..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 30 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE MISTERI SEPASANG PEDANG SETAN


 

MISTERI SEPASANG PEDANG SETAN

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Pintu Besi Baru Plaza Lt. II, B52/69

Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat

Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama, 1992

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian 

atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis 

dari penerbit

D. Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode: 

Misteri Sepasang Pedang Setan


SATU


Dengan ilmu mengentengi tubuh yang 

sangat sempurna, mereka mulai mengepung 

rumah besar itu dari segala penjuru. Di dalam 

terlihat terang benderang, tanda bahwa se-

mua penghuninya belum tidur semua. Seseo-

rang dari pengintai itu, yang bertubuh agak 

besar, mendekati seorang laki-laki berusia ti-

ga puluh tahun. Tubuhnya sedang dan wa-

jahnya selalu berkerut.

"Ketua, apakah akan kita masuki saat 

ini juga?" tanyanya menunggu perintah. 

Orang itu diam sejenak dan kembali memper-

hatikan rumah itu. Beberapa saat kemudian 

dia mengangguk pasti. Orang bertubuh besar 

itu cepat bergerak memberi komando pada 

beberapa orang kawannya. Tak berapa lama 

terlihat beberapa orang yang memakai baju 

hitam dengan lambing tengkorak di pung-

gungnya, meloncat dari cabang-cabang pohon 

serta dari balik semak-semak. Dengan men-

gendap-endap mereka melompati pagar. Lima 

penjaga tersentak kaget. Seseorang memben-

tak sambil membawa obor menerangi tempat 

yang dicurigainya. 

"Siapa itu?!"

Tak ada sahutan. Dia coba mene-

gaskan sambil mendekati tepi pagar. Keempat 

kawannya memperhatikan dari gardu mereka 

dengan seksama.

"Aaaaaakh...


Orang yang membawa obor itu tiba-tiba 

keluarkan jerit kematian. Tubuhnya limbung, 

dan kemudian ambruk dengan leher hampir 

putus. Melihat itu, tentu saja keempat ka-

wannya cepat bergerak dan menghunus golok 

masing-masing dan bersiaga menghadapi ke-

mungkinan. Salah seorang diantara mereka 

yang bertubuh besar dan bercambang bawuk, 

keluarkan suara mengancam. 

"Anjing-anjing geladak! Perlihatkan ce-

congor kalian ke sini biar bisa kuhadiahkan 

kepalamu untuk Kanjeng Raden Nugraha Wi-

sesa, karena kalian begitu lancang memasuki 

rumah kediamannya!"

"Hi… hi… hi… hi...!" Terdengar ketawa 

mengikik tanpa ujud, dari kegelapan cabang 

pohon yang tak jauh dari rumah ini. "Berani 

betul kau mengatai kami sebagai anjing. Ju-

lukan itu lebih tepat buatmu. Bukankah ka-

lian yang menjaga di sini gunanya seperti anj-

ing-anjing kelaparan yang bisanya cuma me-

nangkap seekor maling kelas teri?! He., he., 

he...! Lebih baik kalian gorok leher sendiri se-

belum aku yang akan menggoroknya!"

"Buangsaaaat...! Apa kamu pikir si 

Alap-Alap Golok Terbang keder menghadapi-

mu!" bentak orang yang bercambang bawuk 

itu. "Keluarlah kau dan tunjukkan cecongor-

mu!"

"Ha... ha... ha... ha....! Jadi engkau 

orang yang punya nama Alap-Alap Golok Ter-

bang?"

"Kalau sudah tahu, kenapa tak cepat


cepat kabur?!"

"Ha... ha... ha... ha....!" Suara itu per-

dengarkan suara halus yang lebih panjang. 

Selesai ketawanya, tiba melesat beberapa 

bayangan yang langsung menyerang keempat 

penjaga itu. Masih untung keempat orang itu 

telah siap, jadi mereka bisa langsung berkelit 

atau menangkis. Seorang diantara mereka 

malah langsung balas menyerang.

"Ingin kulihat kemampuan si Alap-alap 

Golok Terbang menghadapi murid-murid Per-

guruan Tengkorak Hitam tingkat ketiga!" lan-

jut suara itu lagi dengan suara yang meman-

dang rendah pada orang bercambang bawuk 

itu. Direndahkan begitu, bukan main marah-

nya si Alap-Alap Golok Terbang yang bernama 

Gondo Suramangun. Dengan cepat dicabut-

nya senjata yang berupa golok se-panjang dua 

depa. Bagian atasnya nampak melebar dan 

tajam mengkilat. Sepasang matanya liar dan 

menatap bengis pada dua orang lawan yang 

mengurungnya. Dengan teriakan keras, dia 

mulai mainkan jurus Membelah Kayu Men-

congkel Akar, yang merupakan jurus terdah-

syat yang dimilikinya. Agaknya orang ini ingin 

membuktikan bahwa dirinya tak bisa dipan-

dang enteng begitu saja, dengan niat menja-

tuhkan dua orang penyerang yang mengaku 

sebagai murid-murid Perguruan Tengkorak 

Hitam.

"Ciaaaat!"

"Trang! Trang!"

"Wuaaaaa....!"

Dengan sebat, golok di tangan Gondo 

Suramangun memapaki ayunan pedang la-

wan. Terlihat bunga api di malam yang kelam 

ini.

Namun alangkah kagetnya orang ber-

cambang bawuk ini saat dia baru saja jejak-

kan kaki, terdengar jerit kematian. Ketika me-

lihat, ternyata dua orang kawannya tewas 

dengan leher hampir putus. Seorang lagi 

nampak sedang terdesak hebat menghadapi 

tiga orang pengeroyoknya. Dengan geram dan 

gigi bergemeletuk, dia babatkan golok pada 

lawan. Tapi dua orang pengeroyoknya itu bu-

kanlah anak kemarin sore yang baru belajar 

ilmu silat. Meski mereka hanya murid-murid 

tingkat tiga, tapi siapa yang tak kenal dengan 

Perguruan Tengkorak Hitam? Selain ganas 

dan kejam, mereka juga terkenal dengan ilmu 

pedangnya yang lihai dan jarang ketemu ban-

dingnya. Sudah barang tentu hal ini sangat 

menyulitkan Gondo Suramangun. Meski telah 

kerahkan segenap kemampuan untuk cepat-

cepat membereskan lawan, tapi akhirnya ma-

lah dia sendiri yang pelan-pelan terdesak he-

bat.

"Kurang ajar!" makinya saat ujung pe-

dang salah seorang lawan nyaris memotes le-

hernya. Masih untung dia cepat memapaki. 

Tapi tangannya kesemutan saat senjata me-

reka beradu. Dari situ saja sebenarnya dia te-

lah mengetahui bahwa tenaga dalam lawan 

setingkat lebih tinggi. Bagaimana mungkin 

dia bisa mengalahkan kedua orang ini? Diam


diam orang bertubuh besar itu mengeluh di 

hati. Serangan lawan dirasa semakin berat. 

Satu serangan yang menusuk ke jantung ber-

hasil dielakkannya. Namun yang seorang lagi 

dengan cepat membabat pinggang.

"Trang!"

"Cras! Cras!"

"Wuaaaa...!!" 

Gondo Suramangun coba memapaki, 

namun alangkah kagetnya orang itu saat la-

wan yang seorang lagi sabetkan pedang ke 

leher. Dengan mati-matian dia berusaha 

mengelak. Namun tak urung, ujung pedang 

lawan berhasil merobek lehernya sedalam tiga 

senti. Kontan saja orang bercambang bawuk 

itu menjerit kesakitan sambil pegangi leher-

nya. Belum lagi sempat menguasai diri, lawan 

telah kembali ayunkan pedang, dan... cras! 

Dalam sekali tebas, kedua pergelangan tan-

gan dan batang lehernya putus seketika. 

Orang itu tak sempat lagi keluarkan suara. 

Tubuhnya limbung sesaat, kemudian am-

bruk tanpa bergerak lagi. Tanpa membuang 

waktu, orang-orang dari Perguruan Tengkorak 

Hitam itu menyerbu ke dalam setelah bersa-

maan dengan itu salah seorang kawannya si 

Alap-Alap Golok Terbang yang tinggal seo-

rang, dibuat mampus dengan leher putus.

"Berhenti...!" teriak seseorang yang 

berdiri di ambang pintu depan yang terkuak 

pelan-pelan. Nampak seraut wajah berwibawa 

dengan pakaian bagus layaknya seorang 

bangsawan di jaman ini. Usianya sekitar tiga


puluh tahun. Sorot matanya tajam menatap 

pada beberapa orang yang membawa-bawa 

pedang di hadapannya pada jarak dua tem-

bok. Orang-orang itu tertegun untuk bebera-

pa saat. Bangsawan yang tak lain dari tuan 

rumah yang bernama Nugraha Wisesa, lan-

jutkan ucapannya.

"Hemm, ternyata kalian orang-orang 

Tengkorak Hitam. Ada keperluan apa malam-

malam begini menyambangi kediamanku dan 

membuat onar?"

Salah seorang diantara mereka maju 

dua langkah sambil hunuskan pedang. "Eng-

kaukah yang bernama Nugraha Wisesa?!" ta-

nyanya sinis.

"Betul!" 

"Bagus! Serahkan Sepasang Pedang Se-

tan itu pada kami!"

"Pedang Setan?" Laki-laki berpakaian 

mewah itu kernyitkan dahi begitu mendengar 

permintaan mereka. "Maaf, kisanak. Mungkin 

kalian salah alamat. Aku sama sekali tak ta-

hu menahu tentang pedang yang kau sebut 

itu."

"Jangan berpura-pura! Kau tahu betul 

tentang benda itu. Kakekmu, Tumenggung 

Gandasena pernah menyimpan sepasang sen-

jata itu. Masakan kau sebagai keturunannya 

tak tahu menahu... Mustahil!"

"Kisanak, aku berkata yang sesung-

guhnya. Aku sama sekali tak tahu menahu 

tentang senjata yang kau sebutkan tadi," sa-

hut Raden Nugraha Wisesa masih menahan


sabar.

"Ha... ha... ha... ha...! Apa yang kau ka-

takan tak salah!" sahut satu suara diiringi 

tawa yang menyeramkan. Saat itu juga me-

layang seorang bertubuh sedang dari atas se-

buah cabang pohon. Dia berdiri persis di ha-

dapan pemilik rumah itu pada jarak satu 

tombak. Wajahnya menyeramkan dengan so-

rot mata tajam. Meskipun sudah tertawa, tak 

terlihat sedikitpun keramahan di wajahnya 

itu.

"Mungkin kau tak tahu menahu ten-

tang sepasang senjata itu," lanjut orang itu, 

"Tapi di sinilah letak muslihat yang dijalan-

kan kakekmu itu. Dia sengaja memilih eng-

kau yang menyembunyikan Pedang Setan 

agar orang-orang persilatan tak mencuri-

gainya. Siapa yang tak mengenal Raden Nu-

graha Wisesa sebagai orang yang lemah lem-

but dan selalu menggeluti kesusteraan? Ber-

beda betul dengan kakek atau ayahmu si Arya 

Sena itu. Mereka adalah orang-orang kerajaan 

yang kasar dan perkasa. Setelah mereka te-

was dalam peperangan, siapa lagi yang akan 

mewarisi pedang itu kalau bukan engkau!"

"Kisanak, siapakah engkau ini? Kenapa 

engkau begitu mengenal kakek dan ayahku?" 

tanya Raden Nugraha Wisesa heran. Orang 

itu tergelak sambil bertolak pinggang.

"Masakan engkau tak mengenal pa-

manmu sendiri? Bisa jadi si Arya Sena malu 

menceritakannya. Tapi baiklah akan kute-

rangkan siapa aku sebenarnya! Namaku Su


ryudana? Dan ibuku adalah selir kakekmu 

yang paling muda. Jadi antara aku dan 

ayahmu ada pertalian saudara meski cuma 

saudara tiri. Dengan begitu engkau masih 

terhitung keponakanku."

"Ah, maafkanlah atas kelancanganku, 

paman," sahut Raden Nugraha Wisesa sambil 

menjura hormat. "Memang benar. Ayah tak 

pernah menceritakan tentang paman sedikit-

pun."

"Sudahlah. Aku tahu betul tentang wa-

tak ayahmu. Dia sangat membenciku. Tapi 

aku tak bisa berlama-lama, Nugraha. Kau su-

dah tahu apa yang kuinginkan, bukan?"

"Apakah tentang Pedang Setan itu, pa-

man?"

"Betul!"

"Ah, sayang sekali. Aku sungguh-

sungguh tak mengetahuinya sedikitpun. Men-

gapa tak percaya juga?" sahut. Raden Nugra-

ha Wisesa dengan suara lunak. Tapi Duryu-

dana agaknya brangasan dan mulai hilang 

kesabarannya. Dengan suara yang agak ke-

ras, dia kembali berkata.

"Nugraha, jangan coba-coba menyem-

bunyikan sesuatu padaku. Katakan di mana 

pedang itu berada dan aku akan segera pergi 

dan tak akan mengganggu di sini lagi!"

Mendengar ucapan orang itu, tentu sa-

ja Nugraha Wisesa jadi merasa kurang se-

nang. Kalaupun tadi dia mengakui begitu saja 

orang ini sebagai paman tanpa selidik lebih 

dulu, itu karena dia tak mau membuat masa


lah yang lebih panjang. Dengan diakuinya 

orang ini sebagai paman, siapa tahu dia mau 

urungkan niat jahatnya. Namun diperlakukan 

begitu, tentu saja dia tak bisa terima. Masih 

dengan suara lunak, namun mengandung ke-

tegasan, dia menjawab.

"Paman, sekali lagi kutekankan pula 

padamu, bahwa aku sama sekali tak tahu 

menahu tentang pedang yang kau cari itu! 

Maaf, aku tak bisa membantumu. Kalau kau 

datang untuk bersilaturahmi, tentu aku akan 

senang sekali. Tapi kalau kau datang untuk 

mencari keributan, aku tak punya waktu me-

ladeninya. Lagipula hari telah terlalu malam," 

sahut Raden Nugraha.

Tentu saja diperlakukan begitu amarah 

Duryudana semakin memuncak. Lebih-lebih 

saat dilihatnya tuan rumah bersiap-siap putar 

tubuh dan akan menutup pintu. Dengan be-

rang dan sekali tendang, daun pintu rumah 

itu hancur ditendangnya. Dengus nafasnya 

semakin kencang. Rahangnya bergemeletukan 

menahan geram. Sepasang matanya menatap 

tajam pada tuan rumah yang tersentak kaget 

karena perbuatannya. Beberapa orang anak 

buahnya telah siap dengan pedang terhunus 

sambil mendekat pelan.

"Aku masih berlaku sabar padamu, 

Nugraha. Katakan di mana pedang itu berada, 

nyawa keluargamu pasti kuampuni. Tapi ka-

lau kau membandel dan pura-pura tak tahu, 

kau tahu sendiri akibatnya!" kata Suryudana 

sambil menjambak rambut Raden Nugraha


dan menyorongkannya ke salah satu pilar. 

Dengan keras dihantamkannya batok kepala 

itu hingga laki-laki bangsawan itu menjerit 

kesakitan manakala darah mulai mengucur 

dari batok kepalanya.

Pada saat itu, sekonyong-konyong ke-

luar seorang perempuan berusia sekitar dua 

puluh lima tahun dari salah sebuah kamar. 

Wajahnya cantik jelita, rambutnya ikal 

mayang. Dalam pangkuannya terdapat seo-

rang bayi berusia sekitar enam bulan. Wajah-

nya terlihat pias dan jeritnya tak terbendung 

manakala dilihatnya Raden Nugraha menjerit-

jerit kesakitan.

"Kangmas....!!"

Raden Nugraha menatap lesu saat pe-

rempuan itu berlari mendekatinya. Tapi dia 

berusaha memperingati dengan sekuat tenaga 

yang dimilikinya.

"Ratiiiih, cepat selamatkan dirimu! 

Jangan dekat-dekat ke sini! Ayo, selamatkan 

dirimu! Jangan hiraukan aku!!"

Belum lagi sempat perempuan itu ber-

pikir lebih lanjut, salah seorang murid Teng-

korak Hitam telah melesat dan menyambar 

tubuhnya sambil terkekeh pelan. Suryudana 

hanya mendengus sambil memberi isyarat 

pada anak buahnya itu.

"Jaga dia baik-baik dan yang lain, gele-

dah seluruh isi rumah ini!"

"Baik, ketua!" sahut mereka. Suryuda-

na kembali mendengus sinis pada Raden Nu-

graha. "Nah, kau lihat bukan? Aku bisa ber


buat apa saja kalau kau tak menurut. Kau 

masih punya istri yang cantik dan seorang 

bayi. Kalau kau sayang jiwamu dan jiwa ke-

luargamu, katakan di mana pedang itu bera-

da. Kalau tidak, kau akan melihat mereka 

mati satu persatu di hadapanmu!"

"Cuih! Bedebah! Meskipun aku tahu di 

mana benda itu berada, tak nanti kau akan 

kuberitahu!" meludah Raden Nugraha dan te-

pat mengenai Suryudana. Bukan main kalap-

nya orang itu. Lutut kanannya segera terayun 

ke perut Raden Nugraha dengan keras. Laki-

laki bangsawan itu menjerit setinggi langit. 

Dari mulutnya muncrat darah segar.

Perempuan yang tak lain dari istrinya 

itu kembali menjerit ketakutan dengan wajah 

panik. Namun seorang murid Tengkorak Hi-

tam yang memegangnya, memperkuat cekalan 

ketika perempuan itu berusaha berontak.

"Jahanam keparat! Lepaskan istriku!" 

maki Raden Nugraha. Suryudana tersenyum 

sinis sambil melirik perempuan itu.

"Istrimu cantik juga, Nugraha..." ka-

tanya tersenyum sinis sambil mendekat dan 

melepas jenggutannya di rambut laki-laki itu. 

"Alangkah manisnya kalau dia ikut dengan-

ku..."

"Keparat! Hentikan niat busukmu itu!" 

maki Raden Nugraha sambil menerjang ketua 

Perguruan Tengkorak Hitam dengan kalap. 

Tapi apalah dayanya. Laki-laki itu sama sekali 

tak mengerti ilmu silat. Sekali Suryudana 

mendengar desir angin serangan, dia berkelit


dengan mudah. Kaki kanannya menggaet kaki 

lawan. Tak ampun lagi, Raden Nugraha ter-

sungkur dengan dagu menghantam lantai 

rumahnya yang terbuat dari marmer keras. 

Darah mengucur deras dari dagunya yang ro-

bek. Dia berusaha bangkit, namun kaki ka-

nan Suryudana lebih cepat lagi menginjak 

punggungnya.

"Yang aku inginkan hanya sepasang 

pedang itu, Nugraha. Tapi karena kau menu-

tup-nutupinya, terpaksa aku menginginkan 

segalanya. Termasuk istrimu yang cantik ini!" 

kata Suryudana dengan senyum sinis. Sekali 

dia memberi isyarat, anak buahnya itu men-

dorong tubuh perempuan itu setelah terlebih 

dulu merenggut bayi dalam momongannya. 

Karuan saja, bocah yang belum lagi berusia 

setahun itu menjerit keras. Istri Raden Nu-

graha berusaha menyambarnya. Tapi Suryu-

dana lebih cepat lagi bergerak memeluk pe-

rempuan itu dan mencumbuinya di depan 

mata Raden Nugraha. Laki-laki itu memaki 

garang. Teriakan-teriakan bayi serta istrinya 

yang ketakutan, seolah memberi semangat 

untuknya. Dengan menggeram buas, dia be-

rusaha bangkit.

"Bukk!"

"Aaaaakh...!"

Seorang anak buah Tengkorak Hitam 

langsung menghajar dadanya dengan ujung 

kaki. Laki-laki itu terjerembab sejauh satu 

tombak. Ubun-ubun kepalanya membentur 

tembok. Untuk sesaat Raden Nugraha tak bi


sa berbuat apa-apa. Kepalanya terasa berat 

dan darah menetes dari luka akibat benturan 

yang dilakukan Suryudana tadi sebelumnya. 

Samar-samar dia melihat istrinya diseret den-

gan paksa ke kamar yang pintunya sengaja 

dibuka hingga mampu dilihatnya. Darah laki-

laki itu semakin mendidih menahan amarah. 

Dia berusaha bangkit saat pandangannya me-

lihat istrinya sedang digeluti oleh ketua Per-

guruan Tengkorak Hitam itu. Namun baru sa-

ja dia mendongakkan kepala, satu tendangan 

kembali menghajar wajahnya. Laki-laki bang-

sawan itu menjerit keras menahan sakit. Tapi 

lebih sakit lagi hatinya mendengar istrinya 

berteriak-teriak ketakutan tanpa daya.

Tapi bagai tak merasakan sakit yang 

dideritanya, Raden Nugraha terus mencoba 

melawan. Akibatnya sungguh sangat parah. 

Beberapa orang anggota Tengkorak Hitam 

yang telah melaporkan bahwa mereka tak 

menemukan apa-apa di rumah ini, bertindak 

beringas kepadanya akibat kemarahan Su-

ryudana yang merasa niatnya mencari sepa-

sang Pedang Setan itu tak ketemu. Ketua 

Tengkorak Hitam itu memaki-maki habis-

habisan pada anak buahnya.

"Pergi cari lagi dan biarkan laki-laki itu 

merangkak-rangkak ke sini untuk menolong 

istrinya!"

"Baik, ketua!" sahut mereka serentak. 

Anak buahnya segera mengerti maksud ketua 

mereka. Dengan sadis mereka membuat Ra-

den Nugraha tak berdaya. Kedua kakinya di


buntungi, punggung ditendang berkali-kali 

hingga beberapa tulangnya hancur. Wajahnya 

dipermak habis-habisan. Setelah puas dan 

merasa bahwa laki-laki bangsawan itu tak 

mempunyai daya lagi, mereka meninggalkan-

nya begitu saja. Raden Nugraha berusaha 

bangkit sambil merangkak-rangkak mendeka-

ti Suryudana yang masih saja menggeluti is-

trinya yang telah dibuatnya tak berdaya sete-

lah ditotok urat geraknya.

"Sekarang kau bisa merasakan akibat 

kebandelanmu sendiri, Nugraha. Mestinya 

aku tak memperlakukan kau begini rupa asal 

kau sudi menunjukkan padaku, di mana Pe-

dang Setan itu berada. Tapi tak apalah. Hi-

tung-hitung dendamku terhadap keluarga ka-

lian akan terbalas hari ini. Betapa ayahmu 

sangat menghina padaku karena ibuku hanya 

seorang selir dari kakekmu. Ayahmu meman-

dang dan memperlakukanku bagai seekor 

anjing. Kau dapat rasakan hal itu. Saat itu 

aku tak berdaya, persis keadaanmu sekarang 

ini. Kurasa kaupun tahu hal itu sebab usia 

kita tak jauh berbeda. Nah, sekarang rasa-

kanlah bagaimana aku merasakannya tempo 

hari!" kata Suryudana sambil tergelak-gelak 

dan mencumbu perempuan itu dengan serin-

gai buas. Perempuan itu berteriak-teriak ke-

takutan sambil memaki-maki. Tapi mana mau 

Suryudana melepaskan begitu saja. Apalagi 

saat nafsu iblisnya mulai memuncak tatkala 

pakaian perempuan itu mulai tak karuan di-

acak-acaknya. Tersingkaplah daerah-daerah


terlarang di bagian dadanya yang halus dan 

montok. Darah Suryudana seolah mengalir 

kencang dan tak beraturan. Dengan mengge-

ram hebat, dia melucuti seluruh pakaian pe-

rempuan itu tanpa sisa. Setelah itu, dia sen-

diri membuka pakaiannya dengan terburu-

buru.

Raden Nugraha tak kuat melihat pe-

mandangan yang berada di depan matanya 

itu. Dia berusaha bangkit, tapi untuk berge-

rak pun terasa sakit luar biasa. Kepalanya 

tertunduk lesu manakala telinganya menden-

gar teriakan-teriakan istrinya yang akhirnya 

mulai hilang dan berganti dengan dengus na-

fas Suryudana yang memburu bagai orang 

berlari. Pandangannya pun mulai mengabur. 

Ingatannya melayang entah ke mana. Suara-

suara itu semakin samar di telinga, dan tiba-

tiba terasa rumahnya panas bagai dikelilingi 

api yang berkobar-kobar dengan hebat.

Apa yang dirasakan oleh laki-laki itu 

ternyata tak salah. Setelah puas melam-

piaskan nafsu iblisnya, rupanya dendam ke-

sumat Suryudana belum tuntas. Setelah pe-

dang yang dicarinya tak diperoleh, dia meme-

rintahkan anak buahnya untuk membakar 

seluruh gedung ini berikut penghuninya. 

Termasuk di dalamnya bayi yang belum beru-

sia setahun itu. Raden Nughraha tak mampu 

berbuat apa-apa. Selain tubuhnya yang terlu-

ka parah, diapun pingsan saat itu. Apalagi is-

trinya yang menderita tekanan batin akibat 

perbuatan Suryudana. Saat itu juga tak sa


darkan diri. Tinggallah bayi itu yang terus 

menjerit ketakutan melihat kobaran api dan 

kepanasan yang amat sangat.

Suryudana tergelak puas dan tinggal-

kan tempat itu seketika sambil berkelebat ce-

pat. Tanpa sepengetahuannya, seseorang ber-

kelebat ke dalam rumah yang sedang diamuk 

api tadi dan menyambar tubuh bayi yang ter-

geletak di ranjang dan membawanya kabur 

entah ke mana. Tepat saat itu, terdengar de-

rak kayu dan genteng-genteng rumah yang ja-

tuh. Rumah itu roboh beberapa saat kemu-

dian dan mengubur dua orang penghuninya 

saat itu juga.


DUA



Sesosok tubuh itu terus berlari dan 

berlari dengan lincahnya sambil mengerahkan 

ilmu mengentengi tubuh yang telah mencapai 

tingkat sempurna. Kedua tangannya tampak 

memomong seorang bocah yang berusia ku-

rang dari setahun. Kalau melihat raut wajah-

nya di kegelapan itu, agak kurang jelas. Yang 

pasti dia memiliki tubuh ramping agak tinggi 

dan berambut panjang dengan pengikat kepa-

la.

Tubuh itu terus berlari hingga mende-

kati kaki Gunung Sumbing. Dia berhenti se-

jenak sambil mengatur nafas. Wajahnya men-

dongak ke atas pada tebing-tebing terjal. Lalu 

dengan sekali genjotkan tubuh, dia telah me


lesat seringan kapas dan berloncat-loncatan 

melalui batu-batu yang menonjol di tebing-

tebing itu. Kira-kira sepeminuman teh sam-

pailah sesosok tubuh itu pada sebuah data-

ran yang agak luas. Bertepatan dengan fajar 

yang mulai tiba. Dia berlari-lari kecil mende-

kati sebuah pondok yang tak jauh dari situ 

sambil berteriak-teriak memanggil seseorang 

dari dalamnya.

"Eyang...! Eyang...! Cepatlah keluar dan 

lihat apa yang kubawa ini!"

"Ulah apa lagi yang kau buat saat ini? 

Apakah kau telah memenggal kepala penjahat 

ternama?" Terdengar sahutan dari dalam 

pondok tanpa orangnya keluar.

"Ayolah, Eyang...! Apakah kau tak ber-

minat melihatnya?" sahut suara itu manja.

"Ya, ya! Aku mendengar tangis bayi. 

Tapi dari mana kau dapatkan anak itu?"

"Bukan mendapatkannya, malah aku 

menyelamatkannya!" Tubuh itu masuk den-

gan cepat ke dalam pondok. Di dalamnya tak

terlalu luas. Dua buah kamar tidur dan ruan-

gan yang menembus ke dapur. Dindingnya 

terbuat dari tepas dan beratap daun nira. Di 

ruang depan terlihat seorang berusia sekitar 

delapan puluh tahun sedang duduk bersila di 

atas bale-bale. Kepalanya yang botak ditutupi 

oleh sorban putih. Janggutnya panjang seda-

da dan telah memutih. Wajahnya masih keli-

hatan bersih meski kerut merut telah nyata di 

sana sini. Wajahnya membiaskan kekerasan, 

namun ada wibawa yang dipancarkan.


Sesosok tubuh itu yang kini mulai nya-

ta ditimpa cahaya obor di ruangan itu ternya-

ta seorang gadis jelita berusia sekitar duapu-

luh enam tahun. Dia segera memberi hormat 

setelah meletakkan bayi itu di dekat si orang 

tua.

"Roro Ningrum, dari mana saja kau se-

jak subuh dan kembali subuh pula?!" tanya 

orang tua itu pelan namun mengandung kete-

gasan dan ancaman

"Ti... tidak dari mana-mana, Eyang," 

sahut gadis itu kecut. "Aku... aku hanya me-

rasa kesepian di sini terus. Apakah salah se-

sekali turun gunung untuk berbaur dengan 

dunia ramai?"

Mendengar jawaban itu, si orang tua 

terdiam sejenak. Suaranya berubah lunak 

dengan nada membujuk.

"Roro, sudah berapa kali Eyang kata-

kan. Dunia ramai itu tak cocok untuk mu. Di 

sana banyak kekejaman yang se-waktu-waktu 

dapat merenggut jiwamu..."

"Eyang, duapuluh enam tahun aku be-

rada di sini, apakah itu bukan suatu bukti 

bahwa aku cukup bersabar diri dalam kese-

pian? Terkadang aku butuh kawan untuk 

bercerita dan bercanda. Tapi hanya dengan 

burung dan angin saja aku bisa bicara dan 

mengadu. Salahkah bila aku bertemu dengan 

orang-orang ramai, lalu bergaul dan berbuat 

sesuatu yang bisa membantu mereka? Aku 

sudah cukup besar untuk menjaga diri. Se-

mua petuah Eyang rasanya tak pernah lupa


di benakku. Lalu apa lagi yang Eyang khawa-

tirkan?"

Orang tua itu hela nafas. Untuk sesaat 

dia tak tahu apa yang harus dikatakannya. 

Apa yang diucapkan gadis itu tak salah. Se-

lama ini dia terlalu khawatir bila gadis itu tu-

run gunung dan berbaur di dunia ramai. Me-

nurutnya dunia ramai itu penuh dengan tipu 

muslihat dan kecurangan. Dia tak mau cicit 

satu-satunya itu menjadi korban dari kelici-

kan orang-orang. Lebih-lebih saat kedua 

orang tua gadis ini meninggal juga akibat dari 

kelicikan, semakin membuatnya bertambah 

was-was.

Karena tak mau lagi menyinggung ten-

tang hal itu, si orang tua mengalihkan pembi-

caraan pada persoalan bayi itu. Roro Ningrum 

pun menceritakan persoalan yang diketa-

huinya. Orang tua itu manggut-manggut.

"Maaf, Eyang. Aku patuh pada nasehat 

Eyang, tapi kadang-kadang juga ada niat un-

tuk berontak. Maka Eyang angkatlah bayi ini 

kelak menjadi murid agar aku memiliki ka-

wan hingga aku tak merasa kesepian lagi," 

kata Roro Ningrum mengajukan alasan.

"Hemm, aku paham maksudmu, Roro. 

Tapi mengangkat seorang murid, buatku bu-

kanlah persoalan mudah..."

"Kalau Eyang tak mau, biarlah aku 

pergi saja dari tempat yang membosankan 

ini!" potong gadis itu cepat sambil merajuk 

dan palingkan wajah. Orang tua itu tak tahu 

harus berkata apa lagi. Dia cuma bisa hela


nafas pendek.

"Baiklah! Baiklah! Aku akan turuti 

permintaanmu, tapi dengan satu syarat, bah-

wa kau harus yakin bahwa bocah ini berasal 

dari keluarga baik-baik, dan kau bersedia 

menanggung akibat dari perbuatannya kelak 

di kemudian hari!?"

"Sanggup!" sahut gadis itu cepat tanpa 

pikir panjang lagi. "Bukankah aku telah kata-

kan pada Eyang bahwa bayi ini anak seorang 

bangsawan?" 

"Orang bangsawan tak sama dengan 

orang baik-baik! Siapa nama bangsawan itu?"

"Mana kutahu!" sahut Roro sambil 

angkat bahu. 

"Kalau kau katakan bahwa orang tua 

anak ini dibantai oleh mereka yang menjuluki 

diri sebagai orang-orang Tengkorak Hitam. 

Kenapa kau tak menolong kedua orang tua-

nya?"

"Mana aku tahu. Pada saat itu kawa-

nan itu telah pergi jauh dan lagi pula Eyang 

berpesan bahwa aku tak boleh banyak ikut 

campur dalam urusan orang-orang persilatan. 

Aku turuti nasehat Eyang itu. Tapi menyela-

matkan bayi ini, tentu tak melanggar pesan 

Eyang, bukan?"

"Kau memang pandai sekali bicara!" 

sahut orang tua itu sambil gelengkan kepala. 

Gadis itu ketawa renyah.

"Jadi bagaimana, Eyang? Apakah 

Eyang mengijinkan bayi ini tinggal di sini dan 

kelak Eyang angkat menjadi murid pula?!"


"Kalau kau telah berjanji begitu, buat 

apa pula aku ragu?"

"Oh, terima kasih, Eyang!" jawab gadis 

itu girang bukan main. "Kini aku punya te-

man dan tak kesepian lagi. Biarlah kurawat 

dia bagai anakku sendiri," lanjutnya sambil 

mencarikan baju-baju yang tak pantas untuk 

bayi itu.

Siapakah sebenarnya orang tua yang 

menghuni puncak Gunung Sumbing ini sebe-

narnya? Puluhan tahun yang lalu rimba per-

silatan pernah digemparkan oleh kemunculan 

seorang pemuda perkasa yang ilmu silatnya 

tinggi luar biasa. Tak seorang pun yang mam-

pu mengalahkannya. Banyak sekali tokoh-

tokoh sesat yang dibantainya dengan sepa-

sang senjatanya yang berupa dua bilah pe-

dang. Meski dia sendiri termasuk orang persi-

latan kaum lurus, namun tindakannya kejam 

sekali dalam membantai musuh-musuhnya. 

Semua itu tak lain karena pengaruh senjata 

mustikanya itu. Lama kelamaan pemuda itu 

akhirnya mulai menyadari kekeliruannya dan 

melepaskan senjata itu dengan menitipkan-

nya pada seorang kawannya yang bisa diper-

caya. Dia sendiri akhirnya mengasingkan diri 

di puncak Gunung Sumbing ini dan perlahan-

lahan namanya mulai dilupakan orang yang 

menyangkanya telah tiada. Orang itu mem-

punyai gelar Malaikat Pedang Bertangan Seribu!


TIGA


Waktu berjalan tanpa terasa dari hari 

berganti hari dan bulan berganti tahun. Kehi-

dupan terus berlangsung sebagaimana mes-

tinya. Roda jaman seakan menggilas dan 

menggelar berbagai peristiwa. Tak terasa, tu-

juh belas tahun telah berlalu sejak peristiwa 

itu. Di puncak Gunung Sumbing seakan tak 

lewat dari hukum alam itu. Bayi perempuan 

yang diselamatkan Roro Ningrum telah ber-

kembang menjadi dewasa. Seorang gadis ru-

pawan yang cantik jelita. Perempuan itu telah 

menganggapnya sebagai anak sendiri. Kasih 

sayangnya tercurah bagai seorang ibu pada 

anak kandungnya.

Pagi ini nampak orang tua yang berge-

lar Malaikat Pedang Bertangan Seribu gelisah 

sekali seperti ada yang dipikirkannya. Bela-

kangan ini bukan ulah Roro Ningrum yang 

masih saja kelayapan di dunia ramai yang 

dikhawatirkannya, melainkan ada sesuatu 

yang lebih penting dari cerita yang dibawa ci-

citnya itu.

Sementara itu sepasang matanya tak 

berkedip melihat dua orang perempuan yang 

sedang berlatih ilmu silat tak jauh dari pon-

dok. Kemajuan gadis itu pesat sekali. Roro 

Ningrum seolah tak jemu melatih dan menun-

jukkan kesalahannya. Lagipula tutur bahasa 

gadis itu lemah lembut dan tak terlihat kesan 

sebagai gadis binal. Hal ini semakin membuat


orang tua itu bertambah suka padanya.

"Eyang tak memperhatikan kami berla-

tih?" sapa Roro Ningrum yang tiba-tiba telah 

berada di depan orang tua itu. Perempuan 

yang kini berusia lebih empat puluh tahun itu 

duduk di sebelahnya dan memperhatikan 

dengan seksama. Meski usianya telah mende-

kati setengah abad, namun tak terlihat kesan-

kesan tua di wajahnya. Bahkan sepintas 

orang akan melihatnya seperti gadis usia du-

apuluh tahun saja layaknya.

"Ada sesuatu yang Eyang pikirkan?" 

tanya gadis yang bersama cicitnya itu dengan 

lemah lembut. "Katakanlah, Eyang. Barangka-

li kami bisa membantu."

Orang tua itu menatapnya sejenak dan 

tersenyum kecil. "Dewi Ambarwati, tahukah 

sudah berapa lama kau bersama kami?"

"Kalau tak salah tujuh belas tahun 

Eyang."

"Betul. Kurasa inilah saatnya aku ha-

rus berterus terang padamu..."

"Eyang, apakah itu perlu!" potong Roro 

Ningrum dengan wajah terkejut. Dia mulai 

menduga-duga bahwa Eyangnya ini akan 

membeberkan rahasia gadis itu, sebab selama 

ini Roro Ningrum selalu mengatakan bahwa 

dia adalah ibunya dan orang tua itu adalah 

kakek buyutnya. Kalaupun gadis yang ber-

nama Dewi Ambarwati itu menanyakan ten-

tang ayahnya, Roro Ningrum selalu mengata-

kan bahwa ayahnya telah tewas sejak dia ma-

sih dalam kandungan. Semua itu dilakukan


nya karena saking sayangnya dia pada gadis 

itu dan tak ingin dia mendapat beban pikiran 

jika mengetahui keadaan dirinya yang sebe-

narnya.

"Tentang apakah gerangan, Eyang?" 

tanya Dewi Ambarwati penasaran melihat 

orang tua itu yang ragu sesaat.

"Eyang, kurasa hal itu tak perlu. Dewi 

Ambarwati telah senang dan bahagia hidup 

bersama kita. Kalau Eyang bermaksud men-

ceritakan hal itu, sama artinya merusak ke-

bahagiaannya," kata Roro Ningrum lebih lan-

jut.

"Eyang hanya ingin mengatakan sesua-

tu tentang berita yang kau peroleh tempo hari 

di luaran sana..."

"Berita apa, Eyang?"

"Tentang Sepasang Pedang Setan!"

"Oh, apakah Eyang tertarik juga untuk 

merebutnya?!"

"Tidak. Ada hal yang perlu kalian keta-

hui. Dahulu sekali saat aku masih muda, 

nama Malaikat Pedang Bertangan Seribu san-

gat ditakuti orang-orang persilatan di delapan 

penjuru mata angin. Dia memiliki sepasang 

pedang pusaka yang sangat ampuh. Kalau te-

naga batin kita tidak kuat, maka jiwa akan 

rusak dibuatnya. Sepasang pedang itu seakan 

mendorong hati nurani kita untuk berbuat 

kejam. Waktu itu si Malaikat Pedang Bertan-

gan Seribu belum memiliki batin yang kuat 

hingga sepak terjangnya begitu meresahkan 

semua orang. Masih untung karena dia berpi


jak pada jalan lurus hingga dari sekian ba-

nyak tokoh persilatan yang menjadi korban 

selalu tokoh-tokoh sesat. Tapi bukan berarti 

bahwa tokoh-tokoh golongan lurus tak ada 

yang menjadi korban. Semua itu karena do-

rongan dari sepasang pedang yang dimilikinya 

yang sangat haus darah. Untunglah akhirnya 

dia sadar dan melepaskan sepasang pedang 

itu dengan menitipkannya pada seorang ka-

wan yang bisa dipercaya...."

"Lalu apa hubungannya dengan Sepa-

sang Pedang Setang itu, Eyang?!"

"Aku ingin kalian mendapatkannya dan 

membawanya kemari!"

"Eyang, itu sama artinya Eyang menyu-

ruh kami untuk terjun dalam dunia ramai 

dan berhadapan dengan tokoh-tokoh persila-

tan?!"

Orang tua itu mengangguk lesu. "Dulu 

mungkin orang tak percaya padamu, namun 

setelah sekian lama kau membuktikan bahwa 

dirimu sanggup menjaga diri, aku semakin 

yakin bahwa kau bisa dipercaya. Lagipula 

dengan ilmu silat yang kau miliki saat ini, tak 

sembarangan orang mampu menjatuhkan-

mu."

"Eyang, apakah sepasang pedang itu 

begitu berarti buat Eyang?"

"Roro, sekaranglah aku berterus terang 

padamu, dan juga kau Dewi Ambarwati," Sa-

hut orang tua itu pelan setelah menghela na-

fas pendek. "Kalau aku menyuruh kalian un-

tuk mengambil kembali sepasang pedang itu,


bukan berarti aku serakah. Tapi pedang itu 

adalah milikku!"

"Jadi... jadi Eyangkah yang bergelar 

Malaikat Pedang Bertangan Seribu?!" sahut 

Roro Ningrum seolah tak percaya. Orang tua 

itu mengangguk pelan.

"Kenapa Eyang merahasiakannya pada 

kami?" tanya Dewi Ambarwati.

"Karena aku tahu kelakuan ibumu. Dia

sering pergi ke dunia ramai dan aku tak mau 

dia mendapat celaka karena orang mengeta-

hui bahwa dia murid si Malaikat Pedang Ber-

tangan Seribu!"

Untuk sesaat ketiganya membisu, na-

mun cepat dipecahkan kembali saat orang tua 

itu berkata, "Roro, sahabat yang kutitipkan 

pedang itu bernama Ki Wicaksana. Tapi 

orang-orang persilatan mengenalnya sebagai 

Pendekar Hati Suci. Sesuai dengan gelarnya 

itu, dia memang memiliki hati yang bersih 

dan selalu berbuat kebenaran dengan jalan 

sebaik-baiknya. Disamping itu, dia memiliki 

tenaga batin yang kuat saat itu. Namun ak-

hirnya aku mendengar bahwa dia dibunuh 

oleh muridnya yang bernama Parinka. Orang 

itu banyak membuat keonaran dengan sepa-

sang pedang yang dimilikinya, dan orang-

orang menjulukinya sebagai si Pedang Setan. 

Mendengar berita itu, aku berniat merampas 

kembali dari tangannya. Namun belum sam-

pai niat itu kulaksanakan, kembali kudengar 

berita bahwa si Pedang Setan berhasil dika-

lahkan dan tewas di tangan prang yang me


namakan diri sebagai Raja Pedang Utara. 

Orang itu adalah seorang pendekar asing dari 

negri seberang. Entah bagaimana caranya, 

saat kerajaan Puring Kencana menyerang ne-

gri itu, salah seorang tumenggung Kerajaan 

bernama Gandasena berhasil membawanya 

pulang. Orang itu berhati lurus dan cepat 

mengetahui bahwa pedang itu selalu menun-

tut si pemegang untuk membunuh orang ser-

ta menghirup darahnya. Karena batinnya be-

lum kuat, akhirnya dia menitipkan pedang itu 

pada kawan dekatnya, seorang pembuat sen-

jata-senjata tajam bernama Empu Pupulaka. 

Namun sayang, orang tua itu akhirnya tewas 

di tangan anaknya sendiri yang ingin mengu-

asai kedua pedang itu. Sampai saat itu, Sepa-

sang Pedang Setan itu raib entah ke mana. 

Dan kini nampaknya mulai hangat kembali 

beritanya. Untuk itulah kalian kutugaskan 

merebutnya kembali!"

"Baiklah, Eyang. Aku mengerti seka-

rang kenapa Eyang selalu ingin menyendiri di 

tempat ini. Pedang Setan itu telah membawa 

bencana yang amat besar dan Eyang merasa 

bersalah, bukan?"

"Itulah sebagian yang membuat hatiku 

merasa tersiksa. Selama pedang itu berada di 

tangan orang sesat, maka selama itu pula ke-

kacauan akan kembali timbul. Pedang itu se-

lalu berpasangan. Bila salah satu dimiliki, 

cukup sudah membuat si pemiliknya menjadi 

kejam dan hatinya penuh dengan niat-niat 

jahat. Kalau batinnya tak kuat, maka dia


akan dikuasai pedang itu. Lalu bayangkan 

pula bagaimana seandainya sepasang pedang 

itu berada di tangan orang yang batinnya tak 

kuat? Tentulah dunia ini akan kacau dibuat-

nya. Lebih-lebih bila orang itu sakti dan be-

rilmu tinggi."

"Lalu bagaimana kami bisa memba-

wanya jika pedang itu telah kami peroleh? 

Bukankah nantinya pedang itu akan merasu-

ki batin kita yang belum kuat?" tanya Roro 

Ningrum.

"Roro, kekuatan batinmu untuk saat 

ini rasanya cukup. Tapi aku perlu menggo-

dokmu lebih lanjut. Untuk itulah selama se-

minggu ini kau dan Dewi Ambarwati akan 

kuberikan pelajaran untuk menguatkan tena-

ga batin yang kalian miliki," sahut orang tua 

itu.

"Terima kasih, Eyang. Kami akan beru-

saha sekuat tenaga untuk memperoleh pe-

dang itu kembali," sahut Roro Ningrum dan 

Dewi Ambarwati hampir berbarengan. Setelah 

menjura hormat, mereka mulai memper-

siapkan segala sesuatunya yang diperlukan 

untuk latihan yang dimulai nanti malam. 

Orang tua itu kembali menghela nafas agak 

panjang. Di batinnya bergelora keyakinan 

bahwa kedua cicitnya itu pasti mampu men-

gemban tugas yang diberikannya.



EMPAT


Seorang pemuda berbaju merah terli-

hat asyik duduk di bawah sebuah pohon be-

sar sambil menyandarkan diri dan menikmati 

dendeng ikan lumba-lumba dengan lahap, 

yang selalu disimpannya dalam periuk besar 

yang dibawanya ke mana saja. Pakaiannya 

terlihat dekil dan kumal, namun begitu wa-

jahnya sungguh sangat tampan, meski sedikit 

agak lucu sebab dengan rambut yang dikun-

cir dan periuk besar yang selalu menyertainya 

dia nampak aneh. Siapa lagi pemuda itu ka-

lau bukan Buang Sengketa, atau si Pendekar 

Hina Kelana.

Sambil mengunyah makanannya den-

gan lahap, sesekali pemuda itu termenung 

sambil memandang jauh ke depan pada ham-

paran rumput luas membentang. Pemandan-

gan ini sama sekali tak mirip dengan tempat 

di mana dulu dia dibesarkan oleh orang tua 

super sakti bergelar Bangkotan Koreng Seri-

bu. Orang tua yang telah membesarkan dan 

mendidiknya, dan telah dianggapnya sebagai 

orang tua sendiri. Ada kenang-kenangan in-

dah yang tiada terlupakan tentang ombak-

ombak dan debur laut serta burung-burung 

camar di Pantai Karang Tanjung Api.

Dan manakala dia teringat tentang 

orang tua kandungnya yang tiada pernah di-

jumpai, hatinya seolah terluka. Entah kenapa 

hidup seperti ini harus menimpanya. Sejak


bayi tak mengetahui, siapa ayah ibunya, dan 

setelah dewasa, barulah tahu bahwa ayahnya 

adalah raja di Negri Bunian yang saat ini se-

dang menjalani hukuman karena menikahi 

ibunya yang merupakan manusia biasa. Un-

tuk bertemu pun tak mudah. Ayahnya yang 

sedang bertapa dalam ujud seekor Ular Piton 

raksasa, entah di dasar laut mana bisa dite-

muinya.

"Ah, sungguh malang benar nasibku 

lahir di dunia ini..." desah pemuda itu tanpa 

sadar. "Sejak kecil tak berayah dan beribu. 

Kini guruku pun entah bagaimana nasib-

nya...."

Agak lama dia termenung begitu sam-

pai telinganya yang sangat terlatih mendengar 

derap langkah kuda yang sangat cepat men-

dekat ke arahnya. Cepat-cepat pemuda itu 

bersembunyi di atas cabang sebuah pohon 

dan mengintai para pendatang itu. Apa yang 

didengarnya ternyata tak salah. Serombongan 

orang berkuda memacu kudanya dengan ce-

pat. Diantara mereka terdengar jeritan-jeritan 

seorang gadis yang terus mencaci-maki. Pe-

muda itu tak cepat turun tangan. Dia ingin 

mengetahui lebih dulu, apa persoalan yang 

sebenarnya.

"Keparat! Lepaskan aku! Le-

paskaaaan...!" teriak gadis itu. "Kalau bapak-

ku sampai tahu, kalian bisa berbuat apa pa-

danya. Dia pasti membantai kalian semua!"

"Siapa yang perduli pada bapakmu 

itu!? Dia boleh datang ke sini kalau punya


keberanian," salah seorang yang berusia seki-

tar dua puluh lima tahun. Paras wajahnya 

gagah dan tampan.

"Cuih! Orang-orang seperti kalian tiada 

harganya di mata bapakku!" Maki si gadis 

yang sedang dalam keadaan tertotok dan ikut 

di atas kuda pemuda itu.

"Nona, orang-orang Tengkorak Hitam 

pantang dihina. Tapi karena urusanmu me-

nyangkut perintah ketua, aku masih berbaik 

hati tak turun tangan kasar padamu. Tapi ka-

lau engkau terus memaki-maki, maka terpak-

sa aku harus menyumpal mulutmu itu!" kata 

si pemuda dengan nada mengancam.

"Kau kira bisa berbuat apa padaku?! 

Ayo, lepaskan totokan ini dan kita bertarung 

sampai seribu jurus!" tantang si gadis. "Kalau 

aku kalah, kau boleh pentang bacot sesuka-

mu!"

"He... he... he....! Kalau engkau bisa 

mengalahkanku, tak mungkin tadi engkau bi-

sa kena totok."

"Kalau kau tak main keroyokan, mana 

mungkin kau bisa mengalahkan aku!"

"Nona, engkau memang pandai bersilat 

lidah. Tapi hari ini aku sedang tak berseman-

gat untuk meladenimu. Biarlah nanti bagai-

mana ketua yang akan menentukan. Apakah 

engkau pantas dihukum, ataukah engkau 

perlu diberi pelajaran karena mulutmu yang 

terus memaki-maki itu!"

"Puih! Kau pikir aku takut!?"

"Tentu saja tidak. Tapi kalau engkau



kutelanjangi dan kusekap tiap hari di kamar-

ku, apakah engkau berani?"

Mendengar itu si gadis langsung ter-

diam dan bergidik ngeri. Dia bisa mem-

bayangkan apa yang akan dilakukan pemuda 

ini nantinya. Apalagi karena dia tahu bahwa 

orang-orang Tengkorak Hitam terkenal kejam-

kejam dan suka bertindak semaunya.

"Nah, bagaimana, nona? Apakah eng-

kau masih berani juga?" Ledek pemuda itu 

sambil cengengesan.

"Sebenarnya untuk apa kalian mencu-

likku?" tanya si gadis mengalihkan perhatian 

dengan suara yang lebih lunak. Pemuda itu 

terkekeh pelan dan bukannya tak mengerti 

maksud si gadis yang mulai ketakutan den-

gan ancamannya tadi. Tapi melihat parasnya 

yang jelita dan kulitnya yang halus mulus, 

serta tubuhnya yang montok, diam-diam pe-

muda ini suka pula padanya. Maka dengan 

nada yang ramah pula dia menyahut.

"Apakah engkau mau membantu kalau 

kuberitahu?"

"Kenapa tidak?"

"Baiklah. Sekarang atau nanti, toh sa-

ma saja. Ketuaku ingin tahu apakah keluar-

gamu masih menyimpan Pedang Setan..."

"Pedang Setan....?" Suara gadis itu ter-

dengar bingung dan tak mengerti. "Pedang 

apa itu? Rasanya baru sekarang aku menden-

gar namanya!"

"Ah, sudahlah, nona. Ternyata engkau 

sama sekali tak bisa membantu. Tapi tentu



saja kami tak bisa melepaskan engkau begitu 

saja."

Mendengar jawaban itu, lunglailah si 

gadis Rasanya tiada harapan lagi dirinya un-

tuk lepas dari cengkraman mereka. Lebih-

lebih saat pemuda itu memerintahkan kawan-

kawannya untuk memacu kuda lebih kencang 

lagi. Namun pada itu tiba-tiba berkelebat satu 

bayangan yang membuat kuda tunggangan 

mereka meringkik panjang sambil berjingkat 

tinggi. Beberapa orang malah terpelanting da-

ri kudanya. Masih untung pemuda itu bisa 

menguasai kuda dan merangkul gadis itu 

dengan cepat. Dengan mengerahkan sedikit 

tenaga dalamnya, dia mampu menjinakkan 

kudanya yang tiba-tiba menjadi liar. Sepasang 

matanya menyipit dan menyorot tajam mana-

kala melihat seorang pemuda berbaju merah 

kumal di depan mereka pada jarak dua tom-

bak. Pemuda yang rambutnya dikuncir itu 

membawa-bawa periuk besar yang membuat 

penampilannya terasa aneh di mata orang.

"Kisanak, siapakah engkau? Kenapa ti-

ba-tiba menghalangi perjalanan kami?" Tanya 

pemuda itu dengan nada pelan namun menu-

suk dan mengandung ancaman. Beberapa 

orang kawannya nampak bergemeletukkan 

rahangnya menahan amarah. Tapi karena 

pemuda itu yang saat ini memegang koman-

do, mereka cuma bisa menunggu perintah sa-

ja. Padahal pada pemimpin-pemimpin rom-

bongan lain tak ada yang selemah pemuda ini 

dalam bertindak pada orang yang menghalan



gi niat mereka dalam bentuk apapun.

"Tentang aku, barangkali tak ada gu-

nanya diketahui," jawab pemuda berpakaian

kumal yang tak lain dari Buang Sengketa. 

"Aku cuma seorang pengembara hina dina

dan tak berarti apa-apa. Tapi aku sama sekali 

tak suka melihat orang berlaku seenaknya 

pada kaum yang lemah. Dan apa yang kalian 

lakukan terhadap gadis itu adalah salah satu 

contoh yang kukatakan itu."

"Sobat, maaf!" sahut pemuda penung-

gang kuda yang bernama Danu Umbara, 

"Meski aku mengerti apa yang engkau kata-

kan, tapi aku tak bisa menuruti kesukaanmu. 

Aku hanya melaksanakan tugas dari ketua-

ku."

"Kalau engkau punya otak, tentulah bi-

sa engkau pakai dan dapat menilai, tugas 

mana yang baik yang harus dikerjakan dan 

mana yang buruk yang harus kau tinggalkan. 

Dan apakah menurutmu menculik gadis itu 

merupakan tugas yang baik?"

"Sobat, aku tak perduli apakah tugas 

itu baik atau tidak, yang jelas aku hanya 

menjalankan perintah. Dan engkau sebagai 

orang luar, harap jangan turut campur uru-

san kami!"

"Umbara, kenapa engkau malah ba-

nyak omong segala!" teriak seseorang yang 

sudah tak sabaran dan mencabut pedangnya. 

"Sudah tahu bahwa dia menghalangi kita, 

buat apa diperdebatkan segala?! Sudah, ayo 

cincang saja orang gila ini!"

L

Beberapa orang kawannya segera cabut 

pedang dan turun dari kudanya masing-

masing. Dan Umbara panas bukan main me-

lihat itu. Dengan garang dia membentak, "Bi-

rawa! Apakah engkau pikir engkau yang me-

mimpin rombongan ini!?"

Orang yang dipanggil Birawa itu tak 

kalah garang menjawab, "Danu Umbara, eng-

kau terlalu lemah dalam bertindak, dan sama 

sekali tak pantas memimpin rombongan!"

"Kurang ajar! Setelah urusan ini sele-

sai, engkau akan mempertanggung jawabkan

hal ini di depan ketua!"

"Apa engkau pikir aku takut?"

"Diam kau jangan banyak bacot!" ben-

tak Danu Umbara dengan suara menggelegar 

yang aliri tenaga dalam tinggi. Beberapa orang 

anak buahnya yang lain termasuk Birawa, 

tersentak kaget. Sesungguhnya mereka tahu, 

meski Danu Umbara berusia sangat muda di-

banding mereka, namun ilmu silatnya hampir 

menyamai ketua. Dan dia sangat dipercaya 

sebagai tangan kanan ketua mereka yang 

memimpin rombongan untuk menghadapi tu-

gas-tugas sulit dan berbahaya. Tapi melihat 

sikapnya yang agak lemah dan terlalu menga-

sihani lawan, sama sekali bertentangan den-

gan mereka yang biasa kasar dan bertindak 

semaunya.

Setelah melihat bahwa semua anak 

buahnya tundukkan kepala, Danu Umbara 

palingkan wajah dan pada pemuda di hada-

pannya itu. "Nah, sobat. Maafkan. Engkau


sudah tahu bagaimana jawabanku, maka bi-

arkan kami pergi tanpa menimbulkan perseli-

sihan denganmu," katanya.

"Mungkin saja engkau tak apa-apakan 

gadis itu, tapi tetap saja jiwanya terancam be-

rada di lingkungan orang-orang seperti ka-

wan-kawanmu itu."

"Kisanak..." sahut Danu Umbara den-

gan suara tegas, "Jangan paksa aku berlaku 

kasar padamu. Sesungguhnya aku sudah ter-

lalu bersikap lunak. Tapi kalau engkau terus 

memaksakan keinginan dan terlalu ikut cam-

pur dalam urusan kami, aku tak bisa menja-

min anak buahku akan bersabar terus."

Mendengar itu Buang Sengketa ketawa 

kecil. "Bajingan-bajingan seperti kalian me-

mang pandai sekali bersandiwara," kata pe-

muda itu. "Segala apa yang kalian katakan 

dan perbuat pun penuh dengan tipu musli-

hat. Aku sudah muak sekali melihat orang-

orang seperti kalian. Lepaskan gadis itu atau 

aku musti mengambilnya dengan kekera-

san!?"

"Huh, agaknya engkau pun berminat 

pada pedang itu, atau barangkali engkau ini 

sebangsa laki-laki hidung belang! Tapi selagi 

aku masih bernafas, jangan coba-coba men-

gambilnya dari tanganku," sahut Danu Umba-

ra mulai marah. Dengan satu isyarat, dia te-

lah perintahkan anak buahnya untuk mengu-

rung pemuda itu. Mereka yang sejak tadi tan-

gannya sudah gatal melihat kelakuan pemuda 

berpakaian seperti gembel itu, dengan cepat


mengurung dan kirim satu serangan kilat 

yang cepat dan kuat serta mematikan.

"Cecunguk-cecunguk busuk ingin 

mampus, terimalah ini!" Dengus Buang Seng-

keta sambil berkelit cepat dan mainkan jurus 

Membendung Gelombang Menimba Samudra 

sambil balas menyerang.

"Ciaaat!"

Tubuh pemuda berkuncir itu melentik 

ke udara dan menukik sambil kibaskan sebe-

lah tangan ke batok kepala pengeroyoknya 

yang terdekat. Keruan saja, orang itu ayun-

kan pedang. Buang Sengketa tarik mundur 

tangannya dan kirim satu tendangan kilat ke 

dagu lawan.

"Takk!"

Orang itu tersungkur setelah ter-

huyung-huyung beberapa tombak. Beberapa 

buah giginya tanggal. Buang Sengketa tak 

membuang-buang kesempatan. Tubuhnya 

berputar cepat dan kibaskan tangan kiri 

menghantam dada lawan yang terdekat den-

gannya. Tapi orang itupun ternyata telah ber-

siap dengan ayunan pedangnya. Seperti tadi, 

kembali pemuda berkuncir itu tarik pulang 

tangannya dan sorongkan kaki kiri ke ulu ha-

ti lawan.

"Bukk!"

Orang itu menjerit kesakitan sambil 

mendekap ulu hatinya yang terasa pecah ke-

na tendangan pemuda itu. Dua orang kawan-

nya kalap bukan main dan ayunkan pedang 

menebas pinggang murid si Bangkotan Ko


reng Seribu itu, tapi Buang Sengketa bersalto 

dua putaran ke atas sambil ayunkan kedua 

tangannya ke batok kepala lawan.

"Plak! Plak!"

"Wuaaayyaaa....!"

Meski kelihatannya lemah, namun pu-

kulan itu mengandung tenaga dalam yang 

cukup membuat pandangan kedua lawannya 

berkunang-kunang dan berdiri sempoyongan.

"Bangsaaat! Gembel keparat! Kau ha-

dapi aku. Ciaaaat!" maki Birawa dengan ama-

rah yang meluap. Pedang di tangannya berke-

lebat ke sana sini menimbulkan suara bercui-

tan. Buang Sengketa merasakan bahwa lawan 

yang seorang ini memiliki ilmu silat yang lebih 

tinggi dari kawan-kawannya yang tadi. Tapi 

dalam tiga jurus berselang, dia mulai dapat 

membaca gerakan lawan dan berbalik mende-

sak dengan hebat. Meskipun Birawa menye-

rang dengan menggunakan jurus andalannya, 

tetap saja dia tak mampu bertahan lebih lama 

menghadapi pemuda yang melawannya den-

gan tangan kosong itu.

"Hiaaaaat....!" 

"Plak! Plak!" 

"Wuaaaaa....!"

Dengan satu teriakan nyaring, dia kib-

latkan pedang dengan ayunkan pedang den-

gan cepat ketika pemuda itu melesat ke arah-

nya. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba pe-

dang di tangannya terpental dan dua pukulan 

lawan menghantam dada dan pergelangan la-

wan. Tak pelak lagi. Tubuhnya yang tinggi be


sar itu terpental sejauh dua tombak sambil 

muntahkan darah segar.

"Cukup...!" teriak Danu Umbara meng-

hentikan beberapa anak buahnya yang pena-

saran dan kembali menyerang pemuda itu 

dengan kalap.

"Kisanak, siapakah engkau ini sebe-

narnya? Ilmu silatmu sangat tinggi dan lihai 

sekali. Pastilah engkau bukan orang semba-

rangan. Sudilah engkau memberitahu diri-

mu," lanjut Danu Umbara dengan sikap seba-

gai seorang sahabat. Mendengar itu Buang 

Sengketa tersenyum kecil sambil berkata.

"Kisanak, namaku tiada berguna bagi-

mu. Tapi karena engkau terus mendesak, 

baiklah kuberitahu. Aku yang hina ini berna-

ma Buang Sengketa, tapi orang-orang mena-

maiku sebagai si Hina Kelana...."

"Ah, ternyata engkaulah pendekar mu-

da yang akhir-akhir ini menggegerkan dunia 

persilatan di delapan penjuru mata angin. 

Sungguh beruntung aku bisa berhadapan 

dengan pendekar terkenal sepertimu," kata 

Danu Umbara kagum. "Ilmu silatmu dikha-

barkan sangat tinggi dan lihai sekali, dan ter-

nyata apa yang kusaksikan hari ini tidaklah 

berlebihan. Engkau memang pantas menyan-

dang gelar itu. Tentulah engkau tak keberatan 

kalau barang sejurus atau dua menunjuk-

kannya padaku."

Buang Sengketa sungkan sekali dipuji-

puji begitu. Tadinya dia tak mau berlama-

lama dan tak mau meladeni ucapan pemuda



itu yang tak lain ingin menjajalnya. Tapi keti-

ka dilihatnya pemuda itu langsung meloncat 

dari pelana kuda dan kirim satu serangan ki-

lat ke arahnya, mau tak mau Buang Sengketa 

merasa urusan akan lebih panjang. Tanpa 

buang waktu lagi, dia me-lompat memapaki 

sambil keluarkan lengkingan ilmu Pemenggal 

Roh dengan seperempat tenaga dalam yang 

dimilikinya.

"Heiiiiigggkkk....!"

Meski dikeluarkan dengan seperempat 

tenaga dalamnya, tak urung Danu Umbara 

tersentak kaget. Terasa lengkingan suara itu 

mempengaruhi jalan darahnya untuk bebera-

pa saat. Tapi itu sudah cukup bagi Buang 

Sengketa untuk kabur setelah menyambar 

tubuh gadis yang masih berada di atas pelana 

kuda. Dengan menggunakan ajian Sepi Angin, 

tubuhnya melesat cepat meninggalkan mere-

ka. Tinggal Danu Umbara yang geleng-

gelengkan kepala dengan hati mangkel. Bira-

wa malah menyumpah-nyumpah tak karuan 

ketika akhirnya mereka meneruskan perjala-

nan sebab tiada gunanya mengejar pemuda 

itu yang tak kelihatan lagi bayangannya.


LIMA



Perempuan berusia kira-kira enam pu-

luh tahun itu, marah bukan main saat men-

dengar laporan dari beberapa orang murid pe-

rihal hilangnya cucu kesayangannya diculik


oleh segerombolan orang. Tubuhnya yang 

agak gemuk seolah bergetar hebat menahan 

geram. Rambutnya yang hampir memutih di-

gulung ke atas dengan beberapa tusuk konde 

menghiasinya, ikut bergoyang-goyang mana-

kala dia bangkit dari kursi. Sepasang ma-

tanya yang kecil, membelalak lebar. Di tangan 

kanannya terdapat sebuah tongkat yang ter-

buat dari kayu besi. Pada pangkalnya terda-

pat patung seekor ular naga sebesar kepala 

manusia dewasa. Siapakah so benarnya ne-

nek ini? Rimba persilatan mengenalnya seba-

gai Peri Kuning Tongkat Maut. Padahal nama 

sebenarnya adalah Nyai Larasati

Perempuan tua ini termasuk tokoh ko-

sen yang jarang ketemu tandingan. Sepak ter-

jangnya di dunia persilatan tak pernah men-

genal kompromi dalam membantai lawan-

lawannya. Tak jarang orang memasukkannya 

ke dalam jajaran tokoh-tokoh sesat tingkat 

tinggi.

Sebenarnya dia tak memiliki perguruan 

yang tersendiri. Perempuan tua ini hanya 

memungut sebelas orang murid yang semua-

nya terdiri dari perempuan, yang saat ini ter-

lihat menundukkan kepala mendengarkan 

amarah orang tua itu. Mereka menyadari, 

bahwa ini kesalahan mereka sendiri yang tak 

waspada hingga cucu kesayangan guru mere-

ka sendiri mampu diculik tanpa mendapat 

perlawanan yang berarti.

"Goblok! Tolol! Walau aku tak pernah 

menyuruh kalian untuk menjaga Endang


Purwasih secara khusus, tapi setidaknya ka-

lian punya perhatian terhadapnya. Bukankah 

kalian mengetahui bahwa belakangan ini ba-

nyak pihak-pihak tertentu yang mengincar 

Pedang Setan itu?! Dengan adanya berita 

yang menyebar bahwa salah satu pedang itu 

berada di tanganku, tentu mereka berusaha 

mendapatkannya dengan cara apapun! Salah 

satunya adalah Endang Purwasih yang pasti 

akan dijadikan sandera!"

"Ampun, guru!" sahut salah seorang 

murid tertua bernama Kusumawati. Usianya 

sekitar duapuluh tahun. "Kami akan berusa-

ha mencari Adik Endang Purwasih sampai 

dapat walaupun itu harus dengan tebusan 

nyawa kami sendiri."

"Huh, apa kalian kira mudah menya-

troni orang-orang dari Perguruan Tengkorak 

Hitam?! Tidakkah kalian mengetahui bahwa 

mereka terdiri dari orang-orang yang berilmu 

tinggi. Apa yang bisa kalian perbuat?!" dengus 

perempuan tua itu sinis.

"Ibu, bukankah engkau mengenal ke-

tuanya yang bernama Suryudana itu?" tanya 

seorang perempuan berusia empat puluh ta-

hun yang duduk di sebelahnya. "Kalau ibu 

mendatanginya, siapa tahu dia mau berbaik 

hati dan melepaskan anakku."

"Jangan berpikiran bodoh, Banonwati! 

Apa kau pikir si Suryudana itu menculik 

anakmu untuk kesenangannya belaka? Dia 

pun termasuk salah seorang diantara mereka 

yang mengincar pedang itu. Sudah pasti dia


menggunakan anakmu untuk dijadikan san-

dera karena tak berani terus terang menda-

tangi tempat kita."

"Ibu, kalau dia tak berani berarti dia 

takut pada ibu. Kenapa tidak ibu saja yang ke 

sana?"

"Banonwati, ada hal yang perlu kau ke-

tahui. Bila si Suryudana telah berani mencu-

lik anakmu, berarti dia telah siap menyambut 

kedatangan kita. Baik dengan tipu muslihat-

nya, ataupun dengan cara apapun. Dan bila 

kita tiba-tiba datang, maka pancingannya 

akan mengena. Kita belum lagi mengetahui 

apa yang direncanakan orang itu," sahut Nyai 

Larasati. "Tapi yang jelas sekali, setiap mu-

ridku yang lalai, pasti akan kena hukuman!" 

lanjutnya dengan suara tegas berwibawa.

"Guru, aku bersedia menerima huku-

man," sahut salah seorang murid yang ber-

nama Parwati. "Aku yang bersalah tak mam-

pu menahan mereka saat menculik Adik En-

dang Purwasih."

"Bagus! Karena engkau telah mengaku 

dan bersedia dihukum, aku akan meringan-

kan hukumanmu. Engkau akan dicambuk se-

ratus kali!"

Mendengar itu, jantung Parwati seolah 

berhenti berdenyut. Hukuman cambuk seba-

nyak seratus kali, bukanlah main-main. Dulu 

saja ada seorang murid yang melakukan ke-

salahan kecil dan dihukum cambuk sebanyak 

duapuluh kali, tubuhnya di bagian punggung 

tersayat sayat bagai diiris pisau tajam. Sakit


dan pedihnya bukan main. Sebulan penuh 

murid itu tak bisa bangun. Bagaimana mung-

kin dia mampu bertahan dengan hukuman 

cambuk sebanyak seratus kali?

"Kau telah siap, Parwati?!"

"Eh..., ng... siap, guru....!"

"Bagus!" sahut Nyai Larasati. Dia me-

mandang pada Kusumawati, dan berkata. 

"Siapkan tonggak di depan beserta cambuk!"

Tanpa berani membantah, perempuan 

itu menjura hormat dan dengan cepat me-

ninggalkan ruangan.

"Urusan Endang Purwasih, biar nanti 

aku yang menyelesaikan dengan caraku sen-

diri. Pertemuan ini selesai dan kalian harus 

melihat Parwati dihukum agar menjadi pelaja-

ran untuk kalian semua, bahwa barang siapa 

yang lengah, aku tak segan-segan menghu-

kum kalian," kata Nyai Larasati selanjutnya. 

Dengan langkah pelan dia beranjak dari 

ruangan itu diikuti Banonwati dan murid-

murid yang lain.

Parwati telah siap di halaman depan 

itu. Kedua tangannya diikat dan digantung-

kan pada bambu di atasnya. Kedua kakinya 

dibuka agak lebar, dan masing-masing diikat 

pada tonggak kanan dan kiri. Gadis itu mena-

tap sekilas pada Kusumawati, kemudian per-

lahan-lahan tundukkan kepala dengan wajah 

lesu.

Nyai Larasati telah siap dengan cam-

buk di tangan. Pandangannya menyapu se-

mua murid yang berada tak jauh dari situ.


Beberapa orang palingkan wajah dan merasa 

ngeri membayangkan apa yang bakal menim-

pa Parwati. Selain murid termuda, gadis itu-

pun paling rendah ilmunya diantara mereka 

semua. Pastilah dia tak akan sanggup berta-

han sampai sepuluh kali cambukan. Apalagi 

seratus kali. Tapi mereka semua tahu, bahwa 

guru mereka tak pernah menarik kembali ka-

ta-katanya, dan sepertinya tak punya belas 

kasihan barang sedikit pun. Meski nantinya 

Parwati telah pingsan pada cambukan kese-

puluh, pasti orang tua itu tak perduli dan te-

rus melecutkan cambuknya hingga hitungan-

nya genap seratus. Entah apa jadinya tubuh 

gadis itu nantinya.

Beberapa orang murid yang lain malah 

tenang-tenang saja. Seolah kejadian itu bagi 

mereka hal yang biasa. Lagipula mereka be-

ranggapan bahwa itu salah gadis itu sendiri. 

Kenapa dia sok jago menghadapi keroyokan 

orang banyak sewaktu ingin menyelamatkan 

Endang Purwasih. Padahal kalau dia berteriak 

memanggil, sudah pasti semua murid akan 

keluar dan membantunya. 

"Ctaaaaaar....!"

Nyai Larasati melecutkan cambuknya 

ke udara, seakan memberi isyarat pada Par-

wati untuk bersiap. Gadis itu tarik nafas da-

lam-dalam dan pejamkan mata. Namun baru 

saja orang tua itu akan lecutkan cambuk ke 

tubuhnya, sekonyong-konyong terdengar satu 

jeritan panjang.

"Jangaaaaan....!""


Seorang gadis berusia tujuh belas ta-

hun tergopoh-gopoh menghampiri tempat itu. 

Di belakangnya terlihat seorang pemuda ber-

baju merah dan dekil. Wajahnya sangat tam-

pan. Dengan rambut dikuncir dan periuk be-

sar yang selalu dibawa-bawanya, pemuda itu 

nampak aneh sekali. Siapa lagi pemuda itu 

kalau bukan Buang Sengketa, atau lebih di-

kenal dengan nama Pendekar Hina Kelana.

"Endang, engkau tak apa-apa, nak?!" 

teriak Banonwati sambil mengejar anak itu 

dan memeluknya erat-erat. Nyai Larasati ter-

paksa undurkan hukuman itu untuk bebera-

pa saat.

"Nenek, sedang ada apakah di sini? 

Kenapa kakak Parwati digantung? Apakah 

nenek hendak mencambuknya?" tanya En-

dang Purwasih heran setelah melepaskan pe-

lukan dari ibunya.

"Parwati pantas mendapat hukuman 

karena lalai menjagamu!"

"Nenek, kakak Parwati membelaku ma-

ti-matian, kenapa malah nenek hendak 

menghukumnya? Bukankah itu tidak adil? 

Sekarang juga aku mohon nenek, agar mele-

paskannya."

Perempuan tua itu terpaku sejenak 

sambil menghela nafas panjang. Lebih-lebih 

saat cucunya itu mulai merajuk. Dia memang 

teramat menyayangi cucu satu-satunya ini. 

Bukankah karena kehilangannya tadi yang 

membuatnya marah dan jatuhkan hukuman 

pada Parwati? Dan sekarang cucunya telah



kembali dan meminta agar muridnya itu di-

ampuni.

"Ayolah, nek. Nenek tentu mau men-

gampuni kakak Parwati, bukan?"

"Baiklah, baiklah..." sahut orang tua 

itu pelan. Secepat itu pula Endang Purwasih 

jejingkrakan dan mencium pipi orang tua itu. 

Dia segera menyuruh beberapa orang murid 

untuk melepaskan ikatan Parwati. Gadis itu 

menatap cucu gurunya untuk beberapa saat 

dengan pandangan berterima kasih, sebelum 

akhirnya dia masuk untuk melaksanakan tu-

gasnya masing-masing sebagaimana biasa.

"Siapa pemuda itu? Apakah dia salah 

satu murid Perguruan Tengkorak hitam?" lan-

jut Nyai Larasati dengan pandangan curiga.

"Oh, iya sampai lupa!" seru gadis itu. 

Dia memberi isyarat pada pemuda itu untuk 

mendekat. "Nek, perkenalkanlah. Pemuda itu 

yang menyelamatkanku dari orang-orang 

Tengkorak Hitam. Namanya Buang Sengketa. 

Dialah si Pendekar Hina Kelana yang sangat 

terkenal itu"

Begitu mendengar ucapan cucunya, pe-

rempuan tua itu agak terkejut. "Oh, engkau-

kah yang bergelar Pendekar Hina Kelana itu, 

anak muda? Sungguh beruntung hari ini aku 

dapat berkenalan denganmu. Atas semua ke-

luarga di sini, aku mengucapkan terima kasih 

atas pertolonganmu yang telah menyela-

matkan cucuku," kata Nyai Larasati dengan 

sikap hormat. "Kalau tak keberatan, sudilah 

engkau mampir sejenak di gubuk kami, kare


na kami mengundangmu dengan segala ke-

hormatan."

Melihat sikap yang berlebih-lebihan itu, 

Buang Sengketa agak sungkan juga. Dia su-

dah menolak dengan halus dan berbagai ma-

cam alasan, namun mereka nampaknya agak 

memaksa. Lebih-lebih Endang Purwasih yang 

dengan sikap kekanak-kanakannya, menarik-

narik tangan pemuda itu ke dalam. Mau tak 

mau Buang Sengketa tak punya alasan lain 

buat menolak. Pemuda itu dijamu sebagai-

mana layaknya tamu terhormat saja. Lebih-

lebih saat keluarga itu memintanya menginap 

barang sehari dua. Pemuda itu lebih sungkan 

lagi. Selain sejak tadi diperhatikannya peng-

huni keluarga ini perempuan semua, dia juga 

tak betah berlama-lama di satu tempat seperti 

ini. Namun mereka kembali memaksa. Dia 

pun akhirnya merasa tak enak untuk meno-

lak. Apalagi alasan mereka sangat tepat, se-

bab sebentar lagi malam akan tiba. Dengan 

terpaksa Buang Sengketa menerima permin-

taan mereka untuk menginap di rumah itu.

6


ENAM



Malam telah semakin larut. Rumah be-

sar itu mulai terlihat sepi. Beberapa buah 

kamar terlihat gelap, namun di ruangan uta-

ma Nyai Larasati beserta anaknya, Banonwati 

dan cucunya, Endang Purwasih, masih terlihat obrolan-obrolan dengan tamu mereka, 

yaitu Buang Sengketa. Lama kelamaan pe-

muda itu makin jengah saja berlama-lama di 

sini. Sikap mereka terlalu berlebih-lebihan 

dan penuh dengan basa basi yang memua-

kkan. Entah beberapa kali dia menguap un-

tuk memberi isyarat pada tuan rumah bahwa 

dia agak jemu mendengar ocehan mereka. 

Agaknya tak dimengerti oleh mereka. Lebih-

lebih Endang Purwasih yang sejak tadi terus 

berada di dekatnya dengan sikap genit dan 

kekanak-kanakkan.

"Kalau engkau suka, engkau boleh 

tinggal di sini selamanya, Kelana," kata Nyai 

Larasati. "Kami semua akan menerimamu 

dengan lapang dada."

"Betul, Kelana!" sahut Endang Purwa-

sih bersemangat. "Kami akan suka sekali me-

nerimamu. Bukankah begitu, bu?"

Banonwati tersenyum kecil sambil ang-

gukan kepala. Buang Sengketa jadi risih.

"Ah, kalian terlalu baik padaku..." sa-

hut pemuda itu lirih. "Adalah suatu kehorma-

tan buatku menerima tawaran kalian ini. Tapi 

aku hanyalah seorang pengembara biasa. Aku 

telah terbiasa hidup beratapkan langit dan 

berselimut angin. Rasanya tak pantas men-

dapat penghormatan ini."

"Engkau terlalu merendah, Kelana. 

Dengan ilmu silat yang engkau miliki seperti 

saat ini, siapa yang mampu menandingimu? 

Engkau bisa hidup lebih layak sebenarnya. 

Punya rumah, dan.... keluarga..." kata Ba


nonwati sambil mengerling putrinya. "Eh, 

maaf. Barangkali engkau memang telah ber-

keluarga."

"Tidak! Siapa gadis yang sudi dengan 

orang gembel sepertiku ini."

"Kenapa musti jauh-jauh? Di sinipun 

pasti banyak yang suka padamu. Bukan begi-

tu, Endang?"

"Ah, ibu bisa saja..." sahut gadis itu 

tersipu malu. "Siapalah pemuda yang suka 

pada wajah buruk sepertiku?"

"Siapa bilang engkau punya wajah bu-

ruk?" tanya Buang Sengketa. "Kalau iya, ba-

rangkali murid si Tengkorak Hitam itu tak 

akan tergila-gila padamu," lanjutnya sambil 

tersenyum kecil.

"Huh, siapa sudi pada orang seperti 

itu!" dengus Endang Purwasih dengan ketus. 

Ibu dan neneknya hanya tersenyum menden-

gar ocehannya. Tiba-tiba mereka dikejutkan 

oleh sikap si orang tua yang berubah serius.

"Seseorang sedang mengintai dari atas 

genting. Sebaiknya bersikap biasa saja. Ba-

rangkali utusan dari Tengkorak Hitam," kata 

Nyai Larasati berbisik sambil bangkit.

Tanpa menimbulkan suara, tubuh pe-

rempuan tua itu melayang ke atas rumah 

sambil kirim satu serangan kilat. Buang 

Sengketa mendesah kagum. Ilmu mengenten-

gi tubuh yang dimiliki orang tua itu sudah 

sangat sempurna betul.

"Biarlah aku membantu nenekmu me-

ringkus pengintai itu," kata Buang Sengketa.


Tanpa perduli jawaban kedua perempuan itu, 

tubuhnya melesat ke atas wuwungan, persis 

di lobang yang dibuat Nyai Larasati. Untuk 

sesaat dia celingukan. Namun manakala se-

pasang matanya yang tajam menangkap dua 

sosok tubuh di kejauhan, dengan cepat dia 

memburu ke arah itu sambil mengerahkan 

ajian Sepi Angin.

Tapi alangkah kagetnya pemuda itu 

manakala melihat bahwa kedua bayangan itu 

melesat dengan cepat. Padahal dia telah ke-

rahkan separuh ilmu lari cepatnya, tapi ke-

dua bayangan itu tak juga terkejar. Dengan 

geram dia mengerahkan seluruh kekuatan 

untuk mengempos ajian Sepi Angin. Tubuh-

nya melesat cepat bagai sliweran angin yang 

berhembus kencang. Dengan mengambil jalan 

memutar, dia bermaksud menjebak pengintai 

itu. Setelah dirasa bahwa kedua bayangan itu 

tertinggal jauh, Buang Sengketa menunggu 

dari sebuah cabang pohon yang menurut per-

kiraannya pastilah dilalui kedua orang itu.

Perkiraan pemuda itu tak salah. Meski 

saat itu suasana terasa gelap, namun dia da-

pat melihat seseorang berlari dengan kecepa-

tan penuh ke tempatnya berada. Begitu orang 

tersebut hampir mencapai tempatnya ber-

sembunyi, dengan gerakan ringan Buang 

Sengketa melayang turun.

"Berhenti, sobat!" katanya dengan sua-

ra yang agak keras. Orang itu terkejut seten-

gah mati dan hentikan langkah. Untuk sesaat 

dia palingkan wajah ke belakang. Tak terlihat


pengejarnya tadi. Buang Sengketa dapat me-

lihat jelas pada jarak tiga tombak ini, bahwa 

orang ini adalah seorang pemuda yang beru-

sia sekitar duapuluh tahun. Wajahnya tak 

terlalu tampan. Tubuhnya pun kelihatan agak 

kurus dan mengesankan seorang yang lemah.

"Ada urusan apa engkau mengintai di 

rumah Nyai Larasati?"

"Apakah engkau tamunya itu yang ber-

gelar Pendekar Hina Kelana?"

"Dari mana engkau mengetahuinya?" 

tanya Buang Sengketa heran.

"Aku mencuri dengar pembicaraan ka-

lian agak lama. Syukurlah orang tua itu tak 

mampu mengejarku sampai ke sini...."

"Hei, jangan coba-coba mengalihkan 

perhatianku. Seseorang yang mengintai di 

rumah orang, pastilah bermaksud buruk. Apa 

yang engkau inginkan di rumah itu?!" bentak 

Buang Sengketa kesal.

"Apakah engkau juga menuduhku 

bermaksud buruk? Sobat ketahuilah, bahwa 

mereka bermaksud memasang jeratnya pa-

damu." 

"Jerat? Jerat apa?!"

"Bukankah mereka membujukmu un-

tuk menetap di rumahnya?" 

"Ya."

"Sesungguhnya mereka coba membu-

jukmu untuk berpihak pada mereka. Akhir-

akhir ini rahasia mereka terbongkar. Pedang 

Setan yang sedang dicari-cari oleh orang-

orang persilatan dari berbagai penjuru salah


satunya berada di tangan Nyai Larasati. Ka-

rena mengetahui bahwa engkau berilmu ting-

gi, mereka coba menahanmu untuk tetap 

tinggal di situ. Baru saja tadi aku mencuri 

dengar bahwa seorang murid akan memba-

wakan arak yang telah dicampur obat pem-

bius. Semua itu tak lain dari suruhan orang 

tua itu sendiri."

"Bagaimana mungkin aku bisa percaya 

pada kata-katamu?" tanya Buang Sengketa 

curiga.

"Sebaiknya tidak kita bicarakan di sini 

tapi di tempat lain. Kalau engkau curiga pa-

daku, biarlah aku berjalan lebih dulu, dan 

engkau mengikuti dari belakang," sahut orang 

itu. Mulanya Buang Sengketa enggan juga. 

Tapi karena hatinya mulai tergelitik oleh ceri-

ta orang itu, maka diikutinya juga tanpa 

mengurangi kewaspadaan. Kalaupun ada hal 

lain yang membuatnya mau ikut, paling-

paling karena dia mulai jengah melihat sikap 

keluarga Nyai Larasati yang terlalu berlebih-

lebihan. Dengan adanya urusan ini, bukan-

kah peluang baik baginya untuk menghindar 

dari mereka?

Berpikir begitu, pemuda dari Negri Bu-

nian itu cepat genjot tubuh menyusul pemuda 

yang baru dikenalnya itu yang telah melesat 

lebih dulu.


TUJUH


Buang Sengketa anggukan kepala saat 

orang tua berusia lanjut itu selesai mene-

rangkan segala sesuatunya. Tadinya dia agak 

ragu dan mulai curiga saat pemuda ini men-

gajaknya ke suatu tempat yang sangat ter-

sembunyi di sebuah lereng gunung. Apalagi 

ketika melihat sebuah pondok di dalamnya. 

Namun setelah bertemu dengan guru pemuda 

itu dan orang tua itu menjelaskan segala se-

suatunya, barulah dia sedikit lega. Kelegaan-

nya bisa jadi karena berpendapat, seorang ah-

li ibadah seperti Resi Abirawa ini, mana 

mungkin berkata dusta. Pula wajahnya san-

gat mengesankan bahwa dia seorang yang arif 

bijaksana serta luas pandangannya. Sungguh 

beruntung pemuda yang bernama Tuta Rimba 

ini berguru padanya. Namun manakala pe-

muda itu menceritakan riwayat hidupnya, 

Buang Sengketa seolah merasakan kepedihan 

yang dirasakannya.

"Masih untung pada saat itu Eyang 

menyelamatkanku. Kalau tidak, aku tak tahu 

apa jadinya...."

"Jadi kedua orang tuamu tewas saat 

itu?"

"Aku tak pasti. Menurut Eyang, bapak-

ku masih hidup dan ditawan oleh mereka di 

ruang bawah tanah. Itulah sebabnya aku te-

rus mengintai tempat kediaman mereka."

"Engkau bermaksud membebaskan ba


pakmu?"

"Itu salah satu tugasku selain men-

gambil kembali Pedang Setan di tangan mere-

ka dan menyerahkannya pada yang berhak. 

Karena jejak pemiliknya sampai saat ini tak 

tentu rimbanya, maka Eyang bermaksud me-

nyimpan pedang itu dan mencari si Malaikat 

Pedang Bertangan Seribu sampai ketemu."

"Ya. Aku merasa bertanggung jawab 

untuk mengembalikannya pada pemiliknya 

yang sah. Setelah kakak seperguruanku, yai-

tu Ki Wicaksana atau lebih dikenal sebagai 

Pendekar Hati Suci, yang dititipi kedua pe-

dang itu tewas di tangan muridnya, mau tak 

mau aku merasa bertanggung jawab," kata 

Resi Abirawa menimpali. "Buang Sengketa, 

namamu sangat terkenal di segala penjuru 

mata angin sebagai pendekar muda yang be-

rilmu tinggi tiada bandingan. Gurumu pun 

sangat terkenal sebagai tokoh pembela kebe-

naran yang tiada tandingan. Maukah engkau 

menolong kami untuk mendapatkan pedang 

itu kembali?"

"Selama itu untuk kebaikan, aku akan 

selalu bersedia melakukannya sekuat daya 

kemampuanku," sahut murid si Bangkotan 

Koreng Seribu. "Tapi, maaf, Ki. Dengan ilmu 

yang engkau miliki sekarang ini, engkau tentu 

dengan gampang mendapatkan kedua senjata 

itu?"

Orang tua itu tersenyum kecil. "Siapa 

bilang aku mempunyai ilmu yang tinggi? Yang 

kupunyai hanya ilmu agama. Kalaupun ada,


sangat tak berarti dibanding dengan yang 

engkau miliki."

"Ah, Ki Birawa terlalu memuji. Aku 

cuma manusia biasa saja. Begitu pula dengan 

guruku."

"Dan engkau pun ternyata pandai se-

kali merendahkan diri..." timpal Tuta Rimba 

tertawa kecil. "Aku sudah lihat sendiri, Eyang. 

Ilmu larinya hebat luar biasa!"

"Sudahlah, Tuta! Lama kelamaan aku 

jengah juga mendengar pujian-pujian itu. Se-

baiknya kita kembali pada persoalan semula," 

sahut Buang Sengketa. "Maaf, Ki. Ada sesua-

tu yang barangkali kurang jelas buatku. Dari 

mana engkau mengetahui bahwa salah satu 

Pedang Setan itu berada di tangan Nyai Lara-

sati? Dan kalau benar, kenapa dia tak memi-

liki kedua pedang itu?"

"Hal inilah barangkali yang tak ku 

mengerti," jawab orang tua itu sambil ke-

rutkan dahi. "Empu Pupulaka tewas di tangan 

anaknya sendiri yaitu Cakrangga, yang meru-

pakan ayah kandung Tuta Rimba. Sebenarnya 

dia orang baik. Punya istri yang cantik dan 

seorang anak yang lucu. Tapi karena Nyai La-

rasati seorang yang tamak, dia menyuruh 

anak gadisnya yaitu Banonwati untuk meng-

goda, guna mendapatkan Sepasang Pedang 

Setan itu. Cakrangga akhirnya mabuk ke-

payang oleh rayuan Banonwati. Hingga bagai 

kerbau dicocok hidungnya, dia menurut saja 

saat perempuan itu menyuruhnya untuk 

mengambil pedang tersebut. Tapi Cakrangga


hanya menemukan sebuah saja. Dia mencari-

cari yang sebuah lagi, namun tak ketemu. 

Empu Pupulaka sendiri mana mau memberi 

tahu. Dengan kalap akhirnya dia membunuh 

orang tua yang tak berdaya itu. Namun ketika 

tiba di rumahnya ternyata mereka telah 

membunuh istrinya. Bukan main kalapnya 

dia. Tapi tak berdaya menghadapi dua orang 

yang berilmu tinggi itu. Aku sebenarnya tak 

pasti, apakah Cakrangga masih hidup atau 

tidak. Cerita ini, hanya kudengar dari para te-

tangganya pada saat aku menyelamatkan Tu-

ta Rimba yang berada dalam puing-puing ru-

mah yang akan menimpanya akibat perbua-

tan Nyai Larasati itu"

"Jadi Endang Purwasih itu masih ter-

masuk saudara tiri Tuta Rimba?"

"Bukan! Menurut apa yang kudengar, 

Banonwati telah bersuami saat dia merayu 

Cakrangga. Tapi suaminya kemudian diketa-

hui tewas. Banyak orang yang mengatakan 

bahwa suaminya itu pun bermaksud menda-

patkan Pedang Setan yang saat itu sedang di-

incar Nyai Larasati. Tentu saja perempuan 

tua itu tak suka dan barangkali dialah yang 

membunuhnya," jelas Resi Abirawa.

"Lalu kira-kira ke mana Pedang Setan 

yang satu lagi, Ki?"

"Entahlah. Menurut penyelidikan yang 

dilakukan Tuta Rimba, bisa jadi Suryudana 

atau lebih dikenal sebagai Raja Tengkorak 

Bermuka Masam, yang menjadi ketua Pergu-

ruan Tengkorak Hitam, menyimpan yang satu


lagi."

"Ya," sahut pemuda itu. "Kalau tak ada 

api, mana mungkin ada asap. Dari mana Su-

ryudana mengetahui bahwa Nyai Larasati 

memiliki pedang itu. Dan karena keampuhan 

Pedang Setan harus berpasangan, bisa jadi 

dia pun bernafsu untuk mendapatkan pedang 

itu."

"Ada satu hal lagi yang ingin kuketa-

hui, Ki," kata Buang Sengketa setelah dia 

anggukkan kepala mendengar penjelasan Tu-

ta Rimba. "Apa kehebatan Sepasang Pedang 

Setan itu hingga banyak diperebutkan orang?"

"Menurut apa yang kudengar, pedang 

itu mampu mempengaruhi pemiliknya untuk 

bertindak kejam dan melipat gandakan tenaga 

dalam si pemegangnya. Kalau seseorang tak 

mempunyai tenaga batin yang kuat, dia pasti 

akan terpengaruh oleh daya sihir pedang itu. 

Dan di samping itu, ada sesuatu yang amat 

didambakan oleh orang-orang persilatan. Pa-

da kedua gagang itu, terdapat pelajaran ilmu 

silat kelas tinggi yang bernama jurus-jurus 

Pedang Setan. Tapi tak sembarangan orang 

bisa menafsirkan karena terdapat banyak 

sandi-sandi yang agak membingungkan."

Pemuda dari Negri Bunian itu angguk-

anggukkan kepala mendengar penjelasan itu. 

"Pedang itu benar-benar membuat banyak 

malapetaka..." kata pemuda itu bergumam.

"Ya, akan banyak lagi darah yang tum-

pah kalau tak cepat diselesaikan. Maukah 

engkau membantu kami, Kelana?"


"Aku akan berusaha sekuat tenaga, Ki," 

sahut Buang Sengketa.

Karena hari telah larut malam dan se-

saat lagi fajar menyingsing, akhirnya mereka 

kembali bercakap-cakap mengenai pengala-

man masing-masing. Tak lupa orang tua itu 

memberi petuah-petuah yang sangat berguna 

bagi murid si Bangkotan Koreng Seribu. Ke-

mudian saat pagi tiba, Buang Sengketa dan 

Tuta Rimba telah meninggalkan tempat itu 

untuk mencari jejak Sepasang Pedang Setan 

tersebut.


DELAPAN



Kedua perempuan itu berlari-lari kecil 

meninggalkan Lembah Batu Ampar. Yang seo-

rang berusia sekitar empat puluh tahun, na-

mun wajahnya masih sangat cantik dan ja-

rang terlihat kerut merut. Seorang lagi gadis 

belia berusia sekitar tujuh belas tahun berpa-

ras sangat jelita. Keduanya membawa-bawa 

sebilah pedang di punggung masing-masing. 

Dari situ saja bisa membuktikan bahwa me-

reka bukan perempuan sembarangan. Paling 

tidak mereka memiliki ilmu silat yang cukup 

lumayan meski rimba persilatan belum men-

genal mereka. Tapi yang dilakukan kedua pe-

rempuan itu sangat mencurigakan. Seperti 

banyak diketahui orang, lembah tersebut ada-

lah tempat kediaman seorang pandai besi 

yang sering membuat pesanan senjata


senjata. Baik dari pihak kerajaan maupun 

dan mereka orang-orang persilatan. Seorang 

tua renta bernama Empu Pupulaka. Siapakah 

kedua perempuan itu sebenarnya? Mereka 

tak lain dari Roro Ningrum dan anak angkat-

nya Dewi Ambarwati. Setelah mereka turun 

gunung guna mencari Sepasang Pedang Se-

tan, jejak pertama yang mereka cari adalah 

tempat kediaman pandai besi tersebut. Na-

mun di situ mereka tak menemukan siapa-

pun. Meski tempat itu merupakan sebuah 

lembah, namun di situ juga terdapat perkam-

pungan penduduk. Dari beberapa orang yang

mereka tanya, didapatlah keterangan, bahwa 

orang tua itu telah tewas di tangan anaknya 

sendiri yang bernama Cakrangga. Setelah 

mendapat kabar itu, mereka segera mencari 

jejak Cakrangga yang menurut beberapa 

orang itu mungkin berada di kediaman Nyai 

Larasati atau Peri Kuning Tongkat Maut.

"Ibu, siapakah orang itu sebenarnya?" 

tanya Dewi Ambarwati. "Kenapa si Cakrangga 

itu bisa terlibat dengan anak perempuannya? 

Bukankah orang itu sudah punya istri dan 

anak?"

"Itulah kehidupan di dunia ramai, De-

wi. Terkadang godaan terlalu banyak datang 

hingga melemahkan iman mereka yang tak 

kuat. Hanya karena kecantikan dan bujuk 

rayu, seseorang tega meninggalkan istri dan 

anaknya, bahkan membunuh orang tua sen-

diri," sahut Roro Ningrum.

"Apakah ibu bermaksud mendatangi


tempat mereka?"

"Tentu saja!" 

"Menurut orang-orang itu, Nyai Larasa-

ti adalah tokoh sesat yang sangat kejam...." 

"Apakah engkau takut?" 

"Tidak. Aku hanya tak ingin kehilangan 

ibu, setelah ayah tewas, aku hanya memiliki 

satu orang tua. Dan aku tak mau ibu tewas 

pula...."

"Dewi, umur seseorang itu bukan di-

tentukan oleh orang lain, melainkan oleh 

Yang Maha Kuasa. Lagipula kalau kita tewas 

dalam menegakkan keadilan, akan sangat 

mulia di mata siapapun ketimbang kita mati 

secara tak berguna. Semua orang kelak akan 

mati juga. Hanya tinggal menunggu waktu sa-

ja, dan waktu itu sangat singkat. Kita harus 

mempergunakannya sebaik mungkin," jelas 

Roro Ningrum.

"Tapi kenapa orang-orang yang sering 

berbuat kebaikan harus lebih cepat mati ke-

timbang mereka yang berbuat jahat. Apakah 

ini adil, bu? Bukankah seharusnya orang 

yang berbuat baik diberi ganjaran yang baik 

pula?"

"Kita tak bisa menentukan ukuran adil, 

Dewi. Adil buat kita, belum tentu adil menu-

rut orang lain. Begitu juga di mata Yang Maha 

Kuasa. Kita tiada mengetahui, apa yang di-

rencanakannya. Tapi yang pasti, bukanlah 

sesuatu yang buruk," jelas Roro Ningrum 

kembali. Sepanjang perjalanan, memang tak 

henti-hentinya perempuan itu memberi penjelasan-penjelasan tentang kehidupan pada 

anak angkat yang sangat disayanginya itu. 

Bukan hanya saat ini saja, namun sejak gadis 

itu bisa bicara pun dia telah banyak membe-

rikan gambaran-gambaran kehidupan dunia 

ramai padanya. Hal inilah yang membuat ga-

dis itu cepat matang dari usia yang sebenar-

nya. Dia tumbuh menjadi seorang gadis yang 

cerdas, santun, dan luas pandangan hidup-

nya.

Sementara itu dengan menggunakan 

ilmu lari cepatnya, sebentar saja mereka telah 

tiba di kediaman Nyai Larasati.

"Maaf, katakan kalian punya tujuan, 

baru bisa kutentukan apakah guru berhak 

menemui kalian atau tidak," sahut seorang 

murid ketika dua orang itu menanyakan ten-

tang Nyai Larasati.

"Nisanak, apakah engkau punya kuasa 

berkata begitu? Engkau pasti dihukum berat 

karena berlaku begitu pada sahabat gurumu!" 

bentak Roro Ningrum kesal sambil menjalan-

kan muslihatnya. Gadis penjaga gerbang itu 

terpaku sesaat. Dipandanginya kedua orang 

itu dengan seksama.

"Siapa nama kalian?"

"Untuk apa engkau tanya-tanya? Ayo, 

lekas katakan pada Nyai Larasati bahwa ka-

wan lamanya akan berkunjung!"

Dibentak begitu, si gadis agak gugup.

"Ba... baiklah....!" katanya sambil berlalu ke 

dalam. Saat itu juga Roro Ningrum dan Dewi 

Ambarwati mengikuti dari belakang. Mereka


menunggu di beranda depan. Tak lama ke-

mudian Nyai Larasati atau Peri Kuning Tong-

kat Maut keluar bersama Banonwati dan be-

berapa orang muridnya. Mereka berbasa basi 

sesaat, setelah itu barulah Roro Ningrum 

mengemukakan maksudnya dengan baik-

baik. Sepasang alis perempuan itu berkerut.

"Maaf, nisanak. Aku sama sekali tak 

pernah mendengar nama pedang yang kalian 

sebutkan itu?"

"Nyai Larasati, pedang itu adalah wari-

san perguruan kami, jadi kami harus men-

gambilnya kembali. Kalaupun pada akhirnya 

kami ke sini, tiada lain karena petunjuk bebe-

rapa orang yang mengatakan bahwa engkau 

memiliki salah satu Pedang Setan itu. Kalau 

satu atau dua orang yang berkata begitu, 

mungkin aku bisa ragu. Tapi semua orang 

merasa yakin bahwa engkau memiliki salah 

satunya!" sahut Roro Ningrum dengan suara 

pelan namun mengandung nada dakwaan.

Mendengar jawaban tamunya yang di-

rasanya sedikit memaksa, Nyai Larasati me-

rasa kurang senang. Dengan tegas dia kemba-

li berkata, "Nisanak, aku telah berkata yang 

sebenarnya. Urusan kalian mau percaya atau 

tidak, itu terserah kalian! Dan lagipula den-

gan niat kalian yang berpura-pura itu, mana 

bisa kupercaya bahwa kalian bermaksud 

baik-baik!"

"Nisanak, bagaimanapun kami telah 

menunjukkan itikad baik. Bagaimana mung-

kin engkau menuduh kami sedemikian rupa?"


"Dengan cara kalian membohongi mu-

ridku untuk bisa bertemu denganku, apakah 

itu maksud yang baik?!"

"Kalau kami tak membohongi murid-

mu, bagaimana mungkin engkau mau berte-

mu dengan kami secara baik-baik? Belum 

apa-apa muridmu telah menaruh curiga. Se-

seorang yang berbuat salah pasti selalu was-

was dan berjaga-jaga akan segala kemungki-

nan yang terjadi. Kalau memang kalian tiada 

menyimpan pedang yang kini direbutkan 

orang itu, mana mungkin engkau menyuruh 

setiap muridmu untuk waspada!" sahut Roro 

Ningrum dengan kata-kata yang mulai sinis. 

Mendengar itu amarah Nyai Larasati tak ter-

bendung lagi. Perempuan itu segera bangkit 

dari kursinya dengan wajah dingin.

"Sebaiknya kalian berdua cepat ting-

galkan tempat ini sebelum kemarahanku 

memuncak!"

"Terbukti bahwa salah satu pedang itu 

berada di tanganmu. Kalau tidak, tak mung-

kin engkau bersikap begini rupa!"

"Nisanak, rupanya engkau ingin diper-

lakukan kasar. Karena engkau berani menya-

troni tempatku, pastilah engkau punya sedikit 

nyali dan kepintaran. Ingin kulihat, sampai di 

mana kemampuanmu itu!" sahut Nyai Larasa-

ti sambil melompat ke halaman depan. Tu-

buhnya melayang dengan ringan. Roro Nin-

grum sudah menganggap bahwa itu tantan-

gan. Maka tanpa pikir panjang lagi, tubuhnya 

pun ikut melesat mengikuti perempuan tua



itu dan jejakkan kaki pada jarak tiga tombak 

di hadapannya. Dewi Ambarwati menyusul di-

ikuti oleh semua murid yang dengan cepat 

mengurung tempat itu.

"Nisanak, aku tak pernah membiarkan 

musuhku keluar hidup-hidup dari tempatku 

ini. Bersiaplah engkau!" kata Nyai Larasati 

dingin sambil gedor ujung tongkatnya ke ta-

nah sekali. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba 

saja tubuhnya yang agak gemuk itu melesat 

sambil kirim satu serangan kilat. Roro Nin-

grum pun tak kalah sigap. Sekali tangan ka-

nannya terayun, sebilah pedang telah berkib-

lat di tangannya memapaki serangan tongkat 

lawan.

"Trang!"

"Wuuuk!"

Nyai Larasati sedikit terkejut. Bukan 

saja tangannya yang agak kesemutan saat 

senjata mereka beradu, namun dia tak me-

nyangka bahwa lawan mampu bergerak cepat. 

Nyaris tenggorokannya terkena ujung pedang 

lawan yang berkelebat bagai kilat.

Sambil kertakkan rahang menahan ge-

ram, dia keluarkan jurus handalnya yang di-

beri nama Serangga Malam Menipu Pandang. 

Agaknya perempuan tua yang punya gelar Pe-

ri Kuning Tongkat Maut, ingin secepatnya 

menyudahi pertarungan. Dalam gebrakan tadi 

siapa pun dapat melihat bahwa dia agak kete-

ter. Sudah barang tentu hal ini membuatnya 

merasa malu di hadapan murid-muridnya 

sendiri. Untuk itulah dia ingin menunjukkan


pada mereka, juga pada lawannya, bahwa dia 

masih patut diperhitungkan dan tak bisa di-

pandang enteng.

Roro Ningrum bukannya tak merasa-

kan serangan lawan yang mulai mendesaknya 

dengan hebat, tapi perempuan tua itu juga 

menggunakan serangan-serangan yang keji. 

Tongkat di tangan yang pangkalnya terdapat 

patung ular naga sebesar kepala manusia de-

wasa itu, berputar-putar bagai baling-baling 

dan tiba-tiba mengeluarkan asap yang ber-

warna kekuning-kuningan. Belum lagi ujung-

nya yang runcing me-nyambar-nyambar ba-

gian tenggorokan, jantung, dan di bawah pe-

rut. Roro Ningrum yang pandangannya agak 

samar karena terhalang asap kuning itu, mu-

lai kepayahan. Bukan hanya itu saja, namun 

agaknya asap kuning itu mengandung obat 

pembius yang bisa melumpuhkan urat syaraf. 

Meski dia telah mainkan jurus terhebatnya 

yang diberi nama Kilat Pedang Membelah 

Angkara, namun kelebatan pedangnya yang 

sangat menyilaukan mata siapapun yang me-

lihat, tak mampu menyentuh tubuh lawan.

"Dewi, cepat engkau lari dari sini! Ayo, 

cepaaaat...!" teriak perempuan itu memberi 

isyarat pada anak angkatnya itu ketika meli-

hat keadaannya yang tak menguntungkan. 

Tubuhnya mulai kelihatan agak limbung dan 

terhuyung-huyung sambil terbatuk-batuk. 

Pandangannya pun mulai samar dan berku-

nang-kunang.

"Tidaaaak! Manusia-manusia curang


ini harus diberi pelajaran!" sahut gadis itu tak 

perduli dan mulai ayunkan pedang untuk 

membantu Roro Ningrum. Namun bersamaan 

dengan itu, sebelas murid Nyai Larasati telah 

mengurungnya dengan ketat dan kirim seran-

gan secara tiba-tiba. Mau tak mau Dewi Am-

barwati terpaksa membereskan mereka terle-

bih dahulu. Namun itu bukanlah pekerjaan 

mudah. Kesebelas murid-murid Nyai Larasati 

bukanlah orang sembarangan. Masing-masing 

mereka memiliki ilmu yang tinggi. Apalagi pa-

da saat ini mereka menyerang dengan seren-

tak. Tapi tak percuma Dewi Ambarwati seba-

gai murid Malaikat Pedang Bertangan Seribu 

kalau musti keder menghadapi keroyokan. 

Dengan semangat yang berapi-api dia me-

layani mereka sambil putar pedang dan 

mainkan jurus Kilat Pedang Membelah Ang-

kara.

Jurus pedang itu sebenarnya sangat 

handal. Selain mengandung serangan yang 

cepat dan kuat, dia juga memiliki jurus-jurus 

tipuan yang mampu mengecoh lawan. Kalau 

saja asap kuning yang disebar Nyai Larasati 

tak mempengaruhi Roro Ningrum, rasanya 

perempuan tua itu tak mungkin sanggup 

menghadapinya.

Kehebatan jurus itu terlihat saat Dewi 

Ambarwati berhasil mematahkan senjata 

tongkat pada dua orang lawan, dan membuat 

luka yang cukup parah pada keduanya. Tapi 

karena gadis itu kurang pengalaman dalam 

menghadapi pertarungan, dan lagipula lawan


yang dihadapinya bukan orang sembarangan, 

sebentar saja dia kembali didesak oleh lawan-

lawannya.

"Dewi, cepat lari dari sini! Ayo, cepat...!" 

teriak Roro Ningrum kembali memperingati. 

Tubuhnya melesat mendekati tempat perta-

rungan gadis itu dan menghajar dua orang 

lawan yang mendesak putri angkatnya itu 

dengan hebat.

"Trang! Trang!"

"Craaas!"

Perempuan separuh baya murid si Ma-

laikat Pedang Bertangan Seribu itu mengeluh 

pendek saat lengan kirinya berhasil disabet 

ujung tongkat Nyai Larasati yang tak mem-

biarkannya kabur begitu saja. Darah mulai 

mengucur dari tempat itu. Kepalanya lebih te-

rasa nyeri, dan pandangannya semakin men-

gabur. Agaknya ujung tongkat lawan itu men-

gandung racun yang hebat. Meski begitu dia 

masih sempat berteriak pada anak angkatnya 

itu untuk menyelamatkan diri.

Dewi Ambarwati bingung setengah ma-

ti. Batinnya tak tega untuk menuruti perintah 

ibunya itu. Apalagi saat ini dia sedang terlu-

ka. Namun akal sehatnya cepat bekerja. Ka-

lau mereka berdua tertangkap atau tewas, 

siapa yang akan memberitahukan hal ini pa-

da guru? Maka setelah ibu angkatnya itu ber-

teriak sekali lagi sebelum tubuhnya ambruk, 

gadis itu kertakkan rahang menahan geram. 

Pedangnya berkiblat. Dengan suara melengk-

ing nyaring, tubuhnya melesat ke atas sambil


membuat putaran beberapa kali. Tiga orang 

murid Nyai Larasati cepat mengejar sambil 

putar tongkat bagai baling-baling dan siap 

menggebuk tubuh lawan. Tapi tentu saja De-

wi Ambarwati telah memperhitungkan hal itu 

sebelumnya.

"Trang! Trang! Trang!" 

"Tras! Tras! Crab!"

Dengan menggunakan jurus Kilat Pe-

dang Membelah Angkara pada tingkatan ter-

tinggi, pedang di tangannya memapas ketiga 

tongkat lawan dan cepat kirim dua sabetan 

dan satu tusukan. Ketiga murid Nyai Larasati 

atau Peri Kuning Tongkat Maut keluarkan je-

rit kesakitan. Dua orang memegang bagian 

pinggang yang robek sepanjang satu jengkal, 

dan seorang lagi mendekap dada kanan yang 

terus mengucurkan darah. Secepat itu pula 

Nyai Larasati menggeram hebat dan kirim sa-

tu pukulan jarak jauh yang mengeluarkan se-

larik sinar kuning. Namun tubuh Dewi Am-

barwati telah melesat bagai seekor walet ter-

bang dan secepatnya meninggalkan tempat 

itu. Pukulan orang tua itu hanya mengenai 

tempat kosong saja. Sambil menyumpah-

nyumpah, dia memerintahkan murid-

muridnya mengejar lawan yang telah kabur 

itu.



SEMBILAN


Tubuh gadis itu terus berkelebat den-

gan cepat. Sesekali dia menoleh ke belakang 

manakala melihat beberapa orang pengejar-

nya masih tertinggal pada jarak duapuluh 

tombak. Dengan mengerahkan seluruh ke-

mampuan ilmu lari cepatnya, tubuhnya mele-

sat meninggalkan para pengejarnya hingga 

tak terjangkau lagi jarak-nya. Gadis yang 

bernama Dewi Ambarwati itu agak bernafas 

lega saat melihat kenyataan itu. Perlahan dia 

hentikan langkah dan mengatur nafasnya 

yang semakin memburu sambil bersandar 

pada sebuah batang pohon. Wajahnya men-

dongak ke atas dengan pandangan sayu. Se-

sekali dia memicingkan mata menahan kepi-

luan, namun kali lain wajahnya terlihat ge-

ram.

"Ibu, tak kusangka apa yang ku ce-

maskan ternyata kini terbukti. Entah bagai-

mana nasibmu kini..." keluhnya lirih. "Mu-

dah-mudahan engkau bisa selamat. Aku pasti 

akan datang kembali dan mengadukan hal ini 

pada Eyang. Bisa berbuat apa mereka terha-

dap beliau...."

Tiba-tiba gadis itu dikejutkan oleh sua-

ra tawa panjang yang mengejeknya. Dengan 

cepat .dia bersiaga dan putar pandang ke se-

keliling tempat. Namun alangkah kagetnya 

dia manakala melihat bahwa tempat itu telah

dikepung rapat oleh orang-orang yang berwa


jah seram dengan gambar tengkorak di pung-

gung baju mereka. Reflek gadis itu mencabut 

pedang dan bersiap mempertahankan diri.

"Sungguh kebetulan sekali ada seorang 

gadis cantik berkeliaran di tempat ini. Bisa 

menjadi hiburan buat kita semua!" kata seo-

rang laki-laki berusia sekitar limapuluh ta-

hun. Wajahnya bengis. Meski pun dia ketawa, 

namun tak terlihat keramahan. Sebaliknya 

menyiratkan hawa kesadisan dan kekejaman. 

Perlahan-lahan dia mendekati gadis itu.

"Siapa kalian?!" bentak gadis itu sambil 

mundur dua langkah.

"Siapa kami, engkau tak perlu tahu, 

tapi keheradaanmu di tempat ini justru san-

gat membahagiakan kami, dan itu engkau 

perlu tahu!" sahut laki-laki itu sambil menye-

ringai buas. Dewi Ambarwati bergidik ngeri 

melihat senyum bengis laki-laki itu.

"Jangan coba-coba mendekat kalau tak 

ingin merasakan ujung pedangku!" ancam-

nya.

"Ha... ha... ha... ha....!" Seumur hidup 

baru kali ini si Suryudana diancam orang, 

bahkan oleh seorang gadis cantik pula!" 

Orang itu bergelak agak keras sambil putar 

pandang pada orang-orang di sekeliling tem-

pat itu yang ikut-ikutan tergelak-gelak seolah 

menimpalinya.

"Manis..." lanjutnya dengan suara yang 

direndah-rendahkan, "Seharusnya engkau 

berterima kasih padaku bahwa orang-orang 

yang mengejarmu itu kini sedang diringkus


oleh sebagian anak buahku."

"Siapa sudi menerima kebaikanmu! 

Tanpa campur tanganmu pun aku mampu 

menghajar mereka!"

"Ha... ha... ha... ha....! Engkau sungguh 

membuatku senang dan bersemangat. Nah, 

lebih baik menurut baik-baik. Setelah uru-

sanku selesai, engkau tentu akan kubawa ke 

tempatku dan kujadikan istriku yang tercin-

ta!"

"Maaf, kisanak. Agaknya kalau tak 

sinting, pastilah engkau seorang penghayal. 

Aku bukan benda mati yang dengan gampang 

engkau bawa dan perlakukan sesukamu. 

Maafkan, aku tak bisa memenuhi keinginan-

mu itu. Lagipula saat ini aku ada urusan 

yang harus diselesaikan," sahut Dewi Ambar-

wati dan coba berlalu dari tempat itu. Tapi 

baru saja dia berjalan tiga langkah, dua orang 

diantara pengepungnya telah loloskan pedang 

dan membuat gerakan menyilang yang meng-

halangi langkahnya. Terpaksa gadis itu henti-

kan langkah dan berpaling dengan wajah kes-

al pada orang yang bernama Suryudana itu.

"Kisanak, jangan paksa aku untuk me-

lakukan kekerasan pada kalian dengan cara-

mu ini!" katanya dengan suara mengancam. 

Sebaliknya Suryudana hanya tergelak-gelak 

kecil mendengar kata-kata si gadis.

"Kalau engkau enggan dengan cara ke-

kerasan sebaiknya aku setuju sekali dengan 

cara baik-baik. Ikutlah denganku, maka eng-

kau akan memperoleh perlakuan yang baik


pula."

Mendengar jawaban itu, mengertilah si 

gadis bahwa tak ada jalan lain untuk keluar 

dari kepungan ini selain mengadakan perla-

wanan. Sesungguhnya dia tak mengetahui 

bahwa orang-orang ini adalah murid-murid 

Perguruan Tengkorak Hitam. Niat mereka 

yang sesungguhnya adalah memancing bebe-

rapa orang murid-murid Nyai Larasati untuk 

keluar dari tempatnya dan menyerang dengan 

tiba-tiba. Namun baru saja mereka memikir-

kan cara itu, kebetulan sekali beberapa orang 

diantaranya keluar untuk mengejar gadis 

yang kini mereka kepung. Maka Suryudana 

yang turun langsung dalam penyerbuan ke 

tempat kediaman Nyai Larasati itu, memecah 

rombongan menjadi dua bagian. Sebagian 

yang dipimpin oleh tangan kanannya, yaitu 

pemuda yang bernama Danu Umbara untuk 

menyergap beberapa orang murid Nyai Lara-

sati, dan dia sendiri mengepung gadis yang 

dikejar-kejar itu. Adapun niat Suryudana 

atau lebih dikenal sebagai Raja Tengkorak 

Bermuka Masam berbuat begitu adalah untuk 

mematahkan perlawanan Nyai Larasati pada 

saat penyerbuan yang akan mereka lakukan 

nanti. Karena walau bagaimanapun dia tak 

mau anggap remeh kemampuan perempuan 

tua itu beserta murid-muridnya.

Sementara itu Dewi Ambarwati telah 

keluarkan suara bentakan nyaring sambil pu-

tar pedang dan coba menembus barisan per-

tahanan para pengepungnya itu. Namun


alangkah kecewanya dia manakala menemu-

kan kenyataan bahwa gerakan-gerakan yang 

dilakukan lawan lawannya ternyata sangat 

kompak dan teratur sekali. Berkali-kali mere-

ka berhasil menghindar dari sabetan pedang-

nya dan dengan tiba-tiba balas menyerang 

dengan tiba-tiba. Sudah barang tentu hal ini 

membuat gadis itu gusar bukan main. 

"Ciaaaat....!"

Dengan berteriak nyaring, tubuhnya 

mencelat ke atas sambil membuat beberapa 

kali putaran, kemudian dengan tiba-tiba me-

nukik tajam dengan pedang di tangan bergu-

lung-gulung hingga tiada terlihat lagi bentuk-

nya.

"Cras! Cras!"

Dua orang pengeroyoknya memekik 

nyaring manakala ujung pedang gadis itu me-

robek dadanya. Gadis itu terus mengamuk, 

tiada henti bagai serigala betina yang terluka. 

Beberapa orang lagi terkena sabetan pedang-

nya. Dengan menggunakan jurus andalannya 

yaitu, Kilat Pedang Membelah Angkara, la-

wan-lawan itu bukanlah tandingannya. Meski 

mereka mampu berkelit, namun ujung pe-

dang gadis itu terus mengejar bagai memiliki 

mata. Melihat keadaan itu, tentu saja Suryu-

dana geram bukan main. Dengan satu benta-

kan keras, para pengeroyok itu yang tak lain 

dari anak buahnya sendiri, segera hentikan 

penyerangan. Sepasang matanya menyipit 

dan menyiratkan amarah luar biasa terhadap 

gadis itu. Perlahan-lahan dia melangkah


mendekati si gadis yang telah bersiap-siap ji-

ka orang itu tiba-tiba menyerangnya.

"Ilmu silatmu boleh juga, anak manis. 

Tapi jangan dulu berbangga diri. Kalau dalam 

lima jurus di muka engkau bisa bertahan dari 

serangan ku, bolehlah berarti engkau menang 

dan kuijinkan pergi sesukamu. Tapi kalau ti-

dak, maka engkau tak akan pergi ke mana-

mana!" kata Suryudana dingin. Sekali tan-

gannya bergerak, tiba-tiba sebatang pedang 

telah tergenggam. Tanpa banyak membuang 

waktu lagi, laki-laki bertampang bengis ini te-

lah kiblatkan pedang. Lalu dengan satu ben-

takan nyaring, tubuhnya yang sedikit ramp-

ing, telah melesat ke arah gadis itu sambil ki-

rim satu serangan yang bertenaga sangat 

kuat. Suryudana atau Raja Tengkorak Ber-

muka Masam mengetahui bahwa gadis itu 

mempunyai ilmu yang cukup lumayan, tak 

mau menganggap enteng. Itulah sebabnya 

pada awal serangan ini dia telah keluarkan 

jurus-jurus dahsyatnya yang diberi nama 

Tengkorak Menakuti Angin Ribut.

Dewi Ambarwati mulai merasakan 

permainan pedang lawan sungguh hebat se-

kali. Meski dia telah keluarkan seluruh ke-

mampuannya dan balas menyerang dengan 

menggunakan jurus Kilat Pedang Membelah 

Angkara, namun lawan tak sedikit pun terde-

sak, bahkan mampu berkelit dengan sangat 

lincahnya. Sudah barang tentu hal ini mem-

buatnya sangat putus asa. Segala daya upaya 

telah dikerahkannya, namun lawan seolah tak


memberikan ruang gerak padanya untuk ber-

buat sesuatu. Walhasil gadis itu hanya bisa 

pasrah dan bertahan sebisanya. Kalau benar 

apa yang dikatakan lawan bahwa bila dia da-

pat bertahan lima jurus dari serangannya, 

maka dia akan membebaskannya. Semoga sa-

ja janjinya itu bisa dipegang. Namun ternyata 

gadis itu tak banyak berharap. Meski perta-

rungan itu telah memasuki jurus ketujuh dan 

dia hanya menunggu waktu saja untuk dija-

tuhkan, tapi lawan tak bermaksud menyuda-

hi. Malah semakin bernafsu untuk mengalah-

kannya secara terang-terangan.

Sebenarnya kalau saja diperhatikan se-

cara sungguh-sungguh, ilmu pedang yang 

dimainkan gadis itu tak bisa dianggap ringan, 

dan tidak juga berada di bawah permainan 

lawan. Hanya saja gadis itu memang kalah 

dalam hal tenaga dalam dan pengalaman ber-

tanding. Barangkali hanya kegesitan saja 

yang membuatnya mampu bertahan sampai 

tujuh jurus.

Sementara itu melihat lawan semakin 

terdesak, Suryudana seolah telah melupakan 

kata-katanya. Dia terus ayunkan pedang dan 

menghantam manakala gadis itu sudah terde-

sak hebat. Mau tak mau Dewi Ambarwati ha-

rus mempertahankan diri dan kiblatkan pe-

dang untuk memapaki serangan lawan.

"Tang!"

Pedang di tangan gadis itu mental lima 

tombak. Ujung pedang Suryudana telah ter-

hunus di tenggorokannya. Laki-laki itu terse


nyum sambil perlihatkan seringai yang berke-

san sadis. Dewi Ambarwati bergidik ngeri me-

lihat wajah itu. Masih untung pada saat itu 

tiba-tiba muncul beberapa orang kawan me-

reka yang lain. Seorang pemuda berusia seki-

tar duapuluh tahun bersama beberapa orang 

anak buahnya yang masih terhitung murid-

murid Perguruan Tengkorak Hitam. Bersama 

mereka nampak beberapa orang gadis dalam 

keadaan tertotok dan dibopong oleh beberapa 

orang diantara murid murid Tengkorak Hitam 

itu.

"Guru, tugas telah kami jalankan den-

gan baik!" kata si pemuda yang agaknya me-

mimpin rombongan itu. Suryudana anggukan 

kepala puas.

"Engkau lihat hasil tangkapan kami 

ini?"

Pemuda itu melirik sekilas. Hatinya 

terpana saat melihat wajah Dewi Ambarwati 

yang cantik jelita. Untuk sesaat dia terpaku di 

tempatnya.

"Danu Umbara, kalau engkau suka, 

engkau akan mendapat giliran setelah aku 

nanti. Tapi sekarang ini lebih baik kita urus 

dulu perempuan tua bangka itu!" kata Suryu-

dana seolah mengerti apa yang sedang dipi-

kirkan pemuda itu. Tiba-tiba tangan kiri ke-

tua Perguruan Tengkorak Hitam itu bergerak 

ke tubuh si gadis. Sebentar saja Dewi Ambar-

wati merasa tubuhnya kaku akibat totokan 

lawan. Dia menyumpah habis-habisan. Su-

ryudana hanya tergelak-gelak saja. Tapi secara tak terduga, saat itu juga terdengar tawa 

panjang yang mengiringi suaranya tanpa me-

nampakkan ujud.

"Ha... ha.., ha....! Tua bangka keparat! 

Engkau masih suka juga pada daun muda. 

Apakah engkau tak merasa malu?!"

"Siapa engkau?!"

"Engkau tiada punya derajat mengeta-

huiku!"

"Huh, sungguh sombong sekali engkau 

ini!" dengus Suryudana sambil mengamati 

tempat itu dengan tajam. Tiba-tiba dilihatnya 

ada sesuatu yang bergerak pelan dari cabang 

sebuah pohon bagai ditiup angin. Dengan ce-

pat tubuhnya melesat ke arah itu sambil ki-

rim satu serangan.

"Krosak! Pras! Pras!"

Pedangnya terayun dengan cepat. Tapi 

alangkah kecewanya laki-laki itu menemukan 

kenyataan bahwa dia terkecoh. Di situ tiada 

siapa-siapa. Jelas tadi bukan akibat angin 

daun-daun itu bergerak. Saat itu angin ber-

tiup dari arah kanan ke kiri, tapi daun-daun 

di cabang itu bergoyang tak beraturan meski-

pun hanya pelan saja. Sudah barang tentu 

dalam pikirannya, orang yang mengeluarkan 

suara tawa tadi bersembunyi di tempat itu. 

Semua murid-muridnya yang melihat keja-

dian itu bertambah heran saja. Bagaimana 

mungkin guru mereka yang berilmu tinggi itu 

dapat terkecoh oleh lawan. Lalu siapakah 

orang tadi sebenarnya? Mungkinkah seorang 

tokoh berilmu tinggi yang hanya ingin meng


goda mereka saja?

Tapi Suryudana segera mendapat ja-

waban manakala dia kembali turun dan meli-

hat gadis yang dikalahkannya tadi telah le-

nyap entah ke mana. Empat orang muridnya 

yang berada di dekat gadis itu roboh dalam 

keadaan tertotok. Dia menyumpah-nyumpah 

tak karuan melihat keadaan itu sambil berpi-

kir keras, siapa orang yang mampu berbuat 

begitu hebat pastilah ilmunya sangat tinggi. 

Bisa jadi guru si gadis itu, pikirnya. Kalau sa-

ja dia tadi turun tangan, belum tentu mereka 

semua bisa selamat. Masih untung dia tak 

mempersoalkannya. Berpikir begitu, cepat-

cepat Suryudana memerintahkan anak buah-

nya untuk lanjutkan perjalanan menuju tem-

pat kediaman Nyai Larasati.



SEPULUH



Dewi Ambarwati tersentak kaget meli-

hat seorang pemuda berwajah tampan dengan 

pakaian kumal berwarna merah. Belum lagi 

dia sempat berpikir melihat cara berdandan 

pemuda itu yang rambutnya dikuncir dan 

membawa-bawa periuk besar, tiba-tiba saja 

tubuhnya telah berada dalam bopongannya 

dan bersamaan dengan itu empat orang mu-

rid Tengkorak Hidup ambruk tak berdaya 

tanpa menimbulkan suara. Pemuda itu terus 

berlari dengan sangat cepat sambil membo-

pongnya. Dia sama sekali tak merasa seperti



membawa beban. Dari situ saja si gadis su-

dah dapat menduga bahwa pemuda ini bu-

kanlah orang sembarangan. Setidaknya dari 

cara dia merobohkan empat orang tadi dan 

kini membawanya berlari dengan kecepatan 

tinggi. Tapi bukan berarti dia tak curiga. Dia 

sama sekali tak mengenal siapa pemuda ini 

sebenarnya, dan punya maksud apa meno-

longnva. Lebih-lebih tak lama kemudian seo-

rang pemuda yang sebaya dengannya, berlari 

dengan kecepatan tinggi mendekati. Dan ak-

hirnya mereka berdampingan sambil tertawa-

tawa kecil. Sudah barang tentu hal ini mem-

buatnya bertambah curiga saja.

"Kisanak, siapakah kalian ini sebenar-

nya? Apa yang kalian inginkan dariku?" tanya 

gadis itu was-was.

"Tenanglah, nona. Kami tak bermaksud 

jahat padamu," sahut pemuda berkuncir yang 

tak lain dari Buang Sengketa, atau si Pende-

kar Hina Kelana.

"Kalau kalian tak bermaksud jahat, to-

long lepaskan totokanku ini dan biarkan aku 

pergi dari sini."

"Ah, betul! Hampir saja aku lupa!" Pe-

muda itu tepuk jidat dan hentikan larinya. 

Begitu juga dengan pemuda yang berada di 

sampingnya.

"Nah, nona engkau sekarang bebas!" 

lanjut Buang Sengketa setelah melepas toto-

kan gadis itu. Sebaliknya Dewi Ambarwati

bingung sendiri. Kedua pemuda ini sama se-

kali tak mengesankan sebagai seorang yang


berwatak jahat. Lagi pula mereka tak menun-

tut imbalan apa-apa setelah menolongnya. 

Sudah barang tentu hal ini membuatnya malu 

hati dan merasa tak enak telah punya pera-

saan curiga sebelumnya. Sebagai seorang ga-

dis yang tahu sopan santun, dia tak malu un-

tuk meminta maaf.

"Maafkanlah aku, kisanak. Tadi aku te-

lah berperasangka buruk pada kalian berdua. 

Kusangka kalian adalah sebangsa laki-laki 

hidung belang yang punya niat sama seperti 

mereka. Aku mengucapkan banyak terima 

kasih atas pertolongan kalian. Kalau boleh 

kutahu, siapakah kalian ini sebenarnya?"

"Ah, tak perlu merasa begitu, nona. 

Menolong sesama manusia adalah sudah 

menjadi kewajiban kita bersama. Aku berna-

ma Buang Sengketa dan kawanku ini berna-

ma Tuta Rimba," jawab Buang Sengketa. Ga-

dis itu anggukkan kepala mendengar itu. 

Meskipun Buang Sengketa menerangkan ju-

lukannya, barangkali pun gadis itu tak mera-

sa terkejut, karena sebagai gadis yang baru 

turun gunung, dia sama sekali tak pernah 

mengenalnya.

"Nona, siapakah engkau sebenarnya, 

dan kenapa bisa berurusan dengan orang-

orang Tengkorak Hitam?" tanya Tuta Rimba. 

Si gadis yang merasa percaya bahwa kedua 

pemuda itu orang baik-baik, segera menceri-

takan pengalaman yang dialaminya tadi. 

Bahkan diapun menceritakan segala sesua-

tunya sejak mereka turun gunung guna men


cari Sepasang Pedang Setan yang dipesan gu-

runya. Gadis itu sedemikian polosnya hingga 

tak sedikitpun dia punya perasaan curiga ter-

hadap kedua pemuda itu. Sebaliknya Tuta 

Rimba terperanjat kaget mengetahui, siapa 

guru gadis itu sebenarnya.

"Astaga! Ternyata kita adalah orang 

sendiri. Nona, guruku mengutusku untuk 

mencari Pedang Setan itu guna mengembali-

kannya pada orang yang berhak, yaitu guru-

mu. Beliau adalah adik seperguruan Ki Wi-

caksana, sahabat gurumu yang diamanatkan 

untuk menyimpan sepasang pedang itu."

"Oh, benarkah itu?!"

Tuta Rimba mengangguk pasti. Buang 

Sengketa pun membenarkan hal itu. 

"Sebaiknya engkau tak perlu kembali 

menemui gurumu. Kalau engkau bersedia 

ikut, kami bermaksud menemui Nyai Larasati 

dan meminta pedang itu secara baik-baik" ka-

ta Buang Sengketa.

"Perempuan itu sangat licik. Kalian ha-

rus berhati-hati padanya!" kata Dewi Ambar-

wati memperingatkan.

"Dengan cara apapun kami akan beru-

saha mengambilnya dan sekaligus membe-

baskan gurumu."

"Baiklah. Kalau begitu aku akan ikut 

dengan kalian!"

Tak lama kemudian ketiganya segera 

melesat dari tempat itu menuju kediaman 

Nyai Larasati atau Peri Kuning Tongkat Maut.

Sebenarnya apa yang mereka lakukan


hingga dengan gampang bisa membawa gadis 

itu dari kepungan orang-orang Tengkorak Hi-

tam? Mulanya mereka melihat keadaan gadis 

itu yang terdesak hebat dan kena dijatuhkan 

oleh Suryudana. Tuta Rimba ingin turun tan-

gan untuk membantu. Tapi Buang Sengketa 

mempunyai rencana yang lebih baik. Menu-

rutnya kalau mereka turun tangan secara 

langsung, tentu akan memakan waktu lama. 

Maka dia menyuruh Tuta Rimba untuk men-

gecoh lawan pada posisi tertentu untuk me-

mancing perhatian mereka. Dengan menggu-

nakan pukulan jarak jauh, pemuda itu meng-

hantam cabang pohon yang berdaun lebat 

dan agak tertutup, lalu secepatnya kabur dari 

tempat itu. Pada waktu yang bersamaan, 

Buang Sengketa bergerak menolong gadis itu 

karena semuanya sedang memusatkan perha-

tian ke arah ketua mereka yang menerjang ke 

arah dedaunan yang bergoyang-goyang akibat 

dihantam pukulan Tuta Rimba tadi. Tanpa 

banyak mengalami kesulitan, dia menotok 

keempat orang murid Tengkorak Hitam dan 

dengan cepat menyambar gadis itu dan mem-

bawanya kabur sambil mengerahkan ajian 

Sepi Angin.



SEBELAS



Nyai Larasati atau si Peri Kuning Tong-

kat Maut sungguh tak menyangka bahwa ke-

datangan tokoh-tokoh sakti ke tempatnya karena mendapat kabar bahwa dia memiliki sa-

lah satu Pedang Setan, sungguh cepat bere-

dar. Kini mereka telah berkumpul. Ada yang

meminta secara baik-baik dengan alasan ter-

tentu, namun ada juga yang memaksa hingga 

menimbulkan perkelahian yang tak dapat di-

elakkan lagi. Kedudukan mereka memang 

sangat tidak menguntungkan. Lima orang 

murid-muridnya yang mengejar gadis yang lo-

los dari tempat mereka, belum juga kembali. 

Jumlah tokoh-tokoh yang hadir di situ bah-

kan melebihi jumlah mereka sendiri. Dia sen-

diri tak yakin, apakah mampu mengalahkan 

mereka secara jujur. Maka dengan akal bu-

lusnya dia menantang mereka beramai-ramai 

dan menjanjikan akan memberikan pedang 

itu bagi siapa yang bisa mengalahkannya. 

Tentu saja hal ini menarik perhatian mereka 

yang akalnya pendek. Namun bagi tokoh-

tokoh tertentu yang mengetahui bahwa pe-

rempuan tua itu banyak memiliki akal bulus, 

tak cepat percaya. Mereka berdiam diri dan 

menunggu saat yang tepat. Dugaan itu ter-

nyata tak salah. Dua orang tokoh persilatan 

yang bernama Dandaka Pura dan Permana, 

serta lima orang yang lebih dikenal sebagai 

Lima Iblis Lembah Duka, kena diperdaya oleh 

orang tua itu dan tergeletak pingsan saat Nyai 

Larasati putarkan tongkat yang mengeluarkan 

asap kuning yang merupakan obat pembius.

"Siapa lagi yang coba-coba mengingin-

kan pedang itu, boleh berhadapan denganku!" 

kata orang tua itu dengan wajah garang. Ma


tanya menyapu pandang pada tiga orang yang 

masih tegak sambil senyum mencibir. Yang 

satu seorang perempuan berusia enam puluh

tahun. Wajahnya lebar dan rambutnya yang 

panjang telah memutih semua. Dia mengena-

kan pakaian yang sangat ketat di seluruh tu-

buhnya. Pada kesepuluh jari-jarinya terlihat 

kuku-kuku yang sangat tajam dan panjang. 

Rimba persilatan mengenalnya sebagai Betina 

Penyebar Maut. Nama aslinya adalah Nyai 

Tonggeng. Seorang lagi bertubuh pendek dan 

gempal. Kepalanya pada bagian ubun-ubun 

telah botak. Memakai baju kembang-kembang

merah dan biru dengan dasar putih. Dia di-

kenal sebagai Banteng Liar Peremuk Raga. Di-

juluki demikian karena tenaganya yang besar 

dan kuat luar biasa. Namanya adalah Lembu 

Sura. Dan yang ketiga bernama Puro Sekati. 

Tubuhnya kurus jangkung. Rambutnya yang 

telah memutih, digulung ke atas. Usianya se-

kitar tujuh puluh tahun. Meski wajahnya tak 

menyeramkan, namun dia adalah tokoh yang 

sangat ditakuti karena kekejamannya yang 

tak kepalang tanggung. Jarang orang yang 

mau berurusan dengan kakek, yang punya 

gelar Setan Bertangan Delapan ini.

Sesungguhnya Nyai Larasati lebih 

mengkhawatirkan mereka bertiga ini daripada 

yang lain. Ilmu mereka tinggi dan sulit dijaja-

ki. Lagipula mereka cerdik dan tak mudah 

terpancing oleh tipu dayanya.

"Nyai Larasati, sebaiknya engkau jan-

gan banyak pentang bacot. Lebih baik serah


kan saja Pedang Setan itu padaku, dan kuja-

min aku tak akan mengganggumu!" kata Nyai 

Tonggeng atau Betina Penyebar Maut dengan 

suara dingin mengancam.

"Siapa bilang begitu?" timpal Lembu 

Sura. "Apa engkau pikir hanya engkau saja 

yang ingin memiliki pedang itu?"

"Ya. Engkaupun harus ingat bahwa 

aku telah berada di sini," sahut Puro Sekati 

tersenyum sinis. "Aku tak akan kembali sebe-

lum apa yang kuinginkan tercapai."

"Kalian sama sekali tak berhak akan 

Pedang Setan itu!" sahut satu suara tiba-tiba. 

Semua orang menoleh dan terlihat di tempat 

itu telah terdapat sekitar tiga puluh orang 

murid-murid Perguruan Tengkorak Hitam 

yang dipimpin langsung oleh ketuannya, yaitu 

Suryudana atau lebih dikenal sebagai Raja 

Tengkorak Bermuka Masam. "Pedang itu ada-

lah kepunyaan pamanku yaitu si Pedang Se-

tan. Oleh sebab itu, akulah yang berhak me-

milikinya," lanjut suara itu yang tak lain dari 

Suryudana.

"Ha... ha... ha... ha....!" Sungguh lucu. 

Orang-orang memperebutkan benda yang bu-

kan miliknya dan merasa seolah-olah benda 

itu adalah miliknya yang harus didapatkan 

dengan cara apapun," timpal satu suara. Se-

mua orang yang berada di situ kembali dibuat 

terkejut

Tiga orang berusia muda telah muncul 

di situ. Dua orang pemuda dan seorang lagi 

perempuan jelita berusia sekitar tujuh belas


tahun. Salah seorang pemuda yang mengelu-

arkan ucapan tadi sungguh sangat menarik 

perhatian mereka. Meski wajahnya tampan, 

namun dia berpakaian kumal. Rambutnya di-

kuncir serta membawa-bawa periuk besar. 

Demi melihat kedatangan pemuda itu, En-

dang Purwasih yang berada di situ, dengan ti-

ba-tiba menyerbu ke arahnya dengan wajah 

girang.

"Kelana...!" panggilnya. Namun lang-

kahnya tiba-tiba berhenti manakala neneknya 

hadangkan tongkat. Gadis itu bingung tak 

mengerti. Tapi perempuan tua itu seolah tahu 

apa yang dipikirkan gadis itu, segera membe-

ritahukan alasannya.

"Tidakkah engkau lihat dia bersama 

siapa? Dia bersama gadis yang lolos itu, Pasti-

lah gadis itu telah bercerita banyak padanya. 

Engkau jangan berharap bahwa dia berada di 

pihak kita."

"Tapi, nek...."

"Diam kataku dan tetap di tempatmu!" 

bentak Nyai Larasati sambil pelototkan mata. 

Gadis itu terpaksa menurut meski sorot ma-

tanya masih bertanya-tanya sambil melirik ke 

arah pemuda berwajah tampan yang memba-

wa-bawa periuk besar itu.

Sementara itu Suryudana mengenali 

betul siapa gadis yang bersama kedua pemu-

da itu. Hatinya penuh dengan tanda tanya. 

Siapa kedua pemuda itu? Apakah mereka 

yang menyelamatkan gadis itu dari tangan-

nya?


"Kelana, apa maksud perkataanmu 

itu!?" tanya Nyai Larasati dengan wajah sinis. 

Pemuda itu tersenyum kecil dan maju dua 

langkah.

"Nyai Larasati, Pedang Setan adalah 

milik si Malaikat Pedang Bertangan Seribu. Di 

sini ada muridnya yang mewakili orang tua 

itu untuk mengambil hak miliknya. Kenapa 

malah engkau menyerakahi benda yang bu-

kan milikmu

"Siapa bilang pedang itu ada di tan-

ganku?!"

"Nyai Larasati, jangan engkau bersilat 

lidah. Aku tahu betul bahwa engkau memiliki 

salah satu dari Pedang Setan itu. Kalau tidak, 

tak mungkin engkau kasak kusuk untuk 

mencari pedang yang satunya lagi hingga per-

lu menahan si Cakrangga untuk mengorek 

keterangan darinya," sahut Suryudana. "Kea-

daanmu sungguh sangat terjepit. Kalau eng-

kau mau menyerahkan pedang itu padaku, 

sudah barang tentu aku akan bersekutu dan 

membelamu terhadap niat-niat jahat mereka."

"Cuih! Suryudana, apa engkau pikir 

aku tak mengerti akal bulusmu itu? Untuk 

apa engkau sibuk-sibuk menginginkan pe-

dang yang hanya sebuah itu. Pastilah engkau 

memiliki yang sebuah lagi. Aku ingat betul 

saat engkau mengobrak abrik rumah kedia-

man cucu Tumenggung Gandasena yang ber-

nama Nugraha Wisesa tujuh belas tahun lalu. 

Engkau pasti telah mendapatkan pedang itu, 

dan kini menginginkan sebuah lagi yang eng


kau sangka berada di tanganku!" sahut Nyai 

Larasati sengit.

"Hei! Hei! Kenapa malah kalian saling 

menyalahkan? Pasti ini akal bulus lagi agar 

kalian tak dicurigai memiliki pedang itu?!" 

sentak Tuta Rimba tak sabaran. Kedua orang 

itu palingkan wajah dan sipitkan mata mena-

han geram.

"Anak muda, punya kebisaan apa eng-

kau berani berkata lancang begitu terha-

dapku?" tegur Nyai Larasati dengan nada 

mengancam.

"Nenek peot, tak usah banyak bacot! 

Serahkan pedang itu pada yang berhak dan 

kami tak akan mengganggumu!"

"Bedebah! Kau pikir engkau ini siapa 

seenaknya memerintahku?"

Tanpa dikomando lagi, beberapa orang 

muridnya telah menyerang pemuda itu den-

gan ganas. Perkelahian pun tak dapat dihin-

dari lagi. Dewi Ambarwati yang sejak tadi ha-

tinya penuh dendam terhadap perempuan tua 

itu, tiba-tiba saja telah cabut pedang. Tubuh-

nya melesat dengan cepat sambil kirim satu 

serangan.

"Nyai Larasati, apakah engkau benar-

benar tak mau bersekutu padaku?!" teriak 

Suryudana sambil ketawa mengejek. "Lima 

orang muridmu berada dalam tanganku. Asal 

engkau berjanji akan menyerahkan pedang 

itu padaku, tentu saja aku akan melepaskan 

mereka, bahkan anak muridku pun akan 

membantumu menyingkirkan mereka."


Perempuan tua itu ternyata tak bodoh. 

Melihat posisinya yang sedang tak mengun-

tungkan, dia segera putar otak dan dengan 

cepat menyetujui usul Suryudana. Soal nanti 

barangkali akan dipikirnya belakangan.

Demi mendengar jawaban itu, dengan 

cepat Suryudana memerintahkan murid-

muridnya untuk meringkus tiga orang muda 

yang baru datang itu. Dia sendiri telah mele-

sat membantu perempuan tua itu untuk men-

jatuhkan gadis yang menjadi lawan Nyai La-

rasati. Tapi saat itu juga tentu saja Buang 

Sengketa tak mau tinggal diam. Tubuhnya se-

gera berkelebat memapaki serangan ketua 

Perguruan Tengkorak Hitam. 

"Ciaaaat....!"

Suryudana agak terkejut melihat se-

rangan lawan yang cepat itu. Beberapa orang 

murid-muridnya yang pernah berhadapan 

dengan pemuda itu sempat membisikkan ten-

tang siapa sebenarnya pemuda yang selalu 

membawa-bawa periuk besar itu.

"Hemm, jadi engkaulah yang bernama 

Pendekar Hina Kelana itu? Sungguh menyesal 

bahwa engkau harus mati di tanganku," ejek-

nya sambil memandang rendah.

"Mati itu bukan urusanmu. Salah-

salah malah engkau sendiri yang akan men-

galaminya nanti," balas Buang Sengketa. Tapi 

pemuda itu tak bisa berlama-lama berhada-

pan dengan lawannya. Puluhan murid-murid 

Tengkorak Hitam telah terbagi dua. Sebagian 

mengeroyok Tuta Rimba, dan sebagian lagi


membantu Nyai Larasati. Sedangkan tangan 

kanan Suryudana yang bernama Danu Umba-

ra, telah melesat membantu gurunya itu. Ten-

tu saja hal itu tak bisa didiamkan saja. Buang 

Sengketa merasa perlu untuk menolong ke-

dua sahabatnya itu.

Tapi untuk lolos dari dua lawannya ini 

bukanlah soal mudah. Keduanya berilmu 

tinggi dan memiliki serangan-serangan yang 

mematikan. Karena tak ada jalan lain, terpak-

sa pemuda itu mengeluarkan jurus Si Gila 

Mengamuk. Suatu jurus yang tiada beraturan 

namun sangat ganas sekali menyerang lawan. 

Dalam pada itu dari telapak tangannya mele-

sat selarik sinar ultra violet menghantam para 

murid-murid Tengkorak Hitam. Maka tak ayal 

lagi. Sebentar saja terdengar pekik kematian 

akibat pukulan Empat Anasir Kehidupan 

yang berhawa panas itu. Beberapa orang mu-

rid Tengkorak Hitam langsung tumbang dan 

tewas seketika terkena pukulan itu. Tentu sa-

ja hal ini sangat mengkhawatirkan sekali. Ka-

lau dibiarkan terus, sudah pasti murid-

muridnya akan tewas tiada bersisa. Berpikir 

begitu, Suryudana putar otak. Pemuda yang 

menjadi lawannya ini berilmu tinggi. Meski 

dia telah keluarkan jurus-jurus andalannya 

dan mengeroyoknya berdua, belum kelihatan 

tanda-tanda dia akan terdesak. Bahkan kalau 

dibiarkan terus, salah-salah bisa dia sendiri 

yang celaka. Tiba-tiba dia menemukan akal 

saat matanya melihat tiga orang tokoh sesat 

yang masih mematung tak ambil bagian da..



lam pertarungan itu

"Hei, kalian bertiga?!" teriaknya me-

manggil. "Ketahuilah, bahwa pemuda ini yang 

bergelar Pendekar Hina Kelana. Kalau dia 

berhasil menguasai pedang itu, kalian akan 

rugi sendiri. Sedang bila pedang itu kita da-

patkan, bisa dirundingkan baik-baik cara pe-

nyelesaiannya nanti. Kenapa kalian malah di-

am saja?!"

Mendengar nama si pemuda itu, tanpa 

pikir panjang lagi, ketiganya segera melesat 

dan langsung menyerang Buang Sengketa. 

Siapa yang tak mengenal Pendekar Hina Ke-

lana? Nama itu belakangan ini menjadi mo-

mok yang membuat gemas tokoh-tokoh sesat 

sehubungan dengan sepak terjangnya yang 

sangat memusuhi golongan mereka.

"Ah, engkau rupanya yang punya gelar 

Pendekar Hina Kelana itu?" ujar Nyai Tong-

geng sinis. "Ingin sekali kulihat permainan 

Golok Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto-

mu yang sangat menghebohkan itu."

"Kedua senjata itu bukan untuk dipa-

merkan, tapi kalau kalian memaksa, apa bo-

leh buat. Nantipun kalian akan merasakan-

nya juga," sahut pemuda itu merendah. Tapi 

apa yang dikatakannya sungguh beralasan. 

Dikeroyok lima orang yang berilmu tinggi itu, 

mau tak mau membuat Buang Sengketa agak 

repot. Dia tak bisa lagi hantamkan pukulan 

Empat Anasir Kehidupan untuk membantu 

kedua kawannya karena selalu dihalang-

halangi oleh gerakan-gerakan lawan yang


mengurungnya dengan ketat. Pemuda itu kini 

semakin terdesak saja. Hatinya cemas bukan 

main memikirkan keadaan kedua sahabatnya 

itu. Dikeroyok oleh begitu banyak orang, pas-

tilah mereka tak akan bertahan lama. Sedang 

dia sendiri kalau tak cepat bertindak, juga

akan dapat dijatuhkan oleh lawan-lawannya.

"Aaaakh....!"

Buang Sengketa tersentak kaget men-

dengar teriak kesakitan Dewi Ambarwati. Ba-

hu kirinya kena diserempet ujung tongkat la-

wan, dan bersamaan dengan itu ujung pedang 

lawan yang lain menggores pahanya. Bebera-

pa saat kemudian, Tuta Rimba mendapat ba-

gian. Kepalanya terkena tendangan lawan 

dengan telak, dan pinggangnya dengan cepat 

disabet ujung pedang lawan yang lain.

"Wuaaaa....!!"

Pemuda dari negeri Bunian itu tersen-

tak kaget dan menjerit kecil saat kepalan 

Lembu Sura yang bertenaga dalam kuat, 

menghantam dadanya. Tak ampun lagi, tu-

buhnya mental beberapa tombak sambil mun-

tahkan darah segar. Belum lagi memperbaiki 

posisi, satu sambaran kuku-kuku Nyai Tong-

geng, menghajar lehernya.

"Breet!"

Kasihan sekali pemuda itu. Hanya ka-

rena kelengahan akibat memperhatikan kese-

lamatan dua kawannya, akhirnya dia menjadi 

bulan-bulanan kelima lawannya itu. Tubuh 

Buang Sengketa ngusruk dengan nafas me-

gap-megap. Bukan saja luka dalam yang diperolehnya akibat pukulan lawan yang terus 

menghantam berturut-turut, namun juga lu-

ka-luka akibat cakaran Nyai Tonggeng dan 

sabetan pedang Suryudana dan Danu Umba-

ra. Kejadian itu begitu cepat dan singkat se-

kali. Kelimanya memandang pemuda itu sam-

bil tersenyum mengejek.

"Hi... hi... hi... hi....! Hanya sebeginikah 

kemampuan pendekar yang namanya meng-

getarkan rimba persilatan itu?" ledek Nyai 

Tonggeng.

"Sebaiknya coba engkau keluarkan saja 

Golok Buntung-mu. Siapa tahu kami bermu-

rah hati menyambungnya kembali!" timpal 

Suryudana.

"Kalian akan menyesal nantinya kalau 

golok itu telah tercabut dari tempatnya...!" 

sahut Buang Sengketa pelan namun mengan-

dung ancaman. Tiba-tiba saja tanpa mem-

buang waktu lagi, dengan sekali berkelebat, 

tangan kanannya telah memegang suatu ben-

da yang berwarna merah menyala. Apalagi ka-

lau bukan Pusaka Golok Buntung! Hawa han-

gat segera mengalir ke tubuhnya akibat pen-

garuh golok pusaka itu, dan segera melancar-

kan jalan darahnya yang kacau. Meski tak se-

luruhnya bisa disembuhkan namun keadaan-

nya agak lebih baik.

"Hi... hi... hi....! Meskipun engkau kelu-

arkan Golok Buntung-mu itu, mana mungkin 

engkau bisa bertahan lama. Racun yang be-

rada dalam kuku ini sangat kejam dan tiada 

bandingannya," kata Nyai Tonggeng menje


laskan sambil terkekeh-kekeh. Namun buat 

Buang Sengketa hal itu sama sekali tiada di-

rasakannya. Seperti diketahui, pemuda dari 

Negri Bunian itu kebal terhadap segala ma-

cam jenis racun.

Nyai Tonggeng atau Betina Penyebar 

Maut serta yang lainnya tak sempat lagi pen-

tang bacot manakala tubuh si pemuda pe-

nyandang periuk besar itu telah berkelebat ke 

arah mereka diiringi sebuah benda berwarna 

merah menyala di tangannya dan menimbul-

kan suara bagai puluhan harimau terluka. 

Sementara itu dari mulut pemuda itu sendiri, 

tak henti-hentinya terdengar suara mendesis 

bagai seekor ular Piton yang terluka. Dengan 

menggunakan jurus Si Jadah Terbuang, gera-

kan pemuda itu cepat sekali dan sulit diikuti 

oleh mata. Golok Buntung di tangannya me-

nyambar-nyambar ke arah lawan.

"Cras! Cras!"

Danu Umbara dan Lembu Sura tak 

sempat memekik saat golok di tangan Pende-

kar Hina Kelana menyambar lehernya. Kedua 

batok kepala itu menggelinding, sedang tubuh 

mereka sendiri terhuyung-huyung sejenak 

sambil mengucurkan darah dari pangkal leher 

sebelum akhirnya ambruk tak berkutik lagi. 

Bukan main marahnya Suryudana melihat 

murid kesayangannya tewas. Dari mulutnya 

terdengar suitan nyaring. Saat itu juga seba-

gian anak buahnya mengalihkan perhatian-

nya dan ikut mengerubuti Buang Sengketa. 

Namun hal itu percuma saja. Sekali pemuda


itu bergerak, tiga orang memekik nyaring 

sambil roboh terguling-guling dan nyawanya 

lepas saat itu juga terkena sabetan Pusaka 

Golok Buntung. Suryudana semakin ketaku-

tan saat serangan pemuda itu lebih ditujukan 

padanya.

"Cras! Wuuuuut! Craaas!"

Suryudana memekik nyaring saat tan-

gannya kutung disabet golok Buang Sengketa. 

Namun ketika itu juga pemuda itu merasakan 

satu serangan menyambarnya. Dengan cepat 

dia berkelit tanpa menoleh dan sabetkan Go-

lok Buntung. Terdengar pekikan nyaring Nyai 

Tonggeng yang seketika roboh dengan ping-

gang hampir putus

Murid si Bangkotan Koreng Seribu itu 

ternyata tak kepalang tanggung. Kembali pe-

dang di tangannya berkelebat ke arah Suryu-

dana. Orang itu memekik nyaring saat da-

danya kena disabet golok lawan. Belum lagi 

dia sempat kuasai diri, tiba-tiba saja senjata 

lawan telah menyambar lehernya.

"Cras!"

Tak ampun lagi. Kepala Suryudana 

terpisah dan menggelinding ke tanah... Men-

getahui itu, murid-muridnya segera melarikan 

diri karena mengadakan perlawanan pun per-

cuma saja. Lagipula toh untuk siapa lagi me-

reka menempur pemuda itu. Melihat sepak 

terjang Pendekar Hina Kelana yang sangat 

dahsyat, tanpa malu-malu Puro Sekati ikut-

ikutan kabur setelah nyalinya ciut sejak tadi. 

Buang Sengketa hanya mendiamkannya saja


dan tubuhnya melesat dengan cepat ke arah 

Nyai Larasati yang pada saat itu sedang men-

desak Dewi Ambarwati. 

Mengetahui serangan lawan, dengan 

cepat dia berbalik dan memapaki dengan 

tongkatnya.

"Tes! Crak!"

"Wuaaaaa....!"

Perempuan tua itu memekik nyaring. 

Tongkat di tangannya putus menjadi dua, dan 

golok di tangan Buang Sengketa terus melun-

cur ke arah batok kepalanya. Tak ayal lagi, 

batok kepala perempuan tua itu terbelah. Tu-

buhnya terhuyung-huyung untuk beberapa 

saat. Namun pada saat itu secara tak terduga, 

satu sabetan pedang menebas lehernya. Tak 

ayal lagi, batok kepala perempuan itu putus 

dalam keadaan terbelah dua. Tubuhnya me-

regang sesaat sebelum akhirnya nyawanya le-

pas. Beberapa orang muridnya yang melihat 

itu, bergidik ngeri.

Endang Purwasih pingsan seketika me-

lihat keadaan neneknya. Banonwati tak bisa 

lagi bisa berbuat apa-apa selain menyerah. 

Pada saat itu tiba-tiba Dewi Ambarwati me-

mekik nyaring dengan wajah gembira dan 

menubruk sesosok tubuh yang tadi tiba-tiba 

muncul. "Ibuuuuu....!"

Orang yang memotes leher Nyai Larasa-

ti tadi tak lain dari Roro Ningrum. Wajahnya 

begitu gembira dapat berkumpul dengan anak 

angkatnya yang telah dianggapnya sebagai 

anak sendiri itu.


"Syukurlah ibu selamat. Aku telah 

khawatir sejak tadi. Ibu tak apa-apa, bukan?"

Perempuan separuh baya itu gelengkan 

kepala sambil tersenyum kecil. "Tidak, nak..." 

sahutnya pelan. "Mereka hanya memenjara-

kan ibu saja di ruang-bawah tanah. Di sana 

ibu bertemu dengan Cakrangga, anak Empu 

Pupulaka. Setelah ibu menceritakan siapa se-

benarnya ibu, akhirnya dia minta maaf. Dia 

menyesal telah membunuh ayahnya sendiri. 

Syukurlah pedang yang berada di tangan Nyai 

Larasati berhasil ibu peroleh setelah ibu be-

rusaha membebaskan diri. Dan juga menga-

takan bahwa pedang yang satu lagi memang 

sengaja disembunyikan di Lembah Batu Am-

par."

Mendengar pembicaraan itu, tiba-tiba 

Tuta Rimba menyela. "Apa? Engkau katakan 

ayahku berada di ruang bawah tanah mere-

ka?!"

"Apakah engkau putranya Cakrang-

ga?!" tanya Roro Ningrum. Pemuda itu men-

gangguk cepat. "Sayang sekali, keadaan be-

liau sangat menyedihkan. Dia tewas setelah 

memberitahukan di mana pedang satu lagi 

yang disembunyikannya..." lanjut perempuan 

setengah baya itu dengan wajah lesu. Men-

dengar jawaban itu, Tuta Rimba terkejut se-

kali. Tanpa membuang-buang waktu dia sege-

ra menerobos ke dalam rumah itu guna men-

cari ayahnya.

Sementara itu, Dewi Ambarwati baru 

saja akan memperkenalkan pemuda tampan


dengan rambut dikuncir pada ibunya, tapi 

pemuda itu telah pergi entah ke mana. Le-

nyap bagai disapu angin. Dia celingukan ke 

sana sini mencari-cari, namun tak juga dite-

mui. Sementara itu Buang Sengketa yang me-

rasa bahwa apa yang sedang dicari anak be-

ranak itu telah ditemui, diapun merasa bah-

wa tugasnya membantu mereka telah selesai. 

Maka tanpa sepengetahuan mereka, dia sege-

ra menghilang dari tempat itu sambil kerah-

kan ilmu lari cepat, yaitu ajian Sepi Angin.


                             TAMAT




Share:

0 comments:

Posting Komentar