SERIAL JAKA SEMBUNG
Karya Djair Warni
judul asli Bajing Ireng Maling
Budiman
alih versi Syahlendra Maulana
penerbit SARANA KARYA
cetakan pertama 1991
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan
nama tokoh, tempat atau pun peristiwa
hanyalah kebetulan belaka.
Hari telah larut malam. Seluruh
penduduk kampung telah tidur dengan
lelap. Sinar purnama memancarkan
sinarnya yang lembut keperakan.
Serangga malam mengisi keheningan
malam dengan tembang-tembangnya yang
membangkitkan rasa kekaguman manusia
terhadap suasana malam. Suasana syahdu
itu dibuyarkan oleh jerit tangis anak
kecil dari sebuah pondok yang letaknya
terpencil dari pondok-pondok lainnya.
Suara tangisan itu terdengar begitu
menyayat hati yang mendengarnya.
Pondok itu dihuni sepasang suami
istri yang dikaruniai seorang anak
perempuan yang berumur tiga tahun.
Anak itu diberi nama Kinong. Pak
Kinong bekerja sebagai buruh tani yang
hanya mengandalkan upah dari pemilik
tanah yang digarapnya, istrinya
bekerja mengumpulkan kayu bakar yang
kemudian dijual di pasar. Ia juga
kadang-kadang bekerja sebagai buruh
potong padi pada saat musim panen
tiba.
"Pak, cobalah pinjam beras barang
sedikit saja kepada tetangga...! Siapa
tahu mereka menaruh belas kasihan
kepada kita.....!" bujuk Bu Kinong
penuh harap.
Suaminya hanya duduk termenung ke
arah jendela memandang keluar dengan
tatapan matanya yang kosong.
"Kasihan, sih, kasihan...! Tetapi
mereka juga sama seperti kita,
kelaparan!" keluh Pak Kinong dengan
nada putus asa.
"Coba-coba sajalah, Pak! Si
Kinong ini sangat lapar!" seru
istrinya sambil menenangkan si Kinong
yang merengek-rengek minta makan.
"Pinjam sama siapa, Bu?" tanya
pak Kinong sambil bangkit mengambil
rokok kawungnya diatas meja.
"Lagipula semua orang sedang
enak-enaknya tidur! Salah-salah aku
bisa disangka maling oleh penduduk!
Sudahlah, kamu suruh tidur saja anak
itu, Bujuklah sebisamu Bu!" ujar Pak
Kinong sambil menghisap rokok
kawungnya dalam-dalam.
"Sampai kapan kita hidup terus
begini ya, Pak? kita mungkin orang tua
bisa saja tahan lapar, tapi anak
kecil...?" keluh istrinya.
Kinong seolah tahu sedang
dibicarakan oleh kedua orang tuanya,
maka ia sengaja meledakkan tangis
sekuat-kuatnya sampai otot-otot
lehernya menegang.
"Makaaaan......! Hengg.......
Kinong lapaaal....!"
"Sampai kapan kau bilang? Huh!
Tentu saja sampai tuan tanah Van Eisen
mampus! Atau sampai penjajah itu
angkat kaki dari negeri kita!" umpat
Pak Kinong sambil menggebrak meja
bambu di hadapannya. Meja yang sudah
reyot itu semakin bertambah reyot
jadinya.
"Berapa lama lagi? Sebulan?
Setahun?" tanya Bu Kinong sengit.
"Sampai kita masuk liang kuburpun
belum tentu hal itu terjadi!" Pak
Kinong mendengus. Suasana kembali
hening. Suami istri itu sama-sama
terdiam.
Sementara itu di antara atap-atap
rumah terlihatlah sesosok tubuh
melompat-lompat dengan lincahnya dari
atap rumah yang satu ke atap rumah
yang lain seperti seekor bajing. Ia
mengenakan pakaian serba hitam.
Rambutnya terurai sebatas pinggang.
Wajahnya ditutupi cadar hitam, hanya
sepasang matanya saja yang tampak. Di
pinggangnya terselip sebuah golok,
yang terjepit di antara sabuk dan kain
sarung yang melapisi celana pangsinya.
Begitu ringan tubuhnya melompat
kesana kemari tanpa menimbulkan bunyi
sedikitpun. Hanya sesekali ditandai
dengan terhentinya suara unggas
bernyanyi karena terganggu dengan
kelebatan sosok tubuhnya.
Dengan satu hentakan ia meloncat
turun. Tubuhnya melayang seperti
sehelai daun kering yang jatuh di
tanah, namun kedua kakinya berpijak
dengan mantap.
Setelah mengamati keadaan
sekelilingnya untuk meyakinkan dirinya
bahwa sudah tidak ada orang lain yang
membuntutinya, ia berjalan mengendap-
endap. Di punggungnya terlihat sebuah
bungkusan seperti sebuah karung.
Tiba-tiba ia berhenti melangkah
karena mendengar suara tangisan anak
kecil yang sudah parau dan tersendat-
sendat. Lalu orang itu melangkah
menuju sebuah pondok dimana suara
tangisan itu berasal.
* * *
Seketika pintu rumah gubuk itu
didorong dari luar lebar-lebar,
sesosok tubuh dengan pakaian serba
hitam sudah berdiri tegak di ambang
pintu.
Sepasang suami istri itu terkejut
dan sambil gemetar melangkah mundur
merapat ke dinding bilik.
"A... ampun! Kami orang miskin
yang tak punya apa-apa lagi untuk
dimakan, apalagi barang berharga!"
kata Pak Kinong dengan tersendat-
sendat. Keringat dingin mengaliri
tubuhnya.
"Jangan takut! Aku bukan
perampok! Namaku Bajing Ireng!" seraya
menghampiri sepasang suami istri
tersebut dengan tenang. Sorot matanya
terlihat ramah dan lembut.
"Jangan takut! Aku adalah Bajing
Ireng! Ambillah beras dalam karung
ini, Pak!"
Dalam remang-remang cahaya lampu
tempel yang menerangi pondok itu,
terlihatlah sepasang mata yang bening
dan indah dengan bulu-bulu lentik di
antara rambut yang tergerai di dahi
dan cadar yang menutupi batang
hidungnya sampai dagu. Ternyata ia
seorang wanita.
Bajing Ireng tersenyum sambil
menyodorkan karung yang digendongnya
kepada suami istri tersebut.
"Karung ini berisi beras,
ambillah! Anak Bapak sudah sangat
menderita karena menahan lapar!"
Bajing Ireng berkata lembut.
Tetapi mereka masih ragu-ragu
untuk menerima pemberian tak terduga
dari seseorang yang sama sekali belum
mereka kenal dengan baik.
"Jangan ragu-ragu! Ambillah! Aku
paling tidak suka menyaksikan rakyat
yang terlalu menderita!" suaranya
berubah tinggi.
Akhirnya Pak Kinong menerima
karung beras tersebut sambil
menjatuhkan diri berlutut diikuti oleh
Bu Kinong di hadapan Bajing Ireng.
"Terimakasih Pendekar! beribu
terima kasih atas pemberian ini.
Bagaimana kami yang miskin ini harus
membalas budi baik anda....?" katanya
dengan mata berkaca-kaca.
Bajing Ireng mengangkat bahu Pak
Kinong agar segera berdiri.
"Sudahlah, Pak! Bapak dan Ibu
tidak perlu berkata seperti itu.
Bersyukurlah kepada Allah Tuhan Yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang
karena aku hanya sekedar perantara
untuk menyampaikan pertolonganNya!
Berdoalah selalu agar tidak terlalu
lama menghadapi hidup yang miskin dan
sengsara seperti ini!"
Kedua orang tua itu perlahan-
lahan berdiri memandang Bajing Ireng
dengan mata berbinar-binar karena
terharu mendengar ucapan yang begitu
mulia dari seseorang yang begitu
peduli terhadap nasib rakyat kecil
seperti mereka.
Sementara itu Kinong yang duduk
di balai bambu dalam kamar sudah
berhenti menangis. Ia seperti
menyadari bahwa telah datang seorang
dewa penolong khusus bagi dirinya.
"Baiklah, Pak! Aku sekarang mohon
diri!" pamit Bajing Ireng. Tanpa
bicara lagi langsung berkelebat
menghilang entah kemana ditelan oleh
kegelapan malam.
Kedua suami istri itu hanya
saling pandang seakan-akan tidak
percaya dengan apa yang baru saja
terjadi.
"Alhamdulillah... Mak! Kita bisa
makan sekarang. Inilah salah satu
Rahmat yang diberikan oleh Tuhan untuk
kita!" desah Pak Kinong sambil
mengangkat tangan dan wajah menengadah
ke atas merasa bersyukur.
"Mari pak, kita segera menanak
nasi! Kitapun sudah lapar sekali
bukan?" kata Bu Kinong sambil
menggendong si Kinong keluar kamar
menuju dapur.
"Ya, Tuhan! Siapakah dewa
penolong tadi ya, Pak? Mungkin ia
seorang Malaikat yang sengaja
diturunkan oleh Tuhan ke bumi untuk
menolong orang-orang miskin seperti
kita ya, Pak!" ujar Bu Kinong sambil
cepat-cepat mencuci beras dengan air
yang diambilnya dari dalam gentong di
sudut dapur itu. Pak Kinong
menganggukkan kepalanya seraya tak
henti-hentinya mengucapkan kata-kata
syukur kepada Tuhan.
Kinong duduk di atas dingklik di
sisi ibunya sambil sebentar-sebentar
menyeka ingus dan menghapus air
matanya dengan punggung telapak
tangannya. Sepasang matanya kini
terlihat bundar berbinar-binar penuh
harapan.
***
Di suatu senja dari kejauhan
terlihat sebuah rumah yang paling
besar dan bagus di wilayah Kandang
Haur. Atap rumah itu terbuat dari
genteng berwarna coklat, dindingnya
terbuat dari batu bata. Halamannya
ditumbuhi bunga mawar dan tanaman hias
lainnya yang tersusun rapi berpagar
tembok.
Rumah itu adalah rumah Kepala
Desa, Pak Marta namanya. Sebenarnya ia
masih keturunan bangsawan Sunda dengan
nama lengkap Marta Wargasasmita.
Setelah menjadi Kepala Desa Kandang
Haur, ia terkenal dengan sebutan Pak
Marta.
Beliau tinggal bersama anak
gadisnya, Roijah. Sedangkan istrinya
telah lama meninggal ketika Roijah
berumur sepuluh tahun.
Dari dalam rumah itu terdengar
alunan suara Roijah yang sangat merdu
melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an.
Suaranya terdengar begitu syahdu
merasuk kalbu bagi siapa saja yang
mendengarnya.
Beberapa saat kemudian suara
merdu tersebut berhenti. Roijah
selesai mengaji. Setelah menutup kitab
suci Al Qur'an di atas lekarnya, ia
lalu menggeser duduknya menghadap
ayahnya yang sedang istirahat duduk di
atas sebuah kursi goyang sambil
menghisap cerutu.
"Ayah, kudengar tadi malam gudang
beras milik tuan Van Eisen kemalingan
lagi, Ayah....!" tanya Roijah memecah
keheningan senja selepas waktu
maghrib.
"Ya!" jawab Pak Marto singkat
sambil menghembuskan asap cerutunya
kuat-kuat.
"Tetapi jangan kuatir! Mulai
malam ini tuan tanah Van Eisen akan
menyewa jago-jago bayaran untuk
menangkap si pencuri yang berani
kurang ajar tersebut!" dengus Pak
Marta si Kepala Desa.
"Kalau aku menjadi kepala desa,
aku akan menyewa jago-jago bayaran
untuk melindungi pencuri itu!" tiba-
tiba Roijah menyeletuk.
Bagaikan mendengar petir di siang
hari, seketika Pak Marta meloncat dari
tempat duduknya.
"Hah! Apa katamu, Roijah? Coba
katakan sekali lagi!" teriak Pak Marta
menahan marah.
"Ya, Ayah! Aku akan melindungi
pencuri itu!" jawab Roijah sekali lagi
dengan nada menantang. Ia berbicara
seolah-olah bukan dengan ayahnya.
Roijah berjalan menuju jendela
melempar pandangannya keluar. Diam
sesaat dan membalikkan tubuhnya
kembali menghadap ayahnya.
"Coba saja pikir...! Ayah
diperbudak oleh penjajah hanya untuk
memeras bangsa sendiri. Rakyat
menderita dan kelaparan akibat
perbuatan ayah secara tidak
langsung!!" kata Roijah mengecam
ayahnya sendiri sehingga membuat Pak
Marta mendidih darahnya menahan amarah
yang tak terbendung lagi.
"Heh! Roijah! siapa yang
mengajari kau berkata begitu terhadap
orang tua mu, hah!!" bentak Pak Marta
menggelegar.
Roijah menggigit bibirnya
tertunduk diam.
Melihat anaknya tak menjawab
pertanyaannya Pak Marta tak kuasa
menahan amarahnya.
"Siapa yang mengajari kau? Siapa!
Akan kupecahkan batok kepalanya! Siapa
dia? Jawab!!" tanya Pak Marta semakin
geram dan penasaran.
"Tak seorangpun mengajari aku,
Ayah! Aku melihat dengan mata kepala
sendiri. Mereka yang terus menerus
memeras keringat tetapi hidupnya
menderita! Sedangkan mereka yang
kerjanya menjilat penjajah hidupnya
mewah uncang-uncang kaki tanpa merasa
bersalah!" sahut Roijah tenang.
"Kau berani mengatakan ayahmu
sendiri sebagai penjilat, hah?! Kau
anak perempuan tahu apa! Urus saja
dapur! Kau tak perlu tahu urusan orang
tua mengerti?" bentak Pak Marta.
Perkataan ayahnya bukan membuat
Roijah takut, justru sebaliknya ia
semakin berani menyangkal segala
perkataan ayahnya.
"Ayah merendahkan derajat kaum
wanita! Justru ayah seharusnya
menghargai perasaan wanita yang dapat
merasakan penderitaan dan kesengsaraan
bangsanya yang dijajah!" Roijah
menarik napas panjang. Sementara Pak
Marta bersungut-sungut mendengarkan.
"Mengapa perasaan itu tidak
timbul dari hati seorang pemimpin
seperti ayah? Ayah bisa saja menyusun
kekuatan untuk melakukan pemberontakan
kepada tuan-tuan tanah kalau ayah mau!
Ayah adalah seorang yang paling
berkuasa di desa ini. Ayah kan seorang
kepala desa!!" seru Roijah menyakinkan
ayahnya.
Merasa dipojokkan oleh anaknya
sendiri, Pak Marta tak kuasa lagi
menahan amarahnya yang memang sejak
tadi ditahannya.
"Diaaaamm!! Kau anak tak tahu
diuntung! Berani benar kau nasehati
ayahmu, he? Kutampar kau nanti!!"
bentak Pak Marta dengan tatapan nanar
dan napas mendengus, serta terdengar
gemertaknya gigi.
Roijah meninggalkan ayahnya dan
ia segera berlari masuk ke kamarnya
langsung menjatuhkan tubuhnya di atas
tempat tidur dan menangis. Hanya itu
yang dapat dilakukan oleh seorang anak
perempuan, walaupun terhadap ayahnya
sendiri.
Sementara itu Pak Marta duduk
menghisap cerutunya dalam-dalam sambil
pikiran menembus masa lalu pada saat
istrinya masih hidup. Kalau saja
ibunya Roijah masih ada, tentu saja
Roijah tidak menjadi anak pembangkang
seperti sekarang ini. Mungkin jadi
seorang anak yang penurut.
Sayup-sayup terdengar suara adzan
berkumandang.
Roijah segera bangkit dan
menghapus air mata yang membasahi
pipinya. Kemudian berjalan ke sumur
untuk mengambil air wudhu melakukan
sholat Isya.
Selesai sholat Roijah memanjatkan
doa.
"Ya Allah! Berikanlah hambaMu
kekuatan untuk menghadapi cobaanMu, ya
Allah! Berikan keinsyafan pada ayahku,
Sadarkanlah dia dari kekeliruannya...!
Ya Allah! Lindungi bangsaku!
Lepaskanlah bangsaku dari cengkeraman
penjajah! Amiiin......."
Tanpa terasa air matanya kembali
menetes membasahi kedua pipinya.
Selesai melakukan sholat, Roijah
bergegas ke dapur. Ia harus menyiapkan
makan malam untuk ayahnya.
***
Malam kembali menyelubungi desa
Kandang Haur. Bulan di langit semakin
lerang menyebarkan cahayanya ke
seluruh marcapada. Namun suasana sunyi
dan mencekap menyelimuti desa ter
sebut. Demikian pula suasana di
sekitar gudang penggilingan beras
milik tuan tanah Van Eisen.
Tapi di balik kegelapan malam,
berdiri sosok-sosok tubuh yang kekar
dan bertampang seram di setiap tempat-
tempat tertentu di desa itu, terutama
di sekitar gudang penggilingan beras
milik tuan tanah Van Eisen.
Menjelang tengah malam, keluarlah
sesosok tubuh serba hitam menyelinap
di balik pohon yang rimbun sambil
mengamati daerah sekitar gudang
penggilingan beras itu. Langkah-
langkahnya tidak menimbulkan bunyi
sedikitpun. Sosok tubuh itu lalu
berjalan ke balik gudang penggilingan
beras tersebut.
Sementara para penjaga berusaha
menghalau dinginnya malam dengan
kegiatan masing-masing, tanpa
sepengetahuan mereka sosok tubuh hitam
itu sudah tegak berdiri di belakang
salah satu penjaga yang sedang
menikmati sebatang rokok sambil
melamun. Dengan satu pukulan keras
orang tersebut melenguh sekejap,
kemudian tubuhnya melorot jatuh untuk
tidak bangun lagi. Dari mulutnya
keluar darah kental tanda ia mengalami
luka dalam cukup parah akibat pukulan
dari seorang yang benar-benar berilmu
tinggi.
Melihat temannya roboh diserang
oleh orang tak dikenal, yang lainnya
segera berlari mengepung. Masing-
masing mencabut golok dan sosok tubuh
serba hitam itu kini dikelilingi oleh
tidak kurang dari sepuluh orang jago-
jago bayaran.
"Heiitt! Ladalah! Rupanya kau
maling keparat yang sering mencuri
beras dari gudang ini!" teriak salah
satu penjaga gudang dengan lantang
sambil memutar-mutarkan goloknya.
"Hi hi hi! Kalian semua hanya
manusia-manusia kerbau yang cuma bisa
membela perut sendiri saja!"
Suara mengejek itu sangat merdu
namun menyakitkan telinga bagi mereka
yang mendengarkannya.
Merasa dihina, mereka segera
mengepung membentuk lingkaran yang
ketat mengelilingi sang maling selama
ini berani menguras gudang milik tuan
besar mereka.
"Ayo, maju satu persatu biar aku
tebas batang leher kalian! Aku Bajing
Ireng tidak segan-segan menyingkirkan
siapa saja yang menjadi budak Kompeni
Belanda!!" seru Bajing Ireng siap
memasang kuda-kudanya.
Tetapi tak satupun dari mereka
yang berani menyerang. Masing-masing
hanya berdiri pasang kuda-kuda.
Sementara Bajing Ireng tak merasa
gentar sedikitpun walau menghadapi
pengepung yang semakin bertambah
jumlahnya.
"Inikah jagoan-jagoan termashur
yang selalu dibanggakan oleh tuan
tanah bule itu? Tahukah kalian bahwa
sesungguhnya kalian adalah manusia-
manusia yang bisa dibeli dengan
gulden! Manusia-manusia yang kecanduan
roti dan keju! Aku malu melihat
bangsaku sendiri yang diperalat oleh
penjajah begitu tega hidup enak di
atas penderitaan serta kemiskinan
bangsanya sendiri! Sebenarnya aku muak
berkelahi dengan kalian!!" katanya
sambil berkacak pinggang. "Tapi apa
boleh buat! Aku tak sudi melihat
penderitaan rakyat kecil yang
tertindas!"
Jago-jago sewaan masih terpana
memandang Bajing Ireng tanpa mulai
membuka serangan.
"Kalian lihat! Bangsa siapakah
yang dijajah ini? Bangsa siapakah yang
menderita ini? Aku, Bajing Ireng akan
memberi pelajaran sedikit kepada
kalian." seru Bajing Ireng sambil
matanya tajam mengawasi para begundal
yang mengelilinginya dengan posisi
siap siaga.
"Kalian manusia-manusia! Tidak
lebih berharga dari seekor lalat!
Siapa yang menjadi tuanmu, haa! Orang
asing bukan....? Dan kalian yang
memusuhi adalah aku, bangsamu sendiri!
Berkulit sawo matang dan berambut
hitam seperti kalian juga!!" Kata
Bajing Ireng menyadarkan para penjaga
itu.
"Jika masih sayang nyawa dan
sayang anak istri, minggirlah kalian!
Ini peringatan dariku!" ancam Bajing
Ireng siap menyerang.
Tetapi tiba-tiba salah seorang
dari mereka memberi isyarat kepada
teman-temannya agar mulai menyerang
Bajing Ireng secara serentak. Mereka
mulai mendesak. Tapi Bajing Ireng
langsung saja menendang dengan satu
gerakan yang memutar dan cepat sekali
tanpa bisa mereka hindari. Begitu
cepat dan beruntun.
Tendangan itu mengenai dada para
pengepungnya. Mereka langsung roboh
hanya dengan satu gebrakan saja.
"Rupanya kalian menganggap remeh
peringatanku! Ayo, siapa lagi yang
berani mati, majulah!" teriak Bajing
Ireng siap dengan jurusnya. Tangan
kanan menyilang di dada dan tangan
kirinya di atas kepala. Sebuah jurus
yang sama sekali baru mereka lihat.
Melihat lawan-lawannya tidak
memberikan reaksi lagi Bajing Ireng
segera menurunkan tangannya kembali
ke posisi semula dan berdiri tegak,
setelah menarik kuda-kudanya. Para
penjaga gudang dan jago-jago bayaran
itu hanya berdiri diam memegangi
dadanya masing-masing sambil meringis
menahan sakit dan dari sela bibir
mereka mengalir darah hitam, darah
luka dalam.
"Ingat! Jangan coba-coba
menghalangiku lagi, kalau kalian masih
ingin melihat sinar matahari esok
pagi! Selamat malam dan sampai jumpa
lagi...!" seru Bajing Ireng sambil
membuat satu gerakan salto ke belakang
dan disusul dengan sebuah loncatan ke
atap bangunan gudang beras yang cukup
tinggi itu dengan mudahnya.
Bajing Ireng meloncat hilang ke
balik semak-semak dan hilang di
kegelapan malam. Para penjaga itu
hanya bisa saling pandang merasa heran
dan kagum.
Keesokan harinya Pak Marta
bersungut-sungut karena para jago-jago
desanya gagal menangkap si pencuri
yang telah diketahui menamakan dirinya
Bajing Ireng.
"Hm, pantas! Pencurinya seorang
jago silat yang luar biasa! Buktinya
ia dapat menghajar beberapa orang
sekaligus!" kata Pak Marta kepada
anaknya Roijah yang sedang menjahit
kebaya baru pemberiannya sebagai tanda
penyesalannya kemarin. Begitu caranya
ia meminta maaf pada anaknya.
Pak Marto bangkit dari tempat
duduknya.
"Bayangkan, sekali gebrak tiga
orang roboh dan muntah darah tanpa
ampun!!" seru Pak Marta sambil
berjalan mondar-mandir di ruang tamu
rumahnya yang cukup luas.
Roijah hanya tersenyum melihat
ayahnya menggerutu terus-menerus.
"Tadi pagi Tuan Leonard Van
Eiser? memanggilku! Katanya, jika aku
tidak sanggup menyingkirkan pencuri
itu, maka tuan Leonard Van Eisen akan
membuat laporan langsung ke Residen
Cirebon!" gumam Pak Marta merasa
kesal. Tanpa disadarinya, rokok cerutu
yang dipegangnya remuk diremasnya.
"Dan tahukah kau?" tanya Pak
Marta pada Roijah yang sedang sibuk
memasukkan benang ke lubang jarum.
"Ini berarti jabatanku sebagai
kepala desa akan dicopot!!"
Roijah acuh tak acuh menanggapi
ayahnya yang takut kehilangan jabatan,
dan masa depannya. Ia bangkit
meninggalkan jahitannya untuk membuat
segelas teh tubruk kegemaran ayahnya.
Mudah-mudahan setelah mereguk teh itu,
amarah ayahnya agak menurun dan tidak
uring-uringan terus-menerus.
"Kenapa ayah begitu takut! Tidak
jadi kepala desapun kita masih bisa
hidup! Kita tidak usah diperbudak oleh
bangsa Belanda!" kata Roijah menutup
gelas besar setelah mengaduk teh di
dalamnya dengan tutup gelas.
"Hidup yang bagaimana? Aku tidak
mau makan singkong dan ikan asin! Aku
ingin hidup layak, punya pendapatan
besar dan menjadi orang
terhormat....!" ucap Pak Marta dengan
penuh keyakinan.
"Tak ada bangsa yang dapat hidup
layak selama bangsa itu sendiri masih
dijajah!!" jawab Roijah dengan nada
sedikit ketus.
Roijah berhenti menjahit karena
ujung jarinya tertusuk jarum.
"Karena takut menghadapi hidup
ini, ayah hanya menggantungkan hidup
di bawah telapak kaki penjajah
Belanda. Bila penjajah sudah tidak
lagi membutuhkan ayah lagi, maka ayah
pasti akan dicampakkan begitu saja
seperti orang yang membuang kulit
pisang ke dalam tong sampah!!" sindir
Roijah sambil mengulum jari
telunjuknya yang berdarah.
Pak Marto mendengar ocehan anak-
nya yang sudah melanggar batas, mem-
buat darahnya bergejolak sampai ke
ubun-ubun. Ia tak kuasa lagi
menahannya, sehingga napasnya
terdengar bagai dengusan hewan liar
yang siap mencabik-cabik mangsanya.
"Diaaaamm!! Anak setan! Lagi-lagi
kau mau mengajari aku! Aku tidak perlu
dinasehati. Aku ini ayahmu,
mengerti?!" teriak Pak Marta seolah
kesetanan. Kedua tangannya mengepal
keras dan ia memukul meja yang berada
di hadapannya, tanpa menghiraukan
bahwa meja marmer itu terlalu tebal
dan keras dibanding dengan kepalan
tangannya.
"Kau berkata sembarangan! Kalau
ketahuan mata-mata Belanda bisa-bisa
kamu dianggap pemberontak!! Dan kau
tahu apa hukuman bagi seorang
pemberontak, ha? Ditembak mati!!
Penjajah tidak mau tahu terhadap
siapapun! juga terhadap anak kepala
desa sekalipun, mengerti!!" bentak Pak
Marta seraya menghampiri Roijah dengan
tatapan mata yang nanar.
"Itulah kematian yang paling
mulia, ayah! Kita akan mati sebagai
pahlawan bangsa! Kita akan dikenang
oleh seluruh masyarakat! Bahkan bukan
saja mulia dihadapan masyarakat,
tetapi dihadapan Tuhan. Kita mati
syahid, karena menegakkan kebenaran
dan keadilan sesuai dengan ajaran
agama kita!!" sahut Roijah tenang dan
mantap seolah-olah tak sedikitpun ia
merasa takut kepada ayahnya.
"Tutup mulutmu!! Ayo masuk ke
kamarmu dan jangan keluar-keluar
lagi...! Awas kalan berani keluar lagi
akan kuhajar! Kau hanya membuat
pikiranku jadi bertambah ruwet saja,
bukannya berusaha meringankan beban
orang tuamu!" hardik Pak Marta. Lalu
menendang pintu kamar Roijah sampai
pintu tersebut terbuka lebar.
"Maafkan aku, ayah! Sebetulnya
aku tidak bermaksud menyakiti perasaan
ayah!" kata Roijah sambil berusaha
menghindari tatapan mata ayahnya de-
ngan menundukkan wajahnya. Roijah
berusaha juga sebagai anak yang
berbakti kepada orang tua, maka Roijah
meninggalkan ayahnya menuju kamarnya.
Pak Marta hanya menarik napas
panjang, karena ia sebenarnya sangat
sayang pada Roijah buah hati satu-
satunya.
* * *
Suatu hari di alun-alun pasar
terpancang papan pengumuman yang dapat
dilihat oleh setiap orang yang lewat.
Ditulis dalam huruf Arab
berbahasa Sunda-Jawa. Pengumuman itu
bersifat sayembara yang dipasang atas
perintah tuan tanah Leonard Van Eisen.
Leonard Van Eisen melebarkan
sayapnya ke daerah-daerah seluruh
kawasan Karesidenan Cirebon bagian
utara. Hal ini dimungkinkan karena
prestasinya yang tinggi dalam membantu
terlaksananya kehendak pemerintah
Kompeni Belanda di daerah pantai utara
Pulau Jawa bagian barat.
Di antara kerumunan orang-orang
yang membaca pengumuman tersebut,
terlihatlah seseorang bertubuh pendek
dan gemuk berjalan menuju papan peng-
umuman. Matanya sipit dengan alis
tebal seperti semut yang menumpuk.
Kepalanya botak. Ia mengenakan pakaian
serba kuning. Lelaki itu berjalan
menyeruak kerumunan orang untuk
melihat dari dekat papan pengumuman.
Setelah membaca alisnya terangkat ke
atas sambil meludah.
"Akan kutangkap Bajing Ireng
hidup-hidup!" desisnya.
Lalu ia membalikan tubuhnya dan
mendadak bertabrakan dengan seorang
ibu yang menggendong sebuah bakul. Si
botak menatap ibu itu dengan mata be-
gis sehingga si ibu ketakutan.
Segera si botak berjalan menuju
kediaman tuan tanah Leonard Van Eisen.
Sambil membenahi isi bakul yang
tercecer, ibu itu melihat papan
pengumuman dan coba memahami apa yang
tertulis disana. Tapi ia sadar bahwa
dirinya buta huruf dan mau tak mau ia
harus bertanya kepada orang lain yang
berada di sekitar papan pengumuman
itu. Di wajahnya terlihat kecemasan
setelah mengetahui isi pengumuman itu.
Ia lalu pulang ke tempat tinggalnya
dengan langkah tergesa-gesa agar cepat
sampai dan memberitahukan kabar ini
kepada suaminya.
Ibu tersebut tak lain adalah Bu
Kinong.
Setelah sampai ia menaruh bakul
di atas balai-balai. Suaminya, Pak
Kinong, sedang duduk melepas lelah
sehabis membabat rumput liar di
teritisan rumah.
"Pak, di pasar orang-orang ribut
membaca pengumuman yang dipasang oleh
tuan tanah Van Eisen. Katanya barang
siapa yang dapat menangkap maling ter-
sebut akan mendapat hadiah yang
besar!" kata Bu Kinong sambil
mengambil kue serabi kesukaan suaminya
dari dalam bakul.
"Maling apa ya, Pak? Katanya
maling yang setiap saat selalu mencuri
beras dari gudang penggilingan. Apakah
orang yang memberi beras pada kita
malam-malam tempo hari ya, pak?"
sambung Bu Kinong sambil menghampiri
si Kinong yang baru saja terbangun
dari tidurnya di kamar karena balai-
balai tempat tidurnya sudah banjir
oleh ompolnya sendiri.
Kemudian ia menggendong si Kinong
untuk membersihkan tubuh si Kinong dan
sekalian mengganti otonya yang basah
kuyup.
Suaminya hanya diam saja.
"Bu makan, Kinong lapaaal!"
teriak si Kinong membetot-betot baju
ibunya.
"Tapi dia telah menolong kita,"
Di saat itu jauh segala kegiatan
dan berbagai keluh kesah yang terjadi
di desa Kandang Haur, terlihatlah dua
bayangan berkelebat di udara dengan
ringannya di atas pasir pantai Eretan
yang seperti perak. Tampak dua orang
yang sedang bertarung. Suara deburan
ombak yang menghantam karang disertai
lengking burung-burung camar tak
mengusik konsentrasi kedua orang
tersebut.
"Hiaaaaaat!!" dengan jurus-jurus
yang luar biasa, pemuda tegap itu
menghindari setiap serangan yang
ditujukan kepadanya. Beberapa kali ia
melakukan gerakan salto di udara dan
meliuk-liuk seperti seekor burung
elang yang menyambar-nyambar ke bawah
mematuk mengsanya.
Sementara lawannya adalah kakek
bertelanjang dada dengan rambut yang
kumel dan janggut panjang berwarna
putih, dengan gencar menyerang
muridnya yang meliuk-liuk di udara.
Mereka sebenarnya sedang melakukan
latihan, tetapi dengan sungguh-sungguh
seperti dua orang musuh yang sedang
bertarung mati-matian.
Tiba-tiba si kakek menghentikan
serangannya.
"Ha ha ha! Kau hampir
mengalahkanku dalam dua puluh lima
jurus! Cukuplah latihan kita kali ini,
muridku! Akhir-akhir ini kau semakin
maju pesat." kata sang guru yang
bernama Ki Sapu Angin.
Pemuda itu bernama Parmin yang
kemudian menurunkan tangannya kembali
tegak berdiri memandang gurunya dengan
penuh rasa hormat dan cinta kepada
gurunya seperti terhadap orang tuanya
sendiri.
"Kini kau telah menguasai semua
jurus-jurus silat GUNUNG SEMBUNG
dengan sempurna! Ilmu ini belum ada
tandingannya untuk seluruh cabang
pencak silat manapun di daerah
Pasundan!" kata Ki Sapu Angin kepada
Parmin yang tegap dan tampan sambil
menepuk-nepuk pundak murid tunggalnya
itu.
"Ilmu silat GUNUNG SEMBUNG dahulu
hanya dimiliki oleh para wali dan para
kyai untuk menghadapi segala kekerasan
dalam menyebarkan agama Islam di Pulau
Jawa ini, anakku!"
Parmin mendengarkan segala
wejangan dari ilmu yang disampaikan
gurunya dengan penuh perhatian.
Sejak lepas susu ibunya, Parmin
sudah diminta Ki Sapu Angin untuk
menjadi murid tunggalnya dan tinggal
bersamanya di pantai Eretan.
Maka tibalah saat yang telah lama
dinantikan sampai hari ini.
"Kurasa sudah cukup bekal ilmu
yang kuturunkan untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan di negeri ini.
Semua ilmu yang kumiliki sudah
kuwariskan kepadamu. Kau tak perlu
lagi merasa kuatir dalam menghadapi
musuh-musuhmu yang tangguh sekalipun,
kau pasti menang! Asal kau lakukan
dengan tenang dan pasrah kepada Tuhan,
karena ridho Ilahi adalah di atas
segalanya bagi kita, anakku." lanjut
gurunya dengan yakin.
Lalu ia mengalihkan pandangannya
ke laut lepas.
"Sayang aku sudah tua, tenagaku
sudah mulai melemah walaupun
semangatku untuk menegakkan kebenaran
dan keadilan masih menyala-nyala!"
keluh gurunya sambil membalikan
tubuhnya memandang muridnya. Kemudian
ia memegang pundak muridnya dan
menatap penuh harap.
"Nah, sekarang pergilah!
Bergabunglah dengan pendekar-pendekar
dari selatan. Nasib bangsamu terletak
di tangan pemuda-pemuda seperti kau!
Doaku menyertaimu, Parmin! Jangan
segan-segan kau meringankan tangan
untuk menolong sesamamu yang sedang
menderita kesusahan. Dan sampaikan
salamku untuk kawan-kawan
seperjuanganku. Biarlah aku
menghabiskan sisa hidupku dengan jala,
kail, dan dayung. Pantai Eretan adalah
tempat yang cocok bagi pengembaraanku
yang terakhir!" perintah gurunya
dengan air mata berkaca-kaca dan
menetes membasahi pipinya yang penuh
dengan keriput di usianya yang telah
senja.
Sementara itu Parmin mendengarkan
segala petuah yang disampaikan Ki Sapu
Angin dengan rasa haru. Tiba-tiba Par-
min melorot tanpa tenaga ke bawah
bertekuk lutut di hadapan gurunya yang
sangat ia sayangi untuk mohon doa
restu.
"Kek! Aku akan selalu ingat akan
petuah kakek. Aku akan menegakkan
kebenaran dan keadilan di negeri ini.
Selama dibumi ini masih merajalela
segala kejahatan, aku tidak tinggal
diam!" janji muridnya pada sang guru.
"Aku mohon diri sekarang, kek!"
hampir-hampir ia tak sanggup menahan
rasa haru.
Kemudian ia berjalan meninggalkan
gurunya dengan mata yang masih
berkaca-kaca. Betapa tidak, karena
harus menghadapi perpisahan setelah
lebih dari lima belas tahun mereka
hidup bersama dalam suka dan duka
sebagai dua orang murid dan guru di
tempat yang sunyi terpencil itu.
Parmin terus berjalan menyelusuri
pantai sampai tidak terlihat lagi oleh
mata Ki Sapu Angin.
"Semoga Tuhan selalu menyertaimu,
nak!" desahnya lirih.
Malam itu terjadi ribu-ribut di
luar rumah Pak Marta. Rupanya para
jago di desa itu bersama-sama
mendatangi rumah Pak Marta dan dengan
tak sabar mereka menggedor-gedor
pintu. Sepertinya ada keperluan yang
teramat penting untuk dibicarakan.
"Pak Marta! Pak Marta! Buka pintu
sebentar, cepat! Pak Marta!" teriak
para jago tersebut.
Pintu segera terbuka. Tampak
wajah Pak Marta geram karena terganggu
tidur nyenyaknya dengan kedatangan
orang-orang yang tak tahu waktu.
"Ada apa ini? Kalian tak tahu
diri, malam-malam begini mengganggu
orang tidur. Ada apa?" teriak Pak
Marta melototkan matanya.
"Maaf, Pak Marta!" sahut para
jago merendah.
"Malam ini kami mengintai maling
yang selalu mencuri beras di gudang
penggilingan, salah seorang jago
berilmu tinggi berhasil menguntit
maling itu. Tiba-tiba maling itu masuk
ke dalam rumah Pak Marta dan tidak
keluar lagi sampai saat ini!"
Mendengar pernjelasan dari para
jago desa, Pak Marta kaget bukan main.
"Hah, apa katamu! Maling itu
masuk kemari?" pekik Pak Marta seolah
tak percaya.
"He, jangan-jangan dia datang
ingin merampok hartaku! Bangsat....
maling itu!!" umpat Pak Marta sambil
mengepalkan tangannya.
"Oleh karena itu kami ingin
menggeledah seluruh isi rumah ini,
barangkali maling itu masih berada
dalam rumah ini!" seru seorang jago
desa yang bertampang seram itu
mewakili teman-temannya.
Tak ayal lagi Pak Marta
mengijinkan para jago itu untuk
menggeledah rumahnya. Mereka masuk
sambil tetap siaga menghadapi segala
kemungkinan yang terjadi sambil
memeriksa setiap sudut rumah Pak
Marta. Mereka bertindak dengan teliti,
sampai-sampai dapur dan sumur serta
jamban di belakang rumah tak terlewat
begitu saja.
Sementara para jago sibuk
memeriksa, Pak Marta menuju pintu
kamar Roijah.
"Roijah! Roijah! Bangunlah
sebentar, buka pintunya," teriak
ayahnya dari luar.
Dan pintu kamar terbuka.
Tampak Roijah keluar sambil
mengucek-ucek matanya dan menguap ber-
usaha menahan rasa kantuk.
"Apakah ada orang yang masuk ke
dalam kamarmu, tadi? Maling itu masuk
kemari kata mereka!" kata ayahnya
merasa cemas. Ia takut, khawatir
maling itu akan melukai anak
tunggalnya.
"Entahlah! Aku tidur nyenyak
sekali sampai ayah mengetok pintu dan
aku terkejut. Oh ya? Apakah maling itu
memang benar-benar kemari? Ah, jika
demikian aku mau saja menjadi
istrinya. Dan jika ternyata ia seorang
perempuan aku akan menjadikan dia
sebagai saudaraku!" sahut Roijah
dengan senyum menantang sambil
membetulkan rambutnya yang tergerai
menunggu reaksi ayahnya.
Seketika Pak Marta kalap
mendengar Roijah berkata seperti itu
terhadapnya apalagi di depan para jago
desa yang sudah berkumpul di depan
kamar anaknya.
"Diam! Diam kau!!'" bentak Pak
Marta sambil berjalan menuju ruang
tamu.
Lalu Pak Marta menghampiri para
jago desa yang sudah duduk-duduk di
kursi tamu. Ada beberapa orang di
antaranya sedang menikmati rokok
kelobot dan sigaret. Salah seorang
dari mereka memberi laporan.
"Semua ruangan sudah kami
periksa! Tetapi maling itu tidak
diketemukan! Nah, selamat malam Pak
Marta. Maafkan kami yang terpaksa
mengganggu istirahat bapak tadi!" kata
mereka sambil beranjak satu persatu
keluar rumah.
"Oh, tak apa-apa! Bukankah kita
harus selalu waspada menjaga
lingkungan kita dari segala kerusuhan-
kerusuhan yang akan terjadi!" tukas
Pak Marta mengantarkan para jago desa
itu sampai ke depan pintu.
"Baiklah, pak kami mohon diri
untuk berjaga-jaga kembali!" kata
mereka langsung berjalan meninggalkan
rumah Pak Marta.
Pak Marta menutup pintu rumahnya
dengan wajah lesu dan dalam benaknya
menyimpan tanda tanya besar. Kemana
perginya maling tersebut? Apa mungkin
ia lenyap begitu saja seperti ditelan
lantai kamar rumahnya ini? Rasa-
rasanya tak masuk akal!
Keesokan harinya matahari
bersinar cerah menerangi kaki langit
sebelah timur yang ditingkahi kokok
ayam dan cicit burung diatas dahan.
Dari kejauhan seseorang berjalan
dengan tenangnya melintasi desa. Orang
itu memakai tudung kepala dari anyaman
bambu berbentuk caping sehingga
sebagian wajahnya tertutup. Kain
sarung menyilang di dadanya. Ia
berjalan menelusuri pematang sawah
menikmati cerahnya pagi hari itu
dengan nikmat. Seorang petani sedang
mencangkul sawahnya berhenti sesaat
memandang orang tersebut. Ia
memastikan adanya kehadiran seorang
pendatang baru yang lewat di
kampungnya.
Tiba-tiba ia terkejut.
"Heh?! Orang itu mengherankan se-
kali! Dia seenaknya saja berjalan di
atas pematang sawah yang basah baru
kubikin, tapi... dia tidak
meninggalkan jejak kakinya barang
sedikitpun di atasnya, seakan-akan dia
sedang terbang! Mungkin dia seorang
jago silat yang sengaja datang dari
jauh untuk mengikuti sayembara yang
dibuat tuan tanah Van Eisen untuk
menangkap maling itu!" pikir petani
itu dengan wajah keheranan sambil
menyeka keringat yang mengalir di
keningnya. Ia seperti tak percaya
dengan apa yang sedang disaksikannya
dengan mata kepalanya sendiri.
Pendatang itu kemudian berhenti
di depan sebuah papan yang tertancap
di atas pematang sawah. Dia
memperhatikan papan tersebut sambil
berkacak pinggang dan membaca tulisan
dengan huruf-huruf latin yang tertera
di situ.
"Tanah ini milik Van Eisen...?
katanya sinis.
"Van Eisen? Mengapa bukan milik
si Salim atau si Tarjo...? Tahukah kau
he? Bahwa aku akan mengusirmu dari
bumi nusantara ini!!" desis pendatang
baru bertudung caping itu seraya
mencabut goloknya yang terselip
dipinggangnya.
"Van Eisen! Terimalah kehancuran
secara simbolik dariku!! Dari Bangsa
nusantara!" dengusnya. "Hiyaaaaaaat!!
teriaknya sambil mengayunkan goloknya
secepat kilat membabat papan tersebut
berulang kali. Tetapi papan itu
terlihat masih tetap saja berdiri
tegak menancap di atas pematang sawah
tak bergeming. Apa karena golok yang
diayunkan hanya menebas udara? Atau
goloknya yang tumpul?
Tiba-tiba angin bertiup kencang
dan menerpa papan bertonggak itu.
Pemuda dengan tudung coping itu
menyabetkan goloknya berulang-ulang
pada papan nama yang terpancang di
pematang sawah itu. Dan apa yang
terjadi benar-benar diluar dugaan.
Papan pengumuman itu roboh menjadi
tiga bagian.
"Itulah hari depanmu!" kata si
pendekar caping berdiri tegak
menyaksikan papan tersebut roboh dan
terkapar dipematang sawah.
Sementara itu petani yang sejak
tadi melihat apa yang dilakukan
pendatang aneh itu sekali lagi ia
dibuat terperangah heran.
"Oh! Masya Allah! Kayu pancang
itu semula masih tegak berdiri tapi
tak tahunya kayu itu sudah terpotong
tiga dan baru roboh setelah tertiup
angin. Begitu tinggi ilmu tenaga dalam
mengiringi sabetan golok yang dimiliki
pendatang itu!!" desisnya kagum.
"Kau harus enyah dari bumi
kami!!" geram orang itu sambil menatap
papan pancang yang sudah bertebaran
tak berdiri angkuh lagi.
Kemudian dengan satu sentakan ia
menendang papan yang bertuliskan nama
Van Eisen itu ke hadapan si petani
yang sedang mencangkul. Si petani
hanya bisa melongo keheranan dan sama
sekali tak mengerti apa arti
kehancuran simbolik yang diucapkan
oleh orang itu.
"Kau bukan bangsa tempe yang mau
memeras keringat untuk kesenangan dan
kekayaan penjajah semata-mata, bukan?
Ayo injak papan itu demi kehormatan
bangsa nusantara!!" perintahnya pada
petani itu.
Setelah menyaksikan si petani
menginjak papan itu atas perintahnya
kemudian ia kembali meneruskan
perjalanannya. Sedangkan si petani
hanya memandang orang itu dengan
pandangan heran dan ia sama sekali tak
tahu kalau pendatang bertudung caping
itu tidak lain adalah Parmin murid
tunggal Ki Sapu Angin yang kini dalam
perjalanan sudah sampai di daerah
Kandang Haur.
* * *
Pemuda dengan tudung caping itu
menyabetkan goloknya berulang-ulang
pada papan nama yang terpancang di
pematang sawah itu
Saat itu di rumah Leonard Van
Eisen terlihat orang berkepala botak
berbaju kuning yang beberapa hari
berselang membaca papan pengumuman
sayembara yang dipasang di pasar,
bertemu langsung dengan tuan Van
Eisen. Ternyata ia mendaftarkan diri
untuk ikut membekuk maling yang
dikenal dengan julukan Bajing Ireng.
Si Botak memperkenalkan diri dengan
nama Beruang Kuning Dari Gurun Gobi,
minta bayaran yang sangat tinggi pada
tuan Van Eisen.
"Kami sanggup memenuhi permintaan
anda, asalkan anda dapat menangkap ma-
ling itu dalam keadaan mati atau
hidup..!"
"Tuan akan melihat sendiri
hasilnya nanti malam! Aku akan
menangkap maling itu hidup-hidup!"
jawab si Beruang Kuning dengan pasti.
"Bagus! Saudara harus membuktikan
janji anda untuk menangkap maling itu
ludup-hidup. Kalau janji anda meleset,
maka anda akan tahu sendiri
akibatnya!! Sekarang mari kita rayakan
pertemuan mi dengan minum anggur,
ayo...!" seru Van Eisen sambil
menyodorkan gelas kepada Beruang
Kuning.
Beruang Kuning menerima gelas
yang disodorkan padanya. Tanpa ragu
lagi ia menenggak habis isi gelas itu.
Demikian juga dengan Leonard Van
Eisen.
Malam harinya seperti biasa di
saat orang telah tidur dengan lelap.
Sesosok tubuh serba hitam melompat-
lompat dan mengendap-endap seperti
seekor Bajing di atas atap-atap rumah
penduduk. Dia tak lain adalah Bajing
Ireng sang maling budiman penolong
rakyat miskin.
Tiba-tiba sesosok bayangan lain
berkelebat cepat ke atas atap salah
satu rumah dan berdiri menghadang
Bajing Ireng. Gerakan orang tersebut
yang ternyata adalah Beruang Kuning
dari Gurun Gobi, itu sukar diikuti
dengan mata biasa. Bajing Ireng agak
gentar menghadapi lawannya kali ini.
Beruang Kuning tertawa terbahak-bahak.
Suaranya mengandung tenaga dalam yang
hebat sehingga membuat telinga menjadi
pekak bagi siapa saja yang
mendengarnya. Apa lagi bagi orang yang
ilmu tenaga dalamnya masih rendah maka
telinganya bisa menjadi tuli.
Bajing Ireng menggerakan ilmu
pernapasan dan tenaga dalamnya untuk
menghalau suara yang dilancarkan
pendekar berkepala botak tersebut.
"Ha ha ha ha ha ha ha!! Pantas
malingnya begitu lihai dan hebat.
Tentu saja tak tertandingi oleh jago-
jago pribumi disini! Ternyata julukan
Bajing Ireng tidak percuma kau
sandang, karena gerakanmu memang mirip
seekor bajing. Tetapi lebih baik kau
menyerah saja, manis! Karena malam ini
adalah malam terakhir petualanganmu,
maling manis! Aku akan menyerahkan
dirimu pada tuan Van Eisen!" kata
Beruang Kuning dengan gaya rayuan yang
tengik. Bajing Ireng menjadi panas
hati mendengar cara lawannya berbicara
dan tarikan-tarikan wajahnya yang
begitu nyinyir menyebalkan. Saat itu
ia seperti menghadapi seorang dengan
wajah seperti ketimun suri yang sudah
lodo karena busuk.
"Bangsat! Siapakah kau, he
bajingan gendut berkepala botak?!
Pulanglah kau kembali ke negeri
asalmu, botak!" hardik Bajing Ireng
dengan nada begitu lugas dan ketus.
Emosinya sebagai seorang perempuan
terlihat begitu nyata.
Mendengar hinaan itu, Beruang Ku-
ning dari Gurun Gobi hanya tersenyum.
Senyuman sinis penuh ancaman.
"Dunia persilatan di negeriku
mengenalku dengan julukan Si Dewa Suci
Penyebar Bala! Dan di negeri Jawa
Dwipa ini aku bergelar Beruang Kuning
dari Gurun Gobi sesuai dengan tempat
asalku di sana!" jawab Beruang Kuning.
"Hi hi hi hi hi hi hi! Hai, Dewa
Gundul! Kau datang jauh-jauh dari
tanah leluhurmu hanya untuk membuat
kegaduhan disini. Sesudah itu kau akan
mengeruk kekayaan negeri kami untuk
mengisi perut gendutmu yang seperti
gentong air itu! Kau memang benar-
benar bangsat!! Dan kau tak lebih dari
sebuah benalu bagi bangsa kami,
Beruang gundul!" kata Bajing Ireng
dengan nada mengejek.
Dan hal ini membuat Beruang
Kuning tak dapat lagi menahan
amarahnya.
"Hayyaa! Aku tidak membutuhkan
ocehanmu! Uang adalah raja dari segala
raja! Manusia dapat dikendalikan
dengan uang! Hidup ini hanya untuk
uang! Hanya manusia bodoh saja yang
tidak mau menggunakan kesempatan emas
yang berada di depan mata!" katanya
sambil merentangkan tangannya
membentuk sebuah jurus. Agaknya inilah
jurus pembukaan gaya Beruang Kuning.
"Oh, rupanya demikian sifat dari
seorang dewa!" sindir lembut Bajing
Ireng sambil membentuk kuda-kuda.
"Aku tidak akan mundur menghadapi
manusia tengik macam kau! Majulah
daripada hidup di bawah telapak kaki
penjajah lebih baik mati berkalang
tanah! Ayo gundul gendut!!" teriak
Bajing Ireng menanti serangan Beruang
Kuning.
Tanpa banyak bicara lagi, Beruang
Kuning melancarkan serangan yang
pertama dan merangsak Bajing Ireng.
Jurus-jurus yang dilancarkan Beruang
Kuning menderu-deru seperti angin
puyuh. Bajing Ireng mengeluarkan semua
ilmu yang dimilikinya dalam menghadapi
serangan dari pendekar asing yang
berilmu tinggi itu. Serangan demi
serangan dilancarkan secara bergantian
oleh pendekar itu sehingga udara di
sekitarnya bergetar dan merontokkan
daun-daun kering akibat kehebatan
tenaga dalam masing-masing.
Dengan cengkeraman, Beruang
Kuning segera melancarkan serangan ke
arah Bajing Ireng.
Para penjaga gudang penggilingan
beras datang berlari untuk menyaksikan
pertarungan itu. Salah seorang dari
mereka menunjuk ke atas dengan
perasaan kagum dan terpesona.
"Lihat! Orang dari negeri
seberang itu bertarung dengan Bajing
Ireng di atas sana, lihat!!" teriaknya
kepada teman-temannya.
"Kurasa kedua-duanya bukan orang
sembarangan. Mereka memiliki ilmu
meringan tubuh yang tinggi, sehingga
dapat bertarung di atas atap rumah
dengan lincah!" decak kagum dari para
penjaga gudang beras menyaksikan
kehebatan kedua orang itu.
Pertarungan sengit itu
berlangsung cukup lama. Berpuluh-puluh
jurus sudah mereka kerahkan tetapi
pertarungan itu masih terlihat
seimbang dan tampaknya pertarungan ini
tak mungkin berakhir sampai pagi.
Suara ayam berkokok tidak menarik
perhatian kedua orang yang sedang ber-
tarung, itu. Beruang Kuning justru
semakin gencar melancarkan serangannya
sehingga Bajing Ireng terdesak. Bajing
Ireng merasa dirinya kewalahan, ia
meloncat turun ke bawah diikuti oleh
gerak salto Beruang Kuning yang terus
mengejarnya. Pertarungan dilanjutkan
di atas tanah yang mulai berembun.
"Hmm, lihatlah Bajing Ireng sudah
mulai kelihatan terdesak oleh serangan
maut yang dilancarkan pendekar dari
negeri seberang itu!!" komentar para
penjaga gudang terus menyaksikan
pertarungan tersebut dengan rasa ingin
tahu yang kian menggebu.
Pertarungan mereka beralih menuju
makam tua, suatu kawasan kuburan yang
sudah ditumbuhi semak-belukar.
Suatu kesempatan tiba-tiba
pendekar botak itu melancarkan
serangan dan berhasil mengenai ulu
hati Bajing Ireng.
"Aduh!" Bajing Ireng mengerang
kesakitan. Tubuhnya melorot ke bawah
tak sanggup berdiri lagi. Bajing Ireng
terkulai lemas dan bersandar pada batu
nisan salah satu makam tua di situ.
Seketika wajah Beruang Kuning
berseri-seri melihat tubuh Bajing
Ireng sudah tergolek tak berdaya dan
suara tawanya memecah dinginnya udara
pagi saat itu.
"Ha ha ha ha ha ha ! Sekarang kau
baru mengakui kehebatanku? Kau tak
dapat bergerak lagi dan semua orang
tentu ingin tahu siapa sebenarnya
Bajing Ireng!" teriak Beruang Kuning
alias Dewa Suci Penyebar Bala kepada
para penjaga gudang yang
menghampirinya dengan berbondong-
bondong.
"Tahukah kalian? Kalian kan
penduduk desa ini, bukan..? Tentu
dapat mengenali wajah yang tersembunyi
di balik cadar hitam ini!" teriak
Beruang Kuning kepada para penjaga
gudang yang berkerumun mengelilingi
Bajing Ireng yang sudah tak dapat
berbuat apa-apa lagi.
"Tahukah kalian, berapa hadiah
yang akan aku terima dari tuan Van
Eisen ha? Lima kali lipat dari hadiah
yang dijanjikan dalam sayembara itu!
Bukankah ini suatu keberuntungan yang
sangat besar, bukan? Selanjutnya aku
akan hidup uncang-uncang kaki
menikmati hadiah itu!" ujar Beruang
Kuning dengan kesombongan yang membuat
iri para jago-jago pribumi bila
mendengarnya.
"Nah, cobalah kalian dekat
kemari! Kita akan menyaksikan siapa
sebenarnya maling ini!" kata Beruang
Kuning meng-hampiri Bajing Ireng yang
terbujur lemah tanpa daya dan menyerah
kepada nasib. Walaupun dengan sekuat
hati Bajing Ireng mencoba untuk
bergerak, tetap seluruh persendian
tubuhnya terasa lolos tak berfungsi
lagi.
Beruang Kuning mengulurkan tangan
untuk membuka cadar yang menutupi
wajah Bajing Ireng.
"Jangan sentuh aku, bangsat!"
teriak Bajing Ireng dengan cemas.
"Ha ha ha ha ha! Tenang saja anak
manis. Aku dapat berbuat apa saja ter
hadap dirimu!" sahut Beruang Kuning
semakin jumawa penuh kesombongan.
Ketika tangan kekar itu hendak
membetot cadar dari wajah Bajing Ireng
tiba-tiba sebuah batu melayang tepat
mengenai tangannya, sehingga tangan
Beruang Kuning yang menjulur itu
ditariknya kembali sambil meringis
kesakitan.
"Huh ! Siapa yang berani kurang
ajar kepadaku? Ayo. Tunjukkan
dirimu...!" umpat Beruang Kuning bagai
disengat lebah.
Dan seketika berdirilah sesosok
tubuh tegap bertudung caping di
hadapan mereka. Orang itu melangkah
dengan tenang mendekati Beruang Kuning
yang masih terperangah kagum dengan
ilmu tenaga dalam yang dimiliki orang
itu. Para penjaga gudang segera
mengurung orang itu dengan golok
terhunus. Mereka telah memastikan
bahwa siapapun yang datang membantu
Bajing Ireng berarti musuh yang harus
disingkirkan pula.
Parmin si pendekar bertudung
caping segera memberi peringatan.
"Jangan sentuh gadis itu!
Pergilah kalian menyingkir!" katanya
dengan nada yang mantap dan berwibawa.
"Uh...uhh! Siapa kau, he? Mengapa
kau membokongku?! Kau telah berani
mencampuri urusanku! Siapa namamu,
pemuda?" tanya Beruang Kuning sambil
terus memegangi tangannya yang melepuh
biru akibat lemparan batu itu.
"Apalah arti sebuah nama? Nama
bagiku tak begitu penting! Aku
tekankan sekali lagi kalau ingin
selamat segeralah menyingkir dari
sini! He, pernahkah kau mendengar nama
Syarif Hidayatullah?" tanya Parmin
pada Beruang Kuning alias Dewa Suci
Penyebar Bala.
Dengan sekali kibas, senjata-
senjata rahasia itu rontok
berpelantingan
"Atau orang menyebutnya Sunan
Gunung Jati. Beliau telah
mempersunting seorang putri dari
negerimu! Hmm, oleh karena itu
seharusnya kau tidak menodai nilai-
nilai persahabatan itu!" sambungnya
tanpa merasa gentar terhadap siapapun.
"Janganlah kau mengotori tanah
Cirebon dengan segala ulahmu yang
memuakkan!!" lanjut Parmin mengusir
pendekar dari Gurun Gobi dengan nada
keras dan menyakitkan.
Beruang Kuning merasa diremehkan
oleh pemuda pribumi itu di hadapan
para penjaga gudang seorang tuan tanah
Belanda yang saat ini menumpahkan
harapan kepadanya.
"Persetan dengan ocehanmu!!"
teriak Beruang Kuning.
Lalu ia tiba-tiba berteriak
sambil melontarkan senjata rahasianya
ke arah Parmin. Senjata rahasia itu
meluncur begitu cepat sehingga tak
terlihat oleh pandangan mata biasa.
Melihat serangan yang dilontarkan
oleh lawannya secara tak terduga, lalu
Parmin secepat kilat mencabut golok
yang terselip di pinggangnya, dan
tiba-tiba
Ting! Ting! Ting! Ting!
Terdengar suara benturan dua
senjata yang terbuat dari logam.
Pisau-pisau itu beradu dengan golok,
melejit lalu menancap di tanah tanpa
dapat menyentuh sama sekali
sasarannya.
"Ha ha ha ha ha ha! Percuma saja
kau menggunakan senjata rahasiamu,
kakek gundul!!" ujar Parmin sambil
menyarungkan goloknya kembali.
Melihat senjata rahasianya
berhasil ditangkis lawan dengan mudah
Beruang Kuning menjadi geram sekali.
Kemudian tanpa diduga ia melancarkan
serangan ke aran Parmin. Tendangan
Beruang Kuning hanya mengenai caping
pemuda itu sampai terpental lepas
sehingga terlihatlah wajah pemiliknya
yang sangat tampan dan simpatik.
Kehadirannya membuat pesona baru bagi
dunia persilatan. Ia seorang pendekar
yang naik darat bukan turun gunung
seperti kebanyakan pendekar pada
umumnya.
Bajing Ireng dan para penjaga
menyaksikan pertarungan sengit itu
berdecak kagum. Hanya beberapa jurus
saja Parmin berhasil mendaratkan
tendangan keras ke dahi Beruang
Kuning. Tendangan tersebut sempat
membuat tubuh lawannya mundur beberapa
langkah ke belakang. Baru saja ia
mengatur napas untuk membuka serangan
baru, secepat itu pula sebuah
tendangan telah mendarat lagi di dada
Beruang Kuning.
Beruang Kuning memegangi dadanya
merasakan sakit yang teramat sangat.
"U-huk! U-huk! Hoak....! Stop!
Stop! Aku mengakui kau lebih unggul
dariku. Tetapi jangan merasa bangga
dulu, tunggulah saat pembalasanku...!"
desisnya sambil terbatuk-batuk. Dari
mulutnya mengalir darah kental, darah
luka dalam rongga dadanya.
Parmin menghentikan serangannya.
Beruang Kuning berjalan
sempoyongan. Kemudian ia melakukan
gerakan salto meloncat ke atas atap
sebuah rumah.
"Sampai berjumpa lagi, kawan!"
katanya langsung menghilang di
kegelapan malam menjelang remang pagi.
"Aku akan menunggumu walau sampai
dunia kiamat!" teriak Parmin
membiarkan Beruang Kuning pergi. Lalu
ia menghampiri para penjaga gudang
yang hanya berdiri mematung.
"Hei, kalian kerbau-kerbau dungu!
Mengapa bengong di sini saja? Ayo
pergi semuanya?" bentak Parmin.
Tanpa bicara sepatah katapun para
penjaga gudang itu segera pergi menuju
posnya masing-masing.
***
Parmin lalu mendekati Bajing
Ireng yang masih tergeletak tak
berdaya. Ia menatap Bajing Ireng penuh
rasa kasihan dan perlahan-lahan duduk
di sisi Bajing Ireng yang coba
beringsut menjauhi pemuda yang sama
sekali tak dikenalnya.
"Ijinkanlah aku melepaskan
totokan pada tubuhmu akibat serangan
si Beruang Kuning itu!" kata Parmin
dengan lembut.
Bajing Ireng menganggukkan
kepalanya memberi ijin kepadanya.
Parmin lalu membalikan tubuh Bajing
Ireng dan memijit leher Bajing Ireng.
Beberapa saat kemudian Bajing Ireng
dapat menggerak-gerakkan tubuhnya. Ia
lalu duduk bersila mengatur napas
untuk memulihkan kesegaran tubuhnya.
"Aku sangat berhutang budi kepada
anda!" ucap Bajing Ireng.
"Ah, kita adalah kawan
seperjuangan sekarang. Tubuhmu sudah
bebas dari pengaruh totokan itu. Nah!
Ceritakan siapa dirimu sebenarnya!"
pinta Parmin pada kawan barunya itu.
Tetapi Bajing Ireng hanya diam
saja. Ia tak berani menceritakan siapa
dirinya. Parmin dapat menangkap apa
yang tersirat di hati Bajing Ireng.
"Ceritakanlah! Tidak apa-apa! Tak
seorangpun mendengar percakapan kita!
Ayo, ceritakan!" kata Parmin sambil
mengamati daerah sekelilingnya untuk
meyakinkan Bajing Ireng.
"Bolehkah aku menolongmu membuka
cadar itu?"
"Boleh aku membuka cadarmu?"
Bajing Ireng kembali diam. Ia tak
kuasa menolak permintaan Parmin.
Parmin kemudian membuka cadar
yang menutupi wajah Bajing Ireng de-
ngan lembut dan perlahan-lahan sekali.
Ia menatap wajah Bajing Ireng seakan-
akan tak percaya. Baru kali ini ia
melihat gadis secantik Bajing Ireng.
Parmin tidak menyangka bahwa gadis
secantik Bajing Ireng sudah mempunyai
ilmu silat yang cukup tinggi dan
berani berjuang melawan kekuasaan tuan
tanah Belanda yang bercokol di desa
kandang haur dan mencengkram daerah
sekitarnya.
"Siapakah kau? Aku ingin
mengenalmu lebih jauh!" bisik Parmin
penuh harap.
Bajing Ireng menundukkan
kepalanya menghindari tatapan pemuda
yang baru dikenalnya tetapi telah
terasa menyentuh kalbunya.
"Namaku Roijah! Aku adalah anak
Pak Marto, kepala desa di sini!" sahut
Bajing Ireng pelan.
Kemudian ia memberanikan diri me-
natap mata pemuda tersebut. Mata kedua
anak muda itu sekilas beradu pandang.
"Siapakah anda? Kelihatannya anda
adalah seorang pengembara." tanya
Roijah tersipu malu dan pipinya tiba-
tiba merona merah jambu.
"Ya, benar! Namaku Parmin. Aku
seorang pengembara yang datang dari
pantai utara." jawab Parmin terus
menatap wajah Roijah yang cantik
rupawan. Hatinya bergetar segencar
getaran yang ada di hati Roijah juga.
Roijah malu wajahnya dipandangi
terus-menerus oleh Parmin. Ia hanya
tertunduk diam. Demikian juga dengan
Parmin. Ia menjadi serba salah.
"Hmm.... ilmu silatmu cukup
tinggi! Boleh aku mengetahui gurumu?
Barang-kali kau tidak berkeberatan
untuk menyebutkannya, bukan?" tanya
Parmin memulai kembali pembicaraan
yang agak lama terhenti.
Roijah agak terkejut mendengar
pertanyaan itu.
"Aku... aku... aku mempelajarinya
di sebuah buku kuno!" sahutnya
terbata-bata.
"Dari sebuah buku kuno? Darimana
kau mendapatkan kitab itu?" tanya Par-
min merasa heran sambil terus menatap
Roijah.
Roijah dipandangi Parmin seperti
merasa malu. Lagi-lagi wajahnya
memerah dan hatinya berbunga-bunga. Ia
membuang wajahnya ke arah lain.
"Oh, mengapa kau menatapku
seperti itu? aku malu! Berpalinglah ke
arah lain!" kata Roijah dalam hati.
Parmin tersenyum dan segera
memalingkan wajahnya membelakangi
Roijah. Ia seakan dapat membaca isi
hati Roijah.
"Baiklah! Aku menghadap ke sini.
Rupanya kau masih gadis pingitan,
ya..? Sekarang ceritakanlah bagaimana
kau mendapatkan buku kuno tersebut!"
Roijah masih tertunduk membisu,
maka Parmin membalikkan tubuhnya kem-
bali berhadapan dengan Roijah. Sejenak
ia merhandangi wajah cantik yang tak
pernah jemu bagi siapa saja yang
memandangnya.
Parmin menarik napas. Mendadak ia
bicara terputus.
"Roijah, tahukah kau? Aku...
aku... hatiku berkata bahwa aku telah
mencintaimu!" kata Parmin dengan
jantung yang berdebar-debar.
Roijah terkejut sekali mendengar
keterus terangan Parmin. Tubuhnya
terasa bergetar mendengar Parmin
menyebut namanya. Begitu mesranya,
sampai meresap ke dalam dada.
"Oh! Akupun.....ah! Aku malu
mengatakannya! Sebenarnya tadi ketika
kau memijit leherku, dadaku terasa
bergemuruh! Sepertinya kau...aku juga
mencintaimu!" desah Roijah lembut
sekali sambil memalingkan wajahnya
yang memerah ke arah lain.
Parmin senang sekali mendengar
Roijah berkata begitu. Ia lalu
memegang bahu Roijah mesra sekali.
Dunia ini terasa indah. Kuburan di
sekitarnya mereka seperti berubah
menjadi taman sari yang ditumbuhi oleh
aneka warna bunga.
Sementara itu sinar bulan
menyelimuti malam yang menyongsong
dini hari. Cakrawala begitu bening dan
indah. Rinai embun yang turun menambah
suasana malam itu menjadi sensual.
Unggas-unggas malam dan rumput-rumput
liar menjadi saksi pernyataan cinta
sepasang muda-mudi tersebut. Mereka
begitu polos dalam mengutarakan
perasaannya masing-masing. Kemudian
mereka duduk di atas batu-batu makam
yang beronggok tak bernisan lagi.
***
"Aku menemukan buku itu di atas
tikar shajadah di dalam kamarku!" kata
Roijah menceritakan asal mula buku
kuno itu. Sementara Parmin duduk de-
ngan tenang sambil mendengarkan cerita
Roijah dengan penuh perhatian.
"Sehabis mengambil air wudhu, aku
terkejut sekali melihat buku yang
entah darimana datangnya. Aku
memperhatikan buku itu dan berniat
untuk memberitahukan kepada ayah.
Tetapi aku membaca serangkaian kata-
kata yang tertulis di halaman depan
buku kuno tersebut. PELAJARILAH BUKU
INI SAMPAI SELESAI DAN JANGAN ADA
SEORANGPUN YANG BOLEH TAHU. Aku
berpikir, siapa yang telah memberikan
buku kuno ini? Lalu aku membuka
halaman berikutnya. Sungguh di luar
dugaan! Ternyata buku kuno itu berisi
gambar-gambar yang melukiskan jurus-
jurus silat! Gambar-gambar itu
sederhana namun mudah untuk
dimengerti. Terlukis di atas lembar-
lembar kulit yang bersih dan tipis.
Lembaran-lembaran buku itu dibundel
dan dijahit dengan benang dari kulit
juga. Di samping itu yang lebih
mengejutkanku adalah kutemukan pula
satu stel pakaian silat serba hitam
berikut sebuah cadar dan sebuah golok
berhulu kayu hitam dengan ukiran
berbentuk kepala bajing, kemudian aku
mencoba pakaian itu dan mempelajari
jurus-jurus yang tertera dalam buku
itu. Aku mulai membaca bab pertama.
Kitab itu ternyata bertulisan huruf-
huruf Arab dengan bahasa Jawa Cirebon.
Aku mulai mempelajari jurus pertama.
Tanganku menyilang di dada dan kedua
kaki berdiri sejajar dengan tubuh agak
merendah membentuk kuda-kuda.
Begitulah sampai aku terasa lelah.
Setiap malam selesai sholat, aku
mempelajari kembali jurus demi jurus
dengan tekun. Semua itu aku lakukan
tanpa sepengetahuan ayahku. Setiap
malam selesai sholat, aku selalu
mengurung diri di kamar sehingga ayah
sedikit curiga. Tetapi aku bilang
padanya bahwa aku hanya sedikit merasa
tidak enak badan atau alasan-alasan
lainnya. Ayahku percaya saja!" kata
Roijah dengan nada bersemangat sambil
menggeser duduknya. Dan tanpa sadar ia
semakin dekat dengan Parmin. Parmin
sendiri bukan tidak tahu akan hal itu.
Ia diam-diam mengulum senyum dengan
harapan agar Roijah lebih dekat
menggeser duduknya lagi.
Roijah kembali melanjutkan
ceritanya.
"Begitulah terus-menerus setiap
malam. Aku selalu mempelajari buku
tersebut dengan sungguh-sungguh.
Tepatnya pada bulan yang ketigapuluh
aku dapat menyelesaikan bab terakhir.
Semua jurus-jurusnya berjumlah seratus
satu!" lanjut Roijah.
"Aku merasa puas dapat
menjalankan amanat yang diberikan
seseorang untuk mempelajari buku
tersebut. Dan pada malam Jum'at
dibulan Ramadhan menjelang makan sahur
ketika aku sedang mempelajari jurus
yang paling terakhir dengan semangat
yang menyala-nyala, terdengar suara
seseorang di luar jendela kamarku. Aku
merasa terkejut sekali! Kemudian aku
bergegas ke jendela untuk meyakinkan
sumber tersebut.
"Selamat, muridku! Kau telah
berhasil mempelajari buku itu dengan
baik! Nah, sekarang kembalikanlah buku
itu dan ikutlah aku keluar!" perintah
suara itu pelan.
"Memang terdengar seperti orang
yang berbisik tetapi sungguh aneh,
suara itu terdengar begitu jelas
ditelingaku." Lanjut Roijah.
"Aku segera membuka jendela dan
aku terkejut! Dari pantulan sinar
bulan terlihat sesosok tubuh berdiri
di balik semak-semak. Kemudian orang
tersebut menghampiriku. Ternyata ia
seorang nenek-nenek! Wajahnya yang
keriput dengan rambut putih sebatas
pinggang berjumbai-jumbai ditiup
angin. Wajahnya masih terlihat cantik
meskipun sudah tua. Aku memastikan
bahwa di usia mudanya tentu dia
seorang gadis yang cantik jelita!"
"Keluarlah, muridku! Aku akan
memberi restu kepadamu!" ujar nenek
itu dengan suara yang tenang. Kedua
tangannya terbentang untuk
menyambutku.
"Baik, guru!" kataku lalu
meloncat keluar menghampirinya dan aku
segera bertekuk lutut di hadapannya
sebagai pernyataan hormat seorang
murid kepada gurunya.
"Kau sudah menguasai ilmu silat
Dermayon! Aku adalah Nini Sari!
Sekarang kau resmi menjadi muridku.
Aku akan memberimu pelajaran ilmu
meringankan tubuh agar kau dapat
dengan mudah melompat-lompat seperti
seekor bajing."
"Aku menganggukkan kepala. Kemu-
dian ia membawaku ke suatu tempat yang
sangat terpencil. Setelah sampai ia
berdiri tegak di depan sebuah pohon
yang besar dan tinggi. Aku
memperhatikan guruku dengan penuh rasa
ingin tahu apakah yang akan ia
lakukan? Tiba-tiba guruku meloncat ke
atas dahan pohon itu. Aku hanya diam
memperhatikan guruku yang sudah
berdiri diatas dahan pohon itu.
Kemudian guruku menggerakan jarinya
mengisyaratkan agar aku mengikuti apa
yang dilakukannya. Aku meloncat ke
atas salah satu dahan pohon yang lain.
Lalu guruku segera menjatuhkan dirinya
seperti seekor kelelawar yang sedang
tidur. Kepalanya menjuntai ke bawah
sedangkan kakinya menjepit dahan
tersebut yang semula sebagai tempat
berpijak. Kedua tangannya tersedakep
menyilang di dada aku mengikuti apa
yang dilakukan guruku tanpa banyak
bicara. Mula-mula aku hampir saja
terjatuh ke bawah ketika mencoba
posisi bergelantung dengan kepala
dibawah, karena jepitan kakiku pada
dahan pohon kurang kuat dan hampir
terlepas! Tapi lama kelamaan aku dapat
menguasai diri dan bisa menggelantung
seperti kelelawar yang dicontohkan
Nini Sari guruku. Namun sekarang
timbul masalah baru! Kepalaku pusing
seakan-akan seluruh darah dalam
tubuhku menumpuk di kepala dan
kepalaku rasanya akan meledak! Itupun
akhirnya dapat kuatasi atas petunjuk
guruku melalui sistim pernapasan,
sehingga aliran darah dapat terbagi
rata secara normal seperti posisi
dalam keadaan berdiri."
"Ternyata guruku mengetahui semua
kesulitanku!"
"Atur napasmu dengan baik! Jurus
pertama ini merupakan kunci dari ilmu
meringankan tubuh yang akan kutu-
runkan kepadamu, muridku!' katanya
tenang, mantap dan penuh wibawa.
Untuk pertama kali Roijah merasa
sulit untuk bergantung dengan kaki di
atas dahan seperti seekor Kelelawar
yang sedang tidur itu.
"Aku merasa malu dan kagum pada
guruku. Ia dapat merasakan getaran tu-
buh ku dan suara napasku yang tidak
teratur. Betapa tinggi ilmu silat yang
dimilikinya. Padahal jarak antara
dahan pohon yang kugelantungi dengan
dahan yang digelantungi guruku cukup
jauh! Mungkin karena meniru posisi
kelelawar tidur maka pendengarannyapun
menjadi tajam seperti kelelawar!
Demikianlah setiap malam aku
digembleng oleh guruku. Dan pada bulan
pertama aku dapat menguasai jurus
pertama dengan sempurna. Melihat aku
sudah dapat menguasai jurus yang
diberikannya, guruku mulai memberikan
jurus berikutnya. Guruku berjalan
mencari pohon yang cabang-cabangnya
bersudut siku agar dapat ditiduri
dengan baik. Lalu ia melompat dengan
ringannya ke cabang pohon itu. Ia
tidur terlentang pada salah satu
cabang tak ubahnya seperti orang yang
tidur diatas tempat tidur saja.
Tangannya disilangkan di perut.
Semakin lama semakin aku tahu betapa
tinggi ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki guruku, betapa tidak! Dari
cabang pohon yang besar kemudian
beralih rebah terlentang di cabang-
cabang pohon yang lebih kecil. Aku
lalu melompat juga ke cabang-cabang
pohon itu mengikuti segala yang
dilakukan oleh guru!"
Roijah menarik napas panjang.
"Demikianlah setiap malam aku
selalu keluar rumah melalui jendela
untuk menerima gemblengan dari guruku.
Semua itu kulakukan dengan tekun dan
semangat yang menyala. Kemajuan-
kemajuan yang kucapai dalam latihan
itu begitu cepat bukan semata-mata
karena bakat, tetapi karena kemauan
serta semangat yang tinggi. Selain itu
guruku pernah berkata bahwa semangat
yang ada pada diriku timbul karena
rasa benci kepada penjajah Kumpeni
Belanda yang mengakibatkan rakyat
hidup semakin miskin dan sengsara".
"Demikianlah akhirnya pada bulan
yang ketigapuluh aku berhasil
menamatkan pelajaran ilmu meringankan
tubuh itu. Jadi jumlah seluruh waktu
untuk menuntut ilmu silat itu adalah
enam puluh bulan atau lima tahun. Itu
adalah waktu yang sama bagi seorang
gadis untuk menjalankan masa pingitan
dari usia tiga belas tahun sampai usia
delapan belas tahun!" Sambung Roijah.
"Muridku, kau telah berhasil me-
nguasai semua ilmu yang kuberikan!
Nah, mulai sekarang kau harus
menggunakan ilmu itu untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan dibumi ini. Dan
kau jangan takabur tetapi harus
bersikap tawadhu...! Ingat pesanku
baik-baik!" ujar guruku sambil
mengelus-elus bahuku.
"Aku akan menjalankan perintah
guru! Dan akan menumpas segala bentuk
kejahatan dibumi ini!" kataku dengan
penuh kesungguhan dan menanamkan tekad
dalam kalbu.
"Maka sejak saat itu guruku pergi
meninggalkan aku dan kembali ke tempat
dari mana ia datang. Pada awalnya
perpisahan itu begitu berat kurasakan,
karena ia bukan hanya sebagai guru
yang memberiku ilmu silat tapi ia juga
sebagai ibu yang menyayangiku dengan
sepenuh jiwanya." kata Roijah
mengakhiri kisahnya kepada Parmin.
***
"Dan aku sebagai gadis pingitan,
rasanya tak ada jalan lain bagiku
untuk menolong bangsaku sendiri selain
menjadi seorang pencuri beras dari
gudang milik tuan Van Eisen! Aku tak
tahan melihat penderitaan rakyat!"
kata Roijah kesal.
Parmin menggeser duduknya lebih
dekat kepada Roijah. Sinar matanya
berbinar.
"Aku bangga melihatmu, Roijah!"
kata Parmin dengan senyum dan
pandangan penuh arti.
"Ditengah-tengah kebejatan moral
bangsa yang dijajah ini masih ada pula
orang yang berjiwa patriot seperti
kau!"
Roijah merasa senang dipuji oleh
laki-laki yang dicintainya.
Parmin lalu berdiri. Sedangkan
pandangannya tak lepas-lepas dari
Roijah, yang sibuk membenahi
rambutnya. Rambut yang semula
dibiarkan tergerai sebatas pinggang
itu kini dibuntelnya menjadi berbentuk
sanggul. Dengan dandanan rambut
seperti itu, Parmin melihat Roijah
menjadi seorang gadis yang lebih
dewasa dengan kecantikan yang anggun.
"Marilah kita membulatkan tekad
untuk berjuang mengusir penjajah dari
negeri ini bahu-membahu, Roijah!" seru
Parmin seraya mengepalkan tangan
kanannya.
Roijah menganggukkan kepalanya
tanda setuju. Disusul pula dengan
acungan tangan kanan yang mengepal.
Sementara itu di ufuk timur mulai
terang dan tak terasa ayam telah mulai
berkokok. Dinginnya malam berangsur-
angsur mulai terusir.
Parmin menghampiri Roijah. Lalu
ia memegang bahu Roijah lembut dan
mesra. Wajah mereka begitu dekat.
Roijah menundukkan kepalanya tak
sanggup membalas tatapan Parmin yang
terasa menembus jantung Roijah
sehingga jantungnya berdetak keras.
Suara kokok ayam bersahut-sahutan
bahkan terasa tenggelam oleh
gemuruhnya dada sepasang muda-mudi
yang sedang dilanda cinta itu.
"Sekarang hampir menjelang subuh!
Cepatlah kau pulang dan kita berjumpa
kembali besok untuk menyusun kekuatan!
Pulanglah Roijah...!" kata Parmin be-
gitu mesra sambil mencium kening
Roijah.
Jantung Roijah terasa berhenti
saat Parmin mencium keningnya. Ia
merasa sangat bahagia saat itu. Roijah
hanya tertunduk diam seribu bahasa.
Parmin mengangkat wajah Roijah dan
ditatapnya dalam-dalam. Dalam sekali
seperti seorang yang menyelami sebuah
telaga hati yang bening dan teduh.
"Pulanglah!" seru Parmin.
Roijah membalas tatapan Parmin
dengan hati yang berbunga-bunga
seperti ledakan bunga yang tiba-tiba
mekar dengan indahnya.
"Baiklah, aku segera pulang, kang
Parmin!" sahut Roijah lembut.
Tanpa sengaja Roijah memanggil
kang kepada Parmin, sesuatu yang
mengandung arti khusus.
Kemudian mereka berjalan
berlawanan arah sambil melambaikan
tangan tanda berpisah. Roijah berjalan
perlahan-lahan membawa perasaan
bahagia.
Begitu juga dengan Parmin.
***
Beberapa waktu kemudian secara
serempak terjadilah pemberontakan-
pemberontakan para petani kepada tuan-
tuan tanah. Mereka menuntut haknya
supaya tanah mereka dikembalikan.
Kerusuhan itu terus menjalar sampai
kotapraja Cirebon. Mereka mendatangi
rumah tuan-tuan tanah beramai-ramai
sambil mengacungkan senjata mereka
masing-masing. Ada yang bersenjata
golok, parang, kayu, arit, sekop dan
sebagainya. Para tuan tanah kewalahan
menghadapi mereka dan para tuan tanah
menyampaikan hal ini ke Residen, agar
segera mengambil tindakan yang tegas
guna menanggulangi para pemberontakan
itu secepatnya.
Pihak pemerintah Kumpeni Belanda
yang berkepentingan dengan tanggung
jawab keuntungan terhadap pemerintah
pusat di Negeri Belanda, merasa perlu
mempertahankan kekuasaan para tuan
tanah Belanda sebagai sumber devisa
bagi negaranya di eropa sana. Oleh
karena itu Kumpeni Belanda segera
mengerahkan segenap kekuatan
militernya, mengirimkan serdadu
beserta persenjataannya untuk menumpas
pemberontak para petani di seluruh
wilayah karesidenan Cirebon.
Akibatnya banyak korban jatuh,
terutama di pihak para petani dan
rakyat kecil yang tak berdosa. Sebagai
penguasa setempat, Residen merasa
serba salah. Residen sebagai penguasa
sipil harus bertanggung jawab kepada
penguasa militer Kumpeni Belanda dan
bertanggung jawab kepada masyarakat
sebagai warganya yang terdiri dari
para tuan tanah serta rakyat pribumi
tanah jajahan. Kedudukannya benar-
benar terjepit seperti menghadapi buah
simalakama, dimakan ibu mati tidak
dimakan bapak mati. Tapi biar
bagaimanapun Residen harus berani
mengambil keputusan yang terbaik.
Keputusan yang fragmatis bagi
kehidupan sebuah negeri jajahan.
Kemudian atas kebijaksanaan
Residen, maka para tuan tanah harus
mengembalikan tanah-tanah kepada
pemiliknya masing-masing. Keputusan
tersebut disambut gembira oleh rakyat
Cirebon. Sedangkan para tuan tanah
menganggap keputusan itu sangat
merugikan mereka. Akhirnya dengan
terpaksa mereka mengembalikan tanah
kepada pemiliknya masing-masing.
Kini rakyat Cirebon bagian utara
telah mulai mengerjakan tanahnya kem-
bali dengan tenang tanpa pemerasan
dari tuan-tuan tanah Belanda. Dan
mereka tidak perlu membayar pajak
tanah.
***
Demikian juga dengan tanah Pak
Kinong dan Bu Kinong.
Mereka kelihatan sangat gembira
menggarap tanahnya sendiri. Peluh mem-
basahi seluruh tubuh Pak Kinong.
Wajahnya terlihat begitu cerah di
siang hari meskipun tubuhnya terasa
lelah.
Sementara itu dari kejauhan Bu
Kinong berjalan membawa bakul yang
berisi makanan untuk Pak Kinong yang
sedang duduk istirahat di pinggiran
sawahnya melepaskan lelah sambil
memandangi tanah yang habis
dicangkulnya.
"Pak, makanan sudah siap!" teriak
Bu Kinong sambil menurunkan bakul di
punggungnya.
Melihat istrinya sudah menyiapkan
makan, Pak Kinong langsung
menghampirinya. Mereka berdua duduk
dibawah pohon yang rindang sambil
menyantap makanan dengan lahap walau
cuma dengan lauk ikan asin, sambal dan
sayur bening.
"Hmm... akhirnya kita dapat
menggarap tanah kita kembali ya, Bu!
Kita harus bersyukur kepada Tuhan yang
telah memberikan KaruniaNya kepada
kita ya, Bu?" kata Pak Kinong sambil
menyendok sayur bening kesukaannya dan
dituangkan di atas nasinya.
"Ya, Pak! Kita harus bersyukur!
Tapi kau habiskan dulu nasimu baru
bicara lagi. Nanti batuk!" seru Bu
Kinong mengingatkan suaminya.
Pak Kinong menuruti kata
istrinya. Setelah selesai makan, pak
Kinong lalu kembali melanjutkan
pembicaraannya, sementara Bu Kinong
membenahi bakulnya.
"Ini berkat jasa kepemimpinan se-
orang pendekar dari pantai utara
Eretan itu, Bu! Ternyata dia yang
telah memompakan semangat kemerdekaan
kepada rakyat di segala pelosok
kampung di seluruh wilayah Karesidenan
Cirebon ini!" kata Pak Kinong sambil
menghisap rokok kawungnya seperti
biasa.
Bu Kinong agaknya tidak mau
kalah. Maka ia membanggakan seseorang
dari jenis kaumnya.
"Hei, Pak! Bukan cuma karena jasa
pemuda Eretan itu saja! Tapi jangan
lupa pula keberadaan pendekar wanita
yang terkenal dengan nama Bajing Ireng
yang pernah menolong kita tempo hari.
Ternyata tidak lain dia itu putrinya
Pak Marto, kepala desa kita sendiri!!"
"Tentu saja aku tak mengabaikan
jasa Bajing Ireng, Bu! Apalagi dia
pernah menolong kita sewaktu
kelaparan. Tanpa dia mungkin si Kinong
tidak hidup sampai sekarang!" ujar Pak
Kinong sambil menyulut rokok kawungnya
yang tiba-tiba mati tertiup angin.
Berkali-kali ia menyalakan batu
pemantik api namun gagal, membuat ia
menggerutu.
"Apa cita-citamu untuk anak kita
si Kinong, Bu?"
"Aku akan minta kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa agar si Kinong kelak
menjadi seorang pendekar seperti
Bajing Ireng, Pak!" sahut Bu Kinong
sambil pandangan matanya menerawang ke
langit. Hening sejenak.
"Eh, Pak! Jang Parmin dan Neng
Roijah itu pantasnya jadi suami-istri
saja...! Benar-benar pasangan yang
cocok, serasi! Pemudanya tampan dan
gagah sedangkan gadisnya cantik
jelita. Anu... seperti Arjuna dan
Srikandi ya, Pak?" kata Bu Kinong
seakan-akan mewakili kehendaknya
sendiri, dan ia ingin melihat pemuda
dari Eretan itu menjadi suami Bajing
Ireng.
"Sayang, Pak Marto tak sudi punya
menantu seorang pemuda yang ia anggap
sebagai musuh, musuh pemerintah Kum-
peni Belanda dan musuh bagi dirinya!"
jawab pak Kinong dengan sengit seakan-
akan ia pun mewakili kehendaknya
sendiri untuk menyatakan protes kepada
kepala desanya.
"Ya ya! Oleh sebab itu jadinya
mereka terpaksa mengadakan pertemuan
secara diam-diam dan sembunyi-
sembunyi. Sebaliknya Pak Marto sendiri
mengancam akan menangkap Parmin dengan
tuduhan maling bila ia suatu saat
memergoki pertemuan mereka itu! Huh!
Orang tua macam apa itu? Kepada
anaknya sendiri tega berbuat sekejam
itu!!" tak kalah sengitnya Bu Kinong
bicara.
***
Malam semakin larut. Angin
bertiup dengan lembut. Bulan purnama
memancarkan sinarnya menerangi seluruh
alam. Suara serangga malam membuat
suasana malam itu menjadi ceria dan
indah. Para penduduk telah tidur
lelap. Mereka sudah terbuai mimpi yang
indah. Mimpi tentang panen yang
berlimpah-ruah, dan mimpi tentang
kehidupan yang layak tanpa kehadiran
segala bentuk penjajahan dan
pemerasan.
Tapi lain halnya dengan Roijah.
Ia belum dapat memejamkan matanya.
Hatinya begitu gelisah. Sekali-kali ia
membalik-balikkan tubuhnya di atas
tempat tidur. Ia teringat kembali saat
pertemuannya yang pertama dengan
Parmin. Ia tersenyum sendiri tatkala
mengingat saat Parmin mencium
keningnya. Hatinya merasa rindu sekali
kepada Parmin kekasihnya.
Di saat Roijah sedang
membayangkan wajah Parmin yang tampan
dan simpatik tiba-tiba ia dikejutkan
dengan terdengarnya sesuatu yang
memecahkan kesunyian malam itu.
"Hmm.... malam-malam begini
kudengar suara seruling demikian
merdunya. Lagunya adalah kidung
kesayanganku! Siapa yang meniup
seruling itu? Aku jadi penasaran!"
desah Roijah dalam hati.
Suara seruling itu terdengar
begitu merdu dan syahdu sekali seakan-
akan melukiskan perasaan orang yang
meniupnya. Perasaan menahan rindu yang
mendalam.
Roijah perlahan-lahan bangkit
dari tempat tidurnya. Ia sepertinya
diperintah oleh sanubarinya untuk
menghampiri suara tersebut. Pakaian
yang melekat ditubuhnya masih lusuh
tidak karuan. Ia lalu berdiri
menghadap cermin yang terletak persis
di depan tempat tidurnya. Segera ia
membenahi diri.
Setelah selesai berhias diri,
Roijah berjalan ke arah jendela untuk
melihat siapa gerangan yang meniup
seruling itu.
Lalu Roijah membuka jendela kamar
tidurnya perlahan-lahan.
Sinar bulan langsung menerobos ke
dalam kamar tidur yang sengaja
dimatikan lampunya oleh Roijah agar
tidak ketahuan oleh orang yang sedang
meniup seruling itu.
Roijah memperhatikan orang itu.
"Heh?! Oh... tak kusangka
ternyata dialah yang meniup seruling
itu!" gumam Roijah seakan tak percaya.
Benarlah ternyata dia adalah
Parmin!
Roijah tertegun memandang Parmin
yang sedang meniup seruling sambil
berdiri di luar pekarangan rumahnya.
Dan sebaliknya Parmin tidak
mengetahui bahwa dirinya sedang
diperhatikan oleh Roijah. Ia sedang
menikmati lagu yang dibawakannya
melalui alunan suara seruling.
Ternyata peniup seruling itu tak
lain adalah Parmin, pemuda yang sedang
dirindukannya.
Tiba-tiba Roijah memberi sebuah
isyarat.
"Sstt....!!" seru Roijah.
Parmin segera menghentikan
lagunya karena mendengar suara seorang
wanita. Lalu ia menoleh ke arah
jendela sumber suara tersebut.
Dilihatnya Roijah berdiri memakai
kebaya dengan rambut berbentuk sanggul
tersenyum di ambang jendela kamarnya.
Tanpa bicara lagi Parmin segera
menghampiri Roijah.
Ia melompati pagar yang berada di
depannya dengan sigap.
"Belum tidur kau, sayang?
Lihatlah bulan purnama di atas sana
bersinar begitu indahnya memanggil
kehadiran kita berdua...!" kata Parmin
dengan nada penuh harapan.
Wajahnya menengadah keatas
memandang keindahan sinar bulan
purnama. Roijah ikut menengadahkan
wajahnya memandang langit dengan
perasaan yang sama. Tetapi perasaan
itu sirna kembali dengan perasaan
rindu yang mendalam.
Kemudian Parmin memegangi tangan
Roijah dan meremasnya dengan erat.
Roijah membalas meremas tangan Parmin
dengan erat pula.
"Aku terbangun oleh alunan
serulingmu!" kata Roijah pelan.
Parmin tersenyum memandang Roijah
yang semakin erat meremas jarinya.
Mereka saling pandang-pandangan.
Tetapi tiba-tiba Roijah memalingkan
wajahnya merasa malu. Parmin kembali
tersenyum memandang wajah Roijah de-
ngan senang.
Dari jauh terdengar sayup-sayup
suara kentongan dipukul oleh para
ronda yang sedang berkeliling kampung.
Suara itu menyadarkan Roijah yang
kemudian melongokkan kepalanya menoleh
ke kiri dan ke kanan mengamati daerah
sekeliling rumahnya dengan cemas!
Takut-takut kalau ada orang yang
melihat mereka.
"Cepatlah kau masuk! Nanti ada
ronda datang kemari!" seru Roijah pada
Parmin yang masih memegangi tangannya.
Wajahnya terlihat sangat cemas
dan takut. Parmin lalu segera masuk ke
dalam kamar Roijah meloncat melalui
jendela.
Kemudian Roijah mengamati keadaan
di luar untuk menyakinkan bahwa tidak
ada orang yang sedang berdiri
mengamati keadaan kamar tidurnya
sambil tersenyum.
Parmin membalikkan tubuhnya dan
terkejut melihat Roijah sudah berdiri
di hadapannya. Ia tersenyum.
"Besok aku berangkat ke selatan,
Roijah!" kata Parmin sambil menggapit
tangan Roijah dan digenggamnya erat-
erat.
Roijah agak terkejut mendengar
apa yang dituturkan Parmin. Wajahnya
melukiskan ketakutan dan kecemasan.
Tapi sedapat mungkin ia menekan
perasaan itu agar tak terlihat di
hadapan Parmin. Ia harus tetap berjiwa
besar.
"Aku akan berdoa untuk
keselamatan dan keberangkatanmu, kang
Parmin...!" Ujar Roijah membalas
genggaman tangan Parmin erat sekali.
Seakan-akan ia tidak mau ditinggalkan.
Dan tanpa terasa air matanya yang
meleleh jatuh dikedua belah pipinya.
Parmin terharu melihatnya.
"Mengapa kau menangis, sayang?"
kata Parmin sambil memegang dagu indah
milik Roijah.
"Seorang pendekar tak pantas
mengeluarkan air matanya di saat-saat
seperti ini!!" bujuk Parmin menyeka
air mata Roijah dengan penuh
kelembutan.
Roijah menatap Parmin dalam-
dalam.
"Sebagai seorang wanita, aku
menangis meratapi kesepian yang akan
kuhadapi setelah kau pergi. Aku akan
merasa kehilanganmu! Ingin rasanya aku
meninggalkan kamar yang membosankan
ini untuk turut serta mendampingimu
dalam menjalankan tugas tersebut!"
desah Roijah merebahkan kepalanya di
atas dada Parmin yang bidang. Ia
menemukan kesejukan di sana.
Parmin mendekap tubuh Roijah erat
sekali. Kehangatan rasa cinta yang
suci dan menggelora menjalari tubuh
mereka saat ini. Parmin dapat
merasakan debar jantung Roijah melalui
pelukannya.
Kemudian Parmin membelai rambut
Roijah dengan mesra.
"Sabarlah, sayang....! tugas yang
lebih besar dan mulia telah menanti
kita. Jika tugas itu telah aku
jalankan, kita akan segera berkumpul
kembali!" kata Parmin penuh kasih
sayang.
Tangannya kembali membelai ujung
rambut halus yang tumbuh dikening
Roijah. Rambut halus seperti itu akan
dipangkas habis bila seorang gadis
habis masa pingitannya dan siap
memasuki jenjang perkawinan.
Dan Roijah semakin erat mendekap
Parmin. Seakan-akan ia tak mau diting-
galkan oleh Parmin.
"Parmin! Kaulah laki-laki yang
pertama yang telah menyentuhku! Ayah
terlalu kejam!" isak Roijah lebih erat
lagi mendekap Parmin.
"Sudahlah jangan menangis,
sayangku! Percayalah, aku akan cepat
kembali setelah tugas itu selesai. Dan
aku akan kembali untuk meminangmu,
Roijah...! Nah, selamat tinggal,
sayang! Aku pergi, ya?" ujar Parmin
mencium kening Roijah dengan lembut
dan penuh perasaan. Lama sekali.
Seakan-akan Parmin ingin meresapinya
dalam-dalam. Roijah memejamkan matanya
menikmati ciuman itu. Parmin
melepaskan ciumannya. Kemudian ia
menatap wajah Roijah lekat-lekat dan
berjalan menghampiri jendela. Parmin
lalu membuka jendela dan meloncat
keluar sambil melambaikan tangannya.
Roijah membalas lambaian tangan Parmin
melepas kepergian sang kekasih dengan
setulus hati. Dan Roijah berdoa dalam
hati agar Tuhan selalu melindungi
Parmin dan semoga Tuhan merestui
pertautan tali kasih diantara mereka.
Kemudian Roijah menutup
jendelanya. Ia langsung merebahkan
tubuhnya di atas tempat tidur. Tak
lama kemudian ia memejamkan matanya.
Sementara itu Parmin terus berjalan
menembus kegelapan malam untuk
menunaikan tugas yang dibebankan oleh
agama, bangsa dan tanah airnya.
***
Ketika Parmin melangkahkan kaki
dari pekarangan rumah Bek Marto,
belasan pasang mata dengan tajam
mengikutinya dari kegelapan rumpun-
rumpun pohon di sekelilingnya. Naluri
pendekar muda dari daerah pantai
Eretan ini segera menangkap segala
yang mencurigakan itu, tetapi ia
berusaha untuk bersikap setenang
mungkin dan melangkah dengan mantap
meninggalkan desa Kandang Haur.
Persis di batas desa, beberapa
sosok tubuh berloncatan menghadang dan
mengepung Parmin dari segala penjuru.
Mereka adalah jago-jago bayaran yang
didatangkan dari desa-desa lain. Yang
lebih istimewa kali ini adalah
kehadiran beberapa serdadu Kumpeni
Belanda dengan senjata lengkap bedil,
pestol dan kele-wang. Mereka berdiri
berjajar siap-siaga di belakang
barisan jago-jago pribumi.
"Tidak semudah itu kau
meninggalkan Kandang Haur setelah kau
hancurkan segala rencana Tuan Van
Eisen!" tampil salah seorang dari
mereka yang mewakili siapa yang
merencanakan pencegatan itu.
"Tuanmu itu sebenarnya seorang
sipil Belanda tetapi mengatas namakan
semua usaha dan kegiatannya di daerah
ini kepada serdadu Kumpeni Belanda.
Dia menggunakan serdadu Kumpeni
sebagai tameng! Bagiku sama saja, Van
Eisen mau pun Kumpeni Belanda adalah
penjajah negeri kita!" Parmin bicara
dengan nada penuh penekanan agar jago-
jago bayaran yang terdiri dari orang-
orang pribumi itu menyadari siapa
sebenarnya mereka.
"Kami tak butuh kotbahmu, santri
busuk!"
"God Verdome Ceg!" terdengar
makian dari barisan belakang dan
disusul oleh bunyi kokangan senjata
mesiu.
"Terserah kalian dan kalian boleh
singkirkan aku! Tetapi bagi ku
berpantang mati sebelum ajal, karena
nyawaku bukanlah milik kalian. Soal
hidup dan mati hanya di tangan Tuhan!"
jawab Parmin dengan tegas.
"Tutup bacotmu, bangsat!" disusul
dengan isyarat penyerangan, maka
serempak jago-jago bayaran itu
meluncur dengan nafsu membunuh yang
ganas dan keji.
"Haiiiiit!!" Parmin menangkis
kian-kemari dibarengi dengan gerak
sepasang kakinya yang bergerak lincah
sambil sesekali melancarkan tendangan
yang telak, sehingga pada gebrakan
pertama itu tiga orang pengeroyoknya
dibuat terpelanting.
Sementara itu serdadu Kumpeni Be-
landa yang berfungsi sebagai backing
tak bisa berbuat apa-apa menghadapi
pertarungan yang semrawut ini. Pestol
dan bedilnya tak bisa mereka gunakan,
karena kuatir menembak orang-orang
bayaran itu.
Beberapa orang jago pribumi
bertumbangan ke tanah terkena hantaman
jurus-jurus silat Gunung Sembung yang
konon dulu adalah ilmu silat para wali
dalam menghadapi kekerasan selama
mereka menjalankan tugas penyebaran
agama. Namun dilain fihak, beberapa
buah sayatan senjata tajam berhasil
juga menerobos pertahanan Parmin dan
masih terbatas dengan koyaknya baju
dan celana yang dipakainya.
Pendekar muda ini benar-benar
mengamuk bagaikan banteng ketaton.
Lawan-lawan yang ganas itu hampir
seluruhnya telah ambruk dan
berpelantingan seperti diterpa angin
beliung. Kini tinggal beberapa
gelintir orang saja yang tersisa dan
itupun sudah kepayahan dengan gerak
limbung dan ngawur.
Melihat hal itu, serdadu-serdadu
Kumpeni belanda segera mencabut
kelewangnya dan menyerang secara
berbarengan.
"Mampus kowe orang! Hiyaaaaa!!"
tetapi begitu mereka menyerbu sasaran,
Parmin tiba-tiba melesat ke udara
dengan sebuah loncatan disusul dengan
tendangan kedua kakinya secara
bersamaan menghantam kepala dua orang
serdadu yang terdekat.
"Duivel!" umpat mereka
sempoyongan dengan pandangan mata yang
penuh kunang-kunang, lalu roboh ke
tanah.
Parmin mendarat tepat di belakang
dua orang serdadu yang masih terkesima
dengan loncatan mendadak tersebut.
Begitu mereka menoleh ke belakang, ta-
ngan Parmin yang mengepal menghajar
wajah mereka sehingga terhuyung-huyung
dengan bibir masing-masing pecah
berhamburan darah.
"Untuk menghadapi kalian tak
perlu aku memakai senjata, kalau perlu
aku bisa menggunakan senjata kalian
sendiri!" ujar Parmin sambil merampas
sebuah kelewang dari tangan salah
seorang serdadu Kumpeni dan segera
membalikkan kelewang itu menghujam
perut si pemilik sendiri.
Terkejut bukan main serdadu yang
malang itu, namun segera disusul
dengan nyawanya yang terputus.
Sementara kawan-kawan lainnya yang
tercecer tadi segera bangkit untuk
memulai serangan pembalasan. Mereka
bergerak mengelilingi pendekar muda
yang gagah perkasa itu dengan nafas
yang menggebu-gebu karena geram bukan
main. Di lain fihak Parmin memandangi
mereka satu persatu melalui lirikan
matanya yang tenang namun penuh
kewaspadaan.
Angin malam mengiringi suasana
tegang mencekam itu dengan desirannya
yang merontokkan daun-daun kering,
sehingga suasana pertarungan itu
semakin tampak dramatis.
Tiba-tiba dari suatu arah
terdengar seruan seseorang yang segera
menghentikan pertarungan itu.
"Tunggu dulu!"
Ternyata suara itu datang dari
seorang lelaki setengah baya yang
sudah mereka kenal baik selama ini.
Dia adalah Pak Marta atau Bek
Marto.
Melihat kedatangannya, Parmin
segera bersiap-siap pula untuk
menghadapi kemungkinan dengan melipat
gandakan kemampuannya.
"Tuan-tuan biarkan dia pergi!"
ujar Bek Marto dengan penampilan yang
berwibawa membuat Parmin tertegun
sejenak melihat perubahan itu. Ia
melihat ada sesuatu yang berubah pada
diri ayah kekasihnya, Roijah.
"So? Kenapa tuan Bek bicara
seperti itu?" tanya seorang serdadu
sambil memegangi pipinya yang bengkak
dan biru legam.
"Dia orang telah merusak rencana
Kumpeni! Dia orang telah membuat Van
Eisen mengembalikan tanah orang-orang
pribumi! Dia orang telah bikin pailit
Van Eisen! Dia orang harus kita bikin
mampus!" sambungnya sambil meludah ke
tanah. Ludah itu berwarna merah oleh
darahnya sendiri.
"Pemuda itu benar, tuan!" jawab
Bek Marto tenang.
"Aku tidak takut lagi kehilangan
jabatanku sebagai kepala desa dan aku
juga tidak bernafsu lagi untuk menjadi
seorang demang atau pangkat-pangkat
lain yang lebih tinggi seperti yang
pernah dijanjikan oleh Leonard Van
Eisen kepadaku bila aku selalu
mematuhi kehendaknya!" lanjut lelaki
setengah baya itu dengan ekspresi
wajah yang datar tanpa emosi
sedikitpun.
Kata-kata itu merupakan sambaran
geledek bagi telinga serdadu Kumpeni
dan membuat mereka tersekat kaget.
"Apa yang membuat dia berubah?"
tanya Parmin dalam hati.
"Katakan hal ini kepada tuan
besar anda!" seru Bek Marto tegas,
kemudian pandangan matanya ditujukan
kepada Parmin yang masih mengambil
sikap siap-siaga.
"Anakku Roijah telah membuka
mataku yang buta selama ini, nak Par-
min! Silahkan pergi dan semoga
berhasil dengan perjuanganmu!"
"Terima kasih, pak." jawab
Parmin, sementara para pengepungnya
sudah bangun dan bermaksud mengadakan
pembalasan dengan mengurungnya rapat-
rapat. Senjata tajam berbagai bentuk
siap untuk dihujamkan, tinggal
menunggu komando dari pimpinan serdadu
Kumpeni.
"Tetapi aku tak mau mengorbankan
keselamatan Bapak sendiri. Biarkan aku
menghadapi mereka sampai titik darah
yang penghabisan! Bukan tidak mungkin
mereka juga akan membunuhmu sekarang!"
Parmin memperingatkan Bek Marto dengan
menatap orang-orang yang mengepungnya
satu persatu.
Bek Marto tersenyum senang dan
tangannya tiba-tiba menunjuk ke
sekeliling tempat itu.
"Aku tidak sendirian, nak!
Lihatlah di sekitar kita, rakyat
Kandang Haur berkumpul membentuk pagar
betis dengan senjata apa adanya untuk
menghadapi segala kemungkinan!"
Terkesiap jago-jago bayaran dan
para serdadu itu demi melihat di
sekitar mereka penduduk desa
berbondong-bondong memagari tempat itu
membawa obor dan senjata apa saja
seperti cangkul, arit, pisau dapur,
pentungan dan sebagainya. Bahkan
diantara mereka ada yang membawa alu
penumbuk padi.
Seketika hati mereka menjadi
ciut. Kalaupun dilawan, jumlah mereka
sendiri jauh tak sebanding dengan
jumlah seluruh penduduk yang sudah
berkumpul itu.
"Kita rajam mereka!"
"Usir mereka dari desa Kandang
Haur!"
"Ya, kita tak sudi dijajah!"
Teriak dan pekik penduduk desa
itu semakin riuh dan meninggi sehingga
memekakkan telinga membuat wajah-wajah
para jago bayaran dan serdadu-serdadu
itu berkeringat dingin karena merasa
cemas.
"Mereka menuntut kebebasan,
tuan!" tegas Bek Marto lebih jauh
mewakili suara hati penduduk desanya.
"Ya, betul!!" disambut pekik
gegap-gempita penduduk desa secara
serempak.
Melihat gejala yang tak
menguntungkan ini, kepala serdadu
Kumpeni memberikan isyarat kepada anak
buahnya termasuk kepada jago-jago
bayaran itu.
"Kita bubar! Kita gotong kawan-
kawan kita yang terluka. Cepat.....!!"
perintahnya dengan nada gugup. Parmin
hanya tersenyum melihat semuanya ini,
dan setelah membungkuk hormat kepada
Bek Marto, iapun segera bergegas pergi
meninggalkan desa Kandang Haur.
Sore itu sehabis sholat isya,
Roijah membuat teh tubruk dicampur
dengan gula batu kesukaan ayahnya.
Kemudian ia membawanya keruang tamu
dimana biasanya Bek Marto duduk
berleha-leha di atas kursi goyangnya.
Segelas besar teh tubruk itu ia
letakkan diatas meja marmer besar
disamping ayahnya duduk. Setelah
mengaduk dengan sendok, lalu
meletakkan tutup gelas bersandar pada
tatakan.
"Ayah tidak mengisap cerutu
lagi?"
"Persetan dengan rokok borjuis
itu!" sahut Bek Marto dengan sengit
disusul lemparan senyum manis kepada
Roijah anak tunggal yang disayangnya.
"Kalau ibu masih ada, tentu ia
sangat bangga melihatnya." komentar
Roijah sambil mencium pipi ayahnya.
"Dengan rokok kelobot, rasanya
jauh lebih nikmat!" ujar Bek Marto
sambil memilih tembakau didalam
lembaran daun jagung yang sudah
dimasak dan mengundang rasa manis itu.
"Bagaimana kalau ayah dicopot
oleh Van Eisen dari jabatan sebagai
kepala desa?"
"Aku bisa jadi petani!" lanjut
Bek Marto lebih semangat.
Setelah berdiam sejenak, Roijah
kembali menggoda ayahnya.
"Kabarnya sejak Van Eisen
mengembalikan tanah-tanah kepada
rakyat, gudang beras Tuan Belanda itu
sudah tidak lagi disatroni oleh Bajing
Ireng ya, pak?"
"Ya!" Bek Marto menjawab singkat.
"Lalu kemana Bajing Ireng itu
kini berada ya?" lanjutnya pula
sengaja memancing pendapat ayahnya
tentang si maling budiman itu.
Sementara itu di tempat tinggal
Pak Kinong, Bu Kinong sedang tertawa
terpingkal-pingkal melihat kelakuan
anaknya yang masih berusia balita itu.
Kinong gadis kecil yang lucu dengan
rambut di kuncir dua kiri dan kanan
sedang melakukan gerak-gerak seperti
seorang pendekar silat.
Yang lebih lucu lagi adalah
separuh dari wajahnya ditutup dengan
kain serbet, sehingga sepasang matanya
saja yang bundar seperti telur itu
yang terlihat. Rambut poninya menutupi
seluruh dahinya yang nong-nong, yang
membuat dia diberi nama Kinong,
berkali-kali ia sibakkan karena sering
menutupi pandangan matanya.
"Ciaaat! Heyaaat!" begitu
teriaknya berulang kali sambil kakinya
menendang ke depan dan tangannya
dikibaskan ke kiri dan ke kanan dengan
lincahnya.
"Ini si Bajing Ileng!" celotehnya
dengan lidah yang cadel menyebut tokoh
idolanya dengan penuh rasa bangga.
"Apa benar anak emak mau jadi
seorang pendekar yang sakti?" tanya Bu
Kinong menggoda.
"Benal!" jawab Kinong dengan
cepat sambil melompat-lompat dengan
lincahnya. Kini tubuhnya sudah gemuk
karena tak kurang makan lagi. Kinong
tumbuh dengan gemuk dan montok sekali
membuat siapapun yang melihatnya akan
merasa gregetan ingin mencubitnya.
Apalagi pipinya yang mengencang dan
kemerahan seperti buah tomat yang
ranum itu sangat menggoda orang untuk
menjawilnya.
Tiba-tiba ia menghentikan
geraknya mencopot serbet yang menutupi
wajahnya.
"Kinong lapal, mak!" teriaknya
sambil memegangi perutnya yang mulai
keroncongan. Anak kecil ini memang
makannya kuat, sehari lebih dari tiga
kali. Selain itu Pak Kinong
sepulangnya dari sawah sering membawa
oleh-oleh jajanan yang ia beli di
warung. Kue serabi sangat disukai oleh
anak tunggalnya itu, sehingga kawan-
kawannya main sekampungnya
menjulukinya Si Muka Serabi.
Sewaktu-waktu Pak Kinong sering
memancing jawab dari anaknya yang lucu
itu dan Kinong sendiri segera
menjawabnya dengan lugas.
"Kalau besar mau jadi apa kau,
Nong?"
"Jadi Bajing Ileng!"
"Kenapa mau jadi Bajing Ireng?"
"Kalena kalo ada anak yang lapal,
dia cuka kasih belas."
Kinong bergerak lincah seperti
seorang pendekar sambil berteriak:
"Inilah dia Bajing Ileng!"
"Oh, kalau ada anak yang lapar,
Bajing Ireng suka kasih beras ya?"
tanggap Bu Kinong menengahi
pembicaraan bapak dan anak itu. Memang
di usianya yang hampir senja itu, Pak
Kinong dan Bu Kinong baru dikaruniai
anak dan sekarang baru menginjak usia
dua setengah tahun.
***
Baru beberapa hari Roijah
berpisah dengan pemuda yang
dicintainya, rasanya seperti sudah
beberapa bulan baginya. Ini membuat ia
sering melamun dan pandangan matanya
menerawang jauh seperti berusaha
menembus batas-batas ruang untuk
mencari jejak dimana sang kekasihnya
itu kini sedang berada.
Hari itu Roijah sedang mengingat
Parmin kekasihnya. Tetapi lamunan
Roijah segera terputus ketika
didengarnya orang berbicara dengan
ayahnya di ruang depan. Suara itu
cukup keras dan dapat ditangkap dengan
jelas dari kamarnya.
"Bek Marto pasti berkomplot
dengan maling itu!"
"Ya, kau pasti bersekongkol
dengan Bajing Ireng!"
Dari balik gorden pintu, Roijah
melihat beberapa orang dengan wajah-
wajah kasar bertolak pinggang sambil
menuding-nuding ayahnya.
"Dengan alasan apa kalian
menuduhku?" tanya Bek marto dengan
tenang. Roijah diam-diam merasa bangga
terhadap perubahan perangai ayahnya
akhir-akhir ini.
"Pertama, kami pernah membuntuti
maling itu dan ternyata ia masuk ke
rumah ini dan tidak keluar lagi.
Kedua, setelah tanah milik rakyat
dikembalikan oleh Van Eisen dan rakyat
mengerjakan sawahnya masing-masing,
Bajing Ireng sudah tidak muncul-muncul
lagi. Tepat sekali waktunya dengan
perubahan sikapmu terhadap Kumpeni
Belanda!" tukas mereka dengan berapi-
api.
"Tuduhan tanpa bukti adalah
fitnah!" Bek Marto masih bisa men
jawab dengan tenang.
"Baik! Kalau begitu kami akan
menggeledah kamar anakmu! Berikan
kunci lemarinya pada kami!"
"Apa hubungannya dengan anakku
Roijah?" kali ini Bek marto agak
meninggikan suaranya.
Mendengar maksud para jago desa
yang berfihak pada Van Eisen itu,
Roijah menjadi terkejut bukan
kepalang. Apa mereka sudah tahu bahwa
Bajing Ireng adalah dirinya? Dari mana
mereka tahu? Seingatnya hanya Parmin
dan Pak Kinong serta istrinya saja
yang tahu siapa Bajing Ireng
sebenarnya.
"Jangan banyak tanya! Mana kunci
lemari anakmu!" desak tukang-tukang
pukul sang tuan tanah kepada Bek
Marto.
Roijah tahu, jika mereka
menggeledah lemari dikamarnya tentu
akan menemukan sebuah peti berisi
kitab dan seperangkat pakaian silat
pemberian gurunya Peti itu sudah lama
ia simpan di sana tanpa siapapun yang
mengetahuinya termasuk ayahnya
sendiri. Maka Roijah segera keluar
menuju ruang tamu untuk menghadapi
jagoan-jagoan tersebut.
"Aku tidak sudi memberikan kunci
lemariku pada mereka, ayah!"
"Roijah?" sambut Bek Marto dengan
nada heran.
"Ini suatu penghinaan terhadap
seorang gadis yang sedang menjalani
masa pingitan. Lebih baik terus terang
dari siapa sumbernya, mereka menuduh
aku sebagai Bajing Ireng?"
"Kami memiliki orang andalan yang
dapat menembus segala sesuatu yang
tersembunyi, seorang dukun sakti yang
dapat bekerja sama dengan makhluk-
makhluk halus!" ujar salah seorang
dari mereka dengan nada pongah.
"Kalau benar, kenapa tidak ia
suruh makhluk halus itu langsung
membunuh orang yang dicurigai? Aku tak
gentar menghadapi jenis makhluk
seperti itu" tantang Roijah.
"Nah, jelas dialah orangnya,
terbukti tidak mau digeledah!! Ayo
tunggu apa lagi? Tangkap anak Bek
Marto itu dan kita hadapkan kepada
Tuan Leonard Van Eisen agar dijatuhi
hukuman yang setimpal. Ayo kita
tangkap!"
Dua orang dari mereka segera
menyergap Roijah yang meronta-ronta
sebagaimana layaknya seorang anak
perempuan biasa yang tak punya ilmu
bela diri. Melihat hal ini Bek Marto
bertindak mencegahnya, tetapi ia
segera terjerembab karena kakinya
digaet oleh begundal yang lain!
"Lepaskan! Jangan sentuh aku!"
"Kalau tidak mengaku juga, kau
akan kukerjai didepan ayahmu ini,
neng!" disusul tangan mereka yang
kekar itu membetot kebaya Roijah
sampai robek bagian dadanya sehingga
kutangnya tampak dan membuat nafsu
binatang mereka semakin memuncak.
Sekali lagi Bek Marto mencoba
melindungi anaknya, tetapi sebuah
tendangan telak segera membuatnya
terpelanting ke lantai. Sementara itu
salah seorang dari mereka mencoba
untuk membetot angkin pengikat kain
yang dipakai Roijah.
Tepat pada detik-detik kritis itu
tiba-tiba tangan begundal yang
terjulur itu tersentak keras karena
sebuah batu kerikil di lemparkan orang
tepat mengenainya.
Serentak ketiga jago bayaran itu
memekik dengan ranting pohon tertancap
di dahi masing-masing.
"Woaaaaaa?!" begundal biadab itu
menjerit dengan kerasnya dan kedua
temannya menoleh kearah datangnya
suara lantang dari atas dahan pohon di
depan rumah Bek Marto. Semua yang
hadir disitu terperangah kaget melihat
sesosok tubuh dengan pakaian serba
hitam dan wajah yang tertutup kain
cadar berwarna hitam pula.
"Kalian mencari Bajing Ireng?
Inilah aku! Silakan tangkap aku
barangkali Van Eisen akan membuat
kalian jadi kaya-raya!"
Kontan tiga orang jago bayaran
itu melepaskan Roijah dan segera
memburu orang yang dicarinya, masing-
masing dengan senjata terhunus. Namun
baru saja sampai di bawah pohon itu,
tiba-tiba mereka bertiga meraung
kesakitan dengan potongan ranting
pohon yang tertancap di dahi masing-
masing. Ketiganya kemudian secara
bersamaan ambruk ke tanah untuk tidak
bisa bangun lagi.
"Mereka hanya kecoa-kecoa
busuk.yang sepantasnya harus bernasib
seperti itu!" ujar pendekar yang
menamakan dirinya Bajing Ireng,
disaksikan oleh Bek Marto dengan
pandangan penuh rasa kagum dan heran.
Roijah sendiri untuk beberapa
saat masih terperangah menatap
pendekar sakti yang masih bertengger
di atas dahan pohon tepat di samping
pintu pekarangan itu.
"Hi hi hi hi hi..... terpaksa
Bajing Ireng muncul di siang hari
bolong!" katanya dan disusul dengan
sebuah gerak salto di udara beberapa
kali ia melesat meninggalkan
pekarangan rumah Bek Marto dan lenyap
dibalik rimbunan pohon di seberang
sana.
Roijah menghela nafas dengan puji
syukur kepada Tuhan karena tanpa
terduga dapat lepas dari ancaman
bahaya para begundal yang kemaruk
hadiah itu. Bibirnya yang rekah delima
itu bergetar dan membisikkan sesuatu
hampir tidak terdengar oleh ayahnya
sendiri yang masih menahan sakit
akibat tendangan tadi.
"Terimakasih, guru!"
Kemana tujuan perjalanan
Parmin murid tunggal Ki Sapu
Angin
selanjutnya?
Ikutilah kisah Jaka Sembung
selanjutnya dalam episode
SI GILA DARI MUARA BONDET
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar