Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama,
tempat dan ide, hanya kebetulan belaka
NERAKA GUNUNG DIENG
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-
tulis dari penerbit
D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Neraka Gunung Dieng
SATU
Sungguhpun telah berulangkali bocah-bocah
itu telah melakukan kesalahan. Namun tiada bosan
dan tanpa henti-hentinya Aki Kilik Rogo mengulang se-
tiap kesalahan yang dibuat oleh murid-muridnya, se-
hingga mereka benar-benar mampu menguasai setiap
pelajaran dasar ilmu silat yang diberikannya. Meski-
pun demikian dari seluruh jumlah muridnya yang tak
kurang dari dua puluh orang itu, hanya beberapa
orang saja yang dapat menguasai dengan benar apa
yang telah diberikan oleh guru mereka. Sedangkan se-
bagian terbesar murid-murid itu, semuanya menguasai
jurus-jurus silat yang kacau. Bahkan sebagian di anta-
ranya permainan silat yang sering mereka pergunakan
dalam latihan, sangat jauh berbeda dengan apa yang
diajarkan oleh Aki Kilik Rogo pada para murid-murid-
nya. Sudah barang tentu, keanehan demi keanehan
yang terjadi hampir setiap hari itu membuat guru dari
Pegunungan Kendeng ini menjadi sangat heran sekali.
Dua puluh tahun dia telah mendirikan Pergu-
ruan Silat Tapak Suci, namun selama itu, murid-murid
hasil didikannya tidak dapat diandalkan untuk mengi-
kuti pertandingan silat apapun. Sering Aki Kilik Rogo
merasa sangat kecewa sekali melihat kenyataan demi
kenyataan ini. Bagaimana tidak. Dua puluh tahun bu-
kanlah satu masa yang singkat, setidak-tidaknya
seandainya dia memungut seorang orok. Sudah barang
tentu orok tersebut kini sudah dewasa, sudah mampu
melakukan sesuatu yang terbaik. Tetapi bagaimana
dengan murid-muridnya, mendapat didikan selama
dua puluh tahun, mereka itu tak jauh bedanya dengan
baru belajar dua bulan, masih sangat tolol dan belum
becus apa-apa. Hanya rambut-rambut di kepala mere-
ka saja yang nampak berguguran hari demi hari, seo-
lah mereka ini tak ubahnya sebagai ahli fikir kelas be-
rat yang sedang mencari kesimpulan tentang kebera-
daan telur dan ayam. Dan yang membuat Aki Kilik Ro-
go menjadi terheran-heran tak karuan adalah kepala
murid-muridnya kini telah menjadi botak secara kese-
luruhannya.
Dia tak tahu karma apa sesungguhnya yang
sedang terjadi, mungkinkah ini suatu kutuk yang telah
dijatuhkan oleh Empu Wesi Laya dari Pegunungan Di-
eng itu? Hal itu rasanya tak mungkin terjadi, sebab
sungguhpun dia pribadi tak berhasil mencari Betari
Murti yaitu kakak seperguruan Aki Kilik Rogo yang te-
lah berhasil mengelabuhi Empu Wesi Laya dengan
membawa lari kitab Bendil Dieng. Namun dia cukup
yakin bahwa Empu Wesi Laya tak mungkin menjatuh-
kan kutuk terhadap dirinya. Dia cukup bijaksana un-
tuk hal-hal seperti itu. Sungguhpun Aki Kilik Rogo da-
pat lega atas kesimpulannya itu, namun sepanjang ha-
ri dia selalu dirundung kesedihan. Dalam hatinya sela-
lu bertanya-tanya, akan bagaimanakah nasib dan ma-
sa depan murid-muridnya itu. Haruskah dia bubarkan
perguruan Tapak Suci, kemudian bergabung kembali
dengan gurunya Empu Wesi Laya di Pegunungan Di-
eng? Tetapi kalau hal itu dia lakukan, sudah barang
tentu hal ini merupakan satu tindakan yang sangat ti-
dak bijaksana. Sebab seperti yang diketahui oleh Aki
Kilik Rogo. Semua murid-muridnya itu merupakan
anak yatim piatu yang dulunya dia pungut dari jalanan
di mana saja dia temui. Yang pasti mereka itu dari
berbagai kalangan. Mungkin juga ada yang berasal da-
ri masyarakat desa biasa, mungkin juga ada yang be-
rasal dari perempuan pengelana, bayi pelacur atau
bahkan lebih dari sekedar itu.
Sementara itu, murid-murid Aki Kilik Rogo
yang sedang berlatih silat dan belajar menghimpun
hawa murni masih tetap nampak patuh dengan kewa-
jibannya. Di atas batu-batu besar mengkilat dan ber-
lumut hijau, mereka saling berloncatan. Bagai tak
kenal lelah, bahkan tanpa rasa putus asa. Sung-
guhpun hari demi hari pelajaran ilmu silat mereka
hanya berkisar dari itu ke itu juga. Dari tahun ke ta-
hun. Sampai Aki Kilik Rogo merasa, apakah dirinya
yang memang tolol ataukah memang murid-muridnya
yang goblok. Demikianlah dua puluh orang murid itu
terus berloncat-loncatan bagai seekor monyet kudisan,
terkadang-kadang tubuh mereka yang gemuk-gemuk
itu terbanting di atas batu nan licin, tak jarang murid-
murid itu saling terjatuh, karena bertabrakan sesa-
manya. Lebih cepat lagi mereka bangkit lalu tertawa
beramai-ramai. Hal seperti itulah yang selalu terjadi
hampir setiap harinya. Pusing kepala Aki Kilik Rogo
memikirkan keanehan tingkah murid-muridnya itu.
Herannya dalam jurus-jurus tertentu yang tidak di-
mengerti oleh Aki Kilik Rogo, mereka itu begitu mahir
memainkannya. Bahkan boleh dibilang teramat lihai.
Ah, jurus-jurus silat setan kesasar dari manakah yang
telah merasuki jiwa para murid-muridnya itu? Ha-
ruskah dia tetap pada pendiriannya untuk mengajari
orang-orang yang dalam pandangannya seperti kurang
sehat akal, ataukah dia sendiri harus minggat dari
Perguruan Tapak Suci? Aki Kilik Rogo merasa serba
salah. Dalam pada itu tiba-tiba Aki Kilik Rogo memberi
tanda pada semua muridnya.
Begitu mengetahui sang guru memanggil mere-
ka. Maka kedua puluh orang murid itu secara serentak
menghampiri gurunya. Mereka menjura tiga kali, ke
mudian memandang pada gurunya dengan sikap tiada
mengerti. Saat itulah Aki Kilik Rogo mengawali uca-
pannya.
"Kalian para muridku!" kata Aki Kilik Rogo ber-
wibawa. "Sudah hampir dua puluh tahun kalian ting-
gal dan kujadikan murid di Pegunungan Kendeng ini.
Selama ini apa yang ku punyai, rasa-rasanya telah aku
berikan pada kalian semua. Dua puluh tahun bukan-
lah sebuah perjalanan yang singkat. Selama ini aku
tak pernah mengikut sertakan kalian dalam pertandin-
gan silat. Karena mengingat kalian memang belum
memenuhi syarat untuk ikut dalam hal-hal seperti itu.
Sungguhpun begitu saat sekarang aku ingin mengeta-
hui seberapa sesungguhnya yang kalian ketahui dari
semua yang kuajarkan. Empat atau enam orang maju
ke depan, cari pasangan masing-masing untuk berta-
rung...!" perintah Aki Kilik Rogo pada murid-muridnya.
Sesudah berkata begitu, enam orang muridnya
serentak maju ke depan. Kemudian masing-masing pa-
sangan saling berhadapan.
"Nah, tunggu apa lagi! Coba kalian tunjukkan
padaku apakah kalian telah benar-benar dapat men-
guasai apa yang telah kuajarkan pada kalian?"
"Baik, Guru...!" Hampir bersamaan mereka
menjawab, kemudian tak lama setelahnya maka mu-
rid-murid Tapak Suci ini pun mulai memperagakan il-
mu silatnya.
Saat itu dua orang di antaranya nampak me-
masang kuda-kuda, dengan kaki agak ditekuk, tangan
kanan menyilang ke depan dada, sedangkan tangan ki-
ri nampak terkepal kemudian didorong ke muka. La-
wan mengimbanginya dengan satu kelitan, tubuh me-
mutar setengah badan, kemudian kaki kiri kirimkan
satu tendangan. Aki Kilik Rogo tahu bahwa mereka itu
mempergunakan Kawah Beracun Penyebar Maut, yang
pernah diwariskan oleh Empu Wesi Laya pada dirinya.
Mulanya, laki-laki kurus berbadan pendek dengan
kumis putih yang hampir menutupi kedua bibirnya,
nampak tersenyum lebar manakala murid-muridnya
itu mempergunakan jurus maut tersebut pada tingkat
kesepuluhnya. Gerakan mereka begitu lincah, ringan
bahkan sekejap saja mereka sudah kelihatan mulai
saling serang dengan sengitnya. Karena kedua orang
itu sama-sama berkepala botak dan sama-sama ber-
pakaian putih pula. Maka dalam gerakan-gerakan silat
mereka yang begitu cepat. Tubuh mereka nampak ber-
kelebat-kelebat sehingga nampak bagai bayang-bayang
saja.
Menyaksikan adu tanding itu, Aki Kilik Rogo
semakin lebar tawanya. Akan tetapi manakala jurus
permainan silat keenam murid itu berobah secara to-
tal. Aki Kilik Rogo nampak tertegun untuk sekejapan.
Alis matanya yang sudah putih mengkerut. Sama seka-
li dia tak mengerti dan tak pernah mengajarkan jurus-
jurus yang saat itu sedang dipermainkan oleh murid-
muridnya. Jurus-jurus itu nampak lebih ganas dan le-
bih berbahaya daripada jurus silat Kawah Beracun Pe-
nyebar Maut.
Pula setelah mempergunakan jurus-jurus ter-
sebut, murid-muridnya nampak berubah menjadi liar
dan brutal. Pusing kepala Aki Kilik Rogo demi menyak-
sikan kejadian itu. Tiba-tiba dia membentak:
"Hei... jurus apa yang kalian pergunakan itu?
Berhenti...!" Aki Kilik Rogo berteriak-teriak memberi
perintah. Namun keenam muridnya bagai tak menden-
gar saja layaknya. Bukan lagi adu latihan yang mereka
lakukan, tetapi lebih pantas kalau disebut sebagai per-
tempuran yang menentukan hidup matinya seseorang.
Sudah barang tentu Aki Kilik Rogo berang bukan main,
apalagi perintahnya sudah tak didengar lagi oleh mu-
rid-muridnya.
"Berhentilah murid-muridku, berhenti...!" perin-
tahnya setengah memohon. Saat itu keempat belas
murid yang lain. Yang tak ikut ambil bagian dalam per-
tempuran hanya memandangi kawan-kawannya yang
sedang bertarung itu sambil tergelak-gelak tak karuan.
Sudah barang tentu Aki Kilik Rogo yang baru saja me-
noleh dan ingin minta bantuan mereka melerai kawan-
kawannya yang sedang bertempur, menjadi lebih terke-
jut lagi. Kejadian ganjil ini benar-benar di luar kebia-
saan perguruan manapun di kolong langit ini. Habis
kesabaran Aki Kilik Rogo melihat kejadian demi keja-
dian yang berlangsung. Sementara di luar sepengeta-
huan kakek pendek, tidak jauh dari tempat itu nam-
pak seorang wanita berjubah hitam, dengan rambut-
nya yang sudah memutih. Sedang duduk bersila! Ke-
dua bibirnya nampak berkemak kemik, seolah-olah se-
dang membacakan mantra. Sedangkan tangannya
yang menggenggam untai tasbih hitam terus menghi-
tung. Seolah ingin memastikan sudah berapa banyak
mantra yang telah dibacanya.
Hong Wiluheng, si Jaheng jadi Koneng. Raja se-
rigala di atas penguasa. Hasutlah hati murid-murid Aki
Kilik Rogo itu, kuasai jiwanya. Kemudian persatukan
dengan roh jahatmu. Hei raja di raja Gunung Dieng,
semburkan keangkaramurkaan dimana-mana....
Demikianlah perempuan berjubah hitam itu te-
rus mengulang-ulang mantranya. Hingga apa yang di
inginkannya nampak mulai terwujud. Murid-murid Aki
Kilik Rogo nampak semakin brutal dan beringas, mata
mereka memerah saga. Layaknya bagai serigala hutan
saja mereka saling terjang sesamanya. Menyaksikan
keadaan itu puas hati si Jubah Hitam. Tak lama ke-
mudian setelah mengemasi semua peralatannya, orang
ini pun melangkah pergi. Dan di luar sepengetahuan si
Jubah Hitam, kiranya ada sepasang mata yang sejak
tadi mengintai apa yang dikerjakan oleh si Jubah Hi-
tam juga ikut menyelinap pergi beberapa saat setelah-
nya.
Kembali pada Aki Kilik Rogo yang masih terlihat
kerepotan melerai murid-muridnya. Sampai pada saat-
saat selanjutnya, kesabaran yang dia miliki habislah
sudah. Dia melirik pada sisa-sisa murid lainnya yang
saat itu tetap saja masih tertawa-tawa melihat tingkah
beberapa orang kawannya.
"Murid-murid tolol. Mengapa kalian malah pada
tertawa-tawa, cepat bantu. Lerai mereka jangan berta-
rung lagi...!"
Tiada sahutan atau gerakan mengikuti perin-
tah, mereka tetap saja tergelak-gelak seperti sediakala.
"Oh, murid-muridku. Setan manakah yang te-
lah merasuki jiwa kalian?" Aki Kilik Rogo itu pun ak-
hirnya mengeluh sambil tepuk-tepuk keningnya yang
sudah keriputan. Dalam keadaan kebingungan seperti
itu, tiba-tiba terdengar jeritan seseorang.
"Heiiiikh!"
Jeritan tinggi melengking itu sesungguhnya
sangat pelan saja. Akan tetapi karena diiringi dengan
tenaga dalam yang kuat maka akibatnya. Murid-murid
Aki Kilik Rogo yang sedang bertarung itu, nampak ter-
getar tubuhnya, kaki menyurut satu tindak. Mereka
benar-benar terkesima dan saling pandang sesamanya.
Heran bercampur haru berbaur menjadi satu, Aki Kilik
Rogo menyadari betapa tololnya dirinya sendiri. Jeritan
suara tadi sudah jelas membebaskan bisikan jahat
yang mempengaruhi jiwa murid-muridnya. Mengapa
dia tak menyelidiki keanehan ini jauh-jauh sebelum-
nya? Mengingat akan kebodohannya, tiba-tiba timbul
rasa terima kasihnya pada orang yang telah membe-
baskan murid-muridnya dari pengaruh Ilmu Sirep Jiwo
yang telah dilancarkan si Jubah Hitam. Kemudian se-
pasang mata tuanya yang jeli itu pun menyapu pan-
dangan pada keadaan di sekeliling tempat tinggalnya,
lalu di antara pohon liar yang tumbuh rapat di sekitar
tempat itu. Dia melihat seseorang nampak sedang ber-
diri di atas ranting pohon bercabang. Kedua tangan
nampak dilipat di depan dada, sementara sebuah golok
yang hanya terlihat gagangnya saja nampak terselip di
pinggangnya. Di bagian pinggang yang membatasi an-
tara jubah merahnya dengan celana yang dikenakan-
nya itu, nampak melilit sebuah cambuk butut yang
sangat menghebohkan itu. Masih berkisar di bagian
pinggang, terlihat pula sebuah periuk besar penuh je-
laga yang tak pernah lekang. Walau ke mana pun dia
pergi. Tentang kehadiran pemuda ini, sudah tak asing
lagi bagi kita. Dialah si Hina Kelana Pendekar Golok
Buntung yang telah membuat heboh di mana-mana.
Aki Kilik Rogo kerjabkan matanya begitu meli-
hat sosok samar yang berdiri di atas cabang pohon
yang hanya sebesar ibu jari tangan itu. Si pendek ku-
rus nampak terkagum-kagum dengan kemampuan
yang dimiliki oleh si pemuda berpakaian gembel itu.
Menurutnya, cabang pohon yang menjadi tumpuan si
pemuda sesungguhnya merupakan ranting yang paling
rapuh di antara sekian banyak pohon yang terdapat di
sekitar tempat itu.
***
DUA
Menurutnya jangankan dibebani dengan berat
badan manusia, sedangkan andai seekor kucingpun
bertengger di atas dahan tersebut. Sudah dapat dipas-
tikan bahwa dahan itu akan berderak patah. Tetapi ki-
ni pemuda yang berada di atasnya, juga tidak bisa di-
anggap tak memiliki bobot. Pendekar Hina Kelana atau
dengan nama aslinya Buang Sengketa. Setidak-
tidaknya memiliki berat badan lebih dari lima puluh
kati. Tetapi dahan yang dipergunakannya sebagai tem-
pat berpijak tidak juga patah. Maka sadarlah Aki Kilik
Rogo, bahwa sesungguhnya pemuda yang tadi baru sa-
ja membebaskan murid-muridnya merupakan orang
yang berkepandaian tinggi. Diam-diam dia ingin tahu
lebih banyak lagi tentang pemuda itu. Setelah menjura
hormat, maka Aki Kilik Rogo berseru.
"Orang muda yang berada di atas pohon. Aku
mohon kesediaanmu untuk datang ke gubukku...!" ka-
ta Aki Kilik Rogo setengah meminta. Dari ketinggian
lebih dari dua puluh meter, tubuh Buang Sengketa
nampak melayang turun. Kaki si pemuda mendarat di
atas tanah persis tiga meter di hadapan Aki Kilik Rogo.
Pemuda itu membungkuk hormat pada Aki Kilik Rogo,
si tua pendek yang sangat krempeng.
"Orang tua, maafkan aku karena telah merusak
suasana di tempatmu ini." kata pemuda ini sambil
mengamati dengan seksama si kakek pendek berkumis
sangat tebal itu.
"Ah, jangan berpura-pura hai orang muda! Dari
nampak ku engkau berkepandaian sangat tinggi. Na-
maku Aki Kilik Rogo, orang yang mendiami kaki Gu-
nung Kendeng ini! Dan engkau siapakah orang muda?"
Buang Sengketa nampak tersenyum begitu di-
tanya tentang dirinya.
"Aku hanya seorang pengelana yang datang dari
sebuah tempat yang jauh di sebelah Barat sana, na-
maku Buang Sengketa...!" jawabnya polos.
"Buang Sengketa? Hemmm. Sebuah nama yang
sangat aneh dan tidak pernah kudengar sebelumnya."
gumam si kakek lalu memilin-milin kumisnya yang
sudah memutih. "Dan engkau hendak ke mana?"
Si pemuda kerjabkan matanya, lalu garuk-
garuk dadanya yang tak gatal.
"Aku mencari ayahku...!" tukasnya merasa ku-
rang enak dengan apa yang ditanyakan oleh Aki Kilik
Rogo.
"Ayahmu? Siapakah ayahmu...?!" tanya laki-
laki tua itu lagi. Hal ini membuat wajah si pemuda
memerah merasa kurang senang disinggung-singgung
tentang tujuannya.
"Maaf kakek Kilik Rogo! Aku tak dapat menga-
takannya padamu!"
"Eee.... baiklah, apa yang engkau ketahui ten-
tang rumah dan sekitar tempat ini Sengketa...?!" Per-
tanyaan yang begitu tiba-tiba dan tiada pernah diduga
oleh si pemuda telah membuatnya jadi kelabakan.
"Apa yang kau maksudkan kek...?!"
"Engkau pasti mengetahui tentang sesuatu
yang tidak kuketahui di tempat ini?!" kata Aki Kilik
Rogo setengah menuduh.
"Aku baru saja sampai di sekitar tempat ting-
galmu ini, Aki.... Bagaimana mungkin aku bisa menga-
takan sesuatu yang tak pernah kuketahui!" ujar Pen-
dekar Hina Kelana mengeluh.
Aki Kilik Rogo mengitarkan pandangannya pada
murid-murid yang berada di sekelilingnya, tak lama
kemudian dia sudah kembali pada pemuda itu.
"Engkau lihatlah orang muda! Muridku pada
botak sedemikian rupa, tanpa sekalipun aku tahu pe-
nyebabnya. Dua puluh tahun mereka itu belajar ilmu
silat dan kanuragan denganku, tidak kau lihatkah me-
reka tak ubahnya bagai murid yang baru dua bulan
belajar padaku. Aku tak pernah mendidiknya dengan
segala macam ilmu silat yang tak pernah ku mengerti,
akan tetapi mereka malah lebih mengetahui apa yang
tak pernah aku ajarkan kepadanya!" ucap Aki Kilik Ro-
go dengan wajah tertunduk sedih. Apa yang dikatakan
oleh kakek pendek itu, kiranya membuat Buang Seng-
keta menjadi tidak sampai hati melihat nasib yang di-
alami oleh murid-murid dari Gunung Kendeng terse-
but. Dia tak dapat membayangkan betapa kecewanya
seorang guru, andai sampai mengalami kejadian yang
sedemikian buruknya. Mengajar murid sama saja ar-
tinya dengan membuat murid yang tak mengerti men-
jadi pintar. Tetapi kalau selama dua puluh tahun se-
perti yang dialami oleh Aki Kilik Rogo bagaimana ja-
dinya.
"Aki Kilik Rogo!" ucap si pemuda setelah sebe-
lumnya menarik napas pendek. "Ketika aku sampai di
sekitar tempat tinggalmu ini, aku melihat beberapa
orang yang tak kukenal berada tidak jauh dari tempat
ini. Kalau tak salah dugaanku mereka semuanya ada
tiga orang. Nampaknya mereka terdiri dari golongan
yang berbeda-beda...!"
"Tunggu...!" memotong Aki Kilik Rogo, sejurus
lamanya laki-laki tua berbadan pendek itu nampak
memandang pada si pemuda tanpa berkedip sedikit
pun.
"Engkau bilang di sekitar tempat tinggalku ini
telah berkeliaran beberapa orang aneh, rasa-rasanya
tak seorang pun pernah masuk ke dalam tempat ting-
galku. Atau mungkin engkau dapat terangkan bagai-
mana ciri-ciri orang yang kau lihat itu...?"
Pemuda berwajah sangat tampan itu mem-
buang pandangannya jauh-jauh, sekelumit dia melihat
berkelebatnya sosok bayangan putih di antara deretan
pohon-pohon yang berada tak jauh di samping kiri me-
reka. Dia bermaksud untuk mengejar bayangan terse-
but. Tetapi niatnya dia tangguhkan.
"Aki Kilik Rogo!" ucapnya memecah kehenin-
gan. "Ketika aku sampai di Gunung Kendeng ini, aku
melihat seseorang berjubah hitam, dia seorang perem-
puan tua. Di tangannya memegang tasbih besar ber-
warna hitam, sedang di tangan yang lainnya tergeng-
gam sebuah tongkat berkepala serigala. Masih di ling-
kungan ini di tempat yang berbeda aku melihat seo-
rang laki-laki pesolek, juga sedang mengawasi tempat
latihan para murid-muridmu!"
"Laki-laki pesolek, ah rasanya tak salah lagi.
Dialah si Waria dari Gunung Pati. Tetapi ada keperluan
apa orang itu sampai berkeliaran di tempat seperti ini.
Tetapi seorang yang berjubah hitam itu aku tak pernah
mengenalnya sama sekali. Coba katakan sekali lagi
yang engkau lihat di luar sepengetahuanku!" pinta Aki
Kilik Rogo penuh perhatian.
"Seorang lainnya adalah seorang laki-laki ge-
muk. Di kepalanya mengenakan topi yang dihiasi den-
gan tanduk kerbau. Orang itu sangat jelek sekali. Ke-
dua bibirnya tidak jauh berbeda dengan bibir monyet,
dia suka menyeringai dan tersenyum-senyum...!" jelas-
nya. Aki Kilik Rogo nampak kerutkan keningnya begitu
mendengar ciri-ciri yang disebutkan oleh Pendekar Hi-
na Kelana. Rasa-rasanya dia lupa-lupa ingat dengan
orang yang memiliki tanda-tanda seperti itu. Tiba-tiba
dia hampir terlonjak-lonjak begitu mengingat siapa
adanya orang yang baru saja disebut-sebut oleh pe-
muda itu.
"Dulimang. Hah tak salah lagi, dialah orang-
nya!" kata Aki Kilik Rogo heran bercampur kaget.
"Engkau mengenalnya, Ki...?"
"Ya.... dia merupakan tokoh sesat dari Lereng
Bromo yang berjuluk Kebo Selaksa Wisa. Tetapi ada
keperluan apakah orang itu sampai kelayapan sejauh
ini?" gumam Aki Kilik Rogo nampak tertegun.
Sampai sejauh itu, tahulah Buang Sengketa ki-
ni. Mengapa murid-murid Aki Kilik Rogo mengalami
kelainan seperti itu. Hanya dua kemungkinan yang
dapat disimpulkan oleh pendekar dari Negeri Bunian
itu. Kesimpulan pertama, boleh jadi sudah sejak awal
murid-murid Aki Kilik Rogo memang sudah terkena
pengaruh kekuatan sihir yang dijalankan oleh si Jubah
Hitam. Sehingga dia dengan sangat leluasa dapat men-
guasai atau bahkan mempergunakan tenaga orang-
orang itu, untuk tujuan dan maksud-maksud yang be-
lum jelas. Sedangkan yang kedua, mungkin saja ada
orang lain yang menaruh dendam pada Aki Kilik Rogo
yang sesungguhnya merupakan seorang tokoh sakti
yang memiliki banyak musuh.
"Aki, tahukah aki bahwa murid-muridmu itu te-
lah berlaku tak wajar...?"
"Maksudmu?" tanya Aki Kilik Rogo benar-benar
tak mengerti.
Buang Sengketa terdiam untuk sesaat lamanya,
kemudian dia meneliti wajah laki-laki pendek itu.
"Aku yakin ada pihak-pihak tertentu yang telah
dengan sengaja mengacaukan, atau bahkan ingin me-
musnahkan segala impian mu itu, Ki... Atau bahkan
ada sesuatu yang kini sedang merasuki jiwa mereka...!"
Aki Kilik Rogo terdiam sesaat, dia coba mengerti
apa yang dikatakan oleh Buang Sengketa. Agaknya apa
yang dikatakan oleh si pemuda bagi Aki Kilik Rogo
adalah merupakan sesuatu yang bersikap wajar, na-
mun masih penuh dengan keragu-raguan.
"Bagaimana engkau bisa mengambil kesimpu-
lan seperti itu, Buang Sengketa?" tanya Aki Kilik Rogo
pada akhirnya.
Yang ditanya menyapu pandang pada murid-
murid di sekitarnya.
"Aku melihat si Jubah Hitam nampak merapal-
kan sesuatu, ketika aki memberi perintah pada murid-
murid aki. Sehingga akhirnya murid-murid aki malah
melakukan gerakan-gerakan silat yang sesungguhnya
tak pernah aki ketahui."
Aki Kilik Rogo angguk-anggukkan kepalanya.
"Benar juga kata-katamu, Sengketa! Tetapi
apakah yang mereka harapkan atas segala yang mere-
ka lakukan? Aku tak memiliki sesuatu yang pantas di-
perebutkan."
"Itulah yang harus kita selidiki, Ki...!"
"Hemm.... Berarti murid-muridku itu jiwanya
sudah teracuni. Tiada guna aku mendidik mereka lagi.
Aku akan meninggalkan mereka dan menyelidiki
orang-orang yang mencurigakan itu!" putusnya bagai
orang yang pupus harapan. Kejut hati Pendekar Hina
Kelana demi mendengar keputusan Aki Kilik Rogo, ba-
ginya hal itu merupakan satu keputusan yang dia pikir
tak pernah terjadi sebelumnya.
"Jangan engkau lakukan itu, Ki. Kasihan mere-
ka, murid-muridmu itu membutuhkan perhatianmu!"
"Ah, percuma saja orang muda. Dua puluh ta-
hun mereka dalam bimbingan ku. Tetapi hasilnya sia-
sia, mereka benar-benar sangat mengecewakanku...."
tukas Aki Kilik Rogo kesal sekali.
"Itu bukan kesalahan mereka, Ki...!"
Sepasang mata Aki Kilik Rogo nampak melebar
begitu mendengar kata-kata Pendekar Hina Kelana.
Dia merasa bahwa si pemuda nampaknya berada di
pihak murid-muridnya.
"Kalau bukan kesalahan mereka, jadi kesala-
hanku?!"
"Tidak juga...!" Buang Sengketa gelengkan ke-
palanya. "Menurutku si Jubah Hitam itulah yang ber-
salah, dialah yang telah menyesatkan murid-muridmu
itu, melalui satu kekuatan yang tak pernah terlihat
dan di luar sepengetahuan kita!"
"Engkau begitu yakin bahwa si Jubah Hitamlah
yang telah membuat murid-muridku menjadi tolol se-
mua?" tukas Aki Kilik Rogo sudah semakin tak sabar
saja nampaknya. Buang Sengketa anggukkan kepa-
lanya. Wajah Aki Kilik Rogo nampak semakin bertam-
bah memerah karena menahan amarah. Dalam hati
dia memaki diri sendiri, mengapa dirinya begitu tolol
dan tiada pernah mengetahui apa yang terjadi dengan
murid-muridnya. Pantas saja semuanya menjadi sia-
sia!
"Kini aku mulai mengerti akan maksud uca-
panmu itu. Lalu apakah yang harus aku lakukan...?"
tanya Aki Kilik Rogo bingung sendiri.
"Engkau tetaplah tinggal di sini, coba lakukan
penyelidikan di sekitar rumah tinggalmu. Biarkan aku
yang akan menyelidiki siapa sesungguhnya yang paling
bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada mu-
rid-muridmu itu!" kata Buang Sengketa memberi kepu-
tusan.
Bukan main gembiranya Aki Kilik Rogo men-
dengar keputusan yang diambil oleh Pendekar Hina
Kelana. Kemudian Aki Kilik Rogo yang berbadan pen-
dek itu tanpa terduga-duga, segera menghambur pada
si pemuda. Lalu bagai seorang bocah kecil dia meme-
luk Buang Sengketa.
"Aku si orang tua tiada guna mengucapkan ba-
nyak terima kasih padamu!" ucapnya dengan mata me-
rembab merah.
"Sudahlah, Ki! Aku belum melakukan apa-apa,
kita lihat saja bagaimana nanti hasilnya!" sela si pe-
muda merasa serba tak enak.
"Hmm. Aku mempercayakan semua ini pada-
mu, semoga apa yang menjadi kecuri-gaanmu semua-
nya benar adanya!"
"Terima kasih, Ki.... Aku pamit dulu...!"
"Pergilah semoga Sang Hyang Widi memberkati
mu...!"
Setelah menjura hormat pada Aki Kilik Rogo,
maka dengan sekali menggenjotkan kakinya tubuhnya
pun lenyap dari pandangan Aki Kilik Rogo. Takjub ber-
campur kagum Aki Kilik Rogo demi melihat betapa he-
batnya Pendekar Hina Kelana dengan ilmu lari cepat-
nya. Diam-diam dia merasa begitu yakin, kalau apa
yang akan dilakukan oleh si pemuda akan mencapai
hasil seperti yang diharapkan.
***
TIGA
Matahari telah condong di ufuk Barat, ketika
Buang Sengketa tiba di pinggiran Hutan Kemusu. Se-
saat dia menghela nafasnya dalam-dalam, namun ke-
mudian dia tertegun begitu melihat sosok bayangan hi-
tam berkelebat di antara sela-sela pohon yang tumbuh
rapat, nun jauh di bawah lereng bukit. Sepasang mata
pendekar ini nampak menyipit begitu matanya yang ta-
jam itu mengenali siapa adanya orang tersebut. Tak
salah lagi itulah dia si Jubah Hitam, yang pernah dia
lihat di Gunung Kendeng tempat kediaman Aki Kilik
Rogo. Mengapa pula manusia bertongkat serigala itu
berada di tempat yang sunyi seperti daerah Kemusu.
Diam-diam, Pendekar Hina Kelana semakin bertambah
curiga dengan kehadiran orang tersebut. Lalu timbul
pula keinginannya untuk menguntit si Jubah Hitam
sampai pada tujuan akhir perjalanannya.
Kemudian dengan mengerahkan ilmu lari ce-
patnya, yaitu Ajian Sapu Angin. Maka sebentar saja
tubuhnya sudah melesat sedemikian cepatnya, bagai
anak panah-yang terlepas dari busurnya. Lalu hanya
dengan sekejapan mata saja, ratusan tombak telah ter-
lampaui. Si pemuda mengurangi kecepatan larinya,
sambil celingak celinguk memperhatikan keadaan di
sekitarnya. Tak terlihat adanya si Jubah Hitam, pa-
dahal menurut taksirannya. Sungguhpun si Jubah Hi-
tam memiliki ilmu lari cepat yang luar biasa. Akan te-
tapi Ajian Sapu Angin bukanlah ilmu lari cepat biasa.
Ilmu ini sangat langka, dan di dalam dunia persilatan
hanya si Bangkotan Koreng Seribu seoranglah yang
memiliki ilmu lari, tersebut yang kini telah diwarisi
oleh muridnya, yaitu Pendekar Hina Kelana. Sialan be-
tul, ke mana minggatnya orang itu! Rutuk si pemuda
merasa kehilangan jejak. Ketika Buang Sengketa ber-
maksud meninggalkan tempat itu, tiba-tiba dia men-
dengar suara beradunya senjata tajam tidak begitu
jauh di sebelah Utara tempat dia berdiri. Ah, siapa la-
gi? Batin si pemuda dalam hati, tiada menyia-nyiakan
kesempatan. Pemuda ini pun langsung mengempos tu-
buhnya. Sehingga nampak begitu ringan, badan yang
kekar itu pun melentik ke udara. Lalu dengan mulus
sepasang kakinya mendarat di atas dahan yang sangat
tinggi. Dari tempat itu dia dapat dengan leluasa men-
gawasi keadaan sekitar seratus tombak di depannya,
terlihatlah dua orang berpakaian biru sedang menge-
royok seorang gadis berbaju putih. Sekilas Buang
Sengketa teringat pada bayangan yang berkelebat di
tempat kediaman Aki Kilik Rogo beberapa hari yang la-
lu. Mungkin gadis inilah orangnya. Diam-diam dia mu-
lai mengerahkan ilmu mendengar jarak jauhnya. Dari
percakapan dan perdebatan yang dia dengar, maka ta-
hulah dia bahwa sesungguhnya dua orang berpakaian
biru bermaksud untuk meringkus si gadis.
Karena gadis itu dalam keadaan terdesak he-
bat, maka Buang Sengketa tidak mau menunggu lagi.
Sekali lagi dia mengenjot tubuhnya, maka lebih cepat
lagi dia melayang bagai terbang di atas pucuk-pucuk
pohon. Dalam sekedipan mata dia sudah hampir sam-
pai di tempat pertempuran. Saat itu, dengan salah seo-
rang yang berpakaian biru nampak berusaha melan-
carkan totokan pada bagian-bagian yang mematikan,
sementara yang lainnya dengan senjata yang berupa
sebuah tongkat biru yang pada bagian pangkalnya ter-
dapat ukiran kepala seekor ular Welang. Nampak den-
gan sebat sekali mencecar lawannya dari arah yang
berlawanan. Tongkat berkepala ular Welang itu berke-
lebat-kelebat menyambar ke segala arah, angin mende-
ru mengeluarkan suara bercuitan. Bau amis menjijik-
kan mulai menebar ke mana-mana. Nampaklah sudah,
bahwa dalam jurus-jurus selanjutnya. Si gadis berpa-
kaian putih sudah tak mampu lagi mengembangkan
jurus-jurus selanjutnya. Si gadis berpakaian putih su-
dah tak mampu lagi mengembangkan jurus-jurus pe-
dangnya. Bahkan sesaat setelah itu, ketika tongkat di
tangan si Jubah Biru hampir saja mematuk dadanya,
si gadis sudah tak punya pilihan lagi untuk menghin-
dari berbenturnya senjata yang sangat berbisa itu. Tak
pelak lagi, dengan nekad dia memapaki terjangan
tongkat yang terus meluncur ke dada itu dengan kiba-
san pedang di tangannya.
"Traaak!"
Bunga api berpijar begitu senjata itu saling be-
radu, tubuh si gadis nampak tergetar dengan tangan
sakit luar biasa bagai kesemutan. Gadis berbaju putih
nampak pucat wajahnya, dan lebih terkejut lagi ketika
menyadari bahwa senjata di tangannya nampak gem-
pal besar di beberapa bagian. Dua laki-laki berbaju bi-
ru itu nampak mengekeh begitu melihat keberhasilan
mereka. Dan si gadis masih belum hilang rasa kejut-
nya, ketika tubuh si Jubah Biru menubruk gadis baju
putih dan langsung menotok urat gerak tubuh si gadis.
Gadis itu mengeluh tanpa mampu menggerakkan tu-
buhnya yang mendadak menjadi kaku.
"Sekarang engkau bisa apakah Sri Pamuja.
Dengan kepandaian setahi kuku, engkau ingin coba-
coba menghalangi rencana Sepasang Ular Welang?
Ha... ha... ha. Jangankan engkau, andai gurumu ma-
sih hidup sekalipun belum tentu dia sanggup mengha-
dapi permainan tongkat kami." berkata salah seorang
si Jubah Biru dengan sesungging senyum menjijikkan.
"Kepalang tanggung Adik Sadaka, telanjangi sa-
ja sekalian, biar aku dapat melihat kebagusan tubuh-
nya yang putih mulus itu!" kata Sadaki dengan pan-
dangan matanya yang blingsatan.
"Hem. Betul juga, sekalian kita kerjai saja..!"
sahut Sadaka, lalu tangan kanannya yang berkuku
panjang-panjang itu pun menjulur bagai kepala ular.
"Breet!"
"Auwwww...!"
Sepasang Ular Welang tertawa mengekeh! Apa-
lagi setelah beberapa saat kemudian mereka melihat
kebagusan tubuh Sri Pamuja. Sadaka yang sudah
nampak blingsatan itu agaknya tidak ingin berhenti
sampai di situ saja, tangannya kembali bergerak. Na-
mun pada saat itulah meluncur satu benda hitam se-
demikian cepatnya, sampai-sampai kedua bersaudara
yang sudah hampir lupa daratan itu pun tak sempat
melihatnya.
"Tuk!"
Sadaka melolong panjang begitu benda yang
berupa batu itu menghajar tangannya. Bersamaan
dengan jeritan Sadaka maka tubuh Buang Sengketa
telah melayang turun dan kini telah berdiri tepat di
hadapannya.
Bukan main terkejutnya kedua orang itu begitu
melihat kehadiran seorang pemuda berpakaian gembel
yang belum pernah mereka lihat pada waktu-waktu
sebelumnya. Begitu pun Sadaki tetap membentak.
"Bocah gembel, berani sekali engkau mencam-
puri urusan Sepasang Ular Welang?" tukas Sadaki
dengan mata melotot. Merah paras Pendekar Hina Ke-
lana begitu mendengar kata-kata yang sangat menya-
kitkan itu. Begitu pun Buang Sengketa tetap me-
nyunggingkan senyum.
"Segala macam ular bulukan! Sudah barang
tentu akan kugebuk andai berani berbuat onar di de-
panku...!" kata Buang Sengketa mencemooh.
"Bangsat, engkau benar-benar tak memandang
muka pada kami...?" tukas Sadaki sambil mengusap-
usap tangannya yang memar biru dan sakit luar biasa.
"Ha... ha... ha...! Bertahun-tahun aku mengem-
bara, selama itu aku paling benci pada setiap kebiada
ban yang terjadi di kolong langit ini!"
"Bah, agaknya engkau benar-benar manusia
yang sudah bosan hidup...?"
"Mengapa harus basa basi, Kakang Sadaki, cin-
cang saja gembel bau ini...!" kata Sadaka nampak su-
dah tidak sabar lagi.
"Sabar dulu, Adik.... Kita tanya dulu namanya.
Siapa tahu setelah dia mati nanti bapak emaknya
mencari-cari kuburnya, akhirnya kita-kita juga yang
bakal kerepotan!"
"Pertanyaan yang tiada guna, hanya akan me-
nambah umurnya sedetik lebih lama lagi...!" Tanpa
menghiraukan ucapan adik-nya, Sadaki membentak:
"Bocah, sebutkanlah namamu. Kami tiada per-
nah membunuh tanpa terlebih dahulu mengetahui
namanya...!" seru laki-laki berewokan berkepala besar
tersebut.
"Puh. Sombong sekali bicaramu, ular berewok,
sepertinya di kolong langit ini hanya kalian berdualah
yang paling hebat! Ha... ha... ha...! Namaku Buang
Sengketa. Manusia yang terbuang dan ketika masa ke-
cilnya diramalkan oleh para peramal gila sebagai biang
malapetaka di kemudian hari (Untuk lebih jelasnya ba-
ca Utusan Orang-orang Sesat). Tetapi dunia persilatan
lebih mengenalku sebagai si Hina Kelana...!" jelas si
pemuda tanpa maksud membanggakan diri. Tak dapat
dibayangkan betapa terkejutnya, Sepasang Ular We-
lang ini. Sedikit pun mereka tiada pernah menyangka
bahwa pendekar yang akhir-akhir ini menggemparkan
dunia persilatan sesungguhnya hanyalah seorang pe-
muda gembel berperiuk di pinggangnya, muka tampan
namun nampak kotor bagai setahun tak pernah man-
di. Si gadis berbaju putih itu pun tak kalah terkejut-
nya, dia tiada menyangka bahwa pemuda yang telah
menyelamatkan kehormatannya itu, tak lain Pendekar
Golok Buntung yang kehadirannya membuat gempar
di mana-mana. Tetapi diam-diam dia merasa bersyu-
kur, sebab walau bagaimanapun juga dia punya ke-
sempatan untuk melihat bagaimana sepak terjang
pendekar yang sangat tampan itu nantinya.
Kembali pada Sepasang Ular Welang yang
nampak sekali berusaha menutup-nutupi rasa gentar
yang mulai menyelimuti hati mereka. Salah seorang
yang bernama Sadaka menghardik:
"Akh, kiranya pendekar yang sangat kesohor itu
tak lebih hanyalah seorang gelandangan yang patut di-
kasihani!"
"Aku jadi ingin melihat sendiri bagaimana he-
batnya! Pusaka Golok Buntung yang membuat heboh
itu...!" timpal Sadaki mencemooh. Geram bercampur
marah pendekar ini dibuatnya.
"Hemm!" Pendekar Hina Kelana menggeram,
otot-otot tubuhnya mulai nampak menegang dan ber-
sembulan. "Orang-orang malang! Seandainya golok
maut milikku itu sampai keluar dari sarangnya. Aku
khawatir kalian tak pernah sempat melihatnya!" tu-
kasnya dengan gigi bergemeletukkan menahan ama-
rah.
"Ah, mulutmu keliwat takabur, pendekar gem-
bel...!" makinya.
"Hueesss!"
Sadaki memukulkan tongkatnya yang berkepa-
la ular Welang itu. Sontak berhamburlah jarum-jarum
beracun dari kepala ular tersebut. Manakala Sadaki
menekan salah satu alat yang berada dalam gengga-
mannya. Karena Buang Sengketa menyadari betapa
berbahayanya senjata rahasia yang terlontar dari mu-
lut kepala ular tersebut, maka dia tak mau ambil resi
ko. Dengan sedikit menggeser tubuhnya dan menge-
rahkan tenaga dalam melalui tangan kanannya, sesaat
kemudian tangan itu pun melambai. Sedikit pun Sa-
daki tiada mengira bahwa lambaian tangan kanan si
pemuda timbulkan gelombang angin yang membadai.
Pukulan tangan kanan tersebut langsung memapaki
datangnya senjata rahasia yang begitu cepat.
"Weeerrr!"
Jarum-jarum beracun tersebut berpentalan ke
segala arah, lalu runtuh berkeping-keping. Baik Sada-
ka maupun Sadaki nampak sangat terkejut sekali, se-
lama malang melintang dalam dunia persilatan baru
kali inilah ada orang yang mampu luput dari serangan
senjata rahasia yang mereka miliki, hal ini saja telah
membuka mata mereka, betapa pemuda berkuncir ter-
sebut memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Namun dasar orang tak tahu diri, mengetahui
serangannya luput, mereka bukannya mau mengalah.
Sebaliknya secara serentak kedua orang ini segera me-
lakukan serangan-serangan secara gencar. Buang
Sengketa yang sedikit banyaknya telah melihat bagai-
mana permainan silat kedua lawan ketika bertarung
melawan Sri Pamuja. Maka tanpa memberi kesempa-
tan lagi nampak cepat-cepat putar langkah. Kemudian
dengan mempergunakan jurus Membendung Gelom-
bang Menimba Samudra, sesaat berikutnya telah me-
mutar tangannya membentuk perisai pelindung untuk
mematahkan serangan-serangan tongkat berkepala
ular Welang yang sangat berbahaya itu. Dalam waktu
sekejap saja pertarungan nampak seru, dan telah ber-
langsung belasan jurus. Satu ketika, Sadaka dan Sa-
daki nampak menyurut dua tindak, satu tangan me-
nyilang ke depan dada, sedangkan tangan yang meme-
gang tongkat tampak terjulur ke depan. Dalam pada
itu, mulut keduanya telah berkomat kamit. Hingga se-
kejap kemudian asap tipis berwarna kebiru-biruan
nampak mulai menebar dari kepala tongkat yang ber-
bentuk kepala ular Welang tersebut. Tubuh keduanya
sudah bermandikan peluh, tanda bahwa Sepasang
Ular Welang sedang bersiap-siap mengeluarkan puku-
lan maut yang diberi nama Ular Welang Mencatok Ko-
dok. Orang-orang persilatan yang pernah mengetahui
betapa hebat pukulan beracun tersebut tak berani
membayangkan bagaimana akibatnya seandainya
sampai pukulan bersarang di tubuh seseorang. Belum
pernah seorang pun yang bisa luput dari pukulan
maut yang mengandung racun yang sangat ganas ter-
sebut.
Sedangkan Buang Sengketa sendiri begitu
mengendus ban amis yang tak sedap itu hanya men-
gekeh saja, sebab seperti diketahui bahwa pendekar ini
sesungguhnya sangat kebal dengan segala macam ra-
cun. Namun karena demi mengimbangi pukulan tena-
ga sakti yang tentu saja dapat membuat tubuhnya
menjadi berantakan, maka dia pun tak ingin ayal-
ayalan. Sesaat setelahnya Sepasang Ular Welang den-
gan diiringi satu jeritan melengking, cepat-cepat pu-
kulkan tongkatnya ke depan. Maka secara bersamaan
dua larik sinar berwarna biru langsung melesat mela-
lui mulut tongkat kepala ular tersebut. Buang Sengke-
ta tidak tinggal diam, sekali dia mengempos tubuhnya.
Maka dengan sangat ringan sekali badan yang kekar
dan berotot itu pun sudah melentik ke udara. Aneh-
nya, seperti bermata saja layaknya, pukulan yang dile-
pas oleh Sepasang Ular Welang itu bagai bermata saja
mengejar ke mana pun pemuda ini mengelak. Sadarlah
pemuda itu, bahwa selain pukulan maut itu mengan-
dung racun yang jahat, tetapi juga berbau sihir.
EMPAT
Pendekar Hina Kelana kertakkan rahang. Sela-
manya dia paling benci dengan permainan apapun
yang berbau sihir. Maka tak pelak lagi, dia pun mulai
menyalurkan seperempat tenaga dalamnya ke arah ba-
gian tangannya. Begitu segalanya dia rasakan cukup,
maka tak pelak lagi pukulan Empat Anasir Kehidupan
yang sudah tak asing lagi. Dia pergunakan untuk me-
mapaki datangnya gelombang pukulan yang terus
mengejarnya itu. Karena pukulan beracun tersebut si-
fatnya mengejar, maka tanpa menoleh lagi dia pun kib-
latkan tangannya ke belakang.
"Bet! Blaaaar!"
Kilatan sinar ultra violet yang datangnya lebih
cepat itu, membuat dua kekuatan tenaga sakti saling
bertabrakan tanpa dapat dielakkan lagi. Dan setahu
bagaimana, baik tubuh Sadaki dan Sadaka nampak
sama-sama terpental lima tombak, orang itu terguling-
guling menabrak kotoran kerbau yang berada di seki-
tar tempat itu. Sementara Buang Sengketa sendiri
hanya merasakan dadanya sedikit nyeri. Tetapi setelah
mengatur jalan napas, maka rasa sakit itu pun lenyap
begitu saja. Pemuda keturunan seekor raja ular di Ne-
geri Bunian yang berjuluk si Raja Piton Utara itu pun
nampak tergelak-gelak begitu melihat lawan-lawannya,
belepotan dengan kotoran kerbau.
"Ah, kalian jorok sekali! Kotoran kerbau kalian
buat mandi!" ejek Pendekar Hina Kelana tanpa kehi-
langan tawanya. Gusar bercampur malu, Sepasang
Ular Welang itu dibuatnya. Terlebih-lebih begitu meli-
hat kenyataan bahwa pukulan maut Ular Welang Men-
catok Kodok, dapat dikandaskan oleh lawan yang ma
sih begini muda, bahkan sampai-sampai mereka sen-
diri terjengkang beberapa tombak.
"Budak gembel! Engkau benar-benar akan me-
nyesal telah begitu berani memper-mainkan kami...!"
tukas Sadaki dengan tongkat melintang di depan dada.
"Huh! Kutu busuk berewokan, mulutmu saja
yang besar. Tetapi sesungguhnya kalian merupakan
orang yang paling tolol di kolong langit ini, maka ber-
siap-siaplah untuk mampus...!" teriak Buang Sengketa,
lalu tangannya meluncur deras ke arah dada Sadaki
dan Sadaka. Pukulan kedua tangan yang mengandung
tenaga dalam tersebut mendatangkan angin bersiuran.
Sadaka tampak terkejut ketika merasakan adanya
sambaran angin pukulan tersebut. Tetapi dengan
menggeser kaki kanan dan sedikit miringkan tubuh,
maka sodokan kedua tangan si pemuda menjadi luput
dari sasarannya. Namun di luar dugaan kedua orang
ini, tiba-tiba kaki kiri Buang Sengketa membentuk sa-
tu guntingan ke arah kaki lawan-lawannya. Sesaat la-
manya, Sadaka dan Sadaki nampak terperangah, na-
mun menyadari akan datangnya bahaya yang mengan-
cam bagian kakinya. Maka cepat-cepat keduanya ter-
lonjak dan langsung melompat menghindari sapuan
kaki lawannya.
"Wuuut!"
Sambaran kaki Buang Sengketa juga luput, di
luar kesadarannya, Sadaki yang masih berada di udara
tatakkan tongkatnya.
"Seeer!" Senjata rahasia yang berupa jarum-
jarum beracun itu pun kembali meluruk ke arah
Buang Sengketa, dan pada saat itu pun Sadaka mene-
kan salah satu sisi bagian tongkatnya. Maka senjata
yang sama pun berlompatan dari mulut kepala ular
yang berada dalam genggamannya.
"Sialan...!" Buang Sengketa mengutuk. Tubuh-
nya melonjak kemudian secepatnya melesat ke udara.
Begitu dia menukik kembali, tanpa sungkan-sungkan
dia pergunakan si Hina Kelana Merana yang maha
dahsyat itu.
"Haiitt!" Satu raungan keras dan desis bagai
amarah se ekor ular piton, cukup sebagai tanda bahwa
Buang Sengketa benar-benar dalam keadaan marah
besar.
Dalam pada itu serangkum gelombang cahaya
merah membara yang dilepas sebagai pukulan ampuh
sang pemuda. Nampak berkelebat laksana meteor, be-
gitu cepat pukulan si Hina Kelana Merana itu berkele-
bat, hingga timbulkan suara menggemuruh menya-
kitkan gendang-gendang telinga. Cahaya merah
membara itu bukan saja meruntuhkan jarum-jarum
beracun milik lawannya, namun lebih dari sekedar itu
terus saja meluncur deras tiada terbendung ke arah
Sadaka yang berada tepat di bawahnya. Tidak ter-
bayangkan, baru terkena sambaran anginnya saja Sa-
daka merasakan badannya bagai terpanggang di atas
bara api dan hal itu sudah membuat wajahnya pucat
bukan main. Dia menyadari akan bahaya itu, namun
begitu dia berusaha menghindar. Dia merasakan
adanya ribuan kati tenaga raksasa yang membuatnya
tak mampu bergeser dari belenggu maut.
"Wussss! Blaaarrrr!" Pukulan maut yang da-
tangnya dari atas tersebut membuat tubuh Sadaka
melesak ke dalam tanah. Tubuh tersebut nampak be-
rantakan hancur berkeping-keping. Sehingga membuat
Sadaki yang sejak tadi terperangah kini menjadi sema-
kin ciut nyalinya. Sungguhpun dia sangat marah bu-
kan main, tetapi dia menyadari menghadapi Pendekar
Hina Kelana seorang diri hanyalah merupakan per
juangan yang sia-sia. Terkecuali bergabung dengan
kawan-kawan satu golongan, dia tak ingin mengambil
resiko yang sangat membahayakan keselamatannya.
Semasih Buang Sengketa dalam keadaan lengah, maka
Sadaki langsung melarikan diri. Saat itu Sri Pamuja
yang tubuhnya masih dalam keadaan tertotok, berte-
riak.
"Pendekar! Orang itu melarikan diri...!"
Buang Sengketa balikkan wajahnya, benar se-
perti apa yang dikatakan oleh Sri Pamuja, Sadaki si
Sepasang Ular Welang itu sudah tak ada lagi di tempat
itu.
"Suatu saat kelak aku pasti menemukannya...!"
berkata begitu Buang Sengketa melangkah mendekati
Sri Pamuja, namun dia undur dan palingkan muka be-
gitu melihat pakaian si gadis yang terobek di bagian
dadanya. Sehingga menampakkan kulitnya yang putih
mulus.
"Bagaimana ini, Pendekar Kelana. Tolong be-
baskan aku...!" kata Sri Pamuja memohon.
"Akh, bagaimana aku bisa membebaskan mu,
benahi dulu pakaianmu!" tukas si pemuda.
"Bagaimana caranya, aku tak dapat mengge-
rakkan tanganku!" rengek Sri Pamuja. Pendekar Hina
Kelana mengeluh, lalu garuk-garuk kepalanya yang tak
gatal.
"Kalau begitu aku mau pergi saja...!"
"Pendekar, kalau engkau pergi bagaimana ka-
lau bangsat itu datang ke mari. Apakah engkau tidak
kasihan padaku...?" rintih gadis itu setengah memelas.
Si pemuda tercenung, agaknya apa yang dikatakan
oleh Sri Pamuja mengena di hatinya. Lalu dengan me-
nutup matanya dengan tangan kiri, selangkah demi se-
langkah dia mendekati si gadis. Merasa begitu dekat,
maka dia pun bermaksud memulihkan jalan darah
yang telah membuat si gadis tak mampu menggerak-
kan anggota tubuhnya. Tetapi karena kedua matanya
tertutup, maka dia jadi salah pegang.
"Auuuwww...!" Sri Pamuja menjerit begitu tan-
gan Buang Sengketa secara tak sengaja nyasar ke ba-
gian dadanya. Seketika wajah Buang Sengketa beru-
bah merah. Cepat-cepat dia menggeser jemarinya, ke-
mudian dengan cepat pula dia sudah membebaskan si
gadis dari pengaruh belenggu totokan. Setelah terbe-
bas dari totokan Sadaki, maka Sri Pamuja segera
memperbaiki pakaiannya.
"Aku merasa sangat berterima kasih padamu,
Pendekar...!" ucapnya setelah beberapa saat lamanya
hanya terdiam.
"Nona tak perlu berterima kasih padaku, semua
yang terjadi itu sesungguhnya hanyalah merupakan
pertolongan Sang Hyang Widi...!"
"Eh, namaku Sri Pamuka dari Gunung Wilis...!"
"Dan aku si anak terbuang si Hina Kelana...!"
kata pemuda itu menyambung.
Buang Sengketa kerutkan alisnya begitu terin-
gat sesuatu, lalu langsung bertanya; "Sepertinya aku
pernah melihatmu di Gunung Kendeng, tempat tinggal
Aki Kilik Rogo, apa yang engkau kerjakan di sana...?"
tanya Buang Sengketa menyelidik. Sesungguhnya Sri
Pamuja agak begitu terkejut begitu mengetahui ada
orang lain melihat kehadirannya di Gunung Kendeng.
Namun karena dia menyimpan maksud-maksud yang
baik, maka dia hanya tersenyum saja demi mendengar
teguran si pemuda.
"Rupanya anda pernah melihatku di sana?"
"Ya, secara kebetulan beberapa hari yang lalu."
Sejurus lamanya gadis itu nampak memperha
tikan si pemuda yang saat itu hanya beberapa meter
saja jaraknya dari tempat dia berdiri. Sesaat mata me-
reka nampak saling beradu pandang, lalu cepat-cepat
Sri Pamuja membuang pandangannya jauh-jauh. Lalu
kemudian dia pun mengakui.
"Kuakui, aku memang pernah berada di sana!
Tetapi aku tak mempunyai maksud-maksud yang tak
baik. Aku hanya ingin menguntit apa yang dikerjakan
oleh si Jubah Hitam dan si Tanduk Kerbau di tempat
tinggal Aki Kilik Rogo."
"Dan engkau telah mengetahui apa yang diker-
jakan oleh mereka di tempat itu...?" tanya Buang
Sengketa menyelidik.
Sri Pamuja anggukkan kepalanya.
"Ya, tetapi tidak semuanya...." jawab si gadis
tanpa merasa ragu-ragu lagi.
"Lalu apa yang engkau ketahui itu...?"
"Mungkin banyak, tentang murid-murid Aki Ki-
lik Rogo, yang tolol dan suatu saat menjadi buas bila
sudah sampai masanya. Tentang bencana yang akan
dilakukan oleh si Jubah Hitam, atau si Topi Kerbau...!"
Dalam pada itu, tiba-tiba Buang Sengketa men-
jadi curiga dan ragu-ragu pada si gadis. Dan keadaan
seperti itu agaknya sempat diketahui oleh gadis itu.
Maka tanpa sungkan-sungkan dia pun menegur.
"Anda tak perlu curiga padaku. Lama sekali
aku telah mencium segala rencana orang-orang itu. Te-
tapi aku selalu tak memiliki keberanian untuk meng-
halangi usaha mereka. Orang-orang itu berilmu sangat
tinggi, sedangkan aku bukanlah apa-apanya...!" desah
si gadis setengah mengeluh.
"Apakah orang itu bekerja sama, satu golongan
atau memiliki tujuan masing-masing?"
Nampak sekali perubahan air muka Sri Pamuja
begitu Buang Sengketa mengemukakan pertanyaan
seperti itu. Hal ini sudah barang tentu membuat si
pemuda menjadi bertambah heran.
"Mereka itu sesungguhnya dari golongan yang
berbeda, tetapi mempunyai tujuan yang hampir sa-
ma...!"
"Maksudmu!" desaknya tak sabar lagi.
"Dari Aki Kilik Rogo, ada sesuatu yang mereka
inginkan...!"
Nampaknya Pendekar Hina Kelana merasa ku-
rang puas dan mengerti akan makna ucapan Sri Pa-
muja.
"Pamuja! Janganlah bicara muter-muter aku
tak bisa mengerti apa yang kau katakan itu!"
"Hm, baiklah, aku akan ceritakan padamu ten-
tang Aki Kilik Rogo terlebih dahulu." ujar Sri Pamuja.
"Katakanlah...!" Buang Sengketa berkata serius.
Sesaat lamanya Sri Pamuja menarik napas
pendek, agaknya dia sedang berusaha untuk mengin-
gat-ingat sesuatu. Lalu setelah helaan-helaan nafasnya
mulai teratur kembali, maka dia pun memulai.
"Tujuh puluh tahun yang lalu, di Gunung Dieng
hidup seorang tokoh yang sangat sakti. Orang itu
mempunyai nama Empu Wesi Laya, tokoh sakti itu hi-
dup dengan dua orang muridnya. Murid perempuan-
nya Betari Murti dan seorang lainnya bernama Kilik
Rogo. Konon setelah dewasa Betari Murti yang punya
sifat serakah dan ingin menguasai ilmu pukulan bera-
cun telah melarikan diri dengan membawa Kitab Ben-
dil Dieng...."
"Kitab? Kitab apa...?" tanya pendekar keturu-
nan raja ular tersebut merasa tertarik.
"Bendil Dieng sesungguhnya sebuah kitab yang
isinya sangat erat hubungannya dengan alam di seki
tar tempat itu. Sekali saja kitab itu tak pernah kembali
pada tempatnya, maka bencana itu pun akan terjadi di
tempat tersebut. Itulah sebabnya demi menghindari
kutuk yang telah ditetapkan oleh Empu Wesi Laya,
maka Aki Kilik Rogo memohon pada gurunya sendiri
untuk mencari dan membawa kembali Kitab Bendil Di-
eng. Sayangnya, Aki Kilik Rogo tak pernah berhasil
membawa kembali kitab yang sangat disucikan itu. Se-
bab ternyata ilmu kepandaian yang dimiliki oleh Batari
Murti jauh berada di atas kepandaian yang dimiliki
oleh Aki Kilik Rogo."
"Ehhh.... Tetapi mengapa Aki Kilik Rogo, seperti
yang sama-sama kita ketahui, malah menetap di Gu-
nung Kendeng...?" tanya Buang Sengketa tak habis
mengerti.
Sri Pamuja terdiam untuk beberapa saat la-
manya. Tetapi sesaat kemudian dia telah menyambung
kembali
"Semua itu dia lakukan karena dia merasa ma-
lu untuk kembali ke Gunung Dieng menemui gurunya.
Di sana dia mendirikan perguruan, tetapi seperti yang
anda lihat selama dua puluh tahun dia mengajar mu-
ridnya dengan berbagai ilmu kanuragan, namun mu-
rid-muridnya malah memiliki kelainan yang sesung-
guhnya berasal dari manusia yang menghendaki kunci
Mustika Pembuka Pintu Goa Dieng...!"
"Apakah mereka yakin bahwa kunci itu berada
di tangan Aki Kilik Rogo?"
"Kemungkinannya begitu...!" jawab Sri Pamuja.
"Sesungguhnya apa sih yang terdapat di dalam
goa tersebut, sehingga orang-orang itu bermaksud un-
tuk memasukinya?" tanya si pemuda.
***
LIMA
"Agaknya setelah membawa lari Kitab Bendil
Dieng, Batari Murti mulai merasakan kesulitan untuk
memecahkan rahasia besar yang terkandung dalam ki-
tab tersebut. Dan lebih celakanya, bahwa kitab rahasia
untuk mengetahui isi buku yang dia curi tersebut ti-
dak sempat dia bawa lari. Sudah barang tentu untuk
kembali ke Gunung Dieng dia tidak berani, sebelum
dia berhasil menguasai isi buku hasil ciptaan Empu
Wesi Laya yang sakti mandraguna. Satu-satunya cara
adalah dengan memanfaatkan tangan Aki Kilik Rogo
dan murid-muridnya." kata Sri Pamuja panjang lebar.
"Biadab! Kalau begitu orang yang mengenakan
Jubah Hitam itulah yang telah menyesatkan murid-
murid Aki Kilik Rogo, sehingga mereka menjadi tolol
semuanya?" tanya Buang Sengketa berang sekali.
"Tidak, orang-orang itu sesungguhnya tidak to-
lol! Mereka adalah murid-murid yang telah dipengaruhi
oleh aliran yang lain. Sewaktu-waktu mereka dapat be-
rubah menjadi binatang pembunuh yang sangat men-
gerikan...!"
"Tetapi mereka mengapa seperti orang yang ku-
rang waras saja layaknya...?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, Sri Pamuja
tertawa getir.
"Si Jubah Hitam memang dengan sengaja
membuat murid-murid Aki Kilik Rogo menjadi tolol se-
demikian rupa dengan maksud, untuk memaksa Aki
Kilik Rogo menjumpai Empu Wesi Laya di Gunung Di-
eng. Dan sudah barang tentu orang tua sakti tersebut
mampu mengobati penyakit yang diderita oleh murid-
murid Aki Kilik Rogo!"
"Apa hubungannya antara murid-murid itu
dengan kitab rahasia yang tersimpan di dalam gua?"
tanyanya semakin tak mengerti.
"Masa anda tidak tahu juga, Pendekar! Hubun-
gannya jelas saja ada, bukankah sudah saya katakan
tadi bahwa sewaktu-waktu murid-murid Aki Kilik Rogo
itu, dapat menjadi binatang pembunuh yang sangat
mengerikan. Hal ini sudah barang tentu dalam perhi-
tungan si Jubah Hitam. Jika sewaktu-waktu Aki Kilik
Rogo membawa murid-muridnya ke Gunung Dieng un-
tuk menemui gurunya, pada saat itulah si Jubah Hi-
tam akan memanfaatkan tenaga murid-murid Aki Kilik
Rogo yang sudah berada dalam pengaruhnya. Tujuan-
nya sudah jelas, yaitu untuk mendapatkan kitab raha-
sia yang merupakan kunci dari buku pusaka yang kini
dalam kekuasaannya...!"
Buang Sengketa nampak terperangah, dia be-
nar-benar tak bisa membayangkan bagaimana jadinya
kalau apa yang dikatakan oleh Sri Pamuja pada akhir-
nya benar-benar menjadi kenyataan.
"Kasihan sekali Aki Kilik Rogo itu sesung-
guhnya. Tetapi bagaimana dengan laki-laki pesolek da-
ri Gunung Pati itu...?"
Disebut-sebutnya laki-laki pesolek, membuat
Sri Pamuja bagai disengat kalajengking. Dia tiada me-
nyangka kalau Pendekar Hina Kelana telah mengeta-
hui sedemikian banyak.
"Jadi anda telah melihat laki-laki pesolek dari
Gunung Pati itu...?"
"Benar!"
"Heh, laki-laki itu juga termasuk kambratnya si
Gemuk Bertopi Tanduk Kerbau. Mereka ini juga memi-
liki tujuan yang sama dengan si Jubah Hitam. Dengan
Racun Linglung Raga, dia telah membuat botak kepala
murid-murid Aki Kilik Rogo!"
"Apa! Jadi orang-orang yang tiada berdosa itu
kini dalam cengkeraman dua kekuatan yang sangat
keji...!"
"Agaknya begitulah!"
"Hal ini malah akan membahayakan keselama-
tan Aki Kilik Rogo?" tukas Buang Sengketa. Mengkha-
watirkan keselamatan orang tua berbadan pendek ter-
sebut.
Sri Pamuja nampak gelengkan kepalanya.
"Tidak, mereka merencanakan sesuatu untuk
dipakai dalam jangka waktu tertentu, hal itu tidak per-
lu dirisaukan. Yang terpenting, kalau anda memang
benar-benar bermaksud menolong Aki Kilik Rogo dari
malapetaka yang tak pernah diduganya. Anda harus
mengejar Sadaki, sebab andai tidak maka anda akan
kerepotan dalam menghadapi lawan yang sedemikian
banyak dan tangguh pula!"
"Maksudmu orang yang sempat bentrok den-
ganmu tadi...?" tanya Buang Sengketa agak bimbang.
"Betul, sebab dia juga merupakan kambrat-
kambrat yang paling setia dari Kebo Selaksa Wisa atau
yang bernama Dulimang itu...!"
"Ah, aku tak tahu pula di mana arahnya Gu-
nung Bromo itu...!" menyela Buang Sengketa berterus
terang.
"Kalau anda mau, saya bersedia menjadi pe-
nunjuk jalan anda...!" kata Pamuja menawarkan diri.
Sudah barang tentu tawaran itu tak mungkin ditolak
oleh si pemuda. Berjalan dengan seorang gadis cantik,
sudah barang tentu akan sangat menyenangkan ke-
timbang berjalan seorang diri. Itu makanya setelah pi-
kir-pikir sebentar dan garuk-garuk kepalanya, maka
dia pun mengangguk setuju. Lalu tanpa membuang
buang waktu lagi, kedua orang itu pun segera mening-
galkan tempat itu.
* * *
Pagi nan cerah, namun tiada makhluk-
makhluk yang terbang di sekitar Pegunungan Dieng.
Suasana sepi nampak menyelimuti daerah sekitarnya,
tak seorang pun terlihat di sana. Sementara kabut pu-
tih yang menyelimuti sekitar daerah itu semakin siang
hari nampak semakin hilang sama sekali. Hanya ke-
gersangan saja yang ada di sana, pohon-pohon hutan
di sana sini nampak kering dan mati, sepintas suasana
benar-benar berkesan sangat angker. Tetapi jauh di le-
reng gunung tersebut, nampak sosok bayangan berla-
ri-lari begitu cepatnya menuju arah Utara. Tubuh
orang itu dengan gesit sekali berkelebatan di antara
pohon-pohon kering yang terdapat di sepanjang semak
yang dia lalui. Hanya dalam waktu sepemakan sirih,
orang itu pun telah sampai di suatu bangunan yang
sudah sangat tua. Bangunan yang terbuat dari batu-
batu kali itu sudah nampak rusak di sana sini. Untuk
mencapai sebuah pintu utama yang berukuran sangat
besar dan sudah rusak, terdapat sebuah tangga ber-
tingkat yang jumlah keseluruhannya hampir mencapai
dua puluh anak tangga. Sama seperti tiang-tiang yang
berdiri megah dan sudah sangat tua itu. Maka anak
tangga tersebut, juga terbuat dari susunan batu kali
yang diatur sedemikian rupa. Perempuan berjubah hi-
tam itu untuk sesaat lamanya nampak tercenung di
depan anak tangga pertama.
Memperhatikan anak tangga dan bangunan tua
yang hampir menyerupai sebuah kuil tersebut. Lama-
kelamaan dia teringat masa-masa tiga puluh tahun
yang lalu, di mana pada saat itu dia pernah tinggal di
tempat itu selama hampir empat puluh tahun. Teringat
pula olehnya, tentang adik seperguruannya yang san-
gat baik hati dan selalu bersikap mengalah. Lalu gu-
runya yang sudah sangat tua renta yang dikenal seba-
gai Empu Wesi Laya yang sangat memanjakan dirinya.
Saat itu Empu Wesi Laya begitu sangat memanjakan
dirinya, bahkan boleh dikata apapun yang dia minta
selalu saja dituruti. Sampai-sampai dalam hal menu-
runkan ilmu sakti saja, dia selalu diberi perhatian
yang lebih. Begitu pun sifatnya yang selalu tamak dan
tak pernah kenal rasa puas itu pada akhirnya meminta
sesuatu yang lebih yaitu ingin memiliki kitab pusaka
Bendil Dieng. Salah satu kitab yang pada akhirnya da-
pat menimbulkan malapetaka di permukaan bumi.
Sampai pada batas itu, sang guru nampaknya benar-
benar sangat murka, lalu mengusir dirinya bagai seo-
rang yang telah melakukan kesalahan terberat. Dia
yang sering hidup dalam kemanjaan, pengusiran sang
guru kiranya telah menimbulkan dendam kesumat.
Pergilah sang murid atau yang lebih dikenal sebagai
Batari Murti dengan membawa dendam yang memba-
ra. Tetapi beberapa purnama kemudian dia kembali la-
gi dengan tujuan untuk mencuri Kitab Bendil Dieng.
Perempuan itu ternyata memang berhasil dan melari-
kan kitab tersebut untuk dipelajari dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya. Tujuannya hanya satu, yaitu
menuntut balas atas kematian orang tuanya juga atas
pengusiran dirinya. Tetapi di luar dugaannya, ternyata
kitab tersebut sangat sulit untuk dimengerti isinya.
Melawan guru dengan kepandaian yang berasal dari
satu sumber, hal itu hanya berarti sebuah kesia-siaan
belaka. Cara satu-satunya adalah dengan jalan me-
manfaatkan tenaga adik seperguruannya. Aki Kilik Ro
go, hal itu pun tidak mudah, mengingat dia juga per-
nah terlibat pertarungan sengit dengan adik se-
perguruannya tersebut. Ketika laki-laki berbadan pen-
dek itu mencoba meminta kembali Kitab Bendil Dieng
yang sudah berada di tangannya. Sebagai murid ter-
sayang, sudah barang tentu Aki Kilik Rogo bukanlah
lawan Batari Murti yang sakti mandraguna itu.
Setelah kekalahannya itu Aki Kilik Rogo, seperti
diketahui lantas memilih tinggal di Gunung Kendeng,
dan mengambil orang-orang terlantar sebagai murid-
nya. Namun kiranya semua itu terus dalam pengawa-
san Batari Murti, yang pada akhirnya berhasil menga-
jarkan sebuah ilmu ganas pada murid-murid Aki Kilik
Rogo di luar sepengetahuan laki-laki tersebut. Dan ka-
lau hari ini dia sampai di tempat tinggal bekas gurunya
tersebut, hal ini dia lakukan adalah dengan maksud
untuk mencari tahu, apakah gurunya yang sudah be-
rusia lebih dari seratus sembilan puluh tahun itu ma-
sih ada atau tidak. Lebih dari sekedar itu, dia pun
punya maksud untuk mencari tahu di manakah se-
sungguhnya kunci rahasia dari kitab yang dia curi itu
disembunyikan oleh gurunya. Kini dengan langkah
berhati-hati, si Jubah Hitam mulai menapakkan ka-
kinya menaiki anak tangga demi anak tangga. Hingga
akhirnya sampailah si Jubah Hitam atau yang lebih
dikenal dengan Batari Murti, pada anak tangga yang
kedua puluh. Pintu tampak ternganga lebar, suasana
dalam ruangan nampak samar-samar dan tidak tera-
wat. Si Jubah Hitam nampak melangkahkan kakinya
lebih ke dalam lagi, tiada apapun di sana. Hanya see-
kor burung hantu nampak berkelebat ke luar manaka-
la si Jubah Hitam melangkah ke dekatnya. Angin yang
berhembus dari luar jendela dan pintu terasa sangat
dingin sekali, si Jubah Hitam nampak mengucek
ngucek matanya. Semakin ke dalam dia melangkah,
suasana semakin gelap dan samar-samar. Sungguh-
pun wanita berusia lebih dari delapan puluh tahun itu
dulunya sudah terbiasa berada di tempat itu, akan te-
tapi berada di tempat itu seorang diri dan dalam kea-
daan bersalah pula hal ini membuat dirinya menjadi
gelisah. Hemm! Ke manakah perginya sang guru,
mungkinkah sudah tiada. Kalau memang benar tetapi
mengapa tiada bekas-bekas mayatnya, tulangnya, atau
apa saja sebagai bekas suatu kematian. Akhirnya dia
memberanikan diri untuk memasuki kamar pribadi
Empu Wesi Laya. Hampir sampai di ruangan depan
kamar pribadi gurunya, dadanya terasa berdetak ke-
ras. Sementara sebuah pintu masih tetap utuh. Si Ju-
bah Hitam kemudian menyentakkan gerendel yang
terdapat di pintu pribadi tersebut. Begitu terbuka,
keadaan di depannya semakin bertambah gelap luar
biasa. Si Jubah Hitam terpaksa menghidupkan suluh
yang terdapat di ruangan itu. Begitu suluh tersebut
menyala, maka terlihatlah suasana di sekitar ruangan.
Berpuluh-puluh ekor kelelawar nampak beterbangan
ke segala arah. Mungkin karena suasana terang yang
tiba-tiba, membuat binatang-binatang malam itu men-
jadi panik tak karuan. Sementara itu di salah satu su-
dut nampaklah kerangka mayat Empu Wesi Laya da-
lam keadaan duduk bersila, melihat keadaan kerangka
yang sudah dipenuhi dengan debu, tahulah si Jubah
Hitam, bahwa mungkin saja Empu Wesi Laya sudah
meninggal selama lebih dari sepuluh tahun. Tiada rasa
hormat maupun kesedihan yang membayang di wajah
si Jubah Hitam. Malah sebaliknya manusia yang su-
dah setengah iblis itu nampak tersenyum penuh ke-
menangan. Lalu dipandanginya kerangka bekas gu-
runya itu dengan penuh kebencian. Kemudian dia pun
bergumam seorang diri.
"Guru, semestinya aku menghormatimu, tetapi
engkau terlalu sombong dengan tidak memberikan Ki-
tab Bendil Dieng yang sangat luar biasa itu! Kini eng-
kau mati dalam keadaan yang sangat menyedihkan.
Mayatmu pun tak ada seorangpun yang mengurusnya,
aku tiada peduli. Aku datang ke mari hanya ingin
mencari kunci Kitab Bendil Dieng. Di mana guru... di
mana...?" gumamnya sembari memandang pada ke-
rangka yang masih tetap dalam keadaannya.
Seusai dengan ucapannya itu, mendadak seisi
ruangan bagai dilanda gempa. Tubuh si Jubah Hitam
nampak terhuyung-huyung, suasana di sekitarnya
timbulkan suara bergemuruh. Namun hal itu hanya
sekejap saja, sedetik kemudian nampak pula berkele-
batnya cahaya merah kebiru-biruan meninggalkan ke-
rangka Empu Wesi Laya. Seiring dengan melesatnya
cahaya tersebut dari kerangka Empu Wesi Laya, maka
tulang belulang itu pun ambruk dari posisinya. Debu
mengepul memenuhi seluruh ruangan tersebut. Tulang
belulang Empu Wesi Laya nampak tumpang tindih,
sementara tengkorak kepalanya nampak menggelind-
ing, berputar-putar, seolah protes atas kehadiran mu-
rid yang telah dikutuknya. Tengkorak kepala tersebut
pada akhirnya berhenti persis di depan si Jubah Hi-
tam. Anehnya tengkorak tersebut bagian mukanya
menghadap ke arah si Jubah Hitam. Hal itu sudah ba-
rang tentu membuat si Jubah Hitam menjadi berang.
Lalu dengan penuh kebencian ditendangnya tengkorak
kepala gurunya sendiri. Tengkorak kepala tersebut
nampak mencelat, lalu menabrak dinding kamar yang
terbuat dari batu pualam putih. Sehingga karena begi-
tu kerasnya tendangan tersebut, maka tengkorak ke-
pala itu pun hancur berantakan.
Dan tiba-tiba keajaiban terjadi kembali. Ruan-
gan bergetar hebat, seketika itu juga terdengar suara
yang sangat dikenali oleh si Jubah Hitam.
"Batari Murti, murid murtad dan sangat durha-
ka! Engkau benar-benar telah mengecewakan hara-
panku. Pengusiran ku dahulu bukannya membuat
engkau berpikir untuk memperbaiki kesalahanmu. Te-
tapi malah membuatmu menjadi manusia setengah ib-
lis! Sampai di alam fana ini, arwahku tak akan pernah
tenang, kukutuk engkau dengan kematian yang paling
menyakitkan. Batari Murti, engkau akan mati di tan-
gan seorang pemuda pengelana berperiuk, kepalamu
akan terlempar ke dalam kawah Dieng, badanmu akan
tercampak di laut hitam, sedangkan kaki dan tangan-
mu akan menggelantung di empat penjuru mata angin.
Kematianmu benar-benar sangat mengenaskan sung-
guhpun engkau manusia tersakti di bumi Jawa Dwipa
ini!" kata roh Empu Wesi Laya.
***
ENAM
"Hi... hi... hi...! Bagaimana orang yang sudah
mati bisa menjatuhkan kutuk kepadaku?" tukas si Ju-
bah Hitam mencemooh.
"Sang Hyang Pencipta maha tahu. Satu saat
engkau pasti akan merasakannya. Engkau tak mung-
kin menghindar dari kutuk-ku...!"
"Bah. Engkau sudah mati, Empu Wesi Laya,
engkau tak mungkin mampu berbuat itu kepadaku,
tak mungkin mampu...." teriak si Jubah Hitam dengan
suara melengking tinggi.
"Jasad kasar ku memang sudah mati, tetapi
rohku tak akan pernah mati. Itulah satu-satunya yang
paling kekal...!" kata roh Empu Wesi Laya penuh wi-
bawa. Tak terkirakan betapa geramnya hati si Jubah
Hitam demi mendengar suara Empu Wesi Laya. Serta
merta dia kebutkan jubahnya mengarah cahaya merah
yang kini nampak di sudut ruangan. Selarik sinar hi-
tam menderu dari jubah yang dikebutkan oleh pemi-
liknya. Kemudian sinar beracun tersebut meluruk si-
nar merah, dari penjelmaan roh Empu Wesi Laya. Ca-
haya merah tersebut tidak bergerak dari tempatnya.
Namun begitu pukulan yang dilepas oleh si Jubah Hi-
tam bagai meluruk dinding yang tiada pembatas saja
menembus cahaya tersebut.
"Plassss!"
Selarik sinar hitam yang dilepas oleh si Jubah
Hitam bagai menerpa sasaran yang kosong dan lang-
sung melabrak langit-langit ruangan. Langit-langit
ruangan tersebut bobol, sehingga meruntuhkan langit-
langit kamar pribadi Empu Wesi Laya. Si Jubah Hitam
sudah bermaksud melepaskan pukulan mautnya un-
tuk yang kedua kalinya, namun mendadak terdengar
kembali suara Empu Wesi Laya:
"Apa yang akan engkau lakukan hanyalah me-
rupakan pekerjaan yang sia-sia, Batari Murti. Aku dan
engkau sudah berada dalam jarak dinding pemisah,
tak satu pun pukulan maut yang paling ampuh sekali-
pun yang mampu menghancurkan dinding tersebut.
Dinding alam gaib yang satu saat juga engkau akan
berada dan tinggal untuk selama-lamanya di sana.
Simpanlah pukulan maut mu itu untuk menghadapi
lawan-lawanmu yang kelak akan membinasakan
mu...!"
"Plaaasss!"
Usai dengan ucapannya itu, maka cahaya me
rah tersebut lenyap tiada berbekas, bersamaan dengan
itu, maka bau wangi bunga kemboja pun menebar di
segenap ruangan itu.
"Sialan!" maki si Jubah Hitam. Cepat-cepat dia
meninggalkan ruangan itu, kemudian langkahnya te-
lah terayun menuju ruangan rahasia yang dulu dia ke-
tahui sebagai ruangan tempat menyepi bagi Empu We-
si Laya. Setelah melewati lorong-lorong yang panjang
dan pengap, maka sampailah dia pada ruangan yang
ditujunya. Ruangan itu nampak lebih lebar dan luas,
tetapi yang membuat heran si Jubah Hitam adalah ka-
rena semua pelita yang terletak di dinding ruangan
yang sesungguhnya merupakan sebuah gua yang su-
dah dirubah sedemikian rupa nampak tak pernah pa-
dam. Sepertinya setiap saat ruangan itu ada yang men-
jaga dan membersihkannya. Hanya satu saja yang
agak berbeda, kalau ruangan itu lantainya dulu berla-
piskan batu-batu mutiara. Akan tetapi kini keseluru-
hannya telah berganti dengan batu pualam biru, se-
dangkan dari padanya menebarkan bau yang sangat
wangi lagi dingin. Sesaat tubuh si Jubah Hitam nam-
pak menggigil, namun setelah mengerahkan sedikit te-
naga dalamnya maka, rasa dingin itu pun sirna seketi-
ka. Si Jubah Hitam segera melangkah ke tengah-
tengah ruangan dan menghampiri sebuah meja yang
juga terbuat dari batu pualam. Di atas meja yang ter-
buat dari batu pualam tersebut terdapat sebuah kitab
tipis yang terbungkus dengan selembar kain sutera.
Merasa penasaran, maka si Jubah Hitam segera me-
nyambarnya. Tetapi betapa terperanjatnya manusia se-
tengah iblis tersebut begitu melihat tulisan yang terte-
ra pada sampul kitab tersebut. Yang bertuliskan seba-
gai di bawah ini:
"Siapa saja yang sampai di ruangan ini paling
awal, itulah manusia paling celaka. Seandainya dia le-
bih berani lagi membuka pintu rahasia yang terdapat di
balik dinding ini, maka kutukku akan berlaku pada se-
luruh keturunannya. Kunci Kitab Bendil Dieng adalah
sumber malapetaka. Tiada seorang pun yang dapat
menyentuhnya kecuali dirinya benar-benar seorang
pendekar sejati.
Tertanda
Penguasa Gunung Dieng
Empu Wesi Laya
Bukan malah kecut hati si Jubah Hitam begitu
membaca tulisan tersebut, sebaliknya kedua bola ma-
tanya nampak berbinar-binar. Baginya kesempatan
untuk mendapatkan kunci buku tersebut, kini benar-
benar telah berada di ambang mata. Maka tanpa mem-
buang waktu lagi si Jubah Hitam langsung mengham-
piri sebuah pintu yang terbuat dari pada batu pualam.
Tak ada tanda-tanda untuk dapat masuk ke ruangan
seperti yang dimaksudkan dalam buku petunjuk ter-
sebut. Namun si Jubah Hitam tiada mengenal putus
asa. Dengan sekuat tenaga didorongnya pintu tersebut.
Tetapi tetap saja pintu itu tiada bergeming sedikit pun.
Didorongnya kembali, berulang dan berulang. Sung-
guhpun ruangan itu berhawa dingin, namun peluh
mulai membasahi sekujur tubuhnya. Sementara na-
fasnya pun mulai ngos-ngosan. Pintu batu pualam
tiada bergeming! Lama-kelamaan si Jubah Hitam jadi
kesal sendiri. Hingga pada akhirnya dia terpaksa
menggunakan tenaga dalamnya yang sudah mencapai
tingkat kesempurnaan itu.
Sejurus dia memusatkan segenap perhatian-
nya, lalu didorongnya pintu batu pualam tersebut ke
ras-keras.
"Kreoott!" Pintu batu pualam membuka, namun
begitu pintu itu menganga kira-kira tiga jengkal, men-
dadak berhamburanlah puluhan anak panah berbisa
meluruk si Jubah Hitam. Cepat-cepat perempuan se-
tengah iblis itu pun memutar tongkatnya yang berke-
pala serigala. Putaran tongkat yang bagai titiran terse-
but menimbulkan angin bersiuran. Dan anak-anak
panah tersebut berpentalan ke segala arah begitu me-
nerjang tongkat kepala serigala yang dipergunakan se-
bagai perisai oleh si Jubah Hitam. Perempuan beram-
but kecoklatan itu nampak memaki panjang pendek.
Lalu dengan sangat hati-hati dia mulai melangkah
kembali memasuki ruangan maut yang hanya beruku-
ran dua kali delapan meter tersebut. Baru saja lima
langkah dia mengayunkan langkahnya, kembali dia di-
kejutkan oleh bunyi mendesis yang menebarkan bau
amis. Lalu bermunculan pula berbagai jenis ular berbi-
sa dari berbagai ukuran.
"Sreeet!" Si Jubah Hitam cabut pedang pendek
yang berwarna putih mengkilat. Lalu begitu ular-ular
tersebut menyerang ke arahnya, maka tak ampun lagi
si Jubah Hitam langsung babatkan pedangnya ke arah
ular-ular tersebut. Maka tak ampun lagi ular-ular pen-
jaga tersebut berkutungan karena terbabat pedang ta-
jam milik si Jubah Hitam.
Darah memercik ke mana-mana, bangkai ular-
ular berbisa itu pun berserakan di atas lantai batu pu-
alam. Tak seekor pun dari ular-ular tersebut yang di-
biarkan hidup. Si Jubah Hitam tetap menggenggam
senjatanya, hal itu dia lakukan demi menjaga ke-
mungkinan-kemungkinan lain yang mungkin saja
menghadang di depannya. Namun agaknya apa yang
dikhawatirkannya itu sudah berakhir, karena pada
langkah-langkah berikutnya dia sudah tidak mendapa-
ti hambatan apapun. Si Jubah Hitam nampak menarik
napas lega begitu berada di sudut ruangan. Yang me-
rupakan tempat penyimpanan segala jenis kitab-kitab
berharga milik almarhum Empu Wesi Laya.
Lalu dengan sangat hati-hati dia pun mulai
membuka sebuah kotak besar yang berwarna merah.
Mendadak jantungnya terasa berdetak lebih cepat, da-
rah menggemuruh sampai ke ubun-ubun. Lalu dengan
tangan bergemetaran dia pun mulai membuka kotak
yang berwarna merah tersebut.
Tak terbayangkan betapa terkejutnya si Jubah
Hitam, ketika seekor burung berwarna hitam, nampak
melompat dari dalam kotak tersebut. Anehnya lagi, se-
belum dia sempat berbuat sesuatu, burung tersebut
telah menyambar sebuah kitab pada tumpukan paling
atas, burung tersebut langsung mengepakkan sayap-
nya. Hanya dalam sekedipan mata, burung yang tak
dikenal itu pun telah lenyap dari pandangan si Jubah
Hitam bersama kitab yang ada dalam cengkeraman
kakinya.
"Kampret! Kiranya semua ini sudah diatur se-
demikian rupa oleh Empu Wesi Laya...!" Dalam kea-
daan marah-marah seperti itu si Jubah Hitam mulai
memeriksa buku-buku tersebut satu demi satu. Na-
mun apa yang dia cari-cari sudah tak berada di tem-
patnya.
"Sialan! Burung keparat itu benar-benar telah
melarikan kunci Kitab Bendil Dieng. Huh, ke mana lagi
aku harus mencarinya!" batinnya pelan. Kemudian se-
telah mengobrak abrik seisi peti yang berwarna merah
itu, maka dengan sangat tergesa-gesa dia keluar dari
ruangan itu, langkahnya terus menuju ke arah lorong
tempat semula, sementara secara Lamat-lamat dia ba
gai mendengar apa kutuk yang dijatuhkan oleh Empu
Wesi Laya kepadanya. Tetapi dia tiada perduli, yang
ada dalam benaknya adalah bagaimana caranya men-
dapatkan kunci pembuka tabir rahasia yang menjadi
penunjuk pada kitab yang kini sudah berada di tan-
gannya.
* * *
Setelah melakukan perjalanan berhari-hari, ki-
ni sampailah pemuda dan gadis itu di Gunung Bromo.
Matahari sudah berada di kaki bukit ketika mereka
sampai di depan rumah panggung milik Dulimang atau
yang lebih dikenal sebagai Kebo Selaksa Wisa. Kedua
orang ini sejenak memperhatikan keadaan di sekeli-
lingnya. Suasana hanya sunyi belaka. Sungguhpun
begitu, Buang Sengketa merasakan ada beberapa pa-
sang mata nampak memperhatikan kehadiran mereka
sejak awal tadi. Akan tetapi dia maupun Sri Pamuja
yang menyertainya tak tahu siapa sesungguhnya orang
yang berada di atas rumah panggung tersebut.
"Mungkinkah orang-orang yang mengintai itu
Kebo Selaksa Wisa dan orang-orangnya?" tanya si pe-
muda begitu pelannya.
"Kalau keadaannya sunyi seperti ini, biasanya
orang itu tak ada di rumah. Paling-paling hanya pem-
bantunya saja, yaitu si raksasa tolol, dan juga si laki-
laki pesolek."
"Tetapi menurutmu si laki-laki pesolek itu tidak
tinggal di tempat ini?" tanya si pemuda tak habis men-
gerti. Wajah Sri Pamuja nampak memerah begitu men-
dapat pertanyaan seperti itu.
"Maksud.... Maksudku.... Laki-laki pesolek itu
sesungguhnya merupakan gendaknya si Kebo Selaksa
Wisa...!" ucapnya tersipu-sipu. Sementara itu si pemu-
da nampak terperangah kaget, bagaimana mungkin la-
ki-laki kawin dengan laki-laki. Dan diam-diam dia pun
merasa malu sendiri.
"Benar-benar manusia sesat...!" rutuk si pemu-
da.
"Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanya Sri
Pamuja, lalu mengerling pada pemuda itu dengan pan-
dangan penuh arti.
"Kalau begitu, coba panggil orang-orang yang
berada dalam rumah bertonggak itu!" perintah Buang
Sengketa. Lalu tanpa menunggu diperintah dua kali,
Sri Pamuja mengerjakan apa yang diperintahkan oleh
si pemuda.
"Manusia yang menyebut dirinya sebagai Kebo
Selaksa Wisa, harap keluar untuk menemui kami...!"
kata Sri Pamuja setengah memerintah. Tiada jawaban,
namun Buang Sengketa dapat melihat berkelebatnya
tubuh seorang laki-laki berbadan gemuk luar biasa
mendekati pintu rumah panggung tersebut.
"Hei, orang yang berada di dalam rumah. Kami
ingin bertemu dengan saudara Kebo Selaksa Wisa."
Namun tetap saja seperti tadi, tak seorang pun ada
yang keluar dari dalam pondok itu. Menunggu berla-
ma-lama akhirnya membuat kedua orang itu sudah
tak sabaran lagi. Buang Sengketa sudah bermaksud
memasuki rumah bertonggak itu secara paksa, ketika
tiba-tiba saja pintu rumah panggung itu menguak.
Seorang laki-laki berbadan gemuk luar biasa dan seo-
rang lainnya yang berdandan menyerupai perempuan,
nampak melongokkan kepalanya. Kemudian terdengar
langkah-langkah kakinya yang berat bergedebukkan di
atas tanah yang dilalui-nya.
Sesaat Pendekar Hina Kelana nampak meneliti
kehadiran dua orang itu. Seorang yang berbadan ge-
muk luar biasa, di bagian pinggangnya menjuntai pe-
dang panjang bermata ganda. Laki-laki itu tiada men-
genakan baju, jadi hanya bercawat saja. Sedangkan
rambut-rambut di kepalanya yang jarang-jarang itu
sudah mulai nampak memutih. Laki-laki berbadan
raksasa itu sesungguhnya sangat tolol, dia jarang bica-
ra. Namun menurut perintah, dia akan mengerjakan
apa saja asalkan sebelumnya telah diberi makan seke-
nyang-kenyangnya. Kaum persilatan mengenalnya se-
bagai si Raksasa Tolol Bertenaga Besar. Sedangkan
seorang laki-laki lainnya adalah merupakan orang
yang pernah dilihat oleh Buang Sengketa, di pekaran-
gan rumah Aki Kilik Rogo di Gunung Kendeng. Laki-
laki bertampang perempuan itu, nampak lebih galak
ketimbang si Raksasa Tolol yang memiliki sepasang
mata tak ubahnya bagai orang yang sedang mengan-
tuk berat. Laki-laki itu kini berpakaian kembang-
kembang. Sedang di punggungnya terdapat selempan-
gan senjata yang berupa kebutan yang terbuat dari
ekor buaya. Sekilas apabila di lihat laki-laki pesolek itu
nampak seperti sedang menggendong gergaji yang be-
rukuran sangat besar.
Saat itu kedua orang tersebut nampak mem-
perhatikan kehadiran Buang Sengketa dan Sri Pamuja
dengan pandangan penuh selidik. Akan tetapi setelah
merasa tidak pernah mengenal kedua orang ini, maka
laki-laki pesolek atau yang sering dipanggil Anggih ce-
pat membentak.
***
TUJUH
"Manusia-manusia tak diundang! Datang-
datang berteriak-teriak bagai babi hutan. Ada keper-
luan apakah kalian mencari Kakang Kebo Selaksa Wi-
sa...?" bentak Anggih sambil pelototkan kedua ma-
tanya.
Melihat sikap si laki-laki pesolek yang galak itu,
maka Buang Sengketa tertawa ganda. Sambil pen-
congkan mulut, maka dia pun berkata:
"Aku cuma numpang tanya, adakah Kebo Se-
laksa Wisa di rumah?"
"Aku tanya apa keperluanmu menanyakan Ka-
kang Kebo Selaksa Wisa?"
Pendekar Hina, Kelana garuk-garuk kepalanya
yang tidak gatal!
"Kalian tidak punya hak untuk tahu apa yang
menjadi tujuan kami...!"
"Sinting! Berani sekali engkau membentak-
bentak kami. Engkau pikir aku akan mengatakannya
pada kalian?" tukas Anggih.
Dan agaknya Sri Pamuja mengetahui bahwa
Kebo Selaksa Wisa memang tak sedang berada di tem-
pat. Maka dia pun lalu berpura-pura:
"Kalau begitu kita pergi saja dari sini, Kelana!"
Si Anggih tanpa terduga-duga cepat melompat
menghadang, begitu melihat si pemuda dan si gadis
bermaksud meninggalkan tempat itu.
"Eit, tunggu! Enak saja kalian datang dan pergi.
Kalau kalian tak mau terangkan apa tujuan kalian in-
gin menjumpai Kakang Kebo Selaksa Wisa, maka ka-
lian harus dengan rela meninggalkan sebelah tangan
kalian sebagai kenang-kenangan!" bentak laki-laki pe-
solek itu. Seraya langsung mencabut senjatanya.
"Tangan kami terlalu mahal untuk sebuah kete-
rangan yang tiada harga, apalagi hanya untuk nyawa
seekor anjing Selaksa Wisa!" kata Buang Sengketa
acuh.
Sudah barang tentu ucapan si pemuda yang
membuat si Anggih dan Manusia Raksasa menjadi
murka. Si laki-laki pesolek yang sudah menghunus
senjatanya itu segera babatkan pedangnya, dengan
maksud membelah kepala si pemuda yang bermulut
lancang.
Akan tetapi begitu si pemuda angkat ta-
ngannya, si Anggih nampak terkejut luar biasa. Pedang
di tangan tak mampu dia gerakan, dia merasakan ada
kekuatan besar yang menahan laju pedang yang sudah
dialiri tenaga dalam itu. Maka sadarlah si laki-laki pe-
solek itu, bahwa pemuda yang berpakaian gembel itu
sesungguhnya memiliki kepandaian tinggi, bahkan
mungkin lebih tinggi dari yang dia duga. Dalam pada
itu si pemuda telah berkata pula;
"Manusia wajah kuntilanak.... He... he... he...!
Mengapa tak kau teruskan pedangmu untuk memba-
cokku.... Lakukanlah...!"
Merah padam wajah si Anggih, dan sungguh-
pun Manusia Raksasa berambut jarang itu termasuk
orang yang memiliki kecerdasan setingkat lebih tinggi
daripada seekor keledai. Namun dia menyadari bahwa
kawannya sedang dipermainkan oleh lawan. Dia san-
gat marah sekali, kedua bola matanya yang seperti
orang tertidur itu pun nampak terbeliak lebar. Gigi-
giginya bergemeletukan.
"Eng... engkau... orang kurang ajar, Bocah! Ka-
wanku engkau permainkan, aku mau balas...!" kertak
nya ketolol-tololan.
Si pemuda hampir tertawa karena menahan ge-
li!
"Lakukanlah, hendak kulihat engkau mampu
berbuat apa...?"
"Sialan!" makinya, lalu dengan gerakan yang
sangat berat si Manusia Raksasa dengan tangan ter-
kepal, kirimkan satu pukulan yang berupa sodokan
tinju kanannya.
Sungguhpun pukulan yang dilancarkan oleh si
Manusia Raksasa itu hanya mengan-dalkan tenaga be-
sar belaka. Namun datangnya serangan itu sempat
menimbulkan suara bersiuran. Si Manusia Raksasa,
yang secerdik setingkat di atas keledai ini berharap.
Dengan sekali pukul saja, dada si pemuda akan mele-
sak, atau paling tidak dadanya akan remuk karena tu-
lang-tulangnya berpatahan. Namun di luar dugaan si
Manusia Raksasa tersebut. Dengan sedikit menggeser
kakinya dan miringkan badan sedikit. Buang Sengketa
dapat mengkelit pukulan lawan yang memiliki kekua-
tan ratusan kati tersebut. Praktis, pukulan tersebut
mencapai sasaran yang kosong. Sebaliknya si pemuda
masih mampu kirimkan satu sentilan pada bagian
pangkal lengan si manusia besar itu.
"Arrgggk!"
Manusia berbadan besar itu pun menjerit bagai
lenguh seekor lembu jantan yang terluka. Orang itu
nampak terhuyung-huyung, tangan kanannya yang dia
pergunakan untuk memukul itu pun tiba-tiba terasa
kaku dan sangat sulit untuk digerakkan. Si Manusia
Raksasa yang tidak pernah kenal kompromi ini nam-
pak sangat marah sekali. Sungguhpun tangan kanan-
nya sudah dalam keadaan kaku karena tertotok, na-
mun dia kembali melakukan serangan.
Dalam kesempatan itu, si laki-laki pesolek itu
pun sudah mulai bergebrak untuk melakukan penge-
royokan. Dengan pedangnya yang mengkilat-kilat, dia
pun melompat dan kirimkan satu tusukan pada bagian
punggung si pemuda. Tetapi pada saat itu Sri Pamuja
juga tidak tinggal diam. Lebih cepat lagi dia memapaki
bokongan yang dilakukan oleh si Anggih.
"Trangg!"
Si laki-laki pesolek nampak terkejut, tiada me-
nyangka kalau si gadis yang tadinya dia anggap lemah,
kiranya memiliki kepandaian juga. Bahkan tenaga da-
lamnya pun tidak bisa dianggap enteng.
"Monyet cantik muka kuntilanak, aku paling
benci pada manusia pembokong sepertimu. Marilah ki-
ta main-main sebentar...!" bentak Sri Pamuja sambil
berdiri bertolak pinggang.
Si laki-laki pesolek nampak sangat geram seka-
li, apalagi tadi serangannya yang mendadak itu sempat
digagalkan oleh gadis itu. Si Anggih meludah ke tanah
dengan memandang pada si gadis penuh kebencian.
"Betina sialan! Sesungguhnya aku pun lebih
benci lagi bertarung dengan seorang betina macammu.
Aku lebih suka berhadapan dengan bocah tampan itu.
Tetapi karena kau telah menggagalkan rencanaku,
maka aku harus menggusur mu ke liang kubur!"
"Bagus!"
"Haaaiiit.... ciaaat...!" Tanpa menggubris celoteh
si gadis, si Anggih langsung bergebrak dan kirimkan
serangan-serangan yang cukup mematikan. Maka da-
lam waktu sekejap saja pertarungan di kaki Gunung
Bromo itu pun berlangsung sangat seru dan mene-
gangkan. Nampaknya masing-masing lawan memiliki
jurus-jurus pedang yang sangat ampuh. Terbukti sete-
lah pertarungan berlangsung puluhan jurus, tak se
orang pun di antara mereka yang berhasil mendesak
lawannya.
Sementara itu, di lain pihak, pertarungan anta-
ra pendekar dari Negeri Bunian dan Manusia Raksasa
nampak lebih seru lagi. Apalagi ketika berulangkali si
pemuda selalu gagal memukul roboh orang tersebut,
bahkan meskipun dia telah mempergunakan pukulan
"Empat Anasir Kehidupan" yang tiada duanya itu. Ah,
terbuat dari apakah manusia berotak keledai ini. Batin
si pemuda mengeluh! Dia kebal terhadap semua puku-
lan yang sangat diandalkannya. Selamanya tak se-
orang pun yang mampu menahan pukulan Empat
Anasir Kehidupan yang dimilikinya, seandainya tidak
terpukul mati, tetapi setidak-tidaknya akan terluka da-
lam yang cukup parah. Tetapi kini manusia sebesar
gajah itu hanya tergoyang-goyang saja menerima pu-
kulan yang dilepaskannya.
Hal ini saja sudah membuat si pemuda terka-
gum-kagum! Sungguhpun begitu dia tak ingin mem-
buang-buang waktu percuma, kalau dengan pukulan
si raksasa itu tidak bisa kojor. Sekebal-kebalnya ma-
nusia sudah pasti ada titik kelemahannya. Buang
Sengketa sudah berpikir-pikir untuk mempergunakan
pusaka Golok Buntungnya untuk mengatasi kesulitan
yang dia hadapi. Hal ini membuatnya tertegun sesaat
lamanya, namun kelengahan yang sekejap itu, bagi si
Manusia Raksasa sangat besar artinya. Lalu dengan
mengerang bagai seekor singa terluka, dia pun mener-
kam lawannya. Tiada kesempatan bagi si pemuda un-
tuk menghindari terkaman yang begitu cepat datang-
nya.
"Kreeep!"
Tahu-tahu tangan-tangan besar dan sangat ko-
koh itu telah mencekal tubuhnya begitu eratnya. Si
pemuda merasakan lehernya bagai hendak putus, na-
fasnya tersendat-sendat bagai tersumbat. Si pemuda
nampak menggeliat-geliat dan berusaha melepaskan
jepitan tangan yang semakin kuat itu. Si Manusia Rak-
sasa mengekeh. Agaknya kali ini si pemuda benar-
benar segera menyongsong ajal, andai Sri Pamuja tidak
melihat kejadian ini. Sambil terus bertahan memben-
dung serangan-serangan yang dilakukan si laki-laki
pesolek, Sri Pamuja meraba pinggangnya. Kemudian
tiga batang pisau beracun telah tergenggam di tangan
kirinya. Secara cepat dia melemparkan pisau beracun
tersebut pada bagian punggung lawannya.
"Wuuut!"
Lemparan yang berisi setengah dari tenaga da-
lam yang dia miliki, membuat pisau-pisau tersebut me-
lesat laksana kilat. Tak ampun, senjata beracun itu
pun menghajar punggung lawannya.
"Creeep!"
Salah sebuah pisau yang disambitkan si gadis
tepat mengenai sasarannya. Si Manusia Raksasa walau
seperti tidak merasakan tertembus pisau-pisau itu,
namun membuat dia menoleh. Kesempatan yang
hanya sesaat itu dipergunakan oleh si pemuda untuk
meronta. Sungguhpun rontaan yang tiba-tiba dilaku-
kan oleh si pemuda. Namun tidak membuat dirinya
terbebas secara keseluruhan. Bagian lehernya memang
luput dari jepitan yang mematikan tersebut. Namun
tangannya yang hampir lolos itu masih dapat dicandak
kembali oleh si Manusia Raksasa. Jepitan kembali
mengeras, si manusia berotak keledai yang sudah ter-
luka sedikit itu sangat marah besar.
Sesaat kemudian disentakkannya tubuh Pen-
dekar Hina Kelana ke atas, tetapi tangan masih tetap
dalam genggamannya. Tubuh si pemuda mencelat lak
sana terbang, baru saja tubuhnya melambung ke uda-
ra, mendadak bagai ditarik setan bumi, tubuh itu pun
kembali tersentak ke bawah. Begitu hal itu terjadi be-
rulang-ulang. Hingga pemuda itu merasakan persen-
dian tangannya bagai tercabik-cabik. Dalam detik-
detik yang sangat kritis itu, tiba-tiba dia teringat pada
lengkingan Ilmu Pemenggal Roh. Sungguhpun dia me-
rasa tubuhnya telah menjadi lunglai tiada daya, tetapi
dia merasa untuk menjerit mungkin dia masih mam-
pu. Maka tak berpikir panjang dia pun keluarkan jeri-
tan yang sangat tinggi membahana. Suara jeritan yang
berkepanjangan dan bagai hendak meruntuhkan alam
sekitarnya itu, membuat telinga orang-orang yang be-
rada di sekitar tempat itu bagai tercabik-cabik. Daun-
daun yang menghijau nampak berguguran, sementara
burung-burung walet yang secara kebetulan beterban-
gan di tempat itu, nampak runtuh ke bumi, menggele-
par-gelepar sekejap lalu berkelojot-an mati. Bukan
main akibat yang ditimbulkan akibat lengkingan Ilmu
Pemenggal Roh itu. Apalagi pada saat melakukannya
Pendekar Hina Kelana dalam keadaan marah besar.
Mau tak mau demi merasakan sakit yang luar biasa,
Manusia Raksasa itu terpaksa melemparkan tubuh si
pemuda. Tubuh yang terasa lemah itu meluncur deras
untuk kemudian terhenti setelah menabrak batu sebe-
sar kerbau yang terletak tak begitu jauh dari tempat
itu. Batu tersebut hancur berantakan ketika berbentu-
ran dengan tubuh si pemuda. Pendekar dari Negeri
Bunian dan merupakan murid tunggal si Bangkotan
Koreng Seribu ini nampak menggeliat-geliat. Dia mera-
sakan tulang belulangnya bagai remuk. Dada sesak
dan nyeri, sementara kepalanya berdenyut-denyut ba-
gai hendak pecah.
Cepat-cepat si pemuda menghimpun hawa
murni, dia terbatuk-batuk, lalu dari sela-sela bibirnya
menggelogok darah kental. Tak terbayangkan bagai-
mana jadinya andai orang biasa yang membentur batu
tersebut. Sudah barang tentu tubuhnya akan remuk
dan tewas seketika itu juga.
Beberapa saat kemudian setelah menghimpun
hawa murni, maka secara perlahan tubuhnya yang
pucat pasi itu secara perlahan kembali berangsur se-
perti sediakala. Namun baru saja dia bermaksud
bangkit kembali, si Manusia Raksasa yang hidung dan
kupingnya telah mengalirkan darah. Sudah membu-
runya dalam jarak yang begitu dekat. Tiada pilihan lain
bagi pendekar ini terkecuali berguling-guling di atas
tanah berbatu demi menghindari terinjaknya kaki-kaki
raksasa tersebut. Si raksasa yang sudah terluka dalam
akibat lengkingan Ilmu Pemenggal Roh nampak sema-
kin membabi buta begitu serangan-serangan yang di-
lakukannya luput.
Sementara itu satu pikiran yang sangat baik
muncul di benak si pemuda. Kalau memang benar
raksasa itu kebal terhadap segala macam senjata,
mungkin bagian yang satu ini merupakan titik kele-
mahannya. Maka tanpa membuang waktu lagi Buang
Sengketa menyelinap ke arah bagian selangkangan si
raksasa. Cepat-cepat tangannya bergerak mencecar
pada bagian pusaka keramat milik si raksasa. Dicecar-
nya pusaka keramat yang berukuran sangat besar itu
dengan jurus-jurus si Gila Mengamuk.
"Jroos! Jroos!"
Manusia Raksasa tersebut menjerit-jerit bagai
setan gila, pukulan maupun tendangan-tendangan ka-
kinya yang sangat berbahaya itu menabrak apa saja
yang terdapat di dekatnya. Darah terus mengucur
membasahi cawatnya yang besar luar biasa, sementara
si pemuda masih terus bergerak di sela-sela selang-
kangan si manusia gajah itu. Hingga kemudian Buang
Sengketa pukulkan tangan kirinya ke arah pusaka ke-
ramat yang sudah terluka parah tersebut.
"Auuuuoooowwww.,.!"
Si Manusia Raksasa menjerit keluarkan suara
laksana merobek langit biru. Kedua tangannya mene-
kap ke bagian yang sudah sangat rawan itu. Kesempa-
tan itu dipergunakan oleh Buang Sengketa untuk me-
lompat berdiri. Begitu dia telah tegak pada posisinya.
Tak ayal lagi kini di tangannya telah tergenggam Pusa-
ka Golok Buntung yang sangat menggemparkan itu.
***
DELAPAN
Begitu pusaka itu berada dalam genggaman-
nya. Terasa ada hawa hangat mengalir dan menjalari
tubuhnya. Sesaat dia merasakan tubuhnya semakin
membaik, walau tak bisa dibilang telah sembuh betul
dari luka dalam yang agak parah. Pendekar Hina Kela-
na nampak tersenyum kecut. Sesungging seringai
maut, membias di bibirnya yang masih meninggalkan
sisa-sisa darahnya sendiri. Pada saat itu baik lawan-
lawannya maupun Sri Pamuja nampak terkesima begi-
tu melihat senjata di tangan si pemuda yang nampak
memancarkan sinar terang berwarna merah. Bahkan
pertarungan antara Sri Pamuja dan si laki-laki pesolek
nampak terhenti untuk seketika lamanya. Situasi itu
sudah tidak dihiraukan lagi oleh si pemuda, sepasang
matanya yang mencorong merah, dan bunyi mendesis
yang keluar dari mulutnya menandakan bahwa pemuda ini benar-benar berada di puncak kemarahannya.
Sedetik kemudian setelah keheningan itu, dengan di-
awali dengan jeritan tinggi laksana merobek gendang-
gendang telinga. Tubuh pemuda itu pun berkelebat le-
nyap. Angin bersiuran mengitari tubuh si Manusia
Raksasa itu. Tetapi hal itu tak berlangsung lama. Ka-
rena begitu Golok Buntung di tangan si pemuda berke-
lebat, maka sedetik kemudian terdengarlah jerit kema-
tian yang membuat bulu kuduk berdiri menahan ngeri.
Kepala manusia gajah tersebut menggelinding
dengan mata melotot dan lidah menjulur. Sementara
tubuh yang sudah tiada berkepala itu nampak berpu-
tar-putar. Lalu ambruk dan timbulkan suara bagai po-
hon besar yang ditebang. Sesaat tubuh manusia kebal
itu berkelojotan untuk kemudian terdiam untuk sela-
ma-lamanya. Si laki-laki pesolek yang sudah menghen-
tikan pertarungan sejak beberapa saat yang lalu nam-
pak sangat terkejut sekali. Nyalinya menciut. Bahkan
dia tak berani memandang pada si pemuda ketika pen-
dekar ini menatap tajam padanya. Sementara itu Sri
Pamuja nampak melangkah mundur ketika pendekar
penegak keadilan ini melangkah mendekati si Anggih
atau si laki-laki pesolek. Sesaat dengan nada mengan-
cam pemuda ini pun membentak!
"Aku telah banyak membuang waktu untuk me-
layani badut-badut semacam kalian. Kalau engkau tak
inginkan nasib seperti kawanmu itu, cepat katakan
padaku di mana Kebo Selaksa Wisa saat ini berada...?"
Semakin pucat wajah si Anggih demi menden-
gar pertanyaan seperti itu. Lalu dengan suara gemeta-
ran dia pun menjawab
"Engkau tak bisa mengancam, sungguhpun
kau memenggal kepalaku sekalipun!" Tegas-tegas ke-
mudian si laki-laki pesolek berkata. Gusar bukan main
pendekar ini demi melihat sikap keras kepala si Ang-
gih.
"Bangsat! Aku tak akan memperlakukan mu
seperti itu, agaknya aku perlu membuntungi tangan
dan kakimu satu persatu. Ha... ha... ha...! Orang-orang
keras kepala! Pedang di tanganmu itu tiada guna,
mungkin hanya kebutan ekor naga di punggungmu sa-
ja yang mampu menandingi senjata golokku...!"
Belum lagi si Anggih hilang rasa keterkejutan-
nya, tahu-tahu Buang Sengketa sudah kirimkan satu
pukulan dahsyat yang bersumber dari pukulan Empat
Anasir Kehidupan yang sudah tak asing lagi itu. Detik
berikutnya nampaklah serangkum sinar ultraviolet
menderu laksana satu sapuan gelombang angin puting
beliung yang membawa hawa panas luar biasa. Mele-
satnya pukulan yang dilepas oleh Buang Sengketa,
timbulkan suara menggaung bagaikan suara ribuan
lebah yang berusaha pindah dari sarangnya.
Si laki-laki pesolek nampak terkesima, dia me-
nyadari pukulan itu jugalah yang tadi dipergunakan
oleh si pemuda untuk menggempur si Manusia Raksa-
sa. Sungguhpun dia bukan termasuk seorang tokoh
sakti namun. Dia pun memiliki kekebalan yang tidak
jauh dibawah Manusia Raksasa. Walaupun begitu dia
tetap berusaha menghindari pukulan tersebut.
"Hiaaatt.... haiiiittt...!"
"Blaaam!"
Pukulan yang dilancarkan oleh si pemuda lu-
put, dan menghantam tonggak-tonggak rumah ber-
tonggak yang terbuat dari kayu meranti. Beberapa
tonggak yang menjadi penyangga nampak hancur ber-
keping-keping dilanda pukulan Empat Anasir Kehidu-
pan. Rumah milik Kebo Selaksa Wisa nampak berkere-
kotan. Kemudian menjadi condong karena keseimban
gannya hilang. Dalam kesempatan itu, Buang Sengketa
sudah mulai menduga kalau lawan yang kebal terha-
dap segala macam senjata. Hal ini semakin terbukti la-
gi ketika jarak yang jauh, melalui ilmu menyusupkan
suara Sri Pamuja mengingatkan.
"Kakang.... Sebaiknya untuk tidak membuang-
buang waktu. Engkau pergunakan saja senjatamu.
Manusia kuntilanak itu kebal terhadap segala puku-
lan...!"
"Hmm, aku memang telah membuang waktu
percuma melayani monyet cantik itu...!" Tiba-tiba!
"Awas, Kakang...!"
Peringatan yang hanya sekejap itu, membuat si
pemuda itu melompat ke samping dan langsung ber-
guling-guling ke tanah. Kiranya Buang Sengketa mem-
pergunakan waktunya yang hanya sekedipan mata tadi
untuk bercakap-cakap dengan Sri Pamuja. Telah di-
manfaatkan oleh si laki-laki pesolek untuk menyerang
Buang Sengketa dengan senjata mautnya yang berupa
sebuah kebutan yang terbuat dari ekor buaya yang
sangat besar dan panjang. Sungguh pun serangan per-
tamanya luput, namun dengan semangat yang meng-
gebu-gebu dia kirimkan serangan-serangan lebih gen-
car lagi. Dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya
pemuda ini nampak selalu berhasil menghindari han-
taman kebutan yang bergerigi tak ubahnya bagai ger-
gaji raksasa. Namun di suatu kesempatan si Anggih
nampak mencecar pihak lawan dengan mem-
pergunakan jurus Pesolek Aneh Memukul Monyet Ku-
disan.
Jurus ini dilihat sepintas lalu sesungguhnya ti-
dak memiliki keistimewaan tertentu. Namun sungguh
pun jurus itu terasa begitu amat sederhana. Tetapi da-
ri gerakan-gerakannya yang sebat dan mantap, ditam
bah lagi dengan kebutan yang terbuat dari ekor buaya
itu di tangannya. Hal itu membuat si pemuda jadi ke-
repotan juga.
Beberapa jurus di depan si Anggih nampak ber-
hasil mendesak lawan. Pendekar Hina Kelana jatuh di
bawah angin. Bahkan sesaat kemudian dia kena dige-
buk oleh lawannya dengan kebutan ekor buaya itu.
Sungguhpun pukulan itu tidak telak benar, tetapi ekor
buaya yang menyerupai gergaji itu telah membuat ba-
junya robek besar, sementara kulit punggungnya
nampak memar dan lecet.
Nampak Pendekar Hina Kelana tak ingin men-
gambil resiko lebih jauh lagi. Apalagi dia sudah mera-
sakan betapa hebatnya kebutan tersebut mendera
punggungnya tadi. Andai saja tidak jauh-jauh sebe-
lumnya dia telah melindungi dirinya dengan Hawa
Murni Sejati. Sudah dapat dipastikan tubuhnya akan
tercabik-cabik termakan kebutan. Tiada pilihan lagi,
Pendekar Hina Kelana nampak menyurut langkah be-
gitu senjata di tangan si laki-laki pesolek itu hampir
saja menghantam bagian wajah. Dia mengumpat pan-
jang pendek. Manakala dia meraba pada bagian ping-
gangnya, lalu dia menggerung. Kemudian sekejap sete-
lahnya, tubuh pemuda itu pun telah berkelebat lenyap.
Hanya desiran-desiran angin saja yang menandakan
bahwa pendekar ini sedang berusaha menemukan titik
lemah pihak lawan. Saat itu pengaruh Pusaka Golok
Buntung yang berada di tangan si pemuda, mulai tera-
sa bagi lawannya. Suasana dingin tiba-tiba menyelimu-
ti daerah sekitar situ. Padahal saat itu matahari bersi-
nar terik. Hal ini membuat si laki-laki pesolek mere-
mang takut. Kemudian dengan satu jeritan keras dia
pukulkan kebutannya yang tajam bergerigi dan berat.
"Braaaak!"
Serangan yang hanya bersifat ayal-ayalan ter-
sebut luput dari sasarannya. Mata si Anggih berputar-
putar mencoba mencari posisi lawannya. Namun kare-
na tubuh pihak lawan berkelebat laksana setan. Maka
terlalu sulit baginya untuk menyerang dengan tepat
sekali.
"Sialan! Engkau hanya mengelak saja seperti
setan! Apakah hanya itu kebisaan-mu...?"
"Ho... ho... ho...! Jangan khawatir, Sobat, masih
banyak lagi. Misalnya seperti ini...!"
Lagi-lagi tubuh si pemuda bergerak cepat. Te-
tapi golok di tangannya malah bergerak lebih cepat la-
gi.
"Creees!"
Si laki-laki pesolek meraung keras begitu Pusa-
ka Golok Buntung terasa begitu dingin menembus ku-
lit lehernya. Anggih menekan pangkal tenggorok yang
berlubang besar karena dilanda ketajaman senjata la-
wan. Namun darah tak dapat terbendung. Terus me-
nyembur, membasahi kedua tangannya. Meleleh bah-
kan mulai turun sampai ke baju. Hanya dalam sekeja-
pan saja, pakaian si Anggih sudah berlumuran darah.
Tetapi benar-benar sungguh hebat daya tahan si laki-
laki pesolek ini. Sebab sungguhpun dia sudah dalam
keadaan sekarat, tetapi masih saja bertahan pada po-
sisinya.
"Kakang! Orang itu takkan pernah mati, tebas-
lah bagian ketiaknya...!" seru Sri Pamuja. Pendekar ini
sekejap tertegun, tetapi begitu dia ingat peringatan ter-
sebut maka dia pun gerakkan Golok Mautnya pada ba-
gian yang dimaksud.
"Jroook!"
Tebasan golok membuat tangan si laki-laki pe-
solek terkutung. Kutungan tangan tersebut jatuh ke
tanah, bergerak-gerak sebentar lalu diam tiada berku-
tik. Lalu sesaat setelahnya. Nampaklah tubuh si laki-
laki pesolek yang sudah tiada berdarah lagi terhuyung-
huyung, berputar, kemudian terjengkang dengan wa-
jah tersungkur di atas tanah berbatu.
Mengetahui keberhasilan Buang Sengketa, Sri
Pamuja berlari menghambur ke depan pemuda yang
sangat dikaguminya itu. Sesaat memandang penuh
takjub tetapi Buang Sengketa memperhatikan tingkah
si gadis dengan sikap acuh. Sungguhpun hal itu hanya
kepura-puraan belaka. Karena hatinya pada saat itu
juga sedang berdebar keras tiada menentu. Selama
malang melintang di rimba persilatan. Baru sekali ini
dia merasakan keanehan seperti itu. Padahal cukup
banyak gadis-gadis cantik yang pernah dikenalnya. Te-
tapi tak pernah dia merasakan kejadian seperti itu.
"Kakang hebat!" puji Sri Pamuja membubarkan
lamunan si pemuda.
"Tanpa bantuan dan peringatanmu! Aku bu-
kanlah apa-apa...!" kata Pendekar Hina Kelana sekilas
lalu memandang pada mayat si Manusia Raksasa dan
si laki-laki pesolek yang sudah membeku.
"Menurutmu, ke manakah perginya Kebo Se-
laksa Wisa...?" tanya si pemuda setelah teringat akan
tugasnya.
"Kemungkinan orang itu kini sedang menuju
Gunung Dieng, Kakang Kelana...!"
Wajah Buang Sengketa mengkerut, tiba-tiba te-
ringat pula olehnya tentang Aki Kilik Rogo yang pernah
berencana untuk berangkat ke gunung tersebut ber-
sama murid-muridnya. Menurut laki-laki berbadan
pendek itu, hanya Empu Wesi Laya seoranglah yang
mampu mengobati penyakit yang diderita oleh murid-
muridnya. Ah.... Mudah-mudahan Aki Kilik Rogo be
lum membawa murid-muridnya ke sana. Batinnya
berharap-harap cemas.
"Adik Pamuja...!" panggil si pemuda begitu me-
sra. Dan hal yang sesungguhnya saat itu hati pendekar
ini gelisah tak menentu, jantungnya terasa berdetak
lebih keras. Setiap menatap wajah si gadis, terasa ada
sesuatu yang mengelus dan membuat darahnya berde-
sir. Atau inikah yang namanya jatuh cinta? Batinnya
lalu tersipu malu.
"Kakang bertanya apa?" tanya si gadis dengan
sikap tak jauh beda.
"Emmm.... Masih jauhkah Gunung Dieng dari
tempat ini?"
"Lumayan jauh, mungkin bisa memakan waktu
lima hari perjalanan kaki...!" jawab si gadis. Dan sepa-
sang matanya menatap lekat-lekat pada wajah tampan
yang berdiri persis di depannya itu. Pendekar Hina Ke-
lana mengalihkan perhatiannya. Di langit sebelah Ba-
rat matahari hanya tinggal berupa semburat merah sa-
ja. Suasana di sekitarnya mulai me-rembang petang.
Tiada terdengar suara makhluk apapun di sana, tiada
kicauan burung dan nyanyian jangkrik menyambut
datangnya sang Dewi Malam. Dua orang muda yang
sedang dilanda cinta itu kemudian pergi meninggalkan
tempat itu. Kini yang ada hanyalah desau angin dingin,
dan mayat-mayat yang bergelimpangan itu. Teronggok
begitu saja, tiada memiliki arti apa-apa.
Kala malam telah menjelang, saat itu Pendekar
Hina Kelana dan Sri Pamuja telah berlalu jauh me-
ninggalkan lereng Gunung Bromo. Santai saja mereka
dalam perjalanan menuju Dieng untuk kali ini. Seseka-
li mereka saling lirik-lirik mesra. Sedangkan tangan
yang bergandengan itu tak pernah terlepas satu sama
lainnya. Agaknya kedua orang ini benar-benar telah ja
tuh cinta pada pandangan pertama. Malam kian larut,
hanya kesunyian yang ada di sekitar tempat itu. Sese-
kali terdengar pula suara burung hantu yang terasa
begitu menyeramkan. Kedua orang ini nampak meng-
hentikan langkahnya. Saling berpandangan.
"Kita tak mungkin meneruskan perjalanan. Su-
dah beberapa hari kita tak pernah istirahat. Bagaima-
na kalau kita bermalam di tempat ini...?" tanya si pe-
muda mengajukan usul.
***
SEMBILAN
"Semua itu terserah pada kakang saja!" jawab
Sri Pamuja. Akhirnya tanpa banyak kata lagi Pendekar
Hina Kelana segera mengumpulkan ranting dan rum-
put-rumput kering. Dalam waktu sekejap, alas untuk
tempat tidur itu telah tersusun sedemikian rupa. Si
pemuda kini telah duduk di atasnya, begitu pula Sri
Pamuja. Bulan purnama di langit malam sudah mulai
tertutup awan putih, sekejap cahayanya menghilang.
Namun sekejap kemudian sudah tampak lagi. Semen-
tara itu dingin malam terasa menusuk sampai ke tu-
lang belulang, embun-embun di dedaunan mulai me-
netes. Malam terus merangkak kian pasti. Namun saat
itu Buang Sengketa masih terduduk pada tempatnya
semula, sementara Sri Pamuja sudah nampak tertidur
dengan posisi terlentang dan tangan bersidakep ke da-
da.
Lewat cahaya bulan yang kuning keemasan, si
pemuda untuk sesaat lamanya memandang pada gadis
jelita yang tertidur di sebelah tempat duduknya. Di
matanya gadis itu nampak sangat cantik sekali, kebai-
kan, tingkah lakunya yang selalu menyenangkan. Cara
berpikirnya yang luas dan cerdas, semua itu ada pada
gadis itu. Mendadak ada sesuatu yang menyesak di da-
lam dadanya. Jantungnya berdetak lebih keras. Sela-
ma hidup dia belum pernah mengalami kejadian seper-
ti itu. Rasa-rasanya dia ingin selalu berdekatan dengan
gadis itu, tidak terpisah walaupun hanya sekejap. Dia
ingin melindungi dan menyayangi gadis itu sepenuh
hati, tak rela walau seekor nyamuk pun yang meng-
ganggunya. Tiba-tiba dengan penuh kasih dibelainya
rambut si gadis yang panjang tergerai sebatas ping-
gang.
Sri Pamuja menggeliat, lalu merintih manja.
Tangan pemuda itu nampak gemetaran, serta merta
dia menarik balik tangannya. Selama ini baru kali in-
ilah dia punya perhatian yang berlebihan terhadap
seorang wanita. Hatinya kian resah, jiwanya semakin
gelisah. Lagi-lagi dia menarik napas pendek. Namun
desahan nafasnya kiranya membuat Sri Pamuja terjaga
dari tidurnya. Gadis itu mengucek-ucek matanya, dan
sebelum si gadis menatap lekat padanya, dia telah
membuang pandangan matanya jauh-jauh. Ke arah
lain!
"Engkau belum tidur, Kakang...!" tanyanya
dengan pandangan penuh arti. Buang gelengkan kepa-
lanya pelan! Tetapi matanya memandang padanya tia-
da berkedip sedikitpun juga. Perlahan Sri Pamuja
bangkit dari tidurnya. Lalu tanyanya lirih!
"Apa yang kau pikirkan...?"
Yang ditanya menarik napas pendek, sesaat dia
diam seribu bahasa.
"Katakanlah, Kakang! Siapa tahu aku dapat
membantu meringankan beban batinmu!" desaknya
penuh perhatian.
"Derita ku tiada seorang pun yang tahu. Ka-
dang aku berpikir, bahwa sesungguhnya hidup ini
singkat namun panjang. Kulihat keserakahan dan
angkara murka di mana-mana. Orang-orang ingin ber-
kuasa di atas penderitaan orang lain...!" ucap si pemu-
da seperti pada dirinya sendiri.
"Apa maksudmu, Kakang.... Aku tak mengerti!"
kata Sri Pamuja, seraya memegang bahu si pemuda.
"Pamuja! Jauh sudah langkah yang kutempuh,
semua itu hanya dengan tujuan ingin mencari tahu di
mana sesungguhnya orang yang telah menyebabkan
ku lahir ke dunia ini. Namun sejauh itu aku masih be-
lum berhasil mendapatkannya, dia pergi terlalu jauh.
Mengasingkan diri di sebuah tempat yang sangat sulit
untuk ku jangkau, padahal aku begitu sangat merin-
dukannya...!" Tersendat suara si pemuda, ada kepedi-
han yang terasa menusuk-nusuk relung hatinya yang
paling dalam. Dan untuk pertama kali di dalam hidup-
nya. Dia menitikkan air mata di depan seorang gadis.
"Apakah orang yang kau maksud itu me-
rupakan ayah atau ibumu?" tanya si gadis ikut priha-
tin.
"Ah, dia bukan ibuku...!"
"Ibumu...?"
Lagi-lagi si pemuda menarik napas panjang-
panjang.
"Ibuku... oh, aku tak pernah melihatnya. Dia
sudah tiada, dia telah tewas di tangan para peramal
celaka itu. Dia telah tewas ketika berusaha menyela-
matkan jiwaku, orang-orang itulah yang telah membu-
nuhnya. Aku tak mungkin membalas kasih sayangnya
yang maha besar itu. Dia telah pergi, dan aku sangat
menyesalinya...!" ucap si pemuda dengan suara ter
sendat-sendat.
"Kakang, mengapa mereka begitu tega membu-
nuh ibumu, katakanlah Kakang...!" desak si gadis se-
makin iba dan prihatin.
"Semua itu karena akibat ulah para peramal ce-
laka itu. Mereka telah memfitnahku bahwa kelahiran-
ku di atas dunia ini akan menyebabkan malapetaka
yang sangat besar. Jauh sebelum kelahiranku bahkan
mereka telah memberi isyarat maut itu. Kalau ibuku
tidak menghanyutkan aku ke laut, barangkali si Hina
Kelana tak pernah ada di kolong langit ini, aku adalah
anak yang dibuang demi sebuah keselamatan. Itulah
sebabnya ibuku memberi ku nama Buang Sengketa.
(Untuk lebih jelasnya baca judul Utusan Orang-orang
Sesat jilid terdahulu).
Kedua orang itu nampak saling terdiam untuk
beberapa saat lamanya. Namun kesunyian segera ter-
pecah kembali dengan suara si gadis yang penuh den-
gan keingintahuan.
"Lalu, siapakah orang yang kakang cari-cari
itu...?"
"Dia adalah ayahku yang kini melakukan tapa
di dalam lautan yang sangat dalam lagi luas...!" jawab
Buang lirih sekali. Bukan main terkejutnya hati Sri
Pamuja demi mendengar kata-kata si pemuda. Dia
menjadi bingung sendiri. Mungkinkah orang yang dia
kasihi itu memiliki otak yang tidak waras? Mengapa
bicaranya terlalu melantur? Mungkinkah seorang ma-
nusia melakukan tapa di dalam lautan. Tak seorang-
pun orang yang maha sakti sekali pun mampu berta-
han hidup di dalam air. Mendadak Sri Pamuja menjadi
ketakutan sendiri, Dan kiranya itu sempat dilihat oleh
Pendekar Hina Kelana. Maka dengan berhati-hati dia
pun menjelaskan:
"Mungkin engkau merasa heran, atau bahkan
telah menganggap bahwa aku telah gila. Tetapi inilah
kejadian yang sesungguhnya, sebuah kenyataan yang
tak pernah bisa ku pungkiri. Bahkan engkau mungkin
tak pernah percaya, bahwa sesungguhnya ayahku ada-
lah seekor ular raksasa. Raja Piton Utara! Seorang raja
dari Negeri Bunian, suatu negeri yang tak pernah terli-
hat oleh kasat mata. Tetapi alam itu ada seperti halnya
alam gaib lainnya. Dia sengaja meninggalkan tahta,
karena demi cintanya terhadap seorang anak manusia
dan kini dia pergi melakukan tapa, semua itu hanya
untuk menebus kesalahannya, yang telah mengawini
seorang manusia di alam nyata. Dia seekor ular... teta-
pi dia tetap ayahku...!" tukas Buang Sengketa merasa
sangat sedih sekali.
Semakin besar saja simpati si gadis pada pe-
muda itu. Sedikit pun dia tiada menyangka kalau pe-
muda yang sangat menarik hatinya itu adalah anak
seorang raja ular, tiada juga pernah dia duga, kalau
pemuda yang memiliki ilmu sangat tinggi itu hidupnya
penuh penderitaan. Sri Pamuja semakin terkagum-
kagum, bahkan semakin bertambah dalam kasih
sayangnya!
"Kakang, janganlah engkau bersedih. Kita me-
miliki persamaan nasib, bahkan ayahku telah tiada
pula. Si Jubah Hitamlah yang telah membunuhnya,
jangan bersedih, Kakang! Aku sedih mendengarnya,
aku mencintaimu...!" desah si gadis, dan tanpa sadar
kata-kata seperti itu pada akhirnya terlepas juga dari
mulutnya.
Sungguhpun hatinya sedang diliputi kegalauan,
namun demi mendengar ucapan si gadis, dia nampak
kaget. Dia tiada menyangka kalau gadis itu juga me-
mendam perasaan yang sama.
"Sungguhkah apa yang kau katakan itu...?"
tanya Buang Sengketa mencoba mencari-cari jawaban
dalam wajah yang tertunduk itu. Si gadis tersipu malu,
namun tetap menganggukkan kepalanya. Dengan lem-
but, jemari tangan si pemuda mencoba menengadah-
kan wajah si gadis. Begitu wajah Sri Pamuja terangkat
ke atas, lewat cahaya bulan si pemuda dapat melihat
wajah gadis itu tersipu dan kemerah-merahan. Kini
wajah kedua orang itu sudah saling berdekatan, napas
keduanya terdengar dan saling mengusap sesamanya.
Kemudian kedua bibir mereka paling mendekat,
karena pengalaman itu untuk pertama kalinya maka
tubuh mereka saling gemetaran. Dengan lembut dan
segenap perasaan kedua bibir itu saling menyatu. Sri
Pamuja merengek dan merintih, kedua wajah mereka
terus berpagut dan menyatu.
Di angkasa lepas cahaya bulan sudah mulai
kehilangan sinarnya. Tubuh mereka kini bergulung-
gulung di atas ranting dan rumput kering. Rintih man-
ja dari bibir si gadis terdengar pelan, ada sesuatu yang
mendesak-desak di dalam dadanya. Pori-pori kulitnya
meremang. Rasanya ada sesuatu yang menuntut dan
ingin dipenuhi.
"Kakang...!" rengeknya.
"Hemmm...!"
"Aku mencintaimu, Kakang! Jangan kau ting-
galkan aku...!" desah si gadis di sela-sela rintihannya.
"Tidak akan, dan tidak pernah...!" kata si pe-
muda pasti.
"Lakukanlah sesuatu untukku, Kakang?" ren-
geknya.
Begitu mendengar bisikan seperti itu, si pemu-
da langsung melepaskan pelukannya.
"Ada apa, Kakang?" Sri Pamuja tersentak kaget.
"Aku tak ingin melakukannya. Sang Hyang Widi
pasti akan mengutuk kita, aku sangat menghormati-
mu, Pamuja, sebagaimana aku menghargai diriku sen-
diri. Aku tak ingin masa depanmu menjadi hitam dan
dipenuhi dosa...!" ujar Buang Sengketa penuh wibawa.
Mendengar Ucapan kekasihnya, Pamuja menjadi tersi-
pu malu. Sungguh agung hati pemuda ini! Batin Sri
Pamuja.
"Maafkan aku, Kakang...!" desahnya, seraya
kembali rebah di sisi Pendekar Hina Kelana.
"Engkau tak bersalah, Pamuja, tak ada yang
perlu dimaafkan. Tidurlah, malam sudah sangat larut.
Aku akan menjaga mu...!" katanya sambil mengecup
kening Pamuja lembut.
"Tapi mengapa kakang menjagaku! Bukankah
kakang juga butuh istirahat?"
"Jangan pikirkan aku! Seorang gadis yang baik,
adalah gadis yang selalu menurut apa yang dikatakan
oleh orang yang paling dekat dengannya. Selama hal
itu tidak menyimpang dari keinginan hati nurani...!"
"Malah aku mengkhawatirkan kesehatanmu,
Kakang! Besok kita sudah harus meneruskan perjala-
nan, pula sudah beberapa hari ini kita memang kurang
istirahat...!" Sri Pamuja mengingatkan.
"Jadi engkau tak mau menuruti perintahku...?"
kata si pemuda menegur.
"Selama kakang sendiri tidak mau menuruti ka-
ta-kataku...!"
Buang Sengketa geleng-gelengkan kepalanya.
"Engkau benar-benar gadis bandel...!"
"Engkau juga pemuda tampan yang nakal...!"
kilah Sri Pamuja, seraya menggenggam erat tangan
Pendekar Hina Kelana. Demikianlah, kedua anak ma-
nusia itu terus terlihat perbincangan. Namun kata
kata mesra yang terdengar, tiada kekerasan, apalagi
saling membentak. Namanya juga pendekar yang lagi
dimabuk cinta. Siapa sangka dia bisa selembut dewa.
***
SEPULUH
Setelah menempuh perjalanan berhari-hari,
akhirnya Aki Kilik Rogo dan murid-muridnya di pagi
itu telah sampai di perbatasan antara Gunung Dieng
dan Gunung Perahu. Embun masih menempel di rant-
ing-ranting, tanah lembab yang mereka lalui menebar-
kan aroma kegersangan. Di barisan paling depan nam-
paklah murid-murid Aki Kilik Rogo berjalan dengan
langkah ayal-ayalan. Sementara laki-laki pendek yang
menjadi guru mereka, nampak berada di bagian paling
belakang menunggang seekor kuda putih pula. Se-
dangkan di kanan kiri mereka, mengapit dua tebing
bukit kapur yang menjulang tinggi. Kalau keadaan hu-
jan. Tebing curam yang terdiri dari tanah kapur terse-
but selalu mengalami longsor, tetapi kalau hujan me-
reda kembali. Maka jalan di sela-sela tebing itu akan
berubah seperti sediakala. Hal inilah yang merupakan
salah satu keanehan yang terjadi di daerah Gunung
Perahu.
Tetapi mengapa Aki Kilik Rogo sampai memba-
wa murid-muridnya ke Gunung Dieng? Seperti telah
diketahui, murid-murid Aki Kilik Rogo sebagian besar
telah terkena pengaruh ilmu hitam milik si Jubah Hi-
tam atau yang dikenal sebagai Batari Murti. Manusia
setengah iblis itu dengan sengaja telah memperguna-
kan Racun Linglung Raga untuk mempergunakan mu
rid-murid Aki Kilik Rogo. Demi tercapainya maksud
dan keinginannya dalam menghadapi Empu Wesi Laya.
Seperti telah diketahui pula, si Jubah Hitam telah me-
larikan sebuah Kitab Pusaka Bendil Dieng milik gu-
runya sendiri. Tetapi karena usaha untuk memecah-
kan rahasia kitab tersebut selalu mengalami jalan bun-
tu, maka mau tak mau dia harus memperalat murid-
murid Aki Kilik Rogo yang juga masih merupakan sau-
dara seperguruannya sendiri. Sebab dia sadar bahwa
sesungguhnya Kunci Kitab Bendil Dieng tentunya ada
di tangan gurunya. Berhadapan secara langsung de-
ngan ilmu kepandaian yang sama, dia sudah merasa
pasti tidak bakalan menang. Tetapi dia berharap den-
gan bantuan murid-murid Aki Kilik Rogo yang tak
mengetahui bahwa murid-muridnya telah berada da-
lam kekuasaannya. Sudah barang tentu, urusan untuk
merampas kunci kitab rahasia itu akan terbuka lebar.
Namun seperti diketahui pula kiranya Empu Wesi Laya
telah meninggal kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Itu
makanya si Jubah Hitam tidak muncul di tempat itu,
ketika Aki Kilik Rogo membawa murid-muridnya ke
Gunung Dieng dengan maksud meminta kesembuhan
dari gurunya yang terkenal sangat sakti itu.
Sungguhpun begitu, bukan berarti Aki Kilik
Rogo dan murid-muridnya dapat terlepas dari anca-
man bahaya. Masih ada bahaya lain yang mengintai di-
rinya. Hal itu terbukti dengan adanya dua sosok
bayangan yang berkelebat di antara gundukan-
gundukan batu besar. Tak lama setelahnya, begitu dua
orang itu telah sampai di atas tebing yang curam itu.
Salah seorang di antaranya dengan gerakan yang san-
gat ringan segera menghela beberapa buah batu sebe-
sar kerbau ke arah jalan yang terapit tebing tersebut.
Terdengar bunyi selaksa gempa, begitu batu-batu ter
sebut menggelinding dan meluncur deras menuruni ja-
lan yang sempit itu. Murid-murid Aki Kilik Rogo begitu
mendengar suara gaduh langsung saja melongokkan
kepala mereka ke atas tebing. Begitu pun Aki Kilik Ro-
go. Mereka nampak sangat terkejut sekali.
"Hoi.... Ada batu besar.... Ada gempa.... Cepat
selamatkan diri...!" teriak mereka sembari mengham-
bur ke segala arah. Dasar murid-murid pesakitan, be-
berapa orang di antaranya malah berlari-lari menyong-
song datangnya batu-batu tersebut. Otomatis empat
orang di antara murid-murid itu, menemui ajal secara
mengerikan. Tubuh mereka tertimpa batu yang sangat
sulit diukur beratnya. Tubuh mereka ringsek, kepala
mereka remuk, darah dan cairan otak muncrat ke ma-
na-mana. Bukan main murkanya Aki Kilik Rogo me-
nyaksikan semua kejadian ini. Serta merta dia kembali
mendongakkan kepalanya di atas tebing. Baginya su-
dah sangat jelas bahwa kejadian itu adalah akibat ulah
seseorang. Maka sesaat kemudian laki-laki pendek di
atas kuda itu sudah membentak
"Manusia iblis yang berada di atas tebing, cepat
tunjukkan muka! Atau aku harus menyeret mu dari
atas situ...?"
Belum lagi usai Aki Kilik Rogo dengan ucapan-
nya yang begitu indahnya. Kedua orang itu menjejak-
kan kakinya dengan mulus, persis di hadapan Aki Kilik
Rogo.
Dari cara mereka menjejakkan kaki, dan meli-
hat gerakan mereka yang sangat ringan. Maka sadar-
lah si laki-laki pendek tersebut. Bahwa kedua orang ini
memiliki ilmu yang sangat tinggi. Sementara murid-
murid Aki Kilik Rogo nampak melongo memandangi
kehadiran kedua orang itu. Begitu dua orang yang tak
dikenal itu berada di depan Aki Kilik Rogo, kakek ini
pun kembali membentak dalam kemarahan yang me-
luap-luap:
"Manusia-manusia keparat! Ada maksud apa-
kah sehingga kalian mencari urusan denganku...?"
"He... ho... hi...!" Si laki-laki gemuk yang di ke-
palanya mengenakan topi tanduk kerbau nampak ter-
tawa lebar. Kemudian tukasnya. "Aki Kilik Rogo manu-
sia dungu. Jangan kira aku tak tahu tujuanmu ke Gu-
nung Dieng itu. Ada baiknya kalau kita bekerja sama,
sebab kukira si Jubah Hitam telah menghadangmu di
Lereng Dieng...!"
Mendengar ucapan laki-laki gemuk bertopi tan-
duk kerbau itu, Aki Kilik Rogo kerutkan alisnya, dia
seperti mengenal si gemuk suara kerbau itu. Dia terus
mengingat dan mengingat, hingga pada akhirnya dia
pun berseru lantang;
"Hmmm... bukankah engkau ini yang bernama
Dulimang atau Kebo Selaksa Wisa dari Gunung Bromo
yang pinter keblinger itu...?"
Kebo Selaksa Wisa mengekeh dan tepuk-tepuk
perutnya yang gembul segendut tempayan.
"Hohoho.... Kiranya otakmu tidak sinting seper-
ti mereka, Ki...! Bagus. Hal ini akan memudahkan ka-
mi untuk mengajak bicara denganmu."
"Engkau telah membunuh muridku, masih ju-
gakah engkau hendak mengajakku bicara. Tidak... aku
tidak akan memberimu maaf...!" tukas Aki Kilik Rogo
semakin bertambah berang. Begitu pun Kebo Selaksa
Wisa masih berusaha membujuk.
"Semua itu kesalahan murid-muridmu yang
sinting itu. Si Jubah Hitamlah yang menyebabkan se-
mua itu, tahukah engkau bahwa sesungguhnya si Ju-
bah Hitam masih merupakan saudara seperguruanmu.
Dia sangat berbahaya, Aki. Ada baiknya kalau kita sa
ma-sama membunuhnya...!"
"Apa! Batari Murti yang membuat muridku jadi
tolol semua...?!" menukas Aki Kilik Rogo dengan mata
melotot bagai hendak melompat ke luar.
"Benar, Ki.... Dan murid-muridmu juga sangat
berbahaya. Sewaktu-waktu mereka dapat membu-
nuhmu...!" kata Kebo Selaksa Wisa bersungguh-
sungguh.
"Kita lebih baik bergabung sajalah, Ki...!" Laki-
laki berewokan berbaju biru yang dikenal sebagai salah
seorang dari Sepasang Ular Welang ikut menyela. Se-
perti diketahui Sepasang Ular Welang, salah seorang di
antara mereka yang bernama Sadaka telah tewas di
tangan Pendekar Hina Kelana. Tetapi salah seorang
yang lain sempat menyelamatkan diri dan kini berga-
bung dengan sahabatnya Kebo Selaksa Wisa. Aki Kilik
Rogo angguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hatinya cu-
riga. Lalu laki-laki pendek yang masih tetap nongkrong
di atas kudanya itu pun berkata mencibir.
"Kalau Kitab Pusaka Bendil Dieng tidak berada
di tanganku, apakah kalian masih juga ingin menga-
jakku bergabung...?" sindirnya. Memerah wajah kedua
orang itu seketika itu juga. Tetapi dasar manusia-
manusia sesat. Keadaan seperti itu hanya berlangsung
sekejap. Kemudian Kebo Selaksa Wisa sudah menyela
kembali:
"Cerdik juga otakmu, Ki.... Syukur sekali kalau
engkau sudah mengetahui tujuan kami...!" menyela si
Jubah Biru atau Sadaki.
"Puih. Kiranya kalian hanya bangsanya tikus
pengecut, tidak sekalipun Kitab Bendil Dieng itu bera-
da di tanganku! Mengapa kalian tidak merampasnya
saja dari tangan wanita laknat itu...?" maki Aki Kilik
Rogo gusar sekali. Kedua orang itu saling mengekeh
begitu mendengar ucapan Aki Kilik Rogo.
"Engkau jangan berpura-pura, Aki...! Kalaupun
kitab tersebut memang tak ada di tanganmu, tetapi
tentu engkau tahu tempat rahasia penyimpanan Kunci
Kitab Bendil Dieng...!"
"Bangsat! Kiranya engkau juga tak jauh berbe-
da dengan perempuan busuk itu! Sial! Masih untung
aku tak pernah mengetahui tempat penyimpanan kun-
ci kitab tersebut. Pula seandainya aku mengetahuinya
yang pasti tak akan kukatakan pada pengecut-
pengecut semacam kalian...!" tukas Aki Kilik Rogo te-
gas-tegas.
Semakin bertambah memerah wajah Kebo Se-
laksa Wisa demi mendengar ucapan Aki Kilik Rogo. Dia
sangat murka sekali, lalu timbul pula dalam pikiran-
nya untuk memaksa laki-laki pendek ini.
"Aki busuk! Jadi engkau benar-benar tak ingin
bekerja sama dengan kami?"
"Tidak!"
"Tidakkah engkau sayangkan nyawa-mu...?"
menyela Sadaki.
Sampai di sini Aki Kilik Rogo tertawa menge-
keh. Tubuhnya yang pendek dan kecil itu nampak ter-
guncang-guncang di atas punggung kudanya.
"Nyawa... ha... ha...! Masalah nyawa adalah
urusan Sang Hyang Widi. Sedikit pun kalian tak punya
hak apa-apa terhadap hidup orang lain...!"
"Kentut busuk! Agaknya engkau lebih tolol dari
murid-muridmu itu, Aki Kilik Rogo! Sia-sia kau bawa
muridmu ke Gunung Dieng, penyakit muridmu tak
akan pernah sembuh dengan cara pengobatan apapun,
lebih baik engkau hela saja mereka pulang ke nera-
ka.... Haiittttt...!"
"Weeer!"
Kebo Selaksa Wisa pukulkan tangannya ke
muka, sesaat itu juga satu rangkaian gelombang sinar
berwarna hitam pekat, menderu laksana badai topan
prahara. Sinar tersebut melesat sedemikian cepatnya
mengarah pada Aki Kilik Rogo yang saat itu masih te-
tap berdiri di atas punggung kudanya. Merasakan ha-
wa pukulannya saja telah membuat Aki Kilik Rogo ter-
sentak kaget. Lalu tanpa buang waktu lagi tubuhnya
melesat meninggalkan kuda putihnya. Tak ampun lagi
kuda malang tersebut meringkik keras begitu sinar hi-
tam dan berbau amis mendera tubuhnya. Kuda tung-
gangan milik Aki Kilik Rogo terpental sejauh tiga tom-
bak. Badannya ringsek karena menabrak batu cadas
yang berada tak jauh dari tempat itu. Kuda yang ber-
warna putih itu pun mati seketika. Aki Kilik Rogo, ma-
rahnya bukan alang kepalang, dalam pada itu dia pun
langsung memerintah murid-muridnya.
"Hei... kalian semua. Mengapa pada bengong
seperti itu, cepat kalian keroyok dua ekor bangsat
itu...!" perintah Aki Kilik Rogo. Sementara dia sendiri
kini sudah menghunus kerisnya. Akan halnya dengan
murid-muridnya, nampak tak bereaksi, seolah-olah
mereka tak mendengar apa yang dikatakan oleh gu-
runya. Begitu-lah kehebatan Racun Linglung Raga
yang telah meracuni dan telah menyatu dalam diri me-
reka. Rasa kecewa dan kemarahan berbaur menjadi
satu, sementara Kebo Selaksa Wisa dan Sadaki nam-
pak tergelak-gelak melihat Aki Kilik Rogo yang uring-
uringan.
"Aki... lihatlah betapa tololnya murid-muridmu
itu. Dua puluh tahun engkau mendidik mereka, tokh
hasilnya tetap mengecewakan mu...!"
"Bangsat kalian...!" kertak Aki Kilik Rogo, dia
langsung kirimkan serangan-serangan yang sangat ganas dan mematikan. Senjata itu berkelebat, semakin
lama semakin cepat. Sungguhpun diserang dalam kea-
daan sedemikian rupa, tetapi nampaknya Sadaki mau-
pun Kebo Selaksa Wisa masih nampak tenang-tenang
saja. Bahkan Kebo Selaksa Wisa sambil mengelak ma-
sih sempat menyela:
"Aki bego.... Kalau aku yang punya murid se-
perti mereka, lebih baik kubunuhi saja satu persatu.
Buat apa murid-murid tolol tiada guna, sekarang coba
perintahkan pada mereka, Ki... Suruh menggorok leher
masing-masing...!" Kebo Selaksa Wisa atau Dulimang
mengejek.
"Bangsat, sialan! Penyakit mereka juga dis-
ebabkan ulah manusia-manusia setan macam kalian.
Hiaaaa...!"
Dalam makiannya itu, Aki Kilik Rogo juga ki-
rimkan satu tusukan satu babatan, namun sangat ce-
pat sekali tusukan keris berwarna kuning milik Aki Ki-
lik Rogo dapat dikelit oleh Dulimang dengan sangat
baik sekali. Hal ini hanya menambah kemarahan si aki
semakin berkobar-kobar. Dalam pada itu Dulimang te-
lah memberi isyarat pada Sadaki sahabatnya. Bahkan
sekejap kemudian terdengar pula ucapannya:
"Adik Sadaki, engkau bunuhlah murid-murid
aki ini yang berkepala tuyul itu. Biar aku layani mo-
nyet pendek ini sampai merat ke neraka...!"
Mendapat perintah, dari orang yang sangat di-
hormatinya, Sadaki tanpa membuang-buang waktu la-
gi, segera meluruk ke arah murid-murid Aki Kilik Rogo.
Yang saat itu nampak sedang memandangi gurunya
yang sedang bertempur mati-matian. Dasar murid-
murid goblok, maki Sadaki. Lalu setelah jarak antara
mereka begitu dekat maka Sadaki segera menyerang
mereka dengan serangan-serangan gencar.
SEBELAS
Pedang di tangan Sadaki bergerak cepat dan
sebat sekali. Tak pelak lagi dalam waktu sekejap, jerit
dan pekik kepanikan segera terjadi di antara murid-
murid itu.
"Murid-murid tolol. Daripada menonton perta-
rungan guru kalian, lebih baik kita bertarung sampai
kalian pada mampus semuanya...!" teriak Sadaki, begi-
tu ucapannya begitu pula pedang di tangannya berke-
lebat.
"Jrooos!"
"Arrrgkhh...!"
Terdengar dua jeritan, dua orang murid Aki Ki-
lik Rogo yang tak pernah bisa menguasai ilmu silat
yang diajarkan gurunya itu nampak roboh bermandi
darah. Mereka tewas seketika itu juga. Sungguh ma-
lang sekali nasib mereka. Racun Linglung Raga yang
telah mengendap dalam tubuh mereka benar-benar
mereka tak dapat mempergunakan bahkan lupa pada
ilmu silat yang mereka miliki. Akibatnya dalam waktu
sekejap saja delapan orang murid Aki Kilik Rogo telah
terbantai dalam keganasan pedang milik Sadaki.
Mengetahui para murid-muridnya dapat ter-
bantai seperti keledai-keledai dungu. Bukan main
murkanya hati sang guru. Sebagai pelampiasan keke-
salannya, dia langsung menyerang Dulimang dengan
pukulan dan jurus-jurus silat yang paling sangat dia
andalkan. Mau tak mau, kalau tak ingin celaka terma-
kan senjata lawan yang mengandung hawa membunuh
itu. Dulimang atau Kebo Selaksa Wisa harus berkele-
bat lebih cepat lagi. Dalam kesempatan itu, sambil ki
rimkan serangan-serangan yang sangat gencar dan ga-
nas, Aki Kilik Rogo nampak berteriak-teriak bagai
orang sinting;
"Murid-muridku, pergunakan senjata kalian!
Cincang Sepasang Ular Welang yang cuma tinggal satu
itu, cepat.... Siapa cepat dialah yang bakal selamat...!"
teriak Aki Kilik Rogo. Dalam kepedihan dan kesedihan.
Peringatan itu sesungguhnya tidak sembarang peringa-
tan, karena melalui jeritannya Aki Kilik Rogo telah
mengerahkan ilmu pembangkit semangat. Dan agak-
nya hal itu cukup berpengaruh pada sisa-sisa murid-
nya yang cuma tinggal tidak lebih dari enam orang itu.
Lalu bagai orang yang baru saja terjaga dari tidur yang
panjang, secara serentak mereka mencabut senjata
masing-masing. Dan pada akhirnya mereka menjadi
sangat beringas bagaikan serigala hutan begitu melihat
kawan-kawannya pada tewas bermandikan darah. Dari
posisi mendesak, kini Sadaki malah balik terdesak. Dia
nampak terperangah dan heran mengapa murid-murid
linglung Aki Kilik Rogo bisa berubah menjadi galak dan
liar seperti itu, bahkan permainan pedangnya juga
sangat ganas dan hebat. Tetapi Sadaki dapat melihat,
bahwa permainan maupun jurus-jurus pedang yang
mereka mainkan bukanlah jurus-jurus pedang milik
Aki Kilik Rogo. Jauh berbeda. Bahkan sangat lain se-
kali. Permainan pedang mereka lebih tepat lagi kalau
disebut sebagai permainan Ilmu Pedang Iblis. Gerakan-
gerakan yang tiada terduga itulah yang membuat Sa-
daki menamakannya demikian. Sesaat dia dapat ber-
pikir begitu, tetapi beberapa jurus berikutnya dia ha-
rus berjuang mati-matian demi mempertahankan se-
lembar nyawanya yang tak pernah ada dijual di tukang
loak manapun.
Sementara itu, karena membagi perhatian dan
membagi tenaga dalam demi menyadarkan murid-
muridnya, dengan ilmu pembangkit semangat yang dia
miliki, maka mau tak mau perhatian dan tenaganya
menjadi berkurang banyak. Serangan-serangan yang
dilancarkannya tidak sehebat dan sesebat tadi. Seba-
liknya Kebo Selaksa Wisa merasa berada di atas angin,
nampak terus mendesak dan mengumbar pukulan
mautnya yang diberi nama Kebo Gila Durhaka.
Kasihan sekali keadaan Aki Kilik Rogo demi
menyelamatkan sisa-sisa muridnya yang cuma tinggal
beberapa gelintir itu, dia pun harus pontang panting
menghindari pukulan maut yang datangnya bertubi-
tubi. Sambil terus melancarkan pukulan-pukulan ga-
nas dan dahsyat, Kebo Selaksa Wisa terus saja men-
gomel tak karuan.
"Uh, kasihan sekali engkau ini! Jadi guru, tapi
muridnya pada geblek. Agaknya kau lebih tolol daripa-
da yang diajari...!" gerutu Dulimang, tanpa sedikit pun
lengah dari pukulan-pukulan maut yang berhawa din-
gin luar biasa itu. Tiada sahutan maupun bantahan
yang keluar dari mulut Aki Kilik Rogo. Kebo Selaksa
Wisa kembali nyeletuk!
"Ah, mengapa engkau tak mau membalas, Mo-
nyet pendek. Mana pukulan maut warisan Empu Wesi
Laya gurumu...? Ternyata engkau orang tolol. Manusia
dungu tiada guna, mampus sajalah...!"
"Wuuuus!"
Satu gelombang berwarna hitam pekat kembali
menderu, dan menebarkan hawa dingin dan bau yang
sangat menusuk. Celaka-lah bagi Aki Kilik Rogo yang
sudah banyak kehilangan tenaga dalam karena telah
ter-bagi-bagi buat muridnya. Lebih dari itu dia kurang
begitu menyadari akan datangnya sinar maut yang
bernama Kebo Gila Durhaka tersebut. Dia tengah ber
konsentrasi dalam menggerakkan semangat murid-
muridnya yang saat itu sudah mulai berhasil mende-
sak Sadaki atau yang dikenal dengan Sepasang Ular
Welang.
Dan manakalah, dia merasakan adanya satu
sambaran angin dingin yang luar biasa, Aki Kilik Rogo
nampak tersentak dan terkejut sekali. Tetapi dia sudah
tak punya waktu lagi buat mengelak. Maka tanpa am-
pun lagi, pukulan Kebo Gila Durhaka melabrak tubuh-
nya!
"Buuum!"
Tubuh Aki Kilik Rogo yang kurus dan pendek
itu, nampak mental terbawa pukulan maut yang dile-
paskan oleh Kebo Selaksa Wisa. Tubuh Aki Kilik Rogo
terguling-guling bagai titiran. Seandainya tiada batu
besar yang menghalangi tubuhnya sudah barang pasti
tubuh Aki Kilik Rogo sudah tercampak ke dalam ju-
rang yang tak terukur dalamnya.
Aki Kilik Rogo pucat wajahnya tak lama ke-
mudian darah kental berwarna hitam pekat nampak
menggelogok dari mulutnya. Begitu pun laki-laki ini
segera bangkit. Tubuhnya meliuk-liuk dan limbung.
Kaki gemetaran, nyatalah sudah bahwa Aki Kilik Rogo
terluka dalam cukup serius.
Dalam pada itu terjadi pula keanehan. Murid-
murid Aki Kilik Rogo yang sudah terlepas kontrol kare-
na gurunya terluka. Tiba-tiba saja berubah brutal dan
liar, Racun Linglung Raga kini sudah mulai bereaksi
sebagaimana yang diharapkan oleh si Jubah Hitam.
Namun hanya saja tidak tepat pada tempatnya. Maka
celakalah Sadaka dibuatnya, karena dia harus tung-
gang langgang menghindari terjangan enam senjata
maut dari enam sumber kekuatan yang sedang meng-
gila. Sementara itu Kebo Selaksa Wisa demi menge
tahui Aki Kilik Rogo sudah terluka dalam cukup parah.
Maka dia segera memburu kembali, dan bersiap-siap
dengan pukulan mautnya.
"Wuuuussss!"
Kembali pukulan yang dahsyat itu melesat dari
jemari tangan Kebo Selaksa Wisa. Aki Kilik Rogo nam-
pak berjumpalitan menghindari terjangan pukulan Ke-
bo Gila Durhaka. Namun celakanya ke manapun dia
pergi dan menghindar. Pukulan itu bagai bermata saja
layaknya nampak mengejar Aki Kilik Rogo tanpa am-
pun lagi. Namun pada saat yang sangat mengenaskan
itu, mendadak dari atas tebing melesat pula selarik si-
nar Ultra Violet menyongsong datangnya sinar beracun
berwarna hitam pekat tersebut. Sinar yang datang dari
atas tebing itu menderu keras bahkan timbulkan suara
menggaung bagaikan suara badai puting beliung. Se-
gera saja udara panas menyelimuti suasana sekitar-
nya. Secara perlahan udara dingin yang menggigit se-
bagai akibat pukulan Kebo Gila Durhaka. Semakin la-
ma semakin berkurang sampai akhirnya lenyap sama
sekali. Saat itu tanpa dapat dicegah lagi, dua pukulan
sakti itu pun saling bertemu.
"Buuummm!"
Bumi laksana runtuh, langit bagai tercabik-
cabik, Aki Kilik Rogo nampak terhindar dari kematian.
Tubuh Kebo Selaksa Wisa terjengkang, sementara ba-
gian punggungnya terasa sakit teramat sangat. Darah
kental meleleh dari hidung dan bibirnya. Laki-laki ber-
badan gemuk itu berusaha bangkit dan tertatih-tatih.
Wajahnya yang bundar itu nampak pucat dan pias,
agaknya dia berusaha menghimpun hawa murninya.
Lalu setelah menelan sesuatu, maka kulit mukanya
kembali kemerah-merahan.
Baik Aki Kilik Rogo maupun Kebo Selaksa Wisa
nampak terperanjat sekali begitu ada seseorang yang
berusaha menyelamatkan Aki Kilik Rogo. Sejenak me-
reka memandang ke arah tebing. Belum lagi mereka
kembali kepada keadaannya, maka dari atas bukit itu
nampak melayang dua sosok tubuh seorang laki-laki
dan seorang wanita. Begitu kedua orang itu telah be-
rada di tengah-tengah mereka. Aki Kilik Rogo nampak
tersenyum, setengah mengeluh karena memang da-
danya masih terasa sakit. Sebab kiranya orang yang
baru saja hadir di antara mereka itu tak lain adalah
Buang Sengketa dan Sri Pamuja, seorang gadis berbaju
putih yang pernah dikenal oleh Aki Kilik Rogo. Lain lagi
halnya dengan Kebo Selaksa Wisa, begitu menyadari
pukulan Kebo Gila Durhaka ada yang menggagalkan-
nya maka dia meskipun sudah terluka menjadi marah
dan gusar. Dan pada saat itu, Sadaki sudah mulai ter-
luka dihajar senjata murid-murid Aki Kilik Rogo yang
sudah setengah gila semuanya. Di saat yang sama Ke-
bo Selaksa Wisa membentak:
"Bocah keparat...! Melihat tampangmu agaknya
engkau ini seorang gembel yang sengaja mencari uru-
san dengan Kebo Selaksa Wisa...!" makinya berang se-
kali.
"Segala macam kebo dungu sepertimu, masih
pantaskah untuk diberi izin tinggal di kolong langit ini
lebih lama lagi...?" tukas Pendekar Hina Kelana men-
cemooh.
"Manusia sial! Engkau benar-benar akan me-
nyesal sampai ke liang kubur. Karena telah begitu lan-
cang mencampuri urusanku...!" bentak Dulimang
sambil kertakkan rahang.
"Urusan gila siapa mau campur! Engkau tak
perlu berpura-pura, Aki Kilik Rogo itu merupakan sa-
habatku. Karena engkau bermaksud memaksanya
hanya demi kitab terkutuk itu, dan bahkan engkau
malah hampir membuatnya celaka. Maka hari ini aku
terpaksa menggusur mu ke liang kubur." ancam Pen-
dekar Hina Kelana begitu tegasnya.
"Keparat...!" maki Dulimang. Dan kini dia su-
dah bersiap-siap dengan pukulan yang lebih ampuh
lagi, yaitu Kebo Binal Mencari Pasangan. Buang juga
sudah siap siaga dengan pukulan mautnya si Hina Ke-
lana Merana. Sungguh begitu dia masih sempat mem-
beri isyarat pada Pamuja dan Aki Kilik Rogo untuk
menyudahi sepak terjang Sadaki, yang dulu sempat lo-
los dari tangannya.
"Adik Pamuja, cepat mampusin si bangsat Sa-
daki yang dulu terluput itu...!" perintah Pendekar Hina
Kelana pada Sri Pamuja. Gadis ini tanpa menjawab se-
gera melesat ke tengah-tengah kalangan, begitu pun
Aki Kilik Rogo yang sudah sangat gusar karena banyak
murid-muridnya yang terbunuh di tangan Sadaki.
Tanpa diperintah dia pun sudah masuk ke kalangan
pertempuran. Semakin menjadi kelabakan Sadaki demi
menghadapi keroyokan tersebut. Menghadapi keroyo-
kan enam orang murid-murid Aki Kilik Rogo yang su-
dah berubah liar dan ganas saja dia sudah kalang ka-
but tunggang langgang. Apalagi kini ditambah lagi
dengan kehadiran dua orang ini yang ilmu kepan-
daiannya saja jelas-jelas berada di atasnya. Baginya
untuk bersurut langkah ataupun melarikan diri ra-
sanya sudah sangat terlambat, nasi sudah menjadi
ampas, tak ada pilihan lagi kecuali menempur kedela-
pan orang itu sampai titik darah yang terakhir. Maka
bertarunglah dia bagai setan gila. Pedang diputar ke
segala penjuru. Sekejap tubuhnya berkelebat lenyap
tergulung perisai pedang yang melindungi sekaligus
merupakan pertahanan dirinya.
Tetapi betapapun hebatnya permainan pedang
dan kecepatan gerak yang dia miliki, menghadapi dua
orang berilmu tinggi ditambah lagi dengan tenaga
enam orang murid Aki Kilik Rogo yang kini sedang di
rasuki setan iblis, maka tak dapat dihindari. Dalam
beberapa jurus di muka dia sudah nampak terdesak
hebat. Aki Kilik Rogo sabetkan kerisnya, sementara
pada saat yang sama Sri Pamuja, juga membabatkan
pedangnya yang sangat tajam. Dari arah belakangnya
menyerang pula keenam murid Aki Kilik Rogo. Maka
tak dapat terelakkan lagi.
"Jroook! Croooot! Krook!"
Sadaki yang malang itu melolong setinggi lan-
git, tubuhnya limbung terbabat senjata di tangan la-
wan-lawannya. Namun murid-murid Aki Kilik Rogo te-
rus membabatkan senjatanya pada tubuh yang sudah
tercacah-cacah itu (namanya juga murid-murid kurang
waras). Murid-murid berkepala botak itu terus mencin-
cang-cincang tubuh Sadaki sambil terus tertawa-tawa.
Bagai mencincang seekor babi saja layaknya. Dan su-
dah barang tentu kejadian ini membuat Sri Pamuja
menjadi kecut hatinya, lalu segera memberi isyarat pa-
da Aki Kilik Rogo, untuk menghentikan pekerjaan yang
gila-gilaan
"Murid-muridku berhenti. Orang itu sudah ma-
ti, kalian tak perlu menghukumnya sedemikian ru-
pa...!" perintah Aki Kilik Rogo. Memang benar, murid-
murid sinting itu mematuhi perintah gurunya, tetapi
sebagai akibatnya keenam murid itu nampak berubah
memerah matanya. Dipandanginya Aki Kilik Rogo ba-
gai memandangi seorang musuh besar saja layaknya.
Lalu tanpa terduga-duga keenam murid itu berbalik
dan langsung menyerang Aki Kilik Rogo dan Sri Pamu-
ja. Aki Kilik Rogo yang sebelumnya tiada pernah me
nyangka kalau murid-murid akan berbuat seperti itu,
nampak terkejut dan langsung berteriak.
"Murid-murid guoooblok! Mengapa kalian ma-
lah menyerangku? Hentikan, hentikan...!" teriaknya
sangat marah sekali.
Namun nampaknya murid-murid Aki Kilik Rogo
yang linglung itu sudah tidak memperdulikan benta-
kan-bentakan guru mereka. Tetap saja murid-murid
berkepala botak itu menyerang sang guru dan Sri Pa-
muja.
"Murid-murid goblok, tolol...! Setan-setan dari
manakah yang telah merasuki jiwa kalian...?" maki si
Kilik Rogo seraya putar-putar kerisnya untuk melin-
dungi diri.
"Aki.... Tiada guna aki berteriak-teriak.... Racun
Linglung Raga yang mengendap dalam tubuh mereka
kini telah mulai bekerja. Lebih baik kita bunuh saja
mereka, Ki...!" tukas Sri Pamuja sambil melindungi diri
dengan putaran pedang di tangannya.
"Apa aku harus membunuh muridku...?"
"Kalau tidak mereka akan membunuh kita,
Ki...!" teriak Sri Pamuja mengingatkan.
"Aku tak sampai hati.... Argkh...!" Belum habis
ucapannya tahu-tahu Aki Kilik Rogo sudah menjerit.
Bagian bahunya kena dibacok oleh muridnya sendiri.
Meskipun tidak begitu dalam, tetapi telah cukup untuk
menguras banyak darah. Bekas bacokan pedang itu
membuat robek besar pakaiannya. Aki Kilik Rogo
menggerendeng dia nampak sangat gusar sekali.
"Murid-murid pada gila, si Jubah Hitam kepa-
rat... muridku juga keparat.... Kubunuh kalian se-
mua..... Cah ayu, mari kita cincang murid-murid tolol
ini beramai-ramai...!"
Maka tanpa menunggu perintah dua kali, ke
dua orang ini bagai kesetanan membabat orang-
orangnya sendiri.
Sementara itu pertempuran antara Kebo Selak-
sa Wisa dan Pendekar Hina Kelana sudah mencapai
puncak-puncaknya. Tubuh Selaksa Wisa atau yang le-
bih dikenal sebagai Dulimang sudah nampak kotor tak
karuan. Laki-laki gemuk itu benar-benar tak jauh be-
danya dengan seekor kerbau. Bagaimana tidak, setelah
dia selalu gagal mempergunakan pukulan-pukulan
mautnya untuk merobohkan pihak lawan tak pernah
membawa hasil. Laki-laki gemuk dengan kumis dan
jenggot jarang-jarang itu nampak seperti putus asa.
Dia sudah keluarkan semua pukulan andalan, tetapi
selalu saja pihak lawan berhasil mematahkan puku-
lan-pukulan mautnya. Padahal selama hidup dia tak
pernah mempergunakan senjata apa pun terkecuali
pukulan maut dan serudukan bagai seekor banteng.
Pukulan beracun sudah tak banyak berarti bagi la-
wannya, maka kini tinggal serudukan-serudukan
mautnya. Tetapi itu pun berulang kali dia harus rela
tersungkur ke tanah karena pihak lawan berhasil
mengkelit serudukan yang sangat mirip dengan ban-
teng. Sekali waktu serudukan itu juga tepat mengena
pada sasarannya. Sehingga membuat mules perut
Buang Sengketa. Tetapi beberapa saat kemudian pe-
muda itu bersurut tujuh langkah, maka dia pun lang-
sung membentak.
***
DUA BELAS
"Kerbau celaka! Bisa mu cuma seruduk
seruduk melulu, serudukan mu hanya membuat pe-
rutku mules. Aku tak ingin mengulur-ulur waktu. Ka-
lau engkau punya senjata yang kau andalkan, cabut-
lah..... Sebelum kau benar-benar akan menyesal...!"
Kebo Selaksa Wisa melengos, lalu mencemooh.
"Kepalaku cukup bisa menjadi senjata, engkau
tak perlu jual lagak di depanku...!"
"Bagus.... Akan kupenggal kepalamu itu...!"
menggerendeng Pendekar Hina Kelana. Kemudian den-
gan diawali satu jeritan tinggi melengking, tubuh
Buang Sengketa sudah berkelebat lenyap. Namun be-
berapa saat kemudian sudah nampak pula berkelebat-
nya sinar merah menyala. Udara di sekitar tempat itu
mendadak menjadi dingin luar biasa. Namun hanya
hal itu pun hanya sekedipan mata saja dapat dirasa-
kan oleh si Dulimang, karena begitu sinar merah itu
berkelebat, maka tak ayal lagi.
"Jrooos!"
Sinar merah yang tak lain merupakan Pusaka
Golok Buntung itu, membabat leher Kebo Selaksa Wi-
sa. Leher yang kekar itu hampir putus, darah me-
nyembur bagai mata air yang tersendat. Luka yang
menganga dan bahkan hampir membuat putus antara
kepala dengan badannya itu membuat tubuh Kebo Se-
laksa Wisa terhuyung-huyung, Kepala miring ke kiri
bagai hendak menggelinding ke tanah. Tak lama sete-
lahnya tubuh di Dulimang itu pun tersungkur tanpa
dapat bangun-bangun lagi untuk selamanya.
Sementara pada saat itu, terdengar pula jerit
melolong. Begitu Buang Sengketa menoleh, tampak
olehnya murid Aki Kilik Rogo termakan kerisnya sendi-
ri. Keadaan kembali sepi. Mereka nampak saling ber-
pandangan. Tetapi kemudian suasana itu dipecahkan
oleh suara Aki Kilik Rogo yang merasa lega namun
menyesal.
"Muridku sudah pada mati semua, ah sia-sia
saja dua puluh tahun...!"
"Semua itu bukan salahmu, Aki...!" gumam Sri
Pamuja. Tiba-tiba Aki Kilik Rogo seperti tersentak. Lalu
diulang-ulangnya apa yang baru saja diucapkan oleh
Sri Pamuja.
Seperti orang sinting, bagai orang pikun!
"Bukan salahku.... Bukan salahku.... Hhh.... Ya
bukan salahku....! Tapi salah siapa, Cah ayu...?"
"Si Jubah Hitamlah yang bersalah, Aki.... Kita
harus ke sana secepatnya...!"
Bagai orang yang sedang senewen Aki Kilik Ro-
go tersenyum dan tertawa-tawa. Tetapi kemudian dia
telah menangis, menggeram!
"Brengsek sialan! Jubah Hitam memang yang
telah meracuni murid-muridku. Dia harus bertang-
gung jawab.... Harus.... Manusia setengah iblis...!"
Sambil berteriak-teriak Aki Kilik Rogo berkelebat pergi
menuju Gunung Dieng. Cepat sekali gerakan laki-laki
pendek itu, hingga dalam waktu sekejap tubuhnya su-
dah tidak tampak lagi. Baik Buang Sengketa maupun
Sri Pamuja merasa sangat kasihan sekali melihat kea-
daan Aki Kilik Rogo yang agaknya setengah sinting itu.
Diam-diam mereka mengkhawatirkan keselamatannya.
Maka akhirnya tanpa menyia-nyiakan waktu lagi orang
itu pun bergerak menyusul Aki Kilik Rogo yang sudah
terlebih dahulu meninggalkan tempat itu.
* * *
Ketika Pendekar Hina Kelana dan Sri Pamuja
telah sampai di Gunung Dieng tampaklah oleh mereka
dua orang yang sedang bertarung, pertempuran itu
nampaknya berlangsung dengan sangat tidak seim-
bang. Laki-laki pendek, si Jubah Hitam.
"Hmmm, siapa lagi kalau bukan Aki Kilik Rogo
dengan Batari Murti, dua orang bekas kakak dan adik
seperguruan."
Di lain pihak nampaklah pertarungan tingkat
tinggi itu berlangsung sedemikian cepat, sehingga debu
dan pasir berhamburan. Bahkan angin pukulan sakti
yang mereka lepaskan menderu-deru dan menerbang-
kan debu-debu di sekitarnya hingga sampai membum-
bung tinggi ke atas. Suasana menjadi terang dan gelap.
Satu kesempatan Aki Kilik Rogo berusaha menusuk-
kan kerisnya pada bagian rusuk lawan. Angin keras
menderu menyertai sabetan senjata yang sangat berbi-
sa tersebut. Tetapi walau bagaimanapun hebatnya ke-
pandaian yang dimiliki oleh Aki Kilik Rogo. Kepan-
daiannya yang dia miliki tak ada separohnya bila di-
bandingkan kepandaian yang dimiliki oleh Si Jubah
Hitam bekas murid terkasih. Sekejap kemudian begitu
tusukan keris itu hampir mencapai rusuknya. Si Ju-
bah Hitam lambaikan ujung jubahnya. Menderu, sege-
lombang sinar kuning keperakan yang sangat dahsyat.
Buang Sengketa yang berdiri tidak begitu jauh dari
tempat itu menyadari bahwa maut sedang mengintai
Aki Kilik Rogo. Pukulan itu bukan saja dapat dirasa-
kan oleh si pemuda sebagai pukulan yang cepat dan
ganas. Namun juga berhawa keji dan mematikan. Dia
sangat tidak rela andai Aki Kilik Rogo sampai menemui
ajalnya di tangan si Jubah Hitam. Maka tak ayal lagi
dia sudah memutuskan untuk memapaki pukulan ter-
sebut dengan pukulan yang tak kalah hebatnya. Si Hi-
na Kelana Merana, nampak melesak serangkaian sinar
merah menyala begitu jemari tangan Pendekar Hina
Kelana terpentang ke atas. Sinar merah membara itu
pun menderu. Laksana sedang terjadi selaksa gempa,
suara bergemuruh pun terdengar dan berkepanjangan.
Tatkala sesaat kemudian, begitu sinar maut itu saling
bertubrukan di udara. Bumi tempat kaki mereka berpi-
jak bagai hendak runtuh, debu mengepul dan mem-
bumbung tinggi. Bahkan kawah di dalam kepundan
yang berada tidak begitu jauh dari tempat pertarungan
itu, nampak muncrat ke udara. Buang Sengketa ter-
lempar sepuluh tombak. Tubuhnya nyaris terperosok
ke dalam kawah Dieng yang sedang menggelegak. Se-
mentara darah segera mengalir dari celah hidung dan
kupingnya. Dia merasakan dadanya sesak luar biasa.
Cepat-cepat dia menghimpun hawa murni. Sementara
si Jubah Hitam yang hanya tergetar saja itu kini nam-
pak tertawa tinggi melengking. Pada saat itu Sri Pamu-
ja demi melihat keadaan Buang Sengketa nampak
menjerit lalu bermaksud memburu ke arah kekasih-
nya. Namun baru saja beberapa tindak dia berlari-lari.
Si Jubah Hitam melepaskan satu pukulan mengarah
gadis itu.
"Wuuut!"
Aki Kilik Rogo yang mengetahui bahaya nam-
pak mengancam si gadis lepaskan satu pukulan selak-
sa perak, Sinar putih itu berkelebat laksana kilat. Ben-
turan pun tak terhindar lagi.
"Blaaam!"
Aki Kilik Rogo tubuhnya terguling-guling, darah
langsung menggelogok dari bibirnya. Dia merasakan
sekujur tubuhnya bagai remuk, tiada mampu bangkit.
Sungguhpun begitu Sri Pamuja dapat selamat dari an-
caman maut. Dan kini dia setelah menolong Buang
Sengketa, secara bersama-sama segera melakukan pe-
nyerangan. Dengan pedang terhunus Sri Pamuja men-
cecar lawannya dengan jurus-jurus pedang yang diberi
nama Bidadari Menyongsong Rembulan. Gerakannya
sebat luar biasa, sejauh itu menghadapi keroyokan
dua orang ini, si Jubah Hitam semakin tergelak-gelak.
Sambil berkelebat-kelebat menghindari serangan, si
Jubah Hitam berucap:
"Bagus, agaknya engkaulah kunyuknya yang
sengaja didatangkan oleh Empu Wesi Laya untuk men-
jatuhkan kutuk padaku! Huh.... Mana bisa, kalian se-
mua harus mati, ya harus mati sebagaimana Empu
Wesi Laya yang telah menjatuhkan kutuk padaku.....
Haiiit...!"
"Hiaattt!" Dengan jurus Membendung Gelom-
bang Menimba Samudra, Pendekar Hina Kelana coba
memapaki serangan yang dilancarkan oleh si Jubah
Hitam. Namun begitu pukulan itu membentur perta-
hanannya si pemuda, kembali Buang Sengketa terpen-
tal dan kembali pula muntah darah. Keadaan itu su-
dah barang pasti membuat Sri Pamuja menjadi berang.
"Manusia setengah iblis, mampuslah kau...!" te-
riak Sri Pamuja seraya langsung menyerang ke arah si
Jubah Hitam. Tetapi tiada disangka-sangka.
"Hiaaatt!"
Si Jubah Hitam dorongkan tongkat berkepala
serigala ke depan.
"Buukk!"
"Wuaarrrghk...!"
Tubuh Pamuja yang terpukul tongkat berbisa
itu pun terlempar berpelantingan, untuk kemudian
terhempas pada sebuah batu cadas yang berukuran
sangat besar.
"Pamujaaaaaa...!" jerit Buang Sengketa histeris
begitu dilihatnya tubuh kekasihnya tidak bangun-
bangun lagi. Tanpa perduli dia memburu. Kemudian
ditubruknya tubuh gadis yang telah melemah dan tiada berdaya itu. "Pamuja...!" jeritnya pedih. "Jangan
tinggalkan aku...!" rintih Pendekar Hina Kelana merasa
terpukul. Pada saat itulah mata yang sudah menutup
itu membuka sedikit, bibirnya tersenyum pias, tetapi
gadis itu terus tersenyum. Dia menggapai-gapai lalu
ucapnya lemah sekali.
"Kakang, maafkan aku.,.. Aku tak bisa mene-
manimu. Hati-hati, Kakang... orang itu sangat berba-
haya sekali. Tetapi aku selalu yakin engkau akan
mampu mengatasinya. Kakang Kelana, aku cinta pa-
damu...." Suara Pamuja akhirnya melemah, hingga tak
terdengar sama sekali, kepalanya terkulai dalam pang-
kuan si pemuda. Bukan main hancurnya hati si pe-
muda menerima kenyataan seperti itu. Dia menangis,
meraung, meratap dan bahkan menjerit bagai harimau
terluka.
"Pamuja... oh, mengapa engkau harus pergi, ti-
daaaaaak...!" teriaknya histeris.
"Bocah, jangan bersedih, engkau pun akan se-
gera menyusulnya...!" Teguran yang bersifat mengejek
itu membuat amarah di dalam pemuda itu meluap-
luap. Mendadak dia tegak berdiri, kedua bola matanya
mencorong merah, sementara kedua bibirnya kelua-
rkan bunyi mendesis bagai seekor ular piton yang se-
dang marah. Lalu dengan gusar dia pun membentak:
"Manusia iblis..... Engkau telah merenggutkan
satu-satunya yang kumiliki! Aku tak akan mengampu-
nimu...!" teriak Pendekar Hina Kelana. Dalam pada itu
Aki Kilik Rogo sudah bangkit dari pingsannya. Maka
dia pun berseru,
"Pendekar.... Ikutilah petunjuk ku...!" kata Aki
Kilik Rogo. Anehnya seperti sudah mengerti saja Buang
Sengketa mengiyakannya. Dalam kesempatan itu dia
sudah berpikir untuk tidak menggunakan Pecut Gelap
Sayuto, namun cukuplah mempergunakan Pusaka Go-
lok Buntung. Tanpa membuang waktu lagi maka dia
pun berkelebat, dan seiring dengan gerakannya terse-
but, menggaunglah suara selaksa ribuan tawon me-
ningkahi berkiblat-kiblat Pusaka Golok Buntung di
tangannya.
"Haiiiit!"
Buang Sengketa kiblatkan goloknya, si Jubah
Hitam yang terkenal sebagai manusia sakti itu entah
mengapa jadi sering-sering tertegun, atau mungkin dia
selalu dibayangi kutukan-kutukan yang dijatuhkan
oleh Empu Wesi Laya kepadanya. Hal itu sangat
mungkin saja. Gerakannya jadi lamban, dan manakala
golok di tangan Buang Sengketa hampir mencapai sa-
sarannya, dia gerakan tongkatnya ke atas.
"Crang! Pletak...!"
Terdengar seperti suara sesuatu yang hancur.
Kenyataannya memang begitu. Tongkat di tangan si
Jubah Hitam menjadi hancur berkeping-keping dilan-
da Pusaka Golok Buntung milik si pemuda. Tidak
sampai di situ saja, dia kiblatkan senjatanya.
"Craaas!"
Kepala si Jubah Hitam menggelinding di tanah,
darah menyembur ke mana-mana. Tetapi tubuhnya
yang sudah tanpa kepala itu terus berjalan-jalan dan
melakukan perlawanan. Aki Kilik Rogo berlari-lari
mendekat kemudian memungut kepala si Jubah Hitam
itu.
"Untuk apa..:?" tanya Pendekar Hina Kelana di
sela-sela kesibukan dan kengeriannya memandangi
tubuh tanpa kepala itu yang masih saja melakukan
perlawanan sengit.
"Kepala ini harus dibuang ke dalam kawah
yang mendidih itu, supaya dia tidak bisa hidup lagi."
kata Aki Kilik Rogo, seraya cepat-cepat melemparkan
kepala si Jubah Hitam ke dalam kawah Dieng yang se-
dang menggelegak.
"Dia masih melawan, Aki...!" teriak Buang
Sengketa sambil menghindari terjangan-terjangan dari
tubuh yang sudah tanpa kepala itu.
"Babat kepala dan kakinya...!" Aki Kilik Rogo
memberi perintah. Tanpa buang waktu lagi.
"Cress! Crees! Creees! Creees!"
Berturut-turut golok pusaka itu membabat tan-
gan dan kaki si Jubah Hitam. Berturut-turut pula Aki
Kilik Rogo melemparkan anggota tubuh itu ke arah
empat penjuru mata angin. Hingga pada akhirnya ting-
gal badannya saja yang tertinggal di situ. Buang Seng-
keta merasa ngeri sendiri. Dalam pada itu Aki Kilik Ro-
go segera menyambar tubuh yang sudah tanpa kepala,
kaki dan tangan itu. Tubuhnya melesat pergi sembari
berkata:
"Demi baktiku pada seorang guru, supaya ma-
nusia setengah iblis ini tidak hidup kembali, maka aku
akan membuangnya ke laut. Terima kasih, Pende-
kar...!"
Aki Kilik Rogo kemudian lenyap dari pandangan
Pendekar Hina Kelana. Dengan hati sedih, dia segera
menghampiri mayat kekasihnya Sri Pamuja, mayat itu
sudah dingin dan beku. Buang Sengketa segera me-
manggulnya di bahu kanannya. Dan dia pun sudah
bersiap-siap meninggalkan tempat itu, ketika dia men-
dengar suara seseorang:
"Pendekar Hina Kelana! Datang dan pergi itu
sudah biasa, engkau sebagai perantara kutuk ku, telah
menjalankan tugas dengan baik. Begitu engkau me-
ninggalkan tempat ini, maka Gunung Dieng segera
berselimut kabut beracun. Pergilah secepatnya!"
Bersamaan dengan itu terdengar pula suara
menggemuruh. Dari pori-pori tanah bermunculan uap
putih dan tipis. Sadarlah pemuda ini bahwa mungkin
uap tersebut yang dimaksud oleh suara tadi. Maka se-
cepatnya dia pun berlalu meninggalkan tempat itu.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar