..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 28 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE NERAKA GUNUNG DIENG

Neraka Gunung Dieng


Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama, 

tempat dan ide, hanya kebetulan belaka

NERAKA GUNUNG DIENG

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama, 1991

Dilarang mengutip, memproduksi

dalam bentuk apapun

tanpa ijin tertulis dari penerbit

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian 

atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-

tulis dari penerbit

D. Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode: Neraka Gunung Dieng


SATU


Sungguhpun telah berulangkali bocah-bocah 

itu telah melakukan kesalahan. Namun tiada bosan 

dan tanpa henti-hentinya Aki Kilik Rogo mengulang se-

tiap kesalahan yang dibuat oleh murid-muridnya, se-

hingga mereka benar-benar mampu menguasai setiap 

pelajaran dasar ilmu silat yang diberikannya. Meski-

pun demikian dari seluruh jumlah muridnya yang tak 

kurang dari dua puluh orang itu, hanya beberapa 

orang saja yang dapat menguasai dengan benar apa 

yang telah diberikan oleh guru mereka. Sedangkan se-

bagian terbesar murid-murid itu, semuanya menguasai 

jurus-jurus silat yang kacau. Bahkan sebagian di anta-

ranya permainan silat yang sering mereka pergunakan 

dalam latihan, sangat jauh berbeda dengan apa yang 

diajarkan oleh Aki Kilik Rogo pada para murid-murid-

nya. Sudah barang tentu, keanehan demi keanehan 

yang terjadi hampir setiap hari itu membuat guru dari 

Pegunungan Kendeng ini menjadi sangat heran sekali.

Dua puluh tahun dia telah mendirikan Pergu-

ruan Silat Tapak Suci, namun selama itu, murid-murid 

hasil didikannya tidak dapat diandalkan untuk mengi-

kuti pertandingan silat apapun. Sering Aki Kilik Rogo 

merasa sangat kecewa sekali melihat kenyataan demi 

kenyataan ini. Bagaimana tidak. Dua puluh tahun bu-

kanlah satu masa yang singkat, setidak-tidaknya 

seandainya dia memungut seorang orok. Sudah barang 

tentu orok tersebut kini sudah dewasa, sudah mampu 

melakukan sesuatu yang terbaik. Tetapi bagaimana 

dengan murid-muridnya, mendapat didikan selama 

dua puluh tahun, mereka itu tak jauh bedanya dengan 

baru belajar dua bulan, masih sangat tolol dan belum


becus apa-apa. Hanya rambut-rambut di kepala mere-

ka saja yang nampak berguguran hari demi hari, seo-

lah mereka ini tak ubahnya sebagai ahli fikir kelas be-

rat yang sedang mencari kesimpulan tentang kebera-

daan telur dan ayam. Dan yang membuat Aki Kilik Ro-

go menjadi terheran-heran tak karuan adalah kepala 

murid-muridnya kini telah menjadi botak secara kese-

luruhannya.

Dia tak tahu karma apa sesungguhnya yang 

sedang terjadi, mungkinkah ini suatu kutuk yang telah 

dijatuhkan oleh Empu Wesi Laya dari Pegunungan Di-

eng itu? Hal itu rasanya tak mungkin terjadi, sebab 

sungguhpun dia pribadi tak berhasil mencari Betari 

Murti yaitu kakak seperguruan Aki Kilik Rogo yang te-

lah berhasil mengelabuhi Empu Wesi Laya dengan 

membawa lari kitab Bendil Dieng. Namun dia cukup 

yakin bahwa Empu Wesi Laya tak mungkin menjatuh-

kan kutuk terhadap dirinya. Dia cukup bijaksana un-

tuk hal-hal seperti itu. Sungguhpun Aki Kilik Rogo da-

pat lega atas kesimpulannya itu, namun sepanjang ha-

ri dia selalu dirundung kesedihan. Dalam hatinya sela-

lu bertanya-tanya, akan bagaimanakah nasib dan ma-

sa depan murid-muridnya itu. Haruskah dia bubarkan 

perguruan Tapak Suci, kemudian bergabung kembali 

dengan gurunya Empu Wesi Laya di Pegunungan Di-

eng? Tetapi kalau hal itu dia lakukan, sudah barang 

tentu hal ini merupakan satu tindakan yang sangat ti-

dak bijaksana. Sebab seperti yang diketahui oleh Aki 

Kilik Rogo. Semua murid-muridnya itu merupakan 

anak yatim piatu yang dulunya dia pungut dari jalanan 

di mana saja dia temui. Yang pasti mereka itu dari 

berbagai kalangan. Mungkin juga ada yang berasal da-

ri masyarakat desa biasa, mungkin juga ada yang be-

rasal dari perempuan pengelana, bayi pelacur atau


bahkan lebih dari sekedar itu.

Sementara itu, murid-murid Aki Kilik Rogo 

yang sedang berlatih silat dan belajar menghimpun 

hawa murni masih tetap nampak patuh dengan kewa-

jibannya. Di atas batu-batu besar mengkilat dan ber-

lumut hijau, mereka saling berloncatan. Bagai tak 

kenal lelah, bahkan tanpa rasa putus asa. Sung-

guhpun hari demi hari pelajaran ilmu silat mereka 

hanya berkisar dari itu ke itu juga. Dari tahun ke ta-

hun. Sampai Aki Kilik Rogo merasa, apakah dirinya 

yang memang tolol ataukah memang murid-muridnya 

yang goblok. Demikianlah dua puluh orang murid itu 

terus berloncat-loncatan bagai seekor monyet kudisan, 

terkadang-kadang tubuh mereka yang gemuk-gemuk 

itu terbanting di atas batu nan licin, tak jarang murid-

murid itu saling terjatuh, karena bertabrakan sesa-

manya. Lebih cepat lagi mereka bangkit lalu tertawa 

beramai-ramai. Hal seperti itulah yang selalu terjadi 

hampir setiap harinya. Pusing kepala Aki Kilik Rogo 

memikirkan keanehan tingkah murid-muridnya itu. 

Herannya dalam jurus-jurus tertentu yang tidak di-

mengerti oleh Aki Kilik Rogo, mereka itu begitu mahir 

memainkannya. Bahkan boleh dibilang teramat lihai. 

Ah, jurus-jurus silat setan kesasar dari manakah yang 

telah merasuki jiwa para murid-muridnya itu? Ha-

ruskah dia tetap pada pendiriannya untuk mengajari 

orang-orang yang dalam pandangannya seperti kurang 

sehat akal, ataukah dia sendiri harus minggat dari 

Perguruan Tapak Suci? Aki Kilik Rogo merasa serba 

salah. Dalam pada itu tiba-tiba Aki Kilik Rogo memberi 

tanda pada semua muridnya.

Begitu mengetahui sang guru memanggil mere-

ka. Maka kedua puluh orang murid itu secara serentak 

menghampiri gurunya. Mereka menjura tiga kali, ke


mudian memandang pada gurunya dengan sikap tiada 

mengerti. Saat itulah Aki Kilik Rogo mengawali uca-

pannya.

"Kalian para muridku!" kata Aki Kilik Rogo ber-

wibawa. "Sudah hampir dua puluh tahun kalian ting-

gal dan kujadikan murid di Pegunungan Kendeng ini. 

Selama ini apa yang ku punyai, rasa-rasanya telah aku 

berikan pada kalian semua. Dua puluh tahun bukan-

lah sebuah perjalanan yang singkat. Selama ini aku 

tak pernah mengikut sertakan kalian dalam pertandin-

gan silat. Karena mengingat kalian memang belum 

memenuhi syarat untuk ikut dalam hal-hal seperti itu. 

Sungguhpun begitu saat sekarang aku ingin mengeta-

hui seberapa sesungguhnya yang kalian ketahui dari 

semua yang kuajarkan. Empat atau enam orang maju 

ke depan, cari pasangan masing-masing untuk berta-

rung...!" perintah Aki Kilik Rogo pada murid-muridnya.

Sesudah berkata begitu, enam orang muridnya 

serentak maju ke depan. Kemudian masing-masing pa-

sangan saling berhadapan.

"Nah, tunggu apa lagi! Coba kalian tunjukkan 

padaku apakah kalian telah benar-benar dapat men-

guasai apa yang telah kuajarkan pada kalian?"

"Baik, Guru...!" Hampir bersamaan mereka 

menjawab, kemudian tak lama setelahnya maka mu-

rid-murid Tapak Suci ini pun mulai memperagakan il-

mu silatnya.

Saat itu dua orang di antaranya nampak me-

masang kuda-kuda, dengan kaki agak ditekuk, tangan 

kanan menyilang ke depan dada, sedangkan tangan ki-

ri nampak terkepal kemudian didorong ke muka. La-

wan mengimbanginya dengan satu kelitan, tubuh me-

mutar setengah badan, kemudian kaki kiri kirimkan 

satu tendangan. Aki Kilik Rogo tahu bahwa mereka itu


mempergunakan Kawah Beracun Penyebar Maut, yang 

pernah diwariskan oleh Empu Wesi Laya pada dirinya. 

Mulanya, laki-laki kurus berbadan pendek dengan 

kumis putih yang hampir menutupi kedua bibirnya, 

nampak tersenyum lebar manakala murid-muridnya 

itu mempergunakan jurus maut tersebut pada tingkat 

kesepuluhnya. Gerakan mereka begitu lincah, ringan 

bahkan sekejap saja mereka sudah kelihatan mulai 

saling serang dengan sengitnya. Karena kedua orang 

itu sama-sama berkepala botak dan sama-sama ber-

pakaian putih pula. Maka dalam gerakan-gerakan silat 

mereka yang begitu cepat. Tubuh mereka nampak ber-

kelebat-kelebat sehingga nampak bagai bayang-bayang 

saja.

Menyaksikan adu tanding itu, Aki Kilik Rogo 

semakin lebar tawanya. Akan tetapi manakala jurus 

permainan silat keenam murid itu berobah secara to-

tal. Aki Kilik Rogo nampak tertegun untuk sekejapan. 

Alis matanya yang sudah putih mengkerut. Sama seka-

li dia tak mengerti dan tak pernah mengajarkan jurus-

jurus yang saat itu sedang dipermainkan oleh murid-

muridnya. Jurus-jurus itu nampak lebih ganas dan le-

bih berbahaya daripada jurus silat Kawah Beracun Pe-

nyebar Maut. 

Pula setelah mempergunakan jurus-jurus ter-

sebut, murid-muridnya nampak berubah menjadi liar 

dan brutal. Pusing kepala Aki Kilik Rogo demi menyak-

sikan kejadian itu. Tiba-tiba dia membentak:

"Hei... jurus apa yang kalian pergunakan itu? 

Berhenti...!" Aki Kilik Rogo berteriak-teriak memberi 

perintah. Namun keenam muridnya bagai tak menden-

gar saja layaknya. Bukan lagi adu latihan yang mereka 

lakukan, tetapi lebih pantas kalau disebut sebagai per-

tempuran yang menentukan hidup matinya seseorang.


Sudah barang tentu Aki Kilik Rogo berang bukan main, 

apalagi perintahnya sudah tak didengar lagi oleh mu-

rid-muridnya.

"Berhentilah murid-muridku, berhenti...!" perin-

tahnya setengah memohon. Saat itu keempat belas 

murid yang lain. Yang tak ikut ambil bagian dalam per-

tempuran hanya memandangi kawan-kawannya yang 

sedang bertarung itu sambil tergelak-gelak tak karuan. 

Sudah barang tentu Aki Kilik Rogo yang baru saja me-

noleh dan ingin minta bantuan mereka melerai kawan-

kawannya yang sedang bertempur, menjadi lebih terke-

jut lagi. Kejadian ganjil ini benar-benar di luar kebia-

saan perguruan manapun di kolong langit ini. Habis 

kesabaran Aki Kilik Rogo melihat kejadian demi keja-

dian yang berlangsung. Sementara di luar sepengeta-

huan kakek pendek, tidak jauh dari tempat itu nam-

pak seorang wanita berjubah hitam, dengan rambut-

nya yang sudah memutih. Sedang duduk bersila! Ke-

dua bibirnya nampak berkemak kemik, seolah-olah se-

dang membacakan mantra. Sedangkan tangannya 

yang menggenggam untai tasbih hitam terus menghi-

tung. Seolah ingin memastikan sudah berapa banyak 

mantra yang telah dibacanya.

Hong Wiluheng, si Jaheng jadi Koneng. Raja se-

rigala di atas penguasa. Hasutlah hati murid-murid Aki 

Kilik Rogo itu, kuasai jiwanya. Kemudian persatukan 

dengan roh jahatmu. Hei raja di raja Gunung Dieng, 

semburkan keangkaramurkaan dimana-mana....

Demikianlah perempuan berjubah hitam itu te-

rus mengulang-ulang mantranya. Hingga apa yang di 

inginkannya nampak mulai terwujud. Murid-murid Aki 

Kilik Rogo nampak semakin brutal dan beringas, mata


mereka memerah saga. Layaknya bagai serigala hutan 

saja mereka saling terjang sesamanya. Menyaksikan 

keadaan itu puas hati si Jubah Hitam. Tak lama ke-

mudian setelah mengemasi semua peralatannya, orang 

ini pun melangkah pergi. Dan di luar sepengetahuan si 

Jubah Hitam, kiranya ada sepasang mata yang sejak 

tadi mengintai apa yang dikerjakan oleh si Jubah Hi-

tam juga ikut menyelinap pergi beberapa saat setelah-

nya.

Kembali pada Aki Kilik Rogo yang masih terlihat 

kerepotan melerai murid-muridnya. Sampai pada saat-

saat selanjutnya, kesabaran yang dia miliki habislah 

sudah. Dia melirik pada sisa-sisa murid lainnya yang 

saat itu tetap saja masih tertawa-tawa melihat tingkah 

beberapa orang kawannya.

"Murid-murid tolol. Mengapa kalian malah pada 

tertawa-tawa, cepat bantu. Lerai mereka jangan berta-

rung lagi...!"

Tiada sahutan atau gerakan mengikuti perin-

tah, mereka tetap saja tergelak-gelak seperti sediakala.

"Oh, murid-muridku. Setan manakah yang te-

lah merasuki jiwa kalian?" Aki Kilik Rogo itu pun ak-

hirnya mengeluh sambil tepuk-tepuk keningnya yang 

sudah keriputan. Dalam keadaan kebingungan seperti 

itu, tiba-tiba terdengar jeritan seseorang.

"Heiiiikh!"

Jeritan tinggi melengking itu sesungguhnya 

sangat pelan saja. Akan tetapi karena diiringi dengan 

tenaga dalam yang kuat maka akibatnya. Murid-murid 

Aki Kilik Rogo yang sedang bertarung itu, nampak ter-

getar tubuhnya, kaki menyurut satu tindak. Mereka 

benar-benar terkesima dan saling pandang sesamanya. 

Heran bercampur haru berbaur menjadi satu, Aki Kilik 

Rogo menyadari betapa tololnya dirinya sendiri. Jeritan


suara tadi sudah jelas membebaskan bisikan jahat 

yang mempengaruhi jiwa murid-muridnya. Mengapa 

dia tak menyelidiki keanehan ini jauh-jauh sebelum-

nya? Mengingat akan kebodohannya, tiba-tiba timbul 

rasa terima kasihnya pada orang yang telah membe-

baskan murid-muridnya dari pengaruh Ilmu Sirep Jiwo 

yang telah dilancarkan si Jubah Hitam. Kemudian se-

pasang mata tuanya yang jeli itu pun menyapu pan-

dangan pada keadaan di sekeliling tempat tinggalnya, 

lalu di antara pohon liar yang tumbuh rapat di sekitar 

tempat itu. Dia melihat seseorang nampak sedang ber-

diri di atas ranting pohon bercabang. Kedua tangan 

nampak dilipat di depan dada, sementara sebuah golok 

yang hanya terlihat gagangnya saja nampak terselip di 

pinggangnya. Di bagian pinggang yang membatasi an-

tara jubah merahnya dengan celana yang dikenakan-

nya itu, nampak melilit sebuah cambuk butut yang 

sangat menghebohkan itu. Masih berkisar di bagian 

pinggang, terlihat pula sebuah periuk besar penuh je-

laga yang tak pernah lekang. Walau ke mana pun dia 

pergi. Tentang kehadiran pemuda ini, sudah tak asing 

lagi bagi kita. Dialah si Hina Kelana Pendekar Golok 

Buntung yang telah membuat heboh di mana-mana.

Aki Kilik Rogo kerjabkan matanya begitu meli-

hat sosok samar yang berdiri di atas cabang pohon 

yang hanya sebesar ibu jari tangan itu. Si pendek ku-

rus nampak terkagum-kagum dengan kemampuan

yang dimiliki oleh si pemuda berpakaian gembel itu. 

Menurutnya, cabang pohon yang menjadi tumpuan si 

pemuda sesungguhnya merupakan ranting yang paling 

rapuh di antara sekian banyak pohon yang terdapat di 

sekitar tempat itu.

***


DUA


Menurutnya jangankan dibebani dengan berat 

badan manusia, sedangkan andai seekor kucingpun 

bertengger di atas dahan tersebut. Sudah dapat dipas-

tikan bahwa dahan itu akan berderak patah. Tetapi ki-

ni pemuda yang berada di atasnya, juga tidak bisa di-

anggap tak memiliki bobot. Pendekar Hina Kelana atau 

dengan nama aslinya Buang Sengketa. Setidak-

tidaknya memiliki berat badan lebih dari lima puluh 

kati. Tetapi dahan yang dipergunakannya sebagai tem-

pat berpijak tidak juga patah. Maka sadarlah Aki Kilik 

Rogo, bahwa sesungguhnya pemuda yang tadi baru sa-

ja membebaskan murid-muridnya merupakan orang 

yang berkepandaian tinggi. Diam-diam dia ingin tahu 

lebih banyak lagi tentang pemuda itu. Setelah menjura 

hormat, maka Aki Kilik Rogo berseru.

"Orang muda yang berada di atas pohon. Aku 

mohon kesediaanmu untuk datang ke gubukku...!" ka-

ta Aki Kilik Rogo setengah meminta. Dari ketinggian 

lebih dari dua puluh meter, tubuh Buang Sengketa 

nampak melayang turun. Kaki si pemuda mendarat di 

atas tanah persis tiga meter di hadapan Aki Kilik Rogo. 

Pemuda itu membungkuk hormat pada Aki Kilik Rogo, 

si tua pendek yang sangat krempeng.

"Orang tua, maafkan aku karena telah merusak 

suasana di tempatmu ini." kata pemuda ini sambil 

mengamati dengan seksama si kakek pendek berkumis 

sangat tebal itu.

"Ah, jangan berpura-pura hai orang muda! Dari 

nampak ku engkau berkepandaian sangat tinggi. Na-

maku Aki Kilik Rogo, orang yang mendiami kaki Gu-

nung Kendeng ini! Dan engkau siapakah orang muda?"


Buang Sengketa nampak tersenyum begitu di-

tanya tentang dirinya.

"Aku hanya seorang pengelana yang datang dari 

sebuah tempat yang jauh di sebelah Barat sana, na-

maku Buang Sengketa...!" jawabnya polos.

"Buang Sengketa? Hemmm. Sebuah nama yang 

sangat aneh dan tidak pernah kudengar sebelumnya." 

gumam si kakek lalu memilin-milin kumisnya yang 

sudah memutih. "Dan engkau hendak ke mana?" 

Si pemuda kerjabkan matanya, lalu garuk-

garuk dadanya yang tak gatal.

"Aku mencari ayahku...!" tukasnya merasa ku-

rang enak dengan apa yang ditanyakan oleh Aki Kilik 

Rogo.

"Ayahmu? Siapakah ayahmu...?!" tanya laki-

laki tua itu lagi. Hal ini membuat wajah si pemuda 

memerah merasa kurang senang disinggung-singgung 

tentang tujuannya.

"Maaf kakek Kilik Rogo! Aku tak dapat menga-

takannya padamu!"

"Eee.... baiklah, apa yang engkau ketahui ten-

tang rumah dan sekitar tempat ini Sengketa...?!" Per-

tanyaan yang begitu tiba-tiba dan tiada pernah diduga 

oleh si pemuda telah membuatnya jadi kelabakan.

"Apa yang kau maksudkan kek...?!"

"Engkau pasti mengetahui tentang sesuatu 

yang tidak kuketahui di tempat ini?!" kata Aki Kilik 

Rogo setengah menuduh.

"Aku baru saja sampai di sekitar tempat ting-

galmu ini, Aki.... Bagaimana mungkin aku bisa menga-

takan sesuatu yang tak pernah kuketahui!" ujar Pen-

dekar Hina Kelana mengeluh.

Aki Kilik Rogo mengitarkan pandangannya pada 

murid-murid yang berada di sekelilingnya, tak lama


kemudian dia sudah kembali pada pemuda itu.

"Engkau lihatlah orang muda! Muridku pada 

botak sedemikian rupa, tanpa sekalipun aku tahu pe-

nyebabnya. Dua puluh tahun mereka itu belajar ilmu 

silat dan kanuragan denganku, tidak kau lihatkah me-

reka tak ubahnya bagai murid yang baru dua bulan 

belajar padaku. Aku tak pernah mendidiknya dengan 

segala macam ilmu silat yang tak pernah ku mengerti, 

akan tetapi mereka malah lebih mengetahui apa yang 

tak pernah aku ajarkan kepadanya!" ucap Aki Kilik Ro-

go dengan wajah tertunduk sedih. Apa yang dikatakan 

oleh kakek pendek itu, kiranya membuat Buang Seng-

keta menjadi tidak sampai hati melihat nasib yang di-

alami oleh murid-murid dari Gunung Kendeng terse-

but. Dia tak dapat membayangkan betapa kecewanya 

seorang guru, andai sampai mengalami kejadian yang 

sedemikian buruknya. Mengajar murid sama saja ar-

tinya dengan membuat murid yang tak mengerti men-

jadi pintar. Tetapi kalau selama dua puluh tahun se-

perti yang dialami oleh Aki Kilik Rogo bagaimana ja-

dinya.

"Aki Kilik Rogo!" ucap si pemuda setelah sebe-

lumnya menarik napas pendek. "Ketika aku sampai di 

sekitar tempat tinggalmu ini, aku melihat beberapa 

orang yang tak kukenal berada tidak jauh dari tempat 

ini. Kalau tak salah dugaanku mereka semuanya ada 

tiga orang. Nampaknya mereka terdiri dari golongan 

yang berbeda-beda...!"

"Tunggu...!" memotong Aki Kilik Rogo, sejurus 

lamanya laki-laki tua berbadan pendek itu nampak 

memandang pada si pemuda tanpa berkedip sedikit 

pun.

"Engkau bilang di sekitar tempat tinggalku ini 

telah berkeliaran beberapa orang aneh, rasa-rasanya


tak seorang pun pernah masuk ke dalam tempat ting-

galku. Atau mungkin engkau dapat terangkan bagai-

mana ciri-ciri orang yang kau lihat itu...?"

Pemuda berwajah sangat tampan itu mem-

buang pandangannya jauh-jauh, sekelumit dia melihat 

berkelebatnya sosok bayangan putih di antara deretan 

pohon-pohon yang berada tak jauh di samping kiri me-

reka. Dia bermaksud untuk mengejar bayangan terse-

but. Tetapi niatnya dia tangguhkan.

"Aki Kilik Rogo!" ucapnya memecah kehenin-

gan. "Ketika aku sampai di Gunung Kendeng ini, aku 

melihat seseorang berjubah hitam, dia seorang perem-

puan tua. Di tangannya memegang tasbih besar ber-

warna hitam, sedang di tangan yang lainnya tergeng-

gam sebuah tongkat berkepala serigala. Masih di ling-

kungan ini di tempat yang berbeda aku melihat seo-

rang laki-laki pesolek, juga sedang mengawasi tempat 

latihan para murid-muridmu!"

"Laki-laki pesolek, ah rasanya tak salah lagi. 

Dialah si Waria dari Gunung Pati. Tetapi ada keperluan 

apa orang itu sampai berkeliaran di tempat seperti ini. 

Tetapi seorang yang berjubah hitam itu aku tak pernah 

mengenalnya sama sekali. Coba katakan sekali lagi 

yang engkau lihat di luar sepengetahuanku!" pinta Aki 

Kilik Rogo penuh perhatian.

"Seorang lainnya adalah seorang laki-laki ge-

muk. Di kepalanya mengenakan topi yang dihiasi den-

gan tanduk kerbau. Orang itu sangat jelek sekali. Ke-

dua bibirnya tidak jauh berbeda dengan bibir monyet, 

dia suka menyeringai dan tersenyum-senyum...!" jelas-

nya. Aki Kilik Rogo nampak kerutkan keningnya begitu 

mendengar ciri-ciri yang disebutkan oleh Pendekar Hi-

na Kelana. Rasa-rasanya dia lupa-lupa ingat dengan 

orang yang memiliki tanda-tanda seperti itu. Tiba-tiba


dia hampir terlonjak-lonjak begitu mengingat siapa 

adanya orang yang baru saja disebut-sebut oleh pe-

muda itu.

"Dulimang. Hah tak salah lagi, dialah orang-

nya!" kata Aki Kilik Rogo heran bercampur kaget.

"Engkau mengenalnya, Ki...?"

"Ya.... dia merupakan tokoh sesat dari Lereng 

Bromo yang berjuluk Kebo Selaksa Wisa. Tetapi ada 

keperluan apakah orang itu sampai kelayapan sejauh 

ini?" gumam Aki Kilik Rogo nampak tertegun.

Sampai sejauh itu, tahulah Buang Sengketa ki-

ni. Mengapa murid-murid Aki Kilik Rogo mengalami 

kelainan seperti itu. Hanya dua kemungkinan yang 

dapat disimpulkan oleh pendekar dari Negeri Bunian 

itu. Kesimpulan pertama, boleh jadi sudah sejak awal 

murid-murid Aki Kilik Rogo memang sudah terkena 

pengaruh kekuatan sihir yang dijalankan oleh si Jubah 

Hitam. Sehingga dia dengan sangat leluasa dapat men-

guasai atau bahkan mempergunakan tenaga orang-

orang itu, untuk tujuan dan maksud-maksud yang be-

lum jelas. Sedangkan yang kedua, mungkin saja ada 

orang lain yang menaruh dendam pada Aki Kilik Rogo 

yang sesungguhnya merupakan seorang tokoh sakti 

yang memiliki banyak musuh.

"Aki, tahukah aki bahwa murid-muridmu itu te-

lah berlaku tak wajar...?"

"Maksudmu?" tanya Aki Kilik Rogo benar-benar 

tak mengerti.

Buang Sengketa terdiam untuk sesaat lamanya, 

kemudian dia meneliti wajah laki-laki pendek itu.

"Aku yakin ada pihak-pihak tertentu yang telah 

dengan sengaja mengacaukan, atau bahkan ingin me-

musnahkan segala impian mu itu, Ki... Atau bahkan 

ada sesuatu yang kini sedang merasuki jiwa mereka...!"


Aki Kilik Rogo terdiam sesaat, dia coba mengerti 

apa yang dikatakan oleh Buang Sengketa. Agaknya apa 

yang dikatakan oleh si pemuda bagi Aki Kilik Rogo 

adalah merupakan sesuatu yang bersikap wajar, na-

mun masih penuh dengan keragu-raguan.

"Bagaimana engkau bisa mengambil kesimpu-

lan seperti itu, Buang Sengketa?" tanya Aki Kilik Rogo 

pada akhirnya.

Yang ditanya menyapu pandang pada murid-

murid di sekitarnya.

"Aku melihat si Jubah Hitam nampak merapal-

kan sesuatu, ketika aki memberi perintah pada murid-

murid aki. Sehingga akhirnya murid-murid aki malah 

melakukan gerakan-gerakan silat yang sesungguhnya 

tak pernah aki ketahui."

Aki Kilik Rogo angguk-anggukkan kepalanya.

"Benar juga kata-katamu, Sengketa! Tetapi 

apakah yang mereka harapkan atas segala yang mere-

ka lakukan? Aku tak memiliki sesuatu yang pantas di-

perebutkan."

"Itulah yang harus kita selidiki, Ki...!"

"Hemm.... Berarti murid-muridku itu jiwanya 

sudah teracuni. Tiada guna aku mendidik mereka lagi. 

Aku akan meninggalkan mereka dan menyelidiki 

orang-orang yang mencurigakan itu!" putusnya bagai 

orang yang pupus harapan. Kejut hati Pendekar Hina 

Kelana demi mendengar keputusan Aki Kilik Rogo, ba-

ginya hal itu merupakan satu keputusan yang dia pikir 

tak pernah terjadi sebelumnya.

"Jangan engkau lakukan itu, Ki. Kasihan mere-

ka, murid-muridmu itu membutuhkan perhatianmu!"

"Ah, percuma saja orang muda. Dua puluh ta-

hun mereka dalam bimbingan ku. Tetapi hasilnya sia-

sia, mereka benar-benar sangat mengecewakanku...."


tukas Aki Kilik Rogo kesal sekali.

"Itu bukan kesalahan mereka, Ki...!" 

Sepasang mata Aki Kilik Rogo nampak melebar 

begitu mendengar kata-kata Pendekar Hina Kelana. 

Dia merasa bahwa si pemuda nampaknya berada di 

pihak murid-muridnya.

"Kalau bukan kesalahan mereka, jadi kesala-

hanku?!"

"Tidak juga...!" Buang Sengketa gelengkan ke-

palanya. "Menurutku si Jubah Hitam itulah yang ber-

salah, dialah yang telah menyesatkan murid-muridmu 

itu, melalui satu kekuatan yang tak pernah terlihat 

dan di luar sepengetahuan kita!"

"Engkau begitu yakin bahwa si Jubah Hitamlah 

yang telah membuat murid-muridku menjadi tolol se-

mua?" tukas Aki Kilik Rogo sudah semakin tak sabar 

saja nampaknya. Buang Sengketa anggukkan kepa-

lanya. Wajah Aki Kilik Rogo nampak semakin bertam-

bah memerah karena menahan amarah. Dalam hati 

dia memaki diri sendiri, mengapa dirinya begitu tolol 

dan tiada pernah mengetahui apa yang terjadi dengan 

murid-muridnya. Pantas saja semuanya menjadi sia-

sia!

"Kini aku mulai mengerti akan maksud uca-

panmu itu. Lalu apakah yang harus aku lakukan...?" 

tanya Aki Kilik Rogo bingung sendiri. 

"Engkau tetaplah tinggal di sini, coba lakukan 

penyelidikan di sekitar rumah tinggalmu. Biarkan aku 

yang akan menyelidiki siapa sesungguhnya yang paling 

bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada mu-

rid-muridmu itu!" kata Buang Sengketa memberi kepu-

tusan.

Bukan main gembiranya Aki Kilik Rogo men-

dengar keputusan yang diambil oleh Pendekar Hina



Kelana. Kemudian Aki Kilik Rogo yang berbadan pen-

dek itu tanpa terduga-duga, segera menghambur pada 

si pemuda. Lalu bagai seorang bocah kecil dia meme-

luk Buang Sengketa.

"Aku si orang tua tiada guna mengucapkan ba-

nyak terima kasih padamu!" ucapnya dengan mata me-

rembab merah.

"Sudahlah, Ki! Aku belum melakukan apa-apa, 

kita lihat saja bagaimana nanti hasilnya!" sela si pe-

muda merasa serba tak enak.

"Hmm. Aku mempercayakan semua ini pada-

mu, semoga apa yang menjadi kecuri-gaanmu semua-

nya benar adanya!"

"Terima kasih, Ki.... Aku pamit dulu...!"

"Pergilah semoga Sang Hyang Widi memberkati 

mu...!"

Setelah menjura hormat pada Aki Kilik Rogo, 

maka dengan sekali menggenjotkan kakinya tubuhnya 

pun lenyap dari pandangan Aki Kilik Rogo. Takjub ber-

campur kagum Aki Kilik Rogo demi melihat betapa he-

batnya Pendekar Hina Kelana dengan ilmu lari cepat-

nya. Diam-diam dia merasa begitu yakin, kalau apa 

yang akan dilakukan oleh si pemuda akan mencapai 

hasil seperti yang diharapkan.

***


TIGA



Matahari telah condong di ufuk Barat, ketika 

Buang Sengketa tiba di pinggiran Hutan Kemusu. Se-

saat dia menghela nafasnya dalam-dalam, namun ke-

mudian dia tertegun begitu melihat sosok bayangan hi-

tam berkelebat di antara sela-sela pohon yang tumbuh


rapat, nun jauh di bawah lereng bukit. Sepasang mata 

pendekar ini nampak menyipit begitu matanya yang ta-

jam itu mengenali siapa adanya orang tersebut. Tak 

salah lagi itulah dia si Jubah Hitam, yang pernah dia 

lihat di Gunung Kendeng tempat kediaman Aki Kilik 

Rogo. Mengapa pula manusia bertongkat serigala itu 

berada di tempat yang sunyi seperti daerah Kemusu. 

Diam-diam, Pendekar Hina Kelana semakin bertambah 

curiga dengan kehadiran orang tersebut. Lalu timbul 

pula keinginannya untuk menguntit si Jubah Hitam 

sampai pada tujuan akhir perjalanannya.

Kemudian dengan mengerahkan ilmu lari ce-

patnya, yaitu Ajian Sapu Angin. Maka sebentar saja 

tubuhnya sudah melesat sedemikian cepatnya, bagai 

anak panah-yang terlepas dari busurnya. Lalu hanya 

dengan sekejapan mata saja, ratusan tombak telah ter-

lampaui. Si pemuda mengurangi kecepatan larinya, 

sambil celingak celinguk memperhatikan keadaan di 

sekitarnya. Tak terlihat adanya si Jubah Hitam, pa-

dahal menurut taksirannya. Sungguhpun si Jubah Hi-

tam memiliki ilmu lari cepat yang luar biasa. Akan te-

tapi Ajian Sapu Angin bukanlah ilmu lari cepat biasa. 

Ilmu ini sangat langka, dan di dalam dunia persilatan 

hanya si Bangkotan Koreng Seribu seoranglah yang 

memiliki ilmu lari, tersebut yang kini telah diwarisi 

oleh muridnya, yaitu Pendekar Hina Kelana. Sialan be-

tul, ke mana minggatnya orang itu! Rutuk si pemuda 

merasa kehilangan jejak. Ketika Buang Sengketa ber-

maksud meninggalkan tempat itu, tiba-tiba dia men-

dengar suara beradunya senjata tajam tidak begitu 

jauh di sebelah Utara tempat dia berdiri. Ah, siapa la-

gi? Batin si pemuda dalam hati, tiada menyia-nyiakan 

kesempatan. Pemuda ini pun langsung mengempos tu-

buhnya. Sehingga nampak begitu ringan, badan yang


kekar itu pun melentik ke udara. Lalu dengan mulus 

sepasang kakinya mendarat di atas dahan yang sangat 

tinggi. Dari tempat itu dia dapat dengan leluasa men-

gawasi keadaan sekitar seratus tombak di depannya, 

terlihatlah dua orang berpakaian biru sedang menge-

royok seorang gadis berbaju putih. Sekilas Buang 

Sengketa teringat pada bayangan yang berkelebat di 

tempat kediaman Aki Kilik Rogo beberapa hari yang la-

lu. Mungkin gadis inilah orangnya. Diam-diam dia mu-

lai mengerahkan ilmu mendengar jarak jauhnya. Dari 

percakapan dan perdebatan yang dia dengar, maka ta-

hulah dia bahwa sesungguhnya dua orang berpakaian 

biru bermaksud untuk meringkus si gadis.

Karena gadis itu dalam keadaan terdesak he-

bat, maka Buang Sengketa tidak mau menunggu lagi. 

Sekali lagi dia mengenjot tubuhnya, maka lebih cepat 

lagi dia melayang bagai terbang di atas pucuk-pucuk 

pohon. Dalam sekedipan mata dia sudah hampir sam-

pai di tempat pertempuran. Saat itu, dengan salah seo-

rang yang berpakaian biru nampak berusaha melan-

carkan totokan pada bagian-bagian yang mematikan, 

sementara yang lainnya dengan senjata yang berupa 

sebuah tongkat biru yang pada bagian pangkalnya ter-

dapat ukiran kepala seekor ular Welang. Nampak den-

gan sebat sekali mencecar lawannya dari arah yang 

berlawanan. Tongkat berkepala ular Welang itu berke-

lebat-kelebat menyambar ke segala arah, angin mende-

ru mengeluarkan suara bercuitan. Bau amis menjijik-

kan mulai menebar ke mana-mana. Nampaklah sudah, 

bahwa dalam jurus-jurus selanjutnya. Si gadis berpa-

kaian putih sudah tak mampu lagi mengembangkan 

jurus-jurus selanjutnya. Si gadis berpakaian putih su-

dah tak mampu lagi mengembangkan jurus-jurus pe-

dangnya. Bahkan sesaat setelah itu, ketika tongkat di


tangan si Jubah Biru hampir saja mematuk dadanya, 

si gadis sudah tak punya pilihan lagi untuk menghin-

dari berbenturnya senjata yang sangat berbisa itu. Tak 

pelak lagi, dengan nekad dia memapaki terjangan 

tongkat yang terus meluncur ke dada itu dengan kiba-

san pedang di tangannya.

"Traaak!"

Bunga api berpijar begitu senjata itu saling be-

radu, tubuh si gadis nampak tergetar dengan tangan 

sakit luar biasa bagai kesemutan. Gadis berbaju putih 

nampak pucat wajahnya, dan lebih terkejut lagi ketika 

menyadari bahwa senjata di tangannya nampak gem-

pal besar di beberapa bagian. Dua laki-laki berbaju bi-

ru itu nampak mengekeh begitu melihat keberhasilan 

mereka. Dan si gadis masih belum hilang rasa kejut-

nya, ketika tubuh si Jubah Biru menubruk gadis baju 

putih dan langsung menotok urat gerak tubuh si gadis. 

Gadis itu mengeluh tanpa mampu menggerakkan tu-

buhnya yang mendadak menjadi kaku.

"Sekarang engkau bisa apakah Sri Pamuja. 

Dengan kepandaian setahi kuku, engkau ingin coba-

coba menghalangi rencana Sepasang Ular Welang? 

Ha... ha... ha. Jangankan engkau, andai gurumu ma-

sih hidup sekalipun belum tentu dia sanggup mengha-

dapi permainan tongkat kami." berkata salah seorang 

si Jubah Biru dengan sesungging senyum menjijikkan.

"Kepalang tanggung Adik Sadaka, telanjangi sa-

ja sekalian, biar aku dapat melihat kebagusan tubuh-

nya yang putih mulus itu!" kata Sadaki dengan pan-

dangan matanya yang blingsatan.

"Hem. Betul juga, sekalian kita kerjai saja..!" 

sahut Sadaka, lalu tangan kanannya yang berkuku 

panjang-panjang itu pun menjulur bagai kepala ular. 

"Breet!"


"Auwwww...!"

Sepasang Ular Welang tertawa mengekeh! Apa-

lagi setelah beberapa saat kemudian mereka melihat 

kebagusan tubuh Sri Pamuja. Sadaka yang sudah 

nampak blingsatan itu agaknya tidak ingin berhenti 

sampai di situ saja, tangannya kembali bergerak. Na-

mun pada saat itulah meluncur satu benda hitam se-

demikian cepatnya, sampai-sampai kedua bersaudara 

yang sudah hampir lupa daratan itu pun tak sempat 

melihatnya. 

"Tuk!"

Sadaka melolong panjang begitu benda yang 

berupa batu itu menghajar tangannya. Bersamaan 

dengan jeritan Sadaka maka tubuh Buang Sengketa 

telah melayang turun dan kini telah berdiri tepat di 

hadapannya.

Bukan main terkejutnya kedua orang itu begitu 

melihat kehadiran seorang pemuda berpakaian gembel 

yang belum pernah mereka lihat pada waktu-waktu 

sebelumnya. Begitu pun Sadaki tetap membentak.

"Bocah gembel, berani sekali engkau mencam-

puri urusan Sepasang Ular Welang?" tukas Sadaki 

dengan mata melotot. Merah paras Pendekar Hina Ke-

lana begitu mendengar kata-kata yang sangat menya-

kitkan itu. Begitu pun Buang Sengketa tetap me-

nyunggingkan senyum.

"Segala macam ular bulukan! Sudah barang 

tentu akan kugebuk andai berani berbuat onar di de-

panku...!" kata Buang Sengketa mencemooh. 

"Bangsat, engkau benar-benar tak memandang 

muka pada kami...?" tukas Sadaki sambil mengusap-

usap tangannya yang memar biru dan sakit luar biasa.

"Ha... ha... ha...! Bertahun-tahun aku mengem-

bara, selama itu aku paling benci pada setiap kebiada


ban yang terjadi di kolong langit ini!"

"Bah, agaknya engkau benar-benar manusia 

yang sudah bosan hidup...?"

"Mengapa harus basa basi, Kakang Sadaki, cin-

cang saja gembel bau ini...!" kata Sadaka nampak su-

dah tidak sabar lagi.

"Sabar dulu, Adik.... Kita tanya dulu namanya. 

Siapa tahu setelah dia mati nanti bapak emaknya 

mencari-cari kuburnya, akhirnya kita-kita juga yang 

bakal kerepotan!"

"Pertanyaan yang tiada guna, hanya akan me-

nambah umurnya sedetik lebih lama lagi...!" Tanpa 

menghiraukan ucapan adik-nya, Sadaki membentak:

"Bocah, sebutkanlah namamu. Kami tiada per-

nah membunuh tanpa terlebih dahulu mengetahui 

namanya...!" seru laki-laki berewokan berkepala besar 

tersebut.

"Puh. Sombong sekali bicaramu, ular berewok, 

sepertinya di kolong langit ini hanya kalian berdualah 

yang paling hebat! Ha... ha... ha...! Namaku Buang 

Sengketa. Manusia yang terbuang dan ketika masa ke-

cilnya diramalkan oleh para peramal gila sebagai biang 

malapetaka di kemudian hari (Untuk lebih jelasnya ba-

ca Utusan Orang-orang Sesat). Tetapi dunia persilatan 

lebih mengenalku sebagai si Hina Kelana...!" jelas si 

pemuda tanpa maksud membanggakan diri. Tak dapat 

dibayangkan betapa terkejutnya, Sepasang Ular We-

lang ini. Sedikit pun mereka tiada pernah menyangka 

bahwa pendekar yang akhir-akhir ini menggemparkan 

dunia persilatan sesungguhnya hanyalah seorang pe-

muda gembel berperiuk di pinggangnya, muka tampan 

namun nampak kotor bagai setahun tak pernah man-

di. Si gadis berbaju putih itu pun tak kalah terkejut-

nya, dia tiada menyangka bahwa pemuda yang telah


menyelamatkan kehormatannya itu, tak lain Pendekar 

Golok Buntung yang kehadirannya membuat gempar 

di mana-mana. Tetapi diam-diam dia merasa bersyu-

kur, sebab walau bagaimanapun juga dia punya ke-

sempatan untuk melihat bagaimana sepak terjang 

pendekar yang sangat tampan itu nantinya.

Kembali pada Sepasang Ular Welang yang 

nampak sekali berusaha menutup-nutupi rasa gentar 

yang mulai menyelimuti hati mereka. Salah seorang 

yang bernama Sadaka menghardik: 

"Akh, kiranya pendekar yang sangat kesohor itu 

tak lebih hanyalah seorang gelandangan yang patut di-

kasihani!"

"Aku jadi ingin melihat sendiri bagaimana he-

batnya! Pusaka Golok Buntung yang membuat heboh 

itu...!" timpal Sadaki mencemooh. Geram bercampur 

marah pendekar ini dibuatnya.

"Hemm!" Pendekar Hina Kelana menggeram, 

otot-otot tubuhnya mulai nampak menegang dan ber-

sembulan. "Orang-orang malang! Seandainya golok 

maut milikku itu sampai keluar dari sarangnya. Aku 

khawatir kalian tak pernah sempat melihatnya!" tu-

kasnya dengan gigi bergemeletukkan menahan ama-

rah.

"Ah, mulutmu keliwat takabur, pendekar gem-

bel...!" makinya. 

"Hueesss!"

Sadaki memukulkan tongkatnya yang berkepa-

la ular Welang itu. Sontak berhamburlah jarum-jarum 

beracun dari kepala ular tersebut. Manakala Sadaki 

menekan salah satu alat yang berada dalam gengga-

mannya. Karena Buang Sengketa menyadari betapa 

berbahayanya senjata rahasia yang terlontar dari mu-

lut kepala ular tersebut, maka dia tak mau ambil resi


ko. Dengan sedikit menggeser tubuhnya dan menge-

rahkan tenaga dalam melalui tangan kanannya, sesaat 

kemudian tangan itu pun melambai. Sedikit pun Sa-

daki tiada mengira bahwa lambaian tangan kanan si 

pemuda timbulkan gelombang angin yang membadai. 

Pukulan tangan kanan tersebut langsung memapaki 

datangnya senjata rahasia yang begitu cepat. 

"Weeerrr!"

Jarum-jarum beracun tersebut berpentalan ke 

segala arah, lalu runtuh berkeping-keping. Baik Sada-

ka maupun Sadaki nampak sangat terkejut sekali, se-

lama malang melintang dalam dunia persilatan baru 

kali inilah ada orang yang mampu luput dari serangan 

senjata rahasia yang mereka miliki, hal ini saja telah 

membuka mata mereka, betapa pemuda berkuncir ter-

sebut memiliki kepandaian yang tidak rendah.

Namun dasar orang tak tahu diri, mengetahui 

serangannya luput, mereka bukannya mau mengalah. 

Sebaliknya secara serentak kedua orang ini segera me-

lakukan serangan-serangan secara gencar. Buang 

Sengketa yang sedikit banyaknya telah melihat bagai-

mana permainan silat kedua lawan ketika bertarung 

melawan Sri Pamuja. Maka tanpa memberi kesempa-

tan lagi nampak cepat-cepat putar langkah. Kemudian 

dengan mempergunakan jurus Membendung Gelom-

bang Menimba Samudra, sesaat berikutnya telah me-

mutar tangannya membentuk perisai pelindung untuk 

mematahkan serangan-serangan tongkat berkepala 

ular Welang yang sangat berbahaya itu. Dalam waktu 

sekejap saja pertarungan nampak seru, dan telah ber-

langsung belasan jurus. Satu ketika, Sadaka dan Sa-

daki nampak menyurut dua tindak, satu tangan me-

nyilang ke depan dada, sedangkan tangan yang meme-

gang tongkat tampak terjulur ke depan. Dalam pada


itu, mulut keduanya telah berkomat kamit. Hingga se-

kejap kemudian asap tipis berwarna kebiru-biruan 

nampak mulai menebar dari kepala tongkat yang ber-

bentuk kepala ular Welang tersebut. Tubuh keduanya 

sudah bermandikan peluh, tanda bahwa Sepasang 

Ular Welang sedang bersiap-siap mengeluarkan puku-

lan maut yang diberi nama Ular Welang Mencatok Ko-

dok. Orang-orang persilatan yang pernah mengetahui 

betapa hebat pukulan beracun tersebut tak berani 

membayangkan bagaimana akibatnya seandainya 

sampai pukulan bersarang di tubuh seseorang. Belum 

pernah seorang pun yang bisa luput dari pukulan 

maut yang mengandung racun yang sangat ganas ter-

sebut.

Sedangkan Buang Sengketa sendiri begitu 

mengendus ban amis yang tak sedap itu hanya men-

gekeh saja, sebab seperti diketahui bahwa pendekar ini 

sesungguhnya sangat kebal dengan segala macam ra-

cun. Namun karena demi mengimbangi pukulan tena-

ga sakti yang tentu saja dapat membuat tubuhnya 

menjadi berantakan, maka dia pun tak ingin ayal-

ayalan. Sesaat setelahnya Sepasang Ular Welang den-

gan diiringi satu jeritan melengking, cepat-cepat pu-

kulkan tongkatnya ke depan. Maka secara bersamaan 

dua larik sinar berwarna biru langsung melesat mela-

lui mulut tongkat kepala ular tersebut. Buang Sengke-

ta tidak tinggal diam, sekali dia mengempos tubuhnya. 

Maka dengan sangat ringan sekali badan yang kekar 

dan berotot itu pun sudah melentik ke udara. Aneh-

nya, seperti bermata saja layaknya, pukulan yang dile-

pas oleh Sepasang Ular Welang itu bagai bermata saja 

mengejar ke mana pun pemuda ini mengelak. Sadarlah 

pemuda itu, bahwa selain pukulan maut itu mengan-

dung racun yang jahat, tetapi juga berbau sihir.


EMPAT


Pendekar Hina Kelana kertakkan rahang. Sela-

manya dia paling benci dengan permainan apapun 

yang berbau sihir. Maka tak pelak lagi, dia pun mulai 

menyalurkan seperempat tenaga dalamnya ke arah ba-

gian tangannya. Begitu segalanya dia rasakan cukup, 

maka tak pelak lagi pukulan Empat Anasir Kehidupan 

yang sudah tak asing lagi. Dia pergunakan untuk me-

mapaki datangnya gelombang pukulan yang terus 

mengejarnya itu. Karena pukulan beracun tersebut si-

fatnya mengejar, maka tanpa menoleh lagi dia pun kib-

latkan tangannya ke belakang.

"Bet! Blaaaar!"

Kilatan sinar ultra violet yang datangnya lebih 

cepat itu, membuat dua kekuatan tenaga sakti saling 

bertabrakan tanpa dapat dielakkan lagi. Dan setahu 

bagaimana, baik tubuh Sadaki dan Sadaka nampak 

sama-sama terpental lima tombak, orang itu terguling-

guling menabrak kotoran kerbau yang berada di seki-

tar tempat itu. Sementara Buang Sengketa sendiri 

hanya merasakan dadanya sedikit nyeri. Tetapi setelah 

mengatur jalan napas, maka rasa sakit itu pun lenyap 

begitu saja. Pemuda keturunan seekor raja ular di Ne-

geri Bunian yang berjuluk si Raja Piton Utara itu pun 

nampak tergelak-gelak begitu melihat lawan-lawannya, 

belepotan dengan kotoran kerbau.

"Ah, kalian jorok sekali! Kotoran kerbau kalian 

buat mandi!" ejek Pendekar Hina Kelana tanpa kehi-

langan tawanya. Gusar bercampur malu, Sepasang 

Ular Welang itu dibuatnya. Terlebih-lebih begitu meli-

hat kenyataan bahwa pukulan maut Ular Welang Men-

catok Kodok, dapat dikandaskan oleh lawan yang ma


sih begini muda, bahkan sampai-sampai mereka sen-

diri terjengkang beberapa tombak.

"Budak gembel! Engkau benar-benar akan me-

nyesal telah begitu berani memper-mainkan kami...!" 

tukas Sadaki dengan tongkat melintang di depan dada.

"Huh! Kutu busuk berewokan, mulutmu saja 

yang besar. Tetapi sesungguhnya kalian merupakan 

orang yang paling tolol di kolong langit ini, maka ber-

siap-siaplah untuk mampus...!" teriak Buang Sengketa, 

lalu tangannya meluncur deras ke arah dada Sadaki 

dan Sadaka. Pukulan kedua tangan yang mengandung 

tenaga dalam tersebut mendatangkan angin bersiuran. 

Sadaka tampak terkejut ketika merasakan adanya 

sambaran angin pukulan tersebut. Tetapi dengan 

menggeser kaki kanan dan sedikit miringkan tubuh, 

maka sodokan kedua tangan si pemuda menjadi luput 

dari sasarannya. Namun di luar dugaan kedua orang 

ini, tiba-tiba kaki kiri Buang Sengketa membentuk sa-

tu guntingan ke arah kaki lawan-lawannya. Sesaat la-

manya, Sadaka dan Sadaki nampak terperangah, na-

mun menyadari akan datangnya bahaya yang mengan-

cam bagian kakinya. Maka cepat-cepat keduanya ter-

lonjak dan langsung melompat menghindari sapuan 

kaki lawannya.

"Wuuut!"

Sambaran kaki Buang Sengketa juga luput, di 

luar kesadarannya, Sadaki yang masih berada di udara 

tatakkan tongkatnya.

"Seeer!" Senjata rahasia yang berupa jarum-

jarum beracun itu pun kembali meluruk ke arah 

Buang Sengketa, dan pada saat itu pun Sadaka mene-

kan salah satu sisi bagian tongkatnya. Maka senjata 

yang sama pun berlompatan dari mulut kepala ular 

yang berada dalam genggamannya.


"Sialan...!" Buang Sengketa mengutuk. Tubuh-

nya melonjak kemudian secepatnya melesat ke udara. 

Begitu dia menukik kembali, tanpa sungkan-sungkan 

dia pergunakan si Hina Kelana Merana yang maha 

dahsyat itu.

"Haiitt!" Satu raungan keras dan desis bagai 

amarah se ekor ular piton, cukup sebagai tanda bahwa 

Buang Sengketa benar-benar dalam keadaan marah 

besar.

Dalam pada itu serangkum gelombang cahaya 

merah membara yang dilepas sebagai pukulan ampuh 

sang pemuda. Nampak berkelebat laksana meteor, be-

gitu cepat pukulan si Hina Kelana Merana itu berkele-

bat, hingga timbulkan suara menggemuruh menya-

kitkan gendang-gendang telinga. Cahaya merah 

membara itu bukan saja meruntuhkan jarum-jarum 

beracun milik lawannya, namun lebih dari sekedar itu 

terus saja meluncur deras tiada terbendung ke arah 

Sadaka yang berada tepat di bawahnya. Tidak ter-

bayangkan, baru terkena sambaran anginnya saja Sa-

daka merasakan badannya bagai terpanggang di atas 

bara api dan hal itu sudah membuat wajahnya pucat 

bukan main. Dia menyadari akan bahaya itu, namun 

begitu dia berusaha menghindar. Dia merasakan 

adanya ribuan kati tenaga raksasa yang membuatnya 

tak mampu bergeser dari belenggu maut.

"Wussss! Blaaarrrr!" Pukulan maut yang da-

tangnya dari atas tersebut membuat tubuh Sadaka 

melesak ke dalam tanah. Tubuh tersebut nampak be-

rantakan hancur berkeping-keping. Sehingga membuat 

Sadaki yang sejak tadi terperangah kini menjadi sema-

kin ciut nyalinya. Sungguhpun dia sangat marah bu-

kan main, tetapi dia menyadari menghadapi Pendekar 

Hina Kelana seorang diri hanyalah merupakan per


juangan yang sia-sia. Terkecuali bergabung dengan 

kawan-kawan satu golongan, dia tak ingin mengambil 

resiko yang sangat membahayakan keselamatannya. 

Semasih Buang Sengketa dalam keadaan lengah, maka 

Sadaki langsung melarikan diri. Saat itu Sri Pamuja 

yang tubuhnya masih dalam keadaan tertotok, berte-

riak.

"Pendekar! Orang itu melarikan diri...!"

Buang Sengketa balikkan wajahnya, benar se-

perti apa yang dikatakan oleh Sri Pamuja, Sadaki si 

Sepasang Ular Welang itu sudah tak ada lagi di tempat 

itu.

"Suatu saat kelak aku pasti menemukannya...!" 

berkata begitu Buang Sengketa melangkah mendekati 

Sri Pamuja, namun dia undur dan palingkan muka be-

gitu melihat pakaian si gadis yang terobek di bagian 

dadanya. Sehingga menampakkan kulitnya yang putih 

mulus.

"Bagaimana ini, Pendekar Kelana. Tolong be-

baskan aku...!" kata Sri Pamuja memohon.

"Akh, bagaimana aku bisa membebaskan mu, 

benahi dulu pakaianmu!" tukas si pemuda.

"Bagaimana caranya, aku tak dapat mengge-

rakkan tanganku!" rengek Sri Pamuja. Pendekar Hina 

Kelana mengeluh, lalu garuk-garuk kepalanya yang tak 

gatal.

"Kalau begitu aku mau pergi saja...!"

"Pendekar, kalau engkau pergi bagaimana ka-

lau bangsat itu datang ke mari. Apakah engkau tidak 

kasihan padaku...?" rintih gadis itu setengah memelas. 

Si pemuda tercenung, agaknya apa yang dikatakan 

oleh Sri Pamuja mengena di hatinya. Lalu dengan me-

nutup matanya dengan tangan kiri, selangkah demi se-

langkah dia mendekati si gadis. Merasa begitu dekat,


maka dia pun bermaksud memulihkan jalan darah 

yang telah membuat si gadis tak mampu menggerak-

kan anggota tubuhnya. Tetapi karena kedua matanya 

tertutup, maka dia jadi salah pegang.

"Auuuwww...!" Sri Pamuja menjerit begitu tan-

gan Buang Sengketa secara tak sengaja nyasar ke ba-

gian dadanya. Seketika wajah Buang Sengketa beru-

bah merah. Cepat-cepat dia menggeser jemarinya, ke-

mudian dengan cepat pula dia sudah membebaskan si 

gadis dari pengaruh belenggu totokan. Setelah terbe-

bas dari totokan Sadaki, maka Sri Pamuja segera 

memperbaiki pakaiannya.

"Aku merasa sangat berterima kasih padamu, 

Pendekar...!" ucapnya setelah beberapa saat lamanya 

hanya terdiam.

"Nona tak perlu berterima kasih padaku, semua 

yang terjadi itu sesungguhnya hanyalah merupakan 

pertolongan Sang Hyang Widi...!"

"Eh, namaku Sri Pamuka dari Gunung Wilis...!"

"Dan aku si anak terbuang si Hina Kelana...!" 

kata pemuda itu menyambung.

Buang Sengketa kerutkan alisnya begitu terin-

gat sesuatu, lalu langsung bertanya; "Sepertinya aku 

pernah melihatmu di Gunung Kendeng, tempat tinggal 

Aki Kilik Rogo, apa yang engkau kerjakan di sana...?" 

tanya Buang Sengketa menyelidik. Sesungguhnya Sri 

Pamuja agak begitu terkejut begitu mengetahui ada 

orang lain melihat kehadirannya di Gunung Kendeng. 

Namun karena dia menyimpan maksud-maksud yang 

baik, maka dia hanya tersenyum saja demi mendengar 

teguran si pemuda.

"Rupanya anda pernah melihatku di sana?"

"Ya, secara kebetulan beberapa hari yang lalu."

Sejurus lamanya gadis itu nampak memperha


tikan si pemuda yang saat itu hanya beberapa meter 

saja jaraknya dari tempat dia berdiri. Sesaat mata me-

reka nampak saling beradu pandang, lalu cepat-cepat 

Sri Pamuja membuang pandangannya jauh-jauh. Lalu 

kemudian dia pun mengakui.

"Kuakui, aku memang pernah berada di sana! 

Tetapi aku tak mempunyai maksud-maksud yang tak 

baik. Aku hanya ingin menguntit apa yang dikerjakan 

oleh si Jubah Hitam dan si Tanduk Kerbau di tempat 

tinggal Aki Kilik Rogo."

"Dan engkau telah mengetahui apa yang diker-

jakan oleh mereka di tempat itu...?" tanya Buang 

Sengketa menyelidik.

Sri Pamuja anggukkan kepalanya.

"Ya, tetapi tidak semuanya...." jawab si gadis 

tanpa merasa ragu-ragu lagi.

"Lalu apa yang engkau ketahui itu...?"

"Mungkin banyak, tentang murid-murid Aki Ki-

lik Rogo, yang tolol dan suatu saat menjadi buas bila 

sudah sampai masanya. Tentang bencana yang akan 

dilakukan oleh si Jubah Hitam, atau si Topi Kerbau...!"

Dalam pada itu, tiba-tiba Buang Sengketa men-

jadi curiga dan ragu-ragu pada si gadis. Dan keadaan 

seperti itu agaknya sempat diketahui oleh gadis itu. 

Maka tanpa sungkan-sungkan dia pun menegur.

"Anda tak perlu curiga padaku. Lama sekali 

aku telah mencium segala rencana orang-orang itu. Te-

tapi aku selalu tak memiliki keberanian untuk meng-

halangi usaha mereka. Orang-orang itu berilmu sangat 

tinggi, sedangkan aku bukanlah apa-apanya...!" desah 

si gadis setengah mengeluh.

"Apakah orang itu bekerja sama, satu golongan 

atau memiliki tujuan masing-masing?"

Nampak sekali perubahan air muka Sri Pamuja



begitu Buang Sengketa mengemukakan pertanyaan 

seperti itu. Hal ini sudah barang tentu membuat si 

pemuda menjadi bertambah heran.

"Mereka itu sesungguhnya dari golongan yang 

berbeda, tetapi mempunyai tujuan yang hampir sa-

ma...!"

"Maksudmu!" desaknya tak sabar lagi. 

"Dari Aki Kilik Rogo, ada sesuatu yang mereka 

inginkan...!"

Nampaknya Pendekar Hina Kelana merasa ku-

rang puas dan mengerti akan makna ucapan Sri Pa-

muja.

"Pamuja! Janganlah bicara muter-muter aku 

tak bisa mengerti apa yang kau katakan itu!"

"Hm, baiklah, aku akan ceritakan padamu ten-

tang Aki Kilik Rogo terlebih dahulu." ujar Sri Pamuja.

"Katakanlah...!" Buang Sengketa berkata serius.

Sesaat lamanya Sri Pamuja menarik napas 

pendek, agaknya dia sedang berusaha untuk mengin-

gat-ingat sesuatu. Lalu setelah helaan-helaan nafasnya

mulai teratur kembali, maka dia pun memulai.

"Tujuh puluh tahun yang lalu, di Gunung Dieng 

hidup seorang tokoh yang sangat sakti. Orang itu 

mempunyai nama Empu Wesi Laya, tokoh sakti itu hi-

dup dengan dua orang muridnya. Murid perempuan-

nya Betari Murti dan seorang lainnya bernama Kilik 

Rogo. Konon setelah dewasa Betari Murti yang punya 

sifat serakah dan ingin menguasai ilmu pukulan bera-

cun telah melarikan diri dengan membawa Kitab Ben-

dil Dieng...."

"Kitab? Kitab apa...?" tanya pendekar keturu-

nan raja ular tersebut merasa tertarik. 

"Bendil Dieng sesungguhnya sebuah kitab yang 

isinya sangat erat hubungannya dengan alam di seki



tar tempat itu. Sekali saja kitab itu tak pernah kembali 

pada tempatnya, maka bencana itu pun akan terjadi di 

tempat tersebut. Itulah sebabnya demi menghindari 

kutuk yang telah ditetapkan oleh Empu Wesi Laya, 

maka Aki Kilik Rogo memohon pada gurunya sendiri 

untuk mencari dan membawa kembali Kitab Bendil Di-

eng. Sayangnya, Aki Kilik Rogo tak pernah berhasil 

membawa kembali kitab yang sangat disucikan itu. Se-

bab ternyata ilmu kepandaian yang dimiliki oleh Batari 

Murti jauh berada di atas kepandaian yang dimiliki 

oleh Aki Kilik Rogo."

"Ehhh.... Tetapi mengapa Aki Kilik Rogo, seperti 

yang sama-sama kita ketahui, malah menetap di Gu-

nung Kendeng...?" tanya Buang Sengketa tak habis 

mengerti. 

Sri Pamuja terdiam untuk beberapa saat la-

manya. Tetapi sesaat kemudian dia telah menyambung 

kembali

"Semua itu dia lakukan karena dia merasa ma-

lu untuk kembali ke Gunung Dieng menemui gurunya. 

Di sana dia mendirikan perguruan, tetapi seperti yang 

anda lihat selama dua puluh tahun dia mengajar mu-

ridnya dengan berbagai ilmu kanuragan, namun mu-

rid-muridnya malah memiliki kelainan yang sesung-

guhnya berasal dari manusia yang menghendaki kunci 

Mustika Pembuka Pintu Goa Dieng...!"

"Apakah mereka yakin bahwa kunci itu berada 

di tangan Aki Kilik Rogo?"

"Kemungkinannya begitu...!" jawab Sri Pamuja.

"Sesungguhnya apa sih yang terdapat di dalam 

goa tersebut, sehingga orang-orang itu bermaksud un-

tuk memasukinya?" tanya si pemuda.

***


LIMA


"Agaknya setelah membawa lari Kitab Bendil 

Dieng, Batari Murti mulai merasakan kesulitan untuk 

memecahkan rahasia besar yang terkandung dalam ki-

tab tersebut. Dan lebih celakanya, bahwa kitab rahasia 

untuk mengetahui isi buku yang dia curi tersebut ti-

dak sempat dia bawa lari. Sudah barang tentu untuk 

kembali ke Gunung Dieng dia tidak berani, sebelum 

dia berhasil menguasai isi buku hasil ciptaan Empu 

Wesi Laya yang sakti mandraguna. Satu-satunya cara 

adalah dengan memanfaatkan tangan Aki Kilik Rogo 

dan murid-muridnya." kata Sri Pamuja panjang lebar.

"Biadab! Kalau begitu orang yang mengenakan 

Jubah Hitam itulah yang telah menyesatkan murid-

murid Aki Kilik Rogo, sehingga mereka menjadi tolol 

semuanya?" tanya Buang Sengketa berang sekali.

"Tidak, orang-orang itu sesungguhnya tidak to-

lol! Mereka adalah murid-murid yang telah dipengaruhi 

oleh aliran yang lain. Sewaktu-waktu mereka dapat be-

rubah menjadi binatang pembunuh yang sangat men-

gerikan...!"

"Tetapi mereka mengapa seperti orang yang ku-

rang waras saja layaknya...?"

Mendapat pertanyaan seperti itu, Sri Pamuja 

tertawa getir.

"Si Jubah Hitam memang dengan sengaja 

membuat murid-murid Aki Kilik Rogo menjadi tolol se-

demikian rupa dengan maksud, untuk memaksa Aki 

Kilik Rogo menjumpai Empu Wesi Laya di Gunung Di-

eng. Dan sudah barang tentu orang tua sakti tersebut 

mampu mengobati penyakit yang diderita oleh murid-

murid Aki Kilik Rogo!"


"Apa hubungannya antara murid-murid itu 

dengan kitab rahasia yang tersimpan di dalam gua?" 

tanyanya semakin tak mengerti.

"Masa anda tidak tahu juga, Pendekar! Hubun-

gannya jelas saja ada, bukankah sudah saya katakan 

tadi bahwa sewaktu-waktu murid-murid Aki Kilik Rogo 

itu, dapat menjadi binatang pembunuh yang sangat 

mengerikan. Hal ini sudah barang tentu dalam perhi-

tungan si Jubah Hitam. Jika sewaktu-waktu Aki Kilik 

Rogo membawa murid-muridnya ke Gunung Dieng un-

tuk menemui gurunya, pada saat itulah si Jubah Hi-

tam akan memanfaatkan tenaga murid-murid Aki Kilik 

Rogo yang sudah berada dalam pengaruhnya. Tujuan-

nya sudah jelas, yaitu untuk mendapatkan kitab raha-

sia yang merupakan kunci dari buku pusaka yang kini 

dalam kekuasaannya...!"

Buang Sengketa nampak terperangah, dia be-

nar-benar tak bisa membayangkan bagaimana jadinya 

kalau apa yang dikatakan oleh Sri Pamuja pada akhir-

nya benar-benar menjadi kenyataan.

"Kasihan sekali Aki Kilik Rogo itu sesung-

guhnya. Tetapi bagaimana dengan laki-laki pesolek da-

ri Gunung Pati itu...?"

Disebut-sebutnya laki-laki pesolek, membuat 

Sri Pamuja bagai disengat kalajengking. Dia tiada me-

nyangka kalau Pendekar Hina Kelana telah mengeta-

hui sedemikian banyak.

"Jadi anda telah melihat laki-laki pesolek dari 

Gunung Pati itu...?"

"Benar!"

"Heh, laki-laki itu juga termasuk kambratnya si 

Gemuk Bertopi Tanduk Kerbau. Mereka ini juga memi-

liki tujuan yang sama dengan si Jubah Hitam. Dengan 

Racun Linglung Raga, dia telah membuat botak kepala


murid-murid Aki Kilik Rogo!" 

"Apa! Jadi orang-orang yang tiada berdosa itu 

kini dalam cengkeraman dua kekuatan yang sangat 

keji...!"

"Agaknya begitulah!"

"Hal ini malah akan membahayakan keselama-

tan Aki Kilik Rogo?" tukas Buang Sengketa. Mengkha-

watirkan keselamatan orang tua berbadan pendek ter-

sebut.

Sri Pamuja nampak gelengkan kepalanya.

"Tidak, mereka merencanakan sesuatu untuk 

dipakai dalam jangka waktu tertentu, hal itu tidak per-

lu dirisaukan. Yang terpenting, kalau anda memang 

benar-benar bermaksud menolong Aki Kilik Rogo dari 

malapetaka yang tak pernah diduganya. Anda harus 

mengejar Sadaki, sebab andai tidak maka anda akan 

kerepotan dalam menghadapi lawan yang sedemikian 

banyak dan tangguh pula!"

"Maksudmu orang yang sempat bentrok den-

ganmu tadi...?" tanya Buang Sengketa agak bimbang.

"Betul, sebab dia juga merupakan kambrat-

kambrat yang paling setia dari Kebo Selaksa Wisa atau 

yang bernama Dulimang itu...!"

"Ah, aku tak tahu pula di mana arahnya Gu-

nung Bromo itu...!" menyela Buang Sengketa berterus 

terang.

"Kalau anda mau, saya bersedia menjadi pe-

nunjuk jalan anda...!" kata Pamuja menawarkan diri. 

Sudah barang tentu tawaran itu tak mungkin ditolak 

oleh si pemuda. Berjalan dengan seorang gadis cantik, 

sudah barang tentu akan sangat menyenangkan ke-

timbang berjalan seorang diri. Itu makanya setelah pi-

kir-pikir sebentar dan garuk-garuk kepalanya, maka 

dia pun mengangguk setuju. Lalu tanpa membuang


buang waktu lagi, kedua orang itu pun segera mening-

galkan tempat itu.

* * *

Pagi nan cerah, namun tiada makhluk-

makhluk yang terbang di sekitar Pegunungan Dieng. 

Suasana sepi nampak menyelimuti daerah sekitarnya, 

tak seorang pun terlihat di sana. Sementara kabut pu-

tih yang menyelimuti sekitar daerah itu semakin siang 

hari nampak semakin hilang sama sekali. Hanya ke-

gersangan saja yang ada di sana, pohon-pohon hutan 

di sana sini nampak kering dan mati, sepintas suasana 

benar-benar berkesan sangat angker. Tetapi jauh di le-

reng gunung tersebut, nampak sosok bayangan berla-

ri-lari begitu cepatnya menuju arah Utara. Tubuh 

orang itu dengan gesit sekali berkelebatan di antara 

pohon-pohon kering yang terdapat di sepanjang semak 

yang dia lalui. Hanya dalam waktu sepemakan sirih, 

orang itu pun telah sampai di suatu bangunan yang 

sudah sangat tua. Bangunan yang terbuat dari batu-

batu kali itu sudah nampak rusak di sana sini. Untuk 

mencapai sebuah pintu utama yang berukuran sangat 

besar dan sudah rusak, terdapat sebuah tangga ber-

tingkat yang jumlah keseluruhannya hampir mencapai 

dua puluh anak tangga. Sama seperti tiang-tiang yang 

berdiri megah dan sudah sangat tua itu. Maka anak 

tangga tersebut, juga terbuat dari susunan batu kali 

yang diatur sedemikian rupa. Perempuan berjubah hi-

tam itu untuk sesaat lamanya nampak tercenung di 

depan anak tangga pertama.

Memperhatikan anak tangga dan bangunan tua 

yang hampir menyerupai sebuah kuil tersebut. Lama-

kelamaan dia teringat masa-masa tiga puluh tahun


yang lalu, di mana pada saat itu dia pernah tinggal di 

tempat itu selama hampir empat puluh tahun. Teringat 

pula olehnya, tentang adik seperguruannya yang san-

gat baik hati dan selalu bersikap mengalah. Lalu gu-

runya yang sudah sangat tua renta yang dikenal seba-

gai Empu Wesi Laya yang sangat memanjakan dirinya. 

Saat itu Empu Wesi Laya begitu sangat memanjakan 

dirinya, bahkan boleh dikata apapun yang dia minta 

selalu saja dituruti. Sampai-sampai dalam hal menu-

runkan ilmu sakti saja, dia selalu diberi perhatian 

yang lebih. Begitu pun sifatnya yang selalu tamak dan 

tak pernah kenal rasa puas itu pada akhirnya meminta 

sesuatu yang lebih yaitu ingin memiliki kitab pusaka 

Bendil Dieng. Salah satu kitab yang pada akhirnya da-

pat menimbulkan malapetaka di permukaan bumi. 

Sampai pada batas itu, sang guru nampaknya benar-

benar sangat murka, lalu mengusir dirinya bagai seo-

rang yang telah melakukan kesalahan terberat. Dia 

yang sering hidup dalam kemanjaan, pengusiran sang 

guru kiranya telah menimbulkan dendam kesumat. 

Pergilah sang murid atau yang lebih dikenal sebagai 

Batari Murti dengan membawa dendam yang memba-

ra. Tetapi beberapa purnama kemudian dia kembali la-

gi dengan tujuan untuk mencuri Kitab Bendil Dieng. 

Perempuan itu ternyata memang berhasil dan melari-

kan kitab tersebut untuk dipelajari dalam waktu yang 

sesingkat-singkatnya. Tujuannya hanya satu, yaitu 

menuntut balas atas kematian orang tuanya juga atas 

pengusiran dirinya. Tetapi di luar dugaannya, ternyata 

kitab tersebut sangat sulit untuk dimengerti isinya. 

Melawan guru dengan kepandaian yang berasal dari 

satu sumber, hal itu hanya berarti sebuah kesia-siaan 

belaka. Cara satu-satunya adalah dengan jalan me-

manfaatkan tenaga adik seperguruannya. Aki Kilik Ro


go, hal itu pun tidak mudah, mengingat dia juga per-

nah terlibat pertarungan sengit dengan adik se-

perguruannya tersebut. Ketika laki-laki berbadan pen-

dek itu mencoba meminta kembali Kitab Bendil Dieng 

yang sudah berada di tangannya. Sebagai murid ter-

sayang, sudah barang tentu Aki Kilik Rogo bukanlah 

lawan Batari Murti yang sakti mandraguna itu.

Setelah kekalahannya itu Aki Kilik Rogo, seperti 

diketahui lantas memilih tinggal di Gunung Kendeng, 

dan mengambil orang-orang terlantar sebagai murid-

nya. Namun kiranya semua itu terus dalam pengawa-

san Batari Murti, yang pada akhirnya berhasil menga-

jarkan sebuah ilmu ganas pada murid-murid Aki Kilik 

Rogo di luar sepengetahuan laki-laki tersebut. Dan ka-

lau hari ini dia sampai di tempat tinggal bekas gurunya 

tersebut, hal ini dia lakukan adalah dengan maksud 

untuk mencari tahu, apakah gurunya yang sudah be-

rusia lebih dari seratus sembilan puluh tahun itu ma-

sih ada atau tidak. Lebih dari sekedar itu, dia pun 

punya maksud untuk mencari tahu di manakah se-

sungguhnya kunci rahasia dari kitab yang dia curi itu 

disembunyikan oleh gurunya. Kini dengan langkah 

berhati-hati, si Jubah Hitam mulai menapakkan ka-

kinya menaiki anak tangga demi anak tangga. Hingga 

akhirnya sampailah si Jubah Hitam atau yang lebih 

dikenal dengan Batari Murti, pada anak tangga yang 

kedua puluh. Pintu tampak ternganga lebar, suasana 

dalam ruangan nampak samar-samar dan tidak tera-

wat. Si Jubah Hitam nampak melangkahkan kakinya 

lebih ke dalam lagi, tiada apapun di sana. Hanya see-

kor burung hantu nampak berkelebat ke luar manaka-

la si Jubah Hitam melangkah ke dekatnya. Angin yang 

berhembus dari luar jendela dan pintu terasa sangat 

dingin sekali, si Jubah Hitam nampak mengucek


ngucek matanya. Semakin ke dalam dia melangkah, 

suasana semakin gelap dan samar-samar. Sungguh-

pun wanita berusia lebih dari delapan puluh tahun itu 

dulunya sudah terbiasa berada di tempat itu, akan te-

tapi berada di tempat itu seorang diri dan dalam kea-

daan bersalah pula hal ini membuat dirinya menjadi 

gelisah. Hemm! Ke manakah perginya sang guru, 

mungkinkah sudah tiada. Kalau memang benar tetapi 

mengapa tiada bekas-bekas mayatnya, tulangnya, atau 

apa saja sebagai bekas suatu kematian. Akhirnya dia 

memberanikan diri untuk memasuki kamar pribadi 

Empu Wesi Laya. Hampir sampai di ruangan depan 

kamar pribadi gurunya, dadanya terasa berdetak ke-

ras. Sementara sebuah pintu masih tetap utuh. Si Ju-

bah Hitam kemudian menyentakkan gerendel yang 

terdapat di pintu pribadi tersebut. Begitu terbuka, 

keadaan di depannya semakin bertambah gelap luar 

biasa. Si Jubah Hitam terpaksa menghidupkan suluh 

yang terdapat di ruangan itu. Begitu suluh tersebut 

menyala, maka terlihatlah suasana di sekitar ruangan. 

Berpuluh-puluh ekor kelelawar nampak beterbangan 

ke segala arah. Mungkin karena suasana terang yang 

tiba-tiba, membuat binatang-binatang malam itu men-

jadi panik tak karuan. Sementara itu di salah satu su-

dut nampaklah kerangka mayat Empu Wesi Laya da-

lam keadaan duduk bersila, melihat keadaan kerangka 

yang sudah dipenuhi dengan debu, tahulah si Jubah 

Hitam, bahwa mungkin saja Empu Wesi Laya sudah 

meninggal selama lebih dari sepuluh tahun. Tiada rasa 

hormat maupun kesedihan yang membayang di wajah 

si Jubah Hitam. Malah sebaliknya manusia yang su-

dah setengah iblis itu nampak tersenyum penuh ke-

menangan. Lalu dipandanginya kerangka bekas gu-

runya itu dengan penuh kebencian. Kemudian dia pun


bergumam seorang diri.

"Guru, semestinya aku menghormatimu, tetapi 

engkau terlalu sombong dengan tidak memberikan Ki-

tab Bendil Dieng yang sangat luar biasa itu! Kini eng-

kau mati dalam keadaan yang sangat menyedihkan. 

Mayatmu pun tak ada seorangpun yang mengurusnya, 

aku tiada peduli. Aku datang ke mari hanya ingin 

mencari kunci Kitab Bendil Dieng. Di mana guru... di 

mana...?" gumamnya sembari memandang pada ke-

rangka yang masih tetap dalam keadaannya.

Seusai dengan ucapannya itu, mendadak seisi 

ruangan bagai dilanda gempa. Tubuh si Jubah Hitam 

nampak terhuyung-huyung, suasana di sekitarnya 

timbulkan suara bergemuruh. Namun hal itu hanya 

sekejap saja, sedetik kemudian nampak pula berkele-

batnya cahaya merah kebiru-biruan meninggalkan ke-

rangka Empu Wesi Laya. Seiring dengan melesatnya 

cahaya tersebut dari kerangka Empu Wesi Laya, maka 

tulang belulang itu pun ambruk dari posisinya. Debu 

mengepul memenuhi seluruh ruangan tersebut. Tulang 

belulang Empu Wesi Laya nampak tumpang tindih, 

sementara tengkorak kepalanya nampak menggelind-

ing, berputar-putar, seolah protes atas kehadiran mu-

rid yang telah dikutuknya. Tengkorak kepala tersebut 

pada akhirnya berhenti persis di depan si Jubah Hi-

tam. Anehnya tengkorak tersebut bagian mukanya 

menghadap ke arah si Jubah Hitam. Hal itu sudah ba-

rang tentu membuat si Jubah Hitam menjadi berang. 

Lalu dengan penuh kebencian ditendangnya tengkorak 

kepala gurunya sendiri. Tengkorak kepala tersebut 

nampak mencelat, lalu menabrak dinding kamar yang 

terbuat dari batu pualam putih. Sehingga karena begi-

tu kerasnya tendangan tersebut, maka tengkorak ke-

pala itu pun hancur berantakan.

Dan tiba-tiba keajaiban terjadi kembali. Ruan-

gan bergetar hebat, seketika itu juga terdengar suara 

yang sangat dikenali oleh si Jubah Hitam.

"Batari Murti, murid murtad dan sangat durha-

ka! Engkau benar-benar telah mengecewakan hara-

panku. Pengusiran ku dahulu bukannya membuat 

engkau berpikir untuk memperbaiki kesalahanmu. Te-

tapi malah membuatmu menjadi manusia setengah ib-

lis! Sampai di alam fana ini, arwahku tak akan pernah 

tenang, kukutuk engkau dengan kematian yang paling 

menyakitkan. Batari Murti, engkau akan mati di tan-

gan seorang pemuda pengelana berperiuk, kepalamu 

akan terlempar ke dalam kawah Dieng, badanmu akan 

tercampak di laut hitam, sedangkan kaki dan tangan-

mu akan menggelantung di empat penjuru mata angin. 

Kematianmu benar-benar sangat mengenaskan sung-

guhpun engkau manusia tersakti di bumi Jawa Dwipa 

ini!" kata roh Empu Wesi Laya.

***


ENAM



"Hi... hi... hi...! Bagaimana orang yang sudah 

mati bisa menjatuhkan kutuk kepadaku?" tukas si Ju-

bah Hitam mencemooh.

"Sang Hyang Pencipta maha tahu. Satu saat 

engkau pasti akan merasakannya. Engkau tak mung-

kin menghindar dari kutuk-ku...!"

"Bah. Engkau sudah mati, Empu Wesi Laya, 

engkau tak mungkin mampu berbuat itu kepadaku, 

tak mungkin mampu...." teriak si Jubah Hitam dengan 

suara melengking tinggi.

"Jasad kasar ku memang sudah mati, tetapi



rohku tak akan pernah mati. Itulah satu-satunya yang 

paling kekal...!" kata roh Empu Wesi Laya penuh wi-

bawa. Tak terkirakan betapa geramnya hati si Jubah 

Hitam demi mendengar suara Empu Wesi Laya. Serta 

merta dia kebutkan jubahnya mengarah cahaya merah 

yang kini nampak di sudut ruangan. Selarik sinar hi-

tam menderu dari jubah yang dikebutkan oleh pemi-

liknya. Kemudian sinar beracun tersebut meluruk si-

nar merah, dari penjelmaan roh Empu Wesi Laya. Ca-

haya merah tersebut tidak bergerak dari tempatnya. 

Namun begitu pukulan yang dilepas oleh si Jubah Hi-

tam bagai meluruk dinding yang tiada pembatas saja 

menembus cahaya tersebut.

"Plassss!"

Selarik sinar hitam yang dilepas oleh si Jubah 

Hitam bagai menerpa sasaran yang kosong dan lang-

sung melabrak langit-langit ruangan. Langit-langit 

ruangan tersebut bobol, sehingga meruntuhkan langit-

langit kamar pribadi Empu Wesi Laya. Si Jubah Hitam 

sudah bermaksud melepaskan pukulan mautnya un-

tuk yang kedua kalinya, namun mendadak terdengar 

kembali suara Empu Wesi Laya:

"Apa yang akan engkau lakukan hanyalah me-

rupakan pekerjaan yang sia-sia, Batari Murti. Aku dan 

engkau sudah berada dalam jarak dinding pemisah, 

tak satu pun pukulan maut yang paling ampuh sekali-

pun yang mampu menghancurkan dinding tersebut. 

Dinding alam gaib yang satu saat juga engkau akan 

berada dan tinggal untuk selama-lamanya di sana. 

Simpanlah pukulan maut mu itu untuk menghadapi 

lawan-lawanmu yang kelak akan membinasakan 

mu...!"

"Plaaasss!"

Usai dengan ucapannya itu, maka cahaya me


rah tersebut lenyap tiada berbekas, bersamaan dengan 

itu, maka bau wangi bunga kemboja pun menebar di 

segenap ruangan itu.

"Sialan!" maki si Jubah Hitam. Cepat-cepat dia 

meninggalkan ruangan itu, kemudian langkahnya te-

lah terayun menuju ruangan rahasia yang dulu dia ke-

tahui sebagai ruangan tempat menyepi bagi Empu We-

si Laya. Setelah melewati lorong-lorong yang panjang 

dan pengap, maka sampailah dia pada ruangan yang 

ditujunya. Ruangan itu nampak lebih lebar dan luas, 

tetapi yang membuat heran si Jubah Hitam adalah ka-

rena semua pelita yang terletak di dinding ruangan 

yang sesungguhnya merupakan sebuah gua yang su-

dah dirubah sedemikian rupa nampak tak pernah pa-

dam. Sepertinya setiap saat ruangan itu ada yang men-

jaga dan membersihkannya. Hanya satu saja yang 

agak berbeda, kalau ruangan itu lantainya dulu berla-

piskan batu-batu mutiara. Akan tetapi kini keseluru-

hannya telah berganti dengan batu pualam biru, se-

dangkan dari padanya menebarkan bau yang sangat 

wangi lagi dingin. Sesaat tubuh si Jubah Hitam nam-

pak menggigil, namun setelah mengerahkan sedikit te-

naga dalamnya maka, rasa dingin itu pun sirna seketi-

ka. Si Jubah Hitam segera melangkah ke tengah-

tengah ruangan dan menghampiri sebuah meja yang 

juga terbuat dari batu pualam. Di atas meja yang ter-

buat dari batu pualam tersebut terdapat sebuah kitab 

tipis yang terbungkus dengan selembar kain sutera. 

Merasa penasaran, maka si Jubah Hitam segera me-

nyambarnya. Tetapi betapa terperanjatnya manusia se-

tengah iblis tersebut begitu melihat tulisan yang terte-

ra pada sampul kitab tersebut. Yang bertuliskan seba-

gai di bawah ini:


"Siapa saja yang sampai di ruangan ini paling 

awal, itulah manusia paling celaka. Seandainya dia le-

bih berani lagi membuka pintu rahasia yang terdapat di 

balik dinding ini, maka kutukku akan berlaku pada se-

luruh keturunannya. Kunci Kitab Bendil Dieng adalah 

sumber malapetaka. Tiada seorang pun yang dapat 

menyentuhnya kecuali dirinya benar-benar seorang 

pendekar sejati.

Tertanda

Penguasa Gunung Dieng 

Empu Wesi Laya

Bukan malah kecut hati si Jubah Hitam begitu 

membaca tulisan tersebut, sebaliknya kedua bola ma-

tanya nampak berbinar-binar. Baginya kesempatan 

untuk mendapatkan kunci buku tersebut, kini benar-

benar telah berada di ambang mata. Maka tanpa mem-

buang waktu lagi si Jubah Hitam langsung mengham-

piri sebuah pintu yang terbuat dari pada batu pualam. 

Tak ada tanda-tanda untuk dapat masuk ke ruangan 

seperti yang dimaksudkan dalam buku petunjuk ter-

sebut. Namun si Jubah Hitam tiada mengenal putus 

asa. Dengan sekuat tenaga didorongnya pintu tersebut. 

Tetapi tetap saja pintu itu tiada bergeming sedikit pun. 

Didorongnya kembali, berulang dan berulang. Sung-

guhpun ruangan itu berhawa dingin, namun peluh 

mulai membasahi sekujur tubuhnya. Sementara na-

fasnya pun mulai ngos-ngosan. Pintu batu pualam 

tiada bergeming! Lama-kelamaan si Jubah Hitam jadi 

kesal sendiri. Hingga pada akhirnya dia terpaksa 

menggunakan tenaga dalamnya yang sudah mencapai 

tingkat kesempurnaan itu.

Sejurus dia memusatkan segenap perhatian-

nya, lalu didorongnya pintu batu pualam tersebut ke


ras-keras.

"Kreoott!" Pintu batu pualam membuka, namun 

begitu pintu itu menganga kira-kira tiga jengkal, men-

dadak berhamburanlah puluhan anak panah berbisa 

meluruk si Jubah Hitam. Cepat-cepat perempuan se-

tengah iblis itu pun memutar tongkatnya yang berke-

pala serigala. Putaran tongkat yang bagai titiran terse-

but menimbulkan angin bersiuran. Dan anak-anak 

panah tersebut berpentalan ke segala arah begitu me-

nerjang tongkat kepala serigala yang dipergunakan se-

bagai perisai oleh si Jubah Hitam. Perempuan beram-

but kecoklatan itu nampak memaki panjang pendek. 

Lalu dengan sangat hati-hati dia mulai melangkah 

kembali memasuki ruangan maut yang hanya beruku-

ran dua kali delapan meter tersebut. Baru saja lima 

langkah dia mengayunkan langkahnya, kembali dia di-

kejutkan oleh bunyi mendesis yang menebarkan bau 

amis. Lalu bermunculan pula berbagai jenis ular berbi-

sa dari berbagai ukuran.

"Sreeet!" Si Jubah Hitam cabut pedang pendek 

yang berwarna putih mengkilat. Lalu begitu ular-ular 

tersebut menyerang ke arahnya, maka tak ampun lagi 

si Jubah Hitam langsung babatkan pedangnya ke arah 

ular-ular tersebut. Maka tak ampun lagi ular-ular pen-

jaga tersebut berkutungan karena terbabat pedang ta-

jam milik si Jubah Hitam.

Darah memercik ke mana-mana, bangkai ular-

ular berbisa itu pun berserakan di atas lantai batu pu-

alam. Tak seekor pun dari ular-ular tersebut yang di-

biarkan hidup. Si Jubah Hitam tetap menggenggam 

senjatanya, hal itu dia lakukan demi menjaga ke-

mungkinan-kemungkinan lain yang mungkin saja 

menghadang di depannya. Namun agaknya apa yang 

dikhawatirkannya itu sudah berakhir, karena pada


langkah-langkah berikutnya dia sudah tidak mendapa-

ti hambatan apapun. Si Jubah Hitam nampak menarik 

napas lega begitu berada di sudut ruangan. Yang me-

rupakan tempat penyimpanan segala jenis kitab-kitab 

berharga milik almarhum Empu Wesi Laya.

Lalu dengan sangat hati-hati dia pun mulai 

membuka sebuah kotak besar yang berwarna merah. 

Mendadak jantungnya terasa berdetak lebih cepat, da-

rah menggemuruh sampai ke ubun-ubun. Lalu dengan 

tangan bergemetaran dia pun mulai membuka kotak 

yang berwarna merah tersebut.

Tak terbayangkan betapa terkejutnya si Jubah 

Hitam, ketika seekor burung berwarna hitam, nampak 

melompat dari dalam kotak tersebut. Anehnya lagi, se-

belum dia sempat berbuat sesuatu, burung tersebut 

telah menyambar sebuah kitab pada tumpukan paling 

atas, burung tersebut langsung mengepakkan sayap-

nya. Hanya dalam sekedipan mata, burung yang tak 

dikenal itu pun telah lenyap dari pandangan si Jubah 

Hitam bersama kitab yang ada dalam cengkeraman 

kakinya.

"Kampret! Kiranya semua ini sudah diatur se-

demikian rupa oleh Empu Wesi Laya...!" Dalam kea-

daan marah-marah seperti itu si Jubah Hitam mulai 

memeriksa buku-buku tersebut satu demi satu. Na-

mun apa yang dia cari-cari sudah tak berada di tem-

patnya.

"Sialan! Burung keparat itu benar-benar telah 

melarikan kunci Kitab Bendil Dieng. Huh, ke mana lagi 

aku harus mencarinya!" batinnya pelan. Kemudian se-

telah mengobrak abrik seisi peti yang berwarna merah 

itu, maka dengan sangat tergesa-gesa dia keluar dari 

ruangan itu, langkahnya terus menuju ke arah lorong 

tempat semula, sementara secara Lamat-lamat dia ba


gai mendengar apa kutuk yang dijatuhkan oleh Empu 

Wesi Laya kepadanya. Tetapi dia tiada perduli, yang 

ada dalam benaknya adalah bagaimana caranya men-

dapatkan kunci pembuka tabir rahasia yang menjadi 

penunjuk pada kitab yang kini sudah berada di tan-

gannya.

* * *

Setelah melakukan perjalanan berhari-hari, ki-

ni sampailah pemuda dan gadis itu di Gunung Bromo. 

Matahari sudah berada di kaki bukit ketika mereka 

sampai di depan rumah panggung milik Dulimang atau 

yang lebih dikenal sebagai Kebo Selaksa Wisa. Kedua 

orang ini sejenak memperhatikan keadaan di sekeli-

lingnya. Suasana hanya sunyi belaka. Sungguhpun 

begitu, Buang Sengketa merasakan ada beberapa pa-

sang mata nampak memperhatikan kehadiran mereka 

sejak awal tadi. Akan tetapi dia maupun Sri Pamuja 

yang menyertainya tak tahu siapa sesungguhnya orang 

yang berada di atas rumah panggung tersebut.

"Mungkinkah orang-orang yang mengintai itu 

Kebo Selaksa Wisa dan orang-orangnya?" tanya si pe-

muda begitu pelannya.

"Kalau keadaannya sunyi seperti ini, biasanya 

orang itu tak ada di rumah. Paling-paling hanya pem-

bantunya saja, yaitu si raksasa tolol, dan juga si laki-

laki pesolek."

"Tetapi menurutmu si laki-laki pesolek itu tidak 

tinggal di tempat ini?" tanya si pemuda tak habis men-

gerti. Wajah Sri Pamuja nampak memerah begitu men-

dapat pertanyaan seperti itu.

"Maksud.... Maksudku.... Laki-laki pesolek itu 

sesungguhnya merupakan gendaknya si Kebo Selaksa


Wisa...!" ucapnya tersipu-sipu. Sementara itu si pemu-

da nampak terperangah kaget, bagaimana mungkin la-

ki-laki kawin dengan laki-laki. Dan diam-diam dia pun 

merasa malu sendiri.

"Benar-benar manusia sesat...!" rutuk si pemu-

da.

"Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanya Sri 

Pamuja, lalu mengerling pada pemuda itu dengan pan-

dangan penuh arti.

"Kalau begitu, coba panggil orang-orang yang 

berada dalam rumah bertonggak itu!" perintah Buang 

Sengketa. Lalu tanpa menunggu diperintah dua kali, 

Sri Pamuja mengerjakan apa yang diperintahkan oleh 

si pemuda.

"Manusia yang menyebut dirinya sebagai Kebo 

Selaksa Wisa, harap keluar untuk menemui kami...!" 

kata Sri Pamuja setengah memerintah. Tiada jawaban, 

namun Buang Sengketa dapat melihat berkelebatnya 

tubuh seorang laki-laki berbadan gemuk luar biasa 

mendekati pintu rumah panggung tersebut.

"Hei, orang yang berada di dalam rumah. Kami 

ingin bertemu dengan saudara Kebo Selaksa Wisa." 

Namun tetap saja seperti tadi, tak seorang pun ada 

yang keluar dari dalam pondok itu. Menunggu berla-

ma-lama akhirnya membuat kedua orang itu sudah 

tak sabaran lagi. Buang Sengketa sudah bermaksud 

memasuki rumah bertonggak itu secara paksa, ketika 

tiba-tiba saja pintu rumah panggung itu menguak. 

Seorang laki-laki berbadan gemuk luar biasa dan seo-

rang lainnya yang berdandan menyerupai perempuan, 

nampak melongokkan kepalanya. Kemudian terdengar 

langkah-langkah kakinya yang berat bergedebukkan di 

atas tanah yang dilalui-nya.

Sesaat Pendekar Hina Kelana nampak meneliti


kehadiran dua orang itu. Seorang yang berbadan ge-

muk luar biasa, di bagian pinggangnya menjuntai pe-

dang panjang bermata ganda. Laki-laki itu tiada men-

genakan baju, jadi hanya bercawat saja. Sedangkan 

rambut-rambut di kepalanya yang jarang-jarang itu 

sudah mulai nampak memutih. Laki-laki berbadan 

raksasa itu sesungguhnya sangat tolol, dia jarang bica-

ra. Namun menurut perintah, dia akan mengerjakan 

apa saja asalkan sebelumnya telah diberi makan seke-

nyang-kenyangnya. Kaum persilatan mengenalnya se-

bagai si Raksasa Tolol Bertenaga Besar. Sedangkan 

seorang laki-laki lainnya adalah merupakan orang 

yang pernah dilihat oleh Buang Sengketa, di pekaran-

gan rumah Aki Kilik Rogo di Gunung Kendeng. Laki-

laki bertampang perempuan itu, nampak lebih galak 

ketimbang si Raksasa Tolol yang memiliki sepasang 

mata tak ubahnya bagai orang yang sedang mengan-

tuk berat. Laki-laki itu kini berpakaian kembang-

kembang. Sedang di punggungnya terdapat selempan-

gan senjata yang berupa kebutan yang terbuat dari 

ekor buaya. Sekilas apabila di lihat laki-laki pesolek itu 

nampak seperti sedang menggendong gergaji yang be-

rukuran sangat besar.

Saat itu kedua orang tersebut nampak mem-

perhatikan kehadiran Buang Sengketa dan Sri Pamuja 

dengan pandangan penuh selidik. Akan tetapi setelah 

merasa tidak pernah mengenal kedua orang ini, maka 

laki-laki pesolek atau yang sering dipanggil Anggih ce-

pat membentak.

***


TUJUH



"Manusia-manusia tak diundang! Datang-

datang berteriak-teriak bagai babi hutan. Ada keper-

luan apakah kalian mencari Kakang Kebo Selaksa Wi-

sa...?" bentak Anggih sambil pelototkan kedua ma-

tanya.

Melihat sikap si laki-laki pesolek yang galak itu, 

maka Buang Sengketa tertawa ganda. Sambil pen-

congkan mulut, maka dia pun berkata:

"Aku cuma numpang tanya, adakah Kebo Se-

laksa Wisa di rumah?"

"Aku tanya apa keperluanmu menanyakan Ka-

kang Kebo Selaksa Wisa?"

Pendekar Hina, Kelana garuk-garuk kepalanya 

yang tidak gatal!

"Kalian tidak punya hak untuk tahu apa yang 

menjadi tujuan kami...!"

"Sinting! Berani sekali engkau membentak-

bentak kami. Engkau pikir aku akan mengatakannya 

pada kalian?" tukas Anggih.

Dan agaknya Sri Pamuja mengetahui bahwa 

Kebo Selaksa Wisa memang tak sedang berada di tem-

pat. Maka dia pun lalu berpura-pura:

"Kalau begitu kita pergi saja dari sini, Kelana!" 

Si Anggih tanpa terduga-duga cepat melompat 

menghadang, begitu melihat si pemuda dan si gadis 

bermaksud meninggalkan tempat itu.

"Eit, tunggu! Enak saja kalian datang dan pergi. 

Kalau kalian tak mau terangkan apa tujuan kalian in-

gin menjumpai Kakang Kebo Selaksa Wisa, maka ka-

lian harus dengan rela meninggalkan sebelah tangan


kalian sebagai kenang-kenangan!" bentak laki-laki pe-

solek itu. Seraya langsung mencabut senjatanya.

"Tangan kami terlalu mahal untuk sebuah kete-

rangan yang tiada harga, apalagi hanya untuk nyawa 

seekor anjing Selaksa Wisa!" kata Buang Sengketa 

acuh.

Sudah barang tentu ucapan si pemuda yang 

membuat si Anggih dan Manusia Raksasa menjadi 

murka. Si laki-laki pesolek yang sudah menghunus 

senjatanya itu segera babatkan pedangnya, dengan 

maksud membelah kepala si pemuda yang bermulut 

lancang.

Akan tetapi begitu si pemuda angkat ta-

ngannya, si Anggih nampak terkejut luar biasa. Pedang 

di tangan tak mampu dia gerakan, dia merasakan ada 

kekuatan besar yang menahan laju pedang yang sudah 

dialiri tenaga dalam itu. Maka sadarlah si laki-laki pe-

solek itu, bahwa pemuda yang berpakaian gembel itu 

sesungguhnya memiliki kepandaian tinggi, bahkan 

mungkin lebih tinggi dari yang dia duga. Dalam pada 

itu si pemuda telah berkata pula;

"Manusia wajah kuntilanak.... He... he... he...! 

Mengapa tak kau teruskan pedangmu untuk memba-

cokku.... Lakukanlah...!" 

Merah padam wajah si Anggih, dan sungguh-

pun Manusia Raksasa berambut jarang itu termasuk 

orang yang memiliki kecerdasan setingkat lebih tinggi 

daripada seekor keledai. Namun dia menyadari bahwa 

kawannya sedang dipermainkan oleh lawan. Dia san-

gat marah sekali, kedua bola matanya yang seperti 

orang tertidur itu pun nampak terbeliak lebar. Gigi-

giginya bergemeletukan.

"Eng... engkau... orang kurang ajar, Bocah! Ka-

wanku engkau permainkan, aku mau balas...!" kertak


nya ketolol-tololan.

Si pemuda hampir tertawa karena menahan ge-

li! 

"Lakukanlah, hendak kulihat engkau mampu 

berbuat apa...?"

"Sialan!" makinya, lalu dengan gerakan yang 

sangat berat si Manusia Raksasa dengan tangan ter-

kepal, kirimkan satu pukulan yang berupa sodokan 

tinju kanannya.

Sungguhpun pukulan yang dilancarkan oleh si 

Manusia Raksasa itu hanya mengan-dalkan tenaga be-

sar belaka. Namun datangnya serangan itu sempat 

menimbulkan suara bersiuran. Si Manusia Raksasa, 

yang secerdik setingkat di atas keledai ini berharap. 

Dengan sekali pukul saja, dada si pemuda akan mele-

sak, atau paling tidak dadanya akan remuk karena tu-

lang-tulangnya berpatahan. Namun di luar dugaan si 

Manusia Raksasa tersebut. Dengan sedikit menggeser 

kakinya dan miringkan badan sedikit. Buang Sengketa 

dapat mengkelit pukulan lawan yang memiliki kekua-

tan ratusan kati tersebut. Praktis, pukulan tersebut 

mencapai sasaran yang kosong. Sebaliknya si pemuda 

masih mampu kirimkan satu sentilan pada bagian 

pangkal lengan si manusia besar itu.

"Arrgggk!"

Manusia berbadan besar itu pun menjerit bagai 

lenguh seekor lembu jantan yang terluka. Orang itu 

nampak terhuyung-huyung, tangan kanannya yang dia 

pergunakan untuk memukul itu pun tiba-tiba terasa 

kaku dan sangat sulit untuk digerakkan. Si Manusia 

Raksasa yang tidak pernah kenal kompromi ini nam-

pak sangat marah sekali. Sungguhpun tangan kanan-

nya sudah dalam keadaan kaku karena tertotok, na-

mun dia kembali melakukan serangan.


Dalam kesempatan itu, si laki-laki pesolek itu 

pun sudah mulai bergebrak untuk melakukan penge-

royokan. Dengan pedangnya yang mengkilat-kilat, dia 

pun melompat dan kirimkan satu tusukan pada bagian 

punggung si pemuda. Tetapi pada saat itu Sri Pamuja 

juga tidak tinggal diam. Lebih cepat lagi dia memapaki 

bokongan yang dilakukan oleh si Anggih.

"Trangg!"

Si laki-laki pesolek nampak terkejut, tiada me-

nyangka kalau si gadis yang tadinya dia anggap lemah, 

kiranya memiliki kepandaian juga. Bahkan tenaga da-

lamnya pun tidak bisa dianggap enteng.

"Monyet cantik muka kuntilanak, aku paling 

benci pada manusia pembokong sepertimu. Marilah ki-

ta main-main sebentar...!" bentak Sri Pamuja sambil 

berdiri bertolak pinggang.

Si laki-laki pesolek nampak sangat geram seka-

li, apalagi tadi serangannya yang mendadak itu sempat 

digagalkan oleh gadis itu. Si Anggih meludah ke tanah 

dengan memandang pada si gadis penuh kebencian.

"Betina sialan! Sesungguhnya aku pun lebih 

benci lagi bertarung dengan seorang betina macammu. 

Aku lebih suka berhadapan dengan bocah tampan itu. 

Tetapi karena kau telah menggagalkan rencanaku, 

maka aku harus menggusur mu ke liang kubur!" 

"Bagus!"

"Haaaiiit.... ciaaat...!" Tanpa menggubris celoteh 

si gadis, si Anggih langsung bergebrak dan kirimkan 

serangan-serangan yang cukup mematikan. Maka da-

lam waktu sekejap saja pertarungan di kaki Gunung 

Bromo itu pun berlangsung sangat seru dan mene-

gangkan. Nampaknya masing-masing lawan memiliki 

jurus-jurus pedang yang sangat ampuh. Terbukti sete-

lah pertarungan berlangsung puluhan jurus, tak se



orang pun di antara mereka yang berhasil mendesak 

lawannya.

Sementara itu, di lain pihak, pertarungan anta-

ra pendekar dari Negeri Bunian dan Manusia Raksasa 

nampak lebih seru lagi. Apalagi ketika berulangkali si 

pemuda selalu gagal memukul roboh orang tersebut, 

bahkan meskipun dia telah mempergunakan pukulan 

"Empat Anasir Kehidupan" yang tiada duanya itu. Ah, 

terbuat dari apakah manusia berotak keledai ini. Batin 

si pemuda mengeluh! Dia kebal terhadap semua puku-

lan yang sangat diandalkannya. Selamanya tak se-

orang pun yang mampu menahan pukulan Empat 

Anasir Kehidupan yang dimilikinya, seandainya tidak 

terpukul mati, tetapi setidak-tidaknya akan terluka da-

lam yang cukup parah. Tetapi kini manusia sebesar 

gajah itu hanya tergoyang-goyang saja menerima pu-

kulan yang dilepaskannya.

Hal ini saja sudah membuat si pemuda terka-

gum-kagum! Sungguhpun begitu dia tak ingin mem-

buang-buang waktu percuma, kalau dengan pukulan 

si raksasa itu tidak bisa kojor. Sekebal-kebalnya ma-

nusia sudah pasti ada titik kelemahannya. Buang 

Sengketa sudah berpikir-pikir untuk mempergunakan 

pusaka Golok Buntungnya untuk mengatasi kesulitan 

yang dia hadapi. Hal ini membuatnya tertegun sesaat 

lamanya, namun kelengahan yang sekejap itu, bagi si 

Manusia Raksasa sangat besar artinya. Lalu dengan 

mengerang bagai seekor singa terluka, dia pun mener-

kam lawannya. Tiada kesempatan bagi si pemuda un-

tuk menghindari terkaman yang begitu cepat datang-

nya.

"Kreeep!"

Tahu-tahu tangan-tangan besar dan sangat ko-

koh itu telah mencekal tubuhnya begitu eratnya. Si


pemuda merasakan lehernya bagai hendak putus, na-

fasnya tersendat-sendat bagai tersumbat. Si pemuda 

nampak menggeliat-geliat dan berusaha melepaskan 

jepitan tangan yang semakin kuat itu. Si Manusia Rak-

sasa mengekeh. Agaknya kali ini si pemuda benar-

benar segera menyongsong ajal, andai Sri Pamuja tidak 

melihat kejadian ini. Sambil terus bertahan memben-

dung serangan-serangan yang dilakukan si laki-laki 

pesolek, Sri Pamuja meraba pinggangnya. Kemudian 

tiga batang pisau beracun telah tergenggam di tangan 

kirinya. Secara cepat dia melemparkan pisau beracun 

tersebut pada bagian punggung lawannya. 

"Wuuut!"

Lemparan yang berisi setengah dari tenaga da-

lam yang dia miliki, membuat pisau-pisau tersebut me-

lesat laksana kilat. Tak ampun, senjata beracun itu 

pun menghajar punggung lawannya.

"Creeep!"

Salah sebuah pisau yang disambitkan si gadis 

tepat mengenai sasarannya. Si Manusia Raksasa walau 

seperti tidak merasakan tertembus pisau-pisau itu, 

namun membuat dia menoleh. Kesempatan yang 

hanya sesaat itu dipergunakan oleh si pemuda untuk 

meronta. Sungguhpun rontaan yang tiba-tiba dilaku-

kan oleh si pemuda. Namun tidak membuat dirinya 

terbebas secara keseluruhan. Bagian lehernya memang 

luput dari jepitan yang mematikan tersebut. Namun 

tangannya yang hampir lolos itu masih dapat dicandak 

kembali oleh si Manusia Raksasa. Jepitan kembali 

mengeras, si manusia berotak keledai yang sudah ter-

luka sedikit itu sangat marah besar.

Sesaat kemudian disentakkannya tubuh Pen-

dekar Hina Kelana ke atas, tetapi tangan masih tetap 

dalam genggamannya. Tubuh si pemuda mencelat lak


sana terbang, baru saja tubuhnya melambung ke uda-

ra, mendadak bagai ditarik setan bumi, tubuh itu pun 

kembali tersentak ke bawah. Begitu hal itu terjadi be-

rulang-ulang. Hingga pemuda itu merasakan persen-

dian tangannya bagai tercabik-cabik. Dalam detik-

detik yang sangat kritis itu, tiba-tiba dia teringat pada 

lengkingan Ilmu Pemenggal Roh. Sungguhpun dia me-

rasa tubuhnya telah menjadi lunglai tiada daya, tetapi 

dia merasa untuk menjerit mungkin dia masih mam-

pu. Maka tak berpikir panjang dia pun keluarkan jeri-

tan yang sangat tinggi membahana. Suara jeritan yang 

berkepanjangan dan bagai hendak meruntuhkan alam 

sekitarnya itu, membuat telinga orang-orang yang be-

rada di sekitar tempat itu bagai tercabik-cabik. Daun-

daun yang menghijau nampak berguguran, sementara 

burung-burung walet yang secara kebetulan beterban-

gan di tempat itu, nampak runtuh ke bumi, menggele-

par-gelepar sekejap lalu berkelojot-an mati. Bukan 

main akibat yang ditimbulkan akibat lengkingan Ilmu 

Pemenggal Roh itu. Apalagi pada saat melakukannya 

Pendekar Hina Kelana dalam keadaan marah besar. 

Mau tak mau demi merasakan sakit yang luar biasa, 

Manusia Raksasa itu terpaksa melemparkan tubuh si 

pemuda. Tubuh yang terasa lemah itu meluncur deras 

untuk kemudian terhenti setelah menabrak batu sebe-

sar kerbau yang terletak tak begitu jauh dari tempat 

itu. Batu tersebut hancur berantakan ketika berbentu-

ran dengan tubuh si pemuda. Pendekar dari Negeri 

Bunian dan merupakan murid tunggal si Bangkotan 

Koreng Seribu ini nampak menggeliat-geliat. Dia mera-

sakan tulang belulangnya bagai remuk. Dada sesak 

dan nyeri, sementara kepalanya berdenyut-denyut ba-

gai hendak pecah.

Cepat-cepat si pemuda menghimpun hawa


murni, dia terbatuk-batuk, lalu dari sela-sela bibirnya 

menggelogok darah kental. Tak terbayangkan bagai-

mana jadinya andai orang biasa yang membentur batu 

tersebut. Sudah barang tentu tubuhnya akan remuk 

dan tewas seketika itu juga.

Beberapa saat kemudian setelah menghimpun 

hawa murni, maka secara perlahan tubuhnya yang 

pucat pasi itu secara perlahan kembali berangsur se-

perti sediakala. Namun baru saja dia bermaksud 

bangkit kembali, si Manusia Raksasa yang hidung dan 

kupingnya telah mengalirkan darah. Sudah membu-

runya dalam jarak yang begitu dekat. Tiada pilihan lain 

bagi pendekar ini terkecuali berguling-guling di atas 

tanah berbatu demi menghindari terinjaknya kaki-kaki 

raksasa tersebut. Si raksasa yang sudah terluka dalam 

akibat lengkingan Ilmu Pemenggal Roh nampak sema-

kin membabi buta begitu serangan-serangan yang di-

lakukannya luput.

Sementara itu satu pikiran yang sangat baik 

muncul di benak si pemuda. Kalau memang benar 

raksasa itu kebal terhadap segala macam senjata, 

mungkin bagian yang satu ini merupakan titik kele-

mahannya. Maka tanpa membuang waktu lagi Buang 

Sengketa menyelinap ke arah bagian selangkangan si 

raksasa. Cepat-cepat tangannya bergerak mencecar 

pada bagian pusaka keramat milik si raksasa. Dicecar-

nya pusaka keramat yang berukuran sangat besar itu 

dengan jurus-jurus si Gila Mengamuk. 

"Jroos! Jroos!" 

Manusia Raksasa tersebut menjerit-jerit bagai 

setan gila, pukulan maupun tendangan-tendangan ka-

kinya yang sangat berbahaya itu menabrak apa saja 

yang terdapat di dekatnya. Darah terus mengucur 

membasahi cawatnya yang besar luar biasa, sementara


si pemuda masih terus bergerak di sela-sela selang-

kangan si manusia gajah itu. Hingga kemudian Buang 

Sengketa pukulkan tangan kirinya ke arah pusaka ke-

ramat yang sudah terluka parah tersebut.

"Auuuuoooowwww.,.!" 

Si Manusia Raksasa menjerit keluarkan suara 

laksana merobek langit biru. Kedua tangannya mene-

kap ke bagian yang sudah sangat rawan itu. Kesempa-

tan itu dipergunakan oleh Buang Sengketa untuk me-

lompat berdiri. Begitu dia telah tegak pada posisinya. 

Tak ayal lagi kini di tangannya telah tergenggam Pusa-

ka Golok Buntung yang sangat menggemparkan itu.

***


DELAPAN



Begitu pusaka itu berada dalam genggaman-

nya. Terasa ada hawa hangat mengalir dan menjalari 

tubuhnya. Sesaat dia merasakan tubuhnya semakin 

membaik, walau tak bisa dibilang telah sembuh betul 

dari luka dalam yang agak parah. Pendekar Hina Kela-

na nampak tersenyum kecut. Sesungging seringai 

maut, membias di bibirnya yang masih meninggalkan 

sisa-sisa darahnya sendiri. Pada saat itu baik lawan-

lawannya maupun Sri Pamuja nampak terkesima begi-

tu melihat senjata di tangan si pemuda yang nampak 

memancarkan sinar terang berwarna merah. Bahkan 

pertarungan antara Sri Pamuja dan si laki-laki pesolek 

nampak terhenti untuk seketika lamanya. Situasi itu 

sudah tidak dihiraukan lagi oleh si pemuda, sepasang 

matanya yang mencorong merah, dan bunyi mendesis 

yang keluar dari mulutnya menandakan bahwa pemuda ini benar-benar berada di puncak kemarahannya. 

Sedetik kemudian setelah keheningan itu, dengan di-

awali dengan jeritan tinggi laksana merobek gendang-

gendang telinga. Tubuh pemuda itu pun berkelebat le-

nyap. Angin bersiuran mengitari tubuh si Manusia 

Raksasa itu. Tetapi hal itu tak berlangsung lama. Ka-

rena begitu Golok Buntung di tangan si pemuda berke-

lebat, maka sedetik kemudian terdengarlah jerit kema-

tian yang membuat bulu kuduk berdiri menahan ngeri.

Kepala manusia gajah tersebut menggelinding 

dengan mata melotot dan lidah menjulur. Sementara 

tubuh yang sudah tiada berkepala itu nampak berpu-

tar-putar. Lalu ambruk dan timbulkan suara bagai po-

hon besar yang ditebang. Sesaat tubuh manusia kebal 

itu berkelojotan untuk kemudian terdiam untuk sela-

ma-lamanya. Si laki-laki pesolek yang sudah menghen-

tikan pertarungan sejak beberapa saat yang lalu nam-

pak sangat terkejut sekali. Nyalinya menciut. Bahkan 

dia tak berani memandang pada si pemuda ketika pen-

dekar ini menatap tajam padanya. Sementara itu Sri 

Pamuja nampak melangkah mundur ketika pendekar 

penegak keadilan ini melangkah mendekati si Anggih 

atau si laki-laki pesolek. Sesaat dengan nada mengan-

cam pemuda ini pun membentak!

"Aku telah banyak membuang waktu untuk me-

layani badut-badut semacam kalian. Kalau engkau tak 

inginkan nasib seperti kawanmu itu, cepat katakan 

padaku di mana Kebo Selaksa Wisa saat ini berada...?" 

Semakin pucat wajah si Anggih demi menden-

gar pertanyaan seperti itu. Lalu dengan suara gemeta-

ran dia pun menjawab

"Engkau tak bisa mengancam, sungguhpun 

kau memenggal kepalaku sekalipun!" Tegas-tegas ke-

mudian si laki-laki pesolek berkata. Gusar bukan main


pendekar ini demi melihat sikap keras kepala si Ang-

gih.

"Bangsat! Aku tak akan memperlakukan mu

seperti itu, agaknya aku perlu membuntungi tangan 

dan kakimu satu persatu. Ha... ha... ha...! Orang-orang 

keras kepala! Pedang di tanganmu itu tiada guna, 

mungkin hanya kebutan ekor naga di punggungmu sa-

ja yang mampu menandingi senjata golokku...!" 

Belum lagi si Anggih hilang rasa keterkejutan-

nya, tahu-tahu Buang Sengketa sudah kirimkan satu 

pukulan dahsyat yang bersumber dari pukulan Empat 

Anasir Kehidupan yang sudah tak asing lagi itu. Detik 

berikutnya nampaklah serangkum sinar ultraviolet 

menderu laksana satu sapuan gelombang angin puting 

beliung yang membawa hawa panas luar biasa. Mele-

satnya pukulan yang dilepas oleh Buang Sengketa, 

timbulkan suara menggaung bagaikan suara ribuan 

lebah yang berusaha pindah dari sarangnya.

Si laki-laki pesolek nampak terkesima, dia me-

nyadari pukulan itu jugalah yang tadi dipergunakan 

oleh si pemuda untuk menggempur si Manusia Raksa-

sa. Sungguhpun dia bukan termasuk seorang tokoh 

sakti namun. Dia pun memiliki kekebalan yang tidak 

jauh dibawah Manusia Raksasa. Walaupun begitu dia 

tetap berusaha menghindari pukulan tersebut.

"Hiaaatt.... haiiiittt...!"

"Blaaam!"

Pukulan yang dilancarkan oleh si pemuda lu-

put, dan menghantam tonggak-tonggak rumah ber-

tonggak yang terbuat dari kayu meranti. Beberapa 

tonggak yang menjadi penyangga nampak hancur ber-

keping-keping dilanda pukulan Empat Anasir Kehidu-

pan. Rumah milik Kebo Selaksa Wisa nampak berkere-

kotan. Kemudian menjadi condong karena keseimban



gannya hilang. Dalam kesempatan itu, Buang Sengketa 

sudah mulai menduga kalau lawan yang kebal terha-

dap segala macam senjata. Hal ini semakin terbukti la-

gi ketika jarak yang jauh, melalui ilmu menyusupkan 

suara Sri Pamuja mengingatkan. 

"Kakang.... Sebaiknya untuk tidak membuang-

buang waktu. Engkau pergunakan saja senjatamu. 

Manusia kuntilanak itu kebal terhadap segala puku-

lan...!"

"Hmm, aku memang telah membuang waktu 

percuma melayani monyet cantik itu...!" Tiba-tiba!

"Awas, Kakang...!"

Peringatan yang hanya sekejap itu, membuat si 

pemuda itu melompat ke samping dan langsung ber-

guling-guling ke tanah. Kiranya Buang Sengketa mem-

pergunakan waktunya yang hanya sekedipan mata tadi 

untuk bercakap-cakap dengan Sri Pamuja. Telah di-

manfaatkan oleh si laki-laki pesolek untuk menyerang 

Buang Sengketa dengan senjata mautnya yang berupa 

sebuah kebutan yang terbuat dari ekor buaya yang 

sangat besar dan panjang. Sungguh pun serangan per-

tamanya luput, namun dengan semangat yang meng-

gebu-gebu dia kirimkan serangan-serangan lebih gen-

car lagi. Dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya 

pemuda ini nampak selalu berhasil menghindari han-

taman kebutan yang bergerigi tak ubahnya bagai ger-

gaji raksasa. Namun di suatu kesempatan si Anggih 

nampak mencecar pihak lawan dengan mem-

pergunakan jurus Pesolek Aneh Memukul Monyet Ku-

disan.

Jurus ini dilihat sepintas lalu sesungguhnya ti-

dak memiliki keistimewaan tertentu. Namun sungguh 

pun jurus itu terasa begitu amat sederhana. Tetapi da-

ri gerakan-gerakannya yang sebat dan mantap, ditam


bah lagi dengan kebutan yang terbuat dari ekor buaya 

itu di tangannya. Hal itu membuat si pemuda jadi ke-

repotan juga.

Beberapa jurus di depan si Anggih nampak ber-

hasil mendesak lawan. Pendekar Hina Kelana jatuh di 

bawah angin. Bahkan sesaat kemudian dia kena dige-

buk oleh lawannya dengan kebutan ekor buaya itu. 

Sungguhpun pukulan itu tidak telak benar, tetapi ekor 

buaya yang menyerupai gergaji itu telah membuat ba-

junya robek besar, sementara kulit punggungnya 

nampak memar dan lecet.

Nampak Pendekar Hina Kelana tak ingin men-

gambil resiko lebih jauh lagi. Apalagi dia sudah mera-

sakan betapa hebatnya kebutan tersebut mendera 

punggungnya tadi. Andai saja tidak jauh-jauh sebe-

lumnya dia telah melindungi dirinya dengan Hawa 

Murni Sejati. Sudah dapat dipastikan tubuhnya akan 

tercabik-cabik termakan kebutan. Tiada pilihan lagi, 

Pendekar Hina Kelana nampak menyurut langkah be-

gitu senjata di tangan si laki-laki pesolek itu hampir 

saja menghantam bagian wajah. Dia mengumpat pan-

jang pendek. Manakala dia meraba pada bagian ping-

gangnya, lalu dia menggerung. Kemudian sekejap sete-

lahnya, tubuh pemuda itu pun telah berkelebat lenyap. 

Hanya desiran-desiran angin saja yang menandakan 

bahwa pendekar ini sedang berusaha menemukan titik 

lemah pihak lawan. Saat itu pengaruh Pusaka Golok 

Buntung yang berada di tangan si pemuda, mulai tera-

sa bagi lawannya. Suasana dingin tiba-tiba menyelimu-

ti daerah sekitar situ. Padahal saat itu matahari bersi-

nar terik. Hal ini membuat si laki-laki pesolek mere-

mang takut. Kemudian dengan satu jeritan keras dia 

pukulkan kebutannya yang tajam bergerigi dan berat. 

"Braaaak!"


Serangan yang hanya bersifat ayal-ayalan ter-

sebut luput dari sasarannya. Mata si Anggih berputar-

putar mencoba mencari posisi lawannya. Namun kare-

na tubuh pihak lawan berkelebat laksana setan. Maka 

terlalu sulit baginya untuk menyerang dengan tepat 

sekali.

"Sialan! Engkau hanya mengelak saja seperti 

setan! Apakah hanya itu kebisaan-mu...?"

"Ho... ho... ho...! Jangan khawatir, Sobat, masih 

banyak lagi. Misalnya seperti ini...!"

Lagi-lagi tubuh si pemuda bergerak cepat. Te-

tapi golok di tangannya malah bergerak lebih cepat la-

gi.

"Creees!"

Si laki-laki pesolek meraung keras begitu Pusa-

ka Golok Buntung terasa begitu dingin menembus ku-

lit lehernya. Anggih menekan pangkal tenggorok yang 

berlubang besar karena dilanda ketajaman senjata la-

wan. Namun darah tak dapat terbendung. Terus me-

nyembur, membasahi kedua tangannya. Meleleh bah-

kan mulai turun sampai ke baju. Hanya dalam sekeja-

pan saja, pakaian si Anggih sudah berlumuran darah. 

Tetapi benar-benar sungguh hebat daya tahan si laki-

laki pesolek ini. Sebab sungguhpun dia sudah dalam 

keadaan sekarat, tetapi masih saja bertahan pada po-

sisinya.

"Kakang! Orang itu takkan pernah mati, tebas-

lah bagian ketiaknya...!" seru Sri Pamuja. Pendekar ini 

sekejap tertegun, tetapi begitu dia ingat peringatan ter-

sebut maka dia pun gerakkan Golok Mautnya pada ba-

gian yang dimaksud.

"Jroook!"

Tebasan golok membuat tangan si laki-laki pe-

solek terkutung. Kutungan tangan tersebut jatuh ke


tanah, bergerak-gerak sebentar lalu diam tiada berku-

tik. Lalu sesaat setelahnya. Nampaklah tubuh si laki-

laki pesolek yang sudah tiada berdarah lagi terhuyung-

huyung, berputar, kemudian terjengkang dengan wa-

jah tersungkur di atas tanah berbatu.

Mengetahui keberhasilan Buang Sengketa, Sri 

Pamuja berlari menghambur ke depan pemuda yang 

sangat dikaguminya itu. Sesaat memandang penuh 

takjub tetapi Buang Sengketa memperhatikan tingkah 

si gadis dengan sikap acuh. Sungguhpun hal itu hanya 

kepura-puraan belaka. Karena hatinya pada saat itu 

juga sedang berdebar keras tiada menentu. Selama 

malang melintang di rimba persilatan. Baru sekali ini 

dia merasakan keanehan seperti itu. Padahal cukup 

banyak gadis-gadis cantik yang pernah dikenalnya. Te-

tapi tak pernah dia merasakan kejadian seperti itu.

"Kakang hebat!" puji Sri Pamuja membubarkan 

lamunan si pemuda.

"Tanpa bantuan dan peringatanmu! Aku bu-

kanlah apa-apa...!" kata Pendekar Hina Kelana sekilas 

lalu memandang pada mayat si Manusia Raksasa dan 

si laki-laki pesolek yang sudah membeku.

"Menurutmu, ke manakah perginya Kebo Se-

laksa Wisa...?" tanya si pemuda setelah teringat akan 

tugasnya.

"Kemungkinan orang itu kini sedang menuju 

Gunung Dieng, Kakang Kelana...!"

Wajah Buang Sengketa mengkerut, tiba-tiba te-

ringat pula olehnya tentang Aki Kilik Rogo yang pernah 

berencana untuk berangkat ke gunung tersebut ber-

sama murid-muridnya. Menurut laki-laki berbadan 

pendek itu, hanya Empu Wesi Laya seoranglah yang 

mampu mengobati penyakit yang diderita oleh murid-

muridnya. Ah.... Mudah-mudahan Aki Kilik Rogo be


lum membawa murid-muridnya ke sana. Batinnya 

berharap-harap cemas.

"Adik Pamuja...!" panggil si pemuda begitu me-

sra. Dan hal yang sesungguhnya saat itu hati pendekar

ini gelisah tak menentu, jantungnya terasa berdetak 

lebih keras. Setiap menatap wajah si gadis, terasa ada 

sesuatu yang mengelus dan membuat darahnya berde-

sir. Atau inikah yang namanya jatuh cinta? Batinnya 

lalu tersipu malu.

"Kakang bertanya apa?" tanya si gadis dengan 

sikap tak jauh beda.

"Emmm.... Masih jauhkah Gunung Dieng dari 

tempat ini?"

"Lumayan jauh, mungkin bisa memakan waktu 

lima hari perjalanan kaki...!" jawab si gadis. Dan sepa-

sang matanya menatap lekat-lekat pada wajah tampan 

yang berdiri persis di depannya itu. Pendekar Hina Ke-

lana mengalihkan perhatiannya. Di langit sebelah Ba-

rat matahari hanya tinggal berupa semburat merah sa-

ja. Suasana di sekitarnya mulai me-rembang petang. 

Tiada terdengar suara makhluk apapun di sana, tiada 

kicauan burung dan nyanyian jangkrik menyambut 

datangnya sang Dewi Malam. Dua orang muda yang 

sedang dilanda cinta itu kemudian pergi meninggalkan 

tempat itu. Kini yang ada hanyalah desau angin dingin, 

dan mayat-mayat yang bergelimpangan itu. Teronggok 

begitu saja, tiada memiliki arti apa-apa.

Kala malam telah menjelang, saat itu Pendekar 

Hina Kelana dan Sri Pamuja telah berlalu jauh me-

ninggalkan lereng Gunung Bromo. Santai saja mereka 

dalam perjalanan menuju Dieng untuk kali ini. Seseka-

li mereka saling lirik-lirik mesra. Sedangkan tangan 

yang bergandengan itu tak pernah terlepas satu sama 

lainnya. Agaknya kedua orang ini benar-benar telah ja


tuh cinta pada pandangan pertama. Malam kian larut, 

hanya kesunyian yang ada di sekitar tempat itu. Sese-

kali terdengar pula suara burung hantu yang terasa 

begitu menyeramkan. Kedua orang ini nampak meng-

hentikan langkahnya. Saling berpandangan.

"Kita tak mungkin meneruskan perjalanan. Su-

dah beberapa hari kita tak pernah istirahat. Bagaima-

na kalau kita bermalam di tempat ini...?" tanya si pe-

muda mengajukan usul.

***


SEMBILAN



"Semua itu terserah pada kakang saja!" jawab 

Sri Pamuja. Akhirnya tanpa banyak kata lagi Pendekar 

Hina Kelana segera mengumpulkan ranting dan rum-

put-rumput kering. Dalam waktu sekejap, alas untuk 

tempat tidur itu telah tersusun sedemikian rupa. Si 

pemuda kini telah duduk di atasnya, begitu pula Sri 

Pamuja. Bulan purnama di langit malam sudah mulai 

tertutup awan putih, sekejap cahayanya menghilang. 

Namun sekejap kemudian sudah tampak lagi. Semen-

tara itu dingin malam terasa menusuk sampai ke tu-

lang belulang, embun-embun di dedaunan mulai me-

netes. Malam terus merangkak kian pasti. Namun saat 

itu Buang Sengketa masih terduduk pada tempatnya 

semula, sementara Sri Pamuja sudah nampak tertidur 

dengan posisi terlentang dan tangan bersidakep ke da-

da.

Lewat cahaya bulan yang kuning keemasan, si 

pemuda untuk sesaat lamanya memandang pada gadis 

jelita yang tertidur di sebelah tempat duduknya. Di


matanya gadis itu nampak sangat cantik sekali, kebai-

kan, tingkah lakunya yang selalu menyenangkan. Cara 

berpikirnya yang luas dan cerdas, semua itu ada pada 

gadis itu. Mendadak ada sesuatu yang menyesak di da-

lam dadanya. Jantungnya berdetak lebih keras. Sela-

ma hidup dia belum pernah mengalami kejadian seper-

ti itu. Rasa-rasanya dia ingin selalu berdekatan dengan 

gadis itu, tidak terpisah walaupun hanya sekejap. Dia 

ingin melindungi dan menyayangi gadis itu sepenuh 

hati, tak rela walau seekor nyamuk pun yang meng-

ganggunya. Tiba-tiba dengan penuh kasih dibelainya 

rambut si gadis yang panjang tergerai sebatas ping-

gang.

Sri Pamuja menggeliat, lalu merintih manja. 

Tangan pemuda itu nampak gemetaran, serta merta 

dia menarik balik tangannya. Selama ini baru kali in-

ilah dia punya perhatian yang berlebihan terhadap 

seorang wanita. Hatinya kian resah, jiwanya semakin 

gelisah. Lagi-lagi dia menarik napas pendek. Namun 

desahan nafasnya kiranya membuat Sri Pamuja terjaga 

dari tidurnya. Gadis itu mengucek-ucek matanya, dan 

sebelum si gadis menatap lekat padanya, dia telah 

membuang pandangan matanya jauh-jauh. Ke arah 

lain!

"Engkau belum tidur, Kakang...!" tanyanya 

dengan pandangan penuh arti. Buang gelengkan kepa-

lanya pelan! Tetapi matanya memandang padanya tia-

da berkedip sedikitpun juga. Perlahan Sri Pamuja 

bangkit dari tidurnya. Lalu tanyanya lirih!

"Apa yang kau pikirkan...?"

Yang ditanya menarik napas pendek, sesaat dia 

diam seribu bahasa.

"Katakanlah, Kakang! Siapa tahu aku dapat 

membantu meringankan beban batinmu!" desaknya


penuh perhatian.

"Derita ku tiada seorang pun yang tahu. Ka-

dang aku berpikir, bahwa sesungguhnya hidup ini 

singkat namun panjang. Kulihat keserakahan dan 

angkara murka di mana-mana. Orang-orang ingin ber-

kuasa di atas penderitaan orang lain...!" ucap si pemu-

da seperti pada dirinya sendiri.

"Apa maksudmu, Kakang.... Aku tak mengerti!" 

kata Sri Pamuja, seraya memegang bahu si pemuda.

"Pamuja! Jauh sudah langkah yang kutempuh, 

semua itu hanya dengan tujuan ingin mencari tahu di 

mana sesungguhnya orang yang telah menyebabkan

ku lahir ke dunia ini. Namun sejauh itu aku masih be-

lum berhasil mendapatkannya, dia pergi terlalu jauh. 

Mengasingkan diri di sebuah tempat yang sangat sulit 

untuk ku jangkau, padahal aku begitu sangat merin-

dukannya...!" Tersendat suara si pemuda, ada kepedi-

han yang terasa menusuk-nusuk relung hatinya yang 

paling dalam. Dan untuk pertama kali di dalam hidup-

nya. Dia menitikkan air mata di depan seorang gadis.

"Apakah orang yang kau maksud itu me-

rupakan ayah atau ibumu?" tanya si gadis ikut priha-

tin.

"Ah, dia bukan ibuku...!"

"Ibumu...?"

Lagi-lagi si pemuda menarik napas panjang-

panjang.

"Ibuku... oh, aku tak pernah melihatnya. Dia 

sudah tiada, dia telah tewas di tangan para peramal 

celaka itu. Dia telah tewas ketika berusaha menyela-

matkan jiwaku, orang-orang itulah yang telah membu-

nuhnya. Aku tak mungkin membalas kasih sayangnya 

yang maha besar itu. Dia telah pergi, dan aku sangat 

menyesalinya...!" ucap si pemuda dengan suara ter


sendat-sendat.

"Kakang, mengapa mereka begitu tega membu-

nuh ibumu, katakanlah Kakang...!" desak si gadis se-

makin iba dan prihatin.

"Semua itu karena akibat ulah para peramal ce-

laka itu. Mereka telah memfitnahku bahwa kelahiran-

ku di atas dunia ini akan menyebabkan malapetaka 

yang sangat besar. Jauh sebelum kelahiranku bahkan 

mereka telah memberi isyarat maut itu. Kalau ibuku 

tidak menghanyutkan aku ke laut, barangkali si Hina 

Kelana tak pernah ada di kolong langit ini, aku adalah 

anak yang dibuang demi sebuah keselamatan. Itulah 

sebabnya ibuku memberi ku nama Buang Sengketa. 

(Untuk lebih jelasnya baca judul Utusan Orang-orang 

Sesat jilid terdahulu).

Kedua orang itu nampak saling terdiam untuk 

beberapa saat lamanya. Namun kesunyian segera ter-

pecah kembali dengan suara si gadis yang penuh den-

gan keingintahuan.

"Lalu, siapakah orang yang kakang cari-cari 

itu...?"

"Dia adalah ayahku yang kini melakukan tapa 

di dalam lautan yang sangat dalam lagi luas...!" jawab 

Buang lirih sekali. Bukan main terkejutnya hati Sri 

Pamuja demi mendengar kata-kata si pemuda. Dia 

menjadi bingung sendiri. Mungkinkah orang yang dia 

kasihi itu memiliki otak yang tidak waras? Mengapa 

bicaranya terlalu melantur? Mungkinkah seorang ma-

nusia melakukan tapa di dalam lautan. Tak seorang-

pun orang yang maha sakti sekali pun mampu berta-

han hidup di dalam air. Mendadak Sri Pamuja menjadi 

ketakutan sendiri, Dan kiranya itu sempat dilihat oleh 

Pendekar Hina Kelana. Maka dengan berhati-hati dia 

pun menjelaskan:


"Mungkin engkau merasa heran, atau bahkan 

telah menganggap bahwa aku telah gila. Tetapi inilah 

kejadian yang sesungguhnya, sebuah kenyataan yang 

tak pernah bisa ku pungkiri. Bahkan engkau mungkin 

tak pernah percaya, bahwa sesungguhnya ayahku ada-

lah seekor ular raksasa. Raja Piton Utara! Seorang raja 

dari Negeri Bunian, suatu negeri yang tak pernah terli-

hat oleh kasat mata. Tetapi alam itu ada seperti halnya 

alam gaib lainnya. Dia sengaja meninggalkan tahta, 

karena demi cintanya terhadap seorang anak manusia 

dan kini dia pergi melakukan tapa, semua itu hanya 

untuk menebus kesalahannya, yang telah mengawini 

seorang manusia di alam nyata. Dia seekor ular... teta-

pi dia tetap ayahku...!" tukas Buang Sengketa merasa 

sangat sedih sekali.

Semakin besar saja simpati si gadis pada pe-

muda itu. Sedikit pun dia tiada menyangka kalau pe-

muda yang sangat menarik hatinya itu adalah anak 

seorang raja ular, tiada juga pernah dia duga, kalau 

pemuda yang memiliki ilmu sangat tinggi itu hidupnya 

penuh penderitaan. Sri Pamuja semakin terkagum-

kagum, bahkan semakin bertambah dalam kasih 

sayangnya!

"Kakang, janganlah engkau bersedih. Kita me-

miliki persamaan nasib, bahkan ayahku telah tiada 

pula. Si Jubah Hitamlah yang telah membunuhnya, 

jangan bersedih, Kakang! Aku sedih mendengarnya, 

aku mencintaimu...!" desah si gadis, dan tanpa sadar 

kata-kata seperti itu pada akhirnya terlepas juga dari 

mulutnya.

Sungguhpun hatinya sedang diliputi kegalauan, 

namun demi mendengar ucapan si gadis, dia nampak 

kaget. Dia tiada menyangka kalau gadis itu juga me-

mendam perasaan yang sama.


"Sungguhkah apa yang kau katakan itu...?" 

tanya Buang Sengketa mencoba mencari-cari jawaban 

dalam wajah yang tertunduk itu. Si gadis tersipu malu, 

namun tetap menganggukkan kepalanya. Dengan lem-

but, jemari tangan si pemuda mencoba menengadah-

kan wajah si gadis. Begitu wajah Sri Pamuja terangkat 

ke atas, lewat cahaya bulan si pemuda dapat melihat 

wajah gadis itu tersipu dan kemerah-merahan. Kini 

wajah kedua orang itu sudah saling berdekatan, napas 

keduanya terdengar dan saling mengusap sesamanya.

Kemudian kedua bibir mereka paling mendekat, 

karena pengalaman itu untuk pertama kalinya maka 

tubuh mereka saling gemetaran. Dengan lembut dan 

segenap perasaan kedua bibir itu saling menyatu. Sri 

Pamuja merengek dan merintih, kedua wajah mereka 

terus berpagut dan menyatu.

Di angkasa lepas cahaya bulan sudah mulai 

kehilangan sinarnya. Tubuh mereka kini bergulung-

gulung di atas ranting dan rumput kering. Rintih man-

ja dari bibir si gadis terdengar pelan, ada sesuatu yang 

mendesak-desak di dalam dadanya. Pori-pori kulitnya 

meremang. Rasanya ada sesuatu yang menuntut dan 

ingin dipenuhi. 

"Kakang...!" rengeknya.

"Hemmm...!"

"Aku mencintaimu, Kakang! Jangan kau ting-

galkan aku...!" desah si gadis di sela-sela rintihannya.

"Tidak akan, dan tidak pernah...!" kata si pe-

muda pasti.

"Lakukanlah sesuatu untukku, Kakang?" ren-

geknya.

Begitu mendengar bisikan seperti itu, si pemu-

da langsung melepaskan pelukannya.

"Ada apa, Kakang?" Sri Pamuja tersentak kaget.


"Aku tak ingin melakukannya. Sang Hyang Widi 

pasti akan mengutuk kita, aku sangat menghormati-

mu, Pamuja, sebagaimana aku menghargai diriku sen-

diri. Aku tak ingin masa depanmu menjadi hitam dan 

dipenuhi dosa...!" ujar Buang Sengketa penuh wibawa. 

Mendengar Ucapan kekasihnya, Pamuja menjadi tersi-

pu malu. Sungguh agung hati pemuda ini! Batin Sri 

Pamuja.

"Maafkan aku, Kakang...!" desahnya, seraya 

kembali rebah di sisi Pendekar Hina Kelana.

"Engkau tak bersalah, Pamuja, tak ada yang 

perlu dimaafkan. Tidurlah, malam sudah sangat larut. 

Aku akan menjaga mu...!" katanya sambil mengecup 

kening Pamuja lembut.

"Tapi mengapa kakang menjagaku! Bukankah 

kakang juga butuh istirahat?"

"Jangan pikirkan aku! Seorang gadis yang baik, 

adalah gadis yang selalu menurut apa yang dikatakan 

oleh orang yang paling dekat dengannya. Selama hal 

itu tidak menyimpang dari keinginan hati nurani...!"

"Malah aku mengkhawatirkan kesehatanmu, 

Kakang! Besok kita sudah harus meneruskan perjala-

nan, pula sudah beberapa hari ini kita memang kurang 

istirahat...!" Sri Pamuja mengingatkan.

"Jadi engkau tak mau menuruti perintahku...?" 

kata si pemuda menegur.

"Selama kakang sendiri tidak mau menuruti ka-

ta-kataku...!" 

Buang Sengketa geleng-gelengkan kepalanya.

"Engkau benar-benar gadis bandel...!"

"Engkau juga pemuda tampan yang nakal...!" 

kilah Sri Pamuja, seraya menggenggam erat tangan 

Pendekar Hina Kelana. Demikianlah, kedua anak ma-

nusia itu terus terlihat perbincangan. Namun kata


kata mesra yang terdengar, tiada kekerasan, apalagi 

saling membentak. Namanya juga pendekar yang lagi 

dimabuk cinta. Siapa sangka dia bisa selembut dewa.

***

SEPULUH



Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, 

akhirnya Aki Kilik Rogo dan murid-muridnya di pagi 

itu telah sampai di perbatasan antara Gunung Dieng 

dan Gunung Perahu. Embun masih menempel di rant-

ing-ranting, tanah lembab yang mereka lalui menebar-

kan aroma kegersangan. Di barisan paling depan nam-

paklah murid-murid Aki Kilik Rogo berjalan dengan 

langkah ayal-ayalan. Sementara laki-laki pendek yang 

menjadi guru mereka, nampak berada di bagian paling 

belakang menunggang seekor kuda putih pula. Se-

dangkan di kanan kiri mereka, mengapit dua tebing 

bukit kapur yang menjulang tinggi. Kalau keadaan hu-

jan. Tebing curam yang terdiri dari tanah kapur terse-

but selalu mengalami longsor, tetapi kalau hujan me-

reda kembali. Maka jalan di sela-sela tebing itu akan 

berubah seperti sediakala. Hal inilah yang merupakan 

salah satu keanehan yang terjadi di daerah Gunung 

Perahu.

Tetapi mengapa Aki Kilik Rogo sampai memba-

wa murid-muridnya ke Gunung Dieng? Seperti telah 

diketahui, murid-murid Aki Kilik Rogo sebagian besar 

telah terkena pengaruh ilmu hitam milik si Jubah Hi-

tam atau yang dikenal sebagai Batari Murti. Manusia 

setengah iblis itu dengan sengaja telah memperguna-

kan Racun Linglung Raga untuk mempergunakan mu


rid-murid Aki Kilik Rogo. Demi tercapainya maksud 

dan keinginannya dalam menghadapi Empu Wesi Laya. 

Seperti telah diketahui pula, si Jubah Hitam telah me-

larikan sebuah Kitab Pusaka Bendil Dieng milik gu-

runya sendiri. Tetapi karena usaha untuk memecah-

kan rahasia kitab tersebut selalu mengalami jalan bun-

tu, maka mau tak mau dia harus memperalat murid-

murid Aki Kilik Rogo yang juga masih merupakan sau-

dara seperguruannya sendiri. Sebab dia sadar bahwa 

sesungguhnya Kunci Kitab Bendil Dieng tentunya ada 

di tangan gurunya. Berhadapan secara langsung de-

ngan ilmu kepandaian yang sama, dia sudah merasa 

pasti tidak bakalan menang. Tetapi dia berharap den-

gan bantuan murid-murid Aki Kilik Rogo yang tak 

mengetahui bahwa murid-muridnya telah berada da-

lam kekuasaannya. Sudah barang tentu, urusan untuk 

merampas kunci kitab rahasia itu akan terbuka lebar. 

Namun seperti diketahui pula kiranya Empu Wesi Laya 

telah meninggal kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Itu 

makanya si Jubah Hitam tidak muncul di tempat itu, 

ketika Aki Kilik Rogo membawa murid-muridnya ke 

Gunung Dieng dengan maksud meminta kesembuhan 

dari gurunya yang terkenal sangat sakti itu.

Sungguhpun begitu, bukan berarti Aki Kilik 

Rogo dan murid-muridnya dapat terlepas dari anca-

man bahaya. Masih ada bahaya lain yang mengintai di-

rinya. Hal itu terbukti dengan adanya dua sosok 

bayangan yang berkelebat di antara gundukan-

gundukan batu besar. Tak lama setelahnya, begitu dua 

orang itu telah sampai di atas tebing yang curam itu. 

Salah seorang di antaranya dengan gerakan yang san-

gat ringan segera menghela beberapa buah batu sebe-

sar kerbau ke arah jalan yang terapit tebing tersebut. 

Terdengar bunyi selaksa gempa, begitu batu-batu ter


sebut menggelinding dan meluncur deras menuruni ja-

lan yang sempit itu. Murid-murid Aki Kilik Rogo begitu 

mendengar suara gaduh langsung saja melongokkan 

kepala mereka ke atas tebing. Begitu pun Aki Kilik Ro-

go. Mereka nampak sangat terkejut sekali.

"Hoi.... Ada batu besar.... Ada gempa.... Cepat 

selamatkan diri...!" teriak mereka sembari mengham-

bur ke segala arah. Dasar murid-murid pesakitan, be-

berapa orang di antaranya malah berlari-lari menyong-

song datangnya batu-batu tersebut. Otomatis empat 

orang di antara murid-murid itu, menemui ajal secara 

mengerikan. Tubuh mereka tertimpa batu yang sangat 

sulit diukur beratnya. Tubuh mereka ringsek, kepala 

mereka remuk, darah dan cairan otak muncrat ke ma-

na-mana. Bukan main murkanya Aki Kilik Rogo me-

nyaksikan semua kejadian ini. Serta merta dia kembali 

mendongakkan kepalanya di atas tebing. Baginya su-

dah sangat jelas bahwa kejadian itu adalah akibat ulah 

seseorang. Maka sesaat kemudian laki-laki pendek di 

atas kuda itu sudah membentak

"Manusia iblis yang berada di atas tebing, cepat 

tunjukkan muka! Atau aku harus menyeret mu dari 

atas situ...?" 

Belum lagi usai Aki Kilik Rogo dengan ucapan-

nya yang begitu indahnya. Kedua orang itu menjejak-

kan kakinya dengan mulus, persis di hadapan Aki Kilik 

Rogo.

Dari cara mereka menjejakkan kaki, dan meli-

hat gerakan mereka yang sangat ringan. Maka sadar-

lah si laki-laki pendek tersebut. Bahwa kedua orang ini 

memiliki ilmu yang sangat tinggi. Sementara murid-

murid Aki Kilik Rogo nampak melongo memandangi 

kehadiran kedua orang itu. Begitu dua orang yang tak 

dikenal itu berada di depan Aki Kilik Rogo, kakek ini


pun kembali membentak dalam kemarahan yang me-

luap-luap:

"Manusia-manusia keparat! Ada maksud apa-

kah sehingga kalian mencari urusan denganku...?"

"He... ho... hi...!" Si laki-laki gemuk yang di ke-

palanya mengenakan topi tanduk kerbau nampak ter-

tawa lebar. Kemudian tukasnya. "Aki Kilik Rogo manu-

sia dungu. Jangan kira aku tak tahu tujuanmu ke Gu-

nung Dieng itu. Ada baiknya kalau kita bekerja sama, 

sebab kukira si Jubah Hitam telah menghadangmu di 

Lereng Dieng...!"

Mendengar ucapan laki-laki gemuk bertopi tan-

duk kerbau itu, Aki Kilik Rogo kerutkan alisnya, dia 

seperti mengenal si gemuk suara kerbau itu. Dia terus 

mengingat dan mengingat, hingga pada akhirnya dia 

pun berseru lantang;

"Hmmm... bukankah engkau ini yang bernama 

Dulimang atau Kebo Selaksa Wisa dari Gunung Bromo 

yang pinter keblinger itu...?" 

Kebo Selaksa Wisa mengekeh dan tepuk-tepuk 

perutnya yang gembul segendut tempayan.

"Hohoho.... Kiranya otakmu tidak sinting seper-

ti mereka, Ki...! Bagus. Hal ini akan memudahkan ka-

mi untuk mengajak bicara denganmu."

"Engkau telah membunuh muridku, masih ju-

gakah engkau hendak mengajakku bicara. Tidak... aku 

tidak akan memberimu maaf...!" tukas Aki Kilik Rogo 

semakin bertambah berang. Begitu pun Kebo Selaksa 

Wisa masih berusaha membujuk.

"Semua itu kesalahan murid-muridmu yang 

sinting itu. Si Jubah Hitamlah yang menyebabkan se-

mua itu, tahukah engkau bahwa sesungguhnya si Ju-

bah Hitam masih merupakan saudara seperguruanmu. 

Dia sangat berbahaya, Aki. Ada baiknya kalau kita sa


ma-sama membunuhnya...!"

"Apa! Batari Murti yang membuat muridku jadi 

tolol semua...?!" menukas Aki Kilik Rogo dengan mata 

melotot bagai hendak melompat ke luar.

"Benar, Ki.... Dan murid-muridmu juga sangat 

berbahaya. Sewaktu-waktu mereka dapat membu-

nuhmu...!" kata Kebo Selaksa Wisa bersungguh-

sungguh.

"Kita lebih baik bergabung sajalah, Ki...!" Laki-

laki berewokan berbaju biru yang dikenal sebagai salah 

seorang dari Sepasang Ular Welang ikut menyela. Se-

perti diketahui Sepasang Ular Welang, salah seorang di 

antara mereka yang bernama Sadaka telah tewas di 

tangan Pendekar Hina Kelana. Tetapi salah seorang 

yang lain sempat menyelamatkan diri dan kini berga-

bung dengan sahabatnya Kebo Selaksa Wisa. Aki Kilik 

Rogo angguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hatinya cu-

riga. Lalu laki-laki pendek yang masih tetap nongkrong 

di atas kudanya itu pun berkata mencibir.

"Kalau Kitab Pusaka Bendil Dieng tidak berada 

di tanganku, apakah kalian masih juga ingin menga-

jakku bergabung...?" sindirnya. Memerah wajah kedua 

orang itu seketika itu juga. Tetapi dasar manusia-

manusia sesat. Keadaan seperti itu hanya berlangsung 

sekejap. Kemudian Kebo Selaksa Wisa sudah menyela 

kembali:

"Cerdik juga otakmu, Ki.... Syukur sekali kalau 

engkau sudah mengetahui tujuan kami...!" menyela si 

Jubah Biru atau Sadaki.

"Puih. Kiranya kalian hanya bangsanya tikus 

pengecut, tidak sekalipun Kitab Bendil Dieng itu bera-

da di tanganku! Mengapa kalian tidak merampasnya 

saja dari tangan wanita laknat itu...?" maki Aki Kilik 

Rogo gusar sekali. Kedua orang itu saling mengekeh


begitu mendengar ucapan Aki Kilik Rogo.

"Engkau jangan berpura-pura, Aki...! Kalaupun 

kitab tersebut memang tak ada di tanganmu, tetapi 

tentu engkau tahu tempat rahasia penyimpanan Kunci 

Kitab Bendil Dieng...!"

"Bangsat! Kiranya engkau juga tak jauh berbe-

da dengan perempuan busuk itu! Sial! Masih untung 

aku tak pernah mengetahui tempat penyimpanan kun-

ci kitab tersebut. Pula seandainya aku mengetahuinya 

yang pasti tak akan kukatakan pada pengecut-

pengecut semacam kalian...!" tukas Aki Kilik Rogo te-

gas-tegas. 

Semakin bertambah memerah wajah Kebo Se-

laksa Wisa demi mendengar ucapan Aki Kilik Rogo. Dia 

sangat murka sekali, lalu timbul pula dalam pikiran-

nya untuk memaksa laki-laki pendek ini.

"Aki busuk! Jadi engkau benar-benar tak ingin 

bekerja sama dengan kami?"

"Tidak!"

"Tidakkah engkau sayangkan nyawa-mu...?" 

menyela Sadaki.

Sampai di sini Aki Kilik Rogo tertawa menge-

keh. Tubuhnya yang pendek dan kecil itu nampak ter-

guncang-guncang di atas punggung kudanya.

"Nyawa... ha... ha...! Masalah nyawa adalah 

urusan Sang Hyang Widi. Sedikit pun kalian tak punya 

hak apa-apa terhadap hidup orang lain...!"

"Kentut busuk! Agaknya engkau lebih tolol dari 

murid-muridmu itu, Aki Kilik Rogo! Sia-sia kau bawa 

muridmu ke Gunung Dieng, penyakit muridmu tak 

akan pernah sembuh dengan cara pengobatan apapun, 

lebih baik engkau hela saja mereka pulang ke nera-

ka.... Haiittttt...!" 

"Weeer!"


Kebo Selaksa Wisa pukulkan tangannya ke 

muka, sesaat itu juga satu rangkaian gelombang sinar 

berwarna hitam pekat, menderu laksana badai topan 

prahara. Sinar tersebut melesat sedemikian cepatnya 

mengarah pada Aki Kilik Rogo yang saat itu masih te-

tap berdiri di atas punggung kudanya. Merasakan ha-

wa pukulannya saja telah membuat Aki Kilik Rogo ter-

sentak kaget. Lalu tanpa buang waktu lagi tubuhnya 

melesat meninggalkan kuda putihnya. Tak ampun lagi 

kuda malang tersebut meringkik keras begitu sinar hi-

tam dan berbau amis mendera tubuhnya. Kuda tung-

gangan milik Aki Kilik Rogo terpental sejauh tiga tom-

bak. Badannya ringsek karena menabrak batu cadas 

yang berada tak jauh dari tempat itu. Kuda yang ber-

warna putih itu pun mati seketika. Aki Kilik Rogo, ma-

rahnya bukan alang kepalang, dalam pada itu dia pun 

langsung memerintah murid-muridnya.

"Hei... kalian semua. Mengapa pada bengong 

seperti itu, cepat kalian keroyok dua ekor bangsat 

itu...!" perintah Aki Kilik Rogo. Sementara dia sendiri 

kini sudah menghunus kerisnya. Akan halnya dengan 

murid-muridnya, nampak tak bereaksi, seolah-olah 

mereka tak mendengar apa yang dikatakan oleh gu-

runya. Begitu-lah kehebatan Racun Linglung Raga 

yang telah meracuni dan telah menyatu dalam diri me-

reka. Rasa kecewa dan kemarahan berbaur menjadi 

satu, sementara Kebo Selaksa Wisa dan Sadaki nam-

pak tergelak-gelak melihat Aki Kilik Rogo yang uring-

uringan.

"Aki... lihatlah betapa tololnya murid-muridmu 

itu. Dua puluh tahun engkau mendidik mereka, tokh 

hasilnya tetap mengecewakan mu...!"

"Bangsat kalian...!" kertak Aki Kilik Rogo, dia 

langsung kirimkan serangan-serangan yang sangat ganas dan mematikan. Senjata itu berkelebat, semakin 

lama semakin cepat. Sungguhpun diserang dalam kea-

daan sedemikian rupa, tetapi nampaknya Sadaki mau-

pun Kebo Selaksa Wisa masih nampak tenang-tenang 

saja. Bahkan Kebo Selaksa Wisa sambil mengelak ma-

sih sempat menyela:

"Aki bego.... Kalau aku yang punya murid se-

perti mereka, lebih baik kubunuhi saja satu persatu. 

Buat apa murid-murid tolol tiada guna, sekarang coba 

perintahkan pada mereka, Ki... Suruh menggorok leher 

masing-masing...!" Kebo Selaksa Wisa atau Dulimang 

mengejek.

"Bangsat, sialan! Penyakit mereka juga dis-

ebabkan ulah manusia-manusia setan macam kalian. 

Hiaaaa...!" 

Dalam makiannya itu, Aki Kilik Rogo juga ki-

rimkan satu tusukan satu babatan, namun sangat ce-

pat sekali tusukan keris berwarna kuning milik Aki Ki-

lik Rogo dapat dikelit oleh Dulimang dengan sangat 

baik sekali. Hal ini hanya menambah kemarahan si aki 

semakin berkobar-kobar. Dalam pada itu Dulimang te-

lah memberi isyarat pada Sadaki sahabatnya. Bahkan 

sekejap kemudian terdengar pula ucapannya:

"Adik Sadaki, engkau bunuhlah murid-murid 

aki ini yang berkepala tuyul itu. Biar aku layani mo-

nyet pendek ini sampai merat ke neraka...!"

Mendapat perintah, dari orang yang sangat di-

hormatinya, Sadaki tanpa membuang-buang waktu la-

gi, segera meluruk ke arah murid-murid Aki Kilik Rogo. 

Yang saat itu nampak sedang memandangi gurunya 

yang sedang bertempur mati-matian. Dasar murid-

murid goblok, maki Sadaki. Lalu setelah jarak antara 

mereka begitu dekat maka Sadaki segera menyerang 

mereka dengan serangan-serangan gencar.


SEBELAS



Pedang di tangan Sadaki bergerak cepat dan 

sebat sekali. Tak pelak lagi dalam waktu sekejap, jerit 

dan pekik kepanikan segera terjadi di antara murid-

murid itu.

"Murid-murid tolol. Daripada menonton perta-

rungan guru kalian, lebih baik kita bertarung sampai 

kalian pada mampus semuanya...!" teriak Sadaki, begi-

tu ucapannya begitu pula pedang di tangannya berke-

lebat.

"Jrooos!"

"Arrrgkhh...!"

Terdengar dua jeritan, dua orang murid Aki Ki-

lik Rogo yang tak pernah bisa menguasai ilmu silat 

yang diajarkan gurunya itu nampak roboh bermandi 

darah. Mereka tewas seketika itu juga. Sungguh ma-

lang sekali nasib mereka. Racun Linglung Raga yang 

telah mengendap dalam tubuh mereka benar-benar 

mereka tak dapat mempergunakan bahkan lupa pada 

ilmu silat yang mereka miliki. Akibatnya dalam waktu 

sekejap saja delapan orang murid Aki Kilik Rogo telah 

terbantai dalam keganasan pedang milik Sadaki.

Mengetahui para murid-muridnya dapat ter-

bantai seperti keledai-keledai dungu. Bukan main 

murkanya hati sang guru. Sebagai pelampiasan keke-

salannya, dia langsung menyerang Dulimang dengan 

pukulan dan jurus-jurus silat yang paling sangat dia 

andalkan. Mau tak mau, kalau tak ingin celaka terma-

kan senjata lawan yang mengandung hawa membunuh 

itu. Dulimang atau Kebo Selaksa Wisa harus berkele-

bat lebih cepat lagi. Dalam kesempatan itu, sambil ki


rimkan serangan-serangan yang sangat gencar dan ga-

nas, Aki Kilik Rogo nampak berteriak-teriak bagai 

orang sinting;

"Murid-muridku, pergunakan senjata kalian! 

Cincang Sepasang Ular Welang yang cuma tinggal satu 

itu, cepat.... Siapa cepat dialah yang bakal selamat...!" 

teriak Aki Kilik Rogo. Dalam kepedihan dan kesedihan. 

Peringatan itu sesungguhnya tidak sembarang peringa-

tan, karena melalui jeritannya Aki Kilik Rogo telah 

mengerahkan ilmu pembangkit semangat. Dan agak-

nya hal itu cukup berpengaruh pada sisa-sisa murid-

nya yang cuma tinggal tidak lebih dari enam orang itu. 

Lalu bagai orang yang baru saja terjaga dari tidur yang 

panjang, secara serentak mereka mencabut senjata 

masing-masing. Dan pada akhirnya mereka menjadi 

sangat beringas bagaikan serigala hutan begitu melihat 

kawan-kawannya pada tewas bermandikan darah. Dari 

posisi mendesak, kini Sadaki malah balik terdesak. Dia 

nampak terperangah dan heran mengapa murid-murid 

linglung Aki Kilik Rogo bisa berubah menjadi galak dan 

liar seperti itu, bahkan permainan pedangnya juga 

sangat ganas dan hebat. Tetapi Sadaki dapat melihat, 

bahwa permainan maupun jurus-jurus pedang yang 

mereka mainkan bukanlah jurus-jurus pedang milik 

Aki Kilik Rogo. Jauh berbeda. Bahkan sangat lain se-

kali. Permainan pedang mereka lebih tepat lagi kalau 

disebut sebagai permainan Ilmu Pedang Iblis. Gerakan-

gerakan yang tiada terduga itulah yang membuat Sa-

daki menamakannya demikian. Sesaat dia dapat ber-

pikir begitu, tetapi beberapa jurus berikutnya dia ha-

rus berjuang mati-matian demi mempertahankan se-

lembar nyawanya yang tak pernah ada dijual di tukang 

loak manapun.

Sementara itu, karena membagi perhatian dan


membagi tenaga dalam demi menyadarkan murid-

muridnya, dengan ilmu pembangkit semangat yang dia 

miliki, maka mau tak mau perhatian dan tenaganya 

menjadi berkurang banyak. Serangan-serangan yang 

dilancarkannya tidak sehebat dan sesebat tadi. Seba-

liknya Kebo Selaksa Wisa merasa berada di atas angin, 

nampak terus mendesak dan mengumbar pukulan 

mautnya yang diberi nama Kebo Gila Durhaka.

Kasihan sekali keadaan Aki Kilik Rogo demi 

menyelamatkan sisa-sisa muridnya yang cuma tinggal 

beberapa gelintir itu, dia pun harus pontang panting 

menghindari pukulan maut yang datangnya bertubi-

tubi. Sambil terus melancarkan pukulan-pukulan ga-

nas dan dahsyat, Kebo Selaksa Wisa terus saja men-

gomel tak karuan.

"Uh, kasihan sekali engkau ini! Jadi guru, tapi 

muridnya pada geblek. Agaknya kau lebih tolol daripa-

da yang diajari...!" gerutu Dulimang, tanpa sedikit pun 

lengah dari pukulan-pukulan maut yang berhawa din-

gin luar biasa itu. Tiada sahutan maupun bantahan 

yang keluar dari mulut Aki Kilik Rogo. Kebo Selaksa 

Wisa kembali nyeletuk!

"Ah, mengapa engkau tak mau membalas, Mo-

nyet pendek. Mana pukulan maut warisan Empu Wesi 

Laya gurumu...? Ternyata engkau orang tolol. Manusia 

dungu tiada guna, mampus sajalah...!" 

"Wuuuus!"

Satu gelombang berwarna hitam pekat kembali 

menderu, dan menebarkan hawa dingin dan bau yang 

sangat menusuk. Celaka-lah bagi Aki Kilik Rogo yang 

sudah banyak kehilangan tenaga dalam karena telah 

ter-bagi-bagi buat muridnya. Lebih dari itu dia kurang 

begitu menyadari akan datangnya sinar maut yang 

bernama Kebo Gila Durhaka tersebut. Dia tengah ber


konsentrasi dalam menggerakkan semangat murid-

muridnya yang saat itu sudah mulai berhasil mende-

sak Sadaki atau yang dikenal dengan Sepasang Ular 

Welang.

Dan manakalah, dia merasakan adanya satu 

sambaran angin dingin yang luar biasa, Aki Kilik Rogo 

nampak tersentak dan terkejut sekali. Tetapi dia sudah 

tak punya waktu lagi buat mengelak. Maka tanpa am-

pun lagi, pukulan Kebo Gila Durhaka melabrak tubuh-

nya!

"Buuum!"

Tubuh Aki Kilik Rogo yang kurus dan pendek 

itu, nampak mental terbawa pukulan maut yang dile-

paskan oleh Kebo Selaksa Wisa. Tubuh Aki Kilik Rogo 

terguling-guling bagai titiran. Seandainya tiada batu 

besar yang menghalangi tubuhnya sudah barang pasti 

tubuh Aki Kilik Rogo sudah tercampak ke dalam ju-

rang yang tak terukur dalamnya.

Aki Kilik Rogo pucat wajahnya tak lama ke-

mudian darah kental berwarna hitam pekat nampak 

menggelogok dari mulutnya. Begitu pun laki-laki ini 

segera bangkit. Tubuhnya meliuk-liuk dan limbung. 

Kaki gemetaran, nyatalah sudah bahwa Aki Kilik Rogo 

terluka dalam cukup serius.

Dalam pada itu terjadi pula keanehan. Murid-

murid Aki Kilik Rogo yang sudah terlepas kontrol kare-

na gurunya terluka. Tiba-tiba saja berubah brutal dan 

liar, Racun Linglung Raga kini sudah mulai bereaksi 

sebagaimana yang diharapkan oleh si Jubah Hitam. 

Namun hanya saja tidak tepat pada tempatnya. Maka 

celakalah Sadaka dibuatnya, karena dia harus tung-

gang langgang menghindari terjangan enam senjata 

maut dari enam sumber kekuatan yang sedang meng-

gila. Sementara itu Kebo Selaksa Wisa demi menge



tahui Aki Kilik Rogo sudah terluka dalam cukup parah. 

Maka dia segera memburu kembali, dan bersiap-siap 

dengan pukulan mautnya.

"Wuuuussss!" 

Kembali pukulan yang dahsyat itu melesat dari 

jemari tangan Kebo Selaksa Wisa. Aki Kilik Rogo nam-

pak berjumpalitan menghindari terjangan pukulan Ke-

bo Gila Durhaka. Namun celakanya ke manapun dia 

pergi dan menghindar. Pukulan itu bagai bermata saja 

layaknya nampak mengejar Aki Kilik Rogo tanpa am-

pun lagi. Namun pada saat yang sangat mengenaskan 

itu, mendadak dari atas tebing melesat pula selarik si-

nar Ultra Violet menyongsong datangnya sinar beracun 

berwarna hitam pekat tersebut. Sinar yang datang dari 

atas tebing itu menderu keras bahkan timbulkan suara 

menggaung bagaikan suara badai puting beliung. Se-

gera saja udara panas menyelimuti suasana sekitar-

nya. Secara perlahan udara dingin yang menggigit se-

bagai akibat pukulan Kebo Gila Durhaka. Semakin la-

ma semakin berkurang sampai akhirnya lenyap sama 

sekali. Saat itu tanpa dapat dicegah lagi, dua pukulan 

sakti itu pun saling bertemu. 

"Buuummm!"

Bumi laksana runtuh, langit bagai tercabik-

cabik, Aki Kilik Rogo nampak terhindar dari kematian. 

Tubuh Kebo Selaksa Wisa terjengkang, sementara ba-

gian punggungnya terasa sakit teramat sangat. Darah 

kental meleleh dari hidung dan bibirnya. Laki-laki ber-

badan gemuk itu berusaha bangkit dan tertatih-tatih. 

Wajahnya yang bundar itu nampak pucat dan pias, 

agaknya dia berusaha menghimpun hawa murninya. 

Lalu setelah menelan sesuatu, maka kulit mukanya 

kembali kemerah-merahan.

Baik Aki Kilik Rogo maupun Kebo Selaksa Wisa


nampak terperanjat sekali begitu ada seseorang yang 

berusaha menyelamatkan Aki Kilik Rogo. Sejenak me-

reka memandang ke arah tebing. Belum lagi mereka 

kembali kepada keadaannya, maka dari atas bukit itu 

nampak melayang dua sosok tubuh seorang laki-laki 

dan seorang wanita. Begitu kedua orang itu telah be-

rada di tengah-tengah mereka. Aki Kilik Rogo nampak 

tersenyum, setengah mengeluh karena memang da-

danya masih terasa sakit. Sebab kiranya orang yang 

baru saja hadir di antara mereka itu tak lain adalah 

Buang Sengketa dan Sri Pamuja, seorang gadis berbaju 

putih yang pernah dikenal oleh Aki Kilik Rogo. Lain lagi 

halnya dengan Kebo Selaksa Wisa, begitu menyadari 

pukulan Kebo Gila Durhaka ada yang menggagalkan-

nya maka dia meskipun sudah terluka menjadi marah 

dan gusar. Dan pada saat itu, Sadaki sudah mulai ter-

luka dihajar senjata murid-murid Aki Kilik Rogo yang 

sudah setengah gila semuanya. Di saat yang sama Ke-

bo Selaksa Wisa membentak:

"Bocah keparat...! Melihat tampangmu agaknya 

engkau ini seorang gembel yang sengaja mencari uru-

san dengan Kebo Selaksa Wisa...!" makinya berang se-

kali.

"Segala macam kebo dungu sepertimu, masih 

pantaskah untuk diberi izin tinggal di kolong langit ini 

lebih lama lagi...?" tukas Pendekar Hina Kelana men-

cemooh.

"Manusia sial! Engkau benar-benar akan me-

nyesal sampai ke liang kubur. Karena telah begitu lan-

cang mencampuri urusanku...!" bentak Dulimang 

sambil kertakkan rahang.

"Urusan gila siapa mau campur! Engkau tak 

perlu berpura-pura, Aki Kilik Rogo itu merupakan sa-

habatku. Karena engkau bermaksud memaksanya


hanya demi kitab terkutuk itu, dan bahkan engkau 

malah hampir membuatnya celaka. Maka hari ini aku 

terpaksa menggusur mu ke liang kubur." ancam Pen-

dekar Hina Kelana begitu tegasnya.

"Keparat...!" maki Dulimang. Dan kini dia su-

dah bersiap-siap dengan pukulan yang lebih ampuh 

lagi, yaitu Kebo Binal Mencari Pasangan. Buang juga 

sudah siap siaga dengan pukulan mautnya si Hina Ke-

lana Merana. Sungguh begitu dia masih sempat mem-

beri isyarat pada Pamuja dan Aki Kilik Rogo untuk 

menyudahi sepak terjang Sadaki, yang dulu sempat lo-

los dari tangannya. 

"Adik Pamuja, cepat mampusin si bangsat Sa-

daki yang dulu terluput itu...!" perintah Pendekar Hina 

Kelana pada Sri Pamuja. Gadis ini tanpa menjawab se-

gera melesat ke tengah-tengah kalangan, begitu pun 

Aki Kilik Rogo yang sudah sangat gusar karena banyak 

murid-muridnya yang terbunuh di tangan Sadaki. 

Tanpa diperintah dia pun sudah masuk ke kalangan 

pertempuran. Semakin menjadi kelabakan Sadaki demi 

menghadapi keroyokan tersebut. Menghadapi keroyo-

kan enam orang murid-murid Aki Kilik Rogo yang su-

dah berubah liar dan ganas saja dia sudah kalang ka-

but tunggang langgang. Apalagi kini ditambah lagi 

dengan kehadiran dua orang ini yang ilmu kepan-

daiannya saja jelas-jelas berada di atasnya. Baginya

untuk bersurut langkah ataupun melarikan diri ra-

sanya sudah sangat terlambat, nasi sudah menjadi 

ampas, tak ada pilihan lagi kecuali menempur kedela-

pan orang itu sampai titik darah yang terakhir. Maka 

bertarunglah dia bagai setan gila. Pedang diputar ke 

segala penjuru. Sekejap tubuhnya berkelebat lenyap 

tergulung perisai pedang yang melindungi sekaligus 

merupakan pertahanan dirinya.


Tetapi betapapun hebatnya permainan pedang 

dan kecepatan gerak yang dia miliki, menghadapi dua 

orang berilmu tinggi ditambah lagi dengan tenaga 

enam orang murid Aki Kilik Rogo yang kini sedang di 

rasuki setan iblis, maka tak dapat dihindari. Dalam 

beberapa jurus di muka dia sudah nampak terdesak 

hebat. Aki Kilik Rogo sabetkan kerisnya, sementara 

pada saat yang sama Sri Pamuja, juga membabatkan 

pedangnya yang sangat tajam. Dari arah belakangnya 

menyerang pula keenam murid Aki Kilik Rogo. Maka 

tak dapat terelakkan lagi.

"Jroook! Croooot! Krook!" 

Sadaki yang malang itu melolong setinggi lan-

git, tubuhnya limbung terbabat senjata di tangan la-

wan-lawannya. Namun murid-murid Aki Kilik Rogo te-

rus membabatkan senjatanya pada tubuh yang sudah 

tercacah-cacah itu (namanya juga murid-murid kurang 

waras). Murid-murid berkepala botak itu terus mencin-

cang-cincang tubuh Sadaki sambil terus tertawa-tawa. 

Bagai mencincang seekor babi saja layaknya. Dan su-

dah barang tentu kejadian ini membuat Sri Pamuja 

menjadi kecut hatinya, lalu segera memberi isyarat pa-

da Aki Kilik Rogo, untuk menghentikan pekerjaan yang 

gila-gilaan

"Murid-muridku berhenti. Orang itu sudah ma-

ti, kalian tak perlu menghukumnya sedemikian ru-

pa...!" perintah Aki Kilik Rogo. Memang benar, murid-

murid sinting itu mematuhi perintah gurunya, tetapi 

sebagai akibatnya keenam murid itu nampak berubah 

memerah matanya. Dipandanginya Aki Kilik Rogo ba-

gai memandangi seorang musuh besar saja layaknya. 

Lalu tanpa terduga-duga keenam murid itu berbalik 

dan langsung menyerang Aki Kilik Rogo dan Sri Pamu-

ja. Aki Kilik Rogo yang sebelumnya tiada pernah me


nyangka kalau murid-murid akan berbuat seperti itu, 

nampak terkejut dan langsung berteriak.

"Murid-murid guoooblok! Mengapa kalian ma-

lah menyerangku? Hentikan, hentikan...!" teriaknya 

sangat marah sekali.

Namun nampaknya murid-murid Aki Kilik Rogo 

yang linglung itu sudah tidak memperdulikan benta-

kan-bentakan guru mereka. Tetap saja murid-murid 

berkepala botak itu menyerang sang guru dan Sri Pa-

muja.

"Murid-murid goblok, tolol...! Setan-setan dari 

manakah yang telah merasuki jiwa kalian...?" maki si 

Kilik Rogo seraya putar-putar kerisnya untuk melin-

dungi diri.

"Aki.... Tiada guna aki berteriak-teriak.... Racun 

Linglung Raga yang mengendap dalam tubuh mereka 

kini telah mulai bekerja. Lebih baik kita bunuh saja 

mereka, Ki...!" tukas Sri Pamuja sambil melindungi diri 

dengan putaran pedang di tangannya.

"Apa aku harus membunuh muridku...?" 

"Kalau tidak mereka akan membunuh kita, 

Ki...!" teriak Sri Pamuja mengingatkan.

"Aku tak sampai hati.... Argkh...!" Belum habis 

ucapannya tahu-tahu Aki Kilik Rogo sudah menjerit. 

Bagian bahunya kena dibacok oleh muridnya sendiri. 

Meskipun tidak begitu dalam, tetapi telah cukup untuk 

menguras banyak darah. Bekas bacokan pedang itu 

membuat robek besar pakaiannya. Aki Kilik Rogo 

menggerendeng dia nampak sangat gusar sekali.

"Murid-murid pada gila, si Jubah Hitam kepa-

rat... muridku juga keparat.... Kubunuh kalian se-

mua..... Cah ayu, mari kita cincang murid-murid tolol 

ini beramai-ramai...!" 

Maka tanpa menunggu perintah dua kali, ke


dua orang ini bagai kesetanan membabat orang-

orangnya sendiri.

Sementara itu pertempuran antara Kebo Selak-

sa Wisa dan Pendekar Hina Kelana sudah mencapai 

puncak-puncaknya. Tubuh Selaksa Wisa atau yang le-

bih dikenal sebagai Dulimang sudah nampak kotor tak 

karuan. Laki-laki gemuk itu benar-benar tak jauh be-

danya dengan seekor kerbau. Bagaimana tidak, setelah 

dia selalu gagal mempergunakan pukulan-pukulan 

mautnya untuk merobohkan pihak lawan tak pernah 

membawa hasil. Laki-laki gemuk dengan kumis dan 

jenggot jarang-jarang itu nampak seperti putus asa. 

Dia sudah keluarkan semua pukulan andalan, tetapi 

selalu saja pihak lawan berhasil mematahkan puku-

lan-pukulan mautnya. Padahal selama hidup dia tak 

pernah mempergunakan senjata apa pun terkecuali 

pukulan maut dan serudukan bagai seekor banteng. 

Pukulan beracun sudah tak banyak berarti bagi la-

wannya, maka kini tinggal serudukan-serudukan 

mautnya. Tetapi itu pun berulang kali dia harus rela 

tersungkur ke tanah karena pihak lawan berhasil 

mengkelit serudukan yang sangat mirip dengan ban-

teng. Sekali waktu serudukan itu juga tepat mengena 

pada sasarannya. Sehingga membuat mules perut 

Buang Sengketa. Tetapi beberapa saat kemudian pe-

muda itu bersurut tujuh langkah, maka dia pun lang-

sung membentak.

***

DUA BELAS


"Kerbau celaka! Bisa mu cuma seruduk

seruduk melulu, serudukan mu hanya membuat pe-

rutku mules. Aku tak ingin mengulur-ulur waktu. Ka-

lau engkau punya senjata yang kau andalkan, cabut-

lah..... Sebelum kau benar-benar akan menyesal...!" 

Kebo Selaksa Wisa melengos, lalu mencemooh.

"Kepalaku cukup bisa menjadi senjata, engkau 

tak perlu jual lagak di depanku...!"

"Bagus.... Akan kupenggal kepalamu itu...!" 

menggerendeng Pendekar Hina Kelana. Kemudian den-

gan diawali satu jeritan tinggi melengking, tubuh 

Buang Sengketa sudah berkelebat lenyap. Namun be-

berapa saat kemudian sudah nampak pula berkelebat-

nya sinar merah menyala. Udara di sekitar tempat itu 

mendadak menjadi dingin luar biasa. Namun hanya 

hal itu pun hanya sekedipan mata saja dapat dirasa-

kan oleh si Dulimang, karena begitu sinar merah itu 

berkelebat, maka tak ayal lagi. 

"Jrooos!"

Sinar merah yang tak lain merupakan Pusaka 

Golok Buntung itu, membabat leher Kebo Selaksa Wi-

sa. Leher yang kekar itu hampir putus, darah me-

nyembur bagai mata air yang tersendat. Luka yang 

menganga dan bahkan hampir membuat putus antara 

kepala dengan badannya itu membuat tubuh Kebo Se-

laksa Wisa terhuyung-huyung, Kepala miring ke kiri 

bagai hendak menggelinding ke tanah. Tak lama sete-

lahnya tubuh di Dulimang itu pun tersungkur tanpa 

dapat bangun-bangun lagi untuk selamanya.

Sementara pada saat itu, terdengar pula jerit 

melolong. Begitu Buang Sengketa menoleh, tampak 

olehnya murid Aki Kilik Rogo termakan kerisnya sendi-

ri. Keadaan kembali sepi. Mereka nampak saling ber-

pandangan. Tetapi kemudian suasana itu dipecahkan 

oleh suara Aki Kilik Rogo yang merasa lega namun


menyesal.

"Muridku sudah pada mati semua, ah sia-sia 

saja dua puluh tahun...!"

"Semua itu bukan salahmu, Aki...!" gumam Sri 

Pamuja. Tiba-tiba Aki Kilik Rogo seperti tersentak. Lalu 

diulang-ulangnya apa yang baru saja diucapkan oleh 

Sri Pamuja.

Seperti orang sinting, bagai orang pikun!

"Bukan salahku.... Bukan salahku.... Hhh.... Ya 

bukan salahku....! Tapi salah siapa, Cah ayu...?"

"Si Jubah Hitamlah yang bersalah, Aki.... Kita 

harus ke sana secepatnya...!" 

Bagai orang yang sedang senewen Aki Kilik Ro-

go tersenyum dan tertawa-tawa. Tetapi kemudian dia 

telah menangis, menggeram!

"Brengsek sialan! Jubah Hitam memang yang 

telah meracuni murid-muridku. Dia harus bertang-

gung jawab.... Harus.... Manusia setengah iblis...!" 

Sambil berteriak-teriak Aki Kilik Rogo berkelebat pergi 

menuju Gunung Dieng. Cepat sekali gerakan laki-laki 

pendek itu, hingga dalam waktu sekejap tubuhnya su-

dah tidak tampak lagi. Baik Buang Sengketa maupun 

Sri Pamuja merasa sangat kasihan sekali melihat kea-

daan Aki Kilik Rogo yang agaknya setengah sinting itu. 

Diam-diam mereka mengkhawatirkan keselamatannya. 

Maka akhirnya tanpa menyia-nyiakan waktu lagi orang 

itu pun bergerak menyusul Aki Kilik Rogo yang sudah 

terlebih dahulu meninggalkan tempat itu.

* * *

Ketika Pendekar Hina Kelana dan Sri Pamuja 

telah sampai di Gunung Dieng tampaklah oleh mereka 

dua orang yang sedang bertarung, pertempuran itu


nampaknya berlangsung dengan sangat tidak seim-

bang. Laki-laki pendek, si Jubah Hitam.

"Hmmm, siapa lagi kalau bukan Aki Kilik Rogo 

dengan Batari Murti, dua orang bekas kakak dan adik 

seperguruan." 

Di lain pihak nampaklah pertarungan tingkat 

tinggi itu berlangsung sedemikian cepat, sehingga debu 

dan pasir berhamburan. Bahkan angin pukulan sakti 

yang mereka lepaskan menderu-deru dan menerbang-

kan debu-debu di sekitarnya hingga sampai membum-

bung tinggi ke atas. Suasana menjadi terang dan gelap. 

Satu kesempatan Aki Kilik Rogo berusaha menusuk-

kan kerisnya pada bagian rusuk lawan. Angin keras 

menderu menyertai sabetan senjata yang sangat berbi-

sa tersebut. Tetapi walau bagaimanapun hebatnya ke-

pandaian yang dimiliki oleh Aki Kilik Rogo. Kepan-

daiannya yang dia miliki tak ada separohnya bila di-

bandingkan kepandaian yang dimiliki oleh Si Jubah 

Hitam bekas murid terkasih. Sekejap kemudian begitu 

tusukan keris itu hampir mencapai rusuknya. Si Ju-

bah Hitam lambaikan ujung jubahnya. Menderu, sege-

lombang sinar kuning keperakan yang sangat dahsyat. 

Buang Sengketa yang berdiri tidak begitu jauh dari 

tempat itu menyadari bahwa maut sedang mengintai 

Aki Kilik Rogo. Pukulan itu bukan saja dapat dirasa-

kan oleh si pemuda sebagai pukulan yang cepat dan 

ganas. Namun juga berhawa keji dan mematikan. Dia 

sangat tidak rela andai Aki Kilik Rogo sampai menemui 

ajalnya di tangan si Jubah Hitam. Maka tak ayal lagi 

dia sudah memutuskan untuk memapaki pukulan ter-

sebut dengan pukulan yang tak kalah hebatnya. Si Hi-

na Kelana Merana, nampak melesak serangkaian sinar 

merah menyala begitu jemari tangan Pendekar Hina 

Kelana terpentang ke atas. Sinar merah membara itu


pun menderu. Laksana sedang terjadi selaksa gempa, 

suara bergemuruh pun terdengar dan berkepanjangan. 

Tatkala sesaat kemudian, begitu sinar maut itu saling 

bertubrukan di udara. Bumi tempat kaki mereka berpi-

jak bagai hendak runtuh, debu mengepul dan mem-

bumbung tinggi. Bahkan kawah di dalam kepundan 

yang berada tidak begitu jauh dari tempat pertarungan 

itu, nampak muncrat ke udara. Buang Sengketa ter-

lempar sepuluh tombak. Tubuhnya nyaris terperosok 

ke dalam kawah Dieng yang sedang menggelegak. Se-

mentara darah segera mengalir dari celah hidung dan 

kupingnya. Dia merasakan dadanya sesak luar biasa. 

Cepat-cepat dia menghimpun hawa murni. Sementara 

si Jubah Hitam yang hanya tergetar saja itu kini nam-

pak tertawa tinggi melengking. Pada saat itu Sri Pamu-

ja demi melihat keadaan Buang Sengketa nampak 

menjerit lalu bermaksud memburu ke arah kekasih-

nya. Namun baru saja beberapa tindak dia berlari-lari. 

Si Jubah Hitam melepaskan satu pukulan mengarah 

gadis itu.

"Wuuut!"

Aki Kilik Rogo yang mengetahui bahaya nam-

pak mengancam si gadis lepaskan satu pukulan selak-

sa perak, Sinar putih itu berkelebat laksana kilat. Ben-

turan pun tak terhindar lagi.

"Blaaam!"

Aki Kilik Rogo tubuhnya terguling-guling, darah 

langsung menggelogok dari bibirnya. Dia merasakan 

sekujur tubuhnya bagai remuk, tiada mampu bangkit. 

Sungguhpun begitu Sri Pamuja dapat selamat dari an-

caman maut. Dan kini dia setelah menolong Buang 

Sengketa, secara bersama-sama segera melakukan pe-

nyerangan. Dengan pedang terhunus Sri Pamuja men-

cecar lawannya dengan jurus-jurus pedang yang diberi


nama Bidadari Menyongsong Rembulan. Gerakannya 

sebat luar biasa, sejauh itu menghadapi keroyokan 

dua orang ini, si Jubah Hitam semakin tergelak-gelak. 

Sambil berkelebat-kelebat menghindari serangan, si 

Jubah Hitam berucap:

"Bagus, agaknya engkaulah kunyuknya yang 

sengaja didatangkan oleh Empu Wesi Laya untuk men-

jatuhkan kutuk padaku! Huh.... Mana bisa, kalian se-

mua harus mati, ya harus mati sebagaimana Empu 

Wesi Laya yang telah menjatuhkan kutuk padaku..... 

Haiiit...!"

"Hiaattt!" Dengan jurus Membendung Gelom-

bang Menimba Samudra, Pendekar Hina Kelana coba 

memapaki serangan yang dilancarkan oleh si Jubah 

Hitam. Namun begitu pukulan itu membentur perta-

hanannya si pemuda, kembali Buang Sengketa terpen-

tal dan kembali pula muntah darah. Keadaan itu su-

dah barang pasti membuat Sri Pamuja menjadi berang.

"Manusia setengah iblis, mampuslah kau...!" te-

riak Sri Pamuja seraya langsung menyerang ke arah si 

Jubah Hitam. Tetapi tiada disangka-sangka.

"Hiaaatt!"

Si Jubah Hitam dorongkan tongkat berkepala 

serigala ke depan. 

"Buukk!" 

"Wuaarrrghk...!"

Tubuh Pamuja yang terpukul tongkat berbisa 

itu pun terlempar berpelantingan, untuk kemudian 

terhempas pada sebuah batu cadas yang berukuran 

sangat besar.

"Pamujaaaaaa...!" jerit Buang Sengketa histeris 

begitu dilihatnya tubuh kekasihnya tidak bangun-

bangun lagi. Tanpa perduli dia memburu. Kemudian 

ditubruknya tubuh gadis yang telah melemah dan tiada berdaya itu. "Pamuja...!" jeritnya pedih. "Jangan 

tinggalkan aku...!" rintih Pendekar Hina Kelana merasa 

terpukul. Pada saat itulah mata yang sudah menutup 

itu membuka sedikit, bibirnya tersenyum pias, tetapi 

gadis itu terus tersenyum. Dia menggapai-gapai lalu 

ucapnya lemah sekali.

"Kakang, maafkan aku.,.. Aku tak bisa mene-

manimu. Hati-hati, Kakang... orang itu sangat berba-

haya sekali. Tetapi aku selalu yakin engkau akan 

mampu mengatasinya. Kakang Kelana, aku cinta pa-

damu...." Suara Pamuja akhirnya melemah, hingga tak 

terdengar sama sekali, kepalanya terkulai dalam pang-

kuan si pemuda. Bukan main hancurnya hati si pe-

muda menerima kenyataan seperti itu. Dia menangis, 

meraung, meratap dan bahkan menjerit bagai harimau 

terluka.

"Pamuja... oh, mengapa engkau harus pergi, ti-

daaaaaak...!" teriaknya histeris.

"Bocah, jangan bersedih, engkau pun akan se-

gera menyusulnya...!" Teguran yang bersifat mengejek 

itu membuat amarah di dalam pemuda itu meluap-

luap. Mendadak dia tegak berdiri, kedua bola matanya 

mencorong merah, sementara kedua bibirnya kelua-

rkan bunyi mendesis bagai seekor ular piton yang se-

dang marah. Lalu dengan gusar dia pun membentak:

"Manusia iblis..... Engkau telah merenggutkan 

satu-satunya yang kumiliki! Aku tak akan mengampu-

nimu...!" teriak Pendekar Hina Kelana. Dalam pada itu 

Aki Kilik Rogo sudah bangkit dari pingsannya. Maka 

dia pun berseru,

"Pendekar.... Ikutilah petunjuk ku...!" kata Aki 

Kilik Rogo. Anehnya seperti sudah mengerti saja Buang 

Sengketa mengiyakannya. Dalam kesempatan itu dia 

sudah berpikir untuk tidak menggunakan Pecut Gelap


Sayuto, namun cukuplah mempergunakan Pusaka Go-

lok Buntung. Tanpa membuang waktu lagi maka dia 

pun berkelebat, dan seiring dengan gerakannya terse-

but, menggaunglah suara selaksa ribuan tawon me-

ningkahi berkiblat-kiblat Pusaka Golok Buntung di 

tangannya.

"Haiiiit!"

Buang Sengketa kiblatkan goloknya, si Jubah 

Hitam yang terkenal sebagai manusia sakti itu entah 

mengapa jadi sering-sering tertegun, atau mungkin dia 

selalu dibayangi kutukan-kutukan yang dijatuhkan 

oleh Empu Wesi Laya kepadanya. Hal itu sangat 

mungkin saja. Gerakannya jadi lamban, dan manakala 

golok di tangan Buang Sengketa hampir mencapai sa-

sarannya, dia gerakan tongkatnya ke atas.

"Crang! Pletak...!"

Terdengar seperti suara sesuatu yang hancur. 

Kenyataannya memang begitu. Tongkat di tangan si 

Jubah Hitam menjadi hancur berkeping-keping dilan-

da Pusaka Golok Buntung milik si pemuda. Tidak 

sampai di situ saja, dia kiblatkan senjatanya.

"Craaas!"

Kepala si Jubah Hitam menggelinding di tanah, 

darah menyembur ke mana-mana. Tetapi tubuhnya 

yang sudah tanpa kepala itu terus berjalan-jalan dan 

melakukan perlawanan. Aki Kilik Rogo berlari-lari 

mendekat kemudian memungut kepala si Jubah Hitam

itu.

"Untuk apa..:?" tanya Pendekar Hina Kelana di 

sela-sela kesibukan dan kengeriannya memandangi 

tubuh tanpa kepala itu yang masih saja melakukan 

perlawanan sengit.

"Kepala ini harus dibuang ke dalam kawah 

yang mendidih itu, supaya dia tidak bisa hidup lagi."


kata Aki Kilik Rogo, seraya cepat-cepat melemparkan 

kepala si Jubah Hitam ke dalam kawah Dieng yang se-

dang menggelegak.

"Dia masih melawan, Aki...!" teriak Buang 

Sengketa sambil menghindari terjangan-terjangan dari 

tubuh yang sudah tanpa kepala itu.

"Babat kepala dan kakinya...!" Aki Kilik Rogo 

memberi perintah. Tanpa buang waktu lagi.

"Cress! Crees! Creees! Creees!"

Berturut-turut golok pusaka itu membabat tan-

gan dan kaki si Jubah Hitam. Berturut-turut pula Aki 

Kilik Rogo melemparkan anggota tubuh itu ke arah 

empat penjuru mata angin. Hingga pada akhirnya ting-

gal badannya saja yang tertinggal di situ. Buang Seng-

keta merasa ngeri sendiri. Dalam pada itu Aki Kilik Ro-

go segera menyambar tubuh yang sudah tanpa kepala, 

kaki dan tangan itu. Tubuhnya melesat pergi sembari 

berkata:

"Demi baktiku pada seorang guru, supaya ma-

nusia setengah iblis ini tidak hidup kembali, maka aku 

akan membuangnya ke laut. Terima kasih, Pende-

kar...!" 

Aki Kilik Rogo kemudian lenyap dari pandangan 

Pendekar Hina Kelana. Dengan hati sedih, dia segera 

menghampiri mayat kekasihnya Sri Pamuja, mayat itu 

sudah dingin dan beku. Buang Sengketa segera me-

manggulnya di bahu kanannya. Dan dia pun sudah 

bersiap-siap meninggalkan tempat itu, ketika dia men-

dengar suara seseorang:

"Pendekar Hina Kelana! Datang dan pergi itu 

sudah biasa, engkau sebagai perantara kutuk ku, telah 

menjalankan tugas dengan baik. Begitu engkau me-

ninggalkan tempat ini, maka Gunung Dieng segera 

berselimut kabut beracun. Pergilah secepatnya!"


Bersamaan dengan itu terdengar pula suara 

menggemuruh. Dari pori-pori tanah bermunculan uap 

putih dan tipis. Sadarlah pemuda ini bahwa mungkin 

uap tersebut yang dimaksud oleh suara tadi. Maka se-

cepatnya dia pun berlalu meninggalkan tempat itu.



                             TAMAT



 

Share:

0 comments:

Posting Komentar