..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 13 Desember 2024

JAKA SEMBUNG EPISODE BAJING IRENG MALING BUDIMAN

JAKA SEMBUNG EPISODE BAJING IRENG MALING BUDIMAN

SERIAL JAKA SEMBUNG 

Karya Djair Warni

judul asli Bajing Ireng Maling 

Budiman

alih versi Syahlendra Maulana

penerbit SARANA KARYA

cetakan pertama 1991

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari Penerbit



Ini adalah kisah fiktif. Persamaan 

nama tokoh, tempat atau pun peristiwa 

hanyalah kebetulan belaka.

Hari telah larut malam. Seluruh 

penduduk kampung telah tidur dengan 

lelap. Sinar purnama memancarkan 

sinarnya yang lembut keperakan. 

Serangga malam mengisi keheningan 

malam dengan tembang-tembangnya yang 

membangkitkan rasa kekaguman manusia 

terhadap suasana malam. Suasana syahdu 

itu dibuyarkan oleh jerit tangis anak 

kecil dari sebuah pondok yang letaknya 

terpencil dari pondok-pondok lainnya. 

Suara tangisan itu terdengar begitu 

menyayat hati yang mendengarnya.

Pondok itu dihuni sepasang suami 

istri yang dikaruniai seorang anak 

perempuan yang berumur tiga tahun. 

Anak itu diberi nama Kinong. Pak 

Kinong bekerja sebagai buruh tani yang 

hanya mengandalkan upah dari pemilik 

tanah yang digarapnya, istrinya 

bekerja mengumpulkan kayu bakar yang 

kemudian dijual di pasar. Ia juga 

kadang-kadang bekerja sebagai buruh 

potong padi pada saat musim panen 

tiba.

"Pak, cobalah pinjam beras barang 

sedikit saja kepada tetangga...! Siapa 

tahu mereka menaruh belas kasihan


kepada kita.....!" bujuk Bu Kinong 

penuh harap.

Suaminya hanya duduk termenung ke 

arah jendela memandang keluar dengan 

tatapan matanya yang kosong.

"Kasihan, sih, kasihan...! Tetapi 

mereka juga sama seperti kita, 

kelaparan!" keluh Pak Kinong dengan 

nada putus asa.

"Coba-coba sajalah, Pak! Si 

Kinong ini sangat lapar!" seru 

istrinya sambil menenangkan si Kinong 

yang merengek-rengek minta makan.

"Pinjam sama siapa, Bu?" tanya 

pak Kinong sambil bangkit mengambil 

rokok kawungnya diatas meja.

"Lagipula semua orang sedang 

enak-enaknya tidur! Salah-salah aku 

bisa disangka maling oleh penduduk! 

Sudahlah, kamu suruh tidur saja anak 

itu, Bujuklah sebisamu Bu!" ujar Pak 

Kinong sambil menghisap rokok 

kawungnya dalam-dalam.

"Sampai kapan kita hidup terus 

begini ya, Pak? kita mungkin orang tua 

bisa saja tahan lapar, tapi anak 

kecil...?" keluh istrinya.

Kinong seolah tahu sedang 

dibicarakan oleh kedua orang tuanya, 

maka ia sengaja meledakkan tangis 

sekuat-kuatnya sampai otot-otot 

lehernya menegang.

"Makaaaan......! Hengg....... 

Kinong lapaaal....!"


"Sampai kapan kau bilang? Huh! 

Tentu saja sampai tuan tanah Van Eisen 

mampus! Atau sampai penjajah itu 

angkat kaki dari negeri kita!" umpat 

Pak Kinong sambil menggebrak meja 

bambu di hadapannya. Meja yang sudah 

reyot itu semakin bertambah reyot 

jadinya.

"Berapa lama lagi? Sebulan? 

Setahun?" tanya Bu Kinong sengit.

"Sampai kita masuk liang kuburpun 

belum tentu hal itu terjadi!" Pak 

Kinong mendengus. Suasana kembali 

hening. Suami istri itu sama-sama 

terdiam.

Sementara itu di antara atap-atap 

rumah terlihatlah sesosok tubuh 

melompat-lompat dengan lincahnya dari 

atap rumah yang satu ke atap rumah 

yang lain seperti seekor bajing. Ia 

mengenakan pakaian serba hitam. 

Rambutnya terurai sebatas pinggang. 

Wajahnya ditutupi cadar hitam, hanya 

sepasang matanya saja yang tampak. Di 

pinggangnya terselip sebuah golok, 

yang terjepit di antara sabuk dan kain 

sarung yang melapisi celana pangsinya.

Begitu ringan tubuhnya melompat 

kesana kemari tanpa menimbulkan bunyi 

sedikitpun. Hanya sesekali ditandai 

dengan terhentinya suara unggas 

bernyanyi karena terganggu dengan 

kelebatan sosok tubuhnya.


Dengan satu hentakan ia meloncat 

turun. Tubuhnya melayang seperti 

sehelai daun kering yang jatuh di 

tanah, namun kedua kakinya berpijak 

dengan mantap.

Setelah mengamati keadaan 

sekelilingnya untuk meyakinkan dirinya 

bahwa sudah tidak ada orang lain yang 

membuntutinya, ia berjalan mengendap-

endap. Di punggungnya terlihat sebuah 

bungkusan seperti sebuah karung.

Tiba-tiba ia berhenti melangkah 

karena mendengar suara tangisan anak 

kecil yang sudah parau dan tersendat-

sendat. Lalu orang itu melangkah 

menuju sebuah pondok dimana suara 

tangisan itu berasal.

* * *

Seketika pintu rumah gubuk itu 

didorong dari luar lebar-lebar, 

sesosok tubuh dengan pakaian serba 

hitam sudah berdiri tegak di ambang 

pintu.

Sepasang suami istri itu terkejut 

dan sambil gemetar melangkah mundur 

merapat ke dinding bilik.

"A... ampun! Kami orang miskin 

yang tak punya apa-apa lagi untuk 

dimakan, apalagi barang berharga!" 

kata Pak Kinong dengan tersendat-

sendat. Keringat dingin mengaliri 

tubuhnya.


"Jangan takut! Aku bukan 

perampok! Namaku Bajing Ireng!" seraya 

menghampiri sepasang suami istri 

tersebut dengan tenang. Sorot matanya 

terlihat ramah dan lembut.

"Jangan takut! Aku adalah Bajing 

Ireng! Ambillah beras dalam karung 

ini, Pak!"


Dalam remang-remang cahaya lampu 

tempel yang menerangi pondok itu, 

terlihatlah sepasang mata yang bening 

dan indah dengan bulu-bulu lentik di 

antara rambut yang tergerai di dahi 

dan cadar yang menutupi batang 

hidungnya sampai dagu. Ternyata ia 

seorang wanita.

Bajing Ireng tersenyum sambil 

menyodorkan karung yang digendongnya 

kepada suami istri tersebut.

"Karung ini berisi beras, 

ambillah! Anak Bapak sudah sangat 

menderita karena menahan lapar!" 

Bajing Ireng berkata lembut.

Tetapi mereka masih ragu-ragu 

untuk menerima pemberian tak terduga 

dari seseorang yang sama sekali belum 

mereka kenal dengan baik.

"Jangan ragu-ragu! Ambillah! Aku 

paling tidak suka menyaksikan rakyat 

yang terlalu menderita!" suaranya 

berubah tinggi.

Akhirnya Pak Kinong menerima 

karung beras tersebut sambil 

menjatuhkan diri berlutut diikuti oleh 

Bu Kinong di hadapan Bajing Ireng.

"Terimakasih Pendekar! beribu 

terima kasih atas pemberian ini. 

Bagaimana kami yang miskin ini harus 

membalas budi baik anda....?" katanya 

dengan mata berkaca-kaca.

Bajing Ireng mengangkat bahu Pak 

Kinong agar segera berdiri.


"Sudahlah, Pak! Bapak dan Ibu 

tidak perlu berkata seperti itu. 

Bersyukurlah kepada Allah Tuhan Yang 

Maha Pengasih dan Maha Penyayang 

karena aku hanya sekedar perantara 

untuk menyampaikan pertolonganNya! 

Berdoalah selalu agar tidak terlalu 

lama menghadapi hidup yang miskin dan 

sengsara seperti ini!"

Kedua orang tua itu perlahan-

lahan berdiri memandang Bajing Ireng 

dengan mata berbinar-binar karena 

terharu mendengar ucapan yang begitu 

mulia dari seseorang yang begitu 

peduli terhadap nasib rakyat kecil 

seperti mereka.

Sementara itu Kinong yang duduk 

di balai bambu dalam kamar sudah 

berhenti menangis. Ia seperti 

menyadari bahwa telah datang seorang 

dewa penolong khusus bagi dirinya.

"Baiklah, Pak! Aku sekarang mohon 

diri!" pamit Bajing Ireng. Tanpa 

bicara lagi langsung berkelebat 

menghilang entah kemana ditelan oleh 

kegelapan malam.

Kedua suami istri itu hanya 

saling pandang seakan-akan tidak 

percaya dengan apa yang baru saja 

terjadi.

"Alhamdulillah... Mak! Kita bisa 

makan sekarang. Inilah salah satu 

Rahmat yang diberikan oleh Tuhan untuk 

kita!" desah Pak Kinong sambil


mengangkat tangan dan wajah menengadah 

ke atas merasa bersyukur.

"Mari pak, kita segera menanak 

nasi! Kitapun sudah lapar sekali 

bukan?" kata Bu Kinong sambil 

menggendong si Kinong keluar kamar 

menuju dapur.

"Ya, Tuhan! Siapakah dewa 

penolong tadi ya, Pak? Mungkin ia 

seorang Malaikat yang sengaja 

diturunkan oleh Tuhan ke bumi untuk 

menolong orang-orang miskin seperti 

kita ya, Pak!" ujar Bu Kinong sambil 

cepat-cepat mencuci beras dengan air 

yang diambilnya dari dalam gentong di 

sudut dapur itu. Pak Kinong 

menganggukkan kepalanya seraya tak 

henti-hentinya mengucapkan kata-kata 

syukur kepada Tuhan.

Kinong duduk di atas dingklik di 

sisi ibunya sambil sebentar-sebentar 

menyeka ingus dan menghapus air 

matanya dengan punggung telapak 

tangannya. Sepasang matanya kini 

terlihat bundar berbinar-binar penuh 

harapan.

***

Di suatu senja dari kejauhan 

terlihat sebuah rumah yang paling 

besar dan bagus di wilayah Kandang 

Haur. Atap rumah itu terbuat dari 

genteng berwarna coklat, dindingnya


terbuat dari batu bata. Halamannya 

ditumbuhi bunga mawar dan tanaman hias 

lainnya yang tersusun rapi berpagar 

tembok.

Rumah itu adalah rumah Kepala 

Desa, Pak Marta namanya. Sebenarnya ia 

masih keturunan bangsawan Sunda dengan 

nama lengkap Marta Wargasasmita. 

Setelah menjadi Kepala Desa Kandang 

Haur, ia terkenal dengan sebutan Pak 

Marta.

Beliau tinggal bersama anak 

gadisnya, Roijah. Sedangkan istrinya 

telah lama meninggal ketika Roijah 

berumur sepuluh tahun.

Dari dalam rumah itu terdengar 

alunan suara Roijah yang sangat merdu 

melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an. 

Suaranya terdengar begitu syahdu 

merasuk kalbu bagi siapa saja yang 

mendengarnya.

Beberapa saat kemudian suara 

merdu tersebut berhenti. Roijah 

selesai mengaji. Setelah menutup kitab 

suci Al Qur'an di atas lekarnya, ia 

lalu menggeser duduknya menghadap 

ayahnya yang sedang istirahat duduk di 

atas sebuah kursi goyang sambil 

menghisap cerutu.

"Ayah, kudengar tadi malam gudang 

beras milik tuan Van Eisen kemalingan 

lagi, Ayah....!" tanya Roijah memecah 

keheningan senja selepas waktu 

maghrib.


"Ya!" jawab Pak Marto singkat 

sambil menghembuskan asap cerutunya 

kuat-kuat.

"Tetapi jangan kuatir! Mulai 

malam ini tuan tanah Van Eisen akan 

menyewa jago-jago bayaran untuk 

menangkap si pencuri yang berani 

kurang ajar tersebut!" dengus Pak 

Marta si Kepala Desa.

"Kalau aku menjadi kepala desa, 

aku akan menyewa jago-jago bayaran 

untuk melindungi pencuri itu!" tiba-

tiba Roijah menyeletuk.

Bagaikan mendengar petir di siang 

hari, seketika Pak Marta meloncat dari 

tempat duduknya.

"Hah! Apa katamu, Roijah? Coba 

katakan sekali lagi!" teriak Pak Marta 

menahan marah.

"Ya, Ayah! Aku akan melindungi 

pencuri itu!" jawab Roijah sekali lagi 

dengan nada menantang. Ia berbicara 

seolah-olah bukan dengan ayahnya.

Roijah berjalan menuju jendela 

melempar pandangannya keluar. Diam 

sesaat dan membalikkan tubuhnya 

kembali menghadap ayahnya.

"Coba saja pikir...! Ayah 

diperbudak oleh penjajah hanya untuk 

memeras bangsa sendiri. Rakyat 

menderita dan kelaparan akibat 

perbuatan ayah secara tidak 

langsung!!" kata Roijah mengecam 

ayahnya sendiri sehingga membuat Pak


Marta mendidih darahnya menahan amarah 

yang tak terbendung lagi.

"Heh! Roijah! siapa yang 

mengajari kau berkata begitu terhadap 

orang tua mu, hah!!" bentak Pak Marta 

menggelegar.

Roijah menggigit bibirnya 

tertunduk diam.

Melihat anaknya tak menjawab 

pertanyaannya Pak Marta tak kuasa 

menahan amarahnya.

"Siapa yang mengajari kau? Siapa! 

Akan kupecahkan batok kepalanya! Siapa 

dia? Jawab!!" tanya Pak Marta semakin 

geram dan penasaran.

"Tak seorangpun mengajari aku, 

Ayah! Aku melihat dengan mata kepala 

sendiri. Mereka yang terus menerus 

memeras keringat tetapi hidupnya 

menderita! Sedangkan mereka yang 

kerjanya menjilat penjajah hidupnya 

mewah uncang-uncang kaki tanpa merasa 

bersalah!" sahut Roijah tenang.

"Kau berani mengatakan ayahmu 

sendiri sebagai penjilat, hah?! Kau 

anak perempuan tahu apa! Urus saja 

dapur! Kau tak perlu tahu urusan orang 

tua mengerti?" bentak Pak Marta.

Perkataan ayahnya bukan membuat 

Roijah takut, justru sebaliknya ia 

semakin berani menyangkal segala 

perkataan ayahnya.

"Ayah merendahkan derajat kaum 

wanita! Justru ayah seharusnya


menghargai perasaan wanita yang dapat 

merasakan penderitaan dan kesengsaraan 

bangsanya yang dijajah!" Roijah 

menarik napas panjang. Sementara Pak 

Marta bersungut-sungut mendengarkan.

"Mengapa perasaan itu tidak 

timbul dari hati seorang pemimpin 

seperti ayah? Ayah bisa saja menyusun 

kekuatan untuk melakukan pemberontakan 

kepada tuan-tuan tanah kalau ayah mau! 

Ayah adalah seorang yang paling 

berkuasa di desa ini. Ayah kan seorang 

kepala desa!!" seru Roijah menyakinkan 

ayahnya.

Merasa dipojokkan oleh anaknya 

sendiri, Pak Marta tak kuasa lagi 

menahan amarahnya yang memang sejak 

tadi ditahannya.

"Diaaaamm!! Kau anak tak tahu 

diuntung! Berani benar kau nasehati 

ayahmu, he? Kutampar kau nanti!!" 

bentak Pak Marta dengan tatapan nanar 

dan napas mendengus, serta terdengar 

gemertaknya gigi.

Roijah meninggalkan ayahnya dan 

ia segera berlari masuk ke kamarnya 

langsung menjatuhkan tubuhnya di atas 

tempat tidur dan menangis. Hanya itu 

yang dapat dilakukan oleh seorang anak 

perempuan, walaupun terhadap ayahnya 

sendiri.

Sementara itu Pak Marta duduk 

menghisap cerutunya dalam-dalam sambil 

pikiran menembus masa lalu pada saat


istrinya masih hidup. Kalau saja 

ibunya Roijah masih ada, tentu saja 

Roijah tidak menjadi anak pembangkang 

seperti sekarang ini. Mungkin jadi 

seorang anak yang penurut.

Sayup-sayup terdengar suara adzan 

berkumandang.

Roijah segera bangkit dan 

menghapus air mata yang membasahi 

pipinya. Kemudian berjalan ke sumur 

untuk mengambil air wudhu melakukan 

sholat Isya.

Selesai sholat Roijah memanjatkan 

doa.

"Ya Allah! Berikanlah hambaMu 

kekuatan untuk menghadapi cobaanMu, ya 

Allah! Berikan keinsyafan pada ayahku, 

Sadarkanlah dia dari kekeliruannya...! 

Ya Allah! Lindungi bangsaku! 

Lepaskanlah bangsaku dari cengkeraman 

penjajah! Amiiin......."

Tanpa terasa air matanya kembali 

menetes membasahi kedua pipinya.

Selesai melakukan sholat, Roijah 

bergegas ke dapur. Ia harus menyiapkan 

makan malam untuk ayahnya.

***

Malam kembali menyelubungi desa 

Kandang Haur. Bulan di langit semakin 

lerang menyebarkan cahayanya ke 

seluruh marcapada. Namun suasana sunyi 

dan mencekap menyelimuti desa ter


sebut. Demikian pula suasana di 

sekitar gudang penggilingan beras 

milik tuan tanah Van Eisen.

Tapi di balik kegelapan malam, 

berdiri sosok-sosok tubuh yang kekar 

dan bertampang seram di setiap tempat-

tempat tertentu di desa itu, terutama 

di sekitar gudang penggilingan beras 

milik tuan tanah Van Eisen.

Menjelang tengah malam, keluarlah 

sesosok tubuh serba hitam menyelinap 

di balik pohon yang rimbun sambil 

mengamati daerah sekitar gudang 

penggilingan beras itu. Langkah-

langkahnya tidak menimbulkan bunyi 

sedikitpun. Sosok tubuh itu lalu 

berjalan ke balik gudang penggilingan 

beras tersebut.

Sementara para penjaga berusaha 

menghalau dinginnya malam dengan 

kegiatan masing-masing, tanpa 

sepengetahuan mereka sosok tubuh hitam 

itu sudah tegak berdiri di belakang 

salah satu penjaga yang sedang 

menikmati sebatang rokok sambil 

melamun. Dengan satu pukulan keras 

orang tersebut melenguh sekejap, 

kemudian tubuhnya melorot jatuh untuk 

tidak bangun lagi. Dari mulutnya 

keluar darah kental tanda ia mengalami 

luka dalam cukup parah akibat pukulan 

dari seorang yang benar-benar berilmu 

tinggi.


Melihat temannya roboh diserang 

oleh orang tak dikenal, yang lainnya 

segera berlari mengepung. Masing-

masing mencabut golok dan sosok tubuh 

serba hitam itu kini dikelilingi oleh 

tidak kurang dari sepuluh orang jago-

jago bayaran.

"Heiitt! Ladalah! Rupanya kau 

maling keparat yang sering mencuri

beras dari gudang ini!" teriak salah 

satu penjaga gudang dengan lantang 

sambil memutar-mutarkan goloknya.

"Hi hi hi! Kalian semua hanya 

manusia-manusia kerbau yang cuma bisa 

membela perut sendiri saja!"

Suara mengejek itu sangat merdu 

namun menyakitkan telinga bagi mereka 

yang mendengarkannya.

Merasa dihina, mereka segera 

mengepung membentuk lingkaran yang 

ketat mengelilingi sang maling selama 

ini berani menguras gudang milik tuan 

besar mereka.

"Ayo, maju satu persatu biar aku 

tebas batang leher kalian! Aku Bajing 

Ireng tidak segan-segan menyingkirkan 

siapa saja yang menjadi budak Kompeni 

Belanda!!" seru Bajing Ireng siap 

memasang kuda-kudanya.

Tetapi tak satupun dari mereka 

yang berani menyerang. Masing-masing 

hanya berdiri pasang kuda-kuda. 

Sementara Bajing Ireng tak merasa 

gentar sedikitpun walau menghadapi


pengepung yang semakin bertambah 

jumlahnya.

"Inikah jagoan-jagoan termashur 

yang selalu dibanggakan oleh tuan 

tanah bule itu? Tahukah kalian bahwa 

sesungguhnya kalian adalah manusia-

manusia yang bisa dibeli dengan 

gulden! Manusia-manusia yang kecanduan 

roti dan keju! Aku malu melihat 

bangsaku sendiri yang diperalat oleh 

penjajah begitu tega hidup enak di 

atas penderitaan serta kemiskinan 

bangsanya sendiri! Sebenarnya aku muak 

berkelahi dengan kalian!!" katanya 

sambil berkacak pinggang. "Tapi apa 

boleh buat! Aku tak sudi melihat 

penderitaan rakyat kecil yang 

tertindas!"

Jago-jago sewaan masih terpana 

memandang Bajing Ireng tanpa mulai 

membuka serangan.

"Kalian lihat! Bangsa siapakah 

yang dijajah ini? Bangsa siapakah yang 

menderita ini? Aku, Bajing Ireng akan 

memberi pelajaran sedikit kepada 

kalian." seru Bajing Ireng sambil 

matanya tajam mengawasi para begundal 

yang mengelilinginya dengan posisi 

siap siaga.

"Kalian manusia-manusia! Tidak 

lebih berharga dari seekor lalat! 

Siapa yang menjadi tuanmu, haa! Orang 

asing bukan....? Dan kalian yang 

memusuhi adalah aku, bangsamu sendiri!


Berkulit sawo matang dan berambut 

hitam seperti kalian juga!!" Kata 

Bajing Ireng menyadarkan para penjaga 

itu.

"Jika masih sayang nyawa dan 

sayang anak istri, minggirlah kalian! 

Ini peringatan dariku!" ancam Bajing 

Ireng siap menyerang.

Tetapi tiba-tiba salah seorang 

dari mereka memberi isyarat kepada 

teman-temannya agar mulai menyerang 

Bajing Ireng secara serentak. Mereka 

mulai mendesak. Tapi Bajing Ireng 

langsung saja menendang dengan satu 

gerakan yang memutar dan cepat sekali 

tanpa bisa mereka hindari. Begitu 

cepat dan beruntun.

Tendangan itu mengenai dada para 

pengepungnya. Mereka langsung roboh 

hanya dengan satu gebrakan saja.

"Rupanya kalian menganggap remeh 

peringatanku! Ayo, siapa lagi yang 

berani mati, majulah!" teriak Bajing 

Ireng siap dengan jurusnya. Tangan 

kanan menyilang di dada dan tangan 

kirinya di atas kepala. Sebuah jurus 

yang sama sekali baru mereka lihat.

Melihat lawan-lawannya tidak 

memberikan reaksi lagi Bajing Ireng 

segera menurunkan tangannya kembali 

ke posisi semula dan berdiri tegak, 

setelah menarik kuda-kudanya. Para 

penjaga gudang dan jago-jago bayaran 

itu hanya berdiri diam memegangi


dadanya masing-masing sambil meringis 

menahan sakit dan dari sela bibir 

mereka mengalir darah hitam, darah 

luka dalam.

"Ingat! Jangan coba-coba 

menghalangiku lagi, kalau kalian masih 

ingin melihat sinar matahari esok 

pagi! Selamat malam dan sampai jumpa 

lagi...!" seru Bajing Ireng sambil 

membuat satu gerakan salto ke belakang 

dan disusul dengan sebuah loncatan ke 

atap bangunan gudang beras yang cukup 

tinggi itu dengan mudahnya.

Bajing Ireng meloncat hilang ke 

balik semak-semak dan hilang di 

kegelapan malam. Para penjaga itu 

hanya bisa saling pandang merasa heran 

dan kagum.

Keesokan harinya Pak Marta 

bersungut-sungut karena para jago-jago 

desanya gagal menangkap si pencuri 

yang telah diketahui menamakan dirinya 

Bajing Ireng.

"Hm, pantas! Pencurinya seorang 

jago silat yang luar biasa! Buktinya 

ia dapat menghajar beberapa orang 

sekaligus!" kata Pak Marta kepada 

anaknya Roijah yang sedang menjahit 

kebaya baru pemberiannya sebagai tanda 

penyesalannya kemarin. Begitu caranya 

ia meminta maaf pada anaknya.

Pak Marto bangkit dari tempat 

duduknya.


"Bayangkan, sekali gebrak tiga 

orang roboh dan muntah darah tanpa 

ampun!!" seru Pak Marta sambil 

berjalan mondar-mandir di ruang tamu 

rumahnya yang cukup luas.

Roijah hanya tersenyum melihat 

ayahnya menggerutu terus-menerus.

"Tadi pagi Tuan Leonard Van 

Eiser? memanggilku! Katanya, jika aku 

tidak sanggup menyingkirkan pencuri 

itu, maka tuan Leonard Van Eisen akan 

membuat laporan langsung ke Residen 

Cirebon!" gumam Pak Marta merasa 

kesal. Tanpa disadarinya, rokok cerutu 

yang dipegangnya remuk diremasnya.

"Dan tahukah kau?" tanya Pak 

Marta pada Roijah yang sedang sibuk 

memasukkan benang ke lubang jarum.

"Ini berarti jabatanku sebagai 

kepala desa akan dicopot!!"

Roijah acuh tak acuh menanggapi 

ayahnya yang takut kehilangan jabatan, 

dan masa depannya. Ia bangkit 

meninggalkan jahitannya untuk membuat 

segelas teh tubruk kegemaran ayahnya. 

Mudah-mudahan setelah mereguk teh itu, 

amarah ayahnya agak menurun dan tidak 

uring-uringan terus-menerus.

"Kenapa ayah begitu takut! Tidak 

jadi kepala desapun kita masih bisa 

hidup! Kita tidak usah diperbudak oleh 

bangsa Belanda!" kata Roijah menutup 

gelas besar setelah mengaduk teh di 

dalamnya dengan tutup gelas.


"Hidup yang bagaimana? Aku tidak 

mau makan singkong dan ikan asin! Aku 

ingin hidup layak, punya pendapatan

besar dan menjadi orang 

terhormat....!" ucap Pak Marta dengan 

penuh keyakinan.

"Tak ada bangsa yang dapat hidup 

layak selama bangsa itu sendiri masih 

dijajah!!" jawab Roijah dengan nada 

sedikit ketus.

Roijah berhenti menjahit karena 

ujung jarinya tertusuk jarum.

"Karena takut menghadapi hidup 

ini, ayah hanya menggantungkan hidup 

di bawah telapak kaki penjajah 

Belanda. Bila penjajah sudah tidak 

lagi membutuhkan ayah lagi, maka ayah 

pasti akan dicampakkan begitu saja 

seperti orang yang membuang kulit 

pisang ke dalam tong sampah!!" sindir 

Roijah sambil mengulum jari 

telunjuknya yang berdarah.

Pak Marto mendengar ocehan anak-

nya yang sudah melanggar batas, mem-

buat darahnya bergejolak sampai ke 

ubun-ubun. Ia tak kuasa lagi 

menahannya, sehingga napasnya 

terdengar bagai dengusan hewan liar 

yang siap mencabik-cabik mangsanya.

"Diaaaamm!! Anak setan! Lagi-lagi 

kau mau mengajari aku! Aku tidak perlu 

dinasehati. Aku ini ayahmu, 

mengerti?!" teriak Pak Marta seolah 

kesetanan. Kedua tangannya mengepal


keras dan ia memukul meja yang berada 

di hadapannya, tanpa menghiraukan 

bahwa meja marmer itu terlalu tebal 

dan keras dibanding dengan kepalan 

tangannya.

"Kau berkata sembarangan! Kalau 

ketahuan mata-mata Belanda bisa-bisa 

kamu dianggap pemberontak!! Dan kau 

tahu apa hukuman bagi seorang 

pemberontak, ha? Ditembak mati!! 

Penjajah tidak mau tahu terhadap 

siapapun! juga terhadap anak kepala 

desa sekalipun, mengerti!!" bentak Pak 

Marta seraya menghampiri Roijah dengan 

tatapan mata yang nanar.

"Itulah kematian yang paling 

mulia, ayah! Kita akan mati sebagai 

pahlawan bangsa! Kita akan dikenang 

oleh seluruh masyarakat! Bahkan bukan 

saja mulia dihadapan masyarakat, 

tetapi dihadapan Tuhan. Kita mati 

syahid, karena menegakkan kebenaran 

dan keadilan sesuai dengan ajaran 

agama kita!!" sahut Roijah tenang dan 

mantap seolah-olah tak sedikitpun ia 

merasa takut kepada ayahnya.

"Tutup mulutmu!! Ayo masuk ke 

kamarmu dan jangan keluar-keluar 

lagi...! Awas kalan berani keluar lagi 

akan kuhajar! Kau hanya membuat 

pikiranku jadi bertambah ruwet saja, 

bukannya berusaha meringankan beban 

orang tuamu!" hardik Pak Marta. Lalu


menendang pintu kamar Roijah sampai 

pintu tersebut terbuka lebar.

"Maafkan aku, ayah! Sebetulnya 

aku tidak bermaksud menyakiti perasaan 

ayah!" kata Roijah sambil berusaha 

menghindari tatapan mata ayahnya de-

ngan menundukkan wajahnya. Roijah 

berusaha juga sebagai anak yang 

berbakti kepada orang tua, maka Roijah 

meninggalkan ayahnya menuju kamarnya.

Pak Marta hanya menarik napas 

panjang, karena ia sebenarnya sangat 

sayang pada Roijah buah hati satu-

satunya.

* * *

Suatu hari di alun-alun pasar 

terpancang papan pengumuman yang dapat 

dilihat oleh setiap orang yang lewat.

Ditulis dalam huruf Arab 

berbahasa Sunda-Jawa. Pengumuman itu 

bersifat sayembara yang dipasang atas 

perintah tuan tanah Leonard Van Eisen.

Leonard Van Eisen melebarkan 

sayapnya ke daerah-daerah seluruh 

kawasan Karesidenan Cirebon bagian 

utara. Hal ini dimungkinkan karena 

prestasinya yang tinggi dalam membantu 

terlaksananya kehendak pemerintah 

Kompeni Belanda di daerah pantai utara 

Pulau Jawa bagian barat.

Di antara kerumunan orang-orang 

yang membaca pengumuman tersebut,


terlihatlah seseorang bertubuh pendek 

dan gemuk berjalan menuju papan peng-

umuman. Matanya sipit dengan alis 

tebal seperti semut yang menumpuk. 

Kepalanya botak. Ia mengenakan pakaian 

serba kuning. Lelaki itu berjalan 

menyeruak kerumunan orang untuk 

melihat dari dekat papan pengumuman. 

Setelah membaca alisnya terangkat ke 

atas sambil meludah.

"Akan kutangkap Bajing Ireng 

hidup-hidup!" desisnya.

Lalu ia membalikan tubuhnya dan 

mendadak bertabrakan dengan seorang 

ibu yang menggendong sebuah bakul. Si 

botak menatap ibu itu dengan mata be-

gis sehingga si ibu ketakutan.

Segera si botak berjalan menuju 

kediaman tuan tanah Leonard Van Eisen.

Sambil membenahi isi bakul yang 

tercecer, ibu itu melihat papan 

pengumuman dan coba memahami apa yang 

tertulis disana. Tapi ia sadar bahwa 

dirinya buta huruf dan mau tak mau ia 

harus bertanya kepada orang lain yang 

berada di sekitar papan pengumuman 

itu. Di wajahnya terlihat kecemasan 

setelah mengetahui isi pengumuman itu. 

Ia lalu pulang ke tempat tinggalnya 

dengan langkah tergesa-gesa agar cepat 

sampai dan memberitahukan kabar ini 

kepada suaminya.

Ibu tersebut tak lain adalah Bu 

Kinong.


Setelah sampai ia menaruh bakul 

di atas balai-balai. Suaminya, Pak 

Kinong, sedang duduk melepas lelah 

sehabis membabat rumput liar di 

teritisan rumah.

"Pak, di pasar orang-orang ribut 

membaca pengumuman yang dipasang oleh 

tuan tanah Van Eisen. Katanya barang 

siapa yang dapat menangkap maling ter-

sebut akan mendapat hadiah yang 

besar!" kata Bu Kinong sambil 

mengambil kue serabi kesukaan suaminya 

dari dalam bakul.

"Maling apa ya, Pak? Katanya 

maling yang setiap saat selalu mencuri 

beras dari gudang penggilingan. Apakah 

orang yang memberi beras pada kita 

malam-malam tempo hari ya, pak?" 

sambung Bu Kinong sambil menghampiri 

si Kinong yang baru saja terbangun 

dari tidurnya di kamar karena balai-

balai tempat tidurnya sudah banjir 

oleh ompolnya sendiri.

Kemudian ia menggendong si Kinong 

untuk membersihkan tubuh si Kinong dan 

sekalian mengganti otonya yang basah 

kuyup.

Suaminya hanya diam saja.

"Bu makan, Kinong lapaaal!" 

teriak si Kinong membetot-betot baju 

ibunya.

"Tapi dia telah menolong kita,"

Di saat itu jauh segala kegiatan 

dan berbagai keluh kesah yang terjadi


di desa Kandang Haur, terlihatlah dua 

bayangan berkelebat di udara dengan 

ringannya di atas pasir pantai Eretan 

yang seperti perak. Tampak dua orang 

yang sedang bertarung. Suara deburan 

ombak yang menghantam karang disertai 

lengking burung-burung camar tak 

mengusik konsentrasi kedua orang 

tersebut.

"Hiaaaaaat!!" dengan jurus-jurus 

yang luar biasa, pemuda tegap itu 

menghindari setiap serangan yang 

ditujukan kepadanya. Beberapa kali ia 

melakukan gerakan salto di udara dan 

meliuk-liuk seperti seekor burung 

elang yang menyambar-nyambar ke bawah 

mematuk mengsanya.

Sementara lawannya adalah kakek 

bertelanjang dada dengan rambut yang 

kumel dan janggut panjang berwarna 

putih, dengan gencar menyerang 

muridnya yang meliuk-liuk di udara. 

Mereka sebenarnya sedang melakukan 

latihan, tetapi dengan sungguh-sungguh 

seperti dua orang musuh yang sedang 

bertarung mati-matian.

Tiba-tiba si kakek menghentikan 

serangannya.

"Ha ha ha! Kau hampir 

mengalahkanku dalam dua puluh lima 

jurus! Cukuplah latihan kita kali ini,

muridku! Akhir-akhir ini kau semakin 

maju pesat." kata sang guru yang 

bernama Ki Sapu Angin.


Pemuda itu bernama Parmin yang 

kemudian menurunkan tangannya kembali 

tegak berdiri memandang gurunya dengan 

penuh rasa hormat dan cinta kepada 

gurunya seperti terhadap orang tuanya 

sendiri.

"Kini kau telah menguasai semua 

jurus-jurus silat GUNUNG SEMBUNG 

dengan sempurna! Ilmu ini belum ada 

tandingannya untuk seluruh cabang 

pencak silat manapun di daerah 

Pasundan!" kata Ki Sapu Angin kepada 

Parmin yang tegap dan tampan sambil 

menepuk-nepuk pundak murid tunggalnya 

itu.

"Ilmu silat GUNUNG SEMBUNG dahulu 

hanya dimiliki oleh para wali dan para 

kyai untuk menghadapi segala kekerasan 

dalam menyebarkan agama Islam di Pulau 

Jawa ini, anakku!"

Parmin mendengarkan segala 

wejangan dari ilmu yang disampaikan 

gurunya dengan penuh perhatian.

Sejak lepas susu ibunya, Parmin 

sudah diminta Ki Sapu Angin untuk 

menjadi murid tunggalnya dan tinggal 

bersamanya di pantai Eretan.

Maka tibalah saat yang telah lama 

dinantikan sampai hari ini.

"Kurasa sudah cukup bekal ilmu 

yang kuturunkan untuk menegakkan 

kebenaran dan keadilan di negeri ini. 

Semua ilmu yang kumiliki sudah 

kuwariskan kepadamu. Kau tak perlu


lagi merasa kuatir dalam menghadapi 

musuh-musuhmu yang tangguh sekalipun, 

kau pasti menang! Asal kau lakukan 

dengan tenang dan pasrah kepada Tuhan, 

karena ridho Ilahi adalah di atas 

segalanya bagi kita, anakku." lanjut 

gurunya dengan yakin.

Lalu ia mengalihkan pandangannya 

ke laut lepas.

"Sayang aku sudah tua, tenagaku 

sudah mulai melemah walaupun 

semangatku untuk menegakkan kebenaran 

dan keadilan masih menyala-nyala!" 

keluh gurunya sambil membalikan 

tubuhnya memandang muridnya. Kemudian 

ia memegang pundak muridnya dan 

menatap penuh harap.

"Nah, sekarang pergilah! 

Bergabunglah dengan pendekar-pendekar 

dari selatan. Nasib bangsamu terletak 

di tangan pemuda-pemuda seperti kau! 

Doaku menyertaimu, Parmin! Jangan 

segan-segan kau meringankan tangan 

untuk menolong sesamamu yang sedang 

menderita kesusahan. Dan sampaikan 

salamku untuk kawan-kawan 

seperjuanganku. Biarlah aku 

menghabiskan sisa hidupku dengan jala, 

kail, dan dayung. Pantai Eretan adalah 

tempat yang cocok bagi pengembaraanku 

yang terakhir!" perintah gurunya 

dengan air mata berkaca-kaca dan 

menetes membasahi pipinya yang penuh


dengan keriput di usianya yang telah 

senja.

Sementara itu Parmin mendengarkan 

segala petuah yang disampaikan Ki Sapu 

Angin dengan rasa haru. Tiba-tiba Par-

min melorot tanpa tenaga ke bawah 

bertekuk lutut di hadapan gurunya yang 

sangat ia sayangi untuk mohon doa 

restu.

"Kek! Aku akan selalu ingat akan 

petuah kakek. Aku akan menegakkan 

kebenaran dan keadilan di negeri ini. 

Selama dibumi ini masih merajalela 

segala kejahatan, aku tidak tinggal 

diam!" janji muridnya pada sang guru. 

"Aku mohon diri sekarang, kek!" 

hampir-hampir ia tak sanggup menahan 

rasa haru.

Kemudian ia berjalan meninggalkan 

gurunya dengan mata yang masih 

berkaca-kaca. Betapa tidak, karena 

harus menghadapi perpisahan setelah 

lebih dari lima belas tahun mereka 

hidup bersama dalam suka dan duka 

sebagai dua orang murid dan guru di 

tempat yang sunyi terpencil itu.

Parmin terus berjalan menyelusuri 

pantai sampai tidak terlihat lagi oleh 

mata Ki Sapu Angin.

"Semoga Tuhan selalu menyertaimu, 

nak!" desahnya lirih.

Malam itu terjadi ribu-ribut di 

luar rumah Pak Marta. Rupanya para 

jago di desa itu bersama-sama


mendatangi rumah Pak Marta dan dengan 

tak sabar mereka menggedor-gedor 

pintu. Sepertinya ada keperluan yang 

teramat penting untuk dibicarakan.

"Pak Marta! Pak Marta! Buka pintu 

sebentar, cepat! Pak Marta!" teriak 

para jago tersebut.

Pintu segera terbuka. Tampak 

wajah Pak Marta geram karena terganggu 

tidur nyenyaknya dengan kedatangan 

orang-orang yang tak tahu waktu.

"Ada apa ini? Kalian tak tahu 

diri, malam-malam begini mengganggu 

orang tidur. Ada apa?" teriak Pak 

Marta melototkan matanya.

"Maaf, Pak Marta!" sahut para 

jago merendah.

"Malam ini kami mengintai maling 

yang selalu mencuri beras di gudang 

penggilingan, salah seorang jago 

berilmu tinggi berhasil menguntit 

maling itu. Tiba-tiba maling itu masuk 

ke dalam rumah Pak Marta dan tidak 

keluar lagi sampai saat ini!"

Mendengar pernjelasan dari para 

jago desa, Pak Marta kaget bukan main.

"Hah, apa katamu! Maling itu 

masuk kemari?" pekik Pak Marta seolah 

tak percaya.

"He, jangan-jangan dia datang 

ingin merampok hartaku! Bangsat.... 

maling itu!!" umpat Pak Marta sambil 

mengepalkan tangannya.


"Oleh karena itu kami ingin 

menggeledah seluruh isi rumah ini, 

barangkali maling itu masih berada 

dalam rumah ini!" seru seorang jago 

desa yang bertampang seram itu 

mewakili teman-temannya.

Tak ayal lagi Pak Marta 

mengijinkan para jago itu untuk 

menggeledah rumahnya. Mereka masuk 

sambil tetap siaga menghadapi segala 

kemungkinan yang terjadi sambil 

memeriksa setiap sudut rumah Pak 

Marta. Mereka bertindak dengan teliti, 

sampai-sampai dapur dan sumur serta 

jamban di belakang rumah tak terlewat 

begitu saja.

Sementara para jago sibuk 

memeriksa, Pak Marta menuju pintu 

kamar Roijah.

"Roijah! Roijah! Bangunlah 

sebentar, buka pintunya," teriak 

ayahnya dari luar.

Dan pintu kamar terbuka.

Tampak Roijah keluar sambil 

mengucek-ucek matanya dan menguap ber-

usaha menahan rasa kantuk.

"Apakah ada orang yang masuk ke 

dalam kamarmu, tadi? Maling itu masuk 

kemari kata mereka!" kata ayahnya 

merasa cemas. Ia takut, khawatir 

maling itu akan melukai anak 

tunggalnya.

"Entahlah! Aku tidur nyenyak 

sekali sampai ayah mengetok pintu dan


aku terkejut. Oh ya? Apakah maling itu 

memang benar-benar kemari? Ah, jika 

demikian aku mau saja menjadi 

istrinya. Dan jika ternyata ia seorang 

perempuan aku akan menjadikan dia 

sebagai saudaraku!" sahut Roijah 

dengan senyum menantang sambil 

membetulkan rambutnya yang tergerai 

menunggu reaksi ayahnya.

Seketika Pak Marta kalap 

mendengar Roijah berkata seperti itu 

terhadapnya apalagi di depan para jago 

desa yang sudah berkumpul di depan 

kamar anaknya.

"Diam! Diam kau!!'" bentak Pak 

Marta sambil berjalan menuju ruang 

tamu.

Lalu Pak Marta menghampiri para 

jago desa yang sudah duduk-duduk di 

kursi tamu. Ada beberapa orang di 

antaranya sedang menikmati rokok 

kelobot dan sigaret. Salah seorang 

dari mereka memberi laporan.

"Semua ruangan sudah kami 

periksa! Tetapi maling itu tidak 

diketemukan! Nah, selamat malam Pak 

Marta. Maafkan kami yang terpaksa 

mengganggu istirahat bapak tadi!" kata 

mereka sambil beranjak satu persatu 

keluar rumah.

"Oh, tak apa-apa! Bukankah kita 

harus selalu waspada menjaga 

lingkungan kita dari segala kerusuhan-

kerusuhan yang akan terjadi!" tukas


Pak Marta mengantarkan para jago desa 

itu sampai ke depan pintu.

"Baiklah, pak kami mohon diri 

untuk berjaga-jaga kembali!" kata 

mereka langsung berjalan meninggalkan 

rumah Pak Marta.

Pak Marta menutup pintu rumahnya 

dengan wajah lesu dan dalam benaknya 

menyimpan tanda tanya besar. Kemana 

perginya maling tersebut? Apa mungkin 

ia lenyap begitu saja seperti ditelan 

lantai kamar rumahnya ini? Rasa-

rasanya tak masuk akal!

Keesokan harinya matahari 

bersinar cerah menerangi kaki langit 

sebelah timur yang ditingkahi kokok 

ayam dan cicit burung diatas dahan. 

Dari kejauhan seseorang berjalan 

dengan tenangnya melintasi desa. Orang 

itu memakai tudung kepala dari anyaman 

bambu berbentuk caping sehingga 

sebagian wajahnya tertutup. Kain 

sarung menyilang di dadanya. Ia 

berjalan menelusuri pematang sawah 

menikmati cerahnya pagi hari itu 

dengan nikmat. Seorang petani sedang 

mencangkul sawahnya berhenti sesaat 

memandang orang tersebut. Ia 

memastikan adanya kehadiran seorang 

pendatang baru yang lewat di 

kampungnya.

Tiba-tiba ia terkejut.

"Heh?! Orang itu mengherankan se-

kali! Dia seenaknya saja berjalan di


atas pematang sawah yang basah baru 

kubikin, tapi... dia tidak 

meninggalkan jejak kakinya barang 

sedikitpun di atasnya, seakan-akan dia 

sedang terbang! Mungkin dia seorang 

jago silat yang sengaja datang dari 

jauh untuk mengikuti sayembara yang 

dibuat tuan tanah Van Eisen untuk 

menangkap maling itu!" pikir petani 

itu dengan wajah keheranan sambil 

menyeka keringat yang mengalir di 

keningnya. Ia seperti tak percaya 

dengan apa yang sedang disaksikannya 

dengan mata kepalanya sendiri.

Pendatang itu kemudian berhenti 

di depan sebuah papan yang tertancap 

di atas pematang sawah. Dia 

memperhatikan papan tersebut sambil 

berkacak pinggang dan membaca tulisan 

dengan huruf-huruf latin yang tertera 

di situ.

"Tanah ini milik Van Eisen...? 

katanya sinis.

"Van Eisen? Mengapa bukan milik 

si Salim atau si Tarjo...? Tahukah kau 

he? Bahwa aku akan mengusirmu dari 

bumi nusantara ini!!" desis pendatang 

baru bertudung caping itu seraya 

mencabut goloknya yang terselip 

dipinggangnya.

"Van Eisen! Terimalah kehancuran 

secara simbolik dariku!! Dari Bangsa 

nusantara!" dengusnya. "Hiyaaaaaaat!! 

teriaknya sambil mengayunkan goloknya


secepat kilat membabat papan tersebut 

berulang kali. Tetapi papan itu 

terlihat masih tetap saja berdiri 

tegak menancap di atas pematang sawah 

tak bergeming. Apa karena golok yang 

diayunkan hanya menebas udara? Atau 

goloknya yang tumpul?

Tiba-tiba angin bertiup kencang 

dan menerpa papan bertonggak itu.

Pemuda dengan tudung coping itu 

menyabetkan goloknya berulang-ulang 

pada papan nama yang terpancang di 

pematang sawah itu. Dan apa yang 

terjadi benar-benar diluar dugaan. 

Papan pengumuman itu roboh menjadi 

tiga bagian.

"Itulah hari depanmu!" kata si 

pendekar caping berdiri tegak 

menyaksikan papan tersebut roboh dan 

terkapar dipematang sawah.

Sementara itu petani yang sejak 

tadi melihat apa yang dilakukan 

pendatang aneh itu sekali lagi ia 

dibuat terperangah heran.

"Oh! Masya Allah! Kayu pancang 

itu semula masih tegak berdiri tapi 

tak tahunya kayu itu sudah terpotong 

tiga dan baru roboh setelah tertiup 

angin. Begitu tinggi ilmu tenaga dalam 

mengiringi sabetan golok yang dimiliki 

pendatang itu!!" desisnya kagum.

"Kau harus enyah dari bumi 

kami!!" geram orang itu sambil menatap


papan pancang yang sudah bertebaran 

tak berdiri angkuh lagi.

Kemudian dengan satu sentakan ia 

menendang papan yang bertuliskan nama 

Van Eisen itu ke hadapan si petani 

yang sedang mencangkul. Si petani 

hanya bisa melongo keheranan dan sama 

sekali tak mengerti apa arti 

kehancuran simbolik yang diucapkan 

oleh orang itu.

"Kau bukan bangsa tempe yang mau 

memeras keringat untuk kesenangan dan

kekayaan penjajah semata-mata, bukan? 

Ayo injak papan itu demi kehormatan 

bangsa nusantara!!" perintahnya pada 

petani itu.

Setelah menyaksikan si petani 

menginjak papan itu atas perintahnya 

kemudian ia kembali meneruskan 

perjalanannya. Sedangkan si petani

hanya memandang orang itu dengan 

pandangan heran dan ia sama sekali tak 

tahu kalau pendatang bertudung caping 

itu tidak lain adalah Parmin murid 

tunggal Ki Sapu Angin yang kini dalam 

perjalanan sudah sampai di daerah 

Kandang Haur.

* * *


Pemuda dengan tudung caping itu 

menyabetkan goloknya berulang-ulang 

pada papan nama yang terpancang di 

pematang sawah itu

Saat itu di rumah Leonard Van 

Eisen terlihat orang berkepala botak 

berbaju kuning yang beberapa hari 

berselang membaca papan pengumuman 

sayembara yang dipasang di pasar, 

bertemu langsung dengan tuan Van 

Eisen. Ternyata ia mendaftarkan diri


untuk ikut membekuk maling yang 

dikenal dengan julukan Bajing Ireng. 

Si Botak memperkenalkan diri dengan 

nama Beruang Kuning Dari Gurun Gobi, 

minta bayaran yang sangat tinggi pada 

tuan Van Eisen.

"Kami sanggup memenuhi permintaan 

anda, asalkan anda dapat menangkap ma-

ling itu dalam keadaan mati atau 

hidup..!"

"Tuan akan melihat sendiri 

hasilnya nanti malam! Aku akan 

menangkap maling itu hidup-hidup!" 

jawab si Beruang Kuning dengan pasti.

"Bagus! Saudara harus membuktikan 

janji anda untuk menangkap maling itu 

ludup-hidup. Kalau janji anda meleset, 

maka anda akan tahu sendiri 

akibatnya!! Sekarang mari kita rayakan 

pertemuan mi dengan minum anggur, 

ayo...!" seru Van Eisen sambil 

menyodorkan gelas kepada Beruang 

Kuning.

Beruang Kuning menerima gelas 

yang disodorkan padanya. Tanpa ragu 

lagi ia menenggak habis isi gelas itu.

Demikian juga dengan Leonard Van 

Eisen.

Malam harinya seperti biasa di 

saat orang telah tidur dengan lelap. 

Sesosok tubuh serba hitam melompat-

lompat dan mengendap-endap seperti 

seekor Bajing di atas atap-atap rumah 

penduduk. Dia tak lain adalah Bajing


Ireng sang maling budiman penolong 

rakyat miskin.

Tiba-tiba sesosok bayangan lain 

berkelebat cepat ke atas atap salah 

satu rumah dan berdiri menghadang 

Bajing Ireng. Gerakan orang tersebut 

yang ternyata adalah Beruang Kuning 

dari Gurun Gobi, itu sukar diikuti 

dengan mata biasa. Bajing Ireng agak 

gentar menghadapi lawannya kali ini. 

Beruang Kuning tertawa terbahak-bahak. 

Suaranya mengandung tenaga dalam yang 

hebat sehingga membuat telinga menjadi 

pekak bagi siapa saja yang 

mendengarnya. Apa lagi bagi orang yang 

ilmu tenaga dalamnya masih rendah maka 

telinganya bisa menjadi tuli.

Bajing Ireng menggerakan ilmu 

pernapasan dan tenaga dalamnya untuk 

menghalau suara yang dilancarkan 

pendekar berkepala botak tersebut.

"Ha ha ha ha ha ha ha!! Pantas 

malingnya begitu lihai dan hebat. 

Tentu saja tak tertandingi oleh jago-

jago pribumi disini! Ternyata julukan 

Bajing Ireng tidak percuma kau 

sandang, karena gerakanmu memang mirip 

seekor bajing. Tetapi lebih baik kau 

menyerah saja, manis! Karena malam ini 

adalah malam terakhir petualanganmu, 

maling manis! Aku akan menyerahkan 

dirimu pada tuan Van Eisen!" kata 

Beruang Kuning dengan gaya rayuan yang 

tengik. Bajing Ireng menjadi panas


hati mendengar cara lawannya berbicara 

dan tarikan-tarikan wajahnya yang 

begitu nyinyir menyebalkan. Saat itu 

ia seperti menghadapi seorang dengan 

wajah seperti ketimun suri yang sudah 

lodo karena busuk.

"Bangsat! Siapakah kau, he 

bajingan gendut berkepala botak?! 

Pulanglah kau kembali ke negeri 

asalmu, botak!" hardik Bajing Ireng 

dengan nada begitu lugas dan ketus. 

Emosinya sebagai seorang perempuan 

terlihat begitu nyata.

Mendengar hinaan itu, Beruang Ku-

ning dari Gurun Gobi hanya tersenyum. 

Senyuman sinis penuh ancaman.

"Dunia persilatan di negeriku 

mengenalku dengan julukan Si Dewa Suci 

Penyebar Bala! Dan di negeri Jawa 

Dwipa ini aku bergelar Beruang Kuning 

dari Gurun Gobi sesuai dengan tempat 

asalku di sana!" jawab Beruang Kuning.

"Hi hi hi hi hi hi hi! Hai, Dewa 

Gundul! Kau datang jauh-jauh dari 

tanah leluhurmu hanya untuk membuat 

kegaduhan disini. Sesudah itu kau akan 

mengeruk kekayaan negeri kami untuk 

mengisi perut gendutmu yang seperti

gentong air itu! Kau memang benar-

benar bangsat!! Dan kau tak lebih dari 

sebuah benalu bagi bangsa kami, 

Beruang gundul!" kata Bajing Ireng 

dengan nada mengejek.


Dan hal ini membuat Beruang 

Kuning tak dapat lagi menahan 

amarahnya.

"Hayyaa! Aku tidak membutuhkan 

ocehanmu! Uang adalah raja dari segala 

raja! Manusia dapat dikendalikan 

dengan uang! Hidup ini hanya untuk 

uang! Hanya manusia bodoh saja yang 

tidak mau menggunakan kesempatan emas 

yang berada di depan mata!" katanya 

sambil merentangkan tangannya 

membentuk sebuah jurus. Agaknya inilah 

jurus pembukaan gaya Beruang Kuning.

"Oh, rupanya demikian sifat dari 

seorang dewa!" sindir lembut Bajing 

Ireng sambil membentuk kuda-kuda.

"Aku tidak akan mundur menghadapi 

manusia tengik macam kau! Majulah 

daripada hidup di bawah telapak kaki 

penjajah lebih baik mati berkalang 

tanah! Ayo gundul gendut!!" teriak 

Bajing Ireng menanti serangan Beruang 

Kuning.

Tanpa banyak bicara lagi, Beruang 

Kuning melancarkan serangan yang 

pertama dan merangsak Bajing Ireng. 

Jurus-jurus yang dilancarkan Beruang 

Kuning menderu-deru seperti angin 

puyuh. Bajing Ireng mengeluarkan semua 

ilmu yang dimilikinya dalam menghadapi 

serangan dari pendekar asing yang 

berilmu tinggi itu. Serangan demi 

serangan dilancarkan secara bergantian 

oleh pendekar itu sehingga udara di


sekitarnya bergetar dan merontokkan 

daun-daun kering akibat kehebatan 

tenaga dalam masing-masing.

Dengan cengkeraman, Beruang 

Kuning segera melancarkan serangan ke 

arah Bajing Ireng.


Para penjaga gudang penggilingan

beras datang berlari untuk menyaksikan 

pertarungan itu. Salah seorang dari 

mereka menunjuk ke atas dengan 

perasaan kagum dan terpesona.

"Lihat! Orang dari negeri 

seberang itu bertarung dengan Bajing 

Ireng di atas sana, lihat!!" teriaknya 

kepada teman-temannya.

"Kurasa kedua-duanya bukan orang 

sembarangan. Mereka memiliki ilmu 

meringan tubuh yang tinggi, sehingga 

dapat bertarung di atas atap rumah 

dengan lincah!" decak kagum dari para 

penjaga gudang beras menyaksikan 

kehebatan kedua orang itu.

Pertarungan sengit itu 

berlangsung cukup lama. Berpuluh-puluh 

jurus sudah mereka kerahkan tetapi 

pertarungan itu masih terlihat 

seimbang dan tampaknya pertarungan ini 

tak mungkin berakhir sampai pagi.

Suara ayam berkokok tidak menarik 

perhatian kedua orang yang sedang ber-

tarung, itu. Beruang Kuning justru 

semakin gencar melancarkan serangannya 

sehingga Bajing Ireng terdesak. Bajing 

Ireng merasa dirinya kewalahan, ia 

meloncat turun ke bawah diikuti oleh 

gerak salto Beruang Kuning yang terus 

mengejarnya. Pertarungan dilanjutkan 

di atas tanah yang mulai berembun.

"Hmm, lihatlah Bajing Ireng sudah 

mulai kelihatan terdesak oleh serangan


maut yang dilancarkan pendekar dari 

negeri seberang itu!!" komentar para 

penjaga gudang terus menyaksikan 

pertarungan tersebut dengan rasa ingin 

tahu yang kian menggebu.

Pertarungan mereka beralih menuju 

makam tua, suatu kawasan kuburan yang 

sudah ditumbuhi semak-belukar.

Suatu kesempatan tiba-tiba 

pendekar botak itu melancarkan 

serangan dan berhasil mengenai ulu 

hati Bajing Ireng.

"Aduh!" Bajing Ireng mengerang 

kesakitan. Tubuhnya melorot ke bawah 

tak sanggup berdiri lagi. Bajing Ireng 

terkulai lemas dan bersandar pada batu 

nisan salah satu makam tua di situ.

Seketika wajah Beruang Kuning 

berseri-seri melihat tubuh Bajing 

Ireng sudah tergolek tak berdaya dan 

suara tawanya memecah dinginnya udara 

pagi saat itu.

"Ha ha ha ha ha ha ! Sekarang kau 

baru mengakui kehebatanku? Kau tak 

dapat bergerak lagi dan semua orang 

tentu ingin tahu siapa sebenarnya 

Bajing Ireng!" teriak Beruang Kuning 

alias Dewa Suci Penyebar Bala kepada 

para penjaga gudang yang 

menghampirinya dengan berbondong-

bondong.

"Tahukah kalian? Kalian kan 

penduduk desa ini, bukan..? Tentu 

dapat mengenali wajah yang tersembunyi


di balik cadar hitam ini!" teriak 

Beruang Kuning kepada para penjaga 

gudang yang berkerumun mengelilingi 

Bajing Ireng yang sudah tak dapat 

berbuat apa-apa lagi.

"Tahukah kalian, berapa hadiah 

yang akan aku terima dari tuan Van 

Eisen ha? Lima kali lipat dari hadiah 

yang dijanjikan dalam sayembara itu! 

Bukankah ini suatu keberuntungan yang 

sangat besar, bukan? Selanjutnya aku 

akan hidup uncang-uncang kaki 

menikmati hadiah itu!" ujar Beruang 

Kuning dengan kesombongan yang membuat 

iri para jago-jago pribumi bila 

mendengarnya.

"Nah, cobalah kalian dekat 

kemari! Kita akan menyaksikan siapa 

sebenarnya maling ini!" kata Beruang 

Kuning meng-hampiri Bajing Ireng yang 

terbujur lemah tanpa daya dan menyerah 

kepada nasib. Walaupun dengan sekuat 

hati Bajing Ireng mencoba untuk 

bergerak, tetap seluruh persendian 

tubuhnya terasa lolos tak berfungsi 

lagi.

Beruang Kuning mengulurkan tangan 

untuk membuka cadar yang menutupi 

wajah Bajing Ireng.

"Jangan sentuh aku, bangsat!" 

teriak Bajing Ireng dengan cemas.

"Ha ha ha ha ha! Tenang saja anak 

manis. Aku dapat berbuat apa saja ter


hadap dirimu!" sahut Beruang Kuning 

semakin jumawa penuh kesombongan.

Ketika tangan kekar itu hendak 

membetot cadar dari wajah Bajing Ireng 

tiba-tiba sebuah batu melayang tepat 

mengenai tangannya, sehingga tangan 

Beruang Kuning yang menjulur itu 

ditariknya kembali sambil meringis 

kesakitan.

"Huh ! Siapa yang berani kurang 

ajar kepadaku? Ayo. Tunjukkan 

dirimu...!" umpat Beruang Kuning bagai 

disengat lebah.

Dan seketika berdirilah sesosok 

tubuh tegap bertudung caping di 

hadapan mereka. Orang itu melangkah 

dengan tenang mendekati Beruang Kuning 

yang masih terperangah kagum dengan 

ilmu tenaga dalam yang dimiliki orang 

itu. Para penjaga gudang segera 

mengurung orang itu dengan golok 

terhunus. Mereka telah memastikan 

bahwa siapapun yang datang membantu 

Bajing Ireng berarti musuh yang harus 

disingkirkan pula.

Parmin si pendekar bertudung 

caping segera memberi peringatan.

"Jangan sentuh gadis itu! 

Pergilah kalian menyingkir!" katanya 

dengan nada yang mantap dan berwibawa.

"Uh...uhh! Siapa kau, he? Mengapa 

kau membokongku?! Kau telah berani 

mencampuri urusanku! Siapa namamu, 

pemuda?" tanya Beruang Kuning sambil


terus memegangi tangannya yang melepuh 

biru akibat lemparan batu itu.

"Apalah arti sebuah nama? Nama 

bagiku tak begitu penting! Aku 

tekankan sekali lagi kalau ingin 

selamat segeralah menyingkir dari 

sini! He, pernahkah kau mendengar nama 

Syarif Hidayatullah?" tanya Parmin 

pada Beruang Kuning alias Dewa Suci 

Penyebar Bala.

Dengan sekali kibas, senjata-

senjata rahasia itu rontok 

berpelantingan


"Atau orang menyebutnya Sunan 

Gunung Jati. Beliau telah 

mempersunting seorang putri dari 

negerimu! Hmm, oleh karena itu 

seharusnya kau tidak menodai nilai-

nilai persahabatan itu!" sambungnya 

tanpa merasa gentar terhadap siapapun.

"Janganlah kau mengotori tanah 

Cirebon dengan segala ulahmu yang 

memuakkan!!" lanjut Parmin mengusir 

pendekar dari Gurun Gobi dengan nada 

keras dan menyakitkan.

Beruang Kuning merasa diremehkan 

oleh pemuda pribumi itu di hadapan 

para penjaga gudang seorang tuan tanah 

Belanda yang saat ini menumpahkan 

harapan kepadanya.

"Persetan dengan ocehanmu!!" 

teriak Beruang Kuning.

Lalu ia tiba-tiba berteriak 

sambil melontarkan senjata rahasianya 

ke arah Parmin. Senjata rahasia itu 

meluncur begitu cepat sehingga tak 

terlihat oleh pandangan mata biasa.

Melihat serangan yang dilontarkan 

oleh lawannya secara tak terduga, lalu 

Parmin secepat kilat mencabut golok 

yang terselip di pinggangnya, dan 

tiba-tiba

Ting! Ting! Ting! Ting! 

Terdengar suara benturan dua 

senjata yang terbuat dari logam. 

Pisau-pisau itu beradu dengan golok, 

melejit lalu menancap di tanah tanpa


dapat menyentuh sama sekali 

sasarannya.

"Ha ha ha ha ha ha! Percuma saja 

kau menggunakan senjata rahasiamu, 

kakek gundul!!" ujar Parmin sambil 

menyarungkan goloknya kembali.

Melihat senjata rahasianya 

berhasil ditangkis lawan dengan mudah 

Beruang Kuning menjadi geram sekali. 

Kemudian tanpa diduga ia melancarkan 

serangan ke aran Parmin. Tendangan 

Beruang Kuning hanya mengenai caping 

pemuda itu sampai terpental lepas 

sehingga terlihatlah wajah pemiliknya 

yang sangat tampan dan simpatik. 

Kehadirannya membuat pesona baru bagi 

dunia persilatan. Ia seorang pendekar 

yang naik darat bukan turun gunung 

seperti kebanyakan pendekar pada 

umumnya.

Bajing Ireng dan para penjaga 

menyaksikan pertarungan sengit itu 

berdecak kagum. Hanya beberapa jurus 

saja Parmin berhasil mendaratkan 

tendangan keras ke dahi Beruang 

Kuning. Tendangan tersebut sempat 

membuat tubuh lawannya mundur beberapa 

langkah ke belakang. Baru saja ia 

mengatur napas untuk membuka serangan 

baru, secepat itu pula sebuah 

tendangan telah mendarat lagi di dada 

Beruang Kuning.

Beruang Kuning memegangi dadanya 

merasakan sakit yang teramat sangat.


"U-huk! U-huk! Hoak....! Stop! 

Stop! Aku mengakui kau lebih unggul 

dariku. Tetapi jangan merasa bangga 

dulu, tunggulah saat pembalasanku...!" 

desisnya sambil terbatuk-batuk. Dari 

mulutnya mengalir darah kental, darah 

luka dalam rongga dadanya.

Parmin menghentikan serangannya.

Beruang Kuning berjalan 

sempoyongan. Kemudian ia melakukan 

gerakan salto meloncat ke atas atap 

sebuah rumah.

"Sampai berjumpa lagi, kawan!" 

katanya langsung menghilang di 

kegelapan malam menjelang remang pagi.

"Aku akan menunggumu walau sampai 

dunia kiamat!" teriak Parmin 

membiarkan Beruang Kuning pergi. Lalu 

ia menghampiri para penjaga gudang 

yang hanya berdiri mematung.

"Hei, kalian kerbau-kerbau dungu! 

Mengapa bengong di sini saja? Ayo 

pergi semuanya?" bentak Parmin.

Tanpa bicara sepatah katapun para 

penjaga gudang itu segera pergi menuju 

posnya masing-masing.

***

Parmin lalu mendekati Bajing 

Ireng yang masih tergeletak tak 

berdaya. Ia menatap Bajing Ireng penuh 

rasa kasihan dan perlahan-lahan duduk 

di sisi Bajing Ireng yang coba


beringsut menjauhi pemuda yang sama 

sekali tak dikenalnya.

"Ijinkanlah aku melepaskan 

totokan pada tubuhmu akibat serangan 

si Beruang Kuning itu!" kata Parmin 

dengan lembut.

Bajing Ireng menganggukkan 

kepalanya memberi ijin kepadanya. 

Parmin lalu membalikan tubuh Bajing 

Ireng dan memijit leher Bajing Ireng. 

Beberapa saat kemudian Bajing Ireng 

dapat menggerak-gerakkan tubuhnya. Ia 

lalu duduk bersila mengatur napas 

untuk memulihkan kesegaran tubuhnya.

"Aku sangat berhutang budi kepada 

anda!" ucap Bajing Ireng.

"Ah, kita adalah kawan 

seperjuangan sekarang. Tubuhmu sudah 

bebas dari pengaruh totokan itu. Nah! 

Ceritakan siapa dirimu sebenarnya!" 

pinta Parmin pada kawan barunya itu.

Tetapi Bajing Ireng hanya diam 

saja. Ia tak berani menceritakan siapa 

dirinya. Parmin dapat menangkap apa 

yang tersirat di hati Bajing Ireng.

"Ceritakanlah! Tidak apa-apa! Tak 

seorangpun mendengar percakapan kita! 

Ayo, ceritakan!" kata Parmin sambil 

mengamati daerah sekelilingnya untuk 

meyakinkan Bajing Ireng.

"Bolehkah aku menolongmu membuka 

cadar itu?"


"Boleh aku membuka cadarmu?"

Bajing Ireng kembali diam. Ia tak 

kuasa menolak permintaan Parmin.

Parmin kemudian membuka cadar 

yang menutupi wajah Bajing Ireng de-

ngan lembut dan perlahan-lahan sekali. 

Ia menatap wajah Bajing Ireng seakan-

akan tak percaya. Baru kali ini ia 

melihat gadis secantik Bajing Ireng. 

Parmin tidak menyangka bahwa gadis


secantik Bajing Ireng sudah mempunyai 

ilmu silat yang cukup tinggi dan 

berani berjuang melawan kekuasaan tuan 

tanah Belanda yang bercokol di desa 

kandang haur dan mencengkram daerah 

sekitarnya.

"Siapakah kau? Aku ingin 

mengenalmu lebih jauh!" bisik Parmin 

penuh harap.

Bajing Ireng menundukkan 

kepalanya menghindari tatapan pemuda 

yang baru dikenalnya tetapi telah 

terasa menyentuh kalbunya.

"Namaku Roijah! Aku adalah anak 

Pak Marto, kepala desa di sini!" sahut 

Bajing Ireng pelan.

Kemudian ia memberanikan diri me-

natap mata pemuda tersebut. Mata kedua 

anak muda itu sekilas beradu pandang.

"Siapakah anda? Kelihatannya anda 

adalah seorang pengembara." tanya 

Roijah tersipu malu dan pipinya tiba-

tiba merona merah jambu.

"Ya, benar! Namaku Parmin. Aku 

seorang pengembara yang datang dari 

pantai utara." jawab Parmin terus 

menatap wajah Roijah yang cantik 

rupawan. Hatinya bergetar segencar 

getaran yang ada di hati Roijah juga.

Roijah malu wajahnya dipandangi 

terus-menerus oleh Parmin. Ia hanya 

tertunduk diam. Demikian juga dengan 

Parmin. Ia menjadi serba salah.


"Hmm.... ilmu silatmu cukup 

tinggi! Boleh aku mengetahui gurumu? 

Barang-kali kau tidak berkeberatan 

untuk menyebutkannya, bukan?" tanya 

Parmin memulai kembali pembicaraan 

yang agak lama terhenti.

Roijah agak terkejut mendengar 

pertanyaan itu.

"Aku... aku... aku mempelajarinya 

di sebuah buku kuno!" sahutnya 

terbata-bata.

"Dari sebuah buku kuno? Darimana 

kau mendapatkan kitab itu?" tanya Par-

min merasa heran sambil terus menatap 

Roijah.

Roijah dipandangi Parmin seperti 

merasa malu. Lagi-lagi wajahnya 

memerah dan hatinya berbunga-bunga. Ia 

membuang wajahnya ke arah lain.

"Oh, mengapa kau menatapku 

seperti itu? aku malu! Berpalinglah ke 

arah lain!" kata Roijah dalam hati.

Parmin tersenyum dan segera 

memalingkan wajahnya membelakangi 

Roijah. Ia seakan dapat membaca isi 

hati Roijah.

"Baiklah! Aku menghadap ke sini. 

Rupanya kau masih gadis pingitan, 

ya..? Sekarang ceritakanlah bagaimana 

kau mendapatkan buku kuno tersebut!"

Roijah masih tertunduk membisu, 

maka Parmin membalikkan tubuhnya kem-

bali berhadapan dengan Roijah. Sejenak 

ia merhandangi wajah cantik yang tak


pernah jemu bagi siapa saja yang 

memandangnya.

Parmin menarik napas. Mendadak ia 

bicara terputus.

"Roijah, tahukah kau? Aku... 

aku... hatiku berkata bahwa aku telah 

mencintaimu!" kata Parmin dengan 

jantung yang berdebar-debar.

Roijah terkejut sekali mendengar 

keterus terangan Parmin. Tubuhnya 

terasa bergetar mendengar Parmin 

menyebut namanya. Begitu mesranya, 

sampai meresap ke dalam dada.

"Oh! Akupun.....ah! Aku malu 

mengatakannya! Sebenarnya tadi ketika 

kau memijit leherku, dadaku terasa 

bergemuruh! Sepertinya kau...aku juga 

mencintaimu!" desah Roijah lembut 

sekali sambil memalingkan wajahnya 

yang memerah ke arah lain.

Parmin senang sekali mendengar 

Roijah berkata begitu. Ia lalu 

memegang bahu Roijah mesra sekali. 

Dunia ini terasa indah. Kuburan di 

sekitarnya mereka seperti berubah 

menjadi taman sari yang ditumbuhi oleh 

aneka warna bunga.

Sementara itu sinar bulan 

menyelimuti malam yang menyongsong 

dini hari. Cakrawala begitu bening dan 

indah. Rinai embun yang turun menambah 

suasana malam itu menjadi sensual. 

Unggas-unggas malam dan rumput-rumput 

liar menjadi saksi pernyataan cinta


sepasang muda-mudi tersebut. Mereka 

begitu polos dalam mengutarakan 

perasaannya masing-masing. Kemudian 

mereka duduk di atas batu-batu makam 

yang beronggok tak bernisan lagi.

***

"Aku menemukan buku itu di atas 

tikar shajadah di dalam kamarku!" kata 

Roijah menceritakan asal mula buku 

kuno itu. Sementara Parmin duduk de-

ngan tenang sambil mendengarkan cerita 

Roijah dengan penuh perhatian.

"Sehabis mengambil air wudhu, aku 

terkejut sekali melihat buku yang 

entah darimana datangnya. Aku 

memperhatikan buku itu dan berniat 

untuk memberitahukan kepada ayah. 

Tetapi aku membaca serangkaian kata-

kata yang tertulis di halaman depan 

buku kuno tersebut. PELAJARILAH BUKU 

INI SAMPAI SELESAI DAN JANGAN ADA 

SEORANGPUN YANG BOLEH TAHU. Aku 

berpikir, siapa yang telah memberikan 

buku kuno ini? Lalu aku membuka 

halaman berikutnya. Sungguh di luar 

dugaan! Ternyata buku kuno itu berisi 

gambar-gambar yang melukiskan jurus-

jurus silat! Gambar-gambar itu 

sederhana namun mudah untuk 

dimengerti. Terlukis di atas lembar-

lembar kulit yang bersih dan tipis. 

Lembaran-lembaran buku itu dibundel


dan dijahit dengan benang dari kulit 

juga. Di samping itu yang lebih 

mengejutkanku adalah kutemukan pula 

satu stel pakaian silat serba hitam 

berikut sebuah cadar dan sebuah golok 

berhulu kayu hitam dengan ukiran 

berbentuk kepala bajing, kemudian aku 

mencoba pakaian itu dan mempelajari 

jurus-jurus yang tertera dalam buku 

itu. Aku mulai membaca bab pertama. 

Kitab itu ternyata bertulisan huruf-

huruf Arab dengan bahasa Jawa Cirebon. 

Aku mulai mempelajari jurus pertama. 

Tanganku menyilang di dada dan kedua 

kaki berdiri sejajar dengan tubuh agak 

merendah membentuk kuda-kuda. 

Begitulah sampai aku terasa lelah. 

Setiap malam selesai sholat, aku 

mempelajari kembali jurus demi jurus 

dengan tekun. Semua itu aku lakukan 

tanpa sepengetahuan ayahku. Setiap 

malam selesai sholat, aku selalu 

mengurung diri di kamar sehingga ayah 

sedikit curiga. Tetapi aku bilang 

padanya bahwa aku hanya sedikit merasa 

tidak enak badan atau alasan-alasan 

lainnya. Ayahku percaya saja!" kata 

Roijah dengan nada bersemangat sambil 

menggeser duduknya. Dan tanpa sadar ia 

semakin dekat dengan Parmin. Parmin 

sendiri bukan tidak tahu akan hal itu. 

Ia diam-diam mengulum senyum dengan 

harapan agar Roijah lebih dekat 

menggeser duduknya lagi.


Roijah kembali melanjutkan 

ceritanya.

"Begitulah terus-menerus setiap 

malam. Aku selalu mempelajari buku 

tersebut dengan sungguh-sungguh. 

Tepatnya pada bulan yang ketigapuluh 

aku dapat menyelesaikan bab terakhir. 

Semua jurus-jurusnya berjumlah seratus 

satu!" lanjut Roijah.

"Aku merasa puas dapat 

menjalankan amanat yang diberikan 

seseorang untuk mempelajari buku 

tersebut. Dan pada malam Jum'at 

dibulan Ramadhan menjelang makan sahur 

ketika aku sedang mempelajari jurus 

yang paling terakhir dengan semangat 

yang menyala-nyala, terdengar suara 

seseorang di luar jendela kamarku. Aku 

merasa terkejut sekali! Kemudian aku 

bergegas ke jendela untuk meyakinkan 

sumber tersebut.

"Selamat, muridku! Kau telah 

berhasil mempelajari buku itu dengan 

baik! Nah, sekarang kembalikanlah buku 

itu dan ikutlah aku keluar!" perintah 

suara itu pelan.

"Memang terdengar seperti orang 

yang berbisik tetapi sungguh aneh, 

suara itu terdengar begitu jelas 

ditelingaku." Lanjut Roijah.

"Aku segera membuka jendela dan 

aku terkejut! Dari pantulan sinar 

bulan terlihat sesosok tubuh berdiri 

di balik semak-semak. Kemudian orang


tersebut menghampiriku. Ternyata ia 

seorang nenek-nenek! Wajahnya yang 

keriput dengan rambut putih sebatas 

pinggang berjumbai-jumbai ditiup 

angin. Wajahnya masih terlihat cantik 

meskipun sudah tua. Aku memastikan 

bahwa di usia mudanya tentu dia 

seorang gadis yang cantik jelita!"

"Keluarlah, muridku! Aku akan 

memberi restu kepadamu!" ujar nenek 

itu dengan suara yang tenang. Kedua 

tangannya terbentang untuk 

menyambutku.

"Baik, guru!" kataku lalu 

meloncat keluar menghampirinya dan aku 

segera bertekuk lutut di hadapannya 

sebagai pernyataan hormat seorang 

murid kepada gurunya.

"Kau sudah menguasai ilmu silat 

Dermayon! Aku adalah Nini Sari! 

Sekarang kau resmi menjadi muridku. 

Aku akan memberimu pelajaran ilmu 

meringankan tubuh agar kau dapat 

dengan mudah melompat-lompat seperti 

seekor bajing."

"Aku menganggukkan kepala. Kemu-

dian ia membawaku ke suatu tempat yang 

sangat terpencil. Setelah sampai ia 

berdiri tegak di depan sebuah pohon 

yang besar dan tinggi. Aku 

memperhatikan guruku dengan penuh rasa 

ingin tahu apakah yang akan ia 

lakukan? Tiba-tiba guruku meloncat ke 

atas dahan pohon itu. Aku hanya diam


memperhatikan guruku yang sudah 

berdiri diatas dahan pohon itu. 

Kemudian guruku menggerakan jarinya 

mengisyaratkan agar aku mengikuti apa 

yang dilakukannya. Aku meloncat ke 

atas salah satu dahan pohon yang lain. 

Lalu guruku segera menjatuhkan dirinya 

seperti seekor kelelawar yang sedang 

tidur. Kepalanya menjuntai ke bawah 

sedangkan kakinya menjepit dahan 

tersebut yang semula sebagai tempat 

berpijak. Kedua tangannya tersedakep 

menyilang di dada aku mengikuti apa 

yang dilakukan guruku tanpa banyak 

bicara. Mula-mula aku hampir saja 

terjatuh ke bawah ketika mencoba 

posisi bergelantung dengan kepala 

dibawah, karena jepitan kakiku pada 

dahan pohon kurang kuat dan hampir 

terlepas! Tapi lama kelamaan aku dapat 

menguasai diri dan bisa menggelantung 

seperti kelelawar yang dicontohkan 

Nini Sari guruku. Namun sekarang 

timbul masalah baru! Kepalaku pusing 

seakan-akan seluruh darah dalam 

tubuhku menumpuk di kepala dan 

kepalaku rasanya akan meledak! Itupun 

akhirnya dapat kuatasi atas petunjuk 

guruku melalui sistim pernapasan, 

sehingga aliran darah dapat terbagi 

rata secara normal seperti posisi 

dalam keadaan berdiri."

"Ternyata guruku mengetahui semua 

kesulitanku!"


"Atur napasmu dengan baik! Jurus 

pertama ini merupakan kunci dari ilmu 

meringankan tubuh yang akan kutu-

runkan kepadamu, muridku!' katanya 

tenang, mantap dan penuh wibawa.

Untuk pertama kali Roijah merasa 

sulit untuk bergantung dengan kaki di 

atas dahan seperti seekor Kelelawar 

yang sedang tidur itu.


"Aku merasa malu dan kagum pada 

guruku. Ia dapat merasakan getaran tu-

buh ku dan suara napasku yang tidak 

teratur. Betapa tinggi ilmu silat yang 

dimilikinya. Padahal jarak antara 

dahan pohon yang kugelantungi dengan 

dahan yang digelantungi guruku cukup 

jauh! Mungkin karena meniru posisi 

kelelawar tidur maka pendengarannyapun 

menjadi tajam seperti kelelawar! 

Demikianlah setiap malam aku 

digembleng oleh guruku. Dan pada bulan 

pertama aku dapat menguasai jurus 

pertama dengan sempurna. Melihat aku 

sudah dapat menguasai jurus yang 

diberikannya, guruku mulai memberikan 

jurus berikutnya. Guruku berjalan 

mencari pohon yang cabang-cabangnya 

bersudut siku agar dapat ditiduri 

dengan baik. Lalu ia melompat dengan 

ringannya ke cabang pohon itu. Ia 

tidur terlentang pada salah satu 

cabang tak ubahnya seperti orang yang 

tidur diatas tempat tidur saja. 

Tangannya disilangkan di perut. 

Semakin lama semakin aku tahu betapa 

tinggi ilmu meringankan tubuh yang 

dimiliki guruku, betapa tidak! Dari 

cabang pohon yang besar kemudian 

beralih rebah terlentang di cabang-

cabang pohon yang lebih kecil. Aku 

lalu melompat juga ke cabang-cabang


pohon itu mengikuti segala yang 

dilakukan oleh guru!"

Roijah menarik napas panjang.

"Demikianlah setiap malam aku 

selalu keluar rumah melalui jendela 

untuk menerima gemblengan dari guruku. 

Semua itu kulakukan dengan tekun dan 

semangat yang menyala. Kemajuan-

kemajuan yang kucapai dalam latihan 

itu begitu cepat bukan semata-mata 

karena bakat, tetapi karena kemauan 

serta semangat yang tinggi. Selain itu 

guruku pernah berkata bahwa semangat 

yang ada pada diriku timbul karena 

rasa benci kepada penjajah Kumpeni 

Belanda yang mengakibatkan rakyat 

hidup semakin miskin dan sengsara".

"Demikianlah akhirnya pada bulan 

yang ketigapuluh aku berhasil 

menamatkan pelajaran ilmu meringankan 

tubuh itu. Jadi jumlah seluruh waktu 

untuk menuntut ilmu silat itu adalah 

enam puluh bulan atau lima tahun. Itu 

adalah waktu yang sama bagi seorang 

gadis untuk menjalankan masa pingitan

dari usia tiga belas tahun sampai usia 

delapan belas tahun!" Sambung Roijah.

"Muridku, kau telah berhasil me-

nguasai semua ilmu yang kuberikan! 

Nah, mulai sekarang kau harus 

menggunakan ilmu itu untuk menegakkan 

kebenaran dan keadilan dibumi ini. Dan 

kau jangan takabur tetapi harus 

bersikap tawadhu...! Ingat pesanku


baik-baik!" ujar guruku sambil 

mengelus-elus bahuku.

"Aku akan menjalankan perintah 

guru! Dan akan menumpas segala bentuk 

kejahatan dibumi ini!" kataku dengan 

penuh kesungguhan dan menanamkan tekad 

dalam kalbu.

"Maka sejak saat itu guruku pergi 

meninggalkan aku dan kembali ke tempat 

dari mana ia datang. Pada awalnya 

perpisahan itu begitu berat kurasakan, 

karena ia bukan hanya sebagai guru 

yang memberiku ilmu silat tapi ia juga 

sebagai ibu yang menyayangiku dengan 

sepenuh jiwanya." kata Roijah 

mengakhiri kisahnya kepada Parmin.

***

"Dan aku sebagai gadis pingitan, 

rasanya tak ada jalan lain bagiku 

untuk menolong bangsaku sendiri selain 

menjadi seorang pencuri beras dari 

gudang milik tuan Van Eisen! Aku tak 

tahan melihat penderitaan rakyat!" 

kata Roijah kesal.

Parmin menggeser duduknya lebih 

dekat kepada Roijah. Sinar matanya 

berbinar.

"Aku bangga melihatmu, Roijah!" 

kata Parmin dengan senyum dan 

pandangan penuh arti.

"Ditengah-tengah kebejatan moral 

bangsa yang dijajah ini masih ada pula


orang yang berjiwa patriot seperti 

kau!"

Roijah merasa senang dipuji oleh 

laki-laki yang dicintainya.

Parmin lalu berdiri. Sedangkan 

pandangannya tak lepas-lepas dari 

Roijah, yang sibuk membenahi 

rambutnya. Rambut yang semula 

dibiarkan tergerai sebatas pinggang 

itu kini dibuntelnya menjadi berbentuk 

sanggul. Dengan dandanan rambut 

seperti itu, Parmin melihat Roijah 

menjadi seorang gadis yang lebih 

dewasa dengan kecantikan yang anggun.

"Marilah kita membulatkan tekad 

untuk berjuang mengusir penjajah dari 

negeri ini bahu-membahu, Roijah!" seru 

Parmin seraya mengepalkan tangan 

kanannya.

Roijah menganggukkan kepalanya 

tanda setuju. Disusul pula dengan 

acungan tangan kanan yang mengepal.

Sementara itu di ufuk timur mulai 

terang dan tak terasa ayam telah mulai 

berkokok. Dinginnya malam berangsur-

angsur mulai terusir.

Parmin menghampiri Roijah. Lalu 

ia memegang bahu Roijah lembut dan 

mesra. Wajah mereka begitu dekat. 

Roijah menundukkan kepalanya tak 

sanggup membalas tatapan Parmin yang 

terasa menembus jantung Roijah 

sehingga jantungnya berdetak keras.


Suara kokok ayam bersahut-sahutan 

bahkan terasa tenggelam oleh 

gemuruhnya dada sepasang muda-mudi 

yang sedang dilanda cinta itu.

"Sekarang hampir menjelang subuh! 

Cepatlah kau pulang dan kita berjumpa 

kembali besok untuk menyusun kekuatan! 

Pulanglah Roijah...!" kata Parmin be-

gitu mesra sambil mencium kening 

Roijah.

Jantung Roijah terasa berhenti 

saat Parmin mencium keningnya. Ia 

merasa sangat bahagia saat itu. Roijah 

hanya tertunduk diam seribu bahasa. 

Parmin mengangkat wajah Roijah dan 

ditatapnya dalam-dalam. Dalam sekali 

seperti seorang yang menyelami sebuah 

telaga hati yang bening dan teduh.

"Pulanglah!" seru Parmin.

Roijah membalas tatapan Parmin 

dengan hati yang berbunga-bunga 

seperti ledakan bunga yang tiba-tiba 

mekar dengan indahnya.

"Baiklah, aku segera pulang, kang 

Parmin!" sahut Roijah lembut.

Tanpa sengaja Roijah memanggil 

kang kepada Parmin, sesuatu yang 

mengandung arti khusus.

Kemudian mereka berjalan 

berlawanan arah sambil melambaikan 

tangan tanda berpisah. Roijah berjalan 

perlahan-lahan membawa perasaan 

bahagia.

Begitu juga dengan Parmin.


***

Beberapa waktu kemudian secara 

serempak terjadilah pemberontakan-

pemberontakan para petani kepada tuan-

tuan tanah. Mereka menuntut haknya 

supaya tanah mereka dikembalikan. 

Kerusuhan itu terus menjalar sampai 

kotapraja Cirebon. Mereka mendatangi 

rumah tuan-tuan tanah beramai-ramai 

sambil mengacungkan senjata mereka 

masing-masing. Ada yang bersenjata 

golok, parang, kayu, arit, sekop dan 

sebagainya. Para tuan tanah kewalahan 

menghadapi mereka dan para tuan tanah 

menyampaikan hal ini ke Residen, agar 

segera mengambil tindakan yang tegas 

guna menanggulangi para pemberontakan 

itu secepatnya.

Pihak pemerintah Kumpeni Belanda 

yang berkepentingan dengan tanggung 

jawab keuntungan terhadap pemerintah 

pusat di Negeri Belanda, merasa perlu 

mempertahankan kekuasaan para tuan 

tanah Belanda sebagai sumber devisa 

bagi negaranya di eropa sana. Oleh 

karena itu Kumpeni Belanda segera 

mengerahkan segenap kekuatan 

militernya, mengirimkan serdadu 

beserta persenjataannya untuk menumpas 

pemberontak para petani di seluruh 

wilayah karesidenan Cirebon.


Akibatnya banyak korban jatuh, 

terutama di pihak para petani dan 

rakyat kecil yang tak berdosa. Sebagai 

penguasa setempat, Residen merasa 

serba salah. Residen sebagai penguasa 

sipil harus bertanggung jawab kepada 

penguasa militer Kumpeni Belanda dan 

bertanggung jawab kepada masyarakat 

sebagai warganya yang terdiri dari 

para tuan tanah serta rakyat pribumi 

tanah jajahan. Kedudukannya benar-

benar terjepit seperti menghadapi buah 

simalakama, dimakan ibu mati tidak 

dimakan bapak mati. Tapi biar 

bagaimanapun Residen harus berani 

mengambil keputusan yang terbaik. 

Keputusan yang fragmatis bagi 

kehidupan sebuah negeri jajahan.

Kemudian atas kebijaksanaan 

Residen, maka para tuan tanah harus 

mengembalikan tanah-tanah kepada 

pemiliknya masing-masing. Keputusan 

tersebut disambut gembira oleh rakyat 

Cirebon. Sedangkan para tuan tanah 

menganggap keputusan itu sangat 

merugikan mereka. Akhirnya dengan 

terpaksa mereka mengembalikan tanah 

kepada pemiliknya masing-masing.

Kini rakyat Cirebon bagian utara 

telah mulai mengerjakan tanahnya kem-

bali dengan tenang tanpa pemerasan 

dari tuan-tuan tanah Belanda. Dan 

mereka tidak perlu membayar pajak 

tanah.


***

Demikian juga dengan tanah Pak 

Kinong dan Bu Kinong.

Mereka kelihatan sangat gembira 

menggarap tanahnya sendiri. Peluh mem-

basahi seluruh tubuh Pak Kinong. 

Wajahnya terlihat begitu cerah di 

siang hari meskipun tubuhnya terasa 

lelah.

Sementara itu dari kejauhan Bu 

Kinong berjalan membawa bakul yang 

berisi makanan untuk Pak Kinong yang 

sedang duduk istirahat di pinggiran 

sawahnya melepaskan lelah sambil 

memandangi tanah yang habis 

dicangkulnya.

"Pak, makanan sudah siap!" teriak 

Bu Kinong sambil menurunkan bakul di 

punggungnya.

Melihat istrinya sudah menyiapkan 

makan, Pak Kinong langsung 

menghampirinya. Mereka berdua duduk 

dibawah pohon yang rindang sambil 

menyantap makanan dengan lahap walau 

cuma dengan lauk ikan asin, sambal dan 

sayur bening.

"Hmm... akhirnya kita dapat 

menggarap tanah kita kembali ya, Bu! 

Kita harus bersyukur kepada Tuhan yang 

telah memberikan KaruniaNya kepada 

kita ya, Bu?" kata Pak Kinong sambil


menyendok sayur bening kesukaannya dan 

dituangkan di atas nasinya.

"Ya, Pak! Kita harus bersyukur! 

Tapi kau habiskan dulu nasimu baru 

bicara lagi. Nanti batuk!" seru Bu 

Kinong mengingatkan suaminya.

Pak Kinong menuruti kata 

istrinya. Setelah selesai makan, pak 

Kinong lalu kembali melanjutkan 

pembicaraannya, sementara Bu Kinong 

membenahi bakulnya.

"Ini berkat jasa kepemimpinan se-

orang pendekar dari pantai utara 

Eretan itu, Bu! Ternyata dia yang 

telah memompakan semangat kemerdekaan 

kepada rakyat di segala pelosok 

kampung di seluruh wilayah Karesidenan 

Cirebon ini!" kata Pak Kinong sambil 

menghisap rokok kawungnya seperti 

biasa.

Bu Kinong agaknya tidak mau 

kalah. Maka ia membanggakan seseorang 

dari jenis kaumnya.

"Hei, Pak! Bukan cuma karena jasa 

pemuda Eretan itu saja! Tapi jangan 

lupa pula keberadaan pendekar wanita

yang terkenal dengan nama Bajing Ireng 

yang pernah menolong kita tempo hari. 

Ternyata tidak lain dia itu putrinya 

Pak Marto, kepala desa kita sendiri!!"

"Tentu saja aku tak mengabaikan 

jasa Bajing Ireng, Bu! Apalagi dia 

pernah menolong kita sewaktu 

kelaparan. Tanpa dia mungkin si Kinong


tidak hidup sampai sekarang!" ujar Pak 

Kinong sambil menyulut rokok kawungnya 

yang tiba-tiba mati tertiup angin. 

Berkali-kali ia menyalakan batu 

pemantik api namun gagal, membuat ia 

menggerutu.

"Apa cita-citamu untuk anak kita 

si Kinong, Bu?"

"Aku akan minta kepada Tuhan Yang 

Maha Kuasa agar si Kinong kelak 

menjadi seorang pendekar seperti 

Bajing Ireng, Pak!" sahut Bu Kinong 

sambil pandangan matanya menerawang ke 

langit. Hening sejenak.

"Eh, Pak! Jang Parmin dan Neng 

Roijah itu pantasnya jadi suami-istri 

saja...! Benar-benar pasangan yang 

cocok, serasi! Pemudanya tampan dan 

gagah sedangkan gadisnya cantik 

jelita. Anu... seperti Arjuna dan 

Srikandi ya, Pak?" kata Bu Kinong 

seakan-akan mewakili kehendaknya 

sendiri, dan ia ingin melihat pemuda 

dari Eretan itu menjadi suami Bajing 

Ireng.

"Sayang, Pak Marto tak sudi punya 

menantu seorang pemuda yang ia anggap 

sebagai musuh, musuh pemerintah Kum-

peni Belanda dan musuh bagi dirinya!" 

jawab pak Kinong dengan sengit seakan-

akan ia pun mewakili kehendaknya 

sendiri untuk menyatakan protes kepada 

kepala desanya.


"Ya ya! Oleh sebab itu jadinya 

mereka terpaksa mengadakan pertemuan 

secara diam-diam dan sembunyi-

sembunyi. Sebaliknya Pak Marto sendiri 

mengancam akan menangkap Parmin dengan 

tuduhan maling bila ia suatu saat 

memergoki pertemuan mereka itu! Huh! 

Orang tua macam apa itu? Kepada 

anaknya sendiri tega berbuat sekejam 

itu!!" tak kalah sengitnya Bu Kinong 

bicara.

***

Malam semakin larut. Angin 

bertiup dengan lembut. Bulan purnama 

memancarkan sinarnya menerangi seluruh 

alam. Suara serangga malam membuat 

suasana malam itu menjadi ceria dan 

indah. Para penduduk telah tidur 

lelap. Mereka sudah terbuai mimpi yang 

indah. Mimpi tentang panen yang 

berlimpah-ruah, dan mimpi tentang 

kehidupan yang layak tanpa kehadiran 

segala bentuk penjajahan dan 

pemerasan.

Tapi lain halnya dengan Roijah. 

Ia belum dapat memejamkan matanya. 

Hatinya begitu gelisah. Sekali-kali ia 

membalik-balikkan tubuhnya di atas 

tempat tidur. Ia teringat kembali saat 

pertemuannya yang pertama dengan 

Parmin. Ia tersenyum sendiri tatkala 

mengingat saat Parmin mencium


keningnya. Hatinya merasa rindu sekali 

kepada Parmin kekasihnya.

Di saat Roijah sedang 

membayangkan wajah Parmin yang tampan 

dan simpatik tiba-tiba ia dikejutkan 

dengan terdengarnya sesuatu yang 

memecahkan kesunyian malam itu.

"Hmm.... malam-malam begini 

kudengar suara seruling demikian 

merdunya. Lagunya adalah kidung 

kesayanganku! Siapa yang meniup 

seruling itu? Aku jadi penasaran!" 

desah Roijah dalam hati.

Suara seruling itu terdengar 

begitu merdu dan syahdu sekali seakan-

akan melukiskan perasaan orang yang 

meniupnya. Perasaan menahan rindu yang 

mendalam.

Roijah perlahan-lahan bangkit 

dari tempat tidurnya. Ia sepertinya 

diperintah oleh sanubarinya untuk 

menghampiri suara tersebut. Pakaian 

yang melekat ditubuhnya masih lusuh 

tidak karuan. Ia lalu berdiri 

menghadap cermin yang terletak persis 

di depan tempat tidurnya. Segera ia 

membenahi diri.

Setelah selesai berhias diri, 

Roijah berjalan ke arah jendela untuk 

melihat siapa gerangan yang meniup 

seruling itu.

Lalu Roijah membuka jendela kamar 

tidurnya perlahan-lahan.


Sinar bulan langsung menerobos ke 

dalam kamar tidur yang sengaja 

dimatikan lampunya oleh Roijah agar 

tidak ketahuan oleh orang yang sedang 

meniup seruling itu.

Roijah memperhatikan orang itu.

"Heh?! Oh... tak kusangka 

ternyata dialah yang meniup seruling 

itu!" gumam Roijah seakan tak percaya.

Benarlah ternyata dia adalah 

Parmin!

Roijah tertegun memandang Parmin 

yang sedang meniup seruling sambil 

berdiri di luar pekarangan rumahnya.

Dan sebaliknya Parmin tidak 

mengetahui bahwa dirinya sedang 

diperhatikan oleh Roijah. Ia sedang 

menikmati lagu yang dibawakannya 

melalui alunan suara seruling.



Ternyata peniup seruling itu tak 

lain adalah Parmin, pemuda yang sedang 

dirindukannya.

Tiba-tiba Roijah memberi sebuah 

isyarat.

"Sstt....!!" seru Roijah.

Parmin segera menghentikan 

lagunya karena mendengar suara seorang 

wanita. Lalu ia menoleh ke arah 

jendela sumber suara tersebut. 

Dilihatnya Roijah berdiri memakai 

kebaya dengan rambut berbentuk sanggul 

tersenyum di ambang jendela kamarnya.

Tanpa bicara lagi Parmin segera 

menghampiri Roijah.

Ia melompati pagar yang berada di 

depannya dengan sigap.

"Belum tidur kau, sayang? 

Lihatlah bulan purnama di atas sana 

bersinar begitu indahnya memanggil 

kehadiran kita berdua...!" kata Parmin 

dengan nada penuh harapan.

Wajahnya menengadah keatas 

memandang keindahan sinar bulan 

purnama. Roijah ikut menengadahkan 

wajahnya memandang langit dengan 

perasaan yang sama. Tetapi perasaan 

itu sirna kembali dengan perasaan 

rindu yang mendalam.

Kemudian Parmin memegangi tangan 

Roijah dan meremasnya dengan erat.


Roijah membalas meremas tangan Parmin 

dengan erat pula.

"Aku terbangun oleh alunan 

serulingmu!" kata Roijah pelan.

Parmin tersenyum memandang Roijah 

yang semakin erat meremas jarinya.

Mereka saling pandang-pandangan. 

Tetapi tiba-tiba Roijah memalingkan 

wajahnya merasa malu. Parmin kembali 

tersenyum memandang wajah Roijah de-

ngan senang.

Dari jauh terdengar sayup-sayup 

suara kentongan dipukul oleh para 

ronda yang sedang berkeliling kampung. 

Suara itu menyadarkan Roijah yang 

kemudian melongokkan kepalanya menoleh 

ke kiri dan ke kanan mengamati daerah 

sekeliling rumahnya dengan cemas! 

Takut-takut kalau ada orang yang 

melihat mereka.

"Cepatlah kau masuk! Nanti ada 

ronda datang kemari!" seru Roijah pada 

Parmin yang masih memegangi tangannya.

Wajahnya terlihat sangat cemas 

dan takut. Parmin lalu segera masuk ke 

dalam kamar Roijah meloncat melalui 

jendela.

Kemudian Roijah mengamati keadaan 

di luar untuk menyakinkan bahwa tidak 

ada orang yang sedang berdiri 

mengamati keadaan kamar tidurnya 

sambil tersenyum.


Parmin membalikkan tubuhnya dan 

terkejut melihat Roijah sudah berdiri 

di hadapannya. Ia tersenyum.

"Besok aku berangkat ke selatan,

Roijah!" kata Parmin sambil menggapit 

tangan Roijah dan digenggamnya erat-

erat.

Roijah agak terkejut mendengar 

apa yang dituturkan Parmin. Wajahnya 

melukiskan ketakutan dan kecemasan. 

Tapi sedapat mungkin ia menekan 

perasaan itu agar tak terlihat di 

hadapan Parmin. Ia harus tetap berjiwa 

besar.

"Aku akan berdoa untuk 

keselamatan dan keberangkatanmu, kang 

Parmin...!" Ujar Roijah membalas 

genggaman tangan Parmin erat sekali. 

Seakan-akan ia tidak mau ditinggalkan. 

Dan tanpa terasa air matanya yang 

meleleh jatuh dikedua belah pipinya.

Parmin terharu melihatnya.

"Mengapa kau menangis, sayang?" 

kata Parmin sambil memegang dagu indah 

milik Roijah.

"Seorang pendekar tak pantas 

mengeluarkan air matanya di saat-saat 

seperti ini!!" bujuk Parmin menyeka 

air mata Roijah dengan penuh 

kelembutan.

Roijah menatap Parmin dalam-

dalam.

"Sebagai seorang wanita, aku 

menangis meratapi kesepian yang akan


kuhadapi setelah kau pergi. Aku akan 

merasa kehilanganmu! Ingin rasanya aku 

meninggalkan kamar yang membosankan 

ini untuk turut serta mendampingimu 

dalam menjalankan tugas tersebut!" 

desah Roijah merebahkan kepalanya di 

atas dada Parmin yang bidang. Ia 

menemukan kesejukan di sana.

Parmin mendekap tubuh Roijah erat 

sekali. Kehangatan rasa cinta yang 

suci dan menggelora menjalari tubuh 

mereka saat ini. Parmin dapat 

merasakan debar jantung Roijah melalui 

pelukannya.

Kemudian Parmin membelai rambut 

Roijah dengan mesra.

"Sabarlah, sayang....! tugas yang 

lebih besar dan mulia telah menanti 

kita. Jika tugas itu telah aku 

jalankan, kita akan segera berkumpul 

kembali!" kata Parmin penuh kasih 

sayang.

Tangannya kembali membelai ujung 

rambut halus yang tumbuh dikening 

Roijah. Rambut halus seperti itu akan 

dipangkas habis bila seorang gadis 

habis masa pingitannya dan siap 

memasuki jenjang perkawinan.

Dan Roijah semakin erat mendekap 

Parmin. Seakan-akan ia tak mau diting-

galkan oleh Parmin.

"Parmin! Kaulah laki-laki yang 

pertama yang telah menyentuhku! Ayah


terlalu kejam!" isak Roijah lebih erat 

lagi mendekap Parmin.

"Sudahlah jangan menangis, 

sayangku! Percayalah, aku akan cepat 

kembali setelah tugas itu selesai. Dan 

aku akan kembali untuk meminangmu, 

Roijah...! Nah, selamat tinggal, 

sayang! Aku pergi, ya?" ujar Parmin 

mencium kening Roijah dengan lembut 

dan penuh perasaan. Lama sekali. 

Seakan-akan Parmin ingin meresapinya 

dalam-dalam. Roijah memejamkan matanya 

menikmati ciuman itu. Parmin 

melepaskan ciumannya. Kemudian ia 

menatap wajah Roijah lekat-lekat dan 

berjalan menghampiri jendela. Parmin 

lalu membuka jendela dan meloncat 

keluar sambil melambaikan tangannya. 

Roijah membalas lambaian tangan Parmin 

melepas kepergian sang kekasih dengan 

setulus hati. Dan Roijah berdoa dalam 

hati agar Tuhan selalu melindungi 

Parmin dan semoga Tuhan merestui 

pertautan tali kasih diantara mereka.

Kemudian Roijah menutup 

jendelanya. Ia langsung merebahkan 

tubuhnya di atas tempat tidur. Tak 

lama kemudian ia memejamkan matanya. 

Sementara itu Parmin terus berjalan 

menembus kegelapan malam untuk 

menunaikan tugas yang dibebankan oleh 

agama, bangsa dan tanah airnya.

***


Ketika Parmin melangkahkan kaki 

dari pekarangan rumah Bek Marto, 

belasan pasang mata dengan tajam 

mengikutinya dari kegelapan rumpun-

rumpun pohon di sekelilingnya. Naluri 

pendekar muda dari daerah pantai 

Eretan ini segera menangkap segala 

yang mencurigakan itu, tetapi ia 

berusaha untuk bersikap setenang 

mungkin dan melangkah dengan mantap 

meninggalkan desa Kandang Haur.

Persis di batas desa, beberapa 

sosok tubuh berloncatan menghadang dan 

mengepung Parmin dari segala penjuru. 

Mereka adalah jago-jago bayaran yang 

didatangkan dari desa-desa lain. Yang 

lebih istimewa kali ini adalah 

kehadiran beberapa serdadu Kumpeni 

Belanda dengan senjata lengkap bedil, 

pestol dan kele-wang. Mereka berdiri 

berjajar siap-siaga di belakang 

barisan jago-jago pribumi.

"Tidak semudah itu kau 

meninggalkan Kandang Haur setelah kau 

hancurkan segala rencana Tuan Van 

Eisen!" tampil salah seorang dari 

mereka yang mewakili siapa yang 

merencanakan pencegatan itu.

"Tuanmu itu sebenarnya seorang 

sipil Belanda tetapi mengatas namakan

semua usaha dan kegiatannya di daerah 

ini kepada serdadu Kumpeni Belanda. 

Dia menggunakan serdadu Kumpeni


sebagai tameng! Bagiku sama saja, Van 

Eisen mau pun Kumpeni Belanda adalah 

penjajah negeri kita!" Parmin bicara 

dengan nada penuh penekanan agar jago-

jago bayaran yang terdiri dari orang-

orang pribumi itu menyadari siapa 

sebenarnya mereka.

"Kami tak butuh kotbahmu, santri 

busuk!"

"God Verdome Ceg!" terdengar 

makian dari barisan belakang dan 

disusul oleh bunyi kokangan senjata 

mesiu.

"Terserah kalian dan kalian boleh 

singkirkan aku! Tetapi bagi ku 

berpantang mati sebelum ajal, karena 

nyawaku bukanlah milik kalian. Soal 

hidup dan mati hanya di tangan Tuhan!" 

jawab Parmin dengan tegas.

"Tutup bacotmu, bangsat!" disusul 

dengan isyarat penyerangan, maka 

serempak jago-jago bayaran itu 

meluncur dengan nafsu membunuh yang 

ganas dan keji.

"Haiiiiit!!" Parmin menangkis 

kian-kemari dibarengi dengan gerak 

sepasang kakinya yang bergerak lincah 

sambil sesekali melancarkan tendangan 

yang telak, sehingga pada gebrakan 

pertama itu tiga orang pengeroyoknya 

dibuat terpelanting.

Sementara itu serdadu Kumpeni Be-

landa yang berfungsi sebagai backing 

tak bisa berbuat apa-apa menghadapi


pertarungan yang semrawut ini. Pestol 

dan bedilnya tak bisa mereka gunakan, 

karena kuatir menembak orang-orang 

bayaran itu.

Beberapa orang jago pribumi 

bertumbangan ke tanah terkena hantaman 

jurus-jurus silat Gunung Sembung yang 

konon dulu adalah ilmu silat para wali 

dalam menghadapi kekerasan selama 

mereka menjalankan tugas penyebaran 

agama. Namun dilain fihak, beberapa 

buah sayatan senjata tajam berhasil 

juga menerobos pertahanan Parmin dan 

masih terbatas dengan koyaknya baju 

dan celana yang dipakainya.

Pendekar muda ini benar-benar 

mengamuk bagaikan banteng ketaton. 

Lawan-lawan yang ganas itu hampir 

seluruhnya telah ambruk dan 

berpelantingan seperti diterpa angin 

beliung. Kini tinggal beberapa 

gelintir orang saja yang tersisa dan 

itupun sudah kepayahan dengan gerak 

limbung dan ngawur.

Melihat hal itu, serdadu-serdadu 

Kumpeni belanda segera mencabut 

kelewangnya dan menyerang secara 

berbarengan.

"Mampus kowe orang! Hiyaaaaa!!" 

tetapi begitu mereka menyerbu sasaran, 

Parmin tiba-tiba melesat ke udara 

dengan sebuah loncatan disusul dengan 

tendangan kedua kakinya secara


bersamaan menghantam kepala dua orang 

serdadu yang terdekat.

"Duivel!" umpat mereka 

sempoyongan dengan pandangan mata yang 

penuh kunang-kunang, lalu roboh ke 

tanah.

Parmin mendarat tepat di belakang 

dua orang serdadu yang masih terkesima 

dengan loncatan mendadak tersebut. 

Begitu mereka menoleh ke belakang, ta-

ngan Parmin yang mengepal menghajar 

wajah mereka sehingga terhuyung-huyung 

dengan bibir masing-masing pecah 

berhamburan darah.

"Untuk menghadapi kalian tak 

perlu aku memakai senjata, kalau perlu 

aku bisa menggunakan senjata kalian 

sendiri!" ujar Parmin sambil merampas 

sebuah kelewang dari tangan salah 

seorang serdadu Kumpeni dan segera 

membalikkan kelewang itu menghujam 

perut si pemilik sendiri.

Terkejut bukan main serdadu yang 

malang itu, namun segera disusul 

dengan nyawanya yang terputus. 

Sementara kawan-kawan lainnya yang 

tercecer tadi segera bangkit untuk 

memulai serangan pembalasan. Mereka 

bergerak mengelilingi pendekar muda 

yang gagah perkasa itu dengan nafas 

yang menggebu-gebu karena geram bukan 

main. Di lain fihak Parmin memandangi 

mereka satu persatu melalui lirikan


matanya yang tenang namun penuh 

kewaspadaan.

Angin malam mengiringi suasana 

tegang mencekam itu dengan desirannya 

yang merontokkan daun-daun kering, 

sehingga suasana pertarungan itu 

semakin tampak dramatis.

Tiba-tiba dari suatu arah 

terdengar seruan seseorang yang segera 

menghentikan pertarungan itu.

"Tunggu dulu!"

Ternyata suara itu datang dari 

seorang lelaki setengah baya yang 

sudah mereka kenal baik selama ini.

Dia adalah Pak Marta atau Bek 

Marto.

Melihat kedatangannya, Parmin 

segera bersiap-siap pula untuk 

menghadapi kemungkinan dengan melipat 

gandakan kemampuannya.

"Tuan-tuan biarkan dia pergi!" 

ujar Bek Marto dengan penampilan yang 

berwibawa membuat Parmin tertegun 

sejenak melihat perubahan itu. Ia 

melihat ada sesuatu yang berubah pada 

diri ayah kekasihnya, Roijah.

"So? Kenapa tuan Bek bicara 

seperti itu?" tanya seorang serdadu 

sambil memegangi pipinya yang bengkak 

dan biru legam.

"Dia orang telah merusak rencana 

Kumpeni! Dia orang telah membuat Van 

Eisen mengembalikan tanah orang-orang 

pribumi! Dia orang telah bikin pailit


Van Eisen! Dia orang harus kita bikin 

mampus!" sambungnya sambil meludah ke 

tanah. Ludah itu berwarna merah oleh 

darahnya sendiri.

"Pemuda itu benar, tuan!" jawab 

Bek Marto tenang.

"Aku tidak takut lagi kehilangan 

jabatanku sebagai kepala desa dan aku 

juga tidak bernafsu lagi untuk menjadi 

seorang demang atau pangkat-pangkat 

lain yang lebih tinggi seperti yang 

pernah dijanjikan oleh Leonard Van 

Eisen kepadaku bila aku selalu 

mematuhi kehendaknya!" lanjut lelaki 

setengah baya itu dengan ekspresi 

wajah yang datar tanpa emosi 

sedikitpun.

Kata-kata itu merupakan sambaran 

geledek bagi telinga serdadu Kumpeni 

dan membuat mereka tersekat kaget.

"Apa yang membuat dia berubah?" 

tanya Parmin dalam hati.

"Katakan hal ini kepada tuan 

besar anda!" seru Bek Marto tegas, 

kemudian pandangan matanya ditujukan 

kepada Parmin yang masih mengambil 

sikap siap-siaga.

"Anakku Roijah telah membuka 

mataku yang buta selama ini, nak Par-

min! Silahkan pergi dan semoga

berhasil dengan perjuanganmu!"

"Terima kasih, pak." jawab 

Parmin, sementara para pengepungnya 

sudah bangun dan bermaksud mengadakan


pembalasan dengan mengurungnya rapat-

rapat. Senjata tajam berbagai bentuk 

siap untuk dihujamkan, tinggal 

menunggu komando dari pimpinan serdadu 

Kumpeni.

"Tetapi aku tak mau mengorbankan 

keselamatan Bapak sendiri. Biarkan aku 

menghadapi mereka sampai titik darah 

yang penghabisan! Bukan tidak mungkin 

mereka juga akan membunuhmu sekarang!" 

Parmin memperingatkan Bek Marto dengan 

menatap orang-orang yang mengepungnya 

satu persatu.

Bek Marto tersenyum senang dan 

tangannya tiba-tiba menunjuk ke 

sekeliling tempat itu.

"Aku tidak sendirian, nak! 

Lihatlah di sekitar kita, rakyat 

Kandang Haur berkumpul membentuk pagar 

betis dengan senjata apa adanya untuk 

menghadapi segala kemungkinan!"

Terkesiap jago-jago bayaran dan 

para serdadu itu demi melihat di 

sekitar mereka penduduk desa 

berbondong-bondong memagari tempat itu 

membawa obor dan senjata apa saja 

seperti cangkul, arit, pisau dapur, 

pentungan dan sebagainya. Bahkan 

diantara mereka ada yang membawa alu 

penumbuk padi.

Seketika hati mereka menjadi 

ciut. Kalaupun dilawan, jumlah mereka 

sendiri jauh tak sebanding dengan


jumlah seluruh penduduk yang sudah 

berkumpul itu.

"Kita rajam mereka!"

"Usir mereka dari desa Kandang 

Haur!"

"Ya, kita tak sudi dijajah!"

Teriak dan pekik penduduk desa 

itu semakin riuh dan meninggi sehingga 

memekakkan telinga membuat wajah-wajah 

para jago bayaran dan serdadu-serdadu 

itu berkeringat dingin karena merasa 

cemas.

"Mereka menuntut kebebasan, 

tuan!" tegas Bek Marto lebih jauh 

mewakili suara hati penduduk desanya.

"Ya, betul!!" disambut pekik 

gegap-gempita penduduk desa secara 

serempak.

Melihat gejala yang tak 

menguntungkan ini, kepala serdadu 

Kumpeni memberikan isyarat kepada anak 

buahnya termasuk kepada jago-jago 

bayaran itu.

"Kita bubar! Kita gotong kawan-

kawan kita yang terluka. Cepat.....!!" 

perintahnya dengan nada gugup. Parmin 

hanya tersenyum melihat semuanya ini, 

dan setelah membungkuk hormat kepada 

Bek Marto, iapun segera bergegas pergi 

meninggalkan desa Kandang Haur.

Sore itu sehabis sholat isya, 

Roijah membuat teh tubruk dicampur 

dengan gula batu kesukaan ayahnya. 

Kemudian ia membawanya keruang tamu


dimana biasanya Bek Marto duduk 

berleha-leha di atas kursi goyangnya.

Segelas besar teh tubruk itu ia 

letakkan diatas meja marmer besar 

disamping ayahnya duduk. Setelah 

mengaduk dengan sendok, lalu 

meletakkan tutup gelas bersandar pada 

tatakan.

"Ayah tidak mengisap cerutu 

lagi?"

"Persetan dengan rokok borjuis 

itu!" sahut Bek Marto dengan sengit 

disusul lemparan senyum manis kepada 

Roijah anak tunggal yang disayangnya.

"Kalau ibu masih ada, tentu ia 

sangat bangga melihatnya." komentar 

Roijah sambil mencium pipi ayahnya.

"Dengan rokok kelobot, rasanya 

jauh lebih nikmat!" ujar Bek Marto 

sambil memilih tembakau didalam 

lembaran daun jagung yang sudah 

dimasak dan mengundang rasa manis itu.

"Bagaimana kalau ayah dicopot 

oleh Van Eisen dari jabatan sebagai 

kepala desa?"

"Aku bisa jadi petani!" lanjut 

Bek Marto lebih semangat.

Setelah berdiam sejenak, Roijah 

kembali menggoda ayahnya.

"Kabarnya sejak Van Eisen 

mengembalikan tanah-tanah kepada 

rakyat, gudang beras Tuan Belanda itu 

sudah tidak lagi disatroni oleh Bajing 

Ireng ya, pak?"


"Ya!" Bek Marto menjawab singkat.

"Lalu kemana Bajing Ireng itu 

kini berada ya?" lanjutnya pula 

sengaja memancing pendapat ayahnya 

tentang si maling budiman itu.

Sementara itu di tempat tinggal 

Pak Kinong, Bu Kinong sedang tertawa 

terpingkal-pingkal melihat kelakuan 

anaknya yang masih berusia balita itu. 

Kinong gadis kecil yang lucu dengan 

rambut di kuncir dua kiri dan kanan 

sedang melakukan gerak-gerak seperti 

seorang pendekar silat.

Yang lebih lucu lagi adalah 

separuh dari wajahnya ditutup dengan 

kain serbet, sehingga sepasang matanya 

saja yang bundar seperti telur itu 

yang terlihat. Rambut poninya menutupi 

seluruh dahinya yang nong-nong, yang 

membuat dia diberi nama Kinong, 

berkali-kali ia sibakkan karena sering 

menutupi pandangan matanya.

"Ciaaat! Heyaaat!" begitu 

teriaknya berulang kali sambil kakinya 

menendang ke depan dan tangannya 

dikibaskan ke kiri dan ke kanan dengan 

lincahnya.

"Ini si Bajing Ileng!" celotehnya 

dengan lidah yang cadel menyebut tokoh 

idolanya dengan penuh rasa bangga.

"Apa benar anak emak mau jadi 

seorang pendekar yang sakti?" tanya Bu 

Kinong menggoda.


"Benal!" jawab Kinong dengan 

cepat sambil melompat-lompat dengan 

lincahnya. Kini tubuhnya sudah gemuk 

karena tak kurang makan lagi. Kinong 

tumbuh dengan gemuk dan montok sekali 

membuat siapapun yang melihatnya akan 

merasa gregetan ingin mencubitnya. 

Apalagi pipinya yang mengencang dan 

kemerahan seperti buah tomat yang 

ranum itu sangat menggoda orang untuk 

menjawilnya.

Tiba-tiba ia menghentikan 

geraknya mencopot serbet yang menutupi 

wajahnya.

"Kinong lapal, mak!" teriaknya 

sambil memegangi perutnya yang mulai 

keroncongan. Anak kecil ini memang 

makannya kuat, sehari lebih dari tiga 

kali. Selain itu Pak Kinong 

sepulangnya dari sawah sering membawa 

oleh-oleh jajanan yang ia beli di 

warung. Kue serabi sangat disukai oleh 

anak tunggalnya itu, sehingga kawan-

kawannya main sekampungnya 

menjulukinya Si Muka Serabi.

Sewaktu-waktu Pak Kinong sering 

memancing jawab dari anaknya yang lucu 

itu dan Kinong sendiri segera 

menjawabnya dengan lugas.

"Kalau besar mau jadi apa kau, 

Nong?"

"Jadi Bajing Ileng!"

"Kenapa mau jadi Bajing Ireng?"


"Kalena kalo ada anak yang lapal, 

dia cuka kasih belas."

Kinong bergerak lincah seperti 

seorang pendekar sambil berteriak: 

"Inilah dia Bajing Ileng!"


"Oh, kalau ada anak yang lapar, 

Bajing Ireng suka kasih beras ya?" 

tanggap Bu Kinong menengahi 

pembicaraan bapak dan anak itu. Memang 

di usianya yang hampir senja itu, Pak 

Kinong dan Bu Kinong baru dikaruniai 

anak dan sekarang baru menginjak usia 

dua setengah tahun.

***

Baru beberapa hari Roijah 

berpisah dengan pemuda yang 

dicintainya, rasanya seperti sudah 

beberapa bulan baginya. Ini membuat ia 

sering melamun dan pandangan matanya 

menerawang jauh seperti berusaha 

menembus batas-batas ruang untuk 

mencari jejak dimana sang kekasihnya 

itu kini sedang berada.

Hari itu Roijah sedang mengingat 

Parmin kekasihnya. Tetapi lamunan 

Roijah segera terputus ketika 

didengarnya orang berbicara dengan 

ayahnya di ruang depan. Suara itu 

cukup keras dan dapat ditangkap dengan 

jelas dari kamarnya.

"Bek Marto pasti berkomplot 

dengan maling itu!"

"Ya, kau pasti bersekongkol 

dengan Bajing Ireng!"


Dari balik gorden pintu, Roijah 

melihat beberapa orang dengan wajah-

wajah kasar bertolak pinggang sambil 

menuding-nuding ayahnya.

"Dengan alasan apa kalian 

menuduhku?" tanya Bek marto dengan 

tenang. Roijah diam-diam merasa bangga 

terhadap perubahan perangai ayahnya 

akhir-akhir ini.

"Pertama, kami pernah membuntuti 

maling itu dan ternyata ia masuk ke 

rumah ini dan tidak keluar lagi. 

Kedua, setelah tanah milik rakyat 

dikembalikan oleh Van Eisen dan rakyat 

mengerjakan sawahnya masing-masing, 

Bajing Ireng sudah tidak muncul-muncul 

lagi. Tepat sekali waktunya dengan 

perubahan sikapmu terhadap Kumpeni 

Belanda!" tukas mereka dengan berapi-

api.

"Tuduhan tanpa bukti adalah 

fitnah!" Bek Marto masih bisa men 

jawab dengan tenang.

"Baik! Kalau begitu kami akan 

menggeledah kamar anakmu! Berikan 

kunci lemarinya pada kami!"

"Apa hubungannya dengan anakku 

Roijah?" kali ini Bek marto agak 

meninggikan suaranya.

Mendengar maksud para jago desa 

yang berfihak pada Van Eisen itu, 

Roijah menjadi terkejut bukan 

kepalang. Apa mereka sudah tahu bahwa 

Bajing Ireng adalah dirinya? Dari mana


mereka tahu? Seingatnya hanya Parmin 

dan Pak Kinong serta istrinya saja 

yang tahu siapa Bajing Ireng 

sebenarnya.

"Jangan banyak tanya! Mana kunci 

lemari anakmu!" desak tukang-tukang 

pukul sang tuan tanah kepada Bek 

Marto.

Roijah tahu, jika mereka 

menggeledah lemari dikamarnya tentu 

akan menemukan sebuah peti berisi 

kitab dan seperangkat pakaian silat 

pemberian gurunya Peti itu sudah lama 

ia simpan di sana tanpa siapapun yang 

mengetahuinya termasuk ayahnya 

sendiri. Maka Roijah segera keluar 

menuju ruang tamu untuk menghadapi 

jagoan-jagoan tersebut.

"Aku tidak sudi memberikan kunci 

lemariku pada mereka, ayah!"

"Roijah?" sambut Bek Marto dengan 

nada heran.

"Ini suatu penghinaan terhadap 

seorang gadis yang sedang menjalani 

masa pingitan. Lebih baik terus terang 

dari siapa sumbernya, mereka menuduh 

aku sebagai Bajing Ireng?"

"Kami memiliki orang andalan yang 

dapat menembus segala sesuatu yang 

tersembunyi, seorang dukun sakti yang 

dapat bekerja sama dengan makhluk-

makhluk halus!" ujar salah seorang 

dari mereka dengan nada pongah.


"Kalau benar, kenapa tidak ia 

suruh makhluk halus itu langsung 

membunuh orang yang dicurigai? Aku tak 

gentar menghadapi jenis makhluk 

seperti itu" tantang Roijah.

"Nah, jelas dialah orangnya, 

terbukti tidak mau digeledah!! Ayo 

tunggu apa lagi? Tangkap anak Bek 

Marto itu dan kita hadapkan kepada 

Tuan Leonard Van Eisen agar dijatuhi 

hukuman yang setimpal. Ayo kita 

tangkap!"

Dua orang dari mereka segera 

menyergap Roijah yang meronta-ronta 

sebagaimana layaknya seorang anak 

perempuan biasa yang tak punya ilmu 

bela diri. Melihat hal ini Bek Marto 

bertindak mencegahnya, tetapi ia 

segera terjerembab karena kakinya 

digaet oleh begundal yang lain!

"Lepaskan! Jangan sentuh aku!"

"Kalau tidak mengaku juga, kau 

akan kukerjai didepan ayahmu ini, 

neng!" disusul tangan mereka yang 

kekar itu membetot kebaya Roijah 

sampai robek bagian dadanya sehingga 

kutangnya tampak dan membuat nafsu 

binatang mereka semakin memuncak.

Sekali lagi Bek Marto mencoba 

melindungi anaknya, tetapi sebuah 

tendangan telak segera membuatnya 

terpelanting ke lantai. Sementara itu 

salah seorang dari mereka mencoba


untuk membetot angkin pengikat kain 

yang dipakai Roijah.

Tepat pada detik-detik kritis itu 

tiba-tiba tangan begundal yang 

terjulur itu tersentak keras karena 

sebuah batu kerikil di lemparkan orang 

tepat mengenainya.

Serentak ketiga jago bayaran itu 

memekik dengan ranting pohon tertancap 

di dahi masing-masing.


"Woaaaaaa?!" begundal biadab itu 

menjerit dengan kerasnya dan kedua 

temannya menoleh kearah datangnya 

suara lantang dari atas dahan pohon di 

depan rumah Bek Marto. Semua yang 

hadir disitu terperangah kaget melihat 

sesosok tubuh dengan pakaian serba 

hitam dan wajah yang tertutup kain 

cadar berwarna hitam pula.

"Kalian mencari Bajing Ireng? 

Inilah aku! Silakan tangkap aku 

barangkali Van Eisen akan membuat 

kalian jadi kaya-raya!"

Kontan tiga orang jago bayaran 

itu melepaskan Roijah dan segera 

memburu orang yang dicarinya, masing-

masing dengan senjata terhunus. Namun 

baru saja sampai di bawah pohon itu, 

tiba-tiba mereka bertiga meraung 

kesakitan dengan potongan ranting 

pohon yang tertancap di dahi masing-

masing. Ketiganya kemudian secara 

bersamaan ambruk ke tanah untuk tidak 

bisa bangun lagi.

"Mereka hanya kecoa-kecoa 

busuk.yang sepantasnya harus bernasib 

seperti itu!" ujar pendekar yang 

menamakan dirinya Bajing Ireng, 

disaksikan oleh Bek Marto dengan 

pandangan penuh rasa kagum dan heran.

Roijah sendiri untuk beberapa 

saat masih terperangah menatap 

pendekar sakti yang masih bertengger


di atas dahan pohon tepat di samping 

pintu pekarangan itu.

"Hi hi hi hi hi..... terpaksa 

Bajing Ireng muncul di siang hari 

bolong!" katanya dan disusul dengan 

sebuah gerak salto di udara beberapa 

kali ia melesat meninggalkan 

pekarangan rumah Bek Marto dan lenyap 

dibalik rimbunan pohon di seberang 

sana.

Roijah menghela nafas dengan puji 

syukur kepada Tuhan karena tanpa 

terduga dapat lepas dari ancaman 

bahaya para begundal yang kemaruk 

hadiah itu. Bibirnya yang rekah delima 

itu bergetar dan membisikkan sesuatu 

hampir tidak terdengar oleh ayahnya 

sendiri yang masih menahan sakit 

akibat tendangan tadi.

"Terimakasih, guru!"

Kemana tujuan perjalanan

Parmin murid tunggal Ki Sapu 

Angin

selanjutnya?

Ikutilah kisah Jaka Sembung

selanjutnya dalam episode


SI GILA DARI MUARA BONDET


                         SELESAI








 

Share:

0 comments:

Posting Komentar