PERTARUNGAN TERAKHIR
Karya Djair Warni
Serial Jaka Sembung
Cover Oleh: Djair
Jakarta, 1991; cet. ke-1
Penerbit Sarana Karya, Jakarta
SK 91-84S, 128 hlm; 11 x 18 cm
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau
pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka
SATU
Bukit yang gundul dan gersang itu kini mulai
diselimuti kabut tebal. Malam merangkak semakin la-
rut. Angin bertiup dari arah Selatan dengan kencang-
nya. Lolongan panjang srigala terdengar dari kejauhan
merubah suasana hening jadi kian mencekam.
Langit gelap, dan rembulan pun menerangi
mayapada dengan sinarnya yang timbul tenggelam ka-
rena tertutup awan hitam. Petir menggelegar dengan
kerasnya. Kilat memberkas menerangi perbukitan.
Di dalam sebuah goa tampaklah samar-samar
beberapa sosok tubuh manusia yang sedang tidur lelap
dengan tangan terhimpit di ketiak, kaki terlipat karena
tak kuasa menahan dingin malam yang menusuk
sampai ke tulang sumsum.
Di antara mereka ada seorang pemuda berkulit
coklat, berpakaian seorang pendekar. Pemuda kulit hi-
tam tanpa pakaian dan hanya memakai semacam se-
longsong sebagai pembungkus alat keperkasaannya.
Paling kanan ada pula sepasang kulit putih, yang lelaki
berpakaian compang camping, sedangkan yang wani-
tanya hanya menutupi tubuhnya dengan selembar
kain sarung,
Sedikit, demi sedikit rembulan meredup sinar-
nya. Bintang pun tak lagi berkelap-kelip menghiasai
cakrawala yang luas. Cuaca kian gelap. Hujan turun
rintik-rintik membasahi bumi diiringi bunyi halilintar
yang keras. Dengkuran nafas keempat orang itu ber-
tambah keras. Mereka tak lagi memikirkan bahaya
yang mengancam karena tak dapat lagi menahan rasa
kantuk dan lelah yang teramat sangat.
Di antara mereka ada yang sedang diliputi pe-
rasaan gembira bercampur haru karena pertemuan
bapak beranak yang telah beberapa lama terpisah.
Mereka tidur nyenyak sekali dibuai mimpi mas-
ing-masing hingga tak mendengar lolongan anjing hu-
tan memecah udara disusul kilat halilintar yang me-
nemani turunnya hujan, membentangkan cahayanya
sehingga mengusik pemuda berkulit sawo matang yang
tidur persis di mulut goa.
Perlahan-lahan pemuda itu membuka kelopak
matanya, kemudian mengangkat badannya dan me-
mandang ke seluruh penjuru goa yang menjadi tempat
mereka berlindung untuk sementara.
Ia melihat si gadis kulit putih yang tersingkap
kain penutup dadanya hingga buah dada yang besar
mengencang tersebut keluar. Kalau saja ada seorang
lelaki hidung belang di antara mereka, tak tahulah apa
yang akan terjadi. Untunglah yang melihat pemandan-
gan erotis di dalam goa itu adalah seorang pemuda
tampan yang memiliki keimanan kuat dan berbudi lu-
hur. Dialah Parmin si Jaka Sembung.
Seorang pemuda kulit hitam yang tidur mering-
kuk di samping Parmin adalah Awom panglima suku
Kaimana. Ada pun gadis kulit putih tersebut adalah
Yulia yang selama ini dinobatkan sebagai kepala suku
Kaimana. Sedangkan lelaki tua kulit putih yang tidur
di sampingnya adalah Yan Van Boerman ayahnya sen-
diri
Parmin segera beranjak ke tempat Yulia mem-
baringkan tubuh. Dia betulkan kain penutup tubuh
mulus itu dengan hati-hati sekali
Kemudian Parmin berkelebat ke luar menuju
sungai yang berada di kaki bukit. Dia bersihkan tubuh
lalu berwudlu. Tak lama kemudian Parmin menghadap
ke sesuatu tempat yang ia anggap sebagai kiblat, se-
raya mengangkat kedua tangan untuk bertakbir.
Parmin memejamkan kedua matanya agar bisa
lebih berkonsentrasi dalam komunikasi kepada Sang
Maha Pencipta. Di tengah malam yang dingin itu Jaka
Sembung melakukan shalat tahajudnya dengan tafa-
kur.
Selang beberapa lama kemudian, Parmin telah
berada kembali di dalam goa. Dipandanginya tubuh-
tubuh temannya yang lelap tidur dengan pandangan
kasih sayang, Parmin tersenyum iba seraya berkata
dalam hati;
"Kasihan, mereka begitu lelah menempuh perja-
lanan yang panjang dan penuh dengan bahaya."
Parmin duduk sambil merenung sampai akhir-
nya matanya telah tertutup rapat-rapat.
Dia pun tertidur lelap menghabiskan sisa ma-
lam yang dingin itu.
Malam telah pergi, mentari dari ufuk Timur
mulai mengintip dan suara kicauan burung-burung
bersahut-sahutan. Namun tubuh-tubuh yang lelah
masih tertidur dengan lelapnya, kecuali Jaka Sembung
yang terlihat duduk di mulut goa setelah melakukan
sholat Subuhnya.
Semburat sinar matahari mulai memasuki goa
itu. Berkas sinar yang menyilaukan jatuh ke wajah-
wajah mereka yang masih tidur.
Satu demi satu dari mereka membuka kelopak
matanya perlahan-lahan.
"Uuuuh, hari sudah siang rupanya," celetuk
Awom sambil menggeliatkan tubuhnya yang tegap be-
rotot itu.
"Ya, saking lelahnya, kalian tidur dengan nye-
nyak sekali tanpa memperhatikan di mana kalian se-
dang bermalam," sambut Parmin yang kini sudah tam-
pak bersih dan segar karena baru saja mandi di sungai
itu.
Ketiga orang itu pun segera turun ke sungai
untuk mencuci badan.
Setelah terasa segar, kembali mereka ke dalam
goa, sementara Parmin dan Awom pergi mencari umbi-
umbian untuk sarapan pagi.
Beberapa saat kemudian, sambil membakar
bahan makanan ala kadarnya itu, mereka berbincang-
bincang.
"Bagaimanakah asal mulanya anda berada di
pedalaman Papua ini?" tanya Parmin kepada Van
Boerman yang masih saja belum mau lepas memeluk
anak gadisnya.
"Tatkala kapal kami hancur di serang badai,
aku terpisah dengan Yulia," ujarnya seraya memulai
ceritanya.
"Entah berapa lama tubuhku terombang-
ambing gelombang laut yang luas itu. Dengan bergan-
tung pada sebilah papan pecahan dinding kapal, aku
mengadu nasib antara hidup dan mati. Tak henti-
hentinya aku berdoa memohon pertolongan yang Maha
Kuasa agar menyelamatkan jiwaku. Aku tak tahu di
mana anakku Yulia, juga pendeta Yorgen yang selama
ini menemaniku dalam tugas missionari dan aku juga
tak tahu ke mana teman-temanku yang lain. Aku
hanya berpikir tentang diriku bagaimana caranya agar
selamat." ungkapnya sambil mengerutkan kening.
"Cuaca saat itu dingin sekali dan angin laut
bertiup sangat kencang. Aku tak dapat memandangi
lautan di depanku, karena sebagian laut yang luas itu
telah ditutupi kabut tebal hingga rembulan pun tak
sanggup menembusnya. Hari mulai larut malam. Tu-
buhku terasa menggigil tak dapat menahan dingin
yang menusuk-nusuk tulang sumsum. Perutku terasa
perih karena lapar, aku tak dapat berbuat sesuatu un-
tuk menangggulanginya. Aku hanya terus berharap
dan berharap semoga Tuhan berkenan menyelamatkan
jiwaku," ujar Van Boerman sambil matanya menera-
wang seolah membayangkan kembali peristiwa yang
mengerikan itu.
"Waktu terasa sangat lambat bergeser, suasana
malam gelap gulita telah hilang diganti dengan cuaca
pagi yang cerah dengan munculnya sang mentari. Bu-
rung-burung camar berterbangan di atas kepalaku.
Mereka seakan merasa sedih melihat apa yang ku ala-
mi di tengah laut lepas seperti itu. Barulah ketika ma-
tahari bergeser ke Barat, tampak sebuah sekoci yang
ditumpangi oleh kelasi kapal yang hancur itu, mende-
kat kepadaku." ucapnya sambil menggaruk-garuk ke-
palanya yang berambut pirang.
"Atas persetujuan di antara mereka aku diang-
kat dan dimasukkan ke dalam perahu itu. Berhari-hari
bahkan berbulan-bulan lamanya kami hanya melihat
air tanpa tepi. Pada suatu hari kami melihat dataran,
kami menemukan sebuah pulau yang sangat asing
yang kemudian kami ketahui bernama Papua," akunya
sambil melototkan mata.
"Baru saja kami mendarat di pulau itu, menda-
dak kami disambut oleh pribumi yang masih primitif
dengan sambutan yang tidak sebagaimana layaknya
seorang tuan rumah. Mereka menyerang kami dengan
tombak-tombak dan senjata tajam lainnya. Kami yang
hanya berempat tak tahan mengimbangi keroyokan
orang-orang primitif itu walau telah berusaha menga-
dakan perlawanan sedapat mungkin. Akhirnya dengan
lari lintang pukang kami dapat menyelamatkan diri ke
dalam hutan belantara." Van Boerman berhenti seje-
nak, kemudian meneruskan ceritanya.
"Berhari-hari kami tersesat di dalam hutan be-
lukar. Perut yang memang beberapa lama tak terisi
mulai terasa perih dan berpilin-pilin. Di dalam ransel
yang berhasil kami bawa terdapat beberapa potong roti
yang sudah hancur terendam air laut sehingga sulit
untuk dimanfaatkan sebagai pengganjal perut.
Setelah secukupnya beristirahat, kami melan-
jutkan perjalanan melalui hutan belukar yang hanya
ditumbuhi pohon-pohon sebatas bahu. Kami merayap
dengan menyibak semak-semak pohon dengan kedua
tangan, hingga tak terasa pakaian kami robek terkoyak
patahan-patahan dahan pohon.
Tepat pada saat matahari tenggelam, akhirnya
kami sampai ke sebuah perbukitan, bukit batu ini!
Kami beristirahat semalaman di bukit tandus ini. Sua-
sananya persis sekarang ini, ada yang berbaring di su-
dut dan ada pula yang lelap tidur di dekat mulut goa
ini." kata Van Boerman sambil menunjuk-nunjuk.
"Pagi-pagi sekali kami sudah bangun dan mem-
bersihkan diri di sungai yang ternyata ada di kaki bu-
kit berbatu ini. Sepanjang hari kami menikmati sekelil-
ing bukit ini. Salah seorang dari kelasi kapal itu ter-
nyata punya keahlian dalam bidang batu-batuan dan
bertambangan. Ia menyatakan bahwa ternyata di bukit
batu ini terdapat bijih emas.
Kemudian kami coba buktikan hasil penyelidi-
kan Simon Ban Derlang itu bersama-sama dengan ja-
lan menggali batu-batuan di lembah bukit tandus dan
gersang ini. Namun ternyata setelah berminggu-
minggu kami menggali tanpa mengenal panas atau hu-
jan, hasilnya tetap nihil.
Lama-kelamaan kami yang menggali tanah mu-
lai ragu-ragu. Tetapi Simon mulai berubah watak, mu-
lai memaksa dan bersikap tangan besi. Bila ada yang
membangkang, Simon tidak segan-segan menghajar
kami, sampai akhirnya salah seorang dari kami ada
yang nekad melarikan diri dengan membawa barang-
barang seadanya, dan celakanya ranselku yang berisi
al-kitab dan rosario itu ikut terbawa," Van Boerman
menghentikan kisahnya sejenak untuk bernafas ke-
mudian melanjutkannya kembali.
"Entah bagaimana nasibnya dan aku heran ba-
gaimana rosario itu sampai berada di tanganmu, Yu-
lia?" Van Boerman bertanya pada anak gadisnya sam-
bil mencium rosario yang kini ada di tangannya.
"Kami mendapatkannya dari seorang suku ka-
nibal!" jawab Yulia sementara itu Van Boerman tertun-
duk merenungkan nasib kawannya yang mungkin su-
dah menjadi santapan orang-orang suku pemakan
daging manusia itu.
Tak terasa hari semakin tinggi. Sang mentari
sudah mengeluarkan kekuatannya sehingga tak ayal
lagi cuaca sudah berubah sangat panas memanggang
bukit yang gersang dan tandus itu. Segeralah mereka
menuruni puncak bukit menuju ke tempat yang agak
teduh yang ditumbuhi pepohonan.
Dari sini mereka menentukan langkah selan-
jutnya untuk mencari jejak pendeta Yorgen yang
mungkin terdampar di pulau ini juga.
Sore hari itu Parmin dan Awom mulai bekerja
membuat rakit dari batang-batang pohon yang agak
kecil. Dengan rakit itu mereka menuju ke hulu sungai
agar perjalanan mereka lebih cepat dan aman.
Setelah hampir satu hari mereka menempuh
perjalanan, Parmin melihat suatu dataran yang agak
mudah untuk ditempuh dengan berjalan kaki. "Kita
mendarat di sini, Awom!"
Dengan cekatan Awom mendorong rakit terse-
but dengan batang kayu panjang sampai ke dasar
sungai hingga sampailah ke tempat yang dimaksudkan
oleh Parmin.
"Kau tambatkan tali rakit pada tonggak itu.
Awom! Sewaktu-waktu kita bisa menggunakan rakit ini
kembali!" ujar Jaka Sembung.
Setelah mengamankan rakit tersebut mereka
melanjutkan perjalanan dengan memasuki jalan seta-
pak yang melintasi hutan belantara itu dengan formasi
Parmin dan Awom sebagai pemandu jalan, sedangkan
Yulia dan ayahnya. Van Boerman mengikuti dari bela-
kang. Mereka terus berjalan tanpa menyadari kehadi-
ran sesosok tubuh yang senantiasa membayangi lang-
kah-langkah mereka.
Pada saat yang tepat sosok tubuh itu menyer-
gap Yulia dan ayahnya ke dalam semak belukar den-
gan mulut terbekap. Parmin dan Awom segera men-
dengar suara gemerisik dedaunan semak dan segera
membalikkan tubuh sehingga mereka melihat bahwa
Yulia dan ayahnya sudah tidak mengikuti mereka lagi.
Baru saja Parmin akan melangkah untuk ber-
buat sesuatu, mendadak kaki kirinya tersandung akar
pohon yang ternyata merupakan suatu perangkap. Tak
ayal lagi setelah benda itu putus, pohon yang terletak
di tanah tiba-tiba melesat ke udara bersamaan dengan
itu kaki Parmin terjerat dan tubuhnya terlontar ke
atas. Melihat hal itu Awom bermaksud melabrak den-
gan bersenjatakan tombak, tetapi Parmin berteriak.
"Awon! Jangan melawan, menyerah saja!"
Awom mengikuti apa yang diinginkan Jaka
Sembung karena dia yakin bahwa Parmin sedang me-
rencanakan sesuatu yang paling baik.
Selang beberapa lama kemudian tubuh Parmin,
Awom, Yulia dan ayahnya Yan Van Boerman tak ber-
kutik lagi dengan tubuh terikat kuat.
Manusia-manusia hitam dan buas itu lalu
mengusung Parmin dan kawan-kawannya seperti babi
hutan buruan menuju perkampungan mereka.
***
DUA
Beberapa jam kemudian setelah melewati jalan
setapak, hutan belukar dan sungai kecil, kelompok
suku Papua itu telah sampai di perkampungan mereka
yang terdiri dari belasan rumah panggung berbentuk
kerucut yang terbuat dari daun-daun kering, ijuk dan
ilalang. Letak rumah-rumah primitif itu berjajar me-
lingkari sebuah halaman yang cukup luas.
Di tengah halaman perkampungan itu terdapat
kerangkeng-kerangkeng yang terbuat dari bambu ber-
bentuk teralis yang memang telah dipersiapkan untuk
para tawanan dan mangsa mereka.
Yulia dan ayahnya dijebloskan ke dalam ke-
rangkeng sebelah Selatan dengan pengawalan ketat.
Sedangkan Parmin dan Awom masing-masing di ke-
rangkeng sebelah Timur dan Barat, sehingga dengan
demikian secara kebetulan Parmin dan Awom dapat
mengawasi kedua orang kulit putih itu dari perbuatan-
perbuatan orang-orang suku pemangsa tersebut.
Parmin tersungkur dihempaskan dengan kasar
ke lantai kerangkeng. Ketika ia mengangkat kepalanya,
terlihatlah di hadapannya seorang berjubah putih ber-
jubah hitam sudah lebih dahulu berada di dalam ke-
rangkeng tersebut.
"Uuuh! Siapakah anda?" tanya Parmin.
Dengan penuh wibawa orang berjubah hitam
dan berkalung salib menjawab sambil tersenyum.
"Aku adalah pendeta Yorgen!"
Betapa terkejut bercampur gembira Jaka Sem-
bung mendengar pengakuan orang yang di hadapan-
nya yang ternyata adalah orang yang selama ini dica-
rinya.
"Aku sangat gembira dapat berjumpa dengan
anda!" kata Parmin.
Pendeta Yorgen seorang lelaki Belanda berusia
enam puluhan, berwajah selalu cerah dengan dahi le-
bar bercahaya, kumisnya tipis dan bertaut dengan
janggutnya yang lebat. Semua itu membuat penampi-
lannya tampak anggun dan arif.
"Kulit anda sawo matang... Kurasa anda bukan-
lah pribumi pulau ini!" pendeta Yorgen meneruskan
perkataannya sambil menduga dari mana asal suku
tawanan baru ini.
"Betul! Aku berasal dari pulau Jawa, sebuah
pulau yang merupakan bagian kecil dari kepulauan
Nusantara." Parmin menimpalinya sambil terus ber-
tanya.
"Sudah berapa lamakah anda berada di sini?"
"Hampir setahun aku dikurung seperti ayam!
Tapi anehnya mereka tidak membunuhku!" dengan
nada sedikit heran
Suasana hening sejenak. Mereka saling beradu
pandang dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Par-
min kemudian melanjutkan ucapannya;
"Aku membawa berita gembira untuk anda,
pendeta...! Tuan Yan Van Boerman dan putrinya Yulia
telah berada di sini juga. Jika tidak terhalang dinding
kerangkeng ini, anda dapat melihat mereka di sebelah
Barat kerangkeng kita.
Malam mulai merambat dan dataran pantai
Nabire yang terletak di teluk Sarera itu mulai redup
tenggelam dalam buaian malam. Yang terdengar ha-
nyalah suara deburan ombak membelah tepian pantai.
Angin bertiup sepoi-sepoi dan bintang pun ber-
taburan menghiasi cakrawala yang sunyi senyap. Per-
lahan-lahan bintang-bintang penghias cakrawala itu
mulai hilang karena pergeseran waktu menuju dini ha-
ri. Pergantian itu mulai terasa setelah terdengar kokok
ayam hutan serta kicauan burung di atas ranting-
ranting pohon.
Parmin masih asyik berbincang-bincang pan-
jang lebar dengan pendeta Yorgen karena mereka ber-
dua tak dapat memejamkan mata. Mendadak mereka
dikagetkan oleh beberapa orang anggota suku primitif
yang mendorong dengan kasar pintu kerangkeng. Ke-
mudian menarik tubuh Parmin keluar kerangkeng
dengan todongan tombak-tombak mengancam. Melihat
perlakuan tersebut terhadap Parmin tak henti-
hentinya pendeta Yorgen berdoa demi keselamatan
Pendekar Gunung Sembung itu. Dengan suara gemetar
dia memberikan semangat kepada Parmin,
"Semoga kau selamat, Nak!"
Parmin dengan pasrah mengikuti makhluk-
makhluk buas itu membawanya pergi sambil berkata
dalam hati,
"Mau dibawa ke mana lagi aku ini?"
Parmin terus digiring menuju halaman yang te-
lah banyak dipadati orang-orang suku papua pemakan
daging manusia yang menawannya. Ada yang duduk
bersila mengitari api unggun yang berada di tengah-
tengah mereka, ada yang menari-nari dan ada pula
yang menabuh gendang dengan irama yang menyen-
tak-nyentak sehingga membuat suasana menjadi hiruk
pikuk.
Sesaat kemudian suasana bising itu berubah
menjadi hening seakan mereka sedang memanjatkan
doa dalam upacara tradisionil suku. Mereka berdiri
membungkuk kemudian duduk kembali.
Ketika Parmin sampai di arena upacara, laksa-
na ada yang mengkomandoi suasana hening itu seren-
tak berubah seperti semula, pecah dengan sorak sorai.
Parmin terkejut ketika melihat siapa yang du-
duk di singgasana kepala suku di tengah-tengah ke
rumunan makhluk-makhluk buas dan ganas itu.
"Astagfirullah, dia lagi!" desisnya dalam hati.
Manusia bertopeng tengkorak yang sudah lama
dikenalnya itu bangkit dari singgasananya sambil
mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi menyambut
kedatangan seorang tawanan besarnya. Parmin digir-
ing dengan perlakuan yang sangat kasar.
"Makhluk iblis itu sungguh berbahaya kalau
dibiarkan hidup! Aku harus dapat mengenyahkannya
walaupun aku tahu ia mempunyai ilmu silat yang lebih
tinggi dariku!" tekad Jaka Sembung dalam hati.
Atas perintah manusia bertopeng itu, Parmin
digiring ke dalam sebuah arena yang berbentuk lingka-
ran tonggak-tonggak kayu rapat berjajar setinggi bahu.
"Mau diapakan aku ini?" pikir Parmin.
Setelah masuk di pintu masuk arena tersebut,
Parmin dihempaskan mereka sambil mengancamnya
dengan ujung-ujung tombak. Kemudian mereka berge-
gas meninggalkan Parmin seorang diri. Tak berselang
beberapa lama dari arah hadapan Parmin berdiri dibu-
kalah sebuah pintu kandang. Serta merta penghuni di
dalamnya, yang tak lain seekor babi hutan yang ganas
dan buas dengan taring melengkung runcing di mon-
congnya, menghentak-hentakkan kakinya hingga me-
nimbulkan kepulan debu dan kerikil, siap untuk men-
cabik-cabik tubuh pendekar kita.
Bersamaan dengan itu pula para penonton hi-
buran maut itu bersorak-sorai dengan suara penuh
nafsu membunuh, seakan hendak meruntuhkan teb-
ing-tebing bukit Serera. Memang, seandainya saja yang
menjadi mangsanya itu manusia tolol yang tak mengu-
asai ilmu silat sudah menjadi santapan babi hutan
yang garang itu. Tapi lain halnya dengan Parmin si
Pendekar Gunung Sembung, sebelum binatang itu
mendekatinya, maka dengan gerakan yang sangat ma
nis dia meloncat bersalto berkali-kali di udara sambil
berusaha melepaskan tali ikatannya. Tatkala tali pen-
gikat tangannya putus, para penonton itu kaget bukan
kepalang apalagi ketika tiba-tiba Jaka Sembung me-
lompat sambil merampas tombak pataka upacara yang
berhias tengkorak kepala manusia dan bulu-bulu bu-
rung yang dipegang oleh seorang tokoh agama suku
Papua kanibal.
Dengan tombak pataka tersebut Parmin kemba-
li memasuki gelanggang untuk siap-siap. Para penon-
ton yang sedikit terkejut kini gembira sekali dengan so-
rak sorainya melihat tawanan mereka meneruskan
pertandingan. Tapi apa yang terjadi selanjutnya mere-
ka lebih terkejut lagi, karena Parmin menggunakan
tombak itu bukan untuk menghantam babi hutan, me-
lainkan untuk loncat melewati kalangan bambu dan
penonton dan langsung melesat menuju singgasana
kepala suku dengan lentikan yang sangat mempesona.
***
TIGA
Manusia bertopeng menyeramkan yang sedang
asyik menyaksikan pertandingan maut antara Parmin
dan babi hutan, dengan gesit melesat dan menghindar
meninggalkan tempat duduknya selagi Parmin melun-
cur di udara dengan batu loncatan pada kepala-kepala
para pengawalnya. Tapi Parmin si Jaka Sembung tak
kalah gesit dan cepatnya. Dia menginjakkan kakinya
pada ujung-ujung tombak yang runcing, para pengaw-
al yang berderet itu untuk mengejar buronannya sam-
bil berteriak mengancam lawannya.
"Jangan lari! Aku akan membuka topengmu itu
hari ini!"
Namun orang bertopeng dan berjubah merah
itu terus berlari menuju puncak bukit berbatu.
"Jangan coba-coba menghindar! Aku kini se-
makin yakin bahwa kaulah orangnya! Ku akui juga
bahwa kau benar-benar luar biasa!" ujar Jaka Sem-
bung mulai mengetahui siapa lawan gelap yang selalu
membayangi setiap langkahnya di Papua ini.
Namun orang bertopeng itu semakin tak mem-
perdulikan ucapan-ucapan Parmin yang pedas, bah-
kan dia sebaliknya tertawa terpingkal-pingkal sambil
mengejek.
"Jika kau belum puas karena dendammu be-
lum terbalas, maka di sinilah kita bertempur habis-
habisan! Buka topengmu!!" Parmin tak henti-hentinya
memaki untuk memancing kemarahan lawan, namun
dengan santai insan bertopeng itu menjawab.
"He... he... he...! Memang sekarang saatnya sa-
tu lawan satu! Kau kira aku telah mampus oleh senja-
ta-senjata tahi kucing itu? Buahh! Jangan bertepuk
tangan dulu, monyet! Walau nasibku agak sial dalam
pengejaran mencabut nyawamu, tapi hari ini ajalmu
akan tiba, monyet Sembung! Selain terbalas dendam
keluargaku, namaku akan menggemparkan dunia per-
silatan karena kematianmu!"
"Jangan takabur! Kekuatanmu sudah mulai
berkurang! Walaupun kau punya andalan pukulan
maut yang bisa membakar itu, namun aku tahu kau
telah kehilangan sebelah tanganmu!" ejek Parmin sam-
bil memasang kuda-kuda dan mempersiapkan tenaga
dalamnya. Dengan gerakan yang indah dia melesat ke
arah lawannya yang telah siap menyambut serangan
itu dengan mengerahkan seluruh ilmunya.
"Sekarang bukalah topeng iblis mu,
hiyaaaatt...!!"
Tak ayal lagi tenaga dalam dua tokoh silat, itu
kini bertemu. Laksana besi berani kedua tangan mere-
ka saling bertumpu seakan tak bisa lepas sampai me-
nimbulkan suatu reaksi berupa kepulan asap. Mataha-
ri yang menyaksikan pertarungan akbar itu kian kemi-
lau mengeluarkan panasnya yang membakar kulit. Si-
narnya berbias-bias karena cepatnya gerakan mereka
berdua. Tak terasa mereka sudah bertarung lebih dari
seratus jurus. Butir-butir keringat telah bercucuran
dari seluruh pori-pori tubuh mereka, sehingga mem-
buat seluruh pakaian mereka basah kuyup.
Siang berganti malam, suasana di atas bukit
berbatu itu kini sedikit diterangi oleh sinar rembulan
yang hampir menyabit. Tubuh mereka tak nampak,
hanya bayang-bayang hitam yang berkelebat kian ke
mari bagaikan dua ekor burung malam yang sedang
bertarung habis-habisan. Orang-orang suku Papua
yang buas tercekam menyaksikan kehebatan ilmu me-
reka berdua memandang tanpa berkedip. Dalam hati
mereka berdoa agar kepala sukunya yang keluar seba-
gai pemenang dalam pertarungan maut itu.
Dua hari dua malam pertarungan itu berlanjut
sudah. Pada suatu saat, tubuh Parmin tergedor oleh
serangan lawan sehingga kakinya tergelincir dan tak
ampun lagi tubuhnya jatuh terperosok dengan deras
ke lereng bukit itu. Tetapi belum lagi lawan bertopeng
itu melontarkan serangan berikutnya Parmin telah siap
siaga dengan mengerahkan tenaga dalam tingkat ting-
gi. Dua tenaga dalam kini saling bertubrukan di udara,
menimbulkan getaran hebat menyebabkan bukit batu
itu terasa bergetar.
Keringat kian deras mengucur seperti biji-biji
jagung. Beberapa saat kemudian mata, Parmin mulai
memerah dan dari sudut-sudutnya mulai meleleh cai-
ran berwarna merah.
Cairan itu terus mengalir seperti anak sungai.
Beberapa saat sesudah itu darah hitam mulai meleleh,
kali ini dari lobang hidung, telinga dan mulut. Tubuh
Jaka Sembung kini mulai condong dan oleng pertanda
kekuatannya mulai habis untuk selanjutnya tentu me-
nuju kematian! Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada
Parmin mencoba bertahan, namun tubuhnya bertam-
bah condong dan akhirnya roboh ke tanah. Sedangkan
lawannya masih tetap tegak tak tergoyahkan.
Laskar suku kanibal yang sejak tadi menyaksi-
kan pertarungan dahsyat itu kini menyerbu dengan
rasa tak sabar ingin mencincang tubuh Parmin yang
sudah tergeletak tak berdaya. Namun di saat yang ga-
wat itu suara teriakan terdengar dari arah belakang
mereka, "Tahaaann!!"
Pasukan itu berbalik dan apa yang dilihatnya
ternyata suara itu datangnya dari kepala suku mereka.
Sambil keheranan mereka saling beradu pandang dan
bertanya-tanya. Tubuh yang sudah tak berdaya dan
sudah semestinya harus mereka cincang, kenapa kini
dicegahnya?
"Biarkan dia hidup!! Aku tak ingin dia mati be-
gitu cepat! Aku akan membuatnya mati perlahan-
lahan!" ucapnya dengan penuh nafsu untuk menyiksa
lawannya, sambil mengarahkan telunjuknya ke suatu
tempat.
"Masukkan kembali dia ke dalam kerangkeng!
Besok kita akan mengiris dagingnya sedikit demi sedi-
kit!"
Tubuh Parmin yang sudah tak berdaya dan ba-
bak belur itu kembali diusung, diiringi sorak sorai ke-
menangan, kemudian mereka menghempaskannya
dengan kasar ke dalam kerangkeng.
Pendeta Yorgen yang sedang menanti Parmin
dengan cemas, segera bergegas menghampiri tubuh
yang sudah tak berdaya itu.
"Ya, Tuhan! Apa yang mereka telah lakukan?
Siksaan yang kejam! Dia tak sadarkan diri!" keluh
pendeta itu sambil membuat gerakan tangan yang
membentuk salib di dada.
Berjam-jam lamanya Parmin tak sadarkan diri.
Selama itu pula pendeta Yorgen terus mendampinginya
sambil berdoa dengan khusuk.
"Oh, Bapa yang di surga ampunilah hamba-Mu
ini. Dia sedang berjuang antara hidup dan mati. Tapi
aku yakin Bapa akan memberinya pertolongan. Karena
aku yakin dia berada di jalan-Mu, Ya Allah!"
Parmin mulai siuman dari pingsannya sambil
mengucap dua kalimat syahadat, "Lailaha Ilallah Wa-
Ashadu Anna Muhammadar Rosulullah."
Pendeta Yorgen yang melihat Parmin sudah si-
uman, dia gembira dan terus memandangi wajah pen-
dekar muda yang penuh semangat dalam menentang
segala keangkara-murkaan di muka bumi itu.
"Dia sudah mulai sadar... Kepalanya bergerak
dan mulutnya komat kamit!" ucapnya dalam hati.
Tubuh Parmin tiba-tiba bangun perlahan-lahan
dan duduk tegap bersila sambil mengatur pernafasan-
nya. Kemudian dia menggerakkan tangannya serta ma-
tanya perlahan-lahan dipejamkan seraya berucap,
"Bismillahir Rahmanir Rahim...?"
Setelah itu kepulan asap keluar dari segenap
puri-pori tubuhnya. Pendeta Yorgen yang menyaksikan
pemandangan itu terbelalak kagum. "Ya, Tuhan! Apa
yang sedang terjadi? Mukjizat?!"
Belum lagi rasa kagum terlepas dari benaknya,
kini dikagetkan dengan sesuatu yang lebih dahsyat la-
gi.
"Oh, kaki balai-balai yang didudukinya itu me-
nembusi lantai kerangkeng!"
Pada puncak semadhi itu Parmin tiba-tiba me-
lihat dengan jelas bayangan almarhum gurunya Ki Sa-
pu Angin yang berambut panjang putih hingga bahu
dan kumis serta jenggot yang lebat warna putih pula
yang berkata dengan penuh wibawa.
"Parmin, muridku! Jurus 'Wahyu Taqwa' adalah
jurus larangan yang sangat dahsyat! Sebagaimana kau
ketahui ilmu silat Gunung Sembung adalah warisan
dari Sunan Gunung Jati, seorang Wali Kutub yang
bersemayam di Gunung Jati Cirebon... Dengan jurus
'Wahyu Taqwa' itu pula beliau berhasil menghalau ke-
bathilan yang datang dari orang-orang kaum syirik dan
murtad yang coba-coba menghalangi penyebaran aga-
ma Islam, di tanah Jawa. Jika jurus itu sudah kau gu-
nakan dan ternyata belum mampu mendobrak perta-
hanan musuh, harus kau sempurnakan dengan sema-
di sampai puncaknya. Di saat itu kau berada dalam ti-
tik pertemuan antara hidup dan mati. Di saat itu pa-
srahkan dirimu kepada Yang Maha Kuasa dan kau
lancarkan pukulan yang terakhir, pukulan pamung-
kas!
Sesudah itu akan terjadi dua kemungkinan.
Tubuh musuhmu atau tubuhmu sendiri yang akan
hancur! Tetapi kau harus berani mengambil jalan te-
rakhir itu, Parmin! Percayalah bahwa Allah Subhanahu
Wata'ala pencipta alam semesta melindungi hamba-
Nya yang berjuang dan berada di jalan yang hak!"
Setelah berucap, tubuh orang tua berambut
putih dan memakai busana serba putih itu lenyap dari
pandangan Parmin. Sementara itu pendeta Yorgen
yang sejak tadi memperhatikan peristiwa menakjubkan
itu kian menajamkan matanya seraya berucap,
"Ya, Tuhan! Kaki balai-balai itu kini telah am-
blas seluruhnya menembus lantai kerangkeng, sung-
guh hebat!"
Benar, kini balai-balai kayu itu sudah tak tam-
pak berkaki lagi.
"Allahu Akbar...!" ucap Jaka Sembung sambil
mengusap wajahnya dan sesaat kemudian tubuh Par-
min rebah kembali.
Pendeta Yorgen terkejut melihat tubuh Parmin
yang tergolek pingsan tak sadarkan diri lagi.
"Ya, Tuhan! Ia pingsan lagi! Agaknya telah ter-
jadi sesuatu terhadap dirinya!"
***
EMPAT
Malam berikutnya telah tiba. Rembulan sema-
kin menyabit dan tertutup awan hitam. Bintang pun
tak menampakkan cahayanya. Mengapakah? Seakan
mereka tahu sesuatu akan terjadi pada kerangkeng
tempat Yulia dan ayahnya meringkuk.
"Aku sangat mengkhawatirkan nasib Awom dan
Parmin, Ayah!"
"Ya, betul! Inlander yang bernama Parmin Itu.
Sangat berjasa bagi kita! Ia menolong sesamanya tanpa
memandang warna kulit atau agama!" Ayahnya me-
nimpali dengan rasa simpati yang dalam.
"Apakah mungkin pendeta Yorgen masih hidup,
Ayah! Tipis harapan kita untuk bertemu dengannya!"
Belum lagi ayahnya sempat menjawab, menda-
dak Yulia menyambung perkataannya dengan melihat
orang-orang suku primitif itu menuju ke arahnya. Su-
ku Nabire yang selama ini memenjarakan mereka.
"Lihat, Ayah! Mereka datang! Mungkin giliran
kita untuk dijagal!" kata Yulia kepada ayahnya yang
juga melihat kedatangan anggota suku itu dengan wa
jah pucat pasi.
"Walau kita memang ditakdirkan Tuhan mati di
sini, tak apalah. Aku masih bisa tersenyum, asalkan
kita tetap berkumpul, Anakku!" jawab Van Boerman
sambil memeluk erat anak gadisnya itu.
Namun betapa terkejutnya Yan Van Boerman,
ternyata yang dibawa hanya anak gadisnya, sedangkan
ia tetap ditinggalkan. Sambil berteriak-teriak ia men-
coba untuk protes.
"Tidak! Mau dibawa ke mana Anakku, he! Kalau
kalian hendak membunuhnya, bunuhlah aku seka-
lian!! Jangan pisahkan aku dengan Anakku?! Bunuh-
lah aku juga!!" teriaknya memelas. Namun orang-orang
buas itu tak menghiraukan ratapan ayah Yulia.
Yulia digiring ke rumah kepala suku, ke suatu
tempat yang tidak jauh dari pondok-pondok laskar su-
ku primitif itu. Tatkala Yulia hendak masuk, seorang
berjubah dan bertopeng tengkorak telah berada di da-
lamnya, duduk santai dengan tangan bersedakep.
"Masuk...!!" perintahnya kepada laskar suku
yang membawa Yulia, selanjutnya memerintahkan
anak buahnya tersebut untuk meninggalkan mereka
berdua.
"Lepaskan belenggu tangannya! Kemudian ka-
lian cepat pergi dari ruangan ini!" katanya dengan so-
rot mata penuh arti.
Setelah anak buahnya beranjak dari hadapan-
nya, dia berbicara kepada Yulia dengan bahasa me-
layu.
"Sebetulnya aku tak punya sangkut paut den-
gan kalian orang-orang kulit putih!"
Betapa terkejutnya Yulia mendengar ucapan
orang bertopeng menyeramkan itu dengan bahasa me-
layu yang sangat fasih.
"Huh! Anda bukan suku Papua rupanya! Kalau
begitu siapakah Anda?" tanya Yulia dengan serius.
"Nona tak perlu tahu siapa aku! Tapi dengan je-
las aku hanya punya urusan dengan tuan penolongmu
yang bernama Parmin itu! Aku terpaksa menculik kau
dari Kaimana untuk memancing Parmin agar berhada-
pan denganku!" Suara si Topeng Tengkorak itu terden-
gar bergetar menahan gejolak dendam.
"Syukurlah kalau anda tidak bermaksud me-
musuhi kami! Kami sangat berterima kasih! Tapi apa-
kah anda pernah melihat orang kulit putih selain ka-
mi?" tanya Yulia sekali lagi dengan penuh harap.
"He... he... he...he...?! Apakah yang kau maksud
adalah Pendeta Katholik itu?" tanya si Topeng Tengko-
rak dengan santai sambil tersenyum menyeringai.
"Betul! Apakah anda juga menahan dia di sini?.
Ya, Tuhan! Syukurlah kalau dia selamat! Kami sangat
gembira dapat berkumpul kembali dengannya!" pekik
Yulia dengan luapan rasa gembira karena pendeta Yor-
gen yang selama ini dicarinya ternyata telah berada di
tempat yang sama.
"Oh, tentu! Tentu! Kalian akan menjadi tamu-
tamuku di sini! Kalian akan bebas. Tapi ada syaratnya!
Dalam hal ini keputusannya mutlak terletak di tangan
anda, Nona!"
"Apa maksud Anda?" tanya Yulia dengan tak
sabar untuk mengetahui arah pembicaraan orang yang
bertopeng tengkorak itu.
"Kukira syaratnya setimpal dengan harga nya-
wa kalian bertiga, yaitu kau harus menjadi istriku un-
tuk sementara!" jawabnya sambil coba mengelus tubuh
Yulia.
Betapa kagetnya Yulia, ternyata omongan ma-
nis kepala suku itu ada udang di balik batunya. Ia in-
gin menikmati tubuhnya yang sintal dengan lekuk tu-
buh sangat indah. Apalagi di usianya sekarang, seba
gai gadis dewasa dengan pesona yang betul-betul
membuat lelaki menjadi mabok kepayang.
"Oh, tidak! Jangan sentuh aku!" teriaknya den-
gan cemas.
"Kuda macam apapun sudah aku tunggangi!
Kuda coklat, kuda hitam, kuda kuning hanya kuda pu-
tih yang belum aku coba!" kata Hi Topeng Tengkorak
dengan dengusan nafsu yang menggebu.
"Tidaaaaak! Aku lebih baik mati daripada harus
menyerahkan kehormatanku!" teriak Yulia sambil me-
ronta-ronta untuk melepaskan dekapan orang itu.
Namun tubuh gadis Belanda itu tak kuasa meng-
goyahkan, apalagi melepaskan cungkeraman orang
yang sudah kemasukan iblis. Dia bahkan terus meng-
gumuli Yulia, dan tangannya yang culas itu mengge-
rayang liar menelusuri lekuk-lekuk tubuh gadis kulit
putih itu.
"He... he... he....! Kau tak bisa berbuat apa-apa
di sini, ratu molek dari Kaimana! Di sini aku yang ber-
kuasa! Sudah lama aku menginginkan engkau! Aku
sudah bosan dengan perempuan pribumi pulau ini!
Merontalah sekuat tenagamu, Nona!" dengus si Topeng
Tengkorak sambil meremas sepasang daging yang
menggumpal kencang di dada Yulia.
"Auuuu!!! Lepaskan aku! Lepaskaaaaaaaann!!
Bajingan kau!" jerit Yulia yang sudah berada pada
saat-saat yang kritis untuk mempertahankan kesu-
ciannya. Kain sarung satu-satunya, penutup tubuh
pemberian Jaka Sembung itu kini sudah lepas direng-
gut tangan kasar sang durjana bertopeng tengkorak
itu.
"Auu! Bangsat! Jahanam! Iblis!!!"
Sudah berapa banyak makian yang dilontarkan
Yulia, namun si Topeng Tengkorak tak menghiraukan-
nya, bahkan tatapan matanya semakin liar tatkala ma
tanya menatap tubuh tanpa sehelai benang dengan
kulit seputih pualam dan bulu-bulu halus berwarna
pirang. Nafasnya terdengar menggeros-geros dengan
segenap otot tubuh yang kian menegang tak tertahan-
kan lagi.
"Oh, jangan!! Helk....!" pekik Yulia tatkala si To-
peng Tengkorak mencoba mendekap tubuhnya.
Dengan kasar dan tak sabar sang durjana itu
menggumuli tubuh Yulia, membuat gadis kulit putih
itu meronta dan berteriak-teriak sekuat tenaga. Namun
apalah arti daya upaya seorang perempuan di ban-
dingkan dengan tenaga seorang lelaki yang memiliki
ilmu silat tingkat tinggi dan dalam kekuasaan nafsu
birahi yang memuncak.
Maka pecahlah tirai kesucian gadis Belanda itu
diiringi jerit tangis yang menggeletar. Sekilas dalam in-
gatannya terbayang wajah Jaka Sembung, seseorang
yang pada detik itu ia harapkan kehadirannya.
"Oh, Parmin! Parmin!!" jeritnya dalam tangis
yang menyayat.
Namun jangankan Parmin, seekor cecak pun
tak bisa menyahut atas tragedi yang sedang berlang-
sung terhadap gadis Belanda yang malang itu.
***
LIMA
Angin gemuruh bertiup menerpa pantai dan
perbukitan Nabire. Ombak-ombak laut teluk Sarera
bergejolak seakan-akan tak rela ada kesucian yang di-
renggut oleh tangan yang tak berhak.
Pada saat yang sama di lain pondok nampak
seorang pemuda kulit hitam yang tak lain adalah panglima suku Kaimana, Awom sedang termenung dan
menengadah ke atap kerangkeng sambil mengerutkan
kening seakan ada yang sedang dipikirkannya.
"Oh, para dewa bagaimana nasib kepala suku
Kaimana dan ayahnya? Lalu bagaimana nasib Par-
min?"
Belum lagi Awom sempat membayangkan nasib
ketiga kawannya, mendadak di luar kerangkeng tam-
paklah seorang wanita kulit hitam, berpakaian hanya
berupa untaian kulit pohon yang menutupi celah pa-
hanya dengan buah dada yang dibiarkan lepas bebas
mendekat kepadanya.
"Sssssst!! Apakah kau mengerti bahasa Na-
bire?" tanya gadis hitam manis itu,
"Oh, ya bisa sedikit-sedikit? Siapakah anda?"
jawab Awom sambil bertanya. Sementara itu dalam ha-
ti dia mengagumi keindahan tubuh wanita muda kulit
hitam itu. Tubuhnya padat berisi dan berada pada usia
yang sedang mekar sebagai seorang gadis. Sepasang
matanya besar dan selalu berbinar-binar.
Sambil memperkenalkan diri wanita itu mera-
patkan diri ke dinding kerangkeng agar lebih dekat
dengan Awom.
"Namaku Da-Fan putri kepala suku yang telah
tewas ketika terjadi perang suku. Ayahku mati dibu-
nuh oleh kepala suku yang sekarang berkuasa di per-
kampungan ini. Aku bermaksud membebaskanmu dan
mengajakmu lari!! Jangan kawatir. Kawan-kawanku
yang setia telah membereskan para penjaga. Kita bisa
lari dengan sampan menuju pulau Ro-on! Di sana pa-
manku bersama laskarnya yang melarikan diri sedang
menunggu aku! Kita bisa kawin di sana!" ujar gadis
manis yang bernama Da-Fan itu sambil mengagumi
otot-otot tubuh Awom sang panglima suku Kaimana.
Namun pemuda Papua yang satu ini tak terburu nafsu
menerima tawaran itu. Dia masih mengkhawatirkan
nasib kawan-kawannya.
"Aku tak bisa mengikutimu, Da-Fan! Kepala
sukuku dan kawan-kawanku ada di sana!"
"Siapakah kawan-kawanmu yang kau mak-
sud?" tanya Da-Fan dengan nada penasaran.
"Dua orang kulit putih dan satu orang berkulit
coklat!, Wanita kulit putih itu adalah kepala suku
Kaimana, dan aku sebagai panglima perang wajib me-
lindunginya!" jawab Awom tegas.
Sementara itu di sudut-sudut pondok yang ge-
lap, kawan-kawan wanita Da-Fan sedang mengelabui
penjaga dengan menyerahkan kehangatan tubuhnya
masing-masing. Mereka bergumul laksana hewan dan
membuat para penjaga itu benar-benar lupa akan tu-
gasnya
"Sssst, hati-hati Awom!"
Dengan berjalan berjingkat-jingkat Da-Fan
membawa Awom ke luar dari kerangkengnya. Ketika
melewati sebuah pondok, Awom mengambil salah se-
buah tombak yang sedang disandarkan di dinding.
"Aku memerlukan tombak ini! Sekarang kau
tunjukkan aku, di mana letak pondok kepala suku?"
pinta Awom kepada teman barunya yang dengan cepat
telah merebut hatinya itu.
"Jangan!! Jangan Awom! Nanti kau dikutuknya
seperti ayahku! Tubuh ayahku hangus olehnya!" pinta
Da-Fan dengan harapan agar Awom menuruti saran-
nya. Namun panglima perang suku Kaimana yang
mempunyai watak kesatria itu tak gentar dengan sega-
la kemungkinan yang menghadang. Kini yang ada di
benaknya hanya bagaimana cara membebaskan kepala
suku beserta yang lainnya.
"Awom tidak takut kepada siapapun!" kata pe-
muda Kaimana menantang.
"Tapi Da-Fan takut, Awomku sayang!" bujuk
gadis manis itu dengan penuh harap. Awom berpikir
sejenak, kemudian berucap;
"Baiklah! Kau tunjukkan saja padaku di mana
tawanan-tawanan itu berada?"
"Mari!" jawab Da-Fan singkat sambil menarik
tangan Awom untuk bergegas menuju ke suatu tem-
pat.
Sementara itu di tempat kediaman si Topeng
Tengkorak kepala suku Nabire sekarang, tampak gadis
berambut pirang bergolek lemas dengan tubuh telan-
jang bulat bermandi keringat. Dia tak kuasa bangkit
karena tenaganya terkuras habis diamuk sang durjana
yang dengan kejam dan buas telah menggagahi di-
rinya. Ia masih merasakan seakan seluruh tulang be-
lulangnya remuk dan seluruh persendiannya seperti
lolos tak berfungsi.
Si Topeng Tengkorak tampak sudah mengena-
kan busananya dengan senyum penuh kepuasan sete-
lah mendapatkan seorang gadis idaman yang ternyata
masih perawan pula. Yulia terus menangis dengan ra-
tapan keputusasaannya. Kini dia merasa tak berguna
lagi. Baginya dunia ini telah kiamat. Siapa sudi mene-
rima kehadiran seorang gadis yang tidak suci lagi.
"Mulai sekarang kau bisa berbuat apa saja di
Nabire ini! Bebas sesuka hatimu!!" ujar si Tengkorak
dengan bangga kemudian melompat ke luar dan
menghilang di kegelapan malam, dengan suara tawa
yang membahana.
Dalam pada itu Awom dan Da-Fan mengendap-
endap menuju tempat tinggal kepala suku Nabire.
Pondok besar itu tinggal beberapa langkah lagi di de-
pan mereka.
"Di mana?" tanya Awom kepada Da-Fan dengan
tak sabar.
"Tunggu dulu, Awom! Jangan tergesa-gesa!"
pinta Da-Fan.
"Ada apa?" tanya Awom sambil menatap bola
mata gadis itu.
"Aku ingin membicarakan sesuatu di tempat
yang sunyi!" pinta Da-Fan sekali lagi.
"Apa yang hendak kau bicarakan? Asal jangan
terlalu lama, Da-Fan!"
Dengan tergopoh-gopoh Da-Fan membimbing
tangan Awom menuju ke pantai yang sunyi yang hanya
terdengar deburan ombak dan tiupan angin pantai
yang sepoi-sepoi.
Setelah terasa agak jauh dari keramaian, Da-
Fan mengajak Awom duduk-duduk di pinggiran pantai
yang bertabur pasir halus.
"Duduklah Awom! Di atas pasir ini kita bebas
dan aman!" ajak Da-Fan sambil merebahkan tubuh
Awom yang seakan tenggelam dalam bisikan suaranya
yang lembut. Kemudian Da-Fan merebahkan diri ke
dada pemuda itu sehingga terasa buah dadanya yang
montok mengencang itu terhimpit ke tubuh Awom
yang berotot keras, seraya berkata;
"Awom, dengarlah... Atas nama dewa-dewa, di
malam yang indah ini akan aku serahkan kesucianku
kepadamu pemuda gagah." Da-Fan dengan jarinya
yang lentik meraba-raba tubuh Awom yang kuat lak-
sana kuda Arab.
"Kau tahu, Awom! Kepala suku yang bertopeng
tengkorak itu pasti akan mengambil diriku sebagai
korban nafsu birahinya. Itu hanya soal waktu, suatu
saat tentu akan tiba. Tetapi aku tak sudi menyerahkan
kesucianku kepada orang yang tak kucintai!" ujarnya
dengan nada sedih.
Hari semakin larut. Rembulan mengintip dari
balik awan yang menutupinya. Pohon-pohon raksasa
yang dihempas angin melambai-lambaikan daunnya
dan suara bintang-bintang kecil bersahut-sahutan,
seakan mengucapkan selamat bahagia kepada dua pa-
sangan pemuda kulit hitam itu.
Da-Fan dengan desah nafasnya menelusuri leh-
er Awom memberi kenikmatan yang belum pernah di-
rasakan pemuda Kaimana tersebut. Seluruh tubuh
Awom terasa merinding seperti digelitiki oleh tangan
seribu bidadari. Semakin pemuda itu memejamkan
matanya, semakin terasa kenikmatannya.
"Biarlah aku dikutuk olehnya? Biarlah tubuhku
hangus terbakar, tapi aku tetap tak mau menyerahkan
kesucianku! Telah banyak gadis-gadis Nabire yang jadi
korban. Jika aku akan mati hari ini, aku sudah puas
karena aku sudah menyerahkan seluruh jiwa ragaku
kepadamu, Kekasihku!"
"Kau tak akan mati, Da-Fan! Percayalah! Tidak
ada dewa berujud manusia! Dia dewa palsu!" jawab
Awom dengan pasti untuk meyakinkan Da-Fan sambil
mendesah karena bibir gadis Nabire itu semakin terasa
hangat merayapi dadanya dan kini mulai ke bawah
mengecupi otot-otot perutnya.
"Awom, kau berani berkata begitu?" tanya Da-
Fan sambil melepaskan selongsong koteka pemuda
Kaimana itu.
"Yang harus kau sembah adalah Tuhan yang
menciptakan kita dan seluruh alam ini!" jelas Awom
mengulang apa yang pernah dikatakan Jaka Sembung
kepadanya.
"Tuhan? Aku baru mendengar nama-Nya? Sia-
pakah Dia?"
"Dia bukan manusia seperti kita! Dia berse-
mayam di tempat Yang Maha Tinggi, lebih tinggi dan
mulia dari apapun yang pernah kau lihat!" jawab
Awom sambil menggelinjang karena elusan tangan ga
dis itu menelusuri sesuatu yang sangat sensitif.
"Apa Dia lebih kuat dari dewa?" tanya Da-Fan
sambil merebahkan tubuhnya di sisi Awom. Agaknya ia
mengisyaratkan kepada pemuda pujaannya itu untuk
mencumbunya. Tetapi panglima suku Kaimana ini be-
tul-betul seorang pemuda yang masih lugu, oleh kare-
nanya ia tak berbuat sesuatu apapun kecuali mene-
ruskan penjelasannya tentang kehebatan Tuhan.
"Para dewa sudah barang tentu berada di ba-
wah kekuasaannya! Dewa tengkorak yang kau bilang
itu pasti akan ditumpasnya! Karena dia jahat! Tuhan
sangat benci kepada orang jahat!" tegas Awom dengan
nada serius.
Da-Fan sudah tidak sabar lagi dan memagut
tubuh Awom agar mendekapnya. Gadis Nabire itu
menginginkan pemuda pujaannya melakukan apa yang
baru saja ia lakukan terhadapnya.
Ternyata Awom pun cepat menangkap pelaja-
ran pertama itu, dan...
"Awom! Aku terasa terbang, Awom? Kau berada
di mana? Di sisiku, bersamaku bukan? Dan aku di
mana...?! Dimana.... Mengapa aku tak bertemu den-
ganmu sejak dahulu? Kalau aku tahu kau.... Kalau
aku tahu begini indahnya aku akan mencarimu walau
kau berada di ujung dunia sekalipun!" desah gadis itu
setengah merintih.
Da-Fan terus menceracau terbawa arus kenik-
matan tiada tara pada saat-saat Awom menelusuri leh-
er gadis itu dengan kecupan bibirnya. Tubuh gadis
Nabire itu menggelinjang berkali-kali ketika kecupan
Awom menelurusi sepasang gumpalan daging yang
mengencang di dadanya. Da-Fan mendesis-desis sam-
bil memejamkan matanya.
Pada puncaknya, gadis itu memekik tertahan
dengan tubuh bergetar hebat. Ia menggigit bahu kekasihnya untuk menahan siksa yang nikmat itu.
Angin bertiup merontokkan daun-daun. Udara
seakan bergetar, dahan-dahan pohon meliuk liuk lak-
sana tubuh yang meronta. Untuk sesaat tubuh Da-Fan
mengejang, kemudian dengan lenguhan panjang ia
terkulai dalam pelukan Awom. Nafas pemuda itu sen-
diri menggeros-geros dengan peluh membasahi kening
dan sekujur tubuhnya. Senyum kebahagiaan menghias
bibir sepasang muda mudi kulit hitam itu.
***
ENAM
Di lain tempat sosok tubuh berdiri di kejauhan
seperti tonggak dengan angkernya di kaki bukit dan
menghadap ke laut lepas. Entah apa yang sedang dila-
kukan oleh makhluk berjubah dan bertopeng tengko-
rak itu.
Perlahan lahan tangannya ke depan dan kemu-
dian ditariknya ke dadanya sambil menarik nafas da-
lam-dalam kemudian mengerahkan seluruh tenaganya.
Dengan menghentakkan tenaga yang kuat serta teria-
kan yang keras. Ia melancarkan pukulan jarak jauh ke
arah sebongkah batu karang yang runcing mencuat
dari dasar laut. Tak ayal lagi batu karang itu tumbang
dan mengeluarkan asap akibat tenaga dalam yang
dahsyat dan menimbulkan suara yang menggelegar
laksana suara halilintar.
Suara gaduh yang membisingkan itu agaknya
telah mengejutkan burung-burung hantu dalam semak
belukar, membuat mereka terbang berhamburan.
Melihat burung-burung berterbangan di udara,
orang yang ternyata musuh nomor satu Parmin si Jaka
Sembung, segera melancarkan pukulan jarak jauh ke
arah burung-burung malam itu. Tak ayal lagi, nasib
mereka tak jauh beda dengan batu karang laut itu.
Tubuhnya hancur berkeping-keping dan hangus terba-
kar. Rupanya itulah ilmu pukulan yang selama ini
menjadi andalannya.
Suasana hening sejenak seakan tak terjadi apa-
apa di pinggiran laut itu, namun tiba-tiba terdengar
kembali teriakan yang memekakkan telinga. Kalau saja
ada orang yang mendengar suara itu dan dia tak
mempunyai ilmu penangkal yang tinggi, gendang telin-
ganya akan hancur dan mengeluarkan darah. Untung
saja tak ada seorang pun manusia di sana, hingga sua-
ra keras itu terpantul pada dinding bukit. Yang me-
nyebabkan batu-batu bukit itu bergoyang dan runtuh.
"Ha... ha... ha... ha! Walaupun tanganku tinggal
sebelah, tapi pukulanku masih tetap sempurna! Den-
damku kepada monyet Sembung itu pasti akan terba-
las, Kakang!"
***
TUJUH
Yulia kini telah siuman dari pingsannya, dia
merasakan rasa nyeri di celah kedua pahanya. Dengan
perasaan pilu ia melihat tetesan darah yang membekas
di atas tikar gambut tempat tubuhnya terbaring.
Yulia mencoba untuk mengambil kain sarung
penutup tubuhnya yang tercampak tak jauh di hada-
pannya.
"Oh, Tuhan! Mengapa ini mesti terjadi pada di-
riku? Aku telah ternoda! Aku lebih baik mati! Lebih
baik mati!" ratap gadis Belanda itu dengan tubuh
menggigil menahan isak tangis yang menyesak dada.
"Hu.. hu... hu.... hu! Parmin, mengapa bukan
kau yang merenggut kesucianku? Kalau saja kau yang
menghendakinya, tanpa kau pinta pun akan kuserah-
kan segala-galanya demi cintaku padamu!"
"Mengapa pada saat yang paling gawat itu kau
tak muncul? Bukankah kau selalu datang menyela-
matkan aku di saat-saat genting? Apakah kau telah
tewas di tangan makhluk iblis bertopeng tengkorak
itu? Kalau begitu aku harus menyusulmu dengan pi-
sau itu!" pekik Yulia yang sudah menganggap hidup-
nya sudah tak berarti lagi sambil tatapan matanya ke
arah pisau yang terselip di dinding ruangan itu.
"Aku harus mati! Haruuuuuuuuussss! Ya, Tu-
han! Maafkanlah segala dosa-dosaku! Aku tak sanggup
menanggung derita ini! Oh, Parmin jangan tinggalkan
aku!"
Baru saja gadis Belanda itu hendak mengha-
biskan nyawanya dengan sebilah pisau itu, tiba-tiba
tangannya ditahan oleh seorang kulit hitam.
"Jangan....!"
"Ah....!" teriak Yulia sambil menoleh ke bela-
kang untuk melihat siapa yang telah mencegah perbu-
atannya.
"Awom, kau?! Lepaskan aku! Lepaskaaaaann!!
Biarkan aku mati!" teriaknya histeris.
"Tidak! Suku Kaimana sangat mencintai anda!"
bujuk Awom dengan nada penuh harap kepada kepala
sukunya itu. Sementara itu Da-Fan menyaksikan ke-
dua orang berlainan warna kulit dari sudut ruangan.
"Kami sangat membutuhkan anda, yang mulia
kepala suku! Adalah kewajibanku sebagai panglima
untuk melindungi anda!" hibur Awom sekali lagi den-
gan sepasang mata yang berkaca-kaca.
"Oh, Tuhan!" sebut Yulia seakan baru tersadar
dari tindakannya.
"Sekarang marilah kita ke luar dari neraka ini
dan menyelamatkan ayah anda. Parmin, dan lainnya."
"Parmin? Apakah Parmin masih hidup?" tanya
Yulia yang tiba-tiba merasa cerah setelah mendengar
nama orang yang dikaguminya.
"Aku sendiri diselamatkan oleh Da-Fan! Menu-
rut keterangannya, Parmin dikurung bersama pendeta
Yorgen!" jawab Awom sambil menunjuk ke arah Da-
Fan. Gadis Nabire itu mengangguk sambil tersenyum.
"Oh, benarkah?" tanya Yulia dengan sinar mata
yang berbinar-binar.
***
DELAPAN
Matahari pagi kembali bersinar lagi, membias di
punggung-punggung bukit pantai Nabire yang indah.
Pondok-pondok perkampungan suku terlihat berderet
di kaki bukit. Di dalam pondoknya tampak si Topeng
Tengkorak memerintahkan anak buahnya untuk men-
geluarkan para tawanan dari kerangkeng-kerangkeng
mereka masing-masing.
"Keluarkan semua tawanan! Hari ini akan kita
adakan upacara korban dengan ular-ular berbisa itu!"
Orang-orang suku primitif itu tanpa toleh kiri
kanan langsung mengerti apa yang telah diperintahkan
oleh orang yang bertindak sebagai kepala suku mere-
ka.
Pendeta Yorgen yang sejak kemarin menunggui
Parmin yang belum sadar dari pingsannya, terkejut
dan panik melihat beberapa orang suku Nabire itu
membuka pintu kerangkeng.
"Tidak! Jangan bunuh dia! Kalian boleh bunuh
aku? Tapi.... tapi janganlah kau tambahkan siksaan
kepada pemuda ini! Keadaannya sangat menderita!"
pinta pendeta kulit putih itu penuh harap. Namun
anggota suku kanibal tersebut tak menghiraukan kata-
kata pendeta, bahkan menarik tubuh si pendeta dan
mengikatnya dengan tali. Pada saat itu si Topeng
Tengkorak masuk pula ke dalam kerangkeng sambil
berkata; "Semula memang aku tidak bermaksud mem-
bunuh kalian orang-orang kulit putih! Tapi anak gadis
tuan Yan Van Boerman itu telah lari dan membunuh
beberapa pengawalku! Oleh karena itu nyawa kalianlah
sebagai gantinya!"
Si Topeng Tengkorak melanjutkan bicara sam-
bil mondar mandir, tiba-tiba kakinya diangkat lalu di-
gedorkannya ke dada Parmin.
"Mengenai santri monyet ini, aku tidak ingin
tergesa-gesa! Aku telah merencanakan siksaan yang
paling tepat setelah kesadarannya pulih!"
Setelah berkata demikian, si Topeng Tengkorak
dan beberapa pengawalnya pergi meninggalkan Parmin
yang masih pingsan dengan membawa pendeta Yorgen.
Di luar kerangkeng mereka berpapasan muka dengan
Yan Van Boerman yang juga sedang digiring.
"Pendeta Yorgen!" teriak Yan Van Boerman den-
gan gembira.
"Aku sudah tahu bahwa kau masih hidup,
Anakku!" sambut pendeta Yorgen dengan suara agak
tertahan karena haru.
Setelah dekat mereka saling berpandangan
dengan sorot mata berkaca-kaca. Pendeta Yorgen be-
rusaha menghibur Yan Van Boerman.
"Tabahkan hntimu, Anakku! Jika Tuhan belum
menghendaki kita mati, kita tidak akan mati!"
Mereka disambut oleh orang-orang suku Nabire
yang membuat pagar betis dengan sorak sorai gegap
gempita. Ada yang berjingkrak-jingkrak dan ada pula
yang menari-nari menandakan pesta pembunuhan se-
gera akan dimulai. Di tengah keramaian hiruk pikuk
itu Yan Van Boerman semakin merasa cemas.
"Aku sangat mengkhawatirkan nasib Yulia, Ba-
pa!"
Dengan tenang dan penuh keyakinan bahwa
Tuhan Yang Maha Kuasa akan menolong mereka dari
segala mara bahaya, pendeta Yorgen menenangkan ba-
thin Yan Van Boerman.
"Tuhan akan melindunginya, Anakku! Tabah-
kanlah hatimu!"
Tubuh pendeta Yorgen dan Yan Van Boerman
direntangkan di tengah tanah lapang. Orang-orang su-
ku Nabire bersorak semakin riuh seperti, sudah tidak
sabar lagi. Langit mendung ketika itu seakan berduka
atas nasib yang akan menimpa kedua anak manusia
itu. Yan Van Boerman semakin merasa kecut, dia san-
gat memerlukan dorongan semangat dari pendeta Yor-
gen.
"Bapa Yorgen! Apa yang harus kulakukan?"
Dengan tenang sekali lagi pendeta Yorgen
memberi pandangan.
"Berdoalah, Anakku! Mereka tidak sadar den-
gan apa yang mereka lakukan! Jika memang Tuhan
menghendaki kita mati di sini, relakanlah dirimu! Kita
harus rela berkorban.... Biarlah kita menjadi juru pe-
nebus dosa untuk anakmu Yulia, Parmin dan orang-
orang lain yang wajib diselamatkan! Sebagaimana hal-
nya pengorbanan Yesus Kritus yang disalibkan di bukit
Golgota untuk menebus dosa umat manusia!"
Si Topeng Tengkorak yang sejak tadi memper-
hatikan kedua orang kulit putih itu sambil duduk di
kursi kehormatan kepala suku, berkata dengan nada
sinis;
"Kuberikan waktu kepadamu untuk berkhot-
bah, pendeta Yorgen! Sebentar lagi ular-ular berbisa
akan melahap nyawa kalian tanpa ampun! Untuk
menghibur diri, anggaplah kalian sebagai juru penebus
dosa! Tapi kalau kalian tahu, kenyataannya akan ber-
lainan. Aku tetap akan membunuh orang-orang yang
telah kau tebus dosanya itu!" Sesaat kemudian dia
berbicara dengan bahasa Nabire sambil merentangkan
tangan kirinya ke samping
"Keluarkan sekarang keranjang-keranjang ular
itu!"
Tak berselang seberapa lama, dari belakang
pondok beberapa orang suku kanibal itu membawa ke-
ranjang yang berisikan puluhan ular ganas dan berbi-
sa.
"Ya, keluarkan!" teriak si Topeng Tengkorak se-
kali lagi dengan garang.
Ular-ular itu kini telah dikeluarkan dari dalam
keranjang dan segera merayap, siap mematuk tubuh
kedua orang Belanda yang sudah tak berdaya dengan
kaki tangan terbelenggu di patok-patok kayu yang ter-
pancang di atas tanah.
"Bapa! Kita akan digigit ular-ular berbisa itu!"
jerit Yan Van Boerman.
"Tabahkan hatimu, Anakku! Gigitan ular itu tak
akan terasa perih kalau kita telah pasrahkan jiwa raga
kita kepada Tuhan!"
Ular-ular itu merayap perlahan-lahan seakan
sengaja membuat tegang urat-urat syaraf calon-calon
korbannya. Tapi walaupun demikian Yan Van Boer-
man, hatinya semakin kecut dengan keringat dingin
membasahi sekujur tubuhnya. Keyakinannya yang se-
lama ini kuat terhadap agama seakan telah sirna.
"Oh, Tuhan! Ular-ular itu semakin dekat!"
Namun pada saat yang kritis itu tiba-tiba bebe-
rapa orang pengawal suku berpelantingan dari dalam
kerangkeng di mana Parmin dipenjarakan. Ada yang
terpental ke semak belukar dan mati seketika. Ada pu-
la yang terbanting jauh ke tengah jajaran penonton hi-
buran biadab itu. Disusul dengan gebrakan yang
membuat kerangkeng yang terbuat dari kayu, bambu
dan ilalang itu bergetar. Namun sebelum kerangkeng
itu ambruk, sesosok tubuh telah meletik ke luar den-
gan bersalto beberapa kali di udara. Suasana menjadi
riuh dengan hiruk pikuk dibarengi kepulan debu keti-
ka kerangkeng itu roboh berantakan.
Si Topeng Tengkorak yang sedang duduk di
atas singgasananya, kaget melihat Parmin yang tiba-
tiba sudah berdiri tak jauh dari hadapannya. Ia segera
memberi perintah;
"Halangi monyet santri itu! Cepaaaaaat!" Seren-
tak beberapa suku Nabire yang mendampingi sang ke-
pala suku bergerak dengan tombak-tombak runcing
dan beracun untuk siap menghadang Parmin si Jaka
Sembung. Namun tatkala mereka menyergap, pende-
kar Gunung Sembung secepat kilat melompati tubuh-
tubuh mereka menuju tempat pendeta Yorgen dan
ayah Yulia yang nyaris direnggut nyawanya oleh ular-
ular ganas dan berbisa.
Beberapa kepingan kayu bangunan yang am-
bruk yang lelah disiapkan di sela-sela jari jemarinya,
digunakan Parmin sebagai senjata untuk menghalau
binatang-binatang melata itu.
"Ciiiiiaaaaaaaaaaaaat...!"
Kepingan yang dilemparkan itu bagaikan anak
panah yang melesat dari busurnya, tak ayal lagi meng-
hantam puluhan ular-ular ganas dan berbisa itu. Jaka
Sembung menghantam sebagian lagi dengan pukulan
jarak jauh yang sangat ampuh. Sekejap ular-ular itu
hangus tak berkutik lagi.
Pada saat itu pendeta Yorgen yang sedang me-
nanti kematiannya terperangah melihat sosok bayan-
gan datang menolong mereka yang ternyata seorang
pendekar muda yang beberapa saat yang lain masih
terbaring dalam keadaan pingsan.
"Parmin!" teriaknya gembira.
Belum lagi Parmin berbuat sesuatu untuk me-
lepaskan kawan-kawannya, puluhan orang suku Na-
bire dengan mata liar menyerangnya. Secepat kilat dia
mengeluarkan sebuah jurus dahsyat untuk memper-
singkat waktu. Tak dapat dicegah lagi, dengan mengi-
baskan kedua tangannya ke kiri kanan, laskar suku
Nabire kanibal itu terhempas ke udara dan mereka
ambruk ke bumi untuk tak berkutik lagi.
Melihat keadaan itu si Topeng Tengkorak
menggelegak amarahnya, dan segera menyambar se-
buah tombak yang lalu dilemparkan deras ke arah
Parmin si Jaka Sembung.
Seketika tombak itu melesat dari tangannya
laksana peluru yang siap menghantam sasaran. Tapi
pendekar kita lebih tangkas dari yang ia duga. Dengan
hanya menggunakan dua jarinya, tombak itu ditang-
kapnya dengan manis dan dikembalikan pula ke arah
tuannya dengan cepat.
"Hiyaaaaaaat...!" teriak Parmin membuat la-
wannya terkejut.
Si Topeng Tengkorak dengan gesit melompat
untuk menghindar sehingga tombak itu menghantam
salah seorang pengawal yang berada tepat di bela-
kangnya. Tak ayal lagi tubuh pengawal malang itu am-
bruk dengan tubuh tertembus dan menghamburkan
darah segar.
Sementara itu di antara hujan tombak di tanah.
Dengan sekali renggut tubuh pendeta Yorgen dan Yan
Van Boerman telah berada dalam pelukannya. Laskar
suku Nabire terus menyerang Parmin dan kawan-
kawannya dengan mata liar dan membabi buta dengan
nafsu membunuh. Tapi Parmin dengan nekad menero-
bos mereka dengan tendangan kaki untuk membuka
jalan sambil melindungi keselamatan dua orang ka-
wannya itu. Dengan gesit dia meloncati barisan penge-
pungnya bersama beban yang dibawanya. Namun se-
belum sampai kakinya menginjak tanah, dari arah de-
pan beberapa orang menyerang dengan ganasnya.
"Wah, celaka!!" keluh Parmin sambil tetap men-
dekap tubuh kedua kawannya yang berkeringat dingin
karena cemas.
***
SEMBILAN
Di saat kritis itu tiba-tiba terdengar jeritan
laskar Nabire dengan punggung-punggung tertembus
anak panah yang tak tahu dari mana arah datangnya.
Disusul pula dengan menghujaninya berpuluh-puluh
anak panah yang segera menelan korban lebih banyak
lagi. Orang-orang suku Nabire itu menjadi kalang ka-
but. Mereka berteriak histeris, berusaha melarikan diri
untuk menyelamatkan nyawa, tapi anak-anak panah
itu lebih cepat dari mereka. Tak ayal lagi semakin ba-
nyak korban berjatuhan dan membuat suasana sema-
kin bertambah panik. Sementara itu kawan-kawannya
masih bertanya-tanya dalam hati, siapakah pembo-
kong-pembokong yang telah menyelamatkan nyawa
mereka?
"Astaga! Itu laskar suku Kaimana! Tentara dari
putrimu, Tuan Yan! Kita dapat pertolongan!" teriak
Parmin gembira dengan apa yang dilihatnya.
Betul saja! Dari atas bukit bermunculan bebe-
rapa sosok tubuh dengan busur-busur panah di tan-
gan. Walaupun jumlah mereka tidak banyak, tapi cu-
kup mengancam nyawa suku kanibal Nabire itu.
Di tengah hiruk pikuknya suasana, Parmin
yang telah terbebas dari ancaman maut, menoleh kiri
kanan mencari kepala suku yang bertopeng tengkorak
itu sambil melepaskan kawan-kawannya dari deka-
pannya. Ternyata si Topeng Tengkorak telah lari me-
nyelamatkan diri ke atas bukit Nabire.
"Tuan pendeta dan tuan Yan selamatkan diri
kalian! Aku hendak mencari manusia bertopeng itu!"
ucap Jaka Sembung kepada kawan-kawan Belan-
danya.
"Jangan kuatir! Kami bisa menjaga diri, Sauda-
ra Parmin!" jawab salah seorang dari mereka dengan
tegas.
Parmin si Jaka Sembung bergegas melacak ke
mana larinya musuh besarnya itu dengan mengerah-
kan segenap kepekaan panca indranya
"Ke mana larinya iblis penasaran itu...?"
Seluruh perkampungan suku primitif itu telah
dijelajahinya, namun dia belum juga menemukan si
Topeng Tengkorak.
Matahari sudah mulai meninggi, angin bertiup
kencang seakan marah menyaksikan tubuh-tubuh
manusia bergelimpangan dari kedua belah pihak tanpa
nyawa. Lembah itu seakan baru saja diamuk oleh pra-
hara yang mengharu biru.
Mayat-mayat orang suku Nabire bertumpang
tindih dengan mayat-mayat orang suku Kaimana yang
telah menyerangnya. Anyir darah menyebar ke mana-
mana. Burung-burung bangkai berterbangan di atas
perkampungan agaknya sudah tak sabar untuk me
nyantap tubuh-tubuh manusia yang sudah menjadi
bangkai.
***
SEPULUH
Sementara itu di pantai teluk Sarera yang tak
seberapa besar ombaknya, telah mendarat beberapa
sampan beserta awaknya yang bersenjata lengkap,
tombak, panah dan parang. Mereka bergegas mening-
galkan sampan tanpa ditambatkan terlebih dahulu.
Salah seorang dari mereka yang agaknya adalah sang
pemimpin, dengan rasa tak sabar memberi komando
dengan bahasa suku Nabire...
"Cepaaaaaaat! Nyawa mereka sedang terancam
bahaya! Seraaaang!"
Dengan gagah berani sekawanan orang yang
memang telah menanti saat-saat seperti itu menyerbu
ke tengah pertempuran antara suku Nabire dan suku
Kaimana yang masih sedang berkecamuk dengan sen-
gitnya.
Agaknya Da-Fan, Awom dan Yulia telah memin-
ta bantuan paman Da-Fan yang bermukim di pulau
Ro-on. Mereka adalah sisa-sisa laskar suku Nabire di
masa lalu sebelum negerinya direbut oleh suku peda-
laman yang masih buas. Awom gembira ketika melihat
kehadiran orang-orang suku Kaimana.
"Seraaaaaang!" teriak Awom dengan penuh se-
mangat.
Maka dalam sekejap saja terjadilah perang an-
tar suku dengan sengitnya. Perang antara suku Kanib-
al melawan dua kelompok suku yang sudah agak beradab.
Paman Da-Fan pemimpin sisa laskar itu dengan
gagah berani bertempur menelan nyawa demi nyawa.
Tak ketinggalan Da-Fan sendiri ternyata seorang putri
Nabire yang gagah perkasa yang berkali-kali menghun-
jamkan tombaknya ke dada lawan.
Di tempat lain. Yulia dan Awom pun tak mau
tinggal diam. Pengalamannya bertahun-tahun di ten-
gah-tengah suku Papua primitif, membuat Yulia mahir
menggunakan tombak dan parang. Sekejap saja bela-
san suku Nabire pimpinan si Topeng Tengkorak itu
berjatuhan bersimbah darah jatuh ke bumi.
Terlihat di sini bahwa suku-suku yang sudah
mengenal peradaban lebih banyak menggunakan tak-
tik dalam bertarung bila dibandingkan dengan suku
kanibal yang hanya mengandalkan tenaga dan kega-
rangannya.
Dalam tempo singkat terlihatlah bahwa kedu-
dukan suku kanibal sudah mulai goyah dan berada di
ambang kepunahan.
***
SEBELAS
Sementara langit mulai kemerah-merahan,
mentari pun bergeser sedikit demi sedikit ke ufuk Ba-
rat pertanda sore sudah menjelang. Perkampungan
suku Nabire menjadi remang-remang, suasana sunyi
senyap karena tak ada lagi penghuninya yang masih
hidup dan berkeliaran.
Tampak di antara tubuh-tubuh yang bergelim-
pangan berkelebat sesosok bayangan menyusup mele-
wati pondok-pondok perkampungan berbentuk keru-
cut. Sekilas wajahnya terbayang diterpa biasan mata
hari dari sela-sela rimbunnya pohon raksasa yang
memagari perkampungan suku tersebut. Perlahan-
lahan wajah itu semakin nampak jelas. Dialah Parmin,
pendekar Gunung Sembung yang tak berhasil mencari
jejak-jejak kepala suku Nabire yang bertopeng tengko-
rak itu. Terpancar kekecewaan dari raut wajahnya
yang basah oleh keringat.
"Kurasa dia sedang memancingku!" gumamnya
dalam hati dengan menarik nafas panjang.
Parmin segera meloncat ke atap-atap pondok
itu dengan maksud agar dapat melihat pemandangan
di sekitar perkampungan itu dengan baik. Tatkala ia
hendak menginjak atap pondok yang paling besar,
mendadak pondok itu hancur berantakan. Untunglah
pada saat bersamaan Parmin membuang tubuhnya
yang masih melayang di udara dengan bersalto berkali-
kali kemudian menginjakkan telapak kakinya dengan
mantap sehingga luput dari serangan mendadak yang
tak lain dari lawannya yang bertopeng tengkorak itu.
Dengan sikap bersiap-siap Parmin memasang
kuda-kuda untuk menangkis serangan lawan selan-
jutnya. Di saat itu terdengar suara ledakan tawa ma-
nusia yang mengandung tenaga dalam yang dahsyat,
serta merta Parmin berkonsentrasi dan mengalirkan
tenaga dalamnya ke telinga untuk menghalau suara
itu.
"Ha.... ha.... ha... ha! Tidak percuma kau digela-
ri Jaka Sembung, anjing!"
"Huh?!" Parmin berdesis dan menatapnya den-
gan tajam.
"Kau kira aku lari menghindarimu, hah?! Aku
di sini! Dan aku senang sekali melihatmu bisa berdiri
kembali di atas telapak kakimu! Sebentar lagi akan
kupatahkan kedua kaki dan tanganmu! Akan kubikin
mampus secara perlahan-lahan sampai kau merasa
kan bagaimana enaknya mati pelan-pelan!" geram si
Topeng Tengkorak dengan suara bergetar menahan
emosi yang menggelegar
"Kali ini kaki dan tanganmu yang akan kupa-
tahkan, Iblis Perusak!" hardik Parmin dengan penasa-
ran ingin cepat-cepat membuka Topeng Tengkorak la-
wannya itu.
Dengan gesit dan cekatan Parmin melompat
menerjang orang yang ada di hadapannya dengan ter-
kaman yang sulit untuk dielakkan.
"Jangan banyak bacot! Buka topengmu! Aku
ingin melihat tampangmu yang asli!"
Orang bertopeng tengkorak itu terkejut dan ti-
ba-tiba kedoknya sudah disambar oleh pendekar Gu-
nung Sembung.
"Kurang ajar!!!!!"
Maka kini tampaklah seraut wajah yang tak as-
ing lagi bagi Parmin benar-benar asli. Ternyata dia
adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan,
berwajah bulat dengan sesuai tubuhnya yang gempal
itu.
"Aku sudah menduga bahwa kau adalah Ki
Subekti saudara kembar Ki Subeni!" ujar Jaka Sem-
bung kepada orang tua itu.
"Hmmm! Memang! Hidupku tak pernah puas ji-
ka belum memeras darahmu sampai kering!" geramnya
dengan berapi-api.
"Aku belum puas sebelum dendam arwah ka-
kakku Subeni terbalas! Bertahun-tahun aku mengun-
titmu sampai ke Papua ini! Si Tiga Melati keparat itu
sudah modar jadi makanan segar ikan-ikan hiu di laut
Arafuru! Kini giliran nyawamu kucopot, Bangsat!" um-
patnya dengan sengit.
Dengan tenang Parmin menjawab sambil ber-
siap-siap dengan mengalirkan tenaga dalam tingkat
tinggi ke seluruh tubuh.
"Sangat kuhargai pembelaanmu terhadap sau-
daramu! Itu hakmu! Tapi aku pun lebih punya hak un-
tuk menyingkirkan kalian, Iblis berwujud manusia!"
Bukan main berangnya Ki Subekti setelah
mendengar ucapan Parmin yang menyakitkan hati itu,
serta merta ia melontarkan pukulan jarak jauh yang
sangat ampuh dan mematikan. Bersamaan dengan itu
pula Parmin meletik ke udara untuk menghindar. Pu-
kulan maut itu tak mengenai sasaran dan hanya me-
nimpa tempat kosong. Seketika itu terlihat bentuk te-
lapak tangan hitam dengan kepulan asap membekas di
tanah. Melihat pukulannya dapat dihindari dengan
baik, Ki Subekti mengambil langkah seribu dengan me-
lompati perairan pantai di antara batu-batu cadas
yang berlumut
"Hai! mau lari ke mana kau? Apakah kau sudah
mulai gentar, Jahanam!" teriak pendekar Gunung
Sembung sambil melesat mengejarnya. Namun Ki Sub-
ekti terus berlari dengan melontarkan ejekan-ejekan
kepada Jaka Sembung.
"Ha ha ha ha! Aku sudah memilih tempat ku-
buranmu yang paling baik, monyet Sembung!"
Sekejap saja mereka telah berada di atas batu
karang yang muncul di permukaan laut. Pada saat itu
mereka mempersiapkan ilmu andalannya masing-
masing.
"Aku yakin kau tak mampu membunuhku, Aki-
aki Jelek! Kekuatanmu sudah jauh berkurang! Tan-
ganmu tinggal satu!" ejek Parmin.
"Bangsat! Justru di sini aku memilih tempat
untuk kuburan bangkaimu!" ucapnya dengan kesal
sambil melepaskan jubah yang selama ini dipakainya.
"Gerrrrr! Tangan palsuku ini lebih ampuh un-
tuk mendobrak perutmu!" dengusnya dengan suara
parau. Namun demikian pendekar muda dari Gunung
Sembung itu terus menerus mengejeknya hingga orang
tua itu kian kalap dan meradang.
"Ha ha ha ha...! Lontarkanlah semua gertak
sambalmu itu bandot tua! Seharusnya sudah lama kau
menanggalkan titel kiaimu! Hidupmu sudah penuh
dengan kemurtadan! Kau sama murtadnya dengan al-
marhum saudara kembarmu itu!"
Sesaat kemudian tubuh mereka berdua melesat
ke udara dengan mengadu ilmu kanuragan tingkat
tinggi hingga terjadilah bentrokan tenaga dalam yang
menimbulkan suara keras dan mengeluarkan kepulan
asap. Akibatnya tak ayal lagi tubuh masing-masing
terpental jauh lebih dari lima puluh langkah dan ter-
cebur di laut. Selanjutnya mereka melanjutkan perta-
rungan di air dengan mengerahkan tenaga dalam yang
dahsyat hingga membuat mereka masing-masing men-
galami luka dalam yang parah dengan semburan darah
segar dari mulutnya.
Pada suatu saat tubuh mereka melesat kembali
ke udara dan bertemu di atas batu karang di tengah
laut. Kemudian tangan-tangan mereka saling bertum-
puan untuk kembali mengadu kekuatan tenaga dalam
masing-masing. Hawa panas keluar dari tubuh mereka
hingga menimbulkan kepulan asap. Pada saat itulah
Parmin berucap dalam hati,
"Saatnya kini tiba...! Kuserahkan kepada-Mu ya
Allah seluruh jiwa ragaku! Aku tunduk dengan apa
yang Kau kehendaki! Bismillah!!!" Suara hening tegang
itu tiba-tiba dipecahkan oleh pekikan mengguntur!
Bersama terbelahnya batu karang pantai, dua sosok
tubuh itu melesat berbarengan. Pada kesempatan itu
Parmin menyerang sedetik lebih cepat dengan pukulan
tenaga dalam tingkat tinggi ke arah lawannya. Tak ayal
lagi tubuh Ki Subekti ambruk berguling guling dan ba
tuk-batuk dengan mengeluarkan darah hitam kental
terkena hantaman pukulan Parmin yang bernama ju-
rus 'Wahyu Taqwa'.
Tubuh orang tua itu menggigil hebat, wajahnya
berubah menjadi biru menyeramkan. Dan dari bekas
pukulan Parmin pada tubuhnya, kini mengepul asap.
Asap itu semakin banyak dan segera berubah
menjadi api yang menjilat-jilat tubuh Ki Subekti yang
nampak mengerang-erang sambil berkelojotan. Sung-
guh mengerikan. Api itu semakin besar dan sekejap sa-
ja melalap tubuh orang tua itu tanpa ampun! Itulah
kedahsyatan puncak dari jurus 'Wahyu Taqwa'.
Ombak laut menyembur tubuh berapi itu dan
menyeretnya ke tengah lautan lepas. Parmin meman-
dangi terus dari kejauhan dan sesaat bertafakur men-
gucapkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ia sama sekali tak menduga bahwa dengan mengerah-
kan ilmu silat tinggi yang bernama jurus 'Wahyu Taq-
wa' akan terjadi akibat sedahsyat itu bagi lawannya.
"Innalillahi Wainna Ilaihi Roji'un.... Segala se-
suatu yang berasal dari-Mu kembali pula kepada-Mu
ya Allah!"
Api itu semakin mengecil dan akhirnya lenyap
di tengah laut teluk Sarera. Parmin merenung sambil
menerawang jauh ke ujung lautan. Ia tak menoleh se-
dikit pun tatkala terdengar suara orang memanggilnya.
Suara itu semakin keras, menandakan orang yang
memanggil semakin dekat dan akhirnya pendekar kita
terperangah melihat kehadiran seorang wanita kulit
putih yang tak lain adalah Yulia, sang Kepala suku
Kaimana beserta ayahnya dan pendeta Yorgen.
"Syukurlah kau selamat, Parmin! Aku sangat
mengkhawatirkan nasibmu!" ucapnya dengan suara
tersendat menahan haru sambil menjatuhkan tubuh-
nya kepelukan Parmin.
"Aku hampir saja tewas, Yulia! Untunglah Allah
senantiasa melindungiku!" ujar Jaka Sembung.
Sejenak mereka terbenam dalam keharuan,
tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarnya. Na-
mun kedua orang yang tak lain pendeta Yorgen dan
ayahnya sendiri memaklumi perasaan mereka yang ba-
ru saja terlepas dari peristiwa hidup dan mati. Parmin
terkejut oleh sikap Yulia yang tiba-tiba melepaskan de-
kapannya dan serta merta menjauh dari Parmin.
"Oh.... Aku.... Aku pun sudah mati! Aku merasa
sudah tak ada gunanya lagi.... Di hadapanmu....
Buatmu, Parmin!" ucap Yulia sambil mengenang peris-
tiwa yang telah merenggut kesuciannya itu. Parmin be-
rusaha mendekati Yulia dengan memberikan kata-kata
lembut dan sikap yang sangat hati-hati.
Pendeta Yorgen dan Yan Van Boerman dengan
berharap-harap cemas, tak lepas-lepas memperhatikan
tingkah laku kedua muda mudi itu terutama Yulia.
Yan Van Boerman sangat prihatin dan takut kalau-
kalau anaknya putus asa dan tak dapat menerima ke-
nyataan sehingga menyebabkan goncangan jiwa yang
cukup patal.
"Kau lihat, Yan! Tuhan telah mengulurkan tan-
gan-Nya dengan perantaraan Parmin, karena kita be-
rada di jalan yang benar!" ujar pendeta Yorgen.
"Ya, Bapa! Tapi kasihan anakku! Dia telah ter-
noda oleh makhluk iblis itu." ucapnya dengan nada
sedih.
Dengan tenang dan penuh wibawa pendeta Yor-
gen berkata kepada Yan Ban Boerman seperti sikap
seorang ayah yang menasehati anaknya yang sedang
dirundung kemalangan.
"Aku tahu perasaanmu, Nak! Tabahkan hatimu
karena ini sudah menjadi takdir Tuhan! Kalau sean-
dainya di saat itu Parmin telah siuman dari pingsan
nya, pastilah putrimu dapat diselamatkan! Aku tahu
saat itu Parmin sedang dalam keadaan sangat kritis,
antara hidup dan mati!"
Sementara itu Parmin sudah dapat menyalakan
api semangat hidup Yulia yang hampir punah, karena
senantiasa, dihantui perasaan yang tak menentu ten-
tang dirinya yang sudah ternoda. Akhirnya mereka sal-
ing merangkul. Pendeta Yorgen dan ayahnya merasa
sangat gembira karena kecerahan anak gadisnya su-
dah pulih seperti sediakala. Itu terlihat dari tatapan
matanya yang tampak berbinar-binar.
"Mari kita pulang, Yulia! Kawan-kawan yang
lain tentu sudah menunggu kita! Jangan kau ce-
maskan tentang kesucianmu! Hatimu tetap suci kare-
na tidak menghendaki semua ini terjadi!" ucap Parmin
sambil merangkul tubuh gadis Belanda itu menuju ke
tempat di mana ayahnya dan pendeta Yorgen berada,
dan mengajak mereka sama-sama untuk meninggal-
kan tempat itu menuju ke perkampungan suku Nabire.
***
DUA BELAS
Sementara itu perang pun telah usai. Korban
bergeletakan di sana sini dengan ditebari anyirnya da-
rah. Di antara tumpukan mayat itu, berdirilah Awom si
panglima suku Kaimana dengan gagahnya dengan
tombak yang berlumur darah masih dalam gengga-
mannya.
Da-Fan yang melihat kekasihnya masih berdiri
tegap, cepat-cepat berlari menuju padanya, kemudian
serta merta tubuh tegap berotot itu didekapnya erat-
erat.
"Awom....!" teriak gadis Nabire itu dengan air
mata gembira.
"Da-Fan....!" sambut pemuda Kaimana itu.
"Akhirnya kita bebas, Awom! Kita bisa meraya-
kan perkawinan kita dengan segera!" kata Da-Fan den-
gan suka cita.
"Kita adakan pesta meriah! Pamanku Kya-Fa
akan diangkat sebagai kepala suku Nabire yang baru.
Sekarang kepala suku bertopeng tengkorak itu telah
tewas di tangan pendekar Gunung Sembung, Parmin!"
Mereka, suku Nabire sangat gembira menyam-
but kemenangan yang mereka peroleh dalam mem-
basmi keangkaramurkaan. Ada yang menari berpa-
sang-pasangan, ada pula yang berjingkrak-jingkrak
sambil mengacung-acungkan tombak yang masih ber-
lumuran darah diiringi suara gendang yang bertalu-
talu.
"Lihatlah, Awom! Mereka bergembira meraya-
kan kemenangan! Tidakkah kau merasa bahagia,
Awom?" tanya Da-Fan yang masih tak mau mele-
paskan dekapannya pada Awom.
Suasana di teluk Nabire itu kini sangat ramai
dengan sorak sorai, suara nyanyian, teriak-teriakan
serta yel-yel kemenangan, membaur bercampur aduk
menjadi suasana hiruk pikuk. Namun mereka tak per-
duli, yang penting mereka kini bahagia tanpa ada yang
mengganggu ketentraman suku dan perkampungan
mereka.
Dari kerumunan orang-orang serta bisingnya
suara tetabuhan, seseorang yang tak lain adalah pa-
man Da-Fan yang bernama Kya-Fa, menghimbau me-
reka agar turut serta.
"Hai, Da-Fan! Awom! Mari sini kita rayakan
kemenangan kita, ha ha ha! Belum waktunya kalian
bermesra-mesraan! Tunggu sampai malam turun! Ha
ha ha ha...! Mari kita adakan pesta semeriah-
meriahnya!"
Namun tanpa disadari, nyawa kepala suku
yang baru dilantik itu terancam oleh seorang anggota
suku lawannya yang ternyata masih hidup. Da-Fan
dan Awom seketika terkejut melihat ia akan membo-
kong pamannya dari belakang dengan sebilah tombak.
Dengan cekatan Da-Fan memperingati paman-
nya dibarengi sebuah dorongan tangan yang membuat
pamannya terhempas dan luput dari sasaran. Tapi
sayangnya tubuh Da-Fan sendirilah yang menjadi sa-
saran tombak sebagai penggantinya.
Awom yang melihat itu menjadi terkejut. Den-
gan cepat Awom bertindak dengan sebilah tombak
yang masih ada di tangannya. Baru saja prajurit itu
hendak melarikan diri, tombak Awom lebih cepat ber-
sarang di punggungnya. Tak ayal lagi tubuh itu am-
bruk tersungkur ke tanah dan tak berkutik lagi.
Kemudian Awom berlari mendapatkan Da-Fan
yang sedang meregang nyawa,
"Da-Fan...!" Ia menubruk tubuh kekasihnya
dengan nada tangis yang lirih.
"Da-Fan kuatkan dirimu!"
"Awom... A... worn.... Aku sangat cinta pada-
mu.... uuuuk! Ja... ngan kau bersedih... kita akan sela-
lu berkumpul di alam yang lain, kekasihku...."
"Tidak, Da-Fan! Kita akan merayakan perkawi-
nan kita sekarang!"
"Tidak, Awom....! Wajah ayahku telah ter-
bayang-bayang di depanku! Ia mengulurkan tangan
mengajakku ke suatu tempat yang indah! Aku akan
senantiasa setia menunggumu di sana! Awom.... Tu-
buhmu dingin peluklah aku! Dekaplah.... akh!"
"Da-Fan...!" Awom berteriak histeris mengiringi
detik-detik terakhir kekasihnya dengan tubuh berlumuran darah tertembus sebilah tombak. Dia gugur ka-
rena menyelamatkan jiwa pamannya, seorang kepala
suku Nabire yang baru yang akan membawa suku Na-
bire kelak menuju kejayaan dan kemajuan pada masa
yang akan datang.
Sedangkan Da-Fan, namanya akan selalu dike-
nang dan menjadi tonggak sejarah bagi suku Nabire,
Da-Fan seorang gadis Nabire yang gagah dan pembe-
rani, dia turun ke medan laga tanpa mengenal takut
dan apa itu mati. Yang ada di benaknya hanyalah ba-
gaimana mengembalikan tanah tumpah darahnya
kembali tentram dan damai di bawah pemerintahan
sendiri.
Awom merasa sangat sedih, kenapa orang se-
baik Da-Fan begitu cepat menuju kematian. Da-Fan
adalah seorang gadis yang sangat berarti dalam kehi-
dupannya. Dialah yang menyelamatkan dirinya, dialah
yang telah memberi suatu kegairahan baru. Dia rela
mengorbankan jiwa agar terlaksana apa yang dicita-
citakan ayahandanya untuk merebut kembali perkam-
pungan suku Nabire dari kekuasaan suku pedalaman
yang masih liar dan buas.
Kya-Fa yang kini menjadi kepala suku, merasa
sedih melihat keponakannya mati lantaran berkorban
untuk keselamatan jiwanya.
"Da-Fan!! Kau gugur untuk menyelamatkan ji-
waku! Kau pahlawan suku Nabire yang gagah berani!"
Hari begitu cepat berganti, malam yang sangat
mencekam telah berganti pagi. Matahari mulai menyi-
nari alam, membentuk panorama yang indah di bukit
Sarera. Terlihat dari kejauhan beberapa kelompok ma-
nusia yang tak lain adalah orang-orang suku Nabire
yang baru saja membebaskan negerinya, mulai beker-
ja. Ada yang sedang memperbaiki rumah-rumah mere-
ka yang roboh, ada yang menyapu halaman member
sihkan puing-puing dari bangunan dan pohon-pohon
yang tumbang. Sebagian dari mereka menggali tanah
untuk mengubur mayat-mayat yang bergelimpangan di
segala penjuru perkampungan.
Kegiatan mereka dibantu pula oleh orang-orang
suku Kaimana yang pada saat pertarungan suku ka-
nibal itu datang membantunya. Dua kelompok suku
Papua yang sudah mengenal sedikit peradaban itu
tampak bekerja rukun saling bahu membahu guna
membersihkan serta membangun kembali perkampun-
gan yang telah porak poranda. Di tengah mereka tam-
pak Kya-Fa berseru;
"Hai, Rakyatku! Hari ini adalah hari yang san-
gat bersejarah bagi negeri kita. Beberapa orang sauda-
ra kita seperti kalian lihat dengan mata kepala sendiri,
mereka gugur guna mempertahankan kewibawaan su-
ku Nabire dari gangguan orang-orang yang bermaksud
menjajah kita, dia berjuang tanpa mengenal takut, dia
berani mengorbankan nyawanya demi untukku? Den-
gan demikian kita doakan semoga arwah mereka dite-
rima para dewa yang bersemayam di tempat yang
jauh!"
Setelah berkata sang kepala suku memerintah-
kan salah seorang tokoh agama suku Nabire untuk
memimpin upacara.
Sebelum upacara dimulai, sebagian mereka
menyiapkan kayu-kayu kering dan menumpukkannya
di tengah-tengah halaman. Sebentar kemudian kayu-
kayu itu dirambati api. Semakin lama api itu semakin
membesar. Seluruh anggota suku mengitari api un-
ggun itu dengan langkah-langkah yang mencerminkan
suasana sakral sebagai tanda sedang berkabung.
Suasana hening sejenak ketika terlihat serom-
bongan orang suku Nabire mengusung sesuatu seperti
keranda yang berhias tengkorak binatang dan taring
taring babi hutan. Berdiri paling depan pada rombon-
gan tadi adalah tokoh agama suku yang berjubah den-
gan tutup kepala terbuat dari bulu-bulu Cendrawasih
dan hiasan-hiasan lain yang menyerupai tanduk.
Di dalam keranda itu terbaring jenazah Da-Fan,
pahlawan suku Nabire.
Menurut adat mereka, jenazah golongan bang-
sawan suku harus diawetkan dengan rempah-rempah
pengawet sehingga tubuh orang yang mati tetap utuh
untuk selamanya.
Baik Jaka Sembung maupun pendeta Yorgen
tak dapat berbuat apa-apa dengan adat istiadat mere-
ka, walaupun kedua orang itu sependapat bahwa se-
baiknya semua jenazah tanpa memandang tingkat so-
sial masing-masing, harus dikebumikan ke dalam ta-
nah.
***
TIGA BELAS
Malam telah turun, bintang gemintang muncul
di awang-awang menambah keindahan panorama pan-
tai teluk Sarera. Namun keindahan itu tak berarti apa-
apa buat seorang pemuda yang dirundung musibah di-
tinggal sang kekasih untuk selama-lamanya. Dialah
Awom, sang panglima perang suku Kaimana yang se-
dang duduk termenung di atas bukit di bawah pohon
yang sangat rindang.
Ia seorang diri tanpa menghiraukan keadaan
sekelilingnya. Tangannya mengambil beberapa batu
kerikil yang ada di sekeliling tempat itu lalu berulang
kali dilemparkan ke laut sebagai suatu cara untuk
menghibur diri.
Dari kejauhan sosok tubuh melintas mela-
lui jalan setapak hutan Nabire menuju pantai Sarera,
dengan melangkah cepat dan tangan yang bergerak
menepis pepohonan kecil yang menghalanginya.
Sesaat kemudian sosok tubuh itu sudah berada
tak jauh dari Awom yang sedang menyendiri. Sinar
gemintang yang membias di sela-sela dedaunan mene-
rangi sekilas wajah tampan dan berwibawa dengan bu-
lu-bulu tumbuh kian menebal di atas bibir dan da-
gunya. Dia tak lebih adalah, Jaka Sembung. Perlahan-
lahan dia melangkah mendekati pemuda Kaimana
sang panglima suku yang sedang termenung itu!
"Awom...!"
Awom tak bergerak dengan panggilan Parmin.
Tetapi Jaka Sembung meneruskan bicara tanpa me-
minta jawaban dari Awom, kawan baiknya itu.
"Awom, dengarlah!" ucap Parmin sambil segera
duduk di samping kiri Awom dan menepuk nepuk
pundaknya, Parmin melanjutkan pembicaraannya.
"Relakanlah kepergian Da-Fan karena segala
sesuatu yang hidup pasti akan mengalami mati. Hidup
di dunia ini memang demikian..... Bertemu.... Berpi-
sah.... Tiada sesuatu yang kekal! Kalau kita sudah ya-
kin tentang itu, maka kita setiap saat harus sudah
bersiap-siap untuk menghadapi setiap perpisahan agar
kita tidak terlalu hanyut oleh perasaan dan ikhlas me-
nerimanya!"
Awom mendengarkan kata-kata Parmin sambil
menatap kejauhan seakan sedang merenungkan mak-
na kalimat itu. Parmin pun selanjutnya memberi we-
jangan pada Awom agar mengerti apa arti hidup ini se-
sungguhnya.
"Kau bisa melupakan sedikit demi sedikit....
Kau harus yakin bahwa ada kehidupan yang jauh lebih
kekal sesudah nyawa meninggalkan badan dan kalian
akan berkumpul di sana!" lanjut Jaka Sembung.
Awom bangkit dari duduknya dan terus mondar
mandir sambil kadangkala menundukkan kepala atau
melepaskan pandangan matanya ke langit seakan
mencari jawab. Kemudian dengan suara yang agak be-
rat karena menahan rasa sedih ia berucap.
"Ya, aku mengerti, Parmin! Sejak berjumpa
dengan anda, aku mulai mengerti sedikit demi sedikit
tentang arti hidup ini!"
Parmin pun bangkit dan menghampiri Awom.
Mereka berdiri berhadap-hadapan. Parmin meman-
dangi kawannya itu sambil tersenyum karena bangga
terhadap kecerdasan Awom dalam menangkap segala
sesuatu yang telah ia ucapkan.
Laut teluk Sarera mulai memperlihatkan om-
baknya yang bergulung-gulung, daun-daun gemerisik
terhempas bersama dahannya karena tertiup angin
yang kian mengencang. Bukit Nabire sudah gelap ka-
rena kabut tebal yang telah menyelimuti lembah itu.
Sinar bintang gemintang tak mampu lagi menerangi
cuaca yang telah pekat itu.
Hari sudah larut malam, suasana saat itu men-
jadi sunyi senyap yang terdengar hanya suara deburan
ombak pantai teluk Sarera.
Dua orang berlainan suku namun satu bangsa
yang sedang berbincang-bincang itu menyadari kalau
hari semakin larut malam. Maka salah seorang dari
mereka mengajak untuk kembali ke perkampungan.
Dalam perjalanan pulang mereka melanjutkan
perbincangan. Tanpa mereka sadari, mereka telah jauh
meninggalkan pinggiran pantai teluk Sarera.
Sesaat kemudian mereka sampai di pintu ma-
suk perkampungan suku Nabire. Beberapa langkah ke
dalam terlihat beberapa orang suku Nabire sedang si-
buk membereskan sesuatu, ada yang membuat hiasan
khusus, meletakkan obor-obor di setiap tonggak kayu
di sekeliling perkampungan, kemudian menyalakannya
sehingga perkampungan itu nampak seperti siang hari.
Parmin dan Awom terus melangkah menuju
kediaman kepala suku. Di sana sudah menunggu Yu-
lia, ayahnya dan pendeta Yorgen. Mereka menyambut-
nya dengan senyum keramahan.
Agaknya malam itu adalah malam istimewa ka-
rena ternyata jatuh pada tanggal dua puluh lima De-
sember tahun Masehi.
Malam itu untuk pertama kalinya di pulau Pa-
pua diperingati malam Natal, malam kudus di mana
dua puluh abad yang lalu telah lahir Yesus Kristus di
Betlehem.
Pendeta Yorgen memimpin upacara kecil-
kecilan namun mengandung makna yang amat dalam.
Suasana hening meliputi mereka yang hadir
pada saat itu. Kya-Fa, kepala suku Nabire, Parmin dan
Awom dan seluruh anggota kedua suku Papua, Nabire
dan Kaimana.
Pendeta Yorgen mengajak Yulia dan Van Boer-
man untuk membaca doa di depan sebuah altar yang
terbuat dari kayu bertutup kulit binatang. Di belakang
mereka berdiri para anggota suku yang ikut ambil ba-
gian dalam perayaan Natal itu.
Pendeta Yorgen berkotbah lantang mengenai
kerukunan hidup beragama, apa arti hidup yang sebe-
narnya dan yang terakhir menjelaskan siapa dan ba-
gaimana Yesus Kristus itu.
Orang-orang yang hadir pada perayaan itu
mendengarkan khotbah itu dengan khidmat. Dalam
suasana hening syahdu itu kita lihat seseorang yang
tampak sedang berpikir keras. Ia adalah Awom. Apa
yang sedang dipikirkan, kuta belum tahu.
Malam begitu cepat berlalu, orang-orang yang
hadir kini telah meninggalkan acara malam Natal satu-
persatu, sampai akhirnya tinggal Yulia, pendeta Yor-
gen, ayah Yulia Van Boerman serta Parmin dan Awom.
Mereka masih berbincang-bincang dengan ditemani
oleh Kya-fa sang kepala suku Nabire.
"Parmin, setelah ini ke mana kau akan pergi?"
tanya pendeta Yorgen.
"Entahlah, Pak Pendeta! Mungkin aku akan
kembali ke tanah kelahiranku pulau Jawa! Masih ba-
nyak tugas yang harus kuselesaikan!" jawab Parmin.
Pendeta Yorgen, Van Boerman dan Yulia men-
gucapkan selamat kepada Kya-Fa yang menjadi kepala
suku Nabire yang baru seraya berkata;
"Selamat buat anda, Tuan Kya-Fa! Aku selalu
berdoa semoga negeri yang anda pimpin mendapatkan
kemajuan dan menjadi suku yang lebih maju dan me-
meluk agama Ketuhanan, aman dan makmur tak ada
lagi gangguan yang datang dari suku lain." ucap pen-
deta Yorgen dengan nada mempengaruhi.
"Terimakasih! Begitu juga aku mengucapkan
banyak terimakasih atas segala bantuan anda dalam
menumpas keangkaramurkaan yang telah diperbuat
oleh orang bertopeng tengkorak, dengan memperalat
suku pedalaman yang masih buas. Para wanitanya di-
rusak, kepala suku kami dibunuh!" ucap Kya-Fa den-
gan mata berkaca-kaca karena merasakan sedih.
Sejenak semua orang yang hadir di pondok itu
tertunduk diam.
Mereka turut merasakan derita bathin kepala
suku yang baru itu.
Beberapa saat kemudian suasana hening itu
dipecahkan oleh suara kokok ayam hutan. Bintang-
bintang yang bertaburan kini telah lenyap dari pereda-
rannya dan dari arah Timur matahari mulai menam-
pakkan sinarnya.
Pemandangan alam bukit Nabire asri dipan-
dang mata. Dahan pohon meliuk-liuk terhempas angin
pagi yang bertiup sepoi-sepoi. Burung-burung beter-
bangan hilir mudik mencari makan. Dari kejauhan
terdengar deburan ombak pantai teluk Sarera meng-
hempas batu-batu karang.
Dari puncak bukit terlihat perkampungan suku
Nabire terpampang tersusun rapi. Kalau kita perhati-
kan, tak seorang pun penghuni pondok-pondok per-
kampungan itu berkeliaran, mungkin mereka lelah se-
telah berbulan bulan lamanya hidup dalam kekacauan
hingga tak sempat merasakan tidur dengan nyenyak.
Pada kesempatan ini mereka gunakan untuk
beristirahat tidur dengan sepuas-puasnya. Hal itu ter-
bukti dari suara dengkuran nafas mereka yang terba-
wa angin. Namun tak semua penghuninya terlelap ti-
dur.
Di bangunan yang paling besar, tempat kedia-
man kepala suku Nabire, nampak masih terdengar su-
ara yang sedang bercakap-cakap.
"Yulia! Aku tak melihat Awom sejak tadi, ke
mana dia?" tanya Parmin yang belum sempat mera-
patkan mata untuk beristirahat tidur, kepada Yulia,
sang kepala suku Kaimana.
"Pemuda Kaimana itu masih menganggapku
sebagai kepala sukunya dan tetap mematuhi aturan.
Tadi malam setelah usai upacara Natal, ia meminta
izin kepadaku pergi ke puncak Kahyangan!" jawab Yu-
lia.
"Puncak Kahyangan? Di mana letaknya tempat
itu?!" Parmin terperangah sambil mengerutkan da-
hinya karena baru kali ini mendengar nama tempat
seperti itu. Gadis Belanda itu pun angkat bahu.
"Aku sendiri tidak tahu! Tapi dia bilang hendak
melakukan semadi di sana! Dia ingin menghadap para
dewa dan roh-roh nenek moyangnya? Mungkin ia se-
dang mengalami kegoncangan jiwa karena kematian
kekasihnya yang sangat ia cintai, Da-Fan!" jelas Yulia,
kepada Jaka Sembung.
"Yulia! Baiklah kau tunggu disini bersama pen-
deta Yorgen dan ayahmu. Aku hendak menyusul Awom
ke sana! Aku tak ingin terjadi hal-hal yang tidak diin-
ginkan!"
"Hati-hatilah Parmin! Aku pun tidak ingin ter-
jadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadapmu!"
Parmin pamit kepada Yulia dan ayahnya, Van
Boerman serta kepala suku Nabire serta pendeta Yor-
gen. Kemudian bergegas meninggalkan perkampungan
suku Nabire untuk mencari Awom.
***
EMPAT BELAS
Pagi itu Parmin bergegas mengadakan pelaca-
kan dan matahari yang cerah menemani perjalanan-
nya. Pendekar kita ini menelusuri pinggiran hutan
yang ditumbuhi pohon-pohon kecil. Tangannya dengan
lincah membabat dahan-dahan pohon, untuk terus
merayap hingga tak terasa dia telah berada di suatu
tempat yang cukup jauh dari Nabire.
Tanpa mengenal lelah Parmin terus melangkah
sambil memasang telinga dan matanya untuk me-
nangkap setiap gerak maupun gejala yang mungkin sa-
ja terjadi di setiap jengkal langkah kakinya. Apalagi
kawasan yang ditempuhnya saat ini mulai ditumbuhi
semak lebat dan pohon yang tinggi-tinggi.
Semakin ke dalam cuaca semakin gelap, karena
sinar matahari tak dapat menembusnya.
Selang beberapa waktu kemudian Parmin telah
berhasil melewati hutan belantara. Kini di depannya
terbentang hulu sungai yang dipenuhi batu-batu be-
sar. Sesaat Parmin memandang ke seluruh perbukitan
yang berada di kawasan hulu sungai itu. Demikian in-
dah panorama yang terlihat. Lagi-lagi pendekar Gu-
nung Sembung itu memuji kebesaran Tuhan Sang
Pencipta. Dia merasakan dirinya demikian kecil jika
dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan yang memiliki
seluruh alam beserta isinya.
Setelah memandangi keindahan panorama
alam yang dimiliki pulau Papua ini, Parmin bergegas
meneruskan niatnya dengan menyeberangi hulu sun-
gai. Namun sebelum itu, dia bersihkan seluruh badan-
nya terlebih dahulu, agar terasa segar dengan air sun-
gai yang sejuk dan jernih itu.
Setelah seharian Parmin menempuh perjala-
nan, menjelang sore hari mulailah ia mendaki perbuki-
tan. Tak jauh dari bukit itu ia berhenti sejenak untuk
mengamati sebuah dahan pohon yang patah, seperti
tanda atau sandi.
"Hem, dahan patah! Mungkin Awom melewati
jalan ini!" katanya dalam hati.
Beberapa langkah kemudian Parmin telah me-
masuki jalan setapak yang berpasir. Di sana tampak
dengan jelas bekas jejak kaki manusia. Jaka Sembung
terus mengikuti bekas kaki yang membawa butir-butir
pasir sampai ke sebuah kaki tebing.
"Mungkin dari sinilah ia mulai mendaki!" ucap-
nya sekali lagi dalam hati. Sambil terus melanjutkan
langkah kakinya menaiki tebing tersebut. Untuk mele-
wati tebing-tebing semacam itu, Parmin sudah memili-
ki pengalaman tatkala mendaki puncak Gunung Cire-
mai, yang cukup terjal dan sangat tinggi membentuk
dinding lurus ke atas.
"Aku jadi ingat guru dan ayahku di Gunung Ci-
remai. Sudah lama aku tak mengunjunginya! Bagai-
mana keadaan mereka sekarang? Mudah-mudahan be-
liau semua, selalu dalam keadaan sehat wal-afiat!"
Guru Parmin bukan hanya Ki Sapu Angin, te-
tapi juga Begawan Sokalima yang kini masih hidup
dan bersemayam di puncak Gunung Ciremai.
Setelah berhasil melewati ketinggian tebing
yang terjal, Parmin mengayunkan langkahnya kembali.
Namun baru beberapa langkah, dia dikejutkan oleh se-
suatu benda yang ia kenal baik.
Perlahan-lahan ia mendekati benda berbentuk
kalung yang terbuat dari serentetan taring babi hutan
bercampur manik-manik beraneka warna. Dia me-
mungut benda yang tersangkut di sebatang ranting
kayu itu.
"Ini kalung Awom! Aku lebih yakin ia melalui ja-
lan ini!" gumamnya.
Malam mulai turun, langit cerah dan tampak-
lah gugusan bintang bertaburan di cakrawala yang
luas, bagaikan hamparan lazuardi hitam yang berki-
lauan oleh bintik-bintik cahaya menerangi jagad raya.
Walaupun tanpa obor untuk menerangi jalan-
nya, Parmin masih mampu menerobos suasana malam
itu. Tanpa mengenal lelah, pendekar kita terus berja-
lan merayapi lereng pegunungan. Pada suatu tempat
dia berhenti, menahan langkahnya dan menengadah-
kan kepalanya ke atas sebatang pohon raksasa, di sa-
na ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
"Tombak Awom tertancap di pohon itu!" se-
runya dalam hati. Membuat ia semakin yakin bahwa
jalan yang dilaluinya adalah napak tilas perjalanan
yang dilakukan oleh Awom.
Setelah menempuh perjalanan tiga hari tiga
malam, sampailah ia di sebuah lereng berbatu. Dia te
rus naik perlahan-lahan, dengan merayap sambil ber-
pegang pada batu-batu besar itu agar bisa cepat mele-
watinya.
Keringat bercucuran di sekujur badannya, wa-
laupun hawa di tempat itu sangat dingin. Wajahnya
pucat karena menahan lelah. Tanpa disadarinya, hari
begitu cepat berganti pagi. Namun Parmin terus men-
daki pegunungan itu dengan penuh semangat.
Pada hari kelima, Parmin mulai mendaki pun-
cak pegunungan itu. Di hari ketujuh sampailah ia pa-
da daerah bersalju di ketinggian yang selama ini belum
pernah ia bayangkan.
Sejauh mata memandang yang tampak hanya
warna putih seputih kapas dengan suhu yang sangat
dingin, membuat tubuh Parmin yang tanpa baju terasa
menggigil, tulang-tulangnya seperti gemeletuk dan da-
rahnya seperti membeku.
Sebagai seorang pendekar ulung, Parmin dapat
menguasai keadaan itu dengan mengatur pernafasan
dan menyalurkan hawa panas ke seluruh tubuhnya.
Semakin malam semakin dingin pula suhu di
puncak bersalju itu. Sementara itu nun jauh di bawah
sana, lembah telah ditutupi kabut sangat tebal.
Parmin terus merayap perlahan-lahan dan san-
gat hati-hati karena bukan tak mungkin suatu saat
salju itu bisa longsor secara tiba-tiba.
"Tumpukan salju ini sangat berbahaya bagiku
jika terjadi longsor!" gumamnya dalam hati.
Baru saja Parmin akan melewati sebuah batu
yang sangat besar, tiba-tiba ia mendengar suara raun-
gan yang sangat keras. Parmin terperanjat dan seketi-
ka menghentikan langkahnya. Lalu mengendap-endap
untuk mencari sumber suara tersebut.
"Astaga! Mahkluk apa itu?"
Parmin lebih terkejut lagi setelah tahu apa yang
dilihatnya, sesosok makhluk tinggi besar seperti gorila
yang seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu tebal
berwarna hitam serta memiliki kuku-kuku yang sangat
panjang dan runcing. Binatang seperti itu pada abad
ke dua puluh sekarang, menurut berita ditemui orang
di puncak 'Mount Everest' pegunungan Himalaya yang
oleh orang-orang setempat dijuluki dengan nama 'Yeti'.
Dengan waspada Parmin mengikuti langkah
makhluk raksasa tersebut. Suatu ketika matanya ter-
tuju pada sosok manusia yang ternyata sedang diincar
oleh si Yeti.
Pada saat itu Parmin kaget, ternyata sosok ma-
nusia yang dilihatnya adalah Awom, sang panglima
suku Kaimana yang sedang dicarinya.
"Astaga! Itu Awom!" Jaka Sembung memekik
tertahan dalam hati.
Jaka Sembung seperti tak percaya dengan apa
yang dilihatnya. Awom tampak duduk tenang dengan
tubuh hampir terendam oleh salju putih yang kemi-
lauan itu.
Makhluk raksasa yang berbulu tebal itu terus
melangkah menghampiri tubuh Awom. Tiba-tiba tan-
gannya yang berbulu dan berkuku runcing itu terang-
kat hendak mencengkeram batang leher Awom.
Ketika melihat itu Parmin tcrsentak dan berte-
riak tanpa sadar.
"Awom!! Awaaaasss di belakangmu!" Tapi Awom
seperti tak mendengar teriakan Parmin, bahkan keliha-
tannya dia memasrahkan diri.
Makhluk itu dengan garang meraup tubuh
Awom, sehingga ia terangkat ke atas seperti sebuah
boneka. Parmin yang melihat leher sahabatnya seperti
hendak diremas putus, menjadi kalap. Secepat kilat ia
mengerahkan seluruh kekuatannya, kemudian lang-
sung menghantamkan pukulan jarak jauhnya ke dada
binatang raksasa yang menyeramkan itu.
Tak ayal lagi dengan mengeluarkan raungan
keras makhluk raksasa itu oleng dan melepaskan
cengkeramannya. Pada saat itu tubuh Awom terlepas
dari tangannya.
Makhluk seram itu mengamuk, sambil mengge-
ram mengeluarkan suara yang sangat memekakkan te-
linga. Bukit salju seketika bergetar dan tumpukan-
tumpukan es itu longsor berhamburan.
Namun, belum sempat makhluk Yeti itu ber-
buat sesuatu, Parmin, si Jaka Sembung dengan cepat
menghentakkan kakinya, berkelebat di udara dan
mendarat persis di hadapannya.
Dengan cepat pula Parmin langsung menghan-
tamkan pukulan yang kedua tepat di ulu hatinya. Tu-
buh raksasa itu berguling-guling melorot ke bawah
dengan darah menyembur dari mulutnya.
Akibat tubuh besar yang ambruk itu, tumpu-
kan salju yang berada di atas tebing longsor dengan
dahsyatnya, menimbulkan suara yang sangat berge-
muruh dan menguburnya dalam-dalam.
Awom yang baru sadar dari semadinya menjadi
terperanjat kaget. Ia mendapatkan dirinya terpental
jauh dari tempat semula. Belum lagi terjawab perma-
salahannya, tiba-tiba tubuhnya terperosok ke bawah
bersamaan dengan longsoran es tadi.
Parmin yang melihat gejala kritis yang dialami
sahabatnya itu dengan cepat menyergapnya. Tinda-
kannya justru mengakibatkan mereka berdua yang
terpelanting dan melorot ke bawah karena licinnya
longsoran es itu.
"Pegang erat-erat tubuhku, Awom!"
Longsoran salju dengan sangat cepatnya melo-
rot, mengakibatkan pohon pinus di sekitar kaki bukit
banyak yang tumbang tersapu.
Dengan mendekap tubuh Awom, Parmin bersal-
to untuk mencapai sebatang pohon yang tergeletak
dan segera ia manfaatkan sebagai alat peluncur.
Longsoran salju semakin menggila. Parmin ma-
ti-matian mempertahankan keseimbangan tubuhnya di
atas batang pohon yang meluncur dengan kecepatan
penuh sambil menggendong tubuh Awom. Suatu saat
batang pohon itu membentur sebuah tonjolan batu ca-
das, membuat tubuh mereka berdua terhempas dan
melayang di udara. Dan lalu jatuh tak jauh dari kaki
bukit yang dipenuhi rerumputan yang cukup tebal.
Parmin terperosok di sebelah Selatan, sedangkan
Awom lebih jauh terpental ke sebelah Utara.
Dengan tubuh masih berselimut salju, Parmin
menghampiri tubuh sahabatnya yang menggeliat-geliat
menahan rasa sakit, seraya berkata dengan suara te-
rengah-engah.
"Mengapa kau senekat ini, Awom?! Kau mau
bunuh diri?!"
Sambil masih menggerak-gerakkan anggota tu-
buhnya, Awom berkata sambil tersenyum kepada sa-
habatnya pendekar Gunung Sembung itu.
"Anda salah sangka, Parmin! Aku tak bermak-
sud bunuh diri, tetapi sedang meminta izin para dewa,
dan tempatnya adalah di sini, tempat yang paling ting-
gi di seluruh jagad ini!" katanya dengan wawasan pen-
getahuan seorang putra pribumi saat itu.
"Izin untuk apa?" potong Parmin dengan tak
sabar.
"Aku akan masuk dan memeluk agama anda!
Dan ikut ke mana saja anda pergi!" jelas Awom dengan
sinar mata berbinar.
Parmin tertegun sejenak, sambil memandangi
sahabatnya, dengan tatapan mata penuh pertanyaan
dengan apa yang diucapkan pemuda kulit hitam itu.
"Alhamdulillah! Tapi mengapa kau memilih
agama Islam?"
"Bukankah anda pernah katakan bahwa semua
agama itu baik, tapi tidak semua yang baik itu benar?"
jawab Awom sambil mengingatkan Parmin pada apa-
apa yang pernah dikatakannya di waktu yang lalu.
Diam-diam, pendekar pulau Jawa itu memuji
kecerdasan Awom yang selama ini merenungi kata-
katanya. Dengan tersenyum bangga Parmin menjawab
"Betul, Awom! Tetapi untuk memasuki dan
memeluk agama Islam, harus berdasarkan ketulusan
hati atau keikhlasan tanpa paksaan. Kau sangat be-
runtung! Allah telah membuka mata hatimu yang se-
lama ini berada dalam kegelapan, untuk memeluk
agama yang diridhoinya. Dalam kitab suci Al Qur'an
Allah berfirman; Inna Diena Indallohil Islam... Sesung-
guhnya agama yang paling diridhoi dan yang paling di-
terima di sisi Allah hanyalah Islam! Pada ayat lain di-
katakan juga yang kurang lebih maksud dan tujuan-
nya begini; Barang siapa memeluk agama selain agama
Islam, dia di akhirat kelak termasuk orang-orang yang
merugi!"
Mendengar itu, Awom seperti sudah tak sabar
lagi, ia mendesak Parmin agar dirinya bisa lebih cepat
untuk menjadi seorang muslim.
"Bagaimana syaratnya?"
"Sangat mudah, Awom.... Tapi sangat berat! Ka-
rena yang paling penting adalah pengakuan di dalam
hati sanubari, bukan kata-kata yang keluar dari mu-
lut!"
Awom tak menyahut, dia hanya mengangguk-
anggukkan kepalanya. Kemudian Parmin meneruskan
percakapannya, meminta Awom untuk mengikutinya
sambil mengucap;
"Sekarang ikutilah aku! Kau harus membaca
dua kalimat syahadat.... Assyhadu Allaa Illaha illal-
lah.... Wa-Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah!"
ucap Jaka Sembung dengan perlahan-lahan tetapi
sangat jelas.
Awom mengikuti ucapan Parmin. Namun lidah-
nya belum bisa mengikutinya.
Berulang kali Parmin menuntun Awom mengu-
cap kalimat-kalimat syahadat itu secara perlahan-
lahan. Akhirnya tepat tengah malam, Awom baru dapat
mengucapkan dengan benar, ucapan yang menjadi
syarat pertama bagi orang yang ingin memeluk agama
Islam.
"Assyhadu Alla Illaha Illallah.... Wa-Asyhadu
Anna Muhammadar Rasulullah!" ucap Awom dengan
fasihnya.
Dengan disaksikan gugusan bintang yang me-
nerangi mayapada, pohon-pohon pinus raksasa yang
dahannya meliuk-liuk karena ditiup angin pegunun-
gan, resmilah Awom menjadi seorang muslim yang siap
menjalankan perintah Sang Maha Pencipta dan men-
jauhi segala apa yang dilarangnya.
Di suasana malam yang hening sunyi senyap
itu, Parmin mengajak Awom untuk merenungkan ek-
sistensi seorang muslim.
Agaknya eksistensi seperti itulah yang selama
ini membuat Awom berpikir keras, terutama ketika ia
hadir mengikuti upacara malam Natal di perkampun-
gan suku Nabire itu.
"Kau tahu arti dan tujuan dari dua kalimat
syahadat yang baru kita ucapkan tadi, Awom?"
Lagi-lagi Awom diam, kali ini dia menggeleng-
gelengkan kepalanya tanda tak mengerti, arti dan tu-
juan dari dua kalimat syahadat itu, "Arti dari dua ka-
limat syahadat itu adalah; Aku bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan yang kusembah selain Allah... Dan aku
bersaksi dengan sebenar-benarnya bahwa Nabi Mu-
hammad itu Utusan Allah!"
"Lalu maksudnya apa?" potong Awom dengan
rasa ingin tahu.
"Kalimat pertama bermaksud yang kita wajib
sembah hanyalah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, kita
tak boleh menyembah yang lain dari-Nya. Kalau sean-
dainya kita menyembah dari yang lain seperti me-
nyembah matahari, api, laut dan lain sebagainya yang
termasuk ciptaan-Nya, itu namanya 'syirik'. Kalau su-
dah syirik atau menyekutukan Tuhan dengan yang
lain, termasuk dosa besar yang tak dapat diampuni!"
"Sedangkan kalimat kedua; Aku bersaksi den-
gan sebenar-benarnya bahwa Nabi Muhammad adalah
utusan Allah. Artinya bahwa dalam menjalani kehidu-
pan ini, seorang muslim haruslah mencontoh segala
sesuatu yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad!"
Awom manggut-manggut dan kembali bertanya.
"Mengapa kita harus percaya adanya Tuhan?"
"Apabila manusia itu melihat alam yang sangat
luas dan besar ini, akan timbullah suatu pertanyaan
dalam kalbunya, tentulah ada juga sebab maka ada
alam ini, atau tentu ada pembuat yang telah memban-
gun alam ini!" jawab Parmin dengan sederhana, agar
dapat dengan mudah dicerna oleh sahabatnya itu.
Sejenak mereka saling beradu pandang. Awom
mengembangkan sebuah senyum kepuasan atas penje-
lasan Parmin mengenai ajaran Islam. Tetapi kemudian
dia mengerutkan dahinya, seakan ada sesuatu hal
yang ingin ia tanyakan. Tentang hal-hal penting yang
berkaitan dengan adat istiadat sukunya.
Sebelum sempat Awom mengeluarkan perta-
nyaan, mendadak Parmin membuka suaranya terlebih
dahulu;
"Awom! Mulai saat ini kau telah menjadi seo
rang muslim! Jadi kau harus berpakaian secara benar!
Harus menutup aurat! Aurat seorang muslim laki-laki
adalah dari pusar sampai lutut!" jelas Parmin, sambil
menunjuk bagian tubuh yang ia sebutkan.
Hari kini telah berganti pagi, mentari sedikit
demi sedikit mulai nampak dari belakang puncak pe-
gunungan yang masih berselimut kabut tebal. Sang
mentari mulai menyinarkan sinarnya ke seluruh per-
mukaan dataran yang hijau dengan hamparan pohon-
pohon yang dahannya meliuk-liuk, terhempas angin
pegunungan.
Kedua sosok manusia yang tak lain adalah
Awom dan Parmin itu, berjalan dengan langkah ringan
menelusuri lembah menuju perkampungan suku Na-
bire. Sejenak keduanya menghentikan langkahnya,
tatkala sampai di hulu sungai yang terbentang menge-
lilingi perkampungan itu untuk membersihkan muka
dengan air sungai yang jernih itu.
Setelah merasakan seluruh tubuhnya segar
kembali, keduanya melanjutkan perjalanan dengan
langsung mencari jalan pintas. Tak lama kemudian,
mereka telah sampai di pinggiran perkampungan Na-
bire.
Parmin dan panglima suku Kaimana beristira-
hat sejenak sambil melahap beberapa buah-buahan
yang dapat dimakan untuk mengganjal perut selama
beberapa hari tak sempat diisi.
Mereka duduk-duduk di bawah pohon yang
tinggi dan rindang sambil berbincang-bincang.
"Awom, ini buah apa namanya?" tanya Parmin.
"Oh, itu! Suku kami menamakannya buah
Opu!" jawab Awom sambil mengupas kulitnya dan
dengan lahap Parmin memakan buah yang baru dike-
nalnya itu. Rasanya seperti rasa kacang tanah, cukup
untuk memulihkan tenaga dalam tubuh yang selama
ini banyak terkuras.
"Oooooh, tak terasa hari sudah begitu siang!"
ucap Parmin yang mulai merasakan kantuk yang da-
tang.
"Betul! Mungkin kita sangat lelah menempuh
perjalanan siang dan malam tanpa mengenal istirahat!"
Awom menimpali ucapan Parmin.
Keduanya kini bangkit dan melangkah menuju
gerbang perkampungan yang sudah terlihat di depan
mata.
"Ayolah, Awom! Hari sudah siang, mungkin me-
reka telah cemas menanti kedatangan kita!"
Sementara itu di perkampungan suku Nabire
nampak Yulia, ayahnya dan pendeta Yorgen serta para
prajurit suku Kaimana sedang sibuk membereskan
berbagai perbekalan untuk persiapan perjalanan pu-
lang yang cukup jauh dari perkampungan suku Nabire
ke perkampungan suku Kaimana.
Kedatangan Parmin dan Awom, disambut den-
gan sorak sorai dan tepukan tangan sambil mengelu-
elukan nama mereka.
"Hai!! Kawan-kawan, pahlawan kita telah da-
tang! Telah datang di tengah-tengah kita!" teriak salah
seorang dari mereka hingga terdengar ke tempat di
mana Yulia, pendeta Yorgen dan Van Boerman berada.
Yulia dengan cepat ke luar rumah dan berlari
menyongsong sambil memeluk Jaka Sembung, kemu-
dian ia menoleh kepada Awom seraya bertanya.
"Awom! Apa yang kau lakukan di puncak Ka-
hyangan itu! Kami semua sangat mengkhawatirkan di-
rimu!"
Awom tersenyum kalem mendengar pertanyaan
kepala sukunya yang cantik itu.
Kepala suku Nabire yang sejak selesai upacara
perayaan Natal, terus menerus khusuk melakukan
upacara ritual memanjatkan doa menurut agama su-
kunya. Bagi keselamatan Awom dan Parmin, kini telah
mengakhirinya setelah mendengar Awom dan Parmin
kembali ke tengah-tengah mereka, dengan tak kurang
suatu apa.
Kemudian Kya-Fa kepala suku Nabire yang ra-
mah itu duduk membaur bersama-sama yang lain un-
tuk mendengarkan cerita Awom.
Awom mengisahkan perjalanannya mendaki
puncak Kahyangan. Di mana dirinya hampir tewas di
tangan makhluk raksasa bertubuh laksana gorila yang
memiliki bulu-bulu tebal dan sampai akhirnya ia resmi
menjadi seorang muslim.
Semua orang yang mendengar ceritanya, baik
Yulia, pendeta Yorgen, Van Boerman dan Kya-Fa kepa-
la suku Nabire, bergembira karena Awon telah pulang
dengan selamat dan turut gembira dengan agama baru
yang menjadi pilihan pemuda gagah itu.
Hari semakin larut, di luar pondok udara dira-
sakan sangat dingin dan suasana sunyi mencekam,
hanya sekilas terdengar suara bisikan binatang-
binatang kecil yang bersembunyi di kegelapan malam.
Waktu demi waktu cuaca semakin gelap karena
bintang gemintang di cakrawala sudah menghilang di
balik awan hitam. Kilat sekali-sekali menerangi kegela-
pan malam, disusul kemudian dengan suara halilintar
yang menggelegar. Sesaat kemudian terdengar air ge-
mericik di atap-atap rumah.
Hujan mulai turun dengan derasnya, sehingga
tak seorang pun penghuni perkampungan yang berke-
liaran. Obor-obor yang menyala di sekitar perkampun-
gan suku Nabire semua padam tertimpa air hujan.
Di malam yang semakin gelap dan basah kuyup
itu, tak ada lagi terdengar orang bercakap-cakap, yang
terdengar hanyalah suara dengkuran nafas yang men
giringi tidur lelap para penghuninya.
Pagi itu seluruh halaman rumah dan pepoho-
nan basah tersimbah air hujan, yang baru berhenti ke-
tika menjelang pagi. Beberapa orang satu persatu mu-
lai keluar dari tempat tinggal mereka. Begitu juga dari
tempat kediaman kepala suku Nabire, beberapa orang
yang tak lain dari Yulia, dan ayahnya, Yan Van Boer-
man, pendeta Yorgen, kepala suku Nabire Kya-Fa,
Awom si panglima suku Kaimana dan Parmin si Jaka
Sembung, bergegas menuju halaman terbuka untuk
menghirup udara pagi yang masih segar.
Sesaat kemudian, kepala suku Nabire Kya-Fa
berdiri di hadapan rakyatnya seraya berbicara dengan
berapi-api.
"Hai, rakyatku suku Nabire dan kalian juga ra-
kyat suku Kaimana! Aku di sini atas nama kalian men-
gucapkan banyak terimakasih, bahwa saudara-
saudara kita yang berasal dari dunia yang lebih maju
telah mengajari kalian bagaimana caranya menenun
dan yang lain-lain!"
Selesai Kya-Fa berbicara, mereka menyambut-
nya dengan sorak sorai yang gegap gempita.
Parmin, Yulia, pendeta Yorgen dan Yan Van
Boerman telah mengajari mereka tentang baca tulis
dan beberapa hal tentang dasar-dasar ilmu pengeta-
huan.
Sedikit demi sedikit, orang-orang suku Nabire
dan suku Kaimana sudah mulai bisa mengenal huruf
dan mengenal suatu peradaban yang sebelumnya ma-
sih asing bagi mereka.
Ingin sekali Parmin lebih lama tinggal di tengah
suku-suku Papua, untuk menyumbangkan apa saja
yang ia dapat sumbangkan kepada mereka, tapi kare-
na masih banyak tugas menanti, maka Parmin tak da-
pat tinggal di Papua.
Ia bermaksud kembali ke pulau Jawa membawa
serta Awom yang tak mau lagi berpisah dengan Par-
min.
Maka tibalah hari yang dinantikan itu. Mereka
bersiap-siap untuk mengantar Parmin dan Awom ke
pantai menuju ke atas perahu, yang sudah diper-
siapkan orang-orang suku Nabire sebelumnya. Perahu
itu cukup besar untuk dua orang, diperlengkapi den-
gan layar, dayung, serta perbekalan makan minum
yang cukup, selama perjalanan yang diperkirakan
memakan waktu cukup lama menuju pulau Jawa.
Di antara kerumunan orang-orang itu, nampak
yang paling sedih adalah Yulia, dia sepertinya tidak
mau ditinggalkan oleh seorang yang paling ia kagumi.
Dengan isak tangis, ia menjatuhkan tubuhnya
di dada Parmin yang berusaha menghibur hatinya.
"Sudahlah Yulia! Kalau panjang umur, kita bisa
bertemu lagi! Aku percaya di bawah kepemimpinanmu
dan di bawah bimbingan pendeta Yorgen, suku Kaima-
na dan suku Nabire akan menjadi suku yang beradab
dan hidup lebih maju."
Di tengah suasana yang sangat mengharukan
itu, pendeta Yorgen berkata sambil mengucapkan se-
lamat jalan. Disusul oleh ucapan ayah, Yulia dengan
suara berat karena tak tahan melihat perpisahan anta-
ra mereka, kedua matanya berkaca-kaca tergenang air
mata dan rakyat kedua suku itu hanya terdiam mem-
bisu.
"Dan kami pun berdoa semoga bangsa anda se-
gera terlepas dari belenggu penjajahan! Kami berbicara
atas ikatan hati nurani sesama manusia! Tuhan selalu
beserta kita, Jaka Sembung!"
"Terima kasih!" ucap Parmin sambil mengajak
Awom untuk menaiki perahu berbentuk rakit tersebut.
Sementara itu Yulia masih memandang tak berkedip
dalam melepas kepergian Jaka Sembung. Terlalu ba-
nyak suka duka bersamanya yang harus dilupakan
begitu saja. Terlalu pahit dan terlalu pagi baginya
menghadapi perpisahan ini.
Semangat hidup yang baru saja tumbuh dalam
diri gadis Belanda ini, berkat dorongan kasih sayang
pendekar muda dari tanah Jawa itu, kini tiba-tiba ter-
goyang dengan kepergiannya.
Dunia seisinya tiba-tiba terasa begitu sunyi ba-
ginya. Kepada siapa lagi ia akan berbagi canda ria dan
bercengkrama seperti yang dilakukannya selama ini.
Perahu rakit itu berlayar kian jauh dari tepi
pantai Sarera, semakin lama semakin mengecil dari
pandangan mata sampai akhirnya lenyap di balik kaki
langit sebelah Barat.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar