TAKANATA
IBLIS NIPPON
Oleh Sandro S.
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode:
Takanata Iblis Nippon
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Gunung Fujiyama nampak menjulang tinggi
dengan agungnya, melukiskan betapa keindahan
terpampang di sana. Di bawah gunung Fuji, ter-
bentang kota Tokyo yang menjadi kesibukan para
pedagang dan saudagar untuk melakukan tran-
saksi perdagangan antar dunia. Di kota itu pula
pusat pemerintahan berada, di mana kekaisaran
menetap. Di situ pula para Pendekar Samurai
yang selalu siap sedia membela panji-panji kera-
jaan lalu lalang dengan segala penyamarannya.
Di sebuah desa, yang letaknya di kaki gu-
nung Fuji, tampak sebuah bangunan besar yang
menyerupai Klenteng berdiri dengan megahnya.
Bangunan tersebut adalah sebuah bangunan di
mana para Ninja berkumpul.
Saat itu nampak di bangunan tersebut ten-
gah berlangsung sebuah pertemuan. Sebuah meja
panjang yang pendek mendasar di lantai dikelilin-
gi oleh hampir dua belas orang berpakaian kebe-
saran Ninja. Hanya muka mereka tidak seperti bi-
asanya. Muka mereka kini tidak tertutup oleh
kain, tetapi terbuka layaknya orang biasa.
Duduk paling ujung kiri seorang berusia tua,
dengan jenggot putih terurai memanjang ke ba-
wah. Dialah pimpinan atau Suhu Utama Ninja.
Orang ini bernama Fujita Babareka, atau Ninja
Sakti dari Negeri Fuji. Duduk di sampingnya seo-
rang yang agak mudaan, dengan wajah keras ber-
badan besar. Dia adalah murid utama Fujita,
bernama Amoka Takasita. Sedang yang duduk di
sebelah kirinya juga seorang Ninja berbadan ting-
gi jangkung dengan mata laksana elang. Dia juga
murid utama adik seperguruan Amoka Takasita
atau Ninja Panda Bulan Sabit. Dia bernama Mu-
roka atau Ninja Belerang.
Kenapa para Sesepuh Ninja berkumpul, ti-
dak lain karena mereka tengah mengadakan rapat
membahas masalah salah seorang anggotanya
yang kini menjadi bahan pembicaraan di kalan-
gan istana dan penduduk dengan sepak terjang-
nya yang sangat telengas dan membahayakan.
Orang yang kini tengah mereka bicarakan tidak
lain Taka Nata, atau Ninja Selaput Iblis.
"Bagaimana pendapat kalian mengenai Taka
Nata?" Terdengar suara Ketua Utama Ninja berka-
ta. Suara tuanya nampak masih berwibawa,
menggema di setiap ruangan. "Kalian telah men-
dengar tentang sepak terjangnya, bukan?"
''Benar, Suhu. Kami memang telah menden-
gar sepak terjang Taka Nata," Yang berkata Ninja
Biru.
"Apakah Takasima tidak dapat mengata-
sinya?" Sang Suhu kini menanya pada Takasima.
"Bukankah engkau dan Taka Nata masih ada hu-
bungan darah?"
Takasima terdiam tanpa dapat menjawab
pertanyaan Suhunya. Ia sendiri tidak mengerti
dengan segala tingkah laku Taka Nata, walau pun
mereka adalah sedarah, namun segalanya bagi
mereka merupakan rahasia pribadi. Takasima
hela napas panjang, seakan ada rasa berat untuk
menarik lidah, Mukanya tertunduk ditekuk, ma-
tanya berkaca-kaca.
"Bagaimana, Takasima?" Kembali sang Su-
hunya bertanya.
"Ampun, Suhu. Sungguh pun kami sedarah,
namun hubungan kami bagaikan tertutup," Taka-
sima akhirnya menjawab.
"Aneh!"
"Begitulah wataknya, Suhu,"
Semua yang hadir di situ seketika terdiam
hening. Seakan semuanya tengah berpikir bagai-
mana baiknya untuk mengatasi segala keruwetan
yang tengah melanda. Tengah semuanya terpaku
diam, dari luar dua orang prajurit kerajaan nam-
pak berjalan masuk.
"Selamat Sore...?" sapa keduanya seraya
menjura.
Semua yang ada di situ palingkan muka
menghadap pada dua orang prajurit yang baru
saja datang.
"Selamat sore, Tuan-tuan Prajurit," jawab
mereka.
"Silahkan duduk," Memerintah Suhu dengan
penuh rasa hormat. "Sungguh sangat kebetulan
Tuan-tuan mau berkunjung ke mari."
Keduanya duduk di antara para Ninja.
"Ada keperluan apa sebenarnya, Tuan-tuan
datang?" Kembali Suhu besar menanya. "Mung-
kinkah ada kepentingan yang menyangkut masa-
lah seorang anggota kami?"
Dua prajurit Samurai itu terdiam, hanya ke-
pala mereka yang mengangguk mengiyakan.
Apa sebenarnya yang tengah terjadi di kera-
jaan? Mengapa Taka Nata yang dulu bersahabat
dengan kerajaan tiba-tiba berubah menjadi mu-
suh bahkan memberontak? Untuk lebih jelasnya,
marilah kita ikuti kisah sebelum hal itu terjadi.
* * *
Tiga bulan yang lalu, Taka Nata yang diang-
kat oleh Kaisar menjadi Panglima menghendaki
Kaisar segera mengirim pasukannya ke Tanah
Jawa. Taka Nata juga menghendaki agar Kaisar
mau berkenan meluluskan dirinya untuk menjadi
pimpinan di Tanah Jawa yang kelak akan dijadi-
kan sebagai Kerajaan kedua setelah kekaisaran di
Tokyo. Namun permintaan Taka Nata ditolak oleh
Kaisar, dengan alasan dana untuk semuanya be-
lum mencukupi.
Wajah Taka Nata merah membara, rasa ma-
rah telah menggayut di hatinya. Ia duduk dengan
diam, seakan enggan untuk mengucap kata-kata.
Matanya yang tajam setajam mata elang meman-
dang bengis pada Kaisar yang didampingi oleh
Perdana Menterinya, Taifu Mai-mora. Kedua pe-
tinggi kerajaan nampak masih tenang, sepertinya
kedua peTinggi istana masih memberikan kebe-
basan pada Taka Nata untuk mencetuskan apa
yang hendak ia katakan. Namun sekian jauh Taka
Nata tiada jua membuka mulut, sehingga akhir-
nya Kaisar pun kembali berkata.
"Kau harus sadar, Taka. Bukannya kami me-
larangmu untuk melakukan ekspansi ke Tanah
Jawa, namun segalanya memerlukan biaya yang
tidak sedikit," Kaisar terus mencoba memberikan
pengertian pada Taka Nata. "Sedangkan di dalam
negeri kini engkau tahu tengah dilanda krisis
ekonomi, bukan?"
Taka Nata masih terdiam.
"Apakah engkau dan prajurit-prajurit lainnya
tidak memerlukan makan dan minum?" tanya
Rang Kaisar melanjutkan. "Ingat, di Jawa bukan
di tanah Nippon, Taka."
"Pikirkan lagi, Taka."
Taka Nata tarik napas panjang, lalu dengan
suara berat ia pun berkata ketus. "Sudah mem-
bulat di hatiku untuk ke Jawa. Kalau Tuan Kaisar
tidak mengijinkan, biarlah aku berangkat sendiri."
Taka Nata bangkit dari duduknya.
"Taka...!" Perdana Menteri mencoba menya-
barkan.
Taka Nata tidak mengubris, dengan tenang-
nya ia berkata. "Sayonara..,!" Taka Nata seketika
berkelebat pergi tinggalkan ruang kekaisaran tan-
pa dapat dicegah. Semua mata hanya mampu
memandang kepergiannya dengan pandangan pe-
nuh ketidakmengertian. Semua hanya mampu di-
am, tanpa ada yang berani menghalang atau pun
mencoba mengatasinya.
* * *
Keesokan harinya, nampak Taka Nata den-
gan beberapa puluh orang prajurit yang menjadi
pengikutnya nampak telah siap-siap untuk mela
kukan ekspansi ke Tanah Jawa. Semua nampak
sibuk, mempersiapkan segalanya. Ada yang
membuat perahu, membuat peralatan untuk
mengarungi samudra dan lainnya. Di sini nampak
betapa Taka Nata benar-benar sangat berpenga-
ruh bagi mereka. Taka Nata berjalan hilir mudik,
sepertinya tengah memeriksa pekerjaan anak
buahnya.
"Fiji Nakoya, apakah semuanya telah beres?"
tanya Taka Nata pada Fiji Nakoya, yaitu tangan
kanannya. Orang yang berbadan besar dengan
muka jelek menyeramkan itu nampak meman-
dang ke arah Taka Nata sejenak, lalu ia pun me-
nyahuti.
"Sebentar lagi, Ketua."
"Apakah tidak dapat dipercepat?"
Fiji Nakoya terdiam, seakan susah untuk
menjawabnya. "Sungguh Taka Nata adalah orang
Nippon yang tidak sabaran," gumam Fiji Nakoya
dalam hati. "Bagaimana akan dapat segera beres?
Sedangkan pekerjaan ini bukanlah pekerjaan rin-
gan?"
"Mungkin tiga hari lagi, Ketua," jawab Fiji.
"Apa...? Taka Nata beliakkan matanya. "Pe-
kerjaan begitu saja harus menunggu sampai tiga
hari?"
"Benar, Ketua!"
"Ah…! Bodoh kalian semua! Bodoh!" Taka
Nalit mengomel, lalu dengan tanpa bicara lagi
pergi tinggalkan anak buahnya yang masih beker-
ja. Sedangkan Fiji Nakoya nampak hanya geleng
kepala menyaksikan watak ketuanya yang kurang
sabaran.
"Serba tak mungkin Taka Nata meminta,"
gumam Fiji, dan kembali pada teman-temannya
yang masih sibuk mengerjakan apa saja yang ten-
gah dipersiapkan untuk berlayar. Tengah mereka
sibuk mempersiapkan segalanya, dari kejauhan
nampak pasukan kerajaan dengan menunggang
kuda datang ke tempat itu. Pasukan kerajaan
yang berjumlah hampir lima puluh orang tersebut
menggebah kuda-kudanya dengan cepat.
"Hia, hia, hia...!"
Semua anak buah Taka Nata yang saat itu
tengah melakukan pekerjaan nampak tersentak
kaget. Mata mereka seketika memandang pada
pasukan kerajaan yang jaraknya kurang dari dua
mil dari mereka.
"Pasukan kerajaan datang...!" Fiji Nakoya
berseru.
Seketika semua yang tengah melakukan pe-
kerjaan serabutan hendak pergi. Namun dengan
segera Fiji Nakoya perintahkan pada mereka su-
paya tenang. "Tenang teman-teman! Kita tak perlu
khawatir!"
Semuanya kembali hentikan langkah, berdiri
dengan hati diselimuti dengan tanda tanya. Se-
muanya nampak memandang dengan tanpa pera-
saan, seakan ada rasa kurang senang dengan ke-
hadiran pasukan kerajaan.
Pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Pan-
glima Perang Sitasi Cibana, kini makin mendekat
ke arah mereka. Dan tidak lama kemudian sam-
pailah mereka di tempat tersebut.
"Kami harap saudara-saudara urungkan
niat!" Sitasi Cibana buka suara. Suaranya yang
besar dan penuh mengandung kewibawaan men-
jadikan dirinya makin nampak gagah. "Kaisar ti-
dak menghendaki kalian menjadi orang-orang ne-
kad!"
Fiji Nakoya yang sebagai tangan kanan Taka
Nata nampak membeRengut. Matanya meman-
dang penuh tantangan pada Sitasi Cibana yang
masih duduk di atas pelana kudanya. Dua orang
itu akhirnya saling pandang, seakan ingin me-
nunjukkan kewibawaan masing-masing. Mata
mereka kini bukanlah mata persahabatan, akan
tetapi merupakan sorot permusuhan. Dengan lan-
tang Fiji Nakoya berseru; "Panglima, turunlah
engkau dari kuda!"
"Apa yang ingin engkau katakan, Fiji? Ka-
takanlah!"
"Huh! Sombong! Aku tidak ingin pihak kera-
jaan ikut campur dalam urusan ini!" Fiji Nakoya
kembali berkata.
"Tapi kalian adalah rakyat. Dan sebagai ra-
kyat, kalian haruslah menurut!"
"Tidak bisa! Kami sekarang akan berdiri sen-
diri! Kami akan membentuk kerajaan Ninja di Ta-
nah Jawa!" Fiji Nakoya lantang berseru, tak ada
ketakutan di hatinya. Tekadnya yang direncana-
kan dengan Taka Nata telah bulat, yaitu tekad
untuk mampu membangun sebuah kerajaan yang
menyendiri dengan kuasa penuh di tangannya.
Hingga Kaisar tak akan dapat seenaknya meme-
rintah. "Katakan pada Kaisar, kami tak akan meminta bantuan! Kami akan berjalan dengan se-
mangat kami dan kemampuan kami!"
"Orang tolol!" Sitasi Cibana nampak marah
mendengar ucapan Fiji Nakoya. "Kalian benar-
benar orang tolol!"
"Bangsat!" Fiji Nakoya balik membentak.
"Kau yang bangsat Fiji! Kau dan anak buah-
mu telah memberontak pada kerajaan!"
"Bedebah! Seraaannnggggg....!"
Mendengar seruan Fiji Nakoya, seketika se-
mua anak buahnya yang berjumlah hampir lima
puluh orang itu dengan nekad berkelebat menye-
rang. Kelima puluh orang itu begitu ganas, seper-
tinya mereka benar-benar ingin menunjukkan
bahwa diri mereka benar-benar bukan orang
sembarangan.
"Pemberontak! Prajurit.... seraaaaaang...!" Si-
tasi Cibana yang melihat anak buah Taka Nata
menyerang dengan segera berseru memerintah-
kan prajuritnya memapaki. Dan para prajurit
yang berjumlah dua kali lipat dari jumlah anak
buah Taka Nata pun dengan segera serta disertai
gagah berani memapaki serangan mereka. Tidak
ayal lagi, dua kekuatan itu saling bentrok.
Kini tidak ada lagi yang dapat dikata, atau
dijadikan alasan untuk menentukan mana yang
benar. Dan hanya perang saja yang nantinya
mampu berbicara, siapa di antara keduanya yang
benar-benar tangguh dan kuat.
Para anak buahnya terus berantem, saling
serang untuk dapat menjatuhkan musuh. Se-
mentara itu Fiji Nakoya dan Sitasi Cibana masih
berdiam di tempatnya, keduanya seakan tidak in-
gin mendahului untuk menyerang.
"Trangg...!"
Senjata di tangan mereka saling beradu.
"Wuuusssstt..!"
"Bleeessttt...!"
"Aaaaaaaaaa...!"
Nyawa melayang bersamaan dengan mun-
cratnya darah dari tubuh orang yang tersambar.
Namun begitu, yang masih hidup seperti tidak
mendengar sama sekali jeritan rekannya. Semua-
nya nampak tiada takut untuk memapaki kema-
tian, dan sepertinya memang hal itu yang mereka
cari untuk menunjukkan bahwa dirinya benar-
benar yang paling kuat.
Tombak, Samurai, serta senjata-senjata ra-
hasia yang mereka miliki terus ikut meramaikan
pertempuran tersebut. Dan setiap kali Pedang
atau senjata rahasia mengena tubuh lawan, maka
pekikkan kematian pun tidak dapat dihindarkan
dari telinga.
Pantai Nagoya kini nampak membara. Darah
merembes membasahi pasir pantai, sehingga pa-
sir pantai Nagoya seakan berwarna kelabu. Darah
itu beraduk dengan air laut yang pasang, lalu hi-
lang berbaur dengan air. Walaupun demikian,
pertarungan seakan tiada henti. Dari pasukan ke-
rajaan nampak makin mengganas, serangan me-
reka sebagai pasukan yang sudah terlatih bagai-
kan topan melanda batu karang kecil. Walau jum-
lah pasukan Fiji Nakoya kecil, namun keberanian
mereka patut diacungkan jempol. Keberanian me
reka sebagai seorang Ninja benar-benar telah ter-
bukti. Bagi mereka hanya dengan cara itu mereka
menemukan diri mereka sebagai Ninja.
"Wuuuut...!"
"Trang...!"
"Wuuuuutttttt...!"
"Bless...!"
"Aaaaaaaaaaa...!" Korban kembali datang,
bareng dengan melesatnya senjata di tangan me-
reka. Samurai-samurai yang mengandung Racun
Fuji Hitam terus mencari mangsa. Dan mangsa
tersebut tak lain dari lawan atau dirinya sendiri.
Gerakan-gerakan mereka begitu liar. Tak ada
lagi ilmu silat di antara kerumunan perang itu,
yang ada hanya kemampuan membunuh atau
mati dibunuh oleh senjata lawan. Ilmu silat di si-
tu hanyalah mereka gunakan dalam keadaan
luang saja, atau untuk mengelak. Sedangkan
yang paling berfungsi di situ tidak lain mental dan
kecerdikan mereka. Siapa yang cerdik, maka di-
alah yang akan mampu menjatuhkan lawannya.
Melihat anak buahnya banyak yang mati,
dengan penuh amarah Fiji Nakoya segera berkele-
bat terjun di arena pertempuran. Fiji Nakoya be-
nar-benar bagaikan kesetanan, dengan memben-
tak dan mencaci maki terus menyerang.
"Orang-orang Kerajaan bodoh! Kalian
akan mampus! Hiaaatt!"
"Wuuutttt...!"
Samurai di tangannya berkelebat, membabat
ke sana ke mari. "Aaaaaaaaa...!"
Satu orang terkena babatan Samurai Fiji Na
koya, menjerit ambruk, lalu kelojotan sebentar
dan nyawa pun melayang. Fiji Nakoya tidak puas,
kembali dibabatkannya Samurai ke arah lawan.
"Wuuutttt...!"
"Aaaaaaaa...!"
Fiji Nakoya benar-benar bagaikan tak kenal
kompromi. Baginya ia harus mampu membunuh
sebanyak-banyaknya pihak musuh, dan bila perlu
kekaisaran harus berhasil ia kuasai. Fiji Nakoya
makin mengganas, Samurainya bagaikan tak
mengenal kasihan. Setiap tebasan Samurai di
tangannya menjadikan jerit kematian musuhnya.
Melihat para prajuritnya banyak yang mati di
tangan Fiji Nakoya, maka marahlah Sitasi Cibana.
"Nakoya keparat! Akulah musuhmu!"
Dengan Samurai siap terhunus, Sitasi Ciba-
na segera berkelebat masuk ke arena pertarun-
gan. Dipapakinya Fiji Nakoya yang tengah men-
gamuk. Dibabatkannya Samurai ke arah Fiji Na-
koya, yang saat itu tengah membabatkan Samu-
rainya ke arah prajuritnya
"Wuuutttt...!"
Fiji Nakoya yang melihat Sitasi Cibana ba-
batkan Samurai ke arahnya dengan segera balik
menyerang. Ditariknya Samurai yang hendak me-
nyerang prajurit, lalu dengan cepat Samurai itu
diarahkan menangkis ke arah datangnya Samurai
lawan.
"Bangsat, Penjilat Kaisar!" bentaknya.
"Wuuuuttttt...!"
"Wuuuuttttt...!"
"Trang...!"
Dua Samurai saling beradu, menempel leng-
ket bagaikan dibaluti lem. Mata keduanya nam-
pak tajam, saling pandang seakan mendalami hati
dan kekuatan musuh.
"Kau harus digantung, Nakoya!" Sitasi nam-
pak menggeram.
"Jangan kau kira mampu, Anjing Kaisar!"
"Bedebah!"
"Wuuuuttttt...!" Samurai ditarik oleh Sitasi,
lalu dengan cepat Samurai di tangannya kembali
berkelebat mengarah ke arah Fiji Nakoya.
Fiji Nakoya egoskan tubuh ke samping
menghindar, disertai dengan kiblatkan Samu-
rainya ke arah datangnya Samurai lawan.
"Wuuuuttttt...!"
Melihat musuhnya dapat menghindar, kem-
bali Sitasi Cibana kebatkan Samurainya mencer-
ca. Dan kini serangannya nampak makin keras,
seakan Sitasi Cibana bergerak liar, menjadikan
sebuah guratan-guratan warna Samurai.
"Wuuuutttt...!"
Fiji Nakoya kini benar-benar tersentak kaget.
Ia tidak menyangka kalau musuhnya benar-benar
orang yang patut diperhitungkan. Ilmu pedang
musuhnya nampak begitu tinggi, mungkin berada
satu atau dua tingkat di atasnya. Fiji Nakoya kini
tak mampu lagi untuk membalas. Jangankan
membalas, menghindar pun rasanya kini harus
mengadu nyawa. Fiji Nakoya nampak nekad, Sa-
murainya ditusukkan ke arah lambung lawan.
Namun rupanya Sitasi bukanlah sembarangan
prajurit istana. Sitasi sepertinya telah mampu
mendeteksi gerakan musuhnya. Dan ketika Fiji
Nakoya kembali tusukan Samurai, dengan cepat
Sitasi Cibana putarkan Samurainya cepat. Hing-
ga...!
"Wuuuttt! Wuuut Wuuuuttt...!"
"Trang...! Trang! Trang...!"
Fiji Nakoya tersentak, berusaha menghindar.
Akan tetapi, Samurai musuh kini telah mendahu-
luinya.
"Wuuuuttt...!"
"Blesssttt."..!"
"Cras!"
"Aaaaaaaa...!" Fiji Nakoya memekik mana ka-
la Samurai di tangan musuh tembus dan memba-
bat tubuhnya. Darah muncrat ke luar, menjadi-
kan Fiji Nakoya yang berbadan besar itu kini ba-
gaikan limbung. Sejenak tubuhnya kaku berdiri
dengan mata melotot ke arah Sitasi Cibana, lalu
akhirnya tubuh besar Fiji Nakoya ambruk dan
mati.
Melihat ketuanya mati, semangat anak buah
Taka Nata nampak menurun. Hal itu diketahui
oleh musuhnya yang dengan cepat mendesak,
mencerca mereka. Dalam waktu singkat, semua
anak buah Taka Nata habis terbantai oleh para
prajurit yang tidak mengenal lagi arti kemanu-
siaan.
"Aaaaaaa...!"
"Mampus! Bagero...!"
Jerit kematian menggema dari mulut anak
buah Taka Nata, diikuti oleh ambruknya tubuh
mereka satu persatu. Yang menjadikan tempat
tersebut kembali senggang. Melihat musuh-
musuhnya mati, tanpa perduli lagi semua prajurit
istana segera menghentakan kaki kuda mereka
untuk kembali ke istana melaporkan apa yang te-
lah mereka lakukan. Langkah kuda mereka kini
memburu, sepertinya mereka ingin segera sam-
pai. Di punggung depan kuda-kuda mereka,
nampak sosok-sosok tubuh temannya yang gu-
gur. Sedang di punggung kuda Sitasi Cibana ter-
baring dengan kaku Fiji Nakoya, seorang tangan
kanan Taka Nata yang hendak mereka jadikan
bukti di kerajaan.
Sore pun menghilang, berganti dengan ma-
lam yang merambat cepat. Matahari yang tadinya
masih menyaksikan kejadian di muka Bumi, lam-
bat laun menghilang. Seakan Matahari benar-
benar tidak ingin dirinya menjadi saksi lebih lama
akan kejadian di Bumi. Bersamaan malam da-
tang, burung-burung pemangsa bangkai pun ber-
terbangan ke tempat tersebut. Namun burung-
burung itu sejenak kembali terbang, menghilang
entah ke mana....
***
DUA
Betapa murkanya Taka Nata demi melihat
prajurit-prajuritnya telah bergelimpangan mati.
Namun kekesalan Taka Nata belum dapat menen-
tukan siapa adanya orang-orang yang telah berlaku keji itu. Taka Nata benar-benar belum tahu
siapa dalang dari semua kejadian yang menjadi-
kan seluruh prajuritnya dan tangan kanannya Fiji
Nakoya mati. Tubuh-tubuh prajurit Taka Nata
berserakan tinggal tulang, dan hanya Fiji Nakoya
saja yang tidak ada di situ.
Mata Taka Nata yang tajam, memandang
dengan penuh kepedihan dan dendam. Dendam
pada orang-orang yang telah membunuh semua
prajuritnya, yang sampai sekarang belum ia keta-
hui.
"Bangsat! Bagero!" Taka Nata memaki-maki
sendiri. "Kunyuk siapa yang telah berbuat semua
ini?"
Kakinya melangkah lemah, menapaki sela-
sela tubuh-tubuh rekan sekaligus prajuritnya
yang terkapar tanpa nyawa.
"Aku harus menuntut balas atas semuanya!
Aku akan membikin perhitungan dengan bangsat-
bangsat tersebut!" Mengerutu hati Taka Nata pe-
nuh kebencian. Segala pertanyaan siapa yang te-
lah membunuh prajurit-prajuritnya belum terja-
wab. Semua seakan teka-teki yang benar-benar
susah untuk dipecahkan. "Mungkinkah pihak
kaisar? Atau musuh-musuhku yang memang in-
gin mengadakan pembalasan terhadapku dan
mencari kesempatan ini?"
Pertanyaan demi pertanyaan, terus terulang
dalam sanubari Taka Nata, saling beraduk satu
sama lainnya. Namun seakan semua pertanyaan
tersebut raib tanpa adanya jawaban yang pasti.
Dan Taka Nata mencoba mengingat-ingat siapa
siapa musuh-musuhnya yang memang menden-
dam padanya.
"Musuhku.... Ajima, Sujataka, Fa-Fu-Sai.
Hem, mungkinkah ketiga Naga Fuji itu yang me-
lakukannya?" tanya hati Taka Nata. "Kalau me-
mang mereka, Hem, jangan harap mereka akan
mendapat ampun dariku."
Setelah untuk sekian lamanya memandangi
sosok-sosok tubuh tinggal tulang milik anak
buahnya, dengan sekali kebat Taka Nata mening-
galkan tempat tersebut. Di hatinya kini ada den-
dam, dendam yang harus dilunasi oleh pemberi
hutang nyawa-nyawa prajuritnya.
* * *
Taka Nata benar-benar mendatangi tempat
ketiga Naga Fuji yang tinggal di lereng gunung Fu-
jiyama. Kini Taka Nata benar menjadi seorang
Ninja yang tak kenal ampun. Segenap tubuhnya
kini terbalut lilitan kain Putih Perak, sehingga se-
tiap gerakannya benar-benar memantulkan ca-
haya berkilauan. Sedang Samurai, nampak mele-
kat di pundaknya. Samurai dengan gagang teng-
korak yang merupakan simbol yang sangat dita-
kuti bagi para pendekar di negeri Nippon. Simbol
tengkorak tersebut hanya dimiliki oleh seorang
Ninja, yang tidak lain Taka Nata adanya. Samu-
rainya bernama Samurai Iblis!
Tubuh Taka Nata nampak ringan, berlari
melompati tebing-tebing bersalju di Gunung Fu-
jiyama. Terkadang berhenti sesaat, palingkan
muka memandang ke belakang, lalu kembali me-
lompat bagaikan seekor kancil yang gesit. Dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuh Ninjanya
yang sempurna, Taka Nata kini benar-benar ba-
gaikan terbang layaknya. Dalam sekejap saja kini
kaki Taka Nata yang memakai sepatu beralas
khusus di salju telah menginjakkan kakinya pada
tebing-tebing salju di dekat kediaman ketiga Naga
Fuji tersebut.
Taka Nata berdiri mematung, pandangannya
lurus ke muka, seakan hendak menghancurkan
segala yang ada di hadapannya. Tangannya men-
gepal, layaknya hendak menghancurkan apa yang
dapat diremas oleh tangannya. Napas Taka Nata
nampak memburu, liar bagaikan tiada menentu.
Lama dirinya diam memandang pada sebuah
bangunan di lereng gunung Fuji tersebut, kemu-
dian dengan lantang dan disertai tenaga dalam
dia berseru, "Bajero Fa-Fu-Sai, keluar kau...!"
Fa-Fu-Sai yang saat itu tengah duduk-duduk
di hadapan murid-muridnya tersentak demi men-
dengar seruan seseorang dengan panggilan yang
tidak sopan. Matanya sejenak memandang kaget
pada kelima murid-muridnya, lalu dengan kesal
dia berkata.
"Siapakah yang datang...? Tolong kau lihat
keluar, Moro!" perintahnya pada sang murid yang
bernama Amoro.
Amoro tanpa membantah segera bangkit dari
duduknya, lalu dengan penuh kejengkelan tidak
terima orang di luar telah kurang ajar pada gu-
runya, Amoro menemuinya. Tersentak Amoro demi melihat siapa adanya yang datang. Seorang
Ninja berpakaian putih perak dengan Samurai
bergagang Tengkorak.
"Taka Nata...!" Amoro terbelalak, dengan ce-
pat dia berkelebat masuk kembali untuk memberi
tahukan pada sang guru akan kedatangan Ninja
Taka Nata atau Ninja Samurai Iblis. "Suhu.... Su-
hu! Dia datang kembali, Suhu."
Semua rekannya termasuk sang guru terbe-
lalak.
"Kenapa Moro...?" Sang Guru bertanya.
"Dia kembali datang, Suhu."
"Dia siapa. Moro?"
"Dia.... dia Samurai Iblis!"
"Apa...?" Sang guru terjengah kaget. "Taka
Nata...? "
"Benar, Suhu."
Fa-Fu-Sai terdiam kecut demi mendengar
siapa adanya yang datang. Hatinya bertanya, "Un-
tuk maksud apa dia kembali datang ke mari?"
Semuanya tiada dapat Fa-Fu-Sai jawab. "Memang
dulu kami musuhnya, akan tetapi sudah begitu
lama kami tidak mengadakan suatu pertarungan.
Dan kami telah saling berjanji tidak mengganggu.
Hem, apa gerangan maunya...?"
Tengah Fa-Fu-Sai berpikir, terdengar kemba-
li suara Taka Nata berteriak. "Fa-Fu-Sai, apakah
kau telah menjadi seorang pengecut? Keluarlah...!
"
Fa-Fu-Sai terdiam sesaat, setelah meman-
dang pada kelima muridnya, Fa-Fu-Sai pun den-
gan langkah ringan beranjak dari duduknya dan
melangkah ke luar. Di belakangnya kelima mu-
ridnya turut mengiringinya. Fa-Fu-Sai terpaku di-
am di depan pintu, memandang ke arah di mana
Taka Nata berada.
"Oooh... Selamat datang di tempat kami, Ta-
ka?" sapa Fa-Fu-Sai ramah. "Maaf, kami tidak se-
layaknya menyambut dalam keadaan begini. Un-
tuk itu, sekali lagi kami minta maaf."
Taka Nata nampak sunggingkan senyum, la-
lu kakinya melangkah mendekat ke arah Fa-Fu-
Sai beserta kelima muridnya.
"Fa, aku minta kau menjawab dengan jujur."
"Tentang apa itu, Taka?"
Taka Nata tarik napas panjang, lalu kembali
berkata.
"Kau tahu siapa yang membinasakan anak
buahku?"
"Apa...?" Fa-Fu-Sai belalakkan mata kaget
demi mendengar ucapan Taka Nata. "Ah, mana
mungkin bisa terjadi, Taka? Bukankah kau seo-
rang Pendekar Agung?"
"Aku tidak tengah bercanda, Fa."
"Maaf, Taka. Kami sudah setahun ini tiada
keluar dari tempat kami. Jadi manalah mungkin
kami tahu segalanya di luar?"
"Jadi kau menolak tuduhanku, Fa?"
"Ah, sungguh kami tiada mengerti, Taka."
"Baiklah! Kalau begitu, maka aku mohon
pamit," Taka Nata menjura, namun dengan cepat
Taka Nata berkelebat dengan Samurai Iblisnya
yang telah di tangan menyerang.
"Wuuuuttt...!"
"Bajero! Mengapa kau menyerangku, Taka?!"
bentak Fa-Fu-Sai sambil melompat ke belakang.
"Apa salah kami, Taka?"
"Tanya pada dirimu sendiri nanti di akherat,
Hiaaattt...!"
Taka Nata kini tiada memberi kesempatan
pada Fa-Fu-Sai untuk berkata. Samurai Iblis di
tangannya benar-benar meminta nyawa, mende-
ru-deru dengan cepat membabat dan menusuk.
Melihat sang Suhu diserang begitu rupa,
dengan cepat kelima muridnya cabut pedang. Ke-
limanya dengan geram dan marah berkelebat
memapaki serangan Taka Nata.
"Suhu biarkan kami yang menghadapinya,"
Yang berkata murid Fa-Fu-Sai yang pertama.
"Benar, Suhu. Orang ini biarlah kami yang
menghadapinya," Tambah lainnya. "Biarlah kami
menjajal ilmunya!"
Taka Nata sunggingkan senyum, lalu dengan
mengejek berkata.
"Jangan tanggung-tanggung, kalian dengan
Guru kalian majulah, biar cepat aku bereskan!"
Habis berkata begitu, dengan cepat Taka Na-
ta kebatkan Samurai Iblisnya ke arah musuh.
"Wuuuuutttttt...!"
Tersentak kelima murid Fa-Fu-Sai, yang
dengan segera melompat mundur dengan didahu-
lui memekik kaget. Kelimanya kini benar-benar
sadar bahwa sang musuh bukanlah orang semba-
rangan, apa lagi Samurainya yang dikatakan Sa-
murai Iblis. Samurai itu mampu menggetarkan
sukma mereka.
"Bajero! Awas...!" Murid pertama memperin-
gatkan, mana kala Taka Nata kembali menggem-
pur mereka.
"Wuuuuttt...!" Taka Nata kebaskan Samu-
rainya.
"Traaanggg...!" Dengan cepat kelima murid
Fa-Fu-Sai balas menangkis. Kelima Samurai di
tangan lima murid Fa-Fu-Sai saling bertemu,
menjepit Samurai Iblis. Mata keenam orang itu
saling pandang dengan tajam. Lebih-lebih kelima
murid Fa-Fu-Sai, mereka nampaknya benar-
benar harus mengeluarkan tenaga yang besar
agar mampu bertahan.
Fa-Fu-Sai yang tahu akan kehebatan ilmu
pedang Taka Nata tersentak kaget mana kala me-
lihat kelima orang muridnya nekat mengadu pe-
dang mereka dengan Taka Nata.
"Bahaya...! " pekiknya tertahan. "Aku harus
membebaskan kelimanya."
Sebelum semuanya terlanjur, dengan cepat
Fa Fu-Sai berkelebat mencelat ke angkasa. Tan-
gannya memegang Samurai bergerak cepat. Tan-
gan itu diarahkannya ke arah Taka Nata, lalu
dengan berteriak dia babatkan pedangnya.
"Hiiiiiiiaaaaaaattttt...!"
"Wuuuuuuuutttt...!"
Taka Nata yang melihat gerakan Fa-Fu-Sai
nampak tenang, dan dia hanya cukup tarik Sa-
murainya. Setelah Fa-Fu-Sai dekat, dengan cepat
Taka Nata babatkan Samurainya ke arah kelima
murid Fa-Fu-Sai yang seketika itu terbelalak ka-
get. Kelimanya tercekap dan dengan nekad balas
membabat Samurai lawan. Hal itu memang yang
ditunggu-tunggu oleh Taka Nata. Dan mana kala
kelimanya memapaki Samurainya, Taka Nata
lemparkan tubuh ke belakang menghindari se-
rangan yang dilancarkan Fa-Fu-Sai. Tidak ayal,
Samurai Fa-Fu-Sai melejit ke arah kelima murid-
nya yang saat itu tengah balik menyerang Taka
Nata.
"Bajero! Licik...!' Fa-Fu-Sai membentak ma-
rah, tarik kembali Samurainya urungkan niat
menyerang. Bagaimana pun, kalau dia teruskan
menyerang, maka murid-muridnyalah yang akan
menjadi korbannya. Fa-Fu Sai tolakkan tubuhnya
kembali ke belakang, lalu ketika kakinya mengin-
jakkan tanah kembali tubuh, Fa-Fu-Sai mental ke
angkasa. Dengan gerakan Tarikan Sinar Pelangi,
Fa-Fu-Sai kembali mencoba membantu kelima
muridnya yang tengah menghadapi kesulitan.
Kelima murid Fa-Fu-Sai nampak benar-
benar kewalahan menghadapi serangan Taka Na-
ta. Samurai di tangan Taka Nata kini benar-benar
bagaikan sebuah lingkaran Iblis yang sukar di-
tembus oleh serangan mereka. Bahkan kalau Ta-
ka Nata mau, dalam sekejap saja Samurai di tan-
gannya akan mampu menghabisi nyawa mereka
dalam sekejap.
"Wuuuuttt! Wuuuuuttt! Wuuuuttt!" Samurai
Iblis di tangan Taka Nata berkelebat membabat.
Segera kelima murid Fa-Fu-Sai lemparkan tubuh
ke samping menghindar, lalu dengan untung-
untungan kelimanya balas menyerang.
"Wuuuut...!"
"Wuuuuuttt...!"
Taka Nata yang ingin hanya memberikan pe-
lajaran pada kelima murid Fa-Fu-Sai, sepertinya
tidak mengingini kelimanya mati di tangannya.
Maka dengan gerak Iblis Menyapu Awan, Taka
Nata kibaskan Samurai Iblisnya. Gerakan Samu-
rai Iblis di tangan Taka Nata yang memutar, tan-
pa ampun lagi harus dihadapi oleh Samurai keli-
ma murid Fa-Fu-Sai.
"Wuuuuuuuuuttttttt...!"
"Wuuuuttt...!"
"Traang...!"
'"Ahai!" kelimanya memekik, tangan mereka
bagaikan terhantam ribuan kaki. Tangan mereka
kini bergetar sedangkan Samurai di tangan keli-
ma murid Fa-Fu-Sai kini tinggal sepotong. Samu-
rai mereka puntung terbabat oleh Samurai Iblis di
tangan Taka Nata yang terbuat dari Perak Murni.
Kini mata kelima murid Fa-Fu-Sai benar-benar
harus terbuka lebar, mereka harus menyakinkan
diri mereka siapa adanya orang yang kini mereka
hadapi.
Ternyata bukan hanya kelima muridnya
yang tersentak kaget, akan tetapi Fa-Fu-Sai juga
terbelalak. Bagaimana pun, Fa-Fu-Sai tidak me-
nyangka kalau kelima muridnya akan dengan
mudah dikalahkan oleh Taka Nata. Ilmu kelima
muridnya bukanlah ilmu anak-anak ingusan. Me-
reka telah dididik oleh Fa-Fu-Sai dengan ilmu-
ilmu tinggi yang sebanding dengan ilmu yang di-
miliki olehnya. Akan tetapi, di hadapan Taka Nata
kini mereka bagaikan tiada arti sama sekali.
"Sungguh bukan ilmu sembarangan, ilmu yang
dimiliki oleh Taka Nata," gumam hati Fa-Fu-Sai.
"Fa, aku minta, kau dan kelima muridmu
menyerahlah!" Taka Nata berkata, "Aku tak ingin
membunuh kalian sia-sia, akan tetapi aku hanya
minta kalian mau membantuku. Itu saja...!"
Fa-Fu-Sai dan kelima muridnya terbelalak
kaget mendengar apa yang dituturkan Taka Nata.
Keenam murid dan guru itu saling pandang, sea-
kan ingin menyakinkan akan apa yang telah dika-
takan oleh Taka Nata. Setelah saling pandang an-
tara guru dan murid, lalu keenamnya meman-
dang dengan penuh ketidakmengertian pada Taka
Nata.
"Kalau kalian mau, maka kalian akan men-
jadi sahabatku," Taka Nata kembali berkata. "Tapi
kalau tidak, maka sampai kemana pun kalian
akan aku kejar!"
Kembali keenam murid dan guru itu saling
pandang
"Bagaimana, Fa?"
"Kami belum mengerti, Taka," jawab Fa-Fu-
Sai.
"Hua, ha, ha...! Fa, aku hanya minta tenaga
kalian untuk membantu usahaku."
"Apa yang dapat kami lakukan, Taka?" Kem-
bali Fa bertanya.
"Cukuplah kau dan kelima muridmu meng-
hubungi rekan-rekan kalian untuk bergabung
denganku."
"Tidak bisa begitu, Taka. Katakan apa mak-
sudmu, baru nanti kami akan mempertimbang
kannya," jawab Fa-Fu-Sai masih tenang, walau-
pun ia merasa tak akan unggulan bila harus ben-
trok dengan Taka Nata. Tetapi, jikalau dia harus
menyerah begitu saja, di mana ia akan menaruh
mukanya?
"Baik! Dengarkan oleh kalian! Aku akan me-
lakukan pembalasan pada Kaisar yang telah
membunuh seluruh anak buahku."
Tersentak Fa-Fu-Sai mendengar akan apa
rencana Taka Nata yang tiada terduga tersebut.
Bagaimanapun juga, Fa-Fu-Sai pernah mengabdi
pada kerajaan yang akhirnya memusuhi kerajaan
dikarenakan dirinya tidak sehaluan dengan kera-
jaan. Mungkin Taka Nata juga sama seperti di-
rinya dan kedua rekannya.
"Bagaimana, Fa?" tanya Taka Nata demi me-
lihat Fa-Fu-Sai masih terdiam. "Bukankah kau
dan kedua rekanmu juga sama seperti diriku?"
"Baiklah, Taka," Akhirnya Fa-Fu-Sai membe-
ri jawaban. "Kalau begitu, aku dan kelima murid-
ku akan membantumu, juga mungkin kedua re-
kanku, si Naga Kuning dan Naga Biru."
"Bagus itu! Kalau benar kalian akan mem-
bantuku, maka kita akan menjadi sebuah kekua-
tan yang dahsyat. Bukan begitu, Fa."
Kedua musuh bebuyutan itu akhirnya saling
tertawa bareng hingga keadaan tubuh mereka ki-
ni terguncang-guncang. Tawa mereka membaha-
na, menyusup ke bebatuan yang ada di sekeliling
mereka hingga menimbulkan gema yang meng-
gaung.
"Baiklah, Fa. Aku pergi dulu," Taka Nata
menjura pada orang bekas musuhnya, yang juga
membalas menjura. "Sayonara, Fa. Sampai kete-
mu lusa di kediamanku."
"Sayonara, semoga kita akan selalu dalam
persatuan," jawab Fa-Fu-Sai, nadanya seakan ia
benar-benar merasa gembira menjadi sahabat Ta-
ka Nata. Sudah beberapa kali dia dan kedua Naga
lainnya bentrok dengan Taka Nata, namun mere-
ka tiada pernah menang sekali pun juga. Kini Ta-
ka Nata meminta dirinya juga dua orang rekannya
menjadi sahabat, bukankah suatu kesempatan
baik mengadakan persahabatan?
"Kita beruntung, Murid-muridku," Fa-Fu-Sai
berkata akhirnya setelah melihat Taka Nata telah
menjauh dan akhirnya hilang di belokan.
"Mengapa begitu, Suhu?" tanya kelima mu-
ridnya.
"Ya, Kalau dia mau, dia dengan mudah akan
menjatuhkan kita. Akan tetapi rupanya dia
menghendaki kita menjadi sahabatnya. Bukankah
itu yang diinginkan semua Pendekar untuk ber-
sahabat dengannya?" Menerangkan Fa-Fu-Sai.
"Yaa! Kita harus bersyukur, sebab dia ter-
nyata masih menghargai kita."
Kelima muridnya menunduk, lalu dengan
beriring keenam murid dan guru itu beranjak
kembali masuk ke tempatnya untuk mengatur tu-
gas mereka masing-masing. Mereka benar-benar
ingin membantu Taka Nata.
***
TIGA
Apa yang direncanakan Taka Nata untuk
menarik ketiga musuh bebuyutannya untuk men-
jadi rekan sejuang, tampaknya berhasil ditunai-
kan oleh Fa-Fu-Sai dan kelima muridnya.
Fa-Fu-sai yang menghubungi sahabatnya
Naga Kuning, sementara kelima muridnya meng-
hubungi Naga Biru.
Hari itu keenam guru dan murid nampak
memacu kuda-kuda mereka menuju ke simpang
gunung Fuji di mana kedua rekan Fa-Fu-Sai ting-
gal. Dengan hanya memakan waktu setengah hari
perjalanan, maka keenam murid dan guru itu
dengan cepat sampai di tempat tujuan. Di sim-
pang jalan bercabang, keduanya berpisah. Sang
guru berjalan menuju ke kediaman Naga Kuning,
sementara kelima muridnya dengan membawa
surat menuju ke tempat Naga Biru.
"Kita berpisah dan harus berhasil menjalan-
kan tugas kita,"
"Akan kami usahakan, Suhu," jawab keli-
manya. "Kami mohon pamit, Suhu."
"Do'aku selalu mengikuti kalian. Aku berha-
rap kalian akan menemukan keberhasilan."
"Terimakasih, Suhu."
Kelima murid Fa-Fu-Sai menjura, lalu den-
gan segera kelimanya pun meninggalkan sang
guru yang masih terpaku diam dengan kudanya.
Fa-Fu-Sai baru melajukan kudanya tatkala keli-
ma muridnya telah menghilang dari pandangan
nya. Kuda itu dihelanya ke arah yang berlawanan,
yaitu sebuah jalan yang membelok ke kanan.
"Apakah aku akan berhasil melakukan tu-
gas?" tanya Fa-Fu-Sai dalam hati. "Ah, moga saja
Naga Kuning akan mau menerima persahabatan
yang diinginkan oleh Taka Nata."
Kembali dihelanya kuda dengan kencang,
sehingga kuda itu berlari bagaikan kibasan angin.
Lari kuda itu pesat, menjejak bebatuan yang me-
layang mana kala tersepak kakinya. Dingin salju
yang menyelimuti gunung Fujiyama bagaikan tak
mempengaruhi tekad Fa-Fu-Sai untuk menemui
Naga Kuning. Tidak berapa lama antaranya, kuda
yang ditumpangi Fa-Fu-Sai sampai di sebuah ru-
mah panggung yang berdiri di tengah-tengah hu-
tan pinus yang memutih oleh salju yang menutu-
pinya. Perlahan kuda dihentikan, lalu dengan rin-
gan Fa-Fu-Sai lompatkan tubuh turun. Kudanya
di tambatkan, melangkah kakinya menginjak sal-
ju yang begitu dingin hingga sepatu sendal yang
dikenakan bagaikan bantalan karet es.
"Sampurasun...?" Fa-Fu-Sai menguluk sa-
lam.
Tak ada jawaban dari dalam rumah itu,
hanya terdengar langkah berat beranjak menuju
ke luar. Langkah-langkah yang seakan mengan-
dung rasa was-was dan hati-hati. Lama Fa-Fu-Sai
menanti orang yang dia nanti.
"Kreettt...!"
Pintu rumah dibuka, dan dari dalam rumah
nampak keluar seorang lelaki setengah baya den-
gan wajah pucat pasi. Wajah itu walau pucat na
mun menandakan betapa dulunya dia adalah seo-
rang yang berjiwa baja.
"Naga Kuning...!" Fa-Fu-Sai teriak tertahan
demi melihat keadaan kambratnya. Segera Fa-Fu-
Sai berlari ke arah Naga Kuning, lalu dengan pe-
nuh kerinduan Fa-Fu-Sai dekap rekannya seraya
bertanya. "Apa yang telah terjadi denganmu...?"
"Aku... aku," Naga Kuning tersendat, seper-
tinya sukar untuk berkata-kata.
"Kau kenapa, Adik...? Fa-Fu-Sai yang me-
mang lebih tua mendesak ingin tahu. "Apakah
kau sakit?"
Naga Kuning mengangguk.
"Sakit biasa...?"
Naga Kuning gelengkan kepala.
Fa-Fu-Sai makin tidak sabar ingin tahu, lalu
dengan memandang wajah Naga Kuning yang pu-
cat kembali Fa-Fu-Sai bertanya. "Kau telah berke-
lahi?"
"Ya!" jawab Naga Kuning pendek.
"Dengan siapa? Katakanlah, mungkin aku
akan mampu membuat pembalasan dengannya."
"Prajurit Kaisar," Kembali Naga Kuning men-
jawab.
"Jadi...?" Fa-Fu-Sai terbelalak. "Bajingan-
bajingan rendah Kaisar telah melukaimu?"
"Ya!"
"Aku akan membalaskannyya, Adik."
"Tak mungkin, Kakak."
"Kenapa?"
Naga Kuning hela napas panjang, lalu kata-
nya, "Bukankah di pihak Kaisar ada Taka Nata?"
"Tidak! Aku datang ke mari juga atas perin-
tah Taka Nata untuk meminta padamu agar mau
membantu dirinya memberontak."
"Apa...?!" Kaget Naga Kuning mendengar pe-
nuturan Fa-Fu-Sai yang mengatakan bahwa Taka
Nata kini memusuhi pihak kerajaan yang dulu di-
belanya. "Apakah dia benar-benar, Kakak?"
"Aku tidak berdusta, Adik," jawab Fa-Fu-Sai.
"Dia seperti kita. Dia juga ditolak permintaannnya
untuk ke Tanah Jawa. Itulah makanya dia me-
musuhi kerajaan dan mengajak kita bergabung
dengannya memberontak."
Naga Kuning kembali diam, sepertinya Naga
Kuning tengah memikirkan akan kebenaran yang
telah dikatakan oleh Kakak seperguruannya. Hal
tersebut menjadikan Fa-Fu-Sai kembali bertanya.
"Bagaimana, Adik?"
"Aku menyokong," jawab Naga Kuning sete-
lah menarik napas panjang, menjadikan Fa-Fu-
Sai tersenyum. Kembali dipeluknya Naga Kuning.
"Terimakasih. Mungkin kita akan menda-
patkan ketenangan bila telah bersatu dengan Ta-
ka Nata."
Kedua kakak beradik perguruan itu akhirnya
masuk ke dalam rumah Naga Kuning. Di dalam
keduanya meneruskan cerita apa saja yang sela-
ma perpisahannya keduanya alami. Ruangan ru-
mah Naga Kuning nampak berantakan, hal terse-
but menjadikan tanya Fa-Fu-Sai kembali.
"Mana istri dan anak-anakmu?"
Ditanya begitu rupa, bukannya menjadikan
Naga Kuning mampu menjawab. Bahkan tampak
air matanya berlinang, lalu tetes-tetes air bening
pun jatuh ke pipinya.
"Kenapa kau menangis, Adik?"
"Aku sedih, Kakak."
Dicobanya untuk menyeka air mata, lalu
dengan bibir pucat bergetar Naga Kuning yang
dulu merupakan Tiga Serangkai Naga yang ter-
kenal berani dan kokoh dalam pendirian bercerita
bagaimana keadaan keluarganya.
Dua tahun yang lalu mana kala dirinya baru
menjalankan tugas yang dilakukan dengan kedua
kakak seperguruannya yaitu Naga Merah dan Na-
ga Biru, Naga Kuning kembali untuk menemui is-
tri dan anak-anaknya. Tetapi, betapa marah dan
jengkelnya Naga Kuning mana kala mendapatkan
rumahnya berantakan. Mayat-mayat bergelim-
pangan di mana-mana. Mayat istri dan anak-
anaknya yang sangat ia sayangi.
"Aku menjerit kaget! Aku marah saat itu,
Kakak."
"Lalu, apakah kau mengetahui siapa pembu-
nuhnya?"
Naga Kuning gelengkan kepala.
Naga Merah terjengah diam, seakan turut
berduka atas segala yang dialami oleh Naga Kun-
ing. Tidak terasa gigi-gigi Naga Merah saling bera-
du, membunyikan suara gemerutuk. Untuk bebe-
rapa lama keduanya terdiam tanpa kata, seper-
tinya keduanya tengah merasakan penderitaan
yang panjang. Segala kejadian yang dialami oleh
mereka hampir sama. Seluruh keluarganya mati
terbantai, dan keduanya tiada tahu siapa yang te
lah membantai keluarga mereka. Kejadian itu se-
mua, terjadi mana kala mereka menentang kekai-
saran, sehingga mereka menganggap bahwa se-
muanya yang melakukan tak lain dari pihak kera-
jaan.
"Mengapa nasib kita sama, Adik?"
Terbelalak mata Naga Kuning mendengar
ucapan Naga Merah yang tiada diduganya. Ada
rasa tidak percaya dalam pancaran mata Naga
Kuning, sebab setahunya, Naga Merah bukanlah
orang sembarangan. Manalah mungkin semudah
itu musuh melakukannya? Dan istri Naga Merah
si Dewi Rembulan Perak juga seorang tokoh persi-
latan yang tidak rendah ilmu silatnya.
"Mana mungkin bisa begitu, Kakak?" tanya
Naga Kuning tidak begitu percaya. "Bukankah
Kakak Dewi Rembulan Perak seorang tokoh persi-
latan yang patut diperhitungkan?"
"Itulah, Adik. Aku juga mulanya tak menger-
ti. Dan aku juga bertanya-tanya siapa adanya
yang mampu mengimbangi ilmu istriku. Mulanya
aku menduga Taka Nata, akan tetapi bila dilihat
dari kematian istriku, jelas bukan oleh Taka Nata.
Istriku mati oleh sebuah senjata yang sampai se-
karang aku simpan. Ini...!"
Mata Naga Kuning kembali membeliak tatka-
la melihat senjata yang digenggam oleh Naga Me-
rah. "Bulu Landak...!"
"Ya! Inilah senjata yang telah membunuh is-
triku."
"Sama, Kakak."
Naga Merah kini yang kaget. Matanya melo
tot tidak percaya mana kala Naga Kuning kelua-
rkan Bulu Landak dari ikat pinggangnya. Mata
kedua saudara seperguruan itu begitu terbelalak-
nya, sebab keduanya tahu siapa adanya pemilik
Bulu Landak tersebut. Namun keduanya tidak in-
gin segalanya diperpanjang. Namun bila melihat
keadaan Naga Kuning, maka Naga Merah tidaklah
mampu menahan amarahnya.
"Benar-benar saudara celaka!" maki Naga
Merah gusar, entah ditujukan pada siapa makian
tersebut.
"Aku juga tidak mengerti, Kakak."
"Apakah kau tidak tahu siapa pemilik Bulu
Landak tersebut?"
Naga Kuning gelengkan kepala, lalu kata-
nya. "Sama sekali."
"Aku tadinya tidak yakin."
"Maksudmu, Kakak?"
"Bulu Landak adalah milik Naga Biru," jawab
Naga Merah.
"Ah...!" Tersentak Naga Kuning demi men-
dengar penuturan Naga Merah tentang siapa
adanya pemilik senjata beracun Bulu Landak
yang telah membinasakan keluarganya. "Kakak
tidak berdusta?"
Naga Merah gelengkan kepala, meyakinkan
adiknya.
"Apa sebenarnya maksud Naga Biru?" gu-
mam Naga Kuning.
"Kau ingat tentang Kitab Naga Api?" Naga
Merah bertanya, diangguki oleh Naga Kuning.
"Mungkin Naga Biru hendak berbuat curang pada
kita."
"Mungkin juga," Naga Kuning menggumam.
"Nah, dengan membunuh keluarga kita, di-
rinya hendak membuat kita jadi menderita. Be-
runtung waktu itu aku tahu bahwa senjata terse-
but dialah yang memilikinya."
Naga Merah kemudian menceritakan tentang
Naga Biru yang diketahuinya sebagai pemilik sen-
jata Bulu Landak. Suatu hari mana kala Naga Bi-
ru tengah berlatih sendiri di rumahnya, diam-
diam secara sembunyi-sembunyi Naga Merah
mengintai apa yang dilakukan oleh Naga Biru.
Mata Naga Merah membeliak mana kala melihat
apa yang saat itu dilakukan oleh Naga Biru. Naga
Biru rupanya tengah menguji kehebatan senjata
barunya, yang tidak lain Bulu Landak Maut. Bulu
Landak tersebut telah dilumuri oleh Racun Fuji
Hitam, sebuah racun yang beraksi cepat. Maka
bila korbannya tidak cepat ditolong dalam jangka
waktu satu jam, melayanglah nyawa seorang kor-
ban.
"Aku masih sangsi, Kakak."
"Maksudmu?" tanya Naga Merah kurang
mengerti.
"Apakah tidak ada orang lain yang memang
sengaja mencuri senjata tersebut dengan tujuan
memecah belah kita?"
"Bisa juga," jawab Naga Merah.
Keduanya kembali diam, sepertinya kedua-
nya tengah menganalisa siapa sebenarnya yang
menjadi biang dalam hal ini. Lama keduanya tan-
pa kata, dan hanya napas mereka saja yang ter
dengar mendesah berat.
"Apakah tidak sebaiknya kita ke sana?" usul
Naga Kuning.
"Maksudmu ke Naga Biru?" Balik bertanya
Naga Merah.
"Ya!"
"Ide yang bagus," jawab Naga Merah." Ayolah
kalau kau kuat untuk melakukan perjalanan
jauh."
"Aku masih sanggup, Kakak," jawab Naga
Kuning.
Setelah mempersiapkan segala apa saja yang
dibutuhkan untuk menjadi seorang pendekar
kembali, Naga Kuning pun disertai oleh Naga Me-
rah berangkat meninggalkan rumah untuk me-
nemui satu saudara seperguruannya lagi yaitu
Naga Biru. Keduanya hendak menyakinkan kebe-
naran adanya siapa yang telah menggunakan sen-
jata Bulu Landak Maut tersebut. Hari itu juga ke-
duanya memacu kuda-kuda mereka dengan kece-
patan tinggi. Keduanya tiada hiraukan hujan sal-
ju yang menetes membasahi lereng gunung Fuji.
Rasa dingin bagaikan tak menghalangi niat kedu-
anya.
* * *
Sementara itu di kediaman Naga Biru, nam-
pak kelima murid Naga Merah telah sampai. Ke-
limanya disambut dengan penuh persaudaraan
oleh Naga Biru. Dipersilahkannya kelima murid
kakak seperguruannya masuk, lalu dengan kea
kraban keenam orang tersebut saling berbincang-
bincang menceritakan apa yang mereka alami ju-
ga guru mereka. Diceritakan pula apa yang men-
jadi tujuan kedatangan mereka menemui Naga Bi-
ru.
"Jadi Guru kalian menyuruh kalian untuk
menemuiku?"
"Begitulah, Paman Guru," jawab murid yang
tertua.
"Apa yang kalian bawa?"
"Kami diperintahkan untuk memberi kabar
bahwa Taka Nata menghendaki Paman Guru mau
mendukung usahanya memberontak pada Kai-
sar."
Naga Biru sunggingkan senyum, dan dengan
sinisnya berkata setelah mendengar penuturan
murid-murid kemenakannya. "Kalian mau mem-
bantu Iblis...?!"
"Maksud Paman Guru?" Murid kedua ber-
tanya.
Naga Biru kembali hela napas, sementara
bibirnya masih menyungging senyuman. Hal ter-
sebut makin menjadikan ketidak mengertian ke-
lima murid Naga Merah.
"Percuma! Percuma kalian membantunya."
"Kenapa, Paman Guru?" Murid Naga Merah
yang pertama kembali bertanya. Matanya me-
mandang penuh ketidak mengertian pada paman
gurunya, diikuti oleh adik-adik seperguruannya.
"Kalian belum mengenal benar siapa adanya
Taka Nata," Naga Biru akhirnya menggumam.
"Hem, dia benar-benar licik!"
Makin penuh ketidakmengertian saja kelima
murid Naga Merah mendengar penuturan paman
gurunya. Bukankah menurut guru mereka ini
merupakan satu kesempatan. Mengapa paman
guru mereka malah menolak dan bahkan mencaci
maki? Namun segala pertanyaan tersebut hanya
mereka simpan dalam hati. Mereka tak berani un-
tuk mengutarakannya, sebab mereka takut kalau
paman gurunya nanti akan marah
Melihat kelima murid kemenakannya ter-
diam, Naga Biru pun kembali berkata: "Akulah
yang kini menanggung malu pada guru kalian
dan paman guru kalian Naga Kuning."
"Maksud, Paman...?" Kelimanya serempak
bertanya dengan mata kembali membelalak pe-
nuh ketidakmengertian.
"Kalian tidak mendengar Istri guru kalian
mati?"
"Ya! Kami mendengar itu," jawab mereka.
"Nah, apakah yang diceritakan gurumu men-
genai kematian istrinya?"
"Guru tidak pernah menceritakan apa-apa,
Paman," jawab mereka kembali. Hal tersebut
menjadikan Naga Biru terbengong kaget. Hatinya
salut pada kakak seperguruannya yang tidak mau
membuat aib dirinya pada murid-muridnya.
Naga Biru tarik napas panjang, lalu kata-
nya: "Baiklah kalau kalian belum tahu, maka aku
akan menceritakan pada kalian mengapa aku ti-
dak lagi mendatangi guru kalian."
Naga Biru terdiam sejenak, begitu juga den-
gan kelima murid yang seakan tidak ingin me
nanya lebih jauh. Tidak lama kemudian, Naga Bi-
ru pun akhirnya bercerita juga apa sebenarnya
yang telah terjadi dengan dirinya dan diri sauda-
ra-saudaranya.
"Istri guru dan paman gurumu mati oleh
senjataku yang telah dicuri oleh orang. Aku mu-
lanya tidak tahu siapa adanya pencuri senjata
maut milikku. Namun setelah aku selidiki, ternya-
ta yang mencurinya tidaklah lain Taka Nata
adanya."
Semua yang mendengarkan seketika makin
memaku diam. Hati kelima murid Naga Merah
benar-benar tersengat penuh kemarahan. Bagai-
mana pun, hati mereka tidaklah mau menerima
bila guru mereka harus saling baku hantam den-
gan Paman Gurunya.
"Betul-betul keji!" Murid pertama berkomen-
tar.
"Memang! Dia tidaklah lain seorang Ninja Ib-
lis! Dia curi senjataku, lalu dengan kejinya yang
dengan maksud hendak memfitnah diriku senjata
itu digunakannya untuk membunuh keluarga
saudara-saudara seperguruanku. Taka Nata men-
gira bahwa tindakannya akan menguntungkan
bagi dirinya. Setelah berhasil memperdayai kedua
saudaraku, dengan berpura-pura ia bermaksud
mengajak kami memberontak. Rupanya dia tidak
sadar bahwa aku telah mengetahui hal sebenar-
nya."
"Braaakkk...!"
Keenam orang yang berada di situ tersentak
dan bangkit dari duduknya mana kala mendengar
suara pintu rumah dibongkar dengan paksa dari
luar. Pintu yang terbuat dari Jati itu, seketika be-
rantakan hancur terhantam oleh sebuah pukulan.
Belum juga keenam hilang dari kaget, sesosok tu-
buh dengan pakaian serba putih perak dengan
Samurai menggantung di pundaknya bergagang
Tengkorak. Itulah Samurai Iblis, Samurai yang
hanya dimiliki oleh Taka Nata saja.
"Taka Nata...!" Keenamnya memekik terta-
han setelah tahu siapa adanya orang yang datang.
Taka Nata tiada kata, kakinya melangkah
ringan ke arah mereka. Matanya nampak liar
memandang pada Naga Biru. Setelah jarak mere-
ka dekat, dari bibir Taka Nata terdengar suara
mendesis berkata: "Naga Biru, hari ini juga akhir
dari hidupmu. Karena bila kau tidak aku akhiri,
maka rahasia siapa adanya aku akan terbuka!"
"Hem, jangan hanya bisanya lempar batu
sembunyi tangan, Taka Nata! Kalau kau memang
seorang lelaki, hadapilah aku!" Naga Biru tak ka-
lah gertak. Tangannya nampak meraba Samurai
yang tergantung di dinding di sampingnya, begitu
juga dengan kelima murid Naga Merah yang turut
menggeretak marah mana kala tahu siapa yang
benar-benar melakukan segala tindakan keji,
yang mengakibatkan kematian istri guru dan pa-
man guru mereka. Kelimanya kini juga telah me-
raba Samurai mereka.
"Sraaangng...!" Suara Samurai dicabut.
Taka Nata nampak masih tenang, sepertinya
tiada artinya keenam orang guru dan kemenakan
murid itu baginya. Bahkan dengan tenangnya Ta
ka Nata makin mendekati mereka. Keenam orang
dihadapannya kini makin siap dengan Samu-
rainya. Dan mana kala Taka Nata makin mende-
kat.
"Hiiiiiaaaaaaaatttt...!" Naga Biru mendahului
menyerang.
"Hiiiiiiaaaaattt...!" Diikuti oleh kelima murid
Naga Merah.
"Wuuuuuttt! Wuuuutttt!"
Samurai di tangan keenamnya berkelebat
membabat tubuh Taka Nata. Taka Nata lompat ke
belakang, lalu dengan memandang tajam ke arah
keenam orang itu Taka Nata cabut Samurainya.
"Sraaangg...!"
"Mari kita buktikan! Hiiiiaaattt..."
Taka Nata berkelebat dengan Samurai Iblis-
nya, menyerang ke arah keenam orang tersebut.
Samurai Iblis berkelebat cepat, namun dengan
cepat pula keenamnya balas menyerang.
"Wuuuuutttt...!"
"Wuuuuutttt...!"
"Traaaangg...!"
Terdengar suara bergemerang mana kala
Samurai-samurai mereka bertemu dan saling be-
radu. Lima Samurai di tangan kelima murid Naga
Merah puntung menjadi dua, tinggal Samurai
yang berada di tangan Naga Biru saja yang masih
utuh. Samurai di tangan Naga Biru nampak men-
geluarkan asap tatkala berbenturan dengan Sa-
murai Iblis di tangan Taka Nata. Dua orang mu-
suh bebuyutan itu dalam keadaan siap tempur.
Mata keduanya saling pandang, tajam bagaikan
mata seekor Elang.
"Hiiiaaattt...!" Taka Nata tarik Samurainya,
melompat mundur sesaat, lalu dengan cepat
kembali menyerang ke arah Naga Biru.
Melihat Taka Nata menyerang, dengan cepat
kelima murid Naga Merah yang ingin menunjuk-
kan baktinya kebaskan tangan. Maka dari tangan
kelimanya berdesing lima buah senjata rahasia
berbentuk bintang empat mengarah ke arah Taka
Nata.
"Sriingg! Sringg...! Sriiiiinnnnggg...!"
Taka Nata yang hendak menyerang Naga Bi-
ru terkesiap, namun dengan cepat Taka Nata ke-
baskan Samurai Iblisnya memapaki serangan
senjata rahasia tersebut.
"Wuuuuuttt...!"
"Trang! Trang! Trangggg...!"
Taka Nata yang hendak menyerang Naga Bi-
ru terkesiap, namun dengan cepat Taka Nata ke-
baskan Samurai Iblisnya memapaki serangan
senjata rahasia tersebut.
"Wuuuttt...!"
"Trang! Trang! Trangggg...!"
Luluh lantak kelima senjata rahasia yang di-
lemparkan oleh kelima murid Naga Merah. Kelima
senjata rahasia itu hancur terbabat oleh Samurai
Iblis di tangan Taka Nata. Mata kelima murid Na-
ga Merah terkesiap. Dan belum kelimanya hilang
kaget, tiba-tiba Taka Nata telah kembali berkele-
bat menyerang ke arah mereka.
Samurai Iblis di tangan Taka Nata kini men-
garah ke arah kelima murid Naga Merah. Taka
Nata kini benar-benar tidak menghendaki orang-
orang yang berada di situ mampu menghirup
udara kehidupan lagi. Ditebaskannya Samurai Ib-
lis. "Wuuuttt...!"
Hampir saja Samurai Iblis di tangan Taka
Nata mengakhiri nyawa kelimanya, kalau saja ke-
limanya tidak segera melompat mundur. Akan te-
tapi, dengan cepat Taka Nata kembali bergerak
babatkan Samurai Iblisnya. Dan mana kala Sa-
murai Iblis hampir menjarah tubuh kelima murid
Naga Merah, dengan cepat Naga Biru babatkan
Samurainya menangkis.
"Wuuuttt...!"
"Traangg...!"
Dua Samurai itu saling berbenturan, me-
nempel dengan ketatnya. Kedua orang musuh be-
buyutan itu saling pandang, saling kerahkan te-
naga dalam yang tersalur di Samurai mereka. Hal
itu berjalan cukup lama, menjadikan Samurai ke-
duanya kini nampak mengepulkan asap.
Mulanya asap itu hanya mengepul di Samu-
rai mereka, namun dikarenakan mereka terus
menguras tenaga, sehingga tubuh mereka pun
kini nampak mengeluarkan asap pertanda mereka
benar-benar mengeluarkan tenaga dalam tingkat
tinggi.
Keringat nampak bercucuran dari pelipis ke-
duanya. Demi melihat hal itu, maka dengan
mengharap dapat menjatuhkan Taka Nata kelima
murid Naga Merah segera bergerak menyerang.
"Jangaaan...!" Naga Biru mencoba mengha-
langi, namun terlambat. Kelima orang murid kemenakannya kini telah berkelebat menyerang ke
arah Taka Nata.
"Hiiaaattt...!"
Rupanya hal tersebut yang ditunggu oleh
Taka Nata. Mata Taka Nata melirik, membuat su-
dut memandang ke arah datangnya kelima murid
Naga Merah. Dan mana kala kelima murid Naga
Merah makin dekat, Taka Nata segera tarik Sa-
murainya.
"Wuuuttt...!"
Taka Nata kiblatkan Samurai ke arah da-
tangnya kelima murid Naga Merah yang tidak
memperhitungkan bahwa Taka Nata akan mampu
melakukan itu semua. Maka mana kala tubuh ke-
limanya makin dekat dengan tangan mereka siap
menghantam diri mereka, Taka Nata kibaskan
Samurai.
"Wuuut! Wuuuut! Wuuuuuttt...!"
"Aaaaaaa...!" Lima kali berturut-turut keli-
manya memekik, mana kala Samurai Iblis di tan-
gan Taka Nata menjerat tubuh mereka. Seketika
perut kelima murid Naga Merah terkoyak, me-
muncratkan darah segar. Mata mereka melotot,
kejang sesaat, lalu akhirnya ambruk satu persatu
dengan lidah menjulur. Tubuh kelimanya seketika
membiru. Kelimanya nampak seperti terkena ra-
cun yang sangat ganas.
"Racun Fuji Hitam...!" Naga Biru memekik,
lalu dengan penuh kemarahan Naga Biru pun
kembali berkelebat menyerang.
Melihat Naga Biru telah kembali berkelebat
menyerang, Taka Nata yang masih mengkiblatkan
Samurainya kini berteriak sambil melompat me-
nyerang. Dua tubuh itu saling melompat bagaikan
terbang dengan Samurai siap di tangan masing-
masing
"Kau harus mampus, Iblis!" gertak Naga Bi-
ru.
"Wuuuut...!"
Samurai Naga Biru berkelebat membabat,
namun dengan cepat pula Taka Nata elakkan ba-
batan tersebut. Taka Nata lemparkan tubuh ke
udara, kemudian dengan cepat Samurai Iblis pa-
paki serangan tersebut.
"Wuuuut...!"
"Wuuuutttt...!"
"Traaaaaaangg...!"
Kembali dua Samurai itu saling beradu, dan
kembali keduanya menempel. Keduanya kini be-
nar-benar menguras tenaga yang mereka miliki
untuk mampu menjatuhkan musuh. Keringat
menetes di pelipis keduanya. Sementara mata ke-
duanya saling pandang, sepertinya mata kedua-
nya menyadap apa yang menjadi gerak gerik mu-
suh. Taka Nata nampak bergetar, hal itu menun-
jukkan bahwa tenaga yang dimilikinya masih be-
rada di bawah musuh.
"Bahaya kalau tidak aku selesaikan!" Mem-
batin Taka Nata. Otak Taka Nata bergerak cepat,
mencari bagaimana untuk mampu menjatuhkan
Naga Biru. Ternyata Naga Biru jauh lebih kuat di-
bandingkan dengan dua saudara seperguruannya
yang lain. Dua tahun keduanya tidak saling ber-
temu, dan dua tahun ternyata cukup bagi Naga
Biru untuk mendalami ilmu kanuragan hingga
kini benar-benar bukanlah tandingan bagi Taka
Nata. "Aku harus mampu membunuhnya!"
Naga Biru tidak menyadari apa yang sebe-
narnya tengah dielakkan oleh Taka Nata. Merasa
dirinya tidaklah ungkulan, Taka Nata dengan licik
dan cepat kibaskan tangan yang telah merogoh
sesuatu dari balik sabuknya.
"Wuuuusss...!"
Naga Biru tersentak mana kala tahu apa
yang dilakukan oleh Taka Nata. Dicobanya untuk
menarik Samurai yang menempel, namun Taka
Nata rupanya telah memperbesar tenaganya un-
tuk menempelkan Samurainya agar Samurai la-
wan tidak dapat difungsikan.
"Licik!" maki hati Naga Biru, wajahnya kini
nampak tegang menandakan bahwa dia kini be-
nar-benar tengah menghadapi bahaya. Sementara
lima larik benda yang ia kenal kini melesat ke
arahnya dengan cepat. Benda-benda tersebut ti-
dak lain Bulu Landak Maut miliknya yang dicuri.
Tanpa ampun lagi, memekiklah Naga Biru mana
kala dengan telak Bulu-bulu Landak Maut terse-
but menyerbu ke arahnya.
"Aaaaaaa.....!"
"Jep, jep, jep!"
Naga Biru menggelepar-gelepar mana kala
kelima Bulu Landak Maut itu menjarah tubuh-
nya. Satu di paha, satu lagi di perutnya, sementa-
ra yang tiga berada di mata dan pipinya. Naga Bi-
ru yang terkenal pemberani dan gagah itu tanpa
ampun sekarat untuk beberapa saat se-belum
akhirnya ambruk dengan mulut mengeluarkan
buih racun ganas. Saat itu juga Naga Biru pun
nyawanya melayang, dan mati menyedihkan.
"Hua, ha, ha...! Akulah yang akan menguasai
Tanah Jawa!" Taka Nata bergelak tawa. "Aku akan
membunuh orang-orang yang hendak bermaksud
menghalangiku! Akulah Taka Nata si Iblis Nippon,
sekaligus Maha Raja yang kelak menguasai Tanah
Jawa! Hua, ha, haaaa...!"
Dengan meninggalkan gelak tawa Taka Nata
pun melesat pergi tinggalkan keenam sosok tubuh
yang telah tanpa nyawa. Dengan penuh kepuasan
Taka Nata berlalu pergi entah ke mana, tinggallah
keadaan rumah Naga Biru yang porak poranda
dan sunyi...!
***
EMPAT
Dua ekor kuda dengan penunggangnya yang
mengenakan pakaian Pendekar dengan Samurai
di pundak masing-masing nampak memacu me-
nuju ke rumah Naga Biru. Di wajah kedua orang
penunggang kuda tersebut tergambar ketidakba-
hagiaan. Di wajah keduanya jelas terlintas rasa
kurang percaya pada apa yang menjadi tuduhan
dan terkaan mereka. Mungkin hati mereka sudah
terikat oleh rasa kekeluargaan hingga keduanya
nampak tidak tenang.
"Apakah kau tidak merasakan sesuatu, Naga
Kuning" tanya Naga Merah.
"Aku merasakan ketidak enakan, Kakak."
"Begitu juga aku. Hatiku tergetar hebat, sea-
kan ada sesuatu yang tidak beres," Naga Merah
menjelaskan apa yang dirasakan di hatinya.
"Ayo kita percepat!"
"Hia, hia, hia...!"
Kuda mereka pacu dengan cepatnya, seakan
keduanya ingin segera sampai di tempat yang di-
tuju. Tengah keduanya memacu kuda-kuda me-
reka. Tiba-tiba sebuah bayangan berlari berkele-
bat menuju arah berlawanan dengan mereka. Ke-
duanya sejenak tersentak, dan makin tidak enak
saja perasaan keduanya setelah melihat siapa
yang telah berpapasan dengan mereka.
"Taka Nata...?" desis Naga Merah.
Taka Nata tidak hiraukan keduanya, seakan
ia tidak mengenal keduanya dan terus berlari.
Kedua adik kakak seperguruan makin bertambah
tidak tentram hatinya. Perasaan keduanya makin
berkecamuk beberapa pertanyaan yang sukar di-
jawab. Maka dengan makin mempercepat lari ku-
danya, keduanya kini membawa segala tanda
tanya yang bergayut di benak mereka menuju ja-
waban di rumah Naga Biru. Dan benar apa yang
menjadi prasangka buruk keduanya, tampak ru-
mah Naga Biru berantakan, sepi bagaikan tiada
berpenghuni
"Apa yang telah terjadi?"
Belum habis segala pertanyaan Naga Kuning,
dengan cepat Naga Merah berkelebat lompat dari
kudanya ke rumah Naga Biru. Melihat hal tersebut Naga Kuning pun tidak mau ketinggalan, se-
gera Naga Kuning pun berkelebat mengikuti ka-
kak seperguruannya menuju rumah Naga Biru.
"Bajero! Taka Nata keparat...!" Naga Merah
memaki marah dengan melihat apa yang terjadi.
Enam orang yang sungguh ia kenal kini nampak
bergelimpangan dengan tanpa nyawa lagi. Dan
yang lebih menyakitkan hatinya, adalah kematian
Naga Biru oleh senjatanya sendiri yaitu Bulu
Landak Maut. "Bulu Landak Maut!"
"Bajero! Taka Nata Iblis! Rupanya dia juga
yang telah membunuh istri kita, Kakak."
Naga Merah tak mampu berkata apa-apa.
Kini mereka menyadari bahwa diri mereka
benar-benar telah diperdayai oleh Taka Nata. Ke-
marahan keduanya kini benar-benar telah me-
muncak. Tangan kedua kakak beradik sepergu-
ruan itu kini mengepal, sepertinya ingin meng-
hancurkan Taka Nata yang telah diketahuinya
berbuat segalanya.
"Taka Nata keparat! Dia harus memper-
tanggung jawabkan semua tindakannya" Mengge-
ram Naga Merah. "Ayo kita kejar, Adik!"
Dengan membawa kemarahan dan dendam
kedua kakak beradik seperguruan tersebut kem-
bali pergi menggebah kuda-kuda mereka untuk
memburu Taka Nata yang sudah diketahui adalah
orang yang telah melakukan segalanya. Di hati
mereka hanya satu pilihan, lebih baik mati atau
menang!
* * *
Taka Nata terus berlari tanpa menengok ke
belakang lagi. Perasaannya sebagai seorang Ninja
sangat pekat. Ia merasa bahwa dirinya kini diikuti
dan dikejar oleh dua Naga.
"Tentunya kedua Naga dungu itu akan men-
gejarku," kata Taka Nata masih terus berlari.
Bahkan kini makin dipercepat saja larinya. Dan
mana kala di hadapannya terhampar sebuah hu-
tan lebat Taka Nata segera melompat, masuk dan
menghilang entah ke mana.
Sementara dua orang yang mengejarnya ma-
sih berusaha mencari jejak Taka Nata. Kedua
orang tersebut masih mencoba mengejar dengan
memacu kuda mereka cepat. Namun kemudian
kedua Naga itu tersentak ketika tiba-tiba bayan-
gan Taka Nata hilang, dan tinggallah hutan yang
terhampar di hadapan mereka.
"Ke mana Iblis tersebut?" Naga Merah ber-
tanya pada diri sendiri. "Aku yakin dia masih be-
rada di sekitar sini."
"Benar! Tadi aku melihat dia lari ke hutan
ini, Kakak. Kita mesti berhati-hati."
Dua orang kakak beradik Naga itu melang-
kah dengan perlahan. Sementara itu di tangan
keduanya telah siap Samurai-samurai yang se-
waktu-waktu mampu membuat musuh harus be-
rusaha mengelakannya atau dirinya tersayat-
sayat Samurai tersebut.
"Taka Nata, keluar kau...!" Naga Merah
membentak, berseru memanggil nama Taka Nata.
"Taka Nata, kalau kau tidak pengecut, keluarlah!"
Tidak ada jawaban, menjadikan keduanya
geram.
"Bajero! Keluar kau, Bajero, Iblis!" Naga Kun-
ing yang juga marah turut berteriak. Namun tiada
jawaban, dan hanya gema suara mereka saja yang
terdengar menggaung di antara pepohonan pinus
yang nampak memutih tertutup salju. Makin saja
kaki keduanya masuk ke dalam, makin sunyi
keadaan hutan pinus yang tertimbun salju itu.
Tekad di hati keduanya hanya satu, yang mampu
menimbulkan keberanian yang melebihi kebera-
nian sebenarnya. Kaki keduanya melangkah agak
berat, melangkah di atas hamparan tanah bersal-
ju yang dingin dan beku. Keduanya telah jauh
meninggalkan kuda-kudanya yang keduanya
tambat di luar hutan.
"Huh, ha, ha...! Kalian datang juga!" Terden-
gar suara gema yang dilontarkan dengan didasari
tenaga dalam. "Bagaimana, apakah kalian mau
menjadi sahabat-sahabatku?"
"Taka Nata, keluarlah!" Naga Merah berseru.
"Ya! Keluarlah kalau kau tidak ingin dikatakan
pengecut!"
"Baik!"
Berbarengan dengan habisnya suara Taka
Nata, tiba-tiba sebuah bayangan Putih Perak ber-
kelebat dengan Samurai Iblisnya menyerang ke-
duanya.
"Awas...!" Naga Merah berseru memperin-
gatkan Naga Kuning.
Keduanya melompat, lemparkan tubuh ke
samping, lalu berbareng keduanya balik babatkan
pedang Samurai ke arah datangnya serangan.
"Wuuuuttt...!" Samurai Iblis membersit.
"Wuuuuttt...!"
"Wuuuuuttt...!"
Dua Samurai di tangan dua Naga itu juga
berkelebat memapaki serangan. Kilatan putih sal-
ing bertemu, lalu...!
"Traang...!"
Tiga Samurai yang dialiri tenaga dalam kini
saling beradu di udara. Kedua Naga itu kini nam-
pak menggeretak, sementara Taka Nata dengan
wajah tegang yang nampak dari sorot matanya ju-
ga nampak mengeluarkan tenaga untuk mampu
menahan serangan tenaga dalam keduanya. Mata
ketiganya saling pandang, saling menjajagi kekua-
tan lawan.
"Hiiiaaaaattt...!" Taka Nata tarik Samurai Ib-
lisnya, lalu dengan cepat kebaskan Samurai ter-
sebut kembali menyerang kedua Naga. Dengan
cepat dan tangkas kedua Naga itu pun elakan se-
rangan yang dilancarkan Taka Nata dengan masih
waspada akan apa yang dilakukan Taka Nata.
Tubuh Taka Nata yang memegang Samurai Iblis
terus bergerak menyerang, sementara kedua Naga
itu pun tidak mau mengalah begitu saja. Kedua-
nya kembali bergerak memapaki serangan-
serangan Taka Nata. Kini ketiganya bagaikan
menghilang, dan hanya gulungan-gulungan Sa-
murai di tangan ketiganya saja yang nampak. Gu-
lungan sinar putih dan Perak saling bergulung
untuk saling mampu mengalahkannya.
"Wuuuuttt...!" Taka Nata Kebaskan Samurai,
mencoba merangsek kedua Naga itu. Namun ke-
dua Naga tersebut bukanlah lawan yang enteng.
Ketiganya, bahkan berempat dengan Naga Biru
pernah saling bertempur mana kala keempatnya
saling membela diri masing-masing. Tiga Naga
Dari gunung Fuji adalah orang-orang yang men-
jadi buronan kerajaan, hal tersebut merupakan
tugas bagi Taka Nata untuk menumpas ketiga
Naga tersebut. Namun sejauh itu, mereka belum
juga mampu untuk saling menjatuhkan. Akan te-
tapi, sekarang Taka Nata bergerak atas nama
sendiri. Taka Nata tidak ingin dirinya tersaingi
oleh pendekar lainnya. Dia ingin hanya dirinya
sendiri yang terkenal sebagai seorang Pendekar
Ninja.
Kedua Naga dari Fuji dengan cepat balik me-
nyerang, setelah terlebih dahulu mengelakkan se-
rangan Taka Nata. Samurai di tangan keduanya
tidak kalah cepat membabat dan menangkis Sa-
murai Iblis di, tangan Taka Nata.
"Wuuuuttt...!"
"Wuuuuuttt...!"
"Traang...!"
Percikan api mencelat manakala ketiga Sa-
murai tersebut saling beradu. Ketiganya untuk
sesaat tergetar, lalu dengan memekik ketiganya
kembali berkelebat menyerang. Dua lawan satu
itu terus berlangsung, masing-masing dengan
kemampuan yang dimiliki oleh mereka masing-
masing. Mungkin kalau satu lawan satu Taka Na-
ta akan mampu dengan cepat menjatuhkan me-
reka, tetapi kini Taka Nata menghadapi dua orang
Naga sekaligus yang ilmunya boleh dikata sama
dengan ilmu yang dimilikinya.
Tubuh Ketiganya melayang bagaikan ter-
bang, lalu kiblatkan Samurai ke arah lawan mas-
ing-masing. Dua Samurai di tangan Dua Naga itu
kini terarah ke arah Taka Nata. Ujung Samurai
itu kini bagaikan dua Malaikat yang siap menca-
but nyawa Taka Nata. Gerakan Samurai di tangan
dua Naga itu begitu cepat, hampir sukar bagi Ta-
ka Nata untuk mampu menghindari. Namun Taka
Nata bukanlah orang Ninja sembarangan. Meng-
hadapi tekanan serangan begitu cepat tidak men-
jadikan dirinya terperangkap oleh ketakutan, na-
mun dengan tenangnya Taka Nata kibaskan tan-
gan. "Wuuuuttt...!"
Lima larik sinar hitam meleset, menjadikan
kedua Naga itu terperanjat. Kedua naga itu segera
tarik kembali serangan, lalu kibaskan Samurai ke
arah benda-benda yang melesat ke arah mereka.
"Licik!" Keduanya membentak.
"Wuuuuttt...!"
"Trang! Trang..! Trang...!"
Lima kali Samurai mereka menyampok lima
benda-benda yang beterbangan yang mereka tahu
adalah sebuah senjata rahasia milik salah seo-
rang dari Tiga Naga, itulah Bulu Landak Maut mi-
lik Naga Biru yang akhirnya mati oleh senjatanya
sendiri. Bulu-bulu Landak itu runtuh berserakan
terbabat Samurai di tangan kedua Naga, yang
mematahkan Bulu-bulu Landak Maut. Namun be-
lum juga keduanya beristirahat melepaskan rasa
kaget, dengan cepat Taka Nata kembali menye
rang dengan Bulu-Bulu Landak kembali. Kali ini
jumlah bulu-bulu tersebut bertambah menjadi
dua kali lipat. "Wuuuusss...!"
"Awas Adik...!" Naga Merah sadarkan Naga
Kuning.
"Bangsat! Licik!" Naga Kuning memaki, lalu
mencoba kibaskan Samurainya. Namun gerakan-
nya terhambat, sebab tenaganya nampak telah
terkuras habis. Tiga bulu landak dapat terbabat,
sedangkan dua lainnya kini melesat deras ke
arahnya, dan tidak dapat Naga Kuning mengela-
kannya. "Aaahhh...!" Naga Kuning memekik, tu-
buhnya sempoyongan. Pahanya kini tertancap
dua buah Bulu Landak Maut yang dilancarkan
Taka Nata.
Naga Merah yang sudah dapat mengatasi se-
rangan Bulu Landak itu dengan cepat berkelebat
menyampak tubuh Naga Kuning, lalu dengan se-
gera Naga Merah bawa lari tubuh Naga Kuning
dengan meninggalkan ancaman dan makian ter-
hadap Taka Nata, "Taka Nata, kini kami mengakui
kekalahan. Namun kelak kami akan kembali me-
nuntut balas atas sengaja tindakanmu!"
"Aku tunggu!" Balas Taka Nata, dan dengan
bergelak tawa meremehkan ucapan Naga Merah,
Taka Nata pun berkelebat meninggalkan hutan
tersebut. Dengan tinggalkan gelak tawa Taka Nata
bagaikan gila saja, setiap jejakan kakinya menja-
dikan salju yang menghampar di atas bumi lumer
berubah menjadi air.
LIMA
Jaka Ndableg yang telah mampu menghan-
curkan para Ninja yang berada di Tanah Jawa,
kini nampak berjalan seorang diri. Seperti bi-
asanya, Jaka Ndableg saat itu juga tengah mela-
kukan perjalanan berkelana menegakkan kebena-
ran dan keadilan di muka bumi ini.
Jaka Ndableg berjalan dengan santainya,
seakan ia ingin benar-benar menghayati makna
kehidupan ini. Kadang kala ia bernyanyi-nyanyi
menghibur diri atau duduk-duduk di atas sebuah
pohon yang tumbang. Tengah dirinya duduk-
duduk melepas lelah, tiba-tiba ia dikejutkan oleh
suara berdesingnya puluhan senjata rahasia.
"Hiiiaaaattt...!" Jaka lompat, balikkan tubuh
menghadap ke arah datangnya suara tersebut.
"Orang-orang pengecut! Keluar kalian dari per-
sembunyian kalian!" makinya, lalu dengan cepat
cabut Pedang Siluman Darah dari sarungnya, dan
disabutkannya ke arah Bintang-Bintang Maut
tersebut.
"Wuuuuttt...!"
"Trang! Trang! Trang...!"
Sekali Pedang Siluman Darah bergerak, se-
kali itu pula runtuhlah Bintang-Bintang Maut ter-
sebut. Bintang-Bintang Maut itu terbelah menjadi
dua dan berjatuhan di atas tanah.
"Swing! Swing! Swwing...!"
"Monyet! Keluar kalian!" Jaka Ndableg me-
maki-maki marah karena kembali Bintang
Bintang Maut tersebut menyerang ke arahnya,
dan kali ini jumlahnya makin bertambah banyak
saja. "Jangan kira aku tidak akan menghukum
kalian, Monyet!"
"Wuuuuttt...!" Pedang Siluman Darah berke-
lebat, membabat ke arah datangnya suara desin-
gan senjata rahasia yang kini mengarah ke arah-
nya.
"Trang...!"
Kembali puluhan senjata rahasia itu beran-
takan jatuh. terbabat Pedang Siluman Darah.
Senjata-senjata rahasia itu luluh lantak menjadi
dua.
"Keluarlah kalian, Kunyuk-kunyuk Nippon!"
Jaka kembali membentak. "Kalian adalah orang-
orang Ninja, tentunya kalian memiliki keberanian
bukan sebagai seorang Pengecut! "
"Hiiiaaaaaatttttt...!"
Bersamaan dengan habisnya suara Jaka
Ndableg, dari dalam tanah dan juga pepohonan
berkelebat puluhan orang berpakaian serba hitam
mengarah dengan Samurai siap di tangan ke arah
Jaka Ndableg. Jaka yang sudah mengetahui siapa
diri mereka, dengan cepat kibaskan Pedang Silu-
man Darah memapaki mereka.
"Hiiiaaattt...!"
"Wuuuutttt...!"
Jaka babatkan Pedang Siluman Darah ke
arah mereka. Rupanya para Ninja itu sudah tahu
kehebatan Pedang Siluman Darah yang berwarna
kuning kemerahan di tangan Jaka Ndableg, maka
mereka pun urungkan niat menyerang, cabut se
rangan.
"Pedang Siluman Darah! Awaas...!" Seorang
yang ternyata ketuanya berseru memperingatkan.
"Hati-hati dengan pedang itu!" Ia berkata dalam
bahasa Jepang, yang tidak dimengerti oleh Jaka
Ndableg.
Jaka tidak hiraukan seruan pimpinan Ninja
tersebut, kembali Jaka berkelebat menyerang.
Namun ternyata para Ninja itu sudah dilatih se-
demikian pula, sehingga serangan Jaka tiada arti
sama sekali. Setiap Pedang Siluman Darah diba-
batkan, setiap itu pula Ninja-ninja yang diserang
menghilang dengan mendahului serangan Pedang
Siluman Darah.
"Kunyuk!" Jaka memaki-maki sendiri, dan
mana kala Ninja-ninja itu muncul, segera Jaka
pun kembali serang mereka. Namun seperti se-
mula, Ninja-ninja tersebut bagaikan telah tahu.
Mereka menghilang dengan didahului ledakan.
"Swiiingg..!"
"Swiiiiittt...!"
Suara pimpinan Ninja menggema, berbaren-
gan dengan suara suitan yang nyaring dan desin-
gan senjata-senjata rahasia. Habis suitan terse-
but, tiga orang berbadan besar tiba-tiba muncul
dan menghadang langkah Jaka Ndableg yang me-
nyurut mundur.
"Siapa kalian?" tanya Jaka dengan mata
memandang tiada kedip ke arah ketiganya. "Apa-
kah kalian diperintahkan oleh Ninja-ninja terse-
but menghadapi aku?"
"Hua, ha, ha...! Lagakmu terlalu tinggi."
Orang besar pertama yang berkalung ular berka-
ta, langkahnya makin mendekati Jaka Ndableg
yang masih menggenggam Pedang Siluman Darah
di tangannya.
"Ki Sanak! Aku bertanya, dan semestinya ka-
lian menjawab," Jaka nampak tidak sabar melihat
ketiga orang yang bertampang bengis tidak bersa-
habat tersebut. "Kalau kalian benar menjadi Anj-
ing Ninja, tentunya kalian tidak lebih seorang
penjilat yang hendak merongrong negeri sendiri!"
"Hem, rupanya kau ingin menjadi Pahlawan,
Anak muda," Yang berkata orang kedua, bermata
sipit, dengan hidung mancung betet, serta rambut
panjang terurai. Di lehernya terkalung sama, see-
kor ular yang sebesar tangan. Ular itu menjulur-
julur, seakan ingin memangsa Jaka Ndableg yang
berada di hadapannya. "Kalau memang kami di-
perintah oleh mereka karena kami dibayar, kau
mau apa, hah!"
"Huh! Jangan kira kalian akan mampu men-
jadi anjing-anjing penjajah Nippon, Iblis!" Jaka
nampak sudah tidak sabaran melihat mereka
yang diketahui adalah penjilat-penjilat musuh.
Hanya karena uang yang tidak seberapa mereka
harus mengorbankan negeri sendiri, sungguh
perbuatan yang patut mendapat hukuman mati
bagi mereka. "Kalian tidak lebih sebagai manusia-
manusia tak mengerti rasa kepatriotan! Kalian
demi uang rela mengorbankan negeri sendiri! Ra-
kyat macam apa, kalian ini!"
"Anak Sundel! Itu urusan kami!" bentak
orang pertama.
Memang itu urusan kalian, tapi aku tak
akan membiarkan penjilat-penjilat penjajah mera-
ja lela di muka bumi tanah Jawa ini! Aku akan
berusaha menghalangi langkah kalian, meski
nyawaku sebagai taruhannya!"
Tertawa bergelak-gelak ketiga orang tinggi
besar itu mendengar ucapan Jaka Ndableg. Salah
seorang dari ketiganya, maju ke muka, lalu den-
gan cepat tangannya bergerak.
"Wuuuttt...!"
"Trap!"
Tangan orang tersebut mencepit tubuh Jaka
Ndableg, menjadikan Jaka kini bagaikan segeng-
gaman orang tersebut. Tangan kekar itu terus
mengeras, sepertinya hendak menghancurkan
dan meremukkan tubuh Jaka Ndableg.
"Mampus, Pahlawan kesiangan!" bentak
orang tersebut.
Jaka masih berusaha tenang, perlahan dis-
alurkannya tenaga murni ke segenap tubuh. Ha-
wa murni yang mengandung kekuatan dahsyat,
menjadikan orang tersebut seketika memekik.
"Ah...!"
Orang itu berusaha melepaskan tangannya
yang terasa panas menyengat, namun usahanya
sia-sia. Ternyata Jaka telah menyedot tubuh
orang tersebut hingga tangannya kini lengket
dengan tubuhnya tanpa dapat ditarik kembali.
Orang itu benar-benar panik. Sebab ia tidak me-
nyangka kalau anak semuda Jaka Ndableg telah
mampu memiliki ilmu langka seperti itu. Semen-
tara dua orang lainnya juga tidak kalah kagetnya
melihat hal tersebut. Mata kedua orang tersebut
membeliak, dan dari mulut mereka kini memekik
sebutkan ajian yang dilancarkan Jaka Ndableg.
"Dewa Api...!"
"Hai! Apa hubunganmu dengan Paksi Anom,
Anak Edan!" bentak salah seorang dari keduanya
yang ternyata tahu siapa pemilik ilmu aneh yang
bergelar Dewa Api.
Jaka tersenyum, sementara orang yang me-
lekat di tubuhnya masih berusaha melepaskan
tangannya yang masih melekat. Namun usahanya
menemui kesia-siaan. Setiap kali tangannya dita-
rik, setiap kali itu juga sedotan Jaka Ndableg ma-
kin menjadi-jadi. Sedangkan Jaka Ndableg seakan
tiada merasa apa-apa, bahkan kini ia tertawa ber-
gelak-gelak seperti orang gila.
"Aku Jaka Ndableg! Aku cucu Paksi Anom!"
jawab Jaka, menjadikan kedua orang itu membe-
liakkan mata makin lebar, tidak menyangka kalau
mereka harus menghadapi seorang Pendekar yang
namanya kini tengah menjadi buah bibir di dunia
persilatan.
"Kau Pendekar Pedang Siluman Darah?"
tanya orang kedua, masih dengan mata membe-
liak kaget.
"Tidakkah kau lihat apa yang kini aku geng-
gam?!"
Mata keduanya seketika tertuju pada pedang
yang kini tergenggam di tangan Jaka Ndableg.
Maka manakala mereka melihat pedang tersebut,
seketika mulut mereka menganga. Benar, pedang
itu adalah Pedang Siluman Darah yang kini tengah menggegerkan dunia persilatan. Makin bergi-
dig saja keduanya setelah tahu bahwa pedang di
tangan Jaka Ndableg benar-benar Pedang Silu-
man Darah. Namun untuk lari, jelas mereka tidak
ingin rekannya yang kini masih melekat di tubuh
Jaka mati lemas. Salah satu jalan, mereka harus
mengadu jiwa. Namun bila hal itu mereka laku-
kan, tentunya mereka hanya menjadi bulan-
bulanan Pendekar muda tersebut.
Pikiran keduanya bergolak, antara merasa
dirinya tidak ungkulan dengan rasa setia kawa-
nan mereka. Kini tampak oleh keduanya teman
mereka makin lama makin melemas. Tenaga
orang yang melekat di tubuh Jaka kini benar-
benar habis, akhirnya orang itu hanya diam, tan-
pa mampu lagi berbuat apa-apa lagi. Tubuhnya
nampak membara, merah bagaikan terbakar oleh
Inti Api yang dilancarkan oleh Jaka Ndableg.
"Bahaya! Sungguh bahaya kalau kita biar-
kan!" Orang pertama berseru kaget melihat apa
yang terjadi dengan temannya yang kini tubuhnya
berwarna merah membara. "Kita bantu...!"
Orang kedua hanya mampu terbengong,
seakan ia benar-benar hilang nyalinya untuk
menghadapi Pendekar kita ini. Ia merasa tidak
bakalan ungkulan, namun untuk lari, jelas ia ti-
dak ingin dikata pengecut oleh temannya. Maka
hanya satu jalan bagi mereka, nekad menyerang
Jaka Ndableg.
"Hiiaaaattt...!"
Tubuh keduanya kini berkelebat ke arah Ja-
ka, sementara di tangan keduanya tergenggam
sosok-sosok bersisik panjang. Ular itu mendesis-
desis, sepertinya ular itu hendak memangsa Jaka
Ndableg. Namun Pendekar muda ini, seakan tidak
bergeming sedikit pun untuk mengelakkan seran-
gan ular berbisa di tangan kedua musuhnya. Ja-
ka Ndableg bagaikan membiarkan tubuhnya men-
jadi sasaran patukkan ular-ular tersebut. Na-
mun...!
"Sssssttt...!" Ular-ular itu mendesis, bergerak
liar manakala mencium bau manusia. Mulut ular-
ular itu membuka, menunjukkan gigi-giginya
yang runcing. Lidahnya yang bercabang menjulur,
seakan-akan kedua ular itu berselera tinggi hen-
dak mendapatkan mangsa yang empuk.
Jaka Ndableg masih tenang, hanya Inti Api
terus menjalar memenuhi aliran darahnya. Tubuh
Jaka kini benar-benar membara, sehingga hawa
panas makin menjadi-jadi menyengat orang yang
menempel di tubuhnya. Tatkala ular-ular berbisa
itu makin mendekat, segera Jaka gunakan Mata
Malaikatnya menghantam ular-ular tersebut. Ti-
dak ayal lagi, ular-ular tersebut seketika berbalik
menyerang tuannya. Ternyata Mata Malaikat yang
dilancarkan Jaka, mampu menjinakkan ular-ular
tersebut untuk menyerang kedua orang yang me-
nyerangnya. Dan hasilnya, kini ular-ular tersebut
berbalik menyerang tuannya. "Ssssttt...!"
"Ah! Ilmu setan!" maki keduanya sembari ki-
baskan tangan membuang ular-ular yang menggi-
la hendak menyerangnya. Ular-ular tersebut jatuh
bergedebukan di tanah. Namun ular-ular tersebut
bagaikan tak mau membiarkan mangsanya begitu
saja, ular-ular tersebut kini mendesis kembali
dengan kepala mendongak berjalan mendekati
kedua bekas tuannya.
"Ular Edan, Hiaaattt...!"
Keduanya hantamkan pukulan ke arah ular-
ular tersebut.
"Duar..!"
"Sssttt...!"
Ular-ular tersebut hanya mampu mendesis
lemah, sebelum akhirnya terkulai lemas dan mati
dengan tubuh hancur tertetel-tetel.
"Hua, ha, ha...! Kalian benar-benar orang ja-
hat! Dengan ular yang pernah berjasa pada ka-
lian, kalian tega membinasakannya. Apa lagi den-
gan sesama manusia! Huh, tak ubahnya kalian
hanyalah Iblis-iblis yang tiada berperikemanu-
siaan!" ejek Jaka. Sedangkan orang yang melekat
di tubuhnya kini telah terkulai tanpa tenaga. Dari
telapak tangan hingga ke bahu nampak melepuh,
seakan terbakar oleh api.
Dan memang orang tersebut benar-benar
terbakar oleh Inti Api yang dilancarkan Jaka
Ndableg.
"Hiiiiaaattt...!"
Jaka berteriak, dorong tubuh orang tersebut
hingga orang itu mencelat ke belakang beberapa
tombak. Tubuh orang itu kini benar-benar meng-
hitam, hangus terbakar. Pakaian yang dikena-
kannya koyak-koyak, compang camping terbakar.
Yang lebih menyedihkan, keadaan muka orang
tersebut. Mukanya amburadul, melepuh daging-
nya karena hawa panas yang teramat sangat.
"Iblis! Aku akan mengadu nyawa denganmu,
Anak Muda!" maki orang pertama marah melihat
rekannya yang mati naas.
"Heh, apakah kau tidak salah ngomong?"
Jaka membalik ucapan orang tersebut. "Kalianlah
yang Iblis, sehingga demi nafsu kalian tega mem-
buat orang-orang kalian sendiri menderita!"
"Bangsat!"
Kedua orang itu kini benar-benar dilanda
amarah, berkelebat menyerang Jaka Ndableg den-
gan senjata di tangan mereka yang berupa Pecut.
Itulah Pecut Waringin Pitu, sebuah pecut yang
mampu meleburkan Gunung Agung sekalipun.
"Bletar! Bletar...!"
Pecut Waringin Pitu menggema, manakala
disalakkan oleh keduanya. Keduanya atau ketiga
orang berbadan besar tersebut merupakan Tiga
Serangkai Warok dari Ponorogo. Warok Pertama
bernama Warok Gemuling, kedua bernama Gem-
poleng, sedangkan yang ketiga atau yang telah
mati bernama Genjeli. Tiga Warok itu memiliki il-
mu yang bukan sembarangan. Senjata mereka
sama, yaitu Tri Cambuk Waringin Pitu. Cambuk
Pertama bernama Cambuk Braja Geni, kedua
bernama Braja Bayu, sedangkan yang ketiga ber-
nama Braja Mukti. Kini dari ketiga Cambuk Sakti
tersebut, tinggal dua cambuk lagi yang tersisa.
Kalau pemilik salah satu cambuk mati, maka
cambuknya tidak dapat digunakan oleh yang
lainnya, sebab ketiga Warok tersebut telah diajar-
kan masing-masing dengan cambuk yang mereka
pegang. Kehebatan cambuk mereka, sama semua.
Semuanya merupakan senjata dahsyat yang san-
gat berbahaya.
Dua hawa Panas dan dingin berbaur mana
kala dua cambuk di tangan Warok itu melecut.
Hawa panas keluar dari Cambuk Braja Geni, se-
dangkan hawa dingin keluar dari Cambuk Braja
Bayu yang mengeluarkan angin besar puting be-
liung.
Jaka Ndableg yang telah siaga, dengan cepat
buang tubuhnya ke samping hindari serangan pe-
cut tersebut. Sebenarnya bila dipadukan ketiga
cambuk itu sangat berbahaya. Ketiganya mampu
menjadikan sebuah kekuatan yang maha dah-
syat. Namun walaupun hanya dua cambuk, ke-
duanya mampu membuat Jaka Ndableg harus
berlompatan ke sana ke mari menghindar.
"Bletar...! Bletar...!"
Kembali dua cambuk sakti itu menggelegar,
keluarkan hawa yang berlawanan. Satu berhawa
panas, sedangkan yang lainnya berhawa dingin
membekukan. Dua hawa tersebut mampu me-
nyentakkan Pendekar kita Jaka Ndableg. Ia baru
menghadapi dan merasakan hawa yang begitu
menggetarkan. Hawa panas mungkin dapat dia
atasi dengan mudah, sebab dirinya mampu men-
geluarkan hawa yang lebih panas. Tetapi hawa
dingin membekukan, rasa-rasanya sukar untuk
ditangkis dengan Inti Api-nya. Tubuh Jaka Ndab-
leg kini kelihatan agak menggigil oleh hawa dingin
yang keluar dari Cambuk Braja Bayu.
"Oooohhh...! Hawa yang keluar dari cambuk
itu mampu membuat tulang-tulangku lemas," Jaka Ndableg mengeluh, mencoba salurkan hawa
murni, sedangkan tubuhnya kini melompat ke
sana ke mari untuk menghindari pecutan Braja
Geni dan Braja Bayu yang terus mencercanya.
"Kalau begini terus menerus, sungguh celaka aku
nantinya! Aku harus mampu mengatasi semua-
nya, dan hanya dengan pedang Siluman Darahlah
akan mampu!"
Jaka Ndableg pasangkan Pedang Siluman
Darah itu di hadapan mukanya, seakan siap un-
tuk menghadapi serangan kedua cambuk di tan-
gan dua Warok tersebut. Kini Pedang Siluman
Darah nampak meneteskan darah merah, mem-
basahi batang pedang hingga pedang tersebut ba-
gaikan darah. Dan memang pedang itu kini men-
geluarkan darah, menjadikan mata kedua Warok
tersebut membeliak. Namun kedua Warok yang
merasa bahwa Pecut Sakti Tri Waringin mampu
mengalahkan Jaka Ndableg tidak merasa gentar.
Kembali kedua Warok tersebut berkelebat.
"Hiiiaaattt...!"
"Suiiiittt...!"
"Bletar! Bletar!"
Bersamaan dengan pecahnya suara ledakan
yang keluar dari dua pecut itu, dari dalam tanah
dan atas pohon berkelebatan Ninja-ninja yang se-
gera menyerang Jaka Ndableg.
"Wuuuuttt...! "
"Wuuuuttt...!"
Samurai-samurai yang berada di tangan pa-
ra Ninja berkelebat membabat ke arah Jaka, se-
dangkan Pecut Sakti Braja Geni dan Braja Bayu
turut membantu serangan. Jaka kini benar-benar
dikeroyok layaknya Sadam Husein dan Pasukan
Multi Nasional yang kini tengah bertarung. Jaka
kini dengan Pedang Siluman Darah yang telah
siap di tangan papaki serangan para Ninja.
"Hiiiaaaattt...!"
"Wuut! Wuuut...!"
Pedang Siluman Darah kini bagaikan silu-
man hidup yang haus darah. Pedang tersebut
berkelebat, memapaki serangan para Ninja yang
menyerbu berbarengan. Ninja-ninja tersebut ba-
gaikan kalap, menyerang dengan membabi buta.
Samurai-samurai tajam yang berkilat-kilat kini
tiada mau membiarkan musuhnya. Samurai-
samurai itu kini bergerak liar, menusuk dan
membabat ke arah tubuh Jaka. Begitu pula den-
gan kedua Warok tersebut. Kedua Warok itu tidak
mau ketinggalan, pecutnya menggelegar-gelegar
memekikkan telinga bagi yang mendengarnya.
"Bletar..! Bletar...!"
"Wuuuttt! Wuuuttt...!"
Dua senjata berlainan yang jumlahnya ba-
nyak terus mencerca Jaka Ndableg. Jaka Ndableg
segera kibaskan Pedang Siluman Darah, papaki
serangan mereka.
"Wuuuuttt...!"
"Prak! Prak! Prak...!"
Beruntun terdengar beradunya senjata Sa-
murai di tangan para Ninja dengan Pedang Silu-
man Darah di tangan Jaka Ndableg. Beruntun
pula terdengar suara benda logam patah. Dan
manakala Jaka melompat mundur kembali, nam
pak Samurai-samurai di tangan sepuluh orang
Ninja yang tadi menyerangnya patah menjadi dua.
Tinggallah gagang-gagangnya saja yang masih.
Kalau saja Jaka mau, mungkin tangan mereka
akan puntung.
"Aku sarankan, kalian minggatlah dari Ta-
nah Jawa ini sebelum para Pendekar Tanah Jawa
mencincang tubuh kalian!" Jaka berkata mempe-
ringatkan pada para Ninja. "Aku tidak ingin ka-
lian hanya mati sia-sia di tanah Jawa ini!"
"Bajero! Apa hakmu. Anak muda!" balas
membentak pimpinan Ninja tersebut. "Kau tidak
ada hak mengusir kami!"
"Hem, ini adalah tanah tumpah darahku!
Maka aku berhak mengusir kalian dari muka Ja-
wa Dwipa ini!" Jaka kembali memperingatkan me-
reka. "Kalau kalian tidak mau, jangan salahkan
kalau aku bertindak telengas!"
Pimpinan Ninja itu tersenyum, matanya me-
mandang tajam pada Jaka Ndableg. Dan tangan-
nya perlahan bergerak, memberikan isyarat pada
anak buahnya termasuk dua Warok itu menye-
rang.
"Hiiiiaaattt...!" Semua anak buahnya dan
Dua Warok itu kembali menyerang.
"Kalian memang ingin mampus! Dan kau,
Warok-warok murtad! Kalian akan mendapat hu-
kumannya, Hiiiiaaattt...!" Jaka Ndableg kini be-
nar-benar marah, merasa peringatannya tidak di-
gubris oleh orang-orang Nippon tersebut.
"Blelar! Bletar...!" Suara cambuk Dua Warok
menggelegar
"Wuuuttt...!"
"Swiiingg...!"
Senjata-senjata Rahasia yang dimiliki oleh
Ninja-ninja tersebut mendesing menyerang ke
arah Jaka berbarengan dengan serangan Samurai
di tangan Ninja-ninja lainnya yang kini bergerak
ke arah Jaka Ndableg.
Jaka Ndableg melompat ke muka, lalu den-
gan cepat kibaskan Pedang Siluman Darah ke
arah datangnya senjata-senjata rahasia yang ber-
bentuk bintang tersebut.
"Traangg...!"
Senjata-senjata rahasia itu mental, sebagian
runtuh terbelah menjadi dua dan berjatuhan ke
tanah terbabat Pedang Siluman Darah yang diba-
batkan oleh Jaka Ndableg. Namun belum juga
Jaka selesai menyapu senjata-senjata rahasia ter-
sebut, serangan kembali datang menerpa ke
arahnya. Dua puluh lima Ninja dan dua orang
Warok itu berkelebat dengan senjata-senjata me-
reka menyerangnya. Jaka lemparkan tubuh me-
lenting ke udara, hindari serangan mereka.
"Bahaya kalau aku biarkan berlarut-larut!"
keluh Jaka dalam hati.
Belum juga Jaka hilang kagetnya, orang-
orang yang menyerang telah kembali berkelebat
menyerang. Murka Jaka benar-benar dibuatnya.
Tanpa dapat dicegah lagi Jaka rapalkan ajian
yang diperoleh dari kitab milik kakeknya Banyu
Geni. Ajian yang kini tengah dirapalkannya tidak
lain ajian intinya, yaitu Dewa Api.
"Oooaaaaaarrrr...!" Jaka menggeretak marah,
dan dari tubuhnya kini keluar api yang menyala-
nyala. Kini Jaka benar-benar menjadi Dewa Api
yang ganas. Dengan marah Dewa Api yang masih
menggenggam Pedang Siluman Darah maju me-
mapaki serangan mereka.
"Dewa Api...!" Dua Warok memekik tertahan.
"Dewa Agni...!" Para Ninja juga nampak ter-
sentak kaget, surut ke belakang. Namun Dewa
Api kini benar-benar murka, dari matanya me-
mancar api, itulah Sinar Mata Malaikat.
"Wuuuusssss...!"
"Duar!"
"Aaaaaaaa...!"
Satu persatu Ninja memekik, tubuhnya ter-
bakar oleh api yang dilancarkan dari mata Dewa
Geni. Api membakar mereka, sesaat mereka men-
gejang, lalu ambruk dengan tubuh hangus. Dua
Warok dan sisa Ninja itu kini membelalakkan ma-
ta.
"Munduuurrr...!" Warok Gemuling berseru
memerintahkan pada semuanya agar mundur.
"Percuma kita melawan! Dia benar-benar telah
menjadi Dewa Geni!"
Tanpa menunggu perintah untuk yang kedua
kalinya, para Ninja dan kedua Warok itu serabu-
tan meninggalkan tempat tersebut. Dewa Geni
kembali ke bentuk asalnya, lalu dengan segera
mengejar mereka yang telah jauh meninggalkan
tempat tersebut.
ENAM
Kembali Di Negara Nippon...
Taka Nata yang berambisi untuk menjadikan
dirinya penguasa di Tanah Jawa, kini kembali
membuat petaka di dunia persilatan dan juga
menteror kerajaan. Dengan kemampuannya
menghimpun para pemberontak Taka Nata ber-
maksud melakukan pemberontakan dengan tu-
juan memaksa kaisar meluluskan permintaannya
untuk menjadi seorang raja di Tanah Jawa.
Saat itu Taka Nata nampak berdiri dengan
gagahnya di antara kerumunan orang-orang yang
mendukung niatnya. Mereka tidak tahu apa yang
akan mereka dapatkan dengan mendukung tin-
dakan Taka Nata. Kebanyakan mereka hanya ta-
hu bahwa diri mereka kelak akan dijadikan
orang-orang yang senang dengan bergelimang
harta benda dan wanita. Bukankah wanita-wanita
Jawa kebanyakan cantik-cantik dan lembah lem-
but? Bayangan ingin dapat memperistri gadis Ta-
nah Jawalah yang menjadikan mereka memiliki
semangat tinggi.
"Saudara-saudara, kalian apakah tidak ingin
menjadi orang yang bermasa depan enak dengan
bergelimpangan harta?" tanya Taka Nata membe-
rikan semangat dan janji-janji pada anak buah-
nya.
"Ingiiiinnn...!" jawab semuanya ketus. "Nah,
kalau aku nanti menjadi raja di Tanah Jawa, ma-
ka kalian akan menjadi orang-orang yang mem-
punyai kedudukan. Kalian akan aku angkat seba-
gai prajurit-prajuritku! Bagaimana...?"
"Akkuuurrr,..!"
"Bagus!" Taka -Nata tersenyum senang. "Ka-
lian memang harus mempunyai semangat yang
tinggi untuk menjadi orang-orang yang tidak se-
lamanya di bawah! Nah, mulai sekarang, kalian
akan aku didik menjadi orang-orang persilatan.
Kalian akan menjadi seorang Ninja sejati yang be-
rilmu tinggi."
Bagaimana pun, orang akan merasa senang
bila diberi janji-janji yang indah. Seperti halnya
mereka, mereka pun nampak berseri-seri men-
dengar penuturan Taka Nata. Mereka benar-benar
hanya tahu bahwa diri mereka kelak akan menja-
di orang yang dihormati di Tanah Jawa, tidak se-
perti keadaan mereka sekarang. Keadaan mereka
benar-benar merupakan keadaan yang menderita.
Kebanyakan dari mereka hanyalah seorang tani
yang tiada daya apa-apa untuk melakukan apa
yang sebenarnya terserat di hati.
"Kapan kita akan ke Tanah Jawa?" Seorang
di antara mereka yang masih muda dan berbadan
besar bertanya.
"Kalau kita sudah menjadi sebuah kekuatan,
kita akan memaksa Kaisar untuk memberikan
bantuan pada kita," jawab Taka Nata.
"Bukankah dengan kita sendiri, kita akan
mampu menjalankannya, Ketua...?" Yang lain
menyambung bertanya.
Taka Nata tahu bahwa semua anak buahnya
yang berhasil dihimpun yang jumlahnya menca-
pai seratus orang lebih, memiliki antusias yang
tinggi. Mungkin dikarenakan mereka selalu dijejali oleh janji-janji Taka Nata yang muluk-muluk.
"Hem, nampaknya usahaku akan berhasil," Taka
Nata berkata dalam hati. "Kalau sudah begitu,
aku tentunya akan berhasil menjalankan segala
apa yang menjadi rencanaku."
"Kalian bersabarlah barang satu dua ming-
gu," Taka Nata akhirnya berkata. "Kita perlu per-
siapan yang masak, agar kita tidak mudah untuk
dijatuhkan. Menurut yang aku dengar, Pendekar
Tanah Jawa sangat sakti. Kita perlu menimba il-
mu!"
Semua yang ada di situ terdiam, sepertinya
menurut akan apa yang dikatakan oleh Taka Nata
selaku pimpinannya. Memang benar, apa yang di-
katakan Taka Nata. Begitulah ucapan penghibur
diri di hati mereka. Mereka memang perlu me-
nimba ilmu, agar kelak mereka mampu mengatasi
semuanya.
"Memang di Tanah Jawa telah menanti Ninja
Hitam, yang kelak akan menyokong usaha kita.
Namun sampai sekarang Ninja Hitam belum
memberikan kabar lagi bagaimana keadaannya,"
Taka Nata melanjutkan berkata.
"Kalau Ninja Hitam tidak mendapatkan hasil,
apakah kita juga akan nekad? Tentunya tidak
bukan...? Tapi akan lain dengan Ninja Hitam. Aku
adalah Taka Nata, si Ninja Iblis, yang mampu
mengatasi segalanya!"
"Hidup Ketua kita!"
"Hidup Ninja Iblis...!"
"Hidup Tuan Taka Nata...!"
Suara sanjungan menggema, bersamaan
dengan habisnya ucapan Taka Nata. Semua sea-
kan terhanyut oleh janji-janji yang dilontarkan
oleh Taka Nata.
"Nah, untuk persiapannya, maka mulai kini
kita akan selalu terikat oleh sebuah persatuan.
Bagaimana kalau perserikatan kita, kita namakan
Persatuan Samurai Iblis?! Seperti Samurai milik-
ku?"
"Akuuurrr...!"
"Setujuuu...!"
"Hidup Taka Nata...!"
"Hidup Samurai Iblis...!" Riuh rendah suara
mereka yang menyanjung Taka Nata, seakan Taka
Nata adalah Dewa Penolong baginya untuk men-
gubah nasib yang selama ini mereka geluti. Hidup
sebagai buruh tani memang sangatlah menderita.
Tiada pernah mereka berbahagia seperti orang-
orang istana atau juragan-juragan mereka.
"Mulai sekarang, kalian aku percayakan un-
tuk mengumpulkan Dana! Peras juragan-juragan
dan tuan tanah yang ada di Tanah Nippon ini!"
Taka Nata kembali memerintah. "Bagaimana,
apakah kalian sanggup?"
"Apakah kami akan mendapatkan perlindun-
gan?" tanya mereka ingin keyakinan.
"Jelas! Kalian adalah anak buahku, maka
aku pun akan melindungi kalian! Bila ada tuan
tanah atau juragan yang membangkang, maka
akulah yang akan menyelesaikan mereka. Dan
kalian ajaklah rekan-rekan kalian untuk berga-
bung bersama di Samurai Iblis yang akan membe-
rikan pada kalian kebahagiaan!"
"Hidup Samurai Iblis...!"
"Hidup Ketua Taka Nata...!"
"Hidup Dewa Pembela kaum lemah...!" Taka
Nata tersenyum-senyum mendengar seruan yang
dilontarkan oleh anak buahnya.
Kini Taka Nata menemukan dirinya bagaikan
seorang raja yang agung. Raja diraja yang kelak
akan mencatat sejarah di Nippon dan di Tanah
Jawa. Dan bila semuanya berhasil, maka baru
sekali itu orang dari golongan Ninja yang mampu
menjadi raja atau kaisar di Tanah Jawa.
Setelah mengadakan rencana-rencana yang
kemudian disetujui oleh anak buahnya, maka ha-
ri itu juga seluruh anak buah Samurai Iblis kem-
bali ke tempat masing-masing untuk melakukan
apa yang telah direncanakan mereka. Sebuah
rencana yang matang, rencana untuk mempenga-
ruhi dan memaksa pada tuan tanah serta sauda-
gar-saudagar untuk memberikan harta mereka
sebagai bantuan dalam rangka niat mereka men-
gadakan ekspansi ke Tanah Jawa.
* * *
Kota Tokyo diguyur hujan salju malam itu,
sehingga keadaan kota Tokyo bagaikan mati. Tak
ada seorang pun yang berani keluar, hanya desa-
han angin yang menerbangkan salju-salju men-
gukir putih di pepohonan serta hamparan kota
yang terang oleh lampu-lampu listrik.
Keheningan kota Tokyo, malam itu bukan
menjadi hambatan untuk anak buah Taka Nata
beraksi. Sesuai dengan rencana, malam itu den-
gan menerobos hujan salju mereka berkelompok-
kelompok mendatangi para juragan dan tuan ta-
nah. Itulah gerilya ala mereka, gerilya ala petani
yang menghendaki kebebasan dan keinginan yang
tinggi agar mampu mengubah nasib mereka.
Sepuluh orang berkerudung hitam, berkele-
bat berlari-lari kecil membelah hujan salju menu-
ju ke sebuah rumah yang cukup besar. Dan bi-
asanya, rumah seperti itu adalah rumah milik
seorang saudagar atau seorang tuan tanah, atau
pun juragan. Enak kata, rumah seperti itu adalah
rumah orang berada. Dan ke situlah mereka me-
nuju kaki mereka. Pedang sudah terselip di pun-
dak, dan mereka benar-benar mirip seorang pen-
dekar Ninja yang siap untuk melaksanakan apa
yang menjadi tugas mereka.
Salah seorang yang berjalan di muka, segera
mengetuk pintu rumah.
"Tok, tok, tok!"
"Siapa...?" Terdengar suara seseorang berse-
ru.
"Saya juragan," Jawab orang bertopeng.
"Siapa engkau...?" Kembali terdengar suara
orang bertanya.
"Bukalah pintu, nanti engkau akan tahu sia-
pa aku,"
Lama kesepuluh orang itu menanti untuk
masuk, namun sepertinya pintu tidak mau dibu-
ka. Mungkin tuan rumah telah mengira siapa
adanya orang yang datang. Hal tersebut menjadi-
kan kesepuluh orang yang berada di luar sewot.
Maka dengan kasar didobraknya pintu rumah
tersebut dengan tendangan.
"Braaak...!"
Pintu rumah itu hancur berantakan, namun
belum juga kesepuluh orang itu sadar, tiba-tiba
sebuah bayangan berkelebat menyerang dengan
Samurai siap memancang tubuh mereka. Melihat
hal itu, segera kesepuluh orang utusan Taka Nata
balas membabatkan Samurai yang sudah siap di
tangan. Tidak ayal lagi, seorang kini harus berha-
dapan dengan sepuluh orang.
"Kau harus tunduk pada kami!" bentak
orang yang tadi mendobrak pintu.
"Persetan dengan kalian, Hiaaattt...!"
"Wuuuuttt...!"
Samurai di tangan tuan rumah mendesing,
mengarah ke arah kesepuluh orang yang baru da-
tang. Kesepuluh orang tersebut tersentak kaget,
dan dengan cepat menghindar sembari balik me-
nyerang dengan Samurai mereka.
"Orang mencari mampus! Hiaaattt...!"
Mendengar teriakan ketuanya, segera ke-
sembilan orang lainnya turut menyokong. Kini
sepuluh orang bertopeng itu benar-benar hendak
menghabisi nyawa orang tersebut. Tuan rumah
yang berbadan gendut itu nampak berusaha
mengelakan serangan kesepuluh orang tersebut.
Walaupun tuan rumah sudah keteter, namun ke-
sepuluh orang yang sudah dididik oleh Taka Nata
kini benar-benar bagaikan iblis yang tidak men-
genal kasihan.
"Wuuutttt...! Wuuutttt...!"
"Papah...!" Terdengar jeritan dari dalam, dan
tampak seorang gadis berlari keluar. Melihat seo-
rang gadis cantik keluar, nampak ketua dari ke-
sembilan orang itu berikan isyarat untuk anak
buahnya yang terus mencerca tuan rumah. Se-
mentara dirinya sendiri kini berkelebat ke arah
gadis tersebut berdiri.
"Kau mesti tenang, Anak Manis," ucap seo-
rang bertopeng, dan dengan cepatnya tangan
orang bertopeng itu menyeret gadis cantik terse-
but ke dalam. Disekapnya gadis itu yang terus be-
rontak mencoba melawan.
"Tidaaaakkk...! Jangan ganggu aku!" Gadis
itu berontak. Kakinya menjejak, tangannya terus
memukuli tubuh orang yang menyeretnya. Na-
mun bagaikan tidak merasa sakit, lelaki berto-
peng itu terus menyeret sang gadis. "Bagero. Le-
paskan aku!"
"He, he, he...! Kau harus menurut, Nona."
"Cih! Lebih baik kau bunuh aku!"
"Tidak, Nona! Kau harus melayani apa yang
menjadi keinginan kami. Kau harus mau. He, he,
he...!"
Tanpa hiraukan pemberontakan gadis terse-
but, segera lelaki tersebut menotok urat darah
sang gadis. Seketika sang gadis terkulai lemah.
Hal tersebut menjadikan senyum menyungging di
bibir lelaki bercadar tersebut. Dan manakala mu-
lut gadis itu hendak menganga, lelaki bercadar
tersebut memasukkan dua butir pil berwarna me-
rah ke dalam mulutnya. Sejenak gadis tersebut
terkulai pingsan, hingga dengan gampangnya le
laki bercadar itu membopong tubuh gadis itu ke
atas kasur yang ada di kamar tersebut.
Sementara itu di luar, nampak pertarungan
masih terus berjalan. Nampaknya tuan rumah ti-
dak ingin mengalah begitu saja, dan berusaha te-
rus melawan. Dari dalam kamar lain seorang lela-
ki muda yang mungkin anaknya nampak men-
dengus demi melihat ayahnya dikeroyok oleh
orang-orang berpakaian Ninja.
"Bajero! Kalian orang-orang bangsat! Kubu-
nuh kalian!" Pemuda itu cabut pedang yang ter-
gantung di dinding rumahnya, lalu dengan nekad
dia mencelat membantu ayahnya. Belum juga tu-
buhnya sampai, seorang dari sembilan orang, ter-
sebut telah menghadangnya dengan tebasan Sa-
murainya.
"Wuuuttt...!"
Pemuda itu tersentak, melompat mundur.
"Wuuuuttt...!" Kembali orang itu menyerang.
"Bajero! Anjing Ninja, Hiaat! Aku bunuh kau,
Anjing!"
Kemarahan pemuda anak tuan rumah yang
kini dikeroyok oleh delapan orang Ninja seperti
membabi buta. Pedang di tangannya bergerak
liar, nekad menghadang Samurai lawan.
"Wuuuttt...!"
"Wuuuutttt...!"
"Trang...!" Dua pedang itu saling bertemu.
"Prak!" Pedang di tangan anak juragan itu
patah, menjadikan mata anak juragan tersebut
membeliak kaget. Ia sesaat tertegun, sebelum ak-
hirnya melompat hindari serangan.
Melihat musuhnya mampu menghindar,
orang berpakaian Ninja kembali babatkan pedang
Samurainya ke arah sang pemuda. Tidak lagi pe-
muda juragan itu mampu menghindar, hingga
akibatnya dapat diterka.
"Wuuuuttt...!"
"Breet…!"
"Aah...!" Pemuda itu memekik, melompat ke
belakang. Dadanya kini tergores oleh Samurai la-
wan. Melihat dirinya terluka, dengan nekad pe-
muda tersebut kembali memekik dan menyerang
dengan tangan kosong. "Aku bunuh kau, Bajero!"
"Wuuut...!"
Tangan dan kaki pemuda itu menghantam,
namun sepertinya tiada arti sama sekali bagi
orang berpakaian Ninja tersebut. Malah kini Sa-
murainya yang telah terbasah darah makin nam-
pak liar. Samurai itu kini berkelebat dengan ce-
pat, membabat ke arah perut sang pemuda
"Wuuuutt...!"
"Breet...!"
"Aaaaaah...!" Pemuda itu kembali memekik,
namun hal tersebut tidak menjadikan orang ber-
pakaian Ninja itu hentikan aksinya. Malah seper-
tinya orang itu kalap. Kembali Samurainya berke-
lebat, dan kini mengarah ke punggung si pemuda
yang terhuyung-huyung.
"Wuuuuttt...!"
"Crass...!"
"Krak!"
"Aaaahhh...!" Samurai di tangan orang ber-
pakaian Ninja membabat tulang belikat di pung
gung si pemuda, yang menjadikan pemuda terse-
but menjerit. Tulang tersebut patah, sedangkan si
pemuda kini berguling-guling menahan sakit.
Mungkin karena merasa dirinya tidak bakalan
ungkulan, maka dengan mendengus si pemuda
mengamuk dengan luka-luka tubuhnya. Hal ter-
sebut tidak menjadikan dirinya mampu, sebab
darah telah terkuras keluar, mengurangi kekua-
tan pertahanan tubuhnya. Tubuhnya mulai lim-
bung, matanya kini nampak berkunang-kunang.
"Wuuuttt...!" Samurai di tangan orang ber-
pakaian Ninja kembali berkelebat, membabat ke
arah pemuda itu.
"Craaaaasss...!'
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaa...!" Pemuda itu menje-
rit panjang dengan tubuh berputar-putar sesaat
sebelum akhirnya ambruk ke lantai. Samurai di
tangan Ninja tersebut telah membabat putus tan-
gan kanannya. Darah muncrat membasahi lantai.
Demi mendengar suara jeritan anaknya, hilanglah
konsentrasi tuan tanah tersebut.
"Anaakku...!"
Kekagetan orang berbadan gemuk yang kaya
tersebut tidak disia-siakan oleh kedelapan orang
pengeroyoknya. Dengan cepat salah seorang dari
mereka babatkan Samurainya.
"Wuuuttt...!"
Tersentak tuan rumah itu dan berusaha
menghindar. Namun terlambat, datangnya Samu-
rai tersebut jauh lebih cepat dari gerakannya
menghindar. Hingga...!
"Wuuuuuttt...!"
"Craas...!"
"Aaaaaaaa...!" lelaki setengah baya itu me-
mekik, pegangi perutnya yang terbeset oleh sabe-
tan Samurai lawannya. Bareng dengan keadaan
ayahnya. Si gadis yang kini tengah dalam penga-
ruh obat serahkan segalanya pada orang bercadar
yang kini mengangkangi dirinya. Dan manakala
satu lesatan hebat mendera, terdengar suara pe-
kikkan kecil
"Ah..!" Gadis itu memekik pendek tatkala se-
suatu mendera dan menjadikan dirinya kini hi-
lang segalanya. Sebentar ia melenguh, kemudian
terdengar keluhnya yang panjang. "Ooooohhh...!"
Melihat si gadis telah dapat dikangkangi, dan
telah mendapatkan segalanya, orang bercadar
Ninja itu kini kembali keluar. Sementara orang
lainnya yang telah menyelesaikan anak lelaki pe-
milik rumah tersebut menyusul ke kamar.
Sementara di kamar perang tanding satu la-
wan satu, di luar kini pemilik rumah makin tam-
pak kewalahan. Samurai-samurai musuh men-
cerca dan hendak mencincang dirinya.
"Wuuuuuttt...!"
Sadis memang tindakan mereka. Samurai di
tangan mereka bagaikan tidak mengenal ampun,
membabat tubuh sebelah belakang lelaki seten-
gah baya gemuk tersebut.
"Breeeet...!"
"Aaaaaaa...!" Lelaki setengah baya tersebut
memekik. Tubuhnya kini tergurat goresan-
goresan luka akibat tebasan-tebasan Samurai la-
wan. Tubuhnya limbung, terhuyung-huyung ke
belakang. Melihat itu, kembali kedelapan orang
tersebut dengan kesetanan mencerca. Dan pun-
cak dari semuanya, manakala orang yang baru
saja keluar dari kamar babatkan Samurai ke arah
tubuhnya.
"Hiiaaaattt...!"
"Wuuuuttt...!"
"Craaasss...!"
"Aaaaaaaa...."
Puntung saat itu juga leher Orang tua seten-
gah baya, terbabat oleh Samurai di tangan pimpi-
nan kesembilan Ninja tersebut. Kesembilan Ninja
itu kini nampak tertegun sesaat, saksikan tubuh
pemilik rumah yang menggelepar-gelepar me-
nanggung sekarat. Tubuh pemilik rumah itu ke-
jang sesaat, lalu akhirnya tergolek dengan nyawa
menghempas hilang.
Dengan matinya pemilik rumah, maka ke-
sembilan Ninja itu kini dengan mudahnya mengu-
ras harta benda milik tuan tanah kaya tersebut.
Namun sebelum mereka pergi, dengan sadisnya
mereka bergantian memperkosa anak tuan tanah
tersebut. Sungguh malang, seorang gadis cantik
harus menjadi korban kebiadaban orang-orang ti-
dak bertanggung jawab.
Setelah semuanya pergi, dan gadis itu me-
nyadari keberadaan dirinya, maka gadis itu pun
kini menangis sejadi-jadinya. Gadis tersebut tidak
mampu berbuat apa-apa, kecuali menangis dan
menangis menyesali keadaannya. Dan bagaikan
orang gila, gadis itu berlari menghambur pergi
tinggalkan rumah. Batinnya tersiksa, apa lagi
tatkala melihat keberadaan ayah dan kakaknya
yang mati dengan tubuh amburadul.
***
TUJUH
Gadis itu masih berlari dan berlari sambil
menjerit-jerit dengan histeris. Kini dirinya bagai-
kan seorang gadis tanpa diurus. Pakaiannya am-
buradul, compang camping. Terkadang ia mela-
mun, lalu menangis sendiri.
"Ayah...! Hu, hu, hu...! Mereka jahat! Mereka
telah memperkosaku! Aku akan membalas segala
apa yang mereka lakukan! Aku akan membalas!"
Gadis itu kembali berlari, tinggalkan tempat
tersebut menuju ke jurang di dekat sebuah pan-
curan di gunung Fujiyama. Sejenak dia terce-
nung, pandangi dasar jurang yang dalam hingga
tidak tampak. Ingin rasanya ia bunuh diri mener-
junkan tubuhnya ke jurang tersebut, tapi bila in-
gat akan apa yang harus ia lakukan, diurungkan-
nya niat.
"Tidak! Aku tidak mau mati! Aku harus
mampu membalas segala yang telah mereka la-
kukan! Rampok-rampok Iblis itu harus mati di
tanganku!"
Tengah gadis tersebut menangis, nampak
seorang lelaki muda berlari-lari mendekat. Dilihat
dari pakaian yang dikenakan, dia jelas merupa-
kan seorang pendekar. Di pundaknya tergantung
sebilah pedang. Pemuda itu bertelanjang dada,
menjadikan otot-otot dadanya kelihatan menonjol.
Pemuda itu tidak lain Jaka Ndableg yang jagoan
kita atau Pendekar Pedang Siluman Darah. Mau
apa Pendekar Pedang Siluman Darah ke tanah
Nippon? Dan mengapa dia sampai datang di sini?
"Nona...! Nona, tungguu..!" Jaka Ndableg
berseru, sentakan gadis itu menengok ke arah da-
tangnya suara tersebut. "Nona, dapatkah engkau
menolongku?"
Gadis itu diam, hanya matanya yang me-
mandang tiada kedip ke arah Jaka Ndableg.
"Hem, sepertinya gadis ini menderita batin,"
gumam Jaka dalam batin.
Jaka yang dipandang hanya terdiam, semen-
tara si gadis seperti makin mendalamkan pan-
dangannya. Dua mata mereka kini beradu, me-
nyiratkan sebuah benang di hati si gadis.
"Nona...," Jaka kembali buka mulut.
"Ya! Ada apakah?"
"Em, maukah Nona tunjukkan aku di mana
tempatnya guru besar Ninja berada?" Kembali Ja-
ka bertanya, menjadikan gadis cantik namun
berpakaian amburadul itu lekatkan pandangan-
nya. "Mengapa Nona begitu tajam memandang
padaku?"
"Aku....." Gadis itu tidak teruskan ucapan-
nya, ada perasaan malu untuk mengutarakan apa
yang sebenarnya ada di hati. Merasa dirinya tiada
arti lagi, menjadikan gadis tersebut kini benar-
benar tiada arti bagi seorang pemuda. "Ah, tidak!"
Jaka Ndableg kerutkan kening mendengar
ucapan gadis tersebut yang nadanya mengandung
sebuah keputus asaan. "Kenapa, Nona? Adakah
yang dapat aku bantu?" tanya Jaka. "Oh ya, na-
maku Jaka Ndableg. Aku datang dari Tanah Jawa
Dwipa."
"Dari Jawa Dwipa?" tanya gadis itu heran.
"Ya, kenapa?"
"Oh, jauh sekali."
"Menurut ayahku, Tanah Jawa Dwipa subur
dan makmur. Penduduknya ramah tamah. Be-
narkah, Tuan Jaka?"
Jaka tersenyum senang seraya mengangguk.
Kini gadis itu telah kembali menemukan siapa
adanya dirinya.
"Kalau boleh aku tahu, siapakah Nona
adanya. Dan sedang apakah Nona sendirian di te-
pi jurang?"
Gadis itu bukannya menjawab, malah kini
menangis. Hal tersebut menjadikan Jaka terbeliak
kaget. Jaka tidak mengerti kenapa gadis itu me-
nangis, namun Jaka memaklumi dan sadar
mungkin gadis tersebut sadar akan keadaan di-
rinya.
Gadis itu dengan masih berlinang air mata
akhirnya bercerita tentang bencana yang menim-
pa dirinya. Jaka tergugah, terenyuh mendengar-
kan cerita yang dituturkan oleh sang gadis. Kini
Jaka tahu apa sebenarnya yang telah menimpa
gadis tersebut dan keluarganya. Tak terasa Jaka
pun menggumam.
"Sungguh perbuatan Iblis!"
"Ya! Mereka memang Iblis, Tuan Jaka."
"Nona, Meimora, janganlah Nona memanggil
diri saya Tuan."
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Oh ya, dapatkah Nona
membantu saya? Nanti saya akan berusaha
membantu Nona."
"Benarkah itu, Tu... eh Jaka?"
Jaka hanya mengangguk mengiyakan den-
gan bibir berurai senyum.
"Apa yang dapat aku bantu...?" Nada ucapan
Meimora manja, menjadikan Jaka kini harus me-
narik napas panjang. Jaka sadar kalau Meimora
kini tengah mendapatkan sebuah perasaan lain di
hatinya. Jaka sadar keadaan dirinya, seperti dika-
takan oleh Ratu Penguasa Bumi dan kecembu-
ruan Miranti beralasan.
Bila ingat semua itu, ingat Miranti Jaka
hanya mampu mengguman dalam hati. "Miran-
ti...,"
"Mengapa kau melamun, Jaka?"
Tersentak Jaka seketika, dengan mencoba
tersenyum Jaka sembunyikan keterkejutannya.
"Ah, tidak mengapa. Oh ya, dapatkah Nona mem-
bantu saya menunjukkan di mana saya harus
bertemu dengan Kaisar?"
Mata Meimora membeliak mendengar uca-
pan Jaka Ndableg. Mulutnya menganga, seper-
tinya menandakan kekagetannya. Hal tersebut
tertangkap oleh Jaka, sehingga Jaka pun terse-
nyum dan berkata lagi. "Kenapa, Nona? Kau ka-
get?"
"I… iya!"
"Jangan kaget, Nona. Aku bukanlah orang-
orang istana! Aku hanya diutus oleh Raja Tanah
Jawa untuk menanyakan apa yang sebenarnya
kini melanda tanah kelahiranku. Nah, maukah
Nona membantu?"
"Mau!" jawab Meimora.
"Terimakasih sebelumnya."
Keduanya pun berjalan tinggalkan tempat
tersebut menuju ke kerajaan. Namun segera
Meimora hentikan langkah, manakala ia teringat
akan keadaan dirinya. Hal tersebut menjadikan
Jaka kembali kerutkan kening bertanya. "Ada
apa, Nona Me?"
"Apakah aku pantas menghadap Raja den-
gan pakaian begini rupa?" Jaka tersenyum.
"Benar! Ah, sayang aku tidak membawa pa-
kaian."
"Tidak apa! Rumahku dekat dari sini. Mau-
kah engkau mampir?"
Jaka tak mampu menolak, dan keduanya
pun kini putar arah menuju ke rumah Meimora.
Dua sosok tubuh pemuda pemudi itu berjalan
santai, sepertinya menikmati apa yang tengah
bermusim di Negeri Nippon tersebut.
* * *
Jaka Ndableg tersentak manakala melihat
dua sosok tubuh laki-laki tergeletak dengan kea-
daan yang menyedihkan. Tubuh keduanya bagai-
kan dicincang. Sementara Meimora kini kembali
menangis, dan memeluk tubuh Jaka Ndableg
erat-erat. Ditumpahkan tangisan kepedihan ha-
tinya di dada Jaka Ndableg.
Menyaksikan hal tersebut menjadikan Jaka
turut terenyuh. Tidak dirasakannya air matanya
meleleh. Jaka kini benar-benar merasakan betapa
hidup ini begitu pahit dan sakitnya. Apa lagi
tatkala melihat dua sosok tubuh ayah dan kakak
Meimora, dada Jaka sebagai seorang pembela ke-
benaran dan keadilan bagaikan hendak meledak-
ledak. Ingin rasanya Jaka Ndableg menjerit, dan
memaki-maki pada siapa saja andai saja ia tidak
menyadari makna kehidupan itu yang sebenar-
nya.
"Sudahlah, Mei. Mungkin semua sudah tak-
dir Yang Maha Esa, kau harus menerimanya."
"Tapi aku kini sebatang kara. Aku... aku juga
tiada berarti."
"Tidak juga, Mei," Jaka terus berusaha
menghibur diri Meimora.
Meimora memandang ke arah Jaka penuh
arti, sepertinya pandangan tersebut mengandung
sebuah harapan, entah harapan apa? Yang jelas
hanya Jaka sendiri dan Meimora yang tahu.
"Aku berjanji akan membantumu mencari
orang-orang yang telah biadab."
"Benarkah, Jaka?"
Jaka hanya mengangguk.
"Oh, terimakasih, Jaka."
"Sekarang kita makamkan kedua ayah dan
kakakmu, baru nanti kita teruskan perjalanan ki-
ta ke Kerajaan."
Mendengar ucapan Jaka, bagaikan anak ke
cil saja Meimora kembali peluk tubuh Jaka erat.
Sepertinya di dada Jaka ada segala apa yang ia
cari. Seakan hanya Jaka saja yang menjadi tum-
puhan hidupnya saat ini. Jaka segera lepaskan
dekapan Meimora, lalu berjalan mendekati tubuh
yang tergeletak dengan luka-luka yang banyak
menggurat di tubuh keduanya. Dengan tanpa me-
rasa jijik Jaka Ndableg angkat mayat-mayat ter-
sebut keluar. Dibantu oleh Meimora yang masih
menangis Jaka terus menggali lubang lahat untuk
mayat-mayat tersebut. Dan menjelang sore baru
Jaka menyelesaikan segala apa yang menjadi tu-
gasnya. Dua kuburan kini tampak di depan ru-
mah Meimora. Dua kuburan baru, sehingga ta-
nahnya nampak masih merah.
Jaka di dampingi Meimora duduk meman-
jatkan do'a. Meimora sendiri masih menangis,
seakan hanya air mata saja tumpuan dan hanya
pada Jaka hal tersebut ia ungkapkan.
"Sudahlah, jangan menangis," Jaka menghi-
bur. Dipapahnya tubuh Meimora yang melangkah
tinggalkan tempat tersebut.
Dengan berjalan beriringan, sementara kepa-
la Meimora terpatah di pundak Jaka, keduanya
melangkah tinggalkan rumah menuju ke kerajaan
yang menjadi tujuan Jaka semula.
* * *
Kerajaan kini benar-benar dibikin pusing
oleh segala tindakan yang dibuat oleh anak buah
Taka Nata. Kini nama Taka Nata yang dulunya
harum berubah menjadi busuk. Julukan untuk
Taka Nata adalah Iblis Nippon.
Sang kaisar dengan didampingi oleh perdana
mentrinya terduduk tanpa semangat. Di hada-
pannya duduk pula para prajurit utama dan pan-
glima-panglima perangnya. Kaisar kini tengah
mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masa-
lah yang kini berlarut-larut. Masalah yang sangat
sukar, sebab Taka Nata bukanlah orang semba-
rangan yang mudah dibekuk. Telah berulang kali
kaisar memerintahkan untuk menangkap Taka
Nata, namun hasilnya malah sebaliknya. Korban
demi korban berjatuhan. Kini kaisar memerintah-
kan dua orang panglimanya untuk mengikuti ra-
pat yang diadakan oleh pimpinan besar Ninja.
Dan sampai kini kedua utusan tersebut belum ju-
ga muncul kembali.
"Apakah mereka menemui hambatan?" tanya
kaisar.
"Mereka merupakan Panglima Perang yang
tangguh, Kaisar. Jadi tidaklah mungkin mereka
dengan mudah dapat dijatuhkan."
Mendengar ucapan perdana menterinya, kai-
sar angguk-anggukan kepalanya.
"Aku juga berharap begitu. Dan aku juga
berharap para tokoh persilatan khususnya Sese-
puh Ninja cepat bertindak agar semuanya tidak
berlarut-larut."
"Semoga saja, Kaisar."
Semua prajurit yang hadir di situ tak seo-
rang pun yang membuka kata, semuanya diam
tiada berani berbicara. Tengah semuanya hening
terdengar suara seorang wanita menyapa. "Slamat
Sore, Tuan-tuan?"
Seketika semua yang hadir di situ palingkan
muka menghadap ke arah pintu gerbang. Di sana
nampak seorang gadis dan seorang pemuda berte-
lanjang dada hingga otot-ototnya yang kekar
nampak menggurat kencang.
"Siapakah kalian adanya?"
"Kami Jaka Ndableg. Kami diutus dari Kera-
jaan Tanah Jawa untuk menghadap Kaisar."
"Oooh...! Kalau tidak salah, bukankah eng-
kau, yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Da-
rah?" tanya kaisar
Tersentak Jaka Ndableg mendengar perta-
nyaan kaisar. "Hai, mengapa kaisar mengerti dan
tahu siapa adanya aku? Apakah Baginda Swarna
Sukma telah memberitahukan sebelumnya?" Jaka
bertanya dalam hati. Dan Jaka hanya mampu
mengangguk tanpa dapat menolaknya. Hal terse-
but menjadikan Meimora yang baru tahu siapa
adanya pemuda itu pandangkan mata ke arah
Jaka dengan perasaan kagum.
"Ayo masuk, Tuan Pendekar."
"Terimakasih, Kaisar," jawab Jaka. Keduanya
pun masuk, lalu duduk di antara para prajurit se-
telah terlebih dahulu menjura ke kaisar.
"Nona ini, apakah teman Pendekar Siluman
Darah?"
"Hamba orang sini, Kaisar."
"Oh, benar!" kaisar angguk-anggukan kepala
mengerti. "Di mana engkau temui Tuan Pendekar
ini, Nona?"
"Saya hendak ke sini, dan kebetulan saya
melihat Nona Meimora ini tengah menangis. Dan
setelah kami saling kenal, ternyata Nona ini juga
korban dari kebiadaban warga Tuan Kaisar yang
tidak berperikemanusiaan. Mungkin Ninja-ninja
yang seperti mewabah di Tanah Jawa," Jaka men-
jelaskan, menjadikan Meimora tersipu-sipu malu.
Sementara sang kaisar nampak murung menden-
gar sindiran yang dilontarkan oleh Pendekar Pe-
dang Siluman Darah. Dirinya merasa salah tidak
mampu memberikan perlindungan bagi rakyat-
nya, sehingga rakyatnya kini tercekam dalam ke-
takutan.
"Bukan saja tindakan Ninja-ninja itu me-
rampok dan membunuh, tapi yang lebih keji lagi,
Ninja-ninja tersebut telah memperkosa Nona
Meimora ini," Jaka meneruskan.
"Itulah yang ada di negeri ini, Tuan Pende-
kar. Maka itu pula kami meminta bantuan dari
sahabat kami yaitu Raja Tanah Jawa untuk men-
girim Pendekarnya ke mari. Dan ternyata engkau-
lah yang dimaksudkan."
"Heh, bukankah aku di utus kemari untuk
menyelesaikan masalah Ninja-ninja yang berada
di Tanah Jawa?" Jaka tersentak kaget, mendengar
penuturan kaisar.
"Memang benar! Tapi kami juga meminta
bantuanmu untuk menyelesaikan apa yang telah
terjadi di sini. Semua Pendekar di sini kini tengah
mengadakan rembuk untuk mencari jalan ke-
luarnya. Kini para Pendekar tersebut tengah ber-
kumpul. Kalau Tuan Pendekar ingin menjumpai
mereka, maka dengan senang hati kami sendiri
yang akan mengantar ke sana."
"Ah, tidaklah usah repot-repot. Saya akan
datang ke sana sendiri, asalkan kaisar memberi-
kan peta tempat di mana mereka berkumpul."
"Baiklah! Kami akan mengutus dua Panglima
untuk menemanimu, Tuan Pendekar," sang kaisar
memutuskan. "Fatakanabe, dan engkau Saisa-
gaya, temani Tuan Pendekar dan Nona ini ke
tempat berkumpulnya para Pendekar. Katakan
pada mereka, bahwa Pendekar ini akan memban-
tu mereka menghadapi Taka Nata si Iblis Nippon."
"Daulat, Kaisar," jawab keduanya. "Mari,
Tuan Pendekar."
Jaka Ndableg dan Meimora menjura, lalu
bersama dengan kedua panglima perang dengan
menggunakan kereta menuju ke tempat di mana
para tokoh persilatan yang dipimpin oleh Maha
Guru Ninja berkumpul.
* * *
Kereta yang ditumpangi Jaka Ndableg, Mei-
mora dan kedua panglima perang kerajaan masih
melaju dengan cepat di atas salju-salju yang me-
nyirami tanah, menjadikan kereta itu walau cepat
bagaikan tersendat. Hamparan putih salju, mem-
bentang luas dari gunung Fujiyama turun ke bu-
kit-bukit dan ke tempat di mana mereka kini be-
rada.
Sambil melepas penat, Jaka Ndableg terus
bercakap-cakap dengan kedua panglima perang.
Tidak lupa juga Meimora turut serta diajak berca-
kap-cakap. Tengah mereka melakukan percaka-
pan, tiba-tiba kusir kereta hentikan laju kereta
tersebut. Hal tersebut menjadikan kedua pangli-
ma perang kerajaan bertanya.
"Ada apakah, Kusir?"
"Mereka menghadang kita." jawab sang ku-
sir.
"Mereka siapa?" tanya Jaka dan Meimora ba-
reng ingin tahu.
"Mereka yang telah membuat kerusuhan."
jawab panglima pertama. "Hati-hatilah, Tuan
Pendekar."
Jaka tersenyum mengangguk.
"Biarlah kami yang turun," kata panglima
kedua.
"Jangan!" Jaka mencegah. "Kusir, lanjutkan
jalan!"
Sang kusir tersentak kaget, namun mana-
kala panglima perang memberi isyarat dia pun
dengan menurut kembali jalankan keretanya.
"Hia, hai, hia...!"
Kuda-kuda itu melesat dengan cepatnya, se-
pertinya tidak gentar menghadapi pagar orang
yang berpakaian Ninja itu menghadang di mu-
kanya.
"Edan! Mereka nekad!" maki orang yang ber-
diri paling depan.
"Seraaaaaangg...!"
Mendengar seruan pimpinannya, dengan se-
gera kedua puluh lima orang Ninja berkelebat
menyerang dengan Samurai siap menyerang.
"Hiiiiiaaaaaaattttt...!"
Kedua puluh lima orang tersebut kini berke-
lebat menyerang.
"Tenang! Semua tenang," Jaka memperin-
gatkan pada keempat temannya yang nampak
memucat ketakutan. "Aku harap kalian tetaplah
di kereta, biar aku sendiri yang menghadapi me-
reka!" Jaka segera melompat turun, dan tiba-tiba
tubuhnya telah menghadang kedua puluh lima
orang Ninja yang seketika merandek tatkala meli-
hat Jaka menghadangnya.
"Siapa kau orang asing?" tanya pimpinan
Ninja.
"Aku yang akan menumpas kalian!" Jaka
menjawab.
"Bajero! Orang asing tak tahu diri. Sera-
angg…!"
Jaka Ndableg masih berusaha tenang,
menghadapi mereka yang bersenjata dengan tan-
gan kosong. Tubuh Jaka berkelebat, papaki me-
reka yang menyerangnya dengan Samurai di tan-
gan.
"Wuuuttt...!"
Jaka tolakkan tubuh ke angkasa manakala
Samurai mereka menyerang. Dan dengan cepat
Jaka hinggap di puncak salah seorang Ninja. Me-
lihat musuhnya berada di atas temannya, segera
Ninja yang lain babatkan Samurainya ke arah tu-
buh Jaka.
"Wuuuuttt...!"
Jaka melompat dengan kaki masih mengga-
pit kepala musuh, hingga manakala Jaka melom
pat naik, tubuh musuhnya pun turut terbetot ke
angkasa. Tanpa ayal lagi, tubuh Ninja tersebutlah
yang menjadi sasaran tebasan Samurai teman-
nya.
"Breet...!"
"Aaaaaaa...!" Orang itu memekik, sesaat dan
akhirnya mati dengan usul modol keluar dari luka
yang menganga di perutnya. Sedangkan Ninja
yang membabatkan Samurainya, kini nampak ter-
jengah bengong. Melihat hal itu, segera Jaka yang
masih melayang hantamkan pukulan ke muka
orang tersebut.
"Ini hadiah untuk orang yang berjasa.
Hiaaattt...!"
Orang tersebut tak mampu menghindar.
"Bug, bug, bug...!"
Tiga kali kepelan Jaka melanda mukanya,
menjadikan orang bercadar itu seketika memekik.
Darah muncrat dari hidung dan mulutnya.
"Aaaaaaaaaaaaa...!"
Dua orang Ninja menggeletak mati, sementa-
ra yang lainnya nampak garang demi melihat te-
mannya dapat dikalahkan. Kembali kedua puluh
tiga Ninja lainnya menyerang. Jaka dengan cepat
berkelebat. Namun serangan dari Ninja-ninja itu
terus susul-menyusul, menjadikan Jaka harus
mencelat ke sana ke mari untuk menghindari se-
rangan tersebut.
"Wuuut..!"
"Wuuuuttt...!"
Tiga orang Ninja nekad mencerca dengan
Samurainya. Jaka terus melompat dengan sekali
kali jejakan kakinya ke arah musuh. Kini Jaka
kembali melompat, lalu dengan terbaring bagai-
kan terbang Jaka kiblatkan pukulan ke arah mu-
suh.
"Hiiiiiaaaatttt...!"
Kelima Ninja itu tersentak, babatkan Samu-
rai ke tangan Jaka yang menuju ke arah mereka.
"Wuuuuttt...!"
"Bug! Bug! Bug...!"
Lima Samurai itu menghantam telak ke tan-
gan Jaka Ndableg. Semua yang ada di kereta
nampak ketakutan, menyangka Jaka Ndableg
akan puntung lengannya. Namun ketakutan me-
reka seketika lenyap tatkala melihat sesuatu kea-
jaiban di hadapan mata mereka. Tidak hanya
panglima perang serta Meimora dan kusir kereta
yang tersentak kaget, tetapi kelima orang Ninja
yang menyerangnya juga ternganga.
"Trak! Trak! Trak!"
Bukanya tangan Jaka yang patah, terbabat-
kan Samurai mereka. Akan tetapi Samurai me-
rekalah yang kini puntung menjadi dua. Tatkala
kelimanya masih tercengang, segera Jaka meng-
hantam mereka dengan bogem berisi. Angin pu-
kulannya saja mampu membuat Angin Puting Be-
liung. Kelima Ninja itu tersentak mencoba menge-
lak, namun ternyata gerakan mereka kalah cepat
dengan gerakan memukul yang dilancarkan Jaka.
"Wuuutt...!"
"Bug! Bug! Bug...!"
"Aaaaaaaaaa...!"
Lima orang itu memekik panjang, mukanya
bagaikan terhantam benda ribuan kati beratnya.
Kelimanya memegangi mukanya, berguling-guling
bagaikan ayam disembelih.
"Nah, bukankah itu bukti bagi kalian bahwa
aku tidak segan-segan membuat kalian kapok!
Jangan kalian anggap orang-orang Jawa Dwipa
rendah!"
Rupanya segala ucapan Jaka tiada arti sama
sekali bagi mereka. Mereka menganggap ucapan
Jaka hanyalah menakut-nakuti mereka saja. Dan
ilmu yang dikeluarkan Jaka, tak lebihnya hanya
ilmu sulap yang biasa mereka tonton.
"Seraaaannggg...!"
Mendengar seruan pimpinannya, seketika
semua anak buahnya yang tinggal tujuh belas
berkelebat kembali mengeroyok Jaka Ndableg.
Samurai di tangan ketujuh belas orang itu kini
berkelebat membabatkan Samurai mereka.
"Wuuuuutttt...!"
Jaka piringkan tubuh menghindar, namun
dari arah kanan sebuah pedang Samurai telah
menunggunya. Jaka kini benar-benar terjepit.
Namun bukanlah Jaka Ndableg si Pendekar Pe-
dang Siluman Darah kalau harus mengalah begi-
tu saja dan pendek akalnya. Dalam keadaan ba-
gaimana pun Jaka masih terus berusaha mencari
jalan yang baik untuk menangkal serangan mere-
ka. Dan manakala Samurai di sebelah kanan tu-
buhnya berkelebat, segera Jaka luruskan tubuh
kembali. Dua Samurai kini benar-benar mengan-
cam jiwanya, maka dengan cepat Jaka lentingkan
tubuh ke angkasa.
"Wuuuuuuttt..,!"
"Wuuuuuuttt...!"
Dua Samurai itu melaju, saling serang. Jaka
kini mencelat, sehingga laju Samurai mereka kini
saling berhadapan mengkiblat ke arah teman
masing-masing. Keduanya berusaha mengelak
dan menarik mundur Samurai mereka, akan te-
tapi laju mereka tidak memungkinkan. Hingga...!
"Aaaaaaa...!"
"Bless..!"
Dua Samurai saling serang ke arah rekan-
nya, menusuk deras hingga tembus menyate tu-
buh mereka.
"Wuaaaaaa...!"
Keduanya memekik, darah muncrat dari tu-
sukan Samurai mereka. Tangan mereka masih
menggenggam Samurai, sementara mata mereka
melotot tak mengerti akan apa yang mereka laku-
kan. Kejadian tersebut berjalan kilat, lalu kedua-
nya terkulai jatuh dan mati.
"Bajero! Kau harus mampus, Anak Muda!"
maki ketua Ninja.
"Bagaimana, apakah masih kurang yakin?"
tanya Jaka mengejek.
"Bajero, Seraaaaanggg..!"
Lima belas orang Ninja yang masih hidup ki-
ni berkelebat menyerang ke arah Jaka.
"Wuuuuttt...!"
Jaka yang sudah mengira dengan cepat ber-
kelebat mengelak. Tubuh Jaka Ndableg bergerak
cepat menghindari serangan kelima belas Samu-
rai Ninja.
"Swiiiingg...!"
Tersentak kaget semua yang ada di kereta
melihat pimpinan Ninja mengeluarkan senjata ra-
hasianya menyerang Jaka.
"Awas Jaka...!" pekik Meimora yang cemas
akan keselamatan Jaka Ndableg.
"Srang...!" Jaka Ndableg cabut Pedang Silu-
man Darahnya, dan dengan cepat kebaskan pe-
dang tersebut.
"Wuuuutttt...!"
"Trang! Trang! Traang....!"
Lima buah senjata rahasia saling beradu
dengan Pedang Siluman Darah. Lima senjata ra-
hasia itu luluh lantak, berjatuhan ke atas tanah,
terbabat oleh Pedang Siluman Darah.
"Kalian memang orang-orang yang tidak tahu
diuntung! Jangan salahkan kalau aku terpaksa
turunkan tangan jahat! Hiiiaaaattt!"
Jaka Ndableg dengan Pedang Siluman Darah
kini berkelebat menyerang ke arah musuh. Pe-
dang Siluman Darah kini berkelebat dengan liar
dan ganas, sepertinya Pedang tersebut memiliki
mata sendiri.
"Wuuuuttt...!"
Tersentak kelima belas Ninja manakala Pe-
dang Siluman Darah dibabatkan. Hawa Panas
yang teramat sangat menerpa mereka, menjadi-
kan suasana sekeliling mereka bagaikan terbakar.
Mata kelima belas Ninja itu membelalak kaget,
tak dapat menyangka bahwa pedang di tangan
Jaka benar-benar sebuah pedang yang aneh.
Kelima belas Ninja itu terdorong ke belakang,
sementara Pedang Siluman Darah kini benar-
benar haus darah. Pedang Siluman Darah terus
mencerca ke arah musuh, bergerak dengan cepat
dan sukar diduga. Kelima belas orang Ninja itu
benar-benar tersentak, sebatkan Samurai mereka
manakala Jaka menyerang.
"Wuuuuttt...!" Lima belas Samurai bareng
menyerang.
"Traang! Trang! Trang...!"
Mata kelima belas Ninja itu seketika membe-
liak, tatkala mata mereka melihat apa yang terja-
di. Kelima belas Pedang Samurai di tangan mere-
ka puntung, terbabat oleh Pedang Siluman Darah
di tangan Jaka Ndableg. Mata mereka membela-
lak, begitu juga mata keempat orang temannya
yang berada di kereta. Mereka baru yakin siapa
adanya Jaka Ndableg.
Jaka Ndableg sengaja hentikan serangan,
mengharapkan musuh-musuhnya mau mengerti.
Namun kesempatan itu bukan digunakan oleh
para Ninja untuk menyadari, malah dengan ne-
kad kelima belas Ninja itu kini kembali menye-
rang Jaka.
"Bangsat! Kalian rupanya ingin mampus!"
Jaka nampak begitu marahnya, sehingga kini di-
rinya benar-benar terbakar. "Oaaaaaarr!"
Tersentak semua Ninja yang menyerangnya,
manakala tiba-tiba tubuh Jaka berubah menjadi
Manusia Api. Mereka benar-benar tidak percaya.
Salah seorang dari mereka menyerang, namun...!
"Wuaaaa...!" Orang tersebut menjerit, tubuh-
nya hangus terbakar. Melihat hal itu, yang lain
nya hendak meninggalkan pergi manakala dengan
cepat Dewa Api hantamkan Mata Malaikatnya
menyerang.
"Wuusss...!"
Api dari mata Jaka membersit, menghantam
tubuh mereka yang seketika menggelepar-gelepar
bagaikan dipanggang. Sementara yang lainnya
nampak makin mempercepat larinya. Dewa Api
yang sudah marah kembali berkelebat, memapaki
lari mereka. Para Ninja itu tersentak, namun den-
gan cepat Jaka hantamkan pukulan Inti Apinya.
Tak ayal, tubuh mereka pun kini terbakar oleh
api, hanya seorang saja yang sengaja Jaka le-
paskan. Jaka berharap Taka Nata yang menjadi
ketuanya akan muncul kembali.
Jaka kembali kebentuk semula, menjadikan
keempat orang yang berada di kereta tersentak.
Mereka bagaikan baru saja bangun dari mimpi
manakala melihat Jaka. Tubuh Jaka tiada luka
sedikit pun walau Api tadi membakar tubuhnya.
"Jaaakkaaa...!" Meimora nampak bergembira,
dan dengan bangga disambutnya Jaka Ndableg
yang hanya tersenyum. Begitu juga dengan kedua
panglima perang kerajaan, keduanya nampak ce-
ria.
"Mengapa tidak Tuan bunuh saja orang itu?"
tanya panglima pertama.
Jaka tersenyum gelengkan kepala. "Ah, biar-
lah ia hidup agar dapat menceritakannya pada
sang ketua. Mari kita lanjutkan perjalanan kita."
Dengan penuh rasa yakin bahwa Pendekar
Muda itu akan mampu melindunginya, maka semuanya kini kembali ke kereta. Sang kusir yang
tadinya merasa was-was, kini berubah menjadi
rasa yakin yang teramat sangat di hatinya. Kini
tak perlu ia merasa takut, sebab Pendekar Jaka
Ndableg berada di dalam kereta bersamanya.
Dengan berkelakar menghilangkan segala
apa yang telah terjadi mereka pun kembali melan-
jutkan perjalanan. Matahari tak pernah nampak
di musim salju, namun Matahari Nippon akan se-
lalu bersinar. Begitulah kata-kata penghibur yang
selalu berada di hati mereka. Dan benarkah Ma-
tahari Nippon akan selalu bersinar cemerlang wa-
lau dihempas prahara yang ditimbulkan oleh Ta-
ka Nata si Iblis Nippon? Sebagai jawaban atas
semuanya, marilah kita ikuti kelanjutan kisah
Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah
ini pada judul: RUNTUHNYA SAMURAI IBLIS.
Pada judul di atas, kita akan dapat menja-
wab bagaimana Jaka Ndableg menghadapi Taka
Nata? Dan Bagaimana pula Taka Nata si Iblis
Nippon dengan Persekutuannya yang bernama
Samurai Iblis! Selamat mengikuti...!
Untuk kali ini, saya cukupkan kisah ini. Dan
silahkan anda tunggu kelanjutannya, dengan ju-
dul Runtuhnya Samurai Iblis. Di situ kita akan
mengikuti Jaka Ndableg dengan segala liku-liku
hidup dan cintanya. Bagaimana pula cinta Meimora pada Jaka?....
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar