SILUMAN HARIMAU KUMBANG
Oleh D. Affandi
Cetakan Pertama, 1991
Penerbit Mutiara, Jakarta
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
D. Affandi
Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam Episode 013:
Siluman Harimau Kumbang
SATU
Batu Siwak sesungguhnya masih merupakan
anak Gunung Singkang Lelembut. Dikatakan anak gu-
nung adalah karena kemunculannya di permukaan
bumi ini setelah ratusan tahun kemudian. Dilihat se-
pintas lalu kedua gunung yang menjulang ke angkasa
dengan ketinggian ribuan meter ini. Nampak seperti
gunung kembar saja layaknya. Namun walaupun ke-
munculan Gunung Batu Siwak setelah kemudiannya.
Tetapi kalangan persilatan lebih mengenal gunung itu
daripada induknya Gunung Singkang.
Apa pun yang dikenal oleh kaum persilatan ten-
tang Gunung Batu Siwak selama puluhan tahun, ada-
lah karena gunung ini menyimpan seribu satu macam
misteri yang selama ini belum pernah terungkap.
Lereng Gunung Batu Siwak yang sangat curam
kemudian diakhiri sebuah lembah memanjang. Hampir
setiap tahunnya sering dilanda guncangan gempa yang
sangat hebat. Pemandangan di sekitar lembah hanya-
lah rengkahan batu gunung dan juga tanah-tanah
yang menganga lebar yang tak terukur kedalamannya.
Tak satu makhluk hidup pun yang tinggal di
sana, kalaupun ada kebanyakan tak akan dapat ber-
tahan lama menghadapi keganasan alam yang tak per-
nah ramah. Walaupun Gunung Batu Siwak dikenal se-
bagai daerah yang terkenal angker dan menyimpan se-
ribu satu macam misteri. Tapi bukan berarti tak seo-
rang pun yang berani memasuki daerah itu. Banyak
orang-orang pemberani atau sekedar nekat dengan di-
dasari rasa penasaran, berkeliaran di sana.
Sebegitu jauh, selain rasa penasaran dan kein-
gintahuan mereka tidak terjawabkan namun juga me
reka tak pernah kembali. Tak seorang pun yang berani
melakukan pencaharian kerabatnya, perguruan mau-
pun saudara dekat mereka. Mereka hanya mampu
berharap dan berdoa, semoga mereka-mereka yang hi-
lang itu suatu saat akan kembali ke dalam pangkuan
keluarga. Penantian yang sia-sia!
Rasa penasaran ini kiranya tidak bisa terhenti
dengan hilangnya orang-orang terdahulu. Terbukti pa-
gi itu nampak sosok tubuh berkelebat ringan menjarah
daerah itu.
Gerakannya yang sedemikian cepat, lincah dan
gesit menandakan bahwa laki-laki berpakaian bangsa-
wan itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai taraf yang sangat sempurna. Bagai terbawa
hembusan angin saja, laki-laki itu kemudian telah
menghilang dari pandangan mata.
Sementara itu jauh tertinggal di belakangnya
nampak puluhan orang dengan senjata terhunus, se-
dang melakukan pengejaran. Orang-orang berpakaian
seragam hijau dengan simbol kepala burung walet me-
rah itu terus melakukan pengejaran terhadap laki-laki
berpakaian bangsawan yang tak terlihat dari pandan-
gan mereka. Pada saat itu mendadak terdengar benta-
kan.
"Hentikan...!"
Bagai dikomando secara serentak orang berse-
ragam hijau itu pun menghentikan larinya. Kemudian
mereka menoleh! Maka nampaklah oleh mereka seo-
rang penunggang kuda tak jauh di belakang mereka.
Melihat dari warna pakaian yang dipakainya
tak salah kalau laki-laki berbadan tinggi kurus ini me-
rupakan pemimpin dari Perguruan Walet Merah.
Saat itu si penunggang kuda putih memandang
lurus pada jalan yang dilewati oleh si laki-laki berpa
kaian bangsawan tadi. Begitu cepat Rajenta menghi-
lang dalam pengejaran itu. Padahal lima orang mu-
ridnya adalah merupakan murid-murid kelas satu
yang ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat
yang tinggi. Saat itu salah seorang muridnya dengan
sikap hormat menegur:
"Guru...! Mengapa guru menghentikan kami...?"
Pimpinan Walet Merah yang bernama Jali Saji-
wa itu kemudian berucap pelan namun penuh peringa-
tan:
"Orang itu telah memasuki Lembah Gunung
Siwak, sekarang kita telah berada di perbatasannya.
Lebih baik kita tak usah ke sana. Aku yakin dia pasti
tak bakal dapat keluar hidup-hidup dari sana." kata
Luga Kencana ketua pemimpin Partai Perguruan Walet
Merah, merasa sangat yakin sekali.
"Tapi, Ketua! Orang itu telah membunuh sekian
banyak orang dari perguruan kita. Masakan kita harus
membiarkannya lolos begitu saja?" protes yang lain-
nya.
"Hei... kalian pada tolol semua? Rajenta telah
minggat menyongsong ajal mengapa kita harus mem-
burunya? Lembah Gunung Batu Siwak pasti akan
mengubur hidup-hidup Rajenta. Dan kematiannya tak
perlu kita fikirkan...!"
"Mari kita kembali ke perguruan...!" sambung-
nya pula setelah beberapa saat setelah murid-murid
Walet Merah hanya diam saja.
Tak lama kemudian dengan didahului oleh ke-
tuanya yang menunggang kuda. Murid-murid dari Per-
guruan Walet merah mengikutinya dari belakang den-
gan hanya berjalan kaki saja.
Sementara itu Rajenta yang sudah terlalu jauh
memasuki Lembah Gunung Batu Siwak masih belum
menghentikan kecepatan ilmu larinya yang sangat luar
biasa. Sambil menghindari rengkahan-rengkahan ta-
nah yang menganga lebar dan tak terukur dalamnya,
tubuh laki-laki berpakaian bangsawan itu terus mele-
sat bagaikan meteor.
Begitulah yang dia lakukan secara terus mene-
rus. Sampai saat kemudian secara tiba-tiba dia meng-
hentikan langkah. Kedua matanya membelalak tak
percaya. Di depan Rajenta nampak sebuah rengkahan
yang sangat luar biasa lebarnya. Mungkin lebih dari
lima belas tombak lebarnya, atau bahkan lebih. Reng-
kahan tanah yang miring dengan jurang yang sangat
dalam dan gelap di bagian dasarnya tak mungkin un-
tuk dilalui dengan sekali lompatan saja.
Namun apabila dia memandang ke seberang
rengkahan tanah yang menganga lebar itu. Hatinya le-
bih tergetar lagi. Sebuah Patung Harimau Kumbang
atau tepatnya sebuah arca dan tulang belulang berse-
rakan bekas kerangka mayat manusia. Itulah yang di-
lihat saat itu.
Pandangan matanya lebih dia pertajam lagi.
Mengherankan, sungguhpun tanah-tanah di sekeliling
sudah berlongsoran tiada berketentuan. Tapi mengapa
area itu tidak roboh terkena guncangan gempa yang
sering terjadi di daerah itu. Padahal setiap orang tahu
bahwa hampir setiap tahun sekali daerah itu selalu di-
guncang gempa bumi yang sangat hebat. Dan patung
Arca Harimau Kumbang itu seperti tak pernah terusik
dengan kejadian alam yang sering beruntun terjadi di
tempat itu. Seolah ada tangan-tangan gaib yang mem-
pertahankan keberadaannya. Dan apabila dia melihat
tulang-tulang berserakan di sekeliling arca itu, Rajenta
semakin bertambah heran dan diliputi rasa ketidak
mengertian. Mereka tewas tiada yang menguburkan
nya. Hal itu sudah lumrah dan dapat dimaklumi, na-
mun apa yang menyebabkan mereka tewas? Itulah
yang tidak dimengerti oleh Rajenta. Dia bergidik sendi-
ri. Namun rasa penasaran membuat dia mulai memi-
kirkan jalan lain untuk dapat sampai ke sana. Tak ayal
lagi dia mulai mengitarkan pandangan matanya ke se-
keliling tempat itu. Mengerikan!
Mendadak Lembah Gunung Batu Siwak terasa
tergetar, selanjutnya terdengar suara bergemuruh ba-
gai tanah di lereng bukit yang hendak longsor. Rajenta
terkesiap, tubuhnya gemetar dan mulai terguncang ke-
ras. Bahkan saat itu matanya sudah terpejam, siap-
siap untuk menerima kematian.
Namun setelah menunggu sekian lamanya, dia
merasakan tak ada batu gunung yang menimpa kepa-
lanya, tidak juga longsoran tanah yang mengubur tu-
buhnya dalam suasana takut mencekam. Sebaliknya
dia merasakan tanah tempat dia berpijak bergerak ce-
pat ke satu arah. Seolah di bawahnya ada kekuatan
yang sangat dahsyat berusaha menggeser tanah itu
dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
Sampai sejauh itu Rajenta masih belum berani
membuka matanya yang terpejam. Hanya dengan pe-
rasaan sajalah dia melihat apa yang sedang terjadi.
Padahal andai saja saat itu dia melihat kejadian yang
sesungguhnya, sudah barang tentu dia akan dibuat
terbelalak atau bahkan mungkin kaku pingsan karena
tak kuat melihat pemandangan yang sangat ganjil.
Kejadian yang sesungguhnya saat itu, Arca Ha-
rimau Kumbang yang diam tegak bagaikan patung,
nampak mengerjap-ngerjapkan matanya. Pada bagian
tubuhnya bergetar seolah tersentak dan menggeliat
terjaga dari sebuah tidur yang teramat panjang. Mata
Arca Harimau Kumbang itu menatap tajam pada Ra
jenta yang masih tetap memejamkan matanya. Sepa-
sang mata arca yang sangat tajam dan menyimpan ke-
buasan itu terus memandang ke arah bumi tempat Ra-
jenta berada. Sinar merah mengkilap tersebut seperti
menyimpan sebuah kekuatan gaib. Menggeser lebih
cepat lagi tanah yang terpisah membentuk sebuah ju-
rang. Semakin lama tebing-tebing rengkahan itu se-
makin mendekat sesamanya, sehingga pada saat yang
tak terukur kecepatannya.
"Bum!"
Tebing yang satu dengan tebing rengkahan
lainnya menyatu kini. Dengan hati diliputi keinginta-
huan Rajenta buka kedua matanya. Jarak antara dia
dengan Arca Harimau Kumbang hanya tinggal dua
tombak saja. Sangat mengherankan dan sekaligus
membuat nyalinya menciut. Rasa keheranan itu ke-
mudian telah memaksanya untuk berani memandang
para Arca Harimau Kumbang yang saat itu juga sedang
menatap tajam padanya.
"Serr!"
Jantung terasa bagai terhenti dari denyutnya,
area itu bagaimana mungkin bisa memandang pa-
danya sebagaimana makhluk hidup adanya? Selanjut-
nya terdengar pula suara auman yang terasa mengge-
tarkan seisi lembah. Menggoyahkan lutut Rajenta yang
terpana dalam ketakutan yang teramat sangat. Auman
panjang itu kemudian terhenti. Lalu menggema suara
seorang laki-laki yang tidak terlihat keberadaannya.
"Ha... ha... ha...! Selamat datang di Lembah Ha-
rimau Kumbang, Rajenta...! Kau merupakan orang
yang beruntung untuk bergabung dengan kami!"
Rajenta terdiam di tempatnya berpijak. Dia me-
rasa heran mengapa suara itu dapat mengenali na-
manya. Dan yang lebih mengejutkan lagi ketika suara
itu kembali berkata:
"Siapakah anda orang tua yang mulia...?" tanya
Rajenta harap-harap cemas. Suara serak macam au-
man harimau itu kembali tertawa ganda. Sesaat sete-
lah suara tawanya terhenti. Maka terdengar pula uca-
pannya kembali.
"Aku merupakan majikan Lembah Gunung Ba-
tu Siwak yang ganas ini, Rajenta. Sudah sangat lama
aku memerlukan kehadiran orang-orang sepertimu...!"
Rajenta melengak, dia tidak tahu apa maksud
dari ucapan suara itu.
"Aku tidak tahu apa maksudmu?"
"Rajenta, bukankah kau bekas seorang bang-
sawan yang kini telah jatuh melarat! Engkau seorang
bekas saudagar, tapi seluruh harta mu telah digarong
habis oleh para iblis dari Lembah Weling. Anak istrimu
telah pula mereka culik. Tidak cukup sampai di situ,
berbagai perguruan yang ada malah memburumu, ka-
rena menganggap engkaulah dalang pencurian Arca
Emas Harimau Kumbang yang menjadi lambang persa-
tuan dari kaum bergolongan lurus...!" Suara itu berka-
ta secara panjang lebar. Sehingga membuat Rajenta
terpana dengan mulut menganga lebar. Rajenta benar-
benar merasa sangat heran, bagaimana mungkin suara
yang belum pernah dikenalnya itu bisa tahu sedemi-
kian banyak apa yang telah menimpa diri dan keluar-
ganya.
"Tapi aku sendiri merasa tak pernah menjadi
tukang tadah Arca Harimau Kumbang yang sangat
menghebohkan itu. Sungguh, orang tua, aku tak per-
nah melakukannya. Bahkan aku sendiri merasa heran
bahwa area itu kini telah berada di sini dengan bentuk
yang lebih besar lagi."
"He... he... he...! Yang kau lihat memang benda
yang sama, Rajenta. Tetapi di depanmu itu bukan are-
ca yang hilang itu. Arca raksasa Harimau Kumbang
yang kau saksikan itu sesungguhnya jalan menuju
pintu masuk memasuki ruangan istana di bawah ta-
nah. Mulut arca itu akan membuka apabila kau mau
menekan bagian matanya sebelah kanan...!"
"Tetapi begitu mudahkah kau mengizinkan aku
masuk? Lalu untuk apa...?" tanya Rajenta merasa bin-
gung dalam ketidak mengertiannya.
"Rajenta! Dari sekian banyak dari mereka yang
pernah memasuki daerah terlarang ini. Hanya kau seo-
rang yang kubiarkan hidup?! Aku menaruh harapan
padamu. Dengan maksud agar kau dapat mencari Area
Harimau Kumbang yang telah hilang itu...!"
"Aku masih belum mengerti apa yang kau in-
ginkan, Orang tua yang mulia!" kata Rajenta semakin
bertambah bingung.
"Rajenta, Rajenta! Tahukah kau bahwa Arca
Harimau Kumbang itu andai sampai jatuh ke tangan
orang-orang sesat, maka malapetaka yang sangat be-
sar tak mungkin dapat menimbulkan malapetaka di
mana-mana. Siapa pun yang menguasai arca itu se-
waktu-waktu dapat merubah ujudnya menjadi Silu-
man Harimau Kumbang yang sangat ganas!" menukas
suara serak macam auman harimau itu menjelaskan.
Rajenta tertegun, sama sekali dia tiada me-
nyangka kalau area tersebut dapat menyebarkan ma-
lapetaka. Namun dia juga merasa masih ragu dengan
keterangan yang diberikan oleh suara tersebut.
"Orang tua, dari mana engkau bisa tahu bahwa
arca tersebut dapat menyebarkan maut di mana-
mana?"
Terdengar suara mengekeh mengikuti ucapan-
nya yang semakin bertambah serak saja.
"Mengapa aku tak tahu? Sebab dari lembah in-
ilah arca itu berasal, ratusan tahun yang lalu area itu
pernah dicuri oleh seorang tokoh sesat, sehingga
membuat kutuk buyut guruku menjadikan daerah ini
dilanda malapetaka, karena murid-muridnya tak ada
yang berhasil membawa pulang arca yang telah hilang
itu...!"
Akhirnya mengertilah Rajenta, kiranya Arca Ha-
rimau Kumbang yang telah membuat berantakan ru-
mah tangganya itu rupanya berasal dari Lembah Gu-
nung Batu Siwak. Dia terhenyak, mendadak teringat
pula olehnya pada anak istrinya yang dengan cara
paksa dibawa lari oleh Jali Sarjiwa dan orang-orangnya
ke Lembah Weling. Saat itu Rajenta yang memiliki ke-
pandaian sangat tinggi saja dapat dikalahkan oleh pa-
ra iblis dari Lembah Weling. Bahkan kalau tidak mela-
rikan diri dia sudah tak tahu bagaimana nasibnya. Wa-
laupun saat itu dia merasa tak sampai hati untuk me-
ninggalkan istri dan anaknya, namun bukan berarti
dia merupakan seorang laki-laki yang tiada memiliki
tanggung jawab. Baginya alangkah baiknya dia menye-
lamatkan diri terlebih dahulu, baru kemudian setelah
segala bekal ilmu silat yang dimiliki benar-benar di
atas lawannya, maka di situ Rajenta mulai mengada-
kan perhitungan. Tapi dia juga harus mulai belajar se-
suatu yang tak pernah dimilikinya selama ini. Menda-
dak dia kembali memandang pada Area Harimau
Kumbang dan kembali berkata:
"O... orang tua yang mulia! Bolehkah aku men-
jadi murid di sini...?" tanya Rajenta dengan suara ge-
metar. Suara tanpa rupa itu kembali tergelak-gelak.
"Kau terlalu banyak disakiti orang, Rajenta!
Engkau bukan saja hanya sekedar menjadi seorang
murid, tapi juga kujadikan seekor Siluman Harimau
Kumbang yang handal."
"Ja... jadi aku akan kau jadikan seorang silu-
man selamanya, ah... mungkinkah aku sanggup me-
nurutmu?" tanya Rajenta setengah meragu.
"Tidak, Rajenta! Hanya dalam waktu-waktu ter-
tentu saja kau dapat merubah ujud mu. Setelah kau
menjadi siluman. Tak seorang pun yang dapat menga-
lahkan kau...!" menyambung suara tanpa rupa itu
kembali.
"Sekarang kau berjalanlah menuju Istana Indah
di bawah tanah. Tekan bagian mata sebelah kanan
Area Harimau Kumbang...!" perintah suara itu. Rajenta
tak berniat membantah. Dengan langkah mantap, ak-
hirnya mendekati Area Harimau Kumbang. Lalu sete-
lah menekan bagian mata kanan area itu, maka tak
lama setelahnya bagian mulut itu menganga, dari sana
Rajenta melangkahkan kaki kembali. Semakin ke da-
lam dan terus ke dalam.
* * *
DUA
Cahaya lampu minyak yang menerangi seisi
warung itu hanya kelihatan remang-remang saja. Sua-
sana di sekeliling warung dan deretan desa nelayan
Sungai Sembilang sunyi mencekam. Tiada terlihat ca-
haya rembulan maupun kerlip bintang-bintang di ang-
kasa lepas. Langit mendung, walaupun hujan belum
juga turun. Setidak-tidaknya sampai saat itu.
Suasana di dalam warung nampak lebih men-
cekam lagi, tiada terdengar orang yang bicara walau
barang sepatah kata pun. Sungguhpun saat itu nampak beberapa orang sedang melewatkan makan ma-
lamnya di tempat itu.
Sementara itu pemilik warung yang boleh dibi-
lang cukup lumayan, kelihatan duduk terpaku di bela-
kang gerobak yang berisi makanan dagangannya. Wa-
jah menunduk, menandakan bahwa dia merasa sangat
ketakutan sekali.
Sesekali matanya melirik pada dua orang ber-
topi lebar yang mirip topinya para nelayan. Dua orang
berwajah angker itu terus meneguk tuak yang berada
di dalam bumbung di depan mereka. Sudah berpuluh-
puluh bumbung tuak itu mereka teguk, sejauh itu ma-
sih belum kelihatan adanya tanda ingin mabuk. Hanya
mata mereka saja yang semakin merah. Bicaranya ka-
cau, mengatakan sesuatu yang tak jelas.
Kedua orang itu terus tenggelam dalam im-
piannya. Tanpa menghiraukan orang-orang yang bera-
da di warung itu.
Siapakah dua tokoh misterius berumur empat
puluhan dengan sebilah pedang panjang yang mengge-
lantung di pinggangnya masing-masing itu? Rimba
persilatan mengenal mereka dengan julukan si Kembar
Pedang Dewa dari Pulau Bawean. Tokoh sesat yang
sering berkelana dengan sepak terjangnya yang dapat
membuat lawan maupun kawan terasa takluk pa-
danya.
Mereka memang sering berada di daerah Ne-
layan Sungai Sembilang. Justru karena mereka sering
mendengar desas desus adanya Arca Harimau Kum-
bang yang sangat menghebohkan itu. Jauh-jauh mere-
ka datang menyeberang laut dari tempat kediaman me-
reka di Pulau Bawean. Pada saat lain mereka berhasrat
untuk memiliki arca itu namun sejauh itu masih be-
lum juga dapat keterangan di tangan siapakah Arca
Harimau Kumbang itu berada. Hal itulah yang mem-
buat mereka semakin bertambah penasaran. Arca Ha-
rimau Kumbang adalah lambang persatuan kaum go-
longan lurus, dan yang ada di hati mereka, andai saja
mereka dapat menguasai arca itu. Bukan tidak musta-
hil semua kaum golongan putih berada dan tunduk di
bawah pengaruh mereka.
Sementara itu tidak begitu jauh dari warung
tempat si Kembar Pedang Dewa sedang duduk mere-
nung sambil menikmati tuaknya. Nampak seorang pe-
muda dengan pakaian merah, namun sudah kumuh
berjalan melenggang menuju ke arah warung.
"Sebaiknya aku singgah ke warung itu. Sejak
siang tadi perutku sudah berkerukukkan minta diisi.
Mungkin di sana juga ada dendeng ikan lumba-lumba
kesukaan ku!" gumam pemuda berwajah tampan itu
tanpa merubah langkahnya.
Sekejap kemudian dia telah berada di dalam
warung itu, setelahnya dia duduk di sebuah kursi yang
terletak di sebelah pintu depan. Sesaat dia menyapu
pandang pada seisi warung, juga pada beberapa gelin-
tir manusia yang berada dalam ruangan. Manakala
matanya membentur pada sosok si pemilik warung
yang diam merunduk di belakang gerobak makanan,
maka dia segera memanggilnya.
"Bapak pemilik warung...!" Tanpa melanjutkan
ucapannya. Si pemuda tampan, atau Pendekar Hina
Kelana melambaikan tangannya. Pemilik warung itu
datang menghampiri. Walaupun sesungguhnya dia me-
rasa enggan karena rasa takut masih menyelimuti ha-
tinya. Sebaliknya walaupun suara Buang Sengketa
sangat lirih, namun cukup didengar oleh dua bertopi
lebar ini. Kedua orang itu memandang kehadiran pe-
muda dari Negeri Bunian sekilasan saja. Pada saat itu
Buang Sengketa tanpa menghiraukan pandangan sinis
si Kembar Pedang Dewa terus menyampaikan apa yang
diinginkannya pada pemilik warung yang sudah berdiri
dengan sikap ketakutan di depannya.
"Tuan mau pesan apa...?" tanya pemilik warung
yang sudah berusia lanjut ini. Setengah berbisik, Pen-
dekar Hina Kelana bertanya:
"Dendeng ikan lumba-lumba dan sebumbung
tuak yang sudah lama tersimpan! Ada tidak...?" tanya
pemuda itu sopan.
"Semuanya ada, tapi maaf, Tuan... khusus ma-
lam ini kami tak bisa melayani tamu yang manapun
terkecuali kedua orang itu...!" Lirih suara pemilik wa-
rung, sementara sudut matanya melirik pada dua
orang berwajah angker.
Buang Sengketa terdiam, sejurus dia memper-
hatikan pemilik warung yang berdiri menggigil di de-
pannya. Mungkin kedua orang itu telah mengancam
pemilik warung itu, sehingga laki-laki itu dicekam rasa
ketakutan yang teramat sangat. Selanjutnya dengan
suara yang sengaja dikeraskan dia pun berkata:
"Pak tua, apakah kau bisa menunjukkan pada-
ku di mana ada warung lagi selain di tempat ini?"
Maka semakin bertambah menggigillah pemilik
warung itu dibuatnya. Sementara si Kembar Pedang
Dewa sudah memanggil pemilik warung.
"Pak tua. Cepat kau sediakan lagi tuak dan se-
luruh makanan yang tersisa!" perintah salah seorang
dari laki-laki kembar itu setengah marah.
"Maaf, Tuan. Aku harus melayani mereka. Le-
bih baik tuan cari saja sendiri, jangan tuan berlama-
lama di sini. Orang itu bisa membahayakan keselama-
tan tuan...!" kata pemilik warung dengan perasaan
was-was.
"Pelayan! Apakah kau ingin agar kami menghu-
kum mu. Jangan kau hiraukan gembel itu. Kalau dia
ingin makan beri saja makanan sisa bekas anjingmu di
belakang sana, cepat...!" bentak salah seorang si kem-
bar yang berbadan gemuk pendek.
Saat itu si pemilik warung dengan sangat terge-
sa-gesa segera mengambilkan semua makanan dan
bumbung tuak yang masih tersisa, lalu dengan cepat
pula dia menghidangkan tuak berikut makanannya di
atas meja tempat kedua laki-laki kembar berada.
Pemilik warung itu baru saja bermaksud me-
langkah menghampiri Pendekar Hina Kelana, kala ter-
dengar suara bentakan lagi.
"Hendak ke manakah kau, Tua Bangka?
Kubilang kau ambil makanan bekas sisa anjing
untuknya. Setelah itu usir dia pergi dari hadapan ka-
mi." teriak si Kembar Pedang Dewa mulai gusar.
Saat itu bukan main jengkelnya Pendekar Hina
Kelana demi mendengar ucapan si Kembar yang sangat
menghinanya itu. Namun dia masih berusaha berta-
han dan menahan kedongkolannya.
Selanjutnya dengan nada rendah, namun dipe-
nuhi kemarahan dia berkata pada pemilik warung:
"Lakukanlah apa yang dia inginkan, Pak tua!"
ucapnya sambil menyorot tajam pada laki-laki tua ter-
sebut.
"Tapi, Tuan... makanan sisa itu sudah dua hari.
Bahkan sekarang mungkin sudah menjadi busuk. Anj-
ing milik kami saja tak mungkin mau memakan maka-
nan itu, tetapi...!" Tiba-tiba laki-laki pemilik warung itu
menjadi gugup, sehingga tak mampu meneruskan ka-
ta-katanya.
"Pelayan, lakukanlah perintah kami. Mungkin
kucing kurap itu sudah sedemikian laparnya. Maka
nan sisa anjing pun dia tidak menolak...!" kata salah
seorang dari orang-orang kembar itu sambil terkekeh-
kekeh.
Buang Sengketa masih tetap diam saja, namun
wajahnya bertambah tegang. Sungguhpun pelayan itu
merasa berat hati untuk mengerjakan apa yang dipe-
rintahkan oleh si kembar. Tapi apa daya, melawan ba-
ginya hanyalah merupakan kematian yang sia-sia. Pe-
milik warung itu akhirnya menghilang di balik pintu.
Buang Sengketa menunggu dengan hati mendongkol.
Sementara itu si Kembar Pedang Dewa dengan
sikap acuh terus meneguk tuaknya bumbung demi
bumbung.
Tak sampai sepeminum teh, pemilik warung te-
lah kembali lagi dengan membawa sisa makanan bekas
anjing yang sudah busuk. Buang Sengketa segera me-
nutup jalan nafasnya manakala tercium bau yang san-
gat memualkan perutnya itu.
"Tunggu apa lagi! Kami merasa terhormat un-
tuk mempersilahkan seorang gembel menikmati hidan-
gannya...!" Lagi-lagi terdengar suara yang benar-benar
membuat Pendekar dari Negeri Bunian ini kehilangan
kesabarannya.
Akhirnya tanpa bicara sepatah kata pun pemu-
da ini menggebrak mejanya. Nasi bekas yang sudah
hampir menjadi bubur dan terletak di dalam sebuah
waskom itu terlonjak dari atas meja. Selanjutnya den-
gan sekali sentilan saja, waskom itu melesat sede-
mikian cepatnya. Kejadian ini tentu tak pernah diduga-
duga oleh si Kembar Pedang Dewa yang sedang enak-
enakkan melahap makanan dan meneguk tuaknya.
Hanya sekedipan mata saja waskom berisi nasi bekas
itu sudah melabrak wajah salah seorang dari orang itu
lalu semua isinya menumpah di wajah si tinggi gemuk.
Karuan saja semua kejadian itu membuat marah si
Kembar Pedang Dewa ini. Lalu sambil membuang sisa-
sisa nasi yang melekat di wajahnya, si tinggi gemuk
segera beranjak menghampiri Pendekar Hina Kelana.
Setindak demi setindak dia melangkah melewati kursi
dan meja. Melintasi ruangan tengah warung yang sa-
mar-samar cahayanya. Begitu sampai di depan Buang
Sengketa orang itu meludah di lantai sebanyak tiga
kali, selanjutnya memandang pada pemuda berpa-
kaian dekil dengan sorot mata diliputi kebencian.
"Bocah gembel! Siapakah engkau ini sehingga
begitu berani melempar ku dengan makanan yang su-
dah busuk menjijikkan...?"
* * *
Buang Sengketa terdiam sesaat lamanya, wa-
jahnya menunduk. Namun bukan berarti dia tak tahu
apa yang bakal terjadi selanjutnya. Dia sabar dan tetap
sabar sebagaimana dipesankan oleh gurunya si Bang-
kotan Koreng Seribu (dalam episode: Utusan Orang-
orang Sesat).
"Bocah sial, kau jawab pertanyaanku atau kau
lebih memilih untuk mampus secepatnya...!" gertak si
tinggi gemuk sambil bertolak pinggang.
"Hemm... sombong sekali bicaramu, Manusia
gembrot. Kau menghinaku sedemikian rupa, seolah
kau sendirilah yang mampu membeli seisi warung ini.
Masih untung nasi busuk itu hanya mengenai mata-
mu, tapi kalau sampai menyumbat mulutmu yang bu-
suk itu. Aku yakin semua orang yang ada di sini pasti
menertawaimu...!"
"Celaka kau bocah gembel, punya kepandaian
setahi kuku saja, tapi lagakmu sebakul...!" bentak si
tinggi gemuk lalu menggertakkan rahangnya.
Pendekar Hina Kelana tersenyum sinis, dia
menduga bahwa orang itu merupakan sebangsanya go-
longan sesat yang sangat angkuh. Orang-orang sema-
cam itulah yang paling dia benci selama ini. Dan dia
merasa
tak perlu memakai segala peradatan.
"Di mana pun aku berada, tak pernah sekali-
pun aku bertingkah di depan orang lain. Hanya kau
sajalah yang sangat keterlaluan sekali...!"
Melihat perdebatan itu nampaknya si Kembar
Gemuk Pendek sudah tak sabar lagi. Maka tak terta-
hankan lagi kini dia ikut menyela:
"Kakang. Agaknya dia tidak tahu siapa kita!
Baiknya kita beri saja dia pelajaran yang setimpal atas
kekurangajarannya...!"
"Mestinya akulah yang paling pantas memberi
pelajaran pada kalian...!" tukas pemuda dari Negeri
Bunian itu, sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak
gatal.
"Sialan.... Heh...."
Masih dalam posisinya, si kembar gemuk tinggi
mendorong meja yang berada di depan Pendekar Hina
Kelana. Dia berharap dengan sekali dorong saja pemu-
da gembel pembawa periuk itu segera tergencet. Ka-
laupun tidak mati, setidak-tidaknya tulang iganya
akan remuk berantakan.
Maka ketika dia mendorong meja itu, si tinggi
gemuk sudah mengerahkan tiga seperempat tenaga da-
lamnya. Saat itu pemuda dari Negeri Bunian demi
mengetahui lawannya bermaksud mencelakakan di-
rinya. Dia pun tidak tinggal diam, lalu dengan mene-
kan meja itu memakai sebelah siku kirinya, Buang
Sengketa menahan meja itu demi menghindari agar di
rinya jangan sampai tergencet.
Tak dapat dihindari lagi saling dorong dan sal-
ing tekan itu pun terjadilah. Salah seorang dari Kem-
bar Pedang Dewa ini nampak terkejut sekali demi me-
lihat usahanya untuk menggencet pemuda tampan
berpakaian kumuh masih belum juga mendatangkan
hasil. Padahal saat berikutnya dia telah mengerahkan
seluruh tenaganya.
"Kampret!" makinya dalam hati.
Namun sungguhpun dia telah mengetahui
bahwa pemuda yang dihadapinya bukanlah orang
sembarangan, tapi mana mau dia mengalah begitu sa-
ja. Tanpa sungkan maupun malu dia pukulkan tan-
gannya mengarah bagian muka Buang Sengketa.
"Wer!"
Satu gelombang berhawa dingin menderu den-
gan begitu cepatnya. Pendekar Hina Kelana tak dapat
berfikir panjang. Cepat-cepat dia buang tubuhnya ke
samping.
"Braak!"
Jelas saja pukulan itu mencapai sasaran ko-
song, selanjutnya langsung melabrak meja dan kursi di
belakangnya sehingga kursi dan meja itu hancur ber-
keping-keping karenanya.
Sementara itu Buang Sengketa setelah meng-
hindari pukulan maut itu langsung bangkit berdiri. La-
lu memandang tajam pada si tinggi gemuk dan si ge-
muk pendek yang saat itu sudah pula berdiri di samp-
ing kambratnya.
"Hemm! Kiranya kau memiliki kepandaian yang
dapat kau andalkan. Agaknya kau ini merupakan
gembongnya pencuri Arca Harimau Kumbang itu?"
menyela si Kembar Gemuk Pendek.
"Jangan-jangan dia sengaja memata-matai kita,
Adi...!" ucap si Kembar Gemuk Tinggi. Buang Sengketa
memerah parasnya demi mendengar ucapan manusia
kembar itu. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa
yang dia dengar dari orang yang lalu lalang bahwa be-
rita menghebohkan tentang arca itu benar adanya.
"Bangsat Kembar! Bertemu dengan tampang
kalian saja baru kali ini, begitu mudahkah kau melon-
tarkan tuduhan yang tiada beralasan itu padaku...?"
Si Kembar Pedang Dewa tergelak-gelak. Sesaat
mereka saling berpandangan sesamanya. Selanjutnya
dengan penuh kelicikan mereka kembali menoleh pada
Pendekar Hina Kelana. Si Tinggi Gemuk lalu menyela:
"Kucing gembel, di mana pun kemungkinan itu
bisa saja terjadi. Semua orang tahu. Arca Harimau
Kumbang merupakan lambang persatuan kaum persi-
latan golongan lurus. Arca itu sekarang telah lenyap
dari Perguruan Walet Merah yang merupakan pihak
penanggung jawab. Siapa pun yang memiliki area itu
sudah jelas dialah merupakan orang yang paling ber-
kuasa atas segala golongan yang ada. Melihat tampang
dan kemampuanmu, nampaknya engkau lebih pantas
sebagai pencuri arca itu...!"
Buang Sengketa semakin bertambah memerah
saja parasnya, sikap mereka yang mengada-ada benar-
benar tak bisa dia diamkan begitu saja. Lalu dengan
tubuh menggigil karena menahan mar ah. Maka Pen-
dekar Hina Kelana membentak:
"Manusia tidak tahu diri! Selamanya aku tak
pernah menjadi seorang pencuri. Seumur hidup baru
kalian saja yang telah begitu berani menghinaku se-
demikian rupa. Sungguh kalian manusia yang berpiki-
ran picik...!"
"Hua... ha... ha......! Siapa mau percaya pada
bualan seorang gembel pemakan nasi bekas...!"
"Jangan sekali-kali mencoba berbohong di ha-
dapan si Kembar Pedang Dewa...!" Ikut menyela pula si
Gemuk Tinggi.
Semakin bertambah dingin tatapan mata Pen-
dekar Hina Kelana, wajahnya berubah kelam membesi.
"Terhadap kunyuk lutung berpedang karatan
siapa takut. Sekali kubilang tidak, selamanya tetap itu
yang kukatakan. Kalian bisa apa...?"
"Heh... berani mati kau menantang kami. Ta-
hukah kau sekali pedang kembar kami keluar dari sa-
rungnya. Dia tak akan mau kembali ke sarangnya se-
belum menghirup darah manusia...!"
"Mengapa tidak darah anjing saja atau darah
kunyuk lutung yang kini tengah meracau di depan-
ku...!"
"Keparat! Orang sinting ini benar-benar telah
menghina kita, Kakang...!" ucap si Gemuk Pendek, se-
lanjutnya sudah bersiap-siap pula dengan kuda-
kudanya.
"Kalau begitu mari kita cincang tubuhnya ber-
sama-sama”.
“Haiiit...!"
Usai dengan ucapannya, maka kedua orang
itupun segera menerjang Pendekar Hina Kelana den-
gan jurus-jurus tangan kosongnya yang sangat hebat
itu.
"Manusia muka lutung, kalian benar-benar su-
dah gila...!" maki Buang Sengketa sambil menghindari
terjangan-terjangan pihak lawan yang menggebu-gebu.
* * *
Sementara itu pemilik warung yang sudah da-
lam keadaan ketakutan segera bergegas menjauh,
bahkan meninggalkan warungnya dari bagian pintu
belakang. Begitu juga halnya dengan beberapa orang
nelayan yang sedang berada dalam warung itu. Tidak
seorang pun yang tersisa terkecuali mereka yang se-
dang terlibat pertarungan sengit.
Saat itu, si Kembar Pedang Dewa dengan mem-
pergunakan jurus Dewa Kembar Menggila, dengan se-
rentak mereka melancarkan tendangan-tendangan
yang dahsyat mengarah pada bagian lutut rusuk,
maupun bagian kepala Pendekar Hina Kelana. Se-
mentara itu Buang Sengketa dengan mempergunakan
jurus Membendung Samudra Menimba Gelombang te-
rus saja memapaki serangan gencar yang datangnya
bertubi-tubi. Kedua kakinya terus bergerak lincah, se-
dangkan kedua tangannya kadang berputar sedemi-
kian cepatnya. Menangkis, melancarkan serangan ba-
lasan dalam keadaan yang tak dapat diduga-duga oleh
pihak lawannya.
Mengetahui lawannya dapat mematahkan se-
rangan-serangan beruntun yang mereka lancarkan.
Dan bahkan beberapa kali serangan balik yang dilan-
carkan lawan hampir mencederai mereka. Maka secara
hampir bersamaan, si Kembar Pedang Dewa ini pun
melompat mundur.
"Kau memang tangguh, Monyet gembel! Siapa-
kah kau yang sebenarnya?" tanya si Tinggi Gemuk
dengan hati panas.
"Nama hanya perlu diingat, Monyet lutung! Bu-
kan untuk digembar gemborkan bagai tukang jual obat
di pasar...!" tukas Buang Sengketa dengan sesungging
senyumnya yang konyol.
Maka semakin bertambah penasaran dua orang
kembar itu dibuatnya. Lalu si gemuk pendek pun me-
nyela:
"Sialan! Kuburmu tak akan dikenal orang apa-
bila kau tak mau menyebutkan namamu...!" memben-
tak orang itu dengan hidung kembang kempis.
Sesaat Buang Sengketa mendengus, se-
lanjutnya.
"He... he... he....! Dulu pernah ada seorang pe-
nyair berkata padaku, bahwa nama itu sesungguhnya
merupakan penjelmaan dari jiwa yang bergelora. Tapi
bagiku nama adalah nama. Kecuali untuk dikenali,
nama itu cuma untuk diingat. Tak perlu aku
memperkenalkan namaku di depan dua ekor monyet
lutung yang menjijikkan...!"
Merah padam wajah kedua orang itu, bahkan
gigi-gigi mereka sampai bergeletuk. Kemudian:
"Kau pasti merasa menyesal sampai hari mati-
mu karena kesombonganmu itu!"
"Terimalah pukulan ini! Siaaaa...!"
Dengan sangat kompak si Kembar Pedang Dewa
kirimkan pukulan yang sangat dikenal dengan nama
Dewa Kembar Menyongsong Matahari.
Tak dapat ditawar-tawar lagi dua gelombang
pukulan yang menimbulkan suara menggemuruh dan
berhawa sangat panas menderu sedemikian cepatnya
mengarah pada tubuh si pemuda yang nampak berke-
lebat di tengah-tengah ruangan.
Saat itu Pendekar Hina Kelana dalam gerakan-
nya yang gesit itu masih dapat menyadari adanya ha-
wa pukulan yang sangat panas menyambar. Maka
tanpa membuang waktu lagi Buang Sengketa yang su
dah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan se-
gera mengerahkan sebagian tenaga dalamnya ke ba-
gian tangan kanannya. Tak pelak lagi tangan pemuda
itu menggetar, selanjutnya dengan disertai satu jeritan
tinggi. Pemuda itu pukulkan tangannya memapaki da-
tangnya pukulan Dewa Kembar Menyongsong Mataha-
ri. Pukulan Empat Anasir Kehidupan yang menimbul-
kan panas sangat luar biasa itu pun menderu. Melesat
sedemikian cepatnya meluruk dua pukulan yang da-
tangnya dalam waktu yang hampir bersamaan. Tak te-
relakkan dua pukulan yang sama-sama berhawa pa-
nas luar biasa itu pun saling bertemu di atas udara.
"Blam! Blam!"
Terdengar bunyi berdentum yang sangat me-
mekakkan gendang-gendang telinga. Warung yang
menjadi ajang pertarungan nampak tergetar. Segala
barang pecah belah yang mengisi warung tersebut ja-
tuh berantakan di atas lantai tanah. Sementara itu tu-
buh Pendekar Hina Kelana terpelanting menabrak
dinding papan. Dinding papan jebol berantakan, se-
hingga membuat Buang Sengketa tercampak ke luar
warung.
Darah meleleh dari celah bibir dan hidung pe-
muda ini, dada terasa menyesak serasa bagai remuk.
Secepatnya dia bangkit kembali. Lalu setelah mengatur
jalan nafasnya apa yang dia rasakan menjadi agak
mendingan. Tetapi di luar sangat gelap gulita.
Sementara itu di dalam warung, si Kembar Pe-
dang Dewa yang hanya tergetar saja tubuhnya tanpa
mengalami kekurangan suatu apapun segera membu-
ru Pendekar Hina Kelana yang sudah berada di luar
warung itu.
"Gembel ini belum mampus, Kakang...!" teriak
si Gemuk Pendek begitu melihat lawannya sudah ber
diri tegak di depan mereka.
"Dengan sekali pukul lagi, jiwanya pasti tak
akan dapat diselamatkan...!" sahut si Tinggi Gemuk,
lalu bersiap-siap melakukan pukulan kembali.
Saat itu Buang Sengketa tanpa berkata sepatah
kata pun cepat-cepat bersiap dengan pukulan si Hina
Kelana Merana.
Dari beradunya dua tenaga dalam tadi, nam-
paknya Buang Sengketa mulai menyadari bahwa pu-
kulan Empat Anasir Kehidupan tak akan banyak
membantu untuk secepatnya dapat merobohkan la-
wannya.
Maka jalan satu-satunya adalah mengirimkan
serangan balasan dengan pukulan yang mengandung
unsur panas dan dingin. Lalu tanpa menunggu lagi,
Pendekar Hina Kelana segera bergerak mendahului!
"Hiaaat...!"
Tubuhnya berkelebat, saat yang sama dua
kembar itu pun kiranya tidak tinggal diam. Secepat
pendekar itu bergerak, lebih cepat lagi dua tubuh lain-
nya.
"Wuss!"
Pendekar Hina Kelana melepaskan pukulan
mautnya.
"Werrr!"
Tak kalah cepat, si kembar itu pun melancar-
kan serangan pamungkas. Bagai saling berlomba dua
pukulan bertenaga sakti ini datang menggebu. Udara
di sekitar tempat itu berobah dingin dan panas.
"Bum! Bum!"
Terdengar bunyi dua letupan berturut-turut,
saat mana tiga pukulan saling bertubrukan. Suara
yang sangat dahsyat itu membangunkan penduduk
yang tinggal di sekitar warung itu. Tapi tak seorang
pun yang berani keluar meninggalkan rumah mereka.
Saat itu terdengar suara raungan berupa jeri-
tan dari mulut dua orang kembar berbadan bongsor
itu. Tubuh keduanya terpelanting jauh, kemudian ter-
sungkur dengan muka mencium tanah. Bumi terasa
berputar, pandangan mata mengabur dan berkunang-
kunang. Namun sungguh luar biasa daya tahan dua
orang kembaran ini. Walaupun saat itu mereka mera-
sakan dadanya bagai remuk. Secepatnya mereka
bangkit. Tetapi mereka terbatuk-batuk, lalu menggelo-
goklah darah kental dari mulut mereka. Dengan cepat
pula mereka telan dua butir pil berwarna kuning. Ba-
rulah setelah menelan pil itu wajah mereka yang pucat
telah berubah kembali seperti sediakala.
Sementara itu Buang Sengketa sendiri menga-
lami luka dalam yang tidak ringan. Dalam dua puku-
lan tadi tubuhnya sempat terpelanting empat tombak.
Sungguhpun dia sempat muntah darah, namun den-
gan mengatur jalan nafas dan mengerahkan hawa
murni dia malah lebih sigap lagi bangkit berdiri.
Tubuh tegak bagaikan area, sepasang mata
menatap tajam pada si Kembar Pedang Dewa. Wajah
pemuda dari Negeri Bunian kini semakin bertambah
kelam membesi, dari sela-sela bibirnya keluar pula
bunyi mendesis bagaikan Ular Piton yang sangat ma-
rah. Dan sekejap kemudian dia pun sudah memben-
tak:
"Hemmm! Manusia-manusia sinting, nampak-
nya kalian benar-benar ingin mempertaruhkan nya-
wa...!"
"Kami memang menghendaki nyawamu...!" Tak
kalah sengitnya orang itu pun balik pula membentak.
"Ha... ha... ha...! Agaknya kau mulai ketakutan,
Gembel penyandang periuk?" Si Tinggi Gemuk ikut
ikutan pula menimpali.
"Kalau kau takut melihat ketajaman pedang
kembar kami. Maka goroklah lehermu dengan senja-
tamu sendiri...!"
Bukan main semakin bertambah gusarnya
pendekar keturunan Raja Ular Piton Utara itu demi
mendengar ucapan yang sangat mencemoohnya.
"Bertahun-tahun aku berjalan menyeberangi
lautan, mendaki gunung, lintasi belukar. Berpuluh-
puluh nyawa manusia sesat telah pula melayang di
tanganku dalam kesombongannya. Dan kini ada lagi
monyet tersesat yang menghendaki nyawaku. Sayang
sekali, karena nyawaku tak ada dijual di warung mana
pun. Maka aku tak akan memberikannya...!"
"Bangsat. Jiwa anjingmu tiada harganya di ma-
ta kami." menghardik si Tinggi Tegap. Selanjutnya se-
cara hampir bersamaan mereka melolos pedang kem-
barnya.
"Sriing!" Sring!
Sungguhpun malam itu tak terlihat bulan
maupun bintang di langit. Namun pedang di tangan
mereka tetap mengeluarkan sinar putih berkilauan.
Buang Sengketa terkesiap karenanya, dia meli-
hat bahwa senjata di tangan lawannya bukanlah senja-
ta yang bisa dianggap sembarangan. Tanpa berkata-
kata lagi, pedang di tangan si kembar menderu.
"Shiaaat...! Nguuung...!"
Tubuh Pendekar Hina Kelana melentik manaka-
la pedang itu menerjang ke arah bagian leher dan lam-
bungnya.
Melihat pihak lawan dapat mengelakkan jurus
pedang mereka yang diberi nama Dewa Kembar Me-
nyergap Rajawali. Sudah barang tentu si Kembar Pe-
dang Dewa ini pun menjadi semakin bertambah pena
saran saja. Namun mereka juga tidak merasa perlu ce-
pat putus asa, sebagai orang yang sudah malang me-
lintang di rimba persilatan selama dua puluh tahun.
Sudah barang tentu mereka sudah kenyang makan
asam garam dunia persilatan. Mereka selalu merasa
yakin dengan kemampuan yang mereka miliki.
Selanjutnya, dengan disertai teriakan mengge-
legar dua kembar ini berusaha mendesak Pendekar
Hina Kelana dengan tusukan maupun babatan pedang
yang sangat berbahaya sekali. Pedang di tangan mere-
ka berkelebat-kelebat menimbulkan suara bercuitan.
Beberapa jurus berikutnya Buang Sengketa sudah ke-
lihatan mulai keteter. Satu kesempatan si gemuk pen-
dek dan si gemuk tinggi secara bersamaan melakukan
serangan dahsyat.
"Nguung!"
"Ih, pedang iblis...!" seru pendekar ini tertahan
begitu merasakan pedang di tangan kembar terus
mengejarnya ke mana pun dia berusaha menghindar.
"Ciaaat! Heiik...!"
"Brebet!"
Buang Sengketa mengeluh pendek begitu ba-
gian bahunya tersambar mata pedang lawannya yang
sangat tajam luar biasa. Dengan terhuyung-huyung
Pendekar Hina Kelana berusaha menghindari babatan
pedang berikutnya yang nyaris menyambar bagian le-
hernya. Darah mengucur deras membasahi bahunya
yang terobek agak dalam. Perih sekali rasanya!
"Heaaat...!" teriak Buang Sengketa yang sudah
sangat marah. Lalu dengan mempergunakan jurus si
Jadah Terbuang, tubuhnya sebentar saja sudah berke-
lebat sedemikian cepat. Membingungkan pihak lawan.
Hanya angin berseliweran saja yang dapat dirasakan
oleh si kembar. Dan suara desisan bagai suara seekor
ular raksasa, hanya itulah yang dapat mereka dengar.
"Jadah! Ilmu siluman...!" maki si kembar pena-
saran.
Buang Sengketa yang sudah mencapai puncak
kemarahannya itu sudah tiada perduli lagi. Sekali saja
kedua tangannya menyambar.
"Bletak! Bletuk!"
Tinju Buang Sengketa menghantam tepat pada
bagian kening lawannya. Kepala mereka langsung ben-
jol sebesar buah mangga. Dan masih untung si kembar
memiliki kekebalan yang cukup dapat diandalkan. An-
dai tidak, sudah barang tentu kepala mereka akan re-
muk terhajar pukulan yang telah teraliri setengah dari
tenaga dalam yang dimiliki oleh Buang Sengketa.
Si kembar merasakan kepala mereka berde-
nyut-denyut sakit, sumpah serapah pun berhamburan
dari mulut mereka.
"Hiaaa...!"
Si kembar bagai setan gila kembali menggebrak
dengan mempergunakan jurus-jurus yang paling san-
gat mereka andalkan.
"Nguung!"
Mendadak menyertai bunyi berdengung bagai
suara auman puluhan ekor harimau yang kelaparan.
Dalam kegelapan itu terlihat nyala sebuah benda yang
berwarna merah bagaikan bara. Maka terkejutlah si
kembar demi melihat apa yang ada dalam genggaman
Pendekar Hina Kelana.
"Golok Buntung! Dia Pendekar Golok Buntung
yang bernama si Hina Kelana itu, Kakang...!" seru si
gemuk pendek tanpa sadar.
Mereka benar-benar terperangah, selama ini
mereka hanya mendengar sepak terjang yang sangat
hebat pendekar dari bagian Barat ini. Sama sekali me
reka tiada menyangka kalau hari ini mereka secara tak
terduga telah berbentrokan dengan pendekar yang
sangat menggemparkan kalangan persilatan ini.
Dalam ketermanguannya, mendadak terdengar
pula pendekar yang sangat disegani semua golongan
itu:
"Manusia kembar keturunannya kunyuk lu-
tung...! Kalau kalian masih ingin hidup. Tinggalkanlah
sebelah tangan kalian sebagai penebus kesalahan yang
telah kalian lakukan...!"
"Siapa sudi, lebih baik kami mengadu jiwa den-
ganmu...."
"Caiiiit...!"
Kejap selanjutnya terjadilah pertarungan yang
sangat sengit. Golok di tangan Pendekar Hina Kelana
menderu dahsyat, sehingga menampak bayang-bayang
merah saja di tengah-tengah kegelapan itu.
Dengan senjata andalannya itu, maka kini kea-
daan menjadi terbalik. Si Kembar Pedang Dewa seben-
tar saja sudah terdesak hebat.
Nampaknya Buang Sengketa sudah tiada mem-
berinya kesempatan yang banyak. Golok menderu
mengarah pertahanan lawannya yang sangat sarat
dengan kiblatan pedang kembar mereka di tangan.
Golok di tangan Buang Sengketa melesat cepat,
kedua kembar menjadi gugup. Kemudian dengan san-
gat nekad memapaki senjata di tangan lawannya.
"Trang! Trang!"
Terlihat percikan bunga api manakala senjata-
senjata mereka saling berbenturan keras. Tubuh si
kembar bergetar. Dada terasa menyesak bagai remuk.
Sementara pedang di tangan mereka rompal di dua ba-
gian. Buang Sengketa tidak membuang waktu lagi.
"Hiaaat!"
"Craas! Craaas!"
Si Kembar Pedang Dewa keluarkan lolongan se-
tinggi langit. Tangan kanan mereka yang terkutung
memancarkan darah yang luar biasa banyaknya. Se-
lanjutnya dengan membawa lukanya. Si kembar segera
melarikan diri menembus kegelapan malam.
"Aku akan membalas segala apa yang telah kau
lakukan, Pendekar Golok Buntung!" Masih terdengar
suara sayup-sayup si Tinggi Gemuk.
Buang Sengketa hanya menggeleng saja tanpa
bermaksud melakukan pengejaran.
Selanjutnya sambil memegangi luka di bahunya
dia melangkah pergi menuju ke arah Utara.
* * *
EMPAT
Lembah Weling adalah merupakan sebuah lem-
bah yang memiliki pemandangan yang sangat indah.
Subur tanahnya, apa pun yang ditanam di sana akan
tumbuh subur. Seolah alam sangat bersahabat dengan
para penghuninya yang terdiri dari segolongan manu-
sia-manusia sesat.
Selama ini tak seorang pun yang berani datang
ke sana, penghuni lembah yang terkenal telengas dan
dapat membunuh siapa saja tak pernah memberi am-
pun pada siapa pun yang coba-coba berani memasuki
kawasan itu.
Biasanya suasana di daerah itu sering terlihat
lengang dan sepi, namun di pagi itu keramaian terlihat
di sana. Kesibukan masak memasak sejak subuh buta
sudah dimulai. Sementara itu para murid Lembah Weling sedang bersiap-siap mengadakan upacara perka-
winan ketua mereka Jali Sajiwa dengan anak bekas
bangsawan Rajenta yang mereka culik. Yaitu Dewi
Wening Asih yang sangat cantik luar biasa. Sungguh-
pun Dewi Wening Asih menolak keinginan Jali Sajiwa
untuk menjadikan dia sebagai istrinya. Bahkan beru-
lang kali dia berusaha melakukan bunuh diri.
Namun apalah dayanya sebagai seorang wanita.
Usahanya selalu gagal, sebab di seluruh ruangan ka-
marnya terdapat beberapa orang pengawal pribadi Jali
Sajiwa. Yang selalu mengawasi setiap gerak yang dia
lakukan. Tak banyak yang dapat dilakukannya terke-
cuali menangis sepanjang hari. Menangis meratapi na-
sib hidupnya yang begitu malang.
Saat itu di sebuah ruangan penjara bawah ta-
nah, Jali Sajiwa sedang berusaha untuk melunakkan
Nyai Wendah, yaitu ibu kandung Dewi Wening Asih.
"Sudahlah, mengapa kau ingat-ingat suamimu
yang kabur meninggalkanmu itu! Menurut kabar yang
kudengar suamimu telah diburu-buru oleh Perguruan
Walet Merah karena mereka menyangka bahwa sua-
mimu yang telah menjadi tukang tadah pencurian Arca
Harimau Kumbang lambang persatuan kaum persila-
tan golongan lurus. He... he... he...! Mungkin sekarang
Rajenta telah mampus karena ketololannya memasuki
Lembah Gunung Batu Siwak yang sangat berbahaya
itu...!"
"Jali Sajiwa manusia rendah. Sampai mati pun
aku tetap tak akan memberimu ijin untuk menikahi
anakku. Aku akan selalu mengutukmu atas tindakan-
mu yang ceroboh, dan bukan tidak mungkin engkau-
lah yang telah mencuri Arca Harimau Kumbang dari
Perguruan Walet Merah...!"
Jali Sajiwa semakin panas hatinya. Dibujuk
dengan jalan baik kiranya Nyai Wendah tak mau kom-
promi, bahkan telah pula menuduhnya dengan perbu-
atan yang tak pernah dia lakukan. Maka dengan kasar
dia pun menyentakkan kerah baju Nyai Wendah secara
kasar. Tubuh wanita malang itu agak terangkat ke
atas. Nafasnya tersengal-sengal karena merasa sulit
untuk bernafas.
"Sial betul engkau ini. Kujadikan mertua kau
tak mau. Kau kira dengan tetap membangkang seperti
itu niatku untuk mengawini anakmu akan kubatalkan!
Hem tidak sama sekali. Bahkan kau pun akan menda-
pat giliran yang paling pertama. He... he... he...!" ber-
kata begitu. Jali Sajiwa segera menotok jalan suara
dan bagian gerak Nyai Wendah yang masih kelihatan
awet muda dan cantik seperti anaknya. Begitu tangan
Jali Sajiwa melepaskan cengkeramannya. Maka tak
terhindarkan lagi tubuh Nyai Wendah terjengkang ke
lantai.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, tangan Ja-
li Sajiwa pun bergerak menyambar pada bagian dada
Nyai Wendah,
"Brebet...!"
Bagian dada Nyai Wendah terobek pakaiannya.
Wanita berumur setengah baya itu menjerit. Namun
tiada suara yang terdengar. Jali Sajiwa tertawa penuh
kemenangan.
"Kau haus, membayar mahal atas kekerasan
hatimu, Nyai Wendah. Sungguh pun kau dapat menje-
rit setinggi langit. Namun suamimu yang sudah mam-
pus di Lembah Gunung Batu Siwak tak akan menden-
gar...! He... he... he...!"
Setelah melepas habis seluruh pakaiannya sen-
diri. Tak lama kemudian Jali Sajiwa segera menindih
tubuh molek Nyai Wendah yang tak mampu menjerit,
bergerak apalagi meronta.
Dengan brutal sekali Jali Sajiwa melampiaskan
nafsu binatangnya. Nyai Wendah menangis, namun
hanya lelehan air matanya saja yang menetes deras.
Dia merasa sangat terpukul dengan kejadian itu, ba-
tinnya terguncang.
Tiada suara apa pun yang terdengar di ruangan
penjara bawah tanah tersebut, terkecuali desah nafas
tokoh sesat yang memburu. Hingga beberapa saat sete-
lah segala-galanya pun berakhir. Jali Sajiwa dengan
tubuh bermandi keringat segera mengenakan pakaian-
nya kembali. Sesungging senyum puas membias di bi-
birnya yang dipenuhi oleh jambang dan kumis.
Sesaat saja dia memandang pada Nyai Wendah
yang tiada mengenakan sehelai pakaian pun. Nyai
Wendah memalingkan wajahnya, caci maki pun tak
pernah keluar dari pangkal tenggorokannya yang terto-
tok.
"Tidurlah kau di sini untuk selama-lamanya,
Perempuan tolol. Pesta perkawinan akan dilangsung-
kan. Kau sendiri dapat merasakan betapa hebatnya
aku... he... he...!" kata Jali Sajiwa sambil ngeloyor per-
gi.
Saat itu tanpa sepengetahuan Jali Sajiwa mau-
pun murid-murid sesat Lembah Weling. Seorang pe-
muda nampak menyusup memasuki daerah mereka.
Gerak gerik pemuda ini kelihatan sangat hati-hati se-
kali.
Pemuda berkuncir dengan pakaian kumuh dan
berparas tampan ini. Siapa lagi kalau bukan Buang
Sengketa atau si Pendekar Hina Kelana.
Mengapa pemuda ini sampai kesasar ke Lem-
bah Weling?
Setelah bertarung dengan si Kembar Pedang
Dewa dan berhasil membuntungi tangannya. Semula
dia bermaksud untuk terus menelusuri sepanjang pan-
tai. Dengan tujuan ingin mencari tempat yang pasti
tentang pertapaan ayahandanya. Si Raja Ular Piton
Utara. Namun begitu dia teringat pada Arca Harimau
Kumbang yang telah lenyap dari Perguruan Walet Me-
rah. Lebih jauh dia ingin mengetahui apa sesungguh-
nya yang menjadi keistimewaan arca tersebut sehingga
diperebutkan oleh banyak orang dari berbagai pergu-
ruan.
Karena langkahnya menuju Utara, maka secara
tidak sengaja dia melewati daerah Lembah Weling yang
merupakan jalan pintas untuk menempuh arah itu.
Namun sesampainya di pinggiran lembah dia
sedikit agak heran melihat keramaian yang luar biasa
itu. Lalu rasa penasaran membuat dia ingin mengeta-
hui apa sesungguhnya yang sedang berlangsung di
lembah itu.
Sungguhpun dasar lembah dengan tebingnya
terletak puluhan bahkan ratusan tombak jauhnya dari
pinggiran lembah. Bahkan jalannya pun tidaklah se-
baik jalan-jalan yang pernah dia lewati. Tapi dengan
mempergunakan ilmu mengentengi tubuh didukung
lagi dengan ajian Sapu Angin, maka dalam waktu seke-
jap saja dia sudah menginjakkan kakinya di atas wu-
wungan rumah tanpa menimbulkan suara sedikitpun
juga. Selanjutnya dia mulai mempergunakan ilmu me-
nyusupkan suara untuk mencuri dengar apa saja yang
terjadi di dalam rumah perguruan yang sangat besar
dan indah itu.
Tak lama kemudian Buang Sengketa menden-
gar ada suara beberapa orang sedang bercakap-cakap.
"Bagaimana? Apakah pengantin perempuan
sudah dirias...?" tanya suara laki-laki berat dan serak.
Dialah Jali Sajiwa ketua Perguruan Sesat Lembah Wel-
ing.
"Belum, Ketua. Dewi Wening Asih tidak mau di-
rias, dia terus menangis memanggil manggil ibunya...!"
"Hemm. Anak itu keras kepala seperti
ibunya...!"
"Nampaknya dia harus dijebloskan ke penjara
menyusul ibunya, Ketua...?" menimpali salah seorang
muridnya.
Jali Sajiwa nampak marah, begitu mendengar
usul salah seorang murid yang bernama Gento itu.
"Goblok! Mau tidak mau, suka tidak suka, bo-
cah itu harus menjadi istriku. Kalau kalian tidak becus
semuanya nanti ku hukum. Bujuk dia dan rias wajah-
nya sekarang juga...!" perintah Jali Sajiwa berwibawa.
"Tapi, Ketua...!"
"Tapi apa? Masih kurangkah tukang rias pen-
gantin di kamarnya...?"
Dengan perasaan takut-takut salah seorang
murid yang lain menyela: "Tidak, Ketua, bahkan jum-
lah mereka ada sepuluh orang. Namun mereka harus
menyembuhkan luka-luka di bagian mata yang banyak
mengeluarkan darah...!"
"Mengapa itu sampai terjadi...?" tanya Jali Sa-
jiwa gusar.
"De.... Dewi Wening Asih mencakari wajah tu-
kang-tukang rias itu bahkan beberapa kali dia berusa-
ha membunuh diri...!"
"Goublook...! Percuma saja kalian menjadi mu-
rid-muridku, kalau hanya mengatasi seorang perem-
puan saja tidak becus! Sekarang aku tak mau dengar
apa yang akan kalian katakan. Pengantin perempuan
harus secepatnya didandani, terserah bagai-mana cara
kalian membujuknya...!" bentak Jali Sajiwa lalu masuk
ke dalam kamarnya.
Tak banyak yang dapat dilakukan oleh murid-
murid Lembah Weling, terkecuali kembali ke dalam
kamar Dewi Wening Asih yang masih saja memberon-
tak.
Buang Sengketa yang sudah sedikit mulai pa-
ham segera mengikuti kepergian pengawal itu tanpa
meninggalkan wuwungan rumah. Selanjutnya sesam-
painya di ruangan lain, Pendekar Hina Kelana sempat
pula mendengar pembicaraan murid-murid yang mem-
beri laporan pada Jali Sajiwa tadi.
"Bagaimana, Nisanak? Apakah Dewi Wening
Asih sudah mau dirias?" tanya Gento dengan suara
sangat lirih sekali. Perempuan setengah tua yang di-
panggil nisanak itu mewakili kawan-kawannya mem-
bungkuk hormat, selanjutnya berkata:
"Dengan sangat terpaksa kami menotoknya.
Tapi sekarang semuanya sudah beres hanya tinggal
menunggu pengantin laki-laki saja...!"
"Pengantin laki-laki sudah beres sejak tadi-tadi.
Sebaiknya upacara perkawinan yang sangat terhormat
ini sudah bisa kita mulai...!" berkata begitu Gento dan
kawan-kawannya segera berbalik kemudian menuju ke
sebuah ruangan pribadi Jali Sajiwa.
Saat itu pemuda dari Negeri Bunian tetap me-
nelungkup di atas wuwungan yang di bawahnya meru-
pakan ruangan kamar yang disediakan untuk Dewi
Wening Asih. Nampaknya pemuda itu sangat penasa-
ran. Macam apa kiranya gadis anak bekas bangsawan
yang akan dijadikan istri oleh Ketua Perguruan Lem-
bah Weling yang manusia sesat itu.
Maka dengan sangat hati-hati, dia menyibak-
kan sebuah genteng untuk sekedar melihat suasana di
bawah sana. Begitu genteng di atas wuwungan rumah
itu membuka sedikit, betapa terkejutnya hati Buang
Sengketa. Gadis yang dalam keadaan tertotok itu be-
nar-benar sangat cantik luar biasa. Kecantikannya me-
lebihi bidadari. Kulitnya putih mulus, dengan wajah
bulat lonjong.
"Hemm! Gadis itu cantik luar biasa, namun
agaknya dia banyak menangis dan menderita batin,
sehingga wajahnya agak pucat, sedangkan matanya
pun agak bengkak. Aku tak tahu anak siapakah yang
diculik oleh gembong manusia sesat ini. Namun ada
baiknya aku menyelamatkannya dari cengkeraman
tangan Jali Sajiwa. Dan kalau tak ingin banyak resiko
aku harus melakukannya sejak sekarang. Tapi aku
perlu membereskan pengawal-pengawal itu terlebih
dahulu!" batin Buang Sengketa. Selanjutnya dia sibak-
kan beberapa genteng untuk membuatnya bisa leluasa
dalam bertindak. Tapi sungguhpun apa yang dia ker-
jakan itu sudah sangat berhati-hati, namun beberapa
orang pengawal yang berada di dalam ruangan itu
nampak terkejut. Tanpa diduga-duga mereka melihat
ke atas. Hampir saja suara teriakan terdengar andai
Pendekar Hina Kelana tidak cepat-cepat bertindak.
Dengan mempergunakan genteng pecahan,
Buang Sengketa membungkam mulut pengawal itu.
"Ziiing!"
"Pletak!"
Tiga orang pengawal roboh tanpa mampu
bangkit kembali. Tak membuang-buang waktu tubuh
pemuda itu pun melayang turun.
"Jangan ribut, siapa saja yang berani berteriak,
kubunuh...!" ancam pemuda itu. Selanjutnya melang-
kah menghampiri Dewi Wening Asih yang tergeletak di
atas ranjang dalam keadaan tertotok.
Secepatnya dia segera menyambar tubuh gadis
itu, lalu dengan sekali lompatan dia sudah berada di
atas wuwungan kembali. Namun pemuda itu dibuat
terkejut begitu melihat belasan murid dari Lembah
Weling sudah mengurungnya sedemikian ketat.
"Maling tengik! Berani mati kau menyantroni
tempat tinggal kami!" membentak salah seorang dari
mereka yang bertampang bengis.
Pendekar dari Negeri Bunian itu tersenyum ke-
cut, tapi otaknya juga berfikir cepat. Jumlah mereka
sedemikian banyak, bukan tak mungkin sebentar lagi
Ketua Lembah Weling hadir di situ. Dengan memang-
gul tubuh Dewi Wening Asih di pundaknya, terasa
sangat sulitlah bagi pemuda itu untuk mengatasi la-
wan yang sedemikian banyaknya. Selanjutnya dia ce-
pat-cepat berbisik pada gadis yang berada di pundak
kanannya.
"Nona! Tutuplah jalan pendengaranmu, aku
akan melakukan sesuatu!" kata pemuda itu memberi
peringatan. Saat itu sungguh-pun Dewi Wening Asih
tak tahu apa yang akan diperbuat oleh pemuda yang
berusaha melarikan dirinya, namun dia menuruti apa
yang dikatakan oleh Pendekar Hina Kelana.
“Maaf, Sobat. Aku tak punya waktu banyak un-
tuk melayani kalian, janganlah coba-coba menghalangi
jalanku...!" berkata begitu, Buang Sengketa sudah ber-
siap-siap mengerahkan ajian Pemenggal Roh yang san-
gat dahsyat dan tiada duanya di dunia persilatan.
"Keparat! Kau telah begitu lancang mencoba
membawa kabur calon istri orang. Mampuslah...!" te-
riak salah seorang dari mereka sambil menghunuskan
sebilah pedang yang sangat mengkilat. Tajam!
Namun sebelum orang itu dan yang lainnya
bertindak, mendadak Buang Sengketa keluarkan satu
jeritan yang sangat panjang, suara jeritan itu bagaikan
gelegar suara petir. Mengguncangkan rumah dan
isinya, meruntuhkan daun dan ranting-ranting kering.
Lebih tragis lagi dua belas murid Lembah Weling ber-
pelantingan roboh. Dari kuping dan hidung mereka
mengalirkan darah segar. Sedangkan dua orang lain-
nya yang masih dapat bertahan nampak terhuyung-
huyung. Buang Sengketa tanpa memberi kesempatan
cepat kirim dua pukulan telak. Hingga mengakibatkan
tubuh mereka terguling-guling menuruni genteng ru-
mah hingga kemudian terjatuh dengan menimbulkan
bunyi berdebum.
Kesempatan yang hanya sedikit itu pun tak dis-
ia-siakan oleh Buang Sengketa. Dengan memperguna-
kan ajian Sapu Angin tubuh Buang Sengketa pun me-
lesat sedemikian cepat meninggalkan tempat yang san-
gat berbahaya itu.
Saat itu Jali Sajiwa yang sudah bersiap-siap
untuk naik pelaminan demi mendengar suara ribut-
ribut di atas genteng dan terdengarnya bunyi berde-
bum dari sosok tubuh para muridnya segera bergerak
ke luar.
"Apa yang terjadi?" tanyanya begitu sampai di
depan tubuh anak muridnya yang tengah menyong-
song ajal.
"Ket... ketua... seseorang telah melarikan Dewi
Wening Asih, calon pengantin perempuan...!" kata
orang itu dengan suara terputus-putus.
"Keparat! Kalian tolol semua.... Anak-anak, ayo
kejar bangsat itu...!" teriaknya pula pada puluhan mu-
rid yang tersisa.
Selanjutnya tanpa membuang-buang waktu la-
gi, Jali Sajiwa dan murid-muridnya segera melakukan
pengejaran atas diri Buang Sengketa yang sudah tak
terlihat lagi dalam pandangan mata.
LIMA
Sejak hilangnya Arca Harimau Kumbang, maka
Perguruan Walet Merah sebagai pihak yang bertang-
gung jawab atas keamanan arca itu segera menyebar
puluhan mata-mata ke seluruh penjuru riba persila-
tan.
Siang itu nampak beberapa orang penunggang
kuda sedang menggebrak lari kudanya bagai orang
yang sedang dikejar-kejar setan. Tubuh mereka nam-
pak terguncang-guncang. Sesekali terdengar pula ring-
kik kuda mereka! Debu mengepul ke udara, peman-
dangan di belakang mereka tak terlihat sama sekali.
Melihat dari sikap mereka ini nampaklah kalau
lima orang penunggang kuda itu baru saja habis mela-
kukan perjalanan yang sangat jauh dan dalam kea-
daan tergesa-gesa.
Sementara itu tidak begitu jauh di depan mere-
ka, nampak pula seorang kakek berpakaian tambal-
tambal dengan celana bututnya sedang berjalan me-
lenggang dengan arah berlawanan. Kakek ini sudah
sangat tua sekali, rambut, kumis dan jenggotnya yang
hanya beberapa helai itu pun sudah memutih.
Di tangan kakek itu tergenggam pula sebuah
tongkat berkepala naga dan berwarna merah. Dunia
persilatan mengenalnya sebagai Gembel Pengemis dari
Pulau Naga. Selama malang melintang dalam dunia
persilatan kakek renta ini terkenal sebagai s-sepuh to-
koh sesat yang sangat keji.
Dengan tongkat mautnya yang berkepala naga
merah yang sewaktu-waktu dapat menyemburkan uap
beracun, dia dapat membunuh lawan-lawannya tanpa
bersusah payah turun tangan.
Saat itu tanpa menghiraukan orang-orang ber-
kuda yang berlari cepat di depannya, dia terus saja
mengayunkan langkahnya. Dalam gemuruh derap ku-
da itu, mendadak terdengar suara bentakan salah seo-
rang dari penunggangnya.
"Minggir...!" teriak salah seorang dari mereka.
Yang dibentak bagai tak mendengar saja terus berjalan
sambil menundukkan kepalanya. Mau tak mau orang-
orang yang berada di atas punggung kuda itu cepat-
cepat menarik kendali kuda tunggangan masing-
masing.
"Sialan kau, Orang tua pikun! Cepat minggir
kami mau lewat...!"
Gembel Pengemis dari Pulau Naga ini pun hen-
tikan langkahnya, sejenak dia memandang tajam pada
lima orang penunggang kuda itu. Pelan saja dia berka-
ta, namun suaranya yang disertai tenaga dalam mem-
buat para penunggang kuda itu pun sangat terkejut
bukan alang kepalang.
"Jalan masih begitu luas. Lagipula jalan ini bu-
kan milik bapak moyangmu! Mengapa pula kalian ma-
lah mengganggu perjalananku...?" tanya si Gembel
Pengemis.
Lima orang penunggang kuda itu pun saling
berpandangan sesamanya. Mereka berfikir bahwa apa
yang baru saja diucapkan oleh Gembel Pengemis ada-
lah sesuatu yang mereka anggap sangat keterlaluan
sekali. Bagaimana mungkin mereka bisa melewati jalan
lainnya kalau di kanan kiri mereka merupakan sebuah
jurang yang menganga.
Ini merupakan keadaan yang sangat keterla-
luan sekali. Kalau tak boleh dibilang merupakan satu
penghinaan yang sangat memalukan.
"Tua gembel, kau sangat keterlaluan sekali. Ba
gaimana mungkin kami bisa lewati jalan lain sedang-
kan di kanan kiri jalan ini merupakan jurang yang tak
terukur dalamnya...?"
Gembel pengemis tergelak-gelak bagai tawa seo-
rang bocah kecil. Lalu lanjutnya:
"Siapa mau perduli, mampus pun kalian ber-
sama kuda-kuda itu aku tidak perduli...!" kata Gembel
Pengemis acuh. Hal ini benar-benar menimbulkan ke-
marahan para penunggang kuda itu.
"Kuperintahkan padamu, Orang tua. Minggirlah
kalau kau tak ingin mati terinjak-injak kuda kami...!"
Dalam pada itu salah seorang dari mereka
mendadak berseru:
"Kawan-kawan, lihatlah dalam buntalan yang
berada di punggung gembel ini. Bukankah dia mem-
bawa Arca Harimau Kumbang yang telah hilang dari
perguruan kita...?!"
Ucapan salah seorang dari penunggang kuda
yang berkepala botak plontos itu membuat terkejut
yang lain-lainnya. Serentak mereka memandang ke ba-
gian punggung kakek tua renta, ternyata memang be-
nar adanya bahwa di bagian punggung Gembel Pe-
ngemis dari Teluk Naga ini terdapat sebuah benda
yang terbungkus selembar kain butut. Benda yang ter-
bungkus itu tidak tertutup keseluruhannya sehingga
sebagian masih terlihat. Tak salah itulah Arca Harimau
Kumbang yang terbuat dari emas murni.
"Bangsat! Kiranya kamulah orang yang telah
mencuri Arca Harimau Kumbang lambang persatuan
dari kaum persilatan golongan lurus. Cepat serahkan
area itu, semoga kaum persilatan golongan kami mau
mengampuni jiwamu yang keropok itu!" bentak salah
seorang lainnya dengan kemarahan yang tertahan-tahan.
Gembel Pengemis dari Pulau Naga itu pun ter-
tawa mencemooh. Satu demi satu dipandanginya ma-
ta-mata dari Perguruan Walet Merah. Sekali dia melu-
dah di tanah, selanjutnya dia menyambung kembali.
"Bocah-bocah kemarin sore, mampu berbuat
apakah kau padaku? Jangankan kalian yang hanya ti-
kus-tikus curut menjijikkan. Andai pun seluruh kaum
persilatan yang mengaku bergolongan lurus itu maju
di hadapanku. Hanya dengan beberapa jurus saja aku
pasti akan mengirim mereka ke neraka...!" ejek Gembel
Pengemis dari Pulau Naga lalu leletkan lidah.
Maka tak terbendung lagilah amarah kelima
murid dari Perguruan Walet Merah ini dibuatnya. Se-
lanjutnya tanpa dikomando lagi mereka melompat dari
punggung kuda-nya masing-masing.
"Cring! Cring!"
Dengan sekali sentak, senjata-senjata mereka
pun telah tergenggam di tangannya masing-masing.
"Gembel kropok, mulutmu sombong sekali. Ha-
dapilah kami...!" Serentak mereka berteriak, lalu me-
nyerang si Gembel Pengemis dengan jurus-jurus Pe-
dang Walet Merahnya.
Sebaliknya Gembel Pengemis nampak tenang-
tenang saja, lalu berseru mengancam.
"Orang-orang sengsara, celakalah nasib kalian
karena telah bertemu dengan Dedengkot Iblis dari Pu-
lau Naga. Ah... sayang sekali, kalian haru mati dalam
keadaan begini muda. Cepatlah kerahkan kemampuan
kalian, andai tidak empat jurus di depan nyawa kalian
pasti tidak akan tertolong lagi...!"
"Bet! Bet!"
Sambaran mata pedanglah sebagai jawaban-
nya. Tetapi dengan sangat mudah sekali si Gembel
Pengemis dari Pulau Naga mengkelit terjangan pedang
yang datangnya bertubi-tubi. Masih dengan terkekeh-
kekeh Gembel Pengemis terus berjingkrak-kan kian ke
mari, sungguhpun murid-murid dari Walet Merah be-
rusaha sedapat mungkin untuk mengadakan tekanan-
tekanan pada Gembel Pengemis, biar pun mereka telah
memainkan jurus Pedang Walet Merah Menyambar
Ikan yang terkenal sangat hebat karena variasi jurus-
jurusnya yang beragam, namun tetap saja mereka be-
lum berhasil mendesak Gembong Iblis dari Pulau Naga
tersebut.
Semakin lama mereka bertarung, semakin ber-
tambah hebatlah gerakan-gerakan menghindar Gembel
Pengemis. Sungguhpun saat itu Gembel Pengemis ma-
sih belum melancarkan serangan balasan.
"Cukup...!" Gembel Pengemis dari Pulau Naga
dorongkan tangannya ke segala penjuru, hingga mem-
buat tubuh mereka tertahan bahkan terhuyung bebe-
rapa tindak ke belakang.
Sungguhpun Gembel Pengemis hanya terlihat
bagai melambaikan tangannya saja, namun hal itu cu-
kup membuka mata murid-murid Perguruan Walet Me-
rah, bahwasanya saat itu mereka sedang berhadapan
dengan tokoh sesat yang memiliki kepandaian yang
tiada terukur.
Namun untuk mundur bagi mereka adalah me-
rupakan pantangan yang sangat menyakitkan. Terle-
bih-lebih mereka sudah mengetahui bahwa arca yang
hilang itu kini berada di tangan kakek tua berpakaian
tambal-tambal.
"He... he... he...! Kukira sudah cukup kuberi
waktu untuk kalian bermain-main sekejap. Sekarang
sudah waktunya bagi kalian untuk segera berangkat
ke liang kubur. Bersiap-siaplah...!"
"Hiaaat!"
Dengan mempergunakan setengah dari seluruh
kemampuan yang dimilikinya, Gembel Pengemis segera
bergebrak. Tendangan-tendangan maupun pukulan-
pukulan gencar datang bertubi-tubi. Sehingga dalam
waktu sekejap saja kelima orang murid-murid dari
Perguruan Walet Merah ini dibuat kalang kabut untuk
mempertahankan diri.
"Shaaa...! Ha... ha... ha...! Dua jurus di muka
kalian benar-benar akan mengalami nasib celaka...!"
teriak Gembel Pengemis sambil memperhebat serangan
mautnya. Saat itu secara serentak serangan pedang
datang menggebu, mengurung tubuh Gembel Penge-
mis.
"Ngung! Ngung!"
Sambaran pedang menderu hingga me-
nimbulkan suara bersiuran. Gembel Pengemis menge-
butkan tongkatnya mengawasi sambaran pedang la-
wan yang tiada mengenal ampun.
"Traak! Traang! Trang!"
Terlihat percikan bunga api berpijar saat senja-
ta di tangan mereka menghantam tongkat di tangan si
Gembel Pengemis. Bukan saja tangan mereka kesemu-
tan dan tergetar hebat. Tetapi juga pedang mereka
berpentalan terlepas dari tangan masing-masing. Maka
tak dapat dibayangkan betapa terkejutnya murid-
murid dari Partai Perguruan Walet Merah dibuatnya.
Wajah mereka nampak pucat pasi, tubuh gemetaran
menahan sakit yang teramat sangat di bagian dada.
Gembel Pengemis tertawa ngakak. Dia nampak
puas sekali dapat mempermainkan lawannya. Namun
tawanya mendadak berubah total menjadi sesungging
senyum sadis dan hawa membunuh yang meledak-
ledak,
Dari niat semula untuk menghabisi mereka
dengan cara menyemburkan uap beracun yang terletak
di bagian kepala Naga Merah di pangkal tongkatnya.
Kini berubah pendirian. Sekali ini dia ingin mencoba
kebenaran tentang isi sebuah kitab tipis yang berada
di bagian tersembunyi di mulut Arca Harimau Kum-
bang itu. Dia telah mempelajari isi kitab tersebut den-
gan baik dan sekarang sudah tibalah masanya untuk
mengetahui kebenaran tentang Siluman Harimau
Kumbang tersebut.
Sejenak dia memandang pada calon korbannya
yang masih berdiri terlolong-lolong di tempatnya.
Selanjutnya dia pun berkata pelan tetapi mem-
buat bulu kuduk lawan-lawannya meremang berdiri.
"Orang-orang malang, betapa kalian me-
rupakan manusia-manusia pertama yang akan menja-
di bahan percobaan Siluman Harimau Kumbang...
berdoalah selagi kalian masih bisa berdoa...!" berkata
begitu Gembel Pengemis jatuhkan diri bagai orang
yang sedang bersujud, tanpa diketahui oleh lawan-
lawannya Gembel Pengemis mulai melafalkan kalimat-
kalimat yang terdapat dalam Kitab Arca Harimau
Kumbang.
Sementara itu murid-murid dari Perguruan Wa-
let Merah dengan atau tanpa mempergunakan senjata,
kembali mengeroyok Gembong Iblis dari Pulau Naga
itu. Dikeroyok sedemikian rupa gembong dari Pulau
Naga ini tiada bergeming sedikitpun juga.
Bahkan perubahan perlahan pun terjadilah.
Mula-mula di sekujur tubuh Gembel Pengemis tumbuh
bulu-bulu halus yang semakin lama semakin bertam-
bah lebat. Lama-kelamaan pada bagian kepalanya be-
rubah menjadi ekor, dan bagian kaki berubah pula
menjadi kepala Harimau Kumbang.
Selanjutnya dengan diawali satu auman yang
sangat keras. Maka tubuh Gembong Pengemis melesat
ke udara. Tiga kali dia berjumpalitan dan begitu ka-
kinya telah kembali menapak ke bumi. Maka secara to-
tal Gembel Pengemis telah berubah ujudnya menjadi
seekor Siluman Harimau Kumbang.
"Grauuuung! Grrrrrr!"
Buas dan liar ujud dari harimau siluman itu,
sepasang matanya menyorot tajam pada kelima orang
murid dari Perguruan Walet Merah. Menciut nyali me-
reka, lalu dengan suara gemetar salah seorang di anta-
ra mereka membentak gusar.
"Gembel gila manusia siluman! Kau benar-
benar seorang manusia siluman berhati pengecut...!"
teriak laki-laki berkepala setengah botak sambil beru-
saha menjaga setiap kemungkinan.
"Grauuung...!"
Hanya suara auman itulah yang terdengar se-
bagai jawaban. Selanjutnya tanpa mengenal kompromi
lagi dengan sekali lompatan saja disertai dengan suara
auman yang menggelegar. Siluman Harimau Kumbang
itu pun sudah menerkam lawannya yang paling dekat.
Dengan kuku-kukunya yang panjang dan den-
gan gigi-gigi taringnya yang tajam-tajam. Sekejap saja
tubuh salah seorang dari lawannya terobek-robek begi-
tu buas. Harimau Kumbang itu menghirup darah yang
memancar dari bagian tengkuk lawan yang menggelu-
pur di atas tanah berdebu.
Setelah puas menghisap habis darah lawan,
maka korban-korban selanjutnya pun berjatuhan.
Saat itu sungguhpun sisa-sisa murid Pergu-
ruan Walet Merah telah memukul Harimau Kumbang
itu dengan segala cara, bahkan pula membabatkan
pedangnya ke tubuh Siluman Harimau Kumbang itu,
namun di luar dugaan tubuh Harimau Kumbang itu
kebal pada senjata tajam.
" Grauuuumm...!"
Kembali terdengar suara auman yang benar-
benar sangat memekakkan gendang-gendang telinga.
"Arggk! Arggkh!"
Terdengar jeritan kesakitan dan robekan kain
yang tercabik-cabik. Dengan buas siluman itu mem-
bantai mangsanya. Namun begitu lawan-lawannya itu
meregang ajal dengan luka-luka yang sangat mengeri-
kan, maka Siluman Harimau Kumbang tak lama ke-
mudian sudah berlari menjauh meninggalkan mayat-
mayat bekas korbannya yang bergeletakan begitu saja.
* * *
ENAM
Bangunan di dalam ruangan bawah tanah yang
sangat luas itu, sesungguhnya menyerupai sebuah is-
tana yang sangat indah. Hampir seluruh lantainya ter-
buat dari marmer putih. Sedangkan bagian dinding
atau tepatnya tembok yang menyerupai dinding, berla-
piskan emas permata.
Selain itu tak ada perabotan apa pun di sana,
terkecuali sebuah singgasana yang terletak di sudut
ruangan ujung. Hanya itu!
Yang lainnya hanyalah merupakan sebuah
ruangan yang mirip dengan lapangan latihan untuk
belajar dan berlatih ilmu tenaga batin dan juga Silu-
man Harimau Kumbang.
Suasana di dalam ruangan yang mirip istana
itu nampak sangat sunyi sekali. Tiada orang lain di sa-
na, terkecuali seorang laki-laki setengah baya yang
saat itu nampak duduk bersila, mata terpejam dengan
wajah tertunduk menekur di lantai. Begitu khusuknya
orang ini dalam semedinya. Sampai-sampai helaan na-
fasnya pun tak terdengar sama sekali.
Sudah satu purnama laki-laki itu dalam kea-
daan seperti itu, tiada makan tiada minum. Keadaan-
nya bagai orang yang sedang tertidur saja. Dalam situ-
asi seperti itu, jiwanya sudah menyatu dengan alam
gaib. Begitu pun dengan pikirannya.
Hari itu adalah merupakan hari terakhir dia
melakukan tapa, seperti apa yang pernah dikatakan
oleh suara tanpa rupa bahwa sebelum dia berangkat
mencari Arca Harimau Kumbang dia harus memiliki
bekal ilmu siluman yang cukup untuk mengimbangi
lawan-lawannya yang mungkin saja telah mempelajari
isi kitab yang terdapat di dalam mulut Arca Harimau
Kumbang tersebut.
Sementara itu di dalam ruangan yang sangat
luas, mendadak bertiup angin yang sangat kencang,
angin itu terus bertiup, semakin lama semakin menggi-
la. Lalu sesaat setelahnya, maka terdengar pula suara
tanpa rupa yang sekaligus merupakan guru dari laki-
laki bersemedi di tengah-tengah ruangan tersebut.
"Rajenta! Kukira cukup sampai di sinilah tapa-
mu. Kau telah melakukannya dengan baik. Sekarang
rapalkanlah ajian Siluman Harimau Kumbang yang te-
lah kau kuasai dengan baik...!!" kata suara tanpa rupa
memberi perintah.
"Hemm...!" Terdengar gumaman yang tak jelas.
Selanjutnya tanpa membuka matanya terlebih
dulu, Rajenta mulai merapalkan ajian Harimau Kum-
bang yang baru selesai dipelajarinya. Angin bertiup
semakin keras saat mana Rajenta hampir selesai me-
rapal Ajian Siluman Harimau Kumbang tersebut.
"Gerrr! Hauuuung...!"
Tubuh Rajenta dalam waktu sekejap saja telah
malih rupa menjadi seekor Siluman Harimau Kumbang
yang sangat besar namun tiada menampakkan kebua-
sannya. Suara tanpa rupa berseru memujinya.
"Bagus...! Ujud mu sangat sempurna Rajenta,
itu menandakan bahwa tapamu benar-benar sangat
sempurna. Sekejap lagi engkau harus bertarung mela-
wanku, Rajenta...!"
"Grauuung...!" Siluman Harimau Kumbang pen-
jelmaan Rajenta seperti mengangguk hormat pada gu-
runya.
Lalu bersamaan dengan tiupan angin kencang,
maka muncul pula kabut putih tipis. Semakin lama
semakin menebal. Bergulung-gulung, berputar-putar
hingga akhirnya membentuk sosok ujud Siluman Ha-
rimau Kumbang yang besarnya hampir sama dengan
Harimau Kumbang penjelmaan Rajenta.
Dua ekor Harimau Kumbang itu pun saling
menggeram satu dengan yang lainnya, selanjutnya
menyeringai memperlihatkan taring-taringnya yang
sangat tajam.
Sesaat selanjutnya dua ekor harimau siluman
itu pun sudah saling serang dan saling terkam sesa-
manya.
Suara auman yang sangat panjang terdengar
memekakkan telinga memenuhi seisi ruangan. Dua-
duanya merupakan lawan-lawan yang sangat tangguh.
Dan dalam waktu hanya sekejap saja pertarungan
sengit itu pun telah berlangsung sepuluh jurus. Saat
berikutnya Siluman Harimau Kumbang penjelmaan
Rajenta, dengan mengawali suara auman yang pan-
jang. Sudah bersiap-siap pula untuk menyerang Si-
luman Harimau Kumbang penjelmaan suara tanpa rupa.
Dengan sekali lompatan saja, tubuh harimau
siluman itu telah melesat sedemikian cepatnya. Namun
pada waktu yang bersamaan Siluman Harimau Kum-
bang penjelmaan suara tanpa rupa telah bersiap-siap
menadahkan kaki bagian depannya.
"Grauuung!"
"Bruuk!"
Dua ekor siluman harimau itu sama-sama ter-
pental tubuhnya, namun seolah bagai tak merasakan
apa yang sedang terjadi atas diri mereka masing-
masing. Dengan secepatnya mereka kembali lancarkan
serangan-serangan ganas. Baik kuku-kukunya yang
tajam maupun taring-taringnya yang runcing turut
ambil peranan yang sangat penting dalam pertarungan
antara guru dan murid.
Sampai pada akhirnya kaki bagian depan mas-
ing-masing siluman itu saling bertemu.
"Plak!"
Kaki depan itu saling melekat dengan kaki la-
wannya bertarung, maka dorong-dorongan pun tak
dapat dihindari lagi.
Begitu Siluman Harimau Kumbang penjelmaan
Rajenta mengerahkan tenaga saktinya pada saat yang
sama pun siluman harimau penjelmaan suara tanpa
rupa melepaskan pukulan saktinya.
"Weerrtt!"
"Blummm...!"
Terdengar satu letupan yang teramat keras
manakala pukulan melepas dan menahan itu saling
berbenturan. Dua-duanya sama-sama terpental den-
gan menderita luka dalam yang tiada berarti.
"Hauuuung!" Siluman Harimau Kumbang pen-
jelmaan suara tanpa rupa melolong panjang.
"Grauuung...!" Siluman Harimau Kumbang pen-
jelmaan Rajenta menyahut. Layaknya seperti mengerti
saja makna dari auman tersebut. Tak lama setelahnya,
siluman penjelmaan suara tanpa rupa segera menjauh.
Lalu:
"Busss!"
Siluman suara tanpa rupa itu pun raib begitu
saja, kemudian terdengar pula ucapannya.
"Siluman harimau yang kau pelajari sudah
sangat sempurna, Rajenta...! Sekarang kembalilah da-
lam ujud mu! Aku ada beberapa petunjuk yang perlu
kusampaikan padamu...!" perintah guru suara tanpa
rupa pada Rajenta.
Maka tanpa menunggu diperintah dua kali, Ra-
jenta yang masih dalam ujud Siluman Harimau Kum-
bang ini pun segera merapal Ajian asal Siluman Hari-
mau Kumbang.
Maka secara perlahan ujud Siluman Harimau
Kumbang sudah berubah kembali menjadi ujud Rajen-
ta yang sesungguhnya. Rajenta lalu menjura hormat
pada suara tanpa rupa, lalu ucapnya.
"Terima kasih atas segala petunjuk yang kau
berikan, Guru...!"
Suara tanpa rupa tergelak-gelak karenanya.
"Terhadap guru para siluman, kau tak perlu
memakai segala peradatan, Rajenta! Tidak seperti se-
bagaimana layaknya sesama manusia...!"
"Maafkan aku, Guru...!"
"Juga tak perlu minta maaf. Nah sekarang den-
garlah apa yang ingin kukatakan padamu...!" kata sua-
ra tanpa rupa pelan namun cukup menggetarkan gen-
dang telinga dan tembok batu marmer yang berlapis
emas.
"Katakanlah, Guru, aku sudah merasa siap untuk mendengarnya...."
Sunyi sesaat, hanya terdengar desiran angin
perlahan. Rajenta menarik nafas pendek, menunggu
dengan hati berdebar.
"Rajenta...! Sebagai siluman, siapa pun tak
pernah terlepas dari sumpahnya. Dan barang siapa sa-
ja yang berani melanggar sumpah itu, maka alamat ce-
lakalah baginya. Sumpah yang pertama, kau harus
memiliki hati yang jujur. Dilarang membunuh terkecu-
ali sangat terpaksa. Itu pun kau tak dibenarkan walau
setetes menghisap atau memakan daging korbanmu.
Tidak boleh berubah ujud andai kau tidak sedang
menghadapi lawan yang sangat tangguh. Itu pun jika
lawan itu benar-benar menyakiti hatimu, tubuhmu,
atau pun keluargamu. Jika pesan dan larangan itu ti-
dak kau langgar, aku merasa yakin kau tak akan jatuh
di dalam kutuk ku! Satu saja pesan buatmu carilah
Arca Harimau Kumbang sampai ketemu, seandainya
telah kau temukan, maka secepatnya kau harus kem-
bali ke sini. Arca itu sangat perlu dikembalikan ke
asalnya agar daerah Gunung Batu Siwak itu terlepas
dari malapetaka yang berkepanjangan. Nah sudah pa-
hamkah apa yang kukatakan itu, Rajenta...!" tanya su-
ara tanpa rupa.
"Paham, Guru...! Tetapi...!" Rajenta menjadi ra-
gu untuk mengatakan sesuatu.
"Tetapi apa, Rajenta. Katakanlah...!" desak sua-
ra tanpa rupa.
"Apakah kau tahu bagaimana nasib anak dan
istriku, dan di mana pula arca itu kini berada...?"
"Kau nampaknya lebih mengutamakan kepen-
tingan pribadi, Rajenta? Kalau tujuanmu menjadi Si-
luman Harimau Kumbang hanya untuk kepentingan
itu, yang pasti tersimpan dalam hatimu hanyalah dendam. Hal itu sia-sia saja, Rajenta. Aku bersusah payah
mendidikmu adalah untuk mencari arca yang hilang.
Itu semua demi keselamatan kaum mu. Tidakkah kau
paham...?" bentak suara tanpa rupa nampak sangat
marah sekali, Rajenta menjadi tergagap karenanya.
"Maafkan aku, Guru. Sudah barang tentu aku
akan mengutamakan mencari arca yang hilang itu, ke-
timbang mencari anak dan istriku...!" jawab Rajenta
dengan wajah sangat pucat sekali.
"Aku tidak melarangmu untuk mencari istri dan
anakmu, Rajenta. Namun selesaikanlah tugas yang te-
lah kuberikan ini padamu...!" kata suara tanpa rupa
dengan nada tertekan.
"Ba... baik, Guru! Perintahmu segera aku lak-
sanakan...!" jawab Rajenta sambil mengangguk pasti.
"Ha... ha... ha...! Rajenta... manusia yang dipe-
gang adalah janjinya. Sekali saja kau berani menging-
kari janji terhadap para siluman, maka kutuk kami
benar-benar sangat menyakitkan bagi siapa-
pun...!”
Tanpa menjawab, Rajenta hanya mengangguk-
kan kepalanya. Selanjutnya tanpa menoleh-noleh lagi,
laki-laki bekas bangsawan itu segera meninggalkan
ruangan yang sangat luas. Kemudian melangkah ke
bagian mulut Area Harimau Kumbang yang saat itu
sudah membuka. Selang beberapa saat lamanya, laki-
laki setengah baya itu pun setelah menjura pada area
segera berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
* * *
Udara di siang hari itu terasa sangat terik seka-
li. Sementara jalan yang dilalui oleh dua orang ini tak
lebih dari pada semak belukar dan hutan rotan yang
dam. Hal itu sia-sia saja, Rajenta. Aku bersusah payah
mendidikmu adalah untuk mencari arca yang hilang.
Itu semua demi keselamatan kaum mu. Tidakkah kau
paham...?" bentak suara tanpa rupa nampak sangat
marah sekali, Rajenta menjadi tergagap karenanya.
"Maafkan aku, Guru. Sudah barang tentu aku
akan mengutamakan mencari arca yang hilang itu, ke-
timbang mencari anak dan istriku...!" jawab Rajenta
dengan wajah sangat pucat sekali.
"Aku tidak melarangmu untuk mencari istri dan
anakmu, Rajenta. Namun selesaikanlah tugas yang te-
lah kuberikan ini padamu...!" kata suara tanpa rupa
dengan nada tertekan.
"Ba... baik, Guru! Perintahmu segera aku lak-
sanakan...!" jawab Rajenta sambil mengangguk pasti.
"Ha... ha... ha...! Rajenta... manusia yang dipe-
gang adalah janjinya. Sekali saja kau berani menging-
kari janji terhadap para siluman, maka kutuk kami
benar-benar sangat menyakitkan bagi siapa-
pun...!”
Tanpa menjawab, Rajenta hanya mengangguk-
kan kepalanya. Selanjutnya tanpa menoleh-noleh lagi,
laki-laki bekas bangsawan itu segera meninggalkan
ruangan yang sangat luas. Kemudian melangkah ke
bagian mulut Area Harimau Kumbang yang saat itu
sudah membuka. Selang beberapa saat lamanya, laki-
laki setengah baya itu pun setelah menjura pada area
segera berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
* * *
Udara di siang hari itu terasa sangat terik seka-
li. Sementara jalan yang dilalui oleh dua orang ini tak
lebih dari pada semak belukar dan hutan rotan yang
penuh dengan duri.
Sungguhpun begitu bukan berarti halangan
bagi Pendekar Hina Kelana yang saat itu baru saja
membebaskan diri dari kejaran para murid Lembah
Weling yang sangat besar jumlahnya itu.
Sementara itu tak begitu jauh di sebelahnya
nampak Dewi Wening Asih berjalan bersamanya. Wa-
jah gadis itu menunduk lesu. Dia memang kelihatan
sedih sekali, sungguhpun Pendekar Hina Kelana telah
menolongnya.
Sejauh itu Buang Sengketa masih belum berani
mengatakan sesuatu pada perempuan yang ada ber-
samanya.
Saat-saat berikutnya Dewi Wening Asih sudah
pula berkata:
"Tuan sudah menyelamatkan aku, lalu apa
yang akan Tuan lakukan atas diriku?" tanya Dewi
Wening Asih dengan wajah tertunduk.
Sementara itu bagai disengat puluhan kala
berbisa Buang Sengketa nampak terlonjak demi men-
dengar pertanyaan yang sangat mengejutkan hatinya.
"Nona, kau ini bicara apa? Pantaskah hal se-
macam itu kau tanyakan padaku?" tanya Pendekar Hi-
na Kelana setengah tersinggung.
"Laki-laki di mana saja sama, setiap melakukan
pertolongan pasti ada yang dimaunya...!" tukas Dewi
Wening Asih sambil memalingkan muka.
"Hemm! Sebegitu jauhkah kau menilai diriku.
Puih... aku memang manusia gembel yang sangat hina
di depan manusia mana pun. Tetapi untuk melakukan
perbuatan serendah itu. Alangkah lebih baik kalau aku
menggorok leherku sendiri. Pada siapa pun aku tak
pernah mengenal pamrih. Aku melihat kau dalam ke-
sulitan, salahkah aku bila aku menolongmu...?"
"Kau... oh, maafkan aku... fikiran ku terlalu ka-
cau, sehingga kau menilai mu dengan cara yang tak
masuk diakal. Tetapi... ibu-ku... ibuku merekalah yang
telah memenjarakannya di bawah tanah...!" Tersendat-
sendat suara Dewi Wening Asih. Akhirnya gadis itu
pun kembali menangis. Sedih berpisah dengan ibunya.
* * *
TUJUH
Pendekar Hina Kelana menjadi tertegun-tegun
demi melanggar tutur kata Dewi Wening Asih. Sama
sekali dia tiada menyangka kalau sesungguhnya gadis
yang sangat cantik itu berada di sarang para iblis ber-
sama dengan ibunya. Apa yang dikata-kan oleh gadis
itu membuatnya semakin tertarik. Akhirnya kekesa-
lannya pun hilang sudah. Maka dengan hati diliputi
rasa keingintahuan dia pun bertanya:
"Mengapa Nona dan ibu Nona sampai jatuh ke
dalam cengkeraman orang itu?"
"Jangan memanggilku Nona. Namaku Dewi
Wening Asih! Dan Tuan siapa...?" tanya gadis itu ma-
sih dengan wajah tertunduk.
Buang Sengketa nampak tersenyum-senyum
begitu melihat Dewi Wening Asih nampak tersipu keti-
ka menyebutkan namanya sendiri.
"Hmm. Dewi Wening Asih, sebuah nama yang
sangat bagus, sebagus dan secantik pemilik nama itu!"
puji pemuda dari Negeri Bunian itu polos.
"Jangan memujiku setinggi langit, sebaliknya
anda sendiri belum menyebutkan nama anda...!" ujar
Dewi Wening Asih. Sekejap saja sudah nampak akrab.
Buang Sengketa garuk-garuk kepalanya yang
tak gatal. Sambil tetap mengayunkan langkahnya, di-
buangnya pandangan matanya jauh-jauh. Selanjutnya
dia pun menjawab.
"Ah, aku yang rendah ini, Buang Sengketa na-
maku. Orang-orang menjuluki aku sebagai si Hina Ke-
lana...!" kata pemuda itu merendah.
Sebaliknya Dewi Wening Asih begitu mendengar
si pemuda menyebut dirinya sebagai si Hina Kelana
nampak sangat terkejut sekali. Sedikitpun dia tiada
pernah menyangka kalau pemuda tampan yang telah
menyelamatkan dirinya dari cengkeraman para iblis
dari Lembah Weling itu, masih begini muda. Selama ini
dia memang pernah mendengar tentang adanya tokoh
sakti yang berjuluk Pendekar Hina Kelana yang sangat
terkenal dengan sepak terjangnya dalam membasmi
segala bentuk kejahatan.
"Engkaukah Pendekar Golok Buntung yang
sangat menggemparkan itu...?" tanya si gadis jelita ter-
tegun untuk sesaat lamanya.
Buang Sengketa tersenyum tawar, namun dia
tetap mengayunkan langkahnya. Selanjutnya tanpa
menoleh dia pun berucap.
"Aku adalah aku, tiada sesuatu pun yang dapat
ku agung-agungkan. Hanya mereka sajalah yang terla-
lu menggembar gemborkan tentang diriku sampai ke
mana-mana. Padahal si Hina Kelana adalah seperti
yang kau lihat. Seorang gembel yang tiada memiliki
apa-apa...!"
"Kau terlalu merendah, Kelana...! Padahal selu-
ruh kaum persilatan tahu siapa sesungguhnya kau
ini...!" bantah Dewi Wening Asih sambil memandang
penuh kekaguman pada pendekar yang berhati luhur
ini.
Buang Sengketa menjadi tidak enak hatinya,
maka cepat-cepat dia mengalihkan pembicaraan itu.
"Eee... tadi kau belum menjawab mengapa ka-
lian, maksudku engkau dan ibumu bisa sampai berada
di kediaman rumah Jali Sajiwa, bahkan mau dijadikan
istri lagi." tanya Buang Sengketa tanpa ada maksud
menyinggung perasaan lawan bicaranya.
Yang ditanya nampak terdiam sesaat lamanya,
lalu wajahnya cepat-cepat menunduk seolah ada sesu-
atu yang sangat dirahasiakannya agar si pemuda tiada
sampai melihatnya. Sesuatu itu adalah air matanya
yang sudah hampir tumpah membasahi pipinya yang
kemerah-merahan tertimpa cahaya matahari.
"Mereka pernah datang merampok habis segala
kekayaan yang dimiliki oleh ayahku. Bahkan kalau sa-
ja ayahku tak melarikan diri setelah bertempur dengan
mereka, sudah barang pasti sudah dibunuhnya. Jali
Sajiwa yaitu kepala garong besar yang sangat ditakuti
oleh banyak orang itu pada akhirnya melarikan kami.
Aku sendiri tak tahu bagaimana nasib ayah kini...?"
Tak tertahankan lagi, Dewi Wening Asih pun menangis
tersedu-sedu. Buang Sengketa jadi tak sampai hati me-
lihatnya.
"Mengapa ayahmu begitu pengecut telah me-
ninggalkanmu...?" tanya Buang Sengketa merasa san-
gat penasaran dibuatnya.
Mendadak Dewi Wening Asih seka sisa-sisa air
mata yang masih mengalir menuruni pipinya.
"Ayahku tak sepengecut yang kau duga, Kelana!
Setelah ibu melihat bahaya ayah hampir saja kalah
bertarung dengan Jali Sajiwa dan para muridnya. Ma-
ka ibu meminta pada ayah untuk melarikan diri...!"
"Hemm. Jali Sajiwa dan orang-orangnya, andai
bertemu denganku kapan saja, aku pasti tidak memberinya ampun...!" geram Buang Sengketa dengan gera-
ham bergemeletukkan.
Setelah itu Buang Sengketa terdiam, Dewi Wen-
ing Asih pun sama juga. Nampak nya mereka tengge-
lam dalam lamunannya masing-masing. Tetapi lang-
kah terus terayun. Hingga tanpa terasa mereka sudah
sampai di pinggiran hutan. Dalam pada itu terdengar
puluhan derap langkah kaki kuda, lama kelamaan su-
ara kaki kuda itu pun semakin mendekat. Sehingga
semakin bertambah dekat saja jaraknya di antara me-
reka.
Baik Pendekar Hina Kelana maupun Dewi Wen-
ing Asih, tertegun-tegun melihat kehadiran para pe-
nunggang kuda yang jumlahnya tidak lebih dari dua
puluh orang ini. Sebaliknya para penunggang kuda
yang di bagian baju kanannya terdapat simbol kepala
burung walet merah juga tak kalah kagetnya. Bahkan
secara serentak mereka menarik tali kekang kuda se-
hingga kuda-kuda tunggangan itu berhenti saat itu ju-
ga.
"Seorang gadis cantik, berjalan dengan seorang
aneh berperiuk, agaknya pemuda sinting ini mengeta-
hui banyak tentang arca itu...!"
"Langsung saja tanya, Ketua! Barangkali dia
mengetahui tentang arca lambang persatuan seluruh
kaum persilatan golongan lurus...!"
"Hemm. Betul juga, barangkali orang ini menge-
tahui tentang arca yang hilang itu...!" batin Luga Ken-
cana Ketua Perguruan Walet Merah yang berbadan
tinggi kurus. Kemudian.
"Langsung saja tanya, apakah kau mengetahui
atau pernah berjumpa dengan seorang kakek tua renta
yang berjuluk Gembel Pengemis dari Pulau Naga?"
tanya Luga Kencana sambil mengerling pada Dewi Wening Asih dengan pandangan mata curiga.
"Bertemu dengan anda sekalian saja baru kali
ini, bagaimana mungkin aku mengenal orang yang se-
perti tuan maksudkan...?" ujar Buang Sengketa ber-
sungguh-sungguh.
"Ada keperluan apakah sehingga tuan-tuan
mencari seorang gembel pengemis, kalau aku boleh ta-
hu...!"
"Menurut beberapa orang saksi mata. Gembel
Pengemis dari Teluk Naga telah membunuh murid-
murid perguruan kami. Dengan merubah ujudnya
menjadi seekor Siluman Harimau Kumbang. Keterla-
luan sekali dia itu! Kami harus menagih hutang nyawa
pada gembel busuk tersebut...!" kata Luga Kencana
dengan kemarahan yang tertahan-tahan.
Dalam pada itu beberapa orang murid Walet
Merah yang sedari tadi memperhatikan Dewi Wening
Asih tiba-tiba berseru pada ketua perguruannya.
"Guru. Bukankah gadis yang bersama pemuda
ini merupakan anak dari Rajenta yang telah merat da-
lam pengejaran kita di Lembah Gunung Batu Siwak?"
Luga Kencana begitu mendengar ucapan salah
seorang muridnya langsung menatap tajam pada Dewi
Wening Asih.
"Hei... benarkah kau anaknya Rajenta yang te-
lah mampus di Lembah Gunung Batu Siwak...?" hardik
Luga Kencana, mendadak parasnya berubah memerah.
Dewi Wening Asih dan Buang Sengketa saling
berpandangan. Namun di luar dugaan semua orang,
dengan sangat berani sekali Dewi Wening Asih menga-
kui.
"Benar. Akulah anaknya Rajenta! Dan pasti ka-
lian akan terus menuduh ayahku sebagai tukang ta-
dah Arca Harimau Kumbang yang sangat mengheboh
kan itu, bukan?"
"He... he... he...! Sungguhpun kami belum yakin
betul tentang keterlibatan ayahmu dalam pencurian
Area Harimau Kumbang yang hilang itu, namun ada
kemungkinan ayahmu juga ikut terlibat dalam masa-
lah itu. Dan bukan tak mungkin pula bahwa kau juga
tahu tentang arca lambang persatuan dari kaum ber-
golongan putih...!" tebak Luga Kencana tanpa menghi-
raukan kehadiran Buang Sengketa di tempat itu.
Merah padam wajah Dewi Wening Asih demi
mendengar tuduhan yang sangat tidak beralasan itu.
"Ketua Perguruan Walet Merah, kiranya orang
tua yang berpandangan picik! Tidak tahukah kalian
gara-gara arca sialan itu aku dan ibuku hampir saja
mengalami nasib celaka kalau tidak ditolong oleh pe-
muda ini?" bentak gadis jelita itu sambil menuding Lu-
ga Kencana yang masih duduk di atas pelana kudanya.
"He... he... he...! Apapun alasanmu, kami tak
mau dengar. Kalau kalian berdua tidak mau memberi
keterangan di mana adanya Gembel Pengemis dari Pu-
lau Naga berada, maka kalian akan kami tahan. Atau
bila perlu kalian akan menjalani siksaan yang sangat
berat." ancam Luga Kencana dengan sangat berang
dan memandang penuh kebencian.
"Hak... hak... hak...! Ketua Perguruan Walet
Merah, perguruan macam apakah sehingga kalian be-
rani mengaku sebagai orang yang berasal dari kaum
golongan lurus. Setahuku engkau berpikiran sempit,
bahkan mungkin kepandaianmu tak lebih daripada
seekor keledai yang sangat tolol" Membentak Buang
Sengketa karena merasa sangat tersinggung sekali.
"Gembel berperiuk! berani sekali engkau meng-
hina guru kami. Agaknya engkau sejenisnya setan ku-
buran yang sudah merasa bosan hidup?" teriak salah
seorang murid Perguruan Walet Merah gusar.
"Ha... ha... ha...! Beginikah tampangnya orang
yang dipercaya untuk menjaga keselamatan arca yang
sangat menghebohkan itu? Bukan tak mungkin men-
jaga anak bini saja tak becus...!" Maki Pendekar dari
Negeri Bunian itu sambil tertawa mengejek.
"Keparat! Kiranya kau sengaja berpihak pada
gadis cantik yang bersamamu itu, Bocah Hina...?" ma-
ki Ketua Perguruan Walet Merah sudah tak dapat
membendung kemarahannya lagi.
"Ha... ha... ha...! Aku memang manusia hina,
namun sekali-kali tidak aku berpihak kepada siapa
pun terkecuali pada kebenaran...!"
"Sial! Anak-anak, ringkus kedua mata-mata
pencuri itu...!" perintah Luga Kencana pada murid-
muridnya.
Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, secara
serentak mereka berlompatan dari punggung kuda me-
reka masing-masing. Selanjutnya dengan pedang ter-
hunus mereka itu pun secara berbareng sudah menge-
pung Pendekar Hina Kelana dari berbagai penjuru.
Menghadapi bahaya yang mengancam keselamatan
mereka. Maka tanpa membuang waktu lagi, Buang
Sengketa segera menyambar tubuh Dewi Wening Asih.
"Maaf, Dewi. Aku terpaksa memasukkan eng-
kau ke dalam periuk ku." berkata begitu pemuda itu
segera memasukkan tubuh Dewi Wening Asih ke da-
lam periuk yang menyimpan berbagai kegaiban itu.
"Anak-anak, tunggu apa lagi! Ringkuuus...!" te-
riak Luga Kencana sudah tak sabaran lagi.
Maka dalam waktu hanya sekejap saja, pedang
di tangan lawan-lawannya menderu, mengejar pemuda
ini ke mana pun dia berusaha menghindar. Lalu terja-
dilah pertarungan yang seru. Pedang di tangan masing-masing lawan menderu, menyambar bagian-bagian
tubuh yang sangat mematikan. Menghadapi serangan-
serangan senjata tajam yang sangat berbahaya itu. Tak
ayal lagi Pendekar Hina Kelana segera keluar-kan ju-
rus silat Membendung Gelombang Menimba Samudra.
Dengan mempergunakan jurus tersebut tubuh
pemuda itu nampak bergerak ringan. Kadang tubuh
bergerak sedemikian cepatnya. Di saat lain dengan
mengandalkan ilmu mengentengi tubuh yang sangat
sempurna berjumpalitan ke udara menghindari hujan
senjata tajam yang datangnya sangat cepat dan bertu-
bi-tubi. Sungguhpun begitu, namun sejauh itu Pende-
kar Hina Kelana masih dapat menghindari serangan-
serangan gencar yang sangat mematikan itu.
Luga Kencana melihat murid-muridnya masih
belum juga berhasil meringkus Buang Sengketa. Dia
nampak sangat geram sekali, padahal seperti yang di-
ketahui oleh Luga Kencana, saat itu semua murid-
muridnya sudah mempergunakan jurus pedang yang
sangat hebat. Yaitu jurus pedang Sekawanan Walet
Merah Menyergap Capung. Ini sangat keterlaluan seka-
li. Terlalu hebatkah pemuda itu? Menurut pengliha-
tannya sendiri, Buang Sengketa tidak terlalu hebat.
Hanya murid-muridnya saja yang tidak becus dan
sangat keterlaluan sekali. Maka tak ayal lagi dia pun
membentak murid-muridnya.
"Murid-murid pada goblok! Meringkus tikus
gembel cacingan saja tidak becus, awas kalian kalau
sampai memalukan perguruan." teriak Luga Kencana
gusarnya bukan alang kepalang.
Mendapat ancaman dari gurunya sudah tentu
membuat murid-murid Walet Merah itu menjadi sangat
ketakutan sekali.
DELAPAN
Maka selanjutnya dengan tiada membuang-
buang waktu lagi, semua murid-murid Perguruan Wa-
let Merah dengan mengerahkan segenap kemampuan-
nya. Kini jurus-jurus pedang mereka berubah secara
total. Gerakan-gerakan tubuh maupun pedang menjadi
sangat cepat dan mematikan. Berulang kali nyaris saja
pemuda itu terkena sambaran senjata-senjata yang
sangat tajam tersebut. Buang Sengketa pada empat
puluh jurus berikutnya nampak mulai terdesak hebat.
"Ciaaat!"
Bagai seekor udang yang menghindari serga-
pan-sergapan lawannya. Tubuh Pendekar Hina Kelana
melentik ke udara. Maka begitu tubuhnya kembali me-
luncur ke bawah, tak ayal lagi dia segera melepaskan
pukulan Empat Anasir Kehidupan yang sangat dahsyat
itu. Selarik sinar ultra violet menderu sedemikian ce-
patnya meluruk pada lawan-lawannya yang tiada me-
nyadari akan datangnya pukulan yang berhawa panas
luar biasa ini.
"Blam...!"
Bumi terguncang hebat, terdengar jerit kema-
tian yang menyayat hati. Tubuh mereka yang terkena
pukulan Empat Anasir Kehidupan nampak terpental
ke segala arah. Di antara mereka ada yang tewas seke-
tika itu juga dengan keadaan tubuh hangus, tapi ada
pula yang masih dalam keadaan sekarat atau pun ter-
luka parah.
Bukan main terkejutnya Luga Kencana demi
menyaksikan apa yang terjadi di hadapannya. Lima
orang tewas seketika, hanya pukulan yang benar-
benar sangat hebat sajalah yang dapat menjatuhkan
para muridnya. Namun di balik keterkejutan itu se-
sungguhnya dia sangat gusar sekali. Pemuda yang ti-
dak dikenalnya itu masih begitu sangat muda, namun
memiliki pukulan yang sangat hebat. Sungguh dia
sangat penasaran sekali dibuatnya.
"Bocah kau telah begitu berani membunuh mu-
rid-muridku. Kau harus menerima pembalasan yang
setimpal...!"
"Sama seperti gurunya. Murid-muridmu juga
merupakan orang tolol yang perlu diberi pelajaran...!"
ejek Pendekar Hina Kelana sambil bersiap-siap dengan
gebrakan-gebrakan selanjutnya.
"Anak-anak, mari kita cincang pemuda gembel
ini beramai-ramai...!" berteriak begitu Luga Kencana
langsung melompat dari atas punggung kuda tunggan-
gannya. Maka tak dapat terhindarkan lagi, pertarun-
gan sengit pun segera berlangsung kembali di pinggi-
ran hutan yang sangat sunyi tersebut.
Kini dengan turun tangannya Luga Kencana da-
lam pertempuran itu, maka kejab kemudian Buang
Sengketa sudah kelihatan mulai terdesak. Selanjutnya
tanpa ayal-ayalan lagi Pendekar Hina Kelana segera
memainkan jurus-jurus si Gila Mengamuk. Bagai
orang sinting yang sedang mabok, tubuhnya sem-
poyongan kian kemari. Bahkan jurus-jurus silat yang
dimainkan nampak kacau tak beraturan. Sekali waktu
dia terhuyung-huyung, di lain saat dia berkelit meng-
hindari babatan-babatan mata pedang yang datangnya
menggebu-gebu. Namun di saat yang lain tubuhnya
berkelebat lenyap membingungkan para lawan-
lawannya.
Hingga pada satu saat teringat pulalah olehnya
tentang Ajian Pemenggal Roh. Pemuda itu langsung
bertindak cepat. Lalu terdengar pula bunyi mendesis
desis bagaikan seekor raja ular yang sedang dilanda
kemarahannya. Lalu tanpa ampun tubuhnya kembali
berkelebat. Selanjutnya satu hal yang tiada pernah
disangka-sangka oleh orang-orang itu.
"Huaiiiik,..!"
Jeritan tinggi melengking sambung menyambut
dan tiada berkeputusan itu menggetarkan tempat me-
reka berpijak. Murid-murid Perguruan Walet Merah
melolong setinggi langit. Mereka menggelepar roboh,
darah mengalir dari gendang telinga yang rusak total
akibat lengkingan Ilmu Pemenggal Roh. Di antara lima
belas orang murid itu sepuluh di antaranya meregang
ajal saat itu juga. Sedangkan yang lainnya berlarian
kian ke mari bagai orang yang terganggu sarapnya.
Bukan alang kepalang terkejutnya Ketua Pergu-
ruan Walet Merah dibuatnya. Sama sekali dia tiada
menyangka kalau pemuda yang dihadapinya justru
memiliki ilmu yang sangat berbahaya sekali. Hal lebih-
lebih di luar jangkauan perhitungannya. Sungguhpun
dengan mata kepala sendiri dia sudah menyaksikan
betapa hebatnya ilmu yang dimiliki oleh pemuda gem-
bel yang berdiri di hadapannya, tapi kematian sekian
banyak murid-muridnya telah membuatnya gelap ma-
ta. Maka dengan kemarahan yang tiada terkirakan Lu-
ga Kencana memaki habis-habisan.
"Keparat! Dengan pembunuhan yang kau laku-
kan ini, kau benar-benar telah mengundang permusu-
han terhadap seluruh kaum persilatan golongan lurus.
Kau benar-benar sangat keterlaluan sekali...!" maki
Luga Kencana saat itu sudah bersiap-siap dengan pu-
kulan mautnya yang diberi nama Seribu Walet Merah
Memburu Burung Hantu.
"Kau... kau sendirilah yang memulainya, Ketua
sinting. Tuduhanmu yang tiada beralasan itu benar
benar merupakan satu penghinaan yang benar-benar
tidak dapat dimaafkan...!" tukas Pendekar Hina Kelana
dengan pandangan berapi-api.
"Kutu kupret! Sebutkanlah namamu, andai kau
mati agar tak susah-susah aku menuliskannya di batu
nisan mu...?"
Buang Sengketa hanya tersenyum-senyum saja,
saat itu dia berpendapat. Sungguhpun Perguruan Wa-
let Merah merupakan sebuah perguruan yang sangat
besar. Tetapi sedikitpun juga dia tiada menyangka ka-
lau ketua perguruannya merupakan orang yang memi-
liki pandangan sempit.
"Hemm, baiklah agar kau tak menjadi penasa-
ran siapa adanya aku ini. Pasanglah kuping mu baik-
baik, Kisanak. Aku yang jelek ini bernama Buang
Sengketa, orang-orang mengenalku sebagai si Hina Ke-
lana...!" ujar Buang Sengketa tanpa ada maksud untuk
membanggakan diri.
Sungguhpun saat itu Luga Kencana merasa
sangat terkejut demi mendengar pengakuan si pemu-
da. Namun demi menjaga gengsinya sedapatnya dia
berusaha menutup-nutupi tentang kegelisahan ha-
tinya.
"Oho, kiranya kaulah pendekar yang sangat ke-
sohor itu, pantas sekali kau berani jual lagak di de-
panku." kata Luga Kencana dengan suara datar. Na-
mun sekejap kemudian dia sudah bergelak-gelak sam-
bil memandang penuh kebencian pada pemuda yang
telah banyak membunuh para muridnya.
"Ha... ha... ha...! Pendekar Hina Kelana rupanya
tidak lebih dari seorang gembel busuk. Puih... aku jadi
ingin melihat sebagai mana hebatnya Pusaka Golok
Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto yang sangat
menghebohkan itu...!"
Pendekar Hina Kelana tersenyum getir, begitu
iba dia memandang pada Luga Kencana yang saat itu
sedang dirasuki setan amarah. Lalu dengan suara ter-
tahan, dia mengingatkan.
"Kisanak. Sebaiknya kau batalkanlah niatmu
untuk mengetahui bagaimana hebatnya Pusaka Golok
Buntung! Niat yang sama juga dulu pernah diucapkan
oleh banyak orang. Tapi sungguh malang niat mereka
itu tidak pernah berkesampaian...!"
Luga Kencana tergelak-gelak. Senyumnya sinis,
dengan tatapan matanya yang diliputi nafsu membu-
nuh.
"Mulutmu terlalu sombong, Hina Kelana. Seka-
rang terimalah pukulan ini. Hiaaat!" Secara sontak Lu-
ga Kencana pukulkan kedua tangannya mengarah pa-
da tubuh lawannya.
"Weeer...!"
Tak ayal lagi satu gelombang pukulan yang
berhawa sangat dingin menderu laksana kilat hingga
timbulkan suara bersiuran. Buang Sengketa terkesiap
karenanya. Lalu dalam keadaan yang sangat kritis itu.
"Hiaaaa...!"
Tubuhnya melentik ke udara. Selanjutnya begi-
tu dia melayang ke bawah, satu pukulan yang tak ka-
lah hebatnya dia lepaskan. Tak salah lagi, itulah puku-
lan Empat Anasir Kehidupan yang mengandung hawa
yang sangat panas sekali. Gelombang sinar ultra violet
itu laksana kilat memapaki datangnya pukulan yang
dilepas oleh Luga Kencana yang berhawa sangat din-
gin. Selanjutnya tanpa terhindarkan lagi dua tenaga
sakti itu pun saling bertubrukan di udara.
"Blam mm...!"
Tubuh kedua orang itu sama-sama terpelanting
jauh. Sama-sama pula muntah darah namun Pendekar
Hina Kelana lah yang paling parah menerima akibat-
nya. Pemuda itu masih terus terbatuk-batuk. Dalam
batuknya itu mengalir pula darah kental dari mulut
dan lubang hidungnya. Dada masih terasa sesak dan
nyeri sakit, pandangan mata berkunang-kunang.
Sungguhpun tidak terluka, tapi yang paling
sengsara menerima akibatnya adalah Dewi Wening
Asih yang masih tersekap di dalam periuk gaib terse-
but. Sebab begitu tubuh Buang Sengketa terpelanting
dan terguling-guling, maka tak ayal lagi periuk itu pun
ikut pontang panting sehingga menyebabkan tubuh di
dalamnya menjadi tunggang langgang tak karuan.
Sementara itu Luga Kencana sudah bangkit
berdiri, dia lalu seka bibirnya yang belepotan darah
kental. Dalam hati dia memuji kehebatan pukulan
yang dimiliki oleh Pendekar Hina Kelana. Bahkan tadi
dia merasakan betapa pukulan miliknya yang berhawa
sangat dingin itu hampir saja tertelan bulat-bulat oleh
pukulan lawan yang berhawa sangat panas luar biasa.
Dan bahkan andai saja dia tiada memiliki kekebalan
tubuh, sudah barang tentu dia akan menerima akibat
yang lebih parah lagi dari lawannya.
Tekadnya membara, dia sudah tidak ingin
mundur walau apa pun yang bakal terjadi. Dia ber-
keyakinan dua pukulan yang lebih dahsyat yang dia
miliki mungkin saja mampu menjatuhkan Pendekar
Golok Buntung. Seandainya tidak pun dia masih me-
miliki sebilah pedang dan jurus-jurus pedang yang
sangat diandalkan. Itulah sebabnya sambil bersiap-
siap dengan kuda-kudanya dia berseru lantang.
"Bocah! Ternyata Pendekar Hina Kelana bukan-
lah nama kosong. Kau benar-benar seorang gembel
yang sangat tangguh." puji Luga Kencana tanpa tedeng
aling-aling.
Selanjutnya sambungnya:
"Tapi engkau jangan sombong dulu, aku masih
punya pukulan pamungkas dan jurus pedang yang
dapat membantai ratusan kawanan serigala. Dan ka-
lau kau benar-benar merupakan seorang pendekar
yang sangat digjaya, akulah yang akan menghapus
namamu yang sangat kesohor itu. Andai aku dapat
membunuhmu, maka aku akan tersohor melebihi kau,
aku akan menjadi sangat terkenal...!" kata Luga Ken-
cana disambung dengan suara tawa bergelak-gelak.
Buang Sengketa tersenyum kecut, lalu dengan
suara yang sangat lirih namun disertai tenaga dalam
dia berkata seolah-olah pada dirinya sendiri.
"Masih sangat banyak jalan untuk menjadi ter-
kenal. Tapi mengapa justru kau menempuh cara yang
paling sulit...?"
Nanar pandangan mata Luga Kencana demi
mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh si pe-
muda. Selama malang melintang dalam dunia persila-
tan, baru kali ini ada seorang gembel yang telah begitu
berani menghinanya sedemikian rupa. Ini sangat keter-
laluan sekali. Pemuda yang berdiri tegak di hadapan-
nya itu benar-benar sangat perlu untuk dihajar. Yang
lebih setimpal lagi dibunuh secepatnya.
"Bangsat sombong. Justru bagiku membunuh-
mu adalah merupakan satu cara yang paling mudah
untuk kulakukan...! Mampuslah!" jerit Luga Kencana.
Saat itu dengan sekali berkelebat saja, pukulan Walet
Merah Menerjang Ombak dia lepaskan.
"Ngung...!"
Pasir-pasir beterbangan, suasana sunyi itu di-
kejutkan dengan suara riuh rendah bergemuruhnya
gelombang pukulan yang terlepas. Buang Sengketa kali
ini tak mau bersikap ayal-ayalan lagi.
"Wuuuus!"
Pukulan yang paling sangat diandalkan yang
bernama si Hina Kelana Merada dia lepaskan.
Bagai auman harimau terluka terdengar ber-
samaan melesatnya selarik sinar merah yang berhawa
sangat panas luar biasa. Belum lagi pukulan itu saling
bertemu. Tanah di sekitarnya tergetar hebat. Tak lama
kemudian tanpa dapat dicegah lagi.
"Blaaar...!"
Malang sekali nasib Pendekar Hina Kelana ini,
tubuhnya kembali terpelanting tujuh tombak. Semen-
tara Luga Kencana hanya tergetar saja. Laki-laki se-
tengah baya itu pun menyeringai dengan sesungging
senyum penuh kemenangan. Tanpa memberi waktu
pada lawannya. Dia segera mencabut pedangnya. Se-
lanjutnya segera memburu lawannya yang dalam kea-
daan terkapar karena luka dalam yang sangat parah.
Masih untung dalam detik-detik yang sangat
kritis bagi keselamatannya sendiri. Buang Sengketa
masih dapat menyadari bahwa lawannya saat itu me-
mang benar-benar menghendaki nyawanya.
"Wuuut!"
Pedang Pusaka Perguruan Walet Merah dan
berwarna merah pula menyambar tubuh Buang Seng-
keta. Masih untung sesaat sebelumnya dengan sisa-
sisa tenaganya dia bangkit lalu mengelak.
"Beeet!"
Serangan pedang Luga Kencana luput, tetapi
baik tubuhnya maupun pedangnya terus memburu ke
mana pun Pendekar Hina Kelana ini berusaha berkelit
menghindar.
"Jadah!" maki Luga Kencana, mendesak dan
Buang Sengketa sedikit lengah.
"Brebet...!"
Pedang di tangan Luga Kencana menyambar.
Buang Sengketa mengeluh begitu merasakan pedang
di tangan lawan merobek pangkal lengannya. Sehingga
pakaiannya terobek dan darah mengucur dari luka
yang menimbulkan rasa nyeri. Pendekar Hina Kelana
yang sejak tadi mencoba memendam rasa amarahnya,
kini sudah hilang kesabarannya. Dengan tiga kali ber-
jumpalitan tubuh Buang Sengketa telah melompat
menjauh. Selanjutnya dia berseru lantang.
"Untuk terakhir kalinya kuperingatkan pada-
mu, Kisanak. Lebih baik kita sudahi pertarungan ini.
Kalau tidak kau benar-benar akan menyesali atas se-
gala kekeliruan mu...!"
Dengan melintangkan pedang pusaka di depan
dada, sebaliknya Luga Kencana malah berkata men-
cemooh.
"Siapa mau perduli dengan akal bulus mu. Su-
dah mau mampus masih juga berusaha menggertak
ku...!"
Buang Sengketa akhirnya menjadi gelap mata,
wajahnya sebentar saja sudah nampak menegang. Bi-
bir Buang Sengketa berkemik-kemik mengeluarkan
bunyi mendesis. Luga Kencana memang nampak terke-
jut, tetapi kemudian langsung menerjang dengan sen-
jata terhunus.
Tiada menyia-nyiakan kesempatan lagi, tubuh
Buang Sengketa berkelit menghindar. Selanjutnya ber-
kelebat sehingga merupakan bayang-bayang saja.
"Ngung...!"
Dalam teriknya matahari siang hari, nampak
sinar merah berkelebat mengurung diri Luga Kencana.
Tak salah lagi, itulah Pusaka Golok Buntung yang ter-
kenal sangat dahsyat itu.
Golok Buntung yang berada dalam genggaman
si pemuda mengalirkan hawa hangat ke bagian tubuh-
nya yang terluka, hingga lama-kelamaan rasa menye-
sak di dalam rongga dadanya semakin lama semakin
berkurang. Sebaliknya bagi pihak lawan kehadiran
senjata di tangan Buang Sengketa malah menimbulkan
hawa dingin yang teramat sangat hingga menimbulkan
kejut di hati Luga Kencana.
Tiada kesempatan bagi ketua Perguruan Walet
Merah ini untuk berfikir panjang. Golok di tangan
Buang Sengketa menderu, kemudian mendesaknya.
Luga Kencana keluarkan seruan tertahan sak-
ing kagetnya karena tahu-tahu senjata maut itu tiga
jengkal di depan hidungnya. Tiada pilihan lain terke-
cuali memapaki babatan golok di tangan lawan dengan
pedang pusaka milik perguruan Walet Merah.
"Traaaang! Criiiing!"
Tanpa ampun, senjata di tangan Luga Kencana
menjadi rompal di beberapa bagian. Dengan tangan
bagai kesemutan Luga Kencana berusaha menghindari
babatan golok yang terasa bagai memiliki mata itu.
"Ngung...!"
"Aaiyaaaaa...!" teriak ketua Perguruan Walet
Merah sambil berusaha menghindar selanjutnya ber-
jumpalitan di udara.
Begitu tubuhnya melayang turun dan belum la-
gi sempat menjejakkan kakinya di atas permukaan ta-
nah, Golok Buntung di tangan Buang Sengketa me-
nyambutnya. Dalam kegugupannya dia kembali ba-
batkan pedangnya memapaki datangnya sambaran go-
lok di tangan Pendekar Hina Kelana.
"Praaang!"
Tubuh Luga Kencana tersentak ke belakang,
senjata pedang pusaka milik Perguruan Walet Merah
patah menjadi beberapa bagian. Buang Sengketa yang
sudah gelap mata itu kembali babatkan goloknya. Be-
lum lagi hilang keterkejutan Luga Kencana, dia merasa
adanya angin sambaran senjata di bagian bahu ki-
rinya. Begitu dia menoleh dan berusaha untuk meng-
hindar, segalanya sudah terlambat.
"Craaaas!"
Luga Kencana menjerit setinggi langit, tangan-
nya yang terbabat golok di tangan Buang Sengketa ter-
jatuh di bawahnya sendiri. Cepat-cepat Luga Kencana
menotok beberapa bagian jalan darah di pangkal len-
gannya. Dengan wajah pucat dan sangat ketakutan
sekali. Dia melompat ke punggung kudanya.
"Hati-hati kau, Pendekar keparat! Lain waktu
seluruh golongan persilatan akan mencincang tubuh-
mu...!" kata Luga Kencana. Lalu bersamaan dengan itu
tanpa menoleh-noleh lagi, ketua Perguruan Walet Me-
rah yang sudah kehilangan sebelah tangannya itu
langsung menggebrak kudanya.
Pendekar Hina Kelana tiada perduli. Yang ada
dalam hatinya saat itu adalah bagaimana caranya un-
tuk menemukan Arca Harimau Kumbang yang telah
menimbulkan banyak korban itu.
Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi dia
pun berkelebat pergi, tetapi begitu teringat pada Dewi
Wening Asih yang masih berada di dalam periuk gaib-
nya. Sambil terus berlari dia menyambar tubuh Dewi
Wening Asih yang sudah basah kuyup mandi keringat
karena terlalu lama disekap di dalam periuk itu. Sung-
guhpun saat itu Dewi yang sangat cantik itu marah-
marah. pada Buang Sengketa, namun pemuda itu tia-
da perduli. Dia terus berlari dan berlari hingga akhir-
nya tubuh mereka lenyap setelah melewati sebuah ti-
kungan jalan.
SEMBILAN
Sejak tangan mereka kena dibuntungi oleh
Pendekar Hina Kelana mulai saat itu selama beberapa
purnama si Kembar Pedang Dewa bergiat melatih diri
dengan ilmu pedang mereka yang baru. Dengan nama
baru pula, yaitu si Kembar Pedang Dewa Tangan
Tunggal. Selama berbulan-bulan mereka melatih diri di
sebuah daerah terpencil yang diberi nama Lembah Pu-
tus Asa.
Sejak Pendekar Hina Kelana mempermalukan
diri mereka, manusia kembar dari Pulau Bawean itu
sudah bertekad untuk membalas dendam. Dari niat-
nya semula untuk memiliki Areca Harimau Kumbang
kini berbalik jadi ingin membalaskan dendam secepat-
cepatnya.
Siang dan malam tanpa kenal rasa lelah mere-
ka melatih diri, hingga enam purnama kemudian me-
reka sudah merasakan bahwa segala sesuatunya telah
dianggap cukup. Maka di pagi buta keesokan harinya
si kembar telah meninggalkan Lembah Putus Asa.
Sementara itu pada saat yang sama di sebuah
daratan tinggi yang banyak terdapat batu kapur. Nam-
pak seorang kakek tua renta berpakaian tambal-
tambal dan sudah kelihatan sudah sangat usang. Den-
gan sebuah tongkat berkepala Kepala Naga Merah dan
sebuah Arca Harimau Kumbang yang terbungkus kain
bekas terletak di bagian punggungnya.
Kakek tua renta itu tak lain adalah Gembel
Pengemis dari Teluk Naga yaitu orang yang telah mela-
rikan Area Harimau Kumbang telah dicurinya dari Per-
guruan Walet Merah. Pagi itu di atas sebuah batu ca-
das, Gembel Pengemis nampak sedang duduk di sana.
Wajahnya yang sudah keriputan itu nampak tertun-
duk, sementara tubuhnya sedikit menggigil seperti ke-
dinginan.
Sesungguhnya bukan kedinginan karena udara
pagi, sebenarnya tidak begitu dingin. Tapi rasanya ada
sesuatu yang dia derita, rasa sakit yang menyerang se-
kujur tubuhnya bagai orang yang terkena demam ma-
laria.
Tak dapat disangkal kenyataan seperti itu
membuat Gembel Pengemis merasa terus tersiksa se-
panjang hari. Nampaknya Gembel Pengemis dari Pulau
Naga itu tiada menyadari bahwa saat itu Kutuk Hari-
mau Kumbang sedang terjadi atas dirinya. Caranya
yang sangat ceroboh mempelajari kitab yang terdapat
di dalam mulut area tersebut tanpa bimbingan seorang
guru benar-benar telah menyesatkan jalan darah di
dalam tubuhnya. Siapa pun orangnya yang berani
mempelajari Kitab Siluman Harimau Kumbang yang
terdapat di dalam mulut area tersebut maka akan
mengalami suatu resiko yang tak dapat dianggap rin-
gan. Gembel Pengemis sudah tahu hal itu. Namun se-
jak dia berhasil merubah ujudnya menjadi ujud Si-
luman Harimau Kumbang, semua pesan-pesan yang
ada itu terlupakan begitu saja. Apalagi setelah me-
nyaksikan sendiri betapa hebatnya dia dengan siluman
jejadian yang merupakan penjelmaan dari dirinya sen-
diri. Kini dengan seenak perutnya dia dapat berubah-
ubah dalam waktu yang dia kehendaki. Korban pun
berjatuhan di mana-mana. Dengan sangat sengaja se-
kali dia menyebarkan teror. Sejauh itu dia merasa ma-
sih belum puas, sebelum dunia persilatan menjadi
gempar karenanya.
Sementara itu tidak begitu jauh dari tempat
Gembel Pengemis berada, si Kembar Pedang Dewa
Tangan Tunggal yang kebetulan melintasi daerah itu.
Dengan mengendap-endap nampak mendekat Gembel
Pengemis dari bagian belakangnya.
Beberapa saat kemudian jarak di antara mere-
ka benar-benar semakin bertambah dekat saja.
Sebagai orang yang berpengalaman Gembel
Pengemis bukan tiada mengetahui kehadiran si kem-
bar yang sejak tadi mencurigai keberadaan Gembel
Pengemis di tempat itu. Namun dia kelihatan acuh sa-
ja, bersikap masa bodoh dan seolah-olah tak mengerti.
Dalam hati dia ingin tahu apa sesungguhnya
yang akan diperbuat oleh si kembar padanya. Semen-
tara itu dua kembar dari Pulau Bawean itu nampak
saling berbisik sesamanya.
"Lihatlah, nampaknya benda yang terbungkus
kain di punggung Gembel Pengemis itu merupakan Ar-
ca Harimau Kumbang yang dicari-cari oleh banyak to-
koh-tokoh persilatan. Agaknya kalau kita mau, kita
berdua punya kesempatan untuk merampas area itu
dari tangan si Gembel...!" berkata si kembar yang ber-
badan gemuk tinggi. Sementara salah seorang yang
berbadan gemuk pendek nampak garuk-garuk kepa-
lanya.
"Nampaknya kakek itu bukanlah orang yang bi-
sa dianggap sembarangan, Kakang! Lagipula aku su-
dah tidak begitu berminat dengan benda yang ada ber-
sama kakek gembel tersebut. Pula bukankah kita se-
karang ingin mencari pendekar yang telah membuat
buntung tangan kita...?"
"Itu betul, tapi apa salahnya kalau sekalian kita
dapatkan arca yang ada bersama dengan gembel itu...!"
Si Kembar Gemuk Pendek geleng-gelengkan ke-
palanya.
"Kau tidak setuju?" tanya si Gemuk Tinggi.
"Aku sih setuju-setuju saja, tapi kalau orang itu
mengadakan perlawanan bagaimana nantinya...?" ujar
si gemuk pendek seperti sudah mengenali siapa se-
sungguhnya yang berpakaian tambal-tambal itu.
"Mengapa harus takut, aku tahu dia itu de-
dengkotnya tokoh sesat dari Pulau Naga. Tetapi den-
gan kemajuan pesat ilmu Pedang Tangan Tunggal yang
kita miliki bukan mustahil kita tak dapat mengalah-
kannya...!" kata si kembar tinggi gemuk merasa sangat
yakin dengan kemampuan yang dimilikinya.
"Kalau hal itu sudah merupakan kemauanmu,
maka aku hanya menurut saja, Kakang!"
Dalam pada itu terdengar suara bentakan
Gembel Pengemis tanpa beranjak dari tempat duduk-
nya.
"Kusak kusuk kayak monyet betina yang lagi
jatuh cinta. Keluar dari persembunyian atau kuseret
kalian dari tempat itu...?" kata Gembel Pengemis, pelan
namun mengancam.
"Hemm. Apa kubilang, Kakang. Gembel sialan
itu benar-benar mengetahui kehadiran kita di sini...!"
ucap si Gemuk Pendek. Lalu mereka pun saling ber-
pandangan sesamanya.
"Keluar kataku...!" bentak Gembel Pengemis gu-
sar.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi.
"Krosaaaak...!"
Dua orang kembar itu langsung melesat dari
tempat persembunyiannya. Sejenak masing-masing
mereka saling berpandangan sesamanya. Kemudian
Gembel Pengemis tertawa terkekeh-kekeh.
"Ah... ah...! Kalian ini benar-benar dua monyet
kembar yang sangat kompak sekali. Pertama-tama.
Muka kalian kayak lutung. Badan gemuk kayak babi
hutan. Lucunya tangan kalian dibuntungi pada bagian
yang sama. He... he... he...!"
"Kurang ajar! Kau benar-benar telah menghina
kami, .Gembel cacingan...!" maki si Tinggi Gemuk den-
gan wajah merah padam. Karena wajahnya yang di-
tumbuhi bulu dan hitam legam, maka kalau pun dia
marah, maka hal itu di luar sepengetahuan Gembel
Pengemis. Saat itu Gembel Pengemis masih saja terta-
wa tergelak-gelak.
"Sialan, monyet lutung berani sekali kau me-
makiku. Tidak tahukah kau dengan siapa kalian ber-
hadapan...?"
Baik si Tinggi Gemuk maupun si Gemuk Pen-
dek sama-sama nampak tersenyum sinis.
"Terhadap dedengkot pencuri Arca Harimau
Kumbang dari Pulau Naga siapa takut. Tua renta su-
dah bau tanah...!"
"Hemm. Bagus kalau kalian mengenalku.
Agaknya kalianlah yang berjuluk si Kembar Pedang
Dewa dari Pulau Bawean. Heran... mengapa kalian
sampai keliaran mencari mampus saja sampai sejauh
ini...?"
"Ha... ha... ha...! Bukan kematian yang kami
cari, Gembel bau! Tapi Arca Harimau Kumbang yang
kau curi itulah yang sangat menarik perhatian kami!"
tukas si Gemuk Pendek sambil tersenyum mencemooh.
Bukan main gusar Gembel Pengemis dari Pulau
Naga ini demi mengetahui apa maksud tujuan dari Si
Kembar Pedang Dewa itu.
"Hebat! Ambisi kalian untuk memiliki arca yang
ada padaku memang patut kupuji. Tetapi yakinlah
keinginan kalian yang muluk-muluk itu akhirnya
hanya akan berubah menjadi mimpi yang sangat me-
nakutkan sekali...!"
"Gembel keparat! Sungguhpun kepandaianmu
setinggi langit. Walaupun kesaktian yang kau miliki
sebanyak buih di lautan. Jangan kira aku dan adikku
takut menghadapimu...!"
"Sriiing...!"
Si Kembar Pedang Dewa sudah mencabut sen-
jata mereka yang berupa sebilah pedang kembar yang
sangat putih berkilau-kilauan karena ketajamannya.
Gembel Pengemis hanya tersenyum saja demi
melihat apa yang dilakukan oleh si kembar dari Pulau
Bawean itu. Sebaliknya setelah sesaat setelahnya dia
segera berseru memberi peringatan.
"Kuperingatkan padamu. Karena kita masih se-
golongan, baiknya sarungkanlah senjata kalian itu. Ka-
lau tidak kalian benar-benar orang yang paling me-
nyesal karena kesalahan sendiri...!"
"Keder juga kau, Gembel Pengemis. Tapi keta-
huilah, bahwa senjata kami baru akan kembali ke sa-
rungnya apabila kau bersedia menyerahkan arca itu ke
tangan kami!" kata si tinggi gemuk. Ketus.
"Hoho...! Kalau begitu tidak salah kalau aku
merobek-robek tubuhmu...!" teriak Gembel Pengemis
dari Pulau Naga sudah tidak dapat menahan kesaba-
rannya.
Maka tak ayal lagi pertarungan sengit pun su-
dah tak mungkin dapat dihindari lagi. Sekejap saja
terdengar suara beradunya senjata tajam di tempat
yang sangat sunyi itu. Secara bersamaan si Kembar
dari Pulau Bawean itu menyerang Gembel Pengemis
dengan jurus-jurus pedang baru hasil ciptaan mereka
sendiri.
Bertarunglah tokoh-tokoh sesat tingkat tinggi
itu dengan mengerahkan segenap kemampuannya!
Dengan pedang di tangan mereka, senjata mustika
yang sangat besar pamornya itu berkelebat ke segala
arah, mengarah pada bagian pertahanan Gembel Pe-
ngemis. Serangan-serangan gencar itu datangnya san-
gat beruntun, sambung menyambung tiada henti.
Sungguh merupakan jurus-jurus silat yang sengaja di-
ciptakan oleh si kembar dengan hati diliputi oleh den-
dam.
Terbukti setelah pertarungan berlangsung lebih
kurang lima belas jurus, Gembel Pengemis dari Pulau
Naga ini nampak terdesak hebat. Hanya karena me-
mang pengalaman saja maka Gembel Pengemis dengan
tongkat mautnya yang berkepala Naga Merah dia
mampu bertahan.
Sekali waktu, Gembel Pengemis yang sudah
sangat terdesak itu keluarkan jerit tinggi melengking.
Tubuhnya nampak melesat ke udara. Tanpa ampun si
kembar memburunya.
Di luar dugaan para si kembar, begitu tubuh
Gembel Pengemis meluncur ke bawah, dia langsung
tekan salah satu sisi tongkatnya.
"Buuus!"
Udara beracun tersembur dari mulut tongkat
yang di bagian pangkalnya merupakan ujud dari kepa-
la naga. Udara di sekitarnya mendadak gelap gulita. Si
kembar terbatuk-batuk, sebaliknya Gembel Pengemis
tertawa mengekeh.
"Bet! Bet!"
Sinar pedang di tangan si kembar bergulung-
gulung, sehingga lama-kelamaan membuyarkan asap
beracun yang mengurung tubuh mereka. Bukan main
terkejutnya Gembel Pengemis dibuatnya, karena ter-
nyata si Kembar Pedang Dewa tidak mempan terhadap
uap beracun yang sesungguhnya sangat ganas.
"Jlik! Jlik!"
Si Kembar balik mengekeh.
"Gembel bau! Segala uap beracun mainan
anak-anak kau gelar di hadapan kami. Heh.... Tiada
gunanya. Kau manusia sesat, kami juga! Di Pulau Ba-
wean juga tak kalah banyaknya dengan segala racun
meracun.... Baiknya kau serahkan saja arca itu pada
kami!" perintah si tinggi gemuk.
"Jangan bangga dulu sobat sesat! Masih ba-
nyak pukulanku yang bisa membuat kalian mampus
seketika...!" maki laki-laki renta berambut putih ini.
"Kerahkanlah segenap yang kau punya, Gembel
Tua. Kami siap melayani sampai kau terbujur menjadi
bangkai...!" ejek si kembar gemuk pendek.
"Lihat tongkat dan jaga pukulan. Seaaa...!"
Tongkat di tangan Gembel Pengemis menderu,
pedang di tangan si Kembar berkelebat memapaki. Tak
ayal lagi kini si Kembar dari Pulau Bawean itu telah
pula memainkan jurus pedang hasil ciptaan mereka.
Pedang Kembar Membalas Dendam.
Bukan main hebatnya jurus-jurus pedang me-
reka. Walaupun saat itu dua kembar itu dalam posisi
menahan dan Gembel Pengemis dalam keadaan me-
nyerang. Namun terlihat bahwa posisi gembel penge-
mis-lah yang terdesak. Berulang kali serangan berun-
tun yang dibangun oleh Gembel Pengemis selalu kan-
das di tengah jalan. Sekali dua Gembel Pengemis me-
nusukkan tongkat naganya, yang sangat tajam bagian
ujungnya itu. Tetapi sialnya tubuh si Kembar malah
alot luar biasa. Menghadapi kegagalan demi kegagalan
itu, lama kelamaan Gembel Pengemis menjadi hampir
putus asa.
"Ciaaaat!"
Gembel Pengemis melompat mundur satu tom-
bak, selanjutnya dia sudah bersiap-siap dengan puku
lan Naga Merah Memburu Gajah. Begitu tangannya
berkiblat, maka tanpa ampun menderulah satu gelom-
bang pukulan yang sangat dingin dan keji ke arah tu-
buh si kembar.
Mengetahui adanya pukulan yang sangat dah-
syat dan bahkan pernah di kenalnya. Si kembar pun
tiada tinggal diam. Laksana kilat mereka putar pe-
dangnya melindungi diri.
"Nguuung!"
Sekejap tubuh si kembar lenyap terbungkus
gulungan sinar pedang yang menderu dahsyat.
"Bluaaar!"
Tubuh Gembel Pengemis tergetar, sebaliknya si
kembar terdorong dua langkah, dengan keadaan sem-
poyongan. Wajah masing-masing lawan menjadi pucat
pasi. Dada mereka terasa sesak sekali, sungguhpun
masing-masing tak sampai muntah darah tetapi mere-
ka sadar dalam segi kekuatan mereka tiada yang lebih
tinggi dan tiada pula yang lebih rendah.
Saat itu Gembel Pengemis sudah berpikir-pikir
untuk mengeluarkan Siluman Harimau Kumbang. Tapi
apabila dia teringat pada lawannya yang juga kebal
terhadap semua apa yang dimilikinya. Dia jadi urung,
semuanya akan jadi sia-sia. Dia merasa sungguhpun
dia dapat berubah menjadi Harimau Kumbang, tapi
apalah gunanya kalau pada akhirnya dia tak berhasil
merobek-robek tubuh lawannya. Bukan mustahil ka-
lau lawannya sampai tahu kelemahan seekor siluman
dia dapat saja terbantai dengan sangat mudah saja.
Pikirannya bekerja cepat. Sampailah kesimpulannya
andai saja mereka bersatu mempertahankan Arca Ha-
rimau Kumbang tersebut. Bukankah mereka akan
menjadi kuat. Tapi sebelum persatuan itu dia laksana-
kan dia masih ingin melepaskan satu pukulan yang
sangat hebat.
"Gembel Pengemis, kau atau pun kami sama-
sama kuatnya. Tapi kalau kau masih tetap keras kepa-
la tidak mau menyerahkan arca itu, lama kelamaan
kami pasti dapat menjatuhkan mu...!" teriak Gemuk
Pendek.
"Jangan banyak bacot, tahanlah ini...!" Dengan
ucapannya itu, Gembel Pengemis langsung kirimkan
satu pukulan yang lebih ganas lagi. Pukulan Naga Me-
rah Menggusur Gelombang. Tak salah lagi. Sementara
itu, si kembar pun sudah siap dengan jurus pedang
Perisai Pedang Dewanya.
Tak pelak, begitu tubuh masing-masing lawan
berkelebat. Maka Gembel Pengemis lepaskan satu pu-
kulan yang sangat hebat dan berhawa lebih dingin
membekukan urat-urat darah.
Sementara itu si kembar putar pedangnya, be-
gitu sebat dan sangat perih mata melihatnya.
"Weeer!"
"Traaang! Bluuum!"
Terdengar suara bagai gempa melanda begitu
pukulan yang dilepaskan oleh Gembel Pengemis den-
gan pedang di tangan si kembar bertubrukan. Tubuh
si kembar terpelanting tiga tombak, tangan terasa din-
gin bagai membeku, sementara itu tanpa terasa oleh
mereka darah kental meleleh dari lubang hidung me-
reka. Sementara itu di pihak Gembel Pengemis sendiri
tidak jauh lebih baik. Tubuhnya yang sudah sangat
renta itu pun terjengkang empat tombak tanpa ampun.
Darah pun meleleh dari celah bibir dan hidungnya.
Semua itu diakibatkan sebagian besar pukulan yang
dilepaskannya membalik dan menghantam dirinya
sendiri.
Dengan tertatih-tatih Gembel Pengemis bangkit,
sebagian wajahnya nampak semakin bertambah kotor
diliputi debu. Sementara saat itu si kembar sudah ber-
diri bertolak pinggang dengan nafas senin kamis.
Gembel Pengemis begitu bangkit segera angkat
tangannya tinggi-tinggi. Selanjutnya gembong manusia
sesat itu pun berucap.
"Cukup. Kita sudahi saja urusan ini sampai di
sini...!" ucapnya dengan tersendat-sendat.
"Apa maksudmu. Di antara kita belum ada yang
kojor mengapa harus berhenti?" tukas si gemuk tinggi.
"Bagaimana kalau kita berdamai saja. Maksud-
ku sama-sama menjaga keselamatan arca ini dari an-
caman siapa pun. Kalau kalian mau, aku pasti mem-
beri kesempatan pada kalian untuk mengetahui sesua-
tu yang tak pernah kalian miliki...!" kata Gembel Pen-
gemis.
"Sesuatu apa...?" tanya si Gemuk Pendek pena-
saran.
"Baiknya kita cari tempat yang aman... di sana
kita bisa berbicara banyak!!"
"Kalau bilang sejak tadi kan kita tak perlu
buang-buang tenaga...!" celoteh si gemuk tinggi. Gem-
bel Pengemis tiada menyahut. Tetapi kemudian mereka
tertawa tergelak-gelak sambil berkelebat meninggalkan
tempat itu.
* * *
SEPULUH
Sejak meninggalkan Lembah Gunung Batu Si-
wak. Rajenta sesuai dengan pesan guru para siluman,
langsung saja menuju Perguruan Walet Merah. Adapun
tujuan utamanya adalah ingin menanyakan ten-tang
kabar Arca Harimau Kumbang yang telah lenyap dari
perguruan itu. Sungguhpun dia pernah dimusuhi oleh
Luga Kencana dan murid-muridnya. Namun sedikit
pun tidak dendam di hatinya, dia ingin menjernihkan
persoalan yang menjadi kemelut para kaum persilatan.
Untuk itu tanpa membuang-buang waktu lagi dia sege-
ra mengerahkan ilmu lari cepatnya.
Namun baru saja beberapa ratus tombak dia
mengerahkan ilmu lari cepatnya. Mendadak terdengar
suara bentakan tidak jauh dari tempat laki-laki itu be-
rada.
Rajenta menghentikan langkahnya. Sejenak dia
memandang berkeliling. Lalu bermunculan sosok-
sosok tubuh dari semak-semak belukar. Orang-orang
itu segera mengurung Rajenta. Laki-laki itu menatap
sinis pada orang-orang yang sangat dikenalnya. Kemu-
dian dia membentak gusar.
"Hemm. Sangat kebetulan sekali, kalian ten-
tunya para murid dari Lembah Weling yang telah men-
culik istri dan anakku." ucap Rajenta. Tapi begitu ma-
tanya memandang berkeliling dan tak dilihatnya Jali
Sajiwa bersama para murid-muridnya. Maka dengan
sangat penasaran sekali dia berseru.
"Tak kulihat si bangsat Jali Sajiwa bersama-
sama kalian...?"
Merah wajah murid-murid sesat dari Lembah
Weling ini, demi mendengar apa yang baru saja dika-
takan oleh Rajenta yang selama ini telah mereka ang-
gap mati terkubur di Lembah Gunung Batu Siwak
yang sangat angker itu.
"Untuk apa kau tanya tentang ketua kami, dulu
pun andai kau tidak melarikan diri dari kami, sudah
pasti kami dapat membunuhmu...!" ejek Wakil Ketua
Perguruan Lembah Weling yang bernama Setra.
"Bagus kalau kau merasa sudah sangat hebat.
Tapi jawab dulu ke mana iblis ketua kalian itu...?"
Sambil tersenyum-senyum penuh kelicikan,
maka Setra pun menjawab.
"Ketua kami sedang mencari pemuda gembel
yang membawa lari Dewi Wening Asih calon istrinya...!"
Mendengar disebut-sebutnya Dewi Wening Asih
yang merupakan anak kandungnya sendiri sebagai ca-
lon istri Jali Sajiwa. Maka detik itu juga wajah Rajenta
nampak sangat marah sekali.
"Bangsat kalian semua! Lalu di mana istriku
sekarang ini...?" makinya dengan sangat gusar sekali.
"Istrimu... he... he... he..,! Istrimu telah mem-
bunuh diri beberapa purnama yang lalu...!" kata Setra
berterus terang.
Maka menggigillah tubuh Rajenta mendengar
ucapan yang tiada pernah dia sangka-sangka sebe-
lumnya. Bagaimana mungkin Wendah sampai mem-
bunuh diri? Pasti Jali Sajiwa telah melakukan sesuatu
atas diri istrinya.
"Manusia-manusia iblis. Kalian benar-benar te-
lah memporak porandakan segala apa yang pernah
kumiliki. Aku pasti tak akan mengampuni kalian se-
muanya...!" teriak Rajenta geram sekali.
"Kau bisa apa, Rajenta...?" ejek Setra, lalu
memberi isyarat pada orang-orangnya. Maka tanpa
menunggu lagi murid-murid Lembah Weling segera
mencabut berbagai senjata yang mereka miliki.
"Celakalah nasib kalian hari ini, aku benar-
benar akan membunuh kalian semuanya...!" teriak Ra-
jenta. Selanjutnya tanpa berkata-kata lagi, Rajenta se-
gera menyongsong serangan-serangan senjata lawan
yang datangnya susul menyusul.
Dalam kesempatan itu, sungguhpun dulunya
Rajenta pernah kalah bertarung melawan mereka, na-
mun Rajenta yang dulu sungguh jauh berbeda dengan
Rajenta yang kini. Sekarang sewaktu-waktu dia dapat
merubah ujudnya menjadi Siluman Harimau Kum-
bang.
Dengan mempergunakan ilmu silat tangan ko-
song, tubuhnya bergerak sangat cepat sekali. Satu dua
kali terdengar jeritan murid-murid Lembah Weling,
manakala tangan maupun kaki Rajenta menyerang
dan memukul tubuh lawan-lawannya.
Perkembangan ilmu silat yang dimiliki oleh Ra-
jenta yang sedemikian pesat sudah barang tentu mem-
buat terkejut lawan-lawannya. Terlebih-lebih lagi Setra
yang saat itu merupakan orang kedua setelah Jali Sa-
jiwa.
Maka tanpa sungkan-sungkan lagi, dia pun
ikut menerjang Rajenta yang sedang menghadapi ke-
royokan murid-murid Lembah Weling yang jumlahnya
tidak kurang dari sembilan belas orang.
"Pergunakan jurus Pedang Iblis!" teriaknya ke-
pada kembrat-kembratnya yang sedang berusaha me-
nekan Rajenta.
"Criiiing!"
Pedang Setra yang berwarna kehitam-hitaman
dan mengandung racun yang sangat keji itu pun telah
tercabut dari sarungnya. Tak ayal lagi keroyokan itu
pun semakin bertambah seru.
Sebaliknya, Rajenta sendiri dengan mempergu-
nakan ilmunya para siluman, sampai sejauh itu masih
mampu mengkandaskan serangan-serangan gencar
yang datang menggebu-gebu.
"Shaaa...!"
Mengatasi yang lain-lainnya tubuh Setra yang
sudah dilanda nafsu angkara murka itu langsung ber-
kelebat-kelebat. Pedang di tangannya menderu mence-
car pada bagian leher dan dada lawannya. Pada saat
yang sama pula tujuh belas murid-murid Lembah Wel-
ing datang mencecar dari bagian belakang, depan dan
samping. Sesaat Rajenta nampak kelabakan, dia ber-
kelit sambil berusaha membebaskan diri dari samba-
ran pedang di tangan Setra.
"Wuuut!"
Serangan kilat yang dilancarkan oleh Setra lu-
put, namun dari bagian belakang datang pula seran-
gan dari kambrat-kambratnya.
"Brebet...!"
Rajenta mengeluh panjang, lalu membuang di-
rinya ke samping kini, selanjutnya berguling-guling
menghindari serangan-serangan susulan.
"Groaaauuung!"
Dalam keadaan terguling-guling itu, Rajenta ke-
luarkan jeritan yang sesungguhnya tak ubahnya bagai
suara auman seekor harimau. Kenyataan itu membuat
murid-murid dari Lembah Weling menjadi kaget, lalu
tertegun sesaat.
Di lain pihak tidak hanya sampai di situ saja,
suara auman beruntun itu pun seolah menyentakkan
Rajenta dari tidurnya yang sangat menyakitkan.
"Hauuung! Groaar!"
Terdengar kembali suara auman itu, tapi tubuh
Rajenta masih terus berguling-guling. Selanjutnya pe-
rubahan pun terjadi. Begitu tubuh Rajenta melompat,
maka menjelmalah dia menjadi Siluman Harimau
Kumbang yang sangat besar.
Pucat wajah murid-murid dari Lembah Weling
dibuatnya. Namun sebelum rasa keterkejutannya itu
lenyap sama sekali. Maka tanpa ampun lagi, Siluman
Harimau Kumbang itu langsung menerjang mereka
dengan sangat beringas sekali.
Satu demi satu lawan-lawan pun berjatuhan,
tubuh mereka tercabik-cabik darah mengalir di mana-
mana. Setra yang merupakan pemimpin dari mereka
semua menjadi sangat marah sekali, maka tanpa am-
pun lagi dia segera memberi perintah pada sisa-sisa
muridnya.
"Jangan gentar! Cincang tubuhnya...!" teriaknya
kepada beberapa gelintir orang kawannya.
"Hiaaaa...!"
Setra kembali membabatkan pedangnya, saat
mana Harimau Kumbang itu sedang sibuk merobek-
robek tubuh lawannya dengan taring dan kukunya
yang panjang-panjang.
"Craaaak...!"
Pedang di tangan Setra bagai membentur batu
gunung saja layaknya manakala menghantam badan
Siluman Harimau Kumbang tersebut. Setra sangat ter-
kejut sekali.
"Arggh...!"
Kembali terdengar jerit menyayat murid-murid
perguruan Lembah Weling.
"Grauuung...!"
Kembali terdengar suara auman yang sangat
menggetarkan gendang-gendang telinga dan setiap hal
itu terjadi, maka korban pun berjatuhan. Semakin la-
ma murid-murid dari Lembah Weling itu hanya tinggal
beberapa gelintir saja. Bukan main gusarnya Setra
menghadapi Siluman Harimau Kumbang yang kebal
terhadap berbagai senjata tajam itu.
"Grauuuung!"
Dengan sekali lompatan saja Harimau Kum-
bang yang sudah kalap itu menerjang ke arah Setra.
Sementara Setra sendiri yang sudah merasa tidak sa-
baran itu pun telah membabatkan pedangnya dengan
cukup telak. Kaki depan Siluman Harimau Kumbang
datang menangkis.
"Criing! Craaak!"
Lagi-lagi tubuh Harimau Kumbang itu tidak ter-
luka oleh babatan dan bacokan pedang di tangan Se-
tra, sebaliknya dengan sangat beringas. Siluman Ha-
rimau Kumbang tanpa ampun menghajar tubuh Setra.
Sungguhpun orang kedua dari Lembah Weling itu be-
rusaha mati-matian untuk menghindari gigi dan kuku-
kuku tajam Harimau Kumbang tersebut, namun tetap
saja tubuhnya menjadi korban keganasan Harimau
Kumbang itu.
Setra menjerit tertahan-tahan manakala kuku
dan taring-taring tajam itu membenam di bagian
pangkal leher, dada dan juga bagian tubuh yang lain-
nya.
Tubuhnya dalam waktu sekejap saja sudah tak
tentu ujudnya. Hanya beberapa detik setelahnya. Tu-
buh Setra berkelejat-kelejat. Untuk kemudian tiada
bangun dan bergerak-gerak lagi.
Siluman Harimau Kumbang itu mengaum
memperdengarkan bunyi yang membuat ciut nyali sia-
pa pun. Lalu sesaat dipandanginya mayat-mayat yang
bergeletakan tumpang tindih tak karuan. Namun Ha-
rimau Kumbang itu nampaknya acuh saja. Selanjutnya
dengan berjumpalitan tiga kali. Maka Siluman Hari-
mau Kumbang penjelmaan Rajenta sudah berubah
kembali ke dalam ujudnya semula.
"Kalian telah menebus kesalahan sendiri!
Sayang Jali Sajiwa tidak ada bersama kalian. Tugasku
masih banyak. Aku harus mencari Arca Harimau
Kumbang itu! Kemudian baru kucari anakku, aku ya
kin dia masih ada di atas dunia ini...!" kata Rajenta
seorang diri. Selanjutnya dengan langkah lesu dia me-
ninggalkan mayat-mayat itu. Meninggalkannya begitu
saja. Sampai kemudian tubuhnya menghilang begitu
saja.
TAMAT
Kisah ini masih berlanjut dengan
“Kembalinya Siluman Harimau Kumbang”
0 comments:
Posting Komentar