..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 24 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE TAKANATA IBLIS NIPON

TAKANATA IBLIS NIPON

 

TAKANATA 

IBLIS NIPPON

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama, 1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah 

dalam episode:

Takanata Iblis Nippon

128 hal; 12 x 18 cm



SATU


Gunung Fujiyama nampak menjulang tinggi 

dengan agungnya, melukiskan betapa keindahan 

terpampang di sana. Di bawah gunung Fuji, ter-

bentang kota Tokyo yang menjadi kesibukan para 

pedagang dan saudagar untuk melakukan tran-

saksi perdagangan antar dunia. Di kota itu pula 

pusat pemerintahan berada, di mana kekaisaran 

menetap. Di situ pula para Pendekar Samurai 

yang selalu siap sedia membela panji-panji kera-

jaan lalu lalang dengan segala penyamarannya. 

Di sebuah desa, yang letaknya di kaki gu-

nung Fuji, tampak sebuah bangunan besar yang 

menyerupai Klenteng berdiri dengan megahnya. 

Bangunan tersebut adalah sebuah bangunan di 

mana para Ninja berkumpul.

Saat itu nampak di bangunan tersebut ten-

gah berlangsung sebuah pertemuan. Sebuah meja 

panjang yang pendek mendasar di lantai dikelilin-

gi oleh hampir dua belas orang berpakaian kebe-

saran Ninja. Hanya muka mereka tidak seperti bi-

asanya. Muka mereka kini tidak tertutup oleh 

kain, tetapi terbuka layaknya orang biasa.

Duduk paling ujung kiri seorang berusia tua, 

dengan jenggot putih terurai memanjang ke ba-

wah. Dialah pimpinan atau Suhu Utama Ninja. 

Orang ini bernama Fujita Babareka, atau Ninja 

Sakti dari Negeri Fuji. Duduk di sampingnya seo-

rang yang agak mudaan, dengan wajah keras ber-

badan besar. Dia adalah murid utama Fujita,


bernama Amoka Takasita. Sedang yang duduk di 

sebelah kirinya juga seorang Ninja berbadan ting-

gi jangkung dengan mata laksana elang. Dia juga 

murid utama adik seperguruan Amoka Takasita 

atau Ninja Panda Bulan Sabit. Dia bernama Mu-

roka atau Ninja Belerang.

Kenapa para Sesepuh Ninja berkumpul, ti-

dak lain karena mereka tengah mengadakan rapat 

membahas masalah salah seorang anggotanya 

yang kini menjadi bahan pembicaraan di kalan-

gan istana dan penduduk dengan sepak terjang-

nya yang sangat telengas dan membahayakan. 

Orang yang kini tengah mereka bicarakan tidak 

lain Taka Nata, atau Ninja Selaput Iblis.

"Bagaimana pendapat kalian mengenai Taka 

Nata?" Terdengar suara Ketua Utama Ninja berka-

ta. Suara tuanya nampak masih berwibawa, 

menggema di setiap ruangan. "Kalian telah men-

dengar tentang sepak terjangnya, bukan?"

''Benar, Suhu. Kami memang telah menden-

gar sepak terjang Taka Nata," Yang berkata Ninja 

Biru.

"Apakah Takasima tidak dapat mengata-

sinya?" Sang Suhu kini menanya pada Takasima. 

"Bukankah engkau dan Taka Nata masih ada hu-

bungan darah?"

Takasima terdiam tanpa dapat menjawab 

pertanyaan Suhunya. Ia sendiri tidak mengerti 

dengan segala tingkah laku Taka Nata, walau pun 

mereka adalah sedarah, namun segalanya bagi 

mereka merupakan rahasia pribadi. Takasima 

hela napas panjang, seakan ada rasa berat untuk


menarik lidah, Mukanya tertunduk ditekuk, ma-

tanya berkaca-kaca.

"Bagaimana, Takasima?" Kembali sang Su-

hunya bertanya.

"Ampun, Suhu. Sungguh pun kami sedarah, 

namun hubungan kami bagaikan tertutup," Taka-

sima akhirnya menjawab.

"Aneh!"

"Begitulah wataknya, Suhu,"

Semua yang hadir di situ seketika terdiam 

hening. Seakan semuanya tengah berpikir bagai-

mana baiknya untuk mengatasi segala keruwetan 

yang tengah melanda. Tengah semuanya terpaku 

diam, dari luar dua orang prajurit kerajaan nam-

pak berjalan masuk.

"Selamat Sore...?" sapa keduanya seraya 

menjura.

Semua yang ada di situ palingkan muka 

menghadap pada dua orang prajurit yang baru 

saja datang.

"Selamat sore, Tuan-tuan Prajurit," jawab 

mereka.

"Silahkan duduk," Memerintah Suhu dengan 

penuh rasa hormat. "Sungguh sangat kebetulan 

Tuan-tuan mau berkunjung ke mari."

Keduanya duduk di antara para Ninja.

"Ada keperluan apa sebenarnya, Tuan-tuan 

datang?" Kembali Suhu besar menanya. "Mung-

kinkah ada kepentingan yang menyangkut masa-

lah seorang anggota kami?" 

Dua prajurit Samurai itu terdiam, hanya ke-

pala mereka yang mengangguk mengiyakan.


Apa sebenarnya yang tengah terjadi di kera-

jaan? Mengapa Taka Nata yang dulu bersahabat 

dengan kerajaan tiba-tiba berubah menjadi mu-

suh bahkan memberontak? Untuk lebih jelasnya, 

marilah kita ikuti kisah sebelum hal itu terjadi.

* * *

Tiga bulan yang lalu, Taka Nata yang diang-

kat oleh Kaisar menjadi Panglima menghendaki 

Kaisar segera mengirim pasukannya ke Tanah 

Jawa. Taka Nata juga menghendaki agar Kaisar 

mau berkenan meluluskan dirinya untuk menjadi 

pimpinan di Tanah Jawa yang kelak akan dijadi-

kan sebagai Kerajaan kedua setelah kekaisaran di 

Tokyo. Namun permintaan Taka Nata ditolak oleh 

Kaisar, dengan alasan dana untuk semuanya be-

lum mencukupi.

Wajah Taka Nata merah membara, rasa ma-

rah telah menggayut di hatinya. Ia duduk dengan 

diam, seakan enggan untuk mengucap kata-kata. 

Matanya yang tajam setajam mata elang meman-

dang bengis pada Kaisar yang didampingi oleh 

Perdana Menterinya, Taifu Mai-mora. Kedua pe-

tinggi kerajaan nampak masih tenang, sepertinya 

kedua peTinggi istana masih memberikan kebe-

basan pada Taka Nata untuk mencetuskan apa 

yang hendak ia katakan. Namun sekian jauh Taka 

Nata tiada jua membuka mulut, sehingga akhir-

nya Kaisar pun kembali berkata.

"Kau harus sadar, Taka. Bukannya kami me-

larangmu untuk melakukan ekspansi ke Tanah


Jawa, namun segalanya memerlukan biaya yang 

tidak sedikit," Kaisar terus mencoba memberikan 

pengertian pada Taka Nata. "Sedangkan di dalam 

negeri kini engkau tahu tengah dilanda krisis 

ekonomi, bukan?"

Taka Nata masih terdiam.

"Apakah engkau dan prajurit-prajurit lainnya 

tidak memerlukan makan dan minum?" tanya 

Rang Kaisar melanjutkan. "Ingat, di Jawa bukan 

di tanah Nippon, Taka."

"Pikirkan lagi, Taka."

Taka Nata tarik napas panjang, lalu dengan 

suara berat ia pun berkata ketus. "Sudah mem-

bulat di hatiku untuk ke Jawa. Kalau Tuan Kaisar 

tidak mengijinkan, biarlah aku berangkat sendiri."

Taka Nata bangkit dari duduknya.

"Taka...!" Perdana Menteri mencoba menya-

barkan.

Taka Nata tidak mengubris, dengan tenang-

nya ia berkata. "Sayonara..,!" Taka Nata seketika 

berkelebat pergi tinggalkan ruang kekaisaran tan-

pa dapat dicegah. Semua mata hanya mampu 

memandang kepergiannya dengan pandangan pe-

nuh ketidakmengertian. Semua hanya mampu di-

am, tanpa ada yang berani menghalang atau pun 

mencoba mengatasinya.

* * *

Keesokan harinya, nampak Taka Nata den-

gan beberapa puluh orang prajurit yang menjadi 

pengikutnya nampak telah siap-siap untuk mela


kukan ekspansi ke Tanah Jawa. Semua nampak 

sibuk, mempersiapkan segalanya. Ada yang 

membuat perahu, membuat peralatan untuk 

mengarungi samudra dan lainnya. Di sini nampak 

betapa Taka Nata benar-benar sangat berpenga-

ruh bagi mereka. Taka Nata berjalan hilir mudik, 

sepertinya tengah memeriksa pekerjaan anak 

buahnya.

"Fiji Nakoya, apakah semuanya telah beres?" 

tanya Taka Nata pada Fiji Nakoya, yaitu tangan 

kanannya. Orang yang berbadan besar dengan 

muka jelek menyeramkan itu nampak meman-

dang ke arah Taka Nata sejenak, lalu ia pun me-

nyahuti.

"Sebentar lagi, Ketua."

"Apakah tidak dapat dipercepat?"

Fiji Nakoya terdiam, seakan susah untuk 

menjawabnya. "Sungguh Taka Nata adalah orang 

Nippon yang tidak sabaran," gumam Fiji Nakoya 

dalam hati. "Bagaimana akan dapat segera beres? 

Sedangkan pekerjaan ini bukanlah pekerjaan rin-

gan?"

"Mungkin tiga hari lagi, Ketua," jawab Fiji.

"Apa...? Taka Nata beliakkan matanya. "Pe-

kerjaan begitu saja harus menunggu sampai tiga 

hari?"

"Benar, Ketua!"

"Ah…! Bodoh kalian semua! Bodoh!" Taka 

Nalit mengomel, lalu dengan tanpa bicara lagi 

pergi tinggalkan anak buahnya yang masih beker-

ja. Sedangkan Fiji Nakoya nampak hanya geleng 

kepala menyaksikan watak ketuanya yang kurang


sabaran.

"Serba tak mungkin Taka Nata meminta," 

gumam Fiji, dan kembali pada teman-temannya 

yang masih sibuk mengerjakan apa saja yang ten-

gah dipersiapkan untuk berlayar. Tengah mereka 

sibuk mempersiapkan segalanya, dari kejauhan 

nampak pasukan kerajaan dengan menunggang 

kuda datang ke tempat itu. Pasukan kerajaan 

yang berjumlah hampir lima puluh orang tersebut 

menggebah kuda-kudanya dengan cepat.

"Hia, hia, hia...!"

Semua anak buah Taka Nata yang saat itu 

tengah melakukan pekerjaan nampak tersentak 

kaget. Mata mereka seketika memandang pada 

pasukan kerajaan yang jaraknya kurang dari dua 

mil dari mereka.

"Pasukan kerajaan datang...!" Fiji Nakoya 

berseru.

Seketika semua yang tengah melakukan pe-

kerjaan serabutan hendak pergi. Namun dengan 

segera Fiji Nakoya perintahkan pada mereka su-

paya tenang. "Tenang teman-teman! Kita tak perlu 

khawatir!"

Semuanya kembali hentikan langkah, berdiri 

dengan hati diselimuti dengan tanda tanya. Se-

muanya nampak memandang dengan tanpa pera-

saan, seakan ada rasa kurang senang dengan ke-

hadiran pasukan kerajaan.

Pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Pan-

glima Perang Sitasi Cibana, kini makin mendekat 

ke arah mereka. Dan tidak lama kemudian sam-

pailah mereka di tempat tersebut.


"Kami harap saudara-saudara urungkan 

niat!" Sitasi Cibana buka suara. Suaranya yang 

besar dan penuh mengandung kewibawaan men-

jadikan dirinya makin nampak gagah. "Kaisar ti-

dak menghendaki kalian menjadi orang-orang ne-

kad!"

Fiji Nakoya yang sebagai tangan kanan Taka 

Nata nampak membeRengut. Matanya meman-

dang penuh tantangan pada Sitasi Cibana yang 

masih duduk di atas pelana kudanya. Dua orang 

itu akhirnya saling pandang, seakan ingin me-

nunjukkan kewibawaan masing-masing. Mata 

mereka kini bukanlah mata persahabatan, akan 

tetapi merupakan sorot permusuhan. Dengan lan-

tang Fiji Nakoya berseru; "Panglima, turunlah 

engkau dari kuda!"

"Apa yang ingin engkau katakan, Fiji? Ka-

takanlah!"

"Huh! Sombong! Aku tidak ingin pihak kera-

jaan ikut campur dalam urusan ini!" Fiji Nakoya 

kembali berkata.

"Tapi kalian adalah rakyat. Dan sebagai ra-

kyat, kalian haruslah menurut!"

"Tidak bisa! Kami sekarang akan berdiri sen-

diri! Kami akan membentuk kerajaan Ninja di Ta-

nah Jawa!" Fiji Nakoya lantang berseru, tak ada 

ketakutan di hatinya. Tekadnya yang direncana-

kan dengan Taka Nata telah bulat, yaitu tekad 

untuk mampu membangun sebuah kerajaan yang 

menyendiri dengan kuasa penuh di tangannya. 

Hingga Kaisar tak akan dapat seenaknya meme-

rintah. "Katakan pada Kaisar, kami tak akan meminta bantuan! Kami akan berjalan dengan se-

mangat kami dan kemampuan kami!"

"Orang tolol!" Sitasi Cibana nampak marah 

mendengar ucapan Fiji Nakoya. "Kalian benar-

benar orang tolol!"

"Bangsat!" Fiji Nakoya balik membentak.

"Kau yang bangsat Fiji! Kau dan anak buah-

mu telah memberontak pada kerajaan!"

"Bedebah! Seraaannnggggg....!"

Mendengar seruan Fiji Nakoya, seketika se-

mua anak buahnya yang berjumlah hampir lima 

puluh orang itu dengan nekad berkelebat menye-

rang. Kelima puluh orang itu begitu ganas, seper-

tinya mereka benar-benar ingin menunjukkan 

bahwa diri mereka benar-benar bukan orang 

sembarangan.

"Pemberontak! Prajurit.... seraaaaaang...!" Si-

tasi Cibana yang melihat anak buah Taka Nata 

menyerang dengan segera berseru memerintah-

kan prajuritnya memapaki. Dan para prajurit 

yang berjumlah dua kali lipat dari jumlah anak 

buah Taka Nata pun dengan segera serta disertai 

gagah berani memapaki serangan mereka. Tidak 

ayal lagi, dua kekuatan itu saling bentrok.

Kini tidak ada lagi yang dapat dikata, atau 

dijadikan alasan untuk menentukan mana yang 

benar. Dan hanya perang saja yang nantinya 

mampu berbicara, siapa di antara keduanya yang 

benar-benar tangguh dan kuat.

Para anak buahnya terus berantem, saling 

serang untuk dapat menjatuhkan musuh. Se-

mentara itu Fiji Nakoya dan Sitasi Cibana masih


berdiam di tempatnya, keduanya seakan tidak in-

gin mendahului untuk menyerang.

"Trangg...!"

Senjata di tangan mereka saling beradu.

"Wuuusssstt..!"

"Bleeessttt...!"

"Aaaaaaaaaa...!"

Nyawa melayang bersamaan dengan mun-

cratnya darah dari tubuh orang yang tersambar. 

Namun begitu, yang masih hidup seperti tidak 

mendengar sama sekali jeritan rekannya. Semua-

nya nampak tiada takut untuk memapaki kema-

tian, dan sepertinya memang hal itu yang mereka 

cari untuk menunjukkan bahwa dirinya benar-

benar yang paling kuat.

Tombak, Samurai, serta senjata-senjata ra-

hasia yang mereka miliki terus ikut meramaikan 

pertempuran tersebut. Dan setiap kali Pedang 

atau senjata rahasia mengena tubuh lawan, maka 

pekikkan kematian pun tidak dapat dihindarkan 

dari telinga.

Pantai Nagoya kini nampak membara. Darah 

merembes membasahi pasir pantai, sehingga pa-

sir pantai Nagoya seakan berwarna kelabu. Darah 

itu beraduk dengan air laut yang pasang, lalu hi-

lang berbaur dengan air. Walaupun demikian, 

pertarungan seakan tiada henti. Dari pasukan ke-

rajaan nampak makin mengganas, serangan me-

reka sebagai pasukan yang sudah terlatih bagai-

kan topan melanda batu karang kecil. Walau jum-

lah pasukan Fiji Nakoya kecil, namun keberanian 

mereka patut diacungkan jempol. Keberanian me


reka sebagai seorang Ninja benar-benar telah ter-

bukti. Bagi mereka hanya dengan cara itu mereka 

menemukan diri mereka sebagai Ninja. 

"Wuuuut...!"

"Trang...!"

"Wuuuuutttttt...!"

"Bless...!"

"Aaaaaaaaaaa...!" Korban kembali datang, 

bareng dengan melesatnya senjata di tangan me-

reka. Samurai-samurai yang mengandung Racun 

Fuji Hitam terus mencari mangsa. Dan mangsa 

tersebut tak lain dari lawan atau dirinya sendiri.

Gerakan-gerakan mereka begitu liar. Tak ada 

lagi ilmu silat di antara kerumunan perang itu, 

yang ada hanya kemampuan membunuh atau 

mati dibunuh oleh senjata lawan. Ilmu silat di si-

tu hanyalah mereka gunakan dalam keadaan 

luang saja, atau untuk mengelak. Sedangkan 

yang paling berfungsi di situ tidak lain mental dan 

kecerdikan mereka. Siapa yang cerdik, maka di-

alah yang akan mampu menjatuhkan lawannya.

Melihat anak buahnya banyak yang mati, 

dengan penuh amarah Fiji Nakoya segera berkele-

bat terjun di arena pertempuran. Fiji Nakoya be-

nar-benar bagaikan kesetanan, dengan memben-

tak dan mencaci maki terus menyerang.

"Orang-orang Kerajaan bodoh! Kalian 

akan mampus! Hiaaatt!" 

"Wuuutttt...!"

Samurai di tangannya berkelebat, membabat 

ke sana ke mari. "Aaaaaaaaa...!"

Satu orang terkena babatan Samurai Fiji Na


koya, menjerit ambruk, lalu kelojotan sebentar 

dan nyawa pun melayang. Fiji Nakoya tidak puas, 

kembali dibabatkannya Samurai ke arah lawan.

"Wuuutttt...!"

"Aaaaaaaa...!"

Fiji Nakoya benar-benar bagaikan tak kenal 

kompromi. Baginya ia harus mampu membunuh 

sebanyak-banyaknya pihak musuh, dan bila perlu 

kekaisaran harus berhasil ia kuasai. Fiji Nakoya 

makin mengganas, Samurainya bagaikan tak 

mengenal kasihan. Setiap tebasan Samurai di 

tangannya menjadikan jerit kematian musuhnya.

Melihat para prajuritnya banyak yang mati di 

tangan Fiji Nakoya, maka marahlah Sitasi Cibana.

"Nakoya keparat! Akulah musuhmu!"

Dengan Samurai siap terhunus, Sitasi Ciba-

na segera berkelebat masuk ke arena pertarun-

gan. Dipapakinya Fiji Nakoya yang tengah men-

gamuk. Dibabatkannya Samurai ke arah Fiji Na-

koya, yang saat itu tengah membabatkan Samu-

rainya ke arah prajuritnya

"Wuuutttt...!"

Fiji Nakoya yang melihat Sitasi Cibana ba-

batkan Samurai ke arahnya dengan segera balik 

menyerang. Ditariknya Samurai yang hendak me-

nyerang prajurit, lalu dengan cepat Samurai itu 

diarahkan menangkis ke arah datangnya Samurai 

lawan.

"Bangsat, Penjilat Kaisar!" bentaknya.

"Wuuuuttttt...!"

"Wuuuuttttt...!"

"Trang...!"


Dua Samurai saling beradu, menempel leng-

ket bagaikan dibaluti lem. Mata keduanya nam-

pak tajam, saling pandang seakan mendalami hati

dan kekuatan musuh.

"Kau harus digantung, Nakoya!" Sitasi nam-

pak menggeram.

"Jangan kau kira mampu, Anjing Kaisar!"

"Bedebah!"

"Wuuuuttttt...!" Samurai ditarik oleh Sitasi, 

lalu dengan cepat Samurai di tangannya kembali 

berkelebat mengarah ke arah Fiji Nakoya.

Fiji Nakoya egoskan tubuh ke samping 

menghindar, disertai dengan kiblatkan Samu-

rainya ke arah datangnya Samurai lawan.

"Wuuuuttttt...!"

Melihat musuhnya dapat menghindar, kem-

bali Sitasi Cibana kebatkan Samurainya mencer-

ca. Dan kini serangannya nampak makin keras, 

seakan Sitasi Cibana bergerak liar, menjadikan 

sebuah guratan-guratan warna Samurai.

"Wuuuutttt...!"

Fiji Nakoya kini benar-benar tersentak kaget. 

Ia tidak menyangka kalau musuhnya benar-benar 

orang yang patut diperhitungkan. Ilmu pedang 

musuhnya nampak begitu tinggi, mungkin berada 

satu atau dua tingkat di atasnya. Fiji Nakoya kini 

tak mampu lagi untuk membalas. Jangankan 

membalas, menghindar pun rasanya kini harus 

mengadu nyawa. Fiji Nakoya nampak nekad, Sa-

murainya ditusukkan ke arah lambung lawan. 

Namun rupanya Sitasi bukanlah sembarangan 

prajurit istana. Sitasi sepertinya telah mampu


mendeteksi gerakan musuhnya. Dan ketika Fiji 

Nakoya kembali tusukan Samurai, dengan cepat 

Sitasi Cibana putarkan Samurainya cepat. Hing-

ga...!

"Wuuuttt! Wuuut Wuuuuttt...!"

"Trang...! Trang! Trang...!"

Fiji Nakoya tersentak, berusaha menghindar. 

Akan tetapi, Samurai musuh kini telah mendahu-

luinya.

"Wuuuuttt...!"

"Blesssttt."..!"

"Cras!"

"Aaaaaaaa...!" Fiji Nakoya memekik mana ka-

la Samurai di tangan musuh tembus dan memba-

bat tubuhnya. Darah muncrat ke luar, menjadi-

kan Fiji Nakoya yang berbadan besar itu kini ba-

gaikan limbung. Sejenak tubuhnya kaku berdiri 

dengan mata melotot ke arah Sitasi Cibana, lalu 

akhirnya tubuh besar Fiji Nakoya ambruk dan 

mati.

Melihat ketuanya mati, semangat anak buah 

Taka Nata nampak menurun. Hal itu diketahui 

oleh musuhnya yang dengan cepat mendesak, 

mencerca mereka. Dalam waktu singkat, semua 

anak buah Taka Nata habis terbantai oleh para 

prajurit yang tidak mengenal lagi arti kemanu-

siaan.

"Aaaaaaa...!"

"Mampus! Bagero...!" 

Jerit kematian menggema dari mulut anak 

buah Taka Nata, diikuti oleh ambruknya tubuh 

mereka satu persatu. Yang menjadikan tempat


tersebut kembali senggang. Melihat musuh-

musuhnya mati, tanpa perduli lagi semua prajurit 

istana segera menghentakan kaki kuda mereka 

untuk kembali ke istana melaporkan apa yang te-

lah mereka lakukan. Langkah kuda mereka kini 

memburu, sepertinya mereka ingin segera sam-

pai. Di punggung depan kuda-kuda mereka, 

nampak sosok-sosok tubuh temannya yang gu-

gur. Sedang di punggung kuda Sitasi Cibana ter-

baring dengan kaku Fiji Nakoya, seorang tangan 

kanan Taka Nata yang hendak mereka jadikan 

bukti di kerajaan.

Sore pun menghilang, berganti dengan ma-

lam yang merambat cepat. Matahari yang tadinya 

masih menyaksikan kejadian di muka Bumi, lam-

bat laun menghilang. Seakan Matahari benar-

benar tidak ingin dirinya menjadi saksi lebih lama 

akan kejadian di Bumi. Bersamaan malam da-

tang, burung-burung pemangsa bangkai pun ber-

terbangan ke tempat tersebut. Namun burung-

burung itu sejenak kembali terbang, menghilang 

entah ke mana....

***


DUA



Betapa murkanya Taka Nata demi melihat 

prajurit-prajuritnya telah bergelimpangan mati. 

Namun kekesalan Taka Nata belum dapat menen-

tukan siapa adanya orang-orang yang telah berlaku keji itu. Taka Nata benar-benar belum tahu 

siapa dalang dari semua kejadian yang menjadi-

kan seluruh prajuritnya dan tangan kanannya Fiji 

Nakoya mati. Tubuh-tubuh prajurit Taka Nata 

berserakan tinggal tulang, dan hanya Fiji Nakoya 

saja yang tidak ada di situ.

Mata Taka Nata yang tajam, memandang 

dengan penuh kepedihan dan dendam. Dendam 

pada orang-orang yang telah membunuh semua 

prajuritnya, yang sampai sekarang belum ia keta-

hui.

"Bangsat! Bagero!" Taka Nata memaki-maki 

sendiri. "Kunyuk siapa yang telah berbuat semua 

ini?"

Kakinya melangkah lemah, menapaki sela-

sela tubuh-tubuh rekan sekaligus prajuritnya 

yang terkapar tanpa nyawa.

"Aku harus menuntut balas atas semuanya! 

Aku akan membikin perhitungan dengan bangsat-

bangsat tersebut!" Mengerutu hati Taka Nata pe-

nuh kebencian. Segala pertanyaan siapa yang te-

lah membunuh prajurit-prajuritnya belum terja-

wab. Semua seakan teka-teki yang benar-benar 

susah untuk dipecahkan. "Mungkinkah pihak 

kaisar? Atau musuh-musuhku yang memang in-

gin mengadakan pembalasan terhadapku dan 

mencari kesempatan ini?"

Pertanyaan demi pertanyaan, terus terulang 

dalam sanubari Taka Nata, saling beraduk satu 

sama lainnya. Namun seakan semua pertanyaan 

tersebut raib tanpa adanya jawaban yang pasti. 

Dan Taka Nata mencoba mengingat-ingat siapa

siapa musuh-musuhnya yang memang menden-

dam padanya.

"Musuhku.... Ajima, Sujataka, Fa-Fu-Sai. 

Hem, mungkinkah ketiga Naga Fuji itu yang me-

lakukannya?" tanya hati Taka Nata. "Kalau me-

mang mereka, Hem, jangan harap mereka akan 

mendapat ampun dariku."

Setelah untuk sekian lamanya memandangi 

sosok-sosok tubuh tinggal tulang milik anak 

buahnya, dengan sekali kebat Taka Nata mening-

galkan tempat tersebut. Di hatinya kini ada den-

dam, dendam yang harus dilunasi oleh pemberi

hutang nyawa-nyawa prajuritnya.

* * *

Taka Nata benar-benar mendatangi tempat 

ketiga Naga Fuji yang tinggal di lereng gunung Fu-

jiyama. Kini Taka Nata benar menjadi seorang 

Ninja yang tak kenal ampun. Segenap tubuhnya 

kini terbalut lilitan kain Putih Perak, sehingga se-

tiap gerakannya benar-benar memantulkan ca-

haya berkilauan. Sedang Samurai, nampak mele-

kat di pundaknya. Samurai dengan gagang teng-

korak yang merupakan simbol yang sangat dita-

kuti bagi para pendekar di negeri Nippon. Simbol 

tengkorak tersebut hanya dimiliki oleh seorang 

Ninja, yang tidak lain Taka Nata adanya. Samu-

rainya bernama Samurai Iblis!

Tubuh Taka Nata nampak ringan, berlari 

melompati tebing-tebing bersalju di Gunung Fu-

jiyama. Terkadang berhenti sesaat, palingkan


muka memandang ke belakang, lalu kembali me-

lompat bagaikan seekor kancil yang gesit. Dengan 

menggunakan ilmu meringankan tubuh Ninjanya 

yang sempurna, Taka Nata kini benar-benar ba-

gaikan terbang layaknya. Dalam sekejap saja kini 

kaki Taka Nata yang memakai sepatu beralas 

khusus di salju telah menginjakkan kakinya pada 

tebing-tebing salju di dekat kediaman ketiga Naga 

Fuji tersebut.

Taka Nata berdiri mematung, pandangannya 

lurus ke muka, seakan hendak menghancurkan 

segala yang ada di hadapannya. Tangannya men-

gepal, layaknya hendak menghancurkan apa yang 

dapat diremas oleh tangannya. Napas Taka Nata 

nampak memburu, liar bagaikan tiada menentu. 

Lama dirinya diam memandang pada sebuah 

bangunan di lereng gunung Fuji tersebut, kemu-

dian dengan lantang dan disertai tenaga dalam 

dia berseru, "Bajero Fa-Fu-Sai, keluar kau...!"

Fa-Fu-Sai yang saat itu tengah duduk-duduk 

di hadapan murid-muridnya tersentak demi men-

dengar seruan seseorang dengan panggilan yang 

tidak sopan. Matanya sejenak memandang kaget 

pada kelima murid-muridnya, lalu dengan kesal 

dia berkata.

"Siapakah yang datang...? Tolong kau lihat 

keluar, Moro!" perintahnya pada sang murid yang 

bernama Amoro.

Amoro tanpa membantah segera bangkit dari 

duduknya, lalu dengan penuh kejengkelan tidak 

terima orang di luar telah kurang ajar pada gu-

runya, Amoro menemuinya. Tersentak Amoro demi melihat siapa adanya yang datang. Seorang 

Ninja berpakaian putih perak dengan Samurai 

bergagang Tengkorak.

"Taka Nata...!" Amoro terbelalak, dengan ce-

pat dia berkelebat masuk kembali untuk memberi 

tahukan pada sang guru akan kedatangan Ninja 

Taka Nata atau Ninja Samurai Iblis. "Suhu.... Su-

hu! Dia datang kembali, Suhu."

Semua rekannya termasuk sang guru terbe-

lalak.

"Kenapa Moro...?" Sang Guru bertanya. 

"Dia kembali datang, Suhu." 

"Dia siapa. Moro?" 

"Dia.... dia Samurai Iblis!" 

"Apa...?" Sang guru terjengah kaget. "Taka 

Nata...? "

"Benar, Suhu."

Fa-Fu-Sai terdiam kecut demi mendengar 

siapa adanya yang datang. Hatinya bertanya, "Un-

tuk maksud apa dia kembali datang ke mari?" 

Semuanya tiada dapat Fa-Fu-Sai jawab. "Memang 

dulu kami musuhnya, akan tetapi sudah begitu 

lama kami tidak mengadakan suatu pertarungan. 

Dan kami telah saling berjanji tidak mengganggu. 

Hem, apa gerangan maunya...?"

Tengah Fa-Fu-Sai berpikir, terdengar kemba-

li suara Taka Nata berteriak. "Fa-Fu-Sai, apakah 

kau telah menjadi seorang pengecut? Keluarlah...! 

"

Fa-Fu-Sai terdiam sesaat, setelah meman-

dang pada kelima muridnya, Fa-Fu-Sai pun den-

gan langkah ringan beranjak dari duduknya dan


melangkah ke luar. Di belakangnya kelima mu-

ridnya turut mengiringinya. Fa-Fu-Sai terpaku di-

am di depan pintu, memandang ke arah di mana 

Taka Nata berada.

"Oooh... Selamat datang di tempat kami, Ta-

ka?" sapa Fa-Fu-Sai ramah. "Maaf, kami tidak se-

layaknya menyambut dalam keadaan begini. Un-

tuk itu, sekali lagi kami minta maaf."

Taka Nata nampak sunggingkan senyum, la-

lu kakinya melangkah mendekat ke arah Fa-Fu-

Sai beserta kelima muridnya.

"Fa, aku minta kau menjawab dengan jujur."

"Tentang apa itu, Taka?"

Taka Nata tarik napas panjang, lalu kembali 

berkata.

"Kau tahu siapa yang membinasakan anak 

buahku?"

"Apa...?" Fa-Fu-Sai belalakkan mata kaget 

demi mendengar ucapan Taka Nata. "Ah, mana 

mungkin bisa terjadi, Taka? Bukankah kau seo-

rang Pendekar Agung?"

"Aku tidak tengah bercanda, Fa."

"Maaf, Taka. Kami sudah setahun ini tiada 

keluar dari tempat kami. Jadi manalah mungkin 

kami tahu segalanya di luar?" 

"Jadi kau menolak tuduhanku, Fa?" 

"Ah, sungguh kami tiada mengerti, Taka."

"Baiklah! Kalau begitu, maka aku mohon 

pamit," Taka Nata menjura, namun dengan cepat 

Taka Nata berkelebat dengan Samurai Iblisnya 

yang telah di tangan menyerang.

"Wuuuuttt...!"


"Bajero! Mengapa kau menyerangku, Taka?!" 

bentak Fa-Fu-Sai sambil melompat ke belakang. 

"Apa salah kami, Taka?"

"Tanya pada dirimu sendiri nanti di akherat, 

Hiaaattt...!"

Taka Nata kini tiada memberi kesempatan 

pada Fa-Fu-Sai untuk berkata. Samurai Iblis di 

tangannya benar-benar meminta nyawa, mende-

ru-deru dengan cepat membabat dan menusuk.

Melihat sang Suhu diserang begitu rupa, 

dengan cepat kelima muridnya cabut pedang. Ke-

limanya dengan geram dan marah berkelebat 

memapaki serangan Taka Nata.

"Suhu biarkan kami yang menghadapinya," 

Yang berkata murid Fa-Fu-Sai yang pertama.

"Benar, Suhu. Orang ini biarlah kami yang 

menghadapinya," Tambah lainnya. "Biarlah kami 

menjajal ilmunya!"

Taka Nata sunggingkan senyum, lalu dengan 

mengejek berkata.

"Jangan tanggung-tanggung, kalian dengan 

Guru kalian majulah, biar cepat aku bereskan!"

Habis berkata begitu, dengan cepat Taka Na-

ta kebatkan Samurai Iblisnya ke arah musuh.

"Wuuuuutttttt...!"

Tersentak kelima murid Fa-Fu-Sai, yang 

dengan segera melompat mundur dengan didahu-

lui memekik kaget. Kelimanya kini benar-benar 

sadar bahwa sang musuh bukanlah orang semba-

rangan, apa lagi Samurainya yang dikatakan Sa-

murai Iblis. Samurai itu mampu menggetarkan 

sukma mereka.


"Bajero! Awas...!" Murid pertama memperin-

gatkan, mana kala Taka Nata kembali menggem-

pur mereka.

"Wuuuuttt...!" Taka Nata kebaskan Samu-

rainya.

"Traaanggg...!" Dengan cepat kelima murid 

Fa-Fu-Sai balas menangkis. Kelima Samurai di 

tangan lima murid Fa-Fu-Sai saling bertemu, 

menjepit Samurai Iblis. Mata keenam orang itu 

saling pandang dengan tajam. Lebih-lebih kelima 

murid Fa-Fu-Sai, mereka nampaknya benar-

benar harus mengeluarkan tenaga yang besar 

agar mampu bertahan.

Fa-Fu-Sai yang tahu akan kehebatan ilmu 

pedang Taka Nata tersentak kaget mana kala me-

lihat kelima orang muridnya nekat mengadu pe-

dang mereka dengan Taka Nata.

"Bahaya...! " pekiknya tertahan. "Aku harus 

membebaskan kelimanya."

Sebelum semuanya terlanjur, dengan cepat 

Fa Fu-Sai berkelebat mencelat ke angkasa. Tan-

gannya memegang Samurai bergerak cepat. Tan-

gan itu diarahkannya ke arah Taka Nata, lalu 

dengan berteriak dia babatkan pedangnya.

"Hiiiiiiiaaaaaaattttt...!"

"Wuuuuuuuutttt...!"

Taka Nata yang melihat gerakan Fa-Fu-Sai 

nampak tenang, dan dia hanya cukup tarik Sa-

murainya. Setelah Fa-Fu-Sai dekat, dengan cepat 

Taka Nata babatkan Samurainya ke arah kelima 

murid Fa-Fu-Sai yang seketika itu terbelalak ka-

get. Kelimanya tercekap dan dengan nekad balas


membabat Samurai lawan. Hal itu memang yang 

ditunggu-tunggu oleh Taka Nata. Dan mana kala 

kelimanya memapaki Samurainya, Taka Nata 

lemparkan tubuh ke belakang menghindari se-

rangan yang dilancarkan Fa-Fu-Sai. Tidak ayal, 

Samurai Fa-Fu-Sai melejit ke arah kelima murid-

nya yang saat itu tengah balik menyerang Taka 

Nata.

"Bajero! Licik...!' Fa-Fu-Sai membentak ma-

rah, tarik kembali Samurainya urungkan niat 

menyerang. Bagaimana pun, kalau dia teruskan 

menyerang, maka murid-muridnyalah yang akan 

menjadi korbannya. Fa-Fu Sai tolakkan tubuhnya 

kembali ke belakang, lalu ketika kakinya mengin-

jakkan tanah kembali tubuh, Fa-Fu-Sai mental ke 

angkasa. Dengan gerakan Tarikan Sinar Pelangi, 

Fa-Fu-Sai kembali mencoba membantu kelima 

muridnya yang tengah menghadapi kesulitan.

Kelima murid Fa-Fu-Sai nampak benar-

benar kewalahan menghadapi serangan Taka Na-

ta. Samurai di tangan Taka Nata kini benar-benar 

bagaikan sebuah lingkaran Iblis yang sukar di-

tembus oleh serangan mereka. Bahkan kalau Ta-

ka Nata mau, dalam sekejap saja Samurai di tan-

gannya akan mampu menghabisi nyawa mereka 

dalam sekejap.

"Wuuuuttt! Wuuuuuttt! Wuuuuttt!" Samurai 

Iblis di tangan Taka Nata berkelebat membabat. 

Segera kelima murid Fa-Fu-Sai lemparkan tubuh 

ke samping menghindar, lalu dengan untung-

untungan kelimanya balas menyerang.

"Wuuuut...!"


"Wuuuuuttt...!"

Taka Nata yang ingin hanya memberikan pe-

lajaran pada kelima murid Fa-Fu-Sai, sepertinya 

tidak mengingini kelimanya mati di tangannya. 

Maka dengan gerak Iblis Menyapu Awan, Taka 

Nata kibaskan Samurai Iblisnya. Gerakan Samu-

rai Iblis di tangan Taka Nata yang memutar, tan-

pa ampun lagi harus dihadapi oleh Samurai keli-

ma murid Fa-Fu-Sai.

"Wuuuuuuuuuttttttt...!"

"Wuuuuttt...!"

"Traang...!"

'"Ahai!" kelimanya memekik, tangan mereka 

bagaikan terhantam ribuan kaki. Tangan mereka 

kini bergetar sedangkan Samurai di tangan keli-

ma murid Fa-Fu-Sai kini tinggal sepotong. Samu-

rai mereka puntung terbabat oleh Samurai Iblis di 

tangan Taka Nata yang terbuat dari Perak Murni. 

Kini mata kelima murid Fa-Fu-Sai benar-benar 

harus terbuka lebar, mereka harus menyakinkan 

diri mereka siapa adanya orang yang kini mereka 

hadapi.

Ternyata bukan hanya kelima muridnya

yang tersentak kaget, akan tetapi Fa-Fu-Sai juga 

terbelalak. Bagaimana pun, Fa-Fu-Sai tidak me-

nyangka kalau kelima muridnya akan dengan 

mudah dikalahkan oleh Taka Nata. Ilmu kelima 

muridnya bukanlah ilmu anak-anak ingusan. Me-

reka telah dididik oleh Fa-Fu-Sai dengan ilmu-

ilmu tinggi yang sebanding dengan ilmu yang di-

miliki olehnya. Akan tetapi, di hadapan Taka Nata 

kini mereka bagaikan tiada arti sama sekali.


"Sungguh bukan ilmu sembarangan, ilmu yang 

dimiliki oleh Taka Nata," gumam hati Fa-Fu-Sai.

"Fa, aku minta, kau dan kelima muridmu 

menyerahlah!" Taka Nata berkata, "Aku tak ingin 

membunuh kalian sia-sia, akan tetapi aku hanya 

minta kalian mau membantuku. Itu saja...!"

Fa-Fu-Sai dan kelima muridnya terbelalak 

kaget mendengar apa yang dituturkan Taka Nata. 

Keenam murid dan guru itu saling pandang, sea-

kan ingin menyakinkan akan apa yang telah dika-

takan oleh Taka Nata. Setelah saling pandang an-

tara guru dan murid, lalu keenamnya meman-

dang dengan penuh ketidakmengertian pada Taka 

Nata.

"Kalau kalian mau, maka kalian akan men-

jadi sahabatku," Taka Nata kembali berkata. "Tapi 

kalau tidak, maka sampai kemana pun kalian 

akan aku kejar!"

Kembali keenam murid dan guru itu saling 

pandang

"Bagaimana, Fa?"

"Kami belum mengerti, Taka," jawab Fa-Fu-

Sai.

"Hua, ha, ha...! Fa, aku hanya minta tenaga 

kalian untuk membantu usahaku."

"Apa yang dapat kami lakukan, Taka?" Kem-

bali Fa bertanya.

"Cukuplah kau dan kelima muridmu meng-

hubungi rekan-rekan kalian untuk bergabung 

denganku."

"Tidak bisa begitu, Taka. Katakan apa mak-

sudmu, baru nanti kami akan mempertimbang


kannya," jawab Fa-Fu-Sai masih tenang, walau-

pun ia merasa tak akan unggulan bila harus ben-

trok dengan Taka Nata. Tetapi, jikalau dia harus 

menyerah begitu saja, di mana ia akan menaruh 

mukanya?

"Baik! Dengarkan oleh kalian! Aku akan me-

lakukan pembalasan pada Kaisar yang telah 

membunuh seluruh anak buahku."

Tersentak Fa-Fu-Sai mendengar akan apa 

rencana Taka Nata yang tiada terduga tersebut. 

Bagaimanapun juga, Fa-Fu-Sai pernah mengabdi 

pada kerajaan yang akhirnya memusuhi kerajaan 

dikarenakan dirinya tidak sehaluan dengan kera-

jaan. Mungkin Taka Nata juga sama seperti di-

rinya dan kedua rekannya.

"Bagaimana, Fa?" tanya Taka Nata demi me-

lihat Fa-Fu-Sai masih terdiam. "Bukankah kau 

dan kedua rekanmu juga sama seperti diriku?" 

"Baiklah, Taka," Akhirnya Fa-Fu-Sai membe-

ri jawaban. "Kalau begitu, aku dan kelima murid-

ku akan membantumu, juga mungkin kedua re-

kanku, si Naga Kuning dan Naga Biru."

"Bagus itu! Kalau benar kalian akan mem-

bantuku, maka kita akan menjadi sebuah kekua-

tan yang dahsyat. Bukan begitu, Fa."

Kedua musuh bebuyutan itu akhirnya saling 

tertawa bareng hingga keadaan tubuh mereka ki-

ni terguncang-guncang. Tawa mereka membaha-

na, menyusup ke bebatuan yang ada di sekeliling 

mereka hingga menimbulkan gema yang meng-

gaung.

"Baiklah, Fa. Aku pergi dulu," Taka Nata


menjura pada orang bekas musuhnya, yang juga 

membalas menjura. "Sayonara, Fa. Sampai kete-

mu lusa di kediamanku."

"Sayonara, semoga kita akan selalu dalam 

persatuan," jawab Fa-Fu-Sai, nadanya seakan ia 

benar-benar merasa gembira menjadi sahabat Ta-

ka Nata. Sudah beberapa kali dia dan kedua Naga 

lainnya bentrok dengan Taka Nata, namun mere-

ka tiada pernah menang sekali pun juga. Kini Ta-

ka Nata meminta dirinya juga dua orang rekannya

menjadi sahabat, bukankah suatu kesempatan 

baik mengadakan persahabatan?

"Kita beruntung, Murid-muridku," Fa-Fu-Sai 

berkata akhirnya setelah melihat Taka Nata telah 

menjauh dan akhirnya hilang di belokan.

"Mengapa begitu, Suhu?" tanya kelima mu-

ridnya.

"Ya, Kalau dia mau, dia dengan mudah akan 

menjatuhkan kita. Akan tetapi rupanya dia 

menghendaki kita menjadi sahabatnya. Bukankah 

itu yang diinginkan semua Pendekar untuk ber-

sahabat dengannya?" Menerangkan Fa-Fu-Sai.

"Yaa! Kita harus bersyukur, sebab dia ter-

nyata masih menghargai kita."

Kelima muridnya menunduk, lalu dengan 

beriring keenam murid dan guru itu beranjak 

kembali masuk ke tempatnya untuk mengatur tu-

gas mereka masing-masing. Mereka benar-benar 

ingin membantu Taka Nata.

***


TIGA


Apa yang direncanakan Taka Nata untuk 

menarik ketiga musuh bebuyutannya untuk men-

jadi rekan sejuang, tampaknya berhasil ditunai-

kan oleh Fa-Fu-Sai dan kelima muridnya.

Fa-Fu-sai yang menghubungi sahabatnya 

Naga Kuning, sementara kelima muridnya meng-

hubungi Naga Biru.

Hari itu keenam guru dan murid nampak 

memacu kuda-kuda mereka menuju ke simpang 

gunung Fuji di mana kedua rekan Fa-Fu-Sai ting-

gal. Dengan hanya memakan waktu setengah hari 

perjalanan, maka keenam murid dan guru itu 

dengan cepat sampai di tempat tujuan. Di sim-

pang jalan bercabang, keduanya berpisah. Sang 

guru berjalan menuju ke kediaman Naga Kuning, 

sementara kelima muridnya dengan membawa 

surat menuju ke tempat Naga Biru.

"Kita berpisah dan harus berhasil menjalan-

kan tugas kita,"

"Akan kami usahakan, Suhu," jawab keli-

manya. "Kami mohon pamit, Suhu."

"Do'aku selalu mengikuti kalian. Aku berha-

rap kalian akan menemukan keberhasilan."

"Terimakasih, Suhu."

Kelima murid Fa-Fu-Sai menjura, lalu den-

gan segera kelimanya pun meninggalkan sang 

guru yang masih terpaku diam dengan kudanya. 

Fa-Fu-Sai baru melajukan kudanya tatkala keli-

ma muridnya telah menghilang dari pandangan


nya. Kuda itu dihelanya ke arah yang berlawanan, 

yaitu sebuah jalan yang membelok ke kanan.

"Apakah aku akan berhasil melakukan tu-

gas?" tanya Fa-Fu-Sai dalam hati. "Ah, moga saja 

Naga Kuning akan mau menerima persahabatan 

yang diinginkan oleh Taka Nata."

Kembali dihelanya kuda dengan kencang, 

sehingga kuda itu berlari bagaikan kibasan angin. 

Lari kuda itu pesat, menjejak bebatuan yang me-

layang mana kala tersepak kakinya. Dingin salju 

yang menyelimuti gunung Fujiyama bagaikan tak 

mempengaruhi tekad Fa-Fu-Sai untuk menemui 

Naga Kuning. Tidak berapa lama antaranya, kuda 

yang ditumpangi Fa-Fu-Sai sampai di sebuah ru-

mah panggung yang berdiri di tengah-tengah hu-

tan pinus yang memutih oleh salju yang menutu-

pinya. Perlahan kuda dihentikan, lalu dengan rin-

gan Fa-Fu-Sai lompatkan tubuh turun. Kudanya 

di tambatkan, melangkah kakinya menginjak sal-

ju yang begitu dingin hingga sepatu sendal yang 

dikenakan bagaikan bantalan karet es.

"Sampurasun...?" Fa-Fu-Sai menguluk sa-

lam.

Tak ada jawaban dari dalam rumah itu, 

hanya terdengar langkah berat beranjak menuju 

ke luar. Langkah-langkah yang seakan mengan-

dung rasa was-was dan hati-hati. Lama Fa-Fu-Sai 

menanti orang yang dia nanti.

"Kreettt...!"

Pintu rumah dibuka, dan dari dalam rumah 

nampak keluar seorang lelaki setengah baya den-

gan wajah pucat pasi. Wajah itu walau pucat na


mun menandakan betapa dulunya dia adalah seo-

rang yang berjiwa baja.

"Naga Kuning...!" Fa-Fu-Sai teriak tertahan 

demi melihat keadaan kambratnya. Segera Fa-Fu-

Sai berlari ke arah Naga Kuning, lalu dengan pe-

nuh kerinduan Fa-Fu-Sai dekap rekannya seraya 

bertanya. "Apa yang telah terjadi denganmu...?"

"Aku... aku," Naga Kuning tersendat, seper-

tinya sukar untuk berkata-kata.

"Kau kenapa, Adik...? Fa-Fu-Sai yang me-

mang lebih tua mendesak ingin tahu. "Apakah 

kau sakit?" 

Naga Kuning mengangguk. 

"Sakit biasa...?"

Naga Kuning gelengkan kepala.

Fa-Fu-Sai makin tidak sabar ingin tahu, lalu 

dengan memandang wajah Naga Kuning yang pu-

cat kembali Fa-Fu-Sai bertanya. "Kau telah berke-

lahi?"

"Ya!" jawab Naga Kuning pendek.

"Dengan siapa? Katakanlah, mungkin aku 

akan mampu membuat pembalasan dengannya."

"Prajurit Kaisar," Kembali Naga Kuning men-

jawab.

"Jadi...?" Fa-Fu-Sai terbelalak. "Bajingan-

bajingan rendah Kaisar telah melukaimu?" 

"Ya!"

"Aku akan membalaskannyya, Adik." 

"Tak mungkin, Kakak." 

"Kenapa?"

Naga Kuning hela napas panjang, lalu kata-

nya, "Bukankah di pihak Kaisar ada Taka Nata?"


"Tidak! Aku datang ke mari juga atas perin-

tah Taka Nata untuk meminta padamu agar mau 

membantu dirinya memberontak."

"Apa...?!" Kaget Naga Kuning mendengar pe-

nuturan Fa-Fu-Sai yang mengatakan bahwa Taka 

Nata kini memusuhi pihak kerajaan yang dulu di-

belanya. "Apakah dia benar-benar, Kakak?"

"Aku tidak berdusta, Adik," jawab Fa-Fu-Sai. 

"Dia seperti kita. Dia juga ditolak permintaannnya 

untuk ke Tanah Jawa. Itulah makanya dia me-

musuhi kerajaan dan mengajak kita bergabung 

dengannya memberontak."

Naga Kuning kembali diam, sepertinya Naga 

Kuning tengah memikirkan akan kebenaran yang 

telah dikatakan oleh Kakak seperguruannya. Hal 

tersebut menjadikan Fa-Fu-Sai kembali bertanya.

"Bagaimana, Adik?"

"Aku menyokong," jawab Naga Kuning sete-

lah menarik napas panjang, menjadikan Fa-Fu-

Sai tersenyum. Kembali dipeluknya Naga Kuning.

"Terimakasih. Mungkin kita akan menda-

patkan ketenangan bila telah bersatu dengan Ta-

ka Nata."

Kedua kakak beradik perguruan itu akhirnya 

masuk ke dalam rumah Naga Kuning. Di dalam 

keduanya meneruskan cerita apa saja yang sela-

ma perpisahannya keduanya alami. Ruangan ru-

mah Naga Kuning nampak berantakan, hal terse-

but menjadikan tanya Fa-Fu-Sai kembali.

"Mana istri dan anak-anakmu?"

Ditanya begitu rupa, bukannya menjadikan 

Naga Kuning mampu menjawab. Bahkan tampak


air matanya berlinang, lalu tetes-tetes air bening 

pun jatuh ke pipinya.

"Kenapa kau menangis, Adik?" 

"Aku sedih, Kakak."

Dicobanya untuk menyeka air mata, lalu 

dengan bibir pucat bergetar Naga Kuning yang 

dulu merupakan Tiga Serangkai Naga yang ter-

kenal berani dan kokoh dalam pendirian bercerita 

bagaimana keadaan keluarganya.

Dua tahun yang lalu mana kala dirinya baru 

menjalankan tugas yang dilakukan dengan kedua 

kakak seperguruannya yaitu Naga Merah dan Na-

ga Biru, Naga Kuning kembali untuk menemui is-

tri dan anak-anaknya. Tetapi, betapa marah dan 

jengkelnya Naga Kuning mana kala mendapatkan 

rumahnya berantakan. Mayat-mayat bergelim-

pangan di mana-mana. Mayat istri dan anak-

anaknya yang sangat ia sayangi.

"Aku menjerit kaget! Aku marah saat itu, 

Kakak."

"Lalu, apakah kau mengetahui siapa pembu-

nuhnya?"

Naga Kuning gelengkan kepala.

Naga Merah terjengah diam, seakan turut 

berduka atas segala yang dialami oleh Naga Kun-

ing. Tidak terasa gigi-gigi Naga Merah saling bera-

du, membunyikan suara gemerutuk. Untuk bebe-

rapa lama keduanya terdiam tanpa kata, seper-

tinya keduanya tengah merasakan penderitaan 

yang panjang. Segala kejadian yang dialami oleh 

mereka hampir sama. Seluruh keluarganya mati 

terbantai, dan keduanya tiada tahu siapa yang te


lah membantai keluarga mereka. Kejadian itu se-

mua, terjadi mana kala mereka menentang kekai-

saran, sehingga mereka menganggap bahwa se-

muanya yang melakukan tak lain dari pihak kera-

jaan.

"Mengapa nasib kita sama, Adik?"

Terbelalak mata Naga Kuning mendengar 

ucapan Naga Merah yang tiada diduganya. Ada 

rasa tidak percaya dalam pancaran mata Naga 

Kuning, sebab setahunya, Naga Merah bukanlah 

orang sembarangan. Manalah mungkin semudah 

itu musuh melakukannya? Dan istri Naga Merah 

si Dewi Rembulan Perak juga seorang tokoh persi-

latan yang tidak rendah ilmu silatnya.

"Mana mungkin bisa begitu, Kakak?" tanya 

Naga Kuning tidak begitu percaya. "Bukankah 

Kakak Dewi Rembulan Perak seorang tokoh persi-

latan yang patut diperhitungkan?"

"Itulah, Adik. Aku juga mulanya tak menger-

ti. Dan aku juga bertanya-tanya siapa adanya 

yang mampu mengimbangi ilmu istriku. Mulanya 

aku menduga Taka Nata, akan tetapi bila dilihat 

dari kematian istriku, jelas bukan oleh Taka Nata. 

Istriku mati oleh sebuah senjata yang sampai se-

karang aku simpan. Ini...!"

Mata Naga Kuning kembali membeliak tatka-

la melihat senjata yang digenggam oleh Naga Me-

rah. "Bulu Landak...!"

"Ya! Inilah senjata yang telah membunuh is-

triku."

"Sama, Kakak."

Naga Merah kini yang kaget. Matanya melo


tot tidak percaya mana kala Naga Kuning kelua-

rkan Bulu Landak dari ikat pinggangnya. Mata 

kedua saudara seperguruan itu begitu terbelalak-

nya, sebab keduanya tahu siapa adanya pemilik 

Bulu Landak tersebut. Namun keduanya tidak in-

gin segalanya diperpanjang. Namun bila melihat 

keadaan Naga Kuning, maka Naga Merah tidaklah 

mampu menahan amarahnya.

"Benar-benar saudara celaka!" maki Naga 

Merah gusar, entah ditujukan pada siapa makian 

tersebut.

"Aku juga tidak mengerti, Kakak."

"Apakah kau tidak tahu siapa pemilik Bulu 

Landak tersebut?"

Naga Kuning gelengkan kepala, lalu kata-

nya. "Sama sekali."

"Aku tadinya tidak yakin."

"Maksudmu, Kakak?"

"Bulu Landak adalah milik Naga Biru," jawab 

Naga Merah.

"Ah...!" Tersentak Naga Kuning demi men-

dengar penuturan Naga Merah tentang siapa 

adanya pemilik senjata beracun Bulu Landak 

yang telah membinasakan keluarganya. "Kakak 

tidak berdusta?"

Naga Merah gelengkan kepala, meyakinkan 

adiknya.

"Apa sebenarnya maksud Naga Biru?" gu-

mam Naga Kuning.

"Kau ingat tentang Kitab Naga Api?" Naga 

Merah bertanya, diangguki oleh Naga Kuning. 

"Mungkin Naga Biru hendak berbuat curang pada


kita."

"Mungkin juga," Naga Kuning menggumam.

"Nah, dengan membunuh keluarga kita, di-

rinya hendak membuat kita jadi menderita. Be-

runtung waktu itu aku tahu bahwa senjata terse-

but dialah yang memilikinya."

Naga Merah kemudian menceritakan tentang 

Naga Biru yang diketahuinya sebagai pemilik sen-

jata Bulu Landak. Suatu hari mana kala Naga Bi-

ru tengah berlatih sendiri di rumahnya, diam-

diam secara sembunyi-sembunyi Naga Merah 

mengintai apa yang dilakukan oleh Naga Biru. 

Mata Naga Merah membeliak mana kala melihat 

apa yang saat itu dilakukan oleh Naga Biru. Naga 

Biru rupanya tengah menguji kehebatan senjata 

barunya, yang tidak lain Bulu Landak Maut. Bulu 

Landak tersebut telah dilumuri oleh Racun Fuji 

Hitam, sebuah racun yang beraksi cepat. Maka 

bila korbannya tidak cepat ditolong dalam jangka 

waktu satu jam, melayanglah nyawa seorang kor-

ban. 

"Aku masih sangsi, Kakak."

"Maksudmu?" tanya Naga Merah kurang 

mengerti.

"Apakah tidak ada orang lain yang memang 

sengaja mencuri senjata tersebut dengan tujuan 

memecah belah kita?"

"Bisa juga," jawab Naga Merah.

Keduanya kembali diam, sepertinya kedua-

nya tengah menganalisa siapa sebenarnya yang 

menjadi biang dalam hal ini. Lama keduanya tan-

pa kata, dan hanya napas mereka saja yang ter


dengar mendesah berat.

"Apakah tidak sebaiknya kita ke sana?" usul 

Naga Kuning.

"Maksudmu ke Naga Biru?" Balik bertanya 

Naga Merah.

"Ya!"

"Ide yang bagus," jawab Naga Merah." Ayolah 

kalau kau kuat untuk melakukan perjalanan 

jauh."

"Aku masih sanggup, Kakak," jawab Naga 

Kuning.

Setelah mempersiapkan segala apa saja yang 

dibutuhkan untuk menjadi seorang pendekar 

kembali, Naga Kuning pun disertai oleh Naga Me-

rah berangkat meninggalkan rumah untuk me-

nemui satu saudara seperguruannya lagi yaitu 

Naga Biru. Keduanya hendak menyakinkan kebe-

naran adanya siapa yang telah menggunakan sen-

jata Bulu Landak Maut tersebut. Hari itu juga ke-

duanya memacu kuda-kuda mereka dengan kece-

patan tinggi. Keduanya tiada hiraukan hujan sal-

ju yang menetes membasahi lereng gunung Fuji. 

Rasa dingin bagaikan tak menghalangi niat kedu-

anya.

* * *

Sementara itu di kediaman Naga Biru, nam-

pak kelima murid Naga Merah telah sampai. Ke-

limanya disambut dengan penuh persaudaraan 

oleh Naga Biru. Dipersilahkannya kelima murid 

kakak seperguruannya masuk, lalu dengan kea


kraban keenam orang tersebut saling berbincang-

bincang menceritakan apa yang mereka alami ju-

ga guru mereka. Diceritakan pula apa yang men-

jadi tujuan kedatangan mereka menemui Naga Bi-

ru.

"Jadi Guru kalian menyuruh kalian untuk 

menemuiku?"

"Begitulah, Paman Guru," jawab murid yang 

tertua.

"Apa yang kalian bawa?"

"Kami diperintahkan untuk memberi kabar 

bahwa Taka Nata menghendaki Paman Guru mau 

mendukung usahanya memberontak pada Kai-

sar."

Naga Biru sunggingkan senyum, dan dengan 

sinisnya berkata setelah mendengar penuturan 

murid-murid kemenakannya. "Kalian mau mem-

bantu Iblis...?!"

"Maksud Paman Guru?" Murid kedua ber-

tanya.

Naga Biru kembali hela napas, sementara 

bibirnya masih menyungging senyuman. Hal ter-

sebut makin menjadikan ketidak mengertian ke-

lima murid Naga Merah.

"Percuma! Percuma kalian membantunya."

"Kenapa, Paman Guru?" Murid Naga Merah 

yang pertama kembali bertanya. Matanya me-

mandang penuh ketidak mengertian pada paman 

gurunya, diikuti oleh adik-adik seperguruannya.

"Kalian belum mengenal benar siapa adanya 

Taka Nata," Naga Biru akhirnya menggumam. 

"Hem, dia benar-benar licik!"


Makin penuh ketidakmengertian saja kelima 

murid Naga Merah mendengar penuturan paman 

gurunya. Bukankah menurut guru mereka ini 

merupakan satu kesempatan. Mengapa paman 

guru mereka malah menolak dan bahkan mencaci 

maki? Namun segala pertanyaan tersebut hanya 

mereka simpan dalam hati. Mereka tak berani un-

tuk mengutarakannya, sebab mereka takut kalau 

paman gurunya nanti akan marah

Melihat kelima murid kemenakannya ter-

diam, Naga Biru pun kembali berkata: "Akulah 

yang kini menanggung malu pada guru kalian 

dan paman guru kalian Naga Kuning."

"Maksud, Paman...?" Kelimanya serempak 

bertanya dengan mata kembali membelalak pe-

nuh ketidakmengertian.

"Kalian tidak mendengar Istri guru kalian 

mati?"

"Ya! Kami mendengar itu," jawab mereka.

"Nah, apakah yang diceritakan gurumu men-

genai kematian istrinya?"

"Guru tidak pernah menceritakan apa-apa, 

Paman," jawab mereka kembali. Hal tersebut 

menjadikan Naga Biru terbengong kaget. Hatinya 

salut pada kakak seperguruannya yang tidak mau 

membuat aib dirinya pada murid-muridnya.

Naga Biru tarik napas panjang, lalu kata-

nya: "Baiklah kalau kalian belum tahu, maka aku 

akan menceritakan pada kalian mengapa aku ti-

dak lagi mendatangi guru kalian."

Naga Biru terdiam sejenak, begitu juga den-

gan kelima murid yang seakan tidak ingin me


nanya lebih jauh. Tidak lama kemudian, Naga Bi-

ru pun akhirnya bercerita juga apa sebenarnya 

yang telah terjadi dengan dirinya dan diri sauda-

ra-saudaranya.

"Istri guru dan paman gurumu mati oleh 

senjataku yang telah dicuri oleh orang. Aku mu-

lanya tidak tahu siapa adanya pencuri senjata 

maut milikku. Namun setelah aku selidiki, ternya-

ta yang mencurinya tidaklah lain Taka Nata 

adanya."

Semua yang mendengarkan seketika makin 

memaku diam. Hati kelima murid Naga Merah 

benar-benar tersengat penuh kemarahan. Bagai-

mana pun, hati mereka tidaklah mau menerima 

bila guru mereka harus saling baku hantam den-

gan Paman Gurunya.

"Betul-betul keji!" Murid pertama berkomen-

tar.

"Memang! Dia tidaklah lain seorang Ninja Ib-

lis! Dia curi senjataku, lalu dengan kejinya yang 

dengan maksud hendak memfitnah diriku senjata 

itu digunakannya untuk membunuh keluarga 

saudara-saudara seperguruanku. Taka Nata men-

gira bahwa tindakannya akan menguntungkan 

bagi dirinya. Setelah berhasil memperdayai kedua 

saudaraku, dengan berpura-pura ia bermaksud 

mengajak kami memberontak. Rupanya dia tidak 

sadar bahwa aku telah mengetahui hal sebenar-

nya."

"Braaakkk...!"

Keenam orang yang berada di situ tersentak 

dan bangkit dari duduknya mana kala mendengar


suara pintu rumah dibongkar dengan paksa dari 

luar. Pintu yang terbuat dari Jati itu, seketika be-

rantakan hancur terhantam oleh sebuah pukulan. 

Belum juga keenam hilang dari kaget, sesosok tu-

buh dengan pakaian serba putih perak dengan 

Samurai menggantung di pundaknya bergagang 

Tengkorak. Itulah Samurai Iblis, Samurai yang 

hanya dimiliki oleh Taka Nata saja.

"Taka Nata...!" Keenamnya memekik terta-

han setelah tahu siapa adanya orang yang datang.

Taka Nata tiada kata, kakinya melangkah 

ringan ke arah mereka. Matanya nampak liar 

memandang pada Naga Biru. Setelah jarak mere-

ka dekat, dari bibir Taka Nata terdengar suara 

mendesis berkata: "Naga Biru, hari ini juga akhir 

dari hidupmu. Karena bila kau tidak aku akhiri, 

maka rahasia siapa adanya aku akan terbuka!"

"Hem, jangan hanya bisanya lempar batu 

sembunyi tangan, Taka Nata! Kalau kau memang 

seorang lelaki, hadapilah aku!" Naga Biru tak ka-

lah gertak. Tangannya nampak meraba Samurai 

yang tergantung di dinding di sampingnya, begitu 

juga dengan kelima murid Naga Merah yang turut 

menggeretak marah mana kala tahu siapa yang 

benar-benar melakukan segala tindakan keji, 

yang mengakibatkan kematian istri guru dan pa-

man guru mereka. Kelimanya kini juga telah me-

raba Samurai mereka.

"Sraaangng...!" Suara Samurai dicabut.

Taka Nata nampak masih tenang, sepertinya 

tiada artinya keenam orang guru dan kemenakan 

murid itu baginya. Bahkan dengan tenangnya Ta


ka Nata makin mendekati mereka. Keenam orang 

dihadapannya kini makin siap dengan Samu-

rainya. Dan mana kala Taka Nata makin mende-

kat.

"Hiiiiiaaaaaaaatttt...!" Naga Biru mendahului 

menyerang.

"Hiiiiiiaaaaattt...!" Diikuti oleh kelima murid 

Naga Merah.

"Wuuuuuttt! Wuuuutttt!"

Samurai di tangan keenamnya berkelebat 

membabat tubuh Taka Nata. Taka Nata lompat ke 

belakang, lalu dengan memandang tajam ke arah 

keenam orang itu Taka Nata cabut Samurainya.

"Sraaangg...!"

"Mari kita buktikan! Hiiiiaaattt..."

Taka Nata berkelebat dengan Samurai Iblis-

nya, menyerang ke arah keenam orang tersebut. 

Samurai Iblis berkelebat cepat, namun dengan 

cepat pula keenamnya balas menyerang.

"Wuuuuutttt...!"

"Wuuuuutttt...!"

"Traaaangg...!"

Terdengar suara bergemerang mana kala 

Samurai-samurai mereka bertemu dan saling be-

radu. Lima Samurai di tangan kelima murid Naga 

Merah puntung menjadi dua, tinggal Samurai 

yang berada di tangan Naga Biru saja yang masih 

utuh. Samurai di tangan Naga Biru nampak men-

geluarkan asap tatkala berbenturan dengan Sa-

murai Iblis di tangan Taka Nata. Dua orang mu-

suh bebuyutan itu dalam keadaan siap tempur. 

Mata keduanya saling pandang, tajam bagaikan


mata seekor Elang.

"Hiiiaaattt...!" Taka Nata tarik Samurainya, 

melompat mundur sesaat, lalu dengan cepat 

kembali menyerang ke arah Naga Biru.

Melihat Taka Nata menyerang, dengan cepat 

kelima murid Naga Merah yang ingin menunjuk-

kan baktinya kebaskan tangan. Maka dari tangan 

kelimanya berdesing lima buah senjata rahasia 

berbentuk bintang empat mengarah ke arah Taka 

Nata.

"Sriingg! Sringg...! Sriiiiinnnnggg...!"

Taka Nata yang hendak menyerang Naga Bi-

ru terkesiap, namun dengan cepat Taka Nata ke-

baskan Samurai Iblisnya memapaki serangan 

senjata rahasia tersebut.

"Wuuuuuttt...!"

"Trang! Trang! Trangggg...!"

Taka Nata yang hendak menyerang Naga Bi-

ru terkesiap, namun dengan cepat Taka Nata ke-

baskan Samurai Iblisnya memapaki serangan 

senjata rahasia tersebut.

"Wuuuttt...!"

"Trang! Trang! Trangggg...!"

Luluh lantak kelima senjata rahasia yang di-

lemparkan oleh kelima murid Naga Merah. Kelima 

senjata rahasia itu hancur terbabat oleh Samurai 

Iblis di tangan Taka Nata. Mata kelima murid Na-

ga Merah terkesiap. Dan belum kelimanya hilang 

kaget, tiba-tiba Taka Nata telah kembali berkele-

bat menyerang ke arah mereka.

Samurai Iblis di tangan Taka Nata kini men-

garah ke arah kelima murid Naga Merah. Taka


Nata kini benar-benar tidak menghendaki orang-

orang yang berada di situ mampu menghirup 

udara kehidupan lagi. Ditebaskannya Samurai Ib-

lis. "Wuuuttt...!"

Hampir saja Samurai Iblis di tangan Taka 

Nata mengakhiri nyawa kelimanya, kalau saja ke-

limanya tidak segera melompat mundur. Akan te-

tapi, dengan cepat Taka Nata kembali bergerak 

babatkan Samurai Iblisnya. Dan mana kala Sa-

murai Iblis hampir menjarah tubuh kelima murid 

Naga Merah, dengan cepat Naga Biru babatkan 

Samurainya menangkis.

"Wuuuttt...!"

"Traangg...!"

Dua Samurai itu saling berbenturan, me-

nempel dengan ketatnya. Kedua orang musuh be-

buyutan itu saling pandang, saling kerahkan te-

naga dalam yang tersalur di Samurai mereka. Hal 

itu berjalan cukup lama, menjadikan Samurai ke-

duanya kini nampak mengepulkan asap.

Mulanya asap itu hanya mengepul di Samu-

rai mereka, namun dikarenakan mereka terus 

menguras tenaga, sehingga tubuh mereka pun 

kini nampak mengeluarkan asap pertanda mereka 

benar-benar mengeluarkan tenaga dalam tingkat 

tinggi.

Keringat nampak bercucuran dari pelipis ke-

duanya. Demi melihat hal itu, maka dengan 

mengharap dapat menjatuhkan Taka Nata kelima 

murid Naga Merah segera bergerak menyerang.

"Jangaaan...!" Naga Biru mencoba mengha-

langi, namun terlambat. Kelima orang murid kemenakannya kini telah berkelebat menyerang ke 

arah Taka Nata.

"Hiiaaattt...!"

Rupanya hal tersebut yang ditunggu oleh 

Taka Nata. Mata Taka Nata melirik, membuat su-

dut memandang ke arah datangnya kelima murid 

Naga Merah. Dan mana kala kelima murid Naga 

Merah makin dekat, Taka Nata segera tarik Sa-

murainya.

"Wuuuttt...!"

Taka Nata kiblatkan Samurai ke arah da-

tangnya kelima murid Naga Merah yang tidak 

memperhitungkan bahwa Taka Nata akan mampu 

melakukan itu semua. Maka mana kala tubuh ke-

limanya makin dekat dengan tangan mereka siap 

menghantam diri mereka, Taka Nata kibaskan 

Samurai.

"Wuuut! Wuuuut! Wuuuuuttt...!"

"Aaaaaaa...!" Lima kali berturut-turut keli-

manya memekik, mana kala Samurai Iblis di tan-

gan Taka Nata menjerat tubuh mereka. Seketika 

perut kelima murid Naga Merah terkoyak, me-

muncratkan darah segar. Mata mereka melotot, 

kejang sesaat, lalu akhirnya ambruk satu persatu 

dengan lidah menjulur. Tubuh kelimanya seketika 

membiru. Kelimanya nampak seperti terkena ra-

cun yang sangat ganas.

"Racun Fuji Hitam...!" Naga Biru memekik, 

lalu dengan penuh kemarahan Naga Biru pun 

kembali berkelebat menyerang.

Melihat Naga Biru telah kembali berkelebat 

menyerang, Taka Nata yang masih mengkiblatkan


Samurainya kini berteriak sambil melompat me-

nyerang. Dua tubuh itu saling melompat bagaikan 

terbang dengan Samurai siap di tangan masing-

masing

"Kau harus mampus, Iblis!" gertak Naga Bi-

ru.

"Wuuuut...!"

Samurai Naga Biru berkelebat membabat, 

namun dengan cepat pula Taka Nata elakkan ba-

batan tersebut. Taka Nata lemparkan tubuh ke 

udara, kemudian dengan cepat Samurai Iblis pa-

paki serangan tersebut.

"Wuuuut...!"

"Wuuuutttt...!"

"Traaaaaaangg...!"

Kembali dua Samurai itu saling beradu, dan 

kembali keduanya menempel. Keduanya kini be-

nar-benar menguras tenaga yang mereka miliki 

untuk mampu menjatuhkan musuh. Keringat 

menetes di pelipis keduanya. Sementara mata ke-

duanya saling pandang, sepertinya mata kedua-

nya menyadap apa yang menjadi gerak gerik mu-

suh. Taka Nata nampak bergetar, hal itu menun-

jukkan bahwa tenaga yang dimilikinya masih be-

rada di bawah musuh.

"Bahaya kalau tidak aku selesaikan!" Mem-

batin Taka Nata. Otak Taka Nata bergerak cepat, 

mencari bagaimana untuk mampu menjatuhkan 

Naga Biru. Ternyata Naga Biru jauh lebih kuat di-

bandingkan dengan dua saudara seperguruannya 

yang lain. Dua tahun keduanya tidak saling ber-

temu, dan dua tahun ternyata cukup bagi Naga


Biru untuk mendalami ilmu kanuragan hingga 

kini benar-benar bukanlah tandingan bagi Taka 

Nata. "Aku harus mampu membunuhnya!"

Naga Biru tidak menyadari apa yang sebe-

narnya tengah dielakkan oleh Taka Nata. Merasa 

dirinya tidaklah ungkulan, Taka Nata dengan licik 

dan cepat kibaskan tangan yang telah merogoh 

sesuatu dari balik sabuknya. 

"Wuuuusss...!"

Naga Biru tersentak mana kala tahu apa 

yang dilakukan oleh Taka Nata. Dicobanya untuk 

menarik Samurai yang menempel, namun Taka 

Nata rupanya telah memperbesar tenaganya un-

tuk menempelkan Samurainya agar Samurai la-

wan tidak dapat difungsikan.

"Licik!" maki hati Naga Biru, wajahnya kini 

nampak tegang menandakan bahwa dia kini be-

nar-benar tengah menghadapi bahaya. Sementara 

lima larik benda yang ia kenal kini melesat ke 

arahnya dengan cepat. Benda-benda tersebut ti-

dak lain Bulu Landak Maut miliknya yang dicuri. 

Tanpa ampun lagi, memekiklah Naga Biru mana 

kala dengan telak Bulu-bulu Landak Maut terse-

but menyerbu ke arahnya.

"Aaaaaaa.....!"

"Jep, jep, jep!"

Naga Biru menggelepar-gelepar mana kala 

kelima Bulu Landak Maut itu menjarah tubuh-

nya. Satu di paha, satu lagi di perutnya, sementa-

ra yang tiga berada di mata dan pipinya. Naga Bi-

ru yang terkenal pemberani dan gagah itu tanpa 

ampun sekarat untuk beberapa saat se-belum


akhirnya ambruk dengan mulut mengeluarkan 

buih racun ganas. Saat itu juga Naga Biru pun 

nyawanya melayang, dan mati menyedihkan.

"Hua, ha, ha...! Akulah yang akan menguasai 

Tanah Jawa!" Taka Nata bergelak tawa. "Aku akan 

membunuh orang-orang yang hendak bermaksud 

menghalangiku! Akulah Taka Nata si Iblis Nippon, 

sekaligus Maha Raja yang kelak menguasai Tanah 

Jawa! Hua, ha, haaaa...!"

Dengan meninggalkan gelak tawa Taka Nata 

pun melesat pergi tinggalkan keenam sosok tubuh 

yang telah tanpa nyawa. Dengan penuh kepuasan 

Taka Nata berlalu pergi entah ke mana, tinggallah 

keadaan rumah Naga Biru yang porak poranda 

dan sunyi...!

***


EMPAT



Dua ekor kuda dengan penunggangnya yang 

mengenakan pakaian Pendekar dengan Samurai 

di pundak masing-masing nampak memacu me-

nuju ke rumah Naga Biru. Di wajah kedua orang 

penunggang kuda tersebut tergambar ketidakba-

hagiaan. Di wajah keduanya jelas terlintas rasa 

kurang percaya pada apa yang menjadi tuduhan 

dan terkaan mereka. Mungkin hati mereka sudah 

terikat oleh rasa kekeluargaan hingga keduanya 

nampak tidak tenang.

"Apakah kau tidak merasakan sesuatu, Naga


Kuning" tanya Naga Merah.

"Aku merasakan ketidak enakan, Kakak."

"Begitu juga aku. Hatiku tergetar hebat, sea-

kan ada sesuatu yang tidak beres," Naga Merah 

menjelaskan apa yang dirasakan di hatinya. 

"Ayo kita percepat!" 

"Hia, hia, hia...!"

Kuda mereka pacu dengan cepatnya, seakan 

keduanya ingin segera sampai di tempat yang di-

tuju. Tengah keduanya memacu kuda-kuda me-

reka. Tiba-tiba sebuah bayangan berlari berkele-

bat menuju arah berlawanan dengan mereka. Ke-

duanya sejenak tersentak, dan makin tidak enak 

saja perasaan keduanya setelah melihat siapa 

yang telah berpapasan dengan mereka.

"Taka Nata...?" desis Naga Merah.

Taka Nata tidak hiraukan keduanya, seakan 

ia tidak mengenal keduanya dan terus berlari. 

Kedua adik kakak seperguruan makin bertambah 

tidak tentram hatinya. Perasaan keduanya makin 

berkecamuk beberapa pertanyaan yang sukar di-

jawab. Maka dengan makin mempercepat lari ku-

danya, keduanya kini membawa segala tanda 

tanya yang bergayut di benak mereka menuju ja-

waban di rumah Naga Biru. Dan benar apa yang 

menjadi prasangka buruk keduanya, tampak ru-

mah Naga Biru berantakan, sepi bagaikan tiada 

berpenghuni

"Apa yang telah terjadi?" 

Belum habis segala pertanyaan Naga Kuning, 

dengan cepat Naga Merah berkelebat lompat dari 

kudanya ke rumah Naga Biru. Melihat hal tersebut Naga Kuning pun tidak mau ketinggalan, se-

gera Naga Kuning pun berkelebat mengikuti ka-

kak seperguruannya menuju rumah Naga Biru.

"Bajero! Taka Nata keparat...!" Naga Merah

memaki marah dengan melihat apa yang terjadi. 

Enam orang yang sungguh ia kenal kini nampak 

bergelimpangan dengan tanpa nyawa lagi. Dan 

yang lebih menyakitkan hatinya, adalah kematian 

Naga Biru oleh senjatanya sendiri yaitu Bulu 

Landak Maut. "Bulu Landak Maut!"

"Bajero! Taka Nata Iblis! Rupanya dia juga 

yang telah membunuh istri kita, Kakak."

Naga Merah tak mampu berkata apa-apa.

Kini mereka menyadari bahwa diri mereka 

benar-benar telah diperdayai oleh Taka Nata. Ke-

marahan keduanya kini benar-benar telah me-

muncak. Tangan kedua kakak beradik sepergu-

ruan itu kini mengepal, sepertinya ingin meng-

hancurkan Taka Nata yang telah diketahuinya 

berbuat segalanya.

"Taka Nata keparat! Dia harus memper-

tanggung jawabkan semua tindakannya" Mengge-

ram Naga Merah. "Ayo kita kejar, Adik!"

Dengan membawa kemarahan dan dendam 

kedua kakak beradik seperguruan tersebut kem-

bali pergi menggebah kuda-kuda mereka untuk 

memburu Taka Nata yang sudah diketahui adalah 

orang yang telah melakukan segalanya. Di hati 

mereka hanya satu pilihan, lebih baik mati atau 

menang!

* * *

Taka Nata terus berlari tanpa menengok ke 

belakang lagi. Perasaannya sebagai seorang Ninja 

sangat pekat. Ia merasa bahwa dirinya kini diikuti 

dan dikejar oleh dua Naga.

"Tentunya kedua Naga dungu itu akan men-

gejarku," kata Taka Nata masih terus berlari. 

Bahkan kini makin dipercepat saja larinya. Dan 

mana kala di hadapannya terhampar sebuah hu-

tan lebat Taka Nata segera melompat, masuk dan 

menghilang entah ke mana.

Sementara dua orang yang mengejarnya ma-

sih berusaha mencari jejak Taka Nata. Kedua 

orang tersebut masih mencoba mengejar dengan 

memacu kuda mereka cepat. Namun kemudian 

kedua Naga itu tersentak ketika tiba-tiba bayan-

gan Taka Nata hilang, dan tinggallah hutan yang 

terhampar di hadapan mereka.

"Ke mana Iblis tersebut?" Naga Merah ber-

tanya pada diri sendiri. "Aku yakin dia masih be-

rada di sekitar sini."

"Benar! Tadi aku melihat dia lari ke hutan 

ini, Kakak. Kita mesti berhati-hati."

Dua orang kakak beradik Naga itu melang-

kah dengan perlahan. Sementara itu di tangan 

keduanya telah siap Samurai-samurai yang se-

waktu-waktu mampu membuat musuh harus be-

rusaha mengelakannya atau dirinya tersayat-

sayat Samurai tersebut.

"Taka Nata, keluar kau...!" Naga Merah 

membentak, berseru memanggil nama Taka Nata. 

"Taka Nata, kalau kau tidak pengecut, keluarlah!"


Tidak ada jawaban, menjadikan keduanya 

geram.

"Bajero! Keluar kau, Bajero, Iblis!" Naga Kun-

ing yang juga marah turut berteriak. Namun tiada 

jawaban, dan hanya gema suara mereka saja yang 

terdengar menggaung di antara pepohonan pinus 

yang nampak memutih tertutup salju. Makin saja 

kaki keduanya masuk ke dalam, makin sunyi 

keadaan hutan pinus yang tertimbun salju itu. 

Tekad di hati keduanya hanya satu, yang mampu 

menimbulkan keberanian yang melebihi kebera-

nian sebenarnya. Kaki keduanya melangkah agak 

berat, melangkah di atas hamparan tanah bersal-

ju yang dingin dan beku. Keduanya telah jauh 

meninggalkan kuda-kudanya yang keduanya 

tambat di luar hutan.

"Huh, ha, ha...! Kalian datang juga!" Terden-

gar suara gema yang dilontarkan dengan didasari 

tenaga dalam. "Bagaimana, apakah kalian mau 

menjadi sahabat-sahabatku?"

"Taka Nata, keluarlah!" Naga Merah berseru. 

"Ya! Keluarlah kalau kau tidak ingin dikatakan 

pengecut!" 

"Baik!"

Berbarengan dengan habisnya suara Taka 

Nata, tiba-tiba sebuah bayangan Putih Perak ber-

kelebat dengan Samurai Iblisnya menyerang ke-

duanya.

"Awas...!" Naga Merah berseru memperin-

gatkan Naga Kuning.

Keduanya melompat, lemparkan tubuh ke 

samping, lalu berbareng keduanya balik babatkan


pedang Samurai ke arah datangnya serangan.

"Wuuuuttt...!" Samurai Iblis membersit.

"Wuuuuttt...!"

"Wuuuuuttt...!"

Dua Samurai di tangan dua Naga itu juga 

berkelebat memapaki serangan. Kilatan putih sal-

ing bertemu, lalu...!

"Traang...!"

Tiga Samurai yang dialiri tenaga dalam kini 

saling beradu di udara. Kedua Naga itu kini nam-

pak menggeretak, sementara Taka Nata dengan 

wajah tegang yang nampak dari sorot matanya ju-

ga nampak mengeluarkan tenaga untuk mampu 

menahan serangan tenaga dalam keduanya. Mata 

ketiganya saling pandang, saling menjajagi kekua-

tan lawan.

"Hiiiaaaaattt...!" Taka Nata tarik Samurai Ib-

lisnya, lalu dengan cepat kebaskan Samurai ter-

sebut kembali menyerang kedua Naga. Dengan 

cepat dan tangkas kedua Naga itu pun elakan se-

rangan yang dilancarkan Taka Nata dengan masih 

waspada akan apa yang dilakukan Taka Nata. 

Tubuh Taka Nata yang memegang Samurai Iblis 

terus bergerak menyerang, sementara kedua Naga 

itu pun tidak mau mengalah begitu saja. Kedua-

nya kembali bergerak memapaki serangan-

serangan Taka Nata. Kini ketiganya bagaikan 

menghilang, dan hanya gulungan-gulungan Sa-

murai di tangan ketiganya saja yang nampak. Gu-

lungan sinar putih dan Perak saling bergulung 

untuk saling mampu mengalahkannya.

"Wuuuuttt...!" Taka Nata Kebaskan Samurai,


mencoba merangsek kedua Naga itu. Namun ke-

dua Naga tersebut bukanlah lawan yang enteng. 

Ketiganya, bahkan berempat dengan Naga Biru 

pernah saling bertempur mana kala keempatnya 

saling membela diri masing-masing. Tiga Naga 

Dari gunung Fuji adalah orang-orang yang men-

jadi buronan kerajaan, hal tersebut merupakan 

tugas bagi Taka Nata untuk menumpas ketiga 

Naga tersebut. Namun sejauh itu, mereka belum 

juga mampu untuk saling menjatuhkan. Akan te-

tapi, sekarang Taka Nata bergerak atas nama 

sendiri. Taka Nata tidak ingin dirinya tersaingi 

oleh pendekar lainnya. Dia ingin hanya dirinya 

sendiri yang terkenal sebagai seorang Pendekar 

Ninja.

Kedua Naga dari Fuji dengan cepat balik me-

nyerang, setelah terlebih dahulu mengelakkan se-

rangan Taka Nata. Samurai di tangan keduanya 

tidak kalah cepat membabat dan menangkis Sa-

murai Iblis di, tangan Taka Nata.

"Wuuuuttt...!"

"Wuuuuuttt...!"

"Traang...!"

Percikan api mencelat manakala ketiga Sa-

murai tersebut saling beradu. Ketiganya untuk 

sesaat tergetar, lalu dengan memekik ketiganya 

kembali berkelebat menyerang. Dua lawan satu 

itu terus berlangsung, masing-masing dengan 

kemampuan yang dimiliki oleh mereka masing-

masing. Mungkin kalau satu lawan satu Taka Na-

ta akan mampu dengan cepat menjatuhkan me-

reka, tetapi kini Taka Nata menghadapi dua orang


Naga sekaligus yang ilmunya boleh dikata sama 

dengan ilmu yang dimilikinya.

Tubuh Ketiganya melayang bagaikan ter-

bang, lalu kiblatkan Samurai ke arah lawan mas-

ing-masing. Dua Samurai di tangan Dua Naga itu 

kini terarah ke arah Taka Nata. Ujung Samurai 

itu kini bagaikan dua Malaikat yang siap menca-

but nyawa Taka Nata. Gerakan Samurai di tangan 

dua Naga itu begitu cepat, hampir sukar bagi Ta-

ka Nata untuk mampu menghindari. Namun Taka 

Nata bukanlah orang Ninja sembarangan. Meng-

hadapi tekanan serangan begitu cepat tidak men-

jadikan dirinya terperangkap oleh ketakutan, na-

mun dengan tenangnya Taka Nata kibaskan tan-

gan. "Wuuuuttt...!"

Lima larik sinar hitam meleset, menjadikan 

kedua Naga itu terperanjat. Kedua naga itu segera 

tarik kembali serangan, lalu kibaskan Samurai ke 

arah benda-benda yang melesat ke arah mereka.

"Licik!" Keduanya membentak.

"Wuuuuttt...!" 

"Trang! Trang..! Trang...!"

Lima kali Samurai mereka menyampok lima 

benda-benda yang beterbangan yang mereka tahu 

adalah sebuah senjata rahasia milik salah seo-

rang dari Tiga Naga, itulah Bulu Landak Maut mi-

lik Naga Biru yang akhirnya mati oleh senjatanya 

sendiri. Bulu-bulu Landak itu runtuh berserakan 

terbabat Samurai di tangan kedua Naga, yang 

mematahkan Bulu-bulu Landak Maut. Namun be-

lum juga keduanya beristirahat melepaskan rasa 

kaget, dengan cepat Taka Nata kembali menye


rang dengan Bulu-Bulu Landak kembali. Kali ini 

jumlah bulu-bulu tersebut bertambah menjadi 

dua kali lipat. "Wuuuusss...!"

"Awas Adik...!" Naga Merah sadarkan Naga 

Kuning.

"Bangsat! Licik!" Naga Kuning memaki, lalu 

mencoba kibaskan Samurainya. Namun gerakan-

nya terhambat, sebab tenaganya nampak telah 

terkuras habis. Tiga bulu landak dapat terbabat, 

sedangkan dua lainnya kini melesat deras ke 

arahnya, dan tidak dapat Naga Kuning mengela-

kannya. "Aaahhh...!" Naga Kuning memekik, tu-

buhnya sempoyongan. Pahanya kini tertancap 

dua buah Bulu Landak Maut yang dilancarkan 

Taka Nata.

Naga Merah yang sudah dapat mengatasi se-

rangan Bulu Landak itu dengan cepat berkelebat 

menyampak tubuh Naga Kuning, lalu dengan se-

gera Naga Merah bawa lari tubuh Naga Kuning 

dengan meninggalkan ancaman dan makian ter-

hadap Taka Nata, "Taka Nata, kini kami mengakui 

kekalahan. Namun kelak kami akan kembali me-

nuntut balas atas sengaja tindakanmu!"

"Aku tunggu!" Balas Taka Nata, dan dengan 

bergelak tawa meremehkan ucapan Naga Merah, 

Taka Nata pun berkelebat meninggalkan hutan 

tersebut. Dengan tinggalkan gelak tawa Taka Nata 

bagaikan gila saja, setiap jejakan kakinya menja-

dikan salju yang menghampar di atas bumi lumer 

berubah menjadi air.


LIMA


Jaka Ndableg yang telah mampu menghan-

curkan para Ninja yang berada di Tanah Jawa, 

kini nampak berjalan seorang diri. Seperti bi-

asanya, Jaka Ndableg saat itu juga tengah mela-

kukan perjalanan berkelana menegakkan kebena-

ran dan keadilan di muka bumi ini.

Jaka Ndableg berjalan dengan santainya, 

seakan ia ingin benar-benar menghayati makna 

kehidupan ini. Kadang kala ia bernyanyi-nyanyi 

menghibur diri atau duduk-duduk di atas sebuah 

pohon yang tumbang. Tengah dirinya duduk-

duduk melepas lelah, tiba-tiba ia dikejutkan oleh 

suara berdesingnya puluhan senjata rahasia.

"Hiiiaaaattt...!" Jaka lompat, balikkan tubuh 

menghadap ke arah datangnya suara tersebut. 

"Orang-orang pengecut! Keluar kalian dari per-

sembunyian kalian!" makinya, lalu dengan cepat 

cabut Pedang Siluman Darah dari sarungnya, dan 

disabutkannya ke arah Bintang-Bintang Maut 

tersebut.

"Wuuuuttt...!"

"Trang! Trang! Trang...!"

Sekali Pedang Siluman Darah bergerak, se-

kali itu pula runtuhlah Bintang-Bintang Maut ter-

sebut. Bintang-Bintang Maut itu terbelah menjadi 

dua dan berjatuhan di atas tanah.

"Swing! Swing! Swwing...!"

"Monyet! Keluar kalian!" Jaka Ndableg me-

maki-maki marah karena kembali Bintang


Bintang Maut tersebut menyerang ke arahnya, 

dan kali ini jumlahnya makin bertambah banyak 

saja. "Jangan kira aku tidak akan menghukum 

kalian, Monyet!"

"Wuuuuttt...!" Pedang Siluman Darah berke-

lebat, membabat ke arah datangnya suara desin-

gan senjata rahasia yang kini mengarah ke arah-

nya.

"Trang...!"

Kembali puluhan senjata rahasia itu beran-

takan jatuh. terbabat Pedang Siluman Darah. 

Senjata-senjata rahasia itu luluh lantak menjadi 

dua.

"Keluarlah kalian, Kunyuk-kunyuk Nippon!" 

Jaka kembali membentak. "Kalian adalah orang-

orang Ninja, tentunya kalian memiliki keberanian 

bukan sebagai seorang Pengecut! "

"Hiiiaaaaaatttttt...!"

Bersamaan dengan habisnya suara Jaka 

Ndableg, dari dalam tanah dan juga pepohonan 

berkelebat puluhan orang berpakaian serba hitam 

mengarah dengan Samurai siap di tangan ke arah 

Jaka Ndableg. Jaka yang sudah mengetahui siapa 

diri mereka, dengan cepat kibaskan Pedang Silu-

man Darah memapaki mereka.

"Hiiiaaattt...!"

"Wuuuutttt...!"

Jaka babatkan Pedang Siluman Darah ke 

arah mereka. Rupanya para Ninja itu sudah tahu 

kehebatan Pedang Siluman Darah yang berwarna 

kuning kemerahan di tangan Jaka Ndableg, maka 

mereka pun urungkan niat menyerang, cabut se


rangan.

"Pedang Siluman Darah! Awaas...!" Seorang 

yang ternyata ketuanya berseru memperingatkan. 

"Hati-hati dengan pedang itu!" Ia berkata dalam 

bahasa Jepang, yang tidak dimengerti oleh Jaka 

Ndableg.

Jaka tidak hiraukan seruan pimpinan Ninja 

tersebut, kembali Jaka berkelebat menyerang. 

Namun ternyata para Ninja itu sudah dilatih se-

demikian pula, sehingga serangan Jaka tiada arti 

sama sekali. Setiap Pedang Siluman Darah diba-

batkan, setiap itu pula Ninja-ninja yang diserang 

menghilang dengan mendahului serangan Pedang 

Siluman Darah.

"Kunyuk!" Jaka memaki-maki sendiri, dan 

mana kala Ninja-ninja itu muncul, segera Jaka 

pun kembali serang mereka. Namun seperti se-

mula, Ninja-ninja tersebut bagaikan telah tahu. 

Mereka menghilang dengan didahului ledakan.

"Swiiingg..!"

"Swiiiiittt...!"

Suara pimpinan Ninja menggema, berbaren-

gan dengan suara suitan yang nyaring dan desin-

gan senjata-senjata rahasia. Habis suitan terse-

but, tiga orang berbadan besar tiba-tiba muncul 

dan menghadang langkah Jaka Ndableg yang me-

nyurut mundur.

"Siapa kalian?" tanya Jaka dengan mata 

memandang tiada kedip ke arah ketiganya. "Apa-

kah kalian diperintahkan oleh Ninja-ninja terse-

but menghadapi aku?"

"Hua, ha, ha...! Lagakmu terlalu tinggi."

Orang besar pertama yang berkalung ular berka-

ta, langkahnya makin mendekati Jaka Ndableg 

yang masih menggenggam Pedang Siluman Darah 

di tangannya.

"Ki Sanak! Aku bertanya, dan semestinya ka-

lian menjawab," Jaka nampak tidak sabar melihat 

ketiga orang yang bertampang bengis tidak bersa-

habat tersebut. "Kalau kalian benar menjadi Anj-

ing Ninja, tentunya kalian tidak lebih seorang 

penjilat yang hendak merongrong negeri sendiri!"

"Hem, rupanya kau ingin menjadi Pahlawan, 

Anak muda," Yang berkata orang kedua, bermata 

sipit, dengan hidung mancung betet, serta rambut 

panjang terurai. Di lehernya terkalung sama, see-

kor ular yang sebesar tangan. Ular itu menjulur-

julur, seakan ingin memangsa Jaka Ndableg yang 

berada di hadapannya. "Kalau memang kami di-

perintah oleh mereka karena kami dibayar, kau 

mau apa, hah!"

"Huh! Jangan kira kalian akan mampu men-

jadi anjing-anjing penjajah Nippon, Iblis!" Jaka 

nampak sudah tidak sabaran melihat mereka 

yang diketahui adalah penjilat-penjilat musuh. 

Hanya karena uang yang tidak seberapa mereka 

harus mengorbankan negeri sendiri, sungguh 

perbuatan yang patut mendapat hukuman mati 

bagi mereka. "Kalian tidak lebih sebagai manusia-

manusia tak mengerti rasa kepatriotan! Kalian 

demi uang rela mengorbankan negeri sendiri! Ra-

kyat macam apa, kalian ini!"

"Anak Sundel! Itu urusan kami!" bentak 

orang pertama.


Memang itu urusan kalian, tapi aku tak 

akan membiarkan penjilat-penjilat penjajah mera-

ja lela di muka bumi tanah Jawa ini! Aku akan 

berusaha menghalangi langkah kalian, meski 

nyawaku sebagai taruhannya!"

Tertawa bergelak-gelak ketiga orang tinggi 

besar itu mendengar ucapan Jaka Ndableg. Salah 

seorang dari ketiganya, maju ke muka, lalu den-

gan cepat tangannya bergerak. 

"Wuuuttt...!" 

"Trap!"

Tangan orang tersebut mencepit tubuh Jaka 

Ndableg, menjadikan Jaka kini bagaikan segeng-

gaman orang tersebut. Tangan kekar itu terus 

mengeras, sepertinya hendak menghancurkan 

dan meremukkan tubuh Jaka Ndableg.

"Mampus, Pahlawan kesiangan!" bentak 

orang tersebut.

Jaka masih berusaha tenang, perlahan dis-

alurkannya tenaga murni ke segenap tubuh. Ha-

wa murni yang mengandung kekuatan dahsyat, 

menjadikan orang tersebut seketika memekik.

"Ah...!"

Orang itu berusaha melepaskan tangannya 

yang terasa panas menyengat, namun usahanya 

sia-sia. Ternyata Jaka telah menyedot tubuh 

orang tersebut hingga tangannya kini lengket 

dengan tubuhnya tanpa dapat ditarik kembali. 

Orang itu benar-benar panik. Sebab ia tidak me-

nyangka kalau anak semuda Jaka Ndableg telah 

mampu memiliki ilmu langka seperti itu. Semen-

tara dua orang lainnya juga tidak kalah kagetnya


melihat hal tersebut. Mata kedua orang tersebut 

membeliak, dan dari mulut mereka kini memekik 

sebutkan ajian yang dilancarkan Jaka Ndableg.

"Dewa Api...!"

"Hai! Apa hubunganmu dengan Paksi Anom, 

Anak Edan!" bentak salah seorang dari keduanya 

yang ternyata tahu siapa pemilik ilmu aneh yang 

bergelar Dewa Api.

Jaka tersenyum, sementara orang yang me-

lekat di tubuhnya masih berusaha melepaskan 

tangannya yang masih melekat. Namun usahanya 

menemui kesia-siaan. Setiap kali tangannya dita-

rik, setiap kali itu juga sedotan Jaka Ndableg ma-

kin menjadi-jadi. Sedangkan Jaka Ndableg seakan 

tiada merasa apa-apa, bahkan kini ia tertawa ber-

gelak-gelak seperti orang gila.

"Aku Jaka Ndableg! Aku cucu Paksi Anom!" 

jawab Jaka, menjadikan kedua orang itu membe-

liakkan mata makin lebar, tidak menyangka kalau 

mereka harus menghadapi seorang Pendekar yang 

namanya kini tengah menjadi buah bibir di dunia

persilatan.

"Kau Pendekar Pedang Siluman Darah?" 

tanya orang kedua, masih dengan mata membe-

liak kaget.

"Tidakkah kau lihat apa yang kini aku geng-

gam?!"

Mata keduanya seketika tertuju pada pedang 

yang kini tergenggam di tangan Jaka Ndableg. 

Maka manakala mereka melihat pedang tersebut, 

seketika mulut mereka menganga. Benar, pedang 

itu adalah Pedang Siluman Darah yang kini tengah menggegerkan dunia persilatan. Makin bergi-

dig saja keduanya setelah tahu bahwa pedang di 

tangan Jaka Ndableg benar-benar Pedang Silu-

man Darah. Namun untuk lari, jelas mereka tidak 

ingin rekannya yang kini masih melekat di tubuh 

Jaka mati lemas. Salah satu jalan, mereka harus 

mengadu jiwa. Namun bila hal itu mereka laku-

kan, tentunya mereka hanya menjadi bulan-

bulanan Pendekar muda tersebut.

Pikiran keduanya bergolak, antara merasa 

dirinya tidak ungkulan dengan rasa setia kawa-

nan mereka. Kini tampak oleh keduanya teman 

mereka makin lama makin melemas. Tenaga 

orang yang melekat di tubuh Jaka kini benar-

benar habis, akhirnya orang itu hanya diam, tan-

pa mampu lagi berbuat apa-apa lagi. Tubuhnya 

nampak membara, merah bagaikan terbakar oleh 

Inti Api yang dilancarkan oleh Jaka Ndableg.

"Bahaya! Sungguh bahaya kalau kita biar-

kan!" Orang pertama berseru kaget melihat apa 

yang terjadi dengan temannya yang kini tubuhnya 

berwarna merah membara. "Kita bantu...!"

Orang kedua hanya mampu terbengong, 

seakan ia benar-benar hilang nyalinya untuk 

menghadapi Pendekar kita ini. Ia merasa tidak 

bakalan ungkulan, namun untuk lari, jelas ia ti-

dak ingin dikata pengecut oleh temannya. Maka 

hanya satu jalan bagi mereka, nekad menyerang 

Jaka Ndableg. 

"Hiiaaaattt...!"

Tubuh keduanya kini berkelebat ke arah Ja-

ka, sementara di tangan keduanya tergenggam


sosok-sosok bersisik panjang. Ular itu mendesis-

desis, sepertinya ular itu hendak memangsa Jaka 

Ndableg. Namun Pendekar muda ini, seakan tidak 

bergeming sedikit pun untuk mengelakkan seran-

gan ular berbisa di tangan kedua musuhnya. Ja-

ka Ndableg bagaikan membiarkan tubuhnya men-

jadi sasaran patukkan ular-ular tersebut. Na-

mun...!

"Sssssttt...!" Ular-ular itu mendesis, bergerak 

liar manakala mencium bau manusia. Mulut ular-

ular itu membuka, menunjukkan gigi-giginya 

yang runcing. Lidahnya yang bercabang menjulur, 

seakan-akan kedua ular itu berselera tinggi hen-

dak mendapatkan mangsa yang empuk.

Jaka Ndableg masih tenang, hanya Inti Api 

terus menjalar memenuhi aliran darahnya. Tubuh 

Jaka kini benar-benar membara, sehingga hawa 

panas makin menjadi-jadi menyengat orang yang 

menempel di tubuhnya. Tatkala ular-ular berbisa 

itu makin mendekat, segera Jaka gunakan Mata 

Malaikatnya menghantam ular-ular tersebut. Ti-

dak ayal lagi, ular-ular tersebut seketika berbalik 

menyerang tuannya. Ternyata Mata Malaikat yang 

dilancarkan Jaka, mampu menjinakkan ular-ular 

tersebut untuk menyerang kedua orang yang me-

nyerangnya. Dan hasilnya, kini ular-ular tersebut 

berbalik menyerang tuannya. "Ssssttt...!"

"Ah! Ilmu setan!" maki keduanya sembari ki-

baskan tangan membuang ular-ular yang menggi-

la hendak menyerangnya. Ular-ular tersebut jatuh 

bergedebukan di tanah. Namun ular-ular tersebut 

bagaikan tak mau membiarkan mangsanya begitu


saja, ular-ular tersebut kini mendesis kembali 

dengan kepala mendongak berjalan mendekati 

kedua bekas tuannya.

"Ular Edan, Hiaaattt...!"

Keduanya hantamkan pukulan ke arah ular-

ular tersebut.

"Duar..!"

"Sssttt...!"

Ular-ular tersebut hanya mampu mendesis 

lemah, sebelum akhirnya terkulai lemas dan mati 

dengan tubuh hancur tertetel-tetel.

"Hua, ha, ha...! Kalian benar-benar orang ja-

hat! Dengan ular yang pernah berjasa pada ka-

lian, kalian tega membinasakannya. Apa lagi den-

gan sesama manusia! Huh, tak ubahnya kalian 

hanyalah Iblis-iblis yang tiada berperikemanu-

siaan!" ejek Jaka. Sedangkan orang yang melekat 

di tubuhnya kini telah terkulai tanpa tenaga. Dari 

telapak tangan hingga ke bahu nampak melepuh, 

seakan terbakar oleh api.

Dan memang orang tersebut benar-benar 

terbakar oleh Inti Api yang dilancarkan Jaka 

Ndableg.

"Hiiiiaaattt...!"

Jaka berteriak, dorong tubuh orang tersebut 

hingga orang itu mencelat ke belakang beberapa 

tombak. Tubuh orang itu kini benar-benar meng-

hitam, hangus terbakar. Pakaian yang dikena-

kannya koyak-koyak, compang camping terbakar. 

Yang lebih menyedihkan, keadaan muka orang 

tersebut. Mukanya amburadul, melepuh daging-

nya karena hawa panas yang teramat sangat.


"Iblis! Aku akan mengadu nyawa denganmu, 

Anak Muda!" maki orang pertama marah melihat 

rekannya yang mati naas.

"Heh, apakah kau tidak salah ngomong?" 

Jaka membalik ucapan orang tersebut. "Kalianlah 

yang Iblis, sehingga demi nafsu kalian tega mem-

buat orang-orang kalian sendiri menderita!"

"Bangsat!"

Kedua orang itu kini benar-benar dilanda 

amarah, berkelebat menyerang Jaka Ndableg den-

gan senjata di tangan mereka yang berupa Pecut. 

Itulah Pecut Waringin Pitu, sebuah pecut yang 

mampu meleburkan Gunung Agung sekalipun.

"Bletar! Bletar...!"

Pecut Waringin Pitu menggema, manakala 

disalakkan oleh keduanya. Keduanya atau ketiga 

orang berbadan besar tersebut merupakan Tiga 

Serangkai Warok dari Ponorogo. Warok Pertama 

bernama Warok Gemuling, kedua bernama Gem-

poleng, sedangkan yang ketiga atau yang telah 

mati bernama Genjeli. Tiga Warok itu memiliki il-

mu yang bukan sembarangan. Senjata mereka 

sama, yaitu Tri Cambuk Waringin Pitu. Cambuk 

Pertama bernama Cambuk Braja Geni, kedua 

bernama Braja Bayu, sedangkan yang ketiga ber-

nama Braja Mukti. Kini dari ketiga Cambuk Sakti 

tersebut, tinggal dua cambuk lagi yang tersisa. 

Kalau pemilik salah satu cambuk mati, maka 

cambuknya tidak dapat digunakan oleh yang 

lainnya, sebab ketiga Warok tersebut telah diajar-

kan masing-masing dengan cambuk yang mereka 

pegang. Kehebatan cambuk mereka, sama semua.


Semuanya merupakan senjata dahsyat yang san-

gat berbahaya.

Dua hawa Panas dan dingin berbaur mana 

kala dua cambuk di tangan Warok itu melecut. 

Hawa panas keluar dari Cambuk Braja Geni, se-

dangkan hawa dingin keluar dari Cambuk Braja 

Bayu yang mengeluarkan angin besar puting be-

liung.

Jaka Ndableg yang telah siaga, dengan cepat 

buang tubuhnya ke samping hindari serangan pe-

cut tersebut. Sebenarnya bila dipadukan ketiga 

cambuk itu sangat berbahaya. Ketiganya mampu 

menjadikan sebuah kekuatan yang maha dah-

syat. Namun walaupun hanya dua cambuk, ke-

duanya mampu membuat Jaka Ndableg harus 

berlompatan ke sana ke mari menghindar.

"Bletar...! Bletar...!"

Kembali dua cambuk sakti itu menggelegar, 

keluarkan hawa yang berlawanan. Satu berhawa 

panas, sedangkan yang lainnya berhawa dingin 

membekukan. Dua hawa tersebut mampu me-

nyentakkan Pendekar kita Jaka Ndableg. Ia baru 

menghadapi dan merasakan hawa yang begitu 

menggetarkan. Hawa panas mungkin dapat dia 

atasi dengan mudah, sebab dirinya mampu men-

geluarkan hawa yang lebih panas. Tetapi hawa 

dingin membekukan, rasa-rasanya sukar untuk 

ditangkis dengan Inti Api-nya. Tubuh Jaka Ndab-

leg kini kelihatan agak menggigil oleh hawa dingin 

yang keluar dari Cambuk Braja Bayu.

"Oooohhh...! Hawa yang keluar dari cambuk 

itu mampu membuat tulang-tulangku lemas," Jaka Ndableg mengeluh, mencoba salurkan hawa 

murni, sedangkan tubuhnya kini melompat ke 

sana ke mari untuk menghindari pecutan Braja 

Geni dan Braja Bayu yang terus mencercanya. 

"Kalau begini terus menerus, sungguh celaka aku 

nantinya! Aku harus mampu mengatasi semua-

nya, dan hanya dengan pedang Siluman Darahlah 

akan mampu!"

Jaka Ndableg pasangkan Pedang Siluman 

Darah itu di hadapan mukanya, seakan siap un-

tuk menghadapi serangan kedua cambuk di tan-

gan dua Warok tersebut. Kini Pedang Siluman 

Darah nampak meneteskan darah merah, mem-

basahi batang pedang hingga pedang tersebut ba-

gaikan darah. Dan memang pedang itu kini men-

geluarkan darah, menjadikan mata kedua Warok 

tersebut membeliak. Namun kedua Warok yang 

merasa bahwa Pecut Sakti Tri Waringin mampu 

mengalahkan Jaka Ndableg tidak merasa gentar. 

Kembali kedua Warok tersebut berkelebat.

"Hiiiaaattt...!"

"Suiiiittt...!"

"Bletar! Bletar!"

Bersamaan dengan pecahnya suara ledakan 

yang keluar dari dua pecut itu, dari dalam tanah 

dan atas pohon berkelebatan Ninja-ninja yang se-

gera menyerang Jaka Ndableg.

"Wuuuuttt...! "

"Wuuuuttt...!"

Samurai-samurai yang berada di tangan pa-

ra Ninja berkelebat membabat ke arah Jaka, se-

dangkan Pecut Sakti Braja Geni dan Braja Bayu


turut membantu serangan. Jaka kini benar-benar 

dikeroyok layaknya Sadam Husein dan Pasukan 

Multi Nasional yang kini tengah bertarung. Jaka 

kini dengan Pedang Siluman Darah yang telah 

siap di tangan papaki serangan para Ninja.

"Hiiiaaaattt...!"

"Wuut! Wuuut...!"

Pedang Siluman Darah kini bagaikan silu-

man hidup yang haus darah. Pedang tersebut 

berkelebat, memapaki serangan para Ninja yang 

menyerbu berbarengan. Ninja-ninja tersebut ba-

gaikan kalap, menyerang dengan membabi buta. 

Samurai-samurai tajam yang berkilat-kilat kini 

tiada mau membiarkan musuhnya. Samurai-

samurai itu kini bergerak liar, menusuk dan 

membabat ke arah tubuh Jaka. Begitu pula den-

gan kedua Warok tersebut. Kedua Warok itu tidak 

mau ketinggalan, pecutnya menggelegar-gelegar 

memekikkan telinga bagi yang mendengarnya.

"Bletar..! Bletar...!"

"Wuuuttt! Wuuuttt...!"

Dua senjata berlainan yang jumlahnya ba-

nyak terus mencerca Jaka Ndableg. Jaka Ndableg 

segera kibaskan Pedang Siluman Darah, papaki 

serangan mereka.

"Wuuuuttt...!"

"Prak! Prak! Prak...!"

Beruntun terdengar beradunya senjata Sa-

murai di tangan para Ninja dengan Pedang Silu-

man Darah di tangan Jaka Ndableg. Beruntun 

pula terdengar suara benda logam patah. Dan 

manakala Jaka melompat mundur kembali, nam


pak Samurai-samurai di tangan sepuluh orang 

Ninja yang tadi menyerangnya patah menjadi dua. 

Tinggallah gagang-gagangnya saja yang masih. 

Kalau saja Jaka mau, mungkin tangan mereka 

akan puntung.

"Aku sarankan, kalian minggatlah dari Ta-

nah Jawa ini sebelum para Pendekar Tanah Jawa 

mencincang tubuh kalian!" Jaka berkata mempe-

ringatkan pada para Ninja. "Aku tidak ingin ka-

lian hanya mati sia-sia di tanah Jawa ini!"

"Bajero! Apa hakmu. Anak muda!" balas 

membentak pimpinan Ninja tersebut. "Kau tidak 

ada hak mengusir kami!"

"Hem, ini adalah tanah tumpah darahku! 

Maka aku berhak mengusir kalian dari muka Ja-

wa Dwipa ini!" Jaka kembali memperingatkan me-

reka. "Kalau kalian tidak mau, jangan salahkan 

kalau aku bertindak telengas!"

Pimpinan Ninja itu tersenyum, matanya me-

mandang tajam pada Jaka Ndableg. Dan tangan-

nya perlahan bergerak, memberikan isyarat pada 

anak buahnya termasuk dua Warok itu menye-

rang.

"Hiiiiaaattt...!" Semua anak buahnya dan 

Dua Warok itu kembali menyerang.

"Kalian memang ingin mampus! Dan kau, 

Warok-warok murtad! Kalian akan mendapat hu-

kumannya, Hiiiiaaattt...!" Jaka Ndableg kini be-

nar-benar marah, merasa peringatannya tidak di-

gubris oleh orang-orang Nippon tersebut.

"Blelar! Bletar...!" Suara cambuk Dua Warok 

menggelegar


"Wuuuttt...!" 

"Swiiingg...!"

Senjata-senjata Rahasia yang dimiliki oleh 

Ninja-ninja tersebut mendesing menyerang ke 

arah Jaka berbarengan dengan serangan Samurai 

di tangan Ninja-ninja lainnya yang kini bergerak 

ke arah Jaka Ndableg.

Jaka Ndableg melompat ke muka, lalu den-

gan cepat kibaskan Pedang Siluman Darah ke 

arah datangnya senjata-senjata rahasia yang ber-

bentuk bintang tersebut.

"Traangg...!"

Senjata-senjata rahasia itu mental, sebagian 

runtuh terbelah menjadi dua dan berjatuhan ke 

tanah terbabat Pedang Siluman Darah yang diba-

batkan oleh Jaka Ndableg. Namun belum juga 

Jaka selesai menyapu senjata-senjata rahasia ter-

sebut, serangan kembali datang menerpa ke 

arahnya. Dua puluh lima Ninja dan dua orang 

Warok itu berkelebat dengan senjata-senjata me-

reka menyerangnya. Jaka lemparkan tubuh me-

lenting ke udara, hindari serangan mereka.

"Bahaya kalau aku biarkan berlarut-larut!" 

keluh Jaka dalam hati.

Belum juga Jaka hilang kagetnya, orang-

orang yang menyerang telah kembali berkelebat 

menyerang. Murka Jaka benar-benar dibuatnya. 

Tanpa dapat dicegah lagi Jaka rapalkan ajian 

yang diperoleh dari kitab milik kakeknya Banyu 

Geni. Ajian yang kini tengah dirapalkannya tidak 

lain ajian intinya, yaitu Dewa Api.

"Oooaaaaaarrrr...!" Jaka menggeretak marah,


dan dari tubuhnya kini keluar api yang menyala-

nyala. Kini Jaka benar-benar menjadi Dewa Api 

yang ganas. Dengan marah Dewa Api yang masih 

menggenggam Pedang Siluman Darah maju me-

mapaki serangan mereka.

"Dewa Api...!" Dua Warok memekik tertahan.

"Dewa Agni...!" Para Ninja juga nampak ter-

sentak kaget, surut ke belakang. Namun Dewa 

Api kini benar-benar murka, dari matanya me-

mancar api, itulah Sinar Mata Malaikat.

"Wuuuusssss...!"

"Duar!"

"Aaaaaaaa...!"

Satu persatu Ninja memekik, tubuhnya ter-

bakar oleh api yang dilancarkan dari mata Dewa 

Geni. Api membakar mereka, sesaat mereka men-

gejang, lalu ambruk dengan tubuh hangus. Dua 

Warok dan sisa Ninja itu kini membelalakkan ma-

ta.

"Munduuurrr...!" Warok Gemuling berseru 

memerintahkan pada semuanya agar mundur. 

"Percuma kita melawan! Dia benar-benar telah 

menjadi Dewa Geni!"

Tanpa menunggu perintah untuk yang kedua 

kalinya, para Ninja dan kedua Warok itu serabu-

tan meninggalkan tempat tersebut. Dewa Geni 

kembali ke bentuk asalnya, lalu dengan segera 

mengejar mereka yang telah jauh meninggalkan 

tempat tersebut.



ENAM



Kembali Di Negara Nippon...

Taka Nata yang berambisi untuk menjadikan 

dirinya penguasa di Tanah Jawa, kini kembali 

membuat petaka di dunia persilatan dan juga 

menteror kerajaan. Dengan kemampuannya 

menghimpun para pemberontak Taka Nata ber-

maksud melakukan pemberontakan dengan tu-

juan memaksa kaisar meluluskan permintaannya 

untuk menjadi seorang raja di Tanah Jawa.

Saat itu Taka Nata nampak berdiri dengan 

gagahnya di antara kerumunan orang-orang yang 

mendukung niatnya. Mereka tidak tahu apa yang 

akan mereka dapatkan dengan mendukung tin-

dakan Taka Nata. Kebanyakan mereka hanya ta-

hu bahwa diri mereka kelak akan dijadikan 

orang-orang yang senang dengan bergelimang 

harta benda dan wanita. Bukankah wanita-wanita 

Jawa kebanyakan cantik-cantik dan lembah lem-

but? Bayangan ingin dapat memperistri gadis Ta-

nah Jawalah yang menjadikan mereka memiliki 

semangat tinggi.

"Saudara-saudara, kalian apakah tidak ingin 

menjadi orang yang bermasa depan enak dengan 

bergelimpangan harta?" tanya Taka Nata membe-

rikan semangat dan janji-janji pada anak buah-

nya.

"Ingiiiinnn...!" jawab semuanya ketus. "Nah, 

kalau aku nanti menjadi raja di Tanah Jawa, ma-

ka kalian akan menjadi orang-orang yang mem-

punyai kedudukan. Kalian akan aku angkat seba-

gai prajurit-prajuritku! Bagaimana...?"


"Akkuuurrr,..!"

"Bagus!" Taka -Nata tersenyum senang. "Ka-

lian memang harus mempunyai semangat yang 

tinggi untuk menjadi orang-orang yang tidak se-

lamanya di bawah! Nah, mulai sekarang, kalian 

akan aku didik menjadi orang-orang persilatan. 

Kalian akan menjadi seorang Ninja sejati yang be-

rilmu tinggi."

Bagaimana pun, orang akan merasa senang 

bila diberi janji-janji yang indah. Seperti halnya 

mereka, mereka pun nampak berseri-seri men-

dengar penuturan Taka Nata. Mereka benar-benar 

hanya tahu bahwa diri mereka kelak akan menja-

di orang yang dihormati di Tanah Jawa, tidak se-

perti keadaan mereka sekarang. Keadaan mereka 

benar-benar merupakan keadaan yang menderita. 

Kebanyakan dari mereka hanyalah seorang tani 

yang tiada daya apa-apa untuk melakukan apa 

yang sebenarnya terserat di hati.

"Kapan kita akan ke Tanah Jawa?" Seorang 

di antara mereka yang masih muda dan berbadan 

besar bertanya.

"Kalau kita sudah menjadi sebuah kekuatan, 

kita akan memaksa Kaisar untuk memberikan 

bantuan pada kita," jawab Taka Nata.

"Bukankah dengan kita sendiri, kita akan 

mampu menjalankannya, Ketua...?" Yang lain 

menyambung bertanya.

Taka Nata tahu bahwa semua anak buahnya 

yang berhasil dihimpun yang jumlahnya menca-

pai seratus orang lebih, memiliki antusias yang 

tinggi. Mungkin dikarenakan mereka selalu dijejali oleh janji-janji Taka Nata yang muluk-muluk. 

"Hem, nampaknya usahaku akan berhasil," Taka 

Nata berkata dalam hati. "Kalau sudah begitu, 

aku tentunya akan berhasil menjalankan segala 

apa yang menjadi rencanaku."

"Kalian bersabarlah barang satu dua ming-

gu," Taka Nata akhirnya berkata. "Kita perlu per-

siapan yang masak, agar kita tidak mudah untuk 

dijatuhkan. Menurut yang aku dengar, Pendekar 

Tanah Jawa sangat sakti. Kita perlu menimba il-

mu!"

Semua yang ada di situ terdiam, sepertinya 

menurut akan apa yang dikatakan oleh Taka Nata 

selaku pimpinannya. Memang benar, apa yang di-

katakan Taka Nata. Begitulah ucapan penghibur 

diri di hati mereka. Mereka memang perlu me-

nimba ilmu, agar kelak mereka mampu mengatasi 

semuanya.

"Memang di Tanah Jawa telah menanti Ninja 

Hitam, yang kelak akan menyokong usaha kita. 

Namun sampai sekarang Ninja Hitam belum 

memberikan kabar lagi bagaimana keadaannya," 

Taka Nata melanjutkan berkata. 

"Kalau Ninja Hitam tidak mendapatkan hasil, 

apakah kita juga akan nekad? Tentunya tidak 

bukan...? Tapi akan lain dengan Ninja Hitam. Aku 

adalah Taka Nata, si Ninja Iblis, yang mampu 

mengatasi segalanya!"

"Hidup Ketua kita!"

"Hidup Ninja Iblis...!"

"Hidup Tuan Taka Nata...!"

Suara sanjungan menggema, bersamaan


dengan habisnya ucapan Taka Nata. Semua sea-

kan terhanyut oleh janji-janji yang dilontarkan 

oleh Taka Nata.

"Nah, untuk persiapannya, maka mulai kini 

kita akan selalu terikat oleh sebuah persatuan. 

Bagaimana kalau perserikatan kita, kita namakan 

Persatuan Samurai Iblis?! Seperti Samurai milik-

ku?"

"Akuuurrr...!" 

"Setujuuu...!" 

"Hidup Taka Nata...!" 

"Hidup Samurai Iblis...!" Riuh rendah suara 

mereka yang menyanjung Taka Nata, seakan Taka 

Nata adalah Dewa Penolong baginya untuk men-

gubah nasib yang selama ini mereka geluti. Hidup 

sebagai buruh tani memang sangatlah menderita. 

Tiada pernah mereka berbahagia seperti orang-

orang istana atau juragan-juragan mereka.

"Mulai sekarang, kalian aku percayakan un-

tuk mengumpulkan Dana! Peras juragan-juragan 

dan tuan tanah yang ada di Tanah Nippon ini!" 

Taka Nata kembali memerintah. "Bagaimana, 

apakah kalian sanggup?"

"Apakah kami akan mendapatkan perlindun-

gan?" tanya mereka ingin keyakinan.

"Jelas! Kalian adalah anak buahku, maka 

aku pun akan melindungi kalian! Bila ada tuan 

tanah atau juragan yang membangkang, maka 

akulah yang akan menyelesaikan mereka. Dan 

kalian ajaklah rekan-rekan kalian untuk berga-

bung bersama di Samurai Iblis yang akan membe-

rikan pada kalian kebahagiaan!"


"Hidup Samurai Iblis...!" 

"Hidup Ketua Taka Nata...!" 

"Hidup Dewa Pembela kaum lemah...!" Taka 

Nata tersenyum-senyum mendengar seruan yang 

dilontarkan oleh anak buahnya.

Kini Taka Nata menemukan dirinya bagaikan 

seorang raja yang agung. Raja diraja yang kelak 

akan mencatat sejarah di Nippon dan di Tanah 

Jawa. Dan bila semuanya berhasil, maka baru 

sekali itu orang dari golongan Ninja yang mampu 

menjadi raja atau kaisar di Tanah Jawa.

Setelah mengadakan rencana-rencana yang 

kemudian disetujui oleh anak buahnya, maka ha-

ri itu juga seluruh anak buah Samurai Iblis kem-

bali ke tempat masing-masing untuk melakukan 

apa yang telah direncanakan mereka. Sebuah 

rencana yang matang, rencana untuk mempenga-

ruhi dan memaksa pada tuan tanah serta sauda-

gar-saudagar untuk memberikan harta mereka 

sebagai bantuan dalam rangka niat mereka men-

gadakan ekspansi ke Tanah Jawa.

* * *

Kota Tokyo diguyur hujan salju malam itu, 

sehingga keadaan kota Tokyo bagaikan mati. Tak 

ada seorang pun yang berani keluar, hanya desa-

han angin yang menerbangkan salju-salju men-

gukir putih di pepohonan serta hamparan kota 

yang terang oleh lampu-lampu listrik.

Keheningan kota Tokyo, malam itu bukan 

menjadi hambatan untuk anak buah Taka Nata


beraksi. Sesuai dengan rencana, malam itu den-

gan menerobos hujan salju mereka berkelompok-

kelompok mendatangi para juragan dan tuan ta-

nah. Itulah gerilya ala mereka, gerilya ala petani 

yang menghendaki kebebasan dan keinginan yang 

tinggi agar mampu mengubah nasib mereka.

Sepuluh orang berkerudung hitam, berkele-

bat berlari-lari kecil membelah hujan salju menu-

ju ke sebuah rumah yang cukup besar. Dan bi-

asanya, rumah seperti itu adalah rumah milik 

seorang saudagar atau seorang tuan tanah, atau 

pun juragan. Enak kata, rumah seperti itu adalah 

rumah orang berada. Dan ke situlah mereka me-

nuju kaki mereka. Pedang sudah terselip di pun-

dak, dan mereka benar-benar mirip seorang pen-

dekar Ninja yang siap untuk melaksanakan apa 

yang menjadi tugas mereka.

Salah seorang yang berjalan di muka, segera 

mengetuk pintu rumah. 

"Tok, tok, tok!"

"Siapa...?" Terdengar suara seseorang berse-

ru.

"Saya juragan," Jawab orang bertopeng.

"Siapa engkau...?" Kembali terdengar suara 

orang bertanya.

"Bukalah pintu, nanti engkau akan tahu sia-

pa aku,"

Lama kesepuluh orang itu menanti untuk 

masuk, namun sepertinya pintu tidak mau dibu-

ka. Mungkin tuan rumah telah mengira siapa 

adanya orang yang datang. Hal tersebut menjadi-

kan kesepuluh orang yang berada di luar sewot.


Maka dengan kasar didobraknya pintu rumah 

tersebut dengan tendangan.

"Braaak...!"

Pintu rumah itu hancur berantakan, namun 

belum juga kesepuluh orang itu sadar, tiba-tiba 

sebuah bayangan berkelebat menyerang dengan 

Samurai siap memancang tubuh mereka. Melihat 

hal itu, segera kesepuluh orang utusan Taka Nata 

balas membabatkan Samurai yang sudah siap di 

tangan. Tidak ayal lagi, seorang kini harus berha-

dapan dengan sepuluh orang.

"Kau harus tunduk pada kami!" bentak 

orang yang tadi mendobrak pintu.

"Persetan dengan kalian, Hiaaattt...!"

"Wuuuuttt...!"

Samurai di tangan tuan rumah mendesing, 

mengarah ke arah kesepuluh orang yang baru da-

tang. Kesepuluh orang tersebut tersentak kaget, 

dan dengan cepat menghindar sembari balik me-

nyerang dengan Samurai mereka.

"Orang mencari mampus! Hiaaattt...!" 

Mendengar teriakan ketuanya, segera ke-

sembilan orang lainnya turut menyokong. Kini 

sepuluh orang bertopeng itu benar-benar hendak 

menghabisi nyawa orang tersebut. Tuan rumah 

yang berbadan gendut itu nampak berusaha 

mengelakan serangan kesepuluh orang tersebut. 

Walaupun tuan rumah sudah keteter, namun ke-

sepuluh orang yang sudah dididik oleh Taka Nata 

kini benar-benar bagaikan iblis yang tidak men-

genal kasihan. 

"Wuuutttt...! Wuuutttt...!"


"Papah...!" Terdengar jeritan dari dalam, dan 

tampak seorang gadis berlari keluar. Melihat seo-

rang gadis cantik keluar, nampak ketua dari ke-

sembilan orang itu berikan isyarat untuk anak 

buahnya yang terus mencerca tuan rumah. Se-

mentara dirinya sendiri kini berkelebat ke arah 

gadis tersebut berdiri.

"Kau mesti tenang, Anak Manis," ucap seo-

rang bertopeng, dan dengan cepatnya tangan 

orang bertopeng itu menyeret gadis cantik terse-

but ke dalam. Disekapnya gadis itu yang terus be-

rontak mencoba melawan.

"Tidaaaakkk...! Jangan ganggu aku!" Gadis 

itu berontak. Kakinya menjejak, tangannya terus 

memukuli tubuh orang yang menyeretnya. Na-

mun bagaikan tidak merasa sakit, lelaki berto-

peng itu terus menyeret sang gadis. "Bagero. Le-

paskan aku!"

"He, he, he...! Kau harus menurut, Nona."

"Cih! Lebih baik kau bunuh aku!" 

"Tidak, Nona! Kau harus melayani apa yang 

menjadi keinginan kami. Kau harus mau. He, he, 

he...!"

Tanpa hiraukan pemberontakan gadis terse-

but, segera lelaki tersebut menotok urat darah 

sang gadis. Seketika sang gadis terkulai lemah. 

Hal tersebut menjadikan senyum menyungging di 

bibir lelaki bercadar tersebut. Dan manakala mu-

lut gadis itu hendak menganga, lelaki bercadar 

tersebut memasukkan dua butir pil berwarna me-

rah ke dalam mulutnya. Sejenak gadis tersebut 

terkulai pingsan, hingga dengan gampangnya le


laki bercadar itu membopong tubuh gadis itu ke 

atas kasur yang ada di kamar tersebut.

Sementara itu di luar, nampak pertarungan 

masih terus berjalan. Nampaknya tuan rumah ti-

dak ingin mengalah begitu saja, dan berusaha te-

rus melawan. Dari dalam kamar lain seorang lela-

ki muda yang mungkin anaknya nampak men-

dengus demi melihat ayahnya dikeroyok oleh 

orang-orang berpakaian Ninja.

"Bajero! Kalian orang-orang bangsat! Kubu-

nuh kalian!" Pemuda itu cabut pedang yang ter-

gantung di dinding rumahnya, lalu dengan nekad 

dia mencelat membantu ayahnya. Belum juga tu-

buhnya sampai, seorang dari sembilan orang, ter-

sebut telah menghadangnya dengan tebasan Sa-

murainya.

"Wuuuttt...!"

Pemuda itu tersentak, melompat mundur. 

"Wuuuuttt...!" Kembali orang itu menyerang.

"Bajero! Anjing Ninja, Hiaat! Aku bunuh kau, 

Anjing!"

Kemarahan pemuda anak tuan rumah yang 

kini dikeroyok oleh delapan orang Ninja seperti 

membabi buta. Pedang di tangannya bergerak 

liar, nekad menghadang Samurai lawan.

"Wuuuttt...!"

"Wuuuutttt...!"

"Trang...!" Dua pedang itu saling bertemu.

"Prak!" Pedang di tangan anak juragan itu 

patah, menjadikan mata anak juragan tersebut 

membeliak kaget. Ia sesaat tertegun, sebelum ak-

hirnya melompat hindari serangan.


Melihat musuhnya mampu menghindar, 

orang berpakaian Ninja kembali babatkan pedang 

Samurainya ke arah sang pemuda. Tidak lagi pe-

muda juragan itu mampu menghindar, hingga 

akibatnya dapat diterka.

"Wuuuuttt...!"

"Breet…!"

"Aah...!" Pemuda itu memekik, melompat ke 

belakang. Dadanya kini tergores oleh Samurai la-

wan. Melihat dirinya terluka, dengan nekad pe-

muda tersebut kembali memekik dan menyerang 

dengan tangan kosong. "Aku bunuh kau, Bajero!"

"Wuuut...!"

Tangan dan kaki pemuda itu menghantam, 

namun sepertinya tiada arti sama sekali bagi 

orang berpakaian Ninja tersebut. Malah kini Sa-

murainya yang telah terbasah darah makin nam-

pak liar. Samurai itu kini berkelebat dengan ce-

pat, membabat ke arah perut sang pemuda

"Wuuuutt...!"

"Breet...!"

"Aaaaaah...!" Pemuda itu kembali memekik, 

namun hal tersebut tidak menjadikan orang ber-

pakaian Ninja itu hentikan aksinya. Malah seper-

tinya orang itu kalap. Kembali Samurainya berke-

lebat, dan kini mengarah ke punggung si pemuda 

yang terhuyung-huyung.

"Wuuuuttt...!"

"Crass...!"

"Krak!"

"Aaaahhh...!" Samurai di tangan orang ber-

pakaian Ninja membabat tulang belikat di pung


gung si pemuda, yang menjadikan pemuda terse-

but menjerit. Tulang tersebut patah, sedangkan si 

pemuda kini berguling-guling menahan sakit. 

Mungkin karena merasa dirinya tidak bakalan 

ungkulan, maka dengan mendengus si pemuda 

mengamuk dengan luka-luka tubuhnya. Hal ter-

sebut tidak menjadikan dirinya mampu, sebab

darah telah terkuras keluar, mengurangi kekua-

tan pertahanan tubuhnya. Tubuhnya mulai lim-

bung, matanya kini nampak berkunang-kunang.

"Wuuuttt...!" Samurai di tangan orang ber-

pakaian Ninja kembali berkelebat, membabat ke 

arah pemuda itu.

"Craaaaasss...!'

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaa...!" Pemuda itu menje-

rit panjang dengan tubuh berputar-putar sesaat 

sebelum akhirnya ambruk ke lantai. Samurai di 

tangan Ninja tersebut telah membabat putus tan-

gan kanannya. Darah muncrat membasahi lantai. 

Demi mendengar suara jeritan anaknya, hilanglah 

konsentrasi tuan tanah tersebut.

"Anaakku...!"

Kekagetan orang berbadan gemuk yang kaya 

tersebut tidak disia-siakan oleh kedelapan orang 

pengeroyoknya. Dengan cepat salah seorang dari 

mereka babatkan Samurainya.

"Wuuuttt...!"

Tersentak tuan rumah itu dan berusaha 

menghindar. Namun terlambat, datangnya Samu-

rai tersebut jauh lebih cepat dari gerakannya 

menghindar. Hingga...!

"Wuuuuuttt...!"


"Craas...!"

"Aaaaaaaa...!" lelaki setengah baya itu me-

mekik, pegangi perutnya yang terbeset oleh sabe-

tan Samurai lawannya. Bareng dengan keadaan 

ayahnya. Si gadis yang kini tengah dalam penga-

ruh obat serahkan segalanya pada orang bercadar 

yang kini mengangkangi dirinya. Dan manakala 

satu lesatan hebat mendera, terdengar suara pe-

kikkan kecil

"Ah..!" Gadis itu memekik pendek tatkala se-

suatu mendera dan menjadikan dirinya kini hi-

lang segalanya. Sebentar ia melenguh, kemudian 

terdengar keluhnya yang panjang. "Ooooohhh...!"

Melihat si gadis telah dapat dikangkangi, dan 

telah mendapatkan segalanya, orang bercadar 

Ninja itu kini kembali keluar. Sementara orang 

lainnya yang telah menyelesaikan anak lelaki pe-

milik rumah tersebut menyusul ke kamar.

Sementara di kamar perang tanding satu la-

wan satu, di luar kini pemilik rumah makin tam-

pak kewalahan. Samurai-samurai musuh men-

cerca dan hendak mencincang dirinya.

"Wuuuuuttt...!"

Sadis memang tindakan mereka. Samurai di 

tangan mereka bagaikan tidak mengenal ampun, 

membabat tubuh sebelah belakang lelaki seten-

gah baya gemuk tersebut.

"Breeeet...!"

"Aaaaaaa...!" Lelaki setengah baya tersebut 

memekik. Tubuhnya kini tergurat goresan-

goresan luka akibat tebasan-tebasan Samurai la-

wan. Tubuhnya limbung, terhuyung-huyung ke


belakang. Melihat itu, kembali kedelapan orang 

tersebut dengan kesetanan mencerca. Dan pun-

cak dari semuanya, manakala orang yang baru 

saja keluar dari kamar babatkan Samurai ke arah 

tubuhnya.

"Hiiaaaattt...!"

"Wuuuuttt...!"

"Craaasss...!"

"Aaaaaaaa...."

Puntung saat itu juga leher Orang tua seten-

gah baya, terbabat oleh Samurai di tangan pimpi-

nan kesembilan Ninja tersebut. Kesembilan Ninja 

itu kini nampak tertegun sesaat, saksikan tubuh 

pemilik rumah yang menggelepar-gelepar me-

nanggung sekarat. Tubuh pemilik rumah itu ke-

jang sesaat, lalu akhirnya tergolek dengan nyawa 

menghempas hilang.

Dengan matinya pemilik rumah, maka ke-

sembilan Ninja itu kini dengan mudahnya mengu-

ras harta benda milik tuan tanah kaya tersebut. 

Namun sebelum mereka pergi, dengan sadisnya 

mereka bergantian memperkosa anak tuan tanah 

tersebut. Sungguh malang, seorang gadis cantik 

harus menjadi korban kebiadaban orang-orang ti-

dak bertanggung jawab.

Setelah semuanya pergi, dan gadis itu me-

nyadari keberadaan dirinya, maka gadis itu pun 

kini menangis sejadi-jadinya. Gadis tersebut tidak 

mampu berbuat apa-apa, kecuali menangis dan 

menangis menyesali keadaannya. Dan bagaikan 

orang gila, gadis itu berlari menghambur pergi 

tinggalkan rumah. Batinnya tersiksa, apa lagi


tatkala melihat keberadaan ayah dan kakaknya 

yang mati dengan tubuh amburadul.

***


TUJUH



Gadis itu masih berlari dan berlari sambil 

menjerit-jerit dengan histeris. Kini dirinya bagai-

kan seorang gadis tanpa diurus. Pakaiannya am-

buradul, compang camping. Terkadang ia mela-

mun, lalu menangis sendiri.

"Ayah...! Hu, hu, hu...! Mereka jahat! Mereka 

telah memperkosaku! Aku akan membalas segala 

apa yang mereka lakukan! Aku akan membalas!"

Gadis itu kembali berlari, tinggalkan tempat 

tersebut menuju ke jurang di dekat sebuah pan-

curan di gunung Fujiyama. Sejenak dia terce-

nung, pandangi dasar jurang yang dalam hingga 

tidak tampak. Ingin rasanya ia bunuh diri mener-

junkan tubuhnya ke jurang tersebut, tapi bila in-

gat akan apa yang harus ia lakukan, diurungkan-

nya niat.

"Tidak! Aku tidak mau mati! Aku harus 

mampu membalas segala yang telah mereka la-

kukan! Rampok-rampok Iblis itu harus mati di 

tanganku!"

Tengah gadis tersebut menangis, nampak 

seorang lelaki muda berlari-lari mendekat. Dilihat 

dari pakaian yang dikenakan, dia jelas merupa-

kan seorang pendekar. Di pundaknya tergantung


sebilah pedang. Pemuda itu bertelanjang dada, 

menjadikan otot-otot dadanya kelihatan menonjol. 

Pemuda itu tidak lain Jaka Ndableg yang jagoan 

kita atau Pendekar Pedang Siluman Darah. Mau 

apa Pendekar Pedang Siluman Darah ke tanah 

Nippon? Dan mengapa dia sampai datang di sini?

"Nona...! Nona, tungguu..!" Jaka Ndableg 

berseru, sentakan gadis itu menengok ke arah da-

tangnya suara tersebut. "Nona, dapatkah engkau 

menolongku?"

Gadis itu diam, hanya matanya yang me-

mandang tiada kedip ke arah Jaka Ndableg.

"Hem, sepertinya gadis ini menderita batin," 

gumam Jaka dalam batin.

Jaka yang dipandang hanya terdiam, semen-

tara si gadis seperti makin mendalamkan pan-

dangannya. Dua mata mereka kini beradu, me-

nyiratkan sebuah benang di hati si gadis.

"Nona...," Jaka kembali buka mulut.

"Ya! Ada apakah?"

"Em, maukah Nona tunjukkan aku di mana 

tempatnya guru besar Ninja berada?" Kembali Ja-

ka bertanya, menjadikan gadis cantik namun 

berpakaian amburadul itu lekatkan pandangan-

nya. "Mengapa Nona begitu tajam memandang 

padaku?"

"Aku....." Gadis itu tidak teruskan ucapan-

nya, ada perasaan malu untuk mengutarakan apa 

yang sebenarnya ada di hati. Merasa dirinya tiada 

arti lagi, menjadikan gadis tersebut kini benar-

benar tiada arti bagi seorang pemuda. "Ah, tidak!"

Jaka Ndableg kerutkan kening mendengar



ucapan gadis tersebut yang nadanya mengandung 

sebuah keputus asaan. "Kenapa, Nona? Adakah 

yang dapat aku bantu?" tanya Jaka. "Oh ya, na-

maku Jaka Ndableg. Aku datang dari Tanah Jawa 

Dwipa."

"Dari Jawa Dwipa?" tanya gadis itu heran.

"Ya, kenapa?"

"Oh, jauh sekali."

"Menurut ayahku, Tanah Jawa Dwipa subur 

dan makmur. Penduduknya ramah tamah. Be-

narkah, Tuan Jaka?"

Jaka tersenyum senang seraya mengangguk. 

Kini gadis itu telah kembali menemukan siapa 

adanya dirinya.

"Kalau boleh aku tahu, siapakah Nona 

adanya. Dan sedang apakah Nona sendirian di te-

pi jurang?"

Gadis itu bukannya menjawab, malah kini 

menangis. Hal tersebut menjadikan Jaka terbeliak 

kaget. Jaka tidak mengerti kenapa gadis itu me-

nangis, namun Jaka memaklumi dan sadar 

mungkin gadis tersebut sadar akan keadaan di-

rinya.

Gadis itu dengan masih berlinang air mata 

akhirnya bercerita tentang bencana yang menim-

pa dirinya. Jaka tergugah, terenyuh mendengar-

kan cerita yang dituturkan oleh sang gadis. Kini 

Jaka tahu apa sebenarnya yang telah menimpa 

gadis tersebut dan keluarganya. Tak terasa Jaka 

pun menggumam.

"Sungguh perbuatan Iblis!"

"Ya! Mereka memang Iblis, Tuan Jaka."


"Nona, Meimora, janganlah Nona memanggil 

diri saya Tuan."

"Kenapa?"

"Tidak apa-apa. Oh ya, dapatkah Nona 

membantu saya? Nanti saya akan berusaha 

membantu Nona."

"Benarkah itu, Tu... eh Jaka?"

Jaka hanya mengangguk mengiyakan den-

gan bibir berurai senyum.

"Apa yang dapat aku bantu...?" Nada ucapan 

Meimora manja, menjadikan Jaka kini harus me-

narik napas panjang. Jaka sadar kalau Meimora 

kini tengah mendapatkan sebuah perasaan lain di 

hatinya. Jaka sadar keadaan dirinya, seperti dika-

takan oleh Ratu Penguasa Bumi dan kecembu-

ruan Miranti beralasan.

Bila ingat semua itu, ingat Miranti Jaka 

hanya mampu mengguman dalam hati. "Miran-

ti...,"

"Mengapa kau melamun, Jaka?"

Tersentak Jaka seketika, dengan mencoba 

tersenyum Jaka sembunyikan keterkejutannya. 

"Ah, tidak mengapa. Oh ya, dapatkah Nona mem-

bantu saya menunjukkan di mana saya harus 

bertemu dengan Kaisar?"

Mata Meimora membeliak mendengar uca-

pan Jaka Ndableg. Mulutnya menganga, seper-

tinya menandakan kekagetannya. Hal tersebut 

tertangkap oleh Jaka, sehingga Jaka pun terse-

nyum dan berkata lagi. "Kenapa, Nona? Kau ka-

get?"

"I… iya!"


"Jangan kaget, Nona. Aku bukanlah orang-

orang istana! Aku hanya diutus oleh Raja Tanah 

Jawa untuk menanyakan apa yang sebenarnya 

kini melanda tanah kelahiranku. Nah, maukah 

Nona membantu?"

"Mau!" jawab Meimora.

"Terimakasih sebelumnya."

Keduanya pun berjalan tinggalkan tempat 

tersebut menuju ke kerajaan. Namun segera 

Meimora hentikan langkah, manakala ia teringat 

akan keadaan dirinya. Hal tersebut menjadikan 

Jaka kembali kerutkan kening bertanya. "Ada 

apa, Nona Me?"

"Apakah aku pantas menghadap Raja den-

gan pakaian begini rupa?" Jaka tersenyum.

"Benar! Ah, sayang aku tidak membawa pa-

kaian."

"Tidak apa! Rumahku dekat dari sini. Mau-

kah engkau mampir?"

Jaka tak mampu menolak, dan keduanya 

pun kini putar arah menuju ke rumah Meimora. 

Dua sosok tubuh pemuda pemudi itu berjalan 

santai, sepertinya menikmati apa yang tengah 

bermusim di Negeri Nippon tersebut.

* * *

Jaka Ndableg tersentak manakala melihat 

dua sosok tubuh laki-laki tergeletak dengan kea-

daan yang menyedihkan. Tubuh keduanya bagai-

kan dicincang. Sementara Meimora kini kembali 

menangis, dan memeluk tubuh Jaka Ndableg


erat-erat. Ditumpahkan tangisan kepedihan ha-

tinya di dada Jaka Ndableg.

Menyaksikan hal tersebut menjadikan Jaka 

turut terenyuh. Tidak dirasakannya air matanya 

meleleh. Jaka kini benar-benar merasakan betapa 

hidup ini begitu pahit dan sakitnya. Apa lagi 

tatkala melihat dua sosok tubuh ayah dan kakak 

Meimora, dada Jaka sebagai seorang pembela ke-

benaran dan keadilan bagaikan hendak meledak-

ledak. Ingin rasanya Jaka Ndableg menjerit, dan 

memaki-maki pada siapa saja andai saja ia tidak 

menyadari makna kehidupan itu yang sebenar-

nya.

"Sudahlah, Mei. Mungkin semua sudah tak-

dir Yang Maha Esa, kau harus menerimanya."

"Tapi aku kini sebatang kara. Aku... aku juga 

tiada berarti."

"Tidak juga, Mei," Jaka terus berusaha 

menghibur diri Meimora.

Meimora memandang ke arah Jaka penuh 

arti, sepertinya pandangan tersebut mengandung 

sebuah harapan, entah harapan apa? Yang jelas 

hanya Jaka sendiri dan Meimora yang tahu.

"Aku berjanji akan membantumu mencari 

orang-orang yang telah biadab."

"Benarkah, Jaka?"

Jaka hanya mengangguk.

"Oh, terimakasih, Jaka."

"Sekarang kita makamkan kedua ayah dan 

kakakmu, baru nanti kita teruskan perjalanan ki-

ta ke Kerajaan."

Mendengar ucapan Jaka, bagaikan anak ke


cil saja Meimora kembali peluk tubuh Jaka erat. 

Sepertinya di dada Jaka ada segala apa yang ia 

cari. Seakan hanya Jaka saja yang menjadi tum-

puhan hidupnya saat ini. Jaka segera lepaskan 

dekapan Meimora, lalu berjalan mendekati tubuh 

yang tergeletak dengan luka-luka yang banyak 

menggurat di tubuh keduanya. Dengan tanpa me-

rasa jijik Jaka Ndableg angkat mayat-mayat ter-

sebut keluar. Dibantu oleh Meimora yang masih 

menangis Jaka terus menggali lubang lahat untuk 

mayat-mayat tersebut. Dan menjelang sore baru 

Jaka menyelesaikan segala apa yang menjadi tu-

gasnya. Dua kuburan kini tampak di depan ru-

mah Meimora. Dua kuburan baru, sehingga ta-

nahnya nampak masih merah.

Jaka di dampingi Meimora duduk meman-

jatkan do'a. Meimora sendiri masih menangis, 

seakan hanya air mata saja tumpuan dan hanya 

pada Jaka hal tersebut ia ungkapkan.

"Sudahlah, jangan menangis," Jaka menghi-

bur. Dipapahnya tubuh Meimora yang melangkah 

tinggalkan tempat tersebut.

Dengan berjalan beriringan, sementara kepa-

la Meimora terpatah di pundak Jaka, keduanya 

melangkah tinggalkan rumah menuju ke kerajaan 

yang menjadi tujuan Jaka semula.

* * *

Kerajaan kini benar-benar dibikin pusing 

oleh segala tindakan yang dibuat oleh anak buah 

Taka Nata. Kini nama Taka Nata yang dulunya


harum berubah menjadi busuk. Julukan untuk 

Taka Nata adalah Iblis Nippon.

Sang kaisar dengan didampingi oleh perdana 

mentrinya terduduk tanpa semangat. Di hada-

pannya duduk pula para prajurit utama dan pan-

glima-panglima perangnya. Kaisar kini tengah 

mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masa-

lah yang kini berlarut-larut. Masalah yang sangat 

sukar, sebab Taka Nata bukanlah orang semba-

rangan yang mudah dibekuk. Telah berulang kali 

kaisar memerintahkan untuk menangkap Taka 

Nata, namun hasilnya malah sebaliknya. Korban 

demi korban berjatuhan. Kini kaisar memerintah-

kan dua orang panglimanya untuk mengikuti ra-

pat yang diadakan oleh pimpinan besar Ninja. 

Dan sampai kini kedua utusan tersebut belum ju-

ga muncul kembali.

"Apakah mereka menemui hambatan?" tanya 

kaisar.

"Mereka merupakan Panglima Perang yang 

tangguh, Kaisar. Jadi tidaklah mungkin mereka 

dengan mudah dapat dijatuhkan."

Mendengar ucapan perdana menterinya, kai-

sar angguk-anggukan kepalanya.

"Aku juga berharap begitu. Dan aku juga 

berharap para tokoh persilatan khususnya Sese-

puh Ninja cepat bertindak agar semuanya tidak 

berlarut-larut."

"Semoga saja, Kaisar."

Semua prajurit yang hadir di situ tak seo-

rang pun yang membuka kata, semuanya diam 

tiada berani berbicara. Tengah semuanya hening

terdengar suara seorang wanita menyapa. "Slamat 

Sore, Tuan-tuan?"

Seketika semua yang hadir di situ palingkan 

muka menghadap ke arah pintu gerbang. Di sana 

nampak seorang gadis dan seorang pemuda berte-

lanjang dada hingga otot-ototnya yang kekar 

nampak menggurat kencang.

"Siapakah kalian adanya?"

"Kami Jaka Ndableg. Kami diutus dari Kera-

jaan Tanah Jawa untuk menghadap Kaisar."

"Oooh...! Kalau tidak salah, bukankah eng-

kau, yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Da-

rah?" tanya kaisar

Tersentak Jaka Ndableg mendengar perta-

nyaan kaisar. "Hai, mengapa kaisar mengerti dan 

tahu siapa adanya aku? Apakah Baginda Swarna 

Sukma telah memberitahukan sebelumnya?" Jaka 

bertanya dalam hati. Dan Jaka hanya mampu 

mengangguk tanpa dapat menolaknya. Hal terse-

but menjadikan Meimora yang baru tahu siapa 

adanya pemuda itu pandangkan mata ke arah 

Jaka dengan perasaan kagum.

"Ayo masuk, Tuan Pendekar."

"Terimakasih, Kaisar," jawab Jaka. Keduanya 

pun masuk, lalu duduk di antara para prajurit se-

telah terlebih dahulu menjura ke kaisar. 

"Nona ini, apakah teman Pendekar Siluman 

Darah?"

"Hamba orang sini, Kaisar."

"Oh, benar!" kaisar angguk-anggukan kepala 

mengerti. "Di mana engkau temui Tuan Pendekar 

ini, Nona?"

"Saya hendak ke sini, dan kebetulan saya 

melihat Nona Meimora ini tengah menangis. Dan 

setelah kami saling kenal, ternyata Nona ini juga 

korban dari kebiadaban warga Tuan Kaisar yang 

tidak berperikemanusiaan. Mungkin Ninja-ninja 

yang seperti mewabah di Tanah Jawa," Jaka men-

jelaskan, menjadikan Meimora tersipu-sipu malu. 

Sementara sang kaisar nampak murung menden-

gar sindiran yang dilontarkan oleh Pendekar Pe-

dang Siluman Darah. Dirinya merasa salah tidak 

mampu memberikan perlindungan bagi rakyat-

nya, sehingga rakyatnya kini tercekam dalam ke-

takutan.

"Bukan saja tindakan Ninja-ninja itu me-

rampok dan membunuh, tapi yang lebih keji lagi, 

Ninja-ninja tersebut telah memperkosa Nona 

Meimora ini," Jaka meneruskan.

"Itulah yang ada di negeri ini, Tuan Pende-

kar. Maka itu pula kami meminta bantuan dari 

sahabat kami yaitu Raja Tanah Jawa untuk men-

girim Pendekarnya ke mari. Dan ternyata engkau-

lah yang dimaksudkan."

"Heh, bukankah aku di utus kemari untuk 

menyelesaikan masalah Ninja-ninja yang berada 

di Tanah Jawa?" Jaka tersentak kaget, mendengar 

penuturan kaisar.

"Memang benar! Tapi kami juga meminta 

bantuanmu untuk menyelesaikan apa yang telah 

terjadi di sini. Semua Pendekar di sini kini tengah 

mengadakan rembuk untuk mencari jalan ke-

luarnya. Kini para Pendekar tersebut tengah ber-

kumpul. Kalau Tuan Pendekar ingin menjumpai


mereka, maka dengan senang hati kami sendiri 

yang akan mengantar ke sana."

"Ah, tidaklah usah repot-repot. Saya akan 

datang ke sana sendiri, asalkan kaisar memberi-

kan peta tempat di mana mereka berkumpul."

"Baiklah! Kami akan mengutus dua Panglima 

untuk menemanimu, Tuan Pendekar," sang kaisar 

memutuskan. "Fatakanabe, dan engkau Saisa-

gaya, temani Tuan Pendekar dan Nona ini ke 

tempat berkumpulnya para Pendekar. Katakan 

pada mereka, bahwa Pendekar ini akan memban-

tu mereka menghadapi Taka Nata si Iblis Nippon."

"Daulat, Kaisar," jawab keduanya. "Mari, 

Tuan Pendekar."

Jaka Ndableg dan Meimora menjura, lalu 

bersama dengan kedua panglima perang dengan 

menggunakan kereta menuju ke tempat di mana 

para tokoh persilatan yang dipimpin oleh Maha 

Guru Ninja berkumpul.

* * *

Kereta yang ditumpangi Jaka Ndableg, Mei-

mora dan kedua panglima perang kerajaan masih 

melaju dengan cepat di atas salju-salju yang me-

nyirami tanah, menjadikan kereta itu walau cepat 

bagaikan tersendat. Hamparan putih salju, mem-

bentang luas dari gunung Fujiyama turun ke bu-

kit-bukit dan ke tempat di mana mereka kini be-

rada.

Sambil melepas penat, Jaka Ndableg terus 

bercakap-cakap dengan kedua panglima perang.


Tidak lupa juga Meimora turut serta diajak berca-

kap-cakap. Tengah mereka melakukan percaka-

pan, tiba-tiba kusir kereta hentikan laju kereta 

tersebut. Hal tersebut menjadikan kedua pangli-

ma perang kerajaan bertanya.

"Ada apakah, Kusir?"

"Mereka menghadang kita." jawab sang ku-

sir.

"Mereka siapa?" tanya Jaka dan Meimora ba-

reng ingin tahu.

"Mereka yang telah membuat kerusuhan." 

jawab panglima pertama. "Hati-hatilah, Tuan 

Pendekar."

Jaka tersenyum mengangguk.

"Biarlah kami yang turun," kata panglima 

kedua.

"Jangan!" Jaka mencegah. "Kusir, lanjutkan 

jalan!"

Sang kusir tersentak kaget, namun mana-

kala panglima perang memberi isyarat dia pun 

dengan menurut kembali jalankan keretanya.

"Hia, hai, hia...!"

Kuda-kuda itu melesat dengan cepatnya, se-

pertinya tidak gentar menghadapi pagar orang 

yang berpakaian Ninja itu menghadang di mu-

kanya.

"Edan! Mereka nekad!" maki orang yang ber-

diri paling depan.

"Seraaaaaangg...!"

Mendengar seruan pimpinannya, dengan se-

gera kedua puluh lima orang Ninja berkelebat 

menyerang dengan Samurai siap menyerang.


"Hiiiiiaaaaaaattttt...!"

Kedua puluh lima orang tersebut kini berke-

lebat menyerang.

"Tenang! Semua tenang," Jaka memperin-

gatkan pada keempat temannya yang nampak 

memucat ketakutan. "Aku harap kalian tetaplah 

di kereta, biar aku sendiri yang menghadapi me-

reka!" Jaka segera melompat turun, dan tiba-tiba 

tubuhnya telah menghadang kedua puluh lima 

orang Ninja yang seketika merandek tatkala meli-

hat Jaka menghadangnya.

"Siapa kau orang asing?" tanya pimpinan 

Ninja.

"Aku yang akan menumpas kalian!" Jaka 

menjawab.

"Bajero! Orang asing tak tahu diri. Sera-

angg…!"

Jaka Ndableg masih berusaha tenang, 

menghadapi mereka yang bersenjata dengan tan-

gan kosong. Tubuh Jaka berkelebat, papaki me-

reka yang menyerangnya dengan Samurai di tan-

gan.

"Wuuuttt...!"

Jaka tolakkan tubuh ke angkasa manakala 

Samurai mereka menyerang. Dan dengan cepat 

Jaka hinggap di puncak salah seorang Ninja. Me-

lihat musuhnya berada di atas temannya, segera 

Ninja yang lain babatkan Samurainya ke arah tu-

buh Jaka.

"Wuuuuttt...!"

Jaka melompat dengan kaki masih mengga-

pit kepala musuh, hingga manakala Jaka melom


pat naik, tubuh musuhnya pun turut terbetot ke 

angkasa. Tanpa ayal lagi, tubuh Ninja tersebutlah 

yang menjadi sasaran tebasan Samurai teman-

nya.

"Breet...!"

"Aaaaaaa...!" Orang itu memekik, sesaat dan 

akhirnya mati dengan usul modol keluar dari luka 

yang menganga di perutnya. Sedangkan Ninja 

yang membabatkan Samurainya, kini nampak ter-

jengah bengong. Melihat hal itu, segera Jaka yang 

masih melayang hantamkan pukulan ke muka 

orang tersebut.

"Ini hadiah untuk orang yang berjasa. 

Hiaaattt...!"

Orang tersebut tak mampu menghindar. 

"Bug, bug, bug...!"

Tiga kali kepelan Jaka melanda mukanya, 

menjadikan orang bercadar itu seketika memekik. 

Darah muncrat dari hidung dan mulutnya.

"Aaaaaaaaaaaaa...!"

Dua orang Ninja menggeletak mati, sementa-

ra yang lainnya nampak garang demi melihat te-

mannya dapat dikalahkan. Kembali kedua puluh 

tiga Ninja lainnya menyerang. Jaka dengan cepat 

berkelebat. Namun serangan dari Ninja-ninja itu 

terus susul-menyusul, menjadikan Jaka harus 

mencelat ke sana ke mari untuk menghindari se-

rangan tersebut.

"Wuuut..!"

"Wuuuuttt...!"

Tiga orang Ninja nekad mencerca dengan 

Samurainya. Jaka terus melompat dengan sekali


kali jejakan kakinya ke arah musuh. Kini Jaka 

kembali melompat, lalu dengan terbaring bagai-

kan terbang Jaka kiblatkan pukulan ke arah mu-

suh.

"Hiiiiiaaaatttt...!"

Kelima Ninja itu tersentak, babatkan Samu-

rai ke tangan Jaka yang menuju ke arah mereka.

"Wuuuuttt...!"

"Bug! Bug! Bug...!"

Lima Samurai itu menghantam telak ke tan-

gan Jaka Ndableg. Semua yang ada di kereta 

nampak ketakutan, menyangka Jaka Ndableg 

akan puntung lengannya. Namun ketakutan me-

reka seketika lenyap tatkala melihat sesuatu kea-

jaiban di hadapan mata mereka. Tidak hanya 

panglima perang serta Meimora dan kusir kereta 

yang tersentak kaget, tetapi kelima orang Ninja 

yang menyerangnya juga ternganga.

"Trak! Trak! Trak!"

Bukanya tangan Jaka yang patah, terbabat-

kan Samurai mereka. Akan tetapi Samurai me-

rekalah yang kini puntung menjadi dua. Tatkala 

kelimanya masih tercengang, segera Jaka meng-

hantam mereka dengan bogem berisi. Angin pu-

kulannya saja mampu membuat Angin Puting Be-

liung. Kelima Ninja itu tersentak mencoba menge-

lak, namun ternyata gerakan mereka kalah cepat 

dengan gerakan memukul yang dilancarkan Jaka.

"Wuuutt...!"

"Bug! Bug! Bug...!" 

"Aaaaaaaaaa...!"

Lima orang itu memekik panjang, mukanya


bagaikan terhantam benda ribuan kati beratnya. 

Kelimanya memegangi mukanya, berguling-guling 

bagaikan ayam disembelih.

"Nah, bukankah itu bukti bagi kalian bahwa 

aku tidak segan-segan membuat kalian kapok! 

Jangan kalian anggap orang-orang Jawa Dwipa 

rendah!"

Rupanya segala ucapan Jaka tiada arti sama 

sekali bagi mereka. Mereka menganggap ucapan 

Jaka hanyalah menakut-nakuti mereka saja. Dan 

ilmu yang dikeluarkan Jaka, tak lebihnya hanya 

ilmu sulap yang biasa mereka tonton.

"Seraaaannggg...!"

Mendengar seruan pimpinannya, seketika 

semua anak buahnya yang tinggal tujuh belas 

berkelebat kembali mengeroyok Jaka Ndableg. 

Samurai di tangan ketujuh belas orang itu kini 

berkelebat membabatkan Samurai mereka.

"Wuuuuutttt...!"

Jaka piringkan tubuh menghindar, namun 

dari arah kanan sebuah pedang Samurai telah 

menunggunya. Jaka kini benar-benar terjepit. 

Namun bukanlah Jaka Ndableg si Pendekar Pe-

dang Siluman Darah kalau harus mengalah begi-

tu saja dan pendek akalnya. Dalam keadaan ba-

gaimana pun Jaka masih terus berusaha mencari 

jalan yang baik untuk menangkal serangan mere-

ka. Dan manakala Samurai di sebelah kanan tu-

buhnya berkelebat, segera Jaka luruskan tubuh 

kembali. Dua Samurai kini benar-benar mengan-

cam jiwanya, maka dengan cepat Jaka lentingkan 

tubuh ke angkasa.


"Wuuuuuuttt..,!"

"Wuuuuuuttt...!"

Dua Samurai itu melaju, saling serang. Jaka 

kini mencelat, sehingga laju Samurai mereka kini 

saling berhadapan mengkiblat ke arah teman 

masing-masing. Keduanya berusaha mengelak 

dan menarik mundur Samurai mereka, akan te-

tapi laju mereka tidak memungkinkan. Hingga...!

"Aaaaaaa...!"

"Bless..!"

Dua Samurai saling serang ke arah rekan-

nya, menusuk deras hingga tembus menyate tu-

buh mereka.

"Wuaaaaaa...!"

Keduanya memekik, darah muncrat dari tu-

sukan Samurai mereka. Tangan mereka masih 

menggenggam Samurai, sementara mata mereka 

melotot tak mengerti akan apa yang mereka laku-

kan. Kejadian tersebut berjalan kilat, lalu kedua-

nya terkulai jatuh dan mati.

"Bajero! Kau harus mampus, Anak Muda!" 

maki ketua Ninja.

"Bagaimana, apakah masih kurang yakin?" 

tanya Jaka mengejek.

"Bajero, Seraaaaanggg..!"

Lima belas orang Ninja yang masih hidup ki-

ni berkelebat menyerang ke arah Jaka.

"Wuuuuttt...!"

Jaka yang sudah mengira dengan cepat ber-

kelebat mengelak. Tubuh Jaka Ndableg bergerak 

cepat menghindari serangan kelima belas Samu-

rai Ninja.


"Swiiiingg...!"

Tersentak kaget semua yang ada di kereta 

melihat pimpinan Ninja mengeluarkan senjata ra-

hasianya menyerang Jaka.

"Awas Jaka...!" pekik Meimora yang cemas 

akan keselamatan Jaka Ndableg.

"Srang...!" Jaka Ndableg cabut Pedang Silu-

man Darahnya, dan dengan cepat kebaskan pe-

dang tersebut.

"Wuuuutttt...!"

"Trang! Trang! Traang....!"

Lima buah senjata rahasia saling beradu 

dengan Pedang Siluman Darah. Lima senjata ra-

hasia itu luluh lantak, berjatuhan ke atas tanah, 

terbabat oleh Pedang Siluman Darah.

"Kalian memang orang-orang yang tidak tahu 

diuntung! Jangan salahkan kalau aku terpaksa 

turunkan tangan jahat! Hiiiaaaattt!"

Jaka Ndableg dengan Pedang Siluman Darah 

kini berkelebat menyerang ke arah musuh. Pe-

dang Siluman Darah kini berkelebat dengan liar 

dan ganas, sepertinya Pedang tersebut memiliki 

mata sendiri. 

"Wuuuuttt...!"

Tersentak kelima belas Ninja manakala Pe-

dang Siluman Darah dibabatkan. Hawa Panas 

yang teramat sangat menerpa mereka, menjadi-

kan suasana sekeliling mereka bagaikan terbakar. 

Mata kelima belas Ninja itu membelalak kaget, 

tak dapat menyangka bahwa pedang di tangan 

Jaka benar-benar sebuah pedang yang aneh.

Kelima belas Ninja itu terdorong ke belakang,


sementara Pedang Siluman Darah kini benar-

benar haus darah. Pedang Siluman Darah terus 

mencerca ke arah musuh, bergerak dengan cepat 

dan sukar diduga. Kelima belas orang Ninja itu 

benar-benar tersentak, sebatkan Samurai mereka 

manakala Jaka menyerang.

"Wuuuuttt...!" Lima belas Samurai bareng 

menyerang.

"Traang! Trang! Trang...!"

Mata kelima belas Ninja itu seketika membe-

liak, tatkala mata mereka melihat apa yang terja-

di. Kelima belas Pedang Samurai di tangan mere-

ka puntung, terbabat oleh Pedang Siluman Darah 

di tangan Jaka Ndableg. Mata mereka membela-

lak, begitu juga mata keempat orang temannya 

yang berada di kereta. Mereka baru yakin siapa 

adanya Jaka Ndableg.

Jaka Ndableg sengaja hentikan serangan, 

mengharapkan musuh-musuhnya mau mengerti. 

Namun kesempatan itu bukan digunakan oleh 

para Ninja untuk menyadari, malah dengan ne-

kad kelima belas Ninja itu kini kembali menye-

rang Jaka.

"Bangsat! Kalian rupanya ingin mampus!" 

Jaka nampak begitu marahnya, sehingga kini di-

rinya benar-benar terbakar. "Oaaaaaarr!"

Tersentak semua Ninja yang menyerangnya, 

manakala tiba-tiba tubuh Jaka berubah menjadi 

Manusia Api. Mereka benar-benar tidak percaya. 

Salah seorang dari mereka menyerang, namun...!

"Wuaaaa...!" Orang tersebut menjerit, tubuh-

nya hangus terbakar. Melihat hal itu, yang lain


nya hendak meninggalkan pergi manakala dengan 

cepat Dewa Api hantamkan Mata Malaikatnya 

menyerang.

"Wuusss...!"

Api dari mata Jaka membersit, menghantam 

tubuh mereka yang seketika menggelepar-gelepar 

bagaikan dipanggang. Sementara yang lainnya 

nampak makin mempercepat larinya. Dewa Api 

yang sudah marah kembali berkelebat, memapaki 

lari mereka. Para Ninja itu tersentak, namun den-

gan cepat Jaka hantamkan pukulan Inti Apinya. 

Tak ayal, tubuh mereka pun kini terbakar oleh 

api, hanya seorang saja yang sengaja Jaka le-

paskan. Jaka berharap Taka Nata yang menjadi 

ketuanya akan muncul kembali.

Jaka kembali kebentuk semula, menjadikan 

keempat orang yang berada di kereta tersentak. 

Mereka bagaikan baru saja bangun dari mimpi 

manakala melihat Jaka. Tubuh Jaka tiada luka 

sedikit pun walau Api tadi membakar tubuhnya.

"Jaaakkaaa...!" Meimora nampak bergembira, 

dan dengan bangga disambutnya Jaka Ndableg 

yang hanya tersenyum. Begitu juga dengan kedua 

panglima perang kerajaan, keduanya nampak ce-

ria.

"Mengapa tidak Tuan bunuh saja orang itu?" 

tanya panglima pertama.

Jaka tersenyum gelengkan kepala. "Ah, biar-

lah ia hidup agar dapat menceritakannya pada 

sang ketua. Mari kita lanjutkan perjalanan kita."

Dengan penuh rasa yakin bahwa Pendekar 

Muda itu akan mampu melindunginya, maka semuanya kini kembali ke kereta. Sang kusir yang 

tadinya merasa was-was, kini berubah menjadi 

rasa yakin yang teramat sangat di hatinya. Kini 

tak perlu ia merasa takut, sebab Pendekar Jaka 

Ndableg berada di dalam kereta bersamanya.

Dengan berkelakar menghilangkan segala 

apa yang telah terjadi mereka pun kembali melan-

jutkan perjalanan. Matahari tak pernah nampak 

di musim salju, namun Matahari Nippon akan se-

lalu bersinar. Begitulah kata-kata penghibur yang 

selalu berada di hati mereka. Dan benarkah Ma-

tahari Nippon akan selalu bersinar cemerlang wa-

lau dihempas prahara yang ditimbulkan oleh Ta-

ka Nata si Iblis Nippon? Sebagai jawaban atas 

semuanya, marilah kita ikuti kelanjutan kisah 

Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah 

ini pada judul: RUNTUHNYA SAMURAI IBLIS.

Pada judul di atas, kita akan dapat menja-

wab bagaimana Jaka Ndableg menghadapi Taka 

Nata? Dan Bagaimana pula Taka Nata si Iblis 

Nippon dengan Persekutuannya yang bernama 

Samurai Iblis! Selamat mengikuti...!

Untuk kali ini, saya cukupkan kisah ini. Dan 

silahkan anda tunggu kelanjutannya, dengan ju-

dul Runtuhnya Samurai Iblis. Di situ kita akan 

mengikuti Jaka Ndableg dengan segala liku-liku 

hidup dan cintanya. Bagaimana pula cinta Meimora pada Jaka?....




                            TAMAT





















Share:

0 comments:

Posting Komentar