


saran saja. Namun mereka juga tidak merasa perlu ce-

pat putus asa, sebagai orang yang sudah malang me-

lintang di rimba persilatan selama dua puluh tahun. 

Sudah barang tentu mereka sudah kenyang makan 

asam garam dunia persilatan. Mereka selalu merasa 

yakin dengan kemampuan yang mereka miliki.

Selanjutnya, dengan disertai teriakan mengge-

legar dua kembar ini berusaha mendesak Pendekar 

Hina Kelana dengan tusukan maupun babatan pedang 

yang sangat berbahaya sekali. Pedang di tangan mere-

ka berkelebat-kelebat menimbulkan suara bercuitan. 

Beberapa jurus berikutnya Buang Sengketa sudah ke-

lihatan mulai keteter. Satu kesempatan si gemuk pen-

dek dan si gemuk tinggi secara bersamaan melakukan 

serangan dahsyat.

"Nguung!"

"Ih, pedang iblis...!" seru pendekar ini tertahan 

begitu merasakan pedang di tangan kembar terus 

mengejarnya ke mana pun dia berusaha menghindar.

"Ciaaat! Heiik...!"

"Brebet!"

Buang Sengketa mengeluh pendek begitu ba-

gian bahunya tersambar mata pedang lawannya yang 

sangat tajam luar biasa. Dengan terhuyung-huyung 

Pendekar Hina Kelana berusaha menghindari babatan 

pedang berikutnya yang nyaris menyambar bagian le-

hernya. Darah mengucur deras membasahi bahunya 

yang terobek agak dalam. Perih sekali rasanya!

"Heaaat...!" teriak Buang Sengketa yang sudah 

sangat marah. Lalu dengan mempergunakan jurus si 

Jadah Terbuang, tubuhnya sebentar saja sudah berke-

lebat sedemikian cepat. Membingungkan pihak lawan. 

Hanya angin berseliweran saja yang dapat dirasakan 

oleh si kembar. Dan suara desisan bagai suara seekor


ular raksasa, hanya itulah yang dapat mereka dengar.

"Jadah! Ilmu siluman...!" maki si kembar pena-

saran.

Buang Sengketa yang sudah mencapai puncak 

kemarahannya itu sudah tiada perduli lagi. Sekali saja 

kedua tangannya menyambar.

"Bletak! Bletuk!"

Tinju Buang Sengketa menghantam tepat pada 

bagian kening lawannya. Kepala mereka langsung ben-

jol sebesar buah mangga. Dan masih untung si kembar 

memiliki kekebalan yang cukup dapat diandalkan. An-

dai tidak, sudah barang tentu kepala mereka akan re-

muk terhajar pukulan yang telah teraliri setengah dari 

tenaga dalam yang dimiliki oleh Buang Sengketa.

Si kembar merasakan kepala mereka berde-

nyut-denyut sakit, sumpah serapah pun berhamburan 

dari mulut mereka.

"Hiaaa...!"

Si kembar bagai setan gila kembali menggebrak 

dengan mempergunakan jurus-jurus yang paling san-

gat mereka andalkan.

"Nguung!"

Mendadak menyertai bunyi berdengung bagai 

suara auman puluhan ekor harimau yang kelaparan. 

Dalam kegelapan itu terlihat nyala sebuah benda yang 

berwarna merah bagaikan bara. Maka terkejutlah si 

kembar demi melihat apa yang ada dalam genggaman 

Pendekar Hina Kelana.

"Golok Buntung! Dia Pendekar Golok Buntung 

yang bernama si Hina Kelana itu, Kakang...!" seru si 

gemuk pendek tanpa sadar.

Mereka benar-benar terperangah, selama ini 

mereka hanya mendengar sepak terjang yang sangat 

hebat pendekar dari bagian Barat ini. Sama sekali me


reka tiada menyangka kalau hari ini mereka secara tak 

terduga telah berbentrokan dengan pendekar yang 

sangat menggemparkan kalangan persilatan ini.

Dalam ketermanguannya, mendadak terdengar 

pula pendekar yang sangat disegani semua golongan 

itu:

"Manusia kembar keturunannya kunyuk lu-

tung...! Kalau kalian masih ingin hidup. Tinggalkanlah 

sebelah tangan kalian sebagai penebus kesalahan yang 

telah kalian lakukan...!"

"Siapa sudi, lebih baik kami mengadu jiwa den-

ganmu...." 

"Caiiiit...!"

Kejap selanjutnya terjadilah pertarungan yang 

sangat sengit. Golok di tangan Pendekar Hina Kelana 

menderu dahsyat, sehingga menampak bayang-bayang 

merah saja di tengah-tengah kegelapan itu.

Dengan senjata andalannya itu, maka kini kea-

daan menjadi terbalik. Si Kembar Pedang Dewa seben-

tar saja sudah terdesak hebat.

Nampaknya Buang Sengketa sudah tiada mem-

berinya kesempatan yang banyak. Golok menderu 

mengarah pertahanan lawannya yang sangat sarat 

dengan kiblatan pedang kembar mereka di tangan.

Golok di tangan Buang Sengketa melesat cepat, 

kedua kembar menjadi gugup. Kemudian dengan san-

gat nekad memapaki senjata di tangan lawannya.

"Trang! Trang!"

Terlihat percikan bunga api manakala senjata-

senjata mereka saling berbenturan keras. Tubuh si 

kembar bergetar. Dada terasa menyesak bagai remuk. 

Sementara pedang di tangan mereka rompal di dua ba-

gian. Buang Sengketa tidak membuang waktu lagi.

"Hiaaat!"


"Craas! Craaas!"

Si Kembar Pedang Dewa keluarkan lolongan se-

tinggi langit. Tangan kanan mereka yang terkutung 

memancarkan darah yang luar biasa banyaknya. Se-

lanjutnya dengan membawa lukanya. Si kembar segera 

melarikan diri menembus kegelapan malam.

"Aku akan membalas segala apa yang telah kau 

lakukan, Pendekar Golok Buntung!" Masih terdengar 

suara sayup-sayup si Tinggi Gemuk. 

Buang Sengketa hanya menggeleng saja tanpa 

bermaksud melakukan pengejaran.

Selanjutnya sambil memegangi luka di bahunya 

dia melangkah pergi menuju ke arah Utara.

* * *

EMPAT



Lembah Weling adalah merupakan sebuah lem-

bah yang memiliki pemandangan yang sangat indah. 

Subur tanahnya, apa pun yang ditanam di sana akan 

tumbuh subur. Seolah alam sangat bersahabat dengan 

para penghuninya yang terdiri dari segolongan manu-

sia-manusia sesat.

Selama ini tak seorang pun yang berani datang 

ke sana, penghuni lembah yang terkenal telengas dan 

dapat membunuh siapa saja tak pernah memberi am-

pun pada siapa pun yang coba-coba berani memasuki 

kawasan itu.

Biasanya suasana di daerah itu sering terlihat 

lengang dan sepi, namun di pagi itu keramaian terlihat 

di sana. Kesibukan masak memasak sejak subuh buta 

sudah dimulai. Sementara itu para murid Lembah Weling sedang bersiap-siap mengadakan upacara perka-

winan ketua mereka Jali Sajiwa dengan anak bekas 

bangsawan Rajenta yang mereka culik. Yaitu Dewi 

Wening Asih yang sangat cantik luar biasa. Sungguh-

pun Dewi Wening Asih menolak keinginan Jali Sajiwa 

untuk menjadikan dia sebagai istrinya. Bahkan beru-

lang kali dia berusaha melakukan bunuh diri.

Namun apalah dayanya sebagai seorang wanita. 

Usahanya selalu gagal, sebab di seluruh ruangan ka-

marnya terdapat beberapa orang pengawal pribadi Jali 

Sajiwa. Yang selalu mengawasi setiap gerak yang dia 

lakukan. Tak banyak yang dapat dilakukannya terke-

cuali menangis sepanjang hari. Menangis meratapi na-

sib hidupnya yang begitu malang.

Saat itu di sebuah ruangan penjara bawah ta-

nah, Jali Sajiwa sedang berusaha untuk melunakkan 

Nyai Wendah, yaitu ibu kandung Dewi Wening Asih.

"Sudahlah, mengapa kau ingat-ingat suamimu 

yang kabur meninggalkanmu itu! Menurut kabar yang 

kudengar suamimu telah diburu-buru oleh Perguruan 

Walet Merah karena mereka menyangka bahwa sua-

mimu yang telah menjadi tukang tadah pencurian Arca 

Harimau Kumbang lambang persatuan kaum persila-

tan golongan lurus. He... he... he...! Mungkin sekarang 

Rajenta telah mampus karena ketololannya memasuki 

Lembah Gunung Batu Siwak yang sangat berbahaya 

itu...!"

"Jali Sajiwa manusia rendah. Sampai mati pun 

aku tetap tak akan memberimu ijin untuk menikahi 

anakku. Aku akan selalu mengutukmu atas tindakan-

mu yang ceroboh, dan bukan tidak mungkin engkau-

lah yang telah mencuri Arca Harimau Kumbang dari 

Perguruan Walet Merah...!"

Jali Sajiwa semakin panas hatinya. Dibujuk


dengan jalan baik kiranya Nyai Wendah tak mau kom-

promi, bahkan telah pula menuduhnya dengan perbu-

atan yang tak pernah dia lakukan. Maka dengan kasar 

dia pun menyentakkan kerah baju Nyai Wendah secara 

kasar. Tubuh wanita malang itu agak terangkat ke 

atas. Nafasnya tersengal-sengal karena merasa sulit 

untuk bernafas.

"Sial betul engkau ini. Kujadikan mertua kau 

tak mau. Kau kira dengan tetap membangkang seperti 

itu niatku untuk mengawini anakmu akan kubatalkan! 

Hem tidak sama sekali. Bahkan kau pun akan menda-

pat giliran yang paling pertama. He... he... he...!" ber-

kata begitu. Jali Sajiwa segera menotok jalan suara 

dan bagian gerak Nyai Wendah yang masih kelihatan 

awet muda dan cantik seperti anaknya. Begitu tangan 

Jali Sajiwa melepaskan cengkeramannya. Maka tak 

terhindarkan lagi tubuh Nyai Wendah terjengkang ke 

lantai.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, tangan Ja-

li Sajiwa pun bergerak menyambar pada bagian dada 

Nyai Wendah,

"Brebet...!"

Bagian dada Nyai Wendah terobek pakaiannya. 

Wanita berumur setengah baya itu menjerit. Namun 

tiada suara yang terdengar. Jali Sajiwa tertawa penuh 

kemenangan.

"Kau haus, membayar mahal atas kekerasan 

hatimu, Nyai Wendah. Sungguh pun kau dapat menje-

rit setinggi langit. Namun suamimu yang sudah mam-

pus di Lembah Gunung Batu Siwak tak akan menden-

gar...! He... he... he...!"

Setelah melepas habis seluruh pakaiannya sen-

diri. Tak lama kemudian Jali Sajiwa segera menindih 

tubuh molek Nyai Wendah yang tak mampu menjerit,


bergerak apalagi meronta.

Dengan brutal sekali Jali Sajiwa melampiaskan 

nafsu binatangnya. Nyai Wendah menangis, namun 

hanya lelehan air matanya saja yang menetes deras. 

Dia merasa sangat terpukul dengan kejadian itu, ba-

tinnya terguncang.

Tiada suara apa pun yang terdengar di ruangan 

penjara bawah tanah tersebut, terkecuali desah nafas 

tokoh sesat yang memburu. Hingga beberapa saat sete-

lah segala-galanya pun berakhir. Jali Sajiwa dengan 

tubuh bermandi keringat segera mengenakan pakaian-

nya kembali. Sesungging senyum puas membias di bi-

birnya yang dipenuhi oleh jambang dan kumis.

Sesaat saja dia memandang pada Nyai Wendah 

yang tiada mengenakan sehelai pakaian pun. Nyai 

Wendah memalingkan wajahnya, caci maki pun tak 

pernah keluar dari pangkal tenggorokannya yang terto-

tok.

"Tidurlah kau di sini untuk selama-lamanya, 

Perempuan tolol. Pesta perkawinan akan dilangsung-

kan. Kau sendiri dapat merasakan betapa hebatnya 

aku... he... he...!" kata Jali Sajiwa sambil ngeloyor per-

gi.

Saat itu tanpa sepengetahuan Jali Sajiwa mau-

pun murid-murid sesat Lembah Weling. Seorang pe-

muda nampak menyusup memasuki daerah mereka. 

Gerak gerik pemuda ini kelihatan sangat hati-hati se-

kali.

Pemuda berkuncir dengan pakaian kumuh dan 

berparas tampan ini. Siapa lagi kalau bukan Buang 

Sengketa atau si Pendekar Hina Kelana.

Mengapa pemuda ini sampai kesasar ke Lem-

bah Weling?

Setelah bertarung dengan si Kembar Pedang


Dewa dan berhasil membuntungi tangannya. Semula 

dia bermaksud untuk terus menelusuri sepanjang pan-

tai. Dengan tujuan ingin mencari tempat yang pasti 

tentang pertapaan ayahandanya. Si Raja Ular Piton 

Utara. Namun begitu dia teringat pada Arca Harimau 

Kumbang yang telah lenyap dari Perguruan Walet Me-

rah. Lebih jauh dia ingin mengetahui apa sesungguh-

nya yang menjadi keistimewaan arca tersebut sehingga 

diperebutkan oleh banyak orang dari berbagai pergu-

ruan.

Karena langkahnya menuju Utara, maka secara 

tidak sengaja dia melewati daerah Lembah Weling yang 

merupakan jalan pintas untuk menempuh arah itu.

Namun sesampainya di pinggiran lembah dia 

sedikit agak heran melihat keramaian yang luar biasa 

itu. Lalu rasa penasaran membuat dia ingin mengeta-

hui apa sesungguhnya yang sedang berlangsung di 

lembah itu.

Sungguhpun dasar lembah dengan tebingnya 

terletak puluhan bahkan ratusan tombak jauhnya dari 

pinggiran lembah. Bahkan jalannya pun tidaklah se-

baik jalan-jalan yang pernah dia lewati. Tapi dengan 

mempergunakan ilmu mengentengi tubuh didukung 

lagi dengan ajian Sapu Angin, maka dalam waktu seke-

jap saja dia sudah menginjakkan kakinya di atas wu-

wungan rumah tanpa menimbulkan suara sedikitpun 

juga. Selanjutnya dia mulai mempergunakan ilmu me-

nyusupkan suara untuk mencuri dengar apa saja yang 

terjadi di dalam rumah perguruan yang sangat besar 

dan indah itu.

Tak lama kemudian Buang Sengketa menden-

gar ada suara beberapa orang sedang bercakap-cakap.

"Bagaimana? Apakah pengantin perempuan 

sudah dirias...?" tanya suara laki-laki berat dan serak.


Dialah Jali Sajiwa ketua Perguruan Sesat Lembah Wel-

ing.

"Belum, Ketua. Dewi Wening Asih tidak mau di-

rias, dia terus menangis memanggil manggil ibunya...!"

"Hemm. Anak itu keras kepala seperti 

ibunya...!"

"Nampaknya dia harus dijebloskan ke penjara 

menyusul ibunya, Ketua...?" menimpali salah seorang 

muridnya.

Jali Sajiwa nampak marah, begitu mendengar 

usul salah seorang murid yang bernama Gento itu.

"Goblok! Mau tidak mau, suka tidak suka, bo-

cah itu harus menjadi istriku. Kalau kalian tidak becus 

semuanya nanti ku hukum. Bujuk dia dan rias wajah-

nya sekarang juga...!" perintah Jali Sajiwa berwibawa.

"Tapi, Ketua...!"

"Tapi apa? Masih kurangkah tukang rias pen-

gantin di kamarnya...?"

Dengan perasaan takut-takut salah seorang 

murid yang lain menyela: "Tidak, Ketua, bahkan jum-

lah mereka ada sepuluh orang. Namun mereka harus 

menyembuhkan luka-luka di bagian mata yang banyak 

mengeluarkan darah...!"

"Mengapa itu sampai terjadi...?" tanya Jali Sa-

jiwa gusar.

"De.... Dewi Wening Asih mencakari wajah tu-

kang-tukang rias itu bahkan beberapa kali dia berusa-

ha membunuh diri...!"

"Goublook...! Percuma saja kalian menjadi mu-

rid-muridku, kalau hanya mengatasi seorang perem-

puan saja tidak becus! Sekarang aku tak mau dengar 

apa yang akan kalian katakan. Pengantin perempuan 

harus secepatnya didandani, terserah bagai-mana cara 

kalian membujuknya...!" bentak Jali Sajiwa lalu masuk


ke dalam kamarnya.

Tak banyak yang dapat dilakukan oleh murid-

murid Lembah Weling, terkecuali kembali ke dalam 

kamar Dewi Wening Asih yang masih saja memberon-

tak.

Buang Sengketa yang sudah sedikit mulai pa-

ham segera mengikuti kepergian pengawal itu tanpa 

meninggalkan wuwungan rumah. Selanjutnya sesam-

painya di ruangan lain, Pendekar Hina Kelana sempat 

pula mendengar pembicaraan murid-murid yang mem-

beri laporan pada Jali Sajiwa tadi.

"Bagaimana, Nisanak? Apakah Dewi Wening 

Asih sudah mau dirias?" tanya Gento dengan suara 

sangat lirih sekali. Perempuan setengah tua yang di-

panggil nisanak itu mewakili kawan-kawannya mem-

bungkuk hormat, selanjutnya berkata:

"Dengan sangat terpaksa kami menotoknya. 

Tapi sekarang semuanya sudah beres hanya tinggal 

menunggu pengantin laki-laki saja...!"

"Pengantin laki-laki sudah beres sejak tadi-tadi. 

Sebaiknya upacara perkawinan yang sangat terhormat 

ini sudah bisa kita mulai...!" berkata begitu Gento dan 

kawan-kawannya segera berbalik kemudian menuju ke 

sebuah ruangan pribadi Jali Sajiwa.

Saat itu pemuda dari Negeri Bunian tetap me-

nelungkup di atas wuwungan yang di bawahnya meru-

pakan ruangan kamar yang disediakan untuk Dewi 

Wening Asih. Nampaknya pemuda itu sangat penasa-

ran. Macam apa kiranya gadis anak bekas bangsawan 

yang akan dijadikan istri oleh Ketua Perguruan Lem-

bah Weling yang manusia sesat itu.

Maka dengan sangat hati-hati, dia menyibak-

kan sebuah genteng untuk sekedar melihat suasana di 

bawah sana. Begitu genteng di atas wuwungan rumah


itu membuka sedikit, betapa terkejutnya hati Buang 

Sengketa. Gadis yang dalam keadaan tertotok itu be-

nar-benar sangat cantik luar biasa. Kecantikannya me-

lebihi bidadari. Kulitnya putih mulus, dengan wajah 

bulat lonjong.

"Hemm! Gadis itu cantik luar biasa, namun 

agaknya dia banyak menangis dan menderita batin, 

sehingga wajahnya agak pucat, sedangkan matanya 

pun agak bengkak. Aku tak tahu anak siapakah yang 

diculik oleh gembong manusia sesat ini. Namun ada 

baiknya aku menyelamatkannya dari cengkeraman 

tangan Jali Sajiwa. Dan kalau tak ingin banyak resiko 

aku harus melakukannya sejak sekarang. Tapi aku 

perlu membereskan pengawal-pengawal itu terlebih 

dahulu!" batin Buang Sengketa. Selanjutnya dia sibak-

kan beberapa genteng untuk membuatnya bisa leluasa 

dalam bertindak. Tapi sungguhpun apa yang dia ker-

jakan itu sudah sangat berhati-hati, namun beberapa 

orang pengawal yang berada di dalam ruangan itu 

nampak terkejut. Tanpa diduga-duga mereka melihat 

ke atas. Hampir saja suara teriakan terdengar andai 

Pendekar Hina Kelana tidak cepat-cepat bertindak.

Dengan mempergunakan genteng pecahan, 

Buang Sengketa membungkam mulut pengawal itu.

"Ziiing!"

"Pletak!"

Tiga orang pengawal roboh tanpa mampu 

bangkit kembali. Tak membuang-buang waktu tubuh 

pemuda itu pun melayang turun.

"Jangan ribut, siapa saja yang berani berteriak, 

kubunuh...!" ancam pemuda itu. Selanjutnya melang-

kah menghampiri Dewi Wening Asih yang tergeletak di 

atas ranjang dalam keadaan tertotok.

Secepatnya dia segera menyambar tubuh gadis


itu, lalu dengan sekali lompatan dia sudah berada di 

atas wuwungan kembali. Namun pemuda itu dibuat 

terkejut begitu melihat belasan murid dari Lembah 

Weling sudah mengurungnya sedemikian ketat.

"Maling tengik! Berani mati kau menyantroni 

tempat tinggal kami!" membentak salah seorang dari 

mereka yang bertampang bengis.

Pendekar dari Negeri Bunian itu tersenyum ke-

cut, tapi otaknya juga berfikir cepat. Jumlah mereka 

sedemikian banyak, bukan tak mungkin sebentar lagi 

Ketua Lembah Weling hadir di situ. Dengan memang-

gul tubuh Dewi Wening Asih di pundaknya, terasa 

sangat sulitlah bagi pemuda itu untuk mengatasi la-

wan yang sedemikian banyaknya. Selanjutnya dia ce-

pat-cepat berbisik pada gadis yang berada di pundak 

kanannya.

"Nona! Tutuplah jalan pendengaranmu, aku 

akan melakukan sesuatu!" kata pemuda itu memberi 

peringatan. Saat itu sungguh-pun Dewi Wening Asih 

tak tahu apa yang akan diperbuat oleh pemuda yang 

berusaha melarikan dirinya, namun dia menuruti apa 

yang dikatakan oleh Pendekar Hina Kelana.

“Maaf, Sobat. Aku tak punya waktu banyak un-

tuk melayani kalian, janganlah coba-coba menghalangi 

jalanku...!" berkata begitu, Buang Sengketa sudah ber-

siap-siap mengerahkan ajian Pemenggal Roh yang san-

gat dahsyat dan tiada duanya di dunia persilatan.

"Keparat! Kau telah begitu lancang mencoba 

membawa kabur calon istri orang. Mampuslah...!" te-

riak salah seorang dari mereka sambil menghunuskan 

sebilah pedang yang sangat mengkilat. Tajam!

Namun sebelum orang itu dan yang lainnya 

bertindak, mendadak Buang Sengketa keluarkan satu 

jeritan yang sangat panjang, suara jeritan itu bagaikan


gelegar suara petir. Mengguncangkan rumah dan 

isinya, meruntuhkan daun dan ranting-ranting kering. 

Lebih tragis lagi dua belas murid Lembah Weling ber-

pelantingan roboh. Dari kuping dan hidung mereka 

mengalirkan darah segar. Sedangkan dua orang lain-

nya yang masih dapat bertahan nampak terhuyung-

huyung. Buang Sengketa tanpa memberi kesempatan 

cepat kirim dua pukulan telak. Hingga mengakibatkan 

tubuh mereka terguling-guling menuruni genteng ru-

mah hingga kemudian terjatuh dengan menimbulkan 

bunyi berdebum.

Kesempatan yang hanya sedikit itu pun tak dis-

ia-siakan oleh Buang Sengketa. Dengan memperguna-

kan ajian Sapu Angin tubuh Buang Sengketa pun me-

lesat sedemikian cepat meninggalkan tempat yang san-

gat berbahaya itu.

Saat itu Jali Sajiwa yang sudah bersiap-siap 

untuk naik pelaminan demi mendengar suara ribut-

ribut di atas genteng dan terdengarnya bunyi berde-

bum dari sosok tubuh para muridnya segera bergerak 

ke luar.

"Apa yang terjadi?" tanyanya begitu sampai di 

depan tubuh anak muridnya yang tengah menyong-

song ajal.

"Ket... ketua... seseorang telah melarikan Dewi 

Wening Asih, calon pengantin perempuan...!" kata 

orang itu dengan suara terputus-putus.

"Keparat! Kalian tolol semua.... Anak-anak, ayo 

kejar bangsat itu...!" teriaknya pula pada puluhan mu-

rid yang tersisa.

Selanjutnya tanpa membuang-buang waktu la-

gi, Jali Sajiwa dan murid-muridnya segera melakukan 

pengejaran atas diri Buang Sengketa yang sudah tak 

terlihat lagi dalam pandangan mata.


LIMA


Sejak hilangnya Arca Harimau Kumbang, maka 

Perguruan Walet Merah sebagai pihak yang bertang-

gung jawab atas keamanan arca itu segera menyebar 

puluhan mata-mata ke seluruh penjuru riba persila-

tan.

Siang itu nampak beberapa orang penunggang 

kuda sedang menggebrak lari kudanya bagai orang 

yang sedang dikejar-kejar setan. Tubuh mereka nam-

pak terguncang-guncang. Sesekali terdengar pula ring-

kik kuda mereka! Debu mengepul ke udara, peman-

dangan di belakang mereka tak terlihat sama sekali.

Melihat dari sikap mereka ini nampaklah kalau 

lima orang penunggang kuda itu baru saja habis mela-

kukan perjalanan yang sangat jauh dan dalam kea-

daan tergesa-gesa.

Sementara itu tidak begitu jauh di depan mere-

ka, nampak pula seorang kakek berpakaian tambal-

tambal dengan celana bututnya sedang berjalan me-

lenggang dengan arah berlawanan. Kakek ini sudah 

sangat tua sekali, rambut, kumis dan jenggotnya yang 

hanya beberapa helai itu pun sudah memutih.

Di tangan kakek itu tergenggam pula sebuah 

tongkat berkepala naga dan berwarna merah. Dunia 

persilatan mengenalnya sebagai Gembel Pengemis dari 

Pulau Naga. Selama malang melintang dalam dunia 

persilatan kakek renta ini terkenal sebagai s-sepuh to-

koh sesat yang sangat keji.

Dengan tongkat mautnya yang berkepala naga 

merah yang sewaktu-waktu dapat menyemburkan uap 

beracun, dia dapat membunuh lawan-lawannya tanpa 

bersusah payah turun tangan.


Saat itu tanpa menghiraukan orang-orang ber-

kuda yang berlari cepat di depannya, dia terus saja 

mengayunkan langkahnya. Dalam gemuruh derap ku-

da itu, mendadak terdengar suara bentakan salah seo-

rang dari penunggangnya.

"Minggir...!" teriak salah seorang dari mereka. 

Yang dibentak bagai tak mendengar saja terus berjalan 

sambil menundukkan kepalanya. Mau tak mau orang-

orang yang berada di atas punggung kuda itu cepat-

cepat menarik kendali kuda tunggangan masing-

masing.

"Sialan kau, Orang tua pikun! Cepat minggir 

kami mau lewat...!"

Gembel Pengemis dari Pulau Naga ini pun hen-

tikan langkahnya, sejenak dia memandang tajam pada 

lima orang penunggang kuda itu. Pelan saja dia berka-

ta, namun suaranya yang disertai tenaga dalam mem-

buat para penunggang kuda itu pun sangat terkejut 

bukan alang kepalang.

"Jalan masih begitu luas. Lagipula jalan ini bu-

kan milik bapak moyangmu! Mengapa pula kalian ma-

lah mengganggu perjalananku...?" tanya si Gembel 

Pengemis.

Lima orang penunggang kuda itu pun saling 

berpandangan sesamanya. Mereka berfikir bahwa apa 

yang baru saja diucapkan oleh Gembel Pengemis ada-

lah sesuatu yang mereka anggap sangat keterlaluan 

sekali. Bagaimana mungkin mereka bisa melewati jalan 

lainnya kalau di kanan kiri mereka merupakan sebuah 

jurang yang menganga.

Ini merupakan keadaan yang sangat keterla-

luan sekali. Kalau tak boleh dibilang merupakan satu 

penghinaan yang sangat memalukan.

"Tua gembel, kau sangat keterlaluan sekali. Ba


gaimana mungkin kami bisa lewati jalan lain sedang-

kan di kanan kiri jalan ini merupakan jurang yang tak 

terukur dalamnya...?"

Gembel pengemis tergelak-gelak bagai tawa seo-

rang bocah kecil. Lalu lanjutnya:

"Siapa mau perduli, mampus pun kalian ber-

sama kuda-kuda itu aku tidak perduli...!" kata Gembel 

Pengemis acuh. Hal ini benar-benar menimbulkan ke-

marahan para penunggang kuda itu.

"Kuperintahkan padamu, Orang tua. Minggirlah 

kalau kau tak ingin mati terinjak-injak kuda kami...!"

Dalam pada itu salah seorang dari mereka 

mendadak berseru:

"Kawan-kawan, lihatlah dalam buntalan yang 

berada di punggung gembel ini. Bukankah dia mem-

bawa Arca Harimau Kumbang yang telah hilang dari 

perguruan kita...?!"

Ucapan salah seorang dari penunggang kuda 

yang berkepala botak plontos itu membuat terkejut 

yang lain-lainnya. Serentak mereka memandang ke ba-

gian punggung kakek tua renta, ternyata memang be-

nar adanya bahwa di bagian punggung Gembel Pe-

ngemis dari Teluk Naga ini terdapat sebuah benda 

yang terbungkus selembar kain butut. Benda yang ter-

bungkus itu tidak tertutup keseluruhannya sehingga 

sebagian masih terlihat. Tak salah itulah Arca Harimau

Kumbang yang terbuat dari emas murni.

"Bangsat! Kiranya kamulah orang yang telah 

mencuri Arca Harimau Kumbang lambang persatuan 

dari kaum persilatan golongan lurus. Cepat serahkan 

area itu, semoga kaum persilatan golongan kami mau 

mengampuni jiwamu yang keropok itu!" bentak salah 

seorang lainnya dengan kemarahan yang tertahan-tahan.


Gembel Pengemis dari Pulau Naga itu pun ter-

tawa mencemooh. Satu demi satu dipandanginya ma-

ta-mata dari Perguruan Walet Merah. Sekali dia melu-

dah di tanah, selanjutnya dia menyambung kembali.

"Bocah-bocah kemarin sore, mampu berbuat 

apakah kau padaku? Jangankan kalian yang hanya ti-

kus-tikus curut menjijikkan. Andai pun seluruh kaum 

persilatan yang mengaku bergolongan lurus itu maju 

di hadapanku. Hanya dengan beberapa jurus saja aku 

pasti akan mengirim mereka ke neraka...!" ejek Gembel 

Pengemis dari Pulau Naga lalu leletkan lidah.

Maka tak terbendung lagilah amarah kelima 

murid dari Perguruan Walet Merah ini dibuatnya. Se-

lanjutnya tanpa dikomando lagi mereka melompat dari 

punggung kuda-nya masing-masing.

"Cring! Cring!"

Dengan sekali sentak, senjata-senjata mereka 

pun telah tergenggam di tangannya masing-masing.

"Gembel kropok, mulutmu sombong sekali. Ha-

dapilah kami...!" Serentak mereka berteriak, lalu me-

nyerang si Gembel Pengemis dengan jurus-jurus Pe-

dang Walet Merahnya.

Sebaliknya Gembel Pengemis nampak tenang-

tenang saja, lalu berseru mengancam.

"Orang-orang sengsara, celakalah nasib kalian 

karena telah bertemu dengan Dedengkot Iblis dari Pu-

lau Naga. Ah... sayang sekali, kalian haru mati dalam 

keadaan begini muda. Cepatlah kerahkan kemampuan 

kalian, andai tidak empat jurus di depan nyawa kalian 

pasti tidak akan tertolong lagi...!"

"Bet! Bet!"

Sambaran mata pedanglah sebagai jawaban-

nya. Tetapi dengan sangat mudah sekali si Gembel 

Pengemis dari Pulau Naga mengkelit terjangan pedang


yang datangnya bertubi-tubi. Masih dengan terkekeh-

kekeh Gembel Pengemis terus berjingkrak-kan kian ke 

mari, sungguhpun murid-murid dari Walet Merah be-

rusaha sedapat mungkin untuk mengadakan tekanan-

tekanan pada Gembel Pengemis, biar pun mereka telah 

memainkan jurus Pedang Walet Merah Menyambar 

Ikan yang terkenal sangat hebat karena variasi jurus-

jurusnya yang beragam, namun tetap saja mereka be-

lum berhasil mendesak Gembong Iblis dari Pulau Naga 

tersebut.

Semakin lama mereka bertarung, semakin ber-

tambah hebatlah gerakan-gerakan menghindar Gembel 

Pengemis. Sungguhpun saat itu Gembel Pengemis ma-

sih belum melancarkan serangan balasan.

"Cukup...!" Gembel Pengemis dari Pulau Naga 

dorongkan tangannya ke segala penjuru, hingga mem-

buat tubuh mereka tertahan bahkan terhuyung bebe-

rapa tindak ke belakang.

Sungguhpun Gembel Pengemis hanya terlihat 

bagai melambaikan tangannya saja, namun hal itu cu-

kup membuka mata murid-murid Perguruan Walet Me-

rah, bahwasanya saat itu mereka sedang berhadapan 

dengan tokoh sesat yang memiliki kepandaian yang 

tiada terukur.

Namun untuk mundur bagi mereka adalah me-

rupakan pantangan yang sangat menyakitkan. Terle-

bih-lebih mereka sudah mengetahui bahwa arca yang 

hilang itu kini berada di tangan kakek tua berpakaian 

tambal-tambal.

"He... he... he...! Kukira sudah cukup kuberi 

waktu untuk kalian bermain-main sekejap. Sekarang 

sudah waktunya bagi kalian untuk segera berangkat 

ke liang kubur. Bersiap-siaplah...!"

"Hiaaat!"


Dengan mempergunakan setengah dari seluruh 

kemampuan yang dimilikinya, Gembel Pengemis segera 

bergebrak. Tendangan-tendangan maupun pukulan-

pukulan gencar datang bertubi-tubi. Sehingga dalam 

waktu sekejap saja kelima orang murid-murid dari 

Perguruan Walet Merah ini dibuat kalang kabut untuk 

mempertahankan diri.

"Shaaa...! Ha... ha... ha...! Dua jurus di muka 

kalian benar-benar akan mengalami nasib celaka...!" 

teriak Gembel Pengemis sambil memperhebat serangan 

mautnya. Saat itu secara serentak serangan pedang 

datang menggebu, mengurung tubuh Gembel Penge-

mis.

"Ngung! Ngung!"

Sambaran pedang menderu hingga me-

nimbulkan suara bersiuran. Gembel Pengemis menge-

butkan tongkatnya mengawasi sambaran pedang la-

wan yang tiada mengenal ampun.

"Traak! Traang! Trang!"

Terlihat percikan bunga api berpijar saat senja-

ta di tangan mereka menghantam tongkat di tangan si 

Gembel Pengemis. Bukan saja tangan mereka kesemu-

tan dan tergetar hebat. Tetapi juga pedang mereka 

berpentalan terlepas dari tangan masing-masing. Maka 

tak dapat dibayangkan betapa terkejutnya murid-

murid dari Partai Perguruan Walet Merah dibuatnya. 

Wajah mereka nampak pucat pasi, tubuh gemetaran 

menahan sakit yang teramat sangat di bagian dada.

Gembel Pengemis tertawa ngakak. Dia nampak 

puas sekali dapat mempermainkan lawannya. Namun 

tawanya mendadak berubah total menjadi sesungging 

senyum sadis dan hawa membunuh yang meledak-

ledak,

Dari niat semula untuk menghabisi mereka


dengan cara menyemburkan uap beracun yang terletak 

di bagian kepala Naga Merah di pangkal tongkatnya. 

Kini berubah pendirian. Sekali ini dia ingin mencoba 

kebenaran tentang isi sebuah kitab tipis yang berada 

di bagian tersembunyi di mulut Arca Harimau Kum-

bang itu. Dia telah mempelajari isi kitab tersebut den-

gan baik dan sekarang sudah tibalah masanya untuk 

mengetahui kebenaran tentang Siluman Harimau 

Kumbang tersebut.

Sejenak dia memandang pada calon korbannya 

yang masih berdiri terlolong-lolong di tempatnya.

Selanjutnya dia pun berkata pelan tetapi mem-

buat bulu kuduk lawan-lawannya meremang berdiri.

"Orang-orang malang, betapa kalian me-

rupakan manusia-manusia pertama yang akan menja-

di bahan percobaan Siluman Harimau Kumbang... 

berdoalah selagi kalian masih bisa berdoa...!" berkata 

begitu Gembel Pengemis jatuhkan diri bagai orang 

yang sedang bersujud, tanpa diketahui oleh lawan-

lawannya Gembel Pengemis mulai melafalkan kalimat-

kalimat yang terdapat dalam Kitab Arca Harimau 

Kumbang.

Sementara itu murid-murid dari Perguruan Wa-

let Merah dengan atau tanpa mempergunakan senjata, 

kembali mengeroyok Gembong Iblis dari Pulau Naga 

itu. Dikeroyok sedemikian rupa gembong dari Pulau 

Naga ini tiada bergeming sedikitpun juga.

Bahkan perubahan perlahan pun terjadilah. 

Mula-mula di sekujur tubuh Gembel Pengemis tumbuh 

bulu-bulu halus yang semakin lama semakin bertam-

bah lebat. Lama-kelamaan pada bagian kepalanya be-

rubah menjadi ekor, dan bagian kaki berubah pula 

menjadi kepala Harimau Kumbang.

Selanjutnya dengan diawali satu auman yang


sangat keras. Maka tubuh Gembong Pengemis melesat 

ke udara. Tiga kali dia berjumpalitan dan begitu ka-

kinya telah kembali menapak ke bumi. Maka secara to-

tal Gembel Pengemis telah berubah ujudnya menjadi 

seekor Siluman Harimau Kumbang.

"Grauuuung! Grrrrrr!"

Buas dan liar ujud dari harimau siluman itu, 

sepasang matanya menyorot tajam pada kelima orang 

murid dari Perguruan Walet Merah. Menciut nyali me-

reka, lalu dengan suara gemetar salah seorang di anta-

ra mereka membentak gusar.

"Gembel gila manusia siluman! Kau benar-

benar seorang manusia siluman berhati pengecut...!" 

teriak laki-laki berkepala setengah botak sambil beru-

saha menjaga setiap kemungkinan.

"Grauuung...!"

Hanya suara auman itulah yang terdengar se-

bagai jawaban. Selanjutnya tanpa mengenal kompromi 

lagi dengan sekali lompatan saja disertai dengan suara 

auman yang menggelegar. Siluman Harimau Kumbang 

itu pun sudah menerkam lawannya yang paling dekat.

Dengan kuku-kukunya yang panjang dan den-

gan gigi-gigi taringnya yang tajam-tajam. Sekejap saja 

tubuh salah seorang dari lawannya terobek-robek begi-

tu buas. Harimau Kumbang itu menghirup darah yang 

memancar dari bagian tengkuk lawan yang menggelu-

pur di atas tanah berdebu.

Setelah puas menghisap habis darah lawan, 

maka korban-korban selanjutnya pun berjatuhan.

Saat itu sungguhpun sisa-sisa murid Pergu-

ruan Walet Merah telah memukul Harimau Kumbang 

itu dengan segala cara, bahkan pula membabatkan 

pedangnya ke tubuh Siluman Harimau Kumbang itu, 

namun di luar dugaan tubuh Harimau Kumbang itu


kebal pada senjata tajam.

" Grauuuumm...!"

Kembali terdengar suara auman yang benar-

benar sangat memekakkan gendang-gendang telinga.

"Arggk! Arggkh!"

Terdengar jeritan kesakitan dan robekan kain 

yang tercabik-cabik. Dengan buas siluman itu mem-

bantai mangsanya. Namun begitu lawan-lawannya itu 

meregang ajal dengan luka-luka yang sangat mengeri-

kan, maka Siluman Harimau Kumbang tak lama ke-

mudian sudah berlari menjauh meninggalkan mayat-

mayat bekas korbannya yang bergeletakan begitu saja.

* * *

ENAM



Bangunan di dalam ruangan bawah tanah yang 

sangat luas itu, sesungguhnya menyerupai sebuah is-

tana yang sangat indah. Hampir seluruh lantainya ter-

buat dari marmer putih. Sedangkan bagian dinding 

atau tepatnya tembok yang menyerupai dinding, berla-

piskan emas permata.

Selain itu tak ada perabotan apa pun di sana, 

terkecuali sebuah singgasana yang terletak di sudut 

ruangan ujung. Hanya itu!

Yang lainnya hanyalah merupakan sebuah 

ruangan yang mirip dengan lapangan latihan untuk 

belajar dan berlatih ilmu tenaga batin dan juga Silu-

man Harimau Kumbang.

Suasana di dalam ruangan yang mirip istana 

itu nampak sangat sunyi sekali. Tiada orang lain di sa-

na, terkecuali seorang laki-laki setengah baya yang


saat itu nampak duduk bersila, mata terpejam dengan 

wajah tertunduk menekur di lantai. Begitu khusuknya

orang ini dalam semedinya. Sampai-sampai helaan na-

fasnya pun tak terdengar sama sekali.

Sudah satu purnama laki-laki itu dalam kea-

daan seperti itu, tiada makan tiada minum. Keadaan-

nya bagai orang yang sedang tertidur saja. Dalam situ-

asi seperti itu, jiwanya sudah menyatu dengan alam 

gaib. Begitu pun dengan pikirannya.

Hari itu adalah merupakan hari terakhir dia 

melakukan tapa, seperti apa yang pernah dikatakan 

oleh suara tanpa rupa bahwa sebelum dia berangkat 

mencari Arca Harimau Kumbang dia harus memiliki 

bekal ilmu siluman yang cukup untuk mengimbangi 

lawan-lawannya yang mungkin saja telah mempelajari 

isi kitab yang terdapat di dalam mulut Arca Harimau 

Kumbang tersebut.

Sementara itu di dalam ruangan yang sangat 

luas, mendadak bertiup angin yang sangat kencang, 

angin itu terus bertiup, semakin lama semakin menggi-

la. Lalu sesaat setelahnya, maka terdengar pula suara 

tanpa rupa yang sekaligus merupakan guru dari laki-

laki bersemedi di tengah-tengah ruangan tersebut.

"Rajenta! Kukira cukup sampai di sinilah tapa-

mu. Kau telah melakukannya dengan baik. Sekarang 

rapalkanlah ajian Siluman Harimau Kumbang yang te-

lah kau kuasai dengan baik...!!" kata suara tanpa rupa 

memberi perintah.

"Hemm...!" Terdengar gumaman yang tak jelas.

Selanjutnya tanpa membuka matanya terlebih 

dulu, Rajenta mulai merapalkan ajian Harimau Kum-

bang yang baru selesai dipelajarinya. Angin bertiup 

semakin keras saat mana Rajenta hampir selesai me-

rapal Ajian Siluman Harimau Kumbang tersebut.


"Gerrr! Hauuuung...!"

Tubuh Rajenta dalam waktu sekejap saja telah 

malih rupa menjadi seekor Siluman Harimau Kumbang 

yang sangat besar namun tiada menampakkan kebua-

sannya. Suara tanpa rupa berseru memujinya.

"Bagus...! Ujud mu sangat sempurna Rajenta, 

itu menandakan bahwa tapamu benar-benar sangat 

sempurna. Sekejap lagi engkau harus bertarung mela-

wanku, Rajenta...!"

"Grauuung...!" Siluman Harimau Kumbang pen-

jelmaan Rajenta seperti mengangguk hormat pada gu-

runya.

Lalu bersamaan dengan tiupan angin kencang, 

maka muncul pula kabut putih tipis. Semakin lama 

semakin menebal. Bergulung-gulung, berputar-putar 

hingga akhirnya membentuk sosok ujud Siluman Ha-

rimau Kumbang yang besarnya hampir sama dengan 

Harimau Kumbang penjelmaan Rajenta.

Dua ekor Harimau Kumbang itu pun saling 

menggeram satu dengan yang lainnya, selanjutnya 

menyeringai memperlihatkan taring-taringnya yang 

sangat tajam.

Sesaat selanjutnya dua ekor harimau siluman 

itu pun sudah saling serang dan saling terkam sesa-

manya.

Suara auman yang sangat panjang terdengar 

memekakkan telinga memenuhi seisi ruangan. Dua-

duanya merupakan lawan-lawan yang sangat tangguh. 

Dan dalam waktu hanya sekejap saja pertarungan 

sengit itu pun telah berlangsung sepuluh jurus. Saat 

berikutnya Siluman Harimau Kumbang penjelmaan 

Rajenta, dengan mengawali suara auman yang pan-

jang. Sudah bersiap-siap pula untuk menyerang Si-

luman Harimau Kumbang penjelmaan suara tanpa rupa.

Dengan sekali lompatan saja, tubuh harimau 

siluman itu telah melesat sedemikian cepatnya. Namun 

pada waktu yang bersamaan Siluman Harimau Kum-

bang penjelmaan suara tanpa rupa telah bersiap-siap 

menadahkan kaki bagian depannya.

"Grauuung!"

"Bruuk!"

Dua ekor siluman harimau itu sama-sama ter-

pental tubuhnya, namun seolah bagai tak merasakan 

apa yang sedang terjadi atas diri mereka masing-

masing. Dengan secepatnya mereka kembali lancarkan 

serangan-serangan ganas. Baik kuku-kukunya yang 

tajam maupun taring-taringnya yang runcing turut 

ambil peranan yang sangat penting dalam pertarungan 

antara guru dan murid.

Sampai pada akhirnya kaki bagian depan mas-

ing-masing siluman itu saling bertemu.

"Plak!"

Kaki depan itu saling melekat dengan kaki la-

wannya bertarung, maka dorong-dorongan pun tak 

dapat dihindari lagi.

Begitu Siluman Harimau Kumbang penjelmaan 

Rajenta mengerahkan tenaga saktinya pada saat yang 

sama pun siluman harimau penjelmaan suara tanpa 

rupa melepaskan pukulan saktinya.

"Weerrtt!"

"Blummm...!"

Terdengar satu letupan yang teramat keras 

manakala pukulan melepas dan menahan itu saling 

berbenturan. Dua-duanya sama-sama terpental den-

gan menderita luka dalam yang tiada berarti.

"Hauuuung!" Siluman Harimau Kumbang pen-

jelmaan suara tanpa rupa melolong panjang.


"Grauuung...!" Siluman Harimau Kumbang pen-

jelmaan Rajenta menyahut. Layaknya seperti mengerti 

saja makna dari auman tersebut. Tak lama setelahnya, 

siluman penjelmaan suara tanpa rupa segera menjauh. 

Lalu:

"Busss!"

Siluman suara tanpa rupa itu pun raib begitu 

saja, kemudian terdengar pula ucapannya.

"Siluman harimau yang kau pelajari sudah 

sangat sempurna, Rajenta...! Sekarang kembalilah da-

lam ujud mu! Aku ada beberapa petunjuk yang perlu 

kusampaikan padamu...!" perintah guru suara tanpa 

rupa pada Rajenta.

Maka tanpa menunggu diperintah dua kali, Ra-

jenta yang masih dalam ujud Siluman Harimau Kum-

bang ini pun segera merapal Ajian asal Siluman Hari-

mau Kumbang.

Maka secara perlahan ujud Siluman Harimau 

Kumbang sudah berubah kembali menjadi ujud Rajen-

ta yang sesungguhnya. Rajenta lalu menjura hormat 

pada suara tanpa rupa, lalu ucapnya.

"Terima kasih atas segala petunjuk yang kau 

berikan, Guru...!"

Suara tanpa rupa tergelak-gelak karenanya.

"Terhadap guru para siluman, kau tak perlu 

memakai segala peradatan, Rajenta! Tidak seperti se-

bagaimana layaknya sesama manusia...!"

"Maafkan aku, Guru...!"

"Juga tak perlu minta maaf. Nah sekarang den-

garlah apa yang ingin kukatakan padamu...!" kata sua-

ra tanpa rupa pelan namun cukup menggetarkan gen-

dang telinga dan tembok batu marmer yang berlapis 

emas.

"Katakanlah, Guru, aku sudah merasa siap untuk mendengarnya...."

Sunyi sesaat, hanya terdengar desiran angin 

perlahan. Rajenta menarik nafas pendek, menunggu 

dengan hati berdebar.

"Rajenta...! Sebagai siluman, siapa pun tak 

pernah terlepas dari sumpahnya. Dan barang siapa sa-

ja yang berani melanggar sumpah itu, maka alamat ce-

lakalah baginya. Sumpah yang pertama, kau harus 

memiliki hati yang jujur. Dilarang membunuh terkecu-

ali sangat terpaksa. Itu pun kau tak dibenarkan walau 

setetes menghisap atau memakan daging korbanmu. 

Tidak boleh berubah ujud andai kau tidak sedang 

menghadapi lawan yang sangat tangguh. Itu pun jika 

lawan itu benar-benar menyakiti hatimu, tubuhmu, 

atau pun keluargamu. Jika pesan dan larangan itu ti-

dak kau langgar, aku merasa yakin kau tak akan jatuh 

di dalam kutuk ku! Satu saja pesan buatmu carilah 

Arca Harimau Kumbang sampai ketemu, seandainya 

telah kau temukan, maka secepatnya kau harus kem-

bali ke sini. Arca itu sangat perlu dikembalikan ke 

asalnya agar daerah Gunung Batu Siwak itu terlepas 

dari malapetaka yang berkepanjangan. Nah sudah pa-

hamkah apa yang kukatakan itu, Rajenta...!" tanya su-

ara tanpa rupa.

"Paham, Guru...! Tetapi...!" Rajenta menjadi ra-

gu untuk mengatakan sesuatu.

"Tetapi apa, Rajenta. Katakanlah...!" desak sua-

ra tanpa rupa.

"Apakah kau tahu bagaimana nasib anak dan 

istriku, dan di mana pula arca itu kini berada...?"

"Kau nampaknya lebih mengutamakan kepen-

tingan pribadi, Rajenta? Kalau tujuanmu menjadi Si-

luman Harimau Kumbang hanya untuk kepentingan 

itu, yang pasti tersimpan dalam hatimu hanyalah dendam. Hal itu sia-sia saja, Rajenta. Aku bersusah payah 

mendidikmu adalah untuk mencari arca yang hilang. 

Itu semua demi keselamatan kaum mu. Tidakkah kau 

paham...?" bentak suara tanpa rupa nampak sangat 

marah sekali, Rajenta menjadi tergagap karenanya.

"Maafkan aku, Guru. Sudah barang tentu aku 

akan mengutamakan mencari arca yang hilang itu, ke-

timbang mencari anak dan istriku...!" jawab Rajenta 

dengan wajah sangat pucat sekali.

"Aku tidak melarangmu untuk mencari istri dan 

anakmu, Rajenta. Namun selesaikanlah tugas yang te-

lah kuberikan ini padamu...!" kata suara tanpa rupa 

dengan nada tertekan.

"Ba... baik, Guru! Perintahmu segera aku lak-

sanakan...!" jawab Rajenta sambil mengangguk pasti.

"Ha... ha... ha...! Rajenta... manusia yang dipe-

gang adalah janjinya. Sekali saja kau berani menging-

kari janji terhadap para siluman, maka kutuk kami 

benar-benar sangat menyakitkan bagi siapa-

pun...!”

Tanpa menjawab, Rajenta hanya mengangguk-

kan kepalanya. Selanjutnya tanpa menoleh-noleh lagi, 

laki-laki bekas bangsawan itu segera meninggalkan 

ruangan yang sangat luas. Kemudian melangkah ke 

bagian mulut Area Harimau Kumbang yang saat itu 

sudah membuka. Selang beberapa saat lamanya, laki-

laki setengah baya itu pun setelah menjura pada area 

segera berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.

* * *

Udara di siang hari itu terasa sangat terik seka-

li. Sementara jalan yang dilalui oleh dua orang ini tak 

lebih dari pada semak belukar dan hutan rotan yang


dam. Hal itu sia-sia saja, Rajenta. Aku bersusah payah 

mendidikmu adalah untuk mencari arca yang hilang. 

Itu semua demi keselamatan kaum mu. Tidakkah kau 

paham...?" bentak suara tanpa rupa nampak sangat 

marah sekali, Rajenta menjadi tergagap karenanya.

"Maafkan aku, Guru. Sudah barang tentu aku 

akan mengutamakan mencari arca yang hilang itu, ke-

timbang mencari anak dan istriku...!" jawab Rajenta 

dengan wajah sangat pucat sekali.

"Aku tidak melarangmu untuk mencari istri dan 

anakmu, Rajenta. Namun selesaikanlah tugas yang te-

lah kuberikan ini padamu...!" kata suara tanpa rupa 

dengan nada tertekan.

"Ba... baik, Guru! Perintahmu segera aku lak-

sanakan...!" jawab Rajenta sambil mengangguk pasti.

"Ha... ha... ha...! Rajenta... manusia yang dipe-

gang adalah janjinya. Sekali saja kau berani menging-

kari janji terhadap para siluman, maka kutuk kami 

benar-benar sangat menyakitkan bagi siapa-

pun...!”

Tanpa menjawab, Rajenta hanya mengangguk-

kan kepalanya. Selanjutnya tanpa menoleh-noleh lagi, 

laki-laki bekas bangsawan itu segera meninggalkan 

ruangan yang sangat luas. Kemudian melangkah ke 

bagian mulut Area Harimau Kumbang yang saat itu 

sudah membuka. Selang beberapa saat lamanya, laki-

laki setengah baya itu pun setelah menjura pada area 

segera berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.

* * *

Udara di siang hari itu terasa sangat terik seka-

li. Sementara jalan yang dilalui oleh dua orang ini tak 

lebih dari pada semak belukar dan hutan rotan yang


penuh dengan duri.

Sungguhpun begitu bukan berarti halangan 

bagi Pendekar Hina Kelana yang saat itu baru saja 

membebaskan diri dari kejaran para murid Lembah 

Weling yang sangat besar jumlahnya itu.

Sementara itu tak begitu jauh di sebelahnya 

nampak Dewi Wening Asih berjalan bersamanya. Wa-

jah gadis itu menunduk lesu. Dia memang kelihatan 

sedih sekali, sungguhpun Pendekar Hina Kelana telah 

menolongnya.

Sejauh itu Buang Sengketa masih belum berani 

mengatakan sesuatu pada perempuan yang ada ber-

samanya.

Saat-saat berikutnya Dewi Wening Asih sudah 

pula berkata:

"Tuan sudah menyelamatkan aku, lalu apa 

yang akan Tuan lakukan atas diriku?" tanya Dewi 

Wening Asih dengan wajah tertunduk.

Sementara itu bagai disengat puluhan kala 

berbisa Buang Sengketa nampak terlonjak demi men-

dengar pertanyaan yang sangat mengejutkan hatinya.

"Nona, kau ini bicara apa? Pantaskah hal se-

macam itu kau tanyakan padaku?" tanya Pendekar Hi-

na Kelana setengah tersinggung.

"Laki-laki di mana saja sama, setiap melakukan 

pertolongan pasti ada yang dimaunya...!" tukas Dewi 

Wening Asih sambil memalingkan muka.

"Hemm! Sebegitu jauhkah kau menilai diriku. 

Puih... aku memang manusia gembel yang sangat hina 

di depan manusia mana pun. Tetapi untuk melakukan 

perbuatan serendah itu. Alangkah lebih baik kalau aku 

menggorok leherku sendiri. Pada siapa pun aku tak 

pernah mengenal pamrih. Aku melihat kau dalam ke-

sulitan, salahkah aku bila aku menolongmu...?"


"Kau... oh, maafkan aku... fikiran ku terlalu ka-

cau, sehingga kau menilai mu dengan cara yang tak 

masuk diakal. Tetapi... ibu-ku... ibuku merekalah yang 

telah memenjarakannya di bawah tanah...!" Tersendat-

sendat suara Dewi Wening Asih. Akhirnya gadis itu 

pun kembali menangis. Sedih berpisah dengan ibunya.

* * *

TUJUH



Pendekar Hina Kelana menjadi tertegun-tegun 

demi melanggar tutur kata Dewi Wening Asih. Sama 

sekali dia tiada menyangka kalau sesungguhnya gadis 

yang sangat cantik itu berada di sarang para iblis ber-

sama dengan ibunya. Apa yang dikata-kan oleh gadis 

itu membuatnya semakin tertarik. Akhirnya kekesa-

lannya pun hilang sudah. Maka dengan hati diliputi 

rasa keingintahuan dia pun bertanya:

"Mengapa Nona dan ibu Nona sampai jatuh ke 

dalam cengkeraman orang itu?"

"Jangan memanggilku Nona. Namaku Dewi 

Wening Asih! Dan Tuan siapa...?" tanya gadis itu ma-

sih dengan wajah tertunduk.

Buang Sengketa nampak tersenyum-senyum 

begitu melihat Dewi Wening Asih nampak tersipu keti-

ka menyebutkan namanya sendiri.

"Hmm. Dewi Wening Asih, sebuah nama yang 

sangat bagus, sebagus dan secantik pemilik nama itu!" 

puji pemuda dari Negeri Bunian itu polos.

"Jangan memujiku setinggi langit, sebaliknya 

anda sendiri belum menyebutkan nama anda...!" ujar 

Dewi Wening Asih. Sekejap saja sudah nampak akrab.


Buang Sengketa garuk-garuk kepalanya yang 

tak gatal. Sambil tetap mengayunkan langkahnya, di-

buangnya pandangan matanya jauh-jauh. Selanjutnya 

dia pun menjawab.

"Ah, aku yang rendah ini, Buang Sengketa na-

maku. Orang-orang menjuluki aku sebagai si Hina Ke-

lana...!" kata pemuda itu merendah.

Sebaliknya Dewi Wening Asih begitu mendengar 

si pemuda menyebut dirinya sebagai si Hina Kelana 

nampak sangat terkejut sekali. Sedikitpun dia tiada 

pernah menyangka kalau pemuda tampan yang telah 

menyelamatkan dirinya dari cengkeraman para iblis 

dari Lembah Weling itu, masih begini muda. Selama ini 

dia memang pernah mendengar tentang adanya tokoh 

sakti yang berjuluk Pendekar Hina Kelana yang sangat 

terkenal dengan sepak terjangnya dalam membasmi 

segala bentuk kejahatan.

"Engkaukah Pendekar Golok Buntung yang 

sangat menggemparkan itu...?" tanya si gadis jelita ter-

tegun untuk sesaat lamanya.

Buang Sengketa tersenyum tawar, namun dia 

tetap mengayunkan langkahnya. Selanjutnya tanpa 

menoleh dia pun berucap.

"Aku adalah aku, tiada sesuatu pun yang dapat 

ku agung-agungkan. Hanya mereka sajalah yang terla-

lu menggembar gemborkan tentang diriku sampai ke 

mana-mana. Padahal si Hina Kelana adalah seperti 

yang kau lihat. Seorang gembel yang tiada memiliki 

apa-apa...!"

"Kau terlalu merendah, Kelana...! Padahal selu-

ruh kaum persilatan tahu siapa sesungguhnya kau 

ini...!" bantah Dewi Wening Asih sambil memandang 

penuh kekaguman pada pendekar yang berhati luhur 

ini.


Buang Sengketa menjadi tidak enak hatinya, 

maka cepat-cepat dia mengalihkan pembicaraan itu.

"Eee... tadi kau belum menjawab mengapa ka-

lian, maksudku engkau dan ibumu bisa sampai berada 

di kediaman rumah Jali Sajiwa, bahkan mau dijadikan 

istri lagi." tanya Buang Sengketa tanpa ada maksud 

menyinggung perasaan lawan bicaranya.

Yang ditanya nampak terdiam sesaat lamanya, 

lalu wajahnya cepat-cepat menunduk seolah ada sesu-

atu yang sangat dirahasiakannya agar si pemuda tiada 

sampai melihatnya. Sesuatu itu adalah air matanya 

yang sudah hampir tumpah membasahi pipinya yang 

kemerah-merahan tertimpa cahaya matahari.

"Mereka pernah datang merampok habis segala 

kekayaan yang dimiliki oleh ayahku. Bahkan kalau sa-

ja ayahku tak melarikan diri setelah bertempur dengan 

mereka, sudah barang pasti sudah dibunuhnya. Jali 

Sajiwa yaitu kepala garong besar yang sangat ditakuti 

oleh banyak orang itu pada akhirnya melarikan kami. 

Aku sendiri tak tahu bagaimana nasib ayah kini...?" 

Tak tertahankan lagi, Dewi Wening Asih pun menangis 

tersedu-sedu. Buang Sengketa jadi tak sampai hati me-

lihatnya.

"Mengapa ayahmu begitu pengecut telah me-

ninggalkanmu...?" tanya Buang Sengketa merasa san-

gat penasaran dibuatnya.

Mendadak Dewi Wening Asih seka sisa-sisa air 

mata yang masih mengalir menuruni pipinya.

"Ayahku tak sepengecut yang kau duga, Kelana! 

Setelah ibu melihat bahaya ayah hampir saja kalah 

bertarung dengan Jali Sajiwa dan para muridnya. Ma-

ka ibu meminta pada ayah untuk melarikan diri...!"

"Hemm. Jali Sajiwa dan orang-orangnya, andai 

bertemu denganku kapan saja, aku pasti tidak memberinya ampun...!" geram Buang Sengketa dengan gera-

ham bergemeletukkan.

Setelah itu Buang Sengketa terdiam, Dewi Wen-

ing Asih pun sama juga. Nampak nya mereka tengge-

lam dalam lamunannya masing-masing. Tetapi lang-

kah terus terayun. Hingga tanpa terasa mereka sudah 

sampai di pinggiran hutan. Dalam pada itu terdengar 

puluhan derap langkah kaki kuda, lama kelamaan su-

ara kaki kuda itu pun semakin mendekat. Sehingga 

semakin bertambah dekat saja jaraknya di antara me-

reka.

Baik Pendekar Hina Kelana maupun Dewi Wen-

ing Asih, tertegun-tegun melihat kehadiran para pe-

nunggang kuda yang jumlahnya tidak lebih dari dua 

puluh orang ini. Sebaliknya para penunggang kuda 

yang di bagian baju kanannya terdapat simbol kepala 

burung walet merah juga tak kalah kagetnya. Bahkan 

secara serentak mereka menarik tali kekang kuda se-

hingga kuda-kuda tunggangan itu berhenti saat itu ju-

ga.

"Seorang gadis cantik, berjalan dengan seorang 

aneh berperiuk, agaknya pemuda sinting ini mengeta-

hui banyak tentang arca itu...!"

"Langsung saja tanya, Ketua! Barangkali dia 

mengetahui tentang arca lambang persatuan seluruh 

kaum persilatan golongan lurus...!"

"Hemm. Betul juga, barangkali orang ini menge-

tahui tentang arca yang hilang itu...!" batin Luga Ken-

cana Ketua Perguruan Walet Merah yang berbadan 

tinggi kurus. Kemudian.

"Langsung saja tanya, apakah kau mengetahui 

atau pernah berjumpa dengan seorang kakek tua renta 

yang berjuluk Gembel Pengemis dari Pulau Naga?" 

tanya Luga Kencana sambil mengerling pada Dewi Wening Asih dengan pandangan mata curiga.

"Bertemu dengan anda sekalian saja baru kali 

ini, bagaimana mungkin aku mengenal orang yang se-

perti tuan maksudkan...?" ujar Buang Sengketa ber-

sungguh-sungguh.

"Ada keperluan apakah sehingga tuan-tuan 

mencari seorang gembel pengemis, kalau aku boleh ta-

hu...!"

"Menurut beberapa orang saksi mata. Gembel 

Pengemis dari Teluk Naga telah membunuh murid-

murid perguruan kami. Dengan merubah ujudnya 

menjadi seekor Siluman Harimau Kumbang. Keterla-

luan sekali dia itu! Kami harus menagih hutang nyawa 

pada gembel busuk tersebut...!" kata Luga Kencana 

dengan kemarahan yang tertahan-tahan.

Dalam pada itu beberapa orang murid Walet 

Merah yang sedari tadi memperhatikan Dewi Wening 

Asih tiba-tiba berseru pada ketua perguruannya.

"Guru. Bukankah gadis yang bersama pemuda 

ini merupakan anak dari Rajenta yang telah merat da-

lam pengejaran kita di Lembah Gunung Batu Siwak?"

Luga Kencana begitu mendengar ucapan salah 

seorang muridnya langsung menatap tajam pada Dewi 

Wening Asih.

"Hei... benarkah kau anaknya Rajenta yang te-

lah mampus di Lembah Gunung Batu Siwak...?" hardik 

Luga Kencana, mendadak parasnya berubah memerah.

Dewi Wening Asih dan Buang Sengketa saling 

berpandangan. Namun di luar dugaan semua orang, 

dengan sangat berani sekali Dewi Wening Asih menga-

kui.

"Benar. Akulah anaknya Rajenta! Dan pasti ka-

lian akan terus menuduh ayahku sebagai tukang ta-

dah Arca Harimau Kumbang yang sangat mengheboh


kan itu, bukan?"

"He... he... he...! Sungguhpun kami belum yakin 

betul tentang keterlibatan ayahmu dalam pencurian 

Area Harimau Kumbang yang hilang itu, namun ada 

kemungkinan ayahmu juga ikut terlibat dalam masa-

lah itu. Dan bukan tak mungkin pula bahwa kau juga 

tahu tentang arca lambang persatuan dari kaum ber-

golongan putih...!" tebak Luga Kencana tanpa menghi-

raukan kehadiran Buang Sengketa di tempat itu.

Merah padam wajah Dewi Wening Asih demi 

mendengar tuduhan yang sangat tidak beralasan itu.

"Ketua Perguruan Walet Merah, kiranya orang 

tua yang berpandangan picik! Tidak tahukah kalian 

gara-gara arca sialan itu aku dan ibuku hampir saja 

mengalami nasib celaka kalau tidak ditolong oleh pe-

muda ini?" bentak gadis jelita itu sambil menuding Lu-

ga Kencana yang masih duduk di atas pelana kudanya.

"He... he... he...! Apapun alasanmu, kami tak 

mau dengar. Kalau kalian berdua tidak mau memberi 

keterangan di mana adanya Gembel Pengemis dari Pu-

lau Naga berada, maka kalian akan kami tahan. Atau 

bila perlu kalian akan menjalani siksaan yang sangat 

berat." ancam Luga Kencana dengan sangat berang 

dan memandang penuh kebencian.

"Hak... hak... hak...! Ketua Perguruan Walet 

Merah, perguruan macam apakah sehingga kalian be-

rani mengaku sebagai orang yang berasal dari kaum 

golongan lurus. Setahuku engkau berpikiran sempit, 

bahkan mungkin kepandaianmu tak lebih daripada 

seekor keledai yang sangat tolol" Membentak Buang 

Sengketa karena merasa sangat tersinggung sekali.

"Gembel berperiuk! berani sekali engkau meng-

hina guru kami. Agaknya engkau sejenisnya setan ku-

buran yang sudah merasa bosan hidup?" teriak salah


seorang murid Perguruan Walet Merah gusar.

"Ha... ha... ha...! Beginikah tampangnya orang 

yang dipercaya untuk menjaga keselamatan arca yang 

sangat menghebohkan itu? Bukan tak mungkin men-

jaga anak bini saja tak becus...!" Maki Pendekar dari 

Negeri Bunian itu sambil tertawa mengejek.

"Keparat! Kiranya kau sengaja berpihak pada 

gadis cantik yang bersamamu itu, Bocah Hina...?" ma-

ki Ketua Perguruan Walet Merah sudah tak dapat 

membendung kemarahannya lagi.

"Ha... ha... ha...! Aku memang manusia hina, 

namun sekali-kali tidak aku berpihak kepada siapa 

pun terkecuali pada kebenaran...!"

"Sial! Anak-anak, ringkus kedua mata-mata 

pencuri itu...!" perintah Luga Kencana pada murid-

muridnya.

Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, secara 

serentak mereka berlompatan dari punggung kuda me-

reka masing-masing. Selanjutnya dengan pedang ter-

hunus mereka itu pun secara berbareng sudah menge-

pung Pendekar Hina Kelana dari berbagai penjuru. 

Menghadapi bahaya yang mengancam keselamatan 

mereka. Maka tanpa membuang waktu lagi, Buang 

Sengketa segera menyambar tubuh Dewi Wening Asih.

"Maaf, Dewi. Aku terpaksa memasukkan eng-

kau ke dalam periuk ku." berkata begitu pemuda itu

segera memasukkan tubuh Dewi Wening Asih ke da-

lam periuk yang menyimpan berbagai kegaiban itu.

"Anak-anak, tunggu apa lagi! Ringkuuus...!" te-

riak Luga Kencana sudah tak sabaran lagi.

Maka dalam waktu hanya sekejap saja, pedang 

di tangan lawan-lawannya menderu, mengejar pemuda 

ini ke mana pun dia berusaha menghindar. Lalu terja-

dilah pertarungan yang seru. Pedang di tangan masing-masing lawan menderu, menyambar bagian-bagian 

tubuh yang sangat mematikan. Menghadapi serangan-

serangan senjata tajam yang sangat berbahaya itu. Tak 

ayal lagi Pendekar Hina Kelana segera keluar-kan ju-

rus silat Membendung Gelombang Menimba Samudra.

Dengan mempergunakan jurus tersebut tubuh 

pemuda itu nampak bergerak ringan. Kadang tubuh 

bergerak sedemikian cepatnya. Di saat lain dengan 

mengandalkan ilmu mengentengi tubuh yang sangat 

sempurna berjumpalitan ke udara menghindari hujan 

senjata tajam yang datangnya sangat cepat dan bertu-

bi-tubi. Sungguhpun begitu, namun sejauh itu Pende-

kar Hina Kelana masih dapat menghindari serangan-

serangan gencar yang sangat mematikan itu.

Luga Kencana melihat murid-muridnya masih 

belum juga berhasil meringkus Buang Sengketa. Dia 

nampak sangat geram sekali, padahal seperti yang di-

ketahui oleh Luga Kencana, saat itu semua murid-

muridnya sudah mempergunakan jurus pedang yang 

sangat hebat. Yaitu jurus pedang Sekawanan Walet 

Merah Menyergap Capung. Ini sangat keterlaluan seka-

li. Terlalu hebatkah pemuda itu? Menurut pengliha-

tannya sendiri, Buang Sengketa tidak terlalu hebat. 

Hanya murid-muridnya saja yang tidak becus dan 

sangat keterlaluan sekali. Maka tak ayal lagi dia pun 

membentak murid-muridnya.

"Murid-murid pada goblok! Meringkus tikus 

gembel cacingan saja tidak becus, awas kalian kalau 

sampai memalukan perguruan." teriak Luga Kencana 

gusarnya bukan alang kepalang.

Mendapat ancaman dari gurunya sudah tentu 

membuat murid-murid Walet Merah itu menjadi sangat 

ketakutan sekali.


DELAPAN


Maka selanjutnya dengan tiada membuang-

buang waktu lagi, semua murid-murid Perguruan Wa-

let Merah dengan mengerahkan segenap kemampuan-

nya. Kini jurus-jurus pedang mereka berubah secara 

total. Gerakan-gerakan tubuh maupun pedang menjadi 

sangat cepat dan mematikan. Berulang kali nyaris saja 

pemuda itu terkena sambaran senjata-senjata yang 

sangat tajam tersebut. Buang Sengketa pada empat 

puluh jurus berikutnya nampak mulai terdesak hebat.

"Ciaaat!"

Bagai seekor udang yang menghindari serga-

pan-sergapan lawannya. Tubuh Pendekar Hina Kelana 

melentik ke udara. Maka begitu tubuhnya kembali me-

luncur ke bawah, tak ayal lagi dia segera melepaskan 

pukulan Empat Anasir Kehidupan yang sangat dahsyat 

itu. Selarik sinar ultra violet menderu sedemikian ce-

patnya meluruk pada lawan-lawannya yang tiada me-

nyadari akan datangnya pukulan yang berhawa panas 

luar biasa ini. 

"Blam...!"

Bumi terguncang hebat, terdengar jerit kema-

tian yang menyayat hati. Tubuh mereka yang terkena 

pukulan Empat Anasir Kehidupan nampak terpental 

ke segala arah. Di antara mereka ada yang tewas seke-

tika itu juga dengan keadaan tubuh hangus, tapi ada 

pula yang masih dalam keadaan sekarat atau pun ter-

luka parah.

Bukan main terkejutnya Luga Kencana demi 

menyaksikan apa yang terjadi di hadapannya. Lima 

orang tewas seketika, hanya pukulan yang benar-

benar sangat hebat sajalah yang dapat menjatuhkan


para muridnya. Namun di balik keterkejutan itu se-

sungguhnya dia sangat gusar sekali. Pemuda yang ti-

dak dikenalnya itu masih begitu sangat muda, namun 

memiliki pukulan yang sangat hebat. Sungguh dia 

sangat penasaran sekali dibuatnya.

"Bocah kau telah begitu berani membunuh mu-

rid-muridku. Kau harus menerima pembalasan yang 

setimpal...!"

"Sama seperti gurunya. Murid-muridmu juga 

merupakan orang tolol yang perlu diberi pelajaran...!" 

ejek Pendekar Hina Kelana sambil bersiap-siap dengan 

gebrakan-gebrakan selanjutnya.

"Anak-anak, mari kita cincang pemuda gembel 

ini beramai-ramai...!" berteriak begitu Luga Kencana 

langsung melompat dari atas punggung kuda tunggan-

gannya. Maka tak dapat terhindarkan lagi, pertarun-

gan sengit pun segera berlangsung kembali di pinggi-

ran hutan yang sangat sunyi tersebut.

Kini dengan turun tangannya Luga Kencana da-

lam pertempuran itu, maka kejab kemudian Buang 

Sengketa sudah kelihatan mulai terdesak. Selanjutnya 

tanpa ayal-ayalan lagi Pendekar Hina Kelana segera 

memainkan jurus-jurus si Gila Mengamuk. Bagai 

orang sinting yang sedang mabok, tubuhnya sem-

poyongan kian kemari. Bahkan jurus-jurus silat yang 

dimainkan nampak kacau tak beraturan. Sekali waktu 

dia terhuyung-huyung, di lain saat dia berkelit meng-

hindari babatan-babatan mata pedang yang datangnya 

menggebu-gebu. Namun di saat yang lain tubuhnya 

berkelebat lenyap membingungkan para lawan-

lawannya.

Hingga pada satu saat teringat pulalah olehnya 

tentang Ajian Pemenggal Roh. Pemuda itu langsung 

bertindak cepat. Lalu terdengar pula bunyi mendesis


desis bagaikan seekor raja ular yang sedang dilanda 

kemarahannya. Lalu tanpa ampun tubuhnya kembali 

berkelebat. Selanjutnya satu hal yang tiada pernah 

disangka-sangka oleh orang-orang itu.

"Huaiiiik,..!"

Jeritan tinggi melengking sambung menyambut 

dan tiada berkeputusan itu menggetarkan tempat me-

reka berpijak. Murid-murid Perguruan Walet Merah 

melolong setinggi langit. Mereka menggelepar roboh, 

darah mengalir dari gendang telinga yang rusak total 

akibat lengkingan Ilmu Pemenggal Roh. Di antara lima 

belas orang murid itu sepuluh di antaranya meregang 

ajal saat itu juga. Sedangkan yang lainnya berlarian 

kian ke mari bagai orang yang terganggu sarapnya.

Bukan alang kepalang terkejutnya Ketua Pergu-

ruan Walet Merah dibuatnya. Sama sekali dia tiada 

menyangka kalau pemuda yang dihadapinya justru 

memiliki ilmu yang sangat berbahaya sekali. Hal lebih-

lebih di luar jangkauan perhitungannya. Sungguhpun 

dengan mata kepala sendiri dia sudah menyaksikan 

betapa hebatnya ilmu yang dimiliki oleh pemuda gem-

bel yang berdiri di hadapannya, tapi kematian sekian 

banyak murid-muridnya telah membuatnya gelap ma-

ta. Maka dengan kemarahan yang tiada terkirakan Lu-

ga Kencana memaki habis-habisan.

"Keparat! Dengan pembunuhan yang kau laku-

kan ini, kau benar-benar telah mengundang permusu-

han terhadap seluruh kaum persilatan golongan lurus. 

Kau benar-benar sangat keterlaluan sekali...!" maki 

Luga Kencana saat itu sudah bersiap-siap dengan pu-

kulan mautnya yang diberi nama Seribu Walet Merah 

Memburu Burung Hantu.

"Kau... kau sendirilah yang memulainya, Ketua 

sinting. Tuduhanmu yang tiada beralasan itu benar


benar merupakan satu penghinaan yang benar-benar 

tidak dapat dimaafkan...!" tukas Pendekar Hina Kelana 

dengan pandangan berapi-api.

"Kutu kupret! Sebutkanlah namamu, andai kau 

mati agar tak susah-susah aku menuliskannya di batu 

nisan mu...?"

Buang Sengketa hanya tersenyum-senyum saja, 

saat itu dia berpendapat. Sungguhpun Perguruan Wa-

let Merah merupakan sebuah perguruan yang sangat 

besar. Tetapi sedikitpun juga dia tiada menyangka ka-

lau ketua perguruannya merupakan orang yang memi-

liki pandangan sempit.

"Hemm, baiklah agar kau tak menjadi penasa-

ran siapa adanya aku ini. Pasanglah kuping mu baik-

baik, Kisanak. Aku yang jelek ini bernama Buang 

Sengketa, orang-orang mengenalku sebagai si Hina Ke-

lana...!" ujar Buang Sengketa tanpa ada maksud untuk 

membanggakan diri.

Sungguhpun saat itu Luga Kencana merasa 

sangat terkejut demi mendengar pengakuan si pemu-

da. Namun demi menjaga gengsinya sedapatnya dia 

berusaha menutup-nutupi tentang kegelisahan ha-

tinya.

"Oho, kiranya kaulah pendekar yang sangat ke-

sohor itu, pantas sekali kau berani jual lagak di de-

panku." kata Luga Kencana dengan suara datar. Na-

mun sekejap kemudian dia sudah bergelak-gelak sam-

bil memandang penuh kebencian pada pemuda yang 

telah banyak membunuh para muridnya.

"Ha... ha... ha...! Pendekar Hina Kelana rupanya 

tidak lebih dari seorang gembel busuk. Puih... aku jadi 

ingin melihat sebagai mana hebatnya Pusaka Golok 

Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto yang sangat 

menghebohkan itu...!"


Pendekar Hina Kelana tersenyum getir, begitu 

iba dia memandang pada Luga Kencana yang saat itu 

sedang dirasuki setan amarah. Lalu dengan suara ter-

tahan, dia mengingatkan.

"Kisanak. Sebaiknya kau batalkanlah niatmu 

untuk mengetahui bagaimana hebatnya Pusaka Golok 

Buntung! Niat yang sama juga dulu pernah diucapkan 

oleh banyak orang. Tapi sungguh malang niat mereka 

itu tidak pernah berkesampaian...!"

Luga Kencana tergelak-gelak. Senyumnya sinis, 

dengan tatapan matanya yang diliputi nafsu membu-

nuh.

"Mulutmu terlalu sombong, Hina Kelana. Seka-

rang terimalah pukulan ini. Hiaaat!" Secara sontak Lu-

ga Kencana pukulkan kedua tangannya mengarah pa-

da tubuh lawannya.

"Weeer...!"

Tak ayal lagi satu gelombang pukulan yang 

berhawa sangat dingin menderu laksana kilat hingga 

timbulkan suara bersiuran. Buang Sengketa terkesiap 

karenanya. Lalu dalam keadaan yang sangat kritis itu.

"Hiaaaa...!"

Tubuhnya melentik ke udara. Selanjutnya begi-

tu dia melayang ke bawah, satu pukulan yang tak ka-

lah hebatnya dia lepaskan. Tak salah lagi, itulah puku-

lan Empat Anasir Kehidupan yang mengandung hawa 

yang sangat panas sekali. Gelombang sinar ultra violet 

itu laksana kilat memapaki datangnya pukulan yang 

dilepas oleh Luga Kencana yang berhawa sangat din-

gin. Selanjutnya tanpa terhindarkan lagi dua tenaga 

sakti itu pun saling bertubrukan di udara.

"Blam mm...!"

Tubuh kedua orang itu sama-sama terpelanting 

jauh. Sama-sama pula muntah darah namun Pendekar


Hina Kelana lah yang paling parah menerima akibat-

nya. Pemuda itu masih terus terbatuk-batuk. Dalam 

batuknya itu mengalir pula darah kental dari mulut 

dan lubang hidungnya. Dada masih terasa sesak dan 

nyeri sakit, pandangan mata berkunang-kunang.

Sungguhpun tidak terluka, tapi yang paling 

sengsara menerima akibatnya adalah Dewi Wening 

Asih yang masih tersekap di dalam periuk gaib terse-

but. Sebab begitu tubuh Buang Sengketa terpelanting 

dan terguling-guling, maka tak ayal lagi periuk itu pun 

ikut pontang panting sehingga menyebabkan tubuh di 

dalamnya menjadi tunggang langgang tak karuan.

Sementara itu Luga Kencana sudah bangkit 

berdiri, dia lalu seka bibirnya yang belepotan darah 

kental. Dalam hati dia memuji kehebatan pukulan 

yang dimiliki oleh Pendekar Hina Kelana. Bahkan tadi 

dia merasakan betapa pukulan miliknya yang berhawa 

sangat dingin itu hampir saja tertelan bulat-bulat oleh 

pukulan lawan yang berhawa sangat panas luar biasa. 

Dan bahkan andai saja dia tiada memiliki kekebalan 

tubuh, sudah barang tentu dia akan menerima akibat 

yang lebih parah lagi dari lawannya.

Tekadnya membara, dia sudah tidak ingin 

mundur walau apa pun yang bakal terjadi. Dia ber-

keyakinan dua pukulan yang lebih dahsyat yang dia 

miliki mungkin saja mampu menjatuhkan Pendekar 

Golok Buntung. Seandainya tidak pun dia masih me-

miliki sebilah pedang dan jurus-jurus pedang yang 

sangat diandalkan. Itulah sebabnya sambil bersiap-

siap dengan kuda-kudanya dia berseru lantang.

"Bocah! Ternyata Pendekar Hina Kelana bukan-

lah nama kosong. Kau benar-benar seorang gembel 

yang sangat tangguh." puji Luga Kencana tanpa tedeng 

aling-aling.


Selanjutnya sambungnya:

"Tapi engkau jangan sombong dulu, aku masih 

punya pukulan pamungkas dan jurus pedang yang 

dapat membantai ratusan kawanan serigala. Dan ka-

lau kau benar-benar merupakan seorang pendekar 

yang sangat digjaya, akulah yang akan menghapus 

namamu yang sangat kesohor itu. Andai aku dapat 

membunuhmu, maka aku akan tersohor melebihi kau, 

aku akan menjadi sangat terkenal...!" kata Luga Ken-

cana disambung dengan suara tawa bergelak-gelak.

Buang Sengketa tersenyum kecut, lalu dengan 

suara yang sangat lirih namun disertai tenaga dalam 

dia berkata seolah-olah pada dirinya sendiri.

"Masih sangat banyak jalan untuk menjadi ter-

kenal. Tapi mengapa justru kau menempuh cara yang 

paling sulit...?"

Nanar pandangan mata Luga Kencana demi 

mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh si pe-

muda. Selama malang melintang dalam dunia persila-

tan, baru kali ini ada seorang gembel yang telah begitu 

berani menghinanya sedemikian rupa. Ini sangat keter-

laluan sekali. Pemuda yang berdiri tegak di hadapan-

nya itu benar-benar sangat perlu untuk dihajar. Yang 

lebih setimpal lagi dibunuh secepatnya.

"Bangsat sombong. Justru bagiku membunuh-

mu adalah merupakan satu cara yang paling mudah 

untuk kulakukan...! Mampuslah!" jerit Luga Kencana. 

Saat itu dengan sekali berkelebat saja, pukulan Walet 

Merah Menerjang Ombak dia lepaskan.

"Ngung...!"

Pasir-pasir beterbangan, suasana sunyi itu di-

kejutkan dengan suara riuh rendah bergemuruhnya 

gelombang pukulan yang terlepas. Buang Sengketa kali 

ini tak mau bersikap ayal-ayalan lagi.


"Wuuuus!"

Pukulan yang paling sangat diandalkan yang 

bernama si Hina Kelana Merada dia lepaskan.

Bagai auman harimau terluka terdengar ber-

samaan melesatnya selarik sinar merah yang berhawa 

sangat panas luar biasa. Belum lagi pukulan itu saling 

bertemu. Tanah di sekitarnya tergetar hebat. Tak lama 

kemudian tanpa dapat dicegah lagi.

"Blaaar...!"

Malang sekali nasib Pendekar Hina Kelana ini, 

tubuhnya kembali terpelanting tujuh tombak. Semen-

tara Luga Kencana hanya tergetar saja. Laki-laki se-

tengah baya itu pun menyeringai dengan sesungging 

senyum penuh kemenangan. Tanpa memberi waktu 

pada lawannya. Dia segera mencabut pedangnya. Se-

lanjutnya segera memburu lawannya yang dalam kea-

daan terkapar karena luka dalam yang sangat parah.

Masih untung dalam detik-detik yang sangat 

kritis bagi keselamatannya sendiri. Buang Sengketa 

masih dapat menyadari bahwa lawannya saat itu me-

mang benar-benar menghendaki nyawanya.

"Wuuut!"

Pedang Pusaka Perguruan Walet Merah dan 

berwarna merah pula menyambar tubuh Buang Seng-

keta. Masih untung sesaat sebelumnya dengan sisa-

sisa tenaganya dia bangkit lalu mengelak.

"Beeet!"

Serangan pedang Luga Kencana luput, tetapi 

baik tubuhnya maupun pedangnya terus memburu ke 

mana pun Pendekar Hina Kelana ini berusaha berkelit 

menghindar.

"Jadah!" maki Luga Kencana, mendesak dan 

Buang Sengketa sedikit lengah.

"Brebet...!"


Pedang di tangan Luga Kencana menyambar. 

Buang Sengketa mengeluh begitu merasakan pedang 

di tangan lawan merobek pangkal lengannya. Sehingga 

pakaiannya terobek dan darah mengucur dari luka 

yang menimbulkan rasa nyeri. Pendekar Hina Kelana 

yang sejak tadi mencoba memendam rasa amarahnya, 

kini sudah hilang kesabarannya. Dengan tiga kali ber-

jumpalitan tubuh Buang Sengketa telah melompat 

menjauh. Selanjutnya dia berseru lantang.

"Untuk terakhir kalinya kuperingatkan pada-

mu, Kisanak. Lebih baik kita sudahi pertarungan ini. 

Kalau tidak kau benar-benar akan menyesali atas se-

gala kekeliruan mu...!"

Dengan melintangkan pedang pusaka di depan 

dada, sebaliknya Luga Kencana malah berkata men-

cemooh.

"Siapa mau perduli dengan akal bulus mu. Su-

dah mau mampus masih juga berusaha menggertak

ku...!"

Buang Sengketa akhirnya menjadi gelap mata, 

wajahnya sebentar saja sudah nampak menegang. Bi-

bir Buang Sengketa berkemik-kemik mengeluarkan 

bunyi mendesis. Luga Kencana memang nampak terke-

jut, tetapi kemudian langsung menerjang dengan sen-

jata terhunus.

Tiada menyia-nyiakan kesempatan lagi, tubuh 

Buang Sengketa berkelit menghindar. Selanjutnya ber-

kelebat sehingga merupakan bayang-bayang saja.

"Ngung...!"

Dalam teriknya matahari siang hari, nampak 

sinar merah berkelebat mengurung diri Luga Kencana. 

Tak salah lagi, itulah Pusaka Golok Buntung yang ter-

kenal sangat dahsyat itu.

Golok Buntung yang berada dalam genggaman


si pemuda mengalirkan hawa hangat ke bagian tubuh-

nya yang terluka, hingga lama-kelamaan rasa menye-

sak di dalam rongga dadanya semakin lama semakin 

berkurang. Sebaliknya bagi pihak lawan kehadiran

senjata di tangan Buang Sengketa malah menimbulkan 

hawa dingin yang teramat sangat hingga menimbulkan 

kejut di hati Luga Kencana.

Tiada kesempatan bagi ketua Perguruan Walet 

Merah ini untuk berfikir panjang. Golok di tangan 

Buang Sengketa menderu, kemudian mendesaknya.

Luga Kencana keluarkan seruan tertahan sak-

ing kagetnya karena tahu-tahu senjata maut itu tiga 

jengkal di depan hidungnya. Tiada pilihan lain terke-

cuali memapaki babatan golok di tangan lawan dengan 

pedang pusaka milik perguruan Walet Merah.

"Traaaang! Criiiing!"

Tanpa ampun, senjata di tangan Luga Kencana 

menjadi rompal di beberapa bagian. Dengan tangan 

bagai kesemutan Luga Kencana berusaha menghindari 

babatan golok yang terasa bagai memiliki mata itu.

"Ngung...!"

"Aaiyaaaaa...!" teriak ketua Perguruan Walet 

Merah sambil berusaha menghindar selanjutnya ber-

jumpalitan di udara.

Begitu tubuhnya melayang turun dan belum la-

gi sempat menjejakkan kakinya di atas permukaan ta-

nah, Golok Buntung di tangan Buang Sengketa me-

nyambutnya. Dalam kegugupannya dia kembali ba-

batkan pedangnya memapaki datangnya sambaran go-

lok di tangan Pendekar Hina Kelana.

"Praaang!"

Tubuh Luga Kencana tersentak ke belakang, 

senjata pedang pusaka milik Perguruan Walet Merah 

patah menjadi beberapa bagian. Buang Sengketa yang


sudah gelap mata itu kembali babatkan goloknya. Be-

lum lagi hilang keterkejutan Luga Kencana, dia merasa 

adanya angin sambaran senjata di bagian bahu ki-

rinya. Begitu dia menoleh dan berusaha untuk meng-

hindar, segalanya sudah terlambat.

"Craaaas!"

Luga Kencana menjerit setinggi langit, tangan-

nya yang terbabat golok di tangan Buang Sengketa ter-

jatuh di bawahnya sendiri. Cepat-cepat Luga Kencana 

menotok beberapa bagian jalan darah di pangkal len-

gannya. Dengan wajah pucat dan sangat ketakutan 

sekali. Dia melompat ke punggung kudanya.

"Hati-hati kau, Pendekar keparat! Lain waktu 

seluruh golongan persilatan akan mencincang tubuh-

mu...!" kata Luga Kencana. Lalu bersamaan dengan itu 

tanpa menoleh-noleh lagi, ketua Perguruan Walet Me-

rah yang sudah kehilangan sebelah tangannya itu 

langsung menggebrak kudanya.

Pendekar Hina Kelana tiada perduli. Yang ada 

dalam hatinya saat itu adalah bagaimana caranya un-

tuk menemukan Arca Harimau Kumbang yang telah 

menimbulkan banyak korban itu.

Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi dia 

pun berkelebat pergi, tetapi begitu teringat pada Dewi 

Wening Asih yang masih berada di dalam periuk gaib-

nya. Sambil terus berlari dia menyambar tubuh Dewi 

Wening Asih yang sudah basah kuyup mandi keringat 

karena terlalu lama disekap di dalam periuk itu. Sung-

guhpun saat itu Dewi yang sangat cantik itu marah-

marah. pada Buang Sengketa, namun pemuda itu tia-

da perduli. Dia terus berlari dan berlari hingga akhir-

nya tubuh mereka lenyap setelah melewati sebuah ti-

kungan jalan.


SEMBILAN


Sejak tangan mereka kena dibuntungi oleh 

Pendekar Hina Kelana mulai saat itu selama beberapa 

purnama si Kembar Pedang Dewa bergiat melatih diri 

dengan ilmu pedang mereka yang baru. Dengan nama 

baru pula, yaitu si Kembar Pedang Dewa Tangan 

Tunggal. Selama berbulan-bulan mereka melatih diri di 

sebuah daerah terpencil yang diberi nama Lembah Pu-

tus Asa.

Sejak Pendekar Hina Kelana mempermalukan 

diri mereka, manusia kembar dari Pulau Bawean itu 

sudah bertekad untuk membalas dendam. Dari niat-

nya semula untuk memiliki Areca Harimau Kumbang 

kini berbalik jadi ingin membalaskan dendam secepat-

cepatnya.

Siang dan malam tanpa kenal rasa lelah mere-

ka melatih diri, hingga enam purnama kemudian me-

reka sudah merasakan bahwa segala sesuatunya telah 

dianggap cukup. Maka di pagi buta keesokan harinya 

si kembar telah meninggalkan Lembah Putus Asa.

Sementara itu pada saat yang sama di sebuah 

daratan tinggi yang banyak terdapat batu kapur. Nam-

pak seorang kakek tua renta berpakaian tambal-

tambal dan sudah kelihatan sudah sangat usang. Den-

gan sebuah tongkat berkepala Kepala Naga Merah dan 

sebuah Arca Harimau Kumbang yang terbungkus kain 

bekas terletak di bagian punggungnya.

Kakek tua renta itu tak lain adalah Gembel 

Pengemis dari Teluk Naga yaitu orang yang telah mela-

rikan Area Harimau Kumbang telah dicurinya dari Per-

guruan Walet Merah. Pagi itu di atas sebuah batu ca-

das, Gembel Pengemis nampak sedang duduk di sana.


Wajahnya yang sudah keriputan itu nampak tertun-

duk, sementara tubuhnya sedikit menggigil seperti ke-

dinginan.

Sesungguhnya bukan kedinginan karena udara 

pagi, sebenarnya tidak begitu dingin. Tapi rasanya ada 

sesuatu yang dia derita, rasa sakit yang menyerang se-

kujur tubuhnya bagai orang yang terkena demam ma-

laria.

Tak dapat disangkal kenyataan seperti itu 

membuat Gembel Pengemis merasa terus tersiksa se-

panjang hari. Nampaknya Gembel Pengemis dari Pulau 

Naga itu tiada menyadari bahwa saat itu Kutuk Hari-

mau Kumbang sedang terjadi atas dirinya. Caranya 

yang sangat ceroboh mempelajari kitab yang terdapat 

di dalam mulut area tersebut tanpa bimbingan seorang 

guru benar-benar telah menyesatkan jalan darah di 

dalam tubuhnya. Siapa pun orangnya yang berani 

mempelajari Kitab Siluman Harimau Kumbang yang 

terdapat di dalam mulut area tersebut maka akan 

mengalami suatu resiko yang tak dapat dianggap rin-

gan. Gembel Pengemis sudah tahu hal itu. Namun se-

jak dia berhasil merubah ujudnya menjadi ujud Si-

luman Harimau Kumbang, semua pesan-pesan yang 

ada itu terlupakan begitu saja. Apalagi setelah me-

nyaksikan sendiri betapa hebatnya dia dengan siluman 

jejadian yang merupakan penjelmaan dari dirinya sen-

diri. Kini dengan seenak perutnya dia dapat berubah-

ubah dalam waktu yang dia kehendaki. Korban pun 

berjatuhan di mana-mana. Dengan sangat sengaja se-

kali dia menyebarkan teror. Sejauh itu dia merasa ma-

sih belum puas, sebelum dunia persilatan menjadi 

gempar karenanya.

Sementara itu tidak begitu jauh dari tempat 

Gembel Pengemis berada, si Kembar Pedang Dewa


Tangan Tunggal yang kebetulan melintasi daerah itu. 

Dengan mengendap-endap nampak mendekat Gembel 

Pengemis dari bagian belakangnya.

Beberapa saat kemudian jarak di antara mere-

ka benar-benar semakin bertambah dekat saja.

Sebagai orang yang berpengalaman Gembel 

Pengemis bukan tiada mengetahui kehadiran si kem-

bar yang sejak tadi mencurigai keberadaan Gembel 

Pengemis di tempat itu. Namun dia kelihatan acuh sa-

ja, bersikap masa bodoh dan seolah-olah tak mengerti.

Dalam hati dia ingin tahu apa sesungguhnya 

yang akan diperbuat oleh si kembar padanya. Semen-

tara itu dua kembar dari Pulau Bawean itu nampak 

saling berbisik sesamanya.

"Lihatlah, nampaknya benda yang terbungkus 

kain di punggung Gembel Pengemis itu merupakan Ar-

ca Harimau Kumbang yang dicari-cari oleh banyak to-

koh-tokoh persilatan. Agaknya kalau kita mau, kita 

berdua punya kesempatan untuk merampas area itu 

dari tangan si Gembel...!" berkata si kembar yang ber-

badan gemuk tinggi. Sementara salah seorang yang 

berbadan gemuk pendek nampak garuk-garuk kepa-

lanya.

"Nampaknya kakek itu bukanlah orang yang bi-

sa dianggap sembarangan, Kakang! Lagipula aku su-

dah tidak begitu berminat dengan benda yang ada ber-

sama kakek gembel tersebut. Pula bukankah kita se-

karang ingin mencari pendekar yang telah membuat 

buntung tangan kita...?"

"Itu betul, tapi apa salahnya kalau sekalian kita 

dapatkan arca yang ada bersama dengan gembel itu...!"

Si Kembar Gemuk Pendek geleng-gelengkan ke-

palanya.

"Kau tidak setuju?" tanya si Gemuk Tinggi.


"Aku sih setuju-setuju saja, tapi kalau orang itu 

mengadakan perlawanan bagaimana nantinya...?" ujar 

si gemuk pendek seperti sudah mengenali siapa se-

sungguhnya yang berpakaian tambal-tambal itu.

"Mengapa harus takut, aku tahu dia itu de-

dengkotnya tokoh sesat dari Pulau Naga. Tetapi den-

gan kemajuan pesat ilmu Pedang Tangan Tunggal yang 

kita miliki bukan mustahil kita tak dapat mengalah-

kannya...!" kata si kembar tinggi gemuk merasa sangat 

yakin dengan kemampuan yang dimilikinya.

"Kalau hal itu sudah merupakan kemauanmu, 

maka aku hanya menurut saja, Kakang!"

Dalam pada itu terdengar suara bentakan 

Gembel Pengemis tanpa beranjak dari tempat duduk-

nya.

"Kusak kusuk kayak monyet betina yang lagi 

jatuh cinta. Keluar dari persembunyian atau kuseret 

kalian dari tempat itu...?" kata Gembel Pengemis, pelan 

namun mengancam.

"Hemm. Apa kubilang, Kakang. Gembel sialan 

itu benar-benar mengetahui kehadiran kita di sini...!" 

ucap si Gemuk Pendek. Lalu mereka pun saling ber-

pandangan sesamanya.

"Keluar kataku...!" bentak Gembel Pengemis gu-

sar.

Maka tanpa membuang-buang waktu lagi.

"Krosaaaak...!"

Dua orang kembar itu langsung melesat dari 

tempat persembunyiannya. Sejenak masing-masing 

mereka saling berpandangan sesamanya. Kemudian 

Gembel Pengemis tertawa terkekeh-kekeh.

"Ah... ah...! Kalian ini benar-benar dua monyet 

kembar yang sangat kompak sekali. Pertama-tama. 

Muka kalian kayak lutung. Badan gemuk kayak babi



hutan. Lucunya tangan kalian dibuntungi pada bagian 

yang sama. He... he... he...!"

"Kurang ajar! Kau benar-benar telah menghina 

kami, .Gembel cacingan...!" maki si Tinggi Gemuk den-

gan wajah merah padam. Karena wajahnya yang di-

tumbuhi bulu dan hitam legam, maka kalau pun dia 

marah, maka hal itu di luar sepengetahuan Gembel 

Pengemis. Saat itu Gembel Pengemis masih saja terta-

wa tergelak-gelak.

"Sialan, monyet lutung berani sekali kau me-

makiku. Tidak tahukah kau dengan siapa kalian ber-

hadapan...?"

Baik si Tinggi Gemuk maupun si Gemuk Pen-

dek sama-sama nampak tersenyum sinis.

"Terhadap dedengkot pencuri Arca Harimau 

Kumbang dari Pulau Naga siapa takut. Tua renta su-

dah bau tanah...!"

"Hemm. Bagus kalau kalian mengenalku. 

Agaknya kalianlah yang berjuluk si Kembar Pedang 

Dewa dari Pulau Bawean. Heran... mengapa kalian 

sampai keliaran mencari mampus saja sampai sejauh 

ini...?"

"Ha... ha... ha...! Bukan kematian yang kami 

cari, Gembel bau! Tapi Arca Harimau Kumbang yang 

kau curi itulah yang sangat menarik perhatian kami!" 

tukas si Gemuk Pendek sambil tersenyum mencemooh.

Bukan main gusar Gembel Pengemis dari Pulau 

Naga ini demi mengetahui apa maksud tujuan dari Si 

Kembar Pedang Dewa itu.

"Hebat! Ambisi kalian untuk memiliki arca yang 

ada padaku memang patut kupuji. Tetapi yakinlah 

keinginan kalian yang muluk-muluk itu akhirnya 

hanya akan berubah menjadi mimpi yang sangat me-

nakutkan sekali...!"


"Gembel keparat! Sungguhpun kepandaianmu 

setinggi langit. Walaupun kesaktian yang kau miliki 

sebanyak buih di lautan. Jangan kira aku dan adikku 

takut menghadapimu...!"

"Sriiing...!"

Si Kembar Pedang Dewa sudah mencabut sen-

jata mereka yang berupa sebilah pedang kembar yang 

sangat putih berkilau-kilauan karena ketajamannya.

Gembel Pengemis hanya tersenyum saja demi 

melihat apa yang dilakukan oleh si kembar dari Pulau 

Bawean itu. Sebaliknya setelah sesaat setelahnya dia 

segera berseru memberi peringatan.

"Kuperingatkan padamu. Karena kita masih se-

golongan, baiknya sarungkanlah senjata kalian itu. Ka-

lau tidak kalian benar-benar orang yang paling me-

nyesal karena kesalahan sendiri...!"

"Keder juga kau, Gembel Pengemis. Tapi keta-

huilah, bahwa senjata kami baru akan kembali ke sa-

rungnya apabila kau bersedia menyerahkan arca itu ke 

tangan kami!" kata si tinggi gemuk. Ketus.

"Hoho...! Kalau begitu tidak salah kalau aku 

merobek-robek tubuhmu...!" teriak Gembel Pengemis 

dari Pulau Naga sudah tidak dapat menahan kesaba-

rannya.

Maka tak ayal lagi pertarungan sengit pun su-

dah tak mungkin dapat dihindari lagi. Sekejap saja 

terdengar suara beradunya senjata tajam di tempat 

yang sangat sunyi itu. Secara bersamaan si Kembar 

dari Pulau Bawean itu menyerang Gembel Pengemis 

dengan jurus-jurus pedang baru hasil ciptaan mereka 

sendiri.

Bertarunglah tokoh-tokoh sesat tingkat tinggi 

itu dengan mengerahkan segenap kemampuannya! 

Dengan pedang di tangan mereka, senjata mustika


yang sangat besar pamornya itu berkelebat ke segala 

arah, mengarah pada bagian pertahanan Gembel Pe-

ngemis. Serangan-serangan gencar itu datangnya san-

gat beruntun, sambung menyambung tiada henti. 

Sungguh merupakan jurus-jurus silat yang sengaja di-

ciptakan oleh si kembar dengan hati diliputi oleh den-

dam.

Terbukti setelah pertarungan berlangsung lebih 

kurang lima belas jurus, Gembel Pengemis dari Pulau 

Naga ini nampak terdesak hebat. Hanya karena me-

mang pengalaman saja maka Gembel Pengemis dengan 

tongkat mautnya yang berkepala Naga Merah dia 

mampu bertahan.

Sekali waktu, Gembel Pengemis yang sudah 

sangat terdesak itu keluarkan jerit tinggi melengking. 

Tubuhnya nampak melesat ke udara. Tanpa ampun si 

kembar memburunya.

Di luar dugaan para si kembar, begitu tubuh 

Gembel Pengemis meluncur ke bawah, dia langsung 

tekan salah satu sisi tongkatnya.

"Buuus!"

Udara beracun tersembur dari mulut tongkat 

yang di bagian pangkalnya merupakan ujud dari kepa-

la naga. Udara di sekitarnya mendadak gelap gulita. Si 

kembar terbatuk-batuk, sebaliknya Gembel Pengemis 

tertawa mengekeh.

"Bet! Bet!"

Sinar pedang di tangan si kembar bergulung-

gulung, sehingga lama-kelamaan membuyarkan asap 

beracun yang mengurung tubuh mereka. Bukan main 

terkejutnya Gembel Pengemis dibuatnya, karena ter-

nyata si Kembar Pedang Dewa tidak mempan terhadap 

uap beracun yang sesungguhnya sangat ganas.

"Jlik! Jlik!"


Si Kembar balik mengekeh.

"Gembel bau! Segala uap beracun mainan 

anak-anak kau gelar di hadapan kami. Heh.... Tiada 

gunanya. Kau manusia sesat, kami juga! Di Pulau Ba-

wean juga tak kalah banyaknya dengan segala racun 

meracun.... Baiknya kau serahkan saja arca itu pada 

kami!" perintah si tinggi gemuk.

"Jangan bangga dulu sobat sesat! Masih ba-

nyak pukulanku yang bisa membuat kalian mampus 

seketika...!" maki laki-laki renta berambut putih ini.

"Kerahkanlah segenap yang kau punya, Gembel 

Tua. Kami siap melayani sampai kau terbujur menjadi 

bangkai...!" ejek si kembar gemuk pendek.

"Lihat tongkat dan jaga pukulan. Seaaa...!"

Tongkat di tangan Gembel Pengemis menderu, 

pedang di tangan si Kembar berkelebat memapaki. Tak 

ayal lagi kini si Kembar dari Pulau Bawean itu telah 

pula memainkan jurus pedang hasil ciptaan mereka. 

Pedang Kembar Membalas Dendam.

Bukan main hebatnya jurus-jurus pedang me-

reka. Walaupun saat itu dua kembar itu dalam posisi 

menahan dan Gembel Pengemis dalam keadaan me-

nyerang. Namun terlihat bahwa posisi gembel penge-

mis-lah yang terdesak. Berulang kali serangan berun-

tun yang dibangun oleh Gembel Pengemis selalu kan-

das di tengah jalan. Sekali dua Gembel Pengemis me-

nusukkan tongkat naganya, yang sangat tajam bagian 

ujungnya itu. Tetapi sialnya tubuh si Kembar malah 

alot luar biasa. Menghadapi kegagalan demi kegagalan 

itu, lama kelamaan Gembel Pengemis menjadi hampir 

putus asa.

"Ciaaaat!"

Gembel Pengemis melompat mundur satu tom-

bak, selanjutnya dia sudah bersiap-siap dengan puku


lan Naga Merah Memburu Gajah. Begitu tangannya 

berkiblat, maka tanpa ampun menderulah satu gelom-

bang pukulan yang sangat dingin dan keji ke arah tu-

buh si kembar.

Mengetahui adanya pukulan yang sangat dah-

syat dan bahkan pernah di kenalnya. Si kembar pun 

tiada tinggal diam. Laksana kilat mereka putar pe-

dangnya melindungi diri.

"Nguuung!"

Sekejap tubuh si kembar lenyap terbungkus 

gulungan sinar pedang yang menderu dahsyat.

"Bluaaar!"

Tubuh Gembel Pengemis tergetar, sebaliknya si 

kembar terdorong dua langkah, dengan keadaan sem-

poyongan. Wajah masing-masing lawan menjadi pucat 

pasi. Dada mereka terasa sesak sekali, sungguhpun 

masing-masing tak sampai muntah darah tetapi mere-

ka sadar dalam segi kekuatan mereka tiada yang lebih

tinggi dan tiada pula yang lebih rendah.

Saat itu Gembel Pengemis sudah berpikir-pikir 

untuk mengeluarkan Siluman Harimau Kumbang. Tapi 

apabila dia teringat pada lawannya yang juga kebal 

terhadap semua apa yang dimilikinya. Dia jadi urung, 

semuanya akan jadi sia-sia. Dia merasa sungguhpun 

dia dapat berubah menjadi Harimau Kumbang, tapi 

apalah gunanya kalau pada akhirnya dia tak berhasil 

merobek-robek tubuh lawannya. Bukan mustahil ka-

lau lawannya sampai tahu kelemahan seekor siluman 

dia dapat saja terbantai dengan sangat mudah saja. 

Pikirannya bekerja cepat. Sampailah kesimpulannya 

andai saja mereka bersatu mempertahankan Arca Ha-

rimau Kumbang tersebut. Bukankah mereka akan 

menjadi kuat. Tapi sebelum persatuan itu dia laksana-

kan dia masih ingin melepaskan satu pukulan yang


sangat hebat.

"Gembel Pengemis, kau atau pun kami sama-

sama kuatnya. Tapi kalau kau masih tetap keras kepa-

la tidak mau menyerahkan arca itu, lama kelamaan 

kami pasti dapat menjatuhkan mu...!" teriak Gemuk 

Pendek. 

"Jangan banyak bacot, tahanlah ini...!" Dengan 

ucapannya itu, Gembel Pengemis langsung kirimkan 

satu pukulan yang lebih ganas lagi. Pukulan Naga Me-

rah Menggusur Gelombang. Tak salah lagi. Sementara 

itu, si kembar pun sudah siap dengan jurus pedang 

Perisai Pedang Dewanya.

Tak pelak, begitu tubuh masing-masing lawan 

berkelebat. Maka Gembel Pengemis lepaskan satu pu-

kulan yang sangat hebat dan berhawa lebih dingin 

membekukan urat-urat darah.

Sementara itu si kembar putar pedangnya, be-

gitu sebat dan sangat perih mata melihatnya. 

"Weeer!"

"Traaang! Bluuum!"

Terdengar suara bagai gempa melanda begitu 

pukulan yang dilepaskan oleh Gembel Pengemis den-

gan pedang di tangan si kembar bertubrukan. Tubuh 

si kembar terpelanting tiga tombak, tangan terasa din-

gin bagai membeku, sementara itu tanpa terasa oleh 

mereka darah kental meleleh dari lubang hidung me-

reka. Sementara itu di pihak Gembel Pengemis sendiri 

tidak jauh lebih baik. Tubuhnya yang sudah sangat 

renta itu pun terjengkang empat tombak tanpa ampun. 

Darah pun meleleh dari celah bibir dan hidungnya. 

Semua itu diakibatkan sebagian besar pukulan yang 

dilepaskannya membalik dan menghantam dirinya 

sendiri.

Dengan tertatih-tatih Gembel Pengemis bangkit,


sebagian wajahnya nampak semakin bertambah kotor 

diliputi debu. Sementara saat itu si kembar sudah ber-

diri bertolak pinggang dengan nafas senin kamis.

Gembel Pengemis begitu bangkit segera angkat 

tangannya tinggi-tinggi. Selanjutnya gembong manusia 

sesat itu pun berucap.

"Cukup. Kita sudahi saja urusan ini sampai di 

sini...!" ucapnya dengan tersendat-sendat.

"Apa maksudmu. Di antara kita belum ada yang 

kojor mengapa harus berhenti?" tukas si gemuk tinggi.

"Bagaimana kalau kita berdamai saja. Maksud-

ku sama-sama menjaga keselamatan arca ini dari an-

caman siapa pun. Kalau kalian mau, aku pasti mem-

beri kesempatan pada kalian untuk mengetahui sesua-

tu yang tak pernah kalian miliki...!" kata Gembel Pen-

gemis.

"Sesuatu apa...?" tanya si Gemuk Pendek pena-

saran.

"Baiknya kita cari tempat yang aman... di sana 

kita bisa berbicara banyak!!"

"Kalau bilang sejak tadi kan kita tak perlu 

buang-buang tenaga...!" celoteh si gemuk tinggi. Gem-

bel Pengemis tiada menyahut. Tetapi kemudian mereka 

tertawa tergelak-gelak sambil berkelebat meninggalkan 

tempat itu.

* * *

SEPULUH



Sejak meninggalkan Lembah Gunung Batu Si-

wak. Rajenta sesuai dengan pesan guru para siluman, 

langsung saja menuju Perguruan Walet Merah. Adapun


tujuan utamanya adalah ingin menanyakan ten-tang 

kabar Arca Harimau Kumbang yang telah lenyap dari 

perguruan itu. Sungguhpun dia pernah dimusuhi oleh 

Luga Kencana dan murid-muridnya. Namun sedikit 

pun tidak dendam di hatinya, dia ingin menjernihkan 

persoalan yang menjadi kemelut para kaum persilatan. 

Untuk itu tanpa membuang-buang waktu lagi dia sege-

ra mengerahkan ilmu lari cepatnya.

Namun baru saja beberapa ratus tombak dia 

mengerahkan ilmu lari cepatnya. Mendadak terdengar 

suara bentakan tidak jauh dari tempat laki-laki itu be-

rada.

Rajenta menghentikan langkahnya. Sejenak dia 

memandang berkeliling. Lalu bermunculan sosok-

sosok tubuh dari semak-semak belukar. Orang-orang 

itu segera mengurung Rajenta. Laki-laki itu menatap 

sinis pada orang-orang yang sangat dikenalnya. Kemu-

dian dia membentak gusar.

"Hemm. Sangat kebetulan sekali, kalian ten-

tunya para murid dari Lembah Weling yang telah men-

culik istri dan anakku." ucap Rajenta. Tapi begitu ma-

tanya memandang berkeliling dan tak dilihatnya Jali 

Sajiwa bersama para murid-muridnya. Maka dengan 

sangat penasaran sekali dia berseru.

"Tak kulihat si bangsat Jali Sajiwa bersama-

sama kalian...?"

Merah wajah murid-murid sesat dari Lembah 

Weling ini, demi mendengar apa yang baru saja dika-

takan oleh Rajenta yang selama ini telah mereka ang-

gap mati terkubur di Lembah Gunung Batu Siwak 

yang sangat angker itu.

"Untuk apa kau tanya tentang ketua kami, dulu 

pun andai kau tidak melarikan diri dari kami, sudah 

pasti kami dapat membunuhmu...!" ejek Wakil Ketua


Perguruan Lembah Weling yang bernama Setra.

"Bagus kalau kau merasa sudah sangat hebat. 

Tapi jawab dulu ke mana iblis ketua kalian itu...?"

Sambil tersenyum-senyum penuh kelicikan, 

maka Setra pun menjawab.

"Ketua kami sedang mencari pemuda gembel 

yang membawa lari Dewi Wening Asih calon istrinya...!"

Mendengar disebut-sebutnya Dewi Wening Asih 

yang merupakan anak kandungnya sendiri sebagai ca-

lon istri Jali Sajiwa. Maka detik itu juga wajah Rajenta 

nampak sangat marah sekali.

"Bangsat kalian semua! Lalu di mana istriku 

sekarang ini...?" makinya dengan sangat gusar sekali.

"Istrimu... he... he... he..,! Istrimu telah mem-

bunuh diri beberapa purnama yang lalu...!" kata Setra 

berterus terang.

Maka menggigillah tubuh Rajenta mendengar 

ucapan yang tiada pernah dia sangka-sangka sebe-

lumnya. Bagaimana mungkin Wendah sampai mem-

bunuh diri? Pasti Jali Sajiwa telah melakukan sesuatu 

atas diri istrinya.

"Manusia-manusia iblis. Kalian benar-benar te-

lah memporak porandakan segala apa yang pernah 

kumiliki. Aku pasti tak akan mengampuni kalian se-

muanya...!" teriak Rajenta geram sekali.

"Kau bisa apa, Rajenta...?" ejek Setra, lalu 

memberi isyarat pada orang-orangnya. Maka tanpa 

menunggu lagi murid-murid Lembah Weling segera 

mencabut berbagai senjata yang mereka miliki.

"Celakalah nasib kalian hari ini, aku benar-

benar akan membunuh kalian semuanya...!" teriak Ra-

jenta. Selanjutnya tanpa berkata-kata lagi, Rajenta se-

gera menyongsong serangan-serangan senjata lawan 

yang datangnya susul menyusul.


Dalam kesempatan itu, sungguhpun dulunya 

Rajenta pernah kalah bertarung melawan mereka, na-

mun Rajenta yang dulu sungguh jauh berbeda dengan 

Rajenta yang kini. Sekarang sewaktu-waktu dia dapat 

merubah ujudnya menjadi Siluman Harimau Kum-

bang.

Dengan mempergunakan ilmu silat tangan ko-

song, tubuhnya bergerak sangat cepat sekali. Satu dua 

kali terdengar jeritan murid-murid Lembah Weling, 

manakala tangan maupun kaki Rajenta menyerang 

dan memukul tubuh lawan-lawannya.

Perkembangan ilmu silat yang dimiliki oleh Ra-

jenta yang sedemikian pesat sudah barang tentu mem-

buat terkejut lawan-lawannya. Terlebih-lebih lagi Setra 

yang saat itu merupakan orang kedua setelah Jali Sa-

jiwa.

Maka tanpa sungkan-sungkan lagi, dia pun 

ikut menerjang Rajenta yang sedang menghadapi ke-

royokan murid-murid Lembah Weling yang jumlahnya 

tidak kurang dari sembilan belas orang.

"Pergunakan jurus Pedang Iblis!" teriaknya ke-

pada kembrat-kembratnya yang sedang berusaha me-

nekan Rajenta.

"Criiiing!"

Pedang Setra yang berwarna kehitam-hitaman 

dan mengandung racun yang sangat keji itu pun telah 

tercabut dari sarungnya. Tak ayal lagi keroyokan itu 

pun semakin bertambah seru.

Sebaliknya, Rajenta sendiri dengan mempergu-

nakan ilmunya para siluman, sampai sejauh itu masih 

mampu mengkandaskan serangan-serangan gencar 

yang datang menggebu-gebu.

"Shaaa...!"

Mengatasi yang lain-lainnya tubuh Setra yang


sudah dilanda nafsu angkara murka itu langsung ber-

kelebat-kelebat. Pedang di tangannya menderu mence-

car pada bagian leher dan dada lawannya. Pada saat 

yang sama pula tujuh belas murid-murid Lembah Wel-

ing datang mencecar dari bagian belakang, depan dan 

samping. Sesaat Rajenta nampak kelabakan, dia ber-

kelit sambil berusaha membebaskan diri dari samba-

ran pedang di tangan Setra. 

"Wuuut!"

Serangan kilat yang dilancarkan oleh Setra lu-

put, namun dari bagian belakang datang pula seran-

gan dari kambrat-kambratnya.

"Brebet...!"

Rajenta mengeluh panjang, lalu membuang di-

rinya ke samping kini, selanjutnya berguling-guling

menghindari serangan-serangan susulan.

"Groaaauuung!"

Dalam keadaan terguling-guling itu, Rajenta ke-

luarkan jeritan yang sesungguhnya tak ubahnya bagai 

suara auman seekor harimau. Kenyataan itu membuat 

murid-murid dari Lembah Weling menjadi kaget, lalu 

tertegun sesaat.

Di lain pihak tidak hanya sampai di situ saja, 

suara auman beruntun itu pun seolah menyentakkan 

Rajenta dari tidurnya yang sangat menyakitkan.

"Hauuung! Groaar!"

Terdengar kembali suara auman itu, tapi tubuh 

Rajenta masih terus berguling-guling. Selanjutnya pe-

rubahan pun terjadi. Begitu tubuh Rajenta melompat, 

maka menjelmalah dia menjadi Siluman Harimau 

Kumbang yang sangat besar.

Pucat wajah murid-murid dari Lembah Weling 

dibuatnya. Namun sebelum rasa keterkejutannya itu 

lenyap sama sekali. Maka tanpa ampun lagi, Siluman


Harimau Kumbang itu langsung menerjang mereka 

dengan sangat beringas sekali.

Satu demi satu lawan-lawan pun berjatuhan, 

tubuh mereka tercabik-cabik darah mengalir di mana-

mana. Setra yang merupakan pemimpin dari mereka 

semua menjadi sangat marah sekali, maka tanpa am-

pun lagi dia segera memberi perintah pada sisa-sisa 

muridnya.

"Jangan gentar! Cincang tubuhnya...!" teriaknya 

kepada beberapa gelintir orang kawannya.

"Hiaaaa...!"

Setra kembali membabatkan pedangnya, saat 

mana Harimau Kumbang itu sedang sibuk merobek-

robek tubuh lawannya dengan taring dan kukunya 

yang panjang-panjang.

"Craaaak...!"

Pedang di tangan Setra bagai membentur batu 

gunung saja layaknya manakala menghantam badan 

Siluman Harimau Kumbang tersebut. Setra sangat ter-

kejut sekali. 

"Arggh...!"

Kembali terdengar jerit menyayat murid-murid 

perguruan Lembah Weling. 

"Grauuung...!"

Kembali terdengar suara auman yang sangat 

menggetarkan gendang-gendang telinga dan setiap hal 

itu terjadi, maka korban pun berjatuhan. Semakin la-

ma murid-murid dari Lembah Weling itu hanya tinggal 

beberapa gelintir saja. Bukan main gusarnya Setra 

menghadapi Siluman Harimau Kumbang yang kebal 

terhadap berbagai senjata tajam itu.

"Grauuuung!"

Dengan sekali lompatan saja Harimau Kum-

bang yang sudah kalap itu menerjang ke arah Setra.


Sementara Setra sendiri yang sudah merasa tidak sa-

baran itu pun telah membabatkan pedangnya dengan 

cukup telak. Kaki depan Siluman Harimau Kumbang 

datang menangkis.

"Criing! Craaak!"

Lagi-lagi tubuh Harimau Kumbang itu tidak ter-

luka oleh babatan dan bacokan pedang di tangan Se-

tra, sebaliknya dengan sangat beringas. Siluman Ha-

rimau Kumbang tanpa ampun menghajar tubuh Setra. 

Sungguhpun orang kedua dari Lembah Weling itu be-

rusaha mati-matian untuk menghindari gigi dan kuku-

kuku tajam Harimau Kumbang tersebut, namun tetap 

saja tubuhnya menjadi korban keganasan Harimau 

Kumbang itu.

Setra menjerit tertahan-tahan manakala kuku 

dan taring-taring tajam itu membenam di bagian 

pangkal leher, dada dan juga bagian tubuh yang lain-

nya.

Tubuhnya dalam waktu sekejap saja sudah tak 

tentu ujudnya. Hanya beberapa detik setelahnya. Tu-

buh Setra berkelejat-kelejat. Untuk kemudian tiada 

bangun dan bergerak-gerak lagi.

Siluman Harimau Kumbang itu mengaum 

memperdengarkan bunyi yang membuat ciut nyali sia-

pa pun. Lalu sesaat dipandanginya mayat-mayat yang 

bergeletakan tumpang tindih tak karuan. Namun Ha-

rimau Kumbang itu nampaknya acuh saja. Selanjutnya 

dengan berjumpalitan tiga kali. Maka Siluman Hari-

mau Kumbang penjelmaan Rajenta sudah berubah 

kembali ke dalam ujudnya semula.

"Kalian telah menebus kesalahan sendiri! 

Sayang Jali Sajiwa tidak ada bersama kalian. Tugasku 

masih banyak. Aku harus mencari Arca Harimau 

Kumbang itu! Kemudian baru kucari anakku, aku ya


kin dia masih ada di atas dunia ini...!" kata Rajenta 

seorang diri. Selanjutnya dengan langkah lesu dia me-

ninggalkan mayat-mayat itu. Meninggalkannya begitu 

saja. Sampai kemudian tubuhnya menghilang begitu 

saja. 


                               TAMAT


Kisah ini masih berlanjut dengan

“Kembalinya Siluman Harimau Kumbang”






Share:

0 comments:

Posting Komentar