IBLIS PEMBURU PERAWAN
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode:
Iblis Pemburu Perawan
SATU
Kau telah tersesat jauh adikku! Kembalilah
padaku, aku merasa yakin segala sesuatunya ma-
sih dapat kita selesaikan dengan baik!" yang ber-
kata adalah laki-laki berwajah kasar serta memiliki
tinggi badan tidak sebagaimana lazimnya manusia
normal.
"Aku tidak mau kembali pada siapapun, ka-
kang...! Jangan terlalu memaksa...!" menyahut la-
ki-laki kerdil yang berada di depan si tinggi besar
tanpa mau mengurangi kecepatan larinya. Jan-
gankan berhenti, bahkan menolehpun tidak. Se-
pintas lalu, kejar-kejaran yang sedang berlangsung
itu nampak lucu. Bagaimana tidak. Yang dikejar
adalah seorang laki-laki kerdil berusia dua puluh
tahun, dengan langkahnya yang pendek namun
cepat luar biasa. Sedangkan pengejar yang berada
tidak begitu jauh di belakangnya adalah laki-laki
yang memiliki tinggi hampir dua meter, dengan
jangkauan langkah yang demikian lebar. Bahkan
dapat dikatakan, sepuluh kali si kerdil mengayun-
kan kakinya. Mungkin si tinggi besar hanya empat
kali. Anehnya walaupun si tinggi besar memiliki
jangkauan langkah yang lebar, namun sampai se-
begitu jauh dia masih belum mampu menangkap
tubuh pemuda kerdil yang berlari cepat di depan-
nya.
"Adi Cindek! Kuperingatkan padamu untuk,
tidak meneruskan segala niatmu yang sesat itu...!"
teriak pemuda tinggi besar yang terus mengejar di
belakangnya. Sebagai jawabannya, pemuda berba-
dan kerdil itu hanya mendengus tanpa menoleh
sedikitpun.
"Adi... guru pasti murka atas segala sepak
terjangmu yang di luar batas!"
"Persetan...!" sentak laki-laki berbadan ker-
dil itu terus mempercepat larinya.
"Susah payah mereka mengajar kita! Apa-
kah engkau hendak mengecewakan harapan-
nya...!"
"Masa bodoh...!"
Panas hati pemuda berbadan tinggi besar
mendengar jawaban yang sangat menyakitkan ini.
Sungguhpun begitu ia masih berusaha mengin-
gatkan adik seperguruannya.
"Niatmu yang keji bisa membuat sengsara
banyak orang adi Cindek! Kembalilah padaku! Bu-
kankah semuanya masih dapat kita bicarakan...?"
"Jangan kau paksa aku untuk mengikuti
kemauanmu, kakang...! Salah-salah aku malah
akan membunuhmu...!" dengus pemuda berbadan
kerdil. Mengancam. Semakin bertambah memerah
paras pemuda berbadan tinggi bagai raksasa ini
demi mendengar kata-kata yang diucapkan oleh
adik seperguruannya. Tanpa putus asa ia masih
tetap mengejar, berulang kali langkah pemuda
kerdil yang berlari di depannya hampir tersusul,
bahkan tangannyapun hampir dapat menangkap
bagian pundak pemuda kerdil itu. Namun selalu
saja setiap pemuda itu hampir dapat menyaingi
langkah pemuda kerdil di hadapannya. Cepat lak-
sana lesatan anak panah, si kerdil telah berlari
menjauh.
"Berhenti adikku...!" perintah si tinggi besar
dengan nafas memburu.
"Percuma engkau mengejarku, kakang Du-
wur...! Sampai tua kau tak mungkin mampu me-
nandingi ilmu lariku! He...he...he...! Coba kau
bayangkan betapa guru kita selalu berada dipi-
hakku. Segala kepandaiannya yang tak pernah di-
berikannya padamu, namun dengan sangat se-
nang hati dia turunkan kepadaku...! Bukankah itu
merupakan pertanda bahwa aku merupakan seo-
rang murid yang paling beruntung. Nah sekali lagi
kuperingatkan padamu, jangan coba mengejarku.
Apalagi dengan niat menghalang-halangi maksud-
ku. Kalau hal itu tetap kau lakukan, dengan san-
gat menyesal aku pasti membunuhmu...!" ancam
si pemuda kerdil masih dalam keadaan berlari
kencang. Nampaknya pemuda berbadan tinggi be-
sar yang di panggil Si Duwur ini merupakan orang
yang keras hati dan berpantang menyerah. Walau-
pun dia menyadari kepandaian yang dimiliki oleh
adik seperguruannya tiga tingkat lebih tinggi bila
dibandingkan kepandaiannya sendiri. Hal ini bu-
kan menjadi dasar pertimbangannya. Terkadang
memang pernah terlintas penyesalan di dalam ha-
tinya tentang tabiat gurunya yang suka pilih kasih
dalam mendidik muridnya yang cuma dua orang
itu. Tetapi ia tak berani protes secara langsung di
depan gurunya. Sikap sang guru yang terlalu
memberi kebebasan pada si kerdil dan menuruti
segala kemauannya. Akhirnya menimbulkan ben-
cana yang sangat buruk bagi dirinya sendiri, terlebih-lebih buat orang banyak. Bahkan dalam kea-
daan terus berlari mengejar pemuda kerdil yang
berlari semakin jauh dengan dirinya itu, dia malah
teringat saat-saat mereka pertama kali diha-
nyutkan oleh Banjir Bandang. Dengan susah
payah dia berusaha menyelamatkan diri si Cindek
yang terus terseret arus deras. Mati-matian Duwur
mempertahankan keselamatan sahabatnya si Cin-
dek. Bahkan dengan rela dia mendudukkan tubuh
si Cindek di atas pundaknya. Dia tak pernah per-
duli dengan keselamatan dirinya sendiri, walau
terkadang ia harus meneguk air bah yang meluap-
luap.
Banjir Bandang telah menyeret tubuh me-
reka dari Sungai Buluh hingga ke hutan Kayan-
gan. Andai saja seorang kakek tua berpakaian ser-
ta berambut serba putih tidak cepat-cepat meno-
longnya. Pastilah dua jiwa menemui ajal. Kejadian
itu sepuluh tahun telah berlalu, sedangkan saat
itu dua orang bersahabat itu berumur sekitar dua
belas tahun. Dalam waktu sekian lama, kiranya
kakek yang berpenampilan serba putih serta me-
miliki watak aneh itu telah berkenan mengangkat
Cindek dan Duwur menjadi muridnya. Namun da-
lam menurunkan pelajaran ilmu silat dan puku-
lan-pukulan sakti, kiranya kakek tua yang memili-
ki nama Alot Rose nampak sering bersikap tidak
adil. Bahkan beberapa tahun setelah berada dalam
asuhan kakek aneh ini, si Duwur merasakan ke-
pandaian yang dimilikinya jauh tertinggal di bawah
si Cindek. Pemuda yang memiliki badan melebihi
manusia normal ini sebenarnya merasa iri melihat
kemajuan yang didapat oleh si Cindek. Tapi tetap
saja dia tak dapat berbuat banyak. Sekarang se-
muanya sudah jelas, si Cindek yang memang sejak
kecil memiliki tabiat kurang menyenangkan ini,
rupanya selain memiliki perangai yang sangat bu-
ruk juga mempunyai tujuan yang menyesatkan.
"Dunia bisa kacau andai aku membiarkan dia ber-
keliaran seenak perutnya." batinnya. Pabila pemu-
da bertubuh tinggi seperti raksasa ini teringat
sampai ke situ. Maka kekhawatirannya telah men-
dorong semangatnya untuk berlari lebih cepat lagi.
Namun pabila dia memandang ke depan
sana, maka orang yang dikejarnya sudah tak ter-
lihat lagi. Merasa kesal karena usahanya tidak
mendatangkan hasil, maka pemuda bertubuh rak-
sasa ini berteriak keras-keras.
"Adi Cindeeek...!"
Suara teriakan si Duwur membahana sam-
pai ke sudut-sudut hutan rimba kemudian men-
jadi sayup-sayup dan hilang sama sekali. Pemuda
ini kemudian berbalik langkah dan menelusuri ja-
lan semula. Wajahnya menunduk, sedangkan so-
rot matanya menyimpan kehawatiran yang menda-
lam.
Malam dingin di angkasa sana bulan berse-
limut awan hitam. Suasana di sekitar tempat itu
adalah kesunyian belaka. Hanya sesekali terdengar
suara jangkerik dan lolong anjing hutan saling
bersahutan sesamanya. Lalu keadaan men-jadi
sunyi sebagaimana sediakala. Dalam kegelapan di
dalam sebuah gubuk kecil yang terletak jauh di
pinggiran desa. Seorang gadis dan seorang pemuda
berusia dua puluh lima tahun nampak baru saja
selesai melewatkan makan malam. Saat itu gadis
berkulit hitam manis sedang memberesi alat-alat
bekas makan. Sedangkan pemuda setelah selesai
melewatkan makan malam langsung merebahkan
diri di atas ranjang bamboo
“Masih sore begini kok sudah tidur, ka-
kang…!” tegur gadis berambut panjang sambil
membawa peralatan makan yang sudah kotor ke
dapur. Sekejap gadis itu menghilang di balik pintu,
tapi beberapa menit kemudian telah kembali lagi.
Tanpa diminta si gadis segera duduk di atas ran-
jang bambu dekat si pemuda berbaring.
“Badanku rasanya hendak sakit! Pula besok
pagi aku harus cepat-cepat ke sawah. Padi hampir
menguning itu perlu mendapat perawatan khusus.
Kau tahu mengapa aku melakukannya…!” tanya si
pemuda tanpa mengalihkan perhatiannya dari atas
wuwungan rumah. Gadis berkulit hitam manis ge-
lengkan kepalanya.
“Pesta perkawinan kita hanya tinggal bebe-
rapa bulan lagi. Kita membutuhkan biaya yang ti-
dak sedikit…!” desah si pemuda. Si gadis hanya
menganggukkan kepala tanda mengerti apa yang
dikatakan oleh calon suaminya.
“Tidurlah! Akupun sudah mengantuk seka-
li!” ujar si gadis, lalu menguap beberapa kali. Tak
lama setelahnya gadis berkulit hitam manis itu
melangkah ke kamarnya.
Malam terus berlalu tanpa terasa, orang
orang yang berada di dalam rumah itu telah pula
terlelap. Tanpa sepengetahuan siapapun, di luar
sana nampak sesosok tubuh mengendap-endap
mendekati gubuk itu. Gerakan kakinya yang rin-
gan dan lincah dan tidak menimbulkan suara se-
dikitpun menandakan bahwa sosok gelap yang
kian dekat dengan gubuk itu memiliki ilmu merin-
gankan tubuh yang sudah mencapai taraf sem-
purna. Setelah sampai di bagian pintu depan,
orang itu mengintip suasana di dalam gubuk itu.
Tiba-tiba bibirnya menyeringai!
“Mereka berdua pasti sudah pada tidur!
Huh… kasihan si calon pengantin laki-lakinya. Dia
pasti tak dapat lagi merasakan bagaimana indah-
nya malam pertama. Puuuh!” sosok tubuh berpa-
kaian serba hitam itu menghembuskan nafasnya
kuat-kuat.
Lampu minyak yang terletak di atas lantai
tanah padam. Di luar gubuk, suasana tetap gelap,
namun di dalam gubuk itu lebih gelap lagi.
Teeek!
Dengan gerakan perlahan orang itu me-
nyentakkan palang pintu yang terbuat dari batang
kayu kopi. Pintu terbuka, namun begitu didorong
menimbulkan suara berderit. Tidak begitu keras
memang, tapi suara perlahan itu cukup didengar
oleh si pemuda yang terbaring di atas ranjang
bambu yang sejak tadi gelisah tak mampu meme-
jamkan matanya.
“Selasih! Engkaukah itu…?” tanya si pemu-
da dalam keingin tahuannya. Namun tiada jawa-
ban seperti yang diinginkannya. Dari sikap berbaring, pemuda itu kini duduk di atas ranjang bambu.
Sepasang matanya yang kemerahan mengerjab,
hanya kegelapan saja yang terlihat.
“Creeep…!”
“Aghk…!”
Pemuda itu tercekat manakala dia merasa-
kan bagian lehernya dicekik oleh sepasang tangan
yang kokoh. Semakin lama cekikan itu semakin
kuat, bahkan tidak hanya sampai di situ saja. Dia
merasakan ujung-ujung jemari yang begitu panas
itu menghunjam ke bagian kulit lehernya, lalu me-
nembus sampai ke tulang. Pemuda itu menggelin-
jang dan berusaha meronta-ronta. Usahanya nam-
paknya menjadi semakin sia-sia, karena semakin
ia meronta, jemari berkuku runcing itu semakin
dalam menembus daging. Si pemuda merasakan
panas yang tiada tertahankan di bagian lehernya.
Kemudian dari bagian leher terus menjalar ke se-
luruh tubuhnya. Dia menjadi terbelalak kaget ke-
tika merasakan tubuhnya terasa kaku dan tak
mampu digerak-gerakannya lagi.
Bluuukk…!
Tubuh pemuda itu jatuh di atas ranjang
tanpa mampu bangkit lagi. Selanjutnya sosok mis-
terius itu menyelinap memasuki kamar Selasih.
Langkahnya perlahan saja, seolah dia sudah ter-
biasa berada di dalam gubuk itu. Sesampainya di
dalam ruangan kamar Selasih yang begitu gelap.
Pandangannya mencari-cari ke sekeliling ruangan,
ketika dia melihat sesosok tubuh wanita terbaring
di atas dipan kayu. Lagi-lagi senyum iblis mem-
bias. Orang itu merogoh sesuatu dari balik pakaiannya yang berwarna gelap. Lalu membukanya
sebentar. Setelah itu bungkusan tadi dia dekatkan
ke depan hidung.
“Puuuh…!”
Sekali hembus, berterbanganlah bubuk ha-
lus memenuhi seluruh ruangan kamar si gadis.
Orang berpakaian serba hitam itupun menanti
dengan sikap sabar.
“Kalau malam ini aku berhasil meniduri
seorang gadis perawan! Menurut petunjuk tubuh-
ku akan berubah menjadi seekor monyet hitam
yang sangat besar. Siapapun tak bakal mengenali-
ku. Dan tak seorangpun yang akan mengetahui
segala sepak terjangku. He…he…he…!”. Setelah
menanti beberapa saat lamanya, maka apa yang
dinanti-nantikannya mulai menampakkan hasil.
Gadis yang bernama Selasih itu menggeliat seperti
hendak terjaga, tetapi matanya tetap terpejam. La-
lu erangan-erangan lirih yang membangkitkan gai-
rah terdengar.
“Sekaranglah saatnya” gumam orang itu da-
lam hati.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, orang ini-
pun menghampiri dipan yang ditempati oleh Sela-
sih. Harum semerbak yang keluar dari tubuh sang
dara membuat tubuhnya bergetar menahan gejo-
lak nafsu yang mulai membakar. Dengan sangat
lembut dibelainya wajah gadis berkulit hitam ma-
nis ini. Kemudian terus meluncur ke bagian leher,
lalu menyelinap ke balik pakaian si gadis. Sampai
di sana jemari tangannya bermain-main sebentar
sambil menunggu reaksi. Gadis itu kembali mengerang lirih. Tangannya menggapai dengan mak-
sud merangkul.
“Kakang Mirja! Mengapa kau matikan lam-
pu…! Dan kau begitu berani memasuki kamar-
ku…!” desis si gadis. Menyangka bahwa orang
yang memasuki kamarnya merupakan kekasihnya.
“Diluar sana dingin…!” sahut sebuah suara
yang begitu mirip dengan suara Mirja.
“Bukankah tadi kau mengatakan badanmu
tidak enak? Pula selama ini kau begitu menjaga-
ku! Mengapa tiba-tiba menjadi nakal seperti ini…?”
tanya si gadis, sungguhpun saat itu dia mulai ter-
pengaruh pada rabaan jemari-jemari nakal yang
dia anggap kekasihnya. Namun dia masih berusa-
ha mengingatkan. Orang itu nampaknya tidak
perduli. Bahkan tangannya secara lebih berani lagi
meluncur lebih ke bawah lagi. Si gadis menggelin-
jang, suara erangan semakin jelas terdengar.
“Kak… kakang…! Kita belum waktunya ber-
buat seperti itu…!” rintih Selasih. Lalu menangkap
pergelangan tangan yang dia dianggap milik keka-
sihnya.
“Apakah kau mau mengecewakan aku…?”
tanya orang itu setengah kecewa.
“Aku tidak bermaksud begitu! Aku takut,
Sang Hyang Widi mengutuk kita berdua…!” desah
si gadis. Sementara tubuhnya menggeliat-geliat di-
bakar api asmara.
“Kalau kau tak mau, biarlah aku pergi se-
lama-lamanya…!” ancam suara itu. Ancaman itu
ternyata cukup berpengaruh pada si gadis. Se-
sungguhnya dia tak begitu merasa kuatir atas kata-kata si pendatang yang dianggap kekasihnya
itu. Sebab dia tahu betul Mirja begitu sangat men-
cintainya. Tak mungkin pemuda itu tega mening-
galkan dirinya. Tetapi karena ada sesuatu kekua-
tan aneh yang telah menguasai jiwa dan hatinya.
Maka diapun merasa tak kuasa membendung
keinginannya sendiri.
“Aku benar-benar segera meninggalkanmu!”
ulang orang itu.
“Jangan kakang…! Lakukanlah…!” desisnya
setengah merintih.
Mata orang itu nampak berbinar-binar begi-
tu mendengar ucapan si gadis. Tak ayal lagi den-
gan sangat leluasa orang itu segera melampiaskan
hasratnya. Selanjutnya hanya erangan dan rinti-
han yang terdengar. Dua insan itu kini sudah sal-
ing menyatu. Sementara itu di luar sana, bulan
maupun bintang sudah tak kelihatan sama sekali.
Seolah merasa enggan menjadi saksi atas perbua-
tan terkutuk itu.
Tatkala semuanya sudah berakhir, Selasih
menangis. Dia merasakan nyeri yang luar biasa di
bagian bawah perutnya. Tubuhnya lemah lunglai
tiada bertenaga. Di luar kesadarannya, perlahan-
lahan perubahanpun terjadilah. Tubuh tanpa pa-
kaian dan dalam keadaan terlentang itu menghi-
tam. Mula-mula dari bagian wajahnya. Tak lama
kemudian seluruh tubuhnya. Gadis itu menjadi
terkejut saat mana secara tak sengaja dia meraba
ke bagian dada dan perutnya. Kasar dan berbulu
lebat.
“Akgh… kakang Mirja…!” teriak Selasih begitu merasakan perobahan ujud dirinya sendiri.
Yang menyahuti bukanlah pemuda yang diha-
rapkannya. Melainkan sebuah suara serak me-
nyeramkan.
“Ha…ha…ha…! Mirja-mu sudah mampus
beberapa jam yang lalu. Yang berbaring di sisimu
ini adalah iblis, ya…iblis…! Ha…ha…ha…!”
Dengan gerakan reflek, gadis yang telah be-
rubah ujud itu melompat dari atas dipan. Matanya
melotot bagai mau melompat keluar. Namun kare-
na suasana di ruangan itu gelap gulita maka yang
terlihat hanyalah sosok tubuh hitam legam.
“Ja… jadi yang meng…oh…kakang Mirja…!
Setan alas…! Kau telah menghancurkan harga di-
riku…!” jerit gadis itu histeris. Laki-laki yang ter-
lentang di atas ranjang dengan sesungging senyum
puas segera bangkit dari atas dipan. Dengan suara
menggeledak dia berkata pada gadis yang telah be-
rubah ujud menjadi seekor monyet hitam berbulu
lebat.
“Kalaupun Mirja kekasihmu itu masih hi-
dup! Diapun tak mungkin sudi menikah dengan
seekor monyet sepertimu…!”
“Apa yang telah terjadi pada diriku…?”
tanya si gadis merasa kecut bukan kepalang.
“Ha…ha…ha…! Kau telah menjadi sosok
makhluk yang sama sepertiku. Kau atau siapapun
yang pernah berhubungan denganku, akan men-
jadi pembantu-pembantuku yang paling setia
sampai akhir hidup ini…!” kata orang yang telah
berubah menjadi seekor monyet hitam terus terge-
lak-gelak. Semakin bertambah terperangahlah gadis yang bernama Selasih itu dibuatnya. Kemudian
dia berlari-lari menyeruak keluar. Dihampirinya
ranjang yang ditempati oleh Mirja calon suaminya.
Di atas ranjang itu Mirja ternyata masih terbaring
di sana. Hanya tubuhnya telah berubah dingin
membeku, tanda orang yang sangat dicintainya te-
lah tewas beberapa waktu lamanya.
“Kakang Mirja…! Kakang… maafkanlah
aku…!” teriak Selasih tanpa henti-hentinya me-
nangisi mayat Mirja. Pada saat itu orang yang te-
lah berubah menjadi monyet hitam jantan nampak
menyeruak dari dalam kamar Selasih. Gadis yang
telah berubah menjadi seekor monyet inipun ter-
sentak. Saat itu berbagai perasaan sedang berke-
camuk di dalam hatinya.
“Kau…kau… iblis pengecut…! Kau telah
menghancurkan hidupku…!” bentaknya. Lalu me-
langkah mundur dan menjauh, tetapi monyet hi-
tam penjelmaan si penyusup terus melangkah
mendekati
“Siapa yang menghancurkan hidupmu? Ja-
lan nasibmu memang sudah menentukan kau ha-
rus menjadi pembantuku…!”
“Aku tidak mau…!” bantah gadis itu.
“Engkau pasti mau! Lihatlah…lihatlah ke-
mari…!” kata si monyet hitam pada monyet pen-
jelmaan Selasih. Mula-mula monyet penjelmaan
Selasih bersikeras tidak mau menuruti apa yang
dikatakan oleh orang itu. Tetapi lama kelamaan
seperti ada satu kekuatan gaib yang telah memak-
sanya untuk menoleh dan memandang pada mo-
nyet hitam. Diapun menjadi kaget, mata orang itu
menyorot tajam, yang membuat merinding bulu
kuduk gadis itu karena sepasang mata yang me-
mandang tiada berkedip itu berwarna merah me-
nyala.
“Sampai kapanpun kau harus menghormat
dan menuruti segala perintahku. Karena aku ini
merupakan majikanmu…junjunganmu…! Menger-
tikah kau…!” kata orang itu berpengaruh.
“Saya mengerti majikan…!” jawab Selasih,
secara tiba-tiba mengikuti segala apa yang dikata-
kan oleh orang itu.
“Nah! Gubuk ini bukan tempat tinggalmu,
kita mempunyai tempat tinggal yang jauh lebih
menyenangkan di hutan sana! Sekarang juga kita
pergi ke sana…!” kata si pendatang. Kemudian
dengan diikuti oleh monyet hitam penjelmaan Se-
lasih. Keduanya lenyap dalam kegelapan malam.
***
DUA
Kalangan persilatan menjadi gempar dengan
kemunculan tokoh yang mengaku dirinya sebagai
Iblis Pemburu Perawan. Sepak terjangnya yang
membuat heboh dan telah pula menimbulkan ba-
nyak korban jiwa. Meresahkan para pemimpin de-
sa, sesepuh bahkan sampai pada orang tua yang
memiliki anak gadis berwajah cantik jelita. Hampir
setiap malam penculikan terjadi, dan yang menjadi
sasarannya terutama sekali gadis-gadis dari berbagai desa. Sayangnya mereka yang menjadi sasa-
ran penculikan itu, tak seorangpun yang pernah
kembali ke daerahnya. Para gadis-gadis itu lenyap
begitu saja. Tiada meninggalkan tanda-tanda da-
lam bentuk apapun. Seolah mereka lenyap ditelan
bumi. Dengan tidak ditemukannya mayat maupun
bukti lain hal ini malah membuat cemas para
orang tua yang merasa kehilangan anaknya.
Hampir setiap malam secara bergantian pa-
ra penduduk melakukan ronda. Bahkan tak ke-
tinggalan kepala desa dan para guru silat secara
teratur melakukan pengintaian. Namun sejauh itu
mereka masih belum berhasil menemukan jejak
siapakah sesungguhnya orang yang telah mengaku
sebagai Iblis Pemburu Perawan itu. Adakah dia
merupakan seorang manusia biasa, hantu bergen-
tayangan, atau sosok lain yang tiada kelihatan. Se-
jak terjadinya peristiwa penculikan demi penculi-
kan itu. Berada di daerah manapun apalagi berke-
liaran malam hari. Pasti akan menjadi orang yang
dicurigai, ditangkap bahkan dibunuh tanpa me-
nunggu pengadilan dari orang yang berwenang.
Pembunuhan yang dilakukan oleh penduduk yang
merasa desanya diganggu oleh Iblis Pemburu Pe-
rawan ini sudah kerap kali terjadi. Tak jarang
orang-orang yang tiada memiliki kesalahan apa-
apa menjadi sasaran mereka.
Malam itu Desa Mekar Sari sebagaimana
desa-desa tetangganya terlihat sunyi sepi. Hampir
setiap pintu rumah penduduk tertutup rapat, pa-
dahal malam baru saja menunjukkan jam sembi-
lan malam. Walaupun desa itu bagai mati tiada
berpenghuni, namun di setiap sudut jalan atau
tempat-tempat tertentu, beberapa penduduk desa
yang terdiri dari laki-laki berumur tiga puluhan te-
tap saja melakukan penjagaan sebagaimana bi-
asanya. Tidak terdapat tanda-tanda Iblis Pemburu
Perawan bergentayangan malam ini.
"Sudah hampir delapan hari desa kita ini
aman. Aku terkadang berpikir sendiri, mungkin
orang atau makhluk apapun yang menamakan di-
rinya sebagai Iblis Pemburu Perawan tak bakal be-
rani muncul menyantroni daerah kita...!" di salah
satu sudut jalan seorang laki-laki berkata pada
kawannya.
"Mulutmu jangan bicara sembarangan, Kar-
so Broco...!" ujar salah seorang yang duduk di atas
batu dalam kegelapan itu. "Dia bisa datang seperti
setan! Kapan saja dia mau." sambungnya marah.
"Aku membicarakan kenyataan, siapapun
tahu sudah beberapa malam ini si Iblis itu tak
muncul...!"
"Sore tadi aku dapat kabar, malam tadi desa
sebelah menjadi sasaran orang itu. Bahkan dua
orang gadis cantik dilarikannya sekaligus...!" kata
lainnya menimpali.
"Kau tahu anak siapa yang diculik oleh
orang itu...?" tanya Karso Broco.
"Yang satunya murid perguruan Lintang
Kembar, sedang lainnya anak kepada desa...!" ja-
wab orang itu, lalu menarik nafas berat. Masing-
masing mereka yang berada di situ sama-sama
terdiam.
"Ketua Perguruan Lintang Kembar aku ken
al sebagai sahabat baiknya Ki Bayan. Bahkan Ke-
pala Desa Jati Mulya seperti sama-sama kita keta-
hui merupakan adik kandung Kepala Desa kita, Ki
Pragawa." komentar Karso Broco yang mengetahui
lebih banyak tentang desa sebelah.
"Seingatku, murid kakang Giri Wisa yang
bernama Nawang Wulan itu merupakan seorang
gadis yang sangat cantik. Bahkan banyak pemuda
di daerah itu yang tergila-gila padanya...!"
"Selain cantik, juga memiliki kepandaian si-
lat yang sangat tinggi. Bahkan kepandaiannya me-
lebihi gurunya sendiri...!" komentar lainnya mem-
benarkan.
"Semua itu karena dia belajar dari berbagai
perguruan. Tapi bagaimana mungkin gadis yang
memiliki kepandaian tinggi seperti Nawang Wulan
bisa dilarikan oleh Iblis Pemburu Perawan...?"
Suasana hening sejenak, hanya terdengar
bunyi jengkerik yang memperdengarkan suara
merdu.
"Kenyataan itu menandakan bahwa orang
yang berjuluk Iblis Pemburu Perawan, pastilah
seorang manusia yang memiliki kepandaian yang
luar biasa...!" Karso Broco coba-coba menarik ke-
simpulan.
"Ah, mudah-mudahan kampung kita aman-
aman saja untuk hari-hari selanjutnya..." kata
yang seorang lagi merasa ngeri sendiri.
"Tooo...tolooong...!"
Belum lagi hilang perasaan was-was di hati
mereka, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang
wanita. Lalu disusul dengan suara bunyi kentongan. Karso Broco dan tiga orang kawannya bagai
tersentak dari sebuah mimpi buruk menakutkan.
Dengan senjata terhunus mereka segera berlari-
lari ke arah datangnya suara.
"Nampaknya suara tadi berasal dari rumah-
nya Ki Pragawa Kepala Desa kita...!" kata mereka
lalu mempercepat larinya. Setelah melewati bebe-
rapa tikungan, sampailah mereka di rumah kepala
desa. Rumah itu penuh sesak oleh penduduk desa.
Empat orang peronda malam yang dipimpin oleh
Karso Broco segera bergabung dengan penjaga
lainnya. Setelah terjadi pembicaraan singkat, maka
Karso Broco segera menyeruak di tengah-tengah
orang banyak dan langsung menemui Ki Pragawa
yang sedang berusaha membujuk istrinya di ruan-
gan tengah.
"Apa yang telah terjadi, Ki...!" tanya Karso
Broco setelah membungkuk hormat pada kepala
desanya. Hanya sesaat saja Ki Pragawa meman-
dang kehadiran Karso Broco, Musang Leman dan
sepuluh orang kawannya, selebihnya kembali pada
istrinya yang terus saja terisak tiada henti.
"Aku mau anakku selamat! Suryaningsih...
dia harus kembali padaku...!'
"Aku juga menghendaki begitu, tapi coba
bawa bertenang dulu. Kita membutuhkan waktu
untuk menemukannya...!" jawab si Kepala Desa
pelan, namun menyimpan kesedihan yang dalam.
"Apa masihkah kakang tunggu waktu! Iblis
itu pasti tak mungkin membiarkan Suryaningsih
hidup. Atau setidak-tidaknya... oh... dia bisa men-
jadi orang yang kehilangan harga diri...!"
"Kita akan mencarinya, Nyai... tapi biarkan
aku bicara dulu dengan Musang Leman...!" kata Ki
Pragawa. Kemudian laki-laki itu melambaikan tan-
gannya pada Musang Leman dan Karso Broco.
Yang dipanggil segera menghadap.
"Apa sebenarnya yang telah terjadi, Ki...?"
tanya Karso Broco beberapa saat setelah mereka
sama-sama duduk di atas sebuah tikar permadani.
Ki Pragawa nampak menarik nafas panjang, wa-
jahnya tengadah memandang lepas pada langit-
langit ruangan itu. Sekejap kemudian dipandan-
ginya belasan penjaga malam yang kini duduk
berkeliling membentuk sebuah lingkaran.
"Anakku Suryaningsih telah diculik oleh Ib-
lis itu di dalam kamarnya...!" ujar Ki Pragawa ter-
sendat. Semua mata yang hadir di ruangan itu
nampak terbelalak seakan tak percaya. Bagaimana
mungkin hal itu bisa terjadi. Sedangkan penjagaan
dilakukan sedemikian ketatnya. Tapi pada kenya-
taannya Suryaningsih puteri Ki Pragawa masih ju-
ga dapat dilarikan oleh Iblis Pemburu Perawan.
Hal ini lebih membuktikan lagi, bahwa Iblis itu ter-
lebih nekad lagi dalam melakukan aksinya. Untuk
apa dan dibawa ke mana gadis-gadis yang diculik-
nya itulah yang menjadi pertanyaan dalam hati se-
tiap orang.
"Apakah Bapak Kepala Desa melihat bagai-
mana rupa orang yang telah membawa lari Surya-
ningsih...?" tanya Musang Leman diliputi rasa
keingintahuan. Ki Pragawa gelengkan kepalanya
berulang-ulang.
"Sama sekali aku tak melihatnya! Tapi
mungkin istriku yang melihatnya...!" katanya, lalu
memandang istrinya. Yang ditanya usap-usap ma-
tanya yang basah dan bengkak, nampak sekali da-
ri raut wajahnya kalau perempuan berusia empat
puluh lima tahun itu berusaha tabah.
"Ak... aku hanya melihat setelah mendengar
suara Suryaningsih. Itupun hanya bagian bela-
kangnya saja...!" ucapnya dengan suara tersendat-
sendat.
"Bagaimanakah rupanya orang itu, Nyai...!"
desak Karso Broco.
"Orang yang melarikan anakku bertubuh
pendek. Seluruh tubuhnya berwarna hitam.
Mungkin juga berbulu mirip monyet yang besar.
Dia hanya menoleh sebentar, dan aku melihat se-
pasang matanya merah menyala bagai bara...!" tu-
tur istri Kepala Desa. Seraya langsung menutupi
matanya dengan kedua belah tangannya.
"Kalau begitu Iblis Pemburu Perawan meru-
pakan seekor binatang yang menjijikkan! Kita ti-
dak bisa tinggal diam... kalau perlu sekarang juga
kita cari Suryaningsih...!" kata mereka beramai-
ramai.
"Ke mana kita akan mencari orang itu dan
anakmu malam-malam begini. Jangan-jangan kita
malah menjadi korbannya yang kesekian...!" tukas
Karso Broco merasa gentar.
"Percuma saja kau pernah menjadi murid-
ku, kalau hanya untuk berkorban sedikit saja eng-
kau enggan...!"
"Bukan begitu...!"
"Sudah! Aku tak mau mendengar semua
alasanmu! Kalau kau tak mau ikut pergi dengan
kami. Cepatlah engkau menyingkir dari hadapan-
ku, sebelum aku berobah pendirian!" bentak Ki
Pragawa, dalam kepanikan itu emosinyapun sudah
tak terbendung lagi.
"Janganlah bersikap begitu, bapak yang
saya hormati! Walau bagaimanapun saya tetap
membantu bapak...!"
"Bagus, kalau kau memang masih mempu-
nyai nyali dan memandang muka padaku...!" kata
Ki Pragawa lalu tersenyum kecut. Setelah memper-
siapkan segala sesuatunya dan pamitan pada sang
istri, berangkatlah serombongan berkuda yang di-
pimpin langsung oleh Ki Pragawa.
***
TIGA
Guruku dulu pernah bilang! Jadikanlah
alam di sekelilingmu bagai seorang sahabat sejati.
Karena sesungguhnya ia merupakan hidup dan
kehidupan bagi dirimu!" terdengar satu suara dari
dalam sebuah gua yang berukuran tidak begitu
besar.
"Paman pasti akan mengatakan bahwa ka-
kek Bangkotan Koreng Seribu yang telah memberi
petuah seperti itu...!" sambut satu suara merdu.
"Yah... kuanggap apa yang pernah dikata-
kannya merupakan suatu kenyataan yang tidak
bisa dipungkiri...! Karena hidup walau bagaimana
pun ujudnya mempunyai saling ketergantungan
antara yang satu dengan lainnya...!"
"Sampai kapan paman mempertahankan
prinsip seperti itu...?" tanya si gadis yang memiliki
sifat keibuan ini sambil menambahkan kayu bakar
di atas unggun yang berada tidak begitu jauh di
depan mereka.
"Seharusnya bukan aku saja, tetapi juga
kau, juga kalangan persilatan dari berbagai golon-
gan...!"
"Kalau semua orang yang ada di kolong lan-
git ini memiliki satu prinsip dan satu hati. Tentu
tak ada peperangan, saling bunuh, fitnah memfit-
nah dan sebagainya!" pemuda berpakaian merah
berambut di kuncir ini nampak tersenyum-
senyum. Lama sekali di pandanginya wajah jelita
yang berada tidak begitu jauh darinya. Semakin
lama ia memandangi wajah polos tanpa dosa ini,
maka getar-getar di hatinyapun kian membuncah.
"Wanty... kau seorang gadis yang sangat cantik,
keibuan, berpikiran cerdas bahkan penuh penger-
tian. Pantasnya kau merupakan anak seorang raja,
ataupun keluarga terhormat. Kemudian sebagai
pendampingmu seorang pangeran yang gagah.
Sayang kepadamu, dan memberimu cinta dengan
segenap jiwa raganya. Tapi apa yang kau hadapi
merupakan kenyataan yang sebaliknya. Hidupmu
dipenuhi dengan berbagai penderitaan. Bahkan
sebagaimana halnya dengan diriku, engkaupun
tak memiliki orang tua. Tapi mengapa justru kau
perpanjang penderitaan hidupmu dengan kau ta-
nam harapan cinta dariku. Apa yang dapat kau
harapkan dari manusia gembel sepertiku. Sung-
guhpun engkau mencintai aku dan akupun menci-
taimu, tetapi aku malah lebih senang pabila eng-
kau hidup dengan orang yang dapat memberimu
segala-galanya." batin si pemuda. Diam-diam
Buang Sengketa mulai dicekam rasa keraguan.
"Paman...!" desah Wanti Sarati setelah bebe-
rapa saat mereka saling beradu pandang.
"Hmm...!"
Wanti Sarati geser duduknya mendekat ke
sisi Pendekar Hina Kelana.
"Apakah paman masih menganggapku se-
bagai seorang bocah...?" tanya si gadis dengan ta-
tapan sendu.
"Apakah hatimu sendiri pernah berkata de-
mikian...?" Buang Sengketa malah balik bertanya.
Wajah gadis berlesung pipit itu memerah, saat
mendengar kata-kata si pemuda.
"Terkadang aku merasa begitu. Aku sering
teringat apa yang paman katakan ketika paman
hendak menitipkan aku pada kakek Satria Pengga-
li Kubur. Padahal usiaku saat itu sudah hampir
delapan belas tahun...!"
"Aku bukan menitipkanmu padanya, aku
hanya ingin agar kau menimba semua kepandaian
yang dia miliki. Wanti... dunia persilatan selalu tak
ramah terhadap kaum wanita. Apalagi terhadap
gadis cantik sepertimu, aku takut sesuatu yang
tak baik bakal menimpamu, andai kau tak memili-
ki kepandaian yang sangat tinggi...!" ujar si pemu-
da begitu polos.
"Apakah semua itu bukan dalih paman,
agar aku tak mengikutimu ke manapun paman
pergi…?"
"Wanti, engkau tak boleh mempunyai pra-
sangka buruk seperti itu terhadapku! Engkau tak
pernah tahu apa yang sedang kupikirkan...!"
"Paman hanya ingin mengatakan bahwa
saat ini di bagian timur nusantara sedang terjadi
malapetaka besar dengan munculnya seorang to-
koh yang mengaku sebagai Iblis Pemburu Pera-
wan...?" sergah Wanti Sarati seolah sudah menge-
tahui duduk persoalannya.
"Hidup ini tanpa terasa sebenarnya begitu
singkat. Dan kita baru dapat merasakan betapa
berartinya hidup kita andai kita bisa berbuat ba-
nyak untuk orang lain!" kata si pemuda tanpa
menghiraukan ucapan gadis berambut panjang di
sisinya.
"Benarkan seperti yang kukatakan, paman
ingin mengatakan padaku tentang para orang tua
yang kehilangan anak gadisnya. Dan pembunu-
han-pembunuhan itu! Lalu paman segera ingin ke
sana...!" desak Wanti Sarati dengan wajah meme-
rah menahan gundah. "Wanti...!"
"Paman...! sergah Wanti Sarati. "Aku tahu
bagi paman kehadiranku tidak memiliki arti apa-
apa. Semestinya sejak dulu aku menyadari hal ini,
yah... terkadang aku terlalu mengikuti perasaan-
ku. Ah... betapa bodohnya gadis yang bernama
Wanti Sarati itu. Mengapa aku begitu besar mena-
ruh harapan pada seseorang. Padahal kehadiran-
ku mungkin hanya menjadi beban buat paman...!"
tiada tertahankan lagi gadis cantik berlesung pipit
itupun terisak-isak.
"Wanti...! Kau terlalu berprasangka buruk
kepadaku...! Kau tak pernah mau mengerti betapa
akupun sering memikirkan dirimu. Bahkan aku-
pun begitu sayang padamu. Tetapi untuk cinta
dan hidup bersamamu, itu belum dapat ku-
laksanakan sebelum aku berjumpa dengan ayahku
Raja Piton Utara. Aku bisa mati penasaran, sean-
dainya seumur hidup aku tak pernah bertemu
dengan salah seorang dari mereka yang telah me-
nyebabkanku terlahir ke dunia ini...!" ujar Buang
Sengketa, sementara sepasang matanya meman-
dang sendu pada si gadis yang sangat dicintainya.
Wajah cantik polos seolah tanpa dosa ini nampak
memerah, lalu dibuangnya pandangan matanya
jauh-jauh ke luar gua yang pekat berselimut ma-
lam. Hatinya menjadi resah. Ada sesuatu yang in-
gin dikatakannya, tapi ia tak kuasa untuk mela-
kukannya.
"Maafkan paman, Wanti...! Semestinya tidak
kukatakan itu padamu...!" kata si pemuda dengan
wajah tertunduk. Sekali lagi, Wanti Sarati dengan
berani menggeser punggungnya. Sehingga kini ke-
duanya sudah saling berdekatan sekali.
"Paman tidak bersalah-apa-apa! Bahkan se-
layaknya aku membantu paman dalam mengatasi
semua persoalan yang paman hadapi. Terkadang
aku menyadari bahwa diriku ini egois dan mau
menang sendiri...!" tukas si gadis menyesali diri.
"Sudahlah jangan kita sesali diri masing-
masing. Malam begitu larut, ada baiknya kalau ki-
ta istirahat...!"
Buang Sengketa lalu membelai rambut
Wanti Sarati yang panjang, dan Wanti Sarati-pun
merebahkan kepalanya di dada si pemuda yang
bidang.
"Aku takut, paman meninggalkan aku la-
gi...!" kata gadis itu sambil memperhatikan wajah
si pemuda tampan.
"Aku tak akan meninggalkanmu lagi..."
"Betulkah, paman...?" tanya si gadis mera-
gu.
"Hmmm... yaaa...!"
Sekali lagi dibelainya rambut si gadis yang
panjang mengurai. Gadis itu bergelayut manja. Ke-
tika pandangan mereka saling bertemu, Buang
Sengketa melihat sepasang mata si gadis yang be-
gitu indah nampak meredup. Sementara pemuda
itu dapat merasakan dada Wanti Sarati berdegup
kencang. Perlahan pemuda keturunan Raja Bu-
nian ini menundukkan wajahnya. Ketika wajah
kedua orang itu saling mendekat, Wanti dapat me-
rasakan hangatnya hembusan nafas si pemuda
menyapu wajahnya. Entah bagaimana mulanya,
sekarang bibir mereka saling menyatu. Ciuman
hangat yang begitu mesrapun berlangsung. Wanti
Sairati merintih, sebuah rintihan manja, dari se-
buah hati yang kering akan kasih sayang. Ketika
gadis berlesung pipit itu semakin mempererat pe-
lukannya, pemuda berwajah tampan itupun berbi-
sik.
"Jangan turuti kehendak nafsu hewani, ka-
rena kita bisa terjerumus ke lembah paling hina...!"
"Aku tahu, bahkan aku yakin paman pasti
tak akan melakukannya...!" desah si gadis, kemu-
dian melepaskan pelukannya.
"Kau marah...?" tanya si pemuda bimbang.
Wanti Sarati gelengkan kepalanya.
"Aku tak pernah marah, paman...! Justru
aku merasa bangga, ternyata paman tetap seperti
dulu. Begitu menghargai ketulusan cinta seorang
wanita…!" jawab si gadis terharu.
"Nah sekarang tidurlah...! Besok kita sudah
harus meneruskan perjalanan lagi" kata si pemu-
da.
Dengan berbantal tangannya sendiri, pe-
muda itupun akhirnya terlelap dalam waktu yang
tidak begitu lama. Lain halnya dengan gadis yang
berbaring di sebelahnya. Walaupun dia sudah be-
rusaha untuk memejamkan matanya, namun sulit
sekali baginya untuk terlelap. Entah mengapa ha-
tinya gelisah. Padahal api unggun yang ia pasang
sejak sore telah padam sama sekali. Sebentar-
sebentar diliriknya Pendekar Hina Kelana yang su-
dah pulas sejak tadi.
"Heran sekali, mengapa hatiku menjadi se-
gelisah ini, padahal waktu-waktu sebelumnya se-
jak aku bertemu dengan dia aku tak lagi menga-
lami hal seperti ini. Tapi naluriku mengatakan ada
sesuatu yang tidak terlihat bergentayangan di luar
sana...!" gumam si gadis berlesung pipit. Diam-
diam ia bangkit dari tidurnya. Memperhatikan
keadaan di luar gua, suasananya tidak jauh beda
dengan tempat mereka berada saat itu. Tapi Wanti
Sarati mencoba terus mengawasi keadaan di luar
sana.
"Tidak terdengar sesuatu yang mencuriga-
kan di dalam sana, namun mengapa sekarang ini
bulu kudukku malah meremang...?"
"Sreeeek...!"
Terdengar suara semak-semak terinjak. Ta-
pi ketika Wanti Sarati mempertajam pendengaran-
nya. Suara mencurigakan itu sudah tak terdengar
lagi.
"Aku harus tahu siapa sesungguhnya yang
berada di luar sana! Tapi ada baiknya kalau ku-
tinggalkan pesan pada paman Kelana...!" batin si
gadis. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, da-
lam suasana yang begitu gelap, gadis berlesung pi-
pit ini mengguratkan jari-jari tangannya pada
dinding gua. Karena ruangan gua yang tidak begi-
tu besar ini dalam keadaan gelap gulita, maka di-
apun hanya mengandalkan perasaan belaka. Sele-
sai menuliskan pesan di dinding gua, Wanti Sarati
menghampiri Buang Sengketa yang masih terlelap,
dengan tubuh gemetaran dan memendam pera-
saan malu, sekali lagi diciumnya kening si pemu-
da.
"Aku tak ingin mengusik ketenangan tidur-
mu, kekasih...! Tapi aku harus tahu apa yang ter-
jadi di luar sana...!" bisik gadis berlesung pipit. Se-
telah memandangi Buang Sengketa sejenak la-
manya, Wanti Sarati membalikkan langkahnya.
Dengan cara berjingkat-jingkat si gadis melangkah
mendekati pintu gua. Sesampainya di depan sana
gadis itu mengitarkan pandangannya ke segenap
penjuru.
"Ah... pohon itu bergerak-gerak! Siapapun
adanya orang itu, pastilah memiliki tujuan yang ti-
dak baik...!" gumam si gadis. Selanjutnya dengan
gerakan yang sangat ringan tanpa menimbulkan
suara sedikitpun, gadis inipun melesat ke sana.
Dugaannya ternyata memang tepat, belum lagi dia
sampai di tempat itu. Nampak sosok bayangan tu-
buh berkelebat menjauh.
"Heii... tunggu...! Pengintai sialan... tung-
gu...!" teriak Wanti Sarati, bergerak melakukan
pengejaran. Orang yang dikejar oleh si gadis ber-
pakaian putih berbadan tinggi melebihi ukuran
normal, tapi gerakan ilmu larinya tidak begitu ce-
pat. Lebih tepatnya lamban. Lain lagi halnya den-
gan Wanti Sarati yang telah belajar dari beberapa
tokoh sakti, yang tidak perlu lagi diragukan ke-
mampuannya. Maka tak sampai sepemakan sirih
dalam melakukan pengejaran. Pemuda berbadan
raksasa inipun telah tersusul.
"Berhenti, kataku...!" teriak si gadis merasa
kesal. Namun orang yang berada tak begitu jauh di
depannya tiada memperdulikan orang yang menge-
jarnya. "Brengsek! Orang itu perlu diberi pelaja-
ran...!" batin si gadis. Sambil berlari-lari, Wanti Sa-
rati memungut ranting kering sebesar lengan bayi.
"Hihh...!"
Dengan kesal disambitkannya ranting itu
mengarah ke bagian kaki laki-laki berbadan raksa-
sa itu.
Weeeer...!
Terdengar suara mendengung, manakala
ranting kayu itu meluncur deras ke arah sasaran
nya.
Bletaak...!
Guusruuuk...!
Tubuh laki-laki berbadan luar biasa itu ter-
banting roboh, saat mana kayu yang disambitkan
dengan mengerahkan sepertiga tenaga dalam me-
labrak kakinya.
Jliiikgh...!
Dengan sekali lompatan, tubuh gadis berle-
sung pipit ini telah pula berada satu tombak di de-
pan pemuda itu.
"Banguun...!" perintah si gadis dengan sikap
waspada.
"Arrrrgkh...!" terdengar satu erangan kesaki-
tan dari bibir si raksasa.
Duuuk...!
Satu tendangan yang cukup keras meng-
hantam bagian rusuk kanan si raksasa. Orang itu
kembali merintih. Tapi tubuhnya tiada bergeming
sedikitpun.
"Sekarang kau harus katakan, mengapa
kau bersembunyi di depan gua yang kami tempa-
ti...!" sentak Wanti Sarati mengancam.
"Aku... aku hanya...!" pemuda bertubuh
raksasa itu tergagap.
Deees...!
Arrggkh...!
Lagi-lagi pemuda berbadan raksasa itu
menjerit, sambil mendekap perutnya yang terasa
mual bagai diaduk-aduk.
"Ak... aku hanya ingin mencari seseo-
rang...!" kata pemuda itu. Kedua tangannya menggapai dan berusaha bangkit berdiri.
"Cepat katakan! Siapa kau ini, apa yang kau
cari di depan gua sana? Sebelum kesabaranku be-
nar-benar habis...!"
"Dan kau sendiri siapa...?" pemuda bertu-
buh raksasa itu malah badik bertanya.
"Eeh... kurang ajar! Ditanya malah balas
bertanya! Jawab dulu pertanyaanku...!" pemuda
itu garuk-garuk kepalanya. Mulutnya menyeringai,
tetapi sorot matanya seperti menyimpan duka yang
dalam.
"Ak... aku sedang mencari saudaraku...!"
"Saudaramu...!" sergah Wanti Sarati tak
percaya. "Jangan coba-coba membohongiku den-
gan alasan-alasan yang tak benar. Aku bisa mem-
bunuhmu...!" sentak gadis berlesung pipit ini men-
gancam.
"Sumpah kelenger, aku tak pernah berbo-
hong pada siapapun...!" jawab si pemuda begitu
serius.
"Hem. Aku percaya! Nah sekarang katakan
semuanya...!" perintah Wanti Sarati. Sementara di
langit timur nampak sang lazuardi merona merah.
"Namaku Duwur...!"
"Sebuah nama yang sangat jelek sekali..."
komentar Wanti Sarati dengan sikap acuh. Tetapi
pemuda raksasa yang memiliki nama Duwur ini ti-
dak memberikan reaksi apapun. Sebaliknya dia
melanjutkan ucapannya:
"Aku sedang mencari saudaraku yang ber-
nama Cindek! Dan berusaha menyelamatkan nya-
wa dari kejaran guru sendiri...!"
Membelalak sepasang mata si gadis demi
mendengar apa yang dikatakan oleh pemuda ber-
tubuh tinggi bernama Duwur itu. Apa yang dikata-
kan oleh si pemuda benar-benar satu kejutan yang
tiada disangka-sangka.
"Mencari saudara, sementara nyawamu
sendiri dalam keadaan terancam oleh guru sendi-
ri...? Satu lelucon yang tidak lucu. Atau engkau ini
jenisnya manusia yang berotak miring rupanya...?"
sentak Wanti Sarati tersenyum mencibir. Begitu
nampaknya si pemuda tiada merasa tersinggung
oleh kata-kata si gadis yang begitu menusuk pera-
saannya.
"Apapun yang Nisanak katakan tentang
aku, itu bukan soal. Yang jelas saat sekarang ini
dunia persilatan bakal ditimpa malapetaka yang
sangat besar karena ulah adik seperguruanku...!"
"Apa...? Bicaramu semakin ngaco belo tak
karuan...!" kata Wanti Sarati sambil tergelak-gelak.
"Nisanak! Kalau anda tidak percaya dengan
apa yang kukatakan, lebih baik aku pergi saja...!"
pemuda bertubuh tinggi mirip raksasa ini merajuk.
Kemudian tanpa basa-basi lagi diapun berbalik
langkah.
"Eiiit, tunggu...! Rupanya walaupun badan-
mu lebih besar dari gentong, tetapi engkau masih
punya kebiasaan merajuk seperti anak kecil,
heh...!" cibir si gadis.
"Aku hanya merasa tak seorangpun yang
sudi mendengar keluhanku. Banyak orang di ja-
lan-jalan sana menganggapku telah gila, ketika
mendengar apa yang kukatakan...!" kata si Duwur
putus asa.
"Oh begitu! Baiklah, sekarang aku ingin
mendengar tentang segala apa yang ingin kau ka-
takan. Nah teruskanlah...!" kata Wanti Sarati.
"Guruku bernama Alot Roso, selama ini
tinggal di Bukit Gagu bersama dua orang murid-
nya, yaitu aku dan adi Cindek...! Namun selama
menjadi muridnya aku tak pernah mendapat pela-
jaran apa-apa. Terkecuali melakukan tugas-tugas
berat yang tidak ada hubungannya dengan ilmu si-
lat, sebagai guru kakek Alot Roso memang tidak
pernah mengajari aku ilmu silat seperti yang di-
ajarkan kepada adik seperguruanku si Cindek.
Mereka memang mempunyai watak yang sangat
aneh, semua ilmu yang dimiliki oleh guruku dibe-
rikannya pada adi Cindek. Tapi aku tak pernah
merasa iri! Bahkan selama sepuluh tahun aku di-
angkat menjadi murid, aku tidak memiliki kepan-
daian apa-apa! Sementara adi Cindek telah berha-
sil mempelajari berbagai ilmu aneh dari kakek Alot
Roso. Di luar sepengetahuanku, kiranya adi Cin-
dek belajar ilmu sesat pula dari kakek Alot Roso.
Ilmu sakti itu benar-benar dapat membahayakan
keselamatan orang banyak...! Bahkan sekarang ini
gejalanya sudah mulai nampak...!"
"Apa maksudmu...?" tanya Wanti Sarati se-
makin tidak mengerti.
Yang ditanya nampak menarik nafas pan-
jang-panjang. Selanjutnya secara singkat ia men-
ceritakan tentang sepak terjang adik seperguruan-
nya.
"Jadi orang yang menamakan dirinya seba
gai Iblis Pemburu Perawan, sesungguhnya meru-
pakan adik seperguruanmu...?"
Si Duwur anggukkan kepalanya beberapa
kali.
"Benarkah dia berburu perawan-
perawan...?" tanya Wanti Sarati merasa ngeri.
"Ya... begitulah kenyataannya seperti apa
yang kulihat dalam buku sesat yang tersimpan di
salah satu tempat tidak begitu jauh dari Bukit Ga-
gu...!"
"Lalu untuk apa adik seperguruanmu me-
ngumpulkan perawan-perawan itu...?" tanya si ga-
dis polos. Sementara demi mendengar pertanyaan
Wanti Sarati, wajah si Duwur terasa panas bagai
terbakar.
"Aku sungkan mengatakannya padamu, Ni-
sanak...! Tingkah adik seperguruanku itu sungguh
memalukan dan pantas mendapat kutukan dari
Sang Hyang Widi...!" gumam si Duwur dengan wa-
jah tertunduk lesu. Nampaknya Wanti Sarati yang
berpikiran cerdas ini sudah dapat mulai meraba
apa maksud dari kata-kata yang dikatakan oleh
lawan bicaranya.
"Perbuatan yang sangat keji! Tapi...!" sesaat
si gadis terdiam dan membuang pandangan ma-
tanya jauh-jauh. "Apakah selamanya adik sepergu-
ruanmu yang sesat itu akan melakukan penculi-
kan?" lanjut si gadis harap-harap cemas.
"Tentu saja! Sebab semakin banyak dia
dengan hasil culikannya. Maka dia akan menjadi
tokoh sakti yang tak dapat dikalahkan oleh pihak
manapun...!" jawab si Duwur merasa semakin tak
enak.
"Gila... ini merupakan sebuah kenyataan
yang sangat gila...! Segala sepak terjangnya harus
segera dihentikan...!"
"Siapa yang mampu menghentikannya, Ni-
sanak...?"
"Kok kau malah bertanya padaku...! Guru-
mu yang telah mewariskan ilmu sesat itu pada
adik seperguruanmu. Maka gurumu pula yang ha-
rus mencabutnya kembali...!" sentak Wanti Sarati
gusar.
"Tak mungkin, nisanak...! Saat aku membe-
ri kabar tentang adi Cindek saja ia malah tergelak-
gelak. Bahkan katanya dia telah berhasil mewa-
riskan sebuah ilmu langka yang tiada tanding.
Nampaknya dia merasa bangga dengan ke-
berhasilannya yang didapat oleh adik Cindek. Ke-
tika aku protes tentang kekeliruan yang telah di-
perbuatnya, dia malah berbalik dan ingin membu-
nuhku...!" kata si pemuda dengan mimik ketaku-
tan.
"Guru gila... muridnya sinting...! Untung
engkau tidak terseret-seret menjadi murid yang
kurang waras...! Kau harus bersyukur pada Sang
Hyang Widi...!" gumam si gadis hampir tak terden-
gar sama sekali.
"Apakah nisanak bersedia menolongku da-
lam mencari Iblis Pemburu Perawan?" tanya si
Duwur dengan niat sungguh-sungguh.
"Menurutmu setiap bergaul dengan pera-
wan, adik seperguruanmu menjadi semakin sak-
ti...!" ucap si gadis tanpa merasa sungkan lagi.
"Memang betul...!"
"Nah apakah kau pikir aku mampu menan-
dingi kesaktiannya...?"
"Kita belum mencobanya...!" jawab si Duwur
begitu tenang.
"Baiklah, tapi aku harus membicarakan
persoalan ini pada pamanku...!" komentar Wanti
Sarati menyanggupi.
"Dimanakah paman nisanak...?"
"Jangan cerewet! Mari ikut aku, mudah-
mudahan saja dia masih berada di dalam gua
itu...!"
Wanti Sarati dan si Duwur berbalik langkah
menuju goa yang mereka huni selama beberapa
hari ini.
***
EMPAT
Rombongan berkuda yang dipimpin oleh Gi-
ri Wisa Ketua Perguruan Lintang Kembar dan Ke-
pala Desa Jati Mulya, Ki Laksono. Saat itu mereka
sudah sampai di pinggiran hutan sungai Buluh.
Namun sejauh perjalanan yang mereka tempuh,
masih belum ada tanda-tanda ditemukannya Na-
wang Wulan muridnya dan juga putri Ki Laksono.
Giri Wisa memperlambat lari kudanya, sebentar-
sebentar Ketua Perguruan Lintang Kembar ini
memandang lurus ke arah jalan di depannya. Di-
lain saat dia menoleh ke belakang. Lima orang murid dengan setia terus mengikuti beberapa tombak
di belakangnya. Sementara Ki Laksono dan empat
orang pembantunya telah berada jauh di depan-
nya.
"Traaat... Glegeeer...!"
Langit yang sejak tadi mendung kini telah
berubah menjadi gumpalan awan hitam yang ber-
gulung-gulung. Angin bertiup kencang, lalu semu-
anya berubah menjadi gelap gulita. Gelegar petir
sambung menyambung tiada henti.
"Traaat...! Dweeerr...!
"Argggkh...!"
Empat orang pembantu Ki Laksono yang be-
rada di bagian paling depan terjungkal roboh ber-
sama kuda tunggangan mereka. Sementara Ki
Laksono sendiri andai tidak menyadari datangnya
bahaya alam itu sejak lebih awal, tentu tubuhnya
sudah hangus saat itu seperti apa yang dialami
oleh empat orang pembantunya.
"Daerah ini rawan petir, ki...! Kalau dapat
kita harus segera menyingkir dari tempat ini...!" te-
riak Giri Wisa di sela-sela air hujan. Kepala Desa
Jati Mulya, kini telah bersisian dengan Ketua Per-
guruan Lintang Kembar gelengkan kepalanya ke-
ras-keras.
"Tidak mungkin kakang Giri! Menurut pe-
tunjuk yang kita dapat. Di sekitar hutan inilah
manusia iblis ini bermukim..."
"Kita bisa celaka, ki...! Kita semua bisa ce-
laka...!" kata Giri Wisa.
"Anakku, muridmu berada dalam cengkera-
man iblis itu! Aku tak bisa tinggal diam begitu saja..,!" bantah Ki Laksono tetap pada pendiriannya.
"Traaak... Glegeeer...!"
Gelegar petir yang membuat gendang-
gendang telinga bagai terobek kembali membahana
dan menyambar ke arah mereka.
"Hujan deras dan petir yang begitu tiba-tiba,
bahkan telah membuat mati empat orang pem-
bantumu, bukan kejadian alam biasa ki...!" Giri
Wisa kembali memberi peringatan. Sementara se-
pasang matanya terus memperhatikan setiap jeng-
kal tanah yang berada di sekitarnya. Tiba-tiba se-
pasang matanya terbelalak lebar-lebar. "Mengapa
tanah di sekitar tempat ini berobah bagai kawah
gunung. Meleleh seperti bubur. Ah ini bisa mence-
lakakan semua orang-orangku. Tapi Ki Laksono
yang keras kepala, mana mungkin mau mening-
galkan tempat ini. Dia begitu menyayangi putri
tunggalnya. Aku takut jangan-jangan malah bukan
mampu menolong, tetapi jiwa sendiri yang tak da-
pat ditolong" batin Giri Wisa.
Broool...!
Mendadak tanah di bagian bukit sebelah ki-
ri mereka longsor.
"Awaas...!" teriak Giri Wisa pada kawan-
kawannya.
Dengan cepat mereka bergerak menghindar,
namun tanah tempat kuda-kuda mereka berpijak-
pun berubah lembut bagai lumpur sawah
"Bleees...!"
"Hieeeh...!"
Kuda-kuda yang mereka tunggangi mering-
kik keras. Agaknya naluri binatang itu mengisyaratkan adanya bahaya yang mengancam jiwa me-
reka.
"Kita semua bakal celaka...!" teriak Giri Wi-
sa, lalu melompat dari punggung kudanya yang te-
lah tenggelam di atas jalan yang telah berubah
menjadi lumpur sampai sebatas perutnya. Melihat
gelagat tak baik, lima orang muridnya mengikuti
jejak Giri Wisa. Tak ketinggalan Ki Laksono pun
segera melakukan apa yang telah diperbuat oleh
Giri Wisa dan murid-muridnya. Celakanya saat
mereka menjejakkan kakinya di atas tanah yang
terdapat tidak begitu jauh dari tempat kuda tung-
gangan mereka terbenam dan lenyap. Tanah itu
kini benar-benar telah berubah menjadi lautan
lumpur yang menyentakkan tubuh mereka lebih
ke dalam lagi.
"Usahakanlah kalian dekati pohon itu. Ce-
pat naik ke sana...!" dalam kepanikan itu kembali
terdengar suara Giri Wisa memberi aba-aba. Den-
gan bersusah payah orang-orang yang terjebak
lumpur penghisap itu bergerak mendekati seba-
tang pohon yang ditunjuk oleh Giri Wisa. Tapi per-
juangan untuk mencapai pohon yang mereka tuju,
tidaklah mudah. Padahal jarak antara pohon itu
dengan mereka mungkin tak lebih dari tiga tom-
bak. Tapi daya hisap tanah yang telah berubah
menjadi lumpur itu memang terasa kuat luar bi-
asa. Di antara mereka yang terperangkap lumpur
penghisap itu, hanya Giri Wisa dan Ki Laksono
yang memiliki ilmu meringankan tubuh mencapai
taraf sempurna saja yang masih dapat bergerak
mendekati pohon agak lebih cepat. Sedangkan lima orang muridnya, dua orang di antaranya telah
raib tenggelam. Sedangkan tiga orang yang masih
tersisa sudah terbenam sampai sebatas leher.
Segera setelah Giri Wisa dan Ki Laksono be-
rada di atas pohon yang tumbuh kokoh di atas ta-
nah yang keras, secara bahu membahu mereka
berusaha keras menyelamatkan tiga orang murid-
nya. Dengan mempergunakan tali yang berukuran
panjang dalam waktu yang singkat murid-murid
Lintang Kembar itupun terbebas dari bahaya
maut. Sementara itu bunyi petir sudah tidak ter-
dengar lagi, namun hujan deras masih belum juga
reda. Di atas pohon besar tubuh lima anak manu-
sia menggigil kedinginan.
"Aku tak mengerti mengapa jalan yang kita
lalui secara tiba-tiba bisa berubah menjadi lautan
lumpur. Kuda-kuda tunggangan lenyap, dua orang
muridmu. Juga mayat empat orang pembantuku
yang tersambar petir raib ditelan lumpur itu.!"
"Sudah kukatakan! Kita tidak bisa bertin-
dak gegabah, ki...! Aku yakin apa yang kita alami
bukan hanya merupakan satu peristiwa yang ter-
jadi hanya karena secara kebetulan belaka. Kalau
tempat dan daerah ini merupakan sarangnya Iblis
Pemburu Perawan. Aku merasa yakin, hal ini ha-
nyalah merupakan sebuah jebakan yang dirancang
sedemikian rupa oleh bangsat itu...!" Giri Wisa co-
ba-coba menarik kesimpulan. Tapi Ki Laksono
yang diajak bicara malah geleng-gelengkan kepa-
lanya.
"Sebuah dugaan yang tidak beralasan sama
sekali. Hujan, petir, dan angin ribut semuanya
adalah peristiwa alam yang sudah biasa. Apa yang
kusebutkan tadi sudah ada yang mengaturnya.
Yang Maha Kuasa. Dan itu bukan ulah manusia,
jin, setan, iblis ataupun bantu yang bergentayan-
gan...!"
"Ki Laksono...!" ujar Giri Wisa di sela-sela
tarikan nafasnya yang terasa menyesak. "Aku telah
begitu banyak mengetahui bagaimana rawannya
kalangan persilatan dari sejak aku masih muda.
Mereka dengan segala keanehannya bisa berbuat
apa saja untuk menjatuhkan musuh-musuhnya.
Seingatku tanah keras disiram hujan selebat apa-
pun tidak nantinya tanah itu lumer menjadi lum-
pur. Hemm. Apa yang kita alami dulu rasanya
pernah dialami oleh guruku. Pekerjaan ini hanya
dapat dilakukan oleh tokoh sesat yang dulu per-
nah membuat guruku menderita seumur hidup.
Tapi seperti yang kuketahui tokoh sesat yang ber-
nama Ki Alot Roso itu telah meninggal beberapa
puluh tahun yang lalu...!" kata Giri Wisa pada di-
rinya sendiri. Namun sungguhpun ucapannya se-
perti ditunjukkan untuk dirinya sendiri. Tapi Ki
Laksono sempat mendengarnya. Nampaknya dia
merasa sangat terkejut sekali begitu mendengar
kata-kata sahabatnya.
"Kakang Giri! Kalau tokoh yang kakang se-
butkan itu telah meninggal beberapa puluh tahun
yang lalu. Tapi mengapa hal yang sama bisa terjadi
lagi. Atau mungkinkah iblis itu memiliki seorang
murid yang mewarisi ilmu sesatnya...?" tanya Ki
Laksono mulai merasa tertarik dengan apa yang
dikatakan oleh Giri Wisa. Ada perasaan jera menyelimuti hati Giri Wisa saat mendengar perta-
nyaan Ki Laksono sahabatnya. Sepertinya laki-laki
berumur lima puluh lima tahun itu merasa enggan
untuk menceritakan tentang tokoh sesat itu.
"Cobalah katakan padaku, kakang Giri...!
Siapa tahu kita secara bersama-sama dapat men-
cari jalan keluarnya...!" desak Ki Laksono dengan
nada berapi-api. Giri Wisa gelengkan kepalanya
berulang-ulang. Sementara hujan yang tercurah
dari langit semakin menggila.
"Kalau benar apa yang menjadi dugaanku.
Maka tokoh persilatan golongan manapun tak
akan ada yang mampu mengalahkamnya. Manusia
iblis itu akan semakin bertambah sakti, pabila dia
berhasil meniduri gadis-gadis perawan. Semakin
banyak dia melakukannya maka semakin bertam-
bah sulitlah untuk dapat mengalahkannya...!"
"Bangsat! Ilmu yang sangat keji. Oh... anak-
ku pasti tak dapat diselamatkan lagi" keluh Ki
Laksono, sedih.
"Semua itu hanya berupa dugaanku belaka,
ki...! Secara pasti aku tak berani menarik kesim-
pulan ...!" ujar Giri Wisa berusaha membesarkan
hati Ki Laksono.
"Kalau dugaanmu ternyata benar...!"
"Kalau dugaanku memang benar...! Di ko-
long langit ini hanya ada seorang yang mampu dan
ditakuti oleh Si Alot Roso yaitu seorang tokoh sak-
ti, yang juga memiliki sifat aneh, yaitu Si Bangko-
tan Koreng Seribu...!"
"Kalau begitu kita harus menghubungi-
nya...!" sentak Ki Laksono begitu bersemangat. Giri
Wisa kembali geleng-gelengkan kepalanya.
"Menurut berita yang kudengar dari salah
seorang sahabatku. Orang tua itu telah lama me-
ninggal dunia. Mungkin sekitar setahun yang lalu,
tetapi kudengar beliau mempunyai seorang murid.
Yang beberapa tahun belakangan namanya meng-
gemparkan kalangan persilatan golongan hitam...!"
"Siapa...?" tanya Ki Laksono dengan tubuh
menggigil karena secara terus menerus diguyur air
hujan.
"Pemuda itu menamakan dirinya sebagai
Pendekar Hina Kelana. Tetapi dunia persilatan le-
bih mengenalnya dengan gelar Pendekar Golok
Buntung...!"
"Kemungkinan-kemungkinan yang mem-
buat pusing kepalaku, kakang Giri! Sekarang ini
yang ada dalam benakku adalah bagaimana me-
nemukan kembali putriku dan juga muridmu Na-
wang Wulan...!" ada nada putus asa ketika Ki Lak-
sono mengunggkapkan isi hatinya. Tetapi Giri Wi-
sa sebagai orang yang punya pengalaman banyak
dalam dunia persilatan cepat-cepat menyambut:
"Bukan putrimu atau muridku saja yang akan
menjadi korban kebiadaban iblis itu, ki...! Mungkin
banyak lagi korban yang akan berjatuhan jika kita
tidak melakukan upaya untuk mengatasinya...!"
"Persetan! Aku tak mau perduli dengan se-
mua itu. Bagiku yang terpenting adalah mencari
jalan untuk menyelamatkan anakku...!" kata Ki
Laksono dibakar amarah.
"Kau tak akan pernah berhasil, ki...!"
Glueeerrr...!
Seiring dengan terdengarnya suara bagai
gempa. Lalu angin yang sangat kencang pun ber-
hembus dari bagian hutan yang paling lebat di sisi
kiri mereka. Kemudian terdengar gelak tawa serak
menggidikkan.
"Kuperhatikan sejak tadi, kalian bagai ku-
nyuk yang kehabisan akal untuk menghindari ke-
matian. Jangan kalian pikirkan anak-anak kalian
yang telah menjadi istri-istriku yang paling setia...!
Ho...ho...ho...! Pikirkanlah keselamatan kalian
sendiri." bentak sebuah suara.
"Mungkin orang itulah yang kita cari-cari,
kakang Giri...!" kata Ki Laksono berbisik.
"Siapapun orang itu, yang jelas dari suaran-
ya saja aku sudah dapat memastikan bahwa orang
itu memiliki kesaktian yang sangat tinggi...!" jawab
Giri Wisa dengan suara berbisik pula.
"Manusia iblis...! Tunjukkan dirimu...! Aku
jadi ingin melihat apa yang kau andalkan se-
hingga begitu berani menculik anakku...!" maki Ki
Laksono tanpa mampu membendung emosi yang
sejak tadi berusaha ditahan-tahannya.
"Kulihat diantara kawan-kawanmu, nam-
paknya hanya mulutmu saja yang begitu som-
bong. Mungkin engkaulah manusia pertama yang
akan kubuat mampus...!" geram satu suara dari
kerimbunan hutan lebat.
"Engkaukah orangnya yang menamakan diri
sebagai Iblis Pemburu Perawan?" tanya Giri Wisa
dengan jantung berdebar.
"Tak salah...!"
"Kalau begitu tunjukkanlah tampangmu.
Atau kami harus menyeretmu untuk menerima
hukuman...!"
Kembali terdengar suara tawa menyeram-
kan.
"Kalian hanyalah manusia-manusia kroco
dan bangsanya tikus cecurut yang bukan tan-
dinganku...!"
"Bangsat...!" maki Ki Laksono begitu gusar.
"Bicaralah sesuka hatimu selagi nyawa ma-
sih melekat di tubuhmu. Karena setelah itu, aku
kan segera mengirimmu ke neraka...!"
"Kurang ajar! Jangan kira aku takut meng-
hadapimu...!" teriak Ki Laksono. Tiba-tiba tubuh-
nya meluncur menuruni pohon, tetapi Giri Wisa
buru-buru menyentakkan krah pakaiannya hingga
gerakan tubuhnya terhenti. Ki Laksono meronta
dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan
Giri Wisa yang begitu kokoh.
"Lepaskan aku, kakang Giri!"
"Kau bisa berbuat apa, ki...?" bentak laki-
laki bertubuh pendek itu dengan mata melotot.
"Jangan gegabah! Orang itu bukan tandi-
nganku, juga bukan lawanmu...!"
"Kalau kakang takut kepadanya, biarkan
aku yang menghadapi seorang diri...!" sentak Ki
Laksono. Dengan satu hentakan keras tubuh Ki
Laksono terus meluncur kebawah.
"Ki Laksono! Jangan kau lakukan itu...?" te-
riak Giri Wisa ketika melihat Kepala Desa Jati
Mulya itu berlari-lari menuju hutan tempat ber-
kumandangnya suara Iblis Pemburu Perawan.
Dengan di dahului suara tawa bergelak-ge
lak, dari arah hutan nampak melesat dua larik si-
nar merah bagai bara menyambut kedatangan Ki
Laksono. Menyadari datangnya bahaya yang begitu
tiba-tiba. Ki Laksono bagai melihat setan menjijik-
kan di siang bolong nampak hentikan larinya. Tak
ayal lagi diapun menyambut pukulan si penyerang
dengan pukulan jarak jauh yang dimilikinya.
"Weeerr...!"
Segelombang angin pukulan yang dilancar-
kan oleh Ki Laksono menderu menyongsong puku-
lan yang dilepaskan oleh Iblis Pemburu Perawan.
Namun baru saja pukulan gencar yang dilepaskan
oleh Ki Laksono mencapai kira-kira tiga tombak.
Pukulannya seolah bagai melabrak sebuah dinding
baja yang tiada terlihat. Pukulan Genderang Mem-
bahana milik Ki Laksono tertahan, bahkan sedetik
kemudian dia merasakan pukulannya sendiri tera-
sa membalik terdorong oleh sebuah tenaga raksasa
yang bersumber dari sinar merah yang dilepaskan
oleh lawannya.
"Gila! Bukan pukulanku saja yang bakal
membalik, tetapi juga aku merasakan ada sebuah
kekuatan yang tiada terlihat telah mendesakku se-
demikian hebatnya!" rutuk Ki Laksono. Dalam pa-
da itu masih tetap berada di tempatnya Giri Wisa
membantu Ki Laksono dengan pukulan jarak
jauhnya pula.
"Weeer...!"
Satu tenaga dorongan yang juga tak kalah
hebatnya memaksa tubuh Ki Laksono selangkah
maju ke depan. Keadaan seperti itu nampaknya
semakin bertambah menyulitkan posisi Ki Laksono. Sebab secara tak langsung dua kekuatan yang
datangnya dari depan dan belakang Ki Laksono tak
ubahnya bagai menggencet tubuhnya.
"Ho...ho...ho...! Lihatlah betapa kawanmu
sendiri ingin membunuhmu orang tua edan. Nah
kupercepat kematianmu...!" geram si pemilik sua-
ra. Kemudian Ki Laksono merasakan satu samba-
ran hawa yang sangat panas menghajar dirinya
dari depan.
"Blaaamm...!"
"Arrggkh...!"
Terdengar suara lolongan maut manakala
tubuh Ki Laksono terhantam dua larik sinar merah
bara yang datangnya begitu cepat. Giri Wisa terpe-
rangah. Tubuh Ki Laksono terbanting keras mem-
bentur batang pohon lainnya yang berada tidak
begitu jauh dari tempat Giri Wisa berada. Tubuh
Ki Laksono yang sudah hangus bagai terbakar
nampak berkelojotan beberapa saat lamanya. Lalu
terdiam untuk selama-lamanya.
"Ki Laksono...!" jerit Giri Wisa histeris.
Tiada jawaban apapun, terkecuali suara ge-
lak tawa Iblis Pemburu Perawan yang masih tetap
bersembunyi di kerimbunan hutan.
"Kawanmu itu memang sudah selayaknya
mampus! Sebagaimana halnya orang-orang yang
mencariku beberapa hari yang lalu. Begitu juga
dengan dirimu, sebentar lagi segera menyusul ka-
wanmu. Jangan merasa iri atas kematian kawan-
mu! Kau dan tiga orang muridmu segera mendapat
giliran...! Ho...ho...ho...!"
"Iblis terkutuk! Melihat semua yang terjadi
di depan mataku! Kini aku merasa begitu yakin,
kau pastilah muridnya si terkutuk Ki Alot Roso...!"
geram Giri Wisa.
"Bagus! Matamu memang awas, nah untuk
tidak memperpanjang hidup kalian. Rasakan-
lah...!"
"Traaat! Gldeeer...!"
Tanah yang terletak di sekitar tempat itu
terguncang hebat manakala serangkaian pukulan
jarak jauh yang menimbulkan suara bagai gemu-
ruh petir menderu ke arah Giri Wisa dan ketiga
orang muridnya yang masih tetap bertahan di atas
pohon.
Ketua Perguruan Lintang Kembar terke-
sima dibuatnya. Tetapi dia juga tidak tinggal diam.
Dengan mempergunakan pukulan Seribu Perisai
Dewa, laki-laki berbadan pendek inipun hantam-
kan kedua tangannya ke depan, sementara ke dua
kakinya menjepit keras dahan pohon yang didu-
dukinya.
Wuuuuss...!"
Blaaamm...!"
Satu ledakan yang sangat keras terdengar
manakala dua pukulan sakti saling bertemu. Tu-
buh Giri Wisa hampir saja terjungkal, andai jepi-
tan kakinya pada dahan pohon tidak begitu kuat.
Begitupun kepalanya sampai membalik ke bawah
sedangkan bagian kaki berada di atas. Dalam kea-
daan bergelantungan seperti itu, dari sela-sela bi-
bir Giri Wisa mengalir darah kental. Menandakan
bahwa laki-laki berusia setengah baya ini menda-
pat luka dalam yang cukup serius. Tetapi tangan
nya terus menggapai, berusaha kembali pada posi-
sinya. Dengan bersusah payah akhirnya dia mam-
pu menjaga keseimbangan tubuhnya, sekejap ia
melirik pada tiga orang muridnya yang sudah
mencabut senjata. Siap membantu guru mereka
yang sudah terluka.
"Kalian mau berbuat apa...?" sentak Giri
Wisa merasa terharu melihat murid-muridnya su-
dah berada dalam posisi siap tempur.
"Guru...! Kami akan memburu manusia iblis
ke sarangnya! Melihat guru dalam keadaan ter-
luka, rasanya kami tidak bisa tinggal diam begitu
saja...!" ujar murid-muridnya serentak.
Giri Wisa menggelengkan kepala, lemah.
"Jangan kalian lakukan itu! Dia bukanlah
tandingan kalian...!"
"Tapi kami siap berkorban nyawa demi bakti
kami kepada guru...!"
"Kuhargai pendirian kalian. Tetapi ada yang
tidak kalian ketahui, dalam keadaan terdesak ba-
gaimanapun, Iblis itu tak mungkin mampu ber-
buat banyak pada kita. Selama kita masih tetap
berada di atas pohon ini. Dalam arti tiada menyen-
tuh tanah...!"
"Bagaimana guru bisa mengetahui hal itu?"
tanya salah seorang dari mereka. Sebelum men-
jawab pertanyaan salah seorang muridnya. Giri
Wisa membuang pandang matanya ke arah hutan.
"Dulu gurukupun pernah bentrok dengan
orang yang memiliki ilmu yang sama." jelas Giri
Wisa tegang.
"Jdeeer...!"
Tiada disangka-sangka Iblis Pemburu Pera-
wan yang masih tetap bersembunyi pada tempat-
nya kembali kirimkan pukulan jarak jauhnya. Ha-
wa panas bergulung-gulung di sertai dengan ber-
hembusnya angin yang sangat kencang. Kenyataan
ini kiranya membuat gusar tiga orang murid Giri
Wisa. Dengan senjata terhunus yang mereka putar
laksana titiran. Ketiganya langsung melompat
menghadang pukulan yang menderu ke arah gu-
runya.
"Wuaaaahk...!"
Terdengar tiga jeritan berturut-turut, mana-
kala pukulan yang berhawa panas dengan disertai
sambaran angin yang sangat kencang menghan-
tam tubuh mereka. Giri Wisa memekik kaget demi
melihat kenekatan yang dilakukan oleh murid-
muridnya. Tubuh tiga orang muridnya melayang
jatuh dari atas pohon tak ubahnya bagai daun tua
yang tertiup angin kencang.
"Ahk... demi menyelamatkan guru sendiri
kalian telah mengorbankan diri. Betapa besar pen-
gorbanan kalian. Padahal untuk keselamatan ka-
lian aku lebih rela mengorbankan diri sendiri." ba-
tin Giri Wisa begitu sedih.
"Mengapa engkau hanya diam saja manusia
tolol. Murid-muridmu sudah mampus, apakah kau
tidak punya keinginan untuk menuntut balas...?"
ejek Iblis Pemburu Perawan memanasi. Merah pa-
dam wajah Giri Wisa demi mendengar kata-kata
lawannya yang terasa menusuk perasaannya itu.
Tiada tertahankan amarahnyapun memuncak, la-
ki-laki itu nampaknya sudah tiada perduli lagi
dengan pantangan yang sebenarnya dia ketahui,
walau sedikit.
Dengan gerakan yang begitu ringan Giri Wi-
sa melompat dari atas pohon yang memiliki ke-
tinggian lebih dari delapan tombak. Sasaran yang
ditujunya adalah tamah keras yang terletak di sisi
kirinya.
"Jliik...!
Begitu Giri Wisa menjejakkan kakinya di
atas permukaan tanah, maka suara tawa penuh
kemenanganpun menyambut.
"Bagus! Kau benar-benar manusia pembera-
ni, yang mengetahui sedikit kelemahan pukulan
saktiku, tetapi rela pula untuk mampus...!"
"Kurang ajar! Aku akan mengadu jiwa de-
nganmu...!" teriak Ketua Perguruan Lintang Kem-
bar. Kemudian berlari memburu ke arah hutan.
Dengan masih tergelak-gelak, Iblis Pemburu Pera-
wan lagi-lagi hantamkan pukulannya. Giri Wisa
terkesiap, namun kelihatannya sudah tidak memi-
liki waktu barang sedikitpun untuk menghindari
datangnya pukulan yang mengandung hawa panas
luar biasa itu. Saat-saat seperti itu Giri Wisa nam-
paknya hanya bersikap pasrah menanti saat ajal
tiba. Dalam keadaan yang sangat kritis, nampak
sosok bayangan merah dari kerimbunan pohon se-
belah utara.
"Breebeet...!"
Bayangan itu menyambar tubuh Giri Wisa
langsung melesat lagi, dan kemudian lenyap hanya
dalam waktu sekedipan mata saja. Praktis puku-
lan yang dilancarkan oleh Iblis Pemburu Perawan
menghantam sasaran kosong.
"Keparaat...! Orang itu telah menyelamatkan
musuhku. Tapi biarlah aku tak akan mengejarnya.
Suatu saat dia pasti akan kemari lagi." desis Iblis
Pemburu Perawan, lalu segera pergi menuju ke
rumah kediamannya.
***
ENAM
Ketika Wanti Sarati tidak menjumpai Buang
Sengketa di dalam gua yang ditinggalkannya. Ma-
ka dengan perasaan kecewa, Wanti Sarati dan
Duwur memutuskan untuk segera pergi menuju
ke Hutan Sungai Buluh. Setelah melakukan perja-
lanan sehari semalam. Siang itu Gadis berlesung
pipit dan Duwur sampai di rumah kediaman Alot
Roso yang selama ini juga merupakan tempat ting-
gal Duwur dan Cindek. Suasana lengang mewarnai
rumah dan daerah sekelilingnya. Dengan sikap
penuh waspada, kedua orang itu melangkah men-
dekati rumah yang hampir keseluruhan bangunan
itu terbuat dari tulang belulang gajah dan hari-
mau. Sepintas lalu rumah milik Ki Alot Roso
berkesan angker dan menyeramkan. Namun seba-
gai seorang gadis pemberani yang selama hidup-
nya ditempa dengan berbagai pengalaman pahit.
Sedikitpun perasaan gentar tak terlihat di wajah
Wanti Sarati.
"Hemmm. Rumah ini sepertinya telah di
tinggalkan oleh Ki Alot Roso! Tapi kemana perginya
orang tua yang menurut kakek Tapak Dewa, Gu-
ruku, telah meninggal beberapa puluh tahun yang
lalu...! Ah... tidak...! Aku tak pernah yakin Ki Alot
Roso mau meninggalkan tempat pengasingannya
ini. Kakek Tapak Dewa pernah cerita bahwa Ki Alot
Roso sejak dikalahkan oleh gurunya Paman Kela-
na, tidak pernah lagi berkeliaran ke mana-mana.
Bahkan dia pernah mengumumkan bahwa dirinya
telah mati." gumam Wanti Sarati. Teringat sampai
ke situ dan teringat pula tentang kelicikan tokoh
sesat Ki Alot Roso seperti yang pernah didengarnya
dari Kakek Tapak Dewa gurunya. Tiba-tiba si gadis
menyentakkan tangan si Duwur.
"Ayo kita tinggalkan rumah ini. Cepaaat...!"
teriak Wanti Sarati sambil menarik si tubuh raksa-
sa.
"Ada apa nisanak...?" dalam ketidak men-
gertiannya, Duwur bertanya sambil ikut berlari
meninggalkan rumah itu. Akan tetapi belum lagi
mereka mencapai mulut pintu. Secara tiba-tiba
pintu mengunci sendiri.
Traaak...!
Bersamaan dengan terkuncinya daun pintu
yang dilalui oleh kedua orang itu, beberapa detik
kemudian terdengar pula suara gelak tawa yang
begitu berat dan serak. Duwur segera dapat me-
ngenali siapa adanya orang yang mengeluarkan
suara tawa yang disertai pengerahan tenaga dalam
itu. Tak lain Ki Alot Roso lah orangnya.
"Ha...ha...ha...! Kau kembali, muridku Du-
wur...! Kembali dengan membawa seorang gadis
yang cantik, membuat jiwamu yang tidak memiliki
arti bagiku, kuampuni...!"
Wanti Sarati dan Duwur saling berhadapan,
laki-laki bertubuh raksasa itu nampak semakin
pucat wajahnya. Tetapi lain halnya dengan Wanti
Sarati. Gadis ini kelihatan masih tenang-tenang
saja, meskipun hatinya mulai diliputi perasaan te-
gang.
"Guru...! Perbuatan yang mana lagi akan
kau tempuh untuk menyengsarakan semua orang.
Kedatanganku kemari bukanlah untuk memperta-
ruhkan kehormatan orang lain sebagai jaminan
keselamatanku. Tak pernah terbayang dalam an-
ganku untuk bertindak sepengecut itu. Hidupku
tidak ada artinya bila dibandingkan dengan sekian
banyak jiwa yang tercabik-cabik kehormatannya
oleh ulah murid kesayanganmu itu...! Aku rela ma-
ti demi membantu nisanak ini, daripada aku harus
menuruti keinginanmu yang keji...!" tukas Duwur
merasa tidak mempunyai pilihan lain.
"Wuaaa... ha... ha...! Sebuah keputusan
yang dapat membuatmu merana seumur hidup.
Pasti kau akan menyesal...!" geram Ka Alot Roso.
Tanpa diketahui oleh mereka yang sedang ter-
kurung di dalam rumah itu, Ki Alot Roso melam-
baikan tangannya. Tak pelak satu percikan lidah
api menyambar ke arah sudut-sudut rumahnya
sendiri. Benar-benar hebat luar biasa kesaktian
yang dimiliki oleh laki-laki renta berusia delapan
puluh tahun ini. Karena sekejap kemudian lidah
api yang bersumber dari kekuatan yang dimiliki
oleh laki-laki renta itu telah menyambar rumahnya
sendiri. Begitu cepat api menjalar ke mana-mana,
sekeliling rumah itu benar-benar telah di kelilingi
api. Udara di dalam rumah berselimut asap tebal
dan menjadi panas tiada tertahankan.
"Saudara Duwur! Beranikah engkau mene-
robos dinding yang belum tersentuh api itu?" tanya
Wanti Sarati, sementara sepasang matanya berpu-
tar liar mencari kemungkinan jalan keluar.
"Dalam keadaan terjepit seperti ini, aku tak
pernah memikirkan keselamatanku sendiri, nisa-
nak...! Cara apapun akan kutempuh untuk mem-
bebaskan diri dari kobaran api ini...!" tukas Duwur
tanpa ragu.
"Tapi manusia dajal itu mungkin telah me-
nunggu di luar sana dan siap menghabisi kita, An-
dai kita sampai lolos dari kepungan api ini...!" gu-
mam si gadis meragu.
"Aku tak perduli!" komentar pemuda bertu-
buh raksasa itu tiada berobah dari niatnya se-
mula.
"Hemm. Baik... nampaknya kita memang
tak punya kemungkinan lain untuk dapat selamat
dari amukan api ini..,! Sekarang lakukanlah... aku
berada di belakangmu...!"
"Baiklah…!" sahut si Duwur. Kemudian pe-
muda ini melangkah ke tengah-tengah ruangan
untuk mengambil jarak. Setelah itu tanpa menge-
luarkan suara sedikitpun dengan mengandalkan
tiga perempat tenaganya diapun bergerak mener-
jang. Wanti Sarati segera mengekor di belakang-
nya,
"Bruaaaak…!"
"Brooool…!"
Dinding berantakan diterjang oleh si Du-
wur. Tubuhnya bagai banteng marah yang tiada
terkendali terus melesat ke depan. Dalam pada itu
sebuah pukulan dari arah depan yang dilepaskan
oleh gurunya sendiri datang menyambut. Hal ini
dapat dilihat oleh Wanti Sarati yang sudah mem-
perhitungkan segala sesuatunya. Tak ayal lagi di-
apun hantamkan tangan kanannya menyongsong
pukulan yang mengancam diri si pemuda raksasa.
Dhaaas...!
Terdengar satu ledakan yang tidak begitu
keras namun membawa akibat yang cukup lu-
mayan. Menghindari datangnya pukulan yang sal-
ing bertemu, si Duwur menjatuhkan diri dengan
cara berguling-guling. Tak jauh di depannya, tu-
buh Ki Alot Roso yang begitu kurus nampak terge-
tar. Mata terpejam dengan bibir menyeringai. Me-
nandakan bahwa lawan yang dihadapinya ternyata
memiliki kepandaian yang tinggi. Sementara di pi-
hak Wanti Sarati sendiri tampak terhuyung dua
tindak, gadis itu merasakan dadanya begitu sesak
dan sulit untuk bernafas. Barulah setelah menelan
sebuah pil berwarna kuning rasa nyeri di bagian
dadanya mulai berkurang.
"Saudara Duwur! Menyingkirlah...! Kuden-
gar kakek keropos ini memiliki kepandaian se-
gudang. Bahkan tak memiliki tanding, beberapa
puluh tahun yang lalu hingga sekarang. Tapi tak
usah khawatir, sungguhpun kakek Bangkotan Ko-
reng Seribu telah tiada, kurasa aku mampu men-
getahui kelemahan yang tersembunyi dari ilmu
sakti yang dimilikinya. Nah sekarang tunggu apa-
lagi, Ki Alot Roso? Apakah kau menunggu murid-
mu yang menjadi biang iblis itu, atau tenaga sak-
timu telah kau pindahkan kepada manusia kerdil
yang sekarang ini benar-benar telah menjadi see-
kor monyet hitam menjijikkan...?" ejek Wanti Sara-
ti yang telah mengetahui begitu banyak tentang se-
jarah hidup tokoh sesat tersebut. Bukan main ter-
kejutnya hati Ki Alot Roso demi mengetahui sang
lawan telah begitu banyak berbicara tentang kehi-
dupan masa lalunya. Padahal selama ini selain si
Bangkotan Koreng Seribu sendiri, tak banyak
orang yang tahu tentang kehidupannya. Tetapi ga-
dis yang berdiri tidak begitu jauh di depannya itu
begitu gamblang menceritakan segala-galanya.
Mungkinkah gadis berwajah cantik itu merupakan
murid musuh besarnya? Rasanya kemungkinan
itu kecil sekali, sepanjang sejarahnya tokoh sakti
yang berdiam di pantai barat itu tak pernah men-
gambil seorang muridpun. Dia tahu benar hal itu.
Lalu murid siapakah gadis berlesung pipit ini? Da-
lam kepenasarannya itu, diapun bertanya dengan
suara membentak:
"Bocah! Siapakah engkau ini? Kau menge-
tahui begitu banyak tentang kehidupanku. Apakah
engkau muridnya si Bangkotan Koreng Seribu
yang telah mampus itu?"
"Bicaramu lantang mengandalkan kepan-
daianmu setinggi langit! Ah... betapa sombongnya
manusia keropos sepertimu Alot Roso. Padahal se-
karang ini kau tak memiliki kekuatan apa-apa lagi.
Aku tahu itu...!" kata Wanti Sarati, menunggu
reaksi.
"Jangan bergurau bocah cantik, kesaktian
yang kumiliki tidak pernah berkurang walau ba-
rang sedikitpun...!"
"Omong kosong, aku tahu dengan kemun-
culan muridmu yang hebat luar biasa. Itu sama
saja artinya bahwa engkau telah menyalurkan te-
naga sakti yang kau miliki kepada muridmu...!"
"Ho...ho...ho...! Dugaanmu keliru, bocah...!
Aku tak pernah kekurangan sesuatu apapun." ka-
ta Ki Alot Roso berusaha menutupi kegelisahan-
nya.
"Baik! Kalau memang benar apa yang kau
katakan. Aku jadi ingin menjajal sampai di mana
kehebatan bekas gembongnya manusia iblis yang
pernah kesohor berpuluh-puluh tahun yang la-
lu...!"
"Haees...!"
Dengan dibarengi satu bentakan melengk-
ing, kaki Wanti Sarati langsung membentuk kuda-
kuda pertahanan yang kokoh. Kedua tangannya
bergerak cepat merentang ke udara membentuk
cakar burung Elang Putih. Beberapa saat tubuh
gadis itu menggelatar hebat. Merupakan sebuah
tanda bahwa ketika itu gadis berlesung pipit ini
sedang mengerahkan jurus andalan yang pernah
dipelajarinya dari Kakek Tapak Dewa gurunya. Ki
Alot Roso terperangah kagum, sebagai tokoh sesat
yang pernah malang melintang di dunia persilatan,
agaknya dia cukup menyadari bahwa saat itu la-
wannya benar-benar menghendaki nyawanya. Tak
ayal lagi, laki-laki renta inipun membuka seran
gannya dengan jurus 'Badai Topan Penyapu Dewa'.
Tak terelakan lagi dalam waktu sekejap saja perta-
runganpun berlangsung sengit. Masing-masing la-
wan berusaha melakukan serangan dengan sasa-
ran-sasaran yang mematikan. Sementara itu Du-
wur yang tidak mengetahui begitu banyak tentang
ilmu silat nampak berdiri menonton tidak begitu
jauh dari tempat terjadinya pertempuran.
"Haaaaait...!"
Dengan gerakan seringan kapas, tubuh
Wanti Sarati melakukan satu lompatan. Sementara
tangannya yang terkembang membentuk cakar itu,
menyambar ke arah bagian wajah dan perut la-
wannya. Gerakan itu terlihat cepat bukan main.
Sehingga Duwur yang tidak mengerti banyak ten-
tang ilmu silat itu memastikan gurunya segera
menjadi sasaran empuk jemari tangan lawannya
yang mengandung sebagian tenaga sakti itu. Tapi
yang menjadi lawan Wanti Sarati kali ini adalah
seorang tokoh yang sudah banyak makan asam
garam dunia persilatan.
Ketika Ki Alot Roso merasakan adanya
sambaran angin yang sangat kencang mengancam
bagian wajah dan perutnya. Laksana kilat melom-
pat mundur dua tindak, serangan Wanti Sarati lu-
put. Begitu terhindar dari serangan lawannya, Ki
Alot Roso balas kirim dua tendangan kaki. Semen-
tara tangan kanannya terkepal, lalu menderu
mengancam bagian dada si gadis.
"Kurang ajar!" Maki Wanti Sarati berusaha
menggeser tubuhnya ke samping kiri. Satu sodo-
kan yang mengancam bagian dada si gadis luput
Tetapi tendangan kaki yang membentuk satu sa-
puan ke bagian betis tak dapat dihindarinya.
"Deees...!"
"Gusraaak...!"
Wanti Sarati jatuh terjengkang. Tubuhnya
terus bergulung-gulung menghindari tendangan
susulan. Tetapi Ki Alot Roso terus memburunya
dan berusaha mendesak lawan tanpa memberi ke-
sempatan walau sedikitpun.
"Aku bisa mampus kalau hanya cuma
menghindar seperti ini...!" batin Wanti Sarati.
"Baiknya aku harus mempergunakan pukulan
'Siluman Kembar' seperti yang pernah diajarkan
oleh Kakek Tapak Dewa ketika aku berguru den-
gan beliau tempo hari.
"Heeuup...!"
Dalam posisi berguling-guling seperti itu,
Wanti Sarati rangkapkan ke dua tangannya. Tena-
ga dalam dia kerahkan ke bagian tangannya. Son-
tak tangan yang telah teraliri tenaga dalam itu be-
robah putih mengkilat laksana perak.
"Wuuut...!"
Sinar putih menyilaukan nampak melesat
ke arah Ki Alot Roso, begitu gadis berlesung pipit
itu menghantamkan tangannya.
"Kurang ajar...!" maki Ki Alot Roso, lain me-
ngibaskan jubahnya yang berwarna putih bersih.
"Breees...!"
"Keparaat...!" desis si gadis ketika melihat
tubuh kakek renta itu hanya terhuyung-huyung
saja begitu serangan 'Siluman Kembar' yang dile-
paskannya menghantam tubuh lawan.
"Hek... kek... kek...! Kalau kau memang be-
nar muridnya Bangkotan Koreng Seribu mana pu-
kulan Empat Anasir Kehidupan, mana pula jurus
si Gila Mengamuk. Dan pecut celaka itu mengapa
pula tak segera kau keluarkan...!" ejek Ki Alot Ro-
so, setengah jera.
"Aku bukan muridnya kakek Bangkotan Ko-
reng Seribu, bandot tua. Kalau kau ingin melihat
Cambuk Gelap Sayuto, senjata itu ada pada pa-
manku Kelana...!"
"Oho, rupanya kau bukan muridnya Bang-
kotan Koreng Seribu. Lha dalah... engkau bakal
mati sia-sia...!" hardik Ki Alot Roso sambil menarik
nafas lega.
"Kau kelewat takabur, tua renta...! Rasa-
kanlah ini...!"
Setelah melepaskan satu pukulan maut,
Wanti Sarati segera melolos selendang yang melilit
di bagian pinggangnya. Begitu selendang berwarna
biru ini telah berada di dalam genggaman tangan-
nya, maka diapun mengalirkan sebagian tenaga
dalamnya ke bagian selendang itu. Tak lama ke-
mudian selendang di tangannya telah melecut di
udara. Begitu sempurnanya tenaga dalam yang
dimiliki oleh Wanti Sarati, sehingga selendang di
tangannya dapat berubah melemas dan menge-
jang, di lain saat meliuk-liuk bagai seekor ular
yang terus mengejar ke arah sasarannya.
Dalam menghadapi serangan ganas yang
datangnya bertubi-tubi nampaknya Ki Alot Roso
masih mampu menghindarinya. Tapi manakala
Wanti Sarati mulai mencabut pedang tipis yang dia
pergunakan sebagai sabuk. Maka tiga puluh jurus
di depan Ki Alot Roso sudah mulai keteter. Bahkan
dalam waktu tiga jurus di depan, pedang mustika
di tangan Wanti Sarati berhasil merobek pakaian
dan kulit Ki Alot Roso.
Breebeet...!
"Agkh... keparat...!" maki kakek renta ini
sambil menyeka darah yang meleleh dari bekas lu-
ka itu. Selesai memandangi darah yang membasa-
hi jemari tangannya. Dengan geram Ki Alot Roso
membentak marah: "Betina terkutuk! Kau benar-
benar telah membangkitkan amarahku. Tak ada
jalan bagiku, terkecuali mampus...!"
"Sraaak...!"
Entah dari mama datangnya, tiba-tiba di
tangan Ki Alot Roso telah tergenggam sebuah
tongkat yang pada bagian gagangnya terbuat dari
tulang kepala binatang serigala. Dengan adanya
tongkat di dalam genggaman Ki Alot Roso. Penam-
pilan kakek renta itu mendadak berubah angker.
Sepasang matanya mencorong memandang tajam
pada lawannya.
"Nisanak kerahkanlah tenaga dalammu, di
dalam tongkat itu terdapat sebilah pedang yang
mengandung racun ganas. Nisanak jangan terpen-
garuh dengan segala ucapannya, walau dia berka-
ta apapun...!" dalam suasana tegang seperti itu si
Duwur memberi peringatan pada Wanti Sarati.
"Tenanglah sobat! Aku telah mengetahui
semua tipu muslihatnya...!" kata Wanti Sarati be-
rusaha bersikap tenang.
"Keparaat, kau Duwur...! Begitu beraninya
kau mengkhianati gurumu sendiri...!" maki Ki Alot
Roso dengan wajah merah padam.
"Sepuluh tahun aku hidup bersamamu, tua
renta! Tiada ilmu apapun yang kau turunkan pa-
daku. Terkecuali kau suruh aku menimba air dari
bawah lereng yang curam itu. Kemudian kau buru
aku sebagai seekor babi hutan yang menjijikkan.
Masihkah engkau mengakui diriku sebagai mu-
ridmu...?" tanya Duwur penuh ejekan.
"Hemm. Bagus sekali perbuatanmu itu, bo-
cah bertubuh raksasa, namun berpikiran tumpul.
Kalian berdua memang pantas untuk kubunuh."
Traaang...!
Sriiing...!
Pedang yang berada di dalam tongkat itu,
telah tercabut kini. Senjata itu nampak putih ber-
kilat-kilat tertimpa cahaya matahari. Wanti Sarati
hanya bergumam saja manakala pedang di tangan
Ki Alot Roso berikut sarungnya yang berupa tong-
kat diputar cepat laksana baling-baling. Sinar pu-
tih yang ditimbulkan oleh senjata di tangan Ki Alot
Roso nampak bergulung-gulung seolah membung-
kus tubuh kakek renta.
Sebelum Ki Alot Roso melancarkan seran-
gan pamungkas. Gadis berlesung pipit ini telah
bergerak mendahului dengan lecutan selendang
dan sambaran pedang tipis di tangannya. Kenya-
taannya tidak mudah bagi Wanti Sarati untuk
mendesak lawan sebagaimana pertama tadi.
Nguuung...!
Senjata di tangan si kakek menyambar ke
arah bagian kepala lawannya. Duwur yang kebetulan terus memperhatikan jalannya pertempuran
sampai berseru kaget.
"Nisanak, awas...!"
Jtaaar...! Jtaar... Jtaaar...!"
"Taak...! Crees...!"
Begitu pedang di tangan Ki Alot Roso mem-
bentur selendang di tangan Wanti Sarati. Tak ayal
lagi selendang yang terbuat dari sutera pilihan itu-
pun terobek pada bagian ujungnya. Hal ini me-
nandakan bahwa senjata di tangan lawannya me-
mang merupakan senjata pusaka yang sangat
tinggi pamornya. Tubuh gadis berlesung pipit ini
melompat mundur, tangan berdenyut dan kesemu-
tan. Bahkan selendang di tangannyapun hampir
saja terlepas. Pucat wajah gadis itu untuk sesaat
lamanya. Tapi diapun sudah tak dapat berpikir
panjang, karena pada saat itu Ki Alot Roso kembali
mendesaknya. Menghadapi situasi seperti itu,
Wanti Sarati nampaknya harus mengandalkan ke-
lincahan gerak dan ilmu meringankan tubuh yang
benar-benar sudah mencapai taraf sempurna.
"Nampaknya kini kau hanya mampu meng-
hindar kayak monyet pesakitan saja, bocah...! Ma-
na kesaktian yang kau miliki...!" teriak si kakek
renta. Dengan sikap ayal-ayalan, sekali lagi Ki Alot
Roso membabatkan pedangnya. Angin dingin me-
nerpa wajah si gadis saat mana senjata itu mende-
ru ke arahnya.
"Jheee...!"
Wanti membanting tubuhnya ke samping,
namun lawan terus memburunya. Sekali lagi gadis
ini lecutkan selendang di tangannya. Kalau saja KiAlot Roso tidak cepat-cepat menarik seranganya,
pastilah wajah kakek renta ini hancur tersambar
selendang di tangan si gadis.
"Hebat...!" gumam Ki Alot Roso tanpa kehi-
langan semangat.
"Jletar... Nguuung...!"
Begitu bangkit berdiri Wanti Sarati melaku-
kan satu tipuan dengan mempergunakan lecutan
selendangnya. Lagi-lagi kakek renta ini bersurut
mundur. Kesempatan itu dipergunakan oleh la-
wannya untuk melakukan satu tusukan kilat.
Jrooos... Jrooot...!
"Wuaaarghk...!"
Dua kali tusukan pedang lawan menembus
bagian tubuh kakek renta tersebut membuat tu-
buhnya terhuyung. Sambil mendekap bagian lu-
kanya yang telah mengucurkan banyak darah. To-
koh sesat yang sudah kehilangan kekuatannya itu
berusaha menghindari terjangan senjata berikut-
nya. Tetapi tubuhnya terasa begitu sulit untuk di-
gerakkan.
Croook...!
Tak ayal lagi, tubuh Ki Alot Roso ambruk ke
bumi. Darah semakin banyak yang keluar dari ba-
gian perut, dada dan juga lehernya. Laki-laki sesat
itu mengerang lemah, sepasang matanya meredup
memandang sinis pada si Duwur bekas muridnya.
"Sampai menjelang kematianmu, apakah
engkau masih juga tak mau mengakui segala dosa-
dosa yang pernah kau lakukan, kakek lapuk...?"
tanya Wanti Sarati sambil menendang pedang si
kakek jauh-jauh. Pedang melayang jauh dan jatuh
di tengah-tengah rumput lebat. Bekas gembong to-
koh sesat itu nampak sunggingkan seulas senyum
menggidikkan. Dengan kalimat terputus-putus di-
apun berkata:
"Hi... dup... dan mati sudah ada ketentuan-
nya. Sejak aku mempelajari ilmu kepandaian yang
menakjubkan itu, aku sudah tahu kematianku
memang berada di ujung pedangmu. Tapi ak... aku
tak pernah menyesal. Sebab kematianku pasti ada
yang akan membalaskannya. Yaitu muridku Cin-
dek! Tak seorangpun yang mampu menghentikan-
nya, tidak juga engkau bocah manis...!"
"Dasar manusia sesat...!" desis Duwur. Ke-
mudian tanpa basa-basi lagi, dengan mempergu-
nakan seluruh kekuatannya. Ditendangnya tubuh
sekarat gurunya sendiri. Terdengar suara tulang
berderak patah saat mana tubuh Ki Alot Roso, me-
lambung dan melayang tinggi ke udara. Kemudian
jatuh lagi menimpa sebongkah batu yang sangat
besar. Kepala maupun bagian tubuh Ki Alot Roso
remuk dan tewas seketika.
"Anda benar-benar hebat, nisanak! Kalau
boleh, aku bersedia menjadi muridmu...!" kata pe-
muda bertubuh raksasa memandang kagum pada
Wanti Sarati.
"Huus. Apa-apaan. Aku tak becus apa-apa,
pula usaha kita dalam menumpas Iblis Pemburu
Perawan masih belum usai...! Mari kita pergi...!"
perintah si gadis. Kemudian langsung melangkah
mendahului.
***
ENAM
Paman Giri Wisa hanya akan mengorban-
kan nyawa yang sia-sia andai tetap nekad juga da-
tang ke Sungai Buluh. Iblis Pemburu Perawan, se-
bagaimana yang tergambar dalam mimpiku beru-
jud seekor Monyet Hitam yang memiliki kesaktian
tiada terukur. Selain itu dia juga kebal terhadap
berbagai senjata. Aku tak ingin melihat korban le-
bih banyak lagi. Percuma paman membawa selu-
ruh murid paman untuk menggempur makhluk
bejat itu...!" kata Buang Sengketa setelah beberapa
hari berada di rumah kediaman Ketua Perguruan
Lintang Kembar.
"Anak muda, walaupun engkau telah me-
nyelamatkan aku dari cengkeraman maut Iblis itu,
tapi kumohon engkau jangan coba-coba mempen-
garuhi aku...!" kata Giri Wisa dengan wajah sedikit
memerah. Pendekar Hina Kelana meskipun ha-
tinya kesal atas ucapan Ketua Perguruan Lintang
Kembar, namun ia tetap menganggukkan kepala
sambil tersenyum.
"Aku bukan ingin mempengaruhi paman,
karena pertolongan yang tidak seberapa itu. Aku
hanya menginginkan agar paman mau memikirkan
sekali lagi untuk melaksanakan keputusan yang
telah paman ambil...!"
"Heh! Iblis Pemburu Perawan kalau dibiar-
kan terus dengan sepak terjangnya, lama kela-
maan akan menjadi manusia paling sakti yang ti-
dak mungkin terkalahkan oleh tokoh manapun...!"
"Ucapan paman Giri mungkin memang be-
tul! Tetapi sehebat manapun kesaktian yang di mi-
liki oleh setiap manusia di kolong langit ini, pasti-
lah memiliki kelemahan. Bahkan tadipun paman
berkata begitu padaku...!"
Semakin berkerut alis mata Giri Wisa begitu
mendengar kata-kata si pemuda. Agak lama dia
hanya berdiam diri. Nampaknya seperti ada sesua-
tu yang dipikirkannya.
"Bagaimana, paman Giri? Apakah paman
malah marah karena ucapan saya tadi?" tanya
Buang Sengketa seolah menyesali diri. Giri Wisa
gelengkan kepalanya pelan.
"Seperti sudah kukatakan beberapa hari
yang lalu, gurunya Iblis Pemburu Perawan dulu
juga pernah bentrok dengan guruku. Tokoh sesat
itu sebagaimana kuketahui memiliki kesaktian
yang sangat tinggi. Begitu banyak tokoh golongan
lurus maupun golongan sesat yang tewas di tan-
gannya. Bahkan guruku sendiri sampai tidak ber-
daya menghadapi orang itu. Di delapan penjuru
persilatan saat ini tidak mungkin ada yang mampu
menghadapi orang itu. Kita tidak bisa meremeh-
kannya begitu saja. Hemm. Andai saja tokoh sakti
yang sangat ditakuti oleh guru manusia sesat itu
masih hidup hingga sampai kini. Mungkin kita da-
pat meminta bantuannya." desah Giri Wisa seperti
pada dirinya sendiri.
"Siapakah tokoh yang paman maksudkan
itu...?" tanya Buang Sengketa diliputi rasa ingin
tahu yang menggebu.
"Kau pasti tak mengenalnya. Karena tokoh
sakti itu merupakan orang aneh yang memiliki
pribadi misterius...!"
"Walau tokoh sehebat manapun. Pastilah
dia memiliki sebuah nama atau julukan." tukas si
pemuda kesal
"Ya... ya... engkau betul...! Orang itu ber-
nama si Bangkotan Koreng Seribu...!"
Hampir meledak tawa si pemuda menden-
gar Giri Wisa menyebutkan nama yang bagi si pe-
muda sudah tidak asing lagi.
"Kakek Bangkotan Koreng Seribu...!" ulang
si pemuda dengan sikap seolah-olah belum men-
genal orang yang diceritakan oleh Giri Wisa. Pa-
dahal dalam hati:
"Kalau hanya orang itu, akupun lebih seke-
dar mengenalnya. Tolol...!"
Sambil tersenyum getir, Giri Wisa meng-
ganggukkan kepala seolah merasa takjub dengan
kehebatan yang dimiliki oleh Bangkotan Koreng
Seribu. Sebentar kemudian dia telah kembali pada
Buang Sengketa.
"Bagaimana orang muda, apakah kau men-
genalnya...?"
"Tit... tidak...! Aku tak mengenalnya...!" ja-
wab si pemuda tersendat.
"Mungkin saat itu kau belum lahir, atau
engkau memang jauh dari dunia ramai. Tapi aku
yakin orang tua ataupun kakekmu pastilah kenal
dengan nama yang baru kusebutkan tadi...!"
"Mu... mungkin juga...! Tapi aku belum me-
nanyakannya pada mereka...!" ujar Buang Sengke-
ta semakin berlagak tolol.
"Eee...! Seingatku engkau sudah beberapa
hari di rumahku. Tetapi aku masih belum men-
genal siapa adanya engkau ini!" kata Giri Wisa pi-
lon.
"Ah, aku yang tolol ini mana memiliki nama
apalagi julukan seperti paman...! Aku hanya pen-
gembara biasa...!" jawab si pemuda merendah.
"Tidak mungkin manusia tidak memiliki
nama, sedangkan binatang saja punya nama! Ayo-
lah orang muda, katakan saja mengapa harus ma-
lu-malu?"
"Kalau paman mendesak juga, maka aku
akan mengatakannya...!"
"Itulah yang paling kuharapkan...!" kata Giri
Wisa dengan wajah berseri-seri.
"Aku yang hina papa, oleh seseorang diberi
nama Buang Sengketa...!"
Ketua Perguruan Lintang Kembar, langsung
tergelak-gelak begitu Buang Sengketa menye-
butkan namanya.
"Mengapa paman tertawa...? Apakah nama
seperti itu merupakan sebuah nama yang lucu...?"
"Tentu saja tidak! Cuma bagiku nama
Buang Sengketa merupakan sesuatu yang sangat
asing dan baru kali ini aku mendengarnya. Oh
ya... siapakah gurumu...? Atau pernahkah kau be-
lajar ilmu silat dengan seorang tokoh yang sangat
sakti...?" pancing Giri Wisa lebih lanjut.
Buang Sengketa gelengkan kepala. Hatinya
semakin mendongkol saja.
"Jangan coba-coba berdusta! Kau tak
mungkin mampu menolongku andai tidak memiliki
kepandaian silat tinggi dan ilmu meringankan tu-
buh yang begitu sempurna?"
"Aku hanya belajar silat pasaran. Sedang-
kan guruku, merupakan sebuah pantangan bagiku
untuk menyebutkan namanya kepada siapa-
pun...!"
"Benarkah begitu...?"
"Paman Giri! Mengenai siapa aku dan siapa
guruku, itu bukan menjadi persoalan. Yang perlu
kita bicarakan saat ini adalah, bagaimana caranya
menumpas Iblis Pemburu Perawan dalam waktu
secepatnya...!" tukas si pemuda merasa tak enak
hatinya.
"Hemm. Ya, aku sampai lupa...!'
"Bagaimana, apakah paman masih ingin
membawa murid-murid paman menyerbu ke sa-
rang macan...?" sindir Pendekar Hina Kelana.
Giri Wisa menjadi malu hati mendengar ka-
ta-kata si pemuda.
"Kalau menurutmu bagaimana...?" tanya la-
ki-laki bertumbuh pendek ini minta pendapat.
Buang menarik nafas panjang-panjang. Baginya
untuk memasuki sarang iblis bukanlah merupa-
kan pekerjaan yang mudah. Diperlukan perhitun-
gan yang matang dan saat-saat yang tepat.
"Kalau menurut hematku, kita tak perlu
mengorbankan sekian banyak murid-murid pergu-
ruan Lintang Kembar. Jadi sebelum kita melaku-
kan penyerangan, ada baiknya kalau kita melaku-
kan penyelidikan terlebih dahulu...!" kata si pemu-
da menyatakan pendapatnya.
"Sebuah ide yang bagus! Aku merasa setuju
dengan gagasanmu itu...!"
"Kalau paman sudah merasa setuju, dua
hari lagi kita sudah bisa berangkat ke sana...!"
"Hanya berdua...?" tanya Giri Wisa sesaat
kemudian.
"Ya... hanya kita berdua saja...! Sebab kura-
sa kita tak perlu mengerahkan sekian banyak mu-
rid-murid paman!"
"Baiklah, akupun setuju...!" ujar Giri Wisa.
***
Matahari tepat berada di atas kepala ketika,
Musang Leman, Karso Broco dan Ki Pragawa serta
empat belas orang pemuda desa sampai di pinggi-
ran hutan Sungai Buluh yang sunyi menyeram-
kan. Tak seorangpun nampak lalu lalang di sepan-
jang jalan yang mereka lalui, terkecuali mayat-
mayat yang masih baru ataupun yang sudah lama
bergelimpangan. Bau busuk menyengat hidung
membuat perut rombongan itu mual dan beberapa
orang diantaranya ada yang muntah-muntah.
Sungguhpun hati mereka diliputi perasaan jerih,
namun mereka tetap terus melanjutkan perjala-
nan. Tiada mereka hiraukan ribuan lalat berter-
bangan dari satu tempat ke tempat lainnya. Tidak
juga mereka perduli ketika melihat beberapa ekor
anjing hutan sibuk menggerogoti bangkai manusia
yang berserak tiada berketentuan. Apa yang ada di
dalam benak mereka saat itu adalah menemukan
putri Kepala Desa dan membunuh Iblis Pemburu
Perawan.
"Berhenti...!" perintah Kepada Desa yang be-
rada di bagian paling belakang. Begitu mendengar
aba-aba Kepala Desa. Maka Karso Broco dan yang
lain-lainnya langsung menghentikan langkah me-
reka.
"Ada apa, Ki Pragawa...?" tanya Musang
Leman setelah menunggu beberapa saat lamanya.
"Kita tak mungkin menemukan apa-apa ka-
lau hanya bergerombol seperti ini...!" kata Ki Pra-
gawa merasa kesal.
"Maksud Bapak Kepala Desa bagaimana...?"
sentak Karso Broco.
"Mayat-mayat berserakan, anjing menjijik-
kan dan lalat-lalat itu. Hanya itu saja yang kita
temui di sepanjang jalan yang kita lalui...! Tapi kita
masih belum juga berhasil menemukan di mana
letaknya sarang iblis itu...!"
"Jadi harusnya bagaimana...!" tanya Karso
Broco.
Ki Pragawa terdiam, keningnya mengkerut
seperti ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Kalau tidak begini saja. Kita bagi rombon-
gan ini menjadi dua, sebentar lagi kita mulai me-
masuki hutan itu...!" jelas Ki Pragawa.
"Apakah cara seperti itu tidak membahaya-
kan keselamatan kita...?" tanya Musang Leman.
"Kalau engkau merasa takut menghadapi
resiko, lebih baik kau tinggal di rumah saja...!"
komentar Kepala Desa Mekar Sari.
"Maksudku bukan begitu, ki...! Kitapun ha-
rus memperhitungkan kekuatan di pihak kita. Iblis
Pemburu Perawan bukan manusia yang bisa di
anggap enteng. Terbukti di sepanjang jalan yang
kita lalui sudah begitu banyak korban yang berja-
tuhan. Padahal mereka memiliki kepandaian yang
mungkin saja lebih tinggi dari kepandaian yang ki-
ta miliki…!" kata Musang Leman.
"Tak usah berpikir sampai sejauh itu. Yang
penting sekarang anggota kita bagi dua. Musang
Leman dan tujuh orang lainnya bergabung den-
ganku, dan masuk dari arah timur ini. Sedangkan
Karso Broco dan tujuh orang lainnya masuk dari
sebelah utara! Nah kupikir hanya itu yang perlu
kalian ketahui. Andai kita berhasil menemukan
putriku maka kuharap kita bisa berkumpul lagi di
sini...! Eeee... apakah ada pertanyaan dari sauda-
ra-saudara...?" tanya Ki Pragawa.
"Kami kira sudah tidak ada yang perlu kami
tanyakan. Semuanya sudah jelas." kata Karso Bro-
co.
"Kalau begitu sekarang kita berangkat...!"
perintah Ki Pragawa.
Rombongan itu kemudian terbagi dua ber-
gerak menuju jalan yang sudah ditentukan. Seka-
rang kita ikuti rombongan yang dipimpin oleh Kar-
so Broco. Ketika mereka berpisah dengan Ki Pra-
gawa dan Musang Leman, jalan yang mereka tem-
puh untuk selanjutnya merupakan jalan berbukit
cadas yang sangat licin. Sementara di sisi kiri me-
reka merupakan tebing batu berlumut yang tiada
henti-hentinya meneteskan air. Dengan bersusah
payah dan tiada mengenal lelah orang-orang ini
terkadang harus merangkak. Tiada mereka hirau-
kan terik matahari yang begitu menyengat, padah
al rasa harus mulai memanggang tenggorokan se-
tiap anggota rombongan yang cuma terdiri dari tu-
juh orang.
"Kakang, udara terasa panas sekali. Aku
haus...!" keluh salah seorang yang berada di ba-
gian paling belakang.
"Tak ada membawa makanan, bekal airpun
sudah habis. Bagaimana kalau kau minum air
kencing saja...!" kata Karso Broco merasa kesal.
"Air kencing... kencing siapa...?"
"Kebetulan semalam aku habis makan jeng-
kol, nah air kencingku pasti berkhasiat mengobati
rasa dahagamu...!"
"Kurang ajar! Kalau begitu lebih baik ka-
kang minum air kencing sendiri. Aku tak sudi...!"
maki orang itu. Geram bukan main.
"Makanya jangan banyak rewel! Kau pikir
hanya kau sendiri yang merasa kehausan, semua
orang di sini merasakan hal yang sama. Tetapi kau
lihat mereka tak rewel sepertimu...!"
"Tapi jangan takut, kulihat di bawah sana
terdengar gemuruh suara air. Mungkin sekejap lagi
kita segera menemukan sebuah sungai.,.!" lanjut
Karso Broco memberi semangat pada kawan-
kawannya. Bagai saling berlomba, rombongan
yang dipimpin oleh Karso Broco sambil terus men-
dekati sungai yang sudah tidak begitu jauh dari
tempat mereka berada. Tak sampai se-pemakan si-
rih, merekapun telah sampai di pinggiran sungai.
"Breeeng...!"
Lalat-lalat beterbangan menyambut keda-
tangan mereka. Tak lama kemudian tercium pula
bau busuk yang menyengat hidung. Semua mere-
ka yang sudah bersiap-siap hendak terjun ke da-
lam sungai yang kelihatan dasarnya itupun urung,
lalu saling pandang sesamanya.
"Apa yang telah terjadi di tempat ini...?"
tanya mereka pada Karso Broco.
"Sebentar kuperiksa...!" kata laki-laki beru-
sia tiga puluh tahun itu, selanjutnya dengan diiku-
ti oleh kawan-kawannya mereka menuruni sungai
yang menebarkan bau busuk. Baru saja tiga lang-
kah mereka menginjakkan kakinya di dalam sun-
gai yang memiliki kedalaman tidak sampai setinggi
lutut. Mata mereka melihat mayat-mayat bergele-
takkan tumpang tindih. Tubuh mereka ada yang
mengambang di atas air karena perutnya telah
menggembung, ada pula yang tenggelam. Tetapi
banyak diantara mereka yang tergeletak begitu sa-
ja di atas batu-batu sungai yang berukuran besar.
"Gila... dimana-mana kulihat pemandangan
mengerikan. Melihat keadaan mayat-mayat ini se-
pertinya mereka tewas dibantai kuku-kuku bina-
tang buas. Ahk... mungkinkah di sekitar tempat ini
terdapat binatang mengerikan yang tak dapat ter-
lawan oleh mereka. Padahal aku yakin orang-orang
ini pasti memiliki kepandaian yang tinggi...!" kata
Karso Broco dengan wajah tegang.
"Sraak...!" terdengar suara bergemuruh dari
atas pohon, kemudian di susul dengan melayang-
nya beberapa sosok tubuh di atas sulur-sulur
tumbuhan merambat.
"Uoooh...!"
Rombongan itu keluarkan suara pekikkan
tertahan. Bahkan beberapa orang diantaranya
sampai ada yang menutup mata dengan kedua
tangannya.
"Monyet hitam berambut panjang seperti
manusia. Mereka hanya mengenakan koteka. Apa
yang telah terjadi dengan diri mereka? Mungkin-
kah mereka kelompok siluman kera?" gumam Kar-
so Broco sambil terus memperhatikan wajah yang
ditumbuhi bulu-bulu lebat itu. "Mereka semuanya
berjumlah tujuh orang. Tap... tapi yang satunya
seperti aku kenal, ya... aku kenal meskipun seka-
rang wajahnya telah berubah hitam penuh ditum-
buhi bulu-bulu yang begitu lebat. Mereka benar-
benar telah berubah menjadi seekor siluman mo-
nyet. Pastilah semua ini hasil perbuatan manusia
iblis. Kalau begitu mereka pernah tidur dengan
manusia keparat itu...!" geram Karso Broco.
"Suryaningsih! Apa yang telah terjadi de-
nganmu...?" tanya laki-laki ini tanpa mengalihkan
perhatiannya dari sulur-sulur yang dipergunakan
oleh mereka untuk bergelantungan.
Tiada jawaban sebagaimana yang diharap-
kan oleh Karso Broco, terkecuali erangan marah.
"Kau telah menjadi istrinya manusia iblis
itu, heh...!" bentak salah seorang dari anggota
rombongan. Gadis-gadis yang telah berubah men-
jadi siluman monyet hitam itupun kembali meng-
geram marah. Berpasang-pasang mata merah
membara memandang pada rombongan itu dengan
penuh kebencian.
"Hoaaar... hoaaar...!"
"Wuut...! Beeet...!"
Dengan mempergunakan sulur tumbuhan
merambat, mereka pun berayun-ayun tak ubah-
nya bagai seekor monyet hutan. Selanjutnya me-
nyerang rombongan yang di pimpin Karso Broco.
Menyadari adanya bahaya yang mengancam, maka
Karso Broco dan enam orang kawannya langsung
mencabut senjatanya masing-masing. Dalam wak-
tu sekejap terjadilah pertempuran yang sengit an-
tara Karso Broco dan kawan-kawannya melawan
gadis-gadis yang kini telah berubah menjadi silu-
man monyet hitam. Jurus demi jurus berlangsung,
Karso Broco dalam waktu singkat telah terdesak
dalam menghadapi serangan monyet-monyet hitam
yang sesungguhnya merupakan gadis-gadis yang
berhasil diculik, dinodai sekaligus dipengaruhi
oleh ilmu yang di miliki oleh Iblis Pemburu Pera-
wan. Yang membuat Karso Broco merasa hampir
putus asa adalah karena tubuh lawan-lawannya
kebal terhadap berbagai senjata. Sementara kuku
dan tangan lawannya menyambar ganas ke arah
Karso Broco.
***
TUJUH
Dalam gebrakan-gebrakan selanjutnya,
rombongan yang dipimpin oleh Karso Broco sema-
kin terdesak hebat. Bahkan tiga jurus di depan
mulai terdengar pula jeritan-jeritan histeris dari
mulut rombongan Karso Broco, ketika kuku-kuku
yang tajam milik lawannya menyambar pada ba-
gian wajah, dan bagian tubuh lainnya.
"Argggkh...!"
Dua orang kawan Karso Broco terjungkal
roboh, manakala kuku-kuku monyet hitam jeja-
dian itu merobek putus tenggorokan mereka. Air
sungai berobah menjadi merah darah. Keadaan
Karso Broco dan kawan-kawannya semakin kacau
tiada menentu. Mengetahui kawan-kawannya mu-
lai berguguran, Karso Broco dan sisa-sisa kawan-
nya mengamuk membabi buta. Golok besar yang
berada dalam genggaman tangannya berkelebat-
kelebat menyambar.
"Hiihh...!"
Karso Broco hantamkan senjatanya ke arah
salah seorang musuh yang berada paling dekat
dengan posisinya.
"Craaaak...!"
Bagai karet saja tubuh monyet-monyet jeja-
dian ini, bacokan yang dilakukan oleh Karso Broco
dan tiga orang kawannya tidak membawa akibat
apa-apa.
"Hoaar...! Nguuk...nguuuk...!"
Monyet-monyet jejadian itu kembali mende-
sak lawannya secara bersamaan.
"Ngoeeekkk...!"
"Breet...!"
Terdengar tiga kali suara robekan, tiga
orang kawan Karso Broco kembali terjungkal ke
dalam air sungai. Sungai yang mengalir tidak begi-
tu deras berubah warna seketika, merah darah.
Melihat kematian yang dialami oleh kawan
kawannya. Karso Broco menjadi gelap mata. Golok
besar di tangannya dia putar membentuk sebuah
perisai pertahanan yang begitu kokoh, sekarang
laki-laki berusia tiga puluhan itu mendapat ke-
royokan dari tujuh ekor monyet jejadian. Sekali
dua senjatanya menghantam bagian tubuh lawan-
nya. Tapi tetap seperti keadaan semula. Lawan-
lawannya begitu kebal terhadap berbagai bacokan
yang dilakukan oleh Karso Broco.
"Hoaaar...!"
Monyet jejadian menggerung keras, lalu sa-
betkan tangannya yang berkuku panjang dan
runcing. Karso Broco saat itu memang benar-
benar dalam keadaan kepepet sekali. Jiwanya ter-
ancam. Namun pada saat-saat yang sangat kritis
itu, mendadak selarik gelombang Ultra Violet mele-
sat cepat dan melabrak tubuh monyet-monyet hi-
tam jejadian itu. Terdengar jerit dan pekik kesaki-
tan dari mulut binatang-binatang itu.
"Karso Broco, cepat menyingkir...!" perintah
sebuah suara yang begitu sangat di kenal olehnya.
"Kakang Giri Wisa! Beruntung sekali engkau
datang...! Andai tidak aku pasti hanya tinggal na-
ma saja...!" kata Karso Broco sambil berusaha me-
nyingkir.
"Saudara, Karso awas di belakangmu...!" te-
riak Pendekar Hina Kelana yang saat itu nampak
sudah berdiri di atas batu tak jauh dari Wisa.
"Wuuut...!"
Kiranya pukulan Empat Anasir Kehidupan
yang dilepaskan oleh Buang Sengketa, tidak mem-
buat monyet jejadian itu mati. Bahkan setelah jatuh berkerengkangan, mereka cepat bangkit dan
langsung menyerang Karso Broco kembali. Namun
serangan mereka luput, karena nampaknya seran-
gan itu hanya bersifat ayal-ayalan belaka. Ternyata
hampir semua mata makhluk itu memandang be-
ringas pada si pemuda berkuncir.
"Monyet-monyet jejadian itu adalah penjel-
maan dari gadis-gadis yang berhasil diculik oleh
manusia iblis!" kata Buang Sengketa setelah Karso
Broco bergabung dengan mereka.
"Ah menyedihkan sekali. Jadi apakah mu-
ridku Nawang Wulan sudah tak dapat disela-
matkan lagi...?" tanya Giri Wisa nampak benar-
benar putus asa.
"Secara pasti aku tak dapat mengatakan-
nya, paman! Tapi menurutku gadis-gadis yang su-
dah tidak perawan itu masih dapat kembali ke
asalnya, jika kita mampu membunuh si manusia
iblis itu...!"
"Bagaimana mungkin engkau dapat menge-
tahui kalau mereka sudah tidak utuh lagi...?"
tanya Giri Wisa seakan tak percaya.
"Mereka hanya bisa berubah seperti itu, an-
dai Iblis Pemburu Perawan pernah tidur bersama
mereka, bisa mengertikah paman...?"
"Hmm. Benar-benar keparat terkutuk." ma-
ki Giri Wisa dengan geramnya. "Ehh... monyet-
monyet itu menyerang kemari, Buang...!"
"Aku tak bisa bertindak kasar pada mereka,
karena sesungguhnya mereka hanya terpengaruh
oleh ilmu iblis yang di miliki oleh bangsat itu...!
Tutuplah indera pendengaran kalian, aku akan
melakukan sesuatu...!" kata Buang Sengketa pada
Giri Wisa dan Karso Broco.
"Heeeikgh...!"
Terdengar suara bergemuruh saat mana si
pemuda mengerahkan ilmu Lengkingan Pemenggal
Roh yang sangat dahsyat itu. Bumi tergetar daun-
daun berguguran. Monyet-monyet hitam jejadian
itu nampak panik dan berbalik ke satu arah, ke-
mudian berlari sekencang-kencangnya.
"Mari kita kejar mereka...!" seru Ketua Per-
guruan Lintang Kembar.
"Jangan paman, di depan sana bahaya pasti
sedang menunggu kita. Kalau paman mau mengi-
kuti saranku, lebih baik paman tetap saja berada
di sini bersama saudara Karso Broco, biar aku
yang akan melakukan penyelidikan...!"
"Kau yakin dengan kemampuanmu...?"
tanya Giri Wisa merasa kurang enak.
"Berdoa saja untuk keselamatanku, pa-
man...! Biarkan aku akan mengejar mereka seka-
rang juga...!"
Tanpa menunggu jawaban Giri Wisa, tubuh
Buang Sengketa tiba-tiba telah lenyap dari hada-
pan Giri Wisa dan Karso Broco. Orang itu hanya
mampu geleng-gelengkan kepala penuh kekagu-
man.
***
Jalan yang ditempuh rombongan yang di-
pimpin oleh Ki Pragawa dan Musang Leman meru-
pakan jalan setapak yang tidak memiliki banyak
rintangan. Setelah melakukan perjalanan lebih ku-
rang empat jam, mereka sudah sampai di tengah-
tengah hutan Sungai Buluh yang angker. Saat itu
Ki Pragawa baru saja ingin memutuskan untuk is-
tirahat, ketika dari arah sebuah bukit yang terletak
di sebelah selatan mereka terlihat puluhan batu
seukuran kerbau meluncur deras ke arah mereka.
Masih untung Musang Leman cepat tanggap den-
gan datangnya bahaya yang secara tiba-tiba ini.
Andai tidak mungkin mereka yang sedang duduk
di bawah sebatang pohon rindang, remuk tergilas
batu tersebut. Rombongan yang sedang duduk-
duduk di bawah pohon rindang itu kontan bubar.
Diantaranya ada yang berlarian mencari selamat
dengan caranya masing-masing.
"Apa yang telah terjadi, saudara Musang
Leman...?" tanya Ki Pragawa, lalu memandang ke
puncak bukit yang tidak seberapa tinggi.
"Tidak ada hujan tidak ada angin! Batu se-
besar kerbau bunting runtuh begitu saja. Pastilah
ada sesuatu yang telah menyebabkannya...!" kata
Musang Leman.
"Apakah kau begitu yakin dengan apa yang
kau katakan itu...?" bertanya Ki Pragawa dengan
hati diliputi kebimbangan.
"Mengapa tidak! Malah aku mulai merasa
yakin, mungkin iblis itu telah mengetahui keda-
tangan kita...!"
"Persetan! Aku malah senang andai manu-
sia iblis itu telah mengetahui kedatangan kita. Jadi
tak usah susah-susah kita mencarinya ke mana-
mana...!" katanya begitu jumawa.
Weeer...!
Terasa adanya sambaran angin dingin yang
begitu keras menerpa diri mereka. Beberapa orang
kawan Musang Leman hampir saja terjungkal ro-
boh. Sementara Musang Leman dan Ki Pragawa
segera mengerahkan tenaga dalamnya agar dapat
terus bertahan pada posisinya.
"Apa kubilang! Iblis itu benar-benar telah
mengetahui kedatangan...!" komentar Musang Le-
man dengan wajah sedikit memucat.
"Tapi mengapa si terkutuk itu masih belum
juga menampakkan diri...?" tanya Ki Pragawa ma-
sih kurang begitu yakin.
"Mungkin juga dia sengaja membiarkan kita
memasuki sarangnya. Atau barangkali dia sengaja
ingin menghabisi kita di sini...!"
"Kurang ajar! Kau malah berusaha mena-
kut-nakuti aku, Musang Leman...! Salah-salah aku
malah membunuhmu...!" bentak Ki Pragawa ma-
rah.
"Jangan berprasangka yang bukan-bukan,
Ki...! Bukankah aku sudah pernah mengatakan
apapun yang bakal terjadi. Kita akan menghada-
pinya secara bersama-sama...!" tukas Musang Le-
man kesal.
"Ahaaa...ha...ha... groaaar...! Lebih baik ka-
lian saling bunuh dengan sesama kawan sendiri.
Kurasa kematian dengan cara seperti itu lebih me-
nyenangkan dari pada harus mati di tanganku se-
cara menyedihkan...!" bentak sebuah suara dari
atas bukit. Semua orang yang berada di bawah
bukit tersentak kaget begitu mendengar kata-kata
yang disertai dengan tenaga dalam dan ditujukan
pada mereka.
"Engkaukah kunyuknya yang berjuluk Iblis
Pemburu Perawan?" tanya Musang Leman dan Ki
Pragawa hampir bersamaan. Dalam pada itu me-
rekapun telah mencabut senjata mereka yang be-
rupa sebilah pedang berukuran panjang. Senjata
itu nampak berkilat-kilat diterpa sengatan mata-
hari.
"Groaaar... ha... ha... ha... ha...! Benar aku-
lah orangnya yang berjuluk Iblis Pemburu Pera-
wan. Asal kalian tahu saja, sesuai dengan julu-
kanku. Saat ini aku menjadi suami tunggal dari
berpuluh-puluh perawan yang dengan sukarela
menjadi istriku, menjadi budakku dan juga men-
jadi pembantu setia seumur hidup...!"
Merah padam wajah mereka yang hadir di
situ, terutama sekali Ki Pragawa yang merasa kehi-
langan putri tunggalnya.
"Dengan sukarela kau kata! Apakah bukan
malah sebaliknya? Keparaat...! Hampir setiap ma-
lam engkau bergentayangan menculik anak pera-
wan orang, kemudian kau kumpulkan di sarang
iblis milikmu. Itukah yang kau sebut-sebut dengan
sukarela...?" sentak Musang Leman dengan gera-
ham bergemeletuk menahan marah.
"Hemmm..." Iblis Pemburu Perawan men-
dengus. "Itu bukan urusan kalian, apapun yang
kukerjakan tak seorangpun yang mampu mengha-
lang-halanginya."
"Keparaat! Engkau telah melarikan putriku
satu-satunya, masih jugakah kau mau mung
kir...?" maki Ki Pragawa hampir lenyap kesabaran-
nya. Andai saja tidak sejak tadi Musang Leman
menghalang-halanginya, ingin sekali dia naik ke
atas bukit dan mencincang tubuh lawannya.
Kembali terdengar suara tergelak-gelak, an-
gin kencang menderu dan menyapu habis lima
orang pembantu Ki Pragawa. Tapi hembusan angin
tersebut kiranya satu kejutan yang bersifat mem-
beri peringatan belaka tanpa melukai. Sekejap ke-
mudian mereka yang terpelanting dihembus angin
yang ditimbulkan oleh kesaktian manusia Iblis,
sudah bangkit kembali. Wajah mereka semakin
bertambah memucat.
"Orang yang kuculik begitu banyak! Aku tak
tahu anakmu yang mana. Tapi kau tak perlu kha-
watir, aku menjadi seorang suami yang adil.
Anakmu telah kuurus dengan sangat baik. Bahkan
sekarang ini mereka menjadi orang-orang yang be-
gitu menuruti segala kehendakku...! Groaaar...
ha... ha... ha...!"
Bumi bagai diguncang selaksa gempa ketika
manusia iblis itu tertawa panjang. Suara tawa itu
begitu berpengaruh, bahkan membuat sakit telinga
bagi siapapun yang mendengarnya.
"Hentikan suara tawamu, manusia gila!
Hentikan...!" teriak Musang Leman dengan disertai
tenaga dalam. Tetapi suara teriakan laki-laki itu
seolah lenyap begitu saja ditingkahi suara tawa
lawannya.
"Apa yang kau miliki, tak ada setahi kuku-
ku, anak manusia! Kepandaian yang kau miliki ti-
dak mempunyai arti apa-apa bila di bandingkan
kekuatan yang ada padaku. Tokoh-tokoh persila-
tan saja sudah begitu banyak yang mampus di
tanganku. Kalian datang hanya mengantar nyawa
dengan sia-sia...!" hardik si manusia iblis.
"Keparaat! Tunjukkanlah tampangmu, kami
akan mencincang tubuhmu...!"
Tiada terdengar jawaban dari si manusia ib-
lis, suasana sepi mencekam mewarnai diri mereka
yang berada di bawah bukit. Namun hal itu tidak
berlangsung lama, detik selanjutnya terdengar
langkah-langkah berat bagai palu raksasa yang di-
ketukkan di atas tanah. Menyertai terdengarnya
suara langkah-langkah kaki itu, berhembus kem-
bali angin yang sedemikian kerasnya. Mereka yang
berada di bawah bukit itu, terkecuali Musang Le-
man dan Ki Pragawa nampak berusaha mati-
matian mempertahankan diri dari serangan angin
kencang yang menimbulkan udara panas itu.
"Aku datang memenuhi keinginan kalian...!"
terdengar satu suara yang begitu serak dan berat.
Mendadak suara langkah kaki sudah tiada terden-
gar lagi, bahkan angin kencang kini telah berhenti
berhembus.
"Jliik...!"
Seringan kapas sosok makhluk yang me-
namakan dirinya sebagai Iblis Pemburu Perawan
menjejakkan kakinya persis dua tombak di bela-
kang mereka.
Secara serentak, Musang Leman, Ki Praga-
wa dan lima orang pembantunya menoleh. Betapa
terperanjatnya hati mereka begitu melihat kehadi-
ran sesosok tubuh berbulu hitam lebat, sementara
sepasang matanya yang memerah bagai bara nam-
pak memandang bengis pada mereka.
"Akulah Iblis Pemburu Perawan yang kalian
cari-cari...!" kata Monyet Hitam yang dulunya me-
rupakan murid Ki Alot Roso.
"Kawan-kawan, tunggu apalagi! Cincang...!"
perintah Ki Pragawa memberi aba-aba pada Mu-
sang Leman dan para pembantunya. Sungguhpun
hati mereka diliputi keraguan, namun nampaknya
mereka begitu patuh pada Ki Pragawa. Akhirnya
tanpa membuang-buang waktu lagi merekapun
langsung menyerang Iblis Pemburu Perawan. Pada
dasarnya lima orang pembantu Kepala Desa Mekar
Sari ini hanyalah orang biasa yang tiada mengerti
ilmu silat, hanya Musang Leman dan Ki Pragawa
saja yang pernah belajar ilmu silat dengan Giri Wi-
sa, seperti diketahui Giri Wisa merupakan tetangga
sebelah desanya.
Di mata si manusia iblis, mereka ini tidak
memiliki arti apa-apa bila dibandingkam dengan
lawan-lawannya terdahulu. Sekali saja lawan ber-
gebrak dengan di sertai gelak suara tawa, lima
orang pembantu Ki Pragawa menggerung roboh
dengan luka mengangga dibagian dada dan leher.
Kejut hati Musang Leman dan Ki Pragawa demi
melihat kejadian yang berlangsung cepat di depan
mereka. Dengan kemarahan menggebu-gebu, ke-
duanya kembali menyerang lawannya dengan sa-
betan pedang di tangannya. Nampaknya pihak la-
wan tidak berusaha menghindar serangan ganas
Musang Leman dan Ki Pragawa. Dengan telah sen-
jata keduanya mencapai sasaran.
Jroook...!
Craak...!
Tubuh lawan ternyata kebal senjata, pena-
saran mereka kembali melakukan berulang-ulang.
Namun tetap saja tubuh lawannya tiada bergem-
ing, apalagi terluka.
"Cukup...!" teriak Iblis Pemburu Perawan,
lalu dorongkan kedua tangannya ke depan. Se-
rangkum gelombang pukulan berhawa dingin luar
biasa dan mengandung racun jahat melabrak tu-
buh orang itu. Dengan gugup keduanya membant-
ing tubuhnya. Tetapi pukulan yang dilepaskan la-
wannya seolah bagai bermata saja.
Terus memburu kemanapun Musang Le-
man dan Ki Pragawa menghindar.
"Blaak...! Dess... dess...!"
Tiada terhindari lagi dua sosok tubuh ter-
lempar menghantam sebongkah batu yang lu-
mayan besar. Kepala mereka remuk dan tiada
mampu bangkit untuk selama-lamanya. Iblis Pem-
buru Perawan keluarkan suara tawa tergelak-
gelak. Kemudian dengan sekali melompat maka
tubuhnya lenyap diantara kerimbunan pohon.
***
DELAPAN
Iblis Pemburu Perawan terus berlari-lari
menuju singgasananya yang sengaja dia bangun di
dalam relung-relung gua. Di sanalah dia me
ngumpulkan gadis-gadis yang diculiknya dari ber-
bagai daerah. Di sanalah pula dia dengan leluasa
berbuat segala kemaksiatan, tanpa mengalami rin-
tangan dari siapapun. Apa yang dilakukannya su-
dah barang tentu mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan ilmu sesat yang diyakininya.
Demikianlah tanpa menghiraukan suasana
di sekelilingnya, murid sesat Ki Alot Roso, yang
bernama Cindek ini terus berlari. Tanpa disada-
rinya dua pasang mata dari sebuah tempat yang
tidak begitu jauh terus membuntuti. Sebelum ma-
nusia sesat itu membelok pada sebuah tikungan
yang menuju ke arah gua yang menjadi tempat
tinggalnya selama ini. Terdengar satu bentakan
yang membuat lemas persendian orang yang tiada
memiliki kepandaian dan tenaga dalam tinggi.
"Berhenti...!" perintah sebuah suara. Menilik
suaranya yang begitu halus, pemilik suara itu pas-
tilah seorang perempuan. Dengan sikap tenang, si
manusia iblis hentikan larinya, kemudian menoleh
ke beberapa jurusan.
"Sudah sekian banyak kau menumpuk do-
sa, tapi pembunuhan tetap kau lakukan di mana-
mana. Benar-benar iblis bertopeng monyet...!"
"Kurang ajar, begitu datang kau memaki-
maki sedemikian rupa. Agaknya engkau merupa-
kan perempuan yang pantas menjadi istriku...!
Tunjukkan muka...!" berkata begitu Iblis Pemburu
Perawan hantamkan tangan kanannya ke arah re-
rimbunan pohon. Selarik sinar berwarna biru me-
nyambar ke arah si pemilik suara.
"Brees...!"
Dua sosok tubuh melesat dari kerimbunan
semak, pukulan sakti yang dilepas oleh lawannya
menghantam sasaran kosong.
Jliigkh...!
Begitu kaki mereka menginjak permukaan
tanah, salah seorang di antaranya yang memiliki
tubuh tinggi macam raksasa, langsung memben-
tak marah:
"Kau benar-benar telah tersesat jauh, adi
Cindek...! Dewata pasti mengutuk perbuatan se-
satmu...!" kata si tinggi besar. Tanpa menghirau-
kan ucapan pemuda yang berada di sebelah gadis
berlesung pipit, si manusia iblis yang disebut-
sebut sebagai si Cindek nampak tergelak-gelak.
"Hebat! Gadis yang sangat cantik luar biasa,
bahkan lebih cantik dari para gadis yang telah
menjadi istriku. Ah, sungguh beruntung sekali aku
hari ini...!"
Wajah Wanti Sarati berubah kelam membe-
si, dalam menghadapi manusia iblis yang satu ini,
nampaknya dia tak ingin basa basi lagi. Dengan
gerakan yang sangat cepat dirangkapkannya ke-
dua tangannya. Sebentar kemudian ke dua tangan
yang terangkat di atas kepala itu berubah warna
menjadi putih berkilauan.
"Kakang Duwur! Kiranya engkau telah me-
ngupah bocah cantik ini supaya sudi tidur den-
ganku. Lihatlah nampaknya dia mau melepaskan
pukulan yang membuat hangat tubuhku. Ah, mes-
tinya kau segera menyingkir kakang Duwur, tahu-
kah engkau bahwa bocah ini menginginkan agar
aku segera memeluknya...!"
Yang diajak bicara palingkan muka dan me-
ludah tiga kali, tanda bahwa pemuda berbadan
raksasa itu begitu membenci si manusia iblis.
"Saudara Duwur! Menyingkirlah...!" dalam
puncak tenaga sakti yang ingin dilepaskannya.
Wanti Sarati masih sempat memberi peringatan
pada si pemuda bertubuh raksasa yang tiada me-
miliki kepandaian apa-apa.
"Hiaaaat...!"
Di awali dengan jeritan tinggi melengking,
tubuh si gadis melompat ke udara setinggi dua
tombak. Pada ketinggian itu diapun lepaskan pu-
kulan 'Siluman Kembar' yang menimbulkan hawa
panas tiada tertahankan. Iblis Pemburu Perawan
kembali tertawa panjang, kemudian tangannya
laksana kilat dia silangkan ke depan dada. Saat itu
kiranya diapun menyadari bahwa gadis cantik itu
melepaskan pukulan andalan, hal ini merupakan
satu tanda bahwa lawan memang benar-benar
menghendaki jiwanya. Tak ayal lagi diapun mem-
bentuk sebuah pertahanan dengan memperguna-
kan 'Seribu Perisai Iblis'.
Begitu cepatnya pukulan itu melabrak ke
bagian tubuh si iblis.
"Blaaak...!"
Wanti Sarati sampai terhuyung akibat pe-
ngaruh pukulannya sendiri, debu dan pasir ber-
terbangan. Begitu debu yang menyelimuti suasana
sekitarnya lenyap sama sekali. Maka terlihatlah
tubuh lawannya masih tetap tegak di tempatnya
tanpa kekurangan sedikit apapun. Kecut hati si
gadis, tetapi tekadnya tetap membaja.
"Pukulanmu tak ubahnya bagai sebuah pe-
lukan yang begitu hangat dan membangkitkan gai-
rahku...!"
Sepasang mata manusia iblis itu tiada hen-
ti-hentinya memandangi wajah si gadis. Rona me-
rah yang terpancar, seolah menjilati seluruh per-
mukaan tubuh si gadis. Dalam pada itu kiranya
secara diam-diam Duwur memungut sebuah balok
besar. Setelah mengendap-endap dari arah bela-
kang Duwur memukul kepala si Cindek yang telah
berubah menjadi seekor monyet hitam mena-
kutkan.
"Thaaak...!"
Sekali pemuda bertubuh raksasa itu men-
gayunkan kayu di tangannya, dengan tepat balok
kayu itu menghantam tubuh si Cindek. Anehnya
sedikitpun tubuh monyet hitam tiada bergeming.
Apalagi sampai pecah. Padahal Duwur saat me-
mukul tadi telah mengerahkan segenap tenaga
ototnya. Hal ini merupakan satu bukti bahwa pi-
hak lawan ternyata memang memiliki kekebalan
luar biasa.
"Kau memukulku, kakang Duwur! Tapi aku
tak marah, aku hanya menginginkan gadis cantik
yang telah kakang bawa kemari...!" kata si iblis
kembali tergelak-gelak.
"Terkutuk! Mampuslah kau sekali ini...!"
maki Wanti Sarati, kali ini dengan mengandalkan
tiga perempat tenaga dalamnya. Wanti Sarati kem-
bali hantamkan pukulan 'Siluman Kembar', se-
rangkum gelombang sinar laksana perak datang
menggebu. Iblis Pemburu Perawan kibaskan tangannya dengan maksud memapaki serangan itu.
Tetapi karena dia bersikap ayal-ayalan. Akhirnya
tubuhnya terjungkal roboh.
Wanti Sarati hampir saja menarik nafas lega
saat mana lawannya dapat dijatuhkannya. Namun
perasaan lega itu, kemudian berganti dengan pera-
saan cemas. Saat itu, si manusia iblis sudah
bangkit kembali, tubuhnya tiada kekurangan se-
suatu apapun. Sementara kemarahan membersit
di wajahnya yang dipenuhi bulu-bulu lebat.
"Kau memang hebat, gadis...! Tapi dengan
caraku, kau pasti bakal menjadi milikku! Ya... kau
tetap akan menjadi milikku, selama-lamanya...!"
geram Iblis Pemburu Perawan. Selanjutnya orang
itu membuka jurus-jurus serangan yang tak
ubahnya bagai gerakkan seekor monyet. Mula-
mula tubuhnya berjingkrak-jingkrak. Kemudian
garuk-garuk kepala dan punggungnya. Lalu laksa-
na kilat dia menyerang lawannya dengan cakaran-
cakaran ganas mematikan.
Wanti Sarati juga tidak tinggal diam, dengan
cepat dia cabut pedang dan selendang yang melilit
di bagian pinggangnya.
"Jtaar... Jtarr...!"
Iblis Pemburu Perawan hanya keluarkan
erangan aneh, tanpa ragu-ragu lagi dia berusaha
menangkis lecutan selendang di tangan lawannya.
"Grrrrt...!"
"Jtaaar... Jtaaar...!"
"Kreeep...!"
Selendang di tangan Wanti Sarati tertang-
kap sudah, tarik menarikpun segera terjadi. Namun dalam hal tenaga dalam nampaknya Wanti
Sarati berada tiga tingkat di bawah lawannya,
hingga lama-kelamaan tubuhnya sedikit demi se-
dikit mulai terseret. Si gadis tidak merasa putus
asa, dua kali dia babatkan senjatanya ke bagian
lengan lawan. Tetapi bacokan yang keras tidak
menimbulkan akibat apa-apa. Diam-diam Wanti
Sarati yang sudah terseret mendekati jurang mele-
paskan selendangnya.
"Btaaak...!"
Tubuh Iblis Pemburu Perawan terbanting ja-
tuh terbawa kekuatannya sendiri. Tubuhnya nya-
ris terjerumus ke dalam jurang yang tiada terukur
kedalamannya. Laksana kilat dia bangkit kembali
dan lepaskan satu pukulan dahsyat. Sinar biru
langsung melabrak tubuh Wanti Sarati, gadis itu
sedapatnya berusaha menghindari datangnya pu-
kulan itu. Namun tetap saja tubuhnya terserempet
pukulan yang mengandung hawa dingin yang begi-
tu menggigit.
"Brees...!"
"Gusraaak!"
Wanti Sarati terbanting keras, lawannya ter-
tawa mengekeh. Kemudian kembali memburu
dengan maksud menyudahi pertempuran. Dalam
keadaan seperti itu Duwur dengan gerakan yang
tiada terduga melakukan tendangan telak ke arah
bagian perut bekas adik seperguruannya.
"Buuk...!"
Dihantam tendangan yang bertenaga raksa-
sa, tak urung tubuh si manusia iblis terbanting
roboh. Tetapi tendangan itu nampaknya tidak berakibat apa-apa. Dengan cepat dia kembali berdiri,
tanpa menghiraukan Duwur, dia kembali membu-
ru Wanti Sarati yang sudah mengalami luka dalam
cukup parah. Saat itu Wanti Sarati benar-benar
dalam keadaan terancam, tiada terduga-duga da-
lam detik-detik yang menegangkan itu, serangkum
gelombang berwarna merah menyala melabrak tu-
buh Cindek. Sekali lagi manusia sesat itu terjeng-
kang ke tanah. Dada terasa berdenyut sakit. Den-
gan langkah sempoyongan dia bangkit berdiri, di
hadapannya kini telah berdiri seorang pemuda
berpakaian kumuh berwarna merah dengan se-
buah periuk besar menggelantung di bagian ping-
gangnya.
"Paman Kelana...!" seru Wanti Sarati. Pen-
dekar Hina Kelana menghampiri si gadis dengan
sikap penuh waspada.
"Bangunlah Wanti...! Manusia Iblis ini bu-
kan tandinganmu...!" kata si pemuda, kemudian
tangannya merapat ke bagian punggung si gadis.
Diam-diam dia menyalurkan tenaga saktinya un-
tuk mengobati luka dalam yang diderita oleh keka-
sihnya.
Melihat adegan yang begitu mesra, Iblis
Pemburu Perawan merasa panas hatinya. Mes-
kipun dia menyadari bahwa lawan yang telah me-
lakukan pertolongan atas diri lawannya itu memi-
liki kesaktian yang tinggi. Namun tanpa merasa
sungkan diapun segera membentak: "Kunyuk ber-
periuk! Berani sekali kau mencampuri urusan-
ku...!"
"Telah begitu banyak nyawa yang kau hutang, tidak terhitung pula perempuan kau rusak
kehormatannya. Kedatanganku kemari adalah
dengan tujuan untuk mengambil jiwamu. Apalagi
kau telah berani melukai kekasihku...!" desis
Huang Sengketa dengan wajah kelam membesi.
"Jahanam terkutuk, kiranya kalian meru-
pakan sepasang kekasih. Kalau begitu kalian ber-
dua harus segera mampus di tanganku...!" teriak si
manusia iblis.
"Mampuslah...!" desis Pendekar Hina Kela-
na. Dengan gerakan yang sangat cepat pemuda in-
ipun kembali hantamkan pukulan Si Hina Kelana,
nampaknya lawannya pun tak mau kalah. Diapun
lepaskan pukulan Iblis Pembasmi Dewa. Kejab
kemudian terjadi dua ledakan yang terasa mengge-
tarkan seluruh tebing dan hutan yang terdapat di
sekitar tempat itu manakala dua pukulan sakti
saling bertubrukan di udara. Masing-masing lawan
sama-sama terbanting roboh dengan luka dalam
yang cukup lumayan. Darah nampak berlelehan
dari kedua belah pihak yang sedang terlibat perta-
rungan. Namun mereka sama-sama mengerang
marah, sekali lagi mereka sama-sama melepaskan
pukulan andalan yang disertai dengan pengerahan
tenaga dalam tinggi. Sinar merah menyala dengan
sinar biru seolah saling berkejaran. Benturan ke-
ras kembali terjadi. Membuat Buang Sengketa
maupun Iblis Pemburu Perawan sama-sama ter-
lempar dua tombak. Di pihak Buang Sengketa
nampaknya mengalami luka dalam yang lebih se-
rius kali ini bila dibandingkan dengan apa yang di-
alami oleh lawannya. Darah kental semakin banyak menetes dari celah-celah hidung dan bibir-
nya.
Saat itu sambil menyeringai menahan sakit,
Iblis Pemburu Perawan telah kembali menerjang si
pemuda yang masih dalam posisi terduduk.
"Awaaas... pamaaan...!" teriak Wanti Sarati
sambil memburu ke arah Buang Sengketa. Saat itu
pukulan yang seharusnya menghantam tubuh si
pemuda malah menyambar tubuh si gadis yang
berusaha melindungi Pendekar Hina Kelana.
"Brees...!"
Tiada tercegah lagi, tubuh Wanti Sarati yang
terhantam pukulan si manusia iblis, terperosok ke
dalam jurang yang tiada terukur dalamnya. Lolon-
gan panjang menyertai meluncurnya tubuh gadis
cantik ke bawah sana.
"Wanti...! Kau telah terlempar ke dalam ju-
rang? Oh, Wantiiiiiii...!" jerit si pemuda, begitu his-
teris suaranya. Si Duwur terpana, namun si ma-
nusia iblis tanpa mau perduli lagi kembali kirim-
kan satu pukulan telak.
"Wuuus...!"
"Bruaakkk!"
Tubuh Buang Sengketa terpental mendekati
bibir jurang, pada saat-saat yang kritis itu Duwur
cepat-cepat mengangkat tubuh Buang Sengketa
menjauhi bibir jurang.
"Kakang Duwur, lepaskan kunyuk gembel
yang kau gendong itu, jika tidak kau benar-benar
akan tewas bersamanya." teriak si manusia iblis.
"Wuut...!"
Secara tiada terduga Pendekar Hina Kelana
yang sudah terluka dalam dan mengalami pukulan
batin ini melompat dari gendongan si Duwur.
Dengan langkah-langkah terhuyung-huyung
pemuda yang telah dirasuki kemarahan ini menge-
ram marah. Pelan namun cukup pasti tangannya
mencabut senjata andalannya yang berupa Pusaka
Golok Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto. Begitu
senjata yang memancarkan sinar merah menyala
itu tercabut dari sarungnya. Mendadak udara di
sekitar tempat itu menjadi dingin luar biasa. Se-
mentara bibir si pemuda memperdengarkan bunyi
mendesis bagai ular piton yang sedang dilanda
kemarahan.
"Kau... telah menggoreskan sebuah luka te-
ramat dalam di hatiku. Kau telah menghancurkan
satu-satunya orang yang paling kuharapkan di
dunia ini. Hatiku tak kan pernah puas sebelum
mencincang lumat tubuhmu...!" dingin suara Pen-
dekar Hina Kelana sedingin tatapan matanya yang
memandang tajam pada lawan.
"Kau jangan membual kunyuk gembel. Kau
telah terluka dalam, sebentar lagi engkau pun
bakal menyusul kekasihmu ke dasar jurang sa-
na...!" kata si manusia iblis.
"Huaaaat...!"
"Nguuung...!"
Senjata di tangan Buang Sengketa mende-
ru, sementara cambuk di tangannya terus melecut.
Suasana di sekitarnya mendadak berubah gelap
gulita. Iblis Pemburu Perawan jadi terke-sima, be-
gitu juga halnya dengan si Duwur. Tetapi tiada
waktu bagi si iblis untuk berpikir panjang. Tubuh
nya menghindar, sekali dua dia lancarkan pukulan
mautnya. Tak jarang pukulan itu menghantam tu-
buh lawannya. Tetapi dengan adanya senjata di
tangan si pemuda pukulan itu tidak memiliki arti
sama sekali.
Gleger...!
Bunyi petir sambung menyambung tiada
henti saat mana senjata di tangan si pemuda me-
lecut ke udara.
"Kau harus mampus di tanganku, manusia
iblis...!"
"Caaat...!"
"Craas…! Craaas...!"
Tubuh Iblis Pemburu Perawan berputar-
putar, saat senjata di tangan Buang Sengketa
menghantam tubuhnya. Darah menyembur dari
dua buah lubang luka yang sangat dalam. Tetapi
Buang Sengketa tidak berhenti sampai di situ saja.
Dia kembali hantamkan senjatanya ke seluruh ba-
gian tubuh lawannya yang sudah tiada bernyawa.
Hingga tubuh manusia iblis itu sudah tiada ber-
bentuk lagi. Suasana kemudian adalah hening se-
pi. Secara perlahan kabut yang menyelimuti dae-
rah pertempuran sirna sama sekali. Di sebuah
tempat mayat Iblis Pemburu Perawan terbujur da-
lam keadaan tiada berbentuk.
"Pendekar Golok Buntung! Hari ini aku me-
ngaku kalah. Tetapi satu saat kelak aku akan me-
nitis pada keturunanku, dan kau merasakan beta-
pa pedihnya pembalasan yang kulakukan...!" kata
sebuah suara lamat-lamat.
"Keparat! Manusia Iblis itu kiranya hanya
jasadnya saja yang mampus. Tapi aku tak per-
duli." batin si pemuda, kemudian kembali dia me-
mandang ke arah jurang. Hatinya tiba-tiba menja-
di sedih. Wajahnya menunduk lesu.
"Dua kali kau menyelamatkan jiwaku. Sebe-
lum aku sempat membalas kebaikan dan cinta
yang kau berikan. Kini kau pergi dengan cara yang
menggenaskan. Belum pernah kebahagiaan sing-
gah dalam hidupmu... kiranya manusia iblis itu te-
lah menghancurkan segala impian mu...!" rintih si
pemuda. Tiba-tiba kelopak matanya menghangat.
Namun manakala sebuah suara yang sangat dike-
nalnya menegur, maka Pendekar Hina Kelana ce-
pat-cepat menoleh.
"Pendekar Golok Buntung! Monyet-monyet
jejadian telah kembali ke asalnya. Tetapi maaf aku
tak bisa membawa serta menemuimu, karena...
karena sebagian di antara mereka tak memiliki
pakaian yang memadai. Aku terpaksa pulang dulu
untuk mengambil pakaian buat mereka...!"
"Pergilah paman! Ajak saudara Duwur me-
nemani mu, aku tetap akan berada di sini. Hingga
aku benar-benar mendapatkan sebuah keda-
maian." kata si pemuda dengan hati pedih.
T a m a t
0 comments:
Posting Komentar