..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 22 Desember 2024

JAKA SEMBUNG EPISODE PERTARUNGAN TERAKHIR

Pertarungan Terakhir


PERTARUNGAN TERAKHIR

Karya Djair Warni

Serial Jaka Sembung

Cover Oleh: Djair

Jakarta, 1991; cet. ke-1

Penerbit Sarana Karya, Jakarta

SK 91-84S, 128 hlm; 11 x 18 cm

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari Penerbit

Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau 

pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka


SATU


Bukit yang gundul dan gersang itu kini mulai 

diselimuti kabut tebal. Malam merangkak semakin la-

rut. Angin bertiup dari arah Selatan dengan kencang-

nya. Lolongan panjang srigala terdengar dari kejauhan 

merubah suasana hening jadi kian mencekam.

Langit gelap, dan rembulan pun menerangi 

mayapada dengan sinarnya yang timbul tenggelam ka-

rena tertutup awan hitam. Petir menggelegar dengan 

kerasnya. Kilat memberkas menerangi perbukitan.

Di dalam sebuah goa tampaklah samar-samar 

beberapa sosok tubuh manusia yang sedang tidur lelap 

dengan tangan terhimpit di ketiak, kaki terlipat karena 

tak kuasa menahan dingin malam yang menusuk 

sampai ke tulang sumsum.

Di antara mereka ada seorang pemuda berkulit 

coklat, berpakaian seorang pendekar. Pemuda kulit hi-

tam tanpa pakaian dan hanya memakai semacam se-

longsong sebagai pembungkus alat keperkasaannya. 

Paling kanan ada pula sepasang kulit putih, yang lelaki 

berpakaian compang camping, sedangkan yang wani-

tanya hanya menutupi tubuhnya dengan selembar 

kain sarung,

Sedikit, demi sedikit rembulan meredup sinar-

nya. Bintang pun tak lagi berkelap-kelip menghiasai 

cakrawala yang luas. Cuaca kian gelap. Hujan turun 

rintik-rintik membasahi bumi diiringi bunyi halilintar 

yang keras. Dengkuran nafas keempat orang itu ber-

tambah keras. Mereka tak lagi memikirkan bahaya 

yang mengancam karena tak dapat lagi menahan rasa 

kantuk dan lelah yang teramat sangat.

Di antara mereka ada yang sedang diliputi pe-

rasaan gembira bercampur haru karena pertemuan


bapak beranak yang telah beberapa lama terpisah.

Mereka tidur nyenyak sekali dibuai mimpi mas-

ing-masing hingga tak mendengar lolongan anjing hu-

tan memecah udara disusul kilat halilintar yang me-

nemani turunnya hujan, membentangkan cahayanya 

sehingga mengusik pemuda berkulit sawo matang yang 

tidur persis di mulut goa.

Perlahan-lahan pemuda itu membuka kelopak 

matanya, kemudian mengangkat badannya dan me-

mandang ke seluruh penjuru goa yang menjadi tempat 

mereka berlindung untuk sementara.

Ia melihat si gadis kulit putih yang tersingkap 

kain penutup dadanya hingga buah dada yang besar 

mengencang tersebut keluar. Kalau saja ada seorang 

lelaki hidung belang di antara mereka, tak tahulah apa 

yang akan terjadi. Untunglah yang melihat pemandan-

gan erotis di dalam goa itu adalah seorang pemuda 

tampan yang memiliki keimanan kuat dan berbudi lu-

hur. Dialah Parmin si Jaka Sembung.

Seorang pemuda kulit hitam yang tidur mering-

kuk di samping Parmin adalah Awom panglima suku 

Kaimana. Ada pun gadis kulit putih tersebut adalah 

Yulia yang selama ini dinobatkan sebagai kepala suku 

Kaimana. Sedangkan lelaki tua kulit putih yang tidur 

di sampingnya adalah Yan Van Boerman ayahnya sen-

diri

Parmin segera beranjak ke tempat Yulia mem-

baringkan tubuh. Dia betulkan kain penutup tubuh 

mulus itu dengan hati-hati sekali

Kemudian Parmin berkelebat ke luar menuju 

sungai yang berada di kaki bukit. Dia bersihkan tubuh 

lalu berwudlu. Tak lama kemudian Parmin menghadap 

ke sesuatu tempat yang ia anggap sebagai kiblat, se-

raya mengangkat kedua tangan untuk bertakbir.

Parmin memejamkan kedua matanya agar bisa


lebih berkonsentrasi dalam komunikasi kepada Sang 

Maha Pencipta. Di tengah malam yang dingin itu Jaka 

Sembung melakukan shalat tahajudnya dengan tafa-

kur.

Selang beberapa lama kemudian, Parmin telah 

berada kembali di dalam goa. Dipandanginya tubuh-

tubuh temannya yang lelap tidur dengan pandangan 

kasih sayang, Parmin tersenyum iba seraya berkata 

dalam hati;

"Kasihan, mereka begitu lelah menempuh perja-

lanan yang panjang dan penuh dengan bahaya."

Parmin duduk sambil merenung sampai akhir-

nya matanya telah tertutup rapat-rapat.

Dia pun tertidur lelap menghabiskan sisa ma-

lam yang dingin itu.

Malam telah pergi, mentari dari ufuk Timur 

mulai mengintip dan suara kicauan burung-burung 

bersahut-sahutan. Namun tubuh-tubuh yang lelah 

masih tertidur dengan lelapnya, kecuali Jaka Sembung 

yang terlihat duduk di mulut goa setelah melakukan 

sholat Subuhnya.

Semburat sinar matahari mulai memasuki goa 

itu. Berkas sinar yang menyilaukan jatuh ke wajah-

wajah mereka yang masih tidur. 

Satu demi satu dari mereka membuka kelopak 

matanya perlahan-lahan.

"Uuuuh, hari sudah siang rupanya," celetuk 

Awom sambil menggeliatkan tubuhnya yang tegap be-

rotot itu.

"Ya, saking lelahnya, kalian tidur dengan nye-

nyak sekali tanpa memperhatikan di mana kalian se-

dang bermalam," sambut Parmin yang kini sudah tam-

pak bersih dan segar karena baru saja mandi di sungai 

itu.

Ketiga orang itu pun segera turun ke sungai


untuk mencuci badan.

Setelah terasa segar, kembali mereka ke dalam 

goa, sementara Parmin dan Awom pergi mencari umbi-

umbian untuk sarapan pagi.

Beberapa saat kemudian, sambil membakar 

bahan makanan ala kadarnya itu, mereka berbincang-

bincang.

"Bagaimanakah asal mulanya anda berada di 

pedalaman Papua ini?" tanya Parmin kepada Van 

Boerman yang masih saja belum mau lepas memeluk 

anak gadisnya.

"Tatkala kapal kami hancur di serang badai, 

aku terpisah dengan Yulia," ujarnya seraya memulai

ceritanya.

"Entah berapa lama tubuhku terombang-

ambing gelombang laut yang luas itu. Dengan bergan-

tung pada sebilah papan pecahan dinding kapal, aku 

mengadu nasib antara hidup dan mati. Tak henti-

hentinya aku berdoa memohon pertolongan yang Maha 

Kuasa agar menyelamatkan jiwaku. Aku tak tahu di 

mana anakku Yulia, juga pendeta Yorgen yang selama 

ini menemaniku dalam tugas missionari dan aku juga

tak tahu ke mana teman-temanku yang lain. Aku 

hanya berpikir tentang diriku bagaimana caranya agar 

selamat." ungkapnya sambil mengerutkan kening.

"Cuaca saat itu dingin sekali dan angin laut 

bertiup sangat kencang. Aku tak dapat memandangi 

lautan di depanku, karena sebagian laut yang luas itu 

telah ditutupi kabut tebal hingga rembulan pun tak 

sanggup menembusnya. Hari mulai larut malam. Tu-

buhku terasa menggigil tak dapat menahan dingin 

yang menusuk-nusuk tulang sumsum. Perutku terasa 

perih karena lapar, aku tak dapat berbuat sesuatu un-

tuk menangggulanginya. Aku hanya terus berharap 

dan berharap semoga Tuhan berkenan menyelamatkan


jiwaku," ujar Van Boerman sambil matanya menera-

wang seolah membayangkan kembali peristiwa yang 

mengerikan itu.

"Waktu terasa sangat lambat bergeser, suasana 

malam gelap gulita telah hilang diganti dengan cuaca 

pagi yang cerah dengan munculnya sang mentari. Bu-

rung-burung camar berterbangan di atas kepalaku. 

Mereka seakan merasa sedih melihat apa yang ku ala-

mi di tengah laut lepas seperti itu. Barulah ketika ma-

tahari bergeser ke Barat, tampak sebuah sekoci yang 

ditumpangi oleh kelasi kapal yang hancur itu, mende-

kat kepadaku." ucapnya sambil menggaruk-garuk ke-

palanya yang berambut pirang. 

"Atas persetujuan di antara mereka aku diang-

kat dan dimasukkan ke dalam perahu itu. Berhari-hari 

bahkan berbulan-bulan lamanya kami hanya melihat 

air tanpa tepi. Pada suatu hari kami melihat dataran, 

kami menemukan sebuah pulau yang sangat asing 

yang kemudian kami ketahui bernama Papua," akunya 

sambil melototkan mata.

"Baru saja kami mendarat di pulau itu, menda-

dak kami disambut oleh pribumi yang masih primitif 

dengan sambutan yang tidak sebagaimana layaknya 

seorang tuan rumah. Mereka menyerang kami dengan 

tombak-tombak dan senjata tajam lainnya. Kami yang 

hanya berempat tak tahan mengimbangi keroyokan 

orang-orang primitif itu walau telah berusaha menga-

dakan perlawanan sedapat mungkin. Akhirnya dengan 

lari lintang pukang kami dapat menyelamatkan diri ke 

dalam hutan belantara." Van Boerman berhenti seje-

nak, kemudian meneruskan ceritanya.

"Berhari-hari kami tersesat di dalam hutan be-

lukar. Perut yang memang beberapa lama tak terisi 

mulai terasa perih dan berpilin-pilin. Di dalam ransel 

yang berhasil kami bawa terdapat beberapa potong roti


yang sudah hancur terendam air laut sehingga sulit 

untuk dimanfaatkan sebagai pengganjal perut.

Setelah secukupnya beristirahat, kami melan-

jutkan perjalanan melalui hutan belukar yang hanya 

ditumbuhi pohon-pohon sebatas bahu. Kami merayap 

dengan menyibak semak-semak pohon dengan kedua 

tangan, hingga tak terasa pakaian kami robek terkoyak 

patahan-patahan dahan pohon.

Tepat pada saat matahari tenggelam, akhirnya 

kami sampai ke sebuah perbukitan, bukit batu ini! 

Kami beristirahat semalaman di bukit tandus ini. Sua-

sananya persis sekarang ini, ada yang berbaring di su-

dut dan ada pula yang lelap tidur di dekat mulut goa 

ini." kata Van Boerman sambil menunjuk-nunjuk.

"Pagi-pagi sekali kami sudah bangun dan mem-

bersihkan diri di sungai yang ternyata ada di kaki bu-

kit berbatu ini. Sepanjang hari kami menikmati sekelil-

ing bukit ini. Salah seorang dari kelasi kapal itu ter-

nyata punya keahlian dalam bidang batu-batuan dan 

bertambangan. Ia menyatakan bahwa ternyata di bukit 

batu ini terdapat bijih emas.

Kemudian kami coba buktikan hasil penyelidi-

kan Simon Ban Derlang itu bersama-sama dengan ja-

lan menggali batu-batuan di lembah bukit tandus dan 

gersang ini. Namun ternyata setelah berminggu-

minggu kami menggali tanpa mengenal panas atau hu-

jan, hasilnya tetap nihil.

Lama-kelamaan kami yang menggali tanah mu-

lai ragu-ragu. Tetapi Simon mulai berubah watak, mu-

lai memaksa dan bersikap tangan besi. Bila ada yang 

membangkang, Simon tidak segan-segan menghajar 

kami, sampai akhirnya salah seorang dari kami ada 

yang nekad melarikan diri dengan membawa barang-

barang seadanya, dan celakanya ranselku yang berisi 

al-kitab dan rosario itu ikut terbawa," Van Boerman


menghentikan kisahnya sejenak untuk bernafas ke-

mudian melanjutkannya kembali.

"Entah bagaimana nasibnya dan aku heran ba-

gaimana rosario itu sampai berada di tanganmu, Yu-

lia?" Van Boerman bertanya pada anak gadisnya sam-

bil mencium rosario yang kini ada di tangannya.

"Kami mendapatkannya dari seorang suku ka-

nibal!" jawab Yulia sementara itu Van Boerman tertun-

duk merenungkan nasib kawannya yang mungkin su-

dah menjadi santapan orang-orang suku pemakan 

daging manusia itu.

Tak terasa hari semakin tinggi. Sang mentari 

sudah mengeluarkan kekuatannya sehingga tak ayal 

lagi cuaca sudah berubah sangat panas memanggang 

bukit yang gersang dan tandus itu. Segeralah mereka 

menuruni puncak bukit menuju ke tempat yang agak 

teduh yang ditumbuhi pepohonan.

Dari sini mereka menentukan langkah selan-

jutnya untuk mencari jejak pendeta Yorgen yang 

mungkin terdampar di pulau ini juga.

Sore hari itu Parmin dan Awom mulai bekerja 

membuat rakit dari batang-batang pohon yang agak 

kecil. Dengan rakit itu mereka menuju ke hulu sungai 

agar perjalanan mereka lebih cepat dan aman.

Setelah hampir satu hari mereka menempuh 

perjalanan, Parmin melihat suatu dataran yang agak 

mudah untuk ditempuh dengan berjalan kaki. "Kita 

mendarat di sini, Awom!"

Dengan cekatan Awom mendorong rakit terse-

but dengan batang kayu panjang sampai ke dasar 

sungai hingga sampailah ke tempat yang dimaksudkan 

oleh Parmin.

"Kau tambatkan tali rakit pada tonggak itu. 

Awom! Sewaktu-waktu kita bisa menggunakan rakit ini 

kembali!" ujar Jaka Sembung.


Setelah mengamankan rakit tersebut mereka 

melanjutkan perjalanan dengan memasuki jalan seta-

pak yang melintasi hutan belantara itu dengan formasi 

Parmin dan Awom sebagai pemandu jalan, sedangkan 

Yulia dan ayahnya. Van Boerman mengikuti dari bela-

kang. Mereka terus berjalan tanpa menyadari kehadi-

ran sesosok tubuh yang senantiasa membayangi lang-

kah-langkah mereka.

Pada saat yang tepat sosok tubuh itu menyer-

gap Yulia dan ayahnya ke dalam semak belukar den-

gan mulut terbekap. Parmin dan Awom segera men-

dengar suara gemerisik dedaunan semak dan segera

membalikkan tubuh sehingga mereka melihat bahwa 

Yulia dan ayahnya sudah tidak mengikuti mereka lagi.

Baru saja Parmin akan melangkah untuk ber-

buat sesuatu, mendadak kaki kirinya tersandung akar 

pohon yang ternyata merupakan suatu perangkap. Tak 

ayal lagi setelah benda itu putus, pohon yang terletak 

di tanah tiba-tiba melesat ke udara bersamaan dengan 

itu kaki Parmin terjerat dan tubuhnya terlontar ke 

atas. Melihat hal itu Awom bermaksud melabrak den-

gan bersenjatakan tombak, tetapi Parmin berteriak.

"Awon! Jangan melawan, menyerah saja!"

Awom mengikuti apa yang diinginkan Jaka 

Sembung karena dia yakin bahwa Parmin sedang me-

rencanakan sesuatu yang paling baik.

Selang beberapa lama kemudian tubuh Parmin, 

Awom, Yulia dan ayahnya Yan Van Boerman tak ber-

kutik lagi dengan tubuh terikat kuat.

Manusia-manusia hitam dan buas itu lalu 

mengusung Parmin dan kawan-kawannya seperti babi 

hutan buruan menuju perkampungan mereka.

***


DUA


Beberapa jam kemudian setelah melewati jalan 

setapak, hutan belukar dan sungai kecil, kelompok 

suku Papua itu telah sampai di perkampungan mereka 

yang terdiri dari belasan rumah panggung berbentuk 

kerucut yang terbuat dari daun-daun kering, ijuk dan 

ilalang. Letak rumah-rumah primitif itu berjajar me-

lingkari sebuah halaman yang cukup luas.

Di tengah halaman perkampungan itu terdapat 

kerangkeng-kerangkeng yang terbuat dari bambu ber-

bentuk teralis yang memang telah dipersiapkan untuk 

para tawanan dan mangsa mereka.

Yulia dan ayahnya dijebloskan ke dalam ke-

rangkeng sebelah Selatan dengan pengawalan ketat. 

Sedangkan Parmin dan Awom masing-masing di ke-

rangkeng sebelah Timur dan Barat, sehingga dengan 

demikian secara kebetulan Parmin dan Awom dapat 

mengawasi kedua orang kulit putih itu dari perbuatan-

perbuatan orang-orang suku pemangsa tersebut.

Parmin tersungkur dihempaskan dengan kasar 

ke lantai kerangkeng. Ketika ia mengangkat kepalanya, 

terlihatlah di hadapannya seorang berjubah putih ber-

jubah hitam sudah lebih dahulu berada di dalam ke-

rangkeng tersebut.

"Uuuh! Siapakah anda?" tanya Parmin.

Dengan penuh wibawa orang berjubah hitam 

dan berkalung salib menjawab sambil tersenyum.

"Aku adalah pendeta Yorgen!"

Betapa terkejut bercampur gembira Jaka Sem-

bung mendengar pengakuan orang yang di hadapan-

nya yang ternyata adalah orang yang selama ini dica-

rinya.

"Aku sangat gembira dapat berjumpa dengan


anda!" kata Parmin.

Pendeta Yorgen seorang lelaki Belanda berusia 

enam puluhan, berwajah selalu cerah dengan dahi le-

bar bercahaya, kumisnya tipis dan bertaut dengan 

janggutnya yang lebat. Semua itu membuat penampi-

lannya tampak anggun dan arif.

"Kulit anda sawo matang... Kurasa anda bukan-

lah pribumi pulau ini!" pendeta Yorgen meneruskan 

perkataannya sambil menduga dari mana asal suku 

tawanan baru ini.

"Betul! Aku berasal dari pulau Jawa, sebuah 

pulau yang merupakan bagian kecil dari kepulauan 

Nusantara." Parmin menimpalinya sambil terus ber-

tanya.

"Sudah berapa lamakah anda berada di sini?"

"Hampir setahun aku dikurung seperti ayam! 

Tapi anehnya mereka tidak membunuhku!" dengan 

nada sedikit heran

Suasana hening sejenak. Mereka saling beradu 

pandang dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Par-

min kemudian melanjutkan ucapannya;

"Aku membawa berita gembira untuk anda, 

pendeta...! Tuan Yan Van Boerman dan putrinya Yulia 

telah berada di sini juga. Jika tidak terhalang dinding 

kerangkeng ini, anda dapat melihat mereka di sebelah 

Barat kerangkeng kita.

Malam mulai merambat dan dataran pantai 

Nabire yang terletak di teluk Sarera itu mulai redup 

tenggelam dalam buaian malam. Yang terdengar ha-

nyalah suara deburan ombak membelah tepian pantai.

Angin bertiup sepoi-sepoi dan bintang pun ber-

taburan menghiasi cakrawala yang sunyi senyap. Per-

lahan-lahan bintang-bintang penghias cakrawala itu 

mulai hilang karena pergeseran waktu menuju dini ha-

ri. Pergantian itu mulai terasa setelah terdengar kokok


ayam hutan serta kicauan burung di atas ranting-

ranting pohon.

Parmin masih asyik berbincang-bincang pan-

jang lebar dengan pendeta Yorgen karena mereka ber-

dua tak dapat memejamkan mata. Mendadak mereka 

dikagetkan oleh beberapa orang anggota suku primitif 

yang mendorong dengan kasar pintu kerangkeng. Ke-

mudian menarik tubuh Parmin keluar kerangkeng 

dengan todongan tombak-tombak mengancam. Melihat 

perlakuan tersebut terhadap Parmin tak henti-

hentinya pendeta Yorgen berdoa demi keselamatan 

Pendekar Gunung Sembung itu. Dengan suara gemetar 

dia memberikan semangat kepada Parmin,

"Semoga kau selamat, Nak!"

Parmin dengan pasrah mengikuti makhluk-

makhluk buas itu membawanya pergi sambil berkata 

dalam hati, 

"Mau dibawa ke mana lagi aku ini?"

Parmin terus digiring menuju halaman yang te-

lah banyak dipadati orang-orang suku papua pemakan 

daging manusia yang menawannya. Ada yang duduk 

bersila mengitari api unggun yang berada di tengah-

tengah mereka, ada yang menari-nari dan ada pula 

yang menabuh gendang dengan irama yang menyen-

tak-nyentak sehingga membuat suasana menjadi hiruk 

pikuk.

Sesaat kemudian suasana bising itu berubah 

menjadi hening seakan mereka sedang memanjatkan 

doa dalam upacara tradisionil suku. Mereka berdiri 

membungkuk kemudian duduk kembali.

Ketika Parmin sampai di arena upacara, laksa-

na ada yang mengkomandoi suasana hening itu seren-

tak berubah seperti semula, pecah dengan sorak sorai.

Parmin terkejut ketika melihat siapa yang du-

duk di singgasana kepala suku di tengah-tengah ke


rumunan makhluk-makhluk buas dan ganas itu.

"Astagfirullah, dia lagi!" desisnya dalam hati.

Manusia bertopeng tengkorak yang sudah lama 

dikenalnya itu bangkit dari singgasananya sambil 

mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi menyambut 

kedatangan seorang tawanan besarnya. Parmin digir-

ing dengan perlakuan yang sangat kasar.

"Makhluk iblis itu sungguh berbahaya kalau 

dibiarkan hidup! Aku harus dapat mengenyahkannya 

walaupun aku tahu ia mempunyai ilmu silat yang lebih 

tinggi dariku!" tekad Jaka Sembung dalam hati.

Atas perintah manusia bertopeng itu, Parmin 

digiring ke dalam sebuah arena yang berbentuk lingka-

ran tonggak-tonggak kayu rapat berjajar setinggi bahu.

"Mau diapakan aku ini?" pikir Parmin.

Setelah masuk di pintu masuk arena tersebut, 

Parmin dihempaskan mereka sambil mengancamnya 

dengan ujung-ujung tombak. Kemudian mereka berge-

gas meninggalkan Parmin seorang diri. Tak berselang 

beberapa lama dari arah hadapan Parmin berdiri dibu-

kalah sebuah pintu kandang. Serta merta penghuni di 

dalamnya, yang tak lain seekor babi hutan yang ganas 

dan buas dengan taring melengkung runcing di mon-

congnya, menghentak-hentakkan kakinya hingga me-

nimbulkan kepulan debu dan kerikil, siap untuk men-

cabik-cabik tubuh pendekar kita.

Bersamaan dengan itu pula para penonton hi-

buran maut itu bersorak-sorai dengan suara penuh 

nafsu membunuh, seakan hendak meruntuhkan teb-

ing-tebing bukit Serera. Memang, seandainya saja yang 

menjadi mangsanya itu manusia tolol yang tak mengu-

asai ilmu silat sudah menjadi santapan babi hutan 

yang garang itu. Tapi lain halnya dengan Parmin si 

Pendekar Gunung Sembung, sebelum binatang itu 

mendekatinya, maka dengan gerakan yang sangat ma


nis dia meloncat bersalto berkali-kali di udara sambil 

berusaha melepaskan tali ikatannya. Tatkala tali pen-

gikat tangannya putus, para penonton itu kaget bukan 

kepalang apalagi ketika tiba-tiba Jaka Sembung me-

lompat sambil merampas tombak pataka upacara yang 

berhias tengkorak kepala manusia dan bulu-bulu bu-

rung yang dipegang oleh seorang tokoh agama suku 

Papua kanibal.

Dengan tombak pataka tersebut Parmin kemba-

li memasuki gelanggang untuk siap-siap. Para penon-

ton yang sedikit terkejut kini gembira sekali dengan so-

rak sorainya melihat tawanan mereka meneruskan 

pertandingan. Tapi apa yang terjadi selanjutnya mere-

ka lebih terkejut lagi, karena Parmin menggunakan 

tombak itu bukan untuk menghantam babi hutan, me-

lainkan untuk loncat melewati kalangan bambu dan 

penonton dan langsung melesat menuju singgasana 

kepala suku dengan lentikan yang sangat mempesona.

***

TIGA



Manusia bertopeng menyeramkan yang sedang 

asyik menyaksikan pertandingan maut antara Parmin 

dan babi hutan, dengan gesit melesat dan menghindar 

meninggalkan tempat duduknya selagi Parmin melun-

cur di udara dengan batu loncatan pada kepala-kepala 

para pengawalnya. Tapi Parmin si Jaka Sembung tak 

kalah gesit dan cepatnya. Dia menginjakkan kakinya 

pada ujung-ujung tombak yang runcing, para pengaw-

al yang berderet itu untuk mengejar buronannya sam-

bil berteriak mengancam lawannya.

"Jangan lari! Aku akan membuka topengmu itu


hari ini!"

Namun orang bertopeng dan berjubah merah 

itu terus berlari menuju puncak bukit berbatu.

"Jangan coba-coba menghindar! Aku kini se-

makin yakin bahwa kaulah orangnya! Ku akui juga 

bahwa kau benar-benar luar biasa!" ujar Jaka Sem-

bung mulai mengetahui siapa lawan gelap yang selalu

membayangi setiap langkahnya di Papua ini.

Namun orang bertopeng itu semakin tak mem-

perdulikan ucapan-ucapan Parmin yang pedas, bah-

kan dia sebaliknya tertawa terpingkal-pingkal sambil 

mengejek.

"Jika kau belum puas karena dendammu be-

lum terbalas, maka di sinilah kita bertempur habis-

habisan! Buka topengmu!!" Parmin tak henti-hentinya 

memaki untuk memancing kemarahan lawan, namun 

dengan santai insan bertopeng itu menjawab.

"He... he... he...! Memang sekarang saatnya sa-

tu lawan satu! Kau kira aku telah mampus oleh senja-

ta-senjata tahi kucing itu? Buahh! Jangan bertepuk 

tangan dulu, monyet! Walau nasibku agak sial dalam 

pengejaran mencabut nyawamu, tapi hari ini ajalmu 

akan tiba, monyet Sembung! Selain terbalas dendam 

keluargaku, namaku akan menggemparkan dunia per-

silatan karena kematianmu!"

"Jangan takabur! Kekuatanmu sudah mulai 

berkurang! Walaupun kau punya andalan pukulan 

maut yang bisa membakar itu, namun aku tahu kau 

telah kehilangan sebelah tanganmu!" ejek Parmin sam-

bil memasang kuda-kuda dan mempersiapkan tenaga 

dalamnya. Dengan gerakan yang indah dia melesat ke 

arah lawannya yang telah siap menyambut serangan 

itu dengan mengerahkan seluruh ilmunya.

"Sekarang bukalah topeng iblis mu, 

hiyaaaatt...!!"


Tak ayal lagi tenaga dalam dua tokoh silat, itu 

kini bertemu. Laksana besi berani kedua tangan mere-

ka saling bertumpu seakan tak bisa lepas sampai me-

nimbulkan suatu reaksi berupa kepulan asap. Mataha-

ri yang menyaksikan pertarungan akbar itu kian kemi-

lau mengeluarkan panasnya yang membakar kulit. Si-

narnya berbias-bias karena cepatnya gerakan mereka 

berdua. Tak terasa mereka sudah bertarung lebih dari 

seratus jurus. Butir-butir keringat telah bercucuran 

dari seluruh pori-pori tubuh mereka, sehingga mem-

buat seluruh pakaian mereka basah kuyup.

Siang berganti malam, suasana di atas bukit 

berbatu itu kini sedikit diterangi oleh sinar rembulan 

yang hampir menyabit. Tubuh mereka tak nampak, 

hanya bayang-bayang hitam yang berkelebat kian ke 

mari bagaikan dua ekor burung malam yang sedang 

bertarung habis-habisan. Orang-orang suku Papua 

yang buas tercekam menyaksikan kehebatan ilmu me-

reka berdua memandang tanpa berkedip. Dalam hati 

mereka berdoa agar kepala sukunya yang keluar seba-

gai pemenang dalam pertarungan maut itu.

Dua hari dua malam pertarungan itu berlanjut 

sudah. Pada suatu saat, tubuh Parmin tergedor oleh 

serangan lawan sehingga kakinya tergelincir dan tak 

ampun lagi tubuhnya jatuh terperosok dengan deras 

ke lereng bukit itu. Tetapi belum lagi lawan bertopeng 

itu melontarkan serangan berikutnya Parmin telah siap 

siaga dengan mengerahkan tenaga dalam tingkat ting-

gi. Dua tenaga dalam kini saling bertubrukan di udara, 

menimbulkan getaran hebat menyebabkan bukit batu 

itu terasa bergetar.

Keringat kian deras mengucur seperti biji-biji 

jagung. Beberapa saat kemudian mata, Parmin mulai 

memerah dan dari sudut-sudutnya mulai meleleh cai-

ran berwarna merah.


Cairan itu terus mengalir seperti anak sungai. 

Beberapa saat sesudah itu darah hitam mulai meleleh, 

kali ini dari lobang hidung, telinga dan mulut. Tubuh 

Jaka Sembung kini mulai condong dan oleng pertanda 

kekuatannya mulai habis untuk selanjutnya tentu me-

nuju kematian! Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada 

Parmin mencoba bertahan, namun tubuhnya bertam-

bah condong dan akhirnya roboh ke tanah. Sedangkan 

lawannya masih tetap tegak tak tergoyahkan.

Laskar suku kanibal yang sejak tadi menyaksi-

kan pertarungan dahsyat itu kini menyerbu dengan 

rasa tak sabar ingin mencincang tubuh Parmin yang 

sudah tergeletak tak berdaya. Namun di saat yang ga-

wat itu suara teriakan terdengar dari arah belakang 

mereka, "Tahaaann!!"

Pasukan itu berbalik dan apa yang dilihatnya 

ternyata suara itu datangnya dari kepala suku mereka. 

Sambil keheranan mereka saling beradu pandang dan 

bertanya-tanya. Tubuh yang sudah tak berdaya dan 

sudah semestinya harus mereka cincang, kenapa kini 

dicegahnya?

"Biarkan dia hidup!! Aku tak ingin dia mati be-

gitu cepat! Aku akan membuatnya mati perlahan-

lahan!" ucapnya dengan penuh nafsu untuk menyiksa 

lawannya, sambil mengarahkan telunjuknya ke suatu 

tempat.

"Masukkan kembali dia ke dalam kerangkeng! 

Besok kita akan mengiris dagingnya sedikit demi sedi-

kit!"

Tubuh Parmin yang sudah tak berdaya dan ba-

bak belur itu kembali diusung, diiringi sorak sorai ke-

menangan, kemudian mereka menghempaskannya 

dengan kasar ke dalam kerangkeng.

Pendeta Yorgen yang sedang menanti Parmin 

dengan cemas, segera bergegas menghampiri tubuh


yang sudah tak berdaya itu.

"Ya, Tuhan! Apa yang mereka telah lakukan? 

Siksaan yang kejam! Dia tak sadarkan diri!" keluh 

pendeta itu sambil membuat gerakan tangan yang 

membentuk salib di dada.

Berjam-jam lamanya Parmin tak sadarkan diri. 

Selama itu pula pendeta Yorgen terus mendampinginya 

sambil berdoa dengan khusuk.

"Oh, Bapa yang di surga ampunilah hamba-Mu 

ini. Dia sedang berjuang antara hidup dan mati. Tapi 

aku yakin Bapa akan memberinya pertolongan. Karena 

aku yakin dia berada di jalan-Mu, Ya Allah!"

Parmin mulai siuman dari pingsannya sambil 

mengucap dua kalimat syahadat, "Lailaha Ilallah Wa-

Ashadu Anna Muhammadar Rosulullah."

Pendeta Yorgen yang melihat Parmin sudah si-

uman, dia gembira dan terus memandangi wajah pen-

dekar muda yang penuh semangat dalam menentang 

segala keangkara-murkaan di muka bumi itu.

"Dia sudah mulai sadar... Kepalanya bergerak 

dan mulutnya komat kamit!" ucapnya dalam hati.

Tubuh Parmin tiba-tiba bangun perlahan-lahan 

dan duduk tegap bersila sambil mengatur pernafasan-

nya. Kemudian dia menggerakkan tangannya serta ma-

tanya perlahan-lahan dipejamkan seraya berucap,

"Bismillahir Rahmanir Rahim...?"

Setelah itu kepulan asap keluar dari segenap 

puri-pori tubuhnya. Pendeta Yorgen yang menyaksikan 

pemandangan itu terbelalak kagum. "Ya, Tuhan! Apa 

yang sedang terjadi? Mukjizat?!"

Belum lagi rasa kagum terlepas dari benaknya, 

kini dikagetkan dengan sesuatu yang lebih dahsyat la-

gi.

"Oh, kaki balai-balai yang didudukinya itu me-

nembusi lantai kerangkeng!"


Pada puncak semadhi itu Parmin tiba-tiba me-

lihat dengan jelas bayangan almarhum gurunya Ki Sa-

pu Angin yang berambut panjang putih hingga bahu 

dan kumis serta jenggot yang lebat warna putih pula 

yang berkata dengan penuh wibawa.

"Parmin, muridku! Jurus 'Wahyu Taqwa' adalah 

jurus larangan yang sangat dahsyat! Sebagaimana kau 

ketahui ilmu silat Gunung Sembung adalah warisan 

dari Sunan Gunung Jati, seorang Wali Kutub yang 

bersemayam di Gunung Jati Cirebon... Dengan jurus 

'Wahyu Taqwa' itu pula beliau berhasil menghalau ke-

bathilan yang datang dari orang-orang kaum syirik dan 

murtad yang coba-coba menghalangi penyebaran aga-

ma Islam, di tanah Jawa. Jika jurus itu sudah kau gu-

nakan dan ternyata belum mampu mendobrak perta-

hanan musuh, harus kau sempurnakan dengan sema-

di sampai puncaknya. Di saat itu kau berada dalam ti-

tik pertemuan antara hidup dan mati. Di saat itu pa-

srahkan dirimu kepada Yang Maha Kuasa dan kau 

lancarkan pukulan yang terakhir, pukulan pamung-

kas!

Sesudah itu akan terjadi dua kemungkinan. 

Tubuh musuhmu atau tubuhmu sendiri yang akan 

hancur! Tetapi kau harus berani mengambil jalan te-

rakhir itu, Parmin! Percayalah bahwa Allah Subhanahu 

Wata'ala pencipta alam semesta melindungi hamba-

Nya yang berjuang dan berada di jalan yang hak!"

Setelah berucap, tubuh orang tua berambut 

putih dan memakai busana serba putih itu lenyap dari 

pandangan Parmin. Sementara itu pendeta Yorgen 

yang sejak tadi memperhatikan peristiwa menakjubkan 

itu kian menajamkan matanya seraya berucap,

"Ya, Tuhan! Kaki balai-balai itu kini telah am-

blas seluruhnya menembus lantai kerangkeng, sung-

guh hebat!"


Benar, kini balai-balai kayu itu sudah tak tam-

pak berkaki lagi.

"Allahu Akbar...!" ucap Jaka Sembung sambil 

mengusap wajahnya dan sesaat kemudian tubuh Par-

min rebah kembali.

Pendeta Yorgen terkejut melihat tubuh Parmin 

yang tergolek pingsan tak sadarkan diri lagi.

"Ya, Tuhan! Ia pingsan lagi! Agaknya telah ter-

jadi sesuatu terhadap dirinya!"

***

EMPAT



Malam berikutnya telah tiba. Rembulan sema-

kin menyabit dan tertutup awan hitam. Bintang pun 

tak menampakkan cahayanya. Mengapakah? Seakan 

mereka tahu sesuatu akan terjadi pada kerangkeng 

tempat Yulia dan ayahnya meringkuk.

"Aku sangat mengkhawatirkan nasib Awom dan 

Parmin, Ayah!"

"Ya, betul! Inlander yang bernama Parmin Itu. 

Sangat berjasa bagi kita! Ia menolong sesamanya tanpa 

memandang warna kulit atau agama!" Ayahnya me-

nimpali dengan rasa simpati yang dalam.

"Apakah mungkin pendeta Yorgen masih hidup, 

Ayah! Tipis harapan kita untuk bertemu dengannya!"

Belum lagi ayahnya sempat menjawab, menda-

dak Yulia menyambung perkataannya dengan melihat 

orang-orang suku primitif itu menuju ke arahnya. Su-

ku Nabire yang selama ini memenjarakan mereka.

"Lihat, Ayah! Mereka datang! Mungkin giliran 

kita untuk dijagal!" kata Yulia kepada ayahnya yang 

juga melihat kedatangan anggota suku itu dengan wa


jah pucat pasi.

"Walau kita memang ditakdirkan Tuhan mati di 

sini, tak apalah. Aku masih bisa tersenyum, asalkan 

kita tetap berkumpul, Anakku!" jawab Van Boerman 

sambil memeluk erat anak gadisnya itu.

Namun betapa terkejutnya Yan Van Boerman, 

ternyata yang dibawa hanya anak gadisnya, sedangkan 

ia tetap ditinggalkan. Sambil berteriak-teriak ia men-

coba untuk protes.

"Tidak! Mau dibawa ke mana Anakku, he! Kalau 

kalian hendak membunuhnya, bunuhlah aku seka-

lian!! Jangan pisahkan aku dengan Anakku?! Bunuh-

lah aku juga!!" teriaknya memelas. Namun orang-orang 

buas itu tak menghiraukan ratapan ayah Yulia.

Yulia digiring ke rumah kepala suku, ke suatu 

tempat yang tidak jauh dari pondok-pondok laskar su-

ku primitif itu. Tatkala Yulia hendak masuk, seorang 

berjubah dan bertopeng tengkorak telah berada di da-

lamnya, duduk santai dengan tangan bersedakep.

"Masuk...!!" perintahnya kepada laskar suku 

yang membawa Yulia, selanjutnya memerintahkan 

anak buahnya tersebut untuk meninggalkan mereka 

berdua.

"Lepaskan belenggu tangannya! Kemudian ka-

lian cepat pergi dari ruangan ini!" katanya dengan so-

rot mata penuh arti.

Setelah anak buahnya beranjak dari hadapan-

nya, dia berbicara kepada Yulia dengan bahasa me-

layu.

"Sebetulnya aku tak punya sangkut paut den-

gan kalian orang-orang kulit putih!"

Betapa terkejutnya Yulia mendengar ucapan 

orang bertopeng menyeramkan itu dengan bahasa me-

layu yang sangat fasih.

"Huh! Anda bukan suku Papua rupanya! Kalau


begitu siapakah Anda?" tanya Yulia dengan serius.

"Nona tak perlu tahu siapa aku! Tapi dengan je-

las aku hanya punya urusan dengan tuan penolongmu 

yang bernama Parmin itu! Aku terpaksa menculik kau 

dari Kaimana untuk memancing Parmin agar berhada-

pan denganku!" Suara si Topeng Tengkorak itu terden-

gar bergetar menahan gejolak dendam.

"Syukurlah kalau anda tidak bermaksud me-

musuhi kami! Kami sangat berterima kasih! Tapi apa-

kah anda pernah melihat orang kulit putih selain ka-

mi?" tanya Yulia sekali lagi dengan penuh harap.

"He... he... he...he...?! Apakah yang kau maksud 

adalah Pendeta Katholik itu?" tanya si Topeng Tengko-

rak dengan santai sambil tersenyum menyeringai.

"Betul! Apakah anda juga menahan dia di sini?. 

Ya, Tuhan! Syukurlah kalau dia selamat! Kami sangat 

gembira dapat berkumpul kembali dengannya!" pekik 

Yulia dengan luapan rasa gembira karena pendeta Yor-

gen yang selama ini dicarinya ternyata telah berada di 

tempat yang sama.

"Oh, tentu! Tentu! Kalian akan menjadi tamu-

tamuku di sini! Kalian akan bebas. Tapi ada syaratnya! 

Dalam hal ini keputusannya mutlak terletak di tangan 

anda, Nona!"

"Apa maksud Anda?" tanya Yulia dengan tak 

sabar untuk mengetahui arah pembicaraan orang yang 

bertopeng tengkorak itu.

"Kukira syaratnya setimpal dengan harga nya-

wa kalian bertiga, yaitu kau harus menjadi istriku un-

tuk sementara!" jawabnya sambil coba mengelus tubuh 

Yulia.

Betapa kagetnya Yulia, ternyata omongan ma-

nis kepala suku itu ada udang di balik batunya. Ia in-

gin menikmati tubuhnya yang sintal dengan lekuk tu-

buh sangat indah. Apalagi di usianya sekarang, seba


gai gadis dewasa dengan pesona yang betul-betul 

membuat lelaki menjadi mabok kepayang.

"Oh, tidak! Jangan sentuh aku!" teriaknya den-

gan cemas.

"Kuda macam apapun sudah aku tunggangi! 

Kuda coklat, kuda hitam, kuda kuning hanya kuda pu-

tih yang belum aku coba!" kata Hi Topeng Tengkorak 

dengan dengusan nafsu yang menggebu.

"Tidaaaaak! Aku lebih baik mati daripada harus 

menyerahkan kehormatanku!" teriak Yulia sambil me-

ronta-ronta untuk melepaskan dekapan orang itu. 

Namun tubuh gadis Belanda itu tak kuasa meng-

goyahkan, apalagi melepaskan cungkeraman orang 

yang sudah kemasukan iblis. Dia bahkan terus meng-

gumuli Yulia, dan tangannya yang culas itu mengge-

rayang liar menelusuri lekuk-lekuk tubuh gadis kulit 

putih itu.

"He... he... he....! Kau tak bisa berbuat apa-apa 

di sini, ratu molek dari Kaimana! Di sini aku yang ber-

kuasa! Sudah lama aku menginginkan engkau! Aku 

sudah bosan dengan perempuan pribumi pulau ini! 

Merontalah sekuat tenagamu, Nona!" dengus si Topeng 

Tengkorak sambil meremas sepasang daging yang 

menggumpal kencang di dada Yulia.

"Auuuu!!! Lepaskan aku! Lepaskaaaaaaaann!! 

Bajingan kau!" jerit Yulia yang sudah berada pada 

saat-saat yang kritis untuk mempertahankan kesu-

ciannya. Kain sarung satu-satunya, penutup tubuh 

pemberian Jaka Sembung itu kini sudah lepas direng-

gut tangan kasar sang durjana bertopeng tengkorak 

itu.

"Auu! Bangsat! Jahanam! Iblis!!!"

Sudah berapa banyak makian yang dilontarkan 

Yulia, namun si Topeng Tengkorak tak menghiraukan-

nya, bahkan tatapan matanya semakin liar tatkala ma


tanya menatap tubuh tanpa sehelai benang dengan 

kulit seputih pualam dan bulu-bulu halus berwarna 

pirang. Nafasnya terdengar menggeros-geros dengan 

segenap otot tubuh yang kian menegang tak tertahan-

kan lagi.

"Oh, jangan!! Helk....!" pekik Yulia tatkala si To-

peng Tengkorak mencoba mendekap tubuhnya.

Dengan kasar dan tak sabar sang durjana itu 

menggumuli tubuh Yulia, membuat gadis kulit putih 

itu meronta dan berteriak-teriak sekuat tenaga. Namun 

apalah arti daya upaya seorang perempuan di ban-

dingkan dengan tenaga seorang lelaki yang memiliki 

ilmu silat tingkat tinggi dan dalam kekuasaan nafsu 

birahi yang memuncak.

Maka pecahlah tirai kesucian gadis Belanda itu 

diiringi jerit tangis yang menggeletar. Sekilas dalam in-

gatannya terbayang wajah Jaka Sembung, seseorang 

yang pada detik itu ia harapkan kehadirannya.

"Oh, Parmin! Parmin!!" jeritnya dalam tangis 

yang menyayat.

Namun jangankan Parmin, seekor cecak pun 

tak bisa menyahut atas tragedi yang sedang berlang-

sung terhadap gadis Belanda yang malang itu.

***

LIMA



Angin gemuruh bertiup menerpa pantai dan 

perbukitan Nabire. Ombak-ombak laut teluk Sarera 

bergejolak seakan-akan tak rela ada kesucian yang di-

renggut oleh tangan yang tak berhak.

Pada saat yang sama di lain pondok nampak 

seorang pemuda kulit hitam yang tak lain adalah panglima suku Kaimana, Awom sedang termenung dan 

menengadah ke atap kerangkeng sambil mengerutkan 

kening seakan ada yang sedang dipikirkannya.

"Oh, para dewa bagaimana nasib kepala suku 

Kaimana dan ayahnya? Lalu bagaimana nasib Par-

min?"

Belum lagi Awom sempat membayangkan nasib 

ketiga kawannya, mendadak di luar kerangkeng tam-

paklah seorang wanita kulit hitam, berpakaian hanya 

berupa untaian kulit pohon yang menutupi celah pa-

hanya dengan buah dada yang dibiarkan lepas bebas 

mendekat kepadanya.

"Sssssst!! Apakah kau mengerti bahasa Na-

bire?" tanya gadis hitam manis itu,

"Oh, ya bisa sedikit-sedikit? Siapakah anda?" 

jawab Awom sambil bertanya. Sementara itu dalam ha-

ti dia mengagumi keindahan tubuh wanita muda kulit 

hitam itu. Tubuhnya padat berisi dan berada pada usia 

yang sedang mekar sebagai seorang gadis. Sepasang 

matanya besar dan selalu berbinar-binar.

Sambil memperkenalkan diri wanita itu mera-

patkan diri ke dinding kerangkeng agar lebih dekat 

dengan Awom.

"Namaku Da-Fan putri kepala suku yang telah 

tewas ketika terjadi perang suku. Ayahku mati dibu-

nuh oleh kepala suku yang sekarang berkuasa di per-

kampungan ini. Aku bermaksud membebaskanmu dan 

mengajakmu lari!! Jangan kawatir. Kawan-kawanku 

yang setia telah membereskan para penjaga. Kita bisa 

lari dengan sampan menuju pulau Ro-on! Di sana pa-

manku bersama laskarnya yang melarikan diri sedang 

menunggu aku! Kita bisa kawin di sana!" ujar gadis 

manis yang bernama Da-Fan itu sambil mengagumi 

otot-otot tubuh Awom sang panglima suku Kaimana. 

Namun pemuda Papua yang satu ini tak terburu nafsu


menerima tawaran itu. Dia masih mengkhawatirkan 

nasib kawan-kawannya.

"Aku tak bisa mengikutimu, Da-Fan! Kepala 

sukuku dan kawan-kawanku ada di sana!"

"Siapakah kawan-kawanmu yang kau mak-

sud?" tanya Da-Fan dengan nada penasaran.

"Dua orang kulit putih dan satu orang berkulit 

coklat!, Wanita kulit putih itu adalah kepala suku 

Kaimana, dan aku sebagai panglima perang wajib me-

lindunginya!" jawab Awom tegas.

Sementara itu di sudut-sudut pondok yang ge-

lap, kawan-kawan wanita Da-Fan sedang mengelabui 

penjaga dengan menyerahkan kehangatan tubuhnya 

masing-masing. Mereka bergumul laksana hewan dan 

membuat para penjaga itu benar-benar lupa akan tu-

gasnya

"Sssst, hati-hati Awom!"

Dengan berjalan berjingkat-jingkat Da-Fan 

membawa Awom ke luar dari kerangkengnya. Ketika 

melewati sebuah pondok, Awom mengambil salah se-

buah tombak yang sedang disandarkan di dinding.

"Aku memerlukan tombak ini! Sekarang kau 

tunjukkan aku, di mana letak pondok kepala suku?" 

pinta Awom kepada teman barunya yang dengan cepat 

telah merebut hatinya itu.

"Jangan!! Jangan Awom! Nanti kau dikutuknya 

seperti ayahku! Tubuh ayahku hangus olehnya!" pinta 

Da-Fan dengan harapan agar Awom menuruti saran-

nya. Namun panglima perang suku Kaimana yang 

mempunyai watak kesatria itu tak gentar dengan sega-

la kemungkinan yang menghadang. Kini yang ada di 

benaknya hanya bagaimana cara membebaskan kepala 

suku beserta yang lainnya.

"Awom tidak takut kepada siapapun!" kata pe-

muda Kaimana menantang.


"Tapi Da-Fan takut, Awomku sayang!" bujuk 

gadis manis itu dengan penuh harap. Awom berpikir 

sejenak, kemudian berucap;

"Baiklah! Kau tunjukkan saja padaku di mana 

tawanan-tawanan itu berada?"

"Mari!" jawab Da-Fan singkat sambil menarik 

tangan Awom untuk bergegas menuju ke suatu tem-

pat.

Sementara itu di tempat kediaman si Topeng 

Tengkorak kepala suku Nabire sekarang, tampak gadis 

berambut pirang bergolek lemas dengan tubuh telan-

jang bulat bermandi keringat. Dia tak kuasa bangkit 

karena tenaganya terkuras habis diamuk sang durjana 

yang dengan kejam dan buas telah menggagahi di-

rinya. Ia masih merasakan seakan seluruh tulang be-

lulangnya remuk dan seluruh persendiannya seperti 

lolos tak berfungsi.

Si Topeng Tengkorak tampak sudah mengena-

kan busananya dengan senyum penuh kepuasan sete-

lah mendapatkan seorang gadis idaman yang ternyata

masih perawan pula. Yulia terus menangis dengan ra-

tapan keputusasaannya. Kini dia merasa tak berguna 

lagi. Baginya dunia ini telah kiamat. Siapa sudi mene-

rima kehadiran seorang gadis yang tidak suci lagi.

"Mulai sekarang kau bisa berbuat apa saja di 

Nabire ini! Bebas sesuka hatimu!!" ujar si Tengkorak 

dengan bangga kemudian melompat ke luar dan 

menghilang di kegelapan malam, dengan suara tawa 

yang membahana.

Dalam pada itu Awom dan Da-Fan mengendap-

endap menuju tempat tinggal kepala suku Nabire. 

Pondok besar itu tinggal beberapa langkah lagi di de-

pan mereka.

"Di mana?" tanya Awom kepada Da-Fan dengan 

tak sabar.


"Tunggu dulu, Awom! Jangan tergesa-gesa!" 

pinta Da-Fan.

"Ada apa?" tanya Awom sambil menatap bola 

mata gadis itu.

"Aku ingin membicarakan sesuatu di tempat 

yang sunyi!" pinta Da-Fan sekali lagi.

"Apa yang hendak kau bicarakan? Asal jangan 

terlalu lama, Da-Fan!"

Dengan tergopoh-gopoh Da-Fan membimbing 

tangan Awom menuju ke pantai yang sunyi yang hanya

terdengar deburan ombak dan tiupan angin pantai 

yang sepoi-sepoi.

Setelah terasa agak jauh dari keramaian, Da-

Fan mengajak Awom duduk-duduk di pinggiran pantai 

yang bertabur pasir halus. 

"Duduklah Awom! Di atas pasir ini kita bebas

dan aman!" ajak Da-Fan sambil merebahkan tubuh 

Awom yang seakan tenggelam dalam bisikan suaranya 

yang lembut. Kemudian Da-Fan merebahkan diri ke 

dada pemuda itu sehingga terasa buah dadanya yang 

montok mengencang itu terhimpit ke tubuh Awom 

yang berotot keras, seraya berkata;

"Awom, dengarlah... Atas nama dewa-dewa, di 

malam yang indah ini akan aku serahkan kesucianku 

kepadamu pemuda gagah." Da-Fan dengan jarinya 

yang lentik meraba-raba tubuh Awom yang kuat lak-

sana kuda Arab.

"Kau tahu, Awom! Kepala suku yang bertopeng 

tengkorak itu pasti akan mengambil diriku sebagai 

korban nafsu birahinya. Itu hanya soal waktu, suatu 

saat tentu akan tiba. Tetapi aku tak sudi menyerahkan 

kesucianku kepada orang yang tak kucintai!" ujarnya 

dengan nada sedih.

Hari semakin larut. Rembulan mengintip dari 

balik awan yang menutupinya. Pohon-pohon raksasa


yang dihempas angin melambai-lambaikan daunnya 

dan suara bintang-bintang kecil bersahut-sahutan, 

seakan mengucapkan selamat bahagia kepada dua pa-

sangan pemuda kulit hitam itu.

Da-Fan dengan desah nafasnya menelusuri leh-

er Awom memberi kenikmatan yang belum pernah di-

rasakan pemuda Kaimana tersebut. Seluruh tubuh 

Awom terasa merinding seperti digelitiki oleh tangan 

seribu bidadari. Semakin pemuda itu memejamkan 

matanya, semakin terasa kenikmatannya.

"Biarlah aku dikutuk olehnya? Biarlah tubuhku 

hangus terbakar, tapi aku tetap tak mau menyerahkan 

kesucianku! Telah banyak gadis-gadis Nabire yang jadi 

korban. Jika aku akan mati hari ini, aku sudah puas 

karena aku sudah menyerahkan seluruh jiwa ragaku 

kepadamu, Kekasihku!"

"Kau tak akan mati, Da-Fan! Percayalah! Tidak 

ada dewa berujud manusia! Dia dewa palsu!" jawab 

Awom dengan pasti untuk meyakinkan Da-Fan sambil 

mendesah karena bibir gadis Nabire itu semakin terasa 

hangat merayapi dadanya dan kini mulai ke bawah 

mengecupi otot-otot perutnya.

"Awom, kau berani berkata begitu?" tanya Da-

Fan sambil melepaskan selongsong koteka pemuda 

Kaimana itu.

"Yang harus kau sembah adalah Tuhan yang 

menciptakan kita dan seluruh alam ini!" jelas Awom 

mengulang apa yang pernah dikatakan Jaka Sembung 

kepadanya.

"Tuhan? Aku baru mendengar nama-Nya? Sia-

pakah Dia?"

"Dia bukan manusia seperti kita! Dia berse-

mayam di tempat Yang Maha Tinggi, lebih tinggi dan 

mulia dari apapun yang pernah kau lihat!" jawab 

Awom sambil menggelinjang karena elusan tangan ga


dis itu menelusuri sesuatu yang sangat sensitif.

"Apa Dia lebih kuat dari dewa?" tanya Da-Fan 

sambil merebahkan tubuhnya di sisi Awom. Agaknya ia 

mengisyaratkan kepada pemuda pujaannya itu untuk 

mencumbunya. Tetapi panglima suku Kaimana ini be-

tul-betul seorang pemuda yang masih lugu, oleh kare-

nanya ia tak berbuat sesuatu apapun kecuali mene-

ruskan penjelasannya tentang kehebatan Tuhan.

"Para dewa sudah barang tentu berada di ba-

wah kekuasaannya! Dewa tengkorak yang kau bilang 

itu pasti akan ditumpasnya! Karena dia jahat! Tuhan 

sangat benci kepada orang jahat!" tegas Awom dengan 

nada serius.

Da-Fan sudah tidak sabar lagi dan memagut 

tubuh Awom agar mendekapnya. Gadis Nabire itu 

menginginkan pemuda pujaannya melakukan apa yang 

baru saja ia lakukan terhadapnya.

Ternyata Awom pun cepat menangkap pelaja-

ran pertama itu, dan...

"Awom! Aku terasa terbang, Awom? Kau berada 

di mana? Di sisiku, bersamaku bukan? Dan aku di 

mana...?! Dimana.... Mengapa aku tak bertemu den-

ganmu sejak dahulu? Kalau aku tahu kau.... Kalau 

aku tahu begini indahnya aku akan mencarimu walau 

kau berada di ujung dunia sekalipun!" desah gadis itu 

setengah merintih.

Da-Fan terus menceracau terbawa arus kenik-

matan tiada tara pada saat-saat Awom menelusuri leh-

er gadis itu dengan kecupan bibirnya. Tubuh gadis 

Nabire itu menggelinjang berkali-kali ketika kecupan 

Awom menelurusi sepasang gumpalan daging yang 

mengencang di dadanya. Da-Fan mendesis-desis sam-

bil memejamkan matanya.

Pada puncaknya, gadis itu memekik tertahan 

dengan tubuh bergetar hebat. Ia menggigit bahu kekasihnya untuk menahan siksa yang nikmat itu.

Angin bertiup merontokkan daun-daun. Udara 

seakan bergetar, dahan-dahan pohon meliuk liuk lak-

sana tubuh yang meronta. Untuk sesaat tubuh Da-Fan 

mengejang, kemudian dengan lenguhan panjang ia 

terkulai dalam pelukan Awom. Nafas pemuda itu sen-

diri menggeros-geros dengan peluh membasahi kening 

dan sekujur tubuhnya. Senyum kebahagiaan menghias 

bibir sepasang muda mudi kulit hitam itu.

***

ENAM



Di lain tempat sosok tubuh berdiri di kejauhan 

seperti tonggak dengan angkernya di kaki bukit dan 

menghadap ke laut lepas. Entah apa yang sedang dila-

kukan oleh makhluk berjubah dan bertopeng tengko-

rak itu.

Perlahan lahan tangannya ke depan dan kemu-

dian ditariknya ke dadanya sambil menarik nafas da-

lam-dalam kemudian mengerahkan seluruh tenaganya. 

Dengan menghentakkan tenaga yang kuat serta teria-

kan yang keras. Ia melancarkan pukulan jarak jauh ke 

arah sebongkah batu karang yang runcing mencuat 

dari dasar laut. Tak ayal lagi batu karang itu tumbang 

dan mengeluarkan asap akibat tenaga dalam yang 

dahsyat dan menimbulkan suara yang menggelegar 

laksana suara halilintar.

Suara gaduh yang membisingkan itu agaknya 

telah mengejutkan burung-burung hantu dalam semak 

belukar, membuat mereka terbang berhamburan.

Melihat burung-burung berterbangan di udara, 

orang yang ternyata musuh nomor satu Parmin si Jaka



Sembung, segera melancarkan pukulan jarak jauh ke 

arah burung-burung malam itu. Tak ayal lagi, nasib 

mereka tak jauh beda dengan batu karang laut itu.

Tubuhnya hancur berkeping-keping dan hangus terba-

kar. Rupanya itulah ilmu pukulan yang selama ini 

menjadi andalannya.

Suasana hening sejenak seakan tak terjadi apa-

apa di pinggiran laut itu, namun tiba-tiba terdengar 

kembali teriakan yang memekakkan telinga. Kalau saja 

ada orang yang mendengar suara itu dan dia tak 

mempunyai ilmu penangkal yang tinggi, gendang telin-

ganya akan hancur dan mengeluarkan darah. Untung 

saja tak ada seorang pun manusia di sana, hingga sua-

ra keras itu terpantul pada dinding bukit. Yang me-

nyebabkan batu-batu bukit itu bergoyang dan runtuh.

"Ha... ha... ha... ha! Walaupun tanganku tinggal 

sebelah, tapi pukulanku masih tetap sempurna! Den-

damku kepada monyet Sembung itu pasti akan terba-

las, Kakang!"

***

TUJUH



Yulia kini telah siuman dari pingsannya, dia 

merasakan rasa nyeri di celah kedua pahanya. Dengan 

perasaan pilu ia melihat tetesan darah yang membekas 

di atas tikar gambut tempat tubuhnya terbaring.

Yulia mencoba untuk mengambil kain sarung 

penutup tubuhnya yang tercampak tak jauh di hada-

pannya.

"Oh, Tuhan! Mengapa ini mesti terjadi pada di-

riku? Aku telah ternoda! Aku lebih baik mati! Lebih 

baik mati!" ratap gadis Belanda itu dengan tubuh


menggigil menahan isak tangis yang menyesak dada.

"Hu.. hu... hu.... hu! Parmin, mengapa bukan

kau yang merenggut kesucianku? Kalau saja kau yang 

menghendakinya, tanpa kau pinta pun akan kuserah-

kan segala-galanya demi cintaku padamu!"

"Mengapa pada saat yang paling gawat itu kau 

tak muncul? Bukankah kau selalu datang menyela-

matkan aku di saat-saat genting? Apakah kau telah 

tewas di tangan makhluk iblis bertopeng tengkorak 

itu? Kalau begitu aku harus menyusulmu dengan pi-

sau itu!" pekik Yulia yang sudah menganggap hidup-

nya sudah tak berarti lagi sambil tatapan matanya ke 

arah pisau yang terselip di dinding ruangan itu.

"Aku harus mati! Haruuuuuuuuussss! Ya, Tu-

han! Maafkanlah segala dosa-dosaku! Aku tak sanggup 

menanggung derita ini! Oh, Parmin jangan tinggalkan 

aku!"

Baru saja gadis Belanda itu hendak mengha-

biskan nyawanya dengan sebilah pisau itu, tiba-tiba 

tangannya ditahan oleh seorang kulit hitam.

"Jangan....!"

"Ah....!" teriak Yulia sambil menoleh ke bela-

kang untuk melihat siapa yang telah mencegah perbu-

atannya.

"Awom, kau?! Lepaskan aku! Lepaskaaaaann!! 

Biarkan aku mati!" teriaknya histeris.

"Tidak! Suku Kaimana sangat mencintai anda!" 

bujuk Awom dengan nada penuh harap kepada kepala 

sukunya itu. Sementara itu Da-Fan menyaksikan ke-

dua orang berlainan warna kulit dari sudut ruangan.

"Kami sangat membutuhkan anda, yang mulia 

kepala suku! Adalah kewajibanku sebagai panglima 

untuk melindungi anda!" hibur Awom sekali lagi den-

gan sepasang mata yang berkaca-kaca.

"Oh, Tuhan!" sebut Yulia seakan baru tersadar


dari tindakannya.

"Sekarang marilah kita ke luar dari neraka ini 

dan menyelamatkan ayah anda. Parmin, dan lainnya."

"Parmin? Apakah Parmin masih hidup?" tanya 

Yulia yang tiba-tiba merasa cerah setelah mendengar 

nama orang yang dikaguminya.

"Aku sendiri diselamatkan oleh Da-Fan! Menu-

rut keterangannya, Parmin dikurung bersama pendeta 

Yorgen!" jawab Awom sambil menunjuk ke arah Da-

Fan. Gadis Nabire itu mengangguk sambil tersenyum.

"Oh, benarkah?" tanya Yulia dengan sinar mata 

yang berbinar-binar.

***

DELAPAN



Matahari pagi kembali bersinar lagi, membias di 

punggung-punggung bukit pantai Nabire yang indah. 

Pondok-pondok perkampungan suku terlihat berderet 

di kaki bukit. Di dalam pondoknya tampak si Topeng 

Tengkorak memerintahkan anak buahnya untuk men-

geluarkan para tawanan dari kerangkeng-kerangkeng 

mereka masing-masing.

"Keluarkan semua tawanan! Hari ini akan kita 

adakan upacara korban dengan ular-ular berbisa itu!"

Orang-orang suku primitif itu tanpa toleh kiri 

kanan langsung mengerti apa yang telah diperintahkan 

oleh orang yang bertindak sebagai kepala suku mere-

ka.

Pendeta Yorgen yang sejak kemarin menunggui 

Parmin yang belum sadar dari pingsannya, terkejut 

dan panik melihat beberapa orang suku Nabire itu 

membuka pintu kerangkeng.


"Tidak! Jangan bunuh dia! Kalian boleh bunuh 

aku? Tapi.... tapi janganlah kau tambahkan siksaan 

kepada pemuda ini! Keadaannya sangat menderita!" 

pinta pendeta kulit putih itu penuh harap. Namun 

anggota suku kanibal tersebut tak menghiraukan kata-

kata pendeta, bahkan menarik tubuh si pendeta dan 

mengikatnya dengan tali. Pada saat itu si Topeng 

Tengkorak masuk pula ke dalam kerangkeng sambil 

berkata; "Semula memang aku tidak bermaksud mem-

bunuh kalian orang-orang kulit putih! Tapi anak gadis 

tuan Yan Van Boerman itu telah lari dan membunuh 

beberapa pengawalku! Oleh karena itu nyawa kalianlah 

sebagai gantinya!"

Si Topeng Tengkorak melanjutkan bicara sam-

bil mondar mandir, tiba-tiba kakinya diangkat lalu di-

gedorkannya ke dada Parmin.

"Mengenai santri monyet ini, aku tidak ingin 

tergesa-gesa! Aku telah merencanakan siksaan yang 

paling tepat setelah kesadarannya pulih!"

Setelah berkata demikian, si Topeng Tengkorak 

dan beberapa pengawalnya pergi meninggalkan Parmin 

yang masih pingsan dengan membawa pendeta Yorgen. 

Di luar kerangkeng mereka berpapasan muka dengan 

Yan Van Boerman yang juga sedang digiring.

"Pendeta Yorgen!" teriak Yan Van Boerman den-

gan gembira.

"Aku sudah tahu bahwa kau masih hidup, 

Anakku!" sambut pendeta Yorgen dengan suara agak 

tertahan karena haru.

Setelah dekat mereka saling berpandangan 

dengan sorot mata berkaca-kaca. Pendeta Yorgen be-

rusaha menghibur Yan Van Boerman.

"Tabahkan hntimu, Anakku! Jika Tuhan belum 

menghendaki kita mati, kita tidak akan mati!"

Mereka disambut oleh orang-orang suku Nabire


yang membuat pagar betis dengan sorak sorai gegap 

gempita. Ada yang berjingkrak-jingkrak dan ada pula 

yang menari-nari menandakan pesta pembunuhan se-

gera akan dimulai. Di tengah keramaian hiruk pikuk 

itu Yan Van Boerman semakin merasa cemas.

"Aku sangat mengkhawatirkan nasib Yulia, Ba-

pa!"

Dengan tenang dan penuh keyakinan bahwa 

Tuhan Yang Maha Kuasa akan menolong mereka dari 

segala mara bahaya, pendeta Yorgen menenangkan ba-

thin Yan Van Boerman.

"Tuhan akan melindunginya, Anakku! Tabah-

kanlah hatimu!"

Tubuh pendeta Yorgen dan Yan Van Boerman 

direntangkan di tengah tanah lapang. Orang-orang su-

ku Nabire bersorak semakin riuh seperti, sudah tidak 

sabar lagi. Langit mendung ketika itu seakan berduka 

atas nasib yang akan menimpa kedua anak manusia 

itu. Yan Van Boerman semakin merasa kecut, dia san-

gat memerlukan dorongan semangat dari pendeta Yor-

gen.

"Bapa Yorgen! Apa yang harus kulakukan?"

Dengan tenang sekali lagi pendeta Yorgen 

memberi pandangan.

"Berdoalah, Anakku! Mereka tidak sadar den-

gan apa yang mereka lakukan! Jika memang Tuhan 

menghendaki kita mati di sini, relakanlah dirimu! Kita 

harus rela berkorban.... Biarlah kita menjadi juru pe-

nebus dosa untuk anakmu Yulia, Parmin dan orang-

orang lain yang wajib diselamatkan! Sebagaimana hal-

nya pengorbanan Yesus Kritus yang disalibkan di bukit 

Golgota untuk menebus dosa umat manusia!"

Si Topeng Tengkorak yang sejak tadi memper-

hatikan kedua orang kulit putih itu sambil duduk di 

kursi kehormatan kepala suku, berkata dengan nada


sinis;

"Kuberikan waktu kepadamu untuk berkhot-

bah, pendeta Yorgen! Sebentar lagi ular-ular berbisa 

akan melahap nyawa kalian tanpa ampun! Untuk 

menghibur diri, anggaplah kalian sebagai juru penebus 

dosa! Tapi kalau kalian tahu, kenyataannya akan ber-

lainan. Aku tetap akan membunuh orang-orang yang 

telah kau tebus dosanya itu!" Sesaat kemudian dia 

berbicara dengan bahasa Nabire sambil merentangkan

tangan kirinya ke samping

"Keluarkan sekarang keranjang-keranjang ular 

itu!"

Tak berselang seberapa lama, dari belakang 

pondok beberapa orang suku kanibal itu membawa ke-

ranjang yang berisikan puluhan ular ganas dan berbi-

sa.

"Ya, keluarkan!" teriak si Topeng Tengkorak se-

kali lagi dengan garang.

Ular-ular itu kini telah dikeluarkan dari dalam 

keranjang dan segera merayap, siap mematuk tubuh 

kedua orang Belanda yang sudah tak berdaya dengan 

kaki tangan terbelenggu di patok-patok kayu yang ter-

pancang di atas tanah.

"Bapa! Kita akan digigit ular-ular berbisa itu!" 

jerit Yan Van Boerman.

"Tabahkan hatimu, Anakku! Gigitan ular itu tak 

akan terasa perih kalau kita telah pasrahkan jiwa raga 

kita kepada Tuhan!"

Ular-ular itu merayap perlahan-lahan seakan 

sengaja membuat tegang urat-urat syaraf calon-calon 

korbannya. Tapi walaupun demikian Yan Van Boer-

man, hatinya semakin kecut dengan keringat dingin 

membasahi sekujur tubuhnya. Keyakinannya yang se-

lama ini kuat terhadap agama seakan telah sirna.

"Oh, Tuhan! Ular-ular itu semakin dekat!"


Namun pada saat yang kritis itu tiba-tiba bebe-

rapa orang pengawal suku berpelantingan dari dalam 

kerangkeng di mana Parmin dipenjarakan. Ada yang 

terpental ke semak belukar dan mati seketika. Ada pu-

la yang terbanting jauh ke tengah jajaran penonton hi-

buran biadab itu. Disusul dengan gebrakan yang 

membuat kerangkeng yang terbuat dari kayu, bambu 

dan ilalang itu bergetar. Namun sebelum kerangkeng 

itu ambruk, sesosok tubuh telah meletik ke luar den-

gan bersalto beberapa kali di udara. Suasana menjadi 

riuh dengan hiruk pikuk dibarengi kepulan debu keti-

ka kerangkeng itu roboh berantakan. 

Si Topeng Tengkorak yang sedang duduk di 

atas singgasananya, kaget melihat Parmin yang tiba-

tiba sudah berdiri tak jauh dari hadapannya. Ia segera 

memberi perintah;

"Halangi monyet santri itu! Cepaaaaaat!" Seren-

tak beberapa suku Nabire yang mendampingi sang ke-

pala suku bergerak dengan tombak-tombak runcing 

dan beracun untuk siap menghadang Parmin si Jaka 

Sembung. Namun tatkala mereka menyergap, pende-

kar Gunung Sembung secepat kilat melompati tubuh-

tubuh mereka menuju tempat pendeta Yorgen dan 

ayah Yulia yang nyaris direnggut nyawanya oleh ular-

ular ganas dan berbisa.

Beberapa kepingan kayu bangunan yang am-

bruk yang lelah disiapkan di sela-sela jari jemarinya, 

digunakan Parmin sebagai senjata untuk menghalau 

binatang-binatang melata itu.

"Ciiiiiaaaaaaaaaaaaat...!"

Kepingan yang dilemparkan itu bagaikan anak 

panah yang melesat dari busurnya, tak ayal lagi meng-

hantam puluhan ular-ular ganas dan berbisa itu. Jaka 

Sembung menghantam sebagian lagi dengan pukulan 

jarak jauh yang sangat ampuh. Sekejap ular-ular itu


hangus tak berkutik lagi.

Pada saat itu pendeta Yorgen yang sedang me-

nanti kematiannya terperangah melihat sosok bayan-

gan datang menolong mereka yang ternyata seorang 

pendekar muda yang beberapa saat yang lain masih 

terbaring dalam keadaan pingsan.

"Parmin!" teriaknya gembira.

Belum lagi Parmin berbuat sesuatu untuk me-

lepaskan kawan-kawannya, puluhan orang suku Na-

bire dengan mata liar menyerangnya. Secepat kilat dia 

mengeluarkan sebuah jurus dahsyat untuk memper-

singkat waktu. Tak dapat dicegah lagi, dengan mengi-

baskan kedua tangannya ke kiri kanan, laskar suku 

Nabire kanibal itu terhempas ke udara dan mereka 

ambruk ke bumi untuk tak berkutik lagi.

Melihat keadaan itu si Topeng Tengkorak 

menggelegak amarahnya, dan segera menyambar se-

buah tombak yang lalu dilemparkan deras ke arah 

Parmin si Jaka Sembung.

Seketika tombak itu melesat dari tangannya 

laksana peluru yang siap menghantam sasaran. Tapi 

pendekar kita lebih tangkas dari yang ia duga. Dengan 

hanya menggunakan dua jarinya, tombak itu ditang-

kapnya dengan manis dan dikembalikan pula ke arah 

tuannya dengan cepat.

"Hiyaaaaaaat...!" teriak Parmin membuat la-

wannya terkejut.

Si Topeng Tengkorak dengan gesit melompat 

untuk menghindar sehingga tombak itu menghantam 

salah seorang pengawal yang berada tepat di bela-

kangnya. Tak ayal lagi tubuh pengawal malang itu am-

bruk dengan tubuh tertembus dan menghamburkan 

darah segar.

Sementara itu di antara hujan tombak di tanah. 

Dengan sekali renggut tubuh pendeta Yorgen dan Yan


Van Boerman telah berada dalam pelukannya. Laskar 

suku Nabire terus menyerang Parmin dan kawan-

kawannya dengan mata liar dan membabi buta dengan 

nafsu membunuh. Tapi Parmin dengan nekad menero-

bos mereka dengan tendangan kaki untuk membuka 

jalan sambil melindungi keselamatan dua orang ka-

wannya itu. Dengan gesit dia meloncati barisan penge-

pungnya bersama beban yang dibawanya. Namun se-

belum sampai kakinya menginjak tanah, dari arah de-

pan beberapa orang menyerang dengan ganasnya.

"Wah, celaka!!" keluh Parmin sambil tetap men-

dekap tubuh kedua kawannya yang berkeringat dingin 

karena cemas.

***

SEMBILAN



Di saat kritis itu tiba-tiba terdengar jeritan 

laskar Nabire dengan punggung-punggung tertembus 

anak panah yang tak tahu dari mana arah datangnya. 

Disusul pula dengan menghujaninya berpuluh-puluh 

anak panah yang segera menelan korban lebih banyak 

lagi. Orang-orang suku Nabire itu menjadi kalang ka-

but. Mereka berteriak histeris, berusaha melarikan diri 

untuk menyelamatkan nyawa, tapi anak-anak panah

itu lebih cepat dari mereka. Tak ayal lagi semakin ba-

nyak korban berjatuhan dan membuat suasana sema-

kin bertambah panik. Sementara itu kawan-kawannya 

masih bertanya-tanya dalam hati, siapakah pembo-

kong-pembokong yang telah menyelamatkan nyawa 

mereka?

"Astaga! Itu laskar suku Kaimana! Tentara dari 

putrimu, Tuan Yan! Kita dapat pertolongan!" teriak



Parmin gembira dengan apa yang dilihatnya.

Betul saja! Dari atas bukit bermunculan bebe-

rapa sosok tubuh dengan busur-busur panah di tan-

gan. Walaupun jumlah mereka tidak banyak, tapi cu-

kup mengancam nyawa suku kanibal Nabire itu.

Di tengah hiruk pikuknya suasana, Parmin 

yang telah terbebas dari ancaman maut, menoleh kiri 

kanan mencari kepala suku yang bertopeng tengkorak 

itu sambil melepaskan kawan-kawannya dari deka-

pannya. Ternyata si Topeng Tengkorak telah lari me-

nyelamatkan diri ke atas bukit Nabire.

"Tuan pendeta dan tuan Yan selamatkan diri 

kalian! Aku hendak mencari manusia bertopeng itu!" 

ucap Jaka Sembung kepada kawan-kawan Belan-

danya.

"Jangan kuatir! Kami bisa menjaga diri, Sauda-

ra Parmin!" jawab salah seorang dari mereka dengan 

tegas.

Parmin si Jaka Sembung bergegas melacak ke 

mana larinya musuh besarnya itu dengan mengerah-

kan segenap kepekaan panca indranya

"Ke mana larinya iblis penasaran itu...?"

Seluruh perkampungan suku primitif itu telah 

dijelajahinya, namun dia belum juga menemukan si 

Topeng Tengkorak.

Matahari sudah mulai meninggi, angin bertiup 

kencang seakan marah menyaksikan tubuh-tubuh 

manusia bergelimpangan dari kedua belah pihak tanpa 

nyawa. Lembah itu seakan baru saja diamuk oleh pra-

hara yang mengharu biru. 

Mayat-mayat orang suku Nabire bertumpang 

tindih dengan mayat-mayat orang suku Kaimana yang 

telah menyerangnya. Anyir darah menyebar ke mana-

mana. Burung-burung bangkai berterbangan di atas 

perkampungan agaknya sudah tak sabar untuk me


nyantap tubuh-tubuh manusia yang sudah menjadi 

bangkai.

***

SEPULUH



Sementara itu di pantai teluk Sarera yang tak 

seberapa besar ombaknya, telah mendarat beberapa 

sampan beserta awaknya yang bersenjata lengkap, 

tombak, panah dan parang. Mereka bergegas mening-

galkan sampan tanpa ditambatkan terlebih dahulu. 

Salah seorang dari mereka yang agaknya adalah sang 

pemimpin, dengan rasa tak sabar memberi komando 

dengan bahasa suku Nabire...

"Cepaaaaaaat! Nyawa mereka sedang terancam 

bahaya! Seraaaang!"

Dengan gagah berani sekawanan orang yang 

memang telah menanti saat-saat seperti itu menyerbu 

ke tengah pertempuran antara suku Nabire dan suku 

Kaimana yang masih sedang berkecamuk dengan sen-

gitnya.

Agaknya Da-Fan, Awom dan Yulia telah memin-

ta bantuan paman Da-Fan yang bermukim di pulau 

Ro-on. Mereka adalah sisa-sisa laskar suku Nabire di 

masa lalu sebelum negerinya direbut oleh suku peda-

laman yang masih buas. Awom gembira ketika melihat 

kehadiran orang-orang suku Kaimana.

"Seraaaaaang!" teriak Awom dengan penuh se-

mangat.

Maka dalam sekejap saja terjadilah perang an-

tar suku dengan sengitnya. Perang antara suku Kanib-

al melawan dua kelompok suku yang sudah agak beradab.


Paman Da-Fan pemimpin sisa laskar itu dengan 

gagah berani bertempur menelan nyawa demi nyawa. 

Tak ketinggalan Da-Fan sendiri ternyata seorang putri 

Nabire yang gagah perkasa yang berkali-kali menghun-

jamkan tombaknya ke dada lawan.

Di tempat lain. Yulia dan Awom pun tak mau 

tinggal diam. Pengalamannya bertahun-tahun di ten-

gah-tengah suku Papua primitif, membuat Yulia mahir 

menggunakan tombak dan parang. Sekejap saja bela-

san suku Nabire pimpinan si Topeng Tengkorak itu 

berjatuhan bersimbah darah jatuh ke bumi.

Terlihat di sini bahwa suku-suku yang sudah 

mengenal peradaban lebih banyak menggunakan tak-

tik dalam bertarung bila dibandingkan dengan suku 

kanibal yang hanya mengandalkan tenaga dan kega-

rangannya.

Dalam tempo singkat terlihatlah bahwa kedu-

dukan suku kanibal sudah mulai goyah dan berada di 

ambang kepunahan.

***

SEBELAS



Sementara langit mulai kemerah-merahan, 

mentari pun bergeser sedikit demi sedikit ke ufuk Ba-

rat pertanda sore sudah menjelang. Perkampungan 

suku Nabire menjadi remang-remang, suasana sunyi 

senyap karena tak ada lagi penghuninya yang masih 

hidup dan berkeliaran.

Tampak di antara tubuh-tubuh yang bergelim-

pangan berkelebat sesosok bayangan menyusup mele-

wati pondok-pondok perkampungan berbentuk keru-

cut. Sekilas wajahnya terbayang diterpa biasan mata


hari dari sela-sela rimbunnya pohon raksasa yang 

memagari perkampungan suku tersebut. Perlahan-

lahan wajah itu semakin nampak jelas. Dialah Parmin, 

pendekar Gunung Sembung yang tak berhasil mencari 

jejak-jejak kepala suku Nabire yang bertopeng tengko-

rak itu. Terpancar kekecewaan dari raut wajahnya 

yang basah oleh keringat.

"Kurasa dia sedang memancingku!" gumamnya 

dalam hati dengan menarik nafas panjang.

Parmin segera meloncat ke atap-atap pondok 

itu dengan maksud agar dapat melihat pemandangan 

di sekitar perkampungan itu dengan baik. Tatkala ia 

hendak menginjak atap pondok yang paling besar, 

mendadak pondok itu hancur berantakan. Untunglah 

pada saat bersamaan Parmin membuang tubuhnya 

yang masih melayang di udara dengan bersalto berkali-

kali kemudian menginjakkan telapak kakinya dengan 

mantap sehingga luput dari serangan mendadak yang 

tak lain dari lawannya yang bertopeng tengkorak itu.

Dengan sikap bersiap-siap Parmin memasang 

kuda-kuda untuk menangkis serangan lawan selan-

jutnya. Di saat itu terdengar suara ledakan tawa ma-

nusia yang mengandung tenaga dalam yang dahsyat, 

serta merta Parmin berkonsentrasi dan mengalirkan 

tenaga dalamnya ke telinga untuk menghalau suara 

itu.

"Ha.... ha.... ha... ha! Tidak percuma kau digela-

ri Jaka Sembung, anjing!"

"Huh?!" Parmin berdesis dan menatapnya den-

gan tajam.

"Kau kira aku lari menghindarimu, hah?! Aku 

di sini! Dan aku senang sekali melihatmu bisa berdiri 

kembali di atas telapak kakimu! Sebentar lagi akan 

kupatahkan kedua kaki dan tanganmu! Akan kubikin 

mampus secara perlahan-lahan sampai kau merasa


kan bagaimana enaknya mati pelan-pelan!" geram si 

Topeng Tengkorak dengan suara bergetar menahan 

emosi yang menggelegar

"Kali ini kaki dan tanganmu yang akan kupa-

tahkan, Iblis Perusak!" hardik Parmin dengan penasa-

ran ingin cepat-cepat membuka Topeng Tengkorak la-

wannya itu.

Dengan gesit dan cekatan Parmin melompat 

menerjang orang yang ada di hadapannya dengan ter-

kaman yang sulit untuk dielakkan.

"Jangan banyak bacot! Buka topengmu! Aku 

ingin melihat tampangmu yang asli!"

Orang bertopeng tengkorak itu terkejut dan ti-

ba-tiba kedoknya sudah disambar oleh pendekar Gu-

nung Sembung.

"Kurang ajar!!!!!"

Maka kini tampaklah seraut wajah yang tak as-

ing lagi bagi Parmin benar-benar asli. Ternyata dia 

adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan, 

berwajah bulat dengan sesuai tubuhnya yang gempal 

itu.

"Aku sudah menduga bahwa kau adalah Ki 

Subekti saudara kembar Ki Subeni!" ujar Jaka Sem-

bung kepada orang tua itu.

"Hmmm! Memang! Hidupku tak pernah puas ji-

ka belum memeras darahmu sampai kering!" geramnya 

dengan berapi-api.

"Aku belum puas sebelum dendam arwah ka-

kakku Subeni terbalas! Bertahun-tahun aku mengun-

titmu sampai ke Papua ini! Si Tiga Melati keparat itu 

sudah modar jadi makanan segar ikan-ikan hiu di laut 

Arafuru! Kini giliran nyawamu kucopot, Bangsat!" um-

patnya dengan sengit.

Dengan tenang Parmin menjawab sambil ber-

siap-siap dengan mengalirkan tenaga dalam tingkat


tinggi ke seluruh tubuh.

"Sangat kuhargai pembelaanmu terhadap sau-

daramu! Itu hakmu! Tapi aku pun lebih punya hak un-

tuk menyingkirkan kalian, Iblis berwujud manusia!"

Bukan main berangnya Ki Subekti setelah 

mendengar ucapan Parmin yang menyakitkan hati itu, 

serta merta ia melontarkan pukulan jarak jauh yang 

sangat ampuh dan mematikan. Bersamaan dengan itu 

pula Parmin meletik ke udara untuk menghindar. Pu-

kulan maut itu tak mengenai sasaran dan hanya me-

nimpa tempat kosong. Seketika itu terlihat bentuk te-

lapak tangan hitam dengan kepulan asap membekas di 

tanah. Melihat pukulannya dapat dihindari dengan 

baik, Ki Subekti mengambil langkah seribu dengan me-

lompati perairan pantai di antara batu-batu cadas 

yang berlumut

"Hai! mau lari ke mana kau? Apakah kau sudah 

mulai gentar, Jahanam!" teriak pendekar Gunung 

Sembung sambil melesat mengejarnya. Namun Ki Sub-

ekti terus berlari dengan melontarkan ejekan-ejekan 

kepada Jaka Sembung.

"Ha ha ha ha! Aku sudah memilih tempat ku-

buranmu yang paling baik, monyet Sembung!"

Sekejap saja mereka telah berada di atas batu 

karang yang muncul di permukaan laut. Pada saat itu 

mereka mempersiapkan ilmu andalannya masing-

masing.

"Aku yakin kau tak mampu membunuhku, Aki-

aki Jelek! Kekuatanmu sudah jauh berkurang! Tan-

ganmu tinggal satu!" ejek Parmin.

"Bangsat! Justru di sini aku memilih tempat 

untuk kuburan bangkaimu!" ucapnya dengan kesal 

sambil melepaskan jubah yang selama ini dipakainya.

"Gerrrrr! Tangan palsuku ini lebih ampuh un-

tuk mendobrak perutmu!" dengusnya dengan suara


parau. Namun demikian pendekar muda dari Gunung 

Sembung itu terus menerus mengejeknya hingga orang 

tua itu kian kalap dan meradang.

"Ha ha ha ha...! Lontarkanlah semua gertak 

sambalmu itu bandot tua! Seharusnya sudah lama kau 

menanggalkan titel kiaimu! Hidupmu sudah penuh 

dengan kemurtadan! Kau sama murtadnya dengan al-

marhum saudara kembarmu itu!"

Sesaat kemudian tubuh mereka berdua melesat 

ke udara dengan mengadu ilmu kanuragan tingkat 

tinggi hingga terjadilah bentrokan tenaga dalam yang 

menimbulkan suara keras dan mengeluarkan kepulan 

asap. Akibatnya tak ayal lagi tubuh masing-masing 

terpental jauh lebih dari lima puluh langkah dan ter-

cebur di laut. Selanjutnya mereka melanjutkan perta-

rungan di air dengan mengerahkan tenaga dalam yang 

dahsyat hingga membuat mereka masing-masing men-

galami luka dalam yang parah dengan semburan darah 

segar dari mulutnya.

Pada suatu saat tubuh mereka melesat kembali 

ke udara dan bertemu di atas batu karang di tengah 

laut. Kemudian tangan-tangan mereka saling bertum-

puan untuk kembali mengadu kekuatan tenaga dalam 

masing-masing. Hawa panas keluar dari tubuh mereka 

hingga menimbulkan kepulan asap. Pada saat itulah 

Parmin berucap dalam hati,

"Saatnya kini tiba...! Kuserahkan kepada-Mu ya 

Allah seluruh jiwa ragaku! Aku tunduk dengan apa 

yang Kau kehendaki! Bismillah!!!" Suara hening tegang 

itu tiba-tiba dipecahkan oleh pekikan mengguntur! 

Bersama terbelahnya batu karang pantai, dua sosok 

tubuh itu melesat berbarengan. Pada kesempatan itu 

Parmin menyerang sedetik lebih cepat dengan pukulan 

tenaga dalam tingkat tinggi ke arah lawannya. Tak ayal 

lagi tubuh Ki Subekti ambruk berguling guling dan ba


tuk-batuk dengan mengeluarkan darah hitam kental 

terkena hantaman pukulan Parmin yang bernama ju-

rus 'Wahyu Taqwa'.

Tubuh orang tua itu menggigil hebat, wajahnya 

berubah menjadi biru menyeramkan. Dan dari bekas 

pukulan Parmin pada tubuhnya, kini mengepul asap.

Asap itu semakin banyak dan segera berubah 

menjadi api yang menjilat-jilat tubuh Ki Subekti yang 

nampak mengerang-erang sambil berkelojotan. Sung-

guh mengerikan. Api itu semakin besar dan sekejap sa-

ja melalap tubuh orang tua itu tanpa ampun! Itulah 

kedahsyatan puncak dari jurus 'Wahyu Taqwa'.

Ombak laut menyembur tubuh berapi itu dan 

menyeretnya ke tengah lautan lepas. Parmin meman-

dangi terus dari kejauhan dan sesaat bertafakur men-

gucapkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. 

Ia sama sekali tak menduga bahwa dengan mengerah-

kan ilmu silat tinggi yang bernama jurus 'Wahyu Taq-

wa' akan terjadi akibat sedahsyat itu bagi lawannya.

"Innalillahi Wainna Ilaihi Roji'un.... Segala se-

suatu yang berasal dari-Mu kembali pula kepada-Mu 

ya Allah!"

Api itu semakin mengecil dan akhirnya lenyap 

di tengah laut teluk Sarera. Parmin merenung sambil 

menerawang jauh ke ujung lautan. Ia tak menoleh se-

dikit pun tatkala terdengar suara orang memanggilnya. 

Suara itu semakin keras, menandakan orang yang 

memanggil semakin dekat dan akhirnya pendekar kita 

terperangah melihat kehadiran seorang wanita kulit 

putih yang tak lain adalah Yulia, sang Kepala suku 

Kaimana beserta ayahnya dan pendeta Yorgen.

"Syukurlah kau selamat, Parmin! Aku sangat 

mengkhawatirkan nasibmu!" ucapnya dengan suara 

tersendat menahan haru sambil menjatuhkan tubuh-

nya kepelukan Parmin.


"Aku hampir saja tewas, Yulia! Untunglah Allah 

senantiasa melindungiku!" ujar Jaka Sembung.

Sejenak mereka terbenam dalam keharuan, 

tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarnya. Na-

mun kedua orang yang tak lain pendeta Yorgen dan 

ayahnya sendiri memaklumi perasaan mereka yang ba-

ru saja terlepas dari peristiwa hidup dan mati. Parmin 

terkejut oleh sikap Yulia yang tiba-tiba melepaskan de-

kapannya dan serta merta menjauh dari Parmin.

"Oh.... Aku.... Aku pun sudah mati! Aku merasa 

sudah tak ada gunanya lagi.... Di hadapanmu.... 

Buatmu, Parmin!" ucap Yulia sambil mengenang peris-

tiwa yang telah merenggut kesuciannya itu. Parmin be-

rusaha mendekati Yulia dengan memberikan kata-kata 

lembut dan sikap yang sangat hati-hati.

Pendeta Yorgen dan Yan Van Boerman dengan 

berharap-harap cemas, tak lepas-lepas memperhatikan 

tingkah laku kedua muda mudi itu terutama Yulia. 

Yan Van Boerman sangat prihatin dan takut kalau-

kalau anaknya putus asa dan tak dapat menerima ke-

nyataan sehingga menyebabkan goncangan jiwa yang 

cukup patal.

"Kau lihat, Yan! Tuhan telah mengulurkan tan-

gan-Nya dengan perantaraan Parmin, karena kita be-

rada di jalan yang benar!" ujar pendeta Yorgen.

"Ya, Bapa! Tapi kasihan anakku! Dia telah ter-

noda oleh makhluk iblis itu." ucapnya dengan nada 

sedih.

Dengan tenang dan penuh wibawa pendeta Yor-

gen berkata kepada Yan Ban Boerman seperti sikap 

seorang ayah yang menasehati anaknya yang sedang 

dirundung kemalangan.

"Aku tahu perasaanmu, Nak! Tabahkan hatimu 

karena ini sudah menjadi takdir Tuhan! Kalau sean-

dainya di saat itu Parmin telah siuman dari pingsan


nya, pastilah putrimu dapat diselamatkan! Aku tahu 

saat itu Parmin sedang dalam keadaan sangat kritis, 

antara hidup dan mati!"

Sementara itu Parmin sudah dapat menyalakan 

api semangat hidup Yulia yang hampir punah, karena 

senantiasa, dihantui perasaan yang tak menentu ten-

tang dirinya yang sudah ternoda. Akhirnya mereka sal-

ing merangkul. Pendeta Yorgen dan ayahnya merasa 

sangat gembira karena kecerahan anak gadisnya su-

dah pulih seperti sediakala. Itu terlihat dari tatapan 

matanya yang tampak berbinar-binar.

"Mari kita pulang, Yulia! Kawan-kawan yang 

lain tentu sudah menunggu kita! Jangan kau ce-

maskan tentang kesucianmu! Hatimu tetap suci kare-

na tidak menghendaki semua ini terjadi!" ucap Parmin 

sambil merangkul tubuh gadis Belanda itu menuju ke 

tempat di mana ayahnya dan pendeta Yorgen berada, 

dan mengajak mereka sama-sama untuk meninggal-

kan tempat itu menuju ke perkampungan suku Nabire.

***

DUA BELAS



Sementara itu perang pun telah usai. Korban 

bergeletakan di sana sini dengan ditebari anyirnya da-

rah. Di antara tumpukan mayat itu, berdirilah Awom si 

panglima suku Kaimana dengan gagahnya dengan 

tombak yang berlumur darah masih dalam gengga-

mannya.

Da-Fan yang melihat kekasihnya masih berdiri 

tegap, cepat-cepat berlari menuju padanya, kemudian 

serta merta tubuh tegap berotot itu didekapnya erat-

erat.


"Awom....!" teriak gadis Nabire itu dengan air 

mata gembira.

"Da-Fan....!" sambut pemuda Kaimana itu.

"Akhirnya kita bebas, Awom! Kita bisa meraya-

kan perkawinan kita dengan segera!" kata Da-Fan den-

gan suka cita. 

"Kita adakan pesta meriah! Pamanku Kya-Fa 

akan diangkat sebagai kepala suku Nabire yang baru. 

Sekarang kepala suku bertopeng tengkorak itu telah 

tewas di tangan pendekar Gunung Sembung, Parmin!"

Mereka, suku Nabire sangat gembira menyam-

but kemenangan yang mereka peroleh dalam mem-

basmi keangkaramurkaan. Ada yang menari berpa-

sang-pasangan, ada pula yang berjingkrak-jingkrak 

sambil mengacung-acungkan tombak yang masih ber-

lumuran darah diiringi suara gendang yang bertalu-

talu.

"Lihatlah, Awom! Mereka bergembira meraya-

kan kemenangan! Tidakkah kau merasa bahagia, 

Awom?" tanya Da-Fan yang masih tak mau mele-

paskan dekapannya pada Awom.

Suasana di teluk Nabire itu kini sangat ramai 

dengan sorak sorai, suara nyanyian, teriak-teriakan 

serta yel-yel kemenangan, membaur bercampur aduk 

menjadi suasana hiruk pikuk. Namun mereka tak per-

duli, yang penting mereka kini bahagia tanpa ada yang 

mengganggu ketentraman suku dan perkampungan 

mereka.

Dari kerumunan orang-orang serta bisingnya 

suara tetabuhan, seseorang yang tak lain adalah pa-

man Da-Fan yang bernama Kya-Fa, menghimbau me-

reka agar turut serta.

"Hai, Da-Fan! Awom! Mari sini kita rayakan 

kemenangan kita, ha ha ha! Belum waktunya kalian 

bermesra-mesraan! Tunggu sampai malam turun! Ha


ha ha ha...! Mari kita adakan pesta semeriah-

meriahnya!"

Namun tanpa disadari, nyawa kepala suku 

yang baru dilantik itu terancam oleh seorang anggota 

suku lawannya yang ternyata masih hidup. Da-Fan 

dan Awom seketika terkejut melihat ia akan membo-

kong pamannya dari belakang dengan sebilah tombak.

Dengan cekatan Da-Fan memperingati paman-

nya dibarengi sebuah dorongan tangan yang membuat 

pamannya terhempas dan luput dari sasaran. Tapi 

sayangnya tubuh Da-Fan sendirilah yang menjadi sa-

saran tombak sebagai penggantinya.

Awom yang melihat itu menjadi terkejut. Den-

gan cepat Awom bertindak dengan sebilah tombak 

yang masih ada di tangannya. Baru saja prajurit itu 

hendak melarikan diri, tombak Awom lebih cepat ber-

sarang di punggungnya. Tak ayal lagi tubuh itu am-

bruk tersungkur ke tanah dan tak berkutik lagi.

Kemudian Awom berlari mendapatkan Da-Fan 

yang sedang meregang nyawa,

"Da-Fan...!" Ia menubruk tubuh kekasihnya 

dengan nada tangis yang lirih.

"Da-Fan kuatkan dirimu!"

"Awom... A... worn.... Aku sangat cinta pada-

mu.... uuuuk! Ja... ngan kau bersedih... kita akan sela-

lu berkumpul di alam yang lain, kekasihku...."

"Tidak, Da-Fan! Kita akan merayakan perkawi-

nan kita sekarang!"

"Tidak, Awom....! Wajah ayahku telah ter-

bayang-bayang di depanku! Ia mengulurkan tangan 

mengajakku ke suatu tempat yang indah! Aku akan 

senantiasa setia menunggumu di sana! Awom.... Tu-

buhmu dingin peluklah aku! Dekaplah.... akh!"

"Da-Fan...!" Awom berteriak histeris mengiringi 

detik-detik terakhir kekasihnya dengan tubuh berlumuran darah tertembus sebilah tombak. Dia gugur ka-

rena menyelamatkan jiwa pamannya, seorang kepala 

suku Nabire yang baru yang akan membawa suku Na-

bire kelak menuju kejayaan dan kemajuan pada masa 

yang akan datang. 

Sedangkan Da-Fan, namanya akan selalu dike-

nang dan menjadi tonggak sejarah bagi suku Nabire, 

Da-Fan seorang gadis Nabire yang gagah dan pembe-

rani, dia turun ke medan laga tanpa mengenal takut 

dan apa itu mati. Yang ada di benaknya hanyalah ba-

gaimana mengembalikan tanah tumpah darahnya 

kembali tentram dan damai di bawah pemerintahan 

sendiri.

Awom merasa sangat sedih, kenapa orang se-

baik Da-Fan begitu cepat menuju kematian. Da-Fan 

adalah seorang gadis yang sangat berarti dalam kehi-

dupannya. Dialah yang menyelamatkan dirinya, dialah 

yang telah memberi suatu kegairahan baru. Dia rela 

mengorbankan jiwa agar terlaksana apa yang dicita-

citakan ayahandanya untuk merebut kembali perkam-

pungan suku Nabire dari kekuasaan suku pedalaman 

yang masih liar dan buas.

Kya-Fa yang kini menjadi kepala suku, merasa 

sedih melihat keponakannya mati lantaran berkorban 

untuk keselamatan jiwanya.

"Da-Fan!! Kau gugur untuk menyelamatkan ji-

waku! Kau pahlawan suku Nabire yang gagah berani!"

Hari begitu cepat berganti, malam yang sangat 

mencekam telah berganti pagi. Matahari mulai menyi-

nari alam, membentuk panorama yang indah di bukit 

Sarera. Terlihat dari kejauhan beberapa kelompok ma-

nusia yang tak lain adalah orang-orang suku Nabire 

yang baru saja membebaskan negerinya, mulai beker-

ja. Ada yang sedang memperbaiki rumah-rumah mere-

ka yang roboh, ada yang menyapu halaman member


sihkan puing-puing dari bangunan dan pohon-pohon 

yang tumbang. Sebagian dari mereka menggali tanah 

untuk mengubur mayat-mayat yang bergelimpangan di 

segala penjuru perkampungan.

Kegiatan mereka dibantu pula oleh orang-orang 

suku Kaimana yang pada saat pertarungan suku ka-

nibal itu datang membantunya. Dua kelompok suku 

Papua yang sudah mengenal sedikit peradaban itu 

tampak bekerja rukun saling bahu membahu guna 

membersihkan serta membangun kembali perkampun-

gan yang telah porak poranda. Di tengah mereka tam-

pak Kya-Fa berseru;

"Hai, Rakyatku! Hari ini adalah hari yang san-

gat bersejarah bagi negeri kita. Beberapa orang sauda-

ra kita seperti kalian lihat dengan mata kepala sendiri, 

mereka gugur guna mempertahankan kewibawaan su-

ku Nabire dari gangguan orang-orang yang bermaksud 

menjajah kita, dia berjuang tanpa mengenal takut, dia 

berani mengorbankan nyawanya demi untukku? Den-

gan demikian kita doakan semoga arwah mereka dite-

rima para dewa yang bersemayam di tempat yang 

jauh!"

Setelah berkata sang kepala suku memerintah-

kan salah seorang tokoh agama suku Nabire untuk 

memimpin upacara.

Sebelum upacara dimulai, sebagian mereka 

menyiapkan kayu-kayu kering dan menumpukkannya 

di tengah-tengah halaman. Sebentar kemudian kayu-

kayu itu dirambati api. Semakin lama api itu semakin 

membesar. Seluruh anggota suku mengitari api un-

ggun itu dengan langkah-langkah yang mencerminkan 

suasana sakral sebagai tanda sedang berkabung.

Suasana hening sejenak ketika terlihat serom-

bongan orang suku Nabire mengusung sesuatu seperti 

keranda yang berhias tengkorak binatang dan taring


taring babi hutan. Berdiri paling depan pada rombon-

gan tadi adalah tokoh agama suku yang berjubah den-

gan tutup kepala terbuat dari bulu-bulu Cendrawasih 

dan hiasan-hiasan lain yang menyerupai tanduk.

Di dalam keranda itu terbaring jenazah Da-Fan, 

pahlawan suku Nabire.

Menurut adat mereka, jenazah golongan bang-

sawan suku harus diawetkan dengan rempah-rempah 

pengawet sehingga tubuh orang yang mati tetap utuh 

untuk selamanya.

Baik Jaka Sembung maupun pendeta Yorgen 

tak dapat berbuat apa-apa dengan adat istiadat mere-

ka, walaupun kedua orang itu sependapat bahwa se-

baiknya semua jenazah tanpa memandang tingkat so-

sial masing-masing, harus dikebumikan ke dalam ta-

nah.

***

TIGA BELAS



Malam telah turun, bintang gemintang muncul 

di awang-awang menambah keindahan panorama pan-

tai teluk Sarera. Namun keindahan itu tak berarti apa-

apa buat seorang pemuda yang dirundung musibah di-

tinggal sang kekasih untuk selama-lamanya. Dialah 

Awom, sang panglima perang suku Kaimana yang se-

dang duduk termenung di atas bukit di bawah pohon 

yang sangat rindang.

Ia seorang diri tanpa menghiraukan keadaan 

sekelilingnya. Tangannya mengambil beberapa batu 

kerikil yang ada di sekeliling tempat itu lalu berulang 

kali dilemparkan ke laut sebagai suatu cara untuk 

menghibur diri.


Dari kejauhan sosok tubuh melintas mela-

lui jalan setapak hutan Nabire menuju pantai Sarera, 

dengan melangkah cepat dan tangan yang bergerak 

menepis pepohonan kecil yang menghalanginya.

Sesaat kemudian sosok tubuh itu sudah berada 

tak jauh dari Awom yang sedang menyendiri. Sinar 

gemintang yang membias di sela-sela dedaunan mene-

rangi sekilas wajah tampan dan berwibawa dengan bu-

lu-bulu tumbuh kian menebal di atas bibir dan da-

gunya. Dia tak lebih adalah, Jaka Sembung. Perlahan-

lahan dia melangkah mendekati pemuda Kaimana 

sang panglima suku yang sedang termenung itu!

"Awom...!"

Awom tak bergerak dengan panggilan Parmin. 

Tetapi Jaka Sembung meneruskan bicara tanpa me-

minta jawaban dari Awom, kawan baiknya itu.

"Awom, dengarlah!" ucap Parmin sambil segera 

duduk di samping kiri Awom dan menepuk nepuk 

pundaknya, Parmin melanjutkan pembicaraannya.

"Relakanlah kepergian Da-Fan karena segala 

sesuatu yang hidup pasti akan mengalami mati. Hidup 

di dunia ini memang demikian..... Bertemu.... Berpi-

sah.... Tiada sesuatu yang kekal! Kalau kita sudah ya-

kin tentang itu, maka kita setiap saat harus sudah 

bersiap-siap untuk menghadapi setiap perpisahan agar 

kita tidak terlalu hanyut oleh perasaan dan ikhlas me-

nerimanya!"

Awom mendengarkan kata-kata Parmin sambil 

menatap kejauhan seakan sedang merenungkan mak-

na kalimat itu. Parmin pun selanjutnya memberi we-

jangan pada Awom agar mengerti apa arti hidup ini se-

sungguhnya.

"Kau bisa melupakan sedikit demi sedikit.... 

Kau harus yakin bahwa ada kehidupan yang jauh lebih 

kekal sesudah nyawa meninggalkan badan dan kalian


akan berkumpul di sana!" lanjut Jaka Sembung.

Awom bangkit dari duduknya dan terus mondar 

mandir sambil kadangkala menundukkan kepala atau 

melepaskan pandangan matanya ke langit seakan 

mencari jawab. Kemudian dengan suara yang agak be-

rat karena menahan rasa sedih ia berucap.

"Ya, aku mengerti, Parmin! Sejak berjumpa 

dengan anda, aku mulai mengerti sedikit demi sedikit 

tentang arti hidup ini!"

Parmin pun bangkit dan menghampiri Awom. 

Mereka berdiri berhadap-hadapan. Parmin meman-

dangi kawannya itu sambil tersenyum karena bangga 

terhadap kecerdasan Awom dalam menangkap segala 

sesuatu yang telah ia ucapkan.

Laut teluk Sarera mulai memperlihatkan om-

baknya yang bergulung-gulung, daun-daun gemerisik 

terhempas bersama dahannya karena tertiup angin 

yang kian mengencang. Bukit Nabire sudah gelap ka-

rena kabut tebal yang telah menyelimuti lembah itu. 

Sinar bintang gemintang tak mampu lagi menerangi 

cuaca yang telah pekat itu.

Hari sudah larut malam, suasana saat itu men-

jadi sunyi senyap yang terdengar hanya suara deburan 

ombak pantai teluk Sarera.

Dua orang berlainan suku namun satu bangsa 

yang sedang berbincang-bincang itu menyadari kalau 

hari semakin larut malam. Maka salah seorang dari 

mereka mengajak untuk kembali ke perkampungan.

Dalam perjalanan pulang mereka melanjutkan 

perbincangan. Tanpa mereka sadari, mereka telah jauh 

meninggalkan pinggiran pantai teluk Sarera.

Sesaat kemudian mereka sampai di pintu ma-

suk perkampungan suku Nabire. Beberapa langkah ke 

dalam terlihat beberapa orang suku Nabire sedang si-

buk membereskan sesuatu, ada yang membuat hiasan


khusus, meletakkan obor-obor di setiap tonggak kayu 

di sekeliling perkampungan, kemudian menyalakannya 

sehingga perkampungan itu nampak seperti siang hari.

Parmin dan Awom terus melangkah menuju 

kediaman kepala suku. Di sana sudah menunggu Yu-

lia, ayahnya dan pendeta Yorgen. Mereka menyambut-

nya dengan senyum keramahan.

Agaknya malam itu adalah malam istimewa ka-

rena ternyata jatuh pada tanggal dua puluh lima De-

sember tahun Masehi.

Malam itu untuk pertama kalinya di pulau Pa-

pua diperingati malam Natal, malam kudus di mana 

dua puluh abad yang lalu telah lahir Yesus Kristus di 

Betlehem.

Pendeta Yorgen memimpin upacara kecil-

kecilan namun mengandung makna yang amat dalam.

Suasana hening meliputi mereka yang hadir 

pada saat itu. Kya-Fa, kepala suku Nabire, Parmin dan 

Awom dan seluruh anggota kedua suku Papua, Nabire 

dan Kaimana.

Pendeta Yorgen mengajak Yulia dan Van Boer-

man untuk membaca doa di depan sebuah altar yang 

terbuat dari kayu bertutup kulit binatang. Di belakang 

mereka berdiri para anggota suku yang ikut ambil ba-

gian dalam perayaan Natal itu.

Pendeta Yorgen berkotbah lantang mengenai 

kerukunan hidup beragama, apa arti hidup yang sebe-

narnya dan yang terakhir menjelaskan siapa dan ba-

gaimana Yesus Kristus itu.

Orang-orang yang hadir pada perayaan itu 

mendengarkan khotbah itu dengan khidmat. Dalam 

suasana hening syahdu itu kita lihat seseorang yang 

tampak sedang berpikir keras. Ia adalah Awom. Apa 

yang sedang dipikirkan, kuta belum tahu.

Malam begitu cepat berlalu, orang-orang yang


hadir kini telah meninggalkan acara malam Natal satu-

persatu, sampai akhirnya tinggal Yulia, pendeta Yor-

gen, ayah Yulia Van Boerman serta Parmin dan Awom. 

Mereka masih berbincang-bincang dengan ditemani 

oleh Kya-fa sang kepala suku Nabire.

"Parmin, setelah ini ke mana kau akan pergi?" 

tanya pendeta Yorgen.

"Entahlah, Pak Pendeta! Mungkin aku akan 

kembali ke tanah kelahiranku pulau Jawa! Masih ba-

nyak tugas yang harus kuselesaikan!" jawab Parmin.

Pendeta Yorgen, Van Boerman dan Yulia men-

gucapkan selamat kepada Kya-Fa yang menjadi kepala 

suku Nabire yang baru seraya berkata;

"Selamat buat anda, Tuan Kya-Fa! Aku selalu 

berdoa semoga negeri yang anda pimpin mendapatkan 

kemajuan dan menjadi suku yang lebih maju dan me-

meluk agama Ketuhanan, aman dan makmur tak ada 

lagi gangguan yang datang dari suku lain." ucap pen-

deta Yorgen dengan nada mempengaruhi.

"Terimakasih! Begitu juga aku mengucapkan 

banyak terimakasih atas segala bantuan anda dalam 

menumpas keangkaramurkaan yang telah diperbuat 

oleh orang bertopeng tengkorak, dengan memperalat 

suku pedalaman yang masih buas. Para wanitanya di-

rusak, kepala suku kami dibunuh!" ucap Kya-Fa den-

gan mata berkaca-kaca karena merasakan sedih.

Sejenak semua orang yang hadir di pondok itu 

tertunduk diam.

Mereka turut merasakan derita bathin kepala 

suku yang baru itu.

Beberapa saat kemudian suasana hening itu 

dipecahkan oleh suara kokok ayam hutan. Bintang-

bintang yang bertaburan kini telah lenyap dari pereda-

rannya dan dari arah Timur matahari mulai menam-

pakkan sinarnya.


Pemandangan alam bukit Nabire asri dipan-

dang mata. Dahan pohon meliuk-liuk terhempas angin 

pagi yang bertiup sepoi-sepoi. Burung-burung beter-

bangan hilir mudik mencari makan. Dari kejauhan 

terdengar deburan ombak pantai teluk Sarera meng-

hempas batu-batu karang.

Dari puncak bukit terlihat perkampungan suku 

Nabire terpampang tersusun rapi. Kalau kita perhati-

kan, tak seorang pun penghuni pondok-pondok per-

kampungan itu berkeliaran, mungkin mereka lelah se-

telah berbulan bulan lamanya hidup dalam kekacauan 

hingga tak sempat merasakan tidur dengan nyenyak.

Pada kesempatan ini mereka gunakan untuk 

beristirahat tidur dengan sepuas-puasnya. Hal itu ter-

bukti dari suara dengkuran nafas mereka yang terba-

wa angin. Namun tak semua penghuninya terlelap ti-

dur.

Di bangunan yang paling besar, tempat kedia-

man kepala suku Nabire, nampak masih terdengar su-

ara yang sedang bercakap-cakap.

"Yulia! Aku tak melihat Awom sejak tadi, ke 

mana dia?" tanya Parmin yang belum sempat mera-

patkan mata untuk beristirahat tidur, kepada Yulia, 

sang kepala suku Kaimana.

"Pemuda Kaimana itu masih menganggapku 

sebagai kepala sukunya dan tetap mematuhi aturan. 

Tadi malam setelah usai upacara Natal, ia meminta 

izin kepadaku pergi ke puncak Kahyangan!" jawab Yu-

lia.

"Puncak Kahyangan? Di mana letaknya tempat 

itu?!" Parmin terperangah sambil mengerutkan da-

hinya karena baru kali ini mendengar nama tempat 

seperti itu. Gadis Belanda itu pun angkat bahu.

"Aku sendiri tidak tahu! Tapi dia bilang hendak 

melakukan semadi di sana! Dia ingin menghadap para


dewa dan roh-roh nenek moyangnya? Mungkin ia se-

dang mengalami kegoncangan jiwa karena kematian 

kekasihnya yang sangat ia cintai, Da-Fan!" jelas Yulia, 

kepada Jaka Sembung.

"Yulia! Baiklah kau tunggu disini bersama pen-

deta Yorgen dan ayahmu. Aku hendak menyusul Awom 

ke sana! Aku tak ingin terjadi hal-hal yang tidak diin-

ginkan!"

"Hati-hatilah Parmin! Aku pun tidak ingin ter-

jadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadapmu!"

Parmin pamit kepada Yulia dan ayahnya, Van 

Boerman serta kepala suku Nabire serta pendeta Yor-

gen. Kemudian bergegas meninggalkan perkampungan 

suku Nabire untuk mencari Awom.

***

EMPAT BELAS



Pagi itu Parmin bergegas mengadakan pelaca-

kan dan matahari yang cerah menemani perjalanan-

nya. Pendekar kita ini menelusuri pinggiran hutan 

yang ditumbuhi pohon-pohon kecil. Tangannya dengan 

lincah membabat dahan-dahan pohon, untuk terus 

merayap hingga tak terasa dia telah berada di suatu 

tempat yang cukup jauh dari Nabire.

Tanpa mengenal lelah Parmin terus melangkah 

sambil memasang telinga dan matanya untuk me-

nangkap setiap gerak maupun gejala yang mungkin sa-

ja terjadi di setiap jengkal langkah kakinya. Apalagi 

kawasan yang ditempuhnya saat ini mulai ditumbuhi 

semak lebat dan pohon yang tinggi-tinggi.

Semakin ke dalam cuaca semakin gelap, karena 

sinar matahari tak dapat menembusnya.



Selang beberapa waktu kemudian Parmin telah 

berhasil melewati hutan belantara. Kini di depannya 

terbentang hulu sungai yang dipenuhi batu-batu be-

sar. Sesaat Parmin memandang ke seluruh perbukitan 

yang berada di kawasan hulu sungai itu. Demikian in-

dah panorama yang terlihat. Lagi-lagi pendekar Gu-

nung Sembung itu memuji kebesaran Tuhan Sang 

Pencipta. Dia merasakan dirinya demikian kecil jika 

dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan yang memiliki 

seluruh alam beserta isinya.

Setelah memandangi keindahan panorama 

alam yang dimiliki pulau Papua ini, Parmin bergegas 

meneruskan niatnya dengan menyeberangi hulu sun-

gai. Namun sebelum itu, dia bersihkan seluruh badan-

nya terlebih dahulu, agar terasa segar dengan air sun-

gai yang sejuk dan jernih itu.

Setelah seharian Parmin menempuh perjala-

nan, menjelang sore hari mulailah ia mendaki perbuki-

tan. Tak jauh dari bukit itu ia berhenti sejenak untuk 

mengamati sebuah dahan pohon yang patah, seperti 

tanda atau sandi.

"Hem, dahan patah! Mungkin Awom melewati 

jalan ini!" katanya dalam hati.

Beberapa langkah kemudian Parmin telah me-

masuki jalan setapak yang berpasir. Di sana tampak 

dengan jelas bekas jejak kaki manusia. Jaka Sembung 

terus mengikuti bekas kaki yang membawa butir-butir 

pasir sampai ke sebuah kaki tebing.

"Mungkin dari sinilah ia mulai mendaki!" ucap-

nya sekali lagi dalam hati. Sambil terus melanjutkan 

langkah kakinya menaiki tebing tersebut. Untuk mele-

wati tebing-tebing semacam itu, Parmin sudah memili-

ki pengalaman tatkala mendaki puncak Gunung Cire-

mai, yang cukup terjal dan sangat tinggi membentuk 

dinding lurus ke atas.


"Aku jadi ingat guru dan ayahku di Gunung Ci-

remai. Sudah lama aku tak mengunjunginya! Bagai-

mana keadaan mereka sekarang? Mudah-mudahan be-

liau semua, selalu dalam keadaan sehat wal-afiat!"

Guru Parmin bukan hanya Ki Sapu Angin, te-

tapi juga Begawan Sokalima yang kini masih hidup 

dan bersemayam di puncak Gunung Ciremai.

Setelah berhasil melewati ketinggian tebing 

yang terjal, Parmin mengayunkan langkahnya kembali. 

Namun baru beberapa langkah, dia dikejutkan oleh se-

suatu benda yang ia kenal baik.

Perlahan-lahan ia mendekati benda berbentuk 

kalung yang terbuat dari serentetan taring babi hutan 

bercampur manik-manik beraneka warna. Dia me-

mungut benda yang tersangkut di sebatang ranting 

kayu itu.

"Ini kalung Awom! Aku lebih yakin ia melalui ja-

lan ini!" gumamnya.

Malam mulai turun, langit cerah dan tampak-

lah gugusan bintang bertaburan di cakrawala yang 

luas, bagaikan hamparan lazuardi hitam yang berki-

lauan oleh bintik-bintik cahaya menerangi jagad raya.

Walaupun tanpa obor untuk menerangi jalan-

nya, Parmin masih mampu menerobos suasana malam 

itu. Tanpa mengenal lelah, pendekar kita terus berja-

lan merayapi lereng pegunungan. Pada suatu tempat 

dia berhenti, menahan langkahnya dan menengadah-

kan kepalanya ke atas sebatang pohon raksasa, di sa-

na ada sesuatu yang menarik perhatiannya.

"Tombak Awom tertancap di pohon itu!" se-

runya dalam hati. Membuat ia semakin yakin bahwa 

jalan yang dilaluinya adalah napak tilas perjalanan 

yang dilakukan oleh Awom.

Setelah menempuh perjalanan tiga hari tiga 

malam, sampailah ia di sebuah lereng berbatu. Dia te



rus naik perlahan-lahan, dengan merayap sambil ber-

pegang pada batu-batu besar itu agar bisa cepat mele-

watinya.

Keringat bercucuran di sekujur badannya, wa-

laupun hawa di tempat itu sangat dingin. Wajahnya 

pucat karena menahan lelah. Tanpa disadarinya, hari 

begitu cepat berganti pagi. Namun Parmin terus men-

daki pegunungan itu dengan penuh semangat.

Pada hari kelima, Parmin mulai mendaki pun-

cak pegunungan itu. Di hari ketujuh sampailah ia pa-

da daerah bersalju di ketinggian yang selama ini belum 

pernah ia bayangkan.

Sejauh mata memandang yang tampak hanya 

warna putih seputih kapas dengan suhu yang sangat 

dingin, membuat tubuh Parmin yang tanpa baju terasa 

menggigil, tulang-tulangnya seperti gemeletuk dan da-

rahnya seperti membeku.

Sebagai seorang pendekar ulung, Parmin dapat 

menguasai keadaan itu dengan mengatur pernafasan 

dan menyalurkan hawa panas ke seluruh tubuhnya.

Semakin malam semakin dingin pula suhu di 

puncak bersalju itu. Sementara itu nun jauh di bawah 

sana, lembah telah ditutupi kabut sangat tebal.

Parmin terus merayap perlahan-lahan dan san-

gat hati-hati karena bukan tak mungkin suatu saat 

salju itu bisa longsor secara tiba-tiba.

"Tumpukan salju ini sangat berbahaya bagiku 

jika terjadi longsor!" gumamnya dalam hati.

Baru saja Parmin akan melewati sebuah batu 

yang sangat besar, tiba-tiba ia mendengar suara raun-

gan yang sangat keras. Parmin terperanjat dan seketi-

ka menghentikan langkahnya. Lalu mengendap-endap 

untuk mencari sumber suara tersebut.

"Astaga! Mahkluk apa itu?"

Parmin lebih terkejut lagi setelah tahu apa yang


dilihatnya, sesosok makhluk tinggi besar seperti gorila 

yang seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu tebal 

berwarna hitam serta memiliki kuku-kuku yang sangat 

panjang dan runcing. Binatang seperti itu pada abad 

ke dua puluh sekarang, menurut berita ditemui orang 

di puncak 'Mount Everest' pegunungan Himalaya yang 

oleh orang-orang setempat dijuluki dengan nama 'Yeti'.

Dengan waspada Parmin mengikuti langkah 

makhluk raksasa tersebut. Suatu ketika matanya ter-

tuju pada sosok manusia yang ternyata sedang diincar 

oleh si Yeti.

Pada saat itu Parmin kaget, ternyata sosok ma-

nusia yang dilihatnya adalah Awom, sang panglima 

suku Kaimana yang sedang dicarinya.

"Astaga! Itu Awom!" Jaka Sembung memekik 

tertahan dalam hati.

Jaka Sembung seperti tak percaya dengan apa 

yang dilihatnya. Awom tampak duduk tenang dengan 

tubuh hampir terendam oleh salju putih yang kemi-

lauan itu.

Makhluk raksasa yang berbulu tebal itu terus 

melangkah menghampiri tubuh Awom. Tiba-tiba tan-

gannya yang berbulu dan berkuku runcing itu terang-

kat hendak mencengkeram batang leher Awom.

Ketika melihat itu Parmin tcrsentak dan berte-

riak tanpa sadar.

"Awom!! Awaaaasss di belakangmu!" Tapi Awom 

seperti tak mendengar teriakan Parmin, bahkan keliha-

tannya dia memasrahkan diri.

Makhluk itu dengan garang meraup tubuh 

Awom, sehingga ia terangkat ke atas seperti sebuah 

boneka. Parmin yang melihat leher sahabatnya seperti 

hendak diremas putus, menjadi kalap. Secepat kilat ia 

mengerahkan seluruh kekuatannya, kemudian lang-

sung menghantamkan pukulan jarak jauhnya ke dada


binatang raksasa yang menyeramkan itu.

Tak ayal lagi dengan mengeluarkan raungan 

keras makhluk raksasa itu oleng dan melepaskan 

cengkeramannya. Pada saat itu tubuh Awom terlepas 

dari tangannya.

Makhluk seram itu mengamuk, sambil mengge-

ram mengeluarkan suara yang sangat memekakkan te-

linga. Bukit salju seketika bergetar dan tumpukan-

tumpukan es itu longsor berhamburan.

Namun, belum sempat makhluk Yeti itu ber-

buat sesuatu, Parmin, si Jaka Sembung dengan cepat 

menghentakkan kakinya, berkelebat di udara dan 

mendarat persis di hadapannya.

Dengan cepat pula Parmin langsung menghan-

tamkan pukulan yang kedua tepat di ulu hatinya. Tu-

buh raksasa itu berguling-guling melorot ke bawah 

dengan darah menyembur dari mulutnya.

Akibat tubuh besar yang ambruk itu, tumpu-

kan salju yang berada di atas tebing longsor dengan 

dahsyatnya, menimbulkan suara yang sangat berge-

muruh dan menguburnya dalam-dalam.

Awom yang baru sadar dari semadinya menjadi 

terperanjat kaget. Ia mendapatkan dirinya terpental 

jauh dari tempat semula. Belum lagi terjawab perma-

salahannya, tiba-tiba tubuhnya terperosok ke bawah 

bersamaan dengan longsoran es tadi.

Parmin yang melihat gejala kritis yang dialami 

sahabatnya itu dengan cepat menyergapnya. Tinda-

kannya justru mengakibatkan mereka berdua yang 

terpelanting dan melorot ke bawah karena licinnya 

longsoran es itu.

"Pegang erat-erat tubuhku, Awom!"

Longsoran salju dengan sangat cepatnya melo-

rot, mengakibatkan pohon pinus di sekitar kaki bukit 

banyak yang tumbang tersapu.


Dengan mendekap tubuh Awom, Parmin bersal-

to untuk mencapai sebatang pohon yang tergeletak 

dan segera ia manfaatkan sebagai alat peluncur.

Longsoran salju semakin menggila. Parmin ma-

ti-matian mempertahankan keseimbangan tubuhnya di 

atas batang pohon yang meluncur dengan kecepatan 

penuh sambil menggendong tubuh Awom. Suatu saat 

batang pohon itu membentur sebuah tonjolan batu ca-

das, membuat tubuh mereka berdua terhempas dan 

melayang di udara. Dan lalu jatuh tak jauh dari kaki 

bukit yang dipenuhi rerumputan yang cukup tebal. 

Parmin terperosok di sebelah Selatan, sedangkan 

Awom lebih jauh terpental ke sebelah Utara.

Dengan tubuh masih berselimut salju, Parmin 

menghampiri tubuh sahabatnya yang menggeliat-geliat 

menahan rasa sakit, seraya berkata dengan suara te-

rengah-engah.

"Mengapa kau senekat ini, Awom?! Kau mau 

bunuh diri?!"

Sambil masih menggerak-gerakkan anggota tu-

buhnya, Awom berkata sambil tersenyum kepada sa-

habatnya pendekar Gunung Sembung itu.

"Anda salah sangka, Parmin! Aku tak bermak-

sud bunuh diri, tetapi sedang meminta izin para dewa, 

dan tempatnya adalah di sini, tempat yang paling ting-

gi di seluruh jagad ini!" katanya dengan wawasan pen-

getahuan seorang putra pribumi saat itu.

"Izin untuk apa?" potong Parmin dengan tak 

sabar.

"Aku akan masuk dan memeluk agama anda! 

Dan ikut ke mana saja anda pergi!" jelas Awom dengan 

sinar mata berbinar.

Parmin tertegun sejenak, sambil memandangi 

sahabatnya, dengan tatapan mata penuh pertanyaan 

dengan apa yang diucapkan pemuda kulit hitam itu.


"Alhamdulillah! Tapi mengapa kau memilih 

agama Islam?"

"Bukankah anda pernah katakan bahwa semua 

agama itu baik, tapi tidak semua yang baik itu benar?" 

jawab Awom sambil mengingatkan Parmin pada apa-

apa yang pernah dikatakannya di waktu yang lalu.

Diam-diam, pendekar pulau Jawa itu memuji 

kecerdasan Awom yang selama ini merenungi kata-

katanya. Dengan tersenyum bangga Parmin menjawab

"Betul, Awom! Tetapi untuk memasuki dan 

memeluk agama Islam, harus berdasarkan ketulusan 

hati atau keikhlasan tanpa paksaan. Kau sangat be-

runtung! Allah telah membuka mata hatimu yang se-

lama ini berada dalam kegelapan, untuk memeluk 

agama yang diridhoinya. Dalam kitab suci Al Qur'an 

Allah berfirman; Inna Diena Indallohil Islam... Sesung-

guhnya agama yang paling diridhoi dan yang paling di-

terima di sisi Allah hanyalah Islam! Pada ayat lain di-

katakan juga yang kurang lebih maksud dan tujuan-

nya begini; Barang siapa memeluk agama selain agama 

Islam, dia di akhirat kelak termasuk orang-orang yang 

merugi!"

Mendengar itu, Awom seperti sudah tak sabar 

lagi, ia mendesak Parmin agar dirinya bisa lebih cepat 

untuk menjadi seorang muslim.

"Bagaimana syaratnya?"

"Sangat mudah, Awom.... Tapi sangat berat! Ka-

rena yang paling penting adalah pengakuan di dalam 

hati sanubari, bukan kata-kata yang keluar dari mu-

lut!"

Awom tak menyahut, dia hanya mengangguk-

anggukkan kepalanya. Kemudian Parmin meneruskan 

percakapannya, meminta Awom untuk mengikutinya 

sambil mengucap;

"Sekarang ikutilah aku! Kau harus membaca


dua kalimat syahadat.... Assyhadu Allaa Illaha illal-

lah.... Wa-Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah!" 

ucap Jaka Sembung dengan perlahan-lahan tetapi 

sangat jelas.

Awom mengikuti ucapan Parmin. Namun lidah-

nya belum bisa mengikutinya.

Berulang kali Parmin menuntun Awom mengu-

cap kalimat-kalimat syahadat itu secara perlahan-

lahan. Akhirnya tepat tengah malam, Awom baru dapat 

mengucapkan dengan benar, ucapan yang menjadi 

syarat pertama bagi orang yang ingin memeluk agama 

Islam.

"Assyhadu Alla Illaha Illallah.... Wa-Asyhadu 

Anna Muhammadar Rasulullah!" ucap Awom dengan 

fasihnya.

Dengan disaksikan gugusan bintang yang me-

nerangi mayapada, pohon-pohon pinus raksasa yang 

dahannya meliuk-liuk karena ditiup angin pegunun-

gan, resmilah Awom menjadi seorang muslim yang siap 

menjalankan perintah Sang Maha Pencipta dan men-

jauhi segala apa yang dilarangnya.

Di suasana malam yang hening sunyi senyap 

itu, Parmin mengajak Awom untuk merenungkan ek-

sistensi seorang muslim.

Agaknya eksistensi seperti itulah yang selama 

ini membuat Awom berpikir keras, terutama ketika ia 

hadir mengikuti upacara malam Natal di perkampun-

gan suku Nabire itu.

"Kau tahu arti dan tujuan dari dua kalimat 

syahadat yang baru kita ucapkan tadi, Awom?"

Lagi-lagi Awom diam, kali ini dia menggeleng-

gelengkan kepalanya tanda tak mengerti, arti dan tu-

juan dari dua kalimat syahadat itu, "Arti dari dua ka-

limat syahadat itu adalah; Aku bersaksi bahwa tidak 

ada Tuhan yang kusembah selain Allah... Dan aku


bersaksi dengan sebenar-benarnya bahwa Nabi Mu-

hammad itu Utusan Allah!"

"Lalu maksudnya apa?" potong Awom dengan 

rasa ingin tahu.

"Kalimat pertama bermaksud yang kita wajib 

sembah hanyalah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, kita 

tak boleh menyembah yang lain dari-Nya. Kalau sean-

dainya kita menyembah dari yang lain seperti me-

nyembah matahari, api, laut dan lain sebagainya yang 

termasuk ciptaan-Nya, itu namanya 'syirik'. Kalau su-

dah syirik atau menyekutukan Tuhan dengan yang 

lain, termasuk dosa besar yang tak dapat diampuni!"

"Sedangkan kalimat kedua; Aku bersaksi den-

gan sebenar-benarnya bahwa Nabi Muhammad adalah 

utusan Allah. Artinya bahwa dalam menjalani kehidu-

pan ini, seorang muslim haruslah mencontoh segala 

sesuatu yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad!"

Awom manggut-manggut dan kembali bertanya.

"Mengapa kita harus percaya adanya Tuhan?"

"Apabila manusia itu melihat alam yang sangat 

luas dan besar ini, akan timbullah suatu pertanyaan 

dalam kalbunya, tentulah ada juga sebab maka ada 

alam ini, atau tentu ada pembuat yang telah memban-

gun alam ini!" jawab Parmin dengan sederhana, agar 

dapat dengan mudah dicerna oleh sahabatnya itu.

Sejenak mereka saling beradu pandang. Awom 

mengembangkan sebuah senyum kepuasan atas penje-

lasan Parmin mengenai ajaran Islam. Tetapi kemudian 

dia mengerutkan dahinya, seakan ada sesuatu hal 

yang ingin ia tanyakan. Tentang hal-hal penting yang 

berkaitan dengan adat istiadat sukunya.

Sebelum sempat Awom mengeluarkan perta-

nyaan, mendadak Parmin membuka suaranya terlebih 

dahulu;

"Awom! Mulai saat ini kau telah menjadi seo


rang muslim! Jadi kau harus berpakaian secara benar! 

Harus menutup aurat! Aurat seorang muslim laki-laki 

adalah dari pusar sampai lutut!" jelas Parmin, sambil 

menunjuk bagian tubuh yang ia sebutkan.

Hari kini telah berganti pagi, mentari sedikit 

demi sedikit mulai nampak dari belakang puncak pe-

gunungan yang masih berselimut kabut tebal. Sang 

mentari mulai menyinarkan sinarnya ke seluruh per-

mukaan dataran yang hijau dengan hamparan pohon-

pohon yang dahannya meliuk-liuk, terhempas angin 

pegunungan.

Kedua sosok manusia yang tak lain adalah 

Awom dan Parmin itu, berjalan dengan langkah ringan 

menelusuri lembah menuju perkampungan suku Na-

bire. Sejenak keduanya menghentikan langkahnya, 

tatkala sampai di hulu sungai yang terbentang menge-

lilingi perkampungan itu untuk membersihkan muka 

dengan air sungai yang jernih itu.

Setelah merasakan seluruh tubuhnya segar 

kembali, keduanya melanjutkan perjalanan dengan 

langsung mencari jalan pintas. Tak lama kemudian, 

mereka telah sampai di pinggiran perkampungan Na-

bire.

Parmin dan panglima suku Kaimana beristira-

hat sejenak sambil melahap beberapa buah-buahan 

yang dapat dimakan untuk mengganjal perut selama 

beberapa hari tak sempat diisi.

Mereka duduk-duduk di bawah pohon yang 

tinggi dan rindang sambil berbincang-bincang.

"Awom, ini buah apa namanya?" tanya Parmin.

"Oh, itu! Suku kami menamakannya buah 

Opu!" jawab Awom sambil mengupas kulitnya dan 

dengan lahap Parmin memakan buah yang baru dike-

nalnya itu. Rasanya seperti rasa kacang tanah, cukup 

untuk memulihkan tenaga dalam tubuh yang selama


ini banyak terkuras.

"Oooooh, tak terasa hari sudah begitu siang!" 

ucap Parmin yang mulai merasakan kantuk yang da-

tang.

"Betul! Mungkin kita sangat lelah menempuh 

perjalanan siang dan malam tanpa mengenal istirahat!" 

Awom menimpali ucapan Parmin.

Keduanya kini bangkit dan melangkah menuju 

gerbang perkampungan yang sudah terlihat di depan 

mata.

"Ayolah, Awom! Hari sudah siang, mungkin me-

reka telah cemas menanti kedatangan kita!"

Sementara itu di perkampungan suku Nabire 

nampak Yulia, ayahnya dan pendeta Yorgen serta para 

prajurit suku Kaimana sedang sibuk membereskan 

berbagai perbekalan untuk persiapan perjalanan pu-

lang yang cukup jauh dari perkampungan suku Nabire 

ke perkampungan suku Kaimana.

Kedatangan Parmin dan Awom, disambut den-

gan sorak sorai dan tepukan tangan sambil mengelu-

elukan nama mereka.

"Hai!! Kawan-kawan, pahlawan kita telah da-

tang! Telah datang di tengah-tengah kita!" teriak salah 

seorang dari mereka hingga terdengar ke tempat di 

mana Yulia, pendeta Yorgen dan Van Boerman berada.

Yulia dengan cepat ke luar rumah dan berlari 

menyongsong sambil memeluk Jaka Sembung, kemu-

dian ia menoleh kepada Awom seraya bertanya.

"Awom! Apa yang kau lakukan di puncak Ka-

hyangan itu! Kami semua sangat mengkhawatirkan di-

rimu!"

Awom tersenyum kalem mendengar pertanyaan 

kepala sukunya yang cantik itu.

Kepala suku Nabire yang sejak selesai upacara 

perayaan Natal, terus menerus khusuk melakukan


upacara ritual memanjatkan doa menurut agama su-

kunya. Bagi keselamatan Awom dan Parmin, kini telah 

mengakhirinya setelah mendengar Awom dan Parmin 

kembali ke tengah-tengah mereka, dengan tak kurang 

suatu apa.

Kemudian Kya-Fa kepala suku Nabire yang ra-

mah itu duduk membaur bersama-sama yang lain un-

tuk mendengarkan cerita Awom.

Awom mengisahkan perjalanannya mendaki 

puncak Kahyangan. Di mana dirinya hampir tewas di 

tangan makhluk raksasa bertubuh laksana gorila yang 

memiliki bulu-bulu tebal dan sampai akhirnya ia resmi 

menjadi seorang muslim.

Semua orang yang mendengar ceritanya, baik 

Yulia, pendeta Yorgen, Van Boerman dan Kya-Fa kepa-

la suku Nabire, bergembira karena Awon telah pulang 

dengan selamat dan turut gembira dengan agama baru 

yang menjadi pilihan pemuda gagah itu.

Hari semakin larut, di luar pondok udara dira-

sakan sangat dingin dan suasana sunyi mencekam, 

hanya sekilas terdengar suara bisikan binatang-

binatang kecil yang bersembunyi di kegelapan malam.

Waktu demi waktu cuaca semakin gelap karena 

bintang gemintang di cakrawala sudah menghilang di 

balik awan hitam. Kilat sekali-sekali menerangi kegela-

pan malam, disusul kemudian dengan suara halilintar 

yang menggelegar. Sesaat kemudian terdengar air ge-

mericik di atap-atap rumah.

Hujan mulai turun dengan derasnya, sehingga 

tak seorang pun penghuni perkampungan yang berke-

liaran. Obor-obor yang menyala di sekitar perkampun-

gan suku Nabire semua padam tertimpa air hujan.

Di malam yang semakin gelap dan basah kuyup 

itu, tak ada lagi terdengar orang bercakap-cakap, yang 

terdengar hanyalah suara dengkuran nafas yang men


giringi tidur lelap para penghuninya.

Pagi itu seluruh halaman rumah dan pepoho-

nan basah tersimbah air hujan, yang baru berhenti ke-

tika menjelang pagi. Beberapa orang satu persatu mu-

lai keluar dari tempat tinggal mereka. Begitu juga dari 

tempat kediaman kepala suku Nabire, beberapa orang 

yang tak lain dari Yulia, dan ayahnya, Yan Van Boer-

man, pendeta Yorgen, kepala suku Nabire Kya-Fa, 

Awom si panglima suku Kaimana dan Parmin si Jaka 

Sembung, bergegas menuju halaman terbuka untuk 

menghirup udara pagi yang masih segar.

Sesaat kemudian, kepala suku Nabire Kya-Fa 

berdiri di hadapan rakyatnya seraya berbicara dengan 

berapi-api.

"Hai, rakyatku suku Nabire dan kalian juga ra-

kyat suku Kaimana! Aku di sini atas nama kalian men-

gucapkan banyak terimakasih, bahwa saudara-

saudara kita yang berasal dari dunia yang lebih maju 

telah mengajari kalian bagaimana caranya menenun 

dan yang lain-lain!"

Selesai Kya-Fa berbicara, mereka menyambut-

nya dengan sorak sorai yang gegap gempita.

Parmin, Yulia, pendeta Yorgen dan Yan Van 

Boerman telah mengajari mereka tentang baca tulis 

dan beberapa hal tentang dasar-dasar ilmu pengeta-

huan.

Sedikit demi sedikit, orang-orang suku Nabire 

dan suku Kaimana sudah mulai bisa mengenal huruf 

dan mengenal suatu peradaban yang sebelumnya ma-

sih asing bagi mereka.

Ingin sekali Parmin lebih lama tinggal di tengah 

suku-suku Papua, untuk menyumbangkan apa saja 

yang ia dapat sumbangkan kepada mereka, tapi kare-

na masih banyak tugas menanti, maka Parmin tak da-

pat tinggal di Papua.


Ia bermaksud kembali ke pulau Jawa membawa 

serta Awom yang tak mau lagi berpisah dengan Par-

min.

Maka tibalah hari yang dinantikan itu. Mereka 

bersiap-siap untuk mengantar Parmin dan Awom ke 

pantai menuju ke atas perahu, yang sudah diper-

siapkan orang-orang suku Nabire sebelumnya. Perahu 

itu cukup besar untuk dua orang, diperlengkapi den-

gan layar, dayung, serta perbekalan makan minum 

yang cukup, selama perjalanan yang diperkirakan 

memakan waktu cukup lama menuju pulau Jawa.

Di antara kerumunan orang-orang itu, nampak 

yang paling sedih adalah Yulia, dia sepertinya tidak 

mau ditinggalkan oleh seorang yang paling ia kagumi.

Dengan isak tangis, ia menjatuhkan tubuhnya 

di dada Parmin yang berusaha menghibur hatinya.

"Sudahlah Yulia! Kalau panjang umur, kita bisa 

bertemu lagi! Aku percaya di bawah kepemimpinanmu 

dan di bawah bimbingan pendeta Yorgen, suku Kaima-

na dan suku Nabire akan menjadi suku yang beradab 

dan hidup lebih maju."

Di tengah suasana yang sangat mengharukan 

itu, pendeta Yorgen berkata sambil mengucapkan se-

lamat jalan. Disusul oleh ucapan ayah, Yulia dengan 

suara berat karena tak tahan melihat perpisahan anta-

ra mereka, kedua matanya berkaca-kaca tergenang air 

mata dan rakyat kedua suku itu hanya terdiam mem-

bisu.

"Dan kami pun berdoa semoga bangsa anda se-

gera terlepas dari belenggu penjajahan! Kami berbicara 

atas ikatan hati nurani sesama manusia! Tuhan selalu 

beserta kita, Jaka Sembung!"

"Terima kasih!" ucap Parmin sambil mengajak 

Awom untuk menaiki perahu berbentuk rakit tersebut. 

Sementara itu Yulia masih memandang tak berkedip


dalam melepas kepergian Jaka Sembung. Terlalu ba-

nyak suka duka bersamanya yang harus dilupakan 

begitu saja. Terlalu pahit dan terlalu pagi baginya 

menghadapi perpisahan ini.

Semangat hidup yang baru saja tumbuh dalam 

diri gadis Belanda ini, berkat dorongan kasih sayang 

pendekar muda dari tanah Jawa itu, kini tiba-tiba ter-

goyang dengan kepergiannya.

Dunia seisinya tiba-tiba terasa begitu sunyi ba-

ginya. Kepada siapa lagi ia akan berbagi canda ria dan 

bercengkrama seperti yang dilakukannya selama ini.

Perahu rakit itu berlayar kian jauh dari tepi 

pantai Sarera, semakin lama semakin mengecil dari 

pandangan mata sampai akhirnya lenyap di balik kaki 

langit sebelah Barat.



                               TAMAT




 

Share:

0 comments:

Posting Komentar