..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 13 Desember 2024

JAKA SEMBUNG EPISODE RAJA RAMPOK LERENG CIREMAI

JAKA SEMBUNG EPISODE RAJA RAMPOK LERENG CIREMAI

 

RAJA RAMPOK DARI
LERENG CIREMAI
Oleh: Djair Warni
Alih versi : Danny Situmeang 
Judul asli : Gembong Wungu
Sampul/ilustrasi : Djair
penerbit SARANA KARYA
cetakan pertama 1991
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, 
tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan  belaka

MATAHARI tepat berada di atas kepala. 
Langit biru, sangat jernih. Hanya di langit bagian 
selatan, di atas bukit kelihatan sepotong awan pu-
tih bergerak perlahan ditiup angin. Awan itu me-
layang berarak, lalu pecah berderai dan hilang en-
tah ke mana.
Desa Perbutulan, sebuah desa di lereng 
gunung Ciremai, tampak masih sepi. Rumah pen-
duduk masih jarang, dan jarak antara yang satu 
dengan yang lain cukup jauh. Di belakang peru-
mahan penduduk, tampak rangkaian bukit-bukit 
yang memanjang dari timur ke barat. Hutan di si-
tu tidak terlalu lebat, sehingga dengan jelas terli-
hat dua pohon kelapa menjulang tinggi bagaikan 
tiang bendera. Daun-daunnya melambai-lambai 
bagai menari-nari dengan amat riangnya. Di atas 
gundukan tanah, akar-akarnya mencengkeram 
sangat kokohnya membuat pohon kelapa itu tetap 
berdiri kokoh walau setiap hari dihembus angin. 
Beberapa ekor burung pipit dengan bulu-bulu 
berkilauan ditimpa sinar matahari, hinggap di 
daun pohon kelapa lalu berkicau sepuas-puasnya, 
mungkin sedang mengabarkan kegembiraannya di 
siang hari itu.
Tak jauh dari pohon kelapa yang melam-
bai-lambai itu ada sebuah warung sederhana, be-
rukuran sekitar lima kali enam meter. Dindingnya 
terbuat dari anyaman bambu dan atapnya dari 
rumbia. Agaknya bangunan itu sudah tua. Bebe-
rapa tiang yang terbuat dari kayu bulat mulai la-
puk dimakan usia. Sekalipun demikian, warung 
sederhana itu selalu ramai terutama oleh para 
penjudi, pemabukan serta jagoan-jagoan desa.
Dari warung itu terdengar suara tawa ter-
bahak-bahak, sambung-menyambung seperti

bunyi bedug. Di ruangan tengah, di atas meja dan 
kursi kayu, sekelompok lelaki sedang asyik mi-
num-minum sambil main judi. Usia mereka rata-
rata empat puluh sampai lima puluh, tapi tak se-
dikit pun menunjukkan sikap sebagaimana halnya 
orangtua yang bijaksana. Selain bertampang se-
ram, cara duduk maupun bicara mereka juga san-
gat kasar. Tetapi karena pengunjung lainnya di 
warung itu mengetahui kehebatan kelompok lelaki 
itu, tak ada yang berani melarang atau menaseha-
ti.
"Puaslah aku semalam ini. Uang dapat hi-
buran pun dapat," kata salah seorang di antaranya 
sambil tertawa terbahak-bahak. Lalu sambil
menggebrak meja kuat-kuat, ia berkata kepada 
pemilik warung dengan suara membentak: "Hei, 
Pak Kastam! Tambahkan lagi kue getuk dan tuak-
nya ini. Bawa saja sekalian gentongnya kemari. 
Cepat! Jangan kelelar-keleler macam keong. Aku 
sudah kehausan."
Dengan langkah tergopoh-gopoh, Pak Kas-
tam mengambil kue getuk beberapa piring, kemu-
dian menyuguhkan beberapa guci tuak ke meja 
para jagoan desa itu.
"Hai, kawan-kawan. Marilah kita minum 
sepuas hati kita. Kita nikmati sepuasnya apa saja 
yang kita hendaki. Hari ini adalah hari yang san-
gat menyenangkan, bukan?"
Tiba-tiba seorang lelaki asing masuk ke da-
lam warung. Seketika tawa dan suara pembica-
raan mereka terhenti. Suasana yang tadinya hin-
gar bingar berbalik jadi sepi. Lelaki asing itu seje-
nak berdiri sambil menyapu seisi ruangan dengan 
tatapan matanya yang mencorong tajam bagai ma-
ta pedang. Usianya sekitar tiga puluh tahun, tu-
buhnya kekar dan otot-ototnya berisi. Sama seper

ti para pendekar desa Perbutulan, ia pun mengikat 
rambutnya dengan sepotong kain. Pakaiannya 
serba ungu, dihiasi kain sarung yang dililitkan da-
ri bahu kanan sampai ke pinggang.
Ada satu hal yang paling menarik pada diri 
lelaki itu, yakni mata kirinya ditutupi kain hitam 
sehingga mirip kaca mata, yang diikat dengan tali 
ke belakang kepala. Melihat perawakan serta sinar 
mata lelaki itu, dapatlah diterka bahwa ia bukan-
lah orang sembarangan.
"Hei, pemilik warung. Beri aku nasi lengko 
satu piring dan sambal yang banyak serta arak sa-
tu kendi," kata lelaki itu.
"Ini arak istimewa, tuan. Sudah tersimpan 
lama di dalam kendi," kata Pak Rastam saat me-
nyuguhkan minuman itu di hadapan tamunya.
"Bagus! Bagus! Kebetulan sekali aku ber-
temu dengan cakil-cakil ini. Inikah jago-jago dari 
desa ini?" tanya si mata satu sambil menatap para 
pendekar desa Perbutulan dengan sikap mengejek. 
Mendengar ucapan yang bernada ejekan itu, para 
jagoan desa menjadi terkejut. Bukan saja karena 
tak mengira ada orang yang berani bersikap seper-
ti itu. Tetapi juga karena suara lelaki itu mengan-
dung kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi, 
sehingga suara yang berat dan serak itu terasa 
menggetarkan dinding dan menegakkan bulu ku-
duk orang yang mendengarnya.
Belum hilang rasa terkejut kelompok ja-
goan desa Perbutulan, si mata satu telah men-
cengkeram pundak salah seorang di antaranya.
"Hei, cakil. Berikan semua uang yang ada 
dalam kantong kalian. Hm, seharusnya kalian ta-
hu siapa yang datang ini. Kalian harus menghor-
matiku. Ayo, kumpulkan uang itu di atas meja!"
Mendengar itu, hilanglah kesabaran para

jagoan desa Perbutulan. Bagaikan dikomando, me-
reka sama-sama bangkit berdiri dan menatap si 
mata satu dengan sinar mata merah bagaikan 
memancarkan api.
"Bedebah kau! Berani kurang ajar kepada 
jago-jago desa Perbutulan ini. Jangan coba-coba 
unjuk gigi di kandang buaya kalau tak ingin 
mampus."
"Ha-ha-ha...! Buaya-buaya ompong. Kalian 
belum kenal siapa aku. Jangan kira aku anak ke-
cil yang bisa digertak orang-orang tolol seperti ka-
lian."
"Lemparkan keluar bangsat yang besar mu-
lut itu!" Bersamaan dengan itu, para jagoan desa 
segera menghunus pedang dan mengurung si ma-
ta satu. Suasana di dalam warung seketika men-
jadi tegang. Sepertinya pertumpahan darah tidak 
akan terhindarkan lagi. Sekalipun demikian, si 
mata satu tetap tenang, bahkan masih sempat ter-
senyum sinis.
"Kuperingatkan sekali lagi, serahkan se-
mua uang kalian. Atau kepala kalian akan kubun-
tungi."
"Diam kau, bangsat! Serang....!"
Maka terjadilah pertarungan seru di dalam 
warung yang cukup sempit itu. Gelas, piring dan 
kendi beterbangan, meja dan kursi terbalik me-
nimbulkan suara gaduh bercampur dengan suara 
teriakan dan makian. Pak Rastam, pemilik warung 
itu lari terbirit-birit menyelamatkan diri karena ta-
kut jadi sasaran amukan para lelaki yang sedang 
bertarung itu.
Tepat seperti yang diperkirakan para ja-
goan desa Perbutulan, si mata satu ternyata bu-
kanlah orang sembarangan. Di samping memiliki 
tenaga dalam yang dahsyat, gerakannya pun san

gat cepat dan sukar diikuti pandangan mata. Tak 
satu pun sabetan pedang lawan mengenai tubuh-
nya. Bahkan hanya dalam beberapa jurus saja, si 
mata satu berhasil memukul dan menendang la-
wan-lawannya hingga terlempar keluar warung. 
Sesosok tubuh lawan terpental membobol dinding, 
sementara seorang lagi melayang membobol atap 
warung.
Hanya beberapa menit kemudian, warung 
itu sepi kembali. Para jagoan desa Perbutulan tak 
berdaya sama sekali menghadapi serangan si mata 
satu yang luar biasa. Mereka bergelimpangan den-
gan luka-luka mengucurkan darah segar. Dengan 
sangat tenangnya, si mata satu kembali mereguk 
minumannya. Ia duduk sendirian di dalam ruan-
gan warung yang telah acak-acakkan dengan si-
kap seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.
Maka saat itu juga, desa Perbutulan men-
jadi gempar. Gebrakan lelaki asing bermata satu 
itu segera meluas dari mulut-mulut. Para jagoan 
desa lainnya maupun penduduk pun bertanya-
tanya, siapakah gerangan lelaki yang memiliki ke-
saktian luar biasa itu? Dari mana asalnya, siapa 
namanya dan apa maksudnya bikin keonaran di 
desa Perbutulan?
Sepak terjang si mata satu juga sangat me-
narik perhatian Gagak Ciremai, guru silat yang 
paling kesohor di desa Perbutulan. Ia mendapat 
laporan dari muridnya sore harinya bahwa seorang 
laki-laki asing bermata satu telah membikin keo-
naran. Lelaki itu memiliki ilmu yang sangat tinggi, 
sehingga hanya dalam beberapa jurus saja, bebe-
rapa jagoan desa telah tewas di tangannya.
"Di antara kami berempat hanya sayalah 
yang kebetulan lolos dari pedang mautnya. Karena 
saya saat itu pingsan ditendang. Saya rasa dia datang dari sebelah selatan gunung Ciremai, Pak 
Guru."
"Hm... datang dari jauh untuk mengacau 
rasanya tidak mungkin. Pasti ada suatu maksud 
tertentu. Dalam dunia persilatan, jika seseorang 
sampai begitu jauh menempuh perjalanan dan 
sengaja membuat kerusuhan di suatu tempat, bi-
asanya dia bermaksud balas dendam. Tetapi sein-
gatku sejak masa muda aku belum pernah memu-
suhi orang lain. Apalagi ketika kau sebutkan ciri-
cirinya. Seingatku belumlah pernah berurusan 
dengan pendekar bermata satu seperti dia."
"Kalau begitu apakah gerangan maksud-
nya, Pak Guru?"
"Entahlah, aku sendiri belum bisa mener-
kanya. Tapi kuperingatkan kepada kalian, jangan 
sampai lebih dahulu mencari permusuhan dengan 
orang asing mana pun yang datang ke desa ini. 
Barangsiapa di antara murid-muridku yang me-
langgar peraturan ini, pasti akan dihukum. Men-
gerti?"
"Mengerti, Guru!"
Setelah muridnya itu pergi, Gagak Ciremai 
termenung. Hatinya masih penuh tanda tanya dan 
otaknya berpikir keras mengingat-ingat barangkali 
pada waktu dulu ia pernah berurusan dengan le-
laki bermata satu. Tapi rasanya belum pernah 
sampai usianya yang sekarang telah hampir lima 
puluh tahun. Gagak Ciremai diam-diam merasa 
tidak enak, sebab firasatnya mengatakan lelaki 
bermata satu itu pastilah hendak berurusan den-
gannya hingga datang ke desa Perbutulan.
Istri Gagak Ciremai rupanya cukup jeli 
memperhatikan perubahan suaminya. Tak salah 
lagi, pastilah ada sangkut pautnya dengan keda-
tangan si mata satu ke desa mereka. Dan itu kemudian ia katakan kepada suaminya.
"Sejak kedatangan orang asing itu, kau 
tampak selalu resah. Saya rasa ia akan segera 
meninggalkan desa kita.
"Firasatku berkata tidak, istriku. Ia pasti 
tidak akan angkat kaki dari sini sebelum maksud-
nya tercapai. Barangkali kau beranggapan ia 
hanya seorang pengembara yang terpaksa meram-
pok karena kehabisan bekal. Tidak, istriku. Secara 
tidak langsung, ia telah menantang aku sebagai 
guru silat di desa ini."
"Jadi...."
Gagak Ciremai meraih anaknya yang baru 
berusia satu tahun, dan sambil menggendong 
buah hatinya penuh kasih sayang, guru silat itu 
berkata:
"Seorang jago silat harus mempunyai dasar 
batin yang baik, agar menjadi seorang jago bersifat 
kesatria. Sebaliknya jika batin itu buruk, jago silat 
akan menggunakan ilmunya secara sewenang-
wenang. Ia akan menjadi seorang jagoan sombong, 
brutal, membunuh orang seperti menepuk lalat. Ia 
tidak segan-segan membunuh hanya karena uang 
beberapa gulden saja. Atau melakukan pemban-
taian hanya untuk membakar amarah musuhnya. 
Itulah makanya perlu kita ajarkan perintah Tuhan 
kepada murid-murid di perguruan silatku. Ilmu 
tanpa agama akan runtuh, membuat orang mau 
berbuat kotor hanya untuk memuaskan nafsu se-
tannya."
Bisikan Gagak Ciremai ternyata kemudian 
terbukti juga. Beberapa hari kemudian, tepatnya 
siang hari, segerombolan lelaki warga desa Perbu-
tulan sedang asyik mengadu ayam, hobby mereka 
yang tradisional.
Para laki-laki itu saling berteriak-teriak

menjagokan ayam kesayangannya.
"Ayo, patok merah. Habisi si hitam itu. 
Jangan kasih hati."
"Jangan takut, hitam. Hajar si merah sam-
pai mampus," teriak yang lainnya tak kalah se-
runya. Mereka semakin terlena dalam ketegangan 
menyaksikan dua ayam jago itu beradu. Apalagi 
pada saat kedua ayam itu sama-sama melayang 
tinggi ke udara untuk saling menyerang, para pe-
nonton menahan nafas.
Tetapi tiba-tiba terlihat kilatan cahaya ke 
tengah arena. Dan apa yang terjadi kemudian 
sungguh sangat di luar dugaan. Kedua leher ayam 
jago itu sama-sama putus sebatas leher, lalu 
menggelinding di atas tanah. Sedangkan tubuh 
ayam yang sudah buntung itu sama-sama berkelo-
jotan dengan darah memancar dari lehernya yang 
telah putus, kemudian diam tak bergerak-gerak 
lagi.
Belum hilang rasa terkejut para penonton, 
tiba-tiba terdengar suara serak dan berat dari arah 
belakang mereka.
"Maafkan, aku telah mengganggu kalian." 
Bersamaan dengan itu mendadak muncul seorang 
lelaki asing, si mata satu!
"Jadi... jadi kaukah yang telah membunuh 
ayam jagoanku? Huh, bangsat tengik. Apa mak-
sudmu, hah?"
"Kau sudah tahu, kenapa masih bertanya? 
Aku hanya ingin menolong ayam itu agar tidak 
tersiksa demi memuaskan hati kalian," kata si ma-
ta satu seenaknya.
"Bangsat, picak! Rupanya kau memang co-
ba-coba ingin bermain api dengan jagoan desa 
Perbutulan. Sekarang aku akan membuat lehermu 
buntung seperti ayam itu."

"Ha-ha-ha...! Kalian tak ubahnya anak-
anak ayam yang mencoba melawan elang perkasa. 
Rupanya kalian tidak sayang nyawa. Aku bisa me-
robohkan kalian sekejap dengan mata terpejam. 
Sebaiknya kalian panggil guru kalian untuk 
menghadapi aku. Kalian dengar itu?"
Belum hilang rasa terkejut para penonton, 
tiba-tiba terdengar suara serak dan berat dari arah 
belakang mereka.
"Maafkan, aku telah mengganggu kalian," 
Bersamaan dengan itu mendadak muncul seorang 
lelaki asing, si mata satu!

"Bacotmu terlalu besar, manusia iblis. 
Langkahilah mayat murid-muridnya lebih dulu. 
Ayo serbu...!"
Para lelaki yang tadi asyik menonton adu 
ayam itu kini menyerang dengan senjata golok di 
tangan. Tampaknya mereka benar-benar marah 
sehingga serangannya sangat ganas dan memati-
kan. Sabetan-sabetan golok mereka mengarah ke-
pada bagian tubuh yang sangat vital bagi lawan.
Namun rupanya ucapan si mata satu bu-
kanlah sekadar bualan belaka. Semua serangan 
lawan-lawannya dengan mudah dapat dielakkan-
nya. Bahkan kemudian, dengan golok mautnya ia 
balas menyerang dengan gerakan yang teramat su-
lit diikuti mata saking cepatnya. Satu per satu, la-
wannya bergelimpangan bersimbah darah dengan 
tubuh terkena sabetan golok.
Dalam beberapa gebrakan, si mata satu 
menghabisi nyawa lawannya, kecuali satu yang 
memang sengaja ia biarkan hidup.
"Aku sengaja membiarkan kau hidup, tikus 
kecil. Pulanglah sekarang juga dan beritahu kepa-
da gurumu bahwa aku menunggunya dilembah 
Cadas Kuriling. Ayo, cepat!"
Lelaki yang memang murid Gagak Ciremai 
itu langsung terbirit-birit meninggalkan tempat 
itu. Ia segera melaporkan peristiwa itu kepada gu-
runya.
"Guru, si mata setan itu kembali menebar 
maut. Ampunilah kami guru, karena kami tak 
mampu menghadapi pengacau itu. Ia juga berpe-
san agar guru menemuinya di lembah Cadas Ku-
riling."
"Pulanglah, Warso. Aku akan menerima 
tantangannya."
Sambil menatap kepergian Warso, Gagak

Ciremai menghela nafas dalam-dalam. Keningnya 
tampak berkerut-kerut, sementara matanya mena-
tap lurus ke luar melalui jendela. Tak salah lagi, 
ilmu pedangnya memang luar biasa. Barangkali 
aku pun tidak akan mampu menghadapinya. Te-
tapi sebagai guru silat di desa ini dan sebagai seo-
rang pendekar yang gagah perkasa, aku tak 
mungkin menolak tantangannya. Akan kuhadapi 
dia, semoga Tuhan melindungiku. Gagak Ciremai 
berguman dalam hati.
Kemudian ia menuju ke halaman belakang, 
menemui pesuruhnya Kosim yang saat itu sedang 
bercanda ria bersama Ranti.
"Kosim, ibu si Ranti tampaknya belum pu-
lang juga. Mungkin dia agak lama pulangnya. Ja-
galah anakku baik-baik. Aku akan pergi sebentar 
ke lembah Cadas Kuriling untuk menemui seseo-
rang."
"Baik, den. Den Ranti akan saya jaga baik-
baik. Apakah aden akan lama pulangnya? Kalau 
ada pesan akan kusampaikan kepada den Ajeng."
"Oh, tidak. Aku hanya sebentar saja. 
Mungkin sebelum beduk lohor aku sudah pulang." 
Sehabis berkata begitu, Gagak Ciremai memeluk 
Ranti. Dibelai-belainya rambut anaknya itu dan 
diciuminya sepuas-puas hati. Buah hatiku, doa-
kanlah ayahmu... bisiknya dalam hati. Entah ke-
napa kali ini perasaannya sangat terharu. Hampir 
saja airmatanya jatuh berderai membasahi pi-
pinya. Tetapi sebagai seorang pendekar yang telah 
puluhan tahun malang melintang di dunia persila-
tan, ia masih mampu menahan perasaan.
Gagak Ciremai kemudian menyerah-kan 
Ranti kepada Kosim, lalu beranjak meninggalkan 
rumah, diiringi pandangan mata Kosim yang kehe-
ranan, seakan-akan firasat pesuruh itu membisik

kan sesuatu yang tidak baik.
Gagak Ciremai kemudian menyerahkan 
Ranti kepada Kosim, lalu beranjak meninggalkan 
rumah, diiringi pandangan mata Kosim yang kehe-
ranan, seakan-akan firasat pesuruh itu membisik-
kan sesuatu yang tidak baik...

Matahari mulai bergulir ke arah barat keti-
ka Gagak Ciremai tiba di lembah Cadas Kuriling. 
Lembah itu sangat sepi, tak ada suara hiruk pikuk 
orang mengadu ayam atau suara anak-anak yang 
sedang bermain-main, atau suara teriakan murid-
murid Gagak Ciremai saat latihan jurus-jurus il-
mu silat. Di lembah itu ada dataran kecil mirip la-
pangan. Di pinggirnya, berdiri seorang lelaki, tegak 
dan tak bergerak-gerak hingga mirip patung. Itu-
lah dia si mata satu!
Pendekar yang dalam beberapa hari ini 
membuat desa Perbutulan gempar, menatap lurus 
ke depan. Matanya yang merah bagaikan meman-
carkan api hampir tak berkedip. Bibirnya terkatup 
rapat. Dari wajahnya yang dingin itu terpancar 
kebengisan dan hawa nafsu membunuh yang se-
pertinya tak mampu dikekang lagi. "Ayah, berta-
hun-tahun aku menuntut ilmu, kemudian men-
gembara mengelilingi lereng-lereng gunung Ci-
remai ini. Hari inilah aku akan menebus dendam 
patimu. Semoga terwujud sumpah yang pernah 
kuucapkan di hadapan jenazahmu!" Si mata satu 
berguman di dalam hati.
Tak lama kemudian, Gagak Ciremai tiba di 
tempat itu. Guru silat yang kesohor itu melangkah 
perlahan, kemudian berhenti di ujung dataran ke-
cil itu, sementara di ujung yang satu lagi berdiri 
pula si mata satu. Kedua pendekar itu saling ber-
tatapan.
"Ha-ha-ha, aku sangat gembira melihat ke-
datanganmu. Benar juga dugaanku, orang yang 
selama ini kucari-cari bukan pengecut. Kau telah 
datang ke sini memenuhi tantanganku. Apakah 
kau sudah siap?" tanya si mata satu sembari men-
cekal hulu pedangnya.
"Aku datang untuk menyaksikan permai

nan golokmu yang luar biasa. Mungkin inilah ke-
sempatan yang pertama kali bagiku menyaksikan 
ilmu pedang luar biasa. Akan tetapi sebelumnya 
perkenankanlah aku bertanya, kesalahan apakah 
yang telah kulakukan hingga Anda mau bersusah 
payah menyusuri lereng gunung Ciremai ini hanya 
untuk bertemu dengan aku yang bodoh ini? Sia-
pakah Anda sebenarnya?"
"Hm, rupanya kau telah lupa dengan hu-
tang pati yang telah kau lakukan," bentak si mata 
satu dengan sikap yang tiba-tiba saja berubah jadi 
beringas, "Tapi baiklah. Aku pun tidak akan puas 
sebelum kau mengetahui siapa aku sebenarnya. 
Orang-orang di lereng selatan menyebutku Gem-
bong Wungu. Kedatanganku ke lereng gunung ini 
untuk menebus hutang nyawamu, Gagak Cire-
mai."
"Gembong Wungu, aku tak mengerti
maksudmu."
"Jangan belagak pilon, Gagak Ciremai. In-
gatkah kau seorang lelaki bernama Gembong Kun-
ing yang kau robohkan lima belas tahun lalu di le-
reng selatan? Aku adalah anak tunggalnya yang 
saat itu masih ingusan."
Gagak Ciremai tertegun sejenak. Ia kembali 
mengingat-ingat pengalamannya semasa muda, 
saat itu sering mengembara ke seluruh pelosok 
Jawa Barat, untuk memperdalam ilmunya, terma-
suk pula menumpas kaum hitam yang sering 
membuat penduduk sengsara dan tersiksa.
"Ya, aku ingat. Aku ingat, Gembong Wun-
gu. Tapi kau harus mengerti duduk persoalannya. 
Ayahmu seorang perampok yang selalu mengan-
cam keamanan penduduk desa di lereng selatan. 
Karena itu saya harap kau tidak termakan emosi. 
Maksudmu membalas dendam tidak baik, bisa


menimbulkan kesan bahwa kau menegakkan ke-
bathilan bukannya kebaikan. Dan perlu kau tahu, 
saat itu aku sebenarnya tak bermaksud membu-
nuh ayahmu. Aku memberinya kesempatan untuk 
bertobat, tetapi nyatanya ia tetap bandel. Kewaji-
ban seorang pendekar adalah menumpas kejaha-
tan dan menegakkan keadilan. Tuhan selalu berdi-
ri di pihak yang benar, Gembong Wungu."
"Aku tak butuh ocehanmu gagak pikun. 
Bagaimana pun, kau telah membunuh ayahku. 
Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa. Ca-
butlah senjatamu, kita selesaikan persoalan kita 
sampai salah seorang di antara kita menghadap 
akherat."
"Baiklah, Gembong Wungu. Aku sebenar-
nya tak ingin berkelahi apalagi 
adu nyawa denganmu. Tapi karena kau memaksa, 
aku pun tidak menolak tantanganmu. Aku sudah 
siap. Majulah Gembong Wungu!"
Kedua pendekar dari lereng utara dan le-
reng selatan itu sama-sama menghunus pedang. 
Melihat golok di tangan Gembong Wungu diam-
diam terkejut juga Gagak Ciremai. Golok itu sepin-
tas lalu kelihatannya hanyalah sebatang golok bi-
asa. Namun sebagai pendekar yang sudah cukup 
banyak makan garam dunia persilatan, tahulah 
Gagak Ciremai bahwa golok lawan merupakan go-
lok pusaka yang sangat kuat dan berbahaya,
Sambil berteriak dengan suara menggun-
tur, Gembong Wungu menyerang dengan ganas. 
Golok pusakanya diayunkan cepat sekali hingga 
membentuk sinar bagaikan pelangi mengarah ke 
arah dada Gagak Ciremai. Dengan gerakan yang 
juga sangat cepat, guru silat desa Perbutulan itu 
berkelit ke samping, lalu balas menyerang dengan 
pedangnya.

Pertarungan dua jago silat itu berlangsung 
sangat cepat. Golok mereka diputar sangat cepat 
hingga membentuk gulungan sinar kemerah-
merahan, kadang-kadang terlihat bagaikan 
membungkus kedua tubuh pendekar sakti itu. Te-
tapi pada saat-saat tertentu, sinar itu mencelat 
mengincar tubuh lawan. Suara golok beradu dan 
teriakan nyaring memenuhi lembah Cadas Kuril-
ing. Kedua tokoh dunia persilatan yang sama-
sama memiliki ilmu kesaktian tinggi itu mengelua-
rkan segenap kemampuan untuk melumpuhkan 
lawan. Tubuh mereka berkelebatan menyerupai 
bayang-bayang, sehingga orang-orang biasa atau 
yang ilmu silatnya rendah pastilah sulit mengikuti 
gerakan Gembong Wungu dan Gagak Ciremai.
Sampai jurus yang ke tujuh puluhan, per-
tarungan maut itu masih berimbang. Gagak Cire-
mai masih mampu mengimbangi serangan lawan 
dengan jurus-jurus andalannya. Namun setelah 
itu, mulai terlihat Gagak Ciremai agak keteter. Di-
am-diam ia harus mengakui bahwa tenaga lawan 
lebih kuat dari tenaganya. Selain itu, jurus-jurus 
Gembong Wungu sangat berbahaya dan sangat ti-
dak terduga. Jagoan bermata satu itu sering terli-
hat menyerang secara ngawur, tetapi di saat lawan 
lengah, tiba-tiba ia menyerang dengan jurus-jurus 
mematikan. Untunglah Gagak Ciremai selalu hati-
hati hingga sampai saat ini masih bisa bertahan.
Memasuki jurus yang kedelapan puluh, 
pada saat Gagak Ciremai makin terdesak, tiba-tiba 
Gembong Wungu menyerang dengan jurus maut-
nya. Tangan kirinya membentuk cengkeraman 
menyambar ke arah ubun-ubun lawan sementara 
pada saat yang hampir bersamaan, kakinya te-
rangkat dengan gerakan kilat menyambar pusar 
lawan.

Serangan itu begitu berbahaya, kalau men-
genai sasaran niscaya lawan akan terkapar. Diam-
diam Gagak Ciremai terkejut bukan main. Dengan 
gerakan secepat yang bisa ia lakukan, ia mengges-
er kakinya, berkelit ke kanan hingga dua serangan 
itu tidak mengenai tubuhnya. Namun pada saat 
itu juga ujung golok Gembong Wungu menyambar 
perut Gagak Ciremai dengan telak.
Disertai jeritan panjang, tubuh guru silat 
desa Perbutulan itu ambruk ke tanah. Darah segar 
memancar dari luka menganga di bagian perutnya. 
Sejenak tubuh itu menggelepar-gelepar bagaikan 
ayam disembelih, lalu kemudian diam tak berge-
rak. Maka tamatlah riwayat guru silat yang luhur

.... tiba-tiba Gembong Wungu menyerang dengan ju-
rus mautnya. Tangan kirinya membentuk cengke-
raman menyambar ke arah ubun-ubun lawan se-
mentara pada saat yang bersamaan, kakinya te-
rangkat dengan gerakan kuat menyambar pusar 
lawan...
budi itu di ujung golok seorang tokoh hitam dari 
lereng selatan.
Pada saat yang bersamaan, dengan tangan 
gemetar, istri Gagak Ciremai membaca secarik 
kertas yang ditinggal suaminya di atas meja. Isi 
surat itu singkat saja, namun cukup membuat is-
tri Gagak Ciremai menjadi pucat pasi dengan dada 
berdebar-debar tak karuan.
Istriku, sayang. Bukan aku hendak men-
dahului kehendak yang Maha Kuasa. Kurasa tin-
dakan yang paling tepat adalah menerima tantan-
gan si durjana ini. Bila aku tidak kembali, jangan-
lah kau menangis, tetapi berdoalah. Karena semua 
ini adalah takdir...
"Oh, tidak! Tidak....!" jerit istri Gagak Cire-
mai. Dengan perasaan tak menentu, wanita itu 
berlari-lari ke Cadas Kuriling. Ia tak memperduli-
kan apa-apa lagi. Ia mengerahkan segenap ke-
mampuannya berlari secepat mungkin agar bisa 
sampai secepatnya ke lembah Cadas Kuriling. 
Sambil berlari-lari, wanita itu tak henti-hentinya 
menangis dan menyebut-nyebut nama suaminya.
Sesampai di lembah itu, maka terhenyak-
lah istri Gagak Ciremai karena jenazah suaminya 
sudah dikebumikan dua orang murid suaminya 
itu. Ia menubruk gundukan tanah merah itu sam-
bil meratap sejadi-jadinya. Perpisahan itu sungguh 
tak pernah diharapkannya, tetapi kini sudah jadi

kenyataan. Lelaki yang sangat dicintainya dengan 
segenap jiwa raganya telah pergi untuk selamanya. 
Tiada lagi, semuanya telah hancur. Maka pupus 
pulalah harapan istri Gagak Ciremai.
Wanita itu menjerit-jerit histeris bagaikan 
orang yang telah kehilangan kewarasan. Ia bangkit 
meninggalkan kuburan suaminya dan berlari ke 
arah semak-semak belukar di tempat itu. Dua mu-
rid Gagak Ciremai terpaku bagai kena sihir. Kedu-
anya hanya melongo saja, dan ketika tubuh istri 
Gagak Ciremai telah lenyap di balik belukar, me-
reka tersentak tersadar lalu sama-sama mengejar. 
Namun tubuh wanita itu benar-benar lenyap 
entah ke mana.
Tamatnya riwayat Gagak Ciremai di tangan 
Gembong Wungu ternyata menjadi awal malapeta-
ka bagi penduduk desa Perbutulan. Jagoan ber-
mata satu dari lereng selatan itu ternyata tidaklah 
meninggalkan desa itu setelah berhasil melam-
piaskan dendam kesumatnya kepada musuhnya. 
Tokoh hitam itu melangkah dengan sikap bengis di 
antara rumah-rumah penduduk dengan sikap siap 
sedia membunuh siapa saja yang tampak oleh ba-
tang hidungnya.
Sambil membusungkan dada, Gembong 
Wungu melangkah ke rumah Gagak Ciremai. Ia 
langsung menendang daun pintu rumah guru silat 
itu hingga jebol. Kosim yang saat itu meringkuk 
ketakutan sambil mendekap Ranti semakin keta-
kutan lagi. Sekujur tubuhnya gemetar, wajahnya 
pucat pasi seolah-olah tak dialiri darah lagi.
"Siapa kau, kunyuk? Heh, anak siapa itu? 
Bawa anak itu ke mari. Ayo, jangan merondok saja 
di situ!" bentak Gembong Wungu sambil berkacak 
pinggang.
"Ja... jangan, tuan. Jangan... oh, ampun

tuan. Dia tidak berdosa. Jangan membunuhnya,"
"Ke sini, kataku. Aku senang dengan mata 
si mungil yang bening menantang bagaikan bin-
tang kejora itu. Mari, sayang. Jangan takut, ya...." 
Lalu dengan suara yang kembali kasar ia bertanya 
kepada pesuruh Gagak Ciremai: "Hei, tolol. Siapa 
namamu?" "Ko... Kosim, tuan..." 
"Ha-ha-ha... Kosim. Saksikanlah. Mulai de-
tik ini si mungil ini menjadi anak angkatku. Akan 
kudidik dia menjadi seorang pendekar yang 
gagah berani," kata Gembong Wungu sambil me-
nimang-nimang anak itu.
Sejak saat itu pula, Gembong Wungu men-
gangkat dirinya sebagai pengganti kedudukan Ga-
gak Ciremai. Namun banyak di antara penduduk 
desa yang menolak jadi muridnya, lalu melarikan 
diri ke desa lain. Sebaliknya, di desa Perbutulan 
semakin banyak penjahat, tokoh-tokoh dari dunia 
hitam. Sebab kemudian ternyata Gembong Wungu 
bukannya menjadi pemimpin yang baik seperti 
almarhum Gagak Ciremai, tapi menjadi gembong 
komplotan garong dan rampok. Desa Perbutulan 
yang dulu aman tenteram, kini berubah jadi ang-
ker. Penduduk makin hari makin tersiksa oleh ke-
kejaman Gembong Wungu dan pengikutnya. Di 
sana sini terjadi perampokan, pemerasan, perko-
saan dan kejahatan lainnya. Penduduk yang men-
coba menentang langsung ditumpas tanpa ampun.
Maka makin banyak jua lah korban yang 
jatuh di ujung pedang si mata satu serta pengi-
kutnya. Kini tiada lagi penduduk yang bisa hidup 
dengan tenang. Siang dan malam mereka tertekan, 
tersiksa dan selalu diburu kecemasan akan ke-
jamnya penjahat di desa mereka.
Keganasan Gembong Wungu serta pengi-
kutnya ternyata tidak hanya di desa Perbutulan

saja, tetapi juga merembet sampai ke kota praja. 
Ganasnya sepak terjang Gembong Wungu dan 
pengikutnya sampai pula ke telinga para pejabat 
pemerintah Kompeni Belanda. Pemerintah penja-
jah ini pernah mengirimkan bala tentara menum-
pas komplotan Gembong Wungu. Tetapi dengan 
mudah, pasukan pemerintah Belanda itu ditum-
pas pasukan Gembong Wungu.
Pemerintah Belanda akhirnya merasa ke-
walahan juga. Di samping itu, mereka juga punya 
perhitungan lain, karena berbagai pertimbangan 
dan alasan mereka akhirnya merasa tak perlu me-
numpas komplotan penjahat itu, yang penting 
anak buah Gembong Wungu tidak mempengaruhi 
hasil pajak yang dipungut dari daerah-daerah. La-
gi pula Gembong Wungu bertindak hanya terba-
tas pada kejahatan biasa untuk kepentingan pri-
badi atau kelompok kecil. Tidak ada tanda-tanda 
persatuan untuk menjadi pemberontak terhadap 
penjajah.
Waktu pun berputar, biar lambat namun 
pasti. Berbagai kejadian telah tercatat dalam seja-
rah, tersimpan dalam ingatan orang dan yang ke-
lak menjadi kenangan. Hari berganti hari kemu-
dian minggu bulan dan tahun pun silih berganti.
Lima belas tahun telah berlalu sejak te-
wasnya Gagak Ciremai di tangan Gembong Wun-
gu. Selama itu pula penduduk desa Perbutulan 
hidup tersiksa di bawah kejamnya tangan pende-
kar bermata satu itu. Bahkan komplotan yang ter-
diri dari tokoh-tokoh dunia hitam itu kini sudah 
membentuk negeri kecil, hidup di balik tembok 
yang kuat, sebuah negeri rampok.
Selama lima belas tahun itu pula, kedudu-
kan Gembong Wungu makin kuat, tak ubahnya 
seorang raja. Setiap kata yang keluar dari mulut

nya merupakan undang-undang tak tertulis bagi 
pengikutnya dan berlaku dalam lingkungan desa 
perampok itu.
Ranti, putri tunggal almarhum Gagak Ci-
remai itu pun kini sudah menjadi seorang dara je-
lita yang tangkas. Sejak anak itu pintar berjalan, 
ia telah digembleng ayah angkatnya. Dalam hal 
yang satu ini, Gembong Wungu memang bersikap 
lain. Ia dengan tulus ikhlas menurunkan semua 
ilmu yang ada padanya. Tidaklah mengherankan, 
jika pada usia seremaja itu, Ranti telah memiliki 
ilmu yang tinggi.
Gadis itu mirip ibunya. Matanya yang 
mungil selalu berbinar binar. Rambutnya yang hi-
tam panjang dikuncir ke belakang dengan pita 
emas. Bibirnya tipis dan merah merekah, sehingga 
jika mengulum senyuman maka terciptalah kein-
dahan yang mampu menggoda siapa pun yang me-
lihatnya.
Namun karena perlakuan Gembong Wun-
gu, jadilah gadis itu menjadi seorang wanita yang 
bersikap manja tetapi berwatak keras. Semua ke-
mauannya harus dituruti! Dan sekalipun ia cantik 
jelita bagaikan bidadari yang turun dari langit, tak 
seorangpun lelaki di desa itu berani menggodanya, 
apalagi bersikap kasar. Para lelaki itu hanya bisa 
mengagumi kecantikan Ranti secara diam-diam.
Hari itu matahari mulai condong ke barat. 
Udara mulai menyejuk. Di sebelah selatan desa 
Perbutulan ada sebuah hutan yang letaknya lebih 
tinggi di lereng gunung Ciremai.
Angin yang berhembus sepoi-sepoi menyi-
bak rambut seorang pemuda yang sedang duduk 
sendirian di hutan itu. Ia masih muda, baru beru-
sia sekitar dua puluh tahun, namun sinar ma-
tanya tampak memancarkan kedewasaan yang

mengagumkan. Wajahnya tampan dan tampak se-
lalu simpatik dan ramah.
Tetapi kini, ia duduk termenung. Sinar ma-
tanya yang tadi cerah, kini berubah jadi muram. 
Agaknya pemuda itu sedang gundah gulana. Dan 
itu kemudian tercermin dari alunan serulingnya 
yang terasa menyayat-nyayat hati. Suara seruling-
nya kadang-kadang melengking-lengking. Dan 
apabila angin berhembus kencang, suara sending 
itu kadang-kadang hilang dan kadang-kadang 
sangat nyata, seolah-olah ditiup di dekat daun te-
linga.
Lagu yang dialunkannya adalah sebuah la-
gu kiser, salah satu jenis lagu rakyat Cirebon, 
yang sangat romantis. Rupanya irama lagu itu 
sangat menarik perhatian penghuni hutan itu, 
yang tak lain adalah monyet-monyet. Sejak dulu, 
hutan itu memang hanya dihuni binatang terse-
but, tak ada binatang lainnya. Monyet-monyet itu 
berloncatan dari atas pohon menuju ke arah suara 
merdu itu.
Orang menyebut hutan itu dengan nama 
'Plangon'. Dan sampai sekarang hutan itu masih 
banyak dihuni monyet dan sering didatangi muda-
mudi sebagai tempat rekreasi.
Parmin, demikian nama lelaki tampan yang 
sedang meniup seruling itu. Ia tampak tersenyum 
melihat monyet-monyet itu mengerumuni dirinya, 
layaknya pengagum artis.
Tanpa diduga-duga, monyet-monyet itu 
berloncatan ke punggungnya. Bahkan ada pula 
yang ke kepala, menyibak-nyibak rambut Parmin 
hendak mencari kutu. Sementara yang lainnya 
menyambar topi yang terbuat dari anyaman bam-
bu milik Parmin, lalu memakainya. Yang lainnya 
menarik seruling dari tangan Parmin dan mencoba

meniupnya.
Parmin betul-betul kewalahan. Tetapi ia 
senang. Ia tak henti-hentinya tertawa menyaksi-
kan tingkah laku monyet-monyet itu. Lalu ketika 
monyet-monyet itu membawa kabur topi dan seru-
lingnya, Parmin cuma tersenyum sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. Ah, biarlah mereka berse-
nang-senang dengan seruling itu. Nanti akan ku-
bikin lagi seruling yang lebih bagus, kata lelaki itu 
dalam hati.
Ketika ia berdiri kembali, tubuhnya terasa 
lebih segar dan ringan. Rasa penatnya telah hi-
lang, setelah sejak pagi tadi ia menempuh perjala-
nan yang sangat jauh. Karena hari masih panas, 
ingin lah ia mandi di sungai tak jauh dari tempat-
nya istirahat tadi. Maka ia pun segera menuruni 
tebing-tebing yang cukup terjal.
Suara gemercik air menerpa batu-batu ter-
dengar dari kejauhan seperti irama lagu yang bi-
arpun monoton namun terasa mengandung suatu 
keindahan yang tiada taranya. Air sungai itu san-
gat jernih, sehingga dasarnya yang cukup dalam 
kelihatan dengan nyata. Beberapa ekor ikan kecil 
berenang cepat, membentuk lengkungan-
lengkungan cahaya warna-warni bagaikan pelangi 
di senja hari.
Ketika hendak membuka bajunya, tiba-tiba 
terkejutlah lelaki itu karena tak jauh di seberang 
sungai tampak olehnya seorang wanita. Parmin 
tak habis pikir, kenapa ada wanita muda belia dan 
cantik lagi berani sendirian di sungai yang sepi 
itu. Wanita itu agaknya baru saja selesai mandi. Ia 
tengah berdandan di atas batu di tengah kali.
Karena merasa kurang sopan berada di 
sungai dekat wanita, Parmin bermaksud mening-
galkan tempat itu, mandi di tempat yang agak

jauh, di hulu atau di mudik sungai.
Namun baru beberapa langkah beranjak, 
tiba-tiba kilatan-kilatan cahaya menyambar tu-
buhnya. Parmin merasakan ada senjata rahasia 
meluncur cepat sekali ke arah tubuhnya.
Sambil berseru nyaring, ia meloncat tinggi 
kemudian berjumpalitan di udara, sehingga senja-
ta-senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil itu tak 
berhasil mengenai tubuhnya. Pisau-pisau itu ter-
tancap ke dinding batu.
Dengan gerakan yang sangat ringan, Par-
min kemudian mendarat di atas batu, sekitar lima 
belas meter dari hadapan wanita yang sedang 
mandi itu.
"Maafkan aku, nona. Aku tak sengaja meli-
hatmu tadi. Sungguh, nona. Maafkan kelancan-
ganku ini," kata Parmin.
"Cih, laki-laki hidung belang. Tak tahu ma-
lu! Apa maksudmu mengintipku mandi, heh? Ka-
lau ayahku tahu kekurangajaranmu, lehermu pas-
ti dipelintir sampai buntung, bajingan. Rupanya 
kau belum tahu siapa aku, ya. Akulah putri Gem-
bong Wungu jago silat tanpa tanding yang kesohor 
di seluruh lereng Gunung Ciremai." Gadis yang tak 
lain tak bukan Ranti, putri almarhum Gagak Ci-
remai itu berkata dengan suara membentak-
bentak.
"Ah, sungguh tak dinyana hari ini aku da-
pat kehormatan besar bertemu dengan putri pen-
dekar yang sangat sakti itu. Nama ayahmu ter-
kenal sampai ke pantai utara, tempat asalku, no-
na."
"Daerah ini adalah daerah kekuasaan 
ayahku. Setiap orang asing yang menginjakkan 
kakinya di sini harus terlebih dulu meminta izin 
kepada ayahku. Janganlah kau bertindak seenakmu di daerahku dengan permainan silatmu 
yang cuma mainan anak-anak itu. Caramu menge-
lak seranganku tadi biasa dilakukan anak-anak di 
desa kami. Karena itu, sekali lagi kuperingatkan 
agar kau jangan coba-coba berbuat seperti ini la-
gi."
Terkejut juga Parmin mendengar kata-kata 
Ranti yang angkuh dan congkak itu, Wajahnya 
cantik dan suaranya pun merdu, tapi sikapnya 
sungguh tidak bermoral. Tetapi sebagai orang yang 
sudah berpengalaman, Parmin merasa tak perlu 
meladeni keangkuhan gadis itu. Ia merasa lebih 
baik secepatnya meninggalkan tempat itu.
Tetapi ketika hendak berbalik, Ranti mem-
bentak: "Tunggu dulu, bajingan! Kau belum boleh 
pergi!"
"Ah, nona. Kenapa nona segalak itu? Aku 
benar-benar minta maaf padamu, karena tadi 
maksudku sebenarnya hanya ingin mandi. Tetapi 
rupanya nona sudah terlebih dulu berada di sini. 
Aku melihat nona tanpa sengaja. Sekarang aku 
hendak membuka baju, nona. Harap nona mau 
bermurah hati meninggalkan tempat ini. Mudah-
mudahan di lain kesempatan kita masih bisa ber-
temu lagi."
"Idih, dasar laki-laki tak tahu malu." Gadis 
itu membuang muka ketika Parmin membuka ba-
ju, lalu dengan muka yang berubah merah padam, 
ia berkata : "Tapi baiklah. Saya akan pergi. Tapi 
ingat, kau masih punya urusan denganku. Bagai-
mana pun juga, kelancanganmu ini tidak boleh di-
diamkan."
"Terimakasih atas kemurahan hati nona. 
Tolong katakan kepada ayahmu, bahwa ada seseo-
rang yang numpang bermalam di desa ini," kata 
Parmin sambil menatap kepergian gadis itu, yang

meloncat dengan gesitnya ke atas tebing.
Ranti merasa kesal, kecewa, marah dan en-
tah apa lagi. Sesampainya kembali di rumah, ia 
duduk termenung di kamarnya. Wajah pemuda 
yang tadi bertemu dengannya di sungai kembali 
terbayang di benaknya. Tubuh pemuda itu demi-
kian kekarnya, bersih dan berisi. Sinar matanya 
tajam dan berbinar-binar. Wajahnya pun tampan 
dan mencerminkan sesuatu yang sangat istimewa, 
yang tak ditemui pada wajah para jejaka di desa 
Perbutulan.
Ada perasaan aneh menyelinap ke dalam 
hati Ranti sebagai seorang gadis yang telah men-
ginjak dewasa. Tetapi entah perasaan apa, ia sen-
diri tidak tahu pasti. Yang jelas, perasaan itu se-
lama ini belum pernah muncul di dalam hatinya. 
Perubahan gadis cantik jelita itu rupanya tidak 
luput dari perhatian Gembong Wungu. Tokoh dari 
kalangan hitam itu menghampiri Ranti. Ditepuk-
nya bahu Ranti dengan penuh kasih sayang.
"Ranti anakku. Mengapa kau termenung 
saja sejak tadi? Adakah sesuatu yang sedang kau 
pikirkan atau yang membuatmu terganggu? Si Mi-
nem sudah menyiapkan makanan untukmu. Ayo, 
makanlah, tak baik jika mengurung diri terlalu 
lama di kamar. Nanti kau sakit."
"Aku belum lapar, ayah. Nanti saja."
"Ah, jangan begitu anakku. Kau kan tahu, 
ayah sangat sayang padamu. Ayo, makanlah 
anakku!"
"Baiklah, ayah!"
Sore itu, Parmin mendatangi seorang peta-
ni di desa itu. Dengan sikap yang sopan dan ra-
mah tamah, ia mengutarakan maksudnya hendak 
mencari pekerjaan, karena ia sangat memerlukan 
bekal untuk perjalanan selanjutnya.

"Nama saya Parmin, pak. Saya berasal dari 
desa Eretan."
"Wah, kau datang dari jauh, Nak? Baiklah, 
kebetulan sekali aku sedang membutuhkan tenaga 
mengolah sawah. Besok kau sudah boleh bekerja 
dan boleh tidur di sini kalau kau suka."
"Terimakasih, pak." 
"Penghidup petani di desa ini sekarang su-
sah, Nak. Pajaknya yang harus disetor ke Kotapra-
ja besar sekali. Belum lagi uang jaminan kepada 
Gembong Wungu. Jika tak dibayar, anak buahnya 
pasti berbuat kejam, tak segan-segan membakar 
sawah saat padi mulai berbuah. O, iya Nak. Kuna-
sehatkan janganlah bertindak sembarangan di de-
sa ini. Jangan sampai mengganggu gadis cantik 
putri raja rampok itu. Aku juga mengerti tentang 
gejolak hati kaum remaja. Tetapi salah-salah bisa 
ketiban pulung."
"Terimakasih atas nasehat bapak. Saya 
akan selalu mengingatnya."
Demikianlah besok harinya ketika ayam 
mulai berkokok, Parmin sudah bangun. Segar se-
kali rasanya udara di pagi itu. Dengan langkah 
ringan, pemuda itu berangkat ke sawah, memba-
wa dua ekor kerbau dan bajak.
Dengan bertelanjang dada, ia membajak 
sawah. Tubuhnya yang kekar berkilau-kilau diba-
sahi keringat. Otot-ototnya tampak sangat kekar 
dan kuat.
Dalam waktu tiga hari saja, ia sudah ham-
pir selesai mengerjakan sawah petani desa itu. 
Sambil memegang bajak di belakang kedua ekor 
kerbau, ia sekali-kali berteriak-teriak agar ker-
baunya tak malas.
Ia sama sekali tak menyadari ada sepasang 
mata bening mengawasinya dari balik pepohonan.

Mata itu menatapnya dengan pandangan penuh 
kekaguman.
Parmin baru menyadarinya ketika gadis 
yang ternyata putri Gembong Wungu itu melang-
kah mendekat. Gadis itu berdiri di pematang sa-
wah sambil menatap Parmin dengan berbinar-
binar.
"Eh, nona. Selamat siang, nona. Mengapa 
nona berdiri di situ? Lihatlah, matahari demikian 
teriknya. Nanti kulit nona menjadi hitam," ujar 
Parmin sambil melirik sejenak pada gadis itu. Se-
telah itu, ia kembali meneruskan pekerjaannya.
"Memangnya orang lihat tidak boleh? Kalau 
kulitku jadi hitam, biar saja. Apa urusanmu?"
Parmin tersenyum geli mendengar ucapan 
gadis itu. Enak juga bekerja dimandori gadis can-
tik, katanya dalam hati.
"Hei, kamu!" teriak Ranti lagi, "Dengarlah, 
aku ingin memberi saran padamu."
"Saran? Saran apa maksudmu, nona?"
"Dengarlah baik-baik. Daripada kau meme-
ras keringat seperti ini hanya untuk upah bebera-
pa gulden dan sesuap nasi, lebih baik kau jadi 
anak buah ayahku. Ayah pasti senang menerima-
mu. Ilmu silatmu cukup tinggi."
"Ah, ilmu silatku hanya sampai tingkat 
anak-anak kecil di desa ini."
"Aku sungguh-sungguh!"
"Terimakasih atas saran mu. Tapi aku tak 
ingin jadi perampok. Merampok ada lah pekerjaan 
haram. Aku lebih senang dengan upah kecil asal-
kan pekerjaan itu halal."
"Haram? Apa maksudnya?"
Ah, orang ini benar-benar tak tahu ajaran 
agama, pikir Parmin diam-diam. "Haram artinya 
sesuatu yang tidak diridhoi Tuhan. Sesuatu yang

dilarang Tuhan. Sedangkan halal sebaliknya, no-
na."
"Ayahku tak pernah berkata begitu." Ranti 
kemudian duduk di pematang sawah sehingga pa-
kaiannya berlepotan lumpur.
"Nona jangan duduk di situ. Nanti pakaian 
nona jadi kotor."
"Biar saja kotor. Nanti ada yang mencuci-
kannya. Ayahku punya banyak pelayan perem-
puan yang juga memijat ayah bila sedang keca-
paian."
Itu namanya, gundik nona manis, kata 
Parmin dalam hati. Pemuda itu kembali mene-
ruskan pekerjaannya, di bawah tatapan sepasang 
mata Ranti yang terlalu sukar ditebak maknanya.
Dan sejak itu pula, perasaan aneh di dalam 
hati Ranti makin menjadi-jadi. Jika sedang sendi-
rian di rumah, ia merasa tak betah. Malam ha-
rinya, matanya sulit terpejam sebab wajah Parmin 
selalu terbayang-bayang di pelupuk matanya. Ada 
sesuatu gejolak perasaan tak menentu dalam di-
rinya jika bertemu dengan pemuda itu. Dan jika 
tak ketemu, perasaan itu malah semakin tak ter-
bendung.
Sebagai gadis yang sudah terbiasa dimanja, 
Ranti pun tidak mau perduli sekarang. Pada sang-
kanya, ia boleh saja berbuat sesuka hati terhadap 
Parmin. Bukankah selama ini tak ada yang berani 
menolak kehendaknya?
Maka saban hari, Ranti selalu mendatangi 
Parmin. Ada-ada saja yang dikatakan atau dita-
nyakannya. Bahkan ketika pemuda itu sedang 
sembahyang, Ranti tak segan-segan duduk atau 
berdiri di dekatnya, sambil bertanya yang bukan-
bukan. Kadang-kadang Parmin jengkel dibuatnya.
"Kenapa kau masuk ke mari tanpa seijin

tuan rumah?" tanya Parmin pada suatu hari. Uca-
pannya tidaklah berupa pertanyaan, tetapi cende-
rung teguran atas kelancangan gadis itu.
"Aku bebas ke mana saja aku suka. Tak 
seorang pun berani melarangku."
"Tapi ini rumah orang. Seharusnya kau ta-
hu sopan santun."
"Masa orang mau ketemu saja tidak boleh. 
Waktu aku datang ke sini, petani tua itu tidak 
ada. Aku tak mungkin capek-capek mencarinya 
hanya untuk permisi. Tapi kalau yang punya ru-
mah ini marah, boleh saja. Besok tentu dia akan 
dihajar ayahku sampai mampus."
"Dengar, nona! Seorang wanita masuk ke 
kamar laki-laki adalah berbahaya, apalagi kau 
seorang perawan."
Ranti tidak tersinggung mendengar ucapan 
itu. Ia malah tersenyum manis, hingga kecanti-
kannya tampak semakin nyata.
"Heh, siapa namamu? Parmin, ya? Parmin! 
Parmin! Kau suka sembahyang, bukan? kau san-
tri. Kata ayahku, orang yang suka sembahyang itu 
namanya santri. Tapi ayahku tidak senang melihat 
santri. Eh, apa sih gunanya sembahyang itu?"
Mendengar pertanyaan gadis itu, tergerak 
juga hati Parmin untuk menjelaskan. Bagaimana 
pun juga, ia menyadari Ranti jadi begitu hanya ka-
rena pengaruh lingkungan. Orang seperti Gem-
bong Wungu tentulah tidak mau mengajarinya 
mengenai agama. Diam-diam Parmin merasa kasi-
han juga, karena Ranti, telah terjerumus dalam 
kehidupan yang tak baik. Hidup dalam dunia ke-
gelapan.
"Dengarlah, nona. Kau telah diberi mata 
untuk melihat keindahan. Telinga untuk menden-
gar musik yang merdu. Hidung untuk mencium

bau yang harum semerbak. Mulut untuk merasa-
kan lezatnya makanan serta otak untuk berfikir. 
Kau punya tangan, kaki, rambut yang ikal mayang 
dan punya tubuh yang indah molek. Semua itu 
adalah pemberian Tuhan, yang menciptakan se-
muanya itu."
"Tapi yang menciptakan aku adalah ayah 
dan ibuku. Kau salah."
"Bukan, nona. Pernahkan kau melihat seo-
rang anak yang berwajah buruk, hidungnya pesek, 
mulutnya monyong, matanya juling serta pipinya 
tembem? Semua itu juga pemberian Tuhan. Ayah 
dan ibu si anak tentu tak menginginkan rupa 
anaknya seburuk itu. Semua orang tua ingin 
punya anak yang cantik seperti kau. Tetapi mere-
ka tidaklah bisa menciptakannya itu. Ayah dan 
ibu hanya merupakan perantara untuk melahir-
kan kita ke dunia ini."
"Ho-oh. Aku mengerti. Tetapi kalau me-
mang begitu, berarti Tuhan tidak adil. Kenapa ada 
yang cantik dan ada yang jelek?"
"Ah, kau telah salah paham nona. Pernah-
kah kau lihat orang yang wajahnya buruk tapi pe-
rangainya baik, punya wajah cantik tapi peran-
gainya jelek? Pasti pernah. Itulah keadilan Tuhan. 
Tuhan maha adil. Karena itu nona tidak boleh 
memandang orang dari segi luarnya saja. Rupa itu 
hanyalah pembungkus yang kelak pasti akan han-
cur dimakan tanah."
"He-em. Aku mengerti. Kau betul. Lalu apa 
hubungannya dengan sembahyang?"
"Kita telah diciptakan Tuhan seadil-adilnya. 
Tuhan mencintai umatnya, maha penyayang dan 
pengasih. Oleh karena itu, kita wajib berterimaka-
sih dan membalas kasih sayangnya dengan 
sembahyang dan mematuhi semua perintahNYA.

Merampok adalah pekerjaan yang dilarang Tu-
han, karena perbuatan itu merampas hak orang 
lain, menyiksa orang lain. Suatu saat, Tuhan akan 
menghukum orang yang berbuat demikian."
Ranti tampaknya belum memahami sepe-
nuhnya kata-kata Parmin yang mirip khotbah itu. 
Tetapi ucapan itu menambah rasa kagum di ha-
tinya. Kadang-kadang, gadis itu membuntuti Par-
min tanpa sepengetahuannya. Atau kadang-
kadang ia mencegat di tengah jalan. Seperti di 
siang hari bolong itu, ketika Parmin berjalan sen-
dirian di hutan sambil membawa sekeranjang pi-
sang dan kacang tanah.
"Hei, buat apa kau bawa pisang dan ka-
cang tanah?" tanya Ranti setengah berteriak.
"Buat kawan-kawanku." 
"Kawan-kawanmu? Bolehkah aku ikut? 
Aku ingin tahu siapa kawan-kawanmu itu. Boleh, 
kan?"
"Kenapa nona selalu mengikuti aku? Aku 
takut terjadi apa-apa. Nanti aku pula yang dis-
alahkan."
"Betul, Parmin. Terus terang saja, sejak 
ayah tahu kita telah berkenalan, ayah merasa tak 
senang padamu. Alasannya karena kau selalu 
sembahyang. Kata ayah itu tidak baik. Tapi aku 
senang bersahabat denganmu. Kau baik hati, dan 
sikapmu lain dari pemuda-pemuda di desa ini."
Parmin manggut-manggut mendengar uca-
pan gadis itu.
Tak lama kemudian, kedua insan berlainan 
jenis itu sampai ke Plangon.
"Hei, kawan-kawan. Silakan turun. Aku 
membawa oleh-oleh untuk kalian!" seru Parmin 
sambil menatap ke sekelilingnya.
Sekejap kemudian, monyet-monyet berlon

catan dari balik pepohonan, dan langsung menge-
rumuni Parmin. Ranti terkejut bukan main, ma-
nusia bisa bersahabat dengan binatang, pikirnya.
"Lihatlah mereka, nona. Mereka hidup ru-
kun, tidak saling merebut hak kawannya. Sebuah 
contoh yang baik bagi manusia."
"Apakah setiap hari kau melakukannya 
terhadap binatang-binatang ini? Dan apakah 
hanya untuk mereka pula kau memeras keringat 
setiap hari? Apa gunanya berkawan dengan mo-
nyet?"
"Oh, kau jangan salah mengerti nona. Aku 
bekerja bukan untuk mereka, tapi untuk diriku 
sendiri. Bersahabat dengan mereka tentu ada gu-
nanya. Karena binatang lebih tahu membalas budi
kepada kita."
"Aku jadi tak mengerti." 
"Mungkin karena nona belum membukti-
kan sendiri. Tapi sebagai orang baik, kita harus 
menyayangi binatang, karena mereka pun adalah 
makhluk ciptaan Tuhan. Kita tak boleh menyiksa 
binatang apalagi menyiksa manusia. Kita tidaklah 
boleh membunuh makhluk di bumi dengan see-
naknya saja tanpa rasa perikemanusiaan. Karena 
itu dapatlah kau bayangkan, betapa jahat dan ter-
kutuknya perbuatan para perampok."
Ranti tersentak mendengar kata-kata itu. 
Perampok! Hatinya berulang kali membisikkan ka-
ta-kata itu. Bukankah ayahnya Gembong Wungu 
adalah perampok, bahkan rajanya perampok? Ka-
lau memang apa yang diucapkan Parmin, berarti 
ayahnya adalah orang yang tidak baik. Tetapi se-
lama ini ayahnya selalu berbuat baik padanya, se-
lalu memanjakan dan menyayanginya. Kata-kata 
Parmin itu menjadi bahan pemikiran bagi Ranti 
pada hari-hari selanjutnya.

Kisah menarik selama lima belas tahun te-
rakhir ini tidak hanya terpaku pada Ranti, putri 
almarhum Gagak Ciremai yang dididik serta dibe-
sarkan Gembong Wungu.
Masih di lereng Ciremai, cukup jauh dari 
tempat pembicaraan Parmin dan Ranti, ada se-
buah hutan yang juga hampir tak pernah didatan-
gi manusia.
Hutan itu sangat lebat dan banyak dihuni 
binatang buas. Tetapi sebenarnya bukan binatang-
binatang berbisa dan buas itu yang membuat 
orang tak mau menginjakkan kakinya di hutan 
itu. Ada sesuatu di hutan itu, yang misterius seka-
ligus menyeramkan yang dari tahun ke tahun 
menjadi buah bibir dan semacam legenda.
Di hutan itu berkeliaran berbagai jenis 
makhluk halus seperti jin, hantu, mambang, peri, 
siluman, setan dan entah apa lagi. Seribu satu 
macam dedemit yang kabarnya tak kenal kom-
promi dengan manusia. Sebagian penduduk malah 
percaya hutan itu adalah tempat perkumpulan se-
gala jenis makhluk halus. Karena itu, penduduk 
tidak berani pergi ke hutan itu, sebab mereka per-
caya setiap orang yang berani menginjakkan ka-
kinya di situ, pastilah akan menemui ajalnya di 
mangsa para dedemit itu.
Orangtua misalnya jika sedang memarahi 
anaknya, sering menyebut-nyebut hutan itu. Kuki-
rim kau ke hutan dedemit itu, biar tahu rasa ka-
mu. Dan biasanya, si anak langsung ketakutan 
dan tidak mau lagi melawan orangtuanya.
Walaupun demikian, jika misalnya ditanya 
apakah sudah ada yang pernah membuktikan ke-
benaran adanya makhluk-makhluk halus itu, 
mungkin semuanya akan menggelengkan kepala.
Di sinilah terlihat tidak sedikit manusia

yang demikian mudahnya ter-makan hasutan. Ka-
dang-kadang, orang juga suka mengada-ada men-
gatakan yang tidak ada itu ada. Karena orang yang 
mendengarnya mudah terpengaruh, maka lang-
sung saja percaya biarpun belum membuktikan 
sendiri. Pada satu sisi, manusia bisa diperbudak 
khayalan buruk yang tercipta karena mendengar 
cerita-cerita menyeramkan.
Di sebuah tempat yang agak lapang di ten-
gah hutan angker itu, terdapat air terjun yang me-
nurut kepercayaan orang adalah tempat para jin 
itu mandi.
Air terjun itu cukup tinggi, sekitar lima be-
las meter dan airnya pun cukup besar sehingga 
tekanannya cukup kuat. Itu terbukti oleh suara 
air menghantam bebatuan terdengar sampai ratu-
san meter. Dasar air terjun itu juga selalu menge-
pulkan uap mirip asap, padahal airnya sangat 
dingin.
Di dekat air terjun itu, di atas sebongkah 
batu tampak sesosok tubuh bergerak-gerak. Ka-
dang-kadang lambat, kadang-kadang cepat sekali 
hingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Sosok 
tubuh itu rupanya sedang memainkan jurus-jurus 
ilmu silat tinggi.
Apakah ada jin atau setan sedang berlatih 
silat?
Tidak! Sama sekali tidak. Sosok tubuh itu 
adalah manusia biasa, tepatnya wanita. Wajahnya 
sudah cukup tua, mungkin sudah enam puluh ta-
hun. Atau mungkin lebih muda sebenarnya, tetapi 
karena rambutnya awut-awutan dan pakaiannya 
pun compang-camping, ia tampak lebih tua dari 
usia sebenarnya. Di wajahnya, terutama di bagian 
dahinya terlihat kerut-kerut yang nyata. Tidak 
hanya mencerminkan ketuaan, tetapi juga pende

ritaan bathin yang teramat sangat.
Wanita tua itu memainkan jurus-jurus il-
mu pedang yang teramat dahsyat. Pedangnya di-
putar cepat sekali membentuk gulungan sinar ke-
merah-merahan, menandakan betapa cepatnya ge-
rakan pedangnya.
Kadang-kadang ia meloncat tinggi ke uda-
ra, lalu meluncur bagaikan burung rajawali den-
gan gerakan menyambar ke bawah. Pedangnya 
menusuk sementara kedua kakinya menendang ke 
arah kiri dan kanan. Pada saat yang bersamaan, 
tangan kirinya membentuk cengkeraman melun-
cur juga dengan kecepatan luar biasa dan men-
gandung tenaga dalam yang teramat dahsyat.
Serangan yang sangat mematikan. Dapat 
dipastikan, pendekar silat yang memiliki ilmu bi-
asa-biasa saja, akan tewas oleh serangan itu.
"Ciaaat...!" Wanita itu berteriak nyaring 
sambil mengerahkan tenaga dalam hingga tempat 
itu terasa bergetar. Bersamaan dengan itu, tubuh-
nya mendarat ringan di atas bongkahan batu. Per-
gelangan tangan kanannya diputar, sehingga pe-
dangnya yang tadinya menusuk berubah menjadi 
membabat.
"Mampus kau, laknat! Mampus kau. Mam-
pus...!" teriak wanita itu dengan beringas.
Tetapi kemudian, tiba-tiba ia menjatuhkan 
diri menelungkup di atas batu sambil menangis 
tersedu-sedu.
"Kakang, oh kakang. Betapa beratnya pen-
deritaan bathinku. Tapi akan kubalaskan dendam 
pada si laknat itu. Waktu itu akan segera tiba ka-
kang. Si bangsat itu pasti mati di tanganku..."
Mendadak, ia bangkit lagi, Matanya yang 
masih basah kini berubah merah bagaikan me-
mancarkan api. Rupanya dalam keadaan sedih ia

tetap waspada. Pendengarannya yang sangat ta-
jam menangkap suara mendesis-desis di atas po-
hon. Sewaktu ia mengangkat wajah, tampaklah 
olehnya seekor ular belang-belang sebesar paha 
orang dewasa melingkar di dahan pohon, semen-
tara mulutnya terbuka, siap mematuk mangsa 
yang lewat di bawah.
"Kebetulan aku sudah lapar sekali. Sejak 
tadi perutku keroncongan," ujarnya setengah ber-
gumam. Secepat kilat wanita itu meloncat. Seber-
kas cahaya menghantam leher ular itu, hingga pu-
tus seketika oleh pedang di tangan wanita itu.
Wanita itu kemudian menarik tubuh ular 
yang panjangnya lebih sepuluh meter. Dipotong-
nya tubuh ular itu menjadi tiga bagian sambil tak 
henti-hentinya terkekeh-kekeh.
"He-he-he...! Makan besar aku hari ini. Ku-
potong menjadi tiga. Yang paling besar ini buat 
kau, kakang. Yang tengah untukku dan ekornya 
buat anak kita."
Lalu dilahapnya daging ular mentah itu. 
Darah segar menetes dari mulutnya. "Enak.... 
enak sekali. Puas, puas rasanya sekarang. Ka-
kang, lihat tetangga kita juga merasakannya..."
Malam harinya, wanita itu menanggalkan 
semua pakaian yang melekat di tubuhnya, lalu 
duduk bersila di tengah-tengah air terjun yang de-
ras dan penuh gemuruh itu. Tak terlihat bahwa 
wanita itu terganggu oleh derasnya air terjun yang 
menimpa tubuhnya. Ia juga tak merasa kedingi-
nan sedikit pun juga. Suatu pertanda betapa he-
batnya tenaga dalam wanita itu.
Siapakah sebenarnya wanita itu? Tak ada 
yang mengetahuinya. Sebab jangankan menjen-
guknya ke hutan angker itu, membicarakan hutan 
itu saja orang sudah pada takut. Orang mungkin

per nah mendengar suaranya jika kebetulan agak 
dekat ke hutan itu. Tetapi orang yang mendengar-
nya tentulah menjadi ketakutan karena mengira 
suara itu adalah suara para dedemit.
"He he he… Makan besar aku hari ini. Kupo-
tong menjadi tiga... Yang paling besar ini buat kau. 
Yang tengah untukku, dan ekornya buat anak kita."

Suatu malam ketika rembulan sedang ber-
sinar dengan terangnya. Angin bertiup sepoi-sepoi. 
Dedaunan bergoyang-goyang berkilau-kilau ditim-
pa sinar rembulan. Suasana sangat sepi, karena 
penduduk sudah tidur lelap di bawah selimut. 
Hanya beberapa orang saja penjaga di sekitar ru-
mah Gembong Wungu masih berjaga-jaga.
Tetapi tanpa sepengetahuan para penjaga 
itu, wanita penghuni hutan angker telah menyeli-
nap masuk ke halaman rumah. Dengan gerakan 
ringan bagaikan kapas, wanita itu meloncat ke 
atas genteng. Ia melangkah sambil mengendap-
endap lalu mengintip ke bawah.
Sebentar kemudian, wanita itu melayang 
turun ke halaman rumah. Seorang penjaga yang 
berdiri terkantuk-kantuk di dekat jendela kamar 
Ranti masih belum menyadari kehadiran orang as-
ing di tempat itu.
Tanpa menimbulkan suara mencurigakan, 
wanita itu menghantam tengkuk penjaga hingga 
roboh seketika. Suara jerit tertahan yang keluar 
dari mulutnya rupanya sempat menarik perhatian 
penjaga lainnya. Namun penjaga yang satu itu pun 
tak luput dari sasaran hantaman wanita misterius 
itu.
Suara berisik itu rupanya tak luput dari 
perhatian Ranti. Sebagai pendekar yang sejak kecil 
telah digembleng untuk selalu waspada, ia segera 
terbangun dari tidurnya. Dengan gerakan yang 
sangat ringan dan cepat, ia meloncat ke luar dari 
jendela.
Persis ketika ia menginjakkan kakinya di 
tanah, sesosok tubuh penjaga yang dilemparkan 
meluncur ke arahnya. Ranti terpaksa membuang 
diri ke samping hingga tidak terjadi tabrakan. Ke-
tika ia berdiri kembali, maka tampaklah olehnya

seorang wanita berdiri tegak sambil menghunus 
sebilah pedang di hadapannya.
"Heh, siapa kau? Saya akan menghajarmu, 
berani datang ke mari membikin keonaran. Se-
butkan namamu!" bentak Ranti geram.
Wanita asing itu tiba-tiba tersenyum. Di 
bawah sinar rembulan terlihat senyumnya itu be-
gitu lembut dan penuh kasih sayang, tidak sinis. 
Beberapa saat, Ranti merasa terpukau melihatnya. 
Dadanya berdebar tidak karuan, entah karena 
apa.
"Oh, Ranti. Ranti, kau sudah besar, cantik 
jelita dan gagah perkasa."
Alangkah terkejutnya Ranti mendengar 
orang itu menyebut namanya dengan sikap yang 
sangat akrab dan lembut, seolah-olah sebelumnya 
sudah kenal padanya.
"Kau tahu namaku? Siapa kau sebenar-
nya? Apa maksudmu datang ke sini dan membu-
nuh orang-orangku?"
"He-he-he.....! Mereka yang lebih dulu me-
nyerangku, anak manis. Aku datang ke mari un-
tuk mencari Gembong Wungu, Di mana dia?"
"Oh, jadi kau ingin menghadapi ayahku? 
Kalau begitu hadapilah aku lebih dulu!" bentak 
Ranti sambil menghunus pedangnya.
Namun tiba-tiba, Kosim pembantunya yang 
sangat setia datang ke tempat itu. Dengan sangat 
terburu-buru dan agak gugup, pelayan tua itu 
menarik tangan Ranti.
"Aduh, tobat. Tunggu dulu, den. Sabar, 
den. Sabar." Kosim kemudian duduk bersimpuh 
sambil memeluk kedua kaki Ranti. Ranti terkejut, 
karena tak biasanya pelayannya yang setia itu 
bersikap demikian.
"Heh, Pak Kosim. Apa artinya semua ini?

Kenapa sikapmu jadi begini?"
"Ampun, Den. Jangan, jangan hadapi dia. 
Aku... oh, lebih baik bunuh saja aku lebih dulu. 
Tolonglah, simpan pedang itu kembali. Ampun, 
Den. Ya, Allah...."
"Apa maksudmu, Pak Kosim? Mengapa se-
mua ini bisa terjadi? Aku sungguh tak mengerti."
Tiba-tiba wanita itu tertawa cekikikan 
sambil menatap Ranti dan Kosim bergantian den-
gan tatapan aneh.
"Baiklah anak manis. Aku pergi dulu. Ka-
takan kepada Gembong Wungu aku ingin bertemu 
dengannya kapan saja ia mau...."
Sebelum Ranti dapat menguasai kebingun-
gannya, sosok tubuh wanita itu melesat seperti 
seekor burung walet terbang ke pohon.
"Katakan kepada Gembong Wungu, aku se-
lalu menantinya di Cadas Kuriling..." kata wanita 
itu sambil berlalu. Tubuhnya hilang di balik pepo-
honan.
Ranti tertegun beberapa saat. Perasaannya 
semakin tak menentu dan otaknya pun penuh 
tanda tanya. Dan sinar mata wanita tua itu, kena-
pa membuat dadanya berdebar tak karuan?
"Pak Kosim," kata Ranti kemudian, "Men-
gapa wanita itu mencari ayahku? Dia bahkan me-
nantangnya untuk bertarung di Cadas Kuriling. 
Siapakah dia, Pak Kosim? Tampaknya kau menge-
nalnya. Katakanlah padaku."
"Saya... saya tidak tahu, Den. Sungguh 
saya tidak tahu. Aku hanya khawatir tadi terhadap 
keselamatan aden, karena ayah aden tidak ada di 
rumah," kata Kosim gugup.
"Kau jangan bohong, Pak Kosim."
"Ah, buat apa saya berbohong, Den? Saya 
sungguh tak mengenalnya. Permisi, Den. Saya harus bekerja sekarang." Lelaki itu segera berlalu da-
ri hadapan Ranti.
Ribut-ribut kecil seperti yang terjadi malam 
itu sebenarnya adalah hal biasa bagi penduduk 
desa Perbutulan. Dan biasanya kalau hal seperti 
itu terjadi dengan cepat dilupakan orang. Tetapi 
kejadian malam itu, diam-diam menarik perhatian 
petani tua di mana Parmin bekerja.
Malam itu, ketika keduanya makan bersa-
ma-sama, petani tua itu membicarakan kedatan-
gan wanita asing tersebut.
"Parmin, orang-orang di desa ini sebenar-
nya menyimpan suatu rahasia. Kau dengar keja-
dian malam itu? Tentu kau tahu, bukan? Ah, ka-
sihan si Kosim itu. Dia selalu dicekam ketakutan, 
sehingga tidak pernah berani menceritakan hal-
hal yang sebenarnya."
"Kosim yang mana maksud bapak?"
"Pelayan Ranti sejak kecil. Dia seorang 
lelaki yang sangat setia kepada juragannya."
"Rahasia apakah yang bapak maksud?"
"Nanti kau akan mengetahuinya" kata pe-
tani tua sambil menghela nafas panjang-panjang. 
Wajahnya tampak muram, seperti sedang memi-
kirkan sesuatu yang sangat rumit.
Adapun Ranti sendiri masih tetap penasa-
ran. Nalurinya mengatakan bahwa Kosim mengen-
al wanita asing itu. Kosim memang tidak menga-
kuinya, tetapi bisikan nalurinya tidak bohong. 
Apalagi sejak kejadian itu, Kosim tampak berubah, 
sering termenung sendiri dengan wajah muram.
"Pak Kosim, kaulah yang mengasuh aku 
sejak kecil. Kau selalu baik dan menyayangiku. 
Sekarang aku minta kau berterus terang padaku. 
Sejak kedatangan pendekar wanita itu, kau tam-
pak jadi berubah. Aku yakin kau pasti sedang menyembunyikan sesuatu. Katakanlah, siapa sebe-
narnya wanita itu?" kata Ranti pada hari berikut-
nya.
"Den Ranti, sudah kubilang aku tidak 
mengenalnya. Kenapa pula Den Ranti berangga-
pan seperti itu?"
"Firasatku berkata begitu, Pak Kosim. Te-
rus-terang saya sendiri merasa aneh melihat wani-
ta itu. Ketika dia tersenyum manis padaku, dada-
ku terasa berdebar tak karuan. Heran, tak bi-
asanya aku merasa begitu."
"Mungkin Den Ranti kurang sehat."
"Ah, tidak mungkin. Kau jangan mengada-
ada, Pak Kosim. Katakanlah sejujurnya apa yang 
kau ketahui. Aku mempercayaimu, Pak. Karena 
itu, kau juga harus mempercayaiku."
"Ah, Den Ranti..." keluh Kosim dengan sua-
ra serak dan hampir tak terdengar. Wajahnya se-
makin murung lagi. Teringat dia akan masa silam, 
suatu masa yang tak pernah lepas dari ingatan-
nya. Dan sejak masa itu hingga sekarang, Kosim 
menyimpan atau terpaksa memendam sebuah ra-
hasia. Sering dadanya hendak meledak, bibirnya 
ingin berteriak mengungkap tabir tersebut. Tetapi 
ada suatu pertimbangan baginya, yang membuat-
nya tak berani membeberkannya.
Tanpa terasa air mata lelaki tua itu me-
netes satu per satu membasahi wajahnya yang 
mulai keriputan. Sekarang, ia merasa diri seperti 
tak berarti karena selama ini tak berani mengung-
kapkan keadaan yang sebenarnya. Ia tak ingin 
bersikap seperti itu lagi terus-terusan. Ia tak ingin 
membiarkan Ranti hidup lama-lama di dalam ke-
gelapan.
Maka dia pun duduk bersimpuh di hada-
pan Ranti. Dicekalnya kedua lengan gadis itu dengan air mata makin deras membasahi pipi.
"Den Ranti, maafkan aku...."
"Jangan bersikap begitu, Pak Kosim. Jan-
gan menangis, aku jadi ikut sedih. Sekarang kata-
kanlah keadaan yang sebenarnya."
"Den Ranti, aku sebenarnya takut menga-
takannya..."
"Kenapa harus takut? Siapa yang kau ta-
kuti? Kau tak perlu takut. Aku akan melindungi-
mu. Katakanlah, Pak Kosim!"
"Beliau... beliau adalah ibu kandung Den 
Ranti sendiri..."
"Hah, ibuku? Betulkah itu, Pak Kosim? Ta-
pi ayahku mengatakan bahwa ibu meninggal keti-
ka aku berumur satu tahun," ujar Ranti terkejut 
bukan main.
"Benar, Den Ranti. Beliaulah ibu kandung 
Den Ranti sendiri. Beliau menghilang sekitar lima 
belas tahun yang lalu..."
"Saya tak mengerti. Bagaimana semua ini 
bisa terjadi?"
"Baiklah, Ranti. Aku akan menceritakan 
semuanya. Tetapi sebelumnya aku minta maaf, 
karena semua ini mungkin sangat mengejutkan 
Den Ranti. Saya sudah mengikuti ayah dan ibumu 
sejak aden belum lahir. Ayahmu bukanlah seorang 
perampok, melainkan seorang guru silat yang arif 
bijaksana. Sedangkan Gembong Wungu sendiri 
bukan..."
Tiba-tiba tiga kilatan cahaya keputih-
putihan meluncur dari balik dinding. Kilatan itu 
adalah tiga senjata rahasia berupa pisau kecil. 
Tanpa sempat mengelak, tubuh Kosim pada ba-
gian punggungnya tertancap pisau-pisau tersebut.
Tiba-tiba tiga kilatan cahaya keputih-
putihan meluncur dari balik dinding. Kilatan itu 
adalah tiga senjata rahasia berupa pisau kecil 
Tanpa sempat mengelak, tubuh Kosim pada bagian 
punggungnya tertancap pisau-pisau tersebut.

"Akh..." jerit lelaki tua itu. Bersamaan den-
gan itu, tubuhnya ambruk. Darah segar memba-
sahi sekujur tubuhnya. Beberapa saat kemudian, 
di situ telah muncul Gembong Wungu. Raja ram-
pok itu berdiri sambil menatap tubuh Kosim den-
gan mata merah.
"Ayah!?" seru Ranti terkejut, "Kenapa kau 
membunuhnya? Apa salahnya? Oh, kau sungguh 
kejam, ayah!"
"Diam! Penghasut itu harus lenyap dari 
muka bumi ini. Aku dengar semua omongannya. 
Aku tak segan-segan mencopot batang leher setiap 
Penghasut yang ada di desa ini."
"Jika demikian berarti Kosim benar. Kau 
telah berbohong. Katakan siapa ibuku!" kata Ranti 
setelah berteriak. Dan sambil berkata begitu, ia 
menatap ayahnya dengan sinar mata merah ba-
gaikan memancarkan api. Seolah-olah ia hendak 
menelan Gembong Wungu hidup-hidup.
"Heh, anak manis. Sejak kapan kau berani 
menatap aku seperti itu, heh?"
"Aku tak percaya lagi padamu. Ayo, men-
gakulah sekarang juga."
Gembong Wungu marah bukan main men-
dengar ucapan Ranti. Wajahnya merah padam. 
Bahkan sekujur tubuhnya gemetar menahan gejo-
lak emosi. Tetapi ia tak ingin menyakiti Ranti. Ia 
tak mau melampiaskan kekesalannya kepada ga-
dis manis itu.
Sambil berteriak nyaring, lelaki bermata 
satu itu menghunus goloknya. Ia lalu meloncat 
tinggi kemudian membabat tiang-tiang kandang 
ayam.
"Akan kulenyapkan orang-orang yang men-
coba mengusik kehidupan kita. Ciaaat....!" Gem-
bong Wungu membabat dan menendang kandang

ayam. Demikian marah dan kesalnya jagoan itu, 
sehingga dalam sekejap saja, kandang ternak itu 
telah ambruk.
"Siapa yang mau membalas dendam kepa-
daku? Ayo, siapa? Gembong Wungu tidak gentar 
sedikit pun juga. Aku adalah raja di seputar lereng 
Ciremai. Siapa berani menantangku, berarti maut 
akan menjemputnya!"
Setelah itu, Gembong Wungu menghampiri 
Ranti yang sedang tersedu-sedu meratapi nasib 
malang yang menimpa Kosim. Lelaki tua itu sela-
ma ini selalu menyayanginya. Selalu memperhati-
kan dan mengurus segala keperluannya. Se-
mua kebaikan Kosim, tak mungkin hapus begitu 
saja dari hati sanubari Ranti. Lelaki itu sudah ba-
gaikan orang tua sendiri bagi Ranti. Tidaklah 
mengherankan, jika ia sangat terpukul melihat 
kenyataan lelaki yang disayanginya itu sudah ter-
geletak tanpa nyawa.
"Ranti, kau tak perlu meratapi bangkai 
anjing penghasut itu. Tinggalkan dia, cepat!"
Ranti tak menyahut, Ia tetap menangis se-
sunggukan di depan tubuh pelayannya yang setia 
itu. Ia benar-benar merasa sangat kehilangan. Dan 
entah mengapa, tiba-tiba saja timbul rasa benci 
terhadap lelaki yang selama ini menjadi ayahnya.
Melihat Ranti tidak mau beranjak, Gem-
bong Wungu semakin kesal lalu secepatnya me-
ninggalkan tempat itu. Di depan kandang ayam itu 
kini berdiri dua lelaki lain, menatap Ranti dan je-
nazah Kosim dengan tatapan penuh keprihatinan.
"Innalillahi! Iblis itu tak segan-segan mem-
bunuh. Kasihan si Kosim. Yah, semua orang di de-
sa ini tak berani membuka rahasia karena nasib 
seperti inilah yang akan menimpa mereka," ujar le-
laki tua yang kini sedang berdiri bersama Parmin.

Ranti agak terkejut juga mendengar uca-
pan petani tua itu. Dengan airmata masih berurai 
membasahi pipi, ditatapnya kedua lelaki itu. Lalu 
dengan suara parau, gadis itu berkata: "Apakah 
kalian juga mengetahui rahasia tentang diriku? 
Benarkah aku bukan anak Gembong Wungu? Ka-
lau memang benar, siapa ibuku, siapa ayahku?"
"Ranti, Tuhan maha Pengasih dan Pe-
nyayang. Sekarang duduklah dan tenangkan pera-
saanmu. Hapus airmatamu, jangan menangis lagi. 
Kita doakan saja semoga arwah Kosim diterima di 
sisi Tuhan yang Maha Esa," kata petani tua itu 
dengan sikap lembut.
Dan setelah Ranti duduk dengan sikap 
yang lebih tenang, petani tua itu melanjutkan, 
"Ranti, ayahmu yang sebenarnya adalah Gagak Ci-
remai. Ia gugur di ujung pedang Gembong Wungu 
dalam pertarungan di lembah Cadas Kuriling lima 
belas tahun silam."
"Jadi....?"
"Aku bersama kawanku yang mengubur-
kan jenazah ayahmu saat itu. Sedangkan ibumu 
sendiri, sejak saat itu menghilang entah ke mana. 
Kemudian kau dipungut anak oleh Gembong 
Wungu, selanjutnya menggantikan kedudukan 
ayahmu. Sayang si Kosim sudah lebih dulu meng-
hadap Tuhan hingga tidak bisa bercerita tentang 
semua peristiwa itu."
"Aku adalah salah seorang pengikut ayah-
mu yang masih mau bertahan di desa terkutuk ini. 
Karena aku yakin dan ingin menyaksikan bahwa 
suatu saat kezaliman ini akan berakhir."
Oh, benarkah itu? Benarkah? Hati Ranti 
bertanya-tanya dan berkecamuk hebat. Samar-
samar terlintaslah bayang-bayang lima belas ta-
hun lalu. Ia melihat dirinya masih kecil, berusia

satu tahun. Ia digendong seorang wanita dan seo-
rang laki-laki. Itukah gerangan ayah dan ibunya? 
Tetapi bayangan itu sangat samar-samar dan tim-
bul tenggelam di dalam benaknya.
Tetapi sepertinya bayangan wanita itu 
mempunyai persamaan dengan wajah pendekar 
wanita berambut awut-awutan yang beberapa ma-
lam lalu membunuh penjaga. Dan kalau memang 
benar bayangannya itu tidak meleset, pastilah ada 
hubungannya dengan pendekar wanita itu. Siapa-
kah dia sebenarnya? Apakah itu adalah ibunya 
yang dikabarkan menghilang lima belas tahun la-
lu?
Secara tiba-tiba, Ranti bangkit dari duduk-
nya dan tubuhnya melesat cepat ke arah rumah-
nya. Sambil berteriak histeris, ia menendang pintu 
hingga terpental. Seorang pelayan wanita di rumah 
itu menjadi terkejut, lalu sujud gemetar di hada-
pan Ranti.
"Mana majikanmu Gembong Wungu, hah? 
Mana dia? Ayo, jawab!"
"Oh, bibi tidak tahu, Den Ranti. Sungguh, 
bibi tidak tahu kemana juragan pergi..."
Ranti mendengus kesal. Ia lalu berlari-lari 
seperti orang kesetanan. Wajah dara jelita itu me-
rah padam, matanya bagai memancarkan api.
Setibanya di gerbang desa, Ranti dihadang 
para penjaga. Namun dengan kasar, Ranti mem-
bentak.
"Buka pintunya, cepat! Katakan padaku ke 
mana Gembong Wungu pergi!"
"Maaf, den Ranti. Ayahmu memerintahkan 
kami untuk melarang Aden keluar dari lingkungan 
desa ini," kata penjaga.
"Apa? Ayahku katamu? Gembong Wungu 
itu bukan ayahku. Cepat buka pintunya, atau

nyawa kalian akan melayang di ujung pedangku!"
"Maaf, Den Ranti. Kami hanya menjalankan 
perintah. Kawan-kawan kepung dia. Jangan sam-
pai keluar dari desa ini."
"Bagus kalau begitu. Jangan salahkan jika 
aku terpaksa menurunkan tangan kejam."
"Tangkap dia!"
Dengan serempak, para penjaga gerbang 
menerkam tubuh Ranti. Melihat itu, Ranti terse-
nyum sinis. Ia sengaja tidak segera mengelak seo-
lah-olah membiarkan dirinya ditangkap. Namun 
ketika tangan para lelaki itu menyentuh tubuh-
nya, Ranti meloncat tinggi.
"Trok....!" Kepala para penjaga itu saling 
beradu dengan kerasnya. Sambil menjerit kesaki-
tan, tubuh para penjaga itu terlempar dan bergu-
lingan di atas tanah.
Kesempatan itu digunakan Ranti melo-
loskan diri. Sambil mengerahkan ilmu meringan-
kan tubuh, ia meloncat tinggi ke atas pintu ger-
bang. Hanya beberapa detik kemudian, tubuhnya 
telah melesat cepat meninggalkan desa.
Sambil berlari-lari, gadis itu teringat pesan 
pendekar wanita yang menyatakan ingin bertemu 
Gembong Wungu setiap saat di lembah Cadas Ku-
riling. Gembong Wungu yang sangat dibencinya itu 
sekarang pastilah berada di sana untuk memenuhi 
tantangan lawan.
Dugaan Ranti memang benar juga. Gem-
bong Wungu pergi ke Cadas Kuriling, bahkan kini 
sedang berhadap-hadapan dengan pendekar wani-
ta. Kedua pendekar itu kini siap mengadu nyawa. 
Pedang telah dihunus di tangan, kuda-kuda telah 
dipasang. Siap menyerang dan diserang.
"Hi-hi-hi...! Aku gembira karena kau ter-
nyata mau memenuhi tantanganku, bangsat keji.

Lima belas tahun yang lalu. suamiku kau roboh-
kan di sini. Sekarang aku datang untuk menagih 
janji, mencabut nyawamu, bangsat tengik!" seru 
pendekar wanita itu.
"Kalau begitu susullah suamimu ke akhe-
rat, wanita iblis. Aku Gembong Wungu takkan ter-
geser dari muka bumi ini!"

"Tutup mulutmu, bangsat! Hiyaaat...!" Wanita itu 
berteriak nyaring. Bersamaan dengan itu, tubuhnya 
mencelat ke arah Gembong Wungu. Sementara 
ujung pedangnya membentuk sinar-sinar bagaikan 
kilat mengarah ke tubuh lawan.
"Tutup mulutmu, bangsat! Hiyaaaat.!" Wa-
nita itu berteriak nyaring. Bersamaan dengan itu, 
tubuhnya mencelat ke arah Gembong Wungu, se-
mentara ujung pedangnya membentuk sinar-sinar 
bagaikan kilat mengarah ke tubuh lawan.
Gembong Wungu segera memutar golok-
nya. Maka tampaklah sinar golok dan pedang ber-
gulung-gulung membentuk semacam tembok per-
tahanan yang sangat kokoh.
Pada jurus-jurus berikutnya, Gembong 
Wungu balas menyerang. Ia sangat geram seka-
rang ditantang seorang wanita yang menurutnya 
sinting. Ditambah lagi rasa kesalnya dari rumah 
lantaran kata-kata Ranti yang mengatakan tidak 
mau percaya lagi padanya.
Maka dalam menyerang, Gembong Wungu 
tidak mau tanggung-tanggung. Pendekar bermata 
satu itu mengeluarkan ilmu pedang andalannya 
"Grojogan Sewu". Jurus-jurus ilmu pedang ini 
sangat cepat dan mengandung tenaga dalam yang 
luar biasa, sehingga pendekar yang tingkat ilmu 
belum tinggi benar, tidak bisa menguasainya.
Demikian cepatnya gerakan pedang Gem-
bong Wungu, sehingga golok atau pedang pusaka 
di tangannya seolah-olah berubah jadi banyak se-
kali, mengincar tubuh lawan dari segala penjuru. 
Batu-batu beterbangan bercampur debu terkena 
hantaman tenaga dalam kedua jagoan itu.
Pendekar wanita itu terpaksa harus ber-
juang mati-matian menghindari serangan lawan.

Dengan ilmu meringankan tubuh yang hampir 
mencapai kesempurnaan, ia berkelit di sela-sela 
ujung senjata lawan. Diam-diam Gembong Wungu 
merasa kagum juga melihat kemampuan lawan 
menghadapi ilmu pedang "Grojogan Sewu" anda-
lannya.
Dahulu Gagak Ciremai sendiri dapat diro-
bohkannya tanpa mengeluarkan ilmu tertinggi 
yang dimilikinya itu. Jelaslah sudah bahwa kesak-
tian pendekar wanita itu lebih tinggi daripada su-
aminya.
Nafas Gembong Wungu menggeros-geros 
dan peluh bercucuran membasahi sekujur tubuh-
nya. Sejenak ia meloncat ke belakang untuk men-
gatur pernafasan dan mempersiapkan jurus baru.
"Ha-ha-ha..." Wanita pendekar itu tertawa 
mengejek, "Tidak percuma selama lima belas ta-
hun ini aku berlatih siang dan malam, di lembah 
dedemit. Tunjukkan kemampuanmu, Gembong Pi-
cak."
"Wanita sundal! Awas serangan....!" Dengan 
teriakan menggeledak menggetarkan tebing-tebing, 
Gembong Wungu kembali menyerang. Kali ini ia 
mengeluarkan jurus inti ilmu pedang Grojogan 
Sewu, yakni jurus "Dewa Bayu Nitis".
Jurus itu boleh dikatakan tidak lumrah di-
kuasai manusia. Karena selain sangat cepat hing-
ga yang tampak hanya bayangan, juga karena 
mempunyai perkembangan yang sangat tak terdu-
ga sekaligus amat berbahaya.
Selama melalangbuana di dunia persilatan, 
pendekar mata satu hampir tak pernah mengelua-
rkan jurus itu. Atau kalaupun terpaksa mengelua-
rkannya, lawan pastilah tidak akan bisa menyela-
matkan diri.
Gembong Wungu meloncat tinggi ke udara.

Tangan kirinya dibuka mengeluarkan pukulan ja-
rak jauh. Hawa panas yang teramat dahsyat me-
nyambar ke arah tubuh lawan. Kaki kiri Gembong 
Wungu dilipat siap menendang ke arah ulu hati 
pendekar wanita itu, sedangkan pedangnya diang-
kat tinggi siap untuk menikam atau membabat.
Semakin terkejutlah istri almarhum Gagak 
Ciremai menghadapi serangan lawan yang teramat 
dahsyat dan mematikan itu. Secepat kilat ia men-
gelak ke kanan, menghindari pukulan jarak jauh 
lawan. Namun pada saat bersamaan, kaki kiri 
Gembong Wungu menendang dengan tenaga luar 
biasa ke arah ulu hati lawan.
Dalam keadaan terdesak, pendekar wanita 
itu masih sempat berkelit ke sebelah kanan. Maka 
luputlah tendangan Gembong Wungu yang men-
gandung maut itu. Namun saat itu juga, pedang 
pusaka pendekar bermata satu itu menghujam ke 
arah perut lawan.
Crob! Dengan sangat telaknya, pedang itu 
merobek kulit perut pendekar wanita.
Disertai jerit panjang yang sangat memilu-
kan, tubuh pendekar wanita itu ambruk ke bumi. 
Darah segar memancar deras dari luka menganga 
itu. Sejenak, tubuh itu menggelepar-gelepar bagai-
kan ayam disembelih. Lalu kemudian diam, tak 
bergerak-gerak lagi.
"Mampus kau wanita iblis...!" kata Gem-
bong Wungu sambil menyarungkan pedangnya 
yang masih berlepotan darah. Setelah itu, ia men-
gempos tenaga, melesat bagai anak panah me-
ninggalkan tempat itu.
Hanya beberapa detik kemudian, Ranti tiba 
di lembah Cadas Kuriling. Dadanya berdegup ken-
cang, dan matanya nanar melihat tetesan darah di 
sekitar tempat itu.

"Ibu....!" Gadis itu berteriak sambil berlari 
menghampiri tubuh yang sedang terkapar berlu-
muran darah itu. Didekapnya tubuh itu erat-erat 
dan diciuminya, hingga darah wanita itu pun 
membasahi pakaian Ranti.
"Ibu...! Ibu, jangan tinggalkan aku. Tidak. 
Tidak, Bu. Jangan tinggalkan aku. Ibu..." jerit ga-
dis itu sekuat-kuat tenaga.
Dan Tuhan memang maha Pemurah. Tiba-
tiba wanita itu membuka kelopak mata. Tatkala ia 
menatap wajah Ranti, maka seulas senyum manis 
menghiasi bibirnya. Menandakan betapa ia sangat 
bahagia sekarang menyaksikan buah hatinya be-
rada di dekatnya.
"Ranti, anakku. Kau datang, Nak..." ujar 
wanita itu tersendat- sendat.
"Ibu, ibu... kau harus sembuh, Bu..." "Te-
nanglah, anakku. Dekatlah kemari, Nak. Ibu ingin 
mengusap wajah-mu... ibu ingin memelukmu. Se-
lama lima belas tahun itu memendam rasa men-
gekang rindu ingin membelaimu. Setiap malam ibu 
menengokmu tanpa sepengetahuan Gembong 
Wungu. Tapi selama itu pula kasih ibu tak sam-
pai. Ibu tak berdaya, anakku..."
"Kuatkan hatimu, Bu. Maafkan anakmu 
yang tak tahu diri ini."
"Jangan berkata begitu, anakku. Semua ini 
sudah takdir. Manusia telah mempunyai garis ko-
drat hidup masing-masing. Tapi sekarang ibu san-
gat bahagia, di saat-saat terakhir ini kau datang. 
Ibu bahagia karena membela almarhum ayahmu, 
walaupun dendam pati ayahmu belum terbalas. 
Itu sudah kewajibanku, anakku..."
Sejenak wanita itu berhenti, seolah-olah 
sedang mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Sete-
lah itu, ia melanjutkan dengan suara tersendat

sendat dan hampir tak terdengar.
"Ranti, anakku. Maafkan ibumu, sayangku. 
Rasanya waktu ibu telah tiba. Ibu akan menyusul 
ayahmu. Pesanku... janganlah kau bermaksud 
membalaskan dendam, karena kutahu engkau 
bukanlah tandingan raja rampok itu. Cukuplah 
kau gunakan kepandaianmu itu untuk perikema-
nusiaan dan kebajikan. Biarlah Tuhan yang kelak 
menjatuhkan hukuman kepada bajingan itu. Ran-
ti, selamat tinggal anakku..."
Seusai mengucapkan kata-kata itu, kepala 
wanita itu terkulai. Detak jantungnya terhenti, di-
am dan mati. Ia telah menghembuskan nafas te-
rakhir, hilang bersama angin yang berhembus se-
poi-sepoi. Ia telah pergi untuk selama-lamanya 
tanpa pernah kembali.
"Ibu...!" Ranti kembali menjerit histeris di 
atas jenazah ibunya. Tak terkatakan betapa han-
curnya perasaan gadis itu sekarang. Baru bertemu 
dengan ibunya sudah langsung berpisah. Sungguh 
sangat menyakitkan karena pertemuan itu ternya-
ta juga sekaligus perpisahan. Maka patahlah sega-
la harapan yang ada dalam hati Ranti. Pupus gai-
rah hidupnya. Dan mataharinya pun telah tengge-
lam, dan ia hanya bisa meratapinya.
Ketika Ranti meratapi jenazah ibunya, seo-
rang lelaki melangkah sambil menunduk. Wajah-
nya muram, karena sangat terharu menyaksikan 
tragedi berdarah yang menimpa keluarga Ranti.
Pemuda yang tak lain tak bukan adalah 
Parmin itu berusaha menghibur Ranti. Dibelai-
belainya rambut gadis itu, dihapusnya airmata 
yang membasahi pipi Ranti dengan penuh persa-
habatan.
"Jangan menangis lagi, Ranti. Semua ini 
sudah takdir. Berdoalah agar arwah ibumu tenang

di peristirahatannya yang terakhir."
Menjelang senja, Parmin menguburkan je-
nazah ibu Ranti. Ranti belum juga mau berhenti 
menangis. Ia memeluk tanah merah itu dan me-
raung-raung hingga suaranya semakin parau.
"Sudahlah, Ranti. Jangan terlalu sedih. Toh 
semuanya sudah terjadi... Ayo, sebaiknya kita se-
gera pulang."
"Tidak! Aku tidak mau pulang. Aku akan 
membalaskan kematian ibu dan ayahku. Aku tak 
takut pada Gembong Wungu. Akan kutebas ba-
tang lehernya dan kuminum darahnya!"
"Jangan, nona Ranti..." kata Parmin sambil 
menarik tangan gadis itu.
"Jangan halangi aku. Aku harus membu-
nuh bajingan itu sekarang juga."
"Tenang, nona Ranti. Apakah kau telah lu-
pa akan pesan ibumu? Pesan ibumu itu harus kau 
patuhi. Dan ketahuilah, pembelaanmu nanti pasti 
sia-sia. Gembong Wungu adalah jagoan silat yang 
sangat jarang tandingannya."
"Aku sudah hidup sebatangkara. Apa gu-
nanya hidup lagi?"
"Jangan putus asa, nona! Di dunia ini ba-
nyak sekali orang hidup sebatangkara. Bahkan 
banyak yang lebih sengsara darimu. Percayalah! 
Pembalasan akan segera datang, walaupun bukan 
dengan perantaraan tangan nona."
"Bajingan si Gembong Wungu. Bedebah...!" 
Saking kesalnya, Ranti menancapkan pedangnya 
ke batu karang sekuat tenaga sehingga amblas 
sampai ke hulu.
Tiba-tiba terdengar gelak tawa, menggele-
gar dan sambung-menyambung di atas tebing. 
Parmin dan Ranti terkejut, lalu serempak memu-
tar tubuh, menatap ke arah asal suara itu.

Di atas tebing tampak oleh mereka sejum-
lah lelaki, mungkin lebih dari tujuh orang. Para le-
laki itu rata-rata bertampang seram. Semuanya 
bersenjatakan golok dan pedang. Melihat tingkah 
laku dan ciri-ciri mereka, maka tahulah Parmin 
bahwa kelompok orang itu adalah anak buah 
Gembong Wungu.
Salah seorang di antaranya, yang agaknya 
merupakan pemimpin komplotan itu menatap 
Parmin dengan sinar mata mencorong tajam dan 
terasa sangat sinis. Sambil menuding Parmin den-
gan pedang di tangan kirinya, pria itu berkata: 
"Hei, santri! Jangan coba-coba mempengaruhi 
Ranti untuk balas dendam pada Gembong Wungu. 
Bagaimana pun juga, selama ini Gembong Wungu 
telah merawat, mendidik dan membesarkan Ranti 
dengan penuh kasih sayang sebagai ayah."
Setelah berkata begitu, lelaki itu memberi 
isyarat melalui gerakan tangan kanan dan kepa-
lanya. Maka berloncatanlah sekitar tujuh lelaki 
dari balik tebing dan langsung mengepung Parmin 
dan Ranti.
"Hei, kau! Kedatanganmu ke desa ini hanya 
membuat kekacauan. Selama ini desa kami aman 
tenteram, tak pernah terjadi keributan seperti ini. 
Dengan kepintaranmu bersilat lidah, kau membu-
juk-bujuk orang. Karena pergaulanmulah ma-
kanya Ranti akhir-akhir ini jadi berubah. Den 
Ranti jadi bandel, bahkan telah berani menentang 
ayahnya."
"Apakah kau tidak salah bicara, saha-
bat?" ujar Parmin tenang.
"Diam kau, bedebah! Orang-orang sema-
cam kau dan petani tua itu harus lenyap dari desa 
ini. Kalian tidak boleh lagi hidup di desa ini, kare-
na kalian hanya menghasut orang-orang saja. Kalian akan menjadi perintang yang semakin lama 
semakin kuat karena kepintaran kalian membu-
juk-bujuk orang."
Setelah berkata demikian, lelaki berkumis 
tebal itu berpaling kepada teman-temannya yang 
sebagian lagi masih berada di balik tebing.
"Hai, kawan-kawan. Seret ke mari keledai 
tua itu. Hari ini akan kita bikin pesta perkedel!"
Dari balik bebatuan, keluarlah beberapa 
orang laki-laki sambil menyeret petani tua tempat 
Parmin bekerja. Kakinya diikat begitu juga kedua 
tangannya diikat ke belakang. Dari kedua tangan 
itu kemudian diulur tali untuk menyeret tubuh le-
laki tua bernasib malang itu, dengan posisi mene-
lungkup.
Terdengar suara tulang berdetak-detak 
akibat tubuh yang beradu dengan batu-batu di 
atas tanah. Baju dan celana petani tua itu sobek 
dan kulit tubuhnya terkelupas hingga menge-
luarkan darah.
"Pak...?" seru Parmin terkejut.
"Ha-ha-ha...! Lihat, si tua bangka yang ke-
ras kepala ini. Ia berlagak sebagai pahlawan kebe-
naran. Sekarang rasakan betapa enaknya diseret 
seperti gedebog pisang..."
Melihat perlakuan yang tidak berperikema-
nusiaan itu, tubuh Parmin menggigil, darahnya 
pun mendidih hingga ke ubun-ubun, menahan 
amarah melihat kekejian anak buah Gembong 
Wungu. Bagaimana pun juga, petani tua itu telah 
berjasa padanya, dan selama ini selalu bersikap 
baik. Sekalipun mereka baru kenal, petani itu seo-
lah- olah telah merupakan saudara sendiri bagi 
Parmin.
"Ha-ha-ha keledai tua! Siapa yang akan 
menolongmu? Siapa? Kau akan segera mampus


sekarang. Tadi kau bilang Tuhan akan menolong-
mu dan melindungimu...."
"Ya, Tuhan selalu melindungiku..." kata pe-
tani tua itu tersendat-sendat.
"Bangsat, berani ngomong lagi!" bentak 
anak buah Gembong Wungu sambil menginjak 
dada petani tua itu.
"Mana pertolongan Tuhanmu? Mana? 
Omong kosong kau! Nyawamu sekarang berada di 
tanganku, bukan di tangan Tuhan seperti yang 
kau bilang. Akulah yang berkuasa sekarang atas 
nyawamu!"
Melihat perlakuan yang sudah sangat di 
luar batas itu ditambah lagi oleh ucapan yang 
sangat kurang ajar, maka habislah kesabaran 
Parmin. Ia merasa tak mungkin lagi diam. Ia harus 
segera bertindak. Maka dicabutnya sebuah golok 
yang disembunyikan di balik bajunya.
"Ciaaat...!" Pemuda itu berteriak nyaring, 
sambil meloncat tinggi ke arah anak buah Gem-
bong Wungu. Golok di tangannya ia putar cepat 
sekali membentuk sinar kemilau dan langsung 
mengincar dada lawan.
Bet!, bet!
"Augh...!" Tanpa sempat mengelak, dua 
anak buah Gembong Wungu terjungkal terkena 
sabetan pedang Parmin.
Kedua tubuh pria sejenak berkelojotan 
dengan darah menyembur dari luka menganga di 
bagian dada. Setelah itu, nyawa keduanya pun 
melayang.
"Hai, orang-orang murtad. Tindakan kalian 
sudah melewati batas. Bukalah mata kalian lebar-
lebar. Tuhan telah menolong orang tua itu dengan 
perantaraan tanganku."
"Jangan kira kami takut padamu, santri
tak tahu diri. Bersiaplah untuk mampus!" Anak 
buah Gembong Wungu menyerang Parmin dari se-
gala penjuru. Pedang di tangan mereka berkeleba-
tan mengincar tubuh lawan. Namun dengan san-
gat tenangnya, Parmin mengelak kemudian balas 
menyerang dengan jurus-jurus mautnya.
Ternyata, Parmin bukanlah tandingan para 
anak buah Gembong Wungu. Hanya dalam bebe-
rapa gebrakan saja, Parmin dapat menumbangkan 
lawan-lawannya, hingga yang masih hidup tinggal 
seorang saja.
"Aku sengaja membiarkan kau hidup un-
tuk memberimu kesempatan bertobat. Sekarang 
enyahlah dari sini. Dan jangan lupa, beritahukan 
kepada Gembong Wungu bahwa aku menung-
gunya di hutan Plangon!"
Dengan tubuh gemetaran, lelaki itu berlari 
meninggalkan tempat itu. Ranti segera berlari 
menghampiri Parmin. Dicekalnya lengan pemuda 
itu, lalu berkata dengan agak terburu-buru: "Oh, 
jadi kau menantang Gembong Wungu? Aku sangat 
senang mendengarnya. Kau pasti menang! Kau 
hebat, Parmin! Kau mau membalas dendam atas 
kematian ayah dan ibuku, bukan?"
"Nona Ranti," ujar Parmin sambil terse-
nyum bijaksana, "Aku bukan mau membela atas 
kepentingan seseorang. Aku berjuang atas nama 
kebenaran, keadilan, perikemanusiaan dan ketu-
hanan."
"Jadi....?"
"Sudahlah. Sekarang kita harus merawat 
orangtua itu. Tentunya kau mengetahui jenis 
daun-daunan untuk obat lukanya. Aku minta kau 
mau mengambilnya. Sementara itu, aku akan me-
nolong pernafasannya agar ia sadar kembali.
"Baiklah, Parmin. Tapi kupikir, kita harus

mengungsikannya ke desa lain. Karena tidak mus-
tahil Gembong Wungu telah memasang jebakan 
untuk kita." 
"Baiklah kalau begitu."
Kedua pendekar muda usia itu segera 
mengangkat tubuh petani tua ke desa lain. Di 
tempat itu, mereka menumpang di rumah seorang 
petani untuk merawat luka-luka yang diderita pria 
tua bernasib malang itu.
Kejadian tersebut benar-benar telah men-
gubah pikiran Parmin. Karena sebenarnya, pemu-
da itu sedang dalam perjalanan jauh yang sangat 
penting. Dan kehadirannya di desa Perbutulan pa-
da waktu itu hanya karena kebetulan saja. Pende-
kar itu kehabisan bekal sehingga terpaksa me-
nunda perjalanan dengan maksud mencari upah 
kepada petani di desa itu.
Akan tetapi sekarang, melihat sepak ter-
jang Gembong Wungu dan anak buahnya, ia me-
rasa tak boleh tinggal diam lagi. Darah kependeka-
ran yang mengalir dalam tubuhnya segera bergejo-
lak, bahwa ia harus segera bertindak. Kesewe-
nang-wenangan itu harus segera dihentikan. Ka-
lau tidak, Gembong Wungu pasti akan semakin 
menjadi-jadi. Penduduk yang tadinya sudah ter-
siksa akan semakin tersiksa lagi,
Maka tanpa pikir panjang lagi, pendekar 
dari pantai utara itu segera memutuskan bahwa ia 
harus menantang Gembong Wungu. Biarpun seca-
ra diam-diam ia sendiri harus mengakui bahwa 
ilmu Gembong Wungu mungkin berada di atasnya. 
Atau kalaupun misalnya setingkat, ia masih kalah 
dalam hal pengalaman. Apalagi tokoh dunia hitam 
seperti Gembong Wungu, tentulah tidak akan se-
gan-segan berbuat licik demi hasratnya mele-
nyapkan orang-orang yang berani menentangnya.

Tapi sebagai pendekar yang gagah perkasa, Par-
min merasa tak punya alasan untuk mundur. Ia 
bahkan merasa lebih baik mati daripada harus 
bersikap pengecut.
Maka ketika matahari mulai condong ke 
arah barat, pemuda itu melangkah ke tepi hutan 
Plangon. Angin yang berhembus cukup kencang 
menyambutnya, seolah-olah mengatakan selamat 
datang wahai pendekar muda yang gagah perkasa.
Di sebuah dataran yang cukup luas, pen-
dekar dari pantai utara itu berdiri tegak menunggu 
lawan. Dari sekelilingnya terdengar suara monyet-
monyet, yang mungkin masih kenal kepadanya, la-
lu mengucapkan selamat bertemu kembali.
Parmin tidak terlalu lama menunggu, se-
bab tak berapa lama berselang, muncullah Gem-
bong Wungu di tempat itu. Pendekar bermata satu 
itu berjalan tegak, bibirnya mengulum senyum si-
nis seolah-olah tidak memandang mata sebelah 
pun terhadap calon lawannya.
Sejenak ia menatap Parmin dengan mata 
tak berkedip dari bawah sampai ke atas, lalu tu-
run lagi. Ia lalu tertawa terbahak-bahak sambil 
berkata: "Rupanya kambing kacang semacam in-
ilah yang bermulut lebar mengembik-embik me-
nantang macan dari lereng Ciremai."
"Selamat datang, Gembong Wungu. Saya 
ucapkan terimakasih atas kejantananmu datang 
ke tempat ini."
"Ha-ha-ha... santri! Jangan kau kira kau 
dapat mempengaruhi anak buahku dengan segala 
ajaranmu itu. Apa sebenarnya yang mendorongmu 
berani berkaok-kaok dihadapanku? Apakah kau 
sudah bosan hidup? Sekarang sebutkanlah na-
mamu sebelum lehermu kubuntungi!"
"Namaku? Ah, tentunya kau sudah tahu,

Gembong Wungu. Namaku Parmin. Tapi orang-
orang sering menyebutku dengan nama Jaka 
Sembung...!"
"Oh, rupanya beginilah rupa pahlawan san-
tri dari Gunung Sembung itu. He-he-he... namaku 
tentu akan semakin termasyhur setelah mele-
nyapkan kau dari muka bumi ini."
Tak terkatakan betapa marahnya Parmin 
mendengar kata-kata Gembong Wungu. Pantaslah 
selama ini sangat banyak korban yang menemui 
ajal di ujung golok jagoan bermata satu itu. Ru-
panya Gembong Wungu adalah iblis berdarah din-
gin yang seolah-olah mempunyai prinsip, makin 
banyak membunuh adalah makin baik. Terutama 
jika yang dibunuh itu adalah pendekar yang su-
dah kesohor. Kebiadaban seperti ini harus dihen-
tikan, pikir Parmin geram.
"Dosamu sudah bertimbun-timbun, Gem-
bong Wungu. Kau selalu mengancam ketentera-
man dan kedamaian di daerah ini. Kau memper-
budak penduduk dan menjadikannya sebagai sapi 
perahan. Nyawa manusia tak kau hargai sedikit 
pun juga. Kau betul-betul biadab, kau menambah 
derita bangsa kita yang sedang terjajah. Orang 
semacam kau seharusnya tak perlu dilahirkan ke 
dunia ini!"
"Aku tak butuh kotbahmu, monyet sem-
bung!"
"Ingat, Gembong Wungu! Kezaliman pasti 
akan segera berakhir!"
"Tutup bacotmu, bedebah...!" Gembong 
Wungu tiba-tiba mengayunkan tangan kirinya. 
Maka tampaklah kilatan-kilatan cahaya menyam-
bar ke arah dada dan pusar Parmin. Dengan si-
kapnya yang sangat licik, pendekar bermata satu 
itu menyerang Parmin dengan senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil.
Untunglah pendekar yang dijuluki Jaka 
Sembung itu selalu waspada. Dengan gerakan 
yang sangat cepat, yang juga disertai teriakan 
nyaring, ia meloncat menghindari senjata rahasia 
lawan.
Namun begitu ia menginjakkan kakinya di 
tanah, sudah menyusul lagi serangan Gembong 
Wungu. Goloknya ia ayunkan membabat ke arah 
kedua kaki Parmin. Terpaksa pendekar muda usia 
itu meloncat lagi dan bergelantungan ke dahan 
pohon. Setelah itu ia melompat jatuh ke belakang, 
mempersiapkan diri menghadapi serangan Gem-
bong Wungu selanjutnya. Ia mencabut goloknya, 
lalu memasang kuda-kuda dari ilmu silat anda-
lannya.
"Kau pasti mampus di tanganku, Jaka 
Sembung..." teriak lelaki bermata satu itu geram. 
Ia kembali menyerang dengan ganas.
Diam-diam Parmin merasa terkejut juga 
menyaksikan betapa hebat dan dahsyatnya seran-
gan lawan. Jurus-jurus yang dikeluarkan gembong 
Wungu selalu mengandung maut dan mempunyai 
perkembangan yang sulit diterka. Nyatalah sudah, 
jagoan bermata satu itu mempelajari ilmu silat ke-
las tinggi secara sesat. Tak ada jurusnya yang ti-
dak ganas dan penuh tipu daya, sehingga kalau 
lawan lengah sedikit saja pastilah terjungkal atau 
tewas seketika.
Maka Parmin segera mengeluarkan jurus-
jurus yang sangat baik untuk bertahan. Gulungan 
sinar goloknya membentuk benteng pertahanan 
yang sangat kokoh bagaikan tembok batu karang. 
Dan sekali-kali sinar mata goloknya mencelat 
mengincar tubuh lawan dengan serangan yang ju-
ga berbahaya.

Pertempuran itu makin lama makin seru 
dan menegangkan. Jurus demi jurus berlalu begi-
tu cepat. Rumput-rumput laksana tercabut dari 
akar-akarnya dan daun-daunan rontok bergugu-
ran terkena sambaran tenaga dalam kedua jagoan 
yang sedang bertarung mengadu nyawa itu.
Sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat pu-
luh jurus berlalu dengan keadaan yang cukup be-
rimbang. Serangan golok Gembong Wungu tampak 
lebih cepat dan berbahaya, sebaliknya Parmin 
memiliki kelincahan gerak yang sedikit lebih un-
ggul dari lawan.
Memasuki jurus yang kelima puluh, Gem-
bong Wungu mengeluarkan jurus "Angin Beliung", 
yang merupakan puncak dari ilmu pedang anda-
lannya "Dewa Banyu Nitis".
Begitu menghadapi jurus maut itu, Parmin 
merasa sangat kewalahan. Nafasnya hampir putus 
karena harus melakukan jungkir balik beberapa 
kali di udara tanpa mendapat kesempatan men-
ginjak tanah.
Ketika serangan Gembong Wungu agak 
mengendur, Parmin meloncat jauh ke belakang, 
mengatur nafas mempersiapkan jurus baru.
"Ha-ha-ha...! Cuma sampai di sinikah ke-
pandaian pendekar yang diagung-agungkan rakyat 
Gunung Sembung? Kurasa si Subekti itu terlalu
mengobral julukan," kata Gembong Wungu menge-
jek.
Parmin tidak memperdulikan sindiran la-
wan. Ia mulai tenang kembali. Setelah konsentrasi 
sejenak, ia mulai mempersiapkan jurus ampuh 
dari ilmu silat "Gunung Sembung" yaitu jurus 
yang kesembilan puluh sembilan dengan sebutan 
jurus "Wahyu Taqwa". Guruku bilang jurus ini be-
lum pernah dilumpuhkan oleh cabang persilatan

mana pun di tanah Pasundan ini, pikir Parmin.
Disertai teriakan mengguntur, Parmin me-
nyerang Gembong Wungu. Tubuhnya melayang di 
udara, mempersiapkan serangan maut dari kedua 
tangan dan kakinya. Melihat serangan itu, terkejut 
juga Gembong Wungu, karena tak dapat dipungki-
ri lagi, serangan itu sangatlah berbahaya. ia men-
gelakkan tendangan kaki Parmin, kemudian men-
gerahkan segenap tenaga dalamnya menangkis 
sabetan senjata lawan.
"Trang....!" Kedua senjata itu beradu keras. 
Bunga-bunga api bertebaran, karena kerasnya 
pertemuan kedua senjata itu. Kedua tubuh pende-
kar itu sama-sama terdorong mundur beberapa 
meter pertanda tenaga dalam mereka cukup be-
rimbang.
Dan apa yang telah terjadi benar-benar 
mengejutkan kedua pendekar itu. Golok di tangan 
Parmin terpental jauh, sedangkan golok Gembong 
Wungu patah pada bagian ujungnya.
Hal itu membuat raja rampok itu sangat 
geram. Dengan raungan bagai harimau lapar, ia
menyerang Jaka Sembung dengan golok buntung-
nya.
"Kau akan segera mampus, monyet sia-
lan...!" bentaknya.
Tetapi tiba-tiba pedang di tangannya ter-
henti di tengah jalan dan ia berteriak kaget ketika 
seekor monyet menerkam lengannya. Dengan pe-
rasaan semakin geram, Gembong Wungu menya-
betkan senjatanya dan hewan kecil itu memekik. 
Tubuhnya melambung ke udara dalam keadaan 
terbelah dua.
Rupanya kejadian itu membuat monyet-
monyet lainnya menjadi marah. Bagaikan hujan 
yang turun dari langit, berpuluh-puluh bahkan

mungkin ratusan jumlahnya, monyet-monyet ber-
loncatan dari pepohonan menyerbu Gembong 
Wungu, dari segala penjuru.
Dalam beberapa gebrakan, pendekar ber-
mata satu itu memang bisa membunuh beberapa 
bahkan puluhan monyet yang menyerangnya. Na-
mun karena hewan itu sangat banyak, ia akhirnya 
kewalahan juga. Bahkan tak lama kemudian, ia 
benar-benar tak berdaya. Monyet-monyet itu 
menggigiti sekujur tubuhnya, bagaikan semut 
menggerogoti bangkai tikus.
"Aduh... tolong.... tolong...!" teriak Gem-
bong Wungu kesakitan. Tubuhnya menggelepar-
gelepar dan bergulingan ke sana kemari dengan 
tubuh penuh bekas gigitan dan cakaran monyet.
Karena sangat panik dan kesakitan, Gembong 
Wungu kemudian berlari-lari tak tentu arah kare-
na matanya yang tinggal satu itu juga sudah luka 
dicakar monyet. Ia terus berlari sambil melolong-
lolong menjauhi tempat itu.
Nasib naas rupanya telah tiba bagi jagoan 
sakti itu. Ia justru berlari ke arah jurang yang 
sangat dalam yang dasarnya penuh batu cadas 
runcing. Sambil menjerit panjang, tubuh Gembong 
Wungu terhempas dan melayang-layang ke dalam 
jurang, bersama monyet-monyet yang mengeru-
butinya.
Sambil menghela nafas dalam-dalam, Par-
min melangkah perlahan ke pinggir jurang. Ia 
mencoba melihat ke dasar jurang. Tetapi dia tidak 
bisa melihat apa-apa, karena dasar jurang itu ge-
lap. Tidak terdengar lagi suara jeritan Gembong 
Wungu. Tak terlihat lagi sepak terjangnya yang 
sangat ganas.
"Parmin..." tiba-tiba terdengar suara halus 
di belakangnya. Manakala Parmin menoleh ke belakang, tampaklah olehnya Ranti berdiri sambil 
menatapnya dengan airmata berlinang-linang.
"Parmin, terimakasih..." ujar gadis itu lirih.
"Bukan aku yang membunuhnya, nona 
Ranti. Dia terlalu hebat untuk kukalahkan. Aku 
hampir saja tewas di tangannya. Tuhanlah yang 
menghendaki kematiannya. Sayang, selama ini ia 
mempergunakan kehebatannya untuk memerangi 
bangsa sendiri. Dia menutup mata dari kenyataan 
bahwa bangsanya sangat menderita karena penja-
jah," kata Parmin sedih.
Ranti tidak menyahut. Air matanya makin 
deras membasahi wajahnya.
"Nona Ranti," kata Parmin lagi, "Semuanya 
telah berlalu. Bimbinglah sisa anak buah Gem-
bong Wungu ke jalan yang benar. Tanamkan ke 
dalam jiwa mereka tentang kesadaran bertanah 
air. Engkaulah pemimpin mereka di desa ini. Dan 
kau boleh minta nasehat kepada Pak Tani tua jika 
hendak memutuskan sesuatu."
"Kurasa aku tak mampu. Kaulah yang lebih 
pantas memegang kedudukan itu. Kau merupakan 
malaikat penolong bagi desa ini, bahkan di selu-
ruh lereng Ciremai ini."
"Perjalananku masih jauh, Ranti. Aku ha-
rus menghubungi pendekar di seluruh daerah se-
latan ini. Berjanjilah, Ranti. Kita saling bahu-
membahu mengusir penjajah dari bumi nusantara 
ini. Aku segera melanjutkan perjalanan setelah 
Pak Tani itu sembuh dari lukanya."
Malam itu terang bulan. Angin bertiup 
lembut mengusap bumi persada. Bintang-bintang 
bertaburan bagaikan zamrud mutu manikan. Ber-
tebaran di atas permadani biru lazuardi. Semua 
itu melambangkan perdamaian di desa Perbutu-
lan. Dan nun di sana, sayup-sayup terdengar alunan seruling dengan nada rindu.
Suara merdu seruling itu terhenti ketika 
Ranti muncul di hadapan Parmin si Jaka Sem-
bung.
"Jadikah kau berangkat besok?" tanya ga-
dis itu.
"Ya, nona Ranti."
"Aku kesepian tanpa kau. Aku ingin ikut 
bersamamu ke mana pun kau pergi. Aku ... aku 
mencintaimu, Parmin..."
"Nona Ranti, semua orang tentu tertarik 
padamu karena engkau sangat cantik. Tetapi aku 
tak boleh ingkar janji. Aku telah berjanji dengan 
seorang gadis yang setiap saat kurindukan. Seo-
rang lelaki tak boleh mengingkari janjinya, Ranti. 
Kudoakan semoga engkau memperoleh jodoh yang 
lebih berarti dariku kelak."
Esok harinya, Jaka Sembung mening-
galkan desa Perbutulan, diantarkan Ranti dan Pe-
tani Tua itu. Ia terus menuju selatan. Di sana 
puncak Gunung Ciremai menjulang megah, sea-
kan-akan menantang minta ditaklukkan.
Sedang pada wajah yang ditinggalkan ter-
lukis perasaan berlainan. Petani Tua itu terharu, 
sedang pipi Ranti basah oleh airmata menyaksikan 
keberangkatan pendekar yang dikaguminya, Pen-
dekar Jaka Sembung, yang di pundaknya kini ter-
letak tugas yang sangat penting, demi tanah air 
tercinta.
Bagaimanakah nasib Ranti, gadis pendekar 
anak angkat Gembong Wungu setelah kepala ram-
pok dari lereng utara Gunung Ciremai itu tewas di 
tangan Jaka Sembung?
Apa yang ia lakukan dengan dendam cinta 
tak terbalas? Tak mungkin ia menyerah begitu sa-
ja, karena sifat manja dan keras kepala akibat salah-asuh akan mendorongnya untuk berbuat se-
suatu diluar dugaan.
Tunggulah episode yang berjudul:

"AIR MATA KASIH TERTUMPAH DI KANDANG 
HAUR"

Share:

0 comments:

Posting Komentar