..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 31 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE IBLIS PEMBURU PERAWAN

Iblis Pemburu Perawan

 

IBLIS PEMBURU PERAWAN

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Setting Oleh: Mutiara Typesetting

Cetakan Pertama

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau 

seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit

D. Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode: 

Iblis Pemburu Perawan


SATU


Kau telah tersesat jauh adikku! Kembalilah 

padaku, aku merasa yakin segala sesuatunya ma-

sih dapat kita selesaikan dengan baik!" yang ber-

kata adalah laki-laki berwajah kasar serta memiliki 

tinggi badan tidak sebagaimana lazimnya manusia 

normal.

"Aku tidak mau kembali pada siapapun, ka-

kang...! Jangan terlalu memaksa...!" menyahut la-

ki-laki kerdil yang berada di depan si tinggi besar 

tanpa mau mengurangi kecepatan larinya. Jan-

gankan berhenti, bahkan menolehpun tidak. Se-

pintas lalu, kejar-kejaran yang sedang berlangsung 

itu nampak lucu. Bagaimana tidak. Yang dikejar 

adalah seorang laki-laki kerdil berusia dua puluh 

tahun, dengan langkahnya yang pendek namun 

cepat luar biasa. Sedangkan pengejar yang berada 

tidak begitu jauh di belakangnya adalah laki-laki 

yang memiliki tinggi hampir dua meter, dengan 

jangkauan langkah yang demikian lebar. Bahkan 

dapat dikatakan, sepuluh kali si kerdil mengayun-

kan kakinya. Mungkin si tinggi besar hanya empat 

kali. Anehnya walaupun si tinggi besar memiliki 

jangkauan langkah yang lebar, namun sampai se-

begitu jauh dia masih belum mampu menangkap 

tubuh pemuda kerdil yang berlari cepat di depan-

nya.

"Adi Cindek! Kuperingatkan padamu untuk, 

tidak meneruskan segala niatmu yang sesat itu...!" 

teriak pemuda tinggi besar yang terus mengejar di



belakangnya. Sebagai jawabannya, pemuda berba-

dan kerdil itu hanya mendengus tanpa menoleh 

sedikitpun.

"Adi... guru pasti murka atas segala sepak 

terjangmu yang di luar batas!"

"Persetan...!" sentak laki-laki berbadan ker-

dil itu terus mempercepat larinya.

"Susah payah mereka mengajar kita! Apa-

kah engkau hendak mengecewakan harapan-

nya...!"

"Masa bodoh...!"

Panas hati pemuda berbadan tinggi besar 

mendengar jawaban yang sangat menyakitkan ini. 

Sungguhpun begitu ia masih berusaha mengin-

gatkan adik seperguruannya.

"Niatmu yang keji bisa membuat sengsara 

banyak orang adi Cindek! Kembalilah padaku! Bu-

kankah semuanya masih dapat kita bicarakan...?"

"Jangan kau paksa aku untuk mengikuti 

kemauanmu, kakang...! Salah-salah aku malah 

akan membunuhmu...!" dengus pemuda berbadan 

kerdil. Mengancam. Semakin bertambah memerah 

paras pemuda berbadan tinggi bagai raksasa ini 

demi mendengar kata-kata yang diucapkan oleh 

adik seperguruannya. Tanpa putus asa ia masih 

tetap mengejar, berulang kali langkah pemuda 

kerdil yang berlari di depannya hampir tersusul, 

bahkan tangannyapun hampir dapat menangkap 

bagian pundak pemuda kerdil itu. Namun selalu 

saja setiap pemuda itu hampir dapat menyaingi 

langkah pemuda kerdil di hadapannya. Cepat lak-

sana lesatan anak panah, si kerdil telah berlari


menjauh.

"Berhenti adikku...!" perintah si tinggi besar 

dengan nafas memburu.

"Percuma engkau mengejarku, kakang Du-

wur...! Sampai tua kau tak mungkin mampu me-

nandingi ilmu lariku! He...he...he...! Coba kau 

bayangkan betapa guru kita selalu berada dipi-

hakku. Segala kepandaiannya yang tak pernah di-

berikannya padamu, namun dengan sangat se-

nang hati dia turunkan kepadaku...! Bukankah itu 

merupakan pertanda bahwa aku merupakan seo-

rang murid yang paling beruntung. Nah sekali lagi 

kuperingatkan padamu, jangan coba mengejarku. 

Apalagi dengan niat menghalang-halangi maksud-

ku. Kalau hal itu tetap kau lakukan, dengan san-

gat menyesal aku pasti membunuhmu...!" ancam 

si pemuda kerdil masih dalam keadaan berlari 

kencang. Nampaknya pemuda berbadan tinggi be-

sar yang di panggil Si Duwur ini merupakan orang 

yang keras hati dan berpantang menyerah. Walau-

pun dia menyadari kepandaian yang dimiliki oleh 

adik seperguruannya tiga tingkat lebih tinggi bila 

dibandingkan kepandaiannya sendiri. Hal ini bu-

kan menjadi dasar pertimbangannya. Terkadang 

memang pernah terlintas penyesalan di dalam ha-

tinya tentang tabiat gurunya yang suka pilih kasih 

dalam mendidik muridnya yang cuma dua orang 

itu. Tetapi ia tak berani protes secara langsung di 

depan gurunya. Sikap sang guru yang terlalu 

memberi kebebasan pada si kerdil dan menuruti 

segala kemauannya. Akhirnya menimbulkan ben-

cana yang sangat buruk bagi dirinya sendiri, terlebih-lebih buat orang banyak. Bahkan dalam kea-

daan terus berlari mengejar pemuda kerdil yang 

berlari semakin jauh dengan dirinya itu, dia malah 

teringat saat-saat mereka pertama kali diha-

nyutkan oleh Banjir Bandang. Dengan susah 

payah dia berusaha menyelamatkan diri si Cindek 

yang terus terseret arus deras. Mati-matian Duwur 

mempertahankan keselamatan sahabatnya si Cin-

dek. Bahkan dengan rela dia mendudukkan tubuh 

si Cindek di atas pundaknya. Dia tak pernah per-

duli dengan keselamatan dirinya sendiri, walau 

terkadang ia harus meneguk air bah yang meluap-

luap.

Banjir Bandang telah menyeret tubuh me-

reka dari Sungai Buluh hingga ke hutan Kayan-

gan. Andai saja seorang kakek tua berpakaian ser-

ta berambut serba putih tidak cepat-cepat meno-

longnya. Pastilah dua jiwa menemui ajal. Kejadian 

itu sepuluh tahun telah berlalu, sedangkan saat 

itu dua orang bersahabat itu berumur sekitar dua 

belas tahun. Dalam waktu sekian lama, kiranya 

kakek yang berpenampilan serba putih serta me-

miliki watak aneh itu telah berkenan mengangkat 

Cindek dan Duwur menjadi muridnya. Namun da-

lam menurunkan pelajaran ilmu silat dan puku-

lan-pukulan sakti, kiranya kakek tua yang memili-

ki nama Alot Rose nampak sering bersikap tidak 

adil. Bahkan beberapa tahun setelah berada dalam 

asuhan kakek aneh ini, si Duwur merasakan ke-

pandaian yang dimilikinya jauh tertinggal di bawah 

si Cindek. Pemuda yang memiliki badan melebihi 

manusia normal ini sebenarnya merasa iri melihat


kemajuan yang didapat oleh si Cindek. Tapi tetap 

saja dia tak dapat berbuat banyak. Sekarang se-

muanya sudah jelas, si Cindek yang memang sejak 

kecil memiliki tabiat kurang menyenangkan ini, 

rupanya selain memiliki perangai yang sangat bu-

ruk juga mempunyai tujuan yang menyesatkan. 

"Dunia bisa kacau andai aku membiarkan dia ber-

keliaran seenak perutnya." batinnya. Pabila pemu-

da bertubuh tinggi seperti raksasa ini teringat 

sampai ke situ. Maka kekhawatirannya telah men-

dorong semangatnya untuk berlari lebih cepat lagi.

Namun pabila dia memandang ke depan 

sana, maka orang yang dikejarnya sudah tak ter-

lihat lagi. Merasa kesal karena usahanya tidak 

mendatangkan hasil, maka pemuda bertubuh rak-

sasa ini berteriak keras-keras.

"Adi Cindeeek...!"

Suara teriakan si Duwur membahana sam-

pai ke sudut-sudut hutan rimba kemudian men-

jadi sayup-sayup dan hilang sama sekali. Pemuda 

ini kemudian berbalik langkah dan menelusuri ja-

lan semula. Wajahnya menunduk, sedangkan so-

rot matanya menyimpan kehawatiran yang menda-

lam.

Malam dingin di angkasa sana bulan berse-

limut awan hitam. Suasana di sekitar tempat itu 

adalah kesunyian belaka. Hanya sesekali terdengar 

suara jangkerik dan lolong anjing hutan saling 

bersahutan sesamanya. Lalu keadaan men-jadi 

sunyi sebagaimana sediakala. Dalam kegelapan di


dalam sebuah gubuk kecil yang terletak jauh di 

pinggiran desa. Seorang gadis dan seorang pemuda 

berusia dua puluh lima tahun nampak baru saja 

selesai melewatkan makan malam. Saat itu gadis 

berkulit hitam manis sedang memberesi alat-alat 

bekas makan. Sedangkan pemuda setelah selesai 

melewatkan makan malam langsung merebahkan 

diri di atas ranjang bamboo

“Masih sore begini kok sudah tidur, ka-

kang…!” tegur gadis berambut panjang sambil 

membawa peralatan makan yang sudah kotor ke 

dapur. Sekejap gadis itu menghilang di balik pintu, 

tapi beberapa menit kemudian telah kembali lagi. 

Tanpa diminta si gadis segera duduk di atas ran-

jang bambu dekat si pemuda berbaring.

“Badanku rasanya hendak sakit! Pula besok 

pagi aku harus cepat-cepat ke sawah. Padi hampir 

menguning itu perlu mendapat perawatan khusus. 

Kau tahu mengapa aku melakukannya…!” tanya si 

pemuda tanpa mengalihkan perhatiannya dari atas 

wuwungan rumah. Gadis berkulit hitam manis ge-

lengkan kepalanya.

“Pesta perkawinan kita hanya tinggal bebe-

rapa bulan lagi. Kita membutuhkan biaya yang ti-

dak sedikit…!” desah si pemuda. Si gadis hanya 

menganggukkan kepala tanda mengerti apa yang 

dikatakan oleh calon suaminya.

“Tidurlah! Akupun sudah mengantuk seka-

li!” ujar si gadis, lalu menguap beberapa kali. Tak 

lama setelahnya gadis berkulit hitam manis itu 

melangkah ke kamarnya. 

Malam terus berlalu tanpa terasa, orang


orang yang berada di dalam rumah itu telah pula 

terlelap. Tanpa sepengetahuan siapapun, di luar 

sana nampak sesosok tubuh mengendap-endap 

mendekati gubuk itu. Gerakan kakinya yang rin-

gan dan lincah dan tidak menimbulkan suara se-

dikitpun menandakan bahwa sosok gelap yang 

kian dekat dengan gubuk itu memiliki ilmu merin-

gankan tubuh yang sudah mencapai taraf sem-

purna. Setelah sampai di bagian pintu depan, 

orang itu mengintip suasana di dalam gubuk itu. 

Tiba-tiba bibirnya menyeringai!

“Mereka berdua pasti sudah pada tidur! 

Huh… kasihan si calon pengantin laki-lakinya. Dia 

pasti tak dapat lagi merasakan bagaimana indah-

nya malam pertama. Puuuh!” sosok tubuh berpa-

kaian serba hitam itu menghembuskan nafasnya 

kuat-kuat.

Lampu minyak yang terletak di atas lantai 

tanah padam. Di luar gubuk, suasana tetap gelap, 

namun di dalam gubuk itu lebih gelap lagi. 

Teeek! 

Dengan gerakan perlahan orang itu me-

nyentakkan palang pintu yang terbuat dari batang 

kayu kopi. Pintu terbuka, namun begitu didorong 

menimbulkan suara berderit. Tidak begitu keras 

memang, tapi suara perlahan itu cukup didengar 

oleh si pemuda yang terbaring di atas ranjang 

bambu yang sejak tadi gelisah tak mampu meme-

jamkan matanya. 

“Selasih! Engkaukah itu…?” tanya si pemu-

da dalam keingin tahuannya. Namun tiada jawa-

ban seperti yang diinginkannya. Dari sikap berbaring, pemuda itu kini duduk di atas ranjang bambu. 

Sepasang matanya yang kemerahan mengerjab, 

hanya kegelapan saja yang terlihat. 

“Creeep…!”

“Aghk…!”

Pemuda itu tercekat manakala dia merasa-

kan bagian lehernya dicekik oleh sepasang tangan 

yang kokoh. Semakin lama cekikan itu semakin 

kuat, bahkan tidak hanya sampai di situ saja. Dia 

merasakan ujung-ujung jemari yang begitu panas 

itu menghunjam ke bagian kulit lehernya, lalu me-

nembus sampai ke tulang. Pemuda itu menggelin-

jang dan berusaha meronta-ronta. Usahanya nam-

paknya menjadi semakin sia-sia, karena semakin 

ia meronta, jemari berkuku runcing itu semakin 

dalam menembus daging. Si pemuda merasakan 

panas yang tiada tertahankan di bagian lehernya. 

Kemudian dari bagian leher terus menjalar ke se-

luruh tubuhnya. Dia menjadi terbelalak kaget ke-

tika merasakan tubuhnya terasa kaku dan tak 

mampu digerak-gerakannya lagi. 

Bluuukk…!

Tubuh pemuda itu jatuh di atas ranjang 

tanpa mampu bangkit lagi. Selanjutnya sosok mis-

terius itu menyelinap memasuki kamar Selasih. 

Langkahnya perlahan saja, seolah dia sudah ter-

biasa berada di dalam gubuk itu. Sesampainya di 

dalam ruangan kamar Selasih yang begitu gelap. 

Pandangannya mencari-cari ke sekeliling ruangan, 

ketika dia melihat sesosok tubuh wanita terbaring 

di atas dipan kayu. Lagi-lagi senyum iblis mem-

bias. Orang itu merogoh sesuatu dari balik pakaiannya yang berwarna gelap. Lalu membukanya 

sebentar. Setelah itu bungkusan tadi dia dekatkan 

ke depan hidung.

“Puuuh…!”

Sekali hembus, berterbanganlah bubuk ha-

lus memenuhi seluruh ruangan kamar si gadis. 

Orang berpakaian serba hitam itupun menanti 

dengan sikap sabar.

“Kalau malam ini aku berhasil meniduri 

seorang gadis perawan! Menurut petunjuk tubuh-

ku akan berubah menjadi seekor monyet hitam 

yang sangat besar. Siapapun tak bakal mengenali-

ku. Dan tak seorangpun yang akan mengetahui

segala sepak terjangku. He…he…he…!”. Setelah 

menanti beberapa saat lamanya, maka apa yang 

dinanti-nantikannya mulai menampakkan hasil. 

Gadis yang bernama Selasih itu menggeliat seperti 

hendak terjaga, tetapi matanya tetap terpejam. La-

lu erangan-erangan lirih yang membangkitkan gai-

rah terdengar.

“Sekaranglah saatnya” gumam orang itu da-

lam hati.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, orang ini-

pun menghampiri dipan yang ditempati oleh Sela-

sih. Harum semerbak yang keluar dari tubuh sang 

dara membuat tubuhnya bergetar menahan gejo-

lak nafsu yang mulai membakar. Dengan sangat 

lembut dibelainya wajah gadis berkulit hitam ma-

nis ini. Kemudian terus meluncur ke bagian leher, 

lalu menyelinap ke balik pakaian si gadis. Sampai 

di sana jemari tangannya bermain-main sebentar 

sambil menunggu reaksi. Gadis itu kembali mengerang lirih. Tangannya menggapai dengan mak-

sud merangkul.

“Kakang Mirja! Mengapa kau matikan lam-

pu…! Dan kau begitu berani memasuki kamar-

ku…!” desis si gadis. Menyangka bahwa orang 

yang memasuki kamarnya merupakan kekasihnya.

“Diluar sana dingin…!” sahut sebuah suara 

yang begitu mirip dengan suara Mirja.

“Bukankah tadi kau mengatakan badanmu 

tidak enak? Pula selama ini kau begitu menjaga-

ku! Mengapa tiba-tiba menjadi nakal seperti ini…?”

tanya si gadis, sungguhpun saat itu dia mulai ter-

pengaruh pada rabaan jemari-jemari nakal yang 

dia anggap kekasihnya. Namun dia masih berusa-

ha mengingatkan. Orang itu nampaknya tidak 

perduli. Bahkan tangannya secara lebih berani lagi 

meluncur lebih ke bawah lagi. Si gadis menggelin-

jang, suara erangan semakin jelas terdengar.

“Kak… kakang…! Kita belum waktunya ber-

buat seperti itu…!” rintih Selasih. Lalu menangkap 

pergelangan tangan yang dia dianggap milik keka-

sihnya.

“Apakah kau mau mengecewakan aku…?”

tanya orang itu setengah kecewa.

“Aku tidak bermaksud begitu! Aku takut, 

Sang Hyang Widi mengutuk kita berdua…!” desah 

si gadis. Sementara tubuhnya menggeliat-geliat di-

bakar api asmara.

“Kalau kau tak mau, biarlah aku pergi se-

lama-lamanya…!” ancam suara itu. Ancaman itu 

ternyata cukup berpengaruh pada si gadis. Se-

sungguhnya dia tak begitu merasa kuatir atas kata-kata si pendatang yang dianggap kekasihnya 

itu. Sebab dia tahu betul Mirja begitu sangat men-

cintainya. Tak mungkin pemuda itu tega mening-

galkan dirinya. Tetapi karena ada sesuatu kekua-

tan aneh yang telah menguasai jiwa dan hatinya. 

Maka diapun merasa tak kuasa membendung 

keinginannya sendiri.

“Aku benar-benar segera meninggalkanmu!”

ulang orang itu.

“Jangan kakang…! Lakukanlah…!” desisnya 

setengah merintih.

Mata orang itu nampak berbinar-binar begi-

tu mendengar ucapan si gadis. Tak ayal lagi den-

gan sangat leluasa orang itu segera melampiaskan 

hasratnya. Selanjutnya hanya erangan dan rinti-

han yang terdengar. Dua insan itu kini sudah sal-

ing menyatu. Sementara itu di luar sana, bulan 

maupun bintang sudah tak kelihatan sama sekali. 

Seolah merasa enggan menjadi saksi atas perbua-

tan terkutuk itu.

Tatkala semuanya sudah berakhir, Selasih 

menangis. Dia merasakan nyeri yang luar biasa di 

bagian bawah perutnya. Tubuhnya lemah lunglai 

tiada bertenaga. Di luar kesadarannya, perlahan-

lahan perubahanpun terjadilah. Tubuh tanpa pa-

kaian dan dalam keadaan terlentang itu menghi-

tam. Mula-mula dari bagian wajahnya. Tak lama 

kemudian seluruh tubuhnya. Gadis itu menjadi 

terkejut saat mana secara tak sengaja dia meraba 

ke bagian dada dan perutnya. Kasar dan berbulu 

lebat.

“Akgh… kakang Mirja…!” teriak Selasih begitu merasakan perobahan ujud dirinya sendiri. 

Yang menyahuti bukanlah pemuda yang diha-

rapkannya. Melainkan sebuah suara serak me-

nyeramkan.

“Ha…ha…ha…! Mirja-mu sudah mampus 

beberapa jam yang lalu. Yang berbaring di sisimu 

ini adalah iblis, ya…iblis…! Ha…ha…ha…!”

Dengan gerakan reflek, gadis yang telah be-

rubah ujud itu melompat dari atas dipan. Matanya 

melotot bagai mau melompat keluar. Namun kare-

na suasana di ruangan itu gelap gulita maka yang 

terlihat hanyalah sosok tubuh hitam legam.

“Ja… jadi yang meng…oh…kakang Mirja…! 

Setan alas…! Kau telah menghancurkan harga di-

riku…!” jerit gadis itu histeris. Laki-laki yang ter-

lentang di atas ranjang dengan sesungging senyum 

puas segera bangkit dari atas dipan. Dengan suara 

menggeledak dia berkata pada gadis yang telah be-

rubah ujud menjadi seekor monyet hitam berbulu 

lebat.

“Kalaupun Mirja kekasihmu itu masih hi-

dup! Diapun tak mungkin sudi menikah dengan 

seekor monyet sepertimu…!”

“Apa yang telah terjadi pada diriku…?”

tanya si gadis merasa kecut bukan kepalang.

“Ha…ha…ha…! Kau telah menjadi sosok 

makhluk yang sama sepertiku. Kau atau siapapun 

yang pernah berhubungan denganku, akan men-

jadi pembantu-pembantuku yang paling setia 

sampai akhir hidup ini…!” kata orang yang telah 

berubah menjadi seekor monyet hitam terus terge-

lak-gelak. Semakin bertambah terperangahlah gadis yang bernama Selasih itu dibuatnya. Kemudian 

dia berlari-lari menyeruak keluar. Dihampirinya 

ranjang yang ditempati oleh Mirja calon suaminya. 

Di atas ranjang itu Mirja ternyata masih terbaring 

di sana. Hanya tubuhnya telah berubah dingin 

membeku, tanda orang yang sangat dicintainya te-

lah tewas beberapa waktu lamanya.

“Kakang Mirja…! Kakang… maafkanlah 

aku…!” teriak Selasih tanpa henti-hentinya me-

nangisi mayat Mirja. Pada saat itu orang yang te-

lah berubah menjadi monyet hitam jantan nampak 

menyeruak dari dalam kamar Selasih. Gadis yang 

telah berubah menjadi seekor monyet inipun ter-

sentak. Saat itu berbagai perasaan sedang berke-

camuk di dalam hatinya.

“Kau…kau… iblis pengecut…! Kau telah 

menghancurkan hidupku…!” bentaknya. Lalu me-

langkah mundur dan menjauh, tetapi monyet hi-

tam penjelmaan si penyusup terus melangkah 

mendekati

“Siapa yang menghancurkan hidupmu? Ja-

lan nasibmu memang sudah menentukan kau ha-

rus menjadi pembantuku…!”

“Aku tidak mau…!” bantah gadis itu.

“Engkau pasti mau! Lihatlah…lihatlah ke-

mari…!” kata si monyet hitam pada monyet pen-

jelmaan Selasih. Mula-mula monyet penjelmaan 

Selasih bersikeras tidak mau menuruti apa yang 

dikatakan oleh orang itu. Tetapi lama kelamaan 

seperti ada satu kekuatan gaib yang telah memak-

sanya untuk menoleh dan memandang pada mo-

nyet hitam. Diapun menjadi kaget, mata orang itu

menyorot tajam, yang membuat merinding bulu 

kuduk gadis itu karena sepasang mata yang me-

mandang tiada berkedip itu berwarna merah me-

nyala.

“Sampai kapanpun kau harus menghormat 

dan menuruti segala perintahku. Karena aku ini 

merupakan majikanmu…junjunganmu…! Menger-

tikah kau…!” kata orang itu berpengaruh.

“Saya mengerti majikan…!” jawab Selasih, 

secara tiba-tiba mengikuti segala apa yang dikata-

kan oleh orang itu.

“Nah! Gubuk ini bukan tempat tinggalmu, 

kita mempunyai tempat tinggal yang jauh lebih 

menyenangkan di hutan sana! Sekarang juga kita 

pergi ke sana…!” kata si pendatang. Kemudian 

dengan diikuti oleh monyet hitam penjelmaan Se-

lasih. Keduanya lenyap dalam kegelapan malam.

***

DUA



Kalangan persilatan menjadi gempar dengan 

kemunculan tokoh yang mengaku dirinya sebagai 

Iblis Pemburu Perawan. Sepak terjangnya yang 

membuat heboh dan telah pula menimbulkan ba-

nyak korban jiwa. Meresahkan para pemimpin de-

sa, sesepuh bahkan sampai pada orang tua yang 

memiliki anak gadis berwajah cantik jelita. Hampir 

setiap malam penculikan terjadi, dan yang menjadi 

sasarannya terutama sekali gadis-gadis dari berbagai desa. Sayangnya mereka yang menjadi sasa-

ran penculikan itu, tak seorangpun yang pernah 

kembali ke daerahnya. Para gadis-gadis itu lenyap 

begitu saja. Tiada meninggalkan tanda-tanda da-

lam bentuk apapun. Seolah mereka lenyap ditelan 

bumi. Dengan tidak ditemukannya mayat maupun 

bukti lain hal ini malah membuat cemas para 

orang tua yang merasa kehilangan anaknya.

Hampir setiap malam secara bergantian pa-

ra penduduk melakukan ronda. Bahkan tak ke-

tinggalan kepala desa dan para guru silat secara 

teratur melakukan pengintaian. Namun sejauh itu 

mereka masih belum berhasil menemukan jejak 

siapakah sesungguhnya orang yang telah mengaku 

sebagai Iblis Pemburu Perawan itu. Adakah dia 

merupakan seorang manusia biasa, hantu bergen-

tayangan, atau sosok lain yang tiada kelihatan. Se-

jak terjadinya peristiwa penculikan demi penculi-

kan itu. Berada di daerah manapun apalagi berke-

liaran malam hari. Pasti akan menjadi orang yang 

dicurigai, ditangkap bahkan dibunuh tanpa me-

nunggu pengadilan dari orang yang berwenang.

Pembunuhan yang dilakukan oleh penduduk yang 

merasa desanya diganggu oleh Iblis Pemburu Pe-

rawan ini sudah kerap kali terjadi. Tak jarang 

orang-orang yang tiada memiliki kesalahan apa-

apa menjadi sasaran mereka.

Malam itu Desa Mekar Sari sebagaimana 

desa-desa tetangganya terlihat sunyi sepi. Hampir 

setiap pintu rumah penduduk tertutup rapat, pa-

dahal malam baru saja menunjukkan jam sembi-

lan malam. Walaupun desa itu bagai mati tiada


berpenghuni, namun di setiap sudut jalan atau 

tempat-tempat tertentu, beberapa penduduk desa 

yang terdiri dari laki-laki berumur tiga puluhan te-

tap saja melakukan penjagaan sebagaimana bi-

asanya. Tidak terdapat tanda-tanda Iblis Pemburu 

Perawan bergentayangan malam ini.

"Sudah hampir delapan hari desa kita ini 

aman. Aku terkadang berpikir sendiri, mungkin 

orang atau makhluk apapun yang menamakan di-

rinya sebagai Iblis Pemburu Perawan tak bakal be-

rani muncul menyantroni daerah kita...!" di salah 

satu sudut jalan seorang laki-laki berkata pada 

kawannya.

"Mulutmu jangan bicara sembarangan, Kar-

so Broco...!" ujar salah seorang yang duduk di atas 

batu dalam kegelapan itu. "Dia bisa datang seperti 

setan! Kapan saja dia mau." sambungnya marah.

"Aku membicarakan kenyataan, siapapun 

tahu sudah beberapa malam ini si Iblis itu tak 

muncul...!"

"Sore tadi aku dapat kabar, malam tadi desa 

sebelah menjadi sasaran orang itu. Bahkan dua 

orang gadis cantik dilarikannya sekaligus...!" kata 

lainnya menimpali.

"Kau tahu anak siapa yang diculik oleh 

orang itu...?" tanya Karso Broco.

"Yang satunya murid perguruan Lintang 

Kembar, sedang lainnya anak kepada desa...!" ja-

wab orang itu, lalu menarik nafas berat. Masing-

masing mereka yang berada di situ sama-sama 

terdiam.

"Ketua Perguruan Lintang Kembar aku ken


al sebagai sahabat baiknya Ki Bayan. Bahkan Ke-

pala Desa Jati Mulya seperti sama-sama kita keta-

hui merupakan adik kandung Kepala Desa kita, Ki 

Pragawa." komentar Karso Broco yang mengetahui 

lebih banyak tentang desa sebelah.

"Seingatku, murid kakang Giri Wisa yang 

bernama Nawang Wulan itu merupakan seorang 

gadis yang sangat cantik. Bahkan banyak pemuda 

di daerah itu yang tergila-gila padanya...!"

"Selain cantik, juga memiliki kepandaian si-

lat yang sangat tinggi. Bahkan kepandaiannya me-

lebihi gurunya sendiri...!" komentar lainnya mem-

benarkan.

"Semua itu karena dia belajar dari berbagai 

perguruan. Tapi bagaimana mungkin gadis yang

memiliki kepandaian tinggi seperti Nawang Wulan 

bisa dilarikan oleh Iblis Pemburu Perawan...?"

Suasana hening sejenak, hanya terdengar 

bunyi jengkerik yang memperdengarkan suara 

merdu.

"Kenyataan itu menandakan bahwa orang 

yang berjuluk Iblis Pemburu Perawan, pastilah 

seorang manusia yang memiliki kepandaian yang 

luar biasa...!" Karso Broco coba-coba menarik ke-

simpulan.

"Ah, mudah-mudahan kampung kita aman-

aman saja untuk hari-hari selanjutnya..." kata 

yang seorang lagi merasa ngeri sendiri. 

"Tooo...tolooong...!"

Belum lagi hilang perasaan was-was di hati 

mereka, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang 

wanita. Lalu disusul dengan suara bunyi kentongan. Karso Broco dan tiga orang kawannya bagai 

tersentak dari sebuah mimpi buruk menakutkan. 

Dengan senjata terhunus mereka segera berlari-

lari ke arah datangnya suara.

"Nampaknya suara tadi berasal dari rumah-

nya Ki Pragawa Kepala Desa kita...!" kata mereka 

lalu mempercepat larinya. Setelah melewati bebe-

rapa tikungan, sampailah mereka di rumah kepala 

desa. Rumah itu penuh sesak oleh penduduk desa. 

Empat orang peronda malam yang dipimpin oleh 

Karso Broco segera bergabung dengan penjaga 

lainnya. Setelah terjadi pembicaraan singkat, maka 

Karso Broco segera menyeruak di tengah-tengah 

orang banyak dan langsung menemui Ki Pragawa 

yang sedang berusaha membujuk istrinya di ruan-

gan tengah.

"Apa yang telah terjadi, Ki...!" tanya Karso 

Broco setelah membungkuk hormat pada kepala 

desanya. Hanya sesaat saja Ki Pragawa meman-

dang kehadiran Karso Broco, Musang Leman dan 

sepuluh orang kawannya, selebihnya kembali pada 

istrinya yang terus saja terisak tiada henti.

"Aku mau anakku selamat! Suryaningsih... 

dia harus kembali padaku...!'

"Aku juga menghendaki begitu, tapi coba 

bawa bertenang dulu. Kita membutuhkan waktu 

untuk menemukannya...!" jawab si Kepala Desa 

pelan, namun menyimpan kesedihan yang dalam.

"Apa masihkah kakang tunggu waktu! Iblis 

itu pasti tak mungkin membiarkan Suryaningsih 

hidup. Atau setidak-tidaknya... oh... dia bisa men-

jadi orang yang kehilangan harga diri...!"


"Kita akan mencarinya, Nyai... tapi biarkan 

aku bicara dulu dengan Musang Leman...!" kata Ki 

Pragawa. Kemudian laki-laki itu melambaikan tan-

gannya pada Musang Leman dan Karso Broco. 

Yang dipanggil segera menghadap.

"Apa sebenarnya yang telah terjadi, Ki...?" 

tanya Karso Broco beberapa saat setelah mereka 

sama-sama duduk di atas sebuah tikar permadani. 

Ki Pragawa nampak menarik nafas panjang, wa-

jahnya tengadah memandang lepas pada langit-

langit ruangan itu. Sekejap kemudian dipandan-

ginya belasan penjaga malam yang kini duduk 

berkeliling membentuk sebuah lingkaran.

"Anakku Suryaningsih telah diculik oleh Ib-

lis itu di dalam kamarnya...!" ujar Ki Pragawa ter-

sendat. Semua mata yang hadir di ruangan itu 

nampak terbelalak seakan tak percaya. Bagaimana 

mungkin hal itu bisa terjadi. Sedangkan penjagaan 

dilakukan sedemikian ketatnya. Tapi pada kenya-

taannya Suryaningsih puteri Ki Pragawa masih ju-

ga dapat dilarikan oleh Iblis Pemburu Perawan. 

Hal ini lebih membuktikan lagi, bahwa Iblis itu ter-

lebih nekad lagi dalam melakukan aksinya. Untuk 

apa dan dibawa ke mana gadis-gadis yang diculik-

nya itulah yang menjadi pertanyaan dalam hati se-

tiap orang.

"Apakah Bapak Kepala Desa melihat bagai-

mana rupa orang yang telah membawa lari Surya-

ningsih...?" tanya Musang Leman diliputi rasa 

keingintahuan. Ki Pragawa gelengkan kepalanya 

berulang-ulang.

"Sama sekali aku tak melihatnya! Tapi


mungkin istriku yang melihatnya...!" katanya, lalu 

memandang istrinya. Yang ditanya usap-usap ma-

tanya yang basah dan bengkak, nampak sekali da-

ri raut wajahnya kalau perempuan berusia empat 

puluh lima tahun itu berusaha tabah.

"Ak... aku hanya melihat setelah mendengar 

suara Suryaningsih. Itupun hanya bagian bela-

kangnya saja...!" ucapnya dengan suara tersendat-

sendat.

"Bagaimanakah rupanya orang itu, Nyai...!" 

desak Karso Broco.

"Orang yang melarikan anakku bertubuh 

pendek. Seluruh tubuhnya berwarna hitam. 

Mungkin juga berbulu mirip monyet yang besar. 

Dia hanya menoleh sebentar, dan aku melihat se-

pasang matanya merah menyala bagai bara...!" tu-

tur istri Kepala Desa. Seraya langsung menutupi 

matanya dengan kedua belah tangannya.

"Kalau begitu Iblis Pemburu Perawan meru-

pakan seekor binatang yang menjijikkan! Kita ti-

dak bisa tinggal diam... kalau perlu sekarang juga 

kita cari Suryaningsih...!" kata mereka beramai-

ramai.

"Ke mana kita akan mencari orang itu dan 

anakmu malam-malam begini. Jangan-jangan kita 

malah menjadi korbannya yang kesekian...!" tukas 

Karso Broco merasa gentar.

"Percuma saja kau pernah menjadi murid-

ku, kalau hanya untuk berkorban sedikit saja eng-

kau enggan...!"

"Bukan begitu...!"

"Sudah! Aku tak mau mendengar semua

alasanmu! Kalau kau tak mau ikut pergi dengan 

kami. Cepatlah engkau menyingkir dari hadapan-

ku, sebelum aku berobah pendirian!" bentak Ki 

Pragawa, dalam kepanikan itu emosinyapun sudah 

tak terbendung lagi.

"Janganlah bersikap begitu, bapak yang 

saya hormati! Walau bagaimanapun saya tetap 

membantu bapak...!"

"Bagus, kalau kau memang masih mempu-

nyai nyali dan memandang muka padaku...!" kata 

Ki Pragawa lalu tersenyum kecut. Setelah memper-

siapkan segala sesuatunya dan pamitan pada sang 

istri, berangkatlah serombongan berkuda yang di-

pimpin langsung oleh Ki Pragawa.

***


TIGA



Guruku dulu pernah bilang! Jadikanlah 

alam di sekelilingmu bagai seorang sahabat sejati. 

Karena sesungguhnya ia merupakan hidup dan 

kehidupan bagi dirimu!" terdengar satu suara dari 

dalam sebuah gua yang berukuran tidak begitu 

besar.

"Paman pasti akan mengatakan bahwa ka-

kek Bangkotan Koreng Seribu yang telah memberi 

petuah seperti itu...!" sambut satu suara merdu.

"Yah... kuanggap apa yang pernah dikata-

kannya merupakan suatu kenyataan yang tidak 

bisa dipungkiri...! Karena hidup walau bagaimana


pun ujudnya mempunyai saling ketergantungan

antara yang satu dengan lainnya...!"

"Sampai kapan paman mempertahankan 

prinsip seperti itu...?" tanya si gadis yang memiliki 

sifat keibuan ini sambil menambahkan kayu bakar 

di atas unggun yang berada tidak begitu jauh di 

depan mereka.

"Seharusnya bukan aku saja, tetapi juga 

kau, juga kalangan persilatan dari berbagai golon-

gan...!"

"Kalau semua orang yang ada di kolong lan-

git ini memiliki satu prinsip dan satu hati. Tentu 

tak ada peperangan, saling bunuh, fitnah memfit-

nah dan sebagainya!" pemuda berpakaian merah 

berambut di kuncir ini nampak tersenyum-

senyum. Lama sekali di pandanginya wajah jelita 

yang berada tidak begitu jauh darinya. Semakin 

lama ia memandangi wajah polos tanpa dosa ini, 

maka getar-getar di hatinyapun kian membuncah. 

"Wanty... kau seorang gadis yang sangat cantik, 

keibuan, berpikiran cerdas bahkan penuh penger-

tian. Pantasnya kau merupakan anak seorang raja, 

ataupun keluarga terhormat. Kemudian sebagai 

pendampingmu seorang pangeran yang gagah. 

Sayang kepadamu, dan memberimu cinta dengan 

segenap jiwa raganya. Tapi apa yang kau hadapi 

merupakan kenyataan yang sebaliknya. Hidupmu 

dipenuhi dengan berbagai penderitaan. Bahkan 

sebagaimana halnya dengan diriku, engkaupun 

tak memiliki orang tua. Tapi mengapa justru kau 

perpanjang penderitaan hidupmu dengan kau ta-

nam harapan cinta dariku. Apa yang dapat kau


harapkan dari manusia gembel sepertiku. Sung-

guhpun engkau mencintai aku dan akupun menci-

taimu, tetapi aku malah lebih senang pabila eng-

kau hidup dengan orang yang dapat memberimu 

segala-galanya." batin si pemuda. Diam-diam 

Buang Sengketa mulai dicekam rasa keraguan.

"Paman...!" desah Wanti Sarati setelah bebe-

rapa saat mereka saling beradu pandang.

"Hmm...!"

Wanti Sarati geser duduknya mendekat ke 

sisi Pendekar Hina Kelana.

"Apakah paman masih menganggapku se-

bagai seorang bocah...?" tanya si gadis dengan ta-

tapan sendu.

"Apakah hatimu sendiri pernah berkata de-

mikian...?" Buang Sengketa malah balik bertanya. 

Wajah gadis berlesung pipit itu memerah, saat 

mendengar kata-kata si pemuda.

"Terkadang aku merasa begitu. Aku sering 

teringat apa yang paman katakan ketika paman 

hendak menitipkan aku pada kakek Satria Pengga-

li Kubur. Padahal usiaku saat itu sudah hampir 

delapan belas tahun...!"

"Aku bukan menitipkanmu padanya, aku 

hanya ingin agar kau menimba semua kepandaian 

yang dia miliki. Wanti... dunia persilatan selalu tak 

ramah terhadap kaum wanita. Apalagi terhadap 

gadis cantik sepertimu, aku takut sesuatu yang 

tak baik bakal menimpamu, andai kau tak memili-

ki kepandaian yang sangat tinggi...!" ujar si pemu-

da begitu polos.

"Apakah semua itu bukan dalih paman,


agar aku tak mengikutimu ke manapun paman 

pergi…?"

"Wanti, engkau tak boleh mempunyai pra-

sangka buruk seperti itu terhadapku! Engkau tak 

pernah tahu apa yang sedang kupikirkan...!"

"Paman hanya ingin mengatakan bahwa 

saat ini di bagian timur nusantara sedang terjadi 

malapetaka besar dengan munculnya seorang to-

koh yang mengaku sebagai Iblis Pemburu Pera-

wan...?" sergah Wanti Sarati seolah sudah menge-

tahui duduk persoalannya.

"Hidup ini tanpa terasa sebenarnya begitu 

singkat. Dan kita baru dapat merasakan betapa 

berartinya hidup kita andai kita bisa berbuat ba-

nyak untuk orang lain!" kata si pemuda tanpa 

menghiraukan ucapan gadis berambut panjang di 

sisinya.

"Benarkan seperti yang kukatakan, paman 

ingin mengatakan padaku tentang para orang tua 

yang kehilangan anak gadisnya. Dan pembunu-

han-pembunuhan itu! Lalu paman segera ingin ke 

sana...!" desak Wanti Sarati dengan wajah meme-

rah menahan gundah. "Wanti...!"

"Paman...! sergah Wanti Sarati. "Aku tahu 

bagi paman kehadiranku tidak memiliki arti apa-

apa. Semestinya sejak dulu aku menyadari hal ini, 

yah... terkadang aku terlalu mengikuti perasaan-

ku. Ah... betapa bodohnya gadis yang bernama 

Wanti Sarati itu. Mengapa aku begitu besar mena-

ruh harapan pada seseorang. Padahal kehadiran-

ku mungkin hanya menjadi beban buat paman...!" 

tiada tertahankan lagi gadis cantik berlesung pipit


itupun terisak-isak.

"Wanti...! Kau terlalu berprasangka buruk 

kepadaku...! Kau tak pernah mau mengerti betapa 

akupun sering memikirkan dirimu. Bahkan aku-

pun begitu sayang padamu. Tetapi untuk cinta 

dan hidup bersamamu, itu belum dapat ku-

laksanakan sebelum aku berjumpa dengan ayahku 

Raja Piton Utara. Aku bisa mati penasaran, sean-

dainya seumur hidup aku tak pernah bertemu 

dengan salah seorang dari mereka yang telah me-

nyebabkanku terlahir ke dunia ini...!" ujar Buang 

Sengketa, sementara sepasang matanya meman-

dang sendu pada si gadis yang sangat dicintainya. 

Wajah cantik polos seolah tanpa dosa ini nampak 

memerah, lalu dibuangnya pandangan matanya 

jauh-jauh ke luar gua yang pekat berselimut ma-

lam. Hatinya menjadi resah. Ada sesuatu yang in-

gin dikatakannya, tapi ia tak kuasa untuk mela-

kukannya.

"Maafkan paman, Wanti...! Semestinya tidak 

kukatakan itu padamu...!" kata si pemuda dengan 

wajah tertunduk. Sekali lagi, Wanti Sarati dengan 

berani menggeser punggungnya. Sehingga kini ke-

duanya sudah saling berdekatan sekali.

"Paman tidak bersalah-apa-apa! Bahkan se-

layaknya aku membantu paman dalam mengatasi 

semua persoalan yang paman hadapi. Terkadang 

aku menyadari bahwa diriku ini egois dan mau 

menang sendiri...!" tukas si gadis menyesali diri.

"Sudahlah jangan kita sesali diri masing-

masing. Malam begitu larut, ada baiknya kalau ki-

ta istirahat...!"

Buang Sengketa lalu membelai rambut 

Wanti Sarati yang panjang, dan Wanti Sarati-pun 

merebahkan kepalanya di dada si pemuda yang 

bidang.

"Aku takut, paman meninggalkan aku la-

gi...!" kata gadis itu sambil memperhatikan wajah 

si pemuda tampan.

"Aku tak akan meninggalkanmu lagi..."

"Betulkah, paman...?" tanya si gadis mera-

gu.

"Hmmm... yaaa...!"

Sekali lagi dibelainya rambut si gadis yang 

panjang mengurai. Gadis itu bergelayut manja. Ke-

tika pandangan mereka saling bertemu, Buang 

Sengketa melihat sepasang mata si gadis yang be-

gitu indah nampak meredup. Sementara pemuda 

itu dapat merasakan dada Wanti Sarati berdegup 

kencang. Perlahan pemuda keturunan Raja Bu-

nian ini menundukkan wajahnya. Ketika wajah 

kedua orang itu saling mendekat, Wanti dapat me-

rasakan hangatnya hembusan nafas si pemuda 

menyapu wajahnya. Entah bagaimana mulanya, 

sekarang bibir mereka saling menyatu. Ciuman 

hangat yang begitu mesrapun berlangsung. Wanti 

Sairati merintih, sebuah rintihan manja, dari se-

buah hati yang kering akan kasih sayang. Ketika 

gadis berlesung pipit itu semakin mempererat pe-

lukannya, pemuda berwajah tampan itupun berbi-

sik.

"Jangan turuti kehendak nafsu hewani, ka-

rena kita bisa terjerumus ke lembah paling hina...!"



"Aku tahu, bahkan aku yakin paman pasti 

tak akan melakukannya...!" desah si gadis, kemu-

dian melepaskan pelukannya.

"Kau marah...?" tanya si pemuda bimbang. 

Wanti Sarati gelengkan kepalanya.

"Aku tak pernah marah, paman...! Justru 

aku merasa bangga, ternyata paman tetap seperti 

dulu. Begitu menghargai ketulusan cinta seorang 

wanita…!" jawab si gadis terharu.

"Nah sekarang tidurlah...! Besok kita sudah 

harus meneruskan perjalanan lagi" kata si pemu-

da.

Dengan berbantal tangannya sendiri, pe-

muda itupun akhirnya terlelap dalam waktu yang 

tidak begitu lama. Lain halnya dengan gadis yang 

berbaring di sebelahnya. Walaupun dia sudah be-

rusaha untuk memejamkan matanya, namun sulit 

sekali baginya untuk terlelap. Entah mengapa ha-

tinya gelisah. Padahal api unggun yang ia pasang 

sejak sore telah padam sama sekali. Sebentar-

sebentar diliriknya Pendekar Hina Kelana yang su-

dah pulas sejak tadi.

"Heran sekali, mengapa hatiku menjadi se-

gelisah ini, padahal waktu-waktu sebelumnya se-

jak aku bertemu dengan dia aku tak lagi menga-

lami hal seperti ini. Tapi naluriku mengatakan ada 

sesuatu yang tidak terlihat bergentayangan di luar 

sana...!" gumam si gadis berlesung pipit. Diam-

diam ia bangkit dari tidurnya. Memperhatikan 

keadaan di luar gua, suasananya tidak jauh beda 

dengan tempat mereka berada saat itu. Tapi Wanti 

Sarati mencoba terus mengawasi keadaan di luar


sana.

"Tidak terdengar sesuatu yang mencuriga-

kan di dalam sana, namun mengapa sekarang ini 

bulu kudukku malah meremang...?" 

"Sreeeek...!"

Terdengar suara semak-semak terinjak. Ta-

pi ketika Wanti Sarati mempertajam pendengaran-

nya. Suara mencurigakan itu sudah tak terdengar 

lagi.

"Aku harus tahu siapa sesungguhnya yang 

berada di luar sana! Tapi ada baiknya kalau ku-

tinggalkan pesan pada paman Kelana...!" batin si 

gadis. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, da-

lam suasana yang begitu gelap, gadis berlesung pi-

pit ini mengguratkan jari-jari tangannya pada 

dinding gua. Karena ruangan gua yang tidak begi-

tu besar ini dalam keadaan gelap gulita, maka di-

apun hanya mengandalkan perasaan belaka. Sele-

sai menuliskan pesan di dinding gua, Wanti Sarati 

menghampiri Buang Sengketa yang masih terlelap, 

dengan tubuh gemetaran dan memendam pera-

saan malu, sekali lagi diciumnya kening si pemu-

da.

"Aku tak ingin mengusik ketenangan tidur-

mu, kekasih...! Tapi aku harus tahu apa yang ter-

jadi di luar sana...!" bisik gadis berlesung pipit. Se-

telah memandangi Buang Sengketa sejenak la-

manya, Wanti Sarati membalikkan langkahnya. 

Dengan cara berjingkat-jingkat si gadis melangkah 

mendekati pintu gua. Sesampainya di depan sana 

gadis itu mengitarkan pandangannya ke segenap 

penjuru.


"Ah... pohon itu bergerak-gerak! Siapapun 

adanya orang itu, pastilah memiliki tujuan yang ti-

dak baik...!" gumam si gadis. Selanjutnya dengan 

gerakan yang sangat ringan tanpa menimbulkan 

suara sedikitpun, gadis inipun melesat ke sana. 

Dugaannya ternyata memang tepat, belum lagi dia 

sampai di tempat itu. Nampak sosok bayangan tu-

buh berkelebat menjauh.

"Heii... tunggu...! Pengintai sialan... tung-

gu...!" teriak Wanti Sarati, bergerak melakukan 

pengejaran. Orang yang dikejar oleh si gadis ber-

pakaian putih berbadan tinggi melebihi ukuran 

normal, tapi gerakan ilmu larinya tidak begitu ce-

pat. Lebih tepatnya lamban. Lain lagi halnya den-

gan Wanti Sarati yang telah belajar dari beberapa 

tokoh sakti, yang tidak perlu lagi diragukan ke-

mampuannya. Maka tak sampai sepemakan sirih 

dalam melakukan pengejaran. Pemuda berbadan 

raksasa inipun telah tersusul.

"Berhenti, kataku...!" teriak si gadis merasa 

kesal. Namun orang yang berada tak begitu jauh di 

depannya tiada memperdulikan orang yang menge-

jarnya. "Brengsek! Orang itu perlu diberi pelaja-

ran...!" batin si gadis. Sambil berlari-lari, Wanti Sa-

rati memungut ranting kering sebesar lengan bayi.

"Hihh...!"

Dengan kesal disambitkannya ranting itu 

mengarah ke bagian kaki laki-laki berbadan raksa-

sa itu.

Weeeer...!

Terdengar suara mendengung, manakala 

ranting kayu itu meluncur deras ke arah sasaran


nya.

Bletaak...! 

Guusruuuk...!

Tubuh laki-laki berbadan luar biasa itu ter-

banting roboh, saat mana kayu yang disambitkan 

dengan mengerahkan sepertiga tenaga dalam me-

labrak kakinya.

Jliiikgh...!

Dengan sekali lompatan, tubuh gadis berle-

sung pipit ini telah pula berada satu tombak di de-

pan pemuda itu.

"Banguun...!" perintah si gadis dengan sikap 

waspada.

"Arrrrgkh...!" terdengar satu erangan kesaki-

tan dari bibir si raksasa.

Duuuk...! 

Satu tendangan yang cukup keras meng-

hantam bagian rusuk kanan si raksasa. Orang itu 

kembali merintih. Tapi tubuhnya tiada bergeming 

sedikitpun.

"Sekarang kau harus katakan, mengapa 

kau bersembunyi di depan gua yang kami tempa-

ti...!" sentak Wanti Sarati mengancam.

"Aku... aku hanya...!" pemuda bertubuh 

raksasa itu tergagap.

Deees...!

Arrggkh...!

Lagi-lagi pemuda berbadan raksasa itu 

menjerit, sambil mendekap perutnya yang terasa 

mual bagai diaduk-aduk.

"Ak... aku hanya ingin mencari seseo-

rang...!" kata pemuda itu. Kedua tangannya menggapai dan berusaha bangkit berdiri.

"Cepat katakan! Siapa kau ini, apa yang kau 

cari di depan gua sana? Sebelum kesabaranku be-

nar-benar habis...!"

"Dan kau sendiri siapa...?" pemuda bertu-

buh raksasa itu malah badik bertanya.

"Eeh... kurang ajar! Ditanya malah balas 

bertanya! Jawab dulu pertanyaanku...!" pemuda 

itu garuk-garuk kepalanya. Mulutnya menyeringai, 

tetapi sorot matanya seperti menyimpan duka yang 

dalam.

"Ak... aku sedang mencari saudaraku...!"

"Saudaramu...!" sergah Wanti Sarati tak 

percaya. "Jangan coba-coba membohongiku den-

gan alasan-alasan yang tak benar. Aku bisa mem-

bunuhmu...!" sentak gadis berlesung pipit ini men-

gancam.

"Sumpah kelenger, aku tak pernah berbo-

hong pada siapapun...!" jawab si pemuda begitu 

serius.

"Hem. Aku percaya! Nah sekarang katakan 

semuanya...!" perintah Wanti Sarati. Sementara di 

langit timur nampak sang lazuardi merona merah.

"Namaku Duwur...!"

"Sebuah nama yang sangat jelek sekali..." 

komentar Wanti Sarati dengan sikap acuh. Tetapi 

pemuda raksasa yang memiliki nama Duwur ini ti-

dak memberikan reaksi apapun. Sebaliknya dia 

melanjutkan ucapannya:

"Aku sedang mencari saudaraku yang ber-

nama Cindek! Dan berusaha menyelamatkan nya-

wa dari kejaran guru sendiri...!"

Membelalak sepasang mata si gadis demi 

mendengar apa yang dikatakan oleh pemuda ber-

tubuh tinggi bernama Duwur itu. Apa yang dikata-

kan oleh si pemuda benar-benar satu kejutan yang 

tiada disangka-sangka.

"Mencari saudara, sementara nyawamu 

sendiri dalam keadaan terancam oleh guru sendi-

ri...? Satu lelucon yang tidak lucu. Atau engkau ini 

jenisnya manusia yang berotak miring rupanya...?" 

sentak Wanti Sarati tersenyum mencibir. Begitu 

nampaknya si pemuda tiada merasa tersinggung 

oleh kata-kata si gadis yang begitu menusuk pera-

saannya.

"Apapun yang Nisanak katakan tentang 

aku, itu bukan soal. Yang jelas saat sekarang ini 

dunia persilatan bakal ditimpa malapetaka yang 

sangat besar karena ulah adik seperguruanku...!"

"Apa...? Bicaramu semakin ngaco belo tak 

karuan...!" kata Wanti Sarati sambil tergelak-gelak.

"Nisanak! Kalau anda tidak percaya dengan 

apa yang kukatakan, lebih baik aku pergi saja...!" 

pemuda bertubuh tinggi mirip raksasa ini merajuk. 

Kemudian tanpa basa-basi lagi diapun berbalik 

langkah.

"Eiiit, tunggu...! Rupanya walaupun badan-

mu lebih besar dari gentong, tetapi engkau masih 

punya kebiasaan merajuk seperti anak kecil,

heh...!" cibir si gadis.

"Aku hanya merasa tak seorangpun yang 

sudi mendengar keluhanku. Banyak orang di ja-

lan-jalan sana menganggapku telah gila, ketika 

mendengar apa yang kukatakan...!" kata si Duwur

putus asa.

"Oh begitu! Baiklah, sekarang aku ingin 

mendengar tentang segala apa yang ingin kau ka-

takan. Nah teruskanlah...!" kata Wanti Sarati.

"Guruku bernama Alot Roso, selama ini 

tinggal di Bukit Gagu bersama dua orang murid-

nya, yaitu aku dan adi Cindek...! Namun selama 

menjadi muridnya aku tak pernah mendapat pela-

jaran apa-apa. Terkecuali melakukan tugas-tugas 

berat yang tidak ada hubungannya dengan ilmu si-

lat, sebagai guru kakek Alot Roso memang tidak 

pernah mengajari aku ilmu silat seperti yang di-

ajarkan kepada adik seperguruanku si Cindek. 

Mereka memang mempunyai watak yang sangat 

aneh, semua ilmu yang dimiliki oleh guruku dibe-

rikannya pada adi Cindek. Tapi aku tak pernah 

merasa iri! Bahkan selama sepuluh tahun aku di-

angkat menjadi murid, aku tidak memiliki kepan-

daian apa-apa! Sementara adi Cindek telah berha-

sil mempelajari berbagai ilmu aneh dari kakek Alot 

Roso. Di luar sepengetahuanku, kiranya adi Cin-

dek belajar ilmu sesat pula dari kakek Alot Roso. 

Ilmu sakti itu benar-benar dapat membahayakan 

keselamatan orang banyak...! Bahkan sekarang ini 

gejalanya sudah mulai nampak...!"

"Apa maksudmu...?" tanya Wanti Sarati se-

makin tidak mengerti.

Yang ditanya nampak menarik nafas pan-

jang-panjang. Selanjutnya secara singkat ia men-

ceritakan tentang sepak terjang adik seperguruan-

nya.

"Jadi orang yang menamakan dirinya seba


gai Iblis Pemburu Perawan, sesungguhnya meru-

pakan adik seperguruanmu...?"

Si Duwur anggukkan kepalanya beberapa 

kali.

"Benarkah dia berburu perawan-

perawan...?" tanya Wanti Sarati merasa ngeri.

"Ya... begitulah kenyataannya seperti apa 

yang kulihat dalam buku sesat yang tersimpan di 

salah satu tempat tidak begitu jauh dari Bukit Ga-

gu...!"

"Lalu untuk apa adik seperguruanmu me-

ngumpulkan perawan-perawan itu...?" tanya si ga-

dis polos. Sementara demi mendengar pertanyaan 

Wanti Sarati, wajah si Duwur terasa panas bagai 

terbakar.

"Aku sungkan mengatakannya padamu, Ni-

sanak...! Tingkah adik seperguruanku itu sungguh 

memalukan dan pantas mendapat kutukan dari 

Sang Hyang Widi...!" gumam si Duwur dengan wa-

jah tertunduk lesu. Nampaknya Wanti Sarati yang 

berpikiran cerdas ini sudah dapat mulai meraba 

apa maksud dari kata-kata yang dikatakan oleh 

lawan bicaranya.

"Perbuatan yang sangat keji! Tapi...!" sesaat 

si gadis terdiam dan membuang pandangan ma-

tanya jauh-jauh. "Apakah selamanya adik sepergu-

ruanmu yang sesat itu akan melakukan penculi-

kan?" lanjut si gadis harap-harap cemas.

"Tentu saja! Sebab semakin banyak dia 

dengan hasil culikannya. Maka dia akan menjadi 

tokoh sakti yang tak dapat dikalahkan oleh pihak 

manapun...!" jawab si Duwur merasa semakin tak


enak.

"Gila... ini merupakan sebuah kenyataan 

yang sangat gila...! Segala sepak terjangnya harus 

segera dihentikan...!"

"Siapa yang mampu menghentikannya, Ni-

sanak...?"

"Kok kau malah bertanya padaku...! Guru-

mu yang telah mewariskan ilmu sesat itu pada 

adik seperguruanmu. Maka gurumu pula yang ha-

rus mencabutnya kembali...!" sentak Wanti Sarati 

gusar.

"Tak mungkin, nisanak...! Saat aku membe-

ri kabar tentang adi Cindek saja ia malah tergelak-

gelak. Bahkan katanya dia telah berhasil mewa-

riskan sebuah ilmu langka yang tiada tanding. 

Nampaknya dia merasa bangga dengan ke-

berhasilannya yang didapat oleh adik Cindek. Ke-

tika aku protes tentang kekeliruan yang telah di-

perbuatnya, dia malah berbalik dan ingin membu-

nuhku...!" kata si pemuda dengan mimik ketaku-

tan.

"Guru gila... muridnya sinting...! Untung 

engkau tidak terseret-seret menjadi murid yang 

kurang waras...! Kau harus bersyukur pada Sang 

Hyang Widi...!" gumam si gadis hampir tak terden-

gar sama sekali.

"Apakah nisanak bersedia menolongku da-

lam mencari Iblis Pemburu Perawan?" tanya si 

Duwur dengan niat sungguh-sungguh.

"Menurutmu setiap bergaul dengan pera-

wan, adik seperguruanmu menjadi semakin sak-

ti...!" ucap si gadis tanpa merasa sungkan lagi.

"Memang betul...!"

"Nah apakah kau pikir aku mampu menan-

dingi kesaktiannya...?"

"Kita belum mencobanya...!" jawab si Duwur 

begitu tenang.

"Baiklah, tapi aku harus membicarakan 

persoalan ini pada pamanku...!" komentar Wanti 

Sarati menyanggupi.

"Dimanakah paman nisanak...?"

"Jangan cerewet! Mari ikut aku, mudah-

mudahan saja dia masih berada di dalam gua 

itu...!"

Wanti Sarati dan si Duwur berbalik langkah 

menuju goa yang mereka huni selama beberapa 

hari ini.

***

EMPAT



Rombongan berkuda yang dipimpin oleh Gi-

ri Wisa Ketua Perguruan Lintang Kembar dan Ke-

pala Desa Jati Mulya, Ki Laksono. Saat itu mereka 

sudah sampai di pinggiran hutan sungai Buluh. 

Namun sejauh perjalanan yang mereka tempuh, 

masih belum ada tanda-tanda ditemukannya Na-

wang Wulan muridnya dan juga putri Ki Laksono. 

Giri Wisa memperlambat lari kudanya, sebentar-

sebentar Ketua Perguruan Lintang Kembar ini 

memandang lurus ke arah jalan di depannya. Di-

lain saat dia menoleh ke belakang. Lima orang murid dengan setia terus mengikuti beberapa tombak 

di belakangnya. Sementara Ki Laksono dan empat 

orang pembantunya telah berada jauh di depan-

nya. 

"Traaat... Glegeeer...!" 

Langit yang sejak tadi mendung kini telah 

berubah menjadi gumpalan awan hitam yang ber-

gulung-gulung. Angin bertiup kencang, lalu semu-

anya berubah menjadi gelap gulita. Gelegar petir 

sambung menyambung tiada henti.

"Traaat...! Dweeerr...!

"Argggkh...!"

Empat orang pembantu Ki Laksono yang be-

rada di bagian paling depan terjungkal roboh ber-

sama kuda tunggangan mereka. Sementara Ki 

Laksono sendiri andai tidak menyadari datangnya 

bahaya alam itu sejak lebih awal, tentu tubuhnya 

sudah hangus saat itu seperti apa yang dialami 

oleh empat orang pembantunya.

"Daerah ini rawan petir, ki...! Kalau dapat 

kita harus segera menyingkir dari tempat ini...!" te-

riak Giri Wisa di sela-sela air hujan. Kepala Desa 

Jati Mulya, kini telah bersisian dengan Ketua Per-

guruan Lintang Kembar gelengkan kepalanya ke-

ras-keras.

"Tidak mungkin kakang Giri! Menurut pe-

tunjuk yang kita dapat. Di sekitar hutan inilah 

manusia iblis ini bermukim..."

"Kita bisa celaka, ki...! Kita semua bisa ce-

laka...!" kata Giri Wisa.

"Anakku, muridmu berada dalam cengkera-

man iblis itu! Aku tak bisa tinggal diam begitu saja..,!" bantah Ki Laksono tetap pada pendiriannya.

"Traaak... Glegeeer...!"

Gelegar petir yang membuat gendang-

gendang telinga bagai terobek kembali membahana 

dan menyambar ke arah mereka.

"Hujan deras dan petir yang begitu tiba-tiba, 

bahkan telah membuat mati empat orang pem-

bantumu, bukan kejadian alam biasa ki...!" Giri 

Wisa kembali memberi peringatan. Sementara se-

pasang matanya terus memperhatikan setiap jeng-

kal tanah yang berada di sekitarnya. Tiba-tiba se-

pasang matanya terbelalak lebar-lebar. "Mengapa 

tanah di sekitar tempat ini berobah bagai kawah 

gunung. Meleleh seperti bubur. Ah ini bisa mence-

lakakan semua orang-orangku. Tapi Ki Laksono 

yang keras kepala, mana mungkin mau mening-

galkan tempat ini. Dia begitu menyayangi putri 

tunggalnya. Aku takut jangan-jangan malah bukan 

mampu menolong, tetapi jiwa sendiri yang tak da-

pat ditolong" batin Giri Wisa. 

Broool...!

Mendadak tanah di bagian bukit sebelah ki-

ri mereka longsor.

"Awaas...!" teriak Giri Wisa pada kawan-

kawannya.

Dengan cepat mereka bergerak menghindar, 

namun tanah tempat kuda-kuda mereka berpijak-

pun berubah lembut bagai lumpur sawah

"Bleees...!" 

"Hieeeh...!"

Kuda-kuda yang mereka tunggangi mering-

kik keras. Agaknya naluri binatang itu mengisyaratkan adanya bahaya yang mengancam jiwa me-

reka.

"Kita semua bakal celaka...!" teriak Giri Wi-

sa, lalu melompat dari punggung kudanya yang te-

lah tenggelam di atas jalan yang telah berubah 

menjadi lumpur sampai sebatas perutnya. Melihat 

gelagat tak baik, lima orang muridnya mengikuti 

jejak Giri Wisa. Tak ketinggalan Ki Laksono pun 

segera melakukan apa yang telah diperbuat oleh 

Giri Wisa dan murid-muridnya. Celakanya saat 

mereka menjejakkan kakinya di atas tanah yang 

terdapat tidak begitu jauh dari tempat kuda tung-

gangan mereka terbenam dan lenyap. Tanah itu 

kini benar-benar telah berubah menjadi lautan 

lumpur yang menyentakkan tubuh mereka lebih 

ke dalam lagi.

"Usahakanlah kalian dekati pohon itu. Ce-

pat naik ke sana...!" dalam kepanikan itu kembali 

terdengar suara Giri Wisa memberi aba-aba. Den-

gan bersusah payah orang-orang yang terjebak 

lumpur penghisap itu bergerak mendekati seba-

tang pohon yang ditunjuk oleh Giri Wisa. Tapi per-

juangan untuk mencapai pohon yang mereka tuju, 

tidaklah mudah. Padahal jarak antara pohon itu 

dengan mereka mungkin tak lebih dari tiga tom-

bak. Tapi daya hisap tanah yang telah berubah 

menjadi lumpur itu memang terasa kuat luar bi-

asa. Di antara mereka yang terperangkap lumpur 

penghisap itu, hanya Giri Wisa dan Ki Laksono 

yang memiliki ilmu meringankan tubuh mencapai 

taraf sempurna saja yang masih dapat bergerak 

mendekati pohon agak lebih cepat. Sedangkan lima orang muridnya, dua orang di antaranya telah 

raib tenggelam. Sedangkan tiga orang yang masih 

tersisa sudah terbenam sampai sebatas leher.

Segera setelah Giri Wisa dan Ki Laksono be-

rada di atas pohon yang tumbuh kokoh di atas ta-

nah yang keras, secara bahu membahu mereka 

berusaha keras menyelamatkan tiga orang murid-

nya. Dengan mempergunakan tali yang berukuran 

panjang dalam waktu yang singkat murid-murid 

Lintang Kembar itupun terbebas dari bahaya 

maut. Sementara itu bunyi petir sudah tidak ter-

dengar lagi, namun hujan deras masih belum juga 

reda. Di atas pohon besar tubuh lima anak manu-

sia menggigil kedinginan.

"Aku tak mengerti mengapa jalan yang kita 

lalui secara tiba-tiba bisa berubah menjadi lautan 

lumpur. Kuda-kuda tunggangan lenyap, dua orang 

muridmu. Juga mayat empat orang pembantuku 

yang tersambar petir raib ditelan lumpur itu.!"

"Sudah kukatakan! Kita tidak bisa bertin-

dak gegabah, ki...! Aku yakin apa yang kita alami 

bukan hanya merupakan satu peristiwa yang ter-

jadi hanya karena secara kebetulan belaka. Kalau 

tempat dan daerah ini merupakan sarangnya Iblis 

Pemburu Perawan. Aku merasa yakin, hal ini ha-

nyalah merupakan sebuah jebakan yang dirancang 

sedemikian rupa oleh bangsat itu...!" Giri Wisa co-

ba-coba menarik kesimpulan. Tapi Ki Laksono 

yang diajak bicara malah geleng-gelengkan kepa-

lanya.

"Sebuah dugaan yang tidak beralasan sama 

sekali. Hujan, petir, dan angin ribut semuanya

adalah peristiwa alam yang sudah biasa. Apa yang 

kusebutkan tadi sudah ada yang mengaturnya. 

Yang Maha Kuasa. Dan itu bukan ulah manusia, 

jin, setan, iblis ataupun bantu yang bergentayan-

gan...!"

"Ki Laksono...!" ujar Giri Wisa di sela-sela 

tarikan nafasnya yang terasa menyesak. "Aku telah 

begitu banyak mengetahui bagaimana rawannya 

kalangan persilatan dari sejak aku masih muda. 

Mereka dengan segala keanehannya bisa berbuat 

apa saja untuk menjatuhkan musuh-musuhnya. 

Seingatku tanah keras disiram hujan selebat apa-

pun tidak nantinya tanah itu lumer menjadi lum-

pur. Hemm. Apa yang kita alami dulu rasanya 

pernah dialami oleh guruku. Pekerjaan ini hanya 

dapat dilakukan oleh tokoh sesat yang dulu per-

nah membuat guruku menderita seumur hidup. 

Tapi seperti yang kuketahui tokoh sesat yang ber-

nama Ki Alot Roso itu telah meninggal beberapa 

puluh tahun yang lalu...!" kata Giri Wisa pada di-

rinya sendiri. Namun sungguhpun ucapannya se-

perti ditunjukkan untuk dirinya sendiri. Tapi Ki 

Laksono sempat mendengarnya. Nampaknya dia 

merasa sangat terkejut sekali begitu mendengar 

kata-kata sahabatnya.

"Kakang Giri! Kalau tokoh yang kakang se-

butkan itu telah meninggal beberapa puluh tahun 

yang lalu. Tapi mengapa hal yang sama bisa terjadi 

lagi. Atau mungkinkah iblis itu memiliki seorang 

murid yang mewarisi ilmu sesatnya...?" tanya Ki 

Laksono mulai merasa tertarik dengan apa yang 

dikatakan oleh Giri Wisa. Ada perasaan jera menyelimuti hati Giri Wisa saat mendengar perta-

nyaan Ki Laksono sahabatnya. Sepertinya laki-laki 

berumur lima puluh lima tahun itu merasa enggan 

untuk menceritakan tentang tokoh sesat itu.

"Cobalah katakan padaku, kakang Giri...! 

Siapa tahu kita secara bersama-sama dapat men-

cari jalan keluarnya...!" desak Ki Laksono dengan 

nada berapi-api. Giri Wisa gelengkan kepalanya 

berulang-ulang. Sementara hujan yang tercurah 

dari langit semakin menggila.

"Kalau benar apa yang menjadi dugaanku. 

Maka tokoh persilatan golongan manapun tak 

akan ada yang mampu mengalahkamnya. Manusia 

iblis itu akan semakin bertambah sakti, pabila dia 

berhasil meniduri gadis-gadis perawan. Semakin 

banyak dia melakukannya maka semakin bertam-

bah sulitlah untuk dapat mengalahkannya...!"

"Bangsat! Ilmu yang sangat keji. Oh... anak-

ku pasti tak dapat diselamatkan lagi" keluh Ki 

Laksono, sedih.

"Semua itu hanya berupa dugaanku belaka, 

ki...! Secara pasti aku tak berani menarik kesim-

pulan ...!" ujar Giri Wisa berusaha membesarkan 

hati Ki Laksono.

"Kalau dugaanmu ternyata benar...!"

"Kalau dugaanku memang benar...! Di ko-

long langit ini hanya ada seorang yang mampu dan 

ditakuti oleh Si Alot Roso yaitu seorang tokoh sak-

ti, yang juga memiliki sifat aneh, yaitu Si Bangko-

tan Koreng Seribu...!"

"Kalau begitu kita harus menghubungi-

nya...!" sentak Ki Laksono begitu bersemangat. Giri



Wisa kembali geleng-gelengkan kepalanya.

"Menurut berita yang kudengar dari salah 

seorang sahabatku. Orang tua itu telah lama me-

ninggal dunia. Mungkin sekitar setahun yang lalu, 

tetapi kudengar beliau mempunyai seorang murid. 

Yang beberapa tahun belakangan namanya meng-

gemparkan kalangan persilatan golongan hitam...!"

"Siapa...?" tanya Ki Laksono dengan tubuh 

menggigil karena secara terus menerus diguyur air 

hujan.

"Pemuda itu menamakan dirinya sebagai 

Pendekar Hina Kelana. Tetapi dunia persilatan le-

bih mengenalnya dengan gelar Pendekar Golok 

Buntung...!"

"Kemungkinan-kemungkinan yang mem-

buat pusing kepalaku, kakang Giri! Sekarang ini 

yang ada dalam benakku adalah bagaimana me-

nemukan kembali putriku dan juga muridmu Na-

wang Wulan...!" ada nada putus asa ketika Ki Lak-

sono mengunggkapkan isi hatinya. Tetapi Giri Wi-

sa sebagai orang yang punya pengalaman banyak 

dalam dunia persilatan cepat-cepat menyambut: 

"Bukan putrimu atau muridku saja yang akan 

menjadi korban kebiadaban iblis itu, ki...! Mungkin

banyak lagi korban yang akan berjatuhan jika kita 

tidak melakukan upaya untuk mengatasinya...!"

"Persetan! Aku tak mau perduli dengan se-

mua itu. Bagiku yang terpenting adalah mencari 

jalan untuk menyelamatkan anakku...!" kata Ki 

Laksono dibakar amarah.

"Kau tak akan pernah berhasil, ki...!"

Glueeerrr...!


Seiring dengan terdengarnya suara bagai 

gempa. Lalu angin yang sangat kencang pun ber-

hembus dari bagian hutan yang paling lebat di sisi 

kiri mereka. Kemudian terdengar gelak tawa serak 

menggidikkan.

"Kuperhatikan sejak tadi, kalian bagai ku-

nyuk yang kehabisan akal untuk menghindari ke-

matian. Jangan kalian pikirkan anak-anak kalian 

yang telah menjadi istri-istriku yang paling setia...! 

Ho...ho...ho...! Pikirkanlah keselamatan kalian 

sendiri." bentak sebuah suara.

"Mungkin orang itulah yang kita cari-cari, 

kakang Giri...!" kata Ki Laksono berbisik.

"Siapapun orang itu, yang jelas dari suaran-

ya saja aku sudah dapat memastikan bahwa orang 

itu memiliki kesaktian yang sangat tinggi...!" jawab 

Giri Wisa dengan suara berbisik pula.

"Manusia iblis...! Tunjukkan dirimu...! Aku 

jadi ingin melihat apa yang kau andalkan se-

hingga begitu berani menculik anakku...!" maki Ki 

Laksono tanpa mampu membendung emosi yang 

sejak tadi berusaha ditahan-tahannya. 

"Kulihat diantara kawan-kawanmu, nam-

paknya hanya mulutmu saja yang begitu som-

bong. Mungkin engkaulah manusia pertama yang 

akan kubuat mampus...!" geram satu suara dari 

kerimbunan hutan lebat.

"Engkaukah orangnya yang menamakan diri 

sebagai Iblis Pemburu Perawan?" tanya Giri Wisa 

dengan jantung berdebar.

"Tak salah...!"

"Kalau begitu tunjukkanlah tampangmu.


Atau kami harus menyeretmu untuk menerima 

hukuman...!"

Kembali terdengar suara tawa menyeram-

kan.

"Kalian hanyalah manusia-manusia kroco 

dan bangsanya tikus cecurut yang bukan tan-

dinganku...!"

"Bangsat...!" maki Ki Laksono begitu gusar.

"Bicaralah sesuka hatimu selagi nyawa ma-

sih melekat di tubuhmu. Karena setelah itu, aku 

kan segera mengirimmu ke neraka...!"

"Kurang ajar! Jangan kira aku takut meng-

hadapimu...!" teriak Ki Laksono. Tiba-tiba tubuh-

nya meluncur menuruni pohon, tetapi Giri Wisa 

buru-buru menyentakkan krah pakaiannya hingga 

gerakan tubuhnya terhenti. Ki Laksono meronta 

dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan 

Giri Wisa yang begitu kokoh.

"Lepaskan aku, kakang Giri!"

"Kau bisa berbuat apa, ki...?" bentak laki-

laki bertubuh pendek itu dengan mata melotot.

"Jangan gegabah! Orang itu bukan tandi-

nganku, juga bukan lawanmu...!"

"Kalau kakang takut kepadanya, biarkan 

aku yang menghadapi seorang diri...!" sentak Ki

Laksono. Dengan satu hentakan keras tubuh Ki 

Laksono terus meluncur kebawah.

"Ki Laksono! Jangan kau lakukan itu...?" te-

riak Giri Wisa ketika melihat Kepala Desa Jati 

Mulya itu berlari-lari menuju hutan tempat ber-

kumandangnya suara Iblis Pemburu Perawan.

Dengan di dahului suara tawa bergelak-ge


lak, dari arah hutan nampak melesat dua larik si-

nar merah bagai bara menyambut kedatangan Ki 

Laksono. Menyadari datangnya bahaya yang begitu 

tiba-tiba. Ki Laksono bagai melihat setan menjijik-

kan di siang bolong nampak hentikan larinya. Tak 

ayal lagi diapun menyambut pukulan si penyerang 

dengan pukulan jarak jauh yang dimilikinya.

"Weeerr...!"

Segelombang angin pukulan yang dilancar-

kan oleh Ki Laksono menderu menyongsong puku-

lan yang dilepaskan oleh Iblis Pemburu Perawan. 

Namun baru saja pukulan gencar yang dilepaskan 

oleh Ki Laksono mencapai kira-kira tiga tombak. 

Pukulannya seolah bagai melabrak sebuah dinding 

baja yang tiada terlihat. Pukulan Genderang Mem-

bahana milik Ki Laksono tertahan, bahkan sedetik 

kemudian dia merasakan pukulannya sendiri tera-

sa membalik terdorong oleh sebuah tenaga raksasa 

yang bersumber dari sinar merah yang dilepaskan 

oleh lawannya.

"Gila! Bukan pukulanku saja yang bakal 

membalik, tetapi juga aku merasakan ada sebuah 

kekuatan yang tiada terlihat telah mendesakku se-

demikian hebatnya!" rutuk Ki Laksono. Dalam pa-

da itu masih tetap berada di tempatnya Giri Wisa 

membantu Ki Laksono dengan pukulan jarak 

jauhnya pula.

"Weeer...!"

Satu tenaga dorongan yang juga tak kalah 

hebatnya memaksa tubuh Ki Laksono selangkah 

maju ke depan. Keadaan seperti itu nampaknya 

semakin bertambah menyulitkan posisi Ki Laksono. Sebab secara tak langsung dua kekuatan yang 

datangnya dari depan dan belakang Ki Laksono tak 

ubahnya bagai menggencet tubuhnya.

"Ho...ho...ho...! Lihatlah betapa kawanmu 

sendiri ingin membunuhmu orang tua edan. Nah 

kupercepat kematianmu...!" geram si pemilik sua-

ra. Kemudian Ki Laksono merasakan satu samba-

ran hawa yang sangat panas menghajar dirinya 

dari depan. 

"Blaaamm...!"

"Arrggkh...!"

Terdengar suara lolongan maut manakala 

tubuh Ki Laksono terhantam dua larik sinar merah 

bara yang datangnya begitu cepat. Giri Wisa terpe-

rangah. Tubuh Ki Laksono terbanting keras mem-

bentur batang pohon lainnya yang berada tidak 

begitu jauh dari tempat Giri Wisa berada. Tubuh 

Ki Laksono yang sudah hangus bagai terbakar 

nampak berkelojotan beberapa saat lamanya. Lalu 

terdiam untuk selama-lamanya.

"Ki Laksono...!" jerit Giri Wisa histeris.

Tiada jawaban apapun, terkecuali suara ge-

lak tawa Iblis Pemburu Perawan yang masih tetap 

bersembunyi di kerimbunan hutan.

"Kawanmu itu memang sudah selayaknya 

mampus! Sebagaimana halnya orang-orang yang 

mencariku beberapa hari yang lalu. Begitu juga 

dengan dirimu, sebentar lagi segera menyusul ka-

wanmu. Jangan merasa iri atas kematian kawan-

mu! Kau dan tiga orang muridmu segera mendapat 

giliran...! Ho...ho...ho...!"

"Iblis terkutuk! Melihat semua yang terjadi



di depan mataku! Kini aku merasa begitu yakin, 

kau pastilah muridnya si terkutuk Ki Alot Roso...!" 

geram Giri Wisa.

"Bagus! Matamu memang awas, nah untuk 

tidak memperpanjang hidup kalian. Rasakan-

lah...!"

"Traaat! Gldeeer...!"

Tanah yang terletak di sekitar tempat itu 

terguncang hebat manakala serangkaian pukulan 

jarak jauh yang menimbulkan suara bagai gemu-

ruh petir menderu ke arah Giri Wisa dan ketiga 

orang muridnya yang masih tetap bertahan di atas 

pohon.

Ketua Perguruan Lintang Kembar terke-

sima dibuatnya. Tetapi dia juga tidak tinggal diam. 

Dengan mempergunakan pukulan Seribu Perisai 

Dewa, laki-laki berbadan pendek inipun hantam-

kan kedua tangannya ke depan, sementara ke dua 

kakinya menjepit keras dahan pohon yang didu-

dukinya.

Wuuuuss...!"

Blaaamm...!"

Satu ledakan yang sangat keras terdengar 

manakala dua pukulan sakti saling bertemu. Tu-

buh Giri Wisa hampir saja terjungkal, andai jepi-

tan kakinya pada dahan pohon tidak begitu kuat. 

Begitupun kepalanya sampai membalik ke bawah 

sedangkan bagian kaki berada di atas. Dalam kea-

daan bergelantungan seperti itu, dari sela-sela bi-

bir Giri Wisa mengalir darah kental. Menandakan 

bahwa laki-laki berusia setengah baya ini menda-

pat luka dalam yang cukup serius. Tetapi tangan



nya terus menggapai, berusaha kembali pada posi-

sinya. Dengan bersusah payah akhirnya dia mam-

pu menjaga keseimbangan tubuhnya, sekejap ia 

melirik pada tiga orang muridnya yang sudah 

mencabut senjata. Siap membantu guru mereka 

yang sudah terluka.

"Kalian mau berbuat apa...?" sentak Giri 

Wisa merasa terharu melihat murid-muridnya su-

dah berada dalam posisi siap tempur.

"Guru...! Kami akan memburu manusia iblis 

ke sarangnya! Melihat guru dalam keadaan ter-

luka, rasanya kami tidak bisa tinggal diam begitu 

saja...!" ujar murid-muridnya serentak.

Giri Wisa menggelengkan kepala, lemah.

"Jangan kalian lakukan itu! Dia bukanlah 

tandingan kalian...!" 

"Tapi kami siap berkorban nyawa demi bakti 

kami kepada guru...!"

"Kuhargai pendirian kalian. Tetapi ada yang 

tidak kalian ketahui, dalam keadaan terdesak ba-

gaimanapun, Iblis itu tak mungkin mampu ber-

buat banyak pada kita. Selama kita masih tetap 

berada di atas pohon ini. Dalam arti tiada menyen-

tuh tanah...!"

"Bagaimana guru bisa mengetahui hal itu?" 

tanya salah seorang dari mereka. Sebelum men-

jawab pertanyaan salah seorang muridnya. Giri 

Wisa membuang pandang matanya ke arah hutan.

"Dulu gurukupun pernah bentrok dengan 

orang yang memiliki ilmu yang sama." jelas Giri 

Wisa tegang.

"Jdeeer...!"


Tiada disangka-sangka Iblis Pemburu Pera-

wan yang masih tetap bersembunyi pada tempat-

nya kembali kirimkan pukulan jarak jauhnya. Ha-

wa panas bergulung-gulung di sertai dengan ber-

hembusnya angin yang sangat kencang. Kenyataan 

ini kiranya membuat gusar tiga orang murid Giri 

Wisa. Dengan senjata terhunus yang mereka putar 

laksana titiran. Ketiganya langsung melompat 

menghadang pukulan yang menderu ke arah gu-

runya.

"Wuaaaahk...!"

Terdengar tiga jeritan berturut-turut, mana-

kala pukulan yang berhawa panas dengan disertai 

sambaran angin yang sangat kencang menghan-

tam tubuh mereka. Giri Wisa memekik kaget demi 

melihat kenekatan yang dilakukan oleh murid-

muridnya. Tubuh tiga orang muridnya melayang 

jatuh dari atas pohon tak ubahnya bagai daun tua 

yang tertiup angin kencang.

"Ahk... demi menyelamatkan guru sendiri 

kalian telah mengorbankan diri. Betapa besar pen-

gorbanan kalian. Padahal untuk keselamatan ka-

lian aku lebih rela mengorbankan diri sendiri." ba-

tin Giri Wisa begitu sedih.

"Mengapa engkau hanya diam saja manusia 

tolol. Murid-muridmu sudah mampus, apakah kau 

tidak punya keinginan untuk menuntut balas...?" 

ejek Iblis Pemburu Perawan memanasi. Merah pa-

dam wajah Giri Wisa demi mendengar kata-kata 

lawannya yang terasa menusuk perasaannya itu. 

Tiada tertahankan amarahnyapun memuncak, la-

ki-laki itu nampaknya sudah tiada perduli lagi


dengan pantangan yang sebenarnya dia ketahui, 

walau sedikit.

Dengan gerakan yang begitu ringan Giri Wi-

sa melompat dari atas pohon yang memiliki ke-

tinggian lebih dari delapan tombak. Sasaran yang 

ditujunya adalah tamah keras yang terletak di sisi 

kirinya. 

"Jliik...!

Begitu Giri Wisa menjejakkan kakinya di 

atas permukaan tanah, maka suara tawa penuh 

kemenanganpun menyambut.

"Bagus! Kau benar-benar manusia pembera-

ni, yang mengetahui sedikit kelemahan pukulan 

saktiku, tetapi rela pula untuk mampus...!"

"Kurang ajar! Aku akan mengadu jiwa de-

nganmu...!" teriak Ketua Perguruan Lintang Kem-

bar. Kemudian berlari memburu ke arah hutan. 

Dengan masih tergelak-gelak, Iblis Pemburu Pera-

wan lagi-lagi hantamkan pukulannya. Giri Wisa 

terkesiap, namun kelihatannya sudah tidak memi-

liki waktu barang sedikitpun untuk menghindari 

datangnya pukulan yang mengandung hawa panas 

luar biasa itu. Saat-saat seperti itu Giri Wisa nam-

paknya hanya bersikap pasrah menanti saat ajal 

tiba. Dalam keadaan yang sangat kritis, nampak 

sosok bayangan merah dari kerimbunan pohon se-

belah utara. 

"Breebeet...!"

Bayangan itu menyambar tubuh Giri Wisa 

langsung melesat lagi, dan kemudian lenyap hanya 

dalam waktu sekedipan mata saja. Praktis puku-

lan yang dilancarkan oleh Iblis Pemburu Perawan


menghantam sasaran kosong.

"Keparaat...! Orang itu telah menyelamatkan 

musuhku. Tapi biarlah aku tak akan mengejarnya. 

Suatu saat dia pasti akan kemari lagi." desis Iblis 

Pemburu Perawan, lalu segera pergi menuju ke 

rumah kediamannya.

***

ENAM



Ketika Wanti Sarati tidak menjumpai Buang 

Sengketa di dalam gua yang ditinggalkannya. Ma-

ka dengan perasaan kecewa, Wanti Sarati dan 

Duwur memutuskan untuk segera pergi menuju 

ke Hutan Sungai Buluh. Setelah melakukan perja-

lanan sehari semalam. Siang itu Gadis berlesung 

pipit dan Duwur sampai di rumah kediaman Alot 

Roso yang selama ini juga merupakan tempat ting-

gal Duwur dan Cindek. Suasana lengang mewarnai 

rumah dan daerah sekelilingnya. Dengan sikap 

penuh waspada, kedua orang itu melangkah men-

dekati rumah yang hampir keseluruhan bangunan 

itu terbuat dari tulang belulang gajah dan hari-

mau. Sepintas lalu rumah milik Ki Alot Roso 

berkesan angker dan menyeramkan. Namun seba-

gai seorang gadis pemberani yang selama hidup-

nya ditempa dengan berbagai pengalaman pahit. 

Sedikitpun perasaan gentar tak terlihat di wajah 

Wanti Sarati.

"Hemmm. Rumah ini sepertinya telah di


tinggalkan oleh Ki Alot Roso! Tapi kemana perginya 

orang tua yang menurut kakek Tapak Dewa, Gu-

ruku, telah meninggal beberapa puluh tahun yang 

lalu...! Ah... tidak...! Aku tak pernah yakin Ki Alot 

Roso mau meninggalkan tempat pengasingannya 

ini. Kakek Tapak Dewa pernah cerita bahwa Ki Alot 

Roso sejak dikalahkan oleh gurunya Paman Kela-

na, tidak pernah lagi berkeliaran ke mana-mana. 

Bahkan dia pernah mengumumkan bahwa dirinya 

telah mati." gumam Wanti Sarati. Teringat sampai 

ke situ dan teringat pula tentang kelicikan tokoh 

sesat Ki Alot Roso seperti yang pernah didengarnya 

dari Kakek Tapak Dewa gurunya. Tiba-tiba si gadis 

menyentakkan tangan si Duwur.

"Ayo kita tinggalkan rumah ini. Cepaaat...!" 

teriak Wanti Sarati sambil menarik si tubuh raksa-

sa.

"Ada apa nisanak...?" dalam ketidak men-

gertiannya, Duwur bertanya sambil ikut berlari 

meninggalkan rumah itu. Akan tetapi belum lagi 

mereka mencapai mulut pintu. Secara tiba-tiba 

pintu mengunci sendiri.

Traaak...!

Bersamaan dengan terkuncinya daun pintu 

yang dilalui oleh kedua orang itu, beberapa detik 

kemudian terdengar pula suara gelak tawa yang 

begitu berat dan serak. Duwur segera dapat me-

ngenali siapa adanya orang yang mengeluarkan 

suara tawa yang disertai pengerahan tenaga dalam 

itu. Tak lain Ki Alot Roso lah orangnya.

"Ha...ha...ha...! Kau kembali, muridku Du-

wur...! Kembali dengan membawa seorang gadis


yang cantik, membuat jiwamu yang tidak memiliki 

arti bagiku, kuampuni...!"

Wanti Sarati dan Duwur saling berhadapan, 

laki-laki bertubuh raksasa itu nampak semakin 

pucat wajahnya. Tetapi lain halnya dengan Wanti 

Sarati. Gadis ini kelihatan masih tenang-tenang 

saja, meskipun hatinya mulai diliputi perasaan te-

gang. 

"Guru...! Perbuatan yang mana lagi akan 

kau tempuh untuk menyengsarakan semua orang. 

Kedatanganku kemari bukanlah untuk memperta-

ruhkan kehormatan orang lain sebagai jaminan 

keselamatanku. Tak pernah terbayang dalam an-

ganku untuk bertindak sepengecut itu. Hidupku 

tidak ada artinya bila dibandingkan dengan sekian 

banyak jiwa yang tercabik-cabik kehormatannya 

oleh ulah murid kesayanganmu itu...! Aku rela ma-

ti demi membantu nisanak ini, daripada aku harus 

menuruti keinginanmu yang keji...!" tukas Duwur 

merasa tidak mempunyai pilihan lain.

"Wuaaa... ha... ha...! Sebuah keputusan 

yang dapat membuatmu merana seumur hidup. 

Pasti kau akan menyesal...!" geram Ka Alot Roso. 

Tanpa diketahui oleh mereka yang sedang ter-

kurung di dalam rumah itu, Ki Alot Roso melam-

baikan tangannya. Tak pelak satu percikan lidah 

api menyambar ke arah sudut-sudut rumahnya 

sendiri. Benar-benar hebat luar biasa kesaktian 

yang dimiliki oleh laki-laki renta berusia delapan 

puluh tahun ini. Karena sekejap kemudian lidah 

api yang bersumber dari kekuatan yang dimiliki 

oleh laki-laki renta itu telah menyambar rumahnya


sendiri. Begitu cepat api menjalar ke mana-mana, 

sekeliling rumah itu benar-benar telah di kelilingi 

api. Udara di dalam rumah berselimut asap tebal 

dan menjadi panas tiada tertahankan.

"Saudara Duwur! Beranikah engkau mene-

robos dinding yang belum tersentuh api itu?" tanya 

Wanti Sarati, sementara sepasang matanya berpu-

tar liar mencari kemungkinan jalan keluar.

"Dalam keadaan terjepit seperti ini, aku tak 

pernah memikirkan keselamatanku sendiri, nisa-

nak...! Cara apapun akan kutempuh untuk mem-

bebaskan diri dari kobaran api ini...!" tukas Duwur 

tanpa ragu.

"Tapi manusia dajal itu mungkin telah me-

nunggu di luar sana dan siap menghabisi kita, An-

dai kita sampai lolos dari kepungan api ini...!" gu-

mam si gadis meragu.

"Aku tak perduli!" komentar pemuda bertu-

buh raksasa itu tiada berobah dari niatnya se-

mula.

"Hemm. Baik... nampaknya kita memang 

tak punya kemungkinan lain untuk dapat selamat 

dari amukan api ini..,! Sekarang lakukanlah... aku 

berada di belakangmu...!" 

"Baiklah…!" sahut si Duwur. Kemudian pe-

muda ini melangkah ke tengah-tengah ruangan 

untuk mengambil jarak. Setelah itu tanpa menge-

luarkan suara sedikitpun dengan mengandalkan 

tiga perempat tenaganya diapun bergerak mener-

jang. Wanti Sarati segera mengekor di belakang-

nya, 

"Bruaaaak…!"


"Brooool…!"

Dinding berantakan diterjang oleh si Du-

wur. Tubuhnya bagai banteng marah yang tiada 

terkendali terus melesat ke depan. Dalam pada itu 

sebuah pukulan dari arah depan yang dilepaskan 

oleh gurunya sendiri datang menyambut. Hal ini 

dapat dilihat oleh Wanti Sarati yang sudah mem-

perhitungkan segala sesuatunya. Tak ayal lagi di-

apun hantamkan tangan kanannya menyongsong 

pukulan yang mengancam diri si pemuda raksasa. 

Dhaaas...!

Terdengar satu ledakan yang tidak begitu 

keras namun membawa akibat yang cukup lu-

mayan. Menghindari datangnya pukulan yang sal-

ing bertemu, si Duwur menjatuhkan diri dengan 

cara berguling-guling. Tak jauh di depannya, tu-

buh Ki Alot Roso yang begitu kurus nampak terge-

tar. Mata terpejam dengan bibir menyeringai. Me-

nandakan bahwa lawan yang dihadapinya ternyata 

memiliki kepandaian yang tinggi. Sementara di pi-

hak Wanti Sarati sendiri tampak terhuyung dua 

tindak, gadis itu merasakan dadanya begitu sesak 

dan sulit untuk bernafas. Barulah setelah menelan 

sebuah pil berwarna kuning rasa nyeri di bagian 

dadanya mulai berkurang.

"Saudara Duwur! Menyingkirlah...! Kuden-

gar kakek keropos ini memiliki kepandaian se-

gudang. Bahkan tak memiliki tanding, beberapa 

puluh tahun yang lalu hingga sekarang. Tapi tak 

usah khawatir, sungguhpun kakek Bangkotan Ko-

reng Seribu telah tiada, kurasa aku mampu men-

getahui kelemahan yang tersembunyi dari ilmu


sakti yang dimilikinya. Nah sekarang tunggu apa-

lagi, Ki Alot Roso? Apakah kau menunggu murid-

mu yang menjadi biang iblis itu, atau tenaga sak-

timu telah kau pindahkan kepada manusia kerdil 

yang sekarang ini benar-benar telah menjadi see-

kor monyet hitam menjijikkan...?" ejek Wanti Sara-

ti yang telah mengetahui begitu banyak tentang se-

jarah hidup tokoh sesat tersebut. Bukan main ter-

kejutnya hati Ki Alot Roso demi mengetahui sang 

lawan telah begitu banyak berbicara tentang kehi-

dupan masa lalunya. Padahal selama ini selain si 

Bangkotan Koreng Seribu sendiri, tak banyak 

orang yang tahu tentang kehidupannya. Tetapi ga-

dis yang berdiri tidak begitu jauh di depannya itu 

begitu gamblang menceritakan segala-galanya. 

Mungkinkah gadis berwajah cantik itu merupakan 

murid musuh besarnya? Rasanya kemungkinan 

itu kecil sekali, sepanjang sejarahnya tokoh sakti 

yang berdiam di pantai barat itu tak pernah men-

gambil seorang muridpun. Dia tahu benar hal itu. 

Lalu murid siapakah gadis berlesung pipit ini? Da-

lam kepenasarannya itu, diapun bertanya dengan 

suara membentak:

"Bocah! Siapakah engkau ini? Kau menge-

tahui begitu banyak tentang kehidupanku. Apakah 

engkau muridnya si Bangkotan Koreng Seribu 

yang telah mampus itu?"

"Bicaramu lantang mengandalkan kepan-

daianmu setinggi langit! Ah... betapa sombongnya

manusia keropos sepertimu Alot Roso. Padahal se-

karang ini kau tak memiliki kekuatan apa-apa lagi. 

Aku tahu itu...!" kata Wanti Sarati, menunggu


reaksi.

"Jangan bergurau bocah cantik, kesaktian 

yang kumiliki tidak pernah berkurang walau ba-

rang sedikitpun...!"

"Omong kosong, aku tahu dengan kemun-

culan muridmu yang hebat luar biasa. Itu sama 

saja artinya bahwa engkau telah menyalurkan te-

naga sakti yang kau miliki kepada muridmu...!"

"Ho...ho...ho...! Dugaanmu keliru, bocah...! 

Aku tak pernah kekurangan sesuatu apapun." ka-

ta Ki Alot Roso berusaha menutupi kegelisahan-

nya.

"Baik! Kalau memang benar apa yang kau 

katakan. Aku jadi ingin menjajal sampai di mana 

kehebatan bekas gembongnya manusia iblis yang 

pernah kesohor berpuluh-puluh tahun yang la-

lu...!"

"Haees...!"

Dengan dibarengi satu bentakan melengk-

ing, kaki Wanti Sarati langsung membentuk kuda-

kuda pertahanan yang kokoh. Kedua tangannya 

bergerak cepat merentang ke udara membentuk 

cakar burung Elang Putih. Beberapa saat tubuh 

gadis itu menggelatar hebat. Merupakan sebuah 

tanda bahwa ketika itu gadis berlesung pipit ini 

sedang mengerahkan jurus andalan yang pernah 

dipelajarinya dari Kakek Tapak Dewa gurunya. Ki 

Alot Roso terperangah kagum, sebagai tokoh sesat 

yang pernah malang melintang di dunia persilatan, 

agaknya dia cukup menyadari bahwa saat itu la-

wannya benar-benar menghendaki nyawanya. Tak 

ayal lagi, laki-laki renta inipun membuka seran


gannya dengan jurus 'Badai Topan Penyapu Dewa'. 

Tak terelakan lagi dalam waktu sekejap saja perta-

runganpun berlangsung sengit. Masing-masing la-

wan berusaha melakukan serangan dengan sasa-

ran-sasaran yang mematikan. Sementara itu Du-

wur yang tidak mengetahui begitu banyak tentang 

ilmu silat nampak berdiri menonton tidak begitu 

jauh dari tempat terjadinya pertempuran.

"Haaaaait...!"

Dengan gerakan seringan kapas, tubuh 

Wanti Sarati melakukan satu lompatan. Sementara 

tangannya yang terkembang membentuk cakar itu, 

menyambar ke arah bagian wajah dan perut la-

wannya. Gerakan itu terlihat cepat bukan main. 

Sehingga Duwur yang tidak mengerti banyak ten-

tang ilmu silat itu memastikan gurunya segera 

menjadi sasaran empuk jemari tangan lawannya 

yang mengandung sebagian tenaga sakti itu. Tapi 

yang menjadi lawan Wanti Sarati kali ini adalah 

seorang tokoh yang sudah banyak makan asam 

garam dunia persilatan.

Ketika Ki Alot Roso merasakan adanya 

sambaran angin yang sangat kencang mengancam 

bagian wajah dan perutnya. Laksana kilat melom-

pat mundur dua tindak, serangan Wanti Sarati lu-

put. Begitu terhindar dari serangan lawannya, Ki 

Alot Roso balas kirim dua tendangan kaki. Semen-

tara tangan kanannya terkepal, lalu menderu 

mengancam bagian dada si gadis.

"Kurang ajar!" Maki Wanti Sarati berusaha 

menggeser tubuhnya ke samping kiri. Satu sodo-

kan yang mengancam bagian dada si gadis luput

Tetapi tendangan kaki yang membentuk satu sa-

puan ke bagian betis tak dapat dihindarinya.

"Deees...!"

"Gusraaak...!"

Wanti Sarati jatuh terjengkang. Tubuhnya 

terus bergulung-gulung menghindari tendangan 

susulan. Tetapi Ki Alot Roso terus memburunya 

dan berusaha mendesak lawan tanpa memberi ke-

sempatan walau sedikitpun.

"Aku bisa mampus kalau hanya cuma 

menghindar seperti ini...!" batin Wanti Sarati. 

"Baiknya aku harus mempergunakan pukulan 

'Siluman Kembar' seperti yang pernah diajarkan 

oleh Kakek Tapak Dewa ketika aku berguru den-

gan beliau tempo hari. 

"Heeuup...!"

Dalam posisi berguling-guling seperti itu, 

Wanti Sarati rangkapkan ke dua tangannya. Tena-

ga dalam dia kerahkan ke bagian tangannya. Son-

tak tangan yang telah teraliri tenaga dalam itu be-

robah putih mengkilat laksana perak. 

"Wuuut...!"

Sinar putih menyilaukan nampak melesat 

ke arah Ki Alot Roso, begitu gadis berlesung pipit 

itu menghantamkan tangannya.

"Kurang ajar...!" maki Ki Alot Roso, lain me-

ngibaskan jubahnya yang berwarna putih bersih.

"Breees...!"

"Keparaat...!" desis si gadis ketika melihat 

tubuh kakek renta itu hanya terhuyung-huyung 

saja begitu serangan 'Siluman Kembar' yang dile-

paskannya menghantam tubuh lawan.


"Hek... kek... kek...! Kalau kau memang be-

nar muridnya Bangkotan Koreng Seribu mana pu-

kulan Empat Anasir Kehidupan, mana pula jurus 

si Gila Mengamuk. Dan pecut celaka itu mengapa 

pula tak segera kau keluarkan...!" ejek Ki Alot Ro-

so, setengah jera.

"Aku bukan muridnya kakek Bangkotan Ko-

reng Seribu, bandot tua. Kalau kau ingin melihat 

Cambuk Gelap Sayuto, senjata itu ada pada pa-

manku Kelana...!"

"Oho, rupanya kau bukan muridnya Bang-

kotan Koreng Seribu. Lha dalah... engkau bakal 

mati sia-sia...!" hardik Ki Alot Roso sambil menarik 

nafas lega.

"Kau kelewat takabur, tua renta...! Rasa-

kanlah ini...!"

Setelah melepaskan satu pukulan maut, 

Wanti Sarati segera melolos selendang yang melilit 

di bagian pinggangnya. Begitu selendang berwarna 

biru ini telah berada di dalam genggaman tangan-

nya, maka diapun mengalirkan sebagian tenaga 

dalamnya ke bagian selendang itu. Tak lama ke-

mudian selendang di tangannya telah melecut di 

udara. Begitu sempurnanya tenaga dalam yang 

dimiliki oleh Wanti Sarati, sehingga selendang di 

tangannya dapat berubah melemas dan menge-

jang, di lain saat meliuk-liuk bagai seekor ular 

yang terus mengejar ke arah sasarannya.

Dalam menghadapi serangan ganas yang 

datangnya bertubi-tubi nampaknya Ki Alot Roso 

masih mampu menghindarinya. Tapi manakala 

Wanti Sarati mulai mencabut pedang tipis yang dia


pergunakan sebagai sabuk. Maka tiga puluh jurus 

di depan Ki Alot Roso sudah mulai keteter. Bahkan 

dalam waktu tiga jurus di depan, pedang mustika 

di tangan Wanti Sarati berhasil merobek pakaian 

dan kulit Ki Alot Roso. 

Breebeet...!

"Agkh... keparat...!" maki kakek renta ini 

sambil menyeka darah yang meleleh dari bekas lu-

ka itu. Selesai memandangi darah yang membasa-

hi jemari tangannya. Dengan geram Ki Alot Roso 

membentak marah: "Betina terkutuk! Kau benar-

benar telah membangkitkan amarahku. Tak ada 

jalan bagiku, terkecuali mampus...!"

"Sraaak...!"

Entah dari mama datangnya, tiba-tiba di 

tangan Ki Alot Roso telah tergenggam sebuah 

tongkat yang pada bagian gagangnya terbuat dari 

tulang kepala binatang serigala. Dengan adanya 

tongkat di dalam genggaman Ki Alot Roso. Penam-

pilan kakek renta itu mendadak berubah angker. 

Sepasang matanya mencorong memandang tajam 

pada lawannya.

"Nisanak kerahkanlah tenaga dalammu, di 

dalam tongkat itu terdapat sebilah pedang yang 

mengandung racun ganas. Nisanak jangan terpen-

garuh dengan segala ucapannya, walau dia berka-

ta apapun...!" dalam suasana tegang seperti itu si 

Duwur memberi peringatan pada Wanti Sarati.

"Tenanglah sobat! Aku telah mengetahui 

semua tipu muslihatnya...!" kata Wanti Sarati be-

rusaha bersikap tenang.

"Keparaat, kau Duwur...! Begitu beraninya


kau mengkhianati gurumu sendiri...!" maki Ki Alot 

Roso dengan wajah merah padam.

"Sepuluh tahun aku hidup bersamamu, tua 

renta! Tiada ilmu apapun yang kau turunkan pa-

daku. Terkecuali kau suruh aku menimba air dari 

bawah lereng yang curam itu. Kemudian kau buru 

aku sebagai seekor babi hutan yang menjijikkan. 

Masihkah engkau mengakui diriku sebagai mu-

ridmu...?" tanya Duwur penuh ejekan.

"Hemm. Bagus sekali perbuatanmu itu, bo-

cah bertubuh raksasa, namun berpikiran tumpul. 

Kalian berdua memang pantas untuk kubunuh."

Traaang...!

Sriiing...!

Pedang yang berada di dalam tongkat itu, 

telah tercabut kini. Senjata itu nampak putih ber-

kilat-kilat tertimpa cahaya matahari. Wanti Sarati 

hanya bergumam saja manakala pedang di tangan 

Ki Alot Roso berikut sarungnya yang berupa tong-

kat diputar cepat laksana baling-baling. Sinar pu-

tih yang ditimbulkan oleh senjata di tangan Ki Alot 

Roso nampak bergulung-gulung seolah membung-

kus tubuh kakek renta.

Sebelum Ki Alot Roso melancarkan seran-

gan pamungkas. Gadis berlesung pipit ini telah 

bergerak mendahului dengan lecutan selendang 

dan sambaran pedang tipis di tangannya. Kenya-

taannya tidak mudah bagi Wanti Sarati untuk 

mendesak lawan sebagaimana pertama tadi.

Nguuung...!

Senjata di tangan si kakek menyambar ke 

arah bagian kepala lawannya. Duwur yang kebetulan terus memperhatikan jalannya pertempuran 

sampai berseru kaget.

"Nisanak, awas...!"

Jtaaar...! Jtaar... Jtaaar...!"

"Taak...! Crees...!"

Begitu pedang di tangan Ki Alot Roso mem-

bentur selendang di tangan Wanti Sarati. Tak ayal 

lagi selendang yang terbuat dari sutera pilihan itu-

pun terobek pada bagian ujungnya. Hal ini me-

nandakan bahwa senjata di tangan lawannya me-

mang merupakan senjata pusaka yang sangat 

tinggi pamornya. Tubuh gadis berlesung pipit ini 

melompat mundur, tangan berdenyut dan kesemu-

tan. Bahkan selendang di tangannyapun hampir 

saja terlepas. Pucat wajah gadis itu untuk sesaat 

lamanya. Tapi diapun sudah tak dapat berpikir 

panjang, karena pada saat itu Ki Alot Roso kembali 

mendesaknya. Menghadapi situasi seperti itu, 

Wanti Sarati nampaknya harus mengandalkan ke-

lincahan gerak dan ilmu meringankan tubuh yang 

benar-benar sudah mencapai taraf sempurna.

"Nampaknya kini kau hanya mampu meng-

hindar kayak monyet pesakitan saja, bocah...! Ma-

na kesaktian yang kau miliki...!" teriak si kakek 

renta. Dengan sikap ayal-ayalan, sekali lagi Ki Alot 

Roso membabatkan pedangnya. Angin dingin me-

nerpa wajah si gadis saat mana senjata itu mende-

ru ke arahnya.

"Jheee...!"

Wanti membanting tubuhnya ke samping, 

namun lawan terus memburunya. Sekali lagi gadis 

ini lecutkan selendang di tangannya. Kalau saja KiAlot Roso tidak cepat-cepat menarik seranganya, 

pastilah wajah kakek renta ini hancur tersambar 

selendang di tangan si gadis.

"Hebat...!" gumam Ki Alot Roso tanpa kehi-

langan semangat.

"Jletar... Nguuung...!"

Begitu bangkit berdiri Wanti Sarati melaku-

kan satu tipuan dengan mempergunakan lecutan 

selendangnya. Lagi-lagi kakek renta ini bersurut 

mundur. Kesempatan itu dipergunakan oleh la-

wannya untuk melakukan satu tusukan kilat.

Jrooos... Jrooot...!

"Wuaaarghk...!"

Dua kali tusukan pedang lawan menembus 

bagian tubuh kakek renta tersebut membuat tu-

buhnya terhuyung. Sambil mendekap bagian lu-

kanya yang telah mengucurkan banyak darah. To-

koh sesat yang sudah kehilangan kekuatannya itu 

berusaha menghindari terjangan senjata berikut-

nya. Tetapi tubuhnya terasa begitu sulit untuk di-

gerakkan. 

Croook...! 

Tak ayal lagi, tubuh Ki Alot Roso ambruk ke 

bumi. Darah semakin banyak yang keluar dari ba-

gian perut, dada dan juga lehernya. Laki-laki sesat 

itu mengerang lemah, sepasang matanya meredup 

memandang sinis pada si Duwur bekas muridnya.

"Sampai menjelang kematianmu, apakah 

engkau masih juga tak mau mengakui segala dosa-

dosa yang pernah kau lakukan, kakek lapuk...?" 

tanya Wanti Sarati sambil menendang pedang si 

kakek jauh-jauh. Pedang melayang jauh dan jatuh


di tengah-tengah rumput lebat. Bekas gembong to-

koh sesat itu nampak sunggingkan seulas senyum 

menggidikkan. Dengan kalimat terputus-putus di-

apun berkata:

"Hi... dup... dan mati sudah ada ketentuan-

nya. Sejak aku mempelajari ilmu kepandaian yang 

menakjubkan itu, aku sudah tahu kematianku 

memang berada di ujung pedangmu. Tapi ak... aku 

tak pernah menyesal. Sebab kematianku pasti ada 

yang akan membalaskannya. Yaitu muridku Cin-

dek! Tak seorangpun yang mampu menghentikan-

nya, tidak juga engkau bocah manis...!"

"Dasar manusia sesat...!" desis Duwur. Ke-

mudian tanpa basa-basi lagi, dengan mempergu-

nakan seluruh kekuatannya. Ditendangnya tubuh 

sekarat gurunya sendiri. Terdengar suara tulang 

berderak patah saat mana tubuh Ki Alot Roso, me-

lambung dan melayang tinggi ke udara. Kemudian 

jatuh lagi menimpa sebongkah batu yang sangat 

besar. Kepala maupun bagian tubuh Ki Alot Roso 

remuk dan tewas seketika.

"Anda benar-benar hebat, nisanak! Kalau 

boleh, aku bersedia menjadi muridmu...!" kata pe-

muda bertubuh raksasa memandang kagum pada 

Wanti Sarati.

"Huus. Apa-apaan. Aku tak becus apa-apa, 

pula usaha kita dalam menumpas Iblis Pemburu 

Perawan masih belum usai...! Mari kita pergi...!" 

perintah si gadis. Kemudian langsung melangkah 

mendahului.

***


ENAM


Paman Giri Wisa hanya akan mengorban-

kan nyawa yang sia-sia andai tetap nekad juga da-

tang ke Sungai Buluh. Iblis Pemburu Perawan, se-

bagaimana yang tergambar dalam mimpiku beru-

jud seekor Monyet Hitam yang memiliki kesaktian 

tiada terukur. Selain itu dia juga kebal terhadap 

berbagai senjata. Aku tak ingin melihat korban le-

bih banyak lagi. Percuma paman membawa selu-

ruh murid paman untuk menggempur makhluk 

bejat itu...!" kata Buang Sengketa setelah beberapa 

hari berada di rumah kediaman Ketua Perguruan 

Lintang Kembar.

"Anak muda, walaupun engkau telah me-

nyelamatkan aku dari cengkeraman maut Iblis itu, 

tapi kumohon engkau jangan coba-coba mempen-

garuhi aku...!" kata Giri Wisa dengan wajah sedikit 

memerah. Pendekar Hina Kelana meskipun ha-

tinya kesal atas ucapan Ketua Perguruan Lintang 

Kembar, namun ia tetap menganggukkan kepala 

sambil tersenyum.

"Aku bukan ingin mempengaruhi paman, 

karena pertolongan yang tidak seberapa itu. Aku 

hanya menginginkan agar paman mau memikirkan 

sekali lagi untuk melaksanakan keputusan yang 

telah paman ambil...!"

"Heh! Iblis Pemburu Perawan kalau dibiar-

kan terus dengan sepak terjangnya, lama kela-

maan akan menjadi manusia paling sakti yang ti-

dak mungkin terkalahkan oleh tokoh manapun...!"


"Ucapan paman Giri mungkin memang be-

tul! Tetapi sehebat manapun kesaktian yang di mi-

liki oleh setiap manusia di kolong langit ini, pasti-

lah memiliki kelemahan. Bahkan tadipun paman 

berkata begitu padaku...!"

Semakin berkerut alis mata Giri Wisa begitu 

mendengar kata-kata si pemuda. Agak lama dia 

hanya berdiam diri. Nampaknya seperti ada sesua-

tu yang dipikirkannya.

"Bagaimana, paman Giri? Apakah paman 

malah marah karena ucapan saya tadi?" tanya 

Buang Sengketa seolah menyesali diri. Giri Wisa 

gelengkan kepalanya pelan.

"Seperti sudah kukatakan beberapa hari 

yang lalu, gurunya Iblis Pemburu Perawan dulu 

juga pernah bentrok dengan guruku. Tokoh sesat 

itu sebagaimana kuketahui memiliki kesaktian 

yang sangat tinggi. Begitu banyak tokoh golongan 

lurus maupun golongan sesat yang tewas di tan-

gannya. Bahkan guruku sendiri sampai tidak ber-

daya menghadapi orang itu. Di delapan penjuru 

persilatan saat ini tidak mungkin ada yang mampu 

menghadapi orang itu. Kita tidak bisa meremeh-

kannya begitu saja. Hemm. Andai saja tokoh sakti 

yang sangat ditakuti oleh guru manusia sesat itu 

masih hidup hingga sampai kini. Mungkin kita da-

pat meminta bantuannya." desah Giri Wisa seperti 

pada dirinya sendiri.

"Siapakah tokoh yang paman maksudkan 

itu...?" tanya Buang Sengketa diliputi rasa ingin 

tahu yang menggebu. 

"Kau pasti tak mengenalnya. Karena tokoh


sakti itu merupakan orang aneh yang memiliki 

pribadi misterius...!"

"Walau tokoh sehebat manapun. Pastilah 

dia memiliki sebuah nama atau julukan." tukas si 

pemuda kesal

"Ya... ya... engkau betul...! Orang itu ber-

nama si Bangkotan Koreng Seribu...!"

Hampir meledak tawa si pemuda menden-

gar Giri Wisa menyebutkan nama yang bagi si pe-

muda sudah tidak asing lagi.

"Kakek Bangkotan Koreng Seribu...!" ulang 

si pemuda dengan sikap seolah-olah belum men-

genal orang yang diceritakan oleh Giri Wisa. Pa-

dahal dalam hati:

"Kalau hanya orang itu, akupun lebih seke-

dar mengenalnya. Tolol...!"

Sambil tersenyum getir, Giri Wisa meng-

ganggukkan kepala seolah merasa takjub dengan 

kehebatan yang dimiliki oleh Bangkotan Koreng 

Seribu. Sebentar kemudian dia telah kembali pada 

Buang Sengketa.

"Bagaimana orang muda, apakah kau men-

genalnya...?"

"Tit... tidak...! Aku tak mengenalnya...!" ja-

wab si pemuda tersendat.

"Mungkin saat itu kau belum lahir, atau 

engkau memang jauh dari dunia ramai. Tapi aku 

yakin orang tua ataupun kakekmu pastilah kenal 

dengan nama yang baru kusebutkan tadi...!"

"Mu... mungkin juga...! Tapi aku belum me-

nanyakannya pada mereka...!" ujar Buang Sengke-

ta semakin berlagak tolol.



"Eee...! Seingatku engkau sudah beberapa 

hari di rumahku. Tetapi aku masih belum men-

genal siapa adanya engkau ini!" kata Giri Wisa pi-

lon.

"Ah, aku yang tolol ini mana memiliki nama 

apalagi julukan seperti paman...! Aku hanya pen-

gembara biasa...!" jawab si pemuda merendah.

"Tidak mungkin manusia tidak memiliki 

nama, sedangkan binatang saja punya nama! Ayo-

lah orang muda, katakan saja mengapa harus ma-

lu-malu?"

"Kalau paman mendesak juga, maka aku 

akan mengatakannya...!"

"Itulah yang paling kuharapkan...!" kata Giri 

Wisa dengan wajah berseri-seri.

"Aku yang hina papa, oleh seseorang diberi 

nama Buang Sengketa...!"

Ketua Perguruan Lintang Kembar, langsung 

tergelak-gelak begitu Buang Sengketa menye-

butkan namanya.

"Mengapa paman tertawa...? Apakah nama 

seperti itu merupakan sebuah nama yang lucu...?"

"Tentu saja tidak! Cuma bagiku nama 

Buang Sengketa merupakan sesuatu yang sangat 

asing dan baru kali ini aku mendengarnya. Oh 

ya... siapakah gurumu...? Atau pernahkah kau be-

lajar ilmu silat dengan seorang tokoh yang sangat 

sakti...?" pancing Giri Wisa lebih lanjut.

Buang Sengketa gelengkan kepala. Hatinya 

semakin mendongkol saja.

"Jangan coba-coba berdusta! Kau tak 

mungkin mampu menolongku andai tidak memiliki



kepandaian silat tinggi dan ilmu meringankan tu-

buh yang begitu sempurna?"

"Aku hanya belajar silat pasaran. Sedang-

kan guruku, merupakan sebuah pantangan bagiku 

untuk menyebutkan namanya kepada siapa-

pun...!"

"Benarkah begitu...?"

"Paman Giri! Mengenai siapa aku dan siapa 

guruku, itu bukan menjadi persoalan. Yang perlu 

kita bicarakan saat ini adalah, bagaimana caranya 

menumpas Iblis Pemburu Perawan dalam waktu 

secepatnya...!" tukas si pemuda merasa tak enak 

hatinya.

"Hemm. Ya, aku sampai lupa...!'

"Bagaimana, apakah paman masih ingin 

membawa murid-murid paman menyerbu ke sa-

rang macan...?" sindir Pendekar Hina Kelana.

Giri Wisa menjadi malu hati mendengar ka-

ta-kata si pemuda.

"Kalau menurutmu bagaimana...?" tanya la-

ki-laki bertumbuh pendek ini minta pendapat. 

Buang menarik nafas panjang-panjang. Baginya 

untuk memasuki sarang iblis bukanlah merupa-

kan pekerjaan yang mudah. Diperlukan perhitun-

gan yang matang dan saat-saat yang tepat.

"Kalau menurut hematku, kita tak perlu 

mengorbankan sekian banyak murid-murid pergu-

ruan Lintang Kembar. Jadi sebelum kita melaku-

kan penyerangan, ada baiknya kalau kita melaku-

kan penyelidikan terlebih dahulu...!" kata si pemu-

da menyatakan pendapatnya.

"Sebuah ide yang bagus! Aku merasa setuju


dengan gagasanmu itu...!"

"Kalau paman sudah merasa setuju, dua 

hari lagi kita sudah bisa berangkat ke sana...!"

"Hanya berdua...?" tanya Giri Wisa sesaat 

kemudian.

"Ya... hanya kita berdua saja...! Sebab kura-

sa kita tak perlu mengerahkan sekian banyak mu-

rid-murid paman!"

"Baiklah, akupun setuju...!" ujar Giri Wisa.

***

Matahari tepat berada di atas kepala ketika, 

Musang Leman, Karso Broco dan Ki Pragawa serta 

empat belas orang pemuda desa sampai di pinggi-

ran hutan Sungai Buluh yang sunyi menyeram-

kan. Tak seorangpun nampak lalu lalang di sepan-

jang jalan yang mereka lalui, terkecuali mayat-

mayat yang masih baru ataupun yang sudah lama 

bergelimpangan. Bau busuk menyengat hidung 

membuat perut rombongan itu mual dan beberapa 

orang diantaranya ada yang muntah-muntah. 

Sungguhpun hati mereka diliputi perasaan jerih, 

namun mereka tetap terus melanjutkan perjala-

nan. Tiada mereka hiraukan ribuan lalat berter-

bangan dari satu tempat ke tempat lainnya. Tidak 

juga mereka perduli ketika melihat beberapa ekor 

anjing hutan sibuk menggerogoti bangkai manusia 

yang berserak tiada berketentuan. Apa yang ada di 

dalam benak mereka saat itu adalah menemukan 

putri Kepala Desa dan membunuh Iblis Pemburu 

Perawan.


"Berhenti...!" perintah Kepada Desa yang be-

rada di bagian paling belakang. Begitu mendengar 

aba-aba Kepala Desa. Maka Karso Broco dan yang 

lain-lainnya langsung menghentikan langkah me-

reka.

"Ada apa, Ki Pragawa...?" tanya Musang 

Leman setelah menunggu beberapa saat lamanya.

"Kita tak mungkin menemukan apa-apa ka-

lau hanya bergerombol seperti ini...!" kata Ki Pra-

gawa merasa kesal.

"Maksud Bapak Kepala Desa bagaimana...?" 

sentak Karso Broco.

"Mayat-mayat berserakan, anjing menjijik-

kan dan lalat-lalat itu. Hanya itu saja yang kita 

temui di sepanjang jalan yang kita lalui...! Tapi kita 

masih belum juga berhasil menemukan di mana 

letaknya sarang iblis itu...!"

"Jadi harusnya bagaimana...!" tanya Karso 

Broco.

Ki Pragawa terdiam, keningnya mengkerut 

seperti ada sesuatu yang dipikirkannya.

"Kalau tidak begini saja. Kita bagi rombon-

gan ini menjadi dua, sebentar lagi kita mulai me-

masuki hutan itu...!" jelas Ki Pragawa.

"Apakah cara seperti itu tidak membahaya-

kan keselamatan kita...?" tanya Musang Leman.

"Kalau engkau merasa takut menghadapi 

resiko, lebih baik kau tinggal di rumah saja...!" 

komentar Kepala Desa Mekar Sari.

"Maksudku bukan begitu, ki...! Kitapun ha-

rus memperhitungkan kekuatan di pihak kita. Iblis 

Pemburu Perawan bukan manusia yang bisa di



anggap enteng. Terbukti di sepanjang jalan yang 

kita lalui sudah begitu banyak korban yang berja-

tuhan. Padahal mereka memiliki kepandaian yang 

mungkin saja lebih tinggi dari kepandaian yang ki-

ta miliki…!" kata Musang Leman.

"Tak usah berpikir sampai sejauh itu. Yang 

penting sekarang anggota kita bagi dua. Musang 

Leman dan tujuh orang lainnya bergabung den-

ganku, dan masuk dari arah timur ini. Sedangkan 

Karso Broco dan tujuh orang lainnya masuk dari 

sebelah utara! Nah kupikir hanya itu yang perlu 

kalian ketahui. Andai kita berhasil menemukan 

putriku maka kuharap kita bisa berkumpul lagi di 

sini...! Eeee... apakah ada pertanyaan dari sauda-

ra-saudara...?" tanya Ki Pragawa.

"Kami kira sudah tidak ada yang perlu kami 

tanyakan. Semuanya sudah jelas." kata Karso Bro-

co.

"Kalau begitu sekarang kita berangkat...!" 

perintah Ki Pragawa.

Rombongan itu kemudian terbagi dua ber-

gerak menuju jalan yang sudah ditentukan. Seka-

rang kita ikuti rombongan yang dipimpin oleh Kar-

so Broco. Ketika mereka berpisah dengan Ki Pra-

gawa dan Musang Leman, jalan yang mereka tem-

puh untuk selanjutnya merupakan jalan berbukit 

cadas yang sangat licin. Sementara di sisi kiri me-

reka merupakan tebing batu berlumut yang tiada 

henti-hentinya meneteskan air. Dengan bersusah 

payah dan tiada mengenal lelah orang-orang ini 

terkadang harus merangkak. Tiada mereka hirau-

kan terik matahari yang begitu menyengat, padah


al rasa harus mulai memanggang tenggorokan se-

tiap anggota rombongan yang cuma terdiri dari tu-

juh orang.

"Kakang, udara terasa panas sekali. Aku 

haus...!" keluh salah seorang yang berada di ba-

gian paling belakang.

"Tak ada membawa makanan, bekal airpun 

sudah habis. Bagaimana kalau kau minum air 

kencing saja...!" kata Karso Broco merasa kesal.

"Air kencing... kencing siapa...?"

"Kebetulan semalam aku habis makan jeng-

kol, nah air kencingku pasti berkhasiat mengobati 

rasa dahagamu...!"

"Kurang ajar! Kalau begitu lebih baik ka-

kang minum air kencing sendiri. Aku tak sudi...!" 

maki orang itu. Geram bukan main.

"Makanya jangan banyak rewel! Kau pikir 

hanya kau sendiri yang merasa kehausan, semua 

orang di sini merasakan hal yang sama. Tetapi kau 

lihat mereka tak rewel sepertimu...!"

"Tapi jangan takut, kulihat di bawah sana 

terdengar gemuruh suara air. Mungkin sekejap lagi 

kita segera menemukan sebuah sungai.,.!" lanjut 

Karso Broco memberi semangat pada kawan-

kawannya. Bagai saling berlomba, rombongan 

yang dipimpin oleh Karso Broco sambil terus men-

dekati sungai yang sudah tidak begitu jauh dari 

tempat mereka berada. Tak sampai se-pemakan si-

rih, merekapun telah sampai di pinggiran sungai.

"Breeeng...!"

Lalat-lalat beterbangan menyambut keda-

tangan mereka. Tak lama kemudian tercium pula


bau busuk yang menyengat hidung. Semua mere-

ka yang sudah bersiap-siap hendak terjun ke da-

lam sungai yang kelihatan dasarnya itupun urung, 

lalu saling pandang sesamanya.

"Apa yang telah terjadi di tempat ini...?" 

tanya mereka pada Karso Broco.

"Sebentar kuperiksa...!" kata laki-laki beru-

sia tiga puluh tahun itu, selanjutnya dengan diiku-

ti oleh kawan-kawannya mereka menuruni sungai 

yang menebarkan bau busuk. Baru saja tiga lang-

kah mereka menginjakkan kakinya di dalam sun-

gai yang memiliki kedalaman tidak sampai setinggi 

lutut. Mata mereka melihat mayat-mayat bergele-

takkan tumpang tindih. Tubuh mereka ada yang 

mengambang di atas air karena perutnya telah 

menggembung, ada pula yang tenggelam. Tetapi 

banyak diantara mereka yang tergeletak begitu sa-

ja di atas batu-batu sungai yang berukuran besar.

"Gila... dimana-mana kulihat pemandangan 

mengerikan. Melihat keadaan mayat-mayat ini se-

pertinya mereka tewas dibantai kuku-kuku bina-

tang buas. Ahk... mungkinkah di sekitar tempat ini 

terdapat binatang mengerikan yang tak dapat ter-

lawan oleh mereka. Padahal aku yakin orang-orang 

ini pasti memiliki kepandaian yang tinggi...!" kata 

Karso Broco dengan wajah tegang.

"Sraak...!" terdengar suara bergemuruh dari 

atas pohon, kemudian di susul dengan melayang-

nya beberapa sosok tubuh di atas sulur-sulur 

tumbuhan merambat.

"Uoooh...!"

Rombongan itu keluarkan suara pekikkan


tertahan. Bahkan beberapa orang diantaranya 

sampai ada yang menutup mata dengan kedua 

tangannya.

"Monyet hitam berambut panjang seperti 

manusia. Mereka hanya mengenakan koteka. Apa 

yang telah terjadi dengan diri mereka? Mungkin-

kah mereka kelompok siluman kera?" gumam Kar-

so Broco sambil terus memperhatikan wajah yang

ditumbuhi bulu-bulu lebat itu. "Mereka semuanya 

berjumlah tujuh orang. Tap... tapi yang satunya 

seperti aku kenal, ya... aku kenal meskipun seka-

rang wajahnya telah berubah hitam penuh ditum-

buhi bulu-bulu yang begitu lebat. Mereka benar-

benar telah berubah menjadi seekor siluman mo-

nyet. Pastilah semua ini hasil perbuatan manusia 

iblis. Kalau begitu mereka pernah tidur dengan 

manusia keparat itu...!" geram Karso Broco.

"Suryaningsih! Apa yang telah terjadi de-

nganmu...?" tanya laki-laki ini tanpa mengalihkan

perhatiannya dari sulur-sulur yang dipergunakan 

oleh mereka untuk bergelantungan.

Tiada jawaban sebagaimana yang diharap-

kan oleh Karso Broco, terkecuali erangan marah.

"Kau telah menjadi istrinya manusia iblis 

itu, heh...!" bentak salah seorang dari anggota 

rombongan. Gadis-gadis yang telah berubah men-

jadi siluman monyet hitam itupun kembali meng-

geram marah. Berpasang-pasang mata merah 

membara memandang pada rombongan itu dengan 

penuh kebencian.

"Hoaaar... hoaaar...!" 

"Wuut...! Beeet...!"


Dengan mempergunakan sulur tumbuhan 

merambat, mereka pun berayun-ayun tak ubah-

nya bagai seekor monyet hutan. Selanjutnya me-

nyerang rombongan yang di pimpin Karso Broco. 

Menyadari adanya bahaya yang mengancam, maka 

Karso Broco dan enam orang kawannya langsung 

mencabut senjatanya masing-masing. Dalam wak-

tu sekejap terjadilah pertempuran yang sengit an-

tara Karso Broco dan kawan-kawannya melawan 

gadis-gadis yang kini telah berubah menjadi silu-

man monyet hitam. Jurus demi jurus berlangsung, 

Karso Broco dalam waktu singkat telah terdesak 

dalam menghadapi serangan monyet-monyet hitam 

yang sesungguhnya merupakan gadis-gadis yang 

berhasil diculik, dinodai sekaligus dipengaruhi 

oleh ilmu yang di miliki oleh Iblis Pemburu Pera-

wan. Yang membuat Karso Broco merasa hampir 

putus asa adalah karena tubuh lawan-lawannya 

kebal terhadap berbagai senjata. Sementara kuku 

dan tangan lawannya menyambar ganas ke arah 

Karso Broco.

***

TUJUH



Dalam gebrakan-gebrakan selanjutnya, 

rombongan yang dipimpin oleh Karso Broco sema-

kin terdesak hebat. Bahkan tiga jurus di depan 

mulai terdengar pula jeritan-jeritan histeris dari 

mulut rombongan Karso Broco, ketika kuku-kuku


yang tajam milik lawannya menyambar pada ba-

gian wajah, dan bagian tubuh lainnya.

"Argggkh...!"

Dua orang kawan Karso Broco terjungkal 

roboh, manakala kuku-kuku monyet hitam jeja-

dian itu merobek putus tenggorokan mereka. Air 

sungai berobah menjadi merah darah. Keadaan 

Karso Broco dan kawan-kawannya semakin kacau 

tiada menentu. Mengetahui kawan-kawannya mu-

lai berguguran, Karso Broco dan sisa-sisa kawan-

nya mengamuk membabi buta. Golok besar yang 

berada dalam genggaman tangannya berkelebat-

kelebat menyambar. 

"Hiihh...!"

Karso Broco hantamkan senjatanya ke arah 

salah seorang musuh yang berada paling dekat 

dengan posisinya.

"Craaaak...!"

Bagai karet saja tubuh monyet-monyet jeja-

dian ini, bacokan yang dilakukan oleh Karso Broco 

dan tiga orang kawannya tidak membawa akibat 

apa-apa.

"Hoaar...! Nguuk...nguuuk...!"

Monyet-monyet jejadian itu kembali mende-

sak lawannya secara bersamaan.

"Ngoeeekkk...!"

"Breet...!"

Terdengar tiga kali suara robekan, tiga 

orang kawan Karso Broco kembali terjungkal ke 

dalam air sungai. Sungai yang mengalir tidak begi-

tu deras berubah warna seketika, merah darah.

Melihat kematian yang dialami oleh kawan


kawannya. Karso Broco menjadi gelap mata. Golok 

besar di tangannya dia putar membentuk sebuah 

perisai pertahanan yang begitu kokoh, sekarang 

laki-laki berusia tiga puluhan itu mendapat ke-

royokan dari tujuh ekor monyet jejadian. Sekali 

dua senjatanya menghantam bagian tubuh lawan-

nya. Tapi tetap seperti keadaan semula. Lawan-

lawannya begitu kebal terhadap berbagai bacokan 

yang dilakukan oleh Karso Broco.

"Hoaaar...!"

Monyet jejadian menggerung keras, lalu sa-

betkan tangannya yang berkuku panjang dan 

runcing. Karso Broco saat itu memang benar-

benar dalam keadaan kepepet sekali. Jiwanya ter-

ancam. Namun pada saat-saat yang sangat kritis 

itu, mendadak selarik gelombang Ultra Violet mele-

sat cepat dan melabrak tubuh monyet-monyet hi-

tam jejadian itu. Terdengar jerit dan pekik kesaki-

tan dari mulut binatang-binatang itu.

"Karso Broco, cepat menyingkir...!" perintah 

sebuah suara yang begitu sangat di kenal olehnya.

"Kakang Giri Wisa! Beruntung sekali engkau 

datang...! Andai tidak aku pasti hanya tinggal na-

ma saja...!" kata Karso Broco sambil berusaha me-

nyingkir.

"Saudara, Karso awas di belakangmu...!" te-

riak Pendekar Hina Kelana yang saat itu nampak 

sudah berdiri di atas batu tak jauh dari Wisa.

"Wuuut...!"

Kiranya pukulan Empat Anasir Kehidupan 

yang dilepaskan oleh Buang Sengketa, tidak mem-

buat monyet jejadian itu mati. Bahkan setelah jatuh berkerengkangan, mereka cepat bangkit dan 

langsung menyerang Karso Broco kembali. Namun 

serangan mereka luput, karena nampaknya seran-

gan itu hanya bersifat ayal-ayalan belaka. Ternyata 

hampir semua mata makhluk itu memandang be-

ringas pada si pemuda berkuncir.

"Monyet-monyet jejadian itu adalah penjel-

maan dari gadis-gadis yang berhasil diculik oleh 

manusia iblis!" kata Buang Sengketa setelah Karso 

Broco bergabung dengan mereka.

"Ah menyedihkan sekali. Jadi apakah mu-

ridku Nawang Wulan sudah tak dapat disela-

matkan lagi...?" tanya Giri Wisa nampak benar-

benar putus asa.

"Secara pasti aku tak dapat mengatakan-

nya, paman! Tapi menurutku gadis-gadis yang su-

dah tidak perawan itu masih dapat kembali ke 

asalnya, jika kita mampu membunuh si manusia 

iblis itu...!"

"Bagaimana mungkin engkau dapat menge-

tahui kalau mereka sudah tidak utuh lagi...?" 

tanya Giri Wisa seakan tak percaya.

"Mereka hanya bisa berubah seperti itu, an-

dai Iblis Pemburu Perawan pernah tidur bersama 

mereka, bisa mengertikah paman...?"

"Hmm. Benar-benar keparat terkutuk." ma-

ki Giri Wisa dengan geramnya. "Ehh... monyet-

monyet itu menyerang kemari, Buang...!"

"Aku tak bisa bertindak kasar pada mereka, 

karena sesungguhnya mereka hanya terpengaruh 

oleh ilmu iblis yang di miliki oleh bangsat itu...! 

Tutuplah indera pendengaran kalian, aku akan


melakukan sesuatu...!" kata Buang Sengketa pada 

Giri Wisa dan Karso Broco.

"Heeeikgh...!"

Terdengar suara bergemuruh saat mana si 

pemuda mengerahkan ilmu Lengkingan Pemenggal

Roh yang sangat dahsyat itu. Bumi tergetar daun-

daun berguguran. Monyet-monyet hitam jejadian 

itu nampak panik dan berbalik ke satu arah, ke-

mudian berlari sekencang-kencangnya.

"Mari kita kejar mereka...!" seru Ketua Per-

guruan Lintang Kembar.

"Jangan paman, di depan sana bahaya pasti 

sedang menunggu kita. Kalau paman mau mengi-

kuti saranku, lebih baik paman tetap saja berada 

di sini bersama saudara Karso Broco, biar aku 

yang akan melakukan penyelidikan...!"

"Kau yakin dengan kemampuanmu...?" 

tanya Giri Wisa merasa kurang enak.

"Berdoa saja untuk keselamatanku, pa-

man...! Biarkan aku akan mengejar mereka seka-

rang juga...!"

Tanpa menunggu jawaban Giri Wisa, tubuh 

Buang Sengketa tiba-tiba telah lenyap dari hada-

pan Giri Wisa dan Karso Broco. Orang itu hanya

mampu geleng-gelengkan kepala penuh kekagu-

man.

***

Jalan yang ditempuh rombongan yang di-

pimpin oleh Ki Pragawa dan Musang Leman meru-

pakan jalan setapak yang tidak memiliki banyak



rintangan. Setelah melakukan perjalanan lebih ku-

rang empat jam, mereka sudah sampai di tengah-

tengah hutan Sungai Buluh yang angker. Saat itu 

Ki Pragawa baru saja ingin memutuskan untuk is-

tirahat, ketika dari arah sebuah bukit yang terletak 

di sebelah selatan mereka terlihat puluhan batu 

seukuran kerbau meluncur deras ke arah mereka. 

Masih untung Musang Leman cepat tanggap den-

gan datangnya bahaya yang secara tiba-tiba ini. 

Andai tidak mungkin mereka yang sedang duduk 

di bawah sebatang pohon rindang, remuk tergilas 

batu tersebut. Rombongan yang sedang duduk-

duduk di bawah pohon rindang itu kontan bubar. 

Diantaranya ada yang berlarian mencari selamat 

dengan caranya masing-masing.

"Apa yang telah terjadi, saudara Musang 

Leman...?" tanya Ki Pragawa, lalu memandang ke 

puncak bukit yang tidak seberapa tinggi.

"Tidak ada hujan tidak ada angin! Batu se-

besar kerbau bunting runtuh begitu saja. Pastilah 

ada sesuatu yang telah menyebabkannya...!" kata 

Musang Leman.

"Apakah kau begitu yakin dengan apa yang 

kau katakan itu...?" bertanya Ki Pragawa dengan 

hati diliputi kebimbangan.

"Mengapa tidak! Malah aku mulai merasa 

yakin, mungkin iblis itu telah mengetahui keda-

tangan kita...!"

"Persetan! Aku malah senang andai manu-

sia iblis itu telah mengetahui kedatangan kita. Jadi 

tak usah susah-susah kita mencarinya ke mana-

mana...!" katanya begitu jumawa.



Weeer...!

Terasa adanya sambaran angin dingin yang 

begitu keras menerpa diri mereka. Beberapa orang 

kawan Musang Leman hampir saja terjungkal ro-

boh. Sementara Musang Leman dan Ki Pragawa 

segera mengerahkan tenaga dalamnya agar dapat 

terus bertahan pada posisinya.

"Apa kubilang! Iblis itu benar-benar telah 

mengetahui kedatangan...!" komentar Musang Le-

man dengan wajah sedikit memucat.

"Tapi mengapa si terkutuk itu masih belum 

juga menampakkan diri...?" tanya Ki Pragawa ma-

sih kurang begitu yakin.

"Mungkin juga dia sengaja membiarkan kita 

memasuki sarangnya. Atau barangkali dia sengaja 

ingin menghabisi kita di sini...!"

"Kurang ajar! Kau malah berusaha mena-

kut-nakuti aku, Musang Leman...! Salah-salah aku 

malah membunuhmu...!" bentak Ki Pragawa ma-

rah.

"Jangan berprasangka yang bukan-bukan, 

Ki...! Bukankah aku sudah pernah mengatakan 

apapun yang bakal terjadi. Kita akan menghada-

pinya secara bersama-sama...!" tukas Musang Le-

man kesal.

"Ahaaa...ha...ha... groaaar...! Lebih baik ka-

lian saling bunuh dengan sesama kawan sendiri. 

Kurasa kematian dengan cara seperti itu lebih me-

nyenangkan dari pada harus mati di tanganku se-

cara menyedihkan...!" bentak sebuah suara dari 

atas bukit. Semua orang yang berada di bawah 

bukit tersentak kaget begitu mendengar kata-kata


yang disertai dengan tenaga dalam dan ditujukan 

pada mereka.

"Engkaukah kunyuknya yang berjuluk Iblis 

Pemburu Perawan?" tanya Musang Leman dan Ki 

Pragawa hampir bersamaan. Dalam pada itu me-

rekapun telah mencabut senjata mereka yang be-

rupa sebilah pedang berukuran panjang. Senjata 

itu nampak berkilat-kilat diterpa sengatan mata-

hari.

"Groaaar... ha... ha... ha... ha...! Benar aku-

lah orangnya yang berjuluk Iblis Pemburu Pera-

wan. Asal kalian tahu saja, sesuai dengan julu-

kanku. Saat ini aku menjadi suami tunggal dari 

berpuluh-puluh perawan yang dengan sukarela 

menjadi istriku, menjadi budakku dan juga men-

jadi pembantu setia seumur hidup...!"

Merah padam wajah mereka yang hadir di 

situ, terutama sekali Ki Pragawa yang merasa kehi-

langan putri tunggalnya.

"Dengan sukarela kau kata! Apakah bukan 

malah sebaliknya? Keparaat...! Hampir setiap ma-

lam engkau bergentayangan menculik anak pera-

wan orang, kemudian kau kumpulkan di sarang 

iblis milikmu. Itukah yang kau sebut-sebut dengan 

sukarela...?" sentak Musang Leman dengan gera-

ham bergemeletuk menahan marah.

"Hemmm..." Iblis Pemburu Perawan men-

dengus. "Itu bukan urusan kalian, apapun yang 

kukerjakan tak seorangpun yang mampu mengha-

lang-halanginya."

"Keparaat! Engkau telah melarikan putriku 

satu-satunya, masih jugakah kau mau mung


kir...?" maki Ki Pragawa hampir lenyap kesabaran-

nya. Andai saja tidak sejak tadi Musang Leman 

menghalang-halanginya, ingin sekali dia naik ke 

atas bukit dan mencincang tubuh lawannya.

Kembali terdengar suara tergelak-gelak, an-

gin kencang menderu dan menyapu habis lima 

orang pembantu Ki Pragawa. Tapi hembusan angin 

tersebut kiranya satu kejutan yang bersifat mem-

beri peringatan belaka tanpa melukai. Sekejap ke-

mudian mereka yang terpelanting dihembus angin 

yang ditimbulkan oleh kesaktian manusia Iblis, 

sudah bangkit kembali. Wajah mereka semakin 

bertambah memucat.

"Orang yang kuculik begitu banyak! Aku tak 

tahu anakmu yang mana. Tapi kau tak perlu kha-

watir, aku menjadi seorang suami yang adil. 

Anakmu telah kuurus dengan sangat baik. Bahkan 

sekarang ini mereka menjadi orang-orang yang be-

gitu menuruti segala kehendakku...! Groaaar... 

ha... ha... ha...!"

Bumi bagai diguncang selaksa gempa ketika 

manusia iblis itu tertawa panjang. Suara tawa itu 

begitu berpengaruh, bahkan membuat sakit telinga 

bagi siapapun yang mendengarnya.

"Hentikan suara tawamu, manusia gila! 

Hentikan...!" teriak Musang Leman dengan disertai 

tenaga dalam. Tetapi suara teriakan laki-laki itu 

seolah lenyap begitu saja ditingkahi suara tawa 

lawannya.

"Apa yang kau miliki, tak ada setahi kuku-

ku, anak manusia! Kepandaian yang kau miliki ti-

dak mempunyai arti apa-apa bila di bandingkan


kekuatan yang ada padaku. Tokoh-tokoh persila-

tan saja sudah begitu banyak yang mampus di 

tanganku. Kalian datang hanya mengantar nyawa 

dengan sia-sia...!" hardik si manusia iblis.

"Keparaat! Tunjukkanlah tampangmu, kami 

akan mencincang tubuhmu...!"

Tiada terdengar jawaban dari si manusia ib-

lis, suasana sepi mencekam mewarnai diri mereka 

yang berada di bawah bukit. Namun hal itu tidak 

berlangsung lama, detik selanjutnya terdengar 

langkah-langkah berat bagai palu raksasa yang di-

ketukkan di atas tanah. Menyertai terdengarnya 

suara langkah-langkah kaki itu, berhembus kem-

bali angin yang sedemikian kerasnya. Mereka yang 

berada di bawah bukit itu, terkecuali Musang Le-

man dan Ki Pragawa nampak berusaha mati-

matian mempertahankan diri dari serangan angin 

kencang yang menimbulkan udara panas itu.

"Aku datang memenuhi keinginan kalian...!" 

terdengar satu suara yang begitu serak dan berat. 

Mendadak suara langkah kaki sudah tiada terden-

gar lagi, bahkan angin kencang kini telah berhenti 

berhembus.

"Jliik...!"

Seringan kapas sosok makhluk yang me-

namakan dirinya sebagai Iblis Pemburu Perawan 

menjejakkan kakinya persis dua tombak di bela-

kang mereka.

Secara serentak, Musang Leman, Ki Praga-

wa dan lima orang pembantunya menoleh. Betapa 

terperanjatnya hati mereka begitu melihat kehadi-

ran sesosok tubuh berbulu hitam lebat, sementara


sepasang matanya yang memerah bagai bara nam-

pak memandang bengis pada mereka.

"Akulah Iblis Pemburu Perawan yang kalian

cari-cari...!" kata Monyet Hitam yang dulunya me-

rupakan murid Ki Alot Roso.

"Kawan-kawan, tunggu apalagi! Cincang...!" 

perintah Ki Pragawa memberi aba-aba pada Mu-

sang Leman dan para pembantunya. Sungguhpun 

hati mereka diliputi keraguan, namun nampaknya 

mereka begitu patuh pada Ki Pragawa. Akhirnya 

tanpa membuang-buang waktu lagi merekapun 

langsung menyerang Iblis Pemburu Perawan. Pada 

dasarnya lima orang pembantu Kepala Desa Mekar 

Sari ini hanyalah orang biasa yang tiada mengerti 

ilmu silat, hanya Musang Leman dan Ki Pragawa 

saja yang pernah belajar ilmu silat dengan Giri Wi-

sa, seperti diketahui Giri Wisa merupakan tetangga 

sebelah desanya.

Di mata si manusia iblis, mereka ini tidak 

memiliki arti apa-apa bila dibandingkam dengan 

lawan-lawannya terdahulu. Sekali saja lawan ber-

gebrak dengan di sertai gelak suara tawa, lima 

orang pembantu Ki Pragawa menggerung roboh 

dengan luka mengangga dibagian dada dan leher. 

Kejut hati Musang Leman dan Ki Pragawa demi 

melihat kejadian yang berlangsung cepat di depan 

mereka. Dengan kemarahan menggebu-gebu, ke-

duanya kembali menyerang lawannya dengan sa-

betan pedang di tangannya. Nampaknya pihak la-

wan tidak berusaha menghindar serangan ganas 

Musang Leman dan Ki Pragawa. Dengan telah sen-

jata keduanya mencapai sasaran.


Jroook...!

Craak...!

Tubuh lawan ternyata kebal senjata, pena-

saran mereka kembali melakukan berulang-ulang. 

Namun tetap saja tubuh lawannya tiada bergem-

ing, apalagi terluka.

"Cukup...!" teriak Iblis Pemburu Perawan, 

lalu dorongkan kedua tangannya ke depan. Se-

rangkum gelombang pukulan berhawa dingin luar 

biasa dan mengandung racun jahat melabrak tu-

buh orang itu. Dengan gugup keduanya membant-

ing tubuhnya. Tetapi pukulan yang dilepaskan la-

wannya seolah bagai bermata saja.

Terus memburu kemanapun Musang Le-

man dan Ki Pragawa menghindar.

"Blaak...! Dess... dess...!"

Tiada terhindari lagi dua sosok tubuh ter-

lempar menghantam sebongkah batu yang lu-

mayan besar. Kepala mereka remuk dan tiada 

mampu bangkit untuk selama-lamanya. Iblis Pem-

buru Perawan keluarkan suara tawa tergelak-

gelak. Kemudian dengan sekali melompat maka 

tubuhnya lenyap diantara kerimbunan pohon.

***


DELAPAN



Iblis Pemburu Perawan terus berlari-lari 

menuju singgasananya yang sengaja dia bangun di 

dalam relung-relung gua. Di sanalah dia me


ngumpulkan gadis-gadis yang diculiknya dari ber-

bagai daerah. Di sanalah pula dia dengan leluasa 

berbuat segala kemaksiatan, tanpa mengalami rin-

tangan dari siapapun. Apa yang dilakukannya su-

dah barang tentu mempunyai hubungan yang 

sangat erat dengan ilmu sesat yang diyakininya.

Demikianlah tanpa menghiraukan suasana 

di sekelilingnya, murid sesat Ki Alot Roso, yang 

bernama Cindek ini terus berlari. Tanpa disada-

rinya dua pasang mata dari sebuah tempat yang 

tidak begitu jauh terus membuntuti. Sebelum ma-

nusia sesat itu membelok pada sebuah tikungan 

yang menuju ke arah gua yang menjadi tempat 

tinggalnya selama ini. Terdengar satu bentakan 

yang membuat lemas persendian orang yang tiada 

memiliki kepandaian dan tenaga dalam tinggi.

"Berhenti...!" perintah sebuah suara. Menilik

suaranya yang begitu halus, pemilik suara itu pas-

tilah seorang perempuan. Dengan sikap tenang, si 

manusia iblis hentikan larinya, kemudian menoleh 

ke beberapa jurusan.

"Sudah sekian banyak kau menumpuk do-

sa, tapi pembunuhan tetap kau lakukan di mana-

mana. Benar-benar iblis bertopeng monyet...!"

"Kurang ajar, begitu datang kau memaki-

maki sedemikian rupa. Agaknya engkau merupa-

kan perempuan yang pantas menjadi istriku...! 

Tunjukkan muka...!" berkata begitu Iblis Pemburu 

Perawan hantamkan tangan kanannya ke arah re-

rimbunan pohon. Selarik sinar berwarna biru me-

nyambar ke arah si pemilik suara.

"Brees...!"

Dua sosok tubuh melesat dari kerimbunan 

semak, pukulan sakti yang dilepas oleh lawannya 

menghantam sasaran kosong.

Jliigkh...!

Begitu kaki mereka menginjak permukaan 

tanah, salah seorang di antaranya yang memiliki 

tubuh tinggi macam raksasa, langsung memben-

tak marah:

"Kau benar-benar telah tersesat jauh, adi 

Cindek...! Dewata pasti mengutuk perbuatan se-

satmu...!" kata si tinggi besar. Tanpa menghirau-

kan ucapan pemuda yang berada di sebelah gadis 

berlesung pipit, si manusia iblis yang disebut-

sebut sebagai si Cindek nampak tergelak-gelak.

"Hebat! Gadis yang sangat cantik luar biasa, 

bahkan lebih cantik dari para gadis yang telah 

menjadi istriku. Ah, sungguh beruntung sekali aku 

hari ini...!"

Wajah Wanti Sarati berubah kelam membe-

si, dalam menghadapi manusia iblis yang satu ini, 

nampaknya dia tak ingin basa basi lagi. Dengan 

gerakan yang sangat cepat dirangkapkannya ke-

dua tangannya. Sebentar kemudian ke dua tangan 

yang terangkat di atas kepala itu berubah warna 

menjadi putih berkilauan.

"Kakang Duwur! Kiranya engkau telah me-

ngupah bocah cantik ini supaya sudi tidur den-

ganku. Lihatlah nampaknya dia mau melepaskan 

pukulan yang membuat hangat tubuhku. Ah, mes-

tinya kau segera menyingkir kakang Duwur, tahu-

kah engkau bahwa bocah ini menginginkan agar 

aku segera memeluknya...!"



Yang diajak bicara palingkan muka dan me-

ludah tiga kali, tanda bahwa pemuda berbadan 

raksasa itu begitu membenci si manusia iblis.

"Saudara Duwur! Menyingkirlah...!" dalam 

puncak tenaga sakti yang ingin dilepaskannya. 

Wanti Sarati masih sempat memberi peringatan 

pada si pemuda bertubuh raksasa yang tiada me-

miliki kepandaian apa-apa.

"Hiaaaat...!"

Di awali dengan jeritan tinggi melengking, 

tubuh si gadis melompat ke udara setinggi dua 

tombak. Pada ketinggian itu diapun lepaskan pu-

kulan 'Siluman Kembar' yang menimbulkan hawa 

panas tiada tertahankan. Iblis Pemburu Perawan 

kembali tertawa panjang, kemudian tangannya 

laksana kilat dia silangkan ke depan dada. Saat itu 

kiranya diapun menyadari bahwa gadis cantik itu 

melepaskan pukulan andalan, hal ini merupakan 

satu tanda bahwa lawan memang benar-benar 

menghendaki jiwanya. Tak ayal lagi diapun mem-

bentuk sebuah pertahanan dengan memperguna-

kan 'Seribu Perisai Iblis'.

Begitu cepatnya pukulan itu melabrak ke 

bagian tubuh si iblis.

"Blaaak...!"

Wanti Sarati sampai terhuyung akibat pe-

ngaruh pukulannya sendiri, debu dan pasir ber-

terbangan. Begitu debu yang menyelimuti suasana 

sekitarnya lenyap sama sekali. Maka terlihatlah 

tubuh lawannya masih tetap tegak di tempatnya 

tanpa kekurangan sedikit apapun. Kecut hati si 

gadis, tetapi tekadnya tetap membaja.


"Pukulanmu tak ubahnya bagai sebuah pe-

lukan yang begitu hangat dan membangkitkan gai-

rahku...!"

Sepasang mata manusia iblis itu tiada hen-

ti-hentinya memandangi wajah si gadis. Rona me-

rah yang terpancar, seolah menjilati seluruh per-

mukaan tubuh si gadis. Dalam pada itu kiranya 

secara diam-diam Duwur memungut sebuah balok 

besar. Setelah mengendap-endap dari arah bela-

kang Duwur memukul kepala si Cindek yang telah 

berubah menjadi seekor monyet hitam mena-

kutkan.

"Thaaak...!"

Sekali pemuda bertubuh raksasa itu men-

gayunkan kayu di tangannya, dengan tepat balok 

kayu itu menghantam tubuh si Cindek. Anehnya 

sedikitpun tubuh monyet hitam tiada bergeming. 

Apalagi sampai pecah. Padahal Duwur saat me-

mukul tadi telah mengerahkan segenap tenaga 

ototnya. Hal ini merupakan satu bukti bahwa pi-

hak lawan ternyata memang memiliki kekebalan 

luar biasa.

"Kau memukulku, kakang Duwur! Tapi aku 

tak marah, aku hanya menginginkan gadis cantik 

yang telah kakang bawa kemari...!" kata si iblis 

kembali tergelak-gelak.

"Terkutuk! Mampuslah kau sekali ini...!" 

maki Wanti Sarati, kali ini dengan mengandalkan 

tiga perempat tenaga dalamnya. Wanti Sarati kem-

bali hantamkan pukulan 'Siluman Kembar', se-

rangkum gelombang sinar laksana perak datang 

menggebu. Iblis Pemburu Perawan kibaskan tangannya dengan maksud memapaki serangan itu. 

Tetapi karena dia bersikap ayal-ayalan. Akhirnya 

tubuhnya terjungkal roboh.

Wanti Sarati hampir saja menarik nafas lega 

saat mana lawannya dapat dijatuhkannya. Namun 

perasaan lega itu, kemudian berganti dengan pera-

saan cemas. Saat itu, si manusia iblis sudah 

bangkit kembali, tubuhnya tiada kekurangan se-

suatu apapun. Sementara kemarahan membersit 

di wajahnya yang dipenuhi bulu-bulu lebat.

"Kau memang hebat, gadis...! Tapi dengan 

caraku, kau pasti bakal menjadi milikku! Ya... kau 

tetap akan menjadi milikku, selama-lamanya...!" 

geram Iblis Pemburu Perawan. Selanjutnya orang 

itu membuka jurus-jurus serangan yang tak 

ubahnya bagai gerakkan seekor monyet. Mula-

mula tubuhnya berjingkrak-jingkrak. Kemudian 

garuk-garuk kepala dan punggungnya. Lalu laksa-

na kilat dia menyerang lawannya dengan cakaran-

cakaran ganas mematikan.

Wanti Sarati juga tidak tinggal diam, dengan 

cepat dia cabut pedang dan selendang yang melilit 

di bagian pinggangnya.

"Jtaar... Jtarr...!"

Iblis Pemburu Perawan hanya keluarkan 

erangan aneh, tanpa ragu-ragu lagi dia berusaha 

menangkis lecutan selendang di tangan lawannya. 

"Grrrrt...!"

"Jtaaar... Jtaaar...!"

"Kreeep...!"

Selendang di tangan Wanti Sarati tertang-

kap sudah, tarik menarikpun segera terjadi. Namun dalam hal tenaga dalam nampaknya Wanti 

Sarati berada tiga tingkat di bawah lawannya, 

hingga lama-kelamaan tubuhnya sedikit demi se-

dikit mulai terseret. Si gadis tidak merasa putus 

asa, dua kali dia babatkan senjatanya ke bagian 

lengan lawan. Tetapi bacokan yang keras tidak 

menimbulkan akibat apa-apa. Diam-diam Wanti 

Sarati yang sudah terseret mendekati jurang mele-

paskan selendangnya.

"Btaaak...!"

Tubuh Iblis Pemburu Perawan terbanting ja-

tuh terbawa kekuatannya sendiri. Tubuhnya nya-

ris terjerumus ke dalam jurang yang tiada terukur 

kedalamannya. Laksana kilat dia bangkit kembali 

dan lepaskan satu pukulan dahsyat. Sinar biru 

langsung melabrak tubuh Wanti Sarati, gadis itu 

sedapatnya berusaha menghindari datangnya pu-

kulan itu. Namun tetap saja tubuhnya terserempet 

pukulan yang mengandung hawa dingin yang begi-

tu menggigit.

"Brees...!" 

"Gusraaak!"

Wanti Sarati terbanting keras, lawannya ter-

tawa mengekeh. Kemudian kembali memburu 

dengan maksud menyudahi pertempuran. Dalam 

keadaan seperti itu Duwur dengan gerakan yang 

tiada terduga melakukan tendangan telak ke arah 

bagian perut bekas adik seperguruannya.

"Buuk...!"

Dihantam tendangan yang bertenaga raksa-

sa, tak urung tubuh si manusia iblis terbanting 

roboh. Tetapi tendangan itu nampaknya tidak berakibat apa-apa. Dengan cepat dia kembali berdiri, 

tanpa menghiraukan Duwur, dia kembali membu-

ru Wanti Sarati yang sudah mengalami luka dalam 

cukup parah. Saat itu Wanti Sarati benar-benar 

dalam keadaan terancam, tiada terduga-duga da-

lam detik-detik yang menegangkan itu, serangkum 

gelombang berwarna merah menyala melabrak tu-

buh Cindek. Sekali lagi manusia sesat itu terjeng-

kang ke tanah. Dada terasa berdenyut sakit. Den-

gan langkah sempoyongan dia bangkit berdiri, di 

hadapannya kini telah berdiri seorang pemuda 

berpakaian kumuh berwarna merah dengan se-

buah periuk besar menggelantung di bagian ping-

gangnya.

"Paman Kelana...!" seru Wanti Sarati. Pen-

dekar Hina Kelana menghampiri si gadis dengan 

sikap penuh waspada.

"Bangunlah Wanti...! Manusia Iblis ini bu-

kan tandinganmu...!" kata si pemuda, kemudian 

tangannya merapat ke bagian punggung si gadis. 

Diam-diam dia menyalurkan tenaga saktinya un-

tuk mengobati luka dalam yang diderita oleh keka-

sihnya.

Melihat adegan yang begitu mesra, Iblis 

Pemburu Perawan merasa panas hatinya. Mes-

kipun dia menyadari bahwa lawan yang telah me-

lakukan pertolongan atas diri lawannya itu memi-

liki kesaktian yang tinggi. Namun tanpa merasa 

sungkan diapun segera membentak: "Kunyuk ber-

periuk! Berani sekali kau mencampuri urusan-

ku...!"

"Telah begitu banyak nyawa yang kau hutang, tidak terhitung pula perempuan kau rusak 

kehormatannya. Kedatanganku kemari adalah 

dengan tujuan untuk mengambil jiwamu. Apalagi 

kau telah berani melukai kekasihku...!" desis 

Huang Sengketa dengan wajah kelam membesi.

"Jahanam terkutuk, kiranya kalian meru-

pakan sepasang kekasih. Kalau begitu kalian ber-

dua harus segera mampus di tanganku...!" teriak si 

manusia iblis.

"Mampuslah...!" desis Pendekar Hina Kela-

na. Dengan gerakan yang sangat cepat pemuda in-

ipun kembali hantamkan pukulan Si Hina Kelana, 

nampaknya lawannya pun tak mau kalah. Diapun 

lepaskan pukulan Iblis Pembasmi Dewa. Kejab 

kemudian terjadi dua ledakan yang terasa mengge-

tarkan seluruh tebing dan hutan yang terdapat di 

sekitar tempat itu manakala dua pukulan sakti 

saling bertubrukan di udara. Masing-masing lawan 

sama-sama terbanting roboh dengan luka dalam 

yang cukup lumayan. Darah nampak berlelehan 

dari kedua belah pihak yang sedang terlibat perta-

rungan. Namun mereka sama-sama mengerang 

marah, sekali lagi mereka sama-sama melepaskan 

pukulan andalan yang disertai dengan pengerahan 

tenaga dalam tinggi. Sinar merah menyala dengan 

sinar biru seolah saling berkejaran. Benturan ke-

ras kembali terjadi. Membuat Buang Sengketa 

maupun Iblis Pemburu Perawan sama-sama ter-

lempar dua tombak. Di pihak Buang Sengketa 

nampaknya mengalami luka dalam yang lebih se-

rius kali ini bila dibandingkan dengan apa yang di-

alami oleh lawannya. Darah kental semakin banyak menetes dari celah-celah hidung dan bibir-

nya.

Saat itu sambil menyeringai menahan sakit, 

Iblis Pemburu Perawan telah kembali menerjang si 

pemuda yang masih dalam posisi terduduk.

"Awaaas... pamaaan...!" teriak Wanti Sarati 

sambil memburu ke arah Buang Sengketa. Saat itu 

pukulan yang seharusnya menghantam tubuh si 

pemuda malah menyambar tubuh si gadis yang 

berusaha melindungi Pendekar Hina Kelana.

"Brees...!"

Tiada tercegah lagi, tubuh Wanti Sarati yang 

terhantam pukulan si manusia iblis, terperosok ke 

dalam jurang yang tiada terukur dalamnya. Lolon-

gan panjang menyertai meluncurnya tubuh gadis 

cantik ke bawah sana.

"Wanti...! Kau telah terlempar ke dalam ju-

rang? Oh, Wantiiiiiii...!" jerit si pemuda, begitu his-

teris suaranya. Si Duwur terpana, namun si ma-

nusia iblis tanpa mau perduli lagi kembali kirim-

kan satu pukulan telak.

"Wuuus...!"

"Bruaakkk!"

Tubuh Buang Sengketa terpental mendekati 

bibir jurang, pada saat-saat yang kritis itu Duwur 

cepat-cepat mengangkat tubuh Buang Sengketa 

menjauhi bibir jurang.

"Kakang Duwur, lepaskan kunyuk gembel 

yang kau gendong itu, jika tidak kau benar-benar 

akan tewas bersamanya." teriak si manusia iblis.

"Wuut...!"

Secara tiada terduga Pendekar Hina Kelana



yang sudah terluka dalam dan mengalami pukulan 

batin ini melompat dari gendongan si Duwur. 

Dengan langkah-langkah terhuyung-huyung 

pemuda yang telah dirasuki kemarahan ini menge-

ram marah. Pelan namun cukup pasti tangannya 

mencabut senjata andalannya yang berupa Pusaka 

Golok Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto. Begitu 

senjata yang memancarkan sinar merah menyala 

itu tercabut dari sarungnya. Mendadak udara di 

sekitar tempat itu menjadi dingin luar biasa. Se-

mentara bibir si pemuda memperdengarkan bunyi 

mendesis bagai ular piton yang sedang dilanda 

kemarahan.

"Kau... telah menggoreskan sebuah luka te-

ramat dalam di hatiku. Kau telah menghancurkan 

satu-satunya orang yang paling kuharapkan di 

dunia ini. Hatiku tak kan pernah puas sebelum 

mencincang lumat tubuhmu...!" dingin suara Pen-

dekar Hina Kelana sedingin tatapan matanya yang 

memandang tajam pada lawan.

"Kau jangan membual kunyuk gembel. Kau 

telah terluka dalam, sebentar lagi engkau pun 

bakal menyusul kekasihmu ke dasar jurang sa-

na...!" kata si manusia iblis.

"Huaaaat...!"

"Nguuung...!"

Senjata di tangan Buang Sengketa mende-

ru, sementara cambuk di tangannya terus melecut. 

Suasana di sekitarnya mendadak berubah gelap 

gulita. Iblis Pemburu Perawan jadi terke-sima, be-

gitu juga halnya dengan si Duwur. Tetapi tiada 

waktu bagi si iblis untuk berpikir panjang. Tubuh


nya menghindar, sekali dua dia lancarkan pukulan 

mautnya. Tak jarang pukulan itu menghantam tu-

buh lawannya. Tetapi dengan adanya senjata di 

tangan si pemuda pukulan itu tidak memiliki arti 

sama sekali.

Gleger...! 

Bunyi petir sambung menyambung tiada 

henti saat mana senjata di tangan si pemuda me-

lecut ke udara.

"Kau harus mampus di tanganku, manusia 

iblis...!"

"Caaat...!"

"Craas…! Craaas...!"

Tubuh Iblis Pemburu Perawan berputar-

putar, saat senjata di tangan Buang Sengketa 

menghantam tubuhnya. Darah menyembur dari 

dua buah lubang luka yang sangat dalam. Tetapi 

Buang Sengketa tidak berhenti sampai di situ saja. 

Dia kembali hantamkan senjatanya ke seluruh ba-

gian tubuh lawannya yang sudah tiada bernyawa. 

Hingga tubuh manusia iblis itu sudah tiada ber-

bentuk lagi. Suasana kemudian adalah hening se-

pi. Secara perlahan kabut yang menyelimuti dae-

rah pertempuran sirna sama sekali. Di sebuah 

tempat mayat Iblis Pemburu Perawan terbujur da-

lam keadaan tiada berbentuk.

"Pendekar Golok Buntung! Hari ini aku me-

ngaku kalah. Tetapi satu saat kelak aku akan me-

nitis pada keturunanku, dan kau merasakan beta-

pa pedihnya pembalasan yang kulakukan...!" kata 

sebuah suara lamat-lamat.

"Keparat! Manusia Iblis itu kiranya hanya


jasadnya saja yang mampus. Tapi aku tak per-

duli." batin si pemuda, kemudian kembali dia me-

mandang ke arah jurang. Hatinya tiba-tiba menja-

di sedih. Wajahnya menunduk lesu.

"Dua kali kau menyelamatkan jiwaku. Sebe-

lum aku sempat membalas kebaikan dan cinta 

yang kau berikan. Kini kau pergi dengan cara yang 

menggenaskan. Belum pernah kebahagiaan sing-

gah dalam hidupmu... kiranya manusia iblis itu te-

lah menghancurkan segala impian mu...!" rintih si 

pemuda. Tiba-tiba kelopak matanya menghangat. 

Namun manakala sebuah suara yang sangat dike-

nalnya menegur, maka Pendekar Hina Kelana ce-

pat-cepat menoleh.

"Pendekar Golok Buntung! Monyet-monyet 

jejadian telah kembali ke asalnya. Tetapi maaf aku 

tak bisa membawa serta menemuimu, karena... 

karena sebagian di antara mereka tak memiliki 

pakaian yang memadai. Aku terpaksa pulang dulu 

untuk mengambil pakaian buat mereka...!" 

"Pergilah paman! Ajak saudara Duwur me-

nemani mu, aku tetap akan berada di sini. Hingga 

aku benar-benar mendapatkan sebuah keda-

maian." kata si pemuda dengan hati pedih.



                            T a m a t




Share:

0 comments:

Posting Komentar